Anda di halaman 1dari 69

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT II

TRAUMA MUSKULOSKELETAL DAN PEMBIDAIAN

Disusun Oleh :

Deva Sandy Alfarizi 131911002


Nordiana 131911013
Serlye Marensisca 131911020

Dosen Pembimbing:

Linda Widiastuti S.Kep,Ns.M.Kep

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANGTUAH

PRORAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

TANJUNGPINANG

2022

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami mampu menyusun sebuah makalah dengan judul
“Trauma Muskuloskeletal dan Pembidaian”. Makalah ini ditulis untuk memenuhi
tugas yang diberikan dalam mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat II di Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Hang Tuah Tanjung Pinang.
Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan baik pada
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk
itu penulis mengharapkan, saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Tanjungpinang, 27 Oktober 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................ii
Daftar Isi...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................5
A. Latar Belakang.......................................................................................5
B. Rumusan Masalah..................................................................................6
C. Tujuan Penulisan....................................................................................6
D. Manfaat Penulisan..................................................................................7
E. Teknik Penulisan....................................................................................7
BAB II TINJAUAN TEORITIS......................................................................8
A. Konsep Dasar Medik............................................................................8
1. Definisi.......................................................................................8
2. Etiologi.......................................................................................9
3. Klasifikasi...................................................................................10
4. Patofisiologi................................................................................13
5. Pathway......................................................................................15
6. Manifestasi Klinis.......................................................................16
7. Komplikasi..................................................................................16
8. Penatalaksanaan..........................................................................18
9. Proses Penyembuhan Fraktur.....................................................28
10. Pemeriksaan Diagnostik.............................................................29
B. Konsep Dasar Keperawatan................................................................30
1. Pengkajian...................................................................................30
2. Diagnosa Keperawatan...............................................................36
3. Intervensi Keperawatan..............................................................37
4. Implementasi Keperawatan.........................................................42
5. Evaluasi Keperawatan.................................................................42
C. Manajemen Gawat Darurat................................................................42
1. Pengelolaan Klien Fraktur..........................................................42
2. Survei Primer..............................................................................43
3. Penatalaksanaan Kedaruratan.....................................................45

iii
4. Survei Sekunder..........................................................................49
D. Peran dan Fungsi Perawat Gawat Darurat......................................50
1. Peran Perawat............................................................................50
2. Fungsi Perawat..........................................................................51
BAB III TINJAUAN KASUS..........................................................................53
A. Pengkajian.............................................................................................55
B. Klasifikasi Data.....................................................................................56
C. Diagnosa Keperawatan.........................................................................60
D. Perencanaan Keperawatan....................................................................61
E. Implementasi Keperawatan...................................................................64
F. Evaluasi.................................................................................................64
BAB IV PENUTUP..........................................................................................67
A. Kesimpulan...........................................................................................67
B. Saran.....................................................................................................68
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................69

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem muskuloskeletal merupakan sistem yang teridiri dari tulang, otot,


ligamen kartilago, tendon, facia dan brusae serta persendian. Trauma pada
sistem muskuloskeletal ini sering terjadi pasien yang datang ke unit gawat
darurat dengan berbagai keluhan dan merasa sakit, pada pemeriksaan
ditemukan memiliki ketegangan pada tendon atau kesleo (ligamen), fraktur,
dislokasi dan cedera muskulo lainya. Banyak trauma muskuloskeletal ini
diakibatkan oleh aktivitas yang berlebih atau berat yang dilakukan terus
menerus (Alsheihly and Alsheikhly, 2018).
Trauma pada tulang skeletal dapat menyebabkan nyeri, mempengaruhi
aktivitas seseorang untuk beraktivitas sehari-hari, dan pada beberapa kasus
dapat mengancam jiwa atau menyebabkan kecacatan. Tujuan perawatan pada
pasien trauma adalah untuk menyelamatkan kehidupan, mempertahankan
fungsi dan mencegah disability jangka panjang. Semua pasien harus mendapat
pengkajian primer untuk menyingkirkan masalah pada airway, breathing,
circulation dan disability sebelum terfokus pada kondisi cedera specific.
(Lumbantoruan, dkk. 2017)
Peran perawat dalam melakukan tindakan keperawatan pada kasus fraktur
adalah melalui tindakan keperawatan yang telah direncanakan secara cepat
dan tepat mengingat kasus fraktur dapat menjadi berat dan berujung pada
perdarahan apabila tidak segera ditangani. Kolaborasi dengan tenaga
kesehatan lain baik dalam tindakan pemberian obat obatan untuk mengatasi
masalah sekunder yang muncul akibat fraktur, dan juga perencanaan untuk
proses rehabilitasi dapat dilakuakan, agar perawatan yang diberikan dapat
berjalan dengan komprehensif dan maksimal demi kesembuhan klien yang
dirawat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Dasar Medik pada kasus Fraktur ?
2. Bagaimana Konsep Dasar Keperawatan pada kasus Fraktur ?

v
3. Apa saja Manajemen Gawat Darurat pada kasus Fraktur ?
4. Apa saja Peran dan Fungsi Perawat pada kasus Fraktur ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mampu mengetahui dan memahami Konsep Dasar Medik pada kasus
Fraktur.
2. Mampu mengetahui dan memahami Konsep Dasar Keperawatan pada
kasus Fraktur.
3. Mampu mengetahui dan memahami apa saja Manajemen Gawat Darurat
pada kasus Fraktur.
4. Mampu mengetahui dan memahami apa saja Peran dan Fungsi Perawat
pada kasus Fraktur.

D. Manfaat Penulisan
Menambah wawasan para akademisi, khususnya mahasiswa
keperawatan, serta menambah literatur pembelajaran tentang asuhan
Keperawatan Gawat Darurat Trauma Muskuloskeletal dan Pembidaian.
E. Teknik Penulisan
Teknik penulisan makalah ini disusun secara sistematis yang terdiri dari
empat bab, yaitu :

 Bab I : Pendahuluan yang meliputi latar belakang, tujuan penulisan,


manfaat penulisan dan teknik penulisan.
 Bab II : Tinjauan teoritis yang meliputi konsep medis dan kosep dasar
keperawatan.
 Bab III : Analisa Kasus yang berisi tentang analisa tentang kasus Fraktur.
 Bab IV : Penutup yang mencakup kesimpulan dan saran.
 Diakhiri dengan daftar pustaka yang memuat referensi yang dipergunakan
dalam penulisan makalah.

vi
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar Medik


1. Definisi
a. Definisi Fraktur
Menurut Lumbantoruan, dkk (2017), Fraktur atau patah tulang
adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang
umumya disebabkan oleh rudapaksa. Patah tulang atau fraktur
didefinisikan sebagai hilangnya atau adanya gangguan integritas dari
tulang, termasuk cedera pada sumsum tulang, periosteum, dan jaringan
yang ada disekitarnya. Fraktur ekstremitas adalah fraktur yang terjadi pada
tulang yang membentuk lokasi ekstremitas atas (radius, ulna, carpal) dan
ekstremitas bawah (pelvis, femur, tibia, fibula, metatarsal, dan lain-lain).
Fraktur adalah suatu diskontinuitas susunan tulang yang
disebabkan oleh keadaan trauma atau patologis. Fraktur adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang atau rawan yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa. (Vithiya Sagaran, dkk. 2017)
b. Dislokasi
Dislokasi adalah sendi tulang yang keluar dari lokasi yang
seharusnya berada. Dislokasi menimbulkan rasa nyeri yang hebat.
Dislokasi mudah didiagnosa karena perubahan anatominya biasanya jelas.
Dislokasi pada sendi sendi besar, walaupun bukan cedera yang
mengancam jiwa, merupakan gawat darurat karena adanya resiko
kerusakan neurovaskuler yang jika tidak ditangani dengan segera dapat
berakhir dengan amputasi. Sulit untuk mengetahui apakah fraktur disertai
dengan dislokasi atau tidak. Oleh karena itu, sangat penting untuk
mengetahui denyut nadi, gerakan, dan adanya gangguan persarafan distal
dari dislokasi. Tanda dan gejala dari dislokasi adalah asimetris dari sendi,
nyeri, bengkak dan kehilangan fungsi. Terai yang dapat dilakukan
dilapangan adalah memasang bidai dan imobilisasi dengan bantalan lunak

7
sehingga pasien berada dalam posisi yang paling nyaman menurut pasien.
Tidak diperbolehkan untuk melakukan reposisi. Selanjutnya pasien dirujuk
ke RS yang memiliki fasilitas ahli bedah ortopedi. (Lumbantoruan, dkk.
2017)
c. Sprain
Sprain adalah cedera ligamen akibat tarikan dan peregangan
berlebihan. Bagian luar tampak seperti patah tulang. penderita akan merasa
sangat kesakitan. Bagian yang terkena tampak bengkak dan kemungkinan
akan memar sehingga menyebabkan tidak berfungsinya bagian tubuh yang
terkena dan adanya keterbatasan gerak dalam 2-3 jam. Untuk dapat
membedakan fraktur dengan sprain hanya dengan pemeriksaan rontgen.
(Lumbantoruan, dkk. 2017)
d. Strain
Strain adalah peregangan pada otot dan tendon yang berlebihan.
Dapat terjadi pada otot mana saja. Tanda dan gejalanya adalah nyeri yang
sangat berat saat bergerak walaupun sedikit, adanya pembengkakan,
ekimosis sesudah beberapa hari. Perlu dilakukan pemeriksaan rontgen
untuk melihat ada atau tidaknya fraktur. (Lumbantoruan, dkk. 2017)
2. Etiologi Fraktur
Fraktur dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah
cidera, stress, dan melemahnya tulang akibat abnormalitas seperti fraktur
patologis(Apleys & Solomon, 2018).
Menurut Purwanto (2016) Etiologi/ penyebab terjadinya fraktur
adalah :
a. Trauma langsung
Terjadi benturan pada tulang yang menyebabkan fraktur
b. Trauma tidak langsung
Tidak terjadi pada tempat benturan tetapi ditempat lain,oleh karena itu
kekuatan trauma diteruskan oleh sumbu tulang ke tempat lain.
c. Kondisi patologis
Terjadi karena penyakit pada tulang (degeneratif dan kanker tulang).

8
3. Klasifikasi
Menurut Lumbantoruan, dkk (2017), jenis-jenis fraktur terbagi atas:
a. Fraktur Tertutup (Closed fracture), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dan dunia luar. Fraktur tertutup diklasifikasikan
berdasarkan tingkat kerusakan jaringan lunak dan mekanisme cidera
tidak langsung dan cidera langsung antara lain:
1) Derajat 0
Cidera akibat kekuatan yang tidak langsung dengan kerusakan
jaringan lunak yang tidak begitu berarti.
2) Derajat I
Fraktur tertutup yang disebabkan oleh mekanisme energi
rendah sampai sedang dengan abrasi superfisial atau memar
pada jaringan lunak di permukaan situs fraktur.
3) Derajat II
Fraktur tertutup dengan memar yang signifikan pada otot, yang
mungkin dalam, kulit lecet terkontaminasi yang berkaitan
dengan mekanisme energi sedang hingga berat dan cidera
tulang, sangat beresiko terkena sindrom kompartemen.
4) Derajat III
Kerusakan jaringan lunak yang luas atau avulsi subkutan dan
gangguan arteri atau terbentuk sindrom kompartemen(Kenneth
et al., 2015).
b. Fraktur terbuka (open/compound), bila ujung tulang yang patah
menembus keluar dari kulit sehingga berhubungan dengan dunia luar.
Menurut R. Gustillo, fraktur terbuka terbagi atas 3 derajat, yaitu:
1) Derajat I : luka lebih kecil dari 1cm, bersih dan disebabkan
oleh fragmen tulang yang menembus kulit
2) Derajat II : Ukuran luka antara 1-10cm, tidak terkontaminasi
dan tanpa cedera jaringan lunak yang mayor
3) Derajat III : luka lebih besar dari 10cm dengan kerusakan
jaringan lunak yang signifikan. Terjadi kerusakan jaringan

9
lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan neurovascular
serta kontaminasi derajat tinggi.
Fraktur derajat III terbagi atas:
 Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat,
meskipun terdapat laserasi luas/flap/avulsi; atau fraktur
segmental/ sangat kominutif yang disebabkan oleh
trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran
luka.
 Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang
terpapar atau kontaminasi massif.
 Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus
diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.

