Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN TUTORIAL

MATA MERAH

KELOMPOK 1

Putri Elvira Yusuf 09402111002


Dita Safira Sanggel 09402111006
Ikwan Ardiansah 09402111008
Nabila Fauziyah A 09402111016
Aulia Nizar Fadilah 09402111018
Farhah Syalzabila Kamilatunnuha 09402111027
Safira Ramadani Djufri 09402111032
Sundari Ummu Kulsum 09402111037
Meiling Pricilia Kawasa 09402111042
Mutiara Arum 09402111049
M.Q. Akhbar Arifin 09402111055
M. Riswandi Siboboy 09402011041

BLOK SISTEM INDERA


PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KHAIRUN
2024
SKENARIO :
Seorang laki-laki berusia 35 tahun datang ke klinik dokter umum dengan keluhan mata
merah sejak 2 hari yang lalu, nyeri (+), riwayat trauma (+), pemeriksaan visus kedua mata
6/6.

KATA SULIT : -

ISTILAH DAN KONSEP :


1. Laki laki 35 tahun.
2. Mata merah sejak 2 hari yang lalu.
3. Nyeri (+).
4. Pemeriksaan visus kedua mata 6/6.

ANALISIS MASALAH :
1. Jelaskan anatomi dan fisiologi organ terkait !
2. Jelaskan definisi dan etiologi dari mata merah !
3. Jelaskan hubungan antar gejala berdasarkan skenario !
4. Jelaskan alur diagnosis dan diagnosis !
5. Sebutkan dan jelaskan DD berdasarkan skenario ?
1. Konjungtivitis
2. Blefaritis
3. Episkleritis
4. Skleritis
6. Bagaimana pencegahan dan edukasi berdasarkan skenario ?
JAWABAN

1. Jelaskan anatomi dan fisiologi organ terkait !

2. Jelaskan definisi dan etiologi dari mata merah !


A. Definisi Mata Merah
Mata merah umumnya terjadi karena pelebaran pembuluh darah di mata. Mata
yang merah mengindikasikan adanya masalah pada mata, bisa masalah ringan
ataupun serius yang memerlukan penanganan lebih lanjut.

B. Etiologi Mata Merah


Penyebab mata merah yang paling sering adalah karena pelebaran pembuluh
darah pada permukaan mata. Hal ini biasanya disebabkan oleh:
1) Udara yang panas/kering.
2) Paparan sinar matahari.
3) Debu.
4) Reaksi alergi.
5) Influenza.
6) Infeksi Bakteri atau virus.
7) Batuk.

Mata yang lelah atau dalam kondisi batuk dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan subkonjungtival atau Subconjunctival Bleeding. Sementara penyebab
mata lain yang memerlukan penanganan lebih lanjut adalah infeksi.Infeksi Dapat
muncul pada struktur berbeda dari mata dan akan menimbulkan gejala tambahan
seperti nyeri, discharge (kotoran mata berlebih) dan perubahan tajam penglihatan.
● Infeksi pada mata yang dapatkan menyebabkan mata merah:
1) Peradangan pada folikel bulu mata (blepharitis).
2) Peradangan pada selaput mata (konjungtivitis).
3) Peradangan pada Uvea (uveitis).
● Kondisi lain yang dapat menyebabkan mata merah antara lain:
1) Trauma atau luka pada mata.
2) Meningkatnya tekanan bola mata yang menimbulkan nyeri (glaukoma akut).
3) Erosi kornea akibat iritasi atau penggunaan lensa kontak. [3]
3. Jelaskan hubungan antar gejala berdasarkan skenario !

4. Jelaskan alur diagnosis dan diagnosis !


Hal utama yang perlu diperhatikan dalam diagnosis mata merah adalah mengenali
red flags, yaitu nyeri sedang berat, penurunan visus, dan fotofobia. Keadaan ini
bersifat vision threatening, sehingga pasien harus segera dikonsultasikan ke dokter
spesialis mata.

Selain red flags, keluhan binokular/monokular, adanya sekret, riwayat penyakit


kronis dan autoimun, serta riwayat trauma juga perlu digali. Tidak semua penyakit
mata merah memiliki gold standard diagnosis, sehingga pemahaman mengenai gejala
klinis yang khas adalah dasar yang membedakan kemungkinan diagnosis banding
pada mata merah.

A. Pada pasien anak, red flags mata merah dapat dilihat dari:
1. Adanya perubahan warna/kekeruhan pada kornea.
2. Red reflex maupun pemeriksaan pupil yang abnormal.
3. Fotofobia.
4. Nyeri yang signifikan.
5. Edema palpebra dan periorbita.
6. Juling/squint onset akut.
7. Penurunan ketajaman penglihatan.
Selain itu, keluhan mata merah yang tidak membaik dalam 2 minggu terapi,
riwayat cedera mekanik dengan gaya yang kuat, serta kesulitan dalam melakukan
pemeriksaan juga termasuk dalam red flags. Pada keadaan ini, pasien harus
segera dikonsulkan ke dokter spesialis mata.

B. Sedangkan pada pasien dewasa, red flags meliputi:


1. Nyeri moderat dengan visual analog scale (VAS) 5–10 terutama yang tidak
membaik dengan analgesik.
2. Penurunan penglihatan.
3. Nyeri/rasa tidak nyaman saat melihat cahaya (fotofobia).
4. Nyeri kepala pada sisi mata yang dikeluhkan.
5. Diplopia binokular onset akut, yang dapat diidentifikasi dengan menanyakan
hilangnya keluhan pandangan ganda pada saat salah satu mata, baik kiri
maupun kanan ditutup.
6. Riwayat penggunaan kontak lens, trauma, dan operasi mata.

● Anamnesis
Anamnesis pada mata merah diawali dengan mengidentifikasi kegawatdaruratan
mata merah sesuai usia, baik pada pasien dewasa maupun anak-anak. Setelah
mengidentifikasi red flags pada mata merah, anamnesis dapat diperdalam dengan
menanyakan onset, unilateral/bilateral, progresivitas, karakteristik nyeri (bila ada),
sekret, lokasi anatomis, dan keluhan lainnya. Onset mata merah dinyatakan akut
bila ≤7 hari. Pada pasien yang mengalami trauma kimia, wajib ditanyakan bahan
apa yang mengenai mata.

A. Karakteristik Nyeri
Karakteristik nyeri pada mata merah dapat mengindikasikan keparahan gejala
dan mengarahkan diagnosis banding pada keluhan mata merah. Sebagai contoh,
nyeri bersifat deep boring pain seringkali terjadi pada skleritis, nyeri yang tajam
biasanya dialami pada keratitis bakterial, sedangkan nyeri terbakar disertai sekret
yang banyak dan purulen pada mata adalah tanda khas konjungtivitis gonore.

Selain itu, keluhan nyeri harus dibedakan dengan nyeri ringan atau rasa tidak
nyaman seperti rasa iritasi atau sensasi benda asing. Biasanya, nyeri ringan/rasa
mata gatal/iritasi merupakan tanda mata merah yang dapat ditangani di fasilitas
kesehatan primer, karena tidak vision threatening. Contohnya adalah episkleritis,
perdarahan subkonjungtiva, konjungtivitis bakteri non gonore/virus/alergi yang
tidak persisten dan kronis, serta dry eye syndrome (DES).

Selain itu, anamnesis keluhan nyeri juga harus menanyakan faktor yang
memperberat dan memperingan keluhan, area yang mengalami nyeri, dan
penjalaran nyeri. Pada glaukoma akut sudut tertutup dan skleritis, nyeri dapat
menjalar ke kepala pada sisi yang sama dengan mata yang dikeluhkan.
B. Sekret
Sekret yang menyertai keluhan mata merah dapat berupa sekret kehijauan,
berair, maupun berair dengan jumlah yang banyak (epifora). Selain warna dan
konsistensi, produksi sekret juga dapat mengarahkan diagnosis, misalnya sekret
kehijauan yang sangat banyak biasanya dialami pada konjungtivitis gonore.
Sedangkan sekret berair dapat menandakan adanya reaksi alergi seperti
konjungtivitis alergi, virus, maupun trauma benda asing atau abrasi kornea.

