DOSEN PENGAMPU :
KELAS : MANAJEMEN G
NIM : A1B02310196
Dalam dunia bisnis, wirausaha dan pendidikan memiliki koneksi dan titik temu
melalui edupreneur. Edupreneur merupakan pengajar yang mengaplikasikan konsep
wirausaha dalam proses pembelajaran. Maka dari itu, edupreneur pada mahasiswa
merupakan hal yang penting, dalam hal ini edupreneur dapat dilaksanakan melalui
pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan kewarganegaraan (PKn) sebagai wadah
edupreneur adalah untuk membentuk warga negara yang cerdas, demokratis,
berakhlak mulia, dan konsisten melestarikan dan mengembangkan cita-cita bangsa.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi literatur
dengan mengkaji dari buku dan jurnal melalui internet. Temuan hasil penelitian,
bahwa pendidikan kewarganegaraan berperan dalam edupraneur mahasiswa.
Pendidikan kewarganegaraan dalam wujud edupreneur adalah sebagai praktik
wirausaha. Upaya memaksimalkan pendidikan kewarganegaraan yaitu dengan
meningkatkan kualitas pembelajaran dan melaksanakan edupreneur guna
meningkatkan kesadaran berwirausaha mahasiswa. Mengembangkan jiwa
kewirausahaan pada mahasiswa melalui pendidikan kewarganegaraan. Membentuk
mahasiswa yang berani mengambil resiko untuk membuka usaha dan pantang
menyerah, madiri dan kreatif. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pemberian
program edupreneurship pada peserta didik di semua lembaga pendidikan baik
formal maupun non formal memberikan dampak positif. Hal tersebut seperti
meningkatkan minat, jiwa kemandirian dan inovatif. Dengan demikian, para generasi
muda dapat mengimplementasikan nilai-nilai kewirausahaan tersebut, seperti mampu
membuat peluang bahkan mampu membuka lapangan kerja.
PENDAHULUAN
Berangkat dari pandangan Sumarsono dkk., (2002) kompetensi Pendidikan
Kewarganegaraan adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh rasa tanggungjawab,
dapat memecahkan masalah hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan
menerapkan konsepsi falsafah bangsa, wawasan nusantara, dan ketahanan nasional.
Kompetensi ini akan bersanding dengan visi pendidikan kewarganegaraan pada
perguruan tinggi yang memiliki visi mata kuliah sebagai alat pengembangan
kepribadian yang dijadikan sebagai sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan
dan penyelenggaraan program studi, guna mengantarkan mahasiswa memantapkan
kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya (Jamaludin et al., 2017).
Pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) sangat
penting dalam meningkatkan kesadaran kewarganegaraan mahasiswa, karena jika
didasarkan pada tujuannya, PPKn atau civic education mempunyai fungsi dan peran
sebagai pendidikan kewarganegaraan (Winataputra & Budimansyah, 2012). Dalam
konteks ini peran PPKn bagi keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara sangat
strategis.
Menghadapi era society 5.0 Perguruan Tinggi (PT) harus mengambil peran
dalam menyiapkan lulusannya agar kompeten dan mampu memasuki lapangan kerja
yang dibutuhkan dunia saat ini. Bidang pendidikan harus direvolusi dan berorientasi
pada pembelajaran yang lebih modern ( Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec, Rektor
Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakakarta). Urgensi lain dari penelitian ini
ialah untuk membantu mahasiswa dalam memanfaatkan kreativitas dan inovasi yang
dimilikinya, dalam rangka mencegah terjadinya pengangguran di masa yang akan
datang. Tingkat pengangguran terbuka menurut pendidikan (sumber: BPS, 2023)
disajikan pada gambar 1 berikut ini:
RUMUSAN MASALAH
Rendahnya kompetensi dan daya saing lulusan perguruan tinggi menjadikan daya
serap lulusan di lapangan juga rendah. Akibatnya, banyak pengangguran terdidik di
berbagai daerah yang kesulitan mendapatkan pekerjaan. “Di sinilah pentingnya
penanaman mental entrepreneur bagi mahasiswa yang diinternalisasikan dalam
pendidikan yang sering disebut dengan edupreneurship”, demikian dijelaskan
Inayatul Ulya dalam diskusi dwi mingguan Dialektika; Forum Kajian Pendidikan
Dasar Islam yang digagas oleh Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah
(PGMI) Institut Pesantren Mathaliul Falah. Dialektika PGMI ketiga yang diikuti
mahasiswa dan dosen PGMI ini berlangsung pada selasa (26/4) bertempat di hall
lantai II kampus IPMAFA. Edupreneurship merupakan gabungan dari kata education
(pendidikan) dan entrepreneurship (kewirausahaan). Edupreneurship ingin
menempatkan konsep-konsep dan sikap kewirausahaan dalam dunia pendidikan.
