Anda di halaman 1dari 19

Analisis Kemampuan Literasi Baca Tulis Siswa Kelas V SD Negeri 002

Rantau Kopar Dalam Menyelesaikan Soal Asesmen Kompetensi Minimum

Dosen Pengampu :

Zetra Hainul Putra, M.Sc., Ph.D.

Disusun Oleh :

RONAA FADHILAH

216910737

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS ISLAM RIAU

T.A.2023/2024
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam sebuah proses pembelajaran diperlukan evaluasi untuk memahami


kemampuan siswa. Guru akan melakukan penilaian yang akan digunakan sebagai
salah satu pertimbangan untuk memperbaiki proses pembelajaran (Pusmenjar,
2020, hlm. 29). Proses penilaian tersebut akan dilakukan kepada siswa baik secara
individu maupun beberapa siswa atau kelompok, proses ini yang disebut dengan
asesmen.

Asesmen Nasional merupakan kebijakan yang baru pada proses penilaian siswa
di semua jenjang pendidikan. Asesmen Nasional mencakup Asesmen Kompetensi
Minimum, Survei Karakter dan Survei Lingkungan Belajar (Pusmenjar, 2020,
hlm.4). Program Asesmen Nasional sebagai langkah awal untuk misi pendidikan
Indonesia yang cerdas dan kompetitif. Adapun tercetusnya Asesmen Nasional
dikarenakan perolehan hasil Programme for Internasional Student Assesment
(PISA) yang didapatkan oleh negara Indonesia sangat rendah.

Untuk itu, pada pelaksanaan program asesmen kompetensi minimum


merupakan gabungan antara PISA dengan Trends in Internasional Mathematics and
Science Study (TIMSS) (Sherly, Edy & Humiras, 2020, hlm. 186). Asesmen
Kompetensi Minimum menggunakan materi yang berlandaskan soal PISA dengan
modifikasi menambahkan budaya bangsa Indonesia dengan tujuan agar siswa bisa
melestarikannya dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan kata minimum pada
asesmen kompetensi minimum berarti kemampuan minimal yang dibutuhkan siswa
untuk kemampuan yang lebih kompleks. Adapun pelaksanaan asesmen kompetensi
minimum diperuntukkan khusus kepada siswa yang berada pada pertengahan
jenjang sekolah yaitu kelas 5 sekolah dasar. Hal tersebut karena memang tujuan
asesmen kompetensi minimum sendiri sebagai pemetaan mutu yang akan
dipergunakan sebagai evaluasi awal untuk sekolah. Di mana hal tersebut berbeda
dengan Ujian Nasional yang dilakukan oleh siswa yang duduk pada jenjang akhir
sekolah yaitu siswa kelas 6 (Pusmenjar Kemdikbud, 2020c). Alasan khusus
mengapa asesmen kompetensi minimum ditujukan kepada siswa kelas 5 agar pihak
sekolah maupun guru bisa mendapatkan waktu untuk mempersiapkan siswa untuk
melakukan perbaikan siswa sebelum lulus. Pada asesmen kompetensi minimum
menekankan pada kemampuan literasi dan numerasi siswa. Konteks yang diujikan
pada asesmen kompetensi minimum terdapat berbagai masalah seperti personal,
sosial dan saintifik. Permasalahan tersebut akan dikerjakan oleh siswa dengan
tujuan supaya siswa mampu menyelesaikan asesmen kompetensi minimum dengan
kemampuan literasi dan numerasinya. Pada poin literasi, konten yang termasuk
dalam asesmen kompetensi minimum berisikan soal dengan jenis teks informasi dan
fiksi. Dengan fokus kompetensi literasi membaca, kemampuan yang harus dicapai
yaitu, memahami, mengidentifikasi, mengevaluasi, beragam teks tertulis.
(Pusmenjar, 2021, hlm.12). Kompetensi yang dinilai pada asesmen kompetensi
minimum tidak sekedar penguasaan konten atau hanya pengertian dasar saja,
namun akan dibahas secara mendalam. Hal tersebut berlandasakan pada tuntutan
kecakapan abad 21 atas kemampuan berliterasi yang harus dipahami siswa agar bisa
bersaing terhadap perkembangan zaman.

