Anda di halaman 1dari 8

SELOKAMBANG

Kira-kira 700 tahun lalu wilayah yang sekarang ini kita sebut Lumajang diperintah
oleh Adipati Arya Wiraraja sebagai hadiah dari Raja Majapahit kepada Arya Wiraraja yang
telah banyak berjasa kepada Majapahit. Kediaman Arya Wiraraja oleh benteng yang dipakai
oleh prajurit Kadipaten berlatih keprajuritan dan saat ini daerah tersebut kita namakan desa
Biting (asal kata biting artinya benteng).

Setelah 35 hari adipati Arya Wiraraja meninggal, daerah Biting diserang oleh prajurit
Majapahit yang saat itu masyarakat biting tidak mengadakan perlawanan sama sekali,
akhirnya mereka mengungsi keluar daerah yang mereka anggap aman diantaranya hutan-
hutan kecil sekitar daerah tersebut. Saat ini daerah hutan itu dinamakan Kabonarang,
sedangkan daerah bendungan yang juga disekitar hutan tersebut sekarang ini kita sebut
Dawuhan Lor (Dawuhan artinya bendungan yang letaknya disebelah utara desa itu)
diceritakan pula bahwa pada saat itu keluarga Mpu Nambi (putra Arya Wiraraja) juga
terbunuh. Tidak ketinggalan Demang Ploso pun ikut mengungsi. Demang Ploso adalah
Demang yang saat itu hidup dijaman tersebut, beliau mempunyai Abdi Kinasih yang sangat
setia. Dari Abdi Kinasih itulah legenda Selokambang ini ada. Abdi Kinasih mencari Demang
Ploso yang saat itu berpencar dalam pengungsian. Dirumah Demang Ploso sudah tidak
berpenghuni maka Abdi Kinasih hanya bisa mengamankan barang-barang Demang Ploso
yang sangat berharga. Dengan memanggul barang tersebut Abdi Kinasih meninggalkan
tempat tersebut dengan tujuan mencari dimana Demang Ploso dan Keluarganya mengungsi.
Sementara Abdi Kinasih belum bertemu dengan tuannya dia ingin menitipkan barang yang
dibawanya ketempat yang aman yaitu tempat Mpu Teposono di Padepokan Teposono (Tepo
artinya Topo, Sono artinya tempat ; Teposono artinya tempat bertapa yang banyak ilmunya).
Mereka berunding untuk menyimpan barang dengan janji jika abdi Kinasih sudah bertemu
dengan Demang Ploso barang itu akan diambil kembali. Bersama Mpu Teposono, lima
cantriknya dan Abdi Kinasih mencari tempat untuk menyimpan barang tersebut. Disekat
pohon besar disekitar danau kecil yang ada di daerah itulah mereka akan menyimpan barang
tersebut yang berupa cepu-cepu yang isinya perhiasan berharga. Kebetulan di dekat pohon
tersebut ada sebongkah batu sebesar kerbau, disitulah mereka akan menyimpannya. Batu itu
tidak bisa diangkat meskipun dengan cara apapun sehinggga mereka menyerah dan
mengadukan hal tersebut kepada Mpu Teposono. Mpu Teposono segera memerintahkan
supaya mereka menjauhkan diri dari batu besar itu. Sang Mpu masuk ke dalam biliknya
mengambil keris Aji Pameleng dan bersemedi meminta kepada yang Maha Agung agar batu
besar itu bisa terangkat.
Berdebar hati mereka menanti apa yang akan terjadi, tidak lama terdengarlah suara
gemuruh dari dalam batu dan timbullah lubang kecil dari batu itu, berjuta-juta pasir tersembur
dari lubang tersebut. Mpu Teposono menghentikan semedinya dan keluar sambil membawa
tongkat gemilingnya menghampiri batu yang sudah tidak menyemburkan pasir lagi diikuti
para cantrik dan abdi kinasih yang masih berdebar-debar. Tongkat gemiling Mpu Teposono
dibuat untuk membuat batu besar itu ke tengah danau. Anehnya batu besar itu dengan
ringannya meluncur ke tengah danau. Batu itu terapung-apung tertiup angin, sedangkan abdi
kinasih dan beberapa cantrik menggali lubang bekas batu itu berada dan menyimpan cepu-
cepu itu. Setelah itu abdi kinasih meneruskan perjalanan mencari tuannya ke daerah
pengungsian.

