i
3.1. Biofisik....................................................................................................................... 38
a. Rehabilitasi Lahan Kritis ........................................................................................... 38
b. Konservasi Tanah ..................................................................................................... 38
c. Pencegahan Longsor Tebing Sungai......................................................................... 39
d. Konservasi Air di Daerah Hulu ................................................................................. 39
e. Pembuatan Embung ................................................................................................ 39
f. Pembuatan Rorak ..................................................................................................... 39
g. Pembuatan Ground Sills........................................................................................... 39
3.2. Kelembagaan ............................................................................................................ 39
4. Contoh Kasus ................................................................................................................... 41
4.1. Biofisik....................................................................................................................... 41
4.2. Sosial, Ekonomi dan Peningkatan Kapasitas ............................................................. 45
Pustaka ................................................................................................................................ 51
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kelas lereng untuk penentuan pasokan banjir, kerentanan longsor dan daerah
kebanjiran ........................................................................................................... 9
Tabel 2. Koefisien Aliran Permukaan (C) untuk Derah Urban ........................................ 12
Tabel 3. Koefisien Aliran Permukaan (C) untuk DAS Pertanian bagi Tanah Kelompok
Hidrologi B ........................................................................................................ 13
Tabel 4. Koefisien Aliran Untuk Penggunaan Secara Umum.......................................... 13
Tabel 5. Nilai Koefisien Aliran Untuk Berbagai Penggunaan Lahan ............................... 14
Tabel 6. Tabel Koefisien Limpasan untuk Metode Rasional ........................................... 14
Tabel 7. Koefisien Runoff................................................................................................ 15
Tabel 8. Koefisien Runoff................................................................................................ 16
Tabel 9. Nilai Koefisien Limpasan (C).............................................................................. 16
Tabel 10. Hubungan Kondisi Permukaan Tanah dan Koefisien Pengaliran (C) ................ 17
Tabel 11. Klasifikasi Kelompok Hidrologi Tanah (KHT) ..................................................... 19
Tabel 12. Kriteria Nilai AMC ............................................................................................. 20
Tabel 13. Nilai CN untuk Lahan Pertanian pada Antecendent Moisture Condition (AMC)
II ........................................................................................................................ 20
Tabel 14. Konversi Nilai CN dari AMC II Menjadi Nilai CN pada Kondisi AMC I dan AMC III
.......................................................................................................................... 21
Tabel 15. Kriteria Penentuan Potensi Banjir .................................................................... 22
Tabel 16. Kriteria Penentuan Potensi Longsor ................................................................. 23
Tabel 17. Potensi Kerentanan Banjir Bandang ................................................................. 24
Tabel 18. Indikator sosial dan kelembagaan yang mempengaruhi resiko kerugian akibat
banjir bandang serta bobot relatifnya .............................................................. 26
Tabel 19. Skor Indikator Sosial dan Kelembagaan ........................................................... 27
Tabel 20. Matrik Analisis Peran ........................................................................................ 31
Tabel 21. Parameter dan Indikator Kapasitas Individu dan Lembaga .............................. 34
Tabel 22. Tingkat Kapasitas (kemampuan) Individu dalam Menghadapi Resiko Bencana
BB ...................................................................................................................... 35
iv
Tabel 23. Tingkat Kapasitas (kemampuan) Lembaga (Desa) dalam Menghadapi Resiko
Bencana BB ....................................................................................................... 36
Tabel 24. Sebaran Kelas Kelerengan di DAS Anai (%) ....................................................... 41
Tabel 25. Sebaran Penutupan Lahan di DAS Anai ............................................................ 42
Tabel 26. Sebaran Bentuk Lahan di DAS Anai .................................................................. 42
Tabel 27. Sebaran batuan di DAS Anai ............................................................................. 42
Tabel 28. Sebaran Titik yang Mempunyai Potensi Penyumbatan .................................... 44
Tabel 29. Proses kejadian banjir bandang, penyebab, kerugian yang dialami, serta
penanggulangan bencana pada setiap tahap mitigasi di Nagari Guguak ........ 45
Tabel 30. Hasil penaksiran kerentanan terhadap banjir bandang pada kriteria
kelembagaan dan sosial .................................................................................... 47
Tabel 31 . Tingkat Kapasitas (kemampuan) Individu dalam menghadapi resiko bencana
BB ...................................................................................................................... 48
Tabel 32. Tingkat Kapasitas (kemampuan) Lembaga (Desa) dalam menghadapi resiko
bencana BB ....................................................................................................... 49
v
1. Pendahuluan
Bencana banjir bandang merupakan bencana alam yang sering terjadi di Indonesia.
Masyarakat pada umumnya belum dapat membedakan banjir bandang dengan banjir
genangan, sehingga terkesan bahwa banjir bandang sering terjadi dimana-mana. Banjir
bandang sering terjadi dalam bentuk banjir dan tanah longsor secara bersama-sama.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tidak memisahkan bencana banjir
bandang dengan banjir, tetapi banjir dan longsor. Dari data yang dikumpulkan oleh BNPB,
sejak tahun 2000 – 2017 tercatat lebih dari 500 banjir dan tanah longsor terjadi di
Indonesia (BNPB, 2017). Sebaran kejadian banjir dan longsor sepanjang tahun 2000 –
2017 disajikan pada Gambar 1. Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur
merupakan 3 (tiga) provinsi yang paling sering ditimpa bencana banjir dan longsor,
sedangkan Kepulauan Riau, Bangka Belitung dan Kalimantan Tengah merupakan provinsi
yang paling jarang ditimpa bencana.
1
Banjir bandang didefinisikan sebagai penggenangan akibat limpasan karena debit sungai
yang membesar secara tiba-tiba sehingga melebihi kapasitas aliran, berlangsung sangat
cepat (kurang dari enam jam) serta membawa debris (Mulyanto, Parikesit, & Utomo,
2012). Debris yang dibawa saat banjir bandang biasanya berupa batu-batu, batang pohon,
tanah, lumpur dan semua bahan material yang sebelumnya menyumbat aliran sungai.
Youssef, Pradhan & Hassan (2011) menyatakan bahwa banjir bandang adalah salah satu
bencana alam yang paling buruk, karena mencapai puncak banjir dalam waktu yang
sangat singkat. Hal yang membedakan banjir genangan dengan banjir bandang adalah
adanya faktor penyumbat pada kejadian banjir bandang. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa sumbatan dapat berupa batang pohon yang tumbang, sampah yang
dibuang ke sungai serta adanya longsor di hulu (Adi, 2013; Lucía, Comiti, Borga, Cavalli, &
Marchi, 2015; Mulyanto et al., 2012). Beberapa contoh banjir bandang yang terkenal
karena dampak serta jumlah korbannya adalah banjir di Wasior tahun 2010, di Jember
tahun 2006, di Pacet, Mojokerto tahun 2012 serta tahun 2017 di Padang Sidempuan.
Dapat disimpulkan bahwa kejadian banjir bandang dimulai dengan adanya longsor yang
menyumbat aliran sungai. Selama sumbatan tersebut belum jebol, walaupun hujan deras
terjadi di bagian hulu sumbatan tersebut, maka banjir bandang belum akan terjadi.
Sebaliknya, walaupun hujan yang turun tidak deras, tetapi sumbatan yang ada sudah
tidak dapat menahan air kemudian jebol, maka banjir bandang terjadi pada saat itu.
Dengan demikian pada kejadian banjir bandang selalu disertai dengan material baik
berupa batuan, lumpur atau batang pohon (debris).