Gambar : Klasifikasi dari Fraktur Terbuka

Untuk menjelaskan keadaan fraktur, hal-hal yang perlu dideskripsikan


adalah:
a. Komplet / tidak komplet
1) Fraktur komplet, bila garis patah melalui seluruh penampang
tulang atau melalui kedua korteks tulang
2) Fraktur tidak komplet, bila garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang seperti :
a) Hair line frkatur (patah retak rambut)

10
b) Buckle atau torus fraktur, bila terjadi lipatan dari satu
korteks dengan kompresi tulang sponglosa di
bawahnya
c) Green stick fraktur, mengenal satu korteks dengan
angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang
panjang.
b. Bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma
1) Garis patah melintang : trauma angulasi atau langsung.
2) Garis patah obliuk : trauma angulasi juga.
3) Garis patah spiral : trauma rotasi.
4) Fraktur kompresi : trauma aksial fleksi pada tulang spongiosa
5) Fraktur avulsi : trauma tarikan/traksi otot pada insersinya
pada tulang. misalnya fraktur patella
c. Jumlah garis patah
1) Fraktur komunitif : garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan
2) Fraktur segmental : garis patah lebih dari satu tetapi tidak
berhubungan. Bila dua garis patah disebut pula fraktur
bifokal
3) Fraktur multiple : garis patah lebih dari satu tetapi pada
tulang yang berlainan tempatnya, misalnya fraktur femur,
fraktur kruris dan fraktur tulang belakang.
d. Bergeser/tidak bergeser
1) Fraktur undisplaced (tidak bergeser) : garis patah komplit
tetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih
utuh.
2) Fraktur displaced (bergeser) : terjadi pergeseran fragmen
tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas :
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum
(pergeseran searah sumbu dan overlapping)
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk
sudut)

11
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen
saling menjauh)
e. Fraktur
Patahnya tulang yang mengakibatkan gangguan tulang parsial atau
total. Faraktur diklasifikasikan menjadi tertutup dan terbuka.
1) Fraktur tertutup yaitu dimana tulang patah tanpa penetrasi
kulit atau koneksi dengan permukaan luar.
2) Fraktur terbuka yaitu dimana adanya luka pada kulit atau
jaringan ikat diatasnya karena adanya paparan dari patah
tulang
f. Komplikasi-tanpa komplikasi
Komplikasi dapat berupa komplikasi dini atau lambat, local atau
sistemik, oleh trauma atau akibat pengobatan. Dalam rangka
menegakkan diagnosis fraktur harus disebut jenis tulang atau bagian
tulang yang mempunyai nama sendiri, kiri atau kanan, bagian mana
dari tulang (proksimal, tengah atau distal), komplit atau tidak, bentuk
garis patah, bergeser tidak bergeser, terbuka atau tertutup dan
komplikasi bila ada. Sebagai contoh : Fraktur femur proksimal kanan
garis patah oblik, displace, dislokasi ad latus terbuka derajat I,
neurovascular distal baik.
Tipe Fraktur menurut Kristanty, dkk (2016)
Tipe Fraktur Penyebab
Transversal Hantaman langsung tajam
Oblique Kekuatan memutar miring atau diagonal
Spiral Sebuah gaya secara langsung menganai sepanjang sumbu
anggota tubuh atau pada bagian poros, misalnya gaya
memutar dengan kaki tertahan dengan kuat
Comminuted Trauma berat secara langsung dapat menyebabkan lebih dari
dua frgamen tulang
Impacted Trauma berat menyebabkan tulang terdorong menyatu dengan
tulang lainnya
Compressed Kekuatan yang berat pada atas kepala, sacrum, atau tulang
yang mengalami pengapuran (pergerakan axial), menenkan
vertebra secara bersamaan
Greenstick Gaya menekan ; biasanya terjadi pada anak dibawah 10 tahun
Avulsi Massa otot berkontraksi dengan sangat kuat, menyebabkan
fragmen tulang terlepas dari tempat insersi otot, ligamen juga
dapat merobek fragmen tulang

12
Depressed Trauma timbul pada tulang yang datar, biasanya melibatkan
kerusakan jaringan lunak yang luas

Sumber : Buku Asuhan Keperawatan Gawat Darurat tahun 2016

4. Patofisiologi
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan
fraktur. Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka
tulang mungkin hanya retak saja bukan patah. Jika gayanya sangat
ekstrim, seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkeping-
keping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat
terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur
keluar posisi. Kelompok otot dapat meciptakan spasme yang kuat bahkan
mampu menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun bagian
proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya, namun bagian distal
dapat bergeser karena factor penyebab patah maupun spasme pada otot-
otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser kesamping pada suatu sudut
(membentuk sudut), atau menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga
dapat berotasi atau berpindah.
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta
sumsum dari tulang yang patah juga terganggu sehingga dapat
menyebabkan sering terjadi cidera jaringan lunak. Perdarahan terjadi

13
karena cidera jaringan lunak atau cidera pada tulang itu sendiri. Pada
saluran sumsum (medulla), hematoma terjadi diantara fragmen-frangmen
tulang dan dibawah periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur
akan mati dan menciptakan respon peradangan yang hebat sehingga akan
terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan
leukosit. Respon patologis juga merupakan tahap penyembuhan tulang.

14
5. Pathway

Trauma Langsung Trauma Tidak Langsung Kondisi Patologis

FRAKTUR

Diskontinuitas Tulang

Perubahan Jaringan Sekitar Pergeseran Fragmen Tulang

NYERI
Perubahan Fragmen Tulang Hematoma Laserasi Kulit
AKUT

Deformitas Peradangan (Dolor, Kalor, Rubor, Tumor) Rusaknya Pembuluh Darah Port de entry kuman
KERUSAKAN
INTEGRITAS
Gangguan Fungsi Perdarahan RESIKO
KULIT
INFEKSI
Kekurangan Cairan
HAMBATAN
MOBILITAS
RESIKO SYOK
FISIK

15
6. Manifestasi Klinis
Tanda dan gelaja terjadinya fraktur antara lain :
a. Deformitas merupakan perubahan struktur dan bentuk yang
disebabkan oleh ketergantungan fungsional otot pada kestabilan
otot.
b. Nyeri, terjadi karena adanya spasme otot, tekanan dari patahan
tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
c. Pembengkakan atau penumpukan cairan/darah karena kerusakan
pembuluh darah, berasal dari proses vasodilatasi, eksudasi plasma
dan adanya peningkatan leukosit pada jaringan disekitar tulang
d. Spasme otot karena tingkat kecacatan, kekuatan otot yangs sering
disebabkan karena tulang menekan otot.
e. Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena ketidakstabilan
tulang, nyeri atau spasme otot.
f. Pergerakan abnormal
g. Krepitasi, sering terjadi karena pergerakan bagian fraktur sehingga
menyebabkan kerusakan jaringan sekitar.
7. Komplikasi
a. Cedera saraf
Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera
dapat menyebabkan cedera saraf. Perlu diperhatikan terdapat pucat dan
tungkai klien yang sakit teraba dingin, ada perubahan pada
kemampuan klien untuk menggerakkan jari-jari tangan atau tungkai.
parestesia, atau adanya keluhan nyeri yang meningkat. (Black dan
Hawks, 2014)
b. Sindroma kompartemen
Setelah terjadi fraktur terdapat pembengkakan yang hebat disekitar
fraktur yang mengakibatkan penekanan pada saraf dan pembuluh darah
yang berakibat tidak cukup suplai darah ke otot dan jaringan sakitart
fraktur. Bila berlangsung lebih dari enam jam, dapat menimbulkan
kematian pada bagian distel. Tanda dan gejala sindrom kompartemen
adalah gejala awal penyakit dan paresthesia. Nyeri bertambah dan

16
khususnya meningkat dengan gerakan pasif yang meregangkan otot
yang bersangkutan. Parestesia daerah distribusi saraf perifer yang
terkena, menurunnya sensasi atau hilangnya fungsi dari saraf yang
melewati kompartemen tersebut. Gejala 5 P (pain, pallor, pulseless,
paresthesia, paralisis), asimetris pada daerah kompartemen.
Pengelolaan sindroma kompartemen meliputi pembukaan semua
balutan yang menekan, gips, dan bidai. Pasien harus diawasi dan
diperiksa setiap 30-60 menit. Jika tidak terdapat perbaikan, perlu
dilakukan fasciotomi. Sindroma kompartemen dapat terjadi dimana
saja, tetapi paling sering terjadi di tungkai bawah atau lengan.
(Lumbantoruan, dkk. 2017)
c. Kontraktur Volkman
Kontraktur Volkman adalah suatu deformitas tungkai akibat
sindroma kompartemen yang tak tertangani. Oleh karena itu, tekanan
yang terusmenerus menyebabkan iskemia otot kemudian perlahan
diganti oleh jaringan fibrosa yang menjepit tendon dan saraf. Sindroma
kompartemen setelah fraktur tibia dapat menyebabkan kaki nyeri atau
kebas, disfungsional, dan mengalami deformasi. (Black dan Hawks,
2014)
d. Sindroma emboli lemak
Emboli lemak serupa dengan emboli paru yang muncul pada
pasien fraktur. Sindroma emboli lemak terjadi setelah fraktur dari
tulang panjang seperti femur, tibia, tulang rusuk, fibula, dan panggul.
(Black dan Hawks, 2014)
Kompikasi jangka panjang dari fraktur antara lain:
a. Kaku sendi atau artritis
Setelah cedera atau imobilisasi jangka panjang , kekauan sendi
dapat terjadi dan dapat menyebabkan kontraktur sendi, pergerakan
ligamen, atau atrofi otot. Latihan gerak sendi aktif harus dilakukan
semampunya klien. Latihan gerak sendi pasif untuk menurunkan
resiko kekauan sendi. (Black dan Hawks, 2014)
b. Nekrosis avaskular

17
Nekrosis avaskular dari kepala femur terjadi utamaya pada fraktur
di proksimal dari leher femur. Hal ini terjadi karena gangguan sirkulasi
lokal. Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya nekrosis vaskular
dilakukan pembedahan secepatnya untuk perbaikan tulang setelah
terjadinya fraktur. (Black dan Hawks, 2014)
c. Malunion
Malunion terjadi saat fragmen fraktur sembuh dalam kondisi yang
tidak tepat sebagai akibat dari tarikan otot yang tidak seimbang serta
gravitasi. Hal ini dapat terjadi apabila pasien menaruh beban pada
tungkai yang sakit dan menyalahi instruksi dokter atau apabila alat
bantu jalan digunakan sebelum penyembuhan yang baik pada lokasi
fraktur. (Black dan Hawks, 2014)
d. Penyatuan terhambat
Penyatuan menghambat terjadi ketika penyembuhan melambat tapi
tidak benar-benar berhenti, mungkin karena adanya distraksi pada
fragmen fraktur atau adanya penyebab sistemik seperti infeksi. (Black
dan Hawks, 2014)
e. Non-union
Non-union adalah penyembuhan fraktur terjadi 4 hingga 6 bulan
setelah cedera awal dan setelah penyembuhan spontan sepertinya tidak
terjadi. Biasanya diakibatkan oleh suplai darah yang tidak cukup dan
tekanan yang tidak terkontrol pada lokasi fraktur. (Black dan Hawks,
2014).
f. Sindroma nyeri regional kompleks
Sindroma nyeri regional kompleks merupakan suatu sindroma
disfungsi dan penggunaan yang salah yang disertai nyeri dan
pembengkakan tungkai yang sakit. (Black dan Hawks, 2014)

8. Penatalaksanaan
a. Diagnosis dan penilainan fraktur
Anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologi dilakuakan untuk
mengetahui dan menilai keadaan fraktur. Pada awal pengobatan perlu

18
diperhatikan lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan tekhnik yang
sesuai untuk pengobatan (Istianah, 2017)
b. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimum.
1) Reduksi tertutup (Close reduction) adalah tindakan non
bedah atau manipulasi unutk mengembalikan posisi tulang
yang patah, tindakan tetap memerlukan local anastesi
ataupun umum. Ekstremitas dipertahankan dalam posisi
yang diinginkan, sementara gips, bidai, dan alat lain
dipasang oleh dokter. Alat imobilisasi akan menjaga
reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan
tulang. Sinar-X harus dilakukan untuk mengetahui apakah
fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
2) Reduksi terbuka (open reduction) adalah tindakan
pembedahan dengan tujuan perbaikan bentuk tulang. sering
dilakukan dengan internal fiksasi yaitu dengan
menggunakan kawat, screws, pins, plate, intermedulari
rods atau nail digunakan untuk mempertahankan fragmen
tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang
solid terjadi. Alat ini dapat diletakan disisi tulang atau
langsung kerongga sumsum tulang. Alat tersebut menjaga
aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.
(Istianah, 2017)
c. Retensi / Imobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimum. Setelah dilakukan reposisi
secara reduksi atau traksi pada fragmen tulang yang patah, dilakukan
imobilisasi dan hendaknya anggota badan yang mengalami fraktur
tersebut diminimalisir gerakannya untuk mencegah tulang berubah
posisi kembali. (Istianah, 2017)
d. Rehabilitasi

19
1) Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin.
Setelah pembedahan, pasien memerlukan bantuan untuk
melakukan latihan. Menurut Kneale dan Davis (2014), latihan
rehabilitasi dibagi menjadi 3 kategori yaitu: Gerakan pasif
bertujuan untuk membantu pasien mempertahankan rentang
gerak sendi dan mencegah timbulnya pelekatan atau kontraktur
jaringan lunak serta mencegah strain berlebihan pada otot yang
diperbaiki post bedah.
2) Gerakan aktif terbantu dilakukan untuk mempertahankan dan
meningkatkan pergerakan, seringkali dibantu dengan tangan
yang sehat, katrol atau tongkat
3) Latihan penguatan adalah latihan aktif yang bertujuan
memperkuat otot. Latihan biasanya dimulai jika kerusakan
jaringan lunak telah pulih, 4-6 minggu setelah pembedahan
atau dilakukan pada pasien yang mengalami gangguan
ekstremitas atas. (Istianah, 2017)
e. Pembidaian
Menurut Pirton, dkk (2017), Pembidaian adalah memasang alat
untuk mempertahankan kedudukan tulang. indikasi pembidaian adalah
fraktur terbuka dan tertutup. Tujuannya untuk mencegah pergerakan
tulang yang patah, mengurangi nyeri, mencegah cedera lebih lanjut,
mengistirahatkan daerah yang mengalami patah tulang, dan
mengurangi perdarahan.
Jenis dan tekhnik pembidaian:
1) Bidai kaku (Rigid splint)
Bidai ini terbuat dari cardboard, kayu, metal, plastic kaku.
Pada bidai ini harus diberi padding sebelum dipasang agar
terasa nyaman saat dipasang pada korban.

20
2) Bidai lembut/lunak (soft splint)
Bidai jenis ini bagus untuk tungkai dan lengan bawah,
PASG (Pneumatic Anti-Shock Garment) adalah bidai udara
yang baik. Bidai ini memiliki keuntungan karena efek
kompresinya sehingga perdarahan dapat dikurangi. Namun,
kerugiannya tekanan ini dapat meningkat bila temperature
naik atau ditempat ketinggian. Bidai ini jangan dipakai
pada fraktur yang mengalami angulasi karena dapat
mengakibatkan tekanan yang akan meluruskan fraktur
secara otomatis. Kerugian lain pada bidai ini adalah bahwa
denyut nadi pada ekstremitas tidak dapat dimonitor bila
terpasang bidai, juga seringkali bidai melekat pada kulit
dan timbul nyeri bila dilepas. Bantal merupakan bidai yang
baik untuk cedera pada kaki. Bidai dari kain seperti mitella
atau elastic bandage sangat baik untuk cedera pada
klavikula, sendi bahu, lengan atas dan siku dengan
menggunakan dinding dada sebagai penyangga yang kuat
dan membidai lengan pada dinding dada.

