Anda di halaman 1dari 71

REFERAT

PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN DENGAN MULTIDRUG

RESISTANT DI RSUD KARSA HUSADA BATU

Oleh :

‘Amaliah ‘Isyatun Mufidah 220702110003

Fahras Widi Anggraeni 220702110011

Syahidatur Rosyidah 220702110017

Risna Afiatur Rosyidah 220702110023

Muhammad Ikhlalsul Amal 220702110036

Pembimbing :

dr. Achmad Zainudin Arif . Sp.PD

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


RSU KARSA HUSADA BATU
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2023

1
DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ................................................................................................................. i

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... iii

DAFTAR TABEL .............................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

BAB II KASUS ................................................................................................... 4

BAB III PEMBAHASAN .................................................................................. 18

3.1 Deskripsi Peta Kuman Karsa Husada ............................................... 18

3.2 Escherichia coli ............................................................................... 21

3.3 Acinobacter baumannii .................................................................... 30

3.4 Sternotrophomonas maltophilia ....................................................... 32

3.5 Klebsiella pneumoniae ..................................................................... 35

3.6 Staphylococcus Koagulase Negatif .................................................. 39

3.7 Pseudomonas aeruginosa ................................................................ 44

3.8 Ceftriaxone …………………………………………………………. 47


3.9 Meropenem ………………………………………………………..... 51
3.10 Cefazolin …………………………………………………………... 52
3.11 Levofloxacin …………...………………………………………….. 52
3.12 Ciprofloxacin …………………………………………………….... 55
BAB IV KESIMPULAN.................................................................................... 48

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 50

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Peta kuman berdasarkan jenis spesimen yang diperiksa kultur periode
tahun 2021 di laboratorium RSU Karsa Husada Batu ........................................ 18

Gambar 3.2 Temuan jenis mikroba di RSU Karsa Husada Batu periode tahun
2021 .................................................................................................................. 19

Gambar 3.3 Peta pola kuman dirawat inap dan rawat jalan periode tahun 2021
RSU Karsa Husada ........................................................................................... 19

Gambar 3.4 Pewarnaan Gram Sternotrophomonas maltophilia .......................... 33

Gambar 3.5 Pewarnaan Gram Klebsiella pneumoniae (Kiri); Pengecatan kapsul


Klebsiella pneumonia (Kanan) ........................................................................... 36

Gambar 3.6 Pewarnaan Gram Staphylococcus aureus pada kultur darah ............ 41

Gambar 3.7 Pseudomonas aeruginosa pada pewarnaan Gram ............................ 46

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Rincian riwayat rawat inap pasien ....................................................... 4

Tabel 2.2 Catatan rawat inap pasien .................................................................... 5

Tabel 3.1 Waktu generasi E. coli O157:H7 di media TSB pada berbagai suhu ... 24

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Antibiotik adalah obat yang digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri.
Antibiotik bisa bersifat bakterisid (membunuh bakteri) atau bakteriostatik
(menghambat berkembang biaknya bakteri). Antibiotik dikelompokkan
berdasarkan mekanisme kerja, struktur kimia, dan spektrum aktivitas
antibakterinya. Spektrum antibiotik dibedakan atas aktivitas terhadap bakteri
Gram-positif, Gram-negatif, aerob, dan anaerob. Antibiotik disebut
berspektrum luas bila aktivitasnya mencakup dua kelompok bakteri atau lebih.
Antibiotik yang tidak digunakan secara bijak dapat memicu timbulnya masalah
resistensi (PMK, 2021).
Resistensi antibiotik didefinisikan sebagai ketahanan bakteri terhadap
antibakteri sehingga antibakteri tidak berefek pada dosis lazim yang digunakan
(Asharina, 2017). Peningkatan resistensi bakteri terhadap antibiotik terjadi
secara cepat dan menjadi isu kesehatan global (Meriyani, et al., 2021). WHO
mengeluarkan data bahwa setidaknya ada 2.049.442 kasus kesakitan karena
resistensi antibiotik dan 23.000 diantaranya meninggal dunia (Asharina, 2017).
Di Indonesia, resistensi bersifat sporadis, selektif dan tidak berujung sehingga
belum dapat diselesaikan secara utuh (Yunita, et al., 2021). Resistensi bakteri
terhadap antibiotik merupakan ancaman bagi rumah sakit dan kesehatan
masyarakat karena dapat menyebabkan kegagalan pengobatan, infeksi yang
berhubungan dengan pelayanan kesehatan (healthcare-associated infections,
HAI), dan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas akibat infeksi bakteri
multiresisten (Meriyani, et al., 2021).
Pada tulisan ini akan membahas kasus pasien atas nama Ny. S, 48
tahun, pasien bangsal penyakit dalam di RSUD Karsa Husada Batu dengan
diagnosis awal DOC, riwayat tumor otak post trepanasi, trombositopenia,
azotemia, AKI, hematemesis, hidrochepalus, syok sepsis, yang resisten
terhadap berbagai macam antibiotik. Awalnya pasien mendapatkan antibiotik
meropenem, kemudian dilakukan kultur sputum, dan pada pemberian ke-7

1
meropenem, hasil kultur sputum telah keluar. Dari hasil kultur sputum pasien,
didapatkan bakteri Stenotrophomonas maltophilia yang resisten terhadap 16
jenis antibiotik, antara lain amoxycillin-clavulanate, ampicillin,
ampicillin/sulbactam, piperacillin, piperacillin/tazobactam, gentamycin,
amikacin, levofloxacin, cefotaxime, cefazoline, meropenem, imipenem,
tetracycline, chloramphenicol, trimethoprim/sulfamethoxazole, dan
aztreonam. Dari hasil tersebut, diketahui bahwa pasien resisten terhadap
meropenem, padahal sebelum hasil kultur keluar, pasien telah diberikan
meropenem selama 7 hari. Meropenem merupakan antibiotik yang sering
digunakan di RSUD Karsa Husada Batu setelah ceftriaxon. Antibiotik
meropenem kemudian diganti dengan azithromycin. Namun, pada akhirnya
pasien meninggal setelah 14 hari dirawat di RSUD Karsa Husada Batu.
Muncul dan berkembangnya mikroba resisten terjadi karena tekanan
seleksi (selection pressure) yang berhubungan dengan penggunaan antibiotik,
dan penyebaran bakteri resisten. Tekanan seleksi resistensi dapat dihambat
dengan menggunakan antibiotik secara bijak, sedangkan proses penyebaran
dapat dihambat dengan mengendalikan infeksi secara optimal (PMK, 2021).

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Bagaimana karakteristik bakteri yang ada pada kasus?
1.2.2. Bagaimana karakteristik bakteri bakteri yang paling sering ditemukan di
RSUD Karsa Husada Batu?
1.2.3. Bagaimana resistensi antibiotik yang ada pada kasus?
1.2.4. Apa saja antibiotik yang paling sering digunakan di RSUD Karsa Husada
Batu?

1.3. Tujuan
1.3.1. Mengetahui karakteristik bakteri yang ada pada kasus.
1.3.2. Mengetahui karakteristik bakteri bakteri yang paling sering ditemukan di
RSUD Karsa Husada Batu.
1.3.3. Mengetahui resistensi antibiotik yang ada pada kasus.

2
1.3.4. Mengetahui antibiotik yang paling sering digunakan di RSUD Karsa
Husada Batu.

1.4. Manfaat
1.4.1. Manfaat Akademik
Diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang
antibiotik dan resistensi antibiotik.
1.4.2. Manfaat Aplikatif
Diharapkan dapat menjadi acuan bagi kasus selanjutnya yang
berkaitan dengan resistensi antibiotik.

3
BAB II
KASUS

Pasien beberapa kali menjalani rawat inap dengan diagnosis berbeda-beda.


Riwayat rawat inap, diagnosis saat dirawat inap, serta dkter penanggung jawab
pasien dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Rincian riwayat rawat inap pasien
Tanggal MRS Diagnosis DPJP

1/5/2019 CF distal radius sinistra dr. Bambang, Sp.OT


9/2/2023 Demam, CVA infark, dr. Yoyok, Sp.BS, dr. Winda,
hydrocephalus tumor IVH HT Sp. N, dr. Rino, Sp.KFR, dr.
post VP shunt, Acute respiratory Andy, Sp.P
failure
23/2/2023 DOC, riwayat tumor otak post dr. Zain, Sp.PD, dr. Yoyok,
trepanasi, trombositopenia, Sp.BS, dr. Dyah, Sp.PD, dr.
azotemia, AKI, hematemesis, Vilda, Sp.An
hidrochepalus, syok sepsis

Rincian mengenai kondisi pasien selama dirawat ianp yang telah dirangkum
berdasarkan catatan perkembangan pasien terintegrasi dapat dilihat pada Tabel 2.2

4
Tabel 2.2 Catatan rawat inap pasien
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
23/2/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 111 DOC DL, Koagulasi, Kimia Diet cair 6x200cc
belum dapat diajak TD: 95/58 mmHg Riwayat tumor Darah, Elektrolit, Drip pantoprazole 8mg/jam
komunikasi HR: 121x/menit otak post Mikrobiologi Klinik, Drip NE 0,05-1 mg
RR: 41x/menit trepanasi Rontgen Thorax Infus NS 14 tpm
Suhu: 38oC Respiratory Infus PCT 1 Gram
SpO2: 100% on NRBM 10 Failure GDA 100 mg/dL IV Omeprazol 40 mg
lpm Syok sepsis IV Ondansetron 4 mg
Anemia IV Citicolin 250 mg
K/L: Trombositopeni IV Dexamethason 10 mg
a/i/c/d : +/-/-/- Azotemia IV Fenitoin 100 mg
KGB : dbn, massa (-) AKI IV Meropenem 2x1 Gram
Hematemesis IV Metoclopramide 3 x 10
Thorax: Hidrochepalus mg
Cor: S1 S2 regular, mur IV Asam Mefenamat 500
mur (-) gallop (-) mg
PO Sucralfat 3 x CI
Pulmo:
Ves ++ Rh - - Wh - -
++ -- --
++ -- --

Abdomen:
Bising usus: 10x/menit
Nyeri tekan:
− − −
− − −
− − −

Ekstremitas:
AHKM + + , Edema - -
CRT <2s + + --

5
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
24/2/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 111 DOC DL Post Koreksi, Diet cair 6x200cc TTV. Klinis
belum dapat diajak TD: 178/80 mmHg Riwayat tumor Kultur Darah, FH Drip pantoprazole 8mg/jam
komunikasi HR: 138x/menit otak post Drip NE 0,05-1 mg Darah Lengkap
RR: 24 trepanasi Lab. Koagulasi Infus NS 14 tpm HGB 14
Suhu: 37oC Respiratory PPT 12.3 H IV Meropenem 2x1 Gram RBC 4.49
SpO2: 100% on ventilator Failure APTT 46.8 H IV Metoclopramide 3 x 10 HCT 40
FiO2 40% Syok sepsis mg MCV 89.1
Anemia IV Asam Mefenamat 500 mg MCH 31.2
Kimia Darah
PO Sucralfat 3 x CI MCHC 35
K/L: Trombositopeni Ureum 108.4 H
IV Vitamin K 3x1 WBC 21.55 H
a/i/c/d : +/-/-/- Azotemia Creatinin P 2.19 H
Hitung Jenis
KGB : dbn, massa (-) AKI GDS 127 CT scan kepala EO% 0.0 L
Hematemesis  Lesi isodense dengan area BASO% 0.3
Thorax: Hidrochepalus Elektrolit hydrocepha di supracella, NEUT% 79.9 H
Cor: S1 S2 regular, mur Na+ 138.5 curiga suatu gambaran LYMPH% 15.1 L
mur (-) gallop (-) K+ 3.88 massa dengan perdarahan MONO% 4.7 H
Cl- 107.4  Acute-subacute ischaemic PLT 133 L
Pulmo: cerebral infarction pada LED 25 H
Ves ++ Rh - - Wh - - Mikrobiologi Klinik regio frontal sinistra (bekas Kimia Darah
++ -- -- Darah Kanan : shunt) dengan herniasi SGOT 223 H
++ -- -- Tidak ditemukan subfalcine sejauh +/- 0,9 SGPT 114 H
pertumbuhan koloni cm ke sisi dextra Ureum 203.9 H
Abdomen: kuman (Aerob)  Terpasang shunt dengan tip Creatinin P 4.38 H
Bising usus: 10x/menit Darah Kiri : pada ventrikel laterals GDS 100
Nyeri tekan: Tidak ditemukan dextra Elektrolit
− − − pertumbuhan koloni  Brain edema Na+ 133.2 L
− − − kuman (Aerob)  Non-communicating K+ 4.06
− − − hydrocephalus Cl- 106
 Sinusitis maksilaris sinistra Analisis Gas Darah
Rontgen Thorax AP
Ekstremitas: pH 7.416
Susp. Cardiomegali
AHKM + + CRT <2s PCO2 13.4 L
++ PO2 356 H
Edema - - TCO2 9 L
-- HCO3 8.6 L
BE ecf -16 L

6
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
25/2/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 1X3 DOC DL, Analisis Gas Darah Diet cair 6x200cc TTV
belum dapat diajak TD: 115/75 mmHg Hidrocephalus Drip NE 0,05-1 mg Klinis
komunikasi HR: 97x/menit post EDH Darah Lengkap Infus NS 14 tpm
RR: 24 Trombositopenia GDS : 163 IV Meropenem 2x1 Gram
Suhu: 37oC (perbaikan) HGB 11.8 L IV Metoclopramide 3 x 10
SpO2: 100% on ventilator Azotemia ec RBC 3.73 L mg
PSIMV FiO2 70% AKI HCT 33.7 L IV PAntoprazol 1x40 mg
Hematemesis MCV 90.3 PO Sucralfat 3 x CI
MCH 31.6
K/L: (perbaikan) PO Vit. K 3x10mg
MCHC 35
a/i/c/d : +/-/-/- Sepsis dan syok
WBC 28.92 H
KGB : dbn, massa (-) septik Hitung Jenis
EO% 0.0 L
Thorax: BASO% 0.2
Cor: S1 S2 regular, mur NEUT% 84 H
mur (-) gallop (-) LYMPH% 9.6 L
MONO% 6.2 H
Pulmo: PLT 197
Ves ++ Rh - - Wh - - LED 35 H
++ -- -- Kimia Darah
++ -- -- Ureum 165.3 H
Creatinin P 3.64 H
Abdomen: Elektrolit
Bising usus: 10x/menit Na+ 137
Nyeri tekan: K+ 3.57
− − − Cl- 110.4 H
− − − Analisis Gas Darah
− − − pH 7.436
PCO2 18.5 L
Ekstremitas: PO2 79 L
AHKM + + CRT <2s TCO2 13 L
++ HCO3 12.4 L
Edema - - BE ecf -12 L
--

7
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
26/2/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 2X5 DOC GDA Diet sonde 6x200cc - TTV
belum dapat diajak TD: 109/98 mmHg Post EDH Infus NS 14 tpm - Klinis
komunikasi HR: 73x/menit Sepsis DL (26/2/23) Drip norphagen  habis
RR: 29x/menit Syok Sepsis Hb: 10.1 L STOP
Suhu: 38oC RBC 3.25 L Drip meropenem 2x1
SpO2: 100% on ventilator HCT 29.5 L gr/hari
PSIMV peep 5 FiO2 40% MCV 90,8 Drip NE 0,5-
MCH 31.1 1mg/kgBB/menit
K/L: WBC 20.97 H IV Metoclopramide 3 x 10
a/i/c/d : +/-/-/- EO% 0.4 L mg
KGB : dbn, massa (-) BASO% 0,2 IV Pantoprazol 1x40 mg
NEUT% 68.4 IV paracetamol 3x1Gram
Thorax: LYMPH% 26.2 PO Sucralfat syr 3 x CI
Cor: S1 S2 regular, mur MONO% 4.8 PO Vit K 3x10 gr
mur (-) gallop (-) PLT 149 L
LED 20
Pulmo: PPT 11.5
Ves ++ Rh - - Wh - - APTT 21.0
++ -- -- GDS 145
++ -- --
BGA (26/2/23)
Abdomen: pH 7.514 H
Bising usus: 10x/menit PCO2 21.5 L
Nyeri tekan: PO2 221 H
− − − TCO2 18L
− − − HCO3 17.3L
− − − Be ecf -6.0L
SO2 100
Ekstremitas:
AHKM + + Edema - -
CRT <2s + + --

8
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
27/2/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 2X2 1. DOC Kultur darah Drip NE 0,5- TTV.
belum dapat diajak TD: 134/85 mmHg 1.1 sepsis Kultur sputum 1mg/kgBB/menit Klinis
komunikasi HR: 82x/menit 1.2 tumor serebri UL Rehidrasi NS dulu 500 cc SE Ulang besok
RR: 34 v + Albumin dalam 1 jam dilanjutkan
Urin output 3300 Suhu: 36,3oC hidrocephalus NS 20 tpm
cc/24 jam SpO2: 100% on ventilator 2. hypernatremia Drip norphagen  STOP
PSV peep 5 FiO2 40% 3. sepsis LAB (27/2/23) IV Metoclopramide 3 x 10
4. sepsis syok PPT 12.5 H mg
5. AKI (perbaikan) APTT 22.8 L IV Pantoprazol 1x40 mg
K/L: 6. Hydrocephalus SGPT 124 H IV paracetamol 3x1Gram
a/i/c/d : -/-/-/- e.c tumor SGOT K/P Demam
KGB : dbn, massa (-) intracranial 82 H PO Sucralfat 3 x CI
7. Trombositopenia Ur 95.6 H PO Heparmin 3x1
Thorax: 8. Tumor Cr 1.34 H PO KSR 2X600mg
Cor: S1 S2 regular, intrakranial PO Vitamin K 3x1 
murmur (-) gallop (-) 9. Hipokalemi SE (27/2/23) STOP
Na 146.4 H
Pulmo: K 3.31 L
Ves ++ Rh - - Wh - - Cl 117 HH
++ -- --
++ -- -- BGA (27/2/23)
pH 7.37o
Abdomen: PCO2 34.1 L
Bising usus: 15x/menit PO2 82.0
Nyeri tekan: TCO2 21 L
− − − HCO3 19.7 L
− − − Be ecf -6
− − − SO2 96
Kesimpulan: asidosis
Ekstremitas:
metabolic
AHKM + + Edema - -
terkompensasi
CRT <2s + + --
sempurna