Banjir bandang selalu membawa kerugian bagi masyarakat, terutama kerugian material
dan infrastruktur. Untuk mengurangi kerugian akibat banjir bandang maka sangat
diperlukan upaya mitigasi struktural maupun fungsional, yang dilakukan oleh lembaga
terkait maupun masyarakat, secara individu maupun kelompok.
Dalam hal banjir bandang, ancaman/potensi terjadinya bahaya ditunjukkan oleh hasil
analisis kerentanan biofisik suatu lokasi. Kerentanan sendiri merupakan suatu kondisi,
apakah bahaya yang akan terjadi dapat menimbulkan bencana (disaster) atau
menimbulkan korban. Kerentanan masyarakat untuk mengalami dampak kerugian akibat
2
banjir bandang ditunjukkan oleh hasil analisis kerentanan sosial maupun kelembagaan
masyarakat. Elemen kerentanan yang lain adalah kapasitas, yaitu kemampuan
masyarakat dalam penguasaan teknologi, sumberdaya dan cara, sehingga memungkinkan
masyarakat untuk mempersiapkan, mencegah, mempertahankan diri menghadapi
ancaman bencana (BNPB, 2013).
Makin besar potensi bahaya dan/atau kerentanan sosial kelembagaan makin besar resiko
(kerugian) akibat banjir bandang. Untuk mengurangi resiko tersebut (upaya mitigasi),
maka perlu peningkatan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun kelompok.
Sehingga dalam upaya mitigasi banjir bandang, selain mempelajari tingkat ancaman
(bahaya) dan kerentanan masyarakat di lokasi yang berpotensi banjir bandang, juga harus
mempelajari tingkat kapasitas masyarakat maupun lembaga terkait di wilayah tersebut
(BNPB, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh BPPTPDAS tahun 2015 di Provinsi Sumatera Barat dan Riau
menunjukkan bahwa faktor lereng, keberadaan sesar, kedalaman tanah dan bentuk DAS
berpengaruh terhadap terjadinya banjir bandang (Savitri et al., 2015). Lokasi yang
mempunyai potensi untuk terjadinya banjir bandang dapat ditentukan berdasarkan
kemudahan sungai mengalami pembendungan; yaitu menyempit atau mempunyai tebing
sungai yang curam. Dengan diketahuinya informasi mengenai lokasi yang rentan terhadap
banjir bandang serta keadaan sungainya, maka akan dapat diketahui lokasi yang
berpotensi menjadi sumbatan yang akhirnya akan menyebabkan banjir bandang.
Informasi mengenai lokasi yang mempunyai potensi untuk tersumbat tersebut perlu
dimonitor (Savitri et al., 2015), karena diasumsikan apabila sumbatan yang terjadi dapat
dihindari, maka resiko terjadinya banjir bandang pada sungai tersebut akan berkurang.
Saat ini, Ditjen Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung telah mengeluarkan
Perdirjen No. P.5/PDASHL/SET/DAS.0/11/2016 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan
3
Laporan Banjir dan Tanah Longsor. Petunjuk teknis tersebut mengatur mengenai
kewajiban setiap UPT Ditjen PDAS HL untuk membuat telaah dan laporan apabila terjadi
banjir dan tanah longsor.
Mengingat proses banjir bandang juga merupakan gabungan antara banjir dan longsor,
maka ada baiknya apabila UPT Ditjen PDAS HL juga mengerti mengenai kejadian banjir
bandang. Selain itu untuk mitigasi bencana banjir bandang diperlukan lembaga yang
dapat mengamati dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya penyumbatan di
sepanjang aliran sungai (Savitri et al., 2015).
1.2. Tujuan
Tujuan mitigasi bencana banjir bandang ini adalah untuk mengurangi dampak kerusakan
dan kerugian yang ada sebagai akibat terjadinya banjir bandang. Diharapkan pengetahuan
mengenai potensi lokasi yang rentan terhadap banjir bandang dapat dijadikan dasar
untuk mengedukasi masyarakat agar dapat mengurangi dampak terjadinya banjir
bandang.
4
2. Penentuan Kerentanan Banjir Bandang
Kerentanan lahan terhadap banjir bandang dipengaruhi oleh faktor biofisik serta sosial,
ekonomi dan kelembagaan masyarakat. Faktor biofisik yang berpegaruh adalah keadaan
lahan dan kondisi hidrologi. Dari penelitian yang dilakukan Savitri et al. (2015),
kerentanan terhadap banjir bandang diperoleh dengan melakukan tumpang susun
kerentanan longsor dan kerentanan potensi banjir yang dikembangkan oleh Paimin,
Sukresno, & Pramono (2009). Dengan melakukan penilaian terhadap parameter banjir
dan longsor akan diketahui lokasi-lokasi yang rentan terhadap banjir bandang.
Analisa sosial, ekonomi dan kelembagaan masyarakat terhadap banjir bandang dilakukan
setelah lokasi yang rentan dan sangat rentan terhadap banjir bandang diketahui. Lokasi
ini mungkin pernah mengalami banjir maupun belum pernah. Analisa ini untuk
mengetahui bagaimana keadaan serta kesiapan masyarakat menghadapi banjir bandang.
Dengan mengetahui tingkat kerentanan banjir bandang dari aspek biofisik dan sosial
ekonomi kelembagaan, maka dapat dibuat Rencana Tindak Lanjut (RTL) untuk
mengatasi/memperbaiki parameter yang paling jelek atau lemah. Rencana Tindak Lanjut
tersebut perlu disampaikan kepada parapihak yang bertanggungjawab.
Faktor biofisik yang berpengaruh terhadap daerah yang berpotensi memberi pasokan
terhadap air banjir adalah: hujan, bentuk DAS, gradien sungai, kerapatan drainase, lereng
rata-rata dan penggunaan lahan; sedangkan kerentanan longsor dipegaruhi oleh: hujan,
lereng, geologi, sesar, kedalaman tanah, penggunaan lahan, infrastruktur dan kepadatan
pemukiman (Paimin et al., 2009). Berikut adalah penjelasan lebih lanjut dari masing-
masing faktor serta cara penilaiannya sesuai dengan metoda yang dikembangkan oleh
Paimin et al. (2009).
5
a. Faktor Hujan
Data hujan dikumpulkan dalam bentuk hujan harian, paling tidak 10 (sepuluh) tahun
terakhir dari beberapa stasiun hujan. Data hujan yang disiapkan adalah penghitung hujan
harian maksimum rata-rata, sehingga setiap stasiun akan mempunyai satu nilai hujan
harian maksimum. Nilai ini digunakan untuk menentukan potensi pasokan banjir.
6
(a) (b)
Gambar 3. Hujan maksimum harian (a) dan Antecendent Soil Moisture (ASM) 5 hari berturut-turut
Gambar 4. Rekapitulasi hujan maksimum dan ASM selama minimal 10 tahun terakhir
Gambar 4 memperlihatkan bahwa dari data hujan 1985 – 2012, hujan maksimum dan
ASM pada stasiun Gunung Sarik masing-masing sebesar 290 mm dan 512 mm. Data hujan
7
maksimum digunakan untuk menghitung pasokan banjir, sedangkan ASM untuk
menghitung longsor.
Dari stasiun hujan yang ada kemudian dibuat peta hujan maksimum dan peta ASM. Peta-
peta ini yang nantinya digunakan untuk melakukan analisa data. Metoda pemetaan data
hujan bermacam-macam, yang paling sederhana adalah Thiessen, dan yang digunakan
dalam kegiatan ini adalah Spline.
b. Karakteristik DAS
Karakteristik DAS yang digunakan dalam analisa ini adalah bentuk DAS, gradien sungai
dan kerapatan drainase. Selain memperkirakan secara manual, data karakteristik DAS
dapat diperoleh melalui citra DEM, yang dalam kegiatan ini menggunakan citra SRTM 30
meter (Shuttle Radar Topography Mission) yang bisa di download secara gratis.
