Anda di halaman 1dari 64

Tukang Bubur vs Vaksin

"Ting Ting Ting ting..... "

Tukang bubur mangkal di depan rumah pak RT.

Ia tawarkan sarapan kepada semua orang yang mendengar "Ting Ting Ting Ting ".

Oh ia ingin santai meski hanya sebentar

ia ingin membaca lembaran koran di teras pak RT

"Huh... Apaan... Didenda?"

Waktu santainya terganggu dengan halaman pertama.

"Vaksinnya aja bayar... Ada yang gratis, oh tapi sadis"

Lalu ia pindah ke halaman enam

membaca berita bola hasil semalam

Halaman terakhir tidak ia baca

sebab hanya gosip belaka.

Namun akibat halaman pertama

membuatnya makin semangat

menawarkan yang menurutnya paling sehat

"Ting Ting Ting Ting

Bubur sehat bubur sehat

Ting Ting Ting Ting

Sarapan biar kuat"

Ting Ting Ting Ting

bubur sehat bubur sehat.

Ting Ting Ting Ting

jangan makan yang bikin melarat

Koran pak RT
Lagu Jauh

Dengarkanlah aku bernyanyi wahai daun daun yang jatuh

dari pohon pohon lusuh di pinggir jalan yang rusuh.

Kubawakan sehelai lagu yang akan membuatmu terbang jauh.

Ya, jauh.

Sejauh mata elang dapat melihat dengan tajam.

Sejauh tangan panjang dapat menjangkau rumah gedongan.

Sejauh kaki kijang dapat berlari dan menendang bebatuan.

Ya, menjauhlah kalian dari kehidupan yang tak didambakan.

Terbang lah bersama laguku menuju kesadaran baru

Dan jangan kau murung wahai daun daun yang terlanjur tersapu.

Tenang saja.

Di pinggir jalan masih ada debu

debu debu itu bersatu

menyanyikan lagu lagu tak merdu.

Sebab merdu tak akan mewakili kehidupan kita

yang penuh mulut mulut palsu.

Ya, terbanglah bersama lagu lagu debu

Maka ayo...

Kita bernyanyi bersama

sebelum terbang meninggalkan luka dan

keluarkan suaramu yang sumbang

wahai daun daun yang terbang jauh.

Biar terganggu mereka yang tidur di ranjang malam.

Akan kuiringi dengan suara gitar sembarangan dari jalanan

sebab sembarangan adalah kenyataan dalam peradaban

dan jalanan adalah tempat pembuangan bagi aku dan kalian

Jakarta, Februari 2021


Mantra Pengangguran

hoy... gedung yang ditanam di pinggir jalan

tumbuh kau tumbuh merambat

berbuah kau berbuah anggur anggur yang bukan anggur.

hey anggur anggur

jatuh kau dipaksa jatuh

busuk kau membusuk tak kan jadi pupuk

terinjak kau terinjak tersapu

terpinggir kau terpinggir dalam getir

marahlah kau marah

berdoalah kau berdoa

wahai anggur anggur yang busuk

berikan yang terburuk

untuk gedung yang terkutuk.

jangkung kau jangkung gedung

menjulanglah terus menjulang

tersambar kau tersambar petir paling menggelegar

dan kau kan jatuh

dan mampus kau mampus

gosong kau gosong

Puah.... jatuh kau jatuh

Anggur yang sepat

Kenapa jatuh

Buah

Rapuh

Dipaksa jatuh
Di malam Minggu sengaja aku

Tidak begadang

Karena ingin bangun pagi

Melihat hari yang terang

Oh istriku jangan lupa

Bangunkan aku

Karena ayam yang berkokok tak mampu

Malam telah berlalu

Di atas ranjang dan aku

Langsung bergegas ke beranda

Melihat matahari yang senyumnya

Tertutup gedung gedung kota

Yang angkuh dan tak punya muka

Oh istriku mana kopiku

Ya sebentar bang aku kan datang

Dengan roko di tangan

Kuhisap perlahan-lahan

Sambil melihat istriku

Menyapu di halaman

Dan tidak lupa untuk menyiram

Tanaman agar tumbuh subur

Seperti apa yang diharapkan

Oh burung burung

Kenapa kau murung


Di pagi yang sama sekali tak mendung

Ayo burung burung kita bernyanyi

Dan angin pagi jangan dulu pergi

Oh istriku ayo menari

Di halaman rumah kita menjalin kasih


Surat

Ketika muncul kekhawatiran akan anakmu

angin dari gunung turun berbondong-bondong

bagai jarum menusuk kulitku

tanpa tanggung tanggung.

Dan hujan turundengan berjuta anak panah

merobohkan pendirianku

banjir dalam darah.

Lalu disusul gempa

batinku porak poranda

Sungguh harapanmu adalah bencana

bagiku yang tak berbuat apa-apa.

Bila setetes air keluar

dari salah satu bola matamu

kiamat kecil bagiku

Betapa kurang ajar anakmu

sibuk memilah kata di langit

untuk pengakuan yang sulit

Bogor, Januari 2021


Hidup dalam Bayangan

Hidup tanpa jaminan

Adalah hidup di jalan jalan

Sorot cahaya lampu menggantikan bulan

Hidup dalam bayang bayang kepalsuan

Bayangan kejam waktu tengah malam

Di persimpangan jalan

Berlari seorang ibu penjual tisu

sementara air matanya berjatuhan

diseka sepatu petugas keamanan

Ada bocah juga berlari

dengan ukulele di tangan

masuk ke dalam gang

sambil berteriak: "persetan"

kepada petugas keamanan

Hidup tanpa jaminan

Adalah hidup di jalan jalan

Yang jadi tempat pelarian

Dan berlarian ketika sirine mobil patroli dinyalakan

Bogor, Januari 2021

Bayangan kejam

Tanda baca

Sementara
Sajak Pengangguran

Pagi sudah buta

Matanya terus bekerja

Banting tulang

Gegara utang

Di hari yang lagi dingin

Apa yang kau kerjakan

Dengan gitar milik teman

Dengan kopi dan nyanyian

Oh lagu lagu lawas

Kau lantunkan di depan warung kopi

Sumbang nya suara mu

Adalah sumbang hidup seorang penganggur

Dalam urusan mencari pekerjaan

Selalu kalah

Sia sia uang sekolah

Hanya untuk selembar ijazah

Dalam urusan rumah

Kau selalu salah

Diri sendiri jadi sasaran

Rambut acak-acakan

Warung kopi adalah tempat kau mengadu

Oh hidup di kota

Kota adalah televisi

Sementara kau tak bisa beli

Oh kau ingin kopi


Gelas demi gelas

Kau kuras

Sumpah demi sumpah

Sudah melimpah

Tanpa ragu

Kau pesan lagi satu

Dengan senyum lebar

Dan berkata presiden yang bayar

Hari hari penuh rasa kecewa

Baik pada diri sendiri maupun pada negara

Luntang Lantung cari uang

Yang didapat hanya utang

Kini pagi sudah terbuka

Sudah waktunya pulang kerja


Walau

Walau hanya sekedar tulisan

Namun nyatanya kau membacanya

Bahkan sampai menghapusnya

Dan memenjarakan ibunya

Haha dunia memang brengsek

Kita bisa melihat di mana seorang ibu

Yang melahirkan adalah sesuatu kesalahan

Fuck you.
Nyanyian Trotoar Jalan

Berjalan di atas trotoar

lewati perumahan jalanan.