Pendidikan yang sering dipahami sebagai proses pendewasaan diri dipadukan dengan
entrepreneur yang dalam bahasa Prancis berarti petualang, pengambil resiko, dan
pengusaha. “Entrepreneur lebih dari sekedar pengusaha karena harus ada nilai lebih
dan sesuatu yang beda. Entrepreneur harus mampu merubah rongsokan menjadi emas
melalui kreativitas serta inovasi dalam memanfaatkan peluang”, ucap wanita yang
juga menjadi Kaprodi PGMI IPMAFA. Hal ini berangkat dari realitas kecenderungan
lulusan Perguruan Tinggi untuk mencari pekerjaan, bukan menciptakan lapangan
pekerjaan. Di sinilah benang merah antara pendidikan dengan entrepreneurship untuk
merubah mindset dan paradigma befikir mahasiswa sehingga akan muncul
karakteristik entrepreneur seperti kreativitas, mandiri, dan pantang menyerah.
Menurut kandidat doktor di UIN Walisongo ini, karakteristik entrepreneur yang
sangat dibutuhkan oleh mahasiswa antara lain percaya diri, yakni keyakinan pada diri
sendiri, kemandirian, semangat, dan optimis dalam hidup. Selain pede, mahasiswa
harus memiliki karakter yang berorientasi pada tugas dan hasil, maksudnya ialah
sikap amanah dalam menjalankan pekerjaan sehingga hasilnya akan memuaskan.
Proses dan tugas yang dijalankan dengan baik dan penuh amanah, akan memberikan
hasil dan penilaian yang baik pula. Karakter entrepreneur lainnya yaitu berani
mengambil resiko dan menyukai tantangan, serta memiliki jiwa kepemimpinan.
Mental dan sikap leadership sangat penting agar mampu berkomunikasi dengan baik,
mampu membuat rencana, manajemen, dan evaluasi dengan baik, serta suka terhadap
saran dan kritik yang membangun. Karakter ini akan menjadikan mahasiswa memiliki
sikap berorientasi pada masa depan yang berarti visioner serta memiliki persepsi dan
cara pandang yang baik untuk masa depan. Karakter-karakter tersebut harus dibalut
dengan sikap jujur dan tekun agar dapat mencapai kesuksesan dalam menjalani segala
sesuatu. “Hasil riset yang dilakukan oleh Harvard University menyebutkan bahwa
80% kesuksesan seseorang ditentukan oleh EQ (Emotional Quotient), sementara IQ
(intelligence quotient) hanya menunjang 20% saja. Kejujuran menjadi sikap yang
sangat dibutuhkan oleh setiap manusia dalam mencapai kesuksesan, ketekunan akan
membawa perubahan besar dalam diri manusia”, imbuh mantan aktivis mahasiswa
UIN Syarif Hidayatullah ini. Untuk menanamkan dan menumbuhkan mental
entrepreneur dalam diri mahasiswa, terdapat beberapa tahapan pencapaian. Pertama,
transformasi pola pikir kepada sesuatu yang positif, pada sikap dan motif untuk
berubah ke arah yang lebih baik. Ini menjadi modal utama menuju perubahan dalam
hidup yang lebih baik. Kedua, transformasi cara berpikir, dari sekedar mengandalkan
logika menjadi pikiran yang kreatif dan inovatif, bahkan terkadang harus berpikir
dengan cara yang tidak lazim. Ketiga, Action; ketika pola pikir sudah berubah dan cara
berpikir telah dibenahi, tahap selanjutnya ialah beraksi yakni menunjukkan
keterampilan untuk mencari peluang dalam menuangkan kreativitas dan inovasi.
Aplikasi dari edupreneurship arahnya ialah pembentukan mental dan jiwa
entrepreneur mahasiswa dalam upaya mencapai kesuksesan dalam bidang
pendidikan. Ia menambahkan, “Edupreneurship bukan bertujuan menjadikan
mahasiswa sebagai pengusaha, namun lebih pada pembentukan karakter edupreneur
dalam bidang pendidikan”. Edupreneurship ini akan menjadi salah satu distingsi
lulusan PGMI IPMAFA dibandingkan dengan lulusan PGMI dari perguruan tinggi
lain (PGMI IPMAFA, 2016).
