Anda di halaman 1dari 23

MUSIUM PERJUANGAN

Karya Kuntowijoyo

Susunan batu yang bulat bentuknya


berdiri kukuh menjaga senapan tua
peluru menggeletak di
atas meja
menanti putusan
pengunjungnya.

Aku tahu sudah, di dalamnya


tersimpan darah dan air mata kekasih
Aku tahu sudah, di bawahnya
terkubur kenangan dan
impian

Aku tahu sudah, suatu kali


ibu-ibu direnggut
cintanya dan tak pernah kembali

Bukalah tutupnya
senapan akan kembali berbunyi
meneriakkan
semboyan
Merdeka atau Mati.

Ingatlah, sesudah
sebuah perang
selalu pertempuran
yang baru
melawan dirimu.
TERATAI
(Kepada Kihajar Dewantara)
Karya Sanusi Pane

Dalam kebun di tanah airku


Tumbuh sekuntum bunga teratai
Tersembunyi kembang indah permai
Tiada terlihat orang yang lalu

Akarnya tumbuh di hati dunia


Daun bersemi laksmi mengarang
Biarpun dia diabaikan orang
Seroja kembang gemilang mulia

Teruslah, o, teratai bahagia


Berseri di kebun Indonesia
Biar sedikit penjaga taman

Biarpun engkau tidak dilihat


Biarpun engkau tidak diminat
Engkaupun turut menjaga jaman

1929
INDONESIA TERSENYUMLAH
Karya Rizky Aulia

Ribuan orang telah meninggal


Tangis pilu terdengar di pelosok negeri
Apa maksud ini semua?

Telah banyak bencana di negeriku


Telah banyak korban terbujur kaku
Akankah semua ini segera berakhir?

Sejenak kulontarkan sesuatu


Kapan aku dapat melihat
Indonesia tersenyum lagi?

Oh. Tuhan…
Hanya satu pintaku
Jangan lagi ada bencana
Biarkan kami semua
Hidup seperti sedia kala

Kumohon Indonesia tersenyumlah

(Dikutip dari Majalah Bobo)


KETIKA CINTA DIPERTANYAKAN
Karya Otoks

Ketika kau cinta pada Tuhanmu


Mengapa harus ada pelanggaran dan ada keraguan dalam mengimami
keimanan
Ketika kau cinta pada bumi
Mengapa bumi bergetar kau salahkan bumi dan isinya
Ketika kau cinta pada matahari
Mengapa kamu mencari perlindungan ketika matahari bersinar menyengat
lembut
Ketika kau cinta pada angin
Mengapa kau memaki saat badai menghampiri cukup sopan
Ketika kau cinta pada kemarau
Mengapa kau merasa gerah dan haus berkepanjangan saat musim kemarau
memaki
Ketika kau cinta pada hujan
Mengapa kau mengeluh dan menghiba atas kehadiran
Ketika kau cinta Ibu
Mengapa ibu harus sakit memikirkan buah hatinya yang menyeka
menyesakkan rasa
Ketika kau cinta suamimu
Mengapa harus ada cemburu yang tanpa batas dan rasa sakit
Ketika kau cinta istrimu
Mengapa harus ada perintah yang menyesakkan dada
Ketika kau cinta anakmu
Mengapa kau merasa sakit hati jika anakmu memunyai dunianya sendiri
Ketika kau cinta pada tetanggamu
Mengapa kau harus sakit hati terhadap benda kepemilikannya
Ketika kau cinta pada tanaman
Mengapa kau merusaknya jika tidak kau sukai
Ketika kau cinta pada binatang
Mengapa kau harus mengusirnya bahkan membunuhnya jika tak berkenan
Ketika kau cinta terhadap ciptaa-Nya
Mengapa kau mengikari semua yang diciptakan justru untuk kemaslahatan
untukmu
Ketika cinta menjadi agung
Karena cinta sesungguhnya adalah sesungguhnya karena cinta itu sendiri
DOA IBU
Karya Budi Astuti

Aku suka, melihat gedung yang tinggi mencakar langit, bermimpi dapat tinggal di
dalamnya. Aku suka, melihat para pengemis tidur di emperan toko, dan berfikir apa
yang mereka impikan dalam tidurnya.

