PENDAHULUAN
1
yaitu Kota Surabaya, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Sidoarjo.
Menelik dari laju pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur, Kabupaten
Bojonegoro menduduki peringkat pertama dibandingkan dengan
Kabupaten Jember, Malang atau Kabupaten/Kota lainnya (Dinas
Koperasi Usaha Kecil dan Menengah Provinsi Jawa Timur, 2019). Di
Kabupaten Bojonegoro pertumbuhan ekonomi memberikan kontribusi
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 10,26%.
Potensi yang luar biasa yang dimiliki UMKM sudah selayaknya
diintervensi melalui program yang terukur agar UKM terus menghadapi
perubahan cepat dalam operasional bisnisnya, sehingga mereka terpaksa
beradaptasi dengan metode-metode baru dalam menjalankan bisnis dan
meninggalkan cara-cara tradisional yang selama ini digunakan. Upaya
tersebut dilakukan dengan tujuan meningkatkan eksistensi merek dan
kesadaran merek tetap terjaga. Minimnya program pemberdayaan dan
tempat fasilitasi UMKM menjadi tantangan tersendiri terkhusu bagi UMKM
di Kabupaten Bojonegoro. Jumlah UMKM yang melimpah tidak selaras
dengan program pemberdayaan dan fasilitasi yang diberikan pemerintah
daerah.
Fenomena tersebut menjadi tidak sejalan dengan teori yang
disampaikan Adrian & Mulyaningsih (2017) bahwa sebesar 74% kinerja
usaha dipengaruhi oleh pendampingan usaha dan 26% lainnya
dipengaruhi oleh faktor lain, seperti sumber daya manusia
dan kompetensi kewirausahaan. Berdasarkan data yang diperoleh dari
Dinas Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro sepanjang tahun 2020
program pendampingan hanya dilakukan di wilayah pusat Kabupaten
Bojonegoro, dan untuk wilayah pinggiran kabupaten masih belum dilirik
secara mendalam. Selain itu, program tersebut sempat mengalami
pemberhentian sementara dengan alasan adanya beberapa problematika.
Mengamati hal tersebut secara tidak langsung memberikan tantangan baru
bagi pelaku UMKM dalam membangun brand awareness (kesadaran merek)
mereka terutama diera digital saat ini. Salah satu faktor yang dapat
2
mempengaruhi brand awareness adalah strategi komunikasi yang digunakan
oleh UMKM. Dalam hal ini, kolaborasi dengan berbagai stakeholder dalam
mendorong potensi dan kualitas UMKM agar tetap tumbuh dan tidak
terhenti ditengah jalan dapat menjadi solusi yang efektif.
Menurut Widjajanti (2015) Kolaborasi berperan penting dalam
pertumbuhan industri kreatif karena dapat membantu pengusaha kecil
mengembangkan jaringan dan hubungan pemasaran. Sebagian besar
perusahaan berkolaborasi dengan tujuan meningkatkan keuntungan dalam
jangka pendek dan mencapai kinerja unggul yang berkelanjutan dalam
jangka panjang. Sebagai salah satu strateginya, sebagian besar UMKM telah
mengadopsi kolaborasi strategis untuk mengatasi kekurangan mereka
(Mestry & Grobler, 2012).
Menurut Audretsch dkk (2023) menjelaskan bahwa kolaborasi
memiliki tujuan esensial bagi UMKM yaitu sebagai jembatan atas
kesenjangan dalam inovasi terbuka bagi UMKM sehingga mampu
meningkatkan keterampilan dalam memanfaatkan produk dan teknologi
yang saling melengkapi. Selain itu melalui kolaborasi UMKM mampu
memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang berorientasi pasar dari
pelanggan untuk memposisikan produk dengan lebih baik di pasar dan
mempertahankan atau memperoleh keunggulan kompetitif (Teece, 1992).
Melalui kolaborasi juga dapat membantu UMKM mengatasi keterbatasan
sumber daya mereka membangun legitimasi dan kredibilitas, dan
mengembangkan kemampuan untuk masuk internasional dengan risiko yang
lebih rendah. Oleh karena itu, UKM harus mulai memikirkan kolaborasi
sebagai strategi yang dapat diandalkan untuk bertahan dalam lingkungan
yang kompetitif (Coviello et.al., 2001).
Interaksi kolaborasi antara masing-masing pemangku kepentingan
yang dilakukan UMKM memungkinkan melampaui batas sektoral.
Sehingga perlu dipertimbangkan bahwa dalam konteks pengembangan yang
dilakukan pemerintah daerah menjadi semakin kompleks, dimana kolaborasi
dalam pemberdayaan UMKM tidak terbatas pada salah satu dinas saja
3
melainkan layak dimasukan dalam perencanaan strategi pemangku
kepentingan lintas sektor. Pengembangan lintas sektor bertujuan untuk
meningkatkan kapasitas penyerapan pengetahuan yang lebih luas melalui
proses saling belajar. Hal tersebut dilakukan karena keterbatasan
pengetahuan sumber daya internal dalam penelitian dan pengembangan serta
pengaplikasian teknologi terkini secara mandiri (Teixeira et.al., 2008).
Selain itu melalui kolaborasi yang luas diharapkan mampu memberikan
pengetahuan dan keahlian yang bersumber dari eksternal mitra dan untuk
mengurangi biaya inovasi (Vahter et.al., 2014).
Menurut Koschmann, M. A., & Kopczynski, J. (2017) kolaborasi
menjadi penting dalam proses komunikasi pemangku kepentingan
(Stakeholder Communication) memerlukan proses interaksi dalam
mengelola hubungan dengan pemangku kepentingan, dan dengan demikian
merupakan pusat kelangsungan hidup, pertumbuhan, keunggulan kompetitif,
kepatuhan hukum, dan tanggung jawab etika bisnis. Kolaborasi komunikasi
disini sudah selayaknya dilakukan secara berkala dan melibatkan berbagai
pihak, seperti pemerintah daerah, dinas setempat, pelaku industri, lembaga
pendidikan, dan masyarakat umum. Dengan bekerja sama, mereka dapat
saling memperkuat upaya untuk meningkatkan brand awareness UMKM.
Menanggapi permasalahan tersebut pemerintah Pemprov Jatim
menggagas terobosan baru dengan menyediakan wadah fasilitasi bagi
UMKM yaitu EJSC. East Java Super Corridor (EJSC) merupakan wadah
fasilitasi yang bertujuan untuk meningkatkan konektivitas dan pertumbuhan
ekonomi di Jawa Timur yang berada di bawah naungan Badan Koordinasi
Wilayah (Bakorwil) Jawa Timur untuk mendekatkan Pemerintah Daerah
Provinsi (Pemprov) Jawa Timur dengan masyarakat. EJSC hadir di lima
wilayah kantor Bakorwil Jawa Timur diantaranya EJSC Bakorwil
Bojonegoro di Kabupaten Bojonegoro, EJSC Bakorwil Madiun di Kota
Madiun, EJSC Bakorwil Malang di Kota Malang, EJSC Bakorwil
Pamekasan di Kabupaten Pamekasan. Kehadiran EJSC memiliki potensi
besar untuk mendukung UMKM dalam memperluas jangkauan pasar dan
4
meningkatkan kualitas UMKM di Kabupaten Bojonegoro. EJSC memiliki
program unggulan yaitu sebagai penyedia layanan-layanan diantaranya
menyelenggarakan pelatihan bagi UKM/ IKM/ Ekonomi Kreatif. Program
ini khusus untuk kaum muda untuk mengembangkan diri, menciptakan
lapangan kerja, menumbuhkan Start-Up, menjamin bantuan bagi produksi
dan distribusi produk-produk inovasi anak muda serta membantu promosi
bagi usahawan muda. Inovasi berdirinya EJSC menjadi warna baru bagi
UMKM dalam kolaborasi pengetahuan yang lebih luas.
Berdasar latar belakang yang telah dipaparkan, penelitian ini bertujuan
untuk meninjau, menganalisis secara kritis bagaimana komunikasi
kolaborasi dalam mendorong brand awareness umkm melalui East Java
Super Corridor Bakorwil Bojonegoro dengan menggunakan perspektif
komunikasi kolaborasi. Menelaah dari sudut pandang kebaruan penelitian,
disini nampak menunjukan bagaimana sebuah proses komunikasi
stakeholder menjadi landasan dari berjalannya sebuah program
pemberdayaan UMKM. Berbeda dengan penelitian semacam ini yang
biasanya dikaji dalam perspektif secara administrasi, penelitian ini dikaji
dengan dari sudut pandang aspek-aspek komunikasi dari sebuah program
yang sedang berlangsung. Aspek komunikasi yang ditelaah disini tidak
hanya satu pihak, melainkan disini melibatkan pihak internal dan eksternal
dan hubungan antara East Java Super Corridor dengan pemangku
kepentingan lainnya.
