DEFIBRILASI
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat
Dosen Pengampu : Lale Wisnu Adrayani
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan petunjuk serta
anugrah-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan Modul Keperawatan Kritis ini
tepat pada waktunya. Tujuan dari penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas Mata
Kuliah Matrikulasi Keperawatan Gawat Darurat. Makalah ini berisi tentang konsep dasar
teori kanker serviks dan manajemen berpikir kritis sebagai perawat untuk menghadapi
kasus kanker serviks.
Dalam penyusunan makalah ini, kami memperoleh banyak bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama makalah ini,
diantaranya:
Kelompok 2
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
BAB III HASIL STUDI LITERATUR
TOPIK 1
Peningkatan Kesintasan Pasca-Henti Jantung-di Luar Rumah Sakit
Memerlukan Alat Baru .........................................................................................69
TOPIK 2x
ACLS (ADVANCED CARDIAC LIFE SUPPORT)............................................73
TOPIK 3
Basic Life Support and Automated External Defibrilatiom Skills
among Ambulance Personel : a manikin study performed in a rural
low-volume ambulance setting...................................................................88
BAB I
FILOSOFI, KONSEP HOLISTIC DAN PROSES KEPERAWATAN KEGAWAT
DARURATAN
Kegawatdaruratan atau dapat pula disebut sebagai emergency adalah suatu situasi
yang mendesak yang beresiko terhadap kesehatan, kehidupan, kesejahteraan atau
lingkungan. Suatu insiden dapat menjadi suatu kegawatdaruratan apabila merupakan
suatu insiden dan mendesak atau mengancam nyawa, kesehatan, kesejahteran ataupun
lingkungan; insiden yang sebelumnya menyebabkan hilangnya nyawa seseorang,
kecacatan, merusak kesejahteraan, ataupun merusak lingkungan; atau insiden yang
memiliki probabilitas yang tinggi untuk menyebabkan bahaya langsung ke kehidupan,
kesehatan, kesejahteraan ataupun lingkungan (Wikipedia 2015).
Kegawadaruratan medis adalah insiden cedera atau sakit yang akut dan
menimbulkan resiko langsung terhadap kehidupan atau kesehatan jangka panjang
seseorang (Caroline, 2013). Keadaan darurat tersebut memerlukan bantuan orang lain
yang idealnya memiliki kualisifikasi dalam melakukan pertolongan, hal ini
membutuhkan keterlibatan dari berbagai pelayanan multilevel, baik dari pemberi
pertolongan pertama, teknisi sampai kelayanan kesehatan gawat darurat.
Kegawatdaruratan medis merupakan keadaan harus mendapat intervensi segera.
Dalam merespon kegawatdaruratan telah dibentuk emergency medikal service (EMS)
atau di sebut pula layanan kegawatdaruratan medis. Tujuan utama dari layanan ini
adalah memberikan pengobatan kepada pasien yang membutuhkan perawatan medis
mendesak, dan tujuan menstabilkan kondisi saat itu, dan menyediakan transpor efisien
dan efektif bagi pasien menuju layanan pengobatan definitif.
TOPIK 1
KONSEP KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
A. KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
Gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis
segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut (UU no 44
tahun 2009). Gawat darurat adalah suatu keadaan yang terjadinya mendadak
mengakibatkan seseorang atau banyak orang memerlukan penanganan/pertolongan
segera dalam arti pertolongan secara cermat, tepat dan cepat. Apabila tidak
mendapatkan pertolongan semacam itu meka korban akan mati atau cacat/
kehilangan anggota tubuhnya seumur hidup. (Saanin, 2012).
Keadaan darurat adalah keadaan yang terjadinya mendadak, sewaktu-waktu/
kapan saja terjadi dimana saja dan dapat menyangkut siapa saja sebagai akibat dari
suatu kecelakaan, suatu proses medic atau perjalanan suatu penyakit (Saanin,
2012). Pelayanan gawat darurat tidak hanya memberikkan pelayanan untuk
mengatasi kondisi kedaruratan yang di alami pasien tetapi juga memberikan asuhan
keperawatan untuk mengatasi kecemasan pasien dan keluarga. Keperawatan gawat
darurat adalah pelayanan professional keperawatan yang diberikan pada pasien
dengan kebutuhan urgen dan kritis. Namun UGD dan klinik kedaruratan sering
digunakan untuk masalah yang tidak urgent, sehingga filosofi tentang keperawatan
gawat darurat menjadi luas, kedaruratan yaitu apapun yang dialami pasien atau
keluarga harus di pertimbangkan sebagai kedaruratan (Hati, 2011 dalam Saanin,
2012).
System pelayanan bersifat darurat sehingga perawat dan tenaga medis lainnya
harus memiliki kemampuan, keterampilan, tehnik serta ilmu pengetahuan yang
tinggi dalam memberikan pertolongan kedaruratan kepada pasien (Saanin, 2012).
Pasien yang tiba-tiba dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam
nyawanya dan atau anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapatkan
pertolongan secepatnya. biasanya di lambangkan dengan label merah. Misalnya
AMI (Acut Miocard Infark). Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak
memerlukan tindakan darurat. Biasanya dilambangkan dengan label biru. Misalnya
pasien dengan Ca stadium akhir.
Pasien akibat musibah yang datang tiba-tiba, tetapi tidak mengancam nyawa
dan anggota badannya. Biasanya di lambangkan dengan label kuning. Misalnya,
pasien Vulnus Lateratum tanpa pendarahan. Pasien yang tidak mengalami
kegawatan dan kedaruratan. Biasanya dilambangkan dengan label hijau. Misalnya,
pasien batuk, pilek.
Keperawatan gawat darurat atau emergency nursing merupakan pelayanan
keperawatan yang komprehensif diberikan kepada pasien dengan injuri akut atau
sakit yang mengancam kehidupan. Kegawatdaruratan medis dapat diartikan
menjadi suatu keadaan cedera atau sakit akut yang membutuhkan intervensi segera
untuk menyelamatkan nyawa atau mencegah atau mencegah kecacatan serta rasa
sakit pada pasien. Pasien gawat darurat merupakan pasien yang memerlukan
pertolongan segera dengan tepat dan cepat untuk mencegah terjadinya kematian
atau kecacatan. Dalam penanganannya dibutuhkan bantuan oleh penolong yang
profesional. Derajat kegawatdaruratan serta kualitas dari penanganan yang
diberikan membutuhkan keterlibatan dari berbagai tingkatan pelayanan, baik dari
penolong pertama, teknisi kesehatan kegawatdaruratan serta dokter
kegawatdaruratannya itu sendiri. Respon terhadap keadaan kegawatdaruratan medis
bergantung kuat pada situasinya. Keterlibatan pasien itu sendiri serta ketersediaan
sumber daya untuk menolong. Hal tersebut beragam tergantung dimana peristiwa
kegawatdaruratan itu terjadi, diluar atau didalam rumah sakit (Caroline 2013).
Karakteristik keperawatan gawat darurat:
1. Tingkat kegawatan dan jumlah pasien sulit diprediksi
2. Keterbatasan waktu, data dan sarana: pengkajian, diagnosis, dan tindakan
3. Keperawatan diberikan untuk seluruh usia
4. Tindakan memerlukan kecepatan dan ketepatan tinggi
5. Saling ketergantungan yang tinggi antara profesi kesehatan
Dalam SPGDT terdapat beberapa fase yaitu: Fase Deteksi, Fase Subpresi,
Fase Pra Rumah sakit, Fase Rumah sakit dan Fase Rehabilitasi. Fase-fase ini
dapat berjalan dengan baik bila ada ketersediaan sumber-sumber yang
memadai. Beberapa referensi adapula yang menyebutkan bahwa SPGDT
dibagi menjadi 3 subsistem, yaitu: sistem pelayanan Pra Rumah Sakit, sistem
pelayanan di Rumah Sakit, sistem pelayanan antar rumah sakit. Ketiga
subsistem ini bersifat saling terkait didalam pelaksanaannya. Pada
pelaksanaanya bergantung kepada kebijakan Negara yang bersangkutan.
a. Fase Deteksi
Pada fase deteksi ini dapat diprediksi beberapa hal diantaranya adalah
frekuensi kejadian, penyebab, korban, tempat rawan, kualitas kejadian dan
dampaknya. Misalnya terkait dengan kecelakaan lalu lintas, maka dapat
diprediksi: frekuensi, Kecelakaan Lalu Lintas (KLL), Buruknya kualitas
“Helm” sepeda motor yang dipakai, Jarangnya orang memakai “Safety
Belt”, tempat kejadian tersering dijalan raya yang padat atau dijalan
protocol, korban kecelakaan mengalami luka mengalami luka diberbagai
tempat atau multiple injuries. Contoh lain bila terkait dengan bencana
alam, maka dapat diprediksi: daerah rawan gempa, frekuensi gempa, jenis
bangunan yang sering hancur, kelompok korban, dan jenis bantuan tenaga
kesehatan yang paling dibutuhkan pada korban gempa. Melatih tenaga
kesehatan dan awam untuk pengelolaan korban gawat darurat. Pelatihan
dapat berbentuk BTCLS in Disaster, PPGD-ON (Pengelolaan Pasien
Gawat Darurat Obstetric Neonatus) untuk bidan, antisipasi Serangan
Jantung dan CADR (Community action & Disaster Response) untuk
pengawal pribadi, pasukan keamanan/ polisi, pecinta alam, guru olahraga/
senam; atau pelatihan Dasi pena (Pemuda Siaga Pencana) untuk Senkom,
pramuka, pemuda dan tokoh masyarakat.