Puluhan tahun telah berlalu Mpu Toposono telah meninggal, para cantrik kembali ke
rumah masing-masing, danau kecil tempat batu terapung itu semakin melebar, batu terapung
itu lama-kelamaan habis terguyur oleh air hujan. Tinggalah danau yang sering dikunjungi
penduduk digunakan untuk mandi. Dan tempat ini diberi nama SELOKAMBANG (selo
artinya batu, kambang artinya terapung) seperti yang kita ketahui saat ini, bahwa pemandian
Selokambanga itu tempatnya ± 7 km sebelah barat Kabupaten Lumajang. Pada saat ini
pemandian selokambang disamping menjadi objek wisata unggulan sebagian masyarakat juga
percaya jika mandi di pemandian selokambang bisa menyembuhkan berbagai macam
penyakit.
SELOKAMBANG

About 700 years ago the area that we now call Lumajang was ruled by the Duke Arya
Wiraraja as a gift from King Majapahit to Arya Wiraraja who had many contributions to
Majapahit. Arya Wiraraja's residence by the fortress used by the Duchy soldiers practices the
army and nowadays the area we name the village Biting (the origin of the word Biting means
fortress).

After 35 days the duke arya wiraraja died, Biting area was attacked by Majapahit
soldiers who at that time the biting people did not withstand resistance at all, finally, they
evacuated out of areas they considered safe including small forests around the area.
Currently, the forest area is called Kabonarang, while the dam area that is also around the
forest today we call Dawuhan Lor (Dawuhan means dam located in the north of the village) is
also told that at that time the family of Mpu Nambi (son of Arya Wiraraja) was also killed.
Demang Ploso also took cover. Demang Ploso was a Demang who at the time lived in
Keabsnas, he had a very loyal Kinasih Abdi. From Abdi Kinasihlah Selokambang legend
exists. Abdi Kinasih searches for Demang Ploso who has torn apart in the evacuation.
Demang Ploso's house is no longer inhabited so Abdi Kinasih can only secure Demang
Ploso's valuables. Abdi Kinasih left the place in search of the place of Demang Ploso and his
family was evacuated. While Abdi Kinasih has not met his master he wants to leave the
goods he brought to a safe place that is Mpu Teposono's place in Padepokan Teposono (Tepo
means Topo, Sono means place; Teposono means place of knowledge). They negotiated to
store the goods with the promise that if Kinasih's men had met with Demang Ploso the goods
would be taken back. Together with Mpu Teposono, his five wives and Abdi Kinasih
searched for a place to store the goods. Blocked by large trees around a small lake in the area,
they will store the item in the form of a box containing valuable jewelry. There happens to be
a piece of rock the size of a buffalo, that's where they'll keep it. The stone could not be lifted
even if in any way they gave up and complained to Mpu Teposono. Mpu Teposono
immediately ordered them to stay away from the boulder. Sang Mpu went into his room to
pick up Aji Pameleng's kris and sadly asked the Highest so that the boulder could be lifted.

Their hearts waited for what was to come, and soon there was a roar from within the
rock and a small hole emerged from the rock, millions of sand scattered from the hole. Mpu
Teposono stopped his tattoo and came out with his magic wand to a stone that was no longer
spouting sand followed by the concubine and Abdi Kinasih who was still pounding. Gemiling
Stick Mpu Teposono was made to make a large rock into the middle of the lake. Strangely the
rock glides lightly into the middle of the lake. The stone floated in the wind, while Kinasih
and some of his concubines dug a stone hole and kept the boxes. After that, kinasih continued
to search for his master's in the evacuation area.

Decades have passed Mpu Toposono has died, the concubines return to their
respective homes, the small lake where the floating stone is widening, the floating stone is
gradually depleted by rainwater. The lake is frequented by residents used to bathe. And this
place is named SELOKAMBANG (Selo means stone, Kambang means floating) as we know
today, that Selokambanga baths are ± 7 km west of Lumajang Regency. At this time
Selokambang baths in addition to being a superior tourist attraction some people also believe
that bathing in Selokambang baths can cure various diseases.
Susah Senangnya Belajar Daring

