Halaman
Pembicaraan
Baca
Sunting
Sunting sumber
Lihat riwayat
Lengkapi formulir untuk didaftarkan ke daftar peserta kami. Anda akan dihubungi secara
berkala dengan kesempatan untuk berpartisipasi dalam studi penelitian bagi Wikipedia. Anda
dapat mengundurkan diri dari daftar kapan saja.
Lihat kebijakan privasi kami dan pelajari lebih lanjut tentang program penelitian kami di sini.
Republik Indonesia
1950–1959
Bendera
Lambang
Republik Indonesia pada tahun 1957
Ibu kota Jakarta
Bahasa resmi Bahasa Indonesia
Pemerintahan Negara kesatuan republik parlementer
Presiden
• 1950–1959 Soekarno
Wakil Presiden
• 1950–1956 Mohammad Hatta
Perdana Menteri
• 1950–1951 Mohammad Natsir (pertama)[a]
• 1957–1959 Djuanda Kartawidjaja (terakhir)
Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1950-1956)
Legislatif
Badan Konstituante (1956-1959)
Sejarah
• Dibentuk 17 Agustus 1950
• Pemilu legislatif 1955 29 September 1955
• Dibubarkan 5 Juli 1959
Mata uang Rupiah
Didahului oleh Digantikan oleh
Republik Indonesia Sejarah Indonesia (1959–
Serikat 1965)
Sekarang bagian dari Indonesia
Bagian dari seri mengenai
Sejarah Indonesia
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kerajaan Islam
Kerajaan Kristen
Kolonialisme Eropa
Kemunculan Indonesia
Kemerdekaan
Menurut topik
Garis waktu
Portal Indonesia
l
b
s
Era Demokrasi Liberal (1950–1959) yang dikenal pula dengan Era Demokrasi
Parlementer adalah era ketika Presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950. Periode ini berlangsung dari 17
Agustus 1950 (sejak pembubaran Republik Indonesia Serikat) sampai 5 Juli 1959 (keluarnya
Dekret Presiden). Pada masa ini terjadi sejumlah peristiwa penting, seperti Konferensi Asia–
Afrika di Bandung, pemilihan umum pertama di Indonesia dan pemilihan Konstituante, serta
periode ketidakstabilan politik yang berkepanjangan, dengan tidak ada kabinet yang bertahan
selama dua tahun.
Latar belakang
Seiring dengan berakhirnya perjuangan untuk mengamankan kemerdekaan Indonesia,
perpecahan di kalangan masyarakat Indonesia mulai muncul. Perbedaan antardaerah dalam
hal adat istiadat, moral, tradisi, agama, pengaruh Marxisme, serta ketakutan akan dominasi
politik Jawa, semuanya berkontribusi pada perpecahan. Sebagai negara baru, Indonesia
memiliki masalah kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, dan tradisi otoriter.[1]
Berbagai gerakan separatis juga muncul untuk menentang Republik Indonesia: militan Darul
Islam memproklamasikan "Negara Islam Indonesia" dan bergerilya melawan Republik
Indonesia di Jawa Barat dari tahun 1948 hingga 1962; di Maluku, orang-orang Ambon yang
dulunya adalah Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) memproklamasikan kemerdekaan
Republik Maluku Selatan; ditambah dengan pemberontakan di Sumatra dan Sulawesi antara
tahun 1955 dan 1961.
Perekonomian Indonesia terpuruk setelah tiga tahun pendudukan Jepang, kemudian empat
tahun perang melawan Belanda. Di tangan pemerintahan yang masih muda dan belum
berpengalaman, perekonomian tidak mampu mendorong produksi pangan dan kebutuhan lain
untuk mengimbangi pertambahan penduduk. Sebagian besar penduduk buta huruf, tidak
terampil, dan tidak memiliki kemampuan manajerial. Inflasi meningkat, banyak
penyelundupan yang merugikan pemerintah pusat yang sangat membutuhkan devisa, dan
banyak perkebunan hancur selama pendudukan penjajah dan perang.[2]
Gambaran umum
Pada masa Soekarno, sistem pemerintahan di Indonesia mengalami beberapa peralihan.
Indonesia pernah menerapkan sistem pemerintahan presidensial, parlementer (demokrasi
liberal), hingga demokrasi terpimpin. Pada masa pemerintahan Soekarno juga terjadi
penyimpangan UUD 1945, di antaranya perubahan fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP), dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut
menetapkan GBHN yang merupakan wewenang MPR.
