Anda di halaman 1dari 102

Modul Keperawatan Gawat Darurat

DEFIBRILASI
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat
Dosen Pengampu : Lale Wisnu Adrayani

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 2


1. Bq. Hulwana dian astri
2. Hierwan Alwi Yudistira
3. I Gede Darma Satria Utama
4. I Nyoman Sandya Pranata
5. Irwina Syafitri
6. Made Anandam Prasetya A.
7. Resi Mufti Bestari
8. Seni Wati
9. Sultiahair
10. Vendi Riswanda
11. Yuliati Rokmah

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KEMENTRIAN KESEHATAN MATARAM
JURUSAN KEPERAWATAN MATARAM
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan petunjuk serta
anugrah-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan Modul Keperawatan Kritis ini
tepat pada waktunya. Tujuan dari penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas Mata
Kuliah Matrikulasi Keperawatan Gawat Darurat. Makalah ini berisi tentang konsep dasar
teori kanker serviks dan manajemen berpikir kritis sebagai perawat untuk menghadapi
kasus kanker serviks.
Dalam penyusunan makalah ini, kami memperoleh banyak bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama makalah ini,
diantaranya:

1. Lale Wisnu Adrayani, selaku dosen mata kuliah matrikulasi Keperawatan


Maternitas yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan, koreksi serta saran
sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
2. Teman-teman kelompok yang telah sama-sama bekerja keras dalam menyelesaikan
makalah ini.
Akhirnya kami menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam
penulisan makalah ini, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dan para pembaca demi kesempurnaan laporan ini.

Mataram, September 2020

Kelompok 2
DAFTAR ISI

KATA PENGATAR .....................................................................................................ii


DAFTAR ISI .................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
TOPIK 1
KONSEP KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
A. Keperawatan Gawat Darurat ............................................................................2
B. Prinsip Keperawatan Gawat Darurat ...............................................................3
C. Kode-Kode Emergency Di Rumah Sakit .........................................................5
D. Konsep Sistem Pelayanan Gawat Darurat Terpadu .........................................10
TOPIK 2
PERAN DAN FUNGSI PERAWAT GAWAT DARURAT
A. Peran Perawat Gawat Darurat ..........................................................................19
B. Fungsi Perawat Gawat Darurat ........................................................................20
C. Kemampuan Minimal Perawat ........................................................................22
D. Peran Perawat Dalam Pelayanan Ke Gawat Daruratan ...................................23
TOPIK 3
PROSES KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
A. Pengkajian ........................................................................................................24
B. Diagnosa Keperawatan ....................................................................................25
C. Intervensi..........................................................................................................26
D. Implementasi ....................................................................................................26
E. Evaluasi ............................................................................................................27
TOPIK 4
PENGKAJIAN PRIMER DAN SEKUNDER
A. Primary Survey ................................................................................................28
B. Secondary Assessment .....................................................................................33
C. Focused Assessment .........................................................................................33
D. Reassessment ...................................................................................................41
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
PENDAHULUAN
Topik 1
Konsep Defibrilasi
A. Fibrilasi ...........................................................................................................43
B. Defibrilasi ........................................................................................................43
C. Prinsip Defibrilasi ...........................................................................................45
D. Mekanisme Defibrilasi .....................................................................................45
E. Komplikasi Defibrilasi .....................................................................................46
Topik 2
Defibrilator
A. Defibrilator ......................................................................................................47
B. Perbedaan Monofasik dan Bifasik ...................................................................49
C. Komponen Defibrilator ....................................................................................52
D. Jenis – Jenis Defibrilator .................................................................................53
E. Analisa Defibrilator .........................................................................................58
Topik 3
Prosedur Penggunaan
A. Prinsip Dasar Defribilator ................................................................................60
B. Prinsip Prosedur Pemberian Energi Defribilator ke Jantung ...........................60
C. Prosedur Pemberian Energi Defibrilasi ..........................................................61
D. Indikasi Defibrilasi ..........................................................................................62
E. Hal Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Penggunaan defibrilator ..................63
F. Persiapan Sebelum Prosedur Defibrilasi .........................................................64
G. Prosedur Defibrilasi .........................................................................................65
H. Algoritma Defibrilasi .......................................................................................66
I. Pasca Defibrilasi ..............................................................................................66

DAFTAR PUSTAKA
BAB III HASIL STUDI LITERATUR
TOPIK 1
Peningkatan Kesintasan Pasca-Henti Jantung-di Luar Rumah Sakit
Memerlukan Alat Baru .........................................................................................69
TOPIK 2x
ACLS (ADVANCED CARDIAC LIFE SUPPORT)............................................73
TOPIK 3
Basic Life Support and Automated External Defibrilatiom Skills
among Ambulance Personel : a manikin study performed in a rural
low-volume ambulance setting...................................................................88
BAB I
FILOSOFI, KONSEP HOLISTIC DAN PROSES KEPERAWATAN KEGAWAT
DARURATAN
Kegawatdaruratan atau dapat pula disebut sebagai emergency adalah suatu situasi
yang mendesak yang beresiko terhadap kesehatan, kehidupan, kesejahteraan atau
lingkungan. Suatu insiden dapat menjadi suatu kegawatdaruratan apabila merupakan
suatu insiden dan mendesak atau mengancam nyawa, kesehatan, kesejahteran ataupun
lingkungan; insiden yang sebelumnya menyebabkan hilangnya nyawa seseorang,
kecacatan, merusak kesejahteraan, ataupun merusak lingkungan; atau insiden yang
memiliki probabilitas yang tinggi untuk menyebabkan bahaya langsung ke kehidupan,
kesehatan, kesejahteraan ataupun lingkungan (Wikipedia 2015).
Kegawadaruratan medis adalah insiden cedera atau sakit yang akut dan
menimbulkan resiko langsung terhadap kehidupan atau kesehatan jangka panjang
seseorang (Caroline, 2013). Keadaan darurat tersebut memerlukan bantuan orang lain
yang idealnya memiliki kualisifikasi dalam melakukan pertolongan, hal ini
membutuhkan keterlibatan dari berbagai pelayanan multilevel, baik dari pemberi
pertolongan pertama, teknisi sampai kelayanan kesehatan gawat darurat.
Kegawatdaruratan medis merupakan keadaan harus mendapat intervensi segera.
Dalam merespon kegawatdaruratan telah dibentuk emergency medikal service (EMS)
atau di sebut pula layanan kegawatdaruratan medis. Tujuan utama dari layanan ini
adalah memberikan pengobatan kepada pasien yang membutuhkan perawatan medis
mendesak, dan tujuan menstabilkan kondisi saat itu, dan menyediakan transpor efisien
dan efektif bagi pasien menuju layanan pengobatan definitif.
TOPIK 1
KONSEP KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
A. KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
Gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis
segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut (UU no 44
tahun 2009). Gawat darurat adalah suatu keadaan yang terjadinya mendadak
mengakibatkan seseorang atau banyak orang memerlukan penanganan/pertolongan
segera dalam arti pertolongan secara cermat, tepat dan cepat. Apabila tidak
mendapatkan pertolongan semacam itu meka korban akan mati atau cacat/
kehilangan anggota tubuhnya seumur hidup. (Saanin, 2012).
Keadaan darurat adalah keadaan yang terjadinya mendadak, sewaktu-waktu/
kapan saja terjadi dimana saja dan dapat menyangkut siapa saja sebagai akibat dari
suatu kecelakaan, suatu proses medic atau perjalanan suatu penyakit (Saanin,
2012). Pelayanan gawat darurat tidak hanya memberikkan pelayanan untuk
mengatasi kondisi kedaruratan yang di alami pasien tetapi juga memberikan asuhan
keperawatan untuk mengatasi kecemasan pasien dan keluarga. Keperawatan gawat
darurat adalah pelayanan professional keperawatan yang diberikan pada pasien
dengan kebutuhan urgen dan kritis. Namun UGD dan klinik kedaruratan sering
digunakan untuk masalah yang tidak urgent, sehingga filosofi tentang keperawatan
gawat darurat menjadi luas, kedaruratan yaitu apapun yang dialami pasien atau
keluarga harus di pertimbangkan sebagai kedaruratan (Hati, 2011 dalam Saanin,
2012).
System pelayanan bersifat darurat sehingga perawat dan tenaga medis lainnya
harus memiliki kemampuan, keterampilan, tehnik serta ilmu pengetahuan yang
tinggi dalam memberikan pertolongan kedaruratan kepada pasien (Saanin, 2012).
Pasien yang tiba-tiba dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam
nyawanya dan atau anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapatkan
pertolongan secepatnya. biasanya di lambangkan dengan label merah. Misalnya
AMI (Acut Miocard Infark). Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak
memerlukan tindakan darurat. Biasanya dilambangkan dengan label biru. Misalnya
pasien dengan Ca stadium akhir.
Pasien akibat musibah yang datang tiba-tiba, tetapi tidak mengancam nyawa
dan anggota badannya. Biasanya di lambangkan dengan label kuning. Misalnya,
pasien Vulnus Lateratum tanpa pendarahan. Pasien yang tidak mengalami
kegawatan dan kedaruratan. Biasanya dilambangkan dengan label hijau. Misalnya,
pasien batuk, pilek.
Keperawatan gawat darurat atau emergency nursing merupakan pelayanan
keperawatan yang komprehensif diberikan kepada pasien dengan injuri akut atau
sakit yang mengancam kehidupan. Kegawatdaruratan medis dapat diartikan
menjadi suatu keadaan cedera atau sakit akut yang membutuhkan intervensi segera
untuk menyelamatkan nyawa atau mencegah atau mencegah kecacatan serta rasa
sakit pada pasien. Pasien gawat darurat merupakan pasien yang memerlukan
pertolongan segera dengan tepat dan cepat untuk mencegah terjadinya kematian
atau kecacatan. Dalam penanganannya dibutuhkan bantuan oleh penolong yang
profesional. Derajat kegawatdaruratan serta kualitas dari penanganan yang
diberikan membutuhkan keterlibatan dari berbagai tingkatan pelayanan, baik dari
penolong pertama, teknisi kesehatan kegawatdaruratan serta dokter
kegawatdaruratannya itu sendiri. Respon terhadap keadaan kegawatdaruratan medis
bergantung kuat pada situasinya. Keterlibatan pasien itu sendiri serta ketersediaan
sumber daya untuk menolong. Hal tersebut beragam tergantung dimana peristiwa
kegawatdaruratan itu terjadi, diluar atau didalam rumah sakit (Caroline 2013).
Karakteristik keperawatan gawat darurat:
1. Tingkat kegawatan dan jumlah pasien sulit diprediksi
2. Keterbatasan waktu, data dan sarana: pengkajian, diagnosis, dan tindakan
3. Keperawatan diberikan untuk seluruh usia
4. Tindakan memerlukan kecepatan dan ketepatan tinggi
5. Saling ketergantungan yang tinggi antara profesi kesehatan

B. PRINSIP KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


Prinsip pada penanganan penderita gawat darurat harus cepat dan tepat serta
harus dilakukan segera oleh setiap orang yang pertama menemukan/mengetahui
(orang awam, perawat, para medis, dokter), baik didalam maupun diluar rumah
sakit karena kejadian ini dapat terjadi setiap saat dan menimpa siapa saja.
1. Bersikap tenang tapi cekatan dan berpikir sebelum bertindak (jangan panik).
2. Sadar peran perawat dalam menghadapi korban dan wali ataupun saksi.
3. Melakukan pengkajian yang cepat dan cermat terhadap masalah yang
mengancam jiwa (henti napas, nadi tidak teraba, perdarahan hebat, keracunan).
4. Melakukan pengkajian sistematik sebelum melakukan tindakan secara
menyeluruh. Pertahankan korban pada posisi datar atau sesuai (kecuali jika ada
ortopnea), lindungi korban dari kedinginan.
5. Jika korban sadar jelaskan apa yang terjadi, berikan bantuan untuk
menenangkan dan yakinkan akan ditolong.
6. Hindari mengangkat atau memindahkan yang tidak perlu, memindahkan jika
hanya ada kondisi yang membahayakan.
7. Jangan di beri minum jika ada trauma abdomen atau perkiraan kemungkinan
tindakan anastesi umum dalam waktu dekat.
8. Jangan dipindahkan (ditransportasi) sebelum pertolongan pertama selesai
dilakukan dan terdapat alat transportasi yang memadai.

Kondisi gawat darurat dapat diklasifikasikan sebagai berikut (kumpulan materi


mata kuliah Gadar: 2006):
1. Gawat darurat
Suatu kondisi dimana dapat mengancam nyawa apabila tidak mendapatkan
pertolongan secepatnya. Contoh : gawat nafas, gawat jantung, kejang, koma,
trauma kepala dengan penurunan kesadaran.
2. Gawat tidak darurat
Suatu keadaan dimana pasien berada dalam kondisi gawat tetapi tidak
memerlukan tindakan yang darurat contohnya : kanker stadium lanjut
3. Darurat tidak gawat
Pasien akibat musibah yang datang tibatiba tetapi tidak mengancam nyawa
atau anggota badannya contohnya : fraktur tulang tertutup.
4. Tidak gawat tidak darurat
Pasien poliklinik yang datang ke UGD
C. KODE-KODE EMERGENCY DI RUMAH SAKIT
1. Code Red (Kode Merah)
Code Red adalah kode yang mengumumkan adanya ancaman kebakaran di
lingkungan rumah sakit (api maupun asap), sekaligus mengaktifkan tim siaga
bencana rumah sakit untuk kasus kebakaran. Dimana tim ini terdiri dari seluruh
personel rumah sakit, yang masing-masing memiliki peran spesifik yang harus
dikerjakan sesuai panduan tanggap darurat bencana rumah sakit. Misalnya;
petugas teknik segera mematikan listrik di area kebakaran, perawat segera
memobilisasi pasien ke titik-titik evakuasi, dan sebagainya. Tatalaksananya
(RACE):
a. (R) REMOVE/RESCUE/SELAMATKAN setiap orang yang berada dalam
area kebakaran sambil meneriakkan: code red ---- code red
b. (A) ALERT/ALARM/SEBARLUASKAN dengan cara menelpon Operator
selanjutnya operator menghubungi pihak yang terkait antara lain petugas
security, selajutnya beritahu kawan terdekat. Bila api membesar telpon
Dinas Pemadam Kebakaran.
c. (C) CONFINE/ CONTAIN/SEKAT bila sekitar ruangan penuh api dan
asap, bila memungkinkan tutup pintu dan jendela untuk mencegah api
menjalar.
d. (E) EXTINGUISH/PADAMKAN bila api masih memungkinkan/bila api
masih kecil. Jangan ambil resiko yang tidak perlu.
e. Bila cukup aman, matikan semua sarana seperti listrik, gas yang
kemungkinan berkaitan dengan api, tapi tetap pertimbangkan dengan
cermat bila pasien masih memerlukan.
f. Evakuasi pasien dan pengunjung ke daerah yang aman.
g. Tetap awasi pasien. Bila perlu dihitung per kepala atau absensi berurutan.
h. Kooperatif dengan semua intruksi yang diberikan oleh Staf Senior,
Manajer on Duty (MOD), ataupun petugas pemadam kebakaran
2. Code Blue (Kode Biru)
Code blue adalah kode yang mengumumkan adanya pasien, keluarga
pasien, pengunjung, dan karyawan yang mengalami henti jantung dan
membutuhkan tindakan resusitasi segera. Pengumuman ini utamanya adalah
untuk memanggil tim medis reaksi cepat atau timcode blueyang bertugas pada
saat tersebut, untuk segera berlari secepat mungkin menuju ruangan yang
diumumkan dan melakukan resusitasi jantung dan paru pada pasien. Tim medis
reaksi cepat (timcode blue) ini merupakan gabungan dari perawat dan dokter
yang terlatih khusus untuk penanganan pasien henti jantung. Karena setiap
shift memiliki anggota tim yang berbeda-beda, dan bertugas pada lokasi yang
berbeda-beda pula (pada lantai yang berbeda atau bangsal/ruang rawatan yang
berbeda); diperlukan pengumuman yang dapat memanggil mereka dengan
cepat. Tatalaksana akan dibahas dalam subbab berikutnya.
3. Code Pink (Kode Merah muda)
Code pink adalah kode yang mengumumkan adanya penculikan bayi/ anak
atau kehilangan bayi/ anak di lingkungan rumah sakit. Secara universal,
pengumuman ini seharusnya diikuti dengan lock down (menutup akses keluar-
masuk) rumah sakit secara serentak. Bahkan menghubungi bandar udara,
terminal, stasiun dan pelabuhan terdekat untuk kewaspadaan terhadap bayi
korban penculikan. Tatalaksananya:
a. Oleh karena beberapa jam pertama merupakan waktu kritis pada kasus
hilangnya bayi/anak-anak, hal terpenting adalah menyediakan informasi
akurat berkaitan dengan bayi/anak sesegera mungkin. Apabila Bayi/Anak-
Anak diculik makaPetugas yang menemukan terjadinya penculikan
bayi/anak, meneriakkan: “Code Pink – Code Pink !!!!”
b. Segera menelpon Operator, selanjutnya operator menghubungi pihak yang
terkait di Rumah Sakit antara lain security, Manager on Duty, Direksi, dan
Staf Senior lainnya).
c. Security atas perintah Pimpinan, menelepon POLRES atau POLSEK
setempat dan sebutkan: jenis kejadian, lokasi kejadian dengan tepat, nama
anda dan tugas/profesi Anda.
d. Petugas Kepolisian kemungkinan akan meminta gambar/foto bayi/anak
yang diculik (kalau ada), dan menanyakan beberapa pertanyaan antara
lain: kapan terjadinya, lokasi terakhir Anda masih melihat bayi/anak yang
hilang, dan memakai pakaian apa bayi/anak tersebut.
e. Setelah menerangkan kepada yang berwajib, berupayalah untuk tetap
tenang. Anda akan mampu mengingat detail bayi/anak yang diculik lebih
mudah bila Anda telah memperoleh kondisi rasional dan logisnya kembali.
4. Code Black (Kode Hitam)
Code black adalah kode yang mengumumkan adanya ancaman orang yang
membahayakan (ancaman orang bersenjata atau tidak bersenjata yang
mengancam akan melukai seseorang atau melukai diri sendiri), ancaman bom
atau ditemukan benda yang dicurigai bom di lingkungan rumah sakit dan
ancaman lain. Dalam hal adanya ancaman terhadap seseorang (orang bersenjata
atau tidak bersenjata yang mengancam akan melukai seseorang atau melukai
diri sendiri) yang dilakukan:
a. 4R (Remain calm-Tetap tenang, Retreat-Mundur bila lebih aman, Raise
the alarm-Bunyikan alarm, Record details-Catat rincian kejadian)
b. Ambil tindakan cepat untuk melindungi diri sendiri atau melindungi pasien
yang terancam.
c. Beri peringatan atau minta bantuan kepada sesama teman, sambil
meneriakkan: ”Code Black -Code Black!!!!”
d. Melangkah mundur bila lebih aman. Hubungi Operator, selanjutnya
operator menghubungi pihak yang terkait antara lain security, Manager on
Duty, Direksi, dan Staf Senior lainnya, terangkan tentang:
1) Jenis kejadian
2) Lokasi kejadian
3) Nama dan tempat tugas Anda.
e. Bila tidak memungkinkan melangkah mundur:
1) Turuti perintah pengancam
2) Lakukan hanya yangdiminta
f. Bila bahaya sudah berlalu, telepon Operator, dan jelaskan kejadiannya
g. Catat hasil pengamatan Anda secepatnya. (Misalnya: ciri penyerang,
senjata, cara bicara/logat, tingkah laku, tato, ciri kendaraan, arah pelarian,
dll-nya)
h. Amankan tempat kejadian perkara
i. Bekerjasama dengan security sambil menunggu petugas kepolisian Bila
mendapatkan ancaman bom, yang perlu dilakukan adalah:
1) Tetap tenang sambil mendengarkan suara si penelepon
2) Jangan menutup telepon
3) Gunakan telpon lain untuk menghubungi nomor POLRES atau
POLSEK setempat, hubungi operator untuk selanjutnya operator
menghubungi pihak yang terkait,dan sampaikan: Bahwa terdapat
ancaman bom, lokasi ancaman bom secara tepat, nama anda dan
tempat tugas/profesi Anda, evakuasi Segera/Evacuation,
5. Code Brown (Kode Coklat)
Code brown adalah kode yang mengumumkan pengaktifan evakuasi
pasien, pengunjung dan karyawan rumah sakit pada titik-titik yang telah
ditentukan. Pada intinya, menginisiasi tim evakuasi untuk melaksanakan
tugasnya. Terdapat tiga tahap evakuasi:
a. TAHAP 1: Pindahkan korban dari daerah bahaya, misalnya dari ruangan
ke koridor, sambil meneriakkan: ”Code brown -- code brown” untuk
memberitahukan petugas lain
b. TAHAP 2 : Bersama-sama petugas lain pindahkan korban ke ruangan yang
aman pada lantai yang sama; lantai bawah bila bangunan bertingkat
c. TAHAP 3 : Selesaikan evakuasi dari bangunan melalui koridor atau tangga
ke titik kumpul dan ikuti petunjuk dalam Emergency Plan rumah sakit.