Literasi membaca merupakan kemampuan individu untuk bisa memahami huruf


dengan membaca, menulis, mengidentifikasi, menemukan, dan menggunakan teks
tertulis dengan tujuan meningkatkan potensi seseorang. Pada kegiatan literasi yang
dilakukan pada pembelajaran akan senantiasa menumbuhkan kemampuan
berbahasa siswa. Seperti kemampuan berbahasa reseptif yang artinya membaca dan
menyimak dan kemampuan berbahasa aktif artinya berbicara dan menulis
(Kemdikbud, 2019). Terkait dengan pemahaman literasi yang rendah pada hasil
PISA, yang artinya hal tersebut berbanding terbalik dengan kebutuhan masyarakat
yang sangat membutuhkan kemampuan berliterasi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi kemampuan literasi siswa dalam menyelesaikan soal simulasi
asesmen kompetensi minimum. Dengan kemampuan literasi masingmasing siswa
yang beragam akan diperoleh hasil yang beragam dalam menjawab soal simulasi
asesmen kompetensi minimum di sekolah dasar.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kemampuan literasi baca tulis siswa kelas V SD Negeri 002
Rantau Kopar dalam menyelesaikan AKM ?
2. Faktor – Faktor apa saja yang mempengaruhi kemampuan literasi baca
tulis siswa SD Negeri 002 Rantau Kopar ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kemampuan literasi baca tulis siswa kelas V SD
Negeri 002 Rantau Kopar
2. Untuk mengetahui kemampuan literasi baca tulis siswa kelas V SD
Negeri 002 Rantau Kopar
KAJIAN TEORI

