Anda di halaman 1dari 463

PANDUAN PELAYANAN

MEDIS

SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RUMAH SAKIT UMUM NURHAYATI
KABUPATEN GARUT
2019
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/3
RSU
NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


Direktur RSU NURHAYATI GARUT

PROSEDUR
16 Januari 2019
TETAP

dr. Hj. Anne Lisnawati


NIK. 1983062320100116
Pengertian
Tujuan Menerangkan Pedoman dalam pemberian pelayanan
Anestesiologi dan Terapi Intensif di RSU Nurhayati Garut
Kebijakan Mengatur Pedoman Pelayanan Medis dan Prosedur
Operasional, berikut penanggung jawab masing-masing
kegiatan pelayanan anestesi.
Uraian Umum Pedoman Pelayanan Anestesi dan Terapi Intensif meliputi
1. Pedoman Pelayanan Medis :
a.Pelayanan dasar Anestesi :
 Persiapan prabedah
 Penatalaksanaan selama pembedahan
 Penatalakanaan Pasca Bedah
 Terapi Cairan dan tranfusi darah 2/3
 Penatalaksanaan Nyeri
 Resusitasi.
b. Pelayanan anestesi pada :
 Obstetrik
 Pediatrik
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/3
RSU
NURHAYATI
GARUT

 Geriatrik
 Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT)
 Trauma dan Luka Bakar
 Bedah Ortopedi
 Bedah Onkologi
 Bedah Digestif
 Bedah Urologi
 Bedah Rawat Jalan
 Tindakan Anestesi diluar kamar bedah
 ICU
 HCU
 Laparaskopi.
c. Pelayanan anestesi pada pasien dengan penyakit
penyerta:
 Hipertensi
 Diabetes Mellitus
 CKD
 Penyakit jantung koroner
 Kelainan jantung bawaan
 PPOK
 Kelainan endokrin. 3/3
2. Prosedur Operasional :
 Tatacara konsul pasien swasta dan pasien
regular
(kelas 1 sampai dengan kelas 3)
 Prosedur pelayanan Anestesi
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/3
RSU
NURHAYATI
GARUT

 Penanggung jawab dari masing2 kegiatan


pelayanan
 Tatalaksana penentuan hari
pembedahan,Tatalaksana pembatalan
pembedahan
 Tatalaksana konsultasi dengan bagian lain
 Tatacara serah terima pasien dari setiap
peralihan tanggung jawab.

Unit Terkait 1. Kepala Bidang Pelayanan IGD


2. Komite Medik
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PRE
ANESTESI
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/5
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


Direktur RSU NURHAYATI GARUT
SPO TETAP:
PENANGANAN
PENATALAKSANAAN
PRE ANESTESI
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Penatalaksanaan pra anestesi dimulai saat pasien
berada di Ruang Perawatan sampai menjelang akan
dilakukan tindakan anestesi di kamar operasi.
Tujuan Mempersiapkan pasien pada kondisi fisiologis dan
mental yang optimal untuk menurunkan angka
kejadian morbiditas dan mortalitas yang dapat
diakibatkan oleh tindakan bedah dan anestesi
Kebijakan 1. Penatalaksanaan pra anestesi dilaksanakan dalam
periode 24 jam (H-1)/ atau sebelum tindakan
anestesi dan operasi terencana, dan pada operasi
darurat dilakukan sebelum memulai anestesi dan
operasi.
2. Evaluasi pra anestesi mencakup identifikasi
pasien, pemahaman prosedur operasi atau medis
yang dilaksanakan, riwayat medis, pemeriksaan
klinis rutin dan khusus dari pasien, kosultasi
dengan spesialis lain bila diperlukan, pengaturan
terapi dan pemeriksaan lain yang diperlukan untuk
mecapai kondisi pasien yang optimal, dan
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PRE
ANESTESI
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/5
2/5
RSU NURHAYATI
GARUT

penjelasan tindakan anestesi yang diperlukan.


Prosedur 1. Semua pasien yang telah dijadwalkan untuk
dilakukan tindakan pembedahan dengan anestesi
harus melalui konsul H-1.
2. Saat menerima konsul H-1, dokter anestesi harus
mempelajari rekam medis pasien terlebih dahulu
dan melihat hasil pemeriksaan hasil konsul H-2
yang telah dilakukan.
3. Kunjungan pre-operatif dimulai dengan
memperkenalkan diri pemeriksa pada pasien.
4. Evaluasi rutin pada saat kunjungan pre-operatif
adalah sebagai berikut:
a. Identifikasi penderita
b. Konfirmasi tindakan yang akan dilakukan
c. Anamnesa:
 Masalah medis saat ini
 Penyakit penyerta lainnya
 Riwayat pengobatan: obat-obatan yang
diminum saat ini, intoleransi/alergi obat
 Kebiasaan/ habituasi, seperti: merokok/
minum alcohol
 Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya
 Riwayat penyakit dalam keluarga
d. Tinjauan sistem organ
 Keseluruhan (termasuk level aktivitas fisik),
 Sistem respirasi
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PRE
ANESTESI
No. Dokumen No.Revisi Halaman
3/5
1/5
RSU NURHAYATI
GARUT

 Kardiovaskular
 Gastrointestinal
 Renal
 Hematologi
 Endokrin
 Muskuloskeletal
 Psikiatrik
 Dermatologi
e. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan Umum
 Tanda vital: Tekanan darah, Laju nadi, Laju
nafas, SpO2, Suhu
 Jalan nafas (look, listen, feel)
 Kardiovaskular (inspeksi, palpasi, perkusi,
auskutasi)
 Paru-paru (inspeksi, palpasi, perkusi,
auskultasi)
 Sistem digestif (inspeksi, palpasi, perkusi,
auskultasi)
 Ekstremitas
 Pemeriksaan neurologis
 Pemeriksaan Laboratorium/ Penunjang:
5. Mempelajari hasil-hasil pemeriksaan dan
konsultasi dari bagian lain yang diperlukan untuk
melakukan tindakan anestesi
6. Melakukan penilaian terhadap keadaan pasien
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PRE
ANESTESI
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/5
4/5
RSU NURHAYATI
GARUT

secara menyeluruh termasuk riwayat penyakit,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
yang mendukung
7. Melakukan identifikasi faktor-faktor resiko
anestesi, dan bila bermakna maka pasien harus
diberitahukan.
8. Klasifikasi ASA
9. Apabila dari hasil pemeriksaan H-1 didapatkan
keadaan pasien yang belum optimal atau
pemeriksaan laboratorium/penunjang yang belum
lengkap yang akan mempengaruhi tindakan
anestesi yang akan dilakukan, maka pemeriksa
harus terlebih dahulu melakukan tindakan koreksi
ataupun pemeriksaan pelengkap lainnya dan
kalau diperlukan dilakukan konsultasi ke bagian
lain untuk mengoptimalkan keadaan pasien.
10. Tindakan anestesi tidak dapat disetujui apabila
pasien memerlukan waktu lebih dari 1 hari untuk
optimalisasi atau pemeriksaan lainnya. Oleh
karenanya pasien disarankan untuk konsul ulang
H-2 kembali.
11. Penjelasan operasi dan Informed consent. Dokter
anestesi yang merawat harus menjelaskan
kepada pasien/ keluarga pasien tentang operasi
yang akan dilakukan, tindakan anestesi, resiko-
resiko dan keuntungan yang mungkin terjadi
akibat tindakan anestesi dan pembedahan secara
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PRE
ANESTESI
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/5
5/5
RSU NURHAYATI
GARUT

jelas dan lengkap. Apabila pasien/ keluarga


pasien sudah mengerti dan menyetujui/ tidak
menyetujui tindakan anestesi yang akan
dilakukan, kemudian pasien/ keluarga pasien
harus menandatangani surat persetujuan tindakan
anestesi, disertai tandatangan saksi dari keluarga
pasien dan dari pihak perawat, serta tanda tangan
dokter yang memberikan keterangan.
12. Memberikan premedikasi yang tepat yang
diperlukan untuk melakukan tindakan anestesi
(dosis, cara, dan waktu pemberian)
13. Memberikan instruksi puasa pre-operatif
14. Memberikan instruksi yang jelas tentang obat-
obatan yang harus diteruskan atau dihentikan
pada hari pembedahan.
15. Menyusun rencana teknik anestesi dan
penatalaksanaan perioperatif seperti terapi cairan
dan transfusi darah
Unit Terkait 1. Ruangan Perawatan
2. Poliklinik
3. Unit Gawat Darurat
4. Rekam Medis
Dokumen Terkait 1. Catatan Rekam Medis
2. Lembaran pre-anestesi
3. Lembaran persetujuan anestesi
Pemeriksaan Laboratorium

ANAK 0-18 TAHUN


PEMERIKSAAN REKOMENDASI PENJELASAN
Darah tepi Ya Pemeriksaan darah tepi lengkap rutin (
Hb, Ht, leukosit, hitung jenis, trombosit)
dilakukan pada anak usia <5 tahun,
sedangkan pada anak usia > 5 tahun
dilakukan atas indikasi, yaitu: pada
pasien yang diduga menderita anemia,
pasien dengan penyakit jantung, ginjal,
saluran nafas atau infeksi, serta
tergantung jenis dan derajat prosedur
operasi.
Kimia Darah TIDAK Pemeriksaan kimia darah dilakukan bila
terdapat resiko kelainan ginjal, hati,
endokrin, terapi perioperatif, dan
pemakaian obat alternatif.

Kadar Ureum TIDAK Kadar ureum dan elektrolit tidak


dan Elektrolit dibutuhkan rutin pada pasien < 50 tahun,
akan tetapi harus diambil pada keadaan
berikut:
1. Jika terdapat diare, muntah, atau
penyakit metabolik
2. Ada penyakit ginjal atau hepar,
diabetes, atau status nutrisi
abnormal
3. Pada pasien yang mendapat
terapi diuretik, antihipertensi,
Tes Fungsi TIDAK steroid, atau obat hipoglikemik
Lever
Hanya diperlukan pada:
1. Penyakit hepar
2. Status nutrisi abnormal atau
penyakit metabolik
3. Riwayat konsumsi alkohol dalam
Konsentrasi TIDAK jumlah banyak (> 80gram/ hari)
Gula darah
Diperlukan pada pasien dengan penyakit
diabetes atau penyakit vaskular, atau
Analisa Gas TIDAK sedang mendapat terapi kortikosteroid
Darah
AGD diperlukan pada semua pasien
dengan dispneu saat istirahat dan pada
pasien dengan rencana torakotomi elektif

Hemostasis YA Pemeriksaan hemostasis dilakukan pada


pasien dengan riwayat atau kondisi klinis,
mengarah pada kelainan koagulasi, akan
menjalani operasi yang dapat
menimbulkan gangguan koagulasi, ketika
dibutuhkan hemostasis yang adekuat
(seperti tonsilektomi), dan kemungkinan
perdarahan pascabedah.
Urinalisis TIDAK Pemeriksaan urin rutin dilakukan pada
operasi yang melibatkan manipulasi
saluran kemih dan pasien dengan gejala
infeksi saluran kemih
Foto Toraks TIDAK Hanya dilakukan atas indikasi
EKG TIDAK Hanya dilakukan atas indikasi
Fungsi Paru TIDAK Hanya dilakukan atas indikasi
DEWASA > 18 TAHUN
PEMERIKSAAN REKOMENDASI PENJELASAN
Darah tepi TIDAK Pemeriksaan darah tepi lengkap
dilakukan pada pasien dengan penyakit
hati, pasien dalam kemoterapi, diduga
menderita anemia oleh karena sebab
apapun (perdarahan, defisiensi,, dll) dan
kelainan darah lainnya, serta tergantung
jenis dan derajat prosedur operasi.
Kimia Darah TIDAK Pemeriksaan kimia darah dilakukan bila
terdapat resiko kelainan ginjal, hati,
endokrin, terapi perioperatif, dan
pemakaian obat alternatif.

Kadar Ureum TIDAK Kadar ureum dan elektrolit tidak


dan Elektrolit dibutuhkan rutin pada pasien < 50 tahun,
akan tetapi harus diambil pada keadaan
berikut:
1 Jika terdapat diare, muntah, atau
penyakit metabolik
2 Ada penyakit ginjal atau hepar,
diabetes, atau status nutrisi
abnormal
3 Pada pasien yang mendapat
terapi diuretik, antihipertensi,
Tes Fungsi TIDAK steroid, atau obat hipoglikemik
Lever
Hanya diperlukan pada:
1. Penyakit hepar
2. Status nutrisi abnormal atau
penyakit metabolik
3. Riwayat konsumsi alkohol dalam
jumlah banyak (> 80gram/ hari)
4. Tumor dengan kemungkinan
Konsentrasi TIDAK metastase ke hati
Gula darah
Diperlukan pada pasien dengan penyakit
diabetes, penyakit hati, atau penyakit
Analisa Gas TIDAK vaskular, atau sedang mendapat terapi
Darah kortikosteroid

AGD diperlukan pada semua pasien


dengan dispneu saat istirahat, penyakit
paru sedang-berat, sakit kritis/ sepsis,
dan pada pasien dengan rencana
torakotomi elektif

Hemostasis TIDAK Pemeriksaan hemostasis dilakukan pada


pasien dengan riwayat kelainan
koagulasi, atau riwayat terbaru yang
mengarah pada kelainan koagulasi, atau
sedang memakai obat antikoagulan,
pasien yang memerlukan antikoagulan
pascabedah, pasien yang memiliki
kelainan hati dan ginjal.
Urinalisis TIDAK Pemeriksaan urin rutin dilakukan pada
operasi yang melibatkan manipulasi
saluran kemih dan pasien dengan gejala
infeksi saluran kemih
Foto Toraks TIDAK Pemeriksaan foto toraks hanya dilakukan
pada usia > 60 tahun, pasien dengan
tanda penyakit jantung dan atau paru,
infeksi saluran nafas, terdapat
kemungkinan metastasis dari karsinoma,
sebelum operasi toraks.
EKG TIDAK Pemeriksaan EKG dilakukan pada pasien
dengan diabetes mellitus, hipertensi,
riwayat nyeri dada, gagal jantung, riwayat
merokok,penyakit vaskular perifer, dan
obesitas, yang tidak memiliki hasil EKG
dalam 1 tahun terakhir tanpa
memperhatikan usia. Selain itu EKG
dilakukan pada pasien dengan gejala
kardiovaskular periodik atau tanda dan
gejala penyakit jantung tidak stabil, dan
Echocardiografi TIDAK semua pasien dengan usia > 40 tahun.

Dilakukan pada pasien dengan penyakit


jantung dengan kelainan EKG yang
bermakna
Fungsi Paru TIDAK Paseien dengan penyakit paru sedang
sampai berat, seperti; PPOK,
bronkiektasis, penyakit paru retriksi;
semua pasien yang akan menjalani
bedah toraks/ reseksi paru, dan semua
pasien usia lanjut.
PENANGANAN
PEMBERIAN PREMEDIKASI
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/2
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
SPO TETAP:
16 Januari 2019
PENANGANAN
PEMBERIAN
PREMEDIKASI
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Pemberian obat-obat menjelang anestesi yang
berhubungan dengan tindakan anestesi yang akan
dilakukan.
Tujuan 1. Mengurangi sekresi kelenjar ludah
2. Mengurangi rasa sakit, mual, muntah
3. Mengurangi rasa takut, ketenangan, cemas dan
khawatir
4. Mengurangi jumlah obat yg dibutuhkan untuk anestesi
5. Membantu efek obat anestesi, memudahkan induksi
anestesi

Kebijakan Pemberian obat premedikasi dilaksanakan pada periode 24


jam sebelum dilakukan anestesi/pembedahan. Dalam hal
darurat dapat dikerjakan menjelang atau saat akan
dilakukan tindakan anestesi. Dapat dilakukan oleh
penata/perawat dengan instruksi dokter dan mencatat
nama obat, dosis dan waktu pemberian, tanda tangan serta
nama jelas perawat yang memberikan obat.

Prosedur 1. Memeriksa kembali nama pasien sebelum memberi


PENANGANAN
PEMBERIAN PREMEDIKASI
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/2
2/2
RSU
NURHAYATI
GARUT
obat.
2. Mengetahui riwayat penyakit yang pernah diderita
3. Mengetahui riwayat alergi terhadap obat-obatan.
4. Memeriksa fungsi vital (tensi, nadi, nafas) sebelum dan
sesudah pemberian obat premedikasi.
5. Mencatat jenis obat premedikasi yang diberikan, cara
pemberian dan dosis.

Unit Terkait 1. Kamar Operasi


2. Ruangan Perawatan
3. Rekam Medis
Dokumen Terkait 1. Catatan Rekam Medis
2. Lembar Pra-Anestesi
PENANGANAN PERSIAPAN DAN PEMERIKSAAN
ULANG TERHADAP PASIEN MENJELANG
DILAKUKAN TINDAKAN ANESTESI
No. Dokumen No. Revisi Halaman
RSU NURHAYATI 1/2
GARUT

PENANGANAN Tanggal Terbit :


PERSIAPAN DAN
Ditetapkan Oleh:
PEMERIKSAAN
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
ULANG
TERHADAP
PASIEN
MENJELANG
dr. Hj. Anne Lisnawati
DILAKUKAN
NIK. 1983062320100116
TINDAKAN
ANESTESI
Pengertian Melakukan pendekatan dan memberikan dukungan moril
kepada penderita serta memeriksa ulang tentang
identitas, obat-obat yang harus diberikan sebelum
anestesi dan operasi.
Tujuan 1. Mendapatkan kepastian tetap identitas penderita,
diagnosa tindakan operasi yang akan dilakukan dan
obat-obatan yang harus diberikan serta reaksi alergi
yang mungkin timbul.
2. Untuk memilih teknik anestesi yang tepat terhadap
penderita.
Kebijakan 1. Dilakukan oleh Dokter Spesialis Anestesi/Penata
Anestesi yang akan melakukan tindakan anestesi.
2. Dalam hal dokter spesialis anestesi tidak berada
ditempat/tidak terjangkau dapat dilakukan oleh dua
orang penata/perawat anestesi yang telah mendapat
PENANGANAN PERSIAPAN DAN PEMERIKSAAN
ULANG TERHADAP PASIEN MENJELANG
DILAKUKAN TINDAKAN ANESTESI
No. Dokumen No. Revisi Halaman
RSU NURHAYATI 1/2
GARUT 2/2

pelimpahan wewenang.
Prosedur 1. Memperkenalkan diri kepada penderita
2. Memeriksa kembali identitas penderita/riwayat
penyakit, diagnosa dan macam operasi.
3. Memberikan dukungan moril dan menjelaskan
tindakan induksi yang akan dilakukan.
4. Memasang alat monitor fungsi vital (tensimeter, pulse
oksimetri) dan mencatat hasil pantauan awal di kartu
anestesi.
5. Membuat jalan intravena dengan memasang kateter
terbesar yang bisa dipasang, untuk infuse dan
yakinkan berjalan lancar.
Unit Terkait 1. Ruang Perawatan
2. Unit Gawat Darurat
3. Seluruh Dokter dan Penata/ Perawat Anestesi
4. Rekam Medis
Dokumen Terkait 1. Catatan Rekam Medis Pasien
2. Lembaran Pra-Anestesi
3. Lembaran Persetujuan Tindakan Anestesi
PERSIAPAN
SEBELUM TINDAKAN ANESTESI
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/6

RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
SPO TETAP: Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PERSIAPAN
SEBELUM
TINDAKAN
ANESTESI dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Suatu tindakan untuk memberikan proses pembiusan
kepada pasien yang akan dilakukan tindakan operasi atau
medis lain.
Tujuan Memenuhi kebutuhan fasilitas sarana dan peralatan
anestesi yang esensial untuk menjamin keselamatan
pasien dan tenaga anestesi selama memberikan tindakan
anestesi.
Kebijakan Melakukan pemeriksaan terhadap ketersediaan sarana dan
peralatan anestesi yang tiap sebelum memberikan tindakan
anestesi
Prosedur Sebelum memberikan tindakan anestesi, dokter anestesi
harus melakukan pemeriksaan terhadap sarana yang
dibutuhkan dan memastikannya berfungsi dengan baik,
yaitu:
4.1. Mesin Anestesi
4.1.1. Untuk setiap kamar operasi, minimal harus ada
PERSIAPAN
SEBELUM TINDAKAN ANESTESI
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/6
2/6

RSU
NURHAYATI
GARUT
satu unit mesin anestesi yang dapat digunakan,
untuk pemberian oksigen dan juga gas anestesi.
4.1.2. Vaporizer yang tersedia harus terkalibrasi dan
terisi dengan gas anestesi yang dibutuhkan
sesuai dengan kondisi pasien.
4.1.3. Siapkan sirkuit pernapasan dan reservoir bag
dengan ukuran yang sesuai dengan pasien.
4.1.4. Pastikan mesin sudah terhubung dengan gas
medis yang sesuai (O2, N2O, Air), dan pastikan
gas yang tersedia cukup dan dapat mengalir
dengan baik ke dalam mesin.
4.1.5. Pastikan CO2 absorber masih dalam kondisi
baik.
4.1.6. Lakukan pengecekan terhadap fungsi mesin,
pastikan tidak ada kebocoran pada sirkuit
pernapasan, periksa kerja flow meter, katup
inspirasi dan ekspirasi apakah berfungsi dengan
baik, katup APL (Adjusttable Pressure Limit),
reservoir bag, CO2 absorber canister harus
dipastikan sudah terpasang dan berfungsi
dengan baik.
4.1.7. Periksa apakah ada kebocoran gas atau uap
dalam sirkuit mesin.
PERSIAPAN
SEBELUM TINDAKAN ANESTESI
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/6
3/6

RSU
NURHAYATI
GARUT
4.2. Peralatan anestesi yang harus tersedia di setiap
kamar operasi:
4.2.1. Alat penghisap (suction unit) khusus untuk
anestesi dengan kateter yang berukuran sesuai,
pastikan alat penghisap berfungsi dengan baik.
4.2.2. Alat-alat monitoring:
 Stetoskop
 Alat ukur tekanan darah non invasif
 EKG
 Pulse oksimetri
 Thermometer
 Kapnograf (Untuk operasi tertentu)
 Alat pemantau tekanan darah invasif (untuk
operasi tertentu)
4.2.3. Alat untuk manajemen jalan nafas dan
kelengkapannya:
 Sungkup muka dengan beberapa ukuran
 Pipa orofaring/ nasofaring, LMA/ ETT dengan
berbagai ukuran, dan alat bantu jalan nafas
lainnya
 Laringoskop dengan bilah berbagai ukuran
 Stilet/ bougies
 Spuite balon
 Forsep magill
 Plester
 Jelly pelicin untuk ETT
PERSIAPAN
SEBELUM TINDAKAN ANESTESI
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/6
4/6

RSU
NURHAYATI
GARUT
 Steteskop
 Konektor pipa ETT dengan mesin
4.2.4. Alat untuk akses intra vena
 Torniquete
 Kanul intra vena dengan ukuran yang sesuai,
transfusi set dan cairan yang dibutuhkan
4.2.5. Peralatan untuk melakukan regional anestesi/
blok perifer (bila pasien direncanakan untuk
dilakukan tindakan regional anestesi/ blok
perifer).
4.2.6.Peralatan yang harus tersedia bila dibutuhkan
sewaktu-waktu:
 Peralatan untuk menanggulangi kesulitan
intubasi yang telah diperkirakan sebelumnya
(missal: bougie, LMA, fiber optik)
 Defibrilator jantung
 Penghangat pasien
4.2.7. Obat-obat anestesi
4.2.7.1. Obat-obatan untuk trias anestesi yang
dibutuhkan sesuai dengan keadan pasien
4.2.7.2. Obat- obat untuk menanggulangi
keadaan emergensi:
 Anafilaksis
 Aritmia jantung
 Henti jantung
 Oedem paru
PERSIAPAN
SEBELUM TINDAKAN ANESTESI
No. Dokumen No.Revisi Halaman
5/6
1/6

RSU
NURHAYATI
GARUT
 Hipotensi
 Hipertensi
 Bronkospasme
 Depresi nafas
 Hipo/ hiperglikemi
 Koagulopati
4.2.7.3. Obat-obatan emergensi yang harus
tersedia: oksigen, adrenalin, sulfas
atropin, efedrin, aminofilin, antiaritmia
(lidokain, amiodaron), diuretik, inotropik,
vasopresor (norepinefrin), obat hipotensif
(nitrogliserin/ nitroprusid), antikonvulsan
(seperti diazepam, thiopental), antidotum
(nalokson, antikolinesterase, dan bila ada
flumazenil, dantrolene)
4.2.7.4. Cairan kristaloid dan koloid (sesuai yang
dibutuhkan)

4.3. Persiapan Pasien.


4.3.1. Identifikasi pasien
4.3.2. Lakukan kembali pemeriksaan ulang terhadap
kondisi terakhir pasien
4.3.3.Lakukan pengecekan terhadap ketersediaan
transfusi (pada pasien sebelumnya diperkirakan
memerlukan transfusi)
4.3.4. Lakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan
PERSIAPAN
SEBELUM TINDAKAN ANESTESI
No. Dokumen No.Revisi Halaman
6/6
1/6

RSU
NURHAYATI
GARUT
dokumen (status pasien, Surat izin tindakan operasi,
surat izin tindakan anestesi)
4.3.5. Pasien hanya boleh dimasukkan ke dalam
kamar operasi apabila sudah dipastikan semua
persiapan alat/mesin, obat, dan kelengkapan dokumen
sudah dilakukan dengan baik.
Unit Terkait 1. Kamar Operasi
2. Depo Farmasi
Dokumen Terkait 1. Kartu check list kelengkapan anestesi
MONITORING UMUM SELAMA PEMBEDAHAN
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/3
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
SPO TETAP:
MONITORING
UMUM SELAMA
PEMBEDAHAN
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Suatu prosedur untuk melakukan pemantauan oksigenasi,
ventilasi, sirkulasi, suhu, dan perfusi jaringan.
Tujuan Mendeteksi perubahan klinis yang terjadi pada pasien yang
sedang menjalani anestesi sehingga dapat diberikan
intervensi dengan cepat bila diperlukan.
Kebijakan Monitoring secara kontinyu sejak awal hingga operasi
berakhir
Prosedur Monitoring harus dilakukan secara terus menerus selama
pemberian anestesi. Harus selalu dilakukan evaluasi
terhadap:
1. Oksigenasi
Pemantauan oksigenasi jaringan dilakukan secara
kontinyu.
Tujuan: Memastikan kadar oksigen yang adekuat dalam
darah selama pemberian anestesi.
Metode:
 Pengamatan visual dengan menilai warna dengan
MONITORING UMUM SELAMA PEMBEDAHAN
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/3
2/3
RSU
NURHAYATI
GARUT
pencahayaan pasien yang adekuat.
 Penilaian oksigenasi secara kuantitatif dengan pulse
oksimetri dengan target SpO2 ≥ 94% dengan udara
ruangan.

2. Ventilasi
Pemantauan jalan nafas dan ventilasi dilakukan secara
kontinyu.
Tujuan: Untuk memastikan jalan nafas dan ventilasi pasien
yang adekuat selama pemberian anestesi.
Metode:
 Tanda-tanda klinis kecukupan ventilasi, antara lain:
pengembangan dada yang adekuat, pengamatan
gerakan kembang kempis kantung pernafasan, dan
auskutasi bunyi napas (stetoskop prekordial pada
pediatrik).
 Secara kuantitatif: kebutuhan volume tidal ( 8 cc/ kgbb
), laju respirasi 12-14 x/ menit untuk mencapai volume
semenit 100 cc/ kgbb.
3. Sirkulasi
Pemantauan fungsi peredaran darah yang kontinyu
Tujuan: Untuk memastikan kecukupan fungsi peredaran
darah pasien selama anestesi.
Metode:
 Evaluasi kontinyu terhadap laju jantung dan irama
jantung dengan palpasi nadi, auskultasi bunyi jantung
(stetoskop prekordial pada pediatrik), pulse oksimetri.
MONITORING UMUM SELAMA PEMBEDAHAN
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/3
3/3
RSU
NURHAYATI
GARUT
 Pemantauan EKG secara kontinyu sejak awal hingga
anestesi berakhir. Evaluasi EKG dilakukan terhadap:
o Ritme
o Laju jantung
o ST segment
o Ada tidaknya gelombang P
o Perubahan bentuk gelombang P, QRS, T
 Perfusi jaringan dipantau secara kontinyu dengan
meraba suhu perifer, capillary refill, pulse oksimetri,
dieresis.
 Evaluasi tekanan darah dan laju jantung paling tidak
setiap lima menit
o Pertahankan variasi perubahan tekanan darah
±20% dari base line.
o Prosedur untuk mempertahankan variasi tekanan
darah tersebut dilakukan sesuai dengan
penyebab, seperti: pemberian cairan, pengaturan
kedalaman anestesi, obat inotropik/ vasoaktif,
obat antihipertensi.
4. Suhu Tubuh
Tujuan: Untuk membantu mempertahankan suhu tubuh
yang normotermi selama anestesi.
Metode: Dilakukan pemantauan suhu tubuh inti secara
kontinyu dengan termometer
Unit Terkait 1. Kamar Operasi
Dokumen Terkait 1. Status Anestesi
MONITORING ANESTESI : ARTERIAL BLOOD
PRESSURE
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/3

RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
SPO TETAP :
ARTERIAL
BLOOD
PRESSURE
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Pemantauan sirkulasi pada pasien teranestesi dilakukan
dengan menggunakan non-invasive arterial blood pressure
(NIBP) dan atau invasive arterial blood pressure
disesuaikan dengan keadaan pasien (status fisik pasien)
dan jenis operasi yang dilakukan.
Tujuan Pemantauan ketat sirkulasi pasien dalam keadaan
teranestesi selama operasi berlangsung.
Kebijakan 1. Pertahankan mean arterial pressure (MAP) 65-
85mmHg.
(SBP)+2(DBP)
MAP = ------------------
3
MAP = mean arterial pressure
DBP = dyastolic blood pressure
SBP = systolic blood pressure
2. Perubahan tekanan darah yang dapat ditoleransi pada
orang normal adalah sebesar ± 20% dari base line,
sedangkan pada pasien dengan gangguan fungsi
jantung dan kardiovaskular ditentukan < 20% dari base
MONITORING ANESTESI : ARTERIAL BLOOD
PRESSURE
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/3
2/3

RSU
NURHAYATI
GARUT
line.
3. Perbedaan NIBP dan IBP yang dapat ditolerir adalah
10%.

Prosedur Non invasive arterial blood pressure :


1. Lakukan pemasangan manset tekanan darah pada
lengan bagian atas dengan ukuran yang sesuai
dengan pasien (2/3 bagian tengah lengan atas).
2. Pengukuran dilakukan berulang dengan interval 1
menit saat dilakukan induksi anestesi umum dan
interval 3 menit selama operasi berlangsung.
3. Bila dilakukan regional anestesi pengukuran tekanan
darah dilakukan dengan interval 1 menit setelah obat
regional anestesi diberikan dan interval 3 menit
selama operasi berlangsung .

Invasive arterial blood pressure (arteri radialis) :


1. Supinasi dan ekstensi pergelangan tangan.
2. Spuit berisi heparin yang sudah diencerkan (0,5-2
unit heparin/ml salin) beserta stop cock sudah
tersedia untuk membilas.
3. Pulsasi radial diraba dengan cara penekanan ringan
oleh jari telunjuk dan jari tengah.
4. Bersihkan kulit tempat akan dilakukan pemasangan
menggunakan cairan bakterisid.
5. Infiltrasi dengan 0,5 ml lidocain tepat di atas arteri
MONITORING ANESTESI : ARTERIAL BLOOD
PRESSURE
No. Dokumen No. Revisi Halaman
3/3
1/3

RSU
NURHAYATI
GARUT
radialis menggunakan jarum no. 25 atau 27.
6. Gunakan jarum 18 untuk menyayat lokasi
penusukan.
7. Jarum 20 atau 22 disuntikkan dengan sudut 45º
terhadap permukaan kulit menuju arteri radialis yang
telah diraba.
8. Setelah timbul aliran darah balik arah jarum
diturunkan sampai 30º, kateter diinsersikan
9. Kateter dihubungkan dengan transducer alat
pemantau tekanan darah otomatis.
10. Fiksasi dan tutup daerah penusukan menggunakan
kasa steril dan plester.

Unit Terkait 1. Kamar Operasi


Dokumen Terkait 1. Catatan Rekam Medik
2. Laporan Anestesi
MONITORING ANESTESI : EKG
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/2

RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
SPO TETAP:
MONITORING
ANESTESI : EKG
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Pemantauan elektrokardiogram selama operasi
berlangsung
Tujuan Memastikan fungsi listrik jantung pasien selama anestesi
adekuat.
Kebijakan Mempertahankan irama sinus, laju nadi 60-80 x/mnt
(dewasa); mendeteksi dini gangguan irama jantung,
gangguan konduksi, iskemik jantung, gangguan elektrolit
Prosedur 1. Elektroda dipasangkan pada intercosta 1-2 sejajar
papilla mammae kanan, intercosta 1-2 sejajar papilla
mammae kiri, interkostal V kiri pada garis aksilaris
anterior.
2. Dihubungkan pada monitor EKG
3. Pemasangan elektroda ini berguna untuk mendapat hasil
pembacaan pada lead II.
4. Lakukan evaluasi secara kontinyu terhadap:
 Ritme
 Laju jantung/ menit
 ST segmen
 Ada tidaknya gelombang P
MONITORING ANESTESI : EKG
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/2
2/2

RSU
NURHAYATI
GARUT
 Perubahan bentuk gelombang P, QRS, T
Unit Terkait 1. Kamar Operasi
Dokumen Terkait 1. Catatan Rekam Medis
2. Status Anestesi
MONITORING ANESTESI : PULSE OXIMETRY
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/1
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
SPO TETAP: Direktur RSU NURHAYATI GARUT
MONITORING
ANESTESI :
PULSE
OXIMETRY dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Pemantauan menggunakan pulse oximetry selama operasi
berlangsung.
Tujuan Memastikan oksigenasi yang adekuat selama pasien
teranestesi.
Kebijakan Pertahankan saturasi oksigen di atas 94 % (dengan udara
bebas) untuk mendapatkan PaO2 lebih dari 65mmHg
Prosedur 1. Probe saturasi dipasang pada ujung jari pasien dengan
sinar infra merah pada bagian kuku jari pasien.
2. Hindari pemaparan cahaya pada probe saturasi untuk
menghindari gangguan iluminasi sinar infra merah.
Unit Terkait 1. Kamar Operasi
Dokumen Terkait 1. Catatan Rekam Medis
2. Status Anestesi
MONITORING ANESTESI : SUHU
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/1

RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
SPO TETAP:
MONITORING
16 Januari 2019
ANESTESI :
SUHU
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Pemantauan temperatur tubuh pasien selama operasi
berlangsung.
Tujuan Menjaga temperatur tubuh pasien selama operasi
Kebijakan Pertahankan temperatur tubuh pasien normotermi (36º-
37,5ºC). Hindari keadaan hipotermi (suhu ≤ 35˚C).
Prosedur 1. Probe temperatur dipasang pada nasopharyng pasien
yang menjalani anestesi umum dan pada aksila pada
pasien yang dilakukan anestesi regional.
2. Probe dimasukkan ke nasofaring melalui mulut agar
menghindari trauma pada saluran hidung.
3. Bila didapatkan suhu tubuh kurang dari 36ºC (terancam
hipotermi), berikan maintenan cairan menggunakan
cairan kristaloid yang sudah dihangatkan di lemari
penghangat kemudian berikan penghangat pada
bagian dalam kain penutup pasien
Unit Terkait 1. Kamar Operasi
Dokumen Terkait 1. Catatan Rekam Medis
2. Status Anestesi
MONITORING ANESTESI : DIURESIS
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/2
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
SPO TETAP:
MONITORING
16 Januari 2019
ANESTESI :
DIURESIS
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Menilai status volume cairan tubuh pasien dan
mempertahankan fungsi ginjal dengan cara pemantauan
diuresis pasien menggunakan kateter urin dan kantung
pengumpul urin selama operasi berlangsu
Tujuan Menilai status volume cairan tubuh pasien dan
mempertahankan fungsi ginjal baik selama dan setelah
operasi.
Kebijakan Keadaan status volume cairan tubuh pasien dan fungsi
ginjal yang baik dapat dinilai dengan diuresis lebih dari
1cc/kgBB per jam dengan warna kuning jernih
Prosedur 1. Dilakukan pemasangan kateter urin pada pasien yang
menjalani operasi lebih dari 2 jam dalam anestesi
umum.
2. Dilakukan pemasangan kateter urin pada semua pasien
yang mendapatkan anestesi regional (spinal, epidural,
kombinasi spinal epidural, dan caudal) tanpa
mempertimbangkan lama operasi.
3. Jumlah urin inisial dicatat jumlahnya dan dinilai
warnanya .
4. Selama operasi berlangsung urin pasien dikumpulkan
MONITORING ANESTESI : DIURESIS
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/2
2/2
RSU
NURHAYATI
GARUT
dalam kantung pengumpul urin dan dinilai jumlah serta
warna.
Unit Terkait 1. Kamar Operasi
Dokumen Terkait 1. Catatan Rekam Medis
2. Status Anestesi
PROSEDUR INTUBASI DAN EKSTUBASI
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/8
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
SPO TETAP:
PROSEDUR
INTUBASI DAN
EKSTUBASI
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Suatu alat bantu nafas (pipa endotrakheal) yang dipasang
melalui oral atau nasal menuju trakeal.
Tujuan Untuk mempertahankan jalan napas bebas pada prosedur
operasi tertentu dan resusitasi jantung paru
Kebijakan Sebagai bagian dari prosedur resusitasi jantung paru di
emergensi, salah satu fasilitasi operasi dengan anastesi
umum, bila pasien membutuhkan bantuan nafas dengan
ventilator
Prosedur I. INTUBASI
1.1 Indikasi untuk intubasi :
a. Operasi daerah leher dan wajah
b. Prosedur operasi thoracotomi
c. Prosedur operasi craniotomy
d. Prosedur operasi laparotomi
e. Teknik operasi laparoskopi
f. Pembedahan dengan sikap tidur miring atau sikap
telungkup (prone)
g. Operasi pada neonates.
h. Prosedur operasi yang lama (lebih dari 1 jam)
i. Teknik anestesi khusus: hipotensi, hipotermi.
PROSEDUR INTUBASI DAN EKSTUBASI
No. Dokumen No.Revisi Halaman
2/8
1/8
RSU
NURHAYATI
GARUT
j. Pembedahan dimana dibutuhkan banyak relaksasi
atau dimana pernapasan akan terganggu karena
relaksasi.
k. Semua pembedahan akut dimana penderita diduga
atau diragukan lambungnya belum kosong.
l. Pada penderita dimana pemasangan masker sulit
dan tidak mungkin tanpa kebocoran udara sehingga
ventilasi menjadi tidak adekuat.
m. Pada penderita gemuk yang sulit untuk menguasai
jalan napas dengan sungkup wajah (face mask).
n. Pada pasien trauma dengan kondisi obstruksi jalan
napas, hipoventilasi, hipoksia berat, GCS ≤ 8,
Cardiac arrest, fraktur daerah wajah dengan
perdarahan yang sulit dikontrol.
o. Intubasi emergensi pada keadaan trauma inhalasi
pada keadaan luka bakar ≥ 40%, GCS ≤ 8, luka
bakar daerah muka derajat sedang sampai berat,
luka bakar oropharingeal derajat sedang sampai
berat, cedera jalan napas derajat sedang dan berat
yg terlihat saat endoskopi.

1.2 Persiapan pasien:


Persiapan terpenting untuk melakukan intubasi adalah
memeriksa kemungkinan kesulitan intubasi dan resiko
aspirasi dan regurgitasi.
a. Bisa membuka mulut
b. Pemeriksaan mallampati
PROSEDUR INTUBASI DAN EKSTUBASI
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/8
3/8
RSU
NURHAYATI
GARUT
c. Kemampuan ekstensi leher
d. Jarak tyromental.
e. Pergerakan leher ke kanan dan ke kiri (tidak ada
kekakuan sendi leher)
f. Leher pendek, panjang, kaku
g. Adanya sikatrik di daerah leher,
h. Gigi ompong
i. Gigi yang hanya tinggal beberapa saja
j. Tanyakan kecukupan puasanya (terutama pasien
emergensi)
k. Wanita hamil selalu dianggap lambung penuh.

1.3 Persiapan alat :


Pastikan seluruh alat yang diperlukan berfungsi dengan
baik
a. Sumber oksigen dan ambu bag (UGD, Ruangan
,ICU) mesin anestesi yang sudah dipastikan
berfungsi dengan baik ( kamar operasi)
b. Face mask atau sungkup wajah
c. Langingoskope.
d. Pipa endotracheal 3 buah ( 1 lebih besar dan 1
lebih kecil dari ukuran standard).
e. Stylet (mandren)
f. Oropharyngeal airway 3 buah ( 1 lebih besar dan 1
lebih kecil dari ukuran standard).
g. Spuit .
h. Plester.
PROSEDUR INTUBASI DAN EKSTUBASI
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/8
4/8
RSU
NURHAYATI
GARUT
i. Bantal dengan tebal 10 cm.
j. Suction yang sudah siap pakai.
k. Stetoskop
l. Gunakan sarung tangan.

1.4 Penatalaksanaan :
a. Pastikan bahwa meja operasi sudah terkunci dan
tidak bergerak.
b. Posisikan pasien terlentang dengan posisi head up.
c. Tinggi kepala pasien setinggi kartilago xyphoid
operator.
d. Letakkan kepala penderita dengan bagian oksipital
diletakkan di atas bantal dengan tebal 10 cm.
e. Posisi kepala dalam satu garis antara telinga
dengan sternum (sniff position)
f. Berikan pasien oksigen 100% selama kurang lebih
3-5 menit dengan menggunakan sungkup wajah.
g. Berikan pasien anastetika hipnotik sedatif
intravena, dan opioid.
h. Pastikan pasien tertidur dengan memeriksa reflek
bulu mata negatif.
i. Berikan oksigen dengan gas anastetik inhalasi 3
MAC memakai sungkup wajah.
j. Lakukan ventilasi dengan menggunakan bag
dengan tekanan tidak melebihi 30 cm H2O.
k. Bila dada dapat menggembang dan pada saat
melakukan ventilasi tidak ada hambatan atau
PROSEDUR INTUBASI DAN EKSTUBASI
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/8
5/8
RSU
NURHAYATI
GARUT
tahanan, berikan pelumpuh otot.
l. Lakukan ventilasi hingga seluruh obat anestesi
mencapai onsetnya.
m. Pegang handle laringoskope dengan tangan
sebelah kiri, tangan sebelah kanan dapat
memegang kepala pasien untuk extensi atau
membuka mulut dengan cara cross finger.
n. Masukan blade dari ujung kanan bibir, dorong
hingga ke oropharyng sambil menyisihkan lidah dari
kanan ke kiri.
o. Telusuri terus hingga ujung blade menyentuh
vallecula
p. Pastikan gigi dan bibir bebas
q. Kemudian angkat handle menjauh dari pasien
sehingga terlihat pita suara (vocal cord)
r. Persiapkan pipa endotrakheal di tangan kanan
s. Masukan pipa endotacheal kearah pita suara
t. Setelah pipa endotracheal terpasang kembangkan
balon dengan menggunakan spuit sampai tidak lagi
terdengar adanya kebocoran, kemudian pastikan
pipa endotrakheal tidak begeser.
u. Setelah balon mengembang pastikan paru kanan
dan kiri mengembang sama besar dengan
menggunakan stetoskop.
v. Setelah memastikan letak pipa endotracheal benar,
plester pipa.
PROSEDUR INTUBASI DAN EKSTUBASI
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/8
6/8
RSU
NURHAYATI
GARUT
EKSTUBASI
2.1 Persiapan alat
a. Sarung tangan
b. Suction
c. Spuit
d. Sunggup muka

2.2 Prosedur
1.2.1 Ekstubasi bangun penuh
a. Posisi pasien head up
b. Matikan seluruh gas anestesi kecuali
oksigen yang tetap mengalir sekitar 10
L/m.
c. Pastikan efek pelumpuh otot sudah hilang
, kalau perlu berikan reverse pelumpuh
otot.
d. Pastikan pola nafas sudah regular
e. Bila vital kapasitas > 15 ml/kg, adekuatnya
otot pernafasan, tidak ada retraksi dinding
dada, SpO2 > 95% dengan udara luar.
f. Pasien dapat dibangunkan dan dapat
mengikuti perintah sederhana (buka mata,
buka mulut atau angkat tangan)
g. Lakukan suction untuk memberishkan dari
liur atau darah di rongga mulut
h. Berikan tekanan berkisar 5-15 cm H2O
untuk rangsang batuk.
PROSEDUR INTUBASI DAN EKSTUBASI
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/8
7/8
RSU
NURHAYATI
GARUT
i. Bila ada saat batuk tarik pipa endotrakheal
setelah balon dikempiskan.
j. Berikan oksigen kanul 3 L/m

1.2.2 Ekstubasi dalam anestesi


a. Seluruh gas anestesi tidak dimatikan
kecuali N2O.
b. Pastikan efek pelumpuh otot sudah hilang
, kalau perlu berikan reverse pelumpuh
otot.
c. Pastikan pola napas sudah regular.
d. Kapasitas vital > 15 ml/kg, kekuatan otot
pernafasan adekuat.
e. Lakukan suction untuk membersihkan dari
sekret atau darah di rongga mulut
f. Matikan seluruh gas anestesi , berikan
oksigen 10 L/Menit
g. Tarik pipa endotrakheal setelah balon
dikempiskan.
h. Berikan pasien oksigen 10 L/Menit melalui
sungkup muka hingga bangun.
i. Setalah pasien bisa melakukan perintah
sederhana ( buka mata atau angkat
tangan) berikan oksigen kanul 3 L/m.

Unit Terkait 1. Kamar Operasi


PROSEDUR INTUBASI DAN EKSTUBASI
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/8
8/8
RSU
NURHAYATI
GARUT
Dokumen Terkait 1. Catatan Rekam Medis
2. Status Anestesi
KRITERIA EKSTUBASI
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/2
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
SPO TETAP:
KRITERIA
EKSTUBASI
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian teknik mengeluarkan pipa endotrakeal setelah
pembedahan selesai.
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan ekstubasi
pada pasien yang terintubasi.
Kebijakan Ekstubasi dilakukan dengan persiapan peralatan
pengelolaan jalan napas dan kriteria ekstubasi telah
terpenuhi
Prosedur 1. Persiapan : Lakukan persiapan alat-alat untuk
manajemen jalan napas (lihat panduan persiapan
anestesi).
2. Kriteria Klinis
- Tidal volume: ≥ 6 ml/ kg
- Kapasitas vital: ≥ 15 ml/ kg
- Negative inspiratory force: ≥ -25 cmH2O
- Kemampuan mengangkat kepala > 5 detik
- CNS: awake, responsif
- Sistem respirasi:
o Oksigenasi adekuat dengan FiO2 < 0,4
o Ventilasi adekuat
o Laju nafas < 25 x/ menit (pada dewasa)
KRITERIA EKSTUBASI
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/2
2/2
RSU
NURHAYATI
GARUT
- Sistem kardiovaskular:
o Tekanan darah adekuat untuk perfusi ke
organ vital
o Tidak ada disritmia serius yang sebelumnya
tidak terjadi
- Metabolik:
o Normotermia
o Kadar glukosa dan elektrolit normal
- Hematologi:
o Hemostasis adekuat
o Tidak ada koagulopati
Unit Terkait 1. Kamar Operasi
Dokumen Terkait 1. Catatan Rekam Medis
2. Status Anestesi
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
UMUM
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/4
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


Direktur RSU NURHAYATI GARUT
SPO TETAP:
PENANGANAN
PENATALAKSANAAN
ANESTESI UMUM
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Suatu tindakan untuk memberikan pembiusan umum
kepada pasien yang akan dilakukan tindakan operasi
atau medis lain.
Tujuan 1. Tujuan umum :
Sebagai pedoman dalam mempersiapkan pasien
di ruangan dan di ruang persiapan kamar
operasi, penatalaksanaan dan monitoring selama
anestesi serta perawatan pasien anestesi.
2. Tujuan Khusus:
 Memberikan rasa aman dan nyaman pada
pasien
 Optimalisasi status fisiologi dan mental pasien.
 Menghindari bahaya gas anestesi, listrik dan
pencemaran lingkungan.
 Mencegah terjadinya komplikasi baik selama
anestesi maupun setelah anestesi.
Kebijakan Dilakukan dengan cara : intravena dan inhalasi
Prosedur Periode Pra Anestesi:
1. Kunjungan pra anestesi
Pada periode ini dilakukan pemeriksaan fisik
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
UMUM
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/4
2/4
RSU NURHAYATI
GARUT

umum, pendekatan psikologis dan


pemeriksaan penunjang sesuai status fisik
pasien serta kalau perlu dikonsulkan ke
spesialis lain dan perbaikkan keadaan umum
pasien hingga ditegakkan diagnosa dan
rencana anestesi.
2. Persiapan di ruangan, Dokter Spesialis
Anestesi memberikan instruksi :
 Pasien dipuasakan minimal 4J (<1 th) 6 jam
(>1 th) praanestesi.
 Menanggalkan semua perhiasan, protese yang
ada pada pasien
 Mengosongkan saluran cerna.
 Mencukur daerah yang akan dioperasi.
 Pemasangan infus pemeliharaan.
 Pemberian premedikasi sesuai kebutuhan
3. Persiapan dikamar opersi :
 Dilakukan pemeriksaan fisik ulang.
 Cek 4 Aman, alat-alat anestesi,
 Informed Consend ditandatangani
 Monitor, suction unit, sentral oksigen dan
obat-obat yang akan di gunakan yaitu obat
induksi dan emergency.
 Pemeriksaan tanda-tanda vital dan catat
sebagai data awal sebelum operasi.
Periode Anestesi
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
UMUM
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/4
RSU NURHAYATI 3/4
GARUT

Sebelum pelaksanaan induksi anestesi umum, pasien


diajak berdoa demi kelancaran dan keberhasilan
bersama.
Anestesi Umum
Dalam melaksanakan anestesi umum dilakukan
rangkaian kegiatan sebagai berikut:
Pemberian preoksigenasi dengan oksigen 100%
(minimal 6-8 1/mnt) dengan sungkup muka selama 3-
4 menit.
Induksi anestesi dilakukan dengan pemberian Trias
Anestesi (sedasi/ hipnotik, relaksan, analgesi sesuai
dengan keadaan fisik pasien).
1. Pemberian pelumpuh otot untuk pasien dengan
gangguan fungsi hati dan ginjal sebaiknya
digunakan Atrakurium 0,5 mg/kgBB,IV pelan,
kecuali ada riwayat alergi/ asma dengan
Rocuronium 0,5 mg/KgBB, IV
2. Intubasi dengan pipa endotrakeal, sesuai dengan
ukuran dan kebutuhan, sebaiknya didahului
dengan pemberian lidokain 1-1,5 mg/kgBB
3. Pasien dengan puasa tidak cukup sebaiknya
dengan Rapid Sequence induction anestesi
umum
4. Pemeliharaan anestesi dan monitoring:
 Dilakukan dengan N2O dalam oksigen
ditambah gas inhalasi sesuai kebutuhan di
tambah pelumpuh otot golongan non
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
UMUM
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/4
RSU NURHAYATI 4/4
GARUT

depolarisasi setengah dosis awal.


 Untuk pasien yang mendapatkan induksi
dengan ketamin sebaiknya mendapatkan
pemeliharaan anestesi dengan ketamin drip
ditambah pelumpuh otot.
 Selama anestesi monitoring dengan ketat
stetoskop prekardial secara kontinyu.
 Monitoring tekanan darah non invasif, laju
jantung, saturasi oksigen, produksi urin
dilakukan secara periodik tiap 3-5 menit.
Periode Pasca Anestesi
Sesaat setelah operasi, penilaian pasca anestesi
dilakukan dengan pedoman Aldrete Score, yang
meliputi penilaian warna kulit,status respirasi,tekan
darah ,kesadaran dan status monitorik pasien. Pasien
dengan Aldrete Score lebih dari 8 dengan nilai
respirasi 2,pasien dengan nilai tertentu atau pasien
dengan nilai Aldrete tidak mencapai 8 dalam waktu 2
jam diruang pemulihan sebaiknya dipindah ke UPK.
Unit Terkait 1. Kamar Operasi
Dokumen Terkait 1. Catatan Rekam Medis
2. Status Anestesi
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
REGIONAL
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/2
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


SPO TETAP:
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PENANGANAN
PENATALAKSANAAN
ANESTESI
dr. Hj. Anne Lisnawati
REGIONAL
NIK. 1983062320100116
Pengertian Memberikan obat anestesi lokal melalui suntikan
untuk menghasilkan analgesia/ blok sensorik dan
relaksasi/ blok motorik.
Tujuan Memberikan pedoman tentang persiapan
panatalaksanaan regional secara jelas kepada
petugas yang akan melakukan tindakan anestesi
regional..
Kebijakan Diberikan dengan cara:
1. Spinal anestesia/ Epidural anestesia
2. Combined Spinal epidural
3. Blok anestesia lainnya
4. Blok syaraf tepi.
Prosedur Persiapan pelaksanaan tindakan regional anestesi
meliputi:
1. Persiapan penderita
 Informed consent.
 Pasang infuse terbesar yang dapat dipasang
 Ukur tanda-tanda vital.
 Disinfeksi daerah tindakan dengan betadine.
 Tutup daerah tindakan dengan duk steril
berlubang.
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
REGIONAL
No. Dokumen No. Revisi Halaman
2/2
1/2
RSU NURHAYATI
GARUT

2. Persiapan Dokter Spesialis Anestesi


 Cuci tangan secara aseptik
 Pakai sarung tangan steril.
 Duk steril
 Kassa steril
3. Persiapan alat dan obat
 Persiapan alat untuk regional anestesi dengan
set intubasi dan obat-obat darurat
 Persiapan alat-alat monitoring, alat kanul/ SMR/
SMNR oksigen.
 Persiapan obat anestesi regional, obat untuk
mengatasi komplikasi regional anestesi,
persiapan obat anestesi umum.

Unit Terkait 1. Kamar Operasi


Dokumen Terkait 1. Catatan Rekam Medis
2. Status Anestesi
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
SPINAL
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/7
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PROSEDUR TETAP:
PENANGANAN
16 januari 2019
PENATALAKSANAAN
ANESTESI SPINAL
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Memberikan obat anestesi lokal melalui suntikan
untuk menghasilkan analgesik dan relaksasi di ruang
subarakkhnoid.
Tujuan Memberikan pedoman tentang tindakan anastesi
spinal/ epidural secara jelas sehingga tindakan yang
dilakukan dapat dipertanggung jawabkan.
Kebijakan 1. Indikasi dan kontraindikasi anestesi spinal
2. Teknik dan obat-obat yang digunakan pada
anestesi spinal
3. Penilaian blok sensorik dan blok motorik.
4. Komplikasi anestesi spinal

Prosedur Uraian Umum:


1. Anestesi spinal adalah suatu cara untuk
menghasilkan analgesia dan relaksasi dengan
memasukkan sejumlah obat anestesi lokal ke
dalam ruang subarakhnoid.
2. Mula kerja blok sensorik adalah waktu yang di
butuhkan untuk mencapai level analgesi
maksimal, dimulai dari akhir penyuntikan di
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
SPINAL
No. Dokumen No.Revisi Halaman
2/7
1/7
RSU NURHAYATI
GARUT

subarakhnoid.
3. Mula kerja blok motorik adalah waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai nilai Bromage
maksimal dimulai dari akhir penyuntikan
subarakhnoid.
4. Lama analgesia adalah waktu yang dibutuhkan
untuk terjadinya regresi analgesi dua dan empat
segmen dimulai dari tercapainya level analgesi
maksimal.
5. Lama blok motorik adalah waktu yang dibutuhkan
untuk terjadinya regresi blok motorik Bromage 0,
di mulai dari saat tercapainya nilai Bromage
maksimal.
Kontra indikasi
1. Absolut :
 Infeksi kulit dekat tempat suntikan.
 Terapi anti koagulan.
 Perdarahan.
 Hipovolemik dan syok
 Terapi beta bloker.
 Septik kemia.
 Curah jantung terbatas.
 Tekanan intra kranial tinggi (TTIK)
2. Relatif :
 Terapi MAO inhibitor.
 Penyakit neurologis aktif.
 Iskemik jantung.
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
SPINAL
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/7
3/7
RSU NURHAYATI
GARUT

 Skoliosis.
 Laminektomi luas.
Teknik atau Prosedur
1. Sebelum tindakan anestesi spinal penderita
diberikan preload cairan elektrolit 10-20 cc/kgbb
10-20 menit menjelang tindakan
2. Posisi penderita duduk atau berbaring miring ke
lateral decubitus diatas meja operasi yang
horizontal dengan columna vertebralis fleksi
maksimal.
3. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik,
dilakukan tusukan pada celah vertebra III – IV
secara median atau paramedian menggunakan
jarum spinal 25 G– 29 G,arah jarum membentuk
sudut 80. Sebagai landmarks adalah garis yang
menghubungkan kedua krista ilika yang setinggi
vertebra lumbal IV (too fier line).
4. Keluarnya cairan (LCS) yang jernih dan bebas
darah menunjukkan bahwa ujung jarum spinal
berada dalam ruang subarakhnoid.
5. Larutan anastetik lokal di suntikkan dengan
kecepatan 1cc per 5 detik tanpa barbotage.
6. Segera setelah penyuntikan larutan anestetik
lokal penderita di baringkan dalam posisi
telentang horizontal dan kepala di ganjal bantal.
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
SPINAL
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/7
4/7
RSU NURHAYATI
GARUT

Anestetik lokal yang digunakan dan tersedia :


1. Larutan Bupivakain Spinal 0,5% hiperbarik/
isobarik
2. Obat-obat tambahan untuk memperpanjang
lama analgesi dapat digunakan 75µg klonidin
atau 25 µg fentanyl, morpin, prostigmin,
pethidin, dll yang di campurkan dalam 1 spuit 3
cc dengan larutan anestesi lokal untuk keadaan
khusus.

Penilaian blok sensorik :


Tinggi blok sensorik dinilai menggunakan diagram
dermatom dengan pinprick pada abdomen (dari
umbilikus ke bawah) menggunakan jarum
Dinilai sempurna bila penderita tidak memberikan
reaksi terhadap pinprick test.

Penilaian blok motorik :


Dilakukan bersamaan dengan penilaian blok sensorik
dengan menggunakan nilai Bromage :
Nilai 0 :Tidak ada gerakan pada tungkai bawah .
Nilai 1 :Tidak mampu ekstensi tungkai bawah
maupun fleksi
tungkai bawah.
Nilai 2 :Tidak mampu fleksi tungkai bawah.
Nilai 3 :Tidak dapat menggerakkan tungkai bawah.
Blok motorik sempurna bila didapatkan nilai Bromage
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
SPINAL
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/7
5/7
RSU NURHAYATI
GARUT

3.

Komplikasi Anestesi Spinal


1. Kompilasi segera
a. Penurunan tekanan darah.
Definisi penurunan tekanan darah akibat
anestesi spinal adalah penurunan 20% dari
MAP awal. Penanganan hipotensi dengan
memberikan efedrin 50 mg diencerkan
menjadi 10 ml dan pemberian cairan
intravena kristaloid atau koloid 300-500 cc.
Pemberian efedrin bisa diulang dengan dosis
maksimum 50 mg
b. Bradikardi
Pengobatan bradikardia dilakukan bila
mempengaruhi hemodinamik. Pengobatan
dengan sulfas atropin 0,5 – 1 mg intravena.
c. Mual muntah
Mual muntah disebabkan oleh hipotensi dan
hipoksia, kecemasan, premedikasi narkotik,
parasimpatis dominan, traksi usus. Mual
muntah karena hipotensi dan hipoksia
ditangani dengan pemberian cairan intravena,
efedrin 5-10 mg intravena, cairan kristaloid/
koloid, posisi fowler, pemberian oksigen.
 Mual muntah karena parasimpatis
dominan bisa diberikan sulfas atropin 0,5
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
SPINAL
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/7
6/7
RSU NURHAYATI
GARUT

mg intravena.
 Mual muntah karena premedikasi narkotik
diberikan naxolon 0,1-0,4 mg intravena.
 Mual muntah karena traksi usus ditangani
dengan diazepam 10 mg/ Midazolam 2,5-5
mg/ Propofol intravena.
 Mual muntah terus menerus tanpa
perbaikan dengan terapi dan spinal tinggi
dilakukan anestesi umum.
d. Menggiggil (shivering)
Menggiggil karena anestesi spinal ditangani
dengan memberikan petidine 15-25 mg. Bila
ada alergi berikan tramadol IV diencerkan 50
mg.
2. Komplikasi lanjut
Komplikasi lanjut ini terjadi biasanya setelah
penderita berada di ruangan.
a. Nyeri kepala setelah akibat anestesi spinal
adalah nyeri pada bagian frontal dan oksipital,
nyeri makin berat pada posisi duduk atau
berdiri, kadang-kadang diikuti gangguan
penglihatan dan pendengaran , pengobatan
nyeri kepala: bed rest. Cairan per oral
sebanyak 4 liter/hari atau cairan intravena 3
liter/hari, pemberian analgetika.
Bila dengan cara konservatif tidak bisa,
dilakukan: blood patch epidural. Caranya
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
SPINAL
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/7
7/7
RSU NURHAYATI
GARUT

dengan memasukkan darah penderita


sebanyak 10-15 ml kedalam ruang epidural.
c. Nyeri punggung
Nyeri punggung akibat anestesi spinal diobati
dengan memberikan analgetika.
d. Retensio urine
Retensio urine akibat anestesi spinal
dilakukan pemasangan kateter, diobati
dengan memberikan neostigmin 0,5 mg
intramuskuler.
e. Meningitis, chronic adhesive arachnoiditis dan
kerusakan syaraf lainnya.
Pada komplikasi ini di konsulkan dengan
bagian neurologi untuk kerjasama
penanganannya.

Unit Terkait 1. Kamar Operasi


2. Rekam Medis
3. Depo Farmasi
Dokumen Terkait 1. Status Anestesi
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
EPIDURAL
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/2
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PROSEDUR TETAP:
16 Januari 19
PENANGANAN
PENATALAKSANAAN
ANESTESI EPIDURAL
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Suatu tindakan anestesi dan analgesia dengan
memberikan obat anestesi lokal pada ruang epidural.
Tujuan Memberikan pedoman pada petugas tentang langkah-
langkah dalam melakukan blok epidural serta
penanganan komplikasinya sehingga tindakan yang
akan dilakukan jelas dan dapat di
pertanggungjawabkan.
Kebijakan 1. Pengelolaan penderita yang akan dan telah
dilakukan blok epidural, yang akan meliputi dasar-
dasar indikasinya, penelusuran dan penilaian
kontra indikasi dan tatalaksana blok itu sendiri.
2. Monitoring dan penilaian efek samping dan
komplikasi sekaligus tindakan penenangannya.
Prosedur Uraian Umum / Definisi
Blok epidural adalah serangkaian tindakan dengan
tujuan untuk mendapatkan analgesi (blok sensoris)
dan atau relaksasi (blok motoris) yang sifatnya
sementara (refersibel). pada bagian blok tertentu
(sesuai luas ketinggian dermatomnya dengan jalan
menyempitnya anestetik lokal kedalam ruang
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
EPIDURAL
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/2
2/2
RSU NURHAYATI
GARUT

epidural didalam kanalis vertebralis.


Unit Terkait 1. Kamar Operasi
2. Rekam Medis
Dokumen Terkait 1. Status Anestesi
PENANGANAN KEAMANAN PASIEN DAN PERSONIL
SELAMA TINDAKAN ANESTESI
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/3
RSU
NURHAYATI
GARUT
PENANGANAN Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
KEAMANAN Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PASIEN DAN
PERSONIL
SELAMA
TINDAKAN dr. Hj. Anne Lisnawati
ANESTESI NIK. 1983062320100116
Pengertian Suatu keadaan yang aman bagi pasien yang menjalani
tindakan anestesi dan operasi dan bagi personil yang
bertugas tidak terkena cedera, terkena pengaruh obat
anestesi atau penularan penyakit dari pasien..
Tujuan Mengupayakan agar pasien tidak mendapat tambahan
beban penderitaan dari penyakitnya,dan agar personil yang
bertugas tidak terkena bahaya yang disebabkan cedera
pekerjaan, pengaruh obat anestesi maupun tertular
penyakit.
Kebijakan 1. Mempersiapkan obat-obat dan alat-alat yang diperlukan
untuk tindakan anestesi secara baik dan benar.
2. Personil anestesi dapat memahami dan bekerja sesuai
prosedur penggunaan obat dan alat secara baik dan
benar.
Prosedur 1. Keamanan Pasien :
 Memastikan mesin dan peralatan anestesi berfungsi
dengan baik.
 Menggunakan peralatan yang berhubungan
langsung dengan pasien (laringoskop, sungkup
muka, guedel/mayo atau peralatan lain) yang bersih
PENANGANAN KEAMANAN PASIEN DAN PERSONIL
SELAMA TINDAKAN ANESTESI
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/3
2/3
RSU
NURHAYATI
GARUT
dan sesuai dengan aturan pakainya (single use atau
reuse).
 Pada penggunan elektokauter, elektrokoagulator
atau peralatan listrik lain yang menimbulkan
percikan api, pastikan lempengan konduktor
terpasang dengan baik, perhatikan kabel-kabel
monitor tidak terkelupas (mencegah terjadinya luka
bakar) dan menggunakan obat anestesi yang tidak
mudah terbakar.
 Pada tindakan dengan posisi pasien tertentu,
pastikan tidak terjadi penekanan pleksus saraf atau
cedera pada bagian tubuh lain. Selalu
menggunakan prinsip aseptik dan antiseptik dalam
melaksanakan tindakan anestesi
2. Keamanan Personil Anestesi :
 Menggunakan pakaian, topi dan masker khusus
kamar operasi dengan baik dan benar.
 Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan
tindakan yang berhubungan dengan
pasien,sebaiknya menggunakan sarung tangan
terutama pada kasus-ksus yang di UPK dicurigai
menular. Hindari tercemar oleh darah, lendir, liur
atau cairan dari tubuh pasien.
 Hindari terluka atau tertusuk alat-alat yang tajam,
tempatkan alat-alat tersebut di tempat khusus.
 Cegah, segera atasi kebocoran gas anestesi dari
mesin anastesi atau salurkan gas pembuangan ke
PENANGANAN KEAMANAN PASIEN DAN PERSONIL
SELAMA TINDAKAN ANESTESI
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/3
3/3
RSU
NURHAYATI
GARUT
tempat yang telah tersedia.
Unit Terkait 1. Kamar Operasi
2. Rekam Medis
Dokumen Terkait 1. Status Anestesi
PENANGANAN PENATALAKSANAAN INTRA
ANESTESI
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/2
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PROSEDUR TETAP:
PENANGANAN
PENATALAKSANAAN
INTRA ANESTESI
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Melakukan pemantauan dari tindakan antisipasi
terhadap perubahan jalan nafas, oksigenasi, ventilasi,
sirkulasi, suhu tubuh dan kesadaran selama anestesi
dan operasi baik oleh Dokter Spesialis Anestesi
maupun Penata/ perawat Anestesi yang telah diberi
limpahan wewenang.
Tujuan 1. Mempertahankan fungsi vital dalam batas normal
dan menghilangkan rasa nyeri baik anestesi umum
maupun regional analgesia.
2. Mengurangi / menghilangkan rasa cemas terutama
pada penderita yang dilakukan operasi dengan
regional anestesi
3. Memberikan rasa aman nyaman kepada operator
didalam melaksanakan tugasnya.
Kebijakan 1. Pemantauan dan tindakan anestesi dilakukan oleh
Dokter Spesialis Anestesi atau piñata/ perawat
anestesi yang telah mendapat pelimpahan
wewenang.
2. Dalam hal terjadi keadaan darurat, Dokter
Spesialis Anestesi harus segera datang dan
PENANGANAN PENATALAKSANAAN INTRA
ANESTESI
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/2
2/2
RSU NURHAYATI
GARUT

melakukan tindakan antisipasi / resusitasi. Apabila


Dokter Spesialis Anestesi tidak berada di
tempat/tidak terjangkau maka tindakan antisipasi/
resusitasi dapat dilakukan PPDS/ penata anestesi
setelah mendapat pelimpahan wewenang sambil
menunggu Dokter Spesialis Anestesi hadir di
tempat.
3. Dokter Spesialis Anestesi bertanggung jawab
terhadap semua tindakan anestesi baik sebelum,
selama, setelah anestesi sampai pasien dikirim
keruangan perawatan / Rujuk Unit terapi Intensif
Prosedur 1. Persiapan dan pemeriksaan ulang terhadap
pasien menjelang dilakukan anestesi.
2. melaksanakan induksi anestesi.
3. Melaksanakan rumatan(maintenance)anestesi.
4. Melaksanakan pengakhiran anestesi.