Hati hati

banyak bocah berlarian;

kesana kesini mencari makan

Seorang eksekutif muda tergesa

merapikan dasi di dada.

Tukang copet terjaga

hari ini adalah kerja

Panggung didirikan

jangan lupa pasang badan

ambil gitar ambil kecrekan

lantangkanlah nyanyian

Ucapkan selamat pagi

tanyakan kepada dunia

nyenyakkah tidurmu

tidakkah terganggu.

Oh saudara yang raya

bisakah kita saling mencinta

Berjalan semampai seorang wanita

dengan sepatu hak tinggi tebar pesona.

Tukang koran membelalak

dan sadar akan tertabrak

Pesan kopi satu

untuk penganggur yang banyak lagu


sambil bersandar di trotoar

memikirkan kekasih yang ingin dilamar

Seorang bocah sarapan buah

dapat meminta di kios sebelah.

Ada yang berseragam naik bis sekolah

ada yang tertinggal di jalan pasrah

Ucapkan selamat pagi

lepaskan tinju pada dunia

karena percuma

jika hanya bertanya.

Oh saudara setanah sejalan

bisakah kita bergandeng tangan

Berjalan di atas trotoar

lewati perumahan jalanan.

Lihatlah

banyak mata jelalatan;

mencari sekeranjang kehidupan

Jakarta, Januari 2021


Perihal Makan

Di persimpangan jalan kudengar

Getir lagu dari seorang ibu

Ia duduk dengan segelas kopi hitam

Rokok di tangan

Campur aduk dengan kelaparan

Dari mulutnya ia lantunkan sepetik lagu

"Kiniku telah tenggelam karena usia

mengamen adalah pilihan.

Kalau saja aku masih muda

Mungkin selangkangan akan menjadi korban"

Hidupnya keras melebihi batu

Kemiskinan membuatnya seperti itu

Sering ia dengar suara suara pembangkangan di jalan

Ia harapkan kerusuhan

Ia inginkan penjarahan

Ia mendambakan perubahan

Ini semua perihal makan

Jakarta, Oktober 2020


Semua Yang Hidup

Coba kita tengok ke belakang yang silam.

Ya, kita keluar bersama air mata suci itu.

Dengan penuh ketidaktahuan

tempat apa ini?

Ini bukan hanya soal engkau kekasih.

Ketika aku menulis ini

aku juga memiliki soal yang sama

semua yang hidup juga

Apa sebenarnya arti dari kelahiran

kalau kita tidak belajar dari masa itu.

Kita tua kekasih.

Kau tau hal itu tak bisa dihindari

Masa lalu tetaplah lalu.

Tapi kita, kita yang memikul masa depan.

Jelas kita harus berjalan.

Tak sepatutnya kita berbalik badan

Kekasih, aku masih hidup.

Kau juga. Kau tau itu.

Jadi ayo kita ganti lampu yang redup.

Jangan tunggu mati

jangan biarkan gelap menghampiri

Jadi bagaimana
Anak Kemarin Sore

Aku anak kemarin sore.

Tumbuh di dalam kembang kempis sebuah dunia:

yang lari dari masa lalu

lari dari perang bertalu-talu

Aku anak kemarin sore.

Tetapi kenapa aku masih mencium bau hangus mesiu.

Bau dengus napas busuk yang tamak.

Bau bangkai-bangkai yang terkubur

Aku anak kemarin sore.

Aku melihat reruntuhan zaman

aku menyaksikan perang dalam tulisan

aku mendengar bising artileri

membumihanguskan kata kata

demi keberlangsungan hidup raja raja.

Aku melihat orang-orang tak berdaya dan terhina.

Muak melihat tentara

muak mendengar deru tank baja

yang letupan nya selalu mengancam banyak nyawa.

Aku melihat orang-orang marah dan bosan dengan keadaan

Mereka bergerak

bergerilya

merebut segala hak

mencuri senjata

menghancurkan gedung dan istana

meneror raja dan negara

menolak tunduk pada tanduk kekuasaan


Aku anak kemarin sore.

Zaman telah berubah

negara makin gila

memeras negeri dan bangsanya

gedung dewan jadi tempat onani

polisi menjaga privasi

depan pintu gerbang berjejal demonstrasi.

Aku membaca tembok-tembok penuh vandal

aku membaca buku propaganda

aku melihat insureksi tanpa henti.

Dan kini aku menulis sajak

aku mau menyerukan kepada kawan kawanku

Bahwa perang melahirkan perang

Dengan wajah yang berbeda

Dan sifat yang sama.

aku mau cangkul

palu dan belencong

aku mau bambu runcing

batu dan molotov.

aku mau api dalam sajakku

terbakar

jadi abu di pikiranmu

aku mau cat sebagai pena

aku mau tembok sebagai kertas

aku mau membuat berita kasatmata

Aku anak kemarin sore.

ternyata hari telah malam

aku dan sajakku akan beranjak

mencari wajah wajah pemberontak

Jakarta, Agustus 2020


Kanan dan Kiri

Kita punya tangan kanan dan kiri

keduanya kita gunakan untuk mencangkul tanah sendiri.

Kita punya tangan kanan dan kiri

keduanya kita gunakan untuk menanam

apa yang nanti kita miliki

Dan lihatlah matahari

bulan

langit

bumi yang isi

Lalu lihatlah bendera yang kita kibarkan

di tanah yang ditanami bebiji.

