Anda di halaman 1dari 2

ASAL USUL HUTAN DONOLOYO

Padamulanya Donoloyo adalah nama sebuah hutan yang berada di tepian hulu Bengawan Solo. Kemudian nama inilah
yang digunakan oleh masarakat sekitar hutan itu untuk menyebut seorang laki-laki yang terkenal santun dan bijak lagi sakti
yang kemudian babat alas (membabat hutan) untuk ia diami kelak bersama keluarganya. Orang-orangsekitar hutan itu
menyebutnya Ki Ageng Donoloyo.
Ki Ageng (sebutan untuk orang yang dihormati di suatu desa) Donoloyo adalah seorang laskar Majapahit yang
tertinggal daripasukannya di daerah Wonogiri sebelah timur, tepatnya di desa Sambirejo kecamatan Slogohimo sehingga ia
memutuskan untuk tidak kembali dan menetap di wilayah itu (ada yang berpendapat hal ini diperkirakan oleh pengaruh raja
mereka, Airlangga yang memutuskan meninggalkan kerajaan untuk mencari keabadian dengan bertapa, namun ada pula versi
lain yang mengatakan bahwa mereka berdua tidak pulang ke Majapahit akibat terjadi peperangan saudara dan desakan dari
kerajaan Islam Demak).
(Menurut versi lain pula banyak orang mengatakan bahwa Ki Ageng masih kerabat dekat dengan Airlangga, penguasa
Majapahit ketika itu yang mana kemudian memberikan sebuah wilayah untuk dikembangkan menjadi sebuah desa layaknya
Gajah Mada).
Ketika tertinggal ia tidak sendiri melainkan ia bersama seorang laskar lain yang kelak dinamakan oleh orang-orang
sekitarnya dengan nama Ki Ageng Sukoboyo. Namun kemudian mereka memutuskan untuk berpisah mencari wilayah sendiri-
sendiri untuk mereka jadikan tempat menepi dan kelak pada akhirnya berkeluarga. Ki Ageng Donoloyo menuju ke selatan
sementara Ki Ageng Sukoboyo menuju ke utara di hutan Sukoboyo setelah terjadi pertengkaran kecil di tengah-tengah wilayah
yang kemudian kelak mereka diami. Ki Ageng Sukoboyo mempunyai watak yang keras sementara Ki Ageng Donoloyo
sebaliknya.
Setelah beberapa tahun kemudian Ki Ageng Donoloyo dicari oleh seorang kakak perempuannya. Hingga pada akhirnya suatu
saat kakak Ki Ageng Donoloyo itu dipersunting oleh Ki Ageng Sukoboyo. Hal inilah yang kemudian mempererat kembali ikatan
di antara keduanya meski pada mulanya mereka sempat berseteru memperebutkan tempat menepi.
Masalah kedua pun muncul (kelak masalah ini merenggangkan kembali persaudaraan mereka) ketika Ki Ageng
Donoloyo ingin mengunjungi kakak perempuannya setelah sekian lama tidak bertemu. Kejadian ini adalah ketika Ki Ageng
Donoloyo hendak pulang ke daerahnya, ia terpaku pada sekitar kediaman Ki Ageng Sukoboyo yang tumbuh beberapa pohon
Jati besar, tinggi menjulang. Ia tidak tahu sebelumnya kalau di sekitar rumah kakak iparnya itu tumbuh pohon yang belum ia
temui selama hidupnya. Pohon itu seperti mengeluarkan sinar. Terbersit kemudian dalam hatinya untuk bertanya pohon
apakah itu kepada Ki Ageng Sukoboyo. Kamudian dijelaskan bahwa pohon itu bernama pohon jati pohon yang memiliki
batang kayu berkualitas paling baik (sejatinya kayu) di Kedhuang Ombo (tanah Jawa), dan tidak sembarang orang boleh
menanamnya. Mendengar penjelasan itu Ki Ageng Donoloyo sangat tertarik untuk meminta klentheng (biji kayu jati) untuk ia
tanam di daerahnya. Namun ketika ia mengutarakan niatnya itu, justru ia mendapatkan tolakan. Ki Ageng Sukoboyo marah-
marah tak terkira mendengar permintaan Ki Ageng Donoloyo. Namun dengan sabar Ki Ageng Donoloyo hanya menunduk dan
diam mendapatkan semprotan marah kakak iparnya itu. Lantas ia pun berpamitan untuk kembali ke niatnya semula yakni
pulang ke daerahnya (kelak disebut hutan Donoloyo).
