Anda di halaman 1dari 25

Sejarah Indonesia (1950–1959)

 Halaman
 Pembicaraan

 Baca
 Sunting
 Sunting sumber
 Lihat riwayat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan.
Mohon bantu kami mengembangkan artikel ini dengan cara menambahkan rujukan ke
sumber tepercaya. Pernyataan tak bersumber bisa saja dipertentangkan dan dihapus.
Cari sumber: "Sejarah Indonesia" 1950–1959 – berita · surat kabar · buku · cendekiawan · JSTOR
(September 2020)
Apakah Anda bersedia berpartisipasi dalam penelitian pengguna untuk Wikipedia
dengan imbalan?

Lengkapi formulir untuk didaftarkan ke daftar peserta kami. Anda akan dihubungi secara
berkala dengan kesempatan untuk berpartisipasi dalam studi penelitian bagi Wikipedia. Anda
dapat mengundurkan diri dari daftar kapan saja.

Lihat kebijakan privasi kami dan pelajari lebih lanjut tentang program penelitian kami di sini.
Republik Indonesia

1950–1959

Bendera

Lambang
Republik Indonesia pada tahun 1957
Ibu kota Jakarta
Bahasa resmi Bahasa Indonesia
Pemerintahan Negara kesatuan republik parlementer
Presiden
• 1950–1959 Soekarno
Wakil Presiden
• 1950–1956 Mohammad Hatta
Perdana Menteri
• 1950–1951 Mohammad Natsir (pertama)[a]
• 1957–1959 Djuanda Kartawidjaja (terakhir)
Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1950-1956)
Legislatif
Badan Konstituante (1956-1959)
Sejarah
• Dibentuk 17 Agustus 1950
• Pemilu legislatif 1955 29 September 1955
• Dibubarkan 5 Juli 1959
Mata uang Rupiah
Didahului oleh Digantikan oleh
Republik Indonesia Sejarah Indonesia (1959–
Serikat 1965)
Sekarang bagian dari Indonesia
Bagian dari seri mengenai

Sejarah Indonesia

Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kerajaan Islam
Kerajaan Kristen
Kolonialisme Eropa
Kemunculan Indonesia
Kemerdekaan
Menurut topik
Garis waktu
Portal Indonesia
 l
 b
 s

Era Demokrasi Liberal (1950–1959) yang dikenal pula dengan Era Demokrasi
Parlementer adalah era ketika Presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950. Periode ini berlangsung dari 17
Agustus 1950 (sejak pembubaran Republik Indonesia Serikat) sampai 5 Juli 1959 (keluarnya
Dekret Presiden). Pada masa ini terjadi sejumlah peristiwa penting, seperti Konferensi Asia–
Afrika di Bandung, pemilihan umum pertama di Indonesia dan pemilihan Konstituante, serta
periode ketidakstabilan politik yang berkepanjangan, dengan tidak ada kabinet yang bertahan
selama dua tahun.

Latar belakang
Seiring dengan berakhirnya perjuangan untuk mengamankan kemerdekaan Indonesia,
perpecahan di kalangan masyarakat Indonesia mulai muncul. Perbedaan antardaerah dalam
hal adat istiadat, moral, tradisi, agama, pengaruh Marxisme, serta ketakutan akan dominasi
politik Jawa, semuanya berkontribusi pada perpecahan. Sebagai negara baru, Indonesia
memiliki masalah kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, dan tradisi otoriter.[1]
Berbagai gerakan separatis juga muncul untuk menentang Republik Indonesia: militan Darul
Islam memproklamasikan "Negara Islam Indonesia" dan bergerilya melawan Republik
Indonesia di Jawa Barat dari tahun 1948 hingga 1962; di Maluku, orang-orang Ambon yang
dulunya adalah Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) memproklamasikan kemerdekaan
Republik Maluku Selatan; ditambah dengan pemberontakan di Sumatra dan Sulawesi antara
tahun 1955 dan 1961.

Perekonomian Indonesia terpuruk setelah tiga tahun pendudukan Jepang, kemudian empat
tahun perang melawan Belanda. Di tangan pemerintahan yang masih muda dan belum
berpengalaman, perekonomian tidak mampu mendorong produksi pangan dan kebutuhan lain
untuk mengimbangi pertambahan penduduk. Sebagian besar penduduk buta huruf, tidak
terampil, dan tidak memiliki kemampuan manajerial. Inflasi meningkat, banyak
penyelundupan yang merugikan pemerintah pusat yang sangat membutuhkan devisa, dan
banyak perkebunan hancur selama pendudukan penjajah dan perang.[2]

Gambaran umum
Pada masa Soekarno, sistem pemerintahan di Indonesia mengalami beberapa peralihan.
Indonesia pernah menerapkan sistem pemerintahan presidensial, parlementer (demokrasi
liberal), hingga demokrasi terpimpin. Pada masa pemerintahan Soekarno juga terjadi
penyimpangan UUD 1945, di antaranya perubahan fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP), dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut
menetapkan GBHN yang merupakan wewenang MPR.

Salah satu hasil dari Konferensi Meja Bundar tahun 1949 adalah terbentuknya Negara
Republik Indonesia Serikat (RIS). Pembentukan negara federal yang diprakasai oleh Belanda
untuk melemahkan integrasi Indonesia sebagai negara kesatuan ternyata tidak didukung
masyarakat Indonesia. Banyak negara bagian yang menyatakan ingin kembali ke negara
kesatuan dan pada 15 Agustus 1950, Perdana Menteri Kabinet RIS Mohammad Hatta
menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno.

Mulainya Demokrasi Parlementer

Pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Pemerintahan Republik
Indonesia masih melanjutkan model demokrasi parlementer yang liberal. Kabinet dipimpin
oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan dan bertanggung jawab kepada
parlemen. Presiden hanya berkedudukan sebagai kepala negara. Sementara itu, Undang-
Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS) 1950 digunakan sebagai konstitusi
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara
Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia,
dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta.
Konstitusi ini dinamakan “sementara”, karena hanya bersifat sementara, menunggu
terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru.

UUDS 1950 sangat berbeda dengan UUD 1945 dalam banyak hal; ia mengamanatkan sistem
pemerintahan parlementer dan menetapkan secara panjang lebar jaminan konstitusional untuk
hak asasi manusia, yang sangat mengacu pada Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi
Manusia oleh PBB tahun 1948.[3]

Konstituante

Artikel utama: Konstituante dan Daftar anggota Konstituante

Pada tahun 1955, Indonesia melaksanakan pemilihan umum nasional yang pertama. Pada
bulan September, rakyat memilih wakil untuk DPR, dan pada bulan Desember pemilih
kembali memilih wakil-wakil yang lebih banyak lagi sebagai anggota Konstituante.

Konstituante, setelah dipilih pada tahun 1955, mulai bersidang pada bulan November 1956 di
Bandung, ibu kota Jawa Barat, untuk membuat UUD yang baru sesuai amanat UUDS 1950.
Perdebatan, permusyawaratan, dan penulisan draf-draf UD berlangsung selama dua setengah
tahun. Perdebatan isu dasar negara (terutama antara golongan yang mendukung Islam sebagai
dasar negara dan golongan yang mendukung Pancasila) terjadi sangat sengit. Walaupun para
pimpinan Konstituante merasa sudah lebih dari 90% materi undang-undang dasar telah
disepakati, dan walaupun ada beberapa tokoh partai politik Islam yang merasa siap
berkompromi, Konstituante tidak sempat menyelesaikan tugasnya.

Berakhirnya Demokrasi Parlementer

Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara demokratis, namun


Konstituante gagal membentuk konstitusi baru sampai berlarut-larut. Presiden Soekarno lalu
menyampaikan konsep Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang berisi ide untuk
kembali pada UUD 1945. Pada tanggal 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden
5 Juli 1959, yang antara lain berisi pembubaran Konstituante serta penggantian konstitusi dari
UUDS 1950 menjadi UUD 1945 kembali. Peristiwa ini menandai berakhirnya Demokrasi
Parlementer dan mulainya Era Demokrasi Terpimpin. Pemerintah kemudian membentuk
lembaga-lembaga MPRS dalam demokrasi terpimpin yang menerapkan sistem politik
keseimbangan. Pada masa ini Soekarno merencanakan konsep pentingnya persatuan antara
kaum nasionalis, agama, dan komunis.