b. Fase Supresi
Kalau kita dapat memperediksi yang dapat menyebabkan kecelakaan
atau terjadi bencana yang dapat menimbulkan korban masal maka kita
dapat melakukan supresi. Supresi atau menekan agar terjadi penurunan
korban gawat darurat dilakukan dengan berbagai cara : perbaikan
kontruksi jalan, peningkatan pengetahuan peraturan lalu lintas, perbaikan
kualitas “Helm” pengetatat melalui UU lalu lintas atau peraturan
ketertiban berlalu lintas, pengetatat peraturan keselamatan kerja,
peningkatan patroli keamanan atau membebuat pemetaan daerah bencana.
c. Fase Pra Rumah Sakit
Pada fase ini keberhasilan begantung pada beberapa komponen yaitu:
akses masyarakat ke petugas terlatih atau petugas kesehatan terlatih, atau
akses petugas terlatih atau petugas kesehatan terlatih kekorban,
komunikasi dan jaringan komunikasi yang dapat dimanfaatkan, serta
ketersediaan gawat darurat. Pada fase ini keberhasilan korban gawat
darurat salah satunya bergantung adanya akses. Akses dari masyarakat
kedalam sistem adalah yang paling penting, karena kalau masyarakat tidak
dapat minta tolong maka SPGDT yang paling baikpun tidak ada guannya
bagi korban yang memerlukan pertolongan. Mengingkat wilayah Indonesia
sangat bervariatif maka setiap provinsi atau kabupaten/kota perlu memiliki
nomor yang mudah dihapal yang mudah dihubungan untuk minta
pertolongan. Saluran informasi yang dapat diakses bila memerlukan
bantuan pertolongan gawat darurat atau bencana dimasyarakat
diantaranya: polisi, pemadam kebakaran, dinas kesehatan, rumah sakit atau
ouskesmas terdekat yang dikoordinir oleh badan penaggulangan bencana
setempat.
Untuk perdesaan yang belum memiliki sarana komunikasi yag belum
ada komunikasi telepon, akses dapat berupa: bedug, kentongan, asap, radio
komunikasi, atau hamdphone.
1) Komunikasi
Lalu lintas komunikasi yang vital diperlukan dalam
penanggulangan bencana diantaranya mencakup: pusat komunikasi ke
ambulan, pusat komunikasi ke rumah sakit, pusat komunikasi ke
instalasi terkait lain, ambulan ke ambulan, ambulan ke rumah sakit,
masyarakat terlatih ke pusat komunikasi atau pelayanan kesehatan.
Pusat komunikasi memiliki tugas menerima dan memberikan
informasi, memonitor, bekerjasama termasuk memberikan komando
penanggulangan bencana baik secara lintas propinsi, nasional, maupun
internasional. Di pusat komunikasi dapat dilibatkan “orang awam”,
yaitu mereka yang menemukan korban kali pertama, atau yang
memberikan pertolongan pertama. “orang awam” ini dapat dilatih,
sehingga disebut awam khusus. Orang awam khusus yang terorganisir
dengan baik antara lain pramuka, Palang Merah Remaja, siswa
sekolah, mahasiswa, hansip atau petugas keamanan, atau karang
taruna. Pendidikan masyarakat melibatkan latihan masyarakat sebagai
penolong pertama. Dengan mewajibkan semua pelajar mendapatkan
pendidikan pertolongan pertama sebelum lulus dari SLTP dan
pertolongan pertama lanjutan sebelum lulus dari SLTA atau sebelum
mendapat SIM, maka kita dapat memastikan bahwa dalam dua
generasi yang akan datang, tiap orang di tempat kecelakaan atau pada
penyakit akut akan lebih sanggup menyelamatkan nyawa dan
extremitas sampai tiba bantuan profesional.
Awam khusus dapat dilatih sehingga memiliki kemampuan cara
minta tolong, cara memberikan bantuan hidup dasar, cara
menghentikan perdarahan, cara memasang balut bidai, cara
mengangkat dan mengirim korban. Keterampilan untuk awam khusus
dapat ditingkatkan sesuai dengan bidang tugas yang diemban setiap
hari, misalnya pengetahuan dan keterampilan mengenai biomekanik
kecelakaan lalu lintas dan luka tembak atau tusuk untuk polisi.
Dengan demikian korban dapat ditolong dengan benar dan optimal.
2) Ambulan Gawat Darurat (AGD)
Ambulan gawat darurat idealnya harus mampu tiba ditempat
korban dalam waktu 6-8 menit supaya dapat mencegah kematian.
Kematian dapat terjadi karena sumbatan jalan napas, henti napas,
henti jantung, dan perdarahan massif.
Untuk daerah perkotaan yang lalu lintasnya padat seperti Jakarta
diperlukan ambulan sepeda motor. Hal ini dilakukan untuk
mengantisipasi respon time. Selanjutnya bila sudah distabilkan maka
tinggal menunggu mobil ambulan untuk dievakuasi dan transportasi.
Ambulan Sepeda Motor Gawat Darurat dapat menjadi rumah
sakit lapangan dalam penanggulangan bencana. Sebagai unit
pelayanan bencana maka ambulan sepeda motor gawat darurat perlu
meningkatkan jalinan komunikasi dengan pusat komunikasi, rumah
sakit dan ambulan lain.
3) Ambulan Gawat Darurat (AGD) Desa Siaga
AGD desa siaga dapat dikembangkan dengan meningkatkan
peran Puskesmas keliling menjadi AGD desa siaga. Peralatan standar
yang diajukan seperti Orotracheal Tube dan Suction untuk
membebaskan jalan napas (airway), Oksigen dan Bag and Mask untuk
membantu pernafasan (breathing), balut cepat dan dan infus untuk
membantu mempertahankan sirkulasi yang baik (circulation), dan
bidai termasuk Neck Collar, Long/Short Board dan traksi untuk
membantu bila ada hendaya (disability).
Di Indonesia terdapat lebih dari 2000 rumah sakit dengan UGD
yang bervariasi dan belum ada koordinasi dalam penanggulangan
korban gawat darurat maupun penanggulangan bencana. Masing-
masing berusaha untuk mendapat citra eksklusif sehingga pelayanan
kesehatan menjadi mahal apalagi bila korban tidak memiliki asuransi
ataupun tidak ada keluarga yang mendampingi, maka kemungkinan
akan terlantar. Keadaan ini bukan saja di Indonesia tetapi juga terjadi
di Negara maju seperti di Amerika Serikat sebelum tahun 1990-an.
Pada tahun 1976 setelah Perang Vietnam selesai para dokter dan
perawat kembali dan mengembangkan sistem penanggulangan pasien
gawat darurat (PPGD) sesuai dengan pengalaman mereka di Vietnam.
Pada waktu itu, fase pra rumah sakit di USA dikembangkanlah
perusahaan-perusahaan pelayanan ambulan. Akibatnya terjadi
persaingan yang tidak sehat, mahal dan saling menghancurkan
sehingga banyak AGD yang bangkrut. Rumah sakit juga saling
berlomba membentuk Trauma Center dengan prinsip “The Right
Patient To The Right Hospital By The Right Surgeon”, sehingga
sering terjadi keterlambatan karena Ahli Bedah tidak ditempat. Baru
tahun 1990 Amerika Serikat menyadari kesalahan ini dan mengubah
sistem PPGD menjadi “inklusif sistem”.
Sistem ini menjamin bahwa semua korban gawat darurat akan
mendapat pelayanan dan penanggulangan yang optimum pada fasilitas
yang sesuai dengan berat cederanya. Sistem ini memanfaatkan semua
sarana Pra RS dan UGD yang ada di kota dan daerah yang menjadi
satu kesatuan secara terpadu. Sejak tahun 1990-an, pada fase pra RS
semua Ambulan Gawat Darurat dihimpun dibawah satu sistem di
Amerika Serikat adalah 911.
d. Fase Rehabilitasi
Semua korban yang cedera akibat kecelakaan maupun bencana harus
dilakukan rehabilitasi secara utuh, mencakup fisik, mental, spiritual dan
sosial. Hal ini perlu dilakukan agar dapat berfungsi kembali di dalam
kehidupan bermasyarakat. Pada fase rehabilitasi melibatkan berbagai
disiplin ilmu, dengan harapan terjadi re-orientasi terhadap kehidupannya
sesuai kondisinya saat ini.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Masalah diagnosa keperawatan gawat darurat merupakan keputusan klinis
perawat tentang respon pasien terhadap masalah kesehatan aktual maupunresiko yang
mengancam jiwa. Masalah /diagnosa keperawatan yang ditegakkan merupakan dasar
penyusunan rencana keperawalan dalam penyelamatan jiwa dan mencegah kecacatan.
Kriteria proses: menetapkan masalah/diagnosa keperawatan mencakup : masalah,
penyebab, tanda dan gejala (PES/PE) berdasarkan prioritas masalah.
Prioritas Masalah Keperawalan Gawat Darurat :
1. Gangguan jalan nalas,
2. Tidak efeklifnya bersihan jalan nafas,
3. Pola nafas tidak efektif,
4. Gangguan pertukaran gas,
5. Penurunan curah janlung,
6. Gangguan perfusi jaringan perifer,
7. Gangguan rasa nyaman
8. Gangguan volume cairan tubuh
9. Gangguan perfusi serebral,
10. Gangguan termoregulasi
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Serangkaian langkah yang bertujuan unluk menyelesaikan masalah diagnosa
keperawatan gawat darurat berdasarkan prioritas masalah yang telah ditetapkna baik
secara mandiri maupun melibatkan tenaga kesehatan lain untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Rencana tindakan keperawatan gawat darurat digunakan sebagai
pedoman dalam melakukan tindakan keperawatan yang sistematis dan efektif.