9
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
28/2/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 3X2 DOC - Drip NE 0,5- TTV
belum dapat diajak TD: 132/82 mmHg Hypernatremia 1mg/kgBB/menit Klinis
komunikasi HR: 118x/menit Hematemesis Albumin (28/2/23): 3.6 Rehidrasi NS dulu 500 cc SE Ulang Besok
RR: 27 Sepsis GDS (28/2/23): 140 dalam 1 jam dilanjutkan
Suhu: 36.7oC Hydrocephalus SE (28/2/23) NS 20 tpm
SpO2: 100% on ventilator Tumor intracranial Na 147,2 H Drip norphagen  STOP
PSV peep 5 FiO2 40% Sepsis K 3.63 IV Metoclopramide 3 x 10
Septic shock Cl 114,5 H mg
K/L: Prolong FH BGA (28/2/23)
IV Pantoprazol 1x40 mg
a/i/c/d : -/-/-/- Increase transaminitis pH 7.54 H IV paracetamol 3x1Gram
KGB : dbn, massa (-) Hipokalemi PCO2 20.8 L K/P Demam
(perbaikan) PO2 180 PO Sucralfat 3 x CI
Thorax: TCO2 19 L PO Heparmin 3x1
Cor: S1 S2 regular, mur HCO3 18.1 L PO KSR 2X600mg 
mur (-) gallop (-) Be ecf -4 L STOP
SO2 100
Pulmo: UL (28/2/23)
Ves ++ Rh - - Wh - - Warna kuning tua
++ -- -- Keadaan keruh
++ -- -- pH 7.0
Albumin +1
Abdomen: Reduksi negatif
Bising usus: 12x/menit Urobilin +2
Nyeri tekan: Lekosit +1
− − − Blood +4
− − − Keton +3
− − − Silinder 1-3 eritrosit
Leukosit 6-8 sel/LPB
Ekstremitas: Eritrosit penuh sel/LPB
AHKM + + Edema - - Epitel (+) E. gepeng,
CRT <2s + + -- (+) E. bulat
Kristal negatif
Lain-lain bakteri (+)

10
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
28/2/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 3X2 DOC - Drip NE 0,5- TTV
belum dapat diajak TD: 132/82 mmHg Hypernatremia 1mg/kgBB/menit Klinis
komunikasi HR: 118x/menit Hematemesis Albumin (28/2/23): 3.6 Rehidrasi NS dulu 500 cc SE Ulang Besok
RR: 27 Sepsis GDS (28/2/23): 140 dalam 1 jam dilanjutkan
Suhu: 36.7oC Hydrocephalus SE (28/2/23) NS 20 tpm
SpO2: 100% on ventilator Tumor intracranial Na 147,2 H Drip norphagen  STOP
PSV peep 5 FiO2 40% Sepsis K 3.63 IV Metoclopramide 3 x 10
Septic shock Cl 114,5 H mg
K/L: Prolong FH BGA (28/2/23)
IV Pantoprazol 1x40 mg
a/i/c/d : -/-/-/- Increase transaminitis pH 7.54 H IV paracetamol 3x1Gram
KGB : dbn, massa (-) Hipokalemi PCO2 20.8 L K/P Demam
(perbaikan) PO2 180 PO Sucralfat 3 x CI
Thorax: TCO2 19 L PO Heparmin 3x1
Cor: S1 S2 regular, mur HCO3 18.1 L PO KSR 2X600mg 
mur (-) gallop (-) Be ecf -4 L STOP
SO2 100
Pulmo: UL (28/2/23)
Ves ++ Rh - - Wh - - Warna kuning tua
++ -- -- Keadaan keruh
++ -- -- pH 7.0
Albumin +1
Abdomen: Reduksi negatif
Bising usus: 12x/menit Urobilin +2
Nyeri tekan: Lekosit +1
− − − Blood +4
− − − Keton +3
− − − Silinder 1-3 eritrosit
Leukosit 6-8 sel/LPB
Ekstremitas: Eritrosit penuh sel/LPB
AHKM + + Edema - - Epitel (+) E. gepeng,
CRT <2s + + -- (+) E. bulat
Kristal negatif
Lain-lain bakteri (+)

11
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
1/3/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 1X1 DOC Kultur darah, kultur Drip NE 0,05-1 - TTV
belum dapat diajak TD: 140/93 mmHg Hypernatremia urine mcg/kgBB - Klinis
komunikasi HR: 111x/menit Hematemesis Infus NS 20 tpm - Produksi urine
RR: 37x/menit Sepsis Darah Lengkap IV Meropenem 2x1 g
Urine output: 1800 Suhu: 36,7oC Hydrocephalus HGB 9.3L IV Metoclopramide 3 x 10
cc/24 jam, warna SpO2: 100% on ventilator Tumor intracranial RBC 2.95L mg
kuning kemerahan PSV peep 4 FiO2 40% Sepsis HCT 28.0L IV Pantoprazol 1x40 mg
Septic shock MCV 94.9 IV Paracetamol 3x1Gram
Prolong FH MCH 33.2 PO Sucralfat 3 x CI
K/L: Increase transaminitis WBC 20.08H PO heparmin 3x1 tab
a/i/c/d : +/-/-/- Hipokalemi Hitung Jenis
KGB : dbn, massa (-) (perbaikan) EO% 1.8
BASO% 0.4
Thorax: NEUT% 76.7H
Cor: S1 S2 regular, mur LYMPH% 16,5L
mur (-) gallop (-) MONO% 4.6
PLT 140
Pulmo: LED 15
Ves ++ Rh - - Wh - - Kimia Darah
++ -- -- GDS 134
++ -- -- Ureum 95.2H
Creatinin P 1.35H
Abdomen: Elektrolit
Bising usus: 10x/menit Na+ 142
Nyeri tekan: K+ 4.10
− − − Cl- 113.0H
− − − Kultur Darah
− − − Darah kanan dan kiri:
Tidak ditemukan
Ekstremitas:
pertumbuhan koloni
AHKM + + Edema - -
kuman (Aerob)
CRT <2s + + --

12
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
2/3/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 2X2 DOC - Drip NE 0,05-1 - TTV
belum dapat diajak TD: 140/80 mmHg Hypernatremia mcg/kgBB - Klinis
komunikasi HR: 94x/menit Hematemesis Kimia Darah Infus NS 20 tpm - Produksi urine
RR: 24x/menit Sepsis GDS 144 IV Ceftazidim 3x2 g
Suhu: 37,0o C Hydrocephalus Analisa Gas Darah IV Metoclopramide 3 x 10
SpO2: 100% on ventilator Tumor intracranial pH 7.572 H mg
PSV peep 4 FiO2 40% Sepsis pCO2 17.1 LL IV Pantoprazol 1x40 mg
Septic shock pO2 208.0 H IV Paracetamol 3x1Gram
Prolong FH TCO2 16 L PO Sucralfat 3 x CI
K/L: Increase transaminitis HCO3 15.7 L PO heparmin 3x1 tab
a/i/c/d : +/-/-/- Hipokalemi BE ecf -6.0 L
KGB : dbn, massa (-) (perbaikan) SO2 100
Kesimpulan: alkalosis
Thorax: respiratorik
Cor: S1 S2 regular, mur Kultur Sputum:
mur (-) gallop (-) ZN:
Tidak ditemukan
Pulmo: bakteri tahan asam
Ves ++ Rh - - Wh - - Gram:
++ -- -- - Tampak bentukan
++ -- -- bakteri coccus gram
positif dan batang
Abdomen: gram negatif
Bising usus: 10x/menit - Yeast cell (+)
Nyeri tekan: - Hyphae (+)
− − − - Sel epitel (2+)
− − − - Sel radang (2+)
− − − Biakan kultur:
Stenotrophomonas
Ekstremitas:
maltophilia
AHKM + + Edema - -
Antibiotik yang
CRT <2s + + --
direkomendasikan:
Ceftazidime (I)

13
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
3/3/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 2X2 DOC - Drip NE 0,05-1 - TTV
belum dapat diajak TD: 130/92 mmHg Hypernatremia mcg/kgBB - Klinis
komunikasi HR: 96x/menit Hematemesis Infus NS 20 tpm - Produksi urine
RR: 24x/menit Sepsis IV Azitromisin 1x500 mg
Urine output: 1900 Suhu: 37,0o C Hydrocephalus IV Metoclopramide 3 x 10
cc/24 jam, warna SpO2: 100% on ventilator Tumor intracranial mg
kuning PSV peep 4 FiO2 40% Sepsis IV Pantoprazol 1x40 mg
Septic shock IV Paracetamol 3x1Gram
Prolong FH PO Sucralfat 3 x CI
K/L: Increase transaminitis PO heparmin 3x1 tab
a/i/c/d : +/-/-/- Hipokalemi
KGB : dbn, massa (-) (perbaikan)

Thorax:
Cor: S1 S2 regular, mur
mur (-) gallop (-)

Pulmo:
Ves ++ Rh - - Wh - -
++ -- --
++ -- --

Abdomen:
Bising usus: 10x/menit
Nyeri tekan:
− − −
− − −
− − −

Ekstremitas:
AHKM + + Edema - -
CRT <2s + + --

14
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
04/3/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 2X2 DOC DL, UR/Cr, Serum Diet cair 6x200cc - TTV
belum dapat diajak TD: 120/98 mmHg Septic syok Elektrolit Infus NS 20 tpm - Klinis
komunikasi HR: 110x/menit Tumor intrakranial Drip NE 0,5-1mg p
RR: 20x/menit Darah Lengkap IV azitromicyn 1x500mg
Suhu: 38oC GDS : 134 IV Metoclopramide 3 x 10
SpO2: 100% on ventilator HGB 9.3L mg
PSV peep 4 FiO2 40% RBC 2.95L IV PAntoprazol 1x40 mg
HCT 28.0L IV paracetamol 3x1Gram
MCV 94.9 PO Sucralfat 3 x CI
K/L: MCH 33.2 PO heparmin 3x1 tab
a/i/c/d : +/-/-/- WBC 20.08H
KGB : dbn, massa (-) Hitung Jenis
EO% 1.8
Thorax: BASO% 0.4
Cor: S1 S2 regular, mur NEUT% 76.7H
mur (-) gallop (-) LYMPH% 16,5L
MONO% 4.6
Pulmo: PLT 140
Ves ++ Rh - - Wh - - LED 15
++ -- -- Kimia Darah
++ -- -- Ureum 95.2H
Creatinin P 1.35H
Abdomen: Elektrolit
Bising usus: 10x/menit Na+ 142
Nyeri tekan: K+ 4.10
− − − Cl- 113.0H
− − −
− − −

Ekstremitas:
AHKM + + Edema - -
CRT <2s + + --

15
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
05/3/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 1X2 DOC Diet cair 6x200cc TTV. Klinis
belum dapat diajak TD: 118/84 mmHg Septic syok - Drip pantoprazole
komunikasi HR: 120x/menit Tumor intrakranial Darah Lengkap 8mg/jam
RR: 20 GDS : 134 Drip NE 0,05-1 mg
Suhu: 36oC HGB 9.3L Infus NS 14 tpm
SpO2: 100% on ventilator RBC 2.95L IV Meropenem 2x1 Gram
PSV peep 4 FiO2 40% HCT 28.0L IV Metoclopramide 3 x 10
MCV 94.9 mg
MCH 33.2 IV Asam Mefenamat 500
K/L: WBC 20.08H mg
a/i/c/d : +/-/-/- Hitung Jenis PO Sucralfat 3 x CI
KGB : dbn, massa (-) EO% 1.8 IV Vitamin K 3x1
BASO% 0.4
Thorax: NEUT% 76.7H
Cor: S1 S2 regular, mur LYMPH% 16,5L
mur (-) gallop (-) MONO% 4.6
PLT 140
Pulmo: LED 15
Ves ++ Rh - - Wh - - Kimia Darah
++ -- -- Ureum 95.2H
++ -- -- Creatinin P 1.35H
Elektrolit
Abdomen: Na+ 142
Bising usus: 10x/menit K+ 4.10
Nyeri tekan: Cl- 113.0H
− − −
− − −
− − −

Ekstremitas:
AHKM + + Edema - -
CRT <2s + + --

16
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
06/3/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 3X2 DOC DL post tranfusi Diet cair 6x200cc TTV
belum dapat diajak TD: 110/85 mmHg Septic syok Infus NS 20 tpm Klinis
komunikasi HR: 90x/menit Tumor intracranial Darah Lengkap Tranfusi PRC 2 labu,
RR: 23 GDS : 163 premed dipenhindramin
Suhu: 37oC HGB 7.0L 10mg
SpO2: 100% on ventilator RBC 2.19L IV azitromicyn 1x500mg
PSV peep 4 FiO2 40% HCT 21.5L IV Metoclopramide 3 x 10
MCV 98.2H mg
K/L: MCH 32.0 IV PAntoprazol 1x40 mg
a/i/c/d : +/-/-/- MCHC 35 IV paracetamol 3x1Gram
KGB : dbn, massa (-) WBC 11.20H PO Sucralfat 3 x CI
Hitung Jenis PO heparmin 3x1 tab
Thorax: EO% 4.5H
Cor: S1 S2 regular, mur BASO% 0.4
mur (-) gallop (-) NEUT% 69.3
LYMPH% 21.2
Pulmo: MONO% 4.6
Ves ++ Rh - - Wh - - PLT 161
++ -- -- LED 15
++ -- -- Kimia Darah
Ureum 76.3H
Abdomen: Creatinin P 0.90
Bising usus: 10x/menit Elektrolit
Nyeri tekan: Na+ 139.0
− − − K+ 4.30
− − − Cl- 113.0H
− − − Analisis Gas Darah
pH 7.482H
Ekstremitas:
PCO2 24.8L
AHKM + + Edema - -
PO2 184.0H
CRT <2s + + --
TCO2 19L
HCO3 18.5 L
BE ecf -5.0 L

17
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
07/3/2023 Pasien belum bisa KU: Lemah GCS: Pneumonia DOC dt - Sp.PD: DL post transfusi
komunikasi 3x2 tumor intraventrikel Infus NS 20 tpm TTV
TD: 104/77 mmHg Respiratory failure Hematologi Transfusi PRC 2 labu Produksi urine: 1200
HR: 130x/menit Sepic syok HGB 8.6 L premed dipenhiramin 10 cc/24 jam
RR: 30-34x/menit Anemia RBC 2.89 L mg iv
Suhu: 36°C HCT 26.6 L Inj. Azithromycin 1x500
SpO2: 100% on MCV 90.0 mg iv (hari ke-5)
tracheocanule 10 lpm MCHC 33.1 Inj. Metoclopramide 1x10
MCH 29.8 mg iv
K/L: WBC 10.84 H Inj. Pantoprazol 1x40 mg
a/i/c/d : +/-/-/+ EO% 4.0 H iv
KGB dbn BASO% 0.4 Inj. Paracetamol 3x1 g kp
NEUT% 76.9 H PO Sucralfat 3xC1
Thorax: LYMP% 15.6 L PO Heparmin 3x1
Cor: S1 S2 reguler, MONO% 3.1
murmur (-), gallop (-) PLT 166 Sp.BS:
LED 25 H Inj. Piracetam 3x3 g iv
Pulmo: Inj. Citicoline 2x500 mg iv
Ves + + Rh - - Wh - -
++ -- - Sp.An:
- Inj. Santagesik 3x1 g iv
++ -- - Inf. Fluconazole 1x200 mg
- iv
Abdomen: Nebul combivent 3x1 resp
Bising usus: (+) N
Nyeri tekan:
− − −
− − −
− − −

Ekstremitas:
AHKM + + , Edema - -
CRT <2s + + --

18
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
08/3/2023 Kesadaran menurun KU: Lemah GCS: Pneumonia DOC dt - Sp.PD: TTV
3x1 tumor intraventrikel Infus NS 20 tpm Produksi urine: 320
TD: 98/81 mmHg Respiratory failure Hematologi Inj. Azithromycin 1x500 cc/24 jam
HR: 145x/menit Sepic syok HGB 13 mg iv (hari ke-6) BGA
RR: 28x/menit Anemia RBC 4.39 Inj. Metoclopramide 1x10 Ur Cr
Suhu: 36°C HCT 38.2 mg iv SE
SpO2: 97% on JR MCV 87.0 Inj. Pantoprazol 1x40 mg DL ulang
MCHC 34.0 iv
K/L: MCH 29.6 Inj. Paracetamol 3x1 g kp
a/i/c/d : -/-/-/+ WBC 16.89 H PO Sucralfat 3xC1
KGB dbn EO% 3.4 H PO Heparmin 3x1
BASO% 0.5 Inj. Furesemide 40 mg xtra
Thorax: NEUT% 88.2 H PO Captopril 25 mg
Cor: S1 S2 reguler, LYMP% 4.5 L Inj. Digoxin 0,5 mg iv
murmur (-), gallop (-) MONO% 3.4 slow
PLT 221 Konsul cardio dengan SVT
Pulmo: LED 15
Ves + + Rh - - Wh - - Sp.JP:
++ -- - Analisis Gas Darah Drip amiodaron 300 mg
- pH 7.334 L habis dalam 6 jam lanjut
++ -- - PCO2 33.0 L drip 600 mg habis dalam
- PO2 125.0 H 18 jam
Abdomen: TCO2 19 L Drip vascon 0,05-1
Bising usus: (+) N HCO3 17.6 mcg/kgBB/menit
Nyeri tekan: BE ecf -0.8 L
− − − SO2 99 Sp.BS:
− − − Inj. Piracetam 3x3 g iv
− − − Inj. Citicoline 2x500 mg iv
Ekstremitas:
Sp.An:
AHKM + + , Edema - -
Ganti JR
CRT <2s + + --
Suction rutin

19
Pada 8/3/2023, pasien mengalami penurunan kesadaran dan desaturasi
pukul 14.00 WIB. Kemudian dari dokter Sp.An alat bantu napas diganti dengan JR
dan dilakukan suction rutin. Keluarga diberikan KIE mengenai perburukan kondisi
yang terjadi pada pasien dan resusitasi pada pukul 14.30 WIB. Dari dokter Sp.PD
diberikan drip dobutamine. Kondisi pasien GCS 1x1, pupil anisokor (+), refleks
cahaya (-), TD: 65/42 mmHg, HR: 78x/menit, Suhu: 36,9°C, RR 12 O2 tracheo
dengan JR 15 lpm. Pasien diberikan drip amiodaron 600 mg dalam 18 jam dan drip
NE dosis 1 mcg/kgBB/menit. Pasien mengalami apnea, arrest, pupil midriasis
naksimal, nadi tidak teraba. Pasien DNR. Pasien dinyatakan meninggal dunia pukul
18.30 WIB.

