Anda di halaman 1dari 16

 

Home  Pustaka  Panduan Ringkas Mebanten  Panduan rinkas mebanten


Pustaka Panduan Ringkas Mebanten

Panduan rinkas mebanten [ bab 5 ] 36795


December 13, 2014 

Title : MAJAPAHIT ~ [ Music ] ~ Artist : SUARAMANTRA ~ Studio : ORG…


ORG…

Mohon support WEB Sastra Bali dengan mensubscribe channel youtube ORGANIC MIND

Bab 5 TATA CARA MENGHATURKAN


Bab ini adalah mengenai tattwa yang harus kita ketahui mengenai tata cara menghaturkan
persembahan.
MEMBERSIHKAN DIRI
Sebelum kita mebanten, terlebih dahulu kita membersihkan diri. Mandilah dengan bersih dan
sambil mandi itu kita ucapkan berulang-ulang mantra :
“Om sarwa sarira parisudhamam swaha”.
Mandi bersih dengan menggunakan mantra ini tujuannya untuk membersihkan badan fisik kita
dari hawa-hawa yang kurang bagus dalam tubuh kita. Sehingga kemudian badan fisik kita
menjadi bersih, harum dan segar.
Kalau di dekat rumah kita ada pura beji atau pura pesiraman, lebih baik lagi kalau kita mandi
disana sebelum mebanten. Karena di tempat- tempat suci seperti itu energi pembersihannya
sangat besar. Ini terutama baik sekali bila kita lakukan sebelum mebanten pada hari-hari raya
besar, atau pada rahina purnama, tilem dan kajeng kliwon. Tujuannya adalah untuk memurnikan
energi di dalam diri kita sebelum kita mebanten. Tapi kalau tidak ada atau kita tidak punya
waktu, cukup kita lakukan di kamar mandi saja.
Selesai mandi kita berganti pakaian dengan pakaian adat madya atau pakaian sembahyang.
NGELUNGSUR PERSEMBAHAN SEBELUMNYA
Sebelum kita mebanten, terlebih dahulu kita sebaiknya ngelungsur canang atau persembahan
lain sebelumnya yang ada di palinggih-palinggih. Ini adalah cara dasar untuk ngelungsur
persembahan yang dapat digunakan untuk ngelungsur semua jenis persembahan. Caranya
adalah sebagai berikut ini.

Di depan masing-masing setiap palinggih, kita tampilkan mudra amusti-karana [ujung ibu jari
dan telunjuk tangan kanan serta ujung ibu jari tangan kiri bertemu mengarah keatas, jari-jari lain
digenggam sebagai dasar].
Kemudian kita ucapkan mantra :
“Om suksma sunia lebar ya namah swaha”
Kemudian lakukan sikap penghormatan simbolik dengan menampilkan mudra puja mencakupkan
tangan di kening. Kedua ujung ibu jari bertemu di chakra ajna [chakra mata ketiga] dan jari-jari
lainnya mengarah keatas.

Setelah itu barulah canang atau persembahan lain dari sebelumnya kita lungsur [ambil] dan
sisa-sisa persembahan lain pada palinggih juga kita ambil sampai bersih.
MENYUCIKAN PERSEMBAHAN
Hendaknya sebelum dihaturkan kita melakukan prosesi untuk menyucikan persembahan. Ini
adalah cara dasar untuk menyucikan persembahan yang dapat digunakan untuk menyucikan
semua jenis persembahan.
Caranya sebagai berikut ini. Letakkanlah semua sarana persembahan [canang, segehan, tirtha,
arak, berem, ataupun persembahan-persembahan lainnya] di hadapan kita.

Sebelum memulai hendaknya kita memohon restu kepada para Ista Dewata. Tampilkan mudra
puja mencakupkan tangan di kening. Kedua ujung ibu jari bertemu di chakra ajna [chakra mata
ketiga] dan jari-jari lainnya mengarah keatas. Kemudian kita ucapkan mantra :
“Om awignam astu namo siddham, Om siddhirastu tat astu
astu swaha“

Ambilah sekuntum bunga.


