Anda di halaman 1dari 140

Kutipan Pasal 72:

Sanksi Pelanggaran Undang-Undang Hak Cipta


(Undang-Undang No. 19 Tahun 2022)

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan


sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 bulan dan / atau denda paling sedikit (1 juta
rupiah), atau pidana paling lama 7 tahun dan / atau denda paling banyak 5
milyar rupiah.
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran
hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pidana
dengan pidana penjara paling lama lima (5 tahun) dan atau denda paling
banyak 500.000.000 rupiah.
3.
Penulis
La Ode Swardin, S.Kep., Ns., M.Kes
Teti Susliyanti Hasiu, SKM., M.Kes
Editor
Wa Ode Nur Syuhada, S.ST., M.Tr.Keb.

Epidemiologi Bencana i
EPIDEMIOLOGI BENCANA

Copyright © Penerbit Rena Cipta Mandiri, 2023


Penulis: La Ode Swardin, Teti Susliyanti Hasiu;
Editor: Wa Ode Nur Syuhada;
Cover Design: Eka Deviany Widyawaty;
Layout: Upik Dariasih;

Diterbitkan oleh:

Penerbit Rena Cipta Mandiri


Anggota IKAPI 322/JTI/2021
Kedungkandang, Malang
OMP web : penerbit.renaciptamandiri.org
E-mail : renacipta49@gmail.com

Referensi | Non Fiksi | R/D


vii + 130 hlm.; 15.5 x 23 cm.
ISBN: 978-623-8324-06-4
Cetakan 1, 2023

Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh atau sebagian dari buku ini dalam
bentuk atau cara apa pun tanpa izin dari penerbit.
© Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang No. 28 Tahun 2014

Materi yang ada pada buku ini sepenuhnya tanggungjawab penulis.

All Right Reserved

ii Epidemiologi Bencana
Kata Pengantar

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh


Syukur Alhamdulillah, segala puja dan puji kita panjatkan atas
kehadiran Allah SWT, karena hanya berkat dan Karunia-Nya yang
telah memberi kemudahan dalam menyusun buku ini tepat waktu.
Tidak lupa shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang syafaatnya kita nantikan.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas
limpahan Rahmat-Nya sehingga dapat menyusun dan
menyelesaikan Buku Epidemiologi Bencana tepat pada waktunya.
Penulis berharap buku ini dapat menjadi referensi bagi khalayak
umum yang akan membaca buku ini.
Penulis menyadari buku ini masih perlu banyak
penyempurnaan karena adanya kesalahan dan kekurangan baik
huruf maupun komposisi lainnya. Oleh sebab itu, penulis terbuka
terhadap kritik dan saran dari pembaca agar buku ini dapat lebih
baik. Apabila terdapat banyak kesalahan pada buku ini penulis
memohon maaf.
Demikian yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, semoga
buku ini dapat bermanfaat bagi banyak orang.
Wassalamulaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

BauBau, Agustus 2023

Penulis

Epidemiologi Bencana iii


Daftar Isi

Sampul Dalam .......................................................................................... ii


Kata Pengantar ......................................................................................... iii
Daftar Isi ..................................................................................................... iv

Bab 1. Pendahuluan ................................................................................ 1

Bab 2. Pengantar Manajemen Bencana ............................................. 3


A. Manajemen Bencana ........................................................ 3
B. Macam-Macam Bencana ................................................. 6
C. Siklus Bencana.................................................................... 8
D. Kegunaan Menejemen Bencana.................................... 12
E. Epidemiologi Bencana ..................................................... 13

Bab 3. Sistem Informasi Penanggulangan Krisis Akibat


Bencana ....................................................................................... 15
A. Krisis Akibat Bencana ....................................................... 15
B. Mekanisme Kerja ............................................................... 16
C. Ketenagaan, Sarana Prasarana, dan Anggaran .......... 21

Bab 4. Peran Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana ...... 25


A. Pendahuluan ....................................................................... 25
B. Tahap Pemerintah Dalam Penanggulangan
Bencana ................................................................................ 26
C. Peran Pemerintah Daerah Dalam Penanggulangan
Bencana ................................................................................ 39

iv Epidemiologi Bencana
Bab 5. Surveilans Bencana .................................................................... 43
A. Surveilans Epidemiologi Bencana ................................ 43
B. Alur Surveilans Bencana .................................................. 44

Bab 6. Proses Manajemen Bencana .................................................... 47


A. Tahapan Manajemen Bencana ............................................... 47

Bab 7. Kesehatan Lingkungan dan Bencana .................................... 71


A. Definisi Kesehatan Lingkungan..................................... 71
B. Pengelolaan Kesehatan Lingkungan dalam
Bencana ................................................................................ 73

Bab 8. Masalah Air Bersih dan Air Minum Saat Bencana ............. 85
A. Definisi Air Minum dan Air Bersih ................................ 85
B. Standar Minimum Kebutuhan Air Bersih dan Air
Minum .................................................................................. 86
C. Sumber Air Bersih dan Pengolahannya....................... 87
D. Masalah Air Bersih dan Air Minum Saat Bencana .... 91

Bab 9. Mitigasi Bencana ......................................................................... 95


A. Konsep Pengurangan Risiko Bencana ......................... 95
B. Mitigasi Bencana Tanah Longsor .................................. 98
C. Mitigasi Bencana Kekeringan......................................... 100
D. Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan ............................. 101

Bab 10. Penanganan Sampah Pasca Bencana .................................. 105


A. Definisi Sampah ................................................................. 105
B. Pengolahan Sampah Pada Saat Bencana..................... 106
C. Penanganan Sampah Pasca Bencana Kekeringan .... 107
D. Penanganan Sampah Pasca Bencana Banjir ............... 109
E. Penanganan Sampah Pasca Bencana Tsunami.......... 111

Epidemiologi Bencana v
Bab 11. Pengendalian Vektor Saat Bencana...................................... 113
A. Pengendalian Vektor ........................................................ 113
B. Tujuan Pengendalian Vektor.......................................... 114
C. Pengendalian Vektor Nyamuk Pada Saat Bencana... 115
D. Pengendalian Vektor Lalat Saat Bencana ................... 117
E. Pengendalian Vektor Kecoak Saat Bencana............... 119
F. Pengendalian Vektor Pada Saat Bencana.................... 120

Bab 12. Tata Kelola Bencana Alam ...................................................... 123

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 125

vi Epidemiologi Bencana
1 Pendahuluan

Berbagai bencana yang telah terjadi di Indonesia memberikan


banyak pembelajaran bagi masyarakat Indonesia dan dunia bahwa
banyaknya korban jiwa dan harta benda dalam musibah tersebut
terjadi karena kurangnya pengetahuan dan ketidaksiapan
masyarakat dalam mengantisipasi bencana. Di samping itu,
kejadian-kejadian bencana tersebut pun semakin menyadarkan
banyak pihak tentang pentingnya perencanaan dan pengaturan
dalam penanggulangan bencana.

Gambar 1.1 Bencana Alam : Gunung Meletus

Pengalaman terjadinya bencana gempa bumi dan tsunami di


Aceh dan Nias (Sumatera Utara) tahun 2004 telah membuka
wawasan pengetahuan di Indonesia dan bahkan di dunia.

Epidemiologi Bencana 1
Kejadian tersebut mengubah paradigma manajemen
penanggulangan bencana dari yang bersifat tanggap darurat
menjadi paradigma pencegahan dan pengurangan risiko bencana
(PRB). Penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia
dilakukan pada berbagai tahapan kegiatan, yang berpedoman
pada kebijakan pemerintah yaitu Undang-Undang No.24 tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan
Pemerintah terkait lainnya yang telah memasukkan Pengurangan
Risiko Bencana.
Pentingnya pemahaman mengenai manajemen
penanggulangan bencana akan menjadi landasan atau dasar
dalam mengembangkan pengurangan risiko bencana dalam
penanggulangan bencana.

2 Epidemiologi Bencana
Pengantar Manajemen
2 Bencana

Indikator Keberhasilan

setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta


diharapkan mampu menjelaskan manajemen
bencana

A. Manajemen Bencana
Bencana adalah satu kejadian atau serangkaian kejadian
yang menimbulkan jumlah korban dan atau kerusakan,
kerugian harta benda, infrastruktur, pelayanan pelayanan
penting atau sarana kehidupan pada satu skala yang berada di
luar kapasitas norma (Coburn, A, W., Spence, R. J. S., & Pomonis,
1994). Undang-Undang No. 24 tahun 2007 mendefinisikan
bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Bencana baik yang alami maupun buatan (akibat aktifitas
manusia) telah membuat banyak kerugian dalam berbagai
aspek, terutama pada aspek kesehatan yang mengakibatkan
meningkatnya mortalitas dan mordibitas secara ekstrem oleh
karena itu peran kesehatan masyarakat dapat meninjau dan
melakukan pendekatan serta mempelajari tentang ancaman
apa saja yang mungkin terjadi akibat dari bencana pada bidang
kesehatan secara lebih signifikan.
Bencana menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007
Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan bahwa
bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang

Epidemiologi Bencana 3
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Penetapan status bencana mempertimbangkan terjadi
peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak,
peristiwa atau gangguan tersebut mengancam kehidupan,
penghidupan, dan fungsi dari masyarakat, ancaman tersebut
mengakibatkan korban dan melampui kemampuan masyarakat
untuk mengatasi dengan sumber daya (Tri Bayu Purnama, n.d.).

Gambar 2.1 Bencana Alam

Manajemen penanggulangan bencana dapat didefinisikan


sebagai segala upaya atau kegiatan yang dilaksanakan dalam
rangka upaya pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap
darurat dan pemulihan berkaitan dengan bencana yang
dilakukan pada tahapan sebelum, saat dan setelah bencana.
Manajemen penanggulangan bencana merupakan suatu
proses yang dinamis, yang dikembangkan dari fungsi
manajemen klasik yang meliputi perencanaan,

4 Epidemiologi Bencana
pengorganisasian, pembagian tugas, pengendalian dan
pengawasan dalam penanggulangan bencana. Proses tersebut
juga melibatkan berbagai macam organisasi yang harus
bekerjasama untuk melakukan pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan akibat bencana
(Uji Coba Sistem Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air
dan Konstruksi, n.d.).
Manajemen bencana dan kesehatan masyarakat sangat
berkaitan satu sama lain. Kesehatan masyarakat memperluas
sudut pandang pencegahan dan pengelolaan manajemen
bencana pada segi dampak kematian akibat bencana, masalah
kesehatan pasca bencana sampai pengurangan bahaya dan
peningkatan kapasitas untuk mengurangi risiko dampak
bencana. Semakin berkembangnya waktu dan teknologi,
managemen bencana berorientasi pada manajemen kasus dan
kegawatdaruratan terhadap bencana termasuk bencana yang
bersifat bencana alam maupun bencana wabah penyakit.
Pemahaman komprehensif dalam menggambarkan
manajemen bencana dan kesehatan masyarakat diperkenalkan
oleh Rose et all tahun 2017 yang menjelaskan bahwa proses
manajemen kegawatdaruratan terdiri dari proses
kesiapsiagaan, respon kegawatdaruratan, pemulihan dan
mitigasi bencana memiliki komponen aktivitas kesehatan
masyarakat yang dapat dilaksanakan. Mitigasi bencana dapat
dilakukan dengan fokus pada pengurangan risiko yang
mungkin terjadi dan mengantisipasi kerusakan yang ada.
Kegiatan mitigasi bencana ini dilakukan pada sebelum, saat dan
setelah bencana terjadi. Sebagai contoh, mitigasi bencana
dapat dilakukan dengan menargetkan manusia dan hewan
untuk vaksinasi, keamanan pangan dan sanitasi.
Pada kesiapsiagaan bencana fokus pada kegiatan sebelum
dan setelah bencana dengan mempersiapkan sistem, sumber
daya manusia, infrastruktur dan kapasitas yang bertujuan
untuk mengurangi risiko dan bahaya dari bencana. Kegiatan
pelatihan, sistem kewaspadaan dini dan infrastruktur yang
tahan bencana menjadi opsi yang sesuai dengan kesiapsiagaan
bencana. Meskipun demikian, alternatif lain dapat digunakan

Epidemiologi Bencana 5
untuk meningkatkan kapasitas yang ada pada sistem
kesiapsiagaan bencana.
Respon kegawat-daruratan bencana bertujuan untuk
mengidentifikasi bahaya yang mengancam sistem atau
kapasitas dari hari ke hari. Setelah terjadinya bencana, sistem
dan kapasitas akan lumpuh dan tidak dapat digunakan dalam
beberapa waktu sehingga koordinasi dengan berbagai pihak
menjadi penting, menganalisis kajian epidemiologi saat
bencana, menyusun panduan dan mengidentifikasi populasi
berisiko dan mendistribusikan berbagai bantuan kesehatan
untuk menunjang pelayanan medis yang lebih baik.
Komunikasi risiko menjadi penting dalam proses ini untuk
mengurangi kepanikan yang berlebih pada masyarakat. (Tri
Bayu Purnama, n.d.).

B. Macam-Macam Bencana

Menurut UU No. 24 tahun 2007 bencana dapat


digolongkan menjadi tiga macam, yaitu bencana alam, bencana
non-alam dan bencana sosial. Di bawah ini akan diuraikan
macam-macam bencana sebagai berikut:
1. Bencana Alam

Gambar 2.2 Bencana Gunung Meletus

6 Epidemiologi Bencana
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh
alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor. Di bawah ini akan diperlihatkan gambar tentang
bencana alam yang telah terjadi di Indonesia.

2. Bencana Non-Alam
Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain berupa
gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah
penyakit. Bencana non-alam termasuk terorisme biologi
dan biokimia, tumpahan bahan kimia, radiasi nuklir,
kebakaran, ledakan, kecelakaan transportasi, konflik
bersenjata, dan tindakan perang. Sebagai contoh gambar 3
adalah gambaran bencana karena kegagalan teknologi di
Jepang, yaitu ledakan reaktor nuklir.

Gambar 1.4 Ledakan Reaktor Nuklir di Jepang

3. Bencana Sosial
Bencana karena peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial
antar kelompok atau antarkomunitas. Misalnya konflik

Epidemiologi Bencana 7
sosial antar suku di kongo seperti terlihat pada gambar
berikut.

Gambar 1.5 Bentrokan Antar Suku di Kongo

C. Siklus Bencana
Siklus bencana dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu fase pra
bencana, fase bencana dan fase pasca bencana. Fase pra
bencana adalah masa sebelum terjadi bencana. Fase bencana
adalah waktu/saat bencana terjadi. Fase pasca bencana adalah
tahapan setelah terjadi bencana. Semua fase ini saling
mempengaruhi dan berjalan terus sepanjang masa. Siklus
bencana ini menjadi acuan untuk melakukan penanggulangan
bencana yang bisa dibagi menjadi beberapa tahap seperti
gambar dibawah ini.

Gambar 1.6 Siklus Bencana

8 Epidemiologi Bencana
1. Pra Bencana
a. Pencegahan
Pencegahan ialah langkah-langkah yang
dilakukan untuk menghilangkan sama sekali atau
mengurangi secara drastis akibat dari ancaman
melalui pengendalian dan pengubahsuaian fisik dan
lingkungan. Tindakan-tindakan ini bertujuan untuk
menekan penyebab ancaman dengan cara
mengurangi tekanan, mengatur dan menyebarkan
energi atau material ke wilayah yang lebih luas atau
melalui waktu yang lebih panjang (Smith, 1992). Cuny
(1983) menyatakan bahwa pencegahan bencana pada
masa lalu cenderung didorong oleh kepercayaan diri
yang berlebihan pada ilmu dan teknologi pada tahun
enam puluhan; dan oleh karenanya cenderung
menuntut ketersediaan modal dan teknologi.
Pendekatan ini semakin berkurang peminatnya dan
kalaupun masih dilakukan, maka kegiatan
pencegahan ini diserap pada kegiatan pembangunan
pada arus utama.
b. Mitigasi
Mitigasi ialah tindakan-tindakan yang
memfokuskan perhatian pada pengurangan dampak
dari ancaman, sehingga dengan demikian mengurangi
kemungkinan dampak negatif pencegahan ialah
langkah-langkah yang dilakukan untuk
menghilangkan sama sekali atau mengurangi secara
drastis akibat dari ancaman melalui pengendalian dan
pengubahsuaian fisik dan lingkungan. Tindakan-
tindakan ini bertujuan untuk menekan penyebab
ancaman dengan cara mengurangi tekanan, mengatur
dan menyebarkan energi atau material ke wilayah
yang lebih luas atau melalui waktu yang lebih panjang.
Kejadian bencana terhadap kehidupan dengan
cara-cara alternatif yang lebih dapat diterima secara
ekologi (Carter, 1991). Kegiatan-kegiatan mitigasi

Epidemiologi Bencana 9
termasuk tindakantindakan non-rekayasa seperti
upaya-upaya peraturan dan pengaturan, pemberian
sangsi dan penghargaan untuk mendorong perilaku
yang lebih tepat, dan upaya-upaya penyuluhan dan
penyediaan informasi untuk memungkinkan orang
mengambil keputusan yang berkesadaran. Upaya-
upaya rekayasa termasuk pananaman modal untuk
bangunan struktur tahan ancaman bencana dan/atau
perbaikan struktur yang sudah ada supaya lebih tahan
ancaman bencana (Smith, 1992).
c. Kesiapsiagaan
Fase kesiapsiagaan adalah fase dimana dilakukan
persiapan yang baik dengan memikirkan berbagai
tindakan untuk meminimalisir kerugian yang
ditimbulkan akibat terjadinya bencana dan menyusun
perencanaan agar dapat melakukan kegiatan
pertolongan serta perawatan yang efektif pada saat
terjadi bencana. Tindakan terhadap bencana menurut
PBB ada 9 kerangka, yaitu :
1) pengkajian terhadap kerentanan,
2) membuat perencanaan (pencegahan bencana),
3) pengorganisasian,
4) sistem informasi,
5) pengumpulan sumber daya,
6) sistem alarm,
7) mekanisme tindakan,
8) pendidikan dan pelatihan penduduk,
9) gladi resik.

2. Saat Bencana
Saat bencana disebut juga sebagai tanggap darurat.
Fase tanggap darurat atau tindakan adalah fase dimana
dilakukan berbagai aksi darurat yang nyata untuk menjaga
diri sendiri atau harta kekayaan. Aktivitas yang dilakukan
secara kongkret yaitu:
a. instruksi pengungsian
b. pencarian dan penyelamatan korban,

10 Epidemiologi Bencana
c. menjamin keamanan di lokasi bencana,
d. pengkajian terhadap kerugian akibat bencana,
e. pembagian dan penggunaan alat perlengkapan pada
kondisi darurat,
f. pengiriman dan penyerahan barang material, dan
g. menyediakan tempat pengungsian, dan lain-lain.
Dari sudut pandang pelayanan medis, bencana lebih
dipersempit lagi dengan membaginya menjadi “fase akut”
dan “fase sub akut”. Dalam fase akut, 48 jam pertama sejak
bencana terjadi disebut “fase penyelamatan dan
pertolongan/pelayanan medis darurat”. Pada fase ini
dilakukan penyelamatan dan pertolongan serta tindakan
medis darurat terhadap orang-orang yang terluka akibat
bencana. Kira-kira satu minggu sejak terjadinya bencana
disebut dengan “fase akut”. Dalam fase ini, selain tindakan
“penyelamatan dan pertolongan/pelayanan medis
darurat”, dilakukan juga perawatan terhadap orang-orang
yang terluka pada saat mengungsi atau dievakuasi, serta
dilakukan tindakan-tindakan terhadap munculnya
permasalahan kesehatan selama dalam pengungsian.

3. Setelah Bencana
a. Fase Pemulihan
Fase Pemulihan sulit dibedakan secara akurat dari
dan sampai kapan, tetapi fase ini merupakan fase
dimana individu atau masyarakat dengan
kemampuannya sendiri dapat memulihkan fungsinya
seperti sedia kala (sebelum terjadi bencana). Orang-
orang melakukan perbaikan darurat tempat
tinggalnya, pindah ke rumah sementara, mulai masuk
sekolah ataupun bekerja kembali sambil memulihkan
lingkungan tempat tinggalnya. Kemudian mulai
dilakukan rehabilitasi lifeline dan aktivitas untuk
membuka kembali usahanya. Institusi pemerintah
juga mulai memberikan kembali pelayanan secara
normal serta mulai menyusun rencana-rencana untuk
rekonstruksi sambil terus memberikan bantuan

Epidemiologi Bencana 11
kepada para korban. Fase ini bagaimanapun juga
hanya merupakan fase pemulihan dan tidak sampai
mengembalikan fungsi-fungsi normal seperti sebelum
bencana terjadi. Dengan kata lain, fase ini merupakan
masa peralihan dari kondisi darurat ke kondisi tenang.
b. Fase Rekontruksi/Rehabilitasi
Jangka waktu Fase Rekonstruksi/Rehabilitasi juga
tidak dapat ditentukan, namun ini merupakan fase
dimana individu atau masyarakat berusaha
mengembalikan fungsifungsinya seperti sebelum
bencana dan merencanakan rehabilitasi terhadap
seluruh komunitas. Tetapi, seseorang atau masyarakat
tidak dapat kembali pada keadaan yang sama seperti
sebelum mengalami bencana, sehingga dengan
menggunakan pengalamannya tersebut diharapkan
kehidupan individu serta keadaan komunitas pun
dapat dikembangkan secara progresif (Erita, 2019).

D. Kegunaan Menejemen Bencana


Sebagai wilayah kepulauan, Indonesia sering mengalami
bencana alam. Bencana alam ini pastinya tidak dapat diprediksi
kapan akan terjadi. Oleh karena itu, pelaksanaan manajemen
bencana wajib dilakukan. Banyak sekali kebaikan dan manfaat
dari membantu korban bencana alam yang masih belum
disadari banyak orang.
1. Membatasi jumlah korban
Salah satu manfaat dilaksanakannya manajemen
kebencanaan adalah membatasi jumlah korban.
Kerusakan rumah, korban luka, hingga kematian
merupakan akibat terjadinya bencana alam.
Namun, dengan melaksanakan manajemen ini, bisa
meminimalkan jumlah korban manusia beserta kerusakan
harta benda dan lingkungan hidup.
2. Membatasi kerusakan harta benda dan lingkungan hidup
Selain korban manusia, kerusakan harta benda dan
lingkungan hidup juga dapat dibatasi dengan pelaksanaan

12 Epidemiologi Bencana
manajemen ini. Kegiatan relokasi dan rekonstruksi sebagai
bentuk aksi pasca bencana menjadi tindakan nyata. Proses
perbaikan dilakukan dengan memfungsikan kembali
sarana prasarana yang ada di wilayah bencana. Tentu saja
proses rekonstruksi dan relokasi harus tetap
memperhatikan kaidah kebencanaan.
3. Mengembalikan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat
Manfaat lain dari diadakannya manajemen bencana
adalah mengembalikan kondisi ekonomi dan sosial
masyarakat. Tentu saja dengan cara mengembalikan fungsi
fasilitas umum sesegera mungkin. Tujuannya agar
masyarakat dapat kembali hidup normal.

E. Epidemiologi Bencana
Setiap bencana dengan skala yang besar memberikan
resiko dan dampak yang besar, sehingga diperlukan
penanganan yang lebih ekstra, sebagai contoh bencana
biologis dapat mengakibatkan banyaknya korban meninggal,
cedera parah serta hilangnya tempat untuk berlindung.
Epidemiologi bencana memiliki ruang lingkup yang cukup
penting dalam penanganan setiap bencana (Logue, 1996).
Epidemiologi memiliki metode yang dikembangkan untuk
memberikan informasi terkait dampak dari bencana dalam
aspek fisik, mental, dan social dengan harapan dapat
menyelamatkan kehidupan dan dapat mengendalikan
penyebaran penyakit akibat dari bencana yang terjadi. Hasil
dari metode ini nantinya akan digunakan untuk membantu dan
memberi pelajaran kedepannya jika terjadi bencana yang sama
kemungkinan apa yang akan terjadi, diupayakan memakan
korban yang lebih sedikit dan lebih cepat dalam penangan
serta lebih mempersiapkan sebaik mungkin mitigasi,
kesiapsiagaan dan perencanaanya.
Penerapan epidemiologi bencana yang berhasil dapat
dilihat jika dalam situasi bencana informasi yang didalapatkan
dapat ditidaklanjuti dan dikembangkan untuk mengevaluasi
dan mengintervensi sehingga dapat menurunkan angka

Epidemiologi Bencana 13
morlatitas dan mordibitas (Malilay et al., 2014). Berdasarkan
Central of Disease Control and Prevention (CDC), epidemiologi
bencana adalah penggunaan epidemiologi untuk menilai efek
buruk bagi kesehatan baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang terhadap suatu bencana dan serta memprediksi
akibat dari bencana yang akan datang yang memiliki tujuan
utama :
1. Mencegah atau mengurang jumlah angka kematian,
kesakitan, serta cedera akibat kejadian bencana,
2. Menyediakan informasi kesehatan secara tepat waktu dan
akurat kepada para pembuat kebijakan, dan
3. Meningkatkan strategi dalam pencegahan dan mitigasi
serta mempersiapkan rencana-rencana berdasarkan
infomasi yang telah diperoleh untuk bencana di masa yang
akan datang
(Purnama, T. B., 2021)
Epidemiologi bencana merupakan bagian dari ilmu
epidemiologi yang merupakan pendekatan sistematis yang
digunakan untuk mendiagnosis masalah kesehatan di
masyarakat yang mengalami bencana sehingga masalah
tersebut dapat ditanggulangi dengan segera (Amirah, A., &
Ahmaruddin, 2020). Di masa lampau epidemiologi hanya
terbatas untuk mempelajari keadaan epidemi (wabah) dan
inipun hanya terhadap wabah penyakit-penyakit infeksi saja.
Dewasa ini epidemiologi dipakai untuk mempelajari segala
aspek kehidupan. Dipakai untuk mempelajari frekuensi,
distribusi dan faktor-faktor penyebab penyakit maupun bukan
penyakit, penyakit infeksi maupun non infeksi dalam segala
situasi sampai dengan keadaan bencana.