LITERASI
A. Konsep Literasi
Pengertian dari literasi Secara tradisional, literasi dipandang sebagai
kemampuan membaca dan menulis. Orang yang dapat dikatakan literat dalam
pandangan ini adalah orang yang mampu membaca dan menulis atau bebas buta
huruf. Pengertian literasi selanjutnya berkembang menjadi kemampuan
membaca, menulis, berbicara, dan menyimak. Sejalan dengan perjalanan waktu,
definisi literasi telah bergeser dari pengertian yang sempit menuju pengertian
yang lebih luas mencakup berbagai bidang penting Iainnya. Perubahan ini
disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor perluasan makna akibat semakin
luas penggunaannya, perkembangan teknologi informasi dan teknologi,
maupun perubahan analogi. Jika diselisik secara komprehensif, perubahan
konsepsi literasi ini telah terjadi minimalnya dalam lima generasi.
Pada masa perkembangan awal, literasi didefinisikan sebagai kemampuan
untuk menggunakan bahasa dan gambar dalam bentuk yang kaya dan beragam
untuk membaca, menulis, mendengarkan, berbicara, melihat, menyajikan, dan
berpikir kritis tentang ide-ide. Hal ini memungkinkan kita untuk berbagi
informasi, berinteraksi dengan orang Iain, dan untuk membuat makna. Literasi
merupakan proses yang kompleks yang melibatkan pembangunan pengetahuan
sebelumnya, budaya, dan pengalaman untuk mengembangkan pengetahuan
baru dan pemahaman yang lebih dalam.
Literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis
atau kadang disebut dengan istilah ‘melek aksara’ atau keaksaraan (Harras,
2011). Tale dan Sulzby (dalam Gipayana, 2007: 2) mengartikan bahwa literasi
sebagai kemampuan membaca dan menulis. Dalam pengertian luas, literasi
tidak hanya terbatas pada membaca dan menulis tetapi meliputi kemampuan
berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, menulis) dan berpikir sebagai
elemen didalamnya.
B. Tujuan Literasi
Tujuannya untuk menjadikan sekolah sebagai komunitas yang memiliki
komitmen dan budaya membaca yang tinggi serta miliki kemampuan untuk
menulis yang komprehensif. Untuk mencapai tujuan tersebut dapat dilakukan
Program Aksi dari Gerakan Literasi Sekolah sebagai berikut.
1. Menawarkan, mengajak atau menunjuk sekolah atau masyarakat sekolah
(siswa,guru, manajemen sekolah, kepala sekolah dan komite) agar dapat
melaksanakan kegiatan gerakan literasi sekolah yang merupakan bentuk
aksi/kegiatan
2. Mengadakan Sosialisasi tentang pemahaman kepada guru, kepala sekolah,
komite atau orang tua siswa tentang apa dan bagaimana gerakan literasi
sekolah.
3. Menyediakan Buku Bacaan Bagi Siswa merupakan kegiatan yang dirancang
untuk mendapatkan buku bacaan bagi sekolah minimal 3 kali jumlah siswa
di sekolah, setiap kelas di dorong untuk memiliki sudut baca (reading
corner), melalui kerjasama dengan komite sekolah dan wali murid
4. Program Membaca Setiap Hari, merupakan kegiatan yang dirancang agar
setiap sekolah mengalokasikan waktu minimal 15 menit sehari, guna
membiasakan siswa, guru, manajeman sekolah dan kepala sekolah untuk
membaca di sekolah maupun di rumah
5. One child book, merupakan kegiatan yang dirancang untuk meningkatkan
jumlah dan jenis buku bacaan di sekolah, agar setiap siswa paling sedikit
memiliki 1 buku untuk dibaca di sekolah/kelas maupun di rumah, diharapkan
orang tua membelikan minimal 1 buku untuk satu semester atau 1 buku satu
tahun, yang kemudian disumbangkan untuk perpustakaan sekolah
6. Tantangan Membaca, merupakan kegiatan yang dirancang untuk mengejar
target/jumlah tertentu terhadap buku yang dibaca baik tingkat sekolah,
kabupaten/kota maupun tingkat provinsi
7. Reading Award, merupakan kegiatan yang dirancang untuk memberikan
penghargaan membaca bagi siswa terbanyak membaca buku baik bersakala
tingkat masing masing sekolah, kabupaten/kota maupun tingkat provinsi, hal
ini bertujuan agar meransang siswa agar terus membaca.
8. Pelatihan Menulis, merupakan kegiatan yang dirancang agar setiap sekolah
melatih/mendidik siswa untuk menulis, dengan pemberian tugas untuk
menulis kembali buku yang telah dibaca dalam bentuk resume buku atau
resensi buku.
9. Writing Award, merupakan kegiatan yang dirancang untuk memberikan
penghargaan kemampuan menulis bagi siswa terhadap buku yang dibaca