C. Anamnesis Riwayat Penyakit, Kebiasaan, dan Pekerjaan.


Anamnesis mengenai riwayat penyakit sistemik dapat meliputi autoimun
(misalnya SLE, RA, Sjogren syndrome) dan penyakit kronis (misalnya diabetes
mellitus dan hipertensi). Selain itu, riwayat penggunaan obat-obatan seperti
antiplatelet (misalnya clopidogrel) dan kebiasaan mengenai penggunaan lensa
kontak juga perlu ditanyakan sebagai faktor risiko untuk mengarahkan diagnosis
dan mengontrol rekurensi penyakit.[31,64] Selanjutnya, pekerjaan tertentu dapat
meningkatkan risiko cedera mata, antara lain seperti pekerja kebun/petani, pekerja
las dan buruh industri.

● Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada mata merah meliputi pemeriksaan visus pada dewasa
maupun anak, pemeriksaan mata eksternal dan periorbita (seperti ada/tidaknya
edema dan eritema), pergerakan bola mata, lapang pandang serta posisi mata. Pada
pemeriksaan fisik ini yang diperhatikan dan dilakukan Pemeriksaan untuk
mendiagnosis menyesuaikan organ yang didapati kelainan, sebagai berikut:
1. Palpebra dan Periorbita (Blefaritis, Selulitis Periorbita).
2. Konjungtiva (Konjungtivitis, Perdarahan Subkonjungtiva, Dry Eyes).
3. Sklera dan Episklera (Skleritis, Episkleritis).
4. Kornea (Keratitis, Abrasi Kornea, trauma mekanik dan benda asing).
5. Kamera Okuli Anterior (Glaukoma akut, Uveitis Anterior).
6. Segmen posterior (Endoftalmitis, Panofalmitis).

Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan slit lamp maupun lup. Pada inspeksi
mata, karakteristik mata merah dapat membantu mengarahkan diagnosis. Selain
itu, pemeriksaan pupil termasuk adanya relative afferent pupillary defect
(RAPD), memeriksa adanya fotofobia konsensual, dan segmen posterior bola
mata serta red reflex juga harus dilakukan.
Pemeriksaan segmen posterior dan media bola mata dapat dilakukan dengan
atau tanpa midriatikum. Sebelum melakukan pemeriksaan ini, identifikasi
peningkatan tekanan intraokular (TIO) dengan tonometri diperlukan. Bila
didapatkan peningkatan TIO, maka penggunaan midriatikum dikontraindikasikan
karena akan memperparah klinis peningkatan TIO.

➢ Pemeriksaan Segmen Posterior dengan Oftalmoskop


Pemeriksaan dengan oftalmoskop dilakukan untuk mengidentifikasi adanya
red reflex dan kelainan pada segmen posterior bola mata. Tidak didapatkannya
red reflex menjadi penanda adanya kelainan pada jaras visual. Pemeriksaan
segmen posterior bola mata meliputi retina, optic disc dan pembuluh darah.

Pada keadaan dimana segmen posterior sulit dinilai dengan oftalmoskop,


pemeriksaan awal dengan mengidentifikasi ada atau tidaknya red reflex cukup
untuk melihat adanya kelainan patologis pada jaras penglihatan, yaitu kornea,
lensa, badan vitreus, dan retina.

● Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada mata merah dapat dilakukan untuk identifikasi
faktor risiko, etiologi, maupun pencitraan segmen posterior mata. Pada pasien
dengan skleritis dan uveitis, dapat dilakukan pemeriksaan seperti darah lengkap,
faktor rheumatoid, dan antinuclear antibody (ANA). Sedangkan pada kecurigaan
infeksi, seperti selulitis orbita dan konjungtivitis, kultur identifikasi dan kepekaan
mikroorganisme dapat dilakukan.
Kultur, pewarnaan gram, maupun pemeriksaan lain seperti KOH 10% dapat
dipertimbangkan pada kasus mata merah yang dicurigai karena infeksi.
Selulitis Orbita, Endoftalmitis dan Panoftalmitis:
Kultur darah seringkali diperlukan pada kasus selulitis orbita, endoftalmitis, dan
panoftalmitis untuk keperluan pemberian terapi definitif, seperti antibiotik. Hal ini
karena, prognosis visual maupun risiko komplikasi seperti penurunan penglihatan
dan infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis salah satunya bergantung pada
terapi definitif yang diberikan. Perlu diperhatikan bahwa pengambilan sampel
kultur darah pada keadaan ini dilakukan sebelum antibiotik dimulai.

A. Pencitraan
Pencitraan diperlukan untuk mengevaluasi segmen posterior mata, seperti
pemeriksaan B-scan ultrasonography dan optical coherence tomography (OCT)
maupun kelainan intrakranial yang menyertai keluhan mata merah.
1) Optical coherence tomography (OCT):
Optical coherence tomography (OCT) dilakukan untuk visualisasi segmen
posterior mata, termasuk pembuluh darah retina, zona avascular yaitu fovea,
serta lapisan-lapisan retina. Pemeriksaan OCT dapat dilakukan pada keadaan
dimana kelainan segmen posterior mungkin terjadi, seperti glaukoma akut
sudut tertutup, uveitis, skleritis, endoftalmitis, panoftalmitis, dan selulitis
orbita.
2) B-scan Ultrasonography:
Pemeriksaan B-scan ultrasonography dilakukan untuk mengevaluasi
segmen posterior maupun anterior mata. Akan tetapi, B-scan
ultrasonography lebih mudah didapatkan dibanding OCT, sehingga lebih
mudah digunakan. B-scan ultrasonography dapat dilakukan pada pasien
yang dicurigai skleritis posterior. Pada keadaan ini, gambaran yang dapat
ditemukan antara lain penebalan sklera dan lapisan koroid sehingga
membentuk karakteristik T sign, nodul pada sklera, pelebaran diskus optikus,
cairan pada kapsula Tenon, maupun ablasio retina. Pada mata merah,
pemeriksaan B-scan ultrasonography juga dapat membantu melihat keadaan
patologis lain seperti hifema, hipopion, ablatio retina, komplikasi trauma
okuli termasuk perdarahan vitreus, maupun penetrasi benda asing.[86]
3) Computerized Tomography (CT) scan dan Magnetic Resonance Imaging
(MRI):
Pemeriksaan computerized tomography (CT) scan dan magnetic
resonance imaging (MRI) kepala terutama diindikasikan pada kondisi
dimana kelainan neurologis yang menyertai keluhan mata merah
memungkinkan, seperti selulitis orbita.
B. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah lengkap, C-reactive
protein (CRP), dan urinalisis dapat diindikasikan pada kecurigaan adanya
infeksi sistemik yang menyertai keluhan mata merah, seperti selulitis orbita,
endoftalmitis, skleritis, dan uveitis. Selain itu, pemeriksaan autoantibodi serum
seperti faktor rheumatoid dan anti nuclear antibody (ANA) juga dapat
dipertimbangkan pada keadaan seperti skleritis dan uveitis. Tujuannya adalah
untuk menyingkirkan kemungkinan adanya reaksi inflamasi akibat autoantibodi.

C. Biopsi
Biopsi dapat dilakukan pada keadaan yang dicurigai keganasan, misalnya
pada blefaritis kronis terutama yang disertai dengan madarosis signifikan.

5. Sebutkan dan jelaskan DD berdasarkan skenario ?

➢ Konjungtivitis
1) Konjungtivitis Bacterial
Defenisi
Congjungtivitis bacterial merupakan peradangan pada konjungtiva yang
disebabkan oleh bakteri.
Sumber: Jurnal Universitas Muhammadiyah Purwokerto hal. 4
Etiologi
● Congjungtivitis bakteri akut : H influenzae, S. pneumonia, S. Aureus, dan
Moraxella.
● Congjungtivitis bakteri hiperakut : N gonorrhoeae, Neisseria kochii, dan N
meningitides.
● Congjungtivitis bakteri kronik : pasien dengan obstruksi duktus nasolakrimalis
dan dakriosistitis kronik
Sumber: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata BAB 5 hal. 111
Epidemiologi
Konjungtivitis dapat dijumpai di seluruh dunia, pada berbagai ras, usia, jenis
kelamin, dan strata sosial. Dinegara maju seperti amerika telah diperhitungkan
bahwa 6 juta penduduknya telah terkena konjungtivitis akut dan diketahui insiden
konjungtivitis bakteri sebesar 135 per 10.000 penderita baik pada anak-anak
maupun pada dewasa dan juga lansia.
Di Indonesia dari 135.749 kunjungan ke departemen mata, total kasus
konjungtivitis dan gangguan lain pada konjungtiva sebanyak 99.195 kasus dengan
jumlah 46.380 kasus pada laki-laki dan 52.815 kasus pada perempuan.
Konjungtivitis termasuk dalam 10 besar penyakit rawat jalan terbanyak pada tahun
2009
Sumber: Ilyas, Sidarta, Tanzil, Muzakkir, Salamun, Azhar, Zainal. Sari Ilmu
Penyakit Mata. Balai Penerbit FK UI, Jakarta 2004.

