Anda di halaman 1dari 4

Nama : Siti Fathinah Aurelika

NIM : 04011382328200
Kelompok : A7

Aklimatisasi Tubuh terhadap Perubahan Ketinggian

Aklimatisasi merujuk pada proses penyesuaian tubuh terhadap kondisi lingkungan yang
berbeda, terutama yang melibatkan perubahan suhu, tekanan udara, atau ketinggian.
Proses ini melibatkan adaptasi fisik dan fisiologis yang bertujuan untuk mempertahankan
keseimbangan internal tubuh dalam menghadapi kondisi lingkungan yang ekstrem. Dalam
konteks ketinggian, misalnya, aklimatisasi terjadi saat tubuh beradaptasi dengan perubahan
tekanan udara dan kadar oksigen yang rendah di ketinggian tinggi. Aklimatisasi dapat
memakan waktu beberapa hari hingga beberapa minggu, tergantung pada faktor individu
dan kondisi lingkungan yang terlibat.

Mekanisme Aklimatisasi Tubuh

1. Perubahan Respirasi: Salah satu mekanisme utama aklimatisasi tubuh terhadap


ketinggian adalah penyesuaian sistem pernapasan. Saat berada pada ketinggian yang
tinggi, tekanan oksigen di udara lebih rendah, yang menyebabkan penurunan kadar oksigen
dalam darah. Untuk mengatasi hal ini, tubuh meningkatkan laju pernapasan dan volume tidal
untuk meningkatkan pengambilan oksigen.

2. Produksi Eritrosit: Tubuh juga merespons perubahan ketinggian dengan meningkatkan


produksi sel darah merah atau eritrosit. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas
pengangkutan oksigen dalam darah, sehingga lebih banyak oksigen dapat disalurkan ke
jaringan tubuh.

3. Penyesuaian Metabolisme: Metabolisme tubuh juga mengalami penyesuaian saat berada


pada ketinggian yang tinggi. Secara umum, terjadi peningkatan produksi enzim dan proses
metabolik yang berperan dalam mengoptimalkan penggunaan oksigen oleh jaringan tubuh.

4. Penurunan Tekanan Darah: Tubuh juga mengalami penyesuaian terhadap perubahan


ketinggian dengan menurunkan tekanan darah. Ini bertujuan untuk mengurangi beban kerja
jantung dan memastikan distribusi oksigen yang optimal ke seluruh tubuh.

Beberapa mekanisme utama yang terlibat:

Pengaturan Suhu Tubuh

● Suhu Inti Tubuh: Suhu inti tubuh, yang didefinisikan sebagai suhu dari hipotalamus,
pusat pengaturan suhu tubuh, berperan penting dalam menjaga suhu tubuh stabil.
Metode pengukuran suhu inti tubuh meliputi pengukuran oral dan rectal, dengan
metode rectal sering dianggap lebih akurat.
● Suhu Kulit: Suhu kulit dipengaruhi oleh lingkungan, laju metabolisme, pakaian, dan
tingkat hidrasi. Suhu kulit merujuk pada kemampuan kulit untuk melepaskan panas
ke lingkungan.
● Pengaturan Fisik dan Kimiawi: Pengaturan suhu tubuh dapat dibedakan menjadi
proses fisik dan proses kimiawi. Proses fisik melibatkan pengaturan tahanan pada
aliran panas, sedangkan proses kimiawi melibatkan pengaturan pada laju
metabolisme tubuh. Suhu tubuh memiliki korelasi positif langsung dengan jumlah
panas yang disimpan.

Adaptasi Suhu Tubuh

● Peningkatan Ventilasi Paru: Saat berolahraga atau berada di lingkungan dengan


suhu yang berbeda, peningkatan ventilasi paru akan menyebabkan evaporasi, yang
kemudian menyebabkan penurunan suhu pada thermometer, sehingga
menghasilkan perhitungan yang tidak akurat.
● Pengukuran Suhu Inti dan Suhu Kulit: Untuk mengetahui suhu rata-rata tubuh
(MBT/mean body temperature), dilakukan pengukuran suhu inti dan suhu kulit
dengan cara mengukur suhu rectal dan mengukur suhu kulit pada beberapa tempat
di tubuh, kemudian dilakukan perhitungan dengan rumus (Roberg, Robert: 2002).
MBT = (0,33 x suhu kulit) + (0,67 x suhu rectal).