20
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Deskripsi Peta Kuman Karsa Husada

Gambar 3.1 Peta kuman berdasarkan jenis spesimen yang diperiksa kultur
periode tahun 2021 di laboratorium RSU Karsa Husada

Pada tahun 2021, RSUD Karsa Husada mengambil sebanyak 947 spesimen
untuk dilakukan pemeriksaan kultur. Beberapa jenis spesimen yang digunakan
berupa spesimen darah, urine, sputum, pus, dan beberapa jenis spesimen lain. Jenis
spesimen yang paling banyak digunakan untuk di kultur pada tahun 2021 di RSUD
Karsa Husada adalah spesimen darah. Spesimen darah yang diambil berjumlah 566
spesimen atau sekitar 59.8% dari jumlah keselurahan. Spesimen kedua yang paling
banyak digunakan adalah spesimen urin yang berjumlah 222 spesimen (23,4%),
kemudian diikuti dengan spesimen sputum yyang berjumlah 91 spesimen (9,6%),
spesimen pus berjumlah 25 spesimen (2,6%) dan spesimen lain berjumlah 43
spesimen (4,5%).

21
Gambar 3.2 Temuan jenis mikroba di RSU Karsa Husada periode tahun 2021

Berdasarkan hasil kultur yang didapat dari spesimen yang digunakan diatas,
telah didapatkan beberapa jenis mikroba. Kemudian dari banyaknya jenis mikroba
yang ditemukan dikelompokkan Kembali menjadi 5 besar mikroba yang paling
sering ditemukan di RS Karsa Husada. Jenis mikroba yang paling banyak
ditemukan di RS Karsa Husada adalah Klebsiella pneumonia yang berjumlah 92
sampel diikuti oleh Staphylococcus koagulase negatif berjumlah 90 sampel,
kemudian Pseudomonas aeruginosa berjumlah 41 sampel, Escherichia coli
berjumlah 42 sampel dan yang terakhir Acinetobacter boumanrii berjumlah 40
sampel.

Gambar 3.3 Peta pola kuman dirawat inap dan rawat jalan periode tahun 2021
RSU Karsa Husada

Berikut merupakan peta pola kuman di unit rawat inap dan rawat jalan periode
tahun 2021 di RSUD Karsa Husada. Peta kuman dibuat berdasarkan standar CLSI

22
2019 (Clinicalan Laboratory Standards Institution) dimana nilai minimal jumlah
sampel yang dimasukkan adalah 30 sampel. Dengan rumus perhitungan:
Jumlah antimikroba
Sensitivitas: × 100%
jumlah isolat

Hasil persen sensitivitas yang didapat kemudian dikelompokkan menjadi tiga


(3) golongan yaitu sensitivitas ≥70% (Warna hijau), sensitivitas 50%-70% (Warna
kuning), dan sensitivitas <50% (Warna Merah). Dimana, semakin sensitif suatu
bakteri, maka semakin tinggi pula nilai sensitivitasnya. Peta kuman ini dibuat untuk
memberikan ‘Rekomendasi’ penggunaan antibiotik yang paling sesuai di RSUD
Karsa Husada bedasarkan temuan kuman yang didapat dari hasil kultur. Sebagai
contoh, mikroba Staphylococcus koagulase negatif dari golongan mikroba Gram
positif semuanya atau 96 isolat (100%) sensitif pada antimikroba Linezolid dan
vancomycin dan paling resisten dengan antimikroba Quinopristin dalfopristin
karena hanya 2% dari 96 isolat yang sensitif terhadap antimikroba tersebut.
Mikroba Klebsiella pneumoniae dari golongan mikroba Gram negatif paling
sensitif terhadap antimikroba amikasin karena nilai sensitivitasnya 91%. Hal ini
berarti bahwa 91% dari 92 isolat Klebsiella pneumoniae sensitif terhadap amikasin.
Klebsiella pneumoniae paling resisten terhadap antimikroba ampicillin karena
hanya 1% dari 92 isolat yang sensitif terhadap ampicillin.
Peta kuman ini dapat juga menunjukkan jenis antimikroba mana yang cocok
digunakan berdasarkan sifat mikroba (Gram positif atau negatif). Sebagai contoh,
imipenem, meropenem, moxifloxacin, piperacillin, piperacillin tazobactam,
ampicillin sulbactam, aztreonam, cefazolin, cefepime, ceftrazidime, cotrimoxazole,
trigecycline, dan fosfomicin hanya dapat digunakan pada mikroba Gram negatif.
Antimikroba linezolid, mupirocin, nitrofurantoin, oxacillin, quinopristin
dalfopristin, rifampin, teicoplanin, trimethoprim, vancomisin, klindamisin,
eritomisin, gentamicin, dan doksisiklin hanya dapat digunakan pada mikroba Gram
positif. Sedangkan jenis antimikroba lain yang di test kan dapat digunakan pada
kedua sifat mibroba baik Gram negatif maupun Gram positif.
Pembuatan peta kuman ini dimaksudkan agar dapat memberikan atau
dijadikan acuan bagi para dokter dalam pemberian antimikroba/antibiotik. Dengan
adanya peta kuman, diharapkan dokter dapat memberikan antibiotik dengan

23
sensitivitas terbaik berdasarkan hasil kultur yang didapat dengan menyesuaikan
klinis dan kebutuhan lain serta pertimbangan pertimbangan lain dalam penentuan
pemakaian maupun pemilihan antibiotik. Jenis-jenis antimikroba yang tertera pada
peta kuman berdasarkan jenis reaktan yang tersedia pada alat yang sudah otomatis
diatur bukan berdasarkan ketersediaan di apotik. Ketersediaan obat di apotik juga
dapat dijadikan pertimbangan dalam pemilihan antimikroba/antibiotik oleh dokter.
Peta kuman ini diharapkan juga dapat menjadi ‘rambu-rambu’ bagi para dokter agar
tidak semena-mena dalam memberikan antibiotik/antimikroba.
Hal-hal yang tidak dapat dikontrol dari pembuatan peta kuman ini antara lain,
proses dan cara pengambilan sampel serta pembuatannya yang memungkinkan
terdapat kontaminan pada hasil kultur. Selain itu, kepatuhan pasien dalam
mengkonsumsi antibiotik terutama pada pasien rawat jalan karena tidak ada alat
yang bisa mengontrol penggunaan antimikroba/antibiotik pasien dalam minum obat
di rumah. Pada peta kuman yang disajikan, hasil yang kurang valid tertera pada
Streptococcus sp, Enterococcus faecalis, dan Enterobacter cloacae dikarenakan
jumlah isolat yang digunakan kurang dari 30 isolat. Meskipun hasil ini dianggap
kurang valid, tetapi tetap disajikan karena kasusnya cukup sering ditemukan
sehingga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan pula bagi dokter.

3.2 Escherichia coli


1. Definisi
Escherichia coli merupakan salah satu bakteri koliform yang termasuk
dalam famili Enterobacteriaceae. Enterobacteriaceae merupakan bakteri enterik
atau bakteri yang dapat hidup dan bertahan di dalam saluran pencernaan.
Escherichia coli merupakan bakteri berbentuk batang bersifat Gram negatif,
fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan merupakan flora alami pada usus
mamalia (Yang dan Wang 2014). Beberapa strain bakteri ini memberikan manfaat
bagi manusia, misalnya mencegah kolonisasi bakteri patogen pada pencernaan
manusia. Namun, ada beberapa kelompok lain yang dapat menyebabkan penyakit
pada manusia, yang dikenal sebagai E. coli patogen. Escherichia coli patogen
pertama kali teridentifikasi pada tahun 1935 sebagai penyebab diare (Manning
2010). Escherichia coli patogen penyebab diare atau disebut juga sebagai

24
diarrheagenic E. coli (DEC) terdiri dari enam jenis, yaitu enterotoxigenic E. coli
(ETEC), enteropathogenic E. coli (EPEC), enterohemorrhagic E. coli (EHEC),
enteroinvasive E. coli (EIEC), enteroaggregative E. coli (EAEC), dan diffusely
adherent E. coli (DAEC) (Kaper et al. 2004). Empat jenis E. coli yaitu ETEC,
EPEC, EHEC, dan EIEC diketahui merupakan bakteri penyebab penyakit yang
berasosiasi dengan pangan (foodborne illness) (FDA 2011). Beberapa hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa EAEC merupakan bakteri yang
mengontaminasi pangan dan menyebabkan diare (Kagambega et al. 2012).
Escherichia coli dibagi menjadi 3 kelompok besar berdasarkan interaksinya dengan
inang (manusia), yaitu (1) non patogen (komensal), (2) patogen saluran pencernaan,
dan (3) patogen diluar saluran 2 pencernaan (ekstraintestinal). Klasifikasi ini
terutama didasarkan pada ada atau tidak adanya daerah DNA yang sering dikaitkan
dengan patotipe tertentu. Klasifikasi Escherichia coli:
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gamma Proteobacteria
Ordo : Enterobacteriales
Famili : Enterobacteriaceae
Genus : Escherichia
Spesies : Escherichia coli
2. Morfologi
Escherichia coli termasuk pada family Enterobacteriaceae. E. coli
merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk batang pendek atau sering disebut
kokobasil. Bakteri (Gambar 2.1) ini mempunyai flagel, yang mempunyai ukuran
0,4-0,7 µm x 1,4 µm dan memiliki simpai (Radji, 2011). E. coli memiliki panjang
sekitar 2 μm, diameter 0,7 μm, lebar 0,4-0,7 μm, dan bersifat anaerob fakultatif.
Dan membentuk koloni yang bundar, cembung, dan halus dengan tepi yang nyata
(Hidayati dkk, 2016).
E. coli merupakan bakteri yang memilik 150 tipe antigen O, 50 tipe antigen
H, dan 90 tipe antigen K. Beberapa antigen O dapat dibawa oleh mikroorganisme
lain, sehingga sama seperti yang dimiliki oleh Shigella sp. Terkadang penyakit yang

25
spesifik berhubungan dengan antigen O, dapat ditemukan pada penyakit infeksi
saluran kemih dan diare (Karsinah, 2011).
E. coli merupakan bakteri anaerob fakultatif yang dapat hidup pada keadaan
aerob maupun anaerob. Oksigen digunakan untuk sumber karbon dari luar yang
berfungsi sebagai tenaga untuk tumbuh baik secara oksidatif. Hidup anaerob
dengan menggunakan cara fermentasi sebagai penghasilkan energi untuk
kelangsungan hidup (Manning, 2010).
3. Karakteristik
Genus Escherichia merupakan bagian dari Escherichiae yang termasuk pada
famili Enterobacteriaceae dan pertama kali diisolasi pada tahun 1885 oleh seorang
bakteriologis asal Jerman bernama Theodor Escherich (Manning 2010).
Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang dengan ukuran
berkisar antara 1.0-1.5 μm x 2.0-6.0 μm, tidak motil atau motil dengan flagela serta
dapat tumbuh dengan atau tanpa oksigen, bersifat fakultatif anaerobik dan dapat
tahan pada media yang miskin nutrisi. Karakteristik biokimia E. coli lainnya adalah
kemampuannya untuk memproduksi indol, kurang mampu memfermentasi sitrat,
bersifat negatif pada analisis urease. Bakteri E. coli umum hidup di dalam saluran
pencernaan manusia atau hewan. Secara fisiologi, E. coli memiliki kemampuan
untuk bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang sulit. Escherichia coli tumbuh
dengan baik di air tawar, air laut, atau di tanah. Pada kondisi tersebut E. coli terpapar
lingkungan abiotik dan biotik (Anderson et al. 2005)
Escherichia coli dapat hidup dan bertahan pada tingkat keasaman yang tinggi
di dalam tubuh manusia. E. coli juga dapat hidup dan bertahan di luar tubuh manusia
yang penyebarannya melalui feses. Kedua habitat hidup E. coli ini cukup
berlawanan. Saluran pencernaan manusia merupakan habitat yang relatif stabil,
hangat, bersifat anaerob, dan kaya nutrisi. Sementara itu, di luar saluran
pencernaan, kondisi lingkungan dapat sangat beragam, jauh lebih dingin, aerobik,
serta kandungan nutrisi yang lebih sedikit. Escherichia coli memiliki waktu
generasi sekitar 30 sampai 87 menit bergantung pada suhu. Waktu generasi
merupakan waktu yang dibutuhkan bagi sel E. coli untuk membelah diri menjadi
dua kali lipat. Suhu optimum bagi pertumbuhan E. coli adalah 37°C dengan waktu
generasi tersingkat, yaitu selama 30 menit.

26
Tabel 3.1 Waktu generasi E. coli O157:H7 di media TSB pada berbagai suhu
Suhu (°C) Waktu Generasi (menit)
2 Tidak ada pertumbuhan
25 87.6
30 34.8
37 30.0
40 38.0
45 72.6
45.5 Tidak ada pertumbuhan

4. Patogenitas
Escherichia coli umumnya bersifat tidak berbahaya dan hidup dalam
pencernaan manusia. Apabila E. coli yang awalnya bersifat non patogen
memperoleh tambahan gen virulensi dari mikroorganisme lain melalui mekanisme
perpindahan gen (transformasi), perpindahan plasmid (konjugasi) atau perpindahan
gen melalui bakteriofage (transduksi) akan berubah menjadi bakteri patogen.
Penyakit yang diakibatkan E. coli patogen berbeda tergantung virulensi dan
mekanisme patogenesisnya.
Patogenitas merupakan kemampuan suatu organisme untuk menimbulkan
penyakit. E. coli dapat menimbulkan suatu gejala penyakit bila mampu masuk ke
tubuh inangnya dan mampu beradaptasi serta bertahan di dalam tubuh manusia,
kemudian menyerang sistem imun dan akhirnya menimbulkan penyakit.
Mekanisme patogenesis ini dilakukan melalui beberapa tahapan seperti bakteri
patogen lainnya. Tahapan tersebut adalah kolonisasi pada titik tertentu di bagian sel
permukaan usus (sel mukosa), pembelahan sel, perusakan sel usus, melintasi sel
usus dan memasuki aliran darah, penambatan ke organ target dan akhirnya
menyebabkan kerusakan organ. Sebagian besar strain E. coli patogen merusak sel
inang pada bagian luar, tetapi EIEC merupakan patogen intraseluler yang mampu
menyerang dan bereplikasi di dalam sel mukosa usus dan makrofag (Kaper et al.
2004). Penempelan E. coli pada permukaan mukosa usus dilakukan menggunakan
pilus (atau disebut pili jika jumlahnya banyak).
Pili merupakan tonjolan dari dinding sel bakteri yang antigennya disebut
antigen fimbriae. Setiap jenis E. coli memiliki struktur fimbriae unik yang
bervariasi dalam ukuran serta fungsi dan dikodekan oleh gen virulensi yang
berbeda. Hal ini menyebabkan mekanisme yang bervariasi pada setiap kelompok

27
E. coli patogen sebagai penyebab kerusakan pada sel inang. Sifat patogenik E. coli
dikelompokkan ke dalam beberapa jenis berdasarkan pada mekanisme patogenitas,
virulensi, dan sindrom klinis yang ditimbulkan (Kaper et al. 2004).
Patogenitas E. coli patogen ditentukan berdasarkan faktor atau gen virulensi
spesifik yang dimiliki bakteri tersebut. Gen virulensi ini terdapat pada kromosom
atau plasmid indigenus atau pun berasal dari mikroorganisme lainnya. Kombinasi
gen virulensi ini akan menentukan patotipe E. coli, dan masing-masing patotipe
menyebabkan gejala klinis tertentu yang berbeda. Studi genetik terkait faktor
virulensi terus berkembang baik pada strain E. coli komensal maupun patogen.
Strain E. coli patogen mungkin berasal dari strain komensal dengan perolehan
virulensi dari kromosom ataupun ekstrakromosom, adanya perubahan genom yang
dapat meningkatkan patogenitas (mutasi patoadaptif), atau dari mutasi acak yang
dapat meningkatkan adaptasi pada lingkungan patogen (Torres et al. 2010).
Perubahan sifat patogenitas dapat berlaku reversible, strain patogen juga dapat
berubah menjadi non patogen (komensal) karena hilangnya faktor virulensi dalam
sel. Dari enam jenis E. coli patogen, masing-masing memiliki gen virulensi yang
spesifik, tetapi beberapa diantaranya juga dapat memiliki faktor virulensi yang
sama, seperti EPEC dan EHEC yang sama-sama memiliki intimin (suatu protein
yang memungkinkan bakteri patogen untuk menempel pada usus dan menimbulkan
luka).
Sifat virulensi pada enam patotipe E. coli ditentukan oleh suatu elemen
tertentu yang berbeda, seperti faktor pelekatan sel pada EPEC (Effect Adherence
Factor = EAF), kemampuan memproduksi toksin (shiga-like toksin) pada EHEC,
keberadaan plasmid invasi (inv) pada EIEC, kemampuan memproduksi
enterotoksin (LT/ST) pada ETEC, serta keberadaan fimbriae (Afa/Dr) pada DAEC.
5. Mekanisme patogenitas
a. Enterotoksigenik E. coli (ETEC)
Enterotoksigenik E. coli merupakan penyebab diare tidak hanya pada
manusia tetapi juga pada hewan. Setelah masuk ke dalam sistem pencernaan, ETEC
akan menempel pada sel-sel yang melapisi mukosa usus kecil melalui interaksi
yang dimediasi oleh faktor kolonisasi (colonization factor/CFs). Setelah itu, ETEC
akan memproduksi enterotoksin. Faktor kolonisasi ini menggambarkan tiga tipe