Pada saat evakuasi, bila diinstruksikan, evakuasikan ke area yang dialokasikan


dalam urutan sebagai berikut:
a. Pasien yang mampu bergerak sendiri
b. Pasien yang mampu bergerak dengan memerlukan bantuan
c. Pasien yang tidak mampu bergerak.
Penting untuk diperhatikan:
a. Periksa seluruh ruangan (termasuk kamar mandi dan toilet) untuk
memastikan semua orang sudah dievakuasi)
b. Lakukan penghitungan untuk memastikan semua orang sudah dievakuasi
c. Bila ada orang yang tidak diketemukan, laporkan ke Staf Senior, Manager
on Duty (MOD), atau Petugas Emergency
d. Jangan meninggalkan area titik kumpul sampai Staf Senior, Manager on
Duty (MOD), atau Petugas Penanggulangan Bencana mengizinkan
e. Staf Senior, atau Manajer on Duty memberitahuan kepada Petugas
Penanggulangan Bencana yang bertugas untuk mengumumkan “SEMUA
AMAN” bila keadaan telah terkendali (Usahakan rekam medik pasien
harus selalu menyertai setiap pasien yang dievakuasi bila memungkinkan)
6. Code Orange (Kode Oranye)
Code orange adalah kode yang mengumumkan adanya insiden yang terjadi
di luar rumah sakit (emergency eksternal) misalnya kecelakaan massal
lalulintas darat, laut, dan udara; ledakan, banjir, kebakaran, gempa bumi,
tsunami, dll. Tatalaksananya:
a. Pada saat menerima pemberitahuan terjadinya darurat eksternal, petugas
IGD dan atau operator akan menyampaikan kepada semua pejabat senior
dan Tim Siaga Bencana rumah sakit
b. Rekan yang berdekatan sesudah diberitahu petugas IGD atau operator
meneriakkan: “Code Orange –Code Orange !!!”
c. Setiap staf akan merespon sesuai dengan Panduan Siaga Bencana rumah
sakit. Respon dapat meliputi salah satu atau lebih langkah berikut ini:
1) Bila memungkinkan sediakan tempat tidur untuk menampung korban,
bila perlu dengan cara memulangkan sebagaian pasien rawat inap atau
mengirimkannya ke RS lain.
2) Sediakan fasilitas penerimaan dan perawatan pasien secukupnya
3) Bila diminta oleh Manajer Senior atau Direksi ataupun utusan dari
lokasi bencana, sediakan bantuan yang dapat dikirim ke lokasi
bencana
4) Semua personil lainnya merespon sesuai arahan supervisornya
5) Bila kondisi bencana memberikan dampak kepada rumah sakit
(misalnya serbuan asap, huru-hara sipil), pengisolasian/penyekatan
mungkin diperlukan
6) Tunggu sampai ada pemberitahuan bahwa “SITUASI TELAH
TERKENDALI”.
7. Code Yellow (Kode Kuning)
Code yellow adalah kode yang mengumumkan adanya situasi krisis
internal (emergency internal) rumah sakit yang meliputi: kebocoran atau
dugaan kebocoran gas termasuk gas elpiji; kebocoran dan tumpahan bahan
kimia dan atau bahan berbahaya; kegagalan sistem vital seperti kegagalanback-
updaya listrik; boks pembagi daya listrik; seseorang terjebak/terjerat; banjir;
insiden radiasi; dan lain-lain. Tatalaksananya:
a. Pada saat menemukan kejadian emergency internal petugas meneriakkan:”
Code Yellow –Code Yellow !!!!”
b. Hubungi nomor Operator unyuk selanjutnya menghubungi pihak yang
terkait antara lain security, Manager on Duty, Direksi, dan Staf Senior
lainnya.dan sebutkan: Jenis Emergency, Lokasi Emergency dengan tepat.
Nama Anda dan tugas/profesi Anda.
c. Jauhkan orang dari lokasi bahaya
d. Apabila evakuasi diperlukan, ikuti prosedur evakuasi, seperti pada
panduanCode Brown
e. Tunggu instruksi dari Staf Senior, Manager on Duty (MOD) atau Petugas
Emergency
f. Stanby untuk membantu bila diperlukan
g. Jangan kembali ketempat semula sampai Staf Senior, MOD, atau
yanbertanggung jawab dalam keamanan fasilitas menyatakan “SEMUA
TELAH AMAN”.
Dalam hal insiden kimia, biologis atau radiasi:
a. Pakailah masker dan atau tutup mulut
b. Buka pakaian yang terkontaminasi, dan cuci kulit dengan air mengalir
c. Jauhi zona berbahaya.

D. KONSEP SISTEM PELAYANAN GAWAT DARURAT TERPADU


1. Pengertian dan Fase SPGDT
Sistem pengendalian gawat darurat terpadu adalah mekanisme yang
dirancang untuk memberikan pertolongan pada korban bencana atau gawat
darurat untuk mencegah kematian atau kerusakan organ sehingga
produktifitasnya dapat didipertahankan setara sebelum terjadinya bencana atau
peristiwa gawat darurat.
System penanggulangan gawat darurat (SPGDT) mengacu pada pertolongan
harus cermat, tepat, dan cepat agar korban tidak mati atau cacat maka harus
ditangani secara bersama dan terpadu, oleh berbagai komponen penolong atau
pertolongan. Ini berarti penanganan harus dilakukan multi disiplin, multi
profesi dan multi sektor meliputi:
a. Penanganan terhadap korban banyak penyelarnatan jiwa
b. Dilakukan oleh penolong dan pertolongan banyak
c. Terjalin komunikasi dan koordinasi yang terkendali
d. Menyangkut transportasi korban
e. Tempat-tampat rujukan

Dalam SPGDT terdapat beberapa fase yaitu: Fase Deteksi, Fase Subpresi,
Fase Pra Rumah sakit, Fase Rumah sakit dan Fase Rehabilitasi. Fase-fase ini
dapat berjalan dengan baik bila ada ketersediaan sumber-sumber yang
memadai. Beberapa referensi adapula yang menyebutkan bahwa SPGDT
dibagi menjadi 3 subsistem, yaitu: sistem pelayanan Pra Rumah Sakit, sistem
pelayanan di Rumah Sakit, sistem pelayanan antar rumah sakit. Ketiga
subsistem ini bersifat saling terkait didalam pelaksanaannya. Pada
pelaksanaanya bergantung kepada kebijakan Negara yang bersangkutan.
a. Fase Deteksi
Pada fase deteksi ini dapat diprediksi beberapa hal diantaranya adalah
frekuensi kejadian, penyebab, korban, tempat rawan, kualitas kejadian dan
dampaknya. Misalnya terkait dengan kecelakaan lalu lintas, maka dapat
diprediksi: frekuensi, Kecelakaan Lalu Lintas (KLL), Buruknya kualitas
“Helm” sepeda motor yang dipakai, Jarangnya orang memakai “Safety
Belt”, tempat kejadian tersering dijalan raya yang padat atau dijalan
protocol, korban kecelakaan mengalami luka mengalami luka diberbagai
tempat atau multiple injuries. Contoh lain bila terkait dengan bencana
alam, maka dapat diprediksi: daerah rawan gempa, frekuensi gempa, jenis
bangunan yang sering hancur, kelompok korban, dan jenis bantuan tenaga
kesehatan yang paling dibutuhkan pada korban gempa. Melatih tenaga
kesehatan dan awam untuk pengelolaan korban gawat darurat. Pelatihan
dapat berbentuk BTCLS in Disaster, PPGD-ON (Pengelolaan Pasien
Gawat Darurat Obstetric Neonatus) untuk bidan, antisipasi Serangan
Jantung dan CADR (Community action & Disaster Response) untuk
pengawal pribadi, pasukan keamanan/ polisi, pecinta alam, guru olahraga/
senam; atau pelatihan Dasi pena (Pemuda Siaga Pencana) untuk Senkom,
pramuka, pemuda dan tokoh masyarakat.
b. Fase Supresi
Kalau kita dapat memperediksi yang dapat menyebabkan kecelakaan
atau terjadi bencana yang dapat menimbulkan korban masal maka kita
dapat melakukan supresi. Supresi atau menekan agar terjadi penurunan
korban gawat darurat dilakukan dengan berbagai cara : perbaikan
kontruksi jalan, peningkatan pengetahuan peraturan lalu lintas, perbaikan
kualitas “Helm” pengetatat melalui UU lalu lintas atau peraturan
ketertiban berlalu lintas, pengetatat peraturan keselamatan kerja,
peningkatan patroli keamanan atau membebuat pemetaan daerah bencana.
c. Fase Pra Rumah Sakit
Pada fase ini keberhasilan begantung pada beberapa komponen yaitu:
akses masyarakat ke petugas terlatih atau petugas kesehatan terlatih, atau
akses petugas terlatih atau petugas kesehatan terlatih kekorban,
komunikasi dan jaringan komunikasi yang dapat dimanfaatkan, serta
ketersediaan gawat darurat. Pada fase ini keberhasilan korban gawat
darurat salah satunya bergantung adanya akses. Akses dari masyarakat
kedalam sistem adalah yang paling penting, karena kalau masyarakat tidak
dapat minta tolong maka SPGDT yang paling baikpun tidak ada guannya
bagi korban yang memerlukan pertolongan. Mengingkat wilayah Indonesia
sangat bervariatif maka setiap provinsi atau kabupaten/kota perlu memiliki
nomor yang mudah dihapal yang mudah dihubungan untuk minta
pertolongan. Saluran informasi yang dapat diakses bila memerlukan
bantuan pertolongan gawat darurat atau bencana dimasyarakat
diantaranya: polisi, pemadam kebakaran, dinas kesehatan, rumah sakit atau
ouskesmas terdekat yang dikoordinir oleh badan penaggulangan bencana
setempat.
Untuk perdesaan yang belum memiliki sarana komunikasi yag belum
ada komunikasi telepon, akses dapat berupa: bedug, kentongan, asap, radio
komunikasi, atau hamdphone.
1) Komunikasi
Lalu lintas komunikasi yang vital diperlukan dalam
penanggulangan bencana diantaranya mencakup: pusat komunikasi ke
ambulan, pusat komunikasi ke rumah sakit, pusat komunikasi ke
instalasi terkait lain, ambulan ke ambulan, ambulan ke rumah sakit,
masyarakat terlatih ke pusat komunikasi atau pelayanan kesehatan.
Pusat komunikasi memiliki tugas menerima dan memberikan
informasi, memonitor, bekerjasama termasuk memberikan komando
penanggulangan bencana baik secara lintas propinsi, nasional, maupun
internasional. Di pusat komunikasi dapat dilibatkan “orang awam”,
yaitu mereka yang menemukan korban kali pertama, atau yang
memberikan pertolongan pertama. “orang awam” ini dapat dilatih,
sehingga disebut awam khusus. Orang awam khusus yang terorganisir
dengan baik antara lain pramuka, Palang Merah Remaja, siswa
sekolah, mahasiswa, hansip atau petugas keamanan, atau karang
taruna. Pendidikan masyarakat melibatkan latihan masyarakat sebagai
penolong pertama. Dengan mewajibkan semua pelajar mendapatkan
pendidikan pertolongan pertama sebelum lulus dari SLTP dan
pertolongan pertama lanjutan sebelum lulus dari SLTA atau sebelum
mendapat SIM, maka kita dapat memastikan bahwa dalam dua
generasi yang akan datang, tiap orang di tempat kecelakaan atau pada
penyakit akut akan lebih sanggup menyelamatkan nyawa dan
extremitas sampai tiba bantuan profesional.
Awam khusus dapat dilatih sehingga memiliki kemampuan cara
minta tolong, cara memberikan bantuan hidup dasar, cara
menghentikan perdarahan, cara memasang balut bidai, cara
mengangkat dan mengirim korban. Keterampilan untuk awam khusus
dapat ditingkatkan sesuai dengan bidang tugas yang diemban setiap
hari, misalnya pengetahuan dan keterampilan mengenai biomekanik
kecelakaan lalu lintas dan luka tembak atau tusuk untuk polisi.
Dengan demikian korban dapat ditolong dengan benar dan optimal.
2) Ambulan Gawat Darurat (AGD)
Ambulan gawat darurat idealnya harus mampu tiba ditempat
korban dalam waktu 6-8 menit supaya dapat mencegah kematian.
Kematian dapat terjadi karena sumbatan jalan napas, henti napas,
henti jantung, dan perdarahan massif.
Untuk daerah perkotaan yang lalu lintasnya padat seperti Jakarta
diperlukan ambulan sepeda motor. Hal ini dilakukan untuk
mengantisipasi respon time. Selanjutnya bila sudah distabilkan maka
tinggal menunggu mobil ambulan untuk dievakuasi dan transportasi.
Ambulan Sepeda Motor Gawat Darurat dapat menjadi rumah
sakit lapangan dalam penanggulangan bencana. Sebagai unit
pelayanan bencana maka ambulan sepeda motor gawat darurat perlu
meningkatkan jalinan komunikasi dengan pusat komunikasi, rumah
sakit dan ambulan lain.
3) Ambulan Gawat Darurat (AGD) Desa Siaga
AGD desa siaga dapat dikembangkan dengan meningkatkan
peran Puskesmas keliling menjadi AGD desa siaga. Peralatan standar
yang diajukan seperti Orotracheal Tube dan Suction untuk
membebaskan jalan napas (airway), Oksigen dan Bag and Mask untuk
membantu pernafasan (breathing), balut cepat dan dan infus untuk
membantu mempertahankan sirkulasi yang baik (circulation), dan
bidai termasuk Neck Collar, Long/Short Board dan traksi untuk
membantu bila ada hendaya (disability).
Di Indonesia terdapat lebih dari 2000 rumah sakit dengan UGD
yang bervariasi dan belum ada koordinasi dalam penanggulangan
korban gawat darurat maupun penanggulangan bencana. Masing-
masing berusaha untuk mendapat citra eksklusif sehingga pelayanan
kesehatan menjadi mahal apalagi bila korban tidak memiliki asuransi
ataupun tidak ada keluarga yang mendampingi, maka kemungkinan
akan terlantar. Keadaan ini bukan saja di Indonesia tetapi juga terjadi
di Negara maju seperti di Amerika Serikat sebelum tahun 1990-an.
Pada tahun 1976 setelah Perang Vietnam selesai para dokter dan
perawat kembali dan mengembangkan sistem penanggulangan pasien
gawat darurat (PPGD) sesuai dengan pengalaman mereka di Vietnam.
Pada waktu itu, fase pra rumah sakit di USA dikembangkanlah
perusahaan-perusahaan pelayanan ambulan. Akibatnya terjadi
persaingan yang tidak sehat, mahal dan saling menghancurkan
sehingga banyak AGD yang bangkrut. Rumah sakit juga saling
berlomba membentuk Trauma Center dengan prinsip “The Right
Patient To The Right Hospital By The Right Surgeon”, sehingga
sering terjadi keterlambatan karena Ahli Bedah tidak ditempat. Baru
tahun 1990 Amerika Serikat menyadari kesalahan ini dan mengubah
sistem PPGD menjadi “inklusif sistem”.
Sistem ini menjamin bahwa semua korban gawat darurat akan
mendapat pelayanan dan penanggulangan yang optimum pada fasilitas
yang sesuai dengan berat cederanya. Sistem ini memanfaatkan semua
sarana Pra RS dan UGD yang ada di kota dan daerah yang menjadi
satu kesatuan secara terpadu. Sejak tahun 1990-an, pada fase pra RS
semua Ambulan Gawat Darurat dihimpun dibawah satu sistem di
Amerika Serikat adalah 911.
d. Fase Rehabilitasi
Semua korban yang cedera akibat kecelakaan maupun bencana harus
dilakukan rehabilitasi secara utuh, mencakup fisik, mental, spiritual dan
sosial. Hal ini perlu dilakukan agar dapat berfungsi kembali di dalam
kehidupan bermasyarakat. Pada fase rehabilitasi melibatkan berbagai
disiplin ilmu, dengan harapan terjadi re-orientasi terhadap kehidupannya
sesuai kondisinya saat ini.

Ada 3 subsistem dalam pelayanan kesehatan pada SPGDT:


a. Sistem pelayanan Pra Rumah Sakit
Sistem pelayanan di Rumah Sakit dan sistem pelayanan antar Rumah
Sakit. Pada sistem pelayanan medic pra rumah sakit terdapat public safety
center atau Desa Siaga, Brigade Siaga Bencana, Pelayanan Ambulance,
Komunikasi, Ambulan dan masyarakat awam yang belum digarap secara
serius oleh pemerintah.
b. Sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Dalam pelaksanaan sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit yang
diperlukan adalah penyediaan sarana, prasarana, dan SDM yang terlatih.
Semua hal tersebut diatas harus tersedia unit kerja yang ada di RS. Seperti
di UGD, ICU, Ruang rawat inap, laboratorium, Xray room, farmasi, klinik
gizi, dan ruang penunjang yang lainnya serta kamar mayat, dan lainnya.
Dalam pelaksanaan pelayanan medic di rumah sakit untuk korban
bencana diperlukan : hospital Disaster Plan, Unit Gawat Darurat, Brigade
Siaga Bencana Rumah Sakit, High Care Unit, dan kamar jenazah.
c. Sistem pelayanan kesehatan antar rumah sakit.
Sistem pelayanan kesehatan antar rumah sakit harus berbentuk
jejaring rujukan yang dibuat berdasarkan kemampuan rumah sakit dalam
memberikan pelayanan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas untuk
menerima pasien. Misal di Jakarta bila ada bencana bila ada patah tulang
pasien dapat dirujuk ke RS Fatmawati. Ini semua sangat berhubungan
dengan kemampuan SDM, fasilitas medis yang tersedia di rumah sakit
tersebut. Agar sistem ini dapat memberikan pelayanan yang baik
memerlukan sistem ambulan yang baik dan dibawa oleh SDM yang
terlatih dan khusus menangani keadaan darurat. Dalam pelayanan
kesehatan antar rumah sakit: pelayanan fiksasi dan evakuasi, transportasi
dan rujukan, dan pengelolaan lalu lintas untuk transportasi dan rujukan.
2. Tujuan pelayanan gawat darurat
Kondisi pelayanan gawat darurat dapat terjadi dimana saja, baik pre
hospital maupun in hospital ataupun post hospital. Oleh karena itu tujuan dari
pertolongan gawat darurat dalam kaitannya dengan rentang kegawatdaruratan
dapat terbagi menjadi 3 yaitu:
a. Pre-Hospital
Dalam rentang kondisi hospital ini dapat terjadi dimana saja serta
dalam setiap waktu, maka peran serta masyarakat, awam khusus ataupun
petugas kesehatan diharapkan dapat melakukan tindakan penanganan
kondisi kegawatdaruratan yang berupa:
1) Menyingkirkan benda-benda berbahaya di tempat kejadian yang
berisiko menyebabkan jatuh korban lagi, misalnya pecahan kaca yang
menggantung atau dicurigai masih terdapat bom. Petugas kesehatan
hanya boleh memberikan pertolongan apabila kondisi sudah aman dari
risiko jatuhnya korban berikutnya.
2) Melakukan triase atau memilah dan menentukkan kondisi korban
gawat darurat serta memberikan pertolongan pertama sebelum petugas
kesehatan yang lebih ahli dating untuk membantu.
3) Melakukan fiksasi atau stabilisasi sementara.
4) Melakukan evakuasi, yaitu korban dipindahkan ke tempat yang lebih
aman atau dikirim ke pelayanan kesehatan yang sesuai kondisi korban.
5) Mempersiapkan masyarakat, awam khusus dan petugas kesehatan
melalui pelatihan siaga terhadap bencana.
b. In Hospital
Pada tahap ini, tindakan menolong korban gawat darurat dilakukan
oleh petugas kesehatan. Di rumah sakit pada umumnya ditolong oleh
petugas kesehatan di dalam sebuah tim yang multi disiplin ilmu. Tujuan
pertolongan di rumah sakit adalah adalah
1) Memberikan pertolongan profesional kepada korban bencana sesuai
dengan kondisinya.
2) Memberikan bantuan hidup dasar dan hidup lanjut.
3) Melakukan stabilisasi dan mempertahankan hemodinamik yang
akurat.
4) Melakukan rehabilitasi agar produktivitas korban setelah kembali ke
masyarakat setidaknya setara bila dibanding sebelum bencana
menimpanya.
5) Melakukan pendidikan kesehatan dan melatih korban untuk mengenali
kondisinya dengan segala kelebihan yang dimiliki.
c. Post-Hospital
Pada kondisi post-hospital hampir semua pihak menyatakan hampir
sudah tidak ada lagi kondisi gawat darurat. Padahal, kondisi gawat darurat
ada yang terjadi justru setelah diberi pelayanan di rumah sakit, yaitu
korban perkosaan. Karena mengalami trauma psikis yang mendalam,
misalnya merasa tidak berharga, harga diri rendah, malu dan tidak punya
harapan sehingga korban-korban perkosaan mengambil jalan pintas
dengan mengakhiri hidupnya sendiri. Tujuan diberikan pelayanan dalam
rentang post-hospital adalah:
1) Mengembalikan rasa percaya diri kepada korban.
2) Mengembalikan rasa harga diri yang hilang sehingga dapat tumbuh
dan berkembang.
3) Meningkatkan kemampuan bersosialisasi kepada orang-orang terdekat
dan masyarakat yeng lebih luas.
4) Mengembalikan pada permanen sistem sebagai tempat kehidupan
nyata korban
5) Meningkatkan persepsi terhadap realitas kehidupanya pada masa yang
akan datang
TOPIK 2
PERAN DAN FUNGSI PERAWAT GAWAT DARURAT
Pelayanan gawat darurat merupakan  pelayanan yang dapat memberikan tindakan
yang cepat dan tepat pada seorang atau kelompok orang agar dapat meminimalkan
angka kematian dan dapat mencegah terjadinya kecacatan yang tidak perlu. Perawat
gawat darurat harus mengkaji pasien mereka dengan cepat dan merencanakan intervensi
sambil berkolaborasi dengan dokter gawat darurat. Dan harus mengimplementasi kan
rencana pengobatan, mengevaluasi efektivitas pengobatan, dan merevisi perencanaan
dalam parameter waktu yang sangat sempit. Hal tersebut merupakan tantangan besar
bagi perawat, yang juga harus membuat catatan perawatan yang akurat melalui
pendokumentasian. 