Salah satu hasil dari Konferensi Meja Bundar tahun 1949 adalah terbentuknya Negara
Republik Indonesia Serikat (RIS). Pembentukan negara federal yang diprakasai oleh Belanda
untuk melemahkan integrasi Indonesia sebagai negara kesatuan ternyata tidak didukung
masyarakat Indonesia. Banyak negara bagian yang menyatakan ingin kembali ke negara
kesatuan dan pada 15 Agustus 1950, Perdana Menteri Kabinet RIS Mohammad Hatta
menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
Pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Pemerintahan Republik
Indonesia masih melanjutkan model demokrasi parlementer yang liberal. Kabinet dipimpin
oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan dan bertanggung jawab kepada
parlemen. Presiden hanya berkedudukan sebagai kepala negara. Sementara itu, Undang-
Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS) 1950 digunakan sebagai konstitusi
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara
Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia,
dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta.
Konstitusi ini dinamakan “sementara”, karena hanya bersifat sementara, menunggu
terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru.
UUDS 1950 sangat berbeda dengan UUD 1945 dalam banyak hal; ia mengamanatkan sistem
pemerintahan parlementer dan menetapkan secara panjang lebar jaminan konstitusional untuk
hak asasi manusia, yang sangat mengacu pada Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi
Manusia oleh PBB tahun 1948.[3]
Konstituante
Pada tahun 1955, Indonesia melaksanakan pemilihan umum nasional yang pertama. Pada
bulan September, rakyat memilih wakil untuk DPR, dan pada bulan Desember pemilih
kembali memilih wakil-wakil yang lebih banyak lagi sebagai anggota Konstituante.
Konstituante, setelah dipilih pada tahun 1955, mulai bersidang pada bulan November 1956 di
Bandung, ibu kota Jawa Barat, untuk membuat UUD yang baru sesuai amanat UUDS 1950.
Perdebatan, permusyawaratan, dan penulisan draf-draf UD berlangsung selama dua setengah
tahun. Perdebatan isu dasar negara (terutama antara golongan yang mendukung Islam sebagai
dasar negara dan golongan yang mendukung Pancasila) terjadi sangat sengit. Walaupun para
pimpinan Konstituante merasa sudah lebih dari 90% materi undang-undang dasar telah
disepakati, dan walaupun ada beberapa tokoh partai politik Islam yang merasa siap
berkompromi, Konstituante tidak sempat menyelesaikan tugasnya.
Kabinet Natsir
Kabinet Natsir merupakan kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir
dari Partai Masyumi. Kabinet ini dibentuk pada 6 September 1950 dan didemisionerkan pada
tanggal 21 Maret 1951. Program kerja kabinet Natsir:
Kabinet Natsir jatuh pada 21 Maret 1951 dalam periode 6,5 bulan dan belum sempat
melaksanakan program-programnya. Jatuhnya kabinet ini karena adanya mosi tidak percaya
dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI
menganggap Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 mengenai DPRD terlalu
menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga Natsir harus
mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
Dalam program Kabinet Natsir, kemudian diterapkan Program Benteng yang didasari oleh
gagasan pentingnya mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
Program Benteng resmi berjalan selama tiga tahun (1950–1953) dengan tiga kabinet berbeda
(Natsir, Sukiman, dan Wilopo).
Kabinet Sukiman-Suwirjo
Kabinet ini merupakan kabinet kedua pada Era Demokrasi Parlementer. Kabinet ini bertugas
pada masa bakti 27 April 1951 hingga 3 April 1952, tetapi telah didemosioner sejak 23
Februari 1952. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI. Program
kerja kabinet Sukiman:
Hasil dari program kerja ini tidak terlalu berarti sebab programnya melanjutkan program
Natsir, hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti
awalnya program menggiatkan usaha keamanan dan ketenteraman namun selanjutnya
diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketenteraman. Beberapa kendala atau masalah
yang dihadapi, di antaranya:
adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Soebadjo
dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cockran mengenai pemberian bantuan
ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika Serikat kepada Indonesia berdasarkan
ikatan Mutual Security Act (MSA) . Dimana di dalam MSA terdapat pembatasan
kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan untuk memperhatikan
kepentingan Amerika.
adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap
lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
masalah Irian Barat belum juga teratasi
hubungan Sukirman dengan militer kurang baik, ditunjukkan dengan kurang tegasnya
tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Sulawesi.
Kabinet Sukiman tidak mampu bertahan lama dan jatuh pada bulan Februari 1952. Penyebab
jatuhnya kabinet ini disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran nota keuangan
antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta Besar AS Merle Cochran.
Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia didasarkan pada ikatan
Mutual Security Act (MSA). DI dalam MSA, terdapat pembatasan terhadap kebebasan politik
luar negeri yang bebas aktif. Indonesia diwajibkan lebih memperhatikan Amerika sehingga
tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif
dan dianggap lebih condong ke blok Barat. Di samping itu, penyebab lainnya adalah semakin
merebaknya korupsi di kalangan birokrat dan gagalnya Kabinet Sukiman dalam
menyelesaikan masalah Irian Barat.
