Anda di halaman 1dari 491

Pergeseran Ruang Pendukung

bagi Transmisi Radikalisme dan Toleransi di Indonesia

Research Consultant Kluster I Husni Mubarok


Zainal Abidin Bagir Siswo
Alissa Wahid T.M. Ja’far
Ihsan Ali Fauzi Sairuddin
Mark Woodward Suaib
Budi Asyhari

Principal Investigator
Kluster II Azis Anwar Farchruddin
Mohammad Iqbal Ahnaf Afifurrohman Sya’rani
Endy Saputro
Project Officers
Mibtadin
Maurisa Zinira Asep Saifuddin
Nurlina Sari
Anang Gunaifi Alfian
Lina Pary
Kluster III Listiono
Koordinator Kluster
Ahmad Fadli Azami
Samsul Maarif Linda Sari Zuarnum
Hairus Salim Jekonia Tarigan
Fatimah Husein
Mustaghfiroh Rahayu
Saeroni
Rika Iffati
Kalis Mardiasih
Khalimatu Nisa
Evi Sutrisno
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 3

Latar Belakang dan Tujuan .................................................................................................... 3


Acuan Konseptual .................................................................................................................. 5
Pertanyaan Penelitian ............................................................................................................. 8
PERGESERAN DI LINGKUP PEMERINTAHAN DAN KERANGKA LEGAL ............ 10

Praktik Pemerintahan Lokal ................................................................................................. 10


Dinamika Kebijakan Keagamaan di Kota Bogor ................................................................. 10
Strategi Dakwah Wahdah Islamiyah dan Dominasi Ruang Publik di Sulawesi Selatan ..... 28
Dari Tausiah Lapangan ke Zikir Pendopo: .......................................................................... 44
Pergeseran Ruang-ruang (In)Toleransi di Banda Aceh........................................................ 44
Politik Ruang Publik di Kalimantan Timur ......................................................................... 69
Pergeseran Ruang bagi Toleransi dan Radikalisme: ............................................................ 81
Studi Pergeseran Ruang di Bank Rakyat Indonesia (BRI) ................................................... 81
Dinamika Gerakan Islamis di Empat Kota:........................................................................ 102
Jalan Buntu dan Jalan Terang Gerakan Islamis di Indonesia ............................................. 102
DINAMIKA DALAM GERAKAN ISLAMIS ..................................................................... 133

Perluasan dan Penyempitan Ruang Gerak Islamis: ............................................................ 133


Persaudaraan Alumni 212 dan Muslim United .................................................................. 133
Hizbut Tahrir Indonesia: .................................................................................................... 168
Pola Mobilisasi Baru Paska Pembubaran ........................................................................... 168
Islamisme di Surakarta: ...................................................................................................... 199
Pergeseran Gerakan dan Kelahiran Aktor Baru ................................................................. 199
Perumahan Khusus Muslim: .............................................................................................. 227
Menelisik Radikalisasi Ruang serta Kemungkinan Hadirnya Radikalisme pada Perumahan
Khusus Salafi...................................................................................................................... 227
RESPON KELOMPOK MODERAT, ADAT DAN NON-RELIJIUS .............................. 256

Filantropi Islam Nasional: Kontestasi Ruang Kedermawanan .......................................... 256


Filantropi Islam Lokal: ....................................................................................................... 292
1|Laporan Akhir
Kontestasi Ruang Kedermawanan ..................................................................................... 292
Respons Muhammadiyah dan NU terhadap Kampanye Kelompok Konservatif/Radikal
Mengenai Isu Keluarga dan Perempuan............................................................................. 327
Kampanye Toleransi di Media Sosial ................................................................................ 367
Kebangkitan Konservatisme dan Radikalisme Islam dan .................................................. 400
Respon Kelompok Tionghoa di Surabaya dan Semarang .................................................. 400
Respon Komunitas Kristen terhadap Radikalisme dan Intoleransi .................................... 432
Respon Masyarakat Adat dan Non-Relijius terhadap Islamis ............................................ 456

2|Laporan Akhir
Bagian Pertama

PENDAHULUAN

Latar Belakang dan Tujuan


Banyak kajian tentang gerakan sosial keagamaan menunjukkan bahwa transmisi nilai-nilai
radikalisme dan toleransi tidak terjadi dalam ruang hampa. Keberhasilan para aktor dalam
persebaran kedua ide tersebut bergantung ketersediaan konteks, ekonomi politik dan ruang-ruang
sosial yang memungkinkan pergerakan dan kemahiran membangun frame atas masalah-masalah
kekinian. Dalam wujudnya yang nyata, ruang-ruang sosial dan struktural tersebut bisa dilihat pada
akses terhadap ruang publik, birokrasi dan kekuasaan yang berpengaruh pada penyelenggaraan
kegiatan keagamaan dan perebutan pengaruh dalam mengisi ruang kosong yang membutuhkan
layanan sosial dan spiritual bagi masyarakat lemah dan kaum urban yang lahir kembali dengan
aspirasi keagamaan yang menguat.

Faktor lingkungan pendukung (enabling environment) bagi perebutan pengaruh antara


gagasan radikal dan toleran ini membutuhkan penelitian lebih jauh di tengah banyaknya kajian
kuantitatif tentang hasil akhir dari proses, berupa derajat pengaruh radikalisme di lingkup segmen
masyarakat yang berbeda seperti mahasiwa, sekolah, guru, ulama dan seterusnya. Sementara
konteks dan pola yang memungkinkan persebaran kedua gagasan tersebut belum cukup dikaji.

Kajian ini penting terutama karena Indonesia sedang berada pada titik yang berpotensi
merubah lanskap sosial-keagamaaan. Saat bandul politik tampak menguat ke arah kekuatan-
kekuatan inklusif, belakangan tampak ada peningkatan kesadaran dan partisipasi publik dari dalam
memperebutkan (kembali) pengaruh dalam mengisi ruang-ruang publik keagamaan dengan nilai-
nilai toleransi dan inklusi.

Hal ini menghadirkan pertarungan dua arus pergeseran. Di satu sisi, banyak aktor yang
selama ini ‘abai’ terhadap perubahan sosial yang mendukung persebaran radikalisme dan
intoleransi keagamaan kini menjadi lebih aktif untuk berebut pengaruh. Sejumlah perkembangan
yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir manandai “arus balik” toleransi dalam pergeseran
ruang dan struktur yang berpengaruh terhadap radikalisasi, seperti:

3|Laporan Akhir
 perubahan pasca “pembubaran” Hizbut Tahrir Indonesia;
 kehadiran suara-suara moderat di ruang digital yang meningkat;
 upaya-upaya untuk merebut (ulang) penguasaan atas pengelolaan masjid;
 kehadiran para dai moderat di kalangan komunitas hijrah;
 perluasan pengaruh jejaring sosial inklusif, baik yang bersifat keagamaan seperti
Gusdurian dan Maarif Institute atau non-keagamaan seperti Peace Generation;
 penguatan peran organisasi kemanusiaan dan bantuan sosial milik organisasi keagamaan
arus utama seperti LAZISNU DAN LAZISMU;
 respon universitas-universitas negeri terhadap persebaran radikalisme di lingkungan
kampus;
 kehadiran gerakan layanan kesejahteraan keluarga dari kalangan Muslim moderat.
 Meningkatnyta kesadaran dan respon masyarakat non-Muslim dan non-leijius terhadap
ancaman ekstrimisme.
Di sisi lain, aktor-aktor dalam persebaran radikalisme dan intoleransi melakukan
transformasi diri untuk bertahan dan berkembang di tengah desakan terhadap ruang-ruang yang
selama ini mendukung pengaruh mereka. Dalam situasi politik keagamaan yang terbelah, ruang-
ruang aliansi kalangan Islamis tampak meluas dan memungkinkan lingkup penerimaan yang lebih
luas atas aktor-aktor gerekan ekstrim. Mereka bisa mengambil manfaat dari sejumlah
perkembangan, seperti:

 kembalinya para kombatan ISIS dan faksi-faksi esktrim lain yang bertarung di Suriah, Iraq
dan Filipina;
 polariasi politik bernuansa sektarian pasca pemilu dan serial aksi bela Islam;
 kemenangan di Pilkada para politisi yang beraliansi dengan kalangan Islam garis keras;
 penguatan tekanan terhadap kalangan Islamis yang bisa dieksploitasi untuk memperkuat
narasi viktimisasi umat Islam.
Dan tentu saja perubahan mutahir di tingkat nasional yang bisa menjadi faktor struktur kesempatan
politik bagi pergeseran ruang adalah hasil pemilihan Presiden. Struktur kabinet dan pidato
Presiden Joko Widodo pada masa-masal awal pemerintahan periode keduanya menunjukkan
indikasi bahwa penanganan radikalisme akan menjadi salah satu fokus program pemerintah.
Meskipun kebijakan di tingkat nasional akan berkelindan dengan dinamika politik lokal potensi
pergeseran ruang diprediksi akan terus menguat. Dalam situasi perubahan ini hal penting yang

4|Laporan Akhir
patut dicermati adalah ke mana arah bandul pergeseran bergerak, pola perubahan apa yang terjadi,
apa implikasinya terhadap agenda penguatan basis toleransi dan kontra-radikalisme serta potensi
efek samping yang ditimbulkan dalam konteks demokratisasi di Indonesia.

Penelitian pergeseran ruang ini memiliki dua tujuan: 1) mengidentifikasi dan


mendokumentasikan pola-pola pergeseran ruang pendukung (enabling environment) bagi toleransi
dan radikalisasi; 2) menyediakan basis pengetahuan tentang titik-titik kunci untuk memperkuat
akselerasi promosi toleransi, pluralisme dan kontra-radikalisme di Indonesia.

Acuan Konseptual
Radikalisasi pada umumnya tidak terjadi di ruang hampa, tetapi dimungkinkan oleh ada
atau tidaknya konteks atau lingkungan yang mendukung transmisi nilai-nilai radikal. Dalam
konteks demokrasi dan masyarakat yang terbuka, akses terhadap ruang menjadi kunci bagi
terbentuknya lingkungan pendukung. Ruang sebagai medan di mana otoritas turut berperan
penting dalam memberikan pemaknaan atas masalah sosial dan pilihan saluran bertindak dan
berekspresi untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi. Ruang kosong ditandai oleh “the
absence of symbols and institutions fostering social solidarity, limited governmentality” sehingga
menimbulkan kondisi yang disebut Durkheim anomie or alienation, yakni situasi ketika
masyarakat tidak mempunyai cukup petunjuk dan otoritas. Hal ini kemudian membuka
kesempatan bagi terbentuknya sistem sosial baru yang seringkali didasarkan pada pemahaman
keagamaan yang simplistis. Kondisi demikian menjadi koteks pendukung daya tarik ekstrimisme.
Kekosongan otoritas Negara dan non-negara memungkinkan para pialang agama dan politik,
termasuk para ekstrimis, untuk beroperasi secara bebas dan membangun lingkungan sosial dengan
imajinasi identitas yang baru.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa dalam periode yang cukup lama kelompok-
kelompok Islamis seperti tarbiyah dan salafi mampu merebut ruang dan menanamkan dominasi
secara disproportionate dengan kekuatan sosial mereka. Kelompok-kelompok Islamis bergerak
secara lebih agresif dan teroganisir daripada kelompok-kelopok arus utama. Belakangan,
kesadaran tentang ruang-ruang yang terebut seperti masjid, sekolah, badan amal dan seterusnya
kini meningkat. Ruang kosong yang dulu “ditinggalkan” oleh kelompok lama dan “diambil alih”
oleh kelompok baru kini kembali dikontestasikan dan berada pada pada masa-masa pergeseran.

5|Laporan Akhir
Banyak dari ruang-ruang tersebut menjadi medan yang rentan memacu radikalisasi.
Merujuk pada sejumlah ahli, istilah radikalisasi di sini dimaknai sebagai proses menjauh dari arus
utama, perlawanan terhadap tatanan politik yang ada dan keterbukaan terhadap kekerasan. Mereka
yang menjadi radikal belum tentu melakukan tindak kekerasan, tetapi pada tingkat tertentu berbagi
nilai dan narasi membenarkan kekerasan sebagai jalan politik dalam kadar yang berbeda. Schmid
mendifinisasi radikalisasi sebagai berikut:

an individual or collective (group) process whereby, usually in a situation of


political polarisation, normal practices of dialogue, compromise and tolerance
between political actors and groups with diverging interests are abandoned by
one or both sides in a conflict dyad in favour of a growing commitment to
engage in confrontational tactics of conflict-waging. These can include either
(i) the use of (non-violent) pressure and coercion, (ii) various forms of political
violence other than terrorism or (iii) acts of violent extremism in the form of
terrorism and war crimes. The process is, on the side of rebel factions, generally
accompanied by an ideological socialization away from mainstream or status
quo-oriented positions towards more radical or extremist positions involving a
dichotomous world view and the acceptance of an alternative focal point of
political mobilization outside the dominant political order as the existing system
is no longer recognized as appropriate or legitimate.1

Di banyak tempat, termasuk Indonesia, istilah radikalisme sering menjadi sumber


perdebatan. Sebagian kalangan menolak penggunaan istilah radikal sebagai label negatif terhadap
aktifitas politik yang sah dalam alam demokrasi; bahkan sejumlah tokoh Islam politik memandang
bahwa menjadi radikal adalah sebuah keharusan dalam pengertian kembali kepada nilai mendasar
(radic) dari agama.
Terlepas dari perdebatan ini, para peneliti tentang radikalisme (baik yang bersifat
keagamaan atau sekuler) menunjukkan bahwa radikalisasi hanya bisa terjadi selama ada ruang
yang memungkinkan mobilisasi gagasan-gagasan yang mengarah kepada radikalisme an
ekstrimisme. Merujuk pada tigas aspek agenda kontra-radikalisme, yaitu (1) counter-
ideology/narrative, (2) counter-grievances, (3) counter-mobilization, fokus penelitian ini adalah
agenda yang ketiga.

1
A. P. Schmid (2013), Radicalisation, De-Radicalisation, Counter-Radicalisation: A Conceptual Discussion
and Literature Review, ICCT Research Paper. Hal. 18.

6|Laporan Akhir
Lingkungan pendukung radikalisme ini disebut Waldmann sebagai radical milieu.
Lingkungan radikal menurut Waldmann adalah “a segment of a population which sympathizes
with terrorists and supports them morally and logistically.”2 Tentu saja mereka yang tinggal di
lingkungan radikal belum tentu secara otomotis akan bergabung atau menjadi bagian dari
kelompok radikal, tetapi mereka adalah segmen yang rawan untuk menjadi sasaran rekrutmen.
Ibarat jaring ikan yang besar masyarakat yang tinggal di lingkungan radikal adalah ikan yang
potensial terjaring untuk bergabung atau paling tidak menjadi kelompok pendukung dan
simpatisan. Ciri khas dari radical milieu adalah terciptanya sub-kultur yang menjadi penopang
bagi gerakan yang lebih ekstrim. Aktifitas di ranah lingkungan radikal pada umumnya bersifat
damai dan tidak melanggar hukum tetapi mereka menjadi sistem pendukung atau ruang mobilisasi
bagi gerakan yang lebih ekstrim.
Karena itu, melanjutkan konseptualisasi Waldmann, Malthaner dan Waldmann lebih detil
mendefinisikan radical milieu sebagai:

“the social context in which activists are socialized into radical perspectives and
normative frames of reference, and, at the same time, is the milieu—the formative
social environment—in which the social networks from which clandestine groups
emerge are forged.”3

Berdasarkan definisi Malthaner di atas, ekosistem radikal bisa dikenali dalam tiga hal,
yakni (a) narasi dan framing yang sejalan dengan ekstrimisme (shared narratives and normative
frames), (b) jejaring (social ties) yang membuka kemungkinan interaksi dengan aktor-aktor
ekstrim dan (c) dukungan logistik yang tersedia bagi mobilisasi kelompok-kelompok radikal
ekstrim di luar.
Karena itu, fokus perhatian penelitian ini tidak ditujukan kepada hasil akhir dari proses,
yaitu derajat radikalisme ujung dari proses pertisipasi warga yang berada pada lingkungan radikal;
tetapi lebih memberikan fokus pada penyempitan atau perluasan ruang-ruang yang memungkinkan
persebaran indikator radical milieu. Hal ini penting dipahami karena partisipasi dalam ekstrimsime
tidak selalu terjadi secara linier dan dengan pola yang serupa. Bisa saja seseorang bergabung dalam
ekstrimisme karena pertimbangan pragmatis, dalam proses yang cepat dan otodidak; begitu juga

2
Waldmann, P. (2008). “The Radical Milieu The Under-Investigated Relationship between Terrorists and
Sympathetic Communities,” in Perspectives on Terrorism, Vol. 2, No. 9, pp. 25-27.
3
Stefan Malthaner & Peter Waldmann (2014) The Radical Milieu: Conceptualizing the Supportive Social
Environment of Terrorist Groups, Studies in Conflict & Terrorism, 37:12, 979-998

7|Laporan Akhir
sebaliknya seseorang yang hidup dalam konteks lingkungn radikal memilih untuk tidak bergabung
dalam ekstrimisme karena berbagai pertimbangan. Terlepas dari pola-pola yang berbeda ini,
ketersediaan radical milieu patut dilihat sebagai prakondisi penting bagi potensi penguatan atau
pelemahan basis sosial radikalisme dan ekstrimisme.
Karena radical milieu memuat karakter umum yang bersifat lintas kelompok, maka fokus
penelitian ini tidak dibatasi pada pengaruh organisasi tertentu, tetapi lebih tertuju pada persebaran
nilai-nilai yang menandai karakter radikalisme dan toleransi. Mengacu pada aspek radical milieu
yang dikemukanan oleh Malthaner dan Waldmann di atas, secara lebih operasional, indikator-
indikator di bawah ini digunakan untuk mengenali aktifitas yang membentuk radical milieu.
Lingkungan pendukung toleransi berarti lingkungan yang memuat indikator-indikator sebaliknya
atau yang memperkuat narasi, akses terhadap jaringan pluralisme, toleransi dan moderasi.

Pertanyaan Penelitian
Secara umum penelitian ini ingin melihat dinamika perubahan sosial sejak paling tidak 1 tahun
terahir dengan menjawab beberapa pertanyaan umum berikut:

1. Apa pola proses pergeseran pengaruh atas ruang-ruang tersebut, dari segi aktor, faktor atau
struktur pendukung dan metode?
2. Apa implikasi dari pola-pola tersebut terhadap strategi promosi toleransi dan pluralisme di
Indonesia?
penelitian ini mengkaji pergeseran ruang pendukung dengan fokus pada sejumlah ruang dan aktor
yang terbagi dalam tiga kluster, yaitu (1) Pemerintah dan kerangka legal, (2) dinamika gerakan
Islamis, dan (3) respon balik aktor-aktor moderat dan pluralis.
Lingkup penelitian ini ditentukan berdasarkan pilihan tema studi kasus. Pilihan tema didasarkan
pada identifikasi ruang-ruang yang menjadi arena utama kontestasi gerakan radikal dan toleran.
Ruang-ruang kontestasi tersebut adalah:

1. Lebih dari 10 produk perundang-undangan di tingkat nasional lintas kementerian yang


terkait dengan isu toleransi dan radikalisme
2. Kebijakan, peraturan dan program pemerintahan daerah yang berpengaruh terhadap isu
mobilisasi atau demobilisasi radikalisme di 4 pemerintahan daerah, yaitu Padang,
Makassar, Samarinda dan Bogor.

8|Laporan Akhir
3. Sekitar 8 organisasi atau gerakan Islamis yang beroperasi di tingkat nasional seperti PA
212, Salafi, Tarbiyah, Hizbut Tahrir Indonesia, Laskar Umat Islam dan kelompok jihadis
Solo, serta gerakan-gerakan Islamis lintas kelompok seperti MIUMI dan Muslim United.
Kelompok dan gerakan ini tersebar di sejumlah daerah termasuk Jakarta Solo, Bandung,
Cirebon, Cianjur, Yogyakarta, dan Tasikmalaya.
4. Kehidupan kegamaan di salah satu BUMN (Bank Rakyat Indonesia) yang menghadapi
dinamika akibat pengaruh paham anti-riba yang disebarkan kelompok-kelompok Islamis.
5. Operasi 2 cabang LAZISMU dan LAZISNU di Solo dan Cirebon.
6. Gerakan 2 organisasi perempuan yang mempromosikan toleransi dan kontra-radikalisme
melalui isu keluarga, anak dan perempuan.
7. Puluhan akun dan hashtag media sosial yang mempromosikan toleransi.
8. Aktifitas organisasi adat dan non-relijius yang merespon ancaman radikalisme dan
intoleransi di berbagai kota Yogyakarta, Kupang, Surabaya, Semarang dan Lombok.

9|Laporan Akhir
Bagian Kedua

Pergeseran di Lingkup Pemerintahan Dan


Kerangka Legal
Praktik Pemerintahan Lokal
Dinamika Kebijakan Keagamaan di Kota Bogor
Siswo Mulyartono

Pengantar

Sejak bandul politik Indonesia bergeser ke arah demokratisasi dan desentralisasi, hubungan agama
dan politik di Indonesia menjadi lebih kompleks, terutama pada dasawarsa awal pasca-reformasi
1998. Di satu sisi, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, urusan agama menjadi kewenangan penuh pemerintah pusat. Namun, di sisi lain, beberapa
pemerintah daerah (pemda) memanfaatkan desentralisasi politik untuk memaksakan versi
keagamaan tertentu menjadi kebijakan publik. Pemangku kepentingan lokal umumnya berdalih
bukan atas nama agama, melainkan atas dasar ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.
Michael Buehler (2013) menunjukkan bahwa sejak 1999 hingga 2009, tujuh provinsi setidaknya
mengadopsi satu regulasi syariah. Pada periode yang sama, lima puluh satu pemda di level
kabupaten dan kota minimal memiliki satu perda syariah.

Menginjak dasawarsa berikutnya, tepatnya pada 2014, pemerintah pusat melakukan revisi
Undang-undang Nomor 23 Tahun 20044. Dalam beleid tersebut, urusan absolut, yang di dalamnya
kebijakan terkait agama merupakan bagian dari urusan tersebut, masih menjadi urusan pemerintah

4
Pada 2015, Presiden Jokowi mengelurakan UU. No. 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas UU. No.
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan terjadi di beberapa pasal terutama terkait pemilihan daerah
secara serentak. Sedangkan, pasal-pasal lain terkait pembagian urusan pemerintahan tidak berubah. Karena itu, penulis
mendasarkan pada UU. No. 23 Tahun 2014 ketika berbica pembagian urursan pemerintahan.

10 | L a p o r a n A k h i r
pusat. Sedangkan, urusan konkuren (urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan)
dilaksanakan oleh Pemda.

Urusan pemerintahan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dalam beleid tersebut
terdiri atas urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan urusan pemerintahan
yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar, misalnya pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum,
perumahan rakyat, ketentraman, ketertiban umun, dan pelindungan masyarakat dan sosial.
Sedangkan yang termasuk urusan pilihan adalah kelautan dan perikanan, pariwisata, pertanian,
kehutanan, energi dan sumberdaya mineral, perdagangan, perindustrian, dan transmigrasi.

Regulasi baru menambahkan tentang urusan pemerintahan umum. Urusan ini meliputi
pembinaan wawasan kebangsaan, pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, pembinaan
kerukunan agama, etnis, dan antar-golongan, penanganan konflik sosial, koordinasi pelaksanaan
tugas antarinstansi untuk menyelesaikan masalah dengan memperhatikan prinsip demokrasi dan
hak asasi manusia, pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila, dan pelaksanaan
semua urusan pemerintahan yang bukan merupakan kewenangan daerah dan tidak dilaksanakan
oleh instansi vertikal.

Urusan pemerintahan umum merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan


Presiden sebagai kepala pemerintahan. Urusan ini dalam konteks pemerintahan daerah
dilaksanakan oleh gubernur dan bupati/wali kota di wilayah kerja masing-masing. Dalam
melaksanakan urusan pemerintahan umum gubernur bertanggung jawab kepada Presiden melalui
menteri dan bupati/wali kota bertanggung jawab kepada menteri melalui gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat.

Undang-undang baru memberikan petunjuk penting bagi pemerintahan daerah bahwa


agama masih menjadi urusan absolut pemerintahan pusat. Dengan kata lain, pemerintah daerah
tidak berwenang melarang atau membubarkan agama atau kepercayaan atau membuat kebijakan
keagamaan. Pemerintah daerah juga wajib menjaga kerukunan sebagaimana tercermin dalam
penjelasan urusan pemerintahan umum. Meski demikian, dalam praktiknya masih ada
ketidaksesuaian dalam pelaksanaan undang-undang tersebut. Pemerintahan daerah kerap
mengambil kebijakan keagamaan yang tidak sesuai dengan tugas dan fungsi kepala daerah.

11 | L a p o r a n A k h i r
Bahkan kebijakan yang diambil kerap lebih menunjukkan praktik diskriminasi ketimbang
penguatan hak dan kebebasan beragama di daerah.

Laporan ini melihat dinamika kebijakan keagamaan di Kota Bogor. Dengan mengkaji
kebijakan keagamaan pemerintahan Kota Bogor, laporan ini menjawab beberapa pertanyaan
berikut: kebijakan atau regulasi daerah apa saja yang tercipta dari pemerintahan Kota Bogor terkait
isu keagamaan? Apakah kebijakan tersebut konsisten dengan kerangka legal di tingkat nasional?
Kelompok apa saja yang terdampak dari kebijakan dan regulasi tersebut?

Selain itu, penelitian ini juga fokus kepada kerjasama pemerintahan daerah dengan
kelompok Muslim. Secara spesifik penelitian ini akan menjawab pertanyaan: Apa pola-pola
kerjasama antara pemerintah daerah dengan kelompok keagamaan moderat dan Islamis? Apa
faktor (ideologis dan pragmatis) yang berpengaruh terhadap kolaborasi antara pemerintah daerah
dan kelompok keagamaan moderat dan Islamis? Apa wujud perluasan dan penyempitan ruang
mobilisasi yang tercipta dari relasi pemerintah dan masyarakat sipil tersebut?

Setelah menjelasakan tentang konteks studi, laporan ini akan mengulas ruang lingkup dan
cakupan data penelitian. Setelah itu, penulis membahas argumen umum yang terdiri dari ulasan
singkat kasus-kasus yang diteliti. Penulis juga akan menunjukkan secara singkat demografi
keagamaan dan dinamikanya di bagian argumen umum sebelum mengulas kasus-kasus yang
diteliti.

Dari hasil pembacaan kasus, laporan akan mengulas temuan utama kajian praktik kebijakan
keagamaan di Kota Bogor. Bagian ini mengulas siapa (aktor) yang paling berperan dalam
dinamika kebijakan keagamaan di Kota Bogor? Bagaimana relasi kelompok-kelompok keagamaan
(baik moderat maupun Islamis) di kota Bogor dengan pemerintahan daerah terutama terkait tiga
kasus yang menjadi fokus perhatian. Penulis juga akan mengulas faktor yang mendorong kebijakan
tersebut lahir. Dan, bagaimana dampaknya terhadap toleransi dan kebebasan beragama di Kota
Bogor.

Kota Bogor menjadi salah satu wilayah urban penyangga ibu kota Jakarta yang memiliki
rapor buruk perihal jaminan kebebasan beragama. Lembaga pemantau kondisi kebebasan

12 | L a p o r a n A k h i r
beragama dan berkepercayaan (KBB)5 selalu memasukkan Kota Bogor sebagai kota intoleran
karena sejumlah kebijakan keagamaan yang kontroversial terutama terkait Syiah dan Gereja
Yasmin. Selain kasus tersebut, masalah baru yang sedang dihadapi Kota Bogor adalah Penghentian
Renovasi Masjid Imam Ahmad Bin Hambal (MIAH) oleh Pemkot Bogor. Atas desakan massa,
Bima Arya, Walikota Bogor, mejelang akhir periode pertamanya menghentikan renovasi masjid
pusat penyebaran Salafi-Wahabi di Kota Bogor.

Untuk memahami dinamika kebijakan keagamaan di Kota Bogor, laporan ini


memfokuskan kepada penanganan pemerintahan Kota Bogor di tiga kasus tersebut. Dengan
melihat secara khusus tiga kasus tersebut, laporan ini diharapkan bisa menemukan pola umum
bagaimana pemerintahan daerah dalam mengambil kebijakan keagamaan. Selain itu, fokus pada
tiga kasus (dua kasus sektarian dan satu kasus antar-agama) memudahkan penulis menemukan
implikasi atau dampak dari kebijakan tersebut terhadap kelompok-kelompok keagamaan di Kota
Bogor. Tiga kasus ini juga terjadi di masa kepemimpinan Bima Arya periode pertama (2013-2018)
dan kedua (2019-2024).

Tiga kasus tersebut juga mencerminkan kecenderungan umum di Indonesia di mana


konflik sektarianisme dan rumah ibadat masih sering terjadi. Bahkan, kasus MIAH bisa menjadi
contoh menarik ketika membicarakan kebijakan pemerintah pusat dan daerah terkait radikalisme.
Karena, meski MIAH menyangkut rumah ibadat, kasus ini juga terkait sektarianisme dan upaya
membatasi kelompok-kelompok yang dianggap radikal di Indonesia. Kecurigaan terhadap
kelompok Salafi-Wahabi meningkat ketika pemerintah pusat mengeluarkan pelarangan dan
mencabut status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Laporan ini menggunakan data wawancara dengan beberapa pihak dari Pemkot Kota Bogor
(Kesbangpol dan Bagian Hukum) dan tokoh-tokoh agama baik kalangan mayoritas dan minoritas
di Kota Bogor. Selain itu, penulis menggunakan dokumen hasil persidangan terkait MIAH dan
pemberitaan di media. Periode awal riset ini berlangsung sebelum Covid-19 (Desember 2019-
Februari 2020). Sedangkan periode berikutnya (Maret-Juli 2020) dilakukan di tengah Covid-19.

5
Untuk laporan terbaru terkait Kota Bogor lihat Setara Institute, Indeks Kota Toleran, bisa diakses di
http://setara-institute.org/en/indeks-kota-toleran-tahun-2018/.

13 | L a p o r a n A k h i r
Karena Kota Bogor menerapkan kebijakan pembatasan sosial, peneliti tidak bisa menemui
secara langsung dengan narasumber. Beberapa pengumpulan data dilakukan dengan cara on-line,
misalnya mengikuti beberapa kegiatan daring Pemkot Bogor dan para pemuka agama di tengah
Covid-19. Penulis juga menggunakan data pribadi untuk menunjang penelitian ini. Yang dimaksud
data pribadi adalah data-data yang dimiliki penulis yang berasal dari asesmen kebebasan beragama
di Kota Bogor yang dilakukan pada pertengahan 2019. Penulis melakukan asesmen KBB untuk
menjalankan program advokasi Pusat Studi Agama dan Demokrasi di Kota Bogor pada 2019-2021.

Gambaran Umum: Demografi dan Dinamika Keagamaan


Bogor merupakan salah satu kota penting pada era kolonialisme karena, selain menjadi
salah satu benteng pertahanan kolonial di wilayah Jawa bagian Barat, kota ini menjadi tempat
peristirahatan dan wisata para gubernur jenderal Belanda beserta keluarganya (Stroomberg 2018).
Seperti kebanyakan kota kolonial, Kota Bogor tumbuh dari konsentrasi tiga kawasan etnis yang
ditentukan pemerintahan kolonial: Eropa, Cina, dan arab beserta pribumi (Agus Dharma dkk
2010).

Kebijakan Kolonial Belanda yang selalu curiga terhadap Islam, membuat Islam di
Buitenzorg (nama Belanda Kota Bogor) tidak terlalu berkembang. Islam kala itu hanya
berkembang di Kampung Empang, Bogor Selatan. Penduduk Tionghoa terkonsentrasi di wilayah
Bogor Tengah hingga saat ini. Pada masa Jepang situasinya berubah. Jepang yang cenderung
mendekati dan memanfaatkan Islam untuk memobilisasi masa dalam rangka perang, telah
membuka kran Islamisasi di Kota Bogor melalui pembentukan wilayah Bogor Shu yang terdiri
dari Sukabumi, Cianjur, Kotamadya dan Kabupaten Bogor (Kurasawa 2015).

Kabupaten Bogor merupakan salah satu basis Muhammadiyah, sedangkan Cianjur dan
Sukabumi kental dengan pesantren tradisional. Melalui jaringan ulama dan pesantren di tiga
wilayah tersebut, Islam berkembang di seluruh wilayah kota Bogor. Kemenangan Partai Masyumi
(13.778 suara) dan masuknya partai NU (7.851 suara) di peringkat tiga pada pemilu 1955 Kota

14 | L a p o r a n A k h i r
Bogor6 menunjukkan bahwa bekas kerajaan Hindu Sunda-Pakuan ini telah menjadi salah satu basis
massa politik Islam, terutama yang bercorak modern.

Kota Bogor semakin berkembang dan mengalami perubahan demografi sosial-keagamaan


ketika pemerintah Orde Baru memproyeksikan kota ini sebagai kota metropolitan. Melalui
Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976 tentang Jabotabek (Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi),
Kota Bogor ditetapkan sebagai salah satu kota penyangga ibukota dan sebagai kota permukiman
(dormitory town). Selain itu, terjadi perluasan Kota Bogor menjadi enam kecamatan. Bogor Barat
dan Tanah Sareal adalah wilayah Kabupaten Bogor yang bergabung ke Kota Bogor pada 1990-an.

Dampak dari hal tersebut adalah terjadi perubahan demografi yang puncaknya pada periode
1990 hingga 20007. Tumbuh perumahan/pemukiman baru yang tersegregasi berdasarkan status
ekonomi. Yang paling penting, munculnya kelompok atau komunitas Islam “baru”, misalnya
Gerakan Salafi-Wahabisme, Hizbuttahrir, Tarbiyah, Jamaah Tabligh, dalam kehidupan sosial-
politik Kota Bogor. Kota hujan ini juga menjadi ladang subur pertumbuhan kelompok minoritas
Muslim yang dituduh “sesat” seperti Ahmadiyah, Syiah, dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia
oleh grup ortodoks Islam.

Warna-warni tersebut membuat warga Bogor mustahil menghindari kontak dengan


penduduk yang beda agama. Di level pemukiman misalnya, tak satu pun kelurahan di Kota Bogor
yang dihuni oleh satu agama. Bahkan pemuka-pemuka agama Bogor melembagakan beberapa
aktivisme antar umat beragama. Ada dua forum yang populer di kalangan elit agama Kota Bogor
selain Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Pertama adalah Badan Sosial Lintas Agama
(Basolia). Konon, wadah ini digagas oleh Kiai Said Agil Siraj (Ketua Umum PBNU) pada 2007.
Baru pada 2009, wadah ini resmi mendeklarasikan diri dan aktif berperan dalam dialog lintas
agama dan kegiatan sosial. Basolia juga menjadi penghubung kelompok minoritas dengan FKUB.
Atas dasar itu, Basolia dapat dinilai sebagai forum bagi koalisi toleran antar-agama di Kota Bogor.
Yang paling dominan di Basolia adalah Nahdlatul Ulama. Kiai Zaenal selaku pucuk pimpinan

6
PNI berada di peringkat kedua (9.478 suara), sedangkan PKI (3.005 suara) menempati urutan keempat,
untuk melihat hasil pemilu 1955 di Jawa Barat, lihat https://muhidindahlan.radiobuku.com/2014/04/10/di-pemilu-
1955-pki-posisi-3-di-jawa/.
7
Wawancara dengan Hz, 25 April 2019. Hz adalah CEO media lokal di Kota Bogor. Ia menceritakan bahwa
ada perubahan demografi di Kota Bogor yang ikut memengaruhi dinamika keagamaan di Kota Bogor.

15 | L a p o r a n A k h i r
Basolia adalah orang NU. Kelompok Muslim lain tak terlalu menonjol peranannya bahkan ada
yang tidak terlibat dalam kegiatan Basolia dan tidak tahu apa itu Basolia.

Kedua adalah Komunitas Bogor Sahabat (Bobat). Tidak jelas kapan persisnya komunitas
ini terbentuk, tapi ia mulai dikenal publik pada 2015. Para penggagas komunitas ini banyak
berlatar belakang bisnis, misalnya Hazairin Sitepu (CEO Radar Bogor), Herlambang Ardi, dan
Harlang Bernardi. Komunitas ini tidak memiliki struktur formal baik dari segi kepengurusan
maupun keanggotaannya karena platform komunitasnya adalah grup WhatsApp (WA). Walikota
Bogor, Bima Arya, pun menjadi anggota grup tersebut, dan karena itu otomatis sebagai anggota
Bobat.

Selain Bima, banyak akademisi dan pengusaha yang berasal dari agama berbeda ikut grup
WA Bobat. Beberapa anggota Kepolisian dan TNI juga bergabung. Kegiatan Bobat lebih
berorientasi kepada penguatan kebangsaan atau nasionalisme. Mereka misalnya mengadakan
festival merah putih tiap kali merayakan HUT RI di Kota Bogor. Bobat juga kerap menjadi mitra
Pemda ketika mengadakan kegiatan-kegiatan di tingkat kecamatan maupun kelurahan. Dari
kemitraan tersebut, Bobat dapat berkahnya: popular di masyarakat dan memperoleh hibah seperti
bus dari Walikota.

Adanya FKUB, Basolia, dan Bobat menjadikan kota Bogor memiliki banyak saluran bagi
warganya yang hendak aktif di bidang toleransi dan kebangsaan. Ketiganya popular sebagai forum
yang serupa, tetapi tetap memiliki perbedaan di mata publik. Ketiganya misalnya diberi istilah plat
merah dan hitam. Jika warga ingin terlibat di forum antar umat beragama berplat merah, mereka
ikut FKUB, jika ingin plat hitam, mereka pilih Basolia, dan jika ingin dua-duanya, plat yang tak
jelas warnanya, mereka pilih Bobat. Ketiganya penting dan menarik, tetapi di antara kritiknya
adalah ketiganya hampir tidak pernah melibatkan kelompok keagamaan perempuan untuk menjadi
pengurus maupun terlibat aktif dalam kegiatan mereka.

Penting disebutkan dalam bagian ini adalah keberadaan koalisi Islamis Kota Bogor yang
punya banyak nama. Di antaranya adalah Forum Komunikasi Muslim Indonesia (Forkami),
Aliansi Nasional Anti-Syiah (ANNAS) Kota Bogor, Forum Muslim Bogor (FMB), dan lainnya.
Kelompok-kelompok ini kerap menggunakan massa dan jaringan di birokrasi untuk menekan

16 | L a p o r a n A k h i r
Pemda dan menggiring opini publik sesuai agenda mereka. Catatan penting lainnya adalah
beberapa elit lokal Muhammadiyah dan NU yang duduk di MUI dan FKUB Kota Bogor menjadi
bagian kelompok-kelompok tersebut. Kemunculan kelompok-kelompok Islamis tersebut
menimbulkan ketegangan antar komunitas di hampir seluruh wilayah kecamatan yang ada di Kota
Bogor.8 Ketegangan komunitas yang paling menonjol dan menyita perhatian publik secara
nasional adalah Kontroversi Gereja Yasmin, Gerakan anti-Syiah dan anti-Salafi-Wahabi
(penolakan pembangunan Masjid Imam Ahmad bin Hanbal/MIAH).

Berikut ini akan dijelaskan secara singkat polemik dari tiga kasus tersebut untuk
memberikan gambaran bagaimana pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan keagamaan dalam
situasi konflik dan dampaknya terhadap komunitas keagamaan.

Kontroversi Gereja Yasmin


Polemik Gereja Yasmin terjadi sebelum Bima Arya memimpin Kota Bogor, tepatnya
ketika di bawah Walikota Diani Budiarto. Meski demikian, kontroversi Yasmin menjadi pekerjaan
rumah bagi Bima Arya sejak awal memimpin Kota Bogor hingga sekarang. Pada saat kampanye
dalam pemilihan walikota pada 2013, Bima berjanji akan menyelesaikan masalah tersebut.

Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Gereja Yasmin dibekukan ketika Diani Budiarto
menjabat sebagai Walikota Bogor pada 2008. Menurut laporan Kontroversi Gereja di Jakarta yang
diterbitkan PUSAD Paramadina dan CRCS UGM (2010), pembekuan tersebut bermula dari Lurah
Curug Mekar. Pada akhir 2006, Lurah Curug Mekar meminta penghentian pembangunan gereja
karena dengan dua pertimbangan minimal. Pertama, pembangunan gereja tersebut berlangsung
menjelang kedatangan George W. Bush. Ia dikhawatirkan hanya akan menjadi pelampiasan pihak-
pihak yang tidak suka kepada Bush. Kedua, saat itu juga bertepatan dengan tabligh akbar Aa’
Gym. Gereja tersebut pun dikawatirkan akan jadi sasaran jamaah tabligh yang tak terkendali.
Dengan pertimbangan tersebut, panitia menuruti permintaan Lurah tersebut dengan menunda
pembangunan gereja.

8
Informasi tentang ketegangan di setiap kecamatan Kota Bogor diperoleh melalui wawancara dengan Hs,
pengurus FKUB.

17 | L a p o r a n A k h i r
Usai kedua peristiwa tersebut, panitia melanjutkan pembangunan. Sejak itulah protes
kelompok penentang mulai bermunculan. Bukan hanya sekadar protes, aksi massa juga menekan
pemerintah Kota Bogor untuk mencabut IMB pembangunan gereja. Atas desakan kelompok
penentang ini, Pemkot Bogor, pada 14 Februari 2008, membekukan IMB gereja. Panitia
pembangunan kemudian mendatangi walikota untuk mempertanyakan keputusan tersebut.
Menurut salah seorang panitia GKI Yasmin, perwakilan Pemkot beralasan bahwa pembekuan
dilakukan untuk menenangkan massa.

GKI Taman Yasmin kemudian melakukan perlawanan hukum ke PTUN Bandung. GKI
menggugat Pemkot Bogor. Putusan PTUN Bandung nomor 41/G/2008/PTUN-BDG, Sept 2008,
menyatakan “Dalam Eksepsi: Menolak eksepsi Tergugat (Pemkot). Dalam Pokok Sengketa: (1)
mengabulkan gugatan para Penggugat (GKI) untuk seluruhnya; (2) Menyatakan batal Surat
Pembekuan IMB; (3) Memerintahkan kepada tergugat (Pemkot) utk mencabut Surat Pembekuan
IMB; dan (4) Menghukum Tergugat membayar biaya perkara”.

Polemik pembekuan IMB Yasmin berlanjut hingga ke Mahkamah Agung (MA). MA pada
tanggal 1 Juni 2011 mengeluarkan fatwa bahwa Pemerintah Bogor harus melaksanakan Putusan
Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 127 PK/TUN/2010, tentang Pembekuan IMB, yang
sudah dilaksanakan oleh Walikota Bogor Diani Budiarto, pada tanggal 8 Maret 2011. MA juga
menghimbau jika jemaat GKI Yasmin merasa dirugikan atas dikeluarkannya SK Nomor 645.45-
137 Tahun 2011, tentang Pencabutan IMB GKI Yasmin, mereka dapat melakukan upaya hukum
ke pengadilan yang berwenang. Namun, putusan tersebut tak pernah dipatuhi Diani.

Hingga laporan ini dibuat, polemik pembangunan Gereja Yasmin masih berlangsung.
Walikota Bogor Bima Arya pada periode kemimpinnya yang kedua ini berjanji bahwa akan
menyelesaikan masalah Yasmin. Ia bersama stakeholder pemerintahan daerah dengan melibatkan
MUI dan FKUB Kota Bogor telah melakukan beberapa pendekatan ke pihak-pihak yang masih
menentang pendirian Gereja Yasmin.9 Pada Rabu 14 Agustus 2019 misalnya, Bima Arya bertemu
Forum Komunikasi Muslim Indonesia (Forkami), sebuah forum terdepan yang menolak Yasmin,
untuk membicarakan masa depan Yasmin.10 Pada pertemaun tersebut Forkami tetap menolak

9
Wawancara dengan DS, Pejabat Kesbangpol Kota Bogor, Kota Bogor 05 Februaari 2020.
10
Lihat https://www.forkami.com/berita-190-forum-komunikasi-muslim-indonesia-forkami.html.

18 | L a p o r a n A k h i r
pendirian gereja Yasmin di lokasi semula. Bima Arya sendiri belum jelas apakah Yasmin akan
tetap berdiri di lokasi semula atau dibangun di tempat lain.

Polemik Yasmin yang berkepanjangan telah memengaruhi sikap pemerintahan Kota Bogor
di era kepemimpinan Bima Arya untuk lebih hati-hati dalam mengeluarkan izin pendirian rumah
ibadat (IMB), khususnya untuk non-muslim. Bima sendiri tak mau ada kasus seperti Yasmin.
Karena itu, ia menginstruksikan FKUB untuk berperan aktif dalam menjaga kerukuanan dan
memfasilitasi pendirian rumah ibadat. Menurut ketua FKUB Kota Bogor periode saat ini, kasus
Yasmin bisa dihindari kalau semua pihak (panitia pembangunan rumah ibadat, FKUB, dan Pemda-
pen) bekerjasama. Buktinya, menurut dia, ada beberapa gereja bisa berdiri sejak lima tahun
terakhir di Kota Bogor. “Masalahnya bukan intoleransi,” katanya. Bahkan, FKUB dan Pemkot
mengeluarkan izin sementara rumah ibadat untuk kelompok minoritas ketika mereka belum bisa
memenuhi persyaratan yang ada di PBM 2006 khususnya pasal 14 ayat 2.

Anti-Syiah

Pada April 2012, beberapa ulama dan kelompok Islamis yang dikenal kerap melakukan
gerakan penolakan rumah ibadat non-muslim dan “aliran sesat” berkumpul di Bandung, Jawa
Barat untuk mendeklarasikan Aliansi Nasional Anti-Syiah (ANAAS). Pasca-deklarasi, gerakan ini
juga muncul di beberapa wilayah di Jawa Barat, termasuk di Kota Bogor. Gerakan ini khusus
memonitor dan mengintimidasi warga Syiah di Indonesia. Jaringan ANNAS di Bogor Raya
(Kabupaten dan Kota Bogor serta Cianjur dan Sukabumi) telah lama memantau perkembangan
Syiah di wilayah tersebut. Meski belum ada deklarasi resmi ANNAS di Kota Bogor, gerakan anti-
Syiah telah berhasil menekan pemerintahan Kota Bogor untuk melarang kegiatan Syiah.

Pada 22 Oktober 2015, Walikota Bogor Bima Arya mengeluarkan Surat Himbauan tentang
Pelarangan Perayaan Asyura bagi kelompok Syiah di Kota Bogor (Surat Edaran No. 300/1321-
Kesbangpol). Surat tersebut mencantumkan tiga pertimbangan sebagai dasar, yakni: (a) Sikap dan
respons Majelis Ulama Indonesia Kota Bogor; (b) Surat pernyataan Ormas Kota Bogor tentang
penolakan segala bentuk keagamaan kaum Syiah di Kota Bogor; dan (c) Hasil rapat Muspida Kota
Bogor. Akibat Surat Himbauan tersebut, Bima dikecam oleh beberapa pihak. Bima dianggap telah
gagal melindungi kebebasan beragama di Kota Bogor dan menambah potret buruk kondisi

19 | L a p o r a n A k h i r
kebebasan beragama di sana. Kebijakan tersebut menguntungkan dan memberi kelompok yang
telah lama mekampanyekan gerakan Anti-Syiah (Aliansi Nasional Anti-Syiah/ANNAS) di Jawa
Barat untuk unjuk diri secara resmi di Kota Bogor. Setelah SE itu keluar, pada November 2015,
muncul selebaran pelantikan pengurus ANNAS Kota Bogor dengan mengundang Bima Arya.

Dalam pertemuan terbatas yang dihadiri Komnas HAM, Imparsial, PUSAD Paramadina di
rumah Bima Arya pada Maret 2019, Bima mengaku bahwa tindakan pelarangan tersebut untuk
menghindari jatuhnya korban. Karena, “Kapolres (pada saat itu) tidak berani menjamin
keselamatan warga Syiah, jika acara (Asyuro) tetap berlangsung”. Tetapi menurut Mustafa, salah
satu teman dekat Bima, kurangnya dukungan masyarakat sipil terhadap Bima pada masa awal
kepemimpinannya, membuat Bima mengambil keputusan tersebut. Prioritas Bima ada di masalah
korupsi dan kinerja birokrasi, ia butuh dukungan kelompok Islamis untuk menjalankan agenda
itu.11

Bima pada pilkada 2013 mengalahkan calon yang disusung PKS (Ru’yat), dengan selisih
suara yang sangat tipis. Bima hanya unggul 0,44% (1.755 suara). Mustofa menganggap bahwa
fakta tersebut (unggul tipis dan minim dukungan masyarakat sipil) yang mendorong Bima
merangkul kelompok Islamis. Akhirnya, atas desakan (tekanan) kelompok pembela kebebasan
beragama dan beberapa ulama di dalam maupun luar Kota Bogor, surat pelarangan Asyura dicabut.
Sebelum dicabut, Yayasan Satu Keadilan Bogor mengajukan gugatan perdata ihwal SE Larangan
Perayaan Asyuro.

Menurut Ustaz Hasbullah, tokoh NU, selain menghadapi gugatan, Bima juga menghadapi
tekanan dari beberapa ulama dari Kota Bogor maupun luar Bogor. “Habib Luthfi menelpon
langsung Bima Arya,” katanya. “Kami (kalangan NU yang anti terhadap kelompok Islamis)
mencari orang yang menginisiasi surat tersebut”, lanjutnya. Bima pada akhirnya mengatakan ke
media bahwa surat tersebut tidak berlaku lagi.

11
Wawancara Ms, Malang 25 Januari 2020.

20 | L a p o r a n A k h i r
Kontroversi Masjid Imam Ahmad Bin Hambal (MIAH)

Masjid ini dibangun sekitar tahun 2001. Lokasinya di RT03/RW10, Kelurahan Tanah Baru,
Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor. Pendirinya adalah salah satu teman dari pemimpin Laskar
Jihad, Jafar Umar Thalib, yakni Yazid bin Abdul Qadir Jawaz. Yazid dikenal sebagai salah satu
tokoh yang giat menyebarkan paham Salafi-Wahabi di wilayah Bogor Kota maupun Kabupaten
melalui siaran Radio Roja dan Al-Fajri.

Pada masa awal pendirian masjid ini, beberapa warga sempat protes dan mengadakan
musyawarah dengan mengundang Ustadz Sr, tokoh agama yang tak jauh dari MIAH. Sr
mengatakan bahwa pada tahun itu ia tak keberatan asalkan: 1) tidak menyinggung perkara tarekat,
karena ia penganut tarekat; dan 2) Yazid harus “membantu” syiar Islam di lingkungannya terutama
kepada para sesepuh dan kaum dhuafa (miskin). Sr sendiri merupakan pengurus masjid Al-Jd yang
lokasinya tak jauh dari MIAH.

Mengapa warga pada waktu itu menolak? Sr sendiri tak ingat. Beberapa tokoh agama lain
yang sempat ditemui juga lupa. Tapi, cerita soal Yazid sebelum mendirikan MIAH di Kelurahan
Tanah Baru dapat memberi gambaran terkait alasan penolakan tersebut. Yazid bukan orang asli
Kota Bogor. Asalnya dari Kebumen, Jawa Tengah. Sekitar 1996, ia menyewa rumah di dekat
masjid Kelurahan Cimanggu, Kecamatan Tanah Sareal (sekarang menjadi Masjid Raya Taman
Cimanggu). Kiai Zn salah satu ulama di Tanah Sareal menceritakan bahwa Yazid pernah menjadi
imam masjid taman Cimanggu. “Ia rajin sholat, kalau masjid NU kan saat dzuhur, ashar kadang
sepi, ga ada Imam. Terus ia maju jadi Imam. Warga senang karena punya Imam sholat.” Ketiak
Yazid sudah dihormati warga sekitar, ia mendirikan Yayasan TK-Islam di masjid tersebut. Lama-
lama ia mulai menerapkan apa yang ia yakini. Misalnya, menolak tahlilan di rumah warga dan
melarang peringatan maulid nabi di masjid tersebut.

Warga dan pengurus DKM mulai gerah dengan larangan tersebut. Pada awal 2000, warga
mengadakan musyawarah untuk menangani Yazid. Musyawarah diadakan dari tingkat kelurahan
hingga kota, tapi hasilnya nihil. Akhirnya, Kapolsek Tanah Sareal mengadakan pertemuan kembali
dengan warga sekitar dan alim-ulama, salah satunya mengundang Zn. Pada pertemuan tersebut Zn
mengusulkan supaya mengerahkan massa dengan mendatangi langsung tempat tinggal Yazid.

21 | L a p o r a n A k h i r
Pada saat di forum, Kapolsek menolak. Namun, ketika forum bubar tanpa kesepakatan, Kapolsek
mendatangi Zn dan memberi restu untuk mengerahkan massa asalkan tidak memberitahu aparat
keamanan. Beberapa hari kemudian ribuan massa menggempur Yazid. Ia sempat diselamatkan
Kapolres. “Dari situ, ia pindah ke Sukamantri, membuka Yayasan dan membuat Radio Al-Fajri”.

Penolakan awal MIAH dapat diprediksi memiliki keterkaitan dengan insiden di Tanah
Sareal. Meski pada 2001 mendapat penolakan dari beberapa warga, Walikota Bogor Iswara
Natanegara pada saat itu menerbitkan IMB untuk MIAH. Yazid akhirnya bisa berdakwah di Tanah
Baru. Pada 2008-2009, pengurus masjid merenovasi, memperluas bangunan masjid. Yazid juga
dipercaya sebagai penasehat MUI Kota Bogor dari 2003 hingga 2015. Seperti kebiasaan kelompok
Salafi-Wahabi di tempat lain yang kerap mengakuisisi masjid lewat Yayasan, panitia masjid ini
akhirnya membentuk Yayasan Pendidikan Islam Imam Ahmad Bin Hanbal pada 17 Januari 2011.
Karena itu, secara hukum kepemilikan maupun kepengurusan masjid ada pengurus Yayasan. Pada
tahun 2015, pengurus masjid mengadakan perluasan kedua. Pada perluasan ini, masjid butuh
tempat parkir karena warga sempat mengeluh kemacetan yang ditimbulkan oleh kegiatan
pengajian di masjid. Karena itu, pada perluasan kedua ini Yayasan mendesain masjid menjadi
empat lantai, satu lantai untuk parkiran, satu lantai untuk kantor Yayasan.

Sejak Februari 2016, MIAH mengumpulkan dokumen kelengkapan mengurus IMB. Pihak
MIAH mengajukan izin ke pemkot dengan membawa dokumen sesuai PBM 2006 tentang
pendirian rumah ibadat. Pada 29 September 2016, Pemkot Bogor mengeluarkan IMB renovasi
total MIAH. Pada Oktober 2016, masjid tersebut dibongkar, dan tanah dikeruk untuk dijadikan
rubanah untuk parkiran mobil. Pada akhir November 2016, ketika bangunan masjid sudah
dibongkar habis, tiba-tiba terjadi demonstrasi penolakan pembangunan MIAH. Ada sekitar ratusan
warga mendatangi masjid, meminta pembangunan dihentikan. Satpol PP dan polisi mengamankan
unjuk rasa, tetapi pada 6 Desember 2016, ratusan warga kembali mengadakan demontrasi.

Walikota akhirnya turun tangan. Pada 9 Desember 2016, Walikota menyarankan kepada
MIAH untuk menghentikan sementara proses pembangunan MIAH. Pihak MIAH menghentikan
pembangunan dan mendekati warga. Yayasan dan panitia pembangunan kembali membangun
masjid lagi pada 30 Juli 2017, dan lagi-lagi, demonstrasi ratusan warga di sekitaran MIAH kembali
dilakukan pada 7 Agustus 2017. Camat Bogor Utara berusaha memediasi warga penolak dan dua

22 | L a p o r a n A k h i r
warga perwakilan MIAH di kantor kecamatan. Mediasi gagal karena suasana tak kondusif. Alasan
utama warga menolak MIAH adalah 1) masjid dan jamaahnya berpaham Wahabi; 2) mereka suka
mengkafirkan orang yang berbeda dengan mereka; 3) intoleran dan eksklusif; dan 4) warga sekitar
tidak dimintai izin dalam proses pembangunan.

Sehari kemudian, Bima Arya mengeluarkan surat himbauan Nomor: 300/2576-Huk.Ham


tentang penghentian sementara pembanguan MIAH. Penolak tidak puas dengan keputusan
Walikota, dan sekitar puluhan ribu warga melakukan demonstrasi pada 29 Agustus 2017. Ini
adalah puncak demontrasi anti-MIAH dan demontrasi terbesar sepanjang sejarah Kota Bogor.
Walikota akhirnya mengeluarkan surat pembekuan IMB MIAH pada 20 September 2017.
Pembekuan tidak bersifat permanen. Artinya, MIAH harus membuktikan kekeliruan tuduhan para
penolak. MIAH akhirnya menggugat surat keputusan tersebut ke PTUN Bandung pada 6
Desember 2017. MIAH menang. PTUN mengabulkan gugatan pada 22 Maret 2018.

Namun, sebelum putusan PTUN diketok, Pemkot menerbitkan keputusan pencabutan IMB
secara permanen pada 20 Maret 2018. Akibatnya pembangunan terhenti secara permanen, tetap.
Keputusan menerbitkan pembekuan IMB secara permanen dilakukan oleh Plt Walikota Usmar
Hariman, karena pada 13 Februari 2018 Bima Arya cuti sementara untuk ikut bertarung Pilkada.
Pada 20 April 2018, MIAH menggugat surat pembekuan permanen tersebut ke PTUN Bandung.
Pada Kamis 11 Oktober 2018, PTUN mengeluarkan putusan bahwa mengabulkan gugatan
sepenuhnya, mewajibkan tergugat (Pemkot) mencabut surat pembekuan permanen.

Hingga tulisan ini dibuat, pembangunan MIAH belum bisa dilanjutkan meski menang di
PTUN. Para ulama yang menolak keberadaan MIAH tak peduli dengan keputusan PTUN.
“Menang atau kalah, tetap tidak boleh ada Wahabi di situ,” kata RJ, salah satu ulama di Tanah
Baru. Walikota terpilih, Bima Arya juga belum berani melaksanakan putusan PTUN Bandung.

Dampak dari penolakan MIAH adalah muncul penolakan-penolakan terhadap segala


aktivitas yang dianggap menyerupai Wahabi-Salafi di Kota Bogor. Misalnya, penolakan Masjid di
area SMP Nuraida dan penolakan pembangunan rumah sakit Nuraida di Bogor Utara. Keduanya
dianggap berafiliasi dengan Yazid bin Jawaz, jadi harus ditolak. Di Bogor Selatan pada 2018-
2019, juga terjadi penolakan terhadap renovasi Masjid Salafi-Wahabi yang berafiliasi dengan

23 | L a p o r a n A k h i r
Himpunan Ahlussunnah untuk Masyarakat Islam (HASMI). HASMI merupakan salah satu ormas
Islamis yang berkembang pesat di Bogor, terutama di wilayah Kecamatan Bogor Timur dan
wilayah Kabupaten Bogor, berbeda dengan kelompok Yazid bin Jawaz.

Potret Hari ini: Perubahan Aliansi

Peristiwa pelarangan Asyuro menjadi momentum bagi kalangan NU “moderat” untuk


menkonsolidasikan diri. Dengan kata lain, mereka mulai menyusun kekuatan untuk mengambil
alih ruang-ruang publik-keagamaan yang dikuasai oleh kelompok Islamis. Pertama, mereka
mengambil alih Pusat Pengembangan Islam Bogor (PPIB) yang merupakan fasilitas publik
keagamaan paling penting di Kota Bogor. Mereka terlibat dalam proses pemilihan kepengurusan
PPIB. Setelah berhasil menguasai PPIB (pada 2016), mereka beralih ke MUI Kota Bogor, ikut
“bertarung” dalam politik internal MUI Kota Bogor.

Menurut Ustad Hs, pemilihan pengurus di MUI Kota Bogor pada 2017 menjadi
pertarungan politik antara ulama moderat dan Islamis (dan koservatif). Hasilnya akan ikut
menentukan arah kebijakan MUI Kota Bogor. “Jika (figur moderat) kalah, Kota Bogor tidak akan
banyak berubah,” katanya. KH. Mustofa Abdullah Bin Nuh (Kiai Toto) menang, mengalahkan
KH. Adam Ibrahim, ketua MUI sebelumnya dari kalangan Muhammadiyah. Kiai Toto adalah anak
dari ulama besar di Indonesia dan pejuang kemerdekaan, yakni KH. Abdullah Bin Nuh. Namanya
sampai diabadikan sebagai nama jalan di Kota Bogor, tepatnya di Komplek Perumahan Taman
Yasmin yang merupakan lokasi pembangunan Gereja Yasmin. Ketika Kasus Yasmin ramai, hanya
Kiai Toto yang terang-terangan berani membela Yasmin.

Meski berhasil memenangkan Kiai Toto, kalangan aktivis NU moderat tidak bisa
menyingkirkan pengurus-pengurus lama yang berpengaruh seperti KH. Adam Ibrahim
(Muhammadiyah) dan KH. Husni Thamrin (NU konservatif). Satu figur penting yang tidak lagi
menjabat dalam kepengurusan MUI Kota Bogor adalah Ustad Yazid Bin Jawaz. MUI begitu sangat
penting di Kota Bogor dalam menentukan kebijakan keagamaan di Kota Bogor. Karena itu, Bima
Arya pun secara tidak langsung ikut terlibat dalam pemilihan kepengurusan MUI Kota Bogor.
Bima sendiri menghendaki Kiai Toto memimpin MUI Kota Bogor supaya agenda kebijakan
keagamaan Pemda bebas dari tekanan kelompok Islamis, dan dapat mendukung kebijakan

24 | L a p o r a n A k h i r
penyelesaian Yasmin. Seperti disinggung sebelumnya, Kiai Toto adalah ulama paling terdepan
untuk menyelesaikan kasus Yasmin. Pada saat Bima Arya mulai melakukan penyelesaian Yasmin,
Kiai Toto selalu dilibatkan. Bahkan, ketika Bima mengadakan jumpa pers bersama Komnas HAM
pada Natal tahun lalu, kiai Toto hadir menemani Bima. Kiai Toto juga tak keberatan seandainya
nama ayahnya dijadikan nama Gereja Yasmin-Abdullah Bin Nuh.12

Bagi kelompok Islamis, terutama kelompok Salafi-Wahabi yang dipimpin Yazid bin
Jawaz, pengambil alihan PPIB dan MUI secara tidak langsung telah mengurangi gerakannya dalam
berdakwah dan mengampayekan agenda-agenda mereka. Ruang gerak mereka semakin sempit
ketika muncul gerakan penolakan pembangunan masjid Imam Ahmad bin Hanbal (MIAH) di
Kecamatan Bogor Utara, yang merupakan pusat dakwah Yazid. Kekalahan kelompok Islamis
secara umum di MUI Kota Bogor juga telah menurunkan kekuatan mereka dalam melakukan aksi-
aski penolakan. Tidak seperti dulu, mereka tidak leluasa lagi menekan pemerintah kota untuk
menuruti tuntutan mereka. Contoh kasusnya dapat dilihat pada tuntutan mereka terhadap
pelarangan acara Imlek. Kelompok Islamis menyebarkan surat seruan untuk menolak perayaan
Imlek di Kota Bogor pada 2019. Bima, yang ketika itu kembali menjabat walikota dari masa cuti,
menolak seruan tersebut. Ia tetap mengijinkan dan bahkan menghadiri perayaan Imlek Kota Bogor.

Namun sejak laporan ini dibuat, kasus Gereja Yasmin dan Masjid Imam Ahmad bin
Hambal (MIAH) masih mangkrak meski beberapa upaya sudah dilakukan. Bima sendiri berharap
dua masalah tersebut bisa selesai pada periode kedua kepemimpinanya. Dua kasus yang sulit
diselesaikan karena kasus tersebut adalah wujud dari dua kekuatan Islam di Kota Bogor, yakni
Islam moderat yang menginginkan Yasmin bisa selesai, tetapi menolak masjid MIAH dibangun,
dan kelompok Islamis yang mendorong pembangunan masjid MIAH tetapi menolak Gereja
Yasmin berdiri di lokasi awal.

Kesimpulan
Dari deskripsi di atas, praktik pemerintahan Kota Bogor terkait kebijakan keagamaan pada
dasarnya tidak sejalan dengan aturan yang ada di pemerintahan pusat. Regulasi-regulasi penting
dalam pengelolaan keagamaan di daerah seperti PBM 2006 dan UU Pemerintahan Daerah terbaru
tidak dijadikan dasar pertimbangan utama. Meski ada praktik baik dalam perlindungan kebebasan

12
Informasi ini penulis peroleh dari Kesbangpol Kota Bogor pada 27 Desember 2019.

25 | L a p o r a n A k h i r
beragama dan berkeyakinan, praktik tersebut bukan didasarkan atas dorongan ideologi toleransi,
melainkan karena perubahan dinamika gerakan keagamaan di Kota Bogor.

Saat ini gerakan keagamaan Islam moderat di Kota Bogor telah berhasil menguasai arena-
arena penting yang berpengaruh dalam kebijakan keagamaan di Kota Bogor. Seperti disebutkan di
atas, keberhasilan menguasai Majelis Ulama Indonesia Kota Bogor telah mendorong perubahan
kebijakan MUI Kota Bogor dan pemerintahan setempat. Meski Bogor adalah wilayah urban,
proses modernisasi atau pembangunan di sana tidak menyingkirkan pengaruh agamawan dalam
kehidupan masyarakat Kota Bogor. MUI sebagai wadah kumpulan ulama memiliki pengaruh
signifikan untuk menggangu atau mendukung upaya pemerintah daerah dalam melindungi
kebebasan beragama bagi seluruh warga Kota Bogor.

Pada akhirnya, karena inkonsistensi dalam penerapan kebijakan keagamaan, pemerintah


Kota Bogor terjebak ke dalam polarisasi atau konflik keagamaan di masyarakat. Suatu waktu, ia
terjebak dalam satu kubu, misalnya Islam moderat dan anti terhadap gerakan Salafi-Wahabi, dan
pada lain kesempatan akan bersekutu dengan kelompok Islamis yang anti terhadap kelompok
minoritas Muslim dan non-Muslim, seperti yang dilakukan Diani Walikota sebelum Bima Arya.

Mengapa pemerintah daerah terjebak ke dalam koalisi keagamaan dan tidak menempatkan
diri sebagai pihak yang netral, pihak yang menjalankan tugas atas dasar undang-undang atau
peraturan yang berlaku? Mengapa di suatu waktu berkoalasi dengan kelompok konservatif, tetapi
di waktu lain berkoalisi dengan kelompok yang berbeda? Laporan ini belum menjawab pertanyaan
tersebut. Laporan ini adalah salah satu kajian yang dapat dan penting dibandingkan dengan kasus-
kasus pemerintahan daerah lain terkait pola-pola aliansi pemerintah daerah dengan kelompok-
kelompok keagamaan yang melaluinya akan didapatkan argumen logis tentang faktor-faktor yang
mendorong perubahan pola alainsi.

26 | L a p o r a n A k h i r
Referensi

Ali-Fauzi, Ihsan, dkk. 2011. Kontroversi Gereja di Jakarta. Yogyakarta: Centre Religious &
Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM.

Buehler, Michael. 2013. Subnational Islamization through Secular Parties: Comparing Shari’a
Politics in Two Indonesian Provinces. Comparative Politics Vol. 46. No.1, pp. 63-82,
University of New York.

Dharma Tohjiwa, Agus, dkk. 2010. Kota Bogor dalam Tarik Menarik Kekuatan Lokal dan
Regional. Tidak dipublikasi. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Riset
Arsitektur dan Perencanaan. Bsa diakses di
http://repository.gunadarma.ac.id/576/1/Kota%20Bogor%20dalam%20Tarik%20Menarik
%20Kekuatan%20Lokal%20dan%20Regional_UG.pdf

Kurasawa, Aiko. 2017. Bogor Zaman Jepang 1942-1945. Depok: Komunitas Bambu.

Stroomberg, J. 2018. Hindia Belanda 1930. Yogyakarta: Diva Press.

Setara Institute. 2018. Indeks Kota Toleran. http://setara-institute.org/en/indeks-kota-toleran-


tahun-2018/.

Forkami, Pertemuan dengan Bima Arya. https://www.forkami.com/berita-190-forum-komunikasi-


muslim-indonesia-forkami.html.

Daftar Informan
Dadang Sugiharta (Ds), Kepala Kesbangpol Kota Bogor.
Mustofa (Ms), teman/kolega Bima Arya.
Rusli Saimun, Pengurus FKUB-Perwakilan Muhammadiyah.
Hazairin (Hz), CEO Radar Bogor dan Pendiri Bobat.
Kiai Khotib, Ketua FKUB Kota Bogor periode 2016-2021.
Kiai Toto, Ketua Majelsi Ulama Indonesia (MUI) Kota Bogor.
Ustad Hasbullah (Hs), Sekretaris FKUB Kota Bogor.
Ustad Jamal, Pengurus Pesantren Ashogiri Kota Bogor.
Ustad Khodari, Pengurus Masjid Roosniah Achmad Bogor Selatan.

27 | L a p o r a n A k h i r
Strategi Dakwah Wahdah Islamiyah dan Dominasi
Ruang Publik di Sulawesi Selatan
Suaib

Pengantar
Lahirnya Reformasi pada 1998 silam, tidak hanya berpengaruh pada perubahan sistem dan peta
politik di Indonesia, tetapi juga pola pemahaman keagamaan.13 Paham atau kelompok keagamaan
yang sebelumnya bergerak secara senyap, kini muncul dengan lebih ekspresif di ruang publik. Di
antaranya adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Kelompok Salafi, Wahabi, Syiah dan
Ahmadiyah, serta beberapa ormas keagamaan baru, seperti Wahdah Islamiyah (WI), Front
Pembela Islam (FPI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), yang belakangan berubah menjadi
Majelis Mujahidin (MM).14

Era reformasi boleh dibilang fase menjamurnya organisasi keagamaan. 15 Proses


demokratisasi yang berjalan ke arah liberal menjadi lahan subur bagi perkembangan kelompok-
kelompok keagamaan baru, bahkan semua kelompok keagamaan tersebut bersemangat
menampilkan diri, berkontestasi guna meraih dukungan dan simpati publik. Pola dan gerakan
kelompok keagamaan ini tak hanya menguat di wilayah perkotaan, tetapi juga merambah ke
berbagai daerah di Indonesia. Sehingga tidak mengherankan jika kelompok-kelompok keagamaan
beserta corak pemahamannya sangat mudah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia, tak
terkecuali di Sulawesi Selatan.

Sebagai ibu kota Sulawesi Selatan, Makassar tak hanya dikenal sebagai pusat
pemerintahan, tetapi juga menjadi pusat kegiatan kelompok keagamaan di Sulsel. Organisasi
keagamaan, baik secara nasional, lokal maupun global, seperti Nahdlatul Ulama (NU),

13
Saprillah “Konstestasi Antar Kelompok Keagamaan dalam Masyarakat Islam; Dialektika, Subordinasi dan
strategi mempertahankan kelompok”. Ringkasan Disertasi Promosi Doktor di UIN Alauddin Makassar, 2020, 16.
14
Syamsurijal Adhan “Pergeseran Paham Keagamaan Pergeseran Paham Keagamaan Mahasiswa Islam di
Makassar dan Pare-pare Sulawesi Selatan.” Laporan Penelitian (Makassar, BLAM, 2017).
15
Kelompok ini tidak menyebarkan paham dan gerakannya di dunia sosial tapi juga merangsek ke berbagai
lini termasuk perguruan tinggi melalui lembaga internal kampus semacam Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang
dulunya tidak intens beraktivitas, kini mulai bergeliat lagi, bahkan di beberapa kampus muncul dengan nama-nama
study club keislaman yang beragam. Selengkapnya baca Syamsurijal Adhan “Pergeseran Paham Keagamaan
Mahasiswa Islam di Makassar dan Parepare Sulawesi Selatan, Laporan Penelitian (Makassar, BLAM, 2017).

28 | L a p o r a n A k h i r
Muhammadiyah, WI, HTI, Yayasan Assunnah, Niqab Squad Makassar, FPI, Jamaah Tabligh,
Ahmadiyah, Syiah dan lainnya hampir semuanya ada dan berpusat di Makassar.

Dampaknya pun cukup terasa, ruang-ruang keagamaan yang dulunya terkesan sunyi
persoalan agama, lambat laun makin marak. Apalagi di era kemajuan teknologi daring, pola
kontestasi tak hanya terjadi dalam dunia nyata, tapi juga maya. Perdebatan tema-tema keagamaan
yang sifatnya klasik pun kembali terbuka secara bebas, bahkan boleh dibilang berlangsung selama
“24 Jam” di jejaring media sosial.16

Era reformasi adalah era tumbuh suburnya ruang-ruang kontestasi sosial keagamaan secara
terbuka, bahkan cenderung vulgar.17 Selain itu, di era kemajuan digital, kelompok kecil atau
submayoritas bisa kelihatan besar dan setara dengan kelompok mayoritas. Munculnya aktor dan
organisasi baru dalam arena kontestasi keagamaan ini, di satu sisi kembali memperruncing tema-
tema perdebatan soal khilafiyah dan furuiyah yang notabene pernah menjadi perdebatan klasik
antara NU dan Muhammadiyah.

Meski Muhammadiyah dan NU tidak lagi mempersoalkan persoalan furuiyah ini, dan
keduanya lebih memilih membangun strategi dakwah baru yang bersifat kultural. Mereka sadar
bahwa saat ini keduanya menghadapi tantangan yang sama, khususnya dari kelompok berhaluan
salafi. Tentu saja, perdebatannya soal siapa yang paling benar dalam beragama.

Sementara kelompok-kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah, jamaah tarekat dan


kelompok non-muslim lainnya tidak jarang menjadi sasaran persekusi dan surbordinasi dari
kelompok-kelompok baru tersebut. Hal ini semakin diperparah dengan munculnya kelompok
submayoritas, kelompok yang kerap mengatasnamakan agama mayoritas (Islam) untuk
mensubordinasi kelompok lain yang minoritas.18

Meski aktor-aktor kelompok keagamaan baru itu sebagian besar tidak terlibat dalam aksi
kekerasan, seperti HTI, WI dan Salafi yang memilih bergerak di level akademik dan menajemen
organisasi yang tertata rapi, namun dalam bentuk paling lunak, mereka enggan menerima

16
Saprillah “Konstestasi Antar Kelompok Keagamaan dalam Masyarakat Islam; Dialektika, Subordinasi dan
strategi mempertahankan kelompok”. Disertasi Promosi Doktor di UIN Alauddin Makassar, 2020, 83-84.
17
Agus Muhammad “Bahaya Radikalisme”. Kompas, 1 Agustus 2015.
18
Catatan ujian promosi doktor Saprillah di Training Center, UIN Alauddin Makassar, 27 Agustus 2020.

29 | L a p o r a n A k h i r
keberadaan kelompok lain yang berbeda,19 dan pada momen-momen tertentu, mereka kerap
menyatu dalam satu barisan, menyikapi keberadaan kelompok minoritas, seperti Syiah dan
Ahmadiyah.

Meminjam pandangan Najib Azca, paling tidak, ada tiga varian kelompok keagamaan yang
berkembang di Sulawesi Selatan pascareformasi, yaitu: kelompok keagamaan berhaluan saleh,
jihadis dan politis. Gerakan kelompok varian saleh lebih berorientasi pada pembangunan moralitas
individu, concern pada gerakan dakwah, pendidikan dan kajian-kajian keislaman. Aktivis gerakan
jihadis lebih condong dan menyetujui penggunaan kekerasan dalam mewujudkan tujuan-
tujuannya, sementara kelompok varian politis lebih cenderung bergerak pada wilayah advokasi
agenda gerakan mereka di ruang-ruang publik.20

Dari tiga varian gerakan keislaman tersebut, yang menarik diamati adalah WI, kelompok
keagamaan berhaluan salafi modern ini hadir dengan gaya dan metode dakwahnya yang cenderung
adem, mendidik, dan antikekerasan, sehingga tak jarang membuahkan simpati di kalangan
masyarakat umum, tak terkecuali pejabat pemerintah. Apalagi lewat kegiatan keagamaannya,
seperti tabligh akbar, WI kerap kali mengkampanyekan visi penyatuan umat Islam.

WI awalnya adalah Ormas Islam yang bergerak di ranah lokal di Sulawesi Selatan. Ormas
keagamaan ini dikenal fokus pada gerakan pemurnian Islam serta kukuh berpegang pada Alquran
dan Hadist dengan merujuk pada pola pemahaman As-Salaf Ash-Shalih (Manhaj Ahlussunnah Wal
Jamaah). Dewasa ini, WI telah berkembang cukup pesat di berbagai wilayah di Indonesia dengan
jaringan organisasi yang cukup rapi.21

Tarbiyah dan dakwah adalah strategi utama WI dalam melakukan esmpansi dan
mengembangkan jaringannya di berbagai daerah, termasuk kerjasama dengan pemerintah daerah
di Sulawesi Selatan, khususnya dalam hal pengembangan pendidikan dan tahfiz Alquran. Selain
itu, WI juga kerap ikut serta mendukung (jika tidak mendorong) kebijakan-kebijakan pemerintah,

19
Saprilllah, “Konstestasi Antar Kelompok Keagamaan dalam Masyarakat Islam;…”, 32. Baca juga, Agus
Muhammad “Bahaya Radikalisme”. Kompas, 1 Agustus 2015.
20
Najib Azca “Yang Madani namun Intoleran, Trayektori dan Variasi Gerakan Islam di Indonesia” dalam
Sidney Jones, dkk “Sisi Gelap Demokrasi, Kekerasan Masyarakat Madani di Indonesia”. Jakarta, Pusat Studi Agama
dan Demokrasi, Yayasan Paramadina, 56.
21
Syarifuddin Jurdi, Islam dan politik Lokal: Studi Kritis atas Nalar Politik Wahdah Islamiyah
(Yokyakarta: Pustaka Cendekia Press, 2006), 147. Baca juga: Dwi Hartini, Hegemoni Pemikiran Keagamaan: Etika
Politik dalam Perspektif Wahdah Islamiyah. Asketik Vol. 3 No. 1 Juli 2019, 48.

30 | L a p o r a n A k h i r
termasuk pelarangan Ahmadiyah dan Syiah yang dinilainya bertentangan dengan paham
ahlussunnah wal jamaah sebagai kelompok keagamaan mayoritas di Indonesia.

Meski WI tidak menampakkan sikap konfrontatif terhadap Ahmadiyah dan Syiah, namun
Ormas ini cukup intens terlibat melakukan pressure bersama tokoh Ormas keagamaan lainnya
yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI) Sulsel.22 Di antara materi tarbiyah dan dakwah
yang intens dilakukan di berbagai daerah di Sulawesi Selatan adalah narasi-narasi tentang bahaya
aliran Syiah dan Ahmadiyah.

Selain itu, hadirnya WI dengan corak pemahaman dan gerakan keagamaan yang berbeda
dengan NU dan Muhammadiyah membuat ruang kontestasi keagamaan di Sulsel makin marak.
NU dan Muhammadiyah bahkan telah menyadari dan mengalami ancaman eksistensial akibat
penyempitan ruang-ruang dakwah yang semakin didominasi oleh kelompok keagamaan baru
tersebut. Muhammadiyah mengalami “kegamangan” kader akibat infiltrasi organisasi keagamaan
yang memiliki kajian dan pola dakwah yang searah dengan Muhammadiyah. 23 Fenomena ini
terjadi hampir di semua wilayah di Sul-Sel.

Berdasarkan fenomena di atas, hasil penelitian ini adalah menjawab pertanyaan: bagaimana
pola dan strategi gerakan dakwah WI dalam menginfiltrasi dan mendominasi ruang-ruang sosial-
keagamaan di Sul-Sel, khususnya di Kota Makassar, Kabupaten Gowa dan Kabupaten Bantaeng?
Berkaitan dengan itu, penelitian ini juga mengungkap respons pemerintah daerah, masyarakat dan
Ormas Islam terhadap Gerakan WI.

Sekilas Sejarah Berdirinya WI

Sebagai Ormas Islam, WI tidak muncul secara tiba-tiba. Ia lahir dari proses pergumulan di
internal Muhammadiyah disebabkan oleh berbagai rangkaian peristiwa ketegangan teologis yang
terjadi antara pendiri WI dengan pengurus Muhammadiyah Makassar. Konflik internal tersebut
bermula saat kebijakan politik Orde Baru memberlakukan Pancasila sebagai satu-satunya asas
bagi seluruh Ormas keagamaan pada tahun 1985 yang kemudian berdampak pada lahirnya friksi
antara kalangan tua dan kalangan muda di internal Muhammadiyah. Kalangan tua umumnya

22
Lebih jelasnya baca: https://wahdah.or.id/tentang-syiah-fui-sulsel-temui-kapolda/ baca juga:
https://lidmi.or.id/penerbitan-perda-larangan-syiah-ketua-komisi-e-dprd-sulsel-saya-akan-berjuang-untuk-ini/
23
Saparillah “Konstestasi Antar Kelompok Keagamaan dalam Masyarakat Islam;….,.79.

31 | L a p o r a n A k h i r
menerima Pancasila sebagai asas tunggal, sementara sebagian besar kalangan muda
Muhammadiyah saat itu sulit menerima kebijakan Orde Baru tersebut. Akhirnya, generasi tua yang
dominan menguasai masjid Ta’mirul Masajid dan didukung oleh pengurus Muhammadiyah saat
itu menguasai masjid dan mengakibatkan kalangan muda tersingkir dari masjid tersebut.24

Anak-anak muda yang dulunya aktif di masjid Ta’mirul Masajid itulah yang menjadi
pelopor cikal bakal lahirnya organisasi WI. Anak-anak muda ini masih mendapat pencerahan
langsung dari ulama karismatik yang juga mantan Ketua Pimpinan Muhammadiyah Ujung
Pandang (sekarang Makassar) periode 1970-1980, KH. Fathul Muin Dg. Maggading.25 Sebelum
menyatakan diri sebagai WI, kelompok yang kecewa dengan sikap penerimaan Muhammadiyah
terhadap Pancasila sebagai asas tunggal itu, mendirikan yayasan bernama Yasasan Fathul Muin
(YFM ) pada tanggal 18 Juni 1988.

Sepeninggal KH. Fathul Muin Dg. Maggading, para pengikutnya tetap aktif melakukan
kegiatan-kegiatan tarbiyah yang sebelumnya telah dilakukan di bawah Lembaga Pembinaan
Pengembangan Dakwah dan Ekonomi (LP2DE). Lewat lembaga ini, kajian atau tarbiyah terus
digalakkan, sehingga terbentuk Kelompok Kajian Islam (KKI) yang berorientasi pada pembinaan
akidah dan tauhid bagi para pelajar SMA.26 Satu dekade kemudian, tepatnya 19 Februari 1998,
nama YFM berubah menjadi Yayasan Wahdah Islamiyah (YWI) yang berarti Persatuan Islam.
Perubahan nama tersebut diresmikan berdasarkan akta notaris Sulprian, SH No.059.27

Seiring perjalanan waktu, dakwah WI berkembang makin pesat, dan YWI dalam bentuknya
sebagai yayasan dianggap dianggap memiliki ruang gerak yang terbatas. Melalui musyawarah
pengurus pada tanggal 14 April 2002, YWI disepakati untuk dijadikan sebagai organisasi
keagamaan, dan akhirnya berganti nama menjadi WI. 28 Tidak berselang lama, hanya dalam satu
dekade, WI telah memiliki banyak cabang yang tersebar di berbagai wilayah Propinsi dan

24
Budi Asnawi Said, Karakteristik dan Peranan Wahdah Islamiyah dalam Penerapan Hukum Islam di Kota
Makassar. Tesis Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar 2013, 66.
25
Dewi Hartini, Hegemoni Pemikiran Keagamaan: …, 49.
26
Ibid.
27
https://Wahdah.or.id/
28
Dewi Hartini, Hegemoni Pemikiran Keagamaan..., 48,

32 | L a p o r a n A k h i r
Kabupaten/ Kota di Indonesia.29 Konsep lembaga pendidikan, dakwah dan tarbiyah menjadikan
Ormas keagamaan ini berkembang sangat pesat.30

Misi Gerakan WI

WI adalah Ormas Islam yang mendasarkan pemahaman dan amaliyahnya pada Alquran
dan As-Sunnah sesuai pemahaman As-Salaf Ash-Shalih (Manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah).
Organisasi ini bergerak di bidang dakwah, pendidikan, sosial, kewanitaan, informasi, kesehatan
dan lingkungan hidup.31 Dengan demikian, WI bergerak di berbagai lini kehidupan sosial
masyarakat, tak terkecuali di bidang pengembangan sumber daya manusia (SDM). Di ranah ini,
WI memiliki sejumlah agenda. Salah satunya dan yang paling menonjol adalah pendidikan formal
yang digalakkan di berbagai daerah dan ditangani oleh departemen khusus bidang pendidikan
WI.32

Akselerasi pembangunan SDM melalui pendidikan dan dakwah tidak lepas dari misi
organisasi WI menyongsong tahun 2030. Gagasan ini mencuat pertama kali jelang pelaksanaan
Muktamar ke III WI dengan fokus pada penguatan kaderisasi internal, serta perluasan dakwah
hingga ke wilayah terjauh, dengan harapan WI bisa menjadi Ormas Islam yang eksis di seluruh
kabupaten dan kota di Indonesia.33 Di ranah dakwah dan tarbiyah, WI lebih fokus pada upaya
gerakan pemurnian akidah Islam dari segala bentuk kemusyrikan. 34

Meski dakwah dan tarbiyah berbeda, baik secara istilah maupun metode, namun keduanya
bermuara pada tujuan yang sama, yakni agar umat Islam memahami dan mengamalkan Islam.35

29
WI telah memiliki cabang di 34 Provinsi dan 193 Kabupaten Kota di seluruh Indonesia. Lihat;
https://wahdah.or.id/ustadz-qasim-tarbiyah-termasuk-sistem-pendidikan-non-formal/
30
Budi Asnawi Said, Karakteristik dan Peranan Wahdah Islamiyah….., 6.
31
https://wahdah.or.id/upaya-muslimah-wahdah-islamiyah-sidrap-berantas-buta-aksara-al-quran/ 2 September
2020.
32
Lihat Muhammad Saleh Tajuddin, “Pemikiran dan Gerakan Politik Organisasi Wahdah Islamiyah (WI) di
Sulawesi Selatan”. Jurnal AL-FIKR, Volume 17 Nomor 1 Tahun 2013, 215.
33
“Kuntribusi Nyata Wahdah Islamiyah Dinanti” https://republika.co.id/berita/oai88412/kontribusi-nyata-
wahdah-islamiyah-dinanti diakses pada, 26 Agustus 2020. Pukul 15.05.
34
Marhaeni Saleh M, Eksistensi Gerakan Wahdah Islamiyah Sebagai Gerakan Puritanisme Islam Di Kota
Makassar. Jurnal Aqidah-Ta Vol. IV No. 1 Thn. 2018, 88.
35
Tarbiyah adalah aktivitas pembinaan yang yang berorientasi pada pembentukan pribadi muslim dalam
berbagai aspek. Ia masuk dalam ketegori sistem pendidikan non formal, kurikulum dan materi-materinya telah disusun
sesuai dengan tingkatannya (marhaliyah). Demikian pula, peserta tarbiyah terbatas, aturannya ketat dan terkontrol,
sementara dakwah tidak demikian, karena memang tujuannya untuk umum. Lihat https://wahdah.or.id/ustadz-qasim-
tarbiyah-termasuk-sistem-pendidikan-non-formal/ diakses 2 September 2020.

33 | L a p o r a n A k h i r
Gerakan ini semakin menguat karena dibarengi dengan strategi politik organisasi dengan cara
membangun kerjasama dengan pihak pemerintah daerah, termasuk khususnya di Sulawesi
Selatan,36 membina kader dan pengurus WI yang tersebar di berbagai instansi pemerintahan,
bahkan menjadi Wakil Bupati. Lewat pintu mereka kegiatan-kegiatan keagamaan dikerjasamakan,
termasuk kegiatan dakwah dan tarbiyah.

Pemerintah daerah dijadikan mitra. WI bahkan melakukan kegiatan keagamaan seperti


daurah islamiyah dan tarbiyah di instansi pemerintahan.37 Selain itu, beberapa kader WI aktif
dalam kepengurusan MUI, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), menjadi pegawai Kantor
Urusan Agama (KUA) dan penyuluh agama. Strategi WI melalui distribusi kader militan di
berbagai instansi pemerintahan dan lembaga keagamaan efektif mengekselarasi program ekspansi
dan pengembangan tarbiyah dan dakwahnya.

Strategi Gerakan Dakwah dan Tarbiyah di Bantaeng


Bagi WI, dakwah dan tarbiyah adalah dua hal yang tak terpisahkan. Tarbiyah dan dakwah
adalah agenda wajib yang harus terus dilakukan guna mendidik umat Islam agar mampu berdiri
tegak di hadapan umat lain, memahami dan menyadari tugas dan tanggung jawabnya sebagai
hamba Allah SWT untuk bersatu di atas manhaj yang benar. 38 Untuk tujuan tersebut itu, sasaran
tarbiyah diarahkan kepada masyarakat umum, termasuk di perguruan tinggi guna membentuk
pikiran, wawasan dan kebangsaan berdasarkan nilai-nilai Islam39.

Tarbiyah dilakukan secara masif dan intensif di kampus-kampus di Makassar. Kelompok


tarbiyah binaan WI ini sebagian besar aktif di Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Mereka
menggelar tarbiyah dengan menggunakan fasilitas kampus, seperti masjid dan ruang kelas. Mereka
aktif melakukan perekrutan peserta tarbiyah termasuk khususnya di saat penerimaan mahasiswa
baru (Maba) dengan cara menawarkan jasa pelayanan pengurusan adminisrasi pendaftaran dan
Bimbingan Baca Tulis Alquran (BTQ). Di kampus seperti UINAM yang memiliki program BTQ

36
Muhammad Saleh Tajuddin, Pemikiran dan Gerakan Politik Organisasi Wahdah Islamiyah (WI).., op.cit.
37
Diolah dari hasil wawancara dengan ASN dan SLH (tokoh Muda Masyarakat Bantaeng) pada 23 Januari
2019.
38
Muhammad Saleh Tajuddin, of.cit.
39
Muhammad Saleh Tajuddin, Pemikiran dan Gerakan Politik Organisasi Wahdah Islamiyah (WI)…., 220.

34 | L a p o r a n A k h i r
misalnya, program perekrutan peserta tarbiyah diminati karena dianggap sebagai program wajib
kampus.40

Menurut Ketua Umum WI, Zaitun Rasmin, yang juga merupakan salah satu ketua MUI
Pusat, tarbiyah dan dakwah Islam harus terus dilakukan secara berkesinambungan, sebab keduanya
adalah hal yang paling mendasar bagi umat Islam, selain sebagai wahana untuk mewujudkan
kecerdasan generasi bangsa, juga bisa menjadi sarana untuk menjemput masa depan anak-anak
bangsa di masa yang akan datang. “Terserah mau mulai dari mana, sebab keduanya (tarbiyah dan
dakwah) tidak bisa dipisahkan,” ungkapnya. Lebih lanjut, Zaitun Rasmin mengatakan, WI harus
memperkuat dakwah dan tarbiyah, sebab ia bisa menjadi penangkal isu Islamophobia yang
belakangan ini marak berhembus. Dakwah dan tarbiyah harus dilakukan secara konsisten, tanpa
harus terpengaruh dengan isu-isu yang berkembang. “Tak usah terpengaruh dengan isu-isu orang-
orang phobia terhadap Islam, tetap lakukan dakwah dan tarbiyah secara konsisten,” tegasnya.
Lebih jauh, gerakan tarbiyah dan dakwah, menurut Zaitun adalah sarana untuk mewujudkan
penyatuan umat serta menjadi penopang kejayaan Islam dan Indonesia sebagai negara yang
menjadi harapan dunia di masa yang akan datang. Dakwah dan tarbiyah, karenanya, adalah
program prioritas WI, dan program ekonomi adalah penunjang aktivitas program prioritas tersebut.
41

Gagasan penyatuan umat yang kerap dikampanyekan WI, baik melalui tarbiyah maupun
dakwahnya itu, mengundang simpati masyarakat dan kalangan pemerintah daerah. Pemerintah
setempat membuka ruang selebar-lebarnya kepada WI karena kehadirannya dinilai punya
kontribusi besar terhadap pengembangan SDM, khususnya di bidang agama. Selain itu, konsep
dakwah dan gerakan yang dikembangkan WI ini juga dinilai sejalan dengan visi pemerintah yang
ingin mewujudkan pembangunan masyarakat yang damai dan religius.42

Respon Pemda Bantaeng


Terbukanya ruang bagi WI menjadi angin segar untuk memasifkan gerakan dakwah dan tarbiyah
di Kabupaten Bantaeng. Sehingga tidak mengherankan jika di Bantaeng, WI tidak hanya berhasil
membangun lembaga pendidikan dari TK hingga SMA, tetapi juga berhasil menjalin kerjasama

40
Wawancara dengan NBL (mahasiswa UINAM) 19 Januari 2020 di Makassar.
41
Tauziah Tabliq Akbar oleh Zaitun Rasmin (Ketuam Umum DPP WI) di Masjid Syekh Abdul Gani Bantang,
pada 25 Desember 2019.
42
Wawancara dengan H. Sahabuddin (Wakil Bupati Bantaeng) pada 3 Februari 2020 di Bantaeng.

35 | L a p o r a n A k h i r
dengan pengurus masjid, rohis dan instansi pemerintah se-Kabupaten Bantaeng dalam upaya
menghidupkan majelis taklim dan dirasah.43

“Hebatnya WI, karena bisa bersinergi dengan pemerintah di mana saja, karena misinya
ingin mempersatukan umat melalui dakwah dan tarbiyah itu. Sehingga WI banyak
mendapat bantuan dan akomodasi dari pemerintah. Selain karena filosofi persatuannya, WI
juga membangun pesantren (lembaga pendidikan) sebagai upaya mewujudkan persatuan
itu. WI terakomodir di semua level, termasuk pemerintahan, kecuali ada memang person
atau individu-individu yang pemahamannya agak keras, tapi kalau di Bantaeng tidak ada
seperti itu”. 44
Dakwah dan tarbiyah yang dikerjasamakan dengan pemerintah daerah efektif membangun
citra positif WI di masyarakat. Pemerintah menjadi ruang strategis untuk mendapatkan legitimasi
(politik) sehingga WI dapat diterima sebagai organisasi terpercaya oleh publik. Di Bantaeng, WI
lebih mudah mendapatkan dukungan dan bekerjasama dengan pemda karena Wakil Bupati
Bantaeng, selain dikenal sebagai ketua PKS, adalah juga kader WI.45 Dengan dukungan tersebut,
hajatan tabligh akbar yang dipusatkan di masjid Syekh Abdul Gani di Kota Bantaeng pada 25
Desember 2019 terlihat meriah. Selain dihadiri tokoh-tokoh WI, juga dihadiri ribuan jamaah WI
yang tersebar di berbagai wilayah di Sulsel.

Tabligh akbar yang dihelat di masjid Agung Bantaeng itu juga adalah bagian dari misi
pemerintah setempat untuk mensyiarkan dakwah Islam dan sekaligus upaya meminimalisir stigma
negatif tentang Islam.46 Tabligh akbar yang dilaksanakan di penghujung tahun tersebut sekaligus
menjadi momen strategis konsolidasi jama’ah dan penguatan dakwah dan tarbiyah. “Sekali
mendayung dua pulau terlampaui”, kira-kira seperti itu strategi yang digunakan. WI memanfaatkan
kehadiran tokoh-tokohnya di tabligh akbar tersebut untuk mengisi pengajian di masjid-masjid
yang dikelola oleh kader atau pengurus WI di Bantaeng usai salat magrib.47

Gerakan ini tentu saja mendapat respon positif dari pemerintah setempat, sebab tarbiyah
dan tabligh akbar menjadi agenda penting untuk menguatkan akidah umat Islam, disamping upaya
pemerintah Kabupaten Bantaeng membuat surat edaran guna membentengi akidah umat dari

43
“DPD Wahdah Islamiyah Bantaeng Adakan Musda I” https://wahdah.or.id/dpd-wi-bantaeng-adakan-musda-
i/ diakses pada, 30 Agustus 2020.
44
Wawancara dengan H. Sahabuddin, op.cit.
45
Wawancara dengan Slh, 23 Januari 2019.
46
Wawancara dengan H. Sahabuddin, op.cit.
47
Tabligh Akbar yang digelar pada tanggal 25 Desember 2019 itu, selain dihadiri tokoh dan petinggi organisasi
WI, juga dihadiri Bupati Bantaeng, Ilham Azikin beserta wakilnya, H. Sahabuddin.

36 | L a p o r a n A k h i r
paham-paham yang dinyatakan sesat oleh MUI.48 Gerakan dakwah dan tarbiyah WI di Bantaeng
diakui oleh pemerintah setempat cukup konkrit, rapi dan terstruktur, khususnya dalam upaya
membina umat melalui pendidikan.