Dengan mempraktekan teori kolaborasi dan stakeholder
communication dalam proses komunikasi dapat dilihat terdapat beberapa
peran dari masing-masing dinas yang terlibat Kerjasama dengan EJSC
Bakorwil Bojonegoro. Pengaruh yang berbeda dari aspek komunikasi dapat
dirasakan dari program yang digagas untuk UMKM di Kabupaten
Bojonegoro itu sendiri. Selain itu penelitian ini menggunakan pendekatan
studi kasus terkait fokus penelitian terhadap EJSC Bakorwil Bojonegoro.
Pemilihan pendekatan ini dengan tujuan menelaah lebih dalam keunikan
dari pola komunikasi organisasi Lembaga tersebut dalam mengelola relasi
5
dengan para stakeholder. Pemilihan metode ini dirasa relevan dengan
penelitian yang timbul dari adanya EJSC yang merupakan bentuk terobosan
baru yang digagas pemerintah provinsi jawa timur atas permasalahan
minimnya wadah fasilitasi dan pemberdayaan bagi UMKM daerah salah
satunya di Kabupaten Bojonegoro. Melalui studi ini juga dapat melihat
berbagai macam gejala dan dasar serangkaian program yang digagas dari
sudut pandang ilmu komunikasi. Lebih dalam dengan pemilihan model
pentahelix stakeholder sebagai media analisis untuk menunjukan bagaimana
proses komunikasi yang timbul dari upaya peningkatan kompetensi, melalui
strategi kolaborasi, dan mengamati strategi pemasaran seperti apa yang
dijalankan dapat berjalan optimal di program East Java Super Corridor ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah diatas, maka dapat
disimpulkan perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana
praktik komunikasi kolaboratif dengan para stakeholder secara internal dan
eksternal dalam mendorong pemberdayaan UMKM melalui East Java Super
Corridor Bakorwil Bojonegoro?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui praktik komunikasi
kolaboratif dengan para stakeholder secara internal dan eksternal dalam
mendorong pemberdayaan UMKM melalui East Java Super Corridor
Bakorwil Bojonegoro.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah manfaat secara teoritis dan
secara praktis:
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan gambaran dan wawasan mengenai proses Collaborative
Stakeholder yang diterapkan EJSC Bakorwil Bojonegoro.
6
b. Menambah kontribusi pada pemahaman teoritis yang berbeda bagi
pengembangan kajian komunikasi organisasi, komunikasi stakeholder dan
terkhusus komunikasi kolaboratif.
c. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam praktik
kajian tentang collaborative stakeholder.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan panduan praktis bagi UMKM tentang bagaimana dalam
meningkatkan kompetensi usaha melalui komunikasi kolaboratif.
b. Menambah rekomendasi dan pertimbangan bagi pemerintah, lembaga
pemberdayaan dan pengembangan UMKM, ataupun lembaga lainnya
dalam melakukan komunikasi kolaboratif terkait pengembangan
komunikasi stakeholder.
c. Memberikan pengetahuan baru dalam bidang komunikasi dan pemasaran
yang dikemas dalam kajian collaborative stakeholder terutama dalam
konteks UMKM.
7
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Landasan Teori
8
dari komunikasi top-down hanya mempunyai satu arah saluran, yaitu
tidak memberikan umpan balik dari pekerja dalam organisasi.
Hipotesisnya adalah jika pekerja mengetahui apa yang diketahui manajer,
maka mereka akan memaksakan diri untuk menyelesaikan permasalahan
organisasi atau perusahaan.
9
1.1.1 Teori Sistem ( Teori Komunikasi Organisasi)
Menurut Littlejohn & Foss (2009) teori sistem dalam komunikasi
organisasi ini tidak lagi menggolongkan komunikasi sebagai sesuatu
yang berlangsung di dalam suatu organisasi, tetapi sebaliknya
komunikasi adalah proses di mana pengorganisasian terjadi. Pendekatan
sistem dalam komunikasi organisasi melihat organisasi sebagai
organisme kompleks dan meninjau interaksi dengan lingkungan eksternal
sebagai hal yang penting dalam proses bertahan hidup (Miller, 2009).
Proses pertukaran menjadi hal yang penting dalam pendekatan ini, yang
mana konsep input-proses-output mengidentifikasi bagaimana proses ini
diidentifiikasi di dalam sistem.
Menurut Scott (dalam Pace dan Faules, 2010) menyatakan bahwa
satu-satunya cara yang bermakna untuk mempelajari organisasi adalah
sebagai suatu sistem. Ia mengemukakan bahwa bagian-bagian penting
organisasi sebagai sistem adalah individu dan kepribadian setiap orang
dalam organisasi; struktur formal, pola interaksi, pola status dan peranan
yang menimbulkan pengharapan-pengharapan dan lingkungan fisik
pekerjaan. Jadi, dalam penelitian ini, gaya kepemimpinan yang termasuk
dalam sebuah peranan yang menimbulkan pengharapan-pengharapan dan
merupakan bagian penting dalam organisasi.
Proses penghubung utama dalam bagian-bagian tersebut adalah
komunikasi. Konsep sistem berfokus pada bagian-bagian dan dinamika
hubungan yang menumbuhkan kesatuan atau keseluruhan. Setiap
pembahasan mengenai sistem menyangkut interdependensi.
Interdependensi menunjukan bahwa terdapat kesalingbergantungan di
antara komponen-komponen suatu sistem. Suatu perubahan dalam suatu
komponen membawa perubahan pada setiap komponen lainnya.
Pemahaman atas konsep interdependensi ini merupakan bagian integral
dari pendefinisian sistem dan teori sistem (Pace, R. W., & Faules, D. F.,
10
2005). Secara mendasar sistem dikarakteristikkan dengan input-
throughput-output (Farace, Monge & Russell, 1997). Artinya, suatu
sistem memasukkan (input) material atau informasi dari lingkungan
melalui batas-batasnya yang permeable. Sistem kemudian bekerja pada
input ini dengan semacam proses transformasional, yaitu hasil
(tthroughput). Akhrnya, sistem mengembalikan luaran (output) yang
diubah ke lingkungan.
Dua jenis proses mencirikan operasi input-throughput-output.
Pertama adalah proses pertukaran, yang terlihat baik dalam aktivitas
input maupun output. Artinya, baik input material dan informasi, maupun
output dari material dan nformasi yang diubah memerlukan proses
pertukaran dengan lingkungan di luar sistem. Beberapa organisasi
memiliki batas yang sangat permeable untuk memfaslitasi proses
pertukaran, sedangkan yang lain relative tertutup.
Proses yang kedua yaitu umpan balik, yang sangat penting untuk
bagian throughput dari fungsi organisasi. Throughput melibatkan
komponen yang saling bergantung dari suatu sistem yang bekerja
bersama. Umpan balik adalah informasi yang membantu memfasilitasi
fungsi komponen sistem yang saling bergantung. Dua jenis umpan balik
penting untuk fungsi sistem. Umpan balik pertama yaitu umpan balik
negatif dan umpan balik korektif, atau umpan balik pengurang
penyimpangan. Umpan balik ini membantu mempertahankan fungsi
sistem. Yang kedua adalah umpan balik positif, pertumbuhan, atau
penguatan penyimpangan. Umpan balik ini adalah informasi yang
berfungsi untuk mengubah fungsi sistem melalui pertumbuhan dan
perkembangan. Umpan balik semacam ini berfungsi untuk mengubah
seluruh sistem daripada mempertahankan sistem.
11
orang-orang itu sendiri, memungkinkan suatu organisasi bertahan jauh
lebih lama daripada orang-orang biologis yang menduduki jabatan-
jabatan dalam organisasi. Maksud dari pernyataan ini adalah hubungan di
antara orang-orang dalam suatu organisasi penting dibandingkan dengan
hubungan yang berdasarkan jabatan-jabatan atau hubungan secara
prosedur formal. Katz dan kahn menerangkan bahwa kebanyakan
interaksi dengan orang lain merupakan tindakan komunikatif. Mereka
menyatakan bahwa adalah mungkin untuk menggolongkan bentuk-
bentuk interaksi sosial seperti penggunaan kerja sama, pengaruh,
penularan sosial atau peniruan, dan kepemimpinan ke dalam konsep
komunikasi.