Kabinet-kabinet pada masa Demokrasi Parlementer


Demokrasi Parlementer dengan banyak partai justru menimbulkan ketidakstabilan politik.
Pada masa ini terjadi banyak pergantian kabinet. Tercatat ada tujuh kabinet pada masa ini.
Kabinet jatuh bangun karena munculnya mosi tidak percaya dari partai lawan. Di samping
itu, terjadi perdebatan dalam Konstituante yang sering menimbulkan konflik berkepanjangan.

Jumlah Awal masa Akhir masa


No. Nama kabinet Perdana Menteri Masa kerja
personel kerja kerja
6 September 21 Maret 6 bulan 15
1. Natsir Mohammad Natsir 18
1950 1951 hari
Sukiman 23 Februari 9 bulan 27
2. Sukiman-Suwirjo 20 27 April 1951
Wirjosandjojo 1952 hari
1 tahun 2
3. Wilopo Wilopo 18 3 April 1952 3 Juni 1953
bulan
Ali 1 Agustus 1 tahun 11
4. Ali Sastroamidjojo 20 24 Juli 1955
Sastroamidjojo I 1953 bulan 23 hari
Burhanuddin Burhanuddin 12 Agustus 3 Maret 6 bulan 19
5. 23
Harahap Harahap 1955 1956 hari
Ali 24 Maret 14 Maret 11 bulan 19
6. Ali Sastroamidjojo 25
Sastroamidjojo II 1956 1957 hari
Djuanda 1 tahun 2
7. Djuanda 24 9 April 1957 5 Juli 1959
Kartawidjaja bulan 26 hari

Kabinet Natsir

Artikel utama: Kabinet Natsir

Kabinet Natsir merupakan kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir
dari Partai Masyumi. Kabinet ini dibentuk pada 6 September 1950 dan didemisionerkan pada
tanggal 21 Maret 1951. Program kerja kabinet Natsir:

 Mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih Dewan


Konstituante
 Menyempurnakan susunan pemerintahan dan membentuk kelengkapan negara
 Menggiatkan usaha mencapai keamanan dan ketenteraman
 Meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan mengembangkan dan memperkuat
ekonomi rakyat
 Menyempurnakan organisasi angkatan perang
 Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat
Hasil kerja kabinet ini yaitu berlangsungnya perundingan antara Indonesia-Belanda untuk
pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat. Sementara kendala atau masalah yang
dihadapi yaitu upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan
buntu (kegagalan) dan timbul masalah keamanan dalam negeri berupa pemberontakan hampir
di seluruh wilayah Indonesia, seperti gerakan DI/TII, gerakan Andi Azis, gerakan APRA, dan
gerakan RMS.

Kabinet Natsir jatuh pada 21 Maret 1951 dalam periode 6,5 bulan dan belum sempat
melaksanakan program-programnya. Jatuhnya kabinet ini karena adanya mosi tidak percaya
dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI
menganggap Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 mengenai DPRD terlalu
menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga Natsir harus
mengembalikan mandatnya kepada Presiden.

Dalam program Kabinet Natsir, kemudian diterapkan Program Benteng yang didasari oleh
gagasan pentingnya mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
Program Benteng resmi berjalan selama tiga tahun (1950–1953) dengan tiga kabinet berbeda
(Natsir, Sukiman, dan Wilopo).

Kabinet Sukiman-Suwirjo

Berkas:Kabinet sukiman suwirjo.jpg


Kabinet Sukiman Suwirjo
Artikel utama: Kabinet Sukiman-Suwirjo

Kabinet ini merupakan kabinet kedua pada Era Demokrasi Parlementer. Kabinet ini bertugas
pada masa bakti 27 April 1951 hingga 3 April 1952, tetapi telah didemosioner sejak 23
Februari 1952. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI. Program
kerja kabinet Sukiman:

 Menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai negara hukum untuk menjamin


keamanan dan ketenteraman serta menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan
negara
 Membuat dan melaksanakan rencana kemakmuran nasional dalam jangka pendek
untuk meningkatkan kehidupan sosial dan perekonomian rakyat serta memperbaharui
hukum agraria sesuai dengan kepentingan petani
 Mempercepat usaha penempatan mantan pejuang dalam lapangan pembangunan
 Mempercepat dan menyelesaikan persiapan pemilihan umum untuk membentuk
dewan konstituante dan menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu yang
singkat serta mempercepat terlaksananya otonomi daerah
 Menyiapkan undang-undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama
(collective arbeidsovereenkomst), penetapan upah minimum, dan penyelesaian
pertikaian perburuhan
 Menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif serta menuju perdamaian dunia,
menyelenggarakan hubungan antara Indonesia dengan Belanda yang sebelumnya
berdasarkan asas unie-statuut menjadi hubungan berdasarkan perjanjian internasional
biasa, mempercepat peninjauan kembali persetujuan hasil Konferensi Meja Bundar,
serta meniadakan perjanjian-perjanjian yang pada kenyataannya merugikan rakyat dan
negara
 Memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia dalam waktu
sesingkat-singkatnya

Hasil dari program kerja ini tidak terlalu berarti sebab programnya melanjutkan program
Natsir, hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti
awalnya program menggiatkan usaha keamanan dan ketenteraman namun selanjutnya
diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketenteraman. Beberapa kendala atau masalah
yang dihadapi, di antaranya:

 adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Soebadjo
dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cockran mengenai pemberian bantuan
ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika Serikat kepada Indonesia berdasarkan
ikatan Mutual Security Act (MSA) . Dimana di dalam MSA terdapat pembatasan
kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan untuk memperhatikan
kepentingan Amerika.
 adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap
lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
 masalah Irian Barat belum juga teratasi
 hubungan Sukirman dengan militer kurang baik, ditunjukkan dengan kurang tegasnya
tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Sulawesi.

Kabinet Sukiman tidak mampu bertahan lama dan jatuh pada bulan Februari 1952. Penyebab
jatuhnya kabinet ini disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran nota keuangan
antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta Besar AS Merle Cochran.
Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia didasarkan pada ikatan
Mutual Security Act (MSA). DI dalam MSA, terdapat pembatasan terhadap kebebasan politik
luar negeri yang bebas aktif. Indonesia diwajibkan lebih memperhatikan Amerika sehingga
tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif
dan dianggap lebih condong ke blok Barat. Di samping itu, penyebab lainnya adalah semakin
merebaknya korupsi di kalangan birokrat dan gagalnya Kabinet Sukiman dalam
menyelesaikan masalah Irian Barat.

Kabinet Wilopo

Artikel utama: Kabinet Wilopo

Program kerja kabinet Wilopo:

 Mempersiapkan dan melaksanakan pemilihan umum


 Berupaya untuk mengembalikan Irian Barat agar kembali menjadi wilayah Republik
Indonesia
 Meningkatkan keamanan dan kesejahteraan
 Memperbarui bidang pendidikan dan pengajaran
 Melaksanakan politik luar negeri bebas aktif

Kabinet Wilopo banyak mengalami kesulitan, yaitu:

 Mengatasi gerakan separatisme yang terjadi di berbagai daerah


 Penekanan Presiden Soekarno yang dilakukan oleh sejumlah perwira Angkatan Darat
pada tanggal 17 Oktober 1952 agar parlemen dibubarkan
 Kejadian Tangjung Morawa yang terjadi di Sumatra Utara. Peristiwa Tanjung
Morawa terjadi akibat persetujuan pemerintah sesuai dengan KMB agar memberikan
izin kepada pengusaha asing agar dapat mengusahakan tanah perkebunan di Indonesia
lagi. Tanah ini sebelumnya digarap oleh para pertani karena bertahun tahun telah
ditinggalkan oleh pemiliknya pada saat Kabinet Sukiman. Saat itu juga Mr. Iskaq
Cokroadisuryo selaku menteri dalam negeri memberikan persetujuan agar tanah Deli
dikembalikan. Tanah tersebut berhasil dikembalikan saat masa Kebinet Wilopo.
Kemudian pada tanggal 16 Maret 1953, pihak polisi mengusir penggarap sawah yang
tidak mempunyai izin. Akibat pengusiran tersebut, banyak terjadi bentrokan
bersenjata yang menewaskan 5 orang petani. Peristiwa bentrokan itu mendapatkan
sorotan yang tajam dari pihak parlemen maupun pers. Hal inilah yang tentunya
menjadi penyebab jatuhnya kabinet wilopo. Akibatnya Kabinet Wilopo memperoleh
mosi tidak percaya dari Sidik Kertapati dari Serikat Tani Indonesia atau Sakti. Lalu
Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden pada tanggal 2 Juni 1953.