Kabinet Wilopo
Kabinet Wilopo harus mengakhiri masa tugas karena tidak berhasil menyelesaikan masalah
peristiwa 17 oktober 1952. Peristiwa itu dipicu oleh adanya gerakan yang diprakarsai oleh
sejumlah perwira angkatan darat yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah. Mereka
menghendaki agar Presiden Sukarno membubarkan parlemen.
Pada masa kabinet Ali-Wongsonegoro, gangguan keamanan makin meningkat, antara lain
munculnya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Daud Beureuh Aceh, dan Kahar Muzakar di
Sulawesi Selatan. Meskipun dihinggapi berbagai kesulitan, kabinet Ali-Wongsonegoro
berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika. Oleh karena itu, kabinet Ali-
Wongsonegoro ikut terangkat namanya. Selain berhasil menyelenggarakan Konfereni Asia
Afrika, pada masa ini juga terjadi persiapan pemilu untuk memilih anggota parlemen yang
akan diselenggarakan pada 29 September 1955. Kabinet Ali-Wongsonegoro akhirnya jatuh
pada bulan Juli 1955 dalam usia 2 tahun (usia terpanjang). Penyebab jatuhnya kabinet Ali-
Wongsonegoro adalah perselisihan pendapat antara TNI-AD dan pemerintah tentang tata cara
pengangkatan Kepala Staf TNI-AD.
Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap dari Masyumi serta Wakil
Perdana Menteri yaitu R. Djanu Ismadi dari PIR-Hazairin dan Harsono Tjokroaminoto dari
PSII. Presiden Soekarno sebenarnya kurang merestui kabinet ini karena yang menunjuk
Burhanuddin Harahap sebagai kepala pemerintahan kabinet ini adalah Wakil Presiden
Mohammad Hatta. Program kerja Kabinet Burhanuddin Harahap yaitu
Kabinet ini jatuh tidak diakibatkan oleh keretakan di dalam tubuh kabinet, juga bukan karena
dijatuhkan oleh kelompok oposisi yang mencetuskan mosi tidak percaya dari parlemen, tetapi
karena merasa tugasnya sudah selesai. Pada tanggal 2 Maret 1956 pukul 10.00 siang, Kabinet
Burhanuddin Harahap mengundurkan diri, sekaligus menyerahkan mandatnya kepada
Presiden untuk dibentuk kabinet baru berdasarkan hasil pemilihan umum. Kabinet ini terus
bekerja sebagai kabinet demisioner selama 20 hari sampai terbentuknya kabinet baru yakni
Kabinet Ali–Roem–Idham yang dilantik tanggal 24 Maret 1956 dan serah terima dengan
Kabinet Burhanuddin Harahap dilakukan tanggal 26 Maret 1956.
Kabinet Ali Sastroamidjojo II disebut pula Kabinet Ali–Roem–Idham karena dipimpin oleh
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dari PNI beserta dua Wakil Perdana Menteri yakni
Mohamad Roem dari Masyumi dan Idham Chalid dari NU. Program pokok kabinet ini adalah
pembatalan Konferensi Meja Bundar, pemulihan keamanan dan ketertiban, dan
melaksanakan keputusan Konferensi Asia–Afrika. Program kerjanya disebut rencana
pembangunan lima tahun yang memuat program jangka panjang, yaitu
Kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo II mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap
sebagai titik tolak dari periode planning and investment, yang hasilnya adalah pembatalan
seluruh perjanjian KMB. Kabinet ini pun berumur tidak lebih dari satu tahun dan akhirnya
digantikan oleh Kabinet Djuanda karena mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi yang
membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada Presiden.
Kabinet Djuanda
Kabinet Djuanda atau juga disebut Kabinet Karya dipimpin oleh Perdana Menteri Djoeanda
Kartawidjaja dari PNI, beserta tiga orang Wakil Perdana Menteri yaitu Hardi dari PNI, Idham
Chalid dari NU, serta Johannes Leimena dari Parkindo. Kabinet ini memiliki 5 program yang
disebut Pancakarya yaitu
Kebijakan ekonomi
Pemerintah Indonesia harus menghadapi banyak masalah terkait dengan masalah keamanan
dan pertahanan negara. Masalah tersebut di antaranya adalah kemelut yang terjadi di tubuh
Angkatan Darat seperti upaya-upaya memecah integrasi bangsa dan sejumlah permasalahan
ekonomi negara. Permasalahan yang muncul ini tidak lepas dari beberapa hal berikut.
Permasalahan lain yang harus dihadapi adalah ekspor Indonesia yang hanya bergantung pada
hasil perkebunan dan angka pertumbuhan penduduk semakin meningkat dengan tajam.
Sumitro Djojohadikusumo, ahli ekonomi Indonesia berhasil merancang gerakan Benteng
sebagai salah satu usaha untuk memperbaiki perekonomian negara. Tercetusnya Gerakan
Benteng didasari atas gagasan penting untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi
ekonomi nasional.
