Oleh :
Pembimbing :
1
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ................................................................................................................. i
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Peta kuman berdasarkan jenis spesimen yang diperiksa kultur periode
tahun 2021 di laboratorium RSU Karsa Husada Batu ........................................ 18
Gambar 3.2 Temuan jenis mikroba di RSU Karsa Husada Batu periode tahun
2021 .................................................................................................................. 19
Gambar 3.3 Peta pola kuman dirawat inap dan rawat jalan periode tahun 2021
RSU Karsa Husada ........................................................................................... 19
Gambar 3.6 Pewarnaan Gram Staphylococcus aureus pada kultur darah ............ 41
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Waktu generasi E. coli O157:H7 di media TSB pada berbagai suhu ... 24
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
meropenem, hasil kultur sputum telah keluar. Dari hasil kultur sputum pasien,
didapatkan bakteri Stenotrophomonas maltophilia yang resisten terhadap 16
jenis antibiotik, antara lain amoxycillin-clavulanate, ampicillin,
ampicillin/sulbactam, piperacillin, piperacillin/tazobactam, gentamycin,
amikacin, levofloxacin, cefotaxime, cefazoline, meropenem, imipenem,
tetracycline, chloramphenicol, trimethoprim/sulfamethoxazole, dan
aztreonam. Dari hasil tersebut, diketahui bahwa pasien resisten terhadap
meropenem, padahal sebelum hasil kultur keluar, pasien telah diberikan
meropenem selama 7 hari. Meropenem merupakan antibiotik yang sering
digunakan di RSUD Karsa Husada Batu setelah ceftriaxon. Antibiotik
meropenem kemudian diganti dengan azithromycin. Namun, pada akhirnya
pasien meninggal setelah 14 hari dirawat di RSUD Karsa Husada Batu.
Muncul dan berkembangnya mikroba resisten terjadi karena tekanan
seleksi (selection pressure) yang berhubungan dengan penggunaan antibiotik,
dan penyebaran bakteri resisten. Tekanan seleksi resistensi dapat dihambat
dengan menggunakan antibiotik secara bijak, sedangkan proses penyebaran
dapat dihambat dengan mengendalikan infeksi secara optimal (PMK, 2021).
1.3. Tujuan
1.3.1. Mengetahui karakteristik bakteri yang ada pada kasus.
1.3.2. Mengetahui karakteristik bakteri bakteri yang paling sering ditemukan di
RSUD Karsa Husada Batu.
1.3.3. Mengetahui resistensi antibiotik yang ada pada kasus.
2
1.3.4. Mengetahui antibiotik yang paling sering digunakan di RSUD Karsa
Husada Batu.
1.4. Manfaat
1.4.1. Manfaat Akademik
Diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang
antibiotik dan resistensi antibiotik.
1.4.2. Manfaat Aplikatif
Diharapkan dapat menjadi acuan bagi kasus selanjutnya yang
berkaitan dengan resistensi antibiotik.
3
BAB II
KASUS
Rincian mengenai kondisi pasien selama dirawat ianp yang telah dirangkum
berdasarkan catatan perkembangan pasien terintegrasi dapat dilihat pada Tabel 2.2
4
Tabel 2.2 Catatan rawat inap pasien
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
23/2/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 111 DOC DL, Koagulasi, Kimia Diet cair 6x200cc
belum dapat diajak TD: 95/58 mmHg Riwayat tumor Darah, Elektrolit, Drip pantoprazole 8mg/jam
komunikasi HR: 121x/menit otak post Mikrobiologi Klinik, Drip NE 0,05-1 mg
RR: 41x/menit trepanasi Rontgen Thorax Infus NS 14 tpm
Suhu: 38oC Respiratory Infus PCT 1 Gram
SpO2: 100% on NRBM 10 Failure GDA 100 mg/dL IV Omeprazol 40 mg
lpm Syok sepsis IV Ondansetron 4 mg
Anemia IV Citicolin 250 mg
K/L: Trombositopeni IV Dexamethason 10 mg
a/i/c/d : +/-/-/- Azotemia IV Fenitoin 100 mg
KGB : dbn, massa (-) AKI IV Meropenem 2x1 Gram
Hematemesis IV Metoclopramide 3 x 10
Thorax: Hidrochepalus mg
Cor: S1 S2 regular, mur IV Asam Mefenamat 500
mur (-) gallop (-) mg
PO Sucralfat 3 x CI
Pulmo:
Ves ++ Rh - - Wh - -
++ -- --
++ -- --
Abdomen:
Bising usus: 10x/menit
Nyeri tekan:
− − −
− − −
− − −
Ekstremitas:
AHKM + + , Edema - -
CRT <2s + + --
5
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
24/2/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 111 DOC DL Post Koreksi, Diet cair 6x200cc TTV. Klinis
belum dapat diajak TD: 178/80 mmHg Riwayat tumor Kultur Darah, FH Drip pantoprazole 8mg/jam
komunikasi HR: 138x/menit otak post Drip NE 0,05-1 mg Darah Lengkap
RR: 24 trepanasi Lab. Koagulasi Infus NS 14 tpm HGB 14
Suhu: 37oC Respiratory PPT 12.3 H IV Meropenem 2x1 Gram RBC 4.49
SpO2: 100% on ventilator Failure APTT 46.8 H IV Metoclopramide 3 x 10 HCT 40
FiO2 40% Syok sepsis mg MCV 89.1
Anemia IV Asam Mefenamat 500 mg MCH 31.2
Kimia Darah
PO Sucralfat 3 x CI MCHC 35
K/L: Trombositopeni Ureum 108.4 H
IV Vitamin K 3x1 WBC 21.55 H
a/i/c/d : +/-/-/- Azotemia Creatinin P 2.19 H
Hitung Jenis
KGB : dbn, massa (-) AKI GDS 127 CT scan kepala EO% 0.0 L
Hematemesis Lesi isodense dengan area BASO% 0.3
Thorax: Hidrochepalus Elektrolit hydrocepha di supracella, NEUT% 79.9 H
Cor: S1 S2 regular, mur Na+ 138.5 curiga suatu gambaran LYMPH% 15.1 L
mur (-) gallop (-) K+ 3.88 massa dengan perdarahan MONO% 4.7 H
Cl- 107.4 Acute-subacute ischaemic PLT 133 L
Pulmo: cerebral infarction pada LED 25 H
Ves ++ Rh - - Wh - - Mikrobiologi Klinik regio frontal sinistra (bekas Kimia Darah
++ -- -- Darah Kanan : shunt) dengan herniasi SGOT 223 H
++ -- -- Tidak ditemukan subfalcine sejauh +/- 0,9 SGPT 114 H
pertumbuhan koloni cm ke sisi dextra Ureum 203.9 H
Abdomen: kuman (Aerob) Terpasang shunt dengan tip Creatinin P 4.38 H
Bising usus: 10x/menit Darah Kiri : pada ventrikel laterals GDS 100
Nyeri tekan: Tidak ditemukan dextra Elektrolit
− − − pertumbuhan koloni Brain edema Na+ 133.2 L
− − − kuman (Aerob) Non-communicating K+ 4.06
− − − hydrocephalus Cl- 106
Sinusitis maksilaris sinistra Analisis Gas Darah
Rontgen Thorax AP
Ekstremitas: pH 7.416
Susp. Cardiomegali
AHKM + + CRT <2s PCO2 13.4 L
++ PO2 356 H
Edema - - TCO2 9 L
-- HCO3 8.6 L
BE ecf -16 L
6
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
25/2/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 1X3 DOC DL, Analisis Gas Darah Diet cair 6x200cc TTV
belum dapat diajak TD: 115/75 mmHg Hidrocephalus Drip NE 0,05-1 mg Klinis
komunikasi HR: 97x/menit post EDH Darah Lengkap Infus NS 14 tpm
RR: 24 Trombositopenia GDS : 163 IV Meropenem 2x1 Gram
Suhu: 37oC (perbaikan) HGB 11.8 L IV Metoclopramide 3 x 10
SpO2: 100% on ventilator Azotemia ec RBC 3.73 L mg
PSIMV FiO2 70% AKI HCT 33.7 L IV PAntoprazol 1x40 mg
Hematemesis MCV 90.3 PO Sucralfat 3 x CI
MCH 31.6
K/L: (perbaikan) PO Vit. K 3x10mg
MCHC 35
a/i/c/d : +/-/-/- Sepsis dan syok
WBC 28.92 H
KGB : dbn, massa (-) septik Hitung Jenis
EO% 0.0 L
Thorax: BASO% 0.2
Cor: S1 S2 regular, mur NEUT% 84 H
mur (-) gallop (-) LYMPH% 9.6 L
MONO% 6.2 H
Pulmo: PLT 197
Ves ++ Rh - - Wh - - LED 35 H
++ -- -- Kimia Darah
++ -- -- Ureum 165.3 H
Creatinin P 3.64 H
Abdomen: Elektrolit
Bising usus: 10x/menit Na+ 137
Nyeri tekan: K+ 3.57
− − − Cl- 110.4 H
− − − Analisis Gas Darah
− − − pH 7.436
PCO2 18.5 L
Ekstremitas: PO2 79 L
AHKM + + CRT <2s TCO2 13 L
++ HCO3 12.4 L
Edema - - BE ecf -12 L
--
7
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
26/2/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 2X5 DOC GDA Diet sonde 6x200cc - TTV
belum dapat diajak TD: 109/98 mmHg Post EDH Infus NS 14 tpm - Klinis
komunikasi HR: 73x/menit Sepsis DL (26/2/23) Drip norphagen habis
RR: 29x/menit Syok Sepsis Hb: 10.1 L STOP
Suhu: 38oC RBC 3.25 L Drip meropenem 2x1
SpO2: 100% on ventilator HCT 29.5 L gr/hari
PSIMV peep 5 FiO2 40% MCV 90,8 Drip NE 0,5-
MCH 31.1 1mg/kgBB/menit
K/L: WBC 20.97 H IV Metoclopramide 3 x 10
a/i/c/d : +/-/-/- EO% 0.4 L mg
KGB : dbn, massa (-) BASO% 0,2 IV Pantoprazol 1x40 mg
NEUT% 68.4 IV paracetamol 3x1Gram
Thorax: LYMPH% 26.2 PO Sucralfat syr 3 x CI
Cor: S1 S2 regular, mur MONO% 4.8 PO Vit K 3x10 gr
mur (-) gallop (-) PLT 149 L
LED 20
Pulmo: PPT 11.5
Ves ++ Rh - - Wh - - APTT 21.0
++ -- -- GDS 145
++ -- --
BGA (26/2/23)
Abdomen: pH 7.514 H
Bising usus: 10x/menit PCO2 21.5 L
Nyeri tekan: PO2 221 H
− − − TCO2 18L
− − − HCO3 17.3L
− − − Be ecf -6.0L
SO2 100
Ekstremitas:
AHKM + + Edema - -
CRT <2s + + --
8
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
27/2/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 2X2 1. DOC Kultur darah Drip NE 0,5- TTV.