Kabinet Wilopo harus mengakhiri masa tugas karena tidak berhasil menyelesaikan masalah
peristiwa 17 oktober 1952. Peristiwa itu dipicu oleh adanya gerakan yang diprakarsai oleh
sejumlah perwira angkatan darat yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah. Mereka
menghendaki agar Presiden Sukarno membubarkan parlemen.

Kabinet Ali Sastroamidjojo I

Artikel utama: Kabinet Ali Sastroamidjojo I

Program kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo I yang disebut juga Ali-Wongsonegoro:

 Menumpas pemberontakan DI/TII di berbagai daerah


 Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta melaksanakan pemilihan umum
 Memperjuangkan kembalinya Irian Barat kepada RI
 Menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika
 Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB
 Penyelesaian pertikaian politik

Pada masa kabinet Ali-Wongsonegoro, gangguan keamanan makin meningkat, antara lain
munculnya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Daud Beureuh Aceh, dan Kahar Muzakar di
Sulawesi Selatan. Meskipun dihinggapi berbagai kesulitan, kabinet Ali-Wongsonegoro
berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika. Oleh karena itu, kabinet Ali-
Wongsonegoro ikut terangkat namanya. Selain berhasil menyelenggarakan Konfereni Asia
Afrika, pada masa ini juga terjadi persiapan pemilu untuk memilih anggota parlemen yang
akan diselenggarakan pada 29 September 1955. Kabinet Ali-Wongsonegoro akhirnya jatuh
pada bulan Juli 1955 dalam usia 2 tahun (usia terpanjang). Penyebab jatuhnya kabinet Ali-
Wongsonegoro adalah perselisihan pendapat antara TNI-AD dan pemerintah tentang tata cara
pengangkatan Kepala Staf TNI-AD.

Pada masa pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo I, diselenggarakan Konferensi Asia-


Afrika di Bandung pada 18-25 April 1955. Konferensi ini dihadiri 29 negara Asia dan Afrika
yang kemudian membawa pengaruh penting bagi terbentuknya solidaritas dan perjuangan
kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia-Afrika. Pemilihan umum pertama yang
diselenggarakan pada 1955 juga merupakan rancangan kabinet ini, tetapi pelaksanaannya
kemudian dilanjutkan oleh kabinet berikutnya.

Kabinet Burhanuddin Harahap

Artikel utama: Kabinet Burhanuddin Harahap

Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap dari Masyumi serta Wakil
Perdana Menteri yaitu R. Djanu Ismadi dari PIR-Hazairin dan Harsono Tjokroaminoto dari
PSII. Presiden Soekarno sebenarnya kurang merestui kabinet ini karena yang menunjuk
Burhanuddin Harahap sebagai kepala pemerintahan kabinet ini adalah Wakil Presiden
Mohammad Hatta. Program kerja Kabinet Burhanuddin Harahap yaitu

 mengembalikan kewibawaan moral pemerintah, dalam hal ini kepercayaan Angkatan


Darat dan masyarakat kepada pemerintah;
 melaksanakan pemilihan umum, desentralisasi, memecahkan masalah inflasi, dan
pemberantasan korupsi; serta
 memperjuangkan pengembalian Irian Barat.

Keberhasilan kabinet ini di antaranya mengadakan perbaikan ekonomi, termasuk


mengendalikan harga dengan menjaga agar tidak terjadi inflasi dan sebagainya. Dalam
masalah ekonomi, kabinet ini telah berhasil cukup baik. Dapat dikatakan bahwa kehidupan
rakyat semasa kabinet ini cukup makmur karena harga-harga barang kebutuhan pokok tidak
melonjak naik akibat inflasi. Dalam periode kabinet ini, pemilihan umum pertama tahun 1955
dilaksanakan untuk memilih anggota-anggota DPR. Selain itu, kabinet ini juga
mengembalikan wibawa pemerintah Republik Indonesia di mata pihak Angkatan Darat.

Kabinet ini jatuh tidak diakibatkan oleh keretakan di dalam tubuh kabinet, juga bukan karena
dijatuhkan oleh kelompok oposisi yang mencetuskan mosi tidak percaya dari parlemen, tetapi
karena merasa tugasnya sudah selesai. Pada tanggal 2 Maret 1956 pukul 10.00 siang, Kabinet
Burhanuddin Harahap mengundurkan diri, sekaligus menyerahkan mandatnya kepada
Presiden untuk dibentuk kabinet baru berdasarkan hasil pemilihan umum. Kabinet ini terus
bekerja sebagai kabinet demisioner selama 20 hari sampai terbentuknya kabinet baru yakni
Kabinet Ali–Roem–Idham yang dilantik tanggal 24 Maret 1956 dan serah terima dengan
Kabinet Burhanuddin Harahap dilakukan tanggal 26 Maret 1956.

Kabinet Ali Sastroamidjojo II

Artikel utama: Kabinet Ali Sastroamidjojo II

Kabinet Ali Sastroamidjojo II disebut pula Kabinet Ali–Roem–Idham karena dipimpin oleh
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dari PNI beserta dua Wakil Perdana Menteri yakni
Mohamad Roem dari Masyumi dan Idham Chalid dari NU. Program pokok kabinet ini adalah
pembatalan Konferensi Meja Bundar, pemulihan keamanan dan ketertiban, dan
melaksanakan keputusan Konferensi Asia–Afrika. Program kerjanya disebut rencana
pembangunan lima tahun yang memuat program jangka panjang, yaitu

 menyelesaikan pembatalan hasil Konferensi Meja Bundar;


 menyelesaikan masalah Irian Barat;
 membentuk Provinsi Irian Barat;
 menjalankan politik luar negeri bebas aktif;
 membentuk daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota
DPRD;
 mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai;
 menyehatkan keseimbangan keuangan negara; dan
 mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.

Kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo II mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap
sebagai titik tolak dari periode planning and investment, yang hasilnya adalah pembatalan
seluruh perjanjian KMB. Kabinet ini pun berumur tidak lebih dari satu tahun dan akhirnya
digantikan oleh Kabinet Djuanda karena mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi yang
membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada Presiden.

Kabinet Djuanda

Artikel utama: Kabinet Djuanda

Kabinet Djuanda atau juga disebut Kabinet Karya dipimpin oleh Perdana Menteri Djoeanda
Kartawidjaja dari PNI, beserta tiga orang Wakil Perdana Menteri yaitu Hardi dari PNI, Idham
Chalid dari NU, serta Johannes Leimena dari Parkindo. Kabinet ini memiliki 5 program yang
disebut Pancakarya yaitu

 membentuk Dewan Nasional,


 menormalisasi keadaan Republik Indonesia,
 melanjutkan pembatalan Konferensi Meja Bundar,
 memperjuangkan Irian Barat, dan
 mempercepat pembangunan.

Kebijakan ekonomi
Pemerintah Indonesia harus menghadapi banyak masalah terkait dengan masalah keamanan
dan pertahanan negara. Masalah tersebut di antaranya adalah kemelut yang terjadi di tubuh
Angkatan Darat seperti upaya-upaya memecah integrasi bangsa dan sejumlah permasalahan
ekonomi negara. Permasalahan yang muncul ini tidak lepas dari beberapa hal berikut.

1. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda yang diumumkan pada 27 Desember


1949, bangsa Indonesia dinyatakan menanggung beban ekonomi dan keuangan yang
cukup besar seperti yang diputuskan dalam Konferensi Meja Bundar.
2. Ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh jatuh bangunnya kabinet berdampak
pada ketidakberlanjutan program sehingga pemerintah harus mengeluarkan anggaran
untuk mengatasi biaya operasional pertahanan dan keamanan negara.

Permasalahan lain yang harus dihadapi adalah ekspor Indonesia yang hanya bergantung pada
hasil perkebunan dan angka pertumbuhan penduduk semakin meningkat dengan tajam.
Sumitro Djojohadikusumo, ahli ekonomi Indonesia berhasil merancang gerakan Benteng
sebagai salah satu usaha untuk memperbaiki perekonomian negara. Tercetusnya Gerakan
Benteng didasari atas gagasan penting untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi
ekonomi nasional.
Gagasan Sumitro kemudian ditetapkan dalam program Kabinet Natsir Pada bulan April 1950
dengan nama Program Benteng. Program Benteng tahap 1 resmi dijalankan selama 3 tahun
(1950-1953) dengan 3 kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan Wilopo). Selama 3 tahun, lebih
dari 700-an bidang usaha bumiputera memperoleh bantuan kredit dari program ini. Akan
tetapi, hal yang diharapkan dari program ini tidak sepenuhnya tercapai, bahkan banyak pula
yang membebani keuangan negara. Ada banyak faktor yang menyebabkan kegagalan
program ini, salah satunya mentalitas para pengusaha bumiputera yang konsumtif, besarnya
keinginan untuk memperoleh keuntungan secara cepat, dan menikmati kemewahan.

Sebenarnya pemberian kredit impor yang diberikan kepada para pengusaha bumiputera
dimaksudkan untuk memicu pertumbuhan perekonomian nasional. Akan tetapi, kebijakan ini
ternyata tidak mampu meruntuhkan dominasi para pengusaha asing. Oligopoli yang dibangun
oleh para pengusaha dari perusahaan Inggris, Belanda, dan Tiongkok yang pandai
memanfaatkan peluang ternyata tetap menguasai pasar.

Program Benteng tahap 2 dimulai pada masa Kabinet Ali pertama. Program Benteng tahap 2
merancang pemberian kredit dan lisensi pada pengusaha swasta nasional bumiputera agar
dapat bersaing dengan para pengusaha non bumiputera. Jika pada awal tahun 1943 para
importir pribumi hanya menerima 37,9% dari total ekspor impor, maka mereka telah
menerima 80% sampai 90% pada masa Kabinet Ali. Total dari 700 perusahaan yang
menerima bantuan menjadi 4000-5000 perusahaan.

Program Benteng gagal karena salah sasaran. Banyak perusahaan bumiputera yang menjual
lisensi impor yang diberikan oleh pemerintah kepada para pengusaha non bumiputera. Hal ini
menimbulkan istilah perusahaan "Alibaba". Sebutan "Ali" merepresentasikan bumiputera
sedangkan "Baba" merepresentasikan non bumiputera. Bantuan kredit dan pemberian
kemudahan dalam menerima lisensi impor kemudian dinilai tidak efektif. Padahal pemerintah
telah menambah beban keuangannya sehingga menjadi salah satu sumber defisit. Selain itu,
Program Benteng diterapkan ketika industri Indonesia masih lemah dan tingginya persaingan
politik program ini dimanfaatkan oleh sebagian partai politik untuk memperoleh dukungan.

Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) berintikan Masyumi dan PSI dengan
Mohammad Natsir sebagai perdana menteri. Kebijakan-kebijakan Natsir yang mengutamakan
pembangunan perekonomian negara dianggap telah mengabaikan masalah kedaulatan Papua
oleh partai oposisi. Soekarno pun menyetujui bahwa masalah kedaulatan Papua (yang melalui
perundingan tidak mengalami kemajuan) tidak boleh disepelekan. Kondisi ini membuat
Natsir bersikeras agar Soekarno membatasi dirinya dalam peran presiden yang hanya sebagai
lambang saja. Puncaknya, Natsir menyerahkan jabatannya yang kemudian digantikan oleh
Sukiman pada April 1951.

Jatuhnya Kabinet Sukiman disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran nota
keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta Besar AS
Merle Cochran. Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia
didasarkan pada ikatan Mutual Security Act (MSA) yang di dalamnya terdapat pembatasan
terhadap kebebasan politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia diwajibkan lebih
memperhatikan AS sehingga tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik
luar negeri yang bebas aktif dan dianggap lebih condong ke blok Barat. Selain itu, penyebab
lainnya adalah semakin meluasnya korupsi di kalangan birokrat dan gagalnya Kabinet
Sukiman dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.
Lain halnya dengan Kabinet Ali I (kabinet koalisi antara PNI dan NU), kabinet ini jatuh
karena tidak dapat menyelesaikan kemelut yang ada di tubuh Angkatan Darat dan
pemberontakan DI/TII yang berkobar di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Selain itu,
ada pula konflik antara PNI dan NU yang mengakibatkan NU menarik semua menterinya
yang duduk di kabinet.

Jatuh bangunnya kabinet dalam waktu yang singkat menimbulkan ketidakstabilan politik
yang mengakibatkan program-program kabinet tidak berjalan dengan baik. Kondisi ini yang
kemudian membuat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.

Dekret Presiden 5 Juli 1959


Kata dekrit berasal dari bahasa Latin decemere yang berarti mengakhiri atau memutuskan.
Kata dekrit, kemudian digunakan untuk menunjukkan adanya perintah dari kepala negara
atau kepala pemerintahan untuk mengakhiri atau memutuskan sesuatu yang terkait dengan
sistem pemerintahan yang berjalan. Dekrit yang dikeluarkan Presiden Soekarno berisi:

1. Pembubaran Konstituante hasil Pemilu 1955;


2. Pemberlakuan kembali UUD 1945 menggantikan UUDS 1950;
3. Pembentukan MPRS yang terdiri dari para anggota DPR ditambah dengan para
utusan daerah dan golongan.

Beberapa alasan mengapa Presiden Soekarno harus mengeluarkan dekrit adalah sebagai
berikut.

1. Kegagalan Konstituante untuk membuat UUD baru meskipun sudah berkali-kali


bersidang. Padahal, UUD sangat dibutuhkan sebagai pedoman hukum yang penting
dalam melaksanakan pemerintahan.
2. Situasi politik dan ketidakstabilan keamanan dalam negara semakin memburuk.
3. Konflik antarpartai yang terus-menerus terjadi sangat mengganggu stabilitas nasional.
4. Para politisi partai yang saling berbeda pendapat sering bersikap membenarkan segala
cara agar tujuan kelompok/partai tercapai.
5. UUDS 1950 yang menerapkan Demokrasi Liberal dianggap tidak sesuai dengan
kondisi masyarakat Indonesia.
6. Sejumlah pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia semakin
mengarah kepada gerakan separatis.

Sisi positif dari adanya dekrit ini:

1. Memberikan pedoman yang jelas bagi kelangsungan negara melalui perintah untuk
kembali ke UUD 1945;
2. Menyelamatkan negara dari disintegrasi dan krisis politik yang berkepanjangan;
3. Memprakarsai pembentukan lembaga-lembaga tinggi negara (MPRS dan DPAS) yang
selama masa Demokrasi Liberal tertunda pembentukannya.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan Presiden Soekarno ialah dekrit yang mengakhiri
masa parlementer. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin.

Referensi
1.

 Ricklefs (1991), page 237


  Witton, Patrick (2003). Indonesia. Melbourne: Lonely Planet. hlm. 26–28. ISBN 1-
74059-154-2.
3.  Schwarz, A. (1994). A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s . Westview
Press. ISBN 1-86373-635-2.

1.

1. Perdana Menteri kelima, tetapi menjadi yang pertama di NKRI setelah dibubarkannya
RIS.

 l
 b
 s

Topik Indonesia

 l
 b
 s

Sejarah Indonesia
Kategori:

 Artikel yang membutuhkan referensi tambahan from September 2020


 Articles with invalid date parameter in template
 Sejarah Indonesia

 Halaman ini terakhir diubah pada 24 Agustus 2022, pukul 11.33.