Jangan beri penghormatan

berilah apa yang kita hasilkan

Jakarta, September 2020


Aku Melihat Orang Gila

Aku melihat orang gila

Yang semasa gilanya tanpa warna

Hitam, semua hitam

Dunia hitam dan kejam

Aku melihat orang gila

Bergerak seperti matahari

Sesekali menepi, berjudi

Bertaruh dirinya sendiri

Aku melihat orang gila

Hidup tanpa uang

Menjadi kucing di jalan

Menjadi macan di hutan

Aku melihat orang gila

Yang semasa gilanya tanpa warna

Yang disisa hidupnya tak kenal surga dan neraka

Jakarta, September 2020


Membakar

Bumi Pasundan menyala ketika Tuhan sedang membakar.

Bandung, September 2020


Kicauan Burung-burung Gagak

kabar menghitam

berjelaga di langit-langit

selatan bumi melayu

gemuruh kematian

menggema dari paruh-paruh gagak

berkicau kepahlawanan

bergeming paruh-paruh gagak

matanya membelalak

melihat Mayat dengan luka

parang di dada

sekumpulan gagak

mengangkat Mayat yang mati di lahan

dengan cakarnya

sayap-sayapnya mengepak

terbang, membawa Mayat itu

bergentayangan

ke dalam mimpi para pembunuh bayaran

kabar menghitam

berjelaga di langit-langit

selatan bumi melayu

beterbangan dalam bait-bait

sajakku

Jakarta, Maret 2020


Orkes Indonesia

Indonesia

Tumpah darahku patah tulangku

Di atas tanah airmu

Indonesia

Hilang jantungku terputus nadiku

Oleh bawahan nomer satu

Ambyar-ambyar

Indonesiaku

Indonesia

Hangus ganjaku gundul hutanku

Demi kepentingan itu

Indonesia

Terkeruk emasku tergusur sawahku

Oleh tangan tangan tamu

Ambyar-ambyar

Indonesiaku

Jakarta, Agustus 2020


Orkes Nyanyian Patah Hati

Jika tanah harus disewa jika air kudu dibeli

Maka kita akan mencuri

Jika sawah pada digusur jika hutan pada ditebang

Maka kita akan membangkang

Kita hidup di bumi ini

Maka kita menanam padi

Jika ingin menanam api

Mending hidup di matahari

Tanah airku oh sayang

Dikeruk dikuras jadi tambang

Tanah airku oh sayang

Habis ditangan perusahaan

Jakarta, Agustus 2020


Sajak Kepada Kawan

Rasakan lah kawan.

Derap langkah kaki kita

dengan sepatu yang berbeda

tetapi serentak serempak satu tujuan

telah membuat mereka ketar ketir

belingsatan

Lihat saja kawan.

Di setiap genggaman tangan

kita mengokang senjata

siap melesat peluru murka

tanpa kuda kuda mereka terjaga

di depan dan belakang Barakuda

Panas matahari tak akan membakar

kulit yang berurat.

Gelap malam tak akan menutup

mata yang semburat

Apalah arti waktu kawan

jika di setiap detik tak ada detak kebebasan.

Jam hidup kita telah dicuri

maka hari ini musti rebut kembali!

Jakarta, Agustus 2020


Sajak yang Gila

Hahaha gila.

Ya, dunia sudah gila sejak lama, kekasih.

Lihat saja itu di lahan belakang

ada tentara yang sedang berperang;

melawan penjajah:

petani yang menjarah tanah

untuk kebutuhan rumah

Tentara berdiri di samping buldozer

mengawal nkri nya yang mati.

Dan ketika petani datang dengan kepalan tangan

langsung siaga kokang senjata

Gila bukan?

Hanya dengan kepalan tangan

mereka bisa menjadi macan

yang kelaparan seminggu tidak makan

Benar benar gila kekasih.

Bayangkan saja:

negara kesatuan republik indonesia

menganggap petani sebagai penjajah

yang menjarah tanah airnya

Lalu bagaimana nkri ingin makan

bila lahan sudah jadi perusahaan imporan.

Apakah tentara akan menanam senjata

amit amit jabang bayi

bisa bisa berbuah peluru

melesat tanpa ragu:


ke arah petani

atau ke arah tentara sendiri

Jakarta, Agustus 2020


Sajak Kepada Kawan

Bangunlah kawan hari telah pagi

alarm mengganggu telingaku.

Jangan biarkan mimpi menutup telinga dan matamu

Ayolah kawan siang telah bolong

alarm kini menusuk nusuk telingaku.

Jangan bilang kau hanyut dalam kasurmu

Kawan bukalah matamu cahaya senja menjadi darah

alarm makin gila menyiksa telinga tetangga.

Jangan-jangan kau tenggelam di lautan fana

Hei, tidakkah kau merasa dinginnya malam kelam

alarm sudah tak terkendali mengguncangkan seisi dunia.

Apa guna kau bermimpi bila tak melihat hari ini.

Apa daya aku bangun bila kau tak disisi

Hari-hari terus seperti ini.

Tak tahan lagi dan

dalam sajak, aku akan mendaki;

mimpimu yang tinggi

membangunkanmu yang tak sadarkan diri

Jakarta, Agustus 2020


Sajak Hari Pembebasan

Sebelum hari-hari menjelang pembebasan:

adalah darah

muncrat keluar karena logam berkarat

adalah darah

suci keluar bercucuran membanjiri tanah petani;

menyuburkan tanah

menumbuhkan bambu

menuai perang bertalu-talu

adalah darah

tanpa ragu membasahi baju yang maju

adalah darah

mengalir mengarah pada jalan pasrah

Di saat hari itu terbit seperti matahari

adalah darah

amis menjadi asin air mata

adalah darah

membeku membatu

bukti konkret dari masa lalu

adalah darah

mengering tertimbun tanah

adalah darah

melangkah menuju pintu sejarah

Berpuluh-puluh tahun terlewati

hari pembebasan tak seperti matahari

kemana darah darah itu

amis perjuangannya pun tak berbau

Batu yang membeku dari darah itu


pecah berhamburan terketuk palu;

di meja tamu

menjadi kerikil

terinjak kaki kaki kecil

Tanah-tanah yang subur berkat darah

diusap tangan-tangan serakah

Darah yang melangkah

tak sampai pada wajah wajah kalah

Jakarta, Agustus 2020


Kutulis beberapa sajak waktu itu

sajak yang ingin jadi lagu.

Kini kutengok kembali sajak sajakku

entah kenapa mereka hilang dari catatan buku

Kucari cari di setiap halaman

sampai ke balik bayangan.

Tak kutemukan batang huruf mereka

tak terlihat jejak coretan coretannya

Ketika dipersimpangan jalan

tak sengaja kutemukan sajak sajakku berhamburan.

Ada yang melekat di telapak tangan

ada yang menari di bawah jembatan

Kusapa seperti bertemu teman lama

mereka tak menoleh seketika.

