Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kepemimpinan (leadership) merupakan pembahasan yang masih

dianggap sangat menarik untuk terus dijadikan penelitian, terlebih lagi jika

dikaitkan dengan kepemimpinan dalam suatu lembaga pendidikan, karena ia

merupakan salah satu faktor penting dan menentukan keberhasilan atau

gagalnya suatu organisasi dalam mencapai tujuannya1 Kajian kepemimpinan

merupakan sesuatu yang tidak hanya bisa dipelajari, diteliti bahkan bisa

dikenal kecenderungan tipe, gaya ataupun perilaku kepemimpinan seseorang

yang paling menonjol sekaligus, yang berperan penting dalam kesuksesannya

memimpin lembaga yang dipimpinnya. Seseorang sukses menjadi pimpinan

pondok pesantren bisa jadi karena strategi yang digunakan, tetapi juga karena

ciri atau sifatnya yang menonjol dari dalam diri pribadinya. Setiap organisasi

apapun jenisnya pasti memiliki seorang pemimpin yang harus menjalankan

kepemimpinan dan manajemen bagi keseluruhan organisasi sebagai satu

kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Demikian juga halnya dengan

pembelajaran tahfidh, sangat membutuhkan seorang pemimpin yang royal

dan mempunyai banyak visi, ide dan strategi untuk mengembangkan

pembelajaran tahfidz. Menurut Rivai, dalam organisasi formal maupun

nonformal selalu ada seseorang yang dianggap lebih dari yang lain. Seseorang

1
Soekamto, Kepemimpinan Kyai Dalam Pesantren, (Jakarta: LP3ES), 1999, 19.
1
yang memiliki kemampuan lebih tersebut kemudian ditunjuk atau diangkat

sebagai orang yang dipercayakan untuk mengatur orang lainnya. Biasanya

orang seperti itu disebut pemimpin. Dari kata pemimpin itulah muncul istilah

kepemimpinan setelah melalui proses yang panjang. Pendekatan dan

penelitian tentang kepemimpinan terus berkembang sejak munculnya istilah

pemimpin dan kepemimpinan tersebut.2

Dalam menghadapi iklim kompetitif dewasa ini, sebuah organisasi

atau lembaga sangat memerlukan pemimpin yang berorientasikan corak masa

kini. Untuk menjadi pemimpin yang sesuai dengan tuntutan era sekarang ini,

seorang pemimpin dituntut memiliki kejelian dalam menghadapi segala

permasalahan-permasalahan yang ada, di samping itu juga harus mempunyai

kemampuan memimpin dan kemampuan intelektual yang tidak diragukan

lagi, sehingga di dalam memutuskan suatu kebijakan dapat diterima baik oleh

masyarakat luas maupun di dalam organisasi yang dipimpinnya.3

Dalam memimpin sebuah pesantren, kyai menggunakan berbagai

strategi, gaya atau tipe kepemimpinan yang berbeda-beda, tidak terkecuali

dalam hal ini Kyai Misbahuddin Nashan. Ada suatu pandangan mengatakan

bahwa dalam memimpin sebuah pesantren, tidak ada pola atau gaya

kepemimpinan kyai yang spesifik yang berlaku dalam semua situasi, tetapi

bersifat kondisional. Pandangan ini memang benar, namun, berkaitan dengan

pengembangan yang terjadi setiap saat dan menuntut sebuah organisasi untuk

2
Viethzal Rivai, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi,( Jakarta: Raja Grafindo
Persada), 2006, 1-2.
3
Viethzal Rivai, 4
2
berkembang serta terus melakukan perbaikan, maka kepemimpinan

transformasional adalah tipe kepemimpinan yang relevan bagi para pemimpin

pendidikan saat ini. Kepemimpinan transformasional ini cukup diyakini akan

mampu menjawab tantangan pengembangan pondok pesantren secara

kekinian.4

Permasalahan yang dialami oleh Pondok Tahfidh Misbah Alqur’an

pada umumnya juga banyak dialami oleh pondok pesantren-pondok pesantren

lain, bahkan pondok pesantren yang sudah lama berdiri juga tidak luput dari

berbagai masalah. Diantara permasalahan yang sering muncul di Pondok

Tahfidh Misbah Alqur’an antara lain adalah bagaimana meningkatkan

kualitas pembelajaran tahfidh, kurangnya tenaga pengajar yang memiliki

kualitas tinggi yang bersedia mukim di pondok.5

Namun, kelemahan-kelemahan tersebut tidak menjadikan Kyai

Misbahuddin Nashan selaku pemimpin Pondok Tahfidh Misbah Alqur’an

untuk tidak melanjutkan program-program yang telah direncanakan. Akan

tetapi kelemahan-kelemahan tersebut dijadikan sebagai cambuk untuk terus

maju dan berkembang. Karena itu, berbagai upaya terus dilakukan dalam

rangka mencapai tujuan-tujuan tersebut. Maka untuk terus melahirkan

dinamisasi pondok pesantren dan dalam rangka memanfaatkan seluruh daya

(sarana dan tenaga), Kyai terus berupaya menggerakkan, mengarahkan, dan

memotivasi serta membimbing para bawahan (pengurus pondok pesantren,

4
Imron Arifin, Kepemimpinan Kiyai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng.(Malang:
Kalimasahada press), 1993.
5
Pengasuh Pondok Misbah Alqur’an, Wawancara Pribadi, 20 Jan. 2019.
3
ustadzah/guru) untuk terus berusaha meningkatkan kinerja dan kualitas

keilmuan mereka, juga terhadap seluruh santri yang ada di dalam lingkungan

Pondok Tahfidh ini.

Untuk itu, dalam penelitian ini, peneliti akan mencoba mengkaji

secara mendalam tentang bagaimana strategi kepemimpinan Kyai dalam

mengembangkan pembelajaran Tahfidhul Qur’an di Pondok Tahfidh Misbah

Alqur’an Mejobo Kudus.

B. Fokus Penelitian

Penelitian difokuskan pada kepemimpinan kyai dalam mengembangkan

pembelajaran tahfidhul qur’an.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Kepemimpinan Kyai dalam Mengembangkan Pembelajaran

Tahfidhul Qur’an Di Pondok Tahfidh Misbah Alqur’an Mejobo Kudus?

2. Faktor apa saja yang mendukung dan menghambat Kepemimpinan Kyai

dalam Mengembangkan Pembelajaran Tahfidhul Qur’an di Pondok

Tahfidh Misbah Alqur’an Mejobo Kudus?

