gaya hidup perkotaan, seperti pola pikir dan sosial nilai-nilai masyarakat telah bergeser
dari kehidupan komunal ke budaya individualisme dan kehidupan pribadi.
Kaum milenial di wilayah perkotaan atau kampung perkotaan seperti di Jakarta secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu kamu milenial asli dan pendatang. Sihombing et al., (2020) dalam penelitiannya melakukan survei dan wawancara mengenai gaya hidup warga menurut kriteria gaya hidup generasi milenial. Hasil ini mengungkapkan perbedaan kehidupan antara milenial migran dan milenial asli di kampung yang sama meskipun mereka memiliki kriteria gaya hidup milenial yang sama. Keduanya berbagi gaya hidup berkumpul yang sama dengan komunitas mereka, tetapi di tempat yang berbeda. Sementara pendatang lebih suka berkumpul di warung kopi, pribumi berkumpul di gedung dan area publik. Perbedaan zonasi tempat tinggal mereka bisa menjadi alasannya. Rumah kos akan lebih banyak ditemukan di kampung depan karena lebih dekat dengan area kerja/kampus, yang menjadi alasan utama mereka berimigrasi ke kampung tersebut. Oleh karena itu, area kampung depan memiliki lebih banyak kedai kopi dibandingkan dengan area kampung belakang yang masih memiliki banyak bangunan umum. Perubahan lebih banyak terjadi di kampung depan karena para pendatang menyewa tempat dan membayarnya, sehingga tuan tanah berusaha menambah dan meningkatkan kualitas tempat tinggal penyewa. Itu pula yang menjadi alasan mengapa semakin banyak orang di kampung depan yang membuka warung kopi. Teknologi juga mempengaruhi kehidupan penduduk asli dan pendatang. Misalnya baik penduduk asli maupun pendatang menggunakan ojek online untuk memesan makanan dan ini juga salah satu faktor yang mempengaruhi mereka sehingga tidak pernah berinteraksi di kampung, dan anggota dari setiap kelompok cenderung individualis. Menurut penulis, pola perbedaan ini juga terjadi pada masyarakat di wilayah Menteng Atas.
1) Melemahnya Penggunaan Bahasa Indonesia
Dampak globalisasi terhadap budaya lokal berikutnya adalah penggunaan Bahasa Indonesia. Interaksi masyarakat kebanyakan di Jakarta terutama di wilayah Jakarta Selatan yang kerap kali mencampuradukkan Bahasa asing dengan Bahasa Indonesia mengindikasikan lemahnya penggunaan Bahasa Indonesia. Hal ini diperkuat oleh Siregar (2021) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kelemahannya bukan tidak digunakan sama sekali melainkan istilah asing yang masuk dalam perbincangan publik, dan cenderung dianggap lebih bergengsi untuk digunakan. Tidak dapat dipungkiri bahwa penyertaan istilah asing dapat memperkaya perbendaharaan kata bahasa, namun tetap dapat menjadi perhatian bagi