14 Epidemiologi Bencana
Sistem Informasi Penanggulangan
3 Krisis Akibat Bencana

Indikator Keberhasilan
setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta
diharapkan mampu menjelaskan sistem informasi
penanggulangan krisis akibat bencana

A. Krisis Akibat Bencana


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 77 Tahun
2014 Tentang Sistem Informasi Penanggulangan Krisis
Kesehatan ialah Sistem Informasi Penanggulangan Krisis
Kesehatan adalah seperangkat tatanan yang meliputi data,
informasi, indikator, prosedur, perangkat, teknologi, dan
sumber daya manusia yang saling berkaitan dan dikelola secara
terpadu untuk mengarahkan tindakan atau keputusan yang
berguna dalam mendukung penanggulangan krisis kesehatan.
Pengaturan Sistem Informasi Penanggulangan Krisis kesehatan
bertujuan untuk:
1. menjamin ketersediaan informasi krisis kesehatan yang
cepat, tepat, akurat, konsisten, terkini, dan dapat
dipertanggungjawabkan sebagai dasar pengambilan
kebijakan
2. menjamin ketersediaan dan akses terhadap informasi
krisis kesehatan yang bernilai pengetahuan serta dapat
dipertanggungjawabkan;
3. memberdayakan peran serta akademisi, swasta dan
masyarakat dalam penyelenggaraan sistem informasi
penanggulangan krisis kesehatan; dan

Epidemiologi Bencana 15
4. mewujudkan penyelenggaraan sistem informasi
penanggulangan krisis kesehatan dalam lingkup sistem
informasi kesehatan yang berdaya guna dan berhasil guna
melalui penguatan kerjasama, koordinasi, integrasi dan
sinkronisasi dalam mendukung penyelenggaraan
pembangunan kesehatan yang berkesinambungan.
Salah satu kunci keberhasilan dalam penanggulangan
krisis kesehatan akibat bencana adalah pengelolaan informasi
dan komunikasi yang mudah dijangkau termasuk ketersediaan
data terkini yang cepat, tepat dan akurat. Hal ini dibutuhkan
oleh semua pemangku kepentingan(stakeholders) yang terkait
untuk menetapkan keputusan dan langkah-langkah dalam
penanggulangan bencana baik dalam situasi sedang tidak
terjadi bencana (pra bencana), tanggap darurat (saat bencana)
maupun pasca bencana (pasca bencana). Untuk kegiatan pra
bencana, sistem informasi yang terangkai dengan sistem
peringatan dini multi hazard berbasis masyarakat, penting
peranannya dalam mewujudkan pengurangan risiko bencana.
Mengingat pentingnya informasi dan komunikasi dalam
penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana, maka upaya
pemantapan dan pengembangannya merupakan suatu
langkah yang perlu diwujudkan. Salah satu pengaplikasiannya
adalah dengan membentuk Pos informasi PK-AB yang akan
berfungsi sebagai koordinator dalam pengelolaan informasi
dan komunikasi penanggulangan krisis akibat bencana
(Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 77
Tahun, 2014).

B. Mekanisme Kerja
Informasi yang dikumpulkan oleh Pos Informasi adalah
informasi yang terkait dengan bencana baik pada tahap pra
bencana, tahap saat bencana maupun tahap pasca bencana.

16 Epidemiologi Bencana
Informasi tersebut dapat berasal dari lingkungan jajaran
kesehatan, lintas sektor, media dan masyarakat.
1. Pra Bencana
Informasi yang dikumpulkan pada saat pra bencana
adalah :
a. Informasi sumber daya baik tenaga, dana, sarana dan
prasarana dalam rangka penanggulangan krisis
kesehatan akibat bencana (form kesiapsiagaan pada
pedoman sistem informasi penangggulangan krisis
akibat bencana). Informasi tersebut bersumber dari
Puskesmas, Rumah Sakit, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dan Dinas Kesehatan Provinsi.
b. Informasi dari lintas sektor terkait, misalnya
meteorologi dan geofisika dalam rangka
penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana
yang disebabkan oleh fenomena cuaca dan iklim
(prakiraan cuaca harian/mingguan, prakiraan hujan
bulanan dan prakiraan musim hujan/kemarau) serta
informasi gempa bumi dan tsunami yang bersumber
dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika.
c. Informasi nomor telepon, faksimili (kantor dan
rumah) serta nomor telepon genggam/mobile dari
petugas yang telah ditunjuk untuk bertanggung jawab
dalam penanggulangan krisis kesehatan akibat
bencana baik dari lintas program maupun lintas sektor
untuk membangun jaringan informasi dan
komunikasi (contact person). Informasi tersebut
bersumber dari Puskesmas, Rumah Sakit, Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi
dan lintas sektor yang terkait dalam penanggulangan
krisis kesehatan akibat bencana.

Epidemiologi Bencana 17
Berdasarkan informasi yang telah dikumpulkan
tersebut kemudian dilakukan pengolahan , dengan
melakukan :
a. Penyusunan tabel bencana.
b. Penyusunan peta daerah rawan krisis kesehatan
akibat bencana.
c. Penyusunan buku profil penanggulangan krisis
kesehatan akibat bencana yang berisi informasi
tentang sumber daya baik tenaga, dana, sarana dan
prasarana dalam rangka penanggulangan krisis dan
masalah kesehatan lain.
d. Penyusunan buku informasi penanggulangan krisis
kesehatan akibat bencana yang pernah terjadi.
e. Pembuatan website.
f. Pembuatan peta jalur evakuasi sarana kesehatan pada
daerah rawan bencana (ring 1, ring 2 dan ring 3)
Informasi yang telah diolah tersebut kemudian
disebarluaskan dengan memanfaatkan teknologi
informasi untuk lebih memudahkan penyampaian
informasi ke seluruh pengguna yang membutuhkan
informasi secara cepat dengan biaya yang relatif murah.

2. Saat Bencana
Informasi yang dikumpulkan pada saat bencana
adalah :
a. Informasi awal penanggulangan krisis dan masalah
kesehatan lain (Form B1 dan B4 pada Pedoman Sistem
Informasi Penanggulangan Krisis Akibat Bencana).
b. Informasi perkembangan penanggulangan krisis dan
masalah kesehatan lain (Form B2 pada Pedoman
Sistem Informasi Penanggulangan Krisis Akibat
Bencana).

18 Epidemiologi Bencana
Informasi tersebut bersumber dari Puskesmas, Rumah
Sakit, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan
Provinsi, instansi terkait, masyarakat, media cetak dan
media elektronik. Berdasarkan informasi yang telah
dikumpulkan tersebut kemudian diolah, dengan
melakukan :
a. Penyusunan laporan awal penanggulangan krisis
kesehatan akibat bencana.
b. Penyusunan laporan perkembangan penanggulangan
krisis kesehatan akibat bencana.
Sesuai dengan kebutuhan akan informasi,
pemantauan dan pelaporan penanggulangan krisis
kesehatan akibat bencana dapat dilakukan sesering
mungkin. Semua data dan informasi yang didapatkan akan
menjadi landasan dalam pengambilan langkah dan strategi
penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana.
Pemantauan ini terus berlangsung hingga penangulangan
krisis kesehatan akibat bencana dapat ditangani terutama
pada masa tanggap darurat. Informasi yang telah diolah
tersebut kemudian disebarluaskan dengan memanfaatkan
teknologi informasi/elektronik untuk lebih memudahkan
penyampaian informasi ke seluruh pengguna yang
membutuhkan informasi secara cepat dengan biaya yang
relatif murah dengan membuat Media Center di Pos
Informasi.
3. Pasca Bencana
Informasi yang dikumpulkan pada saat pasca bencana
adalah :
a. Informasi pemulihan/rehabilitasi dan pembangunan
kembali/rekonstruksi sarana/prasarana kesehatan
yang mengalami kerusakan.
b. Informasi upaya pelayanan kesehatan (pencegahan
KLB,cpemberantasan penyakit menular, perbaikan

Epidemiologi Bencana 19
gizi), kegiatan surveilans epidemiologi, promosi
kesehatan dan penyelenggaraan kesehatan
lingkungan dan sanitasi dasar di tempat
penampungan pengungsi maupun lokasi sekitarnya
yang terkena dampak.
c. Informasi relawan, kader dan petugas pemerintah
yang memberikan KIE kepada masyarakat luas,
bimbingan pada kelompok yang berpotensi
mengalami gangguan stress pasca trauma dan
memberikan konseling pada individu yang berpotensi
mengalami gangguan stress pasca trauma.
d. Informasi pelayanan kesehatan rujukan dan
penunjang.
e. Informasi rujukan korban yang tidak dapat ditangani
dengan konseling awal dan membutuhkan konseling
lanjut, psikoterapi atau penanggulangan lebih
spesifik.
Informasi tersebut bersumber dari Puskesmas, Rumah
Sakit, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan
Provinsi dan lintas sektor. Berdasarkan informasi yang
telah dikumpulkan tersebut kemudian diolah, dengan
melakukan :
a. Penyusunan informasi dengan program terkait dalam
rangka upaya pemulihan / rehabilitasi dan
pembangunan kembali / rekonstruksi sarana /
prasarana kesehatan yang mengalami kerusakan.
b. Penyusunan informasi dengan program terkait dalam
upaya pelayanan kesehatan (pencegahan KLB,
pemberantasan penyakit menular, perbaikan gizi),
kegiatan surveilans epidemiologi, promosi kesehatan
dan penyelenggaraan kesehatan lingkungan dan
sanitasi dasar di tempat penampungan pengungsi
maupun lokasi sekitarnya yang terkena dampak.

20 Epidemiologi Bencana
c. Penyusunan informasi dengan program terkait
tentang upaya relawan, kader dan petugas pemerintah
yang memberikan KIE kepada masyarakat luas,
bimbingan pada kelompok yang berpotensi
mengalami gangguan stress pasca trauma dan
memberikan konseling pada individu yang berpotensi
mengalami gangguan stress pasca trauma.
d. Penyusunan informasi dengan program terkait dalam
rangka upaya pelayanan kesehatan rujukan dan
penunjang.
e. Penyusunan informasi dengan program terkait dalam
rangka upaya rujukan korban yang tidak dapat
ditangani dengan konseling awal dan membutuhkan
konseling lanjut, psikoterapi atau penanggulangan
lebih spesifik.
Informasi yang telah diolah tersebut kemudian
disebarluaskan dengan memanfaatkan teknologi
informasi untuk lebih memudahkan penyampaian
informasi ke seluruh pengguna yang membutuhkan
informasi secara cepat dengan biaya yang relatif
murah (Kepmenkes-064, n.d.).

C. Ketenagaan, Sarana Prasarana, Dan Anggaran


1. Ketenagaan
Sumber daya manusia mempunyai peran utama
dalam setiap kegiatan suatu organisasi. Walaupun
didukung dengan sarana dan prasarana serta sumber
dana yang cukup, tetapi tanpa dukungan sumber daya
manusia yang handal kegiatan suatu organisasi tidak
akan dapat dikelola dengan baik. Hal ini menunjukkan
bahwa sumber daya manusia merupakan faktor kunci
yang harus diperhatikan kebutuhan dan
pengembangannya. Tuntutan untuk memperoleh dan

Epidemiologi Bencana 21
mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas
semakin mendesak sesuai dengan perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi . Pengelolaan juga
membutuhkan sumber daya manusia yang handal untuk
mendukung fungsinya sebagai jendela informasi
penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana.
Oleh karena itu dibutuhkan pengelolaan sumber
daya manusia dengan cara menciptakan nilai atau
menggunakan keahlian sumber daya manusia yang tidak
hanya terbatas pada staf operasional semata, namun juga
meliputi tingkatan manajerial. Seperti yang sudah
diuraikan bahwa SDM yang diperlukan terdiri dari
Manajer, Koordinator Pemantauan, Koordinator
Informasi, Koordinator Komunikasi Radio dan staf.
Masing-masing memiliki tugas dan fungsi yang saling
terkait dan saling menunjang dalam mengelola
Informasi.

2. Sarana Prasarana
Pengelolaan informasi dan komunikasi pada saat
bencana memerlukan kecepatan, ketepatan dan
keakuratan. Oleh karena itu, sarana dan prasarana yang
memadai yang selaras dengan perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi, merupakan kebutuhan vital
dari sebuah Pos Informasi. Salah satu sarana penting
dalam sebuah Pos Informasi yang perlu mendapatkan
perhatian khusus adalah radio komunikasi, karena
kejadian bencana seringkali melumpuhkan sarana publik
termasuk sarana komunikasi seperti telepon, telepon
seluler, faksimili, dan internet. Solusi untuk menghadapi
kondisi demikian adalah dengan menggunakan
komunikasi. radio. Selain peralatannya, juga harus
disiapkan frekuensi khusus untuk komunikasi radio

22 Epidemiologi Bencana
sebagai pengamanan, mengingat tidak semua informasi
kesehatan dapat diakses secara bebas oleh publik. Untuk
lebih rincinya, sarana dan prasarana informasi dan
komunikasi yang dibutuhkan antara lain:
a. Ruangan dilengkapi meubelair dan pendingin
ruangan (AC)
b. Telepon
c. Faksimile
d. Perangkat radio komunikasi (SSB, RIG, HT, Receiver,
Repeater, Antena dll)
e. Komputer dengan fasilitas modem
f. LCD dan Screen Projector
g. Jaringan internet kabel atau nirkabel
h. Mesin print
i. Scanner
j. Kamera Digital
k. Televisi dan radio
l. Handycam
m. VCD/ DVD player
n. HP biasa dan satelit
o. Server
p. Geographic Information System (GIS)
q. Global Positioning System

3. Anggaran
Anggaran pos informasi dapat berasal dari APBN,
APBD dan bantuan yang tidak mengikat. Anggaran
tersebut digunakan untuk biaya:
a. Operasional
b. Peningkatan kapasitas SDM
c. Peningkatan jaringan informasi dan komunkasi
d. Penyediaan peralatan yang dibutuhkan
e. Pemeliharaan peralatan

Epidemiologi Bencana 23
f. Pengembangan sistem informasi (website, GIS, SMS
Gateway, dsb.
(Kepmenkes-064, n.d.)

24 Epidemiologi Bencana
Peran Pemerintah dalam
4 Penanggulangan Bencana

Indikator Keberhasilan
setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta
diharapkan mampu menjelaskan peran pemerintah
dalam penanggulangan bencana

A. Pendahuluan
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, sebagian
besar wilayah Indonesia merupakan perairan yang terdiri dari
17.508 Pulau, dengan lima pulau besar. Bencana
hidrometerologi sangat berpotensi terjadi dengan topografi
yang beragam dan kompleks, berbukit-bukit, banyak aliran
sungai disertai pengaruh perubahan iklim. Sepanjang tahun
2005 hingga 2015, Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI-
BNPB) mencatat lebih dari 78 % kejadian bencana merupakan
hidrometeorologi seperti bencana banjir, gelombang ekstrim,
kebakaran lahan dan hutan, kekeringan, dan cuaca esktrim.
Sedangkan 22% lain berupa kejadian bencana geologi yaitu
gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, dan tanah longsor.
Keanekaragaman suku, budaya dan politik yang disertai
pemicu juga dapat menimbulkan konflik sosial. Semua
kejadian tersebut dapat menimbulkan Krisis Kesehatan, seperti
korban mati, korban luka, sakit, pengungsi, lumpuhnya
pelayanan kesehatan, penyakit menular, sanitasi lingkungan,
gangguan jiwa dan masalah kesehatan lainnya.
Pengalaman Indonesia dalam mengatasi banyak kejadian
bencana menjadikan Indonesia sebagai laboratorium dan

Epidemiologi Bencana 25
pembelajaran dalam penanggulangan bencana. Kapasitas
dalam penanggulangan bencana harus mengacu kepada
Sistem Penanggulangan bencana nasional yang termuat dalam
Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana serta
turunan aturannya. Namun upaya Penanggulangan Krisis
Kesehatan masih banyak menghadapi kendala, untuk itu perlu
disusun Peraturan Menteri Kesehatan tentang
Penanggulangan Krisis Kesehatan.

B. Tahap Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana


1. Tahap Pra Krisis Kesehatan
Penanggulangan pada tahap prakrisis kesehatan
meliputi upaya pencegahan dan mitigasi, dan
kesiapsiagaan.
a. Upaya pencegahan dan mitigasi pada tahap prakrisis
kesehatan meliputi Kajian risiko Krisis Kesehatan yang
merupakan kegiatan mengkaji/menilai ancaman/
bahaya, kerentanan, dan kapasitas untuk mengetahui
potensi risiko Krisis Kesehatan.
b. Menyusun, mensosialisasikan dan menerapkan
kebijakan atau standar Penanggulangan Krisis
Kesehatan.
Berdasarkan analisis risiko Krisis Kesehatan,
pemerintah daerah menyusun kebijakan atau
standard Penanggulangan Krisis Kesehatan dengan
mengacu pada peraturan perundang-undangan.
c. Mengembangkan sistem informasi Penanggulangan
Krisis Kesehatan.
Sistem informasi Penanggulangan Krisis
Kesehatan adalah seperangkat tatanan yang meliputi
data, informasi, indikator, prosedur, perangkat,
teknologi dan sumber daya manusia yang saling
berkaitan dan dikelola secara terpadu untuk

26 Epidemiologi Bencana
mengarahkan tindakan atau keputusan yang berguna
untuk Penanggulangan Krisis Kesehatan.
d. Menyusun rencana Penanggulangan Krisis
Kesehatan. Rencana Penanggulangan Krisis
Kesehatan terdiri dari:
1) Rencana Penanggulangan Krisis Kesehatan
bersifat umum dan menyeluruh yang meliputi
seluruh tahapan atau bidang kerja
Penanggulangan Krisis Kesehatan yang
terintegrasi dengan rencana pembangunan
kesehatan;
2) Rencana kesiapsiagaan untuk menghadapi
keadaan darurat yang didasarkan atas skenario
menghadapi bencana tertentu, yang terdiri dari:
a) Peta respon, yaitu respon kapasitas daerah
dalam merespon kedaruratan yang disajikan
dalam bentuk peta yang berisi bahaya (single
hazard), kapasitas, alur respon, dan jalur
evakuasi.
b) Rencana kontinjensi, yaitu proses identifikasi
dan penyusunan rencana yang didasarkan
pada keadaan suatu ancaman Krisis
Kesehatan yang diperkirakan akan terjadi,
tetapi mungkin juga tidak akan terjadi. Suatu
rencana kontinjensi mungkin tidak selalu
pernah diaktifkan, jika keadaan yang
diperkirakan tidak terjadi. Prinsip Dasar
dalam Penyusunan Rencana Kontinjensi
Bidang Kesehatan meliputi:
• Antisipasi peristiwa-peristiwa yang
berdampak terhadap kesehatan
penduduk dalam upaya Penanggulangan
Krisis Kesehatan;

Epidemiologi Bencana 27
• Rencana kontijensi harus disiapkan
untuk merespons ancaman Krisis
Kesehatan yang mungkin terjadi.
• Rencana kontijensi bidang kesehatan
merupakan lampiran dari rencana
kontijensi yang disusun oleh
BNPB/BPBD.
e. Melaksanakan peningkatan kapasitas pelayanan
kesehatan aman bencana.
Selama situasi Krisis Kesehatan, fasilitas
pelayanan kesehatan harus aman, mudah diakses
serta berfungsi dengan kapasitas maksimal untuk
menyelamatkan korban dan melakukan pelayanan
kesehatan dasar. Program penyiapan fasilitas
pelayanan kesehatan aman bencana ditujukan untuk:
1) Melindungi jiwa pasien dan petugas kesehatan
dengan memastikan ketahanan struktural dan
non struktural dari fasilitas kesehatan;
2) Memastikan bahwa akibat bencana dan kondisi
darurat fasilitas kesehatan dan layanan kesehatan
mampu tetap berfungsi; dan
3) Meningkatkan kemampuan manajemen darurat
dari petugas kesehatan dan instansi terkait.
Fasilitas pelayanan Kesehatan yang aman harus
diorganisir dengan rencana kontinjensi serta tenaga
kesehatan yang terlatih. Langkah-langkah penyiapan
fasilitas pelayanan kesehatan aman bencana :
1) melakukan assessment fasilitas pelayanan
kesehatan baik struktur, non struktur maupun
fungsinya;
2) menyusun rencana penanggulangan bencana di
fasilitas kesehatan (health facilities disaster plan);

28 Epidemiologi Bencana
3) melakukan simulasi secara berkala untuk
mengevaluasi rencana penanggulangan bencana;
dan melakukan peningkatan kapasitas petugas.
Upaya kesiapsiagaan pada tahap pra krisis
kesehatan meliputi kegiatan:
1) Mengembangkan sistem peringatan dini
Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan
pemberian peringatan sesegera mungkin kepada
masyarakat tentang kemungkinan terjadinya
Krisis Kesehatan pada suatu tempat oleh lembaga
yang berwenang. Peringatan dini Krisis
Kesehatan diawali melalui kegiatan surveilans
Krisis Kesehatan. Dari hasil surveilans tersebut
dilakukan analisis data tentang situasi,
kecenderungan akan terjadi bencana/potensi
bencana dan faktor risikonya. Bila diduga kuat
ada potensi terjadinya Krisis Kesehatan dalam
waktu dekat, maka segera dilakukan
penyebarluasan informasi melalui peringatan
dini. Pengembangan Sistem peringatan dini
dilakukan terus menerus dengan memperhatikan
kondisi kearifan lokal masyarakat dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnlogi
informasi.
2) Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia
baik dalam hal manajerial maupun teknis.
Meningkatkan kapasitas sumber daya
manusia (SDM) Krisis Kesehatan baik dalam hal
manajerial maupun teknis. Peningkatan kapasitas
SDM Krisis Kesehatan diawali melalui pemetaan
dan perencanaan kebutuhan SDM kesehatan
terkait. Penanggulangan Krisis Kesehatan dengan
kompetensi dan jumlah yang dibutuhkan.

Epidemiologi Bencana 29
Peningkatan SDM Krisis Kesehatan bertujuan
untuk meningkatkan kemampuan dalam
melaksanakan tugasnya secara professional yang
dilakukan secara teratur dan berkesinambungan.
3) Pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan
Penanggulangan Krisis Kesehatan.
Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan
membangun pemahaman dan kemandirian
keluarga, kelompok, dan masyarakat melalui
komunikasi, informasi, edukasi terkait
pengurangan risiko Krisis Kesehatan melalui
Dinas Kesehatan, Puskesmas dan lintas sektor.
Masyarakat membangun sistem kewaspadaan
dini dan respon penanggulangan penyakit akibat
bencana dan konflik dengan pendampingan
Puskesmas.
Masyarakat diberi kesempatan untuk
memberikan masukan terhadap penyusunan
dan/atau penyempurnaan peraturan, kebijakan
dan program terkait Penanggulangan Krisis
Kesehatan kepada Kementerian Kesehatan
dan/atau Dinas Kesehatan. Masukan tersebut
disampaikan baik secara perorangan, kelompok
dan organisasi kemasyarakatan dengan
mengikuti prosedur dan berdasarkan
pertimbangan nilai-nilai sosial budaya setempat.
Masukan masyarakat menjadi pertimbangan
Kementerian Kesehatan dan/atau Dinas
Kesehatan dalam penyusunan dan/atau
penyempurnaan peraturan kebijakan maupun
program terkait Penanggulangan Krisis
Kesehatan

30 Epidemiologi Bencana
4) Membentuk EMT, RHAT, PHRRT, dan tim
kesehatan lainnya;
Membentuk Tim Medis Darurat (Emergency
Medical Team/EMT), Tim Kaji Cepat Kesehatan
(Rapid Health Asessment Team/RHAT), Tim
Respon Cepat Kesehatan Masyarakat (Public
Health Rapid Response Team/PHRRT), dan tim
kesehatan lainnya;
5) Menjamin ketersediaan sarana prasarana, logistik
dan perlengkapan kesehatan yang memadai.
Ketersediaan sarana prasarana, logistik dan
perlengkapan kesehatan yang memadai sangat
diperlukan untuk memastikan upaya
penanggulangan krisis kesehatan pada saat
tanggap darurat dapat berjalan dengan baik.
Pemenuhan kebutuhan sarana prasarana
kesehatan, logistik dan perlengkapan berasal dari
mobilisasi sumber daya yang dimiliki oleh sub-
sub klaster kesehatan.
6) Melakukan kegiatan simulasi/geladi bidang
kesehatan. Simulasi/Geladi bidang kesehatan
adalah bentuk latihan untuk memberikan
pengetahuan dan meningkatkan keterampilan
dalam pelaksanaan penanggulangan krisis
kesehatan yang telah dipelajari atau dilakukan
sebelumnya dan sebagai sarana untuk menguji
rencana kontinjensi bidang kesehatan yang telah
dibuat sebelumnya. Perencanaan dan
pelaksanaan geladi bidang kesehatan berupa
Pengulangan Latihan (Drill), Geladi Peta, Geladi
Pos Komando (Posko), dan Geladi Lapangan,
dilaksanakan oleh dinas kesehatan
kabupaten/kota sesuai dengan jenis geladi yang

Epidemiologi Bencana 31
akan dilakukan, sesuai dengan risiko bencana di
kabupaten/kota tersebut, dan sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai. Dalam pelaksanaannya
geladi kesehatan harus melibatkan seluruh
sumber daya di bidang kesehatan dan masyarakat.