28
fimbriae berbeda dan sangat penting untuk proses penempelan pada permukaan
mukosa usus kecil. Di samping itu, faktor kolonisasi yang berbeda ini bervariasi
jumlahnya untuk setiap populasi dan beberapa kombinasi faktor menyebabkan
peningkatan virulensi. Faktor kolonisasi pada ETEC telah diketahui ada sekitar 25
jenis (Montzer 2016).
Selama berkolonisasi dalam sel mukosa usus, ETEC mengeluarkan toksin
yang terdiri dari dua jenis, yaitu yang tidak tahan panas (heat labile toxin/LT) dan
yang tahan panas (heat stabile toxin/ST). Strain ETEC dapat memproduksi salah
satu atau kedua toksin tersebut, dan dapat menginduksi diare. struktur dan sifat
imunologi enterotoksin LT dari ETEC mirip dengan enterotoksin yang diproduksi
oleh V. cholera (Flores dan Okhuysen 2010). Enterotoksin LT dibagi menjadi dua
tipe, yaitu LT-I dan LT-II. Enterotoksin LT-I umumnya ditemukan/menginfeksi baik
manusia (LTh) maupun hewan babi (LTp), sementara itu enterotoksin LT-II
umumnya hanya ditemukan pada hewan. Enterotoksin ST juga dibagi menjadi dua
tipe, STa dan STb. STa sering ditemukan pada isolat ETEC yang menginfeksi
manusia (STh) maupun hewan (STp). Sementara itu STb hanya ditemukan pada
isolat ETEC yang menginfeksi hewan (babi dan sapi). Studi mengenai dosis infektif
ETEC terhadap manusia menunjukkan bahwa ETEC dapat menyebabkan diare
pada dosis sekitar 1  106 sampai 1  1010 CFU (Flores dan Okhuysen 2010; Porter
et al. 2011; Feng 2015). Enterotoksigenik E. coli ditularkan melalui rute fecal-oral.
Penularan ETEC terhadap bayi ataupun anak-anak umumnya terjadi karena pangan
maupun air di daerah tersebut terkontaminasi ETEC dengan konsentrasi yang cukup
tinggi. Mekanisme toksisitas ETEC melibatkan beberapa elemen seperti faktor
kolonisasi (CFs), reseptor yang dapat mengenali CFs, dan enterotoksin yang
dihasilkan. Toksikoinfeksi strain ini umumnya bertanggung jawab terhadap diare
yang dialami oleh para wisatawan dari negara-negara maju yang menerapkan
kebersihan yang baik yang mengunjungi negara-negara dengan standar kebersihan
yang buruk.
Proses infeksi dimulai dengan kolonisasi ETEC pada usus halus dengan
adanya CFs. Ketika sudah melekat, ETEC akan mengeluarkan enterotoksin LT dan
atau ST. Enterotoksin LT berikatan dengan GM1, yaitu sejenis glikoprotein yang
berfungsi sebagai reseptor. Toksin LT kemudian akan bergerak ke retikulum

29
endoplasma. Enterotoksin LT akan mengikat ribosa adenosin difosfat (ADP)
sehingga mengambat kegiatan GTPase (pemecah protein G). Akibatnya, protein G
ini mengikat dan merangsang adenilil siklase sel epitel sehingga menyebabkan
peningkatan jumlah adenil monofosfat (AMP). Peningkatan AMP akan
menyebabkan peningkatan sekresi sel-sel kelenjar di dalam usus, yaitu merangsang
seksresi Cl- (hipersekresi) dengan membuka saluran klorida pada sel kripta dan
menghambat absorbsi Na+ dari lumen ke dalam sel epitel usus.
Sementara itu enterotoksin ST bekerja mengaktivasi guanilat siklase C (GC-
C) yang akan meningkatkan cGMP dan kemudian mengaktivasi protein kinase
sehingga menyebabkan akumulasi cairan dan elektrolit di dalam lumen usus serta
menghalangi proses penyerapan (absorpsi). Peningkatan kadar elektrolit dan air di
dalam lumen usus inilah yang dapat menyebabkan diare. Diare dapat bertahan
hingga 19 hari dan umumnya tidak disertai demam. Timbulnya penyakit dapat
terjadi 8 sampai 44 jam setelah konsumsi makanan yang terkontaminasi ETEC.
b. Enteropatogenik E. coli (EPEC)
Enteropatogenik E. coli (EPEC) merupakan penyebab diare yang umumnya
terjadi di negara-negara berkembang (Kaper et al. 2004). Enteropatogenik E. coli
menyebabkan diare yang cukup parah pada bayi dan dapat berlangsung selama
lebih dari 2 minggu serta menyebabkan kematian jika terjadi dehidrasi parah. Pada
orang dewasa, penyakit ini ditandai dengan diare berat, mual, muntah, kram perut,
sakit kepala, demam, dan menggigil. Waktu untuk timbulnya penyakit adalah 17
sampai 72 jam, durasi penyakit adalah 6 jam sampai 3 hari. EPEC dapat
menyebabkan penyakit yang akan berkembang pada manusia ketika ditransmisikan
oleh air yang terkontaminasi feses. Karakteristik utama dari EPEC adalah
kemampuannya untuk menginduksi luka (attaching-effacing) pada saluran
pencernaan dengan cara merusak mikrovili usus.
Intimin (eae) merupakan sejenis protein integral membran dan merupakan
faktor virulensi yang dimiliki oleh EPEC sehingga keberadaannya pada EPEC
sering dijadikan sebagai target gen untuk proses deteksi dan identifikasi. Sementara
itu, efektor EspF memiliki beberapa peran dengan target utama adalah mitokondria
serta dapat merusak sambungan sel (tight junction/Tj), mikrovili, dan menghambat
pengangkutan air serta menghambat fagositosis. Diare yang ditimbulkan sebagai

30
akibat dari adanya infeksi E. coli umumnya disebabkan karena kerusakan sel yaitu
rusaknya penyangga sel (tight junction). Rusaknya sambungan sel oleh EspF
mengakibatkan hilangnya fungsi penahan sel dan menginduksi kematian sel inang
melalui apoptosis. Peningkatan permeabilitas yang disebabkan karena rusaknya
penyangga sel (Tj) akan mengubah mekanisme pengangkutan ion. Hasil uji in vitro
menunjukkan bahwa keberadaan bakteri EPEC pada sel epitel hasil kultur dapat
meningkatkan jumlah kalsium yang berakibat pada penghambatan absorpsi Na+ dan
Cl- dan menstimulasi sekresi klorida oleh enterosit. Efek cepat pada sekresi ion,
seperti Cl- atau HCO3-, memicu onset awal diare.
c. Enterohemoragik E. coli (EHEC)
Enterohemoragik E. coli merupakan kelompok E. coli yang dapat
menyebabkan diare atau kolitis berdarah pada manusia yang dapat berujung pada
sindrom hemolitik uremik (Hemolytic Uremic Syndrome/HUS). Enterohemoragik
E. coli ditransmisikan melalui rute fecal-oral. Pangan yang berasal dari hewan,
seperti daging, produk susu yang tidak dipasteurisasi, atau sayuran yang telah
terkontaminasi merupakan pembawa transmisi utama dari penyebaran EHEC ke
manusia.
Mekanisme patogenesis intimin dari EHEC menyerupai dengan yang terjadi
di EPEC. Bakteri EHEC juga memiliki kemampuan untuk menyebabkan luka pada
usus dengan mengikis atau menghancurkan mikrovili karena sama sama memiliki
komponen genetik lokus pemindah enterosit (LEE) yang mengekspresikan intinim
dan Tir melalui sistem sekresi tipe III (T3SS). Bakteri EHEC yang sudah menempel
pada membran inang menyebabkan polimerisasi aktin dan akan merusak
sitoskeleton yang berperan dalam menyokong dan mempertahankan bentuk sel.
Mekanisme patogenesis EHEC dimulai dengan berikatannya sub unit B
toksin dengan reseptor pada permukaan membran sel inang. Reseptor yang
berperan dalam ikatan tersebut adalah reseptor globotriaosylceramide (Gb3) dan
globotetraosylceramide (Gb4) (Betz et al. 2011). Toksin yang telah menempel pada
membran kemudian melakukan endositosis dan kemudian dipindahkan dari
endosom ke jaringan trans golgi. Pada jaringan ini, sub unit A dari toksin pecah
menjadi 2 bagian, yaitu A1 dan A2 oleh enzim furin. Sub unit A1 pada toksin
berperan dalam menghambat sintesis protein dan menyebabkan kematian sel

31
(apoptosis) (Rahal et al. 2012). Toksin shiga mampu menembus monolayer epitel
usus kemudian menyebar melalui aliran darah. Infeksi yang lebih parah yang
ditimbulkan oleh EHEC seperti hemolitik uremik (HUS) menunjukkan bahwa
toksin shiga telah menyerang ginjal atau sistem saraf pusat.
d. Enteroinvasif E. coli (EIEC)
Enteroinvasif E. coli bersifat non motil, tidak dapat memfermentasi laktosa,
dan bersifat anaerogenik. Selain itu, patogenesis EIEC cukup berbeda jika
dibandingkan dengan E. coli lainnya tetapi identik dengan shigellosis (yang
disebabkan oleh Shigella sp.) yaitu infeksi disebabkan oleh penetrasi bakteri dan
kerusakan mukosa usus. EIEC memiliki kemampuan untuk menginvasi sel jaringan
kolon.
Tahap pertama dari patogenesis EIEC adalah dimulai dengan terjadinya
penetrasi sel EIEC ke dalam sel epitelia, diikuti oleh lisis vakuola. Ketika di dalam
sel, EIEC menggandakan diri kemudian bergerak menuju sitoplasma dan
menginvansi sel di sampingnya. Pergerakan dari EIEC di dalam sel dibantu oleh
aktin yang terbentuk pada EIEC. Bakteri EIEC juga mampu menginfeksi makrofag
dan menginduksi kematian sel melalui apoptosis
e. Enteroagregatif E. coli (EAEC)
Enteroagregatif E. coli merupakan patotipe dari diarrheagenic E. coli dengan
karakteristik utamanya adalah pola pelekatan yang bersifat agregasi (aggregative
adherence/AA), yaitu terikatnya bakteri EAEC ke sel epitel menyerupai tumpukan
bata. Mekanisme patogenesis EAEC meliputi 5 tahap, yaitu (1) bakteri EAEC yang
ada pada saluran pencernaan; (2) penempelan bakteri ke mukosa usus oleh suatu
faktor penempelan AAFs; (3) kenaikan produksi lendir (mucus) oleh EAEC
menyebabkan pembentukan biofilm di atas permukaan sel mukosa; (4) pelepasan
toksin dari EAEC yang menginduksi kerusakan sel dan meningkatkan sekresi; (5)
pembentukan biofilm tambahan.
f. Difusi Adheren E. coli (DAEC)
Mekanisme patogenesis DAEC dimulai dengan menempelnya Afa dan Dr
dengan suatu faktor yang disebut DAF, yang ditemukan dipermukaan usus.
Menempelnya Afa-Dr dan DAF menyebabkan agregasi dari molekul DAF di bawah
bakteri. Penempelan tersebut juga memicu sinyal pengatur Ca2+, sehingga dapat

32
menyebabkan kerusakan mikrovili dan mengakibatkan penuran aktivitas enzim
yang terlibat dalam proses sekresi dan absorpsi usus, dan akhirnya memicu
terjadinya diare.

3.3 Acinobacter baumannii


Acinetobacter baumannii adalah basil Gram-negatif yang bersifat aerobik,
pleomorfik, dan non-motil. Patogen oportunistik, A. baumannii memiliki insiden
yang tinggi di antara individu dengan gangguan kekebalan, terutama mereka yang
telah lama tinggal di rumah sakit (>90 hari). Umumnya terkait dengan lingkungan
perairan, telah terbukti berkoloni di kulit serta diisolasi dalam jumlah tinggi dari
sekresi pernapasan dan orofaring individu yang terinfeksi. Dalam beberapa tahun
terakhir, ini telah ditetapkan sebagai patogen manusia "red flag", membangkitkan
kewaspadaan di antara persaudaraan medis, yang sebagian besar timbul dari
spektrum resistensi antibiotiknya yang luas (Howard, 2012).
1. Klasifikasi
Ahli mikrobiologi Belanda bernama Beijerinck pertama kali mengisolasi
organisme tersebut pada tahun 1911 dari tanah menggunakan media minimal yang
diperkaya dengan kalsium asetat. Awalnya bakteri ini digambarkan sebagai
Micrococcus calcoaceticus, genus Acinetobacter (berasal dari bahasa Yunani
“akinetos,” yang berarti non-motil) diusulkan sekitar 43 tahun kemudian oleh
Brisou dan Prevot untuk membedakannya dari organisme motil dalam genus
Achromobacter. Genus Acinetobacter diterima secara luas pada tahun 1968 setelah
Baumann et al. menerbitkan studi komprehensif tentang organisme seperti
Micrococcus calcoaceticus, Alcaligenes hemolysans, Mima polymorpha,
Moraxella lwoffi, Herellea vaginicola, dan Bacterium anitratum yang
menyimpulkan bahwa mereka termasuk dalam satu genus dan tidak dapat
diklasifikasikan lebih lanjut ke dalam spesies yang berbeda berdasarkan
karakteristik fenotipikal. Pada tahun 1971, sub-komite pada Taksonomi Moraxella
dan Bakteri Sekutu secara resmi mengakui genus Acinetobacter berdasarkan hasil
publikasi Baumann tahun 1968.
Genus Acinetobacter, seperti yang didefinisikan saat ini, terdiri dari bakteri
Gram-negatif, aerobik ketat, non-fermentasi, non-rewel, non-motil, katalase-

33
positif, oksidase-negatif dengan kandungan DNA G + C dari 39% hingga 47%.
Mengikuti studi hibridisasi DNA-DNA yang dilakukan oleh Bouvet dan Grimnot
pada tahun 1986, genus Acinetobacter sekarang terdiri dari 26 spesies bernama dan
sembilan spesies genomik. Empat spesies Acinetobacters ( A. calcoaceticus , A.
baumannii , Acinetobacter genomic species 3 dan Acinetobacter genomic species
13TU) memiliki kesamaan fenotip sehingga sulit dibedakan, dan sering disebut
sebagai kompleks A. calcoaceticus . Nomenklatur ini dapat menyesatkan karena
spesies lingkungan A. calcoaceticus belum terlibat dalam penyakit klinis, sementara
tiga spesies lainnya dalam kompleks A. calcoaceticus mungkin merupakan spesies
yang paling signifikan secara klinis, yang terlibat dalam infeksi yang didapat dari
komunitas dan infeksi nosokomial.
2. Virulensi
Beberapa faktor virulensi yang sudah diketahui melalui analisis
fenotipik dan genomik, meliputi outer membrane porin, fosfolipase,
protease, lipopolisakarida (LPS), kapsul polisakarida, sistem sekresi protein, dan
iron-chelating system (Lin, 2014).
OmpA berikatan dengan epitel inang dan mitokondria, setelah terikat pada
mitokondria, OmpA menginduksi disfungsi mitokondria dan menyebabkan
mitokondria membengkak. Hal ini diikuti oleh pelepasan sitokrom c, protein heme,
yang mengarah pada pembentukan apoptosom. Semua reaksi ini menyebabkan
apoptosis sel. OmpA juga terlibat dalam resistensi terhadap komplemen dan
pembentukan biofilm. Kemampuan A. baumannii untuk membentuk biofilm
memungkinkannya untuk tumbuh terus-menerus dalam kondisi dan lingkungan
yang tidak menguntungkan. A. baumannii telah terbukti membentuk biofilm pada
permukaan abiotik, yang dapat mencakup kaca dan peralatan yang digunakan di
unit perawatan intensif, dan/atau pada permukaan biotik seperti sel epitel. Faktor
paling umum yang mengontrol pembentukan biofilm dapat mencakup ketersediaan
nutrisi, keberadaan pili dan protein membran luar, serta sekresi
makromolekul. Perakitan pili dan produksi biofilm-associated protein (BAP)
keduanya berkontribusi pada inisiasi produksi dan pematangan biofilm setelah A.
baumannii menempel pada permukaan tertentu. Ketika pili menempel pada

34
permukaan abiotik, mereka memulai pembentukan mikrokoloni, diikuti dengan
perkembangan penuh struktur biofilm. (Howard, 2012)

3.4 Sternotrophomonas maltophilia


Stenotrophomonas maltophilia adalah bakteri aerob Gram-negatif yang
ditemukan di tanah, air, dan berbagai lingkungan rumah sakit. Ini adalah patogen
oportunis yang dapat menyebabkan infeksi pada individu yang memiliki sistem
kekebalan tubuh yang lemah, seperti penderita fibrosis kistik, kanker, atau
HIV/AIDS. (Hafiz et al, 2022)
Infeksi yang disebabkan oleh S. maltophilia dapat berkisar dari ringan hingga
parah, dan dapat mencakup pneumonia, infeksi aliran darah, dan infeksi saluran
kemih. Bakteri ini dikenal tahan terhadap banyak antibiotik yang umum digunakan,
sehingga pengobatan dapat menjadi sulit. (Apriyanthi, 2022)
Pencegahan infeksi S. maltophilia melibatkan praktik kontrol infeksi yang baik,
seperti kebersihan tangan yang tepat, disinfeksi permukaan, dan tindakan isolasi
untuk individu yang terinfeksi. Pengobatan biasanya melibatkan kombinasi
antibiotik, dan mungkin memerlukan kursus pengobatan yang panjang. Penting
untuk dicatat bahwa pilihan antibiotik harus dipandu oleh uji kepekaan, karena pola
resistensi dapat bervariasi menurut wilayah geografis dan pengaturan rumah sakit.
(Apriyanthi, 2022)
Stenotrophomonas maltophilia adalah bakteri batang Gram negatif, yang
memiliki flagel dan bersifat aerob. Bakteri ini umumnya berada di lingkungan
berair atau lembab termasuk pada sumber air minum di rumah sakit. Bakteri ini
mudah tumbuh di medium kultur yang rutin digunakan karena tidak memerlukan
medium kultur khusus. Sebelum digolongkan terpisah, bakteri ini sering
diidentifikasi sebagai bagian dari Pseudomonas dan pernah diberi nama
Pseudomonas maltophilia dan Xanthomonas maltophilia. (Hafiz et al, 2022)
Stenotrophomonas maltophilia merupakan bakteri yang termasuk ke dalam
subkelas γ-proteobakteria. Bakteri ini dapat ditemukan secara luas di lingkungan
alami, seperti pada rizosfer atau di tanah sekitar akar tanaman ataupun di
lingkungan antropogenik. (Effendi, 2020) Karakteristik S. maltophilia LA3B secara
makroskopis dan mikroskopis, antara lain merupakan bakteri aerob non-