Unit Terkait 1. Kamar Operasi


2. Ruang Perawatan
Dokumen Terkait 1. Status Anestesi
PENANGANAN PENATALAKSANAAN RUMATAN
ANESTESI
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/3
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PROSEDUR TETAP:
PENANGANAN
PENATALAKSANAAN
RUMATAN ANESTESI
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Rumatan anestesi adalah tindakan untuk
mempertahankan kedalaman anestesi pada batas
tertentu dimana Trias anestesi (hipnotik/sedasi,
relaksasi otot dan analagesia) tercapai.
Tujuan 1. Mempertahankan status hemodinamik agar tetap
stabil.
2. Mempertahankan fungsi metabolisme, respirasi,
ventilasi dan perfusi jaringan dalam batas normal.
3. Mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit.
Kebijakan 1. Selama tindakan anestesi perlu dilakukan
pengawasan secara terus menerus untuk segera
mengantisipasi perubahan hemodinamik,
metabolisme, repirasi, ventilasi, keseimbangan
cairan dan elektrolit yang terjadi selama operasi.
2. Dilakukan oleh Dokter Spesialis Anestesi, PPDS
atau Penata/ Perawat Anestesi yang telah di beri
pelimpahan wewenang.
Prosedur 1. Mempertahankan tingkat kedalaman anestesi
selama tindakan operasi agar pasien tidak
PENANGANAN PENATALAKSANAAN RUMATAN
ANESTESI
No. Dokumen No. Revisi Halaman
2/3
1/3
RSU NURHAYATI
GARUT

mengalami rasa nyeri, stress otonom, dan


mempertahankan fungsi vital (respirasi, sirkulasi,
dan perfusi jaringan) dalam batas normal.
dilakukan dengan mengatur volume gas anestesi
atau penambahan obat-obat anestesi intravena
2. Mempertahankan saturasi oksigen >96%.
3. Mempertahankan tekanan,darah,berfluktuasi tidak
lebih dari 25% atau 15-20 mmHg dari nilai
sebelum tindakan anestesi.
4. Mempertahankan perfusi jaringan
(hangat,kering,tidak pucat dan tidak berkeringat).
5. Pasien tidak mengeluarkan air mata bila kelopak
mata dibuka.
6. Mempertahankan irama jantung (irama sinus dan
nadi berfluktuasi tidak lebih dari 25% dari nilai
sebelum tindakan anestesi). Bila terjadi gangguan
irama jantung segera perhatikan :
 Dosis oksigen dan jalan nafas /
endotracheal tube.
 Ventilasi dengan memperhatikan amplitudo
rongga torak.
 Kondisi soda-lime/ bara-lime pada mesin
anestesi.
 Kedalam anestesi. PRST
7. Produksi Urin 0,5-1 ml/kgBB/jam
8. Monitoring fungsi vital secara terus menerus setiap
5-15 menit
PENANGANAN PENATALAKSANAAN RUMATAN
ANESTESI
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/3
3/3
RSU NURHAYATI
GARUT

9. Memperhatikan posisi pasien, melindungi bagian


tubuh pasien lain dengan kain, busa atau bantal
terhadap penekanan dan tidak kontak langsung
dengan benda logam pada operasi yang
menggunakan alat kauter.

Unit Terkait 1. Alkes


2. Farmasi
3. Ruang Perawatan
4. Rujuk Unit Terapi Intensif/ UPK
5. Kamar Operasi
Dokumen Terkait Status rekam medic
PENANGANAN PENATALAKSANAAN
PENGAKHIRAN ANESTESI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/2
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


PROSEDUR TETAP: Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PENANGANAN
PENATALAKSANAAN 16 Januari 2019
PENGAKHIRAN
ANESTESI dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Pengakhiran anestesi adalah penghentian pemberian
obat-obat anestesi baik inhalasi atau intravena
menjelang atau segera setelah tindakan operasi
selesai.
Tujuan 1. Menghindari refleks yang tidak dikehendaki karena
anestesi dangkal.
2. Menghindari overdosis obat-obat anestesi.
3. Mengupayakan agar pasien cepat dan nyaman
pulih sadar.
Kebijakan 1. Pengakhiran anestesi dilakukan menjelang atau
segera setelah tindakan operasi selesai,
mengembalikan fungsi vital pasien ke keadan
sebaik mungkin dan
menghindarkan/meminimalkan sekuele akibat
tindakan anestesi.
2. Dilakukan oleh Dokter Spesialis Anestesi atau
Penata/Perawat Anestesi yang telah di beri
pelimpahan wewenang.
Prosedur 1. Pengakhiran anestesi yang tepat waktu.
2. Monitoring fungsi vital, kesadaran dan refles yang
PENANGANAN PENATALAKSANAAN
PENGAKHIRAN ANESTESI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/2
2/2
RSU NURHAYATI
GARUT

tidak dikehendaki.
3. Pengendalian efek obat analgesi.
4. Memberikan oksigenasi yang adekuat dan
monitoring jalan nafas.
Unit Terkait 1. Alkes
2. Ruang Pemulihan
3. Farmasi
4. Ruang Perawatan.
5. Rujuk Unit Terapi Intensif
Dokumen Terkait
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PASCA
ANESTESI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit Ditetapkan Oleh:


: Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PROSEDUR TETAP:
PENANGANAN
PENATALAKSANAAN
16 Januari
PASCA ANESTESI
2019 dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Pengawasan dan perawatan pasien yang telah
menjalani tindakan anetesi dan operasi di ruang
pemulihan sebelum kembali ke ruang perawatan/
Unit Terapi Intensif/UPK atau pulang.
Tujuan Mengawasi fungsi dan perawatan pasien yang telah
menjalani tindakan anestesi dan operasi di Ruang
Pemulihan sebelum kembali ke Ruang Perawatan/
Unit Terapi Intensif/UPK atau pulang, sesuai dengan
kriteria penilaian yang sudah disepakati (Skoring
Aldrete).
Kebijakan 1. Pengawasan dan perawatan pasien yang telah
menjalani tindakan anestesi dan operasi di Ruang
Pemulihan sebelum kembali pulang ke Ruang
Perawatan, Unit Terapi Intensif/ UPK atau pulang,
sesuai dengan kriteria penilaian yang sudah di
sepakati (Skoring Aldrete).
2. Serah terima data anestesi, operasi, perdarahan,
cairan infus dan penyulit yang tercatat dalam
Kartu Anestesi dikamar operasi ke piñata/
perawat anestesi di Ruang Pemulihan.
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PASCA
ANESTESI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
2/4
1/4
RSU NURHAYATI
GARUT

3. Bantuan oksigenasi, ventilasi dan sirkulasi,


pengawasan fungsi vital dan pengaruh obat
anestesi.
4. Dokter Spesialis Anestesi bertanggung jawab
terhadap pengawasan dan perawatan pasien di
ruang pemulihan
Prosedur 1. Serah terima yang jelas data yang tercanum
dalam Kartu Anestesi.
2. Penilaian keadan pasien,tanda vital dan
perubahan yang terjadi di ruang pemulihan.
3. Bantuan oksigenasi,ventilasi,sirkulasi :
 Pengawasan terhadap terjadinya hipoventilasi
karena depresi pernafasan ,obstruksi karena
pangkal lidah atau sekresi cairan, aspirasi
cairan lambung dan henti nafas.
 Pengawasan fungsi vital,mencegah atau
mengatasi segera komplikasi yang mungkin
terjadi.
4. Pemberian analgetik atau sedative sesuai yang
diperlukan pasien.
5. Kordinasi dengan petugas Ruang Perawatan/ Unit
Terapi Intesif/UPK untuk pemindahan pasien.
6. Pencatatan data pasien pada buku Laporan
7. Berikan Analgesia dan sedatif bila diperlukan,
sesuai kondisi pasien dan Instruksi Dokter
Spesialis Anestesi
8. Nilai kondisi pasien sesuai dengan kriteria Aldrete
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PASCA
ANESTESI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
3/4
RSU NURHAYATI
GARUT

untuk menentukan pasien boleh pulang, keruang


perawatan biasa/ Unit Terapi Intensif/UPK.
9. Pasien dirawat di Unit Terapi Intensif/UPK bila
memerlukan:
 Pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara
terkoordinasi dan berkelanjutan, sehingga
dapat dilakukan pengawasan konstan dan
terapi titrasi.
 Pemantauan kontinyu terhadap pasien-pasien
dalam keadan kritis yang dapat
mengakibatkan terjadinya dekompensasi
fisiologi.
 Interfensi medis segera oleh tim Terapi
Intensif.
10. Lakukan koordinasi dengan keluarga pasien,
petugas ruang rawat inap atau Unit Terapi Intensif
untuk pemulangan atau pemindahan pasien dari
ruang pulih sadar.

ALDRETTE SCORE
Dapat menggerakkan 4
2
ekstremitas
Aktifitas Dapat menggerakkan 2
1
ekstremitas
Tidak dapat menggerakkan
0
sama sekali
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PASCA
ANESTESI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
4/4
RSU NURHAYATI
GARUT

Bernapas dalam dan batuk 2


Respira
Dyspneu 1
si
Apne 0
Tekanan darah + 20 %
dari keadaan sebelum 2
operasi
Sirkulasi Tekanan darah 20-50 %
dari keadaan sebelum 1
operasi
Tekanan darah > 50 % dari
0
keadaan sebelum operasi
Sadar penuh 2
Kesadar
Respon bila dipanggil 1
an
Tidak ada respon 0
Normal 2
Warna Pucat 1
Sianosis 0

Paspasien dapat masuk ruang perawatan bila nilai


skor aldrette skor ≥ 8 (8-10). Dan jangan dilupakan
komunikasikan dengan baik dan segera bila terjadi
hal-hal yang mengkhawatirkan pada diri pasien, baik
kepada dokter bedah ataupun dokter anestesi.

Unit Terkait 1. Kamar Operasi


Dokumen Terkait
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PASCA
PEMBEDAHAN
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/19
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


PROSEDUR TETAP: Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PENANGANAN
PENATALAKSANAAN
PASCA
PEMBEDAHAN dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Suatu pemantauan/ monitoring keadaan pasien disaat
pembedahan berjalan
Tujuan Memberikan acuan yang benar dalam
penatalaksanaan pascaanestesi di ruang pemulihan
pada pasien yang menjalani pembedahan
Kebijakan Memberikan pelayanan pascaanestesi pada pasien-
pasien yang menjalani pembedahan sampai pasien
dapat dipindahkan ke ruang rawat, ruang ICU atau
pasien dipulangkan pada pasien ODS
Pedoman Syarat Ruang Pemulihan
a. Ruang pemulihan sebaiknya berada dekat/ satu
lokasi dengan ruang pembedahan, dekat dengan
fasilitas radiologi, laboratorium, dan ICU.
b. Merupakan suatu ruang perawatan yang
terbuka, untuk memudahkan akses dan
pengawasan semua pasien yang dirawat
didalamnya.
c. Rasio jumlah tempat tidur di ruang pemulihan
adalah 1.5 kali jumlah kamar bedah.
d. Setiap tempat tidur pasien mempunyai sistim
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PASCA
PEMBEDAHAN
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/19
2/19
RSU NURHAYATI
GARUT

penerangan yang cukup, dilengkapi dengan


outlet O2, outlet udara (Air), suction unit, infusion
pump, standar infus, lampu penghangat atau alat
penghangat lainnya.

Syarat Alat Medis yang Diperlukan


a. Setiap tempat tidur dilengkapi dengan pulse
oksimetri, pengukur tekanan darah.
b. EKG diperlukan untuk pasien-pasien dengan
dengan riwayat gangguan jantung, yang
menunjukkan kelainan pada saat pembedahan,
dan pasien yang terancam terjadi gangguan
jantung selama perioperatif.
c. Pada pasien yang diputuskan untuk tetap
terintubasi diperlukan EtCO2 dan T-piece.
d. Diperlukan alat untuk memonitor temperatur.
e. Setiap ruang pemulihan mempunyai persediaan
alat-alat berupa: oropharyngeal airway, ETT
semua ukuran, Laringoskop, LMA, Ambu bag,
kanula nasal, Non rebreathing mask, simple
mask, dan kanula nasal.
f. Tersedia ventilator non invasif ( CPAP mask,
NIV), alat nebulizer.

Syarat SDM
a. Ruang pemulihan anestesi berada dibawah
pengawasan seorang dokter spesialis
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PASCA
PEMBEDAHAN
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/19
3/19
RSU NURHAYATI
GARUT

anestesiologi.
b. Dokter Anestesi harus melakukan
penatalaksanaan nyeri pascabedah sejak di
ruang pemulihan, masalah CVS, respirasi, dan
masalah metabolik.
c. Dokter spesialis bedah harus terlibat menangani
masalah yang terkait dengan pembedahannya.
d. Dokter anestesi dibantu oleh perawat yang
sudah terlatih dan kompeten untuk
penatalaksanaan pasien di ruang pemulihan
anestesi.
e. Perawat yang bekerja di ruang pemulihan
mempunyai kemampuan/ kompetensi yang
sama dengan perawat anestesi, disyaratkan
adalah perawat yang sudah mempunyai sertifikat
untuk resusitasi, dapat menangani masalah
airway termasuk melakukan intubasi dan
ventilasi manual, perawatan luka,
menatalaksana kateter urine, kateter drainase,
dan mengatasi syok karena perdarahan.
f. Perawat diruang pemulihan mampu melakukan
monitoring pasien dan bersama – sama dengan
dokter anestesi melakukan penilaian kelayakan
pasien yang akan dipindahkan ke fasilitas
perawatan lain.
g. Setiap 1 pasien dirawat oleh satu orang perawat.
h. Terdapat panduan untuk melakukan konsultasi
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PASCA
PEMBEDAHAN
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/19
4/19
RSU NURHAYATI
GARUT

ke disiplin ilmu lain.


i. Ruang pemulihan anestesi termasuk dalam
tugas pengawasan Chef d’clinique anestesi.

Pedoman Penatalaksanaan
Dalam pedoman ini dikenal beberapa jenis
pelayanan yang harus diperhatikan :
a. Cara transportasi dari kamar pembedahan ke
ruang pemulihan,
b. Menilai emergence ( bangun dari anestesi )
c. Recovery rutin
d. Recovery dari anestesi regional
e. Mengatasi nyeri
f. Mengatasi agitasi pascabedah
g. Mengatasi mual muntah pascabedah
h. Mengatasi shivering pascabedah
i. Mengatasi hipertermi dan hipotermi pascabedah
j. Kriteria pengeluaran pasien dari ruang
pemulihan
k. Kriteria pengeluaran pasien untuk pindah ke
ICU, dan cara transportasi pasien ke ICU.
l. Kriteria pengeluaran pasien untuk pindah ke
ruang rawat biasa
m. Kriteria pengeluaran pasien untuk pulang pada
pasien ODS
n. Mengatasi komplikasi masalah pernafasan:
obstruksi jalan napas, hipoventilasi, hipoksemia.
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PASCA
PEMBEDAHAN
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/19
5/19
RSU NURHAYATI
GARUT

o. Mengatasi komplikasi sirkulasi : hipotensi,


hipertensi, aritmia.
p. Dokter penanggung jawab pascabedah dalam
kaitannya dengan proses pendidikan
q. Konsultasi antar bagian yang diperlukan pasca
bedah
Prosedur 1. Pasien tidak boleh dipindahkan dari kamar
operasi kecuali jalan napas sudah dijamin paten
dan stabil, ventilasi dan oksigenasi adekuat, serta
hemodinamik stabil.
2. Pemindahan pasien ke ruang pemulihan harus
didampingi oleh dokter anestesi yang memahami
kondisi pasien.
3. Selama pemindahan dokter anestesi bertanggung
jawab terhadap jalan napas, pernapasan, dan
sirkulasi. Berikan bantuan sesuai dengan kondisi
pasien.
4. Oksigen suplemen harus diberikan saat
memindahkan pasien dengan resiko hipoksemia.
5. Pasien yang tidak stabil harus tetap terintubasi
dan bila dipindahkan ke RR harus termonitor
dengan monitor portable, dan harus tersedia obat-
obat emergensi.
6. Pasien dengan resiko aspirasi atau perdarahan
saluran napas atas harus dipindahkan dengan
posisi lateral.
7. Setelah tiba di ruang pemulihan, segera lakukan
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PASCA
PEMBEDAHAN
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/19
6/19
RSU NURHAYATI
GARUT

pemeriksaan patensi jalan napas, tanda vital, dan


oksigenasi.
8. Posisikan pasien dalam keadaan head up (bila
tidak ada kontra indikasi).
9. Lakukan serah terima pasien kepada dokter
anestesi/ perawat yang bertugas di ruang
pemulihan dengan memberikan informasi tentang
kondisi prabedah dan jalannya pembedahan
(jenis anestesi, tindakan pembedahan,
perdarahan, jumlah dan jenis cairan yang
diberikan, komplikasi operasi), kemungkinan
masalah pascaoperasi, serta instruksi
pascabedah.
10. Petugas ruang pemulihan melakukan
pemeriksaan ulang kondisi pasien bersama-sama
dengan pemberi anestesi.
11. Kondisi pasien setelah tiba di ruang pemulihan
harus dicatat.
12. Dokter anestesi yang melakukan pemberian
anestesi dapat meninggalkan ruang pemulihan
setelah melakukan serah terima dengan petugas
ruang pemulihan.
13. Pemantauan kesadaran, tekanan darah, laju nadi,
laju nafas, suhu, SPO2 di ruang pemulihan
dilakukan secara rutin setiap 5 menit pada 15
menit pertama atau sampai stabil, kemudian
setelah itu dilakukan tiap 15 menit.
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PASCA
PEMBEDAHAN
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/19
7/19
RSU NURHAYATI
GARUT

14. Pantau adanya nyeri pascaoperasi, mual, muntah,


input-output cairan, drain, perdarahan. Kemudian
lakukan tindakan / tatalaksana yang sesuai.
15. Pada pasien yang mendapatkan tindakan regional
harus dilakukan pemeriksaan motorik dan
sensorik secara periodik, dengan pemantauan
hemodinamik yang lebih ketat.
16. Kriteria pengeluaran pasien dari ruang pemulihan
menggunakan kriteria aldrette score dengan skor
≥ 9.
17. Dibuat laporan tertulis yang akurat tentang
pemantauan kondisi pasien di ruang pemulihan.

Prosedur yang harus dilakukan


1. Observasi Kesadaran dan tanda-tanda vital (
TD, Nadi, Respirasi, Suhu) dan Diuresis (0,5
– 1 cc/kgBb/jam)
2. Oksigenisasi bila diperlukan, apabila tanda-
tanda anemis, dan tanda–tanda gangguan
fungsi napas (frekuensi ≤8, ≥32 x/menit)
didapatkan berikan oksigen dengan sungkup
8-10 lt, dan bila tanda-tanda sesak atau
sedikit pucat/anemis berikan oksigen kanul 2-
6 ltr.
3. Maintenance cairan RL/ RA/ NacL 0.9% : D5
2:1 10-30 gtt/menit
4. Puasa sampai BU + normal apabila Anestesi
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PASCA
PEMBEDAHAN
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/19
8/19
RSU NURHAYATI
GARUT

umum tanpa ada reseksi usus, apabila


dengan reseksi usus tanyakan kepada dokter
Spesialis Bedah. Pada Kasus Regional
anestesi pasien tidak dipuasakan.
5. Pada Perawatan pascaoperasi dengan
anestesi regional spinal/epidural anestesi :
o Bed Rest Total dengan posisi terlentang, 1
X 24 jam pascaoperasi, boleh
menggunakan bantal tipis pada regional
anestesi SAB (subarachnoid block) spinal
anestesi, dan pada Regional anestesi
Epidural tidak perlu Bed Rest total kecuali
ada komplikasi puncture pada duramater
o Observasi tanda-tanda vital terutama tensi,
nadi, respirasi, suhu, karena adanya
kemungkinan penurunan tekanan darah
dan frekuensi nadi, waspada tanda-tanda
Hypovolemic shock !
o Bila terjadi penurunan tekanan darah
lebih dari 20-30% dari tekanan darah
awal pasien dapat diberikan cairan 300-
500 cc cairan kristaloid dan bila
diperlukan efedrin hcl (satu ampul 50
mg/mL diencerkan menjadi 10 cc
sehingga konsentrasi berubah menjadi
5 mg/mL) diberikan 1-2 mL setelah 5
menit ukur kembali tekanan darah. Efedrin
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PASCA
PEMBEDAHAN
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/19
9/19
RSU NURHAYATI
GARUT

dapat diulang pemberiannya sampai dosis


maksimal 50 mg.
o Boleh makan dan minum→ Cek BU (bising
usus)
o Minum air yang banyak 3 liter/hari kecuali
pasien dengan kelainan jantung sesuai
anjuran teman sejawat dokter ahli jantung
o Cegah trauma pada daerah analgesi,
cegah sakit kepala dan mual-muntah
o Periksa kembali sensorik dan aktivitas
motorik pasien
o Berikan pengertian pada pasien perasaan
yang hilang pada daerah pusar ke bawah
dan kaki yang berat akan pulih
6. Cek ulang kembali Hb pada operasi-operasi
sedang-besar apabila Hb ≤8 pada dewasa
muda, ≤ 10 orangtua dan anak-anak
disarankan untuk transfusi
7. Analgetik yang diberikan apabila dalam
bentuk tetesan diberikan 15-20 gtt/menit dan
dapat dilanjut dengan pemberian intravena
golongan NSAID bila tidak ada alergi atau
asma 2-3 x1 ampul, Supositoria/ rektal 2-3 x1,
oral apabila dengan pembiusan lokal/ regional
anestesi spinal 3-4 x 1 tablet paracetamol 500
mg atau rekomendasi lainnya dari dokter
anestesi/ dokter bedah yang bersangkutan.
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PASCA
PEMBEDAHAN
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/19
10/19
RSU NURHAYATI
GARUT

8. Posisikan pasien kepala sedikit diangkat 30


derajat, dan mobilisasikan pasien secara
bertahap.

Prinsip Perawatan Pasca Pembedahan Mayor


Bedah mayor pada pasien dengan penyakit
medis kronik dapat menghasilkan morbiditas dan
mortalitas tinggi, tetapi deteksi dan koreksi
kelainan fisiologis bisa mengurangi morbiditas
dan mortalitas serta memperpendek masa
perawatan. Jika hipotensi atau hipoksia tidak
diatasi dengan baik selama beberapa jam,
komplikasi seperti infark miokard, gagal ginjal,
atau bahkan henti jantung bisa terjadi. Deteksi
memburuknya fisiologi membutuhkan tinjauan
pasien yang sering atau lebih ketat, segera
setelah tanda-tanda buruk diketahui, trend yang
memburuk biasanya dapat dipulihkan dengan
tindakan sederhana di bangsal umum. Sebagian
pasien akan perlu dipindahkan ke ICU apabila
trend yang memburuk tidak dapat diatasi dan
perlu tindakan khusus.
Pasien-pasien yang dimasukkan langsung dari
kamar operasi ke ICU masuk dalam dua kategori
besar:
 Admisi terencana baik setelah bedah mayor
elektif di mana sifat pembedahan
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PASCA
PEMBEDAHAN
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/19
11/19
RSU NURHAYATI
GARUT

membutuhkan perawatan pascaoperasi


tingkat tinggi, atau pada pasien-pasien
dengan kondisi medis yang serius.
 Admisi darurat menyusul bedah elektif atau
emergensi yang mengakibatkan kekacauan
fisiologis berat.
Admisi ICU yang terencana harus dipesan di
muka dan pasien diberitahu. Sebelum operasi,
pasien boleh berkunjung ke ICU.

Manajemen pascaoperasi
Aspek-aspek berikut perlu dipertimbangkan:
 Oksigenasi dan ventilasi
 Analgesia
 Suhu tubuh
 Imbang cairan
 Kehilangan darah dan transfusi
 Penyelidikan rutin
 Nutrisi
 Tromboprofilaksis
 Antibiotik

Oksigenasi dan ventilasi


 Semua pasien membutuhkan O2 segera
setelah operasi. Nyeri dan menggigil
meningkatkan konsumsi O2, dan pembiusan
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PASCA
PEMBEDAHAN
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/19
RSU NURHAYATI 12/19
GARUT

memperburuk ketidak-imbangan (mismatch)


ventilasi/perfusion dan menekan pernapasan.
Efek-efek ini diperberat oleh bedah
intratorakal atau abdominal atas dan setelah
operasi lama. Pasien usia lanjut dan perokok
cenderung menjadi hipoksia setelah operasi.
 Hipoksia paling berbahaya pada pasien
penyakit jantung iskemik atau penyakit
serebrovaskular. Hipotensi, hipovolemia, atau
anemia berat mengurangi hantaran O2 ke
jaringan. Episode hipoksia dapat terjadi 72
jam setelah bedah mayor, khususnya selama
pasien tidur. Berikan O2 (40% dengan masker
atau 2-3 ltr/menit dengan kanula hidung
selama paling sedikit 24-48 jam pada semua
pasien berisiko. Cek oksigenasi dengan
mengukur SpO2.
 Ventilasi: pasien yang masuk langsung ke ICU
dari kamar operasi mungkin masih diintubasi
dan diventilasi setelah pembedahan mayor
sampai suhu tubuh menghangat lagi, bebas
nyeri, hemodinamik stabil dan oksigenasi
adekuat. Ketika bernapas spontan, ventilasi
dan oksigenasi membaik dengan menegakkan
posisi pasien di ranjang. Kebanyakan pasien
merasa lebih nyaman dalam posisi ini.
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PASCA
PEMBEDAHAN
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/19
RSU NURHAYATI 13/19
GARUT

Analgesia
Nyeri tidak menyenangkan, mengganggu
oksigenasi dan menunda pemulihan. Pasien
harus bebas nyeri tanpa depresi terhadap
ventilasi.

Suhu
 Pasien kehilangan panas selama
pembedahan mayor dan mungkin tetap dingin
selama beberapa jam kecuali jika diambil
tindakan untuk menghangatkan.
 Hipotermia menyebabkan vasokonstriksi dan
menggigil sehingga pasien merasa tidak
nyaman. Di samping itu, kebutuhan oksigen
meningkat, dan pasca-beban jantung
(afterload) meningkat. Viabilitas dari cangkok
kulit (free flaps) akan terancam dengan
vasokonstriksi yang disebabkan oleh
hipotermia, nyeri, atau hipovolemia.
 Tindakan untuk mempertahankan suhu tubuh
mencakup suhu lingkungan yang adekuat,
selimut udara hangat, penghangat cairan
untuk darah dan untuk cairan lain jika
dibutuhkan infus cepat.
 Pasien tidak boleh meninggalkan ruang
pemulihan sebelum suhu tubuh sentral pulih
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PASCA
PEMBEDAHAN
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/19
RSU NURHAYATI 14/19
GARUT

>36 oC.

Imbang cairan
 Setelah bedah mayor pada toraks atau
abdomen, ada kehilangan cairan berlanjut ke
dalam rongga pleura atau peritoneum.
 Kebutuhan cairan dinilai dengan
menggunakan sejumlah faktor sederhana.
Tujuannya adalah:
- CVP 5-8 mmHg (8-10 cmH2O)
- Denyut jantung < 100/menit
- Tekanan darah dalam 20% nilai pra
bedah
- Selisih suhu tubuh sentral-perifer < 2
oC

- Jumlah urin > 0,5 ml/kg per jam


 Defisit cairan sebaiknya digantikan dengan
RL/RA/NaCl 0,9%. Taksir kecepatan awal
penggantian volume, kemudian nilai ulang
dengan pedoman di atas dan sesuaikan
kecepatan infus. Sekali volume sirkulasi telah
dipulihkan, teruskan infus RL/RA/NaCl 0,9%
dan dekstrosa 5% dengan rasio 2:1.
Tambahkan kalium menurut kehilangan dan
pengukuran serial K serum.
 Koloid untuk resusitasi cairan: koloid
sebaiknya tidak digunakan untuk
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PASCA
PEMBEDAHAN
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/19
RSU NURHAYATI 15/19
GARUT

menggantikan kehilangan kristaloid sederhana


(diare, muntah-muntah, ileus, fistula usus),
tetapi diindikasikan pada kasus bedah dengan
komplikasi, seperti perdarahan, sepsis,
peritonitis, atau syok. Larutan albumin tidak
diindikasikan untuk hipovolemia.

Jumlah urin
 Oliguria lazim dijumpai pada fase dini
pascaoperasi. Ini disebabkan efek hormonal
dari respon stres. Oliguria persisten sering
berkaitan dengan hipovolemia.
 Jika jumlah urin < 0,5 ml/kg per jam selama
lebih dari 2-3 jam ini bisa menunjukkan perfusi
ginjal yang jelek. Oliguria pada pasien yang
sebelumnya sudah mengidap kemunduran
fungsi ginjal sebaiknya dikelola dengan agresif
untuk mencegah perburukan fungsi ginjal.
 Untuk fungsi ginjal optimum pasien perlu
mendapat cairan adekuat (dengan
menggunakan pedoman CVP di atas) dan
memiliki tekanan darah mendekati normal. Ini
biasanya bisa dicapai dengan perhatian ketat
ke imbang cairan. Tetapi mungkin perlu
meningkatkan tekanan darah dengan inotropik
atau vasokonstriktor di ICU.
 Frusemide (furosemide) tidak boleh diberikan
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PASCA
PEMBEDAHAN
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/19
RSU NURHAYATI 16/19
GARUT

sampai sasaran ini dicapai. Oliguria persisten


setelah bedah vaskular mayor atau urologi
perlu penyelidikan lanjut untuk menyingkirkan
penyebab vaskular atau uropati obstruktif.
 NSAID dapat mengurangi jumlah urin untuk
sementara selama beberapa jam setelah
pemberian. Obat-obat ini tidak boleh diberikan
pada pasien riwayat alergi berat/akut, oliguria,
hipotensi, atau hipovolemia.

Kehilangan darah dan transfusi


 Kadar hemoglobin akan terus turun
pascaoperasi bila perdarahan terus
berlangsung (misal bedah ortopedi mayor)
atau bila ada hemodilusi karena pemberian
cairan infus dalam volume besar.
 Hantaran O2 optimum terjadi dengan
hemoglobin 10 gr/dl, namun pasien yang
bugar bisa mentoleransi 8 gr/dl. Transfusi
harus dipikirkan lebih dini pada pasien CRF,
penyakit serebrovaskular, hipoksia, bayi/anak-
anak
 Gunakan penghangat bila darah dinfus
dengan cepat.
 Jangan berikan furosemide secara rutin bila
pasien mendapat transfusi darah, kecuali
pasien kelebihan cairan atau dalam gagal
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PASCA
PEMBEDAHAN
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/19
RSU NURHAYATI 17/19
GARUT

jantung.
 Cek pembekuan darah setelah mendapat 6-8
unit darah. Bank darah kurang memiliki faktor
pembekuan dan trombosit, maka plasma beku
segar (FFP) dan trombosit mungkin harus
diberikan. Indikasi biasa untuk FFP dan
 trombosit adalah masing-masing INR >2 dan
trombosit < 50 x 109 /l, walaupun kontrol lebih
ketat dianjurkan jika pasien masih kehilangan
darah.
 Jika dicurigai perdarahan berlanjut, botol
drainase harus sering diperiksa walaupun ini
tidak bisa dipercaya untuk mendeteksi
perdarahan.
 Pengukuran lingkar perut bukan merupakan
cara yang bisa dipercaya untuk mendeteksi
perdarahan intra-abdomen, karena banyak
cairan bisa terkumpul sebelum lingkar perut
membesar palpasi reguler lebih sensitif.
 Segera setelah torakotomi, permukaan cairan
pada selang drainase toraks akan turun naik
dengan pernapasan di samping mengalirkan
cairan yang bercampur darah. Jika tidak maka
selang drainase mungkin tersumbat, tertekuk,
atau bergeser sehingga harus diaspirasi dan
ambil foto toraks atau pasang ulang jika perlu.
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PASCA
PEMBEDAHAN
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/19
RSU NURHAYATI 18/19
GARUT

Penyelidikan rutin
 Hitung darah lengkap, ureum, kreatinin, dan
elektrolit: cek pascaoperasi apakah ada
pergeseran cairan dalam jumlah besar di
kamar operasi kemudian setiap hari sampai
stabil.
 Uji saring pembekuan: pascaoperasi dini jika
pasien mendapat transfusi.
 EKG:
- semua pasien setelah bedah vaskular
mayor
- semua pasien yang perjalanan
intraoperatifnya telah dikomplikasi oleh
hipotensi atau hipoksia
 X-foto toraks:
- untuk mencek posisi CVP dan pipa lain
(endotrakea, drainase toraks,
nasogastrik) yang dipasang di kamar
operasi.
- Setelah prosedur toraks

Pemberian makan
Sudah lama menjadi tradisi bahwa pasien tetap
puasa setelah pembedahan abdomen, tetapi
makin banyak bukti bahwa nutrisi enteral dini
tidak meningkatkan komplikasi dan bisa
PENANGANAN PENATALAKSANAAN PASCA
PEMBEDAHAN
No. Dokumen No. Revisi Halaman
1/19
RSU NURHAYATI 19/19
GARUT

memberikan manfaat untuk mempercepat


pemulihan.

Tromboprofilaksis
Mulai sebelum pembedahan dan teruskan pada
pascaoperasi kecuali jika ada kontraindikasi
spesifik.

Antibiotik profilaktik
Untuk pencegahan terhadap kemungkinan-
kemungkinan infeksi yang dapat timbul saat
pembedahan dan setelah pembedahan

Unit Terkait 1. Kamar Operasi


2. Ruang Pemulihan
Dokumen Terkait 1. Status Anestesi
2. Catatan Rekam Medis
ANESTESI PADA PEDIATRIK:
PYLORIC STENOSIS
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/7
RSU
NURHAYATI
GARUT
PROSEDUR Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
TETAP: Direktur RSU NURHAYATI GARUT
ANESTESI
PADA
PEDIATRIK:
PYLORIC dr. Hj. Anne Lisnawati
STENOSIS NIK. 1983062320100116
Pengertian Stenosis pylorus terjadi akibat hipertropi otot-otot pada
saluran keluar lambung sehingga menyebabkan terjadinya
obstruksi. Kelainan ini merupakan salah satu kelainan pada
gastrointestinal tersering yang terjadi pada 3 bulan pertama
setelah lahir. Stenosis pylorus merupakan keadaan
emergensi medikal akut dan bukan keadaan emergensi
surgikal, oleh karena itu harus dilakukan persiapan
optimalisasi keadaan umum pasien terlebih dahulu untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik.
Tujuan Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien pediatri dengan pyloric stenosis yang akan
menjalani tindakan pembedahan.
Kebijakan Stenosis pylorus merupakan keadaan emergensi medikal
akut dan bukan merupakan keadaan emergensi surgikal,
oleh karena itu harus dilakukan optimalisasi keadaan
umum pasien terlebih dahulu untuk mendapatkan hasil
yang lebih baik.
Prosedur INSIDENSI DAN ETIOLOGI:
- Stenosis pylorus lebih sering terjadi pada bayi laki-laki
dibandingkan perempuan dengan insidensi 4:1 yang
ANESTESI PADA PEDIATRIK:
PYLORIC STENOSIS
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/7
2/7
RSU
NURHAYATI
GARUT
terjadi pada usia 3 bulan pertama setelah lahir.
- Etiologi: Penyebab pasti sampai saat ini belum
diketahui, namun dari beberapa teori menyatakan
bahwa etiologi stenosis pylorus adalah sebagai berikut:
 Hipoganglionosis
 Infeksi H. pylori
 Hipergastrenemia dengan pilorospasme

PATOFISIOLOGI
- Pasien dengan stenosis pylorus akan mengalami
berbagai gangguan elektrolit dan metabolik. Gangguan
elektrolit yang sering didapatkan adalah: hipokloremik,
hipokalemia, hipovolemia, hipokalsemia, dan alkalosis
metabolik hiponatremik.
- Dalam keadaan normal setiap mEq asam lambung yang
disekresikan akan diikuti dengan pelepasan satu mEq
HCO3- dari pankreas, sehingga terjadi penetralan asam
lambung yang melewati duodenum oleh HCO3- yang
disekresikan oleh pankreas.
- Hilangnya asam lambung pada keadaan stenosis
pylorus terjadi melalui vomitus atau aspirat gastrik,
sedangkan sekresi HCO3- tetap terjadi sehingga
kadarnya dalam plasma akan terus meningkat.
Peningkatan ini lama kelamaan membuat tubulus
proksimal ginjal tidak mampu lagi mengatasi kelebihan
HCO3- dan akan meningkatkan kadar NaHCO3 yang
diteruskan ke tubulus distal yang juga tidak mampu
ANESTESI PADA PEDIATRIK:
PYLORIC STENOSIS
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/7
3/7
RSU
NURHAYATI
GARUT
mengabsorbsinya lagi. Akibatnya ginjal akan
mengekskresikan urin dengan pH> 7,0.
- Terjadinya hal di atas mengakibatkan deplesi cairan
ekstra seluler akibat usaha ginjal untuk melakukan
konservasi Na+ melalui stimulasi sekresi aldosteron.
- Hipolakemia terjadi akibat hilangnya kalium melalui
vomitus dan melalui urin akibat pertukarannya dengan
H+ dalam usahanya untuk melakukan konservasi
terhadap Na+. Hipokalemia juga terjadi akibat
perpindahan K+ ke intra sel akibat pH yang bertambah
alkali.
- Hipokloremia terjadi akibat hilangnya Cl- melalui sekresi
lambung.

GAMBARAN KLINIS:
- Stenosis pylorus terjadi antara umur 3-5 minggu.
Terdapat riwayat muntah-muntah nonbilious yang
progresif dan kemudian menjadi proyektil.
- Konstipasi
- Jaundice; terjadi akibat defisiensi glukoronil transferase
karena keadaan starvasi.
- Bayi akan tampak dehidrasi dengan gerakan peristaltis
lambung yang dapat terlihat.
- Pada palpasi pada daerah epigastrium atau
hipokondrium kanan teraba massa tumor (Olive Tumor).
- Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan:
o Hemoglobin: hemokonsentrasi
ANESTESI PADA PEDIATRIK:
PYLORIC STENOSIS
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/7
4/7
RSU
NURHAYATI
GARUT
o Elektrolit: hipokalemia, hipokloremia, hiponatremia,
hipokalsemia
o AGD: pada keadaan awal didapatkan alkalosis
metabolik sedangkan pada keadaan lanjut akan
didapatkan asidosis metabolik.
- Diagnosa dikonfirmasi melalui pemeriksaan radiologi:
USG abdomen

MANAJEMEN PREOPERATIF
Manajemen inisial yang harus dilakukan bersifat medikal
untuk melakukan stabilisasi pasien sebelum dilakukan
prosedur koreksi. Manajemen yang dilakukan adalah:
- Pasang jalur intravena, kemudian ambil sampel darah
untuk melakukan pemeriksaan Hb dan elektrolit.
- Pasang NGT dan lakukan suctioning secara kontinyu.
- Lakukan rehidrasi sesuai dengan derajat dehidrasi dan
koreksi gangguan elektrolit.
- Pada dehidrasi berat (kehilangan cairan > 15%):
berikan bolus normal salin, RL, dan dapat pula
diberikan koloid 20 ml/ kg. Pemberian cairan
selanjutnya adalah sesuai dengan dehidrasi sedang
dengan memberikan defisit cairan dalam 6-8 jam.
- Dehidrasi ringan-sedang: berikan cairan glukosa dalam
salin (D5 0,45 NS dengan 10 mEq KCL/ 500 ml)
sebanyak 6-8 ml/ kg/ jam. Penambahan KCl hanya
dilakukan apabila telah terjadi diuresis yang cukup.
Aspirat NGT juga harus diganti dengan jumlah yang
ANESTESI PADA PEDIATRIK:
PYLORIC STENOSIS
No. Dokumen No.Revisi Halaman
5/7
1/7
RSU
NURHAYATI
GARUT
sama dengan NS. Apabila target sudah tercapai berikan
maintenan dengan D5 0,225NS (1/4 NS) sebanyak 4 ml/
kg/ jam.

Target Resusitasi:
- Klor serum ≥ 106 mmol/ L
- Na+ serum ≥ 135 mmol/ L
- HCO3- serum ≤ 26 mmol/ L
- Cl- urin > 20 mmol/ L
- Diuresis > 1 ml/ kg

MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Pastikan abnormalitas asam basa dan dehidrasi sudah
terkoreksi sebelum memulai induksi.
- Lakukan aspirasi kembali pada NGT sebelum induksi
dengan posisi bayi miring kiri, kanan, dan supine.
- Lakukan preoksigenasi sebelum induksi.
- Induksi dilakukan dengan rapid sequence induction,
tetapi apabila diperkirakan terdapat kesulitan pada jalan
napas maka sebaiknya lakukan intubasi dalam keadaan
awake.
- Maintenan anestesi dapat diberikan dengan halotan
atau sevofluran dan N2O, pelemas otot, opioid, dengan
memberikan ventilasi IPPV, dan jaga agar temperatur
tetap normotermi.
- Monitoring: EKG, pulse okximetry, NIBP, EtCO2,
temperatur, stetoskop prekordial.
ANESTESI PADA PEDIATRIK:
PYLORIC STENOSIS
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/7
6/7
RSU
NURHAYATI
GARUT
- Ekstubasi harus dilakukan dalam keadaan benar-benar
bangun dengan keadaan lambung yang telah
dikosongkan.
- Saat akhir operasi dapat diberikan bupivakain 0,25%
secara infiltrasi pada daerah luka operasi sebagai
analgesia pascaoperasi.

MANAJEMEN PASCAOPERASI
- Berikan oksigen suplemen jika pulse oximetry < 95%
- Pada infan prematur atau riwayat kelahiran prematur
harus dilakukan monitoring pernapasan terhadap
kemungkinan apnoe selama 6-12 jam pascaoperasi.
Hal ini dikarenakan terdapat kemungkinan terjadinya
apnoe akibat perubahan pH pada LCS sebagai akibat
sekunder dari hiperventilasi dan alkalosis.
- Monitor terhadap kemungkinan hipoglikemia
pascaoperasi.
- Analgesia pascaoperatif dapat diberikan parasetamol
per-rektal dengan loading dose 30-40 mg/ kg diikuti
dengan dosis 15-20 mg/ kg tiap 6 jam. Hindari opioid
karena dapat menambah resiko apnoe pascaoperatif.

11. DOKUMEN TERKAIT :

12. UNIT TERKAIT : Dokter spesialis anestesi, dokter


residen di bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif,
ANESTESI PADA PEDIATRIK:
PYLORIC STENOSIS
No. Dokumen No.Revisi Halaman
1/7
7/7
RSU
NURHAYATI
GARUT
dokter/ residen bedah anak, dokter/ residen IKA di
lingkungan RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
Unit Terkait
Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
ANESTESI PADA PEDIATRIK:
OBSTRUKSI INTESTINAL
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/5
RSU
NURHAYATI
GARUT
PROSEDUR Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
TETAP: Direktur RSU NURHAYATI GARUT
ANESTESI
PADA
PEDIATRIK:
OBSTRUKSI dr. Hj. Anne Lisnawati
INTESTINAL NIK. 1983062320100116
Pengertian
Tujuan Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien pediatri dengan obstruksi intestinal yang akan
menjalani tindakan pembedahan.
Kebijakan Pasien dengan obstruksi intestinal harus dikelola sebagai
pasien dengan lambung penuh.
Prosedur 1. ETIOLOGI OBSTRUKSI INTESTINAL AKUT:
Neonatal:
- Duodenal
- Jejunal
- Ileal
- Kolon
- Anorektal
Infant:
- Intussusepsi
- Hirschprung’s disease
- Hernia inkarserata
Anak yang lebih besar:
- Divertikulum Meckel’s
- Obstruksi adhesive
ANESTESI PADA PEDIATRIK:
OBSTRUKSI INTESTINAL
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/5
2/5
RSU
NURHAYATI
GARUT
- Hernia

2. ETIOLOGI OBSTRUKSI PARSIAL KRONIS:


- Volvulus caecal

3. PERMASALAHAN PADA OBSTRUKSI INTESTINAL:


- Vomitus
- Dehidrasi
- Abnormalitas elektrolit
- Distensi abdomen yang akan mengganggu respirasi
terutama pada infant.
- Infeksi; Apabila integritas dari dinding usus
terganggu maka bakteri akan masuk ke dalam
rongga peritoneal dan akhirnya dapat masuk ke
sistem sirkulasi. Pelepasan endotoksin akan
menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan syok.
- Obstruksi, perdarahan, infeksi , dan infark akan
menyebabkan gangguan perfusi ke usus.

4. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Lakukan penilaian defisit cairan berdasarkan tanda
dan gejala klinis.
- Pada saat pemeriksaan fisik lakukan pemeriksaan
temperatur, laju nadi, tekanan darah, perfusi perifer,
turgor kulit, fontanela, tekanan okular, derajat
enopthalmus, mukosa bibir, status mental, dan
dieresis.
ANESTESI PADA PEDIATRIK:
OBSTRUKSI INTESTINAL
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/5
3/5
RSU
NURHAYATI
GARUT
- Lakukan penentuan derajat dehidrasi
- Tentukan besarnya defisit cairan dan lakukan
rehidrasi berdasarkan derajat dehidrasi.
- Pada keadaan hipovolemia berat berikan cairan
secara cepat untuk segera melakukan restorasi
sirkulasi dan fungsi ginjal. Untuk resusitasi awal
dapat diberikan bolus RL 20 ml/ kg. Koreksi defisit
cairan ekstra dan intrasel dan juga elektrolit
diperbaiki berikutnya dalam 24-72 jam.
- Restorasi volume harus dipantau dengan
pemasangan kateter urin untuk menilai diuresis.
- Lakukan penilaian ulang secara lebih sering
terhadap status cairan dan elektrolit.
- Pasang NGT dan lakukan suctioning.
- Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan: kreatinin
serum dan BUN (meningkat pada keadaan
dehidrasi), leukosit (meningkat pada keadaan
infeksi), elektrolit lengkap (biasanya abnormal),
hemoglobin.
- Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah foto
polos abdomen: air/ fluid level.

5. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Pasien dengan obstruksi intestinal harus dikelola
sebagai pasien dengan lambung penuh.
- Lakukan induksi dengan rapid sequence induction
dengan penekanan pada krikoid atau dengan
ANESTESI PADA PEDIATRIK:
OBSTRUKSI INTESTINAL
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/5
4/5
RSU
NURHAYATI
GARUT
intubasi awake.
- Sebelum dilakukan induksi berikan preoksigenasi
dengan masker selama 3-5 menit.
- Induksi inhalasi hanya dilakukan pada pasien
dengan status hidrasi yang baik, lokasi obstruksi
pada kolon bawah, tidak ada distensi gaster ( tidak
ada muntah), dan belum terpasang jalur intravena.
- Induksi inhalasi dilakukan dengan memakai
sevofluran atau halotan.
- Hindari pemakaian N2O karena akan semakin
menyebabkan distensi. Pilihan gas yang lebih baik
adalah campuran air dan oksigen.
- Berikan suplemen narkotik (misal:fentanil). Tetapi
hindari memberikan dosis besar pada keadaan
hemodinamik yang tidak stabil dan pada bayi
prematur yang beresiko besar terjadinya apnoe
pascaoperatif.
- Lakukan kontrol ventilasi untuk mengatasi tekanan
intraabdominal yang tinggi akibat obstruksi dan
monitoring end tidal CO2 secara ketat.
- Pemberian cairan intravena tergantung dari jumlah
kebutuhan maintenan, defisit cairan sebelumnya,
dan kehilangan cairan ke ruang ketiga/ darah yang
terjadi selama operasi.
- Cairan maintenan diberikan D5 ½ NS sedangkan
cairan pengganti diberikan balanced salt solution
(RL).
ANESTESI PADA PEDIATRIK:
OBSTRUKSI INTESTINAL
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/5
5/5
RSU
NURHAYATI
GARUT
- Kehilangan darah aktual diganti dengan 3 ml cairan
kristaloid untuk tiap 1 ml darah yang hilang sampai
dicapai maximum allowable blood lose.
- Lakukan pemeriksaan faktor koagulasi apabila
actual blood lose melebihi estimated blood volume.

6. MANAJEMEN PASCAOPERASI
- Pada akhir operasi ETT tetap dipertahankan sampai
pasien benar-benar bangun, ventilasi spontan
adekuat, temperatur inti normal, efek pelemas otot
dan obat-obatan lainnya telah benar-benar hilang.
- Bantuan ventilasi dan kardiovaskular
dipertimbangkan pada pasien dengan insisi yang
lebar, sepsis, kardiovaskular yang tidak stabil, dan
depresi pada sistem saraf pusat.
- Berikan oksigen suplemen jika pulse oximetry < 95%
- Pada infan prematur atau riwayat kelahiran prematur
harus dilakukan monitoring pernapasan terhadap
kemungkinan apnoe selama 6-12 jam pascaoperasi.
Monitor terhadap kemungkinan hipoglikemia
pascaoperasi.
- Transportasi pasien dilakukan dengan posisi lateral.
Unit Terkait
Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


Direktur RSU NURHAYATI
ANESTESI PADA GARUT
PEDIATRIK:
TRACEOESOPHAGEAL
FISTULA (TEF)
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian kelainan bawaan, yang berarti terjadi sebelum
kelahiran. Ada beberapa jenisnya, kebanyakan
berupa esofagus terputus dan tidak tersambung
dengan esofagus bawa dan perut. Ujung esofagus
bawah malah menyambung dengan saluran napas
Tujuan Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan
anestesi pada pasien pediatri dengan kelainan TEF
yang akan menjalani tindakan pembedahan.
Kebijakan Tindakan pembedahan definitif ditunda sampai
pneumonia teratasi atau telah mengalami perbaikan
dengan antibiotik. Kunci sukses manajemen pasien
TEF adalah penempatan posisi ETT yang tepat.
Prosedur DIAGNOSIS :
- Antenatal: polihidramnion maternal
- Postnatal: ditandai dengan 3C, yaitu: choking,
coughing, dan cyanosis,
- Suspek diagnosis TEF bila pada saat
pemasangan NGT terdapat obstruksi.
- TEF sering disertai dengan pneumonia
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
2/6
1/6
RSU NURHAYATI
GARUT

aspirasi dan kelainan kongengital lainnya.

ASSOCIATED ANOMALIES
VATER SYNDROME:
- Vertebral anomalies atau ventricular septal
defect
- Anal atresia
- Tracheoesofageal fistula
- Esofageal atresia
- Radial aplasia dan renal anomalies
VACTERL:
- Cardiac dan limbs anomalies

MANAJEMEN PREOPERATIF
- Lakukan usaha untuk mencegah terjadinya
aspirasi pneumonia, yaitu dengan
memposisikan pasien dalam keadaan head-
up, hindari pemberian makan/ minum,
kantung esophageal harus selalu bersih dari
sekret dengan memasang oral-esofageal
tube.
- Lakukan chest physiotherapy
- Berikan antibiotik
- Gastrostomi untuk dekompresi lambung dan
pemberian nutrisi apabila operasi masih
ditunda. Gastrostomi dapat dilakukan dalam
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
3/6
RSU NURHAYATI
GARUT

anestesi lokal.
- Pasien ini mempunyai kemungkinan yang
besar untuk terjadinya dehidrasi karena
asupan oral yang tidak cukup,oleh karena itu
segera lakukan rehidrasi dengan pemberian
cairan intravena.

MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Tindakan pembedahan definitif ditunda
sampai pneumonia teratasi atau telah
mengalami perbaikan dengan antibiotik.
- Lakukan suctioning sekret faring pada
kantung esophageal secara berkala sebelum
dan selama pembedahan karena pada
pasien ini bertendensi untuk terjadi sekresi
yang banyak.
- Pencegahan pneumonia aspirasi juga
dilakukan dengan melakukan suctioning pada
tube gastrostomi.
- Pastikan pasien sudah dalam keadaan
euvolume.
- Sebelum operasi dimulai pastikan sudah
terdapat persediaan darah apabila sewaktu-
waktu dibutuhkan transfusi segera.
- Hindari memberikan ventilasi tekanan positif
sebelum dilakukan intubasi karena akan
menyebabkan distensi lambung yang akan
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
4/6
RSU NURHAYATI
GARUT

mengganggu pengembangan paru.


- Intubasi dilakukan secara awake dan tanpa
pelumpuh atau dengan sedasi dan tetap
mempertahankan napas spontan untuk
menghindari distensi yang berlebihan pada
lambung sehingga meningkatkan resiko
terjadinya aspirasi dan gangguan respirasi.
- Penggunaan pelumpuh otot untuk intubasi
dapat diberikan hanya setelah dilakukan
penilaian bahwa ventilasi yang kita berikan
secara hati-hati dapat menghasilkan
pergerakan dada yang adekuat tanpa
terjadinya distensi lambung.
- Apabila terjadi distensi lambung pada pasien
yang telah terpasang gastrostomi maka
udara dari lambung harus dikeluarkan
dengan mengalirkan melalui tube
gastrostomi.
- Kunci sukses manajemen pasien TEF adalah
penempatan yang tepat posisi ETT.
- Idealnya ujung ETT harus berada di antara
fistula dan karina sehingga gas anestesi
dapat masuk ke dalam paru dan tidak ke
lambung. Untuk itu dapat dilakukan dengan
memasukkan ujung ETT ke dalam salah satu
bronkus, kemudian sambil dilakukan
auskultasi dilakukan penarikan ETT.
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
5/6
RSU NURHAYATI
GARUT

Penarikan ETT dihentikan apabila bunyi


suara kedua paru telah sama yang
menandakan ujung ETT telah berada di atas
karina.
- Lakukan pemasangan stetoskop prekordial.
- Penurunan saturasi oksigen dapat
merupakan indikasi bahwa terjadi retraksi
pada bagian paru dan memerlukan tindakan
untuk re-ekspansi.
- Retraksi selama pembedahan juga dapat
menimbulkan penekanan pada pembuluh
darah besar, trakea, jantung, dan nervus
vagus yang ditandai dengan hipotensi dan
bradikardia. Lakukan monitoring tekanan
darah secara kontinyu dengan arterial line.
- Pada saat menentukan fraksi oksigen yang
akan diberikan harus dipertimbangkan
adanya resiko terjadinya retinopathy of
prematurity (ROP).

MANAJEMEN PASCAOPERASI
- Pertimbangkan untuk dilakukan ventilasi
pascaoperasi pada pasien dengan pneumoni
aspirasi sebelumnya, atau apabila pada
anastomosis yang dilakukan terjadi tension.
- Berkurangnya kartilago trakea dapat
menyebabkan kolaps pada trakea setelah
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
6/6
RSU NURHAYATI
GARUT

dilakukan ekstubasi.
- Hindari ekstensi pada leher dan tindakan
instrumentasi esophagus (misal: suctioning)
karena dapat menimbulkan kerusakan
daerah operasi.
Unit Terkait
Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
ANESTESI PADA PEDIATRIK:
GASTROSCHISIS dan OMPHALOCELE
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
RSU NURHAYATI
GARUT

PROSEDUR Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


TETAP: Direktur RSU NURHAYATI GARUT
ANESTESI PADA
PEDIATRIK:
GASTROSCHISIS
dan dr. Hj. Anne Lisnawati
OMPHALOCELE NIK. 1983062320100116
Pengertian Gastroschisis dan Omphalocele merupaka kelainan
kongengital yang ditandai dengan defek pada dinding
abdomen sehingga terjadi herniasi eksternal organ viscera.
Tujuan Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien pediatri dengan kelainan gastroskisis yang akan
menjalani tindakan pembedahan.
Kebijakan Manajemen perioperatif difokuskan pada pencegahan
terjadinya hipotermia, infeksi, dan dehidrasi.
Prosedur 1. PERBEDAAN GASTROSCHISIS DAN
OMPHALOCELE:
Omphalocele timbul pada bagian tengah umbilikus,
mempunyai kantung, dan sering berhubungan dengan
kelainan kongengital lainnya, seperti: trisomi 21, hernia
diafragmatika, malformasi jantung dan blader.
Sedangkan gastroschisis terjadi di daerah lateral
umbilicus, tidak berkantung, dan biasanya merupakan
kelainan tunggal. Gastroschisis mempunyai resiko yang
lebih besar untuk terjadinya kehilangan cairan dan
elektrolit secara masif.
ANESTESI PADA PEDIATRIK:
GASTROSCHISIS dan OMPHALOCELE
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
2/4
RSU NURHAYATI
GARUT

2. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Manajemen perioperatif difokuskan pada
pencegahan terjadinya hipotermia, infeksi, dan
dehidrasi.
- Lakukan dekompresi lambung dengan memasang
NGT.
- Lakukan penilaian terhadap status hidrasi dan
elektrolit dan segera lakukan koreksi bila belum
optimal.
- Terapi apabila terjadi infeksi, terutama pada
gastroshisis yang mempunyai resiko infeksi yang
lebih besar.
- Cegah terjadinya hipotermia dengan memberikan
penghangat. Pasien dengan gastroschisis dan
omphalocele mempunyai tendensi untuk kehilangan
panas tubuh melalui evaporasi.

3. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Lakukan dekompresi melalui NGT sebelum induksi.
- Intubasi dapat dilakukan dengan pasien dalam
keadaan awake atau tidur, baik dengan pelemas
otot atau tanpa pelemas otot.
- Hindari penggunaan N2O untuk mencegah distensi
lebih lanjut pada usus.
- Pemberian pelemas otot diperlukan saat
memasukkan usus ke dalam rongga abdomen.
- Penutupan satu tahap (perbaikan primer) tidak
ANESTESI PADA PEDIATRIK:
GASTROSCHISIS dan OMPHALOCELE
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
3/4
RSU NURHAYATI
GARUT

selalu dianjurkan karena dapat menyebabkan


sindrom kompartemen abdominal, sehingga
dilakukan pemasangan silastic silo untuk
meregangkan kulit dinding abdomen selama
beberapa hari kemudian dilakukan penutupan
secara komplit.
- Penutupan primer yang menyebabkan dinding
abdomen menjadi tegang akan menimbulkan
kompresi aortokaval, hipotensi berat, mengganggu
aliran balik vena dan menyebakan edema pada
tubuh bagian bawah.
- Apabila terjadi sindrom kompartemen abdomen
harus dilakukan pembukaan kembali dinding
abdomen yang telah ditutup, kemudian berikan
hidrasi yang agresif dan inotropik.
- Kriteria untuk menilai tekanan abdomen yang aman
untuk dilakukan penutupan, adalah sebagai berikut:
 Tekanan intragaster < 20 cmH2O
 Tekanan intravesika < 20 cmH2O
 End tidal CO2 < 50 mmHg
 Peak inspiratory pressure < 35 cmH2O

4. MANAJEMEN PASCAOPERASI
- Pascaoperasi pasien dipertahankan tetap dalam
keadaan terintubasi.
- Penyapihan dari ventilator dilakukan 1-2 hari
berikutnya.
ANESTESI PADA PEDIATRIK:
GASTROSCHISIS dan OMPHALOCELE
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
4/4
RSU NURHAYATI
GARUT

- Cegah terjadinya hipotermi, dehidrasi, dan infeksi.


Unit Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
Dokumen Terkait
ANESTESI PADA PEDIATRIK: HERNIA DIAFRAGMA
KONGENGITAL
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
ANESTESI
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PADA
PEDIATRIK:
16 Januari 2019
HERNIA
DIAFRAGMA
dr. Hj. Anne Lisnawati
KONGENGITAL
NIK. 1983062320100116
Pengertian Hernia diafragma kongengital terjadi karena kegagalan
penutupan diafragma pada masa perkembangan fetus
yang mengakibatkan herniasi isi abdomen ke dalam toraks.
Usus yang mengalami herniasi kedalam toraks akan
memberikan efek seperti space occupying lesion dan
menghambat perkembangan normal dari paru.
Tujuan Sabagai acuan pelaksanaan tindakan anestesi pada pasien
pediatri dengan penyakit sirosis hepatis yang akan
menjalani tindakan pembedahan.
Kebijakan Manajemen inisial yang harus dilakukan adalah melakukan
stabilisasi pasien sebelum melakukan prosedur koreksi.
Prosedur 1. LOKASI DEFEK:
Defek diafragma dapat terjadi pada 3 tempat:
- Posterolateral kanan dari Foramen Bochdalek
- Posterolateral kiri dari Foramen Bochdalek
- Anterior dari Foramen Morgagni
Sebagian besar herniasi (90%) terjadi pada sisi kiri,
terutama pada bagian posterolateral foramen
bochdalek.
ANESTESI PADA PEDIATRIK: HERNIA DIAFRAGMA
KONGENGITAL
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
2/6
RSU
NURHAYATI
GARUT
2. PATOFISIOLOGI
- Tanda utama hernia diafragma, adalah: hipoksia,
abdomen berbentuk scaphoid, serta didapatkan
bukti adanya usus di dalam toraks baik melalui
pemeriksaan auskultasi atau radiologi.
- Hipoplasia paru biasanya ipsilateral tetapi dapat pula
bilateral akibat pergeseran mediastinum yang akan
mengkompresi paru kontralateral. Hipoplasia ini
terjadi karena efek kompresi usus yang mengalami
herniasi sehingga terjadi reduksi alveoli dan
bronkioli.
- Paru yang hipoplastik memberikan gambaran bronki
yang lebih kecil, cabang bronkus lebih sedikit, dan
gambaran vaskularr abnormal.
- Otot polos pada pembuluh darah arteriol akan
menebal dan meluas ke dalam kapiler alveoli
sehingga terjadi peningkatan tekanan arteri
pulmonal dan terjadilah shunting dari kanan ke kiri.
- Derajat hipoplasi paru dan hipertensi pulmonal
ditentukan oleh masa gestasi saat herniasi tersebut
terjadi.
- Penurunan preload dan cardiac output terjadi
apabila terdapat penekan herniasi pada vena cava
sehingga terjadi obstruksi.
- Hernia diafragmatika kadang disertai dengan
kelainan dan malrotasi jantung.
- Gangguan kardipulmonal yang terjadi terutama
ANESTESI PADA PEDIATRIK: HERNIA DIAFRAGMA
KONGENGITAL
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
3/6
RSU
NURHAYATI
GARUT
disebabkan oleh hipoplasia paru dan hipertensi
pulmonal dibandingkan akibat efek massa dari
viscera yang mengalami herniasi.

3. GAMBARAN KLINIS:
- Severe respiratory distress; dispnoe/ takipnoe,
sianosis, dan retraksi berat.
- Peningkatan diameter anteroposterior dari dada
dengan abdomen yang berbentuk relatif scaphoid.
- Pada saat auskultasi sedikit sekali terdengar adanya
aliran darah paru dan terdengar adanya bising usus.
- Hipoksia
- Asidosis

4. MANAJEMEN PREOPERATIF
Manajemen inisial yang harus dilakukan adalah
melakukan stabilisasi pasien sebelum melakukan
prosedur koreksi. Manajemen yang dilakukan adalah:
- Lakukan dekompresi lambung dengan memasang
NGT
- Posisikan pasien semi-recumbent dengan bagian
yang mengalami hernia pada sisi bawah
- Amankan jalan nafas untuk menjaga keadaan tetap
normokarbia. Lakukan intubasi apabila terdapat
depresi pernafasan berat
- Jangan lakukan ventilasi dengan masker, hal ini
akan menyebabkan lambung menjadi distensi dan
ANESTESI PADA PEDIATRIK: HERNIA DIAFRAGMA
KONGENGITAL
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
4/6
RSU
NURHAYATI
GARUT
semakin mengganggu jalan nafas. Lakukan intubasi
dalam keadaan awake.
- Lakukan stabilisasi segera dengan sedasi, paralisis
dan hiperventilasi moderat
- Apabila keadaan bayi memburuk dengan PaCO2
yang tinggi, maka usahakan untuk menurunkan
PaCO2 < 40 mmHg. Hal ini akan menurunkan PVR
dan meningkatkan oksigenasi.
- Saat memberikan ventilasi harus selalu diperhatikan
untuk menghindari tekanan inspirasi yang tinggi
karena dapat menyebabkan barotrauma.
- Ventilasi dan oksigenisasi dapat dilakukan dengan
High Frequency Oscillatory Ventilation (HFOV)
dengan resiko barotrauma yang lebih kecil.
- Nitric oxide dapat diberikan untuk menurunkan
tekanan arteri pulmonal.
- Jaga suhu pasien tetap normotermi.
- Lakukan monitoring dan koreksi terhadap AGD dan
elektrolit. Hindari keadaan asidosis dan hiperkarbia.
Keadaan alkalosis dapat memperbaiki aliran darah
paru.
- Tindakan pembedahan dini dapat dilakukan apabila
hipertensi pulmonal stabil dan shunting dari kanan-
kiri hanya sedikit.
- Jika pasien gagal untuk distabilkan maka stabilisasi
dilakukan dengan extracorporeal membrane
oxygenation (ECMO).
ANESTESI PADA PEDIATRIK: HERNIA DIAFRAGMA
KONGENGITAL
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
5/6
RSU
NURHAYATI
GARUT

5. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Lakukan dekompresi lambung dengan memasang
NGT
- Posisikan pasien semi-recumbent dengan bagian
yang mengalami hernia pada sisi bawah
- Lakukan preoksigenasi sebelum induksi
- Lakukan intubasi secara awake atau tanpa bantuan
pelemas otot.
- Rumatan anestesi diberikan dengan volatile
konsentrasi rendah atau opioid, pelemas otot, dan
air sesuai dengan toleransi pasien.
- Analgesi harus diberikan secara adekuat untuk
menumpulkan stress response sehingga
meminimalkan peningkatan PVR yang mendadak
dengan akibat shunting kanan ke kiri.
- Jangan gunakan N2O karena dapat membuat
distensi usus dan membuat pasien semakin
hipoksia.
- Ventilasi tekanan positif yang diberikan harus
membatasi peak inspiratory pressure < 30 cmH2O.
- Lakukan monitoring terhadap tahanan jalan nafas.
Peningkatan yang tiba-tiba tahanan jalan nafas/
penurunan compliance paru, penurunan oksigenasi
yang tiba-tiba dapat merupakan indikasi terjadinya
pneumotoraks (barotrauma). Apabila terjadi
pneumotoraks maka harus dilakukan pemasangan
ANESTESI PADA PEDIATRIK: HERNIA DIAFRAGMA
KONGENGITAL
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
6/6
RSU
NURHAYATI
GARUT
CTT.
- Usaha untuk mengembangkan paru yang hipoplastik
setelah dilakukan reduksi terhadap hernia dapat
menyebabkan kerusakan pada paru yang normal.

6. MANAJEMEN PASCAOPERASI
- Lakukan pemantauan ventilasi, oksigenasi,
temperatur, dan keseimbangan elektrolit.
- Berikan FiO2 untuk menjaga PaO2 > 150 mmHg.
- Penyapihan terhadap oksigen harus dilakukan
secara perlahan dalam 48-72 jam untuk menghindari
terjadinya vasokonstriksi pulmoner yang tiba-tiba
dan pulmonal hipertensi (honeymoon phenomenon).
Unit Terkait
Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent.
ANESTESI PADA
PEDIATRIK PREMATUR
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
PROSEDUR
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
TETAP:
16 Januari 2019
ANESTESI
PADA
PEDIATRIK
dr. Hj. Anne Lisnawati
PREMATUR
NIK. 1983062320100116
Pengertian Prematuritas didefinisikan sebagai kelahiran pada usia
kehamilan < 37 minggu. Keadaan ini harus dibedakan
dengan “small for gestational age” dimana berat badan
infant (cukup bulan atau prematur) yang kurang dari fifth
percentile.
Tujuan Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien pediatri dengan prematuritas yang akan menjalani
tindakan pembedahan.
Kebijakan Perhatian khusus pengelolaan infant prematur
dititikberatkan terhadap kontrol jalan nafas, manajemen
cairan, dan regulasi suhu tubuh .
Prosedur 1. PROBLEM PREMATURITAS:
- Problem medis pada neonatus prematur bersifat
multipel yang diakibatkan immaturitas dari sistem
organ mayor atau asfiksia intrauterin.
- Komplikasi pulmonal dapat berupa: hyaline
membrane disease, apneic spell, dan
bronkopulmonari dysplasia. Pemberian surfaktan
eksogen telah terbukti efektif untuk mengatasi
respiratory distress syndrome pada neonates
ANESTESI PADA
PEDIATRIK PREMATUR
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
2/4
RSU
NURHAYATI
GARUT
tersebut.
- Patent ductus arteriosus; keadaan ini dapat
menimbulkan shunting, edema paru, dan gagal
jantung kongestif.
- Hipoksia persisten atau syok dapat mengakibatkan
iskemik pada usus dan necrotizing enterocolitis.
- Prematuritas meningkatkan resiko terjadinya infeksi,
hipotermi, perdarahan intrakranial, dan kern ikterus.
- Prematuritas biasanya berhubungan dengan
peningkatan insidens anomaly kongengital.

2. KONSIDERASI ANESTESI
- Perhatian khusus pengelolaan infant prematur
dititikberatkan terhadap kontrol jalan nafas,
manajemen cairan, dan regulasi suhu tubuh.
- Resiko terjadinya retinopathy of prematurity (ROP)
akibat keadaan hiperoksia yang dapat menyebabkan
kebutaan.
- Hindari pemberian oksigen dengan konsentrasi
tinggi karena dapat menyebabkan kebutaan. Hal ini
dapat dihindari dengan memakai campuran oksigen
dengan udara atau N2O.
- ROP diduga lebih diakibatkan oleh pemberian
oksigen dengan kadar yang fluktuatif dibandingkan
dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi.
- Oksigenasi harus terus dimonitor secara kontinyu
dengan pulse oximetry terutama pada infant dengan
ANESTESI PADA
PEDIATRIK PREMATUR
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
3/4
RSU
NURHAYATI
GARUT
usia < 44 minggu postkonsepsi.
- PaO2 normal pada neonatus adalah 60-80 mmHg.
- Kebutuhan anestetik pada neonates prematur akan
berkurang.
- Pemberian opioid agonis lebih disukai dibandingkan
dengan volatile anestesi dikarenakan efeknya
bertendensi untuk menimbulkan depresi miokardial.
- Lakukan kontrol ventilasi dengan pelemas otot.
- Monitoring dilakukan dengan pulse oximetry, EKG,
NIBP, temperatur, kapnograf, dan stetoskop
prekordial.
- Infant prematur dengan usia < 50 minggu
postkonsepsi mempunyai resiko yang sangat besar
untuk terjadinya apnoe yang bersifat obstruktif
maupun sentral selama 24 jam.
- Resiko lain untuk terjadinya apnoe pascaanestesi
adalah; anemia (ht<30%), hipotermi, sepsis, dan
kelainan neurologis.
- Resiko apnoe pascaanestesi dapat dikurangi
dengan memberikan kafein 10 mg/ kg atau
aminofilin.
- Operasi elektif atau ODS harus ditunda sampai usia
infan minimal mencapai 50 minggu postkonsepsi.
- Infant dengan usia 50-60 minggu postkonsepsi yang
menjalani operasi harus di monitor di PACU paling
tidak selama 2 jam.
Unit Terkait
ANESTESI PADA
PEDIATRIK PREMATUR
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
4/4
RSU
NURHAYATI
GARUT
Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:TETRALOGY OF
FALLOT (TOF) PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/9
RSU
NURHAYATI
GARUT
ANESTESI Tanggal Terbit :
Ditetapkan Oleh:
PEDIATRIK
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
DENGAN:
TETRALOGY OF 16 Januari 2019
FALLOT (TOF)
PADA
dr. Hj. Anne Lisnawati
PEMBEDAHAN
NIK. 1983062320100116
NON KARDIAK
Pengertian Tetralogy of fallot merupakan kelainan kongengital pada
jantung yang terdiri atas: Ventricular septal defect (VSD)
yang berukuran besar, obstruksi aliran darah ventrikel
kanan (subvalvular, valvular, supravalvular, cabang arteri
pulmonalis), overriding aorta (kelainan posisi aorta
sehingga aorta menerima darah dari kedua ventrikel), dan
hipertropi ventrikel kanan.
Tujuan Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien pediatri dengan TOF yang akan menjalani tindakan
pembedahan non kardiak.
Kebijakan Tujuan utama saat induksi adalah mencapai level
anesthesia yang diperlukan untuk mencegah meningkatnya
shunt dari kanan-kiri.
Prosedur 1. PATOFISIOLOGI TOF:
- Karakteristik utama dari TOF adalah sianosis.
- Sianosis pada TOF disebabkan oleh terjadinya
shunt dari kanan ke kiri pada ventrikel disertai aliran
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:TETRALOGY OF
FALLOT (TOF) PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/9
2/9
RSU
NURHAYATI
GARUT
darah pulmoner yang tidak adekuat.
- Obstruksi aliran darah pada ventrikel kanan akan
menyebabkan darah yang dipompakan ventrikel
kanan mengalir melalui VSD yang ada kemudian
masuk ke dalam overriding aorta.
- Keadaan tersebut juga akan mengakibatkan aliran
darah ke dalam sirkulasi paru untuk proses
oksigenasi semakin berkurang dan terjadi
percampuran darah desaturasi kedalam sirkulasi
sistemik sehingga terjadilah sianosis.
- Tekanan ventrikel kanan akan mendekati atau
bahkan sama dengan tekanan pada sirkulasi
sistemik sehingga terjadi kompensasi berupa
hipertropi ventrikel kanan.
- Derajat shunting melalui VSD proporsional dari
hubungan PVR terhadap SVR.
- PVR lebih cenderung tidak berubah tetapi
perubahan akan dipengaruhi oleh aktivitas.
- Peningkatan PVR dan penurunan SVR akan
memperburuk derajat sianosis.