WI berhasil membuktikan dakwah teladannya di bidang tarbiyah (baca; lembaga


pendidikan). Anak-anak yang sekolah di lembaga pendidikan WI dibina akhlak dan hafalan
Alqurannya. Bahkan sekolah unggulan di Bantaeng adalah Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT)
milik WI di Kecamatan Bissappu, Kelurahan Bonto Rita. Tak hanya itu, kalangan masyarakat
urban juga mengaku merasa terbantu dengan hadirnya lembaga pendidikan WI, apalagi di tengah
ancaman degradasi moral akibat kemajuan zaman. Singkatnya, popularitas WI dari segi dakwah
dan tarbiyah (pendidikan) jauh lebih populer ketimbang lembaga pendidikan NU dan
Muhammadiyah di Bantaeng. Banyak kalangan pejabat setempat lebih memilih menyekolahkan
dan menggunakan jasa WI untuk pendidikan anak-anaknya. Bupati Bantaeng, Ilham Azikin,
sendiri menggunakan pelayanan jasa mengaji privat WI untuk anak-anaknya.

Militansi dan Jaringan Politik


Meski tidak ditemukan data yang menunjukkan jumlah kader WI di Bantaeng, namun
representasi kader dan lembaganya cukup menonjol di setiap kecamatan, hingga desa-desa di
Bantaeng. WI berhasil menggalang warga dan kelompok-kelompok millennial melalui gerakan
dakwah dan tarbiyahnya Mereka fokus melakukan pembinaan dakwah dan tarbiyah lewat rumah-
rumah ibadah (masjid), pasar dan belakangan menyasar warung-warung kopi, ruang publik yang
sangat jarang disentuh oleh kelompok agama manapun.49

Di kalangan kelompok lain, kader WI terkenal militan dan aktif melakukan kegiatan-
kegiatan sosial hingga ke daerah terpencil, termasuk yang medannya terkenal sangat sulit
dijangkau oleh kendaraan. Mereka aktif di bidang pembangunan masjid. Selain menawarkan
bantuan renovasi masjid, kader dan pengurus WI juga intens melakukan pembangunan masjid baru
dengan memanfaatkan tanah wakaf warga.50

Selain itu, jaringan dan modal politik WI juga diakui kuat. Selain bergerak satu komando,
gerakan WI juga terorganisir dengan baik melalui masjid-masjid yang dikelola oleh kader atau

48
Wawancara dengan H. Sahabuddin, op.cit.
49
Wawancara dengan YNS, 25 Januari 2020 di Bantaeng.
50
Wawancara dengan YNS dan ZL (pegiat literasi di Bantaeng) 30 Januari 2020 di Bantaeng dan Makassar.

37 | L a p o r a n A k h i r
pengurus WI. Modal politik berbasis jamaah tersebut dinilai memiliki nilai tawar yang
diperhitungkan misalnya pada saat Pilkades, Pileg, Pilbub dan Pilgub. Meski secara kelembagaan
WI tidak terlibat politik praktis secara langsung, publik mengenali bahwa WI berafiliasi dengan
PKS. Elit WI sering tampil menyatakan dukungan terhadap calon legislatif Partai Keadilan
Sejahtera (PKS)51. Pengakuan dari salah seorang alumni lembaga pendidikan yang dikelola WI
juga menegaskan hal serupa. Ia mengaku pernah diminta oleh salah seorang petinggi WI
memasang baliho salah satu calon Anggota DPR RI dari partai PKS saat pemilihan legislatif di
pemilu terakhir.52 Partisipasi WI dalam dunia politik juga bisa diamati pada Pemilu 2004. Lewat
sidang Majelis Organisasi yang diselenggarakan jelang Pemilu tahun 2004, WI mengarahkan
seluruh anggota, pengurus dan simpatisan organisasi untuk ikut terlibat dalam Pemilu agar
bisa memberi kontribusi terhadap Islam dan kepentingan umat Islam di Indonesia, dan
diketahui bahwa anggotanya diarahkan untuk memilih PKS. 53

Narasi Islam mayoritas juga dijadikan WI sebagai framing dalam mempengaruhi kebijakan
pemerintah yang tidak hanya untuk dukungan gerakan tarbiyah dan dakwah, tetapi juga untuk
mempersoalkan keberadaan kelompok yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam, seperti
Syiah dan Ahamadiyah. WI bersama kelompok Islam lainnya yang tergabung dalam FUI
melakukan tekanan atas nama publik terhadap pemerintah untuk mengeluarkan Perda pelarangan
ajaran Syiah.54 WI mengaku merasa terganggu dengan hadirnya Syiah, sebab Syiah berpotensi
merongrong paham Aswaja yang dianut oleh mayoritas masyarakat Muslim Indonesia. WI
mengaku mendukung Surat Edaran (SE) tentang pelarangan aktivitas Syiah yang dikeluarkan oleh
pemerintah baik di Sulsel maupun luar Sulsel demi menjaga kemurnian ajaran Aswaja. Selain itu,
SE tersebut juga nilai sebagai langka maju pemerintah dalam upaya menjaga keharmonisan
masyarakat dengan melindungi mereka dari hal-hal yang negatif. Meski tampak tidak frontal
mempersoalkan Syiah maupun Ahmadiyah, namun WI mengaku punya tugas untuk memberi

51
Wawancara dengan ASN, op,cit.
52
Wawancara dengan FI, 21 Januari 2020 di Bantaeng
53
Selangkapnya baca Muhammad Saleh Tajuddin “Pemikiran dan Gerakan Politik Organisasi Wahdah
Islamiyah…………….., 218-219.
54
Lebih jelasnya baca: https://wahdah.or.id/tentang-syiah-fui-sulsel-temui-kapolda/ baca juga:
https://lidmi.or.id/penerbitan-perda-larangan-syiah-ketua-komisi-e-dprd-sulsel-saya-akan-berjuang-untuk-ini/

38 | L a p o r a n A k h i r
pemahaman kepada masyarakat tentang paham Aswaja dan bahaya Syiah, melalui gerakan dakwah
dan tarbiyah yang intens dilakukan hingga ke desa-desa.55

Respon Aktivis NU dan Muhammadiyah


Militansi gerakan di ranah dakwah dan tarbiyah WI diakui oleh kalangan aktivis NU dan
Muhamadiyah, sebab faktanya, WI tampil menonjol baik di dunia nyata maupun maya. Mereka
kerap tampil mendiskusikan isu-isu sosial-keagamaan kontemporer serta mampu mempengaruhi
kader-kader NU dan Muhammadiyah untuk ikut serta menjadi bagian dari mereka. Dari sekian
banyak organisasi, kader-kader Muhammadiyah yang paling mudah dipengaruhi, selain paham
mereka banyak kemiripan, sebagian dari mereka (kader Muhammadiyah) merasa cocok dengan
kelompok WI.

“Bissappu dan Ermes yang boleh dibilang basis Muhammadiyah, saat ini sudah mulai
terkikis. Demikian pula Desa Parang Loe dan lembaga pendidikan As’adiyah (cabang
pondok pesantren tertua di Sulsel yang berpusat di Sengkang Kab. Wajo, Sulsel) di Desa
Dapoko sudah dimasuki semua. Mereka masuk dengan cara berdakwah, tarbiyah dan
halaqah, jika tidak bisa mereka mendirikan lembaga pendidikan”.56

Salah seorang tokoh muda Muhammadiyah juga mengakui bahwa pengaruh WI tidak
hanya terjadi Bantaeng, tetapi juga di Makassar. Bahkan segera WI memisahkan dari
Muhammadiyah, pengaruh tersebut sudah mulai terlihat. Beberapa kader Angkatan Muda
Muhammadiyah ikut pengajian yang dikelola oleh WI, dan melanjutkan sekolah ke Madinah atas
saran dan rekomendasi pengurus WI. Kesamaan tradisi keagamaan yang salah satunya dari segi
tatacara ibadah adalah penyebab mudahnya kader Muhammadiyah dipengaruhi.57

Meski diakui, WI adalah kelompok keagamaan belakangan hadir di Kabupaten Bantaeng,


namun tidak bisa dipungkiri, kelompok ini jauh lebih progresif dibanding NU dan
Muhammadiyah, dua organisasi nasional yang lebih dahulu beraktivitas di Bantaeng. Selain WI
bergerak di bidang dakwah dan tarbiyah, WI juga intens mengarap basis-basis ekonomi dan
bantuan-bantuan pemerintah. Demikian pula, dukungan struktural pemerintah juga sangat kuat,
apalagi Wakil Bupati Bantaeng, H. Sahabuddin adalah kader WI. Sementara NU dan

55
Wawancara Zaitun Rasmin (Ketua DPP WI) dan Rahmat Abdul Rahman (Ketua Harian DPP WI) 25
Desember 2019 di Bantaeng.
56
Wawancara dengan SLN (Kader NU Bantaeng) di Bantaeng pada, 23 Januari 2019.
57
RN (Kader dan Tokoh Muda Muhammadiyah) di Makassar, 21 Januari 2020.

39 | L a p o r a n A k h i r
Muhammadiyah cenderung meromantisasi kebesaran masa lalunya, dan lebih intens menjaga
tradisi dan ritualnya serta tidak menggarap basis ekonomi.58

Jika WI berhasil menggalang kelompok-kelompok millennial melalui gerakan dakwah dan


tarbiyah, hal serupa tidak terjadi di NU dan Muhammadiyah. Mesin kaderisasi NU dan
Muhammadiyah tidak berjalan maksimal. Meski sebagian dari mereka, khususnya NU sadar akan
pergerakan kelompok keagamaan baru ini, karena dianggap mengancam eksistensi paham
keagamaan mereka, namun sejauh ini tidak terlihat adanya langka konkrit yang dilakukan. Bahkan
di jejaring media sosial, NU dan Muhammadiyah di Sulsel kalah bersaing dengan kelompok-
kelompok berhaluan Salafi. Tidak banyak tokoh-tokoh kedua organisasi ini populer di media
sosial, seperti di youtube yang menjadi pusat akses informasi keagamaan, khususnya anak-anak
millenial.

Kesimpulan
Dakwah dan tarbiyah adalah ruh dan sekaligus menjadi spirit gerakan keagamaan WI.
Kedua gerakan ini, sekaligus menjadi sarana strategis untuk merebut ruang-ruang sosial
keagamaan. Kemampuan WI membuktikan dakwah teladannya di bidang tarbiyah (baca; lembaga
pendidikan) mengundang simpati banyak kalangan termasuk pemerintah daerah. Bagi pemerintah
setempat, kehadiran WI dinilai memiliki kontribusi besar terhadap pengembangan SDM,
khususnya di bidang agama.

Konsep dakwah dan gerakan tarbiyah WI juga dinilai sejalan dengan visi pemerintah
Kabupaten daerah yang ingin mewujudkan pembangunan masyarakat Bantaeng yang damai dan
religius. Sehingga tidak mengherankan jika pemerintah setempat, membuka ruang selebar-
lebarnya kepada WI baik berupa dana maupun fasilitas. Lewat ruang-ruang inilah terjadi
perjumpaan kepentingan antara dakwah WI dan agenda politik Pemda Banteng.

Meski WI hadir dan berkembang belakangan di Bantaeng, namun ia cukup berhasil


menggarap ruang-ruang sosial-keagamaan dan ekonomi, serta mampu menyaingi popularitas dua
organisasi besar, yaitu NU dan Muhammadiyah. Sementara itu, sejauh ini, NU dan
Muhammadiyah belum memperlihatkan langkah konkrit untuk mengimbangi gerakan dakwah dan

58
Wawancara dengan ZL (pegiat literasi di Bantaeng) 30 Januari 2020 di Makassar.

40 | L a p o r a n A k h i r
tarbiyah WI, meski kedua pengurus organisasi ini mengaku eksistensi mereka terancam tergerus
akibat penetrasi kultural dan struktural yang dilakukan oleh WI.

41 | L a p o r a n A k h i r
Referensi
Adhan, Syamsurijal (2017), Pergeseran Paham Keagamaan Pergeseran Paham Keagamaan
Mahasiswa Islam di Makassar dan Parepare Sulawesi Selatan. Laporan Penelitian
Balitbang Agama Makassar (BLAM).
Azca, Najib (2015) Yang Madani namun Intoleran, Trayektori dan Variasi Gerakan Islam di
Indonesia” dalam Sidney Jones, dkk “Sisi Gelap Demokrasi, Kekerasan Masyarakat
Madani di Indonesia”. Jakarta, Pusat Studi Agama dan Demokrasi, Yayasan
Paramadina.
Dwi Hartini, Hegemoni Pemikiran Keagamaan: Etika Politik dalam Perspektif Wahdah Islamiyah.
Asketik Vol. 3 No. 1 Juli. 2019
M, Marhaeni Saleh, Eksistensi Gerakan Wahdah Islamiyah Sebagai Gerakan Puritanisme Islam
Di Kota Makassar. Jurnal Aqidah-Ta Vol. IV No. 1 Thn. 2018.
Said, Budi Asnawi, Karakteristik dan Peranan Wahdah Islamiyah dalam Penerapan Hukum
Islam di Kota Makassar. Tesis Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar. 2013.
Saprillah, Konstestasi Antar Kelompok Keagamaan dalam Masyarakat Islam; Dialektika,
Subordinasi dan strategi mempertahankan kelompok”. Disertasi Program Doktor UIN
Alauddin Makassar. 2020
Syarifuddin, Jurdi, (2006) Islam dan politik Lokal: Studi Kritis atas Nalar Politik Wahdah
Islamiyah (Yokyakarta: Pustaka Cendekia Press).
Tajuddin, Muhammad Saleh (2013) Pemikiran dan Gerakan Politik Organisasi Wahdah
Islamiyah (WI) di Sulawesi Selatan. Jurnal AL-FIKR, Volume 17 Nomor 1 Tahun 2013.
Media
Muhammad, Agus, Bahaya Radikalisme. Kompas, 1 Agustus 2015.
DPD Wahdah Islamiyah Bantaeng Adakan Musda I” https://wahdah.or.id/dpd-wi-bantaeng-
adakan-musda-i/ diakses pada, 30 Agustus 2020.

Penerbitan Perda Larangan Syiah, Ketua Komisi E DPRD Sulsel: Saya akan berjuang untuk ini
https://lidmi.or.id/penerbitan-perda-larangan-syiah-ketua-komisi-e-dprd-sulsel-saya-
akan-berjuang-untuk-ini/ diakses tanggal 9 September 2019.

42 | L a p o r a n A k h i r
Upaya Muslimah Wahdah Islamiyah Sidrap Berantas Buta Aksara Al-Qur’an Sumber dari:
https://wahdah.or.id/upaya-muslimah-wahdah-islamiyah-sidrap-berantas-buta-aksara-
al-quran/ diakses 2 September 2020.

Ustadz Qasim: Tarbiyah Termasuk Sistem Pendidikan Non Formal Sumber dari:
https://wahdah.or.id/ustadz-qasim-tarbiyah-termasuk-sistem-pendidikan-non-formal/
diakses 2 September 2020.

Kontribusi Nyata Wahdah Islamiyah Dinanti https://republika.co.id/berita/oai88412/kontribusi-


nyata-wahdah-islamiyah-dinanti diakses 30 Agustus 2020.

Tentang Syiah, FUI Sulsel Temui Kapolda: https://wahdah.or.id/tentang-syiah-fui-sulsel-temui-


kapolda/ diakses 18 Juni 2020.

Daftar Informan
ASN (tokoh Muda Masyarakat Bantaeng) 23 Januari 2019.
FI, 21 Januari 2020 di Bantaeng
H. Sahabuddin (Wakil Bupati Bantaeng) 3 Februari 2020 di Bantaeng.
NBL (mahasiswa UINAM) 19 Januari 2020 di Makassar.
Rahmat Abdul Rahman (Ketua Harian DPP WI) 25 Desember 2019 di Bantaeng.
RN (Kader dan Tokoh Muda Muhammadiyah) 21 Januari 2020 di Makassar.
SLH (tokoh Muda Masyarakat Bantaeng) 23 Januari 2020.
SLN (Kader NU Bantaeng) di Bantaeng, 23 Januari 2020.
YNS (Mantan Aktivis WI) 30 Januari 2020 di Bantaeng.
YNS, 25 Januari 2020 di Bantaeng.
Zaitun Rasmin (Ketua DPP WI) 25 Desember 2019 di Bantaeng.
ZL (pegiat literasi di Bantaeng) 30 Januari 2020 di Makassar.

43 | L a p o r a n A k h i r
Dari Tausiah Lapangan ke Zikir Pendopo:
Pergeseran Ruang-ruang (In)Toleransi di Banda Aceh

T.M. Ja’far

Pengantar
Banda Aceh adalah kota yang telah berusia 814 tahun, dan pada 22 April 2020 ini akan berusia
815 tahun. Kota pusat kekuasaan ini didirikan oleh Sultan Alaidin Johansyah pada 22 April 1205.
Paska tsunami, yang terjadi tahun 2004, kota ini telah melakukan pemilihan kepala daerah serentak
sebanyak 3 kali yaitu tahun 2007, 2012 dan 2017. Pada kepemimpinan periode 2017-2022, visi
politik pasangan walikota adalah “menjadikan Banda Aceh sebagai Kota Madani dan Bandar
Wisata Islami”. Praktek pro penegakan syariat Islam yang dilakukan adalah dengan mengeluarkan
himbauan larangan merayakan tahun baru, larangan merayakan valentine kepada warga Banda
Aceh, mengeluarkan himbauan larangan keluar malam bagi perempuan tanpa muhrim, dan
lainnya. Di masa kepemimpinan Illiza Sa’adudin Djamal (2012-2017), kepala daerah berhasil
melarang warga kota Banda Aceh merayakan malam pergantian tahun. Di ruang publik, praktik
pro penegakan syariat Islam ditandai dengan mengadakan ceramah atau tausiah rutin setiap Jumat
di tempat-tempat terbuka, seperti lapangan, mengundang seluruh SKPK, siswa sekolah untuk hadir
ke lokasi acara. Tausiah diisi oleh penceramah-penceramah kondang dari luar Aceh, juga dai-
daiyah selebritis yang sudah hijrah, seperti Peggy Melati sukma, Ustaz Solmed dan lainnya.
Tidak hanya itu, setiap tahun, tepatnya dimulai tahun 2013, pemerintah Kota Banda Aceh
juga mengeluarkan himbauan larangan merayakan tahun baru, karena merayakan tahun baru yang
dianggapnya bukan budaya Islam. Larangan ini ditujukan tidak hanya untuk kalangan Muslim
tetapi juga untuk non-Muslim. Himbauannya berupa larangan untuk melakukan zikir bersama,
tausiah, pesta pora, hura-hura dengan membakar mercon dan kembang api yang ditujukan sebagai
bagian merayakan tahun baru. Di tahun 2013 misalnya, wakil walikota sendiri yang turun ke jalan
merazia agar tidak ada yang membakar mercon dan petasan. Bagi kalangan non-Muslim di Banda
Aceh, merayakan tahun baru adalah sebuah kebiasaan, terutama paska perayaan natal yang
disambung dengan tahun baru. Kalangan Muslim pun menganggapnya demikian karena sudah
dilakukan sebelum era formalisasi syariat Islam.

44 | L a p o r a n A k h i r
Ketika pemilu tahun 2017, pasangan incumbent kalah dan dimenangkan oleh
penantangnya, yaitu Aminullah Usman. Visi politik pemenang adalah “menjadikan Kota Banda
Aceh sebagai kota gemilang dan menjadikan Banda Aceh sebagai kota zikir”. Visi ini kemudian
merubah pola praktik pro-penegakan syariat Islam. Berbeda dari sebelumnya, ia tidak lagi dengan
ceramah-ceramah di lapangan, tetapi diganti dengan zikir yang dilaksanakan di pendopo walikota,
dan berpindah dari masjid satu ke masjid lainnya di kecamatan dan desa. Ia dimulai lansung dari
rumah kekuasaan. Dengan kata lain, perubahan yang terjadi adalah dari tausiah di lapangan ke
zikir di pendopo.
Dalam konteks kehidupan sosial keagamaan di Aceh, posisi pemerintah Kota Banda Aceh
berada pada perseteruan laten yang terjadi antara gerakan Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jamaah)
dan kelompok kajian Sunnah, yang oleh pihak Aswaja diklaim sebagai wahabi yang bersembunyi
di balik baju Sunnah. Persoalan ini memuncak pasca terbitnya Fatwa MPU Aceh No. 9 Tahun
2014 yang menyebut wahẚbi sebagai aliran sesat. Fatwa tersebut telah memicu gerakan massal
para santri dayah (istilah lokal untuk pesantren) untuk melakukan gerakan melawan aksi
“Wahhẚbisasi” di Aceh. Gerakan ini memuncak pada parade Aswaja yang berlangsung pada 10
September 2015.
Terkait dengan Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan mazhab syafi’i, oleh pemerintah telah diatur
dalam qanun Nomor 8 tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam, yang menjelaskan bahwa
Syariat Islam mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat dan aparatur di Aceh yang
pelaksanaannya meliputi: Aqidah, Syariah dan Akhlak.
Di bidang Aqidah, uraiannya dapat dilihat pada pasal-pasal di bawah ini:
Pasal 11:
1. Setiap orang beragama Islam yang berada di Aceh wajib beraqidah Islamiyah sesuai dengan
Al-Quran dan As-Sunnah dalam jiwa dan perilaku.
2. Aqidah Islamiyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Aqidah Ahlussunah wal
Jama’ah (Sunni).
3. Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota bersama-sama dengan masyarakat
berkewajiban menanam, membina dan memperkokoh aqidah pada setiap muslim sejak usia
dini.
4. Kewajiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berada pada setiap orang tua/wali
terhadap anggota keluarganya.

45 | L a p o r a n A k h i r
Pasal 12: “ Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota bertanggung jawab melakukan
perlindungan, dan pengawasan terhadap aqidah umat”.
Pasal 13: “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bidang aqidah diatur dengan Qanun
Aceh”.

Di bidang syariah, dalam pasal 14 Qanun disebutkan :


1. Penyelenggaraan ibadah di Aceh wajib dijalankan sesuai dengan tuntunan syariah.
2. Penyelenggaraan ibadah sebagaimana diatur ayat (1) diamalkan dengan memprioritaskan tata
cara pengamalan ibadah menurut mazhab Syafi’i.
3. Penyelenggaraan ibadah yang tidak mengacu pada tata cara mazhab Syafi’i dibolehkan selama
dalam bingkai mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali dengan selalu mengedepankan kerukunan,
ukhuwah Islamiyah dan ketentraman dikalangan umat Islam.
4. Dalam hal ada kelompok masyarakat di Aceh yang sudah mengamalkan mazhab Hanafi,
Maliki atau Hambali tidak dapat dipaksakan untuk mengamalkan mazhab Syafi’i.
5. Dalam hal kelompok masyarakat yang mengamalkan ibadah mengikuti paham organisasi
keagamaan yang sesuai dengan Al-Quran dan Hadist serta diakui secara sah oleh Negara tetap
dibenarkan/dilindungi.
6. Terhadap permasalahan kontemporer yang ditemukan dalam mazhab yang empat, dapat
dilakukan kajiaan lebih lanjut oleh MPU Aceh yang melibatkan lembaga terkait yang
berwenang.
7. Apabila terjadi khilafiah dalam penyelenggaraan ibadah maka dilakukan muzakarah atau
pengkajian komprehensif oleh MPU Aceh yang melibatkan lembaga terkait dengan
mengedepankan semangat ukhuwah Islamiah, toleransi (tasamuh) dan keterbukaan.
8. Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota berkewajiban menyediakan fasilitas
dan menciptakan kondisi serta suasana lingkungan yang kondusif untuk penyelenggaraan
ibadah.
9. Setiap instansi pemerintahan, perusahaan, instansi swasta dan penyelenggara fasilitas umum
wajib menyediakan sarana ibadah yang layak.
10. MPU Aceh berkewajiban mengawasi peribadatan yang menyimpang dari aturan syariah yang
berpotensi menimbulkan keresahan dan konflik dalam masyarakat.

46 | L a p o r a n A k h i r
Semua aturan ideal yang terdapat dalam qanun tersebut seperti diakomodirnya
keberagaman mazhab selain mazhab syafi’i, tidak bisa menjadi andalan pemerintah dalam
mengelola keberagaman, gejolak penolakan oleh warga yang tidak sependapat dengan
keberagaman tersebut tidak mampu dibendung pemerintah. Pemerintah bahkan terkesan ambil
peran dalam memperkeruh situasi yang gejolak tersebut. Gejolak penolakan terhadap wahabi dan
peneguhan aqidah ahlussunah wal jamaah memuncak pada parade Aswaja yang dilakukan pada
tanggal 10 September 2015. Ribuan santri dan anggota ormas ambil bagian dalam parade –yang
oleh mereka klaim– Ahlussunnal Wal Jamaah (Aswaja). Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf,
yang juga ketua Partai Aceh (PA) pada saat itu, juga hadir dan memberikan pidato dalam acara
tersebut. Massa berkumpul di kompleks Makam Teungku Syiah Kuala dan kemudian berjalan kaki
menuju kantor gubernur, lalu menyusuri Jalan Teungku Daud Beureu-eh melewati Jambo Tape,
gedung DPRA dan Pendopo Gubernur.59
Massa tidak hanya berparade, tetapi juga menyampaikan tuntutan, sebagai berikut:
1. Pemerintah Aceh mengatur tatacara pelaksanaan ibadah sesuai mazhab Syafii
2. Pemerintah Aceh menyerahkan posisi imam besar dan imam rawatib serta segala yang
menyangkut ibadah dan pengajian Masjid Raya Baiturrahman kepada ulama bermazhab Syafii
3. Pemerintah Aceh menyerahkan pengelolaan Masjid Raya Baiturrahman di bawah kontrol Wali
Nanggroe.
4. Pemerintah Aceh menyerahkan muzakarah ulama mengenai tatacara ibadah di Baiturrahman
kepada MPU Aceh dan menolak dilaksanakan pihak lain.
5. Pemerintah Aceh mencabut izin operasional dan tidak berikan izin pendirian sekolah dan
lembaga Islam yang bertentangan dengan mazhab Syafii dan akidah Ahlussunnah (Asyariah
dan Matuduriyah).
6. Pemerintah Aceh menghentikan seluruh aktivitas salafi-wahabi, syiah, komunis, dan aliran sesat
di seluruh Aceh.
7. Segala aktivitas keramaian dan kegiatan keagamaan wajib dapat rekom MPU.

59
Acehkita.com, “Parade Ahlussunnah, Ini 12 Tuntutannya” https://acehkita.com/parade-ahlussunnah-ini-
12-tuntutannya/

47 | L a p o r a n A k h i r
8. Pemerintah Aceh tidak menempatkan kepala SKPA dan ketua Badan yang tidak sepaham
Ahlussunnah
9. Pemerintah Pusat mempercepat realisasi turunan MoU Helsinki dan UUPA.
10. Pemerintah Aceh dan Pusat menjalankan Qanun No 8/2012 tentang Wali Nanggroe.
11. Menolak intervensi pemerintah Aceh terhadap MPU dan wajib jalankan fatwa
12. Pemerintah Aceh agar menjalankan Qanun Jinayat dan Qanun Acara Jinayat secepatnya
13. Apabila tuntutan ini tidak diindahkan dan dilaksanakan, kami akan datang dengan jumlah
massa lebih besar lagi.

Ketegangan dan polemik antara kelompok keagamaan di ruang publik, dan pola
pemerintah daerah dalam merespons dan mengelola konflik telah menyebabkan pembelahan: ada
yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Pemerintah daerah tidak hanya memihak, tetapi
bekerjasama dengan ormas-ormas yang diuntungkan, dan menekan ormas lainnya, dan karenaya
dirugikan oleh pemerintah.

Ormas Islam Aliansi Pemda Kota Banda Aceh: Majelis Zikir dan Pengajian Gemilang
(MPG)
Majelis Zikir dan Pengajian Gemilang (MPG) lahir pada tanggal 7 September 2017.
Launchingnya dilakukan oleh Walikota Banda Aceh sekaligus dengan pengukuhan pengurusnya.
Acara launchingnya dihadiri oleh 34 pimpinan dayah sekota Banda Aceh dan 5 (lima) majelis
zikir, yaitu Majelis Zikrullah Aceh (MZA), Majelis Zikir Ratep Siribee, (merupakan rateb yang
dipopulerkan oleh Majelis Pengakajian tauhid Tasawuf (MPTT)), Majelis Zikir Mujiburrahman,
Majelis Zikir Arafah, dan Majelis Zikir Zawiyah Nurun Nabi Aceh. Kelima majelis zikir ini adalah
majelis yang sering mengadakan zikir rutin di Kota Banda Aceh. MPG ini adalah bentukan
Pemkot, khusus untuk mengelola bidang zikir dan tausiah gemilang, dan juga mengelola kegiatan-
kegiatan sosial. Menurut Walikota, keberadaan lembaga ini menjadi penting untuk mengajak
seluruh elemen kota untuk menegakkan setiap sendi syariat Islam menuju penerapannya secara
kaffah di Banda Aceh.60 Selain zikir bersama yang diikuti oleh sekira 500 jamaah, acaranya juga

60
Pemprov Aceh, “Aminullah Resmikan Majelis Zikir dan Pengajian Gemilang”,
https://humas.acehprov.go.id/aminullah-resmikan-majelis-zikir-dan-pengajian-gemilang/

48 | L a p o r a n A k h i r
diisi dengan tausiah agama yang disampaikan oleh Ustaz Umar Ismail SAg. Di antara tamu
undangan terlihat hadir Ketua DPRK Banda Aceh, Arif Fadillah beserta sejumlah anggota dewan
lainnya, para Kepala SKPK, Kabag, dan Camat di lingkungan Pemko Banda Aceh. Walikota
Banda Aceh bertindak sebagai penasehat dalam struktur MPG.
Zikir ini merupakan turunan dari visi dan misi Walikota Banda Aceh yang juga tertera
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), sebagai strategi untuk
mencapai visi misi: penegakan syariat Islam, pendidikan dan ekonomi. Terkait syariat Islam,
visinya adalah “Kota Banda Aceh sebagai kota Zikir”. Dalam rangka mewujudkan visi-misi,
walikota membentuk Majelis Zikir dan Pengkajian Gemilang (MPG) untuk mengelola seluruh
majelsi zikir yang ada di Kota Banda Aceh dan untuk menjalankan kegiatan zikir di Kota Banda
Aceh .

“Setiap malam Jumat di pendopo, MPG akan menggelar zikir dan pengajian, dan ke depan
akan kita buat terbuka untuk umum. Selain untuk menguatkan iman kita agar tetap komit
menjalankan syariat Islam, ajang ini juga dapat menjadi wadah sharing informasi yang kita
perlukan dalam pembangunan kota,” ungkap Walikota.Dengan beragam aktivitas
keagamaan yang digelar secara kontinyu, Walikota berharap nuansa syariat Islam di Banda
Aceh akan terasa lebih kentara. “Untuk mewujudkannya saya mengharapkan dukungan
dari segenap unsur forkopimda, anggota dewan, pimpinan dayah/pesantren, Kepala SKPK,
camat, dan seluruh perangkat gampong. Salah satu perubahan yang ingin kami wujudkan
ke depan adalah semakin meningkatnya kesadaran masyarakat sehingga syariat Islam dapat
benar-benar kita terapkan secara kaffah di Banda Aceh,”

Zikir perdana dilanksanakan di Pendopo Walikota Banda Aceh , dan dilaksanakan sejak 7
September 2017 hingga 30 Desember 2018. Sejak tanggal 28 Januari, MPG turun ke masjid-masjid
di 9 kecamatan61, yaitu:
1. Masjid Baitul Musyahadah kecamatan Banda Raya, sebagai Masjid perdana pelaksanaan Zikir.
2. Masjid Haji Kechik Leumik kecamatan Lueng Bata.
3. Masjid Baitus Salihin kecamatan Ulee kareng
4. Masjid Al-Furqan, kecamatan Kuta alam
5. Masjid Baiturahim kecamatan Meuraxa.
6. Masjid Syuhada kecamatan Syiah kuala

61
. Kota Banda Aceh, punya 9 Kecamatan, yaitu: Kec. Baiturrahman, Banda Raya, Jaya Baru, Kuta Alam,
Kuta Raja, Lueng Bata, Meuraxa, Syiah Kuala, Ulee Kareng

49 | L a p o r a n A k h i r
7. Masjid Tengku Dianjong kecamatan Kuta raja
8. Masjid Besar Makam Pahlawan, kecamatan Baiturrahman
9. Masjid Kapal Apung, kecamatan Jaya Baru.

Mulai tahun 2020 kegiatan zikir direncanakan untuk diadakan di gampong-gampong


(desa), dengan formasi dua kali di pendopo, satu kali di masjid gampong (desa). Pada Juanuari
2020, acara dilakukan di dua masjid gampong dan pada tanggal 13 Februari dilaksanakan di Masjid
Babul Jannah, Gampong Neusu Aceh, kecamatan Baiturrahman. Kegiatan ini direncanakan terus
dilakukan dari masjid ke masjid sebagai strategi mencapai visi-misi. Kota zikir, sebagai bagian
dari visi-misi pemerintah, diartikan bahwa seluruh masjid di Banda Aceh wajib melaksanakan
zikir.62
Tengku Jumaris, sebagai pengurus MPG, yang menurutnya bahwa Walikota Banda Aceh
adalah satu-satunya pemimpin di dunia, satu-satunya di Indonesia, yang menjadikan pendoponya
sebagai tempat berzikir rutin, mengatakan bahwa zikir di Pendopo Walikota mempunyai tujuan,
sebagai berikut:
1. Beribadah kepada Allah,
2. Ajang mewujudkan visi misi dan
3. Ajang silaturahim

Dalam kegiatan zikir dan pengajian MPG tidak dibolehkan:


1. Membahas masalah politik
2. Membahas masalah khilafiah
3. Fitnah
4. Saling menghina

Pelaksanaan zikir ini didukung penuh oleh Dinas Syariat Islam (DSI) Kota Banda Aceh.
Dinas menyediakan konsumsi, makan, minum dan insentif untuk para penceramah. Kegiatan zikir
di pendopo ini juga diikuti dengan kegiatan-kegiatan lain seperti penyerahan hadiah, pemberian
penghargaan dan lainnya. Kegiatan zikir ini biasanya diawali dengan sambutan pimpinan daerah

62
Wawancara dengan Tengku Jumaris, Ketua Majelis Zikir dan Pengkajian Gemilang (MPG) Kota Banda
Aceh

50 | L a p o r a n A k h i r
baik Walikota maupun Wakil Waliktoa, kemudian tausiah oleh penceramah, zikir, doa bersama
dan makan bersama, dimana walikotanya juga ikut makan bersama-sama.
Pengurus MPG ini menjelaskan bahwa tamu-tamu luar negeri dan dari luar Aceh takjub
dengan apa yang dilakukan oleh walikota Banda Aceh. Rumah negara, rumah pemimpin
dimanfaatkan untuk kegiatan masyarakat. Jika istana walikota dulu dianggap agak angker untuk
dimasuki oleh warga, sekarang seluruh warga masyarakat dapat masuk dan dilayani oleh Walikota
beserta jajarannya.
Pengurus MPG di-SK-kan lansung oleh Walikota Banda Aceh, tetapi tidak menerima
insentif lansung dari pemerintah, berupa gaji atau semacamnya. Menurut pengurus MPG, apa yang
dilakukan MPG hanya merupakan kegiatan sosial dan MPG bertindak semacam panitia pelaksana,
karena yang berzikir itu bukan pengurus. MPG hanya mengelola dan mengatur teknis pelaksanaan
zikir dengan mengundang seluruh majelis zikir yang ada di kota Banda Aceh. Seluruh masing-
masing memiliki pimpinan sendiri, model sendiri dan punya jamaah sendiri. Jamaah inilah yang
dihimpun, plus seluruh warga masyarakat yang ada di Kota Banda Aceh, termasuk dan terutama
majelis zikir dayah-dayah atau pesantren-pesantren yang ada di Kota Banda Aceh.
Jamaah zikir diundang melalui grup-grup WAG (WhatAps Grup) dan undangan kepada
keuchik-keuchik (kepala desa) :
“ semua kita undang, tetapi pimpinan majelisnya yang kita utamakan, misal, malam
jumat depan, pimpinan majelis zikirnya adalah majelis Zawiyah Nurun Nabi Aceh,
beliau akan mengundang jamaahnya sendiri, kita pengurus akan mengundang
seluruh jamaah untuk hadir , tentu juga dengan pegawai-pegawai, staf yang ada di
kota Banda Aceh, yang menjadi panitia, tetap pengrusu MPG, kita yang menata,
mengatur, membuat jadwal dan lain sebagainya”.63

Zikir di pendopo Walikota diadakan setiap hari Jumat malam (malam sabtu), dan
undanganya adalah seluruh warga:
“ Semuanya kita undang, termasuk Muhammadiyah juga diundang, tidak melihat
siapa mereka, artinya kita tidak ada memilah dan memilih, tetapi jangan yang
bertentangan dengan agama”.

Terkait dengan Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan oleh Gubernur Provinsi Aceh, yang
berisi larangan mengadakan pengajian selain dari Itiqad Ahlussunah waljamaah yang bersumber
hukum mazhab Syafi’iyah, pengurus MPG menyatakan bahwa karena itu dari pemerintah, maka

63
Wawancara dengan Tengku Jamaris, Ketua MPG Kota Banda Aceh

51 | L a p o r a n A k h i r
mereka akan mengikuti.

Menggemakan Zikir
Untuk menggemakan zikir di seantero kota, mulai 2019, pemerintah Kota Banda Aceh
melalui Majelis Zikir dan Pengajian Gemilang (MPG) menggelar tausiah dan zikir bersama di luar
pendopo walikota, minimal satu kali dalam sebulan. Masjid pertama yang disambangi oleh Jemaah
Zikir Gemilang yakni Masjid Baitul Musyahadah, Gampong Geuceu Kayee Jato, Kecamatan
Bandar Raya. Sesuai dengan visi misi Walikota yang bercita-cita mewujudkan Banda Aceh
sebagai Kota Zikir, dari masjid kecamatan, seterusnya lantunan zikir digerakkan untuk dapat
bergema di seluruh gampong yang ada di Banda Aceh. Menurut Walikota, berzikir membesarkan
asma Allah memiliki banyak hikmah, di samping ibadah. Zikir dapat juga membangun silaturahmi
antar warga kota, saling kenal, menjaga kebersamaan dan kekompakan, dan tentu akan
mempercepat proses pembangunan di Banda Aceh. Yang tak kalah penting adalah pewujudan
Banda Aceh sebagai Kota Zikir akan meningkatkan nilai tawar Banda Aceh sebagai salah satu
destinasi wisata halal terpopuler Indonesia. 64
Menurut Walikota, tujun pelaksanaa zikir ini adalah untuk semakin menggemakan zikir di
seantero kota sesuai dengan visi misi dan cita-cita untuk mewujudkan Banda Aceh sebagai Kota
Zikir. Dari masjid kecamatan, seterusnya kita harapkan lantunan zikir dapat bergema di seluruh
gampong yang ada di Banda Aceh. Menurutnya, berzikir membesarkan asma Allah memiliki
banyak hikmah. Di samping ibadah, zikir dapat membangun silaturahmi antar warga kota.
“Dengan kita saling kenal, kebersamaan, dan kekompakan, tentu akan mempercepat proses
pembangunan di Banda Aceh,” katanya. Dan yang tak kalah penting, pewujudan Banda Aceh
sebagai Kota Zikir akan meningkatkan nilai tawar Banda Aceh sebagai salah satu destinasi wisata
halal terpopuler Indonesia. “Untuk itu, kami berharap dukungan penuh dari masyarakat agar cita-
cita mulia ini dapat kita wujudkan bersama,” kata Walikota.
Walikota Banda Aceh Aminullah Usman meresmikan Majelis Zikir dan Pengajian Gemilang
(MPG) sekaligus mengukuhkan pengurus lembaga tersebut, Kamis (7/9/2017) malam di pendopo
walikota. Menurut Walikota, keberadaan lembaga ini menjadi penting untuk mengajak seluruh

64
Pemerintah Kota Banda Aceh, “Mulai 2019, Pemko Banda Aceh Gelar Tausiah dan Zikir Gemilang di
Setiap Kecamatan”, https://bandaacehkota.go.id/berita/13175/mulai-2019-pemko-banda-aceh-gelar-tausiah-dan-
zikir-gemilang-di-setiap-kecamatan.html

52 | L a p o r a n A k h i r
elemen kota untuk menegakkan setiap sendi syariat Islam menuju penerapan syariat Islam secara
kaffah di Banda Aceh.65
“Setiap malam Jumat di pendopo, MPG akan menggelar zikir dan pengajian, dan ke depan
akan kita buat terbuka untuk umum. Selain untuk menguatkan iman kita agar tetap komit
menjalankan syariat Islam, ajang ini juga dapat menjadi wadah sharing informasi yang kita
perlukan dalam pembangunan kota,” ungkapnya. Dengan beragam aktivitas keagamaan yang
digelar secara kontinyu, Walikota berharap nuansa syariat Islam di Banda Aceh akan terasa lebih
kentara. “Untuk mewujudkannya saya mengharapkan dukungan dari segenap unsur forkopimda,
anggota dewan, pimpinan dayah/pesantren, Kepala SKPK, camat, dan seluruh perangkat
gampong,” katanya.
“Salah satu perubahan yang ingin kami wujudkan ke depan adalah semakin meningkatnya
kesadaran masyarakat sehingga syariat Islam dapat benar-benar kita terapkan secara kaffah
di Banda Aceh,”
(Aminullah yang juga menjabat sebagai penasehat dalam lembaga MPG).

Sebelumnya di tempat yang sama, Ketua Umum MPG Jumaris mengatakan pembentukan
lembaga ini didasari oleh keinginan yang tulus dan ikhlas untuk meningkatkan pelaksanaan syariat
Islam di Banda Aceh sebagaimana telah dituangkan dalam visi misi kepemimpinan Aminullah
Usman-Zainal Arifin. “Pak Amin juga bercita-cita untuk mewujudkan Banda Aceh sebagai Kota
Zikir sehingga kelak akan melahirkan kota yang gemilang dalam bingkai syariah. Di dalam
perjalanannya kelak, kami tentu sangat mengharapkan bimbingan dan arahan dari teungku-
teungku dayah yang ada di Banda Aceh”.

Ormas Yang Tertekan oleh Politik Pemda: Yayasan Media Sunnah Aceh : Kajian Sunnah
Aceh
Gerakan ini adalah gerakan kajian Sunnah di masjid-masjid. Gerakan ini, oleh gerakan
Aswaja (Ahlu Sunnah Wal Jamaah) dikatakan sebagai gerakan Wahabi yang berlindung di bawah
kajian-kajian Sunnah. Yayasan Media Sunnah Aceh ini merupakan salah satu media dakwah
Sunnah berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Rasul dengan pemahaman para sahabat. Hal ini
berdasarkan penelusuran melalui laman facebook yaitu Media Sunnah Aceh dan website

65
Pemerintah Provinsi Aceh, “Aminullah Resmikan Majelis Zikir dan Pengajian Gemilang”
https://humas.acehprov.go.id/aminullah-resmikan-majelis-zikir-dan-pengajian-gemilang/

53 | L a p o r a n A k h i r
www.mediasunnahaceh.com. Dari penelusuran laman Facebook @Media Sunnah Aceh, terdapat
keterangan:
“Media Sunnah Aceh merupakan salah satu media dakwah Sunnah berdasarkan Al-Quran
dan Sunnah Rasul dengan pemahaman para sahabat.
Ingin menjadi bagian dalam media dakwah ini, salurkan infak dan donasi terbaik antum
untuk operasional dan kegiatan dakwah Media Sunnah Aceh, di BNI Syariah (kode 427)
No rekening 20.19.07.01.11 an. Yayasan Media Sunnah Aceh
Konfirmasi 08126902233
harta yang antum salurkan akan sangat membantu dan insyaAllah menjadi bagian
pengembangan dakwah sunnah ini,
Jazakumullahu khairan
Follow Akun Media Sunnah Aceh
* IG : https://www.instagram.com/mediasunnah...
* Youtube: https://www.youtube.com/c/MediaSunnah...
* FB : https://www.facebook.com/mediasunnaha...
* Telegram : http://t.me/mediasunnahaceh/
* Website : http://www.mediasunnahaceh.com/
MedSTV Media Sunnah Aceh Sunnah Tauhid Hijrah

Yayasan ini berdiri sejak tahun 2019, namun gerakannya sudah lama, dimulai dari gerakan
sosial media yang menyebar dakwah melalui sosial media. Yayasan Media Sunnah Aceh didirikan
dengan tujuan untuk melansungkan pendidikan dan untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial.66
Yayasan ini dalam webnya berisi video-video kajian yang diasuh oleh dua orang ustaz
berasal dari Aceh, yaitu Ustaz Farhan Abu Furaihan, Ustaz haris Abu Naufal. Terdapat juga video
berisi kajian Ustaz Firanda, namun Firanda ini berasal dari Jwa Timur. Ustaz Farhan Abu Furaihan
dan Ustaz Firanda, adalah dua orang Ustaz yang sering mengisi kajian yang pengajian mereka
sudah pernah dibubarkan pengajiannya oleh massa yang mengklaim berasal dari Aswaja. Ustaz
Firanda bahkan pernah ditolak kedatangnnya oleh massa karena dianggap cenderung ke Wahabi
dan dengan tujuan untuk mencegah kekacauan di masyarakat.

Pembubaran Pengajian dan pemulangan Ustaz Dr. Firanda Andiraja.


Rencana kedatangan Firanda ini ditolak oleh warga dan warga tidak setuju dengan
kedatangannya tersebut, karena Firanda dianggap sosok yang dekat ke Wahabi, dituding menghina
ulama dan menghina keluarga Nabi dengan mengatakan bahwa ayah dan ibu nabi masuk neraka.

66
Wawancara dengan Rony Chandra, Ketua Yayasan Media Sunnah Aceh

54 | L a p o r a n A k h i r
Hal ini disampaikan oleh Muslim Ibrahim (Alm), yang membenarkan bahwa memang ada warga
yang tidak setuju dengan kehadiran Ustaz ini dengan alasan Firanda lebih dekat ke aliran Wahabi,
sedangkan yang banyak dianut di Aceh adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Masyarakat meminta
agar tidak sembarangan mengizinkan penceramah dari luar yang belum diketahui apa alirannya
agar tidak terjadi kekacauan di masyarakat. MPU Aceh menyatakan sudah mengungkapkan
keberatan kepada pemerintah daerah, tapi mungkin pemerintah daerah tidak punya waktu untuk
melakukan sosialisasi.67
Kekhawatiran akan terjadinya kekacauan di tepis oleh pengurus masjid yang mengundang
Firanda ke Aceh. Panitia menyatakan bahwa Ustaz Firanda hanya menyampaikan Alquran, hadis,
bagaimana beribadah sesuai tuntunan dan tidak pernah menyinggung ulama-ulama lain. Kami
mengatakan ada sesuatu yang salah, itu bukan kami tujukan ke orang per orang. Kami hanya
menyatakan ini salah menurut Alquran, ini salah menurut sunah," kata Muslim Usman, pengurus
masjid di Banda Aceh yang mengundang Ustaz Firanda. Dakwah kami adalah dakwah yang
santun. Kami tak pernah mendiskreditkan orang, lembaga, atau instansi lain," katanya.68
Ketika ditanya apakah MPU sudah pernah melakukan klarifkasi lansung ke Firanda,
Muslim Ibrahim mengatakan pihaknya belum bisa memberikan jawaban apakah sudah ada
komunikasi dengan Firanda. Beliau mengatakan bahwa pemerintah daerah sudah setuju agar kali
ini, ia tidak memberikan khotbah Jumat dan ceramah. Muslim mengatakan dari sisi ajaran, Wahabi
tidak terlalu bermasalah. Tetapi yang dikhawatirkan adalah jika ada cap atau yang mendiskreditkan
Muslim lainnya yang tidak satu aliran, termasuk soal baca qunut untuk salat Subuh. "Yang kami
khawatirkan adalah akan ada ucapan bahwa ulama yang menganjurkan doa qunut sesat dan orang
yang sesat masuk neraka. Nah, hina menghina seperti inilah yang kami harapkan tidak terjadi,"
katanya. "Kami tidak ingin satu kelompok mengejek kelompok lain di Aceh.
Pengajian Ustaz Firanda dibubarkan massa pada tanggal 13 Juni 2019 di Masjid Al-Fitrah,
Ketapang, Banda Aceh. Sejumlah warga mendatangi masjid, membubarkan pengajian disertai
pemukulan dan saling dorong di dalam masjid. 69
Panitia kegiatan melalui klarifikasinya menjelaskan bahwa kedatangan Firanda ke Banda

67
BBC, “Ustadz Firanda Ditolak di Aceh karena ‘lebih cenderung ke Wahabi’ dan ‘untuk mencegah
kekacauan masyarakat”, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48617536
68
ibid
69
Kumparan, “Pembubaran Pengajian Ustadz Firanda di Aceh, ini Penjelasan Panitia”,
https://kumparan.com/acehkini/pembubaran-pengajian-ustaz-firanda-di-aceh-ini-penjelasan-panitia-1rIB5btFH0Y

55 | L a p o r a n A k h i r
Aceh pada tanggal 13 Juni 2019, sekitar pukul 15.00 dan keluar dari bandara dengan aman, namun
tiba-tiba masuk rombongan pendemo yang langsung masuk ke Bandara dan melakukan orasi di
Bandara (dari pihak Aswaja, FPI), di antaranya ada Tu Bulqaini, saat itu kepada massa aksi
Kapolresta Banda Aceh mengeluarkan pernyataan bahwa Firanda akan dipulangkan segera.
Ketika Ustaz Firanda sudah keluar lebih dulu sebelum demo terjadi, pihak aparat
menghubungi pihak panitia, dan hendak memulangkan Ustaz Firanda ke Jakarta. Dinyatakan
bahwa Kapolres telah menunggu panitia beserta Ustaz Firanda di Bandara. Panitia menolak,
karena tentu ini tidak fair. Namun pada akhirnya pihak aparat menyatakan ingin bertemu langsung
dengan panitia dan Ustaz Firanda untuk membicarakan soal keberlangsungan acara dan potensi
keributan yang akan terjadi. Ruang rembuk pun dibuka, dan pihak aparat menyampaikan akan ke
Hotel Kyriad untuk langsung menemui panitia dan Ustaz Firanda. Kemudian, panitia mendapat
informasi dari pihak hotel, bahwa massa FPI sedang menuju hotel dan meminta mereka untuk
segera keluar (check out). Maka panitia memutuskan agar Ustaz Firanda segera dibawa pergi dari
hotel, dan beberapa panitia menetap di hotel untuk bertemu dan berembuk dengan Kapolres
tentang persoalan ini bersama, tanpa Ustaz Firanda.
Pada pertemuan di Hotel Kyriad, tanpa diduga menduga, ternyata telah hadir pihak
pemerintah yang diwakili Asisten 1 Walikota Banda Aceh, Dinas Syariat Islam, kemudian dari
Polda, Kapolres, Dandim, Wakapolres, disertai MPU Banda Aceh. Para pihak ini, kesemuanya
menyampaikan hal yang sama; meminta kajian dihentikan dan Ustaz Firanda dipulangkan segera.
Di antara hal yang dijadikan alasan adalah (1) kita tidak mengantongi izin acara (hal ini
disampaikan Asisten 1 Walikota), (2) MPU sudah melarang berdasarkan fatwa MPU Nomor 9
Tahun 2014, bahwa kajian salafi sesat menyesatkan, dan (3) juga acara kita dinilai berpotensi
menciptakan chaos.
Panitia tidak dapat menerima permintaan tersebut dengan beberapa alasan:
- Tidak ada satu pun regulasi yang mengharuskan izin pada acara ceramah di Masjid. Dan
tidak ada yang berhak melarang pengajian atau kegiatan keagamaan kecuali bila
bertentangan dengan Pancasila. Ketika alasan ini kita sampaikan, maka dari pihak Polres
dan Polda mengakui bahwa memang tidak ada syarat untuk itu, serta tak ada yang berhak
melarang. Hanya saja surat pemberitahuan acara diperlukan. Dan pada faktanya kami telah
menyurati Kapolres dan Dandim tentang pemberitahuan acara.
- Ini adalah soal hak mendasar umat beragama yang negara harus menjaminnya. Sehingga
negara melalui aparat keamanan harus hadir untuk mengayomi dan melindungi, tidak
menghalangi.
- Fatwa MPU (lembaga yang bersifat independen, yakni mitra Pemerintah yang dapat
memberikan usulan dan pertimbangan para pengambil kebijakan). Fatwa MPU bukan

56 | L a p o r a n A k h i r
produk hukum positif yang punya kekuatan hukum mengikat yang kerap kali dijadikan
alasan untuk menghentikan dakwah Ahlussunnah Salafiyyun mengandung cacat
substansial dan bersifat menuduh. Tidak menggambarkan keyakinan salafi secara tepat
seutuhnya. Maka fatwa itu harus ditinjau ulang. Fatwa MPU bukan produk hukum positif
yang punya kekuatan hukum mengikat. Fatwa MPU justru telah menyesatkan keyakinan
para tokoh agama Bangsa Indonesia yang dahulu berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan
kejayaan agama di nusantara. Seperti Imam Bonjol, Diponegoro, Ki Bagus Hadikusumo,
Mohd. Natsir, dll. Dan Aceh masih dalam NKRI. Dalam sistem Otonomi Daerah, urusan
agama masih termasuk urusan yang merupakan domain kewenangan pemerintah pusat.
Sehingga menjadikan Fatwa MPU sebagai dasar pertimbangan untuk hal ini seharusnya
tidak dilakukan.
- Terdapat Pasal 175 KUHP yang menjelaskan tentang larangan mempersekusi kegiatan
keagamaan. Dengan pertimbangan ini, kami sebenarnya yakin bahwa pihak keamanan
akan tetap melidungi setiap kegiatan, dan menjaga keamanan, sesuai amanah hukum dan
akan melarang pihak-pihak yang akan mempersekusi. Walaupun kami telah
menyampaikan bahwa kami juga telah menyiapkan keamanan internal sebagai antisipasi.
- Kami dan pemateri kajian (Ustaz Firanda) bukan pihak radikal, dan juga tidak memiliki
catatan untuk aksi radikalisme. Hingga kami yakin pihak keamanan akan tetap melindungi
kami manakala ada pihak yang ingin memaksa kami untuk menghentikan ekspresi hak
beragama kami.
- Ahlussunnah Salafiyyun di Aceh, telah melalui ujian penolakan massa lebih besar lagi pada
masa-masa sebelumnya. Bahkan potensi konflik dan chaos dari persoalan terdahulu jauh
lebih besar dari saat ini. Massa aksi yang mengancam kita dalam jumlah ribuan. Namun,
Alhamdulillah hal itu bisa kita lalui dengan bantuan pihak aparat keamanan. Dan tidak ada
satu pun korban fisik dan nyawa.
- Ketika perembukan di hotel Kyriad tersebut mengalami deadlock antara pihak pemerintah,
aparat dan panitia, massa dari FPI yang cukup emosional dan aswaja tiba-tiba dengan
mudah masuk ke dalam tempat perembukan berlangsung dan membuat kegaduhan hingga
mengancam panitia dengan berteriak di depan seluruh peserta rapat dengan ucapan-ucapan
yang intimidatif, di antaranya mengancam untuk “koh taku”, (potong leher, yakni bunuh)
panitia. Dan akhirnya, karena kondisi sudah serba tak kondusif, kami (panitia) mengambil
sikap untuk mengakhiri perembukan.
- Karena perembukan berujung deadlock, kami panitia yang ikut berembuk segera menuju
Masjid Al-Fitrah, dan menyampaikan kepada pihak Badan Kemakmuran Masjid (BKM)
tentang segala risiko kericuhan yang mungkin terjadi saat kajian, berdasarkan apa yang
disampaikan oleh pihak aparat sebelumnya pada saat perembukan. Namun pengurus BKM
Masjid Al-Fitrah telah menyatakan untuk siap bertanggungjawab atas berlangsungnya
kajian, maka kajian di Masjid Al-Fitrah akhirnya tetap berlangsung.
- Hingga akhirnya, datang puluhan massa membuat ricuh. Melempari dan menghardik
jamaah wanita dan anak-anak dengan sandal dan helm, hingga menorobos dan merusak
sebagian fasilitas masjid, merusak motor, serta memukuli dan mengeroyoki jamaah kajian.
Pada saat itu dari pihak jamaah dan panitia bertahan untuk melakukan pembelaan diri dan
melindungi keluarga mereka. Hanya saja karena instruksi dari pihak pengurus masjid dan
kepolisian yang mengkhawatirkan korban jiwa, maka kami dari panitia, Ustaz Firanda dan
jamaah memutuskan mengalah.
Setelah kejadian rusuh yang menyebabkan korban-korban luka perwakilan panitia segera

57 | L a p o r a n A k h i r
dipanggil malam itu juga oleh Kepolisian untuk diinterogasi (dengan membuat laporan Berita
Acara Introgasi). Hingga saat ini panitia belum tahu apakah ada dari pihak pembuat rusuh yang
dipanggil oleh pihak kepolisian. Mereka sangat berharap, pihak kepolisian bisa memanggil para
perusuh berserta dalangnya. Ada banyak bukti rekaman yang dapat dijadikan bukti, mulai dari
provokasi dan aksi, dengan menampilkan tiap person yang sesungguhnya sudah atau dapat kita
kenal dengan baik.
Sekitar pukul 5.00 WIB subuh (pemeriksaan dimulai dari pukul 12 malam) pada hari
Jumat, 14 Juni 2019, polisi mengharuskan panitia untuk memulangkan segera Ustaz Firanda,
subuh itu juga. dan meminta panitia menunjukkan tempat menginap Ustaz Firanda guna
menjemput langsung beliau untuk dipulangkan. Panitia dengan segala keterpaksaan akhirnya
menunjukkan dan membawa pihak polisi menuju tempat penginapan Ustaz Firanda, dan setelah
berbincang beberapa saat di rumah penginapan tersebut, Ustaz Firanda dibawa langsung ke
Bandara disertai oleh Panitia, dan akhirnya dipulangkan.

Pembubaran Kajian Ustaz Farhan Abu Furaihan


Pengajian Ustaz Farhan dibubarkan pada senin 27 Januri 2020, persis satu bulan setelah
dikelaurkannya surat edaran Gubernur Aceh tentang larangan mengadakan pengajian selain
mazhab Syafii’I, padahal malam itu, kajian yang dilakukan adalah kajian kitab Ibnu Katsir yang
notabenenya Syafi’i. pembubaran itu berlansung setelah magrib dan mendekati waktu shalat Isya,
sehingga malam itu terjadi dua kali shalat berjamaah, pertama oleh kelompok pengajian sunnah
(yang oleh Aswaja di klaim sebagai wahabi), dan shalat berjamaah kedua dilakukan oleh kelompok
Aswaja yang dipimpin oleh Teungku Umar Rafsanjani Setelah itu, giliran kelompok massa
tersebut melangsungkan salat secara berjamaah. Secara umum, tata pelaksanaan ibadah kedua
kelompok tersebut sama saja. Namun, yang membedakannya adalah kelompok massa tersebut
membaca zikir saat salat sudah selesai. Sementara jemaah kajian Ustaz Farhan tidak melakukan
hal tersebut.70 Tengku Umar Rafsanjani, Ketua Umum Majelis Pengajian dan Zikir Tasawuf,
Tauhid dan Fiqh (Tastafi) Kota Banda Aceh dalam kerumunan kerumunan massa, terdengar
berteriak seperti “kalian wahabi”, “kalian sesat”.
Paska pembubaran kajian Farhan, pemerintah Kota Banda Aceh mengambil alih

70
Tagar.ID, “Masa Bubarkan Pengajian di Aceh”, https://www.tagar.id/massa-bubarkan-pengajian-di-aceh

58 | L a p o r a n A k h i r
kepengurusan Masjid Oman Lamprit.71 Asisten I Setda Banda Aceh, Faisal menyebutkan
pengambilan alih kepengurusan masjid Oman berdasarkan keputusan Forkopimda Banda Aceh
untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. "Mulai malam ini kepengurusan diambil alih
oleh pemerintah di bawah Dinas Syariat Islam agar tidak terjadi keributan," katanya. Pengalihan
kepengurusan masjid Oman tersebut sampai persoalan perbedaan pendapat atau pandangan dapat
diselesaikan. "Pengambilan alih kepengurusan sampai persoalan ini selesai dan menemukan
solusinya, sehingga kedepan tidak terjadi keributan”.

Pemerintah dan Surat Edaran Ahlus Sunnah Waljamaah


Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, telah mengeluarkan surat edaran larangan
mengadakan pengajian selain dari Itiqad Ahlussunah waljamaah yang bersumber hukum mazhab
Syafi’iyah. Surat edaran yang dikeluarkan tanggal 13 Desember 2019 lalu tersebut ditujukan
kepada seluruh instansi pemerintah yang memfasilitasi pengajian baik di Mushalla-mushala
kantor. Surat edaran tersebut bernomor 450/21770 ditujukan kepada para bupati dan walikota di
Aceh, para kepala satuan kerja perangkat Aceh (SKPA), kepala kantor wilayah (kakanwil)
kementrian/non kementrian di Aceh. Isi lengkap surat tersebut adalah:
Dalam rangka menindaklanjuti UU No 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Isitimewa Aceh, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintah Aceh, Qanun Aceh Nomor 2 tahun 2009 tentang Syariat Islam dan Qanun Aceh Nomor
8 tahun 2015 tentang Pembinaan dan Perlidungan Aqidah, kami harap perhatian Saudara sebagai
berikut :
1. Majelis Permusyawaratan Ulama mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut
:
a. Memberikan fatwa baik diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan
pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat dan ekonomi.
b. Memberi arahan terhadap perbedaan pendapat pada masyarakat dalam masalah
keagamaan.
2. Qanun Aceh nomor 01 tahun 2019 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Aceh tahun 2017-2022, misi kedua yaitu memperkuat pelaksanaan
Syariat Islam beserta nilai-nilai keIslaman dan budaya keacehan dalam kehidupan
masyarakat dengan “itiqad Ahlussunnah Wal Jamaah yang bersumber hukum
mazhabSyafi’iyah dengan tetap menghormati mazhab yang lain : `
3. Untuk menjaga suasan keagaman masyarakat Aceh dalam beribadah dan supaya
tidak berkembangnya I’tiqad /aliran/mazhab selain Ahlusunnah Waljamaah/selain

71
. Masjid Oman ini adalah masjid agung Kota Banda Aceh

59 | L a p o r a n A k h i r
mazhab Syafi’iyah :
4. kami melarang untuk diadakan pengajian/kajian selain dari I’tiqad Ahlusunah
Waljamaah dan selain dari mazhab Syafi’iyah dan kepada penyelenggaran untuk
berkonsultasi dengan MPU Aceh serta kepada para kepala SKPA dan para
Bupati/Walikota untuk selalu mengawasi, mengevaluasi, dan mendata kembali
nama-nama penceramah/pengisi pengajian/kajian di Instansi masing-masing

Surat edaran Plt Gubernur ini didukung sebagian masyarakat di Banda Aceh seperti politisi,
Partai Politik, Anggota DPD RI, dan banyak lainnya.

Respon Terhadap Surat Edaran


Respon dan tanggapan terhadap surat edaran ini mendapat respon yang lambat dari ormas-
ormas, maupun person-person yang nota benenya pro terhadap gerakan ahlu Sunnah wal jamaah,
sampai kemudian pada tanggal 26 Desember 2019, Haikal Afifa, seorang alumni dayah dan aktifis
kebudayaan Aceh menuliskan sebuah status dilaman facebook nya yang kemudian memicu respon
dari berbagai pihak lain, baik yang pro maupun kontra.
Di laman facebooknya, Haikal Afifa menulis :
Apresiasi kepada Plt. Gubernur Aceh yang telah mengeluarkan Surat Edaran
Terkait pelarangan kajian dan pengajian diluar amalan dan Aqidah Ahlusunnah wal
Jamaah (Asyariyyah wa Maturidiyah) serta Syafiiyah.

Sampai detik ini, saya belum melihat secara resmi Lembaga keulamaan, . ormas
Islam atau santri yang memberi apresiasi dan dukungan terkait Surat Edaran ini sejak
dikeluarkan tertanggal 13 Desember 2019.

Bek Singoh watee na Wahabi peugahnyoe peugah djeh, peusalah Pemerintah. Watee
ka geupeuteubit Surat Lageenyoe meusaboeh su hana.72

Surat Edaran in dikeluarkan tanpa harus kita bikin demo atau parade berjilid-jilid.
Dukung, kawal dan apresiasi bersama. Soal Dana Hibah Dayah enteuk tapike lom.

Di antaranya senator Aceh H Fachrul Razi MIP, menyatakan dukungan terhadap surat
edaran tersebut. Di Aceh wajib dilaksanakan itikad ahlussunah wal jamaah yang bersumber dari
hukum mazhab syafiiyah. Menurut Fachrul Razi, ahlusunnah wal jamaah itu sendiri merupakan
aqidah yang menjadikan Rasulullah SAW dan para sahabatnya sebagai panutan. Kejayaan Aceh
karena diterapkan Qanun Meukuta Alam Al Asyi yang menegaskan Aceh berakidah ahlussunnah

72
“Bek Singoh watee na Wahabi peugahnyoe peugah djeh, peusalah Pemerintah. Watee ka geupeuteubit
Surat Lageenyoe meusaboeh su hana”. (jangan besok ketika sudah ada wahabi, bilang begini, bilang begitu,
menyalahkan pemerintah. Ketika surat edaran sudah dikaluarkan, satu suara pun tidak ada untuk mendukungnya)

60 | L a p o r a n A k h i r
waljamaah yang bersumber dari hukum mazhab Syafiiyah. “Di masa lalu Aceh, jika aliran lain
masuk ke Aceh, maka legitimasi Sultan Aceh akan hilang, oleh karena itu, syarat kemajuan Aceh,
ahlussunnah waljamaah yang bersumber dari hukum mazhab Syafiiyah, wajib diterapkan,"
tegasnya.
Fachrul Razi lebih jauh meminta, bukan hanya dalam bentuk “Surat Edaran” namun juga
Pemerintah Aceh agar dapat menyiapkan qanun penerapan ahlussunnah waljamaah yang
bersumber dari hukum mazhab Syafiiyah sebagai hukum di Aceh. “Semua sudah diatur dalam
MoU Helsinki dan UUPA, merujuk saja pada poin MoU Helsinkin poin 1.1.6 yang menjelaskan
Qanun Aceh akan disusun kembali untuk Aceh dengan menghormati tradisi sejarah dan adat
istiadat rakyat Aceh serta mencerminkan kebutuhan hukum terkini Aceh, dan UUPA pasal 13 ayat
1, Pasal 16 ayat 2, Pasal 17 ayat 2, Pasal 42 ayat 1, Pasal 44 ayat 1, Pasal 125-133,” jelas Fachrul
Razi. Fachrul Razi juga menambahkan bahwa pemerintah Pusat telah mengakui keistimewaan
Aceh untuk menerapkan keIslaman sebagai kekhususan sebagai mana UUD 1945 pasal 18B, dan
mengakui daya juang tinggi Aceh dimasa kemerdekaan bersumber dari pandangan hidup yang
berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi
daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Sebelumnya senator ini mendukung pernyataan ulama Aceh Tu Sop, dengan meminta
semua masyarakat Aceh sangat diharapkan untuk taat terhadap pemimpin Aceh selama
kebijakannya adalah untuk kebaikan.73
Partai Daerah Aceh (PDA), salah satu Partai Lokal berbasis agama di Aceh, mendukung
dan mengapresiasi langkah Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Aceh, Nova Iriansyah yang melarang
pengajian dan kajian selain i'tiqad Ahlussunnah wal Jama'ah sebagaimana disebutkan dalam Surat
Edaran nomor 450/21770 tanggal 13 Desember 2019.
"Kami sangat mengapresiasi dan mendukung langkah Plt. Gubernur Aceh yang
bertindak tegas terhadap kajian dan pengajian diluar i'tiqad Ahlussunnah wal
Jamaah," tegas Sekjen DPP PDA, Teungku Razuan, Kamis (26/12). Alumni Dayah
Darussalam Labuhan Haji ini juga menegaskan, langkah Plt. Gubernur Aceh ini
sudah sangat tepat demi terciptanya kerukunan dalam beribadah di Aceh. "Selama
ini, kajian-kajian diluar I'tiqad Ahlussunnah wal Jamaah telah menjadi benalu dan

73
Aceh Tribun News, “Senator Aceh Dukung Surat Edaran Gubernur Aceh Wajib Terapkan Ahlussunnah
Wal-Jamaah”, https://aceh.tribunnews.com/2020/01/01/senator-aceh-dukung-surat-edaran-gubernur-aceh-wajib-
terapkan-ahlussunnah-waljamaah

61 | L a p o r a n A k h i r
menimbulkan konflik ditengah-tengah masyarakat seperti aliran Wahabi dan lainnya.
Maka, langkah Plt Gubernur Aceh sudah sangat tepat dan harus dikawal bersama,"

Ia juga menegaskan, aqidah Ahlussunna wal Jamaah (Asyariyyah dan Maturidiyya) dengan
Mazhab Syafi'i sudah lama dianut oleh Rakyat Aceh, dan diwajibkan oleh Sultan-Sultan dalam
Kerajaan Aceh74 :
"Ahlussunnah wal Jamaah adalah aqidah yang sudah hidup lama dalam jiwa rakyat
Aceh, bahkan Sultan Aceh telah lama mewajibkannya serta melarang Aqidah
menyimpang selain Ahlussunnah wal Jamaah. Maka, langkah Plt sudah sangat tepat
dan rakyat Aceh mendukungnya," tambahnya. Maka, seiring dengan terbitnya Surat
Edaran tersebut, politisi muda Aceh ini juga meminta agar kajian dan pengajian
selain Ahlussunnah wal Jamaah harus segera dihentikan demi terciptanya
kenyamanan dan menghindari potensi konflik di masyarakat. "Semua regulasi terkait
ini sudah diterbitkan, maka jangan salahkah rakyat Aceh jika pengajian dan kajian
yang menyimpang dari Ahlussunnah wal Jamaah seperti Wahhabi cs dipaksakan,
maka akan dibubarkan,"

Ketidak setujuan terhadap surat edaran gubernur ini juga muncul dari kalangan warga,
diantaranya pengamat kebijakan publik Aceh, Nasrul Zaman yang menilai surat edaran Gubernur
Aceh No. 450/21770 tentang larangan pengajian/kajian selain dari I’tiqad Ahlussunnah
Waljamaah dan Mazhab Syafi’yah melanggar Qanun Aceh nomor 8 tahun 2014 tentang Syariat
Islam di Aceh. Dikatakan Nasrul, Qanun Nomor 8 tahun 2014 pada pasal 14 ayat 3, 4 dan 5
menbolehkan pelaksanaan syariat oleh mazhab lain selain mazhab Syafi’i dan hal tersebut tegas
disebutkan dalam qanun tersebut. Ayat 3 menyebutkan penyelenggaraan ibadah yang tidak
mengacu pada tata cara mazhab Syafi’i dibolehkan selama dalam bingkai mazhab Hanafi, Mazhab
Maliki dan Hambali dengan selalu mengedepankan kerukunan, ukhuwah Islamiyah dan
ketentraman dikalangan ummat Islam. Kemudian ayat 4 kembali menegaskan bahwa dalam hal
ada kelompok masyarakat di Aceh yang sudah mengamalkan mazhab Hanafi, Hambali dan Maliki
tidak dapat dipaksakan untuk mengamalkan mazhab Syafi’i.
Selanjutnya diperkuat kembali dengan ayat 5 yang menyatakan kelompok masyarakat yang
mengamalkan ibadah mengikuti paham organisasi keagamaan yang sesuai dengan Al-Quran dan
Hadist serta diakui sah oleh negara tetap dibenarkan/dilindungi," katanya. Selain itu kata Nasrul,

74
AJJN, “Apresiasi Surat Edaran PLT Gubernur PDA Minta Kajian Menyimpang Dihentikan”,
https://www.ajnn.net/news/apresiasi-surat-edaran-plt-gubernur-pda-minta-kajian-menyimpang-
dihentikan/index.html

62 | L a p o r a n A k h i r
surat edaran itu juga bertentangan antar isi surat itu sendiri, dimana pada poin dua mengutip misi
RPJM Aceh yakni memperkuat pelaksanaan Syariat Islam beserta nilai-nilai keIslaman dan budaya
keacehan dalam kehidupan masyarakat dengan i’tiqad Ahlussunnah Waljamaah yang bersumber
hukum mazhab Syafi’iyah dengan tetap menghormati mazhab lain. Namun pada poin 3 disebutkan
supaya tidak berkembangnya I’tiqad/aliran/mazhab selain Ahlussunnah Waljamaah/selain mazhab
Syafi’iyah. Jelas kalau secara substansi surat ini tidak konsisten antara poin yang pertama dan poin
berikutnya, disatu poin menjelaskan bolehnya/penghormatan pada mazhab lainnya namun pada
poin berikutnya ada larangan pada mazhab lain selain mahab Syafi’iyah," kata Nasrul.
Atas dasar itu Nasrul menilai surat edaran ini dibuat tanpa dasar hukum yang jelas dan
mengedepankan aspek emosional yang akan merugikan pemerintah Aceh/masyarakat. "Perlu
segera direvisi atau bahkan dicabut surar edaran ini karena berlawanan dengan qanun dan
perundangan yang berlaku lainnya. Gubernur sepertinya dipaksa oleh kelompok tertentu di Aceh
untuk kepentingan tertentu yang dapat mengakibatkan terpecah belah masyarakat Aceh,".75
Dari isi surat edaran ini, yang menyebutkan larangan pengajian selain mazhab syafi’i dan
ahlus Sunnah wal jamaah, indikaisnya ditujukan kepada kelompok kajian Sunnah, karena kajian
Sunnah ini memang sering mengadakan kajian-kajian di masjid atau mushalla instansi-instansi
seperti masjid di rumah sakit zainal abiding (RSZA). Dari hasil interview ditemukan bahwa
keluarnya surat edaran ini sangat berkaitan erat dengan keberadaan kelompok ini, sasaran
pemerintah Aceh adalah mushalla-mushalla yang ada di lingkungan pemerintah Aceh agar tidak
di isi oleh pengajian yang diadakan kelompok ini, namun dalam perjalanannya, surat edaran ini
tafsirnya diperluas sehingga menyasar kelingkungan lebih besar seperti masjid-masjid diluar
instansi pemerintah. Kondisi seperti ini sangat wajar terjadi, karena dengan dikeluarkan surat
edaran tersebut, secara eksistensi, pemerintah Aceh telah memberikan ruang dukungan yang besar
terhadap gerakan-gerakan Aswaja yang memang bertujuan menyasar kelompok Wahabi yang
melakukan pengajian – pengajian di Mushala pemerintah maupun di masjid-masjid diluar instansi
pemerintah.

Memahami Peta Ketegangan Aswaja dan Wahabi


Dinamikan sosial politik Aceh, terutama yang menyeret Aceh kedalam lingkaran

75
AJJN, “Pengamat Kebijakan Publik: Surat Edaran Gubernur Tak Sesuai Qanun”,
https://www.ajnn.net/news/pengamat-kebijakan-publik-surat-edaran-gubernur-tak-sesuai-qanun/index.html

63 | L a p o r a n A k h i r
perseteruan antara gerakan Ahlus Sunnah wal jamaah dan Wahabi tidak terlepas dari bekerjanya
aktor-aktor agama dan aktor-aktor politik yang terkadang berelasi dengan pemerintahan
(kekuasaan), yang korelasi ini bekerja berdasarkan simbiosis mutualisme yang bisa saling
memanfaatkan satu sama lain, bagi pemerintah, relasi itu dilakukan untuk dukungan pemerintahan
oleh golongan mayoritas terhadap pemerintah, sedangkan individu, ormas, yang ada dalam
gerakan Aswaja ini punya kepentingan untuk memerangi wahabi, yang dianggap mengacaukan
fondasi dan model keberagamaan orang Aceh yang telah berlansung turun temurun tanpa narasi-
narasi bid’ah dan sebagainya. Namun dikalangan massa arus bawah (grass root), mereka juga tidak
terlalu mempedulikan apakah ada motif politis, ada tujuan politis atau ada yang memboncengi dari
gerakan Aswaja ini, bagi mereka, berafiliasi dengan apapun, dalam bentuk apapun tidak begitu
penting, yang penting adalah Wahabi tidak boleh ada di Aceh karena keberadaan Wahabi dianggap
telah merusak kenyaman masyarakat Aceh dalam beribadah. Untuk mempertahankan aqidah
Aswaja, maka para pengikut Aswaja akan melakukan berbagai upaya untuk menghadang paham
tersebut melalui berbagai kekuatan yang mereka miliki76
Di sisi lain, MPU Aceh pada tahun 2011 juga telah mengeluarkan fatwa tentang kriteria
ahlu Sunnah wal jamaah.77 Keteguhan masyarakat Aceh terhadap Aswaja, telah di ikat dengan
adanya fatwa ini. Dengan dikeluarkan fatwa ini maka masyarakat Aceh wajib berakidah Ahlu
Sunnah dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Sehingga ketika ada paham lain yang
berbeda dengan yang mereka anut maka berbagai gelombang penolakan seperti yang dialami
terhadap kelompok yang digolongkan Wahabi ini tidak terhindarkan terjadinya. 78 Bahkan jauh
sebelumnya, MPU Aceh juga telah menetapkan fatwa tentang aliran-aliran sesat melalui fatwa
nomor 4 tahun 2007 tentang 13 kriteria aliran sesat dimana salah satu kriteria sesat adalah meyakini
atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan itikad Ahlusunnah wal Jamah.79 Fatwa MPU ini
kemudian menjadi pegangan massa Aswaja dalam gerakan melawan kelompok yang mereka klaim
sebagai Wahabi. Jadi jika dilihat kronologis dan rangkaian perjalanannya, ruang-ruang yang

76
Hasbi Amiruddin, Aswaja dan Wahabi di Aceh, Memahami Sebab Ketegangan dan Solusinya, (Banda
Aceh: Lembaga Studi Agama dan Masyarakat, 2020), h. 78
77
MPU Provinsi Aceh, “Kriteria Aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah:,
https://mpu.acehprov.go.id/uploads/NOMOR%20%2004%20TAHUN%202011%20KRITERIA%20AQIDAH%20
AHLUSSUNNAH%20WAL%20JAMAAH.pdf
78
Hasbi Amiruddin, Aswaja dan Wahabi di Aceh, 114.
79
Tribun News, “MPU Aceh Tetapkan Kriteria 13 Aliran Sesat”,
https://www.tribunnews.com/regional/2011/03/13/mpu-aceh-tetapkan-13-kriteria-aliran-sesat

64 | L a p o r a n A k h i r
diberikan kekuasaan terhadap gerakan Aswaja sangat besar, dimulai dari Fatwa MPU Aceh,
kemudian ditambah lagi dengan surat edaran Gubernur Aceh tentang tidak dibolehkannya
pengajian selain Akidah Ahlusunnah Waljamaah.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan sebelumnya, kontestasi antara aswaja dan Wahabi
di Aceh sangat jauh dari nilai akademik, tetapi lebih banyak disebabkan oleh ketidak utuhan
pemahaman golongan Aswaja terhadap penggolongan siapa sebenarnya Wahabi, disisi lain juga
masih tidak jelasnya siapa yang sebenarnya yang murni Ahlusunnah (Aswaja). 80
Kelompok yang diklaim sebagai Wahabi juga tidak menerima mereka digolongkan sebagai
Wahabi, karena mereka tidak pernah merasa dirinya telah bergabung dengan Kelompok Wahabi.
Misal, ada masjid-masjid yang dituduh oleh kelompok Ahlusunnah telah dikuasai oleh Wahabi,
ternyata pimpinan tersebut adalah alumni dayah dan tidak pernah mengecap pendidikan di wilayah
atau daerah berkembangnya aliran wahabi.81
Namun, gerakan Aswaja ini yang tergabung didalamnya tidak hanya individu, organisasi
masyarakat (ormas), tetapi juga Partai Politik, diantaranya adalah Partai Damai Aceh (PDA).82
Partai Daulat Aceh adalah sebuah Partai Politik Lokal di Aceh yang berdiri pada 1 Februari 2008,
Partai Daulat Aceh (PDA) didirikan oleh para ulama dianatranyaTengku Haji Hasanul Basri,
Tengku Haji Muhammad Nasir Wali, merupakan ulama dayah dan partai lokal ini merupakan
partai politik yang bisa dikatakan mewakili dayah/pesantren, partai ini adalah satu-satu partai
politik lokal di Aceh yang secara tegas menyebutkan bahwa azas partainya adalah Ahlus Sunnah
Wal Jamaah. Spirit partai ini adalah “Kejayaan Aceh ada pada tangan ulama dan PDA ingin
membawa kejayaan Aceh tempo dulu melalui tangan ulama."
Partai ini bermula dari sebuah forum kajian yang dinamakan Forum Daulat Aceh. Forum
itu berisikan santri, politisi lokal dan para ulama. Merasa aspirasi tak tersalurkan, forum sepakat
mengubah diri menjadi parpol lokal. Partai ini mempunyai visi dan misi mewujudkan kehidupan
rakyat nanggroe Aceh Darussalam yang demokratis, berkeadilan dan bermartabat, tenang
beribadah, sejahtera dalam kehidupan dan aman dari ketakutan, dengan karakter kepemimpinan
yang amanah (terpercaya), istiqamah (teguh pendirian), ‘iffah (bersih), musyarakah (kebersamaan)

80
Hasbi Amiruddin, Aswaja dan Wahabi di Aceh, 91
81
Hasbi Amiruddin, Aswaja dan Wahabi di Aceh, 54.
82
Partai Damai Aceh ini, ketika awal pendiriannya dulu bernama Partai Daulat Aceh, namun karena tidak
lolos ambang batas parlemen, partai ini harus merubah namanya sehingga menjadi Partai Damee Aceh

65 | L a p o r a n A k h i r
dan syaja’ah (berani). Sesuai dengan azas partai Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, partai ini punya
kepentingan untuk penegakan aqidah ahlus Sunnah wal jamaah melalui jalur politik. Berdasarkan
data dari narasumber, keluarnya surat edaran oleh Gubernur Aceh tentang larangan diadakan
pengajian selain aqidah ahlussunnah dan mazhab syafii, tidak terlepas dari peran Partai damai
Aceh ini. Secara politis, Partai Damai Aceh memegang tiga bagian penting dalam pemerintahan
Aceh yaitu Biro Isra (Biro Keistimewaan Aceh) di Kantor Gubernur Aceh, Dinas Syariat Islam
dan Dinas Pendidikan Dayah Aceh (DPDA).
Beberapa tokoh lainnya yang sering muncul dalam gerakan protes terhadap pengajian dan
aktifitas yang dilakukan oleh kelompok yang diklaim sebagai Wahabi diantaranya adalah Tengku
Umar Rafsanjani83, Tengku Mustafa Husein Woyla84, Tengku Bulqaini Tanjungan (Tu
Bulqaini)85, Tengku Muslim At-Thahiri86, mereka sering terlihat bersama dalam gerakan-gerakan
massa yang melakukan protes.87 Para tokoh ini sering tergabung dalam sebuah gerakan bersama
yaitu gabungan Ormas Islam yang sering mengadakan acara-acara yang mengandung solidaritas
terhadap sesama Muslim baik dalam dan luar Aceh bahkan untuk isu Muslim di luar negeri seperti
India, Myanmar dan lainnya.
Beberapa kasus menonjol dalam peta ketegangan tersebut, selain perebutan masjid adalah
pemaksaan tata ibadah shalat jumat, penolakan penyajian materi dan guru pengajian, artinya materi
yang dianggap merupakan reprsentasi ajaran Wahabi dan juga guru yang dianggap berafiliasi

83
Umar Rafsanjani adalah Ketua Tastafi (Tauhid, Tasawuf, Fikih) Kota Banda Aceh dan juga pimpinan
Dayah Mini di Kota Banda Aceh.
84
Mustafa Husein Woyla adalah Sekretaris Tastafi (Tauhid, Tasawuf, Fikih) Kota Banda Aceh dan juga guru
senior di Dayah Tengku Hasan Krueng Kalee, Aceh Besar
85
Tu Bulqaini adalah pimpinan Markaz Al-Ishlah Al-Aziziyah di Luengbata, Banda Aceh dan juga Anggota
MPU Kota Banda Aceh. Dulunya dikenal juga sebagai aktifis pergerakan Aceh dalam Rabithah Thaliban Aceh (RTA).
Posisi, peran dan aktifitas Tu Bulqaini dalam gerakan melawan Wahabi dapat dilihat dalam beberapa channel youtube
: https://www.youtube.com/watch?v=7y_K3bmdsnk, https://www.youtube.com/watch?v=i-GegqwvyDg, dan juga
beberapa berita https://www.lintasatjeh.com/2017/02/tgk-bulqaini-hati-hati-ada-5-dayah-wahabi-di-aceh.html,
https://dialeksis.com/aceh/dianggap-bermazhab-wahabi-mpu-banda-aceh-tolak-dr-firanda-di-aceh/
86
Tengku Muslim At-Thahiri adalah anggota MPU Kota Banda Aceh , juga Ketua Dewan Pimpinan Daerah
Front Pembela Islam (DPD FPI) Aceh, juga pimpinan Dayah Darul Mujahidin di Desa Blang Weu Kecamatan Blang
Mangat, Kota Lhokseumawe
87
keterlibatan mereka ini, diantaranya Umar Rafsanjani, Tu Bulqaini, sebagai tokoh sentral dalam gerakan
ini diantaranya daapt dilihat dalam video berikut : https://www.youtube.com/watch?v=O4OG1S3NYHU,
https://www.youtube.com/watch?v=P_V4n66pAjo

66 | L a p o r a n A k h i r
dengan Wahabi, juga pelarangan pembangunan masjid, seperti yang terjadi di Kabupaten
Bireuen.88
Pertarungan yang terjadi adalah pertarungan saling klaim antara yang merasa paling
Ahlussunah dengan yang merasa paling Sunnah. Mereka yang menyatakan diri sebagai
Ahlusunnah, juga dipertanyakan ke Ahlusunnahannya oleh pihak yang dikalim Wahabi dan
kelompok yang diklaim Wahabi pun menolak mereka di sebut Wahabi, tetapi mereka kelompok
yang menjalankan Sunnah Nabi secara murni. Dalam perang klaim ini kontestasinya dipindahkan
dari narasi kedalam gerakan massa di ruang-ruang publik, sementara kekuasaan juga menjadi
bagian yang terus memperkeruh perang klaim ini, namun ruang dukungan yang diberikan baik
secara peraturan, himbauan maupun kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan lebih memberi ruang
yang sangat besar kepada gerakan Ahlusunnah Wal Jamaah.
Posisi pemerintah yang seperti ini, cenderung menutup ruang bagi perjumpaan berbagai
keberagaman di ruang-ruang publik di Kota Banda Aceh, sehingga kecendrungan kearah pluralism
mazhab, pluralisme aliran tidak terjadi, melainkan harus adanya ruang-ruang keseragaman dan
mazhab tunggal yaitu mazhab syafii dan Akidah Ahlusunnah diruang publik. Kondisi ini tentu
berdampak tidak baik bagi perkembagan demokrasi, karena populisme Islam menjadi ancaman
bagi keberagaman yang ada di Aceh.

88
Hasbi Amiruddin, Aswaja dan Wahabi di Aceh, 55, 60, 61, 68.

67 | L a p o r a n A k h i r
Referensi

Acehkita.com, “Parade Ahlussunnah, Ini 12 Tuntutannya” https://acehkita.com/parade-ahlussunnah-


ini-12-tuntutannya/
Aceh Tribun News, “Senator Aceh Dukung Surat Edaran Gubernur Aceh Wajib Terapkan
Ahlussunnah Wal-Jamaah”, https://aceh.tribunnews.com/2020/01/01/senator-aceh-
dukung-surat-edaran-gubernur-aceh-wajib-terapkan-ahlussunnah-waljamaah
AJJN, “Apresiasi Surat Edaran PLT Gubernur PDA Minta Kajian Menyimpang Dihentikan”,
https://www.ajnn.net/news/apresiasi-surat-edaran-plt-gubernur-pda-minta-kajian-
menyimpang-dihentikan/index.html
AJJN, “Pengamat Kebijakan Publik: Surat Edaran Gubernur Tak Sesuai Qanun”,
https://www.ajnn.net/news/pengamat-kebijakan-publik-surat-edaran-gubernur-tak-sesuai-
qanun/index.html
BBC, “Ustadz Firanda Ditolak di Aceh karena ‘lebih cenderung ke Wahabi’ dan ‘untuk mencegah
kekacauan masyarakat”, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48617536
Hasbi Amiruddin, Aswaja dan Wahabi di Aceh, Memahami Sebab Ketegangan dan Solusinya,
(Banda Aceh: Lembaga Studi Agama dan Masyarakat, 2020),
Kumparan, “Pembubaran Pengajian Ustadz Firanda di Aceh, ini Penjelasan Panitia”,
https://kumparan.com/acehkini/pembubaran-pengajian-ustaz-firanda-di-aceh-ini-penjelasan-panitia-
1rIB5btFH0Y
Majelis Ulama TV “Pemko Aceh Ambil Alih Kepengrusan Masjid Oman Al-Makmur”,
https://www.youtube.com/watch?v=O4OG1S3NYHU
Majelis Ulama TV, “Ketegangan di Masjid Oman Reda saat Adzan Sholat Isya dan Zikir,
https://www.youtube.com/watch?v=P_V4n66pAjo

MPU Provinsi Aceh, “Kriteria Aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah:,


https://mpu.acehprov.go.id/uploads/NOMOR%20%2004%20TAHUN%202011%20KRITERIA
%20AQIDAH%20AHLUSSUNNAH%20WAL%20JAMAAH.pdf

Tribun News, “MPU Aceh Tetapkan Kriteria 13 Aliran Sesat”,


https://www.tribunnews.com/regional/2011/03/13/mpu-aceh-tetapkan-13-kriteria-aliran-sesat

68 | L a p o r a n A k h i r
Politik Ruang Publik di Kalimantan Timur

Sabiruddin
Khudriyansah

Pengantar

Terpilihnya Isran Noor-Hadi Mulyadi sebagai pemimpin lokal di Provinsi Kalimantan Timur
periode 2018-2023 telah membuka ruang bagi berbagai kelompok Islam untuk berkontestasi
mempromosikan pandangan keagamaannya secara lebih terbuka di ruang publik. Dari awal, Isran-
Hadi yang diusung oleh sejumlah partai politik seperti Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat
Nasional dan Partai Gerindra, memang serius mengkampanyekan Islam sebagai bagian dari jargon
politiknya. Bahkan, beberapa hari setelah resmi dilantik, terjadi pengibaran bendera tauhid oleh
kelompok HTI di Kantor Gubernur Kaltim saat Aksi Bela Tauhid pada Jumat (26/10/18) yang
dihadiri langsung oleh Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih meski kemudian diklarifikasi
sebagai bentuk kekeliruan yang tidak disengaja.89
Pasca terpilih dan dilantiknya pada tanggal 1 Oktober 2018, Isran-Hadi fokus pada
beberapa program unggulannya. Salah satunya adalah program pengembangan nilai-nilai
keagamaan dan budaya di masyarakat yang tertuang dalam RPJMD Kaltim Periode 2018-2023.
Salah satu arah kebijakannya adalah pengintegrasian nilai keagamaan dan nilai budaya dalam
lembaga pendidikan. Hal tersebut diklaim sebagai agenda utama dalam rangka memenuhi sumber
daya manusia yang berkarakter dan berakhlak mulia sebagaimana dicita-citakan dalam salah satu
misinya.
Kemudian, agenda bidang keagamaan tersebut diterjemahkan oleh Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan dalam bentuk pengembangan infrastruktur bidang keagamaan di sekolah-sekolah.
Misalnya, Pada awal tahun 2020, melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Pemprov Kaltim
telah mengalokasikan 19 titik pembangunan Mushalla di sekolah-sekolah yang tersebar di
beberapa Kabupaten-Kota, dengan skema pembiayaan dari APBD. Pembanguan Mushalla di
sekolah, bagi Pemprov, diharapkan mampu menjadi ruang aktivitas keagamaan bagi peserta didik.

89
https://diskominfo.kaltimprov.go.id/begini-penjelasan-terkait-bendera-hti-di-kantor-gubernur-kaltim/
diakses pada tanggal 3 Maret 2020.

69 | L a p o r a n A k h i r
Selain itu, pengembangan suasana keagamaan di sekolah-sekolah dilakukan dalam bentuk
penguatan pendidikan karakter berupa pengembangan ekstrakurikuler berbasis agama
(SMA/SMK/SLB) seperti kegiatan ROHIS dan pendampingan anak di sekolah. Model
pembelajaran didesain berbasis nilai-nilai agama. Untuk mendukung semangat penguatan nilai-
nilai agama di sekolah, Disdikbud melalui bidang Seksi Peserta Didik dan Pembangunan Karakter
juga menyelenggarakan lomba video “best-practice pengembangan nilai-nilai keagamaan di
sekolah (SMA/SMK/SLB) se-Kalimantan Timur” dengan total anggaran mencapai 300 juta.
Tak hanya itu, mereka juga menyelenggarakan Pelatihan Bela Negara dan Pelatihan Dasar
Kepemimpinan bagi Siswa sekali tahun (kerjasama Kementan, TNI-Kepolisian) dan Pelatihan
Kesadaran Hukum Siswa (kerjasama dengan Kejaksaan). Program unggulan lainnya adalah
program boarding school bagi siswa berprestasi.90 Sistem boarding school (asrama) dianggap
lebih efektif dalam upaya penguatan nilai-nilai keagamaan, kemampuan bahasa dan akademik
siswa. Pemprov Kaltim berharap, dari sekolah-sekolah tersebut akan lahir calon-calon pemimpin
yang berakhlak mulia dan berdaya saing di masa depan. 91 Sementara Biro Kesejahteraan Rakyat
(SETDA) Pemprov Kaltim menerjemahkan program keagamaan Isran-Hadi sebatas program
koordinasi, monitoring dan evaluasi bidang keagamaan serta dukungan-dukungan terhadap
kegiatan perayaaan keagamaan, baik secara finansial maupun secara politik.
Kebijakan bidang keagamaan juga tampak dari beberapa pernyataan yang disampaikan
oleh Gubernur dan Wakil Gubernur di media-media lokal. Misalnya, dalam konteks pembangunan
dan pembinaan sumber daya manusia (SDM), Gubernur dan Wakil Gubernur berkomitmen di
hadapan para tokoh agama akan mengucurkan anggaran untuk kegiatan keagamaan92, termasuk
pembangunan fisik rumah-rumah ibadah, baik masjid, gereja, pura serta rumah ibadah lainnya.93
Di samping itu, Pemprov juga menunjukkan perhatian khusus kepada umat Islam berupa
pemberian beasiswa pendidikan khusus melalui Program Pendidikan Kader Ulama (PKU) bagi

90
Sejak tahun 2019, Pemprov Kaltim telah menyiapkan beasiswa bagi siswa berprestasi dan kurang mampu
di 11 sekolah yang memiliki Boarding School (asrama siswa) dengan total anggaran hingga 12M/tahun. Sekolah-
sekolah tersebut adalah SMA10 Samarinda, SMA3 Tenggarong, SMA2 Sangata Utara, SMA4 Berau, SMA 2 Paser,
SMA1 PPU, SMA1 Bengalon, SMA2 Sendawar, dan Tiga SMA di Mahulu. Wawancara dengan ARWIN, Kepala
Seksi Peserta Didik dan Pembangunan Karakter, Disdikbud Prov. Kaltim pada tanggal 28 Februari 2020.
91
Wawancara dengan Deslan Nispani, Kepala Bidang Pembinaan SMK, Disdikbud Prov. Kaltim pada
tanggal 28 Februari 2020.
92
https://kaltim.tribunnews.com/2018/07/26/di-seminar-mui-kaltim-isran-noor-komitmen-kucurkan-
anggaran-untuk-kegiatan-keagamaan. Diakses pada tanggal 3 Maret 2020.
93
https://kaltim.tribunnews.com/2020/01/29/resmikan-gereja-katolik-hky-mangkupalas-isran-kita-bangga-
kaltim-kondusif. Diakses pada tanggal 3 Maret 2020.