Tampilkan mudra amusti-karana [ujung ibu jari dan telunjuk tangan kanan serta ujung ibu jari
tangan kiri bertemu mengarah keatas, jari-jari lain digenggam sebagai dasar]. Bunganya kita
letakkan di ujung jari kita.
Kemudian kita ucapkan mantra :
“Om puspa danta ya namah swaha, Omkara murcyate pras pras
pranamya ya namah swaha“

Setelah selesai mengucapkan mantra, bunga kita lempar atau buang ke depan ke arah
persembahan.
Ambil tirtha [air suci]. Semua sarana persembahan kita sirat-siratkan dengan tirtha sambil
mengucapkan mantra :
“Om pratama sudha, dwitya sudha, tritya sudha, caturti sudha,
pancamini sudha,
Om sudha sudha wariastu,
Om puspam samarpayami,
Om dupam samarpayami,
Om toyam samarpayami,
Om sarwa baktyam samarpayami, Om shanti shanti shanti Om“
Dengan demikian semua sarana persembahan telah tersucikan dan siap untuk kita haturkan.
MENYUCIKAN DAN MEMBENTENGI DIRI
Kemudian kita lakukan tata cara menyalakan api suci di dalam diri kita. Untuk penyucian diri kita
sebagai sang yajamana dalam mebanten dan sekaligus mengundang Ista Dewata penguasa
sembilan penjuru mata angin [Dewata Nawa Sanga] untuk menjaga kita supaya tidak mendapat
gangguan dari segala bentuk kekuatan negatif ketika mebanten.
Tampilkan mudra amusti-karana.
Diam sejenak untuk mengheningkan pikiran kita. Setelah pikiran-perasaan kita cukup tenang dan
jernih, ucapkan mantra :
“Om Ung Rah Phat astraya namaha, Om Atma tattwatma
sudhamam swaha, Om Sri Pasupati Ung Phat swaha, Ong Sang
Bang Tang Ang Ing Nang Mang Sing Wang Yang, Om Ang Ung
Mang”

Dengan demikian di dalam diri kita sebagai sang yajamana telah dinyalakan api suci. Diri kita
disucikan dan sekaligus telah mendapat benteng perlindungan dari para Ista Dewata, sehingga
telah siap untuk mebanten.
CARA MENGHATURKAN PERSEMBAHAN KE ALAM-ALAM
SUCI
Ini adalah cara dasar untuk menghaturkan persembahan ke alam-alam suci yang dapat
digunakan untuk menghaturkan semua jenis persembahan. Misalnya untuk menghaturkan
canang, banten tipat dampulan, dsb-nya, saat kita mebanten di rumah. Atau juga untuk
menghaturkan canang dan pejati saat kita tangkil sembahyang ke sebuah pura. Caranya sebagai
berikut ini.
Pertama-tama perlu diperhatikan bahwa, ketidak-tepatan yang sering terjadi dalam
menghaturkan canang adalah tidak memperhatikan arah pengider-ideran Panca Dewata yang
tepat. Misalnya bunga warna putih pada canang seharusnya di arah timur justru dipasang di
arah utara. Padahal ketika kita menghaturkan canang sangat penting untuk meletakkan warna-
warni pada posisi arah mata angin yang tepat. Jangan diletakkan ngawur secara sembarangan,
karena ini berkaitan dengan kekuatan suci Sanghyang Panca Dewata dan hal-hal lainnya, agar
canang sebagai segel suci niskala ini nantinya kekuatannya benar-benar dapat bekerja.
Bila canang dihaturkan sesuai dengan pengider-ideran Panca Dewata yang tepat, canang
merupakan segel suci niskala yang memiliki kekuatan kerja-nya sendiri. Tapi kekuatan-nya akan
menjadi lebih aktif jika kemudian segel suci suci niskala ini kita hidupkan dan gerakkan dengan
kekuatan mantra-mantra suci, tirtha [air suci], dupa dan kekuatan sredaning manah [kemurnian
pikiran]. Sehingga turunlah karunia kekuatan suci semua Ista Dewata, yang memberikan
kebaikan bagi alam sekitar dan semua mahluk.
Ini adalah tata-cara dasar untuk menghaturkan persembahan ke luhur [ke alam-alam suci].
Sekali lagi bahwa cara ini tidak terbatas hanya untuk menghaturkan canang saja, tapi juga dapat
digunakan untuk menghaturkan segala jenis persembahan ke alam-alam suci. Seperti misalnya
pada saat kita tangkil ke sebuah pura dan kita menghaturkan pejati, dsb-nya.
Inilah urutan caranya :

Unggahang canang [atau persembahan lain] sambil mengucapkan mantra :


“Om ta molah panca upacara Guru Paduka ya namah swaha“
Unggahang dupa sambil mengucapkan mantra :
“Ong Ang dupa dipa astraya namah swaha“
Dupa adalah segel niskala untuk mengundang kehadiran Sanghyang Triyodasasaksi [tiga belas
manifestasi Sanghyang Acintya] sebagai saksi semesta pelaksanaan sebuah yadnya, Sanghyang
Agni sebagai penghantar yadnya kepada para Ista Dewata dan Sanghyang Brahma sebagai
penerang jiwa semua mahluk. Juga perlu sedikit ditambahkan, saat menghaturkan pada kompor
gas yang cukup riskan dengan resiko kebakaran, untuk menghindari hal-hal yang tidak
diharapkan kita tidak usah ngunggahang dupa. Kita bisa gantikan dengan cara menyalakan api
kompor. Karena yang penting adalah kehadiran api-nya. Setelah semua rangkaian proses
menghaturkan canang di kompor gas ini selesai, matikan kompornya kembali.

