Pengertian Ansos
Analisis sosial merupakan usaha untuk menganalisis sesuatu keadaan atau masalah sosial secara objektif.
Analisis sosial diarahkan untuk memperoleh gambaran lengkap mengenai situasi sosial dengan menelaah
kaitan-kaitan histories, structural dan konsekuensi masalah. Analisis sosial akan mempelajari struktur sosial,
mendalami fenomena-fenomena sosial, kaitan-kaitan aspek politik, ekonomi, budaya dan agama. Sehingga
akan diketahui sejauh mana terjadi perubahan sosial, bagaimana institusi sosial yang menyebabkan
masalah-masalah sosial, dan juga dampak sosial yang muncul akibat masalah sosial
Ruang lingkup ansos
Pada dasarnya semua realitas sosial dapat dianalisis, namun dalam konteks transformasi sosial, maka paling
tidak objek analisa sosial harus relevan dengan target perubahan sosial yang direncanakan yang sesuai
dengan visi atau misi organisasi. Secara umum objek sosial yang dapat di analisis antara lain;
Masalah-masalah sosial, seperti; kemiskinan, pelacuran, pengangguran, kriminilitas
Sistemsosial seperti: tradisi, usha kecil atau menengah, sitem pemerintahan, sitem pertanian
Lembaga-lembaga sosial seperti sekolah layanan rumah sakit, lembaga pedesaan.
Kebijakan public seperti : dampak kebijakan BBM, dampak perlakuan sebuah UU.
Pentingnya teori sosial
Teori dan fakta berjalan secara simultan, teori sosial merupakan refleksi dari fakta sosial, sementara fakta
sosial akan mudah di analisis melalui teori-teori sosial. Teori sosial melibatkan isu-isu mencakup filsafat,
untuk memberikan konsepsi-konsepsi hakekat aktifitas sosial dan prilaku manusia yang ditempatkan dalam
realitas empiris. Charles lemert (1993) dalam Social Theory; The Multicultural And Classic
Readings menyatakan bahwa teori sosial memang merupakan basis dan pijakan teknis untuk
bisa survive.Teori sosial merupakan refleksi dari sebuah pandangan dunia tertentu yang berakar pada
positivisme. Menurut Anthony Giddens secara filosofis terdapat dua macam analisis sosial,pertama, analisis
intitusional, yaitu ansos yang menekan pada keterampilan dan kesetaraan actor yang memperlakukan
institusi sebagai sumber daya dan aturan yang di produksi terus-menerus. Kedua, analisis perilaku strategis,
adalah ansos yang memberikan penekanan institusi sebagai sesuatu yang diproduksi secara sosial.
Langkah-Langkah Ansos
Proses analisis sosial meliputi beberapa tahap antara lain:
Memilih dan menentukan objek analisis
Pemilihan sasaran masalah harus berdasarkan pada pertimbangan rasional dalam arti realitas yang dianalsis
merupakan masalah yang memiliki signifikansi sosial dan sesuai dengan visi atau misi organisasi.
Pengumpulan data atau informasi penunjang
Untuk dapat menganalisis masalah secara utuh, maka perlu didukung dengan data dan informasi
penunjang yang lengkap dan relevan, baik melalui dokumen media massa, kegiatan observasi maupun
investigasi langsung dilapangan. Re-cek data atau informasi mutlak dilakukan untuk menguji validitas data.
Identifikasi dan analisis masalah
Merupaka tahap menganalisis objek berdasarkan data yang telah dikumpulkan. Pemetaan beberapa
variable, seperti keterkaitan aspek politik, ekonomi, budaya dan agama dilakukan pada tahap ini. Melalui
analisis secara komphrehensif diharapkan dapat memahami subtansi masalah dan menemukan saling
keterkaitan antara aspek.
Mengembangkan presepsi
Setelah di identifikasi berbagai aspek yang mempengaruhi atau terlibat dalam masalah, selanjutnya
dikembangkan presepsi atas masalah sesuai cara pandang yang objektif. pada tahap ini akan muncul
beberapa kemungkinan implikasi konsekuensi dari objek masalah, serta pengembangan beberapa
alternative sebagai kerangka tindak lanjut.
Menarik kesimpulan
Pada tahap ini telah diperoleh kesimpulan tentang; akar masalah, pihak mana saja yang terlibat, pihak yang
diuntungkan dan dirugikan, akibat yang dimunculkan secara politik, sosial dan ekonomi serta paradigma
tindakan yang bisa dilakukan untuk proses perubahan sosial.
Peranan Ansos Dalam Strategi Gerakan PMII
Ingat, paradigma gerakan PMII adalah kritis transformatif, artinya PMII dituntut peka dan mampu membaca
realitas sosial secara objektif (kritis), sekaligus terlibat aktif dalam aksi perubahan sosial (transformatif).
Transformasi sosial yang dilakukan PMII akan berjalan secara efektif jika kader PMII memiliki kesadaran
kritis dalam melihat realitas sosial. Kesadaran kritis akan muncul apabila dilandasi dengan cara pandangan
luas terhadap realitas sosial. Untuk dapat melakukan pembacaan sosial secara kritis, mutlak diperlakukan
kemampuan analisis sosial secara baik. Artinya, strategi gerakan PMII dengan paradigma kritis transformatif
akan dapat terlaksana secara efektif apabila ditopang dengan kematangan dalam analisis sosial (ANSOS).
ANALISA SWOT DAN PENERAPANNYA DALAM ORGANISASI
Analisa SWOT adalah sebuah analisa yang dicetuskan oleh Albert Humprey pada dasawarsa 1960-1970an.
Analisa ini merupakan sebuah akronim dari huruf awalnya
yaitu Strenghts (kekuatan), Weaknesses(kelemahan), Opportunity (kesempatan) dan Threat (Ancaman).
Metoda analisa SWOT bisa dianggap sbg metoda analisa yg paling dasar, yg berguna utk melihat suatu topik
atau permasalahan dari 4 sisi yg berbeda. Hasil analisa biasanya adalah arahan/rekomendasi utk
mempertahankan kekuatan dan menambah keuntungan dari peluang yg ada, sambil mengurangi
kekurangan dan menghindari ancaman.
Jika digunakan dgn benar, analisa SWOT akan membantu kita utk melihat sisi-sisi yg terlupakan atau tidak
terlihat selama ini.
Analisa ini bersifat deskriptif dan terkadang akan sangat subjektif, karena bisa jadi dua orang yang
menganalisis sebuah organisasi akan memandang berbeda ke empat bagian tersebut.
Hal ini diwajarkan, karena analisis SWOT adalah sebuah analisis yang akan memberikan output berupa
arahan dan tidak memberikan solusi “ajaib dalam sebuah permasalahan.
“Luck is a matter of preparation meeting opportunity ??? Keberuntungan adalah sesuatu dimana
persiapan bertemu dengan kesempatan (Oprah Winfrey)
Strengh (kekuatan)
adalah situasi atau kondisi yang merupakan kekuatan dari organisasi atau program pada saat ini.
Strenght ini bersifat internal dari organisasi atau sebuah program.
Contoh :
1. Jumlah anggota yang lebih dari cukup (kuantitatif)
2. Berpengalaman dalam beberapa kegiatan (kualitatif)
Kenali kekurangan diri sendiri agar tidak sombong
dan ketahui kelebihan diri sendiri agar tidak rendah diri.
Weaknesses (Kelemahan)
Adalah kegiatan-kegiatan organisasi yang tidak berjalan dengan baik atau sumber daya yang dibutuhkan
oleh organisasi tetapi tidak dimiliki oleh organisasi.
Kelemahan itu terkadang lebih mudah dilihat daripada sebuah kekuatan, namun ada beberapa hal yang
menjadikan kelemahan itu tidak diberikan solusi yang tepat dikarenakan tidak dimaksimalkan kekuatan
yang sudah ada.
Contoh :
1. Kurang terbinanya komunikasi antar anggota
2. Jaringan yang telah terbangun tidak dimaksimalkan oleh seluruh anggota.
Opportunity (kesempatan)
Adalah faktor positif yang muncul dari lingkungan dan memberikan kesempatan bagi organisasi atau
program kita untuk memanfaatkannya.
Opportunity tidak hanya berupa kebijakan atau peluang dalam hal mendapatkan modal berupa uang, akan
tetapi bisa juga berupa respon masyarakat atau isu yang sedang diangkat.
Contoh :
1. Masyarakat sedang menyukai tentang hal-hal yang bersifat reboisasi lingkungan
2. Isu yang sedang diangkat merupakan isu yang sedang menjadi topic utama.
Threat (ancaman)
Adalah factor negative dari lingkungan yang memberikan hambatan bagi berkembangnya atau berjalannya
sebuah organisasi dan program.
Ancaman ini adalah hal yang terkadang selalu terlewat dikarenakan banyak yang ingin mencoba untuk
kontroversi atau out of stream (melawan arus) namun pada kenyataannya organisasi tersebut lebih banyak
layu sebelum berkembang.
Contoh :
1. Masyarakat sudah jenuh dengan pilkada
2. Isu agama yang berupa ritual telah membuat masyarakat bosan.
Dalam contoh-contoh tersebut maka kita dapat melihat apa yang dapat kita lakukan dan kita
gunakan, serta apa yang tidak dapat kita lakukan serta harus kita lengkapi.
Setelah dilakukan analisis SWOT maka jadi mengetahui kondisi nyata apa yang terjadi di lingkungan internal
dan external organisas, maka dapat mulai membuat rencana program kerja yang sesuai dengan kondisi
yang dibutuhkan dan mampu untuk dilaksanakan oleh pengurus tersebut.
Sebagai alat analisa, analisa SWOT berfungsi sebagai panduan pembuatan peta. Ketika telah berhasil
membuat peta, langkah tidak boleh berhenti karena peta tidak menunjukkan kemana harus pergi, tetapi
peta dapat menggambarkan banyak jalan yang dapat ditempuh jika ingin mencapai tujuan tertentu. Peta
baru akan berguna jika tujuan telah ditetapkan. Dan yang menjadi tujuan dari sebuah organisasi adalah Visi
dan Misi dari organisasi tersebut. Sehingga analisa SWOT dapat berjalan dengan baik apabila visi dan misi
organisasi telah terbangun.
Dalam arti luas, analisis sosial dalam arti sempit tadi dipakai dalam hubungan dengan usaha mengubah
keadaan atau memecahkan masalah yang dianalisis. Jadi, analisis sosial mencoba mengaitkan analisis ilmiah
dengan kepekaan etis, artinya memperhatikan dan memikirkan tindakan yang mau dilaksanakan. Dalam
arti ini, analisis sosial mengandaikan dan mengandalkan nilai-nilai etis tertentu. Analisis dipergunakan
sebagai alat saja untuk memperjuangkan tujuan tertentu. Maka, kedua pengertian ini tidak bertentangan,
sebab analisis dalam arti pertama selalu harus mendasari analisis dalam arti luas.
Langkah-langkah kongkret Analisis Sosial
Metode analisis sosial ini dapat dipergunakan untuk menganalisis satuan-satuan sosial (misalnya desa,
Ormas), masalah-masalah sosial (misalnya pengangguran, narkoba, masalah kepelajaran/pendidikan)
lembaga-lembaga sosial (misal sekolah, proyek pembangunan). Dls. Langkah-langkah konkret berikut ini
pertama-tama dimaksudkan untuk ditempuh bersama-sama dalam bentuk kelompok kerja oleh orang yang
berkepentingan atau berminat, Biasanya didampingi oleh seseorang yang sudah berpengalaman dan/ atau
yang bisa membantu sebagai nara sumber.
Langkah 1-6 merupakan usaha mengadakan, mengatur dan mempersiapkan bahan analisis. Dalam langkah 7-
10 bahan itu dianalisis secara mendalam. Langkah 11 merupakan refleksi etis (teologis). Langkah 12 adalah
awal pemanfaatan usaha analisis demi praksis dan politik yang kreatif. Kalau ada waktu secukupnya, maka
semua langkah bisa dijalankan satu demi satu. Kalau waktu tidak cukup luas, maka sekurang-kurangnya
beberapa langkah penting sebaiknya dijalankan dengan memakai bahan bantuan dari pendamping analisis.
Langkah - Langkah Konkret – Praktis
1. Memilih dan menentukan sasaran analisis. Pilihan itu harus didasari oleh alasan-alasan yang masuk
akal.
2. Masing-masing peserta kelompok mengungkapkan dan mempertanggungjawabkan pendirian
pribadi. Dengan kata lain, premis-premis nilai mereka yang hendak menjadi landasan dan tolak ukur
sementara dalam usaha menganalisis sasaran yang sudah dipilih. Langkah ini lebih merupakan tukar
pikiran (sharing) daripada diskusi dan mengadaikan keterbukaan untuk koreksi atau pengembangan
pendirian itu.
Deskripsi: seperti apa keadaannya?
3. Mengumpulkan fakta dan data dalam segala bentuk (a.l. pengalaman, informasi lisan, statistik,
laporan, angket kecil, observasi, guntingan koran) yang masih bersifat agak kebetulan dan kurang
teratur (brainstorming). Dengan demikian dapat diperoleh sekedar deskripsi masalah yang
hendaknya tidak dicampuradukkan dengan penilaian pribadi.
4. Mengelompokkan fakta dan data tersebut secara pragmatis ke dalam tiga kolom bidang kehidupan
masyarakat, yaitu: (a) politik, (b) ekonomi dan (c) sosio-budaya. Seperlunya dan sesuai dengan
sasaran analisis dapat ditambah satu kolom lagi, misalnya (d) IRM/ Muhammadiyah. Ke dalam
kolom-kolom itu bisa dimasukkan fakta dan data tambahan, terutama yang menyangkut kerangka
dan masalah-masalah nasional, umpamanya dengan bantuan istilah-istilah klasifikasi dari ketiga
bidang di atas.
5. Fakta dan data dalam masing-masing kolom itu dirangkum secara sistematis per kolom ke dalam
kira-kira 10 rumusan pokok yang mengungkapkan suatu masalah, hubungan sebab akibat, dst. Secara
singkat, mengena dan padat; jadi jangan terlalu umum atau terlalu khusus. Seringkali satu atau dua
kata kunci (antar kurung bisa ditambah beberapa kata konkretisasi) sudah memadai dan paling
mudah untuk kerja kelompok selanjutnya. Sekedar contoh: birokrasi (berbelit-belit, simpang siur,
kaku, sewenang-wenang); jurang kaya-misin melebar (kemewahan, pemborosan, pendapatan).
6. Memberikan bobot terhadap rumusan-rumusan pokok di dalam masing-masing kolom itu menurut
mendesaknya (masalah besar) dan/atau pentingnya (faktor strategis) kenyataan yang diungkapkan
oleh tiap-tiap rumusan. Langkah ini juga bisa ditempuh lewat pemberian nilai bobot secara
kuantitatif (nilai 10 untuk rumusan terpenting, nilai 9 untuk urutan kedua, dst) oleh masing-masing
peserta. Kemudian hasilnya dijumlahkan dan dibahas bersama sehingga kelompok masih bisa
mengadakan perubahan secara mufakat. Pembobotan ini hendak berdasarkan pengetahuan, tetapi
jelas juga mengandung nilai-nilai.
7. Analisis mengapa keadaan itu demikian? Apa latar belakangnya?
Terhadap bahan yang sudah disiapkan ini perlu dikemukakan pertanyaan terus-menerus:
Mengapa semua itu demikian? Apa sebab-musababnya yang lebih mendalam? Dengan
perkataan lain, perlulah membongkar struktur-struktur dalam (vertical analysis) dari
rumusan masalah dalam masing-masing kolom di atas (misalnya dengan menghubung-
hubungkan mereka dengan anak-anak panah). Dalam hal ini, para peserta juga bisa bertitik
tolak dari beberapa analitis (yang berguna pula untuk meninjau kembali hasil analisis),
misalnya:
a. Politik:
- Bagaimanakah pembagian kuasa?
- Siapa yang mengambil keputusan?
- Siapa yang tidak diikutsertakan?
- Siapa yang diuntungkan oleh keputusan-keputusan itu? Siapa yang dirugikan?
- Bagaimana cara dan proses pengambil keputusan?
- Golongan dan kelompok masyarakat manakah (baik formal maupun informal) yang mempunyai
pengaruh politis?
- Siapa yang memiliki dan mengawasi alat-alat kuasa (lembaga-lembaga hukum, polisi, tentara)?
Peranan konstitusi?
- Pola organisasi dan wibawa (kuasa) manakah yang dianut?
- Dalam bentuk apa rakyat berpartisipasi dalam politik?
- Apakah ada aliran-aliran politik yang berbeda-beda?
- Siapa memperjuangkan ideologi mana dan tujuan politik mana?
- Bagaimanakah hubungan antara negara dan agama-agama?
b. Ekonomi:
- Bagaimanakah produksi (organisasi, teknologi), perdagangan, pembagian dan konsumsi barang-
barang dan jasa-jasa diatur?