3) Bidai tarik (traction splint)

21
Dibuat untuk fraktur ekstremitas inferior. Alat ini
mengimobilisasi fraktur dengan cara menarik ekstremitas
penderita secara terus menerus. Traksi mencegah gerakan
dari ujung tulang yang dapat merusak struktur
neurovaskuler. Traksi dapat dilakukan melalui kulit atau
tulang. Kulit hanya mampu menanggung beban traksi
sekitar 5kg pada orang dewasa. Jika dibutuhkan lebih dari
ini, dilakukan traksi melalui tulang. Traksi tulang sebaiknya
dihindari pada anak-anak karena growth plate dapat dengan
mudah rusak akibat pin tulang. Indikasi traksi kulit
diantaranya untuk anak-anak yang memerlukan reduksi
tertutup, traksi sementara sebelum operasi, traksi yang
memerlukan beban <5kg untuk menjaga reduksi. Traksi
kulit sebaiknya dipilih bahan yang hipoalergenik untuk
pasien yang alergi dengan bahan yang biasa atau pada
orang tua dimana kulitnya telah rapuh. Kontraindikasi
traksi kulit yaitu bila terdapat luka atau kerusakan kulit
serta traksi yang memerlukan beban >5kg. Traksi tulang
dilakukan pada dewasa yang memerlukan beban >5kg,
terdapat kerusakan kulit atau untuk pengguna jangka waktu
lama.
Adapun prinsip – prinsip pembidaian yang perlu
diperhatikan adalah sebagai berikut:
 pastikan ABC aman
 Kontrol perdarahan
 Pasien sadar; menginformasikan adanya nyeri
 Buka daerah yang akan dibidai atau lepaskan
pakaian pasien sehingga bagian ekstremitas yang
menglami cedera tampak seluruhnya.
 Periksa dan catat PMS (pulse, motor, sensasi)
bagian distal dari tempat fraktur sebelum dan
sesudah pemasangan splint/bidai. Bila

22
memungkinkan, periksa gerakan ekstremitas distal
dari fraktur atau amati gerakan pada pasien yang
tidak sadar.
 Ada angulasi yang besar atau jika ekstremitas
tampak sangat membengkok dan pulsasi hilang.
Coba lakukan traksi ringan dan jika ada tahanan,
jangan diteruskan dan pasang bidai pada posisi
tersebut.
 Luka terbuka harus ditutup dulu dengan kasa
steril/alat steril dan perdarahan dikontrol dulu baru
kemudian dipasang bidai.
 Pasang bidai dengan mencakup sendi atas dan
bawah dari tulang yang fraktur
 Pasang padding/bantalan yang lunak secukupnya
terutama pada tulang yang menonjol Pada fraktur
terbuka jangan memasukkan ujung tulang yang
patah ke dalam lagi. Tutup bagain tulang yang
keluar dengan kasa steril baru kemudian dipasang
bidai
 Bila ada cedera lain yang lebih serius dan
mengancam nyawa, bidai dipasang setelah pasien
distebilkan. Bila cederanya ringan tetapi korban
harus dirujuk, sebelum dirujuk bidai dipasang
terlebih dahulu.
 Bila ragu-ragu apakah ada fraktur atau tidak,
sebaiknya laukan bidai untuk pencegahan pada
daerah ekstremitas yang dicurigai ada cedera.

23
f. Tourniquet
Sebagai alternative terakhir untuk mengontrol perdarahan ketika
semua cara gagal karena tourniquet dapat menghentikan seluruh aliran
darah pada anggota gerak. Gunakan tourniquet hanya pada ujung dari
sebuah anggota gerak yang sudah hancur atau sudah teramputasi
(terpotong). Penggunaan tourniquet dapat menyebabkan kerusakan
yang menetap pada saraf, otot dan pembuluh darah serta mungkin
berakibat hilangnya fungsi dari anggota gerak tersebut. Selalu coba
dulu dengan tekanan langsung. (Pirton, dkk. 2017).
g. Pemeriksaan Dislokasi
Dokter akan melakukan pemeriksaan fisik dengan melihat bagian
sendi yang dicurigai mengalami dislokasi, serta memeriksa sirkulasi
darah di bagian tersebut. Untuk memastikan diagnosis, dokter dapat
melakukan beberapa pemeriksaan penunjang, seperti :
 Rontgen, untuk memastikan adanya dislokasi atau kerusakan
lain yang mungkin terjadi pada sendi.
 CT Scan atau MRI, untuk membantu dokter memeriksa
kerusakan pada struktur jaringan lunak di sekitar sendi yang
mengalami dislokasi.
1) Penanganan Dislokasi
Berikut ini adalah metode pengobatan yang dapat dilakukan untuk
mengatasi dislokasi :
 Obat-obatan

24
Dokter dapat meresepkan obat-obatan pereda nyeri dan
peradangan yang timbul akibat dislokasi.
 Tindakan Medis
Perawatan medis yang dapat diberikan untuk mengatasi
dislokasi antara lain :
- Tindakan reduksi, untuk mengembalikan tulang pada
posisi normalnya.
- Imobilisasi, untuk menyangga tulang dan mencegah
bergeraknya sendi yang telah kembali pada posisi
normalnya, sehingga pemulihan dapat lebih cepat.
- Operasi, untuk mengatasi dislokasi yang tidak bisa
diperbaiki dengan tindakan reduksi atau telah
terjadi kerusakan pada pembuluh darah, saraf, atau
ligamen di sekitar sendi.
- Rehabilitasi atau fisioterapi untuk memperkuat sendi
dan melatih pasien agar dapat bergerak seperti sedia
kala.
 Perawatan Mandiri
Setelah dislokasi ditangani dokter, ada beberapa perawatan
mandiri yang bisa dilakukan di rumah untuk mempercepat
proses pemulihan sekaligus meringankan rasa tidak nyaman
yang mungkin timbul. Beberapa perawatan tersebut adalah :
- Mengompres sendi dengan es jika dislokasi masih baru
atau air hangat selama 15-20 menit beberapa kali sehari.
- Mengistirahatkan sendi yang mengalami dislokasi dan
menghindari gerakan yang menimbulkan rasa nyeri.
- Melatih sendi dengan gerakan-gerakan ringan dan
dilakukan secara perlahan.
2) Pencegahan Dislokasi
Ikuti langkah-langkah berikut ini untuk mencegah terjadinya
dislokasi :

25
 Hati-hati dan selalu waspada terhadap kecelakaan atau
terjatuh saat beraktivitas.
 Gunakan perlengkapan pelindung ketika berolahraga.
 Hindari berdiri di atas tempat-tempat yang tidak stabil,
seperti kursi.
 Tutupi lantai rumah dengan karpet yang tidak licin.
 Lakukan olahraga secara rutin untuk meningkatkan
keseimbangan dan kekuatan otot-otot tubuh.
Pada anak-anak, dislokasi dapat dicegah dengan beberapa cara
berikut :
 Pastikan sebisa mungkin tidak ada barang atau area
rumah yang dapat mencelakai anak.
 Perhatikan dan awasi anak ketika bermain.
 Ajari anak mengenai perilaku yang aman ketika
beraktivitas atau bermain.
 Pasang pintu pengaman di tangga agar anak tidak
terjatuh karena bermain-main di tangga.
h. Penanganan Sprain dan Strain
Bahr menyatakan beberapa hal dapat mengatasi strain dan sprain
yaitu :
1) Sprain/strain tingkat satu
Pada keadaan ini, bagian yang mengalami cedera cukup
diistirahatkan untuk memberi kesempatan regenerasi.
2) Sprain/strain tingkat dua
Pada keadaan ini penanganan yang dilakukan adalah
berdasarkan prinsip RICE (Rest, Ice, Compession and
Elevation). Tindakan istirahat yang dilakukan sebaiknya
dalam bentuk fiksasi dan imobilisasi (suatu tindakan yang
diberikan agar bagian yang cedera tidak dapat digerakan)
dengan cara balut tekan, spalk maupun gibs. Tindakan
imobilisasi dilakukan selama 3-6 minggu. Terapi dingin yang
dilakukan dilakukan pada fase awal cedera. Pada fase lanjut

26
terapi dingin digantikan dengan terapi panas. Pada keadaan
subkronis dimana tanda tanda peradangan sudah menurun
dilakukan terapi manual berupa massage. Pada fase akhir
dapat dilakukan terapi latihan untuk memaksimalkan proses
penyembuhan.
3) Sprain/strain tingkat tiga
Pada keadaan ini, penderita diberi pertolongan pertama
dengan metode RICE dan segera diikirim kerumah sakit untuk
dijahit dan menyambung kembali robekan ligamen, otot
maupun tendo.
Cara penanganan awal cedera ankle sprain kepada atlet yang
mengalami cedera. Teknik penanganan cedera yang dilakukan yaitu
menggunakan metode Rest, Ice, Compression, and Elevation (RICE)
dengan tahapan sebagai berikut:
1) Rest atau istirahat. Pada teknik Rest ini, seorang tim kesehatan
membantu atlet yang mengalami cedera untuk segera
melakukan istirahat ketika cedera. Korban cedera ankle sprain
diharuskan untuk beristirahat atau menghentikan aktivitas
yang dilakukan sesaat setelah cedera. Pada teknik ini juga
seorang tim kesehetan membantu mengkendorkan tali sepatu
sekaligus melepaskan sepatu korban. Rest bermanfaat untuk
mengurangi beban dan menghindari pergerakan pergelangan
kaki saat cedera.
2) Ice atau terapi es. Pada teknik Ice ini, seorang tim kesehatan
memberikan kompres es pada pergelangan kaki atlet yang
mengalami cedera. Terapi es dilakukan menggunakan ice pack
selama 20-30 menit pada 24 jam pertama untuk mengurangi
nyeri dan pembengkakan pada pergelangan kaki yang
mengalami cedera. Pemberian terapi es dilakukan pada 10
menit pertama untuk proses terapi dan 10 menit kemudian
untuk periode istirahat agar tidak terjadi kerusakan pada
permukaan kulit.

27
3) Compression atau pembalutan. Pada teknik compression ini,
seorang tim kesehatan melakukan pembalutan pada
pergelangan kaki yang cedera. Proses pembalutan dilakukan
menggunakan perban elastis selama 3-4 jam sebagai upaya
memberikan penekanan pada pegelangan kaki yang
mengalami cedera. Pembalutan yang dilakukan yaitu dengan
membentuk pola “angka 8”. Pembalutan bertujuan untuk
mengurangi pembengkakan yang terjadi pada pergelangan
kaki yang cedera.
4) Elevation. Pada teknik elevation ini, seorang tim kesehatan
mengangkat untuk meninggikan posisi kaki yang mengalami
cedera. Kaki yang mengalami cedera diposisikan lebih tinggi
12 inch atau 30,48 cm dari posisi tubuh sebagai upaya
mengurangi pembengkakan yang terjadi
9. Proses Penyembuhan Fraktur
Menurut Lumbantoruan, dkk (2017), proses penyembuhan fraktur
pada tulang kortikal terdiri atas lima fase :
a. Fase hematoma
Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, pembuluh darah kecil
yang melewati kanalikuli dalam sistem haversian mengalami robekan
dalam daerah fraktur dan akan membentuk hematoma diantara kedua
sisi fraktur. Hematoma yang besar diliputi oleh periosteum. Periosteum
akan terdorong dan mengalami robekan akibat tekanan hematoma yang
terjadi sehingga dapat terjadi ekstravasasi darah ke dalam jaringan
lunak. Osteosit dengan lakunanya yang terletak beberapa millimeter
dari daerah fraktur akan kehilangan darah dan mati, yang akan
menimbulkan suatu daerah cincin avaskular tulang yang mati pada
sisi-sisi fraktur segera setelah trauma. Waktu terjadinya proses ini
dimulai saat fraktur terjadi sampai 2-3 pekan.
b. Fase proliferasi seluler sub periosteal dan endosteal
Pada saat ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai
suatu reaksi penyembuhan. Penyembuhan fraktur karena adanya sel-sel

28
osteogenik yang berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus
eksterna serta pada daerah endosteum memberntuk kalus interna
sebagai aktivitas seluler dalam kanalis medularis. Apabila terjadi
robekan yang hebat pada periosteum, penyembuhan sel berasal dari
diferensiasi sel-sel mesenkimal yang berdiferensiasi ke dalam jaringan
lunak. Pada tahap awal dari penyembuhan fraktur ini terjadi
penambahan jumlah sel-sel osteogenik yang sifatnya lebih cepat dari
tumor ganas. Jaringan seluler tidak terbentuk dari organisasi
pembekuan hematoma suatu daerah fraktur. Setelah beberapa pekan,
kalus dari fraktur akan membentuk suatu massa yang meliputi jaringan
osteogenik. Pada pemeriksaan radiologis kalus belum mengandung
tulang sehingga merupakan suatu daerah radioluscen.
Fase ini dimulai pada pekan ke 2-3 setelah terjadinya fraktur dan
berakhir pada pekan ke 4-8.
c. Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis)
Setelah pembentukan jaringan seluler yang tumbuh dari setiap
fragmen sel dasar yang berasal dari osteoblast dan kemudian pada
kondroblast membentuk tulang rawan. Tempat osteoblast di duduki
oleh matriks interseluler kolagen dan perlekatan polisakarida oleh
garam-garam kalsium pembentuk suatu tulang yang imatur. Bentuk
tulang ini disebut woven bone. Pada pemeriksaan radiologis kalus atau
woven bone sudah terlihat merupakan indikasi radiologis pertama
terjadi penyembuhan fraktur.
d. Fase konsolidasi (fase union secara radiologi)
Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-
lahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas
osteoblast yang menjadi struktur lamellar dan kelebihan kalus akan
diresorpsi secara bertahap.
e. Fase remodeling
Bilamana union telah lengkap, tulang yang baru akan membentuk
bagian yang menyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa
kanalis medularis. Pada fase ini perlahan-lahan terjadi resorpsi secara