Siratkan tirtha [air suci] sambil mengucapkan mantra :

“Ong Mang Parama-Shiwa amertha ya namah swaha“

Kemudian kita lanjutkan dengan ngayabang [menghaturkan atau mempersembahkan] dupa dan
canang [atau persembahan lain].
Saat ngayabang kita harus menggunakan tangan, dengan cara menjepit bunga dengan jari
telunjuk dan jari tengah. Jangan menggunakan alat bantu lainnya seperti sa`abatau lain-lainnya.
Selain itu kita harus hanya menggunakan tangan kanan. Gerakan ngayabang harus lembut dan
jelas, dari sisi luar belakang ke arah depan.

Sambil ngayabang ucapkan mantra menghaturkan dupa :


“Om agnir-agnir jyotir-jyotir swaha, Ong dupham
samarpayami swaha“
Terus ngayabang dan ucapkan mantra menghaturkan canang [atau persembahan lain] :
“Om dewa-dewi amukti sukham bhawantu namo namah
swaha“
Catatan – Sesungguhnya ada mantra-mantra khusus untuk menghaturkan canang [atau
persembahan lain] pada masing-masing palinggih atau pelangkiran di rumah. Misalnya contoh
pada pelangkiran Dewa Brahma di dapur mantranya adalah “Om Saraswati pawitraning Brahma
sakaya namo namah”. Tapi jika semuanya dibahas maka mantra-mantra ini jumlahnya akan
menjadi banyak yang harus dihafalkan. Di dalam buku ini diupayakan untuk membuat panduan
dasar yang ringkas, untuk orang-orang kebanyakan. Sehingga cukup menggunakan mantra
universal penghaturan ke alam-alam suci ini. Mantra ini adalah mantra yang sangat universal
untuk menghaturkan segala jenis persembahan ke alam-alam suci. Dapat digunakan untuk
menghaturkan segala jenis persembahan di semua palinggih dan pelangkiran, termasuk juga
saat kita tangkil ke sebuah pura.