- Sistem dan kebijaksanaan ekonomi manakah yang diandalkan?
- Bagaimanakah hubungan antara modal dan tenaga kerja?
- Siapa yang diuntungkan oleh tata dan kebijakan ekonomi itu? Siapa yang dirugikan?
- Apakah peranan uang, bunga uang, dsb?
- Siapa yang menguasai sumber-sumber daya alam?
- Bagaimanakah pembagian milik harta?
- Siapa yang mempunyai sarana-sarana produksi (tanah, modal, teknologi, pendidikan)? Adakah
konsentrasi kuasa ekonomi?
- Apa akibat-akibat dari cara prduksi dan konsumsi bagi lingkungan hidup dan alam?
- Sejauhmana ada pengaruh-pengaruh ekonomi internasional?
c. Sosio-budaya:
- Nilai-tradisi dan lambang manakah yang dianut dan diandalkan oleh masing-masing golongan
masyarakat?
- Bagaimana semua itu tampak dalam bahasa sehari-hari?
- Agama daan idelogi mempunyai pengaruh apa?
- Nilai, ideologi dan “mitos” manakah yang menentukan politik dan ekonomi?
- Manakah sikap-sikap dan harapan-harapan pokok yang terdapat dalam masyarakat?
- Hubungan-hubungan sosial manakah yang paling penting dalam masyarakat? Dalam struktur dan
institusi sosial mana hubungan tersebut diwujudkan?
- Apakah ada masalah-masalah sosial yang khusus?
8. Mencari kesamaan dan perbedaan antara hubungan-hubungan dalam itu (cross analysis) dengan
membandingkan hasil analisis vertikal dalam masing-masing kolom. Sehubungan dengan itu bisa
ditanyakan antara lain:
- Manakah ciri-ciri khas yang sama di semua bidang hidup masyarakat?
- Apakah yang akhirnya memapankan masyarakat seluruhnya itu?
- Adakah salah satu bidang atau segi yang sangat dominan?
- Apakah ada ketegangan atau pertentangan antara satu bidang dengan bidang lainnya?
- Apakah terdapat gejala ke arah konflik dan masalah yang harus dihadapi di masa depan?
- Segi historis: bagaimana semua itu terjadi? Masa depannya?
9. Meninjau dimensi historis dari semua hasil analisis di atas, misalnya dengan bertanya:
- Bagaimana keadaan sekarang bisa diterangkan secara historis? Apakah ada periode, peristiwa-
peristiwa dan saat-saat peralihan yang sangat penting?
- Apakah ada perubahan-perubahan besar dalam tahun-tahun terakhir ini? Apakah ada dinamika
perkembangan tertentu dalam masing-masing bidang atau masyarakat keseluruhan?
- Ke arah masa depan tendensi apa saja yang terasa dan sudah tampak?
- Apa kiranya akan terjadi sepuluh tahun lagi kalau keadaan dewasa ini diteruskan saja dan tidak
berubah?
- Apakah ada sumber-sumber daya cipta dan harapan?
10. Menyusun sekedar rangkuman hasil analisis, misalnya dengan merumuskan sejumlah tesis pokok
(masing-masing 1-3 kalimat), yang merupakan semacam “hukum-hukum umum” (prinsip-prinsip
yang dalam kenyataannya menentukan) di belakang keadaan atau masalah yang diselidiki. Tepat
tidaknya tesis-tesis itu perlu ditinjau kembali terus menerus apakah sungguh berdasarkan dan
sesuai dengan fakta dan data yang sudah dikumpulkan.
11. Meninjau kembali dan menyoroti secara kritis premis-premis nilai yang diutarakan oleh para
peserta kelompok dalam tahap kedua. Dalam hubungan ini perlu diperiksa dan dibahas bersama-
sama, dengan memperhatikan hasil analisis, apakah nilai-nilai itu memang “berguna, berarti, masuk
akal dan dapat diwujudkan”. Sebagai titik tolak dapat diajukan pertanyaan seperti misalnya:
- Bagaimana saya mengalami kenyataan yang dianalisis itu?
- Bagaimana saya mengartikan dan menilainya?
- Di mana tempat saya dalam kenyataan itu?
Dari pertanyaan semacam itu akan timbul sejumlah keprihatinan manusiawi (yang seharusnya
menantang orang-orang beriman untuk merumuskan keprihatinan iman mereka).
Berdasarkan refleksi itu, kelompok mencari kesepakatan tentang nilai dan tujuan konkret yang
hendak dipegang dan diperjuangkan bersama-sama (usaha ini merupakan refleksi teologis kalau
dijalankan berdasarkan iman).
Keputusan: apa yang bisa dibuat? Apa yang akan kita buat?
12. Menarik beberapa kesimpulan tentang apa yang ingin dan bisa diusahakan secara perorangan atau
bersama-sama. Seberapa konkret kesimpulan itu, memang sangat tergantung dari bentuk analisis
yang diadakan, yaitu apakah pertama-tama sebagai latihan ataukah sebagai usaha nyata dari suatu
kelompok yang hidup atau bekerja bersama. Dalam menyusun suatu kebijakan atau program
kerja perlu diperhatikan “apa yang yang dapat dijangkau”, mengingat bermacam-macam halangan
dan hambatan yang selalu ada. Perlu juga perencanaan dengan strategi yang hendak ditempuh,
prioritas-prioritas serta operasionalisasi dari semua itu.
- Evaluasi: Sejauh mana tindakan yang diambil berhasil?
- Apa yang dicapai? Apa yang tidak berhasil?
- Manakah efek-efek sampingan yang tidak diinginkan?
- Mengapa ada kegagalan? Apakah ada kesalahan dalam analisis? Ataukah dalam
perencanaan? Ataukah dalam pelaksanaan?
Rujukan:
J.B. Banawiratma, SJ dan J. Muller,SJ. 1993. Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan Sebagai Tantangan
Hidup Beriman. Jakarta: Kanisius
http://pmiiwahidhasyim.blogspot.com/2010/05/bagaimana-cara-melakukan-analisis.html
PETA ANALISIS SOSIAL
Uraian tentang Paradigma Sosiologi, Teori Perubahan Sosial,
Langkah Praxis Analisis Sosial dan Pengorganisasian Masyarakat
Prawacana
Sebelum dibahas lebih lanjut pada bagian-bagian berikutnya mengenai berbagai aliran ideologi dan
keyakinan serta teori tentang perubahan sosial dan kritik pembangunan, maka terlebih dahulu dalam
bagian ini diuraikan dan dijelaskan mengenai apa latar belakang yang mempengaruhi terbentuknya teori-
teori tersebut. Salah satu dari banyak hal yang sangat mempengaruhi dan membentuk suatu teori adalah
apa yang dikenal dengan istilah paradigma (paradigm). Untuk itu uraian pada bagian kedua buku ini akan
memfokuskan pembahasan untuk memahami apa yang sesungguhnya dimaksud dengan paradigma,
mengapa dan bagaimana suatu paradigma terbentuk, serta apa pengaruh paradigma terhadap terbentuk-
nya teori-teori perubahan sosial dan praktik pembangunan. Pembahasan mengenai masalah paradigma ini
perlu dilakukan mengingat pentingnya paradigma dalam membentuk dan mempengaruhi teori maupun
analisis seseorang. Pada dasarnya tidak ada suatu pandangan atau teori sosial pun yang bersifat netral dan
objektif, melainkan salah satunya bergantung pada paradigma yang dipergunakan. Namun, sebelum
melangkah lebih lanjut, uraian ini akan dimulai dengan menjawab pertanyaan dasar apa sesungguhnya
yang dimaksud dengan paradigma itu?
Sebagaimana diuraikan Mansour Faqih[1], paradigma secara sederhana dapat diartikan bagai kacamata
atau alat pandang. Namun, pengertian yang lebih akademis dapat dipahami dari beberapa pemikiran yang
akan diuraikan berikut. Pada dasarnya, istilah paradigma menjadi sangat terkenal justru setelah Thomas
Khun menulis karyanya yang berjudul The Structure of Scientific Revolution. Dalam buku itu Khun
menjelaskan tentang model bagaimana suatu aliran teori ilmu lahir dan berkembang menurutnya disiplin
ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma, di mana suatu pandangan teori ditumbangkan oleh
pandangan teori yang lain. Paradigma diartikan sebagai satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang
menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Berkembangnya suatu paradigma erat kaitannya dengan
seberapa jauh suatu paradigma mampu melakukan konsolidasi dan mendapat dukungan dari berbagai
usaha seperti penelitian, penerbitan, pengembangan, dan penerapan kurikulum oleh masyarakat ilmiah
pendukungnya. Oleh karena itu, untuk memahami berkembang maupun runtuhnya suatu teori perubahan
sosial dan pembangunan erat kaitannya dengan persoalan yang dihadapi oleh paradigma masing-masing
yang menjadi landasan teori tersebut.
Selain Khun, peneliti pemikir lain seperti Patton (1975) juga memberikan pengertian paradigma yang tidak
jauh dengan apa yang didefinisikan oleh Khun, yakni sebagai "a world view, a general perspective, a way of
breaking down the complexity of the real world"[2] Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa yang dimaksud paradigma adalah konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, selain dipergunakan
oleh suatu nilai dan tema pemikiran. Konstelasi ini dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah
dan keadaan sosial, untuk memberikan kerangka konsepsi dalam memberi makna realitas sosial.
[3] Paradigma merupakan tempat kita berpijak dalam melihat suatu realitas. Justru kekuatan sebuah
paradigma terletak pada kemampuannya membentuk apa yang kita lihat, bagaimana cara kita melihat se-
suatu, apa yang kita anggap masalah, apa masalah yang kita anggap bermanfaat untuk dipecahkan serta
apa metode yang kita gunakan dalam meneliti dan berbuat. Paradigma, sebaliknya, mempengaruhi apa
yang tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat, dan tidak ingin kita ketahui.[4] Oleh karena itu, jika ada dua orang
melihat suatu realitas sosial yang sama, atau membaca ayat dari sebuah kitab suci yang sama, akan
menghasilkan pandangan berbeda, menjatuhkan penilaian dan sikap yang berbeda pula. Paradigma pulalah
yang akan mempengaruhi pandangan seseorang tentang apa yang "adil dan yang tidak adil", bahkan
paradigma mempengaruhi pandangan seseorang ataupun teori tentang baik buruknya suatu program
kegiatan. Misalnya saja hubungan lelaki prempuan pada suatu masyarakat, atau hubungan antara majikan
dan buruh, oleh suatu paradigma pemikiran disebutkan sebagai "harmonis saling membantu" dan tidak ada
masalah, oleh paradigma yang lain, akan dilihat sebagai hubungan hegemonik, dominasi gender ataupun
bahkan dianggap eksploitatif. Dalam hal perbedaan paradigma seperti itu, tidak relevan membicarakan
siapa yang salah dan siapa yang benar, karena masing-masing menggunakan alasan, nilai, semangat, dan
visi yang berbeda tentang fenomena tersebut.
Oleh karena itu, dominasi suatu paradigma terhadap paradigma yang lain sesungguhnya bukanlah karena
urusan "salah atau benar, yakni yang benar akan memenangkan paradigma yang lain. Ritzer (1975)
mengungkapkan bahwa kemenangan satu paradigma atas paradigma yang lain lebih disebabkan karena
para pendukung paradigma yang menang ini lebih memiliki kekuatan dan kekuasaan (power) dari pengikut
paradigma yang dikalahkan, dan sekali lagi bukan karena paradigma yang menang tersebut lebih benar atau
'lebih baik dari yang dikalahkan".[5] Demikian halnya dalam memahami dipilihnya atau diterapkannya
suatu aliran teori perubahan sosial maupun pembangunan juga erat kaitannya dengan kekuasaan penganut
paradigma perubahan sosial yang bersangkutan untuk memenangkannya. Dengan demikian, dominasi atau
berkuasanya suatu teori perubahan sosial ataupun teori pembangunan, adalah lebih karena teori tersebut
yang merupakan hasil atau dibentuk oleh suatu paradigma tertentu, ada kaitannya dengan kekuatan dan
kekuasaan bagi penganut teori tersebut, dan tidak ada sangkut-pautnya dengan kebenaran teori tersebut.
Lantas pertanyaannya mengapa dan bagaimana kita harus memilih satu paradigma atau teori perubahan
sosial tertentu?
Meskipun penjelasan Kuhn sangat bermanfaat untuk memahami bagaimana paradigma mempengaruhi
terciptanya teori, tetapi penjelasan Kuhn tentang proses pergantian paradigma menurutnya berjalan secara
revolusioner. Dengan kata lain, bergantinya suatu paradigma melalui pergantian, paradigma lama mati dan
diganti oleh paradigma baru. Penjelasan mengenai pergantian paradigma ini sudah banyak dibantah orang.
Dalam kenyataannya telah terjadi berbagai fenomena yang tidak dibayangkan oleh Kuhn dalam teorinya.
Pertama telah terjadi pluralitas dan konvergensi teori. Kuhn berpendapat bahwa paradigma akan selalu
menggantikan posisi paradigma lama, dan jika tidak, para ilmuwan tidak memiliki kerangka kerja yang
mapan. Dalam ilmu alam, pandangan seperti ini memang terjadi. Namun, dalam perkembangan ilmu-ilmu
sosial menunjukkan kecenderungan semakin menguatnya pertikaian antar paradigma, atau bahkan terjadi
dialog antara dua paradigma atau lebih pada era yang sama. Bahkan, proses teori pada dasarnya adalah
terjadinya saling dialog antar teori dan proses kemampuan teori untuk menyesuaikan diri. Marxisme,
misalnya, telah berkembang setelah berdialog dengan semakin canggihnya kapitalisme. Sebaliknya, terjadi
penguatan gejala dimana teori-teori sosial yang bersandar pada keyakinan kapitalisme berkembang ke arah
penyesuaian diri terhadap kritik. Dalam perkembangan Marxisme, misalnya, perkembangan dan kritik
interen terhadap praktik perkembangannya, hal ini menghasilkan masuknya analisis hegemoni kultur dan
ideologi dalam Marxisme, sesuatu yang membuat analisis Marxisme saat ini telah bergeser dari pikiran
Marx pertama kali yang lebih memfokuskan pada analisis ekonomi. Demikian halnya maraknya
perkembangan teologi pembebasan (liberation theology) di Amerika Latin dan tempat-tempat lain adalah
suatu adaptasi akibat dari suatu dialog paradigma. Demikian halnya, perkembangan paham dan teori
kapitalisme dalam perkembangannya hingga seperti saat ini justru belajar dan mendapat keuntungan dari
kritik yang dilakukan oleh teori Marxisme. Kapitalisme sesungguhnya banyak belajar dan menyesuaikan diri
karena mendapat kritikan dari Marxisme.
Namun, pertanyaan yang lebih mendasar adalah apa manfaat dan sikap yang diperlukan dalam memahami
paradigma sosial. Pada dasarnya memahami paradigma dan teori perubahan sosial seharusnya tidak
sekedar untuk mempelajari dan memahaminya. Suatu teori ataupun paradigma dipelajari dan dipahami
dalam rangka menegakkan komitmen untuk suatu proses emansipasi, keadilan sosial dan transformasi
sosial. Persoalan pilihan terhadap pardigma dan teori perubahan sosial maupun teori pembangunan pada
dasarnya bukanlah karena alasan benar dan salahnya teori tersebut, pilihan suatu teori lebih karena
dikaitkan dengan persoalan mana teori yang akan berakibat pada penciptaan emansipasi dan penciptaan
hubungan-hubungan dan struktur yang secara mendasar lebih baik. Oleh karena itu, memilih paradigma
dan teori perubahan sosial adalah suatu pemihakan dan berdasarkan nilai-nilai tertentu yang dianut.
Pertanyaan yang penting diajukan di sini adalah siapa dan dengan tujuan apa sesungguhnya kegiatan dan
aksi kita diabdikan? Masalah siapa yang ingin kita pecahkan melalui aksi dan program kegiatan kita? Jadi,
masalahnya bukanlah apakah kita harus memihak, karena pemihakan adalah mustahil untuk dapat
dihindarkan bagi semua teori perubahan sosial dan teori pembangunan, tetapi masalahnya adalah kepada
siapa atau kepada apa pemihakan tersebut diabdikan.[6] Untuk menjawab persoalan ini, diperlukan
pemahaman paradigma sosiologi yang menjadi kacamata dan dasar bertindak dibalik setiap teori
perubahan sosial maupun pembangunan.
BAGIAN I
Paradigma-paradigma Ilmu-ilmu Sosial
Untuk memberikan bingkai bagaimana memahami teori perubahan sosial, termasuk di dalamnya teori
pembangunan, kita perlu mengenal peta paradigma dalam ilmu sosial. Ada beberapa peta pendekatan yang
telah dihasilkan oleh para ahli ilmu sosial. Dalam rangka itu, berikut diuraikan beberapa model paradigma
dalam melihat masalah sosial. Pertama adalah model pemetaan paradigma sosial yang diuraikan oleh salah
seorang penganut mazhab Frankfurt, terutama Jurgen Habermas. Model pembagian paradigma kedua
adalah dengan mengikuti tokoh pemikir pendidikan kritis asal Brazil, Paulo Freire. Sedangkan model ketiga
adalah peta paradigma sosiologi yang dibuat oleh Barnel dan Morgan (1979).