baik tingkat sekolah, kabupaten/kota maupun tingkat provinsi, hal ini
bertujuan agar merangsang siswa untuk bisa menulis.
10. Program Aksi Lainnya, program aksi/kegiatan lainnya dapat dirancang
secara khusus dalam upaya membudayakan minat baca dan meningkatkan
kemampuan menulis siswa sesuai dengan sasaran dan harapan yang
diinginkan.
C. Perkembangan Literasi
Literasi sebagai konsep awal multiliterasi telah dipandang berdasarkan ber-
bagai sudut pandang pembelajaran yang berbeda. Beberapa sudut pandang
tersebut antara lain sudut pandang bahasa (berfokus pada teks), sudut pan- dang
kognitif (berfokus pada berpikir), sudut pandang budaya (berfokus pada
kelompok), dan sudut pandang pertumbuhan pengetahuan (berfokus pada
pertumbuhan). Dalam sudut pandang kognitif, pembelajar- an literasi ditujukan
agar siswa mampu menggunakan berbagai proses dan strategi mental untuk
membentuk makna tertentu berdasarkan teks, tujuan, dan audiens. Dalam
pandangan fokus budaya, pembelajaran literasi dituju- kan agar siswa mampu
membentuk makna dalam kaitannya dengan kelom- pok sosial tertentu, lintas
kelompok sosial, norma, dan nilai yang berlaku dalam kelompok sosial tersebut.
Dalam pandang terakhir, pembelajaran lite- rasi ditujukan agar siswa mampu
mengembangkan dimensi literasi yang di- milikinya hingga mampu
menegosiasi makna yang terkandung dalam teks.
Sejalan dengan sudut pandang terhadap pembelajaran literasi di atas,
paradigma pembelajaran literasi telah berkembang dari waktu ke waktu.
Paradigma pembelajaran tertua dikenal sebagai paradigma dekoding. Dalam
pandangan paradigma ini pembelajaran literasi merupakan pembelajaran yang
bersifat deduktif. Basis pembelajaran literasi terletak pada aspek gra-
fofonemik, yang selanjutnya bergerak pada aspek morfemik dalam rangka
menghasilkan makna. Pembelajaran literasi dipandang sebagai proses indi-vidu
dan perkembangan literasi dipandang sebagai proses perkembangan
kemampuan dari bagian menuju kesatuan. Pembelajaran literasi dilakukan
melalui pembelajaran tentang bahasa, pembelajaran bahasa, dan belajar melalui
bahasa.
Sejalan dengan perkembangan terbaru tersebut, fokus pembelajaran lite-
rasi hendaknya mulai bergeser ke arah dimensi sosial budaya. Pembelajaran
literasi hendaknya dilakukan dengan ekspektasi yang tinggi dalam mening-
katkan kemampuan akademik, mengembangkan kompetensi budaya siswa, dan
mengembangkan kesadaran sosial politik para siswa maupun guru. Pem-
belajaran literasi juga harus ditujukan agar siswa memiliki kompetensi kri- tis
atas teks dan menempatkan siswa sebagai anggota dari kelompok sosial budaya
yang beragam. Pembelajaran literasi selanjutnya harus dipandang sebagai
praktik sosial dan tindakan kelompok. Oleh sebab itu, pembelajaran literasi
harus ditempatkan sebagai bagian dari sistem sosial, budaya, politik, dan
ekonomi yang kompleks. Paradigma pembelajaran bahasa inilah yang
kemudian dikenal dengan paradigma literasi kritis.
D. Arah Pembelajaran Literasi
Pembelajaran literasi ditujukan agar siswa mampu menguasai di- mensi
bahasa dan dimensi kognitif literasi (mencakup proses pemahaman, proses
membaca, proses menulis, dan konsep analisis wacana tertulis).Pada tahun
1998, tujuan pembelajaran literasi secara internasional diperluas dan diperinci.
Berdasarkan dokumen pada tahun 1998 dari The National Literacy Strategy
(Wray et al., 2004), pembelajaran literasi ditujukan agar siswa mampu
mencapai kompetensi-kompetensi sebagai berikut.
1. Percaya diri, lancar, dan paham dalam membaca dan menulis.
2. Tertarik pada buku-buku, menikmati kegiatan membaca, mengevaluasi, dan
menilai bacaan yang dibaca.
3. Mengetahui dan memahami berbagai genre fiksi dan puisi.
4. Memahami dan mengakrabi struktur dasar narasi.
5. Memahami menggunakan berbagai teks nonfiksi.
6. Dapat menggunakan berbagai macam petunjuk baca (fonik, grafis, sin-
taksis, dan konteks) untuk memonitor dan mengoreksi kegiatan membaca
secara mandiri.
7. Merencanakan, menyusun draf, merevisi, dan mengedit tulisan secara
mandiri.
8. Memiliki ketertarikan terhadap kata dan makna, serta secara aktif me
ngembangkan kosakata.
9. Memahami sistem bunyi dan ejaan, serta menggunakannya untuk mengeja
dan membaca secara akurat.
10. Lancar dan terbiasa menulis tulisan tangan.