Kriteria Struktur :
1. Adanya rumusan tujuan dan krileria hasil
2. Adanya rumusan rencana tindakan keperawatan.
Kriteria Proses :
1. Menetapkan tujuan tindakan keperawatan penyelamatan jiwa dan pencegahan
kecacatan sesuai dengan kriteria SMART (Spesific, Measureable, Achieveable,
Realiable, Time)
2. Menetapkan rencana tindakan dari tiap-tiap diagnosa keperawatan
3. Mendokumentasikan rencana keperawatan.
Kriteria Hasil:
1. Tersusunnya rencana tindakan keperawatan gawat darurat yang mandiri
dankolaboralif
2. Ada rencana tindakan keperawatan didokumentasikan pada catatan keperawatan.
D. IMPLEMENTASI
Perawat melaksanakan tindakan keperawatan yang lelah diidentifikasi dalam
rencana asuhan keperawatan gawat darurat. Perawat mengimplementasikan rencana
asuhan keperawatan gawat darurat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Kriteria Proses:
1. Melakukan tindakan keperawatan mengacu pada standar proseduroperasional
yang telah ditentukan sesuai dengan tingkat kegawatan pasien, berdasarkan
prioritas tindakan :
a. Pelayanan keperawatan gawat darurat rumah sakit:
1) Melakukan triase
2) Melakukan tindakan penanganan masalah penyelamatan jiwa dan
pencegahan kecacatan
3) Melakukan tindakan (mandiri dan kolaborasi) sesuai dengan masalah
keperawatan yangmuncul.
2. Melakukan monitoring respon pasien terhadap tindakan keperawatan
3. Mengutamakan prinsip keselamatan pasien (patient safety), dan privacy
4. Menerapkan prinsip standar baku (standar precaution)
5. Mendokumentasikan tindakan keperawatan.
Kriteria Hasil
1. Adanya dokumen tentang tindakan keperawatan serta respon pasien
2. Ada dokumen tentang pendelegasian tindakan medis (standing order).
E. EVALUASI
Penilaian perkembangan kondisi pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan
gawat darurat mengacu pada kriteria hasil. Evaluasi dilakukan setiap jam, kecuali
pasien emergency setiap 15 menit. Evaluasi ada 2 yaitu proses dan hasil.
Kriteria Proses:
1. Melakukan evaluasi terhadap respon pasien pada setiap tindakan yangdiberikan
(evaluasi proses),
2. Melakukan evaluasi dengan cara membandingkan hasil tindakan dengan tujuan
dan kriteria hasil yang ditetapkan (evaluasi hasil),
3. Melakukan re-evaluasi dan menentukan tindak lanjut,
4. Mendokumentasikan respon klien terhadap intervensi yang diberikan.
Kriteria Hasil :Ada dokumen hasil evaluasi menggunakan pendekatan SOAP pada tiap
masalah diagnosa keperawatan.
TOPIK 4
PENGKAJIAN PRIMER DAN SEKUNDER
Perawatan pada pasien yang mengalami injuri oleh tim trauma agak berbeda dengan
pengobatan secara tradisional, di mana penegakan diagnosa, pengkajian dan manajemen
penatalaksanaan sering terjadi secara bersamaan dan dilakukan oleh dokter yang lebih dari
satu. Seorang leader tim harus langsung memberikan pengarahan secara keseluruhan
mengenai penatalaksanaan terhadap pasien yang mengalami injuri, yang meliputi (Fulde,
2009) :
A. PRIMARY SURVEY
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan
manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam
kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan
memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang
dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
1. Airway maintenance dengan cervical spine protection
2. Breathing dan oxygenation
3. Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
4. Disability-pemeriksaan neurologis singkat
5. Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey bahwa
setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah berikutnya
hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil.
Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan
anggota yang telah dialokasikan peran tertentu seperti airway, circulation, dll,
sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan
mereka (American College of Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus dilakukan
berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci untuk perawatan trauma
yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh pemberian intervensi
yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment,
intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert.,
D’Souza., & Pletz, 2009) :
1. General Impressions
a. Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
b. Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
c. Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)
2. Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya
sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka
jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin
memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus
dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala,
leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi
lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
a. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau
bernafas dengan bebas?
b. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
1) Adanya snoring atau gurgling
2) Stridor atau suara napas tidak normal
3) Agitasi (hipoksia)
4) Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
5) Sianosis
c. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
1) Muntahan
2) Perdarahan
3) Gigi lepas atau hilang
4) Gigi palsu
5) Trauma wajah
d. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
e. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang
berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
f. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
1) Chin lift/jaw thrust
2) Lakukan suction (jika tersedia)
3) Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
4) Lakukan intubasi
3. Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas
dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak
memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi
dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury
dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
a. Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi
pasien.
1) Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda
sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest
wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
2) Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks.
3) Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
b. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
c. Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai
karakter dan kualitas pernafasan pasien.
d. Penilaian kembali status mental pasien.
e. Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
f. Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau
oksigenasi:
d. Pemberian terapi oksigen
e. Bag-Valve Masker
f. Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang
benar), jika diindikasikan
g. Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures
g. Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan
terapi sesuai kebutuhan.
4. Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma.
Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea,
hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan
produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan
salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan
dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan
pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah:
tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan
anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui
paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson &
Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara
lain :
a. Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
b. CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
c. Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
d. Palpasi nadi radial jika diperlukan:
1) Menentukan ada atau tidaknya
2) Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
3) Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
4) Regularity
e. Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia
(capillary refill).
f. Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
5. Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
a. A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah
yang diberikan
b. V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
c. P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
d. U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
6. Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien
diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting
untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung
pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien
adalah mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua
pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga
privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam
jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
a. Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
b. Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien
luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak
stabil atau kritis. (Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)
Alur Primary Survey pada Pasien Medical Dewasa (Pre-Hospital Emergency Care
Council, 2012) :
B. SECONDARY ASSESSMENT
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara
head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah
kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok
telah mulai membaik.
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi
keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat
keluarga, sosial, dan sistem. (Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian
riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan
dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu,
konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama
kali melihat kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan
memberikan gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa
contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera
wajah, maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal
atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien
dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan
obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang
pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan
herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk
dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan
dengan kondisi pasien. Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol,
dapat digunakan beberapa pertanyaan di bawah ini (Emergency Nursing
Association, 2007):
a. C. have you ever felt should Cut down your drinking?
b. A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?
c. G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?
d. E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your nerver
or get rid of a hangover (Eye-opener)
Jawaban Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan dengan masalah
konsumsi alkohol.
Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan
dalam proses pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : “dalam
setahun terakhir ini seberapa sering pasanganmu” (Emergency Nursing
Association, 2007):
a. Hurt you physically?
b. Insulted or talked down to you?
c. Threathened you with physical harm?
d. Screamed or cursed you?
Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien
yang meliputi :
a. Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat
nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang
anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat
tidur?
b. Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris,
tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan
pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
c. Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri
terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
d. Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak
ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
e. Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa
lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah
pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri
sebelumnya atau berbeda?
2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang
dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian
belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan
wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka
termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Delp &
Manning. 2004).
b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan
kiri. Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata,
karena pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata
selanjutnya menjadi sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
6) Mata: periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah isokor
atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil
mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata
(macies visus dan acies campus), apakah konjungtivanya anemis atau
adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis, exophthalmos,
subconjunctival perdarahan, serta diplopia
7) Hidung: periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi
akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
8) Telinga : periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan atau
hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan
membrane timpani atau adanya hemotimpanum
9) Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
10) Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
11) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur,
warna, kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna,
kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi
kemudian rasakan apa ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri,
inspeksi amati adanya tonsil meradang atau tidak (tonsillitis/amandel).
Palpasi adanya respon nyeri
c. Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau
krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia
(kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau
tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya
nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan
pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi
servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah
kerusakan otak sekunder.
d. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosiss,
bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi dinding
dada, penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral,
apakah terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung,
(lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan.
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales)
dan bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub).
e. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada
keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan
kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot
dan nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan dan
belakang, untuk adanya trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan
internal, adakah distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa,
denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi
bising usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan).
Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan,
hepatomegali, splenomegali, defans muskuler,, nyeri lepas yang jelas atau
uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra abdominal, dapat
dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage, ataupun USG
(Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus halus
gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu memerlukan re-
evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang
operasi bila diperlukan (Tim YAGD 118, 2010).
f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik
(pelvis menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan
masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi
pasang PASG/ gurita untuk mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis (Tim
YAGD 118, 2010).
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi,
edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus
dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan
adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis,
utuh tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter ani. Pada wanita,
pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau
laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat, karakter dan jumlah
kehilangan darah harus dilaporkan (pada tampon yang penuh memegang 20
sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita
usia subur. Permasalahan yang ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra
pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle
injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika pasien hamil, denyut
jantung janin (pertama kali mendengar dengan Doppler ultrasonografi pada
sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang dinilai untuk frekuensi, lokasi,
dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus ditanya tentang rasa sakit
atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing
berkurang, Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis.(Diklat RSUP
Dr. M.Djamil, 2006).
g. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi,
jangan lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur
terbuak), pada saat pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal
dari fraktur pada saat menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur.
Sindroma kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam ekstremitas
meninggi sehingga membahayakan aliran darah), mungkin luput terdiagnosis
pada penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan (Tim YAGD
118, 2010). Inspeksi pula adanya kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan,
dan sensasi harus diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur,
sedangkan pada jari-jari periksa adanya clubbing finger serta catat adanya
nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia
lambat s/d 5-15 detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan
berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament
dapat menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan
mengganggu pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan
kontraksi otot dapat disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya
fraktur torako lumbal dapat dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat
trauma. Perlukaan bagian lain mungkin menghilangkan gejala fraktur torako
lumbal, dan dalam keadaan ini hanya dapat didiagnosa dengan foto rongent.
