KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Masalah 1
BAB II PEMBAHASAN 2
A. Pengertian hukum dan sistem hukum 2
B. latar belakang sejarah sistem hukum di indonesia 5
C. sumber materiel hukum indonesia 9
D. Sumber formal hukum indonesia 9
E. aspek hukum dalam kegiatan ekonomi 11
BAB IV PENUTUP 13
A. Kesimpulan 13
DAFTAR PUSTAKA 14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Sejarah, Indonesia pernah terjebak dalam meposisikan hukum
dalam konteks sebagai alat pembangunan terutama pada nasa orde baru, yang
memang orientasi kebijakan ekonomi adalalah pada pertumbuhan ekonomi
tinggi untuk memancing devisa yang berkaitan erat dengan tatanan politik. Pada
hal ini hukum akhirnya terperangkap menjadi media untuk menekan kebijakan
negara tanpa koreksi, termasuk dalam pengaturan di bidang ekonomi yang
terperangkap dalam kapitalisme yang menguntungkan di pihak-pihak tertentu
yang dekat dengan kekuasaan.
Sistem hukum Indonesia tentu tidak menutup diri hanya untuk menerima
masukan dari satu sumber belaka. Artinya, nilai-nilai, asas asas, dan norma
norma yang dikenal dalam lingkup budaya, sosial, politik, dan ekonomi,
memiliki andil untuk memengaruhi materi hukum tersebut. Hal itu bisa disebut
dengan sumber hukum dalam arti materiel. Selain itu, sumber hukum formal
adalah faktor yang menjadikan suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum yang
berlaku umum.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hukum dan sistem hukum?
2. Bagaimana latar belakang sejarah sistem hukum di indonesia?
3. Apa saja sumber materiel hukum indonesia?
4. Apa saja sumber formal hukum indonesia?
5. Apa aspek hukum dalam kegiatan ekonomi?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian hukum dan sistem hukum.
2. Untuk mengetahui latar belakang sejarah sistem hukum di indonesia.
3. Untuk mengetahui sumber materiel hukum Indonesia.
4. Untuk mengetahui sumber formal hukum Indonesia.
1
5. Untuk mengetahui aspek hukum dalam kegiatan ekonomi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum dan Sistem Hukum
1. Pengertian Hukum1
a. Pengertian Ilmu Hukum
Menurut Abdul R. Saliman ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan
yang obyeknya hukum. Oleh karena itulah ilmu hukum akan
mempelajari segala hal yang berkaitan dengan hukum, mulai dari
pengertian subyek dan obyek hukum, tujuan hukum, peristiwa hukum,
sumber-sumber hukum, sistimatika hukum, hukum positif yang berlaku
pada suatu negara yang meliputi hukum pidana, hukum perdata, hukum
lingkungan, hukum ekonomi,dan hukum tata negara. Sedangkan Hukum
positif di Indonesia adalah keseluruhan hukum sebagai suatu sistem yang
berlaku di Negara Republik Indonesia.2
b. Pengertian Hukum
Menurut Kamus Hukum yang diterbitkan oleh Aneka Ilmu,
hukum sama dengan recht (Belanda) atau wet (Belanda), juga sama
dengan law yang berarti undang-undang atau serangkaian ketentuan-
ketentuan yang harus ditaati isinya dan bersifat mengikat, bila perlu
pelaksanaannya diberikan sanksi, proses pembuatannya diajukan dan
ditetapkan oleh DPR dan presiden atau kepala negara.
Sedangkan pengertian hukum menurut Utrecht adalah himpunan
peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata
tertib suatu masyarakat dan oleh karena itu harus ditaati oleh masyarakat.
Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian
hukum mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1) Merupakan kumpulan kaidah atau norma tingkah laku.
1
Arus Akbar S., Andi Farina, Aspek Hukum Dalam Ekonomi dan Bisnis (Edisis Revisi), (Jakarta; Mitra
Wacana Media, 2010), Hlm. 1-3.
2
Abdul R. Saliman, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004).
2
2) Aturan yang dibuat oleh pemerintah yang berwenang.
3) Berlaku untuk wilayah tertentu saja.
4) Berisi perintah dan larangan.
5) Adanya sanksi yang tegas.