LITERASI BACA-TULIS

A. Pengertian Literasi Baca-Tulis


Literasi baca-tulis bisa disebut sebagai moyang segala jenis literasi karena memiliki
sejarah amat panjang. Literasi ini bahkan dapat dikatakan sebagai makna awal literasi,
meskipun kemudian dari waktu ke waktu makna tersebut mengalami perubahan.
Tidak mengherankan jika pengertian literasi baca-tulis mengalami perkembangan dari
waktu ke waktu. Pada mulanya literasi baca-tulis sering dipahami sebagai melek
aksara, dalam arti tidak buta huruf. Kemudian melek aksara dipahami sebagai
pemahaman atas informasi yang tertuang dalam media tulis. Tidak mengherankan jika
kegiatan literasi baca-tulis selama ini identik dengan aktivitas membaca dan menulis.
Deklarasi UNESCO menyebutkan bahwa literasi baca-tulis terkait pula dengan
kemampuan untuk mengidentifikasi, menentukan, menemukan, mengevaluasi,
menciptakan secara efektif dan terorganisasi, menggunakan dan mengomunikasikan
informasi untuk mengatasi bermacam-macam persoalan. Kemampuan-kemampuan
tersebut perlu dimiliki tiap individu sebagai syarat untuk berpartisipasi dalam
masyarakat informasi, dan hal tersebut merupakan bagian dari hak dasar manusia
yang menyangkut pembelajaran sepanjang hayat. Sejalan dengan itu, Forum Ekonomi
Dunia 2015 dan 2016 mengartikan literasi baca-tulis sebagai pengetahuan baca-tulis,
kemampuan memahami baca-tulis, dan kemampuan menggunakan bahasa tulis.
Senada dengan itu, dalam Peta Jalan GLN, literasi baca tulis diartikan sebagai
pengetahuan dan kemampuan membaca dan menulis, mengolah dan memahami
informasi saat melakukan proses membaca dan menulis, serta kemampuan
menganalisis, menanggapi, dan menggunakan bahasa. Jadi, literasi baca-tulis adalah
pengetahuan dan kecakapan untuk membaca, menulis, mencari, menelusuri,
mengolah dan memahami informasi untuk menganalisis, menanggapi, dan
menggunakan teks tertulis untuk mencapai tujuan, mengembangkan pemahaman
dan potensi, serta untuk berpartisipasi di lingkungan sosial.
B. Indikator Literasi Baca-Tulis
1) Indikator Baca-Tulis Di Sekolah
Indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan literasi
baca-tulis di sekolah adalah sebagai berikut:
a) Basis Kelas
a. Jumlah pelatihan fasilitator literasi baca-tulis untuk kepala
sekolah, guru, dan tenaga kependidikan;
b. Intensitas pemanfaatan dan penerapan literasi numerasi dalam
kegiatan pembelajaran, baik berbasis masalah maupun berbasis
proyek; dan
c. Skor PISA, PIRLS, dan INAP mengenai literasi membaca.
b) Basis Budaya Sekolah
a. Jumlah dan variasi bahan bacaan;
b. Frekuensi peminjaman bahan bacaan di perpustakaan;
c. Jumlah kegiatan sekolah yang berkaitan dengan literasi baca-
tulis;
d. Terdapat kebijakan sekolah mengenai literasi baca-tulis;
e. Jumlah karya (tulisan) yang dihasilkan siswa dan guru; dan
f. Terdapat komunitas baca-tulis di sekolah.
c) Basis Masyarakat
a. Jumlah sarana dan prasarana yang mendukung literasi baca-
tulis di sekolah; dan
b. Tingkat keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam
mengembangkan literasi baca-tulis di sekolah.
2) Indikator Literasi Baca-Tulis di Keluarga
Indikator yang digunakan untuk mengukur pencapaian
literasi baca-tulis dalam keluarga adalah sebagai berikut.
a. Jumlah dan variasi bahan bacaan yang dimiliki keluarga;
b. Frekuensi membaca dalam keluarga setiap harinya;
c. Jumlah bacaan yang dibaca oleh anggota keluarga;
d. Jumlah tulisan anggota keluarga (memo, kartu ucapan, baik
cetak maupun elektronik, catatan harian di buku atau blog,
artikel, cerpen, atau karya sastra lain); dan
e. Jumlah pelatihan literasi baca-tulis yang aplikatif dan
berdampak pada keluarga.
3) Indikator Literasi Baca-Tulis di Masyarakat
Indikator yang digunakan untuk mengukur pencapaian literasi
baca-tulis masyarakat adalah sebagai berikut.
a. Jumlah dan variasi bahan bacaan yang dimiliki fasilitas
publik;
b. Frekuensi membaca bahan bacaan setiap hari;
c. Jumlah bahan bacaan yang dibaca oleh masyarakat;
d. Jumlah partisipasi aktif komunitas, lembaga, atau instansi
dalam penyediaan bahan bacan;
e. Jumlah fasilitas publik yang mendukung literasi baca-tulis;
f. Jumlah kegiatan literasi baca-tulis yang ada di masyarakat;
g. Jumlah komunitas baca tulis di masyarakat;
h. Tingkat partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan literasi;
i. Jumlah publikasi buku per tahun;
j. Kuantitas pengguna bahasa Indonesia di ruang publik; dan
k. Jumlah pelatihan literasi baca-tulis yang aplikatif dan
berdampak pada masyarakat.
C. Prinsip Dasar Pengembangan dan Implementasi Literasi Baca-Tulis
1) Prinsip Keutuhan dan Kemenyeluruhan ( Holistik )
Literasi baca-tulis dikembangkan dan diimplementasikan secara
utuhmenyeluruh (holistik), tidak terpisah dari aspek terkait yang lain
dan menjadi bagian elemen yang terkait dengan yang lain, baik internal
maupun eksternal. Di sini pengembangan dan implementasi literasi
baca-tulis tidak terpisahkan dari literasi numerasi, sains, digital,
finansial, serta budaya dan kewargaan. Pengembangan dan
implementasi literasi baca-tulis di ranah sekolah, keluarga, dan
masyarakat juga merupakan satu kesatuan dan keutuhan, harus saling
mendukung dan memperkuat, tidak merintangi dan menghambat.
2) Prinsip Keterpaduan ( Terintegrasi )
Literasi baca-tulis dikembangkan dan diimplementasikan dengan
memadukan (mengintegrasikan) secara sistemis, menghubungkan dan