belum dapat diajak TD: 134/85 mmHg 1.1 sepsis Kultur sputum 1mg/kgBB/menit Klinis
komunikasi HR: 82x/menit 1.2 tumor serebri UL Rehidrasi NS dulu 500 cc SE Ulang besok
RR: 34 v + Albumin dalam 1 jam dilanjutkan
Urin output 3300 Suhu: 36,3oC hidrocephalus NS 20 tpm
cc/24 jam SpO2: 100% on ventilator 2. hypernatremia Drip norphagen STOP
PSV peep 5 FiO2 40% 3. sepsis LAB (27/2/23) IV Metoclopramide 3 x 10
4. sepsis syok PPT 12.5 H mg
5. AKI (perbaikan) APTT 22.8 L IV Pantoprazol 1x40 mg
K/L: 6. Hydrocephalus SGPT 124 H IV paracetamol 3x1Gram
a/i/c/d : -/-/-/- e.c tumor SGOT K/P Demam
KGB : dbn, massa (-) intracranial 82 H PO Sucralfat 3 x CI
7. Trombositopenia Ur 95.6 H PO Heparmin 3x1
Thorax: 8. Tumor Cr 1.34 H PO KSR 2X600mg
Cor: S1 S2 regular, intrakranial PO Vitamin K 3x1
murmur (-) gallop (-) 9. Hipokalemi SE (27/2/23) STOP
Na 146.4 H
Pulmo: K 3.31 L
Ves ++ Rh - - Wh - - Cl 117 HH
++ -- --
++ -- -- BGA (27/2/23)
pH 7.37o
Abdomen: PCO2 34.1 L
Bising usus: 15x/menit PO2 82.0
Nyeri tekan: TCO2 21 L
− − − HCO3 19.7 L
− − − Be ecf -6
− − − SO2 96
Kesimpulan: asidosis
Ekstremitas:
metabolic
AHKM + + Edema - -
terkompensasi
CRT <2s + + --
sempurna
9
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
28/2/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 3X2 DOC - Drip NE 0,5- TTV
belum dapat diajak TD: 132/82 mmHg Hypernatremia 1mg/kgBB/menit Klinis
komunikasi HR: 118x/menit Hematemesis Albumin (28/2/23): 3.6 Rehidrasi NS dulu 500 cc SE Ulang Besok
RR: 27 Sepsis GDS (28/2/23): 140 dalam 1 jam dilanjutkan
Suhu: 36.7oC Hydrocephalus SE (28/2/23) NS 20 tpm
SpO2: 100% on ventilator Tumor intracranial Na 147,2 H Drip norphagen STOP
PSV peep 5 FiO2 40% Sepsis K 3.63 IV Metoclopramide 3 x 10
Septic shock Cl 114,5 H mg
K/L: Prolong FH BGA (28/2/23)
IV Pantoprazol 1x40 mg
a/i/c/d : -/-/-/- Increase transaminitis pH 7.54 H IV paracetamol 3x1Gram
KGB : dbn, massa (-) Hipokalemi PCO2 20.8 L K/P Demam
(perbaikan) PO2 180 PO Sucralfat 3 x CI
Thorax: TCO2 19 L PO Heparmin 3x1
Cor: S1 S2 regular, mur HCO3 18.1 L PO KSR 2X600mg
mur (-) gallop (-) Be ecf -4 L STOP
SO2 100
Pulmo: UL (28/2/23)
Ves ++ Rh - - Wh - - Warna kuning tua
++ -- -- Keadaan keruh
++ -- -- pH 7.0
Albumin +1
Abdomen: Reduksi negatif
Bising usus: 12x/menit Urobilin +2
Nyeri tekan: Lekosit +1
− − − Blood +4
− − − Keton +3
− − − Silinder 1-3 eritrosit
Leukosit 6-8 sel/LPB
Ekstremitas: Eritrosit penuh sel/LPB
AHKM + + Edema - - Epitel (+) E. gepeng,
CRT <2s + + -- (+) E. bulat
Kristal negatif
Lain-lain bakteri (+)
10
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
28/2/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 3X2 DOC - Drip NE 0,5- TTV
belum dapat diajak TD: 132/82 mmHg Hypernatremia 1mg/kgBB/menit Klinis
komunikasi HR: 118x/menit Hematemesis Albumin (28/2/23): 3.6 Rehidrasi NS dulu 500 cc SE Ulang Besok
RR: 27 Sepsis GDS (28/2/23): 140 dalam 1 jam dilanjutkan
Suhu: 36.7oC Hydrocephalus SE (28/2/23) NS 20 tpm
SpO2: 100% on ventilator Tumor intracranial Na 147,2 H Drip norphagen STOP
PSV peep 5 FiO2 40% Sepsis K 3.63 IV Metoclopramide 3 x 10
Septic shock Cl 114,5 H mg
K/L: Prolong FH BGA (28/2/23)
IV Pantoprazol 1x40 mg
a/i/c/d : -/-/-/- Increase transaminitis pH 7.54 H IV paracetamol 3x1Gram
KGB : dbn, massa (-) Hipokalemi PCO2 20.8 L K/P Demam
(perbaikan) PO2 180 PO Sucralfat 3 x CI
Thorax: TCO2 19 L PO Heparmin 3x1
Cor: S1 S2 regular, mur HCO3 18.1 L PO KSR 2X600mg
mur (-) gallop (-) Be ecf -4 L STOP
SO2 100
Pulmo: UL (28/2/23)
Ves ++ Rh - - Wh - - Warna kuning tua
++ -- -- Keadaan keruh
++ -- -- pH 7.0
Albumin +1
Abdomen: Reduksi negatif
Bising usus: 12x/menit Urobilin +2
Nyeri tekan: Lekosit +1
− − − Blood +4
− − − Keton +3
− − − Silinder 1-3 eritrosit
Leukosit 6-8 sel/LPB
Ekstremitas: Eritrosit penuh sel/LPB
AHKM + + Edema - - Epitel (+) E. gepeng,
CRT <2s + + -- (+) E. bulat
Kristal negatif
Lain-lain bakteri (+)
11
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
1/3/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 1X1 DOC Kultur darah, kultur Drip NE 0,05-1 - TTV
belum dapat diajak TD: 140/93 mmHg Hypernatremia urine mcg/kgBB - Klinis
komunikasi HR: 111x/menit Hematemesis Infus NS 20 tpm - Produksi urine
RR: 37x/menit Sepsis Darah Lengkap IV Meropenem 2x1 g
Urine output: 1800 Suhu: 36,7oC Hydrocephalus HGB 9.3L IV Metoclopramide 3 x 10
cc/24 jam, warna SpO2: 100% on ventilator Tumor intracranial RBC 2.95L mg
kuning kemerahan PSV peep 4 FiO2 40% Sepsis HCT 28.0L IV Pantoprazol 1x40 mg
Septic shock MCV 94.9 IV Paracetamol 3x1Gram
Prolong FH MCH 33.2 PO Sucralfat 3 x CI
K/L: Increase transaminitis WBC 20.08H PO heparmin 3x1 tab
a/i/c/d : +/-/-/- Hipokalemi Hitung Jenis
KGB : dbn, massa (-) (perbaikan) EO% 1.8
BASO% 0.4
Thorax: NEUT% 76.7H
Cor: S1 S2 regular, mur LYMPH% 16,5L
mur (-) gallop (-) MONO% 4.6
PLT 140
Pulmo: LED 15
Ves ++ Rh - - Wh - - Kimia Darah
++ -- -- GDS 134
++ -- -- Ureum 95.2H
Creatinin P 1.35H
Abdomen: Elektrolit
Bising usus: 10x/menit Na+ 142
Nyeri tekan: K+ 4.10
− − − Cl- 113.0H
− − − Kultur Darah
− − − Darah kanan dan kiri:
Tidak ditemukan
Ekstremitas:
pertumbuhan koloni
AHKM + + Edema - -
kuman (Aerob)
CRT <2s + + --
12
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
2/3/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 2X2 DOC - Drip NE 0,05-1 - TTV
belum dapat diajak TD: 140/80 mmHg Hypernatremia mcg/kgBB - Klinis
komunikasi HR: 94x/menit Hematemesis Kimia Darah Infus NS 20 tpm - Produksi urine
RR: 24x/menit Sepsis GDS 144 IV Ceftazidim 3x2 g
Suhu: 37,0o C Hydrocephalus Analisa Gas Darah IV Metoclopramide 3 x 10
SpO2: 100% on ventilator Tumor intracranial pH 7.572 H mg
PSV peep 4 FiO2 40% Sepsis pCO2 17.1 LL IV Pantoprazol 1x40 mg
Septic shock pO2 208.0 H IV Paracetamol 3x1Gram
Prolong FH TCO2 16 L PO Sucralfat 3 x CI
K/L: Increase transaminitis HCO3 15.7 L PO heparmin 3x1 tab
a/i/c/d : +/-/-/- Hipokalemi BE ecf -6.0 L
KGB : dbn, massa (-) (perbaikan) SO2 100
Kesimpulan: alkalosis
Thorax: respiratorik
Cor: S1 S2 regular, mur Kultur Sputum:
mur (-) gallop (-) ZN:
Tidak ditemukan
Pulmo: bakteri tahan asam
Ves ++ Rh - - Wh - - Gram:
++ -- -- - Tampak bentukan
++ -- -- bakteri coccus gram
positif dan batang
Abdomen: gram negatif
Bising usus: 10x/menit - Yeast cell (+)
Nyeri tekan: - Hyphae (+)
− − − - Sel epitel (2+)
− − − - Sel radang (2+)
− − − Biakan kultur:
Stenotrophomonas
Ekstremitas:
maltophilia
AHKM + + Edema - -
Antibiotik yang
CRT <2s + + --
direkomendasikan:
Ceftazidime (I)
13
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
3/3/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 2X2 DOC - Drip NE 0,05-1 - TTV
belum dapat diajak TD: 130/92 mmHg Hypernatremia mcg/kgBB - Klinis
komunikasi HR: 96x/menit Hematemesis Infus NS 20 tpm - Produksi urine
RR: 24x/menit Sepsis IV Azitromisin 1x500 mg
Urine output: 1900 Suhu: 37,0o C Hydrocephalus IV Metoclopramide 3 x 10
cc/24 jam, warna SpO2: 100% on ventilator Tumor intracranial mg
kuning PSV peep 4 FiO2 40% Sepsis IV Pantoprazol 1x40 mg
Septic shock IV Paracetamol 3x1Gram
Prolong FH PO Sucralfat 3 x CI
K/L: Increase transaminitis PO heparmin 3x1 tab
a/i/c/d : +/-/-/- Hipokalemi
KGB : dbn, massa (-) (perbaikan)
Thorax:
Cor: S1 S2 regular, mur
mur (-) gallop (-)
Pulmo:
Ves ++ Rh - - Wh - -
++ -- --
++ -- --
Abdomen:
Bising usus: 10x/menit
Nyeri tekan:
− − −
− − −
− − −
Ekstremitas:
AHKM + + Edema - -
CRT <2s + + --
14
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
04/3/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 2X2 DOC DL, UR/Cr, Serum Diet cair 6x200cc - TTV
belum dapat diajak TD: 120/98 mmHg Septic syok Elektrolit Infus NS 20 tpm - Klinis
komunikasi HR: 110x/menit Tumor intrakranial Drip NE 0,5-1mg p
RR: 20x/menit Darah Lengkap IV azitromicyn 1x500mg
Suhu: 38oC GDS : 134 IV Metoclopramide 3 x 10
SpO2: 100% on ventilator HGB 9.3L mg
PSV peep 4 FiO2 40% RBC 2.95L IV PAntoprazol 1x40 mg
HCT 28.0L IV paracetamol 3x1Gram
MCV 94.9 PO Sucralfat 3 x CI
K/L: MCH 33.2 PO heparmin 3x1 tab
a/i/c/d : +/-/-/- WBC 20.08H
KGB : dbn, massa (-) Hitung Jenis
EO% 1.8
Thorax: BASO% 0.4
Cor: S1 S2 regular, mur NEUT% 76.7H
mur (-) gallop (-) LYMPH% 16,5L
MONO% 4.6
Pulmo: PLT 140
Ves ++ Rh - - Wh - - LED 15
++ -- -- Kimia Darah
++ -- -- Ureum 95.2H
Creatinin P 1.35H
Abdomen: Elektrolit
Bising usus: 10x/menit Na+ 142
Nyeri tekan: K+ 4.10
− − − Cl- 113.0H
− − −
− − −
Ekstremitas:
AHKM + + Edema - -
CRT <2s + + --
15
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
05/3/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 1X2 DOC Diet cair 6x200cc TTV. Klinis
belum dapat diajak TD: 118/84 mmHg Septic syok - Drip pantoprazole
komunikasi HR: 120x/menit Tumor intrakranial Darah Lengkap 8mg/jam
RR: 20 GDS : 134 Drip NE 0,05-1 mg
Suhu: 36oC HGB 9.3L Infus NS 14 tpm
SpO2: 100% on ventilator RBC 2.95L IV Meropenem 2x1 Gram
PSV peep 4 FiO2 40% HCT 28.0L IV Metoclopramide 3 x 10
MCV 94.9 mg
MCH 33.2 IV Asam Mefenamat 500
K/L: WBC 20.08H mg
a/i/c/d : +/-/-/- Hitung Jenis PO Sucralfat 3 x CI
KGB : dbn, massa (-) EO% 1.8 IV Vitamin K 3x1
BASO% 0.4
Thorax: NEUT% 76.7H
Cor: S1 S2 regular, mur LYMPH% 16,5L
mur (-) gallop (-) MONO% 4.6
PLT 140
Pulmo: LED 15
Ves ++ Rh - - Wh - - Kimia Darah
++ -- -- Ureum 95.2H
++ -- -- Creatinin P 1.35H
Elektrolit
Abdomen: Na+ 142
Bising usus: 10x/menit K+ 4.10
Nyeri tekan: Cl- 113.0H
− − −
− − −
− − −
Ekstremitas:
AHKM + + Edema - -
CRT <2s + + --
16
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
06/3/2023 Pasien belum sadar dan KU: lemah GCS: 3X2 DOC DL post tranfusi Diet cair 6x200cc TTV
belum dapat diajak TD: 110/85 mmHg Septic syok Infus NS 20 tpm Klinis
komunikasi HR: 90x/menit Tumor intracranial Darah Lengkap Tranfusi PRC 2 labu,
RR: 23 GDS : 163 premed dipenhindramin
Suhu: 37oC HGB 7.0L 10mg
SpO2: 100% on ventilator RBC 2.19L IV azitromicyn 1x500mg
PSV peep 4 FiO2 40% HCT 21.5L IV Metoclopramide 3 x 10
MCV 98.2H mg
K/L: MCH 32.0 IV PAntoprazol 1x40 mg
a/i/c/d : +/-/-/- MCHC 35 IV paracetamol 3x1Gram
KGB : dbn, massa (-) WBC 11.20H PO Sucralfat 3 x CI
Hitung Jenis PO heparmin 3x1 tab
Thorax: EO% 4.5H
Cor: S1 S2 regular, mur BASO% 0.4
mur (-) gallop (-) NEUT% 69.3
LYMPH% 21.2
Pulmo: MONO% 4.6
Ves ++ Rh - - Wh - - PLT 161
++ -- -- LED 15
++ -- -- Kimia Darah
Ureum 76.3H
Abdomen: Creatinin P 0.90
Bising usus: 10x/menit Elektrolit
Nyeri tekan: Na+ 139.0
− − − K+ 4.30
− − − Cl- 113.0H
− − − Analisis Gas Darah
pH 7.482H
Ekstremitas:
PCO2 24.8L
AHKM + + Edema - -
PO2 184.0H
CRT <2s + + --
TCO2 19L
HCO3 18.5 L
BE ecf -5.0 L
17
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
07/3/2023 Pasien belum bisa KU: Lemah GCS: Pneumonia DOC dt - Sp.PD: DL post transfusi