Jadi, pada pandangan ini komunikasi dianggap sebagai proses
penghubung utama dalam organisasi. Dan dinyatakan bahwa salah satu
bentuk interaksi sosial yaitu kepemimpinan. Dalam penelitian mengenai
aliran informasi vertikal dan horizontal dalam divisi humas ini, tentunya
komunikasi merupakan proses penghubung yang juga penting dan di
dukung oleh salah satu bentuk interaksi sosial yaitu kepemimpinan.
Menurut Hawes (dalam Pace dan Faules, 2010) mengatakan bahwa
suatu kolektivitas sosial adalah perilaku komunikatif yang terpolakan,
perilaku komunikatif tidak terjadi dalam suatu jaringan hubungan tetapi
merupakan jaringan itu sendiri. Maksud pernyataan ini adalah perilaku
komunikatif berupa komunikasi adalah organisasi itu sendiri. Daniel Katz
bersama-sama dengan Herbert A. Simon, Robert L. Kahn dan James
G.Miller merupakan figur utama dalam aliran perilaku organisasi dengan
pendekatan sistem.
Pendekatan sistem khususnya memusatkan perhatian pada sistem
terbuka (Open Sistem). Katz dan Khan dalam (Romli, 2014)
memaparkan bahwa suatu sistem terbuka memiliki batas-batas yang
fleksibel yang memungkinkan komunikasi mengalir dengan mudah ke
dalam dan keluar organisasi. Dalam pendekatan ini, komunikasi
ditempatkan sebagai sesuatu yang penting. Komunikasi dalam organisasi
12
menghubungkan beberapa subsistem. Ditemukannya peran penting
komunikasi membawa dukungan yang tinggi pada penampahan informasi
sebagai jalan keluar untuk banyak masalah organisasi. Komunikasi yang
makin meningkat dan makin baik, merupakan slogannya (Romli, 2014).
Penelitian ini menggunakan teori sistem sosial katz dan kahn
karena dalam teori ini disebutkan bahwa bentuk-bentuk interaksi sosial
seperti Penggunaan kerja sama, pengaruh, penularan sosial atau peniruan,
dan kepemimpinan ke dalam konsep komunikasi (Pace dan Faules,
2010). Terdapat kepemimpinan sebagai salah satu bentuk interaksi sosial
dalam konsep komunikasi. Selain itu teori sistem yang memusatkan
perhatian pada sistem terbuka dengan slogan komunikasi makin
meningkat dan makin baik sesuai dengan peran pemimpin dalam
pendistribusian pesan kepada bawahan guna mendukung aliran informasi
vertikal dan horisontal.
13
komunikasi kolaboratif. Definisi komunikasi kolaboratif dari penelitian
dalam konteks pembeli-pemasok (Joshi, 2009) hingga waralaba, dan
mendefinisikannya sebagai sejauh mana pemilik waralaba berkomunikasi
untuk mempengaruhi pewaralaba secara sering, formal, rasional, dan
timbal balik.
Frekuensi komunikasi didefinisikan sebagai jumlah kontak antara
waralaba dan pewaralaba, mewakili elemen penting dalam pertukaran
sosial karena hubungan yang dirancang dengan sangat hati-hati akan
hancur tanpa komunikasi yang baik dan sering (Bleeke & Ernst, 1993).
Komunikasi yang sering menandakan ikatan yang erat dan berkomitmen
(Huber & Daft, 1987), mengurangi biaya operasional (Cannon &
Homburg, 2001), mengurangi konflik organisasi, dan meningkatkan
kohesi antar tim (Peters & Fletcher, 2004).
Umpan balik dan timbal balik mengacu pada komunikasi di mana
pewaralaba dan pewaralaba berbicara, bukannya saling berbicara satu
sama lain, menekankan pentingnya percakapan dua arah (Joshi, 2009).
Mitra pertukaran memberikan lebih banyak waktu kepada mitra yang
memiliki umpan balik yang baik (Anderson, Lodish, & Weitz, 1987).
Umpan balik mengurangi ketidakpastian dan ambiguitas (Daft & Lengel,
1986) dan berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan (Huselid,
1995).
Formalitas komunikasi mengacu pada sejauh mana kontak antara
franchisor dan franchisee dilakukan secara rutin, terencana, atau
terstruktur dibandingkan dengan kontak yang tidak terencana, cepat
berlalu, atau cepat berlalu (Mohr, Fisher, & Nevin, 1996). Formalitas
komunikasi seringkali memberikan penilaian terhadap rutinitas dan
struktur komunikasi yang mendasarinya (Carr & Pearson, 1999).
Komunikasi informal terwujud dalam sejarah pertukaran sosial dan tetap
unik dalam setiap hubungan. Seringkali dimaksudkan untuk mengubah
keyakinan dan sikap. Sifat komunikasi informal mengarah pada
lingkungan di mana pasangan dapat saling mendukung dan membina.
14
Sebaliknya, komunikasi formal lebih langsung dan berupaya mengubah
perilaku dengan menyiratkan atau meminta tindakan tertentu (Peters &
Fletcher, 2004). Hal ini juga secara positif mempengaruhi hubungan
pertukaran baik dari sudut pandang pembeli dan penjual (Carr &
Pearson; Prahinski & Benton, 2004).
Komponen terakhir, rasionalitas komunikasi, didefinisikan sebagai
situasi di mana pemilik waralaba menyampaikan alasan disertai dengan
informasi yang mendukung agar penerima waralaba dapat memenuhi
permintaannya (Payan & McFarland, 2005). Mirip dengan strategi
pengaruh persuasi informasi Gundlach dan Cadotte (1994), rasionalitas
mewakili strategi pengaruh non-koersif yang memastikan struktur
argumen lengkap (terdiri dari tiga elemen struktural klaim, data, dan
jaminan). Berdasarkan penelitian sebelumnya menunjukan bahwa strategi
ini jauh lebih efektif dibandingkan strategi lain dan mempunyai dampak
positif terbesar terhadap kepatuhan (Payan & McFarland). Dengan
demikian, rasionalitas komunikasi kemungkinan besar berpengaruh
positif terhadap hubungan pertukaran sosial.
1. Komunikasi Kolaboratif – Hubungan Komitmen
Menurut Mohr & Spekman, (1994) Komunikasi sering kali
dianggap sebagai unsur penting dalam hubungan sosial, dan merupakan
dasar untuk memperoleh komitmen. Sebagai upaya peningkatan
komitmen dalam organisasi diperlukan komunikasi suportif (Leiter &
Maslach, 1988). Sebagaimana ditunjukkan oleh meta- analisis penelitian
komitmen yang menunjukkan komunikasi sebagai anteseden dengan
kapasitas tertinggi untuk memprediksi komitmen (Mathieu & Zajac,
1990).
Setelah perusahaan menjalin hubungan, komunikasi antara mitra
pertukaran dapat mempengaruhi hasil seperti komitmen. Hal ini tetap
sejalan dengan salah satu prinsip dasar SET yang mengatakan bahwa
interaksi pertukaran menghasilkan hasil ekonomi dan sosial. SET
menunjukkan bahwa hasil positif yang berkelanjutan dari waktu ke waktu
15
meningkatkan kepercayaan perusahaan terhadap mitra dagangnya dan
komitmen mereka terhadap hubungan pertukaran (Lambe et al., 2001).
Jika hasil komunikasi tetap positif, kemungkinan besar hal tersebut akan
meningkatkan tingkat komitmen. Komunikasi mengurangi konflik peran
dan ambiguitas dalam mendorong pemecahan masalah bersama, dan
menciptakan sinergi antar mitra (Cummings, 1984), yang semuanya
memberikan bukti berkomitmen perilaku (Mohr & Spekman, 1994).
Seperti yang diilustrasikan pada model teori komunikasi kolaborasi
ketiga dimensi komitmen yang menjadi dasar dan sudah selayaknya
ditingkatkan.