merangkaikan secara harmonis, dan melekatkan literasi baca-tulis
secara sinergis dengan yang lain, baik dalam hal kebijakan, program,
kegiatan, maupun pelaksana dan berbagai pihak yang mendukung;
bukan sekadar tambahan, tempelan, dan sisipan dalam kebijakan,
program, dan kegiatan pendidikan dan kebudayaan di ranah sekolah,
keluarga, dan masyarakat.
3) Prinsip Keberlanjutan ( Sustainabilitas )
Literasi baca-tulis dikembangkan dan diimplementasikan secara
berkesinambungan, dinamis terus-menerus, dan berlanjut dari waktu ke
waktu, tidak sekali jadi dan selesai dalam satuan waktu tertentu.
Pengembangan dan pelaksanaan kebijakan literasi bacatulis di ranah
sekolah, keluarga, dan masyarakat dilakukan secara berkesinambungan
dan terus-menerus di samping partisipasi dan keterlibatan berbagai
pihak terkait secara terusmenerus diperluas dan diperkuat dari waktu ke
waktu. Perbaikan dan peningkatan program dan kegiatan literasi baca-
tulis juga dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan
berdasarkan praktik baik, hasil evaluasi program, peluang dan tantangan
baru yang muncul, dan masalah-masalah pelaksanaan literasi baca-tulis
di ranah sekolah, keluarga, dan masyarakat oleh berbagai pemangku
kepentingan GLN, khususnya gerakan literasi baca-tulis.
4) Prinsip Konstekstualitas
Kebijakan, strategi, program, dan kegiatan literasi baca-tulis
dikembangkan dan diimplementasikan dengan mendasarkan dan
mempertimbangkan konteks geografis, demografis, sosial, dan kultural
yan g ada di Indonesia. Oleh sebab itu, sekalipun terikat dengan
kebijakan dan program pokok yang tercantum dalam Peta Jalan GLN,
secara operasional pelaksanaan atau penerapan kebijakan, program, dan
kegiatan literasi bacatulis di Indonesia bisa beraneka ragam dan
berbineka, tidak seragam dan sama. Misalnya, program, jenis, dan bahan
kegiatan literasi baca-tulis di daerah urban, satelit, perdesaan, dan
perbatasan dapat berbeda sesuai dengan karakteristik daerah masing-
masing, sekalipun tidak boleh asal berbeda. Penyesuaian dan adaptasi
sesuai dengan karakteristik daerah dimungkinkan dalam implementasi
literasi baca-tulis.
5) Prinsip Responsif Kearifan Lokal
Literasi baca-tulis tidak berada di ruang vakum sosial dan budaya
serta tidak bisa dikembangkan dan diimplementasikan dengan
mengabaikan, lebihlebih meniadakan lokalitas sosial dan budaya. Agar
gerakan literasi baca-tulis membumi dan berhasil tujuannya,
pengembangan dan implementasi literasi baca-tulis perlu responsif dan
adaptif terhadap kearifan lokal; kearifan lokal nusantara yang demikian
kaya dan beragam perlu didayagunakan dan dimanfaatkan secara
optimal dalam perencanaan dan pelaksanaan literasi baca-tulis di
sekolah, keluarga, dan masyarakat sehingga literasi baca-tulis juga
mampu merawat, merevitalisasi, dan melestarikan serta meremajakan
(rejuvinasi) kearifan lokal Indonesia. Untuk mewujudkan hal ini,
diperlukan kesigapan dan kecekatan para pemangku kepentingan literasi
baca-tulis yang ada di berbagai lini GLN, baik di Kemendikbud dan
dinas pendidikan dan/atau kebudayaan maupun di lingkungan
kementerian dan LPNK lain.
D. Tujuan Literassi Baca-Tulis
Literasi baca dan tulis bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan pada
anak serta dapat meningkatkan potensi diri pada anak, juga menuangkan
gagasan dan ide ke dalam tulisan dengan susunan yang baik, serta anak dapat
berpartisipasi aktif di lingkungan sosial dengan mempelajari baca-tulis. Adapun
manfaat lain dari baca-tulis ini yakni:
1) Dapat Meningkatnya jumlah dan variasi bahan bacaan yang dimiliki oleh
anak;
2) Dapat meningkatkan frekuensi membaca pada anak setiap harinya;
3) Dapat meningkatnya jumlah bacaan yang dibaca oleh anak;
4) Dapat meningkatnya jumlah tulisan yang dimiliki anak; dan
5) Dapat meningkatnya jumlah publikasi buku per tahun;
E. Langkah – Langkah Baca-Tulis
Langkah-langkah pembelajaran membaca menulis permulaan menurut
Solchan, dkk (2010:6.24) langkah-langkah pembelajaran Membaca Menulis
Permulaan (MMP) dibagi menjadi dua yaitu, Pembelajaran Membaca Menulis
Permulaan (MMP) tanpa buku; dan Pembelajaran Membaca Menulis
Permulaan (MMP) dengan menggunakan buku.
a) Langkah-langkah pembelajaran Membaca Menulis Permulaan (MMP)
tanpa buku.
1. Menunjukkan gambar;
2. Menceritakan gambar;
3. Siswa diminta bercerita dengan bahasa sendiri;
4. Memperkenalkan bentuk-bentuk huruf (tulisan) melalui bantuan
gambar;
5. Membaca tulisan bergambar;
6. Membaca tulisan tanpa gambar; dan
7. Memperkenalkan huruf suku kata dengan bantuan kartu.
b) Langkah-langkah pembelajaran Membaca Menulis Permulaan (MMP)
menggunakan buku.
1. Siswa diberi buku yang sama dan diberikan kesempatan untuk melihat-
lihat isi buku tersebut;
2. Siswa diberi penjelasan singkat mengenai buku tesebut: tentang warna,
jilid, tulisan/judul luar dan seagainya;
3. Siswa diberikan penjelasan dan petunjuk tentang bagaimana cara
membuka halaman-halaman buku agar buku tetap terpelihara dan tidak
cepat rusak;
4. Siswa diberi penjelasan mengenai fungsi dan kegunaan angka angka
yang menunjukkan halaman buku;
5. Siswa diajak memusatkan perhatian terhadap suatu teks/bacaan yang
terdapat pada halaman tertentu;
6. Jika bacaan itu disertai gambar, sebaiknya guru terlebih dahulu
bercerita tentang gambar tersebut; dan
7. Selanjutnya, barulah pelajaran dimulai.