Diagram 1
Peta analisis kesadaran masyarakat, Paulo Freire (1970)
Dengan menggunakan paradigma yang dikembangkan Freire ini membantu kita untuk dapat memahami
bagaimana logika berbagai teori sosial yang akan dibahas dikembangkan. Dengan demikian, teori
modernisasi dan pembangunan serta berbagai teori pendukung setelahnya dalam epistimologi, atau
menurut paradigma kesadaran Freire dapat digolongkan dalam kesadaran naif, karena bukan struktur yang
lebih dipersoalkan melainkan manusianya dan oleh karenanya bersifat reformatif. Sementara itu,
paradigma dan teori perubahan sosial kritik yang dibahas dalam bab berikutnya dalam perspektif Freire
dapat digolongkan dalam kesadaran kritis dan merupakan proses perubahan sosial menuju lebih adil yang
bersifat transformatif.
Uraian pembagian peta paradigma yang dipinjam dari analisis Freire tersebut, selain dapat digunakan
sebagai pisau analisis untuk memahami dan memetakan teori-teori perubahan sosial dan teori-teori
pembangunan, peta paradigma tersebut juga sangat berpengaruh terhadap para praktisi pengembangan
masyarakat ataupun pemberdayaan masyarakat di akar rumput. Banyak praktisi pembangunan dalam
berhadapan maupun mengembangkan program-programnya di masyarakat dipengaruhi oleh jenis
kesadaran yang mendominasi pemikiran dan analisis para praktisi sehingga sangat berpengaruh terhadap
pendekatan maupun metodologi program mereka. Para praktisi pengembangan masyarakat yang
mengembangkan program "pemberdayaan masyarakat", tetapi dalam melakukan analisis terhadap
"masalah kemiskinan" masyarakat bersandar pada analisis kesadaran naif dan reformatif, akan melahirkan
program yang berbeda dengan jika mereka dipengaruhi oleh analisis yang bersandar pada kesadaran kritis
untuk transformasi sosial.
Paradigma-paradigma Sosiologi
Untuk lebih mempertajam pemahaman dan seluk-beluk peta paradigma yang dapat digunakan untuk
memahami teori-teori perubahan sosial dan teori pembangunan, maka perIu juga kita memetakan secara
lebih luas paradigma dalam ilmu sosiologi. Untuk itu dalam bagian ini dikemukakan dan disajikan peta
paradigma sosiologi yang dikembangkan oleh Burnell dan Morgan (1979). Burnell dan Morgan membuat
suatu pemetaan paradigma sosiologi yang dapat membantu kita untuk memahami 'cara pandang' berbagai
aliran dan teori ilmu-ilmu sosial. Mereka membantu memecahkan sumber utama keruwetan peta teori ilmu
sosial dengan mengajukan peta filsafat dan teori sosial.[10] Secara sederhana mereka mengelompokkan
teori sosial ke dalam empat kunci paradigma. Empat paradigma itu dibangun atas pandangan yang berbeda
mengenai dunia sosial. Masing-masing pendirian dalam kebenarannya dan melahirkan analisis tentang
kehidupan sosial. Sejak tahun 1960-an sesungguhnya telah muncul berbagai aliran pemikiran sosiologi yang
dalam perkembangannya justru tidak membantu untuk memperjelas peta paradigma sosiologi. Namun
pada awal tahun 1970-an terjadi kebutuhan dalam perdebatan sosiologi mengenai sifat ilmu sosial dan sifat
masyarakat seperti halnya terjadi pada tahun 1960-an. Untuk memecahkan kebuntuan itu mereka usulkan
untuk menggunakan kembali unsur penting dari perdebatan 1960-an, yakni cara baru dalam menganalisis
empat paradigma sosiologi yang berbeda. Empat paradigma itu ialah: Humanis Radikal, srukturalis
radikal,interpretatif dan Fungsionalis. Keempat paradigma itu satu dengan yang lain memiliki pendirian
masing-masing, karena memang memiliki dasar pemikiran yang secara mendasar berbeda.
Sifat dan kegunaan empat paradigma tersebut adalah selain untuk memahami dan menganalisis suatu
praktik sosial, juga untuk memahami ideologi dibalik suatu teori sosial. Paradigma sebagai anggapan-
anggapan meta-teoretis yang mendasar yang menentukan kerangka berpikir, asumsi dan cara bekerjanya
teori sosial yang menggunakannya. Di dalamnya tersirat kesamaan pandangan yang mengikat sekelompok
penganut teori mengenai cara pandang dan cara kerja dan batas-batas pengertian yang sama pula. Jika
ilmuwan sosial menggunakan paradigma tertentu, berarti memandang dunia dalam satu cara yang tertentu
pula. Peta yang digunakan di sini adalah menempatkan empat pandangan yang berbeda mengenai sifat
ilmu sosial dan sifat masyarakat yang didasarkan pada anggapan-anggapan meta-teoretis. Empat
paradigma itu merupakan cara mengelompokkan kerangka berpikir seseorang dalam suatu teori sosial dan
merupakan alat untuk memahami mengapa pandangan-pandangan dan teori-teori tertentu dapat lebih
menampilkan sentuhan pribadi dibanding yang lain. Demikian juga alat untuk memetakan perjalanan
pemikiran teori sosial seseorang terhadap persoalan sosial. Perpindahan paradigma sangat dimungkinkan
terjadi, dan hal ini sama bobotnya dengan pindah agama. Misalnya, apa yang pernah terjadi pada Karl Marx
yang dikenal Marx tua dan Marx muda, yakni perpindahan dari humanis radikal ke strukturalis radikal
Perpindahan ini disebut epistemological break.
Paradigma Fungsionalis
Paradigma fungsionalisme sesungguhnya merupakan aliran pemikiran yang paling banyak dianut di dunia.
Pandangan fungsionalisme berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap
permasalahan berakar pada pemikiran kaum obyektivis. Pemikiran fungsionalisme sebenarnya merupakan
sosiologi kemapanan, ketertiban sosial, stabilitas sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, kesetiakawanan,
pemuasan kebutuhan, dan hal-hal yang nyata (empirik). Oleh karenanya, kaum fungsionalis cenderung
realis dalam pendekatannya, positivis, deterministis dan nomotetis. Rasionalitas lebih diutamakan dalam
menjelaskan peristiwa atau realitas sosial. Paradigma ini juga lebih berorientasi pragmatis, artinya berusaha
melahirkan pengetahuan yang dapat diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yang berupa
langkah-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga. Mereka lebih mendasarkan pada "filsafat
rekayasa sosial”(social engineering) sebagai dasar bagi usaha perubahan sosial, serta menekankan
pentingnya cara-cara memelihara, mengendalikan atau mengontrol keteraturan, harmoni, serta stabilitas
sosial.
Paradigma ini pada dasamya berusaha menerapkan metode pendekatan pengkajian masalah sosial dan
kemanusiaan dengan cara yang digunakan ilmu alam dalam memperlakukan objeknya. Paradigma ini
dimulai di Prancis pada dasawarsa pertama abad ke-19 karena pengaruh karya Comte, Spencer, Durkheim,
dan Pareto. Aliran ini berasal dari asumsi bahwa realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur empirik nyata
dan hubungan antar semua unsur tersebut dapat dikenali, dikaji, diukur dengan pendekatan dan
menekankan alat seperti yang digunakan dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu mekanika dan biologi
untuk menjelaskan realitas sosial pada dasarnya adalah prinsip yang umumnya digunakan oleh aliran ini.
Namun demikian, sejak awal abad ke-20, mulai terjadi pergeseran, terutama setelah dipengaruhi oleh
tradisi pemikiran idealisme Jerman seperti pemikiran Max Weber, Geroge Simmel dan George Herbet
Mead. Sejak saat itu banyak kaum fungsionalis mulai meninggalkan rumusan teoretis dari kaum objektivis
dan mulai bersentuhan dengan paradigma interpretatif yang lebih subjektif. Kias mekanika dan biologi
mulai bergeser melihat manusia atau masyarakat, suatu pergeseran pandangan menuju para pelaku
langsung dalam proses kegiatan sosial.
Pada tahun 1940-an pemikiran sosiologi "perubahan radikal" mulai menyusupi kubu kaum fungsionalis
untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis. Sungguhpun telah terjadi persentuhan dengan paradigma lain,
paradigma fungsonalis tetap saja secara mendasar menekankan pemikiran objektivisme dan realitas sosial
untuk menjelaskan keteraturan sosial. Karena persentuhan dengan paradigma lain itu sebenarnya telah
lahir beragam pemikiran yang berbeda atau campuran dalam paham fungsionalis.
Diagram 2
Peta Analisis Sosial Barnel & Morgan (1979)
Pertentanga Pertentanga
n n
Subyektivis PARADIGMA PARADIGMA Obyektivis
HUMANIS STRUKTURALIS
RADIKAL RADIKAL
Catatan Kritis
Paradigma-paradigma sosiologi tersebut sangat mempengaruhi bagaimana seorang pemikir sosial dalam
mengembangkan teori sosial. Misalnya saja, penganut paradigma interpretatif atau sosiologi
fenomenologis akan mengembangkan teori perubahan sosial yang sama sekali berbeda dengan penganut
fungsionalisme. Penganut aliran fenomenologis, karena dasar filsafatnya adalah mencoba memahami dan
mendengarkan kehendak masyarakat, maka perubahan sosial lebih diutamakan ke arah yang dikehendaki
oleh masyarakat tersebut. Berbagai metodologi dikembangkan, seperti "etnografi" ataupun "riset
observasi", untuk menangkap dan memahami simbol-simbol kehendak masyarakat.
Sementara bagi penganut fungsionalisme yang bersandarkan pada paradigma positivisme, mereka merasa
berhak untuk melakukan "rekayasa sosial" sehingga akan berpengaruh ketika mereka berhadapan dengan
masyarakat. Masyarakat dalam proses perubahan sosial model positivisme dan rekayasa sosial,
ditempatkan sebagai "objek" perubahan. Oleh karenanya, mereka diarahkan, dikontrol, direncanakan, serta
dikonstruksi oleh kalangan ilmuwan, birokrat, dan bahkan koordinator program LSM yang menganut paham
positivisme tersebut. Mereka memisahkan antara masyarakat sebagai objek perubahan, ilmuwan dan
peneliti atau bahkan tenaga lapangan sebagai tenaga-tenaga ilmiah yang objektif, rasional, tidak memihak,
dan bebas nilai, dan birokrat atau negara dalam proses perubahan sosial berperan sebagai pengambil-
pengambil keputusan. Dengan demikian, proses perubahan sosial penganut paradigma ini, teori perubahan
sosialnya bersifat elitis. Demikian halnya, penganut paradigma struktural akan memahami masalah sosial
dan mengajukan teori perubahan sosial yang berbeda dibanding teori yang diajukan para penganut
fungsionalis maupun fenomenologis. Bagi para penganut paradigma kritis transformatif, teori perubahan
sosial dimaksudkan sebagai proses yang melibatkan korban untuk perubahan transformasi sistem dan
struktur menuju ke sistem yang lebih adil. Dengan demikian proses perubahan sosial berwatak subjektif,
memihak, tidak netral, dan untuk terciptanya keadilan sosial dan oleh karenanya berwatak populis.
Dengan memahami berbagai peta paradigma perubahan sosial tersebut, akan lebih mudah bagi kita untuk
memahami apa motivasi dan dasar pikiran suatu teori perubahan sosial dan pembangunan. Dengan
memahami paradigma sosiologi yang dianut oleh pencetusnya, kita juga dapat memahami berbagai
metodologi dan pendekatan proyek pembangunan maupun aksi sosial di akar rumput. Hal ini karena, pada
dasarnya, metodologi dan teknik program perubahan sosial maupun pembangunan, serta teori-teori
perubahan sosial yang dikembangkan oleh seseorang atau suatu organisasi sangat konsisten dalam
mengikuti paradigma yang diyakini maupun yang dianutnya. Paradigma sosiologis yang dianut tidak saja
mempengaruhi bagaimana suatu teori sosial memberi makna terhadap realitas sosial, tetapi juga
mempengaruhi visi dan misi suatu teoti sosial, bahkan mempengaruhi pula penentuan pendekatan ketika
seseorang atau suatu organisasi melakukan penelitian serta aksi praktik manajemen pelaksanaan suatu
teori sosial dalam bentuk program pengembangan masyarakat ataupun pembangunan, maupun pilihan
pendekatan evaluasi terhadap program tersebut.
BAGIAN II
Langkah Praxis Analisis Sosial
Apakah Analisa Sosial Itu?
Suatu proses analisa sosial adalah usaha untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang situasi
sosial, hubungan-hubungan struktural, kultural dan historis.
Sehingga memungkinkan menangkap dan memahami realitas yang sedang dihadapi. Suatu analisis pada
dasarnya "mirip" dengan sebuah "penelitian akademis" yang berusaha menyingkap suatu hal atau aspek
tertentu. Dalam proses ini yang dilakukan bukan sekedar mengumpulkan data, berita atau angka,
melainkan berusaha membongkar apa yang terjadi sesungguhnya, bahkan menjawab mengapa demikian,
dan menemukan pula faktor-faktor apa yang memberikan pengaruh kepada kejadian tersebut. Lebih dari
itu, analisis sosial, seyogyanya mampu memberikan prediksi ke depan: kemungkinan apa yang tetjadi.
Analisa sosial merupakan upaya untuk mengurai logika, nalar, struktur, atau kepentingan dibalik sebuah
fenomena sosial. Analisa sosial bukan semata deskripsi sosiologis dari sebuah fenomena sosial. Analisa
sosial hendak menangkap logika struktural atau nalar dibalik sebuah gejala sosial. Analisa sosial dengan
demikian material, empiris, dan bukan sebaliknya, mistis, atau spiritualistik. Analisa sosial menafsirkan
gejala sosial sebagai gejala material. Kekuatan dan gagasan ideologis dibalik gejala sosial harus dianalisa.
Diagram 3
Peta Aktivitas Analisis Sosial, H.A. Taufiqurrahman (1999)
Aktivitas Sosial Aktivitas Non-Sosial
A: Kesadaran Kritis
Out-put: Aktivis Gerakan Sosial yang Kritis akan Realitas Sosial
Oleh karena itu, untuk masuk pada titik sentral kesadaran kritis atas realitas sosial sebagaimana dimaksud
dalam gerakan sosial di atas, maka tidak mungkin untuk tidak membongkar, mengurai dan menganalisa
persoalan-persoalan yang ada disekitarnya. Pada konteks inilah kompetensi analisis sosial dalam gerakan
sosial.
Diagram 4
Peta Proses Analisis Sosial, H.A. Taufiqurrahman (1999)
PROSES ANALISIS
SOSIAL
JALAN KELUAR
PEMECAHAN
MASALAH
ANALISIS SOSIAL
MASALAH
Tindakan yang
dilakukan
Rumusan masalah
Akal Fikiran
Keyakinan
Data
Fakta
Diagram 5
Peta Kerangka Pikir Analisas Sosial
Diagram 6
Model-Model Perubahan dan Implikasinya
Diagram 7
Model Perubahan Interpretatif
Keterangan:
Tradisional
1. Siklis: kepingan-kepingan episode (maa lalu, kini, masa depan) dintegrasikan dalam keseluruhan sejaah
2. Organis: hanya ada susunan tunggal yang diatur sesuai kepentingan umum
3. Otoritarian: masyarakat dipandang seperti piramida yang dikendalikan dari puncak dengan sedikit
partisipasi bawah
4. Biologis: masyarakat dipandang seperti organisme yang analog dengan tubuh manusia
5. Menyimpang: perubahan yang mengubah siklus sejarah dianggap menyimpang
Liberal
1. Evolusioner: perkembangan sejarah bersifat linear. Gerak sejarah bukan siklis, tapi kemajuan/progresif
2. Pluralis: ruang sosial disusun berdaasarkan berbagai macam bagian yang tidak terpisah dan tak
berhubungan
3. Manajerial: menjaga keseimbangan semua unsur atau bagian
4. Mekanistik: masyarakat dipandang sebagai mesin yang bekerja
5. Pengawasan: perubahan sosial merupakan kehendak sejarah, namun tidak mengubah struktur dasar
yang mendasarinya. Perubahan selalu diawasi agar tidak menyimpang
Transformatif
1. Transformatif: setiap peristiwa sejaah dipandang secara fundamental menimbulkan tahapan baru, masa
lalu, sekarang, dan masa depan, terkait secara dialektik
2. Interdependen: masyarakat dianggap sebagai keseluruhan sistem yang kreatif, dialektik.
3. Partisipasi: kepentingan umum merupakan input masyarakat, hasil definisi masyarakat
4. Transformasi kultural: masyarakat terbentuk secara kreatif melalui dialog maupun cita-cita utopis
anggotanya.