2. MANIFESTASI KLINIS:
- Hampir Semua pasien dengan TOF mempunyai
riwayat sianosis sejak lahir.
- Pada pemeriksaan auskultasi didapatkan ejection
murmur .
- Gagal jantung kongestif jarang terjadi karena
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:TETRALOGY OF
FALLOT (TOF) PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/9
3/9
RSU
NURHAYATI
GARUT
adanya VSD yang memungkinkan terjadinya
keseimbangan tekanan intraventrikular dan beban
kerja jantung.
- Pada ronsen toraks didapatkan gambaran jantung
‘boot shaped’ dan penurunan vaskularisasi paru.
- EKG memberikan gambaran right axis deviation dan
hipertropi ventrikel kanan.
- Terdapat desaturasi oksigen arterial walaupun telah
diberikan oksigen 100% (PaO2 biasanya < 50
mmHg), PaCO2 dan pH arteri biasanya normal.
- Pasien dengan TOF sering melakukan squatting
untuk mningkatkan SVR dan menurunkan shunt dari
kanan-kiri

3. PINK TET, TET SPELL (HYPERCYANOTIS SPELLS),


DAN PENATALAKSANAANNYA

PINK TET
- Pink tet terjadi pada pasien TOF dengan aliran
darah pulmoner yang adekuat.
- Tambahan aliran darah ini didapat dari patent ductus
arteriosus (PDA), kolateral aorto-pulmonal, atau
pembuluh-pembuluh kolateral lainnya (bronchial,
interkostal, atau arteri koroner) ke dalam arteri
pulmonal.
- Pada perjalanannya derajat obstruksi akan semakin
meningkat sehingga terjadilah perubahan pink tet
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:TETRALOGY OF
FALLOT (TOF) PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/9
4/9
RSU
NURHAYATI
GARUT
menjadi sianotik TOF
HYPERCYANOTIC SPELL (TET SPELL)
- Tet spell merupakan episode paroksismal terjadinya
serangan sianosis yang secara akut memburuk.
- Keadaan ini dapat terjadi pada saat anak menangis,
makan, atau bahkan pada saat defekasi yang
kesemuanya akan meningkatkan terjadinya shunt
dari kanan-kiri.
- Mekanisme peningkatan shunt tersebut adalah
sebagai berikut:
o Peningkatan PVR; pada keadaan ini akan terjadi
pengurangan aliran darah pulmoner dan
meningkatkan shunt dari kanan-
kiri.Penatalaksanaannya adalah dengan
menurunkan PVR dengan cara hiperventilasi
dengan oksigen 100% dan pemberian bikarbonat
untuk mengatasi keadaan asidosis yang
menyebabkan peningkatan PVR.
o Dynamic outflow obstruction; spasme infundibular
terjadi akibat takikardi, hipovolemia, dan
peningkatan kontraktilitas miokardial. Spasme ini
akan menyebabkan aliran darah menuju arteri
pulmonal semakin berkurang dan akan
memperburuk shunt dari kanan-kiri.
Penatalaksanaan spasme ini adalah dengan
memberikan β-blocker, pemberian volume cairan,
dan mendalamkan anestesi untuk menurunkan
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:TETRALOGY OF
FALLOT (TOF) PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
5/9
1/9
RSU
NURHAYATI
GARUT
level katekolamin.
o Penurunan SVR; hal ini akan meningkatkan
shunt dari kanan-kiri. Penatalaksanaannya
adalah dengan memperbaiki status volume
dengan memberikan cairan, untuk memastikan
pengisian ventrikel kanan yang adekuat dan
pemberian α-adrenergik agonist untuk
meningkatkan SVR. SVR juga dapat ditingkatkan
dengan melakukan fleksi pada kedua tungkai
atau kompresi aorta abdominal.

4. DIAGNOSIS
Echocardiography dilakukan untuk menegakkan
diasgnosis dan untuk menilai apakah ada kelainan
lainnya, derajat obstruksi ventrikel kanan, ukuran arteri
pulmonal, ukuran dan lokasi VSD.

5. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Anamnesa riwayat hypercyanotic spell (frekuensi
serangan, beratnya serangan, dan terapinya), dan
riwayat terjadinya gagal jantung.
- Derajat berat ringannya penyakit jantung ini dapat
dilihat dari berat badan pasien, pertumbuhan dan
perkembangan, serta level aktivitas pasien.
- Hematokrit biasanya terjadi meningkat pada pasien-
pasien yang sianotik. Untuk mencegah terjadinya
komplikasi akibat polisitemia dapat dilakukan
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:TETRALOGY OF
FALLOT (TOF) PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/9
6/9
RSU
NURHAYATI
GARUT
plebotomi intraoperatif.
- Jangan puasakan pasien terlalu lama untuk
menghindari keadaan dehidrasi atau lakukan
pemasangan jalur intravena sebelum pasien dibawa
ke kamar operasi.
- Pada saat pemasangan jalur intravena hindari
adanya gelembung udara karena dapat
menyebabkan emboli udara sistemik.
- Premedikasi oral direkomendasikan pada anak-anak
dengan riwayat hipersianotik. Untuk anak > 9 bulan
dapat diberikan midazolam 0,5-1 mg/ kg per oral 10-
20 menit sebelum induksi, atau pentobarbital 2-4
mg/kg 45 menit sebelum induksi. Hindari pemberian
premedikasi secara intramuskular karena dapat
memicu hipersianotik spell.
- Terapi propanolol 5-10 mcg/ kg harus tetap
dilanjutkan sampai pada saat menjelang operasi.

6. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Tujuan utama saat induksi adalah mencapai level
anesthesia yang diperlukan untuk mencegah
meningkatnya shunt dari kanan-kiri.
- Stres pada saat induksi akan memicu timbulnya
hypercyanotic spell. Oleh karena itu sasaran kita
pada saat induksi adalah:
o Menjaga SVR; hindari pemberian obat-obatan
yang menurunkan SVR dan lakukan
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:TETRALOGY OF
FALLOT (TOF) PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/9
7/9
RSU
NURHAYATI
GARUT
penatalaksanaan bila terjadi penurunan tekanan
darah dengan memberikan vasokonstriktor.
o Turunkan PVR untuk menjaga atau
meningkatkan aliran darah paru. Keadaan yang
dapat meningkatkan PVR adalah: hiperkarbia,
hipoksia, anestesi yang dangkal, atelektasis,
polisitemia, dan asidosis. Sedangkan keadaan
yang menurunkan PVR adalah: hipokarbia,
anemia, alkalosis, oksigen konsentrasi tinggi,
dan anestesi yang dalam. PVR juga dapat
diturunkan dengan memakai obat-obatan seperti:
nitrogliserin, sodium nitroprusid, pentolamin,
tolazolin, prostaglandin E1, atau nitrik oksida
inhalasi.
o Keadaan depresi miocardial ringan dan
euvolemia akan membantu mencegah atau
membatasi serangan hypercyanotic spell. Semua
volatile anesthesia menimbulkan depresi
miokardial terutama halotan.
o Denyut jantung yang lambat akan menurunkan
kejadian spasme infundibular.
- Bila jalur intravena sudah terpasang induksi dapat
dilakukan dengan memberikan ketamin 1-2 mg/ kg
i.v. Ketamin akan meningkatkan SVR dan
meningkatkan aliran darah pulmoner sehingga akan
menurunkan derajat shunting.
- Bila jalur intravena belum terpasang dapat diberikan
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:TETRALOGY OF
FALLOT (TOF) PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/9
8/9
RSU
NURHAYATI
GARUT
ketamin intramuskular 3-4 mg/ kg, terutama pada
anak-anak yang akan mengalami ketakutan bila
diberikan inhalasi.
- Induksi inhalasi dapat dilakukan pada pasien-pasien
yang tidak begitu sianosis (pink tet). Efek inotropik
negatif halotan sangat menguntungkan untuk
mencegah dan mengatasi spasme infundibular,
disamping itu halotan juga dapat menjaga SVR
dibandingkan volatile lainnya.
- Intubasi dilakukan dengan fasilitasi pelemas otot
vekuronium atau pankuronium 0,1-0,2 mg/ kg.
Hindari pemakaian pelemas otot yang bersifat
melepaskan histamin.
- Maintenan anestesi dapat diberikan dengan ketamin
dikombinasikan dengan N2O untuk tetap menjaga
SVR. Namun pemakaian N2O mempunyai kerugian
karena dapat meningkatkan PVR dan mengurangi
konsentrasi oksigen yang diberikan. Untuk itu
pemakaian N2O dibatasi maksimal 50%.
- Maintenan juga dapat dilakukan dengan volatile,
opioid , oksigen murni atau oksigen dengan udara.
Hal ini tergantung derajat sianosisnya.
- Lakukan ventilasi kontrol dengan tidak memberikan
tekanan positif yang terlalu besar karena dapat
menurunkan aliran darah paru.
- Hindari hipovolemia intraoperatif karena akan
meningkatkan shunt dari kanan-kiri
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN:TETRALOGY OF
FALLOT (TOF) PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/9
9/9
RSU
NURHAYATI
GARUT
- Obat α-adrenergik agonis harus tersedia untuk
mengatasi penurunan tekanan darah yang
diakibatkan oleh penurunan SVR.
- Bila terjadi hypercyanotic spell intraoperatif lakukan
penatalaksanaan dengan mendalamkan anestesi,
hiperventilasi dengan oksigen 100%, berikan cairan
intravena, naikkan SVR dengan fenileprin 5 mcg/ kg,
dan turunkan spasme infundibular dengan β-blocker.
- Pemberian sodium bikarbonat untuk mengkoreksi
gangguan asam basa dapat dilakukan pada
keadaan hipoksemia berat yang memanjang.
- Monitoring standar: EKG, pulse oximetry, NIBP,
etCO2, temperatur rektal/ esophageal, dieresis,
stetoskop prekordial.

Unit Terkait Kamar bedah


Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN: VENTRIKEL SEPTAL
DEFECT (VSD) PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
RSU
NURHAYATI
GARUT
ANESTESI Tanggal Terbit :
PEDIATRIK Ditetapkan Oleh:
DENGAN: Direktur RSU NURHAYATI GARUT
VENTRIKEL 16 Januari 2019
SEPTAL
DEFECT (VSD)
PADA dr. Hj. Anne Lisnawati
PEMBEDAHAN NIK. 1983062320100116
NON KARDIAK
Pengertian VSD merupakan kelainan kongengital jantung yang paling
sering terjadi pada infant dan anak-anak. Sebagian besar
VSD akan menutup secara spontan saat anak mencapai
usia 2 tahun. Secara anatomis lokasi VSD yang paling
sering adalah pada daerah membran dari septum
intraventrikular (70%), 20% pada daerah muskular septum,
5% di bawah katup aorta sehingga menyebabkan
regurgitasi aorta, dan 5% terdapat di dekat persambungan
antara katup mitral dan trikuspid.
Tujuan Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien pediatri dengan VSD yang akan menjalani tindakan
pembedahan non kardiak.
Kebijakan Bila fungsi miokardial masih baik maka induksi dapat
dilakukan dengan anestesi inhalasi maupun dengan
anestesi intravena. Tetapi apabila fungsi ventrikel kiri tidak
begitu baik maka ketamin/ opioid adalah pilihan yang lebih
baik.
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN: VENTRIKEL SEPTAL
DEFECT (VSD) PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
RSU 2/6
NURHAYATI
GARUT

Prosedur 1. PATOFISIOLOGI:
- Shunting dari kiri ke kanan akan menyebabkan
peningkatan aliran darah pulmonal, volume
biventrikular meningkat, dan beban kerja
biventrikular juga akan meningkat.
- Pada VSD yang besar besarnya shunting tergantung
dari rasio antara SVR dan PVR.
- Sedangkan pada VSD yang kecil perbedaan
tekanan antara kedua ventrikel dan shunting akan
tergantung pada lubang septal.
- Aliran darah pulmonal yang besar akan
menyebabkan compliance paru berkurang sehingga
work of breathing akan meningkat dan dapat
mempresipitasi terjadinya gagal nafas.
- Bila VSD yang berukuran besar tidak dikoreksi maka
akan terjadi hipertrofi ventrikel kanan dan terjadi
peningkatan tekanan arteri pulmonal dan akhirnya
menimbulkan eisemenger dan desaturasi berat.
- Oleh karena itu, semakin lama kelainan tersebut
tidak dilakukan koreksi maka akan semakin jelek
responnya terhadap anestesi yang diberikan.

2. MANIFESTASI KLINIS:
- Riwayat perjalanan penyakit VSD tergantung pada
ukuran VSD dan PVR. Pasien berusia dewasa
dengan defek yang kecil dan tekanan arteri
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN: VENTRIKEL SEPTAL
DEFECT (VSD) PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
RSU 3/6
NURHAYATI
GARUT
pulmonal normal pada umumnya asimptomatik dan
jarang menimbulkan hipertensi pulmonal.
- Gangguan fisiologis pada VSD tergantung dari
ukuran defek dan resistensi relatif pada sirkulasi
sistemik dan pulmonal.
- Pada defek yang berukuran kecil hanya
menyebabkan gangguan fungsional yang minimal
dengan sedikit peningkatan aliran darah pulmonal.
- Jika defek berukuran besar maka tekanan sistolik
kedua ventrikel akan sama dan besarnya aliran
darah sistemik dan pulmonal akan ditentukan oleh
resistensi vaskular relatif antara kedua sirkulasi
tersebut.
- Pada awalnya SVR akan lebih besar dari PVR dan
shunting yang predominan adalah dari kiri ke kanan.
Pada kelanjutannya PVR akan meningkat dan
besarnya shunting dari kiri ke kanan akan menurun
bahkan akan terjadi dari kanan ke kiri sehingga
terjadilah hipoksemia arterial (sianosis).
- Pada VSD sedang-berat akan terdengar murmur
holosistolik yang terdengar paling keras pada batas
bawah sternal.
- VSD berukuran besar yang tidak dilakukan koreksi
akan berkembang menjadi gagal jantung kiri dan
hipertensi pulmonal yang selanjutnya menimbulkan
kegagalan pada jantung kanan.
- EKG dan ronsen toraks pada VSD yang berukuran
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN: VENTRIKEL SEPTAL
DEFECT (VSD) PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
RSU 4/6
NURHAYATI
GARUT
kecil memberikan gambaran normal. Sedangkan
pada VSD yang berukuran besar pada EKG terdapat
gambaran pembesaran atrium dan ventrikel kiri.
- Bila telah terjadi hipertensi pulmonal, aksis QRS
akan bergeser ke kanan, dan terdapat gambaran
pembesaran atrium dan ventrikel kanan.

3. DIAGNOSIS
Pemeriksaan echocardiography dengan Doppler flow
USG dilakukan untuk konfirmasi adanya VSD serta
lokasinya, kateterisasi jantung dan angiografi juga dapat
digunakan untuk konfirmasi adanya VSD dan dapat
menentukan besarnya shunting intrakardiak dan PVR.

4. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Pemberian premedikasi tergantung dari derajat
disfungsi ventrikel.
- Berikan antibiotik profilaksis untuk mencegah
terjadinya endokarditis infektif.
- Hindari adanya gelembung udara dalam jalur
intravena karena dapat menyebabkan emboli udara.

5. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Farmakokinetik dan farmakodinamik obat-obatan
anestesi intravena dan inhalasi tidak berubah secara
signifikan.
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN: VENTRIKEL SEPTAL
DEFECT (VSD) PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
RSU 5/6
NURHAYATI
GARUT
- Peningkatan SVR secara akut dan persisten serta
penurunan PVR harus dihindari karena akan
memperbesar aliran shunting dari kiri-kanan, oleh
karena itu pemakaian anestestik volatile yang dapat
menyebabkan penurunan SVR serta pemberian
ventilasi tekanan positif yang dapat menyebabkan
peningkatan PVR dapat ditoleransi dengan baik
pada pasien VSD.
- Bila fungsi miokardial masih baik maka induksi dapat
dilakukan dengan anestesi inhalasi maupun anestesi
intravena. Tetapi apabila fungsi ventrikel kiri tidak
begitu baik maka ketamin/ opioid adalah pilihan
yang lebih baik.
- Teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk
mengurangi shunt dari kiri-kanan:
o Ventilasi tekanan positif; meningkatkan PVR
sehingga mengurangi aliran darah pulmoner.
o Oksigen konsentrasi rendah; Oksigen bersifat
sebagai vasodilator pulmoner, sehingga dengan
mengurangi FiO2 diharapkan dapat mengurangi
aliran darah paru.
o N2O; membantu mengurangi konsentrasi
oksigen
o Agen inhalasi;mengurangi SVR dan
meningkatkan aliran darah sistemik.
o Opioid; membantu memblok respon terhadap
stres.
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN: VENTRIKEL SEPTAL
DEFECT (VSD) PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
6/6
1/6
RSU
NURHAYATI
GARUT
o Ketamin; akan meningkatkan shunt dari kiri-
kanan.
Unit Terkait Kamar bedah
Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN: ATRIAL SEPTAL
DEFECT (ASD) PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/5
RSU
NURHAYATI
GARUT
ANESTESI Tanggal Terbit :
Ditetapkan Oleh:
PEDIATRIK
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
DENGAN:
ATRIAL SEPTAL 16 Januari 2019
DEFECT (ASD)
PADA
dr. Hj. Anne Lisnawati
PEMBEDAHAN
NIK. 1983062320100116
NON KARDIAK
Pengertian
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien pediatri dengan ASD yang akan menjalani tindakan
pembedahan non kardiak.
Kebijakan Intervensi yang dapat meningkatkan tekanan atrial kanan
melebihi atrial kiri dapat menyebabkan aliran shunt
berubah arah.
Prosedur 1. KLASIFIKASI :
Berdasarkan lokasi, ASD terdiri atas 3 tipe yaitu:
- Defek sekundum: lokasi pada daerah mid atrium
pada sisi foramen ovale.
- Defek primum: lokasinya berdekatan dengan katup
atrioventrikular yang diakibatkan oleh defek
endocardial cushion.
- Defek sinus venosus: pada cavoatrial junction
Hampir 75% ASD merupakan tipe sekundum. Pada
tiap-tiap tipe ASD biasanya memiliki kelainan jantung
tambahan yang berbeda. Prolaps katup mitral sering
terjadi pada tipe sekundum dan regurgitasi terjadi akibat
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN: ATRIAL SEPTAL
DEFECT (ASD) PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/5
2/5
RSU
NURHAYATI
GARUT
adanya celah pada bagian anterior katup mitral sering
terjadi pada ASD tipe primum.

2. PATOFISIOLOGI ASD:
- Arah dan besarnya shunt tergantung dari ukuran
defek dan compliance relatif dari ventrikel.
- Defek yang kecil ( < 0,5 cm ) hanya menyebabkan
shunt yang kecil pula dan tidak menunjukkan gejala
hemodinamik. Sedangkan defek yang besar ( sekitar
2 cm ) dapat menyebabkan darah dari atrial kiri
menjadi shunting ke atrium kanan (compliance
ventrikel kanan lebih besar bila dibandingkan
dengan ventrikel kiri) sehingga aliran darah ke paru
meningkat.
- Peningkatan aliran darah paru merupakan
karakteristik pada keadaan shunt dari arah kiri-
kanan. Pada keadaan ini dapat ditoleransi dengan
baik, terjadinya vasodilatasi perifer dengan sedikit
hipotensi biasanya tidak menimbulkan konsekuensi.
- Shunting akan meningkat apabila PVR menurun
oleh beberapa keadaan seperti FiO2 yang tinggi dan
PaCO2 yang rendah.
- Jika tidak dilakukan perbaikan defek pada saat
pasien masih muda, maka akan mengakibatkan
aliran shunt menjadi bidirectional sehingga terjadi
hipertropi ventrikel kanan dan peningkatan tekanan
arteri pulmonal.
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN: ATRIAL SEPTAL
DEFECT (ASD) PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/5
3/5
RSU
NURHAYATI
GARUT

3. MANIFESTASI KLINIS:
- Pada awalnya ASD tidak memberikan gejala pada
pemeriksaan fisik sehingga dapat tidak terdeteksi
selama beberapa tahun.
- Defek yang berukuran kecil dengan shunting dari
kanan-kiri yang kecil (rasio aliran darah paru
dibandingkan sistemik < 1,5) biasanya tidak
menunjukkan gejala dan tidak memerlukan tindakan
penutupan ASD.
- Pada ASD yang berukuran besar akan memberikan
gejala: sesak saat beraktivitas, disritmia
supraventrikular, gagal jantung kanan, emboli
paradoksikal, dan infeksi paru rekuren.
- Profilaksis antibiotik tidak diperlukan pada ASD
kecuali didapatkan bersamaan dengan kelainan
katup.
- Murmur ejeksi sistolik dapat terdengar pada daerah
celah interkostal kedua .
- Pada pemeriksaan EKG terdapat gambaran right
axis deviation dan RBBB inkomplit.
- Foto toraks memberikan gambaran arteri pulmonal
yang nenonjol.

4. DIAGNOSIS
Untuk menentukan diagnosis dan lokasi ASD dilakukan
pemeriksaan transechocardiography dan dopler color
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN: ATRIAL SEPTAL
DEFECT (ASD) PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/5
4/5
RSU
NURHAYATI
GARUT
flow echocardiography.

5. KONSIDERASI ANESTESI
- Hindari masuknya gelembung udara ke aliran darah
sistemik melalui jalur intravena.
- Premedikasi dapat diberikan pada pasien ASD yang
asimptomatik.
- Shunt yang dominan pada ASD adalah dari kiri-
kanan.
- Shunt dari kiri-kanan pada ASD hanya memberikan
sedikit implikasi pada manajemen anestesi yang
akan diberikan.
- Intervensi yang dapat meningkatkan tekanan atrial
kanan melebihi atrial kiri seperti pemberian ventilasi
tekanan positif yang terlalu besar dan valsava
manufer (batuk) dapat menyebabkan aliran shunt
berubah arah.
- Keadaan hiperkarbia dan hipoksemia juga dapat
secara cepat merubah arah shunt.
- Penggunaan FiO2 konsentrasi tinggi akan
menurunkan PVR sehingga meningkatkan aliran
darah paru dan shunt dari kiri-kanan.
- Sebaliknya penurunan SVR akibat pemakaian
anestesi volatile atau peningkatan PVR karena
pemberian ventilasi tekanan positif pada paru,
bertendensi untuk menurunkan besarnya shunt dari
kiri-kanan.
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN: ATRIAL SEPTAL
DEFECT (ASD) PADA PEMBEDAHAN NON KARDIAK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/5
5/5
RSU
NURHAYATI
GARUT
- Berikan antibiotik profilaksis bila ASD disertai
dengan kelainan katup.
- Monitoring standar: EKG, pulse oximetry, NIBP,
etCO2, temperatur rektal/ esophageal, dieresis,
stetoskop prekordial.
Unit Terkait
Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN: PATENT DUCTUS
ARTERIOSUS (PDA) PADA PEMBEDAHAN NON
KARDIAK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU 1/4
NURHAYATI
GARUT

ANESTESI Tanggal Terbit :


PEDIATRIK
Ditetapkan Oleh:
DENGAN: 16 Januari 2019
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PATENT
DUCTUS
ARTERIOSUS
(PDA)
dr. Hj. Anne Lisnawati
PADA
NIK. 1983062320100116
PEMBEDAHAN
NON KARDIAK
Pengertian PDA terjadi karena kegagalan pada penutupan duktus
arteriosus. Duktus arteriosus berasal dari bagian distal
arteri subclavia kiri dan menghubungkan aorta descending
dengan arteri pulmonal kiri.
Tujuan Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien pediatri dengan PDA yang akan menjalani tindakan
pembedahan non kardiak.
Kebijakan Peningkatan SVR atau penurunan PVR harus dihindari
karena akan meningkatkan besarnya shunt dari kiri-kanan.
Prosedur 1. PATOFISIOLOGI:
- .Dalam keadaan normal duktus arteriosus akan
menutup dalam 24-48 jam setelah lahir, tetapi pada
bayi prematur biasanya terjadi kegagalan penutupan
duktus
- Apabila duktus arteriosus gagal untuk menutup
maka akan terdapat aliran darah kontinyu dari aorta
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN: PATENT DUCTUS
ARTERIOSUS (PDA) PADA PEMBEDAHAN NON
KARDIAK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU 1/4
2/4
NURHAYATI
GARUT

ke dalam arteri pulmonal.

2. MANIFESTASI KLINIS:
- Sebagian besar pasien dengan PDA biasanya
asimptomatik dan hanya terdapat shunt dari kiri-
kanan yang sangat kecil.
- Pada pemeriksaan fisik adanya PDA diduga bila
terdapat murmur sistolik dan diastolik kontinyu.
- Shunt dari kiri-kanan yang besar ditandai dengan
hipertropi ventrikel kiri yang dapat dilihat dari EKG
atau foto toraks.
- Bila terjadi hipertensi pulmonal dapat menyebabkan
hipertropi ventrikel kanan.
- PDA merupakan faktor resiko untuk terjadinya
endokarditis infektif.
- Walau tanpa pembedahan biasanya pasien tetap
akan asimptomatik sampai dewasa.

3. DIAGNOSIS
Pemeriksaan echocardiography dan Doppler flow USG
terlihat adanya aliran kontinyu kedalam sirkulasi paru.
Kateterisasi jantung dan angiografi juga dapat
digunakan untuk konfirmasi adanya VSD dan dapat
menentukan besarnya shunting intrakardiak dan PVR.
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN: PATENT DUCTUS
ARTERIOSUS (PDA) PADA PEMBEDAHAN NON
KARDIAK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU 1/4
3/4
NURHAYATI
GARUT

4. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Pemberian premedikasi tergantung dari derajat
disfungsi ventrikel.
- Berikan antibiotik profilaksis untuk mencegah
terjadinya endokarditis infektif.
- Hindari adanya gelembung udara dalam jalur
intravena karena dapat menyebabkan emboli udara.

5. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Penurunan SVR akibat pemakain volatile anestesi
akan meningkatkan aliran darah sistemik dengan
menurunkan shunt dari kiri-kanan.
- Pemberian ventilasi tekanan positif juga dapat
ditoleransi dengan baik, karena penignkatan pada
tekanan arteri pulmonal akan menurunkan
perbedaan tekanan pada PDA.
- Peningkatan SVR atau penurunan PVR harus
dihindari karena akan meningkatkan besarnya shunt
dari kiri-kanan.
- Teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk
mengurangi shunt dari kiri-kanan:
o Ventilasi tekanan positif; meningkatkan PVR
sehingga mengurangi aliran darah pulmoner.
o Oksigen konsentrasi rendah; Oksigen bersifat
sebagai vasodilator pulmoner, sehingga dengan
mengurangi FiO2 diharapkan dapat mengurangi
ANESTESI PEDIATRIK DENGAN: PATENT DUCTUS
ARTERIOSUS (PDA) PADA PEMBEDAHAN NON
KARDIAK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU 1/4
4/4
NURHAYATI
GARUT

aliran darah paru.


o N2O; membantu mengurangi konsentrasi
oksigen
o Agen inhalasi;mengurangi SVR dan
meningkatkan aliran darah sistemik.
o Opioid; membantu memblok respon terhadap
stres.
o Ketamin; akan meningkatkan shunt dari kiri-
kanan.
Unit Terkait Kamar bedah
Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
ANESTESI PADA PEDIATRI:
MALROTASI INTESTINAL DAN VOLVULUS
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
ANESTESI
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PADA
PEDIATRI:
16 Januari 2019
MALROTASI
INTESTINAL
dr. Hj. Anne Lisnawati
DAN VOLVULUS
NIK. 1983062320100116
Pengertian Malrotasi intestinal merupakan suatu abnormalitas
perkembangan saluran cerna dimana terjadi rotasi spontan
yang abnormal di daerah midgut di sekitar mesenterium.
Mayoritas malrotasi terjadi pada periode infansi dengan
gejala-gejala obstuksi saluran cerna akut maupun kronis.
Tujuan Untuk menjamin kondisi anestesi yang stabil dan
mencegah timbulnya komplikasi anestesi pada pasien
pediatri.
Kebijakan Stabilisasi dari keadaan pasien, pemasangan pipa
nasogastrik untuk dekompresi, antibiotik, penggantian
cairan dan elektrolit.
Prosedur 1. KOMPLIKASI:
Komplikasi paling serius dari malrotasi dan midgut
volvulus berupa terganggunya aliran darah intestinal
secara akut. Oleh karena itu midgut volvulus
merupakan suatu keadaan ‘true surgical emergency’.

2. MANIFESTASI KLINIS :
- Distensi abdomen progresif
- Tenderness
ANESTESI PADA PEDIATRI:
MALROTASI INTESTINAL DAN VOLVULUS
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
2/4
RSU
NURHAYATI
GARUT
- Bilious vomiting
- Dehidrasi
- Metabolik asidosis
- Instabilitas hemodinamik
- Diare yang bercampur darah merupakan indikasi
bila sudah terjadi infark pada usus.

3. PENATALAKSANAAN:
Terapi definitif malrotasi dan midgut volvulus adalah
koreksi operatif.

4. MANAJEMEN PRE-OPERATIF:
- Bila terdapat tanda-tanda obstruksi tetapi belum
terjadi volvulus maka harus dilakukan stabilisasi
keadaan pasien terlebih dahulu.
- Dekompresi abdomen dengan pemasangan NGT
atau OGT.
- Lakukan rehidrasi dengan memberikan terapi cairan
dan koreksi gangguan elektrolit.
- Berikan antibiotik spektrum luas.
- Hindari hipotermia,berikan selimut penghangat.

5. MANAJEMEN INTRA-OPERATIF:
- Pasien ini mempunyai resiko yang tinggi untuk
terjadinya aspirasi paru selama induksi, oleh karena
itu sebaiknya intubasi dilakukan dalam keadaan
awake atau dengan teknik rapid sequence induction.
ANESTESI PADA PEDIATRI:
MALROTASI INTESTINAL DAN VOLVULUS
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
3/4
RSU
NURHAYATI
GARUT
- Pasien dengan volvulus biasanya berada dalam
keadaan hipovolemik dan asidosis sehingga
mempunyai toleransi yang rendah terhadap zat
anestetik.
- Dalam keadaan tersebut maka ketamin merupakan
obat pilihan.
- Pemeliharaan anestesi dapat dilakukan dengan
volatile konsentrasi rendah atau opioid.
- Perhatikan kemungkinan terjadinya edema terhadap
usus. Edema pada usus dapat menyulitkan saat
dilakukan penutupan dinding abdomen dan dapat
mengakibatkan sindroma kompartemen abdomen.
- Sindrom kompartemen abdomen akan
mengakibatkan gangguan ventilasi, gangguan aliran
balik vena, dan gangguan fungsi renal. Pada
keadaan ini harus dilakukan penutupan sementara
dinding abdomen dengan silastic silo selama 24-48
jam.
- Monitoring: pulse oksimetri, stetoskop prekordial,
EKG, tensimeter, temperatur.

6. MANAJEMEN PASCA-OPERASI:
- Pasca bedah : pastikan pasien tidak kedinginan &
cukup hangat.
- Bila masuk NICU/ PICU untuk dilakukan ventilasi
suportif dan lain-lain, maka transfer pasien dilakukan
dengan memakai kotak penghangat yang dilengkapi
ANESTESI PADA PEDIATRI:
MALROTASI INTESTINAL DAN VOLVULUS
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
4/4
RSU
NURHAYATI
GARUT
oksigen dan didampingi oleh dokter anestesi
(residen yang bertanggung jawab atas pasien yang
bersangkutan).
Unit Terkait - Bagian Anestesi
- Bagian Bedah
- Bagian Anak
- NICU
- PICU
Dokumen Terkait - Status pasien
- Status anestesi
- Izin operasi
- Izin anestesi.
KONSIDERASI KHUSUS PADA OPERASI ORTOPEDI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/9
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
PROSEDUR
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
TETAP:
KONSIDERASI
16 Januari 2019
KHUSUS PADA
OPERASI
dr. Hj. Anne Lisnawati
ORTOPEDI
NIK. 1983062320100116
Pengertian Suatu pertimbangan untuk melaksanakan suatu tindakan
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan
ortopedi.
Kebijakan Kenali faktor resiko dan lakukan tindakan pencegahan.
Prosedur 1. KONSIDERASI KHUSUS PADA OPERASI ORTOPEDI
:
Bone Cement
- Bone cement (polimetilmetakrilat) sering kali
dipergunakan pada prosedur artroplasti sendi untuk
melekatkan protesa dengan tulang.
- Campuran serbuk polimer polimetakrilat dengan
cairan monomer metilmetakrilat akan menyebabkan
proses polimerisasi yang merupakan reaksi
eksotermik.
- Reaksi eksotermik diikuti dengan proses
pengerasan semen dan ekspansi semen ke
komponen protesa akan mengakibatkan terjadinya
hipertensi intramedular (>500 mmHg) sehingga
dapat menimbulkan embolisasi lemak, sumsum
KONSIDERASI KHUSUS PADA OPERASI ORTOPEDI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
2/9
1/9
RSU
NURHAYATI
GARUT
tulang, semen dan udara ke dalam celah-celah vena
femoral.
- Residu monomer metakrilat dapat menyebabkan
vasodilatasi dan penurunan SVR.
- Pelepasan tromboplastin dari jaringan dapat
mencetuskan agregasi trombosit, pembentukan
mikrotrombus di paru, dan instabilitas kardiovaskular
akibat dari substansi vasoaktif yang beredar di
sirkulasi.
- Manifestasi klinis ‘bone cement implantation
syndrome’: hipoksia (akibat peningkatan shunt
pulmoner), hipotensi, disritmia, hipertensi pulmoner
(peningkatan PVR), dan penurunan cardiac output.
- Emboli paling sering terjadi selama insersi protesa
femoral.
- Untuk meminimalisir komplikasi akibat bone cement
terdapat beberapa usaha yang kita lakukan, yaitu:
o Meningkatkan konsentrasi oksigen inspirasi
sebelum pemasangan semen.
o Pertahankan selalu keadaan euvolemia
o Membuat lubang (vent hole) pada bagian distal
femur untuk menyalurkan tekanan intramedular
sehingga tidak terlalu tinggi.
o Lakukan lavase dengan tekanan tinggi pada
femoral shaft untuk menghilangkan sel-sel debris
yang berpotensi menimbulkan mikroemboli.
KONSIDERASI KHUSUS PADA OPERASI ORTOPEDI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
3/9
1/9
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tornikuet Pneumatik
- Pemakaian tornikuet pneumatik pada ekstremitas
atas maupun bawah dipergunakan untuk
memfasilitasi daerah operasi dengan menurunkan
aliran aliran darah ke ekstremitas tersebut.
- Permasalahan yang dapat ditimbulkan akibat
pemakaian tornikuet pneumatik:
o Perubahan hemodinamik
o Nyeri
o Perubahan metabolik
o Tromboemboli arterial
o Emboli paru
- Tekanan inflasi yang diberikan kira-kira 100 mmHg
di atas tekanan darah sistolik.
- Inflasi yang telalu lama (> 2 jam) secara terus-
menerus dapat mengakibatkan disfungsi otot,
cedera saraf perifer yang permanen, bahkan
rhabdomiolisis.
- Inflasi tornikuet pada pasien-pasien pediatrik dapat
mengakibatkan peningkatan suhu tubuh.
- Nyeri tornikuet selama operasi dengan teknik
anestesi umum dapat dimanifestasikan dengan
peningkatan secara gradual dari MAP (mean arterial
blood pressure) kira-kira setelah 45 menit – 1 jam
setelah inflasi.
- Tanda terjadinya aktivasi simpatis yang progresif
adalah: hipertensi, takikardia, dan diaphoresis.
KONSIDERASI KHUSUS PADA OPERASI ORTOPEDI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/9
4/9
RSU
NURHAYATI
GARUT
- Kemungkinan terjadinya nyeri tornikuet tergantung
dari banyak faktor diantaranya adalah tergantung
dari teknik anestesi yang kita pilih (anestesi regional
intravena > epidural > spinal > anestesi umum),
intensitas dan level blok anestesi regional, pilihan
obat anestesi lokal (spinal dengan tetrakain
hiperbarik > bupivakain hiperbarik), dan
suplementasi blok dengan opioid.
- Sensasi nyeri tornikuet dan keadaan hipertensi
dapat segera hilang dengan melakukan deflasi dari
tornikuet.
- Pada saat deflasi dari tornikuet dapat terjadi
penurunan signifikan dari CVP dan tekanan darah
arterial, laju nadi meningkat, temperatur inti
menurun, akumulasi zat-zat metabolit pada daerah
ekstremitas yang mengalami iskemik akan
meningkatkan PaCO2, ETCO2, laktat serum, dan
kadar kalium.
- Perubahan metabolik ini akan meningkatkan
ventilasi semenit pada pasien yang tetap bernapas
spontan, dan kadang dapat menimbulkan disritmia.
- Deflasi dari tornikuet dapat menyebabkan
‘reperfusion injury’ akibat terbentuknya lipid
peroksida saat terjadi reoksigenasi aliran darah yang
semakin memperburuk trauma jaringan iskemik.
- Reperfusion injury dapat semakin berat akibat
pemakaian propofol yang menghambat
KONSIDERASI KHUSUS PADA OPERASI ORTOPEDI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
5/9
1/9
RSU
NURHAYATI
GARUT
pembentukan superoksida.
- Iskemik pada ekstremitas bawah akibat pemakaian
tornikuet dapat menyebabkan pembentukan
thrombosis vena dalam (DVT/ deep vein
thrombosis).
- Pemakaian tornikuet dikontraindikasikan pada
pasien dengan penyakit kalsifikasi arterial.

Sindrom Emboli Lemak


- Emboli lemak dapat terjadi pada semua kasus
fraktur tulang panjang.
- Sindrom emboli lemak dapat terjadi dalam waktu 72
jam setelah terjadi fraktur pada tulang panjang atau
pelvis, dengan gejala, triad: dispnoe, konfusi, dan
petechie.
- Emboli lemak terjadi karena masuknya globulus-
globulus lemak yang dilepaskan oleh sel-sel lemak
ke dalam tulang yang mengalami fraktur dan
kemudian memasuki sirkulasi melalui pembuluh
darah medular.
- Manifestasi neurologis (agitasi, konfusi, stupor,
koma) kemungkinan dapat memberikan gambaran
bahwa telah terjadi kerusakan kapiler pada sirkulasi
serebral, edema serebral, dan dapat mengalami
eksaserbasi akibat keadaan hipoksia.
- Diagnosis sindrom emboli lemak dapat ditegakkan
dengan adanya petechie di daerah dada,
KONSIDERASI KHUSUS PADA OPERASI ORTOPEDI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/9
6/9
RSU
NURHAYATI
GARUT
ekstremitas atas, aksila, dan konjungtiva. Globulus
lemak dapat dijumpai pada retina, urin, atau sputum.
- Abnormalitas faktor koagulasi seperti
trombositopenia atau pemanjangan waktu
pembekuan darah sering kali terjadi.
- Gambaran paru didapatkan mulai dari gambaran
hipoksia ringan dengan foto ronsen normal sampai
dengan hipoksia berat dengan gambaran ronsen
berupa bercak infiltrat yang difus.
- Tanda adanya fat embolism syndrome selama
anestesi umum yaitu: penurunan EtCO2, penurunan
saturasi oksigen, atau peningkatan tekanan arteri
pulmonal. Pada gambaran EKG didapatkan tanda
iskemik pada segmen ST.
- Profilaksis emboli lemak dapat dilakukan dengan
stabilisasi dini pada daerah fraktur.
- Penatalaksanaan sindrom emboli lemak adalah
dengan terapi suportif, yaitu dengan dengan
memberikan terapi oksigen dengan memberikan
ventilasi dengan CPAP. Pemberian kortikosteroid
dosis tinggi mungkin dapat memberikan keuntungan,
terutama pada kasus dengan edema serebral.

Deep Vein Thrombosis (DVT) & Tromboemboli


- DVT dan Emboli paru merupakan penyebab
tersering terjadinya mortalitas dan morbiditas pada
operasi ortopedi daerah pelvis dan ekstremitas
KONSIDERASI KHUSUS PADA OPERASI ORTOPEDI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/9
7/9
RSU
NURHAYATI
GARUT
bawah.
- Faktor resiko terjadinya DVT dan emboli paru adalah
sebagai berikut:
o Obesitas
o Umur > 60 tahun
o Lama operasi > 30 menit
o Penggunaan tornikuet
o Fraktur ekstremitas bawah
o Immobilisasi > 4 hari
o Faktor resiko tertinggi adalah pasien yang
menjalani prosedur operasi hip surgery dan
rekonstruksi lutut (angka kejadian DVT sekitar
50%, emboli paru 20%).
- Patofisiologi utama terjadinya DVT dan emboli
adalah terjadinya stasis vena dan keadaan
hiperkogulabel akibat proses inflamasi sistemik dan
lokal sebagai respon terhadap operasi.
- Tindakan profilaktik yang dapat dilakukan untuk
mencegah DVT dan emboli adalah dengan
pemberian antikoagulan dan penggunaan kompresi
pneumatik yang intermiten (Intermetten Pneumatic
Compression/ IPC).
- Pada pasien dengan resiko tinggi diberikan dosis
rendah heparin 5000 u tiap 8 jam atau warfarin/ low
dose molecular weight heparin (LMWH), serta
pemakaian IPC.
- Pemberian antikoagulan pada pasien yang tidak
KONSIDERASI KHUSUS PADA OPERASI ORTOPEDI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/9
8/9
RSU
NURHAYATI
GARUT
tergolong resiko tinggi dapat dimulai dalam
beberapa jam setelah operasi untuk mengurangi
resiko perdarahan saat operasi.
- Pemilihan teknik regional anestesi dapat
mengurangi resiko komplikasi tromboemboli.
- Berkurangnya resiko tromboemboli pada pemakaian
teknik regional anestesi terjadi melalui beberapa
mekanisme, yaitu:
o Simpatektomi; meningkatkan aliran darah vena
pada ekstremitas inferior
o Efek anti-inflamasi sistemik dari lokal anestesi
o Penurunan reaktivitas platelet
o Menekan peningkatan faktor VIII dan faktor von
Willebrand pascaoperasi
o Menekan penurunan antitrombin III
o Menghambat pelepasan stress hormon.
- Pemakaian lidokain intravena telah dibuktikan dapat
mencegah trombosis, meningkatkan fibrinolisis, dan
menurunkan agregasi trombosit.
- Pemasangan kateter epidural pada pasien yang
mendapatkan profilaksis antikoagulan tidak boleh
dilakukan dalam waktu 6-8 jam setelah pemberian
‘minidose’ unfractional heparin subkutan, atau dalam
12-24 jam setelah pemberian LMWH.
- Walaupun anestesi spinal mempunyai resiko
traumatik yang lebih kecil dibandingkan epidural
tetapi mempunyai resiko yang sama besar untuk
KONSIDERASI KHUSUS PADA OPERASI ORTOPEDI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/9
9/9
RSU
NURHAYATI
GARUT
terjadinya spinal hematom pada pasien yang
mendapat profilaksis antikoagulan.
Unit Terkait Kamar bedah
Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
ANESTESI PADA ORTOPEDI:
FRAKTUR HIP
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4

RSU NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PROSEDUR
16 Januari 2019
TETAP: ANESTESI
PADA ORTOPEDI:
FRAKTUR HIP
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Suatu terminologi yang digunakan untuk
menggambarkan fraktur tulang femur pada daerah
ujung/pangkal proksimal yang meliputi kepala sendi,
leher sendi, dan daerah trochanter.
Tujuan Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi
pada pasien dengan fraktur hip yang akan menjalani
tindakan pembedahan.
Kebijakan Fraktur pada daerah hip dapat menyebabkan kehilangan
darah yang signifikan dan tersamar sehingga dapat
mengganggu volume intravaskular.
Prosedur 1. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Sebagian besar pasien yang akan menjalani hip
surgery adalah geriatri yang biasanya memiliki
co-existing disease seperti CAD, CVD, COPD,
atau DM.
- Lakukan skrining terhadap kemungkinan
penyakit penyerta di atas dan lakukan perbaikan
keadaan terhadap penyakit penyerta yang ada.
- Pasien dengan fraktur hip biasanya dalam
ANESTESI PADA ORTOPEDI:
FRAKTUR HIP
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
2/4

RSU NURHAYATI
GARUT
keadaan dehidrasi karena asupan oral yang tidak
adekuat.
- Lakukan rehidrasi dengan terapi cairan sesuai
dengan derajat dehidrasi yang ditemukan.
- Fraktur pada daerah hip dapat menyebabkan
kehilangan darah yang signifikan dan tersamar
sehingga dapat mengganggu volume
intravaskular.
- Kehilangan darah pada fraktur daerah
intrakapsular (sub kapital, transervikal) biasanya
lebih sedikit bila dibandingkan fraktur pada
daerah ekstrakapsular (basis dari femoral neck,
intertrochanter, subtrochanter).
- Hilangnya darah secara tersamar dapat dikenali
melalui pemeriksaan hematokrit dimana
didapatkan hemokonsentrasi.
- Lakukan skrining terhadap kemungkinan
terjadinya emboli lemak dengan gejala hipoksia
preoperatif, atelektasis akibat tirah baring lama,
kongesti paru/ efusi akibat gagal jantung
kongestif, atau tanda konsolidasi akibat infeksi.
Keadaan tersebut dapat terjadi pada pasien
dengan fraktur hip.

2. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa pilihan
ANESTESI PADA ORTOPEDI:
FRAKTUR HIP
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
3/4

RSU NURHAYATI
GARUT
teknik anestesi regional mempunyai angka
mortalitas pascaoperasi yang lebih rendah, hal ini
dikarenakan menurunnya resiko tromboemboli.
- Pemilihan teknik epidural kontinyu dengan atau
tanpa anestesi umum memberikan keuntungan
tambahan untuk pengelolaan nyeri pascaoperasi.
- Bila teknik spinal yang menjadi pilihan, penggunaan
obat hipobarik akan memudahkan dalam
pengaturan posisi pasien dimana tindakan dapat
dilakukan dengan posisi fraktur di atas sehingga
tidak perlu lagi dilakukan perubahan posisi operasi.
- Teknik operasi open reduction dan fiksasi internal
yang akan dilakukan mempengaruhi konsiderasi
anestesi. Teknik ini tergantung dari sisi fraktur,
derajat pergeseran, status fungsional preoperatif,
dan pertimbangan ahli bedah.
- Pada fraktur intrakapsular yang tidak bergeser
biasanya akan dilakukan tindakan dengan
cannulated screw fixation, sedang pada fraktur
intrakapsular yang mengalami pergeseran akan
dilakukan tindakan fiksasi internal, hemiartroplasti,
atau total hip replacement.
- Pada prosedur hemiartroplasti dapat dilakukan
dengan semen atau tidak dengan semen. Pada
prosedur yang dilakukan dengan semen perhatikan
konsiderasi terhadap perubahan-perubahan akibat
ANESTESI PADA ORTOPEDI:
FRAKTUR HIP
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
4/4
1/4

RSU NURHAYATI
GARUT
pemakaian bone cement (lihat panduan anestesi:
Konsiderasi khusus pada operasi ortopedi).
- Hemiartroplasti dan total hip replacement
merupakan operasi yang lebih lama dan lebih
invasif dibandingkan prosedur lainnya. Biasanya
dilakukan dengan posisi lateral dekubitus dengan
resiko perdarahan yang lebih banyak sehingga
terjadi perubahan hemodinamik yang besar.
- Konsiderasi yang dilakukan dengan resiko tersebut
adalah dengan melakukan monitoring tekanan
arterial secara direk, menyediakan jalur intra vena
berukuran besar untuk transfusi, dan monitoring
ketat hemodinamik terutama pada orang tua.
Unit Terkait Kamar bedah, tim bedah, orthopedi
Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
ANESTESI PADA ORTOPEDI:
TOTAL HIP ARTHROPLASTY
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


PROSEDUR
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
TETAP:
ANESTESI PADA
16 Januari 2019
ORTOPEDI:
TOTAL HIP
dr. Hj. Anne Lisnawati
ARTHROPLASTY
NIK. 1983062320100116
Pengertian mengganti permukaan tulang rawan sendi yang rusak
dengan permukaan sendi buatan (prothese)
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien ortopedi yang akan menjalani tindakan
pembedahan total hip arthroplasty.
Kebijakan Pemilihan teknik regional anestesi dengan epidural dapat
menurunkan insiden DVT dan emboli paru
Prosedur MANAJEMEN PREOPERATIF
- Sebagian besar pasien yang akan menjalani total hip
replacement biasanya mempunyai riwayat penyakit
osteoarthritis, rheumatoid arthritis, atau osteonekrosis
(avascular necrosis).
- Pada osteoarthritis sering melibatkan proses pada
daerah tulang belakang sehingga waktu melakukan
pengaturan posisi leher saat akan melakukan intubasi
harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari
terjadinya kompresi nerve root atau protrusi nucleus
ANESTESI PADA ORTOPEDI:
TOTAL HIP ARTHROPLASTY
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
2/6
1/6
2/6
RSU NURHAYATI
GARUT

pulposus.
- Terdapat 3 aspek yang harus kita perhatikan pada
Reumatoid arthritis , yaitu:
a. Destruksi sendi terjadi karena proses imun dengan
proses inflamasi kronis dan progresif pada membran
synovial.
b. Reumatoid arthritis dapat melibatkan proses yang
bersifat sistemik
c. Rheumatoid arthritis melibatkan sendi yang multipel.
- Manifestasi sistemik yang terjadi pada rheumatoid
arthritis adalah aspek yang paling penting bagi
anestesiologis, oleh karena itu pada persiapan
preoperatif harus dilakukan skrining dengan teliti
terhadap aspek tersebut.
- Adapun manifestasi sistemik rheumatoid arthritis
tersebut adalah sebagi berikut:

SISTEM ABNORMALITAS
ORGAN
Kardiovaskular Penebalan perikardial dan
efusi perikardial, miokarditis,
koronari arthritis, gangguan
konduksi, vaskulitis, fibrosis
katup jantung (regurgitasi
aorta)
Paru-paru Efusi pleura, nodul pulmoner,
ANESTESI PADA ORTOPEDI:
TOTAL HIP ARTHROPLASTY
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
3/6
RSU NURHAYATI
GARUT

fibrosis paru interstisial


Hematopoietik Anemia, eosinofilia, disfungsi
platelet (akibat terapi aspirin),
trombositopenia
Endokrin Insufisiensi adrenal (akibat
terapi glukokortikoid)
Dermatologi Penebalan dan atropi kulit
akibat penyakit dan
pemakaian obat
imunosupresan

- Kasus rheumatoid arthritis yang ekstrim dapat


melibatkan hampir semua membran synovial termasuk
cervical spine dan sendi temporomandibular.
- Perhatikan apakah terdapat gambaran subluksasi
atlantooksipital pada gambaran radiologis. Pada
keadaan terdapat subluksasi atlantooksipital dapat
mengakibatkan terjadinya protrusi prosesus odontoid ke
dalam foramen magnum saat dilakukan intubasi, hal ini
akan mengakibatkan terganggunya aliran darah
vertebral dan menimbulkan kompresi spinal cord atau
batang otak.
- Foto ronsen cervical spine pada posisi fleksi dan
ektensi harus dilakukan pada semua pasien rheumatoid
arthritis berat yang mendapatkan terapi steroid atau
metotreksat.
- Bila dari gambaran radiologis didapatkan instabilitas
ANESTESI PADA ORTOPEDI:
TOTAL HIP ARTHROPLASTY
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
4/6
RSU NURHAYATI
GARUT

atlantoaksial melebihi 5 mm, maka intubasi harus


dilakukan dengan stabilisasi leher dengan memakai
teknik fiberoptik dalam keadaan awake.
- Terlibatnya sendi temporomandibular akan
menyebabkan terbatasnya pembukaan rahang
sehingga membutuhkan tindakan intubasi dengan
fiberoptik melalui nasal.
- Suara serak atau stridor inspirasi merupakan tanda
terdapatnya penyempitan pada pembukaan glotik yang
disebabkan oleh arthritis krikoaritenoid. Pada keadaan
ini dibutuhkan ETT dengan nomor yang lebih kecil dan
terdapat kemungkinan terjadinya obstruksi jalan nafas
pasca ekstubasi.
- Riwayat terapi pada pasien dengan asteoartritis atau
reumatoidartritis biasanya terdapat riwayat pengobatan
nyeri dengan NSAID. Efek samping dari penggunaan
NSAID dapat berupa perdarahan gastrointestinal,
toksisitas renal, dan disfungsi platelet yang dapat
mengancam nyawa pasien dan mempengaruhi rencana
anestesi yang akan dilakukan.

- MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Total hip replacement dapat menimbulkan 3 komplikasi
yang sangat berbahaya, yaitu:
a. Bone cement implantation syndrome
b. Perdarahan intra dan pascaoperatif
c. Tromboemboli vena
ANESTESI PADA ORTOPEDI:
TOTAL HIP ARTHROPLASTY
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
5/6
1/6
RSU NURHAYATI
GARUT

- Oleh karena itu direkomendasikan untuk memakai


monitoring arterial invasif pada prosedur ini.
- Fenomena emboli biasanya terjadi pada saat insersi
dari protesis femoral.
- Tindakan preventif yang harus kita lakukan adalah
sebagai berikut:
a. Tingkatkan konsentrasi oksigen inspirasi sebelum
proses cementing
b. Konfirmasi ahli bedah untuk membuat vent hole
pada bagian distal femur untuk menghilangkan
tekanan intramedular
c. Lakukan lavase tekanan tinggi pada femoral shaft
untuk menyingkirkan debris yang potensial
menimbulkan mikroemboli
d. Gunakan komponen yangbersifat uncemented.
- Tromboemboli vena merupakan penyebab mortalitas
dan morbiditas yang paling signifikan pada hip
replacement surgery.
- Pemilihan teknik regional anestesi dengan epidural
dapat menurunkan insiden DVT dan emboli paru, oleh
karenanya dianjurkan untuk memakai teknik epidural
baik dengan atau tanpa kombinasi dengan anestesi
umum bila memungkinkan.
- Tindakan lain yang dilakukan untuk mencegah
terjadinya DVT adalah penggunaan alat intermitten leg
compression (ILC) dan pemberian profilaksis
antikoagulan dengan dosis rendah.
ANESTESI PADA ORTOPEDI:
TOTAL HIP ARTHROPLASTY
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
6/6
1/6
RSU NURHAYATI
GARUT

Unit Terkait kamar bedah, tim bedah, orthopedi


Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
ANESTESI PADA ORTOPEDI:
TOTAL KNEE REPLACEMENT
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/2
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
PROSEDUR
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
TETAP:
ANESTESI PADA
16 Januari 2019
ORTOPEDI:
TOTAL KNEE
dr. Hj. Anne Lisnawati
REPLACEMENT
NIK. 1983062320100116
Pengertian merupakan penyakit degeneratif yang dianggap kronis,
yang disertai pula dengan kerusakan tulang rawan sendi.
Salah satu sendi yang menjadi sasaran OA adalah sendi
lutu
Tujuan Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien ortopedi yang akan menjalani tindakan
pembedahan total knee replacement
Kebijakan Bone cement implantation syndrome pada prosedur ini
masih mungkin terjadi walaupun kemungkinannya lebih
kecil bila dibandingkan dengan total hip replacement.

Prosedur
1. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Pasien yang akan menjalani total knee replacement
biasanya mempunyai keadaan yang hampir sama
dengan pasien pada total hip replacement dimana
penyakit yang mendasari biasanya adalah
osteoarthritis dan rheumatoid arthritis.
- (Untuk persiapan preoperatif lihat panduan anestesi
pada ortopedi: total hip replacement)
ANESTESI PADA ORTOPEDI:
TOTAL KNEE REPLACEMENT
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/2
2/2
RSU
NURHAYATI
GARUT

2. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Durasi total knee artroplasti lebih singkat bila
dibandingkan dengan total hip replacement.
- Pasien berada pada posisi supine dengan resiko
perdarahan yang hanya sedikit dengan penggunaan
tornikuet.
- Pada pasien yang kooperatif dapat mentoleransi
pemilihan teknik regional anestesi dengan sedasi
intravena.
- Bone cement implantation syndrome pada prosedur
ini masih mungkin terjadi walaupun kemungkinannya
lebih kecil bila dibandingkan dengan total hip
replacement.
- Pada saat pelepasan tornikuet terdapat resiko untuk
terjadinya pelepasan emboli kedalam sirkulasi
sistemik yang bertendensi untuk terjadinya
hipotensi.
- (lihat panduan konsiderasi khusus operasi ortopedi
dan panduan anestesi pada ortopedi: total hip
replacement)

Unit Terkait KAMAR BEDAH


Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
ANESTESI PADA ORTOPEDI:
SCOLIOSIS
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/12
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
PROSEDUR
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
TETAP:
ANESTESI
PADA
ORTOPEDI:
dr. Hj. Anne Lisnawati
SCOLIOSIS
NIK. 1983062320100116
Pengertian Scoliosis merupakan suatu keadaan dimana terdapat
kurvatura tulang belakang kearah lateral yang dapat
bersifat struktural atau nonstruktural. Scoliosis
nonstruktural biasanya terjadi pada daerah lumbal akibat
dari perbedaan panjang antara kedua tungkai yang
biasanya akan hilang bila pasien berada pada posisi supine
atau menggunakan alat suportif pada tungkai sehingga
tidak memerlukan tindakan koreksi. Sedangkan pada
scoliosis yang bersifat struktural terjadi fleksibilitas tulang
belakang yang tidak normal. Kurvatura tulang belakang
kearah lateral akan menyebabkan rotasi pada vertebrae
dan menyebabkan deformitas pada rongga toraks.
Deformitas rongga toraks ini akan menyebabkan
penurunan secara signifikan dari volume total paru.
Tujuan Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien dengan scoliosis yang akan menjalani tindakan
pembedahan.
Kebijakan Lakukan identifikasi terhadap lokasi scoliosis, onset,
derajat, dan etiologi dari scoliosis.
ANESTESI PADA ORTOPEDI:
SCOLIOSIS
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/12
RSU 2/12
NURHAYATI
GARUT

Prosedur TIPE SCOLIOSIS:


- Idiopatik:
d. Infantile
e. Juvenile
f. Adolescent
- Neuromuskular (paralitik):
a. Neuropatik: Upper motor neuron (misal: serebral
palsy dan spinal cord injury), Lower motor neuron
(misal pada: poliomyelitis dan meningomyelocele),
dan disautonomia familial.
b. Miopatik: muskular distrofi, myotonik distrofi
- Kongengital:
a. Kelainan hemivertebrae
b. Congengital fused ribs
- Neurofibromatosis/ Kelainan mesenkim:
a. Sindrom marfan
b. Sindrom Ehler-Danlos
- Trauma:
a. Fraktur vertebrae
b. Pascatorakoplasti
c. Pascaradiasi
Tipe scoliosis yang paling banyak ditemukan adalah tipe
skoliosis idiopatik (70% dari scoliosis).

PENILAIAN DERAJAT SCOLIOSIS


- Penilaian derajat scoliosis yang paling sering dipakai
ANESTESI PADA ORTOPEDI:
SCOLIOSIS
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/12
RSU 3/12
NURHAYATI
GARUT
adalah dengan penilaian Cobb Angle.
- Cobb angle diukur dengan membuat garis tegak lurus
(perpendicular) dari vertebrae terbawah scoliosis
kearah atas konkavitas kurva dan garis tegak lurus
vertebrae paling atas dari scoliosis kearah bawah
konkavitas kurva. Sudut yang terbentuk pada
perpotongan kedua garis perpendicular tersebut adalah
cobb angle.
- Semakin besar cobb angle maka akan semakin berat
gangguan fungsi paru.
- Tindakan pembedahan direkomendasikan apabila cobb
angle > 45-50 derajat.
- Pada cobb angle 45 derajat akan terjadi penurunan
kapasitas vital paru kira-kira sebesar 22%.
- Cobb angle > 60 derajat akan menyebabkan gangguan
fungsi paru.
- Derajat scoliosis dan gangguan fungsi paru juga
ditentukan oleh semakin banyaknya jumlah vertebrae
yang terlibat, lokasi kurva yang makin kearah sefalad,
dan hilangnya kifosis toraks yang normal.

PENGARUH SCOLIOSIS TERHADAP FUNGSI


KARDIOPULMONAL
- Fungsi Paru dan Pernafasan
a. Pada pemeriksaan tes fungsi paru didapatkan
gambaran gangguan paru restriktif
b. Penurunan terbesar terjadi pada kapasitas vital
ANESTESI PADA ORTOPEDI:
SCOLIOSIS
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/12
RSU 4/12
NURHAYATI
GARUT
sebanyak 60-80%. Penurunan juga terjadi pada total
lung capacity, functional residual capacity,
inspiratory capacity, dan expiratory reserve volume.
Selama aktivitas fisik, ventilasi didapatkan masih
adekuat tetapi tidal volume menurun dan laju nafas
akan meningkat.
c. Fungsi paru yang abnormal ini disebabkan oleh
geometri rongga toraks yang abnormal sehingga
mengakibatkan penurunan yang sangat signifikan
pada compliance dinding dada.
d. Respon ventilasi terhadap CO2 akan menurun, akan
tetapi keadaan ini tidak spesifik pada scoliosis
dikarenakan respon ventilasi terhadap CO2
biasanya memang menurun apabila terjadi
peningkatan work of breathing.
c. Analisa Gas Darah
a. Pada pasien scoliosis torakal sering didapatkan
desaturasi pada oksigen arterial. Sedangkan nilai
PCO2 dan pH biasanya masih normal.
b. Hipoksemia arterial ini disebabkan oleh
ketidaksesuaian antara ventilasi/ perfusi.
c. Derajat scoliosis yang berat dan scoliosis yang telah
terjadi dalam waktu yang lama akan menyebabkan
ventilasi/ perfusi yang abnormal, hipoventilasi
alveolar, retensi CO2, dan hipoksemia yang lebih
berat.
d. Sistem Kardiovaskular
ANESTESI PADA ORTOPEDI:
SCOLIOSIS
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/12
RSU
NURHAYATI 5/12
GARUT
a. Pasien dengan scoliosis dapat mengakibatkan
terjadinya peningkatan PVR dan hipertensi pulmonal
yang menyertai hipertropi ventrikel kanan dan gagal
jantung kanan.
b. Peningkatan PVR disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu: hipoksemia yang mengakibatkan
vasokonstriksi pembuluh darah paru, kompresi region
tertentu pada paru akibat dari deformitas, dan pada
scoliosis yang terjadi pada usia < 6 tahun akan
mengakibatkan pertumbuhan abnormal dari
pembuluh darah paru akibat deformitas dinding dada.
c. Abnormalitas kardiovaskular yang paling sering
terjadi pada pasien scoliosis adalah prolaps katup
mitral.

MANAJEMEN PREOPERATIF
- Lakukan identifikasi terhadap
a. lokasi kurvatura scoliosis: Lokasi scoliosis sangat
penting karena scoliosis yang terjadi pada daerah
torakal akan menyebabkan gangguan fungsi paru.
Skoliosis pada daerah servikal akan menyebabkan
kesulitan pada pengelolaan jalan nafas dan
biasanya berhubungan dengan kelainan lainnya.
b. Usia saat timbulnya scoliosis: pertumbuhan dan
perkembangan paru terjadi sejak lahir sampai
dengan usia 8 tahun, jumlah alveoli akan terus
bertambah sampai usia 4 tahun. Scoliosis yang
ANESTESI PADA ORTOPEDI:
SCOLIOSIS
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/12
RSU 6/12
NURHAYATI
GARUT
terjadi dalam kurun waktu tersebut akan
menyebabkan gangguan perkembangan paru.
c. Derajat scoliosis; penentuan derajat scoliosis adalah
hal yang sangat penting untuk memprediksi fungsi
pernafasan. Kurva toraks > 60 derajat pada
umumnya menyebabkan penurunan fungsi paru
secara signifikan. Kurva > 100 derajat berhubungan
erat dengan gangguan pertukaran gas.
d. Etiologi scoliosis; pengetahuan tentang penyebab
scoliosis akan memberikan gambaran tentang
penyakit yang mendasari (misal: distrofi muscular
atau serebral palsy) yang mungkin akan
mempengaruhi pengelolaan anestesi.
- Anamnesa untuk menilai reserve kardiopulmonal
dengan menanyakan riwayat bernafas pendek, sesak
saat aktivitas, dan toleransi terhadap aktivitas.
- Gejala-gejala paru seperti wheezing atau batuk dapat
merupakan indikasi adanya penyakit parenkim paru.
- Pemeriksaan fisik harus difokuskan pada pemeriksaan
jantung dan paru.
- Auskultasi suara nafas berupa wheezing dan ronkhi
mengindikasikan kemungkinan penyakit paru obstruktif
atau penyakit parenkim paru. Pada pemeriksaan
jantung harus diperhatikan adanya auskultasi murmur
atau gallop, tanda hipertensi pulmonal, dan hipertropi
ventrikel kanan. Hipertensi pulmonal akan
menyebabkan aksentuasi komponen pulmonik pada
ANESTESI PADA ORTOPEDI:
SCOLIOSIS
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/12
RSU 7/12
NURHAYATI
GARUT
bunyi jantung kedua. Bila didapatkan gagal jantung
kanan maka akan ditemukan peningkatan JVP,
pembesaran liver, dan edema pada ekstremitas bawah.
- Evaluasi jalan nafas secara teliti terhadap adanya
abnormalitas jalan nafas.
- Lakukan penilaian terhadap fungsi neurologis.
Penentuan fungsi neurologis preoperatif harus
dilakukan untuk mengetahui bila terjadi komplikasi
neurologis pascaoperasi. Pada pasien yang
sebelumnya telah mengalami defisit neurologis akan
meningkatkan resiko terjadinya spinal cord injury.
- Pemeriksaan penunjang dilakukan berdasarkan derajat
scoliosis dan kondisi yang mendasarinya. Bila dari
anamnesa dan pemeriksaan fisik didapatkan penurunan
fungsi paru maka lakukan pemeriksaan tes fungsi paru.
Pemeriksaan AGD dilakukan bila vital capacity turun
secara signifikan.
- Paseien dengan onset scoliosis pada umur < 8 tahun
harus dilakukan pemeriksaan TFT, AGD, dan EKG.
Pemeriksaan ekhokardiografi dilakukan bila pada
pemeriksaan EKG didapatkan abnormalitas ,seperti:
hipertrofi ventrikel kanan, pembesaran atrium kanan,
atau adanya kardiomiopati.
- Lakukan pulmonary toilet secara agresif dan atau terapi
bronkodilator preoperatif pada pasien dengan penyakit
paru obstruktif atau penyakit parenkim paru.
- Hindari pemberian premedikasi berat dan opioid pada
ANESTESI PADA ORTOPEDI:
SCOLIOSIS
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/12
RSU 8/12
NURHAYATI
GARUT
pasien dengan penyakit neuromuscular, hipertensi
pulmonal, gangguan pertukaran gas, penurunan fungsi
paru.

MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Sebagian besar penderita dengan scoliosis idiopatik
merupakan pasien dewasa yang sehat sehingga dapat
mentoleransi anestesi dan pembedahan dengan baik.
Berbagai teknik anestesi telah dipakai dengan
memberikan hasil yang memuaskan.
- Hindari penggunaan suksinilkolin pada pasien dengan
gangguan otot dikarenakan dapat menyebabkan
hiperkalemia, aritmia, dan mioglobinuria. Penggunaan
pelemas otot golongan non depolarisasi dapat di
toleransi selama operasi, tetapi sebaiknya pilihlah
pelemas otot golongan intermediate dibandingkan
dengan pelemas otot long acting sehingga
memudahkan saat akan dilakukan wake up test.
- Pada saat memposisikan pasien pastikan tidak terjadi
penekanan pada bola mata yang dapat menyebabkan
kebutaan akibat thrombosis pada arteri retina sentral.
Kepala tidak boleh dalam posisi fleksi atau ekstensi
berlebihan. Selama operasi terdapat kemungkinan
posisi menjadi bergeser, oleh karenanya lakukan
pemeriksaan kembali secara rutin. Posisi ekstremitas
atas tidak boleh abduksi lebih dari 90 derajat karena
dapat menyebabkan regangan pada pleksus brakialis,
ANESTESI PADA ORTOPEDI:
SCOLIOSIS
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/12
RSU 9/12
NURHAYATI
GARUT
dan pastikan tidak ada penekanan pada daerah aksilar.
- Berikan kebutuhan cairan selam operasi dengan
memperhitungkan kebutuhan maintenan, pengganti
puasa, IWL, jumlah perdarahan, dan dieresis.
- Teknik yang dapat dipergunakan untuk mengurangi
kebutuhan transfusi, antara lain adalah:
a. Minimalisasi tekanan intraabdomen; tekanan
intraabdomen yang tinggi akan ditransmisikan ke
pleksus venosus vertebral sehingga meningkatkan
perdarahan vena.
b. Preoperative patient banking blood; beberapa
minggu sebelum operasi RBC pasien diambil 2-3
unit dan disimpan di bank darah.
c. Phlebotomi dan Hemodilusi isovolemik; Sebelum
insisi darah pasien diambil dan dimasukkan ke
dalam kantung darah dengan target hematokrit 20-
25%. Kemudian volume intravascular dimaintenan
dengan mengganti darah yang diambil dengan
balance saline solution sejumlah tiga kali jumlah
darah yang diambil atau bila dengan koloid
sejumlah yang sama dengan jumlah darah yang
diambil.
d. Teknik hipotensi; Teknik ini dilakukan dengan
mempertahankan MAP 60-65 mmHg, tetapi
besarnya penurunan tergantung dari kondisi
masing-masing pasien dengan keberadaan
penyakit penyertanya. Dengan teknik ini dapat
ANESTESI PADA ORTOPEDI:
SCOLIOSIS
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/12
RSU 10/12
NURHAYATI
GARUT
menurunkan perdarahn sebanyak 30-50%.
- Teknik yang dipergunakan intraoperasi untuk menilai
fungsi spinal cord adalah dengan somatosensory
evoked potentials dan wake up test.
- Bila pemeliharaan dilakukan dengan memberikan
inhalasi yang poten, maka sebaiknya hentikan
pemakaiannya 20 menit sebelum dilakukan wake-up
test.
- Wake up test dilakukan untuk mengevaluasi fungsi
motorik spinal dan dilakukan dengan mendangkalkan
kedalaman anestesi sehingga pasien dapat mengikuti
perintah. Pertama-tama perintahkan pasien untuk
menggenggam tangan pemeriksa yang menandakan
bahwa pasien sudah dalam keadaan responsive.
Kemudian perintahkan pasien untuk menggerakkan kaki
dan jarinya. Bila pasien dapat menggenggam tangan
pemeriksa tetapi tidak dapat menggerakkan kakinya,
maka distraksi tulang belakang harus dikurangi sampai
pada derajat yang aman. Apabila pasien sudah dapat
menggerakkan kakinya segera dalamkan lagi
anestesinya dengan memberikan obat anestesi secara
intravena seperti propofol, thiopental, atau
benzodiazepin.
- Monitoring minimal yang dibutuhkan pada operasi
posterior spine fusion, adalah: tekanan darah, EKG,
pulse oxymetri, EtCO2, stetoskop esophageal, dan
pengukuran temperatur inti.
ANESTESI PADA ORTOPEDI:
SCOLIOSIS
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/12
RSU 11/12
NURHAYATI
GARUT

MAJEMEN PASCAOPERATIF
- Keputusan untuk melakukan ventilasi mekanik
pascaoperasi biasanya telah diperkirakan pada masa
preoperatif.
- Pasien scoliosis tipe idiopatik dengan gangguan paru
ringan-sedang dapat dilakukan ekstubasi di kamar
operasi.
- Ventilasi mekanik pascaoperasi dilakukan pada pasien
dengan gangguan paru restriktif berat (vital capacity <
30% normal) atau abnormalitas pertukaran gas berat
dengan retensi CO2, juga pada pasien dengan
Duchene muscular dystrophy, disautonomia familial,
atau serebral palsy berat.
- Parameter untuk dilakukan ekstubasi:
- Vital capacity > 10 ml/ kg
- Tidal volume > 5 ml/ kg
- Laju nafas spontan < 30x/ menit
- Negative inspiratory force > -30 cm H2O
- Lakukan latihan batuk dan bernafas dalam.
- Berikan bronkodilator pada pasien dengan gangguan
paru obstruktif.
- Hindari pemberian narkotik yang berlebihan karena
dapat menimbulkan depresi nafas dan mengurangi
kemampuan pasien untuk batuk.
- Perhatikan tanda-tanda terjadinya komplikasi
ANESTESI PADA ORTOPEDI:
SCOLIOSIS
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/12
RSU 12/12
NURHAYATI
GARUT
pascaoperasi.
- Komplikasi pascaoperasi yang dapat terjadi adalah:
a. Pneumotoraks
b. Atelektasis
c. Efusi pleura
d. Hematotoraks
e. Trauma neurologis
f. Ileus paralitik
Unit Terkait Kamar bedah, tim anestesi
Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
ANESTESI PADA THT:
ENDOSKOPI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
PROSEDUR Direktur RSU NURHAYATI GARUT
TETAP:
ANESTESI 16 Januari 2019
PADA THT:
ENDOSKOPI dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Pemeriksaan rongga tubuh menggunakan endoskop yang
digunakan untuk diagnosis atau penyembuhan. Teknik ini
menggunakan serat optik dan teknologi video sehingga
memampukan keseluruhan struktur tubuh dapat diinspeksi
secara keseluruhan
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien THT yang akan menjalani tindakan endoskopi.
Kebijakan Tujuan utama pemberian anestesi pada prosedur
endoskopi adalah melakukan paralise otot untuk
merelaksasi muskulus masseter sehingga memudahkan
memasukkan laringoskop dan mendapatkan lapangan
operasi yang baik, ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
selama dilakukan manipulasi pada jalan nafas, dan
menjaga stabilitas kardiovaskular selama stimulasi
terhadap jalan nafas.
Prosedur 1. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Pasien yang akan menjalani prosedur endoskopi
harus dilakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap
kemungkinan adanya keluhan suara serak, stridor,
dan hemoptisis sebelumnya.
ANESTESI PADA THT:
ENDOSKOPI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
2/6
1/6
RSU
NURHAYATI
GARUT
- Apabila terdapat keluhan seperti di atas, maka
lakukan penelusuran lebih lanjut terhadap beberapa
kemungkinan sebagai penyebabnya, yaitu: aspirasi
benda asing, trauma saluran aerodigestif,
papillomatosis, stenosis trakeal, obstruksi tumor,
atau disfungsi pita suara.
- Lakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik secara
teliti terutama terhadap kemungkinan adanya
masalah potensial pada jalan nafas untuk kemudian
dapat disusun rencana anestesi yang tepat.
- Biasanya pada pasien yang akan menjalani
prosedur ini telah menjalani laringoskopi indirek di
poliklinik, lakukan evaluasi dan diskusi dengan
operator terhadap temuan pada pemeriksaan
tersebut.
- Hal yang terpenting harus dilakukan adalah
melakukan penilaian apakah pada saat induksi
pasien dapat dengan mudah dilakukan ventilasi
dengan masker dan mudah untuk dilakukan intubasi
dengan laringoskopi direk.
- Bila dari hasil penilaian didapatkan kemungkinan
kesulitan untuk dilakukan ventilasi dan atau intubasi
maka susunlah rencana anestesi dan lakukan
persiapan sesuai dengan algoritme difficult airway.
(lihat algoritme: difficult airway).
- Premedikasi dengan obat sedatif merupakan
kontraindikasi pada pasien dengan obstruksi jalan
ANESTESI PADA THT:
ENDOSKOPI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
3/6
1/6
RSU
NURHAYATI
GARUT
nafas. Untuk mengurangi sekresi pada jalan nafas
dapat diberikan glikopirolat 0,2-0,3 mg secara
intramuskular 1 jam sebelum operasi sehingga
visualisasi jalan nafas dapat lebih baik lagi.

2. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Tujuan utama pemberian anestesi pada prosedur
endoskopi adalah melakukan paralise otot untuk
merelaksasi muskulus masseter sehingga
memudahkan memasukkan laringoskop dan
mendapatkan lapangan operasi yang baik, ventilasi
dan oksigenasi yang adekuat selama dilakukan
manipulasi pada jalan nafas, dan menjaga stabilitas
kardiovaskular selama stimulasi terhadap jalan
napas.
- Relaksasi otot intraoperatif dapat dilakukan dengan
memberikan suksinilkolin dengan infus kontinyu atau
pelemas otot golongan nondepolarizing intermediate
secara intermiten.
- Kerugian penggunaan drip suksinilkolin bila terjadi
pemanjangan prosedur adalah potensi terjadinya
blok fase II, sedangkan kerugian penggunaan
golongan nondepolarizing intermediate dapat
memperlambat kembalinya reflek proteksi jalan
nafas dan ekstubasi.
- Relaksasi yang baik sangat diperlukan sampai pada
saat paling akhir dari prosedur, namun pemulihan
ANESTESI PADA THT:
ENDOSKOPI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
4/6
1/6
RSU
NURHAYATI
GARUT
juga harus dilakukan secara cepat dikarenakan
prosedur endoskopi biasanya dilakukan pada
pasien-pasien ODS.
- Teknik pilihan pada prosedur ini adalah dengan
intubasi memakai ETT untuk mencegah aspirasi dan
memudahkan pemberian anestesi inhalasi serta
monitoring EtCO2 secara kontinyu.
- Pada beberapa kasus, teknik intubasi dengan ETT
dapat mengganggu visualisasi operator. Alternatif
yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan
insuflasi oksigen aliran tinggi melalui kateter kecil
yang ditempatkan di trakea.
- Meskipun dengan insuflasi dapat menjaga
oksigenasi dalam periode singkat pada pasien
dengan fungsi paru yang baik, tetapi ventilasi tetap
tidak adekuat pada prosedur yang lebih panjang
kecuali pasien tetap dibiarkan bernafas secara
spontan.
- Kemungkinan teknik lain yang dapat dilakukan
adalah dengan teknik apnoe intermiten. Pada teknik
ini terdapat periode ventilasi oksigen dengan masker
atau ETT yang bergantian dengan periode apnoe
selama prosedur dilakukan.
- Durasi apnoe dapat dilakukan selama 2-3 menit,
tergantung dari seberapa baik pasien dapat menjaga
saturasi oksigen yang diukur dengan pulse
oksimeter.
ANESTESI PADA THT:
ENDOSKOPI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
5/6
1/6
RSU
NURHAYATI
GARUT
- Teknik apnoe intermiten mempunyai resiko untuk
terjadinya hipoventilasi, hiperkarbia, dan pneumonia
aspirasi.
- Pendekatan yang lebih modern lagi adalah dengan
pendekatan memakai manual jet ventilator yang
dihubungkan dengan side port laringoskop. Selama
inspirasi (1-2 detik) akan dihantarkan oksigen
tekanan tinggi (30-50 psi) melalui pembukaan glotik
dan memasuki ruangan udara paru-paru (efek
venturi). Kemudian ekspirasi terjadi secara pasif
selama 4-6 detik. Hal yang krusial adalah melakukan
monitoring pergerakan dinding dada secara konstan
dan menjaga waktu yang cukup untuk ekshalasi
sehingga tidak terjadi terperangkapnya udara dan
barotrauma.
- Variasi teknik di atas adalah dengan high frequency
jet ventilation dengan memakai kanul kecil atau tube
ke dalam trakea dan kemudian gas akan
diinjeksikan 80-300 kali permenit.
- High frequency jet ventilation membutuhkan
anestetik intravena.
- Tekanan darah dan laju jantung sering berfluktuasi
pada prosedur endoskopi. Hal ini dikarenakan
sebagian besar pasien adalah perokok berat dan
peminum alkohol yang merupakan faktor
predisposisi dari penyakit jantung, dan periode
stress dari laringoskopi dan intubasi yang diselingi
ANESTESI PADA THT:
ENDOSKOPI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
6/6
1/6
RSU
NURHAYATI
GARUT
dengan periode dimana terjadi stimulasi
pembedahan yang minimal.
- Pemberian anesthesia dengan level yang konstan
pada kondisi di atas akan menyebabkan terjadinya
interval hipertensi dan hipotensi. Untuk Menghadapi
keadaan ini dapat diberikan anestesi dengan
keadalaman level baseline yang paling ringan
dengan menambahkan suplemen anestetik kerja
singkat (misal propofol, remifentanil) atau antagonis
simpatetik (misal: esmolol) seperlunya selama
periode terjadi peningkatan stimulasi.
- Teknik lain untuk menjaga stabilitas hemodinamik
tersebut adalah dengan melakukan blok nervus
regional pada n. glossofaringeal, dan n. laringeus
superior.
- Penggunaan monitoring invasif dengan arterial blood
pressure dipertimbangkan pada pasien dengan
riwayat hipertensi atau penyakit jantung koroner
meskipun prosedur yang dilakukan cukup singkat.
Unit Terkait Kamar bedah, tim anestesi, tim bedah, orthopedi
Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
ANESTESI PADA THT: REKONSTRUKSI
MAKSILOFASIAL DAN OPERASI ORTHOGNATIK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/3
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


ANESTESI PADA
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
THT:
REKONSTRUKSI
16 Januari 2019
MAKSILOFASIAL
DAN OPERASI
dr. Hj. Anne Lisnawati
ORTHOGNATIK
NIK. 1983062320100116
Pengertian
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien THT yang akan menjalani tindakan rekonstruksi
maksilofasial dan operasi orthognatik.
Kebijakan Apabila didapatkan tanda-tanda adanya kemungkinan
masalah pada saat dilakukan ventilasi dengan masker atau
intubasi trakeal, maka jalan nafas harus diamankan
terlebih dahulu sebelum dilakukan induksi. Tindakan yang
dapat dilakukan untuk mengamankan jalan nafas pada
keadaan tersebut adalah dengan melakukan intubasi
nasal/ oral dengan fiberoptik, atau dengan trakeostomi.
Prosedur MANAJEMEN PREOPERATIF
- Tantangan terbesar bagi anestesiolog pada pasien
yang akan menjalani prosedur rekonstruksi
maksilofasial adalah permasalahan pada jalan nafas.
- Evaluasi terhadap jalan nafas harus dilakukan secara
detil dan menyeluruh.
- Pemeriksaan jalan nafas difokuskan pada pembukaan
rahang, mobilitas leher, mikrognatia, retrognatia,
protrusi maksila, makroglosia, patologi geligi, patensi
ANESTESI PADA THT: REKONSTRUKSI
MAKSILOFASIAL DAN OPERASI ORTHOGNATIK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/3
2/3
RSU NURHAYATI
GARUT

nasal, adanya lesi atau debris intraoral, dan


kemungkinan untuk pemasangan masker pada wajah.
- Apabila didapatkan tanda-tanda adanya kemungkinan
masalah pada saat nanti dilakukan ventilasi dengan
masker atau intubasi trakeal, maka jalan nafas harus
diamankan terlebih dahulu sebelum dilakukan induksi.
- Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengamankan
jalan nafas pada keadaan tersebut di atas adalah
dengan melakukan intubasi nasal/ oral dengan
fiberoptik, atau dengan trakeostomi.
- Intubasi nasal harus benar-benar dipertimbangkan
pada kasus dengan fraktur LeFort II dan III dikarenakan
kemungkinan terdapat basilar skull fracture dan
cerebrospinal fluid rhinorrhea.

MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Operasi rekonstruksi dan ortognatik dapat
mengakibatkan hilangnya darah dalam jumlah besar.
- Strategi yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi
perdarahan, adalah: posisi sedikit head-up, kontrol
hipotensi, dan infiltrasi lokal dengan larutan epinefrin.
- Pastikan terdapat minimal 2 jalur intravena berukuran
besar dimana salah satu jalur mungkin akan
dipergunakan untuk memasukkan obat hipotensif.
- Pergunakan pack orofaring untuk meminimalisassi
masuknya darah dan debris ke dalam laring dan trakea.
- Prosedur pada daerah kepala dan leher akan
ANESTESI PADA THT: REKONSTRUKSI
MAKSILOFASIAL DAN OPERASI ORTHOGNATIK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
3/3
1/3
RSU NURHAYATI
GARUT

menempatkan anestesiolog jauh dari jalan napas


pasien, hal ini dapat meningkatkan terjadinya masalah
yang serius pada jalan napas selama operasi
berlangsung, seperti: ETT mengalami tertekuk,
diskoneksi, atau perforasi akibat instrumentasi bedah.
Oleh karena itu lakukan monitoring yang ketat pada
jalan nafas pasien dengan memantau EtCO2, peak
inspiratory pressure, dan stetoskop esophageal breath
sound.
- Pada akhir operasi pack orofaringeal harus dikeluarkan
dan lakukan suctioning pada faring.
- Bila terdapat kemungkinan terjadinya edema
pascaoperatif pada struktur-struktur yang potensial
untuk menyebabkan obstruksi jalan nafas (misal pada
lidah) makam pasien harus di observasi secara ketat
pascaoperatif dan mungkin dipertimbangkan untuk
tetap terintubasi.
Unit Terkait Kamar bedah
Dokumen Terkait - Catatan rekam medis.
- Lembar informed consent
ANESTESI PADA THT:
OPERASI NASAL DAN SINUS
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/3
RSU
NURHAYATI
GARUT
PROSEDUR Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
TETAP: Direktur RSU NURHAYATI GARUT
ANESTESI
PADA THT: 16 Januari 2019
OPERASI
NASAL DAN dr. Hj. Anne Lisnawati
SINUS NIK. 1983062320100116
Pengertian
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien THT yang akan menjalani tindakan operasi nasal
dan sinus.
Kebijakan Teknik yang dapat dipergunakan untuk mengurangi
perdarahan intraoperatif, yaitu: suplementasi larutan lokal
anestesi dengan kokain atau epinefrin, memposisikan
pasien dengan kepala sedikit di atas, dan melakukan tenik
kontrol hipotensi ringan.
Prosedur MANAJEMEN PREOPERATIF
- Pasien yang akan menjalani operasi nasal atau sinus
sering kali mengalami gangguan obstruksi nasal yang
disebabkan oleh adanya polip, deviasi septum, atau
kongesti mukosa akibat infeksi. Lakukan evaluasi
terhadap kemungkinan obstruksi nasal preoperatif.
- Adanya gangguan obstruksi nasal akan menyebabkan
kesulitan pada saat akan dilakukan ventilasi, terlebih
lagi apabila terdapat kombinasi dengan penyebab-
penyebab kesulitan ventilasi lainnya (misal: obesitas,
deformitas maksilofasial).
ANESTESI PADA THT:
OPERASI NASAL DAN SINUS
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
2/3
1/3
RSU
NURHAYATI
GARUT
- Polip nasal sering kali berhubungan dengan gangguan
alergi seperti asma.
- Pasien dengan riwayat alergi terhadap aspirin tidak
boleh diberikan obat-obatan golongan NSAID (misal:
ketorolac).
- Tanyakan apakah ada riwayat gangguan perdarahan

MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Sebagian prosedur pada daerah nasal dapat dilakukan
dalam anestesi lokal dan sedasi dengan hasil yang
cukup memuaskan.
- Modalitas sensorik pada daerah septum dan dinding
lateral hidung diinervasi oleh n.ethmoidalis anterior dan
n.sfenopalatinus. Kedua nervus tersebut dapat diblok
dengan melakukan packing pada hidung dengan
memakai aplikator kassa atau kapas yang telah
diberikan anestesi lokal selama 10 menit sebelum
dilakukan instrumentasi.
- Untuk memperkuat efek analgesia dapat diberikan
suplementasi dengan injeksi submukosa anestesi lokal.
- Walaupun dapat dilakukan dengan teknik anestesi
lokal, namun teknik yang menjadi pilihan adalah dengan
anestesi umum. Hal ini dikarenakan pemberian anestesi
topikal menyebabkan ketidaknyamanan dan blok yang
tidak sempurna.
- Saat melakukan induksi sebaiknya menggunakan oral
airway selama melakukan ventilasi dangan masker
ANESTESI PADA THT:
OPERASI NASAL DAN SINUS
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
3/3
1/3
RSU
NURHAYATI
GARUT
untuk mengatasi efek obstruksi nasal, kemudian
sebaiknya intubasi dilakukan dengan memakai right-
angle endotracheal (RAE).
- Disarankan untuk memakai pelemas otot selama
instrumentasi daerah sinus untuk menghindari
terjadinya pergerakan pasien yang dapat menimbulkan
komplikasi kerusakan neurologis dan optalmik.
- Teknik yang dapat dipergunakan untuk mengurangi
perdarahan intraoperatif, yaitu: suplementasi larutan
lokal anestesi dengan kokain atau epinefrin,
memposisikan pasien dengan kepala sedikit di atas,
dan melakukan tenik kontrol hipotensi ringan.
- Pergunakan pack pada daerah posterior pharing untuk
mengurangi resiko aspirasi darah.
- Observasi secara ketat terhadap kemungkinan
perdarahan yang banyak terutama pada reseksi tumor-
tumor vaskular (misal: juvenile nasopharyngeal
angiofibroma).
- Ekstubasi harus dilakukan dengan smooth untuk
menghindari terjadinya batuk atau straining yang dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan vena sehingga
dapat menyebabkan perdarahan pascaoperasi.
Unit Terkait KAMAR BEDAH
Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
ANESTESI PADA THT:
OPERASI KANKER PADA KEPALA DAN LEHER
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


PELAYANAN Direktur RSU NURHAYATI GARUT
BAGIAN
ANESTESIOLOGI 16 Januari 2019
DAN TERAPI
INTENSIF dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien THT yang akan menjalani tindakan operasi kanker
pada kepala dan leher.
Kebijakan Apabila terdapat keraguan yang serius terhadap masalah
yang potensial pada jalan nafas, maka induksi dengan
anestesi intravena harus dihindari. Pada keadaan tersebut
induksi dapat dilakukan dengan awake direct atau
laringoskopi fiberoptik pada pasien yang kooperatif,
sedangkan pada pasien yang tidak kooperatif dapat
dilakukan induksi inhalasi dengan tetap mempertahankan
nafas spontan.
Prosedur 1. BATASAN:
Prosedur operasi kanker pada kepala dan leher
termasuk di dalamnya adalah: laringektomi, glosektomi,
pharingektomi, parotidektomi, hemimandibulektomi, dan
diseksi leher radikal.

2. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Tipikal pasien yang akan menjalani operasi ini
ANESTESI PADA THT:
OPERASI KANKER PADA KEPALA DAN LEHER
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
2/4
RSU NURHAYATI
GARUT

adalah geriatri dengan riwayat perokok berat dan


peminum yang seringkali disertai dengan penyakit
penyerta seperti PPOK, CAD, alkoholisme kronis,
pneumonia aspirasi, dan malnutrisi.
- Lakukan evaluasi dan optimalisasi terlebih dahulu
apabila terdapat penyakit penyerta pada pasien.
- Pengelolaan jalan nafas pada kasus ini sering kali
kompleks akibat adanya lesi yang bersifat obstruktif
atau terapi radiasi preoperatif yang telah dilakukan
yang dapat menimbulkan distorsi pada anatomi
jalan nafas.
- Apabila terdapat keraguan yang serius terhadap
masalah yang potensial pada jalan nafas, maka
induksi dengan anestesi intravena harus dihindari.
- Pada keadaan tersebut induksi dapat dilakukan
dengan awake direct atau laringoskopi fiberoptik
pada pasien yang kooperatif, sedangkan pada
pasien yang tidak kooperatif dapat dilakukan induksi
inhalasi dengan tetap mempertahankan nafas
spontan.
- Pada kasus dengan problem potensial pada jalan
nafas harus selalu dipersiapkan peralatan dan
personil untuk kemunkinan dilakukannya
trakeostomi emergensi.
- Sebagai alternatif pilihan adalah dengan melakukan
trakeostomi elektif dalam anestesi lokal terutama
bila pada pemeriksaan laringoskopi indirek terlihat
ANESTESI PADA THT:
OPERASI KANKER PADA KEPALA DAN LEHER
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
3/4
RSU NURHAYATI
GARUT

adanya lesi yang rentan terganggu pada saat


intubasi.

3. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Prosedur yang akan dilakukan berpotensi untuk
terjadinya kehilangan darah dalam jumlah yang
besar. Pada pasien dengan penyakit penyerta
kardiopulmonal dipertimbangkan untuk memakai
kanulasi arteri untuk monitoring tekanan darah, gas
darah, dan hematokrit.
- Untuk menghadapi kemungkinan perdarahan yang
banyak maka dibutuhkan minimal 2 jalur intravena
berukuran besar.
- Teknik hipotensi ringan dapat membantu untuk
mengurangi perdarahan.
- Pemilihan teknik hipotensi harus
mempertimbangkan kondisi pasien. Pada tumor
yang melibatkan arteri karotis (terjadi penurunkan
tekanan arterial serebral), atau melibatkan vena
jugular (terjadi peningkatkan tekanan vena
serebral), maka pemakainan teknik hipotensi akan
menyebabkan gangguan yang besar pada perfusi
serebral.
- Mengurangi perdarahan dengan posisi sedikit head
up juga akan meningkatkan resiko terjadinya emboli
udara.
- Pada operasi diseksi leher atau parotidektomi
ANESTESI PADA THT:
OPERASI KANKER PADA KEPALA DAN LEHER
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
4/4
RSU NURHAYATI
GARUT

kadang efek pelemas otot harus dihilangkan apabila


operator akan melakukan identifikasi terhadap
nervus ( misal spinal accessory, n.fasialis) dengan
melakukan stimulasi direk.
- Manipulasi sinus karotis dan ganglion stellata saat
diseksi leher dapat menyebabkan instabilitas
hemodinamik, bradikardi, aritmia, sinus arrest, dan
pemanjangan interval QT. Masalah ini dapat
dihilangkan dengan melakukan infiltrasi pada carotid
sheath dengan abestesi local.
- Diseksi leher bilateral dapat menyebabkan
hipertensi pascaoperatif dan hilangnya hypoxic drive
akibat denervasi sinus karotis dan badan karotis.

Unit Terkait Kamar Bedah


Dokumen Terkait Catatan rekam medis.
Lembar informed consent
ANESTESI PADA THT:
OPERASI TELINGA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/3
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


PELAYANAN Direktur RSU NURHAYATI GARUT
BAGIAN
ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI
INTENSIF dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien THT yang akan menjalani tindakan operasi telinga.
Kebijakan N2O harus dihindari selama timpanoplasti atau dihentikan
15-30 menit sebelum dilakukan pemasangan graft.
Prosedur MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Pada keadaan normal, perubahan tekanan pada telinga
tengah yang disebabkan oleh N2O dapat ditoleransi
dengan baik karena adanya passive venting melalui
tuba eustachii. Tetapi pada pasien dengan riwayat
gangguan telinga kronis (misal: otitis media, sinusitis)
dapat terjadi obstruksi pada tuba eustachii dan kadang
dapat terjadi hilangnya pendengaran atau ruptur
membrane timpani akibat pemakaian N2O selama
anestesi walaupun kejadian ini jarang terjadi.
- Selama timpanoplasti, telinga tengah akan terbuka
terhadap atmosfer dan pada keadaan tersebut tidak
terjadi adanya tekanan. Pada saat operator meletakkan
graft membran timpani maka telinga tengah akan
menjadi suatu ruangan yang tertutup. Apabila pada
ANESTESI PADA THT:
OPERASI TELINGA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
2/3
1/3
RSU NURHAYATI
GARUT

saat itu kita menggunakan N2O maka gas tersebut


akan berdifusi ke dalam ruangan ini sehingga tekanan
pada telinga tengah akan meningkat dan dapat
mengakibatkan graft akan terlepas. Sebaliknya
penghentian N2O setelah peletakan graft akan
menimbulkan tekanan negatif pada telinga tengah yang
juga akan menyebabkan graft terlepas.
- Oleh karena itu N2O harus dihindari selama
timpanoplasti atau dihentikan sebelum dilakukan
pemasangan graft.
- Waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan N2O
tergantung dari beberapa faktor, antara lain ventilasi
alveolar dan fresh gas flow, namun waktu yang
direkomendasikan adalah 15-30 menit sebelum
pemasangan graft.
- Tindakan operasi mikro pada telinga memang tidak
menimbulkan perdarahan yang banyak, namun
perdarahan yang terjadi dapat mengganggu lapangan
pandang operator.
- Untuk mengurangi perdarahan yang terjadi dapat
dilakukan dengan sedikit elevasi kepala (15 derajat),
penggunaan epinefrin (1:50.000- 1:200.000) secara
infiltrasi atau topical, dan kontrol hipotensi.
- Sebaiknya ekstubasi dilakukan dalam keadaan anestesi
masih dalam, hal ini untuk menghindari terjadinya batuk
yang akan meningkatkan tekanan vena dan
menimbulkan perdarahan.
ANESTESI PADA THT:
OPERASI TELINGA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/3
3/3
RSU NURHAYATI
GARUT

- Telinga bagian dalam sangat berperanan dalam


menjaga kesimbangan, sehingga pascaoperasi telinga
dapat menyebabkan timbulnya vertigo, mual, dan
muntah. Induksi dan pemeliharaan dengan
menggunakan propofol pada operasi telinga tengah
telah terbukti menurunkan mual dan muntah
pascaoperasi. Dan harus dipertimbangkan pula untuk
memberikan profilaksis dengan memberikan decadron
sebelum induksi dan pemberian 5-HT3 bloker sebelum
pasien dibangunkan.
Unit Terkait Kamar Bedah
Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
ANESTESI PADA OPERASI TONSILEKTOMI DAN/ATAU
ADENOIDEKTOMI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


PELAYANAN Direktur RSU NURHAYATI GARUT
BAGIAN 16 Januari 2019
ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI
INTENSIF dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian
Tujuan Untuk menjamin kondisi anestesi yang stabil dan
mencegah timbulnya komplikasi
Kebijakan
Prosedur Preoperatif:
- Pasien dengan tonsilitis mungkin mengalami gejala
obstructive sleep anea (OSA). Pasien dengan OSA
seringkali disebabkan oleh obesitas dan berpotensi
untuk terjadinya kesulitan penguasaan jalan nafas
(difficult airway).
- Premedikasi sedatif pada pasien seperti ini harus
dihindari.
- Pada pasien pediatrik, seringkali disertai dengan
adanya infeksi saluran nafas atas. Pada pasien yang
akan menjalani operasi elektif, keadaan infeksi saluran
nafas akut ini (sputum purulen, sekret hidung, demam,
dll) harus ditatalaksanai terlebih dahulu. Operasi
selayaknya ditunda hingga gejala-gejala tersebut
ANESTESI PADA OPERASI TONSILEKTOMI DAN/ATAU
ADENOIDEKTOMI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
2/4
1/4
RSU NURHAYATI
GARUT

diatas tertanggulangi. Alasan penundaan tindakan


operasi tersebut adalah keadaan ini dapat
mengakibatkan infeksi menyebar ke saluran nafas
bawah, sekresi jalan nafas dapat menyumbat ETT dan
saluran nafas yang kecil, merupakan suatu predisposisi
terjadinya laringospasme intraoperatif maupun pasca
operasi, dan penurunan fungsi respirasi.
- Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi.

Intraoperatif:
- Teknik anestesi umum dengan intubasi trakea. Pada
pasien dengan riwayat OSA terjadi peningkatan
sensitivitas terhadap narkotik dan sedatif sehingga
merupakan indikasi untuk dilakukan intubasi awake
dengan fiber optic. Gunakan ETT berspiral (non-
kinking). Hemostasis diamankan dengan pemasangan
tampon laring.
- Induksi: Preoksigenasi O2 100% dengan sungkup
selama 1-3 menit. Fentanyl pada permulaan induksi 1-3
mcg/kg. Propofol 1.5 – 2.5 mg/KgBB IV secara
perlahan dan bertahap, Atracurium 0.3 – 0.5 mg/kg.
- Pemasangan mouth gag: pada saat pemasangan
mouth gag harus diperhatikan bahwa ETT mungkin
tertarik, tertekuk, ataupun terdorong. Oleh karena itu,
pengecekan kembali posisi ETT setelah pemasangan
mouth gag harus dilakukan.
- Pemeliharaan: O2 30-100%, N2O 0-70%, Fentanyl 1-
ANESTESI PADA OPERASI TONSILEKTOMI DAN/ATAU
ADENOIDEKTOMI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
3/4
RSU NURHAYATI
GARUT

10 mcg/kg/jam, volatil, pelumpuh otot tidak diperlukan.


- Pengakhiran: Keluarkan tampon laring. Ekstubasi
dilakukan saat pasien sadar penuh (fully awake) ketika
semua refleks mempertahankan jalan nafas sudah
timbul. Lakukan penyedotan (suctioning) dengan hati-
hati untuk mencegah perdarahan di area operasi.

Pascaoperatif:
a. Posisi pasien: pasien diposisikan miring dengan
posisi kepala lebih rendah (tonsillar position).
b. Monitoring: monitoring standar, perhatikan tanda-
tanda perdarahan.
- Komplikasi pasca operasi: Tampon tertinggal,
laringospasme/bronkospasme, perdarahan tonsil
(bleeding tonsil).
- Penatalaksanaan nyeri: Meperidine 0.5-1 mg/Kg/jam
IV, Acetaminophen supp. 240 mg (usia 4-5 tahun), 325
– 650 mg (usia 10-11 tahun) setiap 4-6 jam.
Unit Terkait - Dokter Spesialis THT
- Dokter Spesialis Anestesi
- Residen anestesi
- Perawat anestesi
- Perawat bedah
- Depo farmasi.

Dokumen Terkait - Catatan rekam medik


- Surat izin operasi
ANESTESI PADA OPERASI TONSILEKTOMI DAN/ATAU
ADENOIDEKTOMI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
4/4
1/4
RSU NURHAYATI
GARUT

- Surat izin anestesi


- Laporan/catatan anestesi dan operasi.
ANESTESI PADA OPERASI GENITOURINARI:
SISTOSKOPI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


STANDAR Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PROSEDUR
OPERASIONAL 16 Januari 2019
TETAP
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan
sistoskopi.
Kebijakan Pemantauan saturasi oksigen harus dilakukan secara ketat
pada pasien-pasien obes atau geriatri dengan fungsi
cadangan paru terbatas yang akan diposisikan litotomi
atau trendelenburg.
Prosedur MANAJEMEN PREOPERATIF
- Manajemen preoperatif bervariasi sesuai dengan umur,
jenis kelamin pasien, dan prosedur yang akan
dilakukan.
- Pada pasien usia tua difokuskan pada perubahan
fisiologi dan adanya penyakit penyerta.

MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Posisi Litotomi:
a. A,Kesalahan dalam mengatur posisi pasien dapat
ANESTESI PADA OPERASI GENITOURINARI:
SISTOSKOPI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
2/4
1/4
RSU NURHAYATI
GARUT

menyebabkan trauma iatrogenik.


b. Untuk menaikkan dan menurunkan tungkai pasien
harus dilakukan oleh 2 orang dan dilakukan secara
simultan.
c. Penyangga tungkai harus dilapisi dengan pad dan
kedua tungkai harus menggantung secara bebas.
d. Trauma pada nervus peroneal komunis akan
mengakibatkan terjadinya ketidakmampuan untuk
melakukan dorsofleksi kaki, hal ini diakibatkan oleh
penekanan bagian lateral dari strap support.
Sedangkan bila tungkai lebih menekan pada bagian
medial dari strap support akan terjadi kompresi dari
nervus safenus yang akan memimbulkan rasa baal
sepanjang medial calf.
e. Fleksi tungkai yang berlebihan dapat menyebabkan
trauma pada nervus obturator dan kadang-kadang
n. femoralis. Posisi fleksi tungkai yang ekstrim juga
dapat menyebabkan peregangan pada n. sciatic.
f. Posisi litotomi yang terlalu lama dilaporkan dapat
menyebabkan sindrom kompartemen pada
ekstremitas bawah dengan rhabdomiolisis.
g. Posisi litotomi akan menyebabkan perubahan
fisiologis pada pasien, yaitu: penurunan FRC yang
menjadi predisposisi untuk terjadinya atelektasis
dan hipoksia.
h. Efek ini akan diperkuat dengan posisi trendelenburg
(> 30 derajat).
ANESTESI PADA OPERASI GENITOURINARI:
SISTOSKOPI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
3/4
1/4
RSU NURHAYATI
GARUT

i. Elevasi tungkai akan menyebabkan peningkatan


aliran balik darah vena secara akut yang dapat
mengeksaserbasi terjadinya gagal jantung kongestif.
Tekanan darah rata-rata sering kali meningkat tetapi
curah jantung tidak berubah secara signifikan.
j. Sebaliknya menurunkan tungkai secara mendadak
dapat menyebabkan penurunan aliran darah balik
vena yang mengakibatkan terjadinya hipotensi.
Keadaan hipotensi ini akan diperberat oleh efek
vasodilatasi dari anestesi regional atau umum. Oleh
karena itu maka pemantauan tekanan darah harus
dilakukan segera setelah kaki diturunkan.

Pilihan Teknik Anestesi:


Anestesi Umum:
a. Anestesi umum dengan menggunakan LMA merupakan
teknik yang paling sering menjadi pilihan pada pasien
yang akan menjalani prosedur sistoskopi dikarenakan
durasi yang singkat (15-20 menit), dan biasanya
dilakukan pada pasien ODS.
b. Pemantauan saturasi oksigen harus dilakukan secara
ketat pada pasien-pasien obesitas atau geriatri dengan
cadangan fungsi paru terbatas yang akan diposisikan
litotomi atau trendelenburg.
Anestesi Regional:
a. Pilihan anestesi regional dapat dilakukan baik dengan
spinal maupun epidural dengan hasil yang sama-sama
ANESTESI PADA OPERASI GENITOURINARI:
SISTOSKOPI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
4/4
1/4
RSU NURHAYATI
GARUT

memuaskan.
b. Sebagian besar anestesiolog lebih banyak memilih
teknik anestesi spinal dibandingkan epidural
dikarenakan mula kerja lebih cepat (5 menit)
dibandingkan epidural (15-20 menit) terutama pada
prosedur yang tidak terlalu lama.
c. Beberapa anestesiolog berpendapat bahwa
mengangkat tungkai untuk memposisikan pasien dalam
posisi litotomi hanya boleh dilakukan setelah blokade
level sensorik tercapai, namun penelitian-penelitian
yang dilakukan tidak dapat membuktikan bahwa elevasi
tungkai yang dilakukan segera setelah injeksi intratekal
akan menyebabkan peningkatan level anesthesia atau
peningkatankejadian hipotensi berat.
d. Tindakan sistoskopi memerlukan blokade sensoris
setinggi T10.
e. Namun teknik anestesi regional tidak dapat
menghilangkan reflek obturator (gerakan rotasi
eksternal dan adduksi sebagai akibat sekunder dari
stimulasi n. obturator oleh kauter elektrik pada dinding
lateral vesika).
f. Reflek obturator ini hanya dapat dihilangkan dengan
memakai pelemas otot dalam anestesi umum.
Unit Terkait Kamar Bedah
Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
ANESTESI PADA OPERASI GENITOURINARI:
TRANSURETHRAL RESECTION OF THE PROSTATE
(TURP)
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU 1/9
NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


PELAYANAN
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
BAGIAN
ANESTESIOLO
GI
DAN TERAPI
dr. Hj. Anne Lisnawati
INTENSIF
NIK. 1983062320100116
Pengertian
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien genitourinari yang akan menjalani tindakan
pembedahan TURP.
Kebijakan Bila dibandingkan dengan teknik anestesi umum, maka
teknik anestesi regional memberikan keuntungan untuk
mengurangi insiden thrombosis pascaoperasi, dan dengan
teknik ini tanda-tanda terjadinya sindrom TURP atau
perforasi vesika urinaria lebih mudah dikenali .
Prosedur MANAJEMEN PREOPERATIF
- Pasien yang akan menjalani operasi prostat harus
dilakukan evaluasi yang ketat terhadap kemungkinan
penyakit penyerta pada jantung dan paru seperti halnya
evaluasi terhadap disfungsi renal yang ada.
- Hal ini dikarenakan umur pasien yang akan menjalani
operasi prostat biasanya relatif lanjut (30-60%) yang
merupakan prevalensi baik kelainan kardiovaskular
ANESTESI PADA OPERASI GENITOURINARI:
TRANSURETHRAL RESECTION OF THE PROSTATE
(TURP)
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU 1/9
2/9
NURHAYATI
GARUT

maupun paru.
- Lakukan optimalisasi terhadap penyakit penyerta
sebelum operasi dilakukan.

MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Pilihan teknik anestesi untuk TURP dengan anestesi
regional spinal/ epidural memberikan kondisi anestesi
dan operasi yang sangat baik sekali.
- Target level sensoris yang diharapkan adalah pada level
T10.
- Bila dibandingkan dengan teknik anestesi umum, maka
teknik anestesi regional memberikan keuntungan untuk
mengurangi insiden thrombosis pascaoperasi, dan
dengan teknik ini maka tanda-tanda bila terjadi TURP
atau perforasi vesika urinaria lebih mudah dikenali.
- Tetapi dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan
hasil bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara
teknik anestesi umum dengan anestesi regional terhadap
jumlah perdarahah, fungsi kognitif pascaoperasi, dan
mortalitas.
- Apabila akan dilakukan teknik anestesi regional pada
pasien dengan karsinoma maka harus terlebih dahulu
dipastikan tidak adanya metastase ke tulang vertebrae.
- Bila pasien yang dilakukan TUPR dengan anestesi
umum mengalami kesulitan untuk dibangunkan, maka
harus dipikirkan kemungkinan adanya hiponatremia.
ANESTESI PADA OPERASI GENITOURINARI:
TRANSURETHRAL RESECTION OF THE PROSTATE
(TURP)
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU 3/9
1/9
NURHAYATI
GARUT

- Evaluasi status mental pada pasien yang tetap sadar


merupakan cara monitoring yang terbaik untuk
mendeteksi secara dini terjadinya sindrom TURP dan
perforasi vesika urinaria.
- Tanda dini apabila terjadi kelebihan cairan adalah
penurunan saturasi oksigen -arteri.
- Lakukan pemantauan EKG secara ketat terhadap
kemungkinan terjadinya iskemik. Insiden iskemik pada
pasien yang menjalani TURP bisa mencapai 18%.
- Temperatur harus dipantau untuk mencegah terjadinya
hipotermia terutama pada prosedur yang panjang.
- Jumlah perdarahan pada TURP akan sulit diukur
dikarenakan pemakaian cairan irigasi. Jumlah
perdarahan diperkirakan 3-5 ml/ menit saat reseksi
dilakukan (biasanya perdarahan total berkisar antara
200-300 ml). Biasanya transfusi diperlukan bila volume
prostat > 45 g dan durasi > 90 menit.

KOMPLIKASI TURP
- Perdarahan
- TURP syndrome
- Perforasi vesika urinaria
- Hipotermia
- Septikemia
- DIC (koagulopati)
ANESTESI PADA OPERASI GENITOURINARI:
TRANSURETHRAL RESECTION OF THE PROSTATE
(TURP)
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU 1/9
4/9
NURHAYATI
GARUT

TURP SYNDROME
a. Tindakan TURP akan menyebabkan terbukanya sinus
venosus yang ekstensif, hal ini potensial untuk
menyebabkan absorbsi sistemik dari cairan irigasi.
b. Absorbsi cairan irigasi yang berlebihan (2 liter atau lebih)
akan menimbulkan berbagai gejala yang dinamakan
dengan TURP syndrome yang dapat terjadi selama atau
setelah operasi.
c. Gejala klinis dari TURP syndrome adalah:
- Sakit kepala
- Lemas
- Konfusi
- Sianosis
- Sesak
- Aritmia
- Hipotensi
- Kejang
d. Manifestasi TURP syndrome:
1) Hiponatremia
 Hipoosmolalitas
 Kelebihan cairan (gagal jantung kongestif, edema
paru, hipotensi)
 Hemolisis
 Toksisitas solut; hiperglisinemia, hiperammonia,
hiperglisinemia (glisin), ekspansi volume
intravaskular (manitol)
ANESTESI PADA OPERASI GENITOURINARI:
TRANSURETHRAL RESECTION OF THE PROSTATE
(TURP)
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU 1/9
5/9
NURHAYATI
GARUT

e. Manifestasi klinis di atas disebabkan oleh beberapa


kemungkinan, yaitu:
o Kelebihan cairan pada sirkulasi
o Intoksikasi air
o Toksisitas dari cairan irigasi
f. Besarnya jumlah cairan yang diabsorbsi tergantung pada:
 Tonisitas cairan irigasi; absorbs terhadap cairan
irigasi dapat terjadi terhadap semua cairan irigasi
yang bersifat hipotonik yang digunakan, misalkan:
glisin 1,5% (230 mOsm/ L), atau campuran sorbitol
2,7% dan manitol 0,54% (195 mOsm), sorbitol 3,3%,
mannitol 3%, dekstrosa 2,5-5%, dan urea 1%.
 Tekanan irigasi yang tinggi; semakin tinggi tekanan
akan mengakibatkan jumlah cairan yang diabsorbsi
semakin besar.
 Durasi reseksi; reseksi dengan TURP biasanya
membutuhkan waktu 45-60 menit, dengan rata-rata
absorbs cairan irigasi 20 ml/ menit.
g. Absorbsi cairan irigasi dalam jumlah besar akan segera
menyebabkan terjadinya kongesti paru atau edema paru.
Hal ini terjadi terutama pada pasien dengan fungsi
jantung yang terbatas.
h. Hipotonisitas cairan irigasi akan mengakibatkan
hiponatremia akut dan hipoosmolalitas yang akan
mengakibatkan manifestasi neurologis yang serius.
i. Gejala-gejala akibat hiponatremia biasanya terjadi bila
ANESTESI PADA OPERASI GENITOURINARI:
TRANSURETHRAL RESECTION OF THE PROSTATE
(TURP)
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU 6/9
1/9
NURHAYATI
GARUT

kadar natrium menurun di bawah 120 mEq/ L, dan


apabila terjadi hipotonis berat pada plasma (natrium <
100 mEq/ L) akan mengakibatkan hemolisis
intravaskular.
j. Toksisitas dapat terjadi akibat absorbsi dari solut cairan
irigasi. Hiperglisinemia terjadi pada penggunaan cairan
irigasi glisin bila konsentrasi glisin dalam plasma melebihi
1000 mg/ L (normal: 13-17 mg/ L) yang akan
mengakibatkan depresi sirkulasi dan toksisitaas pada
SSP. Glisin akan didegradasi menghasilkan amoniak
sehingga dapat terjadi hiperammonemia (normal: 5-
50umol/ L). Penggunaan sorbitol dan dekstrosa akan
mengakibatkan hiperglikemia, sedangkan penggunaan
manitol akan meningkatkan ekspansi volume
intravascular dan mengeksaserbasi kelebihan cairan.
k. Penatalaksanaan sindrom TURP:
 Lakukan restriksi cairan
 Berikan loop diuretik
 Hiponatremia berat yang menimbulkan kejang dan
koma diterapi dengan memberikan salin hipertonik.
 Lakukan koreksi hiponatremia dengan salin hipertonik
(3% atau 5%) berdasarkan konsentrasi natrium dalam
serum pasien sampai tercapai level yang aman.
 Salin hipertonik tidak boleh diberikan melebihi 100 ml/
jam karena dapat terjadi eksaserbasi kelebihan cairan
pada sirkulasi.
ANESTESI PADA OPERASI GENITOURINARI:
TRANSURETHRAL RESECTION OF THE PROSTATE
(TURP)
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU 1/9
7/9
NURHAYATI
GARUT

 Atasi kejang dengan memberikan dosis kecil


midazolam (2-4 mg), diazepam (3 mg), atau thiopental
(50-100 mg)
 Pencegahan kejang diberikan fenitoin intravena 10-20
mg/ kg (tidak lebih dari 50 mg/ menit).
 Disarankan untuk melakukan pemasangan ETT
selama kesadaran pasien beloum pulih untuk
menghindari terjadinya aspirasi.

HIPOTERMIA
- Volume cairan irigasi dengan suhu kamar yang diberikan
dalam jumlah besar merupakan penyebab utama
hilangnya panas dari tubuh pasien.
- Untuk mencegah terjadinya hipotermia maka cairan
irigasi harus dihangatkan sampai suhu tubuh terlebih
dahulu sebelum dipakai.
- Terjadinya menggigil akibat hipotermia pascaoperasi
harus dicegah karena dapat mengakibatkan terlepasnya
bekuan darah/clot sehingga menimbulkan perdarahan
pascaoperasi.

PERFORASI VESIKA URINARIA


- Perforasi dapat terjadi karena resektoskop yang
menembus dinding vesika atau distensi yang berlebihan
pada vesika akibat cairan irigasi.
- Sebagian besar perforasi vesika terjadi pada daerah
ANESTESI PADA OPERASI GENITOURINARI:
TRANSURETHRAL RESECTION OF THE PROSTATE
(TURP)
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU 1/9
8/9
NURHAYATI
GARUT

retroperitoneal yang ditandai dengan aliran balik cairan


irigasi yang sangat sedikit.
- Perforasi yang terjadi pada pasien yang tetap sadar akan
mengalami keluhan nausea, diaphoresis, dan nyeri pada
daerah retropubis atau abdomen bagian bawah.
- Perforasi yang berukuran besar pada ekstraperitoneal
atau intraperitoneal akan mengakibatkan hipotensi (atau
hipertensi) yang terjadi secara mendadak disertai dengan
keluhan nyeri seluruh abdomen (bila pasien sadar).
Dugaan perforasi ini akan semakin diperkuat apabila
didapatkan bradikardi yang disebabkan oleh vagal.

KOAGULOPATI
- Disseminated intravascular coagulation (DIC) yang terjadi
pada TURP disebabkan karena pelepasan tromboplastin
dari prostat kedalam sirkulasi selama pembedahan.
- Trombositopeni dilusional juga dapat terjadi akibat
absorbsi cairan irigasi.
- Pada pasien dengan karsinoma terjadinya koagulopati
dikarenakan karena sekresi enzim fibrinolitik oleh sel
tumor sehingga terjadi fibrinolisis.
- Dugaan diagnosa DIC adalah apabila terjadi perdarahan
difus yang tidak terkontrol, kemudian dugaan ini harus
dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium.
- Fibrinolisis primer diterapi dengan memberikan ε-amino
caproic acid (Amicar) 5 g dilanjutkan dengan 1 g/ jam
ANESTESI PADA OPERASI GENITOURINARI:
TRANSURETHRAL RESECTION OF THE PROSTATE
(TURP)
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU 1/9
9/9
NURHAYATI
GARUT

secara intravena.

SEPTIKEMIA
- Prostat sering menjadi tempat kolonisasi bakteri dan
dapat menyebabkan infeksi kronis.
- Manipulasi pembedahan yang ekstensif bersamaan
dengan terbukanya sinus venosus dapat menyebabkan
masuknya organisme ke dalam aliran darah sehingga
terjadilah septicemia atau syok septik.
- Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya bakteriemia
dan episode septik dapat diberikan antibiotic profilaksis,
seperti: gentamisin, levofloksasin, atau sefazolin.

MANAJEMEN PASCAOPERASI
Pascaoperasi lakukan pemantauan terhadap komplikasi-
komplikasi yang dapat terjadi akibat TURP.
Unit Terkait Kamar Bedah
Dokumen - Catatan rekam medis
Terkait - Lembar informed consent
PENANGANAN TRANSPORTASI PASIEN PASCA
ANESTESI KE UNIT TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/2
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


PELAYANAN Direktur RSU NURHAYATI GARUT
BAGIAN
ANESTESIOLOGI 16 Januari 2019
DAN TERAPI
INTENSIF dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Cara membawa pasien pasca anestesi dan operasi yang
memerlukan perawatan Intensif ke Unit Terapi Intensif/
UPK.
Tujuan Mengupayakan stabilitas fungsi vital pasien selama
transportasi dari ruang pemulihan ke Unit Terapi Intensif/
UPK.
Kebijakan Pemantauan fungsi vital dilakukan selama perjalanan
terutama pada pasien yang direncanakan perawatan
intensif di Unit Terapi Intensif/ UPK :
1. Bantuan nafas menggunakan Ambu-bag dengan
pengawasan saturasi oksigen.
2. Bila diperlukan dapat menggunakan monitoring TD,
nadi dan EKG.
3. Pemberian obat-obatan dapat menggunakan Syringe-
pump.
4. Semua kasus yang akan ditransport ke Unit Terapi
Intensif/ UPK mutlak dilengkapi monitor tanda vital yang
mencakup TD, EKG, Pulse Oximetri.
5. Disamping itu perlu juga dilengkapi dengan peralatan-
peralatan manajemen jalan nafas, obat emergensi
PENANGANAN TRANSPORTASI PASIEN PASCA
ANESTESI KE UNIT TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/2
2/2
RSU NURHAYATI
GARUT

seperti SA dan Adrenalin.


Prosedur 1. Kordinasi dengan petugas ruang perawatan untuk
bersama-sama dengan petugas anestesi membawa
pasien ke UPK.
2. Kordinasi dengan petugas UPK bahwwa pasien akan
diantar.
3. Kereta dorong dilengkapi dengan perlengkapan :
 Tabung oksigen.
 Alat-alat Bantu nafas dan resusitasi.
 Obat-obat resusitasi (Adrenalin, lidokain, sulfas
atropine, natrium bikarbonat) yang siap didalam
syring-pump untuk digunakan .
 Pemasangan alat monitor saturasi oksigen,tekana
darah, nadi dan EKG.
4. Memperhatikan fungsi vital pasien dari saat
perpindahan dan pendorongan

Unit Terkait 1. Kamar Operasi


2. High Care Unit
Dokumen Terkait
PENANGANAN PENATALAKSANAAN NYERI
PASCA ANESTESI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/2
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


PELAYANAN Direktur RSU NURHAYATI GARUT
BAGIAN
ANESTESIOLOGI 16 Januari 2019
DAN TERAPI
INTENSIF dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Mengatasi rasa nyeri pada pasien pasca anestesi dan
operasi setelah hilangnya efek obat anestesi (analgesi,
hipnotik/sedative dan relaksasi otot).
Tujuan 1. Memberikan rasa nyaman dengan mengatasi rasa
nyeri dan stress psikis pada pasien pasca anestesi
dan operasi.
2. Mencegah terjadinya komplikasi dari rasa nyeri
pasca anestesi dan operasi.
Kebijakan 1. Pasien pasca anestesi dan operasi kembali ruang
perawatan dengan keadaan yang nyaman.
2. Skala VAS (Visual analog scale “o” atau “no pain”)
Prosedur 1. Penilaian fungsi vital
2. Berikan obat analgetik sesuai dengan indikasi dan
kondisi pasien.
3. Penilaian fungsi vital setelah pemberian obat
analgetik
4. Pencatatan pada tanda vital,jenis dan dosis obata
analgetik yang diberikan pada Kartu Anestesi dan
Buku Laporan.
Unit Terkait 1. Kamar Operasi
PENANGANAN PENATALAKSANAAN NYERI
PASCA ANESTESI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/2
2/2
RSU NURHAYATI
GARUT

2. Rekam Medis
Dokumen Terkait
PENANGANAN PELIMPAHAN WEWENANG
PENATALAKSANAAN ANESTESI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PELAYANAN BAGIAN
16 Januari 2019
ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI
INTENSIF
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Pelimpahan wewenang penatalaksanaan anestesi
adalah pendelegasian dari Dokter Spesialis kepada
dua orang Penata/ Perawat Anestesi lulusan Program
D-III Akademi Anestesiologi/ Perawat khusus dengan
sertifikat pelatihan anestesi, yang dikarenakan
sesuatu hal menyebabkan dokter spesialis anestesi
tersebut tidak dapat hadir di tempat pelaksanaan
tindakan anestesi tersebut.
Tujuan 1. Memberikan kepastian tanggungjawab dan hukum
bagi setiap anggota tim penatalaksanaan anestesi.
2. Memberikan pelayanan kesehatan yang aman,
efektif, nyaman dan memuaskan
3. Sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas
penatalaksanaan anestesi bagi tim anestesi di
Anestesiologi dan Terapi Intensif di RSUD
Kabupaten Tasikmalaya
Kebijakan 1. Pelimpahan tugas melakukan tindakan anestesi
dapat diberikan kepada:
 Perawat yang telah menyelesaikan pendidikan
Akademi Keperawatan Anestesiologi atau
PENANGANAN PELIMPAHAN WEWENANG
PENATALAKSANAAN ANESTESI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
2/4
RSU NURHAYATI
GARUT

Pelatihan Anestesi dan mempunyai


kemampuan untuk di beri tugas limpah
tersebut.
 Perawat yang telah memiliki sertifikat mahir
anestesi dan telah bekerja di Anestesiologi
secara terus menerus selama minimal 5 tahun
dan mempunyai kemampuan untuk diberi
tugas limpah tersebut.
2. Dokter Spesialis Anestesi memberikan pelimpahan
tugas secara tertulis dengan instruksi tertulis.
3. Kriteria pasien yang dalam tindakan anestesi
dapat dilimpahkan kepada perawat :
 Status fisik ASA I-II dengan penyakit penyerta
yang minimal.
 Tindakan operasi tidak menmbulkan rasa sakit
yang berlebihan. Tindakan operasi bukan di
daerah kepala, leher dan rongga dada.
 Tindakan operasi darurat dengan ketentuan :
 Tindakan penyelamatan hidup.
 Keadaan pasien tidak memungkinkan
menunggu lebih lama, sambil menunggu
kedatangan Dokter Spesialis Anestesi.
4. Dokter Spesialis Anestesi bertanggungjawab
3/4
terhadap tindakan medis, sedangkan Perawat
Anestesi bertanggung jawab terhadap tindakan
keperawatan anestesi.
Penatalaksanaan Anestesi dilakukan oleh tim yang
PENANGANAN PELIMPAHAN WEWENANG
PENATALAKSANAAN ANESTESI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
RSU NURHAYATI
GARUT

terdiri dari Dokter Spesialis Anestesi, Dokter


Umum yang terlatih dan Penata/ Perawat Anestesi
yang terdidik dan terlatih.
Prosedur 1. Jika Dokter Spesialis Anestesi berada dikamar
operasi, pelimpahan wewenang dan instruksi
dapat dimintakan secara tertulis.
2. Jika Dokter Spesialis Anestesi tidak berada
dikamar operasi tetapi masih dapat dijangkau,
pelimpahan wewenang dan instruksi dapat
diamanatkan secara lisan kemudian dapat
dikonfirmasikan secara tertulis dan di paraf
kemudian.
3. Pemberi, penerima pelimpahan tugas dan saksi
dari proses ini sama-sama menandatangani diatas
lembaran pelimpahan tugas yang ada pada Kartu
Anestesi
4. Penata/ Perawat Anestesi datang lebih awal untuk
persiapan awal tindakan Anestesi ( Anamnesa
Awal, Alat, Obat)
5. Penata/ Perawat Anestesi bertugas membuat
catatan medis/ laporan Anestesi di Kartu Anestesi
dan memintakan paraf kepada Dokter Spesialis
Anestesi diakhir operasi.
6. Penata/ Perawat Anestesi Tidak boleh
meninggalkan Pasien sebelum mereka operan
dengan pihak ruangan perawatan/ Unit Terapi
Intensif mengenai instruksi pascaoperasi Dokter
PENANGANAN PELIMPAHAN WEWENANG
PENATALAKSANAAN ANESTESI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
4/4
1/4
RSU NURHAYATI
GARUT

Spesialis Anestesi yang perlu menjadi perhatian


7. Penata/ Perawat Anestesi tidak boleh
meninggalkan tempat operasi tanpa seijin Dokter
Spesialis Anestesi
Unit Terkait 1. Kamar Operasi
2. Rekam Medis
Dokumen Terkait
PENANGANAN PELAPORAN DAN DOKUMENTASI
ANESTESI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/2
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


PELAYANAN Direktur RSU NURHAYATI GARUT
BAGIAN
ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI
INTENSIF dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Semua data-data dan tindakan medis yang dilakukan pada
pasien yang menjalani tindakan anestesi dan operasi
didokumentasikan pada Kartu Anestesi dan dicatat pada
Buku Laporan.
Tujuan Mempunyai catatan data penatalaksanaan anestesi dan
dapat digunakan bila perlu sewaktu-waktu.
Kebijakan 1. Data pasien baik Identitas, riwayat penyakit, tindakan
serta pengobatan hasil monitoring sebelum, selama
dan sesudah tindakan anestesi dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan keadaan pasien dicatat dalam
Kartu Anestesi.
2. Setelah tindakan anestesi dan operasi selesai
dilaksanakan, kartu anestesi disertakan dengan Status
Pasien, sebelumnya dilakukan pencatatan pada Buku
Laporan.
Prosedur 1. Isi data identitas, riwayat penyakit, tindakan dan
pengobatan hasil monitoring sebelum, selama dan
sesudah tindakan pada Kartu Anestesi sesuai dengan
PENANGANAN PELAPORAN DAN DOKUMENTASI
ANESTESI
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
2/2
1/2
RSU NURHAYATI
GARUT

kolom yang tersedia secara benar.


2. Catat seluruh tindakan penatalaksanan anestesi pada
Buku Laporan.
3. Pelaporan penatalaksanaan anestesi maupun
pembuatan program penatalaksanaan anestesi
berdasarkan Buku Laporan tersebut.
4. Bila sewaktu-waktu Kartu Anestesi diperlukan untuk
pembahasan medik, dapat dipinjam dari bagian Rekam
Medis.
Unit Terkait 1. Kamar Operasi
2. Rekam Medis
Dokumen Terkait 1. Status Anestesi
2. Catatan Rekam Medis
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA TINDAKAN BEDAH RAWAT JALAN
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/3
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PELAYANAN BAGIAN
ANESTESIOLOGI
16 Januari 2019
DAN TERAPI
INTENSIF
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Anestesi pada tindakan rawat jalan adalah tindakan
anestesi yang dilakukan pada pasien yang menjalani
tindakan operasi atau medis lainnya secara berobat
jalan,yaitu datang dari rumah dan setelah selesai
tindakan kembali pulang kerumah pasien pada hari itu
juga.
Tujuan Mengurang daftar tunggu operasi, mengurangi resiko
infeksi nosokomial dan lebih ekonomis
Kebijakan Kriteria :
 Durasi sedang.
 Blood loss/third shift minimal.
 No surgical equipment requine.
 No surgical post op Unit Terapi Intensif/UPK
Care
 Injuri pasca bedah dapat ditangani.
Sosial :
 Pengenalan 24 jam dari orang dewasa
 Mengerti instruksi
 Mempunyai akses yang mudah untuk konikasi
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA TINDAKAN BEDAH RAWAT JALAN
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
2/3
1/3
RSU NURHAYATI
GARUT

via telepon atau ke dokter umum


 Penyakit tidak dipengaruhi oleh tindakan
/operasi
 Pasien datang pagi hari dimana penentuan
operasi setelah operasi untuk mencegah
penundaan.
Anestesi pada tindakan rawat jalan pada umumnya
dilakukan pada tindakan operasi singkat, perdarahan
minimal, daerah operasi bukan pada jalan nafas atau
rongga tubuh, dan dilaksanakan pada keadaan
kondisi pasien yang baik dengan kriteria sebagai
berikut :
1. Pasien dengan status fisik ASA1-2.
2. Usia>1 thn dan <60 thn.
3. Pasien koperatif,ada yang mengantar dan ada
alat komunikasi di rumah sehingga dalam
keadaan darurat dapat berhubungan dan
segera di bawa ke fasilitas kesehatan terdekat.
4. Perdarahan minimal (<5% estimasi volume
darah tubuh).
5. Lama operasi <2 jam.
6. Menggunakan teknik anestesi umum dengan
menggunakan obat-obat anestesi dengan lama
kerja obat yang singkat.
Prosedur 1. Pasien datang pagi hari dalam keadaan puasa
yang cukup, diterima di ruang persiapan.
2. Masuk ke kamar Operasi sesuai dengan jadwal
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA TINDAKAN BEDAH RAWAT JALAN
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/23/3
3/2
1/3
RSU NURHAYATI
GARUT

yang sudah ditentukan .


3. Setelah selesai tindakan anestesi dan operasi,
pasien dimasukkan keruang pemulihan. pasien
diperbolehkan pulang dengan keadaan sebagai
berikut :
 Skor pemulihan Aldrete minimal 10.
 Sudah tidak terdapat keluhan pusing / mual,
rasa nyeri yang berlebihan, dan perdarahan
aktif.
 Sebelum dipulangkan pasien di coba secara
bertahap untuk duduk, berdiri, berjalan
sampai tanpa bentuan orang lain dan dapat
menggunakan baju sendiri.
4. Pasien dan atau keluarga yang mengantar
diberi penjelasan tentang penengganan hal-hal
yang mungkin terjadi sehubungan dengan
keadaan pasca tindakan anestesi dan operasi.
5. Yang bertanggungg jawab pemulangan pasien
adalah Dokter Spesialis Anestesi.
Unit Terkait 1. Dokter Spesialis Anestesi
2. Dokter Spesialis Bedah
3. Dokter Spesialis Kebidanan dan Penyakit
Kandungan
4. Unit Rawat Jalan
5. Kamar Operasi
Dokumen Terkait 1. Catatan Rekam Medis
2. Status Anestesi
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
DAN PEMBEDAHAN UNTUK PASIEN DENGAN
MASALAH PENGUASAAN JALAN NAFAS
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU NURHAYATI 1/5
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


PELAYANAN Direktur RSU NURHAYATI GARUT
BAGIAN
ANESTESIOLOGI 16 Januari 2019
DAN TERAPI
INTENSIF dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Tindakan anestesi dan pembedahan untuk pasien
dengan masalah penguasaan jalan nafas
Tujuan Sebagai panduan untuk melakukan penatalaksanaan
pasien dengan masalah penguasaan jalan nafas
Kebijakan Penatalaksanaan harus sesuai dengan urutan dalam
algoritme difficult airway.
Prosedur Persiapan Perioperatif :
 Anamnesa :
a. Riwayat penyakit sekarang dan terdahulu.
b. Riwayat sesak napas, tidur mendengkur,
perubahan suara, gangguan menelan.
 Pemeriksaan Fisik :
a. Kesadaran, nadi, tekanan darah, laju napas,
SpO2
b. Wajah dan leher :
 Bentuk dan malformasi
 Edema, hiperemis
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
DAN PEMBEDAHAN UNTUK PASIEN DENGAN
MASALAH PENGUASAAN JALAN NAFAS
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU NURHAYATI 2/5
1/5
GARUT

 Airway dan sistem respirasi :


 Buka mulut (pembukaan mulut > 3 jari
pasien)
 Gigi geligi (panjang gigi, gigi palsu, gigi
goyang)
 Mallampati
 Adanya perubahan struktur dalam
rongga mulut karena kelainannya
 Massa rapuh / mudah berdarah atau
tidak
 Jarak mentum-tiroid, panjang leher,
pergerakan dan ekstensi leher
 Pemeriksaan Penunjang :
a. Pemeriksaan laboratorium : darah rutin (Hb, Ht,
leukosit, trombosit), AGD, dan elektrolit jika
diperlukan.
b. Thorax foto, Rontgen jaringan lunak leher, CT
Scan daerah yang akan dioperasi.
 Klasifikasi ASA
 Apabila diduga akan didapatkan kesulitan dalam
menguasai jalan napas yang berkaitan dengan
prosedur pembedahannya, dilakukan pembicaraan
/ diskusi (join conference) bersama terlebih dahulu
antara Departemen Anestesi dan departemen lain
yang terlibat.
 Informed Consent dilakukan oleh dokter Anestesi
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
DAN PEMBEDAHAN UNTUK PASIEN DENGAN
MASALAH PENGUASAAN JALAN NAFAS
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU NURHAYATI 1/5
3/5
GARUT

dan dokter Bedah (Onkologi, Plastik, Bedah Mulut,


THT-KL) terhadap penderita dan keluarga
penderita dengan disaksikan (didampingi) oleh
perawat Anestesi / Bedah.

Penatalaksanaan :
1. Bila kemungkinan penguasaan jalan napas sulit,
pikirkan untuk melakukan intubasi dalam keadaan
pasien tetap sadar.
a. Berikan suplemen oksigen.
b. Persiapkan alat-alat bantu :
 Peralatan intubasi standar (facemask,
oropharyngeal atau nasopharyngeal airway,
laringoskop, stylet, Magill forceps, suction)
 LMA, ETT (biasa dan spiral) 3 ukuran (yang
diperkirakan, 1 ukuran lebih besar dan lebih
kecil)
 Peralatan intubasi khusus (stylet Lightwand,
laringoskop McKoy, bronkhoskop fiber
optik)
 Kapnograf atau end-tidal carbon dioxide
detector
c. Persiapkan obat-obatan :
 Obat-obatan resusitasi : Adrenalin, Sulfas
Atropin
 Obat-obatan suportif : antisialogogue
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
DAN PEMBEDAHAN UNTUK PASIEN DENGAN
MASALAH PENGUASAAN JALAN NAFAS
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU NURHAYATI 4/5
1/5
GARUT

(Sulfas Atropin), anestesi lokal (topikal


maupun injeksi)
 Obat-obatan anestesi umum
d. Intubasi pasien sadar dapat dilakukan dengan :
 Bronkoskopi fiber optik
 Laringoskopi direk
 Intubasi blind orotracheal atau nasotracheal
 Intubasi retrograde
 Bantuan stylet khusus (lightwand)
 Bronkoskopi rigid
 Dilatasi trachea perkutan
e. Bila intubasi pasien sadar mengalami
kegagalan, pertimbangkan untuk dilakukan
trakheostomi atau tunda dahulu pasien untuk
perencanaan tindakan yang lebih baik.
f. Trakheostomi dilakukan preoperatif pada
penderita yang pascaoperasi telah diperkirakan
memerlukan trakheostomi untuk
mempertahankan jalan napasnya.
g. Setiap tindakan trakheostomi di kamar operasi
harus didampingi dokter Anestesi dengan
persiapan difficult airway management dan
bronkhoskopi fiber optic.