 Teks tersedia di bawah Lisensi Creative Commons Atribusi-BerbagiSerupa; ketentuan
tambahan mungkin berlaku. Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya.

 Kebijakan privasi
 Tentang Wikipedia
 Penyangkalan
 Tampilan seluler
 Pengembang
 Statistik
 Pe

Sejarah Indonesia (1950–1959)

 Halaman
 Pembicaraan

 Baca
 Sunting
 Sunting sumber
 Lihat riwayat

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan.
Mohon bantu kami mengembangkan artikel ini dengan cara menambahkan rujukan ke
sumber tepercaya. Pernyataan tak bersumber bisa saja dipertentangkan dan dihapus.
Cari sumber: "Sejarah Indonesia" 1950–1959 – berita · surat kabar · buku · cendekiawan · JSTOR
(September 2020)
Apakah Anda bersedia berpartisipasi dalam penelitian pengguna untuk Wikipedia
dengan imbalan?

Lengkapi formulir untuk didaftarkan ke daftar peserta kami. Anda akan dihubungi secara
berkala dengan kesempatan untuk berpartisipasi dalam studi penelitian bagi Wikipedia. Anda
dapat mengundurkan diri dari daftar kapan saja.

Lihat kebijakan privasi kami dan pelajari lebih lanjut tentang program penelitian kami di sini.
Republik Indonesia

1950–1959

Bendera

Lambang

Republik Indonesia pada tahun 1957


Ibu kota Jakarta
Bahasa resmi Bahasa Indonesia
Pemerintahan Negara kesatuan republik parlementer
Presiden
• 1950–1959 Soekarno
Wakil Presiden
• 1950–1956 Mohammad Hatta
Perdana Menteri
• 1950–1951 Mohammad Natsir (pertama)[a]
• 1957–1959 Djuanda Kartawidjaja (terakhir)
Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1950-1956)
Legislatif
Badan Konstituante (1956-1959)
Sejarah
• Dibentuk 17 Agustus 1950
• Pemilu legislatif 1955 29 September 1955
• Dibubarkan 5 Juli 1959
Mata uang Rupiah
Didahului oleh Digantikan oleh
Republik Indonesia Sejarah Indonesia (1959–
Serikat 1965)
Sekarang bagian dari Indonesia
Bagian dari seri mengenai

Sejarah Indonesia

Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kerajaan Islam
Kerajaan Kristen
Kolonialisme Eropa
Kemunculan Indonesia
Kemerdekaan
Menurut topik
Garis waktu
Portal Indonesia
 l
 b
 s

Era Demokrasi Liberal (1950–1959) yang dikenal pula dengan Era Demokrasi
Parlementer adalah era ketika Presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950. Periode ini berlangsung dari 17
Agustus 1950 (sejak pembubaran Republik Indonesia Serikat) sampai 5 Juli 1959 (keluarnya
Dekret Presiden). Pada masa ini terjadi sejumlah peristiwa penting, seperti Konferensi Asia–
Afrika di Bandung, pemilihan umum pertama di Indonesia dan pemilihan Konstituante, serta
periode ketidakstabilan politik yang berkepanjangan, dengan tidak ada kabinet yang bertahan
selama dua tahun.

Latar belakang
Seiring dengan berakhirnya perjuangan untuk mengamankan kemerdekaan Indonesia,
perpecahan di kalangan masyarakat Indonesia mulai muncul. Perbedaan antardaerah dalam
hal adat istiadat, moral, tradisi, agama, pengaruh Marxisme, serta ketakutan akan dominasi
politik Jawa, semuanya berkontribusi pada perpecahan. Sebagai negara baru, Indonesia
memiliki masalah kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, dan tradisi otoriter.[1]
Berbagai gerakan separatis juga muncul untuk menentang Republik Indonesia: militan Darul
Islam memproklamasikan "Negara Islam Indonesia" dan bergerilya melawan Republik
Indonesia di Jawa Barat dari tahun 1948 hingga 1962; di Maluku, orang-orang Ambon yang
dulunya adalah Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) memproklamasikan kemerdekaan
Republik Maluku Selatan; ditambah dengan pemberontakan di Sumatra dan Sulawesi antara
tahun 1955 dan 1961.

Perekonomian Indonesia terpuruk setelah tiga tahun pendudukan Jepang, kemudian empat
tahun perang melawan Belanda. Di tangan pemerintahan yang masih muda dan belum
berpengalaman, perekonomian tidak mampu mendorong produksi pangan dan kebutuhan lain
untuk mengimbangi pertambahan penduduk. Sebagian besar penduduk buta huruf, tidak
terampil, dan tidak memiliki kemampuan manajerial. Inflasi meningkat, banyak
penyelundupan yang merugikan pemerintah pusat yang sangat membutuhkan devisa, dan
banyak perkebunan hancur selama pendudukan penjajah dan perang.[2]

Gambaran umum
Pada masa Soekarno, sistem pemerintahan di Indonesia mengalami beberapa peralihan.
Indonesia pernah menerapkan sistem pemerintahan presidensial, parlementer (demokrasi
liberal), hingga demokrasi terpimpin. Pada masa pemerintahan Soekarno juga terjadi
penyimpangan UUD 1945, di antaranya perubahan fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP), dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut
menetapkan GBHN yang merupakan wewenang MPR.

Salah satu hasil dari Konferensi Meja Bundar tahun 1949 adalah terbentuknya Negara
Republik Indonesia Serikat (RIS). Pembentukan negara federal yang diprakasai oleh Belanda
untuk melemahkan integrasi Indonesia sebagai negara kesatuan ternyata tidak didukung
masyarakat Indonesia. Banyak negara bagian yang menyatakan ingin kembali ke negara
kesatuan dan pada 15 Agustus 1950, Perdana Menteri Kabinet RIS Mohammad Hatta
menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno.

Mulainya Demokrasi Parlementer

Pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Pemerintahan Republik
Indonesia masih melanjutkan model demokrasi parlementer yang liberal. Kabinet dipimpin
oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan dan bertanggung jawab kepada
parlemen. Presiden hanya berkedudukan sebagai kepala negara. Sementara itu, Undang-
Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS) 1950 digunakan sebagai konstitusi
berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara
Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia,
dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta.
Konstitusi ini dinamakan “sementara”, karena hanya bersifat sementara, menunggu
terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru.

UUDS 1950 sangat berbeda dengan UUD 1945 dalam banyak hal; ia mengamanatkan sistem
pemerintahan parlementer dan menetapkan secara panjang lebar jaminan konstitusional untuk
hak asasi manusia, yang sangat mengacu pada Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi
Manusia oleh PBB tahun 1948.[3]

Konstituante

Artikel utama: Konstituante dan Daftar anggota Konstituante

Pada tahun 1955, Indonesia melaksanakan pemilihan umum nasional yang pertama. Pada
bulan September, rakyat memilih wakil untuk DPR, dan pada bulan Desember pemilih
kembali memilih wakil-wakil yang lebih banyak lagi sebagai anggota Konstituante.

Konstituante, setelah dipilih pada tahun 1955, mulai bersidang pada bulan November 1956 di
Bandung, ibu kota Jawa Barat, untuk membuat UUD yang baru sesuai amanat UUDS 1950.
Perdebatan, permusyawaratan, dan penulisan draf-draf UD berlangsung selama dua setengah
tahun. Perdebatan isu dasar negara (terutama antara golongan yang mendukung Islam sebagai
dasar negara dan golongan yang mendukung Pancasila) terjadi sangat sengit. Walaupun para
pimpinan Konstituante merasa sudah lebih dari 90% materi undang-undang dasar telah
disepakati, dan walaupun ada beberapa tokoh partai politik Islam yang merasa siap
berkompromi, Konstituante tidak sempat menyelesaikan tugasnya.