Hasil lain yang ditemukan oleh peneliti, sebagai upaya untuk melaksanakan fungsi
pendidikan kewarganegaraan berbasis edupreneur terdapat beberapa metode yang
dikembangkan oleh program studi PPKn, yaitu: 1) mengintegrasikan mata kuliah PKn
dengan nilai edupreneur; 2) mengintegrasikan jiwa edupreneur pada praktik setiap
mata kuliah; 3) memilih tema yang menarik yang paling relavan dengan tujuan setiap
materi pembahasan; 4) melalukan pembaharuan dalam metode pengajaran, yaitu
dengan menjadikan pembelajaran aktif di lapangan (field study); dan 5)
mengembangkan nilai edupreneur melalui kegiatan di luar jam mata kuliah yaitu
dengan Laboratorium Demokrasi.
Menurut analisis peneliti bahwa langkah kegiatan ini merupakan upaya program
studi PPKn STKIP Pasundan Cimahi dalam membangun partisipasi dan keterlibatan
mahasiswa tentang kesadaran berwirausaha mahasiswa. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Wibowo yang mengatakan bahwa menumbuhkan kesadaran berwirausaha
pada dasarnya dapat dilaksanakan melalui sentuhan pembentukan pengetahuan pada
kegiatan yang membentuk pemahaman mahasiswa tentang enterpreneur. Sehingga,
pernyataan di atas mengindahkan bahwa pemahaman dan pengetahuan mahasiswa
yang terbentuk melalui program kegiatan formal akan sangat membekas, dengan
tujuan pemahaman tersebut dapat diterapkan oleh mahasiswa dalam lingkungan
kehidupan sehari-hari (Wibowo et al., 2019). Pendidikan kewarganegaraan dengan
nilai enterpreneur merupakan dua bagian yang berjalan beriiringan dalam
menciptakan warga negara yang tidak hanya terbatas pada pengetahuan tentang hak
dan kewajibannya sebagai warga negara, tetapi juga mampu melaksanakan hak dan
kewajiban tersebut dalam kehidupan nyata dengan menjadikan dirinya sebagai warga
negara yang maju, mandiri serta mampu bersaing dengan kehidupan di sekitarnya
(Astameon, 2018).
Callahan, C., Saye, J., & Brush, T. (2014). Social studies teachers’ interactions with
second generation web-based educative curriculum. Journal of Social Studies Research,
3(2).
Kahne, J., Ullman, J., & Middaug, E. (2011). Digital Opportunities for Civic Education.
American Enterprise Institute for Public Policy Research, 8(1–4).
Masitha, A., Zahiroh, N., & Fitriya, R. L. (2017). Edupreneur, berantas pengangguran
terdidik. In Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo.
Nurmalisa, Y., Mentari, A., & Rohman. (2020). Peranan Pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan dalam Membangun Civic Conscience. Bhineka Tunggal Ika: Kajian
Teori dan Praktik PKn, 7, 34–46.
Prodi PGMI IPMAFA. (2016). Pentingya Edupreneurship bagi Mahasiswa. Prodi PGMI
IPMAFA. http://pgmi.ipmafa.ac.id/2016/04/pentingnya-edupreneurship-bagi-
mahasiswa.html
Rahmafitria, F., Suryadi, K., & Oktadiana, H. (2021). Applying knowledge, social
concern and perceived risk in planned behavior theory for tourism in the Covid-19
pandemic. Tourism Review, 76(4), 809–828. https://doi.org/DOI:10.1108/TR-11-2020-
0542
Sarifudin, S., Umran, L. O. M., & Sidu, D. (2020). Pola dan Fungsi Komunikasi
Lembaga Ekonomi Masyarakat Sejahtera dalam Pengembangan Agribisnis di
Kabupaten Kolaka Timur. Publica: Jurnal Administrasi Pembangunan dan Kebijakan
Publik, 11(2), 359–366.
Tri, H., & Suyanto. (2016). Hubungan EQ, Pengetahuan kewirausahaan, dan hasrat
marginal menabung, dengan motivasi berwirausaha mahasiswa Pendidikan Ekonomi.
Harmoni Sosial: Jurnal Pendidikan IPS, 3(1), 95–104.
Wahab, A. A., & Sapriya. (2011). Teori dan landasan Pendidikan Kewarganegaraan.
Alfabeta.
Wibowo, Fakhruddin, Rifai, A., & Prihatin, T. (2019). Model Peningkatan Sumber Daya
Pendidik Pada Madrasah Ibtidaiyah Inklusi Menghadapi Era Society 5.0 dan Revolusi
Industri 4. Seminar Nasional Pascasarjana UNNES, 2, 910–916.