29
osteoklastik, tetapi terjadi osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna
secara perlahanlahan menghilang. Kalus intermediet berubah menjadi
tulang yang kompak dan berisi sistem haversian dan kalus bagian
dalam akan mengalami peronggaan untuk membentuk sumsum.
Pada fase terakhir ini dimulai dari pekan ke 8-12 dan berakhir
sampai beberapa tahun dari terjadinya fraktur.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur antara
lain: usia pasien, banyaknya displacement fraktur, jenis fraktur, lokasi
fraktur, pasokan darah pada fraktur, dan kondisi medis yang
menyertainya.
10. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan rontgen
Untuk menentukan lokasi/luasnya trauma dan garis fraktur secara
langsung Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan
selama proses penyembuhan secara periodic
b. Scan Tulang (Fomogram, CT scan, MRI) untuk memperlihatkan
fraktur dan juga dapat digunakan untuk mengidentifikasikan kerusakan
jaringan lunak.
c. Arteriogram dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d. Hitung darah lengkap
HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple), Hb,
leukosit, LED, golongan darah, dll. Peningkatan jumlah SDP adalah
respon stress normal setelah trauma
B. Konsep Dasar Keperawatan
TRIASE
1. Pengkajian
a. Anamnesis
Penting untuk mengetahui bagaimana penderita mengalami
cedera/biomekanik yang menyebabkan penderita mengalami cedera
ekstremitas. Anamnesa dilakukan bila korban dalam keadaan sadar
atau dari pengantar korban. Bila tidak ada riwayat trauma, berarti

30
fraktur patologis. Jika penolong cukup banyak, anamnesa dapat
dilakukan bersamaan dengan survey primer. Jika penolong terbatas
jangan lakuakan anamnesa sebelum memeriksa adanya gangguan pada
A,B, dan C dan mengatasinya. Trauma harus diperinci kapan
terjadinya, dimanana terjadinya, jenisnya, berat ringan trauma, arah
trauma dan posisi pasien atau ekstremitas yang bersangkutan
(mekanisme trauma). Jangan lupa untuk meneliti kembali trauma
ditempat lain secara sistemik dari kepala, muka, leher, dada dan perut.
Anamnesa ini penting dilakukan karena beberapa jenis mekanisme
trauma dapat menyebabkan cedera ekstremitas yang mungkin tampak
tidak jelas pada pemeriksaan awal. Cedera pada kaki akibat jatuh dari
ketinggian sering disertai dengan fraktur lumbal. Setiap cedera pada
lutut penderita yang sedang dalam posisi duduk dapat juga disertai
dengan cedera pada sendi panggul. Sebaliknya, cedera pada panggul
dapat menimbulkan nyeri pada lutut. Setiap cedera di daerah bahu
harus diperiksa dengan cermat karena dapat juga menyebabkan cedera
pada leher atau dada. Pada fraktur pelvis biasanya penderita akan
kehilangan banyak darah. Jika fraktur pelvis dapat didiagnosa, ia harus
dipikirkan kemungkinan terjadinya syok, dan terapi yang sesua harus
diberikan. (Pirton, dkk. 2017)
b. Pemeriksaan Umum
1) Pengkajian Primer (primary survey)
Pada survey primer, perhatian kita harus tertuju apakah ada
fraktur pada tulang pelvis dan tulang besar lainnya karena kita juga
harus mengontrol perdarahan.
Pengkajian cepat untuk mengidentifikasi dengan segera
masalah aktual/potensial dari kondisi life threatning (berdampak
terhadap kemampuan pasien untuk mempertahankan hidup).
Pengkajian tetap berpedoman pada inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi jika hal tersebut memungkinkan. Prioritas penilaian
dilakukan berdasarkan :
A= Airway dengan kontrol servikal

31
Kaji :
 Bersihan jalan nafas
 Adanya/tidaknya sumbatan jalan nafas
 Distress pernafasan
 Tanda-tanda perdarahan dijalan nafas, muntahan, edema
laring
B= Breathing dan ventilasi
Kaji :
 Frekuensi nafas, usaha dan pergerakan dinding dada
 Suara pernafasan melalui hidung atau mulut
 Udara yang dikeluarkan dari jalan nafas
C= Circulation
Kaji :
 Denyut nadi karotis
 Tekanan darah
 Warna kulit, kelembapan kulit
 Tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal
D= Disability
Kaji :
 Tingkat kesadaran
 Gerakan ekstremitas
 GCS atau pada anak tentukan respon A = alert, V = verbal,
P = pain/respon nyeri, U = unresponsive
 Ukuran pupi dan respon pupil terhadap cahaya
E= Eksposure
Kaji :
 Tanda-tanda trauma yang ada
2) Pengkajian Sekunder (secondary survey)
Pengkajian sekunder dilakukan setelah masalah ABC yang
ditemukan pada pengkajian primer diatasi. Pengkajian sekunder
meliputi pengkajian objektif dan subjektif dari riwayat

32
keperawatan (riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
terdahulu, riwayat pengobatan, riwayat keluarga) dan pengkajian
dari kepala sampai kaki.
a) Pengkajian Riwayat Penyakit
Komponen yang perlu dikaji :
 Keluhan utama dan alasan pasien datang ke rumah sakit
 Lamanya waktu kejadian sampai dengan dibawah ke
rumah sakit
 Tipe cedera, posisi saat cedera dan lokasi cedera
 Gambaran mekanisme cedera dan penyakit yang ada
(nyeri)
 Waktu makan terakhir
 Riwayat pengobatan yang dilakukan untuk mengatasi
sakit sekarang
 Imunisasi tetanus yang dilakukan dan riwayat alergi
klien

Metode pengkajian :
S (Signs and symptons) : tanda dan gejala yang diobserasi
dan dirasakan klien
A (Allergis) : alergi yang dipunyai kllien
M (Medications) : tanyakan obat yang telah diminum klien
untuk mengatasi nyeri
P (Pertinent past medical hystori) : riwayat penyakit yang
diderita klien
L (last oral intake solid or liquid) : makan/minum terakhir,
jenis makanan, ada penurunan atau peningkatan kualitas
makan
E (event leading to injury or ilnes) : pencetus/kejadian
penyebab keluhan

Metode yang sering dipakai untuk mengkaji nyeri :

33
P (provoked) : pencetus nyeri, tanyakan hal yang
menimbulkan dan mengurangi nyeri
Q (quality) : kualitas nyeri
R (radian) : arah perjalanan nyeri
S (severity) : skala nyeri (1-10)
T (time) : lamanya nyeri sudah dialami klien
b) Tanda-tanda vital dengan mengukur :
 Tekanan darah
 Irama dan kekuatan nadi
 Irama, kedalaman dan penggunaan otot bantu
pernapasan
 Suhu tubuh
c) Pengkajian Fisik, meliputi :
- Pengkajian kepala, leher dan wajah
 Periksa rambut, kulit kepala dan wajah
Adakah luka, perubahan tulang kepala, wajah dan
jaringan lunak, adakah perdarahan serta benda asing
 Periksa mata, telinga, hidung, mulut dan bibir
Adakah perdarahan, benda asing, kelainan bentuk,
perlukaan atau keluaran lain seperti cairan otak
 Periksa leher
Nyeri tulang servikal dan tulang belakang, trachea
miring atau tidak, distensi vena leher, perdarahan,
edema dan kesulitan menelan.
- Pengkajian dada
Hal-hal yang perlu dikaji dari rongga thoraks :
 Kelainan bentu dada
 Pergerakan dinding dada
 Amati penggunaan otot bantu nafas
 Perhatikan tanda-tanda injuri atau cedera, petekiae,
perdarahan, sianosis, abrasi dan laserasi
- Pengkajian abdomen dan pelvis

34
Hal-hal yang perlu dikaji :
 Struktur tulang dan keadaan dinding abdomen
 Tanda-tanda cedera eksternal, adanya luka tusuk,
alserasi, abrasi, distensi abdomen dan jejas
 Masa : besarnya, lokasi dan mobilitas
 Nadi fermoralis
 Nyeri abdomen, tipe dan lokasi nyeri (gunakan
PQRST)
 Distensi abdomen
- Pengkajian Ekstremitas
Hal-hal yang perlu dikaji :
 Tanda-tanda injuri eksternal
 Nyeri
 Pergerakan
 Sensasi keempat anggota gerak
 Warna kulit
 Denyut nadi perifer
- Pengkajian tulang belakang :
Bila tidak terdapat fraktur, klien dapat dimiringkan untuk
mengkaji :
 Deformitas
 Tanda-tanda jejas perdarahan
 Jejas
 Laserasi
 Luka
- Pengkajian Psikososial
 Kaji reaksi emosional : cemas, kehilangan
 Kaji riwayat serangan panic akibat adanya factor
pencetus seperti sakit tiba-tiba, kecelakaan,
kehilangan anggota tubuh ataupun anggota keluarga

35
 Kaji adanya tanda-tanda gangguan psikosial yang
dimanifestasikan dengan takikardia, tekanan darah
meningkat dan hiperventilasi.
Menurut Pirton, dkk (2017), pada survey sekunder yang
dilakukan adalah:
a) Inspeksi (Look) : raut wajah penderita, cara
berjalan, duduk, tidur, lihat kulit, jaringan lunak,
tulang dan sendi. Mencari deformitas, luka terbuka,
memar, dan pembengkakan.
b) Palpasi (feel) : suhu kulit panas atau dingin,
denyutan arteri teraba atau tidak, adakah spasme
otot. Rasakan area yang cedera untuk memeriksa
adakah deformitas dan nyeri tekan saat disentuh.
c) Kekuatan otot (Power) : Grade 0, 1, 2, 3, 4, 5
(lumpuh s/d normal)
d) Pergerakan (Move) : penilaian dilakukan untuk
mengetahui ROM (range of motion) pergeraknan
sendi,: abduksi, adduksi, fleksi, ekstensi, dan lain-
lain. Jangan lakukan bila jelas ada fraktur sampai
dilakukan fiksasi yang tepat.
Dicari kemungkinan komplikasi umum seperti shock
pada fraktur multiple, fraktur pelvis, fraktur terbuka; tanda-
tanda sepsis pada fraktur terbuka yang mengalami infeksi.
2. Diagnosa Keperawatan (PPNI,2017)
Diagnosa 1: Gangguan Integritas Kulit/Jaringan.
Diagnosa 2: Resiko Infeksi
Diagnosa 3: Nyeri Akut
Diagnosa 4: Gangguan Mobilitas Fisik
Diagnosa 5: Ansietas

36
3. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Keperawatan (SDKI) Tujuan (SLKI) Intervensi (SIKI)


Gangguan Integritas Kulit/Jaringan Setelah dilakukan intervensi Penjahitan Luka (I.14556)
berhubungan dengan Faktor Mekanis keperawatan selama 24 jam Tindakan
(D.0129) diharapkan Integritas Kulit Observasi
Definisi Dan Jaringan Meningkat - Identifikasi riwayat alergi
Kerusakan kulit (dermis dan/atau epidemis) (L.14125) terhadap anastesi
atau jaringan (membran mukosa, kornea, Kriteria Hasil: - Identifikasi adanya riwayat
fasia, otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul - Kerusakan jaringan keloid
sendi dan/atau ligamen) menurun - Identifikasi jenis benang jahit
Penyebab - Kerusakan lapisan yang sesuai
- Perubahan sirkulasi kulit menurun - Identifikasi jenis jarum jahit
- perubahan status nutrisi (kelebihan - Nyeri menurun yang sesuai
atau kekurangan) - Penyatuan kulit - Identifikasi metode jahitan
- kekuranga atau kelebihan volume meningkat yang sesuai berdasarkan jenis
cairan - Penyatuan tepi luka luka
- Penurunan mobilitas menigkat Terapeutik
- Bahan kimia iritatif - Peradangan luka - Cukur rambut yang berada di
- faktor mekanis menurun sekitar luka
- suhu lingkungan yang ekstrim - Bersihkan daerah luka dengan
Gejala dan Tanda Mayor larutan antiseptik
Subjektif - Lakukan teknik steril
- - Berikan anastesi topikal atau
Objektif injeksi di daerah luka
- Kerusakan jaringan dan/atau - Jahit luka dengan
lapisan kulit memasukkan jarum tegak
Gejala dan Tanda Minor lurus terhadap permukaan
Subjektif kulit
- - Tarik jahitan cukup kencang
Objektif sampai kulit tidak tertekuk
- Nyeri - Kunci jahitan dengan simpuk
- Perdarahan - Angkat jahitan, sesuai
- kemerahan indikasi
- hematoma Edukasi
Kondisi Klinis Terkait - Jelaskan tujuan dan prosedur
- Imobilisasi tindakan
- Gagal Jantung kognesif - Jelaskan tanda-tanda infeksi
- Gagal ginjal - Ajarkan cara merawat jahitan
- Diabetes miletus - Informasikan tentang waktu
- Imunodefusuensi pelepasan jahitan
Kolaborasi
- Kolaborasi penjahitan luka
yang dalam, wajah, sendi, atau
luka yang berpotensi infeksi
Resiko Infeksi (D.0142) Setelah dilakukan intervensi Pencegahan Infeksi (I.14539)
Definisi keperawatan selama 24 jam Tindakan
Beresiko mengalami peningkatan terserang diharapkan tingkat infeksi Observasi
organisme patogenik menurun (L.14137) - Monitor tanda dan gejala
infeksi lokal dan sistemik