16
Selain itu, jaringan dengan penutupan yang tinggi (Coleman, 1988)
karena interkoneksinya yang luas memfasilitasi pertukaran informasi dan
pengembangan norma-norma umum di antara para mitra, yang
mempunyai dampak positif jangka panjang terhadap kinerja (Soda et al.,
2004). Keuntungan serupa dari kolaborasi antar organisasi juga diperoleh
mitra dalam kemitraan nirlaba dan lintas sektoral (Gray, 1989). Menurut
Huxham (1996) terdapat tiga faktor umum memotivasi organisasi untuk
mencari mitra lintas sektoral. Pertama, kolaborasi memungkinkan
organisasi mencapai sesuatu yang tidak dapat dicapai dengan cara lain.
Kedua, kolaborasi membantu organisasi mengatasi masalah sosial atau
lingkungan makro, yang tidak dapat diselesaikan oleh organisasi mana
pun yang bertindak sendiri, yang merupakan alasan penting bagi
kemitraan sosial. Ketiga, organisasi dapat memperoleh keuntungan
adaptif melalui kolaborasi. Artinya, organisasi dapat terlibat dalam
kolaborasi sebagai sebuah adaptif respons terhadap kompleksitas
lingkungan, ketidakpastian, atau turbulensi menunjukkan bahwa di antara
jaringan kesehatan mental komunitas, jaringan yang lebih dekat satu
sama lain memiliki penyampaian layanan yang lebih efektif (Emery dan
Trist, 1965).
1 Implikasi Terhadap Teori Pemangku Kepentingan
Mengkaji kolaborasi antar organisasi, dan khususnya kemitraan
sosial, unsur-unsur teori pemangku kepentingan deskriptif dan
instrumental dipertanyakan. Misalnya, teori pemangku kepentingan
berasal dari teori alternatif perusahaan, dengan organisasi sebagai fokus
hubungan pemangku kepentingan. Sebaliknya, kemitraan sosial
merupakan bentuk relasional yang unik dalam beberapa hal. Terdapat
tiga indikator fokus pada teori pemangku kepentingan. Pertama, unit
analisisnya adalah kolektivitas organisasi-organisasi yang berkumpul
untuk memecahkan masalah-masalah yang berantakan yang biasanya
tidak dapat diselesaikan oleh satu organisasi yang bertindak sendiri
(Waddock, 2002). Meskipun masing-masing organisasi mempunyai
17
tujuan yang berbeda (seringkali bertentangan), fokusnya adalah pada
kolektivitas, bukan pada organisasi individual mana pun.
Kedua, kemitraan sosial melibatkan serangkaian hubungan yang
luas, ada yang tumbuh menjadi hubungan kontrak formal dan ada pula
yang datang dan pergi dengan cara yang kurang formal seiring
berjalannya waktu (misalnya, kontrak sosial antar pemangku
kepentingan). Faktor pembeda ketiga adalah komponen sosial dalam
kemitraan. Dengan demikian, tujuan proyek tidak dapat dicapai tanpa
interaksi dan kolaborasi dalam kolektivitas organisasi dan sifat serta
proses interaksi itulah yang menjadi perhatian dalam perspektif
kemitraan sosial. Keempat, dan yang terakhir terdapat beberapa
hubungan yang merupakan bagian integral dari kemitraan sosial bersifat
interimistik dan melibatkan sejumlah organisasi pemerintah dan swasta
sebagai pemangku kepentingan (Lambe et.al, 2000).
Mengikuti Freeman (1984), pemangku kepentingan mencakup
setiap orang, kelompok, atau organisasi yang mempengaruhi dan/ atau
terkena dampak keputusan suatu organisasi. Mengingat berbagai jenis
hubungan organisasi keberadaan pemangku kepentingan, diidentifikasi
sebagai wujud strategi untuk mengelola pemangku kepentingan dari
sudut pandang fokus organisasi (Jawahar dan McLaughlin, 2001). Serta
bagaimana pemangku kepentingan dapat mempengaruhi keputusan
organisasi (Frooman dan Murrell, 2005).
Sedangkan dari sudut pandang kemitraan sosial, teori yang
mengkaji hubungan jaringan pemangku kepentingan tampaknya paling
relevan. Sebuah jaringan pertukaran relasional interimistik didefinisikan
sebagai hubungan pertukaran yang erat, kolaboratif, berkembang pesat,
dan berumur pendek di mana perusahaan mengumpulkan keterampilan
atau sumber daya mereka untuk mengatasi peluang dan ancaman bisnis
yang bersifat sementara, meskipun penting (Rowley dan Moldoveanu,
2003).
18
Menurut Rowley (1997) Perspektif ini lebih dari sekedar mengkaji
hubungan diadik antara pemangku kepentingan dan fokus pada
bagaimana hubungan pemangku kepentingan mempengaruhi kemitraan
sosial. Struktur hubungan antar pemangku kepentingan mempengaruhi
tindakan organisasi fokus, atau dalam penelitian kami, kemitraan sosial
dan tujuannya. Secara khusus, Rowley berpendapat bahwa kepadatan
hubungan dalam jaringan pemangku kepentingan dan sentralitas
organisasi fokus dalam jaringan tersebut menentukan kapasitas organisasi
untuk menolak tuntutan pemangku kepentingan. Dari perspektif
kemitraan sosial, jaringan hubungan pemangku kepentingan menentukan
apakah pemangku kepentingan tertentu dapat mendominasi kemitraan,
berada di bawah kekuasaan kemitraan, atau tergabung dalam kemitraan.
Menuet Rowley dan Moldoveanu (2003) berpendapat bahwa
pemangku kepentingan tidak hanya termotivasi oleh kepentingan rasional
(baik material maupun nonmaterial), namun juga dimobilisasi untuk
mempertahankan identitas mereka. Akibatnya, simetri kepentingan di
antara kelompok pemangku kepentingan dengan identitas yang berbeda
diperkirakan mempunyai pengaruh positif terhadap mobilisasi mereka,
sedangkan tumpang tindih identitas dapat mengurangi kemungkinan
tindakan pemangku kepentingan. Sekali lagi, dari perspektif kemitraan
sosial, tingkat simetri kepentingan dan tumpang tindih identitas di antara
jaringan pemangku kepentingan dapat mempengaruhi apakah kemitraan
sosial didukung atau ditolak.
19
dan melibatkan banyak pemangku kepentingan dengan kepentingan dan
tujuan yang berbeda-beda. Meskipun demikian, banyak studi kasus
mencatat keberhasilan upaya kolaboratif lintas sektoral untuk bergulat
dengan permasalahan komunitas yang sulit seperti pengurangan hipotek,
pencegahan AIDS, konflik penggunaan lahan, pembangunan kembali
ekonomi, dan pengentasan kemiskinan (Brown dan Ashman 1996).
Menurut Huxham dan Vangen (2005), kemitraan ini telah
mencapai keuntungan kolaboratif. Keunggulan kolaboratif mengacu pada
hasil sinergis yang diinginkan dari aktivitas kolaboratif. Sebaliknya,
kelemahan kolaboratif diakibatkan oleh hambatan yang menghalangi
mitra mencapai tujuan kolaboratif mereka. Kasus-kasus kualitatif yang
tak terhitung jumlahnya di mana kolaborasi hanya menghasilkan
kemajuan yang sulit dicapai atau diabaikan atau gagal langsung telah
ditawarkan (Gray, 1994).
Karena keberhasilan kemitraan sosial bergantung pada keunggulan
kolaboratif, para manajer dan eksekutif perlu mengetahui cara agar
berhasil dalam upaya kolaboratif. Berbagai peneliti dari perspektif
teoritis yang berbeda telah mengeksplorasi faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan kolaboratif (Coe 1988). Menurut Trist
(1983) mencatat perlunya komponen apresiatif dalam membangun
kolaborasi. Artinya, untuk mengembangkan komitmen untuk
berkolaborasi, calon mitra perlu menyadari bahwa mereka saling
bergantung, yakin bahwa mereka akan mendapat keuntungan jika bekerja
sama, dan mengembangkan definisi umum tentang masalah yang mereka
tangani bersama (Gray 1985). Namun apresiasi tanpa struktur tidaklah
cukup. Mitra yang berkolaborasi juga perlu menyusun interaksi mereka
dan mengumpulkan sumber daya yang diperlukan untuk mengatasi
permasalahan yang ingin diatasi oleh kolaborasi ini. Terdapat alasan
terhadap konseptual serupa yang menyatakan bahwa faktor-faktor
tertentu lebih cenderung mengarah pada keuntungan kolaboratif
(Huxham, 1996).