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui Kepemimpinan Kyai dalam mengembangkan

pembelajaran Tahfidhul Qur’an di Pondok Tahfidh Misbah Alqur’an

Mejobo Kudus

4
2. Untuk mengetahui faktor yang mendukung dan menghambat

kepemimpinan Kyai dalam mengembangkan pembelajaran Tahfidhul

Qur’an di pondok Tahfidh Misbah Alqur’an Mejobo Kudus

E. Metode Penelitian

1. Jenis dan pendekatan penelitian

Jenis penelitian ini adalah file reaserch dan pendekatan kualitatif,

karena data utamanya berupa pernyataan.

Penelitian kualitatif instrumennya adalah peneliti itu sendiri.

Menjadi instrumen, maka peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan

luas, sehingga mampu bertanya, menganalisis, memotret, dan

mengkonstruksi situasi sosial yang diteliti menjadi lebih jelas dan

bermakna. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif.

Metode penelitian kualitatif merupakan metode penelitian yang

berlandas-kan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada

kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen)

dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel

sumber data dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik

pengumpulan dengan trianggulasi, analisis data bersifat induktif/kualitatif,

dan hasil penelitian kualitatif lebih menekan makna dari pada

generalisasi.6

6
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan (Pendidikan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D).
(Bandung: Alfabeta, 2014), 14-15.
5
2. Setting Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pondok Tahfidh Misbah Al-Qur’an Mejobo Kudus,

dimana di Pondok Tahfidh Misbah Alqur’an ditemukan banyak permasalahan

diantaranya kekurangan tenaga pengajar (ustadzah) yang sedia mukim di

pondok. Namun kegiatan di pondok tersebut tetap berjalan.

3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri dari sumber data

primer dan sumber data sekunder. Data primer atau data tangan pertama,

adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian, dengan

mengenakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada

subyek sebagai sumber informasi yang dicari. 7 Untuk penelitian ini peneliti

menggunakan sumber data primer, yaitu bapak KH Misbahuddin Nashan,

sebagai pendiri, pimpinan di pondok tahfidh misbah alqur'an, ustadz-ustadzah

dan santri.

Sedangkan data sekunder atau data tangan kedua adalah data yang diperoleh

lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh peneliti dari subyek penelitiannya.

Data sekunder yang berupa data – data, seperti , jadwal pembelajaran,

peraturan-peraturan (tata tertib).

4. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan sumber data yang digunakan, maka teknik yang digunakan

dalam penelitian ini adalah:

a. Wawancara

7
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 91.
6
Teknik ini peneliti tujukan pada pengasuh pondok, ustadz, dan santri

guna untuk mendapatkan data tentang kepemimpinan kyai dalam

mengembangkan pembelajaran tahfidhul qur’an.

Peneliti menggunakan teknik wawancara semi terstruktur, yaitu

peneliti menyiapkan seperangkat pertanyaan dan datang ke lokasi dan

ketika terdapat pertanyaan di luar yang telah peneliti siapkan akan

tetap dipertanyakan. Wawancara yang akan dilakukan adalah dengan

kyai pondok tahfidh misbah alquran.

b. Pengamatan / Observasi

Observasi dilakukan di sini yaitu untuk mengamati kegiatan di pondok

dan untuk menguatkan data hasil wawancara.

c. Dokumentasi

Teknik ini peneliti gunakan untuk mendapatkan data tentang

kepemimpinan kyai dalam mengembangkan pembelajaran tahfidhul

qur’an. Selain itu teknik ini digunakan untuk untuk mendapatkan data

pelengkap diantaranya visi misi pondok, struktur organisasi, keadaan

pengasuh, ustadz-ustadzah, santri, dan sarana prasarana.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan bagian terpenting dalam sebuah

penelitian. Sebuah penelitian tidak akan dapat diketahui kesimpulan dan

hasilnya tanpa proses analisis terlebih dahulu. Analisis data digunakan

7
untuk memperoleh hasil penelitian yang lengkap, tepat, dan benar.

Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini

adalah seperti yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman, yang dikutip

oleh Sugiyono yaitu meliputi sejak sebelum memasuki lapangan, selama

di lapangan, dan setelah selesai di lapangan.

a. Analisis sebelum di lapangan

Analisis data sebelum peneliti memasuki lapangan meliputi:

analisis terhadap data hasil studi pendahuluan, atau data sekunder,

yang akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian yang akan

dirumuskan. Namun demikian, fokus penelitian ini masih bersifat

sementara, dan akan berkembang setelah peneliti masuk dan selama

di lapangan.

Peneliti dalam analisis pendahuluan ini, mencari persamaan

dan perbedaan dari penelitian sebelumnya sehingga akan diketahui

dengan jelas posisi peneliti dalam pelaksanakan penelitian.

b. Analisis selama di lapangan

Analisis yang peneliti lakukan selama di lapangan, terdiri dari:

1) Reduksi Data (Data Reduction)

Reduksi yaitu merangkum, memilih hal-hal yang pokok,

memfokuskan pada hal yang penting, dicari tema dan polanya dan

membuang yang tidak perlu.8 Proses analisis data dimulai dengan

menelaah seluruh data yang telah terkumpul dari berbagai sumber,

8
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D,
(Bandung: Alfabeta, 2006), 336.
8
yaitu wawancara, pengamatan yang sudah dilukiskan dalam catatan

lapangan, dokumentasi pribadi, dokumen resmi, dan sebagainya.

Data yang banyak tersebut kemudian peneliti baca secara cermat,

dipelajari, dan ditelaah. Selanjutnya setelah penelaahan dilakukan

maka sampailah pada tahap yang sesuai yang merupakan suatu

proses untuk meredukasi data.

2) Penyajian Data (Data Display)

Data yang telah direduksi selanjutnya peneliti akan melakukan

display data. Dalam penelitian ini, penulis menyajikan data dalam

bentuk uraian atau cerita rinci para informan sesuai dengan

ungkapan atau pandangan mereka apa adanya (termasuk hasil

observasi), tanpa ada komentar, evaluasi, dan interpretasi. Dalam

penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk

uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori dan sejenisnya.9

3) Verifikasi (Clonclusion Drawing)

Langkah ketiga dalam analisis data kualitaif (menurut Miles dan

Huberman) adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi.

Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan

akan berubah bila ditemukan bukti-bukti yang kuat yang

mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya, tetapi

apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung

oleh buki-bukti valid dan konsisten saat peneliti kembali ke

9
Sugiyono 341.
9
lapangan mengumpulkan data maka kesimpulan yang dikemukakan

merupakan kesimpulan yang kredibel.10

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan verifikasi atau

mengambil kesimpulan secara induktif, yaitu pengambilan

kesimpulan dimulai dari hal-hal yang bersifat khusus menuju hal

yang bersifat umum.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Telaah Pustaka

Dalam penelitian ini peneliti menggali informasi dari penelitian-

penelitian sebelumnya sabagai bahan perbandingan, baik mengenai

kekurangan atau kelebihan yang sudah ada. Selain itu, peneliti juga menggali

informasi dari buku-buku maupun skripsi dalam rangka mendapatkan suatu

informasi yang ada sebelumnya tentang teori yang berkaitan dengan judul

yang digunakan untuk memperoleh landasan teori ilmiah.

Dari pelacakan terhadap hasil penelitian terdahulu, peneliti tidak menemukan

satu judulpun yang sama dengan judul yang peneliti ajukan. Namun ada 3

judul yang hampir sama:

10
Sugiyono 345.
10
1. Imron Arifin, 1992, Kepemimpinan Kyai dalam Sistem Pengajaran kitab-

kitab Klasik (Studi Kasus: Pondok Pesantren Tebuireng Jombang)

Fokus penelitian ini mendeskripsikan tentang Kepemimpinan Kyai dalam

sistem pengajaran kitab-kitanb Klasik, di dalamnya mengungkapkan

tentang fenomena yang berkenaan dengan dengan pola dan gaya

kepemimpinan kyai, pandangan kyai yang berkaitan dengan pengajaran

kitab, sistem pengajaran kitab-kitab islam klasik. Imron Arifin

mengungkapkan bahwa dalam lembaga yang selama ini dianggap sebagai

organisasi tradisional, dengan pola kepemimpinan yang telah diuraikan

dimuka, terdapat model-model pendidikan yang modern.

Perbedaan dengan penelitian ini adalah Imron Arifin menitikberatkan pada

sistem pengajaran kitab-kitab klasik sedangkan penelitian ini

menitikberatkan pada pembelajaran tahfidhulqur’an.

2. Ahmad Faris, 2015, Kepemimpinan Kyai dalam Mengembangkan

Pendidikan Pesantren

Fokus penelitian ini mendeskripsikan tentang kepemimpinan Kyai dalam

mengembangkan Pendidikan Pesantren, yaitu pesantren sebagai lembaga

pendidikan memiliki ciri khas tersendiri, sehingga pesantren dapat

dibedakan dengan lembaga pendidikan lainnya yang non pesantren. Ciri

khas pesantren dinilai sangat unik oleh para pemerhati pendidikan, mulai

dari tradisinya, kurikulumnya, sistem pendidikannya, infrastruktur, model

11
kepemimpinan kyai, dan juga gaya hidup para santri yang sangat

sederhana dan dan mengutamakan kebersamaan.

Perbedaannya dengan penelitian ini adalah Ahmad Faris menitikberatkan

pada pengembangan pendidikan pesantren sedangkan penelitian ini

menitikberatkan pada pembelajaran tahfidhul qur’an.

3. Achmad Muhammad, Kepemimpinan Kyai Dalam Membentuk Etos Kerja

Santri

Fokus penelitian ini mendeskripsikan tentang kepemimpinan Kyai dalam

membentuk etos kerja santri, yaitu meliputi strategi Kyai dalam

membentuk etos kerja, dan peran Kyai dalam mengkonstruksi etos kerja

santri dengan mengambil shetting pada usaha milik Pesantren An-Nawawi

Berjan Gebang Purworwjo.

Perbedaannya dengan penelitian ini adalah Ahmad Faris menitikberatkan

pembentukan pada etos kerja santri , sedangkan penelitian ini

menitikberatkan pada pembelajaran Tahfidhul Qur’an.

B. Deskripsi Teori

1. Kepemimpinan Kyai

a. Pengertian Kepemimpinan Kyai

Kepemimpinan Kyai digambarkan Ziemek sebagai sosok kyai

yang kuat kecakapan dan pancaran kepribadiannya sebagai seorang

pemimpin pesantren, yang hal itu menentukan kedudukan dan kaliber

12
suatu pesantren. Kemampuan Kyai menggerakkan massa yang

bersimpati dan menjadi pengikutnya akan memberikan peran strategis

baginya sebagai pemimpin informal masyarakat melalui komunikasi

intensif dengan penduduk yang mendukungnya. Sehingga dalam

kedudukan itu, Sunyoto berpendapat bahwa kyai dapat disebut sebagai

agent of change dalam masyarakat yang berperanan penting dalam

suatu proses perubahan sosial.11

Kepemimpinan kiai, sering diidentikkan dengan atribut

kepemimpinan kharismatik. Dalam konteks tersebut, Sartono Kartodirjo

menyatakan bahwa kiai-kiai pondok pesantren, dulu dan sekarang,

merupakan sosok penting yang dapat membentuk kehidupan sosial,

kultural dan keagamaan warga muslim di Indonesia. 12 Pengaruh kiai

terhadap kehidupan santri tidak terbatas pada saat santri masih berada di

pondok pesantren, akan tetapi berlaku dalam kurun waktu panjang,

bahkan sepanjang hidupnya, ketika sudah terjun di tengah masyarakat.

Dengan demikian, kepemimpinan kyai menjadi elemen dasar yang

paling dominan dan bertanggung jawab terhadap peningkatan kualitas

SDM. Kepemimpinan kyai harus memiliki visi yang jelas dan jauh ke

depan. Kyai dalam menjalankan misinya harus menetapkan tujuan dan

strategi yang tepat. Sebagai pemimpin, kyai harus dapat memainkan

11
Imron Arifin, Kepemimpinan Kiyai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng.(Malang:
Kalimasahada press, 1993), 15.
12
Sartono Kartodirjo, Religious Movement of Java in the 19th and 20th Centuries
(Yogyakarta: Gajah Mada University,1970), 114.
13
kepemimpinan yang dapat diteladani dan dicontoh dengan baik,

bijaksana, berwibawa, berakhlak mulia, iklash, amanah, jujur, kasih

sayang, cermat, cakap dan hanya berharap penuh kepada keridloan

Allah SWT dalam segala perilaku dan tindakannya baik yang lahir

maupun yang bathin. Untuk menjadi pemimpin yang berhasil, sangat

ditentukan oleh kemampuan pribadi si pemimpin. Kemampuan yang

dimaksud adalah kualitas seseorang dengan berbagai sifat, perangai

atau ciri-ciri di dalamnya.

b. Metode Kepemimpinan Kyai

Keberadaan Kyai sebagai pemimpin pesantren, ditinjau dari

tugas dan fungsinya dapat dipandang sebagai fenomena kepemimpinan

yang unik. Dikatakan unik, Kyai sebagai pemimpin sebuah lembaga

pendidikan Islam tidak sekedar bertugas merancang desain pendidikan

pesantren yang mencakup kurikulum, membuat tata tertib, sistem

evaluasi, sekaligus pemimpin dalam pelaksanaan proses belajar

mengajar, melainkan pula sebagai pimpinan dalam semua tata kelola

pesantren, bahkan pemimpin masyarakat.

