net/publication/363436717
CITATIONS READS
3 7,844
3 authors, including:
All content following this page was uploaded by Kadek Wiweka on 31 December 2023.
1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/
atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjarapaling lama 4 (empat) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah).
PENGANTAR ILMU
PARIWISATA
Editor:
Eko Sugiarto
Kadek Wiweka
Sabda Elisa Priyanto
Penulis:
Sabda Elisa Priyanto, M.Par. dkk.
PENGANTAR ILMU
PARIWISATA
Penulis:
Sabda Elisa Priyanto, M.Par., Kadek Wiweka, S.S.T.Par., M.Par., M.Rech.,
Ferhadius Endi, S.Pd., M.A., C.H.E., Desy Nur Aini Fajri, S.I.P., M.A.,
Eko Sugiarto, S.S., M.Sc., Krisna Aditya, S.Sos., M.I.Kom.,
Dra. Shinta Teviningrum, M.Par., Yerika Ayu Salindri, S.S., M.Sc.,
Rafidola Mareta Riesa, S.S.T.Par., M.Sc., Fuadi Afif, S.I.P., M.Sc.
Erlina Daru Kuntari, S.E., M.Sc., Fatkurrohman, S.I.P., M.Si., C.H.E.,
Suci Sandi Wachyuni, S.T.P., M.M.
ISBN:
978-623-6428-66-5 (PDF)
Editor:
Eko Sugiarto, Kadek Wiweka, Sabda Elisa Priyanto
Tata Letak:
Hamim Thohari Mahfudhillah
Desain Sampul:
Muhammad Fikri
Penerbit:
DOTPLUS Publisher
Jln. Penepak RT 12 RW 06, Bengkalis-Riau, 28771
No. Telp/HP: +62 813 2389 9445
Email: redaksidotplus@gmail.com
www.dotpluspublisher.co.id
v
Krisna Aditya, S.Sos., Fatkurrohman, S.I.P., M.Si.,
M.I.Kom. C.H.E.
Universitas Kebangsaan Prodi D-4 Bisnis Perjalanan
Republik Indonesia Wisata, Departemen Bahasa,
Seni, dan Manajemen Budaya,
Sekolah Vokasi, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta
vi
PENGANTAR EDITOR
vii
Bab 3 membahas tentang wisatawan dan winisatawan yang
meliputi konsep wisatawan dan winisatawan serta pola interaksi di
antara keduanya. Tema tentang pemangku kepentingan pariwisata
dalam model triple helix, quadruple helix, dan quintuple helix
(penta-helix) dibahas dalam bab berikutnya (bab 4) dilanjut dengan
pembahasan tentang konsep daya tarik wisata, kriteria daya tarik
wisata, dan jenis daya tarik wisata (bab 5).
Bab 6 membahas tentang produk pariwisata yang meliputi
pengertian, karakteristik, dan pengembangan produk pariwisata.
Bab 7 membahas tentang destinasi pariwisata yang meliputi konsep,
komponen, dan siklus hidup destinasi pariwisata. Bab 8 membahas
tentang usaha pariwisata yang meliputi pengertian dan jenis usaha
pariwisata serta kondisinya antara sebelum dan pascapandemi. Bab
ini disambung dengan pembahasan tentang pemasaran pariwisata
yang meliputi pengertian, tujuan, dan karakteristik pemasaran
pariwisata yang dilanjut dengan permintaan dan penawaran, bauran
pemasaran (marketing mix), positioning, diferensiasi produk, media
pemasaran, dan segmentasi pasar pariwisata (bab 9).
Tiga bab berikutnya membahas tentang dampak pariwisata,
pariwisata berkelanjutan, serta gambaran singkat tentang
pariwisata pascapandemi Covid-19. Pembahasan tentang dampak
pariwisata meliputi konsep dampak pariwisata sekaligus dampak
positif dan negatif pariwisata terhadap perekonomian, sosial,
budaya, dan lingkungan (bab 10). Sementara pembahasan
tentang pariwisata berkelanjutan meliputi implementasi pilar-
pilar pariwisata berkelanjutan menurut GSTC dan UNWTO serta
upaya Kemenprekraf dalam mewujudkan pariwisata berkelanjutan
di Indonesia (Bab 11). Bab terakhir buku ini berisi gambaran
singkat tentang pariwisata pascapandemi Covid-19 yang meliputi
viii
perilaku wisatawan pada masa pandemi Covid-19, tren pariwisata
pascapandemi Covid-19, dan adaptasi sektor pariwisata dengan
kondisi pascapandemi Covid-19 (bab 12).
Semoga kedua belas bab dalam buku ini bermanfaat bagi
pembaca. Kami sangat sadar bahwa buku ini masih memiliki
kekurangan di sana-sini. Oleh karena itu, kami sangat menghargai
kritik dan saran dari pembaca yang tentunya akan menjadi masukan
berharga bagi kami untuk perbaikan isi buku ini di edisi selanjutnya.
Salam Pesona Indonesia.
Yogyakarta, 2022
Editor
ix
x
DAFTAR ISI
KONTRIBUTOR ................................................................... v
PENGANTAR EDITOR ........................................................ vii
DAFTAR ISI ........................................................................... xi
DAFTAR TABEL ................................................................... xvii
DAFTAR GAMBAR .............................................................. xix
xi
BAB 2 SISTEM PARIWISATA .......................................... 25
Oleh: Kadek Wiweka, S.S.T.Par., M.Par., M.Rech.
Tujuan Pembelajaran ................................................. 25
A. Pendahuluan ....................................................... 25
B. Pariwisata sebagai Sebuah Sistem...................... 29
C. Model Sistem Pariwisata .................................... 30
D. Sistem Pariwisata dalam Pendekatan Teoretis
dan Praktis .......................................................... 34
E. Subsistem Internal .............................................. 36
F. Subsistem Eksternal ........................................... 43
Rangkuman ................................................................ 46
Daftar Pustaka ............................................................ 48
xii
BAB 4 PEMANGKU KEPENTINGAN PARIWISATA... 83
Oleh: Desy Nur Aini Fajri, S.I.P., M.A.
dan Eko Sugiarto, S.S., M.Sc.