35
fermentatif, berbentuk batang sangat pendek, Gram negatif, koloni berwarna putih,
tepi sedikit bergelombang dan permukaan rata. Suhu optimum untuk tumbuh berada
pada suhu 37ºC. (Murray et al, 2021)

Gambar 3.4 Pewarnaan Gram Sternotrophomonas maltophilia

Bakteri ini memiliki resistensi intrinsik terhadap berbagai antibiotik seperti


antibiotik golongan beta laktam, fluorokuinolon, aminoglikosida, eritromisin,
kloramfenikol, dan tetrasiklin. Bakteri ini juga tahan terhadap beberapa jenis
desinfektan dan silver. (Murray et al, 2021) Desinfektan yang dimaksud tidak hanya
terbatas pada desinfektan lingkungan, tetapi hingga berbagai jenis cairan untuk
menjaga kebersihan lensa kontak. Hal ini disebabkan oleh banyaknya tipe efflux
pump yang dimiliki oleh S. maltophilia. Bakteri ini memiliki pili dan fimbriae yang
memudahkan untuk adhesi serta pembentukan biofilm. Gen pengode efflux pump,
pili, dan fimbriae tersebut tersebar di integron, transposon, dan plasmid. (Hafiz et
al, 2022)
Pada S. maltophilia yang ditemukan di rumah sakit, juga ditemukan
betalaktamase, enzim untuk mengganggu kerja aminoglikosida, serta permeabilitas
outer membrane yang menurun. Banyaknya resistensi intrinsik membuat pilihan
antibiotik menjadi semakin terbatas. Studi yang dilakukan oleh Nseir dkk.
melaporkan prevalensi infeksi S. maltophilia sebesar 2%, begitu juga studi yang
dilakukan di Bali, Indonesia oleh Budayanti dkk. didapatkan prevalensi S.
maltophilia sebesar 1%. (Murray et al, 2020) Prevalensi S. maltophilia di unit
perawatan intensif tidak banyak, tetapi dapat meningkatkan angka mortalitas yang

36
signifikan. (Dewi, 2019) Sebuah studi yang dilakukan oleh Guerci dkk.didapatkan
angka mortalitas 49% pada pasien di Perancis yang dirawat di ruang unit intensif
dengan diagnosis Hospital Acquired Pneumonia (HAP). (Hafiz et al, 2022) Infeksi
dapat terjadi pada paru dan umumnya diawali dengan kolonisasi. Infeksi pada paru-
paru merupakan infeksi yang paling sering terjadi dibanding infeksi yang
melibatkan pembuluh darah, yang umumnya berasal dari selang kateter
intravaskular. Infeksi S. maltophilia lebih sering terkait dengan perawatan di rumah
sakitdan terkait dengan riwayat penggunaan antibiotik sistemik spektrum luas. S.
maltophilia resisten terhadap antibiotik β-laktam dan aminoglikosida yang paling
umum digunakan, pasien yang menerima terapi antibiotik jangka panjang dengan
obat-obatan ini sangat berisiko terkena infeksi. Bakteri ini juga dapat ditemukan di
berbagai tempat di rumah sakit. Infeksi rumah sakit dengan organisme ini telah
ditelusuri ke kateter intravena yang terkontaminasi, larutan disinfektan, peralatan
ventilasi mekanis, dan mesin es. (Murray et al, 2021)
Beberapa penelitian terkait peranan dan potensi S. maltophilia, potensi S.
maltophilia AVP27 asal rizosfer tanaman cabai sebagi bakteri kelompok PGPB
yang memliki kemampuan melarutkan fosfat anorganik (818 ppm), aktivitas enzim
fosfatase (1,62 IU/ml), produksi hormon IAA (93 µg/ml), senyawa amonia (80
µg/ml), siderofor, dan hidrogen sianida (Muchlissoh, 2019). Hal yang sama
dilaporkan oleh Ngoma et al. (2013) yang menemukan S. maltophilia (KC 010525
dan KC 010529) asal akar tanaman bayam berpotensi sebagai bakteri penghasil
hormon IAA (0,32 µg/ml dan 0,49 µg/ml). Selain itu, S. maltophilia KC 010529
mampu melarutkan fosfat, memproduksi amonia, dan memiliki aktivitas antifungi
(55%) (Ngoma et al, 2013).
Potensi S. maltophilia asal rizosfer tanaman gandum yang berpotensi sama,
yakni mampu melarutkan fosfat (55,7 mg/l), kalium (28 mg/ml), memproduksi IAA
(66,1 µg/mg), siderofor, amonia, hidrogen sianida, hormon giberelin, ACC
deaminase dan biokontrol. Selain itu, peranan lainnya dari S. maltophilia, yakni
sebagai kontrol biologis yang dimanfaatkan untuk pengembangan biopestisida dan
agen bioremediasi Selain itu, S. maltophilia juga berpotensi sebagai bakteri
penghasil enzim selulase (selulolitik) (Verma et al, 2019).

37
Stenotrophomonas maltophilia, seperti kuman patogen penyebab nosokomial
yang lain, juga sering mengakibatkan resistensi terhadap beberapa kelas antibiotik.
Resistensi antibiotik lebih sering ditemukan pada isolat klinik dibandingkan dengan
isolat dari lingkungan dan bahkan telah ditemukan bahwa kuman ini juga resisten
dengan golongan kotrimoksasol yang dikaitkan dengan adanya gen sul1 (Murrat et
al, 2020). Data mengenai infeksi Stenotrophomonas maltophilia belum banyak
dilaporkan. Begitu juga di Riau, infeksi ini cukup jarang dilaporkan, namun karena
morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi jika terjadi bakterimia, sehingga penting
untuk dibahas dan dipelajari terutama tentang deteksi faktor risiko serta
penatalaksanaannya (Rosdiana, 2018).

3. 5 Klebsiella pneumoniae
Klebsiella sp. pertama kali diteliti dan diberi nama oleh bakteriologis Jerman
yang bernama Edwin Jklebs (1834-1913). Klebsiella sp. merupakan bakteri Gram
negatif dari famili Enterobactericeae yang dapat ditemukan di traktus
gastrointestinal dan traktus respiratori. Beberapa species Klebsiella sp. antara lain
Klebsiella pneumoniae, Klebsiella oxytoca, Klebsiella ozaenae dan Klebsiella
rhinoscleromatis. Pada manusia, K. pneumoniae hidup secara saprofit dalam sistem
pernafasan dan tinja manusia normal sebesar 5%, dengan 1% dapat menyebabkan
radang paru-paru. Berdasarkan kebutuhannya akan oksigen, Klebsiella sp.
merupakan bakteri fakultatif anaerob. Klebsiella sp. merupakan kuman berbentuk
batang pendek, tidak memiliki spora, dan tidak memiliki flagella (Chang el al,
2021).
Klebsiella pneumoniae adalah bakteri Gram-negatif yang dapat ditemukan di
usus manusia dan hewan. Meskipun biasanya tidak menyebabkan masalah
kesehatan, jenis K. pneumoniae tertentu dapat menyebabkan infeksi pada individu
dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, atau pada orang yang telah dirawat di
rumah sakit untuk waktu yang lama (Ahmad et al, 2021).
K. pneumoniae dapat menyebabkan berbagai jenis infeksi, termasuk infeksi
saluran kemih, pneumonia, dan infeksi aliran darah. Beberapa jenis K. pneumoniae
telah menjadi resisten terhadap antibiotik, membuat pengobatan infeksi yang
disebabkan oleh bakteri ini lebih sulit (Chang et al, 2021).

38
Pencegahan infeksi K. pneumoniae melibatkan praktik kebersihan yang baik,
termasuk mencuci tangan secara teratur, menjaga kebersihan lingkungan, dan
membatasi penggunaan antibiotik yang tidak perlu (Ahmad et al, 2021).
Pengobatan infeksi K. pneumoniae dapat melibatkan antibiotik yang dipilih
berdasarkan sensitivitas bakteri terhadap antibiotik, serta pengobatan dukungan
seperti terapi cairan intravena dan ventilasi mekanik jika diperlukan.
Klebsiella sp. menguraikan laktosa dan membentuk kapsul baik invivo atau
invitro dan koloninya berlendir. Kapsul Klebsiella sp. terdiri dari antigen O yang
merupakan liposakarida yang terdiri atas unit polisakarida yang berulang.
Polisakarida O-spesifik mengandung gula yang unik. Antigen O tahan terhadap
panas dan alkohol dan bisa dideteksi dengan aglutinasi bakteri. Antibodi terhadap
antigen O terutama adalah IgM. Antigen kedua adalah antigen K. Antigen K ini
berada di luar antigen O dan merupakan suatu capsular polysacharida. Antigen K
dapat mengganggu aglutinasi melalui antiserum O dan berhubungan dengan
virulensi. Kedua antigen ini meningkatkan patogenitas Klebsiella sp (Murrat et al,
2021).

Gambar 3.5 Pewarnaan Gram Klebsiella pneumoniae (Kiri); Pengecatan kapsul


Klebsiella pneumonia (Kanan)
Klebsiella sp. merupakan bakteri enterik yang kadang-kadang ditemukan dalam
jumlah kecil sebagai flora normal saluran napas atas. Bakteri enterik biasanya tidak
menyebabkan penyakit dan mungkin di dalam usus berperan terhadap fungsi dan
nutrisi normal. Bakteri menjadi patogen apabila bakteri berada dalam jaringan
diluar jaringan usus yang normal atau di tempat yang jarang terdapat flora normal.
Bakteri enterik juga dapat menyebabkan infeksi yang didapat dari rumah sakit
(nosokomial) dan terkadang menyebabkan infeksi yang didapat dari komunitas
(Dewi, 2019).

39
Faktor virulensi bakteri yang mempengaruhi patogenesis pada tubuh manusia
adalah kapsul polisakarida, endotoksin, reseptor dinding sel. Klebsiella sp.
memiliki kapsul besar yang terdiri dari polisakarida K yang menutupi antigen
somatik dan dapat diidentifikasi menggunakan tes quellung dengan antiserum
khusus. Struktur kapsul tersebut berfungsi melindungi bakteri dari fagositosis oleh
granulosit polimorfonuklear, dan mencegah kematian bakteri oleh serum
bakterisidal. Adanya antigen pada kapsul yang dimiliki Klebsiella sp.
meningkatkan patogenitas bakteri. Infeksi sistem pernapasan oleh Klebsiella sp.
umumnya disebabkan oleh kapsular antigen tipe 1 dan 2 (Dewi, 2019).
Reseptor dinding sel yang dimiliki bakteri memungkinkan Klebsiella sp.
melekat pada sel host, mengubah permukaan bakteri sehingga fagositosis oleh
leukosit polimorfonuklear dan makrofag terganggu, dan invasi sel inang non-
fagositik terfasilitasi. Invasi pada sel inang ini juga dipengaruhi oleh kapsul
polisakarida yang mengelilingi sel bakteri, dan setelah itu Klebsiella
sp.memproduksi endotoksin. Endotoksin merupakan liposakarida kompleks yang
terdapat pada dinding sel Bakteri Gram negatif. Efek biologi endotoksin dapat
menyebabkan demam, leukopenia, pendarahan kapiler, hipotensi, kolaps sirkulasi
(Dewi, 2019).
Pneumonia dapat disebabkan oleh kolonisasi bakteri yang melekat pada
nasofaring, baik mikroorganisme normal yang sebaiknya ada maupun
mikroorganisme yang normalya tidak ada. Kolonisasi bakteri di tubuh manusia
memiliki makna seseorang memiliki konsentransi mikroorganisme cukup tinggi
pada suatu tempat, namun mikroorganisme tersebut tidak menimbulkan gejala dan
tanda. Kolonisasi bakteri patogen respiratori terkadang kurang ditemui tanda klinis
namun akan mulai menimbulkan masalah apabila menjadi sumber penularan dan
penyebaran pada orang lain. Salah satu bakteri patogen respiratori yang
berkolonisasi di nasofaring adalah Klebsiella sp. Kolonisasi Klebsiella pneumoniae
sebesar 7% pada nasofaring bayi dan balita, didapatkan sebesar 15,28% pada
nasofaring dewasa (Ahmad et al, 2021).
Klebsiella sp. menyebabkan berbagai infeksi pada manusia seperti pneumonia,
infeksi saluran kemih, bakterimia. Klebsiella sp. berperan dalam penyebab
pneumonia pada komunitas masyarakat atau yang disebut Community Acquired

40
Pneumonia (CAP), juga mengakibatkan infeksi nosokomial yang dikenal dengan
Hospital Acquired Pneumonia (HAP). Infeksi nosokomial adalah infeksi yang
terjadi di rumah sakit dan menyerang pasien yang sedang dalam proses perawatan.
Terjadi transmisi bakteri patogen bersumber dari lingkungan rumah sakit dan
peralatan rumah sakit. Infeksi nosokomial terjadi setelah pasien dalam proses rawat
lebih dari 42 jam (Ahmad et al, 2021). Contoh infeksi nosokomial adalah kasus
infeksi pada pemakaian pipa nasogastrik, pipa nasotrokeal yang lama sehingga
terganggunya aliran sekret yang telah terkontaminasi dengan bakteri patogen
(Murray et al, 2020).
Pneumoniae menimbulkan konsolidasi luas yang disertai nekrosis hemoragik
pada paru. Organisme ini terkadang menyebabkan infeksi saluran kemih dan
bakteremia yang disertai dengan infeksi fokal pada pasien yang sangat lemah. K.
pneumoniae dan Klebsiella oxytoca menyebabkan infeksi nosokomial. Klebsiella
ozaenae yang pernah diisolasi dari mukosa nasal ozaena menyebabkan atrofi
membran mukosa dan berbau busuk. Klebsiella rhinoscleromatis menyebabkan
granuloma dekstruktif pada hidung dan faring (Murray et al, 2020).
Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi resistensi Klebsiella sp seperti status
gizi, riwayat penggunaan antibioik, dan lokasi tempat tinggal balita. Status gizi
yang baik akan meningkatkan resistensi tubuh terhadap penyakit, namun status gizi
yang buruk akan mengakibatkatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Gizi buruk
menjadikan sistem imun seseorang berkurang sehingga mudah terserang infeksi
(Ryan et al, 2018). Riwayat penggunaan antibiotik yang tidak sesuai, misalkan
pemakaian antibiotik yang terlalu sering, irasional, dosis tinggi dan intensitas yang
berlebihan dalam jangka waktu lama dapat memudahkan berkembangnya resistensi
di klinik. Lokasi tempat tinggal balita diduga mempengaruhi resistensi antibiotik.
anak yang tinggal di perkotaan dan mudah mandapatkan pelayanan kesehatan
cenderung lebih resisten terhadap antibiotik dibandingkan dengan anak yang
tinggal di pedesaan dan sulit mendapatkan pelayanan kesehatan (Chang et al, 2022)
Terjadinya resistensi bakteri terhadap antimikroba dapat melalui tiga
mekanisme yaitu obat tidak dapat mencapai tempat kerjanya di dalam sel mikroba,
inaktivasi obat, mikroba mengubah binding site antimikroba. Obat tidak dapat
mencapai di dalam sel mikroba dapat terjadi pada Bakteri Gram Negatif. Molekul

41
antimikroba yang kecil dan polar dapat masuk menembus dinding luar dan masuk
ke dalam sel bakteri melalui porin (Ryan et al, 2018). Bila porin menghilang atau
mengalami mutasi maka akan menghambat kerja antimikroba. Mekanisme lain
Gram negatif dengan melakukan pengurangan transpor aktif dan memasukkan
antimikroba ke dalam sel. Adanya mekanisme mikroba ini mengaktifkan pompa
efluks untuk membuang antimikroba yang ada dalam sel. (Ryan et al, 2018).

3.6 Staphylococcus Koagulase Negatif


Staphylococcus berasal dari kata staphyle berarti untaian buah anggur dan
coccus berarti bakteri yang memiliki seperti morfologi berbentuk bulat buah anggur
dengan diameter 0,75-1,25µm, termasuk bakteri Gram positif anaerob fakultatif,
tidak membentuk spora, dan non motil. Namun, kadang juga ditemukan Gram
negatif pada bagian tengah gerombolan kuman yang telah di fagosit dan biakan
yang hampir mati. Berdasarkan bakteri yang tidak membentuk spora,
Staphylococcus aureus termasuk dalam jenis bakteri paling kuat daya tahan.
Keadaan kering pada benang, kain, dan dalam nanah dapat tetap hidup selama 6-14
minggu Staphylococcus aureus mudah tumbuh dalam media dengan suhu 37°C dan
kondisi aerobi (Dzen et al, 2005).
Staphylococcus koagulase negatif (CoNS) adalah jenis bakteri Gram-positif
yang biasanya ditemukan pada kulit dan membran mukosa manusia, serta di
lingkungan sekitar kita. Meskipun CoNS sebagian besar tidak berbahaya bagi
manusia, jenis tertentu dapat menyebabkan infeksi pada individu dengan sistem
kekebalan tubuh yang lemah, atau pada orang yang telah menjalani prosedur medis
atau operasi (Murray et al, 2020)
Beberapa jenis CoNS yang umum ditemukan pada manusia adalah S.
epidermidis, S. saprophyticus, dan S. haemolyticus. S. epidermidis seringkali
ditemukan pada permukaan kulit, dan dapat menjadi penyebab infeksi setelah
prosedur medis seperti implan kateter atau pemasangan alat jantung buatan. S.
saprophyticus, pada sisi lain, biasanya ditemukan pada area genital dan dapat
menyebabkan infeksi saluran kemih pada wanita. Sedangkan, S. haemolyticus lebih
umum ditemukan di lingkungan rumah sakit dan dapat menyebabkan infeksi yang

42
lebih serius pada orang yang memiliki kondisi kesehatan yang lemah (Becker,
2014)
Pencegahan infeksi CoNS melibatkan praktik kebersihan yang baik, seperti
mencuci tangan secara teratur, menjaga kebersihan kulit dan lingkungan, serta
menghindari penggunaan antibiotik yang tidak perlu. Pengobatan infeksi CoNS
melibatkan pemberian antibiotik yang dipilih berdasarkan sensitivitas bakteri
terhadap antibiotik yang tersedia, serta pengobatan dukungan seperti terapi cairan
intravena dan pembersihan yang baik pada daerah yang terinfeksi (Dzen et al,
2005).
Staphylococcus koagulase negatif saat ini diakui sering menyebabkan infeksi
nosokomial terutama dalam bentuk bakteremia pada penderita neonatus, penderita
immunocompromised, dan penderita dengan indwelling prosthetic devices. Pfaller
menyatakan bahwa di Iowa, Staphylococcus koagulase negatif merupakan
penyebab ketiga bakteremia setelah Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.
The European prevalence of Infection in Intensive Care (EPIC) study di Eropa
menunjukkan prevalensi infeksi Staphylococcus koagulase negatif sebanyak 44,9%
di unit perawatan intensif yang terkait dengan pemasangan kateter intravena. Angka
kematian infeksi yang disebabkan oleh bakteri tersebut berkisar 18,5 – 57%
(Becker, 2014).