Keseimbangan Panas

● Keseimbangan Antara Pembentukkan dan Pengeluaran Panas: Dalam keadaan


normal, suhu inti tubuh relatif stabil, yang dapat dipertahankan karena panas yang
terbentuk dari hasil metabolisme tubuh secara terus menerus dikeluarkan pada
lingkungan sekitar. Hal ini menyebabkan keseimbangan antara pembentukkan dan
pengeluaran panas, yang menjaga suhu tubuh relatif konstan.

Adaptasi pada Lingkungan Tinggi

● Pada Pendakian Gunung: Beberapa hal utama yang harus disesuaikan antara lain
adalah suhu dan kadar oksigen di udara, karena pada dataran tinggi suhu
lingkungan bisa jauh lebih rendah, dan demikian pula dengan kadar oksigennya yang
menyebabkan tubuh harus memproduksi lebih banyak sel darah merah atau eritrosit.

Aklimatisasi sistem pernafasan

Aklimatisasi sistem pernafasan terhadap perubahan ketinggian melibatkan beberapa prinsip


utama yang memungkinkan tubuh untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru,
terutama di daerah tinggi seperti pegunungan. Berikut adalah mekanisme aklimatisasi
sistem pernafasan:

1. Peningkatan Ventilasi Paru: Salah satu prinsip utama aklimatisasi adalah


peningkatan ventilasi paru yang cukup besar. Ini berarti bahwa tubuh meningkatkan
jumlah aliran udara yang masuk dan keluar dari paru-paru, yang memungkinkan
lebih banyak oksigen untuk masuk ke dalam sistem pernafasan dan lebih banyak
karbondioksida untuk dikeluarkan.
2. Penambahan Sel Darah Merah: Sel darah merah bertambah banyak dalam sistem
pernafasan. Sel darah merah memiliki kemampuan untuk membawa lebih banyak
oksigen ke sel-sel tubuh, yang penting untuk menjaga keseimbangan oksigen dalam
tubuh di lingkungan dengan ketinggian yang tinggi.
3. Peningkatan Kapasitas Difusi Paru: Kapasitas difusi paru meningkat, yang berarti
bahwa paru-paru dapat menyerap lebih banyak oksigen dari udara dan melepaskan
lebih banyak karbondioksida ke dalam udara. Ini memungkinkan tubuh untuk
menjaga keseimbangan oksigen-karbondioksida yang lebih baik di lingkungan
dengan ketinggian yang tinggi.
4. Vaskularisasi Jaringan Meningkat: Vaskularisasi jaringan paru-paru meningkat, yang
berarti bahwa jaringan paru-paru menjadi lebih rintang, memungkinkan lebih banyak
aliran darah ke dan dari paru-paru. Ini memperbaiki oksigenasi dan eliminasi
karbondioksida.
5. Kemampuan Sel dalam Menggunakan Oksigen: Kemampuan sel dalam
menggunakan oksigen meningkat, bahkan ketika kadar oksigen di udara (P02)
rendah. Ini memungkinkan sel-sel tubuh untuk lebih efisien dalam menggunakan
oksigen yang tersedia, yang penting untuk menjaga kesehatan dan kinerja tubuh di
lingkungan dengan ketinggian yang tinggi.

Aklimatisasi ini dapat terjadi secara alami, di mana individu yang tinggal di tempat tinggi
sejak lahir atau dari usia dini menunjukkan peningkatan kesehatan dan kinerja fisik di
lingkungan tersebut. Namun, aklimatisasi juga dapat terjadi secara adaptif, di mana individu
yang berada di tempat tinggi selama periode waktu yang cukup panjang dapat mencapai
tingkat aklimatisasi yang serupa dengan orang yang lahir dan tinggal di tempat tinggi.