Sesampainya di tengah perjalanan ia tercengang keget ketika kakak perempuannya (istri Ki Ageng Sukoboyo) meneriakinya
dari belakang. Ia pun berhenti dan menoleh. Sang kakak menghampiri dan berkata bahwa ia telah mendengar percakapannya
dengan Ki Ageng Sukoboyo dan juga permintaan tersebut. Sang kakak menyarankan agar ia satu purnama lagi kembali dan
membawa tongkat dari bambuuluh (jenis bambu paling kecil yang biasa dipakai sebagai tempat membran terompet tahun
baru) untuk menyembunyikan biji jati dengan cara menghunjamkan tongkat itu di atas klentheng / biji jati sehingga biji
tersebut akan masuk dengan sendirinya. Sang kakak melarangnya untuk waktu dekat ia kembali lagi ke rumahnya sebab ia
khawatir Ki Ageng Sukoboyo masih merasa tersinggung dan menyimpan marah dengan permintaan adiknya tempo hari.
Dan sampailah satu purnama itu, Ki Ageng Donoloyo akhirnya berhasil mencuri dua biji jati dari pekarangan Ki Ageng
Sukoboyo meski ketika itu mereka berdua bersama-sama tampak asik berjalan-jalan sembari bercakap-cakap di bawah pohon
jati kesayangan Ki Ageng Sukoboyo.
Meski berhasil mencuri dua biji klentheng dan merasa yakin jika Ki Ageng Sukoboyo tidak mengetahui tindakan
culasnya ini ia masih saja gugup, dan hal ini membuatnya pulang dengan tergesa-gesa dan membuat sepasang kakinya sedikit
berlari.
Sampailah kemudian ia di hutan Denok (sekarang desa Made). Ia beristirahat di bawah pohon bulu (semacam beringin)
yang rindang. Di situlah kemudian satu biji terjatuh dan tumbuh besar dengan dililit pohon bulu (pohon jati berada tepat di
tengah lilitan pohon bulu sehingga terlihat unik, tampak seperti pohon bulu yang merangkul pohon jati). Jati itu kemudian
dinamakan jati Denok. Sementara satu biji kemudian ditanam di hutan Donoloyo yang kelak dinamakan Jati Cempurung, yang
juga kemudian dipercayai digunakan sebagai soko guru pembangunan masjid Demak kali pertama. Jati Cempurung ini
memiliki keunikan yakni sore ditanam paginya sudah tumbuh dengan berdaun dua. Maka tidak heran jika kemudian konon jati
ini tumbuh dengan cepat dan besar sehingga bayang-bayangnya ketika pagi sampai di tengah alun-alun Demak.
Maka semenjak itulah ketika jati Cempurung sudah beranak-pinak Ki Ageng Donoloyo melarangwarga sekitar hutan
Donoloyo untuk membawa atau menjual pohon jati dari Donoloyo kepada orang-orang di utara jalan (sekarang jalan raya
Wonogiri-Ponorogo yang dipercayai sebagai tempat pertengkaran pertama kali antara Ki Ageng Donoloyo dengan Ki Ageng
Sukoboyo ketika berebut tempat untuk menepi) sebab hal itu akan berdampak kematian, kayu jati itu dengan sendirinya akan
berubah menjadi jengges tenung (santhet) pada yang membawa (mengangkut) dan yang menjualnya.