70 | L a p o r a n A k h i r
warga muslim di Universitas Darussalam Gontor dan Hadramaut Yaman selama 6-12 bulan yang
sudah berlangsung sejak tahun 2016 sampai sekarang,94 serta beasiswa pendidikan bagi para
Hafidz Al-Qur’an.95
Selain itu, semarak keagamaan juga dijalankan dalam bentuk program pengajian rutin bagi
ASN yang diselenggarakan pada hari Jumat setiap akhir bulan di Kantor Gubernur Kaltim.96 Sejak
era Awang Farouk, periode sebelum Isran-Hadi, Pemprov juga rutin menggelar pengajian pekanan
setiap hari Senin, kemudian dilanjutkan di era Isran-Hadi. Tema-tema yang dikaji seputar
kebangsaan dan keagamaan meski kemudian terhenti sejak merebaknya wabah covid-19 di awal
tahun 2020. Semarak keagamaan itu terasa semakin kuat ketika eks Lapangan Kinabalu disulap
menjadi sebuah masjid megah, tepat di samping kantor Gubernur. Masjid yang diberi nama Nurul
Mu’minin tersebut dibangun dan dioperasikan dengan menggunakan dana bantuan sosial Pemprov
Kaltim. Sejak diresmikan oleh Wagub pada 20 Agustus 2020 lalu, masjid tersebut fokus pada
pelaksanaan kegiatan-kegiatan keagamaan bagi umat Islam di Kota Samarinda.
Rangkain kebijakan Pemprov di bidang keagamaan sebagaimana diuraikan di atas dapat
dilihat sebagai bagian dari upaya agen-agen politisi dalam mengkonstruksi (politisasi) ruang-ruang
baru, memproduksi makna-makna keberislaman baru untuk kepentingan politiknya sebagaimana
mereka canangkan dalam agendanya. Berdasarkan hal tersebut, penelitian mengajukan pertanyaan
sebagai berikut:
1. Bagaimana efektifitas konstruksi/politisasi ruang oleh agen-agen politik dalam produksi
makna keberislaman di Kaltim?
2. Apa dampak dari konstruksi ruang tersebut terhadap politik dan budaya Islam di Kaltim?

Menjawab pertanyaan di atas, penelitian ini mengumpulkan data dari rangkaian peristiwa
yang melibatkan agen-agen politik baik yang diberitakan oleh media, observasi langsung maupun
wawancara dengan tokoh-tokoh terkait selama kurang lebih setahun (2019-2020).
Untuk memahami fenomena konstruksi/politiasi ruang dan produksi makna keberislaman,
penelitian ini menggunakan kerangka teori “interkasionisme simbolik” (IS). Sebagai sebuah

94
https://www.muikaltim.org/pemkot-samarinda-kirim-10-kader-ulama-ke-hadramaud.html. Diakses pada
tanggal 3 Maret 2020.
95
https://imbskaltim.sch.id/2020/01/18/pemprov-kal-tim-berikan-beasiswa-hafidz-30-juz/. Diakses pada
tanggal 3 Maret 2020.
96
https://kaltimprov.go.id/berita/ceramah-agama-rutin-asn. Diakses pada tanggal 3 Maret 2020.

71 | L a p o r a n A k h i r
perspektif sosiologis yang elemen utamanya menekankan pragmatisme, IS menjelaskan tentang
bagaimana individu-individu melakukan penyesuaian praktis terhadap lingkungan sekitarnya
(Santos & Buzinde 2007). Ia adalah teori praktis sekaligus teori struktur sosial (Denzin 1992, p.
3). Teori ini dipakai untuk menjelaskan rangkaian prilaku simbolik dan narasi-narasi yang muncul
untuk memberi makna pada interaksi antar agen-agen sosial dan politik dalam konteks politik
ruang (Blumer 1969; Hewitt 1994; Patton 1990) di Kalimantan Timur. Berdasarkan teori tersebut,
agen-agen sosial dan politik yang diamati dipahami dalam konteks relasi interaktif dan praktisnya
dengan lingkungan sosial politiknya. Pengamatan yang dilakukan, oleh karena itu, mencakup cara-
cara para agen sosial dan politik dalam menegosiasikan makna-makna (politik) yang diusungnya
melalui politik ruang dengan situasi sosial-politik di Kaltim yang belakangan gandrung dengan
populisme Islam dimana mereka terlibat.
Berdasarkan teori interaksionisme simbolik, masyarakat Kaltim tidak dipahami statis,
tetapi dinamis atau bahkan “rentan” dari pengaruh agen-agen sosial dan politik yang
menkonstruksinya melalui pengelolaan interaksi. Pendekatan ini menunjukkan bahwa agen-agen
berperan penting dalam menciptakan “budaya keberislaman” dan modal-modal (budaya, sosial
dan politik) yang dikapitalisasi melaui rangkaian interaksi (Santos & Buzinde 2007), khususnya
yang dikelola secara sistematis, misalnya melalui pemanfaat ruang politik (rumah jabatan oleh
wakil gubernur). Melalui rumah jabatan, narasi-narasi populisme Islam direproduksi,
dikembangkan dan ditransmisikan melalui pengulangan-pengulangan ekspresi dan sosialisasi baik
kepada anggota kelompok maupun di luar kelompok (Griswold 2004, p. 62).
Produk lain dari fakta dan fenomena interaksi, menurut teori ini, adalah identitas (Santos
& Buzinde 2007). Identitas keislaman direproduski sebagai sesuatu yang “baru” (sekalipun tidak
sungguh-sungguh baru) dan menarik, dinegosiasikan agar tidak tampak bertentangan sehingga
berujung pada penolakan, dan ditegaskan melalui pengelolaan interaksi dengan kelompok lain.
Agen-agen sosial dan politik yang diamati mengkonstruksi dan memproyeksi makna-makna
kepada individu-individu dan kelompok-kelompok lain, yang pada gilirannya, yang lain pun
menerjemahkan dan menyesuaian dengan makna-makna tersebut. Untuk ditegaskan, agen-agen
sosial dan politik yang diamati mengelola interaksi sosial dengan ragam cara (termasuk khususnya
politisasi ruang) untuk menanamkan kesan, yang biasa disebut identity work (Griswold 2004).
Mereka tidak sekedar menfasilitasi tetapi memproyeksikan masyarakat kearah identitas (baru)
yang diagendakan. Dengan interaksionisme simbolik, penelitian ini menunjukkan bahwa interaksi

72 | L a p o r a n A k h i r
para agen-agen sosial dan politik melalui pengelolaan atau konstruksi/politisasi ruang telah
berkontribusi pada negosiasi, reproduksi, hingga penegasan identitias-identitas keagamaan,
khususnya keislaman, tepatnya afiliasi keislaman. Islam, tetapi Islam khusus yang diagendakan,
bukan Islam yang lain.

Politik Ruang Rumah Jabatan: Mengelola Interaksi untuk Islam Politik.


Pesan berantai tentang undangan menghadiri peringatan Maulid kelahiran Nabi
Muhammad tahun 2019 di rumah jabatan Wakil Gubernur di Jalan Milono Kota Samarinda
menghinggapi group-group WA. Tertulis dalam undangan tersebut, Hadi Mulyadi sebagai orang
utama (wakil gubernur) turut mengundang dalam acara yang diselenggarakan Majelis Ta'lim
Ukhuwah Islamiyyah Kaltim. Kehadiran Hadi Mulyadi dalam undangan tersebut menarik
perhatian karena ia adalah pemenang pilkada 2018 dengan koalisi Gerinda,PKS dan PAN. Sebagai
pemenang Pilkada, figur Hadi sebagai politisi semakin diperhitungkan.
Wakil Gubernur Hadi yang berpasangan Isran Noor untuk kepemimpinan Provinsi Kaltim
hingga tahun 2023, dikenal sebagai politisi senior PKS di Kaltim, sebelum hengkang ke Partai
Gelora, partai baru besutan pentolan PKS Anis Matta dan Fahri Hamzah, dan menjadi Ketua
Dewan Pimpinan Wilayah Kalimantan Timur. Karir politik Hadi di PKS mengantarkannya
menjadi legislator dua perode di DPRD Provinsi Kalimantan Timur melalui fraksi PKS pada
periode 2004-2009 dengan jabatan Ketua Komisi 1, Periode 2009-2014 menjadi Wakil Ketua
DPRD sekaligus menjadi salah satu di antara delapan anggota DPR RI daerah pemilihan Kaltim
pada pemilihan legislatif 2014. Perpindahan Partai Hadi Mulayadi, menurut Sekretaris DPW PKS
Kaltim, dikarenakan terdapat perbedaan pola pendekatan ke konstituen dengan lebelisasi
keagamaan yang kental. “Ada perbedaan visi ke masyarakat dengan Wagub, kalau kita perhatikan
Islamnya”
Di kalangan masyarakat, Hadi Mulyadi dikenal sebagai pendakwah. Selain itu, rekam jejak
Hadi dekat dengan dunia pendidikan, baik sebagai dosen maupun sebagai guru. Hal tersebut dapat
dilacak dari kampanye politik Hadi Mulyadi dan pernyataan orang yang berada di lingkarannya,
seperti Endang Kurniawan Ketua Garbi Kota Samarinda. Tahun 2017 lalu, saat peneliti memandu
diskusi live RRI di Hotel Senyiur Samarinda, Hadi Muyadi yang saat itu menjadi anggota DPR
dan masuk dalam bursa pada Pilkada Provinsi Kaltim, menegaskan dirinya sebagai dosen.
Terpilih sebagai Wakil Gubernur, Hadi Mulyadi memiliki modal sosial dan politik untuk
semakin menyemarakkan berbagai macam aktivitas keagamaan seperti pengajian dan aktivitas
73 | L a p o r a n A k h i r
sosial. Secara sistematis, ragam aktivitas keislaman dikelola di rumah jabatan Wakil Gubernur.
“Sebelum pak Hadi, Rujab ini tidak pernah ada aktivitas pengajian di sini”, tutur salah satu Satpol
PP yang tidak mau disebutkan namanya yang sedang bertugas di Rujab Wagub. Rumah jabatan
dijadikan sebagai sarana untuk mengkostruksi/politisasi ruang bagi terciptanya interaksi antar
individu dan kelompok, dimana dia terlibat sebagai agen politik dan politik yang utama.
Beberapa bulan pasca pelantikan Hadi Mulyadi sebagai Wakil Gubernur, orang
terdekatnya, seperti Endang Kurniawan (Ketua Garbi Samarinda) mendesak merealisasikan
pembentukan majelis. Tepat, saat Wakil Gubernur menempati rumah jabatan, rumah jabatan mulai
menggeliat fungsinya yang ditandai dengan terbentuknya Majelis Ta'lim Ukhuwah Islamiyah
Kaltim tahun 2018 dengan Ketua Maskur Sarmian (anggota DPRD Kaltim Fraksi PKS) bersama
Sekretarisnya, Sarwono (Calon Wakil Walikota Samarinda). Majelis Ta’lim yang terbentuk dalam
waktu yang hampir bersamaan adalah Majelis Ta’lim Mar’atul Sholihah dengan komposisi
kepengurusan Mila Wardani sebagai Ketua dan Wahyuni Kusasih sebagai Sekretaris dengan
menempatkan istri Wakil Gubernur sebagai penasehat, Erni Makmur. Kedua pengajian tersebut
memiliki segmentasi peserta yang berbeda dalam menjalankan program pengajian. Majelis Ta'lim
Ukhuwah Islamiyah Kaltim khusus jamaah laki-laki, sedangkan Mar’atul Sholihah untuk jamaah
perempuan.
Gagasan dibentuknya Majelis Ta'lim Ukhuwah Islamiyah Kaltim, berdasarkan wawancara
dengan Endang Kurniawan selaku pengelola kegiatan Majelis Ta’lim, bertujuan sebagai sarana
komunikasi antara Wakil Gubernur dengan masyarakat tanpa mengikuti protokoler formal.
“Saya gak hapal persis visi misi Isran-Hadi, yang jelas terkait SDM di antaranya
membangun moral. Salah satunya masyarakat religius. Religius itu umum ya bukan hanya
Islam. Jadi, sosio-kultur budaya di Samarinda dari dulu dipengaruhi budaya dari
Banjarmasin dalam hal kegiatan keagamaan dalam bermajelis”

Di Kota Samarinda menjamur kelompok pengajian yang diinisiasi tokoh agama seperti
Habaib atau Guru, maupun pengajian yang dilakukan organisasi masyarakat, seperti NU dan
Muhammadiyah. Tradisi pengajian di Kaltim adalah lingkungan sosial yang dikapitalisasi. Ia
adalah dasar bagi pembentukan Majelis Ta’lim Ukhuwah Islamiyah dengan menghadirkan
penceramah-penceramah yang populer di tengah masyarakat, seperti di antaranya Habib Hasyim
Bin Abdullah Bin Syekh Abu Bakar Bin Salim, Guru Ahmad Zaini, Habib Muhdor Al-Attas, Guru
Udin, KH Junaidi Maksum (Pimpinan Pondok Pesantren Nurul Iman Samarinda), Habib Alwi bin
Hamid Al Baraqbah, Habib Abdul Nasir, H. Fuad Syukr, Lc, Hamri Haz (Ketua MUI Kaltim),

74 | L a p o r a n A k h i r
Said Alwi (pembina Mesjid Al-maruf dan di Islamic Centre), Jamaluddin (IAIN Samarinda), H.
Muhammad Abror (Pimpinan Majelis Ta’lim Sabilur Rasyad Samarinda). Penceramah kondang
dari luar Kaltim seperti Ust. Das’ad Latief dari Sulawesi Selatan pun diundang.
Aktivitas pengajian Majelis Ta’lim Ukhuwah Islamiyah Kaltim di rumah jabatan Wagub
secara rutin dilakukan setiap Jumat malam di awal bulan. Kegiatan diawali dengan shalat Isya
secara berjamaah. Usai shalat berjamaah, petugas yang ditunjuk menyajikan alunan musik sembari
sholawatan, sekitar jam 20.00, acara formal dimulai ketika pengurus Majelis Ta’lim dan
penceramah masuk dalam ruangan pengajian yang berkapasitas 200an orang. Acara formal hanya
berisi pembacaa ayat Al-qur’an dan sambutan dari salah satu pengurus Majelis, Maskur Sarmian
atau Sarwono. Setelah sambutan pengurus Majelis, acara tausiah disampaikan penceramah lebih
kurang selama satu jam. Akhir dari serangkaian pengajian adalah makan malam bersama sekaligus
menjadi ruang ramah tamah. Rutinitas pengajian di rumah jabatan tersebut menggunakan anggaran
dari Pemerintah Kalimnatan Timur dan tercatat di Biro Umum.
Endang Kurniawan merasionaliasi ide dan gagasan terbentuknya Majelis Ta’lim Ukhuwah
Islamiyah Kaltim. Menurutnya, Majelis tersebut tidak dimaksudkan untuk mengakomodasi
kelompok-kelompok tertentu saja, tetapi bersifat terbuka untuk semua kalangan masyarakat. Ia
menolak pendapat yang beredar tentang keislaman konservatif dan eksklusif yang dimiliki Wakil
Gubernur. Meski pada kenyataanya, hasil observasi penelitian menemukan peserta yang hadir
dalam kegiatan pengajian memiliki keterikatan dengan afiliasi politik Hadi Mulyadi, seperti
simpatisan Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Gelora. Di antaranya Yurika, Mahasiswa IAIN
Samarinda sebagai simpatisan Garbi, Hamzah mantan calon legislatif PKS Kota Samarinda, dan
Ijul Pengurus Partai Gelora.
Peserta yang hadir dalam pengajian terbagi dua, yaitu masyarakat umum dan undangan.
Peserta yang diundang adalah pengurus masjid, pengurus majelis, kelompok sholawatan ibu-ibu,
dan komunitas sosial gerakan infak/shodoqah. Pada saat peresmian pengajian, semua organisasi
masyarakat dan Majelis Ta’lim skala besar mendapatkan undangan. Sementara, pada bulan puasa,
intensitas pengajian meningkat menjadi empat kali selama bulan puasa. Udanganpun bervariasi
sesuai permintaan Wakil Gubernur. Pada bulan Ramadhan tahun 2019 sebagaimana
terdokumentasikan di website pemerintahan Kalimantan Timur melibatkan TNI dan Polri sebagai
mitra pemerintah. Pada Kamis tanggal 23 Mei 2019 misalnya, panitia pengajian mengundang
jajaran TNI dari Korem 091/ASN. Acara tersebut dihadiri Danrem 091/ASN Brigjen TNI Widi

75 | L a p o r a n A k h i r
Prasetijono beserta istri, Dandim 0901 Samarinda Letkol Inf M Bahrodin beserta istri, Ketua
Majelsi Taklim Ukhuwah Islamiyah Masykur Sarmian dan Sekretaris Sarwono, Ustad Raden
Ahmad Affandi, Tubagus Syahroni (juara 1 MTQ Internasional 2019 di Bahrain), penceramah
Guru Mansur dan staf ahli gubernur Prof Zein Heflin. Pada Kamis tanggal 30 Mei, panitia
pengajian kembali mengundang Polresta Samarinda. Acara tersebut dihadiri Kapolresta
Kapolresta Samarinda Kombes Pol Vendra Riviyanto, Hadir Kapolsek se kota Samarinda, Ketua
Majelis Taklim Ukhuwah Islamiyah Masykur Sarmian dan Sekretaris Sarwono. Qori H Siddik
Amrillah dan tausiyah disampaikan Ustadz H Habib Muhammad Al Athos.
Sejak terpilih, Hadi Mulyadi secara khusus telah memberi akses kepada publik untuk dapat
menggunakan fasilitas pemerintah seperti kantor pemerintahan dan rumah jabatan sebagai tempat
pelaksanaan kegiatan keagamaan, seperti pengajian dan perayaan keagamaan. Dalam aktivitas
keagamaannya, Hadi berusaha menghadirkan berbagai elemen atau kelompok masyarakat dan
ormas Islam. Sebagai sosok politisi-religius (dulu PKS, dan kini Gelora), Hadi Mulyadi
menampilkan diri sebagai sosok terbuka dan dekat kepada ormas-ormas Islam termasuk NU,
Muhammadiyah, dan kelompok-kelompok Islam lainnya, termasuk Wahdah Islamiyyah.97 Ia
menjadikan rumah jabatannya sebagai ruang perjumpaan bagi kelompok-kelompok Islam,
beberapa bulan pasca ia dilantik. Sebagai bagian dari politisasi ruangnya, pemanfaat rumah jabatan
untuk kegiatan keagamaan tidak hanya menjadi ruang perjumpaan kelompok-kelompok Islam,
(meski lebih didominasi dan dihadiri oleh kelompok partisan eks-PKS yang kini bertransformasi
menjadi Gelora) tetapi sekaligus menjadi tempat konsolidasi politik bagi calon Walikota
Samarinda 2020, Zairin-Sarwono.
Popularitas Hadi di kalangan kelompok Islam semakin membaik pasca dukungannya
terhadap kelompok-kelompok pengajian di Kalimantan Timur. Berbeda dengan Hadi, Isran
tampak tidak memiliki keberpihakan yang jelas secara ideologis kepada kelompok tertentu. Meski
sempat mengeluarkan Surat Edaran Gubernur Kaltim Nomor 045/7815/B.Kesra terkait
pelaksanaan pergantian tahun agar diisi dengan kegiatan keagamaan, publik menilai gagasan itu
bukan inisiatif Isran sendiri tetapi berasal dari orang-orang dekat Hadi. Isran juga tampak tak
memiliki beban politik terhadap ormas-ormas Islam yang memang tidak banyak memberi

97
Hadi Mulyadi sempat menghadiri acara Mukernas XII Dewan Pimpinan Pusat Wahdah Islamiyah di
Makassar pada tanggal 14 Desember 2019 dan memberi pujian atas pencapaian WI dalam bidang dakwah dan
pendidikan. https://muslimobsession.com/senator-dan-wakil-gubernur-kaltim-puji-perkembangan-wahdah-
islamiyah/. Diakses pada tanggal 17 April 2020.

76 | L a p o r a n A k h i r
dukungan politik kepadanya saat Pilkada lalu. Bahkan, pasca dilantik ia terkesan sangat tertutup
dan tidak memberi celah bagi ormas-ormas Islam untuk memengaruhi kebijakan-kebijakannya.

Pengajian dan Pilkada Samarinda


Peneliti menghadiri pengajian rutin Majelis Ta'lim Ukhuwah Islamiyyah Kaltim yang
dilaksanakan di Rumah Jabatan Wakil Gubernur sebanyak tiga kali, yakni 7 Nopember 2019, 5
Desember 2019, dan 5 Maret 2020. Dalam pengajian tersebut, Sarwono selaku Sekretaris Majelis
Ta’lim selalu hadir dan kerap memberikan sambutan untuk menggantikan Ketua Majelis Ta’lim
jika berhalangan menghadiri pengajian. Selain pengelola Majelis Ta’lim, Sarwono adalah calon
Wakil Walikota Samarinda berpasangan dengan Zairin untuk Pilkada 2020 melalui jalur
independen yang telah mendaftarkan diri ke KPU Kota Samarinda dan dinyatakan lolos.
Pemanfaatan rumah jabatan untuk pengajian efektif menciptakan ruang interkasi ragam
individu dan kelompok. Rumah jabatan dikampanyekan sebagai ruang terbuka dan pengajian
dikampanyekan sebagai aktivitas untuk semua kelompok Muslim efektif mengkonstruksi ruang
interaksi lintas kelompok. Produksi makna dalam interkasi tersebut pun tidak terbatas pada
pengajian keislaman, tetapi menjangkaui pada politik Islam. Dengan frame pengajian untuk
pengelolaan ruang dan interaksi, Sarwono dan Zairin mengkampanyekan agenda politiknya di
hadapan publik, lintas kelompok.
Politik ruang dan interaksi di atas diterjemahkan beragam. Hasto, seorang peserta
pengajian menerjemahkannya sebagai politisasi pengajian. Ia mencurigai dan menyampaikan
kecurigaannya terkait praktik pengajian tersebut dengan berbisik kepada peneliti “Tau gak, ini
majelis politik, banyak baliho dimana-mana tentang mereka”. Mereka yang dimaksud adalah
Zairin dan Sarwono yang baliho kampanyenya dalam Pilkada terpampang di banyak tempat.
Menurutnya, narasi-narasi politik dalam pengajian dapat tertangkap secara simbolik, dan bahkan
secara tersurat melalui pesan yang disampiakan misalnya oleh Ketua Majelis Ta’lim dalam
sambutannya, sebagai berikut;
“.....Kemudian, Dr. Ir. Zairin Zain, M. Si. Calon Walikota Samarinda. Insya Allah bersama
pak H. Sarwono, S. P., MM. Mohon doanya…. Amin (suasana majelis membenarkan dan
sebagian besar mengatakan ‘amin’). InsyaAllah majelis ini energi, karena akan
mengalirkan enegi pada kita, pada semuanya. H. Zairin dan pak H. Sarwono juga akan
mengalirkan energi ke masyarakat, karena yang saya tau beliau banyak turun ke
masyarakat. Saya kenalkan aja, mumpung belum ada ‘titik amprahnya ya’” (Sambutan
pembukaan Ketua Majelis Ta’lim, Maskur Sarmian, 5 Maret 2020)

77 | L a p o r a n A k h i r
Jika dilacak di Media Sosial Facebook, undangan pengajian Majelis Ta’lim menggunakan
profile media dengan tulisan ‘Samarinda Bangkit’. Frasa ‘Samarinda Bangkit’ merupakan jargon
kampanye Zairin dan Sarwono yang banyak ditemukan dalam iklan politik berupa baliho yang
tersebar di Kota Samarinda. Sebagai seperti Hasto melihat dengan jelas hubungan pengajian dan
politik Pilkada. Pencalonan Zairin dan Sarwono termasuk dalam agenda pengajian di rumah
jabatan yang dikelola secara sistematis oleh Hadi, wakil gubernur. Merespon hal tersebut, Endang
Kurniawan sebagai Ketua Garbi Samarinda, yang bertugas mengelola hal teknis terkait pengajian
memberikan pendapat dengan nada santai. Ia menilai bahwa pengajian yang dinilai politis sebagian
orang dapat diprediksi sebelumnya karena jabatan Wakil Gubernur merupakan jabatan produk
politik.
Sementara, organisasi besar Muhammadiyah Kalimantan Timur melalui Suyatman (Ketua
Umum) memandang pengajian yang dilakukan di rumah jabatan adalah hal yang baik dan bernilai
positif. Ia tidak tahu menahu jika kemungkinan mengarah ke ranah politik praktis. Ia
menyampaikan bahwa Muhammadiyah pernah menggunakan fasilitas rumah jabatan Wakil
Gubernur Kaltim untuk pengajian internal Muhammadiyah. Lebih lanjut ia menyampaikan, “Kami
diminta sebulan sekali melakukan pengajian di sana, dan kami melakukannya, sekalipun baru
sekali, karena ya kami juga hati-hati ya. Karena ya itu tadi ada juga kekhawatiran di antara teman
itu kalau dibawa ke arahnya kesana”.
Pengajian Muhammadiyah di rumah jabatan tersebut dijelaskan lebih rinci Adam
Muhammad, Sekretaris Angkatan Muda Muhammadiyah Kaltim:
“Saat itu, ada kegiatan peresmian pembangunan gedung Universitas Muhammadiyah
Kalimantan Timur. Setelah peresmian tersebut, ada acara internal Muhammadiyah di sana
(Rumah Jabatan Wagub). Yang hadir Menteri, Rektor UMKT, Ketua DPRD, dan peserta
dari kalangan Muhammadiyah. (tidak mengundang pihak lain) karena pengajian internal
Muhammadiyah”

Adam Muhammad berpendapat bahwa alasan tidak melibatkan kelembagaan


Muhammadiyah adalah karena pengajian yang dilakukan di rumah jabatan merupakan bagian dari
penguatan identitas keislaman yang mengalamai pergeseran ke arena politik. Ia mencurigai praktik
tersebut sebagai pemanfaatan agama yang memungkinkan adanya muatan politik. Meskipun
Muhammadiyah ditawari melakukan pengajian rutin di rumah jabatan sekali dalam sebulan,
Muhammadiyah tidak menggunakan fasilitas tersebut demi menghindari kesalahan pahaman dan
tuduhan terlibat dalam politik praktis.

78 | L a p o r a n A k h i r
Pendapat lain, dari struktur partai PKS, Arif Kurniawan yang juga pernah menjadi salah
satu calon Wakil Walikota Samarinda Pengganti Antar Waktu, menilai pengajian yang diadakan
di Rumah Jabatan Wakil merupakan upaya pemimpin melakukan komunikasi dengan masyarakat
yang dipimpin “Itu hak beliau, karena memang bisa jadi untuk menguatkan masyarakat, ke
kostituen. Beliau karena dari sisi personal dia seorang da’i, merangkul”

Keterbukaan Ruang Publik bagi Kelompok Islam


Di bawah kepemimpinan Isran-Hadi dan melalui konstruksi ruang yang diciptakan secara
sistematis oleh Hadi, ruang-ruang ekspresi dan praktik keagamaan bagi kelompok-kelompok Islam
menjadi semakin terbuka. Kelompok eks-HTI bisa secara leluasa beraktivitas kembali dan telah
bertransformasi ke dalam bentuk komunitas keagamaan baru seperti KARIM (Komunitas Royatul
Islam) dan Komunitas YNS (Yuk Ngaji Samarinda). Menurut Andrie Nur Fadli, Ketua Komunitas
Yuk Ngaji Samarinda, komunitas ini dibentuk sebagai bagian dari syiar Islam:
“Secara umum, YNS sama dengan komunitas Yuk Ngaji yang ada di beberapa daerah di
Indonesia yaitu menyebarkan Islam dan paling penting adalah menjadi wadah untuk teman-
teman mau berhijrah, sebagai fasilitator untuk menyampaikan Islam juga”.98

Komunitas Yuk Ngaji resmi didirikan pada 9 Juli 2016 oleh pentolan HTI seperti Felix
Siauw, Cahyo Ahmad Irsyad dan Hussein Assadi, setahun sebelum HTI dinyatakan sebagai
organisasi terlarang di Indonesia. Beberapa bulan setelah itu, Yuk Ngaji Samarinda terbentuk,
tepatnya November 2016. Dipelopori oleh Khairul Anas, mahasiswa di Universitas Negeri
Mulawarman (UNMUL) Samarinda Angkatan tahun 2014. Pada tahun 2019, Yuk Ngaji bahkan
disebut telah tersebar di 39 kota di Indonesia, dan 3 negara yaitu Turki tepatnya di Istanbul,
Hongkong dan Malaysia. Sama seperti HTI, sasaran dakwah Yuk Ngaji adalah para remaja
(SMA/Mahasiswa/Ibu Rumah Tangga) dengan mengusung jargon “The Power of Ngaji” dan “The
Miracle of Hijrah”.
Untuk menarik simpatisan pemula, Yuk Ngaji Samarinda rutin mengadakan kajian yang
terbuka untuk umum. Pada level berikutnya, mereka mulai membuka kajian tematik terkait
pengenalan Islam kaffah yang dibatasi bagi anggota yang terdaftar (eksklusif) saja. Di tingkat yang
lebih tinggi, kelas-kelas eksekutif dan intensif hanya tersedia bagi para anggota aktif. Di level ini,

98
Wawancara dengan Nur Fadli, Ketua Komunitas Yuk Ngaji Samarinda pada tanggal 24 Januari 2020.

79 | L a p o r a n A k h i r
kajian-kajiannya sudah mengarah kepada penanaman konsep Negara Islam (khilafah) sebagai
solusi atas berbagai permasalahan umat. Kelompok ini juga dikenal memiliki kader-kader yang
cukup militan, tanpa pamrih, yang gencar mensosialisasikan ideologinya melalui jargon

80 | L a p o r a n A k h i r
Pergeseran Ruang bagi Toleransi dan Radikalisme:
Studi Pergeseran Ruang di Bank Rakyat Indonesia (BRI)
Husni Mubarok

Pengantar

Banyak kajian tentang gerakan sosial keagamaan menunjukkan bahwa transmisi nilai-nilai
radikalisme dan toleransi tidak terjadi dalam ruang hampa. Keberhasilan para aktor dalam
persebaran kedua ide tersebut bergantung ketersediaan konteks, ekonomi politik dan ruang-ruang
sosial yang memungkinkan pergerakan dan kemahiran membangun frame atas masalah-masalah
ke-kini-an. Dalam wujudnya yang nyata, ruang-ruang sosial dan struktural tersebut bisa dilihat
pada akses terhadap ruang publik, birokrasi dan kekuasaan yang berpengaruh pada
penyelenggaraan kegiatan keagamaan dan perebutan pengaruh dalam mengisi ruang kosong yang
membutuhkan layanan sosial dan spiritual bagi masyarakat lemah dan kaum urban yang lahir
kembali dengan aspirasi keagamaan yang menguat.
Faktor lingkungan pendukung (enabling environment) bagi perebutan pengaruh antara
gagasan radikal dan toleran ini membutuhkan penelitian lebih jauh di tengah banyaknya kajian
kuantitatif tentang hasil akhir dari proses, berupa derajat pengaruh radikalisme di lingkup segmen
masyarakat yang berbeda seperti mahasiswa, sekolah, guru, ulama dan seterusnya. Sementara
konteks dan pola yang memungkinkan persebaran kedua gagasan tersebut belum cukup dikaji.
Kajian ini penting terutama karena Indonesia sedang berada pada titik yang berpotensi
mengubah lanskap sosial-keagamaan. Saat bandul politik tampak menguat ke arah kekuatan-
kekuatan inklusif, belakangan tampak ada peningkatan kesadaran dan partisipasi publik dari dalam
memperebutkan (kembali) pengaruh dalam mengisi ruang-ruang publik keagamaan dengan nilai-
nilai toleransi dan inklusi.
Hal ini menghadirkan pertarungan dua arus pergeseran. Di satu sisi, banyak aktor yang
selama ini ‘abai’ terhadap perubahan sosial yang mendukung persebaran radikalisme dan
intoleransi keagamaan kini menjadi lebih aktif untuk berebut pengaruh. Sejumlah perkembangan
yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir menandai “arus balik” toleransi dalam pergeseran
ruang dan struktur yang berpengaruh terhadap radikalisasi.

81 | L a p o r a n A k h i r
Di sisi lain, aktor-aktor dalam persebaran radikalisme dan intoleransi melakukan
transformasi diri untuk bertahan dan berkembang di tengah desakan terhadap ruang-ruang yang
selama ini mendukung pengaruh mereka. Dalam situasi politik keagamaan yang terbelah, ruang-
ruang aliansi kalangan Islamis tampak meluas dan memungkinkan lingkup penerimaan yang lebih
luas atas aktor-aktor gerakan ekstrem.
Studi ini mengamati ruang-ruang kontestasi pada kegiatan keagamaan lingkungan BRI.
Studi ini membatasi diri pada kegiatan keagamaan yang diselenggarakan pengurus Badan
Kerohanian Islam dan Yayasan Baitul Maal (YBM) di kantor pusat BRI di Jakarta. Kedua lembaga
ini mengoordinasi dan menghimpun kegiatan-kegiatan keagamaan yang kemudian menjadi ruang
kontestasi ide di lingkungan BRI. Perlu ditegaskan juga di sini penelitian ini tidak mempelajari
opini tentang pandangan keagamaan karyawan BRI. Studi ini tidak hendak mengklaim pandangan
keagamaan karyawan BRI melainkan hendak menjelaskan ruang-ruang kontestasi yang
memungkinkan ragam wacana Islam naik turun.
Kajian tentang radikalisme dan toleransi lebih banyak menyajikan hasil akhir berupa
persentase penduduk Indonesia yang meyakini dan mempraktikkan radikalisme di lingkup
berbagai segmen, seperti mahasiswa, sekolah, guru, ulama, dan sebagainya. Sementara itu, studi
yang mengulas secara mendalam ruang sosial politik yang memungkinkan ide dan gagasan tentang
radikalisme dan toleransi menyebar masih sangat kurang dikaji. Studi ini hendak mengisi
keterbatasan tersebut.
Studi ini mengajukan beberapa: sejauh mana lembaga negara memberi ruang kontestasi
antara kelompok yang menggelorakan radikalisme dan toleransi? Kapan ruang tersebut bergeser
dari satu kelompok ke kelompok lain? Ada dinamika dan relasi antar-aktor seperti apa yang
memungkinkan pergeseran tersebut terjadi?

Profil Bank Rakyat Indonesia

BRI didirikan oleh Raden Bei Aria Wirjaatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah, pada 1895.
Saat itu, BRI masih bernama De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden.
Pada 1934, nama perusahaan ini berganti menjadi Algemeene Volkscredietbank. Setahun setelah
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, bank ini kemudian ditetapkan sebagai bank
pemerintah pertama, pada 22 Februari 1946. Sempat menggunakan nama Bank Rakyat Indonesia
Serikat, pemerintah kemudian menetapkan nama Bank Rakyat Indonesia pada 1965. Pemerintah

82 | L a p o r a n A k h i r
mengubah status BRI menjadi perseroan terbatas di mana 100 persen saham dimiliki pemerintah.
Pada 2003, pemerintah memutuskan menjual 30 persen saham dan mengubah status menjadi
perusahaan publik. Hingga tahun 2018, BRI memiliki 60.553 karyawan yang tersebar di seluruh
cabang di Indonesia dan di luar negeri.
Guna meningkatkan sumber daya manusia, BRI membentuk badan kerohanian di bawah
direktorat Sumber Daya Manusia. Ada dua badan kerohanian di BRI, Bapekis (Badan Pembina
Kerohanian Islam) dan Bapekris (Badan Pembina Kerohanian Kristen). Bapekis diinisiasi oleh
Abdullah Ali tahun 1965. Tidak ada informasi yang jelas apakah pendirian Bapekis berkaitan
dengan tragedi politik yang dikenal dengan gerakan 30 September. Yang jelas, badan kerohanian
berfungsi untuk membangun integritas pimpinan dan karyawan dalam menjalankan perusahaan
secara transparan. Perusahaan modern dan maju hanya ditunjang karyawan yang berintegritas.
Selain sumber lainnya, pimpinan BRI meyakini bahwa ajaran agama adalah salah satu sumber
penting dalam membangun integritas karyawan.
Bapekis menjalankan tiga program tahunan. Pertama, kegiatan pengajian untuk
memperingati hari-hari besar Islam. Pengurus Bapekis mengundang tokoh-tokoh agama tingkat
nasional sebagai narasumber untuk berceramah pada kegiatan tersebut. Pengurus Bapekis, atas
persetujuan pimpinan BRI, menyeleksi dan memutuskan siapa yang akan diundang berceramah
pada kegiatan peringatan hari besar tersebut.
Kedua, mengelola kajian rutin. Dua kegiatan rutin, pengajian mingguan, dan solat jumat.
Sejak tahun 2018, pengurus Bapekis mengadakan kajian eksekutif yang pesertanya khusus pejabat
BRI. Kegiatan ini diadakan setiap tiga bulanan. Gedung BRI pusat menyediakan lantai 21 sebagai
tempat ibadah dan penyelenggaraan kegiatan-kegiatan keagamaan. Masjid tersebut dapat
menampung hingga 700an jamaah. Setiap pekan, Bapekis menyeleksi dan memutuskan khotib
atau penceramah untuk kegiatan rutin setiap pekan sepanjang tahun.
Ketiga, kegiatan sosial. Secara rutin, Bapekis mengelola dana untuk disalurkan kepada
anak-anak yatim, kaum miskin, dan pengembangan pondok pesantren. Kegiatan santunan biasanya
diselenggarakan pada kegiatan hari besar Islam yang bertepatan dengan ulang tahun BRI. Selain
dari BRI, Bapekis juga menghimpun dan menyalurkan zakat dan sumbangan (infaq dan shodaqoh)
dari karyawan BRI. Pada tahun 1992, masa kepemimpinan Winarto Soemantri, Bapekis
memasukkan kegiatan penghimpunan dana zakat dan sumbangan karyawan BRI melalui program
baru, Yayasan Baitul Maal (YBM) BRI. Saat itu, program YBM terbatas untuk karyawan BRI di

83 | L a p o r a n A k h i r
Jakarta. Setelah berkonsultasi dengan berbagai ahli YBM bertransformasi menjadi lembaga yang
dikukuhkan Menteri Agama melalui SK no 455 sebagai Lembaga Amil Zakat Nasional pada 2002.
Lembaga ini menjelma menjadi lembaga mandiri setelah manajemen BRI memutuskan
sistem pemotongan zakat dari gaji karyawan yang bersedia pada 2011. Hingga 2018, YBM
menghimpun zakat dari hampir 50 persen jumlah karyawan BRI. Pada 2018, YBM mengelola dana
sebesar 118 miliar. YBM menyalurkan dana yang terhimpun melalui beragam kegiatan. Mereka
salurkan untuk membantu usaha kecil dan menengah, baik perseorangan maupun kelompok.
Pengurus YBM mendampingi agar usahanya berjalan lancar dengan menyelenggarakan pelatihan-
pelatihan. Kemudian, YBM juga membiayai sejumlah marbot (petugas kebersihan masjid) dan
membantu pondok pesantren yang memiliki kendala sarana dan prasarana. Kegiatan lainnya
adalah tanggap bencana untuk membantu korban bencana di berbagai daerah di Indonesia.
YBM juga mendukung kegiatan-kegiatan keagamaan di lingkungan gedung kantor BRI
pusat di luar kegiatan yang dikelola Bapekis. Salah satunya, sejak 2018, di luar pengurus Bapekis,
muncul inisiatif untuk menyelenggarakan solat Jumat di lantai dasar (yang biasa dipakai untuk
parkir). Penyelenggaraan solat jumat di basemen ini disediakan bagi karyawan atau petugas yang
beraktivitas di lantai dasar seperti sopir dan karyawan lainnya yang tidak tertampung di lantai 21.
Kegiatan di “masjid” dadakan ini kemudian berkembang, tidak hanya solat jumat, tetapi juga
pengajian rutin bagi mereka yang ingin mengisi waktu luang dengan kegiatan keagamaan.
Pengelolaan masjid baseman ini berbeda dari masjid lantai 21 yang dikelola pengurus Bapekis.
Pengurus masjid ini mengelola dan menentukan penceramah sendiri, dan tanpa konsultasi dengan
pengurus Bapekis dan tanpa mekanisme persetujuan dari pimpinan BRI.
Pada 2019, pimpinan BRI memutuskan untuk menggunakan lantai 9 gedung BRI menjadi
masjid bersama. Dalam waktu tiga bulan, lantai 9 disulap menjadi tempat ibadah karyawan Muslim
dan dapat menampung sekitar 1000 orang. Setelah masjid ini diresmikan, maka kegiatan
keagamaan di lantai 21 dan baseman ditiadakan. Semua kegiatan dilaksanakan di masjid baru.
Pengurus kedua masjid juga menyatu untuk mengelola masjid baru ini. Semua kegiatan harus
mendapat persetujuan dari pimpinan. Mulai 2019, setiap penceramah wajib mengisi formulir
sebagai pembicara atau penceramah, yang di antara isinya bersedia menyampaikan materi yang
tidak menyangkut SARA dan politik praktis. Kegiatan keagamaan harus kembali kepada tujuan
awal, yakni memperkuat integritas karyawan.

84 | L a p o r a n A k h i r
Kegiatan-kegiatan yang dikelola Bapekis dan YBM adalah ruang kontestasi wacana
keberagamaan di BRI. Pergeseran ruang antara gagasan progresif dan islamisme berkelindan
dengan kapan, bagaimana, dan siapa yang mengelola pelaksanaan kegiatan keagamaan di kedua
lembaga tersebut. Bagian berikutnya akan mendiskusikan temuan penelitian ini tentang pergeseran
ruang yang terjadi di BRI pusat dari waktu ke waktu. Pergeseran tersebut berkelindan dengan
dinamika sosial politik yang ada di Indonesia.

Pergeseran Ruang

Pergeseran ruang di lingkungan BRI dapat dipetakan ke dalam tiga periode: Orde Baru dan
transisi, demokrasi baru, dan Pilpres 2019.
Label 1990-2004 2004-2016 2017-sekarang
Liberal Terbuka Terbatas Terbuka
Radikal Terbatas Terbuka Terbatas

a. Orde Baru dan masa transisi

Pada masa Orde Baru, hampir semua kegiatan di bawah perusahaan milik negara diarahkan untuk
menunjang dan mendukung kebijakan dan stabilitas negara. Tak terkecuali BRI. Selain kegiatan-
kegiatan perusahaan yang terkait ekonomi, kegiatan kerohanian juga harus mendukung penguatan
gagasan dan ideologi Pancasila. Dalam berbagai kegiatan kerohanian, pengurus Bapekis
mengundang penceramah atau khatib yang dapat mendukung kebijakan pemerintah atau sekurang-
kurangnya tidak bertentangan dengan kebijakan rezim Orde Baru.
Berbeda dari periode awal kepemimpinannya, Presiden Soeharto mulai mengakomodasi
sarjana muslim yang mengedepankan gagasan Islam substantif dan integratif pada medio tahun
1980an. Intelektual Islam substantif dan integratif ini merupakan generasi baru dari intelektual
sebelumnya yang cenderung menafsirkan Islam secara legal-formalistik. Generasi baru ini
misalnya tidak mendukung negara Islam, tetapi mendorong pengarusutamaan nilai-nilai Islam
dalam sistem negara bangsa modern. Gagasan tersebut sejalan dengan cita-cita pembangunan
sehingga mereka mendapat tempat dalam struktur politik dan birokrasi Orde Baru. Generasi ini
misalnya tergabung dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam. Alumni organisasi ini
menempati ruang-ruang birokrasi Orde Baru pada beragam bidang. Pemerintah Orde Baru juga

85 | L a p o r a n A k h i r
membentuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang terdiri dari mereka yang
mengedepankan Islam substantif (Effendi 2009, 289-300).
Perkembangan hubungan antara generasi intelektual Islam dengan rezim tersebut
berimplikasi pada siapa penceramah atau narasumber yang dapat mengisi kegiatan kerohanian di
lingkungan BRI saat itu. Nurcholish Madjid, mantan ketua umum HMI dua periode yang terkenal
dengan pemikiran Islam progresif, sering mengisi kegiatan pengajian rutin maupun kegiatan
keagamaan lainnya di lingkungan kantor BRI pusat. Tokoh lain yang juga sering mengisi acara di
lingkungan kantor BRI pusat adalah Abdurahman Wahid (Gus Dur), Masdar F. Masudi, dan tokoh
intelektual substantif dan integratif lainnya. Zainuddin MZ, penceramah popular saat itu, adalah
khotib dan penceramah dalam kegiatan keagamaan BRI, selain karena digemari jutaan warga, juga
karena isi ceramahnya sejalan dengan cita-cita pembangunan.99
Tidak hanya mengundang untuk kegiatan ceramah keagamaan, BRI juga aktif membantu
lembaga-lembaga keagamaan yang mendukung keterbukaan berpikir. BRI misalnya turut
mendukung kegiatan aneka kegiatan yang diselenggarakan Paramadina, yayasan yang didirikan
Nurcholish Madjid dan koleganya sesama alumni HMI, pada pertengahan tahun 1990-an. BRI juga
memberi dukungan terhadap kegiatan yang diadakan Nahdlatul Ulama (NU) khususnya di bawah
kepemimpinan Gud Dur.100
Setelah Soeharto lengser, situasi politik di tanah air berubah. Sejumlah pihak menuntut
perubahan mendasar dengan menyusun amandemen dasar-dasar negara. Suara dari berbagai pihak
mulai bermunculan, termasuk dari kelompok yang selama rezim Orde Baru dibungkam. Mereka
tidak hanya mulai bersuara, tetapi juga mengemukakan pendapat melalui aksi turun ke jalan, dan
bahkan mendirikan partai politik. mereka menutut agar pada amandemen kali ini, tujuh kata
Piagam Jakarta dikembalikan pada konstitusi negara. Mereka meminta agar negara dapat
menerapkan syariat Islam bagi umat yang menjalankannya.
Pandangan ini ditolak oleh kelompok yang mengedepankan Islam substantif. Mereka
menginginkan agar ajaran Islam tetap ada pada konstitusi negara tetapi tidak perlu secara formal
penerapan syariat. mereka juga tidak hanya bersuara dari aksi jalanan, tetapi juga diwakili
sejumlah orang di partai politik yang dikategorikan nasionalis. Para wakil rakyat saat itu

99
Wawancara dengan Ahmad Mujahid, mantan pengurus Bapekis BRI dan inisiator YBM BRI, pada Minggu,
12 Januari 2020.
100
Wawancara dengan Ahmad Mujahid, mantan pengurus Bapekis BRI dan inisiator YBM BRI, pada
Minggu, 12 Januari 2020.

86 | L a p o r a n A k h i r
memutuskan bahwa tujuh kata Piagam Jakarta tidak dapat dikembalikan pada konstitusi untuk
mempertahankan negara kesatuan republik Indonesia.
Seiring dengan perubahan pada masa transisi di atas, mulai terjadi pergeseran ruang di
lingkungan BRI. Pergeseran yang dimaksud adalah pengurus Bapekis mengundang penceramah
tidak hanya intelektual dan penceramah mereka yang digolongkan Islam substantif, tetapi juga
penceramah yang cenderung legal formalistik. Bagi pengurus Bapekis apapun latar belakang
penceramah akan mendapat tempat dalam kegiatan BRI sejauh mampu memperkuat dan
memotivasi integritas karyawan dalam bekerja. Menurut salah seorang pengurus Bapekis,
Kami tidak mempertimbangkan apakah pikiran penceramah tersebut liberal,
fundamentalis, konservatif, atau pun radikal. Selama seorang penceramah
tersebut dapat menyampaikan ajaran Islam yang memperkuat etos kerja, kami
akan mengundang dalam kegiatan keagamaan di BRI. Kami akui memang ada
atau dua yang kadang keras ketika menyangkut tindakan pemerintah yang
dianggapnya salah.101

Walaupun demikian, pengurus BRI tetap berhati-hati dalam menyeleksi penceramah. “Kadangkala
kami memaklumi jika ada ustadz atau penceramah yang keras, khususnya ketika menyampaikan
agar umat Islam menghindari dari kemungkaran. Meski begitu, kami memilih penceramah yang
kira-kira menguatkan etos kerja karyawan sekaligus tidak terlalu keras. Namun, pada
pelaksanaannya, kami kadang sulit mengontrol ustad akan bicara apa dan seberapa keras. Tetapi
alhamdulillah tidak ada masalah,” papar Ahmad Suparli.102
Kehati-hatian itu terutama dilakukan setelah insiden penghentian seorang penceramah
yang dianggap keras. BRI menjadwalkan Ustadz Hakim Abdad, seorang penceramah yang
dianggap cukup keras, salah seorang khotib salat jumat dan penceramah di pengajian masjid
perumahan BRI. Setelah salah satu ceramahnya pada tahun 2002, pimpinan BRI menerima surat
dari salah seorang jamaah yang memprotes isi ceramah ustad tersebut karena dianggap memecah
belah umat. Pimpinan BRI saat itu memutuskan untuk tidak mengundang kembali Ustadz Hakim
mengisi acara di BRI. Ustad Hakim merespons dengan memindahkan pengajian tersebut ke masjid
di luar perumahan BRI. “Saat itu ada juga yang mengatakan bahwa protes muncul bukan karena

101
Wawancara dengan AS, Pengurus Bapekis BRI, pada Selasa, 21 Januari 2020.
102
Wawancara dengan AS, Pengurus Bapekis BRI, pada Selasa, 21 Januari 2020.

87 | L a p o r a n A k h i r
isi ceramah, tetapi pengajian Ustad Hakim seringkali membludak sehingga jalan terpaksa dipakai
untuk tempat duduk jamaah,” jelas Ahmad Mujahid.103
Pada periode ini, para penceramah yang terafiliasi dengan Islam substantif leluasa mengisi
aneka kegiatan kerohanian di lingkungan BRI pusat. Sementara itu, kalangan islam legal-
formalistik memiliki ruang yang terbatas.

b. Demokrasi Baru

Ruang bergeser seiring perubahan konteks sosial politik pada masa pembentukan demokrasi baru
di Indonesia. Saat itu, polemik dan kontestasi pemikiran Islam politik antara kelompok Islam
substantif dan Islam legal formalistic berlangsung. Mereka saling berebut tafsir ketika
pemerintahan transisi menyusun aneka kebijakan baru setelah menyelesaikan amandemen
Konstitusi. Kontestasi pemikiran Islam misalnya mencuat pada masa UU Sisdiknas 2003. Kedua
kubu berselisih paham apakah harus ada penekanan khusus pada nilai-nilai Islam pada sistem
pendidikan di Indonesia atau tidak. Bagi kubu progresif, pendidikan nasional harus mencerminkan
keragaman agama sehingga tidak perlu penekanan khusus pada nilai-nilai Islam. Pihak lain, kubu
legal-formal, yang belakangan digolongkan sebagai Islamis, mendukung mencantumkan nilai-
nilai islam mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Empat tahun berselang,
perdebatan kembali mengemuka seiring penyusunan UU baru terkait pornografi dan pornoaksi.
Lagi-lagi kedua pandangan keislaman berlangsung dinamis dalam berbagai segi termasuk ketika
memasuki babak baru politik, pemilihan kepala pemerintahan langsung.
Pada perdebatan tersebut, label dilekatkan kepada pihak lawan. Label liberal disematkan
kepada mereka yang mendukung ide Islam substantif, sementara fundamentalis diarahkan kepada
mereka yang berada di barisan Islam legal-formalistik. Pada setiap label disertai dengan stigma
bernada pejoratif. Misalnya, sepilis, dikenal sebagai nama penyakit kelamin, disematkan kepada
kubu pendukung liberalisme, pluralisme, dan sekularisme. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada
2005 mengeluarkan fatwa bahwa pemahaman Islam yang mendukung sekularisme, pluralisme,
dan liberalisme haram.104 Fatwa tersebut mendasari gerakan Indonesia Tanpa JIL (ITJ) yang
menyudutkan mereka yang berpikiran terbuka dan progresif.

103
Wawancara dengan Ahmad Mujahid, mantan pengurus Bapekis BRI dan inisiator YBM BRI, pada
Minggu, 12 Januari 2020.
104
Fatwa MUI nomor 7/MUNAS VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme
Agama.

88 | L a p o r a n A k h i r
Sebaliknya, di balik label Islam fundamentalis terdapat stigma bahwa kelompok ini sebagai
pemecah belah bangsa, tidak menghargai keberagaman yang merupakan hakikat bangsa, dan cika
bakal terorisme. Label terakhir ini dinilai relevan karena gagasan kaum fundamentalis sejalan
dengan kelompok yang melakukan sejumlah aksi teror berupa bom di beberapa tempat di
Indonesia. Aksi-aksi teror dilakukan kelompok Jamaah Islamiyah (JI), kelompok Islam garis keras,
yang sejalan dengan kalangan Islam fundamentalis yang menuntut penerapan syariat Islam.
Kedua label mewarnai babak baru politik di Indonesia. Pada 2004, Indonesia memasuki
sistem politik baru yang mana untuk pertama kalinya warga negara memilih langsung presiden
dan wakil presiden. Setahun kemudian, pemilihan kepala daerah langsung oleh warga di bilik suara
diselenggarakan. Suara pemilih dalam sistem politik baru ini sangat berharga. Para calon kepala
negara dan kepala daerah berusaha memenangkan hati rakyat agak kelak memilih mereka di bilik
suara. Mereka berusaha mendekatkan diri kepada rakyat termasuk dalam perilaku keagamaan.
Hampir semua partai memiliki lembaga keagamaan, termasuk partai yang oleh para peneliti
dihimpun sebagai partai sekular. Mereka ingin tampil di hadapan pemilih sebagai kubu yang
memperjuangkan nilai Islam, yang sudah terpolarisasi berdasarkan label liberalis dan
fundamentalis.
Pemilu presiden langsung pertama mengangkat Susilo Bambang Yadhoyono (SBY) dan
Jusuf Kalla (JK) sebagai presiden dan wakil presiden. Kepemimpinan SBY dan JK saat itu
ditengarai dekat dengan kelompok yang dilabeli Islam fundamentalis. Presiden SBY misalnya
pada pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia pada 2006, kegiatan lima tahunan MUI,
menyatakan bahwa untuk urusan keagamaan ia akan menyerahkan kepada MUI. Pernyataan ini
berdampak luas khususnya menjadi basis legitimasi MUI di hadapan lembaga negara lainnya.
Misalnya, kepolisian seringkali menunggu fatwa MUI untuk memproses perkara yang melibatkan
kelompok keagamaan tertentu. Kalangan perbankan juga merujuk MUI untuk keputusan
membentuk perbankan syariah di Indonesia.
Pada periode ini, kalangan Islam fundamentalis memperoleh keleluasaan mengisi
pengajian dan kegiatan keagamaan lainnya di lingkungan BRI pusat. Beberapa nama yang
terafiliasi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)105 memiliki jadwal mengisi aneka pengajian di
BRI. Nama seperti Didin Hafiduddin, Syafi’i Antonio, dan beberapa nama lainnya menjadi

105
Sejumlah peneliti mengelompokkan PKS sebagai partai Islamis karena membawa misi menerapkan Islam
sebagai sistem politik

89 | L a p o r a n A k h i r
penceramah langganan Bapekis saat itu. Sejumlah ulama yang menjadi pengurus MUI pusat juga
mengisi pengajian-pengajian di BRI. Tidak mengherankan apabila sejumlah fatwa MUI, termasuk
keharaman pluralisme, sekularisme, dan liberalisme mewarnai materi pengajian-pengajian
tersebut.
Di sisi lain, ruang bagi penceramah yang terafiliasi atau dilabeli liberal mulai terbatas.
Misalnya, pada medio 2009 Bapekis menerima surat keberatan atas sejumlah penceramah dari
kalangan liberal. Saat itu, Zainun Kamal adalah penceramah langganan yang kemudian
dikeluarkan dari jadwal rutin karena protes tersebut. Pada tahun yang sama, Jalaluddin Rahmat
juga tidak diundang kembali karena protes yang sampai ke meja pimpinan BRI terhadap later
belakang organisasi keagamaan, Syiah. Bapekis memutuskan tidak lagi mengundang mereka
berdua agar tidak menimbulkan kontroversi semakin meluas.106
Meski demikian, tidak semua tokoh yang diasosiasikan dengan kelompok liberal
kehilangan kesempatan mengisi pengajian atau kegiatan keagamaan lainnya di BRI. Sejumlah
tokoh seperti Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, dan Nasaruddin Umar merupakan
penceramah langganan untuk kegiatan-kegiatan besar seperti peringatan hari besar Islam. Tokoh-
tokoh ini pada prinsipnya memiliki pandangan terbuka dan progresif dan mengutamakan substansi.
Singkatnya, ruang gerak bagi kelompok Islam progresif menyempit.

c. Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019

Dinamika politik keagamaan di Indonesia kembali berubah dan kini semakin mengentalkan
polarisasi keagamaan, yang ditandai dengan perubahan label antara liberal dan fundamentalis.
Sementara label liberal tidak banyak berubah, label fundamentalis bergeser menjadi radikal.
Pergeseran ini seiring dengan perkembangan aksi-aksi teror yang terus berlangsung yang
dilakukan aktivis gerakan Islam garis keras.
Label radikal tersebut bukan khas Indonesia, melainkan fenomena global, khususnya paska
serangan di Amerika 9/11. Wacana merespons umat Islam berkembang dari pendekatan keras
(hard approach) ke pendekatan lembut (soft approach). Sementara pendekatan keras
menggunakan senjata, seperti serangan ke Irak, pendekatan lembut menekankan dimensi
pencegahan menggunakan pendekatan budaya dan kultural. Pendekatan lembut tersebut menyasar

106
Wawancara dengan Ahmad Mujahid, mantan pengurus Bapekis BRI dan inisiator YBM BRI, pada
Minggu, 12 Januari 2020.

90 | L a p o r a n A k h i r
mereka yang diduga berpotensi menjadi pelaku teror. Mereka, yang dianggap berpotensi itu,
terasosiasi kepada kelompok Islam fundamentalis. Lambat laun, mereka yang dianggap
fundamentalis mendapat label baru, radikal. Mereka dianggap meyakini paham radikalisme.
Mereka, karenanya, perlu diyakinkan agar tidak radikal melalui program deradikalisasi.
Polarisasi liberal dan radikal itu berlangsung seiring perubahan peta politik keagamaan di
Indonesia. Pemilihan kepala daerah langsung DKI Jakarta 2012 mengubah relasi sosial keagamaan
tersebut. Perubahan tersebut bermula dari keputusan Jokowi, manta walikota Surakarta, yang
mencalonkan diri menjadi gubernur DKI jakarta, menggandeng Basuki Tjahaya Purnama atau
Ahok sebagai calon wakil gubernur. Ahok bukan saja beragama Kristen, tetapi juga berlatar
belakang etnis tionghoa. Keduanya terpilih sebagai gubernur DKI Jakarta. Untuk pertama kali,
wakil gubernur DKI Jakarta beragama Kristen dan beretnis Tionghoa.
Saat itu, banyak kalangan Islam tidak menerima kemenangan Jokowi dan Ahok dalam
pemilu Pilkada DKI 2012. Sebagaimana tampak dalam kampanye, mereka menyuarakan
penolakan umat Islam dipimpin non-Muslim. Aneka kebijakan Jokowi-Aok menuai protes.
Keduanya misalnya menerapkan sistem lelang jabatan dalam penentuan lurah, pemimpin pada
skala kelurahan. Melalui lelang, penilaian dilakukan berdasarkan kapasitas kepemimpinan, bukan
identitas. Beberapa kelurahan dipimpin oleh lurah yang beragama non-Islam, salah satunya Lurah
Susan Jasmine yang memimpin Kelurahan Lenteng Agung. Kelompok Islam yang dilabeli radikal
menolak keputusan tersebut. Mereka menolak pemimpin non-Muslim, perempuan pula.
Polarisasi tersebut menguat setelah Jokowi bersama Jusuf Kalla terpilih sebagai presiden
dan wakil presiden. Sepeninggal Jokowi, Ahok otomatis menjadi gubernur. Ia kembali
mencalonkan diri sebagai gubernur pada pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2017-2022.
Polarisasi dan kontroversi mencuat setelah beredar penggalan video pidato Basuki Tjahaya
Purnama yang dianggap menistakan agama Islam. Pada video pendek itu, Ahok menyatakan agar
warga Jakarta jangan mau dibohongi Al-Maidah 51. Berbagai tokoh dan kelompok Islam yang
menentang pernyataan Ahok itu turun ke jalan menuntut Ahok dihukum atas pernyataannya itu.
Aksi massa yang awalnya hanya diikuti ratusan orang kemudian membesar dan puncaknya aksi
pada 2 Desember 2016 di Monas, Jakarta, yang diikuti ratusan ribu orang. Mereka juga mengecam
tokoh yang mendukung Ahok sebagai penentang Islam.
Aksi massa tandingan juga bermunculan sebagai respons atas aksi massa tersebut. Mereka
menilai bahwa Ahok tidak keliru dan memahami ucapan Ahok. Ahok sama sekali tidak menodai

91 | L a p o r a n A k h i r
Islam, sebaliknya, ida mengingatkan agar memilih pemimpin bukan berdasarkan agama melainkan
integritas dalam menjalankan pekerjaannya. Aksi massa ii juga menuding para penentang Ahok
digerakkan untuk kepentingan politik pilkada 2017. Di samping itu, wacana anti radikalisme mulai
berkembang dan saat itu muncul asosiasi kepada mereka yang terlibat dalam aksi masa 212.
Bukan saja perdebatan tentang kepemimpinan non-muslim di dalam sistem demokrasi,
tetapi juga stigmatisasi antar kubu yang mengeraskan polarisasi. Orang yang pro Ahok disebut
‘cebong’ dan pendukung lawannya disebut ‘kampret’. Asosiasi kedua stigma ini bermacam-
macam. Cebong berarti kaum liberal, penista, dan agen-agen yahudi yang hendak menghancurkan
Islam. Tokoh yang berada di barisan kelompok ini disebut cebong. Di sisi lain, kamprest diasisikan
dengan Islam fundamentalis, radikal, ekstremis, dan bahkan diasisikan dengan ISIS, kelompok
teroris baru setelah Jamaah Islamiah tumbang. Asosiasi ini kemudian melekat pada juga kepada
tokoh-tokoh yang berada di barisan penentang Ahok.
Saling jegal tokoh liberal dan tokoh radikal terjadi di beberapa daerah. Penolakan terjadi
berdasarkan wilayah. Di wilayah di mana kelompok yang bersimpati kepada Ahok dan mendukung
Jokowi menentang ustad atau penceramah yang diasosiasikan dengan kampret. Ustad Abdus
Somad misalnya ditolak berceramah di sejumlah daerah karena dianggap kampret dan radikal.
Sebaliknya, kiai Ishomuddin, ulama yang menilai Ahok tidak menista Islam, dipecat dari
kepengurusan MUI pusat setelah menjadi saksi ahli yang meringankan Ahok. Ia sebelumnya
menjabat sebagai Wakil Ketua komisi Fatwa MUI.
Polarisasi kembali menguat pada pemilihan presiden dan wakil presiden 2019. Kali ini,
kontestasi memilih pemimpi negeri hanya diikuti dua pasangan calon: Joko Widodo-Ma’ruf Amin
dan Prabowo Subiakto-Sandiaga Uno. Jokowi-Ma’ruf didukung kelompok nasionalis dan liberal,
sementara Prabowo-Sandiaga didukung kelompok Islamis radikal, cerminan dari polarisasi pada
Pilkada DKI Jakarta dua tahun sebelumnya. Label satu kepada pihak lain juga semakin mengeras.
Pendukung Jokowi-Ma’ruf disebut “cabong bani serbet” dan pendukung Prabowo-Sandi diberi
label “Kaprer, Kadrun (kadal gurun)”. Terlepas dari label tersebut, kubu politik ini merupakan
wajah paling kasar dari perselisihan politik keagamaan antara Islam substantif vs. Islam legal-
formalistik.
Pasangan Jokowi-Ma’ruf terpilih sebagai presiden. Pada visi dan misinya, pasangan ini
mengedepankan moderasi beragama. Moderasi beragama adalah narasi yang warisan Menteri
Agama 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin. Konsep moderasi beragama merupakan jalan

92 | L a p o r a n A k h i r
tengah dari ekstrem kiri dan ekstrem kanan. Dalam praktiknya, jalan tengah berarti ekstrem kiri
dan ekstrem kanan tidak mendapat tempat di ruang publik. Agar sejalan dengan haluan pemerintah,
mereka harus mengubah haluan ke tengah. Ekstrem kiri adalah kelompok yang selama ini
diasosiasikan dengan komunisme. Sementara itu, ekstrem kanan adalah radikal teroris. Lalu pada
praktiknya siapa ekstrem kiri dan ekstrem kanan tidak begitu jelas. Ekstrem kanan adalah
kelompok radikal baik yang belum atau sudah menjadi teroris. Sementara ekstrem kanan
disematkan kepada penyokong ide liberalisme yang anti agama dan karenanya mereka PKI.
Polarisasi tersebut menyebar hingga ke ruang-ruang yang sebelumnya tidak terbayangkan
sejak kampanye Pilpres 2019. “Kubu politik tiba-tiba kelihatan di kantor BRI pusat selama Pilkada
DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019. Meski tidak menampakkan saat di kantor, tetapi perdebatan
panas di grup-grup media sosial kantor. Siapa saja pendukung Jokowi dan Prabowo terpetakan
saat itu,” papar Ahmad Mujahid.107 Meski demikian, pengurus Bapekis menyeleksi narasumber
dan penceramah secara hati-hati. “Kami memastikan kepada para penceramah untuk tidak
menyinggung politik praktis baik Pilkada DKI jakarta maupun Pilpres 2019,” jelas Harpan. 108
Sebagai pengurus ketua Bapekis, Harpan dapat mengontrol siapa yang perlu diundang
dalam kegiatan keagamaan di masjid utama karyawan, lantai 21. Namun, ia dan pengurus lainnya
tidak dapat mengontrol penceramah untuk musala lantai dasar. Pada Ramadhan 2019, pengurus
musala mengadakan pengajian dua kali sepekan selama bulan puasa. Nama-nama calon
penceramah adalah mereka yang terlibat dalam pilpres 2019 sebagai pendukung pasangan calon
Prabowo-Sandi dan menyerang pasangan Jokowi-Ma’ruf. Mereka juga disebut-sebut sebagai ustad
radikal. Nama-nama tersebut kemudian muncul di publikasi media sosial. Sebelum pengajian
dimulai, pimpinan BRI mendapat surat dan teguran dari pemerintah atas pengajian tersebut. Pihak
BRI kemudian membatalkan pengajian tersebut.
Sampai di sini, ruang kontestasi di linkungan BRI dinamis dari waktu ke waktu. Pada masa
Orde Baru hingga masa Transisi, kegiatan kerohanian Islam didominasi pemceramah yang
progresif dan terbuka. Ruang bergeser ke dominasi kelompok Islamis dalam kegiatan kerohanian.
Ruang bergeser lagi ke arah sebaliknya pasca pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019, di mana

107
Wawancara dengan Ahmad Mujahid, mantan pengurus Bapekis BRI dan inisiator YBM BRI, pada
Minggu, 12 Januari 2020.
108
Wawancara dengan AS, Pengurus Bapekis BRI, pada Selasa, 21 Januari 2020.

93 | L a p o r a n A k h i r
kelompok yang dinilai radikal tidak mendapat ruang menyampaikan ajarannya di lingkungan BRI
pusat.

Tiga Faktor

Bagaimana menjelaskan pergeseran ruang terhadap kelompok yang disebut liberal dan
radikal di atas? Studi ini berargumen bahwa tiga faktor berkontribusi pada pergeseran ruang
tersebut: label dan stigma radikal vs. liberal; sikap dan gestur penguasa; dan, fragmentasi internal.

a. Label dan Stigma: antara Liberal dan Radikal

Faktor lain yang menyumbang pada pergeseran ruang di lingkungan BUMN, khususnya
BRI, adalah perkembangan wacana dan perdebatan perdebatan lama antara Islam substantif dan
Islam legal-formal. Perdebatan tersebut, alih-alih menghasilkan integrasi, malah semakin meluas
dan menguat seiring politik identitas digunakan sebagai framing pada politik elektoral. Pada titik
inilah, perdebatan wacana keagamaan Islam antara keduanya berkontribusi pada pergeseran ruang
di lingkungan BUMN, dalam hal ini, BRI.
Perdebatan pemikiran Islam sesungguhnya tidak sapat diringkus menjadi dua "kubu".
Ragam pemikiran Islam jauh lebih baik dipahami sebagai gradasi dari pemikiran paling ekstrem
di sebelah kanan sampai ekstrem di sebelah kiri. Di paling kanan, ada kelompok yang
menginginkan Indonesia negara Islam; di paling kiri, ada kelompok yang sangat menentang
penerapan negara Islam di Indonesia yang sejak lahir telah beragam. Di tengah-tengah, ada pihak
yang tafsir keagamaannya cenderung ke kanan atau ke kiri. Dalam bidang ekonomi, gradasi kiri
dan kanan juga ada. Mereka yang mendukung liberalisasi ekonomi berada di kanan, sementara
kelompok Islam yang menginginkan proteksi ekonomi. Di tengah-tengah, ada kelompok yang
cenderung ke kanan dan ke kiri. Kategori kiri dan kanan dalam bidang politik dan ekonomi tidak
selalu pada tempat yang sama ketika bicara pada bidang yang berbeda. Kiri dalam bidang ekonomi
barangkali cenderung ke kanan dalam bidang politik. Begitu juga sebaliknya.
Uraian tersebut memperlihatkan pada kenyataannya kontestasi pemikiran Islam di
Indonesia lebih rumit daripada hanya dua "kubu", antara Islam substansial vs. Islam legal-
formalistik. Kategori tersebut digunakan akademisi untuk memudahkan analisis. Mereka yang di
kanan dan cenderung ke kanan dikelompokkan pada satu kelompok dan mereka yang di kiri dan

94 | L a p o r a n A k h i r
cenderung ke kiri dikelompokkan pada kelompok lainnya. reduksi serupa terjadi juga dalam
pembicaraan aneka lapis masyarakat, termasuk obrolan warung kopi. Pembicaraan mereka tentu
tidak serumit gradasi di atas. Untuk memudahkan obrolan, mereka mereduksi menjadi dua kubu,
liberal dan radikal. Liberal diasosiasikan kepada mereka yang mengedepankan substansi ajaran
Islam daripada bentuk, sementara radikal adalah mereka yang menekankan pada bentuk hukum
formalistik daripada substansi.
Perdebatan kedua kelompok pemikiran tersebut disertai label dan stigma. Label liberal
mengandung stigma “anti-Islam”. Sementara istilah stigma “anti-NKRI (negara kesatuan republik
Indonesia) dan pro-kekerasan” melekat pada label radikal. Mereka yang menyatakan misalnya
menentang formalitas hukum Islam dalam sistem hukum nasional dicap sebagai liberal yang anti
Islam. Sebaliknya, mereka yang mendorong penerapan hukum Islam dalam sistem hukum nasional
mendapat label radikal dengan stigma anti-NKRI.
Label beserta stigma tersebut berkelindan dengan politik elektoral sehingga label tersebut
dapat berubah-ubah. Pada saat menjabat sebagai ketua MUI dan mengharamkan pemahaman
liberalisme, pluralisme, dan sekularisme, Ma'ruf Amin sebagai tokoh konservatif yang selalu
berhadapan dengan kubu liberal. Ma’ruf juga adalah tokoh di balik fatwa kesesatan Ahmadiyah,
yang mana telah mengakibatkan sejumlah peristiwa kekerasan terhadap kelompok tersebut. Kala
itu, Ma’ruf dan MUI dianggap sebagai pihak yang harus bertanggung jawab dalam insiden
kekerasan tersebut. Label berubah setelah Ma’ruf menjadi wakil presiden Jokowi yang didukung
kubu yang disebut liberal. Stigma anti-NKRI dan pro kekerasan tidak lagi melekat kepadanya. Ia
kini dikenal sebagai kubu pro-NKRI yang siap membangun negeri bersama Jokowi. Perubahan
label dan stigma Ma’ruf adalah satu di antara tokoh Islam lain yang label dan stigmanya berubah
seiring perubahan orientasi politik. Meski demikian, tidak sedikit pula tokoh yang mana label dan
stigma yang melekat padanya tidak berubah.
Pergeseran ruang di lingkungan kerohanian Islam di BUMN, khususnya BRI, ditentukan
oleh label dan stigma tersebut. Jalaluddin Rahmat, sebagaimana telah diuraikan di atas, tidak lagi
diundang sebagai penceramah di BRI setelah beredar label sebagai penganut Syiah yang sesat dan
menyesatkan serta dinilai sebagai tokoh liberal. Tokoh lainnya, Zainun Kamal, yang juga tidak
lagi diminta sebagai narasumber dalam kegiatan keagamaan karena label liberal melekat
kepadanya. Apakah keduanya sungguh liberal? Sejatinya, keduanya adalah tokoh progresif yang
belum tentu liberal pada wacana-wacana tertentu. Meskipun keilmuan kedua penceramah tersebut

95 | L a p o r a n A k h i r
diakui, pihak Bapekis tidak lagi mengundang mereka setelah pimpinan memutuskan untuk
menghindari kegaduhan.
Label radikal yang disematkan kepada beberapa tokoh seperti Teuku Zulkarnaen, Abdus
Somad, atau Zaitun Rusmin, dan lainnya menyulitkan pimpinan BRI untuk mempertahankan
mereka melanjutkan kegiatan keagamaan yang akan diisi para tokoh tersebut. Label radikal telah
melekat kepada mereka dengan stigma anti-NKRI dan pro-kekerasan. Apakah sesungguhnya
mereka radikal? Mereka barangkali konservatif, tetapi belum tentu radikal jika konsep radikal
disamakan dengan terorisme.
Di lingkungan BRI sebetulnya lebih dikenal dengan istilah “keras” daripada radikal atau
liberal. Mereka menyebut penceramah “keras” kepada mereka yang dianggap radikal maupun
liberal oleh masyarakat. Pengurus Bapekis tidak keberatan mereka sesekali mengisi pengajian di
sini selagi itu semua datang dari ayat al-Quran dan mengandung dorongan etos kerja bagi
karyawan. “Kami pada dasarnya tidak keberatan dengan penceramah yang “keras” baik dari kiri
dan kanan selama itu datang dari al-Quran. Hanya saja, kami menghormati pimpinan yang
mengambil keputusan. “keras” sedikit baik agar umat mengerti Islam dari berbagai sisi, khususnya
menyangkut etos kerja.”109
Kita tahu bahwa tokoh yang pada dasarnya progresif dan konservatif pada dasarnya masih
diundang dalam beragam kegiatan keagamaan di lingkungan BRI. Belakangan, BRI mengundang
mereka dalam bentuk seminar keagamaan, bukan lagi pengajian saja. Pengajian seperti seminar,
pembicara tampil dengan format panel. “Dengan begitu kita akan melihat pemikiran yang
berbeda.”110 Dalam pengajian tentang riba dan bunga bank misalnya, Bapekis akan mengundang
tokoh yang dapat menunjukkan beragam tafsir terkait topik tersebut. “Dengan begitu, kita memberi
kesempatan kepada mereka yang meyakini bunga bank haram maupun tidak untuk belajar.”111

b. Sikap dan Gestur Penguasa

Pada uraian di atas, sikap dag gestur pemimpin negeri memengaruhi BUMN akan dibawa
ke mana. BUMN adalah lembaga usaha di bawah kendali presiden. Presiden memilih menteri
tertentu untuk mengelola BUMN. Melalui menteri tersebut, presiden memastikan setiap BUMN

109
Wawancara dengan AS, Pengurus Bapekis BRI, pada Selasa, 21 Januari 2020.
110
Wawancara dengan Harpanuddin, Kepala Bapekis BRI, pada Selasa, 21 Januari 2020.
111
Wawancara dengan Ahmad Mujahid, mantan pengurus Bapekis BRI dan inisiator YBM BRI, pada
Minggu, 12 Januari 2020.

96 | L a p o r a n A k h i r
menunjukkan kinerja sesuai dengan visi dan misinya selama kampanye. Jika tidak sejalan, menteri
secara normatif memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan komisaris.
Komisaris memiliki kewenangan serupa dalam menentukan direksi.
Alur dan mekanisme penentuan kepemimpinan BUMN tersebut pada kenyataannya lebih
rumit dari itu. Presiden akan “turun gunung” mengubah kepemimpinan sebuah BUMN jika
terbukti kinerjanya tidak sesuai dengan misi presiden dari sisi ekonomi. Presiden, melalui timnya,
tidak akan melihat aspek-aspek tertentu yang tidak secara langsung berkaitan dengan karakter
BUMN yakni mesin uang negara. Presiden misalnya tidak akan meminta menteri melihat kinerja
BUMN dari bagaimana sikap keberagamaan karyawan BUMN. Soal keberagamaan karyawan
bukan tanggung jawab direksi sebuah BUMN. Di BRI, misalnya, badan kerohanian Islam sebagai
cara direksi menambah daya dukung bagi etos kerja dan integritas karyawan.112
Direksi tidak akan menentukan pemimpin di bawahnya dengan mempertimbangkan di luar
aspek kinerja bagi keuntungan perusahaan. Misalnya, mereka memilih manajer berdasarkan
kinerja, bukan sikap keberagamaan dan afiliasi organisasi keagamaan. Dengan demikian, dapat
dimengerti jika sikap keberagamaan karyawan BUMN beragam.
Mayoritas karyawan BRI itu NU. Terbesar kedua tentu saja Muhammadiyah.
Sebagian kecil dari mereka terafiliasi ke Salafi. Meski tidak banyak, ada karyawan
yang teafiliasi ke hizbut tahrir. Data ini bukan hasil survey, tetapi tidak terlalu sulit
untuk mengetahui ragam afiliasi tersebut. Penganut Salafi juga ada variasi lagi.
Ada di antara mereka yang setelah bergabung dengan Salafi tertentu memilih
keluar dari BRI karena dianggap menerapkan sistem riba. Sementara, penganut
Salafi lainnya banyak yang bertahan karena memiliki tafsir yang berbeda tentang
riba.113

Selama kinerjanya profesional dan berhasil meningkatkan produksi perusahaan, apapun


afiliasi keagamaannya, seorang karyawan memiliki kesempatan yang sama dipromosikan untuk
menduduki jabatan lebih tinggi. Tidak heran bila satu dia pejabat hingga manajer terafiliasi ke
Salafi misalnya.
Situasi berbeda dengan afiliasi politik. Menteri akan memilih direksi BUMN yang secara
politik sejalan dengan kepala negara atau setidak-tidaknya berjalan bersama saat kampanye.
Secara normatif, pimpinan BUMN tidak boleh terafiliasi pada partai mana pun untuk menunjukkan

112
Wawancara dengan AS, Pengurus Bapekis BRI, pada Selasa, 21 Januari 2020.
113
Wawancara dengan Ahmad Mujahid, mantan pengurus Bapekis BRI dan inisiator YBM BRI, pada
Minggu, 12 Januari 2020.

97 | L a p o r a n A k h i r
profesionalisme. Namun, pada praktiknya rotasi direksi di perusahaan milik negara dipengaruhi
latar belakang dan dukungan politik, selain catatan kinerja sebagai profesional. Hal ini tampak
misalnya rotasi beberapa pejabat BUMN setelah aksi 212 tahun 2006 silam. “Seorang pejabat di
salah satu BUMN kembali dimutasi setelah diketahui terlibat dalam aksi 212, padahal ia baru
bekerja selama tidak lebih dari enam bulan.”114
Implikasi lain dari relasi kuasa tersebut adalah para terbuka dan terbatasnya ruang bagi
gerakan keagamaan di lingkungan BUMN. Pada masa BRI di bawah rezim Orde Baru, seorang
penceramah tidak lagi mendapat tempat pada aneka kegiatan keagamaan di BRI sebab dianggap
dapat mengganggu ketertiban umum, ideologi pembangunan Orde Baru, berdasarkan laporan yang
masuk ke meja direksi. Penceramah tersebut dikenal sangat keras dalam menafsirkan dimensi
politik menurut agama, termasuk keras dalam mengajukan kritik kepada pemerintah. Sementara
itu, para penceramah yang mengampanyekan keragaman keagamaan dan pun mengajukan kritik
kepada pemerintah dengan cara tidak vulgar terbuka untuk mengisi aneka kegiatan keagamaan di
BRI.115
Sementara itu, situasi berbeda tampak pada masa kepemimpinan SBY. Dukungan SBY
kepada MUI menjadi pertimbangan berbagai pihak dalam mengambil keputusan terkait
keagamaan termasuk di BUMN. Sebagaimana telah diuraikan di atas, MUI mengeluarkan fatwa
tentang paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme haram. Seorang penceramah yang
dianggap membawa misi liberalisme, atau dilabeli sebagai bagian dari Jaringan Islam Liberal
(JIL), tidak mendapat tempat sebagai penceramah di BRI. Keputusan ini diambil setelah muncul
protes kepada pengurus Bapekis dan sampai ke meja direksi mengenai penceramah tersebut. Pada
saat yang sama, sejumlah penceramah yang terafiliasi pada Salafi yang juga menjadi pengurus
MUI pusat, mendapat kesempatan mengisi beragam kegiatan keagamaan di lingkungan BRI.
Mereka umumnya sudah terkenal di media dan digemari umat.
Situasi berubah di era kepemimpinan Jokowi. Sebagaimana telah diuraikan di atas, titik
baliknya terutama setelah aksi 212 menuntut proses hukum terhadap Basuki Tjahaya Purnama
yang dinilai melakukan penistaan agama. Peristiwa 212 menjadi titik balik karena polarisasi
semakin jelas. Para pendukung gerakan ini kemudian menjadi promotor pasangan Prabowo-Sandi,

114
Wawancara dengan Ahmad Mujahid, mantan pengurus Bapekis BRI dan inisiator YBM BRI, pada
Minggu, 12 Januari 2020.
115
Wawancara dengan Ahmad Mujahid, mantan pengurus Bapekis BRI dan inisiator YBM BRI, pada
Minggu, 12 Januari 2020.

98 | L a p o r a n A k h i r
lawan petahana, pada pemilihan presiden 2019. Pada saat yang bersamaan, para aktivis Islam
penggerak aksi 212 dan pendukung Prabowo disebut sebagai tokoh radikal. Desakan salah satu
lembaga negara menjadi dasar keputusan pimpinan BRI menghentikan jadwal ceramah sejumlah
tokoh yang terlibat dalam aksi 212 pada bulan Ramadhan 2019.116

c. Fragmen Internal

Selain argumen relasi kuasa, fragmen internal kepengurusan bidang kerohanian Islam juga
menyumbang pada pergeseran ruang di lingkungan BRI. Setelah Bapekis menginisiasi
pembentukannya, YBM BRI menjelma menjadi lembaga “raksasa” yang mengelola dana ratusan
miliar yang berasal dari zakat karyawan BRI dan karenanya relatif independen dibanding Bapekis,
inisiatornya, yang bergantung pada anggaran tahunan BRI untuk kerohanian.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, Bapekis merencanakan kegiatan tahunan dan
mengajukan pendanaan pada anggaran tahunan BRI. Hampir semua kegiatan didiskusikan
bersama pimpinan. “Kami diskusikan dengan dewan direksi, termasuk kami akan mengundang
siapa pada kegiatan apa. Malah pada titik tertentu dewan direksi mempercayakan kami memilih
narasumber. Setelah kami yakinkan, mereka seringkali oke. Kami sama-sama tahu kriteria
narasumber yang cocok untuk BRI.”117
Secara birokrasi, perencanaan dan pelaporan YBM juga diketahui pimpinan BRI. Namun,
ke mana dan bagaimana mereka menyalurkan dana zakat masuk dalam perencanaan tahunan
sendiri. Mereka memiliki mekanisme internal untuk menentukannya. YBM misalnya turut
membantu penyelenggaraan salat jumat di basement gedung BRI untuk menampung jamaah Islam
yang tidak tertampung di masjid lantai 21. TBM juga turut membiayai dekorasi sehingga musala
di lantai basement layak dijadikan tempat ibadah. Pelaksanaan pembiayaan tersebut ranah
manajemen YBM, bukan hal yang perlu diketahui pimpinan BRI.
Keberadaan YBM menambah semarak kegiatan keagamaan di lingkungan BRI. Sebelum
2017, pengajian dan kegiatan keagamaan terpusat di lantai 21. Setelah YBM membantu masjid di
basement kegiatan keagamaan bertambah. Musala basement misalnya menggelar pengajian setiap
pekan, selain pengajian khusus perempuan. Pengajian bukan saja dilaksanakan setelah salat Zuhur

116
Wawancara dengan Ahmad Mujahid, mantan pengurus Bapekis BRI dan inisiator YBM BRI, pada
Minggu, 12 Januari 2020.
117
Wawancara dengan AS, Pengurus Bapekis BRI, pada Selasa, 21 Januari 2020.

99 | L a p o r a n A k h i r
di mana karyawan banyak menggunakan musala. Pengelola musala juga menyelenggarakan
pengajian malam bakda Isya. Kesempatan mengundang tokoh-tokoh juga menjadi lebih besar bagi
tokoh mana saja yang hendak diundang.
Masjid-masjid di BUMN sebetulnya incaran banyak penceramah. Karyawan BUMN
adalah lahan subur dalam berdakwah. Mereka pada umumnya bukan orang yang telah dalam
mempelajari Islam. Mereka ingin belajar Islam lebih mendalam. Lebih jauh, jumlah mereka
banyak. Semakin banyak pengikut, semakin baik untuk gerakan. Aneka gerakan Islam menyasar
masjid-masjid di BUMN. Harus diakui, ustaz-ustaz gerakan Salafi, dari beragam aliran, lebih
militan daripada dari kalangan progresif. “Mereka sedia tinggal di Musala kecil di basement
sebuah hotel, misalnya, dan memakmurkan kegiatan di sana. Hal ini tidak dapat kita temukan pada
penceramah dari kalangan progresif.”118 Selain itu, honorarium di masjid BUMN lebih jelas
daripada di masjid jami (mulai dari tingkat kabupaten atau kecamatan). Masjid Jami’ tergantung
pada sumbangan jamaah yang datang melalui kotak yang diedarkan di masjid. Sementara masjid
di BUMN menjadi bagian dari kegiatan perusahaan.119
Sampai di sini cukup jelas bahwa dewan direksi BRI tidak dapat mengontrol secara
langsung siapa penceramah yang diundang Bapekis dan YBM. Setelah muncul teguran dari
lembaga negara lainnya karena mengundang penceramah yang tidak sejalan dengan garis
pemerintah, BRI belakangan memutuskan untuk menggabungkan kegiatan keagamaan di satu
lantai, lantai 9, yang dapat menampung lebih banyak jamaah. Tidak ada lagi masjid lantai 21 dan
musala basement. Ruang semakin terbatas dan terkontrol. Sekarang bagi penceramah di BRI harus
mengisi form kesediaan yang di dalamnya ada kesediaan untuk tidak membicarakan tentang
paham radikalisme dan mendorong pada kekerasan.

Daftar Informan

Ahmad Mujahid, mantan pengurus Bapekis BRI dan inisiator YBM BRI, 12 Januari 2020.

AS, Pengurus Bapekis BRI, 21 Januari 2020.

Harpanuddin, Kepala Bapekis BRI, 21 Januari 2020.

118
Rosyid Nurul Hakim, Pimpinan redaksi Ruangngobrol.id, lembaga yang memberi ruang pada mantan
napiter, pada FGD 28 Juli 2020 melalui Zoom meeting.
119
Syafaat Muhammad, staf Bimas Islam, Kemenag, pada FGD 28 Juli 2020 melalui Zoom meeting.

100 | L a p o r a n A k h i r
Nurul Hakim, Pimpinan redaksi Ruangngobrol.id, 28 Juli 2020.

Syafaat Muhammad, staf Bimas Islam, Kemenag, 28 Juli 2020.

101 | L a p o r a n A k h i r
Dinamika Gerakan Islamis di Empat Kota:
Jalan Buntu dan Jalan Terang Gerakan Islamis di Indonesia
Budi Asyhari

Pengantar

Aksi 212 yang digalang Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) dan Front Pembela
Islam pada tahun 2016 dan tahun-tahun berikutnya bila dilihat dari permukaannya adalah sebagai
reaksi terhadap Ahok yang dianggap melakukan penistaan agama. Pada aksi-aksi berikutnya,
secara implisit menjadi ajang konsolidasi politik yang secara tidak langsung memiliki tujuan
politik tertentu, yakni sebentuk dukungan kepada calon presiden tertentu (Anisa Rahmawati 2018),
yakni Prabowo Subiyanto. Aksi 212 yang berhasil menghadirkan massa dari berbagai daerah di
Indonesia, setidaknya, juga berhasil mengalirkan kesadaran kepada masyarakat luas di daerah-
daerah tentang sektarianisme politik, khususnya dinamika politik Islam di daerah-daerah (Ahmad
Sholikin 2018).
Secara sosiologis, aksi 212 dapat dikatakan merupakan gejala menguatnya konservatisme
atau islamisme di Indonesia (Imron Rosidi 2016). Sebagaimana hal itu juga ditunjukkan oleh
Burhanuddin Muhtadi dengan Indikator Politik Indonesia-nya
dalam surveinya pasca aksi 212. Dia menemukan bahwa aksi 212 adalah awal dari berkembangnya
konervatisme dan intoleransi politik dan hal itu kemudian menyebar di beberapa daerah (lihat,
https://tirto.id/survei-aksi-212-tingkatkan-tren-intoleransi-dan-radikalisme-daCA dan
https://tirto.id/seruan-seruan-terkait-politik-praktis-pada-reuni-aksi-212-cA5c). Aksi 212 semakin
mengonfirmasi penilaian bahwa Islam politik sektarian menjadi wajah dominan dari Islam poltik
dewasa ini. Ini terbentuk dari gabungan berbagai ekspresi politik, mulai dari sentimen etni-religius,
rasis-sektarian, kekecewaan politik, politik patronase elit, hingga ekspresi kelas. (Ahmad Sholikin
2018). Dengan kalimat lain, ada pergeseran signifikan dalam konstelasi politik nasional, di mana
partai-partai nasionalis sangat memperhitungkan dampak atau efek dari aksi 212 tersebut.
Pergeseran tersebut mau tidak mau memberi angin atau memberi ruang pada aktivis Islamis di
daerah-daerah atau di ranah lokal. Konsekuensi logisnya, politik lokal menjadi makin kuat dan
ruang persebaran radikalisme di tingkat lokal menjadi sangat terbuka.

102 | L a p o r a n A k h i r
Dalam konteks tersebut, tulisan ini akan melihat seperti apa dinamika islamisme tersebut
di beberapa daerah di Indonesia, sebagai efek penyebaran gagasan dari aksi 212 di ranah lokal. Ini
penting apalagi mengingat konteks keberagaman di Indonesia sangat kuat. Keberagamaan tersebut
bukan hanya pada wilayah antaragama, melainkan dalam satu agama, sebut saja Islam.
Menguatnya politik identitas dan apalagi intoleransi politik tentu akan berkait erat dengan
keberagaman tersebut. Di mana, satu sisi, keberagaman menjadi modal untuk menguatkan
kesadaran tentang keberbedaan. Akan tetapi, pada sisi lain, bila kurang menyadari adanya
perbedaan dan keragaman tersebut, akan melahirkan eksklusifisme politik, konservatisme politik,
politik identitas, dan intoleransi politik.
Untuk memperjelas hal tersebut, dalam tulisan ini akan dibatasi hanya melihat di empat
wilayah di Indonesia: Medan (Sumatera Utama), Tangerang Selatan (Banten), Pamekasan
(Madura-Jawa Timur), dan Yogyakarta. Tulisan ini akan melihat dinamika islamisme pasca aksi
212 di empat wilayah tersebut. Apa faktor-faktor yang menjadi pendorong gerakan islamisme
tersebut? Bagaimana proses dan tingkat keberhasilan dan atau kegagalan gerakan islamisme
tersebut? Bagaimana respons atau reaksi dari masyarakat (baik ormas Islam, pemerintah, aparat
keamanan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan masyarakat)? Dan, bagaimana kondisi terakhir
dari gerakan islamisme tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu saja tidak akan dijawab
satu persatu, melainkan akan dijelaskan dalam bentuk eksplanasi eksploratif yang dalam proses
penguraiannya diharapkan akan mencakup atau menjawab beberapa masalah di atas.
Tujuan dari pemaparan laporan ini adalah untuk mengungkap seperti apa sebenarnya
dinamika gerakan islamisme di Indonesia, khususnya di empat wilayah tersebut. Makin kuat atau
melemahkah gerakan tersebut? Meluas atau menyempitkah? Pengetahuan tentang dinamika ini
sangat penting selain untuk melihat dinamika yang terjadi juga untuk menjadi referensi tentang
bagaimana seharusnya bersikap dan melakukan gerakan untuk melawannya.
Sebagaimana disinggung sedikit di atas, penelitian ini dilakukan di empat kota, yakni
Medan, Yogyakarta, Pamekasan, dan Tangerang Selatan. Empat kota ini dipilih karena beberapa
faktor. Pertama, ada kecenderungan lain dalam empat kota tersebut. Ada dinamika yang
sebelumnya tidak masuk dalam pertimbangan atau amatan oleh para peneliti tentang gerakan
islamisme, sehingga cukup penting melihat bagaimana sebenarnya dinamika gerakan islamisme di
wilayah-wilayah tersebut. Kedua, masing-masing wilayah tersebut memiliki latar sosio-kultural
yang sangat berbeda. Ini menjadi alasan penting dalam melihat tentang bagaimana proses gerakan

103 | L a p o r a n A k h i r
islamisme ini dapat muncul dan berkembang di masing-masing wilayah. Adakah kesamaan pola
di antara wilayah yang berbeda-beda tersebut? Pada akhirnya tentang bagaimana warga yang ada
di wilayah-wilayah tersebut merespons dan bahkan menghadapi gerakan islamisme tersebut?
Ketiga, akhirnya alasan empat wilayah ini diambil adalah untuk mengambil pelajaran tentang
bagaimana wilayah yang sebelumnya relatif dikenal sebagai tempat yang bebas dari gerakan
islamisme, minimal dari aksi radikalisme, tetapi ternyata justru menjadi wilayah di mana gerakan
islamisme relatif tumbuh subur.
Penelitian ini menggunakan model pengumpulan data secara online, atau biasa disebut
desktop research. Artinya, pengumpulan data tidak dilakukan dengan mengambil data langsung di
lapangan penelitian, melainkan dengan mengumpulkan, menyeleksi, dan menganalisa sajian data,
informasi atau berita, dan dokumen yang tersaji secara online. Keseluruhan data dalam penelitian
ini diperoleh dengan mencari dan menelusuri peristiwa, dokumen, dan atau kebijakan, yang terkait
dengan tema, dari data online. Meskipun sebagian besar data diperoleh dari online, tetapi ada
beberapa data diperoleh dari hasil-hasil penelitian atau buku-buku yang terkait dengan tema. Oleh
karena pemerolehan datanya dicukupkan secara online, tentu saja ada keterbatasan dalam proses
pengumpulan data, bahkan dalam proses analisa dan penyusunan laporan. Meskipun demikian,
keterbatasan akses tersebut sedapat mungkin tertutupi dengan wawancara yang dilakukan secara
online dengan memanfaatkan media sosial.
Keseluruhan data yang terkoleksi tersebut kemudian diseleksi dan dikelompokkan sesuai
dengan kebutuhan laporan, yakni kelompok isu, aktor, perluasan isu, penyempitan isu, lokasi, dan
lain-lain disesuaikan dengan konteks wilayah. Pengelompokan tersebut kemudian dilanjutkan
dengan penyajian data yang dibarengi dengan analisis yang dibutuhkn. Akan tetapi, untuk
keperluan penguatan analisis, di beberapa bagian dalam lapora ini akan diuraikan peristiwa secara
lebih rinci dalam rangka memperoleh gambaran peristiwa atau kasus dengan lebih sempurna dan
mudah dipahami.

Jalan Buntu dan Jalan Terang Gerakan Islamis di Indonesia

Sebagaimana digambarkan secara singkat pada bagian 1 (dan akan diulang seperlunya
pada bagian 4, 5, 6, dan 7 dalam laporan ini), secara umum, gerakan islamisme beserta indikasi
radikalismenya di empat wilayah ini ada yang mengalami penurunan atau penyempitan gerak,
masih menantang, masih menguat (meskipun tidak meluas), dan mencair karena perubahan pola
104 | L a p o r a n A k h i r
strategi gerakan. Beragam dinamika tersebut ditentukan juga oleh dinamika gerakan perlawanan
terhadap gerakan islamisme. Bila gerakan perlawanan itu menguat, maka dapat dipastikan gerakan
radikal/islamis/intoleran akan menyempit ruang geraknya. Lebih jelasnya, ruang gerak kelompok
islamis menyempit adalah lebih karena perlawanan yang bukan hanya dilakukan oleh pemerintah
dan aparat keamanan, melainkan juga oleh ormas Islam mainstream, para tokoh agama dan tokoh
masyarakat, dan kelompok-kelompok lainnya, seperti LSM, anak muda, kampus, dan sebagainya.
Mengapa gerakan islamis itu menguat? Maka yang terjadi di lapangan adalah tidak adanya gerakan
perlawanan yang relatif kuat dan masing-masing stake-holders tidak sinergis dalam melakukan
perlawanan.
Bila gerakan islamis diserang dari berbagai arah dari hampir semua elemen masyarakat,
satu sisi, hal itu menunjukkan bahwa gerakan islamis disadari sebagai gerakan yang sedikit banyak
tidak menguntungkan untuk tatanan sosial damai di Indonesia, khususnya di empat wilayah
tersebut. Pada sisi yang lain, hal itu menunjukkan makin kuatnya kesadaran tentang pentingnya
mempertahankan nilai-nilai kultural dan sosial yang telah lama hidup dalam masyarakat,
khususnya pola laku keislaman yang selama ini telah berlangsung, sehingga hal itu juga
memperkuat kesadaran bahwa kehadiran gerakan islamis tersebut, sedikit atau banyak, dianggap
mengganggu “kenyamanan” kehidupan sosial dan keberagamaan masyarakat. Namun, bila
gerakan islamis tidak memperoleh perlawanan yang “seimbang”, maka sangat mungkin justru
masyarakat akan tergiring pada pemahaman keagamaan yang mengerikan.
Gambaran tersebut adalah gejala umum saja yang tergambar dari beberapa temuan yang
diperoleh dari empat wilayah tersebut. di bawah ini akan digambarkan secara rinci dinamika yang
terjadi di setiap wilayah. Gambaran di bawah ini bukan hanya akan menceritakan peristiwa-
peristiwa, tetapi juga bagaimana reaksi yang dilakukan beberapa pihak yang berkepentingan untuk
melawannya, yang sebagian sumbernya diperoleh dari hasil-hasil penelitian.