Aku suka, melewati gedung wakil rakyat dan berharap dapat bekerja di dalamnya.
Aku suka, berpapasan dengan sarjana-sarjana pengangguran keluar masuk
perkantoran sambil menawarkan ijazahnya.

Aku suka, selfie-selfie di samping mobil pak polisi, hanya sekadar ingin merasakan
bagaimana gagahnya kalau aku jadi polisi. Aku suka, bergabung dengan pedagang
kaki seribu yang lari pontang panting karena dikejar Satpol PP.

Aku suka, duduk mematung di depan gedung pengadilan tinggi sambil menatap
patung Dewi Thermis yang tertutup matanya, tangan kanannya memegang
timbangan setara, tangan kirinya menghunus pedang entah tumpul entah tajam. Aku
suka, menonton acara televisi yang acaranya sidang sengketa Pilpres 2019 dan
mengamati apakah Pak Hakim tertutup matanya seperti Dewi Thermis.

Aku suka, menemani ibuku yang mencari kardus dan botol plastik bekas kemudian
dijual untuk mendapatkan uang. Aku suka, tidur dengan ibuku, di dalam pelukannya
yang hangat.

Aku suka, mendengar ibuku berdoa di tengah malam dan mendoakan supaya kelak
aku menjadi orang besar, aku sendiri tidak tahu yang dimaksud ibuku orang besar itu
seperti apa.

Aku suka, memandang diriku di cermin, dan aku suka. Karena aku terlahir sempurna.

Sabtu, 23 Juni 2019


PATUNG TADULAKO
Karya Devi Ismayanti

Kita diam
Bagai patung berdiri tegak
Dan bagai tanah liat telah mengeras
Kasarnya permukaan
Lambangkan hidup yang berliku

Sekeras batu bata


Juga dari pemikiran yang berkelana
Yang tak kunjung didapatkan
Kini waktu sia sia
Hanyut dalam kepentingan dunia

Kayu-kayu tersusun
Besi menegak dalam bingung
Kini gelap datang dalam kesunyian
Diam bisu tanpa sepatah kata

10-05-2019
AKU MEMATRI SUKMA
Karya Wanti

aku mematri sukma dari binar jalang ragamu


kau tebarkan pikat menghunjam, nadi, ulu jantung
kutebaskan pilar yang menghalau pesonamu

lembayung senja memekatkan ilusi-mu


kuraut tajam panca inderawimu
aku sembahkan ruh dari moyang
kusematkan firâsatku, merebak balaku
kubangunkan cawan pergolamu menjadi teluh

sarat, citra dupa mengepul memperbudak-mu


bersâma matra, kuutas ruas tulang, jiwa
kuraup dengan semua purba
di sosok wadalmu

rawan mengintai, terjaga angkaranya


menyẻruak pelâna puspa

nyala dian yang kularung


dan hasrat niatmu selaras tapaku
membaur gaib
aku memendam sesaji-sesaji liar di bilur-mu

kuberikan tali pênjerat


kutautkan simpul dalam sungging kanthil

aku saman,
kugenggam taji dari mantra
menyusuri surga-surga bịlahi

2019
JANGAN MENANGIS INDONESIA
Karya Akhudiat

bencana dan keberuntungan silih berganti


jangan menangis, indonesia

malang dan mujur silih berganti


jangan menangis, indonesia

kejayaan dan keruntuhan silih berganti


jangan menangis, indonesia

manis dan pahit


susah dan senang
sakit dan bahagia
lapar dan kenyang
silih berganti
jangan menangis, indonesia

tak ada puasa terus-menerus


tak ada pesta terus-menerus

pesta akan ditagih ongkos kenikmatan


puasa akan temukan hari lebaran

jangan menangis, indonesia


tawa dan tangis silih berganti

Surabaya, 01 Januari 2005


SURABAYA AJARI AKU TENTANG BENAR
Karya Aming Aminoedhin

Surabaya, ajari aku bicara apa adanya


Tanpa harus pandai menjilat apa lagi berlaku bejat
Menebar maksiat dengan topeng-topeng lampu gemerlap
Ajari aku tidak angkuh
Apa lagi memaksa kehendak bersikukuh
Hanya lantaran sebentuk kursi yang kian lama kian rapuh