6) Bersifat memaksa.
c. Pengertian Hukum Bisnis
Istilah hukum bisnis (Busnees Law) seringkali dikonotasikan
sama dengan hukum dagang, padahal hukum dagang hanyalah berkaitan
dengan aturan-aturan materil yang terdapat dan merujuk kepada Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (WvK). Bisnis diartikan sebagai suatu
“usaha dagang” atau “urusan” atau sebagai perusahaan komersial, profesi
atau perdagangan yang didirikan dengan tujuan untuk memperoleh
keuntungan. Suatu bisnis diciptakan oleh para entrepreneur yang
menempatkan uangnya dalam risiko tertentu untuk mempromosikan
suatu usaha dengan motif untuk mendapatkan keuntungan.
Dengan demikian, secara sederhana hukum bisnis adalah
keseluruhan hukum positif yang mengatur hak dan kewajiban yang
timbul dari berbagai perikatan dalam aktivitas bisnis.
d. Pengertian Hukum Bisnis Islam3
Hukum bisnis Islam terdiri dari tiga kata, yaitu hukum, bisnis,
dan Islam. Ketiga kata ini tersusun menjadi satu sehingga menjadi istilah
hukum bisnis Islam, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan bisnis
secara Islam. Pembahasan lebih detail sebagai berikut. Kata hukum
secara etimologi (bahasa) merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab,
yaitu يحكم – حكم- ( حكماhakama-yahkumu-hukman) bentuk jama’ (plural)-
nya adalah al-ahkam yang bermakna menetapkan putusan, ketetapan,
dan kekuasaan.
Kata bisnis merupakan serapan dari bahasa Inggris, yaitu
business, yang artinya urusan, usaha atau melakukan kegiatan yang
bermanfaat yang mendatangkan keuntungan dan berguna. Business
bentuk pluralnya adalah businesses, memiliki beberapa makna di
3
Abdurrahman Misno B.P., Modul 01 Pengertian, Sumber Hukum, dan Karakteristik Hukum Bisnis
Islam, Hlm. 1.4.
3
antaranya commercial activity involving the exchange of money for
goods or services (usaha komersial yang menyangkut soal penukaran
uang bagi produsen dan distributor (goods) atau bidang jasa (service).
Bisnis juga dapat didefinisikan sebagai segala usaha manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidup, yaitu berupa aktivitas produksi, distribusi,
konsumsi, dan perdagangan baik berupa barang maupun jasa. Bisnis
dalam khazanah Islam disebut dengan tijarah, yaitu perniagaan atau
usaha.4
Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin mendefinisikan bahwa Islam
itu adalah ketundukan kepada seluruh syariat Allah SWT dengan penuh
kepatuhan. Maksudnya adalah bahwa Islam bermakna penyerahan diri
secara total kepada syariat Allah Swt., melaksanakan seluruh perintah-
Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.5
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hukum
bisnis Islam adalah seperangkat aturan hukum yang berkaitan dengan
aktivitas bisnis yang didasarkan kepada syariat Islam.
2. Sistimatika Hukum
Secara umum hukum dibagi 2 (dua) yaitu:6
a. Hukum privat, meliputi:
1) Hukum Perdata
2) Hukum Dagang
3) Hukum Adat
b. Hukum Publik, meliputi:
1) Hukum Pidana
2) Hukum Tata Negara
3) Hukum Administrasi Negara
4) Hukum pajak
Apabila mempelajari aspek hukum dalam setiap aktivitas bisnis
atau memperhatikan dan mempelajari segala bentuk aturan-aturan yang
4
Ibid, Hlm. 1.5-1.6.
5
Ibid. Hlm. 1.10.
6
Arus Akbar S., Andi Farina, Aspek Hukum Dalam Ekonomi dan Bisnis (Edisis Revisi), (Jakarta; Mitra
Wacana Media, 2010), Hlm. 3.
4
mengatur aktivitas bisnis maka hukum bisnis ada di kedua wilayah
hukum yaitu baik hukum privat maupun hukum publik. Namun
demikian, hukum bisnis banyak berkaitan dan berpedoman kepada
ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam hukum perdata terutama hal-
hal yang berkaitan dengan aspek perjanjian-perjanjian atau perikatan-
perikatan.
Adapun aturan-aturan hukum perdata materil terdapat di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan diklasifikasikan menjadi:7
a. Hukum tentang orang
b. Hukum tentang kebendaan
c. Hukum tentang perikatan
d. Hukum tentang pembuktian dan daluarsa
7
Ibid, Hlm. 4.