Satu persatu kudekati untuk memastikan

mereka mengeluarkan tanya siapa gerangan

Kumenjauh dengan perasaan sakit dan malu

tanyanya memporak-porandakan jantungku.

Terngiang di telinga tuli, terlihat di mata buta

aku pulang membawa diriku dengan kefanaan yang nyata

Jakarta, Juli 2020


Nyanyian Cinta

Katakan cinta

yang paling nyata.

Katakan cinta

tak pandang siapa.

Katakan cinta

jika kau manusia

Kokang senjata;

tembaklah luka.

Luncurkan cinta;

meledaklah derita

Perang telah terjadi.

Jangan ragu lagi.

Siapkan peluru

putar lagu

cinta ini begitu merdu

Kepalkan rasa

cinta semesta.

Tinju segala benci

Memar dengki ini

Perang telah terjadi.

Jangan ragu lagi.

Kenakan zirah

jangan menyerah

cinta tak akan musnah

Kita rasa kita


rasa saling mencinta

Kita suka kita

suka cita cinta

Jakarta, Juli 2020


Sajak yang Bicara

Kau bicara tentang apa

Tetap saja yang keluar hanya suara

Dan kata tetaplah kata

Tak mungkin jadi emas, permata ataupun mutiara

Lalu mau sampai kapan terus bicara

Sementara tubuh bosan mendengarnya

Dan sesungguhnya yang dilakukan kata kata

Adalah memancing sesuatu yang nyata

Jakarta, Juni 2020


Sajak yank Berdengung

Mahasiswa ramai-ramai berdengung

di depan kosongnya gedung.

Dari matahari yang terik

sampai lekum tercekik

Mereka masih terus berdengung

menuntut keadilan yang digandrung.

Dari wajah berurat

sampai pucat mayat

Selangkah dua langkah maju ke pintu gerbang

selangkah sejuta langkah maju arah pulang.

Tanpa sadar wajahnya tertinggal

tak gentar akan lalai

Dalam perjalanan pulang

mereka masih saja berdengung sampai petang.

Dalam mimpi yang panjang:

"padi ditanam tumbuh ilalang"

Jakarta, Juni 2020


Sajak yang Sakit

Apa yang akan kita lakukan bila muncul kata sakit?

Kenapa sedari dulu tak pernah terobati?

Banyak orang yang mencoba mengobati

tetapi terikat parasit

lalu akhirnya menjadi penyakit bagi kaum yang sempit

Sakit bukan hanya soal manusia.

Dan kenapa manusia bisa sakit

karena selalu menyakiti:

apa yang dipijak

apa yang disentuh

apa yang dilihat

apa yang dirasa

apa yang dimakan dan diminum

apa yang sama dan beda

Akankah manusia terus menjadi bom

bagi alam yang selalu membopong.

Akankah manusia terus sujud kepada mesin

jelas-jelas kehidupan tak akan terjamin.

Bila kehidupan sakit

maka akan berjangkit. Ke udara

dihirup alam semesta

menjadi luka yang raya

Siapa yang bisa menahan rasa sakit

lagak kuat manusia tak mampu menahannya.

Hanya bumi. Bahkan tanpa menjerit


Ketika semua sudah sakit dan tersakiti

kenapa tak saling memberi.

kenapa malah saling membeli

hingga menjual harga diri

Kalau harga diri saja terjual

lantas bagaimana dengan harga mati

harga yang kian lama tersakiti

digerogoti rasa tak tahu diri

Jakarta, Juni 2020


Seorang remaja mulai menanam di muka rumahnya.

Bosan katanya melihat dirinya tumbuh

tapi tak ada satupun buah yang jatuh

Sibuk menanam hingga petang

lalu tertidur dalam malam panjang.

Tanpa sadar tikus-tikus mulai datang

menjamah tanpa pandang

Hari berganti, ia kesiangan lagi.

Tanpa membasuh wajahnya

bergegas ke muka

"Anjing!"

makinya entah kepada siapa.

Tanpa bosan ia menanam kembali

sebab tak ingin tumbuh sendiri

Jakarta, Juni 2020

Dini hari menjadi tua

bagi seorang berida yang telah lama

menjilat jalan raya dengan gerobaknya

Hari-hari tetap sama.

Waktu tak berbeda

Persetan dengan kata.

Yang keluar dari mulut mereka

tidak lain hanya liur;


membasahi lambung yang simpang siur

Telinganya tuli

karena suara bising dari perut.

Kaki tangannya lemas bergetar

akibat gempa sebab lapar.

Dini hari menjadi tua.

Keadaan mendatangkan kelaparan

bagi seorang berida bila tidak berjalan

Waktu menjadi dini hari

menyimpan ketakutan tak bertepi

bagi kita bila tidak punya harga diri

Jakarta, Mei 2020

Menarilah. ringankan

biar keringat keluar bermunceratan

Menarilah. ringankan

tunggu apa lagi? tempat sampah terbuka

buang segala takut

lalu telanjang di manapun

seakan tak pernah terjadi apa-apa.

ya. Menarilah. kunci telinga

jangan dengarkan orang bicara cinta

jangan biarkan omong kosong meraba kaca jendela.

Menarilah. pejamkan mata

raih satu titik cahaya.

kuminta kau Menarilah. tutup mulut

maka kaki akan melangkah

maka tangan akan melambai.


Menarilah. jangan khawatir

lewati segala getir.

Jakarta, April 2020

Aku pernah bilang jangan buang sampah sembarangan

Aku pernah bilang cinta dari hati bukan pandangan

Aku pernah bilang hidup adalah kebebasan

Aku pernah bilang berdiri dan melawan

Akhirnya kulupa semuanya jadi sembarangan

Lama-lama lupa semuanya serba pandangan

Terus-terusan lupa jadi kelewatan

Ujung-ujungnya lupa jadi gemeteran

Aku pernah bilang harus ini harus itu

Aku pernah bilang bahwa ini bahwa itu

Aku pernah bilang harus ini bahwa itu

Aku pernah bilang bahwa ini harus itu

Keseringan bilang kujadi bilangan

Kebanyakan bilangan kujadi kebingungan

Keterusan bingung kujadi sempoyongan

Gara-gara sempoyongan hilanglah kesadaran

Karena itu kudapat kesimpulan

Lalu sibuk dengan perenungan

Jakarta, Mei 2020

Apa yang lebih romantis di sela-sela garis hujan

selain tukang ojek payung yang basah

demi mencari sesuatu yang hampir punah


untuk kekasihnya di rumah

Jakarta, April 2020

burung itu terkurung dalam pigura

jantungnya tak berdetak

bulu-bulunya rontok

menumpuk di kakinya

menimbun amanah yang dicengkeramnya

burung itu belum mati dan merdeka.

ia berseru bertalu-talu

kepada yang menatapnya:

"Pecahkan kaca pigura itu!"