Pemeriksaan muskuloskletal tidak lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan
punggung penderita. Permasalahan yang muncul adalah
1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga
terjadi syok yang dpat berakibat fatal
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita
dalam keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali
barulah kelainan ini dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah
penderita mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan
penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat
dilakukan pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010). Periksa`adanya
perdarahan, lecet, luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta
nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra periksa adanya deformitas.
i. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik.
Peubahan dalam status neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS.
Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau
saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar
servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur
servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai
terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat
bergerak dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh
penderita memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan
konsultasi neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena
merupakan gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi penurunan
kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi oksigenasi,
dan ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan epidural
subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP
Dr. M.Djamil, 2006).
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese,
hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia ( kesukaran
dalam mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya
vertigo dan respon sensori
C. FOCUSED ASSESSMENT
Focused assessment atau pengakajian terfokus adalah tahap pengkajian pada area
keperawatan gawat darurat yang dilakukan setelah primary survey, secondary survey,
anamnesis riwayat pasien (pemeriksaan subyektif) dan pemeriksaan obyektif (Head
to toe). Di beberapa negara bagian Australia mengembangkan focused assessment ini
dalam pelayanan di Emergency Department, tetapi di beberapa Negara seperti USA
dan beberapa Negara Eropa tidak menggunakan istilah Focused Assessment tetapi
dengan istilah Definitive Assessment (O’keefe et.al, 1998).
Focused assessment untuk melengkapi data secondary assessment bisa dilakukan
sesuai masalah yang ditemukan atau tempat dimana injury ditemukan. Yang paling
banyak dilakukan dalam tahap ini adalah beberapa pemeriksaan penunjang diagnostik
atau bahkan dilakukan pemeriksaan ulangan dengan tujuan segera dapat dilakukan
tindakan definitif.
REASSESSMENT
Beberapa komponen yang perlu untuk dilakukan pengkajian kembali
(reassessment) yang penting untuk melengkapi primary survey pada pasien di gawat
darurat adalah :
Komponen Pertimbangan
Airway Pastikan bahwa peralatan airway : Oro Pharyngeal Airway, Laryngeal
Mask Airway , maupun Endotracheal Tube (salah satu dari peralatan
airway) tetap efektif untuk menjamin kelancaran jalan napas.
Pertimbangkan penggunaaan peralatan dengan manfaat yang optimal
dengan risiko yang minimal.
Breathing Pastikan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan pasien :
Pemeriksaan definitive rongga dada dengan rontgen foto thoraks,
untuk meyakinkan ada tidaknya masalah seperti Tension
pneumothoraks, hematotoraks atau trauma thoraks yang lain yang
bisa mengakibatkan oksigenasi tidak adekuat
Penggunaan ventilator mekanik
Circulation Pastikan bahwa dukungan sirkulasi menjamin perfusi jaringan
khususnya organ vital tetap terjaga, hemodinamik tetap termonitor serta
menjamin tidak terjadi over hidrasi pada saat penanganan
resusitasicairan.
Pemasangan cateter vena central
Pemeriksaan analisa gas darah
Balance cairan
Pemasangan kateter urin
Disability Setelah pemeriksaan GCS pada primary survey, perlu didukung dengan :
Pemeriksaan spesifik neurologic yang lain seperti reflex patologis,
deficit neurologi, pemeriksaan persepsi sensori dan pemeriksaan
yang lainnya.
CT scan kepala, atau MRI
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PENDAHULUAN
Defibrilasi adalah suatu tindakan terapi dengan cara memberikan aliran
listrik yang kuat dengan metode asinkron ke jantung pasien melalui elektroda yang
ditempatkan pada permukaan dada pasien. Tujuannya adalah untuk koordinasi
aktivitas listrik jantung dan mekanisme pemompaan, ditunjukkan dengan
membaiknya cardiac output, perfusi jaringan dan oksigenasi.
American Heart Association (AHA) merekomendasikan agar defibrilasi
diberikan secepat mungkin saat pasien mengalami gambaran VT non-
pulse atau VF, yaitu 3 menit atau kurang untuk setting rumah sakit dan dalam
waktu 5 menit atau kurang dalam setting luar rumah sakit. Defibrilasi dapat
dilakukan diluar rumah sakit karena sekarang ini sudah ada defibrillator yang bisa
dioperasikan oleh orang awam yang disebut automatic external
defibrillation (AED).
AED adalah defibrillator yang menggunakan system computer yang dapat
menganalisa irama jantung, mengisi tingkat energi yang sesuai dan mampu
memberikan petunjuk bagi penolong dengan memberikan petunjuk secara visual
untuk peletakan elektroda.
Setelah mempelajari materi ini kita diharapkan memiliki kemampuan
untuk menjelaskan konsep Defibrilasi.
Topik 1
Konsep Defibrilasi
A. Fibrilasi
Fibrilasi merupakan masalah pada jantung yang terjadi ketika organ tersebut
berdetak terlalu cepat sehingga frekuensinya idak dapat dihitung. Hal ini disebabkan
oleh impuls listrik yang cepat dan tidak teratur.
Ada 2 jenis fibrilasi:
1. Fibrilasi atrium, fibrilasi yang terjadi di serambi jantung yaitu suatu kondisi yang
terjadi ketika detak jantung menjadi tidak teratur dan tingkat kontraksi organ
tersebut sangat tinggi.
2. Fibrilasi ventrikel, fibrilasi yang terjadi di bilik jantung yaitu keadaan dimana
denyut ventrikel sangat kacau sehingga jantung tidak dapat memompakan
darahnya keluar dan tekanan darah menjadi nol sehingga dapat menyebabkan
kematian mendadak.
B.
Defibrilasi
Defibrilasi adalah sebuah cara yang tepat untuk mengembalikan normalitas
jantung. Kecepatan dalam melakukan defibrilasi/kardioversi merupakan elemen paling
penting untuk resusitasi yang berhasil (Harrison, 1995).
Defibrilasi adalah suatu tindakan terapi dengan cara memberikan aliran listrik
yang kuat dengan metode asinkron ke jantung pasien melalui elektroda yang
ditempatkan pada permukaan dada pasien. Tujuannya adalah untuk koordinasi
aktivitas listrik jantung dan mekanisme pemompaan, ditunjukkan dengan membaiknya
cardiac output, perfusi jaringan dan oksigenasi (Ashok, 2013).
American Heart Association (AHA) merekomendasikan agar defibrilasi
diberikan secepat mungkin saat pasien mengalami gambaran VT non-pulse atau VF,
yaitu 3 menit atau kurang untuk setting rumah sakit dan dalam waktu 5 menit atau
kurang dalam setting luar rumah sakit. Defibrilasi dapat dilakukan diluar rumah sakit
karena sekarang ini sudah ada defibrillator yang bisa dioperasikan oleh orang awam
yang disebut automatic external defibrillation (AED) (Karo, 2011).
Untuk mengatasi gangguan fibrilasi tersebut maka diperlukan suatu tindakan
yang seharusnya dilakukan hal ini disebut dengan defibrilasi dimana detak jantung
normal dapat dikembalikan dengan pengiriman kejutan listrik yang dikendalikan.
Kecepatan dalam melakukan defibrilasi/ kardioversi merupakan elemen penting untuk
resusitasi yang berhasil. Tindakan defribrilasi harus segera dilakukan sebelum intubasi
dan pemasangan selang infuse. Defibrilasi dilakukan dengan cara satu electrode
diletakkan pada sisi kanan dada, dibawah klavikula dan yang lain pada sisi kiri dada
sebelah lateral papilla mamma seperti pada gambar di bawah ini.
C. Prinsip Defibrilasi
Memberikan energi dalam jumlah banyak dalam waktu yang sangat singkat
(beberapa detik) melalui pedal positif dan negative yang ditekankan pas dinding dada
atau melalui adhesive pads yang ditempelkan pada sensing dada pasien. Arus listrik
yang mengalir sangat singkat ini bukan merupakan loncatan awal bagi jantung untuk
berdetak, tetapi mekanismenya adalah aliran listrik yang sangat singkat ini akan
mendepolarisasi semua miokard, menyebabkan berhentinya aktivitas listrik jantung
atau biasa disebut asistole. Beberapa saat setelah berhentinya aktivitas listrik ini, sel-
sel pace maker akan ber-repolarisasi secara spontan dan memungkinkan jantung untuk
pulih kembali. Siklus depolarisasi secara spontan dan repolarisasi sel-sel pacemaker
yang reguler ini memungkinkan jantung untuk mengkoordinasi miokard untuk
memulai aktivitas kontraksi kembali.
D. Mekanisme Defibrilasi
Telah diketahui bahwa terdapatnya suatu massa jaringan yang kritis pada otot
jantung rentan menjadi suatu cikal bakal ventrikel fibrilasi. Telah dilakukan penelitan
oleh Zipes dimana suatu bahan kimia yang bersifat depolarisasi mampu menimbulkan
suatu ventrikel fibrilasi pada otot jantung yang telah memiliki massa jaringan yang
kritis sebelumnya. Namun sejumlah besar voltase yang diberikan di depan otot
jantung mampu menghentikan fibrilasi yang terjadi. Meskipun demikian masih
terdapat sejumlah bagian kecil dari otot jantung yang masih mampu menjadi pencetus
fibrilasi meskipun telah diberikan suatu terapi kejut listrik. Secara teori, terapi kejut
listrik dapat berhasil bila massa jaringan kritis pada otot jantung mampu di defibrilasi
disisi lain dengan jug amasih menyisakan sedikit jaringan fibrilasi yang berpotensi
untuk menjadi suatu aritmia.