Klasifikasi
1. Congjungtivitis bakteri akut
2. Congjungtivitis bakteri hiperakut
3. Congjungtivitis bakteri kronik
Sumber: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata BAB 5 hal. 111.

Patofisiologi
Konjungtivitis bacterial biasanya diakibatkan infeksi oleh flora normal dan
infeksi eksternal yang berkolonisasi di sekitar mata, seperti Staphylococcus aureus
dan Streptococcus pneumonie. Infeksi dapat terjadi apabila lapisan epitel
konjungtiva mengalami kerusakan atau abrasi adanya peningkatan jumlah bakteri,
dan penurunan imunitas host.
Selain itu, infeksi juga dapat terjadi akibat kontaminasi eksternal, misalnya
penggunaan kontak lensa yang tidak bersih, berenang, dan menggosok-gosok mata
menggunakan tangan yang kotor. Barrier utama mata dalam melawan infeksi
adalah lapisan epitel yang melapisi konjungtiva, apabila terjadi kerusakan,infeksi
pada congjungtiva sehingga menyebabkan congjungtivitis bakteri, pada lapisan ini,
maka rentan terjadi infeksi.
Sumber:
1. Yeung KK. Bacterial Congjungtivitis 2019.
https://emedicine.medscape.com/article/1191730-overview#a4
2. Chingbu D, labib B, pathogenesis and management of adenoviral
keratoconjuctivitis infect drug resist 2018;11:981-993.
Faktor resiko
● Menggunakan lensa kontak, terutama pemakaian dalam jangka panjang.
● Paparan dari seseorang yang terinfeksi virus atau bakteri dari gangguan mata
ini.
● Terpapar sesuatu yang membuat seseorang alami alergi.
Sumber: American Academy of Ophthalmology. Diakses pada 2022. Maya Clinic
diakses pada 2022 pink eye (congjungtivitis).

Gejala dan tanda


1. Riwayat kontak.
2. Visus cenderung normal.
3. Hyperemia +.
4. Gatal.
5. Secret purulent/mukopurulen.
6. Kemosis ++.

Diagnosis
Pada umumnya sudah dapat ditegakkan melalui temuan klinis, konjungtivitis
dikategorikan akut bila gejala <4 minggu dan kronis apabila gejala menetap >4
minggu.

Pemeriksaan penunjang
Tidak umum dikerjakan, kecuali pada kondisi klinis berat, populasi khusus
(misalnya neonates), atau pada keadaan etiologi spesifik perlu ditentukan.
● Konjungtivitis gonore: ditemukan diplokokus Gram negative intrasel melalui
pewarnaan gram pada hasil swab konjungtiva.
● Konjungtivitis Chlamydia: swab konjungtiva dapat diambil untuk pemeriksaan
antibody imunofluoresen (sensitivitas dan spesifitas 90%).
● Konjungtivitis alergi: tes kulit dapat dilakukan untuk mengidentifikasi allergen.

Komplikasi
Komplikasi tersering adalah keratokonjungtivitis.
Prognosis
Konjungtivitis akibat infeksi tanpa komplikasi umumnya sembuh dalam 1-2
minggu. Konjungtivitis alergi berlangsung lebih lama (beberapa minggu hingga
bulan), tetapi pada umumnya penyembuhan tetap baik. Proses penyembuhan
cenderung lebih lama bila peradangan mencapai bagian kornea.

Terapi dan pencegahan


Pengobatan konjungtivitis dibedakan berdasarkan etiologinya. Selain terapi
spesifik sesuai etiologi dapat pula diberikan terapi simtomatik sesuai tanda dan
gejala pada pasien. Beberapa terapi simtomatik yang umumnya diberikan pada
konjungtivitis:
● Lubrikan mata (artificial tears): carboxymethylcellulose sodium ATAU
NaCL+KCL tetes mata 4 kali/hari (atau sesuai kebutuhan).
● Antihistamin + dekongestan topical: Naphazoline/antazoline tetes mata 4
kali/hari.
● Kortikosteroid topical: Betamethasone 0,1% tetes mata (2-4 kali/hari)
prednisone 1% tetes mata (2-4 kali/hari).
Tindakan pencegahan berupa menjaga kebersihan, rutin cuci tangan, hindari
kontak dengan mata, hentikan penggunaan lensa kontak sementara dan hindari
pencetus (pada alergi).
Sumber: Buku Kapita Selekta Kedokteran FKUI jilid II hal. 1061.

2) Konjungtivitis Virus
Definisi
Konjungtivitis adalah salah satu penyebab paling umum dari mata merah dan
menyerang pasien dari segala usia dan kelas sosial ekonomi. Konjungtivitis
virus bertanggung jawab atas sebagian besar konjungtivitis menular, terhitung
hingga 75% kasus.
Sumber: Solano, D & Czyz, CN 2019, Viral Conjunctivitis, Nih.gov, StatPearls
Publishing.
Etiologi
Penyebab paling umum dari konjungtivitis virus adalah adenovirus.
Adenovirus adalah bagian dari keluarga Adenoviridae yang terdiri dari virus
DNA beruntai ganda yang tidak berselubung. Infeksi yang sering dikaitkan yang
disebabkan oleh adenovirus termasuk infeksi saluran pernapasan atas, infeksi
mata, dan diare pada anak-anak. Anak-anak paling rentan terhadap infeksi virus,
dan orang dewasa cenderung lebih banyak terkena infeksi bakteri.

Konjungtivitis virus dapat tertular melalui kontak langsung dengan virus,


penularan melalui udara, tempat penampungan air seperti kolam renang, jari
tangan yang tercemar, peralatan medis, atau barang-barang pribadi.
1. Konjungtivitis Adenoviral
Hingga 90% kasus konjungtivitis virus disebabkan oleh adenovirus. Pada
anak-anak demam faringokonjungtiva (PCF) akibat HAdV tipe 3, 4, dan 7
menyebabkan konjungtivitis folikuler akut disertai demam, faringitis,
limfadenopati periauricular. Keratokonjungtivitis epidemik (EKC) adalah
infeksi mata paling parah yang disebabkan oleh adenovirus dan secara klasik
berhubungan dengan serotipe 8, 19, dan 37. Kornea dapat dipengaruhi oleh
replikasi virus di epitel dan stroma anterior yang menyebabkan keratopati
pungtata superfisial dan infiltrat subepitel. . [8] Monoterapi dengan
povidone-iodine 2% telah menunjukkan resolusi gejala. Kombinasi lebih
lanjut dari povidone-iodine dengan kortikosteroid sedang menjalani studi
terkontrol acak fase 3. Gejala visual yang disebabkan oleh infiltrat subepitel
dapat melemahkan dan penggunaan tacrolimus, obat tetes mata siklosporin A
1% dan 2% telah terbukti efektif.

2. Konjungtivitis Herpetik
Konjungtivitis herpes sering terjadi pada orang dewasa dan anak-anak dan
berhubungan dengan konjungtivitis folikuler. Virus herpes simpleks (HSV)
diperkirakan bertanggung jawab atas 1,3 - 4,8% kasus konjungtivitis akut.
Pengobatan dengan agen antivirus topikal ditujukan untuk mengurangi
pelepasan virus dan perkembangan keratitis. Varicella-zoster dapat
menyebabkan konjungtivitis baik melalui kontak langsung pada lesi mata
atau kulit atau menghirup partikel aerosol yang terinfeksi, terutama yang
melibatkan cabang pertama dan kedua saraf trigeminal.