Jakarta, April 2020

Hidup menghasilkan arah

Yang diikuti manusia

Dilangkah kedua kakinya

Hidup menghasilkan tujuan

Yang dijinjing manusia

Di sebelah kanan tangannya

Hidup menghasilkan keringat

Yang dipanggul manusia

Di sebelah kiri pundaknya

Hidup melahirkan kehidupan

Yang dimimpi manusia

Sebagai sebuah kebahagiaan


Arah tunjuk satu jalan

Mendatangkan perlawanan

Tujuan beri dukungan

Menciptakan perjuangan

Keringat jatuh di atas tanah

Menumbuhkan pohonan

Kehidupan seru angkat tangan

Kepal, tinju segala pengadangan

Berjalanlah

Berjalan

Demi kehidupan

Jakarta, Maret 2020

Detik-detik waktu senja sehabis hujan

menyisakan gerimis yang mengandung keluhan:

di antara orang-orang yang keluar rumah untuk melihat keadaan

saling bertukar sapa, bingung dan perasaan

saat di rumah saja seharian

Tanpa sadar, langit sudah mulai keemasan

toa masjid sudah mulai bergetaran

siap-siap mengumandangkan adzan

membubarkan orang-orang yang kebingungan

Adzan telah berkumandang

orang-orang pulang membawa perenungan

Jakarta, Maret 2020


Jalan raya tersesat di tengah malam

dibantu lampu-lampu.

Layang-layang tersangkut

di antara kabel-kabel yang melilit di langit kota

Orang-orang deru debu menempel

di antara pintu-pintu gulung yang buta

di antara tenda jamu tak kenal dosa

Kesunyian kota itu

menyisakan orang-orang berwajah kunang-kunang:

tanpa cahaya

tanpa jalan keluar

Jakarta, Maret 2020

tak bisa kupungkiri

sesuatu yang datang ini

bagai bocah bernyanyi

lalu dapat makan nasi

apakah ini?

datang lewat perantara

tubuh manusia

menyelinap begitu saja

tak terdengar salam

tak terketuk pintu

main masuk

memporak-porandakan tubuhku tanpa ragu

apakah ini seperti yang dirasakan petani


saat musim panen tiba?

atau mekarnya bunga matahari

yang membawa kabar untuk manusia?

lihat para nelayan yang pulang

di saat lampu bohlam cakrawala itu mulai menyala

dengan perahu terbeban ikan

adalah kabar bahwa kehidupan akan terus berjalan

seperti itukah sesuatu yang datang ini

entahlah, aku tak bisa membacanya

tapi tak bisa kupungkiri

apa yang ada dalam Puisi ini

Jakarta, Maret 2020

Di musim lalu kalian berdiri mengangkat hati:

di atas mimbar mengkilat

di dalam televisi yang renyuk

di tengah kerumunan massa;

yang ditarik suara gemuruh masa depan

gilang-gemilang

Kalian berdiri memberi hati

yang difotocopy

untuk hari.

Lalu meminta pahala kepada kami

untuk esok nanti.

Kalian berdiri mengepal janji

sambil bermimpi untuk kemudian hari.

Kalian menyerahkan diri


kepadanya untuk berbakti

Di musim ini tuan kemana pergi?

Kalian bawa kemana hati murni?

Di atas mimbar berlagak

di dalam televisi main harga

kerumunan massa bergelegak

masa depan dilanda neraka

Hati yang difotocopy:

berminyak

jadi bungkus gorengan.

Lekang oleh panas

lapuk oleh hujan.

Sambil bermimpi kami menanti hati

yang tuan sebut kemudian hari dalam janji

Sadarkah kalian:

janji yang dikepal

remuk redam

kami yang dimintai pahala

remuk rengsa;

di tengah musim ini

musim-musim epidemi

Jakarta, Maret 2020

Assalamualaikum jalanan

Kami datang

Sebagai orang-orang yang hilang arah

Sebab arah telah tergusur

Telah terkubur
Reruntuhan kami sendiri

Tanah ibu Pertiwi

Assalamualaikum jalanan

Kami ketuk pintumu

Dan terbukalah!

Segala kemungkinan hidup baru

Sebab desa telah menjadi pabrik

Bercerobong jelaga

Sesak di udara

Assalamualaikum jalanan

Kami buka pintu

Dan terlihatlah!

Tangkai pohon besar berbuah harapan

Namun

Ranting-ranting rintang menantang

Menghadang

Memaksa kami mengangkat pedang

Menerjang

Assalamualaikum jalanan

"Waalaikumsalam orang-orang buangan"

Ada seorang anak yang rela melihat surga terinjak-injak oleh ibu kandungnya sendiri ketika berjalan
untuknya.

Jakarta, Maret 2020

Di kota itu, terang-terangan matahari turun dari langit

bulu-bulu api terhuyung-huyung

menyentuh perasaanku

yang sejak saat itu mabuk dan ragu malu-malu


Jakarta, Maret 2020

Matahari menekan alarm jagat raya

berbunyi di atas langit.

Wajah awan-awan pucat

melihat bulu kulit bumi tengah berdiri berkeringat;

dirasuki setan tanah berjuta sayap malaikat

Alarm itu terngiang sampai telingaku

lalu menuntun sampai tempat di mana

setan tanah sedang menjarah:

Air mata bermuncratan

dari mulut seorang tua yang menganga.

Tubuhnya bergetar

bersamaan dengan gempa tangan baja.

Telinganya didobrak deru excavator

yang membabi-buta saat menjilat

tanah di pinggir kali, rumahnya sendiri;

tempat pohon keluarga bersemi

yang kini menjadi puing dalam hati

Seorang tua itu pingsan dalam pangkuan anak-anaknya.

Sumpah serapah bergejolak di hati yang suci,

yang tinggal di pinggir kali

Aku yang sejak saat itu tak berbuat apa-apa

hanya menjadi batu kali

yang dilalui air mata

hanya angin

hanya ingin
Kehidupan di pinggir kali itu:

menjadi janji

suci

pulih

bersih

menjadi mungkir

puing

sampah busuk

sarang nyamuk

Kini aku hanya mampu bertanya dalam sajak.

Apa sebenarnya hakikat pembangunan

bila hanya membuahkan penggusuran

yang menelanjangi hak asasi tanah?