Bentuk DAS diperkirakan secara kualitatif. Batas DAS dapat ditentukan secara manual
atau menggunakan aplikasi dalam ArcGIS (spatial analysis tools – hidrology – watershed).
Dari batas DAS tersebut kemudian ditentukan bentuk DASnya.
Peta lereng dapat diperoleh dari merubah citra DEM menjadi beberapa kelas kelerengan
sesuai dengan kebutuhan, tetapi juga bisa menggunakannya dari peta RePPProT skala
1:250.000 yang dikeluarkan oleh BIG. Peta tersebut sebenarnya adalah peta sistem lahan,
tetapi juga memberikan informasi kelas lereng dengan range tertentu.
Keuntungan dari menurunkan peta lereng dari DEM adalah range dari setiap kelas lereng
dapat ditentukan sendiri. Kelas lereng untuk penentuan pasokan air banjir menggunakan
5 (lima) kelas dari 0 sampai lebih dari 45%, sedangkan untuk penentuan kerentanan
longsor juga menggunakan 5 (lima) kelas tetapi dimulai dari > 25%. Tabel 1
memperlihatkan kelas lereng (%) untuk digunakan pada analisis pasokan banjir dan
longsor.
Tabel 1. Kelas lereng untuk penentuan pasokan banjir, kerentanan longsor dan daerah kebanjiran
Informasi mengenai faktor geologi dan sesar sangat dibutuhkan untuk menentukan
kerentanan terhadap longsor. Sesar sering dianggap sebagai pemacu terjadi longsor,
hanya saja penentuan lebarnya sesar masih belum dapat diketahui dengan pasti. Peta
geologi yang tersedia saat ini adalah peta dengan skala 1 : 250.000 yang disediakan oleh
Puslitbang Geologi.
9
e. Kedalaman Tanah
Faktor kedalaman tanah juga salah satu penyebab terjadinya longsor. Kedalaman tanah
disini hanya untuk mengetahui berapa tebal tanah sampai kedalaman regolith, karena
tanah yang tebal lebih beresiko longsor dari tanah yang tipis.
Pada penelitian yang telah dilakukan, data kedalaman tanah didekati dengan jenis tanah.
Informasi mengenai jenis tanah diperoleh dari peta tanah atau peta RePPProT yang
semuanya mempunyai skala 1:250.000.
f. Sistem Lahan
Sistem lahan merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menentukan daerah
kebanjiran selain lereng kiri kanan sungai. Berbeda dengan informasi mengenai batuan
yang berpengaruh pada kerentanan terhadap longsor, sistem lahan menunjukkan
bagaimana landskap berpengaruh terhadap daerah kebanjiran. Sistem lahan diperoleh
dari peta RePPProT skala 1:250.000.
g. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan yang didekati dengan peta penutupan lahan yang diterbitkan oleh
Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan skala 1 : 250.000. Informasi penggunaan
lahan ini digunakan untuk mengetahui potensi banjir dan kerentanan longsor, walaupun
dari hasil penelitian untuk longsor penyebab banjir bandang tidak dipengaruhi oleh
penutupan lahan (Savitri et al., 2015).
Debit puncak dapat dikatakan sebagai debit kritis yang menyebabkan banjir. Debit puncak
terjadi ketika seluruh aliran permukaan yang berada di daerah aliran sungai (DAS)
mencapai titik outlet (Asdak 2002, Rahim 2006, Arsyad 2010). Ada dua faktor utama yang
mempengaruhi besarnya debit puncak, yaitu karakteristik hujan dan karakteristik DAS
(Pramono et al. 2009). Karakteristik hujan, meliputi lama, jumlah, intensitas, dan
10
distribusi hujan. Sedangkan karakteristik DAS meliputi ukuran, bentuk, topografi, jenis
tanah, geologi, dan penggunaan lahan.
Debit puncak penting untuk diketahui dalam kerangka pengendalian banjir dan
perancangan bangunan pengendali debit banjir (Rahim 2006). Di lain pihak Pramono et al.
(2009) mengemukakan bahwa debit puncak digunakan untuk identifikasi kesehatan suatu
DAS, perencanaan pengelolaan DAS, serta untuk monitoring dan evaluasi kinerja DAS.
Debit puncak yang tinggi mencer-minkan kerusakan suatu DAS, oleh karena itu data debit
puncak sangat diperlukan.
Metode rasional adalah salah satu metode untuk memperkirakan debit puncak dalam
suatu DAS. Metode ini cukup sederhana dan paling banyak digunakan. Beberapa
persyaratan untuk penerapan metode rasional ini, antara lain: 1) hujan jatuh merata di
seluruh DAS, 2) hujan tidak bervariasi dalam waktu dan tempat, 3) waktu banjir sama
dengan waktu konsentrasi, 4) luas DAS bertambah sejalan dengan bertambah panjangnya
DAS, 5) waktu konsentrasi relatif pendek dan tidak tergantung pada intensitas banjir, 6)
koefisien aliran tidak bervariasi dengan intensitas banjir dan kelembaban tanah awal, 7)
Run-off didominasi oleh aliran permukaan, dan 8) pengaruh tampungan DAS diabaikan.
Penerapan metode rasional ini direkomendasikan untuk DAS yang kecil dengan luas <
2.500 ha (Cawley dan Cunnane, 2003 dalam Pramono, 2009).
Dalam mengestimasi debit puncak (qp) dengan metode Rational digunakan persamaan
berikut (Subarkah, 1980):
Besarnya koefisien run-off (C) di-dasarkan pada keadaan daerah pengaliran seperti
terlihat pada beberapa tabel di bawah ini.
12
Tabel 3. Koefisien Aliran Permukaan (C) untuk DAS Pertanian bagi Tanah Kelompok Hidrologi B
14
6 Halaman, tanah berpasir
- Datar 2 % 0.05 - 0.1
- Rata-rata 2 - 7 % 0.1 - 0.15
- Curam 7 % 0.15 - 0.2
7 Halaman kereta api 0.1 - 0.35
8 Taman tempat bermain 0.2 - 0.35
9 Taman, pekuburan 0.1 - 0.25
10 Hutan
- Datar 0 -5 % 0.1 - 0.4
- Bergelombang 5 - 10 % 0.25 - 0.5
- Berbukit 10 - 30 % 0.3 - 0.6
Sumber : Mc. Guen, (1989) dalam Suripin, (2003)
15
Tabel 8. Koefisien Runoff
16
Tabel 10. Hubungan Kondisi Permukaan Tanah dan Koefisien Pengaliran (C)
Untuk menghitung Intensitas hujan (I) dilakukan dengan persamaan Subarkah (1980) :
Keterangan :
I = Intensitas hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam) (Rainfall intensity during time of
concentra-tion) (mm/hr)
R = Hujan harian (Daily rainfall) (mm)
Tc = Waktu konsentrasi (jam) (Time of concen-tration) (hr)
17
h.3. Penentuan Waktu Konsentrasi
Untuk menghitung waktu konsentrasi (Tc) dilakukan dengan persamaan dari Subarkah
(1980) :
Keterangan :
Tc = Waktu konsentrasi (jam) (Time of concentration) (hr)
L = Panjang sungai utama (Length of main river) (km)
H = Beda tinggi antara titik tertinggi dengan titik terendah pada DAS (Altitude difference
between the highest and the lowest locations in the watershed) (m)
i. Volume Banjir
Perhitungan volume banjir dilakukan dengan pendekatan pemodelan hidrologi. Salah satu
model yang dapat dipakai adalah model/metode “Curve Number (CN)” yang
dikembangkan oleh Dinas Konservasi Tanah Amerika Serikat (Soil Conservation Services /
US SCS) (Dunne & Leopold, 1978). Metode ini sering juga disebut Curve Number-Soil
Conservation Service Method (CN-SCS). Data yang dibutuhkan dalam metode ini antara
lain curah hujan (hujan harian maksimum), penutupan lahan, serta jenis tanah.