3. Konjungtivitis Hemoragik Akut (AHC)


Ini adalah bentuk konjungtivitis virus yang sangat menular dan gejalanya
meliputi sensasi benda asing, epifora, edema kelopak mata, kemosis
konjungtiva, dan perdarahan subkonjungtiva. Sebagian kecil pasien
mengalami gejala sistemik berupa demam, kelelahan, nyeri anggota badan.
Penularannya terutama melalui kontak tangan ke mata dan benda asing.
Varian Picornavirus EV70 dan coxsackievirus A24 (CA24v) dianggap
sebagai patogen yang bertanggung jawab.

4. Konjungtivitis COVID-19
Jenis virus corona terbaru yang diisolasi, COVID-19, dilaporkan
menyebabkan konjungtivitis bersamaan dengan demam, batuk, gangguan
pernapasan, dan kematian. Penelitian retrospektif dan prospektif
menunjukkan bahwa 1% hingga 6% pasien menunjukkan konjungtivitis
terkait COVID-19, dan hasil usapan konjungtiva positif pada 2,5% kasus.
Penularan melalui jaringan mata belum sepenuhnya dipahami. Dokter mata
mempunyai risiko lebih tinggi tertular COVID-19 karena kedekatannya
dengan pasien, klinik yang memerlukan banyak peralatan, kontak langsung
dengan permukaan mukosa konjungtiva pasien, dan volume klinik yang
tinggi. COVID-19 sistemik tertular melalui inhalasi tetesan pernapasan
secara langsung atau melalui udara. Tindakan perlindungan tambahan seperti
penjarakan sosial, penggunaan masker, pengurangan volume klinik, dan
sterilisasi permukaan harus dilakukan untuk mengurangi risiko penularan.
Sumber: Solano, D & Czyz, CN 2019, Viral Conjunctivitis, Nih.gov,
StatPearls Publishing.

Epidemiologi
Konjungtivitis, baik karena bakteri atau virus, adalah masalah umum yang
menyerang jutaan orang Amerika setiap tahunnya. Di Amerika Serikat,
diperkirakan 1% kunjungan dokter layanan primer berhubungan dengan
konjungtivitis. Meskipun konjungtivitis virus adalah penyebab paling umum,
konjungtivitis bakteri adalah penyebab paling umum kedua dan membedakan
keduanya dapat menjadi tantangan bagi dokter layanan primer. Seringkali
antibiotik diresepkan tanpa indikasi yang baik sehingga dapat menimbulkan
beban keuangan yang tidak perlu bagi pasien dan meningkatkan bakteri yang
resistan terhadap obat. Perusahaan dan sekolah biasanya mengharuskan
penderita konjungtivitis untuk tetap berada di luar lokasi sampai infeksinya
hilang, sehingga berpotensi menambah beban ekonomi bagi mereka yang
terinfeksi
Sumber: Solano, D & Czyz, CN 2019, Viral Conjunctivitis, Nih.gov, StatPearls
Publishing.

Patogenesis
Mikroorganisme masuk ke dalam tubuh dengan cara adhesi, evasi, dan
invasi. Adhesi adalah penempelan molekul mikroorganisme ke epitel mata yang
dimediasi oleh protein permukaan mikroorganisme. Evasi adalah upaya
mikroorganisme untuk menembus pertahanan sistem imun. Hampir semua
mikroorganisme hanya menginvasi bila terdapat kerusakan epitel kecuali
beberapa bakteri seperti Neissseria gonorhoeae dan Shigella spp. Pada infeksi
virus, adhesi sekaligus memfasilitasi proses invasi melalui interaksi molekul
virus dengan sel hospes seperti interaksi kapsul adenovirus dengan integrin sel
hospes yang menyebabkan proses endositosis virus oleh sel. Mikroorganisme
juga dapat bertahan melewati sistem pertahanan tubuh dan bereplikasi seperti
pada infeksi HSV, virus varisela serta herpes zoster namun sebagian besar
infeksi lainnya dapat dieradikasi oleh sistem imun tubuh.
Sumber Sitompul, R. (2017) “Konjungtivitis Viral: Diagnosis dan Terapi di
Pelayanan Kesehatan Primer,” eJournal Kedokteran Indonesia, 5(1). Available
at: https://doi.org/10.23886/ejki.5.7605.65-71.

Tanda dan Gejala


● Riwayat kontak.
● Gatal.
● kemerahan.
● Kimosis/peradangan mata.
● Pembengkakan pembuluh darah.
● Keluarnya cairan pada mata.
● Nyeri.
● Fotofobia, dan Pseudomembran.
Sumber: 1. Solano, D & Czyz, CN 2019, Viral Conjunctivitis, Nih.gov, StatPearls Publishing.
2. Kapita Selekta KedokteranJilid II Edisi V

Diagnosis
Gejala klinis konjungtivitis dapat menyerupai penyakit mata lain sehingga
penting untuk membedakan konjungtivitis dengan penyakit lain yang berpotensi
mengganggu penglihatan. Diperlukan anamnesis dan pemeriksaan mata
yang teliti untuk menentukan tata laksana gangguan mata termasuk
konjungtivitis. Infeksi virus biasanya menyerang satu mata lalu ke mata lain
beberapa hari kemudian disertai pembesaran kelenjar limfe dan edema palpebra.
Tajam penglihatan secara intermiten dapat terganggu karena sekret mata. Jenis
sekret mata dan gejala okular dapat memberi petunjuk penyebab konjungtivitis.
Sekret mata berair merupakan ciri konjungtivitis viral dan sekret mata kental
berwarna kuning kehijauan biasanya disebabkan oleh bakteri. Konjungtivitis
viral jarang disertai fotofobia, sedangkan rasa gatal pada mata biasanya
berhubungan dengan konjungtivitis alergi. Pemeriksaan laboratorium untuk
menunjang diagnosis konjungtivitis viral memiliki sensitivitas 89% dan
spesifisitas 94% untuk adenovirus. Tes tersebut dapat mendeteksi virus
penyebab konjungtivitis dan mencegah pemberian antibiotik yang tidak
diperlukan. Deteksi antigen dapat mencegah lebih dari satu juta kasus
penyalahgunaan antibiotik dan menghemat sampai 429 USD setiap tahunnya.
Akurasi diagnosis konjungtivitis viral tanpa pemeriksaan laboratorium kurang
dari 50% dan banyak terjadi salah diagnosis sebagai konjungtivitis bakteri.
Meskipun demikian, pemeriksaan laboratorium sangat jarang dilakukan karena
deteksi antigen belum tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan primer.
Sementara itu, kultur dari sekret konjungtiva memerlukan waktu tiga hari
sehingga menunda terapi. Pendekatan algoritmik menggunakan riwayat
perjalanan penyakit dan pemeriksaan sederhana dengan penlight dan loupe
dapat untuk mengarahkan diagnosis dan memilih terapi. Konjungtivitis dan
penyakit mata lain dapat menyebabkan mata merah, sehingga diferensial
diagnosis dan karakteristik tiap penyakit penting untuk diketahui. Penamaan
diagnosis konjungtivitis virus bervariasi, tetapi umumnya menggambarkan
gejala klinis khas lain yang menyertai konjungtivitis dan dari gambaran klinis
khas tersebut dapat diduga virus penyebabnya.
Sumber : Sitompul, R. (2017) “Konjungtivitis Viral: Diagnosis dan Terapi di
Pelayanan Kesehatan Primer,” eJournal Kedokteran Indonesia, 5(1). Available
at: https://doi.org/10.23886/ejki.5.7605.65-71.

Terapi Konjungtivitis Virus


Konjungtivitis virus biasanya akan sembuh dengan sendirinya, namun
pemberian kompres dingin, air mata artifisial atau antihistamin topikal
bermanfaat untuk meredakan gejala. Terapi antiviral tidak diperlukan kecuali
untuk konjungtivitis herpetik yaitu asiklovir oral 400mg/hari untuk virus herpes
simpleks dan 800mg/hari untuk herpes zoster selama 7-10 hari. Pemberian
antibiotik topikal tidak dianjurkan karena tidak mencegah infeksi sekunder dan
dapat memperburuk gejala klinis akibat reaksi alergi dan reaksi toksik serta
tertundanya kemungkinan diagnosis penyakit mata lain. Cara pemakaian obat
tetes mata perlu diperhatikan untuk mencegah risiko penyebaran infeksi ke mata
yang sehat. Selain itu, pemakaian antibiotik yang tidak perlu berdampak
terhadap peningkatan resistensi antibiotik juga perlu dipertimbangkan.
Walaupun akan sembuh sendiri, penatalaksanaan konjungtivitis virus dapat
dibantu dengan pemberian air mata buatan (tetes mata) dan kompres dingin.
Antibiotik dapat dipertimbangkan jika konjungtivitis tidak sembuh setelah 10
hari dan diduga terdapat superinfeksi bakteri. Penggunaan deksametason 0,1%
topikal membantu mengurangi peradangan konjungtiva.
Sumber : Sitompul, R. (2017) “Konjungtivitis Viral: Diagnosis dan Terapi di
Pelayanan Kesehatan Primer,” eJournal Kedokteran Indonesia, 5(1). Available
at: https://doi.org/10.23886/ejki.5.7605.65-71.