Gambar 3.6 Pewarnaan Gram Staphylococcus aureus pada kultur darah

Bakteri Staphylococcus aureus tumbuh baik pada pH 7,4 dan suhu 37°C, dapat
ditumbuhkan dengan menginokulasi ke Nutrient Broth. Media Nutrient Broth

43
merupakan media standar yang digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme.
Hasil pewarnaan yang berasal dari pembenihan padat akan terlihat susunan bakteri
yang bergerombol seperti buah anggur, sedangkan yang berasal dari pembenihan
cair akan terlihat susunan bakteri yang terpisah, berpasangan atau rantai pendek
yang pada umumnya lebih dari empat sel (Ryan et al, 2018)
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif dimana mampu
mempertahankan zat warna kristal violet pada pewarnaan Gram, sehingga saat
dilakukan pengamatan akan nampak berwarna ungu. Berbentuk kokus, jika dilihat
dibawah mikroskop berbentuk seperti kelompok anggur Pada media mannitol salt
agar (MSA) digunakan sebagai media selektif untuk membedakan Staphylococcus
aureus dari Staphylococcus lainnya dengan ditandai adanya fermentasi mannitol
pada media MSA yang akan terlihat sebagai pertumbuhan koloni berwarna kuning
dikelilingi zona kuning keemasan. Uji katalase digunakan untuk membedakan
Staphylococcus dan streptococcus. Katalase positif ditunjukkan adanya gelembung
gas (O2) yang diproduksi oleh genus Staphylococcus (Murray et al, 2020).
Bakteri Staphylococcus aureus merupakan penyebab infeksi yang bersifat
pyogenes (pembentukan pus/nanah). Infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Staphylococcus aureus dapat meluas ke jaringan sekitarnya, perluasan tersebut
dapat melalui darah dan limfa bersifat menahun serta dapat sampai pada sumsum
tulang belakang. Penyebaran bakteri ini dapat dijumpai di udara sekitar dan
lingkungan terbuka. Pada tubuh manusia bakteri Staphylococcus aureus ditemukan
di hidung, ketiak, membran mukosa, mulut dan saluran pernapasan atas. Bakteri
Staphylococcus aureus menghasilkan racun yang sulit dihancurkan dengan panas,
meskipun melakukan pemanasan dapat mematikan bakteri tetapi racun tetap
bersifat membahayakan dan menyebabkan keracunan. Enterotoksin adalah racun
yang diproduksi oleh bakteri Staphylococcus aureus yang dapat menyebabkan
keracunan makanan. mual, muntah dan diare merupakan gejala awal yang timbul
secara mendadak. (Murray et al, 2020).
Bakteri Staphylococcus aureus mempunyai kemampuan menghasilkan enzim
koagulase yaitu enzim yang dapat mengumpulkan plasma, kemampuan ini
digunakan untuk membedakannya dengan Staphylococcus yang lain. (Murray et al,
2020).

44
Beberapa toksin yang dihasilkan oleh bakteri Staphylococcus aureus antara
lain: (Murray et al, 2020).
1. Katalase
Katalase merupakan enzim yang dimiliki bakteri yang berfungsi sebagai daya tahan
saat terjadinya fagositosis.
2. Koagulase
Koagulase merupakan enzim yang bisa mengumpalkan plasma sitrat sebab
terdapatnya aspek koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi dengan enzim
tersebut. Esterase yang dihasilkan bisa menaikkan kegiatan pengumpulan, sehingga
tercipta deposit fibrin pada permukaan sel bakteri yang bisa membatasi fagosit
3. Hemolisin Toksin yang mampu membuat zona hemolisis disekitar koloni bakteri.
Hemolisin Staphylococcus aureus diantaranya:
a. Alfa hemolisin: toksin ini pada medium agar darah bertanggung jawab
terhadap pembentukan zona hemolisis di sekeliling koloni Staphylococcus
aureus.
b. Beta hemolisin: suatu protein dalam waktu 1 jam pada suhu 37°C mampu
menghancurkan eritrosit domba dan sapi, tetapi tidak pada eritrosit kelinci.
c. Gama hemolisin: toksin yang dapat memecah sel erytrosit manusia dan kelici
secara optimum, tetapi untuk erytrosit domba efek memecahnya kurang
optimum.
4. Leukosidin
Toksin yang mampu membunuh sel leukosit pada sebagian hewan. Tetapi
patogenitas pada manusia tidak bekerja dengan baik. Hal ini disebabkan karena
bakteri Staphylococcus aureus tidak mampu membunuh sel leukosit manusia.
5. Toksin eksfoliatif
Toksin yang memiliki kemampuan menguraikan protein yang dapat
menghancurkan matriks mukopolisakarida epidermis, yang mengakibatkan
terpisahnya intraepitelial pada ikatan sel di startum granulosum. Toksin ini
menyebabkan Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (4S) dengan ciri pelepuhan
kulit.
6. Toksin Sindrom Syok Toksin (TSST)

45
20 eksotoksin pirogenik hasil dari sebagian besar bakteri Staphylococcus aureus
yang ditumbuhkan dari penderita sindrom syok toksik. Gejala yang ditimbulkan
antara lain ruam pada kulit, demam tinggi, syok, dan gangguan fungsi organ dalam.
7. Enterotoksin
Enzim penyebab utama keracunan makanan, terutama pada makanan yang tinggi
akan kandungan karbohidrat dan protein. Enzim ini mampu bertahan dalam panas
serta suasana basa didalam usus manusia. Hanya bakteri Staphylococcus aureus
yang membentuk enterotoksin dengan koagulase positif.
Bakteri Staphylococcus aureus merupakan flora normal pada manusia. Bakteri
ini dapat menyebabkan infeksi piogenik yaitu infeksi yang menghasilkan nanah
(pus). Infeksi ini merusak sel leukosit jenis neutrofil dengan cara melepaskannya
sehingga membentuk abses. Hal ini menjadi ciri khusus infeksi akibat bakteri
Staphylococcus aureus. Orang dengan penyakit kulit dan pasien luka bakar
memiliki risiko tinggi terinfeksi bakteri Staphyloccocus aureus, karena penyebaran
bakteri ini dapat melalui udara. (Murray et al, 2020).
Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa susu sapi dapat menularkan
berbagai macam penyakit patogen termasuk strain Staphylococci. Strain
stafilokokus dibagi menjadi dua utama: kelompok dimana kelompok pertama yang
diwakili oleh Staphylococcus aureus adalah kelompok koagulase staphylpcocci
positif (CPS), agen patogen yang dapat menyebabkan berbagai penyakit menular
dari infeksi kulit ke sistemik pada host imunokompeten. Beberapa peneliti
menyarankan bahwa Staphylococcus aureus (S. aureus) merupakan bakteri
penyebab berbagai penyakit pada manusia seperti: seperti impetigo, abses,
endokarditis, sindrom syok toksik, keracunan makanan, dan sindrom kulit melepuh
(Murray et al, 2020). Kelompok kedua adalah koagulase negatif staphylococci
(CNS) yang terdiri dari berbagai spesies yang umumnya merupakan mikrobiota
normal di kulit dan selaput lendir manusia dan hewan, CNS diklasifikasikan sebagai
kurang atau nonpatogen, tetapi berperan dalam proses infeksi karena bersifat
oportunistik patogen (Ryan et al, 2018).
Pengobatan atau terapi antibiotik merupakan tindakan utama untuk mengatasi
infeksi S. aureus dan CNS, perkembangan antibiotik dan penyalahgunaannya di
bidang pertanian, peternakan, kedokteran hewan, dan pengobatan penyakit manusia

46
meningkatkan potensi resistensi antibiotik oleh bakteri. Transfer genetik
terintegrasi genom sering terjadi antara S. aureus dan CNS yang umumnya
memiliki kecenderungan tinggi untuk resisten terhadap antibiotik. Pada dasarnya,
resistensi methicillin (MR) pada S. aureus dan CNS terjadi karena perubahan
protein pengikat penisilin (PBP2a), sehingga mengurangi afinitas antibiotik beta-
laktam diinduksi oleh staphylococcal kaset kromosom (SCCmec) (Effendi, 2021)

3.7 Pseudomonas aeruginosa


Pseudomonas aeruginosa adalah bakteri Gram-negatif yang dapat ditemukan di
lingkungan seperti air, tanah, dan permukaan hidup atau mati. Bakteri ini dapat
menyebabkan berbagai jenis infeksi pada manusia, terutama pada individu dengan
sistem kekebalan tubuh yang lemah atau pada orang yang telah dirawat di rumah
sakit untuk waktu yang lama (Hayati et al, 2019).
P. aeruginosa dapat menyebabkan infeksi yang sangat serius, seperti
pneumonia, infeksi saluran kemih, dan infeksi kulit. Bakteri ini juga dapat menjadi
resisten terhadap banyak jenis antibiotik, sehingga pengobatan infeksi yang
disebabkan oleh P. aeruginosa dapat menjadi sulit (Murray et al, 2020).
Pencegahan infeksi P. aeruginosa melibatkan praktik kebersihan yang baik,
termasuk menjaga kebersihan lingkungan dan membatasi penggunaan antibiotik
yang tidak perlu. Pengobatan infeksi biasanya melibatkan kombinasi antibiotik,
tergantung pada sensitivitas bakteri terhadap antibiotik tertentu. Beberapa infeksi
P. aeruginosa juga dapat diobati dengan terapi non-antibiotik seperti terapi aerosol,
terapi oksigen, atau pengobatan dukungan lainnya seperti terapi cairan intravena
dan ventilasi mekanik jika diperlukan (Murray et al, 2020).
P. aeruginosa merupakan kuman patogen oportunistik yang dapat menyebabkan
keadaan yang invasif pada pasien dengan penyakit kritis maupun pasien yang
memiliki tingkat imunitas yang sangat rendah. Umumnya kuman ini sering
ditemukan sebagai penyebab infeksi nosokomial di rumah sakit khususnya di
Intensive Care Unit (ICU) (Murray et al, 2020).
Pseudomonas aeruginosa merupakan flora normal usus dan kulit manusia
dalam jumlah yang kecil serta merupakan patogen utama dalam grup Pseudomonas.
Pseudomonas aeruginosa tersebar luas di alam dan biasanya ditemukan pada

47
lingkungan yang lembab di rumah sakit.19 Bakteri tersebut membentuk koloni yang
bersifat saprofit pada manusia yang sehat, tetapi menyebabkan penyakit pada
manusia dengan pertahanan tubuh yang tidak adekuat. Pseudomonas aeruginosa
merupakan bakteri patogen nosokomial nomor empat yang paling banyak diisolasi
dari semua infeksi yang didapat di rumah sakit Infeksi yang terjadi pada darah,
pneumonia, infeksi saluran kemih, dan infeksi sesudah operasi dapat menyebabkan
infeksi berat yang dapat menyebabkan kematian (Ryan et al, 2018)
Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri berbentuk batang, berukuran
sekitar 0,6 x 2 mikro meter. Bakteri ini bersifat Gram negatif dan tampak dalam
bentuk tunggal, berpasangan, kadang-kadang rantai pendek dan dapat bergerak
(motil) karena adanya satu flagel. Bakteri ini dapat hidup dan berkembang dalam
keadaan tanpa oksigen. Isolat Pseudomonas aeruginosa dapat membentuk tiga
macam koloni (Murray et al, 2020).

Gambar 3.7 Pseudomonas aeruginosa pada pewarnaan Gram

Isolat yang berasal dari bahan klinis menghasilkan koloni berukuran besar,
halus, dengan tepi yang datar dan bagian tengah menonjol, mirip telur dadar,
sedangkan isolat berasal dari sekresi respirasi dan sekresi saluran kemih berbentuk
mukoid dan berlendir (Murray et al, 2020).
P. aeruginosa membentuk koloni besar dan halus dengan permukaan rata dan
meninggi (fried egg apperance) dan koloni halus dan mukoid yang biasanya didapat
dari sekresi saluran pernafasan dan saluran kemih (Murray et al, 2020). Bakteri ini
juga sering menghasilkan pigmen piosianin, pigmen kebiru-biruan yang tidak
berfluoresensi, yang berdifusi kedalam agar. Spesies Pseudomonas yang lain tidak

48
menghasilkan piosianin. Banyak strain P. aeruginosa juga memproduksi pigmen
pioverdin yang berfluoresensi, yang memberikan warna kehijauan pada agar.
Beberapa strain menghasilkan pigmen piorubin yang berwarna merah gelap atau
pigmen piomelanin yang berwarna hitam (Kamel et al, 2016)
Kultur Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri obligat aerob yang mudah
tumbuh pada berbagai medium kultur, kadang-kadang menghasilkan aroma yang
manis dan berbau seperti anggur atau seperti jagung taco. Pseudomonas aeruginosa
membentuk koloni yang bundar dan licin dengan warna kehijauan yang
berfluoresensi. Bakteri ini sering menghasilkan pigmen kebiruan tak berfluoresensi
dan piosianin yang berdifusi ke dalam agar. Spesies Pseudomonas lainnya tidak
menghasilkan piosianin. Banyak galur Pseudomonas aeruginosa juga
menghasilkan pigmen berfluoresensi, pioverdin yang memberikan warna kehijauan
pada agar (Kamel et al, 2016)
Karakteristik pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa tumbuh dengan baik pada
suhu 37-42ºC. Kemampuannya untuk tumbuh pada suhu 42ºC membantu
membedakannya dari spesies Pseudomonas lain dari grup fluorsens. Bakteri
tersebut bersifat oksidase 10 positif. Pseudomonas aeruginosa tidak
memfermentasi karbohidrat, tetapi banyak galur yang mengoksidasi glukosa.
Identifikasi Pseudomonas aeruginosa biasanya didasarkan pada morfologi koloni.
Oksidase positif ditunjukan dengan adanya pigmen khas dan pertumbuhan pada
suhu 42ºC. (Murray et al, 2020).
Uji laboratorium spesimen yang diinokulasi pada agar darah dan media
deferensial lazim digunakan untuk menumbuhkan batang Gram negatif enterik.
Pseudomonas mudah tumbuh pada sebagian besar medium tersebut, tetapi mungkin
tumbuh lebih lambat dibandingkan bakteri enterik. Pseudomonas aeruginosa tidak
memfermentasi laktosa dan mudah dibedakan dari bakteri yang memfermentasi
laktosa. Kultur merupakan pemeriksaan yang spesifik untuk mendiagnosis infeksi
Pseudomonas aeruginosa (Murray et al, 2020).
Infeksi Pseudomonas aeruginosa yang bermakna secara klinis tidak boleh
diterapi dengan obat tunggal karena angka keberhasilannya rendah dan bakteri
dengan cepat menjadi resisten jika hanya di berikan obat tunggal. Penisilin seperti
piperasilin yang sensitif terhadap Pseudomonas aeruginosa meliputi Aztreonam,

49
Karbapanem seperti Imipenem atau Meropenem, dan Kuinolon terbaru, termasuk
Siprofloksasin. Pola sensitivitas Pseudomonas aeruginosa bervariasi secara
geografis dan uji sensitivitas harus dilakukan untuk membantu pemilihan terapi
antimikroba (Murray et al, 2020).

3.8 Ceftriaxone
Ceftriakson merupakan antibiotic yang termasuk dalam golongan
sefalosporin. Antibiotik golongan sefalosporin adalah anti bakteri semi sintetis yang
berasal dari anti bakteri alami yaitu Cephalosporium acremonium. Golongan ini
bersifat bakterisida dan menghambat sintesis dinding sel sama seperti penisilin.
Sefalosporin terbagi menjadi 4 generasi. Generasi pertama cefalotin, generasi kedua
adalah cefamandole, cefonicid, ceforamide dan ceoftiam, generasi ketiga adalah
cefotaxime, cefixime, ceftazidime, cefoperazone dan cefpiramide dan generasi ke
empat adalah cefepime, cefpirome, ceftobiprole. Selain itu juga terdapat golongan
semi sintetis dari sefalosporin yaitu cephamycin.