2. Tahap Tanggap Darurat Krisis Kesehatan


a. Melakukan RHA
RHA pada status tanggap darurat difokuskan pada
penilaian dampak kesehatan masyarakat yang terjadi
dan proyeksi kebutuhan awal pada status tanggap
darurat. Prinsip dasar dalam melakukan RHA pada
status tanggap darurat:
1) RHA dilakukan dalam jangka waktu 24 jam
pertama saat terjadi Krisis Kesehatan sesuai
dengan jenis Krisis Kesehatan
2) hasil penilaian dilaporkan secepatnya kepada
para pengambil kebijakan.
3) RHA juga dapat diulang setiap saat berdasarkan
perubahan situasi yang signifikan.
b. Aktivasi Klaster Kesehatan dan mobilisasi EMT dan
PHRRT; (penjelasan sama dengan siaga darurat)
c. Menyusun dan melaksanakan rencana operasi Krisis
Kesehatan berdasarkan hasil RHA dan rencana
kontigensi (jika ada);
Rencana operasi Krisis Kesehatan adalah kegiatan
yang dilaksanakan oleh masing-masing sub klaster,
yang secara umum dapat bersifat:
1) langsung : berupa kegiatan yang dilaksanakan
langsung kepada masyarakat terdampak
2) tidak langsung : dukungan teknis maupun
manajerial dari provinsi/pusat

32 Epidemiologi Bencana
d. Memastikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat
terdampak berjalan sesuai standar dengan
memperhatikan kepentingan kelompok rentan;
Memastikan pelayanan kesehatan berjalan sesuai
standar dengan memperhatikan kepentingan
kelompok rentan dilakukan dengan cara supervisi,
pendampingan teknis, dan pemberian dukungan yang
dibutuhkan. Kelompok rentan yang harus
diperhatikan antara lain bayi, balita, ibu hamil, ibu
menyusui, lansia, disabilitas, pengungsi dengan
penyakit kronis yang memerlukan pengobatan
berkesinambungan.
e. Mengintensifkan pemantauan perkembangan situasi
Mengintensifkan pemantauan perkembangan situasi
dilakukan dengan cara:
1) pemantauan harian yang dilakukan setiap saat
dan terus menerus (24 jam)
2) menambah jumlah personil pemantauan
3) melakukan pelaporan berkala sekurang-
kurangnya sekali dalam sehari sesuai dengan
Formulir 5 terlampir
f. Melakukan Upaya Promosi Kesehatan
Situasi bencana membuat kelompok rentan
seperti ibu hamil, bayi, anak-anak dan lanjut usia
mudah terserang penyakit dan malnutrisi. Akses
terhadap pelayanan kesehatan dan pangan menjadi
semakin berkurang. Air bersih sangat langka akibat
terbatasnya persediaan dan banyaknya jumlah orang
yang membutuhkan. Sanitasi menjadi sangat buruk,
anak-anak tidak terurus karena ketiadaan sarana
pendidikan. Dalam keadaan yang seperti ini risiko dan
penularan penyakit meningkat.

Epidemiologi Bencana 33
Sehubungan dengan kondisi tersebut maka perlu
dilakukan promosi kesehatan dengan tujuan agar
kesehatan masyarakat dapat terjaga, lingkungan tetap
sehat, pelayanan kesehatan yang ada dapat
dimanfaatkan, anak-anak dapat terlindungi dari
kekerasan serta mengurangi stress. Sasaran promosi
kesehatan adalah petugas kesehatan, relawan, tokoh
masyarakat, tokoh agama, guru, lintas sektor, Kader,
kelompok rentan, masyarakat, organisasi masyarakat
dan dunia usaha.
g. Melaksanakan komunikasi Krisis Kesehatan.
Komunikasi krisis kesehatan penting artinya
untuk memberikan informasi situasi krisis yang
sebenarnya kepada masyarakat, upaya pencegahan
perluasan dampak krisis kesehatan, sehingga dapat
meningkatkan kepercayaan masyarakat dan mau
melakukan apa yang direkomendasikan. Komunikasi
krisis kesehatan dilakukan secara cepat, jujur, valid,
terpercaya, handal, dan berempati.
Untuk melaksanakan komunikasi Krisis
Kesehatan yang efektif, harus dimulai dengan
memahami kondisi sosial budaya masyarakat,
menyebarluaskan informasi ke masyarakat se luas-
luasnya untuk menghindari issue yang tidak
produktif, jujur tidak banyak memberikan janji dan
yang terpenting, berikan informasi apa yang harus dan
tidak boleh mereka lakukan.

3. Tahap Pasca Krisis Kesehatan


Kegiatan pada pascakrisis kesehatan bisa memakan
waktu beberapa bulan hingga bertahun-tahun tergantung
besar kecilnya kerusakan akibat bencana serta kapasitas

34 Epidemiologi Bencana
sumber daya kesehatan yang melaksanakan. Kegiatan
penanggulangan pascakrisis kesehatan meliputi:
a. Melakukan penilaian kerusakan, kerugian dan
kebutuhan sumber daya kesehatan pascakrisis
kesehatan;
Penilaian kerusakan, kerugian serta kebutuhan
pascakrisis kesehatan bertujuan untuk mengukur
skala kerusakan dan kerugian bidang kesehatan akibat
bencana, serta kebutuhan sumber daya kesehatan
sehingga dapat ditentukan prioritas penanganan dan
menentukan kebutuhan selama kegiatan pascakrisis
kesehatan. Penilaian kerusakan, kerugian dan
kebutuhan sumber daya kesehatan pascakrisis
kesehatan mendukung pengkajian kebutuhan pasca
bencana (Jitu Pasna) yang dilakukan oleh BNPB/BPBD.
Kegiatan:
1) penilaian kerusakan dan kerugian bidang
kesehatan pascakrisis kesehatan (analisis dampak
bencana);
2) perkiraan kebutuhan sumber daya kesehatan
pascakrisis kesehatan termasuk perkiraan jumlah
dana yang dibutuhkan;
3) penilaian kerusakan, kerugian dan kebutuhan
pascakrisis kesehatan meliputi:
a) aspek fisik yaitu sarana fisik.
b) aspek non fisik yang terdiri dari:
• pelaksanaan pelayanan kesehatan
• tata kelola pemerintahan
• risiko kesehatan akibat bencana.
Penilaian kerusakan yaitu menilai kerusakan
sarana fisik kesehatan (aspek fisik), antara lain
fasilitas pelayanan kesehatan (rumah sakit,
Puskesmas, klinik dan sebagainya), bangunan

Epidemiologi Bencana 35
institusi bidang kesehatan (Dinas Kesehatan,
dsb), obat dan perbekalan kesehatan serta
prasarana perkantoran. Penilaian kerugian adalah
menilai aspek non fisik yaitu menghitung
pembiayaan lebih (dibandingkan sebelum
bencana) yang harus dikeluarkan oleh sektor
kesehatan akibat meningkatnya atau adanya
kebutuhan baru terhadap pelayanan kesehatan.
Selain itu juga kerugian finansial akibat tidak
berjalannya pelayanan kesehatan karena
kerusakan akibat bencana. Perkiraan rentang
waktu kerugian yaitu waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai kondisi normal (situasi pra
bencana).
b. Menyusun Rencana Aksi Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Kesehatan;
Rencana aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Kesehatan (Renaksi) bidang kesehatan merupakan
pendetailan hasil pengkajian kebutuhan sumber daya
kesehatan pasca bencana sehingga siap untuk
diimplementasikan oleh pihak-pihak terkait sesuai
dengan azas desentralisasi dan otonomi daerah.
Renaksi tersebut disusun bersama-sama oleh seluruh
pihak terkait baik dari pemerintahan, lembaga usaha
maupun masyarakat dan merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari Renaksi Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Pasca Bencana yang dikoordinasikan
oleh BNPB/BPBD. Renaksi bidang kesehatan disusun
untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun dan
setelah itu dapat ditinjau kembali.

36 Epidemiologi Bencana
c. Melaksanakan kegiatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Kesehatan
Pelaksanaan kegiatan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Kesehatan mengacu pada Renaksi yang
telah disusun. Apabila diperlukan dapat dibentuk
kelompok kerja bersifat sementara yang fungsinya
membantu Kementerian Kesehatan/Dinas Kesehatan
Provinsi/Kabupaten/Kota dalam melaksanakan
kegiatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Kesehatan.
Kelompok kerja tersebut ditetapkan dengan
keputusan Menteri Kesehatan/Kepala Dinas
Kesehatan yang lama tugasnya sesuai dengan
kebutuhan.
Pelaksanaan teknis Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Kesehatan dilakukan oleh Dinas Kesehatan di Provinsi
/Kabupaten/Kota dengan melibatkan potensi-potensi
sumber daya yang ada di wilayah tersebut baik dari
lembaga usaha, masyarakat maupun LSM
nasional/internasional. Lembaga Internasional,
lembaga asing non pemerintah lembaga usaha,
lembaga non pemerintah, lembaga usaha dan lembaga
kemasyarakatan yang terlibat dalam Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Kesehatan wajib berkoordinasi dengan
BNPB dan BPBD bersama Kementerian Kesehatan dan
Dinas Kesehatan.
Tenaga pelaksana teknis Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Kesehatan diutamakan:
1) tenaga profesional yang berada di daerah
bencana:
2) menguasai kondisi sosial budaya masyarakat dan
karakteristiknya.
3) memahami dan menguasai kapasitas sumberdaya
lokal.

Epidemiologi Bencana 37
Dalam hal sumber daya yang tidak memadai,
Dinas Kesehatan Kab/Kota dapat meminta bantuan
kepada Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau
Kementerian Kesehatan berupa tenaga ahli, peralatan
serta pembangunan prasarana. Semua hasil kegiatan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Kesehatan yang
menjadi asset pemerintah pusat atau pemerintah
daerah dilakukan penatausahaan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
d. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Kesehatan.
Monitoring adalah rangkaian kegiatan
pemantauan untuk mengetahui proses pelaksanaan
rehabilitasi dan rekonstruksi kesehatan yang
ditujukan untuk:
1) menilai efektivitas input (dana, personil, barang
modal) dalam rangka mencapai sasaran kegiatan;
2) mengikuti dan menilai tahapan dan aspek-aspek
pelaksanaan rencana aksi Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Kesehatan bidang kesehatan;
3) mengidentifikasi kendala dalam rangka
menghasilkan keluaran (output);
4) mengidentifikasi kendala pencapaian sasaran dan
kesenjangan (gap) antara kebutuhan dan
persediaan yang ada;
Evaluasi adalah rangkaian kegiatan
membandingkan realisasi masukan (input), keluaran
(output) dan hasil (outcome) terhadap rencana dan
standar dengan tujuan:
1) menilai hasil (outcome) pelaksanaan Rehabilitasi
dan Rekonstruksi Kesehatan;
2) menilai efektivitas pelaksanaan kebijakan dan
strategi yang telah ditetapkan; dan

38 Epidemiologi Bencana
3) memberikan masukan kebijakan dan strategi bagi
percepatan pelaksanaan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Kesehatan serta pencapaian
rencana pembangunan kesehatan yang telah
ditetapkan.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi mengacu
pada dokumen Renaksi yang telah ditetapkan (Erita,
2019).

C. Peran Pemerintah Daerah Dalam Penanggulangan Bencana


Tujuan pemerintah daerah dalam penanggulangan
bencana melalui pembentukan BPBD meliputi hal-hal sebagai
berikut.
1. Mengidentifikasi orang dan wilayah yang rentan bencana
dalam lingkup kabupaten.
2. Memastikan bahwa semua anggota masyarakat menyadari
potensi dampak bencana alam.
3. Membagikan saran dan panduan praktik yang baik kepada
masyarakat untuk mitigasi bencana.
4. Menjaga hubungan dengan para pejabat yang
bertanggung jawab dalam perencanaan, kesehatan, dan
kesejahteraan dengan mengeluarkan peringatan atau
sistem pengendalian massa dan kebakaran.
5. Memastikan bahwa anggota masyarakat menerima
pelatihan first aid atau pertolongan pertama yang sesuai.
6. Melaksanakan program pendidikan dan penyadaran
masyarakat melalui kegiatan yang bekerja sama dengan
sekolah-sekolah setempat.
7. Mengidentifikasi rute evakuasi dan lokasi tempat yang
aman serta lokasi pengungsi.
Dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah bertanggung
jawab sekaligus mempunyai wewenang dalam

Epidemiologi Bencana 39
penyelenggaraan penanggulangan bencana di wilayahnya.
Bupati/walikota merupakan penanggung jawab utama dan
gubernur berfungsi memberikan dukungan perkuatan.
Beberapa tanggung jawab yang diemban pemerintah daerah
dalam penanggulangan bencana antara lain yaitu:
mengalokasikan dana penanggulangan bencana; memadukan
penanggulangan bencana dalam pembangunan daerah;
melindungi masyarakat dari ancaman bencana; melaksanakan
tanggap darurat; serta melakukan pemulihan pasca bencana.
Sehubungan dengan tanggung jawab tersebut, pemerintah
daerah memiliki wewenang dalam penanggulangan bencana
sebagai berikut:
1. Merumuskan kebijakan penanggulangan bencana di
wilayahnya.
2. Menentukan status dan tingkat keadaan darurat.
3. Mengerahkan potensi sumber daya di wilayahnya.
4. Menjalin kerjasama dengan daerah lain.
5. Mengatur dan mengawasi penggunaan teknologi yang
berpotensi menimbulkan bencana.
6. Mencegah dan mengendalikan penggunaan sumber daya
alam yang berlebihan.
7. Menunjuk komandan penanganan darurat bencana.
8. Melakukan pengendalian bantuan bencana.
9. Menyusun perencanaan, pedoman dan prosedur
penyelenggaraan penanggulangan bencana.

40 Epidemiologi Bencana
Tanggung jawab serta kewenangan tersebut di atas
menunjukkan bahwa pemerintah daerah memegang peran
dalam sistem penanggulangan bencana. Peran tersebut
meliputi 5 (lima) aspek sebagai berikut.
1. Aspek legislasi, dimana pemerintah daerah diharuskan
membuat: Peraturan Daerah tentang Penanggulangan
Bencana; Peraturan Daerah tentang Pembentukan BPBD;
pedoman teknis standar kebutuhan minimum
penanganan bencana; prosedur tetap; prosedur operasi;
serta peraturan lainnya.
2. Aspek kelembagaan, dimana pemerintah daerah harus:
membentuk BPBD; menyiapkan personil profesional ahli;
menyiapkan prasarana dan sarana peralatan serta logistik;
dan mendirikan pusat pengendali operasi serta pusat data,
informasi dan komunikasi.
3. Aspek perencanaan, dimana pemerintah daerah harus:
memasukkan penanggulangan bencana dalam Rencana
Pembangunan (RPJP, RPJM dan RKP Daerah); membuat
perencanaan penanggulangan bencana; membuat
rencana penanggulangan bencana; membuat rencana
kontijensi; membuat rencana operasi darurat; membuat
rencana pemulihan; serta memadukan rencana
penanggulangan bencana dengan rencana tata ruang
wilayah.
4. Aspek pendanaan, dimana pemerintah daerah harus
mengalokasikan anggaran penanggulangan bencana
dalam bentuk: dana rutin dan operasional melalui DIPA;
dana kontijensi dan siap pakai untuk tanggap darurat;
dana pemulihan rehabilitasi dan rekonstruksi; serta
menggalang dan mengawasi pengumpulan dana yang
berasal dari masyarakat
5. Aspek pengembangan kapasitas, yang meliputi:
pengembangan SDM melalui pendidikan, baik formal,

Epidemiologi Bencana 41
informal, maupun non formal; pelatihan (manajerial dan
teknis) serta latihan (drill, simulasi dan gladi);
pengembangan kelembagaan berupa pusat operasi pusat
data dan media center; dan pengembangan infrastruktur
berupa peralatan informatika dan komunikasi (Heryati,
2020).

42 Epidemiologi Bencana
5 Surveilans Bencana

Indikator Keberhasilan
setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta
diharapkan mampu menjelaskan surveilans bencana

A. Surveilans Epidemiologi Bencana


Surveilens bencana adalah upaya untuk mengumpulkan data
pada situasi bencana, data yang dikumpulkan berupa jumlah
korban meninggal, luka sakit, jenis luka, pengobatan yang
dilakukan, kebutuhan yang belum dipenuhi, jumlah korban
anak-anak, dewasa, lansia. Manfaat epidemiologi dalam
Surveilans Bencana (Rahmadiana, 2013) :
1. Mencari faktor resiko ditempat pengungsian seperti air,
sanitasi, kepadatan, kualitas tempat penmapungan.
2. Mengidentifikasi penyebab utama kesakitan dan kematian
sehingga dapat diupayakan pencegahan.
3. Mengidentifikasi pengungsi kelompok rentan seperti
anak-anak, lansia, wanita hamil, sehinggga lebih
memperhaatikan kesehatannya.
4. Pendataan pengungsi di wilayah, jumlah, kepadatan,
golongan, umur, menurut jenis kelamin.
5. Mengidentifikasi kebutuhan seperti gizi
6. Survei epidemologi.
Menurut Rahmadiana tahun 2013 menjelaskan bahwa peranan
surveilans epidemiologi sangat berkontribusi dalam

bencana yaitu :

Epidemiologi Bencana 43
1. Saat bencana : rapid health assesment (RHA), melihat
dampak-dampak apa saja yang ditimbulkan oleh bencana,
seperti berapa jumlah korban, barang-barang apa saja yang
dibutuhkan, peralatan apa yang harus disediakan,berapa
banyak pengungsi lansia,anak-anak, seberapa parah
tingkat kerusakan dan kondisi sanitasi lingkungan.
2. Setelah bencana: data-data yang akan diperoleh dari
kejadian bencana harus dapat dianalisis, dan dibuat
kesimpulan berupa bencana kerja atau kebijakan, misalnya
apa saja yang harus dilakukan masyarakat untuk kembali
dari pengungsian, rekonstruksi dan rehabilitasi seperti apa
yang harus diberikan.
3. Menentukan arah respon/penanggulangan dan menilai
keberhasilan respon/evaluasi.
Manajemen penanggulangan bencana meliputi Fase I
untuk tanggap darurat, fase II untuk fase akut, fase III
untuk recovery (rehabilitasi dan rekonstruksi). Prinsip
dasar penaggulangan bencana adalah pada tahap
preparedness atau kesiapsiagaan sebelum terjadi bencana.

B. Alur Surveilans Bencana


Surveilans bencana mengacu pada proses pengumpulan,
pemantauan, dan analisis data untuk mendeteksi, memantau,
dan merespons bencana alam atau ancaman lainnya. Alur
surveilans bencana melibatkan beberapa tahap penting, yang
dijelaskan di bawah ini:
1. Pemantauan dan Deteksi Awal:
Sistem pemantauan diperlukan untuk mendeteksi
ancaman bencana secara dini. Ini dapat mencakup
jaringan sensor, stasiun pemantauan, dan sistem
peringatan dini. Data dari sensor dan sumber lainnya
dikumpulkan dan dianalisis untuk mengidentifikasi pola

44 Epidemiologi Bencana
atau perubahan yang menunjukkan potensi bencana.
Teknologi seperti pemantauan cuaca, pemantauan
lingkungan, pemantauan seismik, atau penginderaan jauh
dapat digunakan untuk mendapatkan informasi tentang
perubahan dalam kondisi alam yang dapat mengarah pada
bencana.
2. Pemantauan dan Pencitraan:
Data yang dikumpulkan dari sumber-sumber
pemantauan dikonversi menjadi citra, peta, atau informasi
visual lainnya untuk memudahkan pemahaman dan
analisis. Pencitraan dapat melibatkan pemetaan bencana,
penginderaan jarak jauh, atau penggunaan drone untuk
mendapatkan gambaran visual tentang daerah yang
terdampak.
3. Analisis dan Prediksi:
Data yang dikumpulkan dianalisis untuk memahami
karakteristik bencana, pola yang muncul, dan perkiraan
dampaknya. Model dan algoritma pemodelan digunakan
untuk memprediksi kemungkinan skala dan
perkembangan bencana. Prediksi ini dapat mencakup
perubahan cuaca, banjir, gempa bumi, kebakaran hutan,
dan ancaman lainnya yang memungkinkan upaya
penanggulangan dan evakuasi yang lebih baik.
4. Pemantauan dan Komunikasi Terus-Menerus:
Selama bencana, pemantauan yang berkelanjutan
dilakukan untuk memantau perkembangan situasi dan
efeknya. Komunikasi yang efektif antara pihak terkait
seperti badan penanggulangan bencana, otoritas
pemerintah, dan masyarakat umum penting untuk berbagi
informasi terkini dan koordinasi tindakan
penanggulangan.

Epidemiologi Bencana 45
5. Pemulihan dan Evaluasi:
Setelah bencana berlalu, pemantauan dan evaluasi
dilakukan untuk memahami dampak jangka panjang,
melacak pemulihan, dan mengidentifikasi langkah-
langkah perbaikan di masa depan. Data yang dikumpulkan
selama dan setelah bencana digunakan untuk
memperbaiki sistem pemantauan dan meningkatkan
respons di masa mendatang. Alur surveilans bencana ini
bertujuan untuk memberikan informasi yang akurat dan
tepat waktu kepada para pemangku kepentingan yang
terlibat dalam penanggulangan bencana, sehingga mereka
dapat mengambil tindakan yang sesuai untuk melindungi
nyawa dan harta benda.

46 Epidemiologi Bencana
6 Proses Manajemen Bencana

Indikator Keberhasilan
setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta
diharapkan mampu menjelaskan proses manajemen
bencana

A. Tahapan Manajemen Bencana


Dalam upaya menerapkan manajemen penanggulangan
bencana, dilaksanakan melalui 3 (tiga) tahapan sebagai
berikut:
1. Tahap pra-bencana yang dilaksanakan ketika tidak
terjadi bencana dan terdapat potensi bencana
2. Tahap tanggap darurat yang diterapkan dan
dilaksanakan pada saat sedang terjadi bencana.
3. Tahap pasca bencana yang diterapkan setelah terjadi
bencana.