Pasca operasi
1. Perawatan di RR, lakukan observasi :Tanda-tanda
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
DAN PEMBEDAHAN UNTUK PASIEN DENGAN
MASALAH PENGUASAAN JALAN NAFAS
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU NURHAYATI 5/5
1/5
GARUT

vital : kesadaran, nadi, tekanan darah, laju napas,


SpO2
2. Jika perlu observasi lebih lanjut maka dipikirkan
perawatan di HCU / ICU
Unit Terkait 1. Dokter Spesialis Anestesi
2. Dokter Spesialis Bedah Onkologi
3. Dokter Spesialis Bedah Plastik
4. Dokter Spesialis Bedah Mulut
5. Dokter Spesialis THT-KL
Dokumen Terkait 1. Catatan Rekam Medis
2. Status Anestesi
PENANGANAN PENATALAKSANAAN REHIDRASI
PEDIATRIK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


PELAYANAN Direktur RSU NURHAYATI GARUT
BAGIAN
ANESTESIOLOGI 16 Januari 2019
DAN TERAPI
INTENSIF dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian
Tujuan Memberikan acuan yang benar dalam memperbaiki
volume cairan dan pengaturan cairan pada bayi dan
anak sebelum berlangsungnya operasi.
Kebijakan Memberikan pelayanan anestesi pada operasi bayi /anak
secara aman dan benar.
Prosedur I. Penentuan derajat dehidrasi
Untuk dapat memberikan rehidrasi yang tepat,
tentukan terlebih dahulu derajat dehidrasi dari bayi
dan anak.

Dehidrasi Dehidrasi Dehidrasi


Ringan (1- Sedang (6- Berat
5%) 10%) (11-15%)
Kesadaran Komposmentis Delirium Lethargy
Nadi Normal Meningkat Takikardia
Tekanan Normal Normal Menurun
darah
PENANGANAN PENATALAKSANAAN REHIDRASI
PEDIATRIK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
2/6
RSU NURHAYATI
GARUT

Mukosa Kering Kering Sangat


kering
fontanelle Normal Cekung Cekung
urin Normal Berkurang Hampir
tidak ada

Setiap selesai rehidrasi lakukan kembali pemeriksaan


terhadap nadi, tekanan darah, mukosa fontanel dan
urin. Terapi selanjutnya diberikan sesuai dengan
derajat dehidrasi setelah rehidrasi.

II. Cara pemberian cairan


a. Dehidrasi Ringan
Pada keadaan dehidrasi ringan terjadi kehilangan
sekitar 1-5% cairan dari tubuhnya.
Untuk neonates Total Body Water 75-80% dari
berat badan.
Untuk infant Total Body Water 70% dari berat
badan.
Total Body Water x Berat Badan x Derajat
Dehidrasi (1-5%) = jumlah cairan yang akan
diberikan
Cara melakukan rehidrasi:
 Rehidrasi dilakukan dengan menggunakan KN
1B (neonates) atau RL, NaCl0,9% ( pada anak)
selama 6 -12 jam.
 Dilanjutkan dengan cairan rumatan sesuai berat
PENANGANAN PENATALAKSANAAN REHIDRASI
PEDIATRIK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
3/6
RSU NURHAYATI
GARUT

badan.

b. Dehidrasi Sedang
Terjadi kehilangan sekitar 6-10% cairan dari
tubuhnya.
Untuk neonates Total Body Water 75-80% dari
berat badan.
Untuk infant Total Body Water 70% dari berat
badan.
Total Body Water x Berat Badan x Derajat
Dehidrasi (6-10%) = jumlah cairan yang akan
diberikan
Cara melakukan rehidrasi:
 Rehidrasi dilakukan dengan menggunakan KN
1B (neonatus) atau RL, NaCl0,9% ( pada anak)
selama 6 -12 jam.
 Setelah rehidrasi selesai lakukan pemeriksaan
ulang untuk menentukan kembali derajat
dehidrasi.
 Bila masih pada keadaan dehidrasi sedang,
maka lakukan rehidrasi seperti diatas.
 Bila sudah menjadi dehidrasi ringan hanya
dilanjutkan dengan pemberian cairan rumatan.
Rehidrasi cepat:
 Pada anak dapat diberikan RL 40cc/kgBB
diberikan selama 1-2 jam.
 Bila masih dalam keadaan derajat dehidrasi
PENANGANAN PENATALAKSANAAN REHIDRASI
PEDIATRIK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
4/6
RSU NURHAYATI
GARUT

yang sama maka dapat dilakukan pengulangan.


 Bila sudah menjadi derajat ringan maka hanya
diberikan cairan rumatan.

c. Dehidrasi Berat
Terjadi kehilangan sekitar 11-15% cairan dari
tubuhnya.
Untuk neonates Total Body Water 75-80% dari
berat badan.
Untuk infant Total Body Water 70% dari berat
badan.
Total Body Water x Berat Badan x Derajat
Dehidrasi (11-15%) = jumlah cairan yang akan
diberikan
Cara melakukan rehidrasi:
 Rehidrasi dilakukan dengan menggunakan KN
1B ( neonatus) atau RL, NaCl 0,9% ( pada
anak) selama 6 - 12 jam.
 Setelah rehidrasi selesai lakukan pemeriksaan
ulangan untuk menentukan kembali derajat
dehidrasi.
 Bila masih dalam keadaan dehidrasi berat
maka rehidrasi seperti diatas diulangi lagi.
 Bila dehidrasi sudah mengalami perbaikan
menjadi derajat sedang maka berikan setengah
jumlah cairan setengah dari jumlah cairan
terapi pertama.
PENANGANAN PENATALAKSANAAN REHIDRASI
PEDIATRIK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
5/6
RSU NURHAYATI
GARUT

 Bila sudah dalam kondisi dehidrasi ringan maka


cukup diberikan cairan rumatan.
Rehidrasi cepat:
 Pada anak dilakukan pemberian RL 40cc/kgBB
dalam 1-2 jam.
 Bila masih dalam keadaan derajat dehidrasi
yang sama maka dilakukan
pengulangan.pemberian cairan dengan
penambahan 20-40cc/kg yang diberikan dalam
1-2 jam.
 Bila dehidrasi sudah mengalami perbaikan
menjadi derajat ringan maka cukup diberikan
cairan rumatan.

III. Cairan rumatan


Cairan rumatan diberikan dengan menggunakan
rumus Holiday Sigar:
1. 4 ml/kgBB/jam pada berat 10 kg pertama
2. 2 ml/kgBB/jam pada berat 10 kg kedua
3. 1 ml/kgBB/jam pada berat sisanya
Cairan yang diberikan;
 Pada bayi D5½NaCl 0,9%
 Pada anak Ringer laktat, NaCl 0,9%

IV. Cairan pengganti puasa


Penghitungan cairan adalah :
cairan rumatan sesuai berat badan x lama puasa
PENANGANAN PENATALAKSANAAN REHIDRASI
PEDIATRIK
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
6/6
RSU NURHAYATI
GARUT

pasien
cara pemberian cairan :
 Jam 1: berikan 50% hasil perhitungan cairan
rumatan
 Jam 2: berikan 25% hasil perhitungan cairan
rumatan
 Jam 3 : berikan 25% hasil perhitungan cairan
rumatan
Unit Terkait Kamar Bedah
Dokumen Terkait Status rekam medic, lembar informed consent
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA SECTIO CESARIA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/8
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


PELAYANAN Direktur RSU NURHAYATI GARUT
BAGIAN
ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI
INTENSIF dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi
pada pasien hamil yang akan mejalani operasi sectio
caesaria (SC)
Kebijakan Pilihan teknik anestesi pada SC ditentukan oleh banyak
faktor, yaitu: indikasi operasi, urgensi, pertimbangan
pasien dan ahli kebidanan, serta keterampilan dokter
anestesi.
Indikasi 1. Resiko tinggi bagi ibu dan janin bila dilahirkan
pervaginam:
 Peningkatan resiko ruptur uterus:
 Riwayat SC sebelumnya.
 Riwayat miomektomi yng ekstensif dan
rekonstruksi uterus.
 Peningkatan resiko perdarahan:
 Plasenta previa sentral atau parsial.
 Abruptio plasenta.
 Rekonstruksi vagina sebelumnya.
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA SECTIO CESARIA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/8
2/8
RSU NURHAYATI
GARUT

2. Distosia
 Relasi fetopelvik abnormal :
 Disproporsi fetopelvik.
 Presentasi fetus abnormal.
 Disfungsi aktivitas uterus.
3. Terminasi kehamilan segera/ emergensi:
 Fetal distress
 Prolaps tali pusat
 Perdarahan maternal
 Amnionitis
 Herpes genital dengan ruptur membrane
 Ancaman kematian maternal.
Pilihan Teknik Pilihan teknik anestesi pada SC ditentukan oleh banyak
Anestesi faktor, yaitu: indikasi operasi, urgensi, pertimbangan
pasien dan ahli kebidanan, serta keterampilan dokter
anestesi.

1. Anestesi Regional:
a. Teknik regional anestesi sering menjadi pilihan. Hal
ini dikarenakan tingginya mortalitas ibu pada teknik
anestesi umum akibat masalah jalan napas, seperti
kesulitan intubasi, kesulitan ventilasi, atau
pneumonia aspirasi.
b. Resiko mortalitas akibat regional anestesi biasanya
diakibatkan blok neural yang terlalu tinggi atau
toksisitas obat anestesi.
c. Spinal vs Epidural
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA SECTIO CESARIA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/8
3/8
RSU NURHAYATI
GARUT

SPINAL EPIDURAL
Keuntunga Onset Penyebarannya lebih
n cepat mudah dikontrol
Penurunan tekanan
darah lebih kecil
Durasi lebih lama
Kerugian Potensial Onset lebih lama
hipotensi Resiko toksisitas
Penyebara anestesi lokal lebih
n sulit besar
dikontrol
Durasi
terbatas
PDPH

d. Teknik anestesi apapun yang dipilih akan


menghasilkan Apgar score yang lebih rendah dan
AGD yang asidotik bila waktu yang dibutukan untuk
melahirkan bayi lebih dari 3 menit.
e. Kontraindikasi absolut anestesi regional:
 Infeksi pada tempat suntikan
 Hipovolemia berat
 Pasien menolak
 Gangguan koagulasi
f. Kontraindikasi relatif anestesi regional:
 Gangguan neurologis
 Riwayat sakit pinggang
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA SECTIO CESARIA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/8
4/8
RSU NURHAYATI
GARUT

 Riwayat operasi pada tulang belakang


 Infeksi sistemik
g. Prosedur umum teknik anestesi regional:
 Persiapkan mesin anestesi, peralatan
resusitasi, alat dan obat-obatan untuk anestesi
umum.
 Transportasi pasien dalam posisi miring kiri.
 Berikan profilaksis aspirasi dengan 30 ml
sodium sitrat 30-45 menit sebelum induksi,
ranitidine 50 mg i.v, dan atau metoklopramid
10 mg 1-2 jam sebelum induksi.
 Preloading 10-20 ml/ kgbb dengan cairan
kristaloid atau koloid.
 Pasang monitor NIBP, EKG, dan pulse
oksimeter.
 Berikan oksigen melalui nasal kanul atau
masker.
 Epidural:
 Setelah kateter epidural dipasang
berikan test dose terlebih dahulu.
 Monitor tanda-tanda kemungkinan
injeksi intravaskular atau subarachnoid.
 Setelah dipastikan posisi kateter sudah
benar kemudian masukkan obat
anestesi lokal secara bertahap 5 ml tiap
5 menit dengan target ketinggian
sampai dengan level T4.
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA SECTIO CESARIA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/8
5/8
RSU NURHAYATI
GARUT

 Spinal:
 Disarankan menggunakan jarum spinal
nomor kecil dengan tipe pencil point
untuk meminimalkan kemungkinan
PDPH.
 Masukkan 1,5-2 ml bupivakain 0,75%
hiperbarik.
 Monitor tekanan darah setiap menit sampai
bayi lahir kemudian tiap 2 menit sampai durasi
obat 20 menit, dan setelah itu tiap 5 menit bila
hemodinamik stabil.
 Bila terjadi hipotensi berikan bolus kristaloid
250-500 ml dan efedrin dosis inkremental
mulai dari 5 mg sampai tekanan darah kembali
normal.

2. Anestesi Umum:
a. Keuntungan utama anestesi umum adalah waktu
preparasinya yang lebih singkat dibandingkan
anestesi regional dan tidak adanya simpatektomi.
Sedangkan kerugiannya adalah kemungkinan
terjadinya pneumonia aspirasi yang lebih besar
dan depresi janin akibat obat anestesi.
b. Antisipasi terhadap kemungkinan kesulitan
intubasi endotrakeal. Lakukan evaluasi terhadap
leher, mandibula, gigi, dan orofaring untuk
memprediksi adanya masalah.
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA SECTIO CESARIA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/8
6/8
RSU NURHAYATI
GARUT

c. Pada pasien yang gemuk posisikan pasien dengan


elevasi bahu, fleksi servikal, dan ekstensi sendi
atlantooksipital.
d. Persiapkan rencana menghadapi kemungkinan
kesulitan intubasi. (lihat algoritme kesulitan
intubasi pada pasien obtetrik di bawah).
e. Teknik anestesi umum:
 Persiapkan mesin anestesi, peralatan
resusitasi, alat dan obat-obatan untuk anestesi
umum.
 Transportasi pasien dalam posisi miring kiri.
 Berikan profilaksis aspirasi dengan 30 ml
sodium sitrat 30-45 menit sebelum induksi,
ranitidine 50 mg i.v, dan atau metoklopramid
10 mg 1-2 jam sebelum induksi.
 Pasang monitor NIBP, EKG, dan pulse
oksimeter.
 Preoksigenasi dengan oksigen 100% selama
3-5 menit.
 Lakukan persiapan pada pasien dan lakukan
drapping.
 Bila ahli bedah telah siap lakukan rapid
sequence induction dengan penekanan krikoid
menggunakan propofol 2 mg/kg (atau pentotal
4 mg/ kg), dan suksinil kolin 1,5 mg/kg atau
rokuronium 0,9-1,2 mg/kg. Pada keadaan
hipovolemik atau pasien asma dapat
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA SECTIO CESARIA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/8
7/8
RSU NURHAYATI
GARUT

digunakan ketamin 1 mg/kg.


 Operasi dapat dimulai bila sudah dipastikan
ETT berada pada posisi yang tepat.
 Hindari hiperventilasi berlebihan karena dapat
menurunkan aliran darah uterus dan
menyebabkan asidosis.
 Maintenan anestesi dengan 50% N2O dalam
oksigen dengan volatile konsentrasi rendah (<
0,75 MAC, misal 1% sevofluran, 0,75%
isofluran, atau 3% desfluran) untuk
menghindari relaksasi uterus yang berlebihan.
Relaksasi otot dengan pelemas otot durasi
sedang.
 Setelah bayi dan plasenta dilahirkan berikan
20-30 unit oksitosin dalam tiap liter cairan.
Konsentrasi N2O dapat ditingkatkan sampai
70% dan berikan opioid sebagai analgesia.
 Bila kontraksi uterus tidak baik maka hentikan
pemakaian anestesi inhalasi dan berikan
opioid.
 Metergin 0,2 mg dapat diberikan tetapi harus
dipertimbangkan pengaruh peningkatan
tekanan darah arterial pada pasien.
 Pada akhir operasi lakukan ekstubasi dalam
keadaan bangun bila sudah terpenuhinya
kriteria ekstubasi.
Komplikasi 1.Lakukan monitoring terhadap tanda-tanda perdarahan
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA SECTIO CESARIA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/8
8/8
RSU NURHAYATI
GARUT

Perdarahan Pasca pascaoperasi.


Pembedahan 2. Diagnosa diiferensial perdarahan postpartum: atoni
uterus, sisa plasenta, laserasi vagina atau servik,
koagulopati
Unit Terkait 1. Kamar Operasi
2. SMF Obgyn
3. SMF Ilmu Kesehatan Anak
Dokumen Terkait 1. Status Anestesi
2. Catatan Rekam Medis
Referensi 1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Obstetric
anesthesia. Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006,
h: 901-905.
2. Beilin Y. Labor and delivery. Dalam:Clinical Cases in
Anesthesia. Edisi ke-3. Elsevier, 2005, h:371-377.
Lampiran: Algoritme intubasi sulit pada pasien obstetrik.(dikutip dari
Morgan:clinical Anesthesiology,hal:905)

Intubasi Gagal

Panggil bantuan
Ventilasi O2 100% dengan:
1.Masker dan penekanan krikoid, atau
2.LMA dan penekanan krikoid

Nilai ventilasi dan


oksigenasi

Tidak adekuat Adekuat

Pertimbangkan airway Nilai janin


nonsurgical alternative;
1.LMA dan penekanan krikoid,
ATAU
2.Combtitude, ATAU Tidak fetal
Fetal distres
3.Transtrakeal jet ventilation distres

Surgicak airway: Halotan/sevofluran Bangunkan


1.Krikotirotomi, dalam oksigen pasien
ATAU 100% ventilasi
2.Trakeostomi spontan (bila
mungkin)
Intubasi awake,
ATAU
LMA dan penekanan Anestesi regional
Lahirkan bayi
krikoid, ATAU
Intubasi melalui
LMA

Nilai ventilasi dan


oksigenasi

Inadekuat Adekuat

Lahirkan bayi
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA PRE-EKLAMPSIA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/12
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


PELAYANAN Direktur RSU NURHAYATI GARUT
BAGIAN
ANESTESIOLOGI 16 Januari 2019
DAN TERAPI
INTENSIF dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi
pada pasien preeklampsia yang akan menjalani tindakan
operasi.
Kebijakan Persiapan preoperatif yang baik akan mengurangi resiko
komplikasi pada pasien dengan resiko tinggi.
Klasifikasi American College of Obstetricians and Gynecologist
mengklasifikasikan hipertensi pada pregnansi kedalam 4
kelompok, yaitu:
1) Hipertensi kronik; peningkatan tekanan darah
terjadi sebelum minggu ke-20 dari masa gestasi.
2) Preeklampsia-eklampsia; manifest setelah minggu
ke-20 masa gestasi disertai dengan proteinuria dan
edema. Preeklampsia akan menjadi eklampsia
apabila terjadi kejang.
3) Hipertensi kronik dengan superimposed
preeklampsia.
4) Hipertensi gestasional: manifest setelah minngu ke-
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA PRE-EKLAMPSIA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
2/12
1/12
RSU NURHAYATI
GARUT

20 masa gestasi tanpa adanya tanda-tanda


preeklampsia.
Klasifikasi Preeklampsia:
Preeklampsia Preeklampsia
Ringan Berat
Hipertensi:
Sistolik  140 mmHg  160 mmHg
 30 mmHg dari
baseline
Diastolik  90 mmHg  110 mmHg
 15 mmHg dari
baseline
MAP  105 mmHg  120 mmHg
 20 mmHg dari
baseline
Proteinuria 1-2+ (dipstick) 3-4+ (dipstick)
 1g/ 24 jam  5g/ 24 jam
Edema General General
Keluhan Sakit kepala,
pasien gangguan
penglihatan, nyeri
epigastrik,sianosi
s

Patofisiologis a. Etiologi preeklamsia sampai saat ini belum diketahui,


namun faktor yang berperanan penting adalah
terjadinya iskemik uteroplasenta yang kemungkinan
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA PRE-EKLAMPSIA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/12
3/12
RSU NURHAYATI
GARUT

terjadi akibat perubahan imunitas sebagai reaksi graft


versus host.
b. Kemungkinan juga terjadi ketidakseimbangan
prostaglandin antara tromboksan dan prostasiklin
sehingga terjadilah preeklampsia. Peningkatan jumlah
tromboksan akan menyebabkan vasokonstriksi dan
agregasi trombosit, serta gangguan aktivitas uterus
akibat penurunan aliran darah uteroplasenta.
c. Iskemia uteroplasenta mengakibatkan produksi substan
yang similar dengan renin dan tromboplastin. Renin
akan menyebabkan pelepasan angiotensin dan
aldosteron.
d. Peningkatan kadar renin, aldosteron, dan katekolamin
dalam sirkulasi akan menimbulkan vasospasme, retensi
sodium dan air, sehingga terjadilah hipertensi dan
kemudian berlanjut menjadi edema.
e. Tromboplastin akan menginisiasi koagulopati dan pada
akhirnya dapat terjadi DIC.

Perubahan Patofisiologi pada Preeklampsia


CNS
 Edema serebral dan Vasospasme:
Sakit kepala, hiperreflek, penglihatan kabur,
kebutaan, kejang, koma.
 Perdarahan serebral
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA PRE-EKLAMPSIA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
4/12
1/12
RSU NURHAYATI
GARUT

Pulmoner
 Edema jalan napas atas/ laring:
Kesulitan intubasi
 Predisposisi terhadap infeksi saluran napas atas
 Kebocoran kapiler paru:
Peningkatan gradien A-a

Kardiovaskular:
 Vasokonstriksi:
Hipertensi, gangguan perfusi jaringan, hipoksia
selular, peningkatan beban kerja jantung, gagal
jantung.
 Translokasi cairan:
Edema general, hipovolemia, hemokonsentrasi.
 Peningkatan viskositas darah
 Hipertrofi dan disfungsi ventrikel kiri

Renal:
 Penurunan aliran darah ginjal
 Penurunan GFR
 Penurunan creatinin clearance
 Peningkatan level asam urat yang berkorelasi
dengan beratnya penyakit.

Hepar:
 Perdarahan periportal
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA PRE-EKLAMPSIA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/12
5/12
RSU NURHAYATI
GARUT

 Hematoma subkapsular
 Tes fungsi hati abnormal

Hematologi:
 Penurunan jumlah dan fungsi platelet
 Profil koagulasi abnormal (pemanjangan PTT)
 DIC
 HELLP sindrom

Uteroplasenta:
 Penurunan aliran darah intervillous
 Kelahiran premature
 Small plasenta
 Hiperaktivitas uterin
 Sensitivitas uterus terhadap oksitosin
 Abrupsio plasenta

Manajemen Hipertensi
Terapi hipertensi pada kehamilan terdiri dari: tirah baring,
sedasi, obat antihipertensi, dan pencegahan kejang
OBAT MEKANIS KEUNTUNG KERUGIAN
ME AN
KERJA
Hidralazin Vasodilator Onset ± 10 Takikardia
menit
Meningkatka
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA PRE-EKLAMPSIA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
6/12
1/12
RSU NURHAYATI
GARUT

n aliran darah
ginjal
Durasi ± 2
jam
Hipotensi
respon
terhadap
pemberian
cairan
Propanolol Beta Meningkatan Bradikardia
bloker aktivitas dan
antihipertensi hipoglikemia
hidralazin pada fetus
Sodium Relaksasi Onset 1 Fetal cyanide
Nitroprusid otot polos menit toxicity
direk Durasi 1-10 (dosis > 10
menit mcg/kg/mt)
Meningkatka
n tekanan
intracranial
maternal
Nitrogliserin Relaksasi Onset 1-2 Meningkatka
otot polos menit n tekanan
direk Durasi 10 intracranial
menit maternal
Meningkatka
n aliran darah
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA PRE-EKLAMPSIA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
7/12
1/12
RSU NURHAYATI
GARUT

uterin
Metildopa Α2- agonis Maintenan Neonatal
y ng baik tremor
karena durasi
yang panjang
Captopril ACE Tidak Fetal death
inhibitor direkomenda
sikan
Diuretik Retensi Tidak Hipotensi
sodium direkomenda
d n air sikan
Nifedipin Ca chanel Relaksasi Kombinasi
bl cker uterus dengan Mg
Meningkat a akan
n aliran darah menyebabka
ginjal n hipotensi
Klonidin Α2-agonis Tidak ada Hipoksia
data fetal
Peningkatan
tonus uterus
(penurunan
uterin blood
flow)
Pada
umumnya
tidak
direkomenda
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA PRE-EKLAMPSIA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
8/12
1/12
RSU NURHAYATI
GARUT

sikan

Pencegahan Eklampsia
a. MgSO4 merupakan obat pilihan pertama untuk
mencegah terjadinya kejang yang bekerja pada
mioneural junction.
b. Penurunan hiperrefleksia pada pemberian MgSO4
merupakan akibat sekunder dari inhibisi pelepasan
asetilkolin pada neuromuscular junction, penurunan
sensitivitas motor endplate terhadap asetilkolin, dan
penurunan eksitabilitas membran otot.
c. MgSO4 merupakan vasodilator ringan dan
menurunkan hiperaktivitas uterus sehingga
meningkatkan aliran darah uterus. MgSO4 juga
menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah
renal dan liver.
d. Level terapetik MgSO4 adalah 4-8 mEq/ L. Di atas
level ini akan menyebabkan efek samping pada ibu
dan janinnya.
e. MgSO4 akan menyebakan perubahan EKG dan
dapat menyebabkan cardiac dan respiratory arrest.
Efek samping yang berbahaya ini tidak akan terjadi
sampai hilangnya reflek-reflek tendon dalam.
f. Oleh karena itu harus selalu dilakukan monitoring
terhadap kadar magnesium dan deep tendon reflexes
sehingga terhindar dari efek yang membahayakan.
g. MgSO4 akan meningkatkan sensitivitas ibu maupun
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA PRE-EKLAMPSIA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
9/12
1/12
RSU NURHAYATI
GARUT

janin terhadap pelemas otot baik golongan


depolarisasi maupun nondepolarisasi.
h. Mg dapat masuk ke dalam plasenta sehingga dapat
pula menyebabkan toksisitas pada neonatus.
i. Gejala toksisitas magnesium neonatus: depresi
napas, apnoe, dan penurunan tonus otot.
j. Toksisitas Mg pada ibu dan bayi dapat diatasi
dengan pemberian kalsium.
k. MgSO4 diberikan secara i.v dengan dosis awal 2-4
gram dalam 15 menit, diikuti pemberian infus 1-3
gram perjam.
l. MgSO4 diekskresikan melalui ginjal, oleh karena itu
fungsi ginjal harus dimonitor secara hati-hati, dan
harus dilakukan penyesuaian dosis pada pasien
dengan penurunan fungsi ginjal.

Anestesi untuk sectio Cesarea


a. Pada pasien preeklampsia dengan tekanan darah
yang sudah terkontrol, dengan status cairan dan
parameter koagulasi normal, maka tindakan SC
dapat dilakukan dengan aman baik dengan teknik
epidural, spinal, ataupun general anestesi.
b. Keuntungan teknik epidural dibandingkan spinal
adalah perubahan hemodinamik yang minimal
sehingga hemodinamik lebih stabil.
c. Anestesi general merupakan pilihan pada kasus-
kasus SC emergensi.
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA PRE-EKLAMPSIA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
10/12
1/12
RSU NURHAYATI
GARUT

d. Sebelum dilakukan induksi harus dipastikan tekanan


darah sudah dikontrol dengan adekuat. Hal ini harus
dilakukan sebelum induksi walaupun terdapat
keadaan fetal distress, dikarenakan pada saat
laringoskopi dapat terjadi peningkatan tekanan darah
yang signifikan yang dapat berakibat terjadinya
perdarahan serebral.
e. Dosis pelemas otot nondepolarisasi harus dikurangi
bila pasien sebelumnya mendapat terapi MgSO4
karena dapat terjadi potensiasi antara keduanya.

Anestesi Epidural
a. Keuntungan anestesi epidural pada preeklampsia
adalah terjadinya penurunan atau eliminasi sensasi
nyeri yang akan mengurangi hiperventilasi,
penurunan pelepasan katekolamin/ stress respon,
penurunan ansietas, dan peningkatan aliran darah
uteroplasenta. Penggunaan anestesi regional juga
akan mengurangi resiko komplikasi aspirasi bila
pasien dilakukan dengan anestesi general.
b. Sebelum dilakukan pemasangan kateter epidural
harus dipastikan terlebih dahulu tekanan darah
dalam keadaan terkontrol, volume intravaskular
sudah cukup, dan profil koagulasi normal.
c. Anestesi epidural merupakan pilihan utama bila pada
pasien tidak didapatkan gangguan koagulasi.
d. Regional anestesi harus dihindari apabila jumlah
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA PRE-EKLAMPSIA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/12
11/12
RSU NURHAYATI
GARUT

trombosit < 100 ribu.


e. Tekanan darah diastolik harus dipastikan < 110
mmHg sebelum dilakukan anestesi neuraksial.
f. Pemberian loading cairan koloid 250-500 ml sebelum
epidural lebih efektif dibandingkan kristaloid untuk
mengkoreksi hipovolemia dan mencegah hipotensi.
g. Selama anestesi harus dilakukan pengukuran
tekanan darah secara periodik.
h. Parturien dengan penyakit hipertensi biasanya
mengalami deplesi cairan sehingga mempunyai
resiko tinggi untuk terjadinya hipotensi.
i. Monitoring diuresis merupakan panduan dalam
pemberian cairan. Bila diuresis minimal atau tidak
keluar, lakukan fluid challenge 500-1000 ml dengan
kristaloid isotonik. Bila diuresis tetap tidak meningkat
sebaiknya dilakukan pemasangan CVC.
j. Hipotensi diatasi dengan pemberian dosis kecil
vasopresor (efedrin 5 mg) karena pasien ini sangat
sensitif terhadap agen tersebut.

Manajemen Pasca Operatif


l. Gejala-gejala akibat preeklampsia membutuhkan
waktu beberapa jam sampai beberapa hari setelah
plasenta dan fetus dilahirkan untuk hilang secara
komplit sehingga pasien tetap beresiko untuk
terjadinya kejang.
m. Lakukan monitoring tekanan darah pascaoperasi dan
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA PRE-EKLAMPSIA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/12
12/12
RSU NURHAYATI
GARUT

pemberian infus MgSO4 harus diteruskan minimal 24


jam pascaoperasi
n. Kontrol nyeri pascaoperasi.
Unit Terkait 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter Spesialis Obgyn
3. Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam
Dokumen Terkait 1. Status Anestesi
2. Catatan Rekam Medis
Referensi 1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Obstetric
anesthesia. Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4, 2006, h:
910-912.
2. Beilin Y, Telfeyan C. Preeklampsia. Dalam:Clinical
Cases in Anesthesia. Edisi ke-3. Elsevier, 2005, h:355-361
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA PLASENTA PREVIA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/3
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PELAYANAN BAGIAN
ANESTESIOLOGI
16 Januari 2019
DAN TERAPI
INTENSIF
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Plasenta previa merupakan kondisi dimana posisi
perlekatan plasenta terdapat pada bagian bawah
rahim sehingga menutupi internal servik. Faktor
predisposisi plasenta previa adalah: multiparitas, usia
tua, dan riwayat SC sebelumnya. Plasenta plevia
dapat bersifat marginal, parsial, atau komplit.
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi
pada pasien dengan plasenta previa
Kebijakan Pada keadaan dimana terdapat perdarahan yang
signifikan maka regional anestesi merupakan
kontraindikasi dan operasi harus dilakukan dengan
anestesi umum.
Prosedur Tanda dan Gejala Plasenta Previa
1. Perdarahan akibat plasenta previa tidak disertai
nyeri dan biasanya terjadi secara mendadak.
2. Jumlah perdarahan bervariasi dari ringan
sampai profuse dan mengancam jiwa.
3. Pada pemeriksaan USG tampak posisi
plasenta terhadap saluran interna dari servikal.
4. Bila tidak dapat dilakukan pemeriksaan USG
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA PLASENTA PREVIA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
2/3
1/3
RSU NURHAYATI
GARUT

maka dilakukan pemeriksaan vaginal dengan


persiapan operasi emergensi SC apabila terjadi
perdarahaqn yang hebat akibat pemeriksaan
vaginal.
5. Adanya riwayat plasenta previa dan SC
sebelumnya akan meningkatkan resiko
terjadinya plasenta akreta, inkreta, dan
perkreta yang sulit dilepaskan dari uterus
sehingga menyebabkan perdarahan yang
banyak dan kemungkinan diperlukan tindakan
histerektomi untuk menghentikan perdarahan.
6. Tindakan SC emergensi dilakukan apabila
terjadi episode perdarahan berulang atau tanda
fetal distress.

Manajemen Anestesia
1. Lakukan evaluasi terhadap kondisi maternal
dan fetal.
2. Bila tidak terdapat perdarahan maternal maka
pilihan anestesi regional masih dapat dilakukan
seperti biasanya.
3. Tim anestesi harus pula mempersiapkan
kemungkinan konversi menjadi anestesi umum
apabila kemudian terjadi perdarahan signifikan
dan ketidakseimbangan hemodinamik.
4. Pada keadaan dimana terdapat perdarahan
yang signifikan maka regional anestesi
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA PLASENTA PREVIA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
3/3
1/3
RSU NURHAYATI
GARUT

merupakan kontraindikasi dan operasi harus


dilakukan dengan anestesi umum.
5. Sebelum dilakukan induksi pastikan terdapat
akses intravena yang adekuat. Lakukan
resusitasi cairan sedini mungkin.
6. Persiapkan dan crossmatching darah.
7. Induksi dilakukan dengan rapid sequence
induction dengan penekanan krikoid untuk
mencegah terjadinya aspirasi.
8. Obat anestesi intravena pilihan pada pasien
dalam keadaan hipovolemik adalah etomidat
0,1-0,2 mg/ kg atau ketamin 1 mg/ kg i.v.
Unit Terkait 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter Spesialis Obgyn
3. Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam
Dokumen Terkait 1. Status Anestesi
2. Catatan Rekam Medis
Referensi 1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Obstetric
anesthesia. Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4,
2006, h: 908.
2. Beilin Y, Telfeyan C. Preeklampsia. Dalam:Clinical
Cases in Anesthesia. Edisi ke-3. Elsevier, 2005,
h:369-370.
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA ABRUPTIO PLACENTA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/3
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PELAYANAN BAGIAN
ANESTESIOLOGI
16 Januari 2019
DAN TERAPI
INTENSIF
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Separasi prematur dari plasenta sebelum bayi
dilahirkan. Insiden terjadinya abruption plasenta
meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Abruptio sering kali berhubungan dengan keadaan
hipertensi,, multiparitas, trauma, perokok, peminum
alkohol,dan penyalahguna obat-obatan.
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi
pada pasien dengan abruption plasenta.
Kebijakan Keadaan koagulopati dan hipovolemia akibat
perdarahan yang banyak merupakan kontraindikasi
untuk dilakukan tindakan anestesi regional, sehingga
anestesi general merupakan pilihan pada kasus ini.
Prosedur Tanda dan Gejala Abruptio Placenta
1. Secara klasik abruption plasenta ditandai
dengan perdarahan disertai dengan rasa nyeri
yang hebat dan kontraksi uterus.
2. Perdarahan yang hebat akan mengakibatkan
syok hipovolemik maternal, fetal distress, atau
kematian janin.
3. DIC dapat terjadi pada abruption yang berat.
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA ABRUPTIO PLACENTA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
2/3
1/3
RSU NURHAYATI
GARUT

4. Pemeriksaan USG didapatkan klot


retroplasenta dan separasi plasenta dari
dinding uterus

Manajemen Anestesi
1. Lakukan evaluasi terhadap kondisi maternal
dan fetal. Bila terdapat instabilitas maternal dan
atau fetal segera lakukan SC.
2. Keadaan koagulopati dan hipovolemia akibat
perdarahan yang banyak merupakan
kontraindikasi untuk dilakukan tindakan
anestesi regional, sehingga anestesi general
merupakan pilihan pada kasus ini.
3. Sebelum dilakukan induksi pastikan terdapat
akses intravena yang adekuat. Lakukan
resusitasi cairan sedini mungkin.
4. Persiapkan dan crossmatching darah.
5. Induksi dilakukan dengan rapid sequence
induction dengan penekanan krikoid untuk
mencegah terjadinya aspirasi.
6. Obat anestesi intravena pilihan pada pasien
dalam keadaan hipovolemik adalah etomidat
0,1-0,2 mg/ kg atau ketamin 1 mg/ kg 3/3
i.v.
Unit Terkait 1. Dokter spesialis anestesi
2. Dokter Spesialis Obgyn
3. Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam
Dokumen Terkait 1. Status Anestesi
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA ABRUPTIO PLACENTA
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/3
RSU NURHAYATI
GARUT

2. Catatan Rekam Medis


Referensi 1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Obstetric
anesthesia. Dalam: Clinical Anesthesiology, ed.4,
2006, h: 908.
2. Beilin Y, Telfeyan C. Preeklampsia. Dalam:Clinical
Cases in Anesthesia. Edisi ke-3. Elsevier, 2005,
h:369-370.
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA OPERASI NON-OBSTETRIK PADA WANITA
HAMIL
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU NURHAYATI 1/10
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


Direktur RSU NURHAYATI
PELAYANAN BAGIAN GARUT
ANESTESIOLOGI 16 Januari 2019
DAN TERAPI
INTENSIF
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Pemberian tindakan anestesi pada wanita hamil yang
akan menjalani operasi non-obstetrik harus
mempertimbangkan dua pasien secara simultan.
Konsiderasi maternal adalah dengan memperhatikan
perubahan fisiologis yang terjadi pada wanita hamil
terhadap tiap sistem organ. Pertimbangan terhadap
fetus adalah terhadap kemungkinan efek teratogenik
dari obat anestesi, mencegah terjadinya asfiksia fetal
intrauterin, dan mencegah terjadinya kelahiran
prematur
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi
pada pasien hamil yang akan mejalani operasi non-
obstetrik.
Kebijakan Persiapan preoperatif yang baik akan mengurangi
resiko komplikasi pada pasien dengan resiko tinggi.
Prosedur Efek Teratogenik Anestesi
1. Efek teratogenik terjadi akibat pemberian obat
yang bersifat teratogenik pada dosis tertentu
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA OPERASI NON-OBSTETRIK PADA WANITA
HAMIL
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU NURHAYATI 1/10
2/10
GARUT

yang diberikan pada masa-masa kritis


pembentukan organ janin. Masa organogenesis
ini terjadi pada hari ke-15 sampai dengan 60 hari
masa gestasional, sedangkan untuk
perkembangan system saraf pusat masih
berlangsung sampai setelah bayi dilahirkan.
2. United States Food and Drug Administration
(FDA) mengeluarkan sistem klasifikasi untuk
membantu menentukan keuntungan dan
kerugian pemilihan obat untuk wanita hamil.
 Kategori A: Tidak ada resiko
 Kategori B: Tidak ada bukti beresiko pada
manusia.
 Kategori C: Resiko belum dapat disingkirkan.
Pertimbangan pemilihan obat golongan ini
adalah apabila potensi manfaatnya yang
lebih besar.
 Kategori D: Sangat berpotensi menimbulkan
resiko.
 Kategori X: Kontraindikasi pada kehamilan.
3. Menurut FDA sebagian besar obat anestesi
(obat induksi intravena, anestesi local, opioid,
dan pelemas otot) termasuk dalam klasifikasi
kategori B atau C).
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA OPERASI NON-OBSTETRIK PADA WANITA
HAMIL
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU NURHAYATI 3/10
1/10
GARUT

AGEN ANESTESI KLASIFIKASI


FDA
Anestesi intravena
 Etomidat C
 Ketamin C
 Propofol B

 Tiopental C

Anestesi Inhalasi
 Desfluran B
 Enfluran B
 Halotan C
 Isofluran B

 Sevofluran B

Anestesi Lokal
 Bupivakain C
 Lidokain B
 Ropivakain B

 Tetrakain C

 Kokain X

Opioid
 Alfentanil C
 Fentanil B
 Sufentanil C
 Meperidin B

 Morfin C
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA OPERASI NON-OBSTETRIK PADA WANITA
HAMIL
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU NURHAYATI 1/10
4/10
GARUT

Pelemas Otot
 Atrakurium C
 Pankuronium C
 Rokuronium B

 Suksinilkolin C

 Vekuronium C

Benzodiazepin
 Diazepam D
 Midazolam D
Anestesi Lokal
 Bupivacaine C
 Lidocaine B
 Ropivacaine B

4. Sampai saat ini belum ada ata-data penelitian


yang membuktikan bahwa obat-obat anestesi
mengakibatkan efek teratogenik. Penelitian
menunjukkan bahwa efek akibat operasi yang
paling sering adalah kelahiran prematur dengan
angka kejadian tertinggi pada prosedur
ginekologis.
5. Data-data penelitian juga menunjukkan bahwa
obat-obat anestesi bukanlah merupakan
penyebab terjadinya kelahiran prematur.
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA OPERASI NON-OBSTETRIK PADA WANITA
HAMIL
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU NURHAYATI 1/10
5/10
GARUT

Pencegahan Asfiksia Fetal Intrauterin


1. Asfiksia fetal intrauterin dihindari dengan
menjaga tekanan oksigen arterial maternal
(PaO2), PaCO2, dan aliran darah uterus tetap
dalam batas normal.
2. Hipoksia maternal akan menyebabkan terjadinya
hipoksemia fetal bahkan kematian pada fetus.
3. Tekanan oksigen inspirasi tidak akan
mempengaruhi fetus walaupun diberikan oksigen
100%.
4. Hiperkapnia dan hipokapnia maternal akan
menyebabkan perburukan pada fetus.
5. Hipokapnia berat terjadi akibat ventilasi tekanan
positif yang berlebihan yang mengakibatkan
peningkatan tekanan intratorak, penurunan
venous return, dan penurunan aliran darah
uterus.
6. Alkalosis maternal akibat hiperventilasi akan
menimbulkan penurunan aliran darah uterus
sebagai akibat vasokonstriksi dan menurunkan
penghantaran oksigen dengan pergeseran kurva
disosiasi oksihemoglobin ke kiri.
7. Hiperkapnia berat akan memperburuk janin
akibat asidosis fetal dan depresi miokardial.
8. Baik obat maupun prosedur anestesi akan
mempengaruhi aliran darah uterus. Aliran darah
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA OPERASI NON-OBSTETRIK PADA WANITA
HAMIL
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU NURHAYATI 1/10
6/10
GARUT

plasenta secara langsung proporsional terhadap


tekanan perfusi pada ruang intervillous dan
berbanding terbalik terhadap resistensinya.
Tekanan perfusi akan menurun akibat hipotensi
oleh karena penggunaan obat anestesi, teknik
regional spinal/ epidural, kompresi aortokaval
pada posisi supine, atau akibat perdarahan.
9. Penurunan resistensi vaskular dan penurunan
aliran darah uteroplasenta dapat terjadi akibat
penggunaan obat α-adrenergik, penurunan
PaCO2, atau akibat peningkatan katekolamin
akibat nyeri dan anestesi yang dangkal.

Pencegahan Kelahiran Prematur


1. Kelahiran prematur merupakan resiko yang
paling signifikan pada fetus.
2. Penggunaan obat yang mempunyai efek α-
adrenergik agonis (misal: ketamin dan fenilefrin)
akan meningkatkan tonus vaskular sehingga bila
memungkinkan harus dihindari.
3. Penggunaan anestesi inhalasi akan memberi
keuntungan dengan menurunkan tonus uterus
dan menghambat kontraksi uterus.
4. Namun sampai saat ini belum ada penelitian
yang melaporkan bahwa pemakaian obat
anestesi dan teknik anestesi berhubungan
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA OPERASI NON-OBSTETRIK PADA WANITA
HAMIL
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU NURHAYATI 1/10
7/10
GARUT

dengan tinggi rendahnya insiden kematian janin


atau kelahiran prematur.
5. Faktor resiko terbesar penyebab terjadinya
kelahiran prematur adalah manipulasi uterus
terutama pada prosedur ginekologis.
6. Resiko terendah untuk kelahiran prematur
adalah pada trimester kedua.

Konsiderasi Operasi Laparoskopi


1. Tidak ada perbedaan outcome antara teknik
laparaskopi dengan laparatomi.
2. Konsiderasi anestesi spesifik pada laparaskopi
adalah menjaga keadaan tetap normokarbia,
pemasangan trokar tanpa menimbulkan trauma
pada rahim, dan menjaga tekanan
pneumoperitoneum < 15 mmHg sehingga tidak
menganggu tekanan perfusi uterus.

Rekomendasi Umum Pemberian Anestesi pada


Wanita Hamil yang akan Menjalani Pembedahan
Non-Obstetrik
1. Sedapat mungkin hindari operasi selama
trimester 1
2. Evaluasi bunyi denyut jantung janin sebelum
operasi.
3. Monitor tonus uterus dan bunyi denyut jantung
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA OPERASI NON-OBSTETRIK PADA WANITA
HAMIL
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU NURHAYATI 1/10
8/10
GARUT

janin selama dan setelah operasi.


4. Hindari premedikasi.
5. Posisikan pasien pada posisi miring kiri selama
transportasi pasien untuk menghindari kompresi
aortokaval.
6. pilihan teknik anestesi tergantung dari indikasi
maternal, daerah operasi, dan pengalaman
anestesiologist.
7. Bila memungkinkan dan tidak ada kontraindikasi
direkomendasikan teknik anestesi regional untuk
menguragi resiko aspirasi dan paparan obat
anestesi terhadap janin.
8. Dosis semua obat anestesi harus dikurangi.
9. Profilaksis aspirasi pada kehamilan setelah
trimester pertama (antasid non partikulat, H2
bloker, metoklopramid).
10. Jika dipilih teknik anestesi regional:
 Preloading cairan untuk menghindari
hipotensi.
 Tatalaksana hipotensi dengan pemberian
cairan dan atau obat yang mempunyai efek
β-adrenergik predominan (misal: efedrin).
11. Jika dipilih teknik anestesi umum:
 Preloading cairan untuk menghindari
hipotensi.
 Denitrogenisasi dengan oksigen 100%
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA OPERASI NON-OBSTETRIK PADA WANITA
HAMIL
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU NURHAYATI 1/10
9/10
GARUT

 Rapid sequence induction dengan


penekanan krikoid.
 Gunakan ETT dengan ukuran yang lebih
kecil dibandingkan pada pasien yang tidak
hamil.
 Hindari pamakaian nasal airway dan
intubasi nasal.
 Pilih obat-obatan yang relative aman.
 Oksigenisasi adekuat dengan konsentrasi
oksigen minimal 50%.
 Pertahankan keadaan normokarbia.
 Tatalaksana keadaan hipotensi dengan
pemberian cairan dan atau obat yang
mempunyai efek β-adrenergik predominan
(misal: efedrin).
12. Informed consent pasien bahwa resiko
terhadap kemungkinan malformasi kongengital
pada janin belum diketahui dan terdapat
peningkatan resiko kelahiran prematur dan
kematian janin dalam kandungan.
13. Hindari pemakaian NSAID karena dapat
menyebabkan penutupan dini pada duktus
arteriosus.
14. Teknik apapun yang dipilih harus
dipertahankan fisiologi intrauterin selalu dalam
keadaan normal dengan menghindari terjadinya
PENANGANAN PENATALAKSANAAN ANESTESI
PADA OPERASI NON-OBSTETRIK PADA WANITA
HAMIL
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
RSU NURHAYATI 1/10
10/10
GARUT

hipotensi, hipoksemia, hipokarbi, hiperkarbi, dan


hipotermia.

Unit Terkait Kamar Bedah


Dokumen Terkait Status rekam medik, lembar informed consent
TEKNIK VENTILASI SATU PARU (ONE LUNG
VENTILATION) DENGAN DOUBLE LUMEN TUBE
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


PELAYANAN Direktur RSU NURHAYATI GARUT
BAGIAN
ANESTESIOLOGI 16 Januari 2019
DAN TERAPI
INTENSIF dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Teknik ventilasi satu paru dengan double lumen tube
adalah suatu teknik ventilasi untuk melakukan isolasi pada
salah satu paru atau untuk memfasilitasi manajemen
ventilasi pada beberapa kondisi dengan menggunakan
double lumen tube.
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien toraks yang akan menjalani tindakan operasi
dengan teknik ventilasi satu paru dengan double lumen
tube.
Kebijakan Pemilihan teknik regional anestesi dengan epidural dapat
menurunkan insiden DVT dan emboli paru
Prosedur 1. INDIKASI VENTILASI SATU PARU:
Indikasi Pasien:
a. Isolasi satu paru terhadap infeksi
b. Isolasi satu paru terhadap perdarahan
c. Separasi ventilasi dari masing-masing paru:
- Fistula bronkopleural
- Disrupsi trakeobronkial
- Kista atau bulla paru berukuran besar
d. Hipoksemia berat akibat penyakit paru unilateral
TEKNIK VENTILASI SATU PARU (ONE LUNG
VENTILATION) DENGAN DOUBLE LUMEN TUBE
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
2/6
1/6
RSU NURHAYATI
GARUT

Indikasi Bedah:
a. Repair aneurisma aorta torakal
b. Reseksi paru:
- Pneumonektomi
- Lobektomi
- Reseksi segmental
c. Torakoskopi
d. Operasi esophageal
e. Transplantasi satu paru
f. Operasi vertebrae torakalis melalui anterior
g. Lavase bronkoalveolar

2. PROSEDUR PEMASANGAN DOUBLE LUMEN TUBE


(left sided)
a. Penggunaan bilah laringoskop MacIntosh biasanya
memberikan visualisasi yang lebih baik dibanding
dengan bilah lurus. Penggunaan bilah lurus sangat
membantu pada keadaan pasien dengan posisi
laring yang anterior.
b. Double lumen tube dimasukkan dengan kurvatura
distal dalam posisi konkaf kea rah anterior.
c. Setelah ujung tube melewati laring, dilakukan rotasi
90 derajat kearah bronkus yang ingin diintubasi (kea
rah kiri pada left sided)
TEKNIK VENTILASI SATU PARU (ONE LUNG
VENTILATION) DENGAN DOUBLE LUMEN TUBE
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
3/6
1/6
RSU NURHAYATI
GARUT

d. Dorong tube sampai terasa ada tahanan.


Kedalaman rata-rata tube dari gigi adalah sekitar 29
cm.
e. Kembangkan balon trakeal (5-10 ml udara)
f. Periksa bunyi nafas bilateral. Bunyi nafas unilateral
mengindikasikan bahwa tube terlalu dalam sehingga
bukaan trakeal berada di bronchial.
g. Kembangkan balon bronchial (1-2 ml)
h. Klem lumen trakeal
i. Periksa suara nafas unilateral:
- Bunyi nafas yang masih terdengar pada paru
kanan menandakan bahwa ujung bronkial masih
berada di atas karina. Pada keadaan ini tube
harus didorong lebih dalam lagi.
- Bila bunyi nafas terdengar unilateral pada sisi
kanan, mengindikasikan bahwa tube masuk
pada bronkus yang salah (bronkus kanan).
- Hilangnya suara nafas pada seluruh paru kanan
dan lobus kiri atas mengindikasikan bahwa tube
terlalu dalam bronkus kiri.
j. Lepaskan klem lumen trakeal dan lakukan klem
pada lumen bronchial.
k. Periksa suara nafas unilateral pada sisi kanan.
Tidak terdengarnya bunyi nafas mengindikasikan
bahwa tube kurang masuk ke dalam sehingga balon
bronkial akan menyumbat aliran udara trakeal.
l. Malposisi double lumen tube ditandakan dengan
TEKNIK VENTILASI SATU PARU (ONE LUNG
VENTILATION) DENGAN DOUBLE LUMEN TUBE
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
4/6
1/6
RSU NURHAYATI
GARUT

pengembangan paru yang tidak baik dan udara


ekshalasi yang rendah

3. KOMPLIKASI PEMASANGAN DOUBLE LUMEN


TUBE
a. Hipoksemia, akibat dari penempatan tube yang
keliru atau oklusi.
b. Laringitis traumatic (terutama pada pemakaian tube
yang mempunyai hook)
c. Ruptur trakeobronkial akibat inflasi berlebihan pada
balon bronchial.
d. Terjahitnya tube pada bronkus secara tidak sengaja
pada saat penjahitan (ditandai dengan tube yang
tidak bisa ditarik saat ekstubasi).

4. MANAJEMEN VENTILASI SATU PARU


a. Resiko paling besar pada saat ventilasi satu paru
adalah terjadinya hipoksemia.
b. Untuk menurunkan resiko terjadinya hipoksemia
maka periode ventilasi satu paru harus dibatasi
seminimal mungkin dan harus mempergunakan
oksigen dengan konsentrasi 100%.
c. Bila peak airway pressure meningkat secara
berlebihan ( >30 cmH2O ), maka tidal volume harus
dikurangi dengan memberikan volume 6-8 ml/ kg
dan frekuensi nafas ditingkatkan untuk tetap
mencapai ventilasi semenit.
TEKNIK VENTILASI SATU PARU (ONE LUNG
VENTILATION) DENGAN DOUBLE LUMEN TUBE
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
5/6
1/6
RSU NURHAYATI
GARUT

d. Pulse oksimeter harus selalu dimonitoring secara


ketat, analisis gas darah dilakukan secara periodic
untuk memastikan ventilasi yang adekuat.
Pemantuan yang hanya berdasarkan pada
pengukuran end-tidal CO2 tidak dapat memberikan
gambaran pasien yang sebenarnya.
e. Intervensi yang dilakukan bila terjadi hipoksemia
selama ventilasi satu paru:
 Inflasi oksigen secara periodik pada paru yang
kolaps
 Segera lakukan ligasi dan penjepitan arteri
pulmonal ipsilateral (selama pneumektomi)
 Berikan CPAP (5-10 cmH2O) pada paru yang
kolaps
 Berikan PEEP (5-10 cmH2O) pada paru yang
diventilasi
 Lakukan penyesuaian volume tidal dan frekuensi
nafas.
f. Tindakan yang pertama kali harus dilakukan bila
terjadi hipoksia pada saat ventilasi satu paru
(melalui pengukuran pulse oksimeter) adalah
dengan memberikan CPAP pada paru yang kolaps,
kemudian bila tidak terdapat perbaikan maka berika
PEEP pada paru yang diventilasi.
g. Hipoksemia yang persisten harus diatasi dengan
segera melakukan re-ekspansi pada paru yang
kolaps. Lakukan kembali konfirmasi posisi ETT yang
TEKNIK VENTILASI SATU PARU (ONE LUNG
VENTILATION) DENGAN DOUBLE LUMEN TUBE
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
6/6
1/6
RSU NURHAYATI
GARUT

kemungkinan dapat berubah akibat manipulasi/


traksi pembedahan.
h. Kedua lumen ETT harus dilakukan suctioning untuk
memastikan tidak adanya kumpulan darah/ sekret
yang dapat menimbulkan obstruksi.
i. Kemungkinan pneumotorak pada sisi dependen
harus dipertimbangkan dan disingkirkan, keadaan
ini biasanya dapat timbul pada diseksi mediatinal
yang ekstensif atau akibat pemberian peak
inspiratory pressure yang tinggi.

Unit Terkait Kamar bedah, tim bedah, tim anestesi


Dokumen Terkait
- Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:
RESEKSI PARU
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/16
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


PELAYANAN
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
BAGIAN
ANESTESIOLOGI
16 Januari 2019
DAN TERAPI
INTENSIF
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Suatu tindakan bedah untuk mengangkat bagian kecil di
jaringan paru-paru yang abnormal, seperti umumnya
dilakukan untuk mengangkat bagian paru-paru yang
mengandung sel kanker dan sebagainya.
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien toraks yang akan menjalani tindakan reseksi paru.
Kebijakan Persiapan preoperatif yang baik akan mengurangi resiko
komplikasi pada pasien dengan resiko tinggi.
Prosedur 1. KLASIFIKASI TUMOR PARU
a. Tumor paru dapat bersifat jinak, ganas, atau
intermediate, yang baru dapat ditegakkan pada saat
operasi.
b. Tumor jinak yang paling banyak ditemukan adalah
hamartoma (90% tumor jinak) berupa lesi pada
perifer paru akibat disorganisasi jaringan normal
paru. Bronkial adenoma merupakan lesi pada
sentral paru yang pada dasarnya bersifat jinak tetapi
dapat bersifat invasive secara lokal dan kadang
mengalami metastase.
c. Tumor yang termasuk jenis bronchial adenoma
ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:
RESEKSI PARU
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/16
2/16
RSU NURHAYATI
GARUT

adalah: pulmonary carsinoids, cylindroma, dan


mukoepidermoid adenoma. Jenis tumor tesebut
akan menimbulkan obstruksi pada lumen bronchial
dan menyebabkan pneumonia rekuren pada bagian
distal daerah obstruksi.
d. Karsinoid pulmonary dapat mensekresikan hormon
yang multipel, seperti: ACTH dan arginin vasopresin
e. Tumor paru malignan terbagi menjadi dua golongan,
yaitu: small (“oat”) cell carcinoma (20% tumor
maligna dengan 5-10% 5-year survival), dan non-
small cell carcinomas (80% dari tumor maligna
dengan 15-20% 5-year survival).
f. Yang termasuk non-small cell ca adalah squamous
cell (epidermoid) tumor, adenokarsinoma, dan large
cell (anaplastic) ca. Semua tipe tumor biasanya
terjadi pada perokok, kecuali adenokarsinoma.
Epidermoid dan small cell ca mempunyai massa di
daerah sentral dengan lesi bronchial.
Adenokarsinoma dan large cell ca biasanya
mempunyai lesi di daerah perifer yang sering
melibatkan pleura.

2. MANIFESTASI KLINIS:
a. Batuk
b. Hemptisis
c. Sesak
d. Wheezing
ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:
RESEKSI PARU
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/16
3/16
RSU NURHAYATI
GARUT

e. Kehilangan berat badan


f. Demam
g. Sputum produktif
h. Nyeri dada pleuritik atau efusi pleura (diduga telah
ekstensi ke pleura)
i. Bila massa telah melibatkan struktur mediastinum:
suara serak (kompresi n. laringeus rekuren),
Horner’s syndrome, elevasi hemidiafragma
(kompresi n. phrenikus, disfagia (kompresi
esophagus), atau sindrom vena cava superior.
j. Efusi pericardial atau kardiomegali bila telah
melibatkan jantung.
k. Nyeri bahu dan lengan menandakan ekstensi apeks
tumor yang menimbulkan penekanan pleksus
brakialis C7-T2 (Pancoast syndrome).
l. Ca paru (terutama small cell ca) dapat
menyebabkan sindrom paraneoplastik. Sindrom ini
terjadi karena produksi hormon ektopik dan reaksi
imunologis silang antara tumor dan jaringan normal.
Sekresi ACTH, vasopressin dan hormon paratiroid
akan menyebabkan sindrom cushing, hiponatremia,
dan hiperkalsemia.
m. Sindroma paraneoplastik yang lain adalah:
osteoartropati hipertropi, degenerasi serebelar,
neuropati perifer, polimiositis, tromboplebitis, dan
karditis non bacterial.
ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:
RESEKSI PARU
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
4/16
1/16
RSU NURHAYATI
GARUT

3. PENATALAKSANAAN:
a. Terapi pilihan sebagai tindakan kuratif dari kanker
paru adalah dengan tindakan pembedahan.
b. Reseksi surgikal dilakukan pada non-small cell
carcinoma yang belum melibatkan kelenjar getah
bening, ekstensi massa tumor ke struktur
mediastinum, atau metastase jauh.
c. Small cell ca biasanya jarang diterapi dengan
tindakan pembedahan, karena pada saat diagnosis
dibuat saat tumor ditemukan biasanya telah terjadi
metastase. Tumor jenis ini biasanya diterapi dengan
kemoterapi dan radiasi.

4. RESEKTABILITAS
a. Resektabilitas ditentukan oleh keterlibatan anatomis
dari tumor, sedangkan operabilitas tergantung dari
ekstensivitas prosedur danstatus fisiologis dari
pasien.
b. Anatomic staging dilakukan dengan ronsen toraks,
CT scan, bronkoskopi, dan mediastinoskopi.
c. Reseksi dapat dilakukan pada pasien dengan lesi
peribronkial ipsilateral atau dengan metastase limfe
nodus hilar ipsilateral. Sedangkan reseksi pada lesi
dengan metastase ke limfe nodus mediastinal
ipsilateral atau subkarina masih menjadi kontroversi.
d. Lesi yang tidak dapat direseksi (unresectable)
ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:
RESEKSI PARU
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/16
5/16
RSU NURHAYATI
GARUT

adalah lesi yang telah mengalami metastase ke


limfe nodus di skalenus, supraklavikula, mediastinal
kontralateral, atau hilar kontralateral.
e. Ekstensivitas pembedahan selain memaksimalkan
usaha untuk mengobati tumornya tetapi juga harus
tetap memperhitungkan untuk terjaganya fungsi
paru yang adekuat pascaoperasi.
f. Lobektomi melalui pendekatan torakotomi posterior
melalui celah interkostal ke 5 atau 6 merupakan
prosedur pilihan untuk hampir seluruh lesi.
g. Reseksi segmental atau wedge resection dilakukan
pada pasien dengan lesi perifer yang berukuran
kecil dan fungsi paru yang tidak baik.
h. Pneumonektomi merupakan terapi kuratif pada lesi
yang melibatkan cabang utama bronkus kanan/ kiri
atau bila tumor telah meluas ke hilum.

5. OPERABILITAS
a. Operabilitas merupakan suatu keputusan klinis,
tetapi dapat menggunakan tes fungsi paru sebagai
panduan.
b. Derajat gangguan tes fungsi paru preoperatif
berbanding lurus dengan resiko operasi.
c. Kriteria laboratori preoperatif untuk dilakukan
pneumonektomi:
ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:
RESEKSI PARU
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/16
RSU NURHAYATI
GARUT 6/16

TEST PASIEN RESIKO


TINGGI
Analisa gas darah PaCO2 > 45 mm Hg
(dengan udara bebas)
PaO2 < 50 mmHg
FEV1 <2L
(Predicted post < 0,8 L atau < 40%
operative FEV1) dari prediksi
FEV1/ FVC < 50 % dari prediksi
Maximum breathing <50 % dari prediksi
capacity
Maximum VO2 < 10 ml/ kg/ menit

6. MANAJEMEN PREOPERATIF
a. Mayoritas pasien yang akan menjalani operasi paru
memiliki dasar penyakit paru.
b. Pasien dengan tumor paru adalah perokok berat
yang biasanya memiliki penyakit penyerta PPOK
atau CAD.
c. Lakukan evaluasi terhadap kemungkinan komplikasi
akibat ekstensi tumor dan sindrom paraneoplastik.
d. Analisa secara teliti terhadap hasil ronsen toraks,
CT, dan MRI.
e. Deviasi trakeal atau bronkial akan mempersulit
proses intubasi trakeal, disamping itu kompresi pada
jalan nafas akan mempersulit ventilasi saat induksi.
ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:
RESEKSI PARU
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/16
RSU NURHAYATI
GARUT 7/16

f. Adanya konsolidasi pada paru, atelektasis, dan efusi


pleura yang besar akan menjadi predisposisi
terjadinya hipoksemia.
g. Pasien yang akan menjalani tindakan operasi toraks
akan meningkatkan resiko komplikasi paru dan
jantung pascaoperasi.
h. Persiapan preoperatif yang baik akan mengurangi
resiko komplikasi pada pasien dengan resiko tinggi.
i. Premedikasi sebaiknya tidak diberikan pada pasien
dengan gangguan respirasi sedang-berat.

7. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
PERSIAPAN:
a. Persiapan operasi yang optimal akan membantu
mengurangi potensi permasalahan yang dapat
terjadi pada bedah torak.
b. Pasien bedah toraks biasanya mempunyai fungsi
cadangan paru yang jelek, struktur anatomi yang
abnormal, atau gangguan pada jalan nafas, dan
kemungkinan membutuhkan ventilasi satu paru
sehingga merupakan predisposisi untuk terjadinya
hipoksemia dalam waktu yang singkat. Untuk itu
harus terlebih dahulu disusun rencana dan
persiapan yang baik untuk menghadapi segala
kemungkinan yang dapat terjadi.
c. Persiapkan peralatan dasar untuk pengelolaan jalan
nafas sulit dan pastikan semua berfungsi dengan
ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:
RESEKSI PARU
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/16
RSU NURHAYATI
GARUT 8/16

baik.
d. Siapkan beberapa ukuran ETT single lumen dan
double lumen dalam beberapa ukuran, bronkoskop
fiberoptik fleksibel, “tube exchanger” diameter kecil,
perangkat system continuous positive airway
pressure (CPAP), dan adapter bronkodilator pada
sirkuit anesthesia.
e. Apabila direncanakan untuk memberikan opioid dan
local anestesi melalui epidural untuk analgesia
pascabedah, maka kateter epidural harus dipasang
sebelum dilakukan induksi anestesi dengan pasien
dalam keadaan bangun sehingga akan memfasilitasi
pemasangan dan lebih aman dibandingkan bila
pemasangan dilakukan saat pasien sudah
teranestesi.
f. Pasang minimal 1 buah akses vena berukuran
besar (nomor 14 atau 16). Pertimbangkan
pemasangan CVC pada sisi pembedahan dan
perangkat penghangat darah bila diperkirakan akan
terjadi perdarahan yang banyak.

Monitoring:
a. Monitoring direk tekanan arterial diindikasikan pada
ventilasi satu paru, reseksi tumor berukuran besar
(terutama tumor yang ekstensi ke mediastinum atau
dinding dada), dan pada tiap prosedur yang
dilakukan pada pasien dengan keterbatasan funfsi
ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:
RESEKSI PARU
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/16
RSU NURHAYATI
GARUT 9/16

paru dan penyakit kardiovaskular yang signifikan.


b. Monitoring CVP sangat disarankan pada pasien
yang akan menjalani prosedur pneumektomi dan
reseksi tumor berukuran besar. CVP ini akan
memberikan refleksi terhadap kapasitan vena,
volume darah, fungsi ventrikel kanan, dan sebagai
panduan dalam memberikan terapi cairan.
c. Kateter arteri pulmonal diindikasikan pada pasien
dengan hipertensi pulmonal, cor pulmonal, atau
disfungsi ventrikel kiri.

Induksi Anestesi:
a. Lakukan preoksigenasi yang adekuat sebelum
dilakukan induksi.
b. Pada kebanyakan kasuss, induksi dilakukan dengan
obat anestesi intravena dengan pemilihan obat
induksi didasarkan pada status preoperatif pasien.
c. Laringoskopi direk dilakukan setelah dipastikan
anestesi telah dalam untuk mencegah reflek
bronkospasme dan mengurangi respon
kardiovaskular.
d. Lakukan pemasangan ETT double lumen kemudian
konfirmasi posisi ETT sudah pada tempatnya.
e. Untuk mencegah atelektasis, pernafasan paradoks,
dan pergeseran mediastinal berikan ventilasi kontrol
tekanan positif.

Posisi:
ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:
RESEKSI PARU
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/16
RSU NURHAYATI
GARUT 10/16

a. Prosedur operasi reseksi paru dilakukan melalui


torakotomi posterior dengan memposisikan pasien
pada posisi lateral dekubitus.
b. Pastikan posisi pasien yang benar untuk
menghindari cedera dan memfasilitasi lapangan
operasi yang baik.
c. Posisi lengan yang dibawah berada dalam keadaan
fleksi, sedangkan lengan yang di atas dalam
keadaan ekstensi di atas kepala pasien sehingga
kan menarik scapula untuk menjauh dari lapangan
operasi.
d. Tempatkan bantal di antara tungkai dan lengan,
kemudian untuk mencegah cedera pada pleksus
brakialis maka letakkan gulungan kassa atau kain
yang lembut di daera aksila yang dependen.
e. Pastikan tidak ada penekanan pada bola mata dan
telinga dependen.

Pemeliharaan Anestesi:
a. Pemeliharaan anestesi dapat dilakuakan dengan
memberikan kombinasi anestesi inhalasi (halotan,
isofluran, sevofluran, atau desfluran) dan opioid.
b. Keuntungan memberikan anestesi inhalasi
halogenasi adalah adanya efek bronkodilatasi,
depresi reflek jalan nafas, memungkinkan untuk
memberikan oksigen inspirasi konsentrasi tinggi,
mudah untuk mengatur kedalam anestesi, dan efek
ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:
RESEKSI PARU
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/16
RSU NURHAYATI
GARUT 11/16

terhadap hypoxic pulmonary vasoconstriction (HPV)


yang minimal.
c. Efek minimal anestesi inhalasi terhadap HPV
didapatkan pada konsentrasi < 1 MAC.
d. Keuntungan penggunaan opioid adalah efeknya
yang minimal terhadap hemodinamik, depresi
terhadap reflek-reflek jalan nafas, dan efek analgesi
residual pascabedah.
e. Penggunaan N2O sebaiknya tidak diberikan karena
dapat menurunkan FiO2, menghambat HPV, dan
pada beberapa pasien dapat menimbulkan
eksaserbasi hipertensi pulmonal.
f. Pemeliharaan dengan pelemas otot non
depolarisasi akan mempermudah mencapai
kedalaman anestesi sehingga akan pula
memfasilitasi saat operator meregangkan tulang
kostae.
g. Apabila pada saat manipulasi pembedahan terjadi
bradikardia akibat reflek vagal, maka keadaan ini
harus diatasi dengan memberikan sulfas atropine
intravena.
h. Pada saat rongga dada dibuka maka tekanan
negatif intratorakal akan hilang, hal ini akan
menyebabkan penurunan aliran balik darah vena,
keadaan ini dapat diatasi dengan memberikan bolus
cairan intravena.
i. Pemberian cairan intravena pada pasien yang akan
ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:
RESEKSI PARU
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/16
RSU NURHAYATI
GARUT 12/16

menjalani reseksi paru pada umumnya dibatasi


dengan hanya memberikan kebutuhan maintenan
dan cairan penggantian darah yang hilang.
Pemberian cairan yang berlebihan pada posisi
pasien lateral dekubitus akan mendorong timbulnya
“lower lung syndrome”, dimana terjadi transudasi
cairan pada paru bagian bawah akibat dari gravitasi.
Keadaan ini akan meningkatkan terjadinya shunting
intrapulmonary yang akan memperbesar resiko
terjadinya hipoksemia terutama pada saat dilakukan
ventilasi satu paru.
j. Ada tidaknya kebocoran pada bronchial stump
setelah dilakukan reseksi paru, dinilai dengan
memberikan tekanan posisitf 30 cmH2O pada
bronchial stump yang direndam dalam cairan.
k. Sebelum dilakukan penutupan rongga dada harus
dipastikan semua segmen paru yang masih ada
dapat mengembang dengan cara
mengembangkannya secara manual dalam
penglihatan langsung.
l. Kontrol ventilasi mekanik harus tetap diteruskan
sampai chest tube dihubungkan pada suction.