A. PERAN PERAWAT GAWAT DARURAT


Menurut konsorsium ilmu kesehatan tahun 1989 peran perawat terdiri dari :
1. Sebagai pemberi asuhan keperawatan
Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan
kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan
keperawatan. Pemberian asuhan keperawatan ini dilakukan dari yang sederhana
sampai dengan kompleks.
2. Sebagai advokat klien
Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien & keluarga dalam
menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan khususnya
dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan. Perawat juga
berperan dalam mempertahankan & melindungi hak-hak pasien meliputi :
a. Hak atas pelayanan sebaik-baiknya
b. Hak atas informasi tentang penyakitnya
c. Hak atas privacy
d. Hak untuk menentukan nasibnya sendiri
e. Hak menerima ganti rugi akibat kelalaian.
3. Sebagai educator
Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat
pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan
sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan
kesehatan.
4. Sebagai koordinator
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta
mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberi
pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien.
5. Sebagai kolaborator
Peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang
terdiri dari dokter, fisioterapi, ahli gizi dll dengan berupaya mengidentifikasi
pelayanan keperawatan yang diperlukan.
6. Sebagai konsultan
Perawat berperan sebagai tempat konsultasi dengan mengadakan
perencanaan, kerjasama, perubahan yang sistematis & terarah sesuai dengan
metode pemberian pelayanan keperawatan.
7. Sebagai pembaharu
Perawat mengadakan perencanaan, kerjasama, perubahan yang sistematis
& terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan

B. FUNGSI PERAWAT GAWAT DARURAT


1. Fungsi Independen
Fungsi independen adalah merupakan fungsi mandiri & tidak tergantung
pada orang lain, dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan
secara sendiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan untuk
memenuhi KDM.
2. Fungsi Dependen
Fungsi dependen merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan
kegiatannya atas pesan atau instruksi dari perawat lain sebagai tindakan
pelimpahan tugas yang diberikan. Biasanya dilakukan oleh perawat spesialis
kepada perawat umum, atau dari perawat primer ke perawat pelaksana.
3. Fungsi Interdependen
Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling
ketergantungan diantara tim satu dengan yang lainnya. Fungsi ini dapat terjadi
apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerjasama tim dalam pemebrian
pelayanan. Keadaan ini tidak dapat diatasi dengan tim perawat saja melainkan
juga dari dokter ataupun lainnya.
Keperawatan adalah bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian
integral dari pelayanan kesehatan didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan,
berbentuk pelayanan bio-psiko–sosial dan spiritual yang komprehensif, ditujukan
kepada individu, kelompok dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang
mencakup seluruh daur kehidupan manusia
Keperawatan merupakan ilmu terapan yang menggunakan keterampilan
intelektual, keterampilan teknikal dan keterampilan interpersonal serta
menggunakan proses keperawatan dalam membantu klien untuk mencapai tingkat
kesehatan optimal.
Kiat keperawatan (nursing arts) lebih difokuskan pada kemampuan perawat
untuk memberikan asuhan keperawatan secara komprehensif dengan sentuhan seni
dalam arti menggunakan kiat – kiat tertentu dalam upaya memberikan kenyaman
dan kepuasan pada klien. Kiat –kiat itu adalah:
1. Caring, menurut Watson (1979) ada sepuluh faktor dalam unsur –unsur karatif
yaitu : nilai – nilai humanistic –altruistik, menanamkan semangat dan harapan,
menumbuhkan kepekaan terhadap diri dan orang lain, mengembangkan ikap
saling tolong menolong, mendorong dan menerima pengalaman ataupun
perasaan baik atau buruk, mampu memecahkan masalah dan mandiri dalam
pengambilan keputusan, prinsip belajar –mengajar, mendorong melindungi dan
memperbaiki kondisi baik fisik, mental , sosiokultural dan spiritual, memenuhi
kebutuhan dasr manusia, dan tanggap dalam menghadapi setiap perubahan
yang terjadi.
2. Sharing artinya perawat senantiasa berbagi pengalaman dan ilmu atau berdiskusi
dengan kliennya.
3. Laughing, artinya senyum menjadi modal utama bagi seorang perawat untuk
meningkatkan rasa nyaman klien.
4. Crying artinya perawat dapat menerima respon emosional diri dan kliennya.
5. Touching artinya sentuhan yang bersifat fisik maupun psikologis merupakan
komunikasi simpatis yang memiliki makna (Barbara, 1994)
6. Helping artinya perawat siap membantu dengan asuhan keperawatannya
7. Believing in others artinya perawat meyakini bahwa orang lain memiliki hasrat
dan kemampuan untuk selalu meningkatkan derajat kesehatannya.
8. Learning artinya perawat selalu belajar dan mengembangkan diri dan
keterampilannya.
9. Respecting artinya memperlihatkan rasa hormat dan penghargaan terhadap orang
lain dengan menjaga kerahasiaan klien kepada yang tidak berhak
mengetahuinya.
10. Listening artinya mau mendengar keluhan kliennya
11. Feeling artinya perawat dapat menerima, merasakan, dan memahami perasaan
duka , senang, frustasi dan rasa puas klien
12. Accepting artinya perawat harus dapat menerima dirinya sendiri sebelum
menerima orang lain
13. Sebagai suatu profesi, keperawatan memiliki unsur –unsur penting yang
bertujuan mengarahkan kegiatan keperawatan yang dilakukan yaitu respon
manusia sebagai fokus telaahan, kebutuhan dasar manusia sebagai lingkup
garapan keperawatan dan kurang perawatan diri merupakan basis intervensi
keperawatan baik akibat tuntutan akan kemandirian atau kurangnya
kemampuan.
14. Keperawatan juga merupakan serangkaian kegiatan yang bersifat terapeutik
atau kegiatan praktik keperawatan yang memiliki efek penyembuhan terhadap
kesehatan (Susan, 1994 : 80).

C. KEMAMPUAN MINIMAL PERAWAT


Kemampuan Minimal Perawat UGD (Depkes, 1990)
1. Mengenal klasifikasi pasien berdasarkan triase
2. Mampu mengatasi pasien : syok, gawat nafas, gagal jantung paru otak,kejang,
koma, perdarahan, kolik, status asthmatikus, nyeri hebat daerah pinggul &
kasus ortopedi.
3. Mampu melaksanakan dokumentasi asuhan keperawatan gawat darurat
4. Mampu melaksanakan komunikasi eksternal dan internal
5. Membuka & membebaskan jalan nafas (airway)
6. Memberikan ventilasi pulmoner & oksigenisasi (breathing)
7. Memberikan sirkulasi artificial dengan jalan kompresi jantung (circulation)
8. Menghentikan perdarahan, balut bidai, transportasi, pengenalan & penggunaan
obat resusitasi, membuat & membaca rekaman EKG.

D. PERAN PERAWAT DALAM PELAYANAN KE GAWAT DARURATAN


Misi UGD : Secara pasti memberikan perawatan yang berkualitas terhadap pasien
dengan cara penggunaan sistem yang efektif serta menyeluruh dan terkoordinasi
dalam :
1. Perawatan pasien gawat darurat.
2. Pencegahan cedera.
3. Kesiagaan menghadapi bencana.

Menanggulangi pasien dengan cara aman dan terpercaya :


1. Evaluasi pasien secara cepat dan tepat.
2. Resusitasi dan stabilisasi sesuai prioritas.
3. Menentukan apakah kebutuhan penderita melebihi kemampuan fasilitas.
4. Mengatur sebaik mungkin rujukan antar RS (apa, siapa, kapan, bagaimana).
5. Menjamin penanggulangan maksimum sudah diberikan sesuai kebutuhan
pasien.

Petugas medis harus mengetahui :


Konsep dan prinsip penilaian awal serta penilaian setelah resusitasi.
1. Menentukan prioritas pengelolaan penderita.
2. Memulai tindakan dalam periode emas.
3. Pengelolaan ABCDE.
TOPIK 3
PROSES KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktik keperawatan
kegawatdaruratan yang diberikan kepada klien oleh perawat yang berkompeten untuk
memberikan asuhan keperawatan di IGD rumah sakit. Asuhan keperawatan diberikan
untuk mengatasi masalah secara bertahap mupun mendadak. Proses keperawatan terdiri
atas lima langkah meliputi:
A. PENGKAJIAN
Proses pengumpulan data primer dan sekunder terfokus tentang status kesehatan
pasien gawat darurat di rumah sakit secara sistematik, akurat, danberkesinambungan.
Pengkajian ini dapat memudahkan perawat untuk menetapkan
masalahkegawatdaruratan pasien dan rencana tindakan cepat, tepat, dan cermat
sesuaistandar.
Standar: perawat gawat darurat harus melakukan pengkajian fisik dan psikososial
di awal dan secara berkelanjutan untuk mengetahui masalah keperawatan klien dalam
lingkup kegawatdaruratan.
Kriteria Proses:
1. Melakukan triase
2. Melakukan pengumpulan data melalui primary dan secondary survey pada kasus
gawat darurat di rumah sakit serta bencana internal dan eksternal.
a. Primary Survey
Untuk mengidentifikasi dengan segera masalah aktual atau potensian dari
kondiri life threatening (berdampak dalam kemampuan pasien untuk
mempertahankan hidup)
A : Airway atau dengan kontrol servikal
B : Breathing dan ventilasi
C : Circulation dengan kontrol perdarahan
D : Disability pada kasus trauma, "Detibrilation, Drugs, Differential
Diagnosis" pada kasus non trauma
E : Exposure pad a kasus trauma, EKG , "Electrolite Imbalance" pada kasus
non trauma.
b. Secondary Survey
Dilakukan setelah masalah ABC yang ditemukan pada pengkaajian primer
diatasi. pengkajian sekunder meliputi pengkajian objektif dan subjektif dari
riwayat keperawatan dan pengkajian head to toe.
1) Melakukan re-triase
2) Mengumpulkan data hasil dari pemeriksaan penunjang medik
3) Mengelompokkan dan menganalisa data secara sistematis
4) Melakukan pendokumentasian dengan menggunakan format pengkajian baku.
Krlteria Hasil:
1) Adanya dokumen pengkajian keperawatan gawat darurat yang telah
terisidengan benar ditandatangani, nama jelas, diberi tanggal dan jam
pelaksanaan
2) Adanya rumusan masalah I diagnosa keperawatan gawat darurat.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Masalah diagnosa keperawatan gawat darurat merupakan keputusan klinis
perawat tentang respon pasien terhadap masalah kesehatan aktual maupunresiko yang
mengancam jiwa. Masalah /diagnosa keperawatan yang ditegakkan merupakan dasar
penyusunan rencana keperawalan dalam penyelamatan jiwa dan mencegah kecacatan.
Kriteria proses: menetapkan masalah/diagnosa keperawatan mencakup : masalah,
penyebab, tanda dan gejala (PES/PE) berdasarkan prioritas masalah.
Prioritas Masalah Keperawalan Gawat Darurat :
1. Gangguan jalan nalas,
2. Tidak efeklifnya bersihan jalan nafas,
3. Pola nafas tidak efektif,
4. Gangguan pertukaran gas,
5. Penurunan curah janlung,
6. Gangguan perfusi jaringan perifer,
7. Gangguan rasa nyaman
8. Gangguan volume cairan tubuh
9. Gangguan perfusi serebral,
10. Gangguan termoregulasi
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Serangkaian langkah yang bertujuan unluk menyelesaikan masalah diagnosa
keperawatan gawat darurat berdasarkan prioritas masalah yang telah ditetapkna baik
secara mandiri maupun melibatkan tenaga kesehatan lain untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Rencana tindakan keperawatan gawat darurat digunakan sebagai
pedoman dalam melakukan tindakan keperawatan yang sistematis dan efektif.
Kriteria Struktur :
1. Adanya rumusan tujuan dan krileria hasil
2. Adanya rumusan rencana tindakan keperawatan.
Kriteria Proses :
1. Menetapkan tujuan tindakan keperawatan penyelamatan jiwa dan pencegahan
kecacatan sesuai dengan kriteria SMART (Spesific, Measureable, Achieveable,
Realiable, Time)
2. Menetapkan rencana tindakan dari tiap-tiap diagnosa keperawatan
3. Mendokumentasikan rencana keperawatan.
Kriteria Hasil:
1. Tersusunnya rencana tindakan keperawatan gawat darurat yang mandiri
dankolaboralif
2. Ada rencana tindakan keperawatan didokumentasikan pada catatan keperawatan.

D. IMPLEMENTASI
Perawat melaksanakan tindakan keperawatan yang lelah diidentifikasi dalam
rencana asuhan keperawatan gawat darurat. Perawat mengimplementasikan rencana
asuhan keperawatan gawat darurat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Kriteria Proses:
1. Melakukan tindakan keperawatan mengacu pada standar proseduroperasional
yang telah ditentukan sesuai dengan tingkat kegawatan pasien, berdasarkan
prioritas tindakan :
a. Pelayanan keperawatan gawat darurat rumah sakit:
1) Melakukan triase
2) Melakukan tindakan penanganan masalah penyelamatan jiwa dan
pencegahan kecacatan
3) Melakukan tindakan (mandiri dan kolaborasi) sesuai dengan masalah
keperawatan yangmuncul.
2. Melakukan monitoring respon pasien terhadap tindakan keperawatan
3. Mengutamakan prinsip keselamatan pasien (patient safety), dan privacy
4. Menerapkan prinsip standar baku (standar precaution)
5. Mendokumentasikan tindakan keperawatan.
Kriteria Hasil
1. Adanya dokumen tentang tindakan keperawatan serta respon pasien
2. Ada dokumen tentang pendelegasian tindakan medis (standing order).

E. EVALUASI
Penilaian perkembangan kondisi pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan
gawat darurat mengacu pada kriteria hasil. Evaluasi dilakukan setiap jam, kecuali
pasien emergency setiap 15 menit. Evaluasi ada 2 yaitu proses dan hasil.
Kriteria Proses:
1. Melakukan evaluasi terhadap respon pasien pada setiap tindakan yangdiberikan
(evaluasi proses),
2. Melakukan evaluasi dengan cara membandingkan hasil tindakan dengan tujuan
dan kriteria hasil yang ditetapkan (evaluasi hasil),
3. Melakukan re-evaluasi dan menentukan tindak lanjut,
4. Mendokumentasikan respon klien terhadap intervensi yang diberikan.

Kriteria Hasil :Ada dokumen hasil evaluasi menggunakan pendekatan SOAP pada tiap
masalah diagnosa keperawatan.
TOPIK 4
PENGKAJIAN PRIMER DAN SEKUNDER
Perawatan pada pasien yang mengalami injuri oleh tim trauma agak berbeda dengan
pengobatan secara tradisional, di mana penegakan diagnosa, pengkajian dan manajemen
penatalaksanaan sering terjadi secara bersamaan dan dilakukan oleh dokter yang lebih dari
satu. Seorang leader tim harus langsung memberikan pengarahan secara keseluruhan
mengenai penatalaksanaan terhadap pasien yang mengalami injuri, yang meliputi (Fulde,
2009) :
A. PRIMARY SURVEY
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan
manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam
kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan
memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang
dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
1. Airway maintenance dengan cervical spine protection
2. Breathing dan oxygenation
3. Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
4. Disability-pemeriksaan neurologis singkat
5. Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey bahwa
setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah berikutnya
hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil.
Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan
anggota yang telah dialokasikan peran tertentu seperti airway, circulation, dll,
sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan
mereka (American College of Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus dilakukan
berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci untuk perawatan trauma
yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh pemberian intervensi
yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment,
intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert.,
D’Souza., & Pletz, 2009) :
1. General Impressions
a. Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
b. Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
c. Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)
2. Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya
sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka
jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin
memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus
dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala,
leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi
lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
a. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau
bernafas dengan bebas?
b. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
1) Adanya snoring atau gurgling
2) Stridor atau suara napas tidak normal
3) Agitasi (hipoksia)
4) Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
5) Sianosis
c. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
1) Muntahan
2) Perdarahan
3) Gigi lepas atau hilang
4) Gigi palsu
5) Trauma wajah
d. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
e. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang
berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
f. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
1) Chin lift/jaw thrust
2) Lakukan suction (jika tersedia)
3) Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
4) Lakukan intubasi
3. Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas
dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak
memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi
dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury
dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
a. Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi
pasien.
1) Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda
sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest
wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
2) Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks.
3) Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
b. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
c. Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai
karakter dan kualitas pernafasan pasien.
d. Penilaian kembali status mental pasien.
e. Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
f. Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau
oksigenasi:
d. Pemberian terapi oksigen
e. Bag-Valve Masker
f. Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang
benar), jika diindikasikan
g. Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures
g. Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan
terapi sesuai kebutuhan.
4. Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma.
Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea,
hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan
produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan
salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan
dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan
pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah:
tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan
anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui
paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson &
Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara
lain :
a. Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
b. CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
c. Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
d. Palpasi nadi radial jika diperlukan:
1) Menentukan ada atau tidaknya
2) Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
3) Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
4) Regularity
e. Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia
(capillary refill).
f. Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
5. Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
a. A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah
yang diberikan
b. V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
c. P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
d. U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
6. Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien
diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting
untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung
pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien
adalah mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua
pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga
privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam
jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
a. Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
b. Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien
luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak
stabil atau kritis. (Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)
Alur Primary Survey pada Pasien Medical Dewasa (Pre-Hospital Emergency Care
Council, 2012) :
B. SECONDARY ASSESSMENT
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara
head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah
kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok
telah mulai membaik.
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi
keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat
keluarga, sosial, dan sistem. (Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian
riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan
dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu,
konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama
kali melihat kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan
memberikan gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa
contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera
wajah, maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal
atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.

Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien
dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan
obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang
pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan
herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk
dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan
dengan kondisi pasien. Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol,
dapat digunakan beberapa pertanyaan di bawah ini (Emergency Nursing
Association, 2007):
a. C. have you ever felt should Cut down your drinking?
b. A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?
c. G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?
d. E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your nerver
or get rid of a hangover (Eye-opener)
Jawaban Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan dengan masalah
konsumsi alkohol.

Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan
dalam proses pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : “dalam
setahun terakhir ini seberapa sering pasanganmu” (Emergency Nursing
Association, 2007):
a. Hurt you physically?
b. Insulted or talked down to you?
c. Threathened you with physical harm?
d. Screamed or cursed you?
Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien
yang meliputi :
a. Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat
nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang
anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat
tidur?
b. Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris,
tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan
pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
c. Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri
terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
d. Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak
ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
e. Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa
lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah
pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri
sebelumnya atau berbeda?

Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan


tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi
oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.
Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa menurut
Emergency Nurses Association,(2007).
Komponen Nilai normal Keterangan
Suhu 36,5-37,50C Dapat di ukur melalui oral, aksila, dan rectal. Untuk
mengukur suhu inti menggunakan kateter arteri
pulmonal, kateter urin, esophageal probe, atau monitor
tekanan intracranial dengan pengukur suhu. Suhu
dipengaruhi oleh aktivitas, pengaruh lingkungan, kondisi
penyakit, infeksi dan injury.
Nadi 60-100x/menit Dalam pemeriksaan nadi perlu dievaluais irama jantung,
frekuensi, kualitas dan kesamaan.
Respirasi 12-20x/menit Evaluasi dari repirasi meliputi frekuensi, auskultasi suara
nafas, dan inspeksi dari usaha bernafas. Tada dari
peningkatan usah abernafas adalah adanya pernafasan
cuping hidung, retraksi interkostal, tidak mampu
mengucapkan 1 kalimat penuh.
Saturasi >95% Saturasi oksigen di monitor melalui oksimetri nadi, dan
oksigen hal ini penting bagi pasien dengan gangguan respirasi,
penurunan kesadaran, penyakit serius dan tanda vital
yang abnormal. Pengukurna dapat dilakukan di jari
tangan atau kaki.
Tekanan 120/80mmHg Tekana darah mewakili dari gambaran kontraktilitas
darah jantung, frekuensi jantung, volume sirkulasi, dan tahanan
vaskuler perifer. Tekanan sistolik menunjukkan cardiac
output, seberapa besar dan seberapa kuat darah itu
dipompakan. Tekanan diastolic menunjukkan fungsi
tahanan vaskuler perifer.
Berat badan Berat badan penting diketahui di UGD karena
berhubungan dengan keakuratan dosis atau ukuran.
Misalnya dalam pemberian antikoagulan, vasopressor,
dan medikasi lain yang tergantung dengan berat badan.

2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang
dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian
belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan
wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka
termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Delp &
Manning. 2004).
b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan
kiri. Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata,
karena pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata
selanjutnya menjadi sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
6) Mata: periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah isokor
atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil
mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata
(macies visus dan acies campus), apakah konjungtivanya anemis atau
adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis, exophthalmos,
subconjunctival perdarahan, serta diplopia
7) Hidung: periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi
akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
8) Telinga : periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan atau
hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan
membrane timpani atau adanya hemotimpanum
9) Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
10) Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
11) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur,
warna, kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna,
kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi
kemudian rasakan apa ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri,
inspeksi amati adanya tonsil meradang atau tidak (tonsillitis/amandel).
Palpasi adanya respon nyeri
c. Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau
krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia
(kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau
tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya
nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan
pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi
servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah
kerusakan otak sekunder.
d. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosiss,
bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi dinding
dada, penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral,
apakah terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung,
(lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan.
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales)
dan bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub).
e. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada
keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan
kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot
dan nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan dan
belakang, untuk adanya trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan
internal, adakah distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa,
denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi
bising usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan).
Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan,
hepatomegali, splenomegali, defans muskuler,, nyeri lepas yang jelas atau
uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra abdominal, dapat
dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage, ataupun USG
(Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus halus
gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu memerlukan re-
evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang
operasi bila diperlukan (Tim YAGD 118, 2010).
f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik
(pelvis menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan
masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi
pasang PASG/ gurita untuk mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis (Tim
YAGD 118, 2010).
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi,
edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus
dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan
adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis,
utuh tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter ani. Pada wanita,
pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau
laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat, karakter dan jumlah
kehilangan darah harus dilaporkan (pada tampon yang penuh memegang 20
sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita
usia subur. Permasalahan yang ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra
pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle
injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika pasien hamil, denyut
jantung janin (pertama kali mendengar dengan Doppler ultrasonografi pada
sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang dinilai untuk frekuensi, lokasi,
dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus ditanya tentang rasa sakit
atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing
berkurang, Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis.(Diklat RSUP
Dr. M.Djamil, 2006).
g. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi,
jangan lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur
terbuak), pada saat pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal
dari fraktur pada saat menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur.
Sindroma kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam ekstremitas
meninggi sehingga membahayakan aliran darah), mungkin luput terdiagnosis
pada penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan (Tim YAGD
118, 2010). Inspeksi pula adanya kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan,
dan sensasi harus diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur,
sedangkan pada jari-jari periksa adanya clubbing finger serta catat adanya
nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia
lambat s/d 5-15 detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan
berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament
dapat menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan
mengganggu pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan
kontraksi otot dapat disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya
fraktur torako lumbal dapat dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat
trauma. Perlukaan bagian lain mungkin menghilangkan gejala fraktur torako
lumbal, dan dalam keadaan ini hanya dapat didiagnosa dengan foto rongent.
Pemeriksaan muskuloskletal tidak lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan
punggung penderita. Permasalahan yang muncul adalah
1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga
terjadi syok yang dpat berakibat fatal
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita
dalam keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali
barulah kelainan ini dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah
penderita mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).

h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan
penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat
dilakukan pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010). Periksa`adanya
perdarahan, lecet, luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta
nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra periksa adanya deformitas.
i. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik.
Peubahan dalam status neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS.
Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau
saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar
servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur
servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai
terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat
bergerak dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh
penderita memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan
konsultasi neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena
merupakan gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi penurunan
kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi oksigenasi,
dan ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan epidural
subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP
Dr. M.Djamil, 2006).
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese,
hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia ( kesukaran
dalam mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya
vertigo dan respon sensori
C. FOCUSED ASSESSMENT
Focused assessment atau pengakajian terfokus adalah tahap pengkajian pada area
keperawatan gawat darurat yang dilakukan setelah primary survey, secondary survey,
anamnesis riwayat pasien (pemeriksaan subyektif) dan pemeriksaan obyektif (Head
to toe). Di beberapa negara bagian Australia mengembangkan focused assessment ini
dalam pelayanan di Emergency Department, tetapi di beberapa Negara seperti USA
dan beberapa Negara Eropa tidak menggunakan istilah Focused Assessment tetapi
dengan istilah Definitive Assessment (O’keefe et.al, 1998).
Focused assessment untuk melengkapi data secondary assessment bisa dilakukan
sesuai masalah yang ditemukan atau tempat dimana injury ditemukan. Yang paling
banyak dilakukan dalam tahap ini adalah beberapa pemeriksaan penunjang diagnostik
atau bahkan dilakukan pemeriksaan ulangan dengan tujuan segera dapat dilakukan
tindakan definitif.
REASSESSMENT
Beberapa komponen yang perlu untuk dilakukan pengkajian kembali
(reassessment) yang penting untuk melengkapi primary survey pada pasien di gawat
darurat adalah :
Komponen Pertimbangan
Airway Pastikan bahwa peralatan airway : Oro Pharyngeal Airway, Laryngeal
Mask Airway , maupun Endotracheal Tube (salah satu dari peralatan
airway) tetap efektif untuk menjamin kelancaran jalan napas.
Pertimbangkan penggunaaan peralatan dengan manfaat yang optimal
dengan risiko yang minimal.
Breathing Pastikan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan pasien :
 Pemeriksaan definitive rongga dada dengan rontgen foto thoraks,
untuk meyakinkan ada tidaknya masalah seperti Tension
pneumothoraks, hematotoraks atau trauma thoraks yang lain yang
bisa mengakibatkan oksigenasi tidak adekuat
 Penggunaan ventilator mekanik
Circulation Pastikan bahwa dukungan sirkulasi menjamin perfusi jaringan
khususnya organ vital tetap terjaga, hemodinamik tetap termonitor serta
menjamin tidak terjadi over hidrasi pada saat penanganan
resusitasicairan.
 Pemasangan cateter vena central
 Pemeriksaan analisa gas darah
 Balance cairan
 Pemasangan kateter urin
Disability Setelah pemeriksaan GCS pada primary survey, perlu didukung dengan :
 Pemeriksaan spesifik neurologic yang lain seperti reflex patologis,
deficit neurologi, pemeriksaan persepsi sensori dan pemeriksaan
yang lainnya.
 CT scan kepala, atau MRI

Exposure Konfirmasi hasil data primary survey dengan


 Rontgen foto pada daerah yang mungkin dicurigai trauma atau
fraktur
 USG abdomen atau pelvis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN
Defibrilasi adalah suatu tindakan terapi dengan cara memberikan aliran
listrik yang kuat dengan metode asinkron ke jantung pasien melalui elektroda yang
ditempatkan pada permukaan dada pasien. Tujuannya adalah untuk koordinasi
aktivitas listrik jantung dan mekanisme pemompaan, ditunjukkan dengan
membaiknya cardiac output, perfusi jaringan dan oksigenasi.
American Heart Association (AHA) merekomendasikan agar defibrilasi
diberikan secepat mungkin saat pasien mengalami gambaran VT non-
pulse atau VF, yaitu 3 menit atau kurang untuk setting rumah sakit dan dalam
waktu 5 menit atau kurang dalam setting luar rumah sakit. Defibrilasi dapat
dilakukan diluar rumah sakit karena sekarang ini sudah ada defibrillator yang bisa
dioperasikan oleh orang awam yang disebut automatic external
defibrillation (AED).
AED adalah defibrillator yang menggunakan system computer yang dapat
menganalisa irama jantung, mengisi tingkat energi yang sesuai dan mampu
memberikan petunjuk bagi penolong dengan memberikan petunjuk secara visual
untuk peletakan elektroda.
Setelah mempelajari materi ini kita diharapkan memiliki kemampuan
untuk menjelaskan konsep Defibrilasi.
Topik 1
Konsep Defibrilasi
A. Fibrilasi
Fibrilasi merupakan masalah pada jantung yang terjadi ketika organ tersebut
berdetak terlalu cepat sehingga frekuensinya idak dapat dihitung. Hal ini disebabkan
oleh impuls listrik yang cepat dan tidak teratur.
Ada 2 jenis fibrilasi:
1. Fibrilasi atrium, fibrilasi yang terjadi di serambi jantung yaitu suatu kondisi yang
terjadi ketika detak jantung menjadi tidak teratur dan tingkat kontraksi organ
tersebut sangat tinggi.

2. Fibrilasi ventrikel, fibrilasi yang terjadi di bilik jantung yaitu keadaan dimana
denyut ventrikel sangat kacau sehingga jantung tidak dapat memompakan
darahnya keluar dan tekanan darah menjadi nol sehingga dapat menyebabkan
kematian mendadak.

B.
Defibrilasi
Defibrilasi adalah sebuah cara yang tepat untuk mengembalikan normalitas
jantung. Kecepatan dalam melakukan defibrilasi/kardioversi merupakan elemen paling
penting untuk resusitasi yang berhasil (Harrison, 1995).
Defibrilasi adalah suatu tindakan terapi dengan cara memberikan aliran listrik
yang kuat dengan metode asinkron ke jantung pasien melalui elektroda yang
ditempatkan pada permukaan dada pasien. Tujuannya adalah untuk koordinasi
aktivitas listrik jantung dan mekanisme pemompaan, ditunjukkan dengan membaiknya
cardiac output, perfusi jaringan dan oksigenasi (Ashok, 2013).
American Heart Association (AHA) merekomendasikan agar defibrilasi
diberikan secepat mungkin saat pasien mengalami gambaran VT non-pulse atau VF,
yaitu 3 menit atau kurang untuk setting rumah sakit dan dalam waktu 5 menit atau
kurang dalam setting luar rumah sakit. Defibrilasi dapat dilakukan diluar rumah sakit
karena sekarang ini sudah ada defibrillator yang bisa dioperasikan oleh orang awam
yang disebut automatic external defibrillation (AED) (Karo, 2011).
Untuk mengatasi gangguan fibrilasi tersebut maka diperlukan suatu tindakan
yang seharusnya dilakukan hal ini disebut dengan defibrilasi dimana detak jantung
normal dapat dikembalikan dengan pengiriman kejutan listrik yang dikendalikan.
Kecepatan dalam melakukan defibrilasi/ kardioversi merupakan elemen penting untuk
resusitasi yang berhasil. Tindakan defribrilasi harus segera dilakukan sebelum intubasi
dan pemasangan selang infuse. Defibrilasi dilakukan dengan cara satu electrode
diletakkan pada sisi kanan dada, dibawah klavikula dan yang lain pada sisi kiri dada
sebelah lateral papilla mamma seperti pada gambar di bawah ini.

Prinsip defibrilasi memberikan energi dalam jumlah banyak dalam waktu


yang sangat singkat (beberapa detik) melalui pedal positif dan negative yang
ditekankan pas dinding dada atau melalui adhesive pads yang ditempelkan pada
sensing dada pasien. Arus listrik yang mengalir sangat singkat ini bukan merupakan
loncatan awal bagi jantung untuk berdetak, tetapi mekanismenya adalah aliran listrik
yang sangat singkat ini akan mendepolarisasi semua miokard, menyebabkan
berhentinya aktivitas listrik jantung atau biasa disebut asistole. Beberapa saat setelah
berhentinya aktivitas listrik ini, sel-sel pace maker akan ber-repolarisasi secara
spontan dan memungkinkan jantung untuk pulih kembali. Siklus depolarisasi secara
spontan dan repolarisasi sel-sel pacemaker yang reguler ini memungkinkan jantung
untuk mengkoordinasi miokard untuk memulai aktivitas kontraksi kembali (Rudolph,
2004).

C. Prinsip Defibrilasi
Memberikan energi dalam jumlah banyak dalam waktu yang sangat singkat
(beberapa detik) melalui pedal positif dan negative yang ditekankan pas dinding dada
atau melalui adhesive pads yang ditempelkan pada sensing dada pasien. Arus listrik
yang mengalir sangat singkat ini bukan merupakan loncatan awal bagi jantung untuk
berdetak, tetapi mekanismenya adalah aliran listrik yang sangat singkat ini akan
mendepolarisasi semua miokard, menyebabkan berhentinya aktivitas listrik jantung
atau biasa disebut asistole. Beberapa saat setelah berhentinya aktivitas listrik ini, sel-
sel pace maker akan ber-repolarisasi secara spontan dan memungkinkan jantung untuk
pulih kembali. Siklus depolarisasi secara spontan dan repolarisasi sel-sel pacemaker
yang reguler ini memungkinkan jantung untuk mengkoordinasi miokard untuk
memulai aktivitas kontraksi kembali.

D. Mekanisme Defibrilasi
Telah diketahui bahwa terdapatnya suatu massa jaringan yang kritis pada otot
jantung rentan menjadi suatu cikal bakal ventrikel fibrilasi. Telah dilakukan penelitan
oleh Zipes dimana suatu bahan kimia yang bersifat depolarisasi mampu menimbulkan
suatu ventrikel fibrilasi pada otot jantung yang telah memiliki massa jaringan yang
kritis sebelumnya. Namun sejumlah besar voltase yang diberikan di depan otot
jantung mampu menghentikan fibrilasi yang terjadi. Meskipun demikian masih
terdapat sejumlah bagian kecil dari otot jantung yang masih mampu menjadi pencetus
fibrilasi meskipun telah diberikan suatu terapi kejut listrik. Secara teori, terapi kejut
listrik dapat berhasil bila massa jaringan kritis pada otot jantung mampu di defibrilasi
disisi lain dengan jug amasih menyisakan sedikit jaringan fibrilasi yang berpotensi
untuk menjadi suatu aritmia.
Setiap otot jantung memiliki batas bawah ambang kepekaan, suatu nilai
kekuatan minimal yang diperlukan dalam stimulus elektrik untuk menginduksi
terjadinya fibrilasi. Pada tahun 1960 ditemukan bahwa terdapat suatu batas atas
ambang kepekaan yang dapat menginduksi fibrilasi. Telah diteliti bahwa kuat energi
yang diperlukan untuk melakukan defibrilator ternyata sebanding dengan nilai batas
atas ambang kepekaan otot jantung.
Sebagai kesimpulan, hubungan antara syok defibrilasi dan sel otot jantung
dianggap cukup rumit dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Stimulasi elektrik
perlu diberikan pada jaringan yang terfibrilasi untuk melakukan suatu defibrilasi.
Lebih jauh lagi, stimulasi elektrik tidak boleh menjadi penyebab suatu rekativasi
fibrilas.
E. Komplikasi Defibrilasi
1. Henti jantung-nafas dan kematian
2. Anoxia cerebral sampai dengan kematian otak
3. Gagal nafas
4. Asistole
5. Luka bakar
6. Hipotensi
7. Disfungsi pace-maker
Topik 2
Defibrilator

A. Defibrilator
Defibrillator adalah piranti elektronik yang mengalirkan sinyal listrik kejut
(pulsa) ke otot jantung untuk mempertahankan depolarisasi myocardial yang sedang
mengalami fibrillasi kardiak (ventricular fibrillation atau atrial fibrillation).
Defibrilator adalah suatu alat yang menghasilkan shock listrik dalam jumlah
yang terkontrol pada pasien untuk mengakhiri aritmia jantung. Teknik pemberian
shock listrik biasanya dikenal dengan defibrilasi jika shock diberikan untuk
menghentikan fibrilasi ventrikel. Cardioversion merupakan istilah yang digunakan jika
shock digunakan untuk aritmia lain seperti fibrilasi atrium, fluter atrium, atau
takikardia ventrikel.
Suatu defibrilator biasanya terdiri dari capacitor charger, capacitor penyimpan
energi dan discharge circuit. Capacitor charger mengubah tenaga dari sumber dengan
tegangan yang relatif rendah menjadi tegangan dengan tingkat yang cukup untuk
memberikan shock. Jika defibrilator diset “charge”, capacitor charger akan menaikkan
tegangan pada capacitor penyimpan energi sampai simpanan ini mencapai jumlah
energi yang diinginkan untuk melakukan defibrilasi. Discharge circuit kemudian
menghantarkan energi pada electrode baik dengan gelombang monophasik atau
biphasik. Karena kedua elektrode ditempatkan terpisah pada dinding dada, dengan
organ jantung diantaranya, maka arus listrik akan mengalir melewati jantung juga.
Mode pemberian energi defibrillator :
1. Asinkron: pemberian shock listrik jika jantung sudah tidak berkontraksi lagi,
secara manual setelah pulsa R.
2. Sinkron : pemberian shock listrik harus disinkronkan dengan sinyal ECG dalam
keadaan berfibrasi, jadi bila tombol discharge ditekan kapanpun maka akan
membuang pulsa R secara otomatis.
Terdapat berbagai tipe defibrilator, antara lain:
a.  Automated External Defibrillators (AED)
1)   Dalam penggunaannya tidak diperlukan tenaga medis yang
terlatih
2)  Dapat ditemukan di tempat-tempat umum
3) Mampu menganalisa ritme jantung dan melakukan terapi syok
bila diperlukan
4) Tidak dapat di nonaktifkan secara manual dan dapat mendeteksi
suatu aritmia setelah 10-20 detik
b. Semi automated AED
1) Mirip seperti halnya AED namun dapat dinonaktifkan secara
manual dan biasanya mampu menggambarkan EKG
2)  Biasanya digunakan oleh tenaga medis c.  Dapat menjadi alat
pacu jantung
c. Defibrilator standar dengan monitor baik monofasik maupun bifasik
d. Defibrilator transvena atau implant

Defibrilator yang umum digunakan di rumah sakit adalah M-series monophasic


dan defibrilator biphasic. Unit portable menggabungkan Defibrillator, ECG, Non-
Invasive Transcutaneous Pacing (NTP) dan fungsi pemantauan pasien yang lainnya.
Berbagai jenis defibrilator adalah:
1. DC Defibrilator
DC defibrilator selalu dikalibrasi dalam satuan watt-detik atau joule sebagai ukuran
dari energi listrik yang tersimpan dalam kapasitor. Energi dalam detik-watt sama
dengan satu setengah kapasitansi dalam farad dikalikan dengan tegangan di yaitu
volt kuadrat.