Surabaya, ajari aku bicara apa adanya


jangan ajari aku gampang lupa gampang berdusta
jangan pula ajari aku dan warga kota, naik meja
seperti orang-orang dewan di Jakarta

Surabaya, ajari aku jadi wakil rakyat


lebih banyak menimang dan menimbang hati nurani
membuat kata putus benar-benar manusiawi
menjalankan program dengan kendaraan nurani hati

Surabaya ajari aku. Ajari aku


Ajari aku jadi wakil rakyat dan pejabat
tanpa harus berebut, apa lagi saling sikut
yang berujung rakyat kian melarat kian kesrakat
menatap hidup kian jumpalitan di ujung abad
tanpa ada ujung. tanpa ada juntrung

Surabaya memang boleh berdandan


bila malam lampu-lampu iklan warna-warni
siang, jalanan tertib kendaraan berpolusi
senja meremang, mentarinya seindah pagi
di antara gedung tua dan Tugu Pahlawan kita

Surabaya ajari aku. Ajari aku bicara apa adanya


sebab suara rakyat adalah suara Tuhan
kau harus kian sadar bahwa berkata harus benar
dan suara rakyat adalah suara kebenaran
tak terbantahkan. Tak terbantahkan!

Surabaya ajari aku tentang benar. Tentang benar!

Surabaya, 21 November 2005


KOTA DI TENGAH PUSARA
Karya Bagus Putu Parto

Bung!
Aku ingin menziarahmu
Tapi di mana letak pusaramu
Karena jasadmu menutup wajah kota
Dan kotapun
Tlah mencecap ruh sucimu
Mengalir di setiap nadi kehidupan
Api Soekarno menyala
Berkobar-kobar
Membakar birahi kota tua
Gedung-gedung, jalan-jalan
Bersolek seperti sepasang pengantin
Dan para pemimpinnya
Berebut memancang mercusuar
Ingin berkata pada dunia
“Datanglah ke kota ini
Aku ingin ajak tuan-tuan
Menziarahi Proklamator Negeri ini ‘

Lalu bila senja turun


Kita dapat bernostalgia
Naik becak dari istana Gebang
Putar alun-alun
Lalu belanja di seputar makam
Atau bila malam tiba
Kita bisa
Kongkow-kongkow
Di sepanjang trotoar Pasar Legi
Sambil menikmati wedang ronde
Atau lezatnya tahu campur

Bung!
Sungguh aku ingin menziarahmu
Bukan sekadar bernostalgia
Atau memuja nama besarmu
Tapi ingin mengeja
Baris demi baris ajaranmu
Tapak demi tapak tauladanmu
Membuka lembaran sejarah
Memungut yang tercecer di jalanan
Alpa tak tertuliskan
Ingak,ingak,ingak!
Kota ini tlah menjadi saksimu!

Blitar, 2007
SURABAYA MALAM HARI
Karya Herry Lamongan

keremangan setelah matahari


rebah pelahan menimpa jalan-jalan
lalu adzan lalu lampu-lampu
menyertai Surabaya memerangi gelap langit

dalam plaza dan hotel-hotel


masih kuyupkah dalam ingatan
darah arek-arek yang menyeka kemerdekaan
atau hanya kemarau
berdebu pada tugu dan bayangannya?

orang-orang pulang menuju adzan


meniti pijar demi pijar hening langit
orang-orang pergi menunda sepi
melupakan rumah plaza dan hotel-hotel

menikmati malam Surabaya


aku merasa siang sejauh melangkah
sementara keperkasaan November
tinggal beku pada bentang spanduk
mempersunyi gemuruh Surabaya
yang tumbuh dari curah darah arek-areknya