Esensi pengaruh (influence) dalam konsep kepemimpinan

bukanlah sematamata berbentuk instruksi, melainkan lebih merupakan

motivasi atau pemicu (trigger) yang dapat memberi inspirasi kepada

bawahan, sehingga inisiatif dan kreatifitas mereka berkembang secara

optimal untuk meningkatkan kinerjanya. Sehubungan dengan hal

14
tersebut, maka yang paling penting dalam pengaplikasian konsep

kepemimpinan ialah bagaimana memanfaatkan faktor-faktor eksternal

untuk mengembangkan faktor internal sehingga mendorong tumbuhnya

kinerja produktif.

Bagi tradisi pesantren setidaknya kepemimpinan Kyai ada 6

pendekatan metode yang diterapkan dalam membentuk perilaku santri,

yakni metode keteladanan (uswah hasanah); Latihan dan pembiasaan;

mengambil pelajaran (ibrah); nasehat (mauidzah); kedisiplinan; pujian

dan hukuman (targhib wa tahzib)

1) Metode keteladanan

Secara psikologis, manusia sangat memerlukan keteladanan untuk

mengembangkan sifat-sifat dan petensinya. Pendidikan perilaku

lewat keteladana adalah pendidikan dengan cara memberikan

contoh-contoh kongkrit bagi para santri. Dalam pesantren,

pemberian contoh keteladanan sangat ditekankan. Kiai dan ustadz

harus senantiasa memberikan uswah yang baik bagi para santri,

dalam ibadah-ibadah ritual, kehidupan sehari-hari maupun yang

lain, karena nilai mereka ditentukan dari aktualisasinya terhadap

apa yang disampaikan. Semakin konsekuen seorang kiai atau

ustadz menjaga tingkah lakunya, semakin didengar ajarannya.

2) Metode Latihan dan Pembiasaan

15
Mendidik perilaku dengan latihan dan pembiaasaan adalah

mendidik dengan cara memberikan latihan-latihan terhadap norma-

norma kemudian membiasakan santri untuk melakukannya. Dalam

pendidikan di pesantren metode ini biasanya akan diterapkan pada

ibadah-ibadah amaliyah, seperti shalat berjamaah, kesopanan pada

kiai dan ustadz. Latihan dan pembiasaan ini pada akhirnya akan

menjadi akhlak yang terpatri dalam diri dan menjadi yang tidak

terpisahkan. Al-Ghazali menyatakan :

"Sesungguhnya perilaku manusia menjadi kuat dengan seringnnya

dilakukan perbuatan yang sesuai dengannya, disertai ketaatan dan

keyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah baik dan

diridhai"13

3) Mendidik melalui ibrah (mengambil pelajaran)

Secara sederhana, ibrah berarti merenungkan dan

memikirkan, dalam arti umum bisanya dimaknakan dengan

mengambil pelajaran dari setiap peristiwa.

Tujuan Paedagogis dari ibrah adalah mengntarkan manusia

pada kepuasaan pikir tentang perkara agama yang bisa

menggerakkan, mendidik atau menambah perasaan keagamaan.

Adapun pengambilan ibrah bisa dilakukan melalui kisah-kisah

13
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Jilid III , (Dar-al-Mishri: Beirut : 2005), 61.
16
teladan, fenomena alam atau peristiwa-peristiwa yang terjadi, baik

di masa lalu maupun sekarang.

4) Mendidik melalui mauidzah (nasehat)

Mauidzah berarti nasehat. Rasyid Ridla mengartikan mauidzah

sebagai berikut.”Mauidzah adalah nasehat peringatan atas kebaikan

dan kebenaran dengan jalan apa yang dapat menyentuh hanti dan

membangkitkannya untuk mengamalkan”14 Metode mauidzah,

harus mengandung tiga unsur, yakni: a). Uraian tentang kebaikan

dan kebenaran yang harus dilakukan oleh seseorang, dalam hal ini

santi, misalnya tentang sopan santun, harus berjamaah maupun

kerajinan dalam beramal; b). Motivasi dalam melakukan kebaikan;

c). Peringatan tentang dosa atau bahaya yang bakal muncul dari

adanya larangan bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

5) Mendidik melalui Kedisiplinan

Dalam ilmu pendidikan, kedisiplinan dikenal sebagai cara

menjaga kelangsungan kegiatan pendidikan. Metode ini identik

dengan pemberian hukuma atau sangsi. Tujuannya untuk

menumbuhkan kesadaran siswa bahwa apa yang dilakukan tersebut

tidak benar, sehingga ia tidak mengulanginya lagi. Pembentukan

lewat kedisiplinan ini memerlukan ketegasan dan kebijaksanaan.

Ketegasan mengharuskan seorang pendidik memberikan sangsi

14
Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid II, (Mesir; Maktabah al-Qahirah, tt), 404
17
bagi pelanggar, sementara kebijaksanaan mengharuskan sang

pendidik sang pendidik berbuat adil dan arif dalam memberikan

sangsi, tidak terbawa emosi atau dorongan lain. Dengan demikian

sebelum menjatuhkan sangsi, seorang pendidik harus

memperhatikan beberapa hal berikut: (1) perlu adanya bukti yang

kuat tentang adanya tindak pelanggaran; (2) hukuman harus

bersifat mendidik, bukan sekedar memberi kepuasan atau balas

dendam dari si pendidik; (3) harus mempertimbangkan latar

belakang dan kondisi siswa yang melanggar, misalnya

frekuensinya pelanggaran, perbedaan jenis kelamin atau jenis

pelanggaran disengaja atau tidak.

Di pesantren, hukuman ini dikenal dengan istilah takzir.

Takzir adalah hukuman yang dijatuhkan pada santri yang

melanggar. Hukuman yang terberat adalah dikeluarkan dari

pesantren. Hukuman ini diberikan kepada santri yang telah

berulang kali melakukan pelanggaran, seolah tidak bisa diperbaiki.