Prognosis
Prognosis konjungtivitis virus adalah baik karena akan sembuh dengan
sendirinya. Meskipun demikian untuk mencegah penularan perlu diperhatikan
kebersihan diri dan lingkungan. Bila gejala belum reda dalam 7-10 hari dan
terjadi komplikasi pada kornea sebaiknya pasien dirujuk ke dokter spesialis
mata.
Sumber : Sitompul, R. (2017) “Konjungtivitis Viral: Diagnosis dan Terapi di
Pelayanan Kesehatan Primer,” eJournal Kedokteran Indonesia, 5(1). Available
at: https://doi.org/10.23886/ejki.5.7605.65-71.
Komplikasi
1. Keratitis belang-belang.
2. Superinfeksi bakteri.
3. Jaringan parut pada konjungtiva.
4. Ulserasi kornea.
5. Infeksi kronis.
Sumber:Solano, D & Czyz, CN 2019, Viral Conjunctivitis, Nih.gov, StatPearls
Publishing.

Pencegahan
Konjungtivitis virus sangat menular dengan risiko transmisi sekitar
10%-50%. Virus menyebar melalui jari tangan yang tercemar, peralatan medis,
air kolam renang, atau barang-barang pribadi. Masa inkubasi diperkirakan 5-12
hari dan menular hingga 10-14 hari. Pada 95% kasus, aktivitas replikasi virus
terlihat sepuluh hari setelah gejala timbul dan hanya 5% kasus yang tampak
pada hari ke-16 setelah gejala muncul. Berdasarkan tingginya angka penularan,
maka perlu dibiasakan cuci tangan, desinfeksi peralatan medis, dan isolasi
penderita. Pasien tidak boleh saling bertukar barang pribadi dengan orang lain
dan harus menghindari kontak langsung atau tidak langsung (seperti di kolam
renang) selama dua minggu.1,8 Cara pencegahan penularan yang paling efektif
adalah meningkatkan daya tahan tubuh, menghindari bersentuhan dengan sekret
atau air mata pasien, mencuci tangan setelah menyentuh mata pasien sebelum
dan sesudah menggunakan obat tetes mata. Selain itu, hindari penggunaan tetes
mata dari botol yang telah digunakan pasien konjungtivitis virus, hindari
penggunaan alat mandi dan bantal kepala yang sama. Penggunaan kaca mata
hitam bertujuan mengurangi fotofobia, namun tidak bermanfaat mencegah
penularan
Sumber : Sitompul, R. (2017) “Konjungtivitis Viral: Diagnosis dan Terapi di
Pelayanan Kesehatan Primer,” eJournal Kedokteran Indonesia, 5(1). Available
at: https://doi.org/10.23886/ejki.5.7605.65-71.

3) Konjungtivitis Alergi
Definisi
Konjungtivitis alergi adalah respons inflamasi konjungtiva terhadap alergen.
Ini adalah bagian dari reaksi atopik sistemik yang lebih besar dan biasanya
bersifat musiman dengan gejala saluran pernafasan bagian atas dan keluhan
kemerahan dan pembengkakan pada konjungtiva disertai rasa gatal yang parah
dan peningkatan lakrimasi. Adanya rinitis sering kali menyebut proses ini
sebagai rinokonjungtivitis alergi.
Sumber:

Epidemiologi
Konjungtivitis alergi adalah salah satu bentuk konjungtivitis yang paling
umum. Dalam laporan dari Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional
yang mempelajari epidemiologi konjungtivitis alergi, masing-masing 6,4% dan
29,7% dari 20.010 pasien melaporkan gejala mata dan gabungan gejala mata
dan hidung. 40% populasi melaporkan mengalami setidaknya 1 kejadian gejala
mata dalam 12 bulan terakhir.
Sumber:

Etiologi
Etiologi dari konjungtivitis terdiri dari dua jenis. Penyebab pertama adalah
penyebab tidak menular seperti alergi yang merupakan penyebab tersering dari
konjungivitis, racun seperti idoxuridine, brimonidine, hingga lensa kontak, serta
penyebab sekunder akibat penyakit sistemik seperti sarkoidosis. Adapun
penyebab kedua adalah penyebab menular, antara lain virus, yang merupakan
penyebab terbanyak pada orang dewasa dan sekitar 65-90% diakibatkan oleh
adenovirus, bakteri, jamur, dan parasit.
Sumber:
Klasifikasi

Patofisiologi

Faktor resiko
Faktor Resiko Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima subkategori. yaitu
konjungtivitis alergi musiman dan konjungtivitis alergi tumbuh-tumbuhan yang
biasanya dikelompokkan dalam satu grup, kerato konjungtivitis vernal,
keratokonjungtivitis atopik dan konjungtivitis papilar raksasa.faktor resiko pada
konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan subkategorinya.
● konjungtivitis alergi musiman dan tumbuh-tumbuhan biasanya disebabkan
oleh alergi tepung sari, rumput, bulu hewan, dan disertai dengan rinitis alergi
serta timbul pada waktu-waktu tertentu.
● Vernal konjungtivitis sering disertai dengan riwayat asma, eksema dan rinitis
alergi musiman.
● Konjungtivitis atopik terjadi pada pasien dengan riwayat dermatitis atopic,
sedangkan konjungtivitis papilar rak pada pengguna lensa-kontak atau mata
buatan dari plastik.
Sumber: Ryder EC, Benson S. Conjunctivitis. StatPearls. NCBI. 2022.

Manifestasi klinis (masih cari lagi)


Ciri khas konjungtivitis alergi adalah adanya rasa gatal . Karena disebabkan
oleh proses sistemik, kedua mata biasanya terkena kemerahan yang menyebar
dan keluarnya cairan encer. Pemeriksaan kelopak mata akan menunjukkan
adanya papila , yang jika berukuran besar akan tampak seperti batu bulat.

Ada beberapa subtipe konjungtivitis alergi: 2,10

● Konjungtivitis alergi musiman: sekunder akibat demam, oleh karena itu


paling sering terjadi pada bulan-bulan musim panas karena adanya serbuk
sari
● Konjungtivitis alergi abadi: disebabkan oleh alergen seperti tungau debu
rumah
● Keratokonjungtivitis vernal: paling sering terjadi pada pria muda yang
tinggal di daerah beriklim panas dan kering
● Keratokonjungtivitis atopik: paling sering terjadi pada pria paruh baya
● Mata merah.
● Rasa gatal, sakit, atau terbakar yang membuat risih.
● Berair, seperti berpasir dan belekan.
● Kulit sekitar mata kering bahkan seperti bersisik.
● Penglihatan menjadi kabur.
● Sensitivitas terhadap cahaya.
● Mata mengeluarkan kotoran maupun cairan tidak bening.
Sumber : Panduan MSD. Konjungtivitis Alergi April 2021.

Diagnosis
1) Anamnesis
Keluhan utama pasien konjungtivitis adalah mata merah. Keluhan disertai
rasa gatal, rasa panas terbakar, rasa mata mengganjal, silau, penurunan tajam
penglihatan, sekret mata, riwayat alergi, dan riwayat paparan terhadap
penyebab potensial. Hal lain yang perlu ditanyakan adalah riwayat
penggunaan lensa kontak, riwayat penggunaan obat-obatan (termasuk tetes
mata), dan riwayat hubungan seksual yang berisiko bila dicurigai infeksi
akibat kuman penyakit menular seksual.
Pasien bisa mengalami gejala prodromal seperti demam, nyeri kepala, malaise,
dan fotofobia. Gejala prodromal umumnya terjadi pada kasus konjungtivitis
viral akibat virus Herpes zoster, dan dapat pula terjadi pada kasus campak
pada anak-anak.