Berakhirnya Demokrasi Parlementer

Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara demokratis, namun


Konstituante gagal membentuk konstitusi baru sampai berlarut-larut. Presiden Soekarno lalu
menyampaikan konsep Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang berisi ide untuk
kembali pada UUD 1945. Pada tanggal 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden
5 Juli 1959, yang antara lain berisi pembubaran Konstituante serta penggantian konstitusi dari
UUDS 1950 menjadi UUD 1945 kembali. Peristiwa ini menandai berakhirnya Demokrasi
Parlementer dan mulainya Era Demokrasi Terpimpin. Pemerintah kemudian membentuk
lembaga-lembaga MPRS dalam demokrasi terpimpin yang menerapkan sistem politik
keseimbangan. Pada masa ini Soekarno merencanakan konsep pentingnya persatuan antara
kaum nasionalis, agama, dan komunis.

Kabinet-kabinet pada masa Demokrasi Parlementer


Demokrasi Parlementer dengan banyak partai justru menimbulkan ketidakstabilan politik.
Pada masa ini terjadi banyak pergantian kabinet. Tercatat ada tujuh kabinet pada masa ini.
Kabinet jatuh bangun karena munculnya mosi tidak percaya dari partai lawan. Di samping
itu, terjadi perdebatan dalam Konstituante yang sering menimbulkan konflik berkepanjangan.
Jumlah Awal masa Akhir masa
No. Nama kabinet Perdana Menteri Masa kerja
personel kerja kerja
6 September 21 Maret 6 bulan 15
1. Natsir Mohammad Natsir 18
1950 1951 hari
Sukiman 23 Februari 9 bulan 27
2. Sukiman-Suwirjo 20 27 April 1951
Wirjosandjojo 1952 hari
1 tahun 2
3. Wilopo Wilopo 18 3 April 1952 3 Juni 1953
bulan
Ali 1 Agustus 1 tahun 11
4. Ali Sastroamidjojo 20 24 Juli 1955
Sastroamidjojo I 1953 bulan 23 hari
Burhanuddin Burhanuddin 12 Agustus 3 Maret 6 bulan 19
5. 23
Harahap Harahap 1955 1956 hari
Ali 24 Maret 14 Maret 11 bulan 19
6. Ali Sastroamidjojo 25
Sastroamidjojo II 1956 1957 hari
Djuanda 1 tahun 2
7. Djuanda 24 9 April 1957 5 Juli 1959
Kartawidjaja bulan 26 hari

Kabinet Natsir

Artikel utama: Kabinet Natsir

Kabinet Natsir merupakan kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir
dari Partai Masyumi. Kabinet ini dibentuk pada 6 September 1950 dan didemisionerkan pada
tanggal 21 Maret 1951. Program kerja kabinet Natsir:

 Mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih Dewan


Konstituante
 Menyempurnakan susunan pemerintahan dan membentuk kelengkapan negara
 Menggiatkan usaha mencapai keamanan dan ketenteraman
 Meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan mengembangkan dan memperkuat
ekonomi rakyat
 Menyempurnakan organisasi angkatan perang
 Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat

Hasil kerja kabinet ini yaitu berlangsungnya perundingan antara Indonesia-Belanda untuk
pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat. Sementara kendala atau masalah yang
dihadapi yaitu upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan
buntu (kegagalan) dan timbul masalah keamanan dalam negeri berupa pemberontakan hampir
di seluruh wilayah Indonesia, seperti gerakan DI/TII, gerakan Andi Azis, gerakan APRA, dan
gerakan RMS.

Kabinet Natsir jatuh pada 21 Maret 1951 dalam periode 6,5 bulan dan belum sempat
melaksanakan program-programnya. Jatuhnya kabinet ini karena adanya mosi tidak percaya
dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI
menganggap Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1950 mengenai DPRD terlalu
menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga Natsir harus
mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
Dalam program Kabinet Natsir, kemudian diterapkan Program Benteng yang didasari oleh
gagasan pentingnya mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
Program Benteng resmi berjalan selama tiga tahun (1950–1953) dengan tiga kabinet berbeda
(Natsir, Sukiman, dan Wilopo).

Kabinet Sukiman-Suwirjo

Berkas:Kabinet sukiman suwirjo.jpg


Kabinet Sukiman Suwirjo
Artikel utama: Kabinet Sukiman-Suwirjo

Kabinet ini merupakan kabinet kedua pada Era Demokrasi Parlementer. Kabinet ini bertugas
pada masa bakti 27 April 1951 hingga 3 April 1952, tetapi telah didemosioner sejak 23
Februari 1952. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI. Program
kerja kabinet Sukiman:

 Menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai negara hukum untuk menjamin


keamanan dan ketenteraman serta menyempurnakan organisasi alat-alat kekuasaan
negara
 Membuat dan melaksanakan rencana kemakmuran nasional dalam jangka pendek
untuk meningkatkan kehidupan sosial dan perekonomian rakyat serta memperbaharui
hukum agraria sesuai dengan kepentingan petani
 Mempercepat usaha penempatan mantan pejuang dalam lapangan pembangunan
 Mempercepat dan menyelesaikan persiapan pemilihan umum untuk membentuk
dewan konstituante dan menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu yang
singkat serta mempercepat terlaksananya otonomi daerah
 Menyiapkan undang-undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama
(collective arbeidsovereenkomst), penetapan upah minimum, dan penyelesaian
pertikaian perburuhan
 Menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif serta menuju perdamaian dunia,
menyelenggarakan hubungan antara Indonesia dengan Belanda yang sebelumnya
berdasarkan asas unie-statuut menjadi hubungan berdasarkan perjanjian internasional
biasa, mempercepat peninjauan kembali persetujuan hasil Konferensi Meja Bundar,
serta meniadakan perjanjian-perjanjian yang pada kenyataannya merugikan rakyat dan
negara
 Memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia dalam waktu
sesingkat-singkatnya

Hasil dari program kerja ini tidak terlalu berarti sebab programnya melanjutkan program
Natsir, hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti
awalnya program menggiatkan usaha keamanan dan ketenteraman namun selanjutnya
diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketenteraman. Beberapa kendala atau masalah
yang dihadapi, di antaranya:

 adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Soebadjo
dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cockran mengenai pemberian bantuan
ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika Serikat kepada Indonesia berdasarkan
ikatan Mutual Security Act (MSA) . Dimana di dalam MSA terdapat pembatasan
kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan untuk memperhatikan
kepentingan Amerika.
 adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap
lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
 masalah Irian Barat belum juga teratasi
 hubungan Sukirman dengan militer kurang baik, ditunjukkan dengan kurang tegasnya
tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Sulawesi.

Kabinet Sukiman tidak mampu bertahan lama dan jatuh pada bulan Februari 1952. Penyebab
jatuhnya kabinet ini disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran nota keuangan
antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta Besar AS Merle Cochran.
Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia didasarkan pada ikatan
Mutual Security Act (MSA). DI dalam MSA, terdapat pembatasan terhadap kebebasan politik
luar negeri yang bebas aktif. Indonesia diwajibkan lebih memperhatikan Amerika sehingga
tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif
dan dianggap lebih condong ke blok Barat. Di samping itu, penyebab lainnya adalah semakin
merebaknya korupsi di kalangan birokrat dan gagalnya Kabinet Sukiman dalam
menyelesaikan masalah Irian Barat.