20
Menurut Lawrence et al., (2002) berpendapat bahwa mitra dalam
kolaborasi yang sukses mengembangkan identitas kolektif, membangun
ikatan keanggotaan yang bersifat umum dan khusus, serta terlibat dalam
pembicaraan yang kooperatif dan tegas merupakan bentuk
mengembangkan dan membangun pekerjaan yang maksimal. Namun
demikian, keunggulan kolaboratif dapat diimbangi oleh kelambanan
kolaboratif, yaitu kurangnya kemajuan di antara para mitra. Kelambanan
kolaboratif mungkin disebabkan oleh berbagai hambatan terhadap
kolaborasi, mulai dari kurangnya kepercayaan, tujuan yang beragam dan
berbeda, budaya organisasi yang berbeda di antara para mitra, hingga
ketidakmampuan untuk secara efektif menangani konflik yang terkait
dengan isu-isu ini, perbedaan kekuasaan, dan faktor-faktor lainnya (Gray
dan Hay, 1986). Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga
keunggulan atau kelambanan kolaboratif yaitu hubungan apresiatif
(sejauh mana tujuan bersama), ciri-ciri struktural kolaborasi (seberapa
erat kolaborasi dan institusionalnya), serta perbedaan kekuasaan di antara
para mitra, dan permasalahan proses (tingkat kepercayaan antar mitra dan
kualitas kepemimpinan).
Selain tiga area fokus untuk mengelola kolaborasi pemangku
kepentingan dalam kemitraan sosial, para eksekutif juga harus terlibat
dalam beragam strategi dengan para pemangku kepentingan. Seringkali
collaboration stakeholder dikenal dengan istilah strategi manajemen
pemangku kepentingan. Istilah tersebut digunakan untuk mencerminkan
reaksi sikap dan perilaku organisasi yang berpartisipasi sebagai strategi
manajemen pemangku kepentingan organisasi. Fokus kajian ini yaitu
organisasi pemangku kepentingan lain disebut sebagai organisasi
pemangku kepentingan dalam kemitraan sosial. Berbagai strategi telah
diusulkan untuk mengelola pemangku kepentingan dalam literatur
pemasaran dan manajemen strategis (Savage et.al., 1991).
Menurut Beersma dan De Dreu (2002) meminjam dari literatur
negosiasi dan teori permainan kami mengklasifikasikan keenam strategi
21
pemangku kepentingan ini ke dalam dua kelompok yaitu strategi
integratif dan distributif. Strategi integratif meliputi memimpin,
mengikuti, beradaptasi, dan mendidik. Semua strategi ini bersifat positif
dan melibatkan kerja sama dengan organisasi pemangku kepentingan
lainnya untuk mencapai hasil yang saling menguntungkan (mencapai
tujuan proyek tanpa mengorbankan manfaat organisasi pemangku
kepentingan lainnya). Di sisi lain, strategi distributif mencakup strategi
menekan dan mengisolasi. Kedua strategi tersebut bersifat negatif dan
mengarah pada hasil menang-kalah yang ingin dicapai oleh organisasi
fokus tujuan proyek dengan mengorbankan manfaat organisasi pemangku
kepentingan lainnya. Sebuah organisasi fokus yang mengadopsi strategi
distributif pada dasarnya menghalangi kebutuhan untuk memenuhi
tuntutan pemangku kepentingan. Berbeda dengan strategi distributif,
strategi integratif menonjolkan sikap atau perilaku yang mendukung
terhadap pemangku kepentingan. Organisasi fokus yang mengadopsi
strategi integratif bersedia mengubah perilaku organisasinya atau
persuasinya untuk mengubah pandangan pemangku kepentingan,
daripada memaksakan tuntutan mereka pada pemangku kepentingan.
Menurut Frooman dan Murrell (2005) baru-baru ini
mengemukakan dikotomi serupa mengenai strategi pengaruh bagi
pemangku kepentingan ketika berhadapan dengan perusahaan. Studi
mereka menunjukkan bahwa ada dua jenis strategi dasar yang digunakan
oleh pemangku kepentingan untuk mempengaruhi fokus pemangku
kepentingan yaitu, pemaksaan (menggunakan ancaman untuk memaksa
kerja sama perusahaan) dan kompromi (melibatkan penawaran atau
konsesi untuk mendorong kerja sama perusahaan). Perlu dicatat bahwa
kedua kelompok tersebut strategi tidak saling eksklusif sebuah organisasi
yang fokus dapat memanfaatkan kedua jenis strategi tersebut pada saat
tertentu ketika berhadapan dengan pemangku kepentingan lain dalam
kemitraan sosial.
22
4. Teori Pengambangan Bisnis
Menurut Drucker, Peter F (2016) teori ini membahas tentang
kaitannya dengan perhatian manajemen dan perkembangan untuk
mendefinisikan banyak teori bisnis sebagai suatu ukuran telah mencakup
berbagai teknik untuk memenuhi tantangan bisnis saat ini seperti,
perampingan, manajemen kualitas total, analisis nilai ekonomi,
benchmarking. dan alat-alat lain dengan asumsi-asumsi dasar yang akan
membantu membentuk perilaku organisasi apa pun dalam teori
manajemennya tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak
boleh dilakukan. Hal ini berkaitan dengan serangkaian asumsi, saran,
atau fakta yang diakui yang akan memberikan penjelasan yang masuk
akal atau koheren mengenai hal tersebut. hubungan sebab dan akibat di
antara sekelompok fenomena yang diamati. Sebagian besar teori bisnis
dianggap sebagai undang-undang yang diusulkan atau prinsip-prinsip
panduan yang akan digunakan organisasi sebagai pengembangan untuk
menentukan pasar, persaingan, modernisme, dan budaya organisasi
relatif terhadap akar manajemen bisnis dan memiliki ide-ide teruji waktu
yang lebih relevan dengan kondisi saat ini yang semakin asimetris dan
kompleks. dan dunia yang tidak pasti.
23
B. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai strategi komunikasi kolaboratif bukan hal yang
baru, dalam kajian ilmiah, sebelumnya sudah banyak penelitian yang
berkaitan dengan hal tersebut. Peneliti menemukan beberapa penelitian
yang menunjukkan ada banyak referensi yang dapat dijadikan acuan ketika
melakukan sebuah penelitian mengenai strategi komunikasi dan strategi
branding. Berikut penelitian terdahulu yang dapat dijadikan bahan rujukan
antara lain:
1. Setyaningsih, R., Abdullah, A., Prihantoro, E., & Hustinawaty, H. (2020).
Improving Communication and Collaboration Skills via e-Learning
Contents. KOMUNIKA: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi, 14(2), 213–222.
Penelitian ini bertujuan untuk membahas strategi peningkatan
keterampilan komunikasi dan kolaborasi melalui konten e-learning.
Melalui metode deskriptif kualitatif data dikumpulkan melalui observasi
dan wawancara kepada pemangku kepentingan dan dosen. Hasil temuan
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa bahwa strategi peningkatan
keterampilan komunikasi dan kolaborasi melalui konten e-learning di
pesantren dilakukan melalui empat tahap. Keempat tahap tersebut adalah
akses, analisis, evaluasi, dan pembuatan konten: (1) Akses yang dilakukan
oleh dosen dan mahasiswa Universitas Darussalam Gontor berupa
kemampuan dalam menggunakan dan memanfaatkan model e-learning. (2)
Tahap analisis berupa kemampuan dosen menemukan, mengubah, dan
memilih informasi yang relevan dengan proses pembelajaran. Tahap
analisis juga berkaitan dengan langkah verifikasi (tabayyun) terhadap
keakuratan informasi. (3) Evaluasi berupa penyusunan isi pembelajaran
disesuaikan dengan kondisi nyata yang terjadi di masyarakat atau disebut
pembelajaran kontekstual. (4) Pengembangan isi pembelajaran diterapkan
pada lima mata kuliah dasar di Program Studi Komunikasi.