Gagasan Sumitro kemudian ditetapkan dalam program Kabinet Natsir Pada bulan April 1950
dengan nama Program Benteng. Program Benteng tahap 1 resmi dijalankan selama 3 tahun
(1950-1953) dengan 3 kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan Wilopo). Selama 3 tahun, lebih
dari 700-an bidang usaha bumiputera memperoleh bantuan kredit dari program ini. Akan
tetapi, hal yang diharapkan dari program ini tidak sepenuhnya tercapai, bahkan banyak pula
yang membebani keuangan negara. Ada banyak faktor yang menyebabkan kegagalan
program ini, salah satunya mentalitas para pengusaha bumiputera yang konsumtif, besarnya
keinginan untuk memperoleh keuntungan secara cepat, dan menikmati kemewahan.
Sebenarnya pemberian kredit impor yang diberikan kepada para pengusaha bumiputera
dimaksudkan untuk memicu pertumbuhan perekonomian nasional. Akan tetapi, kebijakan ini
ternyata tidak mampu meruntuhkan dominasi para pengusaha asing. Oligopoli yang dibangun
oleh para pengusaha dari perusahaan Inggris, Belanda, dan Tiongkok yang pandai
memanfaatkan peluang ternyata tetap menguasai pasar.
Program Benteng tahap 2 dimulai pada masa Kabinet Ali pertama. Program Benteng tahap 2
merancang pemberian kredit dan lisensi pada pengusaha swasta nasional bumiputera agar
dapat bersaing dengan para pengusaha non bumiputera. Jika pada awal tahun 1943 para
importir pribumi hanya menerima 37,9% dari total ekspor impor, maka mereka telah
menerima 80% sampai 90% pada masa Kabinet Ali. Total dari 700 perusahaan yang
menerima bantuan menjadi 4000-5000 perusahaan.
Program Benteng gagal karena salah sasaran. Banyak perusahaan bumiputera yang menjual
lisensi impor yang diberikan oleh pemerintah kepada para pengusaha non bumiputera. Hal ini
menimbulkan istilah perusahaan "Alibaba". Sebutan "Ali" merepresentasikan bumiputera
sedangkan "Baba" merepresentasikan non bumiputera. Bantuan kredit dan pemberian
kemudahan dalam menerima lisensi impor kemudian dinilai tidak efektif. Padahal pemerintah
telah menambah beban keuangannya sehingga menjadi salah satu sumber defisit. Selain itu,
Program Benteng diterapkan ketika industri Indonesia masih lemah dan tingginya persaingan
politik program ini dimanfaatkan oleh sebagian partai politik untuk memperoleh dukungan.
Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) berintikan Masyumi dan PSI dengan
Mohammad Natsir sebagai perdana menteri. Kebijakan-kebijakan Natsir yang mengutamakan
pembangunan perekonomian negara dianggap telah mengabaikan masalah kedaulatan Papua
oleh partai oposisi. Soekarno pun menyetujui bahwa masalah kedaulatan Papua (yang melalui
perundingan tidak mengalami kemajuan) tidak boleh disepelekan. Kondisi ini membuat
Natsir bersikeras agar Soekarno membatasi dirinya dalam peran presiden yang hanya sebagai
lambang saja. Puncaknya, Natsir menyerahkan jabatannya yang kemudian digantikan oleh
Sukiman pada April 1951.
Jatuhnya Kabinet Sukiman disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran nota
keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta Besar AS
Merle Cochran. Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia
didasarkan pada ikatan Mutual Security Act (MSA) yang di dalamnya terdapat pembatasan
terhadap kebebasan politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia diwajibkan lebih
memperhatikan AS sehingga tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik
luar negeri yang bebas aktif dan dianggap lebih condong ke blok Barat. Selain itu, penyebab
lainnya adalah semakin meluasnya korupsi di kalangan birokrat dan gagalnya Kabinet
Sukiman dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.
Lain halnya dengan Kabinet Ali I (kabinet koalisi antara PNI dan NU), kabinet ini jatuh
karena tidak dapat menyelesaikan kemelut yang ada di tubuh Angkatan Darat dan
pemberontakan DI/TII yang berkobar di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Selain itu,
ada pula konflik antara PNI dan NU yang mengakibatkan NU menarik semua menterinya
yang duduk di kabinet.
Jatuh bangunnya kabinet dalam waktu yang singkat menimbulkan ketidakstabilan politik
yang mengakibatkan program-program kabinet tidak berjalan dengan baik. Kondisi ini yang
kemudian membuat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.
Beberapa alasan mengapa Presiden Soekarno harus mengeluarkan dekrit adalah sebagai
berikut.