Tahapan dalam estimasi volume banjir disajikan pada diagram alur sebagai berikut:
Gambar 5. Tahapan proses estimasi volume banjir dengan metode Curve Number (Sumber:
Pramono et al., 2016)
18
i.1. Identifikasi Tutupan Lahan
Teknik identifikasi tutupan lahan dalam DAS sudah dijelaskan pada uraian terdahulu.
Dalam estimasi volume banjir, kondisi tutupan lahan beserta jenis kegiatan konservasi
tanah yang ada berperan dalam menentukan karakteristik hidrologi, dan salah satu
pertimbangan dalam menentukan nilai “CN”.
KHT ditentukan berdasarkan peta tanah, yang terdiri dari empat kelompok yaitu A, B, C,
dan D. Sifat-sifat tanah yang bertalian dengan kelompok tersebut dan hubungannya
dengan laju infiltrasi minimum disajikan pada Tabel 11.
Nilai AMC dihitung dengan menjumlahkan curah hujan selama lima hari sebelumnya. SCS
membagi AMC tersebut kedalam tiga kelompok AMC yang diberi simbol dengan angka
Romawi I, II, dan III (Tabel 12). Klasifikasi AMC ini juga berperan dalam penentuan nilai
CN.
19
Tabel 12. Kriteria Nilai AMC
Nilai CN ditetapkan berdasarkan masing-masing jenis tutupan lahan, kelas KHT dan AMC.
Beberapa tabel referensi untuk menentukan nilai CN disajikan pada tabel-tabel berikut.
Tabel 13. Nilai CN untuk Lahan Pertanian pada Antecendent Moisture Condition (AMC) II
20
Cover Description CN for Hydrologic Soil Group
Cover Type Treatment Hydrologic Condition A B C D
Pasture, grassland, or ranch- Poor 68 79 88 89
continuous forage for grazing Fair 49 79 84
Good 39 61 74 80
Meadow-continuous grass. Good 30 58 71 78
protected from grazing and
generally mowed for hay
Brush-brush-forbs-grass Poor 48 67 77 83
mixture with brush Fair 35 56 70 77
the major element Good 30 48 65 73
Woods-grass combination Poor 57 73 82 86
(orchard, or tree farm) Fair 43 65 76 82
Good 32 58 72 79
Woods Poor 45 68 77 83
Fair 36 60 73 79
Good 30 55 79 77
Farmstead-buildings, lanes. - 59 74 82 86
driveways and surrounding lots
Roads (including right-of-way):
Dirt - 72 82 87 89
Gravel - 76 85 80 91
Pada kasus jika kelas AMC masuk dalam kriteris I dan II, maka interpolasi nilai dapat
dilakukan berdasarkan Tabel 14 berikut.
Tabel 14. Konversi Nilai CN dari AMC II Menjadi Nilai CN pada Kondisi AMC I dan AMC III
Nilai CN Nilai CN
AMC II AMC I AMC III
100 100 100
95 87 98
90 78 96
85 70 94
80 63 91
75 56 88
70 51 85
65 45 82
60 40 78
55 35 74
50 31 70
45 26 65
40 22 60
35 18 55
30 15 50
25 12 43
20 9 37
15 6 30
10 4 22
5 2 13
Sumber: (SCS, 1975).
21
i.5. Estimasi Nilai Volume Limpasan (Banjir)
Keterangan:
23
Dari kriteria pada Tabel 15 dan 16, akan diperoleh peta kerentanan longsor serta peta
potensi banjir. Untuk memperoleh peta potensi banjir bandang, maka kedua peta
tersebut ditumpangsusunkan. Potensi banjir bandang ditentukan berdasarkan tabel
berikut:
Setelah diketahui daerah yang mempunyai potensi banjir bandang, maka yang perlu
ditentukan adalah lokasi dimana bahan material tersebut dapat membendung sungai. Hal
ini perlu diketahui karena banjir bandang terjadi karena adanya pembendungan yang
jebol. Dengan mengamati alur sungai pada daerah dengan potensi sangat rentan banjir
bandang, maka alur sungai yang mempunyai potensi membendung sungai dapat
ditentukan.
24
keberadaan sesar bisa kita peroleh dari peta Geologi Indonesia yang selanjutnya ketiga
data tersebut ditumpangsusunkan agar diperoleh titik potensi penyumbat longsor. Lokasi-
lokasi yang berpotensi longsor penyebab banjir bandang merupakan daerah-daerah di
sekitar sungai (kanan kiri sungai) yang mengalami penyempitan dengan kemiringan lereng
yang curam. Keberadaan sesar dilokasi tersebut dapat meningkatkan potensi terjadinya
longsor. Kategori titik potensi sumbatan ditentukan berdasarkan kriteria berikut:
1) Penyempitan sungai lebih dari 65% kemiringan lereng dan terdapat sesar.
2) Penyempitan sungai lebih dari 65% kemiringan lereng.
3) Penyempitan sungai lebih dari 45% kemiringan lereng dan terdapat sesar.
Untuk alasan efisiensi anggaran dan waktu, pengambilan data kerentanan sosial
kelembagaan sebaiknya dilakukan setelah teridentifikasi lokasi daerah yang mempunyai
kerentanan biofisik tinggi dan sangat tinggi terhadap banjir bandang. Desa-desa yang
terletak di daerah sepanjang aliran sungai yang diperkirakan terkena dampak banjir
bandang kemudian dianalisis tingkat kerentanannya dari aspek sosial dan kelembagaan.
25
a. Kriteria dan Indikator Sosial dan Kelembagaan
Apabila secara biofisik, suatu kawasan dinilai rentan mengalami banjir bandang, maka
perlu dilakukan penilaian kerentanan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan tersebut
terhadap dampak banjir bandang. Masyarakat disebut rentan mengalami dampak
kerugian akibat banjir bandang apabila kapasitasnya secara kelembagaan dan sosial
dinilai kurang untuk menanggulangi banjir bandang tersebut. Makin tinggi kerentanan,
berarti makin besar resiko dampak yang dialami akibat banjir bandang.
Kriteria dan indikator sosial kelembagaan ini digunakan untuk memperkirakan tingkat
resiko dampak kerugian akibat banjir bandang yang dialami masyarakat (analisis
resiko), bukan kemampuan masyarakat mencegah dampak banjir bandang. Bobot
relatif setiap indikator sosial dan kelembagaan diperoleh berdasarkan persepsi parapihak
yang diminta memberi ranking pada setiap indikator tersebut. Tabel 18 menyajikan
indikator sosial dan kelembagaan yang mempengaruhi resiko kerugian akibat banjir
bandang serta bobot relatifnya.