2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang menonjol pada konjungtivitis alergi adalah injeksi
konjungtiva yang disertai dengan kemosis konjungtiva serta edema palpebra.
Sekret mata biasanya serosa (cair, bening).

Dapat ditemukan giant papillae dengan gambaran cobblestone pada


konjungtivitis alergi vernal dan konjungtivitis giant papillary. Pada
konjungtivitis alergi vernal, dapat terbentuk papillae di area limbus
memberikan gambaran titik putih multipel (Horner-Trantas dots) yang
merupakan kumpulan sel epitel yang mengalami degenerasi dan eosinofil.
Konjungtivitis alergi atopik biasanya disertai dengan perubahan kulit khas
eksema, tanda Hertoghe (alis hilang di bagian lateral), dan lipatan
Dennie-Morgan (lipatan pada palpebra karena garukan terus menerus).

3) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang tidak rutin dilakukan pada kasus konjungtivitis,
namun apabila kondisi konjungtivitis sudah dialami berulang-ulang kali dan
resisten terhadap pengobatan, dapat dipertimbangkan untuk melakukan kultur
dan uji resistensi sehingga membantu memandu terapi. Apabila ada
kecurigaan infeksi akibat chlamydia maupun gonorrhea, konjungtivitis infeksi
pada neonatus, dan discharge purulen yang berlebihan pada orang dewasa,
maka bisa dipertimbangkan melakukan pewarnaan Gram, kultur, atau PCR.
Sumber:
1.Ryder EC, Benson S. Conjunctivitis. StatPearls. NCBI. 2022
2.Ventocillia M. Allergic Conjunctivitis. 2022.
https://emedicine.medscape.com/article/1191467-overview#a5.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan konjungtivitis umumnya terbagi menjadi 2 yaitu,terapi
suportif dan terapi medikamentosa.
1. Terapi suportif
Terapi suportif yang dapat diberikan pada penderita konjungtivitis
mencakup air mata buatan, kompres dingin, dan irigasi mata.
● Air Mata Buatan
Obat tetes air mata yang dijual di pasaran mengandung bahan seperti
gliserin atau hidroksi propil metilselulosa (HPMC). Air mata buatan dapat
diberikan 4 kali per hari.Pemberian air mata buatan dapat membantu
mengurangi keluhan, melarutkan, serta membilas alergen dan
mediator-mediator inflamasi yang terdapat pada permukaan mata.
Sebaiknya gunakan air mata buatan yang tidak mengandung bahan
pengawet dan dalam kemasan single-dose agar kemasan tetes mata tidak
menjadi media penularan.

● Kompres Dingin
Kompres dingin juga dapat diberikan untuk mengurangi keluhan terutama pada
pasien dengan konjungtivitis alergi. Kompres dingin dapat dilakukan selama 5
menit. Kompres dingin yang dikombinasikan dengan pemberian obat tetes air mata
buatan dapat meringankan gejala dari konjungtivitis
● Irigasi Mata
Irigasi mata dapat dilakukan untuk mengurangi sekret mata yang banyak,
misalnya pada kasus konjungtivitis akibat infeksi Neisseria gonorrhoeae.
2. Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa spesifik dapat diberikan pada konjungtivitis dengan
gejala yang berat atau berisiko menyebabkan komplikasi berat. Pemilihan
terapi disesuaikan dengan penyebab yang melatarbelakangi.
● Konjungtivitis Alergi
Terapi utama dari konjungtivitis alergi sebenarnya adalah menghindari
alergen, diikuti dengan terapi suportif seperti kompres dingin dan
penggunaan air mata buatan. Pada beberapa kasus, dapat dipertimbangkan
penggunaan antihistamin topikal, mast cell stabilizer, vasokonstriktor,
kortikosteroid, dan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS).
● Antihistamin Topikal:
Antihistamin topikal mata yang dapat digunakan adalah epinastine
0,05% diberikan 1 tetes, 2 kali sehari pada mata yang sakit. Pilihan lain
adalah azelastine 0,05% diberikan 1 tetes 2 kali sehari, di mata yang sakit.
Selain topikal, pasien juga dapat diberikan antihistamin oral seperti
loratadine atau cetirizine
● Mast Cell Stabilizer Topikal:
Mast cell stabilizer digunakan sebagai terapi jangka panjang untuk
mencegah proses degranulasi sel mast akibat paparan alergen, sehingga
mengurangi frekuensi terjadinya eksaserbasi akut. Mast cell stabilizer
biasanya digunakan bersama dengan terapi lainnya. Regimen yang dapat
digunakan adalah lodoxamide, nedocromil, sodium cromoglycate, dan
alcaftadine.
● Vasokonstriktor Topikal:
Vasokonstriktor tersedia dalam bentuk tunggal seperti phenylephrine,
oxymetazoline, naphazoline, atau gabungan dengan antihistamin.
Vasokonstriktor topikal dapat mengurangi injeksi konjungtiva untuk
sementara dan tidak efektif digunakan pada konjungtivitis alergi berat.
● Kortikosteroid Tetes Mata:
Kortikosteroid digunakan pada konjungtivitis alergi eksaserbasi akut
dengan gejala berat atau bila ditemukan keratopati. Kortikosteroid diberikan
per 2 jam dalam jangka waktu pendek yang kemudian memerlukan tapering
off. Sediaan yang dapat digunakan adalah prednisolone 0,5%, rimexolone
1%, atau fluorometholone 0,1%. Efek samping yang mungkin ditimbulkan
adalah terjadinya infeksi sekunder, peningkatan tekanan intraokular, dan
pembentukan katarak.
● Obat Antiinflamasi Nonsteroid (OAINS):
Sediaan OAINS topikal mata seperti ketorolac 0,5% dan diklofenak
0,1% dapat dikombinasikan dengan mast cell stabilizer. OAINS topikal
bekerja menghambat mediator non histamin sehingga dapat mengurangi
keluhan pasien.
Sumber:
1. Ryder EC, Benson S. Conjunctivitis. StatPearls. NCBI. 2022.
2.American Academy of Ophthamlmology.Conjunctivitis.
2022.https://eyewiki.aao.org/Conjunctivitis#Viral_conjunctivitis

Komplikasi
Rendahnya kepatuhan pasien terhadap pengobatan, atau tidak memadainya
pengendalian penyakit ketika penyakitnya sudah parah. Komplikasi umum
termasuk mata kering, infeksi, dan bekas luka kornea. Kronisnya penyakit yang
tidak diobati dapat menyebabkan masalah yang mengancam penglihatan seperti
defisiensi sel induk limbal (LSCD) dan keratoconus sekunder akibat menggosok
mata.Komplikasi dapat menyebabkan hilangnya penglihatan permanen pada
beberapa pasien.Kedua komplikasi tersebut, keratoconus dan LSCD
memerlukan perawatan bedah tepat waktu untuk mencegah kerusakan
penglihatan.

Konjungtivitis alergi tidak menimbulkan komplikasi. Namun, penggunaan


steroid dalam mengatasi flare dapat meningkatkan risiko infeksi herpes,
glaukoma, dan katarak
Sumber:

Pencegahan
Kebersihan yang baik dapat membantu mencegah penyebaran konjungtivitis.
Hal-hal yang dapat Anda lakukan antara lain:
● Sering-seringlah mengganti sarung bantal.
● Jangan berbagi riasan mata dan menggantinya secara teratur.
● Jangan berbagi handuk atau saputangan.
● Tangani dan bersihkan lensa kontak dengan benar.
● Jauhkan tangan dari mata.
● Sering-seringlah mencuci tangan.
Sumber: Dupre AA, Vojta LR. Mata merah dan nyeri. Dalam: Dinding RM, ed.
Pengobatan Darurat Rosen: Konsep dan Praktik Klinis . edisi ke-10.
Philadelphia, PA: Elsevier; 2023: bab 18.

Prognosis

➢ Blefaritis
Definisi
Blefaritis merupakan sebuah kondisi oftalmologis yang ditandai dengan adanya
inflamasi pada margo kelopak mata. Kondisi ini merupakan penyebab utama rasa
tidak nyaman dan iritasi mata pada berbagai kalangan usia, etnis, dan jenis
kelamin. Inflamasi menyebabkan iritasi, hiperemia, sensasi benda asing, dan
munculnya krusta pada kelopak mata.