Aktivitas antibiotik golongan sefalosporin serupa dengan penisilin, tetapi


sefaloporin memiliki keunggulan lebih tahan dan lebih stabil terhadap enzim beta
laktamase daripada golongan penisilin. Oleh karena itu, sefalosporin mempunyai
spektrum yang lebih luas. Sefalosporin dibagi menjadi 4 generasi berdasarkan
perbedaan luas spektrum (Deck, Daniel H. 2015). Penggolongan sefalosporin
dibagi menjadi 4 generasi yaitu generasi I, generasi II, generasi III, dan generasi IV.
Penggolongan tersebut seperti tabel berikut ini:

Tabel II. 2 Klasifikasi dan aktivitas Sefalosporin

Generasi Contoh Aktivitas


Sefaleksin Antibiotik yang efektif terhadap gram positif
Sefalotin yang berbentuk kokus seperti pneumokokus,
I Sefazolin streptokokus, dan stafilokokus serta memiliki
Sefradin aktivitas sedang terhadap gram negatif
Sefadroksil
Sefaklor Aktivitas antibiotic gram negative yang lebih
II
Sefamandol aktif daripada generasi I

50
Sefuroksim
Sefoksitin
Sefotetan
Sefmetazol
Moksolaktam Aktivitas kurang aktif terhadap kokus Gram
Sefotaksim positif dibandingkan generasi I, tapi lebih aktif
Seftriakson terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain
Sefiksim yang memproduksi beta lactamase. Seftazidim
III
Sefoperazon dan sefoperazon juga aktif terhadap P.
Sefrizoksim Aeruginosa, tapi kurang aktif dibandingkan
Sefpodoksim generasi III lainnya terhadap kokus gram positif.

Seftazidim
Sefepim Aktivitas lebih luas dibandingkan dan lebih stabil
IV Sefpirom dari generasi sebelumnya dan tahan terhadap
beta-laktamase
Sumber : Kemenkes RI, 2011; Katzung et al, 2013; Siswandono, 2016

Sefalosporin generasi pertama memiliki aktivitas yang baik pada bakteri


cocci gram positif, seperti Streptococcus, dan Staphylococcus, tetapi memiliki
aktivitas yang kurang baik pada bakteri gram negatif (Deck, Daniel H. 2015).
Sefaleksin, sefadrin, dan sefadroksil diberikan secara per oral karena absorbsi per
oral yang baik dan lebih dianjurkan diberikan bersama makanan karena dapat
mengurangi efek samping obat pada saluran pencernaan. Sedangkan sefazolin
diberikan secara intravena. Semua obat sefalosporin generasi 1 dieliminasi sebagian
besar melalui urin (70% - 100%) sehingga perlu dikontrol dan disesuaikan apabila
terdapat gangguan fungsi ginjal (Petri, William A. 2006). Sefalosporin generasi
pertama banyak digunakan sebagai antibiotik profilaksis saat prosedur pembedahan
karena spektrumnya luas, harganya terjangkau, dan insiden efek samping obat
rendah (Gallagher & MacDougall, 2018).

Sefalosporin generasi kedua mempunyai aktivitas yang lebih baik pada


bakteri gram negatif tetapi lebih rendah pada bakteri gram positif dan lebih tahan

51
terhadap enzim betalaktamase (Katzung, 2013). Cefmetazole dan sefotetan
memiliki aktivitas melawan bakteri anaerob. Umumnya obat-obat sefalosporin
generasi kedua diberikan secara intravena, tetapi beberapa obat seperti Sefaklor,
sefuroksim axetil, dan sefprozil dapat diberikan secara oral. Pemberian secara
intramuskular menyakitkan sehingga harus dihindari. Penyesuaian dosis
dibutuhkan ketika terjadi gangguan fungsi ginjal karena hampir semua obat
dieliminasi melalui ginjal (Siswandono, 2016). Sefalosporin generasi kedua banyak
digunakan untuk mengatasi infeksi saluran pernafasan bagian bawah, sinusitis,
otitis, pneumonia, infeksi anaerobik campuran seperti peritonitis, diverticulitis, dan
penyakit radang panggul (Deck, Daniel H. 2015).

Sefalosporin generasi ketiga mempunyai spektrum yang lebih luas pada


bakteri gram negatif dari sefalosporin generasi sebelumnya, tetapi memiliki
aktivitas yang kurang baik pada bakteri gram positif. Selain itu, generasi ini bisa
menembus sawar darah otak dan memiliki ketahanan terhadap enzim
betalaktamase. Ceftazidime dan cefoperazone adalah golongan sefalosporin yang
memiliki aktivitas melawan bakteri Pseudomonas aeruginosa. Sefalosporin
generasi ketiga dapat menembus cairan tubuh dan jaringan dengan baik, sehingga
hampir semuanya diberikan secara intravena dengan pengecualian sefoperazon.
Hampir semua obat dieliminasi melalui urin kecuali sefoperazon dan seftriakson
yang diekskresi melalui empedu sehingga untuk kedua obat ini tidak perlu
penyesuaian dosis pada pasien gangguan ginjal. Digunakan untuk indikasi berbagai
macam infeksi serius yang disebabkan oleh organisme yang resisten dan meningitis
(Deck, Daniel H. 2015).

Sefalosporin generasi keempat mempunyai spektrum yang lebih luas dari


generasi ketiga. Selain itu ketahanan terhadap betalaktamase juga lebih baik.
Sefepim memiliki aktivitas yang baik melawan P. aeruginosa, Enterobacteriaceae,
S. aureus, dan S. Pneumoniae (Deck, Daniel H. 2015). Menembus dengan baik ke
dalam cairan cerebrospinal, diberikan secara intravena dan mengalami eliminasi
dalam bentuk aktif di ginjal (80%-90%). Penyesuaian dosis dilakukan ketika
terdapat gangguan ginjal. Penggunaan di klinis umumnya untuk terapi empiris pada
infeksi di rumah sakit yang disebabkan oleh bakteri gram positif (Petri, William A.
2006).

52
Berdasarkan farmakodinamiknya, antibiotik dibagi menjadi 2 kelompok,
yaitu concentration dependent activity dan time dependent activity. Concentration
dependent activity adalah antibiotik yang aktivitas membunuh bakteri berkorelasi
dengan kadarnnya di dalam plasma, dan tidak tergantung pada waktu sehingga tidak
perlu dipertahankan dalam jangka waktu yang lama. Antibiotik akan menghasilkan
daya bunuh maksimal terhadap bakteri apabila kadarnya tinggi sehingga semakin
tinggi kadar antibiotik dalam plasma maka akan semakin poten pula (Katzung,
2012). Antibiotik yang termasuk dalam concentration dependent killing adalah
golongan aminoglikosida, fluorokuinolon, daptomisin, ketolid, metronidazole, dan
amfoterisin B. Sedangkan time dependent killing adalah antibiotik yang aktivitas
membunuh bakterinya berkorelasi dengan berapa lama antibiotik tersebut berada
pada kadar yang efektif untuk membunuh bakteri. Antibiotik akan menghasilkan
daya bunuh yang maksimal terhadap bakteri bila kadarnya dipertahankan cukup
lama di atas Kadar Hambat Minimal atau Minimal Cincentration Inhibition (MIC)
bakteri, sehingga semakin lama konsentrasi antibiotik dalam plasma lebih tinggi
dari MIC maka semakin poten. Kadar yang sangat tinggi tidak meningkatkan
efektivitas obat untuk membunuh bakteri (Deck, Daniel H. 2015). Antibiotik yang
termasuk dalam time dependent killing adalah golongan beta laktam, makrolida,
klindamisin, tetrasiklin, dan glikopeptida (Katzung, 2013).

Mekanisme Kerja Antibiotik (Chambers, 2009)

53
Mekanisme kerja antibiotik (John willey and sons, 2005)

3.9 Meropenem
Meropenem termasuk dalam kelompok antibiotik golongan carbapenem.

Antibiotik carbapenem adalah antibiotik golongan beta laktam yang sangat poten,

yang mempunyai mekanisme kerja menembus dinding sel bakteri untuk

menginaktivasi autolytic inhibitor enzymes bakteri tersebut dengan cara mengikat

penicillin-binding proteins (PBPs), sehingga pada akhirnya sel bakteri akan mati.

Selain itu, ikatan antara carbapenem dan PBPs juga menginaktivasi transpeptidase

inhibition enzyme selama sintesis dinding sel bakteri untuk mencegah aktivitas

ikatan silang peptida, sehingga meningkatkan aktivitas autolitik (Aslam dkk.,

2020).

Carbapenem dibagi menjadi tiga grup: grup 1 (ertapenem) mempunyai

aktivitas spektrum luas yang terbatas untuk batang gram-negatif non-fermentatif;

grup 2 (imipenem, meropenem, dan doripenem) juga mempunyai aktivitas

spektrum luas melawan batang gram-negatif non-fermentatif, tetapi kurang sensitif

terhadap hidrolisis basa dalam larutan; grup 3 mempunyai aktivitas melawan

54
methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) yang saat ini masih dalam

tahap pengembangan (El-Gamal dkk., 2017).

3.10 Cefazolin
Cefazolin termasuk dalam golongan antibiotik sefalosporin generasi
pertama, yang sangat aktif terhadap bakteri coccus Gram positif seperti
pneumococcus, streptococcus, dan staphylococcus. Cefazolin juga memiliki
aktivitas terhadap beberapa bakteri Enterobacter sp (Deck danWinston, 2012).

Mekanisme kerja dari sefalosporin adalah menghambat sintesis dinding sel


dari bakteri dengan cara yang mirip dengan penisilin. Dinding sel bakteri penting
untuk pertumbuhan dan perkembangan normal bakteri. Pada mikroorganisme Gram
positif, tebal dinding sel mencapai 50 – 100 molekul peptidoglikan tetapi pada gram
negatif hanya 1 atau dua molekul. Selain mekanisme penghambatan transpeptidase,
terdapat target relatif dari penisilin dan sefalosporin yang disebut penicillin-binding
protein (PBP). Penghambatan transpeptidase menyebabkan pembentukan sferopas
dan lisis yang cepat. Penghambatan aktivitas PBP akan menyebabkan lisis yang
tertunda atau pembentukan filamentus dari bakteri (Petri, 2011).

Cefazolin tidak dapat diberikan secara oral karena mempunyai absorpsi


yang buruk, sehingga rute pemberiannya melalui intravena. Cefazolin juga
mempunyai distribusi yang baik ke seluruh tubuh, dan proses eliminasinya melalui
ginjal (Harvey, 2012).

3.11 Levofloxacin
Levofloxacin adalah antibiotik fluorokuinolon generasi ketiga spektrum luas
yang bekerja pada bakteri gram-positif dan gram-negatif serta patogen atipikal
terutama pada infeksi traktus respiratorius Levofloksasin aktif terhadap organisme
Gram positif dan Gram negatif.Memiliki aktivitas yang lebih besar terhadap
pneumokokus dibandingkan siprofloksasin. Levofloksasin diindikasikan untuk
community acquired pneumonia tapi sebagai terapi lini kedua. Di Indonesia, ketiga
obat ini tidak disetujui untuk pengobatan infeksi kulit dan jaringan lunak karena
banyak ditemukan stafilokokus yang resisten. Penggunaan obat ini sebaiknya
dihindarkan pada MRSA.

55
Merek dagang Levofloxacin: Armolev, Cravox, Floxacap, Levocin, Lexa, Metilev,
Prolecin, Volequin, Voxin, Cravit, Farlev, Lecrav, Levocin, LQ, Nislev, Rinvox,
VoLox, Zidalev

Indikasi dan dosis penggunaan levofloksasin adalah:

- Sinusitis bakteri akut

Dewasa: 500 mg sekali sehari, selama 10-14 hari.

- Pneumonia, infeksi kulit

Dewasa: 500 mg, 1-2 kali sehari selama 7-14 hari.

- Anthrax

Dewasa: 500 mg per hari selama 8 minggu. Anak (6 bulan ke atas): Penderita
dengan berat badan 50 kg ke bawah, dosis yang disarankan adalah 8mg/kgBB, 2
kali sehari selama 60 hari. Dosis maksimal adalah 250 mg per kali pemberian.
Penderita dengan berat badan di atas 50 kg dapat mengonsumsi 500 mg sekali
sehari, selama 60 hari.

- Infeksi ginjal (pyelonephritis) dan bronkitis kronis Dewasa: 500 mg, sekali sehari
selama 7-10 hari.

- Prostatitis bakteri kronis

Dewasa: 500 mg, sekali sehari selama 28 hari.

- Infeksi saluran kemih

Dewasa: 250 mg, sekali sehari selama 3 hari. Jika kondisi berat, dosis dapat
ditingkatkan menjadi 500 mg, sekali sehari selama 7-14 hari.

- Konjungtivitis bakteri (obat tetes mata)

Dewasa: Masukkan 1-2 tetes cairan 0.5% ke dalam mata yang terinfeksi, 8 kali
sehari, pada hari pertama dan kedua. Dosis dapat diturunkan menjadi 1-2 tetes, 4
kali sehari pada hari ketiga sampai ketujuh.

- Ulkus kornea karena bakteri (obat tetes mata)

56
Dewasa: Teteskan 1-2 tetes cairan 1,5% ke mata yang terinfeksi, setiap 30 menit
hingga 2 jam pada pagi dan siang hari, dan 4-6 jam pada malam hari, untuk 1-3 hari
pertama. Dosis kemudian dapat dikurangi menjadi 1- 2 tetes setiap 1-4 jam pada
pagi dan siang hari, selama masa pemulihan. Dosis ini juga dapat diberikan pada
anak berusia 6 tahun ke atas.

Efek samping kuinolon meliputi mual, muntah, dispepsia, nyeri lambung,


diare (jarang, kolitis terkait antibiotik), sakit kepala, pusing, gangguan tidur, ruam
(sindroma Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik), dan pruritus. Efek
samping yang jarang terjadi antara lain anoreksia, peningkatan kadar urea dan
kreatinin dalam darah, mengantuk, restlessness, astenia, depresi, bingung,
halusinasi, kejang, tremor, paraestesia, hipoastesia, fotosensitivitas, reaksi hiper-
sensitivitas termasuk demam, urtikaria, angioedema, artralgia, mialgia dan
anafilaksis serta gangguan darah (mencakup eosinofilia, leukopenia,
trombositopenia, selain itu dapat juga terjadi gangguan penglihatan, pengecapan,
pendengaran dan penciuman. Juga dilaporkan terjadinya inflamasi tendon dan
kerusakan tendon (terutama pada lansia dan penggunaan bersama kortikosteroid).
Efek samping lain yang juga dilaporkan anemia hemolitik, gagal ginjal, nefritis
interstisial dan disfungsi hati (termasuk hepatitis dan cholestatic jaundice). Obat
sebaiknya dihentikan bila terjadi reaksi hipersensitivitas (termasuk ruam berat),
reaksi neurologis atau reaksi psikiatrik (David R. Tribble, 2017).

Berdasarkan farmakodinamiknya, antibiotik dibagi menjadi 2 kelompok,


yaitu concentration dependent activity dan time dependent activity. Concentration
dependent activity adalah antibiotik yang aktivitas membunuh bakteri berkorelasi
dengan kadarnnya di dalam plasma, dan tidak tergantung pada waktu sehingga tidak
perlu dipertahankan dalam jangka waktu yang lama. Antibiotik akan menghasilkan
daya bunuh maksimal terhadap bakteri apabila kadarnya tinggi sehingga semakin
tinggi kadar antibiotik dalam plasma maka akan semakin poten pula (Katzung,
2012). Antibiotik yang termasuk dalam concentration dependent killing adalah
golongan aminoglikosida, fluorokuinolon, daptomisin, ketolid, metronidazole, dan
amfoterisin B. Sedangkan time dependent killing adalah antibiotik yang aktivitas
membunuh bakterinya berkorelasi dengan berapa lama antibiotik tersebut berada
pada kadar yang efektif untuk membunuh bakteri. Antibiotik akan menghasilkan

57
daya bunuh yang maksimal terhadap bakteri bila kadarnya dipertahankan cukup
lama di atas Kadar Hambat Minimal atau Minimal Cincentration Inhibition (MIC)
bakteri, sehingga semakin lama konsentrasi antibiotik dalam plasma lebih tinggi
dari MIC maka semakin poten. Kadar yang sangat tinggi tidak meningkatkan
efektivitas obat untuk membunuh bakteri (Deck, Daniel H. 2015). Antibiotik yang
termasuk dalam time dependent killing adalah golongan beta laktam, makrolida,
klindamisin, tetrasiklin, dan glikopeptida (Katzung, 2013).

3.12 Ciprofloksasin
Ciprofloksasin merupakan antibiotic golongan quinolone, merupakan
antibiotik yang dapat mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat.
Mekanisme antibiotik golongan kuinolon yaitu memblokir sintesis DNA bakteri
dengan menghambat bakteri topoisomerase II (DNA gyrase) dan topoisomerase IV
(Katzung, 2012). Memiliki aktivitas aktivitas yang sangat baik terhadap bakteri
aerobik gram negatif dan memiliki aktivitas terbatas terhadap organisme gram
positif. Beberapa senyawa golongan ini adalah siprofloksasin, enoksasin,
lomefloksasin, levofloksasin, ofloksasin, dan pefloksasin. fluoroquinolones
terserap baik dengan bioavailabilitas 80-95% dan didistribusikan secara luas dalam
cairan tubuh dan jaringan. Florokuinolon dieliminasi di ginjal baik sekresi tubular
atau filtrasi glomerular dan perlu penyesuaian dosis pada pasien dengan klirens
kreatinin kurang dari 50 ml/menit. Banyak digunakan untuk infeksi saluran kemih,
infeksi jaringan lunak, tulang dan sendi dan infeksi saluran intra- abdomen dan
infeksi saluran pernafasan atas dan bawah (Deck, Daniel H. 2015).

Ciprofloxacin termasuk dalam golongan antibiotik bernama


fluoroquinolone.Dokter meresepkan obat ciprofloxacin untuk mengobati atau
mencegah infeksi dari bakteri yang dapat berkembang.Pada tahun 2004, Food and
Drugs Administration (FDA) menyertakan ciprofloxacin sebagai obat generik
untuk beberapa perusahaan obat. Ciprofloksasin aktif terhadap bakteri Gram positif
dan Gram negatif. Siprofloksasin terutama aktif terhadap kuman Gram negatif
termasuk salmonella, shigella, kampilobakter, neisseria, dan
pseudomonas.Siprofloksasin hanya memiliki aktivitas yang sedang terhadap
bakteri Gram positif seperti Streptococcus pneumoniae dan Enterococcus faecalis

58
karena itu tidak boleh digunakan untuk pneumonia pneumokokus.Siprofloksasin
aktif terhadap klamidia dan beberapa mikobakteria.Sebagian besar kuman anaerob
tidak sensitif terhadap siprofloksasin.Penggunaan siprofloksasin termasuk untuk
infeksi saluran napas (tapi bukan pneumonia pneumokokus), saluran kemih, sistem
pencernaan (termasuk demam tifoid) dan gonore serta septikemia oleh organisme
yang sensititif.