Ngayabang diakhiri dengan mengucapkan shanti mantra untuk kedamaian alam semesta dan
semua mahluk :
“Om shanti shanti shanti Om“
Selalulah menutup dengan mantra suci paramashanti [Om shanti shanti shanti Om] untuk
kedamaian alam semesta dan semua mahluk. Hal ini bukanlah tanpa dasar. Kalau setiap orang di
Pulau Bali mebanten [anggap saja] di sepuluh titik di rumahnya, lalu diseluruh Pulau Bali ada 100
ribu orang yang mebanten. Berarti hanya dalam satu hari itu saja di Pulau Bali mantra suci
paramashanti diuncar sebanyak 1 juta kali. Bayangkan betapa kekuatan getaran energi damai
mantra suci ini yang menggetarkan seluruh penjuru pulau.
MENGHATURKAN SEGEHAN
Terkait menghaturkan segehan, tentunya terdapat berbagai ragam rupa, bentuk dan jenis-jenis
segehan.
Yang akan dijelaskan ini adalah cara dasar yang universal untuk menghaturkan persembahan ke
alam-alam bawah, yang dapat digunakan untuk menghaturkan berbagai jenis segehan [kecuali
untuk segehan saiban karena caranya berbeda]. Caranya adalah sebagai berikut ini.
Pertama-tama perlu diperhatikan bahwa, ketidak-tepatan yang sering terjadi dalam
menghaturkan segehan adalah tidak memperhatikan arah pengider-ideran Panca Dewata yang
tepat. Misalnya nasi warna putih pada segehan seharusnya di arah timur justru dipasang di arah
barat. Padahal ketika kita menghaturkan segehan sangat penting untuk meletakkan posisi
segehan pada pengider-ideran yang tepat. Jangan diletakkan ngawur secara sembarangan,
karena ini berkaitan dengan kekuatan suci Sanghyang Panca Dewata dan hal-hal lainnya.
Sehingga segehan sebagai segel suci niskala ini nantinya kekuatannya benar-benar dapat
bekerja.
Sama seperti canang, segehan jika dihaturkan sesuai dengan pengider- ideran yang tepat, juga
merupakan segel suci niskala yang memiliki kekuatan kerja-nya sendiri. Tapi kekuatan-nya akan
lebih aktif jika kemudian segel suci niskala ini kita hidupkan dan gerakkan dengan kekuatan
mantra-mantra suci, tirtha [air suci], dupa dan kekuatan sredaning manah [kejernihan dan
kebajikan pikiran].
Menghaturkan segehan harus diawali dengan niat sebagai belas kasih dan kebaikan kepada para
mahluk-mahluk alam bawah dan dijalankan sebagai sebuah upaya untuk mengurangi
kesengsaraan mereka. Pancarkan rasa belas kasih dari hati kita dan pancarkan rasa damai dari
upaya kita. Sifat mahluk alam-alam bawah sebenarnya tidaklah jahat. Mereka menjadi berbahaya
karena manusia takut, menghakimi atau tidak menyukai mereka. Ketakutan, penghakiman atau
rasa tidak suka ini membuat adrenalin di dalam diri manusia naik, dimana adrenalin yang naik ini
menghasilkan energi yang dirasakan oleh mahluk alam-alam bawah sebagai
kekuatan yang hendak menyerang mereka. Itulah sesungguhnya yang menyebabkan mereka
berbahaya. Keberadaan mereka seperti siklus berputarnya bunga yang dapat berevolusi menjadi
sampah dan sampah yang dapat berevolusi menjadi bunga. Demikianlah evolusi jiwa-jiwa dalam
siklus samsara, sesuai akumulasi karma kita masing-masing. Yang kita sebut sebagai mahluk-
mahluk alam bawah, sangat mungkin di kehidupan-kehidupan sebelumnya adalah sesama
manusia, yang bahkan kita kenal dekat. Alam kegelapan adalah sisi sampah dari alam suci. Tanpa
kegelapan tidak ada kesucian. Tapi hakikat di dalam semua mahluk adalah sama, yaitu Atman.
Sehingga menghadapi mereka, selalu dengan pikiran positif, tenang- seimbang, penuh belas
kasih dan kebaikan. Lihatlah mereka bukan sebagai mahluk-mahluk jahat, melainkan sama
seperti kita, yaitu mahluk yang sedang belajar berkembang menuju kesadaran atma. Dalam
ajaran dharma kita memberikan mereka persembahan, serta mendoakan mereka agar mereka
damai dan bahagia. Ini merupakan bentuk belas kasih dan kebaikan kepada semua mahluk,
sekaligus menebarkan energi keharmonisan dan kedamaian ke semua arah. Hasilnya sudah tentu
mereka tidak akan mengganggu kita. Inilah urutan tata-cara dasar untuk menghaturkan
persembahan segehan ke sor [ke alam-alam bawah], yaitu :
Cara menghaturkan segehan adalah dengan meletakkannya di natah atau di bawah [di pertiwi],
bukan diletakan pada palinggih. Saat menghaturkan segehan juga harus memperhatikan arah
mata angin terkait pengider-ideran Panca Dewata dan yang lain-lainnya secara tepat.

Pada waktu menghaturkan segehan hendaknya didampingi dengan menghaturkan canang.


Canang ini berfungsi sebagai segel naungan kekuatan para Ista Dewata. Tapi jika saat
menghaturkan segehan tidak didampingi dengan menghaturkan canang, maka selayaknya
dalam ituk-ituk pada segehan berisi sedikit bunga. Bunga ini sama berfungsi sebagai segel
naungan kekuatan para Ista Dewata.
Selipkan sebatang dupa pada segehan atau tancapkan di tanah. Dupa adalah segel niskala untuk
mengundang kehadiran Sanghyang Triyodasasaksi [tiga belas manifestasi Sanghyang Acintya]
sebagai saksi semesta pelaksanaan sebuah yadnya, Sanghyang Agni sebagai penghantar yadnya
dan Sanghyang Brahma sebagai penerang jiwa semua mahluk. Secara tradisi pada segehan juga
dipergunakan api takep [dari dua buah sabut kelapa kering yang dicakupkan menyilang,
sehingga membentuk tanda silang tapak dara atau swastika]. Kalau tidak ada api takep kita
cukup menggunakan dupa saja. Yang terpenting adalah kehadiran api-nya.