Tujuan Pembelajaran ................................................. 83
A. Pendahuluan ....................................................... 83
B. Triple Helix......................................................... 85
C. Quadruple Helix ................................................. 90
D. Penta-Helix (Quintuple Helix) ........................... 93
Rangkuman ................................................................ 97
Daftar Pustaka ............................................................ 97
xiii
D. Pengembangan Produk Pariwisata ..................... 128
Rangkuman ................................................................ 131
Daftar Pustaka ............................................................ 131
xiv
C. Tujuan Pemasaran Pariwisata ............................ 190
D. Karakteristik Pemasaran Pariwisata .................. 191
E. Pemintaan dan Penawaran ................................. 193
F. Bauran Pemasaran (Marketing Mix) ................. 195
G. Segmentasi Pasar ............................................... 198
H. Positioning ......................................................... 201
I. Diferensiasi Produk ........................................... 203
J. Media Pemasaran Pariwisata .............................. 204
Rangkuman ............................................................... 206
Daftar Pustaka ............................................................ 206
xv
C. UNWTO (United Nations World Tourism
Organization) .................................................... 239
D. ISTC (Indonesia Sustainable Tourism Council) 246
Rangkuman ................................................................ 248
Daftar Pustaka ............................................................ 249
xvi
DAFTAR TABEL
xvii
xviii
DAFTAR GAMBAR
xix
xx
BAB 2
SISTEM PARIWISATA
Tujuan Pembelajaran
Setelah membaca bagian ini, diharapkan adanya pemahaman
dari setiap pembaca tentang:
1. Pariwisata sebagai sebuah sistem;
2. Model sistem pariwisata;
3. Sistem pariwisata dalam pendekatan teoretis dan praktis; dan
4. Subsistem internal dan eksternal pariwisata.
A. Pendahuluan
Tanpa diragukan lagi pariwisata telah berkembang begitu
pesat, baik sebagai suatu fenomena sosial (praktis) maupun sebagai
suatu rumpun ilmu yang “dianggap” baru (teoretis), serta sebagai
objek kajian atau penelitian (Hall, 2005). Wiweka dan Arcana (2019)
mencatat bahwa fenomena aktivitas perpindahan seseorang dari
daerah asal mereka (origin) ke daerah tujuan (destination) dengan
berbagai motivasi telah dimulai sejak 4.000 tahun sebelum masehi
oleh bangsa Sumeria pada masa Babilonia dan semakin berkembang
pada abad ke-17 dan 18 di Eropa Barat dengan istilah “Grand Tour”.
Pada masa ini pula konon istilah “tourism” mulai dikenal sebagai
25
sebuah industri (Enzensberger, 1996; Getz, 1986), dan pariwisata
mulai diproduksi atau dikelola secara masal.
Periode ini terus berlanjut pada masa revolusi industri (sekitar
abad ke-19), yang ditandai dengan berkembangnya teknologi
transportasi yang dianggap sebagai “pintu gerbang” dalam menembus
batas-batas, seperti jarak (ruang), waktu, serta biaya. Perkembangan
ini semakin nyata. Pariwisata pada saat ini tidak hanya menjangkau
berbagai destinasi yang konon hanya ada di bumi. Saat ini telah
muncul destinasi yang mungkin sebelumnya sulit untuk dibayangkan,
yang dikenal dengan istilah “space tourism” atau wisata luar angkasa
(Howell, 2021).
Tidak hanya itu, kemajuan teknologi juga telah berhasil
medorong pariwisata melewati batasan waktu, seperti “virtual
reality tourism” (VRT) yang berkembang di London, Inggris (Egger,
2017). Bahkan, saat ini pariwisata semakin menunjukan inovasi
kreatifnya dengan merambah ruang-ruang virtual atau dikenal
dengan istilah “metaverse tourism” (Um dkk. 2022). Berkaca dari
istilah yang digunakan Enzensberger (1996) bahwa pariwisata
merupakan refleksi dari hasrat suatu individu untuk terus berusaha
“melarikan diri”, maka diyakini pariwisata akan terus berevolusi
untuk “memuaskan” keinginan (hasrat) manusia (Harrison, 2015),
atau meminjam istilah Gemunden (1996) sebagai “budaya modern”.
Fenomena tersebut setidaknya memberikan gambaran bahwa
pariwisata dalam lingkup praktis telah melampaui perkembangan
teori pariwisata itu sendiri, bahkan meninggalkan apa yang para
peneliti dan akademisi mungkin belum sempat identifikasi. Cooper
dkk. (1993) berpendapat bahwa popularitas pariwisata sebagai
disiplin ilmu yang cukup “muda” dapat menimbulkan permasalahan
seperti perdebatan tentang sistem pariwisata atau bahkan ruang
26
lingkupnya, baik dari sisi sektor industri dan akademisi. Meskipun
demikian, terima kasih kepada seluruh peneliti yang telah mencoba
membangun framework/fondasi/sistem pariwisata secara sistematis
dan komperhensif.
Sebagai contoh yang baik adalah bagaimana Leiper (1979,
1990) telah membangun model pariwisata dengan tiga elemen dasar,
yaitu wisatawan, elemen geografis (generating region, transit route,
dan destination region), serta industri pariwisata. Model ini telah
berkontribusi besar bagi sebagian besar aspek pariwisata mulai dari
pendidikan, penelitian, bisnis, organisasi non-profit (LSM), hingga
lingkup pemangku kebijakan guna mengidentifikasi fenomena
pariwisata untuk tujuan teoretis maupun praktis. Konsep ini juga
yang bisa dikatakan “menstimulasi” pemikiran penulis untuk
menulis bab ini berdasarkan fenomena pariwisata terkini, terutama
di Indonesia. Adapun beberapa penulis yang juga memiliki peran
penting dalam pengembangan pariwisata secara akademis, seperti
Wahab (1977), Pearce (1979), Cohen (1972, 1979), Jafari dan Ritchie
(1981), MacCannell (1999, 1999), Jafari (1995), dan Buhalis (2000).
Faktanya, meskipun telah begitu banyak literatur yang menawarkan
konsep/model/sistem pariwisata secara teoretis (termasuk oleh
penulis-penulis yang tidak disebutkan di atas), perdebatan tentang
definisi serta ruang lingkup pariwisata sebagai sebuah sistem
masih saja belum menemukan kata sepakat dan bahkan cenderung
semakin kompleks. Fenomena ini tentu menjadi sangat menarik dan
bermanfaat bagi perkembangan pariwisata secara teoretis dan praktis
pada masa yang akan datang.
Franklin dan Crang (2001) dalam tulisannya “The Trouble
with Tourism and Travel Theory?” secara eksplisit menyatakan
27
bahwa masalah utama dari ilmu pariwisata adalah pariwisata sebagai
fenomena sosial (praktis) telah tumbuh dan berkembang begitu
cepat melampaui perkembangan pariwisata dalam lingkup teoretis,
terutama mengingat minat penelitian terhadap bidang tersebut
masih relatif baru. Apa yang terjadi di negara-negara maju (benua
Eropa, Amerika, Australia) mungkin masih jauh lebih “beruntung”
dibandingkan apa yang terjadi di negara-negara berkembang.
Di Indonesia yang memiliki potensi pariwisata dengan lebih
dari 13.000 pulau dan 300 kelompok etnis, pariwisata secara
“resmi” bahkan baru diperkenalkan sebagai suatu rumpun ilmu pada
tahun 2008 (Marboen, 2013). Padahal, konon fenomena “seperti”
pariwisata sebagai suatu aktivitas telah ada sejak zaman kerajaan
serta berkembang hingga posisi sekarang dan dapat dikatakan mampu
menyamai perkembangan yang terjadi di negara-negara maju. Salah
satu contoh adalah capaian Bali yang berkali-kali mendapatkan
predikat sebagai destinasi terbaik dunia (TripAdvisor, 2017).
Lalu apa pentingnya ruang lingkup atau katakanlah sistem pada
sebuah fenomena atau bidang ilmu? Mengapa banyak pakar yang
mencoba selalu mengembangkan suatu teori, konsep, atau sistem
berdasarkan fenomena terkini? Para ahli mempercayai bahwa teori
berperan penting sebagai fondasi bagi pengetahuan dan pemahaman
tentang hubungan antara berbagai disiplin ilmu. Dengan demikian,
pengembangan teori/konsep/model memiliki peran yang esensial
dalam memberikan wawasan dan meningkatkan pemahaman
terhadap suatu fenomena (Smith dan Hitt, 2005), terutama di bidang
studi yang dianggap “baru” seperti pariwisata yang dikenal terbentuk
dari kombinasi dari berbagai disiplin dan pendekatan (Cooper, 1996).
28
B. Pariwisata sebagai Sebuah Sistem
Sebelum membahas lebih jauh tentang sistem pariwisata,
ada baiknya jika kita berkenalan terlebih dahulu dengan apa yang
dikenal sebagai sebuah sistem. Banyak ahli yang telah menawarkan
gagasan mereka terkait dengan pengertian sistem. Meminjam
gagasan Sutarman (2012) yang menyatakan bahwa “sistem adalah
kumpulan elemen yang saling berhubungan dan berinteraksi dalam
satu kesatuan untuk menjalankan suatu proses pencapaian suatu
tujuan utama” (Mattigara dan Ramlah, 2021). Jika gagasan tersebut
diadaptasi ke dalam ruang lingkup pariwisata, atau katakanlah
menjadi apa yang dinamakan sistem pariwisata, lalu bagaimana
kita menguraikannya? Dengan kata lain, pertanyaan yang mendasar
seberapa perlu kita mengenal pariwisata sebagai sebuah sistem?
Meskipun sistem pariwisata belum sepopuler sistem pada
bidang ilmu lain, mari kita coba melihat bagaimana sistem
diimplementasikan di bidang ilmu lain. Sebagian besar dari kita
tentu pernah mendengar istilah sistem informasi, sistem informasi
akuntansi, sistem keuangan, sistem sosial-budaya, hingga sistem
hukum. Lalu, seperti pertanyaan sebelumnya, apa fungsi sebuah
sistem di suatu bidang?
Meminjam gagasan fungsi dan manfaat sistem informasi
yang diungkapkan oleh Fa’izah (2021), bahwa fungsi sistem
informasi adalah “untuk mempermudah manajemen merencanakan,
memantau, mengarahkan, serta mendelegasikan pekerjaan ke semua
departemen yang mempunyai hubungan koordinasi” sekaligus
“untuk meningkatkan efisiensi serta efektivitas data yang disajikan
secara akurat dan tepat waktu”. Dia juga menambahkan bahwa
manfaat memahami sistem ini di antaranya dapat memberikan
informasi yang akurat, dapat diandalkan dalam mengantisipasi dan
29
memahami suatu konsekuensi, mampu menjamin kualitas, hingga
sebagai dasar menentukan investasi.
Jika dianalogikan sebagai sebuah kendaraan atau katakanlah
mobil, sistem adalah satu kesatuan komponen mesin yang memastikan
kendaraan dapat berjalan dan berhenti dengan semestinya. Untuk itu,
pengetahuan yang baik terhadap sistem ini dapat menjamin kinerja
kendaraan menjadi optimal. Dalam konteks pariwisata, pemahaman
yang baik terhadap sistem juga dapat memastikan pariwisata
berkembang dengan arah yang jelas. Oleh karena itu, bab ini berupaya
menawarkan gagasan yang telah dibangun berdasarkan pengalaman
(dalam istilah Harrison, 2015) masyarakat maju dan berkembang
(“developed” dan “developing” society), dengan mengelaborasikan
fakta empiris atau karateristik pariwisata di Indonesia atau dalam
lingkup lokal.
Bab ini akan membahas tentang pariwisata sebagai sebuah
sistem dilihat dari sudut pandang teoretis dan praktis, apa saja
komponen pembentuknya, dan bagaimana komponen tersebut saling
terkait/berinteraksi? Bab ini juga berupaya mengajak pembaca untuk
semakin bertanya-tanya (wondering) dan berpikir (thinking) tentang
konsep sistem pariwisata daripada hanya untuk mengetahuinya
(knowing).
30
pariwisata yang kompleks ke dalam definisi, bahkan menjadi sebuah
model.
Sampai saat ini, berbagai definisi dan konsep terus
dikembangkan dengan perubahan realitas pariwisata itu sendiri.
Wahab pada tahun 1977 (Tribe, 2009) memandang pariwisata
sebagai suatu aktivitas manusia yang digunakan sebagai media
dalam berinteraksi antarmasyarakat, baik di suatu negara yang sama
maupun berbeda. Aktivitas ini ditandai dengan adanya perpindahan
sementara dari tempat asalnya ke daerah tujuan dengan berbagai
alasan, tetapi selain untuk bekerja. Sementara Leiper (1979)
mengabstraksi pariwisata ke dalam tiga elemen dasar (Leiper’s
Model), di antaranya tempat di mana perjalanan dimulai dan berakhir
(origin atau tourist generating region), destinasi (destination), dan
area transit (transit region) yang menghubungkan perjalanan antara
keduanya (origin dan destination). Gagasan ini telah mendasari
beberapa definisi, konsep, bahkan model pariwisata saat ini, termasuk
model sistem pariwisata yang ditawarkan oleh Wiweka dan Arcana
(2019).
Seperti yang telah ditawarkan oleh beberapa penulis, umumnya
tantangan yang dihadapi dalam model pariwisata adalah bagaimana
penjabaran suatu fenomena secara menyeluruh (comprehensive)
dan terintegrasi (integrative) antarmasing-masing subsistem
serta elemen-elemen pembentuknya. Wiweka dan Arcana (2019)
menjelaskan bahwa model sistem pariwisata yang ditawarkan
dilatarbelakangi oleh fenomena pariwisata yang kompleks baik
secara teoretis maupun praktis yang telah berkembang di negara
maju dan sedang dikembangkan secara masif di Indonesia. Model
tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut (Lihat Gambar 2.1).
31
(Sumber: Wiweka dan Arcana, 2019)
Gambar 2.1 Model Sistem Pariwisata
32
wisatawan dapat melakukan perjalanan, sama seperti analogi sistem
pada kendaraan yang sebelumnya digunakan.
Penulis (Wiweka dan Arcana, 2019) melalui tulisannya
“Rethinking the Theory of Tourism: What is Tourism System in
Theoretical and Empirical Perspective?” menyatakan bahwa model
sistem yang mereka kembangkan bukan untuk menggugurkan
(falsifying theories) model yang telah ada sebelumya. Sebaliknya,
model ini diharapkan dapat mengisi kekosongan (gap), antara model
yang sebelumnya berkembang dengan realitas pariwisata yang
berkembang semakin kompleks. Oleh karena itu, meminjam gagasan
Chorley dan Haggett (dalam Getz, 1986), model pariwisata di atas
berdasarkan fungsinya dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu
deskriptif, eksplanatif, dan prediktif.
Model deskriptif (descriptive model) bertujuan untuk
mendefinisikan komponen yang membentuk sistem pariwisata.
Model eksplanatif (explanatory model) bertujuan untuk
memperlihatkan bagaimana sebuah sistem atau subsistem tersebut
berjalan (contoh dengan menunjukkan interaksi dari masing-masing
komponen), baik dengan atau tanpa hubungan yang spesifik. Model
prediktif (predictive model) bertujuan untuk memahami hubungan
sebab-akibat atau bertujuan membuat prediksi atau kemungkinan.
Berdasarkan model sistem parwiwisata di atas, kita diharapkan
dapat memahami dan mengurai fenomena pariwisata secara lebih
komprehensif.
33
D. Sistem Pariwisata dalam Pendekatan Teoretis dan
Praktis
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa pariwisata
merupakan fenomena yang kompleks sehingga beberapa peneliti
cenderung menggunakan pendekatan sesuai dengan bidang yang
mereka tekuni (Echtner dan Jamal, 1997; Dann dkk., 1988).
Meskipun demikian, secara praktis pariwisata pada dasarnya
memiliki karakteristik tersendiri, sebagai suatu aktivitas, di mana
manusia terlibat di dalamnya sebagai aktor yang melakukan
perjalanan dari suatu tempat asal ke tempat lain dengan berbagai
motivasi (Tribe, 1997) selain untuk bekerja. Oleh karena itu, jika
pariwisata diibaratkan sebagai sebuah sistem, proses perjalanan
wisatawan dari awal hingga akhirnya kembali lagi ke tempat asalnya
perlu dijabarkan menjadi beberapa subsistem yang saling terkait dan
memengaruhi satu dengan yang lain.
Seperti yang dikemukakan Leiper (1990), jika pariwisata
dianalogikan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari berbagai
subsistem, maka salah satu di antaranya adalah daya tarik wisata.
Keterkaitan dan pengaruh tersebut yang kemudian dapat dibedakan ke
dalam dua bagian, atau pada tulisan ini (Lihat Gambar 2.1) disebut
sebagai subsistem internal dan subsistem eksternal. Pengelompokan
ini dilakukan terkait peran dari masing-masing subsistem. Subsistem
internal memiliki peran utama yang sangat penting dan memiliki
pengaruh langsung (direct influence) terhadap keberadaan (existence)
pariwisata, sedangkan (tanpa bermaksud mengecilkan peranannya)
subsistem eksternal dikategorikan sebagai faktor-faktor pendukung
(supproting factors) yang mampu memberikan pengaruh tidak
langsung (indirect influence) terhadap fenomena pariwisata.
34
Pada bagian subsistem internal, Gambar 2.1 pada dasarnya
berupaya mengilustrasikan interaksi wisatawan yang berada
di daerah asalnya dengan suatu destinasi. Keduanya kemudian
dihubungkan oleh elemen penghubung. Pada model ini wisatawan
diklasifikasikan sebagai aktor yang menggerakan faktor permintaan
pariwisata (tourism demand), sementara destinasi yang dituju
diklasifikasikan sebagai suatu kesatuan sub-elemen yang menentukan
faktor penawaran/pasokan pariwisata (tourism supply). Selain
peran interaksi kedua elemen ini, pada kenyataannya keberhasilan
aktivitas pariwisata juga ditunjang oleh faktor perantara atau disebut
penghubung (intermediaries). Ketiga elemen ini memiliki beberapa
sub-elemen sebagai pembentuknya.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa subsistem internal
dianggap memainkan peran yang lebih esensial dibandingkan
subsistem eksternal? Kita tentu dapat membayangkan jika salah
satu dari tiga elemen ini terkendala atau bermasalah. Contoh:
saat ini ketika elemen permintaan pariwisata terdampak pandemi
Covid-19 (dari aspek kesehatan), maka sistem pariwisata hampir
mustahil untuk bergerak. Pengaruh langsung ini yang kemudian
mempertimbangkan subsistem internal sebagai faktor terpenting
pada sistem pariwisata.
Di sisi lain, subsistem eksternal juga memberikan pengaruh
kepada pergerakan aktivitas pariwisata. Subsistem ini terdiri
atas elemen-elemen yang dipercaya memberikan dukungan
tidak langsung. Beberapa di ataranya adalah faktor perdagangan
internasional, faktor keselamatan dan keamanan, faktor alam
atau iklim, faktor sosial-budaya, faktor teknologi, faktor ekonomi
atau keuangan, faktor politik, dan faktor demografi. Salah satu
contoh pengaruh tidak langsung dari faktor ini di antaranya faktor
35
keselamatan dan keamanan. Dalam kasus ini, terkadang imbauan
larangan perjalanan (travel warning) ke suatu destinasi dengan alasan
keamanan dan keselamatan tidak serta-merta membuat aktivitas
pariwisata terhenti. Bahkan di beberapa destinasi, tingkat keamanan
dan keselamatan ini dianggap dalam level yang rendah. Namun,
kekuatan permintaan atau wisatawan untuk mengunjungi destinasi
tersebut membuat sistem pariwisata tetap dapat berjalan. Artinya,
elemen pada subsistem eksternal ini mampu memengaruhi jalannya
sistem pariwisata secara tidak langsung. Di bagian selanjutnya akan
dijelaskan apa saja yang membentuk masing-masing subsistem
tersebut secara lebih rinci.
E. Subsistem Internal
Subsistem internal merupakan penggambaran dari interaksi
antara seseorang (person) atau wisatawan yang diistilahkan sebagai
tourism demand, mulai dari tempat asalnya (tourist generating
region), serta selama melakukan perjalanan ke suatu destinasi
wisata yang disebut dengan tourism supply, yang dihubungkan oleh
intermediaries elements, hingga kembali ke daerah asalnya.
36
perjalanan, termasuk di dalamnya adalah faktor-faktor yang
menentukan (determinant factors) mereka berwisata. Sudut
pandang psikologi lebih melihat motivasi dan perilaku wisatawan
yang melakukan perjalanan. Pada aspek ini ada tiga fase utama.
Pertama, fase sebelum memutuskan perjalanan (pre-trip) yang
ditandai dengan adanya stimulasi dan pengenalan terhadap motivasi
serta berlanjut pada perencanaan dan pengorganisasian perjalanan.
Kedua, fase saat berwisata (during-trip) ketika wisatawan menikmati
suatu destinasi. Ketiga, fase setelah melakukan perjalanan (post-
trip) ketika wisatawan telah kembali ke tempat asalnya dengan
pengalaman yang dibawa dan mulai menyesuaikan kembali dengan
kehidupan normalnya (Leiper, 1979; Cooper dkk., 1993; Demolingo
dkk., 2021; Wiweka dkk., 2019).
Elemen permintaan pariwisata setidaknya dibentuk oleh
dua sub-elemen yang di antaranya motivasi wisatawan (tourist’s
motivation) dan fakto-faktor yang menentukan seseorang berwisata
(tourist’s determinant factors). Kedua elemen ini dapat dikatakan
sebagai syarat wisatawan tergerak melakukan perjalanan. Jika
pariwisata adalah aktivitas perpindahan manusia yang bersifat
sementara dan spontan dalam rangka memenuhi kebutuhan dan
keinginan tertentu (Suwena dan Widyatmaja, 2010; Harrison, 2015),
dapat dikatakan kebutuhan dan keinginan ini didorong oleh motivasi
yang berbeda karena sangat bervariasi atau tidak monoton. Motivasi
berasal dari kata “motivate”, yaitu sesuatu yang menyebabkan
(seseorang) bertindak dengan cara tertentu, atau merangsang minat
(Cooper dkk., 1993). Konsep motivasi juga telah didefinisikan dalam
literatur psikologis sebagai “keadaan batin yang memberi energi,
menyalurkan, dan menopang perilaku manusia untuk mencapai suatu
tujuan” (Pizam dkk. dalam Patterson, 2006). Secara konvensional
37
para ahli menemukan faktor-faktor yang melatarbelakangi wisatawan
untuk melakukan perjalanan yang dikenal dengan 6S’s, yaitu sea,
sun, sand, scenery, sex, dan snow.
Sejak masa awal perkembangan pariwisata (abad ke-18 hingga
19), aktivitas ini “dianggap” hanya dapat dinikmati oleh kalangan
borjuis atau kelompok masyarakat yang memiliki kekuatan finansial.
Hal ini dikarenakan mereka memiliki faktor-faktor yang menentukan
untuk bisa melakukan perjalanan, antara lain kondisi kesehatan
(health), ketersediaan waktu luang (leisure time), serta kemampuan
finansial atau uang (money). Sampai saat ini, ketiga faktor tersebut
dianggap esensial sebagai syarat wisatawan melakukan perjalanan
(Wiweka dan Arcana, 2019).
38
contoh pioner agen perjalanan yang berperan menghubungkan
antara wisawatan dan destinasi pada abad ke-18 (Wiweka dan
Arcana, 2019). Namun seiring jangkauan perjalanan yang semakin
jauh, penghubung ini tidak lagi sebatas organisasi, melainkan tempat
persinggahan atau yang dikenal dengan wilayah transit (transit route
region), tempat wisatawan umumnya melakukan persinggahan
sementara dari tempat asalnya sebelum mencapai daerah tujuan
wisata mereka.
Berdasarkan berbagai literatur yang telah dibahas sebelumnya,
organisasi penghubung dapat berupa agen perjalanan wisata (travel
agents) dan biro perjalanan wisata (wholesalers) yang berperan
sebagai jalur distribusi antara penawaran dan permintaan pariwisata.
Namun dalam perkembangannya, sub-elemen penghubung ini tidak
hanya sebagai perantara dalam penjualan dan pembelian. Saat ini
di negara-negara maju telah marak berkembang organisasi yang
fokus mengemas, memasarkan, dan mempromosikan semua produk
dan jasa yang ada di destinasi sebagai satu kesatuan. Organisasi
tersebut dikenal dengan istilah destination marketing organisation
(DMO) atau ada juga destination marketing association (DMA).
Organisasi ini memiliki fungsi yang berbeda dengan organisasi
penunjang kegiatan pariwisata atau ancillary service (Lihat
Gambar 2.1) yang ada pada subsistem faktor penawaran/pasokan
pariwisata. Organisasi penunjang kegiatan pariwisata melakukan
fungsi perencanaan, pengelolaan, pemasaran, dan penjualan secara
parsial atau di masing-masing elemen yang ada di destinasi. Contoh:
di setiap atraksi wisata mereka memiliki oganisasi yang berfungsi
mengelola dan memasarkan satu atraksi wisata tersebut. Sementara
itu, organisasi penghubung mengemas berbagai sub-elemen yang
39
akan ditawarkan kepada wisatawan (atraksi, aksesibilitas, amenitas,
dan sebagainya) sebagai satu kesatuan utuh.
Dari aspek fisik, sub-elemen penghubung berfungsi sebagai
tempat persinggahan atau yang dikenal dengan wilayah transit
(transit route region), tempat wisatawan umumnya melakukan
persinggahan sementara dari tempat asalnya sebelum mencapai
daerah tujuan wisata. Tempat persinggahan ini terbagi atas tiga
mode perjalanan, baik melalui air (laut dan sungai), udara, maupun
darat. Beberapa contoh wilayah yang sukses memanfaatkan peluang
singgahnya wisatawan di antaranya Singapura (Changi Airport),
Paris (Charles de Gaulle Airport), Dubai (Dubai International
Airport), dan London (London Heathrow Airport). Beberapa bandar
udara tersebut memanfaatkan fenomena rute perjalanan wisatawan
yang semakin panjang dan jauh sehingga mengembangkannya
sebagai tempat singgah yang mampu menarik wisatawan, bahkan
telah memengaruhi perkembangan destinasi di negara atau kota
tersebut.
40
Beberapa gagasan mengenai destinasi pariwisata telah
dirumuskan oleh para ahli, di antaranya Metelka (1990) yang
mendefinisikan destinasi sebagai suatu lokasi geografis bagi
seseorang yang melakukan perjalanan (travel). Gunn (1994)
berpendapat bahwa destinasi sebagai suatu area pasar perjalanan
(travel market area) dan mengarah kepada zona geografis atau area
geografis. Leiper (1995) menjelaskan bahwa destinasi adalah suatu
tempat yang mengacu kepada seseorang yang melakukan perjalanan
dan di mana mereka memilih untuk tinggal sementara guna
mendapatkan pengalaman tertentu dari suatu daya tarik. Lain halnya
dengan Vulkonic (dalam Cooper dan Hall, 2008) yang mengibaratkan
destinasi sebagai sebuah “resort”. Sementara Swarbrooke dan Horner
(2001) menyatakan bahwa destinasi dapat dilihat dari berbagai
strata atau tingkatan geografis, mulai dari suatu negara, kawasan
atau daerah, perdesaan, bahkan perkotaan hingga pesisir pantai.
Di sisi lain, dari sudut pandang produk, Yoeti (2005) menyatakan
bahwa produk industri pariwisata adalah semua bentuk pelayanan
yang dinikmati wisatawan semenjak meninggalkan tempat dia biasa
berdiam, selama berada di daerah tujuan wisata yang dikunjungi,
hingga kembali pulang ke tempat asalnya semula. Dengan kata lain,
destinasi sebagai elemen penawaran menyediakan semua produk
dan jasa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh wisatawan.
Secara lebih mendalam, Cooper dkk. (1993) menjabarkan
atribut “amalgam” destinasi wisata ke dalam empat komponen
yang dikenal dengan empat A’s yang meliputi (1) Attractions
(atraksi); (2) Accessibilities (aksesibilitas); (3) Amenities (amenitas
atau fasilitas penunjang pariwisata); dan (4) Ancillary service
(organisasi penunjang kegiatan pariwisata). Sedangkan Buhalis
41
(2000) menjabarkan destinasi sebagai suatu kesatuan (amalgam)
tourism products dan services yang menawarkan suatu pengalaman
yang terintegrasi bagi konsumen (tourist). Sebagian besar destinasi
wisata terdiri dari beberapa komponen utama yang bisa disebut six
A’s, yaitu attraction, accessibility, amentities, available packages,
activities, dan ancillary services (uraian lebih detail tentang
komponen destinasi pariwisata akan dijelaskan di Bab 7).
Hingga saat ini beberapa gagasan terkait dengan sub-elemen
penawaran pariwisata di atas kerap digunakan sebagai rujukan,
baik secara teoretis dan praktis. Meskipun demikian, melihat
perkembangan fenomena industri pariwisata saat ini terutama di
Indonesia sebagai negara berkembang, Wiweka dan Arcana (2019)
mencoba mengakomodasi tren yang berkembang di destinasi
pariwisata saat ini. Oleh karena itu, mereka merumuskan penawaran/
pasokan pariwisata ke dalam 6A’sCIT yang meliputi attractions,
accessibilities, amenities, ancillary services, activities, available
packages, community empowerment, investments/incentive, dan
technology.
Selain terinspirasi oleh gagasan Cooper dkk. (1993) dan
Buhalis (2000), penulis juga melihat bahwa dalam realitasnya
keberhasilan destinasi pariwisata di Indonesia sangat ditentukan oleh
keterlibatan masyarakat lokal (Parantika dkk., 2020). Isu ini juga
selaras dengan tujuan pengembangan pariwisata Indonesia masa
depan yang berbasis prinsip-prinsip keberlanjutan (Demolinggo
dkk., 2020; Wiweka dkk., 2019). Selain itu, dengan profil potensi
pariwisata yang sebagian besar merupakan daerah perdesaan,
insentif dan investasi kemudian memainkan peran yang penting
terutama untuk menstimulus pembangunan infrastruktur di suatu
destinasi. Paling tidak fenomena ini terbukti memberikan dampak
42
berganda (multiplier effect) bagi suatu daerah (Karyatun dkk.,
2021). Salah satu isu terkini adalah Lombok, khususnya Mandalika,
yang semakin dikenal oleh banyak negara karena keberhasilannya
menyelenggarakan MotoGP 2022 di Indonesia berkat adanya
investasi. Sub-elemen selanjutnya adalah teknologi yang tidak hanya
telah memengaruhi industri pariwisata, melainkan juga hampir
sebagian besar industri. Kemunculan wisatawan swafoto (selfie)
dan destinasi yang “instagrammable” merupakan salah satu dari
bagaimana pentingnya infrastruktur teknologi juga dikembangkan
di suatu destinasi (Karyatun dkk., 2021).
F. Subsistem Eksternal
Subsistem eksternal terdiri atas faktor perdagangan
internasional, faktor keselamatan dan keamanan, faktor alam
atau iklim, faktor sosial-budaya, faktor teknologi, faktor ekonomi
atau keuangan, faktor politik, dan faktor demografi. Beberapa
elemen tersebut dikategorikan sebagai faktor-faktor pendukung
(supproting factors) dan dapat memberikan pengaruh tidak langsung
(indirect influence) terhadap fenomena pariwisata. Meskipun dapat
dikategorikan bukan memberikan pengaruh secara langsung,
peran dari elemen-elemen ini perlu mendapat perhatian dan sangat
dipertimbangkan. Harrison (2015) melalui “Working Model of
International Tourism” menyoroti peran elemen sosial, politik,
dan kondisi ekonomi yang dapat dipengaruhi dan memengaruhi
fenomena pariwisata. Pemahaman peran dari masing-masing elemen
tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.
43
1. Faktor Alam atau Iklim (Climate Factor)
Iklim sejak lama telah menjadi faktor yang mendorong
aktivitas pariwisata. Perbedaan iklim dapat pula menarik orang untuk
merasakan iklim di luar kehidupan sehari-harinya. Contoh: orang-
orang yang tinggal di kawasan dingin (Eropa) yang ingin menikmati
suasana yang panas (sun) di daerah-daerah tropis. Demikian juga
sebaliknya, orang di negara tropis tertarik untuk mendapatkan
pengalaman di daerah yang dingin.
44
1991--2000), krisis moneter Asia Tenggara (1997), dan krisis Eropa
(2009), telah memengaruhi daya beli wisatawan yang lebih terfokus
pada pemenuhan kebutuhan pokok seperti makanan, kesehatan, dan
tempat tinggal. Sebaliknya, perekonomian yang sehat di beberapa
negara saat ini cenderung mendorong pariwisata sebagai sumber
produk domestik bruto utama bagi banyak negara.
45
terutama jika profil generasi tersebut memiliki inovasi dan kreativitas
yang dibutuhkan dalam industri pariwisata.
Rangkuman
Bab ini bertujuan mendiskusikan model pariwisata sebagai
suatu sistem yang komprehensif dan terintegrasi antarsetiap
subsistemnya, di mana setiap subsistem terdiri atas berbagai elemen
pembentuk. Sesi ini menjabarkan bahwa pariwisata terdiri atas dua
jenis subsistem, yaitu subsistem internal dan eksternal. Subsistem
46
internal merupakan interaksi antara seseorang atau wisatawan
yang diistilahkan sebagai permintaan pariwisata, mulai dari
tempat asalnya (tourist generating region) serta selama melakukan
perjalanan ke suatu destinasi yang disebut dengan penawaran/
pasokan pariwisata (tourism supply), yang dimediasi oleh elemen
penghubung, hingga kembali ke daerah asalnya. Ketiga subsistem
internal tersebut memiliki peran utama yang sangat penting dan
memiliki pengaruh langsung (direct influence) terhadap keberadaan
(existence) pariwisata. Sedangkan subsistem eksternal terdiri atas
faktor perdagangan internasional, faktor keselamatan dan keamanan,
faktor alam atau iklim, faktor sosial-budaya, faktor teknologi,
faktor ekonomi atau keuangan, faktor politik, dan faktor demografi.
Beberapa subsistem tersebut dikategorikan sebagai faktor-faktor
pendukung (supproting factors) dan dapat memberikan pengaruh
tidak langsung (indirect influence) terhadap fenomena pariwisata.
Hubungan antara subsistem internal dan eksternal tidak hanya
menentukan keberadaan pariwisata, melainkan juga sebaliknya:
keberadaann pariwisata juga dapat memberikan pengaruh terhadap
kedua subsistem tersebut (internal dan eksternal).
Selain menggambarkan sistem pariwisata sebagai dua subsistem
yang saling terkait, bab ini juga menjabarkan “kompleksitas” dari
masing-masing elemen pembentuk subsistem tersebut. Pertama,
pada subsistem internal adalah beberapa elemen yang menentukan
adanya permintaan pariwisata di antaranya motivasi wisatawan
(tourist’s motivation) dan faktor-faktor yang menentukan seseorang
berwisata (tourist’s determinant factors). Kedua, elemen-elemen
yang disebut dengan ‘6A’sCIT’ yang membentuk penawaran/
pasokan pariwisata, di antaranya attractions, accessibilities,
amenities, ancillary services, activities, available packages,
47
community empowerment, investments/incentive, dan technology.
Selanjutnya subsistem yang memediasi keduanya adalah elemen
penghubung (intermediaries elements) berupa suatu organisasi
(intermediary organization elements) dan/atau bahkan penghubung
secara fisik (physical intermediaries elements). Seluruh elemen dari
masing-masing subsistem tersebut merupakan “faktor kunci” dari
keberadaan fenomena pariwisata.
Mengingat “kompleksitas” sistem pariwisata tersebut, tidak
diragukan lagi bagaimana para akademisi meyakini bahwa pariwisata
sebagai suatu studi terbentuk dari berbagai disiplin (multidiciplinary,
interdiciplinary, dan trandiciplinary). Hal yang menarik adalah
fenomena pariwisata mampu ‘dibatasi’ oleh sudut pandangnya
sendiri yang digambarkan melalui sebuah sistem yang komprehensif
dan terintegrasi antara masing-masing subsistem (internal dan
eksternal) serta pada masing-masing elemen pembentuknya.
Daftar Pustaka
Buhalis, D. (2000). ”Marketing The Competitive Destination of The
Future”. Tourism Management, 21(1), 97--116.
Cohen, E. (1972). ”Toward a Sociology of Internasional Tourism”.
Social Research, 39(1), 164--182.
________. (1979). ”Rethinking The Sociology of Tourism”. Annals
of Tourism Research, 6(1), 18--35.
Cooper, C., dan C. M. Hall. (2008). Contemporary Tourism: An
Internasional Approach. UK: Butterworth–Heinemann.
Cooper, C. dkk. (1993). Tourism Principles and Practice. England:
Longman. 1st edn.
________. (1996). ”TOURISM Principles & Practice”. Addison
48
Wesley Longman Limited, Edinburg Gate, Harlow, Essex,
CM20 2JE, England. 2nd edn.
Dann, G. dkk. (1988). ”Methodology In Tourism Research”. Annals
of Tourism Research, 15(1), l-28.
Demolingo, R. H., Dewi, L., Karyatun, S., Wiweka, K., Adnyana, P.
P., dan Prasetya, A. (2021). ”Millennials’ Travel Behavior in
Small Island Destination: The Overview of Gili Trawangan,
Indonesia”. Asian Journal of Advanced Research and Reports,
15(12), 28--37.
Demolinggo, R. H., Damanik, D., Wiweka, K., dan Adnyana, P. P.
(2020). ”Sustainable Tourist Villages Management Based on
Javanese Local Wisdom ‘Memayu Hayuning Bawono’Best
Practice of Desa Wisata Pentingsari, Yogyakarta”. International
Journal of Tourism & Hospitality Reviews, 7(2), 41--53.
Echtner, M. C. dan Jamal, B. T. (1997). ”The Disciplinary Dilemma
Of Tourism Studies”. Annals of Tourism Research, 24 (4), 868-
-883.
Egger, R. (2017). ”Innovative Destinations Using VR at ITB 2017”.
http://www.virtual-reality- in-tourism.com.
Enzensberger, H. M. (1996). ”A Theory of Tourism”. New German
Critique, 68, 117--135. Franklin, A. dan Crang, M. (2001).
”The Trouble with Tourism and Travel Theory?”. Tourist
Studies, 1(1), 5--22.
Fa’izah, A. Z. (2021). ”Fungsi Sistem Informasi, Ketahui Pengertian
Menurut Ahli Beserta Manfaatnya”. https://www.merdeka.
com/trending/fungsi-sistem-informasi-ketahui- pengertian-
menurut-ahli-beserta-manfaatnya-kln.html.
Gemünden, G. (1996). ”Introduction to Enzensberger’s A Theory of
Tourism”. New German Critique, 68, 113--115.
49
Getz, D. (1986). ”Models in Tourism Planning: Toward Integration
of Theory and Practice”. Tourism Management, 7(1), 21--32.
Gunn, C. A. (1994). Tourism Planning: Basics, Concepts, Cases.
Third Edition. London: Taylor and Francis.