37
Faktor Risiko Kriteria Hasil: Terapeutik
- Penyakit kronis - Kemerahan - Batasi jumlah pengunjung
- Efek prosedur invasif berkurang - Berikan perawatan kulit pada
- Malnutrisi - Nyeri bekurang area edema
- Peningkatan paparan organisme - Bengkak berkurang - Cuci tangan sebelum dan
patogen lingkungan sesudah kontak dengan pasien
- Ketidakadekuatan pertahanan dan lingkungan pasien
tubuh primer - Pertahankan teknik aseptik
- Ketidakadekuatan pertahanan pada pasien beresiko tinggi
tubuh sekunder Edukasi
Kondisi Klinis Terkait - Jelaskan tanda dan gejala
- AIDS infeksi
- Luka bakar - Ajarkan cara mencuci tangan
- Penyakit paru obstruktif kronis dengan benar
- Diabetes melitus - Ajarkan etika batuk
- Tindakan invasif - Ajarkan cara memeriksa
- Kondisi penggunaan terapi steroid kondisi luka atau luka operasi
- Penyalahgunaan obat - Anjurkan meningkatkan
- Kanker asupan nutrisi
- Gagal ginjal - Anjurkan meningkatkan
- Gangguan fungsi hati asupan cairan
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu
Nyeri akut berhubungan dengan Agen Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nyeri (I.08238):
Pencedera Fisik (D.0077) keperawatan selama 24 jam Tindakan
Definisi diharapkan tingkat nyeri Observasi:
Pengalaman sensorik atau emosional yang menurun (L.08066) - Identifikasi lokasi,
berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual Kriteria Hasil: karakteristik, durasi, frekuensi,
atau fungsional, dengan onset mendadak - Keluhan nyeri kualitas, intensitas nyeri
atau lambat dan berintensitas ringan hingga menurun - Identifikasi skala nyeri
berat yang berlangsung kurang dari 3 - Meringis menurun - Identifikasi respons nyeri non
bulan. - Gelisah menurun verbal
Penyebab - Kesulitan tidur - Identifikasi faktor yang
- Agen pencedera fisiologis menurun memperberat dan
- Agen pencedera kimiawi - Diaforesis menurun memperingan nyeri
- Agen pencedera fisik - Sikap protektif - Identifikasi pengetahuan dan
Gejala dan Tanda Mayor menurun keyakinan tentang nyeri
Subjektif - Identifikasi pengaruh budaya
- Mengeluh nyeri terhadap respon nyeri
Objektif - Identifikasi pengaruh nyeri
- Tampak meringis pada kualitas hidup
- Bersikap protektif - Monitor keberhasilan terapi
- Gelisah komplementer yang sudah
- Frekuensi nadi meningkat diberikan
- Sulit tidur - Monitor efek samping
Gejala dan Tanda Minor penggunaan analgesik
Subjektif Terapeutik
- - Berikan teknik
nonfarmakologi untuk

38
Objektif mengurangi rasa nyeri
- Tekanan darah meningkat - Kontrol lingkungan yang
- Pola napas berubah memperberat rasa nyeri
- Nafsu makan berubah - Fasilitasi istirahat dan tidur
- Proses berpikir terganggu - Pertimbangkan jenis dan
- Menarik diri sumber nyeri dalam pemilihan
- Berfokus pada diri sendiri strategi meredakan nyeri
- Diaforesis Edukasi
Kondisi Klinis Terkait - Jelaskan penyebab, periode,
- Kondisi pembedahan dan pemicu nyeri
- Cedera traumatis - Jelaskan strategi meredakan
- Infeksi nyeri
- Sindrom koroner akut - Anjurkan memonitor nyeri
- Glaukoma secara mandiri
- Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan Setelah dilakukan intervensi Dukungan Mobilisasi (I.05173)
dengan Kerusakan Integritas Struktur keperawatan selama 24 jam Tindakan
Tulang (D.0054) diharapkan mobilitas fisik Observasi
Definisi meningkat (L.05042) - Identifikasi adanya nyeri atau
Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu Kriteria Hasil: keluhan fisik
atau lebih ekstremitas secara mandiri - Pergerakan - Identifikasi toleransi fisik
Penyebab ektremitas melakukan pergerakan
- Kerusakan integritas struktur meningkat - Monitor frekuensi jantung dan
tulang - Kekuatan otot tekanan darah sebelum
- Perubahan metabolisme meningkat memulai mobilisasi
- Ketidak bugaran fisik - Rentang gerak - Monitor kondisi umum selama
- Penurunan kendali otot (ROM) meningkat melakukan mobilisasi
- Penurunan massa otot Terapeutik
- Penurunan kekuatan otot - Fasilitasi aktivitas mobilisasi
- Keterlambatan perkembangan dengan alat bantu
- Kekakuan sendi - Fasilitasi melakukan
- Kontraktur pergerakan, jika perlu
- Malnutrisi - Libatkan keluarga untuk
Gejala dan Tanda Mayor membantu pasien dalam
Subjektif meningkatkan pergerakan
- Mengeluh sulit menggerakkan Edukasi
ekstremitas - Jelaskan tujuan dan prosedur
Objektif mobilisasi
- Kekuatan otot menurun - Anjurkan melakukan
- Rentang gerak (ROM) menurun mobilisasi dini
Gejala dan Tanda Minor - Ajarkan mobilisasi sederhana
Subjektif yang harus dilakukan
- Nyeri saat bergerak

39
- Enggan melakukan gerakan
- Merasa cemas saat bergerak
Objektif
- Sendi kaku
- Gerakan tidak terkoordinasi
- Gerakan terbatas
- Fisik lemah
Kondisi Klinis Terkait
- Stroke
- Cedera medula spinalis
- Trauma
- Fraktur
- Osteoarthritis
- Ostemalasia
- Keganasan
Ansietas berhubungan dengan Setelah dilakukan intervensi Reduksi Ansietas (I.09314)
Kebutuhan Tidak Terpenuhi (D.0080) keperawatan selama 24 jam Tindakan
Definisi diharapkan tingkat ansietas Observasi
Kondisi emosi dan pengalaman subyektif menurun (L.09093) - Identifikasi saat tingkat
individu terhadap objek yang tidak jelas Kriteria Hasil: ansietas berubah
dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang - Verbalisasi - Identifikasi kemampuan
memungkinkan individu melakukan kebingungan mengambil keputusan
tindakan untuk menghadapi ancaman menurun - Monitor tanda-tanda ansietas
Penyebab - Verbalisasi Terapeutik
- Krisis situasional khawatir akibat - Ciptakan suasana terapeutik
- Kebutuhan tidak terpenuhi kondisi yang untuk menumbuhkan
- Krisis maturasional dihadapi menurun kepercayaan
- Ancaman terhadap konsep diri - Perilaku gelisah - Temani pasien untuk
- Ancaman terhadap kematian menurun mengurangi kecemasan, jika
- Kekhawatiran mengalami - Perilaku tegang memungkinkan
kegagalan menurun - Pahami situasi yang membuat
- Disfungsi sistem keluarga - Konsentrasi ansietas
- Hubungan orang tua-anak tidak membaik - Dengarkan dengan penuh
memuaskan perhatian
Gejala dan Tanda Mayor - Tempatkan barang pribadi
Subjektif yang memberikan
- Merasa bingung kenyamanan
- Merasa khawatir dengan akibat - Motivasi dengan
dan kondisi yang dihadapi mengidentifikasi situasi yang
- Sulit berkonsentrasi memicu kecemasan
Objektif - Diskusikan perencanaan
- Tampak gelisah realistis tentang peristiwa yang
- Tampak tegang akan datang
- Sulit tidur Edukasi
Gejala dan Tanda Minor - Jelaskan prosedur, termasuk
Subjektif sensasi yang mungkin dialami
- Mengeluh pusing - Informasikan secara faktual
- Anoreksia mengenal diagnosis,
- Palpitsasi pengobatan, dan prognosis
- Anjurkan keluarga untuk tetap

40
- Merasa tidak berdaya bersama pasien, jika perlu
Objektif - Anjurkan melakukan kegiatan
- Frekuensi napas meningkat yang tidak kompetitif, sesuai
- Frekuensi nadi meningkat kebutuhan
- Tekanan darah meningkat - Anjurkan mengungkapkan
- Diaforesis perasaan dan persepsi
- Tremor - Latih kegiatan pengalihan
Kondisi Klinis Terkait untuk mengurangi ketegangan
- Penyakit kronis progresif - Latih penggunaan mekanisme
- Penyakit akut bertahan diri yang tepat
- Hospitalisasi - Latih teknik relaksasi
- Rencana operasi Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian obat
ansietas, jika perlu

41
4. Implementasi
Tindakan keperawatan (implementasi) adalah diskripsi untuk perilaku
yang diharapkan dari klien atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat
sesuai dengan apa yang direncanakan (Merilynn E. Doenges, 2019). Implementasi
pada klien Cedera Kepala sedang meliputi pencapaian perfusi jaringan serebral
adekuat, status nutrisi adekuat, pencegahan cedera, penigkatan fungsi kognitif,
koping keluarga efektif, peningkatan pengetahuan tentang proses rehabilitasi dan
pencegahan komplikasi (Merilynn E. Doenges, 2019).
5. Evaluasi
Evaluasi adalah hasil yang didapatkan dengan menyebutkan item-item atau
perilaku yang diamati dan dipantau, untuk menentukan pencapaian hasil dalam
jangka waktu yang telah ditentukan (Merilynn E. doenges, 2019). Evaluasi
bertujuan untuk menilai hasil akhir dari seluruh intervensi keperawatan yang telah
dilakukan, dengan cara yang berkesinambungan dengan melibatkan klien dan
tenaga kesehatan lainnya, dituliskan dalam catatan perkembangan.

C. Manajemen Gawat Darurat


1. Pengelolaan Klien Fraktur
Persiapan klien meliputi 2 keadaan berbeda; yang pertama tahap pra RS
(Pra hospital), dimana seluruh kejadian idealnya berlangsung dalam koordinasi
dengan dokter di RS. Fase kedua adalah fase RS (In hospital), dimana dilakukan
persiapan untuk menerima klien sehingga dapat dilakukan resusitasi dalam waktu
cepat.
a. Tahap Pra-RS
Koordinasi yang baik antara dokter di RS dengan petugas lapangan
akan menguntungkan klien. Sebaiknya RS adah diberitahukan sebelum
klien diangkat dari tempat kejadian. Yang harus diperhatikan adalah
menjaga airway, breating, kontrol perdarahan dan syok, imobilisasi klien
dan pengiriman ke RS terdekat yang cocok, sebaiknya ke pusat trauma.
Harus diusahakan untuk mengurangi waktu tanggap (respons time).
Jangan sampai terjadi bahwa semakin tinggi tingkatan paramedik semakin
lama klien berada di TKP. Saat klien dibawa ke RS harus ada data tentang

42
waktu kejadian, sebab kejadian, riwayat klien dari mekanisme kejadian
dapat menerang- kan jenis perlukaan dan beratnya perlukaan.
b. Fase RS
Saat klien berada di RS segera dilakukan survai primer dan
selanjutnya lakukan resusitasi dengan cepat dan tepat..
2. Primary Survey (Survey Primer)
a. Airway (A)
Penilai kelancaran airway pada klien yang mengalami fraktur,
meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan
benda asing, fraktur wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring
atau trachea. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi
vertebra servikal karena kemungkinan patahnya tulang servikal harus
selalu diperhitungkan. Dalam hal ini dapat dilakukan chin lift, tetapi tidak
boleh mengakibatkan hiperektensi leher. Cara melakukan chin lift dengan
menggunakan jari-jari satu tangan yang diletakkan dibawah mandibula,
kemudian mendorong dagu ke anterior. Ibu jari tangan yang sama sedikit
menekan bibir bawah untuk membuka mulut dan jika diperlukan ibu jari
dapat diletakkan didalam mulut dibelakang gigi seri untuk mengangkat
daga. Jaw thrust juga merupakan tehnik untuk membebaskan jalan nafas
Tindakan ini dilakukan menggunakan dua tangan masing-masing satu
tangan dibelakang angulus mandibula dan menarik rahang ke depan. Bila
tindakan ini dilakukan memakai face-mitsk akan dicapai penutupan
sempurna dari mulut sehingga dapat dilakukan ventilasi yang bila
kesadaran klien menurun pembebasan jalan nafas dapat dipasang guedel
(oro-pharyngeal airway) dimasukkan kedalam mulut dan diletakkan
dibelakang lidah. Cara terbaik adalah dengan menekan lidah memakai
tong spat dan memasukkan alat ke arah posterior. Alat ini tidak bolt
mendorong lidah ke belakang, karena dapat menyumbu fariks. Pada klien
sadar tidak boleh dipakai alat ini, karena dapat menyebabkan muntah dan
terjadi aspirasi. Cara lain dapat dilakukan dengan memasukkan guedel
secara terbalik sampai menyentuh palatum molle, lalu alat diputar 180 dan
letakkan dibelakang lidah. Naso-plaryngeal airway juga merupakan salah