Setiap otot jantung memiliki batas bawah ambang kepekaan, suatu nilai
kekuatan minimal yang diperlukan dalam stimulus elektrik untuk menginduksi
terjadinya fibrilasi. Pada tahun 1960 ditemukan bahwa terdapat suatu batas atas
ambang kepekaan yang dapat menginduksi fibrilasi. Telah diteliti bahwa kuat energi
yang diperlukan untuk melakukan defibrilator ternyata sebanding dengan nilai batas
atas ambang kepekaan otot jantung.
Sebagai kesimpulan, hubungan antara syok defibrilasi dan sel otot jantung
dianggap cukup rumit dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Stimulasi elektrik
perlu diberikan pada jaringan yang terfibrilasi untuk melakukan suatu defibrilasi.
Lebih jauh lagi, stimulasi elektrik tidak boleh menjadi penyebab suatu rekativasi
fibrilas.
E. Komplikasi Defibrilasi
1. Henti jantung-nafas dan kematian
2. Anoxia cerebral sampai dengan kematian otak
3. Gagal nafas
4. Asistole
5. Luka bakar
6. Hipotensi
7. Disfungsi pace-maker
Topik 2
Defibrilator
A. Defibrilator
Defibrillator adalah piranti elektronik yang mengalirkan sinyal listrik kejut
(pulsa) ke otot jantung untuk mempertahankan depolarisasi myocardial yang sedang
mengalami fibrillasi kardiak (ventricular fibrillation atau atrial fibrillation).
Defibrilator adalah suatu alat yang menghasilkan shock listrik dalam jumlah
yang terkontrol pada pasien untuk mengakhiri aritmia jantung. Teknik pemberian
shock listrik biasanya dikenal dengan defibrilasi jika shock diberikan untuk
menghentikan fibrilasi ventrikel. Cardioversion merupakan istilah yang digunakan jika
shock digunakan untuk aritmia lain seperti fibrilasi atrium, fluter atrium, atau
takikardia ventrikel.
Suatu defibrilator biasanya terdiri dari capacitor charger, capacitor penyimpan
energi dan discharge circuit. Capacitor charger mengubah tenaga dari sumber dengan
tegangan yang relatif rendah menjadi tegangan dengan tingkat yang cukup untuk
memberikan shock. Jika defibrilator diset “charge”, capacitor charger akan menaikkan
tegangan pada capacitor penyimpan energi sampai simpanan ini mencapai jumlah
energi yang diinginkan untuk melakukan defibrilasi. Discharge circuit kemudian
menghantarkan energi pada electrode baik dengan gelombang monophasik atau
biphasik. Karena kedua elektrode ditempatkan terpisah pada dinding dada, dengan
organ jantung diantaranya, maka arus listrik akan mengalir melewati jantung juga.
Mode pemberian energi defibrillator :
1. Asinkron: pemberian shock listrik jika jantung sudah tidak berkontraksi lagi,
secara manual setelah pulsa R.
2. Sinkron : pemberian shock listrik harus disinkronkan dengan sinyal ECG dalam
keadaan berfibrasi, jadi bila tombol discharge ditekan kapanpun maka akan
membuang pulsa R secara otomatis.
Terdapat berbagai tipe defibrilator, antara lain:
a. Automated External Defibrillators (AED)
1) Dalam penggunaannya tidak diperlukan tenaga medis yang
terlatih
2) Dapat ditemukan di tempat-tempat umum
3) Mampu menganalisa ritme jantung dan melakukan terapi syok
bila diperlukan
4) Tidak dapat di nonaktifkan secara manual dan dapat mendeteksi
suatu aritmia setelah 10-20 detik
b. Semi automated AED
1) Mirip seperti halnya AED namun dapat dinonaktifkan secara
manual dan biasanya mampu menggambarkan EKG
2) Biasanya digunakan oleh tenaga medis c. Dapat menjadi alat
pacu jantung
c. Defibrilator standar dengan monitor baik monofasik maupun bifasik
d. Defibrilator transvena atau implant
Jumlah energi (E) yang diberikan merupakan faktor bagi keberhasilan defibrilator.
Energi yang diberikan kepada pasien dapat diperkirakan dengan mengasumsikan
nilai resistansi yang ditempatkan antara elektroda yang seterusnya mensimulasi
resistansi dari pasien. Kebanyakan defibrilator akan memberikan 60 - 80% dari
energi mereka untuk disimpan ke resistansi sebanyak 50 Ω.
a. Defibrilasi eksternal: piringan logam berdiameter 3-5 cm yang melekat pada
pegangan yang sangat terisolasi. Menghasilkan arus besar untuk menstimulasi
kontraksi yang seragam & simultan dari serat otot jantung. Kapasitor hanya akan
menyalurkan energi listrik yang tersimpan apabila kontak defibrilator dengan
tubuh yang baik sudah tercapai.
b. Internal defibrilasi: besar berbentuk sendok elektroda
2. Advisory Defibrilasi
Mampu dengan akurat menganalisis ECG dan membuat keputusan menyalurkan
kejutan dengan handal. Dirancang untuk mendeteksi fibrilasi ventrikel atau
ventricular fibrillation dengan sensitivitas dan spesifisitas sebanding dengan
paramedis terlatih, kemudian memberikan atau merekomendasikan seberapa
banyak energi sesuai dengan kejutan defibrilasi tersebut.
3. Implan Defibrillator
Biasa digunakan oleh pasien yang berisiko tinggi mengalami ventricular
fibrillation. Implan defibrilator menyimpan rekaman sinyal jantung pasien, sejarah
terapi pasien dan data diagnostik pasien. Implan defibrilator mempunyai volume
kurang dari 70 cc, ia juga mempunyai lebih dari 30 juta transistor dan menyalurkan
kurang dari 20 micro ampere selama beroperasi sebagai pemantauan konstan.
Implan defibrilator sangat tertutup rapat dari lingkungan sekeliling di dalam tubuh
maka ianya sangat bio-kompatible dan mampu bertahan pada rentang suhu 30 oC
hingga 60 oC. Sumber energi untuk menjalankan implan defibrilator berasal dari
baterai Lithium Perak Vanadium Oksida (LiSVO).
4. Defibrillator
DC Delay-Line
Defibrillator ini biasa juga dikenal dengan defibrillator Tapered. Berbeda dengan
dua defibrillator DC sebelumnya, yaitu defibrillator DC Delay Line mempunyai
amplitudo rendah (1.2 KV) dan durasi panjang (15 ms) untuk mencapai level
energi yang ditetapkan. Dibuat dengan meletakan dua bagian L-C. Energi yang
ditransfer adalah sebanding dengan luas daerah di bawah kurva persegi empat,
yang juga dapat diperoleh energi yang sama seperti Bentuk gelombang lainnya.
Bentuk rangkaian defibrillator DC delay-line sama dengan Gambar 10, hanya saja
pada defibrillator DC delay-line ditambahkan L2 dan C2.
5. Defibrillator DC Trapezoidal
Defibrillator DC Trapezoidal merupakan defibrillator yang memiliki bentuk
gelombang yang menyerupai trapesium. Ciri defibrillator ini adalah tegangann
keluarannya rendah (500V sampai 800 V) dan durasinya panjang (20 ms).
Kapasitor membuang muatan (discharge) ke tubuh pasien dikendalikan oleh
rangkaian SCR (Silicon-Controlled Rectifier). Bila energi yang diberikan pada
pasien telah cukup, maka shunt SCR bekerja untuk menghubung-singkat (short
circuit) kapasitor dan memutuskan pulsa. Rangkaian ini mengeleminasi atau
mengurangi ekor pulsa discharge yang panjang. Keluaran dapat dikontrol dengan
mengubah tegangan pada kapasitor atau durasi \pulsa discharge. Desain ini
memberikan beberapa keuntungan:
a. Arus puncak yang diperlukan lebih kecil
b. Tidak diperlukan induktor
c. Dapat menggunakan kapasitor elektrolit (yang secara fisik kecil)
d. Tidak diperlukan relay.
E. Analisa Defibrilator
Besar Energi dalam unit Joule dinyatakan dengan rumus :
Di mana C adalah nilai kapasitansi diukur dalam satuan farad dan V adalah
tegangan kapasitor. Jika yang dibutuhkan adalah tegangan 3 KV, energy 400 J, maka
besar nilai kapasitor adalah :
Oleh karena itu, arus pada masing-masing resistor adalah sama. Dan energy
yang diserap oleh masing-masing resistor sebanding dengan energy total, sesuai
dengan hukum pembagi tegangan. Energi yang diserap oleh thorak dinyatakan dengan
rumus :
Topik 3
Prosedur Penggunaan
1. Pemilihan besarnya energi dengan memtar selector pada R3, maka saat
tegangannya diatur maka akan timbul pengisian di kapasitor C1.
2. Jika tombol Charge ditekan maka akan terjadi pengisian di kapasitor C1, dan
tegangan yang timbul dideteksi oleh detector A1, melalui pembagi tegangan R1
dan R2 yang bersesuaian dengan tegangan C1.
3. Bila tegangan pada pembagi tegangan telah lebih besar dari tegangan R3, maka A1
keluarannya akan menyebabkan High Voltage DC supply yang tidak lagi
mensuplai tegangan ke kapasitor C1.