Jumlah energi (E) yang diberikan merupakan faktor bagi keberhasilan defibrilator.
Energi yang diberikan kepada pasien dapat diperkirakan dengan mengasumsikan
nilai resistansi yang ditempatkan antara elektroda yang seterusnya mensimulasi
resistansi dari pasien. Kebanyakan defibrilator akan memberikan 60 - 80% dari
energi mereka untuk disimpan ke resistansi sebanyak 50 Ω.
a. Defibrilasi eksternal: piringan logam berdiameter 3-5 cm yang melekat pada
pegangan yang sangat terisolasi. Menghasilkan arus besar untuk menstimulasi
kontraksi yang seragam & simultan dari serat otot jantung. Kapasitor hanya akan
menyalurkan energi listrik yang tersimpan apabila kontak defibrilator dengan
tubuh yang baik sudah tercapai.
b. Internal defibrilasi: besar berbentuk sendok elektroda
2. Advisory Defibrilasi
Mampu dengan akurat menganalisis ECG dan membuat keputusan menyalurkan
kejutan dengan handal. Dirancang untuk mendeteksi fibrilasi ventrikel atau
ventricular fibrillation dengan sensitivitas dan spesifisitas sebanding dengan
paramedis terlatih, kemudian memberikan atau merekomendasikan seberapa
banyak energi sesuai dengan kejutan defibrilasi tersebut.
3. Implan Defibrillator
Biasa digunakan oleh pasien yang berisiko tinggi mengalami ventricular
fibrillation. Implan defibrilator menyimpan rekaman sinyal jantung pasien, sejarah
terapi pasien dan data diagnostik pasien. Implan defibrilator mempunyai volume
kurang dari 70 cc, ia juga mempunyai lebih dari 30 juta transistor dan menyalurkan
kurang dari 20 micro ampere selama beroperasi sebagai pemantauan konstan.
Implan defibrilator sangat tertutup rapat dari lingkungan sekeliling di dalam tubuh
maka ianya sangat bio-kompatible dan mampu bertahan pada rentang suhu 30 oC
hingga 60 oC. Sumber energi untuk menjalankan implan defibrilator berasal dari
baterai Lithium Perak Vanadium Oksida (LiSVO).

B. Perbedaan Monofasik dan Bifasik


Selama beberapa dekade, defibrillator telah menggunakan bentuk gelombang
monofasic. Dengan bentuk gelombang monofasic, arus mengalir dalam satu arah, dari
satu elektroda ke yang lain, menghentikan jantung sehingga memiliki kesempatan
untuk memulai kembali sendiri. Dengan bentuk gelombang bifasik, arus mengalir
dalam satu arah pada tahap pertama shock dan kemudian membalikkan untuk tahap
kedua. Bentuk gelombang bifasik sekarang "standar emas" untuk alat defibrilator.
Penelitian menunjukkan bahwa bentuk gelombang bifasik lebih efektif dan
menimbulkan lebih sedikit risiko cedera pada jantung daripada bentuk gelombang
monofasik, bahkan ketika tingkat energi kejut adalah sama. Inilah sebabnya mengapa
produsen defibrillator eksternal sekarang menggunakan bentuk gelombang bifasik di
perangkat mereka.
Bentuk gelombang Bifasik menjadi standar baru perawatan di defibrillator
eksternal. Di masa lalu hanya ada satu jenis defibrilasi transthoracic, yaitu standar
sinus gelombang kejut monofasic. Selama bertahun-tahun penelitian, teori impedansi
dan waktu guncangan sudah diperdebatkan untuk dijadikan suatu standar baku.
Studi-studi telah menunjukkan bahwa awalnya ada perubahan segmen ST yang
signifikan terkait dengan energi tinggi defibrilasi, yang dapat berlangsung sampai
beberapa bulan (jika pasien bertahan).
Dengan sistem Bifasik ada yang lebih tinggi tingkat keberhasilan konversi
kejutan awal dari VT (ventrikel takikardi) atau VF (ventrikel fibrilasi) dibandingkan
monofasic (85,2% vs 97,6% monofasic bifasik ), energi dalam Joule secara signifikan
kurang (360j monofasic, 200j bifasik) yang akan mempengaruhi kebutuhan cadangan
energi, Bifasik lebih efektif dalam membalikkan VF berkelanjutan.
Defibrilasi bifasik menawarkan khasiat sama atau lebih baik pada energi rendah
dari gelombang Monofasic tradisional defibrillator-dengan risiko lebih kecil pasca-
shock komplikasi seperti disfungsi miokard dan luka bakar kulit.
Tidak seperti perangkat monofasic, defibrillator bifasik menggunakan teknologi
gelombang yang berbeda: baik bifasik terpotong eksponensial (BTE) gelombang atau
gelombang Bifasik kotak. Bentuk gelombang eksponensial bifasik dipotong pada
awalnya dikembangkan untuk aplikasi rendah impedansi internal yang defibrilasi
jantung. Sudah diadaptasi untuk defibrilasi eksternal oleh dua vendor. Heartstream
(sekarang Agilent / Philips) memelopori pendekatan rendah energi. The defibrilator
BTE kedua, yang dikembangkan oleh Medtronic Physio-Control, menggunakan
energi-tinggi (lebih dari 200 joule) protokol.
Bentuk gelombang Bifasik kotak dikembangkan khusus untuk defibrilasi
eksternal dan dipertimbangkan tingkat impedansi tinggi dan beragam pasien
(pemblokiran aliran arus yang disebabkan oleh bulu dada, ukuran dada besar, dan
miskin elektroda-ke-dada kontak). Hanya defibrillator Zoll menggunakan gelombang
ini. Bentuk gelombang kotak mempertahankan bentuk stabil sebagai respon terhadap
impedansi, dan arus konstan pada tahap pertama mengurangi arus puncak yang
berpotensi membahayakan.
Bentuk gelombang BTE dikembangkan untuk penggunaan internal, di mana
impedansinya rendah. Bentuk gelombang bifasik terpotong eksponensial (BTE)
digunakan dalam alat pacu jantung internal untuk lebih dari 10 tahun. Jika digunakan
dalam perangkat transthoracic seperti defibrillator, impedansinya dapat
mempengaruhi bentuk gelombang. Bentuk gelombang kotak tetap stabil dalam bentuk
bagaimanapun. Hal ini mengurangi efek merugikan dari impedansi pasien pada
defibrilasi sukses.
Ketika impedansi rendah (50 ohm), sebuah 360-joule BTE defibrilator
memperlihatkan hasil yang lebih baik. Pada impedansi pasien rata-rata 75 ohm, 360
joule-BTE dan 200-joule defibrillator kotak sama-sama efektif. Dengan impedansi
tinggi (lebih besar dari 100 ohm), shock 200-joule kotak memberikan arus rata-rata
lebih tinggi dari shock BTE 360-joule, sehingga membuat lebih efektif dengan tingkat
energi yang lebih rendah.
Perbandingan klinis langsung antara dua jenis bifasik bentuk gelombang masih
harus dilakukan dalam uji coba, prospektif acak dengan kontrol yang sesuai. Studi
terbaru defibrilator energi tinggi BTE membutuhkan energi hampir 50% lebih untuk
memberikan rata-rata yang sama saat ini sebagai defibrilator rendah energi kotak.
Lima penelitian, dengan lebih dari 900 peserta manusia, telah membandingkan
kemanjuran bentuk gelombang bifasik dibandingkan monofasik. Secara acak
menunjukkan bahwa energi yang rendah-130-joule kejutan BTE secara klinis sama
dengan shock 200-joule monofasik. Studi lain menemukan bahwa kejutan BTE 130
joule secara klinis sama dengan shock 200-joule monofasik tetapi rendah energi
guncangan BTE tampaknya kurang efektif bila impedansi transthoracic tinggi.
Sebuah studi pasien terbaru meng-evaluasi efikasi pemberian tiga guncangan
dengan energi rendah (150 joule) BTE defibrilator dan menemukan kombinasi ini
100% efektif untuk mengkonversi VF. Pasien defibrillated dengan rendah energi
guncangan bifasik juga memiliki hasil neurologis yang lebih baik dibandingkan
dengan mereka yang menggunakan konvensional energi tinggi guncangan.
C. Komponen Defibrilator
1. Sumber Tegangan
Defibrillator modern menggunakan arus searah (dc) daripada arus bolak (ac) yang
model sebelumnya digunakan. Hal ini menimbulkan masalah bagi desainer
perangkat yang dioperasikan dengan baterai. Transformer tidak dapat
meningkatkan arus searah. Masalah ini dipecahkan sebagai berikut.
Konversi Tegangan Defibrilator DC
Sebuah baterai menyuplai rangkaian osilator; Dihasilkan arus yang on dan off
pada frekuensi tinggi (misalnya 1000 kali per detik), meskipun masih akan dalam
satu arah saja (DC). Jika pulsa DC ini dimasukkan ke sebuah transformator yang
cocok, dapat dihasilkan tegangan output sesuai yang diperlukan. Rasio tegangan
input dan output sebanding dengan rasio jumlah lilitan primer dan sekunder trafo.
Untuk Misalnya, jika kumparan input ('primer') memiliki 200 lilitan dan
kumparan output ('sekunder') memiliki 20.000 maka tegangan dinaikan dengan
factor 100. Sebuah masukan 5 V maka akan menghasilkan 500 V output.
Tegangan output bolak balik diperbaiki dengan dioda dan dimasukkan ke dalam
kapasitor yang menyimpan muatan tegangan tinggi.
2. Kapasitor
Sebuah kapasitor terdiri dari dua konduktor datar atau 'piring' (biasanya dari
aluminium foil) dengan isolator diantaranya. Sebuah kutub konduktor melekat
pada setiap piring. Dalam prakteknya seluruh kapasitor perakitan sering digulung
dan dimasukkan dalam 'kaleng' dengan dua koneksi. Tegangan maksimal pada
kapasitor adalah sebesar 5.300VDC dengan umur pemakaian sebanyak 100.000
kali discharge.
3. Switch
Gambar rangkaian pada gambar 16 menjelaskan secara singkat prinsip kerja
switch pada defibrillator. Ketika seluruh switch pada kondisi open maka paddle
ditempelkan kepada pasien. Kemudian Switch S1 di tutup guna untuk mengisi
kapasitor, ini disebut kondisi charged. Selanjutnya, S1 akan terbuka dan S2 akan
menutup, dimana menyebabkan kapasitor akan berada pada kondisi discharged
dan tegangan akan dikirimkan ke tubuh pasien, dimana cara ini digunakan untuk
mengembalikan ritme jantung pasien.

D. Jenis – Jenis Defibrilator


Pada dasarnya Jenis defibrilator terbagi menjadi 2, yaitu Defibrillator AC dan
Defibrilator DC. Defibrillator DC memiliki beberapa jenis lagi, yaitu Defibrillator DC
Lown, Monopulse, Delay-line, dan Trapezoidal.
1. Defibrillator AC
Defibrillator AC merupakan defibrillator pertama yang dikenal sejak
sebelum tahun 1960. Defibrillator ini menggunakan arus listrik 5 sampai 6
Ampere, dengan frekuensi 60 Hz yang dipasangkan di dada pasien selama 250
sampai 1000 ms. Tingkat keberhasilan defibrillator ac ini agak rendah, sehingga
tak dapat menangani fibrillasi atrial secara baik. Bahkan dalam kenyataan, pada
saat mencoba mengatasi fibrillasi atrial dengan defibrillator ac seringkali malah
menghasilkan fibrillasi ventrikel yang merupakan aritmia yang lebih serius.
Distribusi energi pada defibrillator AC sangatlah sederhana karena hanya
menggunakan tegngan jala-jala (110-240V) yang dinaikkan dengan transformator
step up (menjadi 300-2000 V). Sehingga sinyal yang dihasilkan oleh defibrilltor
AC akan sama dengan sinyal tegangan jala-jala.
2. Defibrillator DC Lown
Muatan yang dikenakan pada pasien disimpan dalam sebuah kapasitor yang
dihasilkan oleh power supply DC tegangan tinggi. Operator dapat mengatur level
muatan yang akan digunakan pada panel depan dengan tombol “set energy”.
Tombol tersebut mengendalikan tegangan DC yang dihasilkan oleh power supply
tegangan tinggi dan juga dapat mengatur muatan maksimum pada kapasitor.
Energi yang tersimpan dalam kapasitor diberikan oleh persamaan: U = ½ CV2 U
adalah energi dalam satuan Joule (J), C adalah kapasitansi C1 dalam satuan Farad
(F) serta V adalah tegangan pada kapasitor C1 dalam satuan volt.
a. Arus akan meningkat dengan cepat hingga 20A dengan tegangan hingga 3
KV

b. Gelombang kemudian meluruh kembali ke nol dalam waktu 5 ms dan


kemudian menghasilkan sebuah pulsa negatif yang lebih kecil juga sekitar 5
ms.
c. Pada respon ini defibrilator bersifat underdamp
Energi yang tersimpan ditunjukkan oleh sebuah voltmeter yang
dihubungkan paralel dengan kapasitor C1. Skala voltmemter dikalibrasi dalam
satuan energi. Satuan yang sering digunakan secarai praktis adalah watt-second
yang setara dengan Joule (1 w-s = 1 J). Sejumlah energi akan hilang pada kontak
“relay switching” dan pada resistansi ohmik induktor L1. Muatan kapasitor
dikendalikan oleh sebuah kontak relay (relay switch) K1. Pada model terdahulu
digunakan relay jenis SPDT (Single Pole Double Throw), sedangkan model yang
sekarang digunakan relay jenis DPDT (Double Pole Double Throw) agar isiolasi
pada rangkaian pasien terhadap ground tetap terjaga. Walaupun ada beberapa
defibrillator yang portable yang menggunakan relay tegangan tinggi udara terbuka
(open-air high voltage relay), tetapi umumnya menggunakan special sealed
vacuum relay seperti Torr Laboratories TMR-10. Relay vakum merupakan relay
yang telah mendapat pengakuan sebab adanya penggunaan tegangan tinggi untuk
kapasitor C1. Rangkaian pasien untuk defibrillator Lown terdiri dari induktor
100mH (L1), resistansi ohmik L1 (R1) dan resistansi ohmik pasien (R2). Energi
yang tersimpan dalam medan magnetik kumparan L1 menghasilkan Bentuk
gelombang Lown negatif selama 5 ms. Bila kapasitor dalam keadaan discharge,
medan pada kumparan akan habis/hilang, energi terbuang kembali ke rangkaian.
Urutan kerjanya sebagai berikut:
1) Operator mengatur “set energy” (yang mengontrol level yang diinginkan) dan
menekan tombol “charge” (yaitu menutup S2)
2) Kapasitor C1 mulai termuati dan akan tetap dimuati hingga tegangan pada
kapasitor sama dengan tegangan sumber (supply).
3) Operator memasang “paddle electrode” pada dada pasien dan menekan
tombol “discharge” (yaitu S1)
4) Relay K1 memutus hubungan kapasitor dari power supply dan kemudian
menghubungkannya ke rangkaian keluar.
5) Kapasitor C1 mengalami discharge (membuang energi) ke pasien melalui L1,
R1 dan paddle electrode. Keadaan ini berlangsung pada awal 4 sampai 6 ms
dan membangkitkan tegangan tinggi simpangan posistif pada bentuk
gelombang. Medan magnetik terbentuk pada L1 dan menghasilkan Bentuk
gelombang simpangan negatif dan hilang/habis dalam 5 ms kemudian.
3. Defibrillator DC Monopulsa
Defibrillator DC monopulsa merupakan hasil modifikasi Defibrillator DC
Lown untuk menghasilkan bentuk gelombang tanpa fase negatif. Defibrillator
jenis ini sering dijumpai dalam defibrillator portable. Bentuk rangkaian
defibrillator ini sama dengan defibrillator Low, tetapi tanpa induktor L1 untuk
menghilangkan pulsa kedua yang negatif. Akibatnya, Bentuk gelombang akan
kembali ke nol dengan cara eksponensial karena hanya ada rangkaian RC saja,
dan respon bersifat criticcally damp.

4. Defibrillator
DC Delay-Line
Defibrillator ini biasa juga dikenal dengan defibrillator Tapered. Berbeda dengan
dua defibrillator DC sebelumnya, yaitu defibrillator DC Delay Line mempunyai

amplitudo rendah (1.2 KV) dan durasi panjang (15 ms) untuk mencapai level
energi yang ditetapkan. Dibuat dengan meletakan dua bagian L-C. Energi yang
ditransfer adalah sebanding dengan luas daerah di bawah kurva persegi empat,
yang juga dapat diperoleh energi yang sama seperti Bentuk gelombang lainnya.
Bentuk rangkaian defibrillator DC delay-line sama dengan Gambar 10, hanya saja
pada defibrillator DC delay-line ditambahkan L2 dan C2.

5. Defibrillator DC Trapezoidal
Defibrillator DC Trapezoidal merupakan defibrillator yang memiliki bentuk
gelombang yang menyerupai trapesium. Ciri defibrillator ini adalah tegangann
keluarannya rendah (500V sampai 800 V) dan durasinya panjang (20 ms).
Kapasitor membuang muatan (discharge) ke tubuh pasien dikendalikan oleh
rangkaian SCR (Silicon-Controlled Rectifier). Bila energi yang diberikan pada
pasien telah cukup, maka shunt SCR bekerja untuk menghubung-singkat (short
circuit) kapasitor dan memutuskan pulsa. Rangkaian ini mengeleminasi atau
mengurangi ekor pulsa discharge yang panjang. Keluaran dapat dikontrol dengan
mengubah tegangan pada kapasitor atau durasi \pulsa discharge. Desain ini
memberikan beberapa keuntungan:
a. Arus puncak yang diperlukan lebih kecil
b. Tidak diperlukan induktor
c. Dapat menggunakan kapasitor elektrolit (yang secara fisik kecil)
d. Tidak diperlukan relay.
E. Analisa Defibrilator
Besar Energi dalam unit Joule dinyatakan dengan rumus :

Di mana C adalah nilai kapasitansi diukur dalam satuan farad dan V adalah
tegangan kapasitor. Jika yang dibutuhkan adalah tegangan 3 KV, energy 400 J, maka
besar nilai kapasitor adalah :

Energy yang dikeluarkan defibrillator pada umumnya adalah kisaran 50-400J.


Tidak semua energy yang dikeluarkan defibrillator sampai kepada pasien. Beberapa
diserap oleh resistansi dalam (RD) defibrillator, beberapa diserap oleh paddle
defibrillator, dan beberapa diserap oleh resistansi kulit (RE). Untuk menghitung
berapa banyak energy yang diperoleh pasien, resistansi RT dipertinbangkan sebagai
sirkuit ekivalen. Terdapat empat resistor dalam rangkaian ekuivalen.

Oleh karena itu, arus pada masing-masing resistor adalah sama. Dan energy
yang diserap oleh masing-masing resistor sebanding dengan energy total, sesuai
dengan hukum pembagi tegangan. Energi yang diserap oleh thorak dinyatakan dengan
rumus :
Topik 3
Prosedur Penggunaan

A. Prinsip Dasar Defribilator


Rangkaian dasar Defribilator

1. Pemilihan besarnya energi dengan memtar selector pada R3, maka saat
tegangannya diatur maka akan timbul pengisian di kapasitor C1.
2. Jika tombol Charge ditekan maka akan terjadi pengisian di kapasitor C1, dan
tegangan yang timbul dideteksi oleh detector A1, melalui pembagi tegangan R1
dan R2 yang bersesuaian dengan tegangan C1.
3. Bila tegangan pada pembagi tegangan telah lebih besar dari tegangan R3, maka A1
keluarannya akan menyebabkan High Voltage DC supply yang tidak lagi
mensuplai tegangan ke kapasitor C1.
4. Bila ditekan tombol discharge maka tegangan pada kapasitor C1 akan berpindah
sehingga jantung akan mendapatkan energi dari kapasitor C1.

B. Prinsip Prosedur Pemberian Energi Defribilator ke Jantung


Berikut merupakan Prinsip Prosedur Pemberian Energi Defribilator ke Jantung:
1. Pemilihan besarya energi dan mode
2. Pengisian energi pada kapasitor
3. Pembuangan energi dari kapasitor ke pasien
Maka dari itu terdapat beberapa parameter yang harus ditentukan dalam
defibrilasi. Beberapa parameter tersebut adalah sebagai berikut:
1. Energi
Energy dalam defibrillasi dinyatakan dalam joule. Satu joule merupakan unit kerja
terkait dengan satu ampere arus saat melewati satu ohm hambatan selama satu
detik.
2. Tegangan
Tegangan yang dibutuhkan untuk defibrilasi biasanya menggunakan tegangan
tinggi. Ini diperlukan supaya energi dari defibrilator dapat menembus sampai
sasaran. Dalam hal ini adalah jantung.
3. Arus
Arus merupakan apa yang sebenarnya mendefibrilasi jantung. Dapat juga
dinyatakan dengan Tegangan/Impedansi.
4. Impedansi
Resistensi terhadap Arus; ada resistensi di sirkuit listrik itu sendiri serta pada
pasien. Jumlah impedansi pada pasien sulit untuk menentukan yang berhubungan
dengan massa tubuh, suhu, kualitas diaphoresis dari kontak dengan alat kejut atau
bantalan defibrillator. Tetapi berdasarkan tes klinik bahwa 95% impedansi manusia
adalah sekitar 30-90 ohm.