Manajemen Ventilasi Satu Paru:


a. Resiko paling besar pada saat ventilasi satu paru
adalah terjadinya hipoksemia.
ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:
RESEKSI PARU
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/16
RSU NURHAYATI
GARUT 13/16

b. Untuk menurunkan resiko terjadinya hipoksemia


maka periode ventilasi satu paru harus dibatasi
seminimal mungkin dan harus mempergunakan
oksigen dengan konsentrasi 100%.
c. Bila peak airway pressure meningkat secara
berlebihan ( >30 cmH2O ), maka tidal volume harus
dikurangi dengan memberikan volume 6-8 ml/ kg
dan frekuensi nafas ditingkatkan untuk tetap
mencapai ventilasi semenit.
d. Pulse oksimeter harus selalu dimonitoring secara
ketat, analisis gas darah dilakukan secara periodic
untuk memastikan ventilasi yang adekuat.
Pemantuan yang hanya berdasarkan pada
pengukuran end-tidal CO2 tidak dapat memberikan
gambaran pasien yang sebenarnya.
e. Intervensi yang dilakukan bila terjadi hipoksemia
selama ventilasi satu paru:
 Inflasi oksigen secara periodik pada paru yang
kolaps
 Segera lakukan ligasi dan penjepitan arteri
pulmonal ipsilateral (selama pneumektomi)
 Berikan CPAP (5-10 cmH2O) pada paru yang
kolaps
 Berikan PEEP (5-10 cmH2O) pada paru yang
diventilasi
 Lakukan penyesuaian volume tidal dan frekuensi
nafas.
ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:
RESEKSI PARU
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/16
RSU NURHAYATI
GARUT 14/16

f. Tindakan yang pertama kali harus dilakukan bila


terjadi hipoksia pada saat ventilasi satu paru
(melalui pengukuran pulse oksimeter) adalah
dengan memberikan CPAP pada paru yang kolaps,
kemudian bila tidak terdapat perbaikan maka berika
PEEP pada paru yang diventilasi.
g. Hipoksemia yang persisten harus diatasi dengan
segera melakukan re-ekspansi pada paru yang
kolaps. Lakukan kembali konfirmasi posisi ETT yang
kemungkinan dapat berubah akibat manipulasi/
traksi pembedahan.
h. Kedua lumen ETT harus dilakukan suctioning untuk
memastikan tidak adanya kumpulan darah/ sekret
yang dapat menimbulkan obstruksi.
i. Kemungkinan pneumotorak pada sisi dependen
harus dipertimbangkan dan disingkirkan, keadaan
ini biasanya dapat timbul pada diseksi mediatinal
yang ekstensif atau akibat pemberian peak
inspiratory pressure yang tinggi.

8. MANAJEMEN PASCAOPEARATIF
Perawatan Umum:
a. Sebagian besar pasien dilakukan ekstubasi dini
untuk menurunkan resiko terjadinya barotrauma
(terutama ruptur pada jahitan bronchial) dan
resiko infeksi paru.
b. Pasien dengan reserve paru yang marginal
ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:
RESEKSI PARU
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/16
RSU NURHAYATI
GARUT 15/16

sebaiknya tetap dalam keadaan terintubasi


sampai dengan standar untuk dilakukan
ekstubasi terpenuhi. Bila pasien tetap
dipertahankan terintubasi maka ETT double
lumen harus diganti dengan ETT single lumen
pada saat akhir operasi.
c. Pasien harus diobservasi secara ketat di ruang
pemulihan (PACU), kemudian bila stabil
dipindahkan ke ICU atau ruang perawatan
intermediate paling tidak selama 1 malam atau
lebih.
d. Posisikan pasien pada posisi setengah duduk (
>30 derajat) dan berikan suplemen oksigen (40-
50%).
e. Lakukan pemantauan ketat terhadap EKG dan
hemodinamik.
f. Komplikasi pascabedah yang paling sering
terjadi adalah hipoksemia dan asidosis
respiratorik. Keadaan ini paling sering
disebabkan oleh atelektasis akibat kompresi
surgical pada paru, gangguan pernapasan akibat
nyeri operasi, transudasi cairan akibat gravitasi
pada paru dependen.
g. Perhatikan tanda-tanda komplikasi perdarahan
pascabedah, yaitu: peningkatan drainase chest
tube (> 200 ml/ jam), hipotensi, takikardi, dan
penurunan hematokrit.
ANESTESI PADA OPERASI TORAKS:
RESEKSI PARU
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/16
RSU NURHAYATI
GARUT 16/16

h. Lakukan evaluasi radiografik.


i. Nyeri pasca operasi harus diatasi secara agresif.

9. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent

Unit Terkait Kamar bedah, tim anestesi, tim bedah


Dokumen Terkait Statu rekam medik, lembar informed consent
ANESTESI PADA TORAKOTOMI:
EKSISI BLEBS ATAU BULLAE
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/7
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


PELAYANAN
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
BAGIAN
ANESTESIOLOGI
16 Januari 2019
DAN TERAPI
INTENSIF
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Kista paru atau bullae merupakan kelainan pada paru yang
dapat merupakan kelainan kongengital atau karena akibat
dari keadaan emfisema paru. Bullae yang besar dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pernafasan akibat
kompresi jaringan paru di sekitar bullae. Kavitas udara ini
sering kali memiliki katup satu arah sehingga menjadi
faktor predisposisi untuk terjadinya perbesaran secara
progresif.
Tujuan Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien dengan blebs atau bullae paru yang akan menjalani
tindakan torakotomi dan eksisi.
Kebijakan Pasien dengan giant bullae yang akan menjalani prosedur
torakotomi biasanya mempunyai pulmonary reserve yang
terbatas dengan resiko operasi yang besar dan juga resiko
yang tinggi untuk terjadinya komplikasi pulmoner dan
kardiak, namun operasi harus tetap dilakukan untuk
memperbaiki fungsi paru itu sendiri.
Prosedur
1. PATOFISILOGI:
Kista yang terbentuk dapat bersifat bronkogenik,
ANESTESI PADA TORAKOTOMI:
EKSISI BLEBS ATAU BULLAE
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/7
2/7
RSU NURHAYATI
GARUT

post-infeksi, infantile, atau emfisematous. Bullae


terjadi akibat destruksi dari jaringan alveolar yang
sering kali merupakan representasi dari end-stage
penyakit-penyakit emfisematosa yang biasanya
berhubungan dengan PPOK berat.

2. PENATALAKSANAAN BEDAH:
Blebs atau bullae paru mempunyai ukuran yang
bervariasi, mulai dari ukuran kecil (apical blebs)
yang paling sering terjadi pada usia muda yang
menyebabkan terjadinya pneumotoraks spontan,
sampai dengan ukuran yang besar (giant bullae)
yang menimbulkan gangguan pernafasan. Pada
bullae yang kecil dapat dilakukan eksisi melalui
torakoskopi, namun demikian sebagian ahli bedah
lebih memilih untuk melakukan dengan teknik
terbuka. Pada bullae yang berukuran besar pada
umumnya dilakukan eksisi melalui teknik open
thoracotomy. Tindakan reseksi paru dilakukan pada
kasus-kasus dengan pneumotoraks yang berulang
dan dispnoe yang progresif.

3. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Pasien dengan giant bullae yang akan menjalani
prosedur torakotomi biasanya mempunyai
pulmonary reserve yang terbatas dengan resiko
operasi yang besar dan juga resiko yang tinggi
ANESTESI PADA TORAKOTOMI:
EKSISI BLEBS ATAU BULLAE
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/7
3/7
RSU NURHAYATI
GARUT

untuk terjadinya komplikasi pulmoner dan


kardiak, namun operasi harus tetap dilakukan
untuk memperbaiki fungsi paru itu sendiri.
Dengan persiapan preoperatif yang baik akan
dapat menurunkan terjadinya resiko tersebut
pada pasien dengan resiko tinggi.
- Pada pemeriksaan fisik biasanya pasien akan kita
dapatkan dalam keadaan sesak.
- Untuk membedakan dengan blebs pada
anamnesa pasien dengan bullae tidak didapatkan
riwayat pneumotoraks yang berulang.
- Lakukan pemeriksaan tes fungsi paru dan AGD
untuk mengetahui baseline preoperatif. Pada
pemeriksaan ini biasanya kita dapatkan bahwa
pasien hanya mempunyai pulmonary reserve
yang kecil, dan terdapat retensi CO2.
- Evaluasi hasil pemeriksaan foto toraks, lihat
apakah terdapat tanda-tanda pneumotoraks. Dan
apabila terdapat hasil CT evaluasi apakah
terdapat tanda-tanda obstruksi dan deviasi pada
jalan nafas yang dapat mempersulit pemasangan
double lumen tube (DLT). Kemudian tentukan
lokasi dari bullae/ blebs.
- Lakukan pemeriksaan EKG dan kalau diperlukan
dengan echocardiography untuk menilai baseline
fungsi kardiak.
- Premedikasi sebaiknya tidak diberikan pada
ANESTESI PADA TORAKOTOMI:
EKSISI BLEBS ATAU BULLAE
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
4/7
1/7
RSU NURHAYATI
GARUT

pasien dengan gangguan pernafasan sedang-


berat.

4. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Teknik anestesi adalah dengan anestesi umum
dengan intubasi dengan DLT yang dapat
dikombinasi dengan epidural.
- Pemilihan DLT diperlukan untuk melakukan
pemisahan ventilasi kedua paru sehingga
memnungkinkan untuk diberikan IPPV pada paru
yang normal.
- Resiko terbesar yang akan kita hadapi saat
memberikan tindakan anestesi adalah ruptur
rongga udara saat diberikan ventilasi tekanan
positif yang akan mengakibatkan tension
pneumothorax.
- Lakukan induksi dengan tetap mempertahankan
nafas spontan sampai paru yang dengan kista/
bullae terisolasi dengan DLT atau sampai chest
tube terpasang.
- Kebanyakan pada pasien ini akan mengalami
peningkatan dead space , oleh karena itu lakukan
assisted ventilation untuk menghindari terjadinya
hiperkarbia yang berlebihan.
- Ventilasi dilakukan dengan IPPV tidal volume
yang kecil dan frekuensi yang lebih sering sampai
toraks terbuka,
ANESTESI PADA TORAKOTOMI:
EKSISI BLEBS ATAU BULLAE
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
5/7
1/7
RSU NURHAYATI
GARUT

- Inspiratory pressure tidak boleh melebihi 10


cmH2O untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya ruptur bullae.
- Apabila terjadi hipoksemia intraopratif berikan
CPAP.
- Maintenan anestesi diberikan inhalasi dengan
suplemen anestesi lokal melalui epidural atau
opioid i.v.
- Hindari penggunaan gas N2O karena dapat
ekspansi ke dalam bullae atau kista sehingga
terjadi ruptur.
- Ruptur pada bullae/ kista ditandai dengan
hipotensi yang terjadi secara mendadak,
bronkospasme, atau peningkatan peak inflation
pressure secara tiba-tiba. Bila terjadi ruptur
lakukan segera pemasangan chest tube.
- Monitoring: indikasi pemasangan arterial line: one
lung ventilation, reseksi tumor yang besar, dan
pada tiap prosedur yangdilakukan pada pasien
dengan pulmonary reserve yang terbatas atau
dengan kelainan kardiovaskular yang signifikan.
Pemasangan CVC dianjurkan pada prosedur
pneumonektomi dan reseksi tumor yang besar.
- Pada akhir operasi lakukan pengecekan terhadap
kebocoran udara dengan tindakan re-ekspansi
dengan memberikan ventilasi dengan PIP 30
cmH2O.
ANESTESI PADA TORAKOTOMI:
EKSISI BLEBS ATAU BULLAE
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
6/7
1/7
RSU NURHAYATI
GARUT

5. MANAJEMEN PASCAOPERASI
e. Pasca bullectomy biasanya pasien akan mempunyai
fungsi jaringan paru yang lebih baik daripada
preoperatif.
f. Lakukan ekstubasi awal apabila kriteria ekstubasi
sudah terpenuhi.
g. Perawatan pascaoperasi untuk bullae/ blebs yang
kecil dapat dilakukan di PACU kemudian
dipindahkan ke ruangan kalau sudah stabil. Untuk
kasus dengan Giant Bullae perawatan pasca
operatif dilakukan di ICU.
h. Komplikasi pascaoperatif:
i. Respiratory failure: atelektasis, edema paru
(kardiogenik/ non kardiogenik)
ii. Disritmia: kemungkinan penyebabnya adalah
manipulasi terhadap jantung, hipoksemia,
terutama bila sebelumnya memang sudah
terdapat kelainan jantung.
iii. Perdarahan: apabila terjadi perdarahan >
100ml/ jam segera lakukan pembedahan
ulang untuk eksplorasi.
iv. Bronkopleural fistula: merupakan komplikasi
serius yang dapat terjadi dalam 2 minggu
pertama setelah pembedahan dimana
terdapat kebocoran udara yang dapat
dideteksi dengan adanya gelembung udara
pada tabung CTT.
ANESTESI PADA TORAKOTOMI:
EKSISI BLEBS ATAU BULLAE
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
7/7
1/7
RSU NURHAYATI
GARUT

v. Obstruksi jalan nafas


vi. Truma pada saraf: pleksus brakialis, nervus
ulnaris, interkostalis, torakodorsal.
i. Manajemen nyeri pascaoperasi (pain score 5-7)
diberikan dengan opioid melalui epidural atau
secara parenteral.

10. DOKUMEN TERKAIT :- Catatan rekam medis


- Lembar informed consent
Unit Terkait Kamar bedah
Dokumen Terkait Status rekam medic, lembar informed consent
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
½
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
ANESTESI Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PADA OPERASI
TORAKS:
RESEKSI
TRAKEAL dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien toraks yang akan menjalani tindakan reseksi
trakeal.
Kebijakan Pemakaian pelemas otot harus dihindari pada saat induksi
dikarenakan potensi terjadinya obstruksi total jalan nafas.
Prosedur 1. KONSIDERASI ANESTESI
- Gangguan pada lumen trakeal akan menyebabkan
keadaan sesak yang progresif. Keadaan sesak ini
akan bertambah berat bila pasien dalam posisi
berbaring akibat obstruksi jalan nafas yang
progresif.
- Keluhan hemoptisis sering terjadi pada tumor
trakeal.
- Premedikasi sebaiknya tidak diberikan karena pada
pasien yang akan menjalani reseksi trakeal biasanya
mengalami obstruksi jalan nafas moderat-berat.
- Induksi inhalasi yang perlahan dengan oksigen
100% diberikan pada pasien dengan obstruksi yang
berat.
- Anestesi inhalasi pilihan adalah halotan atau
sevofluran yang hanya menyebabkan iritasi minimal
pada jalan nafas.
- Pada saat induksi harus dipertahankan agar pasien
tetap bernafas spontan.
- Pemakaian pelemas otot harus dihindari pada saat
induksi dikarenakan potensi terjadinya obstruksi total
jalan nafas.
- Lakukan laringoskopi bila pasien telah berada dalam
keadaan teranestesi yang dalam.
- Lidokain intravena (1-2 mg/ kg) dapat diberikan
untuk memperdalam anestesi tanpa menimbulkan
depresi nafas.
- Operator kemungkinan akan memakai bronkoskopi
rigit untuk menilai dan kemungkinan dilakukan
dilatasi lesi.
- Setelah dilakukan bronkoskopi dilakukan
pemasangan tube dengan ukuran yang
memungkinkan untuk melewati bagian distal
obstruksi.
- Setelah prosedur pembedahan dilakukan
diusahakan untuk mengembalikan nafas spontan
pasien untuk kemudian di-ekstubasi.
- Posisikan leher pasien dalam keadaan fleksi segera
seteah operasi selesai untuk meminimalkan
regangan pada jahitan.
Unit Terkait
Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/5
RSU
NURHAYATI
GARUT
ANESTESI PADA Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
OPERASI Direktur RSU NURHAYATI GARUT
TORAKS:
TIMEKTOMI
DENGAN
MYASTENIA dr. Hj. Anne Lisnawati
GRAFIS NIK. 1983062320100116
Pengertian
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien toraks dengan myasthenia grafis yang akan
menjalani tindakan timektomi.
Kebijakan Optimalisasi kondisi pasien myasthenia secara signifikan
akan mengurangi resiko terhadap pembedahan. Idealnya
operasi dilakukan pada keadaan telah terjadi remisi dengan
keadaan semua problem medis telah dioptimalkan.
Prosedur Persiapan preoperatif yang baik akan mengurangi resiko
komplikasi pada pasien dengan resiko tinggi.

1. BATASAN DAN PATOFISIOLOGI:


Myasthenia grafis adalah penyakit autoimun yang
terjadi pada motor endplate, yang ditandai dengan otot-
otot volunter yang mudah lelah dan dapat pulih kembali
setelah istirahat. Terjadi pembentukan antibodi
terhadap reseptor asetilkolin pada neuromuscular
junction, sedangkan pelepasan asetilkolin presinaptik
tetap normal atau bisa meningkat. Pasien dengan
myasthenia grafis hanya sedikit memiliki reseptor
asetilkolin (70-80% lebih sedikit) dibandingkan pada
orang normal. Berkurangnya jumlah reseptor ini akan
mengakibatkan blokade fungsional, meningkatnya
degradasi reseptor, atau lisis membran postsinaptik
melalui mediasi komplemen. Penurunan jumlah
reseptor ini juga akan mengurangi batas keamanan
transmisi neuromuskular, dan akan meningkatkan
sensitivitas terhadap semua agen yang mempengaruhi
transmisi neuromuskular.

2. DIAGNOSIS
- Diagnosis dibuat dengan adanya riwayat kelemahan
otot skeletal dan otot-otot yang mudah lelah yang
dapat pulih kembali setelah diistirahatkan.
- Kelemahan ini dapat melibatkan setiap kelompok
otot, tetapi kelompok otot yang paling sering terlibat
adalah otot-otot okular.
- Kelemahan otot bulbar akan menyebabkan
kegagalan terhadap pernapasan, kemampuan
mengunyah, dan kontrol terhadap jalan napas.

Tes Konfirmasi:
- Edrophonium test: pemberian dosis kecil (2-5 mg)
edrophonium akan meningkatkan kekuatan otot
pada pasien dengan myasthenia.
- Elektromiografi: Penurunan repon (minimal 10%)
pada stimulasi akan tampak pada pasien yang
myasthenik.
- Regional kurare test: kenakan tornikuet pada lengan
atas, kemudian suntikkan kurare 0,2-0,5 mg i.v
pada daerah lengan di distal dari tornikuet dan
lakukan pemeriksaan EMG pada lengan tersebut.
Pada pasien myasthenik akan terjadi penurunan
respon terhadap stimulus berulang yang diberikan,
sedangkan pada orang normal tidak akan ada
pengaruhnya.
- Antibodi reseptor asetilkolin: Antibodi ini dapat
ditemukan pada 85-90% pasien dengan myasthenia,
tetapi titer antibodi tersebut tidak berkorelasi dengan
beratnya penyakit.
- CT scan atau MRI: digunakan untuk mengkonfirmasi
adanya kelenjar timus yang abnormal.

3. KLASIFIKASI KLINIS (SISTEM KLAASIFIKASI


OSSERMAN)
- Osserman I: kelemahan pada otot ekstraokular yang
ditandai dengan diplopia.
- Osserman II: kelemahan otot secara general.
- Osserman III: kelemahan otot bulbar dan otot
skeletal yang berat dengan gangguan pernapasan.
- Osserman IV: Late severe myasthenia, penyakit
yang sudah berat yang terjadi dalam 2 tahun setelah
pertama kali didiagnosa dengan respon terapi yang
buruk.

4. PENATALAKSANAAN:
- Antikolinesterase; diberikan untuk meningkatkan
jumlah asetilkolin sehingga akan terjadi peningkatan
interaksi agonis-reseptor yang pada akhirnya akan
meningkatkan transmisi neuromuskular.
Antikolinesterase yang menjadi pilihan adalah
piridostigmin yang mempunyai efek samping
muskarinik paling sedikit dibanding obat lainnya,
diberikan dengan dosis 2 mg i.v atau 60 mg peroral
dengan durasi 3-6 jam.
- Kortikosteroid; diberikan untuk menurunkan produksi
antibodi.
- Plasmafaresis; plasmafaresis juga akan
menurunkan level pseudokolinesterase yang akan
mengakibatkan pemanjangan durasi suksinilkolin.
- Timektomi.

5. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Optimalisasi kondisi pasien myasthenia secara
signifikan akan mengurangi resiko terhadap
pembedahan.
- Idealnya operasi dilakukan pada keadaan telah
terjadi remisi dengan keadaan semua problem
medis telah dioptimalkan.
- Evaluasi secara cermat terhadap parameter
respirasi dan kekuatan otot bulbar sebelum
memberikan premedikasi.
- Kekuatan otot respirasi dapat dinilai denghan
melakukan tes fungsi paru dengan menilai volume
tidal, kapasitas vital, kapasitas pernapasan
maksimum, dan kekuatan inspirasi.
- Premedikasi harus dihindari pada pasien dengan
gejala-gejala bulbar dan gangguan respirasi.
- Ansiolisis dengan benzodiazepin dapat diberikan
dengan dosis kecil pada pasien myasthenia yang
sudah terkontrol.
- Premedikasi dengan opioid harus dihindari untuk
mencegah depresi terhadap respiratory drive yang
dapat memperbesar kemungkinan terjadinya
kegagalan pernapasan pada myastenik atau krisis
kolinergik.
- Pemberian antikolinesterase preoperatif saat ini
masih kontroversial. Beberapa peneliti berpendapat
dengan menunda pemberian antikolinesterase akan
menurunkan interaksi terhadap obat lain yang akan
diberikan. Interaksi tersebut dapat berupa
antagonism parsial dari pelemas otot golongan non
depolarisasi dan memperpanjang durasi kerja
suksinil kolin. Penundaan pemberian
antikolinesterase juga akan mengeliminasi
kemungkinan terjadinya krisis kolinergik yang
merupakan penyebab kegagalan pernapasan
pascaoperatif. Tetapi pendapat ini tidak berlaku
pada pasien yang secara fisiologi dan fisik
tergantung pada antikolinesterase. Namun beberapa
penulis lainnya berpendapat bahwa
antikolinesterase tidak akan berinteraksi dengan
obat anestesi sehingga dapat tetap diberikan.
- Pemberian steroid pada pasien dalam terapi steroid
yang kronik harus tetap diberikan.

6. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
a. Monitor yang diperlukan pada setiap tindakan
anestesi pada pasien myasthenia adalah: EKG
kontinyu, tekanan darah, pulse oksimeter, EtCO2,
stimulasi saraf perifer (bila dipergunakan pelemas
otot), dan monitoring oksigen inspirasi.
b. Induksi anestesi didahului dengan preoksigenasi
dengan oksigen 100%.
c. Induksi dapat dilakukan dengan memberikan injeksi
obat-obatan dengan onset cepat dan durasi pendek,
seperti; barbiturat, propofol, atau etomidat.
d. Intubasi trakeal pada pasien ini seringkali tidak
memerlukan pelemas otot dan dapat difasilitasi
dengan hanya memberikan ventilasi dengan agen
inhalasi yang poten.
e. Pemberian suksinilkolin untuk kontrol yang cepat
terhadap jalan napas dapat diberikan dengan dosis
2 mg/ kgbb, akan tetapi akan menyebabkan
pemanjangan durasi kerja obat ini.
f. Beberapa penulis berpendapat bahwa pada pasien
dengan myasthenia sebaiknya dihindari pemberian
pelemas otot, relaksasi yang adekuat dapat dicapai
dengan pemberian anestesi inhalasi yang poten.
Tetapi pada beberapa pasien tidak dapat
mentoleransi perubahan hemodinamik yang
diakibatkannya sehingga memerlukan teknik balans
dengan mempergunakan pelemas otot.
g. Pelemas otot dapat diberikan dengan menggunakan
pelemas otot intermediet golongan non depolarisasi
secara titrasi dengan bantuan alat nerve stimulator
perifer.
h. Pemberian antikolinesterase untuk mengatasi
residual blokade neuromuskular harus
dipertimbangkan secara individual dengan melihat
kondisi masing-masing pasien. Harus
dipertimbangkan antara besarnya resiko akibat
pemberian inhibitor kolinesterase (krisis kolinergik,
bradiaritmia, dan sekresi) dan kemungkinan
kerugian akibat gangguan ventilasi pascaoperatif..
i. Distres pernapasan dapat diatasi dengan
memberikan 1/30 dosis piridostigmin secara i.v.
j. Kelemahan residual pada saat pemulihan dari
anestesi tidak boleh hanya disimpulkan sebagai
blokade otot residual akibat pemakaian pelemas
otot, hal ini dikarenakan transmisi neuromuskular
juga dapat terganggu akibat pengaruh dari anestesi
inhalasi, anestesi lokal, antikonvulsan, beta bloker,
dan beberapa antibiotik.

7. KRISIS KOLINERGIK
a. Krisis kolinergik terjadi akibat jumlah asetilkolin yang
berlebihan pada reseptor nikotinik dan muskarinik
akibat pemberian antikolinesterase yang berlebihan.
b. Manifestasi krisis kolinergik:
 Weakness
 Wheezing
 Peningkatan sekresi
 Fasikulasi
 Nausea
 Vomiting
 Diare
 Lakrimasi
 Bradikardia
 Hipotensi
 Kelemahan otot pernapasan dapat berkembang
secara progresif menjadi kegagalan pernapasan.
 Disfagia; predisposisi untuk terjadinya obstruksi
jalan napas dan aspirasi.
c. Harus dibedakan antara krisis kolinergik dan krisis
myasthenia karena keduanya memerlukan terapi
yang bertolak belakang.
d. Krisis kolinergik ditandai dengan pupil yang
konstriksi dan tidak memberikan respon terhadap
pemberian edrophonium bahkan akan menyebabkan
eksaserbasi dari gejalanya, sedangkan pada krisis
myasthenia ditandai dengan pupil yang dilatasi dan
memberikan respon terhadap pemberian
edrophonium berupa peningkatan kekuatan.
e. Progresi yang cepat terhadap terjadinya kegagalan
pernapasan memerlukan tindakan intubasi segera
dan kemudian dilakukan kontrol ventilasi.
f. Efek samping muskarinik pada krisis kolinergik
dapat diatasi dengan pemberian atropin atau
glikopirolat.
Unit Terkait
Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/3
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
ANESTESI PADA Direktur RSU NURHAYATI GARUT
OPERASI
TORAKS:
TAMPONADE
JANTUNG dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien dengan tamponade jantung.
Kebijakan Target hemodinamik pada saat dilakukan induksi adalah
sebagai berikut:
a. Status inotropik yang adekuat
b. Tingkatkan laju jantung
c. Tingkatkan tekanan pengisian
d. Hindari vasodilatasi
e. Hindari depresi miokardial
Prosedur 2. BATASAN DAN PATOFISIOLOGI:
Akumulasi cairan perikardial akan meningkatkan tekanan
perikardial yang akan menghambat pengisian atrial dan
ventrikular sehingga terjadilah tamponade jantung.
Akumulasi yang cepat 200-250 ml pada ruang perikardial
padas orang dewasa akan meningkatkan tekanan pada
vena sentral 10-12 cmH2O. Peningkatan tahanan pada
saat pengisisan ventrikel akan mengakibatkan terjadinya
penurunan pada stroke volume. Respon simpatis akibat
peningkatan tekanan perikardial akan mengakibatkan
terjadinya peningkatan laju jantung, dan konstriksi pada
pembuluh darah perifer. Pada awal terjadinya penurunan
stroke volume, tubuh kita masih dapat mengkompensasi
penurunan cardiac output melalui kompensasi peningkatan
laju jantung, tetapi akibat penumpukan cairan yang lebih
lanjut akan terjadi perburukan karena keterbatasan
pergangan otot jantung secara akut.

3. TANDA KLINIS
- Tanda triad klasik dari tamponade jantung:
o Bunyi jantung yang jauh
o Hipotensi
o Peningkatan CVP
- Malaise
- Weakness
- Tanda gagal jantung kanan; asites, edema perifer,
azotemia prerenal, hepatomegali, distensi vena
jugular.
- Gagal jantung kiri: ortopnoe, dispnoe, hipotensi,
penurunan urine.
- Kussmaul’s sign
- Rontgen toraks memberikan gambaran bayangan
jantung (cardiac sihoutte) yang besar.
- EKG; gambaran low voltage pada semua lead
dengan perubahan gelombang ST-T nonspesifik.
- Echokardiografi; tampak cairan perikardial, kolaps
strium kanan saat sistol, dan kolaps ventrikel kanan
saat diastolik
- Diagnosis dibuat dengan adanya riwayat kelemahan
otot skeletal dan otot-otot yang mudah lelah yang
dapat pulih kembali setelah diistirahatkan.
- Kelemahan ini dapat melibatkan setiap kelompok
otot, tetapi kelompok otot yang paling sering terlibat
adalah otot-otot okular.
- Kelemahan otot bulbar akan menyebabkan
kegagalan terhadap pernapasan, kemampuan
mengunyah, dan kontrol terhadap jalan napas.

4. PENATALAKSANAAN:
Temporer:
- Ekspansi volume untuk meningkatkan CVP
sehingga meningkatkan peningkatan pengisisan
ventrikel kanan.
- Pemberian vasokonstriktor dan inotropik efikasinya
terbatas, tetapi dapat memberikan keuntungan
sementara waktu. Dobutamin dapat diberikan
dengan efek inotropik positif, sedangkan alfa agonis
akan meningkatkan perfusi koroner sehingga
melindungi jantung dari iskemik.
- Laju jantung merupakan faktor yang sangat penting
untuk menjaga cardiac output, oleh karenanya
penggunaan beta bloker merupakan suatu
kontraindikasi.
- Bila terjadi reflek vagal diatasi dengan memberikan
atropin.
- Pernapasan harus dijaga tetap spontan, hal ini
dikarenakan pemberian tekanan positif akan
mengakibatkan penurunan yang lebih besar
terhadap pengisisan ventrikel kanan.

Definitif:
- Lakukan perikardiosentesis secepat mungkin
dengan lokal anestesi

5. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Induksi hanya boleh dilakukan setelah semua
persiapan dilakukan dan telah dilakukan drapping
sehingga apabila terjadi perburukan hemodinamik
akibat induksi dapat segera dilakukan tindakan
perikardiosentesis dengan cepat dan segera.

6. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Target hemodinamik pada saat dilakukan induksi
adalah sebagai berikut:
a. Status inotropik yang adekuat
b. Tingkatkan laju jantung
c. Tingkatkan tekanan pengisian
d. Hindari vasodilatasi
e. Hindari depresi miokardial
- Induksi anestesi dilakukan dengan memakai ketamin
atau etomidat.
- Pernapasan harus dijaga tetap spontan, hal ini
dikarenakan pemberian tekanan positif akan
mengakibatkan penurunan yang lebih besar
terhadap pengisisan ventrikel kanan.
- Penggunaan ketamin dosis tinggi atau pada pasien
dengan kegagalan miokardial kronik akan
menyebabkan depresi miokardial.
- Obat-obatan inotropik dan vasokonstriktor yang
poten harus tersedia untuk mengatasi bila terjadi
keadaan dekompensasi hemodinamik.

7. MANAJEMEN PASCAOPERATIF
- Monitor kemungkinan komplikasi pascadrainase;
kolaps sirkulasi dan atau edema paru.
Unit Terkait
Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
½
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


PENANGANAN Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PENATALAKSANAAN
ANESTESI PADA
TINDAKAN
CURRETAGE dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Pemberian anestesi dan analgesi pada kasus
kebidanan dan kandungan
Tujuan Untuk mengutamakan kondisi yang aman dan
nyaman pada tindakan anestesi dengan hasil yang
optimal
Kebijakan 1. Penatalaksanaan dapat dikerjakan oleh dokter
anestesi atau oleh perawat anestesi yang
berkompeten di bidangnya.
2. Evaluasi kondisi pasien sesuai dengan ASA : 1-2
oleh perawat/ penata yang berkompeten atau
mempunyai STR
Prosedur 1. Informed Concent dan penandatanganan
persetujuan operasi/ anestesi
2. Pasien disiapkan untuk puasa 6 jam pre operasi
3. Perawat melakukan anamnesa yang terkait
dengan tindakan anestesi seperti ; asma, alergi,
mempunyai darah tinggi, kebiasaan merokok,
yang dikaitkan dengan ASA apakah perlu oleh
penata anestesi dengan pelimpahan wewenang
atau dengan pendamping dokter anestesi.
4. Pemasangan infus dengan kateter intra vena
yang terbesar yang bisa dipasang
5. Pemasangan tensimeter, pulse oksimetri sebagai
dasar untuk melakukan tindakan anestesi
curetage
6. Pemberian cairan untuk mengganti puasa
10cc/Kg BB
7. Pemberian hipnotik sedativa (profopol 1mg/Kg
BB atau midazolam 0,2-0,4mg/Kg BB). Pada
kasus-kasus tertentu dengan haemodinamik yang
tidak stabil, diberikan ketamin 1mg/KG BB
dengan kondisi-kondisi tertentu.
8. Pemberian analgesi : Fentanyl 1-2micro/Kg BB
atau Pethidin 1mg/Kg BB
9. Pemberian oksigen 2-3 liter dengan kanula
oksigen, 4-6 liter dengan simple mask atau bila
ada penurunan SpO2 lakukan tahap lebih lanjut
seperti di bagging sampai dengan pemasangan
Endo Tracheal Tube
10. Penggunaan general anestesi pada kasus
tertentu yang membutuhkan anestesi inhalasi ;
enflurane, isoflurane, cefoflurane yang
dikombinasi dengan O2/ N2O : 50% ; MAC
disesuaikan dengan kebutuhan.
11. Pasien diposisikan lithotomy dengan jalan napas
yang terjaga
12. Lakukan monitoring TD, Nadi, Respirasi dan
SpO2 sampai dengan berakhirnya tindakan
curetage, kemudian pasien diposisikan seperti
semula dengan jalan napas tetap terjaga sampai
ada respon dari pasien.
13. Ukur kembali TD, Nadi, Respirasi dan SpO2
dalam batas-batas normal. Bila terjadi
peningkatan nadi cari penyebabnya apakah dari
nyeri atau kekurangan cairan. Bila kekurangan
cairan harus dikoreksi sesuai dengan kebutuhan,
bila dari nyeri koreksi dengan analgesi
14. Bila ada riwayat asma atau alergi hindari obat-
obat NSAID (Non-Steroid Anti Inflamatoty Drugs)
Unit Terkait
Dokumen Terkait
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/7
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PENANGANAN
PENATALAKSANAAN
ANESTESI PADA
GERIATRI
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Geriatri merupakan populasi dengan batasan umur ≥
65 tahun. Proses penuaan akan menyebabkan
perubahan terhadap fungsi sistem organ berupa
penurunan functional reserve dan ketidakmampuan
untuk memberikan respon terhadap stress, sehingga
meningkatkan resiko terjadinya morbiditas dan
mortalitas apabila dilakukan proses pembedahan.
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi
pada pasien geriatri yang akan menjalani tindakan
pembedahan.
Kebijakan 1. Perubahan fisiologis pada geriatrik, coexisting
disease, konsiderasi anestesi
2. Pemilihan teknik anestesi dan obat anestesi yang
akan diberikan harus mempertimbangkan
perubahan fungsi system organ dan perubahan
respon obat akibat perubahan farmakokinetik dan
farmakodinamik.
Prosedur Perubahan Fisiologi
Sistem Kardiovaskuler
 Penurunan elastisitas arteri yang akan
menyebabkan terjadinya peningkatan afterload,
peningkatan tekanan darah sistolik, dan
hipertrofi ventrikel kiri.
 Penurunan aktivitas β-adrenergik sehingga
terjadi penurunan laju jantung saat istirahat,
penurunan laju jantung maksimal, dan
penurunan reflek baroresptor.

Sistem Respirasi
 Penurunan elastisitas jaringan paru akan
menyebabkan; penurunan alveolar surface area
sehingga efisiensi pertukaran gas menurun,
kolaps small airways meningkatkan volume
residual dan closing capacity sehingga terjadi
ventilation/ perfusion mismatching.
 Ruang rugi anatomis dan fisiologis meningkat
 Rigiditas dinding dada meningkat
 Penurunan kekuatan otot pernafasan diikuti
dengan penurunan kemampuan untuk batuk dan
penurunan kapasitas dari pernafasan.
 Respon terhadap hiperkapnia dan hipoksia
menjadi tumpul.
 Ventilasi akan menjadi sulit pada pasien-pasien
dengan pipi yang cekung, sedangkan adanya
arthritis pada sendi temporomandibular atau
vertebrae servikal, tidak adanya gigi-geligi
bagian rahang atas juga akan mempersulit untuk
dilakukannya laringoskopi-intubasi.
 Pencegahan hipoksia perioperatif dilakukan
dengan memberikan preoksigenisasi yang lebih
lama sebelum induksi, meningkatkan
konsentrasi oksigen yang lebih tinggi selama
anestesi, dan sedikit meningkatkan PEEP.
 Aspirasi pneumonia merupakan komplikasi yang
sering terjadi pada geriatri akibat penurunan
progresif sejalan bertambahnya umur terhadap
reflek-reflek perlindungan jalan nafas/ laring.
 Pasien geriatri dengan penyakit paru berat yang
menjalani prosedur operasi mayor pada
abdomen sebaiknya tetap terintubasi pada saat
pascaoperasi karena sering terjadi gangguan
pernafasan saat di ruang pemulihan.
 Penanganan terhadap nyeri yang dapat
mengganggu fungsi paru pascaoperasi harus
benar-benar dapat mengatasi nyeri tersebut
(misal dengan anestesi lokal dan opioid melalui
epidural, blok saraf interkosta).

Sistem Metabolik dan Endokrin


 Konsumsi oksigen maksimal maupun basal akan
menurun seiring bertambahnya usia.
 Produksi panas menurun, resiko hilangnya
panas akan meningkat, dan kemampuan pusat
pengatur suhu di hipotalamus juga menurun.
 Resitensi terhadap insulin yang meningkat akan
menurunkan kemampuan untuk meregulasi
glukosa dalam tubuh.
 Respon terhadap agen-agen β-adrenergik akan
menurun.
 Penurunan aliran darah hati

Sistem Ginjal
 Jumlah dan ukuran glomerulus akan menurun.
 Aliran darah ginjal menurun.
 GFR dan klirens kreatinin berkurang.
 Kadar kreatinin serum tidak berubah karena
terjadi penurunan massa otot dan produksi
kreatinin, sedangkan blood urea nitrogen secara
gradual akan meningkat 0,2 mg/ dL pertahun.
 Penurunan fungsi tubular akan berakibat pada
gangguan regulasi sodium, penurunan
kemampuan untuk mengkonsentrasi urin,
penurunan kapasitas dilusi terhadap dehidrasi
atau kelebihan cairan, dan penurunan ekskresi
obat-obatan.
 Penurunan responsivitas sistem renin-aldosteron
sehingga ekskresi potassium terganggu.
 Penurunan respon terhadap ADH.
 Kemampuan reabsorbsi glukosa menurun.
 Kombinasi penurunan aliran darah ginjal dengan
berkurangnya massa nefron akan meningkatkan
resiko terjadinya kegagalan ginjal akut pada
periode pascaoperatif.
 Menurunnya kemampuan ginjal untuk
meregulasi cairan dan elektrolit menyebabkan
hipokalemia dan hiperkalemia lebih mudah
terjadi. Untuk itu monitoring terhadap elektrolit
serum, cardiac filling pressure, dan dieresis
harus dimonitor lebih sering lagi.

Sistem Gastrointestinal
 Massa hepar akan menurun sehingga aliran
darah hepar dan fungsi hepar juga akan
menurun yang berakibat pada menurunnya
biotransformasi dan produksi albumin.
 Kolinesterase plasma menurun.
 pH lambung cenderung untuk meningkat,
sedangkan kemampuan pengosongan lambung
akan menurun.

Sistem Saraf
 Aliran darah serebral menurun sekitar 10-20%
 Keperluan dosis anestesi lokal dan umum
menurun.
 Pemberian bolus epidural anestesi bertendensi
untuk penyebaran yang lebih ekstensif kearah
sefalad, tetapi durasi analgesi dan blok motorik
menjadi lebih singkat. Sebaliknya durasi dari
anestesi spinal akan lebih panjang.
 Waktu pemulihan secara komplit efek obat
anestesi umum yang diberikan terhadap
susunan saraf pusat akan menjadi lebih lama,
terutama pada pasien dengan keadaan
disorientasi atau confused pada saat preoperatif.
 Geriatri mempunyai resiko yang lebih besar
untuk terjadinya keadaan konfusional akut,
delirium, dan disfungsi kognitif pascaoperatif.
 Penyebab disfungsi kognitif pascaoperasi adalah
multifaktorial, antara lain adalah karena efek
obat, nyeri, demensia, hipotermia, menurunnya
jumlah neurotransmitter, dan gangguan
metabolik.
 Geriatri sangat sensitive terhadap efek sentral
dari antikolinergik seperti scopolamine dan
atropine.
 Tidak ada perbedaan antara insidensi delirum
antara anestesi regional dan umum.

Sistem Muskuloskleteal
 Atrofi pada kulit akan memudahkan terjadinya
trauma akibat pemakaian plester, electrocautery
pads, dan electrode EKG.
 Degenerasi pada tulang servikal akan
membatasi pergerakan leher yang dapat
mempersulit tindakan laringoskopi-intubasi.

Perubahan Farmakologis
 Penurunan progresif massa otot dan
peningkatan lemak tubuh (terutama wanita) akan
menyebabkan penurunan jumlah total cairan
tubuh. Penurunan volume distribusi dari obat-
obatan yang larut dalam air akan menyebabkan
konsentrasinya dalam plasma akan meningkat,
sebaliknya peningkatan volume distribusi dari
obat-obatan yang larut dalam lemak akan
menyebabkan penurunan konsentrasinya dalam
plasma.
 Perubahan volume distribusi ini akan
berpengaruh terhadap waktu paruh obat-obat
tersebut. Namun dikarenakan pada pasien
geriatri juga akan terjadi penurunan fungsi ginjal
dan hati, hal ini akan membuat penurunan pada
kliren sehingga durasi kerja sebagian obat tetap
akan memanjang.
 Prinsip perubahan farmakodinamik akibat usia
tua adalah berupa penurunan kebutuhan obat-
obatan anestesi.
 Untuk menghindari efek samping obat dan
pemanjangan durasi kerja obat adalah dengan
memberikan obat dengan cara titrasi.
 Pemilihan obat lebih baik bila diberikan obat-
obatan dengan masa kerja yang pendek, seperti:
propofol, ramifentanil, dan suksinil kolin, serta
obat-obatan yang pemberiannya tidak
dipengaruhi oleh fungsi ginjal, hati, dan aliran
darah, seperti: mivakurium,atrakurium, dan
cisatrakurium.
 Pasien geriatrik dengan malnutrisi akan
mengalami penurunan konentrasi albumin

Anestesi Inhalasi
 MAC dari obat anestesi inhalasi akan menurun
4% perdekade pada umur di atas 40 tahun.
Misalkan MAC halotan pada pasien usia 80
tahun adalah (0,77-(0,77x4%x4))= 0,65.
 Onset of action akan meningkat pada keadaan
terdapat penurunan cardiac output, sedangkan
akan menjadi lambat jika terdapat gangguan
ventilasi/ perfusi yang signifikan.
 Efek volatile terhadap depresi miokardial pada
geriatric akan semakin meningkat.
 Isofluran akan menurunkan cardiac output dan
laju nadi pada orang tua.
 Pemulihan dari efek obat volatile anesthesia
akan memanjang dikarenakan volume
distribusinya yang bertambah (peningkatan
lemak tubuh), penurunan fungsi hati, dan
penurunan proses pertukaran gas di paru.
 Desfluran merupakan obat anestesi pilihan pada
geriatric karena eliminasinya yang cepat.

Obat Anestesi Non-Volatile


 Pada umumnya geriatric membutuhkan dosis
propofol, etomidat, barbiturate, opioid, dan
benzodiazepine yang lebih rendah. Biasanya
hanya dibutuhkan separuh dosis dari dosis
induksi pada dewasa muda.
 Meskipun propofol merupakan obat induksi yang
hampir ideal karena eliminasi nya yang cepat,
tetapi obat ini potensinya lebih besar untuk
menimbulkan hipotensi dan apnoe dibandingkan
pada pasien usia muda.

Pelemas Otot
 Respon terhadap suksinilkolin dan golongan non
depolarizing tidak dipengaruhi oleh usia.
 Onset pelemas otot pada geriatri akan
memanjang 2 kali lipat akibat penurunan cardiac
output dan penurunan aliran darah otot.
 Proses pemulihan pelemas otot nondepolarizing
yang eliminasinya tergantung pada ekskresi
ginjal (seperti: pankuronium, metocurine,
doxacurium, tubocurarine) akan menjadi lebih
lama karena penurunan dari klirens obat
tersebut.
 Proses pemulihan dan durasi kerja obat-obatan
yang metabolismenya terjadi di hepar (seperti:
rokuronium dan vekuronium) juga akan menjadi
lebih lama.
 Profil farmakologi atrakurium dam pipekuronium
tidak dipengaruhi oleh usia.

Co-existing Disease pada Geriatri


 Hipertensi esensial
 Penyakit jantung iskemik
 Gangguan konduksi jantung
 Gagal jantung bendungan
 Penyakit paru kronik
 Diabetes mellitus
 Hipotiroid
 Reumatoid arthritis
 Osteoartritis

Manajemen Preoperatif
 Resiko terhadap pemberian anestesi lebih
dipengaruhi oleh co-existing disease yang ada
dibandingkan faktor usianya.
 Oleh karena itu pada saat pemeriksaan
preoperatif harus lebih fokus untuk
mengidentifikasi adanya penyakit-penyakit yang
sering berhubungan dengan geriatri dan juga
evaluasi terhadap fungsi fisiologis yang telah
disebutkan di atas.
 Geriatri biasanya mengkonsumsi obat-obatan
untuk pengobatan co-existing disease-nya. Data
obat yang sedang diminum harus didapatkan
secara lengkap karena kemungkinan terjadinya
interaksi dengan obat anestesi yang akan
diberikan.
 Lakukan evaluasi preoperatif terhadap functional
reserve dan jalan nafas.
 Osteoartritis atau rheumatoid arthritis pada
servikal akan mempersulit tindakan laringoskopi-
intubasi.
 Insufisiensi arteri vertebrobasiler dapat
dievaluasi dengan melihat efek posisi kepala:
rotasi dan ekstensi terhadap status mental.
 Pastikan status volume, biasanya geriatric
mempunyai kecenderungan terjadinya
hipovolemia preoperatif.
 Premedikasi terbaik untuk geriatri adalah dengan
kunjungan preoperatif. Jelaskan proses yang
akan dijalani selama perioperatif. Jika pasien
masih tampak cemas dapat diberikan golongan
benzodiazepine.
 Premedikasi yang akan diberikan pada geriatri
membutuhkan dosis yang lebih rendah.
 Hindari memberikan premedikasi dengan
atropine karena dapat meningkatkan beban kerja
jantung, dan sering menimbulkan confusion
pascaoperatif.
 Pemberian metoklopramid dapat mempercepat
pengosongan lambung, tetapi pada pasien
geriatri resiko untuk terjadinya efek samping
gejala ekstrapiramidal juga meningkat.

Manajemen Intraoperatif
 Teknik anestesi regional maupun umum dapat
menjadi pilihan pada geriatri tergantung dari
kondisi fungsi sistem organ masing-masing
pasien dan jenis operasi yang akan dijalani.
 Pemilihan obat-obatan juga harus
mempertimbangkan fungsi sistem organ dan
perubahan respon obat akibat berubahnya
farmakokinetik dan farmakodinamik pada pasien

Manajemen Pascaoperatif
 Direkomendasikan ambulasi dini untuk
menurunkan resiko terjadinya pneumonia dan
thrombosis vena dalam
Unit Terkait
Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent.
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/3
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


PENANGANAN
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PENATALAKSANAAN
ANESTESI PADA
PASIEN DENGAN
PENYAKIT LIVER
dr. Hj. Anne Lisnawati
(HEPATITIS AKUT)
NIK. 1983062320100116
Pengertian Hepatitis akut memberikan gambaran berupa trauma
hepatoselular akut dengan nekrosis selular pada
sejumlah sel tersebut. Keadaan ini biasanya
disebabkan oleh infeksi virus, reaksi obat, dan akibat
toksin. Manifestasi klinis pada umumnya tergantung
dari beratnya reaksi inflamasi dan banyaknya
nekrosis. Reaksi inflamasi ringan biasanya
asimptomatik dan hanya terjadi sedikit peningkatan
serum transaminase, sedangkan nekrosis hepatic
massif meerupakan gambaran dari suatu kegagalan
hepatic fulminan akut.
Tujuan Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi
pada pasien dengan penyakit Hepatitis akut yang
akan menjalani tindakan pembedahan.
Kebijakan Hindari faktor-faktor yang menyebabkan perburukan
fungsi hepar
Prosedur Manifestasi Klinis
 Hepatitis viral terdiri atas hepatitis A, B, C, D,
dan E.
 Gejala prodromal hepatitis akut timbul 1-2
minggu berupa keluhan fatigue, malaise,
demam, mual, dan muntah yang kemudian dapat
diikuti dengan jaundice maupun tidak diikuti
dengan jaundice. Keadaan jaundice ini dapat
terjadi 2-12 minggu, dan penyembuhan
sempurna terjadi dalam waktu 4 bulan.
 Untuk menentukan penyebabnya harus
dilakukan pemeriksaan serologis.

Manajemen Preoperatif
 Pasien dengan hepatitis akut yang akan
menjalani operasi elektif harus ditunda sampai
penyakitnya mengalami perbaikan yang ditandai
dengan normalisasi fungsi hati. Morbiditas dan
mortalitas perioperatif pada pasien dengan
hepatitis akut yang menjalani pembedahan
sebesar 12% dan 10%.
 Pasien dengan hepatitis mempunyai resiko
untuk terjadinya perburukan fungsi hepar dan
terjadinya komplikasi akibat kegagalan hepar,
seperti encephalopati, koagulopati atau
hepatorenal sindrom.
 Tindakan pembedahan pada pasien dengan
hepatitis akut hanya boleh dilakukan pada
pasien yang benar-benar emergensi.
 Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
adalah BUN, elektrolit serum, kreatinin, glukosa,
transaminase, bilirubin, alkali fosfatase, albumin,
PT, dan trombosit. Bila dimungkinkan dilakukan
pemeriksaan HbsAg.
 Pada hepatitis yang disebabkan oleh virus kadar
SGOT biasanya lebih tinggi dibandingkan
dengan SGPT kecuali pada pasien dengan
hepatitis yang disebabkan oleh alkohol.
 Bilirubin dan alkali fosfatase sedikit meningkat
kacuali pada keadaan cholestasis.
 Indikator terbaik untuk fungsi sintesa dari hepar
adalah PT, pemanjangan INR lebih dari 3 detik
setelah pemberian vitamin K merupakan indikasi
terjadinya disfungsi hepar yang berat.
 Hipoalbumin biasanya tidak terjadi kecuali pada
kasus gangguan fungsi hepar yang berat dengan
malnutrisi atau penyakit hepar kronis.
 Pasien hepatitis akut yang akan menjalani
operasi emergensi harus dilakukan evaluasi
mengenai penggunaan obat-obatan
sebelumnya, konsumsi alcohol, obat-obatan
intravena, transfusi dan tindakan anestesi
sebelumnya.
 Dehidrasi dan gangguan elektrolit akibat mual
muntah harus dilakukan koreksi.
 Koagulopati dikoreksi dengan memberikan
vitamin K atau FFP.
 Pada umumnya tidak perlu dilakukan
premedikasi unuk meminimalkan pemberian
obat-obatan.

Manajemen Intraoperatif
 Tujuan manajemen intraoperatif adalah untuk
menjaga fungsi hepar dan menghindari faktor-
faktor yang memperburuk fungsi hepar.
 Pemilihan jenis dan dosis obat bersifat
individual.
 Anestetik inhalasi lebih menjadi pilihan
dibandingkan obat anestesi intravena.
 Dosis baku obat-obatan induksi anestesi
intavena masih dapat digunakan karena efek
obat tersebut lebih banyak dihentikan oleh
redistribusi dibandingkan dengan metabolism
atau ekskresi.
 Pemanjangan durasi obat anestesi intravena
dapat dikurangi dengan memberikan dosis yang
besar atau dosis yang berulang.
 Obat anestesi inhalasi yang menjadi pilihan
utama adalah isofluran, hal ini dikarenakan
isofluran mempunyai efek yang paling kecil
terhadap aliran darah hepar.
 Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan
aliran darah hepar harus dihindari. Faktor-faktor
ini adalah: hipotensi, rangsangan simpatis yang
berlebihan, tahanan jalan nafas yang terlalu
besar pada saat melakukan ventilasi kontrol.
 Teknik regional anestesi dapat dilakukan bila
tidak terdapat gangguan koagulasi dan keadaan
hipotensi.
Unit Terkait
Dokumen Terkait
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
½
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


PENANGANAN Direktur RSU NURHAYATI
PENATALAKSANAAN GARUT
ANESTESI PADA
PASIEN DENGAN
PENYAKIT LIVER
(HEPATITIS KRONIS) dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Hepatitis Kronis didefinisikan sebagai keadaan
inflamasi hepar persisten yang terjadi dalam waktu >
6 bulan, hal ini dibuktikan dengan peningkatan
aminotransferase serum. Pasien dengan hepatitis
kronik aktif mengalami inflamasi hepar kronis dengan
destruksi struktur sel normal. Penyebab tersering dari
hepatitis kronis adalah hepatitis B atau C.
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi
pada pasien dengan penyakit Hepatitis kronis yang
akan menjalani tindakan pembedahan.
Kebijakan Hindari faktor-faktor yang menyebabkan penurunan
aliran darah hepar dan factor-faktor yang
memperburuk fungsi hepar.
Prosedur Manifestasi Klinis
 Gejala klinis bervariasi mulai dari asimptomatik
sampai kegagalan hepar fulminant
 Gejala yang paling sering adalah fatigue dan
nyeri ringan di daerah abdomen.
 Jaundice yang berulang
 Kadang-kadang terdapat manifestasi
ekstrahepatik: arthritis dan serositis.
 Manifestasi sirosis pada pasien dengan penyakit
yang progresif
 Pada pemeriksaan laboratorium terdapat sedikit
peningkatan aminotransferase serum, dan pada
kasus yang berat akan terjadi penurunan kadar
albumin serum dan pemanjangan Protrombin
time.

Klasifikasi Child
Klasifikasi child dipergunakan untuk melakukan
evaluasi preoperatif untuk menilai kapasitas fungsi
hati sebagai prediksi terhadap resiko operasi.

KELOMPOK A B C
RESIKO
Bilirubin <2 2-3 >3
(mg/dL)
Albumin >3,5 3-3,5 <3
serum (g/dL)
Asites Tidak Terkontrol Tidak
ada terkontrol
Ensefalopati Tidak Minimal Koma
ada
Nutrisi Sangat Baik Jelek
baik
Mortality 2-5 10 50
Rate (%)

Manajemen Anestesi
 Pada pasien dengan hepatitis kronik persisten,
manajemen anestesi sama dengan manajemn
pada hepatitis akut.
 Pasien dengan hepatitis kronik aktif dianggap
telah mengalami sirosis dan pengelolaan
anestesinya sama dengan pengelolaan pada
pasien dengan sirosis.
Unit Terkait
Dokumen Terkait
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/3
RSU NURHAYATI
GARUT

PENANGANAN Tanggal Terbit :


PENATALAKSANA
Ditetapkan Oleh:
AN ANESTESI
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PADA PASIEN
DENGAN
PENYAKIT
HEPATOBILIER
dr. Hj. Anne Lisnawati
(KOLELITIASIS
NIK. 1983062320100116
DAN
KOLESISTITIS)
Pengertian Penyakit hepatobilier biasanya ditandai dengan adanya
kolestasis yang menimbulkan gangguan aliran empedu.
Penyebab tersering adalah obstruksi ekstrahepatik pada
saluran empedu (obstructive jaundice) akibat dari adanya
batu empedu, striktur, atau tumor. Pasien dengan
obstruksi yang komplit atau hampir komplit menunjukkan
gejala jaundice yang progresif, urin yang berwarna gelap,
feses berwarna pucat, dan pruritus.
Tujuan Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi
pada pasien dengan penyakit Hepatobilier yang akan
menjalani tindakan pembedahan.
Kebijakan Hidrasi preoperatif harus adekuat untuk mencegah
kegagalan renal pascaoperasi akibat kadar bilirubin yang
tinggi.
Prosedur Diagnosis Banding Tes Fungsi Hati
Disfungs Bilirubin Enzim Alkaline Penyebab
i Hepatik Aminotran Phosph
sferase atase
Prehepati Unconju Normal Normal Hemolisis,
k gated resorbsi
meningk hematom,
at transfusi
WB
Intrahepa Conjugat Sangat Normal - Virus,obat,
tik ed meningkat sedikit sepsis,
meningk meningk hipoksemia,
at at sirosis
Posthepa Conjugat Normal – Sangat Batu,
tik ed sedikit meningk sepsis
(kolestati meningk meningkat at
k) at

Manifestasi Klinis
 Pasien dengan batu empedu biasanya tidak
menunjukkan gejala. Diagnosa biasanya dibuat
berdasarkan pemeriksaan USG.
 Gejala yang timbul biasanya merupakan akibat
sekunder dari obstruksi duktus sistikus yang
menyebabkan terjadinya kolik.
 Kolesistitis memberikan gejala berupa triad:
Abdomen kanan atas tegang secara tiba-tiba,
demam, dan leukositosis.
 Demam yang tinggi menunjukkan telah terjadi infeksi
bakteri yang menjalar ascending ke system bilier
(cholangitis).
 Biasanya kolesistitis akut akan mengalami resolusi
dalam 2-7 hari setelah pengobatan.
 5-10% dari kolesistitis akut merupakan kolesistitis
akalkulus yang biasanya berhubungan dengan
trauma yang serius, luka bakar, persalinan lama,
operasi besar, atau penyakit kritis.

Manajemen Preoperatif
 Pasien dengan tanda-tanda kolesistitis akut harus
distabilkan terlebih dahulu dengan medikamentosa
sebelum dilakukan tindakan kolesistektomi.
 Terapi yang diberikan berupa: nasogastic suction,
pemberian cairan intravena, antibiotik, dan analgetik.
 Apabila terjadi komplikasi: empyema, perforasi,
gangrene, hidrops, fistula, atau gallstone ileus, maka
dilakukan operasi emergensi.
 Kolesistitis akalkulus biasanya terjadi pada pasien
dengan penyakit kritis dan beresiko tinggi untuk
terjadinya gangrene dan perforasi. Pada pasien
seperti ini merupakan indikasi untuk dilakukan
operasi emergensi.
 Pasien dengan obstruksi ekstrahepatik oleh sebab
apapun akan mengalami defisiensi vitamin K, oleh
karena itu harus diberikan vitamin K parenteral yang
membutuhkan waktu 24 jam untuk memberikan
respon penuh.
 Pemberian FFP bila PT belum bias dikoreksi
sebelum pembedahan.
 Hidrasi preoperatif harus adekuat untuk mencegah
kegagalan renal pascaoperasi akibat kadar bilirubin
yang tinggi.

Manajemen Intraoperatif
 Kolesistektomi per laparoskopi dapat mempercepat
penyembuhan pasien tetapi dengan berbagai
kekurangan yang terjadi (lihat panduan anestesi
pada prosedur laparoskopi).
 Pemberian opioid biasanya ditunda apabila akan
dilakukan tindakan kolangiogram karena dapat
menimbulkan spasme sehingga didapatkan hasil
positif palsu.
 Pemberian obat yang diekskresikan lewat saluran
empedu akan menyebabkan efeknya memanjang,
oleh karenanya sebaiknya memilih obat-obatan yang
diekskresikan melalui ginjal.
 Diuresis harus dimonitoring ketat dengan kateter.
 Pasien dengan kolesistitis akalkulus dan kolangitis
berat adalah pasien dengan penyakit kritis dengan
mortalitas perioperatif yang tinggi, oleh karena itu
sebaiknya dipasang monitoring hemodinamik invasif.
Unit Terkait
Dokumen Terkait
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/5
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


PENANGANAN Direktur RSU NURHAYATI
PENATALAKSANAA GARUT
N ANESTESI PADA
PASIEN DENGAN
PENYAKIT SIROSIS
HEPATIS dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Sirosis hepatis merupakan penyakit yang diakibatkan
oleh penyakit hati yang kronis dan progresif yang
sebagian besar karena konsumsi alkohol yang
berlebihan dan hepatitis viral kronis.
Tujuan Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi
pada pasien dengan penyakit sirosis hepatis yang
akan menjalani tindakan pembedahan.
Kebijakan Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan aliran
darah hepar harus dihindari. Faktor-faktor ini adalah:
hipotensi, rangsangan simpatis yang berlebihan,
tahanan jalan nafas yang terlalu besar pada saat
melakukan ventilasi kontrol.
Prosedur Gejala Klinis
 Jaundice dan asites ditemukan pada sebagian
besar pasien
 Fatigue
 Malaise
 Pemeriksaan fisik nondiagnostik: palmar eritema,
spider nevi, ginekomastia, atrofi testis,
splenomegali.
 Penurunan aliran darah hepar
 Penurunankonsentrasi albumin serum
 Pemanjangan Protrombin Time

Manifestasi Sistemik Sirosis


 Gastrointestinal: Hipertensi portal (asites, varises
esophagus, hemoroid, perdarahan saluran cerna).
 Sirkulasi: Keadaan hiperdinamik, systemic
arteriovemous shunts, resistensi vascular sistemik
yang rendah, kardiomiopati sirotik
 Pulmoner: Peningkatan shunting intrapulmoner,
penurunan FRC, efusi pleura, gangguan ventilasi
restriktif, alkalosis respiratorik.
 Renal: Penigkatan reabsorbsi sodium di proksimal
dan distal, gangguan pengeluaran air (penurunan
perfusi renal, hepatorenal syndrome)
 Hematologis: Anemia, koagulopati (hiperslenisme,
trombositopenia, leukopenia)
 Infeksi: spontaneous bacterial peritonitis
 Metabolik: hiponatremia, hipokalemia,
hipomagnesemia, hipoalbuminemia, hipoglikemia
 Neurologis: Ensefalopati.

Klasifikasi Child’s
Klasifikasi child dipergunakan untuk melakukan
evaluasi preoperatif untuk menilai kapasitas fungsi hati
sebagai prediksi terhadap resiko operasi.
KELOMPOK A B C
RESIKO
Bilirubin <2 2-3 >3
(mg/dL)
Albumin >3,5 3-3,5 <3
serum (g/dL)
Asites Tidak Terkontrol Tidak
ada terkontrol
Ensefalopati Tidak Minimal Koma
ada
Nutrisi Sangat Baik Jelek
baik
Mortality Rate 2-5 10 50
(%)

Komplikasi
 Perdarahan varises akibat hipertensi portal
 Sindrom hepatorenal
 Ensefalopati atau koma hepatic

Manajemen Preoperatif
 Pasien dengan sirosis sangat beresiko mengalami
perburukan fungsi hati dikarenakan fungsi
cadangannya yang terbatas.
 Identifikasi semua kemungkinan timbulnya
manifestasi akibat sirosis.
 Apabila terdapat perdarahan gastrointestinal harus
dilakukan endoskopi untuk memastikan perdarahan
akibat pecahnya varises esogagus atau ulkus
peptikum/ gastritis. Varises esophagus diterapi
secara suportif dengan memberikan cairan
pengganti / transfusi atau dengan skleroterapi.
Apabila perdarahan tidak dapat dihentikan maka
merupakan indikasi untuk dilakukan pembedahan
darurat.
 Pemberian transfusi harus dengan indikasi yang
ketat dikarenakan pemberian transfusi yang masif
akan meningkatkan kadar nitrogen akibat
pemecahan protein yang akan mempresipitasi
terjadinya ensefalopati.
 Koagulopati harus dikoreksi sebelum operasi.
Faktor pembekuan harus diperbaiki dengan
memberikan produk darah yang sesuai, misalnya
FFP dan kriopresipitat. Transfusi trombosit bila <
100.000.
 Bila PT memanjang berikan vitamin K
 Lakukan pemeriksaan foto toraks dan AGD
 Lakukan parasentesis pada pasien dengan asites
masif yang mengganggu pernafasan. Parasentesis
harus dilakukan dengan hati-hati dikarenakan
dapat menyebabkan kolaps sirkulasi apabila
dikeluarkan cairan asites yang terlalu banyak.
 Pastikan status volume intravaskular cukup,
lakukan koreksi apabila terdapat defisit cairan
intravaskular.
 Restriksi cairan pada keadaan hiponatremia.
 Lakukan koreksi terhadap ketidakseimbangan
elektrolitlainnya.
 Hipoglikemia merupakan kondisi yang sangat
mungkin menyertai. Berikan larutan glukosa untuk
koreksi selama periode perioperatif.
 Ensefalopati harus dikoreksi secara agresif dengan
melakukan koreksi terhadap factor pencetus.
Pemberian Laktulosa oral 30-50 ml tiap 8 jam atau
neomisin 4x500 mg berguna untuk menurunkan
absorbs ammonia.
 Hindari pemberian sedasi pada pasien dengan
ensefalopati.

Manajemen Intraoperatif
 Hindari kontak langsung dengan darah dan cairan
tubuh pasien, hal ini dikarenakan kemungkinan
pasien menderita hepatitis B atau C.
 Pilihan obat-obatan dan teknik anestesi yang tebaik
pada pasien dengan sirosis tidaklah diketahui.
 Respon terhadap obat anestesi pada pasien sirosis
tidak dapat diperkirakan. Hal ini dikarenakan terjadi
perubahan pada sensitivitas saraf pusat, volume
distribusi, ikatan proein, dan eliminasi obat.
 Peningkatan volume distribusi pada obat dengan
struktur ion yang besar seperti pelemas obat
menyebabkan kebutuhan dosis obat yang lebih
besar, tetapi untuk obat-obatan yang
metabolismenya terjadi di hati (pancuronium,
vecuronium,dan rocuronium) harus dikurangi
dosisnya.
 Apabila kita memakai suksinilkolin sebagai
pelemas otot, terdapat resiko untuk pemanjangan
efek obat dikarenakan penurunan kadar
pseudokolinesterase.
 Pada pasien sirosis telah terjadi penurunan aliran
darah vena porta. Hindari penurunan perfusi hepar.
 Induksi dengan menggunakan barbiturat atau
propofol dengan pemeliharaan memakai isofluran
dengan campuran oksigen dan air merupakan
teknik yang sering dipergunakan.
 Lakukan intubasi awake atau rapid sequence
induction dengan penekanan krikoid pada pasien
yang tidak stabil atau dengan perdarahan aktif
dengan menggunakan ketamin atau etomidat dan
suksinilkolin.
 Hindari penggunaan halotan.
 Penggunaan suplemen opioid dapat mengurangi
pemakaian volatile sehingga meminimalisasi
penurunan MAP, tetapi waktu paruh opioid akan
memanjang secara signifikan yang akan
menyebabkan depresi pernafasan yang
memanjang.
 Atrakurium merupakan pelumpuh otot pilihan
dikarenakan metabolismenya yang bersifat
nonhepatik.
 Obat anestesi inhalasi yang menjadi pilihan utama
adalah isofluran, hal ini dikarenakan isofluran
mempunyai efek yang paling kecil terhadap aliran
darah hepar.
 Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan aliran
darah hepar harus dihindari. Faktor-faktor ini
adalah: hipotensi, rangsangan simpatis yang
berlebihan, tahanan jalan nafas yang terlalu besar
pada saat melakukan ventilasi kontrol.
 Teknik regional anestesi dapat dilakukan bila tidak
terdapat gangguan koagulasi dan keadaan
hipotensi.
 Pada saat preoperatif kita sering melakukan
restriksi sodium, tetapi pada masa intraoperatif
prioritas kia adalah menjaga volume intravascular
dan dieresis.
 Gunakan cairan predominan koloid untuk
menghindari kelebihan sodium dan untuk
meningkatkan tekanan onkotik.
 Berikan manitol bila diuresis tidak mencukupi
secara persisten setelah sebelumnya diberikan
cairan intravascular yang cukup.
 Pada pemberian transfusi terdapat kemungkinan
yang lebih besar untuk terjadinya keracunan sitrat,
hal ini dikarenakan metabolismenya oleh hati yang
terganggu sehingga teradi hipokalsemia akiat
kalsium serum yang diikat oleh sitrat. Berikan
kalsium intravena untuk mencegah efek inotopik
negatif akibat penurunan konsentrasi kalsium
ionisasi.