Pamekasan: Radikalisme Cenderung Menyempit

Realitas sosio-kultural masyarakat Kabupaten Pamekasan adalah religius. Sebagaimana


masyarakat Madura yang lain, kehidupan keberagamaan (keislaman) masyarakat Kabupaten
Pamekasan telah terbentuk secara kultural. Ini adalah pondasi kuat masyarakat setempat untuk
bukan hanya mengembangkan dan memperkaya kajian keislamannya, melainkan juga menjadi
filter terhadap masuknya paham Islam apa pun yang berusaha masuk. Realitas tersebut terbentuk

105 | L a p o r a n A k h i r
oleh banyaknya pondok pesantren yang kurang lebih mencapai 231 yang tersebar di 13 kecamatan.
Belum lagi, bila mengikuti data BPS tahun 2010, jumlah tokoh atau orang yang memiliki tugas
keagamaan (keislaman) di Kabupaten Pamekasan yang mencapai 4.497 orang, yang meliputi
ulama sejumlah 1.081, mubaligh sebanyak 118, khatib sebanyak 3.144, dan penyuluh agama
sebanyak 154.

Realitas tersebut, tentu saja, memiliki pengaruh yang tidak kecil di masyarakat.
Sebagaimana diketahui, bahwa kultur masyarakat Madura, termasuk Kabupaten Pamekasan,
adalah hormat dan patuh pada ulama dan tokoh yang disegani. Oleh karena itu, realitas banyaknya
pondok pesantren dan ulama di atas, dengan demikian, ingin menunjukkan bahwa kehidupan
keislaman masyarakat Kabupaten Pamekasan tidak dapat dilepaskan atau bahkan tidak mudah
dipengaruhi oleh apa pun dan siapa pun, sepanjang dua realitas kultural tersebut dapat diubah atau
dipengaruhi.

Realitas tersebut mulai bergeser sejak terjadi konflik Sunni-Syiah di Sampang. Konflik
yang terjadi berulang hingga berujung penganut Syiah dipaksa mengungsi ke Sidoarjo tersebut
berpengaruh pada tumbuhnya “semangat” keislaman yang berbeda dengan semangat sebelumnya.
Dari Islam yang sederhana dan moderat pelan-pelan mumcul Islam yang keras dan rigit.
Bagaimanapun, kasus konflik Sunni-Syiah di Sampang pada 2004, Desember 2011, Agustus 2012,
dan Juni 2013 (Ahnaf, et.al. 2015: 20; Afdillah 2016: 37) memiliki pengaruh terhadap lahirnya
gerakan Islamis di Sampang dan Madura secara umum. Indikasi lahirnya gerakan Islamis tersebut
adalah dengan bermunculannya lembaga-lembaga yang dibuat dalam rangka menghalau gerakan
Syiah di Sampang. Misalnya, di Sampang berdiri Front Anti Aliran Sesat (FAAS), lembaga Badan
Silaturahmi Ulama Pesantren Madura (BASSRA), Forum Ulama Madura (FUM), dan bahkan di
Pamekasan kemudian muncul FMU (Forum Musyawarah Ulama) (Afdillah 2016: 37).

Kasus Syiah di Sampang dapat dianggap sebagai pintu masuk cikal-bakal gerakan
Islamis. Pintu masuk tersebut sangat mulus karena ada kesamaan interest dan dukungan politik,
baik kesamaan pada isu Syiah maupun dalam konteks Pilkada di Sampang saat itu. Oleh karena
itu, meskipun semula gerakan-gerakan tersebut secara khusus dimaksudkan menghalau Syiah,
tetapi pada perkembangannya, khususnya setelah isu Syiah mereda, beberapa lembaga tersebut
masih bergerak pada isu-isu lain dengan semangat islamisme yang cenderung keras dan rigit. Hal
ini pun tidak dapat dibendung. Konteks BASSRA, misalnya, terbelah menjadi dua: BASSRA tua

106 | L a p o r a n A k h i r
dan BASSRA muda (Afdillah 2016: 39). BASSRA muda inilah yang kemudian bermetamorfosa
menjadi sebentuk gerakan yang cenderung islamis. Kecenderungan ini tampak para apresiatifnya
pada gerakan 212.

Kondisi tersebut akhirnya merembet ke Kabupaten Pamekasan yang tidak terlalu jauh
dari Sampang, hanya + 32 km. Hal inilah yang dengan mudah organisasi-organisasi seperti FPI
dan HTI berkembang di Kabupaten Pamekasan. Perkembangan tersebut diawali dengan upaya
mempengaruhi beberapa ulama (baca: ulama/kiai muda) atau BASSRA muda. Dari gerakan
islamisme yang berhasil mempengaruhi kiai-kiai muda inilah kemudian ada sedikit pesantren yang
nyaris terpengaruh, dan pada saat yang sama. Kelompok ulama dan kiai muda ini “mengambil
jalan lain” di luar mainstream ulama dan kiai tua. Mereka bukan hanya tergabung dalam BASSRA,
melainkan juga dalam Aliansi Ulama Madura (AUMA) dan Forum Kiai Muda (FKM). Organisasi-
organisasi tersebut memiliki kedekatan gerakan dengan FPI dan HTI di Kabupaten Pamekasan.
Mereka bersama-sama melakukan beberapa aksi untuk memberantas kemaksiatan, aksi 212, dan
utamanya penutupan beragam acara di Kabupaten Pamekasan yang dianggap mengandung
kemaksiatan atau tidak sesuai dengan ajaran Islam.

BASSRA/Dewan Pesantren Ulama Madura, AUMA, dan FKM telah mampu


memobilisasi dan mengorganisasi pengikut mereka secara besar-besaran. Sementara, pada saat
yang sama, mereka juga berhasil menciptakan sektarianisme yang berlapis-lapis. Sektarianisme
yang diumumkan oleh organisasi-organisasi ini nampaknya dengan tidak hormat mengabaikan
hubungan antaragama dan antaretnis yang berada dalam realitas majemuknya masyarakat Madura
(Abd A`la, et.al. 2018). Lebih jauh, artikel ini menyiratkan penjelasan bahwa kelompok-kelompok
Islam di Pamekasan berupaya memobilisasi pengikut mereka, atas nama Islam, untuk tidak hanya
mendukung negara Islam, tetapi juga untuk merenovasi Indonesia (misalnya dengan 212).

Dalam hal mengawal isu keumatan dan keislaman, pasca mandeknya BASSRA, lahir
organisasi yang bernama AUMA di Pamekasan. Organisasi ini berkomitmen memperjuangkan
dakwah Islam kaffah secara kolektif demi menegakkan jargon pembangunan Pamekasan yang
berasaskan Islam. Dalam bidang keislaman, misalnya, AUMA memiliki visi mengantisipasi dan
menghindarkan Indonesia, khususnya masyarakat Madura, dari segala ragam deviasi ajaran dan
paham kegamaaan. Tidak hanya bidang keislaman, AUMA juga bergerak di wilayah politik.
Mereka melibatkan diri secara aktif dalam banyak dinamika politik, baik di level daerah maupun

107 | L a p o r a n A k h i r
pusat. Di level daerah, organisasi ini bekerja sama dengan elit partai politik di tingkat daerah.
Sedangkan di level nasional, organisasi ini terlibat dalam kontestasi kepemimpinan nasional (Abd
A`la, et.al 2018). Pada sisi ini, islamisme di Kabupaten Pamekasan tampak menguat dan
mengkhawatirkan.

Apalagi dengan maraknya HTI masuk pesantren, seperti dengan adanya kegiatan Multaqo
Ulama di Madura yang bertekad perjuangkan khilafah (https://shautululama.co/multaqo-ulama-
aswaja-di-madura-dipenuhi-ulama-kyai-dan-asatidz-bertekad-perjuangkan-khilafah/). Kegiatan
ini diprakarsai oleh KH Muhammad Thoha Cholili (Pengasuh Pondok Pesantren Al-Muntaha al-
Kholiliyah, Bangkalan) yang secara terang-terangan menyatakan dukungan dan bergabung PKS.
Bahkan, banyak juga tersebar tabloid-tabloid dan majalah-majalah terbitan HTI di pesantren NU
(di An-Nuqayah, misalnya), yang kemudian disinyalir banyak santri yang bergabung ke HTI.
Kondisi-kondisi tersebut mengindikasikan bahwa islamisme/radikalisme di Madura sangat
mewabah (Santrinew.com, 26 Desember 2017). Lebih kuat dari itu adalah adanya aksi-aksi FPI
(beserta kekerasannya) yang masuk ke desa-desa yang dianggap ada perilaku kemaksiatan di
dalamnya, misalnya dianggap ada prostitusi ilegal. Contohnya, pada Jumat siang (19 Januari
2018), tiba-tiba laskar yang berdiri di bawah organisasi Front Pembela Islam (FPI) melakukan
penyisiran di Desa Ponteh, Kecamatan Galis, Pamekasan. Mereka menduga ada salah satu rumah
warga di desa itu yang dijadikan tempat prostitusi ilegal. Masyarakat setempat pun melawan. Aksi
penyisiran (sweeping) Laskar Pembela Islam berujung bentrok dengan warga dan ada korban.

Uraian di atas ingin memberikan gambaran tentang “gerakan islamisme” di Pamekasan.


Bahwa di Pamekasan, selain FPI dan HTI yang kuat, ada organisasi-organisasi yang mendukung
dan bahkan bekerja sama dengan dua organisasi tersebut. Mereka memiliki strategi menarik dalam
merangkul umat Islam. Sebagaimana strategi ini juga dilakukan di beberapa wilayah lain, FPI dan
HTI di Pamekasan memilih beberapa lokus untuk menyebarkan pengaruhnya, yakni di
masjid/musholla dan pesantren. Dengan berbagai cara, mereka mempengaruhi santri dan jamaah
masjid. Misalnya, mereka mempengaruhi kiai mudanya, atau dengan memberikan bacaan-bacaan
kepada para santrinya. Bahkan, ketika HTI distigma negatif oleh warga masyarakat, HTI tetap
menjalankan pengaruhnya dengan mengirimkan Paket Kaleng kepada beberapa santri yang isinya
adalah buku-buku, majalah-majalah, dan tabloid-tabloid terbitan HTI. Sementara FPI lebih sering
memanfaatkan masjid sebagai tempat mempengaruhi umat Islam, di samping juga kiai muda.

108 | L a p o r a n A k h i r
Model pengaruh dua organisasi ini, meskipun kesannya remeh, tetapi berhasil, terbukti beberapa
kali peristiwa 212, HTI dan FPI Pamekasan berhasil mengirimkan banyak sekali “anggotanya” ke
Jakarta, bahkan beberapa kiai muda ikut mendukung mereka.

Akan tetapi, pada sisi yang lain, gerakan-gerakan di atas bukan tanpa “perlawanan”.
Beragam gerakan telah dilakukan oleh beberapa pihak untuk “meredam” gerakan yang dianggap
menyimpang dari realitas sosio-kultural masyarakat Kabupaten Pamekasan tersebut. Pihak-pihak
yang berusaha masuk ke masyarakat dalam rangka meredam gerakan islamisme ini adalah ulama,
pesantren, perguruan tinggi, kepolisian, pemerintah, dan perempuan. Meskipun terkesan ada
kekagetan di kalangan pesantren dan masyarakat dengan hadirnya gerakan islamis. Dunia
pesantren selama ini ditambah dengan keberislaman yang “mapan” tidak cukup sadar menyadari
fenomena hadirnya gerakan islamisme tersebut, tapi kesigapan pihak-pihak yang disebutkan di
atas sangat besar nilainya dalam merawat kehidupan keislaman masyarakat untuk menghadapi
gerakan islamis. Misalnya, ulama-ulama memberikan pengajian ke kampung-kampung yang
mengampanyekan Islam yang ramah dan damai, dan mengajak kepada umat agar menghindar dan
tidak terpengaruh oleh bermunculannya gerakan Islam yang radikal. Melalui program Sambang
Desa, pihak kepolisian seringkali menghadirkan beberapa kelompok masyarakat, kelompok
ulama, dan kelompok Islam untuk bersama membangun keberagamaan yang damai dan toleran.
Sambang Desa dimulai pada pekan pertama Oktober 2019. Sementara pemerintah memperkuat
keberagamaan yang toleran dengan program empat tempat ibadah satu lokasi. Dan IAIN Madura
dengan membuat program rumah toleransi.

Bahkan menurut sebuah penelitian, perempuan Pamekasan pun aktif membendung HTI.
Ada beberapa bentuk resiliensi yang dilakukan perempuan di Pamekasan terhadap HTI. Mereka
memperkuat kumpulan ibu-ibu dan remaja putri. Mereka juga membangun jaringan alumni
pesantren. Resiliensi juga dilakukan melalui penguatan budaya bernuansa Islam Wasathiyah,
kegiatan-kegiatan keagamaan yang bernuasa Islam Wasathiyah di masjid pusat kota, dan
menyelenggarakan pengajian rutin Kitab Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, dan lain-lain,
yang intinya gerakan perempuan ini bermaksud menanamkan kewaspadaan terhadap segala aliran
dan paham “baru”. Perempuan merasa berkepentingan dengan upayanya ini. Gerakan Perempuan
ini menyadari akan potensi kekacauan dan kegaduhan di kalangan masyarakat dengan hadirnya

109 | L a p o r a n A k h i r
HTI. Resiliensi dilakukan terhadap infiltrasi HTI yang disinyalir akan memecah-belah masyarakat
(Ach. Khatib 2018).

Pada konteks yang lain, ulama yang tergabung dalam BASSRA tua yang menolak
gerakan FPI dan HTI, termasuk juga BASSRA muda, juga terus melakukan pembinaan kepada
masyarakat melalui pengajian atau ceramah agama. Misalnya, KH. Nurudin, sebagai tokoh dari
BASSRA (tua) yang sesekali dalam ceramahnya menyampaikan tentang bahaya radikalisme dan
ekstremisme. “Radikalisme dan ekstremisme tidak ada akarnya di Madura, maka sangat penting
bagi kita untuk berhati-hati dengan gerakan-gerakan yang mengarah ke sana di Pamekasan ini,”
ungkapnya dalam salah satu ceramahnya. Ceramah-ceramah agama seperti ini merupakan salah
satu cara efektif dalam menangkal tindakan radikal dan permusuhan, serta memperkuat tradisi
lokal dan praktik keberagamaan masyarakat. Kehadiran ulama dengan memberikan ceramah pada
masyarakat berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mempertahankan tradisi lokal dan
praktik keberagamaannya, sehingga mampu menerjemahkan ajaran-ajaran agama dalam konteks
perubahan sosial yang lebih baik. Praktik keberagamaan masyarakat secara individu maupun
kolektif mengalami peningkatan dari yang semula sangat kental dengan nuansa tekstual dan
simbolik ritual, mulai mempertimbangkan perubahan yang terjadi di luaran. Bahwa pengamalan
agama memberikan inspirasi dan pencerahan dalam penyelesaian kehidupan sosial, jauh dari
tindakan radikal yang menghantui kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Syukron
Mahbub, Faisol, 2017).

Peran besar dari beragam program (dari ceramah, pengajian, kajian khusus ibu-ibu, dan gerakan
yang dilakukan bekerja sama dengan Pemda dan Kepolisian) yang dilakukan aktor-aktor di atas
adalah pada intensitasnya. Maksudnya, mereka melakukan gerakan tidak secara insidental,
melainkan dilakukan setiap waktu. Ulama melakukan penyadaran kepada umatnya setiap waktu,
kepolisian melaksanakan gerakan Sambang Desa setiap pekan sekali, dan rumah toleransi
melaksanakan programnya setiap waktu. Pengaruh gerakan-gerakan ini sangat kuat karena gerakan
islamisme di Kabupaten Pamekasan relatif insidental dan bila ada momen. Misalnya, BASSRA,
AUMA, dan FKM relatif tidak menonjol lagi pasca 212 lalu. Berbeda dengan gerakan yang
dilakukan ulama, pesantren, kepolisian, pemerintah, perempuan, dan IAIN Madura.

Dengan demikian, di Kabupaten Pamekasan terjadi penyempitan ruang terhadap gerak


gerakan islamis. Faktornya ada dua: pertama, gerakan islamis itu sendiri yang masih bersifat

110 | L a p o r a n A k h i r
insidental dan muncul menonjol bila ada momen saja. Kedua, gerakan ulama, pesantren,
kepolisian, pemerintah, perempuan, dan IAIN Madura yang setiap waktu mengampanyekan Islam
damai dan toleran kepada masyarakat.

Tangerang Selatan: Masih Menantang

Sejak 2016, Banten diakui (termasuk oleh Pemdanya) sebagai zona merah penyebaran
paham radikal. Beberapa kasus mengindikasikan zona merah tersebut, termasuk yang terakhir
penusukan terhadap Wiranto. Selain itu, zona merah disinyalir dari beberapa masjid dan kampus
yang menjadi lokus tersebarnya paham Islam radikal atau intoleran. Bahkan dalam sebuah
penelitian Rony Sitanggang (2019) ditemukan bahwa home schooling di Tangerang Selatan
menjadi lokus baru bertumbuhnya pemahaman Islam intoleran. Lokus terakhir ini agaknya kurang
memperoleh perhatian. Hal menarik lain yang terjadi di Tangerang Selatan adalah pembubaran
organisasi HTI yang dilakukan pemerintah rupanya memiliki implikasi sangat kuat terhadap
menurunnya penyebaran paham radikal dalam bentuk offline atau live. Misalnya, sudah jarang
ditemukan aktivitas dan event-event yang besar seperti di hotel dan ruang terbuka dan event-event
kecil seperti di masjid-masjid atau majelis-majelis taklim mereka. Walikota Tangerang Selatan,
Airin, bahkan memastikan pada 21 Agustus 2018 bahwa tidak ada lagi aktivitas HTI di
wilayahnya.

Namun, bagi internal HTI sendiri, rupanya pelarangan tersebut tidak berpengaruh
terhadap gerakannya, karena HTI tidak hanya mengandalkan aktivitas offline. Mereka
menyebarkan pahamnya banyak yang via online, misalnya melalui Facebook, Whatsapp, dan lain-
lain. Metode ini rupanya juga dipakai oleh FPI di Tangerang Selatan. Artinya, kondisi Tangerang
Selatan akhir-akhir ini, atau pasca pembubabaran HTI, tidak ada perubahan signifikan. Terjadi
penurunan aktivitas gerakan, tetapi tidak signifikan karena aktivitas daring justru lebih masif
melalui situs-situs hizbut-tahrir.or.id, hizbut-tahrir.or.id/radio-streaming,
youtube.com/htiinfokom. Aktivitas offline pun bukan berarti berhenti total. Yang terjadi adalah
membatasi penyebarannya pada lokus-lokus tertentu, yakni di masjid dan kampus. Sementara
pesantren dan sekolah belum sangat kuat sebagai lokus penyebaran. Oleh karena itu, secara umum,
tren di Tangerang Selatan terjadi penurunan penyebaran radikalisme secara langsung (offline)
(meskipun signifikan hasilnya), tetapi justru meluas secara daring/online. Misalnya, HTI

111 | L a p o r a n A k h i r
menyebarkan ajarannya melalui berbagai macam kanal Youtube yang isinya sebagian besar
mengajak masyarakat untuk mencoba mengganti dasar negara dari Pancasila ke ideologi
Khilafah. Melalui media daring pula, HTI bermaksud menggelar acara International Khilafah
Forum (IKF), meskipun kemudian berhasil digagalkan dengan tidak diberi izin. Keberadaan massa
dan pengikut setia HTI di Tangerang Selatan memang cukup banyak, meskipun hingga kini belum
ada angka pasti berapa total jumlah pengikut mereka di Tangerang Selatan.

Selain itu, strategi lain yang dilakukan HTI adalah “mendekat” ke pemerintah setempat.
Misalnya, pada Oktober 2019 lalu, DPC HTI Ciputat melakukan kunjungan ke kantor Kecamatan
Ciputat untuk mengajak diskusi tentang ISIS kaitannya dengan upaya mewujudkan Tangerang
Selatan sebagai kota religius 120. Kunjungan ini diterima agaknya karena ada kekhawatiran yang
sama mengenai isu ISIS. Kesamaan perhatian ini rupanya menajdi perhatian pemerintah
Kecamatan Ciputat meskipun diketahui tentang pelarangan HTI. Aktivitas tersebut, satu sisi,
bermakna bahwa pemerintah setempat masih menerima HTI, dan pada sisi yang lain, bagi HTI,
ini merupakan moment untuk menjalin hubungan baik dengan pemerintah dalam rangka kegiatan-
kegiatan lain ke depan. Beberapa hari sebelum diskusi tersebut berlangsung, Pemerintah
Kecamatan Ciputat membuat surat edaran yang isinya mewajibkan kepada pegawai kecamatan
untuk memakai gamis hitam. Semula kebijakan tersebut tidak memunculkan reaksi di kalangan
masyarakat, tetapi begitu beberapa hari setelah kebijakan itu lahir ternyata ada diskusi dengan HTI,
akhirnya memunculkan asumsi, dugaan, dan klaim bahwa surat edaran tersebut adalah salah satu
hasil dari kerja sama Pemerintah Kecamatan Ciputat dengan DPC HTI Ciputat. Lagi-lagi, yang
muncul kemudian adalah penafsiran bahwa gerakan radikalisme atau intoleransi mengalami
perluasan.

Bagaimana dengan FPI? FPI justru tidak seagresif HTI di Tangerang Selatan. Dalam
beberapa kegiatan, FPI memperoleh penolakan dan perlawanan dari masyarakat, hingga terjadi
penangkapan terhadap anggota FPI, Mukhamad Asli Seto Ansyurulloh, di Rempoa, Ciputat Timur,
pada 22 Mei 2019. Ia diduga telah menyebarkan pesan berantai bernada provokasi melalui
Whatsapp. Pasca penangkapan tersebut, hampir tidak ada berita mengenai aktivitas FPI, baik
offline maupun daring. Namun demikian, gerakan islamisme yang lain (tidak diketahui nama

120
Melek Politik, :Terbongkar Kunjungan Ormas Terlarang HTI ke Camat Ciputat Kota Tangerang
Selatan” (https://www.melekpolitik.com/2019/10/12/terbongkar-kunjungan-ormas-terlarang-hti-ke-camat-ciputat-
kota-tangerang-selatan/)

112 | L a p o r a n A k h i r
gerakannya) justru muncul di beberapa masjid di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan. Masjid-
masjid yang tersebar di kawasan Bintaro “dikuasai” oleh gerakan islamis. Sayangnya, tidak cukup
informasi yang valid dengan indikasi-indikasi yang memadai tentang masjid apa saja atau masjid
masa saja, termasuk dua masjid yang disinyalir dikuasai oleh Salafi, seperti Masjid Ash-Shaff dan
Masjid Al-Hasanah yang berlokasi di Bintaro Jaya Sektor 6 dan Sektor 9. Modus penguasaannya
adalah dengan menguasai takmirnya, di mana sebagian besar takmir dari masjid-masjid tersebut
bukan penduduk asli sekitar wilayah masjid-masjid tersebut. Hal tersebut baru diketahui ketika
ada masjid yang menolak kegiatan keagamaan, seperti Maulid Nabi dan sebagainya, karena
dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Ketika itulah baru diketahui bahwa ternyata banyak
masjid di Bintaro yang telah dikuasai oleh kelompok islamis tersebut. Lebih dari itu, ada indikasi
gerakan ini berafiliasi pada partai politik (PKS), meskipun kemudian PKS Tangerang Selatan
menepis indikasi atau isu tersebut.

Selain masjid, lokus rawan lainnya adalah kampus, seperti Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa (UNTIRTA) dan Universitas Pamulang (UP) yang sudah mulai dimasuki benih Islam
radikal dengan modus mengajak diskusi bersama mengenai etika dan moral keislaman. Modus ini
disasarkan kepada mereka yang non-aktivis kampus dan anak rumahan, bahkan dengan perekrutan
dari teman-teman yang sudah mulai terpengaruh Islam radikal, meskipun ada yang menolak dan
ada pula yang menerima. Fenomena ini memang dimaklumi oleh masyarakat karena kawasan
Tangerang Selatan akhir-akhir ini (setidaknya lima tahun terakhir) kerap dijadikan lokasi
persembunyian atau tempat konsolidasi kekuatan dari kelompok teroris. Tangerang Selatan
dianggap sebagai lokasi yang cukup strategis, ditambah dengan kurang pedulinya masyarakat
terhadap lingkungan sekitarnya.

Lantas bagaimana reaksi masyarakat dan stake-holder yang lain di Tangerang Selatan?
Harus diakui, beberapa pihak yang mencoba melawan atau menghalangi gerakan islamisme di
Tangerang Selatan masih bersifat ceremonial, formalitas, dan sekedar membikin kegiatan. Tidak
langsung turun ke masyarakat atau membuat gerakan yang secara langsung melibatkan
masyarakat, sehingga masyarakat juga aktif terlibat melakukan gerakan perlawanan. Akibatnya,
gerakan melawan Islam radikal hanya dilakukan dengan beragam acara seperti Dialog Lintas
Agama yang kurang efektif pengaruhnya ke bawah. Misalnya, Badan Kesbangpol Kota Tangerang
Selatan menggelar Dialog Lintas Agama. Acara dimaksudkan dalam rangka menangkal
radikalisme dan terorisme di masyarakat. Satu sisi, acara ini bagus sebagai pengingat kepada
113 | L a p o r a n A k h i r
semua agama tentang bahaya radikalisme dan terorisme di Tangerang Selatan, mengingat
Tangerang Selatan sedang menjadi daerah rawan. Akan tetapi, pada sisi yang lain, acara menjadi
tidak efektif karena keterlibatan langsung masyarakat yang kurang. Acara seperti ini sering terjadi
di Tangerang Selatan. Namun demikian, dalam acara-acara yang lain, pemerintah juga melakukan
bimbingan langsung ke masyarakat mengenai bahaya terorisme dan radikalisme. Misalnya, Bimas
Islam Kemenag Tangerang Selatan bekerja sama dengan Polres Tangerang Selatan mengadakan
acara Pembinaan dan Penyuluhan Bahaya Radikalisme dan Terorisme di masyarakat yang
menjadi wilayah hukum Polres Tangerang Selatan. Kegiatan semacam ini sekarang menjadi
kegiatan rutin beberapa elemen di Pemerintah Daerah Tangerang Selatan.

LSM yang ada di Tangerang dan sekitarnya juga mencoba mengampanyekan anti-
radikalisme dan anti-terorisme. Misalnya, Sahabat Milenial Indonesia (Samindo) yang bekerja
sama dengan Setara Institute melakukan pelatihan yang isinya mengajak generasi milenial untuk
bersama-sama mewaspadai gerakan intoleransi, radikalisme, dan terorisme, sekaligus melawan
gerakan-gerakan tersebut melalui literasi digital dan diskusi-diskusi. Setara Institute bersama
Samindo menggandeng ratusan pemuda dari Jakarta dan Banten untuk menjadi agen dalam
menciptakan toleransi di wilayah mereka. Upaya yang sama juga dilakukan organ-organ kecil yang
merasa berkepentingan dalam menghadang radikalisme di Tangerang Selatan. Misalnya, Pimpinan
Cabang Ideologi Syarikat Islam (PC Perisai) Tangerang Selatan secara rutin menggelar diskusi
pemuda yang bertema kesatuan bangsa, di mana di dalamnya juga didiskusikan mengenai
penangkalan radikalisme. Contoh lainnya adalah kegiatan Literasi Islam Cinta yang dilakukan oleh
Gerakan Islam Cinta (GIC). Literasi ini adalah upaya membangun lingkungan damai yang
diharapkan memiliki pengaruh terhadap individu yang tergabung atau ada di dalamnya (Indah
Rahmawati 2019).

Beberapa penelitian yang fokus pada membangun perdamaian di Tangerang Selatan


menunjukkan bahwa banyak elemen masyarakat yang aktif dalam upaya membendung
radikalisme. Penelitian yang dilakukan oleh Rubiyana, Deden Darajat, dan Deden Mauli,
misalnya, mengekspose mengenai peran ulama dalam menjaga toleransi agama melalui dakwah di
lapangan, atau di lingkungan lembaga/organisasi, dan lingkup sosial di Tangerang Selatan (dan
Depok). Penelitian ini melihat ulama memiliki peran kuat dalam membentengi dan menjaga
umatnya agar selalu menjaga toleransi dan harmoni dalam kehidupan beragama untuk membentuk
masyarakat yang damai di antara masyarakat (Rubiyanah, et. al. 2017). Penelitian lainnya
114 | L a p o r a n A k h i r
mengungkap peran dan komitman Pemerintah Kota Tangerang Selatan dalam menjaga da merawat
kerukunan umat beragama baik dari segi pelayanan publik maupun kebijakan-kebijakan yang
diberlakukan (Ahmad Fajarudin 2018).

Partai politik juga berkepentingan terhadap keamana dan kedamaian Kota Tangerang
Selatan, PDI Perjuangan Kota Tangerang Selatan memastikan bahwa partainya siap menjadi garda
terdepan untuk melawan paham radikalisme di Tangerang Selatan. Penegasan ini menyusul
penusukan kepada Menkopolhukam, Wiranto, dan beredarnya surat berisikan perintah
menggunakan gamis hitam bagi pegawai perempuan di Kantor Kecamatan Ciputat. Aparat
keamanan juga rajin mengadakan kegiatan Coffee Morning untuk menindaklanjuti perintah
Kapolda Metro Jaya. Coffee Morning dilaksanakan dengan mengajak tokoh masyarakat, tokoh
agama, dan para kiai dan ustadz untuk membantu memelihara kamtibmas, menjaga kesatuan dan
persatuan NKRI, untuk mengantisipasi kelompok radikal dan gerakan HTI.

Uraian di atas memberikan gambaran bahwa Tangerang Selatan belum sepenuhnya


menunjukkan adanya tren penurunan atau penyempitan ruang gerak radikalisme, meskipun tidak
dapat juga dikatakan trennya menaik atau meluas. Demikian juga dengan upaya-upaya yang sudah
dilakukan beberapa pihak dalam menjaga toleransi umat. Upaya menghadang isu radikalisme
belum sepenuhnya kuat, apalagi berhasil. Masih ada kesan, masing-masing berjalan sendiri-
sendiri. Hal ini setidaknya dapat dipahami bila melihat konteks sosio-kultural Tangerang Selatan,
yang secara geografis dekat dengan kota-kota besar. Ada kesan sulit menggerakkan stake-holders
secara serentak dalam menghadang isu radikalisme, sehingga mereka bergerak sendiri-sendiri.
Ujungnya, hasil atau pengaruhnya kurang kuat di kalangan masyarakat.

Dengan demikian, secara ringkas dapat dikatakan bahwa ruang gerak radikalisme di
Tangerang Selatan masih leluasa, meskipun sudah terbatasi. Demikian halnya dengan ruang gerak
gerakan toleransi dan perdamaian. Dua-duanya sedang dalam proses mempengaruhi masyarakat.
Bedanya, bila gerakan islamisme radikal lebih leluasa mengambil media sosial daring/online
sebagai sarananya, sementara gerakan toleransi dan perdamaian lebih banyak menggunakan media
langsung/live/offline. Tangerang Selatan masih menjadi wilayah yang penuh tantangan untuk dua
gerakan yang berseberangan tersebut.

Medan: Kuatnya HTI dan Metamorfosis FPI

115 | L a p o r a n A k h i r
Gerakan islamis di Medan memiliki latar historis yang kuat dan mendalam. Gerakan
islamis ini tidak lepas dari sejarah konflik Kaum Tua dan Kaum Muda di Medan atau Sumatera
Utara puluhan tahun silam. Bahwa “kemenangan” Kaum Muda dalam mendinamisasi paham
keislaman memiliki pengaruh kuat pada perkembangan Islam di Medan, bahkan di Sumatera
Utara. Respons Al-Ittihadiyah terhadap kemajuan dan menterjemahkannya ke dalam dunia
pendidikan, misalnya, adalah salah satu dari sejarah dinamisasi tersebut. Hal tersebut berkembang
dalam sejarah Islam di Medan beberapa puluh tahun sesudahnya. Sayangnya, kemajuan tersebut
kemudian salah satunya berbuah pada perilaku radikalisme. Faisal Nurdin Idris (2015) dalam
penelitiannya menunjukkan tentang dinamika tersebut dan mengapa islamisme dan radikalisme
demikian besar di Medan. Penelitian tersebut menunjukan tentang kuatnya narasi-narasi yang
digunakan oleh para islamis (Idris 2015). Misalnya, narasi tentang Yahudi dan Nasrani,
Ahmadiyah dan aliran sesat, diferensiasi dalam tubuh umat Islam, bahkan narasi yang
membenturkan Islam dengan demokrasi, dan lain-lain. Narasi-narasi ini relatif kuat mempengaruhi
wacana keberislaman umat Islam di Medan. Narasi-narasi tersebut, lagi-lagi, berkelindan dengan
warisan Islam yang mereka peroleh dari sejarah, yakni Kaum Muda. Oleh karena itu, tidak
mengagetkan bila Medan terekam sebagai kawasan yang tumbuh jaringan radikalisme Islamnya
(Hasan et al., 2012:38). Beberapa kali serangan terorisme terjadi di Medan atau Sumatera Utara,
seperti serangan terhadap beberapa gereja di Kota Medan, Pematang, dan Siantar pada 2000
adalah beberapa buah dari tumbuhnya jaringan radikalisme tersebut.

Ada beberapa penelitian yang sudah dilakukan yang fokus pada radikalisme dan
intoleransi di Kota Medan, Sumatera Utara. Tulisan ini akan menyajikan beberapa hasil penelitian
tersebut dengan menambahkan kasus-kasus atau peristiwa-peristiwa sepanjang diperlukan. Dari
hasil-hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa Kota Medan menjadi kota yang perlu
diwaspadai dengan telah masuknya paham Islam radikal, seperti HTI dan FPI. Paham tersebut
masuk melalui sekolah, masjid, pesantren, dan lain-lain. Memperhatikan pola masuknya paham
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat umum, anak muda, bahkan anak usia sekolah
sudah sangat rawan terpengaruh paham Islam radikal tersebut.

Penelitian yang dilakukan Muba Simanihuruk dan Fikarwin Zurka (2018), misalnya,
bermaksud mengeksplorasi gerakan intoleransi dan radikal yang sudah mempengaruhi siswa-
siswa di Kota Medan. Media yang digunakan adalah dengan menggunakan internet via Facebook.

116 | L a p o r a n A k h i r
Ini dilakukan karena pengguna facebook di kalangan siswa sangat tinggi. Penelitian ini juga
mengungkap terjadinya percobaan pembunuhan terhadap seorang pastur yang dilakukan oleh
siswa SMA. Dari hasil investigasi polisi, ditemukan bahwa aksi tersebut berhubungan dengan
jaringan teroris internasional, ISIS. Dari mana awal mula masuknya paham tersebut masuk
mempengaruhi kaum muda di Kota Medan? Penelitian ini tidak berhasil menemukan atau tidak
ada penjelasan pasti tentang kemunculan radikalisme di kalangan anak muda Kota Medan. Namun
demikian, penelitian ini mengungkapkan bahwa umat setiap agama (Islam, Kristen, Protestan,
Hindu, Buddha) di Kota Medan kurang memiliki penerimaan terhadap agama lain, baik dalam
hubungan bertetangga, hubungna politik, dan juga hubungan ekonomi. Dengan kata lain, kaum
muda di Kota Medan memiliki sikap toleransi yang rendah terutama terhadap benturan keyakinan
dalam beragama dan pengalaman diskriminasi yang dilakukan oleh kelompok agama lain.
Penelitian ini ingin menunjukkan bahwa meskipun sulit diperoleh jawaban sejak kapan paham
Islam radikal masuk dan mempengaruhi kaum muda Kota Medan, akan tetapi faktor eksklusifisme
masing-masing umat beragama menjadi titik penting mengapa begitu mudah kaum muda di Kota
Medan terpengaruh paham radikal tersebut.

Di Kota Medan terdapat dua organisasi yang oleh masyarakat dianggap sebagai organisasi
radikal, yakni HTI yang berbasis di Deli Serdang dan FPI yang berbasis di Pelabuhan Belawan
atau Medan Utara. Meskipun sama-sama memperoleh klaim sebagai organisasi radikal, dalam
beberapa hal HTI dan FPI tidak otomatis sejalan. Bahkan ketika pemerintah mengeluarkan surat
pelarangan terhadap organisasi HTI, FPI Kota Medan mendukungnya. Namun demikian,
sebagaimana hasil penelitian di atas, dua organsisasi inilah yang relatif berhasil masuk dan
mempengaruhi anak muda di Kota Medan. Masing-masing memiliki pola dan cara merekrut
anggota. HTI, misalnya, masuk dan melakukan kaderisasi melalui kampus (dan ternyata, beberapa
narasumber menyatakan bahwa cara ini sudah dijalani organisasi politik tersebut sejak masuk ke
Indonesia pada 1983). Metode yang sering digunakan adalah metode tatap muka langsung,
misalnya dengan membuat seminar dan pelatihan yang pernah dilakukan di Universitas Negeri
Medan (Unimed) dan IAIN Sumatera Utara pada April 2014. Beberapa tahun kemudian mereka
juga menggelar Medan Ta’aruf Awal (Mental) HTI di Aula Masjid Baiturrahman, Unimed, Medan
(2017).

117 | L a p o r a n A k h i r
Untuk mengetahui pola penyebaran dan penerimaan masyarakat Kota Medan terhadap
organisasi radikal tersebut, terdapat penelitian yang dilakukan Faisal Nurdin Idris (2015).
Penelitian ini menemukan bahwa konstruksi narasi islamisme yang diwacanakan ke masyarakat
adalah mencakup mengenai kebencian terhadap Yahudi dan Nasrani, penolakan terhadap
Ahmadiyah dan aliran sesat, dan ketidaksukaan terhadap Islam Liberal dan Syiah. Narasi-narasi
tersebut relatif berhasil merebut perhatian dan apresiasi dari masyarakat Kota Medan. Sementara
narasi radikalisme yang dibangun adalah dengan memperlihatkan narasi oposisi biner bahwa Islam
tidak sesuai dengan demokrasi, penerapan syariah Islam dan negara Islam versus sistem yang
berlaku saat ini di Indonesia. Sedangkan narasi ekstremisme diwujudkan dengan penggunaan
kekerasan. Namun narasi ekstremisme tersebut dan narasi terorisme tidak terlalu memperoleh
respons dan apresiasi dari masyarakat Kota Medan. Sebagaimana hasil penelitian Muba
Simanihuruk dan Fikarwin Zurka, keberhasilan membangun wacana dengan narasi-narasi tersebut
adalah karena pola penyebaran yang digunakan adalah melalui media elektronik dan cetak. Dan
efeknya lebih besar ketika ditambah dengan pola hubungan interpersonal, pengajian, dan halaqah.
Hasil dari kampanye narasi-narasi tersebut menghasilkan pola penerimaan masyarakat Kota
Medan terhadap paham radikal, di mana masyarakat pada ujungnya tertanam kesadaran tentang
kekacauan dunia dan sistem yang berlaku di masyarakat, perbedaan identitas yang berlandaskan
sentimen agama, dan frustasi terhadap lambannya perubahan.

Penjelasan lebih detail lagi terdapat dalam sebuah disertasi UIN Sumatera Utara tahun
2017 yang ditulis oleh Rubino yang berjudul Teknik Komunikasi Rekrutmen dan Pembinaan Kader
(Studi Kasus Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Sumatera Utara. Berdasarkan data yang diperolehnya,
penelitian tersebut menemukan bahwa terdapat tiga teknik komunikasi yang diterapkan HTI dalam
rekrutmen dan pembinaan kader. Pertama, teknik informatif, yakni dengan memberikan informasi
tentang HTI dan ide-ide pokok yang dikembangkannya kepada semua lapisan masyarakat, baik
pelajar, mahasiswa, ulama, kaum intelektual, maupun para tokoh yang memiliki pengaruh di
masyarakat, seperti pemimpin pemerintahan, anggota legislatif, pimpinan ormas, pimpinan partai
politik, dan sebagainya, juga kepada para anggota kader, baik pada tingkat pengajian umum,
halaqah umum, tingkat dasar, maupun tingkat anggota. Kedua, teknik persuasif, yakni dengan
mengajak mereka bergabung dan mendukung dakwah HTI, melalui kegiatan dialog, diskusi,
membagi buletin, majalah, dan sebagainya. Ketiga, teknik hubungan manusiawi, yakni dengan
memberikan nasihat secara antarpribadi kepada masyarakat atau anggota yang mengalami

118 | L a p o r a n A k h i r
permasalahan melalui kegiatan konsultasi. Disertasi ini juga menemukan tiga bentuk media yang
digunakan HTI untuk mendukung penerapan teknik komunikasi dalam kegiatan rekrutmen dan
pembinaan kader. Pertama, melalui media handphone yang digunakan untuk melakukan kontak
secara personal. Kedua, media online, yang berupa website, instagram, line, facebook, dan
whatsapp. Ketiga, media cetak, yang berupa buletin, tabloid, majalah, dan buku.

Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa upaya perekrutan dan sosialisasi HTI ke
masyarakat tidak mudah. Ada beberapa hambatan yang dialami HTI ketika melakukan upaya
perekrutan dan sosialisasi HTI dengan menerapkan teknik komunikasi. Hambatan-hambatan
tersebut utamanya adalah hambatan psikologis, berupa prasangka masyarakat terhadap HTI yang
negatif. Hambatan lainnya adalah hambatan sosiologis berupa perbedaan kedudukan, pendidikan,
usia, dan pemahaman. Masing-masing kedudukan atau usia atau pendidikan memiliki pemahaman
yang berbeda, dan lain-lain. Kelebihan gerakan perekrutan dan pembinaan kader ini adalah pada
keterbukaan. Mereka mau menerima masukan dari orang lain dan calon anggota, sehingga obyek
sasaran merasa didengar dan dimanusiakan. Dari sini, respek dan apresiasi masyarakat relatif baik
terhadap HTI.

Melihat dari keseriusan HTI di Sumatera Utara umumnya, dan khususnya di Kota Medan,
maka tidak mengherankan bila ketika muncul kebijakan pemerintah yang melarang organisasi
HTI, mereka seperti tidak terpengaruh, karena model gerakannya yang sudah rapi berjalan,
sebagaimana dijelaskan dalam hasil penelitian di atas. Pimpinan DPD HTI Sumut menyatakan
bahwa tindakan pemerintah yang membubarkan HTI bukanlah sesuatu yang tepat. Bahkan pasca
dibubarkan pemerintah, DPD Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Sumatera Utara mendatangi Fraksi
PKS DPRD Sumut untuk meminta dukungan wakil rakyat dari Fraksi PKS untuk menolak
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 2 tahun 2017 tentang Ormas. Agar
tidak ada lagi ormas Islam yang dibubarkan karena Perppu tersebut. Pasal yang dianggap krusial
bagi mereka adalah Pasal 60 dan (utamanya) Pasal 61 ayat 1. Dalam Pasal 61 ayat 1 diyatakan
bahwa bila organisasi masyarakat melanggar ketentuan, maka akan diberi a) peringatan tertulis; b)
penghentian kegiatan, dan/atau; c) pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status
badan hukum.

Meskipun Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kota Medan


mengimpelemtasikan Perppu tersebut, tetapi HTI tetap melakukan kegiatan. Namun, kegiatan

119 | L a p o r a n A k h i r
yang dilakukan sudah terbatasi melalui daring. Beberapa organisasi di Kota Medan mendukung
kebijakan pembubaran tersebut, seperti FPI yang terang-terangan mendukung pemerintah
membubarkan HTI, NU dalam Konferensi Cabangnya juga menyerukan kepada anggotanya untuk
berhati-hati agar tidak disusupi paham HTI. Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Al-
Washliyah (BEM UNIVA Medan) juga melaksanakan deklarasi menolak paham radikal HTI
masuk kampus. Kegiatan ini bertujuan untuk menangkal masuknya paham radikal yang akhir-
akhir ini semakin mencuat ke permukaan.

Bagaimana dengan FPI? Di Kota Medan FPI berbeda “ideologi”-nya dengan HTI. Bila
HTI secara terbuka menolak sistem demokratis, FPI justru berusaha “berdampingan” dengan
Pancasila. FPI ingin mewujudkan NKRI Bersyariah yang bagi mereka dapat disandingkan dengan
ideologi Pancasila. Dalam penelitian yang dilakukan TM Shadrak tentang Pandangan dan
Aktivitas Politik Tokoh Front Pembela Islam dalam Mewujudkan NKRI Bersyariah di Kota Medan
(2017) menunjukkan bahwa konsep NKRI Bersyariah yang digagas FPI bukanlah sebuah model
ideologi yang akan mengantikan ideologi Pancasila. Namun, NKRI Bersyariah dengan keutamaan
syariat Islam dapat berdampingan dengan Pancasila. Dalam pandangan tokoh-tokoh FPI Kota
Medan, konsep NKRI Bersyariah bukanlah sebuah konsep yang mempertentangkan konsep
Pancasila dan sistem demokrasi di Indonesia. NKRI Bersyariah merupakan sebuah konsep
alternatif sebagai solusi untuk menyelesaikan persoalan dan permasalahan yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia. Di Kota Medan, aktivitas politik tokoh-tokoh FPI Kota Medan berusaha
mewujudkan konsep NKRI Bersyariah ini. Dengan munculnya konsep NKRI Bersyariah ini, maka
seluruh lapisan pergerakan FPI, baik tokoh, pengurus, kader, maupun simpatisan FPI turut
memperjuangkan tegaknya syariat Islam dalam bingkai NKRI Bersyariah.

Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa untuk mencapai ambisi NKRI Bersyariah,
aktivitas politik tokoh-tokoh FPI Kota Medan menggunakan empat jalur yang saling berkaitan.
Pertama, pastisipasi politik, yakni dengan memberikan dukungan dan memperjuang calon Kepala
Daerah, baik tingkat Kota Medan maupun tingkat Provinsi Sumatera Utara, yang berkontestasi
dalam pemilu. Landasan dukungan yang diberikan tokoh FPI Kota Medan kepada calon Kepala
Daerah atau calon anggota legislatif yang dinilai dapat berpihak dan memperjuangkan aspirasi
umat Islam, sebagaimana yang menjadi cita-cita FPI. Bentuk nyata dukungan tokoh FPI Kota
Medan adalah berupa seruan dan ajakan melalui ceramah atau tausiah untuk mendukung calon

120 | L a p o r a n A k h i r
yang memiliki keterpihakan kepada umat Islam. Kedua, lobbying, bahwa aktivitas politik tokoh
FPI Kota Medan diarahkan untuk melakukan lobi-lobi ke para pejabat pemerintahan, kepolisian,
TNI, maupun pimpinan partai politik. Dalam lobbying, FPI akan mencoba menawarkan atau
bahkan menitipkan agenda-agenda tentang syariat Islam dalam rangka penegakan amar ma’ruf
nahi munkar agar menjadi undang-undang di daerah yang berpihak pada umat Islam,
pembangkitan ekonomi umat Islam, dan kesejahteraan umat Islam.

Ketiga, membangun koneksi/jaringan politik. Dalam hal ini, tokoh FPI Kota Medan
mencari koneksi ke pejabat-pejabat/pimpinan pemerintahan dan aparat penegak hukum
(kepolisian dan TNI), partai politik, dan bahkan pada tingkatan lurah dan kepala lingkungan, atau
tokoh masyarakat di Kota Medan. Bentuk kegiatan yang biasanya dilakukan FPI adalah kerja sama
aksi sosial dan diskusi bersama. Tujuan utamanya adalah untuk mencari peluang dukungan politik
terhadap agenda dan perjuangan FPI untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dalam bingkai
NKRI Bersyariah. Agenda ini sangat penting dilakukan oleh anggota-anggota FPI agar
memperoleh dukungan dan support dari pemerintah atas program-program kerja yang nantinya
mereka lakukan. Keempat, ikut dalam konstestasi politik praktis. Meskipun dalam AD/ART
organisasi FPI tidak diatur tentang boleh tidaknya tokoh atau kader FPI terlibat dalam politik,
namun tetap saja FPI tidak lepas dari isu dan keterlibatannya dalam ruang politik. Sejauh ini,
memang peran FPI dalam dunia politik tidak terlalu tampak seperti ormas lainnya karena memang
fokusnya adalah pemberantasan masalah sosial dan penyakit masyarakat. Di Kota Medan terdapat
lima sampai enam anggota FPI yang akan ikut tampil dalam kontestasi pileg 2019. Salah satu di
antaranya adalah Hariman Syahputra Siregar S.Kom, Caleg DPRD Kota Medan yang didukung
Partai Bulan Bintang. Keikutsertaan tokoh-tokoh atau kader-kader FPI Kota Medan bukan
bertujuan untuk kekuasaan, tetapi bertujuan untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar guna
tegaknya syariat Islam dalam bingkai NKRI Bersyariah.

Kelima, sebagai pengontrol pemerintah. FPI juga berfungsi mengingatkan dan menekan
pemerintah bila pemerintah tidak menjalankan aturan dan undang-undang secara maksimal. Dalam
lingkup Kota Medan, pada dasarnya, pressure yang diberikan FPI. kepada pemerintah biasanya
berbentuk teguran dan himbauan ketika pemerintah tidak menjalankan tugasnya dengan baik dan
bahkan mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak kepada umat Islam. Cara yang dilakukan

121 | L a p o r a n A k h i r
adalah menggelar pertemuan dan rapat dengar pendapat. Adapun bentuk kontrol langsung yang
dilakukan ialah berupa demonstrasi.

Ringkasnya, FPI di Kota Medan, sedikit banyak, telah terjadi metamorfosis, dari
organisasi yang selalu identik dengan kekerasan, bergeser strategi menjadi organisasi yang
meluruhkan diri dalam pentas politik praktis, bahkan memilih jalan menyandingkan ideologinya
dengan ideologi Pancasila. Dengan demikian, hampir hanya HTI yang masih menjadi sumber
kegusaran masyarakat Kota Medan, tentu saja juga gerakan islamisme lain yang cenderung
ekstremis dan radikal, namun sayangnya, hingga laporan ini ditulis, tidak ditemukan sumber-
sumber atau narasumber-narasumber yang memberikan informasi atau data yang kuat mengenai
gerakan-gerakan tersebut, kecuali hanya berita-berita dan peristiwa-peristiwa.

Kegerahan beberapa kalangan di Kota Medan terhadap HTI memang dapat dimaklumi
karena Kota Medan masuk dalam 10 besar kota intoleran. Bahkan menanggapi hal tersebut, para
tokoh masyarakat dan sejumlah perwakilan tokoh agama, mahasiswa, dan pelajar memperingati
hari toleransi dunia dengan kegiatan berkemah bersama. Kegiatan yang diadakan selama dua hari
tersebut untuk mencoba membangun ulang kehidupan masyarakat Kota Medan agar lebih toleran
dan mengurangi sentimen radikalisme dan intoleransi. Kegiatan serupa akhirya sering dilakukan
dengan melibatkan lebih banyak masyarakat. Misalnya, Pertemuan Tokoh Agama dalam Rangka
Membangun Kota Medan”, pada Desember 2018 oleh Pemerintah Kota Medan. Pertemuan ini
bukan hanya menghadirkan para tokoh agama dan anggota komunitas kelompok keagamaan di
Kota Medan, tetapi juga sekitar dua ratus masyarakat Kota Medan.

Acara semacam ini dianggap sangat penting karena Kota Medan memiliki modal yang
lumayan baik, bukan hanya modal historis sebagai kota yang sejarah Islamnya cukup kuat, tetapi
Kota Medan juga memiliki delapan pesantren (Pondok Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, Al-
Manar, Ta’dib As-Syakirin, Al-Kautsar Al-Akbar, Yayasan Azzidin, Darul Hikmah TPI Medan,
Usman Syarif, dan Pondok Pesantren Puteri Aisyah) yang dapat dijadikan sebagai tempat
menyemaikan dan menumbuhkembangkan nilai toleransi dan perdamaian.

Ditambah dengan “memanggil” kembali Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 14 tahun
2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Medan Tahun
2011-2015 yang semangatnya adalah untuk meningkatan suasana kehidupan yang harmonis,
saling menghormati, aman dan damai. Di mana salah satu poinnya adalah peningkatan internalisasi
122 | L a p o r a n A k h i r
nilai-nilai universal agama, toleransi, dan saling menghormati dalam kemajemukan. Kebijakan ini
dipanggil ulang untuk menanamkan kesadaran kepada masyarakat bahwa toleransi antarumat
beragama adalah isu yang menjadi tujuan dan sasaran pembangunan kota. Peraturan ini adalah
untuk menjaga tali silaturrahmi dan sikap toleran antarumat beragama.

Dengan demikian, melihat gambaran di atas, Kota Medan dapat dikatakan masih sebagai
kota yang memberi ruang luas terhadap paham islamisme, khususnya paham radikal dan intoleran.
Sementara upaya penyempitan ruang gerak islamisme masih sangat kurang terencana, sinergis,
dan berjangka panjang. Oleh karena itu, Medan belum dapat bebas dari pengaruh paham Islam
intoleran.

Yogyakarta: Mencairnya Gerakan Islamis

Kondisi di Yogyakarta sedikit lebih cair dibanding tiga wilayah lain. Bahwa gerakan-
gerakan islamis tetap ada dan leluasa bergerak, tetapi gerakan-gerakan baru (seperti majelis taklim
yang dikelola ibu-ibu) juga marak. Agaknya, di Yogyakarta terdapat perimbangan gerakan antara
yang islamis/radikal/intoleran dengan yang moderat dan menyenangkan. Dengan kata lain,
gerakan islamis/radikal/intoleran lebih cair sifatnya. Tidak sekeras dan seradikal beberapa tahun
sebelumnya, melainkan memilih pola lain dalam penyebaran narasi-narasi dan ide-idenya. Yang
menarik dari fenomena di Yogyakarta adalah mulai tidak menariknya gerakan islamis di kalangan
anak-anak sekolah (SMP-SMA).

Penelitian Aniek Handajani, Noorhaidi Hasan, dan Tabita Kartika Christiani tentang
Kecenderungan Intoleransi dan Peran Pendidikan Agama di SMA Negeri Yogyakarta” (2019),
mengungkapkan bahwa sebagian besar siswa SMA negeri di Yogyakarta (beberapa nama SMAN-
nya disamarkan) memiliki tingkat toleransi yang cukup tinggi. Berdasarkan penelitian tersebut,
25% siswa SMAN A Yogyakarta memiliki tingkat toleransi yang tinggi. Sedangkan 74% siswa
memiliki tingkat toleransi yang cukup tinggi, dan hanya 1% siswa yang memiliki kecenderungan
intoleransi. Di sisi lain, 45% siswa SMAN B Yogyakarta memiliki tingkat toleransi yang tinggi,
sedangkan 55% siswa memiliki tingkat toleransi yang cukup tinggi, dan tidak ada siswa yang
intoleran. Sementara, 13% siswa SMAN C Yogyakarta memiliki tingkat toleransi yang tinggi,
87% siswa memiliki tingkat toleransi yang cukup tinggi, dan tidak ada siswa yang intoleran.

123 | L a p o r a n A k h i r
Penelitian ini mengungkapkan bahwa 1% siswa memiliki tingkat toleransi yang rendah,
sedangkan 72% siswa memiliki tingkat toleransi yang cukup tinggi, dan 27% siswa memiliki
tingkat toleransi yang tinggi. Dengan kata lain, sebagian besar siswa SMA negeri di Yogyakarta
memiliki tingkat toleransi yang cukup tinggi. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa
kecenderungan intoleransi di kalangan siswa SMAN A Yogyakarta tinggi, sedangkan di SMAN B
Yogyakarta tren intoleransinya rendah. Sementara intoleransi di kalangan siswa SMAN C
Yogyakarta berada di antara tingkat intoleransi SMAN A Yogyakarta dan SMAN B Yogyakarta.

Penelitian yang dilakukan pada akhir tahun 2019 tersebut setidaknya menggambarkan
bahwa paham Islam radikal dan intoleran tidak seberapa diminati oleh kalangan siswa di
Yogyakarta. Ini sangat berbeda dengan dua tahun sebelumnya, di mana banyak sekolah di
Yogyakarta justru menjadi lahan subur bersemainya paham Islam radikal, sebagaimana
ditunjukkan Muhammad Yusup dalam penelitiannya tentang Eksklusivisme Beragama Jaringan
Sekolah Islam Terpadu (JSIT) Yogyakarta (2017). Penelitian ini menguji empat karakteristik
eksklusivisme beragama dalam Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) Yogyakarta, sebuah
organisasi yang menaungi sekolah-sekolah Islam Terpadu di Yogyakarta. Empat karakteristik
eksklusivisme beragama tersebut antara lain penerapan pendekatan literal dalam memahami teks-
teks Islam (tekstualis), pandangan keselamatan hanya dapat dicapai melalui agama Islam disertai
dengan penolakan terhadap agama lain dan pengikutnya (truth-claim), penekanan gagasan bahwa
tidak ada pemisahan antara Islam dan negara (anti-sekularisasi), dan para penganut paham ini
percaya adanya konspirasi antara pemerintah Indonesia dengan umat Kristen (dan atau Yahudi
atau kafir secara umum) untuk memperlemah kekuatan politik Islam (percaya adanya konspirasi
thaghut).

Mengenai karakteristik pertama, yakni literalis/tekstualis, bentuk tekstualis JSIT dalam


memahami sumber-sumber Islam di antaranya tampak dalam penafsiran yang belum cukup
terbuka untuk menerima keragaman. Karakteristik kedua (truth-claim), JSIT dengan tegas
menempatkan Islam sebagai agama yang berbeda dan jelas satu-satunya agama yang menjadi jalan
keselamatan manusia. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk mencapai surga dan keridhaan
Allah kecuali melalui Islam. Karakteristik ketiga dari Islam eksklusif adalah anti-sekularisasi.
Bahwa negara tidak boleh dipisahkan dari agama.Negara bukanlah sekedar urusan duniawi, dan
agama tidak hanya mengurus akhirat. Pandangan bahwa ad-din sebagai millah wa daulah, sudah

124 | L a p o r a n A k h i r
jamak dibenarkan di kalangan JSIT. Oleh karena itu, ketika negara atau bagian dari negara
(provinsi, kabupaten, kecamatan, dan seterusnya) di mana terdapat Muslim sebagai mayoritas
rakyat, sudah sepantasnya dipimpin oleh seorang Muslim, bukan umat agama lain. Karakteristik
keempat adalah keyakinan di kalangan kelompok eksklusif tentang adanya konspirasi thaghut.
JSIT mendukung aksi demonstrasi damai di Jakarta, ketidakpercayaan pada sosok Ahok (peristiwa
212) sebenarnya telah terakumulasi sampai pada titik nadirnya. Akumulasi ini juga dibentuk oleh
teori konspirasi yang diyakini mereka bahwa ada upaya sejak dari awal untuk mendudukkan
seorang non-Muslim memimpin Jakarta.

Selama ini, JSIT masih kerap dipandang sebagai konsorsium sekolah-sekolah berhaluan
eksklusif dan didominasi oleh “aktivis dakwah” berhaluan “kanan” atau yang dalam wacana umum
sering digambarkan sebagai penganut corak keislaman yang fundamentalis. Corak keislaman yang
demikian sering dianggap berseberangan dengan modernitas (keilmuan Barat). Melihat corak
perjuangan JSIT yang di dalamnya memiliki ideologi gerakan tertentu, maka timbul kesan bahwa
corak ideologis JSIT cukup dekat dengan sistem tarbiyah yang digaungkan oleh Hasan Al-Banna.

Dalam konteks pengembangan keilmuan, JSIT sesungguhnya sepakat dan berupaya


menerapkan konsep islamisasi ilmu (pengetahuan). Namun, sayangnya, islamisasi ilmu yang coba
dibangun masih terkesan reaktif, bahkan cenderung menolak dan anti terhadap model keilmuan
Barat. Mereka menganggap keilmuan Barat sebagai entitas keilmuan yang sekular dan
bertentangan dengan Islam, maka harus dicurigai dan diwaspadai. Lebih dari itu, corak keilmuan
Barat harus dilawan, ditiadakan, dan bahkan mesti digantikan dengan corak keilmuan yang
“islami”.

Melihat dua penelitian di atas, tergambar bahwa dalam dua tahun terakhir ada pergeseran
pada tingkat sekolah (SMP dan SMA) tentang penerimaan siswa terhadap paham keagamaan. Bila
pada 2017, seperti digambarkan dalam penelitian tentang JSIT, karakter eksklusif sangat kuat,
sementara pada 2019, sebagaimana penelitian tentang beberapa SMAN menunjukkan bahwa
paham keagamaan yang intoleran tidak lagi diminati oleh siswa. Hal tersebut ditunjukkan dengan
pandangan siswa yang toleransinya makin tinggi.

Fenomena di level sekolah tersebut memang tidak sepenuhnya dapat menjadi cermin
masyarakat Yogyakarta, meskipun hal tersebut tetap menjadi kabar gembira dalam konteks
membangun toleransi dan perdamaian. Fenomena di luar sekolah, pada kehidupan sosial
125 | L a p o r a n A k h i r
Yogyakarta, menunjukkan fenomena yang beragam. Misalnya bila menengok sedikit hasil survey
yang dilakukan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) DIY. FKPT menjalankan tiga
kali survey mengenai radikalisme dengan topik yang berbeda. Survey pertama dilakukan pada
2013. Dalam survey tersebut disimpulkan bahwa sebagian masyarakat masuk ke dalam kelompok
militan. Militan di sini dimaksudkan salah satunya menyebut pihak lain yang berbeda keyakinan
sebagai kafir. Dalam hal tersebut ia menyampaikan bahwa ada masyarakat Yogyakarta yang
berpemikiran Islam Kaffah. Di mana segala kehidupan harus didasarkan pada Al-Quran dan hadis.
Survey kedua dilakukan pada 2015 dengan topik syariat Islam sebagai dasar penyelenggaraan
negara. Hasilnya pun beragam. Sebanyak 35% sampel di Kota Yogyakarta menyatakan setuju
dengan pemerintahan berbasis syariat. Beberapa lokasi lain yang disurvei, yakni Bantul mencapai
34%, Sleman 48%, dan Kulon Progo 56%. Sementara survey dengan topik mengenai penerapan
syariat Islam, sebanyak 49% sampel di Bantul menyatakan setuju penerapan khilafah di Indonesia.
Di wilayah lain, sampel yang setuju di Kota Yogyakarta, Gunungkidul, Sleman, dan Kulon Progo
berkisar 25 – 30%.

Merespons hasil survey tersebut, Kantor Wilayah Kementerian Agama DIY memetakan
daerah-daerah yang dianggap rawan gerakan radikalisme dan konflik keagamaan. Dari pemetaan
yang dilakukan, Kabupaten Bantul dan Sleman dianggap sebagai daerah paling rawan kegiatan
radikalisme dan konflik agama. Basis pemetaan tersebut adalah data kejadian kekerasan yang
berlatar belakang agama di empat kabupaten dan satu kota di DIY. Dari pemaparan pemetaan
tersebut diurutkan daerah yang paling rawan terhadap masuknya radikalisme. Dimulai dari
Sleman, kemudian Bantul, Yogyakarta, Gunungkidul, lalu Kulon Progo.

Hasil-hasil survey di atas, setidaknya memberikan gambaran tentang bagaimana


masyarakat Yogyakarta merespons munculnya gerakan-gerakan islamis di sekitar mereka, yang
sedikit banyak mempengaruhi pandangan mereka. Sayangnya, pasca pembubaran HTI, belum ada
survey lagi, sehingga tidak diketahui pergeserannya, makin menguat atau melemah pandangan
islamis warga Yogyakarta. Namun demikian, respons justru muncul dari kampus, ketika HTI
dibubarkan. Misalnya Universitas Muhammadiyah (UMY) dan Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga. UMY memilih tak melarang keberadaan organisasi HTI seperti sikap pemerintah
yang membubarkan organisasi berpaham khilafah itu. Larangan terhadap keberadaan organisasi
ini di kampus dianggap bukan solusi maupun langkah yang penting, karena kampus merupakan

126 | L a p o r a n A k h i r
lembaga akedemik. Namun demikian, UMY tetap akan merangkul dan memberikan pendidikan
bagi dosen, staf, maupun mahasiswanya agar tak terpengaruh oleh ajaran yang dibawa HTI. UMY
akan membuat kegiatan atau pengkaderan tentang nilai-nilai yang dilakukan rutin dalam rangka
membentengi civitas academica UMY dari pengaruh HTI. Sementara UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta memilih menerbitkan surat larangan dan pencegahan terhadap organisasi maupun
aktivitas yang bertentangan dengan Pancasila dan NKRI. UIN Sunan Kalijaga menerbitkan surat
B-1982/Un.02/HK.00.3/04/2017 tertanggal 4 April 2017. Setelah badan hukum HTI dibekukan
oleh pemerintah, seluruh atribut yang ada di kantor HTI Yogyakarta dibersihkan oleh pengurus.
Meski demikian, aktifitas seperti dakwah tetap jalan seperti biasa, meskipun tidak sebebas seperti
biasanya. Di Yogyakarta, pengaruh HTI di Yogyakarta sudah kadung meluas, baik pada
masyarakat maupun kalangan kampus dan akademisi.

Dalam Tesis Ahmad Yazid tentang Politik Hijrah Anak Muda di Komunitas Yuk Ngaji
Yogyakarta (2019) menjelaskan, meskipun HTI dilarang atau dibubarkan, tetapi sayap-sayap HTI
masih bergerak, salah satunya adalah Komunitas Yuk Ngaji Yogyakarta. Ini adalah kelompok anak
muda yang di dalamnya terdapat aksi perekrutan dan penyebaran ide-ide HTI. Komunitas ini
berusaha mengadaptasi ide-ide HTI dan berbagai aktivitas keagamaan yang ada di dalamnya ke
dalam kultur anak muda untuk menarik perhatian.

Selain HTI, masih ada beberapa aktor kekerasan berbasis agama di Yogyakarta. Bila FPI
sudah tidak nampak menonjol lagi pasca bentrok di depan markas FPI, Gamping, beberapa laskar
lain masih beraktifitas seperti biasa. Salah satunya adalah Front Jihad Islam (FJI). Penelitian
Humaini yang berjudul Konflik Sunni-Syiah di Timur Tengah Perspektif Geopolitik dan
Dampaknya Terhadap Hubungan Sunni-Syiah di Indonesia (2019) menunjukkan adanya
ketegangan kelompok intoleran FJI di Yogyakarta yang menggunakan isu Sunni-Syiah sebagai
amunisi menyerang kelompok Syiah di Yogyakarta. FJI mendorong MUI Yogyakarta
mengeluarkan Fatwa pelarangan kegiatan Syiah di Yogyakarta. Dan MUI Yogyakarta pun
mengikuti desakan tersebut dan mengeluarkan Fatwa pelarangan kegiatan Syiah. Akibat dari fatwa
MUI DIY tersebut, hingga saat ini kelompok Syiah di Yogyakarta melakukan aktivitas keagamaan
secara individu. Aktifitas FJI ini memang seakan sebagai pengganti FPI. Misalnya, pada awal
tahun 2020, FJI mendatangi Hartono Mall dalam rangka mengklarifikasi terhadap manajemen

127 | L a p o r a n A k h i r
Hartono Mall terkait berita terpampangnya GBI dan GKI di dalam pusat perbelanjaan Hartono
Mall, padahal belum ada izin.

Fenomena lain di Yogyakarta adalah maraknya majlis taklim yang dikelola oleh ibu-ibu
(muda). Penelitian Zakiyah yang berjudul Moderasi Beragama Masyarakat Menengah Muslim:
Studi Terhadap Majlis Taklim Perempuan di Yogyakarta (2019) menggambarkan varian majlis
taklim yang diikuti dan diinisiasi oleh perempuan. Majlis taklim perempuan kelas menengah
tersebut melakukan beberapa kajian keagamaan dan kegiatan sosial yang dapat dikategorikan
sebagai moderasi beragama seperti terlihat pada pemilihan ustad atau kiai yang berpandangan
moderat untuk mengisi kajian-kajian mereka, pemilihan materi kajian dan kegiatan sosial yang
melibatkan elemen masyarakat.

Uraian di atas tidak berhasil mengungkapkan semua fenomena di Yogyakarta. Namun,


secara garis besar dapat dikatakan bahwa peristiwa-peristiwa atau kasus-kasus terkait kekerasan
atau intoleransi beberapa tahun terakhir relatif menurun. Oleh karena itu, membaca gejalanya lebih
rumit, meskipun pada akhirnya diketahui bahwa ada perubahan pola strategi gerakan yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok tersebut. Kemudian, pada sisi yang lain, makin maraknya
majlis taklim di Yogyakarta, utamanya oleh ibu-ibu (muda). Gerakan ini sebenarnya titik-balik
dari pemenuhan kebutuhan spiritual masyarakat yang merasa belum terpenuhi oleh banyaknya
kelompok gerakan yang sudah ada (termasuk gerakan islamis). Maka, dengan adanya gerakan
majlis taklim tersebut, dapat dikatakan sebagai fenomena perlawanan wacana radikalisme dan
intoleransi.

Titik-balik yang lain adalah makin meredupnya perilaku vigilantisme di Yogyakarta.


Misalnya, FUI tidak tampak lagi aktivitas yang “meresahkan” atau melakukan tindakan kekerasan
terhadap minoritas. Demikian juga dengan FJI atau laskar-laskar lain yang terkesan tidak
menemukan ruang dan momentum, sehingga dapat dikatakan tidak muncul lagi perilaku-perilaku
kekerasan mereka di permukaan. Meredupnya islamis yang menggunakan perilaku kekerasan
sebagai senjatanya ini. Namun, pada sisi yang lain, gerakan Islam lain, seperti gerakan Salafi
makin berkembang relatif pesat. Misalnya, makin maraknya perumahan islami, kos-kosan khusus
Muslimah, kos-kosan khusus Muslim, termasuk kajian-kajian keislaman yang meskipun
segmented, tetapi terjadi di banyak tempat dan kalangan. Maka, boleh jadi, faktor-faktor tersebut
yang “berhasil” menurunkan atau menyempitkan ruang gerak kelompok intoleran di Yogyakarta.

128 | L a p o r a n A k h i r
Kesimpulan

Gerakan islamis di empat wilayah di atas memiliki dinamikanya masing-masing. Bahkan


gerakan yang melawannya juga dinamis. Ada yang serius, ada yang hanya formalitas, hingga ada
yang seakan tidak tahu harus melakukan apa, dan seterusnya. Bila melihat dinamika di atas,
mungkin dapat dijelaskan secara ringkas berikut.

Bahwa Pamekasan lebih berhasil dalam upaya membatasi ruang gerak kelompok islamis,
sehingga ruang geraknya jadi menyempit. Sedangkan Tangerang Selatan hampir tidak mampu
melakukan perlawanan secara serius. Perlawanannya hanya bersifat formalitas, meskipun
sebenarnya memiliki modal untuk melakukan itu, terbukti banyak stake-holder yang sudah
melakukan gerakan, agaknya hanya kurang sinergis saja. Kota Medan? Gerakan islamis sangat
leluasa bergerak di Kota Medan, meskipun melalui dunia maya. Sementara pihak pemerintah dan
pihak-pihak lain kesannya kurang mampu membaca gejala, sehingga kurang taktis dan strategis
dalam membuat atau melakukan gerakan perlawanan.

Yogyakarta lebih unik lagi, gerakan-gerakan islamis seakan kehilangan momentum.


Sempat mencuat lama kemudian tenggelam. Penerimaan masyarakat juga sudah mulai menurun
dengan mencari “alternatif” lain sebagai jalan untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya. Mungkin,
aparat dan pemerintah, juga aktivis dan akademisi melakukan banyak hal untuk menghalau
pengaruh gerakan islamis tersebut, sayangnya tidak cukup data dan informasi yang dapat diuraikan
dalam laporan ini. Akhirnya, gerakan islamis di wilayah-wilayah tertentu menemukan jalan buntu
untuk memperluas pengaruhnya, tapi di wilayah-wilayah yang lain ia menemukan jalan terang
untuk memperluas dan memperkuat pengaruhnya hingga sulit untuk dibendung, meskipun bukan
berarti tidak bisa dibendung.[]

129 | L a p o r a n A k h i r
Referensi

Abd A`la, Ahwan Mukarrom, Mukhammad Zamzami, “Kontribusi Aliansi Ulama Madura
(AUMA) dalam Merespons Isu Keislaman dan Keumatan di Pamekasan Madura”, Religió:
Jurnal Studi Agama-agama, Volume 8, Nomor 2 2018| ISSN: (p) 2088-6330; (e) 2503-3778|
227-255.

Abd A`la, Mukhammad Zamzami, Nur Hidayat Wakhid Udin, Ahmad Fathan Aniq, “Islamism In
Madura: From Religious Symbolism to Authoritarianism”, Journal of Indonesian Islam, Vol
12 No 2 2018.

Ach. Khatib, “Perempuan Pamekasan Madura dan Organisasi Radikal (Kajian Resiliensi
Perempuan atas Aliran Hizbut Tahrir Indonesia [HTI] di Pamekasan Madura)”, Jurnal
Pemikiran dan Ilmu Keislaman, Vol 8, No 1, September 2018.

Ahmad Fajarudin, Upaya Pemerintah Memelihara Kerukunan Umat Beragama, Juni 2018.

Ahmad Sholikin, “Gerakan Politik Islam di Indonesia Pasca Aksi Bela Islam Jilid I, II, dan III,”
Madani: Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan, Vol. 10, No. 1, 2018.

Ahmad Yazid, Politik Hijrah Anak Muda di Komunitas Yuk Ngaji Yogyakarta. Tesis Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Program Studi Interdisciplinary Islamic Studies,
Konsentrasi Psikologi Pendidikan Islam, Yogyakarta 2019.

Aniek Handajani, Noorhaidi Hasan, dan Tabita Kartika Christiani, “Kecenderungan Intoleransi
dan Peran Pendidikan Agama di SMA Negeri Yogyakarta”, Jurnal Wahana, Volume 71,
Nomor 2, 1 Desember 2019.

Anisa Rahmawati, Aksi 212, Gerakan Moral atau Politis, Makalah. Universitas Katolik Widya
Mandala Madiun, 2018.

Faisal Nurdin Idris, “Memetakan Narasi Islamisme di Medan, Sumatera Utara: Investigasi
Terhadap Pola Penyebaran dan Penerimaan terhadap Radikalisme”, Jurnal Ilmu Politik dan
Komunikasi, Volume V, No. 2/Desember 2015.

Humaini, “Konflik Sunni-Syiah di Timur Tengah Perspektif Geopolitik dan Dampaknya Terhadap
Hubungan Sunni-Syiah di Indonesia, Jurnal CMES, Volume XII Nomor 2 Edisi Juli –
Desember 2019. Program Studi Sastra Arab FIB UNS Surakarta.
130 | L a p o r a n A k h i r
Imron Rosidi, “Muslim Saleh atau Radikal: Prospek Toleransi Agama di Indonesia Pasca 212”,
Toleransi: Media Komunikasi umat Beragama, Vol. 8, No. 2, Juli-Desember 2016.

Indah Rahmawati, Penyebaran damai Islam melalui literasi Islam cinta: Studi terhadap
Organisasi “Gerakan Islam Cinta” di Tangerang Selatan, 2019.

Mohammad Iqbal Ahnaf, Samsul Maarif, Budi Asyhari-Afwan, Muhammad Afdillah, Politik
Lokal dan Konflik Keagamaan: Pilkada dan Struktur Kesempatan Politik dalam Konflik
Keagamaan di Sampang, Bekasi, dan Kupang (Yogyakarta: CRCS, 2015).

Muba Simanihuruk dan Fikarwin Zurka, The Roots and Dynamic of Radicalism among Student in
Medan (Departement of Sociology, Departement of Anthropology, Faculty of Social and
Political Sciences, University of Sumatera Utara, Indonesia, Januari 2018).

Muhammad Afdillah, Dari Masjid ke Panggung Politik: Melacak Akar-akar Kekerasan Agama
Antara Komunitas Sunni dan Syiah di Sampang, Jawa Timur (Yogyakarta: CRCS, 2016).

Muhammad Yusup, “Eksklusivisme Beragama Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT)


Yogyakarta”, Jurnal Religi, Vol. 13, No. 1, 2017: 75-96.

Noorhaidi Hasan, Bertua Hendriks, Floor Janssen, dan Roel Meijer, Counter Terrorism Strategies
in Indonesia, Algeria, and Saudi Arabia (Nethelands: Institute of International Relations
“Clingendael”, 2012).

Rubino, Teknik Komunikasi Rekrutmen dan Pembinaan Kader (Studi Kasus Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) Sumatera Utara. Disertasi UIN Sumatera Utara, 2017.

Rubiyanah, Deden Darajat, dan Deden Mauli, The Role Of Ulama in Maintaining Religious
Tolerance in Region of South Tangerang and Depok, November 2017.

Syukron Mahbub, Faisol, “Ceramah Agama Sebagai Upaya Menangkal Radikalisme dan
Penguatan Tradisi Lokal bagi Keberagamaan Masyarakat Desa Lesong Lao’ Kec.
Batumarmar Kab. Pamekasan,” Artikel Seminar Nasional Hasil Pengabdian kepada
Masyarakat (SENIAS) 2017 – Universitas Islam Madura.

TM Shadrak, “Pandangan dan Aktivitas Politik Tokoh Front Pembela Islam dalam Mewujudkan
NKRI Bersyariah di Kota Medan”, Jurnal Al-Lubb, Vol. 2, No. 2, 2017.

131 | L a p o r a n A k h i r
Zakiyah, “Moderasi Beragama Masyarakat Menengah Muslim: Studi Terhadap Majlis Taklim
Perempuan di Yogyakarta”, Harmoni, Vol. 18, No. 2 (2019).

https://tirto.id/survei-aksi-212-tingkatkan-tren-intoleransi-dan-radikalisme-daCA

https://tirto.id/seruan-seruan-terkait-politik-praktis-pada-reuni-aksi-212-cA5c)

https://www.melekpolitik.com/2019/10/12/terbongkar-kunjungan-ormas-terlarang-hti-ke-camat-
ciputat-kota-tangerang-selatan/

https://shautululama.co/multaqo-ulama-aswaja-di-madura-dipenuhi-ulama-kyai-dan-asatidz-
bertekad-perjuangkan-khilafah/

Santrinew.com.

132 | L a p o r a n A k h i r
Bagian Kedua

Dinamika dalam Gerakan Islamis

Perluasan dan Penyempitan Ruang Gerak Islamis:


Persaudaraan Alumni 212 dan Muslim United
Azis Anwar Fachrudin
Afifur Rochman Sya’rani

Pengantar

Peristiwa-peristiwa politik menjelang dan setelah Pemilihan Umum 2019 menjadi momen-momen
penting untuk mengidentifikasi sejauh mana perubahan lanskap politik keagamaan berpengaruh
pada ruang gerak kelompok Islamis. Dalam kajian gerakan sosial, identifikasi perubahan ini akan
berguna untuk mengkaji faktor apa saja yang efektif atau tidak efektif dalam membatasi atau justru
memberikan ruang lain bagi suatu gerakan sosial untuk terus hidup dan berkembang.

Titi mangsa utama yang menjadi garis pancang pergeseran ruang bagi kelompok Islamis ini
bermula dari momen Pilkada Jakarta tahun 2016, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) No. 2/2017, Pilkada
serentak 2018, dan Pemilu 2019. Namun, seiring dengan memudarnya isu utama yang menyatukan
mereka, kelompok Islamis yang tergabung dalam gerakan 212 mengalami perselisihan internal.
Momen pemilu terutama berdampak kuat dalam mengubah lanskap politik keagamaan, karena hal
tersebut menentukan bentuk aliansi dan patronase secara vertikal antara gerakan Islamis dengan
partai politik. Sementara itu, momen pasca-Perppu Ormas berpengaruh terhadap sempit-luasnya
ruang gerakan Islamis saat ini di tingkat masyarakat.

Dalam kerangka itu, tulisan ini hendak menyeksamai pergeseran ruang yang terjadi dalam
gerakan Islamis-politik, yakni Persaudaran Alumni (PA) 212, dan gerakan dakwah-sosial akar

133 | L a p o r a n A k h i r
rumput, yakni yang membentuk jaringan Muslim United, dengan momen Pemilu 2019 sebagai
titik pancang perubahannya. Dua gerakan ini kami pilih sebagai contoh kasus bagaimana gerakan-
gerakan Islamis mengambil jalan yang berbeda pascamobilisasi Aksi Bela Islam 212. Meskipun
berbeda kedua gerakan ini tidak harus bertentangan, tetapi lebih merepresentasikan perbedaan
pilihan prioritas dan strategi gerakan. Gerakan pertama fokus pada tujuan politik praktis jangka
pendek, sementara yang kedua fokus pada tujuan jangka panjang melalui upaya-upaya konsolidasi
dan akumulasi modal kekuatan sosial-ekonomi umat Islam di tingkat akar rumput.

Bagian pertama tulisan ini akan menyajikan kilas profil dan sejarah dari masing-masing
gerakan-gerakan Islamis tersebut serta jaringan dan sumberdayanya, dan memaparkan hasil
penelitian lapangan terkait acara dan mobilisasi yang dilakukan gerakan Islamis itu, khususnya
dalam konteks kajian gerakan sosial. Yang dimaksud dengan kelompok Islamis di sini adalah
organisasi, gerakan, atau jaringan yang memiliki orientasi kuat untuk menerapkan syariah Islam
secara “kaffah” dalam pengertian yang formal di tingkat kebijakan negara, dengan penafsiran yang
cenderung literal terhadap ajaran agama, dan dilancarkan bukan saja melalui jalur politik praktis
melainkan juga penyebaran gagasan di tingkat masyarakat akar rumput.

Tulisan ini menunjukkan bahwa pada ranah politik praktis, pengaruh gerakan Islamis pasca-
Pemilu 2019 kini menyusut dan ruang gerak menyempit. Namun demikian hal ini tidak berarti
pengaruhnya di masyarakat ikut memudar. Jejaring ormas Islamis relatif masih mempertahankan
konstituennya, bahkan pada ranah tertentu memperluas sumber daya ekonominya.

Perluasan ruang gerak PA 212 di ranah politik praktis mencapai puncaknya pada masa
Pilkada Jakarta; tetapi kemudian menyusut dari segi keragaman tokoh dan organisasi yang
membentuknya di masa Pemilu 2019, meski masih mampu mempertahankan konstituennya
dengan relatif signifikan; dan lebih menyempit lagi di masa pasca-pemilu. Penyebab utama dari
menyempitnya ruang ini adalah makin berkurangnya struktur kesempatan politik yang mereka
miliki (dalam bentuk patronase dengan politisi berpengaruh), yang turut berimbas pada
berkurangnya sumber daya mobilisasi. Menyempitnya kesempatan politik ini terutama disebabkan
oleh manuver pemerintah untuk membatasi ruang gerak mereka, baik dengan menarik tokoh-tokoh
kunci mereka agar bergabung dengan pemerintahan atau membubarkan salah satu organisasi
penting pendukungnya.

134 | L a p o r a n A k h i r
Sementara itu, di tingkat akar rumput, kelompok-kelompok Islamis yang tergabung dalam
Muslim United seperti Majelis Intelektual Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Forum Ukwah
Islamiyah (FUI) Yogyakarta,121 jaringan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), komunitas hijrah,122 dan
kelompok Islamis lainnya, tetap dapat melanjutkan dan mengembangkan jejaring antargerakan dan
sumber daya mereka. Pasca-Perppu Ormas 2017, HTI tidak bisa lagi seterbuka dan selantang di
masa-masa sebelumnya untuk menunjukkan eksistensi di ruang publik. Tetapi melalui
kedekatannya dengan kelompok Islamis lain yang visinya berkelindan, para pendukung berdirinya
khilafah mampu bertransformasi, dengan tampilan publik yang berbeda dan memperluas
jejaringnya melalui Muslim United.
Tulisan ini mengidentifikasi pelebaran/penyempitan ruang gerak Islamis melalui lensa teori
gerakan sosial (social movement theory), yang terdiri dari tiga unsur analisis, yakni (1) struktur
kesempatan politik, (2) sumber daya mobilisasi, dan (3) bingkai narasi.123 Struktur kesempatan
politik mengacu pada seberapa besar akses yang dimiliki gerakan ini di arena politik formal,
khususnya dalam bentuk patronase. Sumber daya mobilisasi mengacu pada jaringan dan
kemampuan logistik untuk menggerakkan konstituen dan menambah pendukung. Bingkai narasi
merujuk pada bagaimana isu-isu kunci mereka terjemahkan dalam wacana sebagai medium untuk
mobilisasi atau mempertahankan keberlanjutan gerakan. Ketiga hal tersebut tidak berdiri sendiri,
melainkan saling terkait.

Di samping penelusuran berita, media sosial, dan literatur dari hasil-hasil penelitian lain yang
sudah dilakukan untuk memahami profil dan sejarah gerakan-gerakan yang dibahas di sini, tulisan
ini didukung dengan pengamatan lapangan dan wawancara mendalam dengan figur-figur kunci
dalam gerakan ini, terutama untuk mendapatkan informasi mengenai sumber daya mobilisasi dan
bingkai narasi. Azis Fachrudin menghadiri reuni PA 212 pada tahun 2018 dan mewawancarai
ketua umum PA 212,124 sementara Afifur Rochman menghadiri reuni PA 212 pada tahun 2019.
Afifur Rochman juga menghadiri acara Muslim United yang pertama, melakukan observasi pada

121
Catatan: Forum Ukhwah Islamiyah (FUI) yang berbasis di Yogyakarta berbeda dengan Forum Umat Islam
(FUI) sebagai salah satu Aliansi utama gerakan 212.
122
Hijrah yang dimaksud di sini ialah dalam pengertian populer belakangan ini: berpindah menuju cara
berislam yang lebih ‘murni’ dan ‘kaffah’.
123
Lihat Quintan Wiktorowicz, "Islamic Activism and Social Movement Theory: A New Direction for
Research,” Mediterranean Politics, 7, 3 (2002): 187-211.
124
Penelitian Azis Anwar Fachrudin pada akhir 2018 dan awal 2019 ini didukung oleh New Mandala
Indonesia Correspondence Fellowship. Hasil penelitiannya dalam beberapa artikel panjang telah terbit dan dapat
dibaca di sini: https://www.newmandala.org/archives/?articles_by=1024

135 | L a p o r a n A k h i r
acara-acara yang diselenggarakan oleh komunitas yang tergabung dalam Muslim United, dan
melakuan wawancara mendalam dengan inisiator Muslim United serta ketua komunitas hijrah
yang turut membidani Muslim United.

Kilas Persaudaraan Alumni (PA) 212: akhir 2016 hingga awal 2020

Sudah banyak penelitian yang memprofilkan PA 212. Salah satu tulisan yang cukup
komprehensif serta berbasis wawancara mendalam adalah dari Institute for Policy Analysis of
Conflict/IPAC (2018 dan 2019).125 Azis Fachrudin juga melakukan penelitian mengenai PA 212
khusus menjelang126 dan selama masa kampanye Pemilu 2019.127 Pemrofilan PA 212 pra-Pemilu
2019 di sini merupakan ringkasan dari dua rujukan ini dan hendak menunjukkan bahwa PA 212
adalah salah satu contoh tentang bagaimana perubahan lanskap politik praktis berpengaruh efektif
terhadap ruang mobilisasi gerakan Islamis.

Persaudaraan Alumni 212 lahir dari mobilisasi protes pada tanggal 2 Desember 2016 untuk
menentang Gubernur Jakarta pada waktu itu, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok/BTP). Demonstrasi
ini merupakan yang terbesar dalam sejarah Indonesia modern, dengan ratusan ribu hadirin.
Penyebab utama berhasilnya mobilisasi ini ialah:

1. Isu yang strategis dan bertenaga untuk mobiliasi massa, yakni penodaan
agama;
2. Patronase politik: dukungan dari partai oposisi utama, yakni Gerindra, PKS,
PAN, Demokrat, dan belakangan ditambah Partai Berkarya;
3. Aliansi beragam organisasi, terutama Front Pembela Islam (FPI), Majelis
Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) beserta jaringan Salafi dan
organisasi Muslim modernis lainnya (termasuk sejumlah pesantren), Forum
Umat Islam (FUI), Hizbut Tahrir Indonesia, majelis-majelis zikir, dan

125
Lihat After Ahok: The Islamist Agenda in Indonesia (IPAC 2018), yang dapat diunduh di sini:
http://www.understandingconflict.org/en/conflict/read/69/After-Ahok-The-Islamist-Agenda-in-Indonesia. Dan Anti-
Ahok to Anti-Jokowi: Islamist Influence on Indonesia’s 2019 Election Campaign (IPAC 2019), yang dapat diunduh
di sini: http://understandingconflict.org/en/conflict/read/80/Anti-Ahok-To-Anti-Jokowi-Islamist-Influence-on-
Indonesias-2019-Election-Campaign
126
Lihat Azis Anwar Fachrudin, “Notes on 212 in 2018: More Politics, Less Unity,” New Mandala (10
Desember 2018). https://www.newmandala.org/notes-on-212-in-2018-more-politics-less-unity/
127
Lihat Azis Anwar Fachrudin, “Questioning Prabowo’s Alliance with Islamists,” New Mandala (15 Maret
2019). https://www.newmandala.org/questioning-prabowos-alliance-with-islamists/

136 | L a p o r a n A k h i r
organisasi-organisai lain yang tidak terlalu besar tapi memiliki tokoh
berpengaruh.

Pada masa menjelang pemilu 2019, sebagaimana tampak dalam reuni PA 212 pada
Desember 2018, ruang gerak masih signifikan untuk mempertahankan konstituen mereka kendati
sejumlah tokoh kuncinya dan organisasi penyusunnya berkurang. Peserta yang hadir pada reuni
2018 itu hampir mendekati jumlah reuni asalnya pada tahun 2016, dan jelas lebih banyak
dibanding reuni 2017.

Isu paling berpengaruh dalam kuatnya mobilisasi massa pada reuni 2018 tersebut adalah
momen pemilihan presiden: mereka berhasil mempertahankan ‘Koalisi Keumatan’ dari partai-
partai oposisi, dan tentu saja ada patron kuat sebagai simbol perlawanan mereka terhadap
pemerintahan saat itu yang mereka pandang telah ‘mengkriminalisasi ulama’ dan ‘menzalimi umat
Islam.’ Hal ini terjadi kendati HTI dibubarkan pemerintah dan sejumlah tokoh kunci mundur atau
bergabung dengan pemerintah. Meskipun dari sisi struktur kesempatan politik, akses dan kesolidan
gerakan tidak sebesar pada tahun 2016, isu pilpres dan sikap oposisi terhadap pemerintahan masih
efektif untuk mendukung sumber daya mobilisasi, dengan hasil yang tampak kentara pada reuni
2018.

Pada reuni Desember 2019, jumlah peserta berkurang relatif signifikan. Tidak ada isu lagi
yang bisa seefektif penodaan agama atau momen pilpres. Pada reuni terakhir ini, narasi utamanya
tampak ingin mencari patron baru. Satu kandidat yang tampak ingin mereka usung dalam pilpres
2024, yang diungkap dalam reuni, ialah Anies Baswedan.128 Sebenarnya isu penodaan mengemuka
di reuni ini, yakni kasus Gus Muwafiq dan Sukmawati. Mereka ingin menindaklanjuti kasus ini
dengan demonstrasi di wilayah organisasi masing-masing, tetapi tidak banyak yang mengikuti
(satu yang kentara hanya di Surakarta),129 dengan hasil yang tidak begitu efektif.

Kini, akses PA 212 terhadap politisi berpengaruh makin berkurang. Partai oposisi utama,
Gerindra, misalnya, tidak sevokal seperti sebelum pemilu. Dengan ditariknya Prabowo ke jajaran

128
Baca refleksi kami mengenai reuni 212 pada 2019, “What Makes the 212 Movement Still Significant?”
The Jakarta Post (6 Desember 2019). https://www.thejakartapost.com/news/2019/12/06/what-makes-212-movement-
still-significant.html
129
“Kronologi Bentrok FUI-Banser NU: Diawali Demo Gus Muwafiq”, CNN Indonesia (6 Des 2019).
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191206193345-20-454906/kronologi-bentrok-fui-banser-nu-diawali-
demo-gus-muwafiq

137 | L a p o r a n A k h i r
pemerintahan, praktis patron utama mereka dalam lingkaran figur nasional berpengaruh kini tidak
ada. Hal ini memaksa mereka untuk mencari patron baru, khususnya yang dipandang sanggup
mempertahankan sumber daya mobilisasi. Bila pada 2024 nanti ada rencana untuk mengusung
Anies Baswedan (yang sebenarnya terlalu dini, karena wacana politik gampang berubah, dan
koalisi partai cenderung pragmatis alih-alih idealis seperti gerakan Islamis ini), wacana yang
sedang mereka usahakan saat artikel ini ditulis ialah mengawal Pilkada. Hal ini tampak dalam
salah satu sarasehan PA 212 dan GNPF-U belum lama ini ketika Ketua Umum PA 212 Slamet
Maarif menyatakan bahwa hubungan PA 212 dengan Prabowo kini “sudah selesai,”130 dan momen
politik praktis berikutnya yang ingin mereka kawal untuk menunjukkan eksistensi ialah Pilkada
2020.

Belum begitu jelas di mana saja kontestasi pilkada di wilayah spesifik yang hendak mereka
sasar (satu yang jelas adalah di Sumatera Utara).131 Tetapi patronase dengan partai yang kini masih
kuat ialah dengan PKS. Di luar patronase, sumber daya finansial PA 212, terutama melalui
koperasi 212, masih berjalan aktif, berkembang dalam banyak cabang di daerah-daerah.

Ideologi dan Bingkai Narasi

Dengan dominasi FPI dalam kepimpinan praktis PA 212 kini, sulit untuk melihat adanya
perbedaan signifikan antara ideologi FPI dan PA 212 itu sendiri. Tidak ada frasa yang lebih baik
untuk menangkap inti ideologi keduanya kecuali “NKRI Bersyariah”. Frasa ini menjadi haluan
gerakan FPI terutama sejak 2012 dan, menurut juru bicara FPI Slamet Maarif sendiri, menandai
pergantian fase FPI dari tahun-tahun sebelumnya yang lebih aktif di jalanan (yang akan disebut
oleh pihak kontra-FPI sebagai aksi vigilantisme). Fase saat ini menjadi perjuangan untuk
mengubah kebijakan negara melalui mekanisme perumusan kebijakan dan pembuatan undang-
undang. Sejak deklarasinya pada tahun 2012, Rizieq Shihab pun menerbitkan buku berjudul
Wawasan Kebangsaan: Menuju NKRI Bersyariah.132 Frasa NKRI Bersyariah juga berkali-kali
disebut dalam reuni-reuni PA 212.

130
Tonton video pernyataannya di YouTube: https://www.youtube.com/watch?v=ofqN12BW6YU
131
“GNPF Ulama Sumut Usulkan 13 Nama Cawalkot Medan”, Detik, 31 Januari 2020.
https://news.detik.com/berita/d-4880614/gnpf-ulama-sumut-usulkan-13-nama-cawalkot-medan-bobby-tak-masuk
132
Diterbitkan di Jakarta, oleh Suara Islam Press. Buku ini bisa disebut merangkum gagasan-gagasan inti
yang diperjuangkan FPI.

138 | L a p o r a n A k h i r
Khusus pada PA 212, dengan merujuk perkataan “Imam Besar”-nya133 Rizieq Shihab, jargon
ideologis yang paling baik dalam menangkap haluan politiknya adalah pernyataannya yang
berulang bahwa “ayat suci di atas ayat konstitusi.” Frasa ini dengan tepat memenuhi karakter
utama Islamisme: yakni supremasi Islam (dalam penafsiran yang kaku dan eksklusif) di atas
ideologi lain disertai upaya untuk menjadikannya ideologi negara. Pada reuni 2018, Rizieq Shihab
menyatakan bahwa gerakan 212 muncul dari pertarungan ideologis antara mereka yang
memandang ayat suci di atas ayat konstitusi, dengan yang memandang sebaliknya.