Tabel 18. Indikator sosial dan kelembagaan yang mempengaruhi resiko kerugian akibat banjir
bandang serta bobot relatifnya
26
8 Tingkat pendapatan 0,054 Adanya penyuluhan mengenai 0,054
kawasan lindung (hulu/sempadan
sungai)
9 Struktur/komposisi 0,036 Adanya kelompok tanggap 0,036
penduduk (tua-muda-anak, bencana di tingkat desa
laki-laki/ perempuan)
10 Kondisi rumah tinggal 0,018 Upaya penegakan hukum untuk 0,018
(permanen/semi mengurangi resiko banjir
permanen/non permanen) bandang
Total 1,000 Total 1,000
Skor pada tiap indikator sosial dan kelembagaan disajikan pada Tabel 19, sedangkan
pemberian skor pada tiap indikator dilakukan berdasar data sekunder (misalnya BPS dan
monografi desa), observasi lapangan, serta hasil wawancara dengan parapihak.
28
b. Analisis Potensi Kerentanan Banjir Bandang
Penaksiran tingkat kerentanan dilakukan dengan mengalikan skor pada tiap indikator
dengan bobot relatifnya (Rangkuti, 1997; CIFOR, 1999). Hasil penilaian pada tiap indikator
kemudian dijumlahkan untuk setiap kriteria. Total nilai pada setiap kriteria menjadi dasar
penentuan tingkat kerentanan terhadap banjir bandang, sebagai berikut :
Tingkat kerentanan sangat tinggi = nilai 1,0 < n < 1,4
Tingkat kerentanan tinggi = rentang nilai 1,4 < n < 1,8
Tingkat kerentanan sedang = rentang nilai 1,8 < n < 2,2
Tingkat kerentanan rendah = rentang nilai 2,2 < n < 2,6
Tingkat kerentanan sangat rendah = rentang nilai 2,6 < n < 3,0.
Selanjutnya dari hasil tingkat kerentanan tersebut dapat dilihat indikator mana yang perlu
diperbaiki dalam upaya mitigasi banjir bandang. Upaya perbaikan dalam antisipasi
bencana, yaitu kegiatan monitoring kondisi sungai, deteksi dan peringatan dini banjir
bandang dibahas lebih lanjut pada analisis peran.
Upaya mitigasi banjir bandang pada aspek kelembagaan (peran dan hubungan parapihak)
terutama difokuskan pada terlaksananya sistem monitoring, deteksi dini, dan peringatan
dini banjir bandang pada tahap pra bencana, yaitu melalui kegiatan monitoring daerah
hulu, sempadan serta badan sungai itu sendiri, pembentukan dan pelatihan masyarakat
sadar bencana, dan pemantapan sistem deteksi dan peringatan dini banjir bandang.
Gambar 6 menyajikan peran para pihak pada fase pra bencana, tanggap darurat, maupun
pasca bencana.
29
Mitigasi banjir bandang (fase pra bencana)
Gambar 6. Skema mitigasi kelembagaan banjir bandang (sumber : Savitri et al., 2015).
Upaya mitigasi banjir bandang pada aspek kelembagaan (peran dan hubungan parapihak)
terutama difokuskan pada terlaksananya sistem monitoring, deteksi dini, dan peringatan
dini banjir bandang pada tahap pra bencana, yaitu melalui kegiatan monitoring daerah
hulu, sempadan serta badan sungai itu sendiri, pembentukan dan pelatihan masyarakat
sadar bencana, dan pemantapan sistem deteksi dan peringatan dini banjir bandang.
30
Gambar 7 Instansi yang berperan pada fase pra bencana
d. Analisis Peran
31
No Aktor Tupoksi terkait Realisasi Optimalisasi
mitigasi banjir bandang Peran peran
Bahaya (yang disebut juga sebagai ancaman) adalah suatu kejadian yang mempunyai
potensi untuk menyebabkan terjadinya kerugian, seperti hilangnya harta, benda, nyawa
dan sebagainya. Bahaya akan menimbulkan bencana apabila telah menimbulkan korban
atau kerugian. Kerentanan merupakan suatu kondisi, apakah bahaya yang akan terjadi
dapat menimbulkan bencana (disaster) atau menimbulkan korban. Sedang kapasitas
masyarakat adalah kemampuan masyarakat dalam penguasaan teknologi, sumberdaya
dan cara, sehingga memungkinkan masyarakat untuk mempersiapkan, mencegah,
mempertahankan diri menghadapi ancaman bencana (BNPB, 2013). Terkait dengan resiko
bencana, pemerintah telah menargetkan menurunkan indeks resiko sebesar 30% pada
tahun 2019 (BNPB, 2016).
32
Meningkatkan kapasitas berarti juga mengurangi kerentanan sekaligus mengurangi
resiko bencana. Semakin tinggi ancaman bahaya maka semakin tinggi resiko yang akan
diterima, demikian pula semakin tinggi kerentanan masyarakat maka semakin tinggi pula
resiko yang akan ditanggung, sebaliknya semakin tinggi kapasitas masyarakat maka
semakin rendah resiko yang akan diterima oleh masyarakat. Suprayitno (2016) dari hasil
penelitiannya mengatakan bahwa penguatan kapasitas lembaga merupakan upaya
strategis untuk menjadikan bangsa yang tangguh dalam menghadapi bencana. Oleh
karena itu untuk menyusun kebijakan lebih lanjut, terutama dalam rangka mengambil
tindakan untuk mengurangi resiko bencana yang lebih besar maka diperlukan pemetaan
potensi bahaya, potensi kerentanan dan potensi kapasitas masyarakat dalam menghadapi
bencana.
Nugraha dkk. (2001) dan Donie (2017) dalam penelitiannya membagi kapasitas
(kemampuan) masyarakat menjadi dua, yaitu kapasitas individu dan kapasitas lembaga
(Gambar 9). Kapasitas individu adalah kemampuan atau kesanggupan atau kecakapan
seseorang untuk mengerjakan sesuatu yang diwujudkan melalui tindakannya agar mereka
terhindar dari resiko bencana. Sedang kapasitas lembaga merupakan kemampuan dan
keaktifan lembaga dalam memfasilitasi keadaan, dalam hal ini terkait dengan bencana,
agar masyarakat terhindar dari resiko bencana.
33
Sagune (2009) dalam penelitiannya di Sangihe menemukan bahwa faktor pengetahuan
memiliki pengaruh yang tinggi terhadap pembentukan kapasitas individu, termasuk
keterampilan (skill) seseorang. Hal yang sama juga dijumpai oleh Setyari dan Febriana Eka
(2012) di Dieng dan Donie (2017) di Kuningan, bahwa masyarakat yang memiliki
pengetahuan, rencana aksi dan kearifan local yang baik kemungkinannya terhindar dari
bencana juga semakin besar.
Secara rinci parameter yang digunakan dalam mengukur tingkat kapasitas masyarakat
dan kapasitas lembaga terhadap suatu resiko bencana disajikan pada Tabel 21 berikut :
Analisis data menggunakan table frekwensi, dimana semakin tinggi yang menjawab ya
maka tingkat kapasitas masyarakat juga semakin tinggi dan sebaliknya. Analisa data dapat
menggunakan contoh Tabel 22 untuk kapasitas individu dan Tabel 23 untuk kapasitas
lembaga.
Tabel 22. Tingkat Kapasitas (kemampuan) Individu dalam Menghadapi Resiko Bencana BB
Tabel 23. Tingkat Kapasitas (kemampuan) Lembaga (Desa) dalam Menghadapi Resiko Bencana BB
36
Sebagai contoh kapasitas lembaga terhadap bencana longsor di Kabupaten Kuningan
mencapai nilai rata-rata 42,95%. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa kemampuan
lembaga dalam menghadapi resiko bencana tanah longsor masuk dalam kategori cukup.