Pada anak, siprofloksasin digunakan untuk infeksi pseudomonas pada fibrosis


sistik (pada anak di atas usia 5 tahun) dan juga untuk mengatasi dan mencegah
antrax inhalation. Jika manfaat pemberian melebihi risiko yang dapat ditimbulkan,
siprofloksasin dapat digunakan untuk mengatasi infeksi saluran nafas, saluran
kemih dan sistem saluran cerna (termasuk demam tifoid).Selain itu juga digunakan
untuk mengobati septikemia yang disebabkan organisme yang multi resisten
(biasanya infeksi yang diperoleh di rumah sakit) dan gonore (walaupun resistensi
meningkat).Siprofloksasin juga digunakan untuk mencegah penyakit
meningokokus.Untuk anak, tetes mata ofloksasin digunakan untuk infeksi mata.
Data mengenai pengunaaan kuinolon lain pada anak masih terbatas.

Merek dagang Ciprofloxacin: Ciproxin, Baquinor, Bestypro, Ciprofloxacin,


Cylowam, Lapiflox, Poncoflox, Quinobiotic, Rindoflox, Tequinol, Vioquin,
Wiaflox, Ciprec, Coroflox, Floksid, Phaproxin, Qinox, Renator, Siflox, Viflox,
Volinol, Ximex cylowam

Indikasi dan dosis ciprofloksasin adalah sebagai berikut:

- Infeksi saluran pernapasan dan infeksi kulit

Dewasa: 500-750 mg, 2 kali sehari selama 7-14 hari.

- Otitis eksterna berat

Dewasa: 750 mg, 2 kali sehari selama 28 hari hingga 3 bulan.

- Infeksi Ginjal:

Dewasa: 500 mg, 2 kali sehari selama 7 hari. Jika kondisi buruk, dosis dapat
dinaikkan hingga 750 mg, 2 kali sehari selama 10 hari. Jika diperlukan, obat dapat
dikonsumsi hingga 21 hari.

59
Anak (1 tahun ke atas): 10-20 mg/kgBB, 2 kali sehari selama 10-21 hari. Dosis
maksimal adalah 750 mg per kali pemberian.

- Prostatitis

Dewasa: 500-750 mg, 2 kali sehari selama 2-4 minggu. Untuk kondisi kronis, obat
dapat dikonsumsi selama 4-6 minggu.

- Tifus

Dewasa: 500 mg, 2 kali sehari selama 7 hari.

- Cervicitis dan gonore

Dewasa: 500 mg dosis tunggal.

- Radang panggul

Dewasa: 500-750 mg, 2 kali sehari selama 14 hari.

- Infeksi tulang dan sendi

Dewasa: 500-750 mg, 2 kali sehari. Maksimal konsumsi adalah 3 bulan.

- Anthrax

Dewasa: 500 mg, 2 kali sehari selama 2 bulan. Anak-anak: 10-15 mg/kgBB, 2 kali
sehari selama 2 bulan. Dosis maksimal adalah 500 mg per kali pemberian.

- Cystitis

Dewasa: 250-500 mg, 2 kali sehari selama 3 hari – 7 hari. Bagi wanita
premenopause, 500 mg dosis tunggal.

- Infeksi dalam perut

Dewasa: 500-750 mg, 2 kali sehari selama 5-14 hari.

- Ulkus kornea karena bakteri (obat tetes mata)

Dewasa: Pada hari pertama, teteskan 2 tetes cairan 0.3% ke mata yang terinfeksi
setiap 15 menit pada 6 jam pertama, dan 2 tetes setiap 30 menit setelahnya. Dosis

60
dapat dikurangi menjadi 2 tetes per jam di hari kedua, dan 2 tetes per 4 jam pada
hari ke 3-14. Maksimal penggunaan adalah 21 hari.

- Infeksi mata bagian luar (obat tetes mata)

Dewasa: Teteskan 1-2 tetes cairan 0.3% ke mata yang terinfeksi 4 kali sehari. Untuk
infeksi yang berat, dosis dapat ditingkatkan menjadi 1-2 tetes per 2 jam selama 2
hari pertama. Maksimal penggunaan adalah 21 hari.

- Otitis eksterna (obat tetes telinga)

Dewasa: Teteskan 0.25 ml setiap 12 jam ke dalam telinga yang terinfeksi, selama 7
hari.

Kuinolone adalah antibiotik sintetik yang digunakan untuk mengobati infeksi


bakteri, seperti infeksi saluran kemih, infeksi kulit, infeksi mata, infeksi telinga,
sinusitis, bronkitis, pneumonia, radang panggul, hingga infeksi menular seksual
seperti gonore.Kuinolone bekerja dengan cara menghambat enzim topoisomerase
II, yaitu enzim yang diperlukan oleh bakteri untuk memperbanyak diri. Quinolone
tersedia dalam bentuk tablet, suntik, tetes mata, serta tetes telinga.Obat ini tidak
direkomendasikan bagi yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali atas saran dokter.

Berdasarkan farmakodinamiknya, antibiotik dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu


concentration dependent activity dan time dependent activity. Concentration
dependent activity adalah antibiotik yang aktivitas membunuh bakteri berkorelasi
dengan kadarnnya di dalam plasma, dan tidak tergantung pada waktu sehingga tidak
perlu dipertahankan dalam jangka waktu yang lama. Antibiotik akan menghasilkan
daya bunuh maksimal terhadap bakteri apabila kadarnya tinggi sehingga semakin
tinggi kadar antibiotik dalam plasma maka akan semakin poten pula (Katzung,
2012). Antibiotik yang termasuk dalam concentration dependent killing adalah
golongan aminoglikosida, fluorokuinolon, daptomisin, ketolid, metronidazole, dan
amfoterisin B. Sedangkan time dependent killing adalah antibiotik yang aktivitas
membunuh bakterinya berkorelasi dengan berapa lama antibiotik tersebut berada
pada kadar yang efektif untuk membunuh bakteri. Antibiotik akan menghasilkan
daya bunuh yang maksimal terhadap bakteri bila kadarnya dipertahankan cukup

61
lama di atas Kadar Hambat Minimal atau Minimal Cincentration Inhibition (MIC)
bakteri, sehingga semakin lama konsentrasi antibiotik dalam plasma lebih tinggi
dari MIC maka semakin poten. Kadar yang sangat tinggi tidak meningkatkan
efektivitas obat untuk membunuh bakteri (Deck, Daniel H. 2015). Antibiotik yang
termasuk dalam time dependent killing adalah golongan beta laktam, makrolida,
klindamisin, tetrasiklin, dan glikopeptida (Katzung, 2013).

Peringatan pada penggunaan antibiotik kuinolon adalah:

Kuinolon kemungkinan dapat menimbulkan efek samping seperti, nyeri


sendi, kelemahan otot, kesemutan, mati rasa, linglung, dan halusinasi. Segera
konsultasikan kepada dokter bila timbul efek samping tersebut.

Hati-hati penggunaan antibiotik quinolone pada kasus sinusitis, bronkitis, dan


infeksi saluran kemih. Antibiotik quinolone digunakan sebagai pilihan terakhir, bila
dirasakan manfaatnya melebihi efek sampingnya. Antibiotik quinolone tidak
direkomendasikan untuk anak-anak (usia di bawah 18 tahun). Kuinolone masuk
dalam kategori kehamilan C, yang berarti tidak direkomendasikan penggunaannya
pada wanita hamil.

Untuk ibu menyusui, konsultasikan kepada dokter sebelum mengonsumsi


obat quinolone

Harap berhati-hati bagi yang memiliki riwayat alergi obat antibiotik quinolone.
Informasikan mengenai obat-obatan yang rutin dikonsumsi dan penyakit yang
diderita kepada dokter sebelum diresepkan obat ini, untuk mencegah efek samping
dan interaksi antar obat.

62
BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan kasus dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa:


4.1. Bakteri yang ada pada kasus yaitu Stenotrophomonas maltophilia, yang
merupakan bakteri aerob Gram negatif yang ditemukan di tanah, air, dan
berbagai lingkungan rumah sakit. Bakteri ini adalah patogen oportunis yang
dapat menyebabkan infeksi pada individu yang memiliki sistem kekebalan
tubuh yang lemah. Bakteri ini dikenal tahan terhadap banyak antibiotik yang
umum digunakan, sehingga pengobatan dapat menjadi sulit. Bakteri ini
memiliki resistensi intrinsik terhadap berbagai antibiotik seperti antibiotik
golongan beta laktam, fluorokuinolon, aminoglikosida, eritromisin,
kloramfenikol, dan tetrasiklin.
4.2. Bakteri yang paling sering ditemukan di RSUD Karsa Husada Batu:
1. Klebsiella pneumonia: bakteri Gram negatif dari famili Enterobactericeae
yang dapat ditemukan di traktus gastrointestinal dan traktus respiratori,
bakteri fakultatif anaerob, berbentuk batang pendek, tidak memiliki spora,
dan tidak memiliki flagella.
2. Staphylococcus koagulase negatif: bakteri Gram positif anaerob fakultatif,
tidak membentuk spora, dan non motil.
3. Pseudomonas aeruginosa: bakteri Gram negatif, tampak dalam bentuk
tunggal, berpasangan, kadang-kadang rantai pendek dan dapat bergerak
(motil) karena adanya satu flagel, dapat hidup dan berkembang dalam
keadaan tanpa oksigen.
4. Escherechia coli: bakteri berbentuk batang bersifat Gram negatif, fakultatif
anaerob, tidak membentuk spora, dan merupakan flora alami pada usus
mamalia.
5. Acinetobacter baumannii: bakteri basil Gram negatif yang bersifat aerobik,
pleomorfik, dan non-motil.
4.3. Resistensi antibiotik yang ada pada kasus antara lain:
- Golongan penicillin dan derivatnya: amoxycillin-clavulanate, ampicillin,
ampicillin/sulbactam, piperacillin, piperacillin/tazobactam

63
- Aminoglycosides: gentamycin, amikacin
- Fluoroquinolon: levofloxacin
- Cephalosporin: cefotaxime, cefazoline
- Carbapenem: meropenem, imipenem
- Tetrasiklin: tetrasiklin
- Lain-lain: kloramfenikol, trimethoprim/sulfametoksazol, dan aztreonam.
4.4. Antibiotik yang paling sering digunakan di RSUD Karsa Husada Batu antara
lain:
- Ceftriaxone
- Meropenem
- Cefazolin
- Levofloxacin
- Ciprofloxacin

64
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Q, Sabrina T, Diba MF, Amalia E, Putra RA. Gambaran infeksi Klebsiella
pneumoniae penghasil extended-spectrum β-lactamase (ESBL) pada pasien
covid-19 di RSUP DR. Mohammad Hoesin periode januari 2021-juni 2021.
Jambi Med Heal Sci Int Conf. 2021;10(Special Issues):186–98.
Anderson KL, Whitlock JE, Harwood VJ. 2005. Persistence and differential
survival of fecal indicator bacteria in subtropical waters and sediments.
Appl. Environ. Microbiol. 71:3041–3048
Apriyanthi D.P.RV., Laksmita A.S. WNP. Identifikasi bakteri kontaminan pada
gelang tri datu. BIOMA J Biol Makassar. 2022;7:24–33.
Asharina, I. 2017. Resistensi Antibiotik di Indonesia - Tak Usah Dulu Bermain
Undang-Undang. DOI: 10.13140/RG.2.2.21560.65281.
Becker K, Heilmann C, Peters G. Coagulase-negative staphylococci. Clin
Microbiol Rev. 2014;27(4):870–926.
Chang D., Sharma L., Cruz C.S.D. ZD. Clinical epidemiology, risk factors, and
control strategies of Klebsiella pneumoniae infection. Front Microbiol.
2021;12(750662):1–9.
Dean P, Kenny B. 2009. The effector repertoire of enteropathogenic E. coli: ganging
up on the host cell. Curr opin Microbiol. 12: 101- 109
Dewi N, Tarini NMA, Fatmawati NND. Deteksi gen fimH pada isolat klinis
Klebsiella pneumoniae di RSUP Sanglah Denpasar. e-Jurnal Med Udayana.
2019;8(4):1–6.
Di Nocera PP, Rocco F, Giannouli M, Triassi M, Zarrilli R. 2011. Organisasi genom
dari galur Acinetobacter baumannii epidemik . Mikrobiol
BMC. 11 :224. doi: 10.1186/1471-2180-11-224.
Dzen, Sjoekoer., Santoso, S., Roekistiningsih. SD. Perbedaan pola resistensi
staphylococcus koagulase negatif isolat darah terhadap antibiotika di RSU
Dr Saiful Anwar Malang pada tahun 2000-2001 dengan 2004-2005. J Kedokt
Brawijaya. 2005;21(3):127–32.
Effendi I. Identifikasi Bakteri Metode Identifikasi dan Klasifikasi Bakteri.
Pekanbaru: Oceanum Press; 2020.
Effendi MH, Kurniawan F. Detection on methicillin resistant staphylococcus aureus
(MRSA) and methicillin resistant coagulase negative staphylococci (MR-
CNS) from several dairy farms in East Java, Indonesia. Interciencia J.
2021;46(6):65–77.
Feng P. 2015. Shiga toxin-producing Escherichia coli in fresh produce: A food
safety dilemma. Di dalam: Enterohemorrhagic Escherichia coli and other
Shiga Toxin Producing E. coli. Sperandio V dan Hovde CJ, editor. Amerika:
ASM Press. Flores J, Okhuysen PC. 2010. Enterotoxigenic Escherichia coli.

65
Di dalam: Pathogenic Escherichia coli in Latin America. Torres AG ,Editor.
Bentham Science Publisher Ltd
Hafiz TA, Aldawood E, Albloshi A, Alghamdi SS, Mubaraki MA.
Stenotrophomonas maltophilia epidemiology, resistance characteristics , and
clinical outcomes: understanding of the recent three years ’ trends.
Microorganism. 2022;10(2506):1–10.
Hayati, L.N., Tyasningsih W., Praja R.N., Chusniati S., Yunita M.N. WPA. Isolasi
dan identifikasi Staphylococcus aureus pada susu kambing peranakan
etawah penderita mastitis subklinis di Kelurahan Kalipuro, Banyuwangi. J
Med Vet. 2019;2(2):76–82.
Hidayati, S. N. Darmawi, Rosmaidar, T. Armansyah, Maryulia D., Faisal J., dan
Fakhrurrazi. 2016. Pertumbuhan Escherichia coli Yang Diisolasi Dari Feses
Anak Ayam Broiler Terhadap Ekstrak Daun Salam (Syzygium polyanthum
[Wight.] Walp.). Jurnal Medika Veterinaria Vol. 10 No. 2.
Howard A, O'Donoghue M, Feeney A, Sleator RD. 2012. Acinetobacter baumannii:
an emerging opportunistic pathogen. Virulence. May 1;3(3):243-50. doi:
10.4161/viru.19700. Epub 2012 May 1. PMID: 22546906; PMCID:
PMC3442836.
Kagambega A, Martikainen O, Lienemann T, Siitonen A, Traore AS, Barro N,
Haukka K. 2012. Diarrheagenic Escherichia coli detected by 16-plex PCR
in raw meat and beaf intestines sold at local markets in Ougadougou,
Burkina Faso. Int J of Food Microbiol. 153: 154-158
Kamel FH, Jarjes SF. Essentials of bacteriology and immunology. Arbil: Erbyl
Polytechnic University; 2016.
Kaper JB, Nataro JP, Mobley HLT. 2004. Pathogenic Escherichia coli. Nat Rev
Microbiol. 2: 123-140
Karsinah, Lucky, H.M, Suharto, Mardiastuti, H.W. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi
Kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta: Binarupa Aksara.
Lin, M. F., and Lan, C. Y. 2014. Antimicrobial resistance in Acinetobacter
baumannii: from bench to bedside. World J. Clin. Cases.
Manning SD. 2010. Deadly Diseases and Epidemics: Escherichia coli Infection, Ed
ke-2. New York: Chelsea Publishers
Meriyani, H., Sanjaya, D. A., Sutariani, N. W., Juanita, R. A., Siada, N. B.
Penggunaan dan Resistensi Antibiotik di Instalasi Rawat Intensif Rumah
Sakit Umum Daerah di Bali: Studi Ekologikal selama 3 Tahun. Jurnal
Farmasi Klinik Indonesia, 2021, 10 (3): 180-189.
Montzer A. 2016. Whole genome sequencing of enterotoxigenic Escherichia coli
(ETEC): identification of ETEC lineages and novel colonization factors.
Thesis. University of Gothenburg.

66
Muchlissoh F. Potensi Sternotrophomonas maltophilia LA3B sebagai agen pupuk
hayati berbasis residu limbah padat industri agar-agar dan tepung ikan.
[Jakarta]: UIN Syarif Hidayatullah; 2019.
Murray P.R., Rosenthal K.S. PMA. Medical microbiology. 9th ed. New York:
Elsevier Inc; 2021.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2021 tentang
Pedoman Penggunaan Antibiotik.
Ryan, Kenneth J., Ahmad N., Alspaugh J.A., Drew W.L., Lagunoff M., Pottinger P.,
Reller L.B., Reller M.E., Sterling C.R. WS. Sherris Medical Microbiology.
8th ed. New Yotk: McGraw-Hill Education; 2018.
Torres AG, Hernande MMPA, Laguna YM. 2010. Overview of Escherichia coli. Di
dalam: Pathogenic Escherichia coli in Latin America. Torres AG, editor.
Bentham Science Publisher Ltd.
Yang X, Wang H. 2014. Pathogenic E. coli. Lacombe Research Centre, Lacombe.
Canada.
Yunita, S. L., Atmadani, R. N., Titani, M., Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Pengetahuan Dan Perilaku Penggunaan Antibiotika Pada Mahasiswa
Farmasi Universitas Muhammadiyah Malang. Pharmaceutical Journal of
Indonesia, 2021, 63(2): 119-

67

Anda mungkin juga menyukai