1. Memberikan pedoman yang jelas bagi kelangsungan negara melalui perintah untuk
kembali ke UUD 1945;
2. Menyelamatkan negara dari disintegrasi dan krisis politik yang berkepanjangan;
3. Memprakarsai pembentukan lembaga-lembaga tinggi negara (MPRS dan DPAS) yang
selama masa Demokrasi Liberal tertunda pembentukannya.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan Presiden Soekarno ialah dekrit yang mengakhiri
masa parlementer. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin.
Referensi
1.
1.
1. Perdana Menteri kelima, tetapi menjadi yang pertama di NKRI setelah dibubarkannya
RIS.
l
b
s
Topik Indonesia
l
b
s
Sejarah Indonesia
Kategori:
Kebijakan privasi
Tentang Wikipedia
Penyangkalan
Tampilan seluler
Pengembang
Statistik
Pe
Halaman
Pembicaraan
Baca
Sunting
Sunting sumber
Lihat riwayat
Lengkapi formulir untuk didaftarkan ke daftar peserta kami. Anda akan dihubungi secara
berkala dengan kesempatan untuk berpartisipasi dalam studi penelitian bagi Wikipedia. Anda
dapat mengundurkan diri dari daftar kapan saja.
Lihat kebijakan privasi kami dan pelajari lebih lanjut tentang program penelitian kami di sini.
Republik Indonesia
1950–1959
Bendera
Lambang
Sejarah Indonesia
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kerajaan Islam
Kerajaan Kristen
Kolonialisme Eropa
Kemunculan Indonesia
Kemerdekaan
Menurut topik
Garis waktu
Portal Indonesia
l
b
s
Era Demokrasi Liberal (1950–1959) yang dikenal pula dengan Era Demokrasi
Parlementer adalah era ketika Presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950. Periode ini berlangsung dari 17
Agustus 1950 (sejak pembubaran Republik Indonesia Serikat) sampai 5 Juli 1959 (keluarnya
Dekret Presiden). Pada masa ini terjadi sejumlah peristiwa penting, seperti Konferensi Asia–
Afrika di Bandung, pemilihan umum pertama di Indonesia dan pemilihan Konstituante, serta
periode ketidakstabilan politik yang berkepanjangan, dengan tidak ada kabinet yang bertahan
selama dua tahun.
Latar belakang
Seiring dengan berakhirnya perjuangan untuk mengamankan kemerdekaan Indonesia,
perpecahan di kalangan masyarakat Indonesia mulai muncul. Perbedaan antardaerah dalam
hal adat istiadat, moral, tradisi, agama, pengaruh Marxisme, serta ketakutan akan dominasi
politik Jawa, semuanya berkontribusi pada perpecahan. Sebagai negara baru, Indonesia
memiliki masalah kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, dan tradisi otoriter.[1]
Berbagai gerakan separatis juga muncul untuk menentang Republik Indonesia: militan Darul
Islam memproklamasikan "Negara Islam Indonesia" dan bergerilya melawan Republik
Indonesia di Jawa Barat dari tahun 1948 hingga 1962; di Maluku, orang-orang Ambon yang
dulunya adalah Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) memproklamasikan kemerdekaan
Republik Maluku Selatan; ditambah dengan pemberontakan di Sumatra dan Sulawesi antara
tahun 1955 dan 1961.
Perekonomian Indonesia terpuruk setelah tiga tahun pendudukan Jepang, kemudian empat
tahun perang melawan Belanda. Di tangan pemerintahan yang masih muda dan belum
berpengalaman, perekonomian tidak mampu mendorong produksi pangan dan kebutuhan lain
untuk mengimbangi pertambahan penduduk. Sebagian besar penduduk buta huruf, tidak
terampil, dan tidak memiliki kemampuan manajerial. Inflasi meningkat, banyak
penyelundupan yang merugikan pemerintah pusat yang sangat membutuhkan devisa, dan
banyak perkebunan hancur selama pendudukan penjajah dan perang.[2]
Gambaran umum
Pada masa Soekarno, sistem pemerintahan di Indonesia mengalami beberapa peralihan.
Indonesia pernah menerapkan sistem pemerintahan presidensial, parlementer (demokrasi
liberal), hingga demokrasi terpimpin. Pada masa pemerintahan Soekarno juga terjadi
penyimpangan UUD 1945, di antaranya perubahan fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP), dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut
menetapkan GBHN yang merupakan wewenang MPR.
Salah satu hasil dari Konferensi Meja Bundar tahun 1949 adalah terbentuknya Negara
Republik Indonesia Serikat (RIS). Pembentukan negara federal yang diprakasai oleh Belanda
untuk melemahkan integrasi Indonesia sebagai negara kesatuan ternyata tidak didukung
masyarakat Indonesia. Banyak negara bagian yang menyatakan ingin kembali ke negara
kesatuan dan pada 15 Agustus 1950, Perdana Menteri Kabinet RIS Mohammad Hatta
menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
Pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Pemerintahan Republik
Indonesia masih melanjutkan model demokrasi parlementer yang liberal. Kabinet dipimpin
oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan dan bertanggung jawab kepada
parlemen. Presiden hanya berkedudukan sebagai kepala negara. Sementara itu, Undang-
Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS) 1950 digunakan sebagai konstitusi
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara
Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia,
dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta.