1989
AKU ADALAH KOTA
Karya Leres Budi Santoso

kota tidaklah sebuas seperti sangkaanmu semula


ia hanyalah relung-relung dalam nadiku
di mataku kota lebih menyerupai pelacur
di pinggir jalan

kota adalah mawar yang hinggap di mataku


jam-jam kota lenyap tersingkir dari imajinasiku

dalam diamnya kota hanyalah secarik kertas putih


apabila ingin kugambar secermat-cermatnya

aku adalah kota itu sendiri!

kota bukanlah gugus lautan yang memaksa nelayan


tunduk menyerahkan nasib dan sampannya
pada kuasanya yang bergulung-gulung

kota adalah selimut yang menggantungkan


harapan hidupnya atas kisi-kisi jendela
yang setiap pagi kubuka lebar-lebar

Surabaya, 1990
SAJAK BISU BUAT IBU
Karya R. Giryadi

Ibu
hari ini kota terbakar lampu neon
kulihat ada gerimis di wajahmu
terlukis pada dinding etalase.

kudengar irama dongengmu


yang dulu kau nyanyikan padaku
tentang kota-kota yang kini bersemak belukar
dan berbinatang buas.

Ibu
ijinkan aku menjadi batu
di tengah badai mesin pabrik
bukan untuk menjadi boneka mainan
seperti kau timang-timang dulu.

aku hanya bisa jadi batu, Ibu


dari musim ke musim di kota ini
walau irama dongengmu
selalu menghantuiku setiap malam.

Ketintang, 1997
KUSUSURI KALIMAS KUDENGAR DERAI TAWAMU
Karya Sirikit Syah

Saat kususuri Kalimas


dari Gunungsari ke Wonokromo
Ngagel dan Dinoyo
kecewaku tak dapat kupungkiri
Mengapa sungaiku tak dapat diarungi
dengan perahu dayung atau perahu motor
seperti yang kita lakukan di kampungmu
di hulu sungai Kahayan

Malam hari saat purnama


Kalimas di Kayun ingatkan aku pada derai tawamu
saat kita berperahu di bawah bintang-bintang
di pedalaman belantara
rimba Kalimantan

Seperti sungaimu,
sungaiku juga menghidupi ribuan, bahkan jutaan penduduk
sekalipun sedikit ngeri aku memandang ke bawah jembatan Gubeng
di mana Kalimas dipenuhi buih
pertanda tingginya tingkat polusi

Kalimas terus mengalir


dari Gentengkali ke Peneleh
terus menyusup ke jantung Jembatan Merah
untuk akhirnya bermuara di Tanjung Perak
Kalimas yang cantik
dengan deretan perahu bugis dan pedati
membongkar muatan
sementara aku tetap tahu
di mana muara sungaimu

Mei, 1991
DI KOTA TETANGGA ADALAH
Karya Tengsoe Tjahjono

Di kota tetangga adalah sosok asing


kerna pagar tinggi dan gerbang seribu anjing
bel cuma untuk saudara dan kolega
amplop di genggaman tangan bukan untuk peminta-minta

Di kota tetangga adalah rimba belantara


tak terjamah kaki, apalagi hati
senyum cuma singgah di roman wajah
jiwa tetap tak terjejaki

Di kota tetangga adalah teka-teki


seperti pagi yang memayungi rumah mereka
hujan atau terik matahari
tak bisa diramalkan

Di kota tetangga adalah orang jauh


kapal yang menepi tanpa melempar sauh
tubuhnya di sini batinnya memburu-buru
dari satu ke satu, dari batu ke batu

Di kota tetangga adalah pusat curiga


jadi gunjingan siang malam
lampu jalan yang tak menyala
sampah cecer di mana-mana

Di kota tetangga adalah


Di kota tetangga adalah
di kota tetangga
adalah!