Juga diberikan kepada santri yang melanggar dengan pelanggaran

berat yang mencoreng nama baik pesantren.

6) Mendidik melalui targhib wa tahzib

Metode ini terdiri atas dua metode sekaligus yang berkaitan

satu sama lain; targhib dan tahzib. Targhib adalah janji disertai

dengan bujukan agar seseorang senang melakukan kebajikan dan

18
menjauhi kejahatan. Tahzib adalah ancaman untuk menimbulkan

rasa takut berbuat tidak benar. Tekanan metode targhib terletak

pada harapan untuk melakukan kebajikan, sementara tekanan

metode tahzib terletak pada upaya menjauhi kejahatan atau dosa.

Meski demikian metode ini tidak sama pada metode hadiah

dan hukuman. Perbedaan terletak pada akar pengambilan materi

dan tujuan yang hendak dicapai. Targhib dan tahzib berakar pada

Tuhan (ajaran agama) yang tujuannya memantapkan rasa

keagamaan dan membangkitkan sifat rabbaniyah, tanpa terikat

waktu dan tempat.

Adapun metode hadiah dan hukuman berpijak pada hukum

rasio (hukum akal) yang sempit (duniawi) yang tujuannya masih

terikat ruang dan waktu. Di pesantren, metode ini biasanya

diterapkan dalam pengajian-pengajian, baik sorogan maupun

bandongan.

c. Fungsi dan Tipe Kepemimpinan

Kepemimpinan selalu berhubungan dengan sistem sosial kelompok

maupun individu. Dalam upaya mewujudkan kepemimpinan yang

efektif, maka kepemimpinan harus dijalankan sesuai dengan fungsinya.

Wirawan dalam bukunya Kepemimpinan Teori, Psikologi, Perilaku

19
Organisasi, Aplikasi dan Penelitian menyatakan beberapa fungsi

kepemimpinan sebagai berikut:15

1. Menciptakan Visi

2. Mengembangkan Budaya Organisasi

3. Menciptakan Sinergis

4. Menciptakan Perubahan

5. Memotivasi Para Pengikut

6. Memberdayakan Pengikut

7. Mewakili Sistem Sosial

8. Manajer Konflik

9. Memberlajarkan Organisasi

Meskipun belum terdapat kesepakatan bulat tentang tipologi

kepemimpinan yang secara luas,dewasa ini dikenal lima tipe

kepemimpinan yang diakui keberadaannya ialah:16

1. Tipe Otokratik

2. Tipe Paternalistik

3. Tipe Kharismatik

4. Tipe Laissez Faire


15
Wirawan, Kepemimpinan Teori, Psikologi, Perilaku Organisasi, Aplikasi dan
Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), 64-92.
16
Sondang P Siagian, Teori & Praktek Kepemimpinan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), 31.
20
5. Tipe Demokratik

Diluar dari tipe kepemimpinan di atas, terdapat tipe kepemimpinan

yang masih hangat diperbincangkan saat ini. Tipe kepemimpinan

tersebut adalah kepemimpinan transformasional yang dikembangkan

oleh Benard M. Bass dan kepemimpinan transaksional yang

dikembangkan oleh James MacGregor Burns.17 Kepemimpinan

transformasional merupakan upaya pemimpin mentransformasikan para

pengikut dari satu tingkat kebutuhan rendah hierarki kebutuhan ke

tingkat kebutuhan lainya yang lebih tinggi menurut teori motivasi

Abraham Maslow. Pemimpin juga mentransformasikan harapan untuk

suksesnya pengikut, serta nilai-nilai, dan mengembangkan budaya

organisasi untuk mencapai tujuan yang ditetapkan pemimpin. Melalui

kepemimpinan transformasional pengikut dapat mencapai kinerja yang

melebihi yang telah diharapkan pemimpin (performance beyond

expetation).

Menurut pandangan Bass dalam Djamaludin Ancok, ada empat hal

yang menjadi ciri pemimpin transformasional:18

1. Pengaruh yang diidealkan (idealized influence)

Idealized influence adalah sifat-sifat yang keteladanan (role mode)

yang ditunjukan kepada pengikut dan sifat–sifat yang dikagumi

pengikut dari pemimpinnya. Perwujudan sifat keteladanan antara


17
Wirawan, (Kepemimpinan Teori, Psikologi, Perilaku Organisasi), 134.
18
Djamaludin Ancok, Psikologi Kepemimpinan & Inovasi, (Jakarta: Erlangga, 2012), 130.
21
lain adalah memberi contoh bagaimana dia berperilaku dalam

melayani orang lain, khususnya dalam melayani karyawan sebagai

mitra kerjanya.

2. Stimulasi intelektual (intellectual stimulation)

Intellectual stimulation adalah proses merangsang pemikiran kreatif

dan gagasan inovatif dalam diri pengikut. Pemimpin dalam

mengembangkan pemikiran kreatif dengan gagasan inovasi

pemimpin biasanya memberikan tantangan dan pertanyaan agar

pengikutnya berolah pikir mencari cara baru dalam melakukan

pekerjaannya.

3. Kepedulian secara perorangan

Kepedulian secara perorangan adalah ciri pemimpin yang

memperhatikan kebutuhan karyawannya dan membantu karyawan

agar mereka bisa maju dan berkembang dalam karir dan kehidupan

mereka. Pemimpin sangat memperhatikan kebutuhan psikososial

karyawan yang dipimpinnya. Pemimpin mendukung keinginan

karyawan untuk maju dan berkembang. Pemimpin menunjukan rasa

simpati pada permasalahan yang dihadapi pengikut.

4. Motivasi yang inspiratif

Motivasi yang inspiratif adalah sifat pemimpin yang

memberikan inspirasi dalam berkerja, mengajak karyawan untuk

22
mewujudkan sebuah cita-cita bersama agar hidup dan karya mereka

menjadi bermakna.

Kepemimpinan di pesantren dicirikan oleh relasi unik

berbasis karisma yang dimiliki oleh Kyai yang menyebabkan ia

menduduki posisi kepemimpinan. Kedudukan Kyai seperti itu,

sesungguhnya merupakan patrol, tempat bergantung para santri.

Karena kewibawaan Kyai, seorang murid tidak pernah (enggan)

membantah apa yang dilakukan Kyai.

Kedudukan santri adalah client bagi dirinya. Hubungan

pemimpin dan yang dipimpin dalam budaya seperti itu, setidaknya

melahirkan hubungan kepemimpinan model patrol-client relationship

yang telah di dikemukakan oleh James C. Scott.19

Hal ini senada yang diungkapkan Abdurahman Wahid, ciri

utama penampilan Kyai adalah watak karismatik yang dimilikinya.