5. Kreatif: konflik merupakan penggerak sejarah, dan kemajuan.
BAGIAN III
Pengorganisasian Masyarakat
Proses membangun organisasi masyarakat disebut pngorganisasian masyarakat . Pengorganisasian dalam
masyarakat mungkin bagi sebagian warga merupakan istilah yang baru, tetapi konsep ini sudah dikenal
luas di kalangan organisasi umum yang lain. Pengorganisasian bisa menjadi kebutuhan ketika realitas
kehidupan sosial masyarakat sudah berkembang sedemikian kompleksnya, sehingga sebuah usaha tidak
bisa dilakukan secara individual lagi (warga-perwargaan) melainkan harus menjadi usaha bersama dalam
bentuk kelompok. Dengan demikian, pada pengertian yang paling sederhana, Konsep serba bersama ini
merupakan batas pembeda antara upaya pengorganisasian masyarakat dengan upaya perwargaan
maupun strategi menyerahkan segala sesuatunya pada pemimpin yang sudah pasti dilakukan secara
individual. Dalam membangun organisasi masyarakat ada beberapa penekanan dan pemisahan secara
manajemen pengorganisasiannya. Pemisahan manajemen pengorganisasian ditujukan untuk mengahadapi
permasalahan-permasalahan yang muncul di tingkatan masyarakat . Permasalahan yang muncul bisa
dibedakan dalam dua hal, secara internal dan eksternal. Begitu pula cara membangun organisasi
masyarakat dengan internal dan eksternal dengan harapan organisasi mampu mengatasi dua persoalan ini
secara baik.
Landasan & Tujuan pengorganisasian
Landasan Pengorganisasian
Landasan filosofis dari kebutuhan untuk membangun organisasi adalah membangun kepentigan secara
bersama–sama pada seluruh masyarakat, karena masyarakat sendiri yang seharusnya berdaya dan
menjadi penentu dalam melakukan perubahan sosial. Perubahan sosial yang dimaksud adalah perubahan
yang mendasar dari kondisi ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Dalam konteks masyarakat,
perubahan sosial juga menyangkut multidemensional. Dalam demensi ekonomi seringkali ‘dimimpikan’
terbentuknya kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh warga masyarakat . Dalam segi politik selalu
diinginkan keleluasaan dan kebebasan bagi masyarakat untuk berpartisipasi, berkompetisi serta diakui hak-
hak sipil dan politiknya. Sedangkan dalam sisi budaya, dirasakan ada keinginan untuk mengekspresikan
kearifan kebudayaan lokal. Landasan filosofis pengorganisasian lainnya adalah melakukan
adalah pemberdayaan. Karena pada dasarnya masyarakat sendiri yang seharusnya berdaya dan menjadi
penentu dalam melakukan perubahan sosial. Pengorganisasian masyarakat bertujuan agar masyarakat
menjadi penggagas, pemrakarsa, pendiri, penggerak utama sekaligus penentu dan pengendali kegiatan-
kegiatan perubahan sosial yang ada dalam organisasi masyarakat .
Tujuan Pengorganisasian
Pengorganisasian dalam sebuah organisasi masyarakat ditujukan untuk membangun dan mengembangkan
organisasi. Pengorganisasian mempunyai peranan yang luar biasa bagi organisasi secara internal dan
eksternal. Secara internal tujuan pengorganisasian adalah membangun organisasi masyarakat. Secara
eksternal tujuan pengorganisasian adalah membangun jaringan antar organisasi masyarakat untuk
menghadapi masalah–masalah bersama atau lebih ditujukan untuk membangun kekuatan bersama yang
lebih besar lagi. Selain itu, tujuan pengorganisasian adalah mnyelesaikan konflik–konflik atau masalah
masalah yang terjadi di tengah warga masyarakat yang setiap saat muncul dan harus segera diselesaikan
untuk menuju perubahan sosial yang lebih baik.
Membangun Jaringan
Untuk mencapai tujuan bersama, sebuah pengorganisasian memerlukan keterlibatan banyak pihak dengan
berbagai spesifikasi yang berbeda dalam suatu koordinasi yang terpadu dan sistematis. Tidak ada satupun
organisasi yang mampu mencapi tujuannya tanpa bantuan dari pihak-pihak lain yang juga mempunyai
perhatian dan kepentingan yang sama. Semakin banyak warga masyarakat /organisasi menyuarakan hal
yang sama maka, semakin kuat kepercayaan bagi timbulnya perubahan yang diinginkan. Hal ini secara
sederhana disebut sebagai kebutuhan untuk membangun jaringan.
Secara garis besarnya kerja-kerja jaringan dapat dipilah menjadi tiga bentuk:
1. Kerja Basis. Kerja basis merupakan kerja yang dilakukan oleh kelompok inti (pengorganisir) dengan
melakukan langkah-langkah; membangun basis masa, pendidikan dan perumusan strategi.
2. Kerja Pendukung. Kerja pendukung ini dilakukan oleh kelompok-kelompok sekutu yang menyediakan
jaringan dana, logistik, informasi data dan akses. Kelompok sekutu bisa berasal dari kalangan LSM,
kelompok intelektual/ akademisi, Lembaga pendana (donor) dan kelompok-kelompok masyarakat yang
mempunyai komitmen terhadap persoalan yang diperjuangkan.
3. Kerja Garis Depan. Kerja garis depan dilakukan terutama berkaitan dengan advokasi kebijakan,
mobilisasi massa, mempeluas jaringan sekutu, lobbi dan melaksanakan fungsi juru runding. Kerja-kerja garis
depan bisa dilakukan oleh kelompok organisasi/invidual yang memiliki keahlian & ketrampilan tentang hal
ini.
4. Dengan pembagian tugas maka akan terbentuk jaringan yang terdiri dari individu dan kelompok yang
bersedia membantu warga dalam melakukan perubahan sosial, baik melalui strategi advokasi, maupun
penguatan komunitas basis. Akhirnya, pembangunan jaringan merupakan salah satu cara untuk menambah
“kawan”, sekaligus mengurangi “lawan” dalam memperjuangkan perubahan yang diinginkan.
[1] Mansour Faqih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Insist Press, Cet. I., 2001) h. 17-43.
[2] Lihat: Michael Quin Patton, Alternative Evaluation Research Paradigm. Grand Forks: University North Dakota, 1970.
[3] Definisi ini meminjam uraian Popkewitz. Lihat Popkewitz, Thomas. Paradigm and Ideology in Educational Research. New York:
Palmer Press, 1984.
[4] Thomas Khun (1970) dikenal orang pertama yang membuat terkenal istilah paradigma. Ia tertarik pada perkembangan dan
revolusi ilmu pengetahuan, dengan menganalisis hubungan antara berbagai paradigma dan penelitian ilmiah. Untuk uraian
mengenai paradigma lihat: Thomas Kuhn. The Structures of Scientific Revolutions. Chicago: The University of Chicago Press, 1970.
[5] Lihat Ritzer, "Sociology: A Multiple Paradigm Science" dalam Jumal The American Sociologist No. 10, 1975. hal: 156-157.
[6] Pertanyaan ini kami adaptasi dan pinjam dari Becker, yang membahas tentang pilihan-pilihan dalam paradigma dan teori
penelitian. Lihat tulisan Becker, "Whose side are we on? dalam buku yang di edit oleh W.J. Fisltead (Ed.). Qualitative
Methodology Chicago: Markham, 1970.
[7] Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed. New York: Praeger, 1986.
[8] Lihat Smith, Themaning of Conscientacao: The Goal of Paulo Freire's PedagogyAmherst: Center for International Education,
UMASS, 1976.
[9] Pemikiran yang bisa dikategorikan dalam analisis ini adalah para penganut modernisasi dan developmentalisme. Paham
modernisasi selanjutnya menjadi aliran yang dominan dalam ilmu-i1mu sosial. Misalnya saja dalam antropologi, pikiran
Kuncaraningrat tentang budaya pembangunan sangat berpengaruh bagi kalangan akademik dan birokrat. Paham modernisasi
juga 'berpengaruh' dalam pemikiran Islam di Indonesia. Adanya yang salah dalam teologi fatalistik yang dianut umat Islam dianggap
sebagai penyebab keterbelakangan. Asumsi itu dianut oleh kaum modemis sejak Muhammad Abduh atau Jamaluddin Afgani
sampai kelompok pembaharu saat ini seperti Nurcholish Madjid c.s. Lihat: Dr. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta;
Bulan Bintang, 1978. serta majalah ulasan tentang "Gerakan Pembaharuan Islam" dalam Ulumul Quran tahun 1993.
[10] Burnell & Morgan, Sociological Paradigms & Organizational Analysis London: Heinemann, 1979.
Metode Kualitatif dalam Ilmu-ilmu Sosial
Selly Riawanti[1]
Jurusan Antropologi, FISIP, Universitas Padjadjaran
(Makalah pada Kegiatan Pembekalan Teknis Penelitian yang dilaksanakan pada hari Senin tanggal 23 Februari 2015
bertempat di aula Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Bandung Jalan Cinambo No. 136 Ujungberung Bandung)
Pengantar
Metode penelitian kualitatif akhir-akhir ini meningkat popularitasnya. Metode ini memang lebih berkembang di
bidang ilmu-ilmu sosial, walaupun sesungguhnya dalam segala bidang ilmu, bentuk pengetahuan ilmiah yang tertinggi
tingkatnya, yakni teori, pada hakikatnya bersifat kualitatif. Bagian pertama tulisan ini berisi tinjauan sekilas tentang
pengetahuan dan penelitian, pengembangan pengetahuan melalui kegiatan penelitian, khususnya dalam ilmu-ilmu
sosial, dan memaparkan kegunaan penelitian kualitatif. Bagian kedua membahas cara kerja dalam penelitian kualitatif,
yang meliputi penentuan masalah penelitian, teknik-teknik pengumpulan data (instrumen, validitas, dan reliabilitas,
sumber data, prosedur pencuplikan (sampling), teknik pengolahan data, teknis analisis data. Bagian terakhir
membahas format usulan penelitian kualitatif yang positivistik maupun yang non-postivistik, serta format pelaporan
hasil penelitian.
Pengetahuan dan Penelitian Ilmiah
Penelitian adalah kegiatan mengumpulkan dan menganalisis informasi demi perkembangan pengetahuan.
Sedangkan pengetahuan adalah himpunan informasi atau keterangan mengenai sesuatu yang terdapat di alam
semesta, yang diperoleh dari belajar atau pengalaman. Pengetahuan kerap muncul dan berkembang dari pertanyaan
manusia mengenai alam semesta. Dalam penelitian, pengetahuan dicari untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
mendasar, yaitu, apa, bagaimana, dan mengapa. Setiap pertanyaan tersebut menuntut jawaban yang berbeda-beda
tingkat kemampuannya dalam memberikan keterangan mengenai gejala yang ingin diketahui. Maka pengetahuan itu
pun bertingkat-tingkat, dari sekedar pengetahuan akan keberadaan dan sifat-sifat suatu gejala saja, sampai ke
pengetahuan mengenai hubungan antara gejala tersebut dengan gejala-gejala lain dalam lingkungan yang lebih luas.
Pada umumnya pertanyaan muncul atau dimunculkan dalam upaya untuk memecahkan suatu persoalan. Semakin
tinggi tingkat pengetahuan, semakin besar kegunaannya untuk pertanyaan dan memecahkan persoalan.
[1] Aslinya adalah materi untuk Pendidikan dan Pelatihan Metodologi Penelitian Sosial bagi Auditor
Inspektorat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, di Cipayung, Bogor, 26 Maret
2003. Naskah ini telah beberapa kali diubah di sana sini.
Bagan 1
Jenjang Pengetahuan
Penggunaan konsep dan teori bukanlah monopoli peneliti ilmiah. Semua orang menggunakan konsep dan teori dalam
kehidupan sehari-hari untuk berbagai perkara, sejak urusan mengisi dan membuang isi perut sampai ke urusan
mendekati pihak yang berkuasa seperti atau (calon) mertua (bd. Nagel 1967; Maxwell 1996:31). Menurut E. Nagel
(1967:1-28), pengetahuan ilmiah dapat dibedakan dari pengetahuan awam dari sifatnya yang sistemik. Sistematika
tersebut tersermin dari adanya: (a) penjelasan tentang asas klasifikasi bahan-bahan pengetahuan, sehingga
penggolongannya menjadi signifikan; (b) penjelasan tentang kondisi-kondisi yang menjadi sebab atau akibat dari suatu
gejala disertai penjelasan tentang pola hubungannya; dan yang amat penting adalah (c) keterangan tentang batas-
batas kebenaran pernyataannya, sesuai dengan asumsi yang dipakai. Keterbatasan pengetahuan ilmiah ini mendorong
timbulnya penjelasan lain yang berbeda atau bahkan bertentangan, mengenai gejala yang sama, yang ditinjau dengan
asumsi yang lain pula. Ini berarti kebenaran pernyataan ilmiah berisiko tinggi untuk disanggah, dan umurnya relatif
lebih singkat daripada pengetahuan alam, tetapi sekaligus mendorong pengembangan atau penyempurnaan
pengetahuan tersebut (lihat juga Popper 1971: 115-122).
Selain itu, pengetahuan ilmiah selalu diupayakan untuk dinilai dan dikendalikan dengan beberapa pembakuan.
Pembakuan pengetahuan ilmiah itu menyangkut dua segi, yakni (1) segi kesahihannya (validitas,validity) dan (2) segi
keandalan cara perolehannya (reliabilitas, reliability). Kesahihan dan keandalan pengetahuan ilmiah dikendalikan
melalui tata cara perolehannya, yakni metodologi penelitian ilmiah. Sebagai suatu prosedur pembentukan
pengetahuan, metodologi pengetahuan ilmiah meliputi prosedur konseptual yang berisi analisis tentang asumsi-
asumsi dasar dalam ilmu pengetahuan, prosedur logis yang terdiri atas proses pembentukan teori dan hubungan
antara teori dan penelitian, dan prosedur penelitian empirik.
1.1. Persoalan dan Metode Penelitian
Melihat penelitian sebagai suatu cara untuk memecahkan persoalan, mengharuskan kita untuk membedakan jenis
persoalan atau masalah. Persoalan atau masalah dapat didefinisikan sebagai adanya suatu kesenjangan di antara hal
yang diharapkan (Das Sollen) dan keadaan yang nyata (Das Sein). Penulis seperti Booth dkk. (1995) memperhatikan
segi akibat dari keadaan demikian, yaitu yang mereka sebut sebagai “struktur pokok persoalan” yang terdiri atas (1)
suatu keadaan atau situasi tertentu, dan (2) akibat-akibatnya, khususnya yang merugikan atau yang tidak diinginkan.
Secara garis besar ada dua macam persoalan, yaitu masalah atau persoalan praktis, dan masalah atau persoalan
penelitian (akademik). Persoalan praktis adalah persoalan yang sudah ada dalam kenyataan kehidupan, dan
menimbulkan biaya materi, sosial, atau kejiwaan. Persoalan ini dipecahkan dengan melakukan suatu tindakan untuk
mengubah situasi atau kondisi yang ada. Adapun persoalan akademik adalah persoalan yang muncul dalam benak
peneliti, yang muncul dari ketidaktahuan atau ketidaklengkapan pengetahuannya mengenai suatu hal. Suatu masalah
penelitian dapat diajukan untuk mengatasi masalah praktis, sedangkan masalah praktis itu tidak dapat di atasi semata-
mata melalui penelitian. Masalah praktis dapat dipecahkan dengan menerapkan pengetahuan yang didapat dari
penelitian, tetapi masalah penelitian akademik bukan dipecahkan dengan mengubah situasi dalam kenyataan,
melainkan dengan menyempurnakan pengetahuan untuk mempelajari atau memahami masalah itu dengan lebih baik.
Penyempurnaan pengetahuan dapat menghasilkan informasi baru, mengubah kepercayaan (konsep, teori) yang telah
ada, atau bahkan mengubah tindakan (Booth dkk. 1995:48-63).
1.2 Metodologi Penelitian Sosial
Istilah metode dan metodologi kerap disamakan saja penggunaannya. Sesungguhnya metodologi lebih merujuk
ke logika penelitian ilmiah, yang merangkai prosedur alias metode penelitian empirik. Dalam pengertian inilah
metodologi adakalanya disebut sebagai “perspektif”, “pendekatan” atau “paradigma”. Pembedaan ini perlu
dikemukakan mengingat bahwa ada penelitian-penelitian yang tidak berpendekatan kualitatif namun menggunakan
beberapa metode atau teknik pengumpulan data kualitatif.
Dalam ilmu-ilmu sosial pada umumnya, metode penelitian kualitatif berkembang seiring dengan perkembangan
paradigma fenomenologi yang merupakan reaksi terhadap paradigma yang dominan sebelumnya, yakni positivisme.