Virus Covid-19 atau yang lebih dikenal dengan virus Corona mulai masuk ke
Indonesia. Berbagai macam berita telah muncul di internet. Salah satu yang saya baca
“Pengumuman Jokowi resmi menetapkan 2 WNI positif Corona” melihat berita tersebut saya
mulai diam dan berimajinasi bahwa ini cara alam mengurangi populasi manusia, siang itu
bukan hanya di satu kota namun seluruh Indonesia digegerkan dengan datangnya virus
tersebut. Covid-19 benar-benar membuat sengsara.
Beberapa hari kemudian, virus ini semakin merajalela, semakin menyebar dan
penyebarannya sangat mudah. Melihat keadaan tersebut, pemerintah dengan sigap
mengambil kebijakan menghentikan proses pembelajaran tatap muka. Sebagai gantinya,
pembelajaran dilakukan jarak jauh atau dengan sistem daring. Penerapan pembelajaran daring
ini  menuntut kesiapan bagi kedua belah pihak, baik dari guru ataupun dari murid. Pihak
sekolah pun membuat kebijakan belajar dari rumah dengan memanfaatkan teknologi.
Pembelajaran daring pun dimulai. Saya pikir belajar di rumah itu enak bisa santai-
santai, bisa nyambi nyapu, nyuci, bantu orang tua, bahkan sambilan nonton film Korea.
Belajar di rumah dalam pikiran saya adalah belajar dengan memanfaatkan segala potensi
yang ada di rumah, misalnya saya adalah anak tertua, memiliki seorang adik. Tugas-tugasnya
nanti semacam membuat membuat teks narasi tentu aktivitas saya dan lain-lain. Tugas-tugas
itu dikumpulkan saat pembelajaran di sekolah. Saya mengira belajar di rumah adalah sebuah
persiapan sementara selama wabah corona merebak. Intinya saat sekolah nanti, kita sudah
tahu dasar materinya dan dikembinangbinakan di sekolah.
Namun, kenyataannya jauh dari ekpektasi saya. Pada saat pembelajaran saya dan
teman-teman saya diberikan berbagai macam tugas oleh guru-guru. Awalnya saya
bersemangat untuk belajar dan mengerjakan tugas dari guru. Tugas-tugas itu diberikan sesuai
dengan jadwal mata pelajaran yang ada. Saya sudah memegang HP mulai jam 07.00 pagi,,
mengecek HP dan mengerjakannya, lalu mengumpulkan sesuai dengan waktu jam pelajaran.
Hanya saja, lama-kelamaan itu menjadi beban. Tugas yang diberikan setiap hari sangat
banyak dan harus dikumpulkan tepat waktu. Belum lagi, saya harus menelusuri materi di
google sebab tidak semua materi atau tugas yang diberikan benar-benar bisa saya pahami.
Mau bertanya dan diskusi dengan guru sungkan, masa tugas ditanya balik. Apalagi misalnya
ada tugas berupa laporan praktikum, waduh apa maksudnya coba. Mau praktikum di
mana? Wong keluar saja susah.
Ternyata, hal yang sama juga dialami oleh rekan-rekan saya di sekolah lain. Bahkan,
tugasnya lebih berjubel. Bagi siswa dengan latar belakang ekonomi dan sosial yang mapan
tidak masalah. Proses belajar dalam jaringan ini membutuhkan paket internet. Dalam
seminggu, menurut penuturan beberapa teman, paketan yang seharusnya habis sebulan sudah
habis. Cerita teman lain, malahan kehidupannya semakin ruwet. Bagaimana tidak ruwet
sebab di rumah mereka harus bekerja dengan orang tua. Ada orang tua yang beranggapan
bahwa belajar ya di sekolah, bukan di rumah. Jadi, sepanjang anaknya ada di rumah ya
dianggap tidak belajar sehingga semua kebutuhannya (baca: paket internet) tidak wajib untuk
dipenuhi.
Namun, menurut cerita, ada sisi positif yang bisa teman-teman rasakan hikmah di
balik belajar di rumah ini, yaitu soliditas teman. Ya, teman yang sebelumnya pelit di kelas,
jarang membantu, tertutup soal pelajaran, menjadi lebih terbuka. Tidak jarang tugas-tugasnya
dishare di grup kelas. Kami menconteknya rame-rame. Beberapa soal, oleh beberapa siswa,
memang jarang dibaca saksama sebab tidak bisa dipahami. Permasalahan kemudian muncul
sebab jawaban yang di-sharing disalin mentah oleh beberapa siswa. Guru menugaskan
membuat ulang.  Sharing jadi pusing. Oleh karena itulah, teman-teman mengusulkan agar
kembali ke sekolah saja. Belajar di rumah malah bertambah ribet. Kebanyakan dari kami
menganggap bahwa kami tak benar-benar belajar sebab pikiran terpenjara. Lebih dari itu,
ekonomi siswa juga lock down pendapatan utama dari bekal terputu distribusinya.
Namun, kemudian kami bersyukur sebab ada imbauan pemerintah agar pembelajaran
dalam jaringan (di rumah) tidak memberatkan siswa, apalagi memberatkan orang tua yang
kehidupannya sudah berat. Perubahan pola pembelajaran di sekolah saya, misalnya, ada
batasan jumlah tugas, ada kelonggaran penyerahan tugas, hingga perubahan materi tugas
yang lebih mengedepankan sisi aplikatif dibandingkan teoretis. Misalnya, tugas pelajaran
Olahraga yang cukup dilakukan dengan berolahraga di pagi hari atau pelajaran Bahasa
Indonesia yang cukup menonton video di YouTube tentang penangan corona. Tugas kali ini
semakin manusiawi.
Namun, bagi saya, upaya apapun yang dilakukan oleh guru, itu adalah niat baik guru
yang harus kita sambut positif. Dalam pandangan saya, tidak ada seorang pun guru yang akan
mengarahkan siswanya menuju jurang kehancuran. Saya siap menghadapinya,
walaupun ngeluh-ngeluh sedikit tak apa kan?
Difficulty Learning Online
Covid-19 virus or better known as the Corona virus is starting to enter Indonesia. A
wide variety of news has appeared on the internet. One of the things I read "Jokowi's
announcement officially established 2 positive Indonesian citizens Corona" saw the news I
began to silence and imagine that this is the way nature reduces the human population, that
afternoon not only in one city but the whole of Indonesia was surprised by the arrival of the
virus. Covid-19 is really miserable.