C. Prosedur Pemberian Energi Defibrilasi


Berikut adalah langkah langkah dalam pemberian energi defribrilasi
1. Hidupkan defibrilasi
2. Pilih energi yang diperlukan
3. Pilih paddles (atau lead I, II, III) melalui tombol lead select
4. Oleskan jeli pada paddle
5. Letakan paddle pada apeks dan sternum sesuai petunjuk pada paddle
6. Nilai kembali irama pada monitor apakah masih VF/VT tanpa nadi
7. Tekan tombol pengisi energi (charge) pada paddle apeks atau pada unit defibrilator.
Setelah energi yang diharapkan tercapai, berikan abaaba dengan suara yang jelas
agar tidak ada orang lain yang masih menyentuh pasien, tempat tidur maupun
peralatan lain.
8. Beri tekanan kurang lebih 10-12 kg pada kedua paddle
9. Nilai kembali irama pada monitor, apabila tetap VF/VT tanpa nadi tekan tombol
discharge pada kedua padlle 10. Nilai kembali irama pada monitor apabila masih
VF/VT tanpa nadi isi kembali defibrilator. Apabila gambaran EKG pada monitor
meragukan periksa nadi dan sensor/elektroda EKG 11. Apabila gambaran masihg
tetap VF/VT tanpa nadi ulangi tahapan diatas dengan energi 200 – 300 Joule dan
kemudian 360 Joule jika gambaran EKG tidak berubah. 12. Apabila setelah
tindakan defibrilasi terakhir (360 Joule) irama masih VF/VT tanpa nadi lakukan
tahapan ACLS berikutnya yaitu kardioversi.

D. Indikasi Defibrilasi
Defibrilasi merupakan tindakan resusitasi prioritas utama yang ditujukan pada:
1. Ventrikel fibrilasi (VF)
2. Ventrikel takikardi tanpa nadi (VT non-pulse)

Meskipun defibrilasi merupakan terapi definitive untuk VF dan VT non-pulse,


penggunaan defibrilasi tidak berdiri sendiri tetapi disertai dengan resusitasi.
kardiopulmonari (RKP). Peran aktif dari penolong atau tenaga kesehatan pada saat
mendapati pasien dengan cardiac arrest, dimana sebagian besar menunjukkan VF dan
VT, untuk bertahan terbukti meningkat.
E. Hal Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Penggunaan defibrilator
Pada prinsipnya Defribrilasi memberikan energi dalam jumlah banyak dalam
waktu yang sangat singkat (beberapa detik) melalui pedal positif dan negative yang
ditekankan pas dinding dada atau melalui adhesive pads yang ditempelkan pada
sensing dada pasien. Arus listrik yang mengalir sangat singkat ini bukan merupakan
loncatan awal bagi jantung untuk berdetak, tetapi mekanismenya adalah aliran listrik
yang sangat singkat ini akan mendepolarisasi semua miokard, menyebabkan
berhentinya aktivitas listrik jantung atau biasa disebut asistole. Beberapa saat setelah
berhentinya aktivitas listrik ini, sel-sel pace maker akan berrepolarisasi secara spontan
dan memungkinkan jantung untuk pulih kembali. Siklus depolarisasi secara spontan
dan repolarisasi sel-sel pacemaker yang reguler ini memungkinkan jantung untuk
mengkoordinasi miokard untuk memulai aktivitas kontraksi kembali. Faktor-faktor
yang menentukan keberhasilan defibrilasi :
1. Lamanya VF Kesuksesan defibrilasi tergantung dari status metabolisme miokards
dan jumlah miokard yang rusak selama periode hipoksia karena arrest. Semakin
lama waktu yang digunakan untuk memulai defibrilasi maka semakin banyak
persediaan ATP yang digunakan miokard untuk bergetar sehingga menyebabkan
jantung memakai semua tenaga sampai habis dan keadan ini akan membuat jantung
menjadi kelelahan.
2. Keadaan dan kondisi miokard Hipoksia, asidosis, gangguan elektrik, hipotermi dan
penyakit dasar jantung yang berat menjadi penyulit bagi pemulihan aktivitas
kontraksi jantung.
3. Makin besar jantung, makin besar energi yang dibutuhkan untuk defibrilasi.
4. Ukuran pedal Ukuran diameter pedal dewasa yang dianjurkan adalah 8,5-12 cm
dan untuk anak-anak berkisar 4,5-4,8 cm. ukuran pedal terlalu besar membuat tidak
semua permukaan pedal menempel pada dinding dada dan menyebabkan banyak
arus yang tidak sampai ke jantung. Untuk itu, penggunaan pedal pada anak-anak
bisa disesuaikan dengan ukuran tubuhnya
5. Letak pedal Hal yang sangat penting tetapi sering kali diabaikan adalah peletakan
pedal pada dinding dada saat dilakukan defibrilasi. Pedal atau pad harus diletakkan
pada posisi yang tepat yang memungkinkan penyabaran arus listrik kesemua arah
jantung. - posisi sternal, pedal diletakkan dibagian kanan atas sternum dibawah
klavikula - pedal apeks diletakkan disebelah kiri papilla mamae digaris
midaksilaris. Pada wanita, posisi pedal apeks ada di spasi interkosta 5-6 pada posisi
midaxilaris. Pada pasien yang terpasang pacemaker permanent, harus dihindari
peletakan padel diatas generator pacemaker, geser pedal setidaknya 1 inchi dari
tempat itu. Defibrilasi langsung ke generator pacemaker dapat menyebabkan
malfungsi pace maker secara temporary atau permanent. Setelah dilakukan
defibrilasi atau kardioversi, PPM harus dicek ambang pacing dan sensinya serta
dilihat apakah alat masih bekerja sesuai dengan setting program. Hal yang harus
diperhatikan pada saat melakukan defibrilasi adalah posisi pedal atau pads,
keduanya tidak boleh saling menyentuh atau harus benar-benar terpisah.
6. Untuk indikasi tertentu diberikan tingkat energi yang berbeda pula, berikut adalah
indikasi dan tingkat energi yang diberikan
a. Ventrikel Fibrilasi (:100 J, 200 J, 300 J, 360 J. )
b. Ventrikel Tekikardi : 50 J, 100 J.
c. Atrial Flutter : 25 J – 50 J.
d. Atrial Fibrilasi : 100 – 200 J.
e. Supra Ventrikel Tekikardi : 75 – 100 J.
f. Torsade de Pointes 50 – 200 J.
g. Energi tidak tergatung berat badan, kecuali anak2 2 J/kg.
h. Pasien digitalis , energi 10-50 J.
7. Jelli/Gel Saat menggunakan pedal, jangan lupa memberikan jelli khusus untuk
defibrilasi atau kardioversi pada pedal. Jelli berfungai sebagai media konduksi
untuk penghantar arus listrik. Tujuan dari pemberian gel adalah untuk mengurangi
resistensi transtorakal dan mencegah luka bakar pasien. Yang harus diperhatikan
juga adalah jangan sampai gel tersebut teroles dikulit diantara sternum dan apeks,
atau jelli dari salah satu atau ekdua pedal mengalir menghubungkan keduanya pada
saat ditekan ke dada pasien. Jika ini terjadi akan mengakibatkan arus hanya
mengalir dipermukaan dinding dada, aliranarus ke jantung akan missing
memancarkan bunga api yang menyebabkan sengatan listrik pasien pada pasien dan
alat-alat operator.
F. Persiapan Sebelum Prosedur Defibrilasi
1. Persiapan Peralatan
a. Defibrillator dengan monitor EKG dan pedalnya
b. Jelly
c. Obat-obat Emergency (Epinephrine, Lidocain, SA, Procainamid, dll)
d. Oksigen
e. Face mask
f. Papan resusitasi
g. Peralatan intubasi dan suction
2. Persiapan Pasien
a. Pastikan pasien dan atau keluarga mengerti prosedur yang akan dilakukan
b. Letakkan pasien diatas papan resusitasi pada posisi supine
c. Jauhkan barang-barang yang tersebut dari bahan metal dan air disekitar pasien
d. Lepaskan gigi palsu atau protesa lain yang dikenakan pasien untuk mencegah
obstruksi jalan nafas
e. Lakukan RKP secepatnya jika alat-alat defibrillator belum siap untuk
mempertahankan cardiac output yang akan mencegah kerusakan organ dan
jaringan yang irreversible.
f. Berikan oksigen dengan face masker untuk mempertahankan oksigenasi tetap
adekuat yang akan mengurangi komplikasi pada jantung dan otak
g. Pastikan mode defibrillator pada posisi asyncrone
h. Matikan pace maker (TPM) jika terpasang.
G. Prosedur Defibrilasi
1. Oleskan Jelly pada pedal secara merata
2. Pastikan posisi kabel defibrillator pada posisi yang bisa menjangkau sampai ke
pasien
3. Nyalakan perekaman EKG agar mencetak gambar EKG selama pelaksanaan
defibrilasi
4. Letakkan pedal pada posisi apeks dan sternum
5. Charge pedal sesuai energi yang diinginkan
6. Pastikan semua clear atau tidak ada yang kontak dengan pasien, bed dan peralatan
pada hitungan ketiga (untuk memastika jangan lupa lihat posisi semua personal
penolong)
7. Pastikan kembali gambaran EKG adalah VT atau VF non-pulse
8. Tekan tombol pada kedua pedal sambil menekannya di dinding dada pasien, jangan
langsung diangkat, tunggu sampai semua energi listrik dilepaskan.
9. Nilai gambaran EKG dan kaji denyut nadi karotis
10. Jika kejutan kedua tidak berhasil, lakukan tahapan ACLS berikutnya
11. Bersihkan jelly pada pedal dan pasien
H. Algoritma DEFIBRILASI

I. Pasca Defibrilasi
1.

Monitoring Pasien Setelah Defibrilasi10


a. Evaluasi status neurology. Orientasikan klien terhadap orang, ruang, dan waktu
b. Monitor status pulmonary (RR, saturasi O2)
c. Monitor status kardiovaskuler (TD, HR, Ritme) setiap 15 menit
d. Monitor EKG
e. Mulai berikan obat anti disritmia intravena yang sesuai
f. Kaji apakah ada kulit yang terbakar
g. Monitor elektrolit (Na. K, Cl)
2. Dokumentasi dan laporan setelah tindakan
a. Print out EKG sebelum, selama dan sesudah defibrilasi
b. Status neurology, respirasi dan kardioversi sebelum dan sesudah defibrilasi
c. Energi yang digunakan untuk defibrilasi
d. Semua hasil yang tidak diinginkan dan intervensi yang telah diberikan
DAFTAR PUSTAKA

Ashok K Kondur. Defibrilation and cardioversion .[internet] 2012 Desember Available


from : http://emedicine.medscape.com/article/80564-overview, Cited on 28 July
2013 Available from:URL:http:///www.patient.co.uk. 
Defibrillation. Texas : Circulation, 2005, Vol. 112. Diklat Yayasan Ambulans Gawat
Darurat 118.
Goldman MJ . Principles of Clinical Electrocardiography, 12th ed. Los Altos, Cal : Lange
Medical Publications, 1998, 460 Gurvinder, Rull. Patient UK. Diakses
pada tanggal 1 November 2012
Guyton and Hall. (2007). Fisiologi Kedokteran ed. 11. Jakarta : EGC.
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/116/jtptunimus-gdl-santosotri-5766-1babi.pdf
http://editions.sciencetechnologyaction.com/lessons/7/105/BostonScientific.pdf
http://liveisflow.blogspot.co.id/2012/04/defibrillator.html
http://www.bu.edu.eg/portal/uploads/Engineering,%20Benha/Electrical%20Engin eering
%20/2371/crs10484/Files/Waleed%20Abdel%20Aziz%20Salem
%20Attia_Defibrillator %20(L4).ppt
https://id.wikipedia.org/wiki/Defibrilator
Karo Karo S, Rahajoe Anna U, Sulistyo Sigit, Kosasih A. Bantuan hidup Jantung Lanjut
Edisi 2011. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia,
2011 : 24 – 31.
Khandpur, R. S. (2005). Biomedical Instrumentaion: Technology and Applications. New
Delhi: McGraw-Hill
Penyakit Dalam Edisi Keempat Jilid III. Jakarta : Pusat Penerbitan FKUI,
Price, A. Sylvia. (2005). Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit ed.6.
Jakarta : EGC.
Rapid, Recal. Arrhytmia Management & Cardiac Arrest. Florida : ECG Press,
2001.
Resuscitation Guidelines 2005. London : Resuscitation Council (UK), 2005.
4. Sudoyo, Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku
Ajar Ilmu
Scheidt S . Basic Electrocardiography: Abnormalities of Electrocardiographic
Patterns.Ciba : Ciba Pharmaceutical Company, 1994 ; Vol. 6/36 Page 32 .
Sherwood, Lauralee. (2011). Fisiologi Manusia, dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC.
Theory And Practice of Defibrillation: Defibrillation for Ventricular
Defibrillation. Adgey. s.l. : Heart, 2005, Vol. 91.
BAB III
HASIL STUDI LITERATUR

TOPIK 1
Peningkatan Kesintasan Pasca-Henti Jantung-di Luar Rumah Sakit Memerlukan
Alat Baru
Beberapa penelitian mendiskusikan cara pandang terhadap insidens henti jantung,
profil pasien, ritme jantung saat kejadian henti jantung, dan hasil resusitasi.7-10 Keluaran
henti jantung makin membaik dalam beberapa tahun terakhir karena peningkatan perhatian
terhadap latihan resusitasi, jumlah automatic external defibrillators (AEDs) pada
komunitas, organisasi emergency medical systems (EMS) dan perawatan setelah resusitasi
menjadi lebih baik. Inisiatif yang dapat meningkatkan keluaran pasien out-of-hospital
cardiac arrest (OHCA) pada seluruh langkah dalam rantai kesintasan harus dioptimalkan.4
Namun, metode untuk mempersingkat waktu kritis antara henti jantung dan memulai
resusitasi belum cukup diperhatikan. Pada kasus henti jantung yang disaksikan, waktu
yang krusial terbuang sebelum orang di sekitarnya menyadari telah terjadi henti jantung
dan membutuhkan pertolongan segera. Lebih lanjut, pengambilan keputusan pusat
kesehatan juga menambah waktu penundaan kedatangan emergency medical service
(EMS) di tempat kejadian. Rentang waktu sebelum pasien mendapat pertolongan tersebut
lebih panjang lagi pada 40% kasus henti jantung yang tidak disaksikan.
Pentingnya mengurangi keterlambatan pertolongan diilustrasikan dengan studi
kasus henti jantung di kasino dengan staf terlatih menggunakan AEDs.13 Tingkat
kesintasan 74% pada pasien yang mendapat defibrilasi tidak lebih dari tiga menit setelah
henti jantung yang disaksikan dan 49% pada pasien yang mendapat defibrilasi lebih dari
tiga menit setelah henti jantung. Pada studi tersebut, 105 dari 148 pasien (71%)
menunjukkan VF sebagai irama jantung pertama yang terekam, 90 di antaranya pada kasus
henti jantung yang disaksikan, kesintasan 59% setelah keluar dari rumah sakit. Tidak ada
pasien dengan irama inisial bukan VF yang tetap bertahan hidup.5 Pasien yang bertahan
hidup setelah 1 tahun sebesar 55%, dengan keluaran neurologis baik, dilaporkan pada
kasus henti jantung di Bandara Chicago yang dilengkapi AEDs yang terdistribusi baik.6
Survei OHCA di Swedia menunjukkan median interval waktu antara henti jantung dan
memanggil ambulans adalah 4 menit dan kemungkinan pasien bertahan hidup dalam 30
hari secara signifikan dipengaruhi oleh interval tersebut (6,9% pada ≤4 menit dan 2,8%
pada >4 menit). Penulis berpendapat bahwa penurunan selang waktu dari henti jantung dan
defibrilasi merupakan satu – satunya pilihan saat ini untuk meningkatkan kesintasan dari
10% menjadi 40-70% dan menurunkan insidens kerusakan otak dengan biaya perawatan
jangka panjang yang menyertainya.
Implantasi Monitor Henti Jantung
Lebih dari satu dekade yang lalu telah diusulkan pengembangan suatu alat implantasi yang
mampu terus–menerus memantau aktivitas jantung, dan didesain untuk memperpendek
selang waktu antara henti jantung dan langkah meningkatkan peluang bertahan hidup.8
Alat tersebut seharusnya mampu mendeteksi gagal sirkulasi secara akurat, memicu alarm,
dan segera mentransmisikan lokasi pasien kepada EMS dan lokasi AED terdekat (Gambar
1).

Ada beberapa tantangan teknis dalam pengembangan alat tersebut, seperti memantau irama
terus-menerus dan bebas artefak, pemilihan sensor terbaik, lokasi implantasi, transmisi
sinyal tanpa kabel, kemampuan deteksi kegagalan sirkulasi, menunjukkan lokasi pasti
pasien, konsumsi daya rendah, dan pencatat waktu antara henti jantung dan mulai
resusitasi.1 Arzbaecher mengembangkan purwarupa alat berupa monitor elektrogram
subkutan yang mampu memenuhi kriteria di atas.9 Rickard, et al, mengusulkan alat
berbasis jam tangan yang mampu mendeteksi hilangnya denyut nadi, beberapa aspek
deteksi otomatis dan peringatan OHCA. Upaya – upaya tersebut belum memuaskan dalam
klinis.
Indikasi, Konsep, Dan Evaluasi Klinis
Pertanyaan mendasar adalah pasien mana yang diberi alat monitor henti jantung. Untuk
menjaga agar ukuran studi tetap terbatas, pasien risiko tinggi out-of-hospital cardiac arrest
(OHCA) wajib dilibatkan kecuali pada yang memiliki indikasi pemasangan implantable
cardioverter defibrillator (ICD). Kelompok tersebut dapat terdiri dari pasien post infark
miokard dengan ejection fraction (EF) 35 – 50%, diabetes, jaringan parut pada
pemeriksaan MRI, gagal jantung, pelebaran QRS pada EKG, dan aritmia
(supra)ventrikular; perkiraan angka henti jantung per tahun pada kelompok ini sebesar
~2,5%. Sebagai perbandingan, studi terbaru pada 2790 pasien ICD selama 22 bulan
menunjukkan angka syok sebesar ~5% per tahun. Dengan asumsi bahwa alat peringatan
henti jantung dapat meningkatkan kesintasan pasien sebesar 40%, studi single arm
memerlukan ~18 kasus out-of-hospital cardiac arrest (OHCA) untuk menunjukkan bahwa
alat tersebut mampu meningkatkan kesintasan >10%; diperlukan 18/2,5% = 720 pasien
untuk dilakukan pengamatan. EMS yang kooperatif dan teroganisasi baik didukung sistem
responder pertama di wilayah studi merupakan syarat yang harus dipenuhi. Analisis
dilakukan setelah menentukan jumlah kasus henti jantung untuk mengkonfirmasi jumlah
peringatan palsu yang diterima dan jumlah yang mampu diselamatkan. Dengan asumsi
henti jantung 2,5% per tahun, mortalitas non-aritmia 2,5% per tahun, kesintasan henti
jantung 10% dan 40% pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, studi peningkatan
kesintasan total (P<0,05; kekuatan 80%) dengan implantasi alat peringatan hentui jantung
membutuhkan 3750 pasien yang tercacak dan pengamatan 5 tahun. Disisi lain, randomized
trial untuk menaikkan kesintasan OHCA dari 10% menjadi 40% (P<0,05 dan kekuatan
90%) memerlukan – 100 OHCA dengan demikian -1000 pasien yang diamati selama 4
tahun pengamatan. Pasien yang bertahan hidup setelah OHCA harus dipertimbangkan
untuk implantasi defibrillator. Untuk henti jantung dan mortalitas per tahun, perkiraan
pasien henti jantung yang mampu bertahan hidup adalah 10% di kelompok control dan
40% di kelompok perlakuan (alat peringatan henti jantung). Suatu model sederhana
menunjukkan bahwa biaya pasien per tahun, dengan harapan dapat menghemat ∈50.000
per pasien per tahun untuk alat yang digunakan selama 10 tahun. Angka perkiraan kasar
tersebut termasuk implantasi alat dan perawatan selanjutnya serta biaya organisasi EMS.
Keuntungan financial lain yang tidak disebutkan termasuk biaya pasien pasca-henti
jantung yang bertahan hidup dengan kerusakan otak yang memerlukan biaya besar dalam
perawatannya. Studi ini jelas memerlukan intervensi waktu, upaya dan biaya yang besar,
seperti studi terdahulu yang menunjukkan efektivitas ekonomi implantasi ICD dan cardiac
resynchronization devices.
SIMPULAN
Kami setuju dengan Stecker, et al, 16 bahwa prevensi kematian jantung mendadak
merupakan prioritas kesehatan masyarakat utama. Saat ini, teknik penilaian risiko dengan
positive predictive accuracy yang baik untuk identifikasi sejumlah besar pasien kandidat
ICD yang akan mengalami kematian jantung mendadak sulit tersedia dalam waktu dekat.1
Memperbaiki keluaran resusitasi merupakan satu – satunya cara untuk menurunkan
kematian karena henti jantung mendadak. Salah satu caranya adalah memperpendek selang
waktu antara henti jantung dan defibrilasi,1 antara lain dengan suatu alat deteksi henti
jantung yang secara otomatis memperingatkan orang sekitar dan EMS.1 Merancang
algoritma deteksi dengan positive predictive accuracy yang tinggi akan menjadi tantangan
teknis tersendiri. Tantangan medis yang utama adalah menentukan indikasi implantasi alat
peringatan henti jantung. Teknik ini akan berhasil jika digunakan di wilayah dengan
organisasi EMS yang mendukung sistem tersebut. Biaya sistem kesehatan total pada alat
peringatan henti jantung yang diimplantasi lebih rendah dari ICD,1 sehingga dapat
menghemat biaya kehidupan per tahun pasien risiko tinggi yang belum terindikasi ICD.1