Epidemiologi
Blefaritis dapat terjadi pada semua usia, jenis kelamin, dan etnis. Penyakit ini
biasanya terjadi pada seseorang dengan usia lebih dari 50 tahun. Prevalensi
blefaritis meningkat seiring waktu dan lebih tinggi pada pasien wanita. Blefaritis
dapat terjadi pada berbagai rentang umur dan kelompok etnis. Meskipun anak-anak
dapat menderita blefaritis, onsetnya biasa dimulai pada usia pertengahan. Sebagai
penyakit yang sering dijumpai di fasilitas pelayanan kesehatan, dokumentasi
insiden dan prevalensinya pada populasi umum masih sangat terbatas.
Pada sebuah survei, para dokter mata di Amerika Serikat melaporkan bahwa
37% hingga 47% pasien menderita blefaritis.Pada studi kohort di Korea Selatan
menggunakan data Korean National Health Insurance Service selama periode
2004-2013 ditemukan bahwa 1.116.363 individu terdiagnosis blefaritis dengan
insiden keseluruhan adalah 1,1 per 100 orang per tahun dan perbandingan antara
pria dan wanita adalah sekitar 1,3:0,9.6. Selain itu, penelitian di São Paulo, Brazil,
menemukan bahwa 124 pasien dari 1.000 rekam medik memiliki blefaritis,
rata-rata usia pasien 67,4 tahun dan sekitar 56,4% kasus pada wanita.

Klasifikasi

Etiologi
Penyebab blefaritis bervariasi, baik infeksi akut maupun kronis. Blefaritis akut
dapat bersifat ulseratif atau non-ulseratif. Infeksi bakteri, terutama Staphylococcus,
menyebabkan blefaritis ulseratif. Selain itu, etiologi virus seperti infeksi Herpes
simplex dan Varicella zoster juga sangat mungkin terjadi. Blefaritis non-ulseratif
biasanya akibat reaksi alergi atopik atau musiman. Blefaritis anterior dapat
melibatkan infeksi Staphylococcus atau penyakit seboroik; pasien seringkali
didapatkan juga menderita dermatitis seboroik pada wajah dan kulit kepala.
Blefaritis anterior juga terkait dengan rosacea. Disfungsi kelenjar meibom
menyebabkan blefaritis posterior. Kelenjar ini mensekresikan substansi berminyak
secara berlebihan, sehingga menyumbat saluran dan menyebabkan bengkak.
Blefaritis juga dapat disebabkan oleh parasit Demodex, yaitu Demodex
folliculorum pada blefaritis anterior, dan Demodex brevis pada blefaritis posterior.

Faktor resiko
Secara umum blefaritis lebih mudah terjadi bila hygiene kurang baik, mata kering,
infeksi Demodex, dan beberapa penyakit kulit seperti dermatitis seboroik, acne
rosacea.
Patofisiologi
-
Manifestasi klinis
● BLEFARITIS ANTERIOR
Gejala klinis blefaritis anterior berupa rasa tidak nyaman di mata, fotofobia
ringan, collarette disertai debris pada bulu mata, hiperemia pada tepi kelopak
mata, ulserasi kelopak, madarosis, dan trikiasis. Biasanya, gejala terasa
memberat di pagi hari.
Sumber : Din N, Patel NN. Blepharitis – A review of diagnosis and
management. Int J Ophthalmol Prac. 2012;3(4):150–5.

Blefaritis infeksius ditandai dengan hiperemi, edema, dan telangiektasis


tepi kelopak mata anterior, disertai collarette yang terlihat di dasar folikel bulu
mata. Kasus berat dan kronis dapat menunjukkan adanya poliosis, madarosis,
hipertrofi bulu kelopak mata, dan corneal scarring. Riwayat hordeolum
berulang seringkali terkait dengan blefaritis infeksius dan strain
Staphylococcus. Selain itu, blefaritis anterior infeksius juga dapat disebabkan
oleh infeksi parasit dari genus Demodex pada kasus kronis, dan Phthirus pubis
pada kasus akut.
Sumber : Scheinfeld N, Berk T. A review of the diagnosis and treatment of
rosacea. Postgrad Med. 2010;122(1):139-43.
● Blefaritis Posterior
Blefaritis posterior ditandai dengan inflamasi tepi kelopak mata posterior
memiliki berbagai etiologi, seperti disfungsi kelenjar meibom, konjungtivitis
infeksi dan alergi, serta kondisi sistemik seperti rosacea, eczema, dan atopi.
Disfungsi kelenjar meibom adalah abnormalitas difus kronis yang ditandai
dengan obstruksi duktus terminal dan perubahan kualitas ataupun kuantitas
sekresi kelenjar. Disfungsi ini melibatkan kelenjar meibom di sepanjang tepi
posterior kelopak mata yang memproduksi meibom berfungsi menurunkan
evaporasi tear film dan menstabilkan permukaan tear film.
Pada disfungsi kelenjar meibom, konsentrasi asam lemak bebas dan
kolesterol ester pada komposisi tear film meningkat. Perubahan ini
menurunkan efektivitas tear film dan meningkatkan proses inflamasi-iritasi,
sehingga memperberat gejala blefaritis. Parasit Demodex berperan sebagai
etiologi blefaritis posterior.

Diagnosis
Diagnosis awal didasarkan dari anamnesis dengan gejala dan tanda blefaritis,
harus diikuti dengan pemeriksaan mata secara komprehensif, dan pemeriksaan
biomikroskopi slit-lamp. Pemeriksaan tambahan seperti kultur mikrobiologi
kelopak mata dan konjungtiva, serta identifikasi infestasi Demodex menggunakan
mikroskop cahaya juga bisa dilakukan.
Sumber : American Academy of Ophthalmology. Blepharitis preferred practice
pattern. San Francisco: American Academy of Ophthalmology; 2018.

● ANAMNESIS
1. Rasa gatal, terbakar, sensasi benda asing, pembengkakan kelopak mata,
krusta pada kelopak mata.
2. Gejala sering memberat di pagi hari disertai krusta pada kelopak mata
yang dominan muncul setelah bangun tidur.
3. Mata terasa berair, pandangan kabur.
Sumber : Blepharitis Clinical Practice Guideline. Melbourne: The Royal
Victorian Eye and Ear Hospital Emergency Department; 2017.

● PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan mata dan adneksa, meliputi pemeriksaan tajam penglihatan,
pemeriksaan eksternal mata, biomikroskopi mata, dan tekanan intraokular.
Sumber : Duncan K, Jeng BH. Medical management of blepharitis. Curr Opin
Ophthalmol. 2015;26(4):289-94.

● PEMERIKSAAN PENUNJANG
Umumnya tidak diperlukan. Kultur dari swab tepi palpebra dapat
dikerjakan pada blefaritis anterior berat yang tidak membaik dengan terapi.
Pemeriksaan mikroskopik pada bulu mata yang rontok dapat menemukan
Demodex.
Sumber : Kapita Selekta Jilid II, Ed.V, Hal.1086.

Penatalaksanaan
Komplikasi
● Keratokonjungtivitis (peradangan pada mata yang disertai dengan mata
merah).
● madarosis (bulu mata rontok)
● trichiasis (kelainan pertumbuhan bulu mata di mana bulu mata tumbuh ke
dalam menuju bola mata).
Sumber : Kapita Selekta Jilid II, Ed.V, Hal.1087.

Prognosis
Meskipun belum ada terapi definitif untuk blefaritis, prognosis biasanya
baik. Blefaritis lebih mengarah sebagai kondisi simtomatis dibandingkan
sebagai ancaman kesehatan. Sebagian besar pasien merespons terhadap
terapi, namun sering muncul eksaserbasi dan remisi. Gejala blefaritis mungkin
membaik setelah terapi, tetapi kesembuhan total sangat jarang.
Sumber : Eberhardt M, Rammohan G. Blepharitis. StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459305/.