5
Periode tahun 1890-1942 terjadi krisis ekonomi dan politik. Harga
produk pertanian merosot, sementara itu kaum liberal memegang tampuk
kekuasaan di Negeri Belanda. Penguasa baru ini ingin mengembangkan sikap
politik yang lebih manusiawi terhadap rakyat di tanah jajahan. Salah satu
perwujudan kebijakannya adalah berupa pendirian sekolah-sekolah untuk rakyat
pribumi, termasuk sekolah tinggi hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta.
Setelah tahun 1910 sampai dengan masuknya Tentara Pendudukan
Jepang (1942), studi-studi yang dirintis oleh ahli-ahli Belanda tersebut
diteruskan oleh generasi kedua yang berada di Indonesia. Mereka membuat
pembelaan-pembelaan bagi keberadaan hukum adat agar sejajar dengan hukum
barat. Di sisi lain mereka juga menolak anggapan yang menyamakan antara
hukum adat dan hukum Islam.
Melalui lembaran negara Tahun 1854 No. 129 dan Tahun 1855 No. 2
diberlakukan suatu peraturan yang menegaskan bahwa untuk golongan
penduduk asli (pribumi Indonesia) berlaku hukum agama, lembaga-lembaga,
dan kebiasaan-kebiasaan mereka, sejauh tidak bertentangan dengan asas asas
yang diakui umum tentang kepatutan dan keadilan. Artinya hukum barat tetap
lebih tinggi daripada hukum adat.
Pengakuan “setengah hati” terhadap eksistensi hukum adat ini dikritik
oleh banyak pembela hukum adat. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wesboek) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van
Koophandel), sudah dinyatakan berlaku sejak tahun 1847 untuk golongan Eropa,
namun ternyata tidak bisa sepenuhnya berlaku untuk golongan penduduk
lainnya. Satu-satunya kodifikasi yang berhasil diberlakukan untuk semua
golongan penduduk adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Werboek van
Strafrecht) pada tahun 1918.
Tahun 1925 diberlakukan kebijakan baru yang lebih kondusif bagi
perkembangan hukum adat di Indonesia. Melalui peraturan baru yang disebut
Indische Staatsregeling (IS), dinyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi
golongan penduduk asli Indonesia (pribumi) adalah hukum adat, sepanjang
kepentingan umum dan kepentingan sosial yang nyata dari mereka tidak
menghendaki lain. Dengan peraturan baru ini ingin ditunjukkan bahwa yang
6
dapat menyimpangi keberlakuan hukum adat itu bukan lagi karena
pertentangannya dengan hukum barat, melainkan kepentingan umum dan sosial
dari masyarakat pribumi itu sendiri.
Di antara penjajahan Belanda dan era kemerdekaan, memang pada tahun
1942-1945 terdapat masa pendudukan tentara Jepang. Mengingat demikian
singkat masa kekuasaan Jepang di Indonesia, tidak banyak warisan peraturan
yang diberikan. Peraturan yang disebut Osamu Seite No. 1 Tahun 1942 bahkan
memberi penegasan bahwa semua badan/ peraturan lama (maksudnya era Hindia
Belanda) masih berlaku sejauh sesuai dengan aturan Pemerintahan Militer
Jepang. Golongan-golongan penduduk yang dikenal dalam zaman Hindia
Belanda, yaitu Eropa, Timur Asing, dan Pribumi, masih tetap dianut oleh
Pemerintahan Militer Jepang Sekalipun demikian, Jepang membuat perubahan
dalam sIstem peradilan. Hanya ada satu sistem peradilan untuk seluruh golongan
penduduk (kecuali untuk warga negara Jepang).
Setelah Indonesia merdeka, ada keinginan kuat untuk menghapuskan
perbedaan golongan golongan penduduk tersebut. Namun, konsentrasi untuk
perbaikan sistern hukum ini belum dapat dijalankan sepenuhnya. Keinginan
untuk menghilangkan pluralisme hukum dirumuskan secara tegas dalam Pasal
102 Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) yang berlaku efektif per tanggal
17 Agustus 1950. Oleh karena kemelut politik yang berkepanjangan, maka
tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945.