DAFTAR PUSTAKA
Sargowo, djanggan. 2017. Peningkatan Kesintasan Pasca-Henti Jantung di Luar Rumah
Sakit Memerlukan Alat Baru. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran 256 (Vol.44 No.
9). http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view/730/493 Diakses pada
tanggal 26 September 2020 pada pukul 12.19 WITA.
TOPIK 2
ACLS (ADVANCED CARDIAC LIFE SUPPORT)
Oleh : Fatir M.Natsir Indian J. Anaesth
A. BANTUAN HIDUP DASAR DAN INTERMEDIAT DEWASA (BLS DAN ILS)

Survei ABCD Primer


Survey ini merupakan komponen pertama dan yang paling penting dari setiap
upaya resusitasi. Langkah pertama adalah untuk memastikan korban dan juga
penolong aman dari berbagai faktor lingkungan di sekitarnya, misalnya pada tempat
terjadinya kecelakaan lalu lintas. Penolong kemudian menilai respon korban;
penolong harus selalu menganggap korban mengalami henti jantung atau paru atau
keduanya kecuali jika terbukti tidak demikian. Pada kasus trauma penolong harus
memikirkan kemungkinan adanya cedera servikal dan memastikan leher korban
distabilisasi sehingga tidak memperburuk cedera; penolong harus memposisikan
dirinya, berlutut di samping korban sejajar dengan bahunya. Menurut ketentuan
bantuan hidup dasar, menggunakan bantuan pernapasan mulut ke mulut bersamaan
dengan kompresi dada; bagaimanapun, yang tadinya disamping secara teknik sulit
dilakukan juga tidak selalu dapat diterima secara estestis oleh bystander yang ada di
sekitar korban henti jantung. Sejumlah penelitian terhadap binatang telah
menunjukkan bahwa walaupun penolong memberikan bantuan pernapasan
dikombinasikan dengan kompresi dada meningkatkan saturasi oksigen dan pH darah
arteri jika dibandingkan dengan kompresi dada saja, tidak ada perbaikan menyeluruh
dalam kelangsungan hidup korban. Keseluruhan konsensus pada kasus henti jantung
di luar rumah sakit adalah bahwa kompresi dada saja yang dilakukan oleh penolong
awam sama efektifnya jika dikombinasikan dengan pernapasan mulut ke mulut
Dalam aturan rumah sakit, protokol-protokol baru untuk resusitasi
kardiopulmoner telah dikembangkan untuk meningkatkan perfusi ke jantung dan otak
saat sirkulasi berhenti. Termasuk di dalamnya interposed abdominal compression
(IAC- CPR),phased thoracic-abdominal compression decompression (PTACDCPR)
atau life stick CPR dan kompresi- dekompresi aktif (ACD-CPR). Teknik- teknik
tersebut memerlukan pelatihan dan peralatan lanjut dan terdapat bukti hasil resusitasi
yang lebih baik dengan teknik- teknik tersebut. Pijat jantung terbuka mungkin
bermanfaat di rumah sakit jika dilakukan segera setelah henti jantung terjadi; akan
tetapi, teknik ini memerlukan personil yang sangat terlatih baik pada waktu terjadinya
henti jantung dan juga setelah kembalinya sirkulasi. Dalam kasus tamponade jantung,
emboli paru, dan cedera tembus dada, pijat jantung terbuka memiliki potensi untuk
menyelamatkan nyawa. Operasi bypass jantung- paru gawat darurat melalui pembuluh
darah femoralis dan pijat jantung langsung minimal invasif melalui insisi 2 cm dan
sebuah alat yang menyerupai tongkat tampaknya menjanjikan dalam beberapa situasi
klinis.
Di antara semua intervensi resusitasi untuk meningkatkan survival pasien dari
VF/ pulseless VT, defibrilasi adalah intervensi yang paling berguna. Defibrilator yang
menggunakan bentuk gelombang monofasik (arusnya bergerak hanya pada arah
positif) digunakan di berbagai belahan dunia sejak 40 tahun terakhir. Defibrilasi
bifasik (arus polar dibalikkan di pertengahan sepanjang pengosongan) telah diteliti
sejak awal 1980-an dan penggunaannya meningkat dengan cepat, seperti halnya alat
ini memerlukan energi yang sedikit, juga kurang mencederai miokardium dan selalu
dikaitkan dengan angka kesuksesan tindakan defibrilasi yang lebih tinggi pada henti
jantung yang terjadi di luar rumah sakit. Ketahanan hidup setelah mengalami henti
jantung dengan fibrilasi ventrikel menurun 7- 10% setiap menit jika tanpa tindakan
defibrilasi. Pada 4 menit pertama, cedera organ irreversibel terjadi, dan pada 12 menit
angka survival menurun 2- 5%.10 Oleh karena itu, rumah sakit perlu untuk membuat
program- program untuk mencapai defibrilasi lebih awal (kelas 1).Defibrilator
eksternal otomatis direkomendasikan untuk tempat-tempat publik dengan probabilitas
tinggi terjadinya henti jantung, minimal terjadi satu kasus henti jantung dalam lima
tahun (kelas 2b),2,10 VF/ pulseless VT dapat didefibrilasi dengan kejut monofasik
(200j- 300j- 360j) atau kejut bifasik (150j-150j-150j); upaya terbaru menunjukkan
bahwa penting untuk mengulangi CPR setelah defibrilasi jika defibrilasi menghasilkan
irama tanpa denyut nadi. Terdapat juga konsensus yang berkembang menyatakan
bahwa korban VF yang tidak mendapatkan defibrilasi bahkan 5 menit setelah
kejadian, harus mendapatkan terapi perfusi (CPR) sebelum defibrilasi.
B. ALGORITMA BLS DAN ILS DEWASA
1. Jika tidak berespon
Goyang-goyangkan dan berteriak pada
Cek
korban
kemamamp
uan
Buka jalan napas Head tilt/Chin lift

Cek pernapasan Lihat, dengar, dan rasakan

Berikan bantu napas


jika apneu

Cek tanda- tanda sirkulasi

Tanda- tanda sirkulasi ada, Tanda- tanda sirkulasi tidak ada,


lanjutkan pemberian bantu lakukan kompresi dada
napas setiap 5 menit 100x permenit
Survei ABCD Sekunder
Setelah melaksanakan survei ABCD primer, penolong dapat meneruskan ke
survey ABCD sekunder bagi pasien yang memenuhi syarat. Setiap langkah
memerlukan dua tindakan: penilaian dan pengelolaaan, dan dengan kedua tindakan
tersebut penolong tidak akan pernah kehilangan pengamatannya tentang kebutuhan
akan evaluasi dan perawatan pasien. Jika penilaian memperlihatkan masalah yang
mengancam jiwa, penolong tidak boleh melangkah lebih lanjut sampai masalah
tersebut terselesaikan. Pendekatan ini membantu dalam menangani semua kasus gawat
darurat yang mengancam jiwa. Empat komponen utama survey ABCD sekunder
adalah sebagai berikut:
a. Jalan napas: Penolong haruslah menyediakan jalan napas tahap lanjut; hanya
orang- orang yang melakukan 6-12 kali intubasi setiap tahun yang boleh
melakukan percobaan intubasi. Penolong yang minim pengalaman harus
menggunakan laryngeal mask airway (LMA) atau Esophageal-Tracheal
Combitube.
Intubasi endotrakeal harus diselesaikan dalam 30 detik; jika tidak berhasil,
penolong harus melanjutkan ventilasi bag-mask.
b. Kulasi: Langkah selanjutnya adalah untuk mendapatkan akses intravena,
menentukan irama jantung, dan memberikan obat- obat yang sesuai.
c. Pernapasan: Sekarang ini telah diperintahkan untuk memastikan posisi pipa
yang benar di dalam trakea dengan melakukan auskultasi pada 5 titik dan juga
dengan teknik- teknik sekunder yang mencakup indikator tidal akhir CO2 dan
alat detektor esofagus (kelas 2a). Setelah memastikan posisi pipa benar,
penolong harus memfiksasi pipa dengan menggunakan tali, plester atau gagang
pipa (kelas 2b).
d. Sirkulasi: Langkah selanjutnya adalah untuk mendapatkan akses intravena,
menentukan irama jantung, dan memberikan obat- obat yang sesuai.
e. Diagnosis banding: Penolong harus mencari, menemukan, dan mengobati
penyebab- penyebab yang reversibel.
Setelah sirkulasi berhasil kembali, penting untuk memakai strategi
perlindungan organ tubuh karena semua organ terutama otak dan jantung sensitif
terhadap kehilangan oksigen dan nutrisi yang terjadi selama dan setelah henti
sirkulasi dan yang ditimbulkan oleh cedera reperfusi. Kematian sering terjadi
berkaitan dengan kegagalan jantung dan neurologik dan banyak dari kematian
tersebut terjadi dalam 48 jam pertama setelah resusitasi. Strategi perlindungan
organ vital dapat meningkatkan hasil resusitasi mencakup penggunaan defibrilator
energi rendah, penggunaan vasopresor yang tidak meningkatkan konsumsi oksigen
miokardium, hipotermi, penggunaan ionotropik (Dobutamin), metabolik (glukosa-
insulin-kalium), dan mekanik (pompa balon intra-aorta, bypass jantung- paru, pijat
jantung minimal invasif), bantuan sirkulasi; penggunaan pembuka saluran kalium,
penghambat pertukaran natrium/ hidrogen, penghambat calpain (Cariporide),
antioksidan dan pengaturan ekspresi gen yang juga sedang dievaluasi.
Telah terdapat sedikitnya dua percobaan acak terpublikasi pada manusia
yang telah membandingkan dua kelompok pasien post henti jantung VF yang
berespon terhadap resusitasi dengan kembalinya sirkulasi spontan, kedua kelompok
tersebut diacak untuk mendapatkan keadaan normotermia dan hipotermia ringan
(32- 34oC). Hasilnya ditentukan sesuai dengan pemulihan neurologik yang baik
untuk membolehkan mengeluarkan pasien. Kelompok yang mendapatkan keadaan
hipotermia ringan didapatkan memiliki keluaran yang lebih baik jika dibandingkan
dengan mereka yang mendapatkan keadaan normotermia.
C. TINJAUAN IRAMA JANTUNG PADA ACLS
1. Irama jantung yang mematikan
a) VF/ pulseless VT
b) Asistol
Pulseless electrical activity (PEA)
*Jangan beri kejut listrik pada Asistol
2. Irama jantung yang berpotensi mematikan
a. Takikardi yang tidak stabil
b. Bradikardi yang tidak stabil
Irama jantung yang tidak stabil adalah salah satu yang dapat menyebabkan
bahaya hemodinamik (kegagalan, penurunan derajat kesadaran, nyeri dada
persisten atau VPC’S berkelanjutan pada keadaan kemungkinan hipotensi
infark miokard akut), gagal jantung kongestif.
2. Irama jantung yang tidak mematikan
a. Bradikardi stabil.
b. Fibrilasi/ flutter atrium stabil.
c. Takikardi kompleks sempit stabil.
d. Takikardi kompleks lebar stabil; tipe tidak diketahui.
e. VT stabil.
3. Irama jantung yang mematikan
Irama yang mematikan membutuhkan pengenalan segera dan tindakan yang
sesuai oleh penolong misalnya jika seorang pasien mengalami fibrilasi ventrikel
atau takikardi ventrikel tanpa denyut nadi, defibrilasi segera adalah penanganan
yang tepat sedangkan penanganan serupa berbahaya dan berpotensi mematikan
pada kasus pulseless electrical activity (hadirnya depolarisasi listrik pada keadaan
hilangnya denyut nadi) atau asistol (penyebab yang mendasari harus dikoreksi pada
situasi terakhir).
Sejak tahun 60-an epinefrin telah digunakan sebagai obat pilihan untuk kejut
VF refrakter; epinefrin bekerja sebagai agonis alpa yang menyebabkan
vasokonstriksi sistemik yang mempertahankan vasokonstriksi perifer; yang
mempertahankan tonus pembuluh darah perifer dan mencegah kolaps pembuluh
darah, selain meningkatkan perfusi arteri koroner
Vasopressin, vasokontriktor potensial yang bekerja dengan meningkatkan
siklik adenosin monofosfat (AMP) yang mungkin lebih di atas dari epinefrin untuk
terapi kejut VF refrakter/ pulseless VT; tidak ada bukti yang mendukung
penggunaannya pada PEA atau asistol dimana epinefrin tetap digunakan sebagai
obat pilihan pertama. Dibandingkan dengan epinefrin yang memiliki waktu paruh
3-4 menit, vasopressin memiliki waktu paruh 10- 20 menit dan diberikan dalam
dosis tunggal 40 IU secara intravena.Vasopressin juga dikaitkan dengan efek
sampingnya yang kurang, perbaikan hemodinamik, dan perbaikan survival
dibandingkan dengan epinefrin.
ALGORITMA UNTUK IRAMA JANTUNG YANG MEMATIKAN

Survey ABCD primer

DENYUT NADI TIDAK ADA

Lanjutkan CPR/ nilai irama jantung

Fibrilasi ventrikel/ Takikardi Asistol/ pulseless electrical activity (PEA)

SURVEY ABCD SEKUNDER

Percobaan defibrilasi sampai 3 Epinefrin 1 mg IV, ulangi setiap 3- 5 menit


kali kejut
TIDAK ADA RESPON

Pertimbangkan penggunaan obat-


obat anti-aritmia
Vasopressin 40 IU dosis tunggal

Perhatikan 5H dan 5T
HipovolemiaTablet (overdosis obat)
Pacing darurat segera (2b) HipoksiaTamponade (jantung) H- ion
Henti jantung brady systolic (asidosis)TensionPneumotoraks
Hiper/hipokalemia Trombosis Koroner
HipotermiaTrombosis paru

Atropin 1 mg IV jika PEA lambat, ulangi setiap 3-5


menit, jika perlu (dosis total 0.04 mg/kg)
a. Takikardi
Secara klinis penolong harus mengetahui apakah pasien stabil atau tidak; penting
juga untuk mengelompokkan apakah takikardinya kompleks sempit atau lebar karena
hal tersebut yang menuntun pilihan terapi obat.
Jika pasien tidak stabil, penolong harus menstabilkan denyut jantung sebagai
penyebab dari gejala (hampir selalu denyut jantung lebih dari 150). Langkah
berikutnya adalah untuk mengkardioversi irama tidak stabil tersebut. Defibrilator
modern/ kardioverter dapat menghasilkan kejut yang tidak sinkron maupun kejut yang
sinkron; pada awalnya kejut listrik dapat menurun dimana saja di siklus jantung,
sementara sebagai akhirnya kejut dihasilkan secara sinkron dengan puncak kompleks
QRS. Kejut listrik tersinkronisasi mennghindarkan dihasilkannya kejut sepanjang
repolarisasi jantung, periode yang rentan selama kejutan dapat memicu fibrilasi
ventrikel. Rekomendasi ACLS adalah untuk mensinkronkan pasien dengan takikardi
stabil dan pasien dengan takikardi tidak stabil yang sangat tidak stabil, yang penundaan
sebentar saja dapat mengakibatkan kemunduran klinis yang lebih lanjut. Sebaliknya,
untuk menghindari penundaan yang berbahaya, pasien yang sangat tidak stabil, seperti
mereka yang dalam syok berat atau pulseles VT, harus mendapatkan kejut listrik yang
tidak sinkron. Jika, kejut yang tidak sinkron menimbulkan VF, defibrilasi harus
dilakukan dengan segera.
Untuk kardioversi tersinkronisasi, langkah pertama adalah menyiapkan
peralatan; monitor saturasi oksigen, jalur intravena dan peralatan intubasi harus
tersedia dan jika mungkin pasien harus dipremedikasi dengan midazolam±fentanil di
bawah supervise dari seorang ahli anestesi. Langkah selanjutnya adalah memberikan
kejut DC tersinkronisasi pada VT monomorfik dengan denyut nadi, paroxysmal
supraventricular tachycardia (PSVT), fibrilasi atrium (AF), atrial flutter dengan kejut
monofasik 100-200-300-360J atau setara dengan kejut bifasik 70-120-150-170J. Jika
pasien tidak stabil, penolong harus melanjutkan untuk kardioversi segera. Jika pasien
stabil penolong kemudian mengelompokkan jenis aritmianya dan melanjutkan dengan
algoritma individual.
Takikardi kompleks sempit yang stabil diklasifikasikan lebih lanjut ke dalam
PSVT, takikardi atrium multifocal (MAT) dan takikardi junctional. Membedakannya
penting karena PSVT disebabkan oleh fenomena re-entri ketika yang lain sebagai
tambahan takikardi atrium ektopik biasanya disebabkan oleh fokus otomatis atau fokus
yang mudah terangsang dan tidak berespon dengan kardioversi.
Pada VT, perhatian diberikan pada apakah pasien stabil atau tidak, morfologi
(monomorfik atau polimorfik), fraksi ejeksi dan interval QT. Ketika QT normal, VT
disebabkan karena iskemia atau ketidakseimbangan elektrolit; penolong harus
menangani iskemia, dan melakukan koreksi elektrolit.
Pada korban dengan interval QT yang memanjang (Torsades), penolong harus
mengoreksi elektrolit, coba magnesium, menambah kecepatan pacing, isoprotrenol,
fenitoin atau lidokain.
Fibrilasi atrium/ atrial flutter diterapi dalam tahap biasa yang bergantung pada
beberapa faktor; jika pasien tidak stabil, penolong melakukan satu kali kardioversi, jika
pasien stabil, kontrol denyut jantung menjadi prioritas diikuti dengan konversi irama
jantung jika dianggap perlu dan/atau sesuai.

ALGORITMA UNTUK TAKIKARDI KOMPLEKS LEBAR STABIL, TIDAK


DIKETAHUI

Pertahankan fungsi
EF kurang dari 40%, CHF
jantug

Kardioversi DC Kardioversi DC
Amiodaron

Prokainamid Amiodaron

Penolong harus mencoba 50J untuk PSVT atau atrial flutter pada percobaan
pertama kardioversi
Apakah pasien Tangani dengan lebih mendesak untuk pasien
stabil atau tidak? tidak stabil

Jika ya (EF kurang dari 40% atau CHF). Gunakan


Apakah fungsi
obat- obat seperti digoksin, diltiazem,dan
jantung terganggu?
amiodaron. Hindari penggunaan verapamil,
beta-bloker, prokainamid/flekainamid

Apakah ada Jika ya, hindari penggunaan adenosine, beta-

WPWS? bloker, calcium channel blockers dan digoksin

Jika ya, hindari kardioversi atau obat- obatan


Apakah onset AF
yang mengkardioversi kecuali jika dipandu
kurang dari 48 jam?
oleh TEE atau setelah pemberian
antikoagulan 4 minggu sebelumnya dan 3
minggu setelah kardioversi.
Untuk kardioversi lebih awal, heparin
intravena diberikan setelah TEE, kardioversi
dilakukan dalam 24 jam dan pemberian
antikoagulan dilanjutkan selama 4 minggu

ALGORITMA UNTUK TAKIKARDI KOMPLEKS SEMPIT STABIL (SVT)

Buat diagnosis spesifik Pasang EKG-12 lead dan


penilaian klinis manuver vagal, adenosin
MAT

EF Normal, diprioritaskan NO KARDIOVERSI


PSVT NO Junctional
KARDIOVERSI
Ca2+ Blockers> beta-bloker>
Tachycardia
digoksin> kardioversi DC
EF NORMAL EF NORMAL
2+
Ca Blocker, beta- Adenosine, Beta- bloker,
EF <40%, diprioritaskan No bloker,amiodaron EF Ca2+ Blocker
kardioversi <40%,CHF
Digoksin atau amiodaron atau Amiodaron,diltiazem
diltiazem
EF <40%,CHF
b. Bradikardi
Amiodaron
Pertanyaan klinis utama adalah apakah bradikardi memperburuk keadaan pasien
atau ada hal lain yang menimbulkan bradikardi. Kita seharusnya hanya menangani
bradikardi simptomatik tapi kita harus mengenali bradikardi yang berbahaya dengan
kata lain bradikardi yang tampaknya memburuk bahkan jika pasien asimptomatik.
Jenis bradikardi tersebut meliputi:
a. Blok AV derajat II, Tipe 2
b. Blok jantung derajat III (blok jantung total)

Penting untuk mengenali bradikardi yang dihasilkan oleh infark miokard akut,
khususnya infark inferior atau infark ventrikel kanan; efek parasimpatik menyebabkan
bradikardi tapi hipotensi, jika ada dikaitkan dengan keadaan hipovolemia dan pasien
seperti itu membutuhkan pemberian cairan dengan menggunakan normal saline (250-
500 ml selama 15- 30 menit) dan tindakan ini dapat menyelamatkan jiwa. Atropin
adalah obat pilihan dalam penatalaksanaan awal dari banyak kasus bradikardi; obat ini
bekerja dengan menghalangi fungsi nervus vagus. Akan tetapi area jantung yang tidak
dipersarafi oleh nervus vagus tidak akan berespon terhadap atropin; oleh karena itu
atropin tidak diindikasikan pada blok jantung derajat III atau Mobitz tipe II.
Penggunaannya dapat mempercepat denyut atrial dan menghasilkan peningkatan blok
nodus AV.