komunikasi 3x2 tumor intraventrikel Infus NS 20 tpm TTV
TD: 104/77 mmHg Respiratory failure Hematologi Transfusi PRC 2 labu Produksi urine: 1200
HR: 130x/menit Sepic syok HGB 8.6 L premed dipenhiramin 10 cc/24 jam
RR: 30-34x/menit Anemia RBC 2.89 L mg iv
Suhu: 36°C HCT 26.6 L Inj. Azithromycin 1x500
SpO2: 100% on MCV 90.0 mg iv (hari ke-5)
tracheocanule 10 lpm MCHC 33.1 Inj. Metoclopramide 1x10
MCH 29.8 mg iv
K/L: WBC 10.84 H Inj. Pantoprazol 1x40 mg
a/i/c/d : +/-/-/+ EO% 4.0 H iv
KGB dbn BASO% 0.4 Inj. Paracetamol 3x1 g kp
NEUT% 76.9 H PO Sucralfat 3xC1
Thorax: LYMP% 15.6 L PO Heparmin 3x1
Cor: S1 S2 reguler, MONO% 3.1
murmur (-), gallop (-) PLT 166 Sp.BS:
LED 25 H Inj. Piracetam 3x3 g iv
Pulmo: Inj. Citicoline 2x500 mg iv
Ves + + Rh - - Wh - -
++ -- - Sp.An:
- Inj. Santagesik 3x1 g iv
++ -- - Inf. Fluconazole 1x200 mg
- iv
Abdomen: Nebul combivent 3x1 resp
Bising usus: (+) N
Nyeri tekan:
− − −
− − −
− − −
Ekstremitas:
AHKM + + , Edema - -
CRT <2s + + --
18
Tanggal Subjective Objective Asessment Planning Diagnosa Planning Therapy Planning Monitoring
08/3/2023 Kesadaran menurun KU: Lemah GCS: Pneumonia DOC dt - Sp.PD: TTV
3x1 tumor intraventrikel Infus NS 20 tpm Produksi urine: 320
TD: 98/81 mmHg Respiratory failure Hematologi Inj. Azithromycin 1x500 cc/24 jam
HR: 145x/menit Sepic syok HGB 13 mg iv (hari ke-6) BGA
RR: 28x/menit Anemia RBC 4.39 Inj. Metoclopramide 1x10 Ur Cr
Suhu: 36°C HCT 38.2 mg iv SE
SpO2: 97% on JR MCV 87.0 Inj. Pantoprazol 1x40 mg DL ulang
MCHC 34.0 iv
K/L: MCH 29.6 Inj. Paracetamol 3x1 g kp
a/i/c/d : -/-/-/+ WBC 16.89 H PO Sucralfat 3xC1
KGB dbn EO% 3.4 H PO Heparmin 3x1
BASO% 0.5 Inj. Furesemide 40 mg xtra
Thorax: NEUT% 88.2 H PO Captopril 25 mg
Cor: S1 S2 reguler, LYMP% 4.5 L Inj. Digoxin 0,5 mg iv
murmur (-), gallop (-) MONO% 3.4 slow
PLT 221 Konsul cardio dengan SVT
Pulmo: LED 15
Ves + + Rh - - Wh - - Sp.JP:
++ -- - Analisis Gas Darah Drip amiodaron 300 mg
- pH 7.334 L habis dalam 6 jam lanjut
++ -- - PCO2 33.0 L drip 600 mg habis dalam
- PO2 125.0 H 18 jam
Abdomen: TCO2 19 L Drip vascon 0,05-1
Bising usus: (+) N HCO3 17.6 mcg/kgBB/menit
Nyeri tekan: BE ecf -0.8 L
− − − SO2 99 Sp.BS:
− − − Inj. Piracetam 3x3 g iv
− − − Inj. Citicoline 2x500 mg iv
Ekstremitas:
Sp.An:
AHKM + + , Edema - -
Ganti JR
CRT <2s + + --
Suction rutin
19
Pada 8/3/2023, pasien mengalami penurunan kesadaran dan desaturasi
pukul 14.00 WIB. Kemudian dari dokter Sp.An alat bantu napas diganti dengan JR
dan dilakukan suction rutin. Keluarga diberikan KIE mengenai perburukan kondisi
yang terjadi pada pasien dan resusitasi pada pukul 14.30 WIB. Dari dokter Sp.PD
diberikan drip dobutamine. Kondisi pasien GCS 1x1, pupil anisokor (+), refleks
cahaya (-), TD: 65/42 mmHg, HR: 78x/menit, Suhu: 36,9°C, RR 12 O2 tracheo
dengan JR 15 lpm. Pasien diberikan drip amiodaron 600 mg dalam 18 jam dan drip
NE dosis 1 mcg/kgBB/menit. Pasien mengalami apnea, arrest, pupil midriasis
naksimal, nadi tidak teraba. Pasien DNR. Pasien dinyatakan meninggal dunia pukul
18.30 WIB.
20
BAB III
PEMBAHASAN
Gambar 3.1 Peta kuman berdasarkan jenis spesimen yang diperiksa kultur
periode tahun 2021 di laboratorium RSU Karsa Husada
Pada tahun 2021, RSUD Karsa Husada mengambil sebanyak 947 spesimen
untuk dilakukan pemeriksaan kultur. Beberapa jenis spesimen yang digunakan
berupa spesimen darah, urine, sputum, pus, dan beberapa jenis spesimen lain. Jenis
spesimen yang paling banyak digunakan untuk di kultur pada tahun 2021 di RSUD
Karsa Husada adalah spesimen darah. Spesimen darah yang diambil berjumlah 566
spesimen atau sekitar 59.8% dari jumlah keselurahan. Spesimen kedua yang paling
banyak digunakan adalah spesimen urin yang berjumlah 222 spesimen (23,4%),
kemudian diikuti dengan spesimen sputum yyang berjumlah 91 spesimen (9,6%),
spesimen pus berjumlah 25 spesimen (2,6%) dan spesimen lain berjumlah 43
spesimen (4,5%).
21
Gambar 3.2 Temuan jenis mikroba di RSU Karsa Husada periode tahun 2021
Berdasarkan hasil kultur yang didapat dari spesimen yang digunakan diatas,
telah didapatkan beberapa jenis mikroba. Kemudian dari banyaknya jenis mikroba
yang ditemukan dikelompokkan Kembali menjadi 5 besar mikroba yang paling
sering ditemukan di RS Karsa Husada. Jenis mikroba yang paling banyak
ditemukan di RS Karsa Husada adalah Klebsiella pneumonia yang berjumlah 92
sampel diikuti oleh Staphylococcus koagulase negatif berjumlah 90 sampel,
kemudian Pseudomonas aeruginosa berjumlah 41 sampel, Escherichia coli
berjumlah 42 sampel dan yang terakhir Acinetobacter boumanrii berjumlah 40
sampel.
Gambar 3.3 Peta pola kuman dirawat inap dan rawat jalan periode tahun 2021
RSU Karsa Husada
Berikut merupakan peta pola kuman di unit rawat inap dan rawat jalan periode
tahun 2021 di RSUD Karsa Husada. Peta kuman dibuat berdasarkan standar CLSI
22
2019 (Clinicalan Laboratory Standards Institution) dimana nilai minimal jumlah
sampel yang dimasukkan adalah 30 sampel. Dengan rumus perhitungan:
Jumlah antimikroba
Sensitivitas: × 100%
jumlah isolat
23
sensitivitas terbaik berdasarkan hasil kultur yang didapat dengan menyesuaikan
klinis dan kebutuhan lain serta pertimbangan pertimbangan lain dalam penentuan
pemakaian maupun pemilihan antibiotik. Jenis-jenis antimikroba yang tertera pada
peta kuman berdasarkan jenis reaktan yang tersedia pada alat yang sudah otomatis
diatur bukan berdasarkan ketersediaan di apotik. Ketersediaan obat di apotik juga
dapat dijadikan pertimbangan dalam pemilihan antimikroba/antibiotik oleh dokter.
Peta kuman ini diharapkan juga dapat menjadi ‘rambu-rambu’ bagi para dokter agar
tidak semena-mena dalam memberikan antibiotik/antimikroba.
Hal-hal yang tidak dapat dikontrol dari pembuatan peta kuman ini antara lain,
proses dan cara pengambilan sampel serta pembuatannya yang memungkinkan
terdapat kontaminan pada hasil kultur. Selain itu, kepatuhan pasien dalam
mengkonsumsi antibiotik terutama pada pasien rawat jalan karena tidak ada alat
yang bisa mengontrol penggunaan antimikroba/antibiotik pasien dalam minum obat
di rumah. Pada peta kuman yang disajikan, hasil yang kurang valid tertera pada
Streptococcus sp, Enterococcus faecalis, dan Enterobacter cloacae dikarenakan
jumlah isolat yang digunakan kurang dari 30 isolat. Meskipun hasil ini dianggap
kurang valid, tetapi tetap disajikan karena kasusnya cukup sering ditemukan
sehingga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan pula bagi dokter.
24
diarrheagenic E. coli (DEC) terdiri dari enam jenis, yaitu enterotoxigenic E. coli
(ETEC), enteropathogenic E. coli (EPEC), enterohemorrhagic E. coli (EHEC),
enteroinvasive E. coli (EIEC), enteroaggregative E. coli (EAEC), dan diffusely
adherent E. coli (DAEC) (Kaper et al. 2004). Empat jenis E. coli yaitu ETEC,
EPEC, EHEC, dan EIEC diketahui merupakan bakteri penyebab penyakit yang
berasosiasi dengan pangan (foodborne illness) (FDA 2011). Beberapa hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa EAEC merupakan bakteri yang
mengontaminasi pangan dan menyebabkan diare (Kagambega et al. 2012).
Escherichia coli dibagi menjadi 3 kelompok besar berdasarkan interaksinya dengan
inang (manusia), yaitu (1) non patogen (komensal), (2) patogen saluran pencernaan,
dan (3) patogen diluar saluran 2 pencernaan (ekstraintestinal). Klasifikasi ini
terutama didasarkan pada ada atau tidak adanya daerah DNA yang sering dikaitkan
dengan patotipe tertentu. Klasifikasi Escherichia coli:
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gamma Proteobacteria
Ordo : Enterobacteriales
Famili : Enterobacteriaceae
Genus : Escherichia
Spesies : Escherichia coli
2. Morfologi
Escherichia coli termasuk pada family Enterobacteriaceae. E. coli
merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk batang pendek atau sering disebut
kokobasil. Bakteri (Gambar 2.1) ini mempunyai flagel, yang mempunyai ukuran
0,4-0,7 µm x 1,4 µm dan memiliki simpai (Radji, 2011). E. coli memiliki panjang
sekitar 2 μm, diameter 0,7 μm, lebar 0,4-0,7 μm, dan bersifat anaerob fakultatif.
Dan membentuk koloni yang bundar, cembung, dan halus dengan tepi yang nyata
(Hidayati dkk, 2016).
E. coli merupakan bakteri yang memilik 150 tipe antigen O, 50 tipe antigen
H, dan 90 tipe antigen K. Beberapa antigen O dapat dibawa oleh mikroorganisme
lain, sehingga sama seperti yang dimiliki oleh Shigella sp. Terkadang penyakit yang
25
spesifik berhubungan dengan antigen O, dapat ditemukan pada penyakit infeksi
saluran kemih dan diare (Karsinah, 2011).
E. coli merupakan bakteri anaerob fakultatif yang dapat hidup pada keadaan
aerob maupun anaerob. Oksigen digunakan untuk sumber karbon dari luar yang
berfungsi sebagai tenaga untuk tumbuh baik secara oksidatif. Hidup anaerob
dengan menggunakan cara fermentasi sebagai penghasilkan energi untuk
kelangsungan hidup (Manning, 2010).
3. Karakteristik
Genus Escherichia merupakan bagian dari Escherichiae yang termasuk pada
famili Enterobacteriaceae dan pertama kali diisolasi pada tahun 1885 oleh seorang
bakteriologis asal Jerman bernama Theodor Escherich (Manning 2010).
Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang dengan ukuran
berkisar antara 1.0-1.5 μm x 2.0-6.0 μm, tidak motil atau motil dengan flagela serta
dapat tumbuh dengan atau tanpa oksigen, bersifat fakultatif anaerobik dan dapat
tahan pada media yang miskin nutrisi. Karakteristik biokimia E. coli lainnya adalah
kemampuannya untuk memproduksi indol, kurang mampu memfermentasi sitrat,
bersifat negatif pada analisis urease. Bakteri E. coli umum hidup di dalam saluran
pencernaan manusia atau hewan. Secara fisiologi, E. coli memiliki kemampuan
untuk bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang sulit. Escherichia coli tumbuh
dengan baik di air tawar, air laut, atau di tanah. Pada kondisi tersebut E. coli terpapar
lingkungan abiotik dan biotik (Anderson et al. 2005)
Escherichia coli dapat hidup dan bertahan pada tingkat keasaman yang tinggi
di dalam tubuh manusia. E. coli juga dapat hidup dan bertahan di luar tubuh manusia
yang penyebarannya melalui feses. Kedua habitat hidup E. coli ini cukup
berlawanan. Saluran pencernaan manusia merupakan habitat yang relatif stabil,
hangat, bersifat anaerob, dan kaya nutrisi. Sementara itu, di luar saluran
pencernaan, kondisi lingkungan dapat sangat beragam, jauh lebih dingin, aerobik,
serta kandungan nutrisi yang lebih sedikit. Escherichia coli memiliki waktu
generasi sekitar 30 sampai 87 menit bergantung pada suhu. Waktu generasi
merupakan waktu yang dibutuhkan bagi sel E. coli untuk membelah diri menjadi
dua kali lipat. Suhu optimum bagi pertumbuhan E. coli adalah 37°C dengan waktu
generasi tersingkat, yaitu selama 30 menit.
