Anda di halaman 1dari 2

Legenda Watu Blorok

Nama Watu Blorok sudah tidak asing lagi bagi warga Mojokerto, khususnya yang

bermukim di wilayah utara Sungai Brantas. Namun yang tak banyak orang tahu, batu yang

dikeramatkan itu memendam legenda kutukan dari kesatria zaman Majapahit.

Watu Blorok terletak di pinggir jalan raya Mojokerto-Gresik. Tepatnya sekitar 100 meter dari

permukiman penduduk Dusun Pasinan, Desa Kupang, Kecamatan Jetis, atau di tepi hutan

Perhutani. Jaraknya hanya sekitar 9 km dari Alun-alun Kota Mojokerto.

Batu dengan diameter sekitar 1 meter ini nampak mencolok karena diberi peneduh

berbahan galvalum. Kain putih lusuh menyelimuti Watu Blorok. Taburan kembang yang sudah

mengering menghiasi puncaknya. Aroma wangi menyeruak dari dupa yang dibakar di bawahnya.

Dalam Bahasa Jawa, watu berarti batu. Sedangkan Blorok merupakan kata sifat untuk

menggambarkan ayam betina yang bulunya berbintik hitam putih. Disebut Watu Blorok karena

permukaan batu tersebut tidak rata dan sarat benjolan kecil-kecil.

"Disebut Watu Blorok karena batunya ada bintik-bintiknya. Hutan di sekitarnya juga

dinamai Alas (hutan) Watu Blorok," . Watu Blorok ini konon berhubungan dengan sebuah batu di

seberangnya yang tidak terawat. Batu yang ukurannya lebih kecil itu posisinya sejajar dengan

Watu Blorok. Kedua batu tersebut dipisahkan jalan raya.

Legenda yang selama ini dipercaya masyarakat setempat, Watu Blorok merupakan

jelmaan Roro Wilis. Sedangkan batu di seberangnya adalah sosok Joko Welas. Mereka

merupakan kakak beradik keturunan kesatria dari Majapahit.

Pemerhati Sejarah Lokal Iwan Abdillah menjelaskan, hutan di sekitar Watu Blorok

dulunya disebut Hutan Mojoroto. Legenda batu tersebut berlatar belakang zaman Majapahit.

Dikisahkan pada masa itu ada seorang kesatria abdi kerajaan bernama Wiro Bastam.

Wiro ditugaskan raja untuk berburu karena permaisuri mengidam ingin memakan hati

kijang kencana. Kijang tersebut konon hanya ada di Hutan Mojoroto. Namun, perburuan yang

dilakukan Wiro gagal. Kijang kencana kabur dengan tombak Wiro masih menancap di tubuhnya.
"Anak Wiro Bastam yang laki-laki bernama Joko Welas dan perempuan bernama Roro Wilis

mencoba membantu ayahnya mencari jejak kijang kencana yang terkena tombak," terangnya.

Dalam perjalanan ke Hutan Mojoroto, lanjut Iwan, Joko Welas berduel dengan para

pertapa di sebuah sendang karena terjadi salah paham di antara mereka. Menurut dia, sendang

tersebut diyakini berada di Desa Jolotundo, Kecamatan Jetis.

Sedangkan adiknya, Roro Wilis tercebur ke sumur beracun di hutan Bendo, Jolotundo

gara-gara dijebak seorang nenek tua. Kulit sekujur tubuh Roro Wilis menjadi berbintik-bintik

hitam putih (blorok) karena tercebur ke sumur beracun itu. Saat adik kakak ini bertemu, Joko

Welas tidak percaya perempuan itu adik kandungnya.

"Beberapa waktu kemudian Wiro Bastam menghampiri mereka. Melihat kedua anaknya

saling berdebat, Wiro Bastam bertanya kepada mereka mengapa bertikai. Karena takut dengan

bapaknya, mereka diam saja. Wiro Bastam lantas menyebut kedua anaknya itu seperti batu

karena diam saja saat ditanya sampai tiga kali". Seketika Joko Welas dan Roro Wilis berubah

menjadi batu.

"Pesan moral cerita rakyat ini, jadi orang tua jangan sembrono mengumbar kata-kata. Karena

bisa membawa risiko terhadap dirinya sendiri maupun keluarganya".

Anda mungkin juga menyukai