Pada literasi baca dan tulis juga memiliki proses. Dalam proses berliterasi,
sedikitnya ada lima tahapan, yaitu:

1. Membaca dan menulis bersuara, yakni membaca dan menulis bersuara


merupakan kegiatan membaca dan menulis yang dilakukan dengan
pembacaan yang nyaring.
2. Membaca dan menulis terpadu merupakan kegiatan membaca dan
menulis yang dilengkapi dengan kegiatan menyimak, berbicara, serta
menulis.
3. Membaca dan menulis bersuara merupakan kegiatan membaca dan
menulis yang dilakukan dengan pembacaan yang nyaring.
4. Membaca dan menulis bersama merupakan kegiatan membaca serta
menulis yang dilakukan bersama-sama dengan orang tua ataupun
pendidik.
5. Membaca dan menulis mandiri merupakan kegiatan membaca serta
menulis yang dilakukan secara mandiri oleh peserta didik.
F. Karakteristik Baca-Tulis
Literasi baca tulis adalah kemampuan individu untuk membaca dan menulis
dengan baik dan benar. Karakteristik literasi baca tulis mencakup kemampuan
membaca dan menulis dengan lancar, memahami isi bacaan, serta mampu
mengekspresikan gagasan secara tertulis dengan jelas dan tepat.
Kemampuan membaca dengan lancar mencakup kemampuan memahami
dan menginterpretasikan makna kata dan kalimat dalam sebuah teks. Selain itu,
kemampuan menulis dengan baik dan benar mencakup kemampuan untuk
memilih kata-kata yang tepat dan mengorganisasikan ide-ide secara sistematis
dan logis.
Sementara itu, kemampuan memahami isi bacaan meliputi kemampuan
untuk mengidentifikasi gagasan utama dari sebuah teks, menghubungkan ide-
ide yang berbeda, dan menarik kesimpulan dari informasi yang diberikan. Hal
ini juga mencakup kemampuan untuk memahami makna kata-kata dan frasa
yang digunakan dalam konteks tertentu.
Terakhir, kemampuan mengekspresikan gagasan secara tertulis dengan jelas
dan tepat mencakup kemampuan untuk menulis dengan tata bahasa yang benar
dan memilih kata-kata yang tepat untuk menyampaikan ide-ide dengan jelas dan
persuasif. Hal ini juga meliputi kemampuan untuk menyusun sebuah teks yang
terorganisasi dengan baik dan mudah dipahami oleh pembaca.
Secara keseluruhan, karakteristik literasi baca tulis sangat penting bagi
setiap individu dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dan mengembangkan
diri secara pribadi dan profesional. Oleh karena itu, penting bagi individu untuk
terus meningkatkan keterampilan literasi baca tulis mereka agar dapat berhasil
dalam kehidupan dan karier mereka.
E. Kajian Baca-Tulis
Kajian literasi baca tulis merupakan suatu penelitian yang bertujuan untuk
memahami kemampuan individu dalam membaca dan menulis serta faktor-
faktor yang memengaruhi perkembangan literasi baca tulis. Penelitian ini dapat
dilakukan melalui berbagai metode seperti survei, wawancara, observasi, dan
analisis data statistik.
Beberapa isu penting yang dibahas dalam kajian literasi baca tulis antara
lain faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan literasi baca tulis, seperti
lingkungan sosial dan budaya, kualitas pendidikan, dan akses terhadap bahan
bacaan yang berkualitas. Selain itu, penelitian ini juga membahas strategi yang
efektif untuk meningkatkan kemampuan literasi baca tulis, seperti
pengembangan program literasi, pelatihan guru, dan penggunaan teknologi
digital untuk membantu pembelajaran.
Penelitian literasi baca tulis memiliki banyak manfaat penting, terutama
dalam meningkatkan kemampuan membaca dan menulis individu,
mempromosikan pengembangan literasi dalam masyarakat, dan meningkatkan
kualitas pendidikan secara keseluruhan. Hasil penelitian juga dapat digunakan
sebagai dasar dalam mengembangkan kebijakan pendidikan yang lebih efektif
dan strategi literasi baca tulis yang tepat guna.
Dalam era digital seperti sekarang ini, penelitian literasi baca tulis juga
menghadapi tantangan baru, seperti dampak teknologi terhadap perkembangan
literasi baca tulis dan penggunaan media sosial dalam membaca dan menulis.
Oleh karena itu, penelitian literasi baca tulis perlu terus diperbarui dan
disesuaikan dengan perubahan zaman untuk dapat memberikan solusi yang
tepat bagi perkembangan literasi baca tulis di masa depan.

