Angin malam yang dingin berhembus menusuk hingga ke tulang. Suara hewan malam yang
bersahut-sahutan memecah keheningan malam. Diam-diam beberapa orang Mataram yang
anti Belanda berkumpul dan menyiapkan segala keperluan mereka.
“Apakah semua sudah datang? Jangan sampai ada yang tertinggal, atau dia akan mati disini”
ujar To Papiro, pemimpin rombongan itu.
To Papiro lalu menghampiri teman-temannya untuk memastikan lagi bahwa semuanya sudah
siap. Lalu beberapa saat kemudian…
“Baiklah, kurasa sudah cukup perbekalan kita ini. Sekarang mari kita berangkat sebelum
matahari terbit”, ujar To Papiro dengan suara pelan. Lalu rombongan prajurit dari Mataram
itu berangkat arah Timur (Jawa Timur).
“Sepertinya ini adalah daerah yang tepat untuk dapat kita jadikan permukiman penduduk
yang baru”, ujar To Papiro kepada teman-temannya.
“Benar, sepertinya disini akan aman dari serangan Belanda”, ujar prajurit 1.
Mereka akhirnya mulai membabad tempat tersebut untuk dijadikan permukiman penduduk.
Malam selasa pahing, kumpulan prajurit dari Mataram (pimpinan To Papiro) berkumpul di
Tempura untuk membabad desa Darungan (sekarang) dengan berjalan kaki.
Juga ditemukan sebuah petilasan atau Punden yang diyakini adalah pesanggrahan dari
seorang pujangga perempuan bernama Dewi Rantimah.
Sebelum orang Mataram datang ke Darungan, petilasan/punden tersebut sudah ada disana.
Pembabad desa Darungan pertama kali adalah prajurit-prajurit dari Mataram yang anti
Belanda dan melarikan diri ke Jawa Timur. Rombongan dari Mataram tersebut dipimpin oleh
To Papiro. To Papiro sangat berjasa dalam memimpin hingga dapat berdirilah Desa Darungan
hingga saat ini.
Masyarakat desa Darungan sangat menghormati To Papiro atas jasanya membabad dan
memimpin masyarakat desa Darungan. Masyarakat menilai To Papiro sangat berjasa
sehingga akan membuatkan punden untuk mengenang jasa To Papiro, namun beliau tidak
berkenan.
To Papiro tidak berkenan untuk dibuatkan punden karena To Papiro merasa bahwa dirinya
hanyalah tamu disini. Ada yang seharusnya lebih dihormati daripada To Papiro. Yaitu dia
yang lebih dulu tinggal disini sebelum dirinya datang. To Papiro yakin bahwa jauh sebelum
kedatangan rombongan dari Mataram untuk membabad desa, pernah ada kehidupan di tempat
ini. Terbukti dari penemuan Punden yang sekarang bernama Punden Soh Bango.
To Papiro pernah berpesan kepada putranya, jika ingin kembali ke Mataram jangan menaiki
Kereta Api karena itu adalah kepalanya Belanda. Artinya To Papiro adalah seorang yang
sangat anti dengan Belanda.
Diketahui yang pernah membabad desa Darungan berasal dari 3 wilayah, yang pertama
Mataram. Kedua ponorogo. Ketiga Begelen.
Terdapat sebuah pohon Kepuh yang menjadi tempat bersangkar burung bangau. Di bawah
pohon Kepuh juga terdapat sumber air. Didekat itu terdapat juga sebuah punden yang
masyarakat setempat meyakini bahwa punden tersebut adalah Punden Dewi Siti Rantimah,
seorang Pujangga yang berasal dari Surakarta. Punden tersebut diyakini dibangun pada jaman
Majapahit, karena dibangun dengan menggunakan batu bata merah khas Kerajaan Majapahit.