Surabaya Rungkut, 24 Mei 1994


IBU
Karya Mustofa Bisri

Kaulah gua teduh


tempatku bertapa bersamamu
Sekian lama
Kaulah kawah
dari mana aku meluncur dengan perkasa
Kaulah bumi
yang tergelar lembut bagiku
melepas lelah dan nestapa
gunung yang menjaga mimpiku
siang dan malam
mata air yang tak brenti mengalir
membasahi dahagaku
telaga tempatku bermain
berenang dan menyelam

Kaulah, ibu, laut dan langit


yang menjaga lurus horisonku
Kaulah, ibu, mentari dan rembulan
yang mengawal perjalananku
mencari jejak sorga
di telapak kakimu

Tuhan,
aku bersaksi
ibuku telah melaksanakan amanatMu
menyampaikan kasihsayangMu
maka kasihilah ibuku

seperti Kau mengasihi


kekasih-kekasihMu
Amin).

1414 H
SELAMAT PAGI INDONESIA
Karya Sapardi Djoko Damono

Selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk


dan menyanyi kecil buatmu.
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja yang sederhana;
bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,
di mata para perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu.
pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
agar tak sia-sia kau melahirkanku.
seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam
padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
aku pun pergi bekerja, menaklukan kejemuan,
merubuhkan kesangsian,
dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng
kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman
yang megah,
biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu
wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para perepuan menyalakan api,
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.

Selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil


memberi salam kepada si anak kecil;
terasa benar : aku tak lain milikmu..
SAJAK BUAT NEGARAKU
Karya Kriapur

di tubuh semesta tercinta


buku-buku negeriku tersimpan
setiap gunung-gunung dan batunya
padang-padang dan hutan
semua punya suara
semua terhampar biru di bawah langitnya
tapi hujan selalu tertahan dalam topan
hingga binatang-binatang liar
mengembara dan terjaga di setiap tikungan
kota-kota

di antara gebalau dan keramaian tak bertuan


pada hari-hari sebelum catatan akhir
musim telah merontokkan daun-daun
semua akan menangis
semua akan menangis
laut akan berteriak dengan gemuruhnya
rumput akan mencambuk dengan desaunya
siang akan meledak dengan mataharinya
dan musim-musim dari kuburan
akan bangkit
semua akan bersujud
berhenti untuk keheningan

pada yang bernama keheningan


semua akan berlabuh
bangsaku, bangsa dari segala bangsa
rakyatku siap dengan tombaknya
siap dengan kapaknya
bayi-bayi memiliki pisau di mulut
tapi aku hanya siap dengan puisi
dengan puisi bulan terguncang
menetes darah hitam dari luka lama

Solo, 1983
KRAWANG-BEKASI
Karya Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi


Tidak bisa berteriak “merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
Terbayang kami maju mendegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi


Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa


Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan


Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan


Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi


Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami


Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga bung karno
Menjaga bung hatta
Menjaga bung sjahrir

Kami sekarang mayat


Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami


Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

(1948)
DARI SEORANG GURU KEPADA MURID-MURIDNYA
Karya Hartoyo Andangjaya

Apakah yang kupunya, anak-anakku


selain buku-buku dan sedikit ilmu
sumber pengabdian kepadamu

Kalau di hari Minggu engkau datang ke rumahku


aku takut, anak-anakku
kursi-kursi tua yang di sana
dan meja tulis sederhana
dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya
semua padamu akan bercerita
tentang hidup di rumah tangga

Ah, tentang ini aku tak pernah bercerita


depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja
- horison yang selalu biru bagiku -
karena kutahu, anak-anakku
engkau terlalu muda
engkau terlalu bersih dari dosa
PAHLAWAN TAK DIKENAL
Karya Toto Sudarto Bachtiar

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring


Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana dia datang


Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang

Wajah sunyi setengah tengadah


Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda

Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun


Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring


Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda

1955
SURAT DARI IBU
Karya Asrul Sani

Pergi ke dunia luas, anakku sayang


pergi ke hidup bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau.

Pergi ke laut lepas, anakku sayang


pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang
dan warna senja belum kemerah-merahan
menutup pintu waktu lampau.

Jika bayang telah pudar


dan elang laut pulang ke sarang
angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tak pedoman,
boleh engkau datang padaku.

Kembali pulang, anakku sayang


kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
kita akan bercerita
“tentang cinta dan hidupmu pagi hari.”

Anda mungkin juga menyukai