Lanjutkan dengan metabuh. Kita tabuhkan berem dan arak dengan disiratkan memutar
mengelilingi ke kiri atau berlawanan arah dengan jarum jam, masing-masing berem dan arak
sebanyak 3 [tiga] kali. Memutar ke kiri adalah kekuatan memutar ke arah bawah [turun], atau ke
alam-alam bawah. Ini kita lakukan sambil mengucapkan mantra : “Om ibek segara, Om ibek
danu, Om ibek banyu premananing hulun“

Catatan : Saat menyiratkan memutar pertama ucapkan mantra


“Om ibek segara”, menyiratkan memutar kedua ucapkan
mantra “Om ibek danu”, menyiratkan memutar ketiga ucapkan
mantra “Om ibek banyu premananing hulun“.

Siratkan tirtha [air suci] sambil mengucapkan mantra : “Ong


Mang Parama-Shiwa amertha ya namah swaha“

Ayabang segehan dengan menggunakan tangan kanan. Jepit bunga dengan jari telunjuk dan jari
tengah. Gerakan ngayabang harus lembut dan jelas, dari sisi luar belakang ke arah depan. Sambil
mengucapkan mantra menghaturkan segehan :
“Om buktiyantu Durga Katarah, Om buktiyantu Kala
Mewaca,Om buktiyantu Bhuta Bhutangah, Om buktiyantu
Sarwa Bhutanam, Om buktiyantu Pisaca Sanggyam”

Terus ngayabang dan ucapkan mantra untuk menyomiakan sarwa bhuta, untuk pencapaian
kebahagiaan dan bebasnya dari kesengsaraan dari sarwa bhuta tersebut :
Om Ang Kang Kasolkaya Isana wosat,

Om swasti-swasti sarwa bhuta sarwa kala sukha pradana ya


namah swaha, Om A Ta Sa Ba I sarwa butha sarwa kala
murswah wesat Ah Ang,
Ong sah wesat ya namah swaha,
Om shanti shanti shanti Om“

Setelah selesai ngayabang, kita sirat-siratkan kembali tirtha [air suci] sambil mengucapkan
mantra untuk mensucikan sarwa bhuta :

“Ong Mang Parama-Shiwa amertha ya namah swaha,


Om ksama sampurna ya namah swaha,

Om siddhirastu tat astu astu swaha”


Kita tutup dengan metabuh sekali lagi. Kita tabuhkan berem dan arak, masing-masing berem
dan arak sebanyak 3 [tiga] kali memutar dengan arah sebaliknya dengan yang sebelumnya, yaitu
memutar mengelilingi ke kanan atau searah dengan jarum jam. Memutar ke kanan adalah
kekuatan memutar ke arah atas [naik], atau ke alam-alam suci. Ini disebut ngeluhur, yaitu
kekuatan untuk menghantar naik ke alam-alam suci. Ini kita lakukan sambil mengucapkan
mantra :
“Om ibek segara, Om ibek danu, Om ibek banyu premananing hulun“
Dengan demikian kita telah memberikan hidangan nasi beserta lauk garam, bawang dan jahe,
yang ditujukan ke sor [ke alam-alam bawah]. Sekaligus kita telah melakukan upaya untuk
menyomiakan sarwa bhuta. Dengan satu-satunya tujuan, yaitu dengan dasar belas kasih dan
kebaikan kita melakukan upaya untuk memberikan kebahagiaan dan kedamaian bagi sarwa
bhuta [mahluk-mahluk alam bawah] dari semua arah yang ada di sekitar lingkungan kita.
Seburuk apapun para mahluk bawah tersebut, teruslah melihat mereka mahluk-mahluk baik,
yang karena berbagai sebab saat ini sedang mengalami kesengsaraan, sehingga sangat
memerlukan kebaikan hati kita. Ini satu- satunya cara untuk merubah mereka agar menjadi
mahluk baik. Begitu mereka menjadi mahluk baik mereka tidak saja tidak akan mengganggu kita,
tapi sekaligus di dalam diri jiwa kita sendiri juga menjadi terang dan indah.
~ Article view : [25338]
TAGS Panduan Rinkas Mebanten

Previous article Next article


Panduan rinkas mebanten [ bab 6] Panduan rinkas mebanten [ bab 4 ]

RELATED ARTICLES
Panduan rinkas mebanten [ bab 1 ]
December 14, 2014

Panduan rinkas mebanten [ bab 2 ]


December 13, 2014

Panduan rinkas mebanten [ bab 3 ]


December 13, 2014

Panduan rinkas mebanten [ bab 4 ]


December 13, 2014

Panduan rinkas mebanten [ bab 6]


December 13, 2014

Panduan Rinkas Mebanten – [ Petutup ]


December 13, 2014

ABOUT US
Sastra Bali is the integrated pattern of human behaviour that includes thought, speech, action,
Knowledge and depends on man’s capacity for learning

FOLLOW US
  

© PUBLIC DOMAIN

Anda mungkin juga menyukai