ASESMEN

A. Konsep Asesmen
Asesmen merupakan proses mengumpulkan data tentang perkembangan
belajar peserta didik (Gloria 2012). Asesmen dapat dikatakan sebagai penilaian
proses, perkembangan, serta hasil belajar siswa (Wulan 2001). Dengan
demikian asesmen adalah istilah yang tepat untuk mengukur proses belajar
siswa. Asesmen dibedakan menjadi dua kelompok yaitu asesmen tradisional
dan asesmen alternatif. Asesmen tradisional meliputi tes benar-salah, tes pilihan
ganda, tes melengkapi, dan tes jawaban terbatas. Sedangkan asesmen alternatif
meliputi soal uraian, penilaian praktek, penilaian proyek, kuesioner, inventori,
daftar Cek, penilaian teman sejawat, penilaian diri, portofolio, observasi,
diskusi dan wawancara (Wulan 2001).
Pelaksanaan asesmen bertujuan untuk (1) mendeskripsikan keberhasilan
penguasaan kompetensi siswa, (2) mendeskripsikan keberhasilan proses
pembelajaran, (3) menentukan tindak lanjut hasil penilaian, (4) sebagai bentuk
pertanggungjawaban pihak sekolah kepada orang tua dan masyarakat, serta (5)
sebagai bahan perbaikan proses kegiatan belajar mengajar.
B. Asesmen Kompetensi Minimum ( AKM )
Komponen utama pendidikan dibedakan menjadi tiga yaitu kurikulum,
pembelajaran dan asesmen. Kurikulum mencakup tentang apa yang akan
dipelajari. Pembelajaran menyangkut tentang bagaimana cara mencapai tujuan
untuk menguasai materi sesuai dengan kurikulum. Sedangkan asesmen
mengukur tentang segala sesuatu yang sudah dipelajari, apa saja dan sejauh
mana. Assesmen merupakan penerapan penggunakaan alat penilaian untuk
mendapatkan informasi sebanyak – banyaknya tentang sejauh mana
keberhasilan siswa dalam menguasai kompetensi tertentu.
Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) diselenggarakan guna
mendapatkan informasi untuk dapat memperbaiki kualitas pembelajaran
sehingga harapannya akan dapat memperbaiki pula hasil belajar siswanya.
Pelaksanaan asesmen tidak hanya mengukur penguasaan materi pengetahuan
sesuai dengan kurikulum, namun dirancang khusus untuk mengetahui kualitas
pendidikan secara menyeluruh dan melakukan perbaikan atas mutu pendidikan
yang dirasa masih kurang. Fokus utama AKM adalah pada terpenuhinya
kemampuan literasi membaca dan literasi numerasi pada siswa (Cahyana 2020).
Hasil AKM dimaksudkan untuk memaparkan informasi tentang tingkat
kemampuan yang dimiliki siswa. Hal inilah yang akan dimanfaatkan guru
dalam merancang pembelajaran menggunakan strategi pembelajaran inovatif
yang efektif dan berkualitas sesuai dengan tingkat capaian siswa. Pembelajaran
yang dirancang sesuai dengan tingkat capaian siswa ini diharapkan dapat
memudahkan siswa dalam menguasai konten suatu mata pelajaran. Instrumen
soal AKM tidak hanya berisi topik atau konten suatu materi tertentu melainkan
mencakup konten, konteks dan proses kognitif yang harus dilalui oleh siswa.
Pelaksanaan asesmen kompetensi ini membuat guru harus lebih kreatif
dalam menyusun instrument penilaian untuk siswa (Nehru 2019). Secara tidak
langsung, guru yang mengajar menggunakan model konvensional juga harus
diganti menjadi model pembelajaran yang kreatif dan inovatif sesuai dengan
kondisi yang dibutuhkan. Pelaksanaan asesmen kompetensi memiliki
pendekatan Student Centered Learning (SCL) (Nehru 2019). SCL merupakan
pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa dimana guru hanya
berperan sebagai fasilitator. Hal ini karena pelaksanaan pembelajaran yang
bersifat konservatif atau konvensional tidak dapat menjadi wadah pelaksanaan
asesmen nasional. Dengan memperbanyak peran siswa dalam proses
pembelajaran maka akan memudahkan dalam penguasaan literasi numerasi
yang menjadi salah satu target AKM.

Anda mungkin juga menyukai