Positivisme yang berkembang sejak awal abad ke 19 berjat gagasan Auguste Comte tentang “filsafat positif”,
bertujuan untuk mencari fakta atau sebab-sebab gejala sosial , dengan melepaskan diri dari konteks-konteks individual
dan melampaui kekhususan-kekhususan dalam beragam konteks demi mendapatkan perspektif yang lebih umum
serta luas, dan menemukan kaidah-kaidah yang universal. Emile Durkheim yang kerap disebut sebagai pendukung
pendekatan ini, menganjurkan ilmuwan sosial untuk melihat gejala sosial sebagai sesuatu “fakta sosial”, sebagai “hal”
yang memiliki pengaruh eksternal dan memaksa terhadap tingkah laku manusia. Tugas ilmu-ilmu sosial adalah
mencari “kaidah-kaidah universal” yang mengatur tingkah laku manusia, seperti cara ilmu-ilmu alam mencari dan
menemukan kaidah-kaidah universal yang mengatur gerak alam semesta. Itulah sebabnya dahulu ilmu sosial disebut
juga sebagai “fisika sosial”. Peristilahan yang digunakan pun amat banyak mengacu kepada model-model dalam ilmu
pasti-alam, misalnya “struktur”, “sistem”, “fungsi”, dan sebagainya. Metode yang dianggap positif karena “lebih
ilmiah” adalah yang dapat menghasilkan generalisasi tentang pola-pola agregat, melalui metode yang bersifat
kuantitatif.
Perspektif positivistik menempatkan tingkah laku manusia di bawah kekuasaan “struktur” (masyarakat,
kebudayaan), sehingga prakarsa dan kehendak individu tidak memiliki arti. Perspektif teoretik demikian dianggap tidak
memuaskan, karena dalam kenyatan empirik terjadi banyak peristiwa dan perubahan yang justru disebabkan oleh
kehendak dan prakarsa orang-orang yang tidak begitu saja “tunduk” kepada masyarakatnya. Sebenarnya sejak akhir
abad ke 18, Immanuel Kant telah mengemukakan tentang pentingnya memperhatikan pikiran untuk memahami
penciptaan makna. Pemikiran manusia merupakan proses-proses yang terjadi secara perorangan dan subyektif,
karena dipengaruhi oleh pengalaman dan persepsi masing-masing individu. Mengacu kepada gagasan Kant tersebut,
para pemikir sosial di Jerman, seperti Wilhelm Dilthey, Karl Husserl, dan Max Weber berpendapat bahwa pengetahuan
individu tentang dunia itu dibentuk oleh penafsiran atau interpretasi individu pula. Menurut Dilthey, positivisme
hanya cocok untuk ilmu-ilmu alam, tetapi tidak sesuai untuk mengkaji manusia dan kebudayaan. Berhubung
masyarakat manusia itu selalu berubah dalam kurun waktu dan tidak pernah kembali ke keadaan semula, mustahillah
menemukan kaidah-kaidah universal yang dapat menjelaskan dan meramalkan gejala sosial seperti di dalam ilmu-ilmu
alam. Sebab itu, tugas ilmu sosial adalah mencari pemahaman melalui penafsiran atau interpretasi (Verstehen),
dengan menghayati pengalaman orang lain ke dalam diri peneliti. Guna memahami pengalaman orang lain, peneliti
perlu memahami konteks peristiwa atau tindakan pelaku yang diamati.
Menjelang akhir abad ke 19, Weber mengembangkan gagasan Dilthey, terutama tentang Verstehen.
Menurutnya, peneliti tidak akan dapat memahami apapun bila tidak menafsirkan tindakan manusia yang diteliti
menurut konteksnya. Sementara itu Husserl yang berpendirian bahwa metode keilmuan yang positivistik itu berguna
tetapi kurang lengkap, mengembangkan filsafat fenomenologi yang mempelajari bagaimana manusia memaknai
pengalamannya di dalam alam pikirannya sendiri. Untuk memahami penafsiran orang lain tentang dunia, peneliti
harus menyisihkan dulu penafsiran mereka sendiri dan “memasuki” alam pikiran orang yang diteliti. Cara yang efektif
untuk mencapai pemahaman akan tingkah laku manusia menurut sudut pandang para pelakunya, adalah melalui data
yang deskriptif-kualitatif.
Bagan 2 Daur Penelitian Ilmiah
Tampak bahwa perspektif positivis dan fenomenologi merupakan dua pendekatan yang berbeda dan mencari jawaban
yang berbeda-beda pula mengenai gejala sosial. Akan tetapi dalam daur pengembangan pengetahuan ilmiah, metode
penelitian kualitatif maupun kuantitatif dengan kegunaannya masing-masing itu sesungguhnya saling melengkapi.
Bahkan pendekatan yang positivistik sekalipun, mengakui adanya dua proses yang berbeda dalam pembentukan
pengetahuan ilmiah (teori) yang saling melengkapi: yang pertama adalah untuk menciptakan hipotesis atau teori
(dengan prosedur induktif), dan yang kedua adalah untuk menguji keberlakuan hipotesis atau teori (dengan prosedur
deduktif). Sering dianggap bahwa fungsi dan prosedur deduksi lazim dalam kajian kuantitatif atau positivistik;
sedangkan fungsi dan prosedur induksi digunakan dalam penelitian kualitatif. Namun ada juga penelitian kuantitatif
yang menghasilkan pengetahuan dengan prosedur induktif, misalnya sensus. Sesungguhnya dalam penelitian empirik
kedua prosedur tersebut dapat dipakai untuk saling melengkapi.
1.3 Metode Kualitatif dan Kegunaannya
Dalam kepustakaan ditemukan banyak definisi tentang metode penelitian kualitatif, baik yang bersifat formal dan
langsung maupun yang tidak langsung (Potter 1996). Definisi yang formal misalnya terdapat dalam sebuah karya yang
termasuk pertama memakai judul “kualitatif”, dari R. Bogdan dan S.J. Taylor (1975):
“… metodologi kualitatif merujuk ke prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif: kata-kata yang dituliskan
atau diucapkan sendiri oleh orang yang diteliti serta tingkah laku mereka yang teramati. Metode ini ditujukan untuk
meliput latar belakang serta orang-orang dalam latar itu secara holistik; artinya mereka (perkumpulan atau
perorangan) sebagai subyek penelitian tidak direduksi menjadi suatu variabel yang terisolasi atau menjadi sebuah
hipotesis saja, tetapi dipandang sebagai bagian dari sutu kesatuan” (1975:4)
Ada definisi formal yang diringkas seperti dari J.J. Pauly (1991): “Kajian kualitatif menyelidiki proses penciptaan
makna” (dalam Potter 1996:16). Menurut W.J. Potter, definisi yang formal lebih berguna bagi pembaca karena
mengemukakan dengan gamblang inti pengertian konsep kualitatif, fokus atau ruang lingkupnya, sekaligus batas-
batasnya. Beberapa definisi lain yang lebih “informal” di antaranya adalah yang: (1) membandingkan dengan metode
lain, biasanya dengan metode kuantitatif; (2) merinci unsur-unsurnya atau jenis-jenisnya, seperti “kajian interpretif”,
“interaksi simbolik”, “etnografi”, “etnometodologi”, “telaah wacana”, “sejarah”, “teorigrounded”, “fenomenologi”,
“teori kritis”, “kajian budaya”, “penelitian pascapositivistik”, “studi kasus”, “naturalistik”, “hermeneutika”; (3)
membeberkan cara melakukannya, misalnya “peneliti dilarang memanipulasi data”, dan langkah-langkah
penelitiannya; (4) menyebutkan hasil atau produknya, umpamanya “data deskriptif”, “dokumen yang terinci tentang
bentuk-bentuk dan jenis-jenis gejala sosial”, dan sebagainya (Potter 1996: 14-21).
Banyak tulisan mengenai metode penelitian kualitatif yang membandingkan dengan metode penelitian kuantitatif.
J.W. Cresswell, misalnya, membedakan paradigma kualitatif dari paradigma kuantitatif berdasarkan asumsi-asumsi
dasarnya, yakni ontologi (hakikat dari kenyatan), epistemologi (hubungan antara peneliti dengan yang diteliti),
aksiologi (peranan nilai-nilai), retorik (bahasa penelitian), dan metodologi (proses penelitian). Untuk paradigma
kualitatif, asumsi ontologinya adalah bahwa kenyataan itu subyektif dan beragam, sebagaimana pandangan para
pelaku yang diteliti. Asumsi epistemologinya adalah bahwa peneliti itu terikat pada dan oleh karenanya berinteraksi
dengan yang diteliti. Asumsi aksiologinya ialah bahwa peneliti maupun penelitian itu tidak bebas-nilai atau bebas dari
bias. Asumsi retoriknya adalah bahwa bahasa penelitian bersifat informal, tidak baku, dan keputusan-keputusan
penelitian berkembang dalam kurun waktu penelitian, tidak ditetapkan sebelumnya (seperti pada penelitian
kuantitatif). Asumsi metodologinya adalah bahwa proses pembentukan pengetahuan berlangsung secara induktif;
penjelasan tentang gejala sosial melibatkan banyak faktor yang mungkin bekerja sekaligus, bukan dalam hubungan
kausal yang sederhana; desain penelitian dan kategori-ktegori dikembangkan berdasarkan keterangan informan dalam
penelitian; terikat konteks; pola-pola serta teori dikembangkan untuk pemahaman; dan kecermatan serta keandalan
pengetahuannya dijaga melalui verifikasi (Cresswell 1994: 4-7)
Tabel 1 Metodologi dan Metode Penelitian Konvensional
Perlu diingat bahwa pemilihan suatu metode tertentu sesungguhnya merupakan implikasi belaka dari masalah yang
hendak dipecahkan atau tujuan yang ingin dicapai dari suatu penelitian. Ada penulis yang menganggap bahwa metode
kuantitatif lebih ditujukan untuk menjawab pertanyaan apa dan bagaimana, sedangkan metode kualitatif lebih
bertujuan untuk menjawab pertanyaan “mengapa” (a.l. Helman 2000:265). Di bawah ini dirujuk pendapat J.A.
Maxwell (1996) tentang lima tujuan penelitian yang cocok untuk dicapai melalui penelitian kualitatif :
pemahaman mengenai makna (pengetahuan, gagasan, perasaan, tujuan, atau singkatnya, “perspektif”) yang dimiliki
pelaku (Maxwell menggunakan istilah “partisipan”) mengenai peristiwa, situasi, atau tindakan yang melibatkan
mereka pendek kata tentang kehidupan serta pengalaman mereka.
Pemahaman mengenai konteks khusus tempat berlangsungnya tindakan atau kehidupan para pelaku, serta pengaruh
konteks ini terhadap tingkah laku dan kehidupan mereka.
Melakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi gejala atau pengaruh (variabel) yang tidak diduga sebelumnya, serta
menghasilokan teori baru tentang gejala dan variabel tersebut.
Memahami proses berlangsungnya gejala.
Membangun penjelasan (teori) tentang gejala. Bila penelitian kuantitatif umumnya hendak mengetahui apakah atau
sejauh mana suatu variabel berhubungan dengan variabel yang lain, dalam penelitian kualitatif yang hendak diketahui
adalah bagaimana (proses) suatu variabel berperanan terhadap variabel yang lain.
2. Merancang dan Melaksanakan Penelitian Kualitatif
Bagian ini akan membahas bagaimana melakukan penelitian kualitatif. Dalam kenyataan terdapat beragam
cara untuk melaksanakannya, sesuai dengan keragaman jenis penelitian kualitatif sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas. Pada hakikatnya ada bagian-bagian yang umum dalam semua jenis penelitian kualitatif. Bagian-
bagian itu tidak selalu tersusun sebagai langkah-langkah atau tahap-tahap pekerjaan yang berurutan dari awal sampai
akhir (perencanaan-pelaksanaan-analisis-pelaporan) sebagaimana yang lazim dijumpai pada penelitian yang
kuantitatif-deduktif. Penahapan yang jelas dalam penelitian kualitatif tampaknya hanya tiga, yakni perencanaan,
pelaksanaan, dan penulisan pelaporan.
Rancangan penelitian kualitatif yang disusun dalam tahap perencanaan pun biasanya bersifat longgar dan
luwes, dan dapat senantiasa ditinjau kembali untuk dipertajam selama masih berlangsung. Adapun prosedur
pelaksanaannya lebih bersifat sirkuler (kadang-kadang disebut recyclic, reiterative). Seorang peneliti kualitatif dapat
saja melangkah kembali ke tahap yang sudah pernah dijalaninya. Adakalanya masalah atau pertanyaan penelitian
dirumuskan ulang setelah peneliti menyusun kerangka pemikirannya, atau bahkan baru difokuskan setelah ia
mendapatkan pengetahuan di lapangan penelitian (Marshall dan Rossman 1989; Cresswell 1994, 2009; Maxwell 1996;
Potter 1996).
2.1 Masalah Penelitian
Masalah penelitian dapat diciptakan atau ditemukan bila peneliti mengalami pengetahuan ilmiah yang
memadai seputar gejala atau topik yang hendak ditelitinya. Hal ini antara lain dikemukakan oleh Maxwell (1996), yang
memberikan suatu kerangka perancangan penelitian kualitatif yang terdiri atas lima unsur, yakni (1) tujuan, (2)
konteks konseptual, (3) pertanyaan penelitian, (4) metode penelitian, dan (5) validitas. Tujuan penelitian perlu disadari
oleh peneliti: persoalan apa yang hendak diliput? Apakah penelitian tentang persoalan itu akan mempengaruhi
praktek? Apa gunanya penelitian? Konteks konseptual adalah semacam peta pengetahuan ilmiah yang telah ada
mengenai atau di seputar gejala yang akan diteliti. Dalam hal ini, teori, konsep, dan temuan-temuan terdahulu akan
sangat berguna untuk menemukan masalah penelitian. Adapun sumber-sumber pengetahuan teoritik demikian bisa
dari pengalaman sendiri, dari teori dan kajian yang telah ada, hasil kajian pendahuluan yang pernah kita lakukan
sendiri, dan eksperimen gagasan-gagasan kita sendiri (1996:25-48). Teranglah kajian pustaka memegang peranan
penting dalam hal ini. Namun, berbeda dari penggunaan teori dalam perumusan masalah penelitian kualitatif, di sini
teori lebih berperan sebagai sumber inspirasi, bukan untuk dideduksikan menjadi hipotesis yang kemudian akan diuji
secara empirik.
Booth dkk. mengingatkan bahwa penelitian praktis dalam kehidupan manusia sehari-hari lebih sering didorong
oleh adanya masalah yang dihadapi, bukan karena orang mencari-cari topik penelitian (1996:49). Dari masalah praktis
ini timbul pertanyaan-pertanyaan “apa”, atau “bagaimana” dan “mengapa”. Pertanyaan yang tak terjawab akan
menimbulkan “kerugian” atau “kesulitan”, artinya memunculkan masalah yang memerlukan penelitian agar dapat
menjawabnya. Pada bagian 1.1. di atas telah dikemukakan bahwa masalah mempunyai dua komponen, yakni (1)
kondisi tertentu yang (2) menimbulkan akibat yang merugikan (“biaya”). Dalam masalah penelitian, “kondisi” itu
didefinisikan oleh serangkaian konsep yang agak khusus atau sempit. Intinya adalah pernyataan tentang suatu hal
yang tidak kita ketahui atau pahami, namun perlu kita ketahui atau pahami.
Pertanyaan untuk penelitian kualitatif biasanya bersifat umum dan terbuka, tidak terinci dan terstruktur seperti
di dalam penelitian kuantitatif. Tidak terstruktur juga berarti bahwa pertanyaan tidak mengandung pertanyaan-
pertanyaan tentang arah hubungan antarkonsep (seperti: sejauh mana, pengaruh, akibat, dampak, menentukan,
menyebabkan, dan sebangsanya). Sifat pertanyaan yang umum dan terbuka ini mencerminkan tujuan penelitian
kualitatif untuk mendapatkan informasi mengenai pengetahuan dari perspektif para pelaku yang diteliti, yang
bermuatan pandangan-pandangan subyektif para pelaku. Dalam penelitian kuantitatif hal ini seringkali justru dibatasi
karena dianggap sebagai bias dari informasi yang diberikan sendiri oleh pelaku (self-report). Dengan kata lain, dalam
penelitian kualitatif yang bertujuan memhami pemaknaan, informasi yang subyektif itu menjadi obyektif. Memberi
ruang bagi subyektivitas berarti juga membuka peluang untuk menangkap keragaman perspektif dan tindakan pelaku.
Oleh karenanya, dalam penelitian kualitatif sang tineliti ditempatkan sebagai subyek alih-alih obyek penelitian belaka.