Dengan bingkai ideologi inilah beragam isu politik dapat dibaca dalam bingkai narasi yang
sebenarnya cukup tipikal. Di samping bingkai supremasi Islam, bingkai narasi utama yang
sringkali muncul adalah pemurnian Islam, khususnya dari penodaan agama, dan viktimisasi umat
Islam. Narasi yang demikian ini misalnya terlihat jelas dalam pidato Rizieq Shihab pada puncak
acara reuni 212 pada 2018. Ia menyebut lima hal yang kini terjadi di Indonesia, yakni (1) upaya
sistematis dan masif untuk melindungi aliran sesat dan penodaan agama; (2) penegakan hukum
yang tak adil terhadap oposisi; (3) penerapan ekonomi liberal dan ribawi; (4) pelegalan aktivitas
maksiat seperti perzinaan dan LGBT; dan (5) rezim pendusta.134

Sejak Rizieq Shihab melarikan diri ke Mekkah, satu narasi menonjol yang disebarkan oleh
gerakan 212 tambah satu, yakni “kriminalisasi ulama,” yang merujuk pada beragam upaya
pemidanaan terhadap Rizieq Shihab dan tokoh-tokoh berpengaruh lain di barisan oposisi.135 Sejak
saat itu, banyak flyer dan poster-poster yang beredar di media sosial dari pendukung gerakan 212
mengandung kalimat seperti “tolak kriminalisasi ulama.”

Namun secara praktis, dari semua pembingkaian narasi itu, tampak bahwa narasi yang paling
bertenaga untuk memobilisasi massa ialah penodaan agama. Inilah ratio legis paling utama yang
membentuk aliansi beragam ormas Islam, meski memiliki perbedaan pandangan teologis, untuk
bersatu dan menghasilkan demonstrasi terbesar pada 2016. Efektivitas bingkai penodaan agama
dapat diukur pula dengan menengarai seberapa banyak jamaah yang hadir dalam reuni dari tahun

133
Gelar “Imam Besar Umat Islam Indonesia” kepada Rizieq Shihab disematkan melalui deklarasi dalam
Kongres Alumni 212 pada tahun 2017. “Kongres Alumni 212 Tetapkan Habib Rizieq Shihab Sebagai Imam Besar
Umat Islam Indonesia” (3 Desember 2017). https://www.tribunnews.com/nasional/2017/12/03/kongres-alumni-212-
tetapkan-habib-rizieq-shihab-sebagai-imam-besar-umat-islam-indonesia
134
Lihat Aziz Fachrudin, “Notes on 212 in 2018: More Politics, Less Unity.”
135
Tentang ‘kriminalisasi ulama’ ini, baca lebih lanjut di Azis Anwar Fachrudin, “Law as a Weapon: the
‘Criminalisation of Ulama’,” Indonesia at Melbourne (10 Maret 2019).
https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/law-as-a-weapon-the-criminalisation-of-ulama/

139 | L a p o r a n A k h i r
ke tahun. Pada 2017, jumlah partisipan reuni menurun siginifikan sebab Ahok telah dipenjara.
Pada 2018, jumlah pengikut diestimasikan mendekati jumlah pengikut reuni 2016. Satu faktor
yang mendukung adalah momen politik menjelang Pemilu 2019. Bingkai narasi yang diujarkan
oleh Rizieq Shihab pada waktu itu antara lain, sekali lagi, menyangkut penodaan agama. Di
penutup sambutannya, Rizieq Shihab menyatakan “haram hukumnya memilih partai yang
mendukung penoda agama!” Rizieq meminta para pendukung gerakan 212 untuk memilih partai
yang tergabung dalam “Koalisi Keumatan” (merujuk pada Gerindra, PKS, PAN, Demokrat, dan
Berkarya). Pada tahun 2019, hadirin menyusut lagi. Meskipun terdapat narasi penodaan agama
pada reuni terakhir ini, yakni menyikapi isu Gus Muwafiq dan Sukmawati, hal ini kurang efektif
untuk mendongkrak daya mobilisasi dan tindak lanjutnya di daerah-daerah. Hal ini mungkin terjadi
karena faktor utama bahwa Gus Muwafiq merupakan representasi Nahdlatul Ulama dalam rivalitas
politik keagamaan ini.

Aliansi dan Patronase

Aliansi, patronase, dan jaringan ormas Islam yang membentuk gerakan 212 berperan besar,
jika bukan yang paling utama, dalam menentukan daya mobilisasi yang dimiliki PA 212. Aliansi
dan patronase gerakan 212 pada mulanya mencakup banyak ormas dan partai, dan cukup solid.
Namun, seiring waktu, khususnya karena manuver pemerintah dan perselisihan internal, jejaring
aliansi dan patronase ini menyusut.

Seperti telah disebut sebelumnya, ormas dan gerakan pembentuk demonstrasi Aksi Bela
Islam III pada 2016 amat beragam, dengan ormas-ormas kuncinya ialah FPI dan MIUMI, ditambah
dengan ormas lain seperti FUI, HTI, majelis-majelis taklim, dan sejumlah pesantren. Partai-partai
politik yang turut mendukung pada saat itu pun belum mengalami ketegangan yang berarti seperti
yang terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Kini FPI-lah yang tampak paling dominan di PA 212.

Pada tahun 2017-2018, pemerintah (atau partai yang bergabung dalam koalisi pemerintahan)
melakukan manuver-manuver yang secara signifikan memperlemah kepemimpinan PA 212. Hal
ini misalnya tampak dari mundurnya figur-figur penting dari PA 212, termasuk: Kapitra Ampera
(sebelumnya pengacara Rizieq Shihab, dan kini menjadi kader PDI-P), Usamah Hisyam (ketua
Persaudaraan Muslimin Indonesia/Parmusi), Ali Mochtar Ngabalin (kini menjadi staf di Kantor
Staf Presiden/KSP), TGB Zainul Majdi (sebelumnya menjadi salah satu kandidat wakil presiden
untuk mendampingi Prabowo, namun kemudian menjadi pendukung Jokowi dan pindah ke Partai
140 | L a p o r a n A k h i r
Golkar), Kiai Ma’ruf Amin (yang menandatangani sikap keagamaan MUI bahwa Ahok menodai
agama, dan kemudian menjadi cawapres Jokowi), dan Yuzril Ihza Mahendra (yang membawa
partainya, PBB, menjadi pendukung Jokowi dan dia sendiri menjadi pengacara Jokowi-Ma’ruf).
Pada bulan-bulan menjelang Pemilu 2019, patron PA 212 di lingkaran partai politik menyusut
dibandingkan pada tahun 2016. PPP dan PBB bergabung dengan koalisi Jokowi-Ma’ruf.

Bulan-bulan menjelang Pemilu 2019 juga menyaksikan bagaimana soliditas para patron PA
212 diuji. Ketegangan antara Gerindra dan PKS setidaknya tampak dalam dua hal. Pertama,
pemilihan cawapres untuk Prabowo dan pemilihan wagub Jakarta. PKS amat berharap mendapat
jatah cawapres, dengan alasan utama cawapres Prabowo sebelumnya, Hatta Radjasa, berasal dari
PAN. Semua cawapres yang diusulkan PKS ditolak oleh Prabowo yang lebih memilih wagub
Jakarta, Sandiaga Uno. PKS tidak memiliki banyak pilihan. Meskipun kecewa, dan kenyataan
bahwa mereka tidak bisa bergabung dengan koalisi Jokowi-Ma’ruf, PKS tetap berada di belakang
Gerindra. Kursi Wagub DKI Jakarta yang dijanjikan Gerindra akan diberikan ke PKS tidak
dipenuhi, dan mereka justru mengangkat Ahmad Riza Patria (politisi Gerindra) sebagai Wagub
pada tanggal 15 April 2020.

Di luar ketegangan mengenai tawar-menawar jatah politik, ketegangan ideologis terjadi juga
antara Gerindra dan PKS, khususnya menyangkut sikap terhadap RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual (PKS). PKS menentang RUU PKS, sementara Gerindra, diwakili tokoh utamanya yang
juga merupakan keponakan Prabowo, Rahayu S. Djojohadikusumo, mendukung pengesahan
segera RUU PKS. Di sinilah sikap organisasi Islam dalam PA 212 maupun GNPF-Ulama tidak
tampak tegas satu suara. MIUMI, yang diwakili Bachtiar Nasir, misalnya, secara tegas menyatakan
agar umat Islam tidak memilih partai yang mendukung RUU PKS, yang ia pandang berparadigma
sekuler dan berpotensi melegalkan homoseksualitas, sementara pandangan FPI hampir tidak
tertemukan.

Di tengah kesolidan koalisi dan patronase antara PA 212 dan partai-partai “Koalisi
Keumatan” yang melemah jika dibanding dengan 2014 dan 2016 ini, PA 212 tetap menyatakan
dukungannya pada Prabowo. Alasan terkuat yang disampaikan Ketua Umum PA 212 Slamet
Maarif kepada saya (Azis Fachrudin) ialah bahwa Prabowo menandantangani Pakta Integritas
yang berisi 17 poin (dua poin yang menonjol adalah jaminan pulang untuk Rizieq Shihab dan

141 | L a p o r a n A k h i r
dukungan terhadap perda syariah).136 Karena Pakta Integritas inilah PA 212 menggantungkan
harapan pada Prabowo, meski kemudian pasca-pemilu menyadari bahwa Prabowo tidak sesetia
yang mereka bayangkan terhadap perjuangan Islamis. Bukti paling jelas adalah kebersediaan
Prabowo untuk melakukan rekonsiliasi dengan Jokowi dan bahkan bergabung ke dalam barisan
pemerintah dengan menjadi Menteri Pertahanan.

Praktis, dengan Anies Baswedan sebagai perkecualian, kini PA 212 tidak lagi memiliki
patron dari kalangan tokoh nasional, dan Slamet Maarif pun menyatakan bahwa hubungan PA 212
dengan Prabowo “sudah selesai.” Kini suara MIUMI sebagai ormas kunci dalam gerakan 212 juga
hampir tidak terdengar. Di atas kertas, kita dapat menyebutkan bahwa pada ranah politik praktis,
berkat berkurangnya patron politisi berpengaruh, suara PA 212 kini melemah. Namun
kenyataannya belum dapat kita pastikan. Salah satu indikasinya yang kuat baru dapat ditengarai
pada reuni Desember 2020: dengan tidak adanya lagi patron tradisionalnya, dan apalagi jika tidak
ada isu penodaan agama, sementara pemilu 2024 masih jauh, akankah ada narasi, aliansi, patron
politik bagi PA 212 untuk mengulang kesuksesan reuni 2016 dan 2018? Jika tidak terulang, ini
akan menjadi tambahan bukti bahwa bingkai narasi dan patronase politik merupakan dua hal yang
paling berandil dalam memompa daya mobilisasi PA 212. Tentu saja unsur pandemi Covid-19
juga menjadi salah satu faktor yang perlu dilihat mengingat larangan berkumpul dalam jumlah
yang besar masih mungkin diberlakukan pada bulan Desember 2020.

Sumber Daya

Meski bahan untuk narasi Islamis berkurang, aliansi dengan ormas Islam lain tidak lagi
sekuat dulu, dan patron politik banyak yang pergi, sumber daya finansial mandiri dari para
pendukung PA 212 masih cukup signifikan. Hal ini terutama tampak dari masih berkembangnya
Koperasi Syariah 212 (KS 212). KS 212 pertama kali diresmikan pada tanggal 20 Januari 2017
oleh Bachtiar Nasir dan Zaitun Rasmin, sementara Dr. Syafi’i Antonio menjabat sebagai
direkturnya. Dengan membawa spirit aksi 212, tujuan utama KS 212 adalah perjuangan mencapai
keunggulan ekonomi umat Islam melalui mekanisme “ekonomi berjamaah.” Melalui mekanisme

Baca lebih detail mengenai ini, Azis Anwar Fachrudin, “Questioning Prabowo’s Alliance with Islamists,”
136

New Mandala, 15 Maret 2019.

142 | L a p o r a n A k h i r
ini, umat Islam diharapkan hanya membeli produk-produk yang dijual oleh bisnis-bisnis yang
dikelola juga oleh umat Islam.137

Pada awal berdirinya, KS 212 juga menyasar bisnis properti syariah dan reksadana syariah.
Namun, berdasarkan rapat tahunan anggota KS 212 tahun 2018, dua sektor bisnis ini dihentikan.
Saat ini, sebagaimana tercatat dalam situs web resmi KS 212, terdapat tiga produk bisnis utama
yang ditawarkan: (1) jaringan waralaba di sektor bisnis ritel dengan nama 212 Mart, (2) Koperasi
Syariah 212 Mobile yang melayani pembelian dan pembayaran secara online, dan (3) wakaf
Koperasi Syariah 212.138 KS 212 dikelola secara profesional berbasis komunitas serta didukung
oleh beberapa mitra perusahaan koperasi. Modal utama KS 212 diperoleh dari simpanan pokok,
simpanan wajib, dan investasi anggota. Setiap anggota wajib membayar simpanan pokok sebesar
Rp. 212.000 ketika mendaftar menjadi anggota dan simpanan wajib sebesar Rp. 10.000 per bulan.
Pada tahun 2018, KS 212 memilik 46.000-an anggota dan 225 komunitas yang tersebar di berbagai
kota di Indonesia.139

Untuk mendirikan suatu gerai 212 Mart di suatu daerah, dibutuhkan satu komunitas KS 212
dan 100 orang anggota KS 212 sebagai investornya. Berdasarkan laporan rapat anggota KS 212
tahun 2018, sebanyak 61 gerai telah didirikan per Desember 2017. Jumlah ini melebih rencana
tahun 2017 yang menargetkan berdirinya 30 gerai. Berdasarkan situs resmi KS 212, saat ini
terdapat 213 gerai 212 Mart yang tersebar di 18 Provinsi meskipun mayoritas berdiri di
Jabodetabek. Jumlah aset yang dimiliki KS 212 juga meningkat. Pada Desember 2017, KS 212
memiliki aset Rp. 23,89 Miliar dan pada Desember 2018 sebesar Rp. 34, 43 Miliar. Hal ini
didapatkan dari hasil bisnis yang dijalankan dan semakin meningkatnya permodalan yang didapat
dari simpanan anggota KS 212.140 Meskipun meningkat, jumlah aset tersebut tidak mencapai target
awal satu tahun berdirnya KS 212, yakni sebesar Rp. 212 Miliar.

Rincian perkembangan KS 212 sepanjang tahun 2019 (khususnya pasca-Pemilu 2019) akan
dilaporkan pada rapat tahunan anggota tahun 2020 (belum dilaksanakan hingga tulisan ini dibuat).

137
Lihat After Ahok: The Islamist Agenda in Indonesia (IPAC 2008).
138
Lihat situs web resmi KS 212: http://koperasisyariah212.co.id/produk/
139
“Dari Aksi Damai ke Koperasi Syariah”, Majalah Gatra, 20 Juni 2018. http://arsip.gatra.com/2018-06-
11/majalah/artikel.php?id=166301
140
Baca, “Pencapaian Koperasi Syariah 212, 2017”, 27 Maret 2018, koperasisyariah212.co.id,
http://koperasisyariah212.co.id/blog/2018/03/27/pencapaian-koperasi-syariah-212-2017/; “Modal Koperasi Syariah
212 Naik 38,4 Persen, Aset Naik, 44,1 Persen”, 23 April 2019, koperasisyariah212.co.id,
http://koperasisyariah212.co.id/blog/2019/04/23/modal-koperasi-syariah-212-naik-384-persen-aset-naik-441-persen/

143 | L a p o r a n A k h i r
Namun, berdasarkan wawancara Afifur Rochman dengan General Manager Bisnis ritel KS 212,
jumlah anggota KS 212 saat ini masih jauh dari target capaian yang direncanakan, dengan
menyasar 50% dari alumni aksi 212.141 Hal ini dapat dimengerti sebab tidak semua alumni reuni
212 mendukung gerakan ekonomi ini. Berdasarkan laporan IPAC, beberapa dari mereka
meragukan profesionalitas KS 212 dan cenderung memisahkan urusan bisnis dengan urusan politik
keagamaan.142

Meskipun tidak mencapai target aset dan anggota sebagaimana direncanakan, KS 212 tetap
signifikan sebagai sumber daya finansial PA 212. Hal ini terefleksikan pada semakin
bertambahnya jumlah gerai 212 Mart, meningkatnya aset finansial, anggota, dan komunitas dari
tahun ke tahun (2017-2018). KS 212 juga mencoba mencari dukungan dari pemerintah atau aktor-
aktor politik. Faktanya, beberapa pemerintah provinsi dan daerah turut berinvestasi dan
meresmikan pendirian gerai 212 Mart.143 Hal ini menjadi bukti bahwa patronase atau aliansi politik
turut berperan penting dalam perkembangan KS 212. Mulus tidaknya perkembangan KS 212
pasca-Pemilu 2019 juga ditentukan dari soliditas gerakan ini dan aliansinya dengan aktor-aktor
politik elektoral. Petika wawancara Afifur Rochman dengan General Manager Bisnis Ritel KS 212
di bawah ini merefleskiskan hal tersebut:

Tantangan akan sangat berat ke depan, di mana ghirah umat mulai turun. Ekonomi berat.
Saingan kita sudah luar biasa melakukan hal-hal yang lain-lain. Itulah mengapa bergerak
itu kalau tidak didukung oleh ulama akan sangat berat… [Tantangan] akan lebih ringan
jika kita [dalam pemilu] kemarin menang. Makanya kalau gerakan kita tidak didukung
oleh ulama’ dan pemerintah, akan berat.144

Kilas Profil Muslim United

Berpindah pada pergeseran ruang yang terjadi dalam gerakan dakwah-sosial akar rumput,
bagian ini mendiskusikan gerakan yang dipelopori anak-anak muda hijrah, yaitu Muslim United,
yang merupakan acara tahunan yang diselenggarakan oleh kelompok lintas gerakan Islam di
Yogyakarta. Terselenggaranya Muslim United tidak bisa terlepas dari sosok Nanang Syaifurrozi

141
Wawancara dengan General Manager Bisnis Ritel KS 212, Jakarta 2 Desember 2019.
142
Baca After Ahok: The Islamist Agenda in Indonesia (IPAC 2018).
143
“Gubernur Banten Resmikan 212 Mart Tirtayasa Tanggerang V”, 19 Februari 2018,
koperasisyariah212.co.id. http://koperasisyariah212.co.id/blog/2018/02/19/gubernur-banten-resmikan-212-mart-
tirtayasa-tangerang-v/. Lihat juga, After Ahok: The Islamist Agenda in Indonesia (IPAC 2018).
144
Wawancara dengan General Manager Bisnis Ritel KS 212, Jakarta 2 Desember 2019.

144 | L a p o r a n A k h i r
sebagai pendiri, inisiator, dan konseptor acara tersebut. Nanang sendiri adalah seorang pelaku
bisnis dan pemilik perusahaan tas Rumah Warna di Yogyakarta yang ia geluti sejak tahun 2002.
Rumah Warna saat ini memiliki sekitar 80 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. Hijrah
menjadi titik tolak keterlibatan Nanang dalam dunia dakwah Islam.

Proses hijrah Nanang dimulai sejak tahun 2016. Sebelum hijrah, ia mengaku tidak terlalu
mempedulikan agama dan sibuk meningkatkan keuntungan bisnisnya. Hingga suatu ketika,
Nanang mengalami krisis personal dan mulai merasakan bahwa bisnis yang ia geluti tidak
bermakna. Ia juga sering ditimpa berbagai masalah dalam bisnisnya, mulai dari ditipu orang hingga
berurusan dengan pihak kepolisian. Menghadapi masalah tersebut, ia beserta istrinya pergi umroh.
Menurutnya, sepulang dari umroh, masalahnya terselesaikan dengan sendirinya. Pengalaman
personal tersebut menjadi titik balik Nanang untuk berhijrah. Ia percaya bahwa hal tersebut
merupakan ujian dari Allah. Selain itu, Nanang mengaku bahwa sosok istrinya sangat berpengaruh
dalam proses hijrahnya. Istrinya terlebih dahulu hijrah dan mengenalkannya tentang haramnya
bisnis yang mengandung riba. Untuk memulai proses hijrahnya, Nanang mulai mengikuti kajian-
kajian majelis taklim dan mengubah total kehidupannya menjadi sangat religius, dan
meninggalkan apa yang ia sebut sebagai “kehidupan sekuler menuju kehidupan yang bervisi
akhirat.”145

Sejak saat itu, Nanang mulai mengikuti berbagai kajian dan majelis taklim lintas gerakan
Islam yang ada di Yogyakarta, seperti NU, Muhammadiyah, Salafi, Jama’ah Tabligh, hingga HTI.
Dari berbagai kajian yang ia ikuti, Nanang mulai menyadari bahwa selain kewajiban menuntut
ilmu agama, setiap Muslim juga wajib untuk berdakwah. Komitmen dakwah Nanang dibuktikan
dengan mendirikan Pesantren At-Tasniim yang terletak di kompleks Rumah Warna, yang
dikhususkan untuk anak-anak untuk belajar bahasa Arab, membaca dan menghafal al-Qur’an. Ia
juga mendirikan halaqoh Majelis Joss di kompleks Rumah Warna dengan mengundah ustadz-
ustadz dari berbagai lintas gerakan Islam untuk mengisi kajian.146

Namun, dalam proses hijrahnya, Nanang merasa kebingungan dan gelisah karena dari
masing-masing kajian Islam yang ia ikuti terdapat perbedaan pemahaman terkait ajaran Islam yang

145
Cerita personal hijrah Nanang Syaifurrozi dapat dilihat di Youtube:
https://www.youtube.com/watch?v=ORhyIBvTFws
146
Wawancara dengan Nanang Syaifurrozi di Yogyakarta, 28 Januari 2020.

145 | L a p o r a n A k h i r
justru saling menyalahkan. Kegelisahan Nanang mulai terjawab setelah mengikuti ceramah Ustadz
Abdul Somad (UAS) melalui media sosial, yang mementingkan ukhuwah Islam dan menghindari
perselisihan akibat persoalan khilafiyah. Karena merasa tercerahkan, Nanang mengundang UAS
untuk meresmikan Pesantren At-Tasniim Rumah Warna pada tanggal 22 Februari 2018. Saat itu,
Nanang berencana mengundang kembali UAS untuk mengisi pengajian di Yogyakarta. UAS
bersedia hadir dengan syarat pengajian yang diselenggarakan harus memiliki konsep baru.147

Perjumpaannya dengan UAS tersebut menginspirasi Nanang untuk membuat suatu konsep
acara tabligh akbar yang hendak menyatukan umat Islam dari berbagai gerakan atau ormas Islam.
Dari situ muncullah konsep “Muslim United.” Melalui konsep acara ini, Nanang mengundang
ustadz-ustadz dakwah populer yang dirasa mewakili berbagai gerakan Islam, seperti Salafi, HTI,
Tarbiyah, MIUMI, MMI, dan komunitas hijrah, demi memperjuangkan apa yang ia sebut sebagai
“dakwah ukhuwah,” persatuan umat Islam.148 Namun, perlu menjadi catatan, konsep ukhuwah
yang diusung Muslim United mengekslusi kelompok Syiah dan kelompok Islam yang mereka
anggap liberal-sekuler yang mereka pandang telah menyimpang dari Islam.

Sebagai pendiri, Nanang lalu mengajak aktivis-aktivis dakwah-hijrah di Yogyakarta untuk


berpartisipasi dalam penyelenggaraan Muslim United. Ada empat aktor utama yang terlibat di sini:
Nanang (Rumah Warna), Fany (Masjid Jogokariyan), Akhid Subianto (Teras Dakwah), dan Andi
Antoni (Mualaf Center Jogja). Aspirasi Nanang lalu diakomodasi oleh Syukri Fadoli, ketua FUI
(Forum Ukhwah Islamiyyah) Yogyakarta—kelompok Islam yang kerap melakukan aksi
vigilantisme di Yogyakarta.149 Singkat kata, melalui kerja sama antar gerakan Islam, Muslim
United pertama kali diselenggarakan pada 16-18 Oktober 2018 di kompleks Masjid Gedhe
Kauman Yogyakarta.

Saya (Afifur Rochman) hadir dalam pagelaran Muslim United pertama. Dengan mengusung
tema Persatuan Umat Islam: Sedulur Saklawase, acara ini pertama kali diselenggarakan pada 16-
18 Oktober 2018 di Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta. Mayoritas yang hadir pada acara tersebut
adalah anak-anak muda dari berbagai kota. Konsep acara Muslim United bisa dikatakan mirip
dengan semacam pagelaran festival Islami karena tidak hanya menyuguhkan tabligh akbar dari

147
Wawancara dengan Nanang Syaifurrozi di Yogyakarta, 28 Januari 2020.
148
Wawancara dengan Nanang Syaifurrozi di Yogyakarta, 28 Januari 2020.
149
Lihat dalam Iqbal Ahnaf dan Hairus Salim, Krisis Keistimewaan: Kekerasan terhadap Minoritas di
Yogyakarta (Yogyakarta: CRCS UGM, 2017).

146 | L a p o r a n A k h i r
ustadz-ustadz populer-Islamis tetapi juga penampilan musik nasyid, talk show, bazar kuliner,
pakaian, obat-obatan “halal” dan “syar’I,” Muslim Community Gathering, dan Kids Corner.
Ustadz-ustadz populer yang hadir di Muslim United antara lain adalah Bachtiar Nasir (MIUMI),
Hannan Attaki (Shift-Pemuda Hijrah), Oemar Mita (Salafi), Felix Siauw (HTI), Abdus Somad,
Syekh Ali Jaber, Habib Anies Syahab, Fathurrahman Kamal, Anant, Koh Steven Indra (Mualaf
Center), Handy Bonny, Salman Al-Jugjawy, Salim A. Fillah, Derry Sulaiman (Jama’ah Tabligh),
di samping artis-artis hijrah dari Jakarta.

Muslim United kedua kembali digelar di Yogyakarta pada tanggal 11-13 Oktober 2019.
Konsep acara yang disuguhkan tidak berbeda dengan Muslim United pertama. Pada hari pertama,
acara tersebut sukses diselenggarakan di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta. Namun, sejak hari
kedua, acara tersebut tepaksa dipindah ke Masjid Jogokariyan Yogyakarta karena pihak Keraton
Yogyakarta tidak mengizinkan acara tersebut diselenggarakan di Masjid Gedhe Kauman. Ustadz-
ustadz yang hadir ke Muslim United kedua secara umum sama dengan yang hadir ke Muslim
United pertama meskipun ditambah beberapa ustadz seperti Fatih Karim (HTI), Adi Hidayat
(Muhammadiyah), dan Luthfi Bashori (NU Garis Lurus). Menurut Nanang, Muslim United
memang memilih ustadz-ustadz yang populer di kalangan anak muda hijrah, khususnya lewat
media sosial. Meskipun demikian, Muslim United mendapatkan penolakan dari kelompok-
kelompok Salafi. Nanang sudah berupaya untuk mengajak ustadz-ustadz Salafi populer seperti
Khalid Basalamah, Syafiq Riza Basalamah, dan Abduh Tuasikal. Akan tetapi, mereka menolak
bergabung karena dalam pandangan mereka ukhuwah Islam harus didasarkan pada persamaan
manhaj, yakni manhaj Salaf.150

Muslim United dirancang menjadi pagelaran akbar dakwah tahunan sehingga diharapkan
menjadi ikon dakwah Islam yang muncul dari dan khas Yogyakarta. Muslim United ketiga
rencananya akan kembali digelar di Yogyakarta pada September 2020 secara internasional dengan
mengundang dai-dai populer internasional seperti Mufti Menk (Zimbabwe), Fatih Seferagic
(Amerika), dan seorang petarung asal Rusia, Habib Nurmagomedov. Untuk menyambut pagelaran
akbar ini, Muslim United berencana melakukan road show tabligh akbar yang akan dimulai pada
Maret 2020 di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Selain didukung penuh oleh pengusaha Muslim di

150
Wawancara dengan Nanang Syaifurrozi di Yogyakarta, 28 Januari 2020.

147 | L a p o r a n A k h i r
NTB, acara ini juga mendapat dukungan dari pemerintah daerah NTB. Namun karena pandemi
Covid-19, acara ini tidak jadi diselenggarakan.

Transformasi Menjadi Yayasan Filantropi Islam

Sejak tahun 2019, Muslim United bertransformasi menjadi sebuah yayasan filantropi Islam.
Yayasan ini terdaftar di Kementerian Dalam Negeri dengan nama resmi Yayasan Muslim
Ukhuwah, tetapi nama Muslim United tetap dipakai karena lebih populer di kalangan publik.
Kantor Yayasannya berlokasi di kompleks perusahaan tas Rumah Warna milik Nanang
Syaifurrozi. Transformasi Muslim United menjadi yayasan filantropi Islam ini dipengaruhi oleh
agenda ustadz-ustadz yang tergabung dalam gerakan #BarisanBangunNegeri yang dimotori oleh
Abdus Somad, Felix Siauw, Hannan Attaki, Oemar Mita, Salim. A Fillah, Habib Anies Syahab,
Adi Hidayat, Luqmanul Hakim, dan beberapa komunitas Islam.151

Sebagai strategi dakwah, agenda utama gerakan ini ialah melakukan kegiatan sosial-
ekonomi yang dapat berdampak pada masyarakat, seperti kampanye lingkungan dan membantu
korban bencana alam.152 Gerakan Muslim United tidak bisa dilepaskan dari eksistensi para ustadz
tersebut. Sebagai suatu yayasan, misi Muslim United secara eksplisit mendukung dan terlibat
dalam agenda gerakan #BarisanBangunNegeri. Sejalan dengan gerakan #BarisanBangunNegeri,
bagi Muslim United agenda persatuan umat Islam tidak akan terwujud jika dakwah hanya
difokuskan pada kegiatan pengajian atau tabligh akbar. Lebih dari itu, strategi dakwah harus
berorientasi pada kontribusi yang dapat diberikan kepada masyarakat Muslim.153 Hal inilah yang
mendasari visi-misi Muslim United yang menyasar tiga ranah utama: amal usaha (ekonomi), amal
sosial-dakwah, dan amal pendidikan. Visi dan misi Muslim United ialah sebagaimana berikut:

1. Menjadi lembaga filantropi Islam yang kredibel, kreatif, dan inovatif yang
berperan aktif dalam amal sholeh untuk masyarakat dalam peradaban Islam.

151
Wawancara dengan Nanang Syaifurrozi di Yogyakarta, 28 Januari 2020. Munculnya ustadz-ustadz
populer-Islamis sebagai otoritas baru dalam lanskap Islam di Indonesia menjadi perhatian beberapa sarjana. Lihat
misalnya: Hew Wai Weng, “The Art of Dakwah: Social Media, Visual Persuasion, and the Islamist Propagation of
Felix Siauw,” Indonesia and the Malay World, 46: 13 (2018): 61-79; Alexander R. Arifianto, “Rising Islamism and
the Struggle for Islamic Authority in Post-Reformasi Indonesia”, TRaNS: Trans Regional and National Studies of
Southeast Asia (2019): 1-14.
152
Kilas profil BBN (Barisan Bangun Negeri) yang diinisiai oleh delapan ustadz tersebut dapat dilihat di
https://umma.id/article/share/id/1015/544791
153
Wawancara dengan Nanang Syaifurrozi di Yogyakarta, 28 Januari 2020.

148 | L a p o r a n A k h i r
2. Mengkampanyekan pentingnya ukhwah Islamiyah kepada umat Islam dengan
menyelenggarakan berbagai event dakwah dan sosial.
3. Membantu kesejahteraan masyarakat agar mendapatkan kehidupan yang
layak dari sisi materi maupun pendidikan.
4. Turut serta membantu saudara-saudara kita yang ada di Syam.
5. Turut serta dalam gerakan membangun negeri melalui aktifitas kampanye
lingkungan seperti less waste, go green, dll.
6. Mengelola dan memberdayakan dana baik dari hasil usaha Yayasan yang
profitable maupun infak, sedekah, wakaf, dan donasi untuk kegiatan Yayasan
di bidang sosial dan dakwah.154

Sebagai suatu yayasan filantropi Islam, Muslim United memiliki struktur organisasi. Fany
(Masjid Jogokaryan) sebagai pembina, Nanang Syaifurrozi (Rumah Warna) sebagai ketua, Anne
dan Akhid Subiato (Teras Dakwah) sebagai pengawas, Andy Anthony (Mualaf Center
Yogyakarta) sebagai sekretaris, dan Decky Surayata (Garasi Dakwah) sebagai bendahara. Selain
pengurus utama, Muslim United mempunyai tujuh divisi: (1) amal usaha, (2) amal sosial dan
dakwah, (3) amal pendidikan, (4) desian dan multimedia, (5) operasional, (6) keuangan, dan (7)
sumber daya manusia. Masing-masing divisi memiliki kepengurusan tersendiri yang dikelola
secara profesional layaknya suatu perusahaan.

Agenda dan Ideologi: Supremasi Islam

Pertanyaan penting di sini ialah: apa sebenarnya tujuan utama Muslim United? Gerakan ini
tidak hanya mengkampanyekan tentang pentingnya dakwah ukhwah (persatuan). Lebih dari itu,
perjuangan untuk menyatukan umat Islam harus diarahkan pada perjuangan yang lebih besar, yaitu
‘kebangkitan Islam’ atau ‘kemenangan Islam’.155 Naras-narasi ini sangat jelas disuarakan dalam
perhelatan Muslim United pertama dan kedua. Ceramah Bachtiar Nasir (MIUMI) pada saat
pagelaran Muslim United pertama merefleksikan hal tersebut:

Nah, sekarang saya melihat, hampir seluruh energi dakwah ini tertarik untuk sebuah
politik. Padahal, politik itu hanyalah salah satu instrumen daripada dakwah. Dan, kita

154
Dokumen pribadi Muslim United, didapatkan ketika wawancara dengan Nanang Syaifurrozi di
Yogyakarta, 28 Januari 2020.
155
Baca: “Felix Siauw: Muslim United Indikasi Kebangkitan Umat,” Suara Muslim, 18 Oktober 2018.
https://suaramuslim.net/felix-siauw-muslim-united-indikasi-kebangkitan-umat/

149 | L a p o r a n A k h i r
sedang diarahkan ke sana dan akan dibenturkan ke sana belakangan ini. Saudara-saudara,
celakanya politik sekarang orientasinya adalah kekuasaan dan harta, uang itu… Jadi,
saya sampaikan sikap saya pribadi belakangan ini: tidak terlalu bergegas untuk
kepentingan-kepentingan politik sesaat. Barangkali ini didengar di seluruh Indonesia.
Karena misi para nabi dan sebuah peradaban hanya maju dengan dakwah, dan pada
akhirnya dakwahlah yang terdepan….Sekarang, kalau umat Islam ini mau kuat, mau
menang, saran saya, jangan terlalu berorientasi pada politik praktis dulu, perkuat dulu
dakwah.
Nah, ini tidak semua orang memahami sosiologi Islam di Indonesia. Saya cuma baca
sedikit. Memang, umat Islam di Indonesia belum punya kekuatan politik; umat Islam di
Indonesia belum punya kekuatan ekonomi. Saya sepakat itu. Tapi umat Islam di
Indonesia punya kekuatan sosial yang luar biasa saat ini. Ghirah mereka terhadap Islam,
keseriusan mereka untuk kembali kepada al-Qur’an dan berpegang kepada nilai-nilai
agama. Inilah yang sebetulnya dikhawatirkan oleh mereka sehingga ada yang
berkepentingan untuk memecah belah semuanya. Ini tinggal selangkah lagi. Seandainya
kekuatan sosial ini kemudian digerakkan kepada politk, goncang dunia ini. Seandainya
umat ini digerakkan lagi pada kekuatan sosial ekonomi, dan politik-ekonomi berjalan;
ekonomi-politik berjalan di atas bingkai dakwah; selesai urusan, umat Islam pegang
Indonesia! Tapi musti sabar, ini eranya kita di adu domba. Siap bersabar? Siap
bersatu?156
Pascamobilisasi aksi 212, aktor-aktor MIUMI seperti Bachtiar Nasir, Zaitun Rasmin, dan
Zain An-Najah melakukan roadshow ke berbagai kota di Indonesia untuk mengkonsolidasikan
kekuatan politik Islam di tingkat akar rumput. Dalam sebuah acara pertemuan akbar di Masjid
Jogokariyan (2017),157 Bachtiar Nasir menyampaikan visinya tentang arah perjuangan politik
Islam yang dapat dipadankan dengan gagasan tentang “khilafah” dan “NKRI bersyariah,” karena
sama-sama mengimajinasikan ‘supremasi Islam’ di atas ideologi-ideologi lain dan penerapan
sistem Islam dalam bentuk formal.158

Meskipun demikian, berdasarkan petikan ceramah Bachtiar Nasir di atas, visi politik Islam
yang diimajinasikan oleh gerakan Islamis seperti MIUMI dan Muslim United, berbeda dengan apa
yang dilakukan oleh PA 212 yang lebih menyasar politik praktis dan bersifat jangkat pendek,
misalnya dengan mencari patronase dan aliansi dengan aktor-aktor politik elektoral. Sementara

156
Lihat ceramah Bachtiar Nasir saat acara Muslim United pertama di YouTube:
https://www.youtube.com/watch?v=mICZL9jYXlU
157
Rekaman penuh ceramah Bachtiar Nasir di Masjid Jogokaryan disimpan di database kami.
158
Nanang Syaifurrozi, pendiri Muslim United, misalnya menyamakan gagasan HTI tentang ‘khilafah’
dengan gagasan FPI tentang ‘NKRI Bersyariah’. Menurutnya, keduanya hanya berbeda terminologi saja tetapi
mengandung tujuan yang sama: penerapan syariat Islam secara formalistik dalam bingkai negara yang menerapkan
sistem Islam. Baginya, Islam tidak hanya sebatas jalan hidup tetapi juga ideologi yang paling baik yang
membedakannya dengan ideologi-ideologi lain seperti liberalisme, kapitalisme, komunisme, dan sosialisme
(wawancara di Yogyakarta, 28 Januari 2020).

150 | L a p o r a n A k h i r
itu, yang diperjuangkan oleh MIUMI, Muslim United beserta jaringannya lebih merefleksikan visi
politik Islam jangka panjang yang hendak menyatukan berbagai spektrum kelompok Islam demi
memperjuangkan supremasi Islam di semua sektor kehidupan.

Perbedaan tersebut tidak serta-merta dapat dipahami sebagai suatu friksi yang terjadi dalam
gerakan-gerakan Islamis pasca-aksi 212 tersebut, tetapi lebih merefleksikan perbedaan pilihan
fokus, prioritas, dan strategi. Dalam bahasa Bachtiar Nasir di atas, “politik praktis hanyalah salah
satu instrumen dakwah”, sementara penguatan basis sosial dan ekonomi umat dipandang lebih
efektif dan penting untuk perjuangan ‘supremasi Islam.’ Oleh karena itu, strategi yang digunakan
untuk mencapai tujuan jangka panjang tersebut ialah dengan menguatkan, mengkonsolidasikan,
dan mengakumulasi modal sosial dan ekonomi umat Islam yang pada gilirannya dapat digunakan
untuk mencapai kekuasaan politik. Aktifisme sosial-ekonomi di tingkat masyarakat akar rumput
lebih menjadi prioritas di sini daripada sekadar politik elektoral. Sebagaimana yang akan
dijelaskan di bawah, upaya-upaya yang dilakukan di antaranya: mengadakan kegiatan sosial dan
ekonomi, seperti kajian, tabligh akbar, dan penggalangan dana, serta memperkuat jaringan
komunitas dakwah dan pengusaha Muslim.

Terminologi ‘dakwah’ menjadi kata kunci dalam upaya perwujudan cita-cita utama tersebut.
Dalam konsepsi gerakan Islamis, kata ‘dakwah’ mencakup perjuangan umat di bidang sosial,
ekonomi, dan politik. Dengan kalimat lain, untuk menuju ke arah cita-cita ‘supremasi Islam’,
segala upaya dan medan perjuangan umat harus diletakkan dalam “bingkai dakwah.” Karena visi
‘supremasi Islam’ mensyaratkan persatuan, narasi-narasi seperti ‘ketertindasan umat Islam,’
‘marginalisasi hak-hak politik umat Islam akibat penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta,’
dan ‘ideologi sekuler-liberal barat sebagai musuh bersama,’ digunakan sebagai instrumen untuk
memobilisasi berbagai spektrum kelompok Islam.159

Di tingkat akar rumput, jaringan atau aliansi yang dibangun cenderung bersifat cair dan
melibatkan berbagai gerakan Islamis, seperti HTI, Tarbiyah, Salafi, dan komunitas-komunitas
hijrah. Dalam konteks ini, Muslim United menjadi semacam titik temu (meeting point) bagi
gerakan-gerakan atau aktor-aktor Islamis lintas kelompok yang memperjuangkan agenda
supremasi Islam sebagai orientasi gerakan yang bersifat jangka panjang. Hal ini mendasari strategi

159
Lihat, “Bachtiar Nasir Tak Ingin Umat Islam Hanya Jadi Pemanis di Pemilu”, Detik.com, 29 Januari 2019.
https://news.detik.com/berita/d-4405972/bachtiar-nasir-tak-ingin-umat-islam-hanya-jadi-pemanis-di-pemilu

151 | L a p o r a n A k h i r
mobilisasi gerakan Muslim United yang fokus pada tiga ranah sebagaimana disebut di atas. Tiga
ranah inilah yang menjadi basis sumber daya Muslim United, di samping juga didukung oleh
jaringan kelompok-kelompok Islamis lintas gerakan atau komunitas, sebagaimana yang akan
dijelaskan di bawah ini.

Sumber Daya Muslim United

Sumber daya gerakan Muslim United dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu
material/tangible dan immaterial/intangible. Sumber daya material/tangible meliputi organisasi,
aset finansial, tempat atau fasilitas, dan jaringan/aliansi (formal dan informal). Sumber daya
immaterial/intangible meliputi kapasitas kepemimpinan, pengalaman manajemen-organisasional,
justifikasi ideologis, strategi/taktik, dan kapasitas untuk menghasilkan pemasukan (income).

a. Aset Finansial dan Kapasitas Menghasilkan Pemasukan

Menyelenggarakan acara besar semacam Muslim United dan juga melakukan gerakan
dakwah Islam tidak hanya memerlukan estimasi dana yang besar, tetapi juga aset finansial dan
kemampuan untuk menghasilkan pemasukan. Menurut Nanang Syaifurrozi, total biaya
operasional Yayasan Muslim United per bulan adalah 90 juta rupiah. Biaya tersebut tidak termasuk
penyelenggaraan acara tahunan Muslim United. Muslim United pertama memakan biaya sekitar
800 juta rupiah, sementara Muslim United kedua memakan biaya 2,9 miliar rupiah.160

Sumber pendanaan Muslim United berasal dari penggalangan dana infak/donasi dan bisnis,
yang antara lain diedarkan menjelang acara atau saat kajian-kajian rutinnya. Muslim United juga
mengadakan penggalangan donasi (fund raising) dengan cara transfer dana melalui rekening
yayasan. Sebagai ilustrasi, dalam kurun waktu setahun terakhir, Muslim United berhasil
mengumpulkan dana infaq sebesar 1,2 miliar rupiah. Dana ini tidak termasuk penggalangan dana
infaq pada saat acara tahunan Muslim United.161

Sebagai salah satu strategi, Muslim United menawarkan paket hadiah bagi donatur yang
berkomitmen untuk berdonasi setiap bulan. Jika berdonasi 100 ribu setiap bulan maka akan
mendapatkan satu buah tumbler. Jika berdonasi satu juta per bulan maka akan mendapatkan paket
dari Muslim United yang berisi kaos, tumbler, booknote, flashdisk yang berisi kajian ustadz-

160
Wawancara dengan Nanang Syaifurrozi di Yogyakarta, 28 Januari 2020.
161
Wawancara dengan Nanang Syaifurrozi di Yogyakarta, 28 Januari 2020.

152 | L a p o r a n A k h i r
ustadz, kalender, dan pena. Dana dari penggalangan infaq ini didistribusikan seperempat bagian
untuk program ATM Beras, seperempat untuk amal pendidikan orang tua asuh siswa/siswi
Pesantren At-Tasniim yang ada di bawah Yayasan Muslim United, seperempat untuk donasi dunia
Islam seperti Palestina, Rohingya, Uyghur, dan lain-lain; dan seperempat lainnya untuk mendanai
dakwah, seperti pengadaan fasilitas dakwah dan mendanai kajian-kajian ustadz-ustadz dalam
jaringan Muslim United.162

Selain dari donasi, sumber pendanaan Muslim United berasal dari penjualan merchandise,
seperti tumbler, kaos, topi, dan rompi. Sebagai ilustrasi, dari penjualan tumbler saja, Muslim
United bisa menghasilkan omset 50 juta rupiah perbulan. Bisnis ini dijalankan dengan
memanfaatkan jaringan Muslim United. Seluruh aset finansial tersebut didistribusikan untuk
mengelola dan mengembangkan bisnis, menggaji karyawan yayasan, dan mengembangkan
dakwah dalam jaringan Muslim United.163

b. Pendidikan: Pesantren At-Tasniim dan SD-SMP Plus Tahfidz Khoiru Ummah

Yayasan Muslim United memiliki pesantren At-Tasniim dan SD-SMP plus Tahfidz Khoiru
Ummah. Mengusung visi “mencetak pemimpin masa depan yang cerdas dan hafal al-Qur’an,”
fokus utama dari lembaga pendidikan ini ialah pengajaran membaca dan menghafal al-Qur’an bagi
anak-anak. Pesantren At-Tasniim juga mengadakan program sanlat (santri kilat) bagi anak-anak
saat bulan Ramadhan. Pesantren dan sekolah ini berdiri pada tahun 2018 dan diresmikan oleh
Ustadz Abdul Somad. Menginjak tahun ketiga, total santrinya berjumlah sekitar 100 orang. Hanya
santri SMP yang tinggal di pesantren sementara santri SD hanya menginap pada hari Kamis.
Lembaga pendidikan ini menggratiskan biaya pendidikan bagi santri yang tidak mampu.164

c. Aktivitas Sosial dan Dakwah: Kompleks Rumah Warna sebagai Lokus

Sebagai yayasan filantropi Islam, selain menyelenggarakan pagelaran akbar tahunan,


Muslim United juga mengadakan kegiatan sosial dan dakwah. Kegiatan sosial yang dilakukan
Muslim United lebih berupa kegiatan amal (charity). Ada tiga program yang bisa dijelaskan di
sini. Pertama, program ATM beras, yakni pemberian beras secara gratis yang didistribusikan pada
500 keluarga tidak mampu di sekitar kompleks Rumah Warna. Melalui program ini, mereka

162
Wawancara dengan Nanang Syaifurrozi di Yogyakarta, 28 Januari 2020.
163
Wawancara dengan Nanang Syaifurrozi di Yogyakarta, 28 Januari 2020.
164
Wawancara dengan Nanang Syaifurrozi di Yogyakarta, 28 Januari 2020.

153 | L a p o r a n A k h i r
diharapkan mau mengikuti kajian-kajian yang diselenggarakan oleh Muslim United. Kedua,
program pengeboran sumur di Gunung Kidul Yogyakarta, daerah yang kekurangan air, yang
diresmikan oleh Bupati Gunung Kidul. Ketiga, mengadakan penggalan dana dan menyalurkannya
ke negara Muslim yang mengalami konflik seperti Palestina, Rohingya, Uyghur, dan Suriah.165
Muslim United bekerja sama dengan lembaga-lembaga filantropi Islam seperti ACT (Aksi Cepat
Tanggap) dan Da’i Peduli. Pada November 2019, misalnya, melalui lembaga Da’i Peduli Muslim
United menyalurkan dana dan bantuan al-Qur’an ke Palestina.166

Ketika terjadi pandemi virus COVID-19 belakangan ini, melalui program Geber Pangan,
Muslim United mengadakan penggalangan dana untuk disalurkan kepada masyarakat rentan yang
terdampak, yang di antaranya berupa uang, paket sembako, nasi bungkus, dan masker. Melalui
jaringannya, program ini tidak hanya diadakan di Yogyakarta tetapi juga di kota lainnya: Solo,
Magelang, Salatiga, Bandung, Bekasi, Lombok, Semarang, dan Medan.167

Kegiatan dakwah yang dilakukan Muslim United berupa kajian-kajian seperti majelis
taklim yang diselenggarakan setiap Rabu, Jum’at, Sabtu, dan kajian hari Minggu yang khusus
untuk perempuan. Dimulai sejak tahun 2018, kajian-kajian ini diselenggarakan oleh Muslim
United secara rutin di kompleks Rumah Warna. Pada mulanya nama kajiannya adalah Majelis
Joss, namun sejak 2020 berubah menjadi kajian Jalan Pintas sebagai simbol jalan pintas menuju
surga.

Kajian-kajian tersebut diisi oleh ustadz-ustadz yang tergabung dalam jaringan Muslim
United khususnya yang berada di Yogyakarta, yang terafiliasi dengan kelompok-kelompok seperti
tarbiyah, Salafi, MIUMI, dan HTI. Tidak hanya dari Yogyakarta, ustadz-ustadz populer seperti
Felix Siauw (HTI), Fatih Karim (HTI), dan yang tergabung dalam #BarisanBangunNegeri juga
beberapa kali mengisi kajian yang diselenggarakan yayasan Muslim United. Model pengajiannya
secara umum tidak menggunakan kitab, tetapi lebih mendengarkan penjabaran seorang ustadz dan
kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Tema-tema yang dibahas dalam kajian ini
bermacam-macam, dari persoalan akidah, ibadah, hingga bisnis yang mengkampanyekan bisnis

165
Wawancara dengan Nanang Syaifurrozi di Yogyakarta, 28 Januari 2020.
166
Lihat postingan akun Instagram @muslimunited.official (23 November 2019).
https://www.instagram.com/p/B5Nq6PlHAfT/?utm_source=ig_web_copy_link
167
Lihat postingan akun Instagram @muslimunited.official (27 Mei 2020).
https://www.instagram.com/p/CAsjlGsn4S-/?utm_source=ig_web_copy_link

154 | L a p o r a n A k h i r
syar’i halal dan anti-riba. Namun, secara umum, tema yang dibahas cenderung pada Islam populer
yang sesuai dengan segmen kelompok-kelompok hijrah, seperti bagaimana cara istiqamah dalam
berhijrah, adab dalam menuntut ilmu, bercanda ala Rasulullah, dan lain-lain.168

Selain itu, Muslim United seringkali mengadakan kajian-kajian yang bertepatan dengan
perayaan hari-hari yang mereka pandang bertentangan dengan Islam, seperti Hari Valentine. Pada
tanggal 13-15 Februari 2020, misalnya, Muslim United mengadakan acara Fallen Time, sebagai
bentuk perlawanan terhadap Hari Valentine. Acara tersebut mengundang ustadz-ustadz populer
dan artis-artis hijrah dari Jakarta. Kita melihat adanya pertautan yang kuat di sini dengan budaya
populer,169 karena seluruh kajian yang diselenggarakan Muslim United diumumkan di akun
Instagram @jalanpintas_jogja dan disiarkan secara langsung melalui Instagram dan Youtube.

Kompleks Rumah Warna yang diberi nama Jalan Pintas Square menjadi lokus jaringan
kelompok Islamis lintas komunitas dalam Muslim United ini terjalin. Nanang Syaifurrozi
menjadikannya sebagai tempat dan fasilitas komunitas-komunitas yang tergabung dalam Muslim
United untuk mengadakan kegiatan dakwah seperti YukNgaji, XBank, PRS (Pengusaha Rindu
Syariah), Hijratuna (komunitas perempuan yang terafilasi dengan YukNgaji), Terang Jogja, dan
lain-lain. Selain berkantor di kompleks Rumah Warna, YukNgaji (komunitas hijrah yang didirikan
Felix Siauw) juga kerap mengadakan kegiatan di kompleks Rumah Warna setiap hari Kamis dan
Sabtu. Di kompleks tersebut, juga tersedia kafe dan berbagai kios-kios kecil yang menjual
makanan, minuman, dan “pakaian-pakaian syar’i.”170

Penting menjadi catatan di sini, tidak semua kajian yang dilakukan di kompleks Rumah
Warna diumumkan secara terbuka. Ada kajian-kajian yang dikhususkan untuk anggota internal
komunitas, seperti PRS (Pengusaha Rindu Syariah). Kajian tertutup semacam ini biasanya
diorganisasikan dan diinfokan secara internal melalui group WhatsApp khusus komunitas.171 Saya
(Afifur Rochman) tidak mempunyai akses pada kajian-kajian yang sifatnya tertutup tersebut, tetapi
terdapat sejumlah indikasi bahwa kajian ini bermuatan penguatan ideologi. Sebagai contoh,
Pesantren At-Tasniim Rumah Warna pernah menjadi tempat acara Jalsah Ammah Isra’ Mi’raj

168
Catatan lapangan ketika mengikuti pengajian yang diselenggarakan Muslim United di kompleks Rumah
Warna Yogyakarta, Desember 2019-Februari 2020.
169
Catatan lapangan acara Fallen Time yang diselenggarakan Muslim United, 14 Februari 2020.
170
Catatan lapangan ketika mengikuti pengajian yang diselenggarakan Muslim United di kompleks Rumah
Warna Yogyakarta, Desember 2019-Februari 2020.
171
Catatan lapangan di kompleks Rumah Warna, 18 Februari 2020.

155 | L a p o r a n A k h i r
1439 H (2018), yang dihadiri ulama, tokoh, dan pegiat dakwah di Yogyakarta. Acara tersebut
memuat seruan dan kerinduan kepada khilafah.172 Pada tanggal 24 Oktober 2019, kompleks Rumah
Warna menjadi tempat pernyataan sikap Mudzakarah Ahlus Sunnah Waljamaah Yogyakarta atas
pembakaran bendera Tauhid yang dilakukan oleh anggota Banser NU di Jawa Barat.173 Pada
tanggal 15 Januari 2020, kompleks Rumah Warna menjadi tempat bagi peringatan penaklukan
Konstatinopel, menyerukan semangat penegakan khilafah. Acara ini dilakukan serentak di
beberapa kota oleh jaringan HTI. Mereka melakukannya secara tersembunyi lalu
menyebarluaskannya lewat media sosial seperti Twitter dan Instagram dengan hashtag
#khilafah.174

Di masa pandemi COVID-19 belakangan ini (Maret-Juni 2020), seluruh kegiatan dakwah
dan kajian yang diselenggarakan Muslim United di kompleks Rumah Warna terpaksa diliburkan
sementara. Ketika pemerintah menerapkan aturan “tatanan baru (new normal)” pada bulan Juli
2020), yang memungkinkan masyarakat beraktifitas di luar dengan menjalankan protokol
kesehatan, Muslim United mulai mengaktifkan kembali kajiannya yang disiarkan secara langsung
melalui Youtube dan Instagram.175

Jaringan/Aliansi dalam Muslim United

Sejauh penulusuran yang kami lakukan, jaringan Muslim United dapat dipetakan ke dalam
tipe-tipe berikut: [1] komunitas hijrah; [2] asosiasi pengusaha Muslim atau bisnis syariah; dan [3]
organisasi lain seperti lembaga filantropi Islam, kelompok majelis taklim, dan ormas Islam.
Jaringan ini memuat aliansi-aliansi kelompok atau komunitas Islam yang berjejaring dengan
kelompok atau tokoh Islamis seperti HTI, MMI, FUI, MIUMI, Salafi dan lain-lain.

[1] Komunitas Hijrah

Terselenggaranya Muslim United banyak didukung oleh komunitas-komunitas hijrah,


khususnya yang berada di Yogyakarta. Seiring dengan merebaknya tren hijrah, banyak komunitas-

172
“Seruan Khilafah Menggema pada Peringatan Isra’ Mi’raj di Yogyakarta”, Media Umat, 16 April 2018.
https://mediaumat.news/seruan-khilafah-menggema-pada-peringatan-isra-miraj-di-yogyakarta/
173
“Pernyataan Sikap Ulama Aswaja Yogyakarta #BelaBenderaTauhid,” Mustanir.net, 25 Oktober 2018.
https://mustanir.net/pernyataan-sikap-ulama-aswaja-yogyakarta-belabenderatauhid/
174
Catatan lapangan, 15 Januari 2019.
175
Lihat postingan akun Instagram @muslimunited.official (05 Juli 2019).
https://www.instagram.com/p/CCQUd8GMPVI/?utm_source=ig_web_copy_link

156 | L a p o r a n A k h i r
komunitas hijrah yang dibentuk. Di samping kajian rutin dengan ustadz-ustadz dalam jaringan
Muslim United, mereka juga mengadakan hang out untuk memupuk solidaritas dan komitmen
dalam berhijrah.

Di antara kelompok hijrah yang bergabung dengan Muslim United antara lain: Yuk Ngaji,
Terang Jogja, Xkwavers, Alright.Official, Teman Hijrah, Hijratunna (Hijrah to Jannah
Community), Dakwah Islam Jogja, Teras Dakwah, Kajian Musyawarah (kajian artis hijrah),
SHIFT – Komunitas Hijrah Bandung, Garasi Dakwah, Cah Hijrah, Majelis Hijrah, Bengkel
Dakwah, Mualaf Center Yogyakarta, Khadijah Community, KHAT. Merebaknya komunitas
hijrah dengan berbagai kegiatannya menjadi ruang-ruang pergerakan ustadz-ustadz Islamis di
dalam melakukan dakwah. Komunitas hijrah ini cenderung tidak eklektik di dalam memilih
ustadz, namun tetap sesuai dengan segmen mereka sebagai anak muda yang hidup dalam konteks
urban, era sosial media, dan budaya populer. Banyak di antara mereka juga pelaku bisnis.176

[2] Asosiasi Pengusaha Muslim

Jaringan kedua yang ada di dalam Muslim United adalah asosiasi pengusaha Muslim atau
bisnis syariah, yaitu PRS (Pengusaha Rindu Syariah), XBank (komunitas bankir hijrah), dan
ASSALIM (Asosiasi Pengusaha Muslim). Tiga komunitas pengusaha Muslim ini memiliki aliansi
yang kuat dengan tokok-tokoh HTI. Pertama, PRS (Pengusaha Rindu Syariah). Komunitas ini
berusaha menjaring pengusaha-pengusaha Muslim yang hijrah supaya mempelajari, menerapkan,
dan mengkampanyekan bisnis yang sesuai syariah. Komunitas ini kemungkinan berdiri sejak tahun
2009. Saat ini, komunitas PRS sudah berdiri di beberapa kota, seperti Jakarta, Yogyakarta,
Magelang, Kalimantan, dan Sulawesi.

Namun, tampaknya komunitas PRS Yogyakarta lebih aktif dibandingkan dengan yang ada
di kota-kota lainnya. Hal ini dapat dipahami sebab komunitas PRS dimotori oleh tokoh-tokoh yang
terafiliasi dengan HTI yang berada di Yogyakarta, yakni Shiddiq Al Jawi (pengajar di STIE
Hamfara Yogyakarta) dan Dwi Condro Triono, Ph.D (DPP HTI Sleman-Yogyakarta). Keduanya
dikenal sebagai pakar ekonomi syariah dan fiqh Muamalah. Selain sebagai akademisi, dua tokoh
tersebut juga bergelut di bidang bisnis. Dwi Condro Triono sendiri, misalnya, selain menerbitkan
beberapa buku seperti Ekonomi Islam Madzhab Hamfara, Ekonomi Pasar Syariah dan beberapa

176
Wawancara dengan ketua Komunitas Terang Jogja, Yogyakarta, 18 Februari 2018

157 | L a p o r a n A k h i r
artikel tentang ekonomi syariah, juga bergelut di bidang bisnis properti syariah dan marketing
communication berbasis syariah. Shiddiq Al Jawi dan Dwi Condro Triono merupakan figur
otoritatif dalam komunitas PRS yang memberikan pelatihan dan pengajaran tentang bisnis syariah
bagi anggota komunitas di berbagai kota.177 Selain itu, figur-figur utama HTI seperi Hafidz
Abdurrahman (pembina Yayasan At-Turats Al-Islami dan Ma’had Wakaf Syaroful Haramain) dan
Felix Siauw juga beberapa kali diundang untuk mengisi acara yang diselenggarakan oleh
komunitas PRS.

Narasi-narasi utama yang dikembangkan oleh komunitas ini di antaranya adalah anti-riba:
“bisnis bukan hanya untung-rugi namun juga surga-neraka,” kerusakan sistem ekonomi
kapitalisme dan sosialisme, serta keunggulan sistem ekonomi Islam. Bagi komunitas PRS,
terjalinnya jejaring pengusaha-pengusaha Muslim diharapkan dapat berkontribusi bagi perjuangan
dakwah “Islam kaffah”.178

Komunitas PRS, khususnya cabang Yogyakarta, aktif dalam melakukan berbagai kegiatan
atau program-programnya, antara lain: 179(1) Islamic Bussiness Coaching yang diampu oleh Dwi
Condro Triono. Acara ini berbentuk pelatihan intensif tentang bisnis syariah, semacam seminar
yang diselenggarakan di hotel-hotel. Pelatihan ini dilakukan dengan sistem kelas dan materi
bertingkat, yang terbuka secara publik dan berbayar. (2) Program Fiqih Bisnis Islam yang diampu
oleh Shiddiq Al Jawi. (3) Syariah Bisnis Forum dan Islamic Bussiness Sharing yang biasanya diisi
oleh anggota komunitas PRS senior dan telah sukses dalam mengelola bisnis syariah. (4) Islamic
Bussiness School (IBS), pelatihan bisnis syariah yang dikhususkan untuk kalangan mahasiswa
yang mempunyai usaha bisnis. (5) Truly Muslimpreneur, pelatihan intensif tentang bisnis syariah,
muamalah, dan haramnya bisnis ribawi. Program ini juga dilakukan dengan sistem kelas dan
materi bertingkat. Pengusaha-pengusaha Muslim yang mengikuti kegiatan ini memiliki kajian
internal yang dilakukan secara berkala.180 Program Truly Muslimpreneur juga mengadakan hang
out ke wisata alam untuk mempererat hubungan antara sesama pengusaha Muslim.

177
Lihat, “Komunitas Pengusaha Rindu Syariah Chapter Jogja,” 19 November 2016:
http://rendravisual2.blogspot.com/2016/11/komunitas-pengusaha-rindu-syariah.html (diakses 19 Februari 2020).
178
“Bisnis Tak Sekadar Untung Rugi,” Tribunnews.com, 1 Januari 2015.
https://makassar.tribunnews.com/2015/01/01/bisnis-tak-sekadar-untung-rugi
179
Kegiatan yang diselenggarakan oleh komunitas PRS Yogyakarta bisa dilihat di akun Instagram @prsjogja:
https://www.instagram.com/prsjogja/ dan akun Facebook @pengusaharindusyariahjogja:
https://web.facebook.com/pengusaharindusyariahjogja/
180
Wawancara dengan Nanang Syaifurrozi di Yogyakarta, 28 Januari 2020.

158 | L a p o r a n A k h i r
Melalui berbagai program tersebut, PRS, khususnya cabang Yogyakarta, cukup sukses
dalam menjaring pengusaha-pengusaha Muslim yang mempunyai beragam usaha bisnis, mulai
dari kuliner, properti, madu, herbal, desain grafis, cuci pakaian, hotel, percetakan, hingga bisnis
daring. PRS Yogyakarta diketuai oleh Agung Susanto, pemilik Simply Group yang bergerak di
bidang jasa laundry dan rumah penginapan (guest house). Beberapa brand bisnis di Yogyakarta
yang pemiliknya bergabung dengan PRS antara lain: SS (Super Sambal), Arfa Barbershop, Rumah
Warna, Waroeng Steak and Shake (Waroeng Group), Tengkleng Hohah, Kedai Digital, Sate
Klatak Pak Jede, Toean Watiman, Yoshugi Media, Chaliph Crepes, dan lain-lain.181

Banyak dari kalangan pengusaha tersebut yang melakukan “hijrah,” meninggalkan bisnis
yang dipandang ribawi, lalu mulai mengikuti kajian-kajian dan turut serta berkontribusi dalam
dakwah Islam. PRS sangat mendukung terselenggaranya acara Muslim United. Nanang
Syaifurrozi sendiri bergabung dengan PRS Yogyakarta setalah mengikuti program Truly
Muslimpreneur. Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh PRS Yogyakarta juga kerap dilakukan di
kompleks Rumah Warna.182

Kedua, Xbank. Komunitas ini didirikan pada tahun 2017 oleh El Chandra, mantan pekerja
perbankan yang saat ini menggeluti usaha bisnis kuliner Bubur Syarifah di Yogyakarta. Komunitas
ini didirikan untuk mewadahi mantan bankir yang hijrah meninggalkan pekerjaannya di lembaga
perbankan atau asuransi keuangan sebab mereka memandang lembaga-lembaga keuangan, baik
yang konvensional maupun syariah, memuat unsur ribawi, sehingga gaji yang mereka terima dari
lembaga tersebut dipandang tidak halal.183 Dalam proses hijrahnya, mereka aktif mengikuti kajian-
kajian yang sangat tegas mengharamkan riba.184

Komunitas Xbank ini berpusat di Yogyakarta, dan sudah memiliki cabang di beberapa kota
di Indonesia. Mereka tergabung dalam WhatsApp Group yang diorganisasikan oleh ketua di
masing-masing kota.185 Fokus dakwah Xbank ialah gerakan anti-riba, khususnya pada transaksi
yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan. Akun Instagram @Xbank dan website resminya
banyak memuat pendapat-pendapat ulama Salafi tentang haramnya transaksi ribawi, selain juga

181
Wawancara dengan Nanang Syaifurrozi di Yogyakarta, 28 Januari 2020.
182
Wawancara dengan Nanang Syaifurrozi di Yogyakarta, 28 Januari 2020.
183
Lihat website resmi komunitas Xbank: https://www.xbank-indonesia.com/
184
Catatan lapangan saat mengikuti acara “Inspirasi Hijrah” yang diadakan komunitas Xbank, Yogyakarta
15 Februari 2020.
185
Catatan lapangan, 15 Februari 2020.

159 | L a p o r a n A k h i r
inspirasi hijrah anggota komunitas.186 Untuk menjaring orang-orang non-bankir, XBank
mendirikan komunitas Sahabat XBank agar dapat mengenal dakwah anti-riba yang digerakkan
oleh komunitas ini.

Secara umum, setelah memutuskan berhenti dari pekerjaan bankir, mereka milih untuk
menekuni dunia bisnis yang berbasis syariah. Oleh karena itu, Xbank tidak hanya menjadi wadah
bagi mantan bankir yang hijrah tetapi juga menjadi perkumpulan bagi pengusaha-pengusaha
Muslim. Selain mengadakan acara kopdar (kopi darat) bagi anggota komunitas, komunitas Xbank
juga mengadakan pelatihan bisnis, seperti pembuatan ayam geprek, dan berbagi kisah tentang
inspirasi hijrah. Xbank juga beberapa kali mengadakan kegiatan di Kompleks Rumah Warna.

Sebagai wadah bagi pengusaha Muslim yang mengusung isu yang sama, Xbank berjejaring
dengan PRS melalui kegiatan yang dilakukan oleh PRS. Untuk mempelajari tentang bisnis syariah,
pengurus Xbank mengikuti program Truly Muslimpreneur yang diselenggarakan oleh PRS. Selain
itu, komunitas Xbank juga kerap terlibat dengan kegiatan yang sama dengan PRS untuk berbagi
tentang hijrah, keharaman riba, dan bisnis yang sesuai shariah.187 Ketua Xbank, El-Chandra juga
sering diundang bersama Dwi Condro Triono untuk mengisi acara Islamic Bussiness Coaching
yang diadakan oleh PRS di berbagai kota.

Ketiga, ASSALIM (Aliansi Pengusaha Muslim). Komunitas ini merupakan aliansi antar
komunitas pengusaha Muslim yang terafiliasi dengan HTI. PRS merupakan salah satu komunitas
yang tergabung dalam aliansi ini. ASSALIM sebenarnya dibentuk sejak tahun 2012, tetapi sejak
tahun 2017 ada semacam revitalisasi dalam komunitas ini, sebab setelah dikeluarkannya Perpu
Ormas No. 2/2017 tentang pembubaran HTI, ASSALIM semakin aktif dalam melakukan kegiatan
seperti seminar dan refleksi akhir tahun ekonomi umat Islam.188 Pada tahun 2017, melalui narasi
“saatnya pengusaha bela Islam,” ASSALIM sangat gencar menolak Perpu Ormas tersebut. Narasi
yang diusung oleh ASSALIM secara umum sama dengan yang diusung PRS, selain juga

186
Lihat akun Instagram @xbank.indonesia: https://www.instagram.com/xbank.indonesia/
187
“Wirausahawan Komunitas Hijrah Berbagi Pengalaman,” Harian Merapi, 4 Juni 2018,
https://www.harianmerapi.com/news/2018/06/04/19127/wirausahawan-komunitas-hijrah-berbagi-pengalaman-
bangkit-usai-jatuh-kunci-sukses
188
“Aliansi Pengusaha Muslim (ASSALIM): Refleksi Ekonomi Politik Indonesia 2018,” Media Umat, Edisi
236, 1-14 Februari 2019, hlm. 14-15. https://mediaumat.news/wp-content/plugins/download-
attachments/includes/download.php?id=9668

160 | L a p o r a n A k h i r
mengkampanyekan narasi tentang khilafah baik offline maupun online, khususnya lewat akun
Instagram @assalimid.189

Pada tanggal 17 Februari 2017, ASSALIM bekerja sama dengan LBH Pelita Umat
(lembaga hukum yang terafiliasi dengan HTI) mengadakan acara Islamic Lawyer Forum di
Semarang. Acara tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh HTI, seperti Ismail Yusanto, untuk membahas
tentang kerusakan dan kelemahan ekonomi liberal dalam iklim politik demokrasi Indonesia serta
bagaimana pengusaha-pengusaha Muslim dapat berkolaborasi dalam perjuangan Islam melalui
ranah bisnis. Kegiatan yang diselenggarakan oleh ASSALIM selalu diliput oleh tabloid HTI Media
Umat.190

Dalam konteks Yogyakarta, Nino, pemilik Chalip Crepes, merupakan ketua ASSALIM
cabang Yogyakarta, yang juga merupakan anggota komunitas PRS Yogyakarta. Agung Susanto
ketua PRS Yogyakarta juga merupakan ketua Korwil LBH Pelita Umat DIY. PRS, Xbank, dan
ASSALIM beberapa kali mengadakan kegiatan bersama, membahas tentang inspirasi hijrah dan
bisnis berbasis syariah, yang berlokasi di kompleks Rumah Warna dan Teras Dakwah. Hal ini
menjelaskan bagiamana tiga komunitas ini terkait satu sama lain.

[3] Organisasi Lainnya

Di samping komunitas hijrah dan asosiasi pengusaha Muslim, banyak organisasi lain juga
turut berkontribusi terhadap keberlangsungan gerakan Muslim United. Dalam kategori lembaga
filantropi Islam, antara lain terdapat Aman Palestina, Dai Peduli, Sedekah Rombongan, UPZ
Baznaz Nur Hidayah DIY, ACT (Aksi Cepat Tanggap), dan Baitul Mal FKAM Yogyakarta. Di
kelompok Majelis Taklim ada ODOJ (One Day One Juz) CNC, Majelis Taklim Salsabila, Majelis
Jogokaryan, Majelis Jejak Nabi, PMJ (Pesantren Masyarakat Jogja), Jamasba (Jama’ah Masjid
Bantul). Di kelompok ormas Islam ada Kokam Muhammadiyah, GPK (Gerakan Pemuda Ka’bah),
Angkatan Muda Forum Ukhwah Islamiyyah, Laskar Harokah Islamiyah, dan Majelis Mujahidin—
Laskar Mujahidin DIY.

Kesimpulan

189
Lihat akun Instagram @assalimid, https://www.instagram.com/assalimid/
190
“Bilakah Pengusaha Pribumi Jadi Tuan di Negeri Sendiri,” Media Umat, 17 Februari 2020.
https://mediaumat.news/bilakah-pengusaha-pribumi-jadi-tuan-di-negeri-sendiri/

161 | L a p o r a n A k h i r
Penelusuran riwayat gerakan PA 212 dan Muslim United di atas menunjukkan perlunya
pembedaan pergeseran ruang dari dua gerakan Islamis ini dalam dua ranah yang berbeda. Di ranah
politik praktis, sulit untuk tidak mengatakan bahwa ruang gerak Islamis kini menyempit. Aliansi
antarormas Islam di internal PA 212 tidak lagi sesolid pada 2016; isu-isu yang bisa menjadi bahan
untuk pembingkaian narasi Islamis belum ada yang sebertenaga penodaan agama seperti terjadi
dalam kasus Ahok 2016; dan, lebih signifikan dari semuanya, patron politik PA 212 kini banyak
yang telah pergi dan hubungan mereka dengan Prabowo, seperti disebut oleh Ketua PA 212
sendiri, “telah selesai.” Sejauh ini, kami berpendapat bahwa belum ada penjelasan terbaik lain di
samping bahwa ini merupakan hasil dari manuver politik pemerintahan yang menarik figur-figur,
ormas-ormas, dan parpol-parpol kunci yang membentuk 212 agar ikut dalam barisan
pemerintahan.

Namun demikian, penyempitan ruang di ranah politik praktis itu belum terefleksikan di
tingkat horisontal di akar rumput. Pascamobilisasi aksi 212, gerakan Muslim United muncul di
Yogyakarta sebagai suatu gerakan Islamis lintas kelompok. Dengan mengusung narasi-narasi
‘persatuan Islam,’ ‘kemenangan Islam,’ dan ‘kebangkitan Islam,’ serta sumber daya yang dimiliki,
gerakan ini mampu menjadi ruang mobilisasi bersama yang memfasilitasi terbangunnya jaringan
antar gerakan dan aktor Islamis yang mengusung visi supremasi Islam dan penerapan syariat Islam
(dalam pengertian formalistik) di tingkat akar rumput.

Selain itu, pengeluaran Perppu Ormas 2017 untuk membubarkan HTI efektif membuat HTI
tak bisa lagi tampil selantang sebelumnya di muka publik. Namun, para pendukung khilafah kini
mendapat jalur aktualisasi lain, meski tanpa harus memakai baju HTI, yakni melalui jaringan
Muslim United (lihat tulisan Maurisa Zinira, “Hizbut Tahrir Indonesia: Pola Mobilisasi Baru Pasca
Pembubaran). Dakwah khilafah yang tetap menyebar di bawah ini membawa pada pertanyaan
penting mengenai seberapa efektif Perppu Ormas 2017 itu (yang kini sudah menjadi UU Ormas).
Boleh jadi, kebijakan pemerintah itu membuat bisu kampanye khilafah secara terang-terangan,
tetapi dakwah khilafah dan penerapan “Islam kaffah” tetap berjalan sebagaimana sebelumnya,
sehingga, alih-alih meredamnya, kita masih melihat potensi besar dari apa yang oleh sejumlah
pengamat disebut sebagai “Islamisasi merangkak” (creeping Islamization), yakni Islamisasi dari
bawah lalu naik, alih-alih sebaliknya.

162 | L a p o r a n A k h i r
Khusus menyangkut PA 212, belakangan ini dua isu yang relevan disoroti menyangkut
pengawalan Pilkada 2020 dan isu Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU
HIP). Sebagaimana disebut di muka, manuver pengawalan pilkada oleh PA 212 tidak bisa berjalan
mulus sesuai direncanakan sebelumnya. Hingga artikel ini ditulis, belum tampak ada manuver
besar dari PA 212 selain di Sumatera Utara dan Surakarta. Ini pun lebih bersifat perang wacana.
Pada Pilkada Surakarta, misalnya, yang salah satu calonnya ialah putra Presiden Jokowi, Gibran
Rakabuming, PA 212 menyatakan “kita kompak tolak PKI!” Kata “PKI” di sini kerap dirujukkan
kepada PDI-P, partai yang kini mendominasi parlemen dan sering diasosiasikan dengan
komunisme.191

Pengasosiasian PDI-P dengan komunisme itu juga melatari protes PA 212 terhadap RUU
HIP. RUU ini diinisiasi oleh PDI-P, dan kemudian disetujui oleh DPR untuk diusulkan menjadi
UU kepada pemerintah. Namun, PA 212 berhasil menghadang upaya ini, dengan patron mereka
di parlemen (PKS, diikuti oleh PAN) melantangkan wacana bahwa RUU HIP tersebut
melegitimasi komunisme. Mereka tidak setuju jika RUU HIP tidak mencantumkan TAP MPRS
1966 yang melarang penyebaran komunisme dalam konsideran RUU. Pada akhirnya, tekanan
Islamis berhasil menghadang pengesahan RUU HIP ini, dan sebagai gantinya pemerintah
mengusulkan RUU lain, dengan mengakomodasi keberatan kelompok Islamis. RUU yang baru ini
lebih fokus pada penguatan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, dan bernama RUU BPIP.

Dengan RUU HIP ini, PA 212 dan jejaring kelompok Islamisnya mendapat tambahan
penunjang narasi Islamis. Meski belum terbukti sekuat penodaan agama, isu komunisme bisa
menjadi daya tekan yang cukup efektif. Dalam irisan anti-komunisme inilah PA 212 dalam
beberapa tahun belakangan dekat dengan keluarga Cendana. Dalam pembahasan pemilu 2019 di
muka telah disinggung bahwa “Koalisi Keumatan” mencakup Partai Berkarya yang diketuai
Tommy Soeharto. Pada masa kampanye pemilu 2019, Tommy mengunjungi Rizieq Shihab di
Mekkah, dan Partai Berkarya memfasilitasi peringatan Maulid dengan pengisi pengajian dari FPI
di Masjid At-Tien. Sejumlah kader FPI di daerah juga maju sebagai caleg dari Partai Berkarya,
walaupun akhirnya tidak lolos. Di ranah wacana, sejumlah tokoh penting PA 212 seringkali

191
Pengasosiasisan PDI-P dengan komunisme ini merupakan ujaran yang kerap disuarakan oleh kelompok
Islamis cukup lama. Dalam wawancara saya (Azis) dengan ketua PA 212 pra-pemilu 2019, hal senada terlontar. Alasan
yang sering disitir antara lain bahwa PDI-P ialah partai yang getol menghadang perda syariah, meski pernyataan ini
tidak didukung data kuat.

163 | L a p o r a n A k h i r
mengutarakan pernyataan yang bernada mengglorifikasi era Orde Baru, terutama menyangkut
anti-komunisme. Jika harus disebut siapa patron politik dengan sumber finansial dan/atau modal
politik kuat untuk menghadapi pemilu ke depan (2024), tampak bahwa Anies Baswedan, dengan
sokongan keluarga Cendana, yang saat ini terdekat dengan PA 212.

Namun, meskipun mungkin beririsan dalam ranah politik praktis, orientasi politik Islam
PA 212 dan Muslim United tidak sepenuhnya sama. Bila yang pertama cenderung berjangka
pendek dan praktis (walau tetap dalam kerangka “NKRI Bersyariah”), yang kedua bervisi jangka
panjang. Seperti disebut di muka, alih-alih menonjolkan manuvernya dengan menyokong satu
figur dalam politik praktis, Muslim United lebih fokus pada upaya penguatan basis-basis sosial-
ekonomi umat, yang pada gilirannya dapat digunakan untuk mencapai kekuasaan politik.
Aktivisme sosial-ekonomi yang dilakukan oleh Muslim United, dan ditopang dengan jejaring
dakwah dan bisnisnya, membuktikan orientasi jangka panjang gerakan ini.

Meskipun mengambil trajektori yang berbeda pascamobilisasi aksi 212, kedua gerakan ini
tidak serta-merta dapat diartikan saling bertentangan, tetapi lebih merefleksikan perbedaan pilihan
prioritas dan strategi gerakan. Pada titik inilah, dengan tetap mengantisipasi bahwa lanskap politik
praktis dapat berubah cepat dalam satu atau dua tahun menjelang pemilu 2024, jejaring patronase
kelompok Islamis belum lagi bisa sekuat pada 2016, tetapi kekuatannya di akar rumput masih
cukup signifikan, bukan saja dalam mengampanyekan wacana Islamis (dengan ideolog utamanya:
MIUMI), melainkan juga dalam membentuk jejaring dakwah dan bisnis yang menopang
keberlanjutan gerakan ini.

164 | L a p o r a n A k h i r
Referensi

Arifianto, Alexander R. (2019). “Rising Islamism and the Struggle for Islamic Authority in Post-
Reformasi Indonesia.” TRaNS: Trans Regional and National Studies of Southeast Asia, 1-
14.

Fachrudin, Azis Anwar. “Notes on 212 in 2018: more politics, less unity.” New Mandala (10
Desember 2018). https://www.newmandala.org/notes-on-212-in-2018-more-politics-less-
unity/

Fachrudin, Azis Anwar. “Law as a weapon: the ‘criminalisation of ulama’.” Indonesia at


Melbourne (10 Maret 2019). https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/law-as-a-
weapon-the-criminalisation-of-ulama/

Fachrudin, Azis Anwar. “Questioning Prabowo’s alliance with Islamists.” New Mandala, 15
Maret 2019. https://www.newmandala.org/questioning-prabowos-alliance-with-islamists/

Fachrudin, Azis Anwar and Afifur Rochman Sya’rani. “What makes the 212 movement still
significant?” The Jakarta Post (6 Desember 2019).
https://www.thejakartapost.com/news/2019/12/06/what-makes-212-movement-still-
significant.html

Hew, Wai Weng (2018). “The Art of Dakwah: Social Media, Visual Persuasion, and the Islamist
Propagation of Felix Siauw.” Indonesia and the Malay World, 46: 134, 61-79.

Ahnaf, Iqbal dan Hairus Salim. Krisis Keistimewaan: Kekerasan terhadap Minoritas di
Yogyakarta. Yogyakarta: CRCS UGM, 2017.

Wiktorowicz, Quintan (2002). “Islamic Activism and Social Movement Theory: A New
Direction for Research.” Mediterranean Politics, 7, 3: 187-211.

Sumber Data Online:

“After Ahok: The Islamist Agenda in Indonesia,” (IPAC 2008), yang dapat diunduh di sini:
http://www.understandingconflict.org/en/conflict/read/69/After-Ahok-The-Islamist-
Agenda-in-Indonesia

165 | L a p o r a n A k h i r
“Aliansi Pengusaha Muslim (ASSALIM): Refleksi Ekonomi Politik Indonesia 2018”, Media
Umat, Edisi 236, 1-14 Februari 2019, hlm. 14-15. https://mediaumat.news/wp-
content/plugins/download-attachments/includes/download.php?id=9668

“Anti-Ahok to Anti-Jokowi: Islamist Influence on Indonesia’s 2019 Election Campaign,” (IPAC


2019), yang dapat diunduh di sini:
http://understandingconflict.org/en/conflict/read/80/Anti-Ahok-To-Anti-Jokowi-Islamist-
Influence-on-Indonesias-2019-Election-Campaign

“Bachtiar Nasir Tak Ingin Umat Islam Hanya Jadi Pemanis di Pemilu”, detik.com, 29 Januari
2019. https://news.detik.com/berita/d-4405972/bachtiar-nasir-tak-ingin-umat-islam-hanya-
jadi-pemanis-di-pemilu

“Bilakah Pengusaha Pribumi Jadi Tuan di Negeri Sendiri”, Media Umat, 17 Februari 2020.
https://mediaumat.news/bilakah-pengusaha-pribumi-jadi-tuan-di-negeri-sendiri/

“Bisnis Tak Sekadar Untung Rugi”, Tribunnews.com, 1 Januari 2015.


https://makassar.tribunnews.com/2015/01/01/bisnis-tak-sekadar-untung-rugi
“Wirausahawan Komunitas Hijrah Berbagi Pengalaman”, Harian Merapi, 4 Juni 2018,
https://www.harianmerapi.com/news/2018/06/04/19127/wirausahawan-komunitas-hijrah-
berbagi-pengalaman-bangkit-usai-jatuh-kunci-sukses

“Dari Aksi Damai ke Koperasi Syariah”, Majalah Gatra, 20 Juni 2018.


http://arsip.gatra.com/2018-06-11/majalah/artikel.php?id=166301

“Felix Siauw: Muslim United Indikasi Kebangkitan Umat”, Suara Muslim, 18 Oktober 2018.
https://suaramuslim.net/felix-siauw-muslim-united-indikasi-kebangkitan-umat/

“GNPF Ulama Sumut Usulkan 13 Nama Cawalkot Medan”, Detik, 31 Jan 2020.
https://news.detik.com/berita/d-4880614/gnpf-ulama-sumut-usulkan-13-nama-cawalkot-
medan-bobby-tak-masuk

“Gubernur Banten Resmikan 212 Mart Tirtayasa Tanggerang V”, 19 Februari 2018,
koperasisyariah212.co.id. http://koperasisyariah212.co.id/blog/2018/02/19/gubernur-
banten-resmikan-212-mart-tirtayasa-tangerang-v/.

166 | L a p o r a n A k h i r
“Komunitas Pengusaha Rindu Syariah Chapter Jogja”, 19 November 2016:
http://rendravisual2.blogspot.com/2016/11/komunitas-pengusaha-rindu-syariah.html
(diakses 19 Februari 2020).

“Kongres Alumni 212 Tetapkan Habib Rizieq Syihab Sebagai Imam Besar Umat Islam
Indonesia” (3 Des 2017). https://www.tribunnews.com/nasional/2017/12/03/kongres-
alumni-212-tetapkan-habib-rizieq-shihab-sebagai-imam-besar-umat-islam-indonesia

“Kronologi Bentrok FUI-Banser NU: Diawali Demo Gus Muwafiq”, CNN Indonesia (6 Des
2019). https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191206193345-20-454906/kronologi-
bentrok-fui-banser-nu-diawali-demo-gus-muwafiq

“Modal Koperasi Syariah 212 Naik 38,4 Persen, Aset Naik, 44,1 Persen”, 23 April 2019,
koperasisyariah212.co.id, http://koperasisyariah212.co.id/blog/2019/04/23/modal-koperasi-
syariah-212-naik-384-persen-aset-naik-441-persen/

“Pencapaian Koperasi Syariah 212, 2017”, 27 Maret 2018, koperasisyariah212.co.id,


http://koperasisyariah212.co.id/blog/2018/03/27/pencapaian-koperasi-syariah-212-2017/;

“Pernyataan Sikap Ulama Aswaja Yogyakarta #BelaBenderaTauhid”, Mustanir.net, 25 Oktober


2018. https://mustanir.net/pernyataan-sikap-ulama-aswaja-yogyakarta-belabenderatauhid/

Postingan akun Instagram @muslimunited.official (05 Juli 2019).


https://www.instagram.com/p/CCQUd8GMPVI/?utm_source=ig_web_copy_link

Postingan akun Instagram @muslimunited.official (23 November 2019).


https://www.instagram.com/p/B5Nq6PlHAfT/?utm_source=ig_web_copy_link

Postingan akun Instagram @muslimunited.official (27 Mei 2020).


https://www.instagram.com/p/CAsjlGsn4S-/?utm_source=ig_web_copy_link

“Seruan Khilafah Menggema pada Peringatan Isra’ Mi’raj di Yogyakarta”, Media Umat, 16
April 2018. https://mediaumat.news/seruan-khilafah-menggema-pada-peringatan-isra-
miraj-di-yogyakarta/

167 | L a p o r a n A k h i r
Hizbut Tahrir Indonesia:
Pola Mobilisasi Baru Paska Pembubaran
Maurisa Zinira

Pengantar

Sejak dibubarkan pada bulan Agustus 2017, Hizbut Tahrir Indonesia atau lebih dikenal dengan
HTI terus mendapat sorotan. Bukan saja karena ia menolak demokrasi, namun juga karena sepak
terjangnya tidak meredup di ruang publik. Pelarangan tidak membuat HTI mati. Mereka justru
berhasil menggunakan momen tersebut untuk melakukan konsolidasi politik dan gerakan. Tekanan
yang muncul justru membuat HTI mencari pola mobilisasi baru dengan memanfaatkan ruang-
ruang yang selama ini kosong dan ditinggalkan. Meskipun tidak lagi memiliki payung hukum, HTI
tetap aktif bergerak menyerukan pendirian khilafah. Okupasi terhadap ruang publik yang aktif
mereka lakukan membuat pertarungan merebut area dominasi begitu keras. Gerakan HTI masih
terlihat dalam bentuk yang beragam. Dalam beberapa hal mereka tampak lebih berhati-hati
terhadap banyaknya tekanan yang muncul akibat gejolak politik, sementara mobilisasi gerakan
terus bergulir dengan beberapa perubahan.
Bagi Hizbut Tahrir yang selalu bergerak dalam situasi politik yang kompleks, adaptasi
terhadap perubahan adalah satu-satunya cara untuk bertahan. Pembubaran tidak mengagetkan HTI.
Bagaimanapun juga Hizbut Tahrir di berbagai belahan dunia kurang lebih mengalami hal yang
sama. Di Timur Tengah, misalnya, negara-negara seperti Mesir, Libya, Turki, Yordania, Saudi
Arabia dan Syria telah lebih dahulu melakukan pelarangan.192 Rusia dan Jerman berhasil membuat
HT mati. Malaysia juga melakukan pelarangan pada tahun 2015, dan Indonesia menyusul dengan
pancabutan badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia pada tahun 2017. Meskipun Inggris, Perancis
dan Spanyol tidak melarang Hizbut Tahrir, mereka melakukan pengawasan ketat terhadap
gerakannya.
Perkembangan Hizbut Tahrir sangat ditentukan oleh proses politik atau konteks yang
memungkinkannya untuk berkembang. Di Indonesia, HTI mengalami berbagai fase yang

192
Meski telah resmi dilarang, Hizbut Tahrir masih berkembang di negara-negara tersebut.

168 | L a p o r a n A k h i r
memengaruhi pola dan dinamika gerakannya. Pada awal kemunculannya awal tahun 1980an, HTI
harus bergerak di bawah tanah karena rezim Suharto yang represif terhadap gerakan Islamisme.
Hingga akhir pemerintahan Soeharto, HTI terus mempersiapkan gerakan melalui agenda tertutup.
Pada tahun 2000, HTI resmi menggunakan nama Hizbut Tahrir Indonesia sebagai nama organisasi,
dan menandai debut pertamanya di ruang publik dengan menyelenggarakan konferensi
internasional Khilafah pertama di Istora Senayan.193 Pada tahun 2006, HTI berhasil mendapatkan
pengakuan dari negara dengan terbitnya Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa
dan Politik Kementerian Dalam Negeri Nomor 44/D.III.2/VI/2006. Dengan legalisasi dari
pemerintah ini, HTI menjadi percaya diri berkembang bersama lembaga/organisasi agama lainnya
dan meluaskan daya jangkaunya ke berbagai lini bahkan hingga instansi pemerintah/BUMN.
Melihat dinamika gerakan HTI paska pembubaran, tulisan ini berusaha untuk menunjukkan
perubahan pola gerakan dan peta jaringan HTI. Beberapa hal yang menjadi perhatian adalah (a)
bentuk-bentuk penyempitan ruang (mobilisasi) yang dialami oleh HTI pascapelarangan; (b) wujud
ruang gerak yang meluas/tidak berkurang bagi mobilisasi HTI; dan (c) bentuk pergeseran atau
priorotas-prioritas metode gerakan yang dipilih oleh HTI dalam konteks perubahan sosial/politik
saat ini. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan beberapa metode, termasuk: (1)
wawancara dengan tokoh HTI, (2) analisis atas retorika tokoh HTI yang masih dapat dilihat secara
terbuka, (3) analisis atas beberapa publikasi HTI seperti Media Umat, Kaffah, Fokus Khilafah
Channel, media sosial berbagai kegiatan (YukNGaji, Muslim United, Khat.Arts, dll), dan (6)
melakukan analisa atas pola persebaran tagar-tagar medsos yang menjadi fokus perhatian HTI.

Profil Hizbut Tahrir Indonesia


Hizbut Tahrir atau yang sebelumnya dikenal dengan Hizbut Tahrir Al-Islami pada awalnya
merupakan partai politik yang didirikan di Palestina oleh Taqiyuddin An-Nabhani—seorang ulama
hukum Islam yang keras menentang dominasi Barat atas negara-negara Muslim. Dalam dua
bukunya berjudul Risalatul A’rab dan Inqadu Al-Falastin, An-Nabhani menyampaikan
gagasannya mengenai perlunya persatuan dunia Arab untuk bersama melawan kolonialisme Barat.
Menurutnya, jatuhnya Palestina ke tangan Israel disebabkan karena kalahnya bangsa Arab

193
Osman, Mohammad Nawab Mohammad. “The Transnational Network of Hizbut Tahrir,” South East Asia
Research, December 2010, Vol. 18, No. 4, Special Issue: Islamic Civil Society in South East Asia — Localization and
Transnationalism in the Ummah (December 2010): 735-755, 740.

169 | L a p o r a n A k h i r
melawan Israel, sehingga untuk pembebasan Palestina harus ditempuh dengan bersama-sama
menghadapi Israel melalui persatuan negara-negara Arab.194
Taqiyuddin An-Nabhani mengidealkan Hizbut Tahrir menjadi partai pembebas yang
menentang segala bentuk penjajahan terhadap Muslim. Namun karena ideologi yang berlawanan
dengan konsep pemerintahan nation-state, Hizbut Tahrir mengalami berbagai penolakan di banyak
negara. Di Indonesia, Hizbut Tahrir berkembang melalui Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sama
sepertinya inangnya, HTI berkali-kali mendapatkan penolakan karena aspirasi politiknya.
Hizbut Tahrir tumbuh di Indonesia sejak awal 1980an melalui Abdullah bin Nuh, pengasuh
Pondok Pesantren Al-Ghazali, Bogor yang menjalin persahabatan dengan Abdurrahman Al-
Baghdadi—seorang aktifis Hizbut Tahrir kelahiran Palestina yang tinggal di Australia.
Komunikasi keduanya terjalin saat Abdullah bin Nuh berkunjung ke Sydney di mana anaknya
menimba ilmu. Pertemuan tersebut menjadi awal perkenalan Abdullah bin Nuh dengan ide-ide
Hizbut Tahrir yang disampaikan oleh Abdurrahman al-Baghdadi. Kekaguman Abdullah bin Nuh
terhadap kedalaman ilmu Al-Baghdadi kemudian mendorongnya untuk membawa Al-Baghdadi
ke Bogor agar dapat bersama-sama menyebarkan ideologi HT.195

Keduanya memulai dakwah HTI dari Masjid Al-Ghifari (Institut Pertanian Bogor) dengan
menarik perhatian aktifis dakwah kampus dan menggunakan jaringan mereka untuk
mentransmisikan gagasan khilafah ke beberapa kampus besar di Indonesia. Pada tahun 1990an,
gagasan khilafah mulai menyebar melalui kampus, masjid, perkantoran, perusahaan dan
perumahan meski perkembangannya dapat dikatakan belum terlalu signifikan. Baru pada awal
tahun 2000, HTI mulai leluasa menyebarkan gagasan khilafah di ranah publik. Sejak kemunculan
pertamanya ini, HTI terus melakukan penetrasi gagasan ke tengah masyarakat. Pada tahun pertama
setelah kemunculannya, HTI berhasil menyelenggarakan konferensi khilafah internasional yang
pertama untuk menegaskan kehadirannya di Indonesia. Tercatat sekitar 2000 orang menghadiri
debut pertama HTI di ranah publik tersebut. Pada tahun 2007, HTI kembali menggelar konferensi
internasional dan dihadiri sekitar 80.000-90.000 orang.196 Sementara pada tahun 2013, sekitar

194
Mohammad Iqbal Ahnaf, “Tiga Jalan Politik Islam di Indonesia,” Wawasan: Jurnal Ilamiah Agama dan
Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 1-14, 9.
195
Muhtadi, Burhanuddin, “The Quest for Hizbut Tahrir in Indonesia,” Asian Journal of Social Science 37
(2009): 623-645, 626.
196
Mohamed Nawab Mohamed Osman, Hizbut Tahrir Indonesia and Political Islam: Identity, Ideology and
Religio Political Mobilization (UK: Routledge, 2018). Tapi Burhanuddin Muhtadi dalam artikelnya menyebut
jumlahnya sekitar seratus ribu lebih. Burhanuddin Muhtadi, “The Quest for Hizbut Tahrir in Indonesia”, 625.

170 | L a p o r a n A k h i r
100.000 orang diprediksi menghadiri Muktamar HTI di stadion Gelora Bung Karno.197 Hal ini
merupakan sebuah lompatan kemajuan yang cukup besar mengingat HTI adalah organisasi yang
sudah dilarang di banyak negara.