2. Brown, H. O., Jacobson, S. K., Cockrell, M., Sutt, J., Allen, K., &
Copeland, A. (2021). A Five-Step Stakeholder Communication Plan for
24
More Effective Natural Resource Management. The Journal of Extension,
59(4).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Komunikasi yang efektif
dengan berbagai kelompok yang terlibat dalam pengelolaan lingkungan
hidup. Melalui metode deskriptif kualitatif untuk mendapatkan hasil
penelitian dilakukan proses wawancara dengan sumber utama yaitu para
pemangku kepentingan dan penduduk pesisir dari komunitas pesisir
Florida Timur Laut yang difasilitasi oleh University of Florida Institute for
Sumber Daya Alam Ilmu Pangan dan Pertanian (UF/IFAS). Hasil
penelitian ini menunjukan Rencana komunikasi lima langkah ini dirancang
untuk memungkinkan manajer sumber daya dan profesional penyuluhan
agar berhasil melibatkan pemangku kepentingan mereka. Rencana ini
menggunakan pengelolaan terumbu tiram sebagai contoh, informasi ini
diperoleh dari dua sumber utama: pertemuan para ahli dengan para
pemimpin pemangku kepentingan dan penduduk pesisir serta tinjauan
literatur yang relevan. Dengan memasukkan masukan dari pemangku
kepentingan di seluruh perencanaan dan pelaksanaan proyek pengelolaan
sumber daya alam, ide-ide baru dan inovatif akan muncul, dan hubungan
antar keduanya pemangku kepentingan, pengelola, dan penyuluh
diperkuat.
3. Isnaini, M., Azmi, R., Loho W. P, (2023). Collaborative Communication of
Jakmania in Mediating Intergroup Conflict. ETTISAL: Journal of
Communication, 8(1):127-143.
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis praktik
komunikasi kolaboratif dalam memediasi konflik antar geng jalanan di
Kecamatan Johar Baru. Metode kualitatif studi kasus dengan wawancara
beberapa informan sesuai kriteria digunakan untuk menjawab tujuan
penelitian. Sehingga ditemukan hasil penelitian yaitu aktor yang terlibat
dalam mediasi konflik beragam, antara lain aparat keamanan, pejabat
pemerintah, forum komunitas, dan Jakmania. Kebuntuan mediasi yang
dilakukan pihak kepolisian, ketua RW, dan opinion leader membuka ruang
25
bagi aktor 'pinggiran' yaitu Jakmania untuk melakukan mediasi, dan
berhasil karena perdamaian semakin langgeng/terpelihara. Kunci sukses
Jakmania adalah penggunaan kolaborasi, bukan kontestasi. Praktik
komunikasi kolaboratif yang dilakukan Jakmania dilakukan melalui
tahapan persuasi, dialog, dan komunikasi kolaboratif sekaligus. Penelitian
ini menyimpulkan bahwa aktor pinggiran seperti suporter klub sepak bola
dapat menjadi mediator alternatif dalam menyelesaikan konflik. Penelitian
ini memberikan kontribusi pada: Pertama, pemanfaatan komunikasi
kolaboratif sebagai bagian dari komunikasi strategis dalam ilmu
komunikasi. Kedua, munculnya aktor-aktor alternatif dan pola mediasinya
dalam memediasi dan menyelesaikan konflik serupa di tempat lain.
4. Anwar,A.,Surya, I., Resmawan, E.(2022).Communication strategy of the
East Kalimantan government on tourism development. Jurnal
Studi Komunikasi, 73-88.
Penelitian ini memiliki tujuan yaitu untuk menjadi benchmark bagi
daerah lain yang terdampak COVID-19. Melalui pengumpulan data berupa
data sekunder yang diambil dari studi literatur dan berbagai media dan
ditelaah menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian ini
menunjukan hasil strategi komunikasi pemerintah provinsi Kalimantan
Timur relatif baik. Dibuktikan dengan menerapkan strategi komunikasi
berbasis kolaborasi antar institusi dan didukung media digital, membangun
komunikasi yang konvergen dan memberikan layanan prima. Pemerintah
juga menggunakan strategi komunikasi pemasaran. Namun temuan lainnya
adalah peran yang didapat dalam implikasi teknologi dapat menjadi
perhatian dalam mengintegrasikan media digital.
5. Lestari, F., MD Dali, Melasutra, Che-Ha, N., (2022). The Importance of A
Multistakeholder Perspective in Mapping Stakeholders' Roles Toward
City Branding Implementation. Policy & Governance Review, 264-281.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji persepsi multi-stakeholder
dalam melaksanakan program city branding dan bagaimana mereka dapat
berkolaborasi antar aktor untuk mendukung implementasi city branding.
26
Melalui metode penelitian kualitatif dengan melakukan wawancara
mendalam terhadap pemangku kepentingan terkait. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan maka hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan
kampanye branding Jakarta, Enjoy Jakarta, penelitian ini menemukan
bahwa ada beberapa faktor krusial yang mempengaruhi kampanye Enjoy
Jakarta. Faktor-faktor tersebut adalah kolaborasi pemangku kepentingan,
koordinasi departemen, manajemen publik, daya tarik, promosi dan
aksesibilitas. Kajian ini mengusulkan pemetaan peran pemangku
kepentingan dalam meningkatkan implementasi program Enjoy Jakarta.
27
C. Kerangka Pemikiran
Komunikasi Organisasi
EJSC
Pemerintah Asosiasi
UMKM
Komunikasi
Kolaborasi
Bersumber dari tinjauan dan telaah Pustaka yang dilakukan peneliti terdapat
kerangka pemikiran teoritis yang digunakan sebagai acuan untuk pemecahan
rumusan masalah dari penelitian ini. Peneliti menggunakan teori sistem
komunikasi organisasi yang mengkombinasikan tiga elemen penting didalamnya
28
yaitu informasi, ucapan, dan pemahasan dengan menyesuaikan pihak-pihak yang
terlibat dalam program pemberdayaan UMKM di Kabupaten Bojonegoro yang
dilakukan EJSC Bakorwil Bojonegoro bersama beberapa instansi dan asosiasi
UMKM. Kemudian dalam proses berikutnya seperti komunikasi kolaborasi,
kompetensi (Afektif, Normatif, Kontinuitas), hingga kecenderungan untuk pergi,
merupakan proses-proses yang terjadi dan membentuk pola komunikasi yang
terjadi diantara beberapa pihak yang terlibat dalam program pemberdayaan
UMKM bersama EJSC Bakorwil Bojonegoro.
29
yang kuat terhadap hubungan tersebut. Dimensi komitmen kontinuitas
(berkelanjutan) mewakili dimensi ketiga dan mencerminkan pertimbangan
terhadap dampak dari kerugian. Tingkat komitmen kontinuitas yang tinggi akan
banyak mempertimbangkan segala keuntungan dan kerugian yang didapat apabila
keluar dari hubungan (Meyer & Herscovitch, 2001).
Poin berikutnya yang menjadi opsi lain dari komitmen yang dimiliki setiap
pihak yang berkontribusi dalam program pemberdayaan UMKM di Kabupaten
Bojonegoro yaitu Non Komitmen. Poin ini lebih berfokus pada kecenderungan
untuk tidak terlibat kembali dengan program yang diadakan. Ditingkatan ini
partisipan merasa bahwa hubungan kolaborasi yang ada mulai mencapai titik
jenuh. Keputusan ini merupakan hasil sikap utama yang dapat memberikan
wawasan tentang kualitas hubungan antar pihak-pihak yang terlibat dalam
kolaborasi yang ada (Bluedorn, 1982).
30
31
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini hendak mendeskripsikan secara mendetail mengenai
dan praktik komunikasi kolaborasi dalam stakeholder collaboration dengan
menggunakan metode kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong,
2005) mengungkapkan bahwa metode kualitatif sebagai kegiatan penelitian yang
hasil akhirnya berupa data deskriptif berupa rangkaian kata atau lisan dari perilaku
setiap individu yang menjadi fokus pengamatan. Menurut Creswell (dalam
Sugiyono, 2017) metode penelitian adalah aktivitas didalam penelitian yang
dilakukan mulai dari tahapan pengumpulan data, kemudian melakukan analisis
dan interpretasi terhadap data sampai tercapainya tujuan penelitian.
B. Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
kasus. Menurut Wahyuningsih (2013) studi kasus adalah proses penyelidikan
suatu sistem yang tersusun dari berbagai kasus dari waktu ke waktu, melalui
tingkatan pengumpulan data yang mengakar dan menyertakan berbagai sumber
informasi yang berlimpah dalam konteksnya. Sistem pengikatan ini terikat dengan
waktu dan tempat. Sementara itu kasus dapat dipelajari dari program, peristiwa,
kegiatan, atau individu.