Kabinet Wilopo

Artikel utama: Kabinet Wilopo

Program kerja kabinet Wilopo:

 Mempersiapkan dan melaksanakan pemilihan umum


 Berupaya untuk mengembalikan Irian Barat agar kembali menjadi wilayah Republik
Indonesia
 Meningkatkan keamanan dan kesejahteraan
 Memperbarui bidang pendidikan dan pengajaran
 Melaksanakan politik luar negeri bebas aktif

Kabinet Wilopo banyak mengalami kesulitan, yaitu:

 Mengatasi gerakan separatisme yang terjadi di berbagai daerah


 Penekanan Presiden Soekarno yang dilakukan oleh sejumlah perwira Angkatan Darat
pada tanggal 17 Oktober 1952 agar parlemen dibubarkan
 Kejadian Tangjung Morawa yang terjadi di Sumatra Utara. Peristiwa Tanjung
Morawa terjadi akibat persetujuan pemerintah sesuai dengan KMB agar memberikan
izin kepada pengusaha asing agar dapat mengusahakan tanah perkebunan di Indonesia
lagi. Tanah ini sebelumnya digarap oleh para pertani karena bertahun tahun telah
ditinggalkan oleh pemiliknya pada saat Kabinet Sukiman. Saat itu juga Mr. Iskaq
Cokroadisuryo selaku menteri dalam negeri memberikan persetujuan agar tanah Deli
dikembalikan. Tanah tersebut berhasil dikembalikan saat masa Kebinet Wilopo.
Kemudian pada tanggal 16 Maret 1953, pihak polisi mengusir penggarap sawah yang
tidak mempunyai izin. Akibat pengusiran tersebut, banyak terjadi bentrokan
bersenjata yang menewaskan 5 orang petani. Peristiwa bentrokan itu mendapatkan
sorotan yang tajam dari pihak parlemen maupun pers. Hal inilah yang tentunya
menjadi penyebab jatuhnya kabinet wilopo. Akibatnya Kabinet Wilopo memperoleh
mosi tidak percaya dari Sidik Kertapati dari Serikat Tani Indonesia atau Sakti. Lalu
Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden pada tanggal 2 Juni 1953.
Kabinet Wilopo harus mengakhiri masa tugas karena tidak berhasil menyelesaikan masalah
peristiwa 17 oktober 1952. Peristiwa itu dipicu oleh adanya gerakan yang diprakarsai oleh
sejumlah perwira angkatan darat yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah. Mereka
menghendaki agar Presiden Sukarno membubarkan parlemen.

Kabinet Ali Sastroamidjojo I

Artikel utama: Kabinet Ali Sastroamidjojo I

Program kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo I yang disebut juga Ali-Wongsonegoro:

 Menumpas pemberontakan DI/TII di berbagai daerah


 Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta melaksanakan pemilihan umum
 Memperjuangkan kembalinya Irian Barat kepada RI
 Menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika
 Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB
 Penyelesaian pertikaian politik

Pada masa kabinet Ali-Wongsonegoro, gangguan keamanan makin meningkat, antara lain
munculnya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Daud Beureuh Aceh, dan Kahar Muzakar di
Sulawesi Selatan. Meskipun dihinggapi berbagai kesulitan, kabinet Ali-Wongsonegoro
berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika. Oleh karena itu, kabinet Ali-
Wongsonegoro ikut terangkat namanya. Selain berhasil menyelenggarakan Konfereni Asia
Afrika, pada masa ini juga terjadi persiapan pemilu untuk memilih anggota parlemen yang
akan diselenggarakan pada 29 September 1955. Kabinet Ali-Wongsonegoro akhirnya jatuh
pada bulan Juli 1955 dalam usia 2 tahun (usia terpanjang). Penyebab jatuhnya kabinet Ali-
Wongsonegoro adalah perselisihan pendapat antara TNI-AD dan pemerintah tentang tata cara
pengangkatan Kepala Staf TNI-AD.

Pada masa pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo I, diselenggarakan Konferensi Asia-


Afrika di Bandung pada 18-25 April 1955. Konferensi ini dihadiri 29 negara Asia dan Afrika
yang kemudian membawa pengaruh penting bagi terbentuknya solidaritas dan perjuangan
kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia-Afrika. Pemilihan umum pertama yang
diselenggarakan pada 1955 juga merupakan rancangan kabinet ini, tetapi pelaksanaannya
kemudian dilanjutkan oleh kabinet berikutnya.

Kabinet Burhanuddin Harahap

Artikel utama: Kabinet Burhanuddin Harahap

Kabinet ini dipimpin oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap dari Masyumi serta Wakil
Perdana Menteri yaitu R. Djanu Ismadi dari PIR-Hazairin dan Harsono Tjokroaminoto dari
PSII. Presiden Soekarno sebenarnya kurang merestui kabinet ini karena yang menunjuk
Burhanuddin Harahap sebagai kepala pemerintahan kabinet ini adalah Wakil Presiden
Mohammad Hatta. Program kerja Kabinet Burhanuddin Harahap yaitu

 mengembalikan kewibawaan moral pemerintah, dalam hal ini kepercayaan Angkatan


Darat dan masyarakat kepada pemerintah;
 melaksanakan pemilihan umum, desentralisasi, memecahkan masalah inflasi, dan
pemberantasan korupsi; serta
 memperjuangkan pengembalian Irian Barat.

Keberhasilan kabinet ini di antaranya mengadakan perbaikan ekonomi, termasuk


mengendalikan harga dengan menjaga agar tidak terjadi inflasi dan sebagainya. Dalam
masalah ekonomi, kabinet ini telah berhasil cukup baik. Dapat dikatakan bahwa kehidupan
rakyat semasa kabinet ini cukup makmur karena harga-harga barang kebutuhan pokok tidak
melonjak naik akibat inflasi. Dalam periode kabinet ini, pemilihan umum pertama tahun 1955
dilaksanakan untuk memilih anggota-anggota DPR. Selain itu, kabinet ini juga
mengembalikan wibawa pemerintah Republik Indonesia di mata pihak Angkatan Darat.

Kabinet ini jatuh tidak diakibatkan oleh keretakan di dalam tubuh kabinet, juga bukan karena
dijatuhkan oleh kelompok oposisi yang mencetuskan mosi tidak percaya dari parlemen, tetapi
karena merasa tugasnya sudah selesai. Pada tanggal 2 Maret 1956 pukul 10.00 siang, Kabinet
Burhanuddin Harahap mengundurkan diri, sekaligus menyerahkan mandatnya kepada
Presiden untuk dibentuk kabinet baru berdasarkan hasil pemilihan umum. Kabinet ini terus
bekerja sebagai kabinet demisioner selama 20 hari sampai terbentuknya kabinet baru yakni
Kabinet Ali–Roem–Idham yang dilantik tanggal 24 Maret 1956 dan serah terima dengan
Kabinet Burhanuddin Harahap dilakukan tanggal 26 Maret 1956.

Kabinet Ali Sastroamidjojo II

Artikel utama: Kabinet Ali Sastroamidjojo II

Kabinet Ali Sastroamidjojo II disebut pula Kabinet Ali–Roem–Idham karena dipimpin oleh
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dari PNI beserta dua Wakil Perdana Menteri yakni
Mohamad Roem dari Masyumi dan Idham Chalid dari NU. Program pokok kabinet ini adalah
pembatalan Konferensi Meja Bundar, pemulihan keamanan dan ketertiban, dan
melaksanakan keputusan Konferensi Asia–Afrika. Program kerjanya disebut rencana
pembangunan lima tahun yang memuat program jangka panjang, yaitu

 menyelesaikan pembatalan hasil Konferensi Meja Bundar;


 menyelesaikan masalah Irian Barat;
 membentuk Provinsi Irian Barat;
 menjalankan politik luar negeri bebas aktif;
 membentuk daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota
DPRD;
 mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai;
 menyehatkan keseimbangan keuangan negara; dan
 mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.

Kerja Kabinet Ali Sastroamidjojo II mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap
sebagai titik tolak dari periode planning and investment, yang hasilnya adalah pembatalan
seluruh perjanjian KMB. Kabinet ini pun berumur tidak lebih dari satu tahun dan akhirnya
digantikan oleh Kabinet Djuanda karena mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi yang
membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada Presiden.

Kabinet Djuanda

Artikel utama: Kabinet Djuanda


Kabinet Djuanda atau juga disebut Kabinet Karya dipimpin oleh Perdana Menteri Djoeanda
Kartawidjaja dari PNI, beserta tiga orang Wakil Perdana Menteri yaitu Hardi dari PNI, Idham
Chalid dari NU, serta Johannes Leimena dari Parkindo. Kabinet ini memiliki 5 program yang
disebut Pancakarya yaitu

 membentuk Dewan Nasional,


 menormalisasi keadaan Republik Indonesia,
 melanjutkan pembatalan Konferensi Meja Bundar,
 memperjuangkan Irian Barat, dan
 mempercepat pembangunan.