Gambar 6.1 Proses Manajemen Bencana

Epidemiologi Bencana 47
1. Pencegahan, Mitigasi, Kesiapsiagaan
Untuk memahami pencegahan dan mitigasi,
terlampir definisi keduanya berdasarkan UU No. 24/2007.
Pencegahan ialah serangkaian kegiatan yang dilakukan
sebagai upaya untuk menghilangkan dan/ atau
mengurangi ancaman bencana. Sedangkan mitigasi
adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana.
Langkah-langkah pencegahan dan mitigasi dapat
dirangkum dalam akronim H2M yang merupakan
singkatan dari langkah langkah H2M yang berarti :
a. Hilangkan (H) = semua upaya yang mungkin
dilakukan untuk menghilangkan ancaman.
b. Hindari (H) = semua upaya menghindarkan
masyarakat dari ancaman dengan cara
menghilangkan kerentanan yang diakibatkan oleh
adanya ancaman tersebut.
c. Mitigasi (M) = semua upaya untuk mengurangi
dampak yang buruk dan merugikan dari sebuah
ancaman, dilakukan dengan mengurangi kekuatan
dan daya rusak ancaman.
Langkah-langkah pencegahan dan mitigasi ancaman
antara lain:
a. Melakukan analisis/kajian ancaman
b. Melakukan perencanaan pencegahan dan mitigasi.
c. Menentukan langkah pencegahan atau mitigasi yang
bisa dilakukan.
Hal mendasar yang perlu dilakukan untuk mencegah
atau memitigasi adalah mengenali ancaman berdasarkan
sejarah kebencanaan dan prediksi potensi bencana suatu

48 Epidemiologi Bencana
wilayah. Perencanaan pencegahan dan mitigasi, meliputi
aktivitas :
a. Mengidentifikasi ancaman mana yang bisa di cegah
dan dihindari dan mana yang tidak.
b. Menentukan ancaman paling besar yang harus
dihadapi dan langkah-langkah untuk
menghadapinya
c. Mengelaborasi langkah langkah untuk menghindari
ancaman tersebut dengan cara menghilangkan
kerentanan yang relevan dengan ancaman
d. Mengidentifikasi langkah-langkah Mitigasi yang
dapat dilakukan sesuai dengan kondisi daerah dan
kemampuan masyarakat.
e. Menentukan Langkah Pencegahan dan Mitigasi,
serta melakukan rencana aksi.
Kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana dapat
dikategorikan dalam beberapa aspek berupa sembilan
aktivitas sebagai berikut:
a. Pengukuran Awal
Proses yang dinamis antara masyarakat dan lembaga
yang ada untuk :
1) Melakukan pengukuran awal terhadap Risiko
Bencana (bahaya dan kerentanan)
2) Membuat sumber data yang fokus pada bahaya
potensial yang mungkn memberikan pengaruh
3) Mengantisipasi kebutuhan yang muncul dan
sumber daya yang tersedia
b. Perencanaan
Merupakan proses untuk :
1) Memperjelas tujuan dan arah aktivitas
kesiapsiagaan
2) Mengidentifikasi tugas-tugas maupun
tanggungjawab secara lebih spesifik baik oleh

Epidemiologi Bencana 49
masyarakat ataupun lembaga dalam situasi
darurat
3) Melibatkan organisasi yang ada di masyarakat
(grassroots), LSM, pemerintahan lokal maupun
nasional, lembaga donor yang memiliki
komitmen jangka panjang di area yang rentan
tersebut
c. Rencana Institusional
Koordinasi baik secara vertikal maupun horizontal
antara masyarakat dan lembaga yang akan
menghindarkan pembentukan struktur
kelembagaan yang baru dalam kesiapsiagaan
menghadapi bencana, melainkan saling bekerjasama
dalam mengembangkan jaringan dan sistem.
1) Mengukur kekuatan dari komunitas dan
struktur yang tersedia.
2) Mencerminkan tangungjawab terhadap
keahlian yang ada.
3) Memperjelas tugas dan tanggungjawab secara
lugas dan sesuai.
d. Sistem Informasi
Mengkoordinasikan peralatan yang dapat
mengumpulkan sekaligus menyebarkan peringatan
awal mengenai bencana dan hasil pengukuran
terhadap kerentanan yang ada baik di dalam
lembaga maupun antar organisasi yang terlibat
kepada masyarakat luas.
e. Pusat Sumber Daya
Melakukan antisipasi terhadap bantuan dan
pemulihan yang dibutuhkan secara terbuka dan
menggunakan pengaturan yang spesifik. Perjanjian
atau pencatatan tertulis sebaiknya dilakukan untuk

50 Epidemiologi Bencana
memastikan barang dan jasa yang dibutuhkan
memang tersedia, termasuk :
1) Dana bantuan bencana
2) Perencanaan dana bencana
3) Mekanisme kordinasi peralatan yangada
4) Penyimpanan
f. Sistem Peringatan
Harus dikembangkan sebuah cara yang efektif dalam
menyampaikan peringatan kepada masyarakat luas
meskipun tidak tersedia sistem komunikasi yang
memadai. Sebagai pelengkap, masyarakat
internasional juga harus diberikan peringatan
mengenai bahaya yang akan terjadi yang
memungkinkan masuknya bantuan secara
internasional.
g. Mekanisme Respon
Respon yang akan muncul terhadap terjadinya
bencana akan sangat banyak dan datang dari daerah
yang luas cakupannya sehingga harus
dipertimbangkan serta disesuaikan dengan rencana
kesiapsiagaan. Perlu juga dikomunikasikan kepada
masyarakat yang akan terlibat dalam koordinasi dan
berpartisipasi pada saat muncul bahaya.
h. Pelatihan dan Pendidikan terhadap Masyarakat
Dari berbagai jenis program pengetahuan mengenai
bencana, mereka yang terkena ancaman bencana
seharusnya mempelajari dan mengetahui hal-hal apa
saja yang diharapkan dan apa yang harus dilakukan
pada saat bencana tiba. Sebaiknya fasilitator
program pelatihan dan pendidikan sistem
peringatan ini juga mempelajari kebiasaan serta
permasalahan yang ada di masyarakat setempat serta

Epidemiologi Bencana 51
kemungkinan munculnya perbedaan/pertentangan
yang terjadi dalam penerapan rencana.
i. Praktek
Kegiatan mempraktikkan hal-hal yang sudah
dipersiapkan dalam rencana kesiapsiagaan dalam
menghadapi bencana dibutuhkan untuk
menekankan kembali instruksi-instruksi yang
tercakup dalam program, mengidentifikasi
kesenjangan yang mungkin muncul dalam rencana
kesiapsiagaan tersebut. Selain itu, agar didapatkan
informasi tambahan yang berhubungan dengan
perbaikan rencana tersebut.

2. Manajemen Darurat Bencana


Tanggap Darurat adalah rangkaian kegiatan yang
dilakukan segera sesudah kejadian bencana oleh
lembaga pemerintah atau non pemerintah. Secara umum
proses tanggap darurat meliputi:
a. Siaga Darurat
Setelah ada peringatan maka aktivitas yang
pertama kali dilakukan adalah siaga darurat.
Peringatan mengacu pada informasi yang berkaitan
dengan jenis ancaman dan karakteristik yang
diasosiasikan dengan ancaman tersebut. Peringatan
harus disebarkan dengan cepat kepada institusi-
institusi pemerintah, lembaga-lembaga, dan
masyarakat yang berada di wilayah yang berisiko
sehingga tindakan-tindakan yang tepat dapat
diambil, baik mengevakuasi atau menyelamatkan
properti/aset dan mencegah kerusakan lebih lanjut.
Peringatan dapat disebarkan melalui radio, televisi,
media massa tulis (internet), telepon, dan telepon
genggam.

52 Epidemiologi Bencana
b. Pengkajian Cepat
Tujuan utama pengkajian adalah menyediakan
gambaran situasi paska bencana yang jelas dan
akurat. Dengan pengkajian itu dapat
diidentifikasikan kebutuhan-kebutuhan seketika
serta dapat mengembangkan strategi penyelamatan
jiwa dan pemulihan dini. Oleh karena itu tools
pengkajian cepat ini harus responsif pada
kebutuhan korban yang beragam dari sisi umur,
gender dan keadaan fisik dan kebutuhan khususnya.
Sebab pengkajian menentukan pilihan-pilihan
bantuan kemanusiaan, bagaimana menggunakan
sumber daya sebaik-baiknya, atau mengembangkan
permintaan/proposal bantuan berikutnya. Kaji cepat
dialkukan pada umumnya dengan menggunakan
beberapa indikator diantaranya adalah :
1) Jumlah korban meninggal dunia dan luka-luka
2) Tingkat kerusakan infrastruktur
3) Tingkat ketidakberfungsian pelayanan-
pelayanan dasar
4) Cakupan wilayah bencana
5) Kapasitas pemerintah setempat dalam
merespon bencana tersebut
c. Penentuan Status Kedaruratan
Penentuan status kedaruratan dilakukan
setelah pengkajian cepat dilakukan. Penentuan
status dilakukan oleh pemerintah setelah
berkoordinasi dengan tim pengkaji. Penentuan
status dilakukan sesuai dengan skala bencana, dan
status kedaruratan dibagi menjadi tiga:
1) Darurat nasional
2) Darurat propinsi
3) Darurat kabupaten/kota

Epidemiologi Bencana 53
Saat status kedaruratan ditetapkan, tindakan
yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan
Bencana adalah membentuk satuan komando
tanggap darurat yang dipimpin kepala BNPB atau
BPBD. Memberikan kemudahan akses dalam
pengerahan sumber daya manusia, pengerahan
peralatan, pengerahan logistik, imigrasi-cukai-
karantina, izin operasi, pengadaan barang dan jasa,
pengelolaan bantuan, pengelolaan informasi,
pengelolaan keuangan, penyelamatan, komando
terhadap sektor-sektor terkait.
d. Search and Rescue (SAR)
Search and rescue (SAR) adalah proses
mengidentifikasikan lokasi korban bencana yang
terjebak atau terisolasi dan membawa mereka
kembali pada kondisi aman serta pemberian
perawatan medis. Dalam situasi banjir, SAR biasanya
mencari korban yang terkepung oleh banjir dan
terancam oleh naiknya debit air. SAR dilakukan baik
dengan membawa mereka ke tempat aman atau
memberikan makanan dan pertolongan pertama
lebih dahulu hingga mereka dapat dievakuasi. Dalam
kasus setelah gempa bumi, SAR biasanya terfokus
pada orang-orang yang terjebak atau terluka di
dalam bangunan yang roboh.
e. Pencarian, Penyelamatan dan Evakuasi (PPE)
Evakuasi melibatkan pemindahan
warga/masyarakat dari zona berisiko bencana ke
lokasi yang lebih aman. Perhatian utama adalah
perlindungan kehidupan masyarakat dan perawatan
segera bagi mereka yang cedera. Evakuasi sering
berlangsung dalam kejadian seperti banjir, tsunami,
konflik kekerasan, atau longsor (yang bisa juga

54 Epidemiologi Bencana
diawali oleh gempa bumi). Evakuasi yang efektif
dapat dilakukan jika ada:
1) Sistem peringatan yang tepat waktu dan akurat.
2) Identifikasi jalur evakuasi yang jelas dan aman.
3) Identifikasi data dasar tentang penduduk.
4) Kebijakan/peraturan yang memerintahkan
semua orang melakukan evakuasi ketika
perintah diberikan.
5) Program pendidikan publik yang membuat
masyarakat sadar tentang rencana evakuasi.
Dalam kasus bencana yang terjadi perlahan-
lahan seperti kekeringan parah, perpindahan orang
dari wilayah berisiko ke tempat yang lebih aman,
proses evakuasi ini disebut sebagai migrasi akibat
krisis. Perpindahan ini biasanya tidak terorganisasi
dan dikoordinasi oleh otoritas tetapi respon spontan
dari para migran untuk mencari jalan keluar di
tempat lain.
f. Respon and Bantuan (Response and Relief)
Response and relief harus berlangsung sesegera
mungkin; penundaan tidak bisa dilakukan dalam
situasi ini. Oleh karena itu, sangat penting untuk
memiliki rencana kontinjensi sebelumnya. Relief
adalah pengadaan bantuan kemanusiaan berupa
material dan perawatan medis yang dibutuhkan
untuk menyelamatkan dan menjaga
keberlangsungan hidup. Relief juga memampukan
keluarga-keluarga untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan dasar seperti tempat tinggal, pakaian, air,
makanan, dan medis. Perhatikan kebutuhan khusus
bagi bayi, perempuan yang baru melahirkan/sedang
mentsruasi atau perempuan manula. Kebutuhan
dasar juga harus mempertimbangkan hal-hal yang

Epidemiologi Bencana 55
terkait dengan keamanan dan kenyamanan.
Penyediaan bantuan atau layanan biasanya bersifat
gratis pada hari-hari atau minggu-minggu sesudah
terjadinya bencana. Dalam situasi darurat yang
perlahan-lahan namun sangat merusak dan
meningkatkan pengungsian populasi, masa
pemberian bantuan darurat dapat diperpanjang.
g. Pengkajian untuk rehabilitasi dan rekonstruksi.
Beberapa minggu sesudah berlangsungnya
tanggap darurat, pengkajian yang lebih mendalam
tentang kondisi masyarakat korban bencana harus
dilakukan. Langkah ini berkaitan dengan identifikasi
kebutuhan pemulihan masyarakat. Fokus
pengkajian bergeser ke hal-hal vital yang
dibutuhkan masyarakat supaya mereka mampu
melakukan kegiatan sehari-hari secara normal.
Instrumen pengkajian itu harus cukup lengkap
dalam mengidentifikasi kebutuhan yang sangat
beragam.
h. Pengkajian Cepat
Kajian cepat merupakan pengkajian situasi dan
kebutuhan dalam tahap kritis segera sesudah
bencana. Kajian cepat diperlukan untuk
menentukan jenis bantuan yang dibutuhkan melalui
suatu respon. Pada tahap awal situasi darurat,
khususnya bencana yang terjadi secara tiba-tiba, ada
banyak ketidakpastian tentang masalah-masalah apa
yang sebenarnya terjadi. Ketidakpastian ini meliputi:
wilayah yang terkena dampak, jumlah orang yang
membutuhkan pertolongan segera, tingkat
kerusakan pada sarana umum masyarakat, tingkat
ancaman lanjutan, dan kemungkinan-kemungkinan
tentang pertolongan yang bisa dilakukan. Dalam

56 Epidemiologi Bencana
situasi ini, para pengambil keputusan perlu memulai
dengan membangun sebuah gambaran tentang di
mana orang-orang berada, bagaimana kondisi
mereka, apa yang mereka butuhkan, pelayanan-
pelayanan apa yang masih tersedia dan sumber daya
apa saja yang selamat dari bencana. Sistem yang baik
harus memberikan perhatian khusus pada prioritas-
prioritas yang dinyatakan langsung oleh orang-
orang yang terkena dampak, mengidentifikasikan
sumber daya yang mereka miliki, dan tingkat
kemampuan mereka dalam menghadapi situasi
tersebut.
Pengkajian cepat bertujuan:
1) Mengidentifikasikan dampak bencana terhadap
masyarakat, infrastruktur, dan kapasitas
masyarakat untuk pulih.
2) Mengidentifikasikan kelompok-kelompok
paling rentan dalam masyarakat.
3) Mengidentifikasikan kemampuan respon
pemerintah daerah setempat dan kapasitas
internalnya dalam memimpin tanggap darurat
dan pemulihan.
4) Mengidentifikasikan tingkat respon yang
dibutuhkan secara lokal, nasional, dan
internasional (jika dibutuhkan).
5) Mengidentifikasikan kebutuhan-kebutuhan
paling mendesak dalam bantuan dan cara-cara
memenuhinya secara efektif.
6) Membuat rekomendasi yang akan menentukan
prioritas tindakan dan sumber daya yang
dibutuhkan untuk respon segera.
7) Memberikan gambaran tentang masalah-
masalah khusus tentang perkembangan situasi.

Epidemiologi Bencana 57
8) Meminta perhatian terhadap wilayah geografis
atau sektor yang membutuhkan pengkajian
mendalam.
Proses pengkajian cepat:
1) Administrasi informasi yang sudah tersedia
sebelumnya
Pengkajian cepat harus menggunakan
informasi yang berkaitan dengan zona darurat
sebelumnya. Informasi bisa bersumber dari
Pusdalops nasional dan daerah. Informasi
meliputi: lokasi bencana dan cakupan wilayah
yang terkena dampak.
2) Pengorganisasian pengkajian cepat
Pengkajian cepat membutuhkan sistem
kerja yang sudah jelas sebelum bencana. Sistem
kerja meliputi:
a) Alat-alat (tools) yang akan digunakan
b) Metode pengumpulan informasi
c) Subyek informasi kunci (institusi,
kelompok, dan individu)
d) Tempat-tempat yang akan dikunjungi
e) Pembagian tanggung jawab anggota tim
f) Sumber daya yang tersedia untuk
pengkajian termasuk logistik
g) Ketepatan waktu dan kesempatan informasi
h) Bentuk dan proses analisis informasi
i) Mekanisme komunikasi dan penyebaran
hasil
3) Pemilihan sumber-sumber informasi
Sumber informasi terdiri dari sumber
primer dan sumber sekunder. Sumber primer
terdiri dari otoritas setempat, perwakilan
masyarakat dan anggota masyarakat, institusi

58 Epidemiologi Bencana
dan organisasi setempat. Sumber sekunder
terdiri dari database, dokumen dan formulir dari
institusi dan organisasi, dan pers (termasuk
divisi litbang dari organisasi pers).
4) Pengumpulan informasi/data
Pengumpulan informasi dapat dilakukan
dengan berbagai teknik misalnya wawancara
dengan otoritas setempat, observasi lapangan,
wawancara dengan kelompok fokal (focal group
misalnya Forum DRR setempat), kunjungan dari
rumah ke rumah, wawancara dengan subyek
informasi kunci, pertemuan-pertemuan, dan
tinjauan terhadap dokumen. Agar
pengumpulan data cukup mewakili suara yang
beragam maka hindari generalisasi pendapat
atau “sistem perwakilan” suara. Jika bisa
bertanya kepada laki-laki maka pengumpulan
informasi juga harus bisa menangkap pendapat
perempuan, anak-anak dan orang tua/manula
serta orang dengan kebutuhan khusus.
5) Pemrosesan dan validasi informasi
Validasi informasi diawali dari pemilihan
sumber informasi dan menggabungkan nilai
tambah dari pengetahuan terhadap situasi pada
tingkat lokal. Validasi juga dilakukan dengan
membandingkan informasi yang dimiliki
dengan informasi dari institusi atau organisasi
lain yang juga memiliki informasi tentang
kejadian bencana. Tujuannya untuk
mengurangi kesenjangan atau ketidakakuratan
informasi.

Epidemiologi Bencana 59
6) Analisis informasi dan pembuatan laporan
Analisis harus terintegrasi dengan
mempertimbangkan tipe dan besarnya bencana,
zona yang terkena dampak, populasi yang
terkena dampak, tingkat
kerusakan/kematian/kerugian, respon sosial
dan institusional, tingkat reaksi, kebutuhan,
bantuan, kuantitas dan kualitas
pelayanan/penyediaan kebutuhan (kesehatan,
air, energi, tempat tinggal, pembuangan
sampah), keseimbangan penggunaan layanan,
tawaran dan kebutuhan bantuan kemanusiaan.
7) Pelaporan atau aliran informasi
Aliran informasi yang kuat dan sebuah
sistem informasi dari berbagai tingkat, misalnya
lokal, propinsi, dan nasional sangatlah penting.
Informasi yang penting untuk menindaklanjuti
kejadian bencana harus berkelanjutan dan
dinamis pada hari-hari sesudah bencana.
8) Proses pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan merupakan proses
kolektif dan individual dari institusi,
departemen, dan lembaga yang terlibat dalam
pengkajian. Tiap lembaga memiliki mekanisme
pengambilan keputusan tersendiri dan
kebijakan respon tersendiri, namun jika
memungkinkan, keputusan antar lembaga
sebaiknya terkoordinasi dan terintegrasi.

3. Manajemen Pemulihan Bencana


a. Pengertian Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan
semua aspek pelayanan publik atau masyarakat

60 Epidemiologi Bencana
sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca
bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi
atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada
wilayah pasca bencana. Rehabilitasi dilakukan melalui
kegiatan: perbaikan lingkungan daerah bencana,
perbaikan prasarana dan sarana umum, pemberian
bantuan perbaikan rumah masyarakat, pemulihan
sosial psikologis, pelayanan kesehatan, rekonsiliasi
dan resolusi konflik, pemulihan sosial ekonomi
budaya, pemulihan keamanan dan ketertiban,
pemulihan fungsi pemerintahan, serta pemulihan
fungsi pelayanan publik.
Dalam penentuan kebijakan rehabilitasi prinsip
dasar yang digunakan adalah sebagai berikut :
1) Menempatkan masyarakat tidak saja sebagai
korban bencana, namun juga sebagai pelaku aktif
dalam kegiatan rehabilitasi.
2) Kegiatan rehabilitasi merupakan rangkaian
kegiatan yang terkait dan terintegrasi dengan
kegiatan prabencana, tanggap darurat dan
pemulihan dini serta kegiatan rekonstruksi.
3) “Early recovery” dilakukan oleh “Rapid
Assessment Team” segera setelah terjadi bencana.
4) Program rehabilitasi dimulai segera setelah masa
tanggap darurat (sesuai dengan Perpres tentang
penetapan status dan tingkatan bencana) dan
diakhiri setelah tujuan utama rehabilitasi tercapai.
b. Ruang Lingkup Pelaksanaan Rehabilitasi
1) Perbaikan Lingkungan Daerah Bencana
Perbaikan lingkungan fisik meliputi kegiatan:
perbaikan lingkungan fisik untuk kawasan
pemukiman, kawasan industri, kawasan usaha

Epidemiologi Bencana 61
dan kawasan gedung. Indikator yang harus
dicapai pada perbaikan lingkungan adalah
kondisi lingkungan yang memenuhi persyaratan
teknis, sosial, ekonomi, dan budaya serta
ekosistem.
2) Perbaikan Prasarana dan Sarana Umum
Prasarana dan sarana umum adalah jaringan
infrastruktur dan fasilitas fisik yang menunjang
kegiatan kehidupan sosial dan perekonomian
masyarakat. Prasarana umum atau jaringan
infrastruktur fisik disini mencakup : jaringan
jalan/ perhubungan, jaringan air bersih, jaringan
listrik, jaringan komunikasi, jaringan sanitasi dan
limbah, dan jaringan irigasi/ pertanian. Sarana
umum atau fasilitas sosial dan umum mencakup :
fasilitas kesehatan, fasilitas perekonomian,
fasilitas pendidikan, fasilitas perkantoran
pemerintah, dan fasilitas peribadatan.
3) Pemberian Bantuan Perbaikan Rumah
Masyarakat
Yang menjadi target pemberian bantuan
adalah masyarakat korban bencana yang rumah/
lingkungannya mengalami kerusakan struktural
hingga tingkat sedang akibat bencana, dan
masyarakat korban berkehendak untuk tetap
tinggal di tempat semula. Kerusakan tingkat
sedang adalah kerusakan fisik bangunan
sebagaimana Pedoman Teknis (Kementerian PU,
2006) dan/atau kerusakan pada halaman dan/
atau kerusakan pada utilitas, sehingga
mengganggu penyelenggaraan fungsi huniannya.
Untuk bangunan rumah rusak berat atau roboh

62 Epidemiologi Bencana
diarahkan untuk rekonstruksi. Tidak termasuk
sasaran pemberian bantuan rehabilitasi adalah
rumah/lingkungan dalam kategori:
a) Pembangunan kembali (masuk dalam
rekonstruksi)
b) Pemukiman kembali (resettlement dan
relokasi)
c) Transmigrasi keluar daerah bencana
4) Pemulihan Sosial Psikologis
Pemulihan sosial psikologis adalah
pemberian bantuan kepada masyarakat yang
terkena dampak bencana agar dapat berfungsi
kembali secara normal. Sedangkan kegiatan
psikososial adalah kegiatan mengaktifkan
elemen-elemen masyarakat agar dapat kembali
menjalankan fungsi sosial secara normal.
Kegiatan ini dapat dilakukan oleh siapa saja yang
sudah terlatih. Pemulihan sosial psikologis
bertujuan agar masyarakat mampu melakukan
tugas sosial seperti sebelum terjadi bencana, serta
tercegah dari mengalami dampak psikologis lebih
lanjut yang mengarah pada gangguan kesehatan
mental.
5) Pelayanan Kesehatan
Pemulihan pelayanan kesehatan adalah
aktivitas memulihkan kembali segala bentuk
pelayanan kesehatan sehingga minimal tercapai
kondisi seperti sebelum terjadi bencana.
Pemulihan sistem pelayanan kesehatan adalah
semua usaha yang dilakukan untuk memulihkan
kembali fungsi sistem pelayanan kesehatan yang
meliputi: SDM Kesehatan, sarana/prasarana
kesehatan, kepercayaan masyarakat.