Semewah apa pembangunan

jika ternyata ada yang tertindih kekumuhan

dalam puing-puing peradaban?

Wajah awan-awan makin pucat

meneteskan air mata lebat

membasahi reruntuhan

membanjiri ingatan

mengalir ke kali

menjadi deras di hati

Alarm jagat raya itu

kini tinggal dalam telepon genggamku:

selalu membangunkan tepat waktu

selalu meretakkan perasaan

yang membatu
Jakarta, Februari 2020

Bibir pantai kini berbalik senyumannya.

Gulungan ombak menyeret kematian.

Bangkai-bangkai tergeletak membengkak dan meledak.

Pohon-pohon kelapa layu disengat bau busuk

Bibir pantai telah lebam

terpukul arus daratan.

Perahu nelayan menjadi puing

diterpa badai mesin yang nyaring

Kita telah memanah mata laut yang berkaca-kaca;

ketika melihat tubuhnya menjadi wisata

Kita berjalan di lekuk bibir pantai yang jontor

berburu bulu-bulu matahari yang tertinggal di langit.

Sementara buih-buih telah menjadi air mata yang longsor

dan kita menginjak-injak bagai bandit

Bibir pantai pecah-pecah

karena dijilat lidahnya sendiri;

melembabkan dengan air liur yang telah berminyak;

sebab kita kencingi

Jakarta, Februari 2020

setangkai bunga Betina

menjadi bunga desa.

pasrah ditiup bunga angin

karena hidupnya bagai bunga kusta


melayang-layang sampai ke kota

di kota, bunga matahari

mempunyai kelopak yang mudah rontok.

bunga Betina takut menjadi bunga kering

lalu mulai mencari bunga air

dalam pencarian, bunga Betina menjadi bunga Mawar

yang dibunga-mulutkan;

dengan bunga bibir oleh rangkaian bunga Jantan

bunga Betina dirayu setangkai bunga Jantan

yang membawa bunga delima.

dengan kesipu-sipuan bunga Betina tergoda

menjadi bunga hati bagi bunga Jantan

hingga dijanjikan menjadi bunga sunting

dalam hidup bunga Jantan

lambat-laun bunga Betina dijadikan bunga kelentit

ketika bersama bunga Jantan.

tak kuat bunga Betina menolak.

dengan ketidaktahuan,

bunga Betina dijadikan bunga raya oleh bunga Jantan

yang ternyata pemilik toko bunga-bunga kehidupan

Jakarta, Februari 2020

Bumi yang kita pijak terkulai di ranjang angkasa

Dadanya sesak, dari mulut mengeluarkan batuk berdahak

Hutan sebagai paru-parunya terbakar dan menghitam.

Terdengar pula dari dalam, raungan raja hutan setelah bulan purnama;

memangsa puncak predator pencipta


Raja hutan bingung, hutan makin ketat

sulit untuk bernapas,

oksigen dihirup pembangunan jahat

Raja hutan memutuskan untuk transmigrasi

ke tempat yang lebih asri

ia mengajak seluruh penduduknya pergi.

Dalam perjalanan hijrahnya

mereka bertemu dengan para pemburu

yang bersenjatakan lengkap dan sangkar besi.

Raja hutan tercekat melihat situasi

ia meraung tanda menyerbu.

Mereka maju menolak berbalik.

Seraya menganga berlari ke depan, menyerang para pemburu.

Pada saat yang sama

letupan-letupan senjata menunjukkan wajahnya.

Perang telah terjadi

darah tumpah di sebelah kiri

usus keluar sampai dua belas jari

beberapa di antara mereka mengerang dan mati.

Para pemburu mengeluarkan tembakan berbius

raja hutan tunduk bersama pengikutnya yang haus

Dimasukkan mereka ke sangkar besi

terkurung selama berhari-hari

terus dilatih agar serasi

demi lancar nafsu nafsi

Setelah dilatih dan pintar


mereka ditarik ke tengah kota

dimasukkan ke dalam tenda;

melihat ramainya suara bising

sang pawang mengeluarkan taring

Dengan sehelai pecut

sang pawang membuat kulit mereka mengkerut.

Terpaksa mereka menurut

karena raungan lapar dari perut

Kini kehidupan yang mereka dambakan

hancur lebur dalam peradaban

menyiksa tubuh dan pencernaan

ditelan arus yang menyesatkan

Lambat-laun raja hutan muak

melihat diri dan pengikutnya tak berdaya di hadapan manusia:

hatinya membuncah

pikirannya tumpah ruah

mengeluarkan keberanian

menyerukan pemberontakan

atas nama kemerdekaan

Raja hutan beserta pengikutnya mulai menolak obat bius

meraung, menyerang, mencabik dan mencakar-cakar langit sirkus.

Sang pawang hilang akal.

Raja hutan telah mencekal

Sang pawang mati

dalam cengkraman raja hutan.

Berita tersebar kemana-mana


mendatangkan malapetaka bagi raja hutan beserta pengikutnya

Tak lama kemudian datang segerombol orang berseragam

membawa senjata yang beragam.

Ditudingkan ke arah hidung mereka yang membunuh sang pawang.

Raja hutan tak habis pikir, melihat senjata yang berbayang

Raja hutan meraung tanda menyerbu

diikuti kepalan tangan pengikutnya yang lesu.

Dengan sisa tenaga mereka lancarkan serangan

perang pecah dalam letupan dan raungan

Raja hutan meraung untuk terakhir kali

tanda perjuangan takkan berhenti.

Darah tumpah di sebelah kiri

kemenangan ini adalah mati

Jakarta, Februari 2020

Ada yang onani di belakang televisi

Ada yang mimpi di depan televisi

Ada yang orasi di atas televisi

Ada yang tuli di samping televisi

Ada yang makan gaji dini di remot televisi

Ada yang congkak bongak di dalam televisi

Ada yang iri dengan televisi

Ada yang disengget televisi

Ada yang matikan televisi

Ada yang menjadi televisi


Ada yang jual televisi demi nasi

Ada yang mati listrik gara-gara menyetel televisi

Ada yang tersangkut di antena gara-gara renyuk televisi

Ada yang tersetrum gara-gara memperbaiki televisi

Ada yang gosong akibat korsleting televisi

Ada yang mati dalam investasi

televisi dipaksa menutup diri

Ada yang berdarah memperjuangkan hak asasi

televisi diajak mencuci kaki

Ada yang dilindas kompi-kompi

televisi mengiklankan mercy

Jakarta, Februari 2020

Matahari menggelapkan setumpukan kata

kepulangannya mendatangkan suara lelah

menebarkan jelaga di sekitar lampu merah.