2.2 Kerangka Penelitian
Sejalan dengan perumusan masalah penelitian, tugas peneliti adalah membangun kerangka penelitian –kerangka
konsep atau teori- yang berfungsi sebagai pedoman umum tentang bagaimana ia akan mencari jawaban bagi
pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukannya sendiri. Maxwell menyebut bagian ini sebagai “konteks konseptual”
(1996:25-48), yang sesungguhnya telah berperan sejak peneliti merumuskan masalah dan pertanyaan-pertanyaan
penelitiannya. Miles dan Huberman (1994) menyatakan bahwa kerangka konseptual “menjelaskan … hal-hal pokok
yang akan diteliti, yakni konsep-konsep atau variabel-variabel yang terpenting, serta saling hubungannya satu sama
lain” (dikutip oleh Maxwell 1996:25). Kerangka ini harus mengungkapkan pemikiran peneliti mengenai apa yang
terjadi dengan gejala yang ditelitinya dan/atau apa sebabnya. Maka sebutan “kerangka pemikiran” dengan tepat
menggambarkan fungsi bagian ini sebagai hipotesis yang umum atau teori sementara sang peneliti. Sekali lagi perlu
dicatat bahwa hipotesis dalam penelitian kualitatif berperan sebagai pedoman penelitian, bukan untuk diuji
kebenarannya. Artinya hipotesis ini dapat dikembangkan selama kurun penelitian, sampai dianggap sebagai
penjelasan yang memuaskan tentang gejala yang dipelajari.
2.3 Metode Pengumpulan Data Kualitatif
Penelitian kualitatif lazimnya berusaha untuk memahami suatu gejala sosial tertentu secara holistik, dan
karenanya berusaha mendapatkan data dari berbagai dimensi. Ada empat tingkatan data yang perlu diperhatikan,
yaitu:
perkataan orang tentang kepercayaan, pikiran, dan pendapat mereka;
tingkah laku orang dalam kenyataan;
apa yang sesungguhnya dipikirkan, dipercayai, atau diyakini orang; dan
konteks dari ketiga data di atas.
Metode penelitian yang pokok adalah penelitian lapangan untuk mendapatkan data primer, langsung dari tangan
pertama. Dalam penelitian lapangan pada dasarnya hanya ada dua metode pengumpulan data, yakni pengamatan dan
wawancara.[1] Dari kedua metode pokok itu terdapat bermacam-macam teknik dan alat yang telah dikembangkan
hingga kini. Pengetahuan yang didapat dengan teknik tertentu dari satu tingkat data mungkin mungkin berbeda dari
pengetahuan dari data di tingkat yang lain. Apa yang dikatakan oleh pelaku (datanya didapat melalui wawancara,
dengan pedoman wawancara atau daftar pertanyaan yang lebih terstruktur seperti kuesioner atau angket) mungkin
tidak sesuai dengan kenyataan tingkah laku mereka (datanya didapat dari pengamatan, dengan bantuan pedoman
pengamatan dan alat-alat perekam informasi).
Penelitian antropologi kerap menemukan bahwa antara perkataan dan perbuatan orang terdapat jarak yang bisa
besar. Kesenjangan ini tentu ada alasannya, padahal alasan ini kerap tidak disadari oleh orang-orang yang
bersangkutan, sehingga perlu digali melalui wawancara, khususnya tentang hal yang telah teramati oleh peneliti. Data
pada tingkat ini amat penting, sebab seringkali kegagalan program-program intervensi dalam berbagai bidang
kehidupan, disebabkan oleh kelemahan pengetahuan mengenai jenis gejala ini. Jadi, setiap jenis pertanyaan akan
memerlukan suatu metode tertentu untuk menemukan jawabnya, dan jawaban akan menghasilkan pengetahuan
tertentu pula.
Akhirnya data pada tingkat keempat, yakni mengenai konteks, tidak kurang pentingnya. Data pada tingkat pertama,
kedua, dan ketiga dapat sangat dipengaruhi oleh konteks penelitian, yaitu keadaan yang melingkupi satuan sosial
(individu, kelompok, komuniti) pada ruang dan waktu ketika penelitian berlangsung. Keadaan ini dapat berupa
lingkungan fisik maupun sosial, baik yang ada di sekitar latar penelitian maupun dalam skala yang lebih luas.
Keunggulan penelitian kualitatif justru terletak pada perhatiannya terhadap konteks dari gejala yang ditelitinya. Data
tentang konteks ini selain diperoleh dari penelitian lapangan juga didapat dari sumber-sumber sekunder.
Berkaitan dengan konteks ini, kehadiran peneliti serta kegiatannya pun merupakan unsur yang perlu diperhatikan.
Telah sering dikemukakan dalam penelitian-penelitian antropologi, bahwa kehadiran peneliti menimbulkan perubahan
tingkah laku pada sasaran penelitian. Kehadiran peneliti dengan segala perlengkapan pengumpulan datanya
(kamera, tape recorder, buku catatan, dan sebagainya) dan pertanyaan-pertanyaannya dapat membuat orang
menghindar, atau sebaliknya, melebih-lebihkan tingkah lakunya. Dengan kesadaran akan kemungkinan pengaruh
peneliti (halo effect atau researcher’s effect) ini, amat dianjurkan untuk mengulang-ulang pengumpulan data pada
berbagai tahap penelitian. Setidaknya, perlu dibandingkan informasi yang didapat pada awal penelitian dan pada akhir
penelitian.
Tampaklah bahwa untuk mendapatkan data yang memadai hanya dimungkinkan bila penelitian menggunakan
berbagai macam metode. Penggunaan berbagai macam metode dalam satu penelitian –termasuk mempekerjakan
lebih dari seorang peneliti—juga lebih menjamin valisitas penegetahuan yang dihasilkannya. Dalam terminologi
metode penelitian, penggunaan bermcam-maca cara ini disebut triangulasi. Istilah ini diperkenalkan oleh Norman
Denzin, yang meminjamnya dari teknik navigasi yang menggunakan trigonometri untuk menemukan suatu posisi atau
lokasi, dari hubungannya dengan dua titik yang telah diketahui jaraknya, sehingga informasi posisi itu akurat.
2.3.1 Pelaku Sebagai Sumber Informasi
Orang yang menjadi “sasaran” penelitian kualitatif dilihat sebagai sumber informasi, dan karenanya disebut sebagai
informan. Peranan informan amat penting dalam mengarahkan penelitian kualitatif. Informanlah yang menunjukkan
kepada peneliti hal-hal penting apa yang perlu dicermatinya lebih lanjut. Kepada informan pula peneliti harus
memerikasakan kembali temuan-temuannya (hasil penafsiran dan penyimpulan datanya). Peranan ini amat berbeda
dari peranan sasaran penelitian kuantitatif yang disebut responden. Ia dinamai responden (harfiah: orang yang
menanggapi), karena ia hanya memberikan tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan dan bahkan pilihan-pilihan
jawaban yang telah distrukturkan oleh kepentingan-kepentingan atau pengetahuan peneliti yang mungkin terbatas.
Penelitian kualitatif idealnya membiarkan sang tineliti mengemukakan apa pun pendapat, pandangan, pikirannya;
karena memang sudut pandangnyalah –bukan sudut pandang peneliti- yang hendak diketahui. Informasi atau
pengetahuan apa adanya dari informan itu disebut pengetahuan “emik”, yang dibedakan dari pengetahuan peneliti
yang disebut “etik”.[2]
Para informan dapat dipilih berdasarkan berbagai kriteria. Kriteria pertama ialah keluasan atau kedalaman
pengetahuannya tentang kelompok atau komuniti tempat hidupnya. Kedua, informan hendaknya juga orang yang
cukup fasih bicara. Kualitas-kualitas ini tentu tidak dapat ditemukan begitu saja, melainkan harus ditanyakan oleh
peneliti kepada para informan pangkalnya, yakni orang-orang yang pertama dijumpai dan bisa menunjukkan ke arah
mana atau kepada siapa peneliti dapat meminta keterangan. Selain informan “ahli” seperti itu, peneliti perlu
mendapatkan gambaran menyeluruh tentang warga satuan sosial yang ditelitinya. Konsep gambaran menyeluruh ini
berbeda dari konsep “gambaran rata-rata” yang lazim dalam penelitian kuantitatif. Tujuan penelitian kualitatif adalah
untuk menemukan keragaman, sehingga setiap varian atau ragaman, penting untuk diperhatikan. Oleh sebab itu bila
dalam penelitian kualitatif ditarik sample atau cuplikan dari populasi yang diteliti, maka kriterianya tidaklah acak,
melainkan harus dapat meliput sebanyak mungkin ragaman yang ada (bukan jumlah, melainkan jenis). Bila pun
hendak dikenakan kriteria “keterwakilan”, maka yang harus diwakili bukanlah jumlah, melainkan kategori. Misalnya
ada 10 kategori yang penting bagi populasi setempat (secara emik), dari tiap-tiap kategori itu diambil satu.
Berhubung penelitian kualitatif bertujuan mendapatkan pemahaman tentang perspektif informan, maka
peneliti juga harus membina hubungan sosial yang baik dengan warga masyarakat yang ditelitinya untuk mendapat
kepercayaan mereka, sehingga mereka bersedia memberikan informasi yang valid (lihat a.l. Riawanti 1998). Membina
hubungan sosial baik tidak selalu berarti harus pandai bergaul, karena pergaulan yang baik mungkin meningkatkan
kegiatan sosial peneliti dan dapat mengurangi jatah waktu untuk bekerja; terutama untuk melakukan analisis harian.
Hal yang penting adalah menjaga etika penelitian, yang pada intinya adalah tidak menimbulkan ancaman bagi mereka
yang diteliti, menghargai hak-hak mereka (termasuk privacymereka), dan memeriksakan kesimpulan-kesimpulan
peneliti keada tineliti (sebagai salah satu cara triangulasi)
2.3.2 Penelitian Praktis dan Metode Kualitatif
Menurut Maxwell, tujuan-tujuan penelitian kualitatif, dikombinasi dengan sifat penelitian yang induktif dan
strategi penelitian yang terbuka, memberinya keunggulan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan praktis seperti:
Menghasilkan teori yang dapat dipahami dan dapat dipercaya bagi mereka yang diteliti maupun bagi orang lain.
Dapat digunakan untuk evaluasi formatif yang bertujuan untuk membantu meningkatkan praktek yang ada, alih-alih
hanya sekedar meneliti manfaat suatu program atau produk yang dievaluasi. Dalam evaluasi formatif, yang lebih
penting adalah memahami proses dari peristiwa atau gejala yang berlangsung dalam situasi-situasi khusus, daripada
sekedar melakukan perbandingan dengan situasi yang lain.
Melakukan penelitian kolaboratif atau penelitian-tindak (action research) dengan para praktisi serta partisipan
(1996:17-20)
Akan tetapi salah satu syarat yang berat untuk keberhasilan suatu penelitian yang menggunakan metode kualitatif
adalah waktu yang relatif panjang. Telah kita lihat bagaimana untuk menjaga validitas informasi, diperlukan
mengulang pertanyaan atau pengamatan yang sama pada sekurang-kurangnya dua titik waktu penelitian. Hal ini akan
sukar dipenuhi oleh penelitian yang merupakan bagian dari program-program intervensi yang biasanya terbatas kurun
waktunya. Di sisi lain, dewasa ini semakin kerap orang memerlukan informasi yang kualitatif untuk perencanaan
maupun pelaksanaan program intervensi. Perkembangan program-program intervensi berikut segala uji coba
pendekatannya, telah memberikan hasil sampingan berupa metode-metode pengumpulan data kualitatif yang dapat
dilakukan dalam waktu relatif singkat (Mikkelsen, 1999; Helman, 2000:264-271).
[1] Sesungguhnya ada jenis penelitian kualitatif yang tidak perlu dilakukan dengan metode penelitian lapangan berikut
teknik-teknik pengumpulan datanya, tetapi tetap bertujuan memperoleh data primer dan menggunakan teknik-teknik
penafsiran untuk mmenganalisis datanya. Yang tergolong dalam jenis ini adalah kajian-kajian tentang wacana
(discourse analysis) seperti yang berkembang dalam ilmu-ilmu sastra dan komunikasi. Studi sejarah, hukum, dan
hubungan internasional, misalnya, banyak menggunakan dokumen alih-alih data dari sumber primer. Bahan atau data
utama kajian-kajian serupa itu adalah teks (termasuk gambar dan artefak) yang telah dikumpulkan dan disusun oleh
orang lain.
[2] Ini adalah istilah yang diperkenalkan oleh Kenneth Pike, meminjam dari ilmu linguistik tentang pembunyian kata
(fonologi, phonology). “Emik” (emic) mengkaji gejala bahasa atau tingkah laku berdasarkan struktur internalnya atau
sistemnya, ‘sebagaimana adanya’; sedangkan “etik” (etic) menelaah gejala bahasa atau tingkah laku berdasarkan
konsep-konsep umum dan baku, yang terlepas dari sistemnya.
Tabel 2 Penelitian Sosial: Implikasi Tujuan terhadap Metode
Pendapat yang mendukung maupun yang menolak perkembangan ini tidak akan kita bahas sekarang. Namun
demikian, belakangan ini tampak beberapa teknik atau metode kualitatif yang cepat, khususnya diskusi kelompok
terfokus (focus group discussion, FGD) dicantumkan dalam laporan-laporan penelitian akademik. Hal ini merupakan
perkembangan yang wajar, apalagi bila dikaitkan dengan keterbatasan dana serta waktu yang dimiliki oleh peneliti
dewasa ini. Akan tetapi penggunaan metode kualitatif kilat semacam itu lebih cocok untuk keperluan pengenalan
lapangan secara cepat (reconnaissance research) dan untuk keperluan verifikasi teman-temuan peneliti kepada para
informannya. Demikianlah, misalnya FGD dapat dilakukan di awal penelitian, sebagai pendahuluan untuk melakukan
survey (kuantitatif), yakni agar kuesioner menggunakan bahasa atau konsep yang cocok dengan kebudayaan
setempat. FGD juga dilakukan di akhir penelitian untuk menguji temuan peneliti.
2.4 Pengolahan Data, Analisis Kualitatif dan Kualitas Peneliti
Perbedaan mendasar penelitian kualitatif dari penelitian kuantitatif adalah bahwa analisis dilakukan bukan
setelah data ‘semua’ terkumpul, melainkan sesegera mungkin. Analisis dimulai sejak awal pengumpulan data dan
berlanjut terus sampai selesai menuliskan penelitian (ongoing analysis). Ada beberapa cara analisis yang dapat
dilakukan:
Memo, yaitu catatan peneliti di samping catatan berupa data, yang berisi pikiran-pikiran peneliti dari membaca data
yang terkumpul dari hari ke hari selama ia berada di lapangan. Pikiran peneliti bisa berupa konsep atau teori yang
telah diketahuinya dari khasanah pustaka ilmiah yang relevan dengan penelitiannya, atau yang dapat dibuatnya dari
membaca data. Memo akan membantu peneliti menafsirkan datanya.
Kategorisasi, yaitu pemilahan data ke dalam bagian-bagian yang relevan. Kategorisasi ini dapat dilandasi oleh
kerangka konsep atau teori peneliti (etik), dapat pula bertolak dari kerangka konsep atau teori orang yang diteliti
(emik), yang cukup lazim dalam kajian antropologi. Data yang telah digolong-golongkan dapat diperbandingkan dan
dihubung-hubungkan dalam rangka pengembangan proposisi atau hipotesis.
Visualisasi, yaitu pembuatan bagan, tabel, dan teknik-teknik visual lain yang pada hakikatnya mereduksi data namun
akan membantu peneliti melihat model hubungan di antara kategori-kategori datanya.
Interpretasi, yakni penafsiran data menurut perspektif atau kerangka konsep dan teori, atau berdasarkan konteks
yang ditemukan selama penelitian dilakukan (kontekstualisasi).
Cara-cara analisis di atas bukanlah untuk langsung diterapkan dalam setiap penelitian, melainkan harus dipilih oleh
peneliti sesuai dengan keperluannya, ialah pertanyaan penelitiannya. Pertanyaan mengenai hubungan di antara
berbagai peristiwa atau gejala dalam sebuah konteks tertentu, tidak dapat dijawab dengan analisis yang hanya
mengandalkan kategorisasi. Sebaliknya, pertanyaan mengenai kesamaan atau perbedaan di antara berbagai konteks,
tidak dapat dijawab hanya dengan melakukan kontekstualisasi.
Setiap langkah analisis akan menghasilkan semacam hipotesis bagi peneliti, yang harus “diuji”nya kembali pada
langkah pengumpulan data berikutnya. Salah satu cara terpenting untuk ini adalah dengan mencari kasus-kasus
kontras, berbeda, senjang, kekecualian, negative case, dari apa yang telah ditemukan sebelumnya. Prinsip “mencari
kontras” ini sekaligus membuka peluang untuk menemukan keragaman dalam kesatuan sosial (kelompok, komuniti)
yang diteliti.