A few days later, the virus is getting rampant, increasingly spreading and spreading
very easily. Looking at the situation, the government is quickly taking a policy of stopping
the process of face-to-face learning. Instead, learning is done remotely or with online
systems. The application of online learning demands readiness for both parties, both from
teachers and from students. The school also makes a policy of learning from home by
utilizing technology.

Online learning began. I think studying at home is good to be able to relax, can while
sweeping, washing, helping parents, even while watching Korean movies. Learning at home
in my mind is learning by harnessing all the potential that is at home, for example, I am the
oldest child, having a sister. His later tasks sort of make making narrative text certainly my
activity and others. Those tasks are collected during school learning. I thought studying at
home was a temporary preparation during the corona outbreak. Basically at school, we
already know the basics of the material and are discussed in the school.

However, the reality is far from my expectations. At the time of studying, and my
friends were given various assignments by the teacher. At first, I was very excited to learn
and do the teacher's work. Tasks are assigned according to the subject's schedule. I've been
holding my phone since 7:00 a.m., checking my phone and working on it, then collecting
according to lesson hours. It's just that as time goes on it becomes a burden. The tasks given
daily are numerous and must be collected on time. Not to mention, I had to search for
material on google because not all the materials or tasks given are completely understandable.
Want to ask questions and discuss with teachers—again, the assignment period is re-asked. In
addition, for example, there are tasks in the form of practical reports, ouch what it means to
try. Where do you want to practice? People just get out hard.

As it turns out, the same thing was experienced by my colleagues at other schools. In
fact, his job is more gambled. For students with established economic and social
backgrounds, it doesn't matter. This online learning process requires an internet package.
Within a week, according to some friends, the package that should have run out a month was
exhausted. Another friend's story, in fact, his life is getting more complicated. How not hard
because at home they have to work with parents. There are parents who think that studying
yes at school, not at home. So, as long as the child is at home yes considered not learning so
all his needs (read: internet package) are not obliged to be fulfilled.

However, according to the story, there is a positive side that friends can feel the
wisdom behind studying in this house, namely the solidity of friends. Yes, friends who were
previously stingy in class, rarely helpful, closed about lessons, became more open. It is not
uncommon for tasks to be shared in class groups. We're sucking it up. Some questions, by
some students, are rarely read carefully because they are incomprehensible. The problem then
arises because the shared answers are copied raw by some students. The teacher
commissioned the remake. Sharing is dizzy. Therefore, friends propose to go back to school
only. Studying at home is even more complicated. Most of us assume that we don't really
learn because the mind is imprisoned. More than that, the student economy is also locked
down the main income from the provision of its distribution

However, then we are grateful because there is a government appeal so that online
learning (at home) does not incriminate students, let alone incriminate parents whose lives
have been hard. Changes in learning patterns in my school, for example, there are limits on
the number of tasks, there is a loosening of assignment submission, to changes in task
materials that put the applicative side forward rather than theoretical. For example, enough
Exercise lessons are done by exercising in the morning or Indonesian lessons that simply
watch a video on YouTube about corona handlers. This task is getting more human.

However, for me, any effort made by the teacher, it is the goodwill of the teacher that
we should welcome positively. In my view, no teacher will steer his students towards the
abyss of destruction. I'm ready to deal with it, even if it's a little dizzy, right?

Anda mungkin juga menyukai