Seorang penjaja koran membaca jajaannya.

"Makin edan, pabrik racun tikus akan ditutup"

ucapnya setelah membaca topik utama.

Ia memekik-mekik ketakutan

menjajakan korannya di tengah keringat kendaraan.

"Bahaya! Bahaya! Pabrik racun tikus akan ditutup

Bahaya! Bahaya! Rumah akan habis digerogoti

Bahaya! Topik utama koran kali ini edan

Kalian harus baca! Kalian harus tahu!

Ayo! Beli koran gratis bayang-bayang bencana"

Ia mengesah di atas trotoar

koran yang ia jajakan masih berat dalam pangkuan tangan.

Sambil memikirkan bagaimana nasib rumah mereka


yang tak mau membeli koran-korannya.

Hari makin gelap.

Bulan menuntun keadaan.

Angin membalikkan lembaran koran

terpampang jelas lowongan pekerjaan.

Si penjaja koran bosan dengan keadaan.

Tergoda dengan halaman yang mendatangkan lowongan

"Mengingat aku masih punya ijazah SMA, tidak salahnya mencoba" ucapnya.

Sambil melangkah pulang, ia bawa segenggam peluang.

Hari baru telah lahir di langit.

Matahari selalu tepat waktu.

Si penjaja koran tak lagi membawa koran.

Melangkah di trotoar menuju perusahaan

dengan map lusuh berisi persyaratan.

Tiba di muka tujuan

ia masuk perlahan menuju meja bertuan

memberikan lamaran kepada petugas perempuan

"Tunggu sebentar nanti ada giliran" ucap petugas perempuan.

Sambil menunggu giliran

Si penjaja koran yang tak lagi membawa koran menyiapkan jawaban.

Tak lama Ia dapat giliran

masuk ke dalam ruangan.

"Apa yang bisa anda lakukan dengan ijazah SMA?" tanya HRD.

"Saya bisa menjual koran, saya bisa membuat kopi, saya bisa mengepel, bersih-bersih dan apapun
yang ibu pinta akan saya lakukan" jawab si penjaja koran yang tak lagi membawa koran.
"Baiklah, anda bisa mulai bekerja hari ini. Silahkan ambil seragam di belakang dan peralatan
lainnya, lalu mulailah bekerja" perintah HRD.

Hari baru beranak pinak.

Matahari selalu tepat waktu.

Si penjaja koran yang tak lagi membawa koran makin baik bekerja

selalu dipuji dan dipuja.

Ia naik tingkat menjadi atasan

makin naik makin tergoda jabatan

makin tergoda jabatan makin gelap pandangan

makin gelap pandangan makin banyak yang diselipkan.

Terus dalam pandangan yang gelap.

Ia bekerja dengan lihai

matanya menjadi nokturnal

jari-jemarinya menjadi taring runcing lalu mengerkah apa yang disentuhnya

menelan habis tanpa sisa.

Si penjaja koran yang tak lagi membawa koran.

Mulai tersiksa kekenyangan

mulutnya terus saja mengeluarkan tahak

yang busuk dan menusuk hidungnya sendiri.

Perutnya mulai membengkak tanpa pencernaan.

Hari-harinya penuh penderitaan tak tertahan.

Ia belingsatan, ia ambil pisau, ia robek perut yang membengkak

hingga apa yang ada dalam perutnya keluar bermuncratan:

gompalan-gompalan aspal

tiang lampu-lampu jalanan

anak-anak yang bernyanyi

pengemis
pemulung

tukang asongan

pelacur terminal

pengangguran

dan Si penjaja koran yang kembali lagi membawa koran.

Angin menutup lembaran koran.

Jakarta, Februari 2020

Wahai hari terang.

Tahukah kau tentang kekasihmu:

berkeringat di dingin malam

berlari tunggang-langgang

untuk bertemu denganmu

Oh hari terang.

Melangkah ke arahmu penuh nyanyian

dibayang-bayangi pergumulan

bagi mereka yang terdampar di rumput-rumput menghitam

Oh rumput-rumput menghitam.

Pahlawan tanpa tanda apapun

dengan santun kau buka pintu

kepada mereka yang mengharap restu:

Waktu itu tengah malam di persimpangan jalan,

lalu lintas sunyi.

Segerombol bocah menyanyi nasi


Lampu-lampu kota mengambil alih cahaya bulan

menari-nari, mendengar butiran beras saling berbenturan;

memecah sunyi menjadi nyala api

Ibu segerombol bocah menggendong janji:

hari terang gilang-gemilang

hari-hari penuh kasih cahaya

Waktu itu tengah malam di rumah beratap jembatan

Segerombol bocah berebut nasi

bosan dengan harinya yang sunyi

Lampu-lampu kota hilang cahaya

Sang ibu kusut muka

melihat anak-anaknya berat mata.

Hidup manusia bergumul dengan masa

Mata-mata malam terpejam.

Trotoar jalan jadi tempat persemayaman

sehabis melewati waktu silam

rebah mengahadapi hari terang

Oh rumput-rumput menghitam.

Penghianat tanpa tanda apapun

dengan santun kau tutup pintu

mengurung mereka dengan debu

Jakarta, Januari 2020

Kala itu ujian datang ke sekolahku

pengawas membawa beberapa lembar soal


dibagikan kepada para murid.

Dan sial, lagi-lagi aku dihadapkan dengan pilihan ganda.

Tak tahu harus memilih apa

semua pilihan sama-sama baik.

Membingungkan.

Tidak. Aku harus menentukan pilihan

Ya. Aku memilih untuk tidak memilih.

Lalu soal kukumpulkan

aku dipulangkan.

17 Desember

;Munir Said Thalib

Kau menyulut api dalam gelita

melalui ilmu yang digesekkan pada kehidupan;

mencari wajah kelam lebam yang beterbangan.

Kau menyulut api di atas awan

menghasilkan pelita yang memancarkan harapan

menuntun kemanusiaan.

Kau menyulut api perlawanan

membakar segala bentuk ancaman kekuasaan

menyerukan keberanian untuk semua orang.

kini Kau adalah api abadi yang berkobar-kobar

dalam diri setiap insan.

tak akan padam

meski ditenggelamkan dalam palung kekerasan.


Jakarta, Desember 2019

Di negeriku ada pesta

pesta yang mengadakan perlombaan

dimana perlombaan itu diikuti kaum-kaum pemimpin

yang sama-sama saling bertaruh nyawa rakyatnya.

Pada saat yang sama

dengan ketidaktahuan

demi mendukung perlombaan

rakyat juga saling bertaruh nyawa sesamanya.