Monitoring
 EKG
 Pulse oksimetri
 Pemeriksaan AGD untuk melakukan evaluasi
status asam basa
 Intraarterial pressure (pada pasien dengan resiko
perdarahan dan perpindahan cairan ke ruang
ketiga yang banyak)
 CVP
 Urine output

Manajemen Pascaoperatif
 Observasi terhadap kemungkinan perburukan
fungsi hepar akibat pemakian obat anestesi.
 Pada pasien dengan kebiasaan minum alkohol
terdapat resiko alcohol withdrawal syndrome
setelah 48-72 jam dari waktu terakhir
mengkonsumsi alkohol.
Unit Terkait
Dokumen Terkait j. Catatan rekam medis
k. Lembar informed consent
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


ANESTESI PADA
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PASIEN
DENGAN
CHRONIC
KIDNEY
dr. Hj. Anne Lisnawati
DISEASE (CKD)
NIK. 1983062320100116
Pengertian Sindrom Uremia merupakan kumpulan keadaan klinis yang
berhubungan dengan ketidakseimbangan elektrolit,
hormonal, asam basa, serta kelainan metabolic yang
berkembang seiring dengan terjadinya kerusakan ginjal.
Tujuan Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien dengan CKD yang akan menjalani tindakan
pembedahan.
Kebijakan - Mengelola kondisi. gangguan organ dan keseimbangan
(elektrolit, asam basa, hormonal)
- Menentukan tindakan hemodialisa sesuai indikasi
- Mempertahankan aliran darah ginjal seoptimal mungkin
- Menentukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan
Prosedur MANIFESTASI CHRONIC KIDNEY DISEASE DENGAN
UREMIA
- Neurologis: neuropati perifer, neuropati otonom,
muscle twitching, ensefalopati (asterixis,myoclonus,
letargi,
confusion, kejang, koma)
- Kardiovaskular; kelebihan cairan, congestive heart
failure, hipertensi, perikarditis, aritmia, blok konduksi,
kalsifikasi vascular,aterosklerosis.
- Pulmonal: hiperventilasi, edema interstisial, edema
alveolar, effuse pleura.
- Gastrointestinal: anoreksia, mual, muntah, gangguan
pengosongan lambung, hiperasiditas, ulserasi mukosa,
perdarahan, ileus.
- Metabolik; metabolic asidosis, hiperkalemia,
hiponatremia, hipermagnesemia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia, hiperurisemia, hipoalbuminemia.
- Hematologis; anemia,disfungsi platelet, disfungsi
leukosit.
- Endokrin; intoleransi glukosa, hiperparatiroid skunder,
hipertrigliseridemia.
- Skeletal; osteodistrofi, kalsifikasi
- Kulit; hiperpigmentasi, ekimosis, priritus

MANAJEMEN PREOPERATIF
- Evaluasi prabedah dimulai dengan mengumpulkan
data-data untuk mengetahui riwayat medis lengkap
tentang keadaan kondisi umum yang meliputi tanda
manifestasi dari uremia dan hasil pemeriksaan
laboratorium/ penunjang secara lengkap untuk
memastikan apakah pasien berada dalam kondisi
medis yang optimal. Semua manifestasi uremia yang
telah disebutkan di atas harus dikontrol.
- Pemeriksaan fisik dan evaluasi laboratorium harus
difokuskan pada pemeriksaan fungsi jantung dan
respirasi.
- Perhatikan tanda-tanda hipovolemia atau hipervolemia.
Periksa kesadaran, membrane mukosa, perubahan
ortostatik terhadap laju nadi dan tekanan darah,
dieresis, laju nadi, isi dan tekanan nadi, tekanan darah,
dan turgor kulit.
- Pemeriksaan EKG untuk mendeteksi tanda-tanda
hiperkalemia atau hipokalsemia, iskemik, blok konduksi,
hipertropi ventrikel.
- Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah darah
rutin,waktu perdarahan dan faktor koagulasi (terutama
bila akan dilakukan anestesi regional), serum elektrolit,
BUN, kreatinin, gula darah.
- Pada pasien yang sesak sebaiknya diperiksa AGD
untuk mengetahui apakah terdapat hipoksemia dan
status asam basa.
- Transfusi darah hanya diberikan pada pasien dengan
anemia berat (hb < 6-7 g/dL) atau bila diperkirakan
pada saat operasi akan terjadi perdarahan yang
banyak.
- Pemeriksaan EKG untuk mendeteksi tanda-tanda
hiperkalemia atau hipokalsemia, iskemik, blok konduksi,
hipertropi ventrikel.

INDIKASI HAEMODIALISA
- Hipervolemia
- Hiperkalemia
- Asidosis berat
- Ensefalopati metabolic
- Perikarditis
- Koagulopati
- Gejala gastrointestinal yang refrakter
- Toksisitas obat

MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Teknik anestesi dapat dilakukan dengan anestesi
umum atau anestesi regional (disesuaikan dengan
daerah operasi dan kondisi masing-masing pasien).
- Monitoring:
 Alat monitoring standar: EKG, pulse oxymetri,
NIBP, temperature, kateter urin dipergunakan
pada operasi yang tidak lama dan kehilangan
cairan yang diperkirakan hanya sedikit.
 Monitor intraarterial, vena sentral, dan arteri
pulmonal diperlukan pada operasi yang
diperkirakan akan terjadi perdarahan/
perpindahan cairan yang banyak.
 Arterial line juga diperlukan pada pasien dengan
hipertensi tidak terkontrol dimana dapat terjadi
perubahan tekanan darah yang cepat.
- Induksi:
 Pertimbangkan induksi dengan teknik rapid
sequence induction dengan penekanan krikoid
pada pasien dengan riwayat mual, muntah serta
perdarahan gastrointestinal.
 Dosis obat induksi pada pasien sakit berat/ kritis
harus dikurangi, dapat diberikan thiopental 2-3
mg/ kg, propofol 1-2 mg/ kg, sedangkan pada
pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil
dapat diberikan etomidat 0,2-0,4 mg/ kg.
 Respon hipertensi terhadap intubasi dapat
ditumpulkan dengan menggunakan opioid, beta
bloker (esmolol), atau lidokain.
 Penggunann suksinilkolin sebagai pelumpuh
otot masih dapat ditolerir pada kadar kalium < 5
meq/L.
 Pemilihan pelumpuh otot pada pasien dengan
hiperkalemia adalah rocuronium (0,6 mg/kg),
cisatrakurium (0,15 mg/kg), atrakurium (0,4
mg/kg), atau mivakurium (0,15 mg/kg). Sebagai
alternatif masih mungkin untuk menggunakan
vekuronium 0,1 mg/ kg dengan tetap
memperhatikan kemungkinan terjadinya efek
obat yang memanjang.
- Pemeliharaan
 Idealnya kita harus mampu mengontrol tekanan
darah tanpa mempengaruhi cardiac output.
 Obat anestesi inhalasi yang menjadi pilihan
adalah gas yang metabolitnya tidak
memperburuk gangguan fungsi ginjal yang telah
ada, yaitu: isofluran dan desfluran.
 Penggunaan gas N2O harus hati-hati pada
pasien dengan fungsi ventrikel yang tidak baik
dan sebaiknya tidak digunakan pada pasien
dengan kadar hb yang sangat rendah (<7 g/dL).
 Hindari penggunaan meperidin, hal ini
dikarenakan terjadinya akumulasi metabolit aktif
normeperidin yang dapat mencetuskan
terjadinya kejang. Penggunaan morfin masih
memungkinkan dengan kemungkinan efek yang
akan memanjang.
 Lakukan kontrol ventilasi untuk menghindari
terjadinya hiperkarbia karena pernafasan yang
tidak adekuat dan dapat menyebabkan
terjadinya asidosis respiratorik yang akan
memperberat kondisi asidosis yang sudah ada,
depresi pernafasan, dan akan meningkatkan
kadar potassium serum.
 Alkalosis repiratorik juga harus dihindari karena
akan menyebabkan pergeseran ke kiri kurva
disosiasi hb dan akan menurunkan aliran darah
serebral.
- Bila dilakukan anestesi regional harus dipastikan
terlebih dahulu tidak adanya gangguan koagulasi.
Keadaan asidosis dapat menurunkan ambang kejang
yang berhubungan dengan pemakaian anestesi lokal.

MANAJEMEN PASCAOPERASI
- Pemantauan dilakukan di ruang intermediet dengan
monitoring standar untuk mengevaluasi kesadaran,
pernafasan, hemodinamik, dan dieresis.
- Penggunaan opioid sebagai analgetik pascaoperasi
harus dipantau terhadap kemungkinan terjadinya
penurunan kesadarn dan hipoventilasi. Berikan
nalokson jika terjadi efek samping akibat pemakaian
opioid.
- Hindari penggunaan analgetik golongan NSAID yang
dapat memperburuk fungsi ginjal
- Lakukan pemeriksaan EKG serial untuk mengevaluasi
disritmia akibat hiperkalemia.
- Berikan oksigen suplemen terutama pada pasien
dengan anemia dan perdarahan yang memerlukan
transfuse.
- Kesadaran dan pernafasan yang tidak adekuat,
asidosis berat dan hemodinamik yang tidak stabil
menendakan adanya kegagalan organ dan merupakan
indikasi untuk perawatan di ruang intensif dan penilaian
untuk perlu tidaknya dilakukan hemodialisa
pascaoperatif.
Unit Terkait
Dokumen Terkait Status rawat pasien, status anestesi, surat izin operasi,
surat izin anestesi.
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/3
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit Ditetapkan Oleh:
ANESTESI
: Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PADA PASIEN
DENGAN PPOK
(BRONKITIS
KRONIS DAN
dr. Hj. Anne Lisnawati
EMFISEMA)
NIK. 1983062320100116
Pengertian Penyakit Paru Obstruktif Kronis adalah penyakit pada paru-
paru dengan karakteristik berupa adanya hambatan
terhadap aliran udara yang berkembang progresif dan
bersifat irreversible. Terminologi PPOK lebih mengarah
kepada bronchitis obstruktif kronis ( obstruksi pada small air
way ), dan emfisema ( pelebaran ruang udara dan destruksi
parenkim paru, hilangnya elastisitas paru, dan penutupan
dari small air way).
Tujuan Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien dengan PPOK yang akan menjalani tindakan
pembedahan.
Kebijakan Regional anestesi (bila memungkinkan) merupakan teknik
pilihan untuk mengurangi kemungkinan komplikasi
pascaoperasi.
Prosedur 1. TANDA KLINIS DAN DIAGNOSIS
Bronkitis kronis dan emfisema ditandai dengan:
- Riwayat merokok
- Batuk produktif kronis (> 3 bulan)
- Sesak
- Keterbatasan aktivitas fisik karena sesak
- Pasien yang predominan bronchitis kronis lebih
dominan dengan gejala batuk produktif kronis,
sedangkan pada pasien predominan emfisema lebih
didominasi dengan gejala sesak nafas.
- Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda obstruksi
jalan nafas saat ekspirasi dengan masa ekspirasi
yang memanjang
- Pada pemeriksaan Tes Fungsi Paru terdapat
penurunan rasio FEV1/ FVC, dan terdapat penurunan
Forced Expiratory Flow antara 25%-75% dari Vital
Capacity. Residual Volume meningkat, FRC dan
Kapasitas paru total dapat normal atau meningkat.
- Rongent toraks: Hiperlusen dan hiperinflasi
- AGD: pada pasien Bronkitis kronis biasanya
meningkat (>40 mmHg), sedangkan pada emfisema
PaCO2 normal atau < 40 mmHg.

2. EVALUASI FAKTOR RESIKO KOMPLIKASI PARU


PASCAOPERASI:
- Pre-existing pulmonary disease
- Operasi pada abdomen bagian atas atau toraks
- Merokok
- Obesitas
- Umur >60 tahun
- Anestesi umum yang memanjang (>3 jam)

3. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Pada operasi elektif pasien dengan PPOK harus
optimal terlebih dahulu (tidak ada sesak, wheezing,
dan batuk, atau dengan sesak/ wheezing/ batuk
minimal)
- Lakukan intervensi untuk koreksi hipoksemia,
bronkospasme, mengurangi sekresi, dan bila ada
infeksi pada saluran nafas harus diberikan terapi
dengan antibiotic.
- Hentikan merokok selama 6-8 minggu sebelum
operasi untuk mengurangi sekresi dan komplikasi
pascabedah. Paling tidak pasien yang tidak merokok
selama 24 jam akan meningkan Oxygen Carrying
capacity.
- Fisioterapi pernafasan preoperative dengan perkusi
dan drainase postural.
- Apabila didapatkan hipertensi pulmonal harus
diterapi dengan meningkatkan oksigenasi, dan
apabila terdapat corpulmonal dilakukan digitalisasi
terutama bila terdapat gagal jantung kanan.

4. MANAJEMEN INTRAOPERASTIF
- Regional anestesi (bila memungkinkan) merupakan
teknik pilihan untuk mengurangi kemungkinan
komplikasi pascaoperasi.
- Pemberian sedasi pada pasien yang dilakukan
regional anestesi diberikan secara incremental oleh
karena pada pasien ini (terutama geriatric) sangant
sensitive terhadap efek depresan dari obat0obat
sedative.
- Bila dilakukan anestesi umum maka pertama kali
harus dilakukan preoksigenasi untuk mencegah
terjadinya desaturasi oksigen yang cepat.
- Induksi harus dilakukan dengan smooth. Reflek
bronkospasme dapat ditekan dengan memberikan
tambahan thiopental (1-2 mg/kg), ventilasi dengan
volatile 2-3 MAC selama 5 menit, atau pemberian
lidokain intravena atau intratrakeal 1-2 mg/ kg
- Pemilihan obat-obatan harus menghindari obat yang
bersifat histamine release (kurare, atrakurium,
morfin, meperidin), atau bila digunakan harus
diberikan dengan sangat perlahan.
- Obat induksi golongan hipnotik yang dapat dijadikan
pilihan adalah propofol, etomidat, dan pada pasien
dengan hemodinamik yang tidak stabil pilihannya
adalah ketamin yang bersifat sebagai bronkodilator.
- Halotan dan sevofluran merupakan obat pilihan
induksi inhalasi yang paling smooth.
- Selama operasi harus dilakukan ventilasi kontrol
dengan tidal volume yang kecil-sedang dan frekuensi
yang lambat untuk menghindari “air trapping”
- Penggunaan N2O harus dihindari pada pasien
dengan bullae dan hipertensi pulmanal.
- Pengukuran kadar CO2 harus dilakukan sebelumnya
sebagai panduan dalam melakukan ventilasi selama
operasi.
- Pada akhir operasi dilakukan ekstubasi dengan
smooth. Ekstubasi pada saat anestesi dalam dapat
menurunkan resiko reflek bronkospasme, tetapi
harus dipastikan terlebih dahulu bahwa pernafasan
pasien sudah adekuat.

5. MANAJEMEN PASCAOPERASI
- Intubasi trakeal dan ventilasi mekanik
dipertimbangkan untuk dilanjutkan pada operasi
abdominal dan intratorakal pada pasien yang
sebelumnya (preoperative) didapatkan hasil
pemeriksaan PCO2 > 50 mmHg dan FEV1/ FVC <
0,5.
- PaO2 harus dijaga pada rentang 60-100 mmHg dan
PaCO2 harus berada pada rentang yang
mempertahankan pHa 7,35-7,45
- Lakukan maneuver untuk ekspansi volume paru
(bernafas dalam, CPAP, spirometri insentif)
- Chest fisioterapi
- Analgesia pascaoperasi yang adekuat (neuraxial
opioids, blok interkostal, PCA)
Unit Terkait
Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/5
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
ANESTESI Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PADA PASIEN
DENGAN
ASMA
BRONKIAL dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Asma merupakan penyakit kronis dengan karakteristik
berupa inflamasi dan hipereaktifitas pada jalan nafas
(bronkus) akibat berbagai stimulus yang mengakibatkan
terjadinya obstruksi aliran udara ekspirasi yang reversibel.
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien dengan asma bronkial yang akan menjalani tindakan
pembedahan.
Kebijakan Target utama pemberian anestesi umum adalah induksi dan
emergence yang harus smooth.
Prosedur MANIFESTASI KLINIS
- Manifestasi klinis klasik asma adalah: wheezing, batuk,
dan sesak.
- Beratnya derajat obstruksi terhadap ekspirasi
direfleksikan dari Forced exhaled volume in 1 second
(FEV1) dan maximum mid expiratory flow rate.
-
FEV1 FEF25-75 PaO2 PaC
Severity (% (% (mmHg O2
predicted) predicted) ) (mm
Hg)
Mild 65-80 60-75 >60 <40
(asimptomatik)
Moderat 50-64 45-59 >60 <45
Marked 35-49 30-44 <60 >50
Severe (status <35 <30 <60 >50
asthmaticus)
FEV1: Forced Expiratory Volume in 1 second; FEF25-75:
Forced Expiratory Flow 25-75% forced vital capacity

- Asma yang ringan biasanya ditandai dengan PaO2


normal dan PaCO2 normal atau menurun. Takipnoe dan
hiperventilasi selama serangan asma akut lebih
merupakan refleksi dari reflek-reflek neural pada paru-
paru dibanding dengan hipoksia arterial. Pada keadaan
terjadi kelelahan pada otot-otot pernafasan akan
mengakibatkan terjadinya hiperkarbia.
- Nilai PaCO2 normal atau tinggi merupakan indikasi
bahwa pasien tidak dapat lebih lama lagi
mengkompensasi work of breathing dan merupakan tanda
impending respiratory failure.
- Pemeriksaan EKG pada obstruksi jalan nafas yang berat
ditandai dengan pulsus paradoksus, perubahan ST-
segment, right-axis deviation, dan RBBB.
- Diagnosa banding asma adalah: trakeobronkitis,
sarkoidosis, rheumatoid arthritis, epiglotitis, croup, gagal
jantung kongestif, emboli paru.

TERAPI FARMAKOLOGI
Antiinflamasi:
- Glukokortikoid; menurunkan responsivitas jalan nafas
dengan menurunkan inflamasi pada jalan nafas dan
meningkatkan stabilitas pada membran. Pemberian
glukokortikoid sangat berguna baik pada keadaan
serangan akut maupun sebagai terapi maintenan, tetapi
membutuhkan waktu beberapa jam untuk bekerja dengan
efektif.
- Cromolyn; menghambat proses inflamasi dengan
menghambat pelepasan mediator-mediator kimia.
Diberikan secara inhalasi selama 7 hari sebelum terjadi
paparan terhadap allergen, dan tidak efektif apabila dalam
serangan.
- Leukotien inhibitor

Bronkodilator:
- Agonis β-adrenergik (misal: albuterol); merupakan obat
yang paling bermanfaat dan paling sering digunakan. Efek
samping yang mungkin terjadi adalah stimulasi simpatis
(takikardia, disritmia) dan perpindahan potassium ke
dalam sel.
- Antikolinergik (iptratropium); efek bronkodilatasinya
disebabkan oleh aksi antimuskariniknya dan dapat
memblok reflek bronkokonstriksi.
- Methylxanthine; menghasilkan bronkodilatasi dengan cara
menghambat phosfodiesterase.

TERAPI STATUS ASMATIKUS


- β2-agonis tiap 15-20 menit (merupakan terapi yang paling
efektif pada saat emergensi)
- Kortikosteroid; kortisol 2 mg/kg iv dilanjutkan dengan 0,5
mg/ kg/ jam, atau metilprednisolon 60-125 mg iv tiap 6
jam
- Oksigen suplemen
- Intubasi trakeal dan ventilasi mekanik dilakukan apabila
PaCO2 > 50 mmHg.
- Terapi antibiotik
MANAJEMEN PREOPERATIF
- Anamnesa yang harus dilakukan adalah tentang: onset
terjadinya serangan, pencetus, riwayat dirawat di rumah
sakit akibat asma, faktor alergi, batuk, sputum (warna dan
karakteristiknya), terapi sebelumnya.
- Keadaan yang optimal untuk operasi elektif adalah
apabila dari pemeriksaan tidak didapatkan wheezing,
batuk, dan sesak. Pada keadaan operasi emergensi
harus diberikan terapi yang agresif sebelumnya.
- Pasien yang sering mengalami serangan bronkospasme
atau dalam kondisi kronik harus mendapatkan terapi
regimen bronkodilator yang optimal.Terapi yang dapat
diberikan berupa β2-agonis dan glukokortikoid.
- Lakukan pemeriksaan ronsen toraks untuk menilai
adanya air trapping (hiperinflasi, diafragma datar, jantung
terlihat kecil, paru-paru hiperlusen).
- Lakukan pemeriksaan fungsi paru untuk mengkonfirmasi
keadaan klinis yang didapatkan.
- Pemeriksaan AGD hanya dilakukan apabila kita
meragukan adekuasi ventilasi atau oksigenasi arterial.
- Sedasi preoperatif dapat diberikan terutama pada pasien
yang penyakitnya dipengaruhi oleh komponen emosional.
Secara umum benzodiazepine memberikan efek yang
memuaskan sebagai sedasi preoperatif pada pasien
asma.
- Hindari pemberian premedikasi dengan opioid,
antikolinergik, dan antagonis H-2. Antikolinergik diberikan
apabila terdapat sekresi yang kental atau apabila akan
memakai ketamin sebagai obat induksi.
- Premedikasi dengan antagonis H-2 karena akan
menyebabkan aktivitas H-1 lebih dominan sehingga dapat
terjadi bronkokonstriksi.
- Terapi asma harus tetap diberikan sampai menjelang
operasi
- Pasien yang mendapatkan terapi glukokortikoid jangka
panjang harus mendapatkan terapi suplemen untuk
mengkompensasi supresi adrenal. Terapi suplemen yang
paling sering diberikan adalah hidrokortison 50-100 mg
pada saat preoperatif dan pada saat postoperatif
diberikan 100 mg tiap 8 jam selama 1-3 hari berikutnya.
- Berikan hidrasi perioperatif dengan cairan kristaloid untuk
menjaga hidrasi yang adekuat dan mengurangi
kekentalan sekret.

MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Saat yang paling berbahaya pada pemberian anestesi
pada pasien asma adalah pada saat akan dilakukan
tindakan instrumentasi pada jalan nafas.
- Pemilihan teknik anestesi umum dengan memakai masker
atau regional anestesi akan mengatasi masalah di atas,
tetapi tetap tidak menghilangkan resiko terjadinya
serangan bronkospame.
- Target utama pada manajemen anestesi umum adalah
induksi dan emergence yang smooth/ lancer.
- Bronkospasme juga dapat dicetuskan oleh stimulasi dalam
keadaan anestesi yang dangkal, nyeri, dan stress
emosional.
- Pastikan kedalaman anestesi telah tercapai sebelum
dilakukan tindakan laringoskopi-intubasi dan stimulasi
bedah.
- Hindari penggunaan obat-obatan yang menyebabkan
pelepasan histaminekurare,atrakurium, mivakurium,
morfin, dan meperidin) atau bila terpaksa digunakan
berikan dengan sangat perlahan.
- Propofol dan etomidat merupakan pilihan obat induksi
yang relatif aman.
- Ketamin merupakan satu-satunya obat induksi yang
mempunyai efek bronkodilator dan merupakan pilihan
yang baik pada pasien yang juga dalam keadaan
hemodinamik yang tidak stabil. Jangan memberikan
ketamin pada pasien dengan level teofilin yang tinggi
karena interaksi kedua obat tersebut dapat memicu
terjadinya kejang.
- Reflek bronkospasme akibat laringoskopi-intubasi dapat
ditumpulkan dengan sebelumnya memberikan tambahan
dosis thiopental (1-2 mg/kg), ventilasi dengan volatile 2-3
mac selama 5 menit, atau dengan memberikan lidokain i.v
1-2 mg/ kg. Pemberian antikolinergik (atropine 2 mg atau
glikopirolat 1 mg) dapat juga memblok reflek
bronkospasme kan tetapi dapat menyebabkan takikardia.
- Halotan dan sevofluran merupakan pilihan obat induksi
inhalasi pada anak yang paling smooth. Isofluran dan
desfluran juga sebenarnya mempunyai efek bronkodilatasi
yang sama baiknya dengan halotan dan sevofluran akan
tetapi tidak cocok digunakan untuk induksi inhalasi.
- Maintenan anestesi dengan volatile anestesi memberikan
keuntungan pada pasien asma karena mempunyai efek
bronkodilator.
- Apabila isofluran dan desfluran dipergunakan sebagai
maintenan anestesi, maka dosisnya harus ditingkatkan
secara perlahan agar tidak menimbulkan iritasi pada jalan
nafas.
- Hindari pemakaian halotan bersamaan dengan aminofilin
dan β-agonis karena akan menyebabkan sensitisasi pada
jantung.
- Lakukan ventilasi kontrol dengan gas humidifikasi yang
telah dihangatkan. Berikan tidal volume ≤ 10 ml/ kg
dengan memanjangkan fase ekspirasi sehingga dapat
menyeragamkan distribusi aliran udara kedua paru dan
mencegah air trapping.
- Bronkospasme yang berat ditandai dengan peningkatan
peak inspiratory pressure dan ekshalasi inkomplit.
- Bila terjadi bronkospasme intraoperatif akan didapatkan
tanda-tanda berpa wheezing, peningkatan peak pressure,
penurunan volume tidal ekshalasi, atau terdapat bentuk
peningkatan gelombang kapnograf yang melambat.
- Tindakan yang dilakukan bila terjadi bronkospasme
intraoperatif adalah dengan mendalamkan anestesi
dengan meningkatkan konsentrasi volatile.
- Apabila bronkospasme tidak teratasi dengan
meningkatkan konsentrasi volatile maka harus disingkirkan
kemungkinan-kemungkinan lain sebelum memberikan
obat-obatan yang lebih spesifik.
- Kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat menyebabkan
obstruksi jalan nafas, seperti: ETT yang tertekuk, sekret,
overinflasi balon, intubasi bronchial, edema paru, emboli
paru, atau pneumotoraks.
- Kemudian bronkospasme harus diatasi dengan
memberikan β-agonis dalam bentuk inhaler atau metered
dose melalui jalur inspirasi dari sirkuit pernafasan, dan
hidrokortison i.v. 1,5-2 mg/ kg terutama pada pasien yang
sebelumnya telah mendapatkan terapi glukokortikoid.
- Pemberian reversal pelemas otot dengan antikolinesterase
tidak akan menyebabkan bronkokonstriksi apabila disertai
dengan pemberian entikolinergik dengan dosis yang tepat.
- Lakukan ekstubasi dalam (bila tidak ada kontraindikasi)
untuk mencegah terjadinya bronkokonstriksi saat pasien
bangun.
- Untuk menumpulkan reflek jalan nafas saat ekstubasi
dapat diberikan bolus lidokain 1,5-2 mg/ kg atau dengan
infus kontinyu 1-2 mg/ menit.
Unit Terkait
Dokumen - Catatan rekam medis
Terkait - Lembar informed consent
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
PROSEDUR Direktur RSU NURHAYATI GARUT
ANESTESI
PADA PASIEN
DENGAN
OBESITAS dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Overweight dan obesitas diklasifikasikan menggunakan
indeks massa tubuh (Body Mass Index/ BMI). Overweight
didefinisikan apabila BMI ≥ 24 kg/ m2, Obesitas bila BMI ≥
30, dan morbid obesity bila BMI ≥ 40. Resiko penyakit akan
semakin meningkat dengan meningkatnya derajat obesitas.
Tujuan Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien dengan obesitas yang akan menjalani tindakan
pembedahan.
Kebijakan obesitas biasanya disertai dengan penyakit penyerta dan
perubahan fisiologis pada pasien.
Prosedur 1. MANIFESTASI KLINIS:
Obesitas biasanya berhubungan dengan berbagai
penyakit penyerta, seperti:
- Hipertensi sistemik ringan-sedang; hipertensi pada
pasien dengan abesitas terjadi karena peningkatan
volume cairan ekstraselular, peningkatan cardiac
output, dan hiperinsulinemia. Pada keadaan hipoksia
arterial kronik/ peningkatan volume darah paru akan
disertai dengan hipertensi pulmonal.
- Congestive heart failure; keadaan hipertensi
sistemik yang kronis akan menyebabkan terjadinya
hipertropi konsentrik pada ventrikel kiri, bila disertai
dengan hipervolemia akan meningkatkan resiko
terjadinya congestive heart failure.
- Diabetes mellitus; peningkatan jaringan lemak akan
meningkatkan resistensi jaringan perifer terhadap
efek insulin.
- Penyakit hepatobillier; Pada pasien obesitas sering
ditemui tes fungsi hati yang tidak normal dan infiltrasi
fatty liver.
- Penyakit tromboembolik; resiko untuk terjadinya
deep vein thrombosis pada pasien obesitas yang
akan menjalani pembedahan akan meningkat.
- Sindrom metabolik: obesitas, hipertensi, dan DM
tipe II.
- Walaupun tidak terdapat penyakit penyerta, pada
morbid obesity akan terjadi perubahan fisiologis
sebagai konsekuensinya.

Perubahan Fisiologis pada pasien obesitas:


- Perubahan fisologis yang terjadi dapat berupa
peningkatan laju metabolik yang proporsional
terhadap berat badan sehingga terjadi peningkatan
kebutuhan oksigen, produksi CO2, dan ventilasi
alveolar.
- Komplain, resistensi paru, dan work of breathing;
Jaringan lemak yang berlebihan pada dinding dada
akan menurunkan komplain dinding dada, walaupun
komplain dari paru sendiri sebenarnya tidak berubah.
Work of breathing akan meningkat sehingga pasien
bernafas cepat dan dangkal terutama pada posisi
supine.
- Peningkatan massa intraabdomen akan mendesak
diafragma ke sefalad sehingga menyebabkan
gambaran penyakit paru restriksi.
- Pengurangan volume paru akan bertambah besar
dengan posisi supine atau trendelenburg.
- Apabila FRC turun di bawah closing capacity maka
beberapa alveoli akan menutup saat ventilasi dengan
tidal volume sehingga terjadi ketidaksesuaian
ventilasi/ perfusi.
- Pasien obesitas biasanya ditemukan dalam keadaan
hipoksik, apabila terjadi keadaan hiperkapnik maka
kita harus waspada akan segera timbulnya
komplikasi.
- Sindrom obesitas-hipoventilasi (Pickwickian
syndrome) merupakan komplikasi dari morbid obesity
yang ditandai dengan hiperkapnia, sianosis,
polisitemia, gagal jantung kanan, dan somnolen.
- Pasien dengan Obstuctive Sleep Apnoe Syndrome
(OSAS) biasanya berhubungan dengan komplikasi
pascaoperasi: hipertensi, hipoksia, aritmia,
myocardial infark, edema paru, dan stroke.
- Beban kerja jantung akan meningkat oleh karena
memberikan perfusi ke tambahan ke simpanan
lemak. Peningkatan cardiac output dengan
meningkatkan stroke volume pada suatu saat akan
menyebabkan terjadinya hipertensi dan hipertropi
ventrikel kiri.
- Peningkatan aliran darah pulmonal dan
vasokonstriksi pembuluh darah paru akibat hipoksia
yang persisten akan menyebabkan hipertensi
pulmonal dan cor pulmonal.
- Obesitas menyebabkan gangguan gastrointestinal
berupa: hiatal hernia, refluk gastroesofageal,
gangguan pengosongan lambung, hiperasiditas
cairan lambung, dan beresiko untuk terjadinya kanker
lambung.

2. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Pasien obes beresiko untuk terjadinya pneumonia
aspirasi. Oleh karena itu pertimbangkan untuk
diberikan premedikasi dengan antagonis H2 dan
metoklopramid.
- Pemberian premedikasi dengan obat yang dapat
menimbulkan depresi pernafasan harus dihindari
pada pasien yang sebelumnya sudah terdapat
hipoksia, hiperkapnia, dan obstructive sleep apnoe.
- Pemeriksaan fisik pada pasien dengan morbid
obesity harus difokuskan pada fungsi kardiopulmonal
dengan didukung pemeriksaan penunjang foto
toraks, EKG, AGD, dan tes fungsi paru.
- Tekanan darah harus diukur dengan manset yang
berukuran tepat.
- Perhatikan kemungkinan terdapatnya kesulitan jalan
nafas. Pasien obesity biasanya sulit untuk dilakukan
intubasi dikarenakan pergerakan sendi
temporomandibula dan atlantooksipital yang terbatas,
jalan nafas atas yang sempit, dan pendeknya jarak
antara mandibula dengan lemak di sternum.

3. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Pilhan taknik dan obat anestesi yang terbaik sampai
saat ini tidak diketahui.
- Bila dilakukan anestesi umum, harus
dipertimbangkan terdapatnya kesulitan ventilasi
dengan masker dan intubasi trakeal (timbunan lemak
pada wajah dan pipi, leher pendek, lidah besar,
jaringan lunak palatal dan faring yang berlebihan,
dada yang besar).
- Pasien obes mempunyai resiko yang tinggi untuk
terjadinya aspirasi pulmonal.
- Jika diperkirakan terdapat kesulitan intubasi maka
sebaiknya intubasi dilakukan dalam keadaan awake,
direkomendasikan dengan memakai bronkoskopi
fiberoptik.
- Pemakaian gas anestesi belum terbukti
menyebabkan lama bangun pada pasien meskipun
pada operasi yang lama, hal ini dikarenakan distribusi
gas anestesi ke jaringan lemak yang begitu lambat.
- Obat-obatan yang larut dalam lemak
(benzodiazepine, opioid) diberikan dengan dasar
berat badan aktual.
- Obat-obatan yang larut dalam air (misal; pelemas
otot) diberikan dengan dosis berdasarkan berat
badan ideal untuk menghindari kelebihan dosis.
- Lakukan kontrol ventilasi dengan konsentrasi oksigen
inspirasi yang relatif tinggi untuk mencegah terjadinya
hipoksia, terutama bila pasien berada pada posisi
litotomi, trendelenburg, atau tengkurap.
- Pemakaian abdominal pack yang diletakkan pada
daerah subdiafragma akan memperburuk ventilasi
pasien dan mengganggu venous return.
- Untuk meningkatkan oksigenasi dapat dilakukan
dengan memberikan PEEP saat ventilasi. Namun
pemberian PEEP pada pasien dengan morbid obesity
dapat memperburuk keadaan hipertensi pulmonal
bila didapatkan sebelumnya.

4. MANAJEMEN PASCAOPERATIF
- Pasien harus tetap terintubasi sampai pernafasan
adekuat.
- Ekstubasi dilakukan setelah tidak ada lagi efek dari
pelemas otot dan pasien sudah benar-benar bangun.
- Bila ektubasi dilakukan di kamar bedah, berikan
suplemen oksigen saat transportasi pasien ke ruang
pemulihan.
- Posisikan pasien setengah duduk ( 45˚) untuk
meningkatkan ventilasi dan oksigenasi.
- Resiko terjadinya hipoksia dapat berlangsung selama
beberapa hari pascaoperasi, oleh karenanya harus
tetap dilakukan monitoring walaupun pasien sudah di
ruangan.
Unit Terkait
Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/6
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
PROSEDUR
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
ANESTESI
PADA PASIEN
DENGAN
DIABETES
dr. Hj. Anne Lisnawati
MELLITUS
NIK. 1983062320100116
Pengertian Diabetes mellitus merupakan penyakit endokrin dimana
terjadi gangguan metabolisme yang disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut maupun relatif atau gangguan pada
responsivitas insulin yang menimbulkan keadaan
hiperglikemia dan glukosuria.
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien dengan diabetes yang akan menjalani tindakan
pembedahan.
Kebijakan Tujuan utama dalam manajemen untuk mengatasi keadaan
hiperglikemia adalah menghindari terjadinya hipoglikemia.
Prosedur 1. KLASIFIKASI
Diabetes mellitus diklasifikasikan dalam 4 tipe, yaitu:
- Tipe I (IDDM) : defisiensi insulin absolut akibat
gangguan imunitas atau idiopatik, onset pada usia
muda, resiko terjadi ketosis, terdapat antibodi
terhadap sel islet.
- Tipe II (NIDDM): resistensi insulin walaupun sekresi
insulin adekuat, onset biasanya pada usia > 40 tahun,
resistensi ketosis, obesitas.
- Tipe III (Diabetes Sekunder): tipe diabetes mellitus
spesifik sebagai akibat sekunder, seperti: penyakit
pankreas.
- Tipe IV (gestasional): terjadi intoleransi glukosa, onset
24-30 minggu usia kehamilan.

2. MANIFESTASI KLINIS
- IDDM: hiperglikemia, poliuria, polidipsia, penurunan
berat badan.
- NIDDM: hiperglikemia, poliuria, polidipsia, penurunan
berat badan, gula darah puasa >140 mg/ dL, tes
toleransi glukosa peroral abnormal.
- DM gestasional: tes toleransi glukosa peroral
abnormal.
- DM sekunder: hiperglikemi, poliuria, polidipsia,
penurunan berat badan.
- Pasien dengan NIDDM biasanya asimptomatik atau
hanya menunjukkan sedikit gejala ( 50% tidak
terdiagnosis).

3. KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS dan


PENATALAKSANAANNYA
Terdapat 4 komplikasi dari DM, yaitu:
- Metabolik: ketoasidosis, hipoglikemia
- Makrovaskular: CAD, CVD, peripheral vascular
disease.
- Mikrovaskular: retinopati, nefropati.
- Nervous system: neuropati otonom, neropati perifer.
- Komplikasi akut yang paling mengancam jiwa adalah:
Diabetik Ketoasidosis (DKA), koma hiperosmolar
nonketotik, dan hipoglikemia.

DIABETIK KETOASIDOSIS (DKA):


- DKA merupakan komplikasi yang berhubungan
dengan DM tipe I.
- Penurunan aktivitas insulin akan menyebabkan
katabolisme dari asam lemak bebas menjadi benda
keton (asetoasetat dan β-hidroksibutirat) yang akan
berakumulasi menyebabkan anion gap metabolic
asidosis.
- Penyebab tersering dari DKA adalah proses infeksi
- Manifestasi klinis DKA, yaitu: takipnoe (sebagai
kompensasi asidosis metabolic), nyeri abdomen,
nausea, dan muntah.
- Penatalaksanaan DKA difokuskan pada hipovolemia,
hiperglikemia, dan defisit potasium.
- Target penurunan kadar glukosa darah pada DKA
yaitu 75-100 mg/ dL/ jam atau 10% / jam, dengan
memberikan infuse insulin 0,1 u/ kg/ jam atau Kadar
glukosa darah-60 x 0,1u/ jam, kecepatan koreksi bias
ditingkatkan apabila tidak terjadi penurunan kadar
gula darah.
- Kadar gula darah, potassium, dan keton serum harus
diukur minimal tiap 2 jam dan bila memungkinkan
lebih baik lagi bila dilakukan tiap jam.
- Dehidrasi dikoreksi dengan memberikan cairan
normal saline; 1-2 liter pada 1 jam pertama dilanjutkan
dengan 200-500 ml/ jam.
- Hindari pemberian RL. Pada keadaan hipoperfusi di
jaringan maka akan terjadi konversi laktat menjadi
bikarbonat oleh liver. Maka koreksi cairan yang paling
aman adalah dengan cairan normal saline.
- Bila kadar glukosa sudah mencapai 250 mg/dL,
tambahkan D5W pada infuse insulin untuk
menurunkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia
dan menyediakan kebutuhan glukosa untuk proses
normalisasi metabolism intraselular.
- Lakukan dekompresi lambung dengan pemasangan
NGT dan monitoring dieresis dengan pemasangan
kateter urin.
- Koreksi asidosis berat (pH<7,1) dengan bikarbonat
tidak diperlukan. Koreksi cukup dilakukan dengan
ekspansi volume dan normalisasi hiperglikemia.

KOMA HIPEROSMOLAR NON-KETOTIK


- Pada keadaan ini terdapat sumber insulin yang cukup
sehingga tidak terbentuk benda keton.
- Keadaan hiperglikemik akan menimbulkan diuresis
yang menyebabkan terjadinya dehidrasi dan
hiperosmolalitas.
- Dehidrasi berat akan mengakibatkan gagal ginjal,
asidosis laktat, dan predisposisi untuk terjadinya
thrombosis intravascular.
- Hiperosmolal ( > 360 mOsm/ L) akan menimbulkan
gangguan keseimbangan air di otak sehinggah dapat
terjadi perubahan status mental dan kejang.
- Tiap 100 mg/ dL peningkatan glukosa plasma akan
menurunkan konsentrasi natrium sebesar 1,6 mEq/ L,
sehingga pada keadaan hiperglikemia berat akan
menyebabkana terjadinya hiponatremia.
- Penatalaksanaannya adalah dengan memberikan
resusitasi cairan dengan normal saline, dosis kecil
insulin, dan suplemen potasium.

HIPOGLIKEMIA
- Hipoglikemia pada pasien diabetes disebabkan
karena kelebihan relative insulin terhadap intake
karbohidrat.
- Terlebih lagi pada pasien diabetic tidak bias
mengkompensasi keadaan hipoglikemia dengan
sekresi glucagon atau epinefrin ( counterregulatory
failure).
- Ketergantungan otak terhadap glukosa sebagai
sumber energi menyebabkan otak menjadi sangat
sensitive tehadap keadaan hipoglikemia.
- Jika hipoglikemia tidak teratasi akan terjadi perubahan
status mental dari keluhan kepala yang melayang
menjadi confusion, konvulsidan koma yang permanen.
- Hipoglikemia terjadi bila kadar gula darah puasa < 50
mg/ dL.
- Terapi hipoglikemia adalah dengan memberikan
dekstrosa 50% dimana tiap ml dari gukosa 50% akan
meningkatkan kadar glukosa darah pasien dengan
berat 70 kg kira-kira sebesar 2 mg/ dL.

4. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Level Hemoglobin A1c akan membantu untuk
mengidentifikasi pasien dengan resiko terbesar untuk
terjadinya hiperglikemia perioperatif sehingga akan
meningkatkan komplikasi dan memperburuk outcome.
- Morbiditas perioperatif pada pasien diabetik
berhubungan dengan kerusakan end-organ
preoperative akibat komplikasi DM. Oleh karenanya
tentukan gangguan target organ preoperatif.
- Lakukan pemeriksaan yang teliti terhadap fungsi paru,
kardiovaskular, dan system renal.
- Lakukan pemeriksaan ronsen toraks untuk menilai
adanya kemungkinan pembesaran jantung, kongesti
pembuluh darah paru, atau efusi pleura.
- Lakukan pemeriksaan EKG. Pada pasien diabetes
terjadi peningkatan abnormalitas pada ST-segmen
dan gelombang T. Lakukan evaluasi apakah terdapat
tanda iskemia myocardial walaupun dari anamnesa
tidak didapatkan riwayat hal ini dikarenakan terdapat
resiko terjadinya silent myocardial ischemia/ infarct.
- Pasien DM yang disertai hipertensi mempunyai 50%
kemungkinan untuk terjadinya neuropati otonom.
- Tanda-tanda neuropati otonom adalah: hipertensi,
painless myocardial ischemia, hipotensi ortostatik,
hilangnya variabilitas denyut jantung (variabilitas
denyut jantung pada orang normal pada saat bernafas
dalam/ 6x permenit adalah lebih dari 10 denyut/
menit), resting takikardia, neurogenic bladder, tidak
berkeringat, impotensi.
- Neuropati otonom akan membatasi kemampuan
kompensasi jantung terhadap perubahan volume
intravascular dan merupakan factor predisposisi
instabilitas hemodinamik (hipotensi post induksi) dan
dapat menyebabkan kematian mendadak. Insiden
akan meningkat dengan pemakaian ACE inhibitor.
- Neuropati otonom juga akan memperlambat
pengosongan lambung. Oleh karenanya berikan
premedikasi dengan antacid non partikulat dan
metoklopramid pada pasien dengan tanda neuropati
otonom.
- Disfungsi renal pertama kali ditandai dengan
proteinuria dan diikuti peningkatan serum kreatinin.
- Perhatikan tanda-tanda limited-mobility joint syndrome
yang terjadi akibat glikosilasi protein jaringan pada
keadaan hiperglikemia kronik.
- Lakukan evaluasi rutin terhadap gerakan sendi
temporomandibular dan mobilitas servikal untuk
mengantisipasi kesulitan intubasi.
- Pemakaian obat-obat anti hiperglikemik oral dapat
terus diberikan sampai hari operasi, KECUALI
sulfonylurea dan metformin yang memiliki waktu paruh
yang panjang.
- Sulfonilurea dan metformin harus dihentikan 24-48
jam sebelum pembedahan, dan dapat diberikan lagi
pascaoperasi setelah pasien boleh minum dan telah
dipastikan fungsi ginjal dan hati yang adekuat.
- Perlu diperhatikan pula bahwa pada pasien dengan
penurunan fungsi ginjal akan terjadi pemanjangan
efek obat antihiperglikemia oral dengan masa kerja
yang singkat.
- Manajemen gula darah preoperatif pada pasien yang
mendapatkan terapi insulin dilakukan dengan
memberikan setengah dari dosis insulin (intermediate
acting) yang seharusnya diberikan pada pagi hari
menjelang operasi.
- Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
hipoglikemia, maka pemberian insulin dapat diberikan
setelah dilakukan pemasangan jalur intravena dengan
pemberian cairan dekstrosa 5% (1,5 ml/ kg/ jam) dan
pemeriksaan kadar gula darah pagi.

5. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Target utama dari pengelolaan gula darah adalah
menghindari keadaan hipoglikemia. Keadaan
hiperglikemi sendiri berhubungan dengan
hiperosmolalitas, infeksi, gangguan penyembuhan
luka dan dapat memperburuk fungsi neurologis
- Hiperglikemia yang terjadi intraoperatif dikoreksi
dengan memberikan regular insulin intravena dengan
metode sliding scale atau dengan infuse kontinyu.
- Keuntungan dengan metode infusa kontinyu adalah
dapat mengkontrol kadar gula darah yang lebih
presisi.
- Infus insulin kontinyu dimulai dengan dosis 0,1 u/ kg/
jam. Penyesuaian dosis berikutnya mengikuti formula
sebagai berikut:
- Unit perjam = Glukosa plasma (mg/dL) / 150
- Target kadar gula darah intraoperatif adalah 120-150
mg/ dL
- Untuk menghindari resiko terjadinya hipokalemia
karena perpindahan kalium kedalam intrasel akibat
pemberian insulin maka harus diberikan tambahan 20
mEq KCL untuk setiap liter cairan.
- Teknik manajemen gula darah perioperatif:

Pemberian Infus Kontinyu


Bolus
Preoperatif D5W (1,5 ml/ D5W (1ml/ kg/
kg/ jam) jam)
NPH insulin Regular insulin:
(setengah Unit/jam=
dosis pagi) Glukosa
plasma/ 150
Intraoperatif Regular insulin = preoperative
(sliding scale)
Pascaoperatif Regular insulin = preoperative
(sliding scale)

6. MANAJEMEN PASCAOPERATIF
- Monitoring gula darah harus dilanjutkan post operatif
karena terdapat variasi individual dari onset dan
duration of action dari insulin (regular dan NPH),
selain itu dapat terjado progresi dari stress
hiperglikemia saat periode pemulihan.
- Apabila durante operasi diberi banyak Ringer Lactate
(RL) gula darah biasanya akan naik 24-48 jam
postoperatif saat hepar mengkonversi laktat menjadi
glukosa.
- Karakteristik dan bioavaibilitas dari insulin :
Insulin Onset Peak Duration
type action
Short acting Lispro 10-20 30-90 4-6 hr
Regular, min min 5-7 hr
Actrapid, 15-30 1-3 hr 12-16 hr
Velosulin min 4-6 hr
Semilente, 30-60
Semitard min
Intermediate Lente, 2-4 hr 8-10 18-24 hr
Lentard, hr
NPH,
Monotard
Long Acting Ultralente, 4-5 hr 8-12 25-36 hr
Ultratard, hr
PZI

Unit Terkait
Dokumen - Catatan rekam medis
Terkait - Lembar informed consent
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
ANESTESI
PADA PASIEN
DENGAN
HIPERTIROID
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Hipertiroid merupakan suatu keadaan disfungsi kelenjar
tiroid dengan produksi hormone triiodotironin (T3) dan atau
tiroksin (T4) yang berlebihan. Hormon tiroid menyebabkan
peningkatan metabolisme karbohidrat dan lemak yang
sangat berperanan dalam kecepatan pertumbuhan dan
metabolism. Peningkatan metabolism akan menyebabkan
peningkatan konsumsi oksigen dan produksi CO2 yang
secara tidak langsung meningkatkan ventilasi semenit,
denyut jantung, kontraktilitas, dan produksi panas/ energi.
Tujuan Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien dengan hipertiroid yang akan menjalani tindakan
pembedahan.
Kebijakan Pada operasi elektif pasien harus dalam keadaan eutiroid
dan gejala klinis yang sudah terkontrol.
Prosedur 1. MANIFESTASI KLINIS:
- Goiter
- Takikardia
- Ansietas
- Tremor halus
- Penurunan berat badan
- Intoleransi terhadap panas.
- Kelemahan otot
- Fatigue
- Eksoptalmus
- Cardiac signs dapat berupa: sinus takikardia, atrial
fibrilasi, gagal jantung kongestif.

2. DIAGNOSIS
Diagnosis hipertiroid ditegakkan dengan pemeriksaan
tes fungsi tiroid yang abnormal dimana terjadi
peningkatan kadar total (terikat dan tidak terikat) T4, T3
serum dan T4 bebas (tidak terikat).

3. TERAPI HIPERTIROID
Terapi Medikamentosa
- Inhibitor sintesa hormon: propiltiourasil, metimazol
- Inhibitor pelepasan hormon: potassium, sodium
iodide
- Aktivitas adrenergik yang berlebihan diatasi dengan
antagonis β- adrenergic, misal: propanolol, nadolol,
atenolol.
- Pemberian antagonis β-adernergik juga akan
menurunkan konversi T4 menjadi T3 di perifer.
- Iodine radioaktif dapat menghancurkan fungsi sel
tiroid. Pemberian iodine radioaktif ini dapat
menyebabkan keadaan hipotiroid dan
dikontraindikasikan pada wanita hamil.
- Reflek-reflek hiperaktif

Terapi Pembedahan
- Tiroidektomi subtotal merupakan alternative dari
terapi medikamentosa
- Biasanya tindakan pembedahan ini dilakukan pada
struma multinodular toksik yang berukuran besar,
adenoma soliter toksik, struma berukuran besar
yang dapat menimbulkan kompresi trakea, atau
untuk alasan kosmetik.

4. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Semua prosedur operasi elektif harus ditunda
sampai gejala-gejala klinis terjadi perbaikan dan
pasien harus dalam keadaan eutiroid dengan terapi
medikamentosa.
- Pada pemeriksaan preoperatif harus dipastikan
keadaan eutiroid dengan tes fungsi tiroid yang
normal dan direkomendasikan laju nadi dalam
keadaan istirahat < 100 x/ menit.
- Terapi antitiroid dan antagonis β tetap diteruskan
sampai saat pagi menjelang operasi.
- Pada keadaan emergensi pasien dapat
dioptimalisasi dalam waktu kurang dari 1 jam
dengan mengkontrol keadaan sirkulasi yang
hiperdinamik menggunakan infus esmolol secara
titrasi dengan dosis 100-300 ug/ kg/ menit atau
dengan propanolol dengan target laju nadi < 100x/
menit.
- Lakukan evaluasi terhadap kemungkinan obstruksi
jalan nafas bagian atas.
- Obat pilihan untuk sedasi preoperatif adalah dengan
obat golongan benzodiazepine.
- Hindari obat antikolinergik sebagi premedikasi.

5. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Teknik regional anestesi (bila memungkinkan) dapat
memberikan keuntungan yang sangat besar karena
dapat memblokade system saraf simpatis/ stress
response.
- Bila dilakukan anestesi umum harus dipilih obat-
obatan induksi yang mempunyai efek minimal
terhadap kardiovaskular. Tiopental merupakan
pilihan yang terbaik karena mempunyai efek
antitiroid pada dosis besar.
- Hindari pemakaian ketamin, pankuronium, dan
obat-obatan yang dapat menstimulasi system saraf
simpatis karena dapat menyebabkan peningkatan
laju nadi dan tekanan darah.
- Pastikan kedalaman anestesi yang adekuat sudah
tercapai sebelum melakukan laringoskopi/ intubasi
atau saat stimulasi pembedahan untuk menghindari
terjadinyaq takikardia, hipertensi, dan aritmia
ventrikel.
- Pastikan pasien dalam keadaan normovolum
sebelum induksi karena pasien-pasien hipertiroid
biasanya dalam keadaan hipovolemik kronis dengan
sirkuasi yang cenderung mengalami vasodilatasi.
- Maintenance anestesi dapat dilakukan dengan
isofluran, desfluran, atau sevofluran dengan N2O.
- Keadaan hipertiroid tidak meningkatkan kebutuhan
anestetik.
- Lakukan pemantauan ketat terhadap fungsi
kardiovaskular dan suhu tubuh untuk mengetahui
tanda-tanda badai tiroid/ thyroid storm.
- Lindungi mata pasien selama operasi dengan baik,
karena keadaan eksoptalmus akan meningkatkan
resiko terjadinua abrasi dan ulkus kornea.

6. KRISIS TIROID/ THYROID STORM dan


PENATALAKSANAANNYA
- Krisis tiroid merupaka keadaan emergensi medikal
yang memerlukan manajemen dan monitoring yang
agresif. Tanda dari krisis tiroid adalah munculnya
gejala-gejala hipertiroid secara tiba-tiba akibat
pelepasan hormon T3 dan T4 secara mendadak.
- Tanda-tanda yang didapatkan berupa: takikardia,
hipertermia, agitasi/delirium/ koma, kelemahan oto
skeletal, gagal jantung kongestif, dehidrasi, syok.
- Krisis tiroid dapat terjadi pada periode intraoperatif
akan tetapi paling sering terjadi pada saat 6-24 jam
pascaoperasi.
- Gejala krisis tiroid yang terjadi intraoperatif sangat
mirip dengan malignant hyperthermia, yang
membedakannya adalah pada malignant
hyperthermia terjadi rigiditas otot, peningkatan
kreatinin kinase, dan asidosis respiratorik/ metabolik
yang berat.
- Penatalaksanaan krisis tiroid adalah dengan hidrasi
dan pendinginan dengan menggunakan cairan infus
yang dingin, infus kontinyu esmolol atau propanolol
(dosis incremental dimulai dengan 0,5 mg sampai
laju nadi < 100/ menit), PTU (250-500 mg tiap 6 jam
secara oral atau melalui NGT), sodium iodide (1g
dalam 12 jam), dan lakukan koreksi terhadap faktor
pencetus.
- Pemberian kortisol 100-200 mg tiap 8 jam
direkomendasikan untuk mencegah timbulnya
komplikasi akibat supresi kelenjar adrenal.

7. MAJEMEN PASCAOPERATIF
a. Lakukan monitoring terhadap tanda-tanda krisis
tiroid paling tidak selama 24 jam, hal ini dikarenakan
krisis tiroid paling sering terjadi pada periode 6-24
jam pascaoperasi.
b. Lakukan evaluasi terhadap terjadinya komplikasi
tiroidektomi subtotal, yaitu:
- Kerusakan nervus laryngeus recurrent; bila
unilateral ditandai dengan paralisis pita suara
dan suara serak, bilateral ditandai dengan
paralisis pita suara, afonia dan stridor (obstruksi
jalan nafas). Fungsi pita suara dapat segera
dinilai dengan laringoskopi segera setelah
dilakukan ekstubasi dalam. Kegagalan 1 atau
kedua pita suara untuk bergerak memerlukan
tindakan intubasi untuk membebaskan jalan
nafas.
- Perdarahan pascaoperatif pada daerah leher;
keadaan ini menimbulkan hematom yang dapat
menimbulkan gangguan jalan nafas akibat
kompresi pada trakeal. Tindakan yang dilakukan
adalah dengan sesegera mungkin membuka
kembali luka insisi untk evakuasi bekuan darah.
- Trakeomalasia; lakukan penilaian apakah
diperlukan tindakan intubasi.
- Hipoparatiroid; terjadi karena kelenjar paratiroid
yang tidak sengaja terangkat. Keadaan ini akan
menyebabkan terjadinya hipokalsemia akut yang
terjadi dalam 12-72 jam.
- Pneumotoraks; dapat terjadi secara tidak
sengaja saat dilakukannya eksplorasi pada
daerah leher. Segera lakukan pemasangan CTT
untuk mengatasinya.
- Hipotiroid permanen.
Unit Terkait
Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
ANESTESI
PADA PASIEN
DENGAN
HIPOTIROID
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Hipotiroid merupakan disfungsi kelenjar tiroid yang ditandai
dengan penurunan produksi hormone tiroid T3 dan atau
T4. Hipotiroid dapat disebabkan primer oleh penyakit
autoimun, tiroidektomi, pemakaian iodine radioaktif,
medikasi dengan antitiroid, defisiensi iodine, atau sekunder
akibat kegagalan hypothalamic-pituitary axis.
Tujuan Sebagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi pada
pasien dengan hipotiroid yang akan menjalani tindakan
pembedahan.
Kebijakan Keadaan paling ideal untuk dilakukan operasi elektif adalah
eutiroid, tetapi hipotiroid ringan-sedang bukanlah
kontraindikasi absolute. Operasi elektif ditunda pada
hipotiroid berat (T4< 1mg/ dL)
Prosedur 1. MANIFESTASI KLINIS:
- Hipotiroid yang terjadi pada masa neonatal akan
mengakibatkan kretinism yang ditandai dengan
gangguan pertumbuhan fisik, dan retardasi mental.
- Pada dewasa gejala hipotiroid tidak begitu jelas
terlihat.
- Letargi
- Peningkatan berat badan
- Intoleransi terhadap dingin
- Fatigue
- Konstipasi
- Hiporeflek
- Depresi
- Bradikardia
- Kontraktilitas jantung, stroke volume, dan cardiac
output menurun.
- Ekstremitas dingin dan mottled akibat vasokonstriksi
perifer
- Atropi kortek adrenal
- Hiponatremia
- Kadang terdapat efusi pleural, abdominal, dan
pericardial.
- Pada keadaan hipotiroid subklinis gangguan
kardiovaskular jarang terjadi

2. DIAGNOSIS
- Diagnosis hipotiroid ditegakkan dengan kadar T4
bebas yang rendah.
- Hipotiroid primer dibedakan dengan hipotiroid
sekunder dengan peningkatan kadar TSH.

3. TERAPI
Terapi pengganti dengan preparat hormone tiroid (T4)

4. PERMASALAHAN PERIOPERATIF
- Peningkatan sensitivitas terhadap obat yang
menimbulkan depresi
- Hipodinamik kardiovaskular
- Penurunan laju jantung
- Penurunan cardiac output
- Metabolisme obat menjadi lambat
- Reflek baroreseptor yang tidak responsif
- Kegagalan respon ventilasi terhadap hipoksemia
dan hiperkarbia
- Hipovolemia
- Gangguan pengosongan lambung
- Hiponatremia
- Hipotermia
- Anemia
- Hipoglikemia
- Insufisiensi adrenal

5. KOMPLIKASI HIPOTIROID (KOMA MYXEDEMA)


- Koma Myxedema merupakan komplikasi dari
hipotiroid yang ekstrim.
- Gejalanya yaitu: penurunan kesadaran,
hipoventilasi, hipotermi, hiponatremia (akibat sekresi
ADH), kolaps kardiovaskular, koma, dan dapat
menyebabkan kematian.
- Sering terjadi pada orang tua yang dicetuskan oleh
proses pembedahan, infeksi, atau trauma.
- Penatalaksanaannya adalah dengan memberikan
hormon tiroid T3 atau T4 intravena, dengan dosis
awal levotiroksin sodium 300-500 mg (pada pasien
tanpa penyakit jantung) diikuti dengan dosis
pemeliharaan 50 mg/ hari, steroid (misalnya
hidrokortison 100 mg tiap 8 jam). Selama terapi
lakukan pemantauan EKG terhadap tanda-tanda
iskemik atau aritmia.
- Pertimbangkan bantuan ventilasi dan pemanasan
eksternal bila diperlukan.
6. MANAJEMEN PREOPERATIF
- Pasien yang akan menjalani operasi elektif dengan
keadaan hipotiroid berat (T4 < 1 mg/ dl) atau koma
myxedema harus ditunda.
- Pasien dengan hipotiroid berat (T4< 1 mg/ dL) atau
koma myxedema yang akan menjalani operasi
emergensi harus mendapatkan terapi dengan
hormone tiroid terlebih dahulu sebelum operasi.
- Keadaa preoperatif yang ideal adalah pasien dalam
keadaan eutiroid, tetapi keadaan hipotiroid ringan-
sedang bukan merupakan kontraindikasi absolute
untuk dilakukan operasi.
- Evaluasi semua permasalahan yang mungkin ada
akibat hipotiroid (poin no.8)
- Berikan terapi pengganti hormon tiroid untuk
mencapai keadaan eutiroid pada saat operasi.
- Berikan kortisol suplemen sebagai medikasi
preoperatif.
- Pada keadaan hipotiroid pasien sangat sensitif
terhadap obat-obatan sedasi yang dapat
menimbulkan depresi jalan nafas dan pada keadaan
ini mereka tidak mampu mengkompensasi hipoksia
dengan meningkatkan ventilasi semenit. Biasanya
pada pasien hipotiroid tidak memerlukan sedasi
preoperatif.
- Berikan premedikasi dengan antagonis histamine H-
2 dan metoklopramid karena pada pasien ini terjadi
perlambatan pengosongan lambung.
- Pasien yang mendapatkan terapi tiroid harus tetap
diberikan sampai saat pagi menjelang operasi.

7. MANAJEMEN INTRAOPERATIF
- Obat pilihan untuk induksi adalah dengan ketamin,
hal ini dikarenakan pasien dengan hipotiroid sangat
rentan terhadap efek hipotensi dari obat anestesi
akibat dari penurunan cardiac output, reflek
baroreseptor yang tidak responsif, dan penurunan
volume intravaskular.
- Evaluasi semua permasalahan yang mungkin ada
akibat hipotiroid (poin no.8)
- Pada keadaan hipotensi yang refrakter
pertimbangkan kemungkinan terjadinya insufisiensi
adrenal dan gagal jantung kongestif.
- Kemungkinan terdapat kesulitan intibasi dikarenakan
lidah yang besar.
- Pemeliharaan anestesi dapat diberikan inhalasi,
N2O, dan bila diperlukan diberikan opioid kerja
singkat, benzodiazepine, atau ketamin.
- Lakukan pemantauan terhadap kemungkinan
depresi kardiovaskular dan hipotermi (naikkan
temperatu kama operasi, pakai selimut penghangat,
berikan cairan infus yang hangat).

8. MANAJEMEN PASCAOPERASI
- Proses pemulihan dari anestesi umum dapat
menjadi lambat akibat keadaan hipotermi, depresi
nafas, atau metabolism obat yang lambat. Pada
keadaan ini sering kali terjadi memanjangnya
ventilasi mekanik yang diberikan.
- Pasien harus tetap terintubasi sampai bangun dan
normotermi.
- Pilihan obat untuk manajemen nyeri adalah obat
golongan non-opioid (misal ketorolak) dikarenakan
pasien sensitif terhadap efek depresi nafas dari obat
yang diberikan.
Unit Terkait
Dokumen Terkait - Catatan rekam medis
- Lembar informed consent
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/8
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Ditetapkan Oleh:
Terbit : Direktur RSU NURHAYATI GARUT
ANESTESI
PADA PASIEN
HIPERTENSI

dr. Hj. Anne Lisnawati


NIK. 1983062320100116
Pengertian - Hipertensi sistemik : tekanan darah 140/90 mmHg atau
lebih pada dua saat pengukuran yang terpisah paling
sedikit 1 sampai 2 minggu.
- Hipertensi krisis : tekanan darah > 180/120 mmHg,
dibagi menjadi 2 kategori
o Hipertensi emergensi : bila didapatkan kerusakan
target organ yang akut. Tujuan terapi : menurunkan
tekanan diastolik secara cepat namun bertahap
(penurunan MAP sebanyak 20% dalam 60 menit
pertama dan kemudian secara bertahap)
o Hipertensi urgensi : peningkatan tekanan darah
yang berat, tetapi tidak didapatkan tanda-tanda
kerusakan target organ. Gejala yang mungkin timbul
adalah nyeri kepala, epistaxis, atau kecemasan.
- Hipertensi borderline : tekanan diastolik 85-89 mmHg
atau tekanan sistolik 130-139 mmHg
- Hipertensi berat : peningkatan tekanan darah secara
progresif dan terus menerus, di mana tekanan diastolik
melebihi 110-119 mmHg dan didapatkan disfungsi renal.
- Hipertensi malignan : ‘true medical emergency’, dengan
tanda-tanda hipertensi berat (> 210/120 mmHg),
papilledema, dan ensefalopati.
Tujuan Sebagai acuan dalam penatalaksanaan tindakan anestesi
pada pasien dengan hipertensi yang akan menjalani
tindakan pembedahan.
Kebijakan Pada operasi elektif, tekanan darah pasien harus dalam
keadaan klinis yang sudah terkontrol.
Prosedur 1. PATOFISIOLOGI :
- Essensial/primer (idiopatik) : 80-95% kasus dan
berhubungan dengan peningkatan yang abnormal dari
baseline cardiac output, tahanan vaskuler sistemik,
atau keduanya.

- Sekunder : penyakit ginjal, hiperaldosteronism primer,


sindroma Cushing, acromegaly, pheochromocytoma,
kehamilan, atau terapi estrogen.

2. DIAGNOSIS
- Diagnosis hipertensi tidak dapat dibuat hanya
berdasarkan satu kali pemeriksaan preoperasi saja,
namun memerlukan konfirmasi melalui adanya
riwayat peningkatan tekanan darah yang konsisten.
- Dalam hal ini, hasil pengukuran tekanan darah
dipengaruhi oleh postur, waktu dilakukan
pemeriksaan (siang atau malam), kondisi emosi,
aktivitas yang baru saja dilakukan, dan obat-obatan
yang telah diminum.