Watak karisma yang dimiliki oleh seorang Kyai, timbul oleh sifat

kedalaman ilmu dan kemampuan seorang Kyai di dalammengatasi

semua permasalahan yang ada, baik di dalam pesantren maupun

lingkungan sekitar. Dalam hal ini Kyai sebagai figur yang

senangtiasa melindungi, mengayomi masyarakat dengan berbagai

perjuangan untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.

19
Sukamto, Kepemimpinan Kyai Dalam Pesantren, 78-79.
23
Abdurahman Wahid menegaskan terlepas dari sifat

kepemimpinan Kyai karismatik dan paternalistik, kepemimpinan

Kyai di pesantren adalah mempribadi atau (personal), segala masalah

kepesantrenan bertumpu kepada Kyai.20 Posisi Kyai selain

mengajarkan ilmu agama juga mewakili sistem sistem sosial,

mengembangkan organisasi pondok pesantren, manajer konflik,

mengarahkan visi dan menciptakan perubahan (agent of change).

2. Pembelajaran Tahfidhul Qur’an

a. Pengertian Pembelajaran Tahfidhul Qur’an

Pembelajaran adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu

proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang,

disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung

terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal.21

Metode Pembelajatan Tahfidzul Qur’an bisa kita artikan sebagai suatu

cara atau upaya yang dipakai oleh para santri atau penghafal al-Qur’an

untuk membelajarkan peserta didik untuk dapat menghafalkan al-

Qur’an dengan tepat dan benar agar selalu ingat dan dapat

mengucapkannya di luar kepala tanpa melihat mushaf.

Tahfidz Al-Qur’an atau Tahfidzul Qur’an merupakan gabungan

dari dua kata yang berasal dari bahasa Arab, yaitu tahfidz dan Al-

20
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Kyai, 56.
21
Gagne dan Briggs ( 1979:3 )
24
Qur‟an. Kata tahfidz merupakan bentuk isim mashdar dari fiil madhi (

‫ظ‬PP‫ظ – حف‬PP‫ظ – يحف‬PP‫ ) تحفي‬yang mengandung makna menghafalkan atau

menjadikan hafal. Dengan demikian Tahfidz Al-Qur’an atau tahfidzul

Qur’an dapat berarti menjadikan (seseorang) hafal Al-Qur’an.

Al-Qur’an berasal dari kata qara`a artinya bacaan atau yang dibaca,

sedangkan menurut istilah Al-Qur’an adalah kalam atau firman Allah

yang diturunkan ( diwahyukan ) kepada Nabi Muhammad SAW.

Melalui perantara malaikat Jibril yang diturunkan secara mutawatir

sebagai pedoman umat manusia didunia dan membacanya termasuk

ibadah.22

Menghafal Al-Qur’an merupakan fadhal (anugerah )dari Allah,

namun bukan berarti tidak dapat kita upayakan. Untuk mampu

menyelesaikan hafalan hingga 30 juz butuh persiapan, pelaksanaan, dan

penjagaan yang ekstra. Jika menghafal Al-Qur’an ibarat sebuah

perjalanan panjang, maka kita perlu menyiapkan bekal dan kebutuhan.23

Menurut Abdul Aziz Abdul Rauf definisi menghafal adalah “proses

mengulang sesuatu, baila dengan membaca atau mendengar”.

Pekerjaan apapun jika sering diulang pasti menjadi hafal.24 Jika arti

bahasa tidak berbeda dengan arti istilah dari segi membaca diluar
22
Muhammad Adnan, (Ke Nuan MTs/SMP Kelas VIII, LP NU: 2009), 9.
23
Ulin Nuha Mahfudhon, Jalan Penghafal Al-Qur’an, (Jakarta: Kompas Gramedia,
2017). 18.
24
Abdul Aziz Abdul Rauf, Kiat Sukses Menjadi Hafidz Qur;an Daiyah, (Bandung:
Syamil Cipta Media, 2004), 49.
25
kepala, maka menghafal Al-Quran berbeda dengan penghafal hadist,

syair, hikmah dan lain-lainya dalam 2 pokok:

1) Hafal seluruh Al-Quran serta mencocokanya dengan sempurna Tidak

bisa dikatakan al hafidz bagi orang yang hafalanya setengah atau

sepertiganya secara rasional. Karena jika yang hafal setengah atau

sepertiganya berpredikat al hafidz maka bisa dikatakan bahwa

seluruh umat islam berpredikat al hafidz, sebab semuanya mungkin

telah hafal surat al-fatihah, karena surat alfatihah merupakan salah

satu rukun shalat dari kebanyakan madzhab. Maka istilah al hafidz

(orang yang berpredikat hafal Al- Quran) adalah mutlak bagi orang

yang hafal keseluruhan dengan mencocokan dan menyempurnakan

hafalanya menurut aturan-aturan bacaan serta dasar-dasar tajwid

yang masyhur.

2) Senantiasa terus menerusdan sungguh-sungguh dalam menjaga

hafalan dari lupa. Seorang tahfidz harus hafal Al Quran seluruhnya.

Maka apabila ada orang yang telah hafal kemudian lupa atau lupa

sebagian atau keseluruhan karena lalai atau lengah tanpa alasan

seperti ketuaan atau sakit, maka tidak dikatakan hafidz dan tidak

berhak menyandang predikat “penghafal Al Quran”.25

b. Metode Tahfidhul Qur’an

25
Abdu al-Rabb Nawabudin, Metode Efektif Menghafal al-Quran, (Jakarta: Tri Daya Inti,
1988), 17.
26
Menghafal al-Qur’an bukan usaha yang dapat dianggap mudah

untuk dilakukan semua orang, hal ini karena banyaknya materi dan

adanya hampir kesamaan antar ayat dan atauran-aturan dalam

membaca. Untuk itu diperlukan metode-metode yang dapat membantu

usaha kita untuk dapat menghafal al-Qur’an dengan benar.

Adapun metode-metode tersebut yang perlu dilakukan, menurut Ahsin

W. Al-Hafidz, ialah :

1) Metode Wahdah, yaitu menghafal satu persatu terhadap ayat-ayat

yang hendak dihafalkannya.

2) Metode Kitabah, yaitu penghafal terlebih dulu menulis ayat-ayat

yang akan dihafalkan pada secarik kertas yang telah tersedia.