26
Tabel 3.1 Waktu generasi E. coli O157:H7 di media TSB pada berbagai suhu
Suhu (°C) Waktu Generasi (menit)
2 Tidak ada pertumbuhan
25 87.6
30 34.8
37 30.0
40 38.0
45 72.6
45.5 Tidak ada pertumbuhan
4. Patogenitas
Escherichia coli umumnya bersifat tidak berbahaya dan hidup dalam
pencernaan manusia. Apabila E. coli yang awalnya bersifat non patogen
memperoleh tambahan gen virulensi dari mikroorganisme lain melalui mekanisme
perpindahan gen (transformasi), perpindahan plasmid (konjugasi) atau perpindahan
gen melalui bakteriofage (transduksi) akan berubah menjadi bakteri patogen.
Penyakit yang diakibatkan E. coli patogen berbeda tergantung virulensi dan
mekanisme patogenesisnya.
Patogenitas merupakan kemampuan suatu organisme untuk menimbulkan
penyakit. E. coli dapat menimbulkan suatu gejala penyakit bila mampu masuk ke
tubuh inangnya dan mampu beradaptasi serta bertahan di dalam tubuh manusia,
kemudian menyerang sistem imun dan akhirnya menimbulkan penyakit.
Mekanisme patogenesis ini dilakukan melalui beberapa tahapan seperti bakteri
patogen lainnya. Tahapan tersebut adalah kolonisasi pada titik tertentu di bagian sel
permukaan usus (sel mukosa), pembelahan sel, perusakan sel usus, melintasi sel
usus dan memasuki aliran darah, penambatan ke organ target dan akhirnya
menyebabkan kerusakan organ. Sebagian besar strain E. coli patogen merusak sel
inang pada bagian luar, tetapi EIEC merupakan patogen intraseluler yang mampu
menyerang dan bereplikasi di dalam sel mukosa usus dan makrofag (Kaper et al.
2004). Penempelan E. coli pada permukaan mukosa usus dilakukan menggunakan
pilus (atau disebut pili jika jumlahnya banyak).
Pili merupakan tonjolan dari dinding sel bakteri yang antigennya disebut
antigen fimbriae. Setiap jenis E. coli memiliki struktur fimbriae unik yang
bervariasi dalam ukuran serta fungsi dan dikodekan oleh gen virulensi yang
berbeda. Hal ini menyebabkan mekanisme yang bervariasi pada setiap kelompok
27
E. coli patogen sebagai penyebab kerusakan pada sel inang. Sifat patogenik E. coli
dikelompokkan ke dalam beberapa jenis berdasarkan pada mekanisme patogenitas,
virulensi, dan sindrom klinis yang ditimbulkan (Kaper et al. 2004).
Patogenitas E. coli patogen ditentukan berdasarkan faktor atau gen virulensi
spesifik yang dimiliki bakteri tersebut. Gen virulensi ini terdapat pada kromosom
atau plasmid indigenus atau pun berasal dari mikroorganisme lainnya. Kombinasi
gen virulensi ini akan menentukan patotipe E. coli, dan masing-masing patotipe
menyebabkan gejala klinis tertentu yang berbeda. Studi genetik terkait faktor
virulensi terus berkembang baik pada strain E. coli komensal maupun patogen.
Strain E. coli patogen mungkin berasal dari strain komensal dengan perolehan
virulensi dari kromosom ataupun ekstrakromosom, adanya perubahan genom yang
dapat meningkatkan patogenitas (mutasi patoadaptif), atau dari mutasi acak yang
dapat meningkatkan adaptasi pada lingkungan patogen (Torres et al. 2010).
Perubahan sifat patogenitas dapat berlaku reversible, strain patogen juga dapat
berubah menjadi non patogen (komensal) karena hilangnya faktor virulensi dalam
sel. Dari enam jenis E. coli patogen, masing-masing memiliki gen virulensi yang
spesifik, tetapi beberapa diantaranya juga dapat memiliki faktor virulensi yang
sama, seperti EPEC dan EHEC yang sama-sama memiliki intimin (suatu protein
yang memungkinkan bakteri patogen untuk menempel pada usus dan menimbulkan
luka).
Sifat virulensi pada enam patotipe E. coli ditentukan oleh suatu elemen
tertentu yang berbeda, seperti faktor pelekatan sel pada EPEC (Effect Adherence
Factor = EAF), kemampuan memproduksi toksin (shiga-like toksin) pada EHEC,
keberadaan plasmid invasi (inv) pada EIEC, kemampuan memproduksi
enterotoksin (LT/ST) pada ETEC, serta keberadaan fimbriae (Afa/Dr) pada DAEC.
5. Mekanisme patogenitas
a. Enterotoksigenik E. coli (ETEC)
Enterotoksigenik E. coli merupakan penyebab diare tidak hanya pada
manusia tetapi juga pada hewan. Setelah masuk ke dalam sistem pencernaan, ETEC
akan menempel pada sel-sel yang melapisi mukosa usus kecil melalui interaksi
yang dimediasi oleh faktor kolonisasi (colonization factor/CFs). Setelah itu, ETEC
akan memproduksi enterotoksin. Faktor kolonisasi ini menggambarkan tiga tipe
28
fimbriae berbeda dan sangat penting untuk proses penempelan pada permukaan
mukosa usus kecil. Di samping itu, faktor kolonisasi yang berbeda ini bervariasi
jumlahnya untuk setiap populasi dan beberapa kombinasi faktor menyebabkan
peningkatan virulensi. Faktor kolonisasi pada ETEC telah diketahui ada sekitar 25
jenis (Montzer 2016).
Selama berkolonisasi dalam sel mukosa usus, ETEC mengeluarkan toksin
yang terdiri dari dua jenis, yaitu yang tidak tahan panas (heat labile toxin/LT) dan
yang tahan panas (heat stabile toxin/ST). Strain ETEC dapat memproduksi salah
satu atau kedua toksin tersebut, dan dapat menginduksi diare. struktur dan sifat
imunologi enterotoksin LT dari ETEC mirip dengan enterotoksin yang diproduksi
oleh V. cholera (Flores dan Okhuysen 2010). Enterotoksin LT dibagi menjadi dua
tipe, yaitu LT-I dan LT-II. Enterotoksin LT-I umumnya ditemukan/menginfeksi baik
manusia (LTh) maupun hewan babi (LTp), sementara itu enterotoksin LT-II
umumnya hanya ditemukan pada hewan. Enterotoksin ST juga dibagi menjadi dua
tipe, STa dan STb. STa sering ditemukan pada isolat ETEC yang menginfeksi
manusia (STh) maupun hewan (STp). Sementara itu STb hanya ditemukan pada
isolat ETEC yang menginfeksi hewan (babi dan sapi). Studi mengenai dosis infektif
ETEC terhadap manusia menunjukkan bahwa ETEC dapat menyebabkan diare
pada dosis sekitar 1 106 sampai 1 1010 CFU (Flores dan Okhuysen 2010; Porter
et al. 2011; Feng 2015). Enterotoksigenik E. coli ditularkan melalui rute fecal-oral.
Penularan ETEC terhadap bayi ataupun anak-anak umumnya terjadi karena pangan
maupun air di daerah tersebut terkontaminasi ETEC dengan konsentrasi yang cukup
tinggi. Mekanisme toksisitas ETEC melibatkan beberapa elemen seperti faktor
kolonisasi (CFs), reseptor yang dapat mengenali CFs, dan enterotoksin yang
dihasilkan. Toksikoinfeksi strain ini umumnya bertanggung jawab terhadap diare
yang dialami oleh para wisatawan dari negara-negara maju yang menerapkan
kebersihan yang baik yang mengunjungi negara-negara dengan standar kebersihan
yang buruk.
Proses infeksi dimulai dengan kolonisasi ETEC pada usus halus dengan
adanya CFs. Ketika sudah melekat, ETEC akan mengeluarkan enterotoksin LT dan
atau ST. Enterotoksin LT berikatan dengan GM1, yaitu sejenis glikoprotein yang
berfungsi sebagai reseptor. Toksin LT kemudian akan bergerak ke retikulum
29
endoplasma. Enterotoksin LT akan mengikat ribosa adenosin difosfat (ADP)
sehingga mengambat kegiatan GTPase (pemecah protein G). Akibatnya, protein G
ini mengikat dan merangsang adenilil siklase sel epitel sehingga menyebabkan
peningkatan jumlah adenil monofosfat (AMP). Peningkatan AMP akan
menyebabkan peningkatan sekresi sel-sel kelenjar di dalam usus, yaitu merangsang
seksresi Cl- (hipersekresi) dengan membuka saluran klorida pada sel kripta dan
menghambat absorbsi Na+ dari lumen ke dalam sel epitel usus.
Sementara itu enterotoksin ST bekerja mengaktivasi guanilat siklase C (GC-
C) yang akan meningkatkan cGMP dan kemudian mengaktivasi protein kinase
sehingga menyebabkan akumulasi cairan dan elektrolit di dalam lumen usus serta
menghalangi proses penyerapan (absorpsi). Peningkatan kadar elektrolit dan air di
dalam lumen usus inilah yang dapat menyebabkan diare. Diare dapat bertahan
hingga 19 hari dan umumnya tidak disertai demam. Timbulnya penyakit dapat
terjadi 8 sampai 44 jam setelah konsumsi makanan yang terkontaminasi ETEC.
b. Enteropatogenik E. coli (EPEC)
Enteropatogenik E. coli (EPEC) merupakan penyebab diare yang umumnya
terjadi di negara-negara berkembang (Kaper et al. 2004). Enteropatogenik E. coli
menyebabkan diare yang cukup parah pada bayi dan dapat berlangsung selama
lebih dari 2 minggu serta menyebabkan kematian jika terjadi dehidrasi parah. Pada
orang dewasa, penyakit ini ditandai dengan diare berat, mual, muntah, kram perut,
sakit kepala, demam, dan menggigil. Waktu untuk timbulnya penyakit adalah 17
sampai 72 jam, durasi penyakit adalah 6 jam sampai 3 hari. EPEC dapat
menyebabkan penyakit yang akan berkembang pada manusia ketika ditransmisikan
oleh air yang terkontaminasi feses. Karakteristik utama dari EPEC adalah
kemampuannya untuk menginduksi luka (attaching-effacing) pada saluran
pencernaan dengan cara merusak mikrovili usus.
Intimin (eae) merupakan sejenis protein integral membran dan merupakan
faktor virulensi yang dimiliki oleh EPEC sehingga keberadaannya pada EPEC
sering dijadikan sebagai target gen untuk proses deteksi dan identifikasi. Sementara
itu, efektor EspF memiliki beberapa peran dengan target utama adalah mitokondria
serta dapat merusak sambungan sel (tight junction/Tj), mikrovili, dan menghambat
pengangkutan air serta menghambat fagositosis. Diare yang ditimbulkan sebagai
30
akibat dari adanya infeksi E. coli umumnya disebabkan karena kerusakan sel yaitu
rusaknya penyangga sel (tight junction). Rusaknya sambungan sel oleh EspF
mengakibatkan hilangnya fungsi penahan sel dan menginduksi kematian sel inang
melalui apoptosis. Peningkatan permeabilitas yang disebabkan karena rusaknya
penyangga sel (Tj) akan mengubah mekanisme pengangkutan ion. Hasil uji in vitro
menunjukkan bahwa keberadaan bakteri EPEC pada sel epitel hasil kultur dapat
meningkatkan jumlah kalsium yang berakibat pada penghambatan absorpsi Na+ dan
Cl- dan menstimulasi sekresi klorida oleh enterosit. Efek cepat pada sekresi ion,
seperti Cl- atau HCO3-, memicu onset awal diare.
c. Enterohemoragik E. coli (EHEC)
Enterohemoragik E. coli merupakan kelompok E. coli yang dapat
menyebabkan diare atau kolitis berdarah pada manusia yang dapat berujung pada
sindrom hemolitik uremik (Hemolytic Uremic Syndrome/HUS). Enterohemoragik
E. coli ditransmisikan melalui rute fecal-oral. Pangan yang berasal dari hewan,
seperti daging, produk susu yang tidak dipasteurisasi, atau sayuran yang telah
terkontaminasi merupakan pembawa transmisi utama dari penyebaran EHEC ke
manusia.
Mekanisme patogenesis intimin dari EHEC menyerupai dengan yang terjadi
di EPEC. Bakteri EHEC juga memiliki kemampuan untuk menyebabkan luka pada
usus dengan mengikis atau menghancurkan mikrovili karena sama sama memiliki
komponen genetik lokus pemindah enterosit (LEE) yang mengekspresikan intinim
dan Tir melalui sistem sekresi tipe III (T3SS). Bakteri EHEC yang sudah menempel
pada membran inang menyebabkan polimerisasi aktin dan akan merusak
sitoskeleton yang berperan dalam menyokong dan mempertahankan bentuk sel.