3. TERAPI HIPERTENSI
 Pengobatan jangka panjang :
- Untuk mengurangi progresivitas hipertensi,
insidens stroke, CHF, CAD, dan kerusakan ginjal.
- Pada hipertensi ringan, dapat diberikan satu jenis
obat dari golongan diuretik, ACE inhibitor, ARB, β-
adrenergic blocker, ca channel blocker.
- Pada hipertensi sedang sampai berat, dapat
diberikan dua sampai tiga jenis obat dari golongan
diuretik, β-adrenergic blocker, ACE inhibitor.
 Efek samping terapi antihipertensi jangka panjang :
- Diuretik :
 Thiazide : hipokalemia, hiponatremia,
hiperglikemia, hiperurisemia, hipomagnesemia,
hiperlipidemia, hiperkalsemia.
 Loop : hipokalemia, hiperglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesemia, alkalosis metabolik
 Potassium sparing : hiperkalemia
- Simpatolitik :
 β-adrenergic blocker : bradikardia, blokade
konduksi, depresi miokard, sedasi, fatique,
depresi, meningkatnya tonus bronkhial.
 α-adrenergic blocker : hipertensi postural,
takikardia, retensi cairan.
 Central α2-agonists : hipertensi postural, sedasi,
bibir kering, depresi, berkurangnya kebutuhan
obat-obat anestesi, bradikardia, hipertensi
rebound, Coombs test positif dan anemia hemolitik
(methyldopa), hepatitis (methyldopa)
 Penghambat ganglionik : hipotensi postural, diare,
retensi cairan, depresi (reserpin)
- Vasodilator :
 Calsium channel blockers : depresi jantung,
bradikardia, blokade konduksi (verapamil,
diltiazem), edema perifer (nifedipin), takikardia
(nifedipin), bertambahnya blokade neuromuskular
nondepolarisasi
 ACE inhibitor : batuk, angioedema, reflek
takikardia, retensi cairan, disfungsi renal, gagal
ginjal bilateral, stenosis arteri renal, hiperkalemia,
depresi bone marrow (captopril)
 Angiotensin-receptor antagonists : hipotensi, gagal
ginjal pada stenosis arteri renal bilateral,
hiperkalemia
 Direct vasodilators : reflek takikardia, retensi
cairan, nyeri kepala, systemic lupus
erythematosus-like syndrome (hydralazine), effusi
pleura atau perikardial (minoxidil)

4. MANAJEMEN PRE-OPERASI
Anamnesa :
 Riwayat lamanya penyakit hipertensi
 Riwayat terapi yang telah diberikan
 Ada tidaknya komplikasi yang timbul
 Adanya gejala-gejala : iskemik miokard, gagal
jantung, gangguan perfusi serebral, penyakit vaskuler
perifer
 Riwayat keteraturan / kontrol dalam pengobatan
 Adanya nyeri dada, keterbatasan aktivitas
 Adanya sesak napas (terutama pada malam hari)
 Adanya edema, nyeri kepala ringan pada perubahan
posisi
 Adanya pingsan/syok, amaurosis, claudication
 Adanya efek samping dari obat-obat antihipertensi
yang diberikan
 Riwayat infark miokard dan stroke sebelumnya
Pemeriksaan Fisik :
 Kesadaran, nadi, tekanan darah, laju napas
 Tekanan darah :
o Diukur pada posisi berbaring dan berdiri
o Perubahan tekanan darah ortostatik dapat
disebabkan karena kurangnya volume
intravaskuler, vasodilatasi yang berlebihan, atau
terapi obat-obat simpatolitik
 Pemeriksaan jantung dan paru :
o S4 gallop menunjukkan adanya LVH
o Pulmonary rales dan S3 gallop menunjukkan
adanya CHF
Pemeriksaan Penunjang :
o Ophthalmoscopy : perubahan yang tampak pada
struktur vaskularisasi retina sesuai dengan beratnya
dan progresivitas dari arteriosklerosis dan kerusakan
organ akibat hipertensi.
o Doppler : didapatkan carotid bruits
o EKG : adanya iskemia, abnormalitas konduksi, infark
lama, LVH (EKG yang normal belum dapat
menyingkirkan adanya CAD atau LVH)
o Rontgen thorax : kemungkinan LVH, kardiomegali,
atau kongesti pembuluh darah pulmonal (ukuran
jantung yang normal belum dapat menyingkirkan
kemungkinan hipertrofi ventrikel)
o Echocardiography : tes yang lebih sensitif pada LVH
(untuk menilai fungsi sistolik dan diastolik ventrikel
pada pasien dengan gejala-gejala gagal jantung)
o Laboratorium :
 Fungsi ginjal : kadar ureum dan kreatinin
 Serum elektrolit : pada pasien yang mendapat
terapi diuretik atau digoksin, atau dengan
gangguan ginjal
 Hipokalemia ringan sampai sedang (3-3,5
mEq/L)
 Terapi penggantian kalium : pada pasien
dengan gejala atau mendapat terapi digoksin
 Hiperkalemia : pada pasien dengan gangguan
fungsi renal yang mendapat terapi hemat
kalium atau ACE inhibitor
 Hipomagnesemia : aritmia perioperatif
Premedikasi :
 Untuk mengurangi kecemasan pada masa preoperatif
 Pada hipertensi preoperatif ringan sampai sedang
dapat diberikan obat anxiolytic (midazolam)
 Obat antihipertensi preoperatif :
- Obat yang telah diberikan dilanjutkan sampai saat
hari operasi dijadwalkan.
- ACE inhibitor dapat menimbulkan efek hipotensi
intraoperatif
- Central α2-adrenergic agonists (clonidine 0,2 mg)
merupakan obat tambahan untuk premedikasi
pasien hipertensi, dapat menambah efek sedasi,
menimbulkan hipotensi intraoperatif dan
bradikardia.
Penundaan operasi :
 Untuk operasi elektif : bila didapatkan tekanan darah
diastolik > 110 mmHg, operasi ditunda sampai
tekanan darah terkontrol.
 Keputusan penundaan operasi dengan
mempertimbangkan:
- Derajat beratnya peningkatan tekanan darah yang
ditemukan
- Penyakit penyerta yang didapatkan seperti iskemik
miokard, disfungsi ventrikel, komplikasi serebral
atau ginjal
- Jenis pembedahan
 Hipertensi preoperatif dapat disebabkan karena
ketidakteraturan pasien dalam menjalani terapi yang
telah diberikan.
 Pasien dengan hipertensi yang tidak mendapat terapi
atau tidak terkontrol dapat mengalami iskemia
miokard, aritmia, hipertensi, maupun hipotensi selama
intraoperatif.
9. MANAJEMEN INTRA-OPERASI
Tujuan :
 Mempertahankan stabilitas tekanan darah yang sesuai
dengan kisaran awal (baseline)
 Pasien dengan hipertensi borderline diperlakukan
sebagai pasien dengan normotensi
 Pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol atau
hipertensi lama mengalami perubahan pada
autoregulasi aliran darah serebral (CBF), sehingga
tekanan darah rata-rata dipertahankan sedikit lebih
tinggi dari normal untuk menjaga aliran darah serebral
yang adekuat.
 Tekanan darah arteri dipertahankan dalam kisaran 10-
20% dari level preoperatif :
 Penurunan MAP sampai 25% akan mencapai batas
autoregulasi yang lebih rendah.
 Penurunan MAP sampai 55% akan mengakibatkan
hipoperfusi serebral simtomatis.
 Bila terjadi hipertensi berat (>180/120 mmHg) pada
saat preoperatif, tekanan darah arterial dipertahankan
dalam kisaran normal tinggi (150-140/90-80 mmHg)
Induksi :
 Induksi dan intubasi endotrakheal merupakan periode
yang rawan untuk terjadinya ketidakstabilan
hemodinamik. Hal ini disebabkan karena dalam
periode tersebut dapat terjadi respon hipotensi yang
menonjol akibat induksi anestesi, diikuti dengan
respon hipertensi yang berlebihan akibat tindakan
intubasi.
 Respon hipotensi terjadi akibat efek samping depresi
sirkulasi oleh obat-obat anestesi maupun dari obat
antihipertensi (vasodilator, depresi jantung, atau
kedua-duanya), atau berkurangnya volume cairan
intravaskuler.
 Obat-obat simpatolitik dapat menurunkan tonus
simpatis dan meningkatkan aktivitas vagal.
 Sekitar 25% pasien dengan hipertensi dapat
mengalami hipertensi berat setelah intubasi
endotrakheal, sehingga tindakan intubasi sebaiknya
dilakukan pada tahap anestesi dalam.
 Teknik anestesi yang dapat dilakukan untuk
menumpulkan respon hipertensi :
o Mendalamkan anestesi dengan menggunakan
obat inhalasi selama 5-10 menit
o Pemberian opioid : fentanyl 2,5-5 µg/kg iv,
alfentanyl 15-25 μg/kg, sufentanyl 0,25-0,5 μg/kg,
atau remifentanyl 0,5-1 μg/kg
o Pemberian lidokain 1,5 mg/kg iv atau intratrakheal
o Memberikan β-adrenergic blocker seperti esmolol
0,3-1,5 mg/kg, propranolol 1-3 mg, atau labetalol
5-20 mg
o Menggunakan obat topikal
 Obat induksi : propofol, barbiturat,
benzodiazepine, dan etomidate
 Ketamin : kontraindikasi untuk prosedur elektif,
karena menyebabkan stimulasi simpatis (bila
digunakan dapat disertai dengan pemberian dosis
kecil propofol atau benzodiazepin)
 Obat pelumpuh otot :
o Semua obat pelumpuh otot dapat digunakan
secara rutin
o Pancuronium dapat menyebabkan blokade
vagal dan melepaskan katekolamin, terutama
bila diberikan dengan dosis besar secara
bolus, sehingga dapat menimbulkan efek
hipertensi pada pasien dengan hipertensi yang
tidak terkontrol
o Pancuronium bermanfaat bila digunakan pada
keadaan di mana terjadi tonus vagal yang
berlebihan akibat obat opioid atau menipulasi
pembedahan
Monitoring :
 Tekanan darah arterial invasif, pada pasien dengan
keadaan :
o Perubahan tekanan darah dalam kisaran yang
lebar
o Menjalani pembedahan mayor yang
berhubungan dengan perubahan yang besar
dan cepat terhadap preload atau afterload
jantung
 EKG : deteksi tanda-tanda iskemik
 Urine output : pemasangan folley catheter pada
prosedur pembedahan yang diperkirakan > 2 jam,
atau pada pasien dengan gangguan ginjal.
 Pemasangan monitor hemodinamik invasif (PA
catheter) :
o Tekanan pulmonary capillary wedge yang tinggi
(12-18 mmHg) diperlukan untuk mempertahankan
volume left ventricular end-diastolic dan cardiac
output.
Rumatan :
 Dapat dilanjutkan penggunaan obat inhalasi dengan
atau tanpa nitrous oxide
 Balanced technique : opioid + nitrous oxide + obat
pelumpuh otot, atau teknik intravena total
 Penggunaan obat inhalasi atau penambahan
vasodilator intravena dapat mempermudah
pengendalian tekanan darah selama intraoperatif
 Obat inhalasi yang diberikan secara titrasi dapat
menyebabkan vasodilatasi dan depresi miokard
secara cepat dan reversibel dalam menurunkan
tekanan darah
 Penggunaan obat vasopresor :
- Pada pasien dengan hipertensi dapat terjadi
respon yang berlebihan, baik yang disebabkan
oleh katekolamin endogen (akibat intubasi atau
manipulasi pembedahan) maupun secara eksogen
akibat pemberian obat sympathetic agonists
- Bila terjadi hipotensi dapat diberikan dosis kecil
direct acting agent (phenylephrine 25-50 μg) atau
ephedrine 5-10 mg iv (bila terjadi peningkatan
tonus vagal)
- Pemberian epinephrine dengan dosis yang tidak
tepat pada pasien dengan hipertensi dapat
mengakibatkan morbiditas kardiovaskuler yang
bermakna
 Bila terjadi hipertensi :
 Kedalaman anestesi dapat ditingkatkan dengan
obat-obat anestesi terutama obat inhalasi. Bila
masih terjadi hipertensi, dipertimbangkan obat
antihipertensi/vasodilator parenteral (iv).
 Sebelum mulai memberikan obat antihipertensi iv,
dipastikan terlebih dahulu tingkat kedalaman
anestesi sudah adekuat, tidak terjadi hipoksemia
maupun hiperkapnia.
 Pemilihan obat antihipertensi berdasarkan :
 Beratnya, timbulnya dan penyebab hipertensi
 Derajat beratnya hipertensi
 Fungsi ventrikel baseline
 Laju nadi
 Ada tidaknya penyakit bronkhospastik
pulmonal
 Pengelolaan tekanan darah :
o Selama operasi berlangsung, tekanan darah
dipertahankan dalam batas normal tinggi MAP untuk
mempertahankan autoregulasi dan perfusi serebral, di
mana perubahan tekanan darah dijaga pada level 10-
20% preoperatif.
o Obat-obat yang dapat digunakan :
 β-adrenergic blockade : obat terpilih untuk pasien
dengan fungsi ventrikel yang baik dan terjadi
peningkatan laju nadi
 Nicardipine : digunakan pada pasien dengan
penyakit bronkhospastik
 Nitroprusside : paling cepat dan efektif untuk
penatalaksanaan hipertensi moderat dan berat
intraoperatif
 Nitroglycerin : bermanfaat untuk terapi atau
mencegah iskemik miokard
 Fenoldopam : memperbaiki atau mempertahankan
fungsi renal
 Hydralazine : mengontrol tekanan darah secara
konstan, mula kerja lebih lambat, dapat
menimbulkan efek takikardi

10. PENATALAKSANAAN PASCA-OPERASI


 Hipertensi pasca operasi dapat terjadi dan harus
diantisipasi terutama pada pasien dengan hipertensi
yang tidak terkontrol.
 Observasi ketat dilakukan terhadap tekanan darah
selama periode dini pasca operasi di ruang pemulihan.
 Penyebab hipertensi pada pasca operasi bersifat
multifaktorial : masalah respirasi, volume overload,
nyeri, distensi bladder, dan diawasi secara ketat pula
adanya iskemik miokard, CHF, terjadinya hematom di
daerah luka operasi maupun gangguan vaskularisasi.
 Bila penyebab tersebut sudah diatasi dan masih terjadi
hipertensi, dapat diberikan obat antihipertensi
parenteral, seperti labetalol (hipertensi disertai takikardi)
atau nicardipine (menurunkan laju nadi terutama bila
dicurigai adanya iskemik miokard atau
bronkhospasme).
 Bila pasien sudah memungkinkan untuk minum, obat-
obat antihipertensi oral sebelumnya dapat diberikan.
Unit Terkait
Dokumen - Catatan rekam medis
Terkait - Lembar informed consent
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PROSEDUR
ANESTESI
SPINAL
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Suatu teknik regional anestesi dengan melakukan blockade
neuroaksial melalui penyuntikan obat anestesi ke dalam sub
arachnoid.
Tujuan Sabagai acuan dalam pelaksanaan tindakan anestesi spinal
pada pasien yang akan menjalani tindakan pembedahan.
Kebijakan
Prosedur Penentuan Indikasi:
Operasi abdomen bagian bawah, inguinal, urogenital, rectal,
dan ekstremitas bagian bawah

Kontra Indikasi:
Absolut:
- infeksi pada daerah tempat tusukan
- Pasien menolak
- Koagulopati atau gangguan perdarahan
- Hipovolemia berat
- Peningkatan tekanan intracranial
- Severe aortic/ mitral stenosis
Relatif:
- Sepsis
- Pasien tidak kooperatif
- Defisit neurologis sebelumnya
- Severe spinal deformity

Kontroversi:
- Bekas operasi pada tempat tusukan
- Pasien yang tidak bisa berkomunikasi
- Prosedur operasi yang kompleks (durasi lama, perdaraha
banyak)

PERSIAPAN ALAT/ OBAT:


- Sumber oksigen
- Peralatan manajemen Jalan Nafas (lihat pedoman
persiapan pra-bedah)
- Obat-obatan emergensi/ resusitasi
- Monitor tekanan darah, pulse oximetry, EKG
- Regional set steril, bethadine, alkohol
- Jarum spinal no. 25/27/29
- Spuite 3cc / 5cc
- Obat anestesi local untuk spinal (hiperbarik atau isobaric)

PERSIAPAN PASIEN:
- Pada prosedur pembedahan elektif pasien tetap harus
dipuasakan 6-8 jam sebelumnya
- Dilakukan informed consent tentang prosedur tindakan
yang akan dilakukan, keuntungan, dan kerugiannya
- Sebaiknya diberikan sedasi untuk memfasilitasi kooperasi
pasien pada tingkatan sedasi yang membuat pasien
nyaman tetapi tetap kooperatif dan komunikatif

TEKNIK PELAKSANAAN:
- Dilakukan terlebih dahulu pengukuran tekanan darah, laju
nadi, dan saturasi oksigen perifer
- Pemasangan jalur intravena dengan kateter vena no. 18
- Preloading cairan RL sebanyak 10-20 cc/ kgbb 15 menit
sebelum penyuntikan spinal
- Posisi pasien:
-
Lateral Decubitus:
Pasien diposisikan tidur miring ke salah satu sisi badan
dengan punggung yang paralel dengan meja operasi. Sendi
panggul dan lutut di-fleksikan maksimal sehingga lutut pasien
berada dekat dengan abdomen dan dada bagian bawah.
Leher berda pada posisi fleksi. Bahu dan panggul harus
berada dalam satu garis lurus sehingga tidak terjadi rotasi
pada tulang punggung. Posisi dan kelengkungan pada tulang
belakang harus dipertahankan oleh seorang asisten.

Posisi Duduk:
Pasien diposisikan duduk dengan tungkai menggantung di
sisi meja operasi dan kaki ditopang dengan kursi/footrest.
Bantal diletakkan di pangkuan pasien dengan kedua lengan
atas berada pada posisi merangkul bantal. Kemudian pasien
diperintahkan untuk menunduk dan melenkungkan ke depan
tulang belakangnya sambil memeluk bantal. Posisi dan
kelengkungan tulang belakang ini harus dipertahankan oleh
seorang asisten.

- Dilakukan identifikasi ruang intervertebral L2-3, L3-4, L4-5


dengan panduan Tuffier Line
- Untuk mengurangi resiko infeksi maka dokter anestesi
harus mencuci tangan terlebih dahulu dengan prosedur
cuci tangan yang telah ditetapkan. Kemudian mengenakan
sarung tangan steril.
- Dilakukan tindakan desinfeksi kulit pada daerah tusukan
dengan menggunakan povidon iodine dan biarkan
mongering. Kemudian dibersihkan dengan kassa sehingga
daerah tusukan bersih dari zat antiseptik
- Daerah tusukan ditutupi dengan kain/ duk bolong steril.
- Penusukan jarum spinal:

Midline approach:
- Jarum spinal ditusukkan pada garis tengah celah
intervertebral yang telah ditentukan dengan arah angulasi
sedikit sefalad dan sumbu jarum searah dengan sumbu
tulang belakang pasien.
- Jarum spinal akan menembus kulit, sub kutis, ligamentum
supra spinosus, ligamentum interspinosus, dan
ligamentum flavum.
- Bila tusukan berada pada arah yang tepat, maka kita akan
merasakan dua perubahan tahanan.
- Tahanan pertama terjadi saat kita menembus ligamentum
flavum dan tahanan kedua saat menembus permukaan
membrane dura-arachnoid.
- Setelah tahanan yang kedua (terasa seperti loss of
resistance atau “pop”), tusukan jarum dihentikan. Pada
saat ini ujung telah berada di ruang sub arachnoid.
- Tarik stylet dari jarum spinal sehingga LCS mengalir
bebas. Apabila LCS tidak keluar maka dicoba untuk
mendorong jarum spinal.
- Urutan tindakan di atas diulangi sampai didaptkan LCS

Paramedian Approach
- Biasanya dilakukan pada pasien yang telah mengalami
kalsifikasi pada ligamentum interspinosus atau kesulitan
untuk memposisikan pasien pada posisi fleksi.
- Tentukan daerah tusukan dengan menarik garis 2 cm ke
lateral dari aspek inferior dari prosesus spinosus superior
dari daerah yang diinginkan.
- Jarum spinal ditusukkan dengan membentuk sudut 10-25
derajat kea rah garis tengah.
- Identifikasi ligamentum flavum pada paramedian tidak
begitu dapat kita rasakan dibandingkan dengan
pendekatan median.
- Jika jarum membentur tulang pada saat jarum masuk tidak
begitu dalam, maka biasanya jarum membentur bagian
medial dari lamina bagian bawah. Untuk itu jarum harus
diarahkan kembali sedikit ke atas dan lebih ke lateral.
- Sebaliknya bila jarum membentur tulang setelah jarum
dimasukkan begitu dalam, maka biasanya jarum
membentur bagian lateral dari lamina bawah. Jarum harus
diarahkan kembali sedeikit lebih ke atas dan medial dari
garis tengah.
- Sebelum menghubungkan spuit dengan hub dari jarum
spinal, pastikan terlebih dahulu tidak ada darah pada
aliran LCS. Tunggu sampai aliran LCS benar-benar
bening.
- Lakukan barbotase dan kemudian masukkan obat lokal
anestesi dengan kecepatan …cc/detik. Dosis yang
dibutuhkan adalah sebagai berikut:
Dosis (mg)
Obat Perineum Abdome Abdome
(hiperbarik) , Lower n Bawah n Atas
Limbs
Procaine 75 125 200
Bupivacaine 4-10 12-14 12-18
Tetracaine 4-8 10-12 10-16
Lidocaine 25-50 50-75 75-100
Ropivacaine 8-12 12-16 16-18
- Posisikan pasien sesuai dengan kebutuhan prosedur
operasi yang akan dilakukan.
- Pengukuran tekanan darah dan laju nadi harus sesegera
mungkin dilakukan setelah obat disuntikkan.Pengukuran
dilakukan tiap menit pada 15 menit pertama kemudian tiap
3 menit setelahnya.
- Bila terjadi hipotensi berikan vasopresor (efedrin 5-10 mg)
dan/ cairan
- Sensasi suhu diperiksa dengan menggunakan kapas
alcohol, dan distribusi blok sensoris dinilai dengan tes
pinprick
- Selama operasi berikan suplemen oksigen dengan nasal
kanul 2-3 l/menit.
Unit Terkait
Dokumen  Catatan rekam medis
Terkait  Lembar informed consent
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/3
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PROSEDUR
ANESTESI
LAPARASKOPI
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian
Tujuan Sebagai acuan dalam memberikan tindakan anestesi pada
prosedur laparaskopi.
Kebijakan
Prosedur 1. PERSIAPAN PRA-BEDAH:
 Lakukan kunjungan pre-operatif (lihat Pedoman
pelayanan dasar anestesi/ kunjungan preoperative
H-2 dan H-1)
 Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan adalah
pemeriksaan darah rutin, urinalisis, factor koagulasi,
elekrolit,fungsin ginjal. Pemeriksaan EKG, foto
toraks dan Tes fungsi paru (sesuai indikasi)
 Informed consent tentang prosedur anestesi yang
akan dilakukan, keuntungan dan kerugian yang
mungkin terjadi, dan pasien harus diberitahukan
bahwa selalu terdapat kemungkinan prosedur
operasi dirubah menjadi operasi terbuka apabila
selama operasi terdapat indikasi untuk dilakuka
prosedur pembedahan terbuka.
 Sebelum menyetujui untuk dilakukan tindakan
laparoskopi, harus di analisa bahwa pasien tidak
merupakan kontra indikasi untuk dilakukan
laparoskopi.
Kontra indikasi laparoskopi atau sebaiknya dihindari
pada keadaan:
 Koagulopati
 Hernia diafragmatika
 Penyakit kardiovaskular berat
 Penyakit paru berat
 Peningkatan tekanan intracranial
 Gangguan fungsi ginjal
 Riwayat operasi besar atau perlengketan
sebelumnya
 Morbid obesity
 Sickle cell disease
 Peritonitis
 Massa intra abdomen yang besar
 Shock hipovolemik
 Pasien dengan VP shunt
 Pasien menolak
 Peralatan monitoring yang dibutuhkan: EKG, NIBP,
pulse oksimetri, kapnograf.
 Persiapan alat dan obat (lihat pedoman Persiapan
Sebelum Tindakan Anestesi)

TEKNIK ANESTESI
 Teknik anestesi yang menjadi pilihan pada
laparoskopi adalah teknik anestesi umum dengan
intubasi menggunakan endotracheal cuff dengan
balon, dan dilakukan ventilasi control dengan
tekanan positif.
 Hampir semua kombinasi obat anestesi (hipnotik,
analgetik, dan relaksan) dapat diberikan, tetapi gas
Halotan sebaiknya dihindari karena dapat
menyebabkan aritmia dengan adanya hiperkarbia.
 Pemilihan obat anestesi disesuaikan dengan kondisi
masing-masing pasien.
 Gas N2O dapat diberikan dengan konsentrasi tidak
lebih dari 50%
 Setelah dilakukan induksi dan intubasi dilakukan
pemasangan NGT dan kateter urin untuk
dekompresi.
 Pada saat insersi Veress needle dan kanula pasien
diposisikan trendelenburg
 Posisi pasien selanjutnya disesuaikan dengan
prosedur operasi yang akan dijalani.
 Perhatikan tanda-tanda vital pasien pada saat
dilakukan insuflasi gas CO2 terhadap kemungkinan
vagal reflek akibat peregangan peritoneum
 Apabila terjadi vagal reflek berikan obat vagolitik
 Tekanan intra abdominal saat insuflasi dibatasi tidak
lebih dari 15 mmHg untuk mengurangi perubahan
fisiologi akibat pneumoperitoneum
 Durante operasi dilakukan monitoring terhadap
tekanan darah, laju nadi, saturasi, diuresis, EKG,
dan end tidal CO2. Disamping monitoring mekanik
harus dilakukan pula monitoring visual dan taktil
dengan menilai warna kulit, turgor kulit, capillary
refill, edema pada konjungtriva dan kornea akibat
posisi, emfisema sub kutan pada dada.
Pemeriksaan ini harus dilakukan secara periodic
karena selama laparoskopi dapat terjadi perubahan
yang mendadak.
 Pada laparoskopi tidak terjadi evaporasi dan
perpindahan cairan yang besar ke ruang ketiga,
sehingga pemberian cairan pengganti dibatasi
dengan pemberian RL 2,5-4 ml/ kgbb/ jam ditambah
dengan cairan maintenan.
 Selama operasi harus dipantau tanda-tanda adanya
komplikasi emboli dan pneumotoraks.
 Berikan profilaksis terhadap PONV
 Dokter anestesi harus memutuskan untuk dilakukan
konversi tindakan laparoskopi menjadi laparotomi
apabila durante operasi terjadi perdarahan yang sulit
untuk di atasi, perforasi organ, prosedur yang telah
berlangsung terlalu lama, keadaan pasien yang
memburuk, dan adanya penyakit lain yang tidak
diperkirakan sebelumnya.
Unit Terkait - Dokter anestesi
- Residen anestesi
- Peñata anestesi
- Konsulen dan residen bagian lain yang terkait.
Dokumen Terkait - Status pasien
- SIO
- Surat izin tindakan anestasi
- Status preoperative anestesi
- Status Anestesi
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


Direktur RSU NURHAYATI GARUT
ANESTESI PADA
OPERASI
KRANIOTOMI SOL
SUPRATENTORIAL
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian
Tujuan Memperjelas hal-hal mengenai persiapan untuk
craniotomy supratentorial.
Kebijakan Untuk memperbaiki outcome pasien dari dari operasi
tumor supratentorial
Prosedur A. Pre operatif
Anamnesa:
 Tanyakan pada pasien mengenai riwayat
penyakit yang menyertainya
 Obat obatan yang dikonsumsi
 Adakah gangguan penglihatan atau adanya
gangguan neurologis
 Peningkatan tekanan intracranial
 Operasi serebral sebelumnya

Pemeriksaan Fisik:
 Periksaan jalan nafas ( kemampuan pasien
untuk extensi,rotasi muka mulut, dan jarak
antara tiroid dengan mandibula)
 Pemeriksaan pernafasan ( adakah ronki atau
whizzing)
 Tanda vital (tekanan darah dan frekwensi
nadi)
 Pemeriksaan GCS (Glasgow Coma Scale)

Pemeriksaan laboratorium:
 Pemeriksaan darah rutin (Hb,Leukosit,
Trombosit, Ht)
 Pemeriksaan gula darah (pada pasien yang
diberikan pengobatan kortikosteroid atau
gangguan endokrin)
 Pemeriksaan elektrolit ( bila pasien
mendapatkan terapi osmotik diuretik atau loop
diuretik)
 Pemeriksaan foto thorak ( bila usia > 50 thn
atau ada indikasi)
 Pemeriksaan EKG ( bila usia > 40 thn atau
ada indikasi)
 Pemeriksaan MRI atau CT-Scan
 Permeringsaan CT-Angiografi bila ada indikasi
( tumor besar dengan kecurigaan gangguan
vaskuler)

B. Intra operatif
 Premedikasi :
 Hindari penggunaan narkotik
 Dapat diberikan diazepam 0.1-0.2 mg/kgbb
per oral, midazolaam 0.5-1 mg/kgbb atau
lorazepam 0.02-0,5 mg/kgbb.
 Sebaiknya dilakukan dalam pengawasan
dokter anestesi atau dengan pemantauan
monitor.

 Monitoring :
 Pemasangan monitoring rutin ( EKG, SpO2
dan tekanan darah non invasive)
 Pemasangan CVP perifer atau central (bila
kemungkinan terjadinya perdarahan yang
banyak atau kemungkinan terjadinya diabetes
insipidus).
 Pemasangan arteri line apabila
a. operasi memiliki resiko terjadinya
perubahan tekanan darah yang cepat,
b. hipotensi kendali ,
c. penyakit sertaan tertentu
 pemasangan kateter urine

 Induksi :
 Posisikan pasien head up 300
 Berikan oksigen 3 L/menit selama 5 menit.
 Berikan narkotik analgetik ( contoh Fentanil 1-
3 μr/kgbb) secara perlahan selama 1 menit
hindari terjadinya batuk.
 Pasien diberikan pelumpuh otot non
depolarisasi 1/10 dosis dari jumlah dosis yang
akan diberikan.
 Pasien diberikan hipnotik sedative ( contoh
propofol 2-2,5 mg/kgbb thiopental 2-5
mg/kgbb).
 Selah reflex bulu mata hilang ( kecuali bila
GCS < 9).
 Kemudian dilakukan ventilasi dengan oksigen
6 L/menit dengan gas anestesi (contoh :
Sevoflurane 1,5 MAC atau Isoflurane 1 MAC).
 Setelah dipastikan pasien mampu untuk
dilakukan untuk ventilasi berikan sisa dari
pelumpuh otot (contoh: vecuronium 0.15
mg/kgbb, rocuronium 0.6 mg/kgbb atau
atracurium 0.5 mg/kgbb)
 Berikan lidokain 1-1,5 mg/kgbb yang di
berikan 3 menit sebelum dilakukannya
intubasi.
 Berikan setengah dosis ulangan hipnotik
sedative dari dosis induksi 30 detik sebelum
dilakukkannya intubasi.
 Tekanan darah non invasive mengukur
selama 1 menit sekali selama induksi.
 Dilakukan laringoskopi intubasi
 Plester mata dengan menggunakan plester
kertas sebanyak 3 lapis yang terlebih dahulu
menggunakan salep mata.
 Setelah selasai induksi dan pastikan posisi
pasien
 Pastikan tidak adanya obstruksi vena jugularis
 Dilakukan pemasanga iv kateter nomor besar,
kateter urine dan CPV atau arteri line bila
diperlukan
 Diberikan anestesi lokal bupivakain sebelum
dilakukan pemasangan head pin
 Diberikan hipnotik sedative ( propofol atau
thiopenthal) secara kontiyu
 Diberikan pelumpuh otot secara intermiten
atau kontiyu
 Diberikan osmotik diuretik dan atau loop
diuretic pada saat dilakukan pengeboran
tulang
 Pemberian kortikostreroid pada pasien tetap
dilanjutkan.
 Rumatan
 Setelah dilakukan intubasi pasien di berikan
rumatan anestesi O2-Air – sevoflurane tidak
lebih dari 1,5 MAC atau isoflurane tidak lebih
dari 1 MAC.
 Diberikan hipnotik sedasi kontiyu (contoh:
propofol 50-150 μg/kgbb/menit atau
Thiopental 1-3 mg/kgbb/jam).
 Pelumpuh otot diberikan secara kontiyu atau
secara berkala.
 Cairan rumatan dengan menggunakan NaCl
0,9% dan Ringger laktat dengan pebandingan
3:1
 Bila pasien mendapatkan osmotik diuretik
dan/ atau loop diuretik cairan penganti
diberikan 1-1.5 cc/kgbb/jam atau 2/3 dari
jumlah diuresis/jam.

C. Post operatif
Pasien di masukan ke ICU, bila pasien memenuhi
kriteria masuk ICU
 Komplikasi :
 Pasien dilakukan pemantauan tekanan darah,
pernafasan, nadi dan cairan drainase
perdarahan.
 Kemungkinan diabetes insipidus
 Perdarahan ulang (rebleeding) yang ditandai
dengan:
a. Penurunan kesadarah atau GCS
b. Pupil anisokor
c. Kejang
Unit Terkait Kamar bedah
ICU
Dokumen Terkait  Catatan rekam medis
 Lembar informed consent
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/4
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


PANDUAN Direktur RSU NURHAYATI GARUT
ANESTESI PADA
KRANIOTOMI
NEUROENDOKRIN
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian
Tujuan Memperjelas hal-hal mengenai persiapan untuk
craniotomy neuroendokrin
Kebijakan Untuk memperbaiki outcome pasien dari dari operasi
tumor neuroendokrin.
Prosedur Pre operatif
Anamnesa:
 Tanyakan pada pasien mengenai riwayat penyakit
yang menyertainya
 Obat obatan yang dikonsumsi
 Adakah gangguan penglihatan atau adanya
gangguan neurologis
 Peningkatan tekanan intracranial ( mual, muntah,
nyeri kepala)
 Operasi serebral sebelumnya

Pemeriksaan Fisik:
 Periksaan jalan nafas ( kemampuan pasien untuk
extensi,rotasi muka mulut, dan jarak antara tiroid
dengan mandibula)
 Pemeriksaan pernafasan ( adakah ronki atau
whizzing)
 Tanda vital (tekanan darah dan frekwensi nadi)
 Pemeriksaan GCS (Glasgow Coma Scale)

Pemeriksaan laboratorium:
 Pemeriksaan darah rutin (Hb,Leukosit, Trombosit,
Ht)
 Pemeriksaan gula darah (pada pasien yang
diberikan pengobatan kortikosteroid atau
gangguan endokrin)
 Pemeriksaan elektrolit ( bila pasien mendapatkan
terapi osmotik diuretik atau loop diuretik)
 Pemeriksaan foto thorak ( bila usia > 50 thn atau
ada indikasi)
 Pemeriksaan EKG ( bila usia > 40 thn atau ada
indikasi)
 Pemeriksaan MRI atau CT-Scan
 Permeringsaan CT-Angiografi bila ada indikasi (
tumor besar dengan kecurigaan gangguan
vaskuler)

Intra operatif
 Premedikasi :
 Hindari penggunaan narkotik analgetik
 Dapat diberikan diazepam 0.1-0.2 mg/kgbb per
oral, midazolaam 0.5-1 mg/kgbb atau lorazepam
0.02-0,5 mg/kgbb.
 Sebaiknya dilakukan dalam pengawasan dokter
anestesi atau dengan pemantauan monitor.

 Monitoring :
 Pemasangan monitoring rutin ( EKG, SpO2 dan
tekanan darah non invasive)
 Pemasangan end tidal CO2
 Pemasangan CVP perifer atau central (bila
kemungkinan terjadinya perdarahan yang banyak
atau kemungkinan terjadinya diabetes insipidus).
 Pemasangan arteri line apabila
a. operasi memiliki resiko terjadinya perubahan
tekanan darah yang cepat,
b. hipotensi kendali ,
c. penyakit sertaan tertentu
 pemasangan kateter urine

 Induksi :
 Posisikan pasien head up 300
 Berikan oksigen 3 L/menit selama 5 menit.
 Berikan narkotik analgetik ( contoh Fentanil 1-3
μr/kgbb) secara perlahan selama 1 menit hindari
terjadinya batuk.
 Pasien diberikan pelumpuh otot non depolarisasi
1/10 dosis dari jumlah dosis yang akan diberikan.
 Pasien diberikan hipnotik sedative ( contoh
propofol 2-2,5 mg/kgbb thiopental 2-5 mg/kgbb).
 Selah reflex bulu mata hilang ( kecuali bila GCS <
9).
 Kemudian dilakukan ventilasi dengan oksigen 6
L/menit dengan gas anestesi (contoh :
Sevoflurane 1,5 MAC atau Isoflurane 1 MAC).
 Setelah dipastikan pasien mampu untuk dilakukan
untuk ventilasi berikan sisa dari pelumpuh otot
(contoh: vecuronium 0.15 mg/kgbb, rocuronium
0.6 mg/kgbb atau atracurium 0.5 mg/kgbb)
 Berikan lidokain 1-1,5 mg/kgbb yang di berikan 3
menit sebelum dilakukannya intubasi.
 Berikan setengah dosis ulangan hipnotik sedative
dari dosis induksi 30 detik sebelum dilakukkannya
intubasi.
 Tekanan darah non invasive mengukur selama 1
menit sekali selama induksi.
 Dilakukan laringoskopi intubasi
 Plester mata dengan menggunakan plester kertas
sebanyak 3 lapis yang terlebih dahulu
menggunakan salep mata.
 Setelah selasai induksi dan pastikan posisi pasien
 Pastikan tidak adanya obstruksi vena jugularis
 Dilakukan pemasanga iv kateter nomor besar,
kateter urine dan CPV atau arteri line bila
diperlukan
 Diberikan anestesi lokal bupivakain sebelum
dilakukan pemasangan head pin
 Diberikan hipnotik sedative ( propofol atau
thiopenthal) secara kontiyu
 Diberikan pelumpuh otot secara intermiten atau
kontiyu
 Diberikan osmotik diuretik dan atau loop diuretic
pada saat dilakukan pengeboran tulang
 Pemberian kortikostreroid pada pasien tetap
dilanjutkan.

 Rumatan
 Setelah dilakukan intubasi pasien di berikan
rumatan anestesi O2-Air – sevoflurane tidak lebih
dari 1,5 MAC atau isoflurane tidak lebih dari 1
MAC.
 Diberikan hipnotik sedasi kontiyu (contoh: propofol
50-150 μg/kgbb/menit atau Thiopental 1-3
mg/kgbb/jam).
 Pelumpuh otot diberikan secara kontiyu atau
secara berkala.
 Cairan rumatan dengan menggunakan NaCl 0,9%
dan Ringger laktat dengan pebandingan 3:1
 Bila pasien mendapatkan osmotik diuretik dan/
atau loop diuretik cairan penganti diberikan 1-1.5
cc/kgbb/jam atau 2/3 dari jumlah diuresis/jam.
 Bila pasien dicurigai terjadinya diabetes insipidus
dengan danda sebagai berikut :
 Periksakan elektrolit intraoperatif
 Bila terjadi hipernatremia dapat dikoreksi dengan
cairan yang mengandung dextrose
 Dilakukan periksaan elektrolit dan gula dearah
sewaktu secara berkala ( 1 jam sekali)

Post operatif
Pasien di masukan ke ICU, bila pasien memenuhi kriteria
masuk ICU

 Komplikasi :
 Pasien dilakukan pemantauan tekanan darah,
pernafasan, nadi dan cairan drainase perdarahan.
 Kemungkinan diabetes insipidus
 Perdarahan ulang (rebleeding) yang ditandai
dengan:
a. Penurunan kesadarah atau GCS
b. Pupil anisokor
c. Kejang
Unit Terkait
Dokumen Terkait 1. Catatan rekam medis
2. Lembar informed consent
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/3
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


Direktur RSU NURHAYATI GARUT
PANDUAN
ANESTESI PADA
KRANIOTOMI SOL
SUPRATENTORIAL
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Daerah supratentorial adalah daerah yang dibatasi oleh
tentorium. Terletak di atas tentorium, dan terdiri dari
cerebrum.
Tujuan - Mengetahui prinsip dasar dari neurofisiologi dan
pengaruh obat anestesi pada dinamika intrakranial
(neurofarmakologi).
- Menjamin kondisi anestesi yang stabil dan mencegah
timbulnya komplikasi
Kebijakan - Mempertahankan Cerebral Blood Flow seoptimal
mungkin
Prosedur Pre operatif
 Evaluasi prabedah dengan mengetahui riwayat medis
lengkap keadaan kondisi umum seperti kesadaran,
respirasi, kardiovaskuler, dan neurologis
 Anamnesa : adanya gejala kenaikan ICP (sakit
kepala, mual, muntah, penurunan kesadaran,
gangguan penglihatan). Adanya kejang, defisit
neurologis fokal akibat penekanan lokal dari tumor.
Riwayat operasi sebelumnya.
 Pemeriksaan Fisik : kesadaran, perhatikan jalan
nafas, paru, sistem kardiovaskuler, dan SSP.
Pemeriksaan neurologis, sensoris/motoris.
 Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin
termasuk sel darah, kimia serum, dan koagulasi,
EKG, CT scan atau MRI.
 Pemeriksaan crossmatch untuk persiapan darah saat
operasi

Intraoperatif
 Teknik operasi : anestesi umum dengan pemasangan
ETT non kingking
 Induksi :
o Adekuat anxiolisis preoperative di kamar operasi
o Furosemid 1 mg/kg
o Preoksigenasi dan hiperventilasi, kemudian
Fentanyl 1-2 μg/kg
o Pentotal 3-6 mg/kg, atau propofol 1,25 - 2,25
mg/kg, atau etomidate 0,3 mg/kg sebagai hipnotik
sedative
o Kemudian diikuti ventilasi melalui sungkup muka.
o Neuromuscular blockade : vecuronium 0,1-0,15
mg/kg atau rocuronium 0,6-0,8mg/kg i.v
o Lalu hiperventilasi melalui sungkup muka dengan
O2 atau O2 – Isofluran konsentrasi terendah 0,5%.
o Lidocain 1-1,5mg/kg untuk mengurangi lonjakan
hemodinamik saat intubasi dan ⅟2 dosis obat
diberikan sebelum dilakukan intubasi.
o Kombinasi narkotik Fentanyi 5 μg/kg diberikan
sebagai analgetik.
o Kontrol ventilasi (PaCO2 ~ 35 mmHg)
o Kemudian diintubasi dengan ETT non kingking
dengan ukuran sebesar mungkin yang masih
dapat disesuaikan dengan ukuran pasien.
 Pemeliharaan :
o Infuse Penthotal kontinyu 0,2-0,3 mg/kg/mnt
sampai dosis total 20-25 mg/kg atau propofol
kontinyu 50-150 μg/kg/mnt dapat menurunkan
CBF, atau Sevofluran 0,5%-1,5%, atau Desfluran
3-6%.
o Analgetik maintain Fentanyi 1-2μg/kg/jam.
Berikan bolus Fentanyl 2μ/kg (saat pemasangan
pin kepala, insisi kulit)
o Isofluran < 1 vol% dalam O2. Umumnya
menghasilkan intrakranial dinamik yang lebih
stabil.
o Posisi kepala : head up, vena jugularis bebas.
o Manitol : 0,5-0,75 gr/kg.
o Pastikan cairan adekuat (NaCl 0,9% atau HES 6%
- tidak RL secara regular)
 Pengakhiran :
o Keputusan diektubasi atau tidak tergantung pada
kondisi saat dilakukan operasi
o ETT dipertahankan bila : manipulasi dalam,
pasien belum bangun, perdarahan banyak saat
manipulasi.

Standar Monitor :
EKG, kapnometer, pulse oksimetri, tensimeter, jalur
tekanan arteri invasif, pemasangan CVP.

Pasca operatif
 Komplikasi : Kejang, defisit neurologis, perdarahan,
pembengkakan dan peningkatan tekanan intracranial
 Penataksanaan nyeri : ketoprofen 100mg im,
metamizol 1000 iv, dan metamizol 2000 mg drip 15
gtt/mnt.

Unit Terkait
Dokumen Terkait  Status pasien
 Status anestes
 Izin operasi
 Izin anestesi
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/3
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
PANDUAN Direktur RSU NURHAYATI GARUT
ANESTESI
PADA OPERASI
PADA MEDULLA
SPINALIS dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Daerah Medulla Spinalis merupakan bagian dari Susunan
Saraf Pusat. Terbentang dari foramen magnum sampai L1.
Kompresi pada medulla spinalis bisa oleh karena tumor,
abses, atau hematom.
Macam tumor yang dapat terjadi seperti, meningioma,
neurofibroma, atau kelainan pembuluh darah arteriovenous
malformation. Dapat mengalami penekanan oleh massa
ekstradural seperti limfoma primer, tumor metastatic,
epidural abses, atau hematoma.
Tujuan - Mengetahui prinsip dasar dari neurofisiologi dan
pengaruh obat anestesi pada dinamika intrakranial
(neurofarmakologi).
- Menjamin kondisi anestesi yang stabil dan mencegah
timbulnya komplikasi.
Kebijakan - Mempertahankan Cerebral Blood Flow seoptimal
mungkin
Prosedur Pre operatif
- Evaluasi prabedah dengan mengetahui riwayat medis
lengkap keadaan kondisi umum seperti kesadaran,
respirasi, kardiovaskuler, dan neurologis
- Anamnesa : adanya gejala sakit kepala, mual muntah
dan askit kepala (tanda kenaikan ICP), penurunan
kesadaran, gangguan penglihatan. Adanya defisit
neurologis fokal akibat penekanan lokal dari tumor.
Riwayat operasi sebelumnya.
- Pemeriksaan Fisik : kesadaran, perhatikan jalan nafas,
paru, sistem kardiovaskuler, dan SSP. Pemeriksaan
neurologis, sensoris/motoris.
- Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin termasuk
sel darah, kimia serum, dan koagulasi, EKG, CT scan
atau MRI.

Intraoperatif
- Teknik anestesi : anestesi umum dengan pemasangan
ETT non kingking .
- Regional anestesi : bisa digunakan untuk operasi di
daerah di daerah lumbal.
Posisi pasien tergantung dari letak tumor dan
tergantung permintaan operator. Kebanyakan posisi
prone.
- Induksi dilakukan dengan hati-hati karena dapat terjadi
gangguan jantung akibat spinal shock, trauma jantung,
atau hipovolemia.
- Induksi :
o Atropin (0,01-0,02mg/kg) sebelum intubasi untuk
mengurangi sekresi, spasme bronkus, dan reflex
bradikardi.
o Preoksigenasi dan hiperventilasi, kemudian Fentanyl
1-2 μg/kg
o Sebagai hipnotik sedative digunakan ketamin (1-2
mg/kg) merupakan pilihan asal tidak tidak ada kontra
indikasi absolute. Hati-hati penggunaan Thiopental,
dapat menyebabkan hipotensi berat.
o Kemudian diikuti ventilasi melalui sungkup muka.
o Neuromuscular blockade : Pancuronium (0,08-0,12
mg/kg)
o Lalu hiperventilasi melalui sungkup muka dengan
N2O-O2 atau O2 – Isofluran konsentrasi terendah
0,5%.
o Kombinasi narkotik Fentanyi 5 μg/kg diberikan
sebagai analgetik.
o Kemudian diintubasi dengan ETT non kingking
dengan ukuran sebesar mungkin yang masih dapat
disesuaikan dengan ukuran pasien, diplester kuat
pada mandibula.
- Pemasangan CVP untuk melihat status volume karena
perdarahan selama operasi bisa banyak dan tiba-tiba,
sehingga monitoring tekanan darah harus ketat. Bila
ada kemungkinan perdarahan hebat dapat dipasang
arteri line.
- Pemeliharaan :
o Infus Propofol kontinyu 50-150 μg/kg/mnt dapat
menurunkan CBF, dapat memakai ketamin. Dan
dengan menggunakan volatile N2O. bila dapat
ditolerir volatile seperti Isofluran juga dapat diberikan
o Analgetik maintain Fentanyi 1-2μg/kg/jam. Berikan
bolus Fentanyl 2μ/kg (saat insisi kulit)
o Pastikan cairan adekuat (NaCl 0,9% atau HES 6% -
tidak RL secara regular)
- Pengakhiran :
o Keputusan diektubasi atau tidak tergantung pada
kondisi saat dilakukan operasi, fungsi respirasi,
lokasi dan ukuran tumor, durasi dan derajat
kesulitan pada operasi.
o ETT dipertahankan bila : manipulasi luas, pasien
belum bangun, perdarahan banyak saat manipulasi.
Standar Monitor
- EKG, kapnometer, pulse oksimetri, tensimeter, jalur
tekanan arteri invasif, pemasangan CVP, thermometer.

Pasca operatif
- Komplikasi : Kejang, defisit neurologis, perdarahan,
pembengkakan dan peningkatan tekanan intrakranial
- Penatalaksanaan nyeri : opioid (tramadol ).

4.6 DOKUMEN TERKAIT


Dokter spesialis, dokter residen di bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif dan bagian/unit lain yang terkait di
lingkungan RSUP Dr.Hasan Sadikin

Unit Terkait
Dokumen Terkait - Status pasien
- status anestesi
- izin operasi
- izin anestesi
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/3
RSU NURHAYATI
GARUT

PANDUAN Tanggal Terbit :


ANESTESI
Ditetapkan Oleh:
OPERASI
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
KRANIOTOMI
PADA PASIEN
DENGAN
ANEURISMA
dr. Hj. Anne Lisnawati
SEREBRAL DAN
NIK. 1983062320100116
MALFORMASI
ARTERIOVENOSA
Pengertian Dua penyebab utama SAH (Subarachnoid Hemorrhage)
adalah pecahnya aneurisma serebral atau malformasi
arterivenosa (AVM).
Tujuan - Mengetahui prinsip dasar dari neurofisiologi dan
pengaruh obat anestesi pada dinamika intrakranial
(neurofarmakologi).
- Mengatasi agar otak pulih dari efek SAH dan
mencegah rebleeding dan vasospasme.
- Menjamin kondisi anestesi yang stabil dan mencegah
timbulnya komplikasi.
Kebijakan - Mempertahankan Cerebral Blood Flow seoptimal
mungkin.
Prosedur Pre operatif
- Evaluasi prabedah dengan mengetahui riwayat medis
lengkap keadaan kondisi umum seperti kesadaran,
respirasi, kardiovaskuler, dan neurologis
- Anamnesa : adanya gejala kenaikan ICP, sakit kepala
hebat yan timbul secara akut, dengan atau tanpa
hilangnya kesadaran, demam. Riwayat operasi
sebelumnya.
- Pemeriksaan Fisik : kesadaran, perhatikan jalan nafas,
paru, sistem kardiovaskuler, dan SSP. Pemeriksaan
neurologis, sensoris/motoris.
- Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin
termasuk sel darah, kimia serum, dan koagulasi, EKG,
CT scan atau MRI.
- Pemeriksaan crossmatch untuk persiapan darah saat
operasi
- Pemberian sedative seperti benzodiazepine atau
barbiturate supaya pasien tenang.
- Phenitoin untuk mencegah kejang.

Intraoperatif
- Teknik operasi : anestesi umum dengan pemasangan
ETT non kingking.
- Induksi :
o Preoksigenasi O2 100% dengan sungkup.
Kemudian Fentanyl 2-5 μg/kg
o Pentotal 3-6 mg/kg, atau propofol 1,25 - 2,25
mg/kg sebagai hipnotik sedative
o Kemudian diikuti ventilasi melalui sungkup muka.
o Neuromuscular blockade : vecuronium 0,1-0,15
mg/kg atau rocuronium 0,6-0,8mg/kg i.v
o Lalu hiperventilasi melalui sungkup muka dengan
O2 atau O2 – Isofluran konsentrasi terendah 0,5%.
o Lidocain 1-1,5mg/kg untuk mengurangi lonjakan
hemodinamik saat intubasi dan ⅟2 dosis obat
diberikan sebelum dilakukan intubasi.
o Kombinasi narkotik Fentanyi 5 μg/kg diberikan
sebagai analgetik.
o Kontrol ventilasi (PaCO2 ~ 35 mmHg)
o Kemudian diintubasi dengan ETT non kingking
dengan ukuran sebesar mungkin yang masih dapat
disesuaikan dengan ukuran pasien.
- Pemeliharaan :
o Infuse Penthotal kontinyu 0,2-0,3 mg/kg/mnt
sampai dosis total 20-25 mg/kg atau propofol
kontinyu 50-150 μg/kg/mnt dapat menurunkan
CBF, digabung dengan Isofluran < 1,5%.
o Analgetik maintain Fentanyi 1-2μg/kg/jam. Berikan
bolus Fentanyl 2μ/kg (saat pemasangan pin
kepala, insisi kulit), dapat ditambahkan prnthotal
100-200 mg.
o Isofluran < 1 vol% dalam O2. Umumnya
menghasilkan intrakranial dinamik yang lebih stabil.
o Posisi kepala : head up, vena jugularis bebas.
o Manitol : 0,25-1 gr/kg, untuk menurunkan ICP.
o Pastikan cairan adekuat (NaCl 0,9% atau HES 6%
- tidak RL secara regular)
- Pengakhiran :
o Keputusan diektubasi atau tidak tergantung pada
kondisi saat dilakukan operasi
o ETT dipertahankan bila : manipulasi dalam, pasien
belum bangun, perdarahan banyak saat
manipulasi.

Standar Monitor
- EKG, kapnometer, pulse oksimetri, tensimeter, jalur
tekanan arteri invasif, pemasangan CVP.

Pasca operatif :
- Komplikasi : Kejang, defisit neurologis, perdarahan,
pembengkakan dan peningkatan tekanan intracranial
- Penataksanaan nyeri : ketoprofen 100mg im,
metamizol 1000 iv, dan metamizol 2000 mg drip 15
gtt/mnt.

1. UNIT TERKAIT:

2. DOKUMEN TERKAIT:
Dokter spesialis, dokter residen di bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif dan bagian/unit lain
yang terkait di lingkungan RSUP Dr.Hasan Sadikin

Unit Terkait
Dokumen Terkait - Status pasien
- Status anestes
- Izin operasi
- Izin anestesi
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/3
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
ANESTESI Direktur RSU NURHAYATI GARUT
KRANIOTOMI
PADA PASIEN
CEDERA
KEPALA dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Kerusakan otak akibat cedera kepala dapat dibagi ke
dalam injuri primer dan injuri sekunder.
Injuri primer adalah yang terjadi ketika terjadinya trauma.
Efek yang segera dari trauma adalah laserasi otak,
robekan yang difus, robeknya pembuluh darah, atau
kerusakan neuron, axon, dan dendrite.
Injuri sekunder adalah injuri yang terjadi setelah terjadinya
trauma. Penyebab injuri sekunder bisa sistemik atau
intracranial. Penyebab sistemik adalah hipoksemia,
hiperkapni, arterial hipotensi anemia, hipoglikemia,
hiponatremia, dan osmotic imbalance, hipertermia, sepsis,
koagulopati, hipertensi.
Penyebab intracranial adalah epidural/subdural hematom,
kontusio/intracerebral hematom, peningkatan ICP, edema
serebral, vasospasme cerebral, infeksi intracranial, epilepsi
post trauma.
Tujuan - Mengetahui prinsip dasar dari neurofisiologi dan
pengaruh obat anestesi pada dinamika intrakranial
(neurofarmakologi).
- Menjamin kondisi anestesi yang stabil dan mencegah
timbulnya komplikasi.
Kebijakan - Mempertahankan Cerebral Blood Flow seoptimal
mungkin
Prosedur Pre operatif
- Evaluasi prabedah dengan mengetahui riwayat medis
lengkap keadaan kondisi umum seperti kesadaran,
respirasi, kardiovaskuler, dan neurologis
- Anamnesa : adanya gejala kenaikan ICP (sakit kepala,
mual, muntah, penurunan kesadaran, gangguan
penglihatan). Adanya kejang, defisit neurologis fokal
akibat penekanan lokal dari trauma/hematom. Riwayat
operasi sebelumnya.
- Pemeriksaan Fisik : tanda-tanda vital harus segera
diperiksa, adakah tanda hipotensi dan hipertensi,
kesadaran, perhatikan jalan nafas, paru, sistem
kardiovaskuler, dan SSP. Pemeriksaan neurologis,
sensoris/motoris.
- Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin termasuk
sel darah, kimia serum, dan koagulasi, EKG, CT scan
atau MRI.
- Pemeriksaan crossmatch untuk persiapan darah saat
operasi

Intraoperatif
- Teknik operasi : anestesi umum dengan pemasangan
ETT non kingking
- Induksi :
o Preoksigenasi dengan memberi O2 100 %, sampai
tercapai saturasi 100%. Kemudian Fentanyl 1-4
μg/kg
o Pentotal 3-6 mg/kg, atau propofol 1,25 - 2,25
mg/kg sebagai hipnotik sedative
o Kemudian diikuti ventilasi melalui sungkup muka.
o Neuromuscular blockade : vecuronium 0,1-0,15
mg/kg (i.v) merupakan pilihan karena
kardiovaskuler stabil dan efek pada ICP minimal.
o Lalu hiperventilasi melalui sungkup muka dengan
O2 atau O2 – Isofluran konsentrasi terendah 0,5%.
o Lidocain 1-1,5mg/kg untuk mengurangi lonjakan
hemodinamik saat intubasi dan ⅟2 dosis obat
diberikan sebelum dilakukan intubasi.
o Kombinasi narkotik Fentanyi 5 μg/kg diberikan
sebagai analgetik.
o Kontrol ventilasi (PaCO2 ~ 35 mmHg)
o Kemudian diintubasi dengan ETT non kingking
dengan ukuran sebesar mungkin yang masih dapat
disesuaikan dengan ukuran pasien.
- Pemeliharaan :
o Harus mempunyai efek paling kecil terhadap
autoregulasi serebral dan kemampuan merespon
CO2 . Infus Penthotal kontinyu 0,2-0,3 mg/kg/mnt
sampai dosis total 20-25 mg/kg atau propofol
kontinyu 50-150 μg/kg/mnt dapat menurunkan CBF,
atau Sevofluran 0,5%-1,5%.
o Analgetik maintain Fentanyi 1-2μg/kg/jam. Berikan
bolus Fentanyl 2μ/kg (saat pemasangan pin
kepala, insisi kulit)
o Isofluran < 1 vol% dalam O2. Umumnya
menghasilkan intrakranial dinamik yang lebih stabil.
o Posisi kepala : head up, vena jugularis bebas.
o Manitol : 0,5-0,75 gr/kg.
o Pastikan cairan adekuat (NaCl 0,9% atau HES 6% -
tidak RL secara regular)
- Pengakhiran :
o Keputusan diektubasi atau tidak tergantung pada
kondisi saat dilakukan operasi
o ETT dipertahankan bila : manipulasi dalam, pasien
belum bangun, perdarahan banyak saat manipulasi.

Standar Monitor
- EKG, kapnometer, pulse oksimetri, tensimeter, jalur
tekanan arteri invasif, pemasangan CVP.

Pasca operatif
- Komplikasi : Kejang, hipertensi, arritmia, neurogenic
pulmonary edema, emboli lemak, emboli udara, defisit
neurologis, perdarahan, pembengkakan dan
peningkatan tekanan intracranial
- Penataksanaan nyeri : ketoprofen 100mg im, metamizol
1000 iv, dan metamizol 2000 mg drip 15 gtt/mnt.
Unit Terkait
Dokumen Terkait - Status pasien
- Status anestesi
- Izin operasi
- Izin anestesi
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/3
RSU
NURHAYATI
GARUT
Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:
ANESTESI PADA
Direktur RSU NURHAYATI GARUT
OPERASI VP-
SHUNT PADA
PASIEN
DENGAN
dr. Hj. Anne Lisnawati
HIDROSEFALUS
NIK. 1983062320100116
Pengertian Hydrocephalus dapat terjadi secara congenital atau
didapat, penyebabnya kelainan congenital, neoplasma,
peradangan, atau produksi yang berlebihan dari LCS.
Tujuan - Mengetahui prinsip dasar dari neurofisiologi dan
pengaruh obat anestesi pada dinamika intrakranial
(neurofarmakologi).
- Menjamin kondisi anestesi yang stabil dan mencegah
timbulnya komplikasi.
- Menjaga kestabilan fungsi respirasi dan kardiovaskuler.
Kebijakan - Mempertahankan Cerebral Blood Flow seoptimal
mungkin, mempertahankan CPP yang baik, relaksasi
otot yang baik, stabilisasi kardiovaskuler baik tekanan
darah atau irama.
Prosedur Termasuk ventriculoperitoneal shunt, ventriculoatrial shunt,
ventriculopleural shunt, ventriculojugular shunt, dan
ventriculostomy. Yang paling sering adalah
ventriculoperitoneal shunt.

Pre operatif
- Evaluasi prabedah dengan mengetahui riwayat medis
lengkap keadaan kondisi umum seperti kesadaran,
respirasi, kardiovaskuler, dan neurologis
- Anamnesa : adanya gejala kenaikan ICP (sakit kepala,
mual, muntah, penurunan kesadaran, bradikardi,
hipertensi). Adanya kejang, defisit neurologis fokal
akibat penekanan lokal dari tumor. Riwayat operasi
sebelumnya.
- Pemeriksaan Fisik : kesadaran, perhatikan jalan nafas,
paru, sistem kardiovaskuler, dan SSP. Pemeriksaan
neurologis, sensoris/motoris.
- Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin termasuk
sel darah, kimia serum, dan koagulasi, EKG, CT scan
atau MRI.
- Pemberian obat-obatan untuk cerebaral vasokostriksi
(barbiturate), dan diuretic (manitol, dan furosemid)
sampai operasi dilakukan, untuk menurunkan ICP.
- Premedikasi dengan antiemetik.
Intraoperatif
- Teknik operasi : anestesi umum dengan pemasangan
ETT non kingking
- Induksi :
o Adekuat anxiolisis preoperative di kamar operasi
o Preoksigenasi dan hiperventilasi, kemudian Fentanyl
1-2 μg/kg
o Pentotal 3-6 mg/kg, atau propofol 1,25 - 2,25
mg/kg, atau etomidate 0,3 mg/kg sebagai hipnotik
sedative
o Kemudian diikuti ventilasi melalui sungkup muka.
o Neuromuscular blockade : vecuronium 0,1-0,15
mg/kg atau rocuronium 0,6-0,8mg/kg i.v
o Lalu hiperventilasi melalui sungkup muka dengan O 2
atau O2 – Isofluran konsentrasi terendah 0,5%.
Hindari penggunaan N2O.
o Lidocain 1-1,5mg/kg untuk mengurangi lonjakan
hemodinamik saat intubasi dan ⅟2 dosis obat
diberikan sebelum dilakukan intubasi.
o Kombinasi narkotik Fentanyi 5 μg/kg diberikan
sebagai analgetik.
o Kontrol ventilasi (PaCO2 ~ 35 mmHg)
o Kemudian diintubasi dengan ETT non kingking
dengan ukuran sebesar mungkin yang masih dapat
disesuaikan dengan ukuran pasien.
- Pemeliharaan :
o Infuse Penthotal kontinyu 0,2-0,3 mg/kg/mnt sampai
dosis total 20-25 mg/kg atau propofol kontinyu 50-
150 μg/kg/mnt dapat menurunkan CBF, atau
Sevofluran 0,5%-1,5%, atau Desfluran 3-6%.
o Analgetik maintain Fentanyi 1-2μg/kg/jam. Berikan
bolus Fentanyl 2μ/kg (saat pemasangan pin kepala,
insisi kulit)
o Isofluran < 1 vol% dalam O2. Umumnya
menghasilkan intrakranial dinamik yang lebih stabil.
o Posisi kepala : head up, vena jugularis bebas.
o Pastikan cairan adekuat (NaCl 0,9% atau HES 6% -
tidak RL secara regular)
- Pengakhiran :
o Keputusan diektubasi atau tidak tergantung pada
kondisi saat dilakukan operasi
o Hemodinamik stabil, suhu > 350 C, reflex-reflek baik
dapat dilakukan ekstubasi.

Standar Monitor
- EKG, kapnometer, pulse oksimetri, tensimeter, jalur
tekanan arteri invasif, pemasangan CVP.

Pasca operatif
- Penataksanaan nyeri : ketoprofen 100mg im, metamizol
1000 iv, dan metamizol 2000 mg drip 15 gtt/mnt.
Unit Terkait
Dokumen Terkait - Status pasien
- Status anestesi
- Izin operasi
- Izin anestesi
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/3
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


Direktur RSU NURHAYATI GARUT
NEUROANESTESI
PADA PASIEN
PEDIATRIK
dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian Pediatrik bukan merupakan bentuk kecil dari orang
dewasa. Terdapat fisiologi, patologi, dan farmakologis
yang berbeda dengan orang dewasa. Anak mempunyai
cadangan fisiologis yang terbatas dan volume darah yang
sedikit. Perkembangan SSP pada bayi baru lahir belum
lengkap, maturasi terjadi pada tahun pertama.
Tujuan - Mengetahui prinsip dasar dari neurofisiologi dan
pengaruh obat anestesi pada dinamika intrakranial
(neurofarmakologi) pada pediatrik.
- Menjamin kondisi anestesi yang stabil dan mencegah
timbulnya komplikasi.
- Menjaga kestabilan fungsi respirasi dan
kardiovaskuler.
Kebijakan - Mempertahankan Cerebral Blood Flow seoptimal
mungkin, mempertahankan CPP yang baik, relaksasi
otot yang baik, stabilisasi kardiovaskuler baik tekanan
darah atau irama.
Prosedur Pre operatif
- Evaluasi prabedah dengan mengetahui riwayat medis
lengkap keadaan kondisi umum seperti kesadaran,
respirasi, kardiovaskuler, dan neurologis.
- Pastikan infuse terpasang dengan baik, aliran lancar.
- Anamnesa : adanya gejala kenaikan ICP (sakit kepala,
mual, muntah, penurunan kesadaran, gangguan
penglihatan). Adanya kejang, defisit neurologis fokal
akibat penekanan lokal dari tumor. Riwayat operasi
sebelumnya.
- Pemeriksaan Fisik : kesadaran, perhatikan jalan nafas,
paru, sistem kardiovaskuler, dan SSP. Pemeriksaan
neurologis, sensoris/motoris.
- Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin
termasuk sel darah, kimia serum, dan koagulasi,
evaluasi adanya elektrolit imbalance, kadar glukosa
darah.
- Pemeriksaan penunjang CT scan atau MRI.
- Pemberian premedikasi dengan antiemetik. Hindari
pemberian sedative.
- Persiapan darah untuk keperluan saat operasi dengan
pemeriksaan crossmatch.

Intraoperatif
- Pengunaan alas selimut penghangat.
- Teknik operasi : anestesi umum dengan pemasangan
ETT non kingking
- Induksi :
o Pastikan akses infus lancar sebelum induksi
o Posisi kepala dan manajemen jalan nafas
(terutama pada encephalocele yang besar). “Netral
Position” pada pasien cedera kepala.
o Atropin (0,01-0,02mg/kg) sebelum intubasi untuk
mengurangi sekresi, spasme bronkus, dan reflex
bradikardi.
o Preoksigenasi dan ventilasi, kemudian Fentanyl 3-5
μg/kg diberikan sebagi analgetik.
o Pentotal 4-6 mg/kg, atau propofol 3 mg/kg sebagai
hipnotik sedative.
o Kemudian diikuti ventilasi melalui sungkup muka.
o Neuromuscular blockade : vecuronium 0,1-0,15
mg/kg atau rocuronium 1,2 mg/kg i.v
o Lalu hiperventilasi melalui sungkup muka dengan
O2 atau O2 – Isofluran konsentrasi terendah 0,5%.
Hindari penggunaan N2O.
o Lidocain 1 mg/kg untuk mengurangi lonjakan
hemodinamik saat intubasi dan obat diberikan 15
detik sebelum dilakukan intubasi.
o Kontrol ventilasi (PaCO2 ~ 35 mmHg)
o Kemudian diintubasi dengan ETT non kingking
dengan ukuran sebesar mungkin yang masih dapat
disesuaikan dengan ukuran pasien.
- Pemeliharaan :
o Infuse Penthotal kontinyu 0,2-0,3 mg/kg/mnt
sampai dosis total 20-25 mg/kg atau propofol
kontinyu 50-150 μg/kg/mnt dapat menurunkan
CBF, atau Sevofluran 0,5%-1,5%.
o Analgetik maintain Fentanyi 1-2μg/kg/jam. Berikan
bolus Fentanyl 2μ/kg (saat pemasangan pin
kepala, insisi kulit, membuka tulang tengkorak)
o Isofluran < 1 vol% dalam O2. Umumnya
menghasilkan intrakranial dinamik yang lebih stabil.
o Posisi kepala : head up, vena jugularis bebas.
o Pastikan cairan adekuat dan hangat penggunaan
RL (kebutuhan cairan pada anak untuk 10 kg
pertama 4 ml/kgBB, untuk 10 kg kedua 2 ml/kgBB,
dan selanjutnya 1 ml/kgBB).
Pastikan EBV pada pediatrik dan ganti perdarahan
dengan cairan kristaloid 3x jumlah perdarahan dan
bila menggunakan cairan koloid jumlah sama
dengan perdarahannya.
Pada bayi-bayi premature atau bayi baru lahir,
perdarahan harus diganti dengan pemberian darah.
 Monitor kadar gula darah (pada bayi kadar gula
darah lebih rendah) tiap 1-2 jam sekali.
 Manitol : 0,25-0,5 gr/kg selama 20-30 menit, bila
dikombinasi dengan furosemid dosis 0,3-0,4
mg/kgBB (untuk menurunkan ICP).
- Pengakhiran :
o Keputusan diektubasi atau tidak tergantung pada
kondisi saat dilakukan operasi
o ETT dipertahankan bila : manipulasi dalam, pasien
belum bangun, perdarahan banyak.

Standar Monitor
- Precordial stetoskop, EKG, kapnometer, pulse
oksimetri, tensimeter, temperature probe.

Pasca operatif
- Komplikasi : Kejang, defisit neurologis, perdarahan,
pembengkakan dan peningkatan tekanan intrakranial
- Penataksanaan nyeri : metamizol bolus iv 10
mg/kgBB, dan metamizol drip 15-20 mg/kgBB dalam
cairan maintenance/ 8 jam.
Unit Terkait Kamar bedah
Anastesi
Dokumen Terkait - Status pasien
- Status anestesi
- Izin operasi
- Izin anestesi
PELAYANAN BAGIAN ANESTESIOLOGI
DAN TERAPI INTENSIF
No. Dokumen Tanggal Revisi Halaman
1/3
RSU NURHAYATI
GARUT

Tanggal Terbit : Ditetapkan Oleh:


ANESTESI PADA Direktur RSU NURHAYATI GARUT
KRANIOTOMI
PADA PASIEN
DENGAN
KEHAMILAN dr. Hj. Anne Lisnawati
NIK. 1983062320100116
Pengertian
Tujuan - Mengetahui prinsip dasar dari neurofisiologi dan
pengaruh obat anestesi pada dinamika intrakranial
(neurofarmakologi).
- Menjamin kondisi anestesi yang stabil dan mencegah
timbulnya komplikasi.
Kebijakan - Mempertahankan Cerebral Blood Flow seoptimal
mungkin
Prosedur Pre operatif
- Evaluasi prabedah dengan mengetahui riwayat medis
lengkap keadaan kondisi umum seperti kesadaran,
respirasi, kardiovaskuler, dan neurologis
- Anamnesa : adanya gejala kenaikan ICP (sakit kepala,
mual, muntah, penurunan kesadaran, gangguan
penglihatan). Adanya kejang, defisit neurologis fokal
akibat penekanan lokal dari trauma/hematom. Riwayat
operasi sebelumnya.
- Pemeriksaan Fisik : tanda-tanda vital harus segera
diperiksa, adakah tanda hipotensi dan hipertensi,
kesadaran, perhatikan jalan nafas, paru, sistem
kardiovaskuler, dan SSP. Pemeriksaan neurologis,
sensoris/motoris.
- Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan rutin
termasuk sel darah, kimia serum, dan koagulasi, EKG,
CT scan atau MRI.
- Pemeriksaan crossmatch untuk persiapan darah saat
operasi
Intraoperatif
- Teknik operasi : anestesi umum dengan pemasangan
ETT non kingking
- Induksi :
o Preoksigenasi dengan memberi O2 100 %, sampai
tercapai saturasi 100%. Kemudian Fentanyl 1-4
μg/kg
o Pentotal 3-6 mg/kg, atau propofol 1,25 - 2,25
mg/kg sebagai hipnotik sedative
o Kemudian diikuti ventilasi melalui sungkup muka.
o Neuromuscular blockade : vecuronium 0,1-0,15
mg/kg (i.v) merupakan pilihan karena
kardiovaskuler stabil dan efek pada ICP minimal.
o Lalu hiperventilasi melalui sungkup muka dengan
O2 atau O2 – Isofluran konsentrasi terendah 0,5%.
o Lidocain 1-1,5mg/kg untuk mengurangi lonjakan
hemodinamik saat intubasi dan ⅟2 dosis obat
diberikan sebelum dilakukan intubasi.
o Kombinasi narkotik Fentanyi 5 μg/kg diberikan
sebagai analgetik.
o Kontrol ventilasi (PaCO2 ~ 35 mmHg)
o Kemudian diintubasi dengan ETT non kingking
dengan ukuran sebesar mungkin yang masih dapat
disesuaikan dengan ukuran pasien.
- Pemeliharaan :
o Harus mempunyai efek paling kecil terhadap
autoregulasi serebral dan kemampuan merespon
CO2 . Infus Penthotal kontinyu 0,2-0,3 mg/kg/mnt
sampai dosis total 20-25 mg/kg atau propofol
kontinyu 50-150 μg/kg/mnt dapat menurunkan
CBF, atau Sevofluran 0,5%-1,5%.
o Analgetik maintain Fentanyi 1-2μg/kg/jam. Berikan
bolus Fentanyl 2μ/kg (saat pemasangan pin
kepala, insisi kulit)
o Isofluran < 1 vol% dalam O2. Umumnya
menghasilkan intrakranial dinamik yang lebih stabil.
o Posisi kepala : head up, vena jugularis bebas.
o Manitol : 0,5-0,75 gr/kg.
o Pastikan cairan adekuat (NaCl 0,9% atau HES 6% -
tidak RL secara regular)
- Pengakhiran :
o Keputusan diektubasi atau tidak tergantung pada
kondisi saat dilakukan operasi
o ETT dipertahankan bila : manipulasi dalam, pasien
belum bangun, perdarahan banyak saat
manipulasi.
1.1.1. Standar Monitor
- EKG, kapnometer, pulse oksimetri, tensimeter, jalur
tekanan arteri invasif, pemasangan CVP.
1.1.2. Pasca operatif
- Komplikasi : Kejang, hipertensi, arritmia, neurogenic
pulmonary edema, emboli lemak, emboli udara, defisit
neurologis, perdarahan, pembengkakan dan
peningkatan tekanan intracranial
- Penataksanaan nyeri : ketoprofen 100mg im,
metamizol 1000 iv, dan metamizol 2000 mg drip 15
gtt/mnt.
Unit Terkait
Dokumen Terkait - Status pasien
- Status anestesi
- Izin operasi
- Izin anestesi

Anda mungkin juga menyukai