Epidemiologi Bencana 63
6) Rekonsiliasi dan Resolusi Konflik
Kegiatan rekonsiliasi adalah merukunkan
atau mendamaikan kembali pihak-pihak yang
terlibat dalam perselisihan, pertengkaran dan
konflik. Sedangkan kegiatan resolusi adalah
memposisikan perbedaan pendapat, perselisihan,
pertengkaran atau konflik dan menyelesaikan
masalah atas perselisihan, pertengkaran atau
konflik tersebut. Rekonsiliasi dan resolusi
ditujukan untuk membantu masyarakat di daerah
bencana untuk menurunkan eskalasi konflik
sosial dan ketegangan serta memulihkan kondisi
sosial kehidupan masyarakat.
7) Pemulihan Sosial Ekonomi Budaya
Pemulihan sosial ekonomi budaya adalah
upaya untuk memfungsikan kembali kegiatan
dan/atau lembaga sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat di daerah bencana. Kegiatan
pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya ditujukan
untuk menghidupkan kembali kegiatan dan
lembaga sosial, ekonomi dan budaya masyarakat
di daerah bencana seperti sebelum terjadi
bencana.
8) Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
Pemulihan keamanan adalah kegiatan
mengembalikan kondisi keamanan dan
ketertiban masyarakat sebagaimana sebelum
terjadi bencana dan menghilangkan gangguan
keamanan dan ketertiban di daerah bencana.
Pemulihan keamanan dan ketertiban ditujukan
untuk membantu memulihkan kondisi keamanan
dan ketertiban masyarakat di daerah bencana
agar kembali seperti kondisi sebelum terjadi

64 Epidemiologi Bencana
bencana dan terbebas dari rasa tidak aman dan
tidak tertib.
9) Pemulihan Fungsi Pemerintahan
Indikator yang harus dicapai pada pemulihan
fungsi pemerintahan adalah :
a) Keaktifan kembali petugas pemerintahan.
b) Terselamatkan dan terjaganya dokumen-
dokumen negara dan pemerintahan.
c) Konsolidasi dan pengaturan tugas pokok dan
fungsi petugas pemerintahan.
d) Berfungsinya kembali peralatan pendukung
tugas-tugas pemerintahan.
e) Pengaturan kembali tugas-tugas
instansi/lembaga yang saling terkait.
10) Pemulihan Fungsi Pelayanan Publik
Pemulihan fungsi pelayanan publik adalah
berlangsungnya kembali berbagai pelayanan
publik yang mendukung kegiatan/kehidupan
sosial dan perekonomian wilayah yang terkena
bencana. Pemulihan fungsi pelayanan publik ini
meliputi : pelayanan kesehatan, pelayanan
pendidikan, pelayanan perekonomian, pelayanan
perkantoran umum/pemerintah, dan pelayanan
peribadatan.

c. Rekonstruksi Pasca Bencana


Rekonstruksi adalah perumusan kebijakan dan
usaha serta langkah-langkah nyata yang terencana
baik, konsisten dan berkelanjutan untuk membangun
kembali secara permanen semua prasarana, sarana
dan sistem kelembagaan, baik di tingkat
pemerintahan maupun masyarakat, dengan sasaran
utama tumbuh berkembangnya kegiatan

Epidemiologi Bencana 65
perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum
dan ketertiban, dan bangkitnya peran dan partisipasi
masyarakat sipil dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat di wilayah pasca bencana.
Rencana Rekonstruksi adalah dokumen yang
akan digunakan sebagai acuan bagi penyelenggaraan
program rekonstruksi pasca-bencana, yang memuat
informasi gambaran umum daerah pasca bencana
meliputi antara lain informasi kependudukan, sosial,
budaya, ekonomi, sarana dan prasarana sebelum
terjadi bencana, gambaran kejadian dan dampak
bencana beserta semua informasi tentang kerusakan
yang diakibatkannya, informasi mengenai sumber
daya, kebijakan dan strategi rekonstruksi, program
dan kegiatan, jadwal implementasi, rencana anggaran,
mekanisme/prosedur kelembagaan pelaksanaan.

d. Ruang Lingkup Pelaksanaan Rekonstruksi


1) Program Rekonstruksi Fisik
Rekonstruksi fisik adalah tindakan untuk
memulihkan kondisi fisik melalui pembangunan
kembali secara permanen prasarana dan sarana
permukiman, pemerintahan dan pelayanan
masyarakat (kesehatan, pendidikan dan lain-lain),
prasarana dan sarana ekonomi (jaringan
perhubungan, air bersih, sanitasi dan drainase,
irigasi, listrik dan telekomunikasi dan lain-lain),
prasarana dan sarana sosial (ibadah, budaya dan
lain-lain.) yang rusak akibat bencana, agar
kembali ke kondisi semula atau bahkan lebih baik
dari kondisi sebelum bencana. Cakupan kegiatan
rekonstruksi fisik mencakup, tapi tidak terbatas
pada, kegiatan membangun kembali sarana dan

66 Epidemiologi Bencana
prasarana fisik dengan lebih baik dari hal-hal
berikut:
a) Prasarana dan sarana;
b) Sarana sosial masyarakat;
c) Penerapan rancang bangun dan penggunaan
peralatan yang lebih baik dan tahan bencana.
2) Program Rekonstruksi Non Fisik
Rekonstruksi non fisik adalah tindakan untuk
memperbaiki atau memulihkan kegiatan
pelayanan publik dan kegiatan sosial, ekonomi
serta kehidupan masyarakat, antara lain sektor
kesehatan, pendidikan, perekonomian,
pelayanan kantor pemerintahan, peribadatan dan
kondisi mental/sosial masyarakat yang terganggu
oleh bencana, kembali ke kondisi pelayanan dan
kegiatan semula atau bahkan lebih baik dari
kondisi sebelumnya. Cakupan kegiatan
rekonstruksi non-fisik di antaranya adalah:
a) Kegiatan pemulihan layanan yang
berhubungan dengan kehidupan sosial dan
budaya masyarakat.
b) Partisipasi dan peran serta
lembaga/organisasi kemasyarakatan, dunia
usaha, dan masyarakat.
c) Kegiatan pemulihan kegiatan perekonomian
masyarakat.
d) Fungsi pelayanan publik dan pelayanan
utama dalam masyarakat.
e) Kesehatan mental masyarakat.

Epidemiologi Bencana 67
e. Koordinasi Penyelenggaraan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi
Koordinasi penyelenggaraan rehabilitasi dan
rekonstruksi diatur dalam Pasal 6 Perka BNPB 17/2010
antara lain:
1) Kebijakan penyelenggaran koordinasi:
a) Koordinasi dilakukan oleh BNPB di tingkat
nasional dan oleh BPBD di tingkat daerah.
b) Menggunakan pendekatan tugas pokok dan
wewenang kementrian atau lembaga, SKPD
dan atau institusi non pemerintah yang
terlibat.
c) Bagi pemerintah daerah yang tidak atau
belum memiliki BPBD maka fungsi koordinasi
berada pada Sekretaris Daerah.
d) Menggunakan pendekatan kemandirian,
saling melengkapi, dankepemimpinan
pemerintah dalam pelaksanaan koordinasi
dengan lembaga internasional, lembaga asing
non-pemerintah, dan lembaga non
pemerintah.
e) Mengarah pada pencapaian efektivitas dan
efisiensi sumberdaya.
f) Menggunakan prinsip integrasi dan
sinkronisasi sumberdaya secara
komprehensif.
2) Kebijakan penyelenggaraan rehabilitasi dan
rekonstruksi:
a) Mendorong eksistensi dan efektivitas
operasionalisasi lembaga BNPB dan atau
BPBD beserta pemangku kepentingan lain
serta kelompok masyarakat yang terlibat
dalampenanggulangan bencana.

68 Epidemiologi Bencana
b) Mengacu pada dokumen perencanaan
nasional dan daerah serta peraturan dan
perundangan sistem perencanaan
pembangunan nasional.
c) Mengacu pada standart pelayanan minimal
yang ditetapkan pemerintah;
d) Mengacu pada rencana tata ruang wilayah
nasional, provinsi dan kabupaten/kota
yangberlaku.
e) Menggunakan pendekatan sosial budaya dan
adat istiadat serta sumberdaya setempat.
f) Menggunakan Standart Nasional Indonesia
(SNI).
g) Mendorong pemahaman masyarakat akan
pengurangan resiko bencana dan
menumbuhkan kesiapsiagaan di daerah
ancaman bencana.

Epidemiologi Bencana 69
70 Epidemiologi Bencana
Kesehatan Lingkungan dan
7 Bencana

Indikator Keberhasilan
setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta
diharapkan mampu menjelaskan Kesehatan
lingkungan dan bencana

A. Definisi Kesehatan Lingkungan


Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health
Organization/WHO), kesehatan lingkungan didefinisikan
sebagai "cabang ilmu kesehatan yang berfokus pada
pemahaman, penelitian, dan pengelolaan faktor-faktor fisik,
kimia, dan biologi di lingkungan yang mempengaruhi
kesehatan manusia."Definisi ini menekankan pentingnya
memahami hubungan antara manusia dan lingkungannya serta
pengaruhnya terhadap kesehatan. Kesehatan lingkungan
WHO mencakup segala aspek lingkungan yang dapat
mempengaruhi kesehatan, baik langsung maupun tidak
langsung. Beberapa faktor kesehatan lingkungan yang menjadi
perhatian WHO meliputi:
1. Kualitas udara: Konsentrasi polutan seperti partikel debu,
gas beracun, dan zat kimia dalam udara yang dapat
berdampak negatif terhadap kesehatan pernapasan dan
sistem kardiovaskular manusia.
2. Kualitas air: Kualitas air minum yang aman, termasuk
pemantauan dan pengendalian terhadap kontaminan
seperti bakteri, virus, bahan kimia, dan logam berat yang
dapat menyebabkan penyakit.

Epidemiologi Bencana 71
3. Sanitasi: Akses terhadap fasilitas sanitasi yang memadai
dan pengelolaan limbah yang tepat untuk mencegah
penyebaran penyakit menular.
4. Kebersihan lingkungan: Praktik-praktik kebersihan yang
baik, termasuk kebersihan pribadi, pengendalian vektor
penyakit, dan pengelolaan sampah yang sehat.
5. Kualitas makanan: Keselamatan pangan, termasuk
pengawasan dan pengendalian terhadap kontaminasi
makanan yang dapat menyebabkan keracunan atau
infeksi.
6. Paparan bahan kimia berbahaya: Pengendalian paparan
terhadap bahan kimia beracun di lingkungan, baik di
tempat kerja maupun di lingkungan umum, untuk
melindungi kesehatan manusia.
Pendekatan kesehatan lingkungan WHO melibatkan
upaya untuk mencegah dan mengurangi beban penyakit dan
kematian yang disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan yang
tidak sehat. Dengan mempromosikan lingkungan yang bersih,
aman, dan sehat, WHO berupaya meningkatkan kualitas hidup
dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan (Oktaviani
et al., n.d.).
Kesehatan lingkungan bencana mengacu pada upaya
untuk melindungi dan mempromosikan kesehatan manusia
dalam situasi bencana. Ini melibatkan pemahaman dan
tindakan yang ditujukan untuk mengurangi risiko kesehatan
yang timbul akibat bencana, serta memulihkan dan
membangun kembali kondisi kesehatan yang baik setelah
bencana terjadi.Kesehatan lingkungan bencana melibatkan
pemahaman tentang bagaimana bencana dapat
mempengaruhi lingkungan fisik dan sosial, serta dampaknya
terhadap kesehatan manusia. Ini termasuk penilaian risiko
terhadap ancaman penyakit menular, kontaminasi air dan
udara, perubahan lingkungan yang mempengaruhi sanitasi

72 Epidemiologi Bencana
dan kebersihan, serta kerusakan infrastruktur Kesehatan
(Yasin et al., n.d.).

B. Pengelolaan Kesehatan Lingkungan Dalam Bencana


1. Peningkatan Kapasitas
Peningkatan kapasitas dalam kondisi bencana sangat
penting untuk memastikan bahwa masyarakat dan
lembaga memiliki kemampuan yang memadai dalam
menghadapi, merespons, dan memulihkan diri dari
bencana. Berikut ini beberapa langkah yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan kapasitas dalam kondisi
bencana:
a. Pendidikan dan pelatihan: Menyediakan pendidikan
dan pelatihan kepada masyarakat dan lembaga terkait
mengenai manajemen bencana, prosedur evakuasi,
pertolongan pertama, penyelamatan, dan
keterampilan lainnya yang diperlukan dalam
menghadapi bencana. Ini dapat dilakukan melalui
program-program pendidikan formal dan non-formal
serta pelatihan khusus yang diselenggarakan oleh
pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan
organisasi-organisasi terkait.
b. Kesadaran dan sosialisasi: Meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang potensi bencana yang mungkin
terjadi di daerah mereka serta langkah-langkah yang
perlu diambil untuk mengurangi risiko dan kerugian.
Melalui kampanye sosialisasi dan edukasi yang efektif,
masyarakat akan lebih siap dalam menghadapi
bencana dan dapat mengambil tindakan pencegahan
yang tepat.
c. Perencanaan darurat: Membangun kapasitas lembaga
pemerintah dan organisasi terkait dalam perencanaan
darurat yang komprehensif. Hal ini melibatkan

Epidemiologi Bencana 73
identifikasi risiko, pengembangan rencana tanggap
darurat, pengaturan jalur komunikasi yang efektif,
serta pelatihan dan simulasi yang melibatkan berbagai
pihak terkait. Perencanaan darurat yang baik akan
memastikan bahwa langkah-langkah mitigasi dan
respons bencana dapat dilakukan secara efektif.
d. Sistem peringatan dini: Memperkuat sistem
peringatan dini yang dapat memberikan informasi
cepat dan akurat tentang ancaman bencana kepada
masyarakat. Ini melibatkan pemasangan sensor dan
perangkat pemantauan yang tepat, serta
pengembangan mekanisme komunikasi yang efektif
untuk menyampaikan peringatan dan instruksi
kepada masyarakat.
e. Infrastruktur dan mitigasi: Meningkatkan
infrastruktur fisik dan mitigasi bencana, seperti
konstruksi bangunan tahan gempa, drainase yang
baik, hutan lindung, dan penataan tata ruang yang
memperhitungkan risiko bencana. Investasi dalam
infrastruktur dan mitigasi bencana jangka panjang
dapat membantu mengurangi dampak bencana dan
melindungi masyarakat.
f. Kolaborasi dan kerjasama: Meningkatkan kerjasama
antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat,
organisasi internasional, dan sektor swasta dalam
upaya peningkatan kapasitas bencana. Kolaborasi ini
dapat melibatkan pertukaran pengetahuan dan
pengalaman, pembagian sumber daya, dan koordinasi
dalam merespons bencana.
g. Peningkatan kapasitas dalam kondisi bencana
membutuhkan upaya berkelanjutan dan kolaborasi
antara berbagai pihak terkait. Dengan meningkatkan
pemahaman, keterampilan, dan infrastruktur yang

74 Epidemiologi Bencana
tepat, masyarakat dan lembaga dapat lebih siap dan
tanggap dalam menghadapi bencana serta
meminimalkan dampaknya.
(Fedryansyah et al., n.d.)
2. Penyakit yang sering muncul pada saat bencana
a. Selama bencana alam atau kejadian darurat lainnya,
ada beberapa penyakit yang cenderung muncul lebih
sering. Beberapa penyakit kesling (kesehatan
lingkungan) yang umum terjadi selama bencana
termasuk:
b. Diare: Infeksi saluran pencernaan yang disebabkan
oleh konsumsi air atau makanan yang terkontaminasi
oleh bakteri, virus, atau parasit. Diare adalah penyakit
yang umum terjadi karena air bersih sering kali sulit
diakses selama bencana.
c. Penyakit pernapasan: Terutama infeksi saluran
pernapasan atas seperti pilek, batuk, dan flu.
Kepadatan populasi yang tinggi dalam pengungsian
atau tempat penampungan sementara, kurangnya
ventilasi, dan kebersihan yang buruk dapat
mempermudah penyebaran infeksi.
d. Penyakit kulit: Infeksi kulit seperti ruam, bisul, atau
dermatitis bisa terjadi akibat kurangnya sanitasi,
kontak langsung dengan air atau tanah yang
terkontaminasi, serta perubahan cuaca atau kondisi
lingkungan yang ekstrem.
e. Demam berdarah: Penyakit yang ditularkan oleh
nyamuk Aedes aegypti yang berkembang biak di air
yang tergenang. Bencana banjir dapat meningkatkan
risiko penyebaran nyamuk ini.
f. Keracunan makanan: Penyakit yang disebabkan oleh
makanan yang terkontaminasi oleh bakteri, racun,
atau zat kimia berbahaya. Selama bencana,

Epidemiologi Bencana 75
pengolahan makanan yang tidak higienis dan
kurangnya fasilitas penyimpanan yang aman dapat
meningkatkan risiko keracunan makanan.
g. Luka dan infeksi: Cidera fisik akibat bencana seperti
luka, goresan, patah tulang, dan luka bakar dapat
menjadi tempat masuknya infeksi jika tidak dirawat
dengan baik.
h. Gangguan kesehatan mental: Tidak hanya gangguan
fisik, bencana juga dapat berdampak pada kesehatan
mental seseorang. Kecemasan, depresi, dan trauma
psikologis seringkali muncul akibat bencana dan
kehilangan yang dialami.
Penting untuk menjaga kebersihan pribadi, akses ke
air bersih, sanitasi yang baik, dan makanan yang aman
selama bencana untuk mengurangi risiko penyakit kesling.
Pemberian vaksinasi yang tepat, pengawasan kesehatan
masyarakat, serta tindakan pencegahan penyakit yang
spesifik juga sangat penting dalam situasi bencana (Strada
Press, 2021).

3. Respon Cepat dalam Pengelolaan Air


Dalam pengelolaan air dalam kesehatan lingkungan
bencana, respons cepat sangat penting untuk
meminimalkan dampak negatif dan melindungi kesehatan
masyarakat. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat
diambil untuk merespons dengan cepat:
a. Penyediaan air bersih: Upaya pertama adalah
memastikan pasokan air bersih yang mencukupi.
Tangki air dan sumber air alternatif seperti sumur
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar
masyarakat. Dalam situasi darurat, penyediaan air
minum dalam kemasan juga diperlukan.

76 Epidemiologi Bencana
b. Sanitasi yang memadai: Sistem sanitasi yang baik
sangat penting untuk mencegah penyebaran
penyakit. Toilet darurat, fasilitas cuci tangan, dan
tempat pembuangan limbah harus disediakan dengan
cepat. Penggunaan sanitasi yang aman dan
pengelolaan limbah yang tepat juga harus ditekankan
kepada masyarakat.
c. Edukasi dan kesadaran masyarakat: Informasi yang
akurat dan terkini harus disebarkan dengan cepat
kepada masyarakat. Melalui kampanye edukasi,
masyarakat dapat diberi tahu tentang praktik-praktik
kebersihan dan pentingnya menjaga kesehatan
pribadi dan lingkungan selama bencana. Selain itu,
pengetahuan tentang penggunaan air bersih dan
sanitasi yang aman juga harus ditingkatkan.
d. Pemantauan kualitas air: Pemantauan kualitas air
secara teratur harus dilakukan untuk memastikan
bahwa pasokan air aman untuk dikonsumsi.
Pemantauan ini melibatkan pengujian air untuk
bakteri, zat kimia berbahaya, atau kontaminan lainnya
yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat.
Jika ditemukan masalah, tindakan perbaikan harus
diambil segera.
e. Koordinasi antar lembaga: Respons cepat
memerlukan koordinasi yang efektif antara
pemerintah, lembaga kesehatan, lembaga bantuan,
dan organisasi masyarakat. Pemahaman yang jelas
tentang peran dan tanggung jawab masing-masing
pihak akan mempercepat proses pengelolaan air dan
kesehatan lingkungan dalam situasi bencana.
f. Ketersediaan fasilitas medis: Fasilitas medis darurat
harus disiapkan dengan cepat untuk merawat mereka
yang terluka atau jatuh sakit akibat bencana. Pasokan

Epidemiologi Bencana 77
air bersih dan sanitasi yang memadai di fasilitas medis
sangat penting untuk menjaga kebersihan dan
mencegah infeksi.
g. Evakuasi yang terkoordinasi: Jika bencana
mengakibatkan pencemaran air yang parah atau
ancaman langsung terhadap keselamatan masyarakat,
evakuasi yang terkoordinasi harus dilakukan.
Pemenuhan kebutuhan dasar seperti air bersih dan
sanitasi harus diperhatikan dalam upaya evakuasi.
h. Respons cepat dalam pengelolaan air dalam kesehatan
lingkungan bencana memerlukan perencanaan,
persiapan, dan koordinasi yang baik. Dengan
mengambil tindakan yang tepat dan efisien, dampak
buruk terhadap kesehatan masyarakat dapat
diminimalkan selama situasi darurat.
(Nugroho et al., 2023)
4. Respon Cepat dalam Kesehatan Lingkungan
Respon cepat dalam kesehatan lingkungan sangat
penting untuk melindungi manusia dan ekosistem dari
dampak negatif lingkungan. Beberapa aspek penting
dalam merespons cepat kesehatan lingkungan adalah
sebagai berikut:
a. Pemantauan Lingkungan: Sistem pemantauan yang
efektif dapat membantu mendeteksi ancaman atau
perubahan lingkungan yang berpotensi
membahayakan kesehatan manusia. Pengawasan
terhadap polusi udara, air, dan tanah, serta
pemantauan terhadap perubahan iklim, dapat
membantu dalam mengambil tindakan yang tepat
waktu.
b. Penilaian Risiko: Evaluasi risiko lingkungan dapat
membantu mengidentifikasi dan memahami potensi
dampak negatif terhadap kesehatan manusia.

78 Epidemiologi Bencana
Penilaian risiko ini harus dilakukan secara cepat dan
komprehensif agar dapat diambil langkah-langkah
perlindungan yang sesuai.
c. Komunikasi Informasi: Komunikasi yang cepat dan
efektif tentang masalah lingkungan kepada
masyarakat sangat penting. Pemberian informasi yang
jelas tentang potensi risiko, tindakan yang diambil,
dan langkah-langkah yang dapat diambil oleh
individu dan masyarakat dapat membantu
meningkatkan kesadaran dan melibatkan partisipasi
aktif dalam menjaga kesehatan lingkungan.
d. Tanggapan Darurat: Dalam situasi darurat lingkungan,
seperti kecelakaan industri atau bencana alam,
respons cepat dan terkoordinasi sangat penting. Pihak
berwenang harus memiliki rencana tanggap darurat
yang baik, termasuk pemadaman kebakaran, evakuasi,
dan penanganan limbah berbahaya, untuk
melindungi kesehatan manusia dan lingkungan
sebanyak mungkin.
e. Pengendalian Polusi: Untuk melindungi kesehatan
lingkungan, tindakan cepat harus diambil untuk
mengendalikan polusi dan mereduksi sumber-sumber
pencemar. Langkah-langkah seperti penggunaan
energi terbarukan, pengolahan limbah yang efisien,
dan penggunaan teknologi ramah lingkungan dapat
membantu mengurangi dampak negatif terhadap
kesehatan manusia dan alam.
Dalam kesimpulan, respons cepat dalam kesehatan
lingkungan membutuhkan pemantauan yang efektif,
penilaian risiko yang komprehensif, komunikasi informasi
yang baik, tanggapan darurat yang terkoordinasi, dan
upaya pengendalian polusi. Dengan langkah-langkah ini,

Epidemiologi Bencana 79
kita dapat melindungi kesehatan manusia dan ekosistem
yang rentan terhadap ancaman lingkungan (Oktari, 2019).
5. Pengelolaan Limbah
Pengelolaan limbah pada saat bencana merupakan
aspek penting dalam upaya penanggulangan bencana.
Limbah yang dihasilkan selama bencana bisa berupa
limbah medis, limbah padat, limbah kimia, dan limbah
lainnya. Pengelolaan yang tepat dan efektif dari limbah ini
sangat penting untuk melindungi lingkungan dan
kesehatan masyarakat.Berikut adalah beberapa prinsip
pengelolaan limbah yang harus diperhatikan saat bencana:
a. Identifikasi dan klasifikasi limbah: Limbah harus
diidentifikasi dan diklasifikasikan dengan benar. Jenis
limbah yang dihasilkan selama bencana dapat
berbeda-beda dan memerlukan perlakuan yang
sesuai. Misalnya, limbah medis harus dipisahkan dari
limbah padat biasa.
b. Pengumpulan dan penyimpanan sementara: Limbah
harus dikumpulkan dengan aman dan disimpan
sementara di tempat yang sesuai. Tempat
penyimpanan sementara harus memenuhi
persyaratan keamanan, termasuk penggunaan wadah
yang tahan bocor dan tanda peringatan yang jelas.
c. Transportasi: Limbah harus diangkut dengan aman
dari tempat penyimpanan sementara ke tempat
pemrosesan atau pembuangan akhir. Penggunaan
kendaraan khusus untuk mengangkut limbah yang
sesuai dengan jenisnya sangat penting untuk
mencegah pencemaran lebih lanjut.
d. Pemrosesan dan pembuangan akhir: Limbah harus
diproses atau dibuang dengan cara yang aman dan
sesuai dengan peraturan lingkungan. Ini bisa meliputi
pengolahan limbah medis, pengolahan limbah padat,

80 Epidemiologi Bencana
atau pemusnahan limbah kimia dengan metode yang
tepat.
e. Perlindungan tenaga kerja: Selama pengelolaan
limbah, perlindungan tenaga kerja harus menjadi
prioritas. Tenaga kerja harus dilengkapi dengan
peralatan pelindung diri (APD) yang sesuai untuk
mencegah terpapar bahan berbahaya.
f. Edukasi dan kesadaran masyarakat: Masyarakat harus
diberikan edukasi mengenai pengelolaan limbah
selama bencana. Informasi mengenai cara
memisahkan dan mengelola limbah di rumah tangga,
serta kesadaran akan dampak limbah terhadap
lingkungan, sangat penting untuk mengurangi risiko
pencemaran.
g. Selain itu, koordinasi antara lembaga pemerintah,
organisasi kemanusiaan, dan lembaga terkait lainnya
juga penting dalam pengelolaan limbah selama
bencana. Dalam situasi darurat, upaya kolaboratif
yang terkoordinasi dapat membantu mengelola
limbah dengan lebih efektif dan mengurangi dampak
negatifnya
(Yasin et al., n.d.)
6. Pemulihan Kesehatan Lingkungan
Pemulihan kesehatan lingkungan setelah bencana
adalah suatu proses yang penting untuk mengembalikan
dan memulihkan ekosistem yang terkena dampak.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk
memulihkan kesehatan lingkungan setelah bencana
adalah sebagai berikut:
a. Evaluasi dan pemantauan: Langkah pertama adalah
melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kerusakan
yang terjadi pada lingkungan setelah bencana. Hal ini
meliputi identifikasi sumber polusi, penilaian kualitas

Epidemiologi Bencana 81
air, tanah, udara, dan analisis dampak terhadap
keanekaragaman hayati. Pemantauan yang
berkelanjutan juga penting untuk memastikan bahwa
pemulihan berjalan dengan baik.
b. Pengelolaan limbah: Bencana seringkali
menghasilkan limbah yang signifikan. Pengelolaan
limbah yang efektif menjadi kunci untuk mengurangi
dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan
lingkungan. Limbah harus dikumpulkan, diproses,
dan dibuang dengan cara yang aman dan sesuai
dengan peraturan lingkungan yang berlaku.
c. Pembersihan dan rehabilitasi: Setelah bencana, area
yang terkena dampak harus dibersihkan dari sampah,
reruntuhan, dan kontaminan lainnya. Ini meliputi
pembersihan permukaan tanah, sungai, dan sumber
air lainnya. Selain itu, rehabilitasi habitat alami dan
penanaman kembali vegetasi yang hilang juga penting
untuk mengembalikan fungsi ekosistem.
d. Pemulihan kualitas air: Bencana seringkali
mengakibatkan pencemaran air yang serius. Untuk
memulihkan kualitas air, diperlukan langkah-langkah
seperti pengobatan air, pemantauan kualitas air secara
teratur, dan rehabilitasi sumber daya air seperti
sungai, danau, atau reservoir yang terdampak.
e. Perlindungan keanekaragaman hayati: Bencana dapat
berdampak negatif pada keanekaragaman hayati.
Untuk memulihkan lingkungan, penting untuk
melindungi dan merehabilitasi habitat alami serta
mengembalikan spesies yang terancam punah. Ini
dapat melibatkan program penanaman kembali
tumbuhan asli, pelestarian habitat, dan pemulihan
ekosistem yang rusak.