32
ini bertujuan untuk memperoleh wawasan tentang sesuatu secara mendalam.
Dengan demikian penelitian ini, peneliti akan memakai metode studi kasus untuk
mengupas lebih dalam tentang bagaimana strategi yang tepat dalam komunikasi
kolaborasi dalam meningkatkan brand awareness umkm melalui East Java Super
Corridor Bakorwil Bojonegoro.
C. Informan Penelitian
Sebuah penelitian, keberadaan subjek penelitian menjadi pemegang peran
penting memiliki data tentang variabel yang akan diamati. Sehingga keberadaan
subjek menjadi parameter yang mampu mengungkapkan hal diatas sehingga
memberikan peluang perolehan data yang valid. Dalam penelitian ini, subjek
penelitian merupakan orang yang dianggap mampu memberikan informasi
mengenai data-data yang dibutuhkan oleh peneliti. Penentuan subjek dilakukan
dengan menggunakan teknik snowball sampling. Peneliti menggunakan teknik
snowball sampling karena memperhatikan pertimbangan tertentu yang
kemungkinan akan dihadapi pada saat penelitian. Pertimbangan tersebut misalnya
data yang didapatkan kurang dapat memenuhi kapasitas. Teknik snowball
sampling yaitu teknik pengambilan sumber data yang pada awalnya jumlahnya
sedikit kemudian menjadi membesar, hal ini dikarenakan sumber data yang sedikit
tersebut belum mampu memberikan data yang memuaskan, maka mencari
informan lain yang digunakan sebagai sumber data (Sugiyono, 2017). Adapun
subjek dalam penelitian ini diantaranya:
2. Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Jawa Timur, Kepala Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Timur, Kepala Dinas Kominfo
33
Provinsi Jawa Timur, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur
3. Perwakilan Asosiasi
4. Pelaku UMKM
Informan yang keempat berdiri sebagai informan pendukung yang tak kalah
penting yang mana informan ini mampu memberikan informasi tambahan sebagai
pelengkap analisis dan pembahasan berdasarkan bidang yang digelutinya.
Informan pendukung dalam penelitian ini terdiri dari 3 orang yaitu pelaku usaha
baru, pelaku UMKM berkembang, dan pelaku UMKM kompeten yang pernah
menjadi peserta fasilitasi UMKM yang diadakan EJSC Bakorwil Bojonegoro.
Subjek penelitian diatas dirasa sudah cukup untuk peneliti dapat menggali data
yang dibutuhkan dalam proses penelitian ini.
D. Objek Penelitian
Menurut Lofland (dalam Moleong, 2012) pada penelitian kualitatif
merupakan sumber data utama adalah teks. Teks disini terdiri dari tindakan dan
kata-kata orang-orang yang menjadi narasumber yang berupa sebuah catatan,
rekaman, foto, dan lain sebagainya sebagai sumber data utama. Objek dari
34
penelitian ini adalah East Java Super Corridor yang bergerak dalam bidang
pemberdayaan UMKM serta berkembang menjadi bentuk wadah pemberdayaan
UMKM dalam meningkatkan brand awareness UMKM.
1. Wawancara
35
Minuman, dan Industri Kreatif (APMMIK) Bojonegoro, dan 3 informan dari
pelaku UMKM yang pernah menjadi peserta fasilitasi UMKM di EJSC Bakorwil
Bojonegoro.
3. Dokumentasi
Menurut Sugiyono (2014), dokumen bisa berupa teks, gambar, atau karya
monumental seseorang. Dokumentasi adalah hasil dari kegiatan data yang peneliti
36
kumpulkan dengan mengumpulkan dokumen dari sumber terpercaya yang
mengetahui asal-usul. Sedangkan menurut Syaodih (2013), kegiatan dokumentasi
dilakukan untuk melengkapi metode observasi dan wawancara dalam penelitian
kualitatif. Temuan dari observasi atau wawancara, jika didukung oleh dokumen
sumber, akan lebih dipercaya dan lebih kredibel. Dokumentasi yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah foto-foto atau gambar kegiatan kolaborasi dengan
beberapa dinas dalam upaya mengadakan kegiatan pemberdayaan bagi pelaku
UMKM di Kabupaten Bojonegoro.
37
Mengelompokan data menjadi Menggunakan agresi kategorikal
deskripsi dan tema untuk membentuk tema dan pola.
langsung.
● Memaksimalkan secara
keseluruhan naturalistik
tentang “pelajaran” yang
dapat diambil.
38
menggunakan sebuah kasus untuk menggambarkan suatu isu atau perhatian.
Peneliti menggunakan metode studi kasus tunggal karena penelitian ini hanya
meneliti pengalaman komunikasi kolaborasi yang dilakukan oleh pihak-pihak
yang terlibat dalam program pemberdayaan UMKM bersama EJSC Bakorwil
Bojonegoro dan diteliti dengan menggunakan metode pengambilan data melalui
wawancara, FGD, dan dokumentasi.
1. Triangulasi Sumber
2. Triangulasi Waktu
39
3. Member Check
H. Lokasi Penelitian
East Java Super Corridor Bakorwil Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur.
40
DAFTAR PUSTAKA
41
Burt, R. S. (2004). Structural Holes And Good Ideas. The American Journal of
Sociology, 110(2): 349–399.
Brown, L. D., & Ashman, D. (1996). Participation, Social Capital, And
Intersectoral Problem-Solving: African And Asian Cases In Promoting Civil
Society-Government Cooperation: A Selection Of IDR Reports. Boston,
MA: IDR.
Brown, H. O., Jacobson, S. K., Cockrell, M., Sutt, J., Allen, K., & Copeland, A.
(2021). A Five-Step Stakeholder Communication Plan for More Effective
Natural Resource Management. The Journal of Extension, 59(4).
Cannon, J. & Homburg, C. (2001). Buyer-Supplier Relationships And Customer
Firm Costs. Journal of Market-ing, 65: 29–43.
Carr, A.S. & Pearson, J.N. (1999). Strategically Managed Buyer–Supplier
Relationships And Performance Outcomes. Journal of Operations
Management, 17: 497–519.
Coe, B. A. (1988). Open Focus: Implementing Projects In Multi Organizational
Settings. International Journal of Public Administration, 11(4), 503.
Coleman, J. S. (1988). Social Capital In The Creation Of Human Capital. The
American Journal of Sociology, 94: S95–S120.
Coviello, N., Milley, R. and Marcolin, B. (2001). Understanding IT-Enabled
Interactivity In Contemporary Marketing. Journal of Interactive Marketing,
15 (4), 18-33.
Coviello, N.E. (2006). The Network Dynamics Of International New Ventures.
Journal of International Business Studies, 37, pp. 713–731.
Creswell, John W. (2013). Penelitian Kualitatif & Desain Riset Memilih Di
Antara Lima Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Creswell, John W. (1998). Qualitative Inquiry And Research Design: Choosing
Among Five Traditions. London: SAGE Publications
Cummings, T. (1984). Transorganizational Development. Research In
Organizational Behavior, 6, 367–422.
Daft, R.L. & Lengel, R.H. (1986). Organizational Information Requirements,
Media Richness And Structural Design. Management Science, 32, 554–571.
Drucker, Peter F. (2016). Selected Articles from the Father of Modern
Management Thinking Kindle Edition. Massachusetts: Harvard Business
Review Press.
Emerson, R.M. (1976). Social Exchange Theory. Annual Review of Sociology, 2,
335–362
Emery, F., & Trist, E. (1965). The Casual Texture Of Organizational
Environments. Human Relations, 18: 21–32.
42
Farace, R. V., Monge, P. R., & Russell, H. M. (1977). Communicating and
Organizing. Reading, MA: Addison-Wesley.
Freeman, R. E. (1984). Strategic Management: A Stakeholder Approach. Boston,
MA: Pitman.
Frooman, J., & Murrell, A. J. (2005). Stakeholder Influence Strategies: The Roles
Of Structural And Demographic Determinants. Business and Society, 44, 3-
31.
Gray, B. (1989). Collaborating: Finding Common Ground For Multiparty
Problems. San Francisco, CA: Jossey-Bass.
Gray, B. (1985). Conditions Facilitating Interorganizational Collaboration.
Human Relations, 38(10), 911.