Konon pula kemudian Jati yang berasal dari hutan Donoloyo semua memiliki ciri growong di tengah batangnya
meskipun sedikit, sebab hal ini dikarenakan induknya (Jati Cempurung) adalah dari hasil mencuri. Selain itu keunikan lainnya
adalah adanya suatu cerita yang mengatakan bahwa ketika keraton Surakarta membutuhkan dua batang pohon jati yang
berasal dari hutan Donoloyo dapat kembali lagi ke asalnya setelah seorang ndalem (kerabat keraton) mencemoohnya. Jati itu
kembali ke sisi hutan Donoloyo paling barat, tepatnya di desa Pandan (dan dua batang pohon jati itu sampai sekarang masih
ada. Orang-orang mempercayai dua batang pohon jati yang tergeletak di pinggir sebuah sawah di desa Pandan itu adalah Jati
yang kembali akibat dicemooh orang nDalem Keraton Surakarta).
Jati Cempurung dan Masjid Demak
Ki Ageng Donoloyo sangat takjub dengan pertumbuhan jati yang ditanamnya ini. Pohon jati itu tumbuh dengan luar
biasa. Dengan waktu yang tidak lama pohon jati itu tumbuh besar menjulang tinggi. Pohon jati itu memberinya kebanggaan
luar biasa. Setiap hari ia memandangnya sembari memanjakan burung perkutut putih kesukaanya sembari pula menghisap
candu dengan pipa panjang yang dihisap dari samping bersama anak-anak dan istrinya (versi lain mengatakan bahwa Ki Ageng
Donoloyo tidak beristri). Sesekali sembari menikmati pohon jati itu Ki Ageng menanggap ledhek mbarang (orkes keliling) jika
kebetulan lewat.
Hingga pada akhirnya datanglah utusan Raden Patah dari kerajaan Demak menemui Ki Ageng Donoloyo untuk
membeli pohon jati yang ditanamnya itu berapapun harganya. Ki Ageng Donoloyo pun memperbolehkannya, tapi ia tidak
meminta apa-apa sebagai gantinya. Ia hanya meminta sebuah sarat Lemah Kedhuang Ombo yen ono pagebluk njaluk kalis lan
ojo kanggo papan peperangan : tanah Jawa ini jika ada paceklik maka segeralah bisa diatasi dan jangan dijadikan sebagai ajang
peperangan. Maka segeralah utusan itu ke Demak dan menyampaikan sarat Ki Ageng kepadanya. Maka Raden Patah pun
menyanggupinya.
Raden Patah pun mengutus beberapa dari Wali Songo untuk menebang jati Cempurung. Sebelum menebang para wali
itu berembug di sebuah desa mengenai penebangan hingga cara membawa kayu jati itu ke Demak sebab ukuran pohon jati yang
luar biasa besarnya (sekarang desa tempat berembug para Wali itu dinamakan desa Pule kecamatan Jatisrono, yang berasal
dari kata Ngumpule yang berarti berkumpul untuk berembug). Kemudian disepakatilah cara mengangkut Jati Cempurung itu
setelah ditebang yakni dengan cara dihanyutkan di hulu sungai Bengawan Solo (tepat persis di belakang punden) ketika musim
penghujan. Konon pula setelah Jati Cempurung itu ditebang batang paling ujung/ pucuk jatuh di sebuah desa di kecamatan
Sidoarjo yang berjarak kurang lebih 18 km sehingga desa itu dinamakan desa Pucuk.
Setelah penebangan Jati Cempurung itulah menurut banyak orang kemudian Ki Ageng Donoloyo sudah tak tampak lagi di
kediamannya. Banyak orang mempercayainya Ki Ageng telah moksa, hilang bersama raganya.

Nah itu dia legenda hutan jati donoloyo gan semoga cerita diatas menambah wawasan kita akan daerah slogohimo
wonogiri dan keanekaragaman indonesia.

Anda mungkin juga menyukai