Dalam gerakannya, HTI sebagaimana mengikuti HT melewati tiga tahap gerakan. Pertama,
pembinaan (tastqif), yang bermaksud menghimpun kader-kader inti. Bila kader-kader inti telah
terbentuk, maka tahap selanjutnya (yang kedua) yaitu berinteraksi dengan masyarakat (tafa’ul
ma’al ummah) untuk proliferasi gagasan. Dalam tahap ini ditempuh empat strategi (1)
membongkar makar kekuatan anti Islam (kasyful khuttah), (2) kritik atas kebijakan-kebijakan
pemerintah (kifah siyasi), (3) perang pemikiran (shira’ al-fikr), dan (4) pembelaan atas
kepentingan umat (tabanni mashalih al-ummah). Bila dukungan publik sudah cukup kuat,
terutama dengan dukungan militer, politik dan masyarakat (ahl al-quwwah), maka tahap
selanjutnya (tahap tiga) adalah pengalihan kekuasaan menuju kekhilafahan.198

HTI memegang prinsip berdakwah dengan pemikiran dan menolak penggunaan senjata dan
kekerasan. Tanpa memahami tujuan/cita-cita gerakannya, yaitu mendelegitimasi sistem
pemerintahan non-Islam dan berniat menggantinya dengan khilafah, juga eksklusifitas pandangan
keagamaannya, akan sulit memahami proses radikalisasi oleh HTI. Organisasi ini cukup modern
dari segi manajemen dan cukup militan dalam gerakan. Dari banyaknya gerakan politik Islam di
Indonesia, HTI adalah satu-satunya organisasi yang dikontrol oleh kepemimpinan dari luar,
ideologinya berasal dari sumber teks Timur Tengah dan agenda politiknya bersifat transnational.199
Gerakan ini menginginkan berdirinya supremasi Islam melalui berdirinya khilafah Islamiyah,
yaitu sebuah sistem pemerintahan yang menyatukan negara-negara Muslim dalam satu otoritas
kepemimpinan di bawah Khalifah. Khilafah Islamiyah sebagaimana diinginkan oleh HT dan tentu
saja HTI—menolak konsep negara-bangsa dan demokrasi, yang dianggap sebagai warisan
kolonialisme Barat. Menurut mereka, sistem demokrasi tidak menyelesaikan masalah umat karena
keputusan diambil berdasarkan jumlah suara terbanyak. Sementara di dalam sistem khilafah Islam,
keputusan diambil berdasarkan ketentuan al-Qur’an dan sunnah. Semua hukum buatan manusia
termasuk demokrasi rentan mengalami kekeliruan, sehingga satu-satunya hukum yang perlu

197
“Mukatamar Khilafah, 100 Ribu Warga Hizbut Tahrir penuhi GBK,” Republika, 2 Juni 2013.
https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/06/02/mnqzdo-muktamar-khilafah-100-ribu-warga-hizbut-
tahrir-penuhi-gbk. (Diakses 2 Maret 2020).
198
Mohammad Iqbal Ahnaf, “Tiga Jalan Politik Islam di Indonesia,” 9.
199
Burhanuddin Muhtadi, “The Quest for Hizbut Tahrir in Indonesia,” 625.

171 | L a p o r a n A k h i r
diikuti adalah hukum Tuhan. Bagi HTI, semua permasalahan manusia bersumber dari pengabaian
hukum-hukum Allah, sehingga solusi dari semua permasalahan tersebut adalah kembali kepada
hukum-hukum agama melalui tegaknya khilafah Islamiyah.

Pembubaran dan Perubahan Pola Mobilisasi

Persebaran paham radikal tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia membutuhkan enabling
environment yang memungkinkan gagasan tersebut dapat tumbuh dan berkembang. Bila dalam
studi-studi sebelumnya lingkungan pendukung tersebut sering dikaitkan dengan permasalahan
ekonomi yang timpang, penelitian-penelitian yang muncul belakangan memberi gambaran baru
yang lebih kompleks. Kelompok sosial yang berada di balik gerakan Islamis seperti HTI
kebanyakan adalah kalangan kelas menengah atas yang tidak mengalami alienasi secara ekonomi,
namun mungkin mengalami alienasi secara politik. Tidak terakomodasinya kebutuhan atas
ideologi politik yang mereka usung dalam ruang politik Indonesia saat ini menjadi satu dari sekian
enabling environment bagi militansi HTI akhir-akhir ini. Tingginya tekanan terhadap kelompok
ini justru menambah kekuatan HTI untuk merapatkan barisan. Fokus HTI adalah mengkulturkan
gagasan khilafah dalam masyarakat Muslim. Proliferasi gagasan kini dilakukan dalam banyak
cara, dan salah satu cara yang paling jelas adalah melalui gerakan sosial media dengan para
milenial sebagai target.

Meski jumlah anggota HTI relatif kecil dibandingkan dua organisasi besar Islam Indonesia,
NU dan Muhammadiyah, gerakan HTI cukup signifikan memberi warna dalam dinamika wacana
Islam Indonesia. Paling tidak dengan mengamati pertumbuhan gerakan hijrah, posisi HTI berada
pada garda depan dalam mengubah landscape keagamaan Indonesia untuk menjadi lebih syar’i,
tanpa bermaksud menafikan gerakan dakwah lainnya seperti Salafi dan kelompok tarbiyah. Namun
dilihat dari militanisme gerakan, HTI cenderung lebih keras menggaungkan ide-ide Islam
fundamental.

Ruang-ruang yang menjadi enabling environment bagi mobilisasi HTI sendiri cukup luas.
Meski pada ranah politik sedikit terbatasi, di ruang kultural, mereka cukup leluasa untuk
memainkan strateginya. Semenjak pembubaran, HTI bertransformasi menjadi sel-sel yang
bergerak bebas di masyarakat dan melebur ke dalamnya. Mereka tidak membatasi interaksi hanya

172 | L a p o r a n A k h i r
dengan komunitasnya saja namun melebur dengan yang lain. Tidak mengherankan bila anggota
HTI banyak dijumpai di berbagai lini; di kampus, perkantoran, berbagai bidang usaha, bahkan di
BUMN. Meski menyatu dengan masyarakat, mereka membentuk jaringan sendiri untuk
komunikasi dan konsolidasi. Bentuk jaringannya sangat beragam, mulai dari kajian keislaman,
acara keagamaan, bisnis syariah, maupun komunitas seni yang secara aktif mengkampanyekan
ide-ide khilafah.

Namun begitu, HTI juga menghadapi tantangan yang beragam, mulai dari peraturan
pemerintah yang semakin ketat, gerakan keagamaan kontra radikalisme yang terus menguat, dan
sentimen sosial-kultural terhadap HTI yang dianggap tidak nasionalis. Meskipun hal tersebut tidak
menyurutkan militansi HTI dalam mempropagandakan khilafah, bentuk penyempitan ruang
tersebut membuat HTI bersikap ekstra hati-hati dalam menentukan Langkah, termasuk dalam
membangun komunikasi dengan komunitas di luar HTI. Dengan fakta ini, tidak mudah bagi
anggota HTI membuka identitas mereka seperti sebelumnya.

Penelitian yang dilakukan sejak pertengahan Desember 2019 ini menyimpulkan bahwa
paskapembubaran, HTI melakukan perubahan pola gerakan. Bila pada tahun awal legalisasi, HTI
percaya diri bermanuver di ranah publik, kini mereka harus menempuh jalan melingkar untuk
mencapai target-targetnya. Model komunikasi ide tentang khilafah tidak dilakukan lagi secara
langsung tetapi menggunakan bahasa dan model kajian yang lebih netral tanpa menggunakan label
HTI. Mereka bermutasi menjadi sel-sel yang menunjukkan pola gerakan yang semakin cair. Meski
beberapa program sangat segmented dengan target dakwah kalangan tertentu, pada dasarnya
gerakan tersebut adaptif terhadap konteks di lapangan. Tidak aneh bila HTI berhasil merangkul
banyak kalangan termasuk para tokoh nasional, masuk ke berbagai sektor bisnis, melebur ke
berbagai komunitas dan membuat event dengan pengikut dari berbagai kalangan.

a. Jalan Melingkar

Sebagaimana sudah sedikit dipaparkan dalam sub-bab sebelumnya, HTI cenderung


percaya diri dengan gerakan yang mereka kembangkan. Pada momen pascareformasi, HTI
cenderung cepat merespon isu-isu yang berkembang dan merekrut banyak orang melalui
kemampuan komunikasi publik yang meyakinkan. HTI menggunakan cara-cara dakwah yang
tidak ditutup-tutupi. Bahkan mereka cenderung terang-terangan melakukan aksi dan
menyelenggarakan international conference dengan penjagaan polisi, tanpa khawatir akan
173 | L a p o r a n A k h i r
dibubarkan. Audiensi dengan berbagai pihak juga sering dilakukan. Sekitar tahun 2007an, HTI UII
bersama bersama pimpinan HTI DPD II Sleman aktif melakukan audiensi di lingkungan kampus
UII, UGM dan UMY.200

Pengalaman HTI berada dalam kondisi di mana ia harus bergerak di bawah tanah
membuatnya tumbuh menjadi organisasi yang oportunis. Setiap kesempatan akan digunakan untuk
dakwah/sosialisasi dan merekrut lebih banyak anggota, sehingga tanpa menunggu lama
perkembangan HTI melaju melampaui MMI dan FPI, salah satunya karena tingkat mobilisasi dan
kemampuan logistik HTI yang cukup maju. HTI mempunyai kantor di hampir seluruh wilayah
Indonesia201 meskipun kini banyak kantornya yang beralih fungsi. Kantor HTI di Bogor misalnya,
bertransformasi menjadi kantor pemasaran DPS (Developing Property Shariah) dan penerbit Al-
Azhar, yang merupakan salah satu sayap penerbitan HTI.

Pergerakan HTI paskareformasi menunjukkan tingkat mobilitas yang tinggi. Tercatat


mereka berhasil melaksanakan kegiatan-kegiatan besar dan menyebar jaringan hingga pelosok
tanah air. Memang untuk jumlah anggota mereka sedikit tertutup, namun jumlahnya kini (dengan
menaksir 100.000 orang hadir di Muktamar 2013 di Senayan) dimungkinkan mencapai ratusan
ribu bahkan jutaan. Hal ini masih harus ditambah dengan orang-orang yang tidak secara resmi
terdaftar di HTI, namun mengusung aspirasi yang kurang lebih sama tentang khilafah. Ustadz-
ustadz yang tergabung dalam Muslim United (gerakan persatuan beberapa harakah paska gejolak
politik 2016) misalnya, cenderung menerima isu-isu yang digaungkan HTI, baik itu tentang
khilafah, hijrah, dan liwa’rayah.

Meski status hukumnya dicabut pada tahun 2017, gerakan HTI tidak menunjukkan indikasi
akan mati. Pembatasan ruang di wilayah struktural justru merupakan titik tolak HTI untuk mencari
ruang yang lain. Zulfadli (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa HTI menjadikan tiga
arena sebagai medan perjuangan: (a) arena berbasis institusi meliputi masjid, sekolah dan kampus,
(b) arena berbasis komunitas seperti komunitas takmir, majelis taklim, komunitas dosen dan

200
Illya Muhsin, “Gerakan Penegakan Syariah: Studi Gerakan Sosial Hizbut Tahrir Indonesia di DIY”,
Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Vol. 12, No.1 (Juni 2012): 43-61, 57.
201
Mohammad Iqbal Ahnaf, “Tiga Jalan Politik Islam di Indonesia” 10.

174 | L a p o r a n A k h i r
mahasiswa, dan (c) arena berbasis birokrasi/lembaga pemerintahan.202 Hingga kini, arena-arena
ini masih menjadi wilayah mobilisasi HTI meskipun strategi yang digunakan sedikit berbeda.

Hingga kini HTI aktif mengelola lingkungan tempat mereka berkembang, baik dari segi
internal maupun eksternal. Namun konteks politik Indonesia tidak memungkinkannya untuk terus
menggunakan cara-cara lama. HTI kini lebih berhati-hati sehingga programnya lebih banyak
dilakukan tertutup tanpa label organisasi. Model gerakan melingkar ini menjelaskan bahwa HTI
tidak lagi menggunakan cara-cara langsung untuk sampai kepada tujuannya. Mereka terpaksa
mencari jalan memutar melalui berbagai program tanpa menunjukkan identitas organisasi.

Beberapa program yang masih diselenggarakan di antaranya:

1. Halaqah
Halaqah adalah lingkar studi yang dilakukan untuk mengkaji gagasan Hizbut Tahrir.
Setidaknya, ada tiga jenjang halaqah dalam HTI: 1) Halaqah ‘am yang merupakan kegiatan
awal merekrut anggota. Halaqah ini dilakukan rutin setiap minggu. 2) Halaqah daris yang
ditujukan untuk calon kader-kader HTI. Halaqah ini digunakan untuk mempersiapkan
anggota agar memahami pokok-pokok pikiran Hizbut Tahrir,203 3) Halaqah hizb ditujukan
untuk anggota resmi HTI.204 Halaqah-halaqah di HTI kebanyakan dilakukan secara tertutup
meski terkadang mengundang peserta dari luar. Untuk halaqah ‘am sendiri, kader HTI
menggunakan istilah yang beragam, terkadang disebut diskusi, seminar atau forum
intelektual. Untuk halaqah ‘am di kalangan mahasiswa, isu-isu yang dibahas adalah isu-isu
kontekstual, cenderung bertemakan politik, ekonomi dan pendidikan. Lokasi halaqah
berpindah-pindah tergantung dari kesiapan penyelenggara. Mahalli UGM sering
mengadakan acara dengan menyewa ruang di café, pertokoan atau hotel. Dengan fasilitas
yang memadai, halaqah dikemas dengan konsep yang menarik dan menyenangkan dengan
alunan musik, door prize, pemutaran video dan pembacaan puisi. Sementara mahalli UIN
dan UNY berkegiatan secara lebih sederhana di ruang ruang terbuka. Dari hasil wawancara,

202
Zulfadli, “Infiltrasi Gerakan Hizbut Tahrir: Studi terhadap Gerakan Hizbut Tahrir di Yogyakarta,” Turast:
Jurnal Penelitian dan Pengabdian Vol. 1, No.1 (Januari-Juni 2013).
203
Ada 4 kitab yang dikaji dalam halaqah ini yaitu; nidzam al-Islam, At-Takkatul Al-Hizbi, Mafahim Hizb
al-Tahrir dan Min Muqawwimat al-Nafsiyyah Al-Islamiyah.
204
Illya Muchsin, Gerakan Penegakan Syariah Studi Gerakan Sosial Hizbut Tahrir Indonesia di DIY, 55.

175 | L a p o r a n A k h i r
masing-masing mahalli memiliki model sendiri-sendiri dalam penyelenggaraan (karena
budget yang berbeda), meski materi kajiannya relatif sama.205
Selain dilakukan melalui pertemuan-pertemuan tertutup, halaqah juga
sering dilakukan melalui fasilitas media online seperti Whatsapp atau telegram. Kegiatan
diskusi biasanya dilakukan setiap minggu dan berlangsung selama satu sampai dua jam.
Tema diskusi biasanya adalah isu-isu aktual dengan pemateri diskusi dari kalangan anggota
sendiri. Selain melalui halaqah, pengenalan ajaran HTI juga dilakukan melalui forum
intelektual. Forum intelektual dilakukan secara tertutup dengan peserta terbatas, yang lebih
banyak dihadiri oleh kalangan HTI sendiri. Sebagai gerakan pemikiran, kegiatan HTI
memang tidak lepas dari forum-forum semacam ini, terlebih dengan kader-kader yang
kebanyakan berasal dari kalangan berpendidikan. Beberapa forum yang didokumentasikan
Media Umat (Salah satu media berafiliasi HTI), misalnya Diskusi Tokoh Jatim: Semangat
Kolaborasi Peduli Negeri pada Agustus 2019, mengundang tokoh-tokoh intelektual HTI
seperti Suteki, Daniel M. Rosyid, Ichsanuddin Noorsy, Aminudin Kasdi, Wahyudi Al-
Maroky, dsb. Lalu pada tanggal 15 Desember 2019, komunitas Silaturahmi Pekerja
bekerjasama dengan komunitas Buruh Rindu Surga mengadakan workshop silaturahmi
pekerja dengan tema Evaluasi Menyeluruh Kebijakan Buruh Demi Terwujudnya
Kesejahteraan yang Berkeadilan. Narasumber yang dihadirkan tidak jauh berbeda dari
diskusi-diskusi biasanya. Tercatat di antaranya adalah Ichsanudin Noorsy, Ahmad
Khozinudim (Ketua LBH Pelita), Wahyudi al-Maroky (Direktur Pamong Institute), M. Amin
(Direktur Poverty Care), Edy Mulyadi (Sekjen GNPF Ulama), Mas Umar Syarifudin dan
Abah Soemali. Sehari sebelumnya pada tanggal 14 Desember 2019, digelar FGD mengenai
Radikalisme, Pembangunan Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi Pasca 212.
Pembicaranya kurang lebih sama, yaitu: Ismail Yusanto, Edy Mulyadi (GNPF Ulama),
Ahmad Khozinudin (LBH Pelita), Wahyudi Al-Maroky (Pamong Institute). Kegiatan
halaqah HTI biasanya menghadirkan pembicara yang sama dan materi mengenai isu yang
tengah berkembang.
Dalam FGD di Surabaya pada tanggal 14 Desember tersebut, Ahmad Khozinuddin
melontarkan pernyataan menarik tentang sikap HTI terhadap undang-undang:
Setiap yang ada dihadapan kita tentu kita akan hadapi. Karena kita seorang Muslim
tentu pertama pandangan akidah Islam yang akan menjadikan sarana kita untuk

205
Wawancara dengan Desi, 27 Januari 2020.

176 | L a p o r a n A k h i r
bertindak apakah ini wajib, halal, makruh, dst. Yang kedua, kita akan melihat sisi
perundangan karena kita bagian dari warga Negara. Apa yang harus kita lakukan
berdasarkan ketentuan peraturan perundangan yang ada. Satu sisi kita terikat
dengan aqidah Islam, sisi yang lain kita tetap menjalankan tata karma dalam
bernegara, yatu tetep menghargai. Meskipun kadang-kadang kalau saya lihat ini
negaranya yang tidak menghargai aturannya. Rakyat diminta taat terhadap hukum
dan peraturan perundang-undangan sementara Negara begitu telanjang
mempertontonkan praktik pelanggaran hukum dalam bernegara. Sayangnya kalau
pelanggaran hukum dalam bernegara itu bukan tindak pidana, dia pelanggaran
konstitusi yang seharunya wakil kita di DPR itu melakukan koreksi yang ujung
koreksi itu bisa memasuk proses pemakzulan yang kemudian bisa diadili di
Mahkamah Konstitusi. Sayangnya memang taka da narasi cek and balance itu. Tak
ada kekuasaan itu dibagi eksekutif, yudikatif atau legislatif. Tapi kekuasaan itu
sebenarnya tunggal, jadi mitos saja kalau dalam demokrasi itu ada kekuasaan yang
bisa saling mengontrol. Yang benar adalah kekuasaan itu pada akhirnya saling
mengkooptasi. Dan kekuasaan yang paling besar itu akan melakukan kooptasi
paling besar kepada elemen kekuasaan yang lain.”206

Baginya, mengikuti mekanisme perundang-undangan yang ada merupakan bentuk tata


krama dalam bernegara. Meskipun tidak meyakini demokrasi sebagai pemerintahan ideal,
menaati perundangan yang ada adalah keharusan setiap warga negara.
Momen semacam ini digunakan sebagai forum komunikasi antaranggota untuk
konsolidasi dan penguatan persaudaraan dalam gerakan. Dengan halaqah rutin yang
dilakukan setiap Minggu, HTI berhasil mencetak kader-kader yang militan. HTI tidak
terlalu fokus pada jumlah anggota. Mereka lebih fokus pada penyebaran gagasan khilafah
yang lebih luas dan berakar di masyarakat. Dalam salah satu wawancara dengan aktifis
HTI, ia menyatakan bahwa tujuan HTI adalah memperkenalkan dan membumikan gagasan
khilafah di tengah masyarakat. Masyarakat tidak harus terdaftar sebagai anggota HTI.
Asalkan masyarakat memahami pentingnya pendirian khilafah, pemindahan kekuasaan
menuju khilafah akan otomatis terlaksana.207
Di luar komunitas intelektual, HTI juga membentuk Multaqa ulama
Aswaja/Mudzakarah Tokoh dan Ulama/Jalsah Ammah Ulama. Multaqa ulama adalah
forum perkumpulan para ulama dalam jaringan HTI. Multaqa ini selenggarakan setiap
bulan dan umumnya dihadiri oleh kalangan mereka sendiri. Jaringan ini tersebar di

206
“FGD: Radikalisme, Pembangunan Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi,” Instagram @mediaumat,
16 Desember 2019.
207
Wawancara dengan Nur, 27 Januari 2020.

177 | L a p o r a n A k h i r
berbagai kota di Jawa Timur seperti Probolingo, Surabaya, Sidoarjo, Bondowoso,
Pasuruan, Jember, Lumajang, Kediri, Bojonegoro, Ngawi, Lamongan, Malang, Gresik,
Tuban, Jombang dan Nganjuk, Jabodetabek seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan
Bekasi, Jawa Barat seperti Garut, Sumedang, Bandung, Purwakarta, Karawang, Sukabumi,
juga Madura, Banten, DIY (Gunung Kidul) dan beberapa kota di luar pulau Jawa seperti
Palembang, Banjarmasin, Lampung, Samarinda, Pontianak, Pangkal Pinang, Bukittingi,
Tanjung Morawa, Makasar dan Palu. Berdasarkan peta sebaran tersebut, jaringan ulama
HTI seperti ini tidak cukup berkembang di Jawa Tengah, sebagian DIY dan kebanyakan
kota-kota di luar pulau Jawa.
Halaqah ini diisi dengan diskusi tentang khilafah. Beberapa contoh tema yang
dibahas termasuk, misalnya pada Multaqa di Pasuruan tanggal 14 Maret 2020, “Tragedi
India Bukti Kegagalan Nasionalisme Melindungi Umat.” Pada waktu yang bersamaan, di
Pasuruan juga diselenggarakan Multaqa ulama dengan tema “Khilafah adalah Kewajiban
dan Solusi.” Sementara pada tanggal 7 Maret 2020 juga diadakan Multaqa bertema“Jangan
Ragu untuk Mendakwahkan Khilafah.” Bila dilihat dari penyelenggara dan peserta yang
hadir, multaqa ini dilaksanakan di tingkat mahalli/wilayah operasional, bukan di tingkat
kota, sehingga di Pasuruan, dua mahalli bisa membuat dua kegiataan yang bersamaan
dengan tema dan anggota yang berbeda. Hal yang sama terjadi di Bogor. Multaqa Ulama
dilakukan di dua tempat yang berbeda dengan tema dan peserta yang berbeda. Kegiatan
yang pertama pada tanggal 13 Maret 2020 bertema “Rajab, Bulan Kebangkitan Umat
Islam,” dan yang kedua pada tanggal 14 Maret 2020 dengan tema “Sholat dan Kewajiban
Meletakkan Hukum Allah atas Konstitusi.”
Berbeda dengan diskusi di forum intelektual yang cukup tajam, isu-isu yang
dibahas dalam Multaqa Ulama ini cenderung lebih normatif. Beberapa contoh selain yang
disebutkan di atas di antaranya adalah “Hanya dengan Syariah Islam Kita akan Hidup
Aman dan Sejatera,” “Khilafah Warisan Rosulullah,” “Rajab Bulan Penegakan Hukum
Allah,” “Khilafah Pemersatu dan Perisai Umat,” “Penerapan Sistem dan Undang-Undang
Buatan Manusia Pangkal Semua Kemudhorotan”. Kegiatan yang dilaksanakan oleh
masing-masing komunitas ulama HTI tersebut terdokumentasikan dalam media Shautul
Ulama dalam https://shautululama.co/.
2. Daurah/Training

178 | L a p o r a n A k h i r
Selain halaqah, HTI juga melakukan rekrutmen melalui daurah atau training. Salah
satu yang paling menonjol dari gerakan ini adalah YukNgaji, sebuah gerakan yang
diinisiasi oleh Felix Siauw dan muncul di tengah publik melalui video Youtube pada bulan
Juli 2015. Dalam pelaksanaannya, YukNgaji dipimpin oleh Husein Asadi dan beberapa
kader muda HTI seperti Fuad Naim, Hawariyun, Shifruun, Weemar Aditya, dsb.
Selama lebih dari empat tahun melakukan dakwah, gerakan ini tidak banyak
mengalami perubahan kecuali dalam pengemasan konten yang lebih beragam. Event-event
yang diadakan komunitas YukNgaji terekam dalam akun Instagram @yukngajiid.
Terhitung sejak awal berdirinya, YukNgaji sudah mengadakan berbagai macam kegiatan
daurah/training di beberapa kota dengan peserta yang cukup banyak. Gerakan ini sudah
berkembang bahkan sebelum HTI dibubarkan. Pada tahun 2016 saja, YukNgaji berhasil
menyelenggarakan seminar-seminar di beberapa kota baik di kampus, sekolah, pesantren
maupun di hotel-hotel dengan melibatkan lebih banyak peserta. Dalam satu tahun
gerakannya, YukNgaji sudah melakukan daurah/training terhadap puluhan ribu peserta
baik dari kalangan HTI maupun non-HTI.
Kegiatan yang lebih khusus yang dimaksudkan sebagai media penyebaran idelogi
HTI adalah KEY (Kelas Eksekutif YukNgaji) yang sejak tahun 2016 juga sudah melakukan
training terhadap peserta yang lebih serius belajar agama. Materi yang diberikan
merupakan materi-materi yang diajarkan Fatih Karim kepada Felix Siauw, yaitu tentang
fondasi keimanan dan ketakwaan, meliputi mafahim kehidupan, mafahim kebenaran,
finding God, will of God.
Kini komunitas YukNgaji telah tersebar di 45 kota di Indonesia dengan event-event
yang lebih beragam. Narasi yang dibangun berorientasi pada gerakan hijrah, salah satunya
adalah hijrah dari budaya asing melalui konsep dehallyusinasi dan Xkwavers. Keduanya
berusaha membangun kesadaran generasi milenial untuk meninggalkan hal-hal yang
dianggap tidak bermanfaat seperti kegemaran terhadap K-pop dan budaya-budaya yang
dianggap tidak Islami.

179 | L a p o r a n A k h i r
Figure 1: Unggahan di akun Instagram @yukngajiid @xkawavers

YukNgaji merangkul generasi muda dari berbagai kalangan untuk berhijrah.


Dengan narasi persaudaraan sesama Muslim, YukNgaji berhasil menarik minat banyak
generasi muda untuk bergabung:208
“Kalau misalnya teman-teman di luar sendiri, yuk sama-sama kita di sini hijrah
bareng”
“Cobalah ngaji tuh yang cerdas gitu lo. Karena fiqh itu luas, kadang cuma hati kita
aja yang sempit untuk menerimanya. Jangan sampe kita tuh sering ngaji, tapi malah
tajam kepada saudara Muslim sendiri. Tunjukkan ukhuwah yang baik. Semakin
sering antum ngaji, semakin kuat antum menjalin ukhuwah. Dan Islam akan bangkit
dari jalinan Islam yang kuat. Makanya yuk mari kita bareng terus berjamaah
bersama-sama”.
Dalam perkembangannya, YukNgaji melalui program NgeFast juga membuat beberapa
program untuk memfasilitasi berbagai kalangan termasuk pasangan suami istri (NgeFast

208
Akun instagram Ngefast @ngefast, 30 Januari 2019.

180 | L a p o r a n A k h i r
couple) dan anak-anak (NgeFast for kids). Kajiannya dikemas mengikuti selera anak muda.
Bila banyak komunitas hijrah cenderung menggunakan kata-kata Islami, YukNgaji dengan
berbagai programnya menggunakan kata-kata yang lebih popular dan dekat dengan anak
muda. NgeFast disebut sebagai ‘Training Center’ bukan kajian apalagi majelis taklim.
Sementara ustadz yang mengampu disebut trainer, bukan ustadz atau kyai. Dalam hal
pembiayaan, dana operasional YukNgaji dalam setiap kegiatan dilakukan melalui
kontribusi peserta dan penjualan merchandise YukNgaji berupa kaos, topi, notes,
gantungan kuci, tas, tumbler, dsb.

a. Pola Gerakan yang Mencair

Paska pembubaran, pola gerakan HTI semakin cair. Dalam kaitannya dengan
proses dakwah, kebijakan tidak bersifat instructional dan procedural harus mengikuti
komando dari pusat. HTI kini lebih terbuka terhadap berbagai alternatif dan peluang yang
tersedia. Ada semacam delivered authority bagi para anggota HTI untuk berdakwah dan
berjihad dengan cara yang mereka bisa untuk menyelamatkan organisasi.

Gerakan yang mencair ini bergerak terus mencari ruang. Sebagaimana telah dibahas
di awal, HTI kini memecah menjadi sel-sel. Munculnya beragam komunitas, program dan
gerakan adalah bentuk lain dari perjuangan mempertahankan harakah setelah jalan
struktural melalui kelembagaan HTI menemui jalan buntu. Beberapa dari komunitas ini
sebetulnya sudah ada bahkan sebelum pembubaran, namun menjadi semakin militan justru
setelah HTI dibubarkan. Kader-kader HTI sendiri sangat beragam. Meski mengusung
ideologi yang sama, jalan dakwah yang mereka tempuh seringkali berbeda. Beberapa tokoh
melakukan kerjasama dengan komunitas-komunitas lain di luar HTI dan menyebarkan
gagasan melalui jaringan tersebut.

1. Muslim United (MU)


Muslim United merupakan gerakan persatuan beberapa harakah paska gejolak
politik 2016. Salah satu inisiator gerakan ini adalah Nanang Syaifurozi yang mengadopsi
pandangan-pandangan HTI. Nanang adalah pelaku bisnis, pemilik “Rumah Warna”,
sebuah rumah produksi tas dan dompet khusus wanita. Ia telah menggeluti bisnis ini sejak
tahun 2002, kemudian tergerak untuk berhijrah sekitar tahun 2016. Kegelisahannya
melihat berbagai komunitas Islam saling menyalahkan membuatnya tergerak untuk
181 | L a p o r a n A k h i r
membuat satu wadah bagi persatuan umat Islam. Pada bulan Oktober 2018, Nanang
bersama beberapa tokoh seperti Fani (Jogokaryan), Syukri Fadloli (Forum Ukhuwah
Islamiyah DIY), Andi Antoni (Mualaf Center Indonesia), Akhid (Teras Dakwah) dan
beberapa tokoh kunci dalam gerakan Muslim United ini menggelar acara pertama dalam
bingkai Tablig Akbar pada tanggal 16-18 Oktober 2018 di Masjid Gedhe Kauman
Yogyakarta. Muslim United kedua digelar pada 11-13 Oktober 2019 di Masjid
Jogokaryan.209
Figur-figur seperti Ustadz Abdus Shomad (UAS), Ustad Adi Hidayat (UAH), Felix
Siauw, Oemar Mita, Hannan Attaki, Muhammad Bin Anies Shahab dan Lukmanul Hakim
didaulat sebagai guru-guru yang menjadi simbol persatuan umat. Meski datang dari realitas
keagamaan yang berbeda, mereka dianggap mampu memberikan teladan ukhuwah
Islamiah di atas semua golongan. Guru-guru tersebut kemudian disebut dengan the
Avengers dan menjadi icon bagi ukhuwuah Islamiyah yang digagas Muslim United.
Kegiatan silaturahmi Muslim United menjadi titik tolak gerakan MU selanjutnya.
Didorong semangat berkontribusi untuk masyarakat, gerakan Muslim United meluaskan
ruang gerak menjadi yayasan filantropi pada tahun 2019 dengan nama Muslim Ukhuwwah.
Dengan perubahan ini, Muslim United mengaplikasikan manajemen professional terkait
pengelolaan. Di dalam visinya disebutkan bahwa tujuan Yayasan Muslim United adalah
“Menjadi lembaga filantropi Islam yang kredibel, kreatif, dan inovatif yang berperan aktif
dalam amal sholeh untuk masyarakat dalam peradaban Islam.” Untuk mencapai visi
tersebut, Muslim United memiliki misi:
1. Mengkampanyekan pentingnya ukhwah Islamiyah kepada umat Islam dengan
menyelenggarakan berbagai event dakwah dan sosial.
2. Membantu kesejahteraan masyarakat agar mendapatkan kehidupan yang
layak dari sisi materi maupun pendidikan.
3. Turut serta membantu saudara-saudara kita yang ada di Syam.
4. Turut serta dalam gerakan membangun negeri melalui aktifitas kampanye
lingkungan seperti less waste, go green, dll.

209
Wawancara dengan Nanang Syaifurozi, 29 Januari 2020.

182 | L a p o r a n A k h i r
5. Mengelola dan memberdayakan dana baik dari hasil usaha Yayasan yang
profitable maupun infak, sedekah, wakaf, dan donasi untuk kegiatan Yayasan
di bidang sosial dan dakwah.

Dengan visi misi sebagaimana di atas, Muslim United mengembangkan gerakannya


dengan fokus pada pengembangan pada tiga hal: (a) amal usaha, (b) amal sosial/dakwah,
(c) amal pendidikan.

Amal usaha dilakukan mengingat gerakannya membutuhkan biaya. Dari


wawancara dengan Nanang Syaifurozi, event pertama Muslim United menghabiskan dana
kurang lebih 800 juta. Sedangkan di kegiatan kedua sebesar 2,9 M. Dengan kebutuhan yang
cukup besar dalam setiap kegiatannya, ditambah kebutuhan dana untuk keperluan
mobilisasi, Muslim United membutuhkan pendanaan yang besar untuk operasional.
Beberapa sumber pendanaan Muslim United diperoleh dari donasi dan penjualan
merchandise. Donasi diperoleh melalui infaq dan fundraising. Dari donasi ini, Muslim
United membaginya untuk kegiatan sosial, pendidikan dan dakwah; ¼ untuk ATM beras,
¼ untuk pendidikan di pesantren At-Tasnim, ¼ untuk donasi dunia Islam seperti Palestina,
Uyghur, Rohingya, dsb, dan ¼ sisanya untuk membiayai kajian-kajian yang
diselenggarakan.210

Dari penjualan marchendise seperti kaos, tumbler dan topi, Muslim United
melakukan pendanaan terhadap operasional di lapangan; termasuk menggaji karyawan dan
mengembangan jaringan. Dari berjualan tumbler saja, dengan estimasi penjualan 5000 pcs
per bulan dan keuntungan per botol sebesar Rp. 10.000,00, Muslim United mampu
mengumpulkan dana sekitar 50 juta setiap bulan.211

Kampanye hijau Muslim United melalui tagar #lesswaste dan


#bringyourowntumbler turut mendukung amal usaha melalui penjualan merchandise ini.
Gerakan #lesswaste dan #bringyourowntumbler dalam setiap kajian turut mendukung
implementasi visi dan misi MU sendiri. Dengan menjalin kerjasama dengan komunitas dan
pengusaha-pengusaha hijrah seperti menyediakan tumbler untuk kegiatan yang

210
Wawancara dengan Nanang Syaifurozi, 29 Januari 2020
211
Wawancara dengan Nanang Syaifurozi, 29 Januari 2020

183 | L a p o r a n A k h i r
diselenggarakan oleh para mitranya, Muslim United mampu menggerakkan amal usaha
untuk pembiayaan berbagai kegiatan dan pengembangan pendidikan.

Meski secara kelembagaan MU tidak resmi berafiliasi dengan HTI, Muslim United
menyediakan ruang bagi HTI untuk berkembang. Beberapa yang menjadi indikasinya
adalah (1) keterlibatan tokoh HTI dalam gerakan ini. Keterlibatan tersebut cukup kuat
dengan Felix Siauw masuk dalam kelompok the Avengers, ustadz-ustadz yang menjadi
backbones dakwah Muslim United. (2) Kompleks rumah Warna (Kantor MU) sering
digunakan untuk kajian-kajian HTI, termasuk kantor YukNgaji Jogja berada di lokasi
tersebut. (3) Pandangan politik Nanang Syaifurozi, selaku ketua Yayasan Muslim
Ukhuwah yang terang-terangan mendukung khilafah, dalam wawancara di Rumah
Warna212 ia menyebut:

“Saya itu pernah bertanya ke ustadz-ustadz Avengers itu. Menurut ustadz-ustadz ini
kalau ngomongin khilafah ini bagaimana? Karena yang saya tahu, yang
memperjuangkan, ngomongin khilafah secara langsung itu hanya ustadz Felix Xiauw
atau Abdus Somad saja, kadang-kadang. Ya kan jadi momok gitu. Apa jawaban ustadz-
ustadz itu. Sekarang orang Islam, kalau tidak merindukan penerapan syariat yang
artinya itu khilafah, itu dipertanyakan apakah mereka beriman dengan Islam atau tidak.
Perkara perjuangan masing-masing itu dengan cara apa, kalau dakwahnya tidak
bermuara pada itu (khilafah), itu dipertanyakan”.
Saat dikonfirmasi apakah khilafah yang dimaksud identik dengan HTI, ia mengatakan:

“Itu hanya pemahaman orang yang terlalu sempit. Hanya yang menyuarakan secara
lantang di depan, tanpa aling-aling ya hanya HTI. Kalau yang lain misalnya kayak FPI,
ya Indonesia bersyariat, jadi nggak berani ngomong kata-kata khilafah. Sehingga,
khilafah itu identik dengan HTI. Khilafah itu bahasa al-Qur’an. Khilafah itu artinya,
pemimpinnya namanya khalifah, sementara sistemnya itu namanya khilafah. Itu orang
banyak yang tidak mengerti karena ketidaktahuan. Dulu saya memahami ini cukup
sempit. Begitu dipelajari lagi dari berbagai sumber; dan ternyata dari buku yang pelajari
dari SD itu, buku fikih Islam, buku induknya NU tapi yang di pasar-pasar. Di bab
terakhir itu ada pembahasan khilafah, ada kewajiban khilafah”.
Menurut Nanang, ustadz-ustadz yang tergabung dalam Muslim United mendukung
berdirinya khilafah. Mereka tidak berbeda pendapat tentang kewajiban mendirikannya.
Salim Fillah—meski tidak terafiliasi dengan HTI bahkan menulis sebuah novel berjudul
Sang Pangeran dan Jenissary Terakhir yang menarasikan keterlibatan orang-orang Turki

212
Wawancara dengan Nanang Syaifurozi, 29 Januari 2020

184 | L a p o r a n A k h i r
dalam perlawanan Diponegoro melawan Belanda. Meski hanya fiksi, novel tersebut
menunjukkan gagasan khilafah secara kultural menyebar di Indonesia.

2. Hijrah Festivals

Berawal dari jaringan MU, berbagai event hijrah diselenggarakan, mulai dari Hijrah
Festival, Saudagar Festival, Women Festival, dan event-event lain yang senada seperti
Halal Expo Indonesia, yang muncul sebagai ruang proliferasi gagasan keislaman yang
menjanjikan. Hijrah Festival atau sering disingkat dengan Hijrah Fest pertama kali digelar
pada tanggal 9-11 November 2018. Seperti mengulang kesuksesan Muslim United yang
diselenggarakan sebulan sebelumnya, Hijrah Fest berhasil menarik perhatian ribuan
Muslim urban untuk berpartisipasi. Tidak butuh waktu lama bagi gerakan ini menyebar ke
berbagai kota dan diadopsi berbagai komunitas hijrah sebagai model untuk
penyelenggaraan event yang sama. Di Palu, Semarang, Banten, dan beberapa kota besar
lainnya, berbagai festival hijrah diselenggarakan dengan mengundang tokoh-tokoh dari
Jakarta.

Arie Untung—inisiator Hijrah Fest— membandingkan programnya dengan


program Nanang Syaifurozi di Muslim United213:

“Beda gaya. Beda angel. Beda pendekatan. Beda set indoor dan outdoor. Tapi sama
tujuannya.”
“Persamaan lain, kita bukan ustadz, hanya modal nekat. Kalau ditanya kog
qodarullah bisa jalan? Jawabannya ‘wes wayahe’ (sudah waktunya). Kalau bukan
kita yang mulai ya pasti seseorang pasti akan mengambil peran ini.”
“Ketika merasa ada yang tidak sependapat, kemudian memproduksi hal sejenis
untuk menyaingi, alhmadulillah malah bagus. Karena dari mana pun yang
menjalankannya, yang diuntungkan adalah ukhuwahnya. Siapa pun yang membuat,
Inshaallah kita support.”
“Ranah dakwah bukan cuma milik ustadz-ustadz, tapi milik semua latar belakang.”
Pada tanggal 7-8 Maret 2020, Hijrah Fest menyelenggarakan Women Festive—
semacam Hijrah Fest khusus untuk kalangan perempuan. Sebagaimana dua
pendahulunya—Muslim United dan Hijrah Fest, Women Festive juga menjadi ruang

213
Akun instagram Arie Untung @ariekuntung, 15 Oktober 2019,
https://www.instagram.com/p/B3oI5eOHrVw/ (diakses 20 Maret 2020).

185 | L a p o r a n A k h i r
perluasan gerakan anggota HTI. Tokoh perempuan HTI seperti Ummu Sajjad (istri Fatih
Karim) dan Ummu Alila (Istri Felix Siauw) turut menjadi pembicara dalam forum tersebut.

3. Halal Expo

Event lain yang juga menjadi ruang dakwah anggota HTI adalah Halal Expo
Indonesia (HEI) yang melibatkan Fatih Karim sebagai penasihat dan tokoh-tokoh dalam
jaringan Muslim United dan Hijrah Fest sebagai pengisi acara dan/atau pembicara. Halal
Expo terselenggara berkat kerjasama komunitas hijrah, pemerintah dan pengusaha. HEI
pertama kali diselenggarakan pada tanggal 21-23 September 2018, yang kedua pada
tanggal 6-8 Desember 2019, sedangkan yang ketiga rencananya dilaksanakan pada tanggal
16-18 Oktober 2020. Selain Expo produk halal, acara ini diisi dengan berbagai ceramah
dari ustadz yang berbeda-beda dengan menyisipkan agenda Ngefast/yukngaji dalam
agenda tersebut.

Keterlibatan HTI dalam beberapa kerjasama penyelenggaraan event dakwah


tersebut menjadi ruang perluasan jaringan HTI ke berbagai sektor. Di sektor bisnis,
pengusaha-pengusaha HTI saling berkoordinasi dan mendukung. Di Yogyakarta,
komunitas pengusaha HTI semakin menemukan momentum untuk melakukan konsolidasi.
Jaringan Pengusaha Rindu Syariah (PRS) adalah jaringan pengusaha HTI yang aktif
menjalin kerjasama dalam penyelenggaraan event-event keislaman. Jaringan ini akan
dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya.

b. Dakwah yang Lentur

Sel-sel yang memecah paska pembubaran bergerak lebih leluasa di lapangan.


Mereka tidak terikat dengan kebijakan-kebijakan struktural sebagai ormas, dan lebih
mudah masuk ke wilayah-wilayah yang sebelumnya sulit dijangkau dengan menggunakan
nama organisasi. Tanpa membawa nama organisasi sebagai platform, model dakwah yang
dibawa oleh kader-kader HTI lebih mudah diterima oleh kalangan masyarakat luas, terlebih
melalui kolaborasi dengan komunitas lain. Salah satu contohnya adalah gerakan dakwah
melalui wayang yang dilakukan oleh Ki Dalang Lutfi Caritagama dan komunitas khat.art
yang menyebarkan gagasan melalui seni.

186 | L a p o r a n A k h i r
Figure 2: kegiatan dakwah dengan seni @khat art214

Bagi HTI, setiap anggota memiliki kewajiban berdakwah. Ia bisa dilakukan di mana
saja dengan cara apa saja termasuk di sekolah, pesantren, masjid, perkantoran, bahkan di
dunia bisnis. Dalam dakwahnya, HTI memang cenderung segmented, dalam arti bahwa
materi dan model dakwah bagi masing-masing target dakwah dilakukan dengan
mekanisme yang berbeda. Di kalangan intelektual, ulama, pengusaha dan masyarakat luas,
HTI memiliki pola dakwah dan rekrutmen sendiri-sendiri. Pada masing-masing level ini
dibentuk lajnah yang bertanggungjawab terhadap kaderisasi di masing-masing tingkatan.
HTI membentuk lajnah khusus mahasiswa, khusus intelektual, khusus ulama bahkan
khusus pengusaha. Sayangnya, sejak pembubaran, anggota HTI tidak selalu terbuka terkait
kehidupan internal organisasi ini. Beberapa aktifis yang saya wawancarai seringkali
menyarankan untuk langsung bertanya kepada juru bicara HTI tentang hal-hal yang ingin
diketahui terkait organisasi.

Masalah ini kerap muncul dalam proses wawancara. Ketika saya tanya pendapat
tentang isu-isu tertentu termasuk respon terhadap program deradikalisasi oleh pemerintah,

214
Akun instagram Khat Arts @khat.arts. https://www.instagram.com/p/B9theHYh_TO/ (Diakses 20 Maret
2020)

187 | L a p o r a n A k h i r
misalnya, para aktifis HTI cenderung mengawali pendapatnya dengan “pendapat saya tidak
mewakili HTI.” Hal ini seolah menunjukkan bahwa hierarki dalam kelembagaan masih
cukup kuat meskipun saya katakan sebelumnya bahwa pola mobilisasi HTI semakin cair.

Saat saya konfirmasi kepada beberapa aktifis HTI apakah mereka sering mengikuti
kajian Yukngaji atau program-program sejenis, mereka mengatakan bahwa program-
program semacam itu tidak datang dari pusat, jadi tidak wajib diikuti. Agenda yang wajib
diikuti hanyalah yang khusus diadakan oleh struktural HTI. Adapun program-program
semacam itu sifatnya hanya ijitihad dakwah kader-kader HTI, sehingga hukumnya tidak
wajib. Dalam salah satu wawancara, seorang aktifis HTI menegaskan:

Di HTI ada kegiatan yang memang diselenggarakan atas nama organisasi ada yang
memang kreasi pribadi. Membuat hijab Alila dan Yuk ngaji tidak disuruh dan
merupakan panggilan hati masing-masing untuk mendukung dakwah. Biasanya
kalau sudah ngaji di HT, perilakunya pasti mencerminkan pemahamannya. Jadi
meskipun bukan atas nama organisasi, itu adalah refleksi hasil pembinaan.215
Di bidang pendidikan, kader-kader HTI mendirikan berbagai instansi pendidikan
dan pesantren. Beberapa di antaranya adalah Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI)
Hamfara di Yogyakarta yang diketuai langsung oleh Ismail Yusanto, pesantren Wakaf
Syaroful Haramain di Bogor yang diprakarsai oleh Hafidz Abdurrahman dan Felix Siauw,
lembaga pelatihan pembelajaran Al-Qur’an oleh Fatih Karim, pesantren At-Tasnim dan
sekolah SD-SMP Khoiru Ummah oleh Nanang Syaifurozi, dan pesantren-pesantren dalam
jaringan ulama HTI yang tersebar di berbagai daerah.

Di bidang ekonomi, jaringan HTI menyebar melalui kader-kader HTI yang


umumnya adalah pengusaha. Para pengusaha ini tergabung dalam organisasi Assalim
(Aliansi Pengusaha Muslim) yang tersebar di berbagai kota/wilayah. Dalam gerakannya,
organisasi ini berkomitmen untuk (1) taat kepada Allah dan rasulNya, (2) menjalankan
bisnis sesuai syariatnya, dan (3) berjuang menegakkan Islam yang kaffah.

Dalam pertemuan dengan anggota Assalim pada bulan Februari 2020, Wahyudi Al-
Maroky—salah satu tokoh yang aktif membangun komunikasi dengan para anggota HTI—
menyampaikan lima hal yang perlu dilakukan anggota Assalim, yaitu: (1) membangun dan

215
Wawancara dengan Nur, 30 Januari 2020.

188 | L a p o r a n A k h i r
memperbanyak komunitas yang solid. Semakin banyak komunitas, semakin variatif,
semakin banyak masyarakat bergabung, (2) menyamakan visi dan misi. Agar visi dan misi
semakin kuat, maka harus sering bertemu, (3) membangun kolaborasi bisnis yang kuat.
Saling membantu antar sesama komunitas bisnis baik dalam modal, manajemen, SDM,
dsb., (4) membangun kader yang memiliki visi misi yang kuat, dan (5) membangun basis
yang kuat di masyarakat dengan membangun simpati dan menggalang dukungan. 216

Salah satu jaringan Assalim di Yogyakarta adalah komunitas Pengusaha Rindu


Syariah (PRS). Di antara yang bergabung di dalamnya adalah Rumah Warna, Simply
Groups (Agung Susanto), Tengkleng Hohah, Jogist (Kaus Istimewa dan Bookstore),
Bakpiapia Jogja, D’Ayam Crispy, Syafaat Marcomm, Waroeng SS (Special Sambal), dsb.
Komunitas PRS aktif membuat event bersama dalam bentuk pelatihan dengan
menghadirkan tokoh-tokoh HTI seperti Dwi Condro Triono, Siddiq Al-Jawi, Felix Siauw,
dll. Melaui organisasi ini, mereka membangun jaringan bisnis yang solid dan saling
menguntungkan. Sebagaimana dijelaskan Nanang Syaifurozi:

Bayangkan dari jaringan yang kecil-kecil saja. Dari SS (Super Sambal), Rumah
Warna, biro umroh, terus ada yang supply apa. Oh Rumah Warna butuh konsumsi
nih, ya udah pesan di SS; oh SS butuh tas untuk karyawan, ya udah pesan di
Rumah Warna, oh kita ada supply karyawan, oh itu ada biro umroh teman kita.
Tapi kalau biro umrohnya butuh makanan, ya bisa pesan di SS. Nah itu lingkaran
baik untuk umat kan”217.

216
Media Umat, “Bilakah Penguasa Pribumi Jadi Tuan di Negeri Sendiri,” 17 Februari 2020.
https://mediaumat.news/bilakah-pengusaha-pribumi-jadi-tuan-di-negeri-sendiri/ (Diakses 20 Maret 2020).
217
Wawancara dengan Nanang Syaifurozi, 29 Januari 2020.

189 | L a p o r a n A k h i r
Figure 2: Agenda PRS dan Assalim

Selain masuk ke jaringan para pengusaha, gerakan dakwah HTI juga masuk ke
berbagai instansi/perkantoran. Fatih Karim melalui organisasi Kajian Perkantoran
membangun jejaring ke berbagai instansi baik BUMN maupun non BUMN. Organisasi ini
berdiri pada tahun 2018 dan merupakan bagian dari Cinta Qur’an foundation. Kajian
Perkantoran merupakan organisasi yang bergerak dalam penyediaan ustadz-ustadz bagi
kajian di instansi-instansi di wilayah Bandung, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan
Bekasi (Jabodetabek). Dalam waktu dua tahun, organisasi ini sudah memiliki mitra dari
berbagai lembaga dan instansi seperti Telkom, PT PLN Banten, Prudential, Sampoerna,
PT Astra, Bank DKI Pusat, Perusahaan Minyak PT SPR Langgak, BNI Margonda, XL,
PT Suzuki Indomobil Motor, Kantor Kemendagri, GMF AeroAsia, Direktorat Jenderal
Migas, dsb.

Perluasan dan Penyempitan Ruang


Paska pencabutan status hukum HTI, ruang-ruang yang tersedia bagi persebarannya
turut bergeser. Meski HTI kehilangan kekuatan di ranah struktural, HTI bergerak cepat
mengambil ruang-ruang kultural. Upaya okupasi bisa dilihat dari sepak terjang HTI di
ranah publik. Kuatnya respons masyarakat terhadap keberadaan HTI baik positif maupun
negatif menunjukkan bahwa popularitas HTI semakin meningkat di panggung politik
keagamaan Indonesia. Beberapa aktifis HTI Yogyakarta yang saya temui menyambut
positif reaksi masyarakat terhadap gerakan HTI; menurut mereka “semakin (HTI)
dibicarakan semakin baik, karena orang menjadi penasaran dan mencari tahu.”218
Dalam perkembangannya, HTI turut diuntungkan dengan munculnya fenomena
hijrah. Sebenarnya, hijrah sebagai gejala sosial untuk “menjadi lebih religius” bukanlah
hal baru. Gejala ini sudah merambah Indonesia sejak tahun 1980 dengan masuknya
berbagai gerakan transnational seperti HTI, Salafi, dan gerakan tarbiyah (Ikhwanul
Muslimin). Meski secara spesifik ideologi mereka berbeda, mereka memiliki kesamaan
dalam hal adopsi ajaran keagamaan yang literal dan nir kekerasan. Pemikiran keagamaan
tersebut seringkali mempertemukan mereka dalam berbagai agenda hijrah. Muslim

218
Wawancara dengan Desi, 27 Januari 2020.

190 | L a p o r a n A k h i r
United—sebagaimana sudah disinggung di awal adalah contoh bagaimana gerakan yang
sebenarnya berbeda ideologi ini saling bersinggungan.

Munculnya fenomena hijrah sebetulnya sedikit mengaburkan identitas komunitas-


komunitas tersebut. HTI, tarbiyah dan Salafi meski memiliki perbedaan ideologi, sering
sulit dibedakan oleh masyarakat awam. Sebagai hasilnya, mereka seringkali terjebak pada
generalisasi tentang gerakan dakwah tersebut dan kurang selektif terhadap komunitas yang
ingin diikuti. Komunitas dengan packaging paling menarik akan menjadi pilihan banyak
masyakarat.

Paska pembubaran, HTI semakin melebur dengan yang lain dalam arus hijrah ini.
Komunitas-komunitas hijrah baru bermunculan, bahkan membuat kalangan NU dan
Muhammadiyah kesulitan untuk membendung aliran ini dalam internal mereka.
Munculnya fraksi-fraksi dalam dua organisasi besar ini menunjukkan derasnya arus hijrah
di Indonesia. Tidak sedikit kalangan Nahdliyin dan Muhammadiyah yang bersimpati
dengan gerakan hijrah bahkan larut di dalamnya, terutama mereka yang tinggal di wilayah
urban dan tidak memiliki ikatan tradisi yang kuat.

Sementara itu, kelompok hijrah semakin kuat. Mereka bahkan terus berkolaborasi
dalam isu-isu tertentu. Meski dalam kolaborasi semacam ini HTI tidak terlalu menonjolkan
diri di ruang publik, mereka aktif membangun konsolidasi dengan gerakan yang lain.
Gejolak politik yang melahirkan berbagai jilid aksi bela Islam adalah contoh area di mana
mereka saling bekerjasama. Bersama dengan MIUMI, FPI, FUI, Wahdah Islamiyah, dan
ormas keagamaan lain, HTI turut aktif membangun konsolidasi politik melengserkan
Basuki Cahaya Purnama dari kursinya.219 Felix Siauw dalam tulisannya di Kumparan pada
tanggal 16 Mei 2017 berjudul “Aku dan Hizbut Tahrir” menulis:

Tapi kita juga harus jujur, Hizbut Tahrir berada di garda terdepan dalam mengkritik
hal yang tak sesuai Islam, khususnya yang berkaitan dengan hajat ummat Islam.
Kita tahu bahwa Hizbut Tahrir bersama ummat termasuk yang mengawali aksi
penolakan terhadap pemimpin kafir di Jakarta, lalu bergulir menjadi aksi
#BelaIslam berjilid.220

219
Institute for Policy analysis of Conflict. The 212Movement in Brief: After Ahok, 2018, 3.
http://www.jstor.com/stable/resrep17684.4 (Diakses 21 Mei 2020).
220
Felix Siauw,”Aku dan Hizbut Tahrir,” 16 Mei 2017, https://kumparan.com/felix-siauw/aku-dan-hizbut-
tahrir (Diakses 21 Mei 2020).

191 | L a p o r a n A k h i r
Memang sebagaimana dituturkan salah satu aktifis, gerakan Islamis yang saat ini menguat
bukan semata-mata dimotori oleh HTI.221 Namun ada kerjasama beberapa ormas
keagamaan yang lain dalam isu-isu yang dianggap menjadi kebutuhan umat:

Sebenarnya banyak peran teman-teman di harakah lain. Ustadz di era milenial


sekarang juga lebih awake untuk tidak terlalu mempermasalahkan perbedaan.
Sebenarnya peran kami, kalau kami sederhanakan hanya “ngajak-ngajak” saja. We
don’t have to be always on the stage, tapi umat tetep perlu kenal kami juga. Biar
tahu ke mana harus bertanya tentang solusi problematika sekarang dan sistem
pengganti yang layak.222
Meski dibubarkan, gerakan HTI tidak surut. Dengan kuatnya tekanan, mereka justru
mendapatkan energi untuk terus bertahan. Kritik-kritik terhadap pemerintah maupun
kelompok yang berbeda pandangan politik dengan HTI terus dilontarkan terutama melalui
jaringan media-media HTI. Media Umat, bulletin mingguan Kaffah, Muslimah Media
Center aktif mengunggah pandangan-pandangan mereka tentang isu-isu yang sedang
aktual. Namun berbeda dengan media pada umumnya, media HTI lebih menekankan opini
ideologis dibanding melakukan pemberitaan faktual di lapangan.

Media Kaffah

Media Umat

Al-Wa’ie

Muslimah Media Center

Teras Dakwah

Takwa.id

Khilafah Channel

Mercusuar Umat

Muslimah News ID

221
Dieqy Hasbi Widhana, “Soal Rencana Pembubaran, Jubir HTI: Kami akan Melawan,” 12 Mei 2017,
https://tirto.id/soal-rencana-pembubaran-jubir-hti-kami-akan-melawan-cox4 (Diakses 22 Maret 2020).
222
Wawancara dengan Nur, 30 Januari 2020.

192 | L a p o r a n A k h i r
Tabiin.id

Shautul Ulama

Mozaik Islam/Mozaik_IslamID

Media Pembebas

Sel dan Organisasi Terkait Developer Properti Syariah

STIE Hamfara

Pesantren Wakaf Syaroful


Haramain

Penguasha Rindu Syariah

Cinta Qur’an Foundation (Kajian


Perkantoran, Majelis Cinta
Qur’an, Cinta Qur’an TV)

Multaqo Ulama

Indonesia Tanpa Pacaran

LBH Pelita

HTI adalah salah satu gerakan politik Islam yang begitu skilful dalam media
framing. Melalui narasi viktimisasi dan konspirasi, HTI terus mendeligitimasi sistem
pemerintahan demokrasi dan mempersuasi publik untuk menerima tawaran-tawaran negara
khilafah. Hal yang terbaru dari media ini adalah pembahasan seputar penanganan virus
Corona yang merupakan virus pandemik yang menyebar ke berbagai penjuru dunia.
Menurut Media Umat, Corona adalah hasil konspirasi untuk kekuasaan di tingkat global.
Dalam opini yang diunggah media ini disebutkan bahwa pandemi Corona ini sengaja
diciptakan sebagai teknologi terror “bioterorisme,” yaitu aksi kekerasan dengan
menggunakan bakteri untuk melukai atau bahkan membunuh orang lain. Lebih jauh
dijelaskan:

193 | L a p o r a n A k h i r
Bioterorisme dapat digunakan sebagai psy war dalam rangka hubungan
internasional atau kerjasama internasional ke depan, disamping itu bioterorisme
juga berpotensi untuk digunakan se bagai alat untuk melemahkan dan merusak
manpower suatu negara atau bangsa. Tidak hanya itu saja, bioterorisme juga
digunakan untuk menimbulkan economic dependence dari negara-negara
berkembang kepada negara maju dengan motif meraih keuntungan ekonomi
sebesar-besarnya melalui pier tracing ataupun menyebarnya wabah penyakit yang
bersifat “man made” agar negara yang penduduknya terkena wabah tersebut
membeli vaksin virus yang sudah dipersiapkan oleh negara yang diduga
menyebarkan wabah penyakit tersebut, baik dengan perantaraan bakteri ataupun
virus.223
Memahami Corona sebagai buah konspirasi, Media Umat meminta pemerintah
untuk lebih peduli dengan bahaya besar ini. Selama ini, pemerintah dinilai lamban dalam
menangani Corona, bahkan cenderung abai karena memandang virus ini sebagai masalah
kesehatan semata, bukan melihatnya sebagai serangan bioterisme negara maju. Pemerintah
dianggap dzolim karena memberikan penanganan seadanya sehingga jatuh banyak korban
dan virus semakin menyebar.

Tidak seperti kelompok Islamis pada umumnya yang cenderung pasrah


menghadapi pandemi Corona dan melihatnya semata-mata sebagai takdir Tuhan, HTI
memandangnya sebagai masalah sosial kesehatan yang harus dihadapi. Krisis ini
dimanfaatkan HTI sebagai enabling environment untuk memengaruhi publik. Isu pandemi
menjadi pintu masuk untuk mengritik pemerintah dan menyebarkan gagasan khilafah:

Situasi internasional saat ini melahirkan tatanan baru, dan tidak ada alternatif selain
memulai kehidupan Islam lagi. Sehingga kewajiban umat Islam pada umumnya,
dan khususnya mereka yang berkuasa saat ini, adalah menyadari bahwa situasi ini
merupakan kesempatan untuk menggulingkan rezim yang busuk, dan bersegera
untuk mendirikan negara khilafah yang akan menerapkan Islam dalam
kehidupan”.224
Media framing adalah strategi yang tidak mengalami perubahan. Sejak awal
kemunculannya, HTI sudah memanfaatkan media untuk proliferasi gagasan. Dalam
Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia yang berjudul Indonesia, Khilafah dan
Penyatuan Kembali Dunia Islam, media dan informasi mendapat perhatian dalam bab

223
Fajar Kurniawan, “Garis Bawah Psy-War Virus Corona, Biotersime…,” Media Umat, 3 Februari 2020.
https://mediaumat.news/garis-bawah-psy-war-virus-corona-bioterorisme/ (diakses 31 Maret 2020).
224
“Kasus Corona Meningkat secara Global, Banyak Negara Baru Bergabung dalam Daftar,” Media Umat,
31 Maret 2020, https://mediaumat.news/kasus-corona-meningkat-secara-global-banyak-negara-baru-bergabung-
dalam-daftar/ (diakses 1 April 2020).

194 | L a p o r a n A k h i r
tersendiri. Di dalamnya disebutkan bahwa media informasi diperlukan untuk beberapa
tujuan yaitu (1) menggambarkan Islam dengan benar dan membina kepribadian
masyarakat, (2) mengungkap kesalahan pemikiran dan ideologi sekuler, (3)
memprogandakan kekuatan militer dan pertahanan daulah khilafah kepada masyarakat luar
dan 5) mengontrol dan menasehati penguasa dalam melaksanakan kewajibannya.225

Pada praktiknya, media memang digunakan untuk propaganda. Bagi HTI, kekuatan
media menjadi strategi mobilisasi sendiri sehingga penguasaan terhadap media menjadi
modal yang dibutuhkan untuk mengakses kuasa simbolik atas wacana politik keagamaan.
Fika Komara—seorang aktifis yang mengembangkan komunitas literasi HTI— bahkan
menyebut bila muslimah harus memiliki tiga visi, yaitu visi keilmuan Islam, visi pendidik
generasi dan visi penggerak opini. Dengan tiga visi ini, perempuan dituntut cerdas dalam
mengolah narasi ideologis untuk kepentingan dakwah.226

Melalui penguasaan terhadap media, dunia virtual adalah ruang perluasan bagi HTI
untuk menyebarkan gagasannya. Melalui isu-isu yang berkembang, HTI memainkan narasi
cosmic war tentang perang antara good dan evil, yaitu antara Islam melawan kekuatan-
kekuatan jahat yang dimainkan oleh sistem demokrasi, kapitalisme dan sekularisme.
Kelemahan pemerintah adalah kekuatan HTI. Di tengah kegagalan pemerintah
menyediakan kesejahteraan bagi masyarakat, HTI membuat ruangnya sendiri untuk
memperkenalkan gagasan khilafah.

Kesimpulan

Pembubaran HTI tidak membuat organisasi ini mati. Ia justru semakin kreatif
membuka ruang-ruang baru dan memanfaatkan ruang yang selama ini kosong. Beberapa
aktifis HTI menyatakan bahwa pasca pelarangan, gerakan HTI justru lebih fleksibel karena
tidak dibebani dengan peraturan pemerintah terkait ormas. Menurut mereka, pencabutan
badan hukum tersebut justru menjadi momen tersendiri untuk konsolidasi gerakan. Dengan

225
HTI. Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia: Indonesia, Khilafah dan Penyatuan Kembali Dunia Islam.
2009, 43.
226
Fika, Komara. Menjadi Muslimah Negarawan: Cita-Cita Besar yang Memuncaki Peran Muslimah
Ideologis (Sukoharjo: Granada Publisher, 2016), 15.

195 | L a p o r a n A k h i r
gagasan cosmic war, militansi kader-kader HTI semakin tinggi dan memiliki energi. Setiap
anggota merasa terpanggil untuk berkontribusi dan turun langsung dalam gelanggang.

Meski begitu, pencabutan badan hukum tersebut membuat arena dan strategi
mobilisasi HTI bergeser. Meski secara struktural kelembagaan ruang gerak HTI semakin
menyempit, mereka berhasil menemukan area-area baru untuk proliferasi wacana agama.
Bila dilihat pola mobilisasi yang mereka lakukan sekarang, gerakan HTI cenderung
memilih jalan melingkar. Gerakannya semakin cair dan lentur. Kader-kader HTI
melakukan ijitihad dakwah melalui caranya sendiri, tidak terikat oleh struktur
kelembagaan HTI, melebur dengan komunitas hijrah yang lain dan menyesuaikan diri
dengan konteks sosio politik yang berkembang. Kalangan muda HTI bahkan lebih kreatif
mengemas konten dakwah mengikuti tren. Terlebih selama pandemic Corona, beragam
kajian online terus dilakukan untuk menjaga ide-ide mereka tetap aktif dan hangat di tengah
masyarakat. Dengan memanfaatkan kecanggihan media dan teknologi, anak-anak muda
HTI berhasil menarik lebih banyak simpati dari generasi muda untuk hijrah.

Kemampuan media framing membantu memperluas ruang gerak HTI. Seringnya


HTI dan khilafah dibicarakan sesungguhnya memperluas area mobilisasi. Permainan tagar
di media sosial tentang khilafah baik pro maupun kontra baik dari tokoh-tokoh NU maupun
yang lain justru membantu menjadikan pembicaraan mengenai khilafah menempati rate
tinggi. Kesempatan semacam ini sering digunakan aktifis HTI untuk memperkenalkan
khilafah kepada masyarakat luas.

Di samping strategi media, ruang-ruang lain terus dibuka. Konsolidasi dan


kolaborasi dengan komunitas lain terus dilakukan, event-event dibuat, komunitas/kajian
diperbanyak, area mobiliasi diperluas dan pola gerakan dibuat lebih fleksibel untuk
menjaga ideologi ini supaya terus menyala. Pembubaran senyatanya tidak membuat Hizbut
Tahrir menjadi padam. Ia justru menciptakan lingkungan pendukung baru bagi militansi
kader-kader HTI.

196 | L a p o r a n A k h i r
Referensi

Ahnaf, Mohammad Iqbal. “Tiga jalan Islam Politik di Indonesia. Reformasi, Refolusi dan
Revolusi.” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016):
1-14.
HTI. Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia: Indonesia, Khilafah dan Penyatuan
Kembali Dunia Islam. 2009.
Institute for Policy analysis of Conflict. The 212 Movement in Brief: After Ahok. 2018.
Komara, Fika. Menjadi Muslimah Negarawan: Cita-Cita Besar yang Memuncaki Peran
Muslimah Ideologis. Sukoharjo: Granada Publisher, 2016.
Muhsin, Illya. “Gerakan Penegakan Syariah: Studi Gerakan Sosial Hizbut Tahrir Indonesia
di DIY”, Ijtihad: Jurnal Wacana. Vol. 12, No. 1 (2012): 43-61
Muhtadi, Burhanuddin. “The Quest for Hizbut Tahrir Indonesia.” Asian Journal of Social
Science, 37 (2009): 623-645.
Osman, Mohammad Nawab Mohammad. “The Transnational Network of Hizbut Tahrir.”
South East Asia Research Vol. 18, No. 4, Special Issue: Islamic Civil Society in
South East Asia — Localization and Transnationalism in the Ummah (December
2010): 735-755.
Osman, Mohamed Nawab Mohamed. Hizbut Tahrir Indonesia and Political Islam:
Identity, Ideology and Religio Political Mobilization. UK: Routledge, 2018.
Zulfadli. “Infiltrasi Gerakan Hizbut Tahrir: Studi terhadap Gerakan Hizbut Tahrir di
Yogyakarta.” Turats: Jurnal Penelitian dan Pengabdian, Vol 1. No.1 (Januari-Juni
2013).

Sumber online
Arie Untung @ariekuntung, Foto Instagram, 15 Oktober 2019,
https://www.instagram.com/p/B3oI5eOHrVw/ (diakses 20 Maret 2020).
Dieqy Hasbi Widhana, “Soal Rencana Pembubaran, Jubir HTI: Kami akan Melawan,” 12
Mei 2017, https://tirto.id/soal-rencana-pembubaran-jubir-hti-kami-akan-melawan-
cox4 (Diakses 22 Maret 2020).
Felix Siauw, “Felix Siauw,”Aku dan Hizbut Tahrir,” 6 Mei 2019
https://kumparan.com/felix-siauw/aku-dan-hizbut-tahrir .(Diakses 21 Mei 2020).

197 | L a p o r a n A k h i r
Khat Arts @khat.arts. https://www.instagram.com/p/B9theHYh_TO/ (Diakses 20 Maret
2020)
Media Umat, “FGD: Radikalisme, Pembangunan Infrastruktur dan Pertumbuhan
Ekonomi”. Instagram @mediaumat, 16 Desember 2019.
Media Umat, “Bilakah Penguasaha Pribumi Jadi Tuan di Negeri Sendiri,”
https://mediaumat.news/bilakah-pengusaha-pribumi-jadi-tuan-di-negeri-sendiri/,
17 Februari 2020. (Diakses 31 Maret 2020).
Fajar Kurniawan, “Garis Bawah Psy-War: Virus Corona, Bioterorisme…,” 3 Februari
2020. https://mediaumat.news/garis-bawah-psy-war-virus-corona-bioterorisme/.
Media Umat, “Kasus Corona Meningkat secara Global, Banyak Negara Baru Bergabung
dalam Daftar,” 31 Maret 2020, https://mediaumat.news/kasus-corona-meningkat-
secara-global-banyak-negara-baru-bergabung-dalam-daftar/. (Diakses 1 April
2020).
Republika. Mukatamar Khilafah, 100 Ribu Warga Hizbut Tahrir penuhi GBK.
https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/06/02/mnqzdo-muktamar-
khilafah-100-ribu-warga-hizbut-tahrir-penuhi-gbk.

198 | L a p o r a n A k h i r
Islamisme di Surakarta:
Pergeseran Gerakan dan Kelahiran Aktor Baru
Mibtadin
Anas Aijudin
M. Endy Saputro

Pengantar
Surakarta menjadi wilayah penting untuk studi gerakan Islamisme di Indonesia. Meski jumlah
mereka secara kuantitas tidak signifikan, tetapi gerakannya cukup masif. Beberapa kelompok yang
memenuhi ruang publik Kota Surakarta dan sekitarnya antara lain: Front Pemuda Islam Surakarta
(FPIS), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS), Jamaah Ansharus
Syariah (JAS), Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS), Laskar Hizbullah, Laskar Sunan Bonang,
Laskar Jundullah, Laskar Zulfikar, Laskar Salamah, Laskar Teratai Emas, Laskar Honggo Darma,
Laskar Hamas, Laskar Hawariyun, Laskar Barisan Bismillah, Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK),
Brigade Hisbullah, dan Majelis Taklim Al-Islah.227 Ruang publik yang terbuka memberi
kesempatan bagi gerakan Islamisme untuk mengartikulasikan kepentingan politik dan ideologi
keagamaan mereka secara agresif, reaktif, dan demonstratif.228
Melalui wawancara dan pengamatan, baik luring maupun daring, penelitian ini menelisik
bagaimana perluasan dan/atau penyempitan ruang kelompok-kelompok Islamisme terjadi di
Surakarta dan sekitarnya sejak satu dasawarsa terakhir. Penelitian ini terdiri dari dua bagian utama.
Bagian pertama mendiskusikan bagaimana pola pergeseran gerakan Islamisme di dalam lembaga
pendidikan dan pengembangan media. Bagian kedua mendiskusikan kemunculan penceramah
baru dan merebaknya pengajian ibu rumah tangga, yang berpotensi sebagai ruang baru diseminasi
Islamisme.

Perluasan Pendidikan dan Ragam Media

227
Zainudin Fanani, Radikalisme Keagamaan dan Perubahan Sosial (Surakarta: UMS Press dan ASIA
Foundation, 2002), 1.
228
Syaikh Idahram, Mereka Memalsukan Kitab-kitab karya Ulama Klasik: Episode Kebohongan Publik
Sekte Salafi Wahabi (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011), 11.

199 | L a p o r a n A k h i r
Selama satu dekade terakhir, kalangan Islamis mengembangkan pola gerakan yang berbeda
sehingga bisa diterima oleh masyarakat luas, salah satunya adalah melalui lembaga pendidikan.
Selain itu, penerbitan buku, majalah, buletin, literatur keislaman, dan berdirinya stasiun radio
dengan corak keislaman yang ideologis ini telah menjadi warna baru bagi kelas menengah Muslim
di Soloraya pasca reformasi untuk mengekspresikan pemahaman keislaman mereka. Media
Islamis tumbuh dan memainkan peran yang cukup signifikan dalam perluasan gagasan publik
Islam. Bagian ini menguraikan pemetaan baru lembaga pendidikan dan munculnya media
diseminasi ide-ide Islamisme di Soloraya.

Peta Baru Lembaga Pendidikan

Beberapa lembaga pendidikan di Soloraya menjadi penyangga bagi gerakan Islamisme


melalui pesantren mereka masing-masing. Pesantren Imam Bukhari Gondangrejo Karanganyar
memiliki lembaga pendidikan dengan jenjang pendidikan setingkat SMP dan SMA, Yayasan Al-
Madinah Grenjeng Boyolali mengelola pendidikan dasar, Pesantren Ulil Albab Polokarto
Sukoharjo juga mengembangkan pendidikan setingkat SMP, Pesantren Darusy Syahadah Simo
Boyolali memiliki lembaga pendidikan setingkat SMP dan SMA, Pesantren Isy Karima
Karanganyar pun mengembangkan lembaga pendidikan setingkat SMP dan SMA, Pesantren Al-
Ukhuwah Sukoharjo mengelola MTS dan MA. Demikian juga pesantren yang berjejaring dengan
Pesantren Al-Mukmin Ngruki juga banyak mengelola pendidikan.

Pesantren Imam Bukhari merupakan salah satu contohnya. Pesantren bercorak Salafi
ternama di Indonesia ini sejajar dengan Pesantren Jamilurrahman Sleman yang dipimpin Abu
Nida’, Pesantren Al-Furqon Gresik yang dipimpin Ainurrafiq, dan Pesantren Ihya’ as-Sunnah
pimpinan Jafar Umar Thalib. Pesantren Imam Bukhari berdiri tahun 1994, yang diselenggarakan
oleh Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta.229 Pesantren ini dipimpin Ahmas Fais Asifudin, alumni
dari Universitas Ibnu Saud Saudi Arabia. Pendirian Pesantren ini bertujuan membentuk sistem
pendidikan berbasis pesantren yang dapat memberikan pengajaran dan pendidikan Islam kepada

229
Pesantren Imam Bukhari merupakan lembaga pendidikan yang dirintis Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, tanggal 6 Juni 1994, dan secara resmi berdiri tanggal 1 Juli 1999. Yayasan Lajnah Istiqomah sebagai
penyelenggara pendidikan telah melakukan perubahan yayasan sesuai undang-undang No. 28 Tahun 2001 dengan No.
pengesahan C-1659.HT.01.02.TH. 2006. Pesantren Imam Bukhari ini telah mendapatkan rekomendasi dari
Kementerian Agama Kabupaten Karanganyar No. Mk. 34/1.a/384/1999 tanggal 13 April 1999, serta terdaftar di
Kementerian Agama No. Kd.11.13/5/BA.00/1072/2006 tanggal 20 Juli 2006 dengan nomor statistik 512332013007.
Lihat Profil Pondok Pesantren Imam Bukhari tahun 2013-2014, 6-11.

200 | L a p o r a n A k h i r
para santri untuk menjadi generasi thalibul 'ilmi yang bermanhaj Salaf dalam berakidah, beribadah,
berakhlaq, bermuamalah dan berdakwah, sekaligus sebagai lembaga yang menjadi salah satu pusat
kegiatan dakwah Islam di Indonesia, khususnya di Karanganyar, Solo.230 Hal ini dilakukan dengan
dua locus utama, yaitu: tarbiyah, yang dipahami sebagai pendidikan pada masyarakat; dan tasfiyah
sebagai pembinaan pada masyarakat. Guna mendukung gerakannya pondok pesantren ini
menerbitkan Majalah As-Sunnah dan Majalah Qolbun Salim.

Jaringan penting dari Pesantren Imam Bukhari adalah Pesantren Al-Ukhuwah Joho
Sukoharjo. Pesantren ini berdiri pada tahun 2004 dan saat ini memiliki santri 1.600an santri yang
terbagi dalam berbagai jenjang pendidikan, mulai dari SMP dan SMA. Pesantren ini dipimpin oleh
Aris Sugiantoro, alumni Universitas Al-Madinah Arab Saudi. Untuk mendukung gerakan
Salafinya, pesantren ini berjejaring dengan berbagai lembaga mendirikan penerbitan Majalah
Sakinah, Majalah el-Fatta, Majalah Pengusaha Muslim, Radio Suara Qur’an, dan Insan TV.
Majalah Sakinah merupakan majalah yang fokus pada persoalan akidah dan keluarga, maka rubrik
dalam majalah ini didominasi persoalan rumah tangga. Sedangkan Majalah el-Fatta fakus pada
persoalan menjadikan remaja memiliki pola keberagamaan yang sesuai dengan paham Salaf as-
Shalih. Sedangkan Majalah Pengusaha Muslim merupakan majalah yang terbit untuk
mengakomodir persoalan ekonomi yang berkembang di masyarakat. Persoalan edukasi pada
sistem ekonomi yang Islami menjadi titik fokus majalah ini. Selain media tersebut pesantren ini
juga berjejaring dengan penerbit Majalah Ar-Risalah, Majalah Wildan, dan Majalah Adzkia.
Selain Pesantren Al-Ukhuwah, jaringan penting lain dari Pesantren Imam Bukhari adalah
Pesantren Ibnu Abbas As-Salafi Masaran Sragen.

Selain jaringan Pesantren Imam Bukhari simpul penting jaringan Salafi lainnya adalah
Yayasan Pesantren Al-Madinah.231 Yayasan ini berdiri pada tahun 1996, dan bergerak di bidang

230
Visi yang perjuangkan pesantren ini adalah menjadi lembaga pendidikan dan dakwah Islam bermanhaj
Salaf yang unggul dan amanah. Sedang misinya adalah mengemban risalah dakwah, melalui jalur lembaga kaderisasi
ilmiah berbentuk pondok pesantren yang bermanhaj Salaf. Jenjang program pendidikan yang diselenggarakan yayasan
pondok pesantren Imam Bukhari ini terdiri atas: (1) Ibtidaiyyah (setingkat SD), (2) Mutawasithah (setingkat SMP),
(3) I’dad Lughawi selama 1 tahun, dan (4) Tsanawiyah (setingkat SMA).
231
Keberadaan yayasan ini didorong oleh kenyataan kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh umat Islam
ketika berhadapan dengan globalisasi. Hal ini diperkeruh dengan terbatasnya sumberdaya manusia yang dimiliki oleh
umat Islam. Dengan kondisi tersebut Yayasan Al Madinah hadir dengan fokus pada pemberdayaan kaum muslimin
baik dalam aspek spiritual maupun materialnya. Dalam aspek spiritual yayasan ini berupaya melakukan pencerahan
terhadap aspek keyakinan, pemikiran dan amaliah kaum musimin dengan merujuk pada al-Quran dan sunnah sesuai

201 | L a p o r a n A k h i r
pendidikan dan dakwah Islamiyah. Dalam bidang pendidikan, lembaga ini mendirikan lembaga
pendidikan formal dan majelis-majelis taklim. Melalui Pendidikan, Yayasan Al-Madinah memiliki
TKIT Al-Madinah, SDIT Al-Madinah, SMAIT Al-Madinah dan Ma’had Ilmi Al-Madinah.232
Sedangkan dakwah Al-Madinah dilakukan melalui majelis-majelis taklim yang diselenggakan
jaringan Al-Madinah.233 Dari berbagai kegiatan yang ada, Al-Madinah bertujuan semakin
memperluas jejaring dan simpatisan untuk mendukung dakwah yang mereka lakukan.234

Selain kalangan Salafi yang terhubung dalam jaringan besar di Pesantren Imam Bukhari,
juga terdapat simpul Salafi yang terhubung dalam jaringan Pesantren Ibnu Taimiyah Cemani,
Grogol Sukoharjo. Pesantren ini menyebut dirinya sebagai Salafi murni. Jaringan pesantren ini
adalah Ma’had Ittiba’ As-Sunnah (Klaten), Ma’had Darus As-Salaf (Sukoharjo), Ma’had Darus
As-Salaf Al-Islamiyi (Sragen), Ma’had Ibadurrahman (Klaten), Ma’had Darussalam As-Salafy
(Wonogiri), Ma’had Riyad Al-Jannah (Wonogiri), Ma’had Al-Kautsar (Wonogiri), Ma’had Imam
Syafii (Wonogiri), Ma’had Darur Abror (Boyolali), Ma’had Al-Ausath (Karanganyar), Ma’had
Ar-Ridho (Klaten), dan Ma’had Ittiba’ As-Sunnah (Sukoharjo). Jaringan gerakan Islamisme ini

dengan pemahaman salafus salih, yakni pemahaman yang telah digariskan oleh Rasulullah dan sahabatnya.
Sedangkan dalam aspek material lembaga ini berupaya mencermati berbagai potensi yang diiliki umat Islam dan
melakuka langkah-langkah praktis yang bisa meningkatkan kesejahteraan kaum muslim.
232
Dalam visinya, disebutkan bahwa SDIT Al-Madinah merupakan lembaga pendidikan yang diproyeksikan
untuk membentuk generasi madany yang unggul, memiliki aqidah dan manhaj yang shahih, berwawasan luas ke
depan. Dalam penjelasan kunggulannya disebutkan komitmen dengan manhaj salaf as-shalih merupakan keunggulan
utama sekolah ini (brosur SDIT Al-Madiah). Sedangkan SMPIP-MA disebutkan visi sekolah ini adalah untuk
membangun terwujudnya generasi muda yang beraqidah sholih dan shlihah, bermanhaj Salaf, berwawasan ilmiah dan
berahklak mulia serta berkomitmen tinggi terhadap kemaslahatan umat. Al Madinah juga menyelenggarakan
pendidikan tinggi Ma’had Ilmi (setara D2), yang menggunakan Bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, dan mengacu
pada kurikulum LIPIA. dan Ijazahnya setara dengan D2. Alumni LIPIA Jakarta dan pesantren lainnya yang menjadi
jaringan Yayasan Al-Madinah ini.
233
Yayasan Al-Madinah juga menyelenggarakan berbagai program “Kajian Islam Ilmiah”, yaitu acara
daurah yang menghadirkan para ustad yang menjadi rujukan lembaga ini. Label ini terlihat hendak menegaskan bahwa
apa yang dikaji dalam kegiatan tersebut benar-benar sesuai dengan standar ilmiah, dan tidak berdasar pada asumsi
atau persangkaan saja. Dalam praktiknya kajian ini diselenggarakan bersadasarkan pada kemampuan pembacaan al
Qur’an dan hadis beserta ilmu pendukungnya seperti ulumul Qur’an, tahrij hadis yang sangat baik. Selain itu yayasan
ini juga menyelenggarakan kegiatan di Masjid Agung Karanganyar, yang dihadiri oleh Syeikh Abdul Hadi Al-Umairi
(anggota komisi fatwa Masjidil Haram, Arab Saudi). Kedua kegiatan ini disiarkan langsung melalui Radio Al-
Madinah FM dan melalui streaming di www.almadinah.or.id. dan www.syiartauhid.info.
234
Di samping itu untuk memperkuat dakwah yang dilakukan, Yayasan Al-Madinah juga menerbitkan
buletin dakwah “Istiqomah”, yang terbit seminggu sekali. Buletin ini mampu menjangkau seluruh Kota Solo dan
beberapa daerah di sekitarnya seperti: Kartasuro, Colomadu, Grogol, dan Palur. Tema yang diangkat oleh buletin ini
beragam, seperti ibadah, fikih, persoalan tauhid, aqidah, perempuan, keluarga dan tazkiyatun nufus. Semua disajikan
dengan bahasa yang lugas dan mudah dibaca.

202 | L a p o r a n A k h i r
terhubung melalui Majalah Syariah, yang sebagian besar berisi ajaran-ajaran kemurnian Salafi
dibandingkan dengan paham yang lainnya.

Secara umum, nilai-nilai yang ditanamkan melalui jaringan dan gerakan Islamisme
berbasis pendidikan adalah: (1) mengajak umat kembali kepada Alqur'an dan Sunnah yang shahih
dengan pemahaman Salaf as-Shalih dan hidup Islami sesuai dengan manhaj Ahlussunnah wal
Jama’ah; (2) menghidupkan kebiasaan bersikap ilmiah berdasarkan Alquran dan Sunnah dengan
pemahaman Salaf as-Shalih dan menerapkan pola pendidikan Islam yang bertitik tekan pada
tashfiyah dan tarbiyah; (3) tashfiyah, yaitu memurnikan ajaran Islam dari segala noda syirik,
bid’ah, khurafat, gerakan dan pemikiran-pemikiran yang merusak ajaran Islam; dan (4) tarbiyah,
yaitu mendidik kaum muslimin untuk terbiasa mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang sudah
dipahami secara benar.

Adapun kurikulum yang ditawarkan meliputi tiga komponen, yaitu: (1) MPA (Mata
Pelajaran Agama); (2) MPU (Mata Pelajaran Umum); dan (3) MPK (Mata Pelajaran Ketrampilan).
Jejaring dan gerakan pesantren tersebut secara umum mengembangkan program unggulan untuk
menarik minat masyarakat umum, di antaranya: (1) tahfidzul Qur’an (menghafal Alqur’an); (2)
hifdzul mutun (Hadis dan matan-matan pelajaran aqidah, nahwu, sharaf); dan (3) penguasaan
bahasa Arab dan materi-materi pokok agama. Jenjang program pendidikan dari berbagai pesantren
tersebut terdiri atas: (1) Ibtidaiyyah; (2) mutawasithah; (3) I’dad lughawi selama 1 tahun; dan (4)
tsanawiyah.

Faktor yang menjadi dasar terbentuknya simpul jejaring antarpesantren tersebut adalah:
Pertama, persamaan ideologi. Ideologi pesantren dibangun oleh pendiri didasarkan pada visi-misi
dan karakter akademik yang dipunyai pendiri pesantren. Ideologisasi dipaparkan dalam kurikulum
pendidikan sebagai acuan dalam proses pembelajaran pesantren untuk membangun persepsi yang
sama dan bersifat berkelanjutan. Untuk melihat proses ideologisasi santri di dalam pesantren dapat
dilihat dari visi, misi, tujuan, dan tagline yang diangkat masing-masing pesantren. Pertama, dalam
bidang aqidah, mereka menyebut dengan “salimul aqidah”, istilah ini dipergunakan untuk
pemurnian aqidah dari hal yang berbau ”syirik”. Kedua, untuk beribadah, jaringan pesantren ini
menggunakan istilah “shahihul ibadah”. Ketiga, dalam berakhlak, mereka menyebut dengan
“matinul khuluq,” yaitu berakhlaq seperti Rasulullah Saw. Keempat, pada aspek akademik
mengedepankan ”mutsaqqoful fikri” (berwawasan ilmu pengetahuan yang luas). Kelima, untuk

203 | L a p o r a n A k h i r
gerakan mereka mengutamakan kekuatan fisik “qowiyul jismi” sebagai sarana berjuang melawan
kelompok di luar dirinya yang tidak sejalan dengan ideologi mereka. Keenam, dalam berusaha
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mereka menyebut dengan istilah “qadiron ’alal kasbi”,
generasi yang mampu hidup mandiri tanpa menjadi beban orang lain. Istilah ini lebih banyak
dipergunakan untuk membangun kekuatan ekonomi kelompok seperti obat herbal, bekam, minyak
wangi anti alkohol, dan lain-lain. Ketujuh, untuk perjuangan politik agama mereka menyebut
dengan “mujahidin lidiinihi,” generasi yang mengerahkan seluruh potensi dirinya untuk
menegakkan kalimat Allah.

Kedua, kurikulum. Kurikulum yang dipergunakan dalam proses pembelajaran berbeda


dengan kebanyakan yang diajarkan di pesantren pada umumnya. Mereka membangun sistem
pembelajaran untuk penguatan ideologi dengan menerapkan beberapa mata pelajaran yang
memiliki jejaring dengan gerakan pesantren di atas, seperti: pertama, kebanyakan dalam bidang
Aqidah mereka mempergunakan kitab tauhid, seperti Kitab al- Tauhid I, II, III yang ditulis oleh
Shalih Ibnu Fauzan Ibnu Abdullah Al Fauzan (Saudi), Matan al-Utsul ats-Tsalatsah yang ditulis
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab (Saudi), Syarah Aqidah Wasithiyah, dan lain-lain.
Kedua, untuk bahasa Arab, menggunakan kitab-kitab yang diterbitkan oleh LIPIA Jakarta. Ketiga,
pada bidang fiqih, media dan literasi mereka menggunakan kitab seperti Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah
wal Kitab al-Aziz yang dipergunakan di Pesantren Imam Bukhari dan jaringan pesantrennya.
Keempat, untuk kajian Hadis, menggunakan kitab Arbain Nawawiyah Ma'a Ziyadah Ibnu Rajab,
Taisir al-Alam, Syarh Umdatil Ahkam, dan lainnya.

Persoalan ekonomi juga menjadi penting untuk dilihat dalam memahami pergeseran
gerakan Islamisme di Soloraya. Berbagai jaringan gerakan Islamis membangun kekuatan ekonomi
melalui penguatan sumberdaya yang mereka miliki. Pesantren Al-Ukhuwah Joho misalnya,
dengan jaringannya memberi perhatian pada pengelolaan ekonomi yang berdasarkan syariat Islam.
Jaringan ini menginisiasi Majalah Pengusaha Muslim, yang berisi edukasi terhadap pengusaha
Muslim untuk menerapkan ajaran Islam seperti yang dipraktikan Salaf as-Shalih dalam
berekonomi. Pesantren Imam Bukhari mendirikan Imam Bukhari Mart, sebuah minimarket yang
menyediakan kebutuhan harian bagi santri dan masyarakat umum. Selain itu, kalangan gerakan
Islamis juga mengembangkan jaringan pemasaran obat herbal dan soft-hard ware komputer di
berbagi tempat di Soloraya. Beberapa usaha produktif yang dikelola Pesantren Bukhari antara lain:

204 | L a p o r a n A k h i r
Mumtaz Bakery (pisang bolen); Bukhari Agency (petugas pesantren yang memesankan kebutuhan
atau makanan dari luar); kantin putra maupun putri yang buka setiap hari; Laundry untuk
kepentingan santri; dan Toko buku Lentera Qolbu.

Gerakan Islamis ini juga berkembang melalui pendirian berbagai Lazis (Lembaga Amil,
Zakat, dan Infak, dan Shodaqoh). Pesantren Imam Bukhari memiliki program DPU (Dana
Pengembangan Umat). DPU ini didirikah untuk membantu pengembangan pesantren sekaligus
pengembangan ekonomi masyarakat. Demikian juga FKAM (Forum Komunikasi Antar Masjid),
yang semula sering melakukan sweeping tempat maksiyat, kini mendirikan LAZIS FKAM, yang
mengelola layanan kesehatan, beasiswa bagi siswa kurang mampu, dan santunan bagi para lansia.

Pergerakan Media dan Bingkai Wacana

Khusus penerbitan dan media massa, gerakan Islamis memiliki progresifitas yang cepat.
Berbagai penerbitan buku hadir di Soloraya, dengan beragam topik. Tercatat ada beberapa
penerbitan yang tersebar di Solo dan sekitarnya, termasuk: Penerbit Aqwam, Al-Qowam, Arafah,
Zamzam, Indiva Press, Era Adicitra Intermedia, Diva Press, Gazza Media, dan lainnya. Selain
penerbit juga muncul majalah di Soloraya, seperti As-Sunnah, Ar-Risalah, An-Najah, At-Taujih,
Hujjah, As-Syifa, el-Fata, Smart Teen, Hadila, Suara Nurhidayah, Al-Mukmin, Arsyada, Tarbawi,
dan lainnya. Sedangkan di media elektronik terdapat Radio RDS FM, Hiz FM, Suara Al-Madinah
FM, Suara Quran FM, Radio Ibnu Taymiyah FM. Berbagai media ini hadir di ruang publik
Soloraya, berjejering dan menjadi ujung tombak dari ideologi masing-masing gerakan Islamisme.
Corak media Islamis ini tumbuh, berkembang, dan berjejaring masuk ke masjid, pesantren,
lembaga pendidikan, kampus, majelis taklim, dan organisasi keagamaan di Soloraya.

Media keislaman di Surakarta dibedakan menjadi empat ranah yaitu media keislaman
populis, tarbawi, Salafi, dan jihadi.235 Pertama, media keislaman yang bercorak populis. Media ini
secara umum menerbitkan literasi tentang akidah, akhlak, fikih keseharian, dan peningkatan
keimanan. Media ini banyak tersebar di kalangan mahasiswa, pelajar, serta majelis taklim. Media
dalam klaster ini termasuk Penerbit Indiva Press, yang menerbitkan buku-buku keislaman seperti
pergaulan, fikih, akidah, ibadah, pendidikan, dan karir dikemas dengan bahasa yang ringan;

235
Anas Aijudin, ”Media Islamis di Surakarta. Struktur Kesempatan Politik, Mobilisasi Sumber Daya, dan
Startegi Pembingkaian.” Disertasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2019.

205 | L a p o r a n A k h i r
Penerbit Ziyad Press, yang menerbitkan buku untuk remaja, dengan tema fikih praktis, ibadah,
akidah, dan kemajuan teknologi; dan Penerbit Tiga Serangkai, yang menerbitkan buku keislaman
dengan skala yang luas, mulai dari buku pelajaran untuk SD, SMP, SMA sampai perguruan tinggi,
kitab tafsir Alquran, fikih, ibadah, dan pengetahuan. Penerbitan ini merupakan perluasan dari
gerakan Pesantren Modern As-Salam.

Kedua, media bercorak Salafi. Penerbitan ini cukup produktif mendorong terbangunnya
kehidupan di masyarakat yang berorientasi pada kehidupan salaf as-shalih. Pustaka At-Tibyan,
misalnya, menerbitkan buku-buku ber-manhaj Salafi dengan tujuan untuk mengangkat
keterbelakangan umat Islam, memadamkan bid’ah, dan mengantarkan kaum muslim kepada
pemahaman salaful ummah ash-shalihah. Dengan moto “penerbit buku Islamis bermanhaj Salaf”,
penerbit ini ingin menghadirkan buku-buku Islam berdasarkan pada pemahaman para salaf as-
shalih serta berkomitmen menyediakan khasanah bacaan Islam yang sesuai dengan Sunnah.
Penerbit At Tibyan ini telah menerbitkan buku yang berkisar pada tema akidah, fikih, dan
tazkiyatun nufus. Keberadaan penerbit ini bertujuan mengembangkan pemahaman Salafi pada
masyarakat Solo dan sekitarnya. Sedang Penerbit Zamzam Group bercorak manhaj salaf al-
ummah. Penerbitan ini dipimpin oleh Abu Hudzaifah, alumni Universitas Madinah, Saudi Arabia.
Visi yang dibangun adalah menjadi penerbit yang mendawahkan Islam sesuai dengan Alqur’an
dan As-Sunnah, dan menjadi penerbit yang mencerdaskan masyarakat Indonesia dalam mengenali,
mendalami dan mengamalkan Islam.

Penerbit Iltizam mengusung manhaj Salafi dengan tagline “penerbit buku Islam pilihan;
menghadirkan buku, menyajikan ilmu”. Tema yang diterbitkan sangat beragam, mulai dari aqidah,
ahlak, Alqur’an, fikih, ibadah, dan keluarga, motivasi diri, dan kesehatan. Pemasaran hasil
penerbitan ini dilakukan melaui agen-agen yang ada di Solo, Semarang, Surabaya, Malang, dan
Jakarta. Selain itu, Penerbit Pustaka Al-Ukhuwah merupakan penerbit dan distributor buku
Islamis. Misi yang diperjuangkan adalah mengembalikan masyarakat kepada kehidupan salaf as-
shalih untuk menyelamatkan masyarakat dari kuatnya arus modernitas kehidupan. Buku-buku
yang diterbitkan oleh penerbit ini semuanya berkaitan dengan tuntunan kehidupan beragama
Islam.