Mekanisme patogenesis EHEC dimulai dengan berikatannya sub unit B
toksin dengan reseptor pada permukaan membran sel inang. Reseptor yang
berperan dalam ikatan tersebut adalah reseptor globotriaosylceramide (Gb3) dan
globotetraosylceramide (Gb4) (Betz et al. 2011). Toksin yang telah menempel pada
membran kemudian melakukan endositosis dan kemudian dipindahkan dari
endosom ke jaringan trans golgi. Pada jaringan ini, sub unit A dari toksin pecah
menjadi 2 bagian, yaitu A1 dan A2 oleh enzim furin. Sub unit A1 pada toksin
berperan dalam menghambat sintesis protein dan menyebabkan kematian sel
31
(apoptosis) (Rahal et al. 2012). Toksin shiga mampu menembus monolayer epitel
usus kemudian menyebar melalui aliran darah. Infeksi yang lebih parah yang
ditimbulkan oleh EHEC seperti hemolitik uremik (HUS) menunjukkan bahwa
toksin shiga telah menyerang ginjal atau sistem saraf pusat.
d. Enteroinvasif E. coli (EIEC)
Enteroinvasif E. coli bersifat non motil, tidak dapat memfermentasi laktosa,
dan bersifat anaerogenik. Selain itu, patogenesis EIEC cukup berbeda jika
dibandingkan dengan E. coli lainnya tetapi identik dengan shigellosis (yang
disebabkan oleh Shigella sp.) yaitu infeksi disebabkan oleh penetrasi bakteri dan
kerusakan mukosa usus. EIEC memiliki kemampuan untuk menginvasi sel jaringan
kolon.
Tahap pertama dari patogenesis EIEC adalah dimulai dengan terjadinya
penetrasi sel EIEC ke dalam sel epitelia, diikuti oleh lisis vakuola. Ketika di dalam
sel, EIEC menggandakan diri kemudian bergerak menuju sitoplasma dan
menginvansi sel di sampingnya. Pergerakan dari EIEC di dalam sel dibantu oleh
aktin yang terbentuk pada EIEC. Bakteri EIEC juga mampu menginfeksi makrofag
dan menginduksi kematian sel melalui apoptosis
e. Enteroagregatif E. coli (EAEC)
Enteroagregatif E. coli merupakan patotipe dari diarrheagenic E. coli dengan
karakteristik utamanya adalah pola pelekatan yang bersifat agregasi (aggregative
adherence/AA), yaitu terikatnya bakteri EAEC ke sel epitel menyerupai tumpukan
bata. Mekanisme patogenesis EAEC meliputi 5 tahap, yaitu (1) bakteri EAEC yang
ada pada saluran pencernaan; (2) penempelan bakteri ke mukosa usus oleh suatu
faktor penempelan AAFs; (3) kenaikan produksi lendir (mucus) oleh EAEC
menyebabkan pembentukan biofilm di atas permukaan sel mukosa; (4) pelepasan
toksin dari EAEC yang menginduksi kerusakan sel dan meningkatkan sekresi; (5)
pembentukan biofilm tambahan.
f. Difusi Adheren E. coli (DAEC)
Mekanisme patogenesis DAEC dimulai dengan menempelnya Afa dan Dr
dengan suatu faktor yang disebut DAF, yang ditemukan dipermukaan usus.
Menempelnya Afa-Dr dan DAF menyebabkan agregasi dari molekul DAF di bawah
bakteri. Penempelan tersebut juga memicu sinyal pengatur Ca2+, sehingga dapat
32
menyebabkan kerusakan mikrovili dan mengakibatkan penuran aktivitas enzim
yang terlibat dalam proses sekresi dan absorpsi usus, dan akhirnya memicu
terjadinya diare.
33
positif, oksidase-negatif dengan kandungan DNA G + C dari 39% hingga 47%.
Mengikuti studi hibridisasi DNA-DNA yang dilakukan oleh Bouvet dan Grimnot
pada tahun 1986, genus Acinetobacter sekarang terdiri dari 26 spesies bernama dan
sembilan spesies genomik. Empat spesies Acinetobacters ( A. calcoaceticus , A.
baumannii , Acinetobacter genomic species 3 dan Acinetobacter genomic species
13TU) memiliki kesamaan fenotip sehingga sulit dibedakan, dan sering disebut
sebagai kompleks A. calcoaceticus . Nomenklatur ini dapat menyesatkan karena
spesies lingkungan A. calcoaceticus belum terlibat dalam penyakit klinis, sementara
tiga spesies lainnya dalam kompleks A. calcoaceticus mungkin merupakan spesies
yang paling signifikan secara klinis, yang terlibat dalam infeksi yang didapat dari
komunitas dan infeksi nosokomial.
2. Virulensi
Beberapa faktor virulensi yang sudah diketahui melalui analisis
fenotipik dan genomik, meliputi outer membrane porin, fosfolipase,
protease, lipopolisakarida (LPS), kapsul polisakarida, sistem sekresi protein, dan
iron-chelating system (Lin, 2014).
OmpA berikatan dengan epitel inang dan mitokondria, setelah terikat pada
mitokondria, OmpA menginduksi disfungsi mitokondria dan menyebabkan
mitokondria membengkak. Hal ini diikuti oleh pelepasan sitokrom c, protein heme,
yang mengarah pada pembentukan apoptosom. Semua reaksi ini menyebabkan
apoptosis sel. OmpA juga terlibat dalam resistensi terhadap komplemen dan
pembentukan biofilm. Kemampuan A. baumannii untuk membentuk biofilm
memungkinkannya untuk tumbuh terus-menerus dalam kondisi dan lingkungan
yang tidak menguntungkan. A. baumannii telah terbukti membentuk biofilm pada
permukaan abiotik, yang dapat mencakup kaca dan peralatan yang digunakan di
unit perawatan intensif, dan/atau pada permukaan biotik seperti sel epitel. Faktor
paling umum yang mengontrol pembentukan biofilm dapat mencakup ketersediaan
nutrisi, keberadaan pili dan protein membran luar, serta sekresi
makromolekul. Perakitan pili dan produksi biofilm-associated protein (BAP)
keduanya berkontribusi pada inisiasi produksi dan pematangan biofilm setelah A.
baumannii menempel pada permukaan tertentu. Ketika pili menempel pada
34
permukaan abiotik, mereka memulai pembentukan mikrokoloni, diikuti dengan
perkembangan penuh struktur biofilm. (Howard, 2012)
35
fermentatif, berbentuk batang sangat pendek, Gram negatif, koloni berwarna putih,
tepi sedikit bergelombang dan permukaan rata. Suhu optimum untuk tumbuh berada
pada suhu 37ºC. (Murray et al, 2021)
36
signifikan. (Dewi, 2019) Sebuah studi yang dilakukan oleh Guerci dkk.didapatkan
angka mortalitas 49% pada pasien di Perancis yang dirawat di ruang unit intensif
dengan diagnosis Hospital Acquired Pneumonia (HAP). (Hafiz et al, 2022) Infeksi
dapat terjadi pada paru dan umumnya diawali dengan kolonisasi. Infeksi pada paru-
paru merupakan infeksi yang paling sering terjadi dibanding infeksi yang
melibatkan pembuluh darah, yang umumnya berasal dari selang kateter
intravaskular. Infeksi S. maltophilia lebih sering terkait dengan perawatan di rumah
sakitdan terkait dengan riwayat penggunaan antibiotik sistemik spektrum luas. S.
maltophilia resisten terhadap antibiotik β-laktam dan aminoglikosida yang paling
umum digunakan, pasien yang menerima terapi antibiotik jangka panjang dengan
obat-obatan ini sangat berisiko terkena infeksi. Bakteri ini juga dapat ditemukan di
berbagai tempat di rumah sakit. Infeksi rumah sakit dengan organisme ini telah
ditelusuri ke kateter intravena yang terkontaminasi, larutan disinfektan, peralatan
ventilasi mekanis, dan mesin es. (Murray et al, 2021)
Beberapa penelitian terkait peranan dan potensi S. maltophilia, potensi S.
maltophilia AVP27 asal rizosfer tanaman cabai sebagi bakteri kelompok PGPB
yang memliki kemampuan melarutkan fosfat anorganik (818 ppm), aktivitas enzim
fosfatase (1,62 IU/ml), produksi hormon IAA (93 µg/ml), senyawa amonia (80
µg/ml), siderofor, dan hidrogen sianida (Muchlissoh, 2019). Hal yang sama
dilaporkan oleh Ngoma et al. (2013) yang menemukan S. maltophilia (KC 010525
dan KC 010529) asal akar tanaman bayam berpotensi sebagai bakteri penghasil
hormon IAA (0,32 µg/ml dan 0,49 µg/ml). Selain itu, S. maltophilia KC 010529
mampu melarutkan fosfat, memproduksi amonia, dan memiliki aktivitas antifungi
(55%) (Ngoma et al, 2013).
Potensi S. maltophilia asal rizosfer tanaman gandum yang berpotensi sama,
yakni mampu melarutkan fosfat (55,7 mg/l), kalium (28 mg/ml), memproduksi IAA
(66,1 µg/mg), siderofor, amonia, hidrogen sianida, hormon giberelin, ACC
deaminase dan biokontrol. Selain itu, peranan lainnya dari S. maltophilia, yakni
sebagai kontrol biologis yang dimanfaatkan untuk pengembangan biopestisida dan
agen bioremediasi Selain itu, S. maltophilia juga berpotensi sebagai bakteri
penghasil enzim selulase (selulolitik) (Verma et al, 2019).
37
Stenotrophomonas maltophilia, seperti kuman patogen penyebab nosokomial
yang lain, juga sering mengakibatkan resistensi terhadap beberapa kelas antibiotik.
Resistensi antibiotik lebih sering ditemukan pada isolat klinik dibandingkan dengan
isolat dari lingkungan dan bahkan telah ditemukan bahwa kuman ini juga resisten
dengan golongan kotrimoksasol yang dikaitkan dengan adanya gen sul1 (Murrat et
al, 2020). Data mengenai infeksi Stenotrophomonas maltophilia belum banyak
dilaporkan. Begitu juga di Riau, infeksi ini cukup jarang dilaporkan, namun karena
morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi jika terjadi bakterimia, sehingga penting
untuk dibahas dan dipelajari terutama tentang deteksi faktor risiko serta
penatalaksanaannya (Rosdiana, 2018).
3. 5 Klebsiella pneumoniae
Klebsiella sp. pertama kali diteliti dan diberi nama oleh bakteriologis Jerman
yang bernama Edwin Jklebs (1834-1913). Klebsiella sp. merupakan bakteri Gram
negatif dari famili Enterobactericeae yang dapat ditemukan di traktus
gastrointestinal dan traktus respiratori. Beberapa species Klebsiella sp. antara lain
Klebsiella pneumoniae, Klebsiella oxytoca, Klebsiella ozaenae dan Klebsiella
rhinoscleromatis. Pada manusia, K. pneumoniae hidup secara saprofit dalam sistem
pernafasan dan tinja manusia normal sebesar 5%, dengan 1% dapat menyebabkan
radang paru-paru. Berdasarkan kebutuhannya akan oksigen, Klebsiella sp.
merupakan bakteri fakultatif anaerob. Klebsiella sp. merupakan kuman berbentuk
batang pendek, tidak memiliki spora, dan tidak memiliki flagella (Chang el al,
2021).
Klebsiella pneumoniae adalah bakteri Gram-negatif yang dapat ditemukan di
usus manusia dan hewan. Meskipun biasanya tidak menyebabkan masalah
kesehatan, jenis K. pneumoniae tertentu dapat menyebabkan infeksi pada individu
dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, atau pada orang yang telah dirawat di
rumah sakit untuk waktu yang lama (Ahmad et al, 2021).
K. pneumoniae dapat menyebabkan berbagai jenis infeksi, termasuk infeksi
saluran kemih, pneumonia, dan infeksi aliran darah. Beberapa jenis K. pneumoniae
telah menjadi resisten terhadap antibiotik, membuat pengobatan infeksi yang
disebabkan oleh bakteri ini lebih sulit (Chang et al, 2021).
38
Pencegahan infeksi K. pneumoniae melibatkan praktik kebersihan yang baik,
termasuk mencuci tangan secara teratur, menjaga kebersihan lingkungan, dan
membatasi penggunaan antibiotik yang tidak perlu (Ahmad et al, 2021).
Pengobatan infeksi K. pneumoniae dapat melibatkan antibiotik yang dipilih
berdasarkan sensitivitas bakteri terhadap antibiotik, serta pengobatan dukungan
seperti terapi cairan intravena dan ventilasi mekanik jika diperlukan.
Klebsiella sp. menguraikan laktosa dan membentuk kapsul baik invivo atau
invitro dan koloninya berlendir. Kapsul Klebsiella sp. terdiri dari antigen O yang
merupakan liposakarida yang terdiri atas unit polisakarida yang berulang.
Polisakarida O-spesifik mengandung gula yang unik. Antigen O tahan terhadap
panas dan alkohol dan bisa dideteksi dengan aglutinasi bakteri. Antibodi terhadap
antigen O terutama adalah IgM. Antigen kedua adalah antigen K. Antigen K ini
berada di luar antigen O dan merupakan suatu capsular polysacharida. Antigen K
dapat mengganggu aglutinasi melalui antiserum O dan berhubungan dengan
virulensi. Kedua antigen ini meningkatkan patogenitas Klebsiella sp (Murrat et al,
2021).
39
Faktor virulensi bakteri yang mempengaruhi patogenesis pada tubuh manusia
adalah kapsul polisakarida, endotoksin, reseptor dinding sel. Klebsiella sp.
memiliki kapsul besar yang terdiri dari polisakarida K yang menutupi antigen
somatik dan dapat diidentifikasi menggunakan tes quellung dengan antiserum
khusus. Struktur kapsul tersebut berfungsi melindungi bakteri dari fagositosis oleh
granulosit polimorfonuklear, dan mencegah kematian bakteri oleh serum
bakterisidal. Adanya antigen pada kapsul yang dimiliki Klebsiella sp.
meningkatkan patogenitas bakteri. Infeksi sistem pernapasan oleh Klebsiella sp.
umumnya disebabkan oleh kapsular antigen tipe 1 dan 2 (Dewi, 2019).