Konstitusi ini dinamakan “sementara”, karena hanya bersifat sementara, menunggu
terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru.
UUDS 1950 sangat berbeda dengan UUD 1945 dalam banyak hal; ia mengamanatkan sistem
pemerintahan parlementer dan menetapkan secara panjang lebar jaminan konstitusional untuk
hak asasi manusia, yang sangat mengacu pada Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi
Manusia oleh PBB tahun 1948.[3]
Konstituante
Pada tahun 1955, Indonesia melaksanakan pemilihan umum nasional yang pertama. Pada
bulan September, rakyat memilih wakil untuk DPR, dan pada bulan Desember pemilih
kembali memilih wakil-wakil yang lebih banyak lagi sebagai anggota Konstituante.
Konstituante, setelah dipilih pada tahun 1955, mulai bersidang pada bulan November 1956 di
Bandung, ibu kota Jawa Barat, untuk membuat UUD yang baru sesuai amanat UUDS 1950.
Perdebatan, permusyawaratan, dan penulisan draf-draf UD berlangsung selama dua setengah
tahun. Perdebatan isu dasar negara (terutama antara golongan yang mendukung Islam sebagai
dasar negara dan golongan yang mendukung Pancasila) terjadi sangat sengit. Walaupun para
pimpinan Konstituante merasa sudah lebih dari 90% materi undang-undang dasar telah
disepakati, dan walaupun ada beberapa tokoh partai politik Islam yang merasa siap
berkompromi, Konstituante tidak sempat menyelesaikan tugasnya.
Kabinet Natsir
Kabinet Natsir merupakan kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir
dari Partai Masyumi. Kabinet ini dibentuk pada 6 September 1950 dan didemisionerkan pada
tanggal 21 Maret 1951. Program kerja kabinet Natsir:
Hasil kerja kabinet ini yaitu berlangsungnya perundingan antara Indonesia-Belanda untuk
pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat. Sementara kendala atau masalah yang
dihadapi yaitu upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan
buntu (kegagalan) dan timbul masalah keamanan dalam negeri berupa pemberontakan hampir
di seluruh wilayah Indonesia, seperti gerakan DI/TII, gerakan Andi Azis, gerakan APRA, dan
gerakan RMS.
Kabinet Natsir jatuh pada 21 Maret 1951 dalam periode 6,5 bulan dan belum sempat
melaksanakan program-programnya. Jatuhnya kabinet ini karena adanya mosi tidak percaya
dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI
menganggap Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 mengenai DPRD terlalu
menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga Natsir harus
mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
Dalam program Kabinet Natsir, kemudian diterapkan Program Benteng yang didasari oleh
gagasan pentingnya mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
Program Benteng resmi berjalan selama tiga tahun (1950–1953) dengan tiga kabinet berbeda
(Natsir, Sukiman, dan Wilopo).
Kabinet Sukiman-Suwirjo
Kabinet ini merupakan kabinet kedua pada Era Demokrasi Parlementer. Kabinet ini bertugas
pada masa bakti 27 April 1951 hingga 3 April 1952, tetapi telah didemosioner sejak 23
Februari 1952. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI. Program
kerja kabinet Sukiman:
Hasil dari program kerja ini tidak terlalu berarti sebab programnya melanjutkan program
Natsir, hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti
awalnya program menggiatkan usaha keamanan dan ketenteraman namun selanjutnya
diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketenteraman. Beberapa kendala atau masalah
yang dihadapi, di antaranya:
adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Soebadjo
dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cockran mengenai pemberian bantuan
ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika Serikat kepada Indonesia berdasarkan
ikatan Mutual Security Act (MSA) . Dimana di dalam MSA terdapat pembatasan
kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan untuk memperhatikan
kepentingan Amerika.
adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap
lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
masalah Irian Barat belum juga teratasi
hubungan Sukirman dengan militer kurang baik, ditunjukkan dengan kurang tegasnya
tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Sulawesi.
Kabinet Sukiman tidak mampu bertahan lama dan jatuh pada bulan Februari 1952. Penyebab
jatuhnya kabinet ini disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran nota keuangan
antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta Besar AS Merle Cochran.
Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia didasarkan pada ikatan
Mutual Security Act (MSA). DI dalam MSA, terdapat pembatasan terhadap kebebasan politik
luar negeri yang bebas aktif. Indonesia diwajibkan lebih memperhatikan Amerika sehingga
tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif
dan dianggap lebih condong ke blok Barat. Di samping itu, penyebab lainnya adalah semakin
merebaknya korupsi di kalangan birokrat dan gagalnya Kabinet Sukiman dalam
menyelesaikan masalah Irian Barat.
Kabinet Wilopo
Pada masa kabinet Ali-Wongsonegoro, gangguan keamanan makin meningkat, antara lain
munculnya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Daud Beureuh Aceh, dan Kahar Muzakar di
Sulawesi Selatan. Meskipun dihinggapi berbagai kesulitan, kabinet Ali-Wongsonegoro
berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika. Oleh karena itu, kabinet Ali-
Wongsonegoro ikut terangkat namanya. Selain berhasil menyelenggarakan Konfereni Asia
Afrika, pada masa ini juga terjadi persiapan pemilu untuk memilih anggota parlemen yang
akan diselenggarakan pada 29 September 1955. Kabinet Ali-Wongsonegoro akhirnya jatuh
pada bulan Juli 1955 dalam usia 2 tahun (usia terpanjang). Penyebab jatuhnya kabinet Ali-
Wongsonegoro adalah perselisihan pendapat antara TNI-AD dan pemerintah tentang tata cara
pengangkatan Kepala Staf TNI-AD.
Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap dari Masyumi serta Wakil
Perdana Menteri yaitu R. Djanu Ismadi dari PIR-Hazairin dan Harsono Tjokroaminoto dari
PSII. Presiden Soekarno sebenarnya kurang merestui kabinet ini karena yang menunjuk
Burhanuddin Harahap sebagai kepala pemerintahan kabinet ini adalah Wakil Presiden
Mohammad Hatta. Program kerja Kabinet Burhanuddin Harahap yaitu
Kabinet ini jatuh tidak diakibatkan oleh keretakan di dalam tubuh kabinet, juga bukan karena
dijatuhkan oleh kelompok oposisi yang mencetuskan mosi tidak percaya dari parlemen, tetapi
karena merasa tugasnya sudah selesai. Pada tanggal 2 Maret 1956 pukul 10.00 siang, Kabinet
Burhanuddin Harahap mengundurkan diri, sekaligus menyerahkan mandatnya kepada
Presiden untuk dibentuk kabinet baru berdasarkan hasil pemilihan umum. Kabinet ini terus
bekerja sebagai kabinet demisioner selama 20 hari sampai terbentuknya kabinet baru yakni
Kabinet Ali–Roem–Idham yang dilantik tanggal 24 Maret 1956 dan serah terima dengan
Kabinet Burhanuddin Harahap dilakukan tanggal 26 Maret 1956.
Kabinet Ali Sastroamidjojo II disebut pula Kabinet Ali–Roem–Idham karena dipimpin oleh
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dari PNI beserta dua Wakil Perdana Menteri yakni
Mohamad Roem dari Masyumi dan Idham Chalid dari NU. Program pokok kabinet ini adalah
pembatalan Konferensi Meja Bundar, pemulihan keamanan dan ketertiban, dan
melaksanakan keputusan Konferensi Asia–Afrika. Program kerjanya disebut rencana
pembangunan lima tahun yang memuat program jangka panjang, yaitu
Kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo II mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap
sebagai titik tolak dari periode planning and investment, yang hasilnya adalah pembatalan
seluruh perjanjian KMB. Kabinet ini pun berumur tidak lebih dari satu tahun dan akhirnya
digantikan oleh Kabinet Djuanda karena mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi yang
membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada Presiden.
Kabinet Djuanda
Kebijakan ekonomi
Pemerintah Indonesia harus menghadapi banyak masalah terkait dengan masalah keamanan
dan pertahanan negara. Masalah tersebut di antaranya adalah kemelut yang terjadi di tubuh
Angkatan Darat seperti upaya-upaya memecah integrasi bangsa dan sejumlah permasalahan
ekonomi negara. Permasalahan yang muncul ini tidak lepas dari beberapa hal berikut.
Permasalahan lain yang harus dihadapi adalah ekspor Indonesia yang hanya bergantung pada
hasil perkebunan dan angka pertumbuhan penduduk semakin meningkat dengan tajam.
Sumitro Djojohadikusumo, ahli ekonomi Indonesia berhasil merancang gerakan Benteng
sebagai salah satu usaha untuk memperbaiki perekonomian negara. Tercetusnya Gerakan
Benteng didasari atas gagasan penting untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi
ekonomi nasional.