Kita sama-sama menyaksikan.

Bahwa lidah sudah menjadi pedang

menusuk dari belakang.

Dan mata hati sudah disegel kebencian

membuat kawan jadi lawan.

Di negeriku ada pesta

pesta yang menyediakan botol-botol minuman keras

untuk perlombaan yang culas.

Pesta ini tidak mengenal kekalahan

pesta ini untuk pemenang.

Dan semua yang ikut serta adalah pemenang kekuasaan.

Pesta makin meriah

para pemenang berlomba-lomba menenggak minuman:

Berdansa

berpelukan
berciuman

bahkan main perkosa-perkosaan.

Mabuk di pinggir kolam renang

sampai akhirnya tak sadarkan diri

terbang dalam keremangan

dan tak akan pernah kembali.

Pesta ini berdiri di atas punggung rakyat

yang tengkurap di atas punggung ibu.

Oh ibu.

Oh punggungmu.

Dihadiahi beban dari pesta itu.

21 Oktober 2019

Di kampung:

Kemarau yang berkepanjangan

mengeringkan rumah dan gubuk perkampungan.

Membakar dedaunan tak berdosa.

Wajah-wajah polos berputar-putar di antara jelaga yang menyatu di udara kesuburan:

Diikat nafasnya.

Disekap hidungnya.

Di kota:

Kemarau yang berkepanjangan

mengeringkan keadilan.

Membakar pinggiran kota .

Wajah-wajah malang berlari-lari di jalan raya terancam hidupnya:

Dipayungi sejengkal matahari.

Dilapisi tanaman api.

Wajah-wajah kampung dan kota menyatu di udara untuk kesuburan bangsa.


Sama-sama meminta agar turun hujan yang menyejukkan.

Tapi yang turun adalah hujan letupan senjata:

Membanjiri wajah-wajah keresahan

melubangi harapan.

Letupan-letupan senjata terus berkeliaran di antara wajah-wajah itu

lalu mengantarkan sampai puncak nafasnya.

Yang tersisa hanya air mata.

Kemarau yang berkepanjangan

bencana buatan kekuasaan.

Tangan-tangan mereka terus menerus merauk udara yang seharusnya dihisap bersama.

Kepentingan kekuasaan hanya menimbulkan bencana.

Kita sama-sama tahu

betapa angkuhnya mereka

lewat dengan pasukan berkuda

menyisir jalan raya.

Sementara,

orang-orang itu dipaksa merangkak dihadapan mereka

dengan mata yang telanjang

tak tahu harus berbuat apa.

Kini kita sudah semestinya mencerna

yang sejak kecil dijejali guru-guru kita

lewat sekolah yang dipersempit pengetahuannya oleh penguasa.

Lalu kita sama-sama bertanya.

Sebenarnya siapa yang harus diutamakan:

Saat melihat ke kampung

betapa banyak hidung yang ditusuk-tusuk jelaga.

Di kota

pinggiran jalan ditanami api yang membakar telapak kaki penghuninya.

Atau di istana
mereka yang asik beserta selirnya bersenggama.

18 Oktober 2019

Indonesia adalah tanah tumpah darahku.

Darahku adalah darah kalian.

Kalian adalah darah yang tumpah di tanah

yang membekas di aspal.

Tanah dan aspal adalah saksi bisu

merekam jejak darah kalian yang bercucuran lewat kepala karena diretakkan oleh senjata yang
dimainkan oleh polisi dan tentara ketika menghadapi petani dan mahasiswa.

Petani adalah darah yang mempertahankan lahannya.

Mahasiswa adalah darah yang memperjuangkan suara.

Berapa banyak darahku takkan sebanding dengan darah kalian yang berani berdiri tegak di hadapan
senjata, lalu mengoyak-oyak darah-darah sepertiku mendobrak pintu nadiku.

Darah adalah cairan perjuangan yang paling membawa duka.

Duka adalah darah yang berbicara kepada saudara sedarah.

22 September

Mulai dari siang hari aku berpuisi

di pelataran kampus yang penuh tulisan basa-basi

di antara lalu-lalang mahasiswa masa kini.

Aku menangis dalam puisi

mereka terheran-heran dalam dunia.

Panas matahari mengetuk pintu mataku

memaksaku mendongak ke cakrawala

untuk membaca kabar awan bakaran

untuk bergerak dan bertindak.

Aku baca awan bakaran

kudengar teriakan di dalam gumpalanya

yang berpecahan menjadi hujan


lalu membasahi tanah berlapis aspal.

Tanpa basa-basi langsung kuhampiri

kusentuh bercakan air

yang menyesap pada panas aspal.

Bercakan air itu bagai arah

membawaku menuju gedung serakah.

Betapa ramainya di sana

kulihat ratusan kepalan tangan yang menuding ke cakrawala.

Serta teriakan yang keluar dari mulut-mulut mahasiswa:

Hidup mahasiswa!

Hidup rakyat!

Kusentuh barisan perjuangan yang berhadapan dengan benteng pertahanan dan dibatasi gerbang
menjulang.

Lalu kudengar lagi teriakan:

Hidup mahasiswa!

Hidup rakyat!

Lawan!

Puluhan mahasiswa antri naik mobil orasi

satu persatu naik dan berbicara dengan nada tinggi:

Tolak!

Tolak!

Segala bentuk penindasan.

Lawan!

Lawan!

Hari jadi sore

goresan-goresan lembayung senja mulai bermekaran.

Kududuk di seberang jalan

menunggu jawaban

dan melihat mahasiswa yang bosan.


Lalu:

Kuminum secangkir kopi

kuhisap sebatang rokok

kukeluarkan asap puisi

untuk bapak pengabdi.

Malam tiba.

Matahari titip pesan pada bulan.

Dan kali ini teriakan itu menusuk dadaku

juga mahasiswa yang bosan menunggu.

Kebosanan itu pun keluar dari mulut mahasiswa yang bosan dan berteriak:

Lawan!

Lawan bukan sekedar kata.

Panjat!

Panjat!

Panjat gerbangnya!

Kebosanan itu pun menjalar ke kaki-kaki

lalu menendang-nendang gerbang yang buta dan tuli.

Kebosanan adalah bulan yang dicuri cahayanya

kemarahan adalah matahari yang membakar kepala.

Di antara itu semua

aku buat lingkaran

aku buka pertunjukan

aku baca puisi untuk kalian.

Lalu kutulis pesan

di atas aspal dengan tinta berwarna hitam

untuk tuan yang ada di gedung persinggahan.

Jakarta, September 2019

Anda mungkin juga menyukai