Dari tiga parameter kapasitas, indikator kepemimpinan mencapai 78%. Hal ini berarti
bahwa secara kelembaggan kapasitasnya baru mencapai 42,95%, walaupun demikian dari
indicator kepemimipinan telah mencapai 78%. Tentu dari indikator yang lain masih
rendah. Oleh karena itu yang menjadi perhatian adalah indikator yang masih rendah
tersebut sebgai point rekomendasi.
37
3. Rencana Tindak Lanjut
Informasi mengenai lokasi yang rentan terhadap banjir bandang juga memberikan
informasi mengenai lokasi yang rentan longsor dan lokasi yang mempunyai potensi banjir.
Dengan demikian untuk mengurangi resiko banjir bandang maka perlu dilakukan kegiatan
yang dapat mengurangi kerentanan-kerentanan tersebut.
Secara umum dengan diketahuinya lokasi yang rentan terhadap banjir bandang dapat
melakukan identifikasi kearifan lokal dalam melihat tanda-tanda banjir bandang serta
mensosialisasikannya. Peringatan dini juga dapat dilakukan berdasarkan kearifan lokal
tersebut. Debit sungai yang menyusut atau keadaan air yang tetap bening walaupun di
daerah hulu sedang hujan lebat merupakan salah satu kearifan lokal yang dapat
dikembangkan menjadi peringatan dini.
3.1. Biofisik
Daerah yang mempunyai potensi untuk menghasilkan runoff atau aliran permukaan dapat
dikurangi dengan prinsip memasukkan air sebanyak-banyaknya dan menahan air selama
mungkin sebelum akhirnya ke laut. Beberapa kegiatan yang memungkinkan antara lain:
Rehabilitasi lahan kritis terutama dititikberatkan pada penutupan lahan tegal, lahan
terbuka, pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering bercampur semak.
Rehabilitasi lahan kritis dapat berupa penanaman dengan tanaman tahunan yang sesuai
dengan kondisi pedoagroklimat.
b. Konservasi Tanah
Kegiatan konservasi tanah dapat dilaksanakan pada lahan-lahan bersama dengan kegiatan
rehabilitasi lahan kritis. Kegiatan konservasi tanah yang disarankan dapat berupa
perbaikan teras untuk mengurangi erosi.
38
c. Pencegahan Longsor Tebing Sungai
Pencegahan longsor pada tebing sungai dapat dilakukan bersama dengan pembuatan
lubang-lubang drainase pada lereng-lereng yang berpotensi longsor. Pencegahan longsor
ini juga diperlukan untuk mencegah terjadinya pembendungan pada badan sungai.
Kegiatan ini merupakan salah satu upaya untuk memasukkan air sebanyak-banyaknya ke
dalam tanah.
e. Pembuatan Embung
Embung perlu dibangun untuk mengurangi aliran permukaan. Pada lokasi yang rentan
longsor, pembuatan embung kurang disarankan karena kegiatan tersebut akan memicu
longsor.
f. Pembuatan Rorak
Rorak atau jebakan air biasanya ditempatkan pada lahan hutan atau perkebunan, namun
diterapkan pada lereng yang < 25%.
Pembuatan ground sills lebih diutamakan untuk mengurangi kemiringan lereng atau
gradien sungai. Dengan berkurangnya gradien sungai maka kecepatan aliran sungai akan
berkurang.
3.2. Kelembagaan
Hasil analisis tingkat kerentanan digunakan dalam tahapan monitoring maupun evaluasi
dari BPDAS. Untuk monitoring, penyusunan rencana tindak lanjut diharapkan bisa
menjadi antisipasi untuk memperkecil dampak kerugian banjir bandang. Untuk tahapan
evaluasi, indikator tersebut digunakan untuk menganalisis penyebab kerugian akibat
39
banjir bandang. Penyusunan rencana tindak lanjut didasarkan pada hasil penilaian
masing-masing indikator serta hasil analisis peran parapihak, sebagai berikut :
40
4. Contoh Kasus
Dalam tulisan ini DAS yang dijadikan contoh adalah DAS Anai yang berada pada 2
kabupaten dominan; yaitu Padang Pariaman (70%), Tanah Datar (27%), serta sekitar 3%
pada Kabupaten Agam, Solok dan Kodya Padang Panjang. Pembatasan DAS Anai
menggunakan DEM sehingga kemungkinan luas DAS Anai akan berbeda dengan luas resmi
DAS Anai.
4.1. Biofisik
Dari data hujan yang ada kemudian dihitung hujan maksimum dan antecedent soil
moisture (ASM). Dengan menggunakan program spline diperoleh bahwa hujan maksimum
di DAS Anai termasuk dalam kelas agak tinggi (76 – 150 mm) dengan skor 4 dan tinggi (>
150 mm) skor 5. ASM di DAS Anai hanya satu kelas, yaitu tinggi (> 300 mm) dengan skor 5.
Morfometri DAS Anai dihitung dari DEM dengan hasil sebagai berikut:
- bentuk DAS: memanjang, atau sesuai parameter adalah sedang dengan skor 3
- gradien sungai: dihitung berdasarkan metoda Benson (1962) dengan nilai 0,001
atau skor 1
- kerapatan drainase: dihitung untuk sungai ordo… dengan nilai 0,21 dengan skor 1
Lereng DAS Anai dihitung menjadi 3 kelas sesuai Tabel 1 dengan sebaran seperti pada
Tabel 24 berikut.
Penutupan lahan sesuai peta yang dikeluarkan oleh Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata
Lingkungan (2016) untuk DAS Anai sebagai berikut:
41
Tabel 25. Sebaran Penutupan Lahan di DAS Anai
Bentuk lahan di DAS Anai diperoleh dari peta RePPPRoT, terdiri dari 38 jenis bentuk lahan
yang tersebar dalam 4 (empat) kelas kerentanan sebagai berikut:
Jenis batuan yang terdapat di DAS Anai diperoleh dari peta Geologi. Selain jenis batuan,
peta geologi juga menunjukkan garis-garis sesar yang ada. Sebaran jenis batuan di DAS
Anai disajikan pada Tabel 27 berikut
42
Sesar untuk penentuan longsor menggunakan buffer dengan ukuran 100 meter.
Diasumsikan jarak 100 meter dari garis sesar masih berpengaruh. Dengan menggunakan
buffer tersebut, kurang dari 1% areal di DAS Anai yang dipengaruhi oleh garis sesar.
Petah tanah skala 1:250.000 memperlihatkan terdapat 2 (dua) jenis tanah; yaitu andisol
dan inceptisol yang masing-masing seluas 43 dan 57%.
Dengan mengikuti ketentuan pada Tabel 2 – 4 akan diperoleh peta potensi banjir, peta
longsor dan banjir bandang. Ketiga peta tersebut disajikan pada Gambar 10
a b c
Gambar 10. Peta Potensi pasokan banjir (a), peta kerentanan longsor (b) dan peta Kerentanan
banjir bandang (c) di DAS Anai
Dari analisa di atas, Kabupaten Padang Pariaman dan Tanah Datar adalah kabupaten yang
paling luas potensi banjir bandangnya, yaitu masing-masing 88,8 dan 62,7%
Setelah dilakukan analisis potensi banjir, selanjutnya perlu diketahui titik-titik potensi
penyumbatan. Potensi titik penyumbat terdapat di kanan kiri sungai dengan
mempertimbangkan kemiringan lereng, aliran sungai, dan keberadaan sesar. Berdasarkan
analisis dengan SIG, DAS Anai terdapat beberapa titik berpotensi longsor kategori rendah,
sedang dan tinggi. Sebaran titik yang telah ditumpang susunkan dengan peta administrasi
ditampilkan dalam Tabel 28 dan Gambar 11 dibawah ini.