Kebijakan ekonomi
Pemerintah Indonesia harus menghadapi banyak masalah terkait dengan masalah keamanan
dan pertahanan negara. Masalah tersebut di antaranya adalah kemelut yang terjadi di tubuh
Angkatan Darat seperti upaya-upaya memecah integrasi bangsa dan sejumlah permasalahan
ekonomi negara. Permasalahan yang muncul ini tidak lepas dari beberapa hal berikut.

1. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda yang diumumkan pada 27 Desember


1949, bangsa Indonesia dinyatakan menanggung beban ekonomi dan keuangan yang
cukup besar seperti yang diputuskan dalam Konferensi Meja Bundar.
2. Ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh jatuh bangunnya kabinet berdampak
pada ketidakberlanjutan program sehingga pemerintah harus mengeluarkan anggaran
untuk mengatasi biaya operasional pertahanan dan keamanan negara.

Permasalahan lain yang harus dihadapi adalah ekspor Indonesia yang hanya bergantung pada
hasil perkebunan dan angka pertumbuhan penduduk semakin meningkat dengan tajam.
Sumitro Djojohadikusumo, ahli ekonomi Indonesia berhasil merancang gerakan Benteng
sebagai salah satu usaha untuk memperbaiki perekonomian negara. Tercetusnya Gerakan
Benteng didasari atas gagasan penting untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi
ekonomi nasional.

Gagasan Sumitro kemudian ditetapkan dalam program Kabinet Natsir Pada bulan April 1950
dengan nama Program Benteng. Program Benteng tahap 1 resmi dijalankan selama 3 tahun
(1950-1953) dengan 3 kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan Wilopo). Selama 3 tahun, lebih
dari 700-an bidang usaha bumiputera memperoleh bantuan kredit dari program ini. Akan
tetapi, hal yang diharapkan dari program ini tidak sepenuhnya tercapai, bahkan banyak pula
yang membebani keuangan negara. Ada banyak faktor yang menyebabkan kegagalan
program ini, salah satunya mentalitas para pengusaha bumiputera yang konsumtif, besarnya
keinginan untuk memperoleh keuntungan secara cepat, dan menikmati kemewahan.

Sebenarnya pemberian kredit impor yang diberikan kepada para pengusaha bumiputera
dimaksudkan untuk memicu pertumbuhan perekonomian nasional. Akan tetapi, kebijakan ini
ternyata tidak mampu meruntuhkan dominasi para pengusaha asing. Oligopoli yang dibangun
oleh para pengusaha dari perusahaan Inggris, Belanda, dan Tiongkok yang pandai
memanfaatkan peluang ternyata tetap menguasai pasar.

Program Benteng tahap 2 dimulai pada masa Kabinet Ali pertama. Program Benteng tahap 2
merancang pemberian kredit dan lisensi pada pengusaha swasta nasional bumiputera agar
dapat bersaing dengan para pengusaha non bumiputera. Jika pada awal tahun 1943 para
importir pribumi hanya menerima 37,9% dari total ekspor impor, maka mereka telah
menerima 80% sampai 90% pada masa Kabinet Ali. Total dari 700 perusahaan yang
menerima bantuan menjadi 4000-5000 perusahaan.

Program Benteng gagal karena salah sasaran. Banyak perusahaan bumiputera yang menjual
lisensi impor yang diberikan oleh pemerintah kepada para pengusaha non bumiputera. Hal ini
menimbulkan istilah perusahaan "Alibaba". Sebutan "Ali" merepresentasikan bumiputera
sedangkan "Baba" merepresentasikan non bumiputera. Bantuan kredit dan pemberian
kemudahan dalam menerima lisensi impor kemudian dinilai tidak efektif. Padahal pemerintah
telah menambah beban keuangannya sehingga menjadi salah satu sumber defisit. Selain itu,
Program Benteng diterapkan ketika industri Indonesia masih lemah dan tingginya persaingan
politik program ini dimanfaatkan oleh sebagian partai politik untuk memperoleh dukungan.

Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) berintikan Masyumi dan PSI dengan
Mohammad Natsir sebagai perdana menteri. Kebijakan-kebijakan Natsir yang mengutamakan
pembangunan perekonomian negara dianggap telah mengabaikan masalah kedaulatan Papua
oleh partai oposisi. Soekarno pun menyetujui bahwa masalah kedaulatan Papua (yang melalui
perundingan tidak mengalami kemajuan) tidak boleh disepelekan. Kondisi ini membuat
Natsir bersikeras agar Soekarno membatasi dirinya dalam peran presiden yang hanya sebagai
lambang saja. Puncaknya, Natsir menyerahkan jabatannya yang kemudian digantikan oleh
Sukiman pada April 1951.

Jatuhnya Kabinet Sukiman disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran nota
keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta Besar AS
Merle Cochran. Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia
didasarkan pada ikatan Mutual Security Act (MSA) yang di dalamnya terdapat pembatasan
terhadap kebebasan politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia diwajibkan lebih
memperhatikan AS sehingga tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik
luar negeri yang bebas aktif dan dianggap lebih condong ke blok Barat. Selain itu, penyebab
lainnya adalah semakin meluasnya korupsi di kalangan birokrat dan gagalnya Kabinet
Sukiman dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.

Lain halnya dengan Kabinet Ali I (kabinet koalisi antara PNI dan NU), kabinet ini jatuh
karena tidak dapat menyelesaikan kemelut yang ada di tubuh Angkatan Darat dan
pemberontakan DI/TII yang berkobar di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Selain itu,
ada pula konflik antara PNI dan NU yang mengakibatkan NU menarik semua menterinya
yang duduk di kabinet.

Jatuh bangunnya kabinet dalam waktu yang singkat menimbulkan ketidakstabilan politik
yang mengakibatkan program-program kabinet tidak berjalan dengan baik. Kondisi ini yang
kemudian membuat Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.

Dekret Presiden 5 Juli 1959


Kata dekrit berasal dari bahasa Latin decemere yang berarti mengakhiri atau memutuskan.
Kata dekrit, kemudian digunakan untuk menunjukkan adanya perintah dari kepala negara
atau kepala pemerintahan untuk mengakhiri atau memutuskan sesuatu yang terkait dengan
sistem pemerintahan yang berjalan. Dekrit yang dikeluarkan Presiden Soekarno berisi:
1. Pembubaran Konstituante hasil Pemilu 1955;
2. Pemberlakuan kembali UUD 1945 menggantikan UUDS 1950;
3. Pembentukan MPRS yang terdiri dari para anggota DPR ditambah dengan para
utusan daerah dan golongan.

Beberapa alasan mengapa Presiden Soekarno harus mengeluarkan dekrit adalah sebagai
berikut.

1. Kegagalan Konstituante untuk membuat UUD baru meskipun sudah berkali-kali


bersidang. Padahal, UUD sangat dibutuhkan sebagai pedoman hukum yang penting
dalam melaksanakan pemerintahan.
2. Situasi politik dan ketidakstabilan keamanan dalam negara semakin memburuk.
3. Konflik antarpartai yang terus-menerus terjadi sangat mengganggu stabilitas nasional.
4. Para politisi partai yang saling berbeda pendapat sering bersikap membenarkan segala
cara agar tujuan kelompok/partai tercapai.
5. UUDS 1950 yang menerapkan Demokrasi Liberal dianggap tidak sesuai dengan
kondisi masyarakat Indonesia.
6. Sejumlah pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia semakin
mengarah kepada gerakan separatis.

Sisi positif dari adanya dekrit ini:

1. Memberikan pedoman yang jelas bagi kelangsungan negara melalui perintah untuk
kembali ke UUD 1945;
2. Menyelamatkan negara dari disintegrasi dan krisis politik yang berkepanjangan;
3. Memprakarsai pembentukan lembaga-lembaga tinggi negara (MPRS dan DPAS) yang
selama masa Demokrasi Liberal tertunda pembentukannya.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan Presiden Soekarno ialah dekrit yang mengakhiri
masa parlementer. Masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin.

Anda mungkin juga menyukai