Reseptor dinding sel yang dimiliki bakteri memungkinkan Klebsiella sp.
melekat pada sel host, mengubah permukaan bakteri sehingga fagositosis oleh
leukosit polimorfonuklear dan makrofag terganggu, dan invasi sel inang non-
fagositik terfasilitasi. Invasi pada sel inang ini juga dipengaruhi oleh kapsul
polisakarida yang mengelilingi sel bakteri, dan setelah itu Klebsiella
sp.memproduksi endotoksin. Endotoksin merupakan liposakarida kompleks yang
terdapat pada dinding sel Bakteri Gram negatif. Efek biologi endotoksin dapat
menyebabkan demam, leukopenia, pendarahan kapiler, hipotensi, kolaps sirkulasi
(Dewi, 2019).
Pneumonia dapat disebabkan oleh kolonisasi bakteri yang melekat pada
nasofaring, baik mikroorganisme normal yang sebaiknya ada maupun
mikroorganisme yang normalya tidak ada. Kolonisasi bakteri di tubuh manusia
memiliki makna seseorang memiliki konsentransi mikroorganisme cukup tinggi
pada suatu tempat, namun mikroorganisme tersebut tidak menimbulkan gejala dan
tanda. Kolonisasi bakteri patogen respiratori terkadang kurang ditemui tanda klinis
namun akan mulai menimbulkan masalah apabila menjadi sumber penularan dan
penyebaran pada orang lain. Salah satu bakteri patogen respiratori yang
berkolonisasi di nasofaring adalah Klebsiella sp. Kolonisasi Klebsiella pneumoniae
sebesar 7% pada nasofaring bayi dan balita, didapatkan sebesar 15,28% pada
nasofaring dewasa (Ahmad et al, 2021).
Klebsiella sp. menyebabkan berbagai infeksi pada manusia seperti pneumonia,
infeksi saluran kemih, bakterimia. Klebsiella sp. berperan dalam penyebab
pneumonia pada komunitas masyarakat atau yang disebut Community Acquired
40
Pneumonia (CAP), juga mengakibatkan infeksi nosokomial yang dikenal dengan
Hospital Acquired Pneumonia (HAP). Infeksi nosokomial adalah infeksi yang
terjadi di rumah sakit dan menyerang pasien yang sedang dalam proses perawatan.
Terjadi transmisi bakteri patogen bersumber dari lingkungan rumah sakit dan
peralatan rumah sakit. Infeksi nosokomial terjadi setelah pasien dalam proses rawat
lebih dari 42 jam (Ahmad et al, 2021). Contoh infeksi nosokomial adalah kasus
infeksi pada pemakaian pipa nasogastrik, pipa nasotrokeal yang lama sehingga
terganggunya aliran sekret yang telah terkontaminasi dengan bakteri patogen
(Murray et al, 2020).
Pneumoniae menimbulkan konsolidasi luas yang disertai nekrosis hemoragik
pada paru. Organisme ini terkadang menyebabkan infeksi saluran kemih dan
bakteremia yang disertai dengan infeksi fokal pada pasien yang sangat lemah. K.
pneumoniae dan Klebsiella oxytoca menyebabkan infeksi nosokomial. Klebsiella
ozaenae yang pernah diisolasi dari mukosa nasal ozaena menyebabkan atrofi
membran mukosa dan berbau busuk. Klebsiella rhinoscleromatis menyebabkan
granuloma dekstruktif pada hidung dan faring (Murray et al, 2020).
Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi resistensi Klebsiella sp seperti status
gizi, riwayat penggunaan antibioik, dan lokasi tempat tinggal balita. Status gizi
yang baik akan meningkatkan resistensi tubuh terhadap penyakit, namun status gizi
yang buruk akan mengakibatkatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Gizi buruk
menjadikan sistem imun seseorang berkurang sehingga mudah terserang infeksi
(Ryan et al, 2018). Riwayat penggunaan antibiotik yang tidak sesuai, misalkan
pemakaian antibiotik yang terlalu sering, irasional, dosis tinggi dan intensitas yang
berlebihan dalam jangka waktu lama dapat memudahkan berkembangnya resistensi
di klinik. Lokasi tempat tinggal balita diduga mempengaruhi resistensi antibiotik.
anak yang tinggal di perkotaan dan mudah mandapatkan pelayanan kesehatan
cenderung lebih resisten terhadap antibiotik dibandingkan dengan anak yang
tinggal di pedesaan dan sulit mendapatkan pelayanan kesehatan (Chang et al, 2022)
Terjadinya resistensi bakteri terhadap antimikroba dapat melalui tiga
mekanisme yaitu obat tidak dapat mencapai tempat kerjanya di dalam sel mikroba,
inaktivasi obat, mikroba mengubah binding site antimikroba. Obat tidak dapat
mencapai di dalam sel mikroba dapat terjadi pada Bakteri Gram Negatif. Molekul
41
antimikroba yang kecil dan polar dapat masuk menembus dinding luar dan masuk
ke dalam sel bakteri melalui porin (Ryan et al, 2018). Bila porin menghilang atau
mengalami mutasi maka akan menghambat kerja antimikroba. Mekanisme lain
Gram negatif dengan melakukan pengurangan transpor aktif dan memasukkan
antimikroba ke dalam sel. Adanya mekanisme mikroba ini mengaktifkan pompa
efluks untuk membuang antimikroba yang ada dalam sel. (Ryan et al, 2018).
42
lebih serius pada orang yang memiliki kondisi kesehatan yang lemah (Becker,
2014)
Pencegahan infeksi CoNS melibatkan praktik kebersihan yang baik, seperti
mencuci tangan secara teratur, menjaga kebersihan kulit dan lingkungan, serta
menghindari penggunaan antibiotik yang tidak perlu. Pengobatan infeksi CoNS
melibatkan pemberian antibiotik yang dipilih berdasarkan sensitivitas bakteri
terhadap antibiotik yang tersedia, serta pengobatan dukungan seperti terapi cairan
intravena dan pembersihan yang baik pada daerah yang terinfeksi (Dzen et al,
2005).
Staphylococcus koagulase negatif saat ini diakui sering menyebabkan infeksi
nosokomial terutama dalam bentuk bakteremia pada penderita neonatus, penderita
immunocompromised, dan penderita dengan indwelling prosthetic devices. Pfaller
menyatakan bahwa di Iowa, Staphylococcus koagulase negatif merupakan
penyebab ketiga bakteremia setelah Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.
The European prevalence of Infection in Intensive Care (EPIC) study di Eropa
menunjukkan prevalensi infeksi Staphylococcus koagulase negatif sebanyak 44,9%
di unit perawatan intensif yang terkait dengan pemasangan kateter intravena. Angka
kematian infeksi yang disebabkan oleh bakteri tersebut berkisar 18,5 – 57%
(Becker, 2014).
Bakteri Staphylococcus aureus tumbuh baik pada pH 7,4 dan suhu 37°C, dapat
ditumbuhkan dengan menginokulasi ke Nutrient Broth. Media Nutrient Broth
43
merupakan media standar yang digunakan untuk menumbuhkan mikroorganisme.
Hasil pewarnaan yang berasal dari pembenihan padat akan terlihat susunan bakteri
yang bergerombol seperti buah anggur, sedangkan yang berasal dari pembenihan
cair akan terlihat susunan bakteri yang terpisah, berpasangan atau rantai pendek
yang pada umumnya lebih dari empat sel (Ryan et al, 2018)
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif dimana mampu
mempertahankan zat warna kristal violet pada pewarnaan Gram, sehingga saat
dilakukan pengamatan akan nampak berwarna ungu. Berbentuk kokus, jika dilihat
dibawah mikroskop berbentuk seperti kelompok anggur Pada media mannitol salt
agar (MSA) digunakan sebagai media selektif untuk membedakan Staphylococcus
aureus dari Staphylococcus lainnya dengan ditandai adanya fermentasi mannitol
pada media MSA yang akan terlihat sebagai pertumbuhan koloni berwarna kuning
dikelilingi zona kuning keemasan. Uji katalase digunakan untuk membedakan
Staphylococcus dan streptococcus. Katalase positif ditunjukkan adanya gelembung
gas (O2) yang diproduksi oleh genus Staphylococcus (Murray et al, 2020).
Bakteri Staphylococcus aureus merupakan penyebab infeksi yang bersifat
pyogenes (pembentukan pus/nanah). Infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Staphylococcus aureus dapat meluas ke jaringan sekitarnya, perluasan tersebut
dapat melalui darah dan limfa bersifat menahun serta dapat sampai pada sumsum
tulang belakang. Penyebaran bakteri ini dapat dijumpai di udara sekitar dan
lingkungan terbuka. Pada tubuh manusia bakteri Staphylococcus aureus ditemukan
di hidung, ketiak, membran mukosa, mulut dan saluran pernapasan atas. Bakteri
Staphylococcus aureus menghasilkan racun yang sulit dihancurkan dengan panas,
meskipun melakukan pemanasan dapat mematikan bakteri tetapi racun tetap
bersifat membahayakan dan menyebabkan keracunan. Enterotoksin adalah racun
yang diproduksi oleh bakteri Staphylococcus aureus yang dapat menyebabkan
keracunan makanan. mual, muntah dan diare merupakan gejala awal yang timbul
secara mendadak. (Murray et al, 2020).
Bakteri Staphylococcus aureus mempunyai kemampuan menghasilkan enzim
koagulase yaitu enzim yang dapat mengumpulkan plasma, kemampuan ini
digunakan untuk membedakannya dengan Staphylococcus yang lain. (Murray et al,
2020).
44
Beberapa toksin yang dihasilkan oleh bakteri Staphylococcus aureus antara
lain: (Murray et al, 2020).
1. Katalase
Katalase merupakan enzim yang dimiliki bakteri yang berfungsi sebagai daya tahan
saat terjadinya fagositosis.
2. Koagulase
Koagulase merupakan enzim yang bisa mengumpalkan plasma sitrat sebab
terdapatnya aspek koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi dengan enzim
tersebut. Esterase yang dihasilkan bisa menaikkan kegiatan pengumpulan, sehingga
tercipta deposit fibrin pada permukaan sel bakteri yang bisa membatasi fagosit
3. Hemolisin Toksin yang mampu membuat zona hemolisis disekitar koloni bakteri.
Hemolisin Staphylococcus aureus diantaranya:
a. Alfa hemolisin: toksin ini pada medium agar darah bertanggung jawab
terhadap pembentukan zona hemolisis di sekeliling koloni Staphylococcus
aureus.
b. Beta hemolisin: suatu protein dalam waktu 1 jam pada suhu 37°C mampu
menghancurkan eritrosit domba dan sapi, tetapi tidak pada eritrosit kelinci.
c. Gama hemolisin: toksin yang dapat memecah sel erytrosit manusia dan kelici
secara optimum, tetapi untuk erytrosit domba efek memecahnya kurang
optimum.
4. Leukosidin
Toksin yang mampu membunuh sel leukosit pada sebagian hewan. Tetapi
patogenitas pada manusia tidak bekerja dengan baik. Hal ini disebabkan karena
bakteri Staphylococcus aureus tidak mampu membunuh sel leukosit manusia.
5. Toksin eksfoliatif
Toksin yang memiliki kemampuan menguraikan protein yang dapat
menghancurkan matriks mukopolisakarida epidermis, yang mengakibatkan
terpisahnya intraepitelial pada ikatan sel di startum granulosum. Toksin ini
menyebabkan Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (4S) dengan ciri pelepuhan
kulit.
6. Toksin Sindrom Syok Toksin (TSST)
45
20 eksotoksin pirogenik hasil dari sebagian besar bakteri Staphylococcus aureus
yang ditumbuhkan dari penderita sindrom syok toksik. Gejala yang ditimbulkan
antara lain ruam pada kulit, demam tinggi, syok, dan gangguan fungsi organ dalam.
7. Enterotoksin
Enzim penyebab utama keracunan makanan, terutama pada makanan yang tinggi
akan kandungan karbohidrat dan protein. Enzim ini mampu bertahan dalam panas
serta suasana basa didalam usus manusia. Hanya bakteri Staphylococcus aureus
yang membentuk enterotoksin dengan koagulase positif.
Bakteri Staphylococcus aureus merupakan flora normal pada manusia. Bakteri
ini dapat menyebabkan infeksi piogenik yaitu infeksi yang menghasilkan nanah
(pus). Infeksi ini merusak sel leukosit jenis neutrofil dengan cara melepaskannya
sehingga membentuk abses. Hal ini menjadi ciri khusus infeksi akibat bakteri
Staphylococcus aureus. Orang dengan penyakit kulit dan pasien luka bakar
memiliki risiko tinggi terinfeksi bakteri Staphyloccocus aureus, karena penyebaran
bakteri ini dapat melalui udara. (Murray et al, 2020).
Dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa susu sapi dapat menularkan
berbagai macam penyakit patogen termasuk strain Staphylococci. Strain
stafilokokus dibagi menjadi dua utama: kelompok dimana kelompok pertama yang
diwakili oleh Staphylococcus aureus adalah kelompok koagulase staphylpcocci
positif (CPS), agen patogen yang dapat menyebabkan berbagai penyakit menular
dari infeksi kulit ke sistemik pada host imunokompeten. Beberapa peneliti
menyarankan bahwa Staphylococcus aureus (S. aureus) merupakan bakteri
penyebab berbagai penyakit pada manusia seperti: seperti impetigo, abses,
endokarditis, sindrom syok toksik, keracunan makanan, dan sindrom kulit melepuh
(Murray et al, 2020). Kelompok kedua adalah koagulase negatif staphylococci
(CNS) yang terdiri dari berbagai spesies yang umumnya merupakan mikrobiota
normal di kulit dan selaput lendir manusia dan hewan, CNS diklasifikasikan sebagai
kurang atau nonpatogen, tetapi berperan dalam proses infeksi karena bersifat
oportunistik patogen (Ryan et al, 2018).