3) Metode Gabungan, yaitu gabungan antara metode wahdah dan

metode kitabah, hanya saja pada kitabah lebih berfungsi untuk uji

coba terhadap ayat yang telah dihafalkan.

4) Metode Jama’, yaitu cara menghafal yang dilakukan secara kolektif

yang dipimpin oleh seorang instruktur.26

Metode Tahfidzul Qur’an lainnya juga dikemukakan oleh Abdurrab

Nawabuddin, yaitu :

1) Metode Juz’i, yaitu cara menghafal secara berangsur-angsur atau

sebagian demi sebagian dan menghubungkannya antar bagian yang

26
Ahsin W. Al-Hafidz, Bimbingan Praktis Menghafal Al-Qur’an, (Jakarta : Bumi Aksara,
1994), 22-24.
27
satu dengan bagian lainnya dalam satu kesatuan materi yang

dihafal. Hal ini dapat dikaji dari pernyataan berikut ini: “Dalam

membatasi atau memperingan beban materi yang akan dihafalkan

hendaknya dibatasi, umpamanya menghafal sebanyak tujuh baris,

sepuluh baris, satu halaman, atau satu hizb. Apabila telah selesai

satu pelajaran, maka berpindahlah ke pelajaran yang lain kemudian

pelajaran-pelajaran yang telah dihafal tadi satukan dalam ikatan

yang terpadu dalam satu surat. Sebagai contoh seorang murid yang

menghafal surat al-Hujurat menjadi dua tau tiga tahap, surat al-

Kahfi menjadi empat atau lima tahap.”

Selanjutnya dijelaskan bahwa: “Metode ini mempunyai

suatu sisi negatif yaitu murid menemukan kesulitan dalam

mengaitkan berbagai kondisi dan tempat yang berbeda. Dan untuk

bisa menanggulangi hal ini dengan banyak membaca surat-surat

sebagai satu bagian yang terpadu sehingga kesulitan murid akan

berkurang sedikit demi sedikit dan pada akhirnya lenyap sama

sekali.”

Metode Juz’i tersebut menurut Abdurrab Nawabuddin merupakan

suatu metode yang sangat baik untuk dipergunakan dalam proses

menghafal al-Qur’an,hal itu dikarenakan adanya beberapa alasan,

sebagai berikut :

28
a) Sebuah riwayat Al Baihaqi dari Abu Aliyah berkata: Nabi

Muhammad saw menggunakan metode ini dalam mengajar

qiro’ah para sahabatnya, begitu juga para sahabat

mengajarkannya pada generasi selanjutnya.

b) Metode ini lebih utama atau lebih tepat untuk anak-anak dan

orang-orang yang kurang berpengalaman dalam hal menghafal

al- Qur’an.

c) Metode ini lebih baik untuk menghafal ayat-ayat yang mirip

baik dalam struktur maupun dalam kata-kata serta ayat-ayat

yang diulang-ulang, seperti dalam surat ar-Rahman, al-Waqi’ah,

al-Jin, al-Mursalat, dan disamping hal-hal lain seperti

diungkapkan dalam kenegatifan metode simultan.27

Dalam hadits yang disebutkan di atas menjelaskan bahwa

Rasulullah mengajar al-Qur’an secara bertahap atau berangsur-

angsur dalam penghafalannya, karena mengingat bahwa al-

Qur’an terdiri atas enam ribuan ayat lebih.

2) Metode Kulli, yaitu metode menghafal al-Qur’an dengan cara

menghafalkan secara keseluruhan terhadap materi hafalan yang

dihafalkannya, tidak dengan cara bertahap atau sebagian-sebagian.

Jadi yang terpenting keseluruhan materi hafalan yang ada dihafal

tanpa memilah-milahnya, baru kemudian diulang-ulang terus

27
Abdurrab Nawabuddin, Tekhnik Menghafal Al-Qur’an, (Bandung: Sinar Baru, 1991), 59.
29
sampai benar-benar hafal. Penjelasan tersebut berasal dari

pernyataan berikut ini: “Hendaknya seorang penghafal mengulang-

ulang apa yang pernah dihafalkannya meskipun hal itu dirasa

sebagai suatu kesatuan tanpa memilah-milahnya. Misalnya dalam

menghafal surat An-Nur, di sana ada tiga hizb, kurang lebih

delapan halaman yang dapat dihafalkan oleh siswa sekaligus

dengan cara banyak membaca dan mengulang.

Dari penjelasan di atas, maka dapat dinilai bahwa metode-

metode yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas, sangat baik

untuk saling melengkapi satu sama lainnya. Pada dasarnya terdapat

suatu kesamaan- kesamaan mengenai metode manghafal al-Qur’an,

antara lain adalah dengan metode menghafal dengan menambah

materi hafalan itu lebih baik dari pada terus menerus tanpa henti-

hentinya dalam suatu waktu, sebagaimana menurut HM. Arifin, M.

Ed, sebagai berikut: “Suatu ingatan akan lebih mudah terbentuk

bila dilakukan menurut pembagian waktu berulang-ulang. Belajar

berulang-ulang akan lebih efektif dari pada terus menerus tanpa

henti-hentinya dalam suatu waktu”.28

c. Manfaat Tahfidhul Qur’an

1) Mendapat Kenikmatan Dunia

28
HM. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan
Keluarga Sebagai Pola Pengembangan Metodologi, (Jakarta: Bulan Bintang,1976), 206.
30
Menurut beberapa hadits, salah satu kenikmatan dunia adalah hafal

dengan Al-Qur’an. Dengan menjaga Al-Qur’an, Allah senantiasa

memberikan kemudahan baginya. Bahkan Allah izinkan hambanya

untuk iri pada seseorang yang diberi kenikmatan hafal Al-Qur’an.

‫اَل َح َس َد ِإاَّل ِفي اْثَنَتْيِن َر ُج ٌل َع َّلَم ُه ُهَّللا اْلُقْر آَن َفُهَو َيْتُلوُه آَناَء الَّلْيِل َو آَناَء الَّنَهاِر َفَسِمَعُه َج اٌر‬

‫َلُه َفَقاَل َلْيَتِني ُأوِتيُت ِم ْثَل َم ا ُأوِتَي ُفاَل ٌن َفَعِم ْلُت ِم ْثَل َم ا َيْع َمُل َو َر ُج ٌل آَتاُه ُهَّللا َم ااًل َفُهَو ُيْهِلُك ُه‬

‫ِفي اْلَح ِّق َفَقاَل َر ُج ٌل َلْيَتِني ُأوِتيُت ِم ْثَل َم ا ُأوِتَي ُفاَل ٌن َفَعِم ْلُت ِم ْثَل َم ا َيْع َمُل‬
29

Artinya: ”Tidak boleh seseorang berkeinginan kecuali dalam dua


perkara, menginginkan seseorang yang diajarkan oleh
Allah kepadanya Al-Qur’an kemudian ia membacanya
sepanjang malam dan siang, sehingga tetangganya
mendengar bacaannya, kemudian ia berkata, ‘Andaikan
aku diberi sebagaimana si fulan diberi, sehingga aku
dapat berbuat sebagaimana si fulan berbuat’” (HR.
Bukhari)
2) Mendapat Pahala Kebaikan

Manfaat menghafal Al-Qur’an selanjutnya adalah bertambahnya

pahala kebaikan. Semua manusia berlomba untuk bisa memperoleh

pahala. Pahala inilah yang akan menghantarkan manusia ke surga.