Gagasan Sumitro kemudian ditetapkan dalam program Kabinet Natsir Pada bulan April 1950
dengan nama Program Benteng. Program Benteng tahap 1 resmi dijalankan selama 3 tahun
(1950-1953) dengan 3 kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan Wilopo). Selama 3 tahun, lebih
dari 700-an bidang usaha bumiputera memperoleh bantuan kredit dari program ini. Akan
tetapi, hal yang diharapkan dari program ini tidak sepenuhnya tercapai, bahkan banyak pula
yang membebani keuangan negara. Ada banyak faktor yang menyebabkan kegagalan
program ini, salah satunya mentalitas para pengusaha bumiputera yang konsumtif, besarnya
keinginan untuk memperoleh keuntungan secara cepat, dan menikmati kemewahan.
Sebenarnya pemberian kredit impor yang diberikan kepada para pengusaha bumiputera
dimaksudkan untuk memicu pertumbuhan perekonomian nasional. Akan tetapi, kebijakan ini
ternyata tidak mampu meruntuhkan dominasi para pengusaha asing. Oligopoli yang dibangun
oleh para pengusaha dari perusahaan Inggris, Belanda, dan Tiongkok yang pandai
memanfaatkan peluang ternyata tetap menguasai pasar.
Program Benteng tahap 2 dimulai pada masa Kabinet Ali pertama. Program Benteng tahap 2
merancang pemberian kredit dan lisensi pada pengusaha swasta nasional bumiputera agar
dapat bersaing dengan para pengusaha non bumiputera. Jika pada awal tahun 1943 para
importir pribumi hanya menerima 37,9% dari total ekspor impor, maka mereka telah
menerima 80% sampai 90% pada masa Kabinet Ali. Total dari 700 perusahaan yang
menerima bantuan menjadi 4000-5000 perusahaan.
Program Benteng gagal karena salah sasaran. Banyak perusahaan bumiputera yang menjual
lisensi impor yang diberikan oleh pemerintah kepada para pengusaha non bumiputera. Hal ini
menimbulkan istilah perusahaan "Alibaba". Sebutan "Ali" merepresentasikan bumiputera
sedangkan "Baba" merepresentasikan non bumiputera. Bantuan kredit dan pemberian
kemudahan dalam menerima lisensi impor kemudian dinilai tidak efektif. Padahal pemerintah
telah menambah beban keuangannya sehingga menjadi salah satu sumber defisit. Selain itu,
Program Benteng diterapkan ketika industri Indonesia masih lemah dan tingginya persaingan
politik program ini dimanfaatkan oleh sebagian partai politik untuk memperoleh dukungan.
Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) berintikan Masyumi dan PSI dengan
Mohammad Natsir sebagai perdana menteri. Kebijakan-kebijakan Natsir yang mengutamakan
pembangunan perekonomian negara dianggap telah mengabaikan masalah kedaulatan Papua
oleh partai oposisi. Soekarno pun menyetujui bahwa masalah kedaulatan Papua (yang melalui
perundingan tidak mengalami kemajuan) tidak boleh disepelekan. Kondisi ini membuat
Natsir bersikeras agar Soekarno membatasi dirinya dalam peran presiden yang hanya sebagai
lambang saja. Puncaknya, Natsir menyerahkan jabatannya yang kemudian digantikan oleh
Sukiman pada April 1951.
Jatuhnya Kabinet Sukiman disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran nota
keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta Besar AS
Merle Cochran. Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia
didasarkan pada ikatan Mutual Security Act (MSA) yang di dalamnya terdapat pembatasan
terhadap kebebasan politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia diwajibkan lebih
memperhatikan AS sehingga tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik
luar negeri yang bebas aktif dan dianggap lebih condong ke blok Barat. Selain itu, penyebab
lainnya adalah semakin meluasnya korupsi di kalangan birokrat dan gagalnya Kabinet
Sukiman dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.
Lain halnya dengan Kabinet Ali I (kabinet koalisi antara PNI dan NU), kabinet ini jatuh
karena tidak dapat menyelesaikan kemelut yang ada di tubuh Angkatan Darat dan
pemberontakan DI/TII yang berkobar di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Selain itu,
ada pula konflik antara PNI dan NU yang mengakibatkan NU menarik semua menterinya
yang duduk di kabinet.
Jatuh bangunnya kabinet dalam waktu yang singkat menimbulkan ketidakstabilan politik
yang mengakibatkan program-program kabinet tidak berjalan dengan baik. Kondisi ini yang
kemudian membuat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.
Beberapa alasan mengapa Presiden Soekarno harus mengeluarkan dekrit adalah sebagai
berikut.
1. Memberikan pedoman yang jelas bagi kelangsungan negara melalui perintah untuk
kembali ke UUD 1945;
2. Menyelamatkan negara dari disintegrasi dan krisis politik yang berkepanjangan;
3. Memprakarsai pembentukan lembaga-lembaga tinggi negara (MPRS dan DPAS) yang
selama masa Demokrasi Liberal tertunda pembentukannya.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan Presiden Soekarno ialah dekrit yang mengakhiri
masa parlementer. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin.