Anda di halaman 1dari 8

Sikap Kesultanan Cirebon terhadap Ormas-ormas Islam

Kesultanan Cirebon memiliki sejarah panjang dan kompleks terkait dengan sikapnya terhadap
lahirnya organisasi-organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan
Islam (Persis), dan organisasi Islam lainnya. Sejak masa kolonial Belanda, Kesultanan Cirebon
mempertahankan kemerdekaan dan otonomi wilayahnya. Dalam menghadapi perkembangan
organisasi Islam, sikap Kesultanan Cirebon cenderung bersifat terbuka dan mendukung
keberagaman paham keagamaan.

Meskipun Kesultanan Cirebon sebagai entitas politik terpisah di dalam struktur kolonial,
namun hubungannya dengan ulama dan tokoh agama setempat sangat erat. Para pemimpin
agama sering menjadi penasihat kesultanan dalam masalah keagamaan dan sosial. Oleh karena
itu, pada umumnya, Kesultanan Cirebon menerapkan sikap yang inklusif terhadap berbagai
aliran keagamaan dan organisasi Islam.

NU, sebagai organisasi yang mengusung paham tradisional Islam dan mengutamakan
keselarasan antara agama dan adat istiadat, mendapat dukungan dan pengakuan dari Kesultanan
Cirebon. Seiring waktu, NU berkembang menjadi organisasi besar yang memiliki pengaruh
signifikan di kalangan masyarakat Cirebon.

Sementara itu, Muhammadiyah, yang lebih mengedepankan modernisasi dan reformasi


dalam Islam, juga diterima dengan baik di Cirebon, meskipun mungkin dengan tingkat dukungan
yang lebih rendah dibandingkan NU. Kesultanan Cirebon cenderung memberikan ruang bagi
kedua organisasi tersebut untuk berkontribusi dalam pembangunan sosial dan keagamaan di
wilayahnya.

Persis, sebagai organisasi yang memiliki paham lebih radikal dan seringkali kritis terhadap
pemerintah kolonial dan tradisi lokal, mungkin mendapat tanggapan yang lebih beragam dari
Kesultanan Cirebon. Namun, dalam semangat keberagaman dan toleransi, kesultanan mungkin
tetap menjaga dialog terbuka dengan organisasi tersebut.

Secara keseluruhan, sikap Kesultanan Cirebon terhadap lahirnya organisasi-organisasi Islam


mencerminkan semangat toleransi, dialog, dan kerjasama dalam mengelola keberagaman di
wilayahnya. Keberadaan dan perkembangan organisasi Islam tersebut menjadi bagian integral
dari kesejarahan dan kekayaan budaya di Cirebon. (Dr. H. Oetarjo Dirjosasmito.)
Bukti keterbukaan Kesultanan Cirebon terhadap Ormas Islam

Bukti konkret terkait dengan keterbukaan Kesultanan Cirebon terhadap organisasi Islam yang
kami dapatkan melalui penggalian data dalam sejumlah kejadian sejarah dan praktik toleransi di
wilayah tersebut. Berikut adalah beberapa bukti terkait:

 Penerimaan terhadap NU dan Muhammadiyah:


Kesultanan Cirebon dikenal menerima baik Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah, dua organisasi Islam terbesar di Indonesia. Dalam sejarahnya, tokoh-
tokoh agama dari NU dan Muhammadiyah seringkali mendapatkan dukungan dan
pengakuan dari Kesultanan Cirebon. Ini mencerminkan sikap terbuka kesultanan terhadap
berbagai aliran dan interpretasi Islam. (Ahmad Gaus AF.)
 Pemeliharaan Masjid Sang Cipta Rasa:
Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Cirebon dikenal sebagai salah satu pusat
keagamaan yang memiliki sejarah panjang. Dalam pemeliharaannya, Kesultanan Cirebon
cenderung menjaga masjid tersebut sebagai tempat ibadah umum yang terbuka untuk
berbagai aliran keagamaan dan ormas Islam.
 Keterlibatan Ulama dalam Kesultanan:
Hubungan erat antara Kesultanan Cirebon dengan ulama dan tokoh agama setempat
menunjukkan sikap terbuka. Para ulama sering berfungsi sebagai penasihat kesultanan
dalam berbagai masalah keagamaan dan sosial, menunjukkan adanya kolaborasi antara
kekuasaan politik dan otoritas agama.
 Toleransi dalam Perayaan Keagamaan:
Cirebon dikenal dengan perayaan keagamaan yang beragam, termasuk perayaan
Islam. Kesultanan Cirebon terlibat dalam mendukung dan memfasilitasi perayaan-
perayaan tersebut, mencerminkan keterbukaan terhadap keanekaragaman praktik
keagamaan di wilayahnya.
 Pelestarian Situs Keagamaan:
Upaya pelestarian dan pemeliharaan situs-situs keagamaan di Cirebon, seperti makam-
makam wali dan pusaka-pusaka bersejarah, mencerminkan sikap terbuka terhadap
warisan keagamaan. Hal ini juga melibatkan kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk
organisasi Islam yang terlibat dalam upaya pelestarian budaya dan sejarah.
Peradilan Agama di Kesultanan Cirebon
Menurut laporan Joan Frederik yang menjadi Residen di Cirebon tahun 1714-1717,
Pengadilan Priangan diatur menurut pengadilan Mataram. Di tiap-tiap kabupaten terdapat
seorang jaksa yang menjalankan peradilan terhadap perkara Padu, sedangkan perkara
Pradata dikirim ke Mataram. (Mr. R. Tresno, 1957)
Pada masa itu terdapat 3 bentuk peradilan yang berjalan, yaitu :peradilan agama,
peradilan drigama dan peradilan cilaga. Masing-masing peradilan itu memiliki wewenang
yang berbeda - beda.
Peradilan Agama mempunyai wewenang terhadap perkara - perkara yang dapat
dijatuhi hukuman badan atau hukuman mati. Pada awalnya perkara ini merupakan
perkara yang harus dikirim ke Mataram. Tetapi karena kekuasaan Mataram sudah
merosot maka perkara-perkara tersebut tidak lagi dikirim ke Mataram. Perkara-perkara
perkawinan dan waris juga termasuk wewenang peradilan agama. (Abdul Halim, 2000)
Peradilan drigama mengadili perkara selain perkara yang dapat dijatuhi hukuman
badan atau hukuman mati serta perkawinan dan waris, yang merupakan kewenangan
peradilan Agama. Peradilan drigama bekerja dengan pedoman hukum Jawa kuno dan
diselesaikan menurut hukum adat setempat. Sementara peradilan cilega adalah peradilan
khusus masalah niaga. Peradilan cilega terkenal juga dengan istilah peradilan wasit
Istilah agama dan drigama terdapat dalam Papakem Cirebon yang digunakan untuk
mengadakan pemisahan menurut sifat diantara perkara-perkara yang harus diadili.
Hubungan Kesultanan Cirebon dengan kesultanan Islam lainnya
1 Hubungan Kesultanan Cirebon dengan kesultanan Banten
Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten memiliki hubungan yang erat
karena keduanya merupakan kerajaan Islam di Jawa Barat yang dipimpin oleh
keturunan Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati diyakini sebagai leluhur dari
dinasti raja-raja kesultanan Cirebon dan kesultanan Banten serta penyebar agama
Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda
Kelapa, dan Banten. Pada awalnya, Banten masih menjadi daerah kekuasaan
Demak, namun setelah di Demak terjadi kegoncangan politik akibat perebutan
kekuasaan, Banten memisahkan diri dan menjadi kerajaan Islam yang mandiri.
Meskipun demikian, terdapat juga konflik antara kedua kerajaan, seperti pada
tahun 1677 ketika Kesultanan Cirebon terpecah menjadi tiga akibat memanasnya
hubungan antara Kerajaan Banten dan Mataram. Namun, pada umumnya
hubungan antara kedua kerajaan tersebut cukup harmonis dan saling mendukung
satu sama lain.
Hubungan antara Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan masyarakat di daerah tersebut.
Kedua kerajaan tersebut merupakan kerajaan Islam yang dipimpin oleh keturunan
Sunan Gunung Jati dan memiliki kebudayaan yang khas tersendiri. Selain itu,
pemberlakuan syariat Islam di Kesultanan Banten juga mempengaruhi kehidupan
sosial masyarakat Banten pada masa lalu. (Zainal Kholid , 2017, Vol. 34 No. 2)
Kehidupan masyarakat di kawasan Banten Lama juga dipengaruhi oleh
perekonomian kerajaan Banten yang menjadi pusat kegiatan perdagangan
internasional dan antar wilayah yang kompleks. Meskipun terdapat konflik antara
kedua kerajaan, pada umumnya hubungan antara kedua kerajaan tersebut cukup
harmonis dan saling mendukung satu sama lain. Oleh karena itu, hubungan antara
Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten mempengaruhi kehidupan masyarakat
di daerah tersebut dalam hal kebudayaan, agama, dan perekonomian.
Kesultanan Banten dan Cirebon memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
perkembangan ekonomi di daerah tersebut. Kesultanan Banten menjadi pusat
perdagangan internasional dan antar wilayah yang kompleks, terutama dalam
perdagangan lada yang menjadi komoditas utama. Banten menjadi pusat
perniagaan yang mampu menjadikan Banten sebagai pusat perdagangan dunia.
Banten banyak dikunjungi pedagang-pedagang dari Arab, Gujarat, Persia, Turki,
Cina dan sebagainya. Di kota dagang Banten segera terbentuk perkampungan-
perkampungan menurut asal bangsa itu, seperti orang-orang Arab mendirikan
Kampung Pakojan, orang Cina mendirikan Kampung Pacinan, orang-orang
Indonesia mendirikan Kampung Banda, Kampung Jawa dan sebagainya.
Sementara itu, Kesultanan Cirebon juga memiliki kegiatan perdagangan yang
cukup maju, terutama dalam perdagangan hasil bumi seperti padi, gula, dan
rempah-rempah. Oleh karena itu, kesultanan Banten dan Cirebon mempengaruhi
perkembangan ekonomi di daerah tersebut dengan menjadi pusat perdagangan
yang maju dan berkembang pesat.
2 Hubungan Kesultanan Cirebon dengan kesultanan Mataram
Hubungan politik dan diplomatik antara Cirebon dan Mataram, sudah terjadi
sejak masa Panembahan Ratu I dan Panembahan Senopati. Pada saat itu,
Panembahan Senopati membantu Cirebon membangun tembok Kratonnya.
Panembahan Senopati mengirim ahli bangunan dan para pekerjanya ke
Pakungwati (Cirebon), untuk bekerja. Pihak Mataram di bawah pimpinan
Panembahan Senopati, yang memandang wilayah Pakungwati (Cirebon, adalah
perbatasan Mataram di bagian barat). (H.J de Graaf dan TH Pigeaud, 2003)
Hubungan yang terjalin antara Cirebon dengan Mataram berlangsung damai,
bahkan cenderung mesra. Sejak pernikahan Sultan Agung dengan kakak dari
Panembahan Ratu I, Ratu Ayu Sakih. sekitar awal tahun 1600-an, hubungan
antara Cirebon dan Mataram semakin erat Hubungan kekerabatan juga terjalin ke
Sumedang, dimana ibu Pangeran Rangga Gempol I, adalah salah seorang anggota
keluarga Mataram yang merupakan saudari dari Panembahan Senopati.
Relasi Cirebon dengan Mataram dengan ikatan kekerabatan juga terus
dilakukan dengan pernikahan antara Panembahan Ratu II dengan putri dari Sunan
Amangkurat I. Pernikahan tersebut membentuk suatu aliansi antara Cirebon
dengan Mataram, bahkan menjadi puncak relasi. Anak dari pernikahan antara
Panembahan Ratu II dengan putri Sunan Amangkurat I, menjadi pewaris tahta
Cirebon, yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran Kartawijaya dan Pangeran
Wangsakerta.
Politik perkawinan dengan hubungan kekerabatan, tidak menjamin
langgengnya relasi politik antara keduanya. Adakalanya malah menyulitkan salah
satu pihak, karena di sisi lain, Cirebon adalah sebuah kesultanan yang sejajar
dengan Mataram, di sisi lain, Mataram menganggap Cirebon adalah vassal atau
protektoratnya. Hubungan kekeluargaan antara kesultanan Cirebon dan Banten,
juga menyulitkan Mataram, alih-alih keluarga Cirebon membantu Mataram dalam
perang melawan pemberontak Trunojoyo, saat Sunan Amangkurat I berkuasa.
Ikatan kekerabatan antara Cirebon dengan Banten, malah menjadi obyek
penggangu dari hubungan politik Cirebon dan Mataram.
Adanya ikatan perkawinan dan politik, memunculkan sikap saling menghargai