4. Bila ditekan tombol discharge maka tegangan pada kapasitor C1 akan berpindah
sehingga jantung akan mendapatkan energi dari kapasitor C1.
D. Indikasi Defibrilasi
Defibrilasi merupakan tindakan resusitasi prioritas utama yang ditujukan pada:
1. Ventrikel fibrilasi (VF)
2. Ventrikel takikardi tanpa nadi (VT non-pulse)
I. Pasca Defibrilasi
1.
TOPIK 1
Peningkatan Kesintasan Pasca-Henti Jantung-di Luar Rumah Sakit Memerlukan
Alat Baru
Beberapa penelitian mendiskusikan cara pandang terhadap insidens henti jantung,
profil pasien, ritme jantung saat kejadian henti jantung, dan hasil resusitasi.7-10 Keluaran
henti jantung makin membaik dalam beberapa tahun terakhir karena peningkatan perhatian
terhadap latihan resusitasi, jumlah automatic external defibrillators (AEDs) pada
komunitas, organisasi emergency medical systems (EMS) dan perawatan setelah resusitasi
menjadi lebih baik. Inisiatif yang dapat meningkatkan keluaran pasien out-of-hospital
cardiac arrest (OHCA) pada seluruh langkah dalam rantai kesintasan harus dioptimalkan.4
Namun, metode untuk mempersingkat waktu kritis antara henti jantung dan memulai
resusitasi belum cukup diperhatikan. Pada kasus henti jantung yang disaksikan, waktu
yang krusial terbuang sebelum orang di sekitarnya menyadari telah terjadi henti jantung
dan membutuhkan pertolongan segera. Lebih lanjut, pengambilan keputusan pusat
kesehatan juga menambah waktu penundaan kedatangan emergency medical service
(EMS) di tempat kejadian. Rentang waktu sebelum pasien mendapat pertolongan tersebut
lebih panjang lagi pada 40% kasus henti jantung yang tidak disaksikan.
Pentingnya mengurangi keterlambatan pertolongan diilustrasikan dengan studi
kasus henti jantung di kasino dengan staf terlatih menggunakan AEDs.13 Tingkat
kesintasan 74% pada pasien yang mendapat defibrilasi tidak lebih dari tiga menit setelah
henti jantung yang disaksikan dan 49% pada pasien yang mendapat defibrilasi lebih dari
tiga menit setelah henti jantung. Pada studi tersebut, 105 dari 148 pasien (71%)
menunjukkan VF sebagai irama jantung pertama yang terekam, 90 di antaranya pada kasus
henti jantung yang disaksikan, kesintasan 59% setelah keluar dari rumah sakit. Tidak ada
pasien dengan irama inisial bukan VF yang tetap bertahan hidup.5 Pasien yang bertahan
hidup setelah 1 tahun sebesar 55%, dengan keluaran neurologis baik, dilaporkan pada
kasus henti jantung di Bandara Chicago yang dilengkapi AEDs yang terdistribusi baik.6
Survei OHCA di Swedia menunjukkan median interval waktu antara henti jantung dan
memanggil ambulans adalah 4 menit dan kemungkinan pasien bertahan hidup dalam 30
hari secara signifikan dipengaruhi oleh interval tersebut (6,9% pada ≤4 menit dan 2,8%
pada >4 menit). Penulis berpendapat bahwa penurunan selang waktu dari henti jantung dan
defibrilasi merupakan satu – satunya pilihan saat ini untuk meningkatkan kesintasan dari
10% menjadi 40-70% dan menurunkan insidens kerusakan otak dengan biaya perawatan
jangka panjang yang menyertainya.
Implantasi Monitor Henti Jantung
Lebih dari satu dekade yang lalu telah diusulkan pengembangan suatu alat implantasi yang
mampu terus–menerus memantau aktivitas jantung, dan didesain untuk memperpendek
selang waktu antara henti jantung dan langkah meningkatkan peluang bertahan hidup.8
Alat tersebut seharusnya mampu mendeteksi gagal sirkulasi secara akurat, memicu alarm,
dan segera mentransmisikan lokasi pasien kepada EMS dan lokasi AED terdekat (Gambar
1).
Ada beberapa tantangan teknis dalam pengembangan alat tersebut, seperti memantau irama
terus-menerus dan bebas artefak, pemilihan sensor terbaik, lokasi implantasi, transmisi
sinyal tanpa kabel, kemampuan deteksi kegagalan sirkulasi, menunjukkan lokasi pasti
pasien, konsumsi daya rendah, dan pencatat waktu antara henti jantung dan mulai
resusitasi.1 Arzbaecher mengembangkan purwarupa alat berupa monitor elektrogram
subkutan yang mampu memenuhi kriteria di atas.9 Rickard, et al, mengusulkan alat
berbasis jam tangan yang mampu mendeteksi hilangnya denyut nadi, beberapa aspek
deteksi otomatis dan peringatan OHCA. Upaya – upaya tersebut belum memuaskan dalam
klinis.
Indikasi, Konsep, Dan Evaluasi Klinis
Pertanyaan mendasar adalah pasien mana yang diberi alat monitor henti jantung. Untuk
menjaga agar ukuran studi tetap terbatas, pasien risiko tinggi out-of-hospital cardiac arrest
(OHCA) wajib dilibatkan kecuali pada yang memiliki indikasi pemasangan implantable
cardioverter defibrillator (ICD). Kelompok tersebut dapat terdiri dari pasien post infark
miokard dengan ejection fraction (EF) 35 – 50%, diabetes, jaringan parut pada
pemeriksaan MRI, gagal jantung, pelebaran QRS pada EKG, dan aritmia
(supra)ventrikular; perkiraan angka henti jantung per tahun pada kelompok ini sebesar
~2,5%. Sebagai perbandingan, studi terbaru pada 2790 pasien ICD selama 22 bulan
menunjukkan angka syok sebesar ~5% per tahun. Dengan asumsi bahwa alat peringatan
henti jantung dapat meningkatkan kesintasan pasien sebesar 40%, studi single arm
memerlukan ~18 kasus out-of-hospital cardiac arrest (OHCA) untuk menunjukkan bahwa
alat tersebut mampu meningkatkan kesintasan >10%; diperlukan 18/2,5% = 720 pasien
untuk dilakukan pengamatan. EMS yang kooperatif dan teroganisasi baik didukung sistem
responder pertama di wilayah studi merupakan syarat yang harus dipenuhi. Analisis
dilakukan setelah menentukan jumlah kasus henti jantung untuk mengkonfirmasi jumlah
peringatan palsu yang diterima dan jumlah yang mampu diselamatkan. Dengan asumsi
henti jantung 2,5% per tahun, mortalitas non-aritmia 2,5% per tahun, kesintasan henti
jantung 10% dan 40% pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, studi peningkatan
kesintasan total (P<0,05; kekuatan 80%) dengan implantasi alat peringatan hentui jantung
membutuhkan 3750 pasien yang tercacak dan pengamatan 5 tahun. Disisi lain, randomized
trial untuk menaikkan kesintasan OHCA dari 10% menjadi 40% (P<0,05 dan kekuatan
90%) memerlukan – 100 OHCA dengan demikian -1000 pasien yang diamati selama 4
tahun pengamatan. Pasien yang bertahan hidup setelah OHCA harus dipertimbangkan
untuk implantasi defibrillator. Untuk henti jantung dan mortalitas per tahun, perkiraan
pasien henti jantung yang mampu bertahan hidup adalah 10% di kelompok control dan
40% di kelompok perlakuan (alat peringatan henti jantung). Suatu model sederhana
menunjukkan bahwa biaya pasien per tahun, dengan harapan dapat menghemat ∈50.000
per pasien per tahun untuk alat yang digunakan selama 10 tahun. Angka perkiraan kasar
tersebut termasuk implantasi alat dan perawatan selanjutnya serta biaya organisasi EMS.
Keuntungan financial lain yang tidak disebutkan termasuk biaya pasien pasca-henti
jantung yang bertahan hidup dengan kerusakan otak yang memerlukan biaya besar dalam
perawatannya. Studi ini jelas memerlukan intervensi waktu, upaya dan biaya yang besar,
seperti studi terdahulu yang menunjukkan efektivitas ekonomi implantasi ICD dan cardiac
resynchronization devices.
SIMPULAN
Kami setuju dengan Stecker, et al, 16 bahwa prevensi kematian jantung mendadak
merupakan prioritas kesehatan masyarakat utama. Saat ini, teknik penilaian risiko dengan
positive predictive accuracy yang baik untuk identifikasi sejumlah besar pasien kandidat
ICD yang akan mengalami kematian jantung mendadak sulit tersedia dalam waktu dekat.1
Memperbaiki keluaran resusitasi merupakan satu – satunya cara untuk menurunkan
kematian karena henti jantung mendadak. Salah satu caranya adalah memperpendek selang
waktu antara henti jantung dan defibrilasi,1 antara lain dengan suatu alat deteksi henti
jantung yang secara otomatis memperingatkan orang sekitar dan EMS.1 Merancang
algoritma deteksi dengan positive predictive accuracy yang tinggi akan menjadi tantangan
teknis tersendiri. Tantangan medis yang utama adalah menentukan indikasi implantasi alat
peringatan henti jantung. Teknik ini akan berhasil jika digunakan di wilayah dengan
organisasi EMS yang mendukung sistem tersebut. Biaya sistem kesehatan total pada alat
peringatan henti jantung yang diimplantasi lebih rendah dari ICD,1 sehingga dapat
menghemat biaya kehidupan per tahun pasien risiko tinggi yang belum terindikasi ICD.1
DAFTAR PUSTAKA
Sargowo, djanggan. 2017. Peningkatan Kesintasan Pasca-Henti Jantung di Luar Rumah
Sakit Memerlukan Alat Baru. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran 256 (Vol.44 No.