➢ Episkleritis
Definisi

Epidemiologi

Klasifikasi (kalau perlu)

Etiologi

Faktor resiko

Patofisiologi

Manifestasi klinis
Episkleritis memiliki onset akut kemerahan sektoral atau difus pada satu atau
kedua mata. Episkleritis paling sering muncul secara unilateral, sekitar 80% dari
waktu, tetapi mungkin juga memiliki presentasi bilateral yang akut. Nodul jaringan
yang meradang mungkin ada tetapi hanya pada sekitar 15% hingga 30% kasus. Jika
ada, kondisinya disebut episkleritis nodular, dan jika tidak ada, kondisinya lebih
tepat disebut episkleritis difus. Pasien sering menggambarkan nyeri tekan atau
nyeri ringan di area yang terkena tetapi tidak menunjukkan sekret, fotofobia, atau
penurunan ketajaman penglihatan. Pasien dengan episkleritis akut cenderung
memiliki penyakit permukaan mata bersamaan juga. Rosacea okular adalah yang
paling umum, bersama dengan keratokonjungtivitis sicca dan keratokonjungtivitis
atopik.
Gejala Episkleritis biasanya mata merah unilateral, tetapi bilateral pada seperempat
hingga setengah kasus :
● Onset akut
● Sakit ringan atau sensasi terbakar
● Terkadang nyeri saat palpasi
● Terkadang berair
● Kondisi umumnya berulang
Tanda-tanda Episkleritis
● Hiperemia dari pembuluh episklera yang melebar di satu atau lebih kuadran
dari satu atau kedua mata. (Keterlibatan bilateral menunjukkan penyakit
sistemik yang mendasarinya).
● Hiperemia pucat dengan vasokonstriktor (misalnya usus. fenilefrin 2,5%).
Episkleritis sederhana (80%)
● Kemerahan sektoral atau difus
● Pembuluh episklera yang melebar mengikuti pola memancar yang teratur dan
sebagian besar tidak bergerak, tidak seperti pembuluh konjungtiva di atasnya
yang lebih halus yang bergerak bebas dengan konjungtiva.
● Episkleritis nodular (20%)
1. Nodul (elevasi ringan konjungtiva) dengan injeksi.
2. Dalam kebanyakan kasus, nodul dalam apertura palpebral.
3. Pembuluh episklera yang melebar dapat digerakkan saat lesi terangkat.
4. Biasanya tidak ada reaksi ruang anterior.
Biasanya tidak ada keterlibatan konjungtiva kornea atau palpebral tidak
berpengaruh pada ketajaman visual
Diagnosis
1. Anamnesis
● Keluhan :
1) Mata kemerahan.
2) Iritasi ringan.
3) Rasa tidak nyaman.
4) Biasanya tidak nyeri, atau pasien dapat juga merasakan nyeri tumpul
ringan.
● Faktor Risiko :
1) Rosacea ocular.
2) Atopi.
3) Gout.
4) Infeksi.
5) Penyakit kolagen-vaskular.
2. Pemeriksaan Fisik
Mata merah di satu sisi akibat pelebaran pembuluh darah di konjungtiva
(mengecil jika diberi fenilefrin 2,5% topikal)
1. Injeksi episklera (nodular, sektoral, atau difus).
2. Tidak nyeri tekan.
3. Penglihatan normal.
4. Tidak ada secret.
5. Bentuk radang : benjolan setempat dengan batas tegas dan warna merah ungu
di bawah konjungtiva, apabila ditekan sakit sampai menjalar ke sekitar mata.
3. Pemeriksaan Penunjang
Tes laboratorium yang tepat untuk menyingkirkan kondisi inflamasi
autoimun sistemik meliputi hitung darah lengkap dengan diferensial, laju
sedimentasi eritrosit/protein reaktif C, faktor reumatoid, antibodi anti-nuklir,
peptida citrullinated anti-siklik, HLA-B27, dan anti-neutrofil antibodi
sitoplasma (ANCA). Jika penyakit Lyme dicurigai, maka ELISA antibodi Lyme
harus dipesan. Jika diduga tuberkulosis (TB), maka tes kulit PPD dan rontgen
dada harus dilakukan. Jika sifilis merupakan pertimbangan, maka pasien harus
diuji dengan rapid plasma reagin (RPR) atau VDRL dan FTA-ABS atau
pemeriksaan spesifik treponemal.
Jika peradangan episklera menetap dan tidak merespon maka biopsi jaringan
dapat dipertimbangkan. Walaupun jarang, presentasi episkleritis dapat terjadi
akibat vaskulitis sistemik seperti granulomatosis dengan poliangiitis atau
sindrom Cogan, keduanya dapat berakibat fatal jika tidak diobati. Oleh karena
itu, penting untuk mengingat kejadian langka ini.

Penatalaksanaan
1. Non farmakologis
● Biasanya sembuh sendiri dalam 7-10 hari; bentuk nodular dapat bertahan
lebih lama.
● Kepastian: kondisi umumnya tidak berkembang menjadi gangguan mata
yang lebih serius.
● Kompres dingin.
● Anjurkan pasien untuk kembali/mencari bantuan lebih lanjut jika gejala
menetap.
2. Farmakologis
● Kasus ringan: tidak ada pengobatan khusus Jika tidak nyaman: air mata
buatan seperlunya selama 1-2 minggu
● Kasus yang lebih parah (termasuk tipe nodular) mungkin memerlukan steroid
topikal ringan misalnya fluorometholone atau loteprednol selama 1-2
minggu. Pengukuran awal TIO harus dilakukan sebelum memulai terapi
steroid
● Kasus yang parah mungkin mendapat manfaat dari pengobatan antiinflamasi
non steroid sistemik, misalnya flurbiprofen 100mg atau naproxen 500 mg
● Pada kasus yang didasari kelainan lokal atau sistemik, dibutuhkan terapi
yang lebih spesifik.
- Doksisiklin 100 mg, 2 kali sehari untuk rosacea.
- Terapi antimikroba untuk Tuberkulosis, Sifilis.
- Obat anti-inflamasi non-steroid lokal atau sistemik atau kortikosteroid
untuk penyakit kolagen vaskular.

Komplikasi
Prognosis
Prognosis pasien dengan episkleritis umumnya baik. Sebagian besar pasien
tidak memiliki kondisi sistemik yang mendasarinya, dan sementara banyak pasien
akan mengalami episode berulang, efek samping peradangan dan perawatan jarang
ditemui dan dapat dikelola tanpa intervensi yang signifikan.
1. Ad vitam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap proses kehidupan.
2. Ad functionam, menunjuk pada pengaruh penyakit terhadap fungsi organ atau
fungsi manusia dalam melakukan.
3. Ad sanationam, menunjuk pada penyakit yang dapat sembuh total sehingga
dapat beraktivitas seperti biasa.

Pencegahan
Menjelaskan etiologi dari penyakit ini adalah autoimun atau karena
kemungkinan kelainan sistemik.

➢ Skleritis
Definisi

Epidemiologi

Klasifikasi (kalau perlu)

Etiologi

Faktor resiko

Patofisiologi

Manifestasi klinis

Diagnosis

Penatalaksanaan
Komplikasi

Prognosis

Pencegahan

6. Bagaimana pencegahan dan edukasi berdasarkan skenario ?

Keluhan pada pasien berdasarkan skenario yaitu mata merah serta nyeri, ini
merupakan kasus mata tersering yang dihadapi oleh dokter umum. Penanganan yang
tepat diperlukan untuk menghindari komplikasi yang mengancam penglihatan. Selain
pengobatan yang tepat, kita sebagai dokter umum juga dapat berikan edukasi kepada
pasien, pada keluarga pasien maupun masyarakat, ini penting dilakukan untuk
memutus mata rantai penularan dari keluhan mata merah seperti, konjungtivitis
bakteri akut dll. Edukasi yang dapat diberikan yaitu, meminta pasien agar menjaga
kebersihan mata, cuci tangan sebelum dan setelah meneteskan obat, tidak memegang
mata dan memisahkan barang barang pribadi seperti handuk, saputangan, sprei dan
bantal dari anggota keluarga yang lain. Karena, penularan konjungtivitis bakteri akut
dll yang merupakan penyebab mata merah, juga dapat melalui barang barang yang
kontak dengan mata penderita, jadi sebaiknya barang barang tersebut tidak dipakai
bersama dengan anggota keluarga yang lain.
Sumber : Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, Volume 16 Nomor 3 Desember 2016.

Anda mungkin juga menyukai