Sejak Dekrit Presiden ini Indonesia memasuki era demokrasi terpimpin di
bawah kendali satu tangan Presiden Soekarno yang cenderung anti-barat,
Dapat diduga bahwa dalam era orde lama (Soekarno pasca Dekrit) ini keinginan
untuk membangun sistem hukum yang beridentitas ke Indonesiaan kembali
mencuat. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA) pun dikeluarkan dengan
mengadopsi cukup banyak unsur-unsur hukum adat. UUPA juga mencabut
sebagian ketentuan Burgerlijk Wetboek. Menteri Kehakiman ketika itu
(Sahardjoj) sampai mengeluarkan inisiatif untuk menyatakan Burgerlijk
Wetboek tidak lagi sebagai kitab undang-undang melainkan sekadar himpunan
hukum tidak tertulis. Atas inisiatif ini lalu Mahkamah Agung mengeluarkan
7
Surat Edaran No. 3 Tahun 1963 yang menegaskan tidak berlaku lagi sejumlah
peraturan Burgerlijk Wetboek.
Setelah tumbangnya pemerintahan Orde Lama, prioritas pembangunan
hukum di Indonesia menjadi lebih pragmatis. Pembangunan ekonomi dijadikan
sebagai target dengan indikator keberhasilan berupa pertumbuhan setinggi-
tingginya. Era ini juga ditandai dengan kontrol kekuasaan yang tidak berimbang
karena sangat besar berada di tangan eksekutif. Inisiatif pembuatan peraturan
perundang-undangan hampir seluruhnya dilakukan oleh pemerintah, sementara
parlemen cukup memberikan persetujuan.
Pendekatan era orde baru yang sangat sentralistis membuat hukum adat
tidak terlalu berkembang Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pemerintahan daerah, kota, dan desa, diseragamkan mengikuti pola yang ada di
Pulau Jawa. Unifikasi hukum memang tidak dijalankan melalui penciptaan
kodifikasi (kecuali Undang-Undang No mor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana), melainkan dengan modifikasi hukum. Artinya, undang-undang
baru diciptakan secara parsial yang dapat mencabut, mengubah, atau melengkapi
undang-undang yang sudah ada. Sementara itu, naskah naskah kodifikasi versi
baru yang telah dipersiapkan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Kitab Undang- Undang Hukum Acara
Perdata, dan Kitab Undang Undang Hukum Pidana, sama sekali tidak dianggap
sebagai prioritas.
Setelah reformasi hukum disuarakan pasca-kejatuhan Orde Baru,
kebutuhan terhadap kodifikasi hukum kembali mengemuka, namun sampai saat
ini belum pernah ada kodifikasi baru yang berhasil ditetapkan menjadi undang-
undang. Inisiatif pembuatan undang-undang pun dialihkan, tidak lagi di tangan
pemerintah melainkan ke tangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Di sisi lain, ada perkembangan baru yang cukup signifikan dalam
kaitannya dengan wajah sistem hukum Indonesia sekarang ini. Tuntutan daerah-
daerah untuk lebih diberi otonomi menjadikan pluralisme hukum kembali
mencuat. Saat ini, tiga pilar hukum yang menopang sistem hukum Indonesia,
yaitu hukum nasional (sebagian bercirikan bukum Barat), hukum adat, dan
hukum Islam, makin terlihat ke permukaan melalui semangat otonomi daerah,
8
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dimungkinkan menjalankan syariat Islam
bagi penduduk beragama Islam di daerah tersebut.
Kelompok masyarakat adat juga menuntut perhatian khusus. Ada tiga
jenis masyarakat adat yang strukturnya bersifat teritorial. Pertama. masyarakat
hukum desa, yaitu sekumpulan orang yang hidup bersama berasaskan pandangan
hidup, cara hidup, dan sistem kepercayaan yang sama. Masyarakatnya tinggal di
tempat yang sama dan diperintah serta tunduk pada pejabat desa. Kedua,
masyarakat hukum wilayah yang terdiri dari beberapa masyarakat hukum desa
dalam satu kesatuan wilayah yang lebih tinggi. Jenis ketiga adalah masyarakat
hukum serikat desa, yaitu suatu kesatuan sosial yang dibentuk oleh beberapa
masyarakat hukum desa demi kepentingan mereka dalam bidang-bidang
tertentu.