43
Tabel 28. Sebaran Titik yang Mempunyai Potensi Penyumbatan
Bencana banjir bandang (dalam bahasa Minang disebut galodo) merupakan salah satu
bencana yang sering dialami di propinsi Sumatera Barat. Studi kasus banjir bandang
untuk aspek sosial kelembagaan ini berlokasi di Jorong (Dusun) Padang Lapei, Nagari
(Desa) Guguak, Kecamatan 2x11 Kayu Tanam, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera
Barat, di wilayah sub DAS Patikayu, DAS Anai.
Tabel 29. Proses kejadian banjir bandang, penyebab, kerugian yang dialami, serta
penanggulangan bencana pada setiap tahap mitigasi di Nagari Guguak
No Aspek Deskripsi
1. Lokasi kejadian galodo Nagari (Desa) Guguk dan Anduring, Kecamatan 2x11 Kayu Tanam,
besar Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, di wilayah sub DAS
Patikayu, DAS Anai.
2 Waktu terjadinya galodo Akhir 2009 (setelah terjadinya gempa besar Padang 30
September 2009)
3 Proses terjadinya galodo - Gempa besar di Padang yang menyebabkan longsor di hulu
sungai, menyumbat aliran air sungai Patikayu di lereng Gunung
Sago, dan ketika terjadi hujan deras di hulu menyebabkan
sumbatan tersebut jebol dan aliran galodo melanda nagari
Guguk dan Anduring.
- Pembalakan liar (illegal logging) juga terjadi di hulu sungai
namun dalam skala kecil dan sporadis, diperkirakan juga
mengakibatkan makin besarnya aliran banjir bandang, karena
aliran banjir ternyata membawa muatan batang-batang kayu
dan ranting.
4 Kerugian yang dialami Korban material berupa sawah yang terendam material pasir dan
batu. Luas sawah yang rusak berkisar puluhan hektar di masing-
masing desa. Tidak ada rumah hanyut dan korban jiwa.
5 Kegiatan prabencana Pemasangan rambu banjir bandang (BPBD)
(catatan : kegiatan instansi Pembentukan kelompok sadar bencana mulai tahun 2015
pada tahun 2013-2015, (BPBD), belum ada pelatihan
setelah terjadi galodo) Pengayaan dan rehabilitasi hutan (Dishuttam)
Pencegahan bencana (monitoring kondisi sungai oleh petugas
teknis dari Dinas PU yang ditempatkan di setiap kecamatan,
pembuatan waduk)
5 Kegiatan tanggap darurat Evakuasi korban dan penanganan di lokasi pengungsian (BPBD,
Basarnas, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, PMI, TNI, Polri, serta
aparat kelurahan, dan kecamatan)
6 Kegiatan pascabencana pembuatan chekdam dan saluran irigasi, bantuan alat berat
(adaptasi reaktif instansi untuk pengerukan sawah (Dinas PU).
pemerintah)
9 Adaptasi reaktif Karena sawah belum bisa dipakai lagi, mencari lahan garapan
masyarakat pasca bencana baru
45
Salah satu penyebab tidak adanya korban jiwa pada kejadian galodo adalah sedikitnya
warga masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran sungai. Umumnya kawasan sepanjang
aliran sungai merupakan daerah persawahan/perladangan. Selain itu masyarakat juga
sudah memahami tanda-tanda akan terjadinya galodo, sehingga ketika tanda-tanda
tersebut muncul, masyarakat langsung mengungsi ke daerah yang lebih tinggi. Peringatan
kepada masyarakat di sepanjang aliran sungai disampaikan melalui telepon genggam
sehingga bisa menyelamatkan diri.
Sebenarnya monitoring sungai bisa melibatkan masyarakat di daerah hulu. Luas dan
topografi kawasan akan menyulitkan petugas monitoring sungai yang ditempatkan di
kecamatan untuk melakukan monitoring kondisi sungai secara rutin. Apalagi pada banjir
bandang yang terjadi karena jebolnya bendungan alam, terbentuknya bendungan alam
sering tidak dapat dilihat karena sulitnya medan di mana terjadi longsoran yang
membentuk timbunan bendungan alam. Namun masyarakat yang biasa beraktifitas di
sekitar aliran sungai akan dapat mengamati perubahan kondisi sungai dengan frekuensi
yang lebih sering.
46
Tabel 30. Hasil penaksiran kerentanan terhadap banjir bandang pada kriteria kelembagaan dan
sosial
47
penaksiran nilai kerentanan terhadap banjir bandang pada kriteria sosial menunjukkan
nilai 1,780, yang juga tergolong tingkat kerentanan tinggi.
Tingginya tingkat kerentanan pada aspek kelembagaan disebabkan rendahnya skor pada
keaktifan institusi dan aparatnya, belum diimplementasikannya prosedur penanganan
bencana, kurangnya penyuluhan/sosialisasi pencegahan dan penanganan bencana banjir
bandang, serta kurangnya tindakan penegakan hukum dalam perlindungan hulu dan
sempadan sungai. Sementara tingkat kerentanan pada aspek sosial yang tinggi
disebabkan oleh besarnya ketergantungan penghasilan pada pertanian, belum adanya
sistem peringatan dan teknologi tradisional antisipasi banjir bandang, belum
diimplementasikannya aturan adat perlindungan sungai/pencegahan banjir serta
kepadatan penduduk.
Sedangkan hasil penilaian kapasitas individu untuk mengatasi banjir bandang disajikan
pada tabel berikut.
48
Sedangkan hasil penilaian kapasitas lembaga/instansi untuk mengurangi dampak banjir
bandang disajikan pada tabel berikut.
Tabel 32. Tingkat Kapasitas (kemampuan) Lembaga (Desa) dalam menghadapi resiko bencana BB
b. Fasilitasi
6. Apakah dibuatkan jalur evakuasi 0 1 100 0
apabila terjadi bencana BB
7. Apakah ada system peringatan 0 1 100 0
dini terkait BB
c. Kearifan Lokal
8. Apakah ada lembaga khusus dari 0 1 100 0
desa terkait bencana BB seperti
Tim Tangguh Bencana
Filosofi pencegahan bencana adalah take away disaster from people, take away people
from disaster, and living in harmony with disaster (Maarif, 2012). Hasil analisis di atas
menunjukkan bahwa mitigasi untuk mengurangi dampak kerugian akibat bencana banjir
bandang terutama perlu dilakukan pada aspek kebijakan (aturan) dan kelembagaan
mitigasi banjir bandang di kedua kabupaten/kota. Mitigasi banjir bandang terutama perlu
dilakukan dalam pengaktifan instansi terkait, penyuluhan pencegahan banjir bandang dan
perlindungan sumber air, pelatihan dan simulasi penanganan banjir bandang, serta
penegakan hukum dalam perlindungan hulu dan sempadan sungai. Sementara mitigasi
49
untuk aspek sosial antara lain adalah perlunya tingkat pendidikan yang lebih tinggi,
alternatif pendapatan di luar bidang pertanian, perlunya menggali lebih lanjut sistem
peringatan dan deteksi dini banjir bandang secara tradisional, serta penetapan aturan
adat untuk melindungi sumber air.
Dari upaya mitigasi di atas, yang dapat dilakukan dalam jangka pendek adalah sebagai
berikut :
Untuk BPBD Kabupaten Padang Pariaman bekerja sama dengan aparat desa/nagari :
Sedangkan untuk jangka panjang, salah satu rencana tindak lanjut yang dapat diusahakan
antara lain lembaga adat mengakomodir aturan perlindungan di daerah sepanjang aliran
sungai (misalnya larangan menebang di hutan daerah hulu, atau membuka lahan di areal
radius tertentu sepanjang sungai).
50
Pustaka
Adi, S. (2013). Karakterisasi Bencana Banjir Bandang di Indonesia. Jurnal Sains Dan
Teknologi Indonesia, 15(1), 42–51.
Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.
Asdak C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan DAS. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Benson, C., Twigg, J., & Rossetto,T. 2007. Disaster Risk Reduction : Tools for
Mainstreaming, Guidance Notes for Development Organisations. The International
Federation of Red Cross and Red Crescent Societies / the ProVention Consortium.
Switzerland.
BNPB, 2008., Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No 4 Tahun
2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, Badan
Nasional Penanggulangan Bencana, 2008
BNPB, 2013. Indeks Resiko Bencana Indonesia (IRBI) Tahun 2013. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana. 2013
BNPB, 2016. Penurunan Indeks Resiko Bencana di Indonesia. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana. 14 Desember 2016.
BNPB. (2017). Data dan informasi bencana Indonesia. Profil kebencanaan. Retrieved
February 1, 2017, from http://www.dibi.bnpb.go.id
CIFOR. 1999. Panduan untuk Menerapkan Analisis Multikriteria dalam Menilai Kriteria dan
Indikator. Center of Forestry Research. Bogor.
Dodon. 2013. Indikator dan Perilaku Kesiapsiagaan Masyarakat Di Permukiman Padat
Penduduk dalam Antisipasi Berbagai Fase Bencana Banjir. Jurnal Perencanaan
Wilayah dan Kota, Vol. 24 No. 2, Agustus 2013, hlm.125 – 140.
Donie, S., F.Falah, dan E.Savitri. 2015. Banjir Bandang di Kabupaten Lima Puluh Kota :
Suatu Pembelajaran Pentingnya Koordinasi Kelembagaan. Prosiding Seminar
Nasional Kemandirian Daerah dalam Mitigasi Bencana Menuju Pembangunan
Berkelanjutan. Program Studi S2 PKLH Universitas Sebelas Maret, Ikatan Ahli
Kebencanaan Indonesia, dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Solo,
Indonesia.
Donie, Syahrul, 2017. Kapsitas Masyarakat dalam memnghadapi resiko tanah longsor di
Kabupaten Tasik Malaya, Jawa Barat. Prodising seminar Fakultas Geografi UMS
Tahun 2017. ISBN 978-603-361-372-3.
Donie, Syahrul, 2017. Analisis Potensi Resiko dan Kapasitas Masyarakat Dalam
Menghadapi Bencana Tanah Longsor di Kabupaten Kuningan Propinsi Jawa Barat.
Makalah summit Jurnal Forum Geografi, UMS (belum terbit).
Falah, F., & Savitri, E. 2016. Pemberdayaan Masyarakat dalam Mitigasi Banjir Bandang di
51
Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2016. Fakultas Geografi
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Solo.
Falah, F. & Savitri, E. 2016. Tingkat Kerentanan Sosial dan Kelembagaan Masyarakat di
Sumatera Barat terhadap Dampak Banjir Barat : Studi kasus di Kota Padang dan
Kabupaten Lima Puluh Kota. Prosiding Seminar Nasional Peran Pengelolaan DAS
untuk Mendukung Ketahanan Air. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Pengelolaan DAS, Sekolah Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, dan Fakultas
Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Solo.
Hardiyawan, M. 2012. Kerentanan Wilayah terhadap Banjir Rob di Kota Pekalongan.
Skripsi Departemen Geografi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia. Depok. Tidak dipublikasikan.
Lucía, A., Comiti, F., Borga, M., Cavalli, M., & Marchi, L. (2015). Dynamics of large wood
during a flash flood in two mountain catchments, 1643–1680.
https://doi.org/10.5194/nhessd-3-1643-2015
Montz, B.E. and Gruntfest, E. 2002. Flash flood mitigation: recommendations for research
and application. Environmental Hazards 4: 15-22
Mulyanto, H. R., Parikesit, N. A., & Utomo, H. (2012). Petunjuk Tindakan dan Sistem
Mitigasi Banjir Bandang. Semarang: Direktorat Sungai dan Pantai, Ditjen Sumber
Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum bekerja sama dengan JICA Project on
Integrated Disaster Mitigation Management for Banjir Bandang.
Norbiato, D, Borga, M, Espoti, S.D., Gaume, E., & Anguetin, S. 2008. Flash flood warning
based on rainfall thresholds and soil moisture conditions: An assesment for gauged
and ungauge basin. J.Hydrology 362: 274-290
Nugraha dkk. (2001) dan Nugraha, Joko, Fitri Nugrahani, Irwan Nuryana Kurniawan, 2001.
Model Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Menggunakan Analisis
Regresi Logistik. Jurnal Ilmu-ilmu MIPA, Universitas Indonesia. pISSN 1411-1047 atau
eISSN 2503-2364.
Paimin, Sukresno, & Pramono, I. B. (2009). Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor. (A.
N. Gintings, Ed.). Balikpapan: Tropenboss International Indonesia Programme.
Pramono, I. B., Gunawan, T., Wiryanto, & Budiastuti, M. T. S. (2016). The ability of pine
forests in reducing peak flow at Kedungbulus sub watershed, Central Java, Indonesia.
International Journal of Applied Environmental Science, 11(6), 1549–1568.
Pramono IB, Wahyuningrum N, Wuryanta A. 2009. Penerapan Metode Rational Untuk
Estimasi Debit Puncak Pada Beberapa Luas Sub DAS. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam Volume (VII No. 2: 161-176, 2010).
Rahim SE. 2006. Pengendalian Erosi Tanah: Dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup.
Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Rangkuti, F. 1997. Teknik Membedah Kasus Bisnis : Analisis SWOT, Cara Perhitungan
Bobot, Rating, dan OCAI. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
52
Savitri, E., Falah, F., Pramono, I. B., Tjakrawarsa, G., Yuliantoro, D., & Putro, R. B. (2015).
Teknik Mitigasi Banjir Bandang di Propinsi Riau dan Sumatera Barat. Solo.
Setyari, Febriana Eka, 2012. Pemahaman Masyarakat terhadap Tingkat Kerentanan
Bencana Tanah Longsor di Desa Tieng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo.
Universitas Negeri Yogyakarta. Skripsi, 2012.
Subarkah, I. 1980. Hidrologi untuk Perencanaan Bangunan Air. Idea Dharma. Bandung.
Sulistyowati, A.N.A. 2014. Kesiapsiagaan Masyarakat Rawan Bencana Banjir di Kecamatan
Banjarsari Kota Surakarta. Naskah Publikasi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Surakarta.Eprints.ums.ac.id./29085/9/02-
NASKAH_PUBLIKASI.pdf.
Sunarti, E., H. Sumarno, Mardiyanto, dan A. Hadianto. 2009. Indikator Kerentanan
Keluarga Petani dan Nelayan untuk Pengurangan Resiko Bencana di Sektor
Pertanian. Pusat Studi Bencana Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suprayitno (2016) Suprayitno, 2016. BPBD Tingkatkan Kapasitas Penanggulangan Bencana
Masyarakat Desa Krido. Yogya AntaraNews.com, 3 Agustus 2016.
Youssef, A. M., Pradhan, B., & Hassan, A. M. (2011). Flash flood risk estimation along the
St. Katherine road, southern Sinai, Egypt using GIS based morphometry and satellite
imagery. Environ Earth Sci, 62, 611–623. https://doi.org/10.1007/s12665-010-0551-1
53