82 Epidemiologi Bencana
f. Kesadaran masyarakat dan pendidikan: Penting untuk
melibatkan masyarakat dalam upaya pemulihan
kesehatan lingkungan setelah bencana. Hal ini dapat
dilakukan dengan meningkatkan kesadaran
masyarakat tentang pentingnya lingkungan yang
sehat, mengedukasi mereka tentang praktik-praktik
yang berkelanjutan, dan melibatkan mereka dalam
kegiatan pemulihan.
g. Pemulihan kesehatan lingkungan setelah bencana
adalah tugas yang kompleks dan membutuhkan
kerjasama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah,
lembaga lingkungan, organisasi masyarakat, dan
masyarakat secara keseluruhan.
(Zainal Fatoni, n.d.-b)

Epidemiologi Bencana 83
84 Epidemiologi Bencana
Masalah Air Bersih dan Air Minum
8 saat Bencana

Indikator Keberhasilan
setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta
diharapkan mampu menjelaskan masalah air bersih
dan air minum saat bencana

A. Definisi Air Minum Dan Air Bersih


Air bersih adalah air yang bebas dari kontaminan atau zat-
zat yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Air bersih
biasanya diperoleh dari sumber air alami seperti sungai, danau,
atau mata air, serta melalui proses pengolahan yang bertujuan
untuk menghilangkan kontaminan seperti bakteri, virus, bahan
kimia, zat organik, dan partikel-partikel lain yang dapat
mengganggu kualitas air.
Air minum adalah air yang aman dan layak dikonsumsi
oleh manusia. Air minum harus memenuhi standar kesehatan
yang ditetapkan oleh otoritas kesehatan setempat atau badan
internasional seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Air
minum yang aman harus bebas dari mikroorganisme patogen
(seperti bakteri, virus, dan parasit) yang dapat menyebabkan
penyakit, serta bebas dari bahan kimia berbahaya yang
melebihi batas yang diizinkan.
Perbedaan utama antara air bersih dan air minum terletak
pada standar kualitas yang harus dipenuhi. Air bersih dapat
digunakan untuk berbagai keperluan seperti mandi, mencuci
pakaian, atau keperluan industri, tetapi tidak selalu aman
untuk diminum. Sementara itu, air minum harus memenuhi

Epidemiologi Bencana 85
standar yang ketat agar aman untuk dikonsumsi oleh manusia
dan digunakan dalam persiapan makanan dan minuman
(Ambarwati, n.d.).

B. Standar Minimum Kebutuhan Air Bersih Dan Air Minum


Standar minimum untuk kebutuhan air bersih dan air
minum dapat bervariasi tergantung pada sumber yang
dikonsultasikan dan negara tempat tinggal. Namun, di bawah
ini adalah beberapa pedoman umum yang biasanya digunakan:
1. Air Bersih:
a. PBB merekomendasikan akses minimum 20 liter per
orang per hari untuk pemenuhan kebutuhan dasar
seperti minum, kebersihan pribadi, persiapan
makanan, dan sanitasi dasar.
b. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga
merekomendasikan akses minimal 20-50 liter per
orang per hari untuk memenuhi kebutuhan dasar.
2. Air Minum:
a. WHO merekomendasikan akses minimal 50 liter per
orang per hari untuk memenuhi kebutuhan dasar
minum, kebersihan pribadi, persiapan makanan,
sanitasi dasar, dan mencukupi kebutuhan higiene.
b. Standar air minum yang ditetapkan oleh Badan
Kesehatan Dunia (WHO) dan negara-negara tertentu,
seperti Amerika Serikat, biasanya melibatkan
pengujian kualitas air terhadap parameter-parameter
tertentu seperti kekeruhan, kandungan zat kimia,
bakteri, dan virus.
Penting untuk dicatat bahwa standar ini bertujuan untuk
memastikan bahwa setiap individu memiliki akses ke jumlah air
yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Namun, dalam kondisi tertentu seperti bencana alam atau
konflik, pasokan air bisa menjadi terbatas, dan akses yang

86 Epidemiologi Bencana
memadai mungkin tidak selalu terpenuhi. Selain itu, di
beberapa negara atau wilayah, standar minimum ini mungkin
tidak selalu tercapai (Ambarwati, n.d.).

C. Sumber Air Bersih dan Pengolahannya


1. Sumber Air Bersih
Sumber air bersih adalah sumber-sumber alami atau
sistem yang menyediakan air yang aman dan layak konsumsi
manusia. Beberapa sumber air bersih yang umum
digunakan meliputi:
a. Mata Air: Mata air adalah sumber air yang muncul
secara alami dari dalam tanah. Air dari mata air sering
kali dianggap sebagai air paling murni karena belum
tercemar oleh polusi lingkungan.
b. Sungai dan Danau: Sungai dan danau adalah sumber air
bersih yang penting. Namun, kebersihan air di sungai
dan danau dapat dipengaruhi oleh kegiatan manusia,
seperti pembuangan limbah industri atau domestik.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pengolahan air
sebelum dikonsumsi.
c. Akuifer: Akuifer adalah lapisan air di bawah permukaan
tanah yang tersimpan dalam formasi geologi seperti
batuan atau pasir. Akuifer dapat menjadi sumber air
bersih yang penting melalui sumur bor atau sumur
artesis.
d. Hujan: Air hujan yang jatuh dapat dikumpulkan melalui
sistem pengumpulan air hujan, seperti genting atau
tangki penyimpanan. Air hujan ini kemudian dapat
diolah untuk dikonsumsi atau digunakan untuk
keperluan lain yang membutuhkan air bersih.
e. Desalinasi: Desalinasi adalah proses menghilangkan
garam dan mineral lain dari air laut atau air asin untuk
menghasilkan air bersih. Ini menjadi sumber air bersih

Epidemiologi Bencana 87
yang penting di daerah-daerah dengan pasokan air
tawar yang terbatas.
f. Air Limbah yang Diolah: Air limbah dari proses
pengolahan limbah atau domestik dapat diolah kembali
melalui berbagai proses pengolahan air sehingga dapat
digunakan kembali. Ini dikenal sebagai daur ulang air
atau reclamation air (Frisca Andini & Ahlussunnah
Bukittinggi, n.d.).

2. Pengolahan Air Bersih


Pengolahan air bersih adalah proses atau rangkaian
kegiatan yang dilakukan untuk mengubah air yang tidak
layak atau terkontaminasi menjadi air yang aman dan layak
digunakan untuk berbagai keperluan, seperti konsumsi
manusia, keperluan industri, atau keperluan pertanian.
Pengolahan air bersih penting untuk menjaga kesehatan
masyarakat dan menjaga kualitas lingkungan.Berikut ini
adalah beberapa tahapan umum dalam pengolahan air
bersih:
a. Pengambilan Air Mentah (Intake): Air mentah diambil
dari sumber air seperti sungai, danau, atau sumur. Pada
tahap ini, air mentah dapat mengandung partikel-
padatan, zat organik, mikroorganisme, dan polutan
lainnya.
b. Penyaringan (Screening): Air mentah melewati filter
atau saringan untuk menghilangkan partikel-padatan
besar seperti daun, cabang, dan sampah lainnya.
c. Koagulasi: Koagulan seperti aluminium sulfat atau
polielektrolit ditambahkan ke air mentah. Koagulan ini
membantu menggumpalkan partikel-partikel kecil yang
terlarut atau tersuspensi dalam air, membentuk flok
yang lebih besar.

88 Epidemiologi Bencana
d. Flokulasi: Dalam tahap ini, air bergerak secara perlahan
untuk memungkinkan flok-flok besar yang terbentuk
dalam tahap koagulasi bergabung dan membentuk flok
yang lebih besar dan berat.
e. Sedimentasi: Air yang mengandung flok-flok besar ini
kemudian dibiarkan berada dalam tangki sedimentasi
yang luas dan dangkal. Flok-flok tersebut akan
mengendap di bagian bawah tangki karena beratnya.
Air yang jernih di bagian atas tangki akan diambil
sebagai air yang telah mengalami sedimentasi.
f. Filtrasi: Air hasil sedimentasi melewati lapisan media
filter seperti pasir, kerikil, atau karbon aktif untuk
menghilangkan partikel-partikel halus dan
mikroorganisme yang masih tersuspensi.
g. Desinfeksi: Untuk membunuh mikroorganisme yang
masih ada dalam air, desinfektan seperti klorin, ozon,
atau ultraviolet (UV) digunakan. Desinfektan ini
membantu mencegah penyakit yang dapat ditularkan
melalui air yang diminum.
h. Pengolahan Lanjutan (Opsional): Beberapa instalasi
pengolahan air bersih mungkin melibatkan langkah-
langkah tambahan, seperti pengolahan dengan
menggunakan membran, adsorpsi, atau proses kimia
lainnya, tergantung pada kualitas air mentah dan
kebutuhan spesifik penggunaan air tersebut.
i. Penyimpanan: Air yang telah melalui tahap pengolahan
disimpan dalam tangki penampungan sebelum
didistribusikan ke konsumen.
j. Distribusi: Air bersih yang telah diolah kemudian
didistribusikan melalui sistem perpipaan atau tangki
pengangkutan ke berbagai pengguna, seperti rumah
tangga, industri, atau pertanian.

Epidemiologi Bencana 89
Selain tahapan-tahapan tersebut, pengolahan air bersih
juga melibatkan pengujian dan pemantauan rutin untuk
memastikan kualitas air tetap terjaga sepanjang sistem
pengolahan dan distribusi. Standar dan regulasi yang ketat
juga diterapkan untuk memastikan air yang dihasilkan
memenuhi persyaratan kesehatan dan lingkungan yang
ditetapkan (Frisca Andini & Ahlussunnah Bukittinggi, n.d.).
3. Sumber Air Minum Dan Pengolahannya
Sumber air minum dapat berasal dari berbagai sumber,
baik alami maupun buatan. Berikut adalah beberapa sumber
air minum umum dan metode pengolahannya:
a. Sumber Air Tanah: Air tanah diambil dari sumur bor
atau sumur gali yang mencapai lapisan air tanah.
Metode pengolahan air tanah meliputi penyaringan,
pengendapan, aerasi (penghembusan udara), dan
desinfeksi dengan menggunakan bahan kimia seperti
klorin atau ultraviolet (UV) untuk menghilangkan
bakteri dan mikroorganisme.
b. Sumber Air Permukaan: Air permukaan berasal dari
sungai, danau, waduk, atau reservoir. Untuk mengolah
air permukaan menjadi air minum, umumnya dilakukan
beberapa tahap pengolahan, seperti penyaringan kasar
untuk menghilangkan partikel besar, pengendapan
untuk mengendapkan lumpur, filtrasi halus untuk
menghilangkan partikel halus, aerasi untuk
menghilangkan gas terlarut, dan desinfeksi dengan
bahan kimia atau UV.
c. Sumber Air Hujan: Air hujan dapat dikumpulkan dari
atap bangunan menggunakan sistem pengumpulan air
hujan. Air hujan biasanya memiliki kadar polusi rendah,
tetapi perlu diolah sebelum dikonsumsi. Pengolahan air
hujan meliputi penyaringan dengan karbon aktif atau
keramik, pengendapan, dan desinfeksi.

90 Epidemiologi Bencana
d. Sumber Air Sungai Bawah Tanah: Beberapa daerah
memiliki sungai bawah tanah yang mengalir di dalam
gua atau terowongan bawah tanah. Air dari sungai
bawah tanah ini dapat diolah dengan proses yang mirip
dengan pengolahan air tanah.
e. Proses pengolahan air minum umumnya meliputi
tahap-tahap seperti penyaringan, pengendapan, filtrasi,
aerasi, dan desinfeksi. Proses ini dapat bervariasi
tergantung pada sumber air dan standar kualitas air
yang ditetapkan oleh otoritas kesehatan setempat.

D. Masalah Air Bersih Dan Air Minum Saat Bencana


Air bersih dan air minum adalah kebutuhan dasar yang
sangat penting, terutama dalam situasi darurat seperti bencana
alam. Masalah yang terkait dengan air bersih dan air minum
saat bencana bisa menjadi sangat serius dan berpotensi
menyebabkan krisis kesehatan. Berikut adalah beberapa
masalah umum yang terkait dengan air bersih dan air minum
saat bencana, beserta beberapa solusi yang mungkin dapat
diterapkan:
1. Kontaminasi air: Bencana seperti banjir, gempa bumi, atau
badai dapat mengakibatkan pencemaran air dengan
limbah, zat kimia, atau patogen penyakit. Air yang
terkontaminasi dapat menyebabkan penyakit seperti
diare, kolera, atau infeksi saluran pernapasan.
Solusi:
a. Mendirikan atau memperluas pusat penyediaan air
bersih yang aman dan terkelola dengan baik.
b. Menyediakan sumber air alternatif seperti sumur gali
dangkal atau sumur pompa yang aman.
c. Menggunakan sistem pemurnian air sederhana
seperti pembersihan dengan kaporit atau penjernihan
dengan filter.

Epidemiologi Bencana 91
2. Ketersediaan air terbatas: Bencana seringkali mengganggu
pasokan air yang biasa, seperti kerusakan infrastruktur
pipa atau gangguan pasokan listrik yang mempengaruhi
pompa air. Hal ini menyebabkan ketersediaan air terbatas
bagi penduduk terdampak bencana. Solusi:
a. Mendistribusikan air dalam jumlah yang cukup
melalui truk tangki air atau distribusi botol air minum.
b. Memperbaiki atau mengganti infrastruktur air yang
rusak secepat mungkin.
c. Menggunakan teknologi sederhana seperti
penampungan air hujan atau alat desalinasi darurat
untuk menghasilkan air minum.
3. Akses terbatas ke air bersih: Bencana dapat
mengakibatkan kerusakan pada jaringan jalan, jembatan,
atau infrastruktur lainnya, sehingga membuat akses ke
sumber air bersih menjadi sulit. Solusi:
a. Mendirikan titik distribusi air di sekitar daerah
terdampak.
b. Menggunakan helikopter atau sarana transportasi
udara lainnya untuk mengirimkan pasokan air ke
daerah-daerah terpencil.
c. Melibatkan organisasi bantuan dan relawan dalam
mendistribusikan air ke daerah-daerah terisolasi.
4. Kurangnya pengetahuan tentang sanitasi: Selama
bencana, penting untuk menerapkan praktik sanitasi yang
baik guna mencegah penyebaran penyakit. Namun,
kurangnya pengetahuan tentang sanitasi dapat menjadi
masalah serius. Solusi:
a. Memberikan edukasi tentang pentingnya sanitasi
yang baik dan praktik-praktik yang diperlukan dalam
situasi darurat.
b. Menyediakan peralatan sanitasi seperti sabun, tisu,
atau sanitiser tangan kepada penduduk terdampak.

92 Epidemiologi Bencana
c. Melibatkan petugas kesehatan atau relawan untuk
memberikan informasi dan pelatihan langsung
tentang sanitasi.
d. Dalam situasi darurat bencana, koordinasi antara
pemerintah, organisasi bantuan, dan masyarakat
sangat penting untuk mengatasi masalah air bersih
dan air minum. Upaya pencegahan sebelum bencana,
termasuk perencanaan darurat dan latihan evakuasi,
juga dapat membantu mengurangi dampak yang
ditimbulkan oleh masalah ini.

Epidemiologi Bencana 93
94 Epidemiologi Bencana
9 Mitigasi Bencana

Indikator Keberhasilan
setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta
diharapkan mampu menjelaskan mitigasi bencana

A. Konsep Pengurangan Risiko Bencana


1. Bahaya (Hazard)
Bahaya adalah suatu fenomena alam atau buatan yang
mempunyai potensi mengancam kehidupan manusia,
kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan.
Berdasarkan United Nations-International Strategy for
Disaster Reduction (UN-ISDR), bahaya ini dibedakan
menjadi lima kelompok, yaitu:
a. Bahaya beraspek geologi, antara lain gempa bumi,
Tsunami, gunungapi, gerakan tanah (mass movement)
sering dikenal sebagai tanah longsor.
b. Bahaya beraspek hidrometeorologi, antara lain: banjir,
kekeringan, angin topan, gelombang pasang.
c. Bahaya beraspek biologi, antara lain: wabah penyakit,
hama dan penyakit tanaman dan hewan/ternak.
d. Bahaya beraspek teknologi, antara lain: kecelakaan
transportasi, kecelakaan industri, kegagalan
teknologi.
e. Bahaya beraspek lingkungan, antara lain: kebakaran
hutan, kerusakan lingkungan, pencemaran limbah.
Bumi tempat kita tinggal secara alami mengalami
perubahan secara dinamis untuk mencapai suatu

Epidemiologi Bencana 95
keseimbangan. Akibat proses-proses dari dalam bumi dan
dari luar bumi, bumi membangun dirinya yang
ditunjukkan dengan pergerakan kulit bumi, pembentukan
gunungapi, pengangkatan daerah dataran menjadi
pegunungan yang merupakan bagian dari proses internal.
Sedangkan proses eksternal yang berupa hujan, angin,
serta fenomena iklim lainnya cenderung melakukan
‘perusakan’ morfologi melalui proses degradasi
(pelapukan batuan, erosi dan abrasi). Proses alam tersebut
berjalan terus menerus dan mengikuti suatu pola tertentu
yang oleh para ahli ilmu kebumian dapat diterangkan
dengan lebih jelas sehingga dapat dipetakan. Proses
perubahan secara dinamis dari bumi ini dipandang sebagai
potensi ancaman bahaya bagi manusia yang tinggal
diatasnya.
2. Kerentanan (Vulnerability)
Kerentanan merupakan suatu kondisi dari suatu
komunitas atau masyarakat yang mengarah atau
menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi
ancaman bahaya. Tingkat kerentanan adalah suatu hal
penting untuk diketahui sebagai salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap terjadinya bencana, karena
bencana baru akan terjadi bila ‘bahaya’ terjadi pada
‘kondisi yang rentan’, seperti yang dikemukakan Awotona
(1997:1-2): “…... Natural disasters are the interaction
between natural hazards and vulnerable condition”.
Tingkat kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan
fisik (infrastruktur), sosial kependudukan, dan ekonomi.
Kerentanan fisik (infrastruktur) menggambarkan suatu
kondisi fisik (infrastruktur) yang rawan terhadap faktor
bahaya (hazard) tertentu. Kondisi kerentanan ini dapat
dilihat dari berbagai indikator sebagai berikut : persentase
kawasan terbangun; kepadatan bangunan; persentase

96 Epidemiologi Bencana
bangunan konstruksi darurat; jaringan listrik; rasio
panjang jalan; jaringan telekomunikasi; jaringan PDAM;
dan jalan KA. Wilayah permukiman di Indonesia dapat
dikatakan berada pada kondisi yang sangat rentan karena
persentase kawasan terbangun, kepadatan bangunan dan
bangunan konstruksi darurat di perkotaan sangat
tinggi sedangkan persentase, jaringan listrik, rasio
panjang jalan, jaringan telekomunikasi, jaringan PDAM,
jalan KA sangat rendah.
Kerentanan sosial menggambarkan kondisi tingkat
kerapuhan sosial dalam menghadapi bahaya (hazards).
Pada kondisi sosial yang rentan maka jika terjadi bencana
dapat dipastikan akan menimbulkan dampak kerugian
yang besar. Beberapa indikator kerentanan sosial antara
lain kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk,
persentase penduduk usia tua-balita dan penduduk. Kota-
kota di Indonesia memiliki kerentanan sosial yang tinggi
karena memiliki prosentase yang tinggi pada indikator-
indikator tersebut.
Kerentanan ekonomi menggambarkan suatu kondisi
tingkat kerapuhan ekonomi dalam menghadapi ancaman
bahaya (hazards). Beberapa indikator kerentanan ekonomi
diantaranya adalah persentase rumah tangga yang bekerja
di sektor rentan (sektor yang rawan terhadap pemutusan
hubungan kerja) dan persentase rumah tangga miskin.
Beberapa indikator kerentanan fisik, ekonomi dan sosial
tersebut di atas menunjukkan bahwa wilayah Indonesia
memiliki tingkat kerentanan yang tinggi, sehingga hal ini
mempengaruhi/menyebabkan tingginya risiko terjadinya
bencana di wilayah Indonesia.

3. Risiko Bencana (Disaster Risk)

Epidemiologi Bencana 97
Dalam disiplin penanggulangan bencana (disaster
management), risiko bencana adalah interaksi antara
tingkat kerentanan daerah dengan ancaman bahaya
(hazards) yang ada. Ancaman bahaya, khususnya bahaya
alam bersifat tetap karena bagian dari dinamika proses
alami pembangunan atau pembentukan roman muka
bumi baik dari tenaga internal maupun eksternal,
sedangkan tingkat kerentanan daerah dapat dikurangi,
sehingga kemampuan dalam menghadapi ancaman
tersebut semakin meningkat.
Risiko bencana pada wilayah Indonesia yang tinggi
tersebut disebabkan oleh potensi bencana/hazards yang
dimiliki wilayah-wilayah tersebut yang memang sudah
tinggi, ditambah dengan tingkat kerentanan yang sangat
tinggi pula. Sementara faktor lain yang mendorong
semakin tingginya risiko bencana ini adalah menyangkut
pilihan masyarakat (public choice). Banyak penduduk
yang memilih atau dengan sengaja tinggal di kawasan yang
rawan/rentan terhadap bencana dengan berbagai alasan
seperti kesuburan tanah, atau peluang (opportunity)
lainnya yang dijanjikan oleh lokasi tersebut. Dalam
kaitannya dengan pengurangan risiko bencana, maka
upaya yang dapat dilakukan adalah melalui pengurangan
tingkat kerentanan, karena hal tersebut relatif lebih
mudah dibandingkan dengan mengurangi/memperkecil
bahaya/hazard (Indonesia. Badan Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana. Pelaksana Harian. 2007).