Hall, C. M. (2005). ”Reconsidering the Geography of Tourism and
Contemporary Mobility”. Geographical Research, 43(2):125-
-139.
Harrison, D. (2015). ”Development Theory and Tourism in
Developing Countries: What Has Theory Ever Done For Us?”.
IJAPS, 11(1), 53--82.
Howell, E. (2021). “Virgin Galactic: Richard Branson’s space
tourism company”. https://www.space.com/18993-virgin-
galactic.html
Karyatun, S., Efendi, S., Demolingo, R. H., Wiweka, K., dan
Pramestya Putri, A. (2021). “Between Instagrammable
Attraction and Selfie Tourist: Characteristic and Behavior”.
South Asian Journal of Social Studies and Economics, 12(4):
314--324.
Karyatun, S., Wiweka, K., Demolinggo, R. H., Adnyana, P. P., dan
Nurfikriyani, I. (2021). ”Tourist Village Multiplier Effect
Studies: Small Scale Approach Best Practice of Desa Wisata
Nglanggeran, Yogyakarta, Indonesia”. International Journal
of Management, Innovation, Entrepreneurial Research, 6(2),
139--153.
Leiper, N. (1979). ”The Framework of Tourism: Towards a Definition
of Tourism, Tourist, and the Tourist Industry”. Annals of
Tourism Research, 6(4):390--407.
________. (1990). ”Tourist Attraction Systems”. Annals of Tourism
Research, 17(3), 367--384.
50
________. (1995). Tourism Management. Melbourne: Research
Management in Tourism (RMIT) Press.
MacCannell, D. (1999). The tourist: A new theory of the leisure
class. Berkeley.
Madiun, I. N. (2012). ”The presentation of Global Tourism
Geography Management: A Basic concept”. Denpasar:
Universitas Udayana.
Marboen, A. P. (2013). ”Perkembangan Ilmu Pariwisata Stagnan”.
http://www.antaranews.com/berita/378297/perkembangan-
ilmu-pariwisata-stagnan.
Mattigara, A., dan Ramlah, P. (2021). ”Perancangan Sistem Informasi
Koperasi pada KSP Bakti Huria”. Tematik: Jurnal Teknologi
Informasi Komunikasi, 8(1), 69--83.
Metelka, C. J. (1990). The Dictionary of Hospitality, Travel and
Tourism. Third Edition. Albany: Delmar Publishers.
Parantika, A., Wibowo, F. S., dan Wiweka, K. (2020). ”The
Development of Thematic Tourist Village of Mulyaharja
Bogor Based on Community Empowerment Approach”. TRJ
Tourism Research Journal, 4(2), 113-132.
Patterson, I. (2006). Growing Older: Tourism and Leisure Behaviour
of Older Adults. UK: CAB International.
Pearce, D. G. (1979). ”Towards a Geography of Tourism”. Annals of
Tourism Research, 6 (3), 245--272.
Picard, M. (2006). Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Smith, K. G. dan Hitt, M. A. (2005). Great Minds in Management:
The Process of Theory Development. New York: Oxford
University Press Inc.
Suwena, I. K. dan Widyatmaja, I. G. N. (2010). Pengetahuan Dasar
51
Ilmu Pariwisata. Denpasar: Udayana University Press.
Swarbrooke, J. dan Horner, S. (2001). Business Travel and Tourism.
Oxford: Butterworth– Heinemann.
Tribe, J. (1997). ”The Indiscipline of Tourism”. Annals of Tourism
Raearch, 24(3), pp. 638-- 657.
________. (2009). Philosophical Issues In Tourism. UK: Channel
View Publications.
TripAdvisor. (2017). ”Pulau Balidi Indonesia adalah Destinasi
Favorit”. www.tripadvisor. co.id/Tourism-g294226-Bali-
Vacations.html.
Um, T., Kim, H., Kim, H., Lee, J., Koo, C., dan Chung, N. (2022).
”Travel Incheon as a Metaverse: Smart Tourism Cities
Development Case in Korea”. Proceedings of the ENTER
2022 eTourism Conference, 226-231.
Wiweka, K., dan Arcana, K. T. P. (2019). ”Rethinking The Theory
of Tourism: What is Tourism System in Theoretical and
Empirical Perspective?”. Journal of Business on Hospitality
and Tourism, 5(2), 318--336.
Wiweka, K., Wachyuni, S. S., Rini, N. A., Adnyana, I. N., dan
Adnyana, P. P. (2019). ”Perilaku Berwisata Wisatawan
Generasi Milenial di Jakarta pada Era Revolusi Industri 4.0”.
Jurnal Sains Terapan Pariwisata, 4(3), 313--334.
Wiweka, K., Indrajaya, T., Wachyuni, S. S., Adnyana, P. P., dan
Hanorsian, A. E. (2019). ”Opportunities and Challenges for
The Development of Sustainable Tourism Attraction at Batu
Kapal Beach, Central Maluku Lilibooi Village”. Advances in
Research, 19(3), 1--14.
Yoeti, Oka A. (2005). Perencanaan Strategis Pemasaran Daerah
Tujuan Wisata. Cetakan Ke-2. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
52
BIODATA PENULIS
279
Fuadi Afif, S.I.P., M.Sc. lahir di Tegal.
Pendidikan sarjana diselesaikan di Prodi
Hubungan Internasional Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tahun
2010. Selanjutnya mendapatkan beasiswa
untuk melanjutkan pendidikan Magister Kajian
Pariwisata di Universitas Gadjah Mada (UGM)
yang selesai tahun 2015. Selain berprofesi sebagai dosen tetap
di Kampus STP AMPTA Yogyakarta dan dosen “luar biasa” di
Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Fuadi Afif juga sebagai praktisi
di bidang fotografi, online marketing, copywriting, dan konten media
sosial. Untuk melepas penat biasanya dia menyeduh kopi sambil
mendengarkan kicau burung. Google Scholar ID: Fuadi Afif. www.
instagram.com/fuadiafif.
283
Consultant) dan laboratorium ESO (Espaces et Sociétés) di Angers.
Aktif sebagai reviewer di beberapa jurnal internasional bereputasi, di
antaranya Asian Journal of Education and Social Studies; Journal of
Economics, Management and Trade; Asian Journal of Agricultural
Extension, Economics and Sociology; International Journal of
Hospitality & Tourism Administration; dan Journal of Indonesian
Tourism, Hospitality and Recreation. Bidang riset yang ditekuni
di antaranya sustainable tourism development, rural tourism,
community-based tourism, tourist behaviour, digital tourism, corpus
research, destination planning and development, dan heritage tourist
attraction. Beberapa publikasinya dapat diakses di Google Scholar
dengan ID: Kadek wiweka.
284