Pengobatan atau terapi antibiotik merupakan tindakan utama untuk mengatasi
infeksi S. aureus dan CNS, perkembangan antibiotik dan penyalahgunaannya di
bidang pertanian, peternakan, kedokteran hewan, dan pengobatan penyakit manusia
46
meningkatkan potensi resistensi antibiotik oleh bakteri. Transfer genetik
terintegrasi genom sering terjadi antara S. aureus dan CNS yang umumnya
memiliki kecenderungan tinggi untuk resisten terhadap antibiotik. Pada dasarnya,
resistensi methicillin (MR) pada S. aureus dan CNS terjadi karena perubahan
protein pengikat penisilin (PBP2a), sehingga mengurangi afinitas antibiotik beta-
laktam diinduksi oleh staphylococcal kaset kromosom (SCCmec) (Effendi, 2021)
47
lingkungan yang lembab di rumah sakit.19 Bakteri tersebut membentuk koloni yang
bersifat saprofit pada manusia yang sehat, tetapi menyebabkan penyakit pada
manusia dengan pertahanan tubuh yang tidak adekuat. Pseudomonas aeruginosa
merupakan bakteri patogen nosokomial nomor empat yang paling banyak diisolasi
dari semua infeksi yang didapat di rumah sakit Infeksi yang terjadi pada darah,
pneumonia, infeksi saluran kemih, dan infeksi sesudah operasi dapat menyebabkan
infeksi berat yang dapat menyebabkan kematian (Ryan et al, 2018)
Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri berbentuk batang, berukuran
sekitar 0,6 x 2 mikro meter. Bakteri ini bersifat Gram negatif dan tampak dalam
bentuk tunggal, berpasangan, kadang-kadang rantai pendek dan dapat bergerak
(motil) karena adanya satu flagel. Bakteri ini dapat hidup dan berkembang dalam
keadaan tanpa oksigen. Isolat Pseudomonas aeruginosa dapat membentuk tiga
macam koloni (Murray et al, 2020).
Isolat yang berasal dari bahan klinis menghasilkan koloni berukuran besar,
halus, dengan tepi yang datar dan bagian tengah menonjol, mirip telur dadar,
sedangkan isolat berasal dari sekresi respirasi dan sekresi saluran kemih berbentuk
mukoid dan berlendir (Murray et al, 2020).
P. aeruginosa membentuk koloni besar dan halus dengan permukaan rata dan
meninggi (fried egg apperance) dan koloni halus dan mukoid yang biasanya didapat
dari sekresi saluran pernafasan dan saluran kemih (Murray et al, 2020). Bakteri ini
juga sering menghasilkan pigmen piosianin, pigmen kebiru-biruan yang tidak
berfluoresensi, yang berdifusi kedalam agar. Spesies Pseudomonas yang lain tidak
48
menghasilkan piosianin. Banyak strain P. aeruginosa juga memproduksi pigmen
pioverdin yang berfluoresensi, yang memberikan warna kehijauan pada agar.
Beberapa strain menghasilkan pigmen piorubin yang berwarna merah gelap atau
pigmen piomelanin yang berwarna hitam (Kamel et al, 2016)
Kultur Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri obligat aerob yang mudah
tumbuh pada berbagai medium kultur, kadang-kadang menghasilkan aroma yang
manis dan berbau seperti anggur atau seperti jagung taco. Pseudomonas aeruginosa
membentuk koloni yang bundar dan licin dengan warna kehijauan yang
berfluoresensi. Bakteri ini sering menghasilkan pigmen kebiruan tak berfluoresensi
dan piosianin yang berdifusi ke dalam agar. Spesies Pseudomonas lainnya tidak
menghasilkan piosianin. Banyak galur Pseudomonas aeruginosa juga
menghasilkan pigmen berfluoresensi, pioverdin yang memberikan warna kehijauan
pada agar (Kamel et al, 2016)
Karakteristik pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa tumbuh dengan baik pada
suhu 37-42ºC. Kemampuannya untuk tumbuh pada suhu 42ºC membantu
membedakannya dari spesies Pseudomonas lain dari grup fluorsens. Bakteri
tersebut bersifat oksidase 10 positif. Pseudomonas aeruginosa tidak
memfermentasi karbohidrat, tetapi banyak galur yang mengoksidasi glukosa.
Identifikasi Pseudomonas aeruginosa biasanya didasarkan pada morfologi koloni.
Oksidase positif ditunjukan dengan adanya pigmen khas dan pertumbuhan pada
suhu 42ºC. (Murray et al, 2020).
Uji laboratorium spesimen yang diinokulasi pada agar darah dan media
deferensial lazim digunakan untuk menumbuhkan batang Gram negatif enterik.
Pseudomonas mudah tumbuh pada sebagian besar medium tersebut, tetapi mungkin
tumbuh lebih lambat dibandingkan bakteri enterik. Pseudomonas aeruginosa tidak
memfermentasi laktosa dan mudah dibedakan dari bakteri yang memfermentasi
laktosa. Kultur merupakan pemeriksaan yang spesifik untuk mendiagnosis infeksi
Pseudomonas aeruginosa (Murray et al, 2020).
Infeksi Pseudomonas aeruginosa yang bermakna secara klinis tidak boleh
diterapi dengan obat tunggal karena angka keberhasilannya rendah dan bakteri
dengan cepat menjadi resisten jika hanya di berikan obat tunggal. Penisilin seperti
piperasilin yang sensitif terhadap Pseudomonas aeruginosa meliputi Aztreonam,
49
Karbapanem seperti Imipenem atau Meropenem, dan Kuinolon terbaru, termasuk
Siprofloksasin. Pola sensitivitas Pseudomonas aeruginosa bervariasi secara
geografis dan uji sensitivitas harus dilakukan untuk membantu pemilihan terapi
antimikroba (Murray et al, 2020).
3.8 Ceftriaxone
Ceftriakson merupakan antibiotic yang termasuk dalam golongan
sefalosporin. Antibiotik golongan sefalosporin adalah anti bakteri semi sintetis yang
berasal dari anti bakteri alami yaitu Cephalosporium acremonium. Golongan ini
bersifat bakterisida dan menghambat sintesis dinding sel sama seperti penisilin.
Sefalosporin terbagi menjadi 4 generasi. Generasi pertama cefalotin, generasi kedua
adalah cefamandole, cefonicid, ceforamide dan ceoftiam, generasi ketiga adalah
cefotaxime, cefixime, ceftazidime, cefoperazone dan cefpiramide dan generasi ke
empat adalah cefepime, cefpirome, ceftobiprole. Selain itu juga terdapat golongan
semi sintetis dari sefalosporin yaitu cephamycin.
50
Sefuroksim
Sefoksitin
Sefotetan
Sefmetazol
Moksolaktam Aktivitas kurang aktif terhadap kokus Gram
Sefotaksim positif dibandingkan generasi I, tapi lebih aktif
Seftriakson terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain
Sefiksim yang memproduksi beta lactamase. Seftazidim
III
Sefoperazon dan sefoperazon juga aktif terhadap P.
Sefrizoksim Aeruginosa, tapi kurang aktif dibandingkan
Sefpodoksim generasi III lainnya terhadap kokus gram positif.
Seftazidim
Sefepim Aktivitas lebih luas dibandingkan dan lebih stabil
IV Sefpirom dari generasi sebelumnya dan tahan terhadap
beta-laktamase
Sumber : Kemenkes RI, 2011; Katzung et al, 2013; Siswandono, 2016
51
terhadap enzim betalaktamase (Katzung, 2013). Cefmetazole dan sefotetan
memiliki aktivitas melawan bakteri anaerob. Umumnya obat-obat sefalosporin
generasi kedua diberikan secara intravena, tetapi beberapa obat seperti Sefaklor,
sefuroksim axetil, dan sefprozil dapat diberikan secara oral. Pemberian secara
intramuskular menyakitkan sehingga harus dihindari. Penyesuaian dosis
dibutuhkan ketika terjadi gangguan fungsi ginjal karena hampir semua obat
dieliminasi melalui ginjal (Siswandono, 2016). Sefalosporin generasi kedua banyak
digunakan untuk mengatasi infeksi saluran pernafasan bagian bawah, sinusitis,
otitis, pneumonia, infeksi anaerobik campuran seperti peritonitis, diverticulitis, dan
penyakit radang panggul (Deck, Daniel H. 2015).
52
Berdasarkan farmakodinamiknya, antibiotik dibagi menjadi 2 kelompok,
yaitu concentration dependent activity dan time dependent activity. Concentration
dependent activity adalah antibiotik yang aktivitas membunuh bakteri berkorelasi
dengan kadarnnya di dalam plasma, dan tidak tergantung pada waktu sehingga tidak
perlu dipertahankan dalam jangka waktu yang lama. Antibiotik akan menghasilkan
daya bunuh maksimal terhadap bakteri apabila kadarnya tinggi sehingga semakin
tinggi kadar antibiotik dalam plasma maka akan semakin poten pula (Katzung,
2012). Antibiotik yang termasuk dalam concentration dependent killing adalah
golongan aminoglikosida, fluorokuinolon, daptomisin, ketolid, metronidazole, dan
amfoterisin B. Sedangkan time dependent killing adalah antibiotik yang aktivitas
membunuh bakterinya berkorelasi dengan berapa lama antibiotik tersebut berada
pada kadar yang efektif untuk membunuh bakteri. Antibiotik akan menghasilkan
daya bunuh yang maksimal terhadap bakteri bila kadarnya dipertahankan cukup
lama di atas Kadar Hambat Minimal atau Minimal Cincentration Inhibition (MIC)
bakteri, sehingga semakin lama konsentrasi antibiotik dalam plasma lebih tinggi
dari MIC maka semakin poten. Kadar yang sangat tinggi tidak meningkatkan
efektivitas obat untuk membunuh bakteri (Deck, Daniel H. 2015). Antibiotik yang
termasuk dalam time dependent killing adalah golongan beta laktam, makrolida,
klindamisin, tetrasiklin, dan glikopeptida (Katzung, 2013).
53
Mekanisme kerja antibiotik (John willey and sons, 2005)
3.9 Meropenem
Meropenem termasuk dalam kelompok antibiotik golongan carbapenem.
Antibiotik carbapenem adalah antibiotik golongan beta laktam yang sangat poten,
penicillin-binding proteins (PBPs), sehingga pada akhirnya sel bakteri akan mati.
Selain itu, ikatan antara carbapenem dan PBPs juga menginaktivasi transpeptidase
inhibition enzyme selama sintesis dinding sel bakteri untuk mencegah aktivitas
2020).
54
methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) yang saat ini masih dalam
3.10 Cefazolin
Cefazolin termasuk dalam golongan antibiotik sefalosporin generasi
pertama, yang sangat aktif terhadap bakteri coccus Gram positif seperti
pneumococcus, streptococcus, dan staphylococcus. Cefazolin juga memiliki
aktivitas terhadap beberapa bakteri Enterobacter sp (Deck danWinston, 2012).
3.11 Levofloxacin
Levofloxacin adalah antibiotik fluorokuinolon generasi ketiga spektrum luas
yang bekerja pada bakteri gram-positif dan gram-negatif serta patogen atipikal
terutama pada infeksi traktus respiratorius Levofloksasin aktif terhadap organisme
Gram positif dan Gram negatif.Memiliki aktivitas yang lebih besar terhadap
pneumokokus dibandingkan siprofloksasin. Levofloksasin diindikasikan untuk
community acquired pneumonia tapi sebagai terapi lini kedua. Di Indonesia, ketiga
obat ini tidak disetujui untuk pengobatan infeksi kulit dan jaringan lunak karena
banyak ditemukan stafilokokus yang resisten. Penggunaan obat ini sebaiknya
dihindarkan pada MRSA.
55
Merek dagang Levofloxacin: Armolev, Cravox, Floxacap, Levocin, Lexa, Metilev,
Prolecin, Volequin, Voxin, Cravit, Farlev, Lecrav, Levocin, LQ, Nislev, Rinvox,
VoLox, Zidalev
- Anthrax
Dewasa: 500 mg per hari selama 8 minggu. Anak (6 bulan ke atas): Penderita
dengan berat badan 50 kg ke bawah, dosis yang disarankan adalah 8mg/kgBB, 2
kali sehari selama 60 hari. Dosis maksimal adalah 250 mg per kali pemberian.
Penderita dengan berat badan di atas 50 kg dapat mengonsumsi 500 mg sekali
sehari, selama 60 hari.
- Infeksi ginjal (pyelonephritis) dan bronkitis kronis Dewasa: 500 mg, sekali sehari
selama 7-10 hari.
Dewasa: 250 mg, sekali sehari selama 3 hari. Jika kondisi berat, dosis dapat
ditingkatkan menjadi 500 mg, sekali sehari selama 7-14 hari.
Dewasa: Masukkan 1-2 tetes cairan 0.5% ke dalam mata yang terinfeksi, 8 kali
sehari, pada hari pertama dan kedua. Dosis dapat diturunkan menjadi 1-2 tetes, 4
kali sehari pada hari ketiga sampai ketujuh.
56
Dewasa: Teteskan 1-2 tetes cairan 1,5% ke mata yang terinfeksi, setiap 30 menit
hingga 2 jam pada pagi dan siang hari, dan 4-6 jam pada malam hari, untuk 1-3 hari
pertama. Dosis kemudian dapat dikurangi menjadi 1- 2 tetes setiap 1-4 jam pada
pagi dan siang hari, selama masa pemulihan. Dosis ini juga dapat diberikan pada
anak berusia 6 tahun ke atas.