8
Shidarta, Dkk, Aspek Ekonomi Dan Bisnis, (Jakarta: Kencana,2018), Hlm. 12.
9
dikenal dalam lingkup budaya, sosial, politik, dan ekonomi, memiliki andil
untuk memengaruhi materi hukum tersebut.
9
Ibid, Hlm. 17-18.
10
Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum
tetap.
4. Traktat (Perjanjian Internasional)
Traktat adalah perjanjian yang dibuat antar negara yang dituangkan dalam
bentuk tertentu. Sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 11, yang
berbunyi, "Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.”10
5. Doktrin
Doktrin hukum adalah suatu pernyataan yang dituangkan ke dalam bahasa
oleh para ahli hukum. Hasil pernyataan tersebut disepakati oleh seluruh
pihak. Dalam pertimbangan hukum putusan pengadilan, seringkali hakim
menjadikan pendapat ahli-ahli yang terkenal sebagai alasan putusannya,
yaitu dengan mengutip pendapat-pendapat para ahli hukum tersebut.
10
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 11 Ayat 1.
11
Muchamad Taufiq, Aspek Hukum Dalam Ekonomi, (Media Nusa Creative (MNC Publishing), 2021),
Hlm. 5.
11
Ekonomi dapat didefinisikan sebagai segala tingkah laku manusia atau
segolongan masyarakat dalam usahanya memenuhi kebutuhan yang relatif tak
terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang terbatas. Kegiatan Ekonomi yang
terjadi di dalam masyarakat pada merupakan rangkaian berbagai perbuatan
hukum yang luas biasa banyak jenis, ragam, kualitas dan variasinya, yang
dilakukan oleh antara pribadi, antar perusahaan, antar negara dan antar
kelompok dalam berbagai volume dengan frekuensi yang tinggi setiap saat
diberbagai tempat.12
Aspek hukum di dalam kegiatan ekonomi
Dasar: Tujuan ekonomi
1. Hukum sebagai faktor eksternal yang bermanfaat.
2. Hukum dapat dimanfaatkan untuk mengamankan kegiatan dan tujuan
ekonomi yang akan dicapai.
3. Hukum sebagai alat mengawasi penyimpangan terhadap perilaku pelaku
ekonomi terhadap kepentingan lain.
4. Hukum dimanfaatkan untuk menjaga keseimbangan kepentingan dalam
masyarakat.
12
Ibid, Hlm. 6.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum berarti undang-undang atau serangkaian ketentuan-ketentuan
yang harus ditaati isinya dan bersifat mengikat, bila perlu pelaksanaannya
diberikan sanksi, proses pembuatannya diajukan dan ditetapkan oleh DPR dan
presiden atau kepala negara.
Sumber hukum dalam arti materiel adalah semua faktor-faktor yang
membantu pembentukan hukum, seperti faktor budaya, sosial, politik, dan
ekonomi. Di antara sumber-sumber tersebut, ada satu sumber yang disebut
sumber hukum dasar nasional, yakni Pancasila (sebagaimana tertulis dalam
Pembukaan UUD 1945) dan Batang Tubuh UUD 1945. Sumber hukum formal
adalah faktor yang menjadikan suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum yang
berlaku umum. Secara umum terdapat lima sumber formal hukum, yaitu
undang-undang, kebiasaan, putusan hakim (yurespundensi), traktat (perjanjian
internasional), dan doktrin.
Ekonomi dapat didefinisikan sebagai segala tingkah laku manusia atau
segolongan masyarakat dalam usahanya memenuhi kebutuhan yang relatif tak
terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang terbatas.
13
DAFTAR PUSTAKA
Misno B.P., A. (n.d.). Modul 01 Pengertian, Sumber Hukum, dan Karakteristik Hukum
Bisnis Islam.
Saliman, A. R. (2004). Esensi Hukum Bisnis Indonesia. Prenada Media: Jakarta.
Shidarta, Rasyid, A., & Sofian, A. (2018). Aspek Ekonomi Dan Bisnis. Jakarta:
Kencana.
Silondae, A. A., & Farina, A. (2010). Aspek Hukum Dalam Ekonomi dan Bisnis (Edisis
Revisi). Jakarta: Mitra Wacana Media.
Taufiq, M. (2021). Aspek Hukum Dalam Ekonomi. Media Nusa Creative (MNC
Publishing.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 11 Ayat 1.
14