Gray, B. (1994). Obstacles To Interorganizational Collaboration: Multiple
Conceptions And Multiple Methods. In M. Wang & L. Rigby (Eds.),
School/Community Connections: Exploring Issues For Research And
Practice. San Francisco, CA: Jossey-Bass.
Gray, B., & Hay, T. M. (1986). Political Limits To Interorganizational Consensus
And Change. The Journal of Applied Behavioral Science, 22(2), 95.
Gundlach, G.T. & Cadotte, E.R. (1994). Exchange Interdependence And Interfirm
Interaction: Research In A Simulated Channel Setting. Journal of Marketing
Research, 31, 516–532.
Huxham, C. (1996). Creating Collaborative Advantage. London: Sage
Huxham, C., & Vangen, S. (2005). Managing To Collaborate: The Theory And
Practice Of Collaborative Advantage. London: Routledge.
Huber, G. P., & Daft, R. L. (1987). The Information Environments Of
Organizations. In F. M. Jablin, L. L. Putnam, K. H. Roberts, & L. W. Porter
(Eds.), Handbook of organizational communication: An interdisciplinary
perspective (pp. 130–164). Sage Publications, Inc.
Huselid, M.A. (1995). The Impact Of Human Resource Management Practices
On Turnover, Productivity, And Corporate Financial Performance.
Academy of Management Journal, 38, 635–672.
Isnaini, M., Azmi, R., Loho W. P, (2023). Collaborative Communication of
Jakmania in Mediating Intergroup Conflict. ETTISAL: Journal of
Communication, 8(1):127-143.
Jawahar, I. M., & McLaughlin, G. L. (2001). Toward A Descriptive Stakeholder
Theory: An Organizational Life Cycle Approach. Academy of Management
Review, 26, 397.
43
Joshi, A.W. (2009). Continuous Supplier Performance Improvement: Effects Of
Collaborative Communication And Control. Journal of Marketing, 73: 133–
150.
Kitzinger, J. (1994). The Methodology Of Focus Group Interviews: The
Importance Of Interaction Between Research Participants. Sociology Of
Health And Illness, 16: 103-121.
Koschmann, M. A., & Kopczynski, J. (2017). Stakeholder Communication. The
International Encyclopedia of Organizational Communication, 1–13.
Lambe, C.J., Wittman, C.M., & Speckman, R.E. (2001). Social Exchange Theory
And Research On Business- To-Business Relational Exchange. Journal of
Business-to-Business Marketing, 8:1–36.
Lawrence, T. B., Hardy, C., & Phillips, N. (2002). Institutional Effects Of
Interorganizational Collaboration: The Emergence Of Proto Institutions.
Academy of Management Journal, 45(1), 281–290
Lehoux P., Blake P. & Daudelin, G. (2006). Focus Group Research And ‘‘The
Patient’s View’’. Social Science And Medicine, 63: 2091-2104.
Leiter, M.P. & Maslach, C. (1988). The Impact Of Interpersonal Environment On
Burnout And Organizational Commitment. Journal of Organizational
Behavior, 9: 297–308.
Lestari, F., MD Dali, Melasutra, Che-Ha, N., (2022). The Importance of A
Multistakeholder Perspective in Mapping Stakeholders' Roles Toward City
Branding Implementation. Policy & Governance Review, 264-281.
Littlejohn, S. W., & Foss, K. A. (Eds.). 2009. Encyclopedia of communication
theory (Vol. 1). Sage.
Mathieu, J.E. & Zajac, D.M. (1990). A Review And Meta-Analysis Of The
Antecedents, Correlates And Conse- Quences Of Organizational
Commitment. Psychological Bulletin, 108: 171–194.
Meyer, J.P. & Allen, J.N. (1991). A Three-Component Conceptualization Of
Organizational Commitment. Human Resource Management Review, 1, 61–
98.
Meyer, J.P. & Herscovitch, L. (2001). Commitment In The Workplace: Toward A
General Model. Human Resource Management Review, 11, 299–326.
Mestry, R., & Grobler, B. (2007). Collaboration and Communication As Effective
Strategies For Parent Involvement In Public Schools. Educational Research
and Review, 2(7), 176-185.
Miller, K. (2009). Organizational Communiation : Approaches and Processes,
Fifth Edition. Canada : Wadsworth Cengage Learning.
44
Mohr, J.J., Fisher, R.J., & Nevin, J.R. (1996). Collaborative Communication In
Interfirm Relationships: Moderating Effects Of Integration And Control.
Journal of Marketing, 60, 103–115
Mohr, J.J. & Nevin, J.R. (1990). Communication Strategies In Marketing
Channels: A Theoretical Perspective. Journal of Marketing, 54: 36–51.
Mohr, J.J. & Spekman, R. (1994). Characteristics Of Partnership Success:
Partnership Attributes, Communication Behavior, And Conflict Resolution
Techniques. Strategic Management Journal, 15, 135–152.
Moleong, J., Lexy. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif edisi revisi. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Moleong, J., Lexy.(2005). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Pace, R. Wayne, & Faules, Don, F.(2010). Komunikasi Organisasi: Strategi
Meningkatkan Kinerja Perusahaan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Payan, J.M. & McFarland, R.G. (2005). Decomposing Influence Strategies:
Argument Structure And Dependence As Determinants Of The Effectiveness
Of Influence Strategies In Gaining Channel Member Compliance. Journal of
Marketing, 69, 66–79.
Peters, L.D. & Fletcher, K.P. (2004). Communication Strategies and Marketing
Performance: An Application Of The Mohr and Nevin Framework To Intra-
Organizational Cross-Functional Teams. Journal of Marketing
Management, 20, 741–770.
Powell, W. W., Koput, K. W., & Smith-Doerr, L. I. (1996). Interorganizational
Collaboration And The Locus Of Innovation: Networks Of Learning In
Biotechnology. Administrative Science Quarterly, 41(1): 116–145.
Rice, R.E. (2008). Unusual Routines: Organizational (Non)Sensemaking. Journal
of Communication, 58, 1–19.
Romli, K. 2014. Komunikasi Organisasi Lengkap. Jakarta: Grasindo.
Rowley, T. J. (1997). Moving Beyond Dyadic Ties: A Network Theory Of
Stakeholder Influences. Academy of Management Review, 22(4): 887–910.
Rowley, T. J., & Moldoveanu, M. (2003). When Will Stakeholder Groups Act? An
Interest- And Identity-Based Model Of Stakeholder Group Mobilization.
Academy of Management Review, 28(2): 204–219.
Savage, G. T., Nix, T. W., Whitehead, C. J., & Blair, J. D. (1991). Strategies For
Assessing And Managing Organizational Stakeholders. Academy of
Management Executive, 5(2), 61–75.
45
Setyaningsih, R., Abdullah, A., Prihantoro, E., & Hustinawaty, H. (2020).
Improving Communication and Collaboration Skills via e-Learning
Contents. KOMUNIKA: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi, 14(2), 213–222.
Soda, G., Usai, A., & Zaheer, A. (2004). Network Memory: The Influence Of Past
And Current Networks On Performance. Academy of Management Journal,
47(6): 893.
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Syaodih, S. N. (2013). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Teece, D. J. (1992). Competition, Cooperation, and Innovation. Journal of
Economic Behavior & Organization, 18(1), 1–25.
Teixeira, A. A. C., Santos, P., & Oliveira Brochado, A. (2008). International
R&D Cooperation between Low-tech SMEs: The Role of Cultural and
Geographical Proximity. European Planning Studies, 16(6), 785–810.
Trist, E. (1983). Referent Organizations And The Development Of
Interorganizational Domains. Human Relations, 36(3), 269–285.
Vahter, P., Love, J. H., & Roper, S. (2014). Openness and Innovation
Performance: Are Small Firms Different?. Industry and Innovation, 21(7-8),
553–573.
Waddock, S. (2002). Leading Corporate Citizens. New York, NY: McGraw Hill.
Wahyuningsih, S. (2013). Metode Penelitian Studi Kasus (Konsep, Teori
Pendekatan Psikologi Komunikasi, dan Contoh Penelitiannya). Bangkalan:
UTM Press.
Widjajanti, K. (2015). Marketing Collaboration and SME Strategy
Implementation in Blora, Indonesia. ASEAN Marketing Journal, 7(1): 28-
39.
Wimmer, D. R., & Dominick, R. J. (2011). Qualitative Research Methods. Mass
Media Research: An Introduction, 9, 114-154.
46