dan adanya upaya peniruan dari salah satu pihak ke pihak lain, dengan maksud-
maksud tertentu. Mataram dalam berberapa hal, meniru gaya Cirebon untuk
mengangkat dan menjaga kewibawaannya, salah satunya adalah tata kota dan
peniruan pembangunan makam dari Sunan Gunung Jati.
Seandainya Cirebon tidak lebih dulu ada dari Mataram, tidak mungkin para
penguasa Cirebon berani meniru gaya dari Mataram.. Justru pada tataran inilah
Cirebon mempengaruhi Mataram dan Mataram kemudian menyebarkannya,
hingga kelak Cirebon lepas dari tangan Mataram.
Pada bidang tasawwuf, dimana Sultan Agung adalah pemimpin tarekat
Syadzaliyyah, yaitu tarekat yang pengikutnya kebanyakan adalah kaum petani dan
pengusaha. Sultan Agung sendiri selalu menganggap Panembahan Ratu I adalah
gurunya. Benda-benda pusaka milik kraton Cirebon juga hampir selalu
mencerminkan tradisi Islam yang bernuansakan sufistik. (Hasan Muarif Ambary,
2012)
Pendidikan yang disediakan di Mataram untuk para pangeran dalam tradisi
magang, rupanya Cirebon menjadi salah satu pihak yang ikut menghiasi
pendidikan kebudayaan Jawa, di samping yang datang dari Pangeran Pekik
penguasa Surabaya. Etika, tata krama dan pelajaran-pelajaran tertentu yang
diperoleh calon penguasa daerah di istana Mataram, adalah upaya penerapan
asosiasi simbolis, dari pusat ke daerah.
Kesenian musik dan wayang yang ada di Cirebon, umumnya terpengaruh dari
Mataram, meskipun Cirebon sendiri sudah mempunyainya jauh sebelum Mataram
ada. Kesenian pertunjukan tersebut, sama-sama berasal dari Sunan Kalijaga.
karena Sunan Kalijaga pernah berjumpa dengan penguasa Cirebon dan Mataram
awal. Kesamaan guru sosio-spiritual itulah, yang membuat jalinan religius antara
Mataram dan Cirebon menjadi erat. (Zainul Milal Bizawie, , 2014)
Di bidang tata kota, Cirebon dan bekas ibukota Kerto dan Plered, mempunyai
kemiripan yang sama. Terdapatnya beberapa struktur dasar dari ciri-ciri kota
kesultanan, yaitu, alun-alun, kraton, pasar dan masjid agung. Hal ini
melambangkan kedekatan hubungan antara, Cirebon dan Mataram. Setiap tata
kota di kawasan Pesisir, pendopo Kabupaten selalu menghadap ke selatan,
sedangkan di Cirebon, Kabupaten mengahadap ke utara, karena pendopo
Kabupaten ini bukanlah pendopo Kabupaten bawahan, tetapi statusnya adalah
kraton bagi Panembahan Ratu Cirebon.
Ketinggian derajat dan pendidikan spiritual yang tinggi yang dianut oleh para
penguasa Pesisir sebelum Mataram, adalah hasil dari pendidikan religius sejak
zaman Wali Songo (Sunan Ampel untuk penguasa Surabaya dan Sunan Gunung
Jati untuk penguasa Cirebon), hal itulah yang tidak dimiliki oleh Mataram yang
merupakan negeri baru dari pedalaman. Mataram di zaman itu belum memiliki
seperangkat penunjang kebudayaan Jawa yang luhur, untuk mengasosiasikan
simboliknya ke penjuru daerah yang ditaklukkan oleh Mataram. Oleh karena itu
dalam banyak hal. Mataram akhirnya meniru gaya dan sistem pendidikan dari
Pesisir, untuk dikembalikan lagi arti simbolisnya ke seluruh daerah kekuasaan
Mataram, termasuk Cirebon. Seandainya Cirebon tidak lebih dulu ada dari
Mataram tentu tidak mungkin Cirebon berani meniru gaya yang ada di kotaraja
atau sesuatu karya yang dibuat raja Mataran sendiri.
Kraton Mataram selalu mencoba untuk membawa (menyebarkan) sejauh-
jauhnya kebudayaan yang dihasilkan untuk kemudian ditiru oleh para
bawahannya. Inilah yang dimaksud dengan upaya pengasosiasian simbolik, dalam
relasi antara Cirebon dan Mataram. (Kuntowijoyo, 2009)
Kehancuran asosiasi simbolis terjadi bukan karena kemandegan pendidikan,
tetapi lebih disebabkan karena kehancuran hubungan antara vasal dan pusat
politik negara protektoratnya, yaitu antara Cirebon dan Mataram. Pola
penguasaan yang tiran dari Sunan Amangkurat I juga ikut melemahkan aspek
timbal balik asosiasi simbolik, dari dua pusat kebudayaan Jawa, yaitu antara
Pesisir dan pedalaman, hingga dapat dikatakan, pedalaman menjadi sangat
hegemonik terhadap kebudayaan Pesisir dan kemudian menjadi tergantung dari
pusat di pedalaman. Ketergantungan secara politik dan ekonomi yang dilakukan
oleh penguasa Mataram, menyebabkan daerah-daerah menjadi kesulitan
membayar pajak ke pusat dan kemudian dapat dengan mudah ikut tersulut jika
ada sedikit api pemberontakan.

Anda mungkin juga menyukai