Aklimatisasi sistem pernafasan sangat penting untuk atlet dan pelatih yang berlatih atau
bertanding di tempat tinggi, karena perubahan tekanan udara dan ketinggian dapat
mempengaruhi kesehatan dan kinerja mereka. Atlet dan pelatih harus memperhatikan
tekanan udara di tempat tersebut untuk menyesuaikan aklimatisasi mereka, termasuk
memahami efek akut dari hipoksia, seperti mengantuk, malas, kelelahan mental dan
otot-otot, sakit kepala, mual, dan euforia, serta kedutan atau kejang

Dampak Aklimatisasi terhadap Kesehatan dan Kinerja Tubuh

1. Meningkatkan Daya Tahan Tubuh: Aklimatisasi tubuh memungkinkan seseorang untuk


beradaptasi dengan lingkungan ketinggian yang rendah kadar oksigennya. Hal ini dapat
meningkatkan daya tahan tubuh terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim.

2. Mengurangi Risiko Penyakit: Penyesuaian tubuh terhadap ketinggian juga dapat


mengurangi risiko terjadinya penyakit yang berkaitan dengan hipoksia, seperti edema paru,
edema otak, dan penyakit lainnya yang disebabkan oleh kekurangan oksigen.
3. Meningkatkan Kinerja Fisik: Bagi atlet atau petualang yang sering berada di ketinggian,
aklimatisasi tubuh memungkinkan mereka untuk mempertahankan atau bahkan
meningkatkan kinerja fisik mereka dalam kondisi lingkungan yang berbeda.

Analisis Masalah

d. Apa yang terjadi pada fisiologi tubuh jika kita mendaki dengan cepat tanpa berhenti?

Beberapa efek yang mungkin terjadi:

1. Peningkatan Pengudaraan: Saat berada di altitud tinggi, tubuh akan mengalami


peningkatan pengudaraan. Ini berarti kita akan mulai bernafas dengan lebih
banyak dan kerap karena tubuh bertindak balas terhadap kekurangan oksigen dalam
setiap nafas, mencoba meningkatkan pengambilan oksigen.
2. Kekurangan Oksigen: Meskipun ada peningkatan pengudaraan, masih berlaku
kekurangan oksigen sepanjang sistem peredaran darah. Ini berarti oksigen kurang
mencapai otot kita, yang dapat mengehadkan prestasi aktivitas.
3. Kehilangan Air: Dalam beberapa jam pertama pendedahan ketinggian, kehilangan air
juga meningkat, yang dapat mengakibatkan dehidrasi. Dehidrasi dapat
mempengaruhi kesehatan dan kinerja fisik.
4. Peningkatan Metabolisme: Ketinggian juga dapat meningkatkan metabolisme sambil
menekan selera makan. Ini berarti kita harus makan lebih banyak daripada yang
biasanya untuk mengekalkan keseimbangan tenaga neutral.
5. Hiperventilasi: Mendaki dengan cepat tanpa berhenti dapat menyebabkan
hiperventilasi, yaitu napas yang sangat cepat. Hiperventilasi dapat memicu
gangguan keseimbangan asam basa dalam tubuh, yang dapat menyebabkan gejala
seperti pusing, mulut kering, nyeri dada, jantung berdebar, kejang pada otot tangan
dan kaki, serta kesemutan di sekitar mulut.
6. Penyakit Ketinggian: Jika mendaki di ketinggian yang sangat tinggi, kita mungkin
mengalami penyakit ketinggian atau altitude sickness. Kondisi ini bisa menyebabkan
penderita bernapas lebih cepat karena harus menyesuaikan diri dengan lebih sedikit
oksigen.

Daftar Pustaka

1. West, J. B. (2002). Human responses to extreme altitudes. Integrative and


Comparative Biology, 42(1), 9-14.
2. Hackett, P. H., & Roach, R. C. (2001). High-altitude illness. New England Journal of
Medicine, 345(2), 107-114.
3. Bärtsch, P., & Swenson, E. R. (2013). Acute high-altitude illnesses. New England
Journal of Medicine, 369(17), 1666-1667.

Anda mungkin juga menyukai