9). http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view/730/493 Diakses pada
tanggal 26 September 2020 pada pukul 12.19 WITA.
TOPIK 2
ACLS (ADVANCED CARDIAC LIFE SUPPORT)
Oleh : Fatir M.Natsir Indian J. Anaesth
A. BANTUAN HIDUP DASAR DAN INTERMEDIAT DEWASA (BLS DAN ILS)
Perhatikan 5H dan 5T
HipovolemiaTablet (overdosis obat)
Pacing darurat segera (2b) HipoksiaTamponade (jantung) H- ion
Henti jantung brady systolic (asidosis)TensionPneumotoraks
Hiper/hipokalemia Trombosis Koroner
HipotermiaTrombosis paru
Pertahankan fungsi
EF kurang dari 40%, CHF
jantug
Kardioversi DC Kardioversi DC
Amiodaron
Prokainamid Amiodaron
Penolong harus mencoba 50J untuk PSVT atau atrial flutter pada percobaan
pertama kardioversi
Apakah pasien Tangani dengan lebih mendesak untuk pasien
stabil atau tidak? tidak stabil
Penting untuk mengenali bradikardi yang dihasilkan oleh infark miokard akut,
khususnya infark inferior atau infark ventrikel kanan; efek parasimpatik menyebabkan
bradikardi tapi hipotensi, jika ada dikaitkan dengan keadaan hipovolemia dan pasien
seperti itu membutuhkan pemberian cairan dengan menggunakan normal saline (250-
500 ml selama 15- 30 menit) dan tindakan ini dapat menyelamatkan jiwa. Atropin
adalah obat pilihan dalam penatalaksanaan awal dari banyak kasus bradikardi; obat ini
bekerja dengan menghalangi fungsi nervus vagus. Akan tetapi area jantung yang tidak
dipersarafi oleh nervus vagus tidak akan berespon terhadap atropin; oleh karena itu
atropin tidak diindikasikan pada blok jantung derajat III atau Mobitz tipe II.
Penggunaannya dapat mempercepat denyut atrial dan menghasilkan peningkatan blok
nodus AV.
Elevasi segmen ST/ LBBB onset baru Depresi segmen ST atau T terbalik/ EKG non-diagnostik Angina
angina tidak stabil resiko tinggi intermediate/ resiko rendah
Tidak ada penundaan
reperfusi
Glikoprotein IIb/IIIa
Mulai terapi tambahan****
Penghambat reseptor
Beta-bloker IV, Heparin +
(UHF/LMWH, Nitrogliserin IV YES
*Jika pemberian nitrogliserin saja tidak menghilangkan nyeri, Morfin atau petidine
diberikan secara intravena.*Tidak ada kontraindikasi.***Berdasarkan sumber daya
setempat.**** UHF unfractionated heparin, LMWH low molecular weight heparin,
yang terakhir lebih disukai pada kasus depresi segmen ST.***** Percutaneous
Coronary Intervention/Coronary Artery Bypass
Rekomendasi baru untuk sindrom koroner akut31
a. Semua pasien dengan infark miokard membutuhkan aspirin dan beta- bloker jika
tidak ada kontraindikasi.
b. Pemeriksaan EKG 12-lead pre- rumah sakit (kelas 2a) meningkatkan diagnosis
dan mengurangi waktu di rumah sakit untuk penanganan.
c. Penggunaan daftar indikasi dan kontraindikasi pre-rumah sakit, dapat
memperpendek waktu agar digunakan untuk reperfusi.
Infark Miokard Akut dengan Elevasi Segmen ST
a. Terapi fibrinolitik pre- rumah sakit (kelas 2a) bermanfaat untuk pasien- pasien yang
memenuhi syarat ketika transportasi ke rumah sakit memerlukan waktu >60
menit.
b. Pasien- pasien dengan syok kardiogenik atau gagal jantung karena infark miokard
akut perlu untuk dipindahkan ke rumah sakit dimana PCI/CABG tersedia jika,
waktu transpornya 30-45 menit.
c. PCI dapat disamakan dengan terapi fibrinolitik di rumah sakit besar dengan
operator yang berpengalaman.
d. PCI lebih unggul dari terapi fibrinolitik pada pasien usia <75 tahun dengan syok
kardiogenik.
e. Heparin bolus 80 m/kg dan infus 12 m/kg perhari diindikasikan sebagai terapi
tambahan dengan terapi fibrinolitik (misalnya, alteplase) dan untuk semua pasien
yang menjalani PCI.
Infark Miokard Akut dengan Depresi Segmen ST
Obat- obat yang menghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa khususnya yang
durasi kerja pendek seperti Eptifabatide dan Triofiban memperbaiki prognosis pasien
yang beresiko tinggi karena depresi segmen ST, marker positif dan iskemia refrakter;
obat- obatan tersebut juga direkomendasikan untuk pasien yang menjalani PCI.
a. Enoxaparin, heparin dengan berat molekul rendah (LMWH) lebih unggul daripada
unfractionated heparin (UFH) dan mudah untuk diberikan tanpa adanya angina
berulang (rebound angina).
b. Penggunaan terapi dengan tiga anti-trombotik (aspirin dan klopidogrel*,
penghambat GP IIb/IIIa dan UFH/LMWH) merupakan terapi yang paling efektif
untuk IMA dengan depresi segmen ST dan angina tidak stabil.
Farmakologi Resusitasi
a. Amiodaron (kelas 2b) 300 mg IV bolus cepat adalah obat pilihan untuk henti
jantung karena VT/VF yang tetap berlangsung setelah pemberian kejut berkali- kali.
(Lidokain 1.0-1.5 mg/kg kelasnya tidak dapat ditentukan untuk indikasi yang sama).
b. Amiodaron dan Sotalol (kelas 2b) adalah obat yang direkomendasikan untuk terapi
VT monomorfik stabil dan polimorfik.
c. Amiodaron dan prokainamid (kelas 2b) direkomendasikan di depan daripada
adenosine untuk terapi takikardi kompleks lebar stabil.
d. Bretyllium** telah dikeluarkan dari protokol VF/pulseless VT.
* Kira- kira 20% pasien tidak mempan dengan Aspirin
** Persediaan Bretyllium di dunia hampir habis
e. Magnesium sulfat (kelas 2b) 1-2 g IV diberikan pada keadaan torsade de pointes
atau ketika pasien dicurigai iskemia karena hipomagnesemia.
f. Prokainamid (kelas tidak ditentukan) sampai 50 mg/kg diberikan pada korban
VF/VT yang berespon terhadap terapi kejut dengan kembalinya denyut nadi secara
intermitten atau pada korban yang bukan VF/VT tetapi aritmianya berulang.
g. Vasopresin, (dosis tunggal 40 IU IV kelas 2b) mungkin lebih manjur daripada
epinefrin untuk mengembalikan sirkulasi setelah henti jantung pada VF/ pulseless
VT yang resisten pada terapi kejut berulang kali.
h. Epinefrin dosis tinggi 0.1 mg/kg pada dewasa (kelas tidak ditentukan) tampaknya
tidak memperbaiki survival atau keluaran neurologik pada pasien-pasien henti
jantung.
i. Recombinant tissue plasminogen activator (rtpa) memperbaiki keluaran neurologik
saat diberikan pada pasien- pasien stroke yang memenuhi syarat dalam 3 jam setelah
onset (kelas 1).
Sodium Bikarbonat
a. Kelas 1: Pada keadaan hiperkalemia yang telah ada sebelumnya.
b. Kelas 2a: Pada keadaan asidosis yang berespon dengan pemberian bikarbonat.
c. Kelas 2a: Pada overdosis obat antidepresan trisiklik.
d. Kelas 2a: Pada urin yang alkali akibat overdosis aspirin atau obat lainnya.
e. Kelas 2b: Untuk intubasi dan ventilasi pasien- pasien dengan
interval henti jantung yang lama.
f. Kelas 2b: Kembalinya sirkulasi setelah henti jantung yang lama.
g. Kelas 3: Berbahaya pada asidosis hiperkarbik
REFERENSI
Alfred Halstrom et al. CPR by chest compression alone or with mouth to mouth
ventilation. N Engl J Med 2000; 342(21);1546-53
AP Adams et al. Recent Advances in Anaesthesia and Intensive Care 2003; 22: 259-99.
Babbs C F, Ralston et al. Theoretical advantages of abdominal counterpulsation in CPR.
Ann Emerg Med 1984; 22: 499-506.
Chapman PD Et al. Monphasic vs biphasic waveforms for non thoracotomy canine
internal fibrillation. J Am Coll Cardiol 1989; 14; 242-45.
Cogbill PD et al. Rationale for selective thoracotomy in trauma. J Trauma 1983; 23: 453-
60.
Cummins et al. Pre hospital CPR, JAMA 1985; 253: 2408-12.
Cummins R et al. chain of survival concept, AHA. Circulation. 1991; 83(5): 1832-47.
Danne PD et al. Emergency Bay Thoracotomy. J Trauma 1984; 24: 796-802.
Dlaisaine P, Lurie KG et al. comparison of standard CPR with active compression
decompression for out of hospital cardiac arrest. N Engl J Med 1999; 314: 1993-
99.
Eisenberg et al. Cardiac arrest and resuscitation, Ann Emerg Med 1990; 19: 179-86.
Eisenberg MS et al. Cardiac arrest in community JAMA 1979; 241: 1905-07.
Gliner BE et al. Trans thoracic defibrillation of swine with monophasic and biphasic
waveforms. Circulation 1995; 92:1634-43.