B. Mitigasi Bencana Tanah Longsor


Longsoran merupakan salah satu jenis gerakan massa
tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni
atau keluar lereng akibat dari terganggunya kestabilan tanah
atau batuan penyusun lereng tersebut. Ada 6 jenis tanah

98 Epidemiologi Bencana
longsor, yakni: longsoran translasi, longsoran rotasi,
pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan tanah, dan aliran
bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling
banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling
banyak memakan korban jiwa manusia adalah aliran bahan
rombakan.
Upaya mitigasi dan pengurangan bencana pada tanah
longsor sebagai berikut:
1. Hindarkan daerah rawan bencana untuk pembangunan
permukiman dan fasilitas utama lainnya.
2. Mengurangi tingkat keterjalan lereng.
3. Meningkatkan/memperbaiki dan memelihara drainase
baik air permukaan maupun air tanah (fungsi drainase
adalah untuk menjauhkan air dari lereng, menghindari air
meresap ke dalam lereng atau menguras air dalam lereng
ke luar lereng. Jadi drainase harus dijaga agar jangan
sampai tersumbat atau meresapkan air ke dalam tanah).
4. Pembuatan bangunan penahan, jangkar (anchor) dan
pilling. Terasering dengan system drainase yang tepat
(drainase pada teras-teras dijaga jangan sampai menjadi
jalan meresapnya air ke dalam tanah).
5. Penghijauan dengan tanaman yang sistem perakarannya
dalam dan jarak tanam yang tepat (khusus untuk lereng
curam, dengan kemiringan lebih dari 40 derajat atau
sekitar 80 % sebaiknya tanaman tidak terlalu rapat serta
diselingi dengan tanaman – tanaman yang lebih pendek
dan ringan, di bagian dasar ditanam rumput).
6. Sebaiknya dipilih tanaman lokal yang digemari
masyarakat, dan tanaman tersebut harus secara teratur
dipangkas ranting-rantingnya/ cabang- cabangnya atau
dipanen.
7. Khusus untuk aliran butir dapat diarahkan dengan
pembuatan saluran.

Epidemiologi Bencana 99
8. Khusus untuk runtuhan batu dapat dibuatkan tanggul
penahan baik berupa bangunan konstruksi, tanaman
maupun parit.
9. Pengenalan daerah yang rawan longsor.
10. Identifikasi daerah yang aktif bergerak, dapat dikenali
dengan adanya rekahan rekahan berbentuk ladam (tapal
kuda).
11. Hindarkan pembangunan di daerah yang rawan longsor.
12. Mendirikan bangunan dengan pondasi yang kuat.
13. Melakukan pemadatan tanah disekitar perumahan.
14. Stabilisasi lereng dengan pembuatan terase dan
penghijauan.
15. Pembuatan tanggul penahan untuk runtuhan batuan
(rock fall).
16. Penutupan rekahan rekahan diatas lereng untuk
mencegah air masuk secara cepat kedalam tanah.
17. Pondasi tiang pancang sangat disarankan untuk
menghindari bahaya liquifaction.
18. Pondasi yang menyatu, untuk menghindari penurunan
yang tidak seragam (differential settlement).
19. Utilitas yang ada didalam tanah harus bersifat fleksibel.
20. Dalam beberapa kasus relokasi sangat disarankan.

C. Mitigasi Bencana Kekeringan


Kekeringan adalah hubungan antara ketersediaan air yang
jauh di bawah kebutuhan air baik untuk kebutuhan hidup,
pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan.
Penanggulangan kekeringan disusun dan dirancang
berdasarkan kepada hasil peramalan dan monitoring, hasil dari
penilaian kemungkinan dampak atau besar dampak,
ketersediaan dana dan teknologi antisipasi, mitigasi, dan
pemulihan, kesiapan kelembagaan dan SDM.

100 Epidemiologi Bencana


Adapun upaya mitigasi dan pengurangan bencana yang
dapat dilakukan diantaranya:
1. Penyusunan peraturan pemerintah tentang pengaturan
sistem pengiriman data iklim dari daerah ke pusat
pengolahan data.
2. Penyusunan PERDA untuk menetapkan skala prioritas
penggunaan air dengan memperhatikan historical right
dan azas keadilan.
3. Pembentukan pokja dan posko kekeringan pada tingkat
pusat dan daerah.
4. Penyediaan sarana komunikasi khusus antar Pokja/Posko
Daerah dan Pokja/Posko Pusat.
5. Penyediaan anggaran khusus untuk pengembangan/
perbaikan jaringan pengamatan iklim pada daerah-daerah
rawan kekeringan.
6. Penyiapan dana, sarana dan prasarana (termasuk sistem
distribusinya) untuk pelaksanaan program antisipatif dan
mitigasi dampak kekeringan yang tidak terikat dengan
sistem tahun anggaran sehingga langkah operasional
dapat dilakukan tepat waktu.
7. Penyusunan sistem penilaian wilayah rawan dan potensi
dampak kekeringan yang terkomputerisasi sampai tingkat
desa.
8. Penyusunan peta rawan kekeringan di Indonesia.
9. Penentuan teknologi antisipatif (pembuatan embung,
teknologi pemanenan hujan, penyesuaian pola tanam dan
teknologi budidaya dll) dan sistem pengiliran air irigasi
yang disesuaikan dengan hasil prakiraan iklim.
10. Peningkatan kemampuan tenaga lokal dalam
melokalisasikan prakiraan iklim yang bersifat global.
11. Pengembangan sistem reward dan punishment bagi
masyarakat yang melakukan upaya konservasi dan
rehabilitasi sumberdaya air dan lahan.

Epidemiologi Bencana 101


D. Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan dan lahan, adalah perubahan langsung
atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan atau hayatinya yang
menyebabkan kurang berfungsinya hutan atau lahan dalam
menunjang kehidupanan yang berkelanjutan sebagai akibat
dari penggunaan api yang tidak terkendali maupun faktor alam
yang dapat mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan dan
atau lahan.
Upaya mitigasi dan pengurangan bencana kebakaran
hutan sebagai berikut:
1. Kampanye dan sosialisasi kebijakan pengendalian
kebakaran lahan dan hutan.
2. Peningkatan masyarakat peduli api (MPA).
3. Peningkatan penegakan hukum
4. Pembentukan pasukan pemadaman kebakaran khususnya
untuk penanggulangan kebakaran secara dini.
5. Pembuatan waduk (embung) di daerahnya untuk
pemadaman api.
6. Pembuatan sekat bakar, terutama antara lahan,
perkebunan, pertanian dengan hutan.
7. Hindarkan pembukaan lahan dengan cara pembakaran.
8. Hindarkan penanaman tanaman sejenis untuk daerah
yang luas.
9. Melakukan pengawasan pembakaran lahan untuk
pembukaan lahan secara ketat.
10. Melakukan penanaman kembali daerah yang telah
terbakar dengan tanaman yang heterogen.
11. Partisipasi aktif dalam pemadaman awal kebakaran di
daerahnya.
12. Pengembangan teknologi pembukaan lahan tanpa
membakar (pembuatan kompos, briket arang dll).

102 Epidemiologi Bencana


13. Kesatuan persepsi dalam pengendalian kebakaran lahan
dan hutan.
14. Penyediaan dana tanggap darurat untuk penanggulangan
kebakaran lahan dan hutan disetiap unit kerja terkait.
15. Pengelolaan bahan bakar secara intensif untuk
menghindari kebakaran yang lebih luas.

Epidemiologi Bencana 103


104 Epidemiologi Bencana
10
Penanganan Sampah Pasca
Bencana

Indikator Keberhasilan
setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta
diharapkan mampu menjelaskan penanganan
sampah pasca bencana

A. Definisi Sampah
Sampah adalah istilah yang digunakan untuk merujuk
pada material atau benda yang dianggap tidak berguna, tidak
diinginkan, atau tidak memiliki nilai lagi bagi pemiliknya.
Sampah terbentuk sebagai hasil dari kegiatan manusia, seperti
konsumsi, produksi, dan penggunaan barang-barang. Sampah
dapat berupa beragam jenis, termasuk sampah organik (seperti
sisa makanan, daun, atau ranting), sampah anorganik (seperti
plastik, kaca, logam, atau kertas), sampah berbahaya (seperti
baterai, obat-obatan, atau bahan kimia berbahaya), serta
sampah elektronik (seperti perangkat elektronik yang rusak
atau sudah usang).
Pengelolaan sampah menjadi penting karena jumlah
sampah yang terus bertambah dengan cepat. Sampah yang
tidak dikelola dengan baik dapat berdampak negatif terhadap
lingkungan dan kesehatan manusia. Beberapa dampak negatif
dari pengelolaan sampah yang buruk antara lain pencemaran
tanah, air, dan udara, kerusakan ekosistem, penyebaran
penyakit, dan masalah estetika. Pengelolaan sampah meliputi
kegiatan seperti pengumpulan, transportasi, pemilahan, daur
ulang, pengolahan, dan pembuangan akhir sampah. Upaya

Epidemiologi Bencana 105


pengelolaan sampah yang baik mencakup pengurangan, daur
ulang, dan penggunaan kembali sebanyak mungkin bahan
yang dapat didaur ulang. Selain itu, kesadaran masyarakat akan
pentingnya pengelolaan sampah yang bertanggung jawab juga
merupakan faktor kunci dalam mengatasi masalah sampah.

B. Pengolahan Sampah Pada Saat Bencana


Pengolahan sampah saat bencana merupakan aspek
penting dalam upaya pemulihan dan penanganan bencana.
Bencana sering kali mengakibatkan peningkatan volume
sampah yang dihasilkan, termasuk limbah medis, reruntuhan
bangunan, dan material lainnya. Pengelolaan sampah yang
efektif dapat membantu mencegah penyebaran penyakit,
mempercepat proses pemulihan, dan menjaga kebersihan
lingkungan.
Berikut adalah beberapa langkah penting dalam
pengolahan sampah saat bencana:
1. Identifikasi dan pemisahan: Identifikasi jenis sampah yang
dihasilkan, seperti sampah organik, sampah non-organik,
limbah medis, atau bahan berbahaya. Pemisahan ini
penting untuk memfasilitasi pengelolaan yang tepat.
2. Tempat sampah sementara: Sediakan tempat sampah
sementara di area yang ditentukan secara strategis,
terutama untuk sampah organik dan non-organik.
Pastikan tempat-tempat sampah ini cukup dan terkelola
dengan baik untuk mencegah penyebaran penyakit dan
pencemaran lingkungan.
3. Pengumpulan dan transportasi: Tetapkan tim atau relawan
untuk melakukan pengumpulan sampah secara teratur.
Gunakan kendaraan atau alat yang sesuai untuk
mengangkut sampah ke tempat pemrosesan atau
pengolahan lebih lanjut.

106 Epidemiologi Bencana


4. Pemrosesan sampah: Ada beberapa metode pemrosesan
sampah yang dapat digunakan saat bencana, tergantung
pada sumber daya dan infrastruktur yang tersedia.
Beberapa metode yang umum digunakan antara lain:
a. Pengomposan: Sampah organik dapat dikomposkan
menjadi pupuk organik yang berguna untuk
pertanian.
b. Daur ulang: Sampah non-organik seperti plastik,
kertas, dan logam dapat dipisahkan dan diolah
kembali menjadi bahan yang dapat digunakan
kembali.
c. Pemusnahan limbah medis: Limbah medis harus
dikelola dengan hati-hati sesuai dengan pedoman
kesehatan dan lingkungan yang berlaku.
5. Pembuangan akhir: Jika tidak ada fasilitas pemrosesan
yang tersedia, pembuangan akhir sampah harus dilakukan
dengan aman dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pastikan untuk meminimalkan dampak lingkungan dan
kesehatan masyarakat.
Selama pengolahan sampah saat bencana, penting untuk
melibatkan pihak berwenang, relawan, serta masyarakat
setempat. Diseminasi informasi dan edukasi mengenai
pengelolaan sampah yang baik dan benar juga perlu dilakukan
agar masyarakat dapat berperan aktif dalam upaya ini.
Pengolahan sampah yang efektif selama bencana memainkan
peran penting dalam menjaga kebersihan lingkungan,
mencegah penyebaran penyakit, dan memfasilitasi pemulihan
yang cepat.

C. Penanganan Sampah Pasca Bencana Kekeringan


Penanganan sampah pasca bencana kekeringan
melibatkan upaya dalam mengelola dan mengurangi sampah
yang dihasilkan selama periode kekeringan. Meskipun

Epidemiologi Bencana 107


kekeringan tidak secara langsung menghasilkan sampah
seperti bencana alam lainnya, ada beberapa langkah yang
dapat diambil untuk mengelola dampak dan potensi
peningkatan sampah selama periode kekeringan:
1. Edukasi dan Kesadaran Masyarakat: Penting untuk
memberikan edukasi kepada masyarakat tentang
pentingnya pengelolaan sampah yang baik dan efisien
selama periode kekeringan. Masyarakat harus diberikan
pemahaman mengenai penggunaan sumber daya secara
bijak, pengurangan sampah, dan praktik-praktik daur
ulang.
2. Konservasi Air: Salah satu langkah penting dalam
penanganan sampah pasca bencana kekeringan adalah
melibatkan masyarakat dalam konservasi air. Dengan
mengurangi penggunaan air yang tidak perlu, seperti
memperbaiki kebocoran dan membatasi penggunaan air
untuk kegiatan non-esensial, dapat mengurangi dampak
kekeringan dan menghindari pembuangan sampah yang
berhubungan dengan penggunaan air.
3. Pengelolaan Sampah Organik: Dalam kondisi kekeringan,
penting untuk memprioritaskan pengelolaan sampah
organik. Sampah organik dapat dikomposkan untuk
menghasilkan pupuk alami, yang dapat digunakan untuk
menjaga kelembaban tanah dan meningkatkan
produktivitas pertanian. Pemisahan dan pengolahan
sampah organik secara efektif dapat membantu
mengurangi volume sampah dan memberikan manfaat
bagi lingkungan.
4. Pengurangan Penggunaan Plastik Sekali Pakai: Plastik
sekali pakai merupakan sumber sampah yang signifikan.
Selama periode kekeringan, penting untuk mengurangi
penggunaan plastik sekali pakai, seperti botol air, kemasan
makanan, dan kantong plastik. Mendorong penggunaan

108 Epidemiologi Bencana


alternatif yang ramah lingkungan, seperti botol air yang
dapat diisi ulang dan tas belanja kain, dapat membantu
mengurangi sampah plastik yang dihasilkan.
5. Pengelolaan Sampah Berbahaya: Jika terdapat sampah
berbahaya yang dihasilkan selama kekeringan, seperti
baterai, bahan kimia, atau limbah medis, penting untuk
menangani dan membuangnya dengan benar. Sampah
berbahaya harus dikumpulkan dan diserahkan kepada
otoritas yang berwenang untuk pengelolaan dan
pembuangan yang aman.
6. Program Daur Ulang dan Pemanfaatan Kembali:
Promosikan program daur ulang dan pemanfaatan kembali
untuk mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan.
Dengan mendaur ulang material seperti kertas, plastik,
atau logam, dapat mengurangi dampak kekeringan
terhadap lingkungan dan meminimalkan akumulasi
sampah.
7. Kemitraan dan Kolaborasi: Kolaborasi dengan pemerintah,
organisasi non-pemerintah, dan lembaga lokal lainnya
sangat penting dalam penanganan sampah pasca bencana
kekeringan. Dengan bekerja sama, sumber daya dan
keahlian dapat digabungkan untuk mengelola sampah
dengan lebih efisien dan efektif.
Penanganan sampah pasca bencana kekeringan harus
mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan setempat. Setiap
wilayah dapat memiliki tantangan unik, dan solusi yang
diimplementasikan harus disesuaikan dengan situasi yang ada.

D. Penanganan Sampah Pasca Bencana Banjir


Penanganan sampah pasca bencana banjir merupakan
langkah penting dalam upaya pemulihan dan rehabilitasi
daerah yang terkena dampak banjir. Sampah yang
terakumulasi setelah banjir dapat menciptakan masalah

Epidemiologi Bencana 109


kesehatan dan lingkungan yang serius jika tidak ditangani
dengan baik. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat
dilakukan dalam penanganan sampah pasca bencana banjir:
1. Evaluasi dan perencanaan: Setelah banjir, lakukan evaluasi
terhadap kondisi sampah yang ada. Identifikasi sumber-
sumber sampah utama dan perkiraan volume yang harus
ditangani. Buat perencanaan yang terinci untuk
menangani dan membuang sampah tersebut.
2. Penyortiran: Lakukan penyortiran sampah menjadi
berbagai kategori seperti limbah organik, limbah
anorganik, limbah berbahaya, dan limbah daur ulang. Hal
ini memudahkan dalam pengelolaan selanjutnya.
3. Pengumpulan: Segera setelah penyortiran, lakukan
pengumpulan sampah dengan bantuan petugas atau
relawan. Tempatkan wadah sampah yang cukup di
berbagai titik strategis dan pastikan warga mengetahui
tempat-tempat tersebut.
4. Pemilahan dan pengelolaan sementara: Buat area
pengelolaan sementara untuk pemilahan dan pengolahan
sampah. Lakukan komposisi limbah organik, pemilahan
limbah daur ulang yang masih bisa dimanfaatkan, serta
pemilahan limbah berbahaya agar tidak mencemari
lingkungan.
5. Pengangkutan dan pembuangan akhir: Koordinasikan
pengangkutan sampah dari area pengelolaan sementara ke
tempat pembuangan akhir yang sesuai. Pastikan proses ini
dilakukan dengan aman dan sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
6. Pembersihan dan rehabilitasi: Setelah proses
pengumpulan dan pengolahan sampah selesai, lakukan
pembersihan wilayah terdampak banjir. Bersihkan saluran
air, jalan, dan area umum lainnya. Lakukan rehabilitasi

110 Epidemiologi Bencana


lahan yang rusak akibat banjir untuk mencegah terjadinya
banjir berulang di masa mendatang.
7. Edukasi masyarakat: Berikan edukasi kepada masyarakat
tentang pentingnya pengelolaan sampah yang baik,
pemisahan sampah, dan langkah-langkah pencegahan
banjir di masa mendatang. Dorong partisipasi aktif warga
dalam menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan.
8. Perbaikan infrastruktur: Perbaiki infrastruktur sanitasi
yang rusak akibat banjir, seperti saluran air, sistem
drainase, dan tempat pembuangan sampah. Pastikan
infrastruktur tersebut dapat mengatasi banjir secara efektif
di masa depan.
Selama proses penanganan sampah pasca bencana banjir,
penting untuk melibatkan berbagai pihak, termasuk
pemerintah, organisasi non-pemerintah, relawan, dan
masyarakat setempat. Kerjasama yang baik antara semua pihak
ini akan membantu memulihkan daerah yang terdampak banjir
dengan lebih efektif dan efisien (Fadillah et al., n.d.).

E. Penanganan Sampah Pasca Bencana Tsunami


Penanganan sampah pasca bencana tsunami merupakan
upaya yang krusial dalam pemulihan dan rekonstruksi daerah
yang terdampak. Bencana tsunami seringkali meninggalkan
jumlah sampah yang besar dan beragam, termasuk puing-
puing bangunan, limbah organik, serta material berbahaya.
Berikut adalah beberapa langkah yang umum dilakukan dalam
penanganan sampah pasca bencana tsunami:
1. Pemisahan dan Pembersihan: Tim penanganan bencana
akan memisahkan sampah menjadi kategori yang berbeda,
seperti limbah organik, limbah anorganik, dan limbah
berbahaya. Pembersihan dilakukan secara sistematis,
mulai dari area yang paling terdampak hingga ke area yang
lebih luas.

Epidemiologi Bencana 111


2. Pengumpulan dan Transportasi: Sampah yang terpisah
akan dikumpulkan menggunakan alat atau tenaga
manusia, lalu diangkut menggunakan truk sampah atau
alat transportasi lain ke tempat pemrosesan sementara.
Pengumpulan dilakukan dengan hati-hati untuk
menghindari kontaminasi dan melindungi lingkungan.
3. Pemrosesan dan Daur Ulang: Sampah yang terkumpul
kemudian akan diproses lebih lanjut. Limbah organik
dapat diolah melalui kompos atau digester anaerobik
untuk menghasilkan energi atau pupuk. Limbah anorganik
seperti plastik, kertas, dan logam dapat diarahkan ke
fasilitas daur ulang untuk mengurangi dampak
lingkungan.
4. Penanganan Limbah Berbahaya: Limbah berbahaya seperti
bahan kimia beracun, limbah medis, atau bahan berbahaya
lainnya harus ditangani dengan hati-hati. Tim khusus yang
terlatih akan menangani limbah ini sesuai dengan standar
keselamatan dan regulasi yang berlaku.
5. Edukasi Masyarakat: Selain penanganan sampah secara
teknis, penting juga untuk memberikan edukasi kepada
masyarakat terkait pentingnya pengelolaan sampah yang
baik. Informasi mengenai pemisahan sampah, penggunaan
kembali, dan daur ulang dapat diberikan agar masyarakat
dapat terlibat aktif dalam pengelolaan sampah pasca
bencana.
6. Penggunaan Teknologi: Penggunaan teknologi canggih,
seperti sensor pintar dan sistem manajemen sampah
berbasis data, dapat membantu dalam pelacakan,
pemantauan, dan pengelolaan sampah pasca bencana.
Teknologi ini dapat membantu mempercepat proses
penanganan dan mengurangi dampak negatif terhadap
lingkungan (Pengabdian Magister Pendidikan IPA et al.,
2022).

112 Epidemiologi Bencana


11 Pengendalian Vektor saat Bencana

Indikator Keberhasilan
setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta
diharapkan mampu menjelaskan pengendalian vector
saat bencana

A. Pengendalian Vektor
Vektor merujuk pada organisme yang dapat membawa dan
menyebarkan penyakit dari satu individu ke individu lainnya
atau dari satu tempat ke tempat lainnya. Organisme ini bisa
berupa serangga, hewan, atau mikroorganisme.Vektor
penyakit umumnya terdiri dari serangga seperti nyamuk, lalat,
kutu, atau kutu busuk. Misalnya, nyamuk Aedes aegypti adalah
vektor penyakit demam berdarah dengue, chikungunya, dan
Zika. Nyamuk Anopheles adalah vektor penyakit malaria. Lalat
adalah vektor potensial untuk menyebarkan berbagai
mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit, seperti
diare dan tifus.
Vektor penyakit juga dapat berupa hewan seperti tikus.
Tikus dapat membawa dan menyebarkan berbagai penyakit
menular seperti leptospirosis dan demam. Beberapa vektor
penyakit juga termasuk dalam kelompok mikroorganisme
seperti bakteri, virus, atau parasit. Misalnya, bakteri Borrelia
yang ditularkan oleh kutu dapat menyebabkan penyakit Lyme,
sedangkan parasit Plasmodium yang ditularkan oleh nyamuk
Anopheles menyebabkan malaria.
Peran vektor dalam kesehatan sangat penting karena
mereka dapat menjadi penyebab utama penyebaran penyakit

Epidemiologi Bencana 113


menular. Mencegah dan mengendalikan populasi vektor, serta
mengurangi paparan terhadap mereka, adalah strategi penting
dalam menjaga kesehatan masyarakat. Upaya seperti
pengendalian populasi vektor, penggunaan insektisida,
penggunaan kelambu berinsektisida, dan vaksinasi merupakan
beberapa cara untuk mengurangi risiko penularan penyakit
melalui vector (Laily Khairiyati et al., 2021).

B. Tujuan Pengendalian Vektor


Tujuan pengendalian vektor dalam konteks kesehatan
adalah untuk mengurangi atau menghilangkan populasi
organisme vektor yang dapat menyebabkan penyebaran
penyakit kepada manusia atau hewan. Organisme vektor
adalah serangga, tikus, atau hewan lainnya yang dapat
membawa dan mentransmisikan agen penyakit, seperti virus,
bakteri, parasit, atau protozoa.
Berikut adalah beberapa tujuan kunci dari pengendalian
vektor untuk kesehatan:
1. Pencegahan Penyebaran Penyakit: Pengendalian vektor
bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit yang
ditularkan oleh vektor. Dengan mengendalikan populasi
vektor, risiko penularan penyakit dapat dikurangi atau
dihilangkan.
2. Perlindungan Kesehatan Masyarakat: Pengendalian vektor
bertujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat dari
penyakit yang ditularkan oleh vektor. Dengan mengurangi
populasi vektor, risiko terkena penyakit dapat berkurang,
sehingga melindungi populasi dari efek negatif yang
disebabkan oleh penyakit tersebut.
3. Pengendalian Penyakit Endemik: Beberapa penyakit
endemik, seperti malaria, demam berdarah, demam
kuning, dan penyakit Tular Vektor Lainnya (TVL) lainnya,
dapat dikendalikan dengan mengendalikan populasi

114 Epidemiologi Bencana


vektor. Dalam hal ini, tujuan pengendalian vektor adalah
untuk mengurangi angka insiden penyakit dan
mengontrol penyebaran penyakit di daerah endemik.
4. Pengurangan Kematian dan Morbiditas: Dengan
mengendalikan vektor dan mencegah penyebaran
penyakit, tujuan pengendalian vektor adalah untuk
mengurangi angka kematian dan morbiditas yang
disebabkan oleh penyakit yang ditularkan oleh vektor. Ini
berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan peningkatan harapan hidup.
5. Mengurangi Beban Ekonomi: Penyakit yang ditularkan
oleh vektor dapat menyebabkan beban ekonomi yang
signifikan melalui biaya perawatan kesehatan, hilangnya
produktivitas, dan pengeluaran yang diperlukan untuk
pengendalian dan penanggulangan penyakit tersebut.
Dengan mengendalikan vektor dan mengurangi
penyebaran penyakit, tujuan ini adalah untuk mengurangi
beban ekonomi yang terkait dengan penyakit vektor.
Pengendalian vektor dilakukan melalui berbagai
metode, seperti penggunaan insektisida, pengelolaan
lingkungan, penggunaan jaring pengaman, vaksinasi,
penggunaan kelambu berinsektisida, dan kampanye
kesadaran masyarakat. Upaya kolaboratif antara otoritas
kesehatan, komunitas, dan organisasi terkait sangat
penting untuk mencapai tujuan pengendalian vektor
dalam meningkatkan kesehatan masyarakat secara
keseluruhan (Laily Khairiyati et al., 2021).