Ketiga, media bercorak tarbiyah. Penerbit Gazza Media menerbitkan buku remaja dan
majalah anak. Penerbitan ini didirikan Burhan Sodiq, seorang pemerhati remaja di Soloraya. Gazza

206 | L a p o r a n A k h i r
Media memiliki agen sebanyak 50 yang mendistribusikan buku-bukunya, terutama di Jawa Tengah
dan beberapa kota di Lampung. Meski bukan penerbit besar, Gazza Media memainkan peran yang
penting dalam pengembangan gerakan Islamisme di kalangan remaja. Selain itu, ada Penerbit
Pustaka Quran Sunnah (PQS), yang memiliki dua imprin yaitu Aisar publishing dan Taqiya
publishing. Imprin ini bertujuan untuk memperluas jaringan pemasaran dan distribusi buku
terbitan PQS. Sedangkan Era Adicitra Intermedia merupakan penerbit sejak yang berdiri sejak
tahun 1997 dan bercorak tarbiyah yang cukup besar di Solo. Penerbit ini cukup kuat bertahan
dalam persaingan di pasar buku Indonesia.

Keempat, media penerbit bercorak jihadis. Penerbit ini memiliki corak yang lebih kusus
pada tema-tema dakwah dan jihad. Meskipun demikian, penerbit ini tidak menutup kemungkinan
menerbitkan literatur keislaman yang lebih cenderung pada manhaj Ikhwanul Muslimin (IM)
dengan beragam karakter dan patronase ideologi. Penerbit Arafah, misalnya, berhasil melakukan
terobosan sehingga berkembang menjadi penerbit yang besar di Solo. Selain itu, Penerbit Aqwam
Media Utama merupakan penerbit buku Islamis yang paling besar di Solo dan sekitarnya.
Latarbelakang berdirinya penerbitan ini adalah: pertama, sebagai upaya mengembalikan
masyarakat sesuai dengan tuntunan Alqur’an dan Sunnah. Kedua, masyarakat sudah terjebak
dalam kehidupan materialis dan hedonis, sehingga hanya menjadikan kehidupan dunia sebagai
tujuan utamanya. Akibatnya persoalan moralitas, akhlak dan kebaikan menjadi terabaikan. Maka
penerbit ini menawarkan model kehidupan yang telah dicontohkan oleh nabi dan salaf as-shalih
sebagai jawaban. Penerbitan ini dipegang oleh Bambang Sukirno yang juga memimpin Penerbitan
Jazeera, penerbitan yang khusus untuk menerbitkan buku-buku Islam ideologis, seperti persoalan
jihad dan penegakan syariat Islam. Tidak seperti buku terbitan Aqwam yang cenderung pada tema-
tema Islam popular dengan corak Salafi, Penerbit Jazeera lebih kental dengan nuansa politik dan
ideologi Islamis yang kuat.

Di Soloraya, media Islamis menjadi agen yang memproduksi cara pandang tertentu dan
didistribusikan kembali dalam ruang publik. Media Islamis menjadi jembatan yang mempercepat
perluasan ide, gagasan dan relasi kuasa gerakan Islamis kepada masyarakat luas.236 Dalam skala
nasional keberadaan Majalah Sabili, Hidayatullah, Jihad, Megazine, Risalah Mujahidin semakin

236
Dale F Eickelman and James Piscatory, Politik Muslim: Wacana Kekuasaan dan Hegemoni dalam
Masyarakat Muslim, terjemah Amirudin, et.al. (Yogyakarta; Tiara Wacana, 2009), 44, 158.

207 | L a p o r a n A k h i r
mendapatkan tempat yang luas. Demikian juga keberadaan radio seperti Rodja FM dan Bass FM
sebagai ujung tombak dakwah Salafi telah memberi warna tersendiri dalam publik Islam
Indonesia, terutama di Soloraya. Keberadaan media tersebut menampilkan corak keislaman yang
lebih ideologis dan purifikatif.237 Cara pandang yang lebih konservatif, kewajiban untuk ber-wala’
wa al-bara’, konsep tentang ketauhidan, konsep hakimiyah, dan konsep jihad merupakan karakter
dan wacana utama yang dibingkai oleh media Islamis di Soloraya. Selain itu, media Islamis ini
juga membingkai wacana khilafah Islamiyah, penegakan syariah yang dihadapkan pada sistem
demokrasi, isu jihad, dan persoalan keragaman sosial.238 Semua pandangan ini bermuara pada
pemikiran bahwa syariat Islam seharusnya menjadi pilihan utama, bahkan satu-satunya pilihan
dalam mengelola kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Bagaimana media Islamisme mewarnai cara pandang masyaraat Soloraya? Mereka


membingkai wacana melalui berbagai media, salah satunya melalui media dan penerbitan sebagai
ruang penyampaian ”makna” dan ”kepentingan politik” di balik setiap wacana yang disampaikan.
Majalah As-Sunnah, misalnya, melalui tagline “Upaya Menghidupkan Sunnah”, menciptakan
branding untuk mendorong dan mengajak masyarakat pembaca untuk kembali kepada Alquran
dan Sunnah Nabi. Majalah yang diterbitkan Pesantren Imam Bukhari ini memiliki oplah penjualan
13 ribu eksemplar sekali cetak, dengan daerah pemasaran di Jawa, dan luar Jawa. Dari segi isi,
majalah ini memiliki berbagai rubrik keislaman seperti: rubrik soal jawab masalah fikih yang
diajukan pembaca yang dijawab pengelola majalah, rubrik tafsir berisi penafsiran ayat-ayat
Alqur’an, rubrik hadist, rubrik aqidah, manhaj, sirah, tazkiyatun nufus, dan rubrik khutbah Jum’at.

Sumber literasi lainnya yang banyak mempengaruhi gerakan Islamisme di Soloraya yaitu
Majalah Ar-Risalah, yang mengusung branding “Menata Hati Menyentuh Rohani.” Majalah yang
terbit sejak tahun 2002 ini memiliki oplah yang cukup besar, yaitu mencapai 30 ribu eksemplar
dengan distribusi di Jawa dan kota-kota di luar Jawa. Jumlah yang besar ini dimaksudkan untuk
memberikan pemahaman bagi masyarakat Islam yang dinilai telah menyimpang dari sumber
pokok ajaran Islam, yaitu Alquran dan Sunnah. Melalui media ini, masyarakat Muslim diajak
untuk memahami ajaran Islam dengan benar seperti yang dicontohkan Nabi Saw dan para Salaf

237
Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina,
2004), 589-593.
238
Ridwan Al-Makassari, dkk., Benih-benih Islam Radikal di Masjid: Studi Kasus Jakarta dan Solo (Jakarta,
CSRC UIN Jakarta, 2010), 22-23.

208 | L a p o r a n A k h i r
as-Shalih. Selain itu, majalah ini terbit dengan oplah yang besar karena dinilai menjadi solusi
praktis ”panduan keagamaan” yang diperlukan masyarakat karena di dalamnya memuat berbagi
rubrik tanya jawab mengenai ibadah, aqidah, fikih, dan akhlak. Majalah juga berisi update
perkembangan isu-isu kontemporer, life style, produk, dan lainnya.

Majalah Hadila yang bercorak tarbiyah ini mengusung jargon “Sahabat Menuju Taqwa”
merupakan majalah Islamis yang berfokus pada masalah keluarga. Majalah yang diterbitkan
Yayasan Solo Peduli Ummat (YSPU) ini dilatarbelakangi oleh adanya pemahaman keagamaan
yang dinilai rendah di kalangan masyarakat, sehingga mereka seringkali melakukan perbuatan dan
ibadah yang sebenarnya tidak ada dalam tuntunan Islam. Secara umum majalah ini berisi persoalan
tarbiyah Islamiyah, keluarga sakinah, persoalan charity, dan pendidikan anak. Tujuan utama
Majalah Hadila adalah perbaikan kehidupan masyarakat Muslim melalui media dakwah sehingga
menjadi masyarakat Muslim yang bertaqwa dan memiliki kepedulian. Majalah ini secara prinsip
keagamaan ingin mengajak masyarakat untuk menegakkan amar makruf nahi munkar. Oleh
karena itu, YSPU mengembangkan Lazis Solo Peduli yang bergerak membantu biaya pendidikan,
pengobatan, kesehatan, santunan keluarga kurang mampu, pendidikan, dan gerakan sosial
kemanusiaan lainnya.

Media Islamis juga menyasar kalangan pelajar di Soloraya, dengan menampilkan segmen
khusus untuk membedah persoalan keluarga, remaja, dan bisnis seperti Majalah Sakinah dan el-
Fatta. Majalah Sakinah merupakan majalah Islamis yang fokus pada segmen keluarga. Tujuan dari
majalah ini adalah ikut mendidik keluarga Muslim agar dapat memahami ajaran Islam dengan baik
sebagaimana yang dijalankan oleh Nabi dan para ulama salaf as-shalih. Tujuan ini tercermin
dalam jargonnya: “Inspirasi Rumah Tangga Islam.” Majalah el-Fatta merupakan majalah Islamis
yang mengambil segmen khusus remaja dan pemuda, yang mengusung tagline: “Muda, Taqwa
Cendekia,” dengan oplah setiap kali terbit mencapai 9 sampai 13 ribu eksemplar. Secara umum
visi majalah ini hendak menjadi majalah Islam bagi remaja di Indonesia. Dasar utama yang
dipegang majalah ini adalah nilai-nilai dalam Alquran, Sunnah, dan Salaf as-Shalih. Oleh karena
itu, rubrik yang dihadirkan majalah ini berorientasi pada pemahaman Islam yang kaffah untuk
remaja dan pemuda. Sebagai majalah Islamis dengan segmen khusus kalangan remaja dan pemuda
majalah ini praksis hanya berjalan sendiri, tidak ada pesaing yang cukup kuat.

209 | L a p o r a n A k h i r
Kalangan mahasiswa Perguruan Tinggi (PT) juga menjadi lahan garapan media Islamis
terutama aktivis keagamaan di kampus, terutama UKMI (Unit Kegiatan Mahasiswa Islam) dan
LDK (Lembaga Dakwah Kampus), yang secara umum membaca Majalah An-Najah. Majalah
dengan tagline “Menegakkan Kalimat Allah” ini bertujuan membangun kesatuan umat dan
semangat perjuangan (jihadiyah) untuk kejayaan Islam. Majalah dengan oplah 9 ribu eksemplar
ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan akan media dakwah yang dapat memberikan informasi kepada
masyarakat Muslim secara benar. Hal ini disebabkan oleh minimnya media dakwah yang hadir di
tengah-tengah masyarakt Muslim, sehingga masyarakat mengkonsumsi informasi yang dinilai
tidak benar dan tidak mendidik. Dalam penyampaiannya majalah ini memiliki corak yang sangat
ideologis, dengan penekanan pada persoalan tauhid dan persatuan Islam.

Media Islamis dalam proses pembingkaian wacana tersebut secara prinsip bertujuan
membangun kesadaran khalayak (public awareness) mengenai persoalan-persoalan yang dilihat
sebagai ancaman bagi mereka seperti pemerintah yang tidak adil pada umat Islam, ideologi
komunis, Syi’ah, Ahmadiyah, liberalisme, pluralisme, sekularisme, demokrasi, keberadaan media
mainstream, maraknya pergaulan bebas, moralitas pornografi dan Kristenisasi. Di sisi lain, media
Islamis juga memberi peringatan keras pada masyarakat mengenai bahaya kebangkitan ideologi
komunis. Media Islamis menyebutkan bahwa komunisme sebagai ideologi belum benar-benar
mati di Indonesia, terbukti dengan masih adanya antek-antek PKI yang masih hidup dan
berkembang, serta sewaktu-waktu bisa menghancurkan umat Islam.239 Melalui media Islamis,
gerakan Islamisme di Soloraya sedang mendorong adanya pola transformasi mobilisasi potensial
ke dalam mobilisasi aktual dalam upaya menyakinkan kelompok sasaran yang beragam dan luas
sehingga mereka terdorong mendesakkan perubahan.240

Penceramah Baru dan Pengajian Ibu-Ibu

239
Majalah Asy Syariah secara khusus menerbitkan tema “Awas Komunis Bangkit Kembali” pada tahun
2016. Tema ini diangkat kepermukaan bersamaan dengan maraknya pemberitaan mengenai ancaman komunisme di
Indonesia. Majalah Asy Syariah, edisi 01 Tahun 2016.
240
Klandermas menjelaskan bahwa mobilisasi aksi berhubungan dengan psikologi sosial klasik mengenai
hubungan antara sikap dan perilaku. Persektif aksi kolektif sebagai konstruksi budaya sebagai sistem kesadaran
kolektif yang mengandung makna-makna yang menjadi kekuatan legitimasi dan motivasi bagi lahirnya tindakan-
tindakan kolektif. Klandermans membagi perspektif psikologi gerakan sosial meliputi tiga hal—yakni (1) perasaan
tidak adil atas perlakuan terhadap suatu kelompok partisipan; (2) identitas kelompok yang mendefinisikan partisipan
gerakan sosial sebagai korban ketidakadilan kelompok sosial lain, rezim; dan (3) agensi. David A. Snow dan Robert
D. Benford, ”Ideology, Frame Resonance, and Participant Mobilization,” International Social Movement Research,
Vol. I (1988): 197-217.

210 | L a p o r a n A k h i r
Aspek lain yang menarik terkait ruang baru diseminasi Islamisme di Kota Surakarta adalah
kelahiran penceramah baru dan pengajian yang diinisiasi oleh ibu-ibu rumah tangga kelas
menengah atas. Kehadiran penceramah dan ruang baru ini dapat digunakan untuk memahami
potensi perluasan Islamisme dan batas-batasnya di kota ini. Aspek-aspek yang menarik untuk
dikaji termasuk jejak penceramah terkait pesantren yang disinyalir radikal dan konten tausiyah
(ceramah) yang mereka khutbahkan. Sedangkan, untuk melihat batas-batas perluasan tersebut,
bagian ini mendiskusikannya dengan program sosial yang dilaksanakan para founder pengajian
ibu-ibu tersebut. Program sosial merepresentasikan subjektivitas ibu-ibu founder di tengah
pengajian yang didominasi oleh penceramah (laki-laki). Subjektivitas ibu-ibu dengan demikian
berpotensi menjadi batas bagi perluasan Islamisme di Kota Surakarta.

Sejak tahun 2009, pengajian ibu-ibu rumah tangga mulai menjamur di Kota Surakarta,
yang hingga kini berjumlah lebih dari sepuluh kelompok dan terus bertambah. Kelompok ibu-ibu
rumah tangga tersebut menamakan dirinya kajian, majelis taklim atau rumah ilmu. Tidak ada
perbedaan signifikan dari penamaan tersebut. Beberapa kelompok pengajian yang tersebar di Kota
Surakarta dan sekitarnya di antaranya adalah Kajian Humaira, Kajian Ghaida, Kahfi, Rumah Ilmu
Qolbun Salim, Dakwah Squad, Almeera Dakwah Sukoharjo, Majelis Taklim Al Husna, Majelis
Taklim Tajuul Waqoor, Majelis Taklim Azkadina Karanganyar, Sahabat Jannaty Sragen, An
Najaah, Indonesia Syiar Network, Saudagar Ngaji, Majelis Taklim Aisyah Istiqomah, Majelis
Taklim Istiqomah, Majelis Taklim Ahlul Jannah, Majelis Taklim Nusaiba, dan Majelis Taklim
Latifa. Sebagian pengajian tersebut menyiarkan pengajiannya secara daring, sebagian yang lain
bersifat sepenuhnya luring. Secara umum, mereka memiliki kesamaan program utama, yaitu kajian
rutin dan program sosial.

Jejaring Penceramah dan Konten Tausiyah

Merebaknya pengajian ibu rumah tangga di Kota Surakarta diikuti dengan kehadiran para
penceramah baru yang relatif berusia muda. Para penceramah ini menjadi terkenal karena sering
diundang mengisi tausiyah. Dalam seminggu, seorang penceramah dapat menyampaikan materi
yang sama di tiga atau empat pengajian yang berbeda. Beberapa penceramah yang sering diundang
di antaranya: Abdul Rochim Baasyir, Tri Asmoro Kurniawan, Aries Munandar, Ainul Millah (Lc,
MHI), Zaky Ramadhany (Lc), Muhammad Ridho (SE, M.Si), Mu’inudinillah Basri (Dr), Nur
Islam (M.Pd.I), Mas’ud Izzul Mujahid, Hanifullah Syukri (M.Hum) dan Umaier Khaz (Lc).

211 | L a p o r a n A k h i r
Sebagian besar penceramah tersebut tergabung dalam Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS)
pimpinan Mu’inudinillah Basri, sebuah lembaga yang dibentuk untuk menggabungkan elemen-
elemen kekuatan laskar di Surakarta.241
Umaier Khaz adalah salah satu penceramah idola di kalangan ibu-ibu pengajian. Selain
masih muda, penceramah ini juga lulusan LIPIA Jakarta. Saat ini ia menjabat sebagai direktur
Akademi Alquran FKAM.242 Penceramah ini juga menjadi penggerak Garda Annas, sebuah
gerakan nasional yang aktif menyuarakan anti-Syiah.243 Khaz aktif mendemo kegiatan yang
dianggap berbau Syiah di tingkal lokal.244 Melalui Instagram, ia aktif menyuarakan isu-isu Islam
transnasional.245 Khaz adalah lulusan Pondok Pesantren Darus Syahadah, Boyolali, Jawa Tengah.
Pesantren ini pernah dipimpin oleh Mustaqim, lulusan Pondok Pesantren Ngruki. Sistem di pondok
pesantren ini mengikuti pola pembelajaran di Ngruki, dan para santrinya juga mendapatkan latihan
paramiliter. Beberapa alumni, seperti Jabir, Ubeid dan Salik Firdaus pernah terlibat aktivitas
Jamaah Islamiyah.246

241
“Tokoh Umat Islam Deklarasikan Dewan Syariah Solo,” Republika Online, 10 Maret 2013,
https://republika.co.id/berita/nasional/umum/13/03/10/mjfml2-tokoh-umat-islam-deklarasikan-dewan-syariah-solo.
242
Forum Komunikasi Antar Masjid (FKAM) mulai aktif pada tahun 1998 sebagai sebuah gerakan pemuda
Islam di Surakarta. Pada awalnya, FKAM lebih identik dengan laskar jundullah. Sepuluh tahun kemudian, FKAM
memiliki Baitul Maal dan memperluas aktivitasnya, antara lain praktik dakwah masyarakat (termasuk terlibat dalam
program tanggap bencana), santunan da’i, pembelajaran Quran, penyelenggaraan kajian dan pengembangan dakwah
(dan) pendidikan. Akademi Alquran dibangun salah satunya untuk menunjang program pengembangan dakwah
tersebut. Santri-santri Akademi Alquran FKAM dididik selama dua tahun untuk menjadi hafidz (penghafal) Alquran.
Setahun setelahnya, para santri dikirim ke masyarakat untuk program pengabdian sekaligus melatih mereka sebagai
dai yang berkualitas. “Program Beasiswa Pendidikan Akademi Al Qur’an FKAM,” Baitul Mal FKAM, diakses 29 Juli
2020, https://baitulmalfkam.com/program-beasiswa-pendidikan-akademi-al-quran-fkam/.
243
Tokoh utamanya Ustadz Tengku Azhar dan Ustadz Umaier Khaz. Di level nasional, Aliansi Anti Syiah
dideklarasikan kali perdana di Bandung, pada April 2014, dihadiri oleh tokoh seperti Muhammad Alkhaththath dan
Abu Jibril. Dalam orasinya, Abu Jibril menyatakan wajib hukumnya mengkafirkan Syiah. “Deklarasi Anti-Syiah:
Siapa Yang Menebar Kebencian? — Liputan Islam,” accessed 21 Maret 2020,
https://liputanislam.com/liputan/deklarasi-anti-syiah-siapa-yang-menebar-kebencian/.
244
Garda Annas aktif mengkampanyekan Syiah bukan Islam. Salah satu pondok pesantren yang menjadi
sasaran tuduhan adalah Gumuk, karena Ustadz Mudzakir pernah berguru kepada seorang ulama di Bangil. Akan tetapi,
mereka tidak terang-terangan berdemonstrasi di depan Pondok Pesantren Gumuk. Aksi Garda Annas juga mendemo
bedah buku karya Haidar Bagir di IAIN Surakarta pada awal Maret 2017, dan pelaksanaan bedah buku karya penulis
yang sama pada akhir 2019. Bagi mereka, Haidar Bagir termasuk salah satu tokoh Syiah di Indonesia. Lihat juga
Muhammad Najib Azca, Hakimul Ikhwan, and Moh Zaki Arobi, “A Tale of Two Royal Cities: The Narratives of
Islamists’ Intolerance in Yogyakarta and Solo,” Al-Jami’ah 57, no. 1 (2019): 25–50.
245
Akun instagram penceramah ini dapat ditelisik di “Umaier Khaz (@umaierkhaz) • Instagram Photos and
Videos,” accessed 21 Maret 2020, https://www.instagram.com/p/B7VKlRThqXf/.
246
Pada tahun 1995, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama-ulama seniornya di pesantren Ngruki. Ada
ulama yang ingin mendirikan Madrasah Mutawassitah (MMT). Level ini ingin menggabungkan kurikulum berbasis
Islam dan kurikulum pendidikan “sekuler.” Sebagian ulama senior menolak pendirian sekolah ini karena menganggap
sekolah tersebut tidak mencerminkan perjuangan dasar pondok pesantren Ngruki. Tiga ulama senior kemudian
“dipecat” dari Ngruki, yaitu Abdul Manaf (yang kemudian menjadi penceramah mandiri), Abdurrahim dan

212 | L a p o r a n A k h i r
Penceramah lain bernama Mas’ud Izzul Mujahid, pimpinan redaksi Majalah An-Najah.
Majalah ini telah menerbitkan 170 edisi dan tersebar dalam versi cetak dan daring. An-Najah
terkenal sebagai salah satu majalah dari Kota Surakarta yang terkenal gigih menyuarakan ide-ide
penerapan syariah Islam dan khilafah.247 Selain pernah menjadi relawan Bulan Sabit Merah ke
Suriah, oa aktif menjadi salah satu tokoh Garda Annas. Seperti Umaier Khaz, penceramah ini aktif
menyuarakan sikap eksklusivismenya di Instagram.248

Penceramah selanjutnya adalah Tri Asmoro Kurniawan. Pada awal tahun 2000an, ia
dikenal sebagai direktur Penerbit Arafah. International Crisis Group tahun 2008 menyebut tokoh
ini sebagai mantan anggota Jamaah Islamiyah wilayah Jawa Barat. 249 Tidak aneh jika Penerbit
Arafah sering menerbitkan buku-buku terkait jihad. Kini Tri Asmoro dikenal sebagai konsultan
keluarga sakinah. Beliau mendirikan Griya Keluarga Sakinah. Asmoro juga menjadi salah satu
pendiri Yayasan Ar-Risalah dan SD Ar-Risalah, yang sering dikampanyekan di dalam ceramah-
ceramahnya.

Menurut beberapa partisipan kajian, penceramah lain yang diminati adalah M. Nur Islam.
Penceramah ini berhasil mengkonversi bekas gereja menjadi pesantren Menara Qur’an di daerah
Karanganyar.250 Nur Islam selama ini menjadi direktur Pondok Pesantren Tahfidz Al Kahfi,
sebuah pesantren di bawah Yayasan Hidayatullah. Salah satu guru pondok ini pernah ditembak
mati oleh Densus 88 karena diduga terlibat dengan jaringan teroris.251 Ponpes Al Kahfi berjejaring

Djamaluddin. Dipecatnya ulama senior ini berpengaruh pada keluarnya puluhan ustadz junior dan santri. Ulama senior
Ngruki tersebut kemudian terlibat dalam mengembangkan beberapa pesantren di daerah Solo Raya. Muhammad
Wildan, “Radical Islamism in Solo: A Quest of Muslims’ Identity in a Town of Central Java Indonesia” (PhD Thesis,
Bangi, Institute of Malay World and Civilization, University of Kebangsaan Malaysia, 2009).
247
“Majalah Arsip,” An-Najah, diakses 21 Maret 2020, https://www.an-najah.net/category/majalah/.
248
Menjelang perayaan Hari Raya Orang Cina, di sepanjang jalan raya depan Pasar Gede Solo biasanya
dipasang ratusan lampion. Melalui akun IG-nya, penceramah ini mengkritik “lampion bukan budaya kita, lampion
adalah alat untuk manjajah (sic) akidah psikologi & budaya Indonesia.” Lihat “@masudizzulmujahid Shared a Photo
on Instagram Jan 15, 2020 jam 6:59,” diakses 29 Juli 2020, https://www.instagram.com/p/B7VMQVtnmyl/.
249
International Crisis Group, “Indonesia Jemaah Islamiyah’s Publishing Industry,” 28 Februari 2008,
https://www.refworld.org/pdfid/47c6c9912.pdf.
250
Launching Kajian Perdana Menara Qur’an, Ust M Nur Islam. M.Pd.I, diakses 21 Maret 2020,
https://www.youtube.com/watch?v=Qm0Vl-A6olI.
251
“Peran Adib Susilo Masih Kabur,” diakses 21 Maret 2020, https://news.detik.com/berita/d-1205507/-
peran-adib-susilo-masih-kabur.

213 | L a p o r a n A k h i r
dengan Yayasan Hidayatullah, yang berkedudukan di Balikpapan dan Kalimantan. Jejaring
pondok ini, menurut International Crisis Group, menjadi tempat penampungan para teroris.252
Penceramah lain yang penting dicermati adalah Abdul Rochim Ba’asyir (Ust. Iim). Ia
adalah putra Abu Bakar Ba’asyir. Ust Iim menerima amanat dari ayahnya untuk memimpin
Pesantren Salman Alfarisi, yang terletak di daerah Tawangmangu. Pesantren ini dirintis mulai
tahun 2009 dengan sistem pendidikan model mulazamah, yaitu seorang santri belajar privat kepada
ustadz.253 Mu’inudinillah Basri juga tidak jarang diundang sebagai penceramah di beberapa
pengajian, namun biasanya muncul saat ada tabligh akbar yang melibatkan tokoh nasional. Selain
memimpin Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS), ia juga menjadi direktur Pondok Pesantren
Tahfidz Alquran Ibnu Abbas, Klaten.254 Penting untuk dicatat bahwa penceramah senior, Abdullah
Manaf Amin, masih diberikan ruang di beberapa majelis taklim di Kota Surakarta dan sekitarnya,
misalnya di Masjid At-taqwa kompleks SMA Al-Islam Surakarta dan di Balai Dakwah Sragen.255
Terkait dengan konten tausiyah para penceramah tersebut, “keluarga Sakinah” menjadi
salah satu topik rutin yang ditunggu, karena terdapat sesi konsultasi permasalahan keluarga. Ketika
mengisi kajian di Majelis Taklim Al Husna di rumah Bu Diah, misalnya, Tri Asmoro memberikan
ceramah “Mengapa Keluarga Kita Tidak Sakinah” (23/02/20). Ia menjelaskan pentingnya niat
ketika akan membina rumah tangga. Niat yang benar memiliki indikasi bahwa keluarga tersebut
akan taat syariat. Syariat menjadi solusi apabila nanti ada masalah dalam keluarga. Untuk
menegaskan pentingnya hal ini, beliau membacakan salah satu ayat Alquran, an-Nur: 21, sambal

252
Lihat selengkapnya Saipul Hamdi, Paul J. Carnegie & Bianca J. Smith, “The Recovery of a Non-violent
Identity for an Islamist Pesantren in an Age of Terror,” Australian Journal of International Affairs, 69:6 (2015): 692-
710, DOI: 10.1080/10357718.2015.1058339.
253
“Sejarah Pesantren Islam Salman Al-Farisi | Salman Al Farisi,” diakses 21 Maret 2020,
https://www.ppsalmanalfarisi.com/sejarah-pesantren-salman-alfarisi.
254
Mu’inudinillah Basri adalah lulusan Islamic University Riyadh. Saat ini masih tercatat sebagai dosen di
Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Dua saudara ustadz ini, yaitu Muhammad Nuruddin dan Abu Walid
Al Indunisi, masing-masing tertembak di Ambon dan Suriah sebagai terduga teroris. “Profil Ustad Mu’in Ketua DSKS
Solo yang Terang-Terangan Dukung Negara Khilafah Indonesia,” DetikNews.ID, 2 April 2019,
https://detiknews.id/hot/profil-ustad-muin-ketua-dsks-solo-yang-terang-terangan-dukung-negara-khilafah-
indonesia/.
255
Sejak “dipecat” dari Pondok Pesantren Ngruki, Abdullah Manaf Amin aktif sebagai penceramah rutin di
beberapa masjid di Surakarta; salah satunya masjid di barat Pasar Kleco. Di tempat ini, seminggu dua kali ia
menguraikan akidah yang termaktub dalam buku Tsalatsatul Ushul. Ketika Soeharto tumbang, Ustadz Manah
diposisikan sebagai sesepuh yang seringkali hadir di tabligh akbar nasional di Kota Surakarta.

214 | L a p o r a n A k h i r
menekankan frasa sami’na wa atha’na. Ia mengkritik orang yang sami’na saja tetapi tidak mau
mentaati apa telah disampaikan.256
Pendidikan anak juga merupakan topik yang tidak kalah penting. Beliau
mengkampanyekan lembaganya, Ar-Risalah, sebagai salah satu alternatif tempat pendidikan bagi
anak. SMAIT Al Hidayah juga disebut sebagai contoh sekolah Islam jenjang menengah atas. Di
satu sisi, penceramah ini mengunggulkan sekolah Islam, di sisi lain menjelaskan bagaimana
sekolah-sekolah negeri kurang dari sisi Islamnya.
Tema muamalat sehari-hari dapat ditemui dalam tausiyah M. Nur Islam, misalnya topik
tentang persahabatan. Ia menjelaskan bahwa teman yang baik mencerminkan akhlak Nabi
Muhammad, sedangkan teman yang buruk mencerminkan karakter setan. Memilih teman harus
mengutamakan keuntungan, bukan hanya sisi fisiknya. Satu hal yang menarik pada sesi tanya
jawab dapat kita simak:
Penanya: “Assalamu’alakum warahmatullahi wabarakatuh. Mungkin yang saya
tanyakan di luar tema ya. Saya tanyakan bagaimana kita mendoakan mertua yang
sudah meninggal tapi beda keyakinan.”
Ustadz Nur Islam: “Jadi doanya begini, ya Allah jadikanlah anak-anak dari orang
tua saya menjadi anak-anak yang sholih dan sholihah. Inget jadikan anak-anak, cucu
dari orang tua kita menjadi anak keturunan yang sholih dan sholihah, jadi cara
mendoakannya begitu, karena nggak bisa mendoakan orang yang sudah meninggal
dalam keadaan non-Muslim. Itu nash-nya jelas bahwa kita tidak boleh mendoakan
yang lain akidah. Yang bisa kita ambil adalah anak cucunya.”257

Seorang ibu lain menanyakan tentang tata cara bergaul dengan non-Muslim. Nur Islam
menjawab senada dengan jawaban pertanyaan di atas. Pesan yang ditonjolkan adalah superioritas
Islam. Berteman dengan non-Muslim boleh, tetapi dalam hal muamalah. Itu pun harus dilihat
apakah dia termasuk orang yang memusuhi Islam atau tidak. Apabila terbukti memusuhi Islam,
harus dijauhi; alasannya agar tidak menimbulkan fitnah. Nur Islam menambahkan kebolehan
bersalaman dengan perempuan non-Muslim, jelasnya, “Yang najis bukan dia, tapi akidahnya.”
Adapun kajian tematik mengangkat isu-isu hangat seperti Uighur. Umaier Khaz termasuk
yang sering menyuarakan bagaimana pemerintah Tiongkok membangun kamp penyiksaan bagi
Muslim Uighur. Penceramah muda ini melakukan perjalanan ke daerah Xinjiang untuk berkunjung

256
Tri Asmoro Kurniawan, “Mengapa Keluarga Kita Tidak Sakinah?” (Kajian Rutin Al Husna, Rumah Bu
Diah, Karang Turi, Pajang, 23 Januari 2020).
257
M. Nur Islam, “Persahabatan” (Kajian Rutin Al Husna, Masjid Nurul Iman Kalitan, 20 Januari 2020).

215 | L a p o r a n A k h i r
ke masjid dan mewawancarai penduduk Muslim Uighur. Cerita perjalanan ini dikisahkan kembali
dalam kajian-kajian Islam selama beberapa waktu. Kisahnya diulang-ulang dari satu pengajian ke
pengajian lain, dan dijadikan bahan refleksi terkait realitas di Indonesia. Ia menyampaikan bahwa
di Uighur identitas Islam dilarang, majelis taklim dilarang, “Apakah hal itu akan terjadi di negeri
ini?”258
Di akhir sesi tausiyah, Umaier biasanya mengajak ibu-ibu pengajian untuk mendonasikan
hartanya untuk Uighur. Sedekah ini bukan dikirimkan ke penduduk Uighur di Tiongkok, namun
akan dikirimkan ke anak-anak Uighur yang bersekolah di Turki dan negara lain. Ibu-ibu yang hadir
bersemangat untuk menginfakkan rupiahnya. Ibu-ibu yang mendengar tausiyah Ustadz Umaier
juga sangat antusias. Bahkan ada seorang ibu yang menyampaikan dalam sesi tanya jawab bahwa
dia akan mengkisahkan kembali cerita-cerita tadi ke keluarga dan tetangganya.
Model kritik Umaier Khaz secara konsisten diselipkan baik saat ceramah maupun
postingan Instagram. Pada tanggal 15 Januari 2020, ia memposting di dinding IGnya
(@umaierkhaz) petikan perjalanan saat berkeliling di Masjid Donggua Xining. Ia membagikan
gambar ornamen, kaligrafi dan tulisan yang tertempel di dinding-dinding masjid tersebut, yang
dan salah satunya berarti “Cinta Negara Cinta Agama, Islam Obedience Peace, dan simbol
komunis (bendera Tiongkok?).” Beliau kemudian melanjutkan, “... semoga tulisan-tulisan itu tidak
seperti jargon serapah di negeri kita “NKRI Harga Mati,” “Saya Pancasila,” atau “Perangi
Radikalisme,” tapi yang berteriak justru menjual NKRI, yang berteriak lebih radikal, yang
berteriak lebih tidak pancasilais daripada yang diteriaki.”259
Postingan menjadi sarana dakwah bagi beberapa penceramah di atas. Pesan yang
disampaikan adalah pesan untuk memikirkan saudara-saudara Muslim di belahan bumi lain. Di
sini terasa ada semangat transnasionalisme yang dikobarkan. Pada tanggal 15 Maret 2020, Ustadz
Umaier, misalnya, memposting dua anak Palestina dan menulis: “Dear Penduduk Bumi,
bagaimana rasanya lockdown? Salam sayang, Anak-Ghaza Palestina.”260 Masih pada hari yang
sama, ia memposting video pendek tentang doa yang intinya menganalogikan penyakit (Covid-19)

258
Umaier Khaz, “Turkistan Timur, Negeri Islam Yang Hilang (Catatan Perjalanan Ke Xinjiang)” (Kajian
Humaira, Masjid Nurul Iman Kalitan, January 30, 2020).
259
“Umaier Khaz (@umaierkhaz) • Instagram Photos and Videos.”
260
“Umaier Khaz (@umaierkhaz) • Instagram Photos and Videos,” diakses 21 Maret 2020,
https://www.instagram.com/p/B9v34aiBFuv/.

216 | L a p o r a n A k h i r
dengan tentara Allah. Terhitung sejak hari tersebut, kajian-kajian Islam di Surakarta diliburkan,
tidak ada penceramah yang mengadakan kajian, meskipun melalui sarana live-streaming.
Jika dicermati secara seksama, tausiyah para penceramah tersebut lebih mengandung
muatan eksklusif. Bagaimana ibu-ibu pengajian meresponsnya? Bagian selanjutnya menguraikan
bagaimana ibu-ibu founder pengajian memiliki subjektivitas dalam menggerakkan pengajian dan
program sosial. Subjektivitas tersebut dapat dilihat dari pilihan topik dan program sosial yang
dijalankan selama pandemi covid-19.

Praktik Sosial dan Sinergi Dakwah

Pengajian ibu-ibu mempunyai genealogi berbeda, misalnya yang dialami Al Husna dan
Humaira. “Menjalin ukhuwah menggapai jannah,” begitu Bu Aida menjelaskan tujuan
pembentukan Al Husna.261 Ide pendirian ini berawal dari obrolan ibu-ibu yang menunggui anak-
anak TK-nya belajar di sekolah. Mereka kemudian merangkul saudaranya untuk bergabung.
Saudaranya ini mengajak temannya untuk ikut, dan terbentuklah sebuah halaqoh, kelompok kecil
yang terdiri dari tujuh ibu rumah tangga. Halaqoh ini pada mulanya menyelenggarakan pengajian
di rumah anggota. Pengajian berpindah dari satu ke lain anggota yang kemudian mengundang
tetangganya untuk mengikuti kajian. Halaqoh bertambah, meskipun sampai kini pengurus Al
Husna hanya berjumlah sepuluh orang.262
Kajian Humaira mempunyai kisah yang berbeda. Teh Nini, istri Aa Gym, saat mengisi
kajian di Yogyakarta menyarankan pendirian sebuah kajian rutin. Teh Nini memberi nama
Humaira. Pengajian ini berkembang di Kota Surakarta setelah pada akhir Januari 2015 salah satu
foundernya pindah ke kota bengawan ini. Struktur kepengurusan Humaira terbagi menjadi komite,
penanggungjawab acara dan volunteer. Sejak awal, pengurus Humaira menjadikan masjid sebagai
tempat pengajiannya.263

261
“Alhusna (@alhusna0909) • Instagram Photos and Videos,” diakses 21 Maret 2020,
https://www.instagram.com/alhusna0909/.
262
Majelis Taklim Al Husna menyelenggarakan kajian rutin setiap hari Senin dan Rabu, pukul 8:30 sampai
selesai. Setiap Senin, kajian dilaksanakan di Masjid Siti Aisyah, di daerah Manahan. Masjid ini baru selesai dibangun
akhir 2018, berbentuk tidak seperti masjid-masjid di Jawa yang memiliki kubah. Masjid Siti Aisyah berbentuk kotak.
Selain di masjid Siti Aisyah, kajian di hari Rabu menggunakan beberapa tempat yang berbeda. Pada hari Rabu ketiga
dan keempat berturut-turut kajian diisi oleh Aris Munandar dan Tri Asmoro Kurniawan. Aida, Majelis Taklim Al
Husna, 20 Januari 2020.
263
Di masa awal ini, kajian Humaira menyasar ibu-ibu muda agar mengikuti kajian. Pada masa awal ini,
bahkan saat tabligh akbar yang menghadirkan Umi Pipik, para pengurus Humaira melakukan “pengerahan” massa
agar partisipan kajian penuh. Hingga kini, peserta kajian tidak kurang dari 300 orang. Jika dahulu menggunakan masjid

217 | L a p o r a n A k h i r
Semakin lama kelompok kajian berbasis ibu rumah tangga semakin menjamur. Pengajian
juga menjadi tempat berinteraksi sesama ibu-ibu rumah tangga. Di dalam acara-acara tersebut,
beberapa ibu yang memiliki hobi sama bertemu. Ada yang kemudian membentuk klub renang,
grup memanah, atau kelompok pengajian lain, misalnya Dakwah Squad dan Nusaiba. Karena
banyaknya pelaksanaan pengajian ibu-ibu di Surakarta dan sekitarnya, masyarakat dapat
mengikuti pengajian setiap hari di masjid yang sama dengan penyelenggara berbeda. Keberadaan
genre baru pengajian ibu-ibu ini sama sekali berbeda dengan pengajian yang selama ini berjalan,
terutama pengajian khusus akhwat yang dimotori Salafi dengan pola monitoring dan evaluasi
ketat.264 Al Husna dan Humaira secara genealogis telah berikhtiar membangun sebuah tempat
menimba pengetahuan agama bagi ibu-ibu rumah tangga.
Para penceramah pengajian memang mayoritas laki-laki, tetapi para founder pengajian
membuktikan bahwa mereka dapat memilih penceramah dan topik kajian. Usul ibu-ibu founder
biasanya direspon oleh penasehat Humaira.265 Ketika Umaier Khaz mencoba mengusulkan
seorang penceramah, biasanya ada usulan berbeda dari Ivan, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Islam, IAIN Surakarta (2020-2024) dan penasihat Humaira, dengan pertimbangan ustadz yang
diusulkan kurang sesuai untuk konsumsi ibu-ibu. Selama pandemi, Ivan mengusulkan agar
Humaira melaksanakan pengajian daring di studio fakultasnya. Dengan strategi ini, Ivan dapat
meminta penceramah-penceramah dari IAIN Surakarta untuk ikut mengisi kajian Humaira. Ivan
ingin Humaira menjadi sebuah ruang moderasi beragama bagi ibu-ibu rumah tangga di Surakarta.
Ikhtiar Ivan tersebut belum dapat diukur efektifitasnya. Namun, sejak masa pandemi
Humaira lebih sering mengundang penceramah yang berbicara tentang fikih keseharian selain
Umaier Khaz. Sebagai contoh, Humaira pernah mengundang ustadzah akademisi dari IAIN
Surakarta, Elvi Na’imah (Lc, M.Ag), yang membicarakan tema seputar adab membaca Alquran
dan kerinduan kepada Rasullah saw.266 Di lain hari, Humaira mengundang Nur Silaturahmah (Lc)
yang diminta berbagi pengetahuan tentang berhias.267 Ringkasan tausiyah biasanya diunggah di

Fatimah sebagai tempat kajian, kini, karena alasan parkir luas, Humaira “menyewa” masjid Nurul Iman Kalitan untuk
pelaksanaan acara. Humaira memiliki jargon “Berjamaah dalam Berdakwah”. Upik, Kajian Humaira, 23 Januari 2020.
264
Silvi, Kajian Salafi, wawancara, 30 Januari 2020.
265
Ivan Rahmawan, panggilan akrab untuk Rahmawan Arifin. Rahmawan Arifin, Dewan Penasihat Humaira,
16 Maret 2020.
266
Elvi Na’imah, rekaman siaran langsung Facebook, Ketahuilah Rasul (Muhammad) Merindukan Kita,
2020, https://www.facebook.com/kajianhumaira.
267
Nur Silaturahmah, Fiqih Berhias, rekaman siaran langsung Facebook, 2020,
https://www.facebook.com/kajianhumaira.

218 | L a p o r a n A k h i r
akun IG Humaira, disajikan dalam bentuk meme kutipan sehingga dapat dibaca oleh para
followers.
Tema lain seputar fikih misalnya tentang jual-beli daring. Abduh Tuasikal, sebagai
penceramah, menegaskan, “Transaksi yang berlangsung via toko online (misalnya, situs web,
instagram, whatsapp), jual beli ini sama hukumnya dengan jual beli melalui surat menyurat. Ijab
qabul yang terjadi dianggap sama dengan jual beli langsung.” Berbeda saat luring, yang mana
peserta lebih banyak pasif, pengajian daring lebih memberi kesempatan kepada partisipan untuk
berdialog, bahkan menyanggah. Saat sesi tanya jawab, Tuasikal tidak membolehkan sistem
transfer pembelian emas. Namun, penanya tetap menganggap hal tersebut lebih praktis. Sanggahan
lain juga dilakukan ketika Tuasikal menghimbau penggunaan pembayaran tunai, daripada go-pay.
Penanya berpendapat justru go-pay memberikan kemudahan dan promo sehingga menguntungkan
pembeli. Pengajian daring telah menyediakan ruang subjektivitas bagi para perempuan untuk
mempertahankan argumentasinya.268
Humaira juga mengadakan program sosial. Program ini terasa sekali manfaatnya saat Kota
Surakarta memasuki masa pandemi. Ketika diumumkan status kejadian luar biasa, Humaira
langsung menggalang donasi. Donatur berasal dari berbagai pihak, khususnya pebisnis kuliner.
Tercatat sampai 25 April 2020, jumlah donasi terkumpul Rp62,739,508 ditambah makanan 1530
dus, minuman 805 botol, kurma 125 kg, sari kurma 51 botol, madu 73 botol + 48 sachet, minuman
kemasan 43 karton, vitamin 320 strip + 42 botol dan makanan ringan 6 dos + 100 buah. Selama
kurang lebih satu setengah bulan (pertengahan Maret – akhir April 2021), Humaira
mendistribusikan donasi berupa makanan siap saji setiap hari ke Rumah Sakit Dr. Moewardi,
Surakarta.269
Program sosial tidak berhenti hanya terkait pandemi. Humaira masih membuka donasi
untuk tujuan sosial, misalnya program anak asuh dan sedekah lansia dhuafa. Donasi mukena bersih
juga menjadi bagian program sosial ini. Ketika bulan Ramadan, Humaira juga menyalurkan
donasi, berupa hidangan buka puasa/sahur, ke beberapa pesantren. Selain Humaira, Al Husna dan

268
Muhammad Abduh Tuasikal, “Halam Haram Jual Beli Online (Kajian Fiqih Muamalah)” (11 Juni 2020).
269
Humaira memiliki tiga divisi. Selain taklim, ada juga divisi sosial. Divisi ini bertugas mengelola infak dan
sedekah yang berasal dari sumbangan partisipan saat dilaksanakan kajian. Ada juga donatur tetap yang menyokong
kajian Humaira, meskipun masih berjumlah kurang dari 15 orang. Humaira juga menjual produk-produk tertentu,
seperti tumbler dan pouch, yang profitnya untuk kegiatan sosial ini. Dana yang terkumpul digunakan untuk program
anak asuh, santunan kepada anak yatim dan duafa, dan program buka bersama di panti asuhan. Setahun terakhir,
Humaira memiliki divisi pelosok, yang mengurus dakwah ke daerah-daerah pedesaan di Solo Raya.

219 | L a p o r a n A k h i r
Dakwah Squad juga melaksanakan program sosial.270 Di antara progamnya adalah pembagian
mushaf Alquran di pesantren-pesantren milik penceramah yang sering mengisi kajian Majelis
Taklim Al Husna, seperti Pondok Al Kahfi Hidayatullah (Nur Islam), Pondok Pesantren Salman
Al Farisi Abdul Rochim Baasyir) dan Akademi Alquran FKAM (Umaier Khaz).271 Mereka juga
pernah menggalang dana untuk korban banjir, dan bencana alam lain misalnya gempa bumi.
Apabila ada anggota yang sakit, anggota lain menjenguknya. Hal yang sama juga dilakukan oleh
Dakwah Squad; beberapa foundernya membagikan sembako ke masyarakat sekitar.272
Kelompok pengajian ibu-ibu ini bersinergi ketika terlibat penyelenggaraan tabligh akbar
dan road-show. Dalam kegiatan road-show Aa Dede (adik Aa Gym), pada mulanya penceramah
ini diundang oleh Darut Tauhid (DT) Peduli Surakarta. Setelah ditawarkan di beberapa pengajian,
akhirnya ada tujuh tempat road show. Kajian Humaira menjadi penanggungjawab kegiatan di
masjid Kalitan, Dakwah Squad bertanggungjawab di masjid Siti Aisyah, dan lain sebagainya. DT
Peduli menanggung tempat menginap Aa Dede bersama istri. Untuk bisyarah (honor) dan snack,
ditanggung masing-masing penyelenggara road-show. Di tujuh titik lokasi penyelenggaraan road
show terkumpul dana infak sekitar 31 juta rupiah. Dana ini diberikan ke pihak DT Peduli untuk
membiayai desa tangguh yang menjadi salah satu program unggulan DT Peduli. Koordinasi yang
sama dapat ditemui pada saat pelaksanaan tabligh akbar Aa Gym. Koordinasi tabligh akbar
tersebut menamakan diri Dakwah Bersama Solo Raya (DSBR). Karena kejadian luar biasa terkait
virus corona, pelaksanaan tabligh akbar Aa Gym ditunda.273
Berdasarkan uraian di atas, subjektivitas ibu-ibu pengajian terlihat sejak pendiriannya.
Mereka mendirikan pengajian untuk pembentukan kesalehan perempuan, sehingga meskipun
penceramah berasal dari laki-laki, ibu-ibu founder dapat memilih topik yang diinginkan. Ibu-ibu

270
Program sosial atau kemanusiaan ini agaknya terinspirasi dari kegiatan yang dikelola Darut Tauhid (DT).
Pengajian ibu-ibu di Surakarta juga sering menyerahkan hasil donasi untuk mendukung kegiatan DT Surakarta. Untuk
program sosial DT, baca James Bourk Hoesterey, Rebranding Islam: Piety, Prosperity, and a Self-Help Guru
(Stanford University Press, 2015); Hilman Latief, “Marketizing Piety through Charitable Work: Islamic Charities and
the Islamization of Middle- Class Families in Indonesia,” in Religion and the Morality of the Market, ed. Daromir
Rudnyckyj and Filippo Osella, 1st ed. (Cambridge University Press, 2017), 196–216,
https://doi.org/10.1017/9781316888704.010.
271
“Alhusna on Instagram: ‘Agenda Alhusna Kunjungan Ke YAYASAN MENARA QUR’AN
HIDAYATULLAH Karanganyar, Barakallohu Fiikum @menaraquranhk #kunjunganponpes…,’” Instagram,
accessed July 29, 2020, https://www.instagram.com/p/B70alEEnY6l/.
272
“Da’wah Squad on Instagram: ‘Open Donasi Tanggap Corona Tahap 2. . Bismillah , . Diperpanjangnya
Situasi KLB Covid-19 Di Solo Raya, Tentunya Membuat Beberapa Sektor…,’” Instagram, accessed July 29, 2020,
https://www.instagram.com/p/B-qIiBwh2qM/.
273
Anik, Dakwah Darut Tauhid Peduli, 20 Februari 2020.

220 | L a p o r a n A k h i r
partisipan juga memposisikan pengajian sebagai sarana diskusi, sehingga tidak jarang mereka
berbeda pendapat dengan para penceramah. Program sosial dilaksanakan atas inisiatif ibu-ibu,
bukan karena mengikuti tausiyah yang disampaikan oleh penceramah. Itulah mengapa ketika masa
pandemi, ibu-ibu founder pengajian segera menggalang donasi, menyalurkannya dan
melaporkannya ke publik. Kelompok-kelompok pengajian ibu-ibu di Surakarta juga memiliki pola
koordinasinya sendiri. Dibandingkan dengan model “aksi damai” parade tauhid, yang lebih
menekankan demonstrasi, koordinasi ibu-ibu pengajian lebih menonjolkan edukasi.

Kesimpulan

Surakarta merupakan wilayah yang memberi kesempatan yang terbuka kepada paham apa
saja untuk berkembang. Paham Islamisme dengan gerakan yang sering berbau kekerasan merasa
mendapatkan lahan yang subur untuk dikembangkan di Soloraya. Demikian juga paham
sekulerisme yang mengabaikan pentingnya moralitas publik untuk dilestarikan, termasuk dalam
mencari keuntungan materi melalui cara-cara yang dianggap melanggar etika publik, seperti:
perjudian, pelacuran, dalam banyak hal telah mendapatkan tempat yang paling nyaman di kota ini.
Dengan keterbukaan ruang publik tersebut, gerakan Islamisme memiliki peluang untuk tumbuh
berkembang sebagaimana ideologi lainnya. Kesempatan politik ini kemudian memungkinkan
gerakan Islamisme mengalami perubahan-perubahan dalam gerakan mereka seperti melalui
lembaga pendidikan dan media.

Di samping itu, kelahiran penceramah baru di Kota Surakarta, yang secara langsung
maupun tidak langsung memiliki jejaring dengan “aktor” lama, memperluas potensi Islamisme di
Kota Solo Raya, melalui ceramah dan gerakan yang dilakukan. Pengajian ibu-ibu rumah tangga
yang mulai merebak sekitar sepuluh tahun terakhir keliatannya menjadi ruang reproduksi dan
pelebaran ide-ide islamisme. Namun, melihat pemaknaan pengajian dan program sosial yang
dijalankan ibu-ibu founder pengajian, perluasan tersebut akan menemui batasannya. Partisipan
memaknai tausiyah terkait isu Islamisme hanya sekedar wacana; pengajian sebagai tempat
bertemu dan berinteraksi antaribu rumah tangga lebih dianggap sebagai majelis yang apabila
didatangi akan mendapatkan pahala. Pengajian lebih dianggap sebagai ruang pembentukan
kesalehan. Itulah mengapa antusiasme dan interaktivitas ibu-ibu pengajian lebih terasa ketika

221 | L a p o r a n A k h i r
mengikuti tema-tema fikih perempuan, seperti jual beli atau berhias daripada topik terkait isu Islam
transnasional, karena lebih aplikatif digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Para founder pengajian telah membuktikan subjektivitasnya, melalui pelaksanaan program


sosial. Program ini agaknya terinspirasi model Darut Tauhid yang berusaha memaksimalkan
potensi sedekah masyarakat untuk kegiatan-kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Penamaan program sosial menarik diperhatikan, seolah program ini terpisah dari dimensi
keagamaan. Beberapa pengajian lain menamakan program ini sebagai program kemanusiaan.
Penamaan ini seolah menyiratkan pemisahan antara yang keagamaan dan yang sosial/
kemanusiaan. Penamaan ini dapat dibaca bahwa inisiatif program sosial bukan sebagai dampak
atau pengaruh dari pengajian, tetapi murni kegiatan yang dilaksanakan atas dasar pemikiran para
founder pengajian sendiri.

222 | L a p o r a n A k h i r
Referensi

Affan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Anas Aijudin, Media Islamis di Surakarta. Struktur Kesempatan Politik, Mobilisasi Sumber Daya,
dan Startegi Pembingkaian. Disertasi UIN Suka Yogyakarta, tidak diterbitkan, 2019.
Anas Saidi, Makalah pada Workshop Pengembangan Penelitian Non-Positivistik Bagi Dosen-
Dosen PTAI Se-Indonesia, Wisma Haji Armina Donohudan Boyolali, P3M STAIN
Surakarta-Ditjen Binbaga Islam Depag RI, 2004.
Asef Bayat, Post-Islamisme (Yogyakarta: LKiS, 2012)
Bahrul 'Ulum, Bodohnya NU Apa NU Dibodohi? Jejak Langkah NU Era Reformasi: Mengikuti
Khittah, Meneropong Paradigma Politik (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002)
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara (Jakarta: Paramadina, 2010)
Baitul Mal FKAM, “Program Beasiswa Pendidikan Akademi Al Qur’an FKAM,”, diakses 29 Juli
2020, https://baitulmalfkam.com/program-beasiswa-pendidikan-akademi-al-quran-fkam/.
Budhi Munawar Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum beriman (Jakarta;
Paramadina, 2004)
Burhanudin Muhtadi, Dilema PKS: Suara dan Syariah (Jakarta: KPG, 2012)
Dadang S Kahmad, Sosiologi Agama (bandung: Rosda Karya, 2002)
Dale F Eickelman and James Piscatory, Politik Muslim; Wacana Kekuasaan dan Hegemoni Dalam
Masyarakat Muslim (Yogyakarta; Tiara Wacana, 2009).
David A. Snow dan Robert D. Benford, ”Ideology, Frame Resonance, and Participant
Mobilization”, International Social Movement Research I, (1988)
Detik.com, “Peran Adib Susilo Masih Kabur,” diakses 21 Maret 2020,
https://news.detik.com/berita/d-1205507/-peran-adib-susilo-masih-kabur.
DetikNews.ID, 2 April 2019, https://detiknews.id/hot/profil-ustad-muin-ketua-dsks-solo-yang-
terang-terangan-dukung-negara-khilafah-indonesia/.
Dewan Syari’ah Daulah Islamiyah Irak, Deklarasi Daulah Daulah Islamiyah Irak (Solo: Studi
Islamika, 2007)
Din Wahid (ed), Suara Salafisme; Radio Dakwah di Indonesia (Jakarta; PPIM UIN Syarif
Hidayatullah, 2017)
Diolah dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Bundel Buletin Dakwah Al-Islam: Melanjutkan
Kehidupan Islam, Tahun I (Bogor: Yasmin Press, 2004).
Elvi Na’imah, rekaman siaran langsung fesbuk, Ketahuilah Rasul (Muhammad) Merindukan Kita,
2020, https://www.facebook.com/kajianhumaira.
F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam
teori Diskursus Habermas (Yogyakarta: Kanisius, 2009)

223 | L a p o r a n A k h i r
George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Post
Modern, alih bahasa Saud Pasaribu, cet. 8, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012)
Graham E. Fuller, The Future of Political Islam (New York: Palgrave Mc.Millan, 2004)
Habertus Sutopo, Pengantar Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar Teoretis dan Praktis (Surakarta:
Pusat Penelitian UNS, 1988).
Hilman Latief, “Marketizing Piety through Charitable Work: Islamic Charities and the
Islamization of Middle- Class Families in Indonesia,” in Religion and the Morality of the
Market, ed. Daromir Rudnyckyj and Filippo Osella, 1st ed. (Cambridge University Press,
2017), 196–216, https://doi.org/10.1017/9781316888704.010.
Imam Suprayogo dan Tabrani, Metodologi Penelitian Sosial (Bandung: Rosda karya, 2003)
International Crisis Group, “Indonesia Jemaah Islamiyah’s Publishing Industry,” 28 Februari
2008, https://www.refworld.org/pdfid/47c6c9912.pdf.
Iswandi Syahputra, Rezim Media: Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme dan Infotainment dalam
Industri Televisi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013)
James Bourk Hoesterey, Rebranding Islam: Piety, Prosperity, and a Self-Help Guru (Stanford
University Press, 2015).
Judith Butler, ed., The Power of Religion in the Publik Sphere (New York: Columbia University
Press, 2011)
Launching Kajian Perdana Menara Qur’an, Ust M Nur Islam. M.Pd.I, diakses 21 Maret 2020,
https://www.youtube.com/watch?v=Qm0Vl-A6olI.
Liputanislam.com, “Deklarasi Anti-Syiah: Siapa Yang Menebar Kebencian?,” accessed 21 Maret
2020, https://liputanislam.com/liputan/deklarasi-anti-syiah-siapa-yang-menebar-
kebencian/.
M. Nur Islam, “Persahabatan” (Kajian Rutin Al Husna, Masjid Nurul Iman Kalitan, 20 Januari
2020).
M. Sodik, ”Pendekatan Sosologi" dalam Dudung Abdurrahman (ed.) Metodologi Penelitian
Agama (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2006)
Majalah Arsip, An-Najah, diakses 21 Maret 2020, https://www.an-najah.net/category/majalah/.
Muhammad Abduh Tuasikal, “Halam Haram Jual Beli Online (Kajian Fiqih Muamalah)” (11 Juni
2020).
Muhammad Najib Azca, Hakimul Ikhwan, and Moh Zaki Arobi, “A Tale of Two Royal Cities:
The Narratives of Islamists’ Intolerance in Yogyakarta and Solo,” Al-Jami’ah 57, no. 1
(2019): 25–50.
Muhammad Wildan, “Radical Islamism in Solo A Quest of Muslims’ Identity in a Town of Central
Java Indonesia” (PhD Thesis, Bangi, Institute of Malay World and Civilization, University
of Kebangsaan Malaysia, 2009)
Noorhaidi Hasan, Islam Politik; Konsep, Genealogi, dan Teori (Yogjakarta: Suka Press, 2014),
hlm. 13.

224 | L a p o r a n A k h i r
Noorhaidi Hasan, Rethinking Islam Politik: Paradigma Baru Gejolak Politik di Dunia Muslim,
Pidato pengukuhan guru besar dalam ilmu politik kontemporer, disampaikan di hadapan
rapat senat terbuka UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 30 September 2014
Nur Silaturahmah, Fiqih Berhias, rekaman siaran langsung fesbuk, 2020,
https://www.facebook.com/kajianhumaira.
Profil Pondok Pesantren Imam Bukhari tahun 2013-2014
Republika online, “Tokoh Umat Islam Deklarasikan Dewan Syariah Solo,” 10 Maret 2013,
https://republika.co.id/berita/nasional/umum/13/03/10/mjfml2-tokoh-umat-islam-
deklarasikan-dewan-syariah-solo.
Ridwan Al-Makassari, dkk, Benih-Benih Islam Radikal di Masjid. Studi Kasus Jakarta dan Solo
(Jakarta, CSRC UIN Jakarta, 2010)
Robert W. Hafner, Civil Islam; Islam dan Demokratisasi di Indonesia, terj. Ahmad Baso (Jakarta:
ISAI-The Asia Fundation, 2000
Saipul Hamdi, Paul J. Carnegie & Bianca J. Smith (2015) The recovery of a non-violent identity
for an Islamist pesantren in an age of terror, Australian Journal of International Affairs,
69:6, 692-710, https://doi.org/10.1080/10357718.2015.1058339
Sejarah Pesantren Islam Salman Al-Farisi | Salman Al Farisi, diakses 21 Maret 2020,
https://www.ppsalmanalfarisi.com/sejarah-pesantren-salman-alfarisi.
Syaikh Idahram, Mereka Memalsukan Kitab-kitab karya Ulama Klasik: Episode Kebohongan
Publik Sekte Salafi Wahabi (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011)
Tri Asmoro Kurniawan, “Mengapa Keluarga Kita Tidak Sakinah?” (Kajian Rutin Al Husna,
Rumah Bu Diah, Karang Turi, Pajang, 23 Januari 2020).
Umaier Khaz, “Turkistan Timur, Negeri Islam Yang Hilang (Catatan Perjalanan Ke Xiniang)”
(Kajian Humaira, Masjid Nurul Iman Kalitan, January 30, 2020).
Yazid bin Abdul Qodir Jawas dalam artikel berjudul “Islam Satu-Satunya Agama yang Benar”
terbit bulan Desember 2014
Zainudin Fanani, Radikalisme Keagamaan dan Perubahan Sosial, (Surakarta: UMS Press dan
ASIA Foundation, 2002)

Wawancara
Muinudinillah Basri, 08 Oktober 2018.
Rahman, ketua Gema Pembebasan Surakarta, 15 Oktober 2017.
Endro Sudarsono, Humas LUIS Surakarta, 10 Oktober 2019
Aida, Majelis Taklim Al Husna, 20 Januari 2020.
Anik, Dakwah Darut Tauhid Peduli, 20 Februari 2020.
Rahmawan Arifin, Dewan Penasehat Humaira, 16 Maret 2020.
Silvi, Kajian Salafi, wawancara telpun, 30 Januari 2020.

225 | L a p o r a n A k h i r
Upik, Kajian Humaira, 23 Januari 2020.

Majalah dan Buletin


Majalah Asy Syariah, edisi 01 Tahun 2016.
Kabar Syariah, edisi 10 April 2015.

Instagrafi

Alhusna (@alhusna0909) Instagram Photos and Videos, diakses 21 Maret 2020,


https://www.instagram.com/alhusna0909/.
Alhusna on Instagram: ‘Agenda Alhusna Kunjungan Ke YAYASAN MENARA QUR’AN
HIDAYATULLAH Karanganyar, Barakallohu Fiikum @menaraquranhk
#kunjunganponpes…,’” Instagram, diakses 29 Juli 2020,
https://www.instagram.com/p/B70alEEnY6l/.
Da’wah Squad on Instagram: ‘Open Donasi Tanggap Corona Tahap 2. . Bismillah , .
Diperpanjangnya Situasi KLB Covid-19 Di Solo Raya, Tentunya Membuat Beberapa
Sektor…,’” Instagram, 29 Juli 2020, https://www.instagram.com/p/B-qIiBwh2qM/.
Masud Izzul Mujahid @masudizzulmujahid Shared a Photo on Instagram Jan 15, 2020 jam 6:59,”
diakses 29 Juli 2020, https://www.instagram.com/p/B7VMQVtnmyl/.
Umaier Khaz (@umaierkhaz) Instagram Photos and Videos, accessed 21 Maret 2020,
https://www.instagram.com/p/B7VKlRThqXf/.
Umaier Khaz (@umaierkhaz) Instagram Photos and Videos, diakses 21 Maret 2020,
https://www.instagram.com/p/B9v34aiBFuv/.

226 | L a p o r a n A k h i r
Perumahan Khusus Muslim:
Menelisik Radikalisasi Ruang serta Kemungkinan Hadirnya
Radikalisme pada Perumahan Khusus Salafi

A.S. Sudjatna
Anang G. Alfian

Pengantar
Dalam konteks sosio-religius Indonesia, munculnya gerakan dan kelompok Islam yang disinyalir
radikal—karena menentang tradisi keislaman arus utama—sering dikaitkan dengan peristiwa
reformasi di tahun 1998. Hal tersebut karena beragam ideologi—termasuk ideologi Islam
radikal—kian kuat dan subur di negeri ini pascajatuhnya rezim Orde Baru (Hasan, 2008: 1-3 dan
Haryanto, 2016: 25-26). Mereka tak lagi sembunyi-sembunyi dalam aktivitasnya. Dalam hal ini,
gerakan Islam semacam itu tak hanya bersifat lokal, namun juga seringkali bersifat transnasional.
Salah satu kelompok gerakan Islam transnasional yang makin terlihat pascareformasi
adalah Salafi (Haryanto, 2016: 26). Anggota gerakan yang disinyalir telah masuk ke Indonesia
sejak tahun 1980-an itu (Hasan, 2008: 31) kini dapat ditemui di hampir seluruh kota di Indonesia.
Dalam perkembangan terakhir mereka tidak hanya berkumpul saat melakukan pengajian, tetapi
juga membuat komunitas hunian sendiri, baik berupa perumahan maupun perkampungan.
Meskipun disinyalir sebagai kelompok yang tidak berpolitik, namun sangat menarik untuk
menelusuri lebih lanjut sepak terjang mereka, terutama dalam relasinya dengan kemungkinan
hadirnya lingkungan radikal serta radikalisme.
Terkait hal itu, tulisan ini berfokus pada gerakan Salafi di dua hunian khusus Salafi, yakni
Perumahan Kampung Islami Thoyyibah di Cibitung, Bekasi, Jawa Barat, serta Perumahan Korps
Cacat Veteran Republik Indonesia (KCVRI) di Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Pengumpulan data
dilakukan dengan cara wawancara semi terstruktur, observasi, serta penelusuran literatur dari
berbagai sumber.
Tulisan ini terlebih dulu menjelaskan sejarah Salafisme dan tipologi Salafi yang terdapat
di kedua perumahan tersebut, termasuk jejaring antartokoh dan lembaga terkait. Kemudian,

227 | L a p o r a n A k h i r
identifikasi dinamika dalam proses pembentukan perumahan akan dilakukan. Setelah itu, analisis
mengenai sejauh mana peran perumahan tersebut terhadap terciptanya ruang radikal akan dibahas
guna mengetahui pengaruhnya bagi penyempitan atau perluasan hadirnya ruang radikalisme.
Teori utama yang digunakan untuk membaca dinamika dalam pembentukan perumahan
Salafi ini adalah teori klasifikasi gerakan Salafi serta teori radikalisme. Tipologi yang digunakan
dalam memahami gerakan Salafi ini adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Pall (2014), yaitu
purist dan haraki. Purist adalah “proponents of unconditional obedience to the ruler as long as he
is not openly an apostate” (Pall 2014: 39). Bagi kelompok ini, menentang pemerintah adalah
mutlak dilarang. Kritik boleh dilakukan namun harus secara tertutup. Purist terbagi dua, yakni (1)
purist-rejectionist yang menolak terlibat urusan politik dan hanya fokus pada perbaikan praktik
keagamaan harian secara personal (Pall 2014: 40); serta (2) purist-politically oriented yang melihat
partisipasi dalam politik—sejauh yang diizinkan oleh pemerintah—sebagai alat dakwah guna
menyebarkan dan mempertahankan Islam (Pall 2014: 40). Kedua kelompok ini sama-sama
menuntut kepatuhan tanpa syarat dan mengharamkan kritik terbuka terhadap pemerintah.
Adapun haraki adalah kelompok yang “refuse to obey the ruler unconditionally” (Pall
2014: 41). Kelompok ini terpengaruh konsep hakimiyyah dari Sayyid Qutb, yang menegasikan
keabsahan pemerintahan yang tidak berpegang pada hukum Tuhan. Kelompok ini membolehkan
kritik terbuka terhadap pemerintah. Haraki terbagi dua, yakni politicos dan jihadi. Politicos lebih
memilih jalan perubahan melalui kanal-kanal politik yang ada dan bersifat reformis serta
menginginkan kebebasan politik di negara-negara Muslim. Politicos terbagi menjadi dua, yakni
(1) politicos yang melakukan perubahan secara politis melalui reformasi serta berambisi dan
berfokus pada hubungan internasional, termasuk kebebasan politik di negara-negara Muslim
lainnya (Pall 2014: 42); serta (2) politico-purists yang menggunakan politik untuk mengubah
praktik sosio-religios harian masyarakat, misalnya menegakkan aturan pelarangan penjualan
minuman beralkohol, pemisahan laki-laki dan perempuan dalam ruang publik tertentu dan
sebagainya. Mereka tidak memiliki fokus kepada jangkauan yang lebih luas. Sebaliknya,
kelompok jihadi menginginkan perubahan dengan cara revolusioner, misalnya menggunakan
senjata atau gerakan terorisme. Kelompok ini menolak berdamai dengan rezim yang ada dan
menganggap gerakan revolusioner sebagai satu-satunya cara mencapai perubahan, termasuk
menggulingkan penguasa yang dianggap menyimpang dari keislaman atau menindas umat Islam.

228 | L a p o r a n A k h i r
Terdapat dua varian manifestasi radikalisme, yaitu radikalisme demokratis-inklusif serta
radikalisme intoleran-ekslusif (Sugiono dkk. dalam Azca, 2013). Penalaran masing-masing
kelompok terhadap koeksistensi mereka dalam kehidupannya menjadi penentu akan jalan mana
yang dipilih dari kedua manifestasi tersebut. Penganut paham radikalisme demokratis-inklusif
lebih memilih bernegosiasi dengan pihak atau kekuatan lain yang juga memiliki kekuatannya
tersendiri bahkan dominan di dalam kehidupan sosial dan negara. Dalam kolektivitasnya, penganut
paham ini berpartisipasi aktif dengan logika inklusi yang mereka miliki. Berbeda dengan penganut
paham radikalisme demokratis-inklusif, para pengikut radikalisme intoleran-ekslusif lebih
memilih menarik diri dalam koeksistensinya dengan pihak atau kekuatan lain, terutama saat
menghadapi krisis. Biasanya, para penganut paham ini melakukan tindakan intoleran, misalnya
melakukan kekerasan terhadap pihak yang berbeda.
Dua varian ini tersebut di atas seringkali mengemuka dalam radikalisme agama. Akan
tetapi, mesti dipahami bahwa radikalisme berbeda dengan terorisme. Tidak semua penganut paham
radikal akan melakukan aksi terorisme, namun untuk menjadi pelaku terorisme seseorang mesti
melalui tahap radikalisme terlebih dahulu. Di dalam spektrumnya, Hasan (2012) menggambarkan
hal tersebut sebagai berikut:

Spektrum Intoleransi Antisistem Revolusioner Kekerasan Teror

Militansi V V - - -

Radikalisme V V V - -

Ekstremisme V V V V -

Terorisme V V V V V

Sumber: Hasan, 2012.

Berdasarkan spektrum tersebut, dapat dipahami bahwa karakter radikal adalah intoleran,
antisistem, revolusioner dan memiliki potensi perilaku kekerasan. Meskipun demikian, manifestasi
karakter tersebut dapat beragam. Bahkan, dalam beberapa kasus, potensi tersebut tidak tampak
jelas meskipun eksis pada kelompok radikal.

229 | L a p o r a n A k h i r
Dalam hal ini, Masfiah menyebutkan bahwa meskipun pada radikalisme ini tersimpan sisi
revolusioner yang menginginkan perubahan sistem secara menyeluruh, “namun tidak menuntut
aksi seketika dan penggunaan metode kekerasan” (Masfiah, 2016: 9). Hal tersebut disebabkan
radikalisme menginginkan perubahan yang menyeluruh, karenanya ia “dapat lebih sabar
menunggu perubahan yang diharapkan” (Masfiah, 2016: 9).
Radikalisme pada ruang hunian eksklusif tidak dapat dipisahkan dari lingkungan radikal
(radical milieu) yang memuat narasi-narasi radikal, sikap intoleran, jejaring antar lembaga dan
tokoh dibalik eksistensi ruang tersebut, serta bantuan finansial yang ada (Malthaner, S. &
Waldmann. P: 2014). Dalam perspektif ini, radikalisasi ruang menjadi penting dalam pemetaan
radikalisme dan potensi yang mungkin timbul dari fenomena tersebut.

Genealogi Gerakan Salafi: Dari Politik ke Gerakan Keagamaan


Istilah Salafi sebagai gerakan Islam transnasional yang dikenal saat ini merujuk pada
gerakan kelompok yang bersikukuh untuk “mengembalikan semua urusan keagamaan kepada al-
Qur’an dan sunnah, mengikuti pendapat para ulama salaf seperti Ibn Taimiyah (1263-1328), Ibn
Qayyim al-Jauziyah (1292-1350), atau Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792) serta ulama
modern seperti Abdul Aziz Bin Baz (1912-1999) dan Muhammad Nashiruddin al-Albani (1914-
1999)” (Chozin, 2013: 6). Pokok ajaran mereka berkutat pada seputar pemurnian tauhid,
pemberantasan syirik dan bid’ah, jihad, amar ma’ruf nahyi munkar, serta al-wala wal bara’.
Mereka juga tidak mengedepankan akal atau opini dalam memahami teks suci serta berusaha
meniru Nabi Muhammad dan para as-salafus ash-shalih274 dalam keimanan maupun praktik
kehidupan sehari-hari (Pall, 2014: 28), misalnya dalam berpakaian, berpenampilan atau bertutur
kata. Oleh karena itu, penggunaan jalabiyyah, cadar, serta memanjangkan jenggot menjadi ciri
khas mereka, termasuk penggunaan istilah bahasa Arab dalam ekspresi bahasa kesehariannya.
Gerakan Salafi ini terkait erat dengan upaya pemerintah Arab Saudi dalam memperluas
pengaruhnya ke berbagai negara Islam—termasuk Indonesia—sejak periode 1950an melalui
beragam program, misalnya membuka majelis-majelis ilmu di Makkah saat musim haji,
mensponsori Organisasi Konferensi Islam tahun 1957 (Hasan, 2008: 41) serta membentuk
Rabithah al-Alam al-Islami pada tahun 1962 (Hasan, 2002: 152). Istilah Salafi kemudian menjadi
suatu terma yang lebih familiar.

274
Tiga generasi terbaik umat Islam: generasi sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in.

230 | L a p o r a n A k h i r
Selain itu, gerakan Salafi ini juga terkait erat dengan wahhabisme sebagai corak keagamaan
Arab Saudi (Ridwan, 2020), diskursus Salafisme Muhammad Nashiruddin al-Albani, kelompok
Jamaah as-Salafiyah al-Muhtasibah (Pall 2014: 58), diskursus keagamaan Ikhwanul Muslimin dari
Mesir yang mengungsi ke Arab Saudi, serta dinamika politik dan sosio-religios di dalamnya.
Dalam hal ini, beberapa diskursus keagamaan itu melahirkan hibriditas wacana keagamaan baru
yang melahirkan gerakan as-Sahwah al-Islamiyyah di Arab Saudi (Pall 2014: 52-58 dan Hasan
2008: 43).
Gerakan Sahwah dipicu oleh ketidakpuasan sebagian warga Arab Saudi terhadap
keputusan pemerintah—yang dilegitimasi oleh fatwa Dewan Ulama Senior Saudi—untuk
membuka pintu bagi pasukan Amerika guna membantu mereka di Perang Teluk. Mereka
menentang keputusan tersebut seraya menuduh Dewan Ulama tidak paham persoalan politik.
Selain itu, gerakan ini juga menuntut kebebasan berpolitik, pemilu, serta konservatisme sosial yang
lebih (Pall 2014: 55-56).
Fragmentasi antara pendukung gerakan Sahwah dengan pendukung Dewan Ulama Senior
yang menekankan gerakan nonpolitik pun ttidak terhindarkan. Kedua kelompok ini sama-sama
mendaku diri sebagai Salafi. Penentang gerakan politik Sahwah adalah al-Jama‛ah as-Salafiyyah
al-Muhtasibah dengan dua figur utamanya: Syekh Rabi’ al-Madkhali dan Syekh Muhammad
Aman al-Jami (Pall 2014: 58). Kelompok ini menekankan kepatuhan mutlak terhadap pemerintah.
Sedangkan gerakan Sahwah memiliki figur seperti Syekh Muhammad Surur al-Nayef Zayn
al-Abidin, Syekh Salman al-’Audah, dan Syekh Safar al-Hawali serta Nasir al-‘Umar (Hasan 2008:
78). Para pendukung gerakan ini disebut sururi (para pengikut Muhammad Surur), suatu gelar
peyoratif sekaligus penegasian keabsahan Salafisme terhadap mereka. Syekh Surur sendiri
akhirnya diusir dari Arab Saudi dan tinggal di London, sebelum akhirnya pindah dan meninggal
pada tahun 2016 di Qatar.
Selanjutnya, pemberangusan gerakan Sahwah oleh pemerintah Saudi memicu fragmentasi
pada tubuh gerakan tersebut. Satu kelompok mempertahankan jalan politik nonkekerasan,
sedangkan lainnya melawan dengan senjata. Kelompok yang disebut terakhir tidak hanya
melakukan protes keras, tetapi juga menjadikan pemerintah Saudi sebagai musuh, sembari
menggaungkan jihad global. Kelompok ini dikenal sebagai Salafi jihadi (Hasan 2008: 78-79).
Gerakan Sahwah ini dapat diredam pada tahun 1994. Aktor-aktor utamanya dipenjara. Kader-
kadernya dilucuti dari posisi strategis di wilayah pendidikan dan media (Pall 2014: 56).

231 | L a p o r a n A k h i r
Kemudian pada tahun 1990an akhir, gerakan Salafi ini semakin masif menyebar ke
berbagai belahan dunia pasca fragmentasinya. Kebijakan politik negara-negara Arab, khususnya
Arab Saudi, serta konflik sosial, ekonomi, dan politik di negara-negara lain di dunia berperan besar
terhadap penyebaran dan penerimaan gerakan ini.

Gerakan Salafi di Indonesia: Benih Purifikasi yang Menumbuhkan Salafi


Kemunculan dan perkembangan gerakan Salafi di Indonesia disinyalir terkait erat dengan
Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab
(LIPIA) (Hasan, 2008 dan Bruinessen, 2002). DDII didirikan oleh Mohammad Natsir pada tahun
1967 dengan menggaungkan wacana purifikasi dan aktivisme Islam, baik melalui penerjemahan
karya-karya Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Maududi, atau Musthafa al-Siba’i hingga tahun
1990an (Bruinessen 2002: 125 dan Hasan 2008: 47). Selain itu, DDII memiliki program Pelatihan
Mujahid Dakwah dengan kampus-kampus besar yang dimaksudkan untuk mempersiapkan kader
dakwah dari kalangan mahasiswa (Hasan 2008: 52). Dengan cara ini pengaruh wacana keislaman
yang puritan, progresif dan revolusioner makin tersebar, terutama di kalangan mahasiswa Muslim.
Sebagai kelanjutannya, muncullah gerakan-gerakan seperti tarbiyah, halaqah, atau liqa di
kalangan mahasiswa pada berbagai kampus (Hasan 2008: 51-58). Hal ini menjadi semacam ladang
semai bagi kemunculan gerakan Salafi di kemudian hari.
Selain itu DDII yang menjadi perwakilan Rabithal al-Alam al-Islami di Indonesia (Hasan
2008: 46) juga aktif menjaring para pelajar Muslim yang ingin melanjutkan pendidikannya ke
Arab Saudi melalui program beasiswa dari negara tersebut sejak tahun 1975 (Hasan 2008: 51).
Banyak mahasiswa Indonesia yang kemudian belajar di sana melalui pintu DDII. Dengan demikian
perubahan wacana keislaman selepas mereka belajar seperti menjadi sebuah keniscayaan.
Adapun LIPIA adalah lembaga pendidikan asing pertama di Indonesia yang didirikan di
Jakarta pada tahun 1980 oleh pemerintah Arab Saudi (Hasan 2008: 59). Lembaga ini tidak hanya
mengajarkan bahasa Arab, melainkan juga fikih, sejarah Islam, ushul fikih, dan teologi Islam.
Lembaga ini, diakui atau tidak, menjadi corong gerakan Salafi, terutama pada saat peristiwa
pemberangusan gerakan Sahwah pada tahun 1990an, melalui program pembagian kitab-kitab
karangan ulama negara tersebut secara gratis, serta halaqah dan daurah.
Melalui lembaga itu pula, banyak mahasiswa Indonesia yang dikirim untuk belajar ke Arab
Saudi, seperti ke Universitas Imam Muhammad ibn Sa’ud di Riyadh dan Universitas Islam

232 | L a p o r a n A k h i r
Madinah (Hasan 2008: 61). Dalam hal ini, DDII dan LIPIA bahu-membahu dalam melancarkan
program beasiswa dan pendidikan serta dakwah Islam yang dilangsungkan oleh jejaring mereka
di Rabithah al-Alam al-Islami maupun pemerintah Arab Saudi.
Sepulang ke Indonesia, para alumni Timur Tengah ini membangun jejaring dan terlibat
aktif dalam penyebaran wacana keislaman yang mereka dapatkan di sana, termasuk gerakan Salafi.
Beberapa orang alumni yang—belakangan menjadi tokoh penting Salafi—pulang ke Indonesia
pada tahun 1980an hingga awal 1990an, termasuk Chomsaha Sofwan, Aunur Rafiq bin Gufron,
Ja’far Umar Thalib, dan Yazid bin Abdul Qodir al-Jawas.
Sofwan—atau Abu Nida—adalah alumnus Universitas Imam Muhammad Ibnu Sa’ud. Ia
sukses belajar di Arab Saudi berkat rekomendasi Mohammad Natsir dengan sponsor Rabithal al-
Alam al-Islami. Hal itu didapatnya selepas mengikuti program kursus dakwah dan pengiriman da’i
ke daerah transmigrasi yang diadakan oleh DDII. Selain mengenyam pendidikan di universitas, ia
juga pernah bertempur bersama Faksi Jama'at ad-Da’wa pimpinan Syekh Jamilurrahman dalam
Perang Afganistan (Hasan 2008: 66).
Sepulang ke Indonesia, Sofwan sempat mengajar di Pesantren al-Mukmin, Ngruki, Solo.
Pada tahun 1986 ia pindah ke Yogyakarta dan mengembangkan dakwah Salafi di sana—terutama
di kalangan mahasiswa—dibantu oleh sahabatnya, Aunur Rafiq, yang kemudian membangun
pesantren di Jawa Timur. Di awal tahun 1990an, dakwah Sofwan diperkuat oleh alumni Timur
Tengah lainnya seperti Ja’far Umar Thalib, Yazid bin Abdul Qodir al-Jawas, serta Yusuf Utsman
Baisa. Untuk meluaskan dakwahnya, pada tahun 1992 Sofwan mendirikan Yayasan as-Sunnah
serta sebuah masjid di Degolan, Sleman yang ia kelola bersama teman-temannya tersebut (Hasan
2008: 70).
Dengan kepiawaian mereka, segera saja masjid tersebut menjadi pusat penyebaran dakwah
Salafi. Banyak mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta dan Jawa Tengah yang datang
mengikuti daurah dan halaqah di sana. Penyebaran ajaran Salafi kian luas, mengingat setiap
mahasiswa yang tergabung dengan gerakan ini akan pulang ke daerah masing-masing.
Pada tahun 1994, Sofwan mendirikan Yayasan Majelis At-Turots Al-Islamy. Yayasan ini
mendapat dukungan dana dari Jam’iyyat Ihya At-Turots Al-Islamy di Kuwait dan Mu’assasat al-
Haramayn al-Khayriyyah di Arab Saudi (Hasan, 2008). Melalui yayasan tersebut, ia mendirikan
Ma’had Jamilurrohman As-Salafi pada tahun 1995, dan kampung Islami di Wirokerten, Bantul.
Kemudian, pada tahun 2000, ia membangun Islamic Centre Bin Baz di Piyungan. Di sana, selain

233 | L a p o r a n A k h i r
pesantren Tahfidzul Qur’an, ia juga mendirikan sekolah formal dari tingkat TK sampai SLTA.
Pada tahun 2009, ia mendirikan STIKES Madani.
Beberapa jamaah Salafi pun melakukan hal yang sama dengan Sofwan, dan muncullah
beberapa yayasan lainnya, seperti as-Sofwah serta Lajnah al-Khairiyyah al-Musyarakah di Jakarta
(Hasan 2008: 72-73) yang aktif menggelar berbagai halaqah dan daurah bagi masyarakat. Dakwah
Salafi di Jabodetabek ini diperkuat oleh Yazid bin Abdul Qodir al-Jawas yang mendirikan
Pesantren Minhajus Sunnah di dekat IPB, Bogor. Perkembangan Salafi di timur Pulau Jawa juga
terus maju seiring kehadiran beberapa pesantren Salafi, seperti Ma’had as-Salafy di Jember dan
Pesantren al-Furqon al-Islami di Gresik.
Pascareformasi, dakwah Salafi kian dikenal, terutama setelah publik dikejutkan oleh
gerakan Laskar Jihad dalam konflik Ambon pada tahun 2000-2002 di bawah pimpinan Ja’far Umar
Thalib. Semaraknya media sosial dan elektronik juga membuat gerakan ini kian mudah ditemui.
Pada tahun 2004, misalnya, seorang ustadz Salafi sekaligus kolega Jawwaz, yaitu Abu Yahya
Badrussalam, mendirikan Radio Rodja di Bogor. Selain itu, media sosial seperti Facebook dan
Youtube yang memuat ajaran Salafi juga kian bertambah. Jumlah lulusan Timur Tengah yang tidak
hanya berasal dari Pulau Jawa juga memperluas jangkauan penyebaran Salafi di Indonesia.

Fragmentasi Salafi di Indonesia dan Hadirnya Hunian Homogen


Sebagai gerakan transnasional, perkembangan dan dinamika Salafi di Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari wacana sosio-religios dan politik negara kelahiran gerakan tersebut, Arab Saudi.
Fragmentasi gerakan ini di negara asalnya juga memicu hal yang sama di Indonesia. Secara umum,
hingga saat ini, gerakan Salafi di Indonesia telah mengalami setidaknya tiga kali perpecahan besar.
Perpecahan pertama terjadi akibat isu sururi yang dihembuskan oleh Ja’far Umar Thalib.
Hal ini terkait dengan tuduhan sururi—yang disebut-sebut dilegitimasi oleh Syekh Rabi’ bin Hadi
al-Madkhali di Arab Saudi dan Syekh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i di Yaman—terhadap seorang
tokoh Salafi Kuwait senior, Abdurrahman Abdul Khaliq, yang merupakan pimpinan Jam’iyyat
Ihya At-Turots Al-Islamy di Kuwait kala itu. Padahal, Yayasan Majelis At-Turots Al-Islamy
bentukan Abu Nida di Yogyakarta serta Yayasan al-Sofwah dan Lajnah al-Khairiyyah al-
Musyarakah di Jakarta disebut-sebut mendapat dana dari yayasan tersebut (Hasan, 2008). Bahkan,
pada tahun 1996, Khaliq diundang untuk mengisi daurah di Pesantren Islam al-Irsyad Tengaran
yang kala itu dipimpin Yusuf Utsman Baisa, kawan seperjuangan Thalib sendiri.

234 | L a p o r a n A k h i r
Thalib menagnggap para koleganya yang bersikukuh menjalin relasi dengan yayasan
pimpinan Khaliq tersebut sebagai sururi. Hasan (2008) menyebutkan bahwa anggapan kelompok
tersebut sebagai sururi ini juga menjadi senjata ampuh dalam perebutan pengaruh antara Thalib
dan Abu Nida. Upaya mereka untuk islah tidak membuahkan hasil sebab masing-masing pihak
bersikukuh pada pendiriannya. Sejak saat itu, Thalib dan kelompoknya menjauhi para ikhwah
Salafi dari jejaring yayasan-yayasan tersebut, termasuk yang hadir belakangan seperti Abu Yahya
Badrussalam dengan jamaah Radio Rodja-nya serta Yazid bin Abdul Qadir Jawaz yang menjadi
pengisi acara di radio tersebut. Konsep al-wara’ wal bara memainkan peranan penting dalam
membentuk kohesivitas masing-masing kelompok ini.
Perpecahan besar kedua terjadi pascapembubaran Laskar Jihad pada bulan Oktober
2002—setelah keterlibatan mereka pada konflik Ambon. Pembubaran itu dilakukan berdasarkan
fatwa Syekh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali. Pascaperistiwa itu, para kolega Ja’far Umar Thalib yang
tergabung dalam Forum Komunikasi Ahlussunah Wal Jamaah (FKAWJ) meninggalkan mantan
panglima Laskar Jihad tersebut. Mereka menganggap Thalib telah melenceng dari Manhaj Salaf.
Kedekatan Thalib dengan politisi, kehadirannya pada acara dzikir akbar (Hasan 2008: 318-319),
serta sikap kerasnya terhadap pemerintah (Krismono 2017: 192) dianggap menjadi bukti
penyimpangannya. Terkait hal itu, Luqman Ba’abduh—rekan Thalib pada peristiwa Ambon—
menyebutkan bahwa Thalib menolak nasihat untuk bertaubat dari mereka.275
Peristiwa ini memicu munculnya kelompok kontra-Thalib. Kelompok ini menjadikan
Ba’abduh dan Muhammad Umar as-Sewed sebagai titik pusat lingkarannya. Kelompok kontra-
Thalib ini kerap pula disebut sebagai Salafi Yamani (Krismono 2017: 193) karena kuatnya relasi
mereka dengan Darul Hadits di Dammaj, Yaman, yang didirikan oleh Syekh Muqbil bin Hadi al-
Wadi’i—guru Ja’far Umar Thalib yang berideologi sama dengan Syekh Rabi’ al-Madkhali, juga
murid dari Syekh Abdul Aziz bin Baz dan Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
Kelompok kontra-Thalib ini akhirnya terpecah juga, yang ditandai dengan tahdzir.276
Sekitar tahun 2003, Ba’abduh melakukan tahdzir terhadap beberapa mantan koleganya di Laskar
Jihad, termasuk: Dzulqarnain Muhammad Sunusi (Makasssar), Dzul Akmal (Riau), serta Jauhari
dan Muhammad Nai’m (Solo). Dengan nada peyoratif, ia menyebut mereka sebagai RMS (Riau-

275
https://www.youtube.com/watch?v=bcNEsEh9hGg&t=17s, diakses pada 30 Juli 2020.
276
Tahdzir berarti memperingatkan atau mewanti-wanti agar waspada terhadap seseorang yang dianggap
menyelisihi sunnah/syara’.

235 | L a p o r a n A k h i r
Solo-Makassar),277 yang merujuk pada nama kelompok pemberontak di NKRI. Para ikhwah Salafi
kelompok kontra-Thalib kemudian terbelah antara pendukung Ba’abduh dan pembela kelompok
yang ditahdzir.
Meskipun upaya islah antara Ba’abduh dan Dzulqarnain pernah dilangsungkan pada tahun
2005 dan 2012—di hadapan guru mereka, Syekh Rabi’—namun perselisihan masih terjadi. Pada
tahun 2013, Ba’abduh kembali melakukan tahdzir terhadap Dzulqarnain dengan menyebutnya
sebagai MLM (mutalawwin, la’ab, makir—bermanhaj campuran, bermain-main dalam dakwah
dan makar). Begitupula meskipun islah antara Dzul Akmal dan Ba’abduh telah dua kali
dilangsungkan—di Jakarta dan Arab Saudi, di hadapan Syekh Rabi’—pada tahun 2017, namun
masih terdapat garis pembatas yang tegas di antara kelompok mereka. Tahdzir selanjutnya muncul
dari Abu Turab Saif bin Hadlar al-Jawi—yang ditengarai sebagai mantan anggota Laskar Jihad—
terhadap Ba’abduh. Keduanya berbalas pantun terkait keberpihakan masing-masing terhadap
tahdzir oleh Syekh Rabi’ al-Madkhali kepada Syaikh Yahya al-Hajuri, tokoh Salafi Yaman.
Inilah gambaran fragmentasi dalam tubuh gerakan Salafi hingga hari ini. Setidaknya ada
lima kelompok besar yang muncul sebab fragmentasi tersebut, yaitu lingkaran Abu Nida atau
Radio Rodja, lingkaran Ja’far Umar Thalib, lingkaran Luqman Ba’abduh, lingkaran Dzulqarnain,
serta lingkaran Abu Turab.
Masing-masing lingkaran ini membangun jaringan tersendiri. Pertukaran daí-daí terjadi
hanya di antara jaringan yang sama. Jejaring tersebut bahkan tidak hanya berhenti di dunia gagasan
dan relasi sosio-religios, melainkan memanifestasi pula dalam ruang-ruang fisik seperti hunian.
Bermula dari jejaring itulah hunian khusus salafi terbentuk. Terkait penelitian ini, perumahan
Kampung Islami Thoyibah di Bekasi diidentifikasi berada dalam jejaring Abu Nida atau Radio
Rodja, sedangkan Perumahan KCVRI di Sleman berada dalam jejaring Ba’abduh.

Tipologi dan Pola Pembentukan Perumahan Khusus Salafi


Gerakan Salafi tidak bersifat monolitik (Pall, 2014 dan Wahid, 2014), karena ia
terfragmentasi dan memiliki karakter yang berbeda-beda. Dalam konteks Indonesia, Wahid
menyebutkan ada 3 tipe Salafi, yakni purist, haraki and jihadis (Wahid 2014: 372), yang masing-

277
http://luqmanbaabduh.blogspot.com/2013/12/kejahatan-luqman-baabduh-di-dunia.html, diakses pada 30
Juli 2020.

236 | L a p o r a n A k h i r
masing memiliki subtipenya sendiri. Subtipe itulah yang kemudian membentuk enclave dalam
ruang hunian dengan pola pembentukannya masing-masing.
1. Pergulatan Para Veteran: Dari Haraki ke Purist
Pasca membentuk Yayasan al-Sunnah pada tahun 1992, selanjutnya Sofwan, Ja’far Umar
Thalib dan kawan-kawannya membangun sebuah masjid di Degolan yang dijadikan pusat kegiatan
kajian dan penyebaran Salafi (Krismono 2017: 190). Seiring perkembangan aktivitas dan
antusiasme jamaah, didirikan pula pesantren di lokasi tersebut dengan nama Ihya’us Sunnah.
Padatnya kegiatan menuntut mobilitas yang tinggi dan merepotkan jika mereka tinggal terlalu jauh
dari pesantren. Oleh karena itu, para santri Degolan tersebut mencari hunian yang tidak terlalu
jauh.
Perumahan Korps Cacat Veteran Republik Indonesia (KCVRI), sebuah perumahan yang
diperuntukkan bagi para veteran kemerdekaan yang cacat, terletak di Sukoharjo, Ngaglik, Sleman,
sekitar 2 kilometer ke arah tenggara Degolan. Perumahan yang didirikan atas prakarsa Ibu Tien
Soeharto dan dilaksanakan oleh Yayasan Dharmais ini selesai dibangun tahun 1992, dan diberikan
kepada para veteran yang berhak secara cuma-cuma pada tahun 1993.
Terdapat1 sekitar 100 unit rumah dengan desain yang sederhana, bahkan cenderung sempit,
pada perumahan tersebut. Sayangnya, karena kendala akses lokasi, minimnya fasilitas, serta telah
banyaknya veteran yang meninggal atau memiliki rumah di lokasi lain, perumahan ini cenderung
sepi dan kosong. Perumahan ini menjadi agak ramai pada hari Minggu ketika mereka pulang sesaat
untuk membersihkan rumah atau bersosialisasi.278 Para santri Degolan yang mencari hunian
terjangkau secara finansial dan jarak kemudian menemukan Perumahan Veteran tersebut. Maka
sejak sekitar tahun 1996, beberapa orang murid Thalib pun mulai mengontrak rumah di sana.279
Jika seorang santri pindah tempat, maka rumah tersebut akan ditempati teman sesama Salafi.
Begitu pula, jika ada sesama teman yang mencari hunian maka akan dicarikan rumah tinggal di
lokasi tersebut.280
Semakin lama, dengan beragam alasan, kian banyak rumah yang dikontrakkan kepada para
Salafi tersebut, terutama mulai tahun 2000an. Bahkan, rumah itu satu per satu mulai dijual kepada
mereka. Hingga kini, kurang dari sepuluh rumah yang masih ditempati oleh warga non-Salafi. Para

278
Wawancara Abu Qubaila (2 Februari 2020).
279
Wawancara Abu Mujtama (2 Februari 2020).
280
Wawancara Abu Qubaila (2 Februari 20202).