43
satu alat untuk membebaskan jalan nafas. Alat ini dimasukkan pada salah
satu lubang hidung yang tidak tersumbat secara perlahan dimasukkan
sehingga ujungnya terletak di farinks. Jika pada saat pemasangan
mengalami hambatan berhenti dan pindah ke lubang hidung yang satunya.
Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan
bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi leher.
b. Breathing (B)
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik
Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untukpertukaran
oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik
meliputi fungsi yang baik dan paru, dinding dada dan diafragma. Dada
klien harus dibuka untuk melihat pernafasan yang baik. Auskultasi
dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalem paru perkusi
dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura.
Inspeksi dan palpasi dapat mengetahui kelainan dinding dada yang,
mungkin mengganggu ventilasi. Evaluasi kesulitan pernafasan karena
edema pada kien cedera wajah dan leher. Perlukaan yang mengakibatkan
gangguan ventilasi yang berat adalah tension pneumothorax, flail chest
dengan kontusio paru, open pneumothorAx dan hematothorax masif. Jika
terjadi hal yang demikian siapkan klien untuk intubasi trakea atau
trakeostomi sesuai indikasi.
c. Circulation (C)
Kontrol perdarahan vena dengan menekan langsung sisi area
perdarahan bersamaan dengAn tekanan jari pada arteri paling dekat
dengan area perdarahan. Curigai hemoragi internal (pleural, pericardial,
atau nhdomen) paida kejadian syok lanjut dan adanya cedera pada dada
dan abdomen. Atasi syok, dimana klien dengan fraktur biasanya
mengalami kehilangan darah. Kaji tanda-tanda syok yaitu penurunan
tekanan darah, kulit dingin, lembab dan nadi halus. Harus tetap diingat
bahwa banyaknya darah yang hilang berkaitan dengan fraktur fémur dan
pelvis. Pertahankan tekanan darah dengan infus IV, plasma atau plasma
ekspander sesuai indikasi. Berikan tranfusi darah untuk terapi komponen

44
darah sesuai ketentuan setelah tersedia darah. Berikan oksigen karena
obstruksi jantung paru menyebabkan penurunan suplai oksigen pada
jaringan dan menyebabkan kolaps sirkulasi. Berikan analgesik sesuai
ketentuan untuk mengontrol nyeri. Pembebatan ekstremitas dan
pengendalian nyeri penting dalam mengatasi syok yang menyertai fraktur.
d. Disability (D)
Menjelang akhir survai primer dievaluasi keadaan helogis secara
cepat yang dinilai adalah tingkat kesadaran akuran dan reaksi pupil. GCS
(Glangone Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana dan dapat
meramal tingkat kesadaran klien penurunan kesadaran dapat disebabkan
penurunan oksigen atau dan penururan perfusi ke otak , atau disebabkan
perlukaan pada otak. Perubahan keadaan menuntut dilakukannya
pemeriksaan terhadap keadaan ventilasi Perfusi dan oksigenasi. Alkohol
dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran klien, jika hal sebut
dapat disingkirkan kemungkinan hipoksia atau hivolemia sebagai sebab
penurunan kesadaran, maka trrauma dianggap sebagai penyebabnya,
sampai terbuig sebaliknya
e. Exposur (E)
Expoe dilakukan di RS, tetapi jika perlu dapat membuka pakaian,
misalnya membuka baju untuk melakukan pemerikasan fisik toraks. Di RS
klien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, untuk evaluasi klien. Setelah
pakaian dibuka penting agar klien tidak kedinginan. Harus diberikan
selumut hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan intravena yang
sudah dihangatkan.
3. Penatalaksanaan Kedaruratan
a. Inspeksi bagian tubuh yang fraktur
1) Inspeksi adanya laserasi, bengkak dan deformitas
2) Observasi angulast, pemendekan dan rotasi.
3) Palpasi nadi distal untuk frakture dan pulsasi semua perifer
4) Kaji suhu dingin, pemucatan, penurunan sensasi atau tidak
adanya pulsasi, hal tersebut menandakan cidera pada saraf atau
suplai darah terganggu

45
5) Tangani bagian tubuh dengan lembut dan sesedit mungkin
gerakan yang kemungkinan dapat menyebabkan gerakan pada
tulang yang fraktur
b. Berikan bebat sebelum klien dipindahkan, bebat dapat mengurangi nyeri,
memperbaiki sirkulasi, mencegah cidera lebih lanjut, dan mencegah
fraktur tertutup menjadi fraktur terbuka.
1) Imobilisasi sendi diatas dan dibawah daerah fraktur. Tempatkan
satu tangan distal terhadap fraktur dan berikan status penarikan
ketika menenpatkan tangan lain diatas fraktur untuk menyokong
2) Pembebatan diberikan meluas sampai sendi dekat fraktur
3) Periksa status vaskuler ekstremitas setelah pembebatan periksa
warna, suhu, nadi dan pemucatan kuku
4) Kaji untuk adanya deficit neurologi yang disebabkan oleh fraktur
5) Berikan balutan steril pada fraktur terbuka
c. Kaji adanya keluhan nyeri atau tekanan pada area yang mengalami cidera
d. Pindahkan klies secara hati-hati dan lebut, untuk meminilisasi gerakan
yang dapat menyebabkan gerakan pada patahan tulang.
e. Lakukan penanganan pada trauma yang spesifik
1) Trauma tulang belakang
Jika terjadi trauma pada tulang belakang, imobilisasi haru
selalu dilakukan untuk mencegah peralisis seumur hidup bahkan
kematian. Mempersiapkan klien dalam papan spinal harus
adekuat, harus diingat beberapa mekanisme dari luka seperti :
jatuh dari ketinggian dan mendarat dengan kedua kaki dapat
menyebabkan fraktur lumbal karena semua beban terlokalisir
didaerah tulang belakang
2) Trauma pelvis
Trauma pelvis dimasukkan dalam trauma ekstremitas
karena keduanya sangat berhubungan. Trauma pelvis biasanya
terjadi karena kecelakaan lalu lintas atau trauma seperti jatuh dari
ketinggian. Pada pemeriksaan klie didapatkan tekanan keras pada
tulang iliaka, tulang panggul dan pubis.selalu ada petensi

46
perdarahan serius pada fraktur pelvis, maka syok harus selalu
difikirkan dan pasien harus segera dikirim dengan papan spinal.
3) Trauma femur
Femur biasnya patah sepertiga tengah walaupun pada orang
tua selalu dipikirkan patah pangkal tulang paha (collum femoris).
Fraktur ini dapat menjadi fraktur terbuka dan kalau hal ini terjadi
harus ditangani sebagai fraktur terbuka. Banyak obat disekeliling
femur dan perdarahan masih dapat terjadi pada paha. Fraktur
femur bilateral dapat menyebabkan kehilangan sampai dari 50%
volume sirkulasi darah.
4) Trauma pangkal paha dan sendi panggul ‘
Harus dipertimbangkan fraktur pangkal paha pada orang
tua yang telah jatuh dan sakit pada lutut, panggul atau daerah
pelvis. Bila ada nyeri harus dianggap sebagai fraktur sampai hasil
rontgen membuktikan sebaliknya. Pada fraktur jenis ini, rasa
sakit dapat ditolelir dan kadang-kadang diabaikan/disangkal.
Secara umum jaringan pada klien yang lebih tua lebih rentan dan
kurang tenaga. Selalu diingat bahwa rasa nyeri pada lutut dapat
timbul dari rusaknya panggu pada masa kanak-kanak dan pada
usia tua.
5) Dislokasi panggul
Dislokasi panggul adalah hal yang berbeda, banyak
dislokasi panggul sebagai akibat berbentuknya batuk pada
dashboard, desakan kuat pada lutut dan dislokasi pada kaput di
pelvis. Dislokasi panggul adalah kasus emergency ortopedi dan
harus dilakukan reproduksi secepatnya untuk mencegah trauma
nervus inchiadikus atau nekrosisi pada kaput femur akibat
terganggunya peredarah darah. Dislokasi ini memerlukan
reposisi yang kadang-kadang sulit. Dilakukan karena
membutuhkan kekuatan yang cukup besar dan teknik tepat
6) Trauma lutut

47
Fraktur dan dislokasi didaerah ini sangat serius karena
arteri berada dibawah dan diatas dari persendian lutut dan bisa
terjadi laserasi apabila persendian tersebut tidak dalam keadaan
normal. Tidak ada cara untuk mengetahui apakah ada fraktur atau
tidak dalam keadaan posisi yang abnormal tersebut pada keadaan
ini diagnostic harus berdasarkan pemeriksaan NVD (neuro
vaskuler distal)
7) Trauma tibia dan fibula
Fraktur tungkai bawah sering membuat luka dan sering
mengakibatkan perdarahan baik eksternal dan internal
perdarahan internal daerah ini akan dapat menyebabkan
terjadinya compartement syndrome fraktur tibia dan fibula
bagian bawah dapat dilakukan fiksasi dengan mempergunakan :
rigid splint, air splint atau bantal
8) Trauma klavikula
Trauma klavikula sering terjadi fraktur tulang tetapi tidak
banyak memyebabkan problem imobilisasi terbaik dapat
dilakukan dengan mempergunakan sling juga jarang terjadi
kerusakan pada vena subklavia atau arteri dan saraf dari tangan.
9) Trauma bahu
Trauma bahu kebanyakan dari kerusakan bahu tidak
mengancam jiwa tetapi dapat disertai kerusakan yang parah dari
dada dan leher. Juga dapat disertai dengan dislokasi dari
persendian bahu. Dislokasi bahu menyebabkan rasa yang sangat
nyeri karena itu sering digunakan bantal antara lengan dan badan
untuk mempertahankan tangan atas dalam posisi yang
menyenangkan klien. Selain itu dapat juga terjadi patah tulang
humerus. Bagian atas yang dapat menyebabkan kerusakan
radialis, gejala yang timbul yaitu ketidakmampuan klien untuk
mengangkat tangan.
10) Trauma siku

48
Kadang-kadang sulit mengenal adanya fraktur atau
dislokasi pada siku padahal kedaunya sangat berbahaya karena
dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan saraf (yang
berjalan sepanjang permukaan fleksor dari siku).kerusakan pada
siku harus difiksasi dalam posisi yang menyenangkan bagi klien
dan bagian distal harus dievaluasi secara benar jangan mencoba
untuk meluruskan atau melakukan traksi pada kerusakan siku.
11) Trauma tangan dan pergelangan tangan
Fraktur yang terjadi biasanya akibat jatuh/penarikan yang
terlalu kuat. Biasanya untuk imobilisasi dilakukan dengan
memeprgunakan rigid splint/spint udara
12) Trauma kaki dan tangan
Kecelakaan kerja dapat mengakibatkan fraktur multiple
yang terbuka dan avulse trauma ini sering tampak berat tapi
jarang mengakibatkan perdarahan yang mengancam jiwa. Untuk
memeprtahankan kaki dan tangan dalam posisi normal sering
digunakan bantal. Metode alternative untuk membalut tangan.
4. Secondary Survey (Survei Sekunder)
a. Kaji riwayat trauma
Sangat penting untuk mengetahui riwayat trauma, karena penampilan luka
terkadang tidak sesuai dengan parahnya cidera, jika ada saksi seseorang dapat
menceritakan kejadiannya sementara petugas melakukan penelitian seluruh
badan klien. Pada klien yang gelisah usahakan mendapatkan data riwayat
trauma, karena riwayat trauma ini menjadi sangat penting pada trauma
ekstremitas, pada beberapa mekanisme yang menyebabkan penting pada
trauma ekstremitas tidak terlihat pada pemeriksaan awal.
b. Kaji seluruh tubuh dengan pemeriksaan fisik dari kepala sampai kaki secara
sistematis, inspeksi adanya laserasi, bengkak dan deformitas
c. Kaji kemungkinan adanya fraktur multiple:
- Trauma pada tungkai akibat jatuh dari ketinggian,sering disertai dengan
trauma pada lumbal

49
- Trauma pada lutut saat pasien jatuh dengan posisi duduk dapat disertai
dengan trauma panggul.
- Trauma pada lengan sering menyebabkan trauma pada siku, sehingga
lengan dan siku harus dievaluasi bersamaan.
- Trauma pada lutut dak proksimal fibula sering menyebabkan trauma pada
tungkai bawah, maka lutut dan tungkai bawah harus dilakukakn evaluasi
bersamaan.
- Trauma apapun yang mengenai bahu harus diperhatikan secara seksama
karena dapat melibatkan leher, dada atau bahu.
d. Kaji adanya nyeri pada area fraktur dan dislokasi
e. Kaji adanya krepitasi pada area fraktur
f. Kaji adanya perdarahan dan syok terutama pada fraktur femur dan pelvis
g. Kaji adanya sindrom kompartemen, fraktur terbuka atau tertutup, atau
kompresi, dapat menyebabkan perdarahan atau hematoma pada daerah yang
tertutup sehingga menyebabkan penekanan pada syaraf, pembuluh darah dan
kegagalan sirkulasi. Gelaja yang dapat dilihat: nyeri, edema, denyut nadi
hilang, perestesi, dan kelumpuhan.
h. Kaji tanda-tanda vital secara kontinu

D. Manajemen Gawat Darurat


1. Peran dan Fungsi Perawat
Menurut Konsorsium Ilmu Kesehatan tahun 1989, peran perawat terdiri dari:
a. Sebagai pemeberi asuhan keperawatan
Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan
kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan
keperawatan. Pemberian asuhan keperawatan ini dilakukan dari yang
sederhana sampai dengan kompleks
b. Sebagai Advokat klien
Peran ini dilakuakan perawat dalam membantu klien dan keluarga
dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan
khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan.
Perawat juga berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien
meliputi:

50
- Hak atas pelayanan sebaik-baiknya
- Hak atas informasi tentang penyakitnya
- Hak atas privacy
- Hak untuk menentukan nasibnya sendiri
- Hak menerima ganti rugi akibat kelalaian
c. Sebagai Edukator
Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan
tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang
diberikan sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan
pendidikan kesehatan.
d. Sebagai Koordinator
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta
mengorganisasi pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan
kebutuhan klien
e. Sebagai Kolaborator
Peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan
yang terdiri dari dokter, fisioterapi, ahli gizi dan lain-lain dengan
berupayah mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan
f. Sebagai Konsultan
Perawat berperan sebagai tempat konsulatasi dengan mengadakan
perencanaan, kerjasama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai
dengan metode pemberian pelayanan keperawatan
g. Sebagai Pembaharu
Perawat megadakan perencanaan, kerjasama, perubahan yang
sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan
keperawatan.
2. Fungsi Perawat
a. Fungsi Independen
Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, dimana
perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan
keputusan sendiri dalam melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhan
dasar manusia.