Tujuan akhir dari analisis tentulah untuk menghasilkan hipotesis atau teori. Hipotesis atau teori yang dihasilkan oleh
penelitian kualitatif, disebut juga teori substantif karena dibangun secara induktif dari substansi (data) yang ada.
Lingkupnya lokal. Teori yang khusus seperti ini disebut teori idiografik, yang karena menonjolkan keunikan konteks
maka menjadi kurang umum, sehingga sering dinilai sebagai “tidak ilmiah”. Betulkah demikian? Mari kita perhatikan
kembali bagan tentang daur pembentukan pengetahuan ilmiah di awal tulisan ini. Akan tampak bahwa fungsi
penelitian kualitatif memang lebih menonjol untuk menghasilkan hipotesis atau teori; sedangkan keuniversalan atau
generalitas teori seperti itu perlu diuji melalui penelitian kuantitatif.
Dari pemaparan mengenai langkah analisis di atas, tersirat satu hal penting dalam penelitian kualitatif, ialah
kemampuan sang peneliti, baik secara akademik maupun secara sosial. Peneliti mutlak perlu menguasai konsep dan
teori, yang akan membantunya mengarahkan proses pengumpulan data selanjutnya selama berada di lapangan.
Tanpa bekal pengetahuan konseptual maupun teoretik yang memadai, akan sulit baginya mengidentifikasi variabel-
variabel yang penting bagi pemahaman atau penjelasannya, sekalipun gejalanya mungkin bersimpang-siur di
depannya. Pengetahuan ilmiah demikian dapat digali dari bacaan yang relevan, atau didapat melalui diskusi dengan
sejawat. Cara yang kedua mungkin dilakukan bila peneliti memiliki pembimbing atau sejawat atau asisten yang
mendampinginya, dan bila lokasi penelitiannya mudah dijangkau atau memiliki prasarana dan sarana telekomunikasi.
Yang sulit adalah bila tempat penelitiannya berada di daerah yang relatif terpencil dan sukar dijangkau. Dalam hal ini
tidak ada cara lain yang efektif kecuali membekali diri dengan bacaan yang relevan.
2.5 Validitas dan Reliabilitas Penelitian Kualitatif
Memperhatikan proses pengumpulan proses pengumpulan, analisis, dan pengujian data yang dilakukan terus
menerus selama penelitian lapangan, wajarlah jika dikatakan bahwa penelitian kualitatif bisa unggul dalam hal
validitas datanya. Yang amat terjaga adalah validitas internalnya, yakni kesahihan data dan temuan dalam konteks
penelitian yang bersangkutan. Namun hal ini sekaligus merupakan kelemahan pada validitas eksternalnya, karena
penjelasan yang dihasilkan terikat kepada konteks khusus tempat penelitiannya. Selain itu, keandalan penelitian
kualitatif ditentukan oleh mutu penelitinya sendiri, khususnya dalam hubungan pribadinya dengan orang-orang yang
ditelitinya. Peneliti lain dengan kecenderungan pribadi yang berbeda pula, sulit mereplikasi temuan-temuan yang
dihasilkannya. Artinya, metode ini rendah reliabilitasnya (Kirk dan Miller 1986).
Maxwell mengemukakan beberapa ancaman terhadap validitas penelitian kualitatif. Ada tiga macam
“pemahaman” yang dituju oleh penelitian ini, yakni deskripsi, interpretasi, dan teori. Ancaman terhadap validitas
deskripsi adalah ketidaklengkapan atau ketidakcermatan pencatatan data. Ancaman ini dapat dihindarkan dengan
mengupayakan teknik perekaman dan pencatatan seteliti mungkin. Adapun yang mengancam validitas interpretasi
adalah bila peneliti memaksakan perspektifnya sendiri (kurang menyimak, mengajukan pertanyaan yang mengarahkan
jawaban) bukannya menghargai pemaknaan yang diberikan para pelaku terhadap perkataan dan perbuatan mereka.
Hal ini dapat dihindarkan bila peneliti rajin memeriksakan kesimpulan-kesimpulannya kepada informan (member-
checks; informants’ validation). Adapun validitas teori terancam bila peneliti lalai memperhatikan data atau
penjelasan yang berbeda dari yang sudah ditemukannya.
Salah satu sumber ancaman terhadap validitas itu adalah bias atau kecondongan si peneliti, yang memilih data
yang sesuai dengan kerangka penelitian atau yang paling menarik perhatian peneliti. Namun bias begini sukar
dihindarkan. Lagipula penelitian kualitatif sesungguhnya memang terbuka bagi pengaruh peneliti terhadap
pelaksanaan dan hasil kajiannya. Yang penting adalah menyadari serta menyatakan dengan gamblang bias-bias pribadi
ini (dan kalau mungkin, bagaimana hendak mengatasinya), sehingga dapat menjadi pertimbangan para pembaca
untuk menilai laporan penelitian yang bersangkutan.
Sumber ancaman lainnya adalah reaktivitas, yaitu pengaruh dari keberadaan peneliti terhadap latar atau orang-
orang yang diteliti. Ihwal ini telah disinggung dengan istilah researcher’s effect atau halo effect di atas. Pada umumnya
reaktivitas ini menonjol pada wawancara, karena bagaimanapun jawaban informan atas pertanyaan peneliti turut
dipengaruhi oleh cara peneliti mengajukan pertanyaannya. Pierre Bourdieu menegaskan bahwa hubungan antara
peneliti-tineliti dalam setiap wawancara merupakan suatu hubungan atau pertukaran sosial. Hubungan ini dapat
mempengaruhi hasi yang dicapai (1966:19 dst.). Reaktivitas umumnya diatasi dengan metode pengamatan terlibat.
Dengan melibatkan diri dalam kehidupan sehari-hari para informannya, peneliti lambat laun akan diterima sebagai
bagian yang wajar dalam dunia sosial mereka, dan mereka bertindak atau berbicara seperti lumrahnya situasi sehari-
hari bila tidak ada peneliti.
Pada umumnya validitas dapat diupayakan dengan melakukan triangulasi (menggunakan sumber, latar, dan
metode yang berbeda-beda, validasi oleh tineliti, perbandingan, dan mencari umpan balik dari seberagam mungkin
orang lain (termasuk sejawat).
3 Penyajian Penelitian Kualitatif
Meski telah tersirat dalam paparan pada bagian 2 di atas, berikut ini dikemukakan garis-garis besar penyajian
usulan dan hasil penelitian kualitatif.
3.1 Penyajian Usulan Penelitian Kualitatif
Dalam kenyataannya tedapat beragam format usulan penelitian kualitatif. Namun format yang berikut ini cukup
lazim ditemukan dalam berbagai jenis penelitian kualitatif.
Pendahuluan, yang mengemukakan apa yang hendak diteliti dan alasannya.
Ulasan ringkas tentang situasi pengetahuan yang ada yang relevan dengan gejala yang hendak dikaji, sebagai titik tolak
peneliti untuk menyatakan signifikansi penelitiannya bagi perkembangan pengetahuan ilmiah. Bagian ini kerap dijuduli
“tinjauan pustaka. Maxwell menyebutnya “konteks penelitian”, karena tujuannya bukan semata-mata meninjau
khasanah pustaka tertentu, melainkan untuk memperlihatkan bagaimana sangkut paut penelitian yang diusulkan
dengan pengetahuan yang sudah ada (1996:106). Pengetahuan yang sudah ada ini mungkin belum atau tidak
diterbitkan, dan mungkin berasal dari penelitian yang pernah dilakukan sendiri oleh pengusul penelitian.
Masalah dan pertanyaan penelitian. Bagian ini kerap diletakkan setelah bagian pendahuluan, namun seringkali lebih
jelas bila dicantumkan setelah diskusi tentang konteks penelitian. Dalam bagian ini kerap juga dikemukakan batas-
batas atau ruang lingkup pebelitian.
Metode penelitian, yang mendiskusikan bagaimana peneliti hendak mengumpulkan informasi dan menganalisisnya
untuk menjawab masalah penelitian. Dalam bagian ini juga dikemukakan siasat untuk menjaga validitas penelitian.
Rangkuman tentang hal-hal yang terpenting dalam usulan penelitian, terutama untuk menegaskan kembali kegunaan
penelitian yang diusulkan.
Daftar bacaan
Lampiran yang dapat berisi jadwal penelitian, instrumen pengumpulan data (pedoman pertanyaan dan pengamatan),
daftar informan, bagan alur kerangka pemikiran, dan lain-lain.
3.2 Penyajian Hasil Penelitian Kualitatif
Kerangka penyajian hasil akhir penelitian, sesuai dengan keperluan peneliti, dapat disiapkan sejak awal sebagai
salah satu pesoman pengumpulan data. Hal-hal yang perlu diperhatikan peneliti untuk melaporkan hasil kajiannya
adalah :
Tentukan pembaca
Tentukan kerangka (cerita, tesis)
Buat daftar topik dan garis-garis besar susunan tulisan
Buat draft kasar untuk setiap bagian: menulis seperti berbicara
Revisi terus menerus
Tulis pendahuluan dan kesimpulan
Baca teliti (libatkan pembaca lain)
Tulis ulang seluruh laporan
Struktur dan isi laporan hasil penelitian kualitatif pada dasarnya sama dengan penelitian akademik pada umumnya.
Memang dewasa ini terdapat berbagai cara penyajiannya, terutama bila penelitian itu berorientasi praktis dan
menggunakan pendekatan partisipatorik. Dalam hal yang terakhir ini, hasil penelitian harus disajikan dalam bahasa
yang dapat dimengerti oleh warga masyarakat yang berkepentingan, yang telah turut menentukan jalan dan arah
penelitian. Salah satu prinsipnya adalah menghindari penggunaan jargon-jargon teknis yang berasal dari khasanah
pengetahuan pihak peneliti (etik). Secara umum, struktur laporan penelitian adalah sebagai berikut ini:
Pendahuluan, berisi pernyataan tentang signifikansi penelitian bagi pengembangan pengetahuan, tentang masalah
penelitian, dan tentang metodologi penelitian. Syarat dalam penelitian kualitatif adalah mengemukakan konteks
penelitian, berhubung keunggulan penelitian ini adalah dalam menjelaskan gejala yang diteliti berdasarkan konteks
yang ada.
Deskripsi, berisi informasi tentang :
populasi dan lokasi yang diteliti, yang merupakan latar (setting) penelitian
Menerjemahkan (mengungkapkan pola dan makna) satuan sosial budaya yang telah diteliti untuk pembaca (perhatikan
kepentingan pembaca yang dituju).
Prinsip: menyampaikan hal-hal yang partikular untuk pemahaman ke generalisasi dan komparasi. Struktur argumentasi :
pernyataan (claim) selalu ditunjang oleh bukti-bukti empirik (evidence).
Tingkat-tingkat pernyataan dalam penulisan laporan :
Pernyataan-pernyataan universal
Pernyataan-pernyataan deskriptif lintas-budaya
Pernyataan umum tentang masyarakat atau kebudayaan tertentu
Pernyataan umum tentang suasana dan keadaan dalam suatu masyarakat tertentu
Pernyataan khusus tentang suatu bidang atau aspek budaya tertentu
Pernyataan khusus tentang kejadian atau peristiwa tertentu
Penutup
Rangkuman temuan
Kesimpulan
Rekomendasi:akademik, praktis
Dalam kerangka tersebut di atas tidak disebutkan suatu bagian yang lazim terdapat dalam format laporan penelitian
yang positivistik, yaitu “tinjauan pustaka”. Sesungguhnya sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian tentang
penyusunan rencana penelitian di atas, semua penelitian ilmiah yang berpretensi menyempurnakan pengetahuan
konseptual maupun teoretik, pasti bertolak dari kegiatan menelusuri kepustakaan yang relevan. Dalam khasanah
kajian kualitatif dijumpai berbagai cara penyajian hasil membaca ini. Ada yang mengikuti format penelitian yang
kurang lebih positivistik-deduktif, dengan mencantumkan tinjauan pustaka di bagian depan (dalam format baku hasil
penelitian skripsi, tesis, dan disertasi di Indonesia, dicantumkan dalam suatu bab tersendiri setelah bagian bagian
Pendahuluan). Ada yang mencantumkan kajian pustakanya hanya secara garis besar di bagian Pendahuluan, kemudian
rujukan-rujukan yang lebih terinci tersebar di seluruh batang tubuh hasil penelitian. Versi yang lain adalah yang
mencantumkan kajian pustaka dalam bagian penutup, sebagai dikusi yang membandingkan hasil penelitian yang
khusus dengan kajian-kajian lain yang relevan, sebagai upaya menarik generalisasi. Versi terakhir ini menaati asas
penalaran induktif yang menjadi ciri pokok penelitian kualitatif.
Daftar Bacaan
Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor. 1975. Introduction to Qualitative Research Methods: A Phenomenological
Approach to the Social Science. New York:John Wiley and Sons.
Booth, Wayne, Gregory G. Colomb & Joseph M. Williams. 1995. The Craft of Research. Chicago & London: University
of Chicago Press.
Bourdieu, Pierre. 1996. Understanding. Theory, Culture & Society, Vol. 13(2):17-37.
Cresswell, John W. 1994. Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches. Thousand Oaks, Ca., dll.: SAGE
Publications, Inc.
_______. 2009. Research Design. Qualitative, Quantitative and Mixed Method Approaches. Los Angeles dll.: SAGE
Publications, Inc.
Helman, Cecil B. 2000. Culture, Health and Illness. Edisi keempat. Oxford, dll.: Butterworth and Heinemann. Hlm. 265-
271
Kirk, Jerome, dan Marc L. Miller. 1986. Reliability and Validity in Qualitative Research. Newbury Park, dll.: Sage
Publications.
Little, Daniel. 1991. Varieties of Social Explanation. Boulder, dll.: Westview Press.
Marshall, Catherine, dan Gretchen B. Rossman. 1989. Designing Qualitative Research. Newbury Park, California: Sage
Publications.
Mikkelsen, Britha. 1999. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Nagel, Ernst. 1967. The Structure of Science: Problems in the Logics of Scientific Explanations. New York: Harcourt,
Brace and World, Inc. Hlm. 1-28.
Popper, Karl R. 1971. Objective Knowledge: An Evolutionary Approach. Revised Edition. Oxford: Clarendon Press.
Potter, W. James. 1996. An Analysis of Thinking and Research about Qualitative Methods. Mahwah, New
Jersey:Lawrenve Erlbraum Associates, Publishers.
Riawanti, Selly. 1998. Sisi Manusia dalam Penelitian Kualitatif. Makalah ditulis untuk keperluan penerbitan jurnal
mahasiswa Jurusan Antropologi, FISIP, Universitas Padjadjaran. Belum diterbitkan.
Materialisme Historis: Metode
Analisa Sosial Marxis
By Serikat Mahasiswa Progresif Universitas Indonesia11.10Marxisme, Mohamad
Zaki Hussein, teoriLeave a Comment
Mohamad Zaki Hussein
Editor IndoProgress dan Anggota Partai Rakyat Pekerja
Dalam ilmu sosial, ada beragam metode analisa sosial. Tiap metode memiliki asumsi-asumsi teoritis
tertentu tentang hakikat dasar masyarakat (ontologi sosial). Demikian pula dengan Marxisme sebagai
metode analisa sosial. Asumsi ontologi sosial dari metode analisa Marxis adalah materialisme historis.
Di sini, kita akan membahas dua teori pokok materialisme historis, yaitupertama, teori tentang
hubungan antara masyarakat/struktur sosial dengan individu/agensi, dankedua, teori tentang relasi antara
infrastruktur (ekonomi) dengan suprastruktur (politik, budaya, hukum, dst.).
Relasi Masyarakat-Individu
Hubungan antara masyarakat dengan individu adalah salah satu masalah klasik dalam ilmu sosial. Ada
setidaknya tiga teori tentang persoalan ini. Teori yang pertama adalah teori yang menyatakan bahwa
masyarakat merupakan hasil dari tindakan intensional individu. Dengan demikian, fenomena sosial bisa
dijelaskan semata-mata dengan fakta-fakta tentang individu-individu. Yang biasa dianggap sebagai
representasi dari teori ini adalah Max Weber. Tetapi, Karl Popper juga pernah menyatakan bahwa
‘semua fenomena sosial...harus dipahami sebagai hasil dari keputusan, dst., individu-indvidu.’[1] Teori
ini biasa disebut dengan voluntarisme[2] ataumetodologi individualisme karena teori ini menganggap
individu sebagai makhluk otonom yang ’berkehendak bebas’ dan menjadi determinan dari masyarakat.