ALGORITMA UNTUK BRADIKARDI :


BRADIKARDI, (2) (ABSOLUT/
RELATIF*)

Survei ABCD Primer

Survei ABCD Sekunder

Tanda-tanda serius dan gejala


Bradikardi

Bradikardi berbahaya Urutan Intervensi:


tidak ada Atropin 0.5-1.0 mg/kg (sampai 0.04
Bradikardi berbahaya
ada mg/kg)
Pacing transkutaneus (jika tersedia)
OBSERVASI Dopamin 2-10 μg/kg permenit Epinefrin
2-10 μg/kg permenit Isoprotrenol @ 10
Siap dengan pacing
μg/kg permenit
transkutaneus
Persiapkan untuk
transvenous pacing
ALGORITMA UNTUK NYERI DADA ISKEMIK
PPPenlaian Segera (<10 menit): Tanda vital, saturasi O2, kaji riw. dgn singkat & tepat Cek kelayakan terapi fibrinolitik,
enzim jantung Elektrolit, tes koagulasi, foto polos dada (<30 menit.Penanganan umum 02 4 LPM, Aspirin 160-325 mg peroral
Nilai EKG 12-lead

Elevasi segmen ST/ LBBB onset baru Depresi segmen ST atau T terbalik/ EKG non-diagnostik Angina
angina tidak stabil resiko tinggi intermediate/ resiko rendah
Tidak ada penundaan
reperfusi

Glikoprotein IIb/IIIa
Mulai terapi tambahan****
Penghambat reseptor
Beta-bloker IV, Heparin +
(UHF/LMWH, Nitrogliserin IV YES

ACE-inhibitors setelah 6 jam


Nilai status klinis
atau jika stabil +
Nilai waktu dari onset gejala
< 12 JAM Angina tidak
> 12 JAM
stabil/onset baru |
Pilih strategi reperfusi*** Resiko tinggi didefinisikan Atau YES Troponin
Terapi Fibrinolitik PCI CABG oleh: positif
Gejala yang persisten Iskemia
berulang Fungsi LV menurun
Pilihan terapi fibrinolitik Perubahan gambaran EKG di
Alteplase (FRONT LOADED) seluruh lead RAWAT DI CCU
NO
Riw. AMI<PCI,CABG Lanjutkan terapi tambahan
atau Streptokinase atau APS EKG serial/enzim jantung
sebelumnya
AC atau Reteplase atau Pertimbangkan BUKTI ISKEMIA
pemeriksaan pencitraan
Tenecteplase
(2D Echo/Radionuklear)
Sasaran: door to drug 30

Pilihan Terapi PCI Primer


Operator berpengalaman (>75x/ Lakukan kateterisasi jantung
thn) NO
RS dengan jumlah kasus tinggi (>250/thn) Anatomi sesuaiYES
untuk revaskularisasi NO YES
Cardiac Surgical Black up PCI/ CABG***** KELUAR RS/FOU
Sasaran: door to door dlm 60-120 menit
Keterangan

*Jika pemberian nitrogliserin saja tidak menghilangkan nyeri, Morfin atau petidine
diberikan secara intravena.*Tidak ada kontraindikasi.***Berdasarkan sumber daya
setempat.**** UHF unfractionated heparin, LMWH low molecular weight heparin,
yang terakhir lebih disukai pada kasus depresi segmen ST.***** Percutaneous
Coronary Intervention/Coronary Artery Bypass
Rekomendasi baru untuk sindrom koroner akut31

a. Semua pasien dengan infark miokard membutuhkan aspirin dan beta- bloker jika
tidak ada kontraindikasi.
b. Pemeriksaan EKG 12-lead pre- rumah sakit (kelas 2a) meningkatkan diagnosis
dan mengurangi waktu di rumah sakit untuk penanganan.
c. Penggunaan daftar indikasi dan kontraindikasi pre-rumah sakit, dapat
memperpendek waktu agar digunakan untuk reperfusi.
Infark Miokard Akut dengan Elevasi Segmen ST
a. Terapi fibrinolitik pre- rumah sakit (kelas 2a) bermanfaat untuk pasien- pasien yang
memenuhi syarat ketika transportasi ke rumah sakit memerlukan waktu >60
menit.
b. Pasien- pasien dengan syok kardiogenik atau gagal jantung karena infark miokard
akut perlu untuk dipindahkan ke rumah sakit dimana PCI/CABG tersedia jika,
waktu transpornya 30-45 menit.
c. PCI dapat disamakan dengan terapi fibrinolitik di rumah sakit besar dengan
operator yang berpengalaman.
d. PCI lebih unggul dari terapi fibrinolitik pada pasien usia <75 tahun dengan syok
kardiogenik.
e. Heparin bolus 80 m/kg dan infus 12 m/kg perhari diindikasikan sebagai terapi
tambahan dengan terapi fibrinolitik (misalnya, alteplase) dan untuk semua pasien
yang menjalani PCI.
Infark Miokard Akut dengan Depresi Segmen ST
Obat- obat yang menghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa khususnya yang
durasi kerja pendek seperti Eptifabatide dan Triofiban memperbaiki prognosis pasien
yang beresiko tinggi karena depresi segmen ST, marker positif dan iskemia refrakter;
obat- obatan tersebut juga direkomendasikan untuk pasien yang menjalani PCI.
a. Enoxaparin, heparin dengan berat molekul rendah (LMWH) lebih unggul daripada
unfractionated heparin (UFH) dan mudah untuk diberikan tanpa adanya angina
berulang (rebound angina).
b. Penggunaan terapi dengan tiga anti-trombotik (aspirin dan klopidogrel*,
penghambat GP IIb/IIIa dan UFH/LMWH) merupakan terapi yang paling efektif
untuk IMA dengan depresi segmen ST dan angina tidak stabil.
Farmakologi Resusitasi
a. Amiodaron (kelas 2b) 300 mg IV bolus cepat adalah obat pilihan untuk henti
jantung karena VT/VF yang tetap berlangsung setelah pemberian kejut berkali- kali.
(Lidokain 1.0-1.5 mg/kg kelasnya tidak dapat ditentukan untuk indikasi yang sama).

b. Amiodaron dan Sotalol (kelas 2b) adalah obat yang direkomendasikan untuk terapi
VT monomorfik stabil dan polimorfik.
c. Amiodaron dan prokainamid (kelas 2b) direkomendasikan di depan daripada
adenosine untuk terapi takikardi kompleks lebar stabil.
d. Bretyllium** telah dikeluarkan dari protokol VF/pulseless VT.
* Kira- kira 20% pasien tidak mempan dengan Aspirin
** Persediaan Bretyllium di dunia hampir habis

e. Magnesium sulfat (kelas 2b) 1-2 g IV diberikan pada keadaan torsade de pointes
atau ketika pasien dicurigai iskemia karena hipomagnesemia.
f. Prokainamid (kelas tidak ditentukan) sampai 50 mg/kg diberikan pada korban
VF/VT yang berespon terhadap terapi kejut dengan kembalinya denyut nadi secara
intermitten atau pada korban yang bukan VF/VT tetapi aritmianya berulang.
g. Vasopresin, (dosis tunggal 40 IU IV kelas 2b) mungkin lebih manjur daripada
epinefrin untuk mengembalikan sirkulasi setelah henti jantung pada VF/ pulseless
VT yang resisten pada terapi kejut berulang kali.
h. Epinefrin dosis tinggi 0.1 mg/kg pada dewasa (kelas tidak ditentukan) tampaknya
tidak memperbaiki survival atau keluaran neurologik pada pasien-pasien henti
jantung.
i. Recombinant tissue plasminogen activator (rtpa) memperbaiki keluaran neurologik
saat diberikan pada pasien- pasien stroke yang memenuhi syarat dalam 3 jam setelah
onset (kelas 1).

Sodium Bikarbonat
a. Kelas 1: Pada keadaan hiperkalemia yang telah ada sebelumnya.
b. Kelas 2a: Pada keadaan asidosis yang berespon dengan pemberian bikarbonat.
c. Kelas 2a: Pada overdosis obat antidepresan trisiklik.
d. Kelas 2a: Pada urin yang alkali akibat overdosis aspirin atau obat lainnya.
e. Kelas 2b: Untuk intubasi dan ventilasi pasien- pasien dengan
interval henti jantung yang lama.
f. Kelas 2b: Kembalinya sirkulasi setelah henti jantung yang lama.
g. Kelas 3: Berbahaya pada asidosis hiperkarbik
REFERENSI

Alfred Halstrom et al. CPR by chest compression alone or with mouth to mouth
ventilation. N Engl J Med 2000; 342(21);1546-53
AP Adams et al. Recent Advances in Anaesthesia and Intensive Care 2003; 22: 259-99.
Babbs C F, Ralston et al. Theoretical advantages of abdominal counterpulsation in CPR.
Ann Emerg Med 1984; 22: 499-506.
Chapman PD Et al. Monphasic vs biphasic waveforms for non thoracotomy canine
internal fibrillation. J Am Coll Cardiol 1989; 14; 242-45.
Cogbill PD et al. Rationale for selective thoracotomy in trauma. J Trauma 1983; 23: 453-
60.
Cummins et al. Pre hospital CPR, JAMA 1985; 253: 2408-12.
Cummins R et al. chain of survival concept, AHA. Circulation. 1991; 83(5): 1832-47.
Danne PD et al. Emergency Bay Thoracotomy. J Trauma 1984; 24: 796-802.
Dlaisaine P, Lurie KG et al. comparison of standard CPR with active compression
decompression for out of hospital cardiac arrest. N Engl J Med 1999; 314: 1993-
99.
Eisenberg et al. Cardiac arrest and resuscitation, Ann Emerg Med 1990; 19: 179-86.
Eisenberg MS et al. Cardiac arrest in community JAMA 1979; 241: 1905-07.
Gliner BE et al. Trans thoracic defibrillation of swine with monophasic and biphasic
waveforms. Circulation 1995; 92:1634-43.
Hans Richard et al. Phased chest and abdominal Compression Decompression Vs
Conventional CPR in out of hospital Cardiac arrest. Circulation 2001; 104: 768-7.
Leone et al. Mild hypothermia improves neurological outcomes, during and after arrest in
dogs. J Cereb Flow and Metab 1990; 10: 57-70.
Lombardi et al. Phase Study, JAMA. 1994; 271: 678-83.
M Mark Awar et al. ACLS Geriatrics 2003; 5: 30-34.
Richard L Page et al. Use of AEDS by US Airline. N Engl J Med 2000; 343: 1210-7.
Richard O. Cummins, ACLS text book. Essential of ACLS 1997; 1-71.
Schuder et al. Transthoracic ventricular defibrillation in 100 kg calf with one cycle of
bidirectional rectangular, wave stimuli. Trans Biomed Eng 1983; 30: 415-22.
Sterz et al. Active compression decompression in patients with cardiac arrest. Circulation
1996; 94: 1-9.
Thompson RG et al. Bystander initiated CPR for the management of VF. Ann Intern Med
1979; 90:737-40.
Waalewijm RA et al. Out of hospital cardiac arrests in Amsterdam and surrounding areas.
Resuscitation 1998; 38:157-167.
Wenzel, Inder KH et al. Effects of phased chest and abdominal compression and
decompression CPR on myocardial and cerebral blood flow in pigs. Crit Care
Med 2000; 28: 1107-1112.
TOPIK 3
Basic Life Support and Automated External Defibrilatiom Skills
among Ambulance Personel : a manikin study performed in a rural low-volume
ambulance setting

Anne Moller Nielsen, Dan lou Isbye, Freddy Knudsen Lippert, dan lars Simon R

Jurnal yang berjudul Basic Life Support and Automated External Defibrilatiom
Skills among Ambulance Personel : a manikin study performed in a rural low-
volume ambulance setting adalah sebuah jurnal peneletian yang dilakukan di sebuah
daerah terpencil sebuah pulau Bornholm, Scandinavian, Denmark yang memiliki
populasi 42.000 dengan penderita cardiac arrest hampir 50 kasus dalam setahun.
Penelitian ini di lakukan karena peranan dari pelayanan kedaruratan medis sangat
berperan penting terutama dalam hal pemberian CPR dan defibrilasi khususnya di
daerah pedalaman yang memerlukan waktu transportasi yang lama untuk
mencapai rumah sakit. Oleh karena itu peranan dan keahlian terkait BLS dan
AED dari personil tenaga dalam ambulan sangat penting.
Pada bulan mei 2009 peneliti melakukan observasi dan disampaikan bahwa
tidak ada tenaga medis, perawat atau dokter yang mengawal ambulans di pulau
tersebut, hanya ada tenaga ambulans atau yang di sebut EMS (Emergency
Medical Services) yg berada di dalamnya. Di pulau tersebut terdapat 35 orang
EMS yang telah mendapatkan sertifikat internasional kursus BLS, dimana 22 orng
mendapat pelatihan BLS, AED dan penggunaan ECG, dan 13 orang mendapt
pelatihan BLS dan AED.
Dalam jurnal ini peneliti melakukan penilaian keahlian BLS selama 3 hari
para EMS dengan menggunakan kasus skenario cardiac arrest yang korbannya di
simulasikan oleh manikin dan pada berada dalam setting ambulans. Manikin
yang digunakan dihubungkan dengan komputer yang bisa mendeteksi letak
tangan EMS saat kompresi, kedalaman saat kompresi, jumlah rasio kompresi dan
ventilasi, volume ventilasi, jumlah kompresi tangan, waktu jarak antara kompresi
dan ventilasi atau pada pemberian shock pertama.
Dari hasil tes yang dilakukan peneliti tersebut terdapat 2 orang dari 22 EMS
tidak mengikuti uji tersebut. Dan 13 orang yang lain hanya sebagai asisten. Jadi
ada 20 partisipan yang terlibat. Secara keseluruhan partisipan yang melakukan uji
ini didapatkan hasil bahwa 70 % mendapat nilai maksimal dari 4 item yang
dinilai, item yang dinilai ini menggunakan standar panduan BLS yang di buat
oleh European Resuscitation Council tahun 2005. Empat item tersebut adalah
algoritme dari resusitasi, kompresi, ventilasi dan defibrilasi.
Dari item yang pertama algoritme dari resusitasi 80 % melakukan kompresi :
ventilasi secara benar (30:2), item kedua kompresi didapatkan 45 % EMS
meletakan tangan secara benar, dan 10 orang dari 20 orang melakukan penekanan
kompresi yang terlalu dalam dari standar yang sudah ditetapkan dalam panduan.
Item ketiga ventilasi pada item ini 17 orang EMS melakuakan pemberian ventilasi
yang mengahasilkan tidal volume yang lebih tinggi dari panduan yaitu 746 ml
sedangkan dalam panduan tidal volume maksimalnya adalah 600 ml. dan perlu
ditambahkan bahwa tidal volume yang terlalu tinggi juga bisa mengakibatkan
hiperventilasi yang nantinya dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intra thorak,
menurunkan tekanan perfusi coroner dan harapan hidup. Dan item keempat
defibrilasi hampir semua EMS melakukan defibrilasi dengan tepat.
Kesimpulan dari peneltitian ini didapatkan bahwa 70 % EMS di daerah
pedalaman Bornholm, Scandinavian mendapatkan nilai maksimal dalam keahlian
BLS dan penggunaan AED. Namun para EMS di daerah pedalaman tersebut
masih memerlukan pelatihan secara rutin untuk meningkatkan kualitas pelayanan
terutama tanggap terhadap kasus Cardiac arrest dan pemberian ventilasi dengan
tidal volume yang adekuat.
Menurut pembaca apa yang dilakukan oleh peneliti ini mungkin perlu untuk di
adopsi oleh dinas kesehatan pusat, sehingga dapat secara rutin melakukan uji
keahlian tenaga kesehatan di setiap pusat pemberi pelayanan kesehatan baik di
daerah kota maupun pedalaman dimana dari uji tersebut dinas dapat mengetahui
tingkat kemampuan, kualitas pelayanan dan pengetahuan tenaga medis. dan
selanjutnya dari hasil uji tersebut dapat di gunakan sebagai dasar untuk
menentukan langkah yang perlu untuk diambil terkait peningkatan mutu
pelayanan medis baik yang bersifat kedaruratan maupun tidak.
Dari penilaian pembaca hal ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi di
Indonesia, jika di Negara barat bahkan daerah pedalaman system pelayanan
kedaruratan medis dapat berjalan dengan baik bahkan bisa menunjukkan performa
yang bagus ditunjang dengan dengan fasilitas ambulans yang di lengkapi dengan
tenaga ambulan terlatih dan peralatan yang tersedia. Sedangkan di Indonesia bahkan
di pusat kota saja belum bisa menerapkan system yang semestinya, bagaimana
dengan yang berada jauh dari pusat kesehatan yang memerlukan transportasi yang
lama. Ditambah lagi fasilitas yang dimiliki tidak bisa di gunakan secara
maksimal, tenaga ambulans pun kebanyakan tidak terlatih seperti halnya yang di
miliki oleh EMS yang berada di pedalaman Bornholm. Oleh karena itu mungkin
jurnal ini bisa dijadikan motivasi dan landasan untuk terus memperbaiki dan
meningkatkan kualitas dari pelayanan kedaruratan medis seperti halnya yang
dilakukan di Negara barat. Mungkin juga perlu untuk di adakan pelatihan di daerah
pedalaman bagaimana penangan medis darurat.

DAFTAR PUSTAKA
https://sjtrem.biomedcentral.com/articles/10.1186/1757-7241-20-34#article-info di akses
pada tanggal 27 september 2020 pada pukul 12. 30 Wita
BAB V
KESIMPULAN
Pelayanan gawat darurat merupakan  pelayanan yang dapat memberikan tindakan
yang cepat dan tepat pada seorang atau kelompok orang agar dapat meminimalkan angka
kematian dan dapat mencegah terjadinya kecacatan yang tidak perlu. Perawat gawat
darurat harus mengkaji pasien mereka dengan cepat dan merencanakan intervensi sambil
berkolaborasi dengan dokter gawat darurat. Dan harus mengimplementasi kan rencana
pengobatan, mengevaluasi efektivitas pengobatan, dan merevisi perencanaan dalam
parameter waktu yang sangat sempit. Hal tersebut merupakan tantangan besar bagi
perawat, yang juga harus membuat catatan perawatan yang akurat melalui
pendokumentasian. 
Defibrilasi  adalah suatu tindakan terapi dengan cara memberikan aliran
listrik yang kuat dengan metode asinkron ke jantung pasien melalui elektroda
yang ditempatkan pada permukaan dada pasien. Tujuannya adalah untuk
koordinasi aktivitas listrik jantung dan mekanisme pemompaan, ditunjukkan
dengan membaiknya cardiac output , perfusi jaringan dan oksigenasi.
Shock defibrilasi mengantarkan energi listrik dalam jumlah yang sangat banyak
dan hampir serentak dengan durasi beberapa milidetik yang akan mengalir antara elektrode
positif dan negatif melewati jantung yang mengalami fibrilasi ventrikel atau takikardi
ventrikel tanpa denyut (Cummins, 2003). Aliran arus listrik ini tidak secara langsung
membuat jantung berdenyut normal, tapi mendepolarisasi seluruh miokardium sehingga
kemudian terjadi complete electrical silence atau asystole. Periode electrical silence pasca
pemberian shock yang singkat ini akan memberikan efek repolarisasi spontan pada sel
pacemaker jantung untuk pulih (Cummins, 2003).

Anda mungkin juga menyukai