Pahala diperoleh dari kebaikan yang dilakukan selama manusia

hidup. Salah satunya dengan membaca dan menghafal Al-Qur’an.

Allah pun akan lipat gandakan pahala ini bagi orang-orang yang

rajin.

29
HR. Bukhari.
31
‫َعْن َع ْبِد ِهَّللا ْبَن َم ْسُعوٍد َيُقوُل َقاَل َر ُس وُل ِهَّللا َقَر َأ َح ْر ًفا ِم ْن ِك َتاِب ِهَّللا َفَلُه ِبِه َح َس َنٌة َو اْلَح َس َنُة‬

‫ِبَعْش ِر َأْم َثاِلَها اَل َأُقوُل الم َح ْر ٌف َو َلِكْن َأِلٌف َح ْر ٌف َو اَل ٌم َح ْر ٌف َو ِم يٌم َح ْر ٌف‬30

Artinya: Dari Abdullah bin Mas’ud berkata; Rasulullah bersabda:


“Barang siapa membaca satu huruf dari Kitabullah (Al
Qur`an), maka baginya satu pahala kebaikan dan satu
pahala kebaikan akan dilipat gandakan menjadi sepuluh
kali, aku tidak mengatakan Alif Laam Miim itu satu huruf,
akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu
huruf”. (HR. Tirmidzi)
3) Mendapat Penghargaan dari Nabi SAW berupa Penghargaan Khusus

Tasyrif Nabawi

Rasulullah sangat menghargai para hafidz Qur’an. Diberikannya

berbagai keutamaan khusus. Seperti saat wafat akan didahulukan di

kubur, dan juga dijadikan pemimpin delegasi atau pasukan khusus.

Orang yang punya hafalan banyak pun diizinkan menjadi imam

sholat berjamaah.

Adalah nabi mengumpulkan di antara dua orang syuhada Uhud

kemudian beliau bersabda, “Manakah di antara keduanya yang lebih

banyak hafal Al-Qur’an, ketika ditunjuk kepada salah satunya, maka

beliau mendahulukan pemakamannya di liang lahat.” (HR. Bukhari)

‫َيُؤ ُّم اْلَقْو َم َأْقَر ُؤ ُهْم ِلِكَتاِب ِهَّللا‬

Artinya: Rasulullah SAW bersabda, ”Yang menjadi imam suatu


kaum adalah yang paling banyak hafalannya.” (HR.
Muslim)
Dari Abu Hurairah ia berkata, “Telah mengutus Rasulullah SAW

sebuah delegasi yang banyak jumlahnya, kemudian Rasul mengetes


30
HR. Tirmidzi.
32
hafalan mereka, kemudian satu per satu disuruh membaca apa yang

sudah dihafal, maka sampailah pada Shahabi yang paling muda

usianya, beliau bertanya, “Surat apa yang kau hafal? Ia menjawab,

”Aku hafal surat ini.. surat ini.. dan surat Al Baqarah.” Benarkah

kamu hafal surat Al Baqarah?” Tanya Nabi lagi. Shahabi menjawab,

“Benar.” Nabi bersabda, “Berangkatlah kamu dan kamulah

pemimpin delegasi.” (HR. At-Turmudzi dan An-Nasa’i)

4) Mencerminkan Seseorang yang Memiliki Ilmu

Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa orang berilmu punya

nilai lebih. Karena, ilmulah yang menjaga seseorang. Dibandingkan

harta, orang yang berilmu senantiasa punya jabatan lebih. Dalam Al-

Qur’an pun, orang yang hafal Al-Qur’an sangat istimewa.

‫َبْل ُهَو آَياٌت َبِّيَناٌت ِفي ُص ُدوِر اَّلِذ يَن ُأوُتوا اْلِع ْلَم ۚ َو َم ا َيْج َح ُد ِبآَياِتَنا ِإاَّل الَّظاِلُم وَن‬31

Artinya: “Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di


dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada
yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang
yang zalim.” (QS Al-Ankabuut 29:49)

5) Memberikan Derajat dan Wibawa yang Lebih Baik

Membaca Al-Qur’an akan membuat diri lebih berilmu. Dengan

demikian, orang-orang pun akan menghormati penghafal Al-Qur’an.

Seorang penghafal Al-Qur’an akan disenangi, disayangi, bahkan

dikagumi banyak orang. Karena, ingin mencontoh kemampuannya.

31
QS. Al-Ankabut 29:49.
33
‫ َو َم َثُل اَّلِذ ى َيْقَر ُأ اْلُقْر آَن‬، ‫َم َثُل اَّلِذ ى َيْقَر ُأ اْلُقْر آَن َو ْه َو َح اِفٌظ َلُه َم َع الَّس َفَر ِة اْلِكَر اِم‬

‫ َفَلُه َأْج َر اِن‬، ‫َو ْه َو َيَتَعاَهُد ُه َو ْه َو َع َلْيِه َش ِد يٌد‬


32

Artinya: “Orang orang yang hebat dalam membaca Al-Qur’an akan


selalu ditemani para malaikat pencatat yang paling
dimuliakan dan taat pada Allah SWT dan orang orang
yang terbata-bata membaca Al-Qur’an lalu bersusah
payah mempelajarinya maka dia akan mendapatkan dua
kali pahala,” (HR. Bukhari)

BAB III

GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN

A. Sejarah Berdiri

B. Letak Geografis

C. Visi, Misi dan Tujuan

D. Struktur Organisasi

E. Keadaan Kyai, Ustadzah dan Santri

F. Keadaan Sarana dan Prasarana

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN ANALIS DATA

32
HR. Bukhari.
34
1.

2.

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

B. Saran

35

Anda mungkin juga menyukai