51
b. Fungsi Dependen
Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas pesan
atau instruksi dari perawat lain sebagai tindakan pelimpahan tugas yang
diberikan. Biasanya dilakukan oleh perawat spesialis kepada perawat umum,
atau dari perawat primer ke perawat pelaksana
c. Fungsi Interdependen
Merupakan fungsi yang dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat
saling ketergantungan diantara tim satu dengan tim lainnya. Fungsi ini dapat
terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerjasama tim dalam
pemberian pelayanan. Keadaan ini tidak dapat diatasai dengan tim perawatan
saja melainkan juga dari dokter ataupun spesialis lainnya.

52
BAB III

TINJAUAN KASUS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PANAKKUKANG


Jl. Adyaksa No. 5 Telp. (0411) 444133-449574-5058660 Fax. (0411) 4662561-430614
Makassar 90231
e-mail: stikes pnk@yahoo.com. Website:http:/stikespanakkukang.ac.id.
FORMAT IGD

Ruangan : IGD Bedah Tgl: 19/12/2021 Jam :


No. Rekam Medik :
Nama : An. I
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir/Umur : 6/07/2005 ( 16 Tahun)
Alamat :
Rujukan : □Ya □ Tidak ☑Datang sendiri □ Diantar dari, □ RS……...
□ Puskesmas Minasaupa □ Dr…. □ Lainnya……
Diagnosa Medis : Trauma wajah
Nama keluarga yang bisa dihubungi : TN. B No. HP/Tlp :
Alamat :
Transportasi waktu datang : □ Ambulans RSWS □ Ambulans lain ☑ Kendaraan
Lainnya : Kendaraan pribadi (motor)
Alasan masuk : Pasien masuk IGD dengan riwayat kecelakaan bermotor dengan keluhan nyeri di
bagian paha sebelah kiri dan pipi sebelah kanan dengan skala nyeri 8 GCS 15
nampak luka robek dibagian paha sebelah kiri, perdarahan aktif 250 CC.

PRIMARY SURVEY TRAUMA SCORE


A. Airway A. Frekuensi Pernafasan
1. Pengkajian jalan napas ☑ 10 – 25 4
 ☑Bebas □ Tersumbat □ 25 – 35 3
 Trachea di tengah : □ Ya □ Tidak □ > 35 2
 Resusitasi : Pemberian bronkodilator □ < 10 1
 Re-evaluasi : Tidak ada tindakan yang dilakukan □ 0 0
2. Masalah Keperawatan :
3. Evaluasi :-
B. Breathing B. Usaha bernafas
1. Fungsi pernapasan ☑ Normal 1
 Dada simetris : ☑ Ya □ Tidak □ Dangkal 0
 Sesak nafas : ☑ Ya □ Tidak
 Respirasi : 26 x / mnt
 Krepitasi : □ Ya ☑Tidak
 Suara nafas :
- Kanan : □ Ada □ Jelas □ Menurun

53
□ Ronchi □ Wheezing ☑ Tidak Ada
- Kiri : □ Ada □ Jelas □ Menurun
□ Ronchi □ Wheezing ☑Tidak Ada
 Saturasi O2 : 98 %
Pada : Suhu ruangan Nasal canule ; -
NRB Lainnya ………
 Assesment : Pasien mengatakan nyeri
 Resusitasi :-
 Re-evaluasi :-
2. Masalah Keperawatan : -
3. Intervensi/implementasi : -
C. Circulation C. Tekanan darah
1. Keadaan sirkulasi ☑ > 89 mmHg 4
 Tensi : 120/80 mmHg □ 70 – 89 mmHg 3
 Nadi : 94 x / mnt □ 50 – 69 mmHg 2
□ Kuat □ Lemah □ 1 – 49 mmHg 1
□ Regular ☑ Irregular □ 0 0
 Suhu Axilla : 36.5 C
o
Suhu Rectal : - oC
 Temperatur Kulit : □ Hangat □ Panas ☑Dingin
 Jumlah perdarahan : ±250 cc
 Gambaran Kulit : □ Normal □ Kering □ Lembah/basah
 Assesment :-
 Resusitasi :-
 Re-evaluasi :-
2. Masalah Keperawatan : -
3. Intervensi/Implementasi :
4. Tanda-tanda vital :
5. Evaluasi :-
D. Disability D. Pengisian kapiler
1. Penilaian Fungsi Neurologis ☑ < 2 dtk 2
 Alert : □ > 2 dtk 1
 Verbal response : Pasien masih berespon ketika ditanya □ Tidak ada 0
 Pain response : Pasien masih berespon terhadap nyeri
 Unresponsive :-
2. Masalah Keperawatan : -
3. Intervensi Keperawatan : -
4. Evaluasi :-
E. Exposure E. Glasgow Coma Score (GCS)
1. Penilaian Hipothermia/Hiperthermia ☑ 14 – 15 5
Hipothermia :- □ 11 – 13 4
Hiperthermia :- □ 8 – 10 3
2. Masalah Keperawatan : Nyeri akut berhubungan dengan agen □ 5–7 2
pecederah fisik □ 3–4 1
3. Intervensi / Implementasi :- □ 0–2 0
4. Evaluasi :- TOTAL TRAUMA SCORE
( 4 + 1 + 4 + 2 + 5) = 16

54
PENILAIAN NYERI :
Nyeri : □ Tidak ☑ Ya, lokasi : paha sebelah kiri, tangan dan wajah sebelah kanan (0-10) :8
Jenis : ☑ Akut □ Kronis

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
□ □ □ □ □ □ □ □ ☑ □ □

A. Pengkajian Sekunder

1. RIWAYAT KESEHATAN
a. S : Sign/symptoms (tanda dan gejala)
Pada saat pengkajian pasien mengatakan nyeri pada bagian paha dan pipi
sebelah kanan dan terdapat luka lecet di tangan
b. A : Allergies (alergi)
Pasien tidak ada riwayat alergi terhadap makanan, minuman, maupun obat-
obatan
c. M : Medications (pengobatan)
Tidak ada obat-obatan yang digunakan sebelumnya
d. P : Past medical history (riwayat penyakit)
Pasien tidak ada riwayat penyakit apapun
e. L : Last oral intake (makanan yang dikonsumsi terakhir, sebelum sakit)
Nasi, lauk dan sayur.
f. E : Event prior to the illnesss or injury (kejadian sebelum injuri/sakit)
Kecelakaan bermotor

B. Klasifikasi Data

1. RIWAYAT DAN MEKANISME TRAUMA (Dikembangkan


menurut OPQRST)
O : Onset (seberapa cepat efek dari suatu interaksi terjadi) : 5 menit
P : Provokatif (penyebab): Fraktur femur sinistra karena kecelakaan
Q : Quality (kualitas): Nyeri seperti teriris-iris
R : Radiation (paparan) Kaki dan pipi sebelah kanan
S : Severity ( tingkat keparahan) Nyeri berat skala 8

55
T : Timing (waktu): 1 menit Pada saat bergerak
2. TANDA-TANDA VITAL
Frekunsi Nadi : 92 kali/menit
Frekuensi Napas : 24 kali/menit
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Suhu tubuh : 36,5ºC
3. PEMERIKSAAN FISIK (HEAD TO TOE)
a) Kepala :
Kulit kepala : Tidak ada nyeri pada kepala, bentuk kepala mesopal Tampak
bersih
b) Mata :
Konjungtiva : berwarna merah muda, tidak terdapat edema pupil, tidak ada
kelainan pada mata misalnya strabismus, tidak ada penggunaa lensa kontak
dan kacamata
c) Telinga :
Tampak simetris, tidak ada serumen, tidak ada nyeri
d) Hidung :
Tampak simetris, tampak bersih, tidak ada lesi,
e) Mulut dan gigi:
Mulut tampak bersih dan , mukosa lembab, tidak ada bau mulut, tidak ada
lesi, dan tidak ada penggunaan gigi palsu
f) Wajah :
Tampak simetris dan ada nyeri tekan pada wajah sebelah kanan, tidak ada
edema.
g) Leher :
Bentuk/Kesimetrisan : Simetris Kiri dan Kanan, Mobilisasi leher baik, tidak
terdapat kelenjar tiroid, tidak ada distensi vena jugularis, tidak ada
pembesaran kelenjar getah benih.
h) Dada/ thoraks :
Simetris kiri dan kanan
i) Jantung :
Simetris kiri dan kanan, Batas paru dan jantung ICS 2-3

56
j) Abdomen :
Tidak ada nyeri tekan pada abdomen ada, tidak ada bekas operasi, tidak ada
distensi pada abdomen, tidak ada pembesaran pada hepar dan lien
k) Genitalia :
Tidak di kaji
l) Ekstremitas :
Terdapat luka robek di kaki sebelah kiri
m) Neurologis :
Fungsi sensorik : pasien masih bisa membedakan bau
Fungsi motorik : pasien tidak bisa mengerakkan tangan kanan karena
nyeri akibat kecelakaan
4. HASIL LABORATORIUM: -
5. HASIL PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK :
Pemeriksaan : Foto Femur S
- Fraktur transversal 1/3 proximal os femur kiri dengan fragmen
fraktur ke posteromedial, shortening 5,5 cm
- Tampak serpihan tulang di soft tissue aspek lateral 1/3
proximal
- Tidak ada tanda osteomyelitis
- Mineralisasi tulang baik
- Hip joint kiri tampak baik
- Soft tissue sekitarnya swelling Hasil:
- Fraktur transversal 1/3 proximal os femur sinistra

6. PENGOBATAN :
- Infus RL 2p0 tpm
- Ranitidin
- Ketorolac
- Lidocaine

57
ANALISA DATA

NO DATA MASALAH KEPERAWATAN

1. DS :
1. Pasien mengatakan nyeri pada daerah bekas jahitan
DO :
1. Tampak terdapat luka sobek pada bagian paha sebelah kiri
2. Pasien dihecting 26 jahitan terdapat jahitan dalam 13 jahitan
Gangguan Integritas Kulit
dan jahitan luar 13 jahitan.
3. TTV:
TD : 120/80 mmHg,
N: 94x/menit, S: 36,5 ºC,
P: 26x/menit
2. Resiko Infeksi
1. Tampak ada jahitan di paha sebelah kiri (26 jahitan) Resiko Infeksi
2. Tampak kemerahan pada luka
3. DS :
1. Pasien mengeluh nyeri
2. Pasien mengatakan nyeri pada paha bagian kiri dan pipi
sebelah kanan.
3. Pasien mengatakan pada daerah luka
DO :
1. Ekspresi wajah tampak meringis kesakitan,
2. Tampak gelisah
3. Nampak menghindari area yang nyeri
4. Hasil pengkajian nyeri di rasakan skala 8 Nyeri Akut
Provokatif : Fraktur femur
Qualitas : Nyeri Seperti teriris-iris
Region : paha kiri , dan pipi bagian kanan
Severity : Skala 8 (berat)
Time : terus menerus

Tabel Analisa Data

58
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1 Gangguan Integritas Kulit/Jaringan berhubungan dengan factor mekanis
(fraktur femur)
2 Resiko infeksi

3 Nyeri akut berhubungan dengan Agen pencedera Fisik

Tabel Diagnosa Keperawatan

59
PERENCANAAN KEPERAWATAN

DIAGNOSA
NO TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN

1. Gangguan integritas Setelah dilakukan Penjahitan Luka (I.14556) 1. Mendeteksi adanya


kulit (D.0129) tindakan riwayat alergi sebelum
1. Identifikasi riwayat
keperawatan selama pemberian tindakan
alergi terhadap anastesi
1x8 jam, diharapkan anastesi
2. Identifikasi jenis
Integritas kulit dan 2. Mencegah tekanan
benang jahit yang
jaringan pada kulit
sesuai
meningkat 3. Untuk
3. Bersihkan daerah luka
(L14125) dan mempertahankan
dengan larutan
Penyembuhan luka teknik sterilisasi
antiseptik
meningkat sebelum luka pasien
4. Jahit luka dengan
(L.14130) dijahit
memasukkan jarum
Kriteria hasil : 4. Untuk menghentikan
tegak lurus terhadap
1. Kerusakan perdarahan
permukaan kulit, tarik
jaringan 5. Mencegah terjadinya
jahitan cukup kencang
menurun perdarahan
sampai kulit tidak
2. Kerusakan berkelanjutan
tertekut
lapisan 6. Untuk
5. Kunci jahitan dengan
kulit mengInformasikan
simpul
menurun kepada keluarga pasien
6. Jelaskan tanda dan
3. Nyeri tentang waktu
gejala infeksi
menurun pelepasan jahitan
7. Ajarkan cara merawat
4. Penyatuan 7. Untuk
luka jahitan
kulit mengedukasikan pada
8. Informasikan tentang
meningkat keluarga cara
waktu Pelepasan
5. Penyatuan merawat luka jahitan
jahitan
tepi luka agar tidak terjadi risiko
9. Kolaborasi pemberian
menigkat infeksi.
antibiotik
6. Peradangan 8. Untuk mengingatkan
10. Kolaborasi pemberian
luka keluarga pasien
obat kencang sampai
menurun tentang waktu
kulit tidak tertekut
7. Penyatuan pelepasan jahitan agar
11. Kunci jahitan dengan
tepi luka mencegah risiko
simpul
menigkat infeksi.
12. Jelaskan tanda dan
8. Peradangan 9. Untuk mengurangi
gejala infeksi
luka nyeri pasca tindakan
13. Ajarkan cara merawat
menurun fraktur femur
luka jahitan
10. Untuk mengurangi
14. Informasikan tentang
risiko perdarahan dan
waktu Pelepasan
risiko infeksi
jahitan
11. Mencegah terjadinya
15. Kolaborasi pemberian
perdarahan
antibiotik
berkelanjutan
16. Kolaborasi pemberian
12. Untuk
obat

60
mengInformasikan
kepada keluarga pasien
tentang waktu
pelepasan jahitan
13. Untuk
mengedukasikan pada
keluarga cara merawat
luka jahitan agar tidak
terjadi risiko infeksi.
14. Untuk mengingatkan
keluarga pasien
tentang waktu
pelepasan jahitan agar
mencegah risiko
infeksi.
15. Untuk mengurangi
nyeri pasca tindakan
fraktur femur
16. Untuk mengurangi
risiko perdarahan dan
risiko infeksi
2. Resiko Infeksi Tindakan Pencegahan
(D.0142) keperawatan Infeksi 1. Untuk Monitor tanda
selama 1x8 jam (I.14539) dan gejala infeksi pada
diharapkan 1. Monior tanda dan pasien.
tingkat infeksi gejala infeksi local 2. Untuk memberikan
menurun dan sistemik. perawatan kulit
(L.14137) 2. Berikan perawatan pada area edema agar
Kriteria Hasil: kulit pada area tidak terjadi infeksi
1. Keluhan edema. 3. Untuk
nyeri 3. Pertahankan teknik mempertahankan
berkuran aseptic pada pasien Teknik aseptic pada
g berisiko tinggi. pasien berisiko tinggi
2. Kemerah 4. Ajarkan cara Infeksi
an memeriksa luka dan 4. Untuk mengurangi
berkuran luka operasi risiko infeksi pada
g pasien
5. Sebagai tindakan
edukasi pada pasien
dan keluarg cara
memeriksa luka secara
hati-hati agar
mencegah terjadinya
perdarahan dan risiko
infeksi.

61
3. Nyeri Akut b/d agen Setelah dilakukan Manajemen Nyeri (I.08238): 1. Untuk mengetahui
cedera fisik tindakan 1. Identifikasi lokasi, lokasi, karakteristik,
(D.0077) keperawatan selama karakteristik, durasi, durasi, dan intensitas
1x8 jam diharapkan frekuensi, intensitas nyeri. yang dialami
tingkat nyeri nyeri. pasien
menurun (L.08066) 2. Identifikasi skala 2. untuk mengetahui skala
Kriteria Hasil nyeri. nyeri yang rasakan
1. keluhan 3. Identifikasi faktor pasien
nyeri yang memperberat 3. Untuk mengetahui
berkurang dan memperingan faktor yang
2. ekspresi nyeri. memperberat dan
wajah 4. Berikan tehnik non memperingan nyeri
meringis farmakologi misalnya pasien
berkurang relaksasi napas 4. Untuk memberikan
dalam, kompres tehnik non farmakologis
hangat) yaitu tehnik relaksasi
5. Ajarkan tehnik non napas dalam agar
farmakologi untuk mengurangi nyeri
mengurangi nyeri 5. Pasien diajarkan tehnik
6. Kolaborasi non farmakologis yaitu
pemberian analgesik. Teknik relaksasi napas
dalam untuk
mengurangi nyerinya
6. Pasien diberikan
analgesik sebagai pereda
nyeri untuk mengurangi
skala nyerinya.

Tabel Perencanaan Keperawatan

62
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

T Diagnosis Jam
a
n
g Implementasi Evaluasi
g
a
l
19/12/21 Nyeri Akut 07.00 1. Mengidentifikasi lokasi, Pukul 07.00 Wita
07.05 karakteristik, durasi, frekuensi, S:
07.10 intensitas nyeri. 1. Pasien mengatakan nyeri pada
07.15 Hasil: nyeri pada daerah tangan kaki sebelah kiri dan luka
07.20 dan kaki. sobek.
07.25 2. Medentifikasi skala nyeri. P : Nyeri di bagian paha sebelah
Hasil: skala nyeri 8 kiri dan terdapat luka lecet di
3. Mengidentifikasi factor yang daerah wajah sebelah kanan
memperberat dan memperingan Q : Nyeri terasa seperti tertusuk-
nyeri. tusuk
Hasil: pada saat bergerak R : Nyeri dirasakan Pada paha
4. Memberikan tehnik non kiri dan pipi sebelah kanan.
farmakologis misalnya relaksasi S : 7 (skala nyeri berat)
napas dalam. T : Nyeri di rasakan 30 mnt dan
Hasil: pasien masih merasakan nyeri bertambah jika bergerak
nyeri O:
5. Mengajarkan tehnik 1. Pasien tampak meringis
nonfarmakologis untuk 2. Tampat luka pada bagian kaki
mengurangi nyeri sebelah kiri dan lecet bagian
Hasil: pasien diberikan tehnik pipi sebelah kanan, bibir atas,
non farmakologis berupa kaki dan tangan.
kompres dingin 3. Perdarahan aktif 250 cc
6. Kolaborasi pemberian analgesik. 4. TTV
Hasil ; pemberian injeksi TD : 120/80mmHg
ketorolac 40 mg/hari N : 94x/mnt RR : 22 x/mnt
A : Masalah nyeri belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi
1. Identifikasi skala nyeri.
2. Identifikasi faktor yang
memperberat dan memperingan
nyeri
3. Berikan tehnik non
farmakologis misalnya relaksasi
napas dalam.
4. Kolaborasi pemberian analgesik.
19/12/21 Gangguan 07.30 1. Mengidentifikasi riwayat alergi Pukul 07.00
integritas 07.35 terhadap anastesi S :
kulit 07.35 Hasil : Pasien mengatakan tidak 1. Pasien mengatakan nyeri pada
07.35 ada riwayat alergi obat luka jahitan
08.00 2. Mengidentifikasi jenis benang O:
08.05 jahit yang sesuai 1. Tampak pada luka 26 jahitan

63
08.10 Hasil : perawat memakai jenis 2. Skala nyeri 8 (Skala berat)
08.15 benang T-nylon cutting 2-0 N90 3. Perdarahan sedikit
08.20 black monofilament synthetic 4. Luka tampak kemerahan
Non- absorbable 5. TTV :
3. Membersihkan daerah luka TD : 120/80mmHg
dengan larutan antiseptik N : 94x/mnt
Hasil : pasien dioleskan larutan S : 36,5oC
betanin diarea luka. tdk ada R : 22x/mnt
tanda-tnda infeksi A : Masalah Gangguan integritas
4. Menjahit luka dengan kulit/jaringan belum teratasi
memasukkan jarum tegak lurus P : lanjutkan intervensi
terhadap permukaan kulit, tarik 1. Ajarkan cara merawat luka
jahitan cukup kencang sampai jahitan
kulit tidak tertekut 2. Informasikan tentang waktu
Hasil : jahitan rapi Tampak 26 pelepasan jahitan
jahitan 3. Berkolaborasi pemberian Obat
5. Mengunci jahitan dengan simpul
Hasil : luka tampak 26 jahitan
6. Menjelaskan tanda dan gejala
infeksi
Hasil : pasien mengatakan
mengerti tanda dan gejala infeksi
7. Mengajarkan cara merawat luka
jahitan
Hasil : kelurga pasien
mengatakakan mengikuti
instruksi dokter
8. Menginformasikan tentang
waktu pelepasan jahitan
Hasil : memberitahu pasien
pelepasan jahitan 1 minggu
setelah di jahit.
9. Berkolaborasi pemberian Obat
Hasil:pasien di berikan obat
Cefotaxime 2x1/oral, Asam
mefenamat 3x1/oral, Vit.b comp

64
19/12/21 Resiko 08.30 1. Monitor tanda dan gejala infeksi Pukul 07.00
Infeksi 08.40 local dan sistemik. S:-
08.50 Hasil: ada gejala infeksi pada O:
09.00 luka lecet. 1. TTV
2. Memberikan perawatan kulit TD : 120/80mmHg,
pada area edema. N: 94x/menit, S: 36,5 ºC
Hasil : dibersihkan dengan P: 26x/menit
betadine. 2. Tampak kemerahan pada luka
3. Mempertahankan Teknik aseptic lecet
pada pasien berisiko tinggi A : Masalah resiko infeksi belum
Hasil: luka telah dibersihkan teratasi
dengan larutan betadine. P : Lanjutkan intervensi
4. Ajarkan cara memeriksa luka. 1. Monitor tanda dan gejala infeksi
Hasil : sudah diajarkan cara local dan sistemik.
memeriksa luka 2. Berikan perawatan kulit pada
area edema.
3. Pertahankan Teknik aseptik pada
pasien berisiko tinggi
4. Ajarkan cara memeriksa luka.

65
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut Lumbantoruan, dkk (2017), Fraktur atau patah tulang adalah
terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumya
disebabkan oleh rudapaksa. Patah tulang atau fraktur didefinisikan sebagai
hilangnya atau adanya gangguan integritas dari tulang, termasuk cedera pada
sumsum tulang, periosteum, dan jaringan yang ada disekitarnya. Penyebab fraktur
dapat berupa trauma langsung, trauma tidak langsung, maupun secara patoligis.
Fraktur terbagi atas beberapa klasifikasi yaitu Berdasarkan sifat fraktur
berdasarkan komplit atau ketidakkompitan fraktur, berdasarkan bentuk garis
patah, berdasarkan jumlah garis patah, berdasarkan pergeseran fragmen tulang,
berdasarkan posisi fraktur, Fraktur kelelahan, dan Fraktur patologis. Adapun
tanda dan gejala dari fraktur adalah adanya nyeri, Deformitas, Pembengkakan,
Memar, Spasme otot, Ketengangan, Kehilangan fungsi, Gerakan abnormal dan
kerpitasi, perubahan neurovaskuler, Syok. Ada beberapa komplikasi dari fraktur,
salah satunya yang paling sering adalah Sindroma kompartemen
Pada penatalaksanaan medic, masalah kegawat-daruratanlah harus
diselesaikan terlebih dahulu dilihat dari kondisi dari pasien tersebut. Hal ini juga
menjadi bagian dari manajemen kegawat-daruratan. Yang pertama dilakukan
adalah tindakan triase dan diikuti dengan Pengkajian Primer (primary survey)
berupa ABCDE lalu dilanjutkan dengan pengkajian sekunder. Namun, pasien
fraktur akibat kecelakaan sering disertai kegawatdaruratan mengancam nyawa
yang lebih membutuhkan pertolongan daripada cedera patah tulangnya. Tata
laksana fraktur dilakukan pada secondary survey setelah ABCD stabil.
Pada proses penyembuhan tulang terdapat 5 fase yaitu fase hematoma,
fase proliferasi, fase kallus, fase konsolidasi dan fase remodeling. Namun, faktor
usia juga sangat mempengaruhi dalam proses penyembuhan tulang. Pada lansia,
proses penyembuhan tulang akan sangat lambat dibandingkan pada mereka yang
berusia muda.

66
Dalam pemberian pelayanan keperawatan pada kasus gawat darurat, peran
dan fungsi perawat sangatlah penting untuk diperhatikan. Salah satu peran
perawat gawat darurat yang harus diaplikasikan adalah sebagai pelayan
keperawatan, sebagai advokasi, dan kolaborator dengan tim kesehatan lainnya
seperti dokter. Selain itu juga, perawat harus mampu menempatkan diri dalam
situasi gaawat darurat dimana ia mampu melakukan tindakan secara independent,
dependent, maupun interdependent.
B. Saran
Semoga dengan adanya makalah ini, kelompok mengharapkan agar para
pembaca khususnya para tenaga kesehatan, mampu menjalankan tugas dan
kewajibannya dalam memberikan asuhan keperawatan gawat darurat dengan
sebaik-baiknya, dan juga mampu mempraktekan peran dan fungsi perawat secara
komprehensif untuk menigkatkan mutu pelayanan kesehatan dan demi
kesejahteraan hidup masyarakat.
Selain itu, semoga makalah ini juga dapat membantu para mahasiswa
keperawatan dalam meningkatkan ilmu pengetahuan dibidang asuhan
keperawatan gawat darurat trauma musculoskeletal fraktur.

67
DAFTAR PUSTAKA

Andreza. (2020). Pola Distribusi Pasien Fraktur pada Ekstremitas Inferior di Rumah
Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo,Makassar : EGC

Abdul Wahid. (2019). Fisiologi Tulang Femur. Jakarta : in medika


Bulechek, Gloria M, dkk. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC) 6th
Indonesian edition. Singapore : Elsevier Mocomedia
Ciptaning, Maria Diah. 2016. Keperawatan Kegawatdaruratan & Manajemen Bencana.
Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan
Heardman, Heather. 2015. NANDA – I Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi
2015-2017. Jakarta:EGC
Kristanty, dkk. 2016. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta : Trans Info Media
Kurniati Amelia, Trisyani Yanni dkk. 2018. Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana
Sheely.Singapore : Elsevier
Lestari. (2019). Konsep Dasar Fraktur Femur. Jakarta : EGC Mue DD. (2018) Konsep
dasar Fraktur Femur, Jakarta : EGC
Lumbantoruan, dkk. 2017. BTCLS AND DISASTER MANAGEMENT Edisi III.
Jakarta :Medhatama Restyan
Mahartha, G. R. A., Maliawan, S., Kawiyana, K. S., & Sanglah, S. U. P. (2013).
Manajemen Fraktur pada Trauma Muskuloskeletal. Bali Fak Kedokt Univ
Udayana.
Moorhead, Sue, dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) 5th Indonesian
edition.Singapore : Elsevier Mocomedia
Paulsen F. & J. Waschke. (2019). Anatomi Fisiologi Tulang Femur.
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Defenisi dan Tindkaan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Defenisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Putu Sukma Parahita. Penatalaksanaan kegawatdaruratan pada Cedera Fraktur
Ekstremitas.Diakses di
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/6300/4790 . Diakses

68
tanggal 22 Juni 2016 Sudarmanto, Eko. 2018. Asuhan Keperawatan Tn. S Dengan
Open Fraktur Manus IV Distal di
Rendy & Margareth. (2019) Konsep Asuhan Keperawatan Fraktur Femur, Jakarta : EGC
Riskesdas. (2020). Profil Kesehatan Indonesia 2018. Jakarta: Riskesdas. (2018)
RS Tk. Ii Dr. Soedjono Magelang [Skripsi]. Yogyakarta (ID): UGM

69

Anda mungkin juga menyukai