Hans Richard et al. Phased chest and abdominal Compression Decompression Vs
Conventional CPR in out of hospital Cardiac arrest. Circulation 2001; 104: 768-7.
Leone et al. Mild hypothermia improves neurological outcomes, during and after arrest in
dogs. J Cereb Flow and Metab 1990; 10: 57-70.
Lombardi et al. Phase Study, JAMA. 1994; 271: 678-83.
M Mark Awar et al. ACLS Geriatrics 2003; 5: 30-34.
Richard L Page et al. Use of AEDS by US Airline. N Engl J Med 2000; 343: 1210-7.
Richard O. Cummins, ACLS text book. Essential of ACLS 1997; 1-71.
Schuder et al. Transthoracic ventricular defibrillation in 100 kg calf with one cycle of
bidirectional rectangular, wave stimuli. Trans Biomed Eng 1983; 30: 415-22.
Sterz et al. Active compression decompression in patients with cardiac arrest. Circulation
1996; 94: 1-9.
Thompson RG et al. Bystander initiated CPR for the management of VF. Ann Intern Med
1979; 90:737-40.
Waalewijm RA et al. Out of hospital cardiac arrests in Amsterdam and surrounding areas.
Resuscitation 1998; 38:157-167.
Wenzel, Inder KH et al. Effects of phased chest and abdominal compression and
decompression CPR on myocardial and cerebral blood flow in pigs. Crit Care
Med 2000; 28: 1107-1112.
TOPIK 3
Basic Life Support and Automated External Defibrilatiom Skills
among Ambulance Personel : a manikin study performed in a rural low-volume
ambulance setting
Anne Moller Nielsen, Dan lou Isbye, Freddy Knudsen Lippert, dan lars Simon R
Jurnal yang berjudul Basic Life Support and Automated External Defibrilatiom
Skills among Ambulance Personel : a manikin study performed in a rural low-
volume ambulance setting adalah sebuah jurnal peneletian yang dilakukan di sebuah
daerah terpencil sebuah pulau Bornholm, Scandinavian, Denmark yang memiliki
populasi 42.000 dengan penderita cardiac arrest hampir 50 kasus dalam setahun.
Penelitian ini di lakukan karena peranan dari pelayanan kedaruratan medis sangat
berperan penting terutama dalam hal pemberian CPR dan defibrilasi khususnya di
daerah pedalaman yang memerlukan waktu transportasi yang lama untuk
mencapai rumah sakit. Oleh karena itu peranan dan keahlian terkait BLS dan
AED dari personil tenaga dalam ambulan sangat penting.
Pada bulan mei 2009 peneliti melakukan observasi dan disampaikan bahwa
tidak ada tenaga medis, perawat atau dokter yang mengawal ambulans di pulau
tersebut, hanya ada tenaga ambulans atau yang di sebut EMS (Emergency
Medical Services) yg berada di dalamnya. Di pulau tersebut terdapat 35 orang
EMS yang telah mendapatkan sertifikat internasional kursus BLS, dimana 22 orng
mendapat pelatihan BLS, AED dan penggunaan ECG, dan 13 orang mendapt
pelatihan BLS dan AED.
Dalam jurnal ini peneliti melakukan penilaian keahlian BLS selama 3 hari
para EMS dengan menggunakan kasus skenario cardiac arrest yang korbannya di
simulasikan oleh manikin dan pada berada dalam setting ambulans. Manikin
yang digunakan dihubungkan dengan komputer yang bisa mendeteksi letak
tangan EMS saat kompresi, kedalaman saat kompresi, jumlah rasio kompresi dan
ventilasi, volume ventilasi, jumlah kompresi tangan, waktu jarak antara kompresi
dan ventilasi atau pada pemberian shock pertama.
Dari hasil tes yang dilakukan peneliti tersebut terdapat 2 orang dari 22 EMS
tidak mengikuti uji tersebut. Dan 13 orang yang lain hanya sebagai asisten. Jadi
ada 20 partisipan yang terlibat. Secara keseluruhan partisipan yang melakukan uji
ini didapatkan hasil bahwa 70 % mendapat nilai maksimal dari 4 item yang
dinilai, item yang dinilai ini menggunakan standar panduan BLS yang di buat
oleh European Resuscitation Council tahun 2005. Empat item tersebut adalah
algoritme dari resusitasi, kompresi, ventilasi dan defibrilasi.
Dari item yang pertama algoritme dari resusitasi 80 % melakukan kompresi :
ventilasi secara benar (30:2), item kedua kompresi didapatkan 45 % EMS
meletakan tangan secara benar, dan 10 orang dari 20 orang melakukan penekanan
kompresi yang terlalu dalam dari standar yang sudah ditetapkan dalam panduan.
Item ketiga ventilasi pada item ini 17 orang EMS melakuakan pemberian ventilasi
yang mengahasilkan tidal volume yang lebih tinggi dari panduan yaitu 746 ml
sedangkan dalam panduan tidal volume maksimalnya adalah 600 ml. dan perlu
ditambahkan bahwa tidal volume yang terlalu tinggi juga bisa mengakibatkan
hiperventilasi yang nantinya dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intra thorak,
menurunkan tekanan perfusi coroner dan harapan hidup. Dan item keempat
defibrilasi hampir semua EMS melakukan defibrilasi dengan tepat.
Kesimpulan dari peneltitian ini didapatkan bahwa 70 % EMS di daerah
pedalaman Bornholm, Scandinavian mendapatkan nilai maksimal dalam keahlian
BLS dan penggunaan AED. Namun para EMS di daerah pedalaman tersebut
masih memerlukan pelatihan secara rutin untuk meningkatkan kualitas pelayanan
terutama tanggap terhadap kasus Cardiac arrest dan pemberian ventilasi dengan
tidal volume yang adekuat.
Menurut pembaca apa yang dilakukan oleh peneliti ini mungkin perlu untuk di
adopsi oleh dinas kesehatan pusat, sehingga dapat secara rutin melakukan uji
keahlian tenaga kesehatan di setiap pusat pemberi pelayanan kesehatan baik di
daerah kota maupun pedalaman dimana dari uji tersebut dinas dapat mengetahui
tingkat kemampuan, kualitas pelayanan dan pengetahuan tenaga medis. dan
selanjutnya dari hasil uji tersebut dapat di gunakan sebagai dasar untuk
menentukan langkah yang perlu untuk diambil terkait peningkatan mutu
pelayanan medis baik yang bersifat kedaruratan maupun tidak.
Dari penilaian pembaca hal ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi di
Indonesia, jika di Negara barat bahkan daerah pedalaman system pelayanan
kedaruratan medis dapat berjalan dengan baik bahkan bisa menunjukkan performa
yang bagus ditunjang dengan dengan fasilitas ambulans yang di lengkapi dengan
tenaga ambulan terlatih dan peralatan yang tersedia. Sedangkan di Indonesia bahkan
di pusat kota saja belum bisa menerapkan system yang semestinya, bagaimana
dengan yang berada jauh dari pusat kesehatan yang memerlukan transportasi yang
lama. Ditambah lagi fasilitas yang dimiliki tidak bisa di gunakan secara
maksimal, tenaga ambulans pun kebanyakan tidak terlatih seperti halnya yang di
miliki oleh EMS yang berada di pedalaman Bornholm. Oleh karena itu mungkin
jurnal ini bisa dijadikan motivasi dan landasan untuk terus memperbaiki dan
meningkatkan kualitas dari pelayanan kedaruratan medis seperti halnya yang
dilakukan di Negara barat. Mungkin juga perlu untuk di adakan pelatihan di daerah
pedalaman bagaimana penangan medis darurat.
DAFTAR PUSTAKA
https://sjtrem.biomedcentral.com/articles/10.1186/1757-7241-20-34#article-info di akses
pada tanggal 27 september 2020 pada pukul 12. 30 Wita
BAB V
KESIMPULAN
Pelayanan gawat darurat merupakan pelayanan yang dapat memberikan tindakan
yang cepat dan tepat pada seorang atau kelompok orang agar dapat meminimalkan angka
kematian dan dapat mencegah terjadinya kecacatan yang tidak perlu. Perawat gawat
darurat harus mengkaji pasien mereka dengan cepat dan merencanakan intervensi sambil
berkolaborasi dengan dokter gawat darurat. Dan harus mengimplementasi kan rencana
pengobatan, mengevaluasi efektivitas pengobatan, dan merevisi perencanaan dalam
parameter waktu yang sangat sempit. Hal tersebut merupakan tantangan besar bagi
perawat, yang juga harus membuat catatan perawatan yang akurat melalui
pendokumentasian.
Defibrilasi adalah suatu tindakan terapi dengan cara memberikan aliran
listrik yang kuat dengan metode asinkron ke jantung pasien melalui elektroda
yang ditempatkan pada permukaan dada pasien. Tujuannya adalah untuk
koordinasi aktivitas listrik jantung dan mekanisme pemompaan, ditunjukkan
dengan membaiknya cardiac output , perfusi jaringan dan oksigenasi.
Shock defibrilasi mengantarkan energi listrik dalam jumlah yang sangat banyak
dan hampir serentak dengan durasi beberapa milidetik yang akan mengalir antara elektrode
positif dan negatif melewati jantung yang mengalami fibrilasi ventrikel atau takikardi
ventrikel tanpa denyut (Cummins, 2003). Aliran arus listrik ini tidak secara langsung
membuat jantung berdenyut normal, tapi mendepolarisasi seluruh miokardium sehingga
kemudian terjadi complete electrical silence atau asystole. Periode electrical silence pasca
pemberian shock yang singkat ini akan memberikan efek repolarisasi spontan pada sel
pacemaker jantung untuk pulih (Cummins, 2003).