57
daya bunuh yang maksimal terhadap bakteri bila kadarnya dipertahankan cukup
lama di atas Kadar Hambat Minimal atau Minimal Cincentration Inhibition (MIC)
bakteri, sehingga semakin lama konsentrasi antibiotik dalam plasma lebih tinggi
dari MIC maka semakin poten. Kadar yang sangat tinggi tidak meningkatkan
efektivitas obat untuk membunuh bakteri (Deck, Daniel H. 2015). Antibiotik yang
termasuk dalam time dependent killing adalah golongan beta laktam, makrolida,
klindamisin, tetrasiklin, dan glikopeptida (Katzung, 2013).
3.12 Ciprofloksasin
Ciprofloksasin merupakan antibiotic golongan quinolone, merupakan
antibiotik yang dapat mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat.
Mekanisme antibiotik golongan kuinolon yaitu memblokir sintesis DNA bakteri
dengan menghambat bakteri topoisomerase II (DNA gyrase) dan topoisomerase IV
(Katzung, 2012). Memiliki aktivitas aktivitas yang sangat baik terhadap bakteri
aerobik gram negatif dan memiliki aktivitas terbatas terhadap organisme gram
positif. Beberapa senyawa golongan ini adalah siprofloksasin, enoksasin,
lomefloksasin, levofloksasin, ofloksasin, dan pefloksasin. fluoroquinolones
terserap baik dengan bioavailabilitas 80-95% dan didistribusikan secara luas dalam
cairan tubuh dan jaringan. Florokuinolon dieliminasi di ginjal baik sekresi tubular
atau filtrasi glomerular dan perlu penyesuaian dosis pada pasien dengan klirens
kreatinin kurang dari 50 ml/menit. Banyak digunakan untuk infeksi saluran kemih,
infeksi jaringan lunak, tulang dan sendi dan infeksi saluran intra- abdomen dan
infeksi saluran pernafasan atas dan bawah (Deck, Daniel H. 2015).
58
karena itu tidak boleh digunakan untuk pneumonia pneumokokus.Siprofloksasin
aktif terhadap klamidia dan beberapa mikobakteria.Sebagian besar kuman anaerob
tidak sensitif terhadap siprofloksasin.Penggunaan siprofloksasin termasuk untuk
infeksi saluran napas (tapi bukan pneumonia pneumokokus), saluran kemih, sistem
pencernaan (termasuk demam tifoid) dan gonore serta septikemia oleh organisme
yang sensititif.
- Infeksi Ginjal:
Dewasa: 500 mg, 2 kali sehari selama 7 hari. Jika kondisi buruk, dosis dapat
dinaikkan hingga 750 mg, 2 kali sehari selama 10 hari. Jika diperlukan, obat dapat
dikonsumsi hingga 21 hari.
59
Anak (1 tahun ke atas): 10-20 mg/kgBB, 2 kali sehari selama 10-21 hari. Dosis
maksimal adalah 750 mg per kali pemberian.
- Prostatitis
Dewasa: 500-750 mg, 2 kali sehari selama 2-4 minggu. Untuk kondisi kronis, obat
dapat dikonsumsi selama 4-6 minggu.
- Tifus
- Radang panggul
- Anthrax
Dewasa: 500 mg, 2 kali sehari selama 2 bulan. Anak-anak: 10-15 mg/kgBB, 2 kali
sehari selama 2 bulan. Dosis maksimal adalah 500 mg per kali pemberian.
- Cystitis
Dewasa: 250-500 mg, 2 kali sehari selama 3 hari – 7 hari. Bagi wanita
premenopause, 500 mg dosis tunggal.
Dewasa: Pada hari pertama, teteskan 2 tetes cairan 0.3% ke mata yang terinfeksi
setiap 15 menit pada 6 jam pertama, dan 2 tetes setiap 30 menit setelahnya. Dosis
60
dapat dikurangi menjadi 2 tetes per jam di hari kedua, dan 2 tetes per 4 jam pada
hari ke 3-14. Maksimal penggunaan adalah 21 hari.
Dewasa: Teteskan 1-2 tetes cairan 0.3% ke mata yang terinfeksi 4 kali sehari. Untuk
infeksi yang berat, dosis dapat ditingkatkan menjadi 1-2 tetes per 2 jam selama 2
hari pertama. Maksimal penggunaan adalah 21 hari.
Dewasa: Teteskan 0.25 ml setiap 12 jam ke dalam telinga yang terinfeksi, selama 7
hari.
61
lama di atas Kadar Hambat Minimal atau Minimal Cincentration Inhibition (MIC)
bakteri, sehingga semakin lama konsentrasi antibiotik dalam plasma lebih tinggi
dari MIC maka semakin poten. Kadar yang sangat tinggi tidak meningkatkan
efektivitas obat untuk membunuh bakteri (Deck, Daniel H. 2015). Antibiotik yang
termasuk dalam time dependent killing adalah golongan beta laktam, makrolida,
klindamisin, tetrasiklin, dan glikopeptida (Katzung, 2013).
Harap berhati-hati bagi yang memiliki riwayat alergi obat antibiotik quinolone.
Informasikan mengenai obat-obatan yang rutin dikonsumsi dan penyakit yang
diderita kepada dokter sebelum diresepkan obat ini, untuk mencegah efek samping
dan interaksi antar obat.
62
BAB IV
KESIMPULAN
63
- Aminoglycosides: gentamycin, amikacin
- Fluoroquinolon: levofloxacin
- Cephalosporin: cefotaxime, cefazoline
- Carbapenem: meropenem, imipenem
- Tetrasiklin: tetrasiklin
- Lain-lain: kloramfenikol, trimethoprim/sulfametoksazol, dan aztreonam.
4.4. Antibiotik yang paling sering digunakan di RSUD Karsa Husada Batu antara
lain:
- Ceftriaxone
- Meropenem
- Cefazolin
- Levofloxacin
- Ciprofloxacin
64
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Q, Sabrina T, Diba MF, Amalia E, Putra RA. Gambaran infeksi Klebsiella
pneumoniae penghasil extended-spectrum β-lactamase (ESBL) pada pasien
covid-19 di RSUP DR. Mohammad Hoesin periode januari 2021-juni 2021.
Jambi Med Heal Sci Int Conf. 2021;10(Special Issues):186–98.
Anderson KL, Whitlock JE, Harwood VJ. 2005. Persistence and differential
survival of fecal indicator bacteria in subtropical waters and sediments.
Appl. Environ. Microbiol. 71:3041–3048
Apriyanthi D.P.RV., Laksmita A.S. WNP. Identifikasi bakteri kontaminan pada
gelang tri datu. BIOMA J Biol Makassar. 2022;7:24–33.
Asharina, I. 2017. Resistensi Antibiotik di Indonesia - Tak Usah Dulu Bermain
Undang-Undang. DOI: 10.13140/RG.2.2.21560.65281.
Becker K, Heilmann C, Peters G. Coagulase-negative staphylococci. Clin
Microbiol Rev. 2014;27(4):870–926.
Chang D., Sharma L., Cruz C.S.D. ZD. Clinical epidemiology, risk factors, and
control strategies of Klebsiella pneumoniae infection. Front Microbiol.
2021;12(750662):1–9.
Dean P, Kenny B. 2009. The effector repertoire of enteropathogenic E. coli: ganging
up on the host cell. Curr opin Microbiol. 12: 101- 109
Dewi N, Tarini NMA, Fatmawati NND. Deteksi gen fimH pada isolat klinis
Klebsiella pneumoniae di RSUP Sanglah Denpasar. e-Jurnal Med Udayana.
2019;8(4):1–6.
Di Nocera PP, Rocco F, Giannouli M, Triassi M, Zarrilli R. 2011. Organisasi genom
dari galur Acinetobacter baumannii epidemik . Mikrobiol
BMC. 11 :224. doi: 10.1186/1471-2180-11-224.
Dzen, Sjoekoer., Santoso, S., Roekistiningsih. SD. Perbedaan pola resistensi
staphylococcus koagulase negatif isolat darah terhadap antibiotika di RSU
Dr Saiful Anwar Malang pada tahun 2000-2001 dengan 2004-2005. J Kedokt
Brawijaya. 2005;21(3):127–32.
Effendi I. Identifikasi Bakteri Metode Identifikasi dan Klasifikasi Bakteri.
Pekanbaru: Oceanum Press; 2020.
Effendi MH, Kurniawan F. Detection on methicillin resistant staphylococcus aureus
(MRSA) and methicillin resistant coagulase negative staphylococci (MR-
CNS) from several dairy farms in East Java, Indonesia. Interciencia J.
2021;46(6):65–77.
Feng P. 2015. Shiga toxin-producing Escherichia coli in fresh produce: A food
safety dilemma. Di dalam: Enterohemorrhagic Escherichia coli and other
Shiga Toxin Producing E. coli. Sperandio V dan Hovde CJ, editor. Amerika:
ASM Press. Flores J, Okhuysen PC. 2010. Enterotoxigenic Escherichia coli.
65
Di dalam: Pathogenic Escherichia coli in Latin America. Torres AG ,Editor.
Bentham Science Publisher Ltd
Hafiz TA, Aldawood E, Albloshi A, Alghamdi SS, Mubaraki MA.
Stenotrophomonas maltophilia epidemiology, resistance characteristics , and
clinical outcomes: understanding of the recent three years ’ trends.
Microorganism. 2022;10(2506):1–10.
Hayati, L.N., Tyasningsih W., Praja R.N., Chusniati S., Yunita M.N. WPA. Isolasi
dan identifikasi Staphylococcus aureus pada susu kambing peranakan
etawah penderita mastitis subklinis di Kelurahan Kalipuro, Banyuwangi. J
Med Vet. 2019;2(2):76–82.
Hidayati, S. N. Darmawi, Rosmaidar, T. Armansyah, Maryulia D., Faisal J., dan
Fakhrurrazi. 2016. Pertumbuhan Escherichia coli Yang Diisolasi Dari Feses
Anak Ayam Broiler Terhadap Ekstrak Daun Salam (Syzygium polyanthum
[Wight.] Walp.). Jurnal Medika Veterinaria Vol. 10 No. 2.
Howard A, O'Donoghue M, Feeney A, Sleator RD. 2012. Acinetobacter baumannii:
an emerging opportunistic pathogen. Virulence. May 1;3(3):243-50. doi:
10.4161/viru.19700. Epub 2012 May 1. PMID: 22546906; PMCID:
PMC3442836.
Kagambega A, Martikainen O, Lienemann T, Siitonen A, Traore AS, Barro N,
Haukka K. 2012. Diarrheagenic Escherichia coli detected by 16-plex PCR
in raw meat and beaf intestines sold at local markets in Ougadougou,
Burkina Faso. Int J of Food Microbiol. 153: 154-158
Kamel FH, Jarjes SF. Essentials of bacteriology and immunology. Arbil: Erbyl
Polytechnic University; 2016.
Kaper JB, Nataro JP, Mobley HLT. 2004. Pathogenic Escherichia coli. Nat Rev
Microbiol. 2: 123-140
Karsinah, Lucky, H.M, Suharto, Mardiastuti, H.W. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi
Kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta: Binarupa Aksara.
Lin, M. F., and Lan, C. Y. 2014. Antimicrobial resistance in Acinetobacter
baumannii: from bench to bedside. World J. Clin. Cases.
Manning SD. 2010. Deadly Diseases and Epidemics: Escherichia coli Infection, Ed
ke-2. New York: Chelsea Publishers
Meriyani, H., Sanjaya, D. A., Sutariani, N. W., Juanita, R. A., Siada, N. B.
Penggunaan dan Resistensi Antibiotik di Instalasi Rawat Intensif Rumah
Sakit Umum Daerah di Bali: Studi Ekologikal selama 3 Tahun. Jurnal
Farmasi Klinik Indonesia, 2021, 10 (3): 180-189.
Montzer A. 2016. Whole genome sequencing of enterotoxigenic Escherichia coli
(ETEC): identification of ETEC lineages and novel colonization factors.
Thesis. University of Gothenburg.
66
Muchlissoh F. Potensi Sternotrophomonas maltophilia LA3B sebagai agen pupuk
hayati berbasis residu limbah padat industri agar-agar dan tepung ikan.
[Jakarta]: UIN Syarif Hidayatullah; 2019.
Murray P.R., Rosenthal K.S. PMA. Medical microbiology. 9th ed. New York:
Elsevier Inc; 2021.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2021 tentang
Pedoman Penggunaan Antibiotik.
Ryan, Kenneth J., Ahmad N., Alspaugh J.A., Drew W.L., Lagunoff M., Pottinger P.,
Reller L.B., Reller M.E., Sterling C.R. WS. Sherris Medical Microbiology.
8th ed. New Yotk: McGraw-Hill Education; 2018.
Torres AG, Hernande MMPA, Laguna YM. 2010. Overview of Escherichia coli. Di
dalam: Pathogenic Escherichia coli in Latin America. Torres AG, editor.
Bentham Science Publisher Ltd.
Yang X, Wang H. 2014. Pathogenic E. coli. Lacombe Research Centre, Lacombe.
Canada.
Yunita, S. L., Atmadani, R. N., Titani, M., Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Pengetahuan Dan Perilaku Penggunaan Antibiotika Pada Mahasiswa
Farmasi Universitas Muhammadiyah Malang. Pharmaceutical Journal of
Indonesia, 2021, 63(2): 119-
67