C. Pengendalian Vektor Nyamuk Pada Saat Bencana


Pengendalian vektor nyamuk saat bencana sangat penting
untuk mencegah penyebaran penyakit yang dapat ditularkan
oleh nyamuk, seperti demam berdarah, malaria, dan infeksi

Epidemiologi Bencana 115


Zika. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil
untuk mengendalikan vektor nyamuk saat bencana:
1. Pembersihan lingkungan: Selama bencana, genangan air
dapat menjadi tempat berkembang biak bagi nyamuk.
Pastikan untuk menghilangkan semua genangan air di
sekitar tempat tinggal atau daerah terdampak. Bersihkan
saluran air, selokan, dan got untuk mencegah genangan
air.
2. Menggunakan kelambu: Jika Anda tinggal di daerah yang
terkena bencana dan tidak memiliki akses yang memadai
ke perlindungan, seperti kawat nyamuk atau jendela
kawat, gunakan kelambu saat tidur. Pastikan kelambu
tersebut tidak memiliki lubang atau kerusakan yang dapat
memungkinkan nyamuk masuk.
3. Menggunakan repellent: Gunakan repellent atau obat
anti-nyamuk pada kulit yang terbuka. Pilihlah produk yang
mengandung bahan aktif seperti DEET, picaridin, atau
IR3535. Ikuti petunjuk penggunaan dan pastikan untuk
membaca peringatan yang tertera pada kemasan.
4. Menggunakan pakaian yang sesuai: Saat bencana, kenakan
pakaian yang melindungi kulit dari gigitan nyamuk.
Gunakan pakaian yang longgar dan menutupi sebagian
besar tubuh, seperti lengan panjang, celana panjang, dan
kaus kaki.
5. Menghilangkan tempat persembunyian: Nyamuk sering
bersembunyi di tempat-tempat yang gelap dan lembab.
Selama bencana, pastikan untuk membersihkan atau
menghilangkan barang-barang yang tidak terpakai,
tumpukan sampah, atau material limbah lainnya yang
dapat menjadi tempat persembunyian nyamuk.
6. Kolaborasi dengan otoritas kesehatan setempat: Dalam
situasi bencana, bekerjasama dengan otoritas kesehatan
setempat sangat penting. Mereka dapat memberikan

116 Epidemiologi Bencana


bantuan dan panduan yang spesifik untuk pengendalian
nyamuk selama bencana, termasuk penyemprotan
insektisida atau langkah-langkah pengendalian vektor
lainnya.
7. Edukasi dan kesadaran masyarakat: Selama bencana,
penting untuk memberikan edukasi kepada masyarakat
tentang pentingnya pengendalian vektor nyamuk dan
tindakan pencegahan yang harus diambil. Sosialisasikan
praktik-praktik yang efektif dalam mengendalikan
nyamuk, seperti mengosongkan wadah-wadah yang
berpotensi menjadi tempat berkembang biak nyamuk.
8. Perhatikan kebersihan diri: Jaga kebersihan diri dengan
mandi secara teratur, terutama jika Anda tinggal di daerah
yang terkena bencana. Ini akan membantu menghilangkan
bau dan keringat yang dapat menarik nyamuk (Laily
Khairiyati et al., 2021).

D. Pengendalian Vektor Lalat Saat Bencana


Pengendalian vektor lalat selama bencana sangat penting
untuk mencegah penyebaran penyakit dan menjaga kesehatan
masyarakat. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat
diambil untuk mengendalikan vektor lalat saat bencana:
1. Pembuangan Sampah yang Tepat: Pastikan bahwa sampah
yang dihasilkan selama bencana, seperti sisa makanan,
limbah organik, dan material pembuangan, dibuang
dengan benar. Simpan sampah dalam wadah tertutup dan
kelola pembuangan sampah sesuai dengan pedoman yang
ada. Mengurangi sumber makanan bagi lalat akan
membantu mengendalikan populasi mereka.
2. Membersihkan Tempat Penampungan Air: Saat bencana,
banyak tempat penampungan air seperti bak mandi,
ember, atau genangan air di sekitar tempat tinggal
mungkin menjadi sarang bagi nyamuk dan lalat. Pastikan

Epidemiologi Bencana 117


untuk mengosongkan, membersihkan, dan menutup rapat
tempat-tempat tersebut agar lalat tidak berkembang biak.
3. Penggunaan Jaring atau Kasa: Pasang jaring atau kasa pada
pintu dan jendela untuk mencegah lalat masuk ke dalam
rumah atau tempat perlindungan lainnya. Hal ini akan
membantu menjaga lingkungan dalam kondisi steril dan
melindungi pengungsi dari paparan lalat yang dapat
menyebabkan penyakit.
4. Penggunaan Repelan dan Insektisida: Gunakan repelan
serangga yang efektif pada tubuh dan pakaian untuk
melindungi diri dari gigitan lalat. Selain itu, dalam situasi
yang ekstrem, penggunaan insektisida dapat
dipertimbangkan dengan mematuhi panduan dan
peraturan yang berlaku serta memastikan keamanan
penggunaannya.
5. Peningkatan Kebersihan: Menjaga kebersihan diri dan
lingkungan sekitar adalah langkah penting dalam
pengendalian vektor lalat. Cuci tangan secara teratur
dengan sabun dan air bersih, khususnya sebelum makan
atau memegang makanan. Bersihkan permukaan yang
sering disentuh dan sanitasi fasilitas umum untuk
mengurangi risiko penyebaran penyakit melalui lalat.
6. Edukasi dan Kesadaran Masyarakat: Sosialisasikan
pentingnya pengendalian vektor lalat dan langkah-
langkah yang harus diambil kepada masyarakat. Ajarkan
mereka cara mencegah penyebaran penyakit yang
ditularkan oleh lalat dan berikan informasi tentang
tindakan pencegahan yang dapat mereka lakukan.
Bekerja sama dengan otoritas kesehatan setempat dan tim
bencana dalam pengendalian vektor lalat. Dalam beberapa
kasus, langkah-langkah yang lebih intensif seperti penggunaan
perangkap lalat dan fogging (pengasapan insektisida) mungkin
diperlukan, namun langkah-langkah tersebut harus dilakukan

118 Epidemiologi Bencana


dengan hati-hati dan oleh petugas yang terlatih (Laily
Khairiyati et al., 2021).

E. Pengendalian Vektor Kecoak Saat Bencana


Pengendalian vektor kecoa saat bencana adalah langkah
penting dalam menjaga kebersihan dan kesehatan masyarakat.
Kecoak merupakan vektor potensial yang dapat menyebabkan
penyebaran penyakit, terutama di daerah yang terkena
bencana atau kondisi yang tidak higienis. Berikut ini beberapa
langkah yang dapat dilakukan untuk mengendalikan vektor
kecoa saat bencana:
1. Kebersihan Lingkungan: Pastikan lingkungan sekitar Anda
bersih dari sampah dan sisa makanan. Kecoak tertarik pada
sisa makanan dan tempat berlindung yang kotor. Buang
sampah dengan benar dan jauhkan makanan yang terbuka
agar tidak menarik kecoak.
2. Penyimpanan Makanan: Simpan makanan dengan aman
dalam wadah yang tertutup rapat. Hindari meninggalkan
makanan terbuka di tempat terbuka yang dapat dijangkau
oleh kecoak.
3. Pembersihan Rutin: Lakukan pembersihan rutin di sekitar
rumah atau tempat tinggal Anda. Bersihkan sisa makanan,
debu, dan kotoran lainnya yang dapat menarik kecoak.
Gunakan pembersih yang efektif dan pastikan area-area
yang rentan menjadi fokus pembersihan, seperti dapur,
tempat sampah, dan saluran air.
4. Penutup Saluran Pipa: Pasang penutup pada saluran pipa
pembuangan dan saluran air untuk mencegah kecoak
masuk ke dalam rumah melalui jalan air atau saluran
pembuangan.
5. Perbaiki Kerusakan Struktural: Perbaiki segala kerusakan
pada dinding, jendela, atau ventilasi yang dapat menjadi

Epidemiologi Bencana 119


akses bagi kecoak masuk ke dalam rumah. Tutup celah
atau retakan yang mungkin ada.
6. Penggunaan Jaring Kecoa: Jika kecoak sangat banyak dan
sulit dikendalikan, pertimbangkan untuk menggunakan
jaring kecoa pada pintu dan jendela. Jaring ini dapat
mencegah kecoak masuk ke dalam ruangan.
7. Penggunaan Pestisida: Jika diperlukan, gunakan pestisida
yang sesuai untuk mengendalikan populasi kecoak.
Pastikan Anda mengikuti petunjuk penggunaan dan
keselamatan yang tertera pada label produk. Jika Anda
tidak yakin, sebaiknya minta bantuan dari profesional
pengendalian hama.
8. Edukasi Masyarakat: Lakukan kampanye edukasi kepada
masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan dan
langkah-langkah pengendalian vektor kecoak.
Sosialisasikan cara-cara yang efektif dalam mencegah dan
mengendalikan kecoak saat bencana.
Pengendalian vektor kecoak membutuhkan pendekatan
yang komprehensif dan konsisten. Langkah-langkah di atas
dapat membantu dalam mengendalikan kecoak saat bencana,
tetapi kerja sama dan kesadaran masyarakat juga sangat
penting untuk mencapai keberhasilan dalam pengendalian
vektor kecoak (Laily Khairiyati et al., 2021).

F. Pengendalian Vektor Pada Saat Bencana


Pengendalian vektor pada saat bencana sangat penting
untuk mencegah penyebaran penyakit yang ditularkan oleh
vektor, seperti nyamuk yang membawa demam berdarah atau
malaria. Berikut adalah beberapa langkah yang biasa dilakukan
untuk mengendalikan vektor selama bencana:
1. Pemantauan dan deteksi: Tim kesehatan atau petugas
terkait harus melakukan pemantauan terhadap populasi
vektor yang potensial, seperti nyamuk atau tikus. Dengan

120 Epidemiologi Bencana


pemantauan yang tepat, dapat diperoleh informasi
tentang kepadatan populasi vektor, potensi penyakit yang
ditularkan, dan lokasi perkembangan vektor.
2. Pembersihan lingkungan: Bencana seringkali
menyebabkan genangan air, kerusakan infrastruktur, dan
tumpukan sampah yang bisa menjadi tempat berkembang
biak vektor. Oleh karena itu, penting untuk membersihkan
lingkungan dengan membuang sampah yang tepat,
membersihkan genangan air, dan memperbaiki
infrastruktur yang rusak.
3. Penggunaan insektisida: Insektisida dapat digunakan
untuk mengendalikan populasi vektor. Penggunaan
insektisida harus dilakukan dengan hati-hati dan sesuai
dengan petunjuk yang ditetapkan oleh otoritas kesehatan
setempat untuk memastikan efektivitasnya dan
menghindari dampak negatif terhadap manusia dan
lingkungan.
4. Penggunaan kelambu dan perlindungan pribadi:
Menggunakan kelambu yang terimpregnasi dengan
insektisida dapat membantu melindungi individu dari
gigitan vektor, terutama saat tidur. Selain itu, penggunaan
pakaian yang melindungi tubuh, seperti lengan panjang
dan celana panjang, serta penggunaan repellent (bahan
pengusir vektor) pada kulit juga penting untuk melindungi
diri dari gigitan vektor.
5. Edukasi dan kesadaran masyarakat: Penting untuk
memberikan edukasi kepada masyarakat tentang vektor
yang berpotensi menularkan penyakit dan langkah-
langkah yang dapat diambil untuk mengendalikannya.
Kampanye kesadaran masyarakat dapat membantu dalam
mendorong partisipasi aktif dalam tindakan pengendalian
vektor, seperti menjaga kebersihan lingkungan dan

Epidemiologi Bencana 121


melaporkan kejadian yang mencurigakan kepada otoritas
kesehatan setempat.
6. Kolaborasi dan koordinasi antarinstansi: Selama bencana,
kolaborasi dan koordinasi antarinstansi seperti otoritas
kesehatan, organisasi bantuan, dan lembaga terkait
lainnya sangat penting. Dengan bekerja sama, langkah-
langkah pengendalian vektor dapat dilakukan secara
efektif dan terkoordinasi.
7. Penting untuk mencatat bahwa langkah-langkah
pengendalian vektor dapat bervariasi tergantung pada
jenis bencana, vektor yang ada, dan kondisi setempat. Oleh
karena itu, penting untuk mengikuti pedoman yang
ditetapkan oleh otoritas kesehatan setempat dan
memperhatikan kondisi spesifik di lokasi bencana.

122 Epidemiologi Bencana


12 Tata Kelola Bencana Alam

Indikator Keberhasilan
setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta
diharapkan mampu menjelaskan tata Kelola bencana
alam

A. Tata Kelola Pada Saat Bencana Alam


Tata kelola bencana alam adalah serangkaian tindakan
yang dilakukan untuk mengelola dan merespons bencana alam
dengan efektif. Hal ini melibatkan upaya pencegahan,
kesiapsiagaan, penanggulangan, pemulihan, dan
pembangunan berkelanjutan.
Berikut adalah beberapa prinsip dan komponen yang
terkait dengan tata kelola bencana alam:
1. Identifikasi risiko: Langkah pertama dalam tata kelola
bencana adalah mengidentifikasi dan menganalisis risiko
bencana alam yang mungkin terjadi di suatu wilayah. Ini
mencakup penilaian dan pemetaan risiko, termasuk
identifikasi daerah rawan bencana dan penentuan tingkat
kerentanan masyarakat.
2. Perencanaan dan pengurangan risiko: Setelah risiko
diidentifikasi, perencanaan yang komprehensif harus
dilakukan. Ini mencakup penyusunan rencana darurat,
rencana evakuasi, dan tindakan mitigasi untuk
mengurangi risiko bencana. Misalnya, membangun
tanggul, memperkuat struktur bangunan, atau
memperkenalkan sistem peringatan dini.

Epidemiologi Bencana 123


3. Kesiapsiagaan: Kesiapsiagaan merupakan elemen penting
dalam tata kelola bencana. Ini melibatkan pelatihan
masyarakat dan personel penanggulangan bencana, serta
menyusun rencana respons yang jelas dan terkoordinasi.
Selain itu, perlu dilakukan simulasi dan latihan reguler
untuk memastikan kesiapsiagaan yang optimal.
4. Respons darurat: Ketika bencana alam terjadi, respons
yang cepat dan terkoordinasi sangat penting. Ini
melibatkan evakuasi, penyediaan perlindungan bagi
korban, penanganan medis, penyediaan air bersih,
makanan, dan bantuan darurat lainnya. Organisasi
penanggulangan bencana, seperti Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) di Indonesia, berperan
penting dalam mengkoordinasikan respons darurat.
5. Pemulihan dan rehabilitasi: Setelah bencana, upaya
pemulihan dan rehabilitasi dimulai. Ini mencakup
pemulihan ekonomi, rekonstruksi infrastruktur, bantuan
psikososial bagi korban, serta pengembalian masyarakat ke
kondisi normal. Pemulihan yang berkelanjutan juga harus
memperhatikan upaya mitigasi risiko di masa depan.
6. Pembangunan berkelanjutan: Salah satu tujuan tata kelola
bencana adalah memastikan bahwa upaya
penanggulangan bencana terintegrasi dengan
pembangunan berkelanjutan. Ini berarti membangun
infrastruktur dan mengelola sumber daya alam dengan
memperhatikan faktor risiko bencana. Pembangunan yang
berkelanjutan juga harus memperhatikan perubahan iklim
dan dampaknya terhadap bencana alam.
Tata kelola bencana alam melibatkan kerjasama antara
pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, sektor swasta, dan
masyarakat umum. Dengan tata kelola yang baik, diharapkan
risiko bencana alam dapat dikelola dengan lebih efektif dan
dampaknya dapat dikurangi sebanyak mungkin.

124 Epidemiologi Bencana


DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati, R. D. (n.d.). Air bagi Kehidupan Manusia.

BUKUMATERIPEMBELAJARANMANAJEMENGAWATDARURAT.
(n.d.).

Fadillah, N., Setiawati, B., & Arfah, S. R. (n.d.). MANAJEMEN


BENCANA PENANGGULANGAN PASCA BANJIR DI
KABUPATEN LUWU UTARA.
https://journal.unismuh.ac.id/index.php/kimap/index

Fedryansyah, M., Pancasilawan, R., & Ishartono, D. (n.d.).


PENINGKATAN KAPASITAS MASYARAKAT DALAM
MANAJEMEN PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR
DI DESA CIKERUH, KECAMATAN JATINANGOR.

Frisca Andini, N., & Ahlussunnah Bukittinggi, S. (n.d.). UJI


KUALITAS FISIK AIR BERSIH PADA SARANA AIR
BERSIH PROGRAM PENYEDIAAN AIR MINUM DAN
SANITASI BERBASIS MASYARAKAT (PAMSIMAS)
NAGARI CUPAK KABUPATEN SOLOK.
https://ejurnal.stkip-pessel.ac.id/index.php/kp

Heryati, S. (2020). PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM


PENANGGULANGAN BENCANA. Jurnal Pemerintahan
Dan Keamanan Publik (JP Dan KP), 139–146.
https://doi.org/10.33701/jpkp.v2i2.1088

Hutagaol, E. K. (2019). HEALTH PROBLEMS IN DISASTER


CONDITIONS: ROLE OF COMMUNITY
PARTICIPATION HEALTH OFFICERS. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Institut Medika Drg.Suherman, 1(1).

Indonesia. Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana.


Pelaksana Harian. (2007). Pengenalan karakteristik
bencana dan upaya mitigasinya di Indonesia. Pelaksana

Epidemiologi Bencana 125


Harian, Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan
Bencana.

Kepmenkes-064. (n.d.).

Laily Khairiyati, O., Lenie Marlinae, M., Agung Waskito, M.,


Anugrah Nur Rahmat, M., Rasyid Ridha, S. M., & Dicky
Andiarsa, D. (2021). BUKU AJAR PENGENDALIAN
VEKTOR DAN BINATANG PENGANGGU.

Nugroho, E., Indarjo, S., Nisa, A. A., Isniyati, H., Hermawan, D. Y.,
Widyaningrum, H., Wasono, E., Laily, L. A., Utami, A. N.
M., Suci, C. W., & Yuswantoro, R. N. (2023).
MANAJEMEN DAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MELALUI PENGEMBANGAN DESA TANGGUH
BENCANA (DESTANA). Bookchapter Kesehatan
Masyarakat Universitas Negeri Semarang, 3, 92–113.
https://doi.org/10.15294/km.v1i3.98

Oktari, R. S. (2019). Peningkatan Kapasitas Desa Tangguh Bencana.


Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat (Indonesian
Journal of Community Engagement), 4(2), 189.
https://doi.org/10.22146/jpkm.29960

Oktaviani, D. A., Corie, D., Prasasti, I., Kesehatan, D., Fakultas, L.,
Masyarakat, K., & Airlangga, U. (n.d.). KUALITAS FISIK
DAN KIMIA UDARA, KARAKTERISTIK PEKERJA, SERTA
KELUHAN PERNAPASAN PADA PEKERJA
PERCETAKAN DI SURABAYA The Physical and
Chemical Air Quality, Worker’s Characteristics, and
Respiratory Symptoms Among Printing Workers in
Surabaya.

Pengabdian Magister Pendidikan IPA, J., Sampah Dalam Upaya


Mitigasi Bencana Alam di Desa Seriwe Kecamatan
Jerowaru Lombok Timur Putu Artayasa, P. I., Rosadi, P.,
Franciska Yolanda Putri, V., Bencana Alam Di Desa
Seriwe Kecamatan Jerowaru Lombok Timur Jurnal

126 Epidemiologi Bencana


Pengabdian Magister Pendidikan IPA, M., Author, C., &
Putu Artayasa, I. (2022). under a Creative Commons
Attribution (CC-BY) 4.0 license.
https://doi.org/10.29303/jpmpi.v3i2.1562

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA.


(n.d.).

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 77 TAHUN 2014. (n.d.).

STRADA PRESS. (2021).

Tri Bayu Purnama, O. (n.d.). BAHAN AJAR EPIDEMIOLOGI


BENCANA.

Uji Coba Sistem Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan
Konstruksi, B. (n.d.). Modul 2 Manajemen
Penanggulangan Bencana.

Yasin, A., Pi, S., Si, M., Ridwan, A., Surya, S., Si, M. S., Sri, A., &
Rasyid, S. (n.d.). Kesehatan Lingkungan Bencana dan
Tanggap Darurat.

Zainal Fatoni, dan. (n.d.-a). HEALTH PROBLEMS IN A DISASTER


SITUATION: THE ROLE OF HEALTH PERSONNELS
AND COMMUNITY PARTICIPATION.

Zainal Fatoni, dan. (n.d.-b). HEALTH PROBLEMS IN A DISASTER


SITUATION: THE ROLE OF HEALTH PERSONNELS
AND COMMUNITY PARTICIPATION.

Epidemiologi Bencana 127


BIOGRAFI PENULIS

Penulis dilahirkan di Usuku Kabupaten


Wakatobi 1995. Penulis adalah dosen tetap
di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan IST Buton.
Menyelesaikan pendidikan S-1 Ilmu
Keperawatan dan melanjutkan pendidikan
Profesi Ners di Universitas Megarezky
Makassar. Penulis kemudian melanjutkan
pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat peminatan
Epidemiologi & Biostatistik di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Tamalatea Makassar. Beberapa mata kuliah yang diampu di
kampus yakni Keselamatan Pasien dan Keselamatan Kesehatan
Kerja dalam Keperawatan, Komunikasi Kesehatan, Epidemiologi
Bencana, Etika dan Hukum Keperawatan, Home Care Nursing For
Wound, Investigasi Wabah, Epidemiologi PMS/AIDS,
Epidemiologi Lingkungan dan Kesehatan Kerja, Current Issue
Epidemiologi, Epidemiologi Kesehatan Gawat Darurat, Sistem
Informasi Keperawatan, Keperawatan Bencana. Penulis juga
menghasilkan beberapa publikasi pada jurnal Nasional
terakreditasi antara lain Determinan Kepatuhan Pengunjung
Rumah Makan Menggunakan Masker Dalam Upaya Preventif
Covid-19 Di Kota Baubau, Analisis Faktor Determinan Kejadian
Gastritis Di Ruang Rawat Inap RSUD Kota Baubau, Evaluasi
Program Pengendalian Tuberkulosis Paru di Kabupaten Pangkep,
Analisis Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Stunting
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Wolio Indah
Kecamatan Wolio Kota Baubau, Gambaran Karakteristik Kejadian
Abortus Di BLUD RSUD Kota Baubau, beberapa Buku yang penulis
terbitkan yaitu Kupas Tuntas seputar Gastritis, Pelayanan
Kesehatan Masyarakat dimasa Pandemi. Penulis aktif dalam
berorganisasi PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia), saat

128 Epidemiologi Bencana


ini penulis dipercaya menjadi Sekretaris Program Studi S1
Kesehatan Masyarakat di STIKES IST Buton. Penulis dapat
dihubungi melalui email : laodeswardin1995@gmail.com atau
nomor telepon 081340309393.

Epidemiologi Bencana 129


BIOGRAFI PENULIS

Penulis bernama lengkap Teti Susliyanti


Hasiu, SKM., M.Kes., tempat lahir di Kota
Baubau 12 September tahun 1992. Penulis
adalah dosen tetap di Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan IST Buton. Menyelesaikan
pendidikan S-1 Ilmu Kesehatan Masyarakat
pada Universitas Dayanu Ikhsanuddin Baubau
kemudian melanjutkan pendidikan S-2 pada
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas
Hasanuddin Makassar. Penulis telah menghasilkan beberapa
publikasi pada jurnal Nasional terakreditasi maupun Jurnl
internasional antara lain dengan judul “The Needs of Nurse at
Public Health Center in South Buton Regency, Indonesia”. Penulis
aktif dalam organisasi IAKMII (Ikatan Ahli Kesehatan masyarakat)
Kota Baubau, saat ini penulis dipercaya menjadi Ketua Program
Studi S1 Kesehatan Masyarakat di STIKES IST Buton. Penulis dapat
dihubungi melalui email : tetisusliyanti@gmail.com atau nomor
telepon 081241279217.

130 Epidemiologi Bencana

Anda mungkin juga menyukai