Gambar 1: Voluntarisme
Asumsi voluntaris bisa merasuk ke pikiran kita tanpa kita sadari. Teori konspirasi yang digandrungi
sebagian aktivis, misalnya, mengandung asumsi voluntaris di dalamnya. Berbagai fenomena dan
peristiwa sosial, mulai dari konflik etnis sampai Mogok Nasional serikat reformis, berusaha dijelaskan
sebagai hasil tindakan indivdu-individu konspirator sebagai determinannya, entah itu konspirasi
preman-militer, elit serikat dengan partai, dst. Yang tidak bisa dijelaskan oleh teori konspirasi adalah
kenapa massa mengikuti kemauan para konspirator? Kenapa etnis-etnis yang berkonflik terpicu oleh
para provokator? Kenapa jutaan massa buruh tumpah ruah ke jalan mengikuti seruan para elit serikat
reformis? Kelemahan teori voluntaris adalah pengabaiannnya atas faktor-faktor struktural/sistemik dan
penekanannya yang berlebihan terhadap ’kehendak’ individu dalam mengkonstitusikan sebuah
fenomena sosial.
Teori yang kedua memiliki logika yang berbanding terbalik dengan teori voluntarisme. Teori kedua ini
menyatakan bahwa masyarakat adalah sebuah kenyataan yang terlepas dari individu-individu di
dalamnya dan membentuk individu-individu di dalamnya. Teori ini bisa kita sebut dengan―meminjam
istilah Bhaskar―teori kolektivisme. Yang biasa dianggap sebagai representasi dari teori ini adalah Émile
Durkheim. Menurutnya, berbagai ‘fakta sosial,’ seperti sistem tanda atau bahasa, sistem nilai tukar, dan
sebagainya, “berfungsi di luar kebiasaan-kebiasaan yang saya lakukan.” Masyarakat memiliki cara
bertindak atau berpikirnya sendiri yang “tidak saja berada di luar individu, melainkan lebih dari itu,
memiliki kekuatan menyuruh dan memaksa terhadap individu terlepas dari kemauan
individualnya.”[3] Proses pembentukan individu oleh masyarakat ini biasa disebut dengan sosialisasi
atau internalisasi.
Gambar 2: Kolektivisme
Karena menganggap individu hanya sebagai efek dari masyarakat, teori kolektivisme mengalami
kesulitan ketika membahas perubahan sosial. Kalaupun ada pembahasan tentang perubahan sosial,
perubahan itu biasanya digambarkan sebagai sebuah ’proses alamiah’ tanpa ada peran individu-individu
di dalamnya. Yang berbahaya dari teori kolektivisme ini adalah implikasi politiknya. Jika individu
hanya dianggap sebagai otomaton yang memanifestasikan ‘hukum-hukum sosial’ yang berada di luar
diri mereka, dan perubahan sosial selalu merupakan sebuah ’proses alamiah’ tanpa ada peran individu-
individu di dalamnya, maka konsekuensi logisnya adalah tidak ada gunanya aktif secara politik, karena
apapun tindakan individual kita, kita tidak akan pernah bisa membuat perubahan sosial jika masyarakat
belum menghendakinya. Lebih baik menunggu masyarakat itu berubah sendiri. Implikasi dari teori
kolektivisme, dengan demikian, adalahfatalisme atau kepasrahan.
Marxisme sering ditafsirkan sepadan dengan teori kolektivisme. Beberapa perkataan Marx, kalau dilihat
secara parsial, memang bisa mengarah ke situ. Dalam Kata Pengantar untuk A Contribution to the
Critique of Political Economy, misalnya, ia mengatakan bahwa “Bukan kesadaran manusia yang
menentukan keberadaannya, tetapi keberadaan sosial manusia yang menentukan
kesadarannya.”[4] Pernyataan ini suka ditafsirkan menjadi mirip dengan teori kolektivisme, bahwa
manusia dan ide ditentukan secara satu arah oleh lingkungan material dan sosialnya. Tetapi, beberapa
perkataan Marx yang lain justru bertentangan dengan teori kolektivisme. Misalnya, dalam Concerning
Feuerbach, ia melontarkan kritiknya atas ”materialisme lama” yang mirip dengan teori kolektivis. Ia
menyatakan bahwa ”ajaran materialis mengenai perubahan keadaan dan pendidikan melupakan bahwa
keadaan dirubah oleh manusia.”[5]
Penulis sendiri menafsirkan bahwa teori Marx, meski menganggap masyarakat mengkondisikan
individu, tetapi individu pada gilirannya juga bisa merubah masyarakat. Perkataan Marx yang paling
mencerminkan teori ini mungkin adalah pernyataannya di The Eighteenth Brumaire of Louis
Bonaparte bahwa ”manusia membuat sejarah mereka sendiri, tetapi mereka tidak membuatnya sesuka-
suka mereka dalam kondisi yang mereka pilih untuk diri mereka sendiri; tetapi mereka membuatnya
dalam kondisi yang ada, terberi dan diwariskan dari masa lalu.”[6]Sejauh yang penulis ketahui, Marx
memang tidak pernah merumuskan pandangannya tentang hubungan masyarakat-individu secara
sistematis. Perkataan-perkataannya mengenai persoalan ini tersebar secara sporadis di berbagai
karyanya. Itulah kenapa terdapat perbedaan penafsiran atas hal ini. Namun, menurut hemat penulis,
penafsiran yang melihat hubungan timbal-balik masyarakat-individu lebih berguna daripada penafsiran
yang kolektivis, karena lebih bisa menjelaskan hal-hal yang sulit dijelaskan oleh teori kolektifis, seperti
perubahan sosial.
Teori yang melihat hubungan masyarakat-individu secara timbal-balik ini bisa kita sebut dengan
teori relasionisme, karena titik beratnya ada pada relasi. Masyarakat adalah kumpulan relasi antar
individu, sehingga masyarakat tidak bisa ada jika tidak direproduksi oleh individu-individu di
dalamnya. Namun, individu-individu di dalamnya juga dikondisikan oleh relasi-relasi yang melingkupi
mereka (masyarakat), yang seringkali tidak mereka ciptakan, tetapi sudah ada sebelum mereka lahir dan
diwarisi dari generasi sebelumnya, sehingga bersifat terberi bagi mereka. Meski demikian, individu-
individu ini pada gilirannya bisa merubah relasi-relasi tersebut. Di sini, penting untuk memaknai arti
kata ”dikondisikan” bukan sebagai hubungan kausal satu-arah, tetapi sebagai hubungan yang
memberikan tekanan dan batas-batas sekaligus pilihan bagi individu. Pilihan yang tersedia bagi
individu secara umum ada dua, yaitu reproduksi dan transformasi. Masyarakat cenderung menekan
individu untuk mereproduksi relasi-relasi sosial yang ada, tetapi juga memberikan pilihan bagi individu
untuk melakukan tindakan transformatif tertentu sejauh batas-batas yang dimungkinkan oleh relasi-
relasi sosial yang ada, di mana tindakan ini pada gilirannya bisa merubah relasi-relasi itu, termasuk
merubah batasan-batasan yang sebelumnya ada. Adanya pilihan ini dimungkinkan oleh karena
adanya kontradiksi dalam relasi-relasi sosial itu sendiri.
Sekalipun secara formal-abstrak, kita bisa mengatakan bahwa hubungan masyarakat dan individu
bersifat timbal-balik, tetapi secara historis, individu selalu lahir ke dalam relasi-relasi sosial tertentu
yang bersifat terberi dan diwariskan dari generasi sebelumnya. Artinya, ia selaludikondisikan terlebih
dahulu oleh masyarakat, baru kemudian bisa merubah masyarakat. Tindakan individu untuk merubah
masyarakat, dengan demikian, tidak pernah berangkat dari ‘ruang kosong.’ Adapun kapasitas individu
untuk merubah masyarakat itu bisa berbeda-beda dan bisa meningkat jika individu-individu
ini menyatu dalam sebuah kelompok atau sebagai sebuah kelas. Di sini, agensi tidak selalu harus
individu, tetapi bisa atau bahkan lebih sering berupa kelompok atau kelas sosial. Lalu, yang penting juga
untuk disebutkan di sini adalah hubungan antara alam dengan masyarakat yang mirip dengan hubungan
masyarakat-individu. Alam pada awalnya mengkondisikan masyarakat, tetapi masyarakat kemudian
bisa merubah alam. Meski demikian, berbeda dengan masyarakat yang selalu mensyaratkan individu
untuk bisa ada, alamtidak mensyaratkan adanya masyarakat atau manusia untuk bisa ada dan bekerja.
Gambar 3: Relasionisme
Di atas tadi, sudah dipaparkan secara singkat hubungan masyarakat/struktur dengan individu/agensi
menurut materialisme historis. Sekarang ini, kita akan masuk ke dalam pembahasan tentang bidang-
bidang yang ada dalam masyarakat. Sudah umum kiranya untuk membagi masyarakat (kumpulan relasi-
relasi sosial) ke dalam bidang-bidang, seperti ekonomi, politik, budaya, hukum, dsb. Dalam Marxisme
pun terdapat ’metafor bangunan,’ yaitu ’infrastruktur’ dan ’suprastruktur,’ untuk melihat bidang-bidang
ini beserta hubungan di antara mereka. Infrastruktur di sini merujuk ke ’ekonomi,' terutama produksi
dan reproduksi manusia, sementara suprastruktur, bisa dikatakan terdiri dari dua unsur, yaitu legal-
politis (negara dan hukum) serta budaya (ideologi, dst.). Sama seperti dalam persoalan hubungan
masyarakat-individu, terdapat perbedaan penafsiran di kalangan Marxis mengenai hubungan antara
infrastruktur dengan suprastruktur. Sebagian kalangan Marxis menganggap hubungan ini bersifat
’deterministik,’ di mana basis ekonomi menentukan secara satu arah suprastrukturnya.
Kalau kita coba lihat perkataan-perkataan Marx, lagi-lagi kita temukan ’ambiguitas.’ Kutipan yang
cukup sering digunakan untuk menguatkan tafsir ’determinisme ekonomi’ atas Marx adalah kata-
katanya dalam Kata Pengantar untuk A Contribution to the Critique of Political Economy:
”Dalam produksi sosial atas keberadaannya, manusia secara tak terhindarkan masuk ke dalam relasi-
relasi tertentu, yang terlepas dari kemauan mereka, yakni relasi produksi yang sesuai dengan tahap
tertentu dari perkembangan kekuatan produksi material. Totalitas relasi produksi ini mengkonstitusi
struktur ekonomi masyarakat, fondasi riil, yang darinya muncul suprastruktur legal dan politik, serta
bentuk-bentuk kesadaran sosial tertentu yang bersesuaian dengannya. Modus produksi dari kehidupan
material mengkondisikan proses kehidupan sosial, politik dan intelektual secara umum.... Pada tahap
perkembangan tertentu, kekuatan produktif material masyarakat akan berkonflik dengan relasi produksi
yang ada atau―ini hanya mengekspresikan hal serupa dalam hukum―relasi kepemilikan dalam
kerangka mana mereka bekerja selama ini.... Perubahan dalam fondasi ekonomi cepat atau lambat akan
mengarah kepada transformasi keseluruhan suprastruktur yang amat luas.... Tidak ada tatanan sosial
yang pernah hancur sebelum semua kekuatan produktif, yang untuknya tatanan itu memadai,
berkembang, dan relasi produksi baru yang superior tidak pernah menggantikan yang lama sebelum
sebelum kondisi material untuk keberadaannya telah matang dalam kerangka masyarakat yang lama.”[7]
Kalau kita lihat, memang ada gagasan tentang hierarki antar berbagai bidang dalam masyarakat yang
disebut di atas. Pertama, hirarki antara struktur ekonomi yang menjadi ”fondasi riilnya” dengan
”suprastruktur legal dan politik serta bentuk-bentuk kesadaran sosial” yang muncul dari fondasi riil ini
dan bersesuaian dengannya. Kalau fondasi ekonomi ini mengalami perubahan, maka keseluruhan
suprastruktur cepat atau lambat juga akan mengalami perubahan. Kedua, hirarki antara kekuatan
produktif dengan relasi sosial produksi dalam ranah ekonomi itu sendiri. Ini terlihat dari pernyataan
bahwa perubahan relasi produksi itu hanya dimungkinkan jika kekuatan-kekuatan produktif yang ada
memang telah matang.
Hubungan hirarki ini sering ditafsirkan sebagai hubungan kausal satu-arah, sehingga seakan-akan
suprastruktur bersifat pasif terhadap infrastruktur, dan dalam ranah ekonomi, seakan-akan relasi-relasi
produksi bersifat pasif terhadap kekuatan-kekuatan produktif. Konsekuensi logisnya, basis ekonomi atau
secara lebih khusus, kekuatan-kekuatan produktif, menjadi satu-satunya faktor yang menentukan.
Menurut penulis, penafsiran ini problematik, karena kalau kita periksa lagi, Engels juga pernah
membantah tafsir yang seperti ini. Dalam suratnya kepada J. Bloch, Engels menyatakan: ”Menurut
konsepsi materialis tentang sejarah, produksi dan reproduksi kehidupan riil pada akhirnya menjadi
faktor penentu sejarah. Marx atau saya tidak pernah menyatakan lebih dari itu. Sekarang, kalau
seseorang datang dan mendistorsi hal ini sehingga bermakna bahwa faktor ekonomi adalah satu-
satunya faktor yang menentukan, maka ia merubah proposisi pertama itu menjadi sebuah frase yang
tidak bermakna, abstrak dan absurd.”[8]
Memang agak sulit mengambil kesimpulan dari ’ambivalensi’ pernyataan Marx di atas. Tetapi, penulis
sendiri menafsirkan pemikiran Marx mengenai hubungan antara infrastruktur-suprastruktur mirip
dengan hubungan masyarakat-individu. Penafsiran ini, menurut hemat penulis, lebih berguna daripada
penafsiran yang deterministik, karena bisa menjelaskan hal-hal yang sulit dijelaskan oleh penafsiran
deterministik, seperti peran negara (suprastruktur) dalam memompa industrialisasi (infrastruktur), Jadi,
infrastruktur memberikan tekanan dan batas-batassekaligus pilihan bagi suprastruktur, tapi
suprastruktur pada gilirannya bisa bertindak balik dan merubah infrastruktur. Infrastruktur cenderung
menekan suprastruktur untuk mengambil bentuk-bentuk tertentu, tetapi juga memberikan pilihan bagi
suprastruktur untuk mengambil bentuk-bentuk lain sejauh batas-batas yang dimungkinkan oleh
infrastruktur tersebut, di mana suprastruktur dalam bentuk-bentuk tertentunya kemudian bisa ikut
mengubah infrastruktur, termasuk merubah batasan-batasan yang sebelumnya ada Adanya pilihan ini
dimungkinkan oleh karena adanya kontradiksi dalam infrastruktur dan suprastruktur itu sendiri.
Sekarang, kita perlu membahas isi dari infrastruktur itu sendiri untuk bisa lebih memahami hal-hal yang
kita bahas di atas. Di atas tadi, kita sudah menyebutkan adanya dua unsur dari infrastruktur,
yakni kekuatan produktif dan relasi produksi. Kekuatan produktif bisa dikatakan terdiri dari dua unsur
lagi, yaitu alat-alat produksi dan tenaga kerja, sementara relasi produksi adalah relasi sosial yang ada
antara orang-orang yang mengerjakan produksi tersebut. Dalam masyarakat berkelas, relasi produksi
mengambil bentuk relasi kelas yang basisnya adalah kepemilikan atas alat-alat produksi, sehingga
terkadang disebut juga sebagai relasi kepemilikan. Semua ini biasa disebut dengan cara atau modus
produksi. Sebenarnya dalam ranah infrastruktur ini, selain modus produksi, ada juga modus distribusi
pendapatan, pertukaran dan konsumsi. Namun, untuk sekarang, hal itu akan kita kesampingkan dulu.
Kemudian, di atas tadi, kita juga sudah sebutkan adanya kontradiksi dalam relasi-relasi sosial, baik di
tingkatan infrastruktur dan suprastruktur. Dan salah satu kontradiksi fundamental dalam masyarakat
berkelas adalah kontradiksi kelas, yang terletak di relasi produksi, tapi juga mengemuka dalam relasi-
relasi sosial di tingkatan suprastruktur (pertentangan-pertentangan politik, budaya, dst.).
Lalu, bagaimana hubungan antara kekuatan produktif dan relasi produksi? Seperti yang telah disinggung
di atas, ada hubungan hirarki antara kekuatan produktif dan relasi-relasi produksi. Tetapi, hubungan
hirarki ini tidak bisa ditafsirkan sebagai hubungan kausal satu arah, karena menyatakan demikian akan
membuat kita terjatuh bukan lagi ke determinisme ekonomi, tapi ke determinasi teknologi. Padahal
teknologi itu sendiri merupakan hasil kerja manusia. Menurut hemat saya, hubungan antara kekuatan
produktif dan relasi produksi mirip dengan hubungan infrastruktur-suprastruktur dan masyarakat-
individu. Jadi, kekuatan produktif memberikantekanan dan batas-batas sekaligus pilihan bagi relasi-
relasi produksi, di mana relasi-relasi produksi ini pada gilirannya bisa merubah situasi kekuatan
produktif yang ada, termasuk merubah batas-batas yang diciptakan oleh situasi kekuatan produktif yang
lama.