237 | L a p o r a n A k h i r
Salafi warga Veteran ini berasal dari berbagai daerah di Indonesia dengan beragam latar belakang
pendidikan, bahkan ada lulusan universitas besar seperti UGM atau lulusan Timur Tengah. Profesi
mereka juga beragam, termasuk karyawan swasta, wirausaha, guru, bahkan dokter.281
Perubahan nomenklatur warga Veteran yang awalnya heterogen menjadi homogen—
mayoritas—Salafi ini bukan berarti tanpa konflik. Benturan antara warga Salafi pendatang dengan
warga asli perumahan pernah terjadi dalam waktu yang cukup panjang dan serius, bahkan berujung
pada konflik terbuka dan tindak kekerasan pada sekitar tahun 1998.282 Perbedaan praktik
keagamaan menjadi penyebabnya, misalnya peringatan Maulid Nabi yang disebut bid’ah oleh
warga Salafi pendatang. Akibatnya, para tokoh warga asli pun harus mengungsi berhari-hari sebab
ratusan orang murid Thalib lainnya dari luar mendatangi perumahan untuk membantu sesame
kelompoknya.283 Setelah musyawarah berkali-kali dalam rentang waktu sekitar sebulan, akhirnya
didapat kata sepakat. Pascakonflik, semakin banyak warga asli Veteran yang meninggalkan
perumahan. Mereka mengontrakkan atau menjual rumahnya. Selain minimnya fasilitas serta
sulitnya akses lokasi saat itu, konflik yang ada juga kian menguatkan mereka untuk pergi.284
Peristiwa konflik ini menunjukkan bahwa Salafi Perumahan Veteran termasuk kelompok
yang dikonseptualisasikan Pall sebagai politico-purists, yaitu Salafi yang menggunakan politik
untuk mengubah praktik sosio-religius harian masyarakat (Pall 2014: 42), misalnya pelarangan
perayaan Maulid Nabi yang dianggap sebagai bid’ah. Hal tersebut tidak mengherankan sebab saat
itu mereka masih merupakan bagian dari lingkaran Degolan dengan figur utamanya, Ja’far Thalib.
Bukti keberpolitikan kelompok Thalib ini dapat dilacak pada pembentukan Forum
Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (KAWJ) dengan sayap terpentingnya, Laskar Jihad, di
mana banyak warga Salafi Perumahan Veteran yang terlibat di dalamnya.285 Antara tahun 1999-
2002, Laskar Jihad melakukan berbagai aksi mulai dari demonstrasi di Jakarta pada tanggal 6
April 2000 (Hasan 2008: 274) hingga jihad ke Ambon (Hasan 2002: 160-167). Bahkan kemudian,
terungkap bahwa Thalib memiliki kedekatan dengan politikus.286 Aksi Laskar Jihad tersebut
membuktikan bahwa mereka tergolong salafi politico-purist. Oleh karena itu, dapat dipahami jika

281
Rangkuman wawancara Abu Qubaila (2/2/20), Abu Mujtama (2 Februari 2020), dan Abu Uma (9 Maret
2020).
282
Wawancara Abu Haro (7 Februari 2020).
283
Wawancara Abu Haro (7 Februari 2020).
284
Wawancara Abu Haro (2 Februari 2020) dan Abu Qubaila (2 Februari 2020).
285
Rangkuman wawancara Abu Qubaila (2 Februari 2020), Abu Mujtama (2 Februari 2020), dan Abu Uma
(9 Maret 2020).
286
Wawancara Abu Mujtama (2 Februari 2020).

238 | L a p o r a n A k h i r
pada saat konflik Perumahan Veteran terjadi mereka tidak ragu untuk melakukan hisbah, sebab
politico-purist memiliki perhatian terhadap praktik sosio-religius harian masyarakat dalam skala
lokal (Pall 2014: 42).
Akan tetapi, kondisi berubah pascaperistiwa pembubaran Laskar Jihad. Karakter Salafi
Veteran ini melunak. Hal itu tampaknya terkait dengan perubahan wacana keislaman serta jejaring
mereka. Mereka termasuk kelompok yang kontra-Thalib, dan oleh karena itu memutuskan
hubungan dengan Degolan. Bahkan mereka lalu merintis pesantrennya sendiri yang diresmikan
pada tahun 2010 dengan nama Pesantren al-Anshar sebagai pusat kegiatan keagamaan dan
pendidikan. Mereka membentuk basis baru di Perumahan Veteran, yang menjadi salah satu
enclave penting Salafi di Indonesia.
Perubahan karakter ini membantu proses pemulihan hubungan pascakonflik antara warga
asli dengan Salafi pendatang di Perumahan Veteran. Apalagi kini jumlah warga asli tinggal sedikit
sedangkan warga Salafi pendatang menjadi mayoritas.287 Hubungan di antara mereka dan relasi
warga Salafi pendatang ini dengan pemerintahan, mulai tingkat desa hingga pusat, berangsur
membaik. Bahkan dua orang Ketua RT dari tiga RT yang ada di Perumahan Veteran adalah warga
Salafi. Para warga asli pun sudah lebih dapat menerima kehadiran mereka.288
Perubahan wacana keislaman ini mengakibatkan mereka menarik diri sepenuhnya dari
politik dan menyatakan ketundukan mutlak terhadap pemerintah. Mereka tidak akan melakukan
demonstrasi, provokasi, atau mengumbar keburukan pemerintah sebab hal tersebut dilarang oleh
agama. Kritik terhadap pemerintah semestinya dilakukan secara tertutup dan dengan cara yang
baik.289 Bukti ketundukan tersebut tampak pada kesediaan mereka untuk mengibarkan bendera
merah putih, bersosialisasi dengan masyarakat sekitar baik melalui kerja bakti, bakti sosial, atau
berbagi daging kurban, menerima program posyandu dan KB, serta bekerjasama dalam menghadiri
pertemuan atau menerima kunjungan pihak pemerintahan. Selain itu, mereka bersikap keras
terhadap orang dan kelompok semacam HTI atau ISIS. Bagi mereka, kelompok semacam itu
adalah pembuat makar yang harus ditangkap.290 Terkait ISIS, mereka bahkan menerbitkan majalah
Asy-Syariah edisi khusus nomor 02 tahun 1438/2017 yang berisi kecaman dan penolakan terhadap
terorisme, yang menurut mereka merupakan bentuk manifestasi akidah takfiri. Bahkan hingga kini

287
Ada sekitar 80 KK di Veteran dengan sekitar 6 KK non-Salafi.
288
Wawancara Abu Haro (7 Februari 2020).
289
Wawancara Abu Ijar (25 Januari 2020 dan 31 Januari 2020).
290
Rangkuman wawancara Abu Ijar (25 Januari 2020 dan 31 Januari 2020).

239 | L a p o r a n A k h i r
mereka konsisten memboikot dua keluarga Salafi Veteran yang bersikukuh menjalin relasi dengan
Degolan.291 Bagi mereka, orang yang masih mendukung Thalib berarti mengikuti
penyimpangannya.292 Padahal menurut mereka, Thalib dan gerakan Laskar Jihadnya adalah suatu
kesalahan dan dosa besar yang patut—dan sudah—mereka taubati.293
Dalam hal ini, perilaku Salafi Veteran pascapembubaran Laskar Jihad menunjukkan pada
apa yang dikonseptualisasikan oleh Pall (2014) sebagai purist-rejectionist. Salafi tipe ini lebih
menekankan pada persoalan perbaikan praktik keagamaan dalam kehidupan sehari-hari (Pall 2014:
40). Hal itulah yang kini terjadi pada Salafi Veteran. Dalam soal berpakaian, misalnya,
penggunaan jalabiyyah dan celana cingkrang (di atas mata kaki) menjadi pakaian sehari-hari kaum
lelaki, bahkan yang masih kanak-kanak. Kaum perempuan mereka juga hanya diperbolehkan
menggunakan jilbab, kerudung lebar, dan cadar berwarna hitam saja saat keluar rumah, termasuk
anak-anak perempuan yang telah memasuki usia baligh. Hanya anak perempuan di bawah usia
enam atau tujuh tahun yang masih diperbolehkan untuk tidak menggunakan pakaian tersebut.
Pakaian seperti itu pulalah yang digunakan sebagai seragam harian sekolah mereka di Pesantren
al-Anshar. Penggunaan warna hitam bagi pakaian perempuan dimaksudkan agar mereka tidak
menarik perhatian atau terkena fitnah.294
Selain itu, jam masuk sekolah antara laki-laki dan perempuan juga dibedakan. Murid laki-
laki masuk lebih pagi daripada murid perempuan dengan jeda waktu sekitar 15-30 menit. Hal
tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi perjumpaan atau ikhtilath di antara mereka dalam
perjalanan menuju sekolah.295
Dalam rangka penerapan perbaikan praktik keagamaan harian tersebut, aktivitas
perempuan dewasa di Perumahan Veteran juga sangat dibatasi. Mereka hanya beraktivitas di
dalam rumah dan mengurusi wilayah domestik. Bahkan dalam rumah sekali pun, perempuan
tersembunyi di balik kain pembatas yang menutupi pandangan dari ruang tamu ke dalam. Jika
seorang tamu yang bukan merupakan mahramnya datang, suguhan akan dihidangkan oleh laki-
laki. Belanja kebutuhan rumah tangga pun dilakukan oleh laki-laki, atau melibatkan perempuan
dengan didampingi mahram-nya. Dalam ibadah harian, perempuan tidak diizinkan shalat

291
Wawancara Abu Haro (7 Februari 2020).
292
Menurut mereka, Thalib sudah menyimpang dari manhaj Salaf.
293
Wawancara Abu Mujtama (2 Februari 2020) dan Abu Uma (9 Maret 2020).
294
Rangkuman wawancara Abu Ijar (25 Januari 2020 dan 31 Januari 2020).
295
Wawancara Abu Uma (9 Maret 2020).

240 | L a p o r a n A k h i r
berjamaah di masjid, baik dewasa maupun anak-anak. Secara umum, warga Veteran dilarang
merokok, mendengarkan musik serta menonton televisi.
Fakta lain yang menunjukkan perubahan Salafi Veteran dari politico-purists ke purist-
rejectionist adalah absennya mereka dari politik. Selain meninggalkan Thalib, hal tersebut juga
ditandai dengan keengganan mereka untuk terlibat dalam pemilu, pilkada atau pilkades. Bagi
mereka, sistem politik demokrasi bukanlah ajaran Islam, melainkan suatu bid’ah. Politik akan
menjerumuskan mereka pada hizbiyyah yang mengancam tauhid sebab adanya fanatisme terhadap
tokoh atau kelompok tertentu yang merusak loyalitas pada Tuhan. Padahal fanatisme semacam itu
menurut mereka haram hukumnya.296 Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Pall: “Salafis think that
a person who subordinates himself to an established party hierarchy will gradually become more
loyal to the organization and its leader than to God” (Pall 2014: 39).
Sikap untuk tidak berpolitik ini termanifestasi pula dalam kehati-hatian mereka dalam
membangun relasi dengan lembaga donor, termasuk dari Timur Tengah. Salafi Veteran sangat
selektif dalam memilih sumber dana, misalnya mereka menolak pendanaan dari Yayasan Ihya at-
Turats al-Islamy di Kuwait sebab melihat figur Abdurrahman Abdul Khaliq pada Lembaga
tersebut sebagai sururi. Mereka bahkan menyebut yayasan tersebut sebagai pemecah belah barisan
Salafi.297 Ketaatan pada pendapat Syekh Rabi’ al-Madkhali dan Syekh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i
juga menandai bahwa mereka adalah purist-rejectionist. Pall menyebutkan bahwa para pengikut
Madkhali adalah salah satu contoh yang tepat bagi kelompok purist-rejectionist ini (Pall 2014:
40).
Perubahan wacana keislaman tersebut membuat karakteristik Salafi Veteran berubah.
Mereka tidak lagi sekeras dulu dalam berinteraksi dengan masyarakat non-Salafi, meskipun kian
radikal dalam persoalan keagamaan secara internal. Hal ini tercermin dalam sikap mereka yang
bara’ terhadap kelompok Salafi lain yang dianggap telah menyelisihi manhaj Salaf, seperti Salafi
dalam jejaring Radio Rodja atau Abu Nida, Thalib, Abu Turob dan Dzulqarnain. Mereka hanya
wala’ dengan Salafi lainnya yang seideologi, misalnya Salafi di Darussunnah al-Khoiriyyah,
Delingo Bantul, Ar-Ridho, Sewon Bantul, Darul Hadits al-Mansuroh, Kulonprogo, al-Bayyinah,
Gresik, dan komunitas serupa di Indonesia. Dalam hal ini, majalah Asy-Syariah menjadi penanda
jejaring yang terbangun pada komunitas-komunitas Salafi yang berideologi sama tersebut.

296
Wawancara Abu Mujtama (2 Februari 2020).
297
https://salafy.or.id/turots/, diakses pada tanggal 30 Juli 2020.

241 | L a p o r a n A k h i r
2. Thoyyibah: Dramaturgi Kaum Salafi
Berbeda dengan Perumahan Veteran, Perumahan Kampung Islami Thoyyibah adalah
perumahan yang sejak semula memang diproyeksikan khusus untuk muslim—atau Salafi.
Developer yang menginisiasi berdirinya perumahaan ini adalah PT. ALP, milik Abu Kevin,
pengusaha yang ditengarai dekat dengan dan merupakan murid Abu Yahya Badrussalam, founder
Radio Rodja. Bahkan, negosiasi dengan bank untuk pembiayaan perumahan pun menggandeng
ustadz Salafi lainnya, yaitu Erwandi Tarmizi. Keberhasilan lobi yang dilakukannya membuat akad
pembiayaan perumahan ini berbeda dengan akad perumahan syariah lainnya.298 Terdapat
penghapusan beberapa poin perjanjian yang dianggap belum sesuai syariah, misalnya asuransi,
penalti atau denda keterlambatan cicilan, serta penyitaan unit jika terjadi persoalan pelunasan.
Tujuan didirikannya Perumahan Thoyyibah bukan semata-mata untuk membangun hunian
yang diperjualbelikan secara syar’i, melainkan juga untuk menghadirkan perumahan Islami di
Cibitung, Bekasi. Maksud dari Islami di sini adalah membentuk hunian yang baik penjualan
maupun kehidupan para penghuninya sesuai dengan sunnah; suatu istilah yang berkonotasi erat
dengan Salafi.
Oleh karena itu, meskipun pengembang dan tokoh warga setempat menyangkal bahwa
pembangunan perumahan tersebut adalah khusus untuk Salafi, namun faktanya peraturan dan
kegiatan sosio-religius di situ sangat kental dengan nuansa ajaran Salafi. Beberapa peraturan
tersebut misalnya harus menggunakan pakaian yang menutup aurat—minus cadar bagi perempuan
sebab penggunaannya diserahkan ke masing-masing orang—saat keluar rumah, dilarang memutar
musik dan televisi, dilarang merokok, dilarang memelihara anjing, wajib berjamaah ke masjid pada
shalat lima waktu bagi laki-laki, serta menghentikan seluruh aktivitas saat memasuki waktu shalat
berjamaah.
Penjualan rumah tersebut memang tidak mensyaratkan ideologi Salafi bagi calon
pembelinya, namun siapa pun pembeli rumah di situ harus hidup sesuai aturan yang berlaku,
termasuk melaksanakan ajaran keislaman khas Salafi yang dipahami oleh mayoritas warganya.
Hal ini disampaikan oleh seorang kolega PT. ETHIS Indo-asia, yang menjadi developer
perumahan saat ini setelah mengambil alihnya dari PT. ALP:
(Warga di sini ) Salafi, murid-muridnya Badrusalam yang di Rodja itu ... Orang umum
nggak ada, kalau ada paling sebentar langsung out. Di sini nggak ada TV, nggak ada musik-

298
Rangkuman wawancara Abu Wudi (12/2/20), Abu Thain (17 Februari 2020), dan Abu Iskan (23 Februari
2020).

242 | L a p o r a n A k h i r
musik, nggak boleh merokok, harus hijab ... Di sini kumpul-kumpul ngomongnya kajian,
nggak ada soal gosip infotainment.”299

Dalam perjalanannya, disebabkan persoalan dalam hal manajemen dan keuangan, Perumahan
Thoyyibah beralih kepengelolaannya dari PT. ALP ke PT. ETHIS Indo-asia. Mayoritas investor
PT. ETHIS adalah mualaf dari luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.300
Perumahan yang dibuka pada tahun 2017 ini sedianya merupakan perumahan terintegrasi,
dan akan menempati lahan seluas 14,5 hektar dengan 1200 unit rumah yang terbagi pada tiga tipe,
yakni tipe 27/60, 27/84 dan 42/96. Perumahan ini akan dilengkapi fasilitas berupa yayasan
pendidikan dari TK hingga SLTA, masjid, sarana olahraga, kawasan bermain anak-anak, kawasan
hijau, serta pasar dengan 100 rumah kios. Namun karena beberapa persoalan pada manajemen dan
keuangan, akhirnya Perumahan Thoyyibah hanya dibangun pada lahan seluas 2,5 hektar dengan
224 rumah yang terdiri dari dua tipe, yakni tipe 27/60 dan 42/96. Fasilitas umum yang ada pun
baru sebatas masjid serta sekolah tingkat TK dan SD di bawah yayasan milik warga. Fasilitas
umum lainnya tampaknya gagal diwujudkan, bahkan pembangunan pemakaman umum milik
perumahan pun belum memiliki kejelasan.
Di luar keterbatasan fasilitas yang ada, kehidupan sosio-religius warga Thoyyibah tampak
dinamis dan aktif, meskipun pembentukan RT/RW dinilai terlambat sebab baru terlaksana pada
bulan September 2019. Lambatnya pertambahan jumlah Kepala Keluarga (KK)301 menjadi salah
satu faktor penghambatnya. Namun, sikap proaktif warga Thoyyibah mengajukan kepengurusan
RT/RW sebagai bentuk legitimasi dari negara menandai pengakuan sekaligus bukti kepatuhan
mereka terhadap pemerintah. Dalam hal ini, kepatuhan terhadap pemerintah yang dipahami oleh
warga Salafi Thoyyibah sama dengan pemahaman warga Perumahan Veteran, termasuk dalam
memhami haramnya mengkritik pemerintah secara terbuka.302
Melihat hal tersebut, dapat diidentifikasi bahwa Salafi Thoyyibah tergolong Salafi purist
yang menekankan kepatuhan mutlak terhadap pemerintah (Pall 2014: 39). Hanya saja, berbeda
dengan Salafi Veteran yang sangat ketat dalam kerjasama pendanaan, Salafi Thoyyibah bersikap
lebih longgar. Hal ini dapat dilihat dari proses pendirian Perumahan Thoyyibah. Pihak

299
Wawancara Pak Jaisy (12 Februari 2020).
300
Waancara Abu Wudi (12 Februari 2020).
301
Kini ada 102 KK.
302
Wancara Abu Iskan (23 Februari 2020) dan Abu Wudi (12 Februari 2020).

243 | L a p o r a n A k h i r
pengembang, misalnya, menjaring investor dari luar negeri dengan yang memiliki corak keislaman
yang mungkin berbeda dengan mereka, serta bekerjasama dengan pihak bank dalam pendanaan.
Selain itu, Salafi Thoyyibah berbeda dalam memaknai keterlibatan politik. Menurut
mereka, politik adalah persoalan khilafiyah dan merupakan hak individu. Oleh karena itu,
hukumnya tergantung situasi dan kondisi serta manfaat dan madharatnya. Secara komunal mereka
memang menolak politik praktis, tetapi menyerahkan hak gunanya kepada masing-masing
individu.303 Selain itu, mereka tidak menolak produk politik untuk menunjang dakwah Salafi yang
diusung, sejauh hal itu bersifat legal dan formal. Pendirian yayasan melalui akta notaris merupakan
sebuah contoh. Melalui yayasan ini, mereka menjaring dana dan mendirikan beragam sarana
dakwah seperti masjid, lembaga pendidikan formal dan kegiatan sosial. Hal ini berarti bahwa
mereka menggunakan hukum negara yang merupakan produk politik guna memperlancar
dakwah.304
Empat divisi di bawah yayasan tersebut—divisi pendidikan, sosial, dakwah, dan
ekonomi—dioptimalkan sebagai sarana transmisi Salafisme. Divisi pendidikan, misalnya,
membuka TKIT dan SDIT yang menerima murid tidak hanya dari Perumahan Thoyyibah,
melainkan juga dari luar, seperti perumahan atau kampung terdekat. Divisi dakwah sangat aktif
menyelenggarakan kajian harian, mingguan, bulanan serta insidental bagi warga Thoyyibah
maupun umum dengan menghadirkan para ustadz Salafi dalam jejaring mereka, termasuk Ustadz
Abu Qotadah, Ustadz Ammi Nur Baits, Ustadz Abu Ihsan, Ustadz Kholid Ruray, atau Ustadz Afifi
Abdul Wadud.
Penggunaan politik sebagai sarana dakwah sejauh diizinkan oleh pemerintah merupakan
salah satu karakter bagi Salafi purist-politically oriented (Pall, 2014). Sebagai purist, kelompok
ini melarang kritik terbuka terhadap pemerintah dan senantiasa menunjukkan loyalitasnya
terhadap mereka, namun mereka juga mentolerir beberapa hal dalam politik dengan tujuan
tertentu. Mereka memandang hal tersebut sebagai kesempatan guna berdakwah untuk
menyebarkan dan mempertahankan Islam. “Their political aims mainly concern social behavior
and the promotion of their understanding of Islam...” (Pall 2014: 40).
Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa kelompok Salafi Thoyyibah adalah
Salafi purist-politically oriented. Sistem pengorganisasian yang dilakukan dalam gerakannya juga

303
Wawancara Abu Iskan (23 Februari 2020).
304
Wawancara Abu Mabarrah (23 Februari 2020).

244 | L a p o r a n A k h i r
menunjukkan bahwa mereka tidak sepenuhnya menolak seluruh bentuk politik. Purist secara
umum, terutama purist-rejectionist, menolak organisasi sebab hal tersebut akan menuntun kepada
hizbiyyah atau bid’ah yang mengancam kepatuhan kepada Tuhan (Pall, 2014).
Selain itu, jejaring yang dibangun Salafi Thoyyibah kian menguatkan indikasi bahwa
mereka tergolong purist-politically oriented. Mereka berjejaring dengan kelompok Salafi Radio
Rodja dan Abu Nida, di mana Yayasan Jam’iyyat Ihya At-Turots Al-Islamy yang ditengarai terlibat
politik memiliki hubungan dengannya. Keterlibatan Ustadz Yahya Badrusalam dalam konsep
pembangunan dan pemasaran Perumahan Thoyyibah merupakan sebuah contoh. Bahkan,
Thoyyibah meminjamkan tanahnya sebagai lokasi Ma’had Imam Adz-Dzahabi pimpinan Ust.
Abdurrahman Fadholi, alumni Islamic Centre Bin Baz, Yogyakarta.
Selain itu, guna mengambil hati warga sekitar, divisi sosial dan ekonomi bergerak melalui
beberapa program, misalnya donor darah serta pembagian sembako, santunan, zakat, daging
kurban kepada masyarakat, serta menghadiri undangan walimah dari warga sekitar. Semua
kegiatan dan program tersebut merupakan upaya dan komitmen mereka terhadap pengembangan
dakwah Salafi. Oleh karena itu, meskipun Perumahan Thoyyibah belum tuntas dibangun, namun
semangat Islamisme terasa kental sekali.

Radikalisasi Ruang di Perumahan Khusus Salafi: Langkah Senyap Menuju Penerapan


Syariat
Meskipun kelompok purist lebih fokus pada perbaikan praktik peribadatan harian, tidak
berarti bahwa mereka menolak penerapan syariat agama sebagai dasar negara. Sebaliknya, justru
proses penekanan pada perbaikan praktik peribadatan harian itu merupakan langkah senyap
mereka menuju ke sana. Dalam hal ini, Pall (2014) menyebutkan bahwa purist meniru strategi
Nabi Muammad pada periode Makkah. Pada saat itu, dakwah tidak dilakukan dengan cara-cara
politik untuk dapat menegakkan syariat, melainkan menekankan pada peningkatan kualitas
keimanan dengan terus-menerus memperbaiki kualitas praktik keagamaan harian. Jika hal tersebut
konsisten dilakukan, maka terbentuknya suatu komunitas atau negara berbasis hukum syariah yang
total dengan sendirinya akan terbangun, seperti telah terjadi dalam sejarah Islam.
Oleh sebab itu, menurut Pall, “purists think that Muslims should return to the correct form
of practicing their religion before engaging in any kind of activism” (Pall 2014: 35). Dalam hal
ini, fokus perbaikan praktik peribadatan harian menjadi fondasi bagi terwujudnya penerapan

245 | L a p o r a n A k h i r
syariat secara utuh. Mengenai hal ini, Wiktorowicz (dalam Pall, 2014), menyebutkan bahwa bagi
Salafi purist, “until the religion is purified, any political action will likely lead to corruption and
injustice because society does not yet understand the tenets of faith” (Pall 2014: 35).
Hal inilah yang membedakan purist dengan kelompok Salafi lainnya. Mereka—meminjam
istilah Masfiah (2016)—dapat lebih sabar menunggu perubahan yang diharapkan. Langkah
senyap tapi pasti inilah yang menjadi ciri khas mereka. Dalam kasus Perumahan Veteran dan
Thoyyibah, langkah semacam ini tidak dapat dinegasikan. Dari wawancara yang dilakukan,
terungkap motif mereka membentuk hunian yang homogen itu, yakni sebagai dapat pada tinggal
lingkungan yang Islami, sesuai sunnah, di mana mereka dapat menerapkan Islam secara kaffah.
Dalam wawancara itu pula terungkap bahwa mereka memiliki harapan yang sama bahwa di masa
yang akan datang model perumahan semacam itu dapat terus bertambah.305
Dengan membentuk lingkungan homogen semacam itu, mereka dapat mengekspresikan
diskursus keagamaannya tanpa harus menghadapi polemik yang berarti. Dalam komunitas yang
demikian, dukungan moral dan legal-formal atas ekspresi keislaman yang sesuai dengan
pemahaman mereka terjamin kelangsungannya. Sekaligus, mereka dapat melarang ekspresi
keislaman berbeda di lingkungan tersebut. Dalam hal ini, semangat Islamisme dirasakan sangat
kuat.
Menguatnya Islamisme di kedua hunian khusus Salafi tersebut bisa dipahami sebagai
gejala radikalisasi ruang. Radikalisme dapat diartikan sebagai interpretasi terhadap ideologi Islam
yang bertujuan menguasai dunia dengan berbagai cara (Mozaffari, 2007) serta memuat nilai-nilai
intoleran, antisistem, dan revolusioner (Hasan, 2013). Dalam perkembangannya, radikalisme
mulai menjadikan ruang hunian eksklusif sebagai sarana disseminasi Islamisme, selain penguasan
masjid yang umum dibahas. Dalam spektrum radikalisasi Hasan (2003), radikalisme lahir dari
militansi, yaitu pikiran, pandangan, dan tindakan intoleran yang menginginkan perubahan dengan
cara mengambil jarak dari masyarakat terbuka (open society) di sekitarnya. Militansi ini menjelma
menjadi radikalisme dengan adanya upaya perubahan radikal dalam sistem politik dan
kemasyarakatan. Khususnya dalam radikalisme Islam, keinginan akan perubahan tersebut
menyimpan semangat revolusioner untuk meruntuhkan sistem sosial-politik yang ada dan
digantikan dengan sistem baru berdasarkan syari’ah Islam versi mereka. Sikap radikal yang
menekankan nilai-nilai revolusioner dan menggunakan kekerasan berubah menjadi ekstrimisme

305
Wawancara Abu Uma, Abu Ijar, Abu Wudi, Abu Iskan, dan Abu Thain pada Januari-Februari 2020.

246 | L a p o r a n A k h i r
(Hasan 2002: 24). Potensi radikalisasi yang secara bertahap bisa berubah dari militansi,
radikalisme, kepada ekstrimisme membantu kita melihat bagaimana ruang menjadi penyemaian
nilai intoleran, antisistem, revolusioner, dan sejauh mana radikalisme dalam ruang hunian
eksklusif berkembang dan membahayakan kohesi sosial dan toleransi dalam masyarakat.
Menurut Arifin (2019), hunian khusus muslim, secara umum, cenderung menciptakan
ketegangan sosial dan eksklusi golongan, serta menjadi sarana bagi Islam politik dan puritanisme
Islam untuk mengambil bagian dalam penguasaan ruang-ruang keseharian. KeKesimpulan
tersebut merupakan hasil penelitiannya terhadap beberapa perumahan Muslim yang tersebar di
seluruh kabupaten yang ada di Yogyakarta. Meskipun Salafi tidak terlalu aktif dalam bisnis
properti syariah, namun gerakannya sebagai silent revolusioner yang terus berupaya menguasai
ruang publik tidak bisa diabaikan. Di bawah ini akan kita bahas pengalaman radikalisasi ruang dan
indikasi radikalisme dalam kedua perumahan tersebut.

Transformasi Intoleransi Menjadi Radikalisasi Ruang


Transformasi Salafi Perumahan Veteran—dari keanggotaannya di Laskar Jihad hingga
pendirian Pesantren al-Anshar—turut mewarnai sikap intoleran mereka terahadap warga lokal
hunian perumahan ini. Perumahan yang awalnya heterogen berubah menjadi homogen karena
adanya penguasaan ruang oleh kelompok tertentu, dalam hal ini Salafi.
Bukti sikap intoleran ini terjadi pada tahun 1998 setelah orang-orang Salafi mulai
menempati perumahan ini. Para Salafi tersebut adalah kelompok militan yang kemudian turut dan
mendukung aksi Laskar Jihad di Ambon. Militansi ini meresahkan warga, terutama saat para
Salafi menolak praktik keagamaan tradisional warga asli perumahan. Hal ini bermula dari protes
kelompok Salafi, yang saat itu masih berjumlah sedikit, terhadap perayaan Maulid Nabi dan
penggunaan tempat khusus imam di masjid. Mereka menganggap praktik-praktik tersebut sebagai
bid’ah. Kelompok Salafi yang kemudian menjadi bagian dari Laskar Jihad tersebut melakukan
pemaksaan dengan menutup tempat pengimaman dan menguasai masjid. Karena konflik tersebut,
banyak warga asli perumahan yang tidak betah dan akhirnya meninggalkan dan menjual
huniannya.
Karena mayoritas ruang hunian sudah diambilalih oleh kelompok Salafi, perumahan ini
menjadi basis Salafi baru yang terhubung langsung ke Pesantren al-Anshar, yang menjadi pusat
dakwah dan pendidikan mereka. Pembentukan ruang radikal di Perumahan Veteran

247 | L a p o r a n A k h i r
termanifestasikan setelah mereka menguasai perumahan dengan cara-cara intoleran, bahkan
paksaan. Mereka mendirikan fasilitas-fasilitas baru yang menjadi simbol gerakan mereka, seperti
dibangunnya masjid baru di perumahan tersebut dari donasi jejaring antarsalafi.
Penyemaian radikalisme melalui pendidikan yang mereka bangun sendiri pada akhirnya
menjadi aturan-aturan sosial yang didasarkan pada ajaran mereka, termasuk dalam hal interaksi
sosial, cara berpakaian, dan pembatasan ruang gerak perempuan. Ketiga hal tersebut tampak sekali
dalam kehidupan Salafi di perumahan tersebut. Sekat-sekat antara pria dan perempuan, misalnya,
selalu dipakai dalam segala hal, seperti gedung pesantren pria dan wanita atau jam masuk pelajaran
yang berbeda antara murid laki-laki dan perempuan. Dalam hal berpakaian, para wanita selalu
memakai cadar dan pakaian hitam. Anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar juga
memakai pakaian tersebut. Sedangkan para pria berperan dalam melanggengkan nilai-nilai
tersebut.
Selain itu, sikap intoleransi juga terjadi di Perumahan Thoyyibah Bekasi. Berbeda dengan
radikalisasi ruang di Perumahan Veteran yang mengubah perumahan umum menjadi hunian Salafi,
Perumahan Thoyyibah memang didisain khusus untuk kalangan Salafi, mulai dari proses
pemasaran yang melibatkan tokoh Salafi sampai pembelian dan aturan sosial perumahan yang
menerapkan aturan Salafi yang ketat. Bahkan, semacam tes terkait pemahaman akidah bagi warga
perumahan pun pernah dilakukan dalam suatu kajian. Hal itu mereka lakukan dalam rangka
membentengi warganya dari akidah yang menyimpang.306 Dengan mekanisme tersebut, mereka
mengharapkan suatu hunian yang homogen dan menghindari kehidupan inklusif dengan kelompok
lain, baik dari agama Islam maupun agama lain, meskipun pengembang Perumahan Thoyyibah
mengatakan bahwa perumahan ini dibuka untuk Muslim secara umum.307 Setelah menguasai
perumahan dan menciptakan hunian baru yang homogen dengan cara menetapkan aturan khusus
khas Salafi, mereka kemudian mengembangkan fasilitas pendidikan alternatif dan jaringan sebagai
sarana transmisi ideologi puritan melalui Yayasan Riyaduth Thoyyibah al-Islamiyah.

Manifestasi Radikalisme Ruang


Transformasi intoleransi menjadi radikalisme ruang yang terjadi di kedua perumahan
tersebut memiliki perbedaan dalam manifestasinya. Perbedaannya terletak pada kelompok Salafi

306
Wawancara Abu Iskan (23 Februari 2020)
307
Wawancara Abu Thain (23 Februari 2020)

248 | L a p o r a n A k h i r
Perumahan Veteran yang lebih eksklusif dibandingkan dengan Salafi Thoyyibah. Seperti
dijelaskan di atas, Veteran tergolong dalam Salafi purist-rejectionist sedangkan Thoyyibah
termasuk purist-political oriented. Dalam penyebaran keagamaannya, purist-rejectionist lebih
“hati-hati” dan sama sekali tidak terlibat dalam ranah politis, sedangkan purist-political oriented
lebih terbuka terhadap metode dan alat penyebaran Salafisme sejauh yang diizinkan oleh
pemerintah. Dengan pemahaman yang relatif lebih terbuka, Salafi Thoyyibah tampaknya lebih
bisa membangun relasi sosial walaupun tetap berusaha menjaga “kemurnian” ajarannya. Dalam
pendirian Perumahan Thoyyibah, misalnya, hubungan Salafi dengan pengembang dan pihak bank
berjalan lancar tanpa kesulitan. Bahkan salah satu aktor Salafi terkemuka, Erwandi Tirmidzi, dapat
bernegosiasi dengan pihak bank mengenai pasal perbankan syariah yang sesuai dengan kriteria
mereka. Selain itu, kebanyakan warga hunian juga menjadi karyawan swasta perusahaan dan
pabrik, bahkan pegawai negeri. Seorang warga hunian juga mengaku mengenal dakwah Salafi dari
perusahan Astra tempat dia bekerja, di mana Firanda dan Badrussalam menjadi penceramahnya.308
Sikap yang lebih terbuka ini tidak terjadi pada Salafi Veteran yang mengikuti tipe Salafi
yang lebih ketat. Di kalangan purist-rejectionist yang mengikuti ulama seperti Syekh Rabi’ al-
Madkhali, hubungan kedekatan dengan selain manhaj (golongan) mereka sangat dibatasi, sehingga
hal tersebut berdampak pada perekonomian mereka yang kurang maju dan mayoritas
mengandalkan wirausaha di kalangan mereka sendiri, seperti berjualan majalah As-Syariah dan
buku-buku Islami serta obat herbal. Dalam artikelnya mengenai Salafi di Yogyakarta dan
Surakarta, Aidulsyah (2019) menjelaskan bahwa salafi Veteran—yang dia sebut muqbily-rabi’y—
kurang bisa menguasai ruang publik dibandingkan pesaingnya, yakni jejaring Salafi Abu Nida—
yang disebutnya sebagai salafi surury-turotsy—yang terafiliasi dengan warga Salafi Thoyyibah.
Selain karena kelompok Abu Nida mendapatkan dana dari Yayasan Ihya at-Turats al-Islamy
Kuwait, mereka juga lebih luwes dalam berjejaring dan mengembangkan bisnisnya daripada
purist-rejectionist.
Dari penjelasan di atas, transformasi ideologi kelompok Salafi sangat mungkin terjadi baik
dalam purist-rejectionist dan purist political oriented atau kelompok haraki seperti HTI, Hizbut
Tahrir dan sebagainya. Kelompok yang sangat eksklusif bisa menjadi kelompok yang lebih terbuka
begitupun sebaliknya. Kemungkinan pergerakan Salafisme yang dinamis juga perlu menjadi
perhatian dalam kajian radikalisme. Menurut Sugiono (dalam Azca 2013: 26), radikalisme

308
Wawancara Abu Wudi (12 Februari 2020).

249 | L a p o r a n A k h i r
memiliki dua varian pada manifestasinya, yakni radikalisme demokratis-inklusif serta radikalisme
intoleran-ekslusif (Sugiono dkk. dalam Azca, 2013). Melihat kasus kedua perumahan tersebut dan
karakter kelompok Salafi di belakangnya, Salafi Veteran cenderung lebih intoleran dan eksklusif.
Meskipun terdapat transformasi ke arah yang lebih terbuka, namun potensi konflik masih mungkin
terjadi. Sedangkan Salafi Thoyyibah lebih bercorak relatif demokratis dan inklusif dalam interaksi
sosial dan aktivitas ekonominya.
Selain kelompok Salafi purist, kelompok Salafi haraki atau politicos juga mempunyai
agenda yang sama dan lebih masif secara kuantitas. Keterlibatan mereka dalam politik nasional
dan keterbukaan mereka dengan berbagai pihak, baik pemerintah maupun ormas Islam yang lain,
memudahkan upaya mereka. Terkait dengan perluasan Islamisme di perumahan khusus Muslim,
Salafi haraki tampak lebih aktif dalam mengkampanyekan perumahan syariah. Mereka
berkembang pesat dalam bisnis perumahan syariah. Beberapa pengembang yang terkenal adalah
Orchid Realty (Organization of Cyber Housing and Islamic Development), Bumi Darussalam
(Weng: 2018), dan Komunitas Developer Property Shariah (DPS) yang ditengarai terhubung erat
dengan HTI.
Pengalaman penguasan ruang oleh Salafi di atas menjadi indikasi bahwa terdapat semangat
Islamisme di balik pendirian hunian khusus Muslim dan hunian Salafi. Semangat Islamisme ini,
pada akhirnya, memperluas praktik intoleransi dalam hal mewajibkan calon pembeli beragama
Islam, menguasai lanskap keagamaan puritan dan radikal, serta menentang praktik keagamaan
yang berbeda. Dengan demikian, perumahan eksklusif ini juga menciptakan semacam komunitas
berpagar (gated communities) yang terbentuk bukan hanya dari kelas menengah atas yang
membutuhkan hunian eksklusif dan privat (Leisch: 2002), namun juga kelompok keagamaan
tertentu yang ingin menguasai ruang dengan semangat Islamisme. Fakta penguasaan ruang publik
dalam penjelasan ini seolah mengatakan bahwa sekarang radikalisasi—termasuk penyebaran
Salafisme—tidak lagi dimulai dari wacana, namun juga melibatkan penguasaan ruang keseharian.

Kesimpulan
Ditolaknya model organisasi oleh gerakan Salafi—khususnya purist-rejectionist—karena
dianggap menyelisihi sunnah dan berpotensi menjerumuskan kepada hizbiyyah membuat gerakan
ini tidak terikat dengan tokoh atau lembaga. Kontestasi wacana keagamaan yang diusung oleh
tokohlah yang kemudian berpotensi mewarnai gerakan ini. Oleh karena itu, gerakan Salafi mudah

250 | L a p o r a n A k h i r
terfragmentasi, tergantung siapa yang menjuarai kontestasi wacana tersebut. Tetapi, dalam
fragmentasinya, gerakan Salafi tidak kehilangan benang merah yang diusungnya, yaitu purifikasi.
Berdasarkan kajian atas dua hunian khusus Salafi di atas, dapat disimpulkan beberapa poin
penting. Pertama, gerakan Salafi dapat mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan
wacana dan perubahan tokohnya, misalnya kelompok Ja’far Umar Thalib yang semula bertipe
haraki politico-purists menjadi purist-rejectionist. Hal ini mengimplikasikan kemungkinan
perubahan ke depannya. Kelompok yang intoleran-eksklusif sangat mungkin menjadi demokratis-
eksklusif dan sebaliknya, tergantung dinamika gerakan Salafisme yang lebih luas.
Kedua, dengan semangat Islamisme, kelompok Salafi purist mulai melakukan ekspansi
pengaruh ke dalam perumahan khusus Muslim—selain aktor haraki seperti PKS dan HTI yang
lebih dulu meramaikan trend hunian berpagar tersebut. Terdapat dua model pembentukan hunian
khusus Salafi, yakni (1) model transformasi ruang dari hunian umum menjadi hunian Salafi seperti
yang terjadi pada Perumahan Veteran serta (2) model trend hunian khusus muslim (muslim-only
gated communities) pada kasus Perumahan Toyyibah. Kedua model ini pada akirnya tetap
membentuk apa yang disebut dengan komunitas berpagar.
Ketiga, setiap kelompok Salafi melakukan langkah sekuritisasi yang berbeda demi
eksistensi ruangnya. Salafi Thoyyibah melakukan sekuritisasi melalui langkah filantrofis dan
politis, dengan cara menjalin relasi dengan warga sekitar melalui sumbangan dan bantuan sosial
serta membentuk yayasan sebagai badan hukum yang melindungi dakwahnya. Sedangkan Salafi
Veteran melakukan sekuritisasi melalui dua cara. Pertama, saat masih bertipe haraki politico-
purists, mereka melakukannya dengan cara menjaga kohesivitas internal dan menggerakkan
sumber daya yang ada, yaitu kekuatan massa, sebagai tameng. Kedua, saat telah bertipe purist-
rejectionist, mereka melakukan sekuritisasi menggunakan cara filantropis dan politis dengan
memberikan sumbangan dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar, serta menjalin komunikasi
dan relasi kultural dengan pemerintahan dan pihak militer.
Keempat, dengan terbentuknya hunian yang homogen, maka radikalisasi—termasuk
penyebaran Salafisme—tidak lagi dimulai dari wacana, namun juga penguasaan atas ruang
keseharian. Dalam konteks ini, komunitas berpagar yang terbentuk bukan hanya karena kebutuhan
akan hunian eksklusif dan privat, melainkan juga karena kelompok keagamaan tertentu yang ingin
menguasai ruang.

251 | L a p o r a n A k h i r
Kelima, kedua perumahan tersebut menciptakan ruang radikal (radical milieu) karena
menjadi tempat pertumbuhan dan penyebaran nilai-nilai radikal. Hal tersebut bisa dilihat dari
praktik intoleransi dan anjuran terhadap kekerasan, yaitu tidak mengizinkan calon penghuni yang
berbeda agama dan intoleran terhadap praktik keagamaan yang berbeda dari keagamaan Salafisme
di hunian tersebut. Radikalisasi ruang pada kedua perumahan tersebut memiliki manifestasi
berbeda. Hal itu terkait dengan karakter kelompok dan jaringan kedua Salafi tersebut. Perumahan
Toyyibah menunjukkan sikap yang lebih inklusif dalam interaksi sosialnya, sedangkan Veteran
lebih eksklusif. Ruang radikal ini, pada gilirannya, dapat membuka pintu ke arah terbentuknya dan
perluasan radikalisme.

252 | L a p o r a n A k h i r
Referensi

Aidulsyah, Fachri. (2019). Klaiming Slafisme di Tanah Jawa: Antara Kontestasi Purifikasi Islam
dan Mobilisasi Ekonomi-Politik Ummat. Diunduh dari
laman:https://www.researchgate.net/publication/331302644_Klaiming_Salafisme_di_Tana
h_Jawa_Antara_Kontestasi_Purifikasi_Islam_dan_Mobilisasi_Ekonomi-
Politik_Ummat/citation/download

Amindoni, Ayomi. 2019. “Perumahan dan Pemukiman Syariah: Ancaman bagi Toleransi dan
Budaya Lokal?”. Laman berita online bbc.com, 16/8/2019, diambil dari
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-49353757

Arifin, Kamil A. 2019. Politik Ruang Perumahan Muslim. Yogyakarta: Lintas Nalar

Asy-Syariah. 2018. “Meluruskan Kesalahan Jihad Versi Teroris.” Yogyakarta: Oase Media. Edisi
02, 1439/2018.

Asy-Syariah. 2018. “Meluruskan Kesalahan Jihad Versi Teroris.” Yogyakarta: Oase Media. Edisi
02, 1439/2018.

Azca, Muhammad Najib. 2013. “Yang Muda Yang Radikal: Refleksi Sosiologis Tehadap
Fenomena Radikalisme Kaum Muda Muslim di Indonesia Pasca Orde Baru”. Jurnal
Maarif, Vol 8, No.—Juli 2013, hlm.14-44.

Bruinessen, Martin van. 2001. “Genealogies of Islamic radicalism in post-Suharto Indonesia”,


South East Asia Research, Vol. 10, No. 2 (JULY 2002) Published by: Taylor & Francis,
Ltd.

Chozin, Muhammad Ali. 2013. “Strategi Dakwah Salafi di Indonesia”, Jurnal Dakwah, Vol. XIV,
No. 1 Tahun 2013. Cirebon: Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.

Haryanto, Joko Tri. 2016. “Paradoks Nasionalisme” dalam Radikalisme dan Kebangsaan.
Semarang: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang.

Hasan, Noorhaidi. 2002. Faith and Politics: The Rise of Laskar Jihad in The Era of Transition in
Indoneisa. Indonesia, (73), 145-169.

Hasan, Noorhaidi. 2012. Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep, Genealogi, Teori. Sunan
Kalijaga Press.

Hasan, Noorhaidi. 2013. Pola Penyebaran dan Penerimaan Radikalisme dan Terorisme di
Indoneisa. Laporan Penelitian. UIN Sunan Kalijaga.

Hasan, Norhaidi. 2008. Laskar Jihad, Islam, Militansi dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca
Orde Baru. Jakarta: LP3ES.

253 | L a p o r a n A k h i r
Krismono. 2017. “Salafisme di Indonesia: Ideologi, Politik Negara, dan Fragmentasi”, Millah Vol.
XVI, No. 2, Februari 2017. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.

Leisch, H. (2002). Gated Communities in Indonesia. Cities, Vol. 19, No. 5, p. 341-350, 2002.

Malthaner & Waldmann. 2014. The radical milieu: Conceptualizing the supportive social
environment of terrorist groups. Studies in Conflict & Terrorism, 37(12), 979-998.

Masfiah, Umi. 2016. “Melacak Radikalisme Kelompok Keagamaan dalam Konstelasi


Kebangsaan” dalam Radikalime dan Kebangsaan. Semarang: Balai Penelitian dan
Pengembangan Agama Semarang.

Mozaffari, Mehdi. 2007. What is Islamism? History and Definition of a Concept. Totalitarian
Movements and Political Religions,Vol.8, No. 1,17-33

Mustolehudin. 2016. “ Narasi Radikalsime Majalah Keagamaan: Analisis Majalah Asy-Syariah


Literatur Kelompok Salafi Ittibaus Sunnah” dalam Radikalime dan Kebangsaan.
Semarang: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang.

Pall, Zoltan. 2014. Salafism In Lebanon; Local And Transnational Resources. Desertasi. Belanda:
Universiteit Utrecht

Renaldi, Adi. (2019). https://www.vice.com/id_id/article/xwebpk/tren-perumahan-islami-firdaus-


bagi-pecinta-syariat-islam-makin-merebak-di-berbagai-kota-indonesia

Renaldi, Adi. 2019. “ Berkunjung ke Firdaus Mini Pecinta Syariat”. Laman berita online vice.com,
26/11/2019, diambil dari (https://www.vice.com/id_id/article/xwebpk/tren-perumahan-
islami-firdaus-bagi-pecinta-syariat-islam-makin-merebak-di-berbagai-kota-indonesia)

Ridwan, Nur Khalik. 2020. Sejarah Lengkap Wahhabi. Yogyakarta: Ircisod

Rozalia, Tasman. 2018. “Radio Rodja: Kontestasi Ideologi Salafi di Ranah Siaran”, Dakwah:
Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan, 22 (2), 2018. Jakarta: Faculty of Dakwah and
Communication, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Syafruddin & Abulfaruq. 2019. “Toleransi yang Mengintimidasi” dalam majalah Asy-Syariah.
Yogyakarta: Oase Media. Edisi 123, Vol XI/1441 H/2019, Hal 7-12.

Wahid, Din. 2014. “Nurturing Salafi Manhaj: a Study of Salafi Pesantren in Contemporary
Indonesia”. Wacana Vol. 15 No.2 (2014): 367-376. Jakarta: Faculty of Humanities,
University of Indonesia.

Weng, H.W. “Liquid Islamism in Malaysia and Indoneisa” dalam Political Participation in Asia:
Defining and Deploying Political Space. Hansson, Eva & Weiss, Meredith L (Eds). NY:
Routledge

254 | L a p o r a n A k h i r
Sumber Online:

http://atturots.or.id/hal-profil-yayasan-majelis-atturots-alislamy.html diakses pada 29/7/20

http://luqmanbaabduh.blogspot.com/2013/12/kejahatan-luqman-baabduh-di-dunia.html diakses
pada 30/7/20

http://pelita-sunnah.blogspot.com/2016/03/merenungi-fatwa-mlm-lalu-siapakah-oknum.html
diakses pada 28/7/20
https://alanshar.ponpes.id/ diakses pada 27/7/20

https://alsofwa.com/profil-yayasan/tentang-kami/ diakses pada 27/7/20

https://ashhabulhadits.wordpress.com/2013/08/18/donat-bantat-buat-luqman-badut-keparat/
diakses pada 29/7/20

https://salafy.or.id/turots/ diakses pada 25/7/20

https://t.me/s/jaringanhizbyluqmani?before=850 diakses pada 28/7/20

https://telegram.me/s/jaringanhizbyluqmani?q=%23salafy diakses pada 27/7/20

https://www.oocities.org/injusticedpeople/LaskarJihaddariIstanakeBogordanAmbon.htm diakses
pada 28/7/20

https://www.youtube.com/watch?v=bcNEsEh9hGg&t=17s, diakses pada 30/7/20

255 | L a p o r a n A k h i r
Bagian Ketiga

Respon Kelompok Moderat, Adat dan Non-


Relijius

Filantropi Islam Nasional: Kontestasi Ruang Kedermawanan


Listiono

Pengantar
Dalam beberapa tahun belakangan, filantropi Islam di Indonesia menunjukkan gejala yang
semakin menguat. Pertama, ditandai dengan munculnya berbagai macam lembaga filantropi Islam
modern baik di level nasional ataupun lokal oleh lembaga pemerintah maupun non-pemerintah
termasuk organisasi keagamaan (NU, Muhammadiyah, Persis, dll.) ataupun kelompok masyarakat
sipil lainnya (Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, Inisiatif Zakat Indonesia (IZI), dll). Kedua, dana
yang berhasil dihimpun oleh lembaga-lembaga tersebut dari tahun ke tahun menunjukkan tren
yang semakin meningkat. Ketiga, program dan kegiatan yang ditawarkan oleh lembaga filantropi
Islam terlihat lebih inovatif dan menjanjikan. Dalam hal ini, tidak ada yang membantah peran besar
lembaga filantropi dalam proses pembangunan di Indonesia, utamanya dalam upaya mewujudkan
kesejahteraan masyarakat, baik dari sisi pendidikan, kesehatan, maupun sosial-ekonomi.

Pada saat yang bersamaan, terjadi semacam kontestasi perebutan pengaruh antara
kelompok moderat dengan kelompok konservatif, tidak terkecuali dalam aktivitas filantropi. Oleh
karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pola gerakan dan jangkauan perluasan
pengaruh lembaga filantropi Islam dalam skala nasional di Indonesia, khususnya yang berkaitan
dengan isu toleransi dan perdamaian.

Riset ini menjawab beberapa pertanyaan, yang terkait satu sama lain. Pertama, bagaimana
tren pengumpulan dana filantropi Islam secara nasional dalam dua atau tiga tahun terakhir? Kedua,
secara lebih spesifik bagaimana perkembangan pengumpulan dana filantropi yang dilakukan
Rumah Zakat (RZ), IZI, NU Care-LAZISNU, LAZISMU, dan ACT (Aksi Cepat Tanggap)?

256 | L a p o r a n A k h i r
Ketiga, bagaimana dan dengan siapa kerjasama dan kolaborasi lembaga-lembaga filantropi ini?
Ketiga, isu dan narasi seperti apa yang digunakan oleh lembaga-lembaga tersebut dalam
memobilisasi dana? Dan terakhir, bagaimana bentuk program dan penyaluran dana yang dilakukan
oleh kelima lembaga tersebut?

Lingkup penelitian ini adalah aktivitas filantropi Islam di Indonesia secara nasional, yang
secara spesifik mengeksplorasi empat Lembaga Amil Zakat nasional dan satu lembaga
kemanusiaan yaitu Rumah Zakat, Inisatif Zakat Indonesia, NU Care-LAZISNU, LAZISMU, dan
ACT. Penelitian ini dilakukan dengan studi dan analisis terhadap dokumen-dokumen seperti
Statistik Zakat Nasional, laporan keuangan, publikasi di media online serta artikel dan buku terkait.

Filantropi Islam Nasional: Tren Penghimpunan Dana


Menjamurnya gerakan filantropi Islam di Indonesia tidak lepas dari permasalalahan
kemiskinan dan ketimpangan yang terjadi, khsusnya setelah peristiwa krisis moneter tahun
1997/1998. Setelah lebih dari dua puluh tahun, perkembangan gerakan filantropi Islam modern di
Indonesia cukup menjanjikan. Selain karena pengelolaan yang kini lebih profesional, inovatif,
terarah dan berkelanjutan, kesadaran masyarakat dalam menyalurkan donasi melalui lembaga juga
mengalami peningkatan yang signifikan. Saat ini, terdapat 25 Lembaga Amil Zakat skala nasional
yang saling ‘berkontestasi’ dalam aktivitas filantropi.

Penelitian ini difokuskan pada empat LAZ Nasional dan satu lembaga kemanusiaan.
Rumah Zakat salah satu LAZ yang didirikan oleh kelompok majelis taklim, kini menjelma menjadi
LAZ terbesar kedua setelah Dompet Dhuafa, jika dilihat dari total penghimpunan dananya. NU
Care-LAZISNU dan LAZISMU lembaga filantropi Islam di bawah naungan organisasi Islam
terbesar di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah juga semakin menunjukkan eksistensinya.
Inisatif Zakat Indonesia lahir dari PKPU yang awalnya merupakan lembaga sosial yang didirikan
oleh partai politik berhaluan Islam. Sementara itu, Aksi Cepat Tanggap (ACT) adalah salah satu
lembaga kemanusiaan yang saat ini sudah menjadi lembaga kemanusiaan internasional, dengan
program dan kegiatan yang agak berbeda dengan lembaga amil zakat.

Pada tahun 2018 dana yang berhasil dihimpun oleh seluruh lembaga filantropi Islam di
Indonesia khususnya Lembaga Amil Zakat dalam level nasional, provinsi, dan kabupaten

257 | L a p o r a n A k h i r
mencapai Rp. 8,1 triliun.309 Angka ini tumbuh sebesar 30,14% dari tahun sebelumnya atau
meningkat sekitar Rp. 1,8 triliun. Selain itu, dalam waktu tiga tahun (2016-2018) rata-rata
pertumbuhan penghimpunan dana filantropi adalah sebesar 30,4%. Angka tersebut memang masih
cukup jauh dari total potensi yang dapat dikumpulkan secara nasional, sebagaimana penelitian
yang dilakukan oleh Firdaus dkk., yaitu sekitar 217 triliun310, namun tidak dapat dipungkiri bahwa
geliat aktivitas filantropi di Indonesia cukup menggembirakan.
Rp9.00
Rp8.00
Rp8.100
Rp7.00
Rp6.00
Rp6.224
Rp5.00
Rp5.017
Rp4.00
Rp3.00 Rp3.650
Rp3.300
Rp2.00 Rp2.639
Rp2.212
Rp1.00 Rp1.729
Rp0.92Rp1.200Rp1.500
Rp-
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018

Sumber: Baznas, 2019 & KNKS, 2019.

Gambar 1. Pengumpulan Dana Filantropi di Indonesia

Jika dilihat berdasarkan basis lembaganya, pada tahun 2017 lembaga filantropi Islam semi
pemerintah dalam hal ini BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) mampu mengumpulkan dana
sekitar 65% (Rp. 4.028.402.730.282,-) dari total yang berhasil dihimpun secara nasional (Rp.
6.224.371.269.471,-). Meski demikian, 85% dana yang dihimpun oleh BAZNAS ini dilakukan
pada level kabupaten/kota. Sementara pada BAZNAS level provinsi dan pusat masing-masing
hanya sebesar 11% dan 3,8%. Lembaga filantropi semi pemerintah ini tersebar di hampir seluruh
kabupaten/kota yang ada di Indonesia dengan jumlah sekitar 500 lembaga dan tentu saja memiliki
‘kekuatan’ untuk memobilisasi dana, khususnya dari aparatur negara (ASN).

309
KNKS, “Pemerataan Zakat untuk Kesejahteraan Masyarakat”, Insight: Buletin Ekonomi Syariah, Agustus
2019.
Muhammad Firdaus, dkk., “Economic Estimation and Determinations of Zakat Potential in Indonesia”,
310

IRTI Working Paper Series, WP#1433-07 (2012).

258 | L a p o r a n A k h i r
Baznas Pusat, Baznas Provinsi,
Rp153,542,103,405.00 Rp448,171,189,258.00

LAZ,
Rp2,195,968,539,189.00

Baznas Kabupaten/kota,
Rp3,426,689,437,619.00

Sumber: Statistik Zakat Nasional, 2017.

Gambar 2. Proporsi Lembaga Filantropi dalam Menghimpun Dana tahun 2017

Sebaliknya, lembaga amil zakat (LAZ) dari sektor ketiga yang jumlahnya hanya sekitar 70
lembaga (baik level nasional, provinsi, maupun kabupaten) mampu mengumpulkan dana sebesar
35% sisanya, atau sekitar Rp. 2.195.968.539.189,-. Berdasarkan data dari BAZNAS hingga awal
tahun 2020, terdapat 25 lembaga filantropi Islam tingkat nasional, 15 tingkat provinsi, dan 34
tingkat kabupaten/kota.311

Jika dilihat persentase penghimpunan dana filantropi Islam (Zakat, Infak, dan Sedekah)
dari masing-masing lembaga, Dompet Dhuafa dan Rumah Zakat mendominasi share
penghimpunan yaitu mencapai 12,35% dan 10,34%. Sementara itu, lembaga amil zakat yang
bernaung di bawah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah yaitu
LAZISNU dan LAZISMU masing-masing memiliki kontribusi sebesar 9,12% dan 5,05%.

Khusus data penghimpunan di LAZISMU, tampaknya belum merepresentasikan


LAZISMU secara keseluruhan. Hal ini karena pengumpulan dana oleh LAZISMU di tingkat
daerah belum sepenuhnya tercatat di tingkat pusat. Salah satu karekteristik yang cukup berbeda

311
https://pid.baznas.go.id/laz-nasional/

259 | L a p o r a n A k h i r
dari lembaga ini jika dibandingkan dengan lembaga filantropi yang lain adalah hubungan antara
LAZISMU pusat, setidaknya sampai tahun 2017, adalah struktur organisasinya. 312 LAZISMU di
tingkat kabupaten/kota atau di bawahnya dibentuk oleh Pimpinan Muhammadiyah setempat,
sehingga pertanggungjawaban lembaga tersebut lebih kepada Pimpinan Muhammadiyah yang
mendirikannya, sementara fungsi LAZISMU pusat hanya sebagai koordinator.313

Lembaga Amil Zakat Daarut tauhid yang dibentuk oleh ustadz Abdullah Gymnastiar (Aa’
Gym) juga mampu menghimpun dana di atas Rp. 100 Milyar dengan kontribusi nasional sebesar
4,74%. Beberapa lembaga lain, seperti Yayasan Rumah Yatim Ar-Rohman dan Yatim Mandiri
juga mampu berkontribusi lebih dari 4%. Sementara itu, IZI, sebuah lembaga baru, meski
sebenarnya pemain lama berkontribusi kurang dari 4%. Untuk lembaga yang disebut terakhir ini,
sebelum melakukan spin-off dengan lembaga induknya (PKPU) adalah lembaga terbesar ketiga
setelah Dompet Dhuafa dan Rumah Zakat, dengan perolehan dana mencapai Rp. 80 juta di tahun
2011.314

Tabel 1. Penghimpunan Dana Filantropi oleh LAZ Nasional


No Nama LAZ Dana Terhimpun 2017 Persentase
1 LAZ Dompet Dhuafa Rp 271,117,794,574.00 12.35%
2 LAZ Rumah Zakat Rp 227,144,420,906.00 10.34%
3 LAZISNU Rp 200,311,297,875.00 9.12%
4 LAZISMU Rp 111,270,737,168.14 5.07%
5 LAZ Daarut Tauhid Rp 104,198,503,968.00 4.74%
6 Yayasan Rumah Yatim Ar-Rohman Indonesia Rp 89,467,706,748.00 4.07%
7 LAZ Yatim Mandiri Surabaya Rp 73,140,228,375.00 3.33%
8 LAZ Yayasan Daarul Qur'an Nusantara (PPPA) Rp 70,758,112,419.00 3.22%
9 LAZ Inisiatif Zakat Indonesia Rp 69,046,858,205.00 3.14%
10 LAZ Baitulmaal Muamalat Rp 45,903,711,011.00 2.09%
11 LAZ Pesantren Islam Al-Azhar Rp 43,464,539,003.00 1.98%
12 LAZ Yayasan Kesejahteraan Madani Rp 34,216,677,791.00 1.56%
13 LAZ Yayasan Griya Yatim & Dhuafa Rp 27,515,323,109.00 1.25%
14 LAZ Panti Yatim Indonesia Al Fajr Rp 26,864,604,510.00 1.22%

312
Hilman Latief, Melayani Umat: Filantropi Islam dan Ideologi Kesejahteraan Kaum Modernis
(Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2017).
313
Ibid.
314
Amelia Fauzia, Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia (Leiden: Brill, 2013).

260 | L a p o r a n A k h i r
15 LAZ Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia Rp 23,904,367,025.00 1.09%

16 LAZ Global Zakat

17 LAZ Baitul Maal Hidayatullah -

18 LAZ Nurul Hayat -

19 LAZ Lembaga Manajemen Infak Ukhuwah Islamiyah -

20 Dana Sosial Al Falah Surabaya -

21 LAZ Perkumpulan Persatuan Islam -

22 LAZ Yayasan Baitul Ummah Banten -

23 LAZ Yayasan Pusat Peradaban Islam (AQL) -

24 LAZ Yayasan Mizan Amanah -

25 LAZ Wahdah Islamiyah -


Total Rp 1,418,324,882,687.14 64.59%
Sumber: Laporan Keuangan masing-masing lembaga, diolah

Data penghimpunan dana dari 25 LAZ skala nasional ini tidak seluruhnya dapat
teridentifikasi. Hal ini karena peneliti kesulitan mengakses laporan keuangan dari beberapa
lembaga. Meski demikian, berdasarkan data yang ada gambaran tentang kontribusi LAZ dalam
penghimpunan nasional cukup jelas. Pertama, jika dilihat dari skala lembaganya, sepuluh lembaga
yang belum teridentifikasi kira-kira berkontribusi di sekitar angka 10% sampai 15%. Dengan
demikian, LAZ skala nasional (25 lembaga) berkontribusi kurang lebih 75% - 80% atas
penghimpunan dana secara nasional. Sedangkan 20% - 25% lainnya merupakan kontribusi dari
LAZ skala provinsi dan kabupaten.

Meningkatnya tren pengumpulan dana filantropi ini setidaknya menggambarkan adanya


pergeseran budaya berdonasi dalam masyarakat. Beberapa tahun yang lalu penyaluran donasi
masih banyak dilakukan dengan cara-cara tradisional atau memberikan langsung kepada mustahik
(orang yang berhak menerima menurut aturan fikih), kini penyaluran dilakukan melalui lembaga
atau organisasi resmi yang pengolaannya lebih profesional dengan program-program yang jauh

261 | L a p o r a n A k h i r
lebih terarah. Dengan kata lain, tingkat kepercayaan pada lembaga-lembaga amil zakat ini juga
semakin membaik.

Profil Lembaga Filantropi Islam di Indonesia


Sebagaimana telah disampaikan pada bagian sebelumnya, penelitian ini difokuskan kepada
empat lembaga filantropi Islam nasional, yaitu NU Care-LAZISNU, LAZISMU, Rumah Zakat
(RZ), Inisiatif Zakat Indonesia (IZI), serta satu lembaga kemanusiaan, Aksi Cepat Tanggap
(ACT).315

Pertama, LAZISNU lahir dari hasil Muktamar NU ke-31 tahun 2004 di Boyolali.
Lembaga ini didirikan sebagai salah satu upaya NU untuk membantu kesejahteraan umat melalui
pengelolaan dana zakat, infak, sedekah (ZIS) dan dana-dana kebajikan lainnya termasuk
Corportae Social Responsibility. Setahun kemudian (2005), LAZISNU menjadi lembaga yang
secara legal dapat melakukan pemungutan ZIS setelah mendapat surat keputusan Menteri Agama.
Setelah sepuluh tahun lebih lembaga ini berkecimpung dalam pengelolalaan dana-dana filantropi
Islam, pada tahun 2016 LAZISNU melakukan pergantian nama menjadi NU Care-LAZISNU.
Pada tahun ini pula kemudian NU Care-LAZISNU diakui sebagai lembaga amil zakat skala
nasional, melalui Surat Keputusan Menteri Agama.

NU Care-LAZISNU memiliki visi menjadi lembaga pengelola dana masyarakat (ZIS,


CSR, dll) yang didayagunakan secara amanah dan profesional untuk pemberdayaan umat. Untuk
mencapai misi tersebut lembaga ini merumuskan misi, pertama mendorong tumbuhnya kesadaran
masyarakat untuk mengeluarkan zakat, infak, dan sedekah dengan rutin dan tetap. Kedua,
menghimpun dan mendayagunakan dana ZIS secara profesional, transparan, tepat guna, dan tepat
sasasan. Ketiga, menyelenggarakan program pemberdayaan masyarakat guna mengatasi
permasalahan kemiskinan, pengangguran, dan minimnya akses pendidikan anak yang layak.

NU Care-LAZISNU fokus terhadap empat pilar program yaitu kesehatan, pendidikan,


ekonomi, dan kebencanaan. Pilar pendidikan meliputi infrastruktur, guru/ustadz dan siswa/santri.
Pilar kesehatan meliputi infrastruktur, pasien, kampanye kesehatan, dan tindakan preventif,
kuratif, serta rehabilitatif. Pilar ekonomi meliputi pertanian, peternakan, nelayan, dan usaha mikro.

315
Selanjutnya, akan ditulis dengan singkatan.

262 | L a p o r a n A k h i r
Sedangkan pilar kebencanaan fokus pada pertolongan, recovery, dan pembangunan, serta
lingkungan, energi, dan emergency. Saat ini NU Care-LAZISNU diketuai oleh Achmad Sudrajat.

Kedua, Lembaga Amil Zakat Muhammadiyah (LAZISMU) dibentuk pada tahun 2002 dan
disahkan sebagai salah satu lembaga amil zakat nasional oleh Kementerian Agama di tahun yang
sama. Meski demikian jauh sebelum LAZISMU ini dibentuk, pada tingkat akar rumput aktivitas
penghimpunan dan penyaluran dana ZIS Muhammadiyah dipercayakan pada Badan Pelaksana
Urusan Zakat Muhammadiyah (Bepelurzam). Pembentukan badan pengelola ini berdasarkan SK
Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 02/PP/1979 (Najib, 2005). Pembentukan LAZISMU ini
merupakan lembaran baru pengelolaan dana ZIS di Muhamamdiyah. Upaya untuk merevitalisasi
pengelolaan dana ZIS di Muhammadiyah ini juga terlihat pada penerbitan Pedoman Pimpinan
Pusat Muhammadiyah Nomor: 01/PED/I.0/B/2017 tentang LAZISMU.

Hingga tahun 2018, LAZISMU tersebar di 29 provinsi, 200 kabupaten/kota, dan 528 kantor
layanan. Jumlah tersebut barangkali menjadikan LAZISMU sebagai lembaga filantropi Islam
dengan jaringan (jejaring) terbesar di Indonesia. Meski demikian sebagaimana yang telah
disampaikan di bagian awal, setidaknya hingga tahun 2017 pengelolaan ZIS di Muhammadiyah
belum seluruhnya terintegrasi dengan LAZISMU Pusat, termasuk dalam pelaporan pengelolaan
dana. Menurut Hilman Latief, hubungan LAZISMU Pusat dengan jejaring di bawahnya sangat
terbuka, tidak terstruktur, dan lebih berfungsi koordinatif.316 Berkaitan dengan hal ini, Hilman
Latief menekankan pentingnya modifikasi kelembagaan sesuai regulasi yaitu hubungan yang utuh
antara daerah dengan Pusat sebagai pemegang legalitas kelembagaan dari pemerintah.317
Permasalahan tersebut yang hingga saat ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi LAZISMU Pusat.

Sebagai Lembaga Amil Zakat (LAZ) di bawah bendera organisasi terbesar di Indonesia
(selain NU), LAZISMU memiliki visi menjadi lembaga amil zakat terpercaya. Adapun rumusan
untuk mencapai visi tersebut adalah, pertama optimalisasi pengelolaan ZIS yang amanah,
profesional, dan transparan. Kedua, optimalisasi pendayagunaan ZIS yang kreatif, inovatif, dan
produktif. Ketiga, optimalisasi pelayanan donatur. Tidak berbeda dengan lembaga filantropi Islam
lainnya, LAZISMU fokus terhadap lima pilar program, yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi,
dakwah, serta sosial kemanusiaan. Hingga tahun 2020 ini, LAZISMU diketuai oleh Hilman Latief.

316
Hilman Latief, 2017.
317
ibid

263 | L a p o r a n A k h i r
Ketiga, Rumah Zakat lahir pada tahun 1998 atas inisiasi Deni Tresnahadi atau yang lebih
dikenal sebagai Abu Syauqi melalui kelompok pengajian Majelis Taklim Ummul Quro. Pada
awalnya lembaga ini bernama Dompet Sosial Ummul Quro (DSUQ) dan fokus terhadap bantuan
kemanusiaan. Saat ini Deni Tresnahadi (Abu Syauqi) merupakan salah satu Pengurus Pusat Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), yaitu sebagai Ketua Bidang Pemberdayaan Jaringan Usaha dan
Ekonomi Kader.318 Pada tahun 2008, Abu Syauqi maju dalam kontestasi pemilu walikota Bandung
dengan dukungan PKS.319 Selain itu, Abu Syauqi juga merupakan besan dari pimpinan Pondok
Pesantren Daarut tauhid, Aa’ Gym yang juga memiliki lembaga filantropi Islam Daarut Tauhid
Peduli.

Pada tahun 2005 DSUQ bertransformasi menjadi yayasan Rumah Zakat Indonesia. Dua
tahun kemudian, yaitu tahun 2007 RZ ditetapkan sebagai Lembaga Amil Zakat skala nasional oleh
Menteri Agama. Tidak berhenti sampai di situ, pada tahun 2014 yayasan RZ juga diakui sebagai
Lembaga Kesejahteraan Sosial Nasional berdasarkan Keputusan Menteri Sosial RI. Dalam rentang
waktu kurang lebih 20 tahun, RZ menjadi salah satu lembaga filantropi Islam dengan
perkembangan cukup mengesankan, baik dalam persebaran kantor layanan, penghimpunan dana,
maupun program-program kegiatan yang lebih inovatif dan bervariatif. Saat ini, kantor perwakilan
RZ tersebar di delapan belas (18) provinsi di Indonesia. Pada tahun 2018, RZ berhasil
menghimpun dana sebesar Rp. 232.867.662.297,00 tumbuh sebesar 2,5% dari tahun sebelumnya.
Selain itu, dalam rentang waktu 2014 hingga 2018 rata-rata pertumbuhan penghimpunan dana
tumbuh sebesar 4,3%. Berkaitan dengan program dan kegiatan, tahun 2017 lembaga ini fokus pada
pembangunan berbasis perdesaan (desa berdaya) melalui program ekonomi, pendidikan, kesehatan
dan lingkungan, serta kesiapsiagaan terhadap bencana. Data terbaru menunjukkan bahwa RZ telah
memiliki 1.194 desa berdaya yang tersebar di 198 kabupaten/kota.

Visi RZ adalah lembaga filantropi internasional berbasis pemberdayaan yang profesional.


Berkaitan dengan hal tersebut, fokus utama program lembaga ini adalah pemberdayaan masyarakat
(empowerment). Meskipun demikian, RZ juga menjalankan program yang bersifat charity,
khususnya yang berkaitan dengan kebencanaan dan kemanusiaan. Untuk mewujudkan visi
tersebut, Rumah Zakat merumuskan misi sebagai berikut: 1) berperan aktif dalam membangun

“Kepengurusan” pks.id, https://pks.id/content/kepengurusan, diakses 19 Juli 2020.


318

“PKS Sanding Abu Syauqi karena Popularitas dan Netralitas”, Detik News, https://news.detik.com/berita-
319

jawa-barat/d-960404/pks-sanding-abu-syauqi-karena-popularitas-dan-netralitas-calon, diakses 19 Juli 2020.

264 | L a p o r a n A k h i r
jaringan filantropi internasional, 2) memfasilitasi kemandirian masyarakat, 3) mengoptimalkan
seluruh aspek sumber daya melalui keunggulan insani.

Keempat, Yayasan Inisiatif Zakat Indonesia (IZI) lahir pada tahun 2014 dari sebuah
lembaga filantropi Islam Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU). PKPU pada awalnya adalah lembaga
yang dibentuk oleh Partai Keadilan (kini PKS) pada tahun 1999 untuk menangani masalah sosial
kemasyarakatan.320 Dengan demikian, secara kelembagaan IZI memang baru, namun dari segi
pengalamansecara pengalaman mereka sebenarnya telah lebih dari 16 tahun berkecimpung dalam
aktivitas filantropi di Indonesia. Adanya keinginan untuk menjadi sebuah lembaga zakat yang
otentik dan diterbitkannya UU No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, mendorong IZI
untuk melakukan spin-off dari induknya (PKPU) dan secara legal menjadi Lembaga Amil Zakat
(LAZ) nasional pada tahun 30 Desember 2015.

Misi yang diusung oleh IZI adalah menjadi lembaga zakat profesional terpercaya yang
menginspirasi gerakan kebijakan dan pemberdayaan. Untuk mencapai visi tersebut, beberapa misi
yang rumuskan adalah, pertama menjalankan fungsi edukasi, informasi, konsultasi dan
penghimpunan dana zakat. Dalam hal ini, selain aktif dalam penghimpun dan penyaluran dana-
dana filantropi, IZI juga melakukan edukasi tentang zakat kepada masyarakat melalui penerbitan
buku Fikih Zakat Kontemporer dan Zakat Game (permainan edukatif tentang zakat). Kedua,
mendayagunakan dana zakat bagi mustahik dengan prinsip-prinsip kemandirian. Ketiga, menjalin
kemitraan dengan masyarakat, dunia usaha, pemerintah, media, dunia akademis, dan lembaga
lainnya atas dasar keselarasan nilai-nilai yang dianut. Keempat, mengelola seluruh proses
organisasi agar berjalan sesuai dengan regulasi yang berlaku, tata kelola yang baik dan kaidah
syariah. Terakhir, berperan aktif dan mendorong terbentuknya berbagai forum, kerjasama, dan
program-program penting lainnya yang relevan bagi peningkatan efektivitas peran lembaga
pengelola zakat di level lokal, nasional, regional, dan global.

Secara organisasi IZI telah resmi berpisah dengan PKPU, namun agaknya misi yang
diusung oleh IZI adalah keberlanjutan dari misi PKPU. Hal ini terlihat pada dua dari empat misi
IZI yang secara subtansial mirip dengan misi PKPU. Adapun misi PKPU di antaranya adalah,

320
Chaider S. Bamualim dan Tuti A. Najib, “Pos Keadlian Peduli Umat (PKPU): Fenomena Educated Urban
Muslim dan Revivalisasi Filantropi”, dalam Revitalisasi Filantropi Islam: Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di
Indonesia, ed. Chaider S. Bamualim dan Irfan Abubakar, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah,
2005).

265 | L a p o r a n A k h i r
pertama membantu meringankan penderitaan masyarakat dengan memberikan pelayanan,
informasi, komunikasi, edukasi dan pemberdayaan. Kedua, menjalin kemitraaan dengan
pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat dan lembaga sosial lainnya, baik dalam maupun
luar negeri. Dalam hal ini baik IZI maupun PKPU menekankan pentingnya peran komunikasi dan
edukasi bagi sebuah lembaga filantropi, serta pentingnya hubungan kemitraan dengan pihak lain
dalam pengelolaan lembaga.

Pemisahan diri dari PKPU tentu menimbulkan konsekuensi yang tidak mudah bagi IZI.
Tercatat bahwa pada tahun 2011 PKPU mampu menghimpun dana sebesar Rp. 80.000.000,00.321
Sementara itu, pada tahun 2016 awal IZI berdiri hanya mampu mengumpulkan dana sebesar Rp.
62.679.076.082,00.322 Dengan kata lain, pada saat IZI melakukan spin-off terjadi penurunan
jumlah dana filantropi yang berhasil dihimpun. Selain itu, periode awal PKPU 59% dana yang
dihimpun berasal dari dana kemanusiaan, 19% berasal dari dana zakat, dan 10% dari dana infak.323
Sebaliknya, pada perionde awal IZI 70% dana yang dihimpun berasal dari penerimaan zakat. Data
ini memberikan gambaran bahwa misi IZI memang masih ada keterkaitan dengan PKPU, namun
dalam hal fokus penghimpunan dana sedikit mengalami pergeseran.

IZI fokus terhadap lima program utama, yaitu ekonomi (IZI to Success), pendidikan (IZI
to Smart), kesehatan (IZI to Fit), Dakwah (IZI to Iman), dan layanan sosial (IZI to Help). Lima
program IZI ini sebelumnya juga menjadi fokus PKPU. Hingga tahun 2018, IZI telah memiliki 16
kantor perwakilan (jejaring perwakilan) yang tersebar di berbagai provinsi.

Kelima, Aksi Cepat Tanggap atau lebih dikenal dengan ACT merupakan salah satu Non-
Government Organizations (NGO) yang fokus terhadap permasalahan sosial dan kemanusiaan,
baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Lembaga ini secara legal berdiri pada tahun
2005. Sebelum tahun 2005, ACT merupakan lembaga pelayanan publik milik Dompet Dhuafa
yang secara khusus mengurusi permasalahan tanggap darurat, baik karena bencana alam maupun
karena tindakan manusia.324 ACT bergerak di lokasi-lokasi bencana, kelaparan dan kekeringan,
konflik dan peperangan, serta diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas. Pada
peristiwa bencana misalnya, lembaga ini melakukan kegiatan tanggap darurat, pemulihan

321
Amelia Fauzia, Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia (Leiden: Brill, 2013).
322
IZI. Laporan Keuangan 2017.
323
Bamualim dan Najib, 2005
324
Lihat Dompet Dhuafa Republika, Annual Report 2004.
https://publikasi.dompetdhuafa.org/download/laporan-tahunan-dompet-dhuafa-tahun-2004/, diakses 18 Juli 2020.

266 | L a p o r a n A k h i r
pascabencana, hingga pemberdayaan dan pengembangan masyarakat. Saat ini, ACT diakui sebagai
salah satu lembaga kemanusiaan global. Hal ini tidak lepas dari peran lembaga ini dalam peristiwa-
peristiwa bencana dan kemanusiaan yang terjadi di level global.

Dalam melakukan aksi-aksi kemanusiaan, ACT mengedepankan kolaborasi baik itu


dengan masyarakat sipil maupun lembaga kemanusiaan lainnya, termasuk lembaga amil zakat
yang memiliki visi yang sama. Beberapa lembaga internasional yang pernah terlibat kerjasama
dengan ACT di antaranya Humanitarian Relief Foundation (IHH), Disaster and Emergency
Management Presidency of Turkey (AFAD), Al-barakah Foundation, dan Dayanisma
Foundation.325 Pada tahun 2014 ACT merumuskan visi baru, yaitu menjadi lembaga kemanusiaan
global profesional, berbasis kedermawanan dan kerelawanan masyarakat global untuk
mewujudkan peradaban dunia yang lebih baik. Dalam visi tersebut ditekankan keterlibatan dari
berbagai pihak. Adapun misinya, pertama mengorganisir dan mengelola berbagai persoalan
kemanusiaan secara terencana, terkonsep, terintegrasi, dan berkesinambungan sehingga menjadi
formula ideal dalam mengatasi berbagai problem kemanusiaan baik dalam skala lokal, nasional,
regional, maupun global. Kedua, mengorganisir dan mengelola segala potensi kedermawanan
masyarakat global sebagai modal sosial untuk mengatasi berbagai problem kemanusiaan baik
dalam skala lokal, nasional, regional, maupun global. Ketiga, mengorganisasi dan mengelola
segala potensi kerelawanan global sebagai modal sosial untuk mengatasi berbagai problem
kemanusiaan baik dalam skala lokal, nasional, regional, maupun global.

Aksi Cepat Tanggap (ACT) secara legal kelembagaan berbeda dengan lembaga filantropi
sebelumnya (NU Care-LAZISNU, LAZISMU, Rumah Zakat, dan Inisiatif Zakat Indonesia).
Keempat lembaga di atas adalah Lembaga Amil Zakat Nasional, sedangkan ACT adalah lembaga
kemanusiaan. Oleh karena itu, penggalangan dana yang dilakukan oleh ACT cenderung lebih luas
atau tidak terbatas pada dana-dana keagamaan (zakat, infak, sedekah). Penghimpunan dana-dana
keagamaan khususnya zakat dan wakaf sendiri dilakukan oleh sayap ACT, yaitu Global Zakat dan
Global Wakaf.

Inisiatif Zakat Indonesia (IZI) secara historis memiliki keterkaitan dengan PKS. Hal ini
karena, IZI merupakan lembaga filantropi yang dilahirkan dari Pos Keadilan Peduli Umat, salah

Rahmadi, Yon Mahmudi, dan Muhammad Syauqillah, “The Humanitarian Assistance Role of Aksi Cepat
325

Tanggap (ACT) Toward Victims of Syrian Conflict in Syria and Turkey from 2012 to 2018”, ICSGS (2018).

267 | L a p o r a n A k h i r
satu sayap PKS. Sebagaimana disampaikan di atas, meskipun secara organisasi sudah terpisah,
misi dari IZI masih cukup identik dengan misi PKPU. Sementara itu, secara organisasi RZ
memang tidak memiliki keterkaitan dengan PKS, namun duduknya pendiri RZ dalam struktur
kepengurusan pusat PKS mengindikasikan adanya kedekatan antara keduanya. Aksi Cepat
Tanggap lahir dari rahim Dompet Dhuafa, salah satu tokohnya Ahyudin terlihat beberapa kali
terlibat dalam kegiatan yang dilakukan oleh PKS, seperti sebagai pembicara dalam diskusi Fraksi
PKS DPR RI , serta salah satu tulisannya dimuat di website PKS Kabupaten Semarang. 326 Selain
itu, ACT juga terlibat kerjasama dengan salah satu media Salafi yaitu Radio Rodja dalam
penyaluran bantuan kepada pengungsi Rohingya.327 ACT juga memiliki kedekatan dengan
lembaga filantropi Turki seperti Turkiye Diyanet Vafki, dan Humanitarian Relief Foundation
(IHH).328

Penghimpunan Dana: Kemanusiaan dan Keagamaan


Pada tahun 2017, NU Care-LAZISNU berkontribusi sebesar 9,12% terhadap pengumpulan
dana ZIS secara nasional. Menariknya, dalam tiga tahun terakhir atau setelah melakukan
rebranding dari LAZISNU menjadi NU Care-LAZISNU pertumbuhan penghimpunan dana
menunjukkan pencapaian yang sangat mengesankan. Pada tahun 2015 misalnya, mereka hanya
mampu menghimpun dana sekitar Rp. 1.747.458.837,00, namun pada tahun 2016 naik signifikan
menjadi Rp. 59.926.187.120,00. Tahun berikutnya, pertumbuhan penghimpunan dana mencapai
234% atau menjadi Rp. 200.311.297.875,00. Di tahun 2018 total dana yang berhasil dihimpun
mencapai Rp. 294.859.161.476,00 tumbuh 47% dari tahun sebelumnya. Jika dilihat berdasarkan
sumbernya, mayoritas dana yang dihimpun oleh NU Care-LAZISNU pada tahun 2018 berasal dari
infak terikat dengan persentase 77%, sementara itu untuk zakat sebesar 12%, dan 6% infak tidak
terikat.

326
“Presiden ACT: Krisis Pengungsi Dunia sudah Didesain”, tribunnews.com,
https://www.tribunnews.com/nasional/2018/04/17/presiden-act-krisis-pengungsi-dunia-sudah-didesain, dan
“Kemunafikan di Gemuruh Peduli Palestina”, kabsemarang.pks.id, http://kabsemarang.pks.id/2014/08/kemunafikan-
di-gemuruh-peduli-palestina.html, diakses 26 Juli 2020.
327
“Bantuan 200 Ton Beras dari Pendengar dan Pemirsa Rodja telah Dikirimkan kepada Pengungsi
Rohingya”, radiorodja.com, https://www.radiorodja.com/27724-%E2%81%A0%E2%81%A0%E2%81%A0bantuan-
200-ton-beras-dari-pendengar-dan-pemirsa-rodja-telah-dikirimkan-kepada-pengungsi-rohingya/, diakses 26 Juli 2020
328
Lihat “ACT dan Turkiye Diyanet Vakfi (TDV) Distribusikan Bantuan untuk Warga Terdampak”,
kumparan.com, https://kumparan.com/optimizer-act/act-dan-turkiye-diyanet-vakfi-tdv-distribusikan-bantuan-untuk-
warga-terdampak-1sq7MrpwMSg, dan “ACT Jamin Donasi ke Suriah Sepenuhnya untuk Kemanusiaan”, gatra.com,
https://www.gatra.com/detail/news/433025/internasional/act-jamin-donasi-ke-suriah-sepenuhnya-untuk-
kemanusiaan

268 | L a p o r a n A k h i r
Peningkatan perolehan dana filantropi NU Care-LAZISNU berkaitan dengan beberapa hal,
pertama dengan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam berdonasi baik dengan
diversifikasi perbankan, maupun penggunaan aplikasi seperti berkah, Sophee, Lazada, Bukalapak,
Tokopedia, Gopay, dll. Kedua, kerjasama dengan berbagai perusahaan dalam penggalangan dana
seperti donasi uang kembalian di perusahaan ritel (Alfamart, Alfamidi, Indomart), serta program
belanja sambil berdonasi, yaitu belanja produk Unilever dalam nominal tertentu maka sudah
termasuk dengan donasi. Ketiga, penggalangan dana melalui platform crowdfunding seperti di
website NU Care-LAZISNU dan kitabisa.com. Keempat, NU Care-LAZISNU menjadi wadah
penyaluran donasi oleh instansi/perusahaan swasta seperti Kalbe Group, Kompas TV, dll. Kelima,
program KOIN NU (kotak infak NU) yang juga tidak dapat diabaikan kontribusinya sebagai wadah
donasi bagi masyarakat bawah.

Tabel 2. Penghimpunan Dana Filantropi

Penerimaan 2017 2018


Nu Care-Lazisnu

Zakat Rp 19,013,481,548.00 Rp 34,353,113,188.00

Infak Terikat Rp 168,136,699,498.00 Rp 228,074,367,373.00

Infak tidak terikat Rp 7,221,772,460.00 Rp 16,521,030,093.00

Non halal Rp 3,065,462.00 Rp 5,015,947.00

Bagian Amil dari zakat Rp 1,844,445,708.00 Rp 4,291,652,898.00

Bagian Amil dari Infak Rp 4,091,833,199.00 Rp 11,606,160,137.00

Bagian Amil lainnya Rp 7,821,839.00

Total Penghimpunan Lazisnu Rp 200,311,297,875.00 Rp 294,859,161,476.00

Lazismu
Total penghimpunan Lazismu Rp 111,270,737,168.14 -

Rumah Zakat
Zakat Rp 113,382,621,377.00 Rp 120,580,750,711.00

Infak tidak terikat Rp 49,151,229,474.00 Rp 46,872,331,239.00

269 | L a p o r a n A k h i r
Infak terikat Rp 63,828,403,597.00 Rp 64,739,666,434.00

Dana kebajikan Rp 782,166,458.00 Rp 674,913,913.00

Total Penghimpunan RZ Rp 227,144,420,906.00 Rp 232,867,662,297.00

IZI
Zakat Rp 45,997,079,225.00 Rp 51,426,425,534.00

Infak tidak terikat Rp 6,474,804,817.00 Rp 8,098,941,986.00

Infak terikat Rp 16,574,974,163.00 Rp 30,302,229,656.00

Total Penghimpunan IZI Rp 69,046,858,205.00 Rp 89,827,597,176.00

ACT
Dana kemanusiaan tidak terikat Rp 1,290,610,254.00 Rp 12,664,560,846.00

Dana kemanusiaan terikat Rp 197,894,678,221.00 Rp 437,215,481,500.00

Dana kemanusiaan lainnya Rp 62,830,391,375.00 Rp 66,503,548,356.00

Zakat Rp 6,008,638,039.00 Rp 707,004,019.00

Infak non-halal Rp 134,472,773.00 Rp 167,762,624.00


Total penghimpunan ACT Rp 268,158,790,662.00 Rp 517,258,357,345.00
Sumber: Laporan Keuangan masing-masing lembaga, diolah

Berdasarkan data laporan keuangan internal LAZISMU Pusat, pada tahun 2017 dana ZIS
yang berhasil dihimpun oleh LAZISMU daerah yang dilaporkan ke Pusat sebesar Rp.
111.270.737.168,14. Jumlah ini berkontribusi sebesar 5,07% terhadap penghimpunan LAZ secara
nasional. Meski demikian, angka tersebut bukan merupakan angka total yang diperoleh oleh
LAZISMU secara nasional. Hal ini karena, belum secara keseluruhan LAZISMU di tingkat daerah
melaporkan perolehannya ke tingkat pusat. Sebagai gambaran, perolehan dana ZIS selama bulan
Ramadan tahun 2017 yang berhasil dihimpun oleh LAZISMU secara nasional mencapai Rp. 78
milyar.329 Besaran perolehan dana ZIS selama bulan Ramadan tersebut memberikan gambaran
bahwa perolehan dana LAZISMU secara nasional di tahun 2017 agaknya memang lebih besar dari

329
https://wartakota.tribunnews.com/2017/07/15/tahun-ini-lazismu-himpun-zakat-rp-78-m

270 | L a p o r a n A k h i r
data yang ditampilkan di atas.330 Selain itu, tingkat konversi donasi di web LAZISMU tergolong
cukup tinggi, yaitu mencapai 18,98%. Dengan kata lain, setiap 1.000 orang yang berkunjung ke
web, maka 189 orang di antaranya melakukan donasi ke LAZISMU.331

Sebuah studi yang dilakukan oleh LAZISMU bekerja sama dengan LP3M UMY dan Prodi
Ekonomi dan Perbankan Islam UMY pada tahun 2015 di 11 kota besar di Indonesia menunjukkan
bahwa potensi dana filantropi Muhammadiyah, baik dari warga maupun dari Amal Usaha
Muhammadiyah (AUM) minimal sebesar Rp. 524 milyar pertahun (LAZISMU, 2015). 332 Meski
demikian, penghimpunan dana ZIS yang dilakukan oleh LAZISMU, setidaknya hingga tahun 2017
masih jauh dari potensi di atas.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, persentase penghimpunan dana filantropi yang


dilakukan oleh RZ pada tahun 2017 menyumbang 10,3% total penghimpunan secara nasional.
Pada tahun 2018 RZ mampu menghimpun dana sebesar Rp. 232.867.662.297,- naik Rp.
5.723.241.391,- dari tahun sebelumnya atau tumbuh sekitar 2,5%. Dari total penghimpunan
tersebut, persentase dana zakat cukup mendominasi yaitu mencapai 52% (Rp. 120.580.750.711,-
). Angka tersebut tumbuh sebesar 6% dari tahun 2017. Berkaitan dengan dana zakat ini, lebih dari
80% berasal dari zakat profesi, disusul oleh zakat simpanan sebesar 15%, dan zakat perdagangan
3%. Penerimaan zakat terkecil berasal dari zakat peternakan, dengan persentase kurang dari 1%.
Data tersebut memberikan gambaran bahwa mayoritas muzaki di RZ adalah kalangan profesional.

Sementara itu, penghimpunan dana dari infak di Rumah Zakat sekitar 47% (Rp.
111.611.997.673,-), yaitu 27% berasal dari infak terikat dan 20% infak tidak terikat. Pertumbuhan
penghimpunan dana infak tidak sebaik dana zakat yaitu hanya sebesar 1,4%. Hal ini disebabkan
karena terjadi penurunan penerimaan dana infak tidak terikat, atau dengan kata lain penerimaan
infak tidak terikat tumbuh negatif sebesar 4,6%. Pada tahun 2018, penerimaan infak terikat paling
besar diperoleh dari infak insidental dengan persentase 38%. Besaran perolehan dana insidental

330
Andar Nubowo, Direktur Utama Lazismu menyampaikan bahwa tahun 2017 Lazismu berhasil
menghimpun dana sekitar Rp. 680 miliar. Besaran dana tersebut diperoleh dari ZIS dan dana keagamaan lainnya,
seperti dana qurban, fidyah, dll. Sebagai gambaran, perolehan dana dari penerimaan zakat pada tahun yang sama hanya
sebesar Rp. 80 milyar. Lihat https://republika.co.id/berita/dunia-islam/wakaf/18/01/04/p1zwi9423-penghimpunan-
zis-lazismu-meningkat-pesat-di-2017
331
Lazismu. Laporan Tahunan LAZISMU 2018.
332
Perilaku dan Potensi Filantropi Warga Muhamamdiyah (Studi 11 Kota Besar di Indonesia,
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/2205/Laporan%20Survei%20Lazismu_2015.pdf?sequence=
1&isAllowed=y

271 | L a p o r a n A k h i r
ini tidak terlepas dari banyaknya peristiwa bencana alam dengan skala besar yang terjadi di tanah
air, seperti gempa di Lombok, gempa dan tsunami di Palu, dan tsunami di Selat Sunda. Penerimaan
infak terikat untuk pendidikan menempati urutan kedua dengan persentase 35%, bahkan pada
tahun 2017 persentasenya hampir mencapai 50%. Hal ini tidak terlepas dari tingginya kepercayaan
masyarakat terhadap program pendidikan yang dijalankan oleh RZ. Sebaliknya, tiga rumpun
lainnya, yaitu kesehatan, ekonomi, dan lingkungan persentase perolehan dananya masih jauh di
bawah rumpun pendidikan. Selain itu, perolehan dana untuk program desa berdaya (integrated
community development) juga belum terlalu besar, konsisten di angka 2% dalam dua tahun
terakhir.

IZI berkontribusi sebesar 3,14% dalam penghimpunan dana ZIS secara nasional. Total
dana yang berhasil dihimpun oleh IZI pada tahun 2018 sebesar Rp. 89.827.597.176,- atau tumbuh
sekitar 30% dari tahun sebelumnya. Besaran angka tersebut 57% di antaranya berasal dari
penerimaan zakat atau sebesar Rp. 51.426.425.534,00. Angka tersebut tumbuh sebesar 12% atau
bertambah Rp. 5.429.346.309,00 dari tahun sebelumnya. Pada penerimaan dari zakat ini,
mayoritas berasal dari zakat maal dengan persentase 95%, sedangkan zakat fitrah hanya sebesar
4%. Pada tahun 2018, baik zakat maal maupun zakat fitrah mengalami peningkatan sebesar
masing-masing 12% dan 15%.

Sementara itu, kontribusi dana infak dalam penghimpunan dana di IZI masing-masing
sebesar 34% untuk infak terikat (Rp 30.302.229.656,-) dan 9% infak tidak terikat (Rp
8.098.941.986,-). Kinerja IZI dalam penghimpunan infak terikat pada tahun 2018 sangat
mengesankan, yaitu mengalami peningkatan sebesar 83%. Tentu ini berkaitan dengan, seperti
sudah disebut di depan, beberapa bencana alam yang terjadi di Indonesia.

Lebih spesifik, penerimaan infak terikat pada tahun 2018 paling besar berasal dari dana
kebencanaan yang mencapai 39%. Penerimaan dana kebencanaan ini tumbuh sangat signifikan
dari tahun sebelumnya, yaitu sebesar 4.753%. Perolehan dana kemanusiaan berkontribusi sebesar
18% dengan pertumbuhan 7,4%. Sementara itu, kontribusi penerimaan dana yang menjadi fokus
program IZI masih cukup rendah, yaitu 11% kesehatan (tumbuh 68%), 6% dakwah (tumbuh
161%), 5% pendidikan (tumbuh 38%), dan 3% ekonomi (turun 10%). Dengan demikian,
pertumbuhan yang paling signifikan adalah penerimaan dana kebencanaan dan dana untuk
dakwah.

272 | L a p o r a n A k h i r
Pada tahun 2018, ACT mampu menghimpun dana sebesar Rp. 517,2 milyar. Angka ini
mengalami pertumbuhan yang sangat mengesankan dari tahun sebelumnya, yaitu sebesar 93% atau
meningkat sekitar Rp. 249 milyar. Selain itu, perolehan dana ACT ini lebih dari dua kali lipat dana
yang berhasil dihimpun oleh Rumah Zakat (Rp. 232,8 milyar) pada tahun yang sama (2018). Jika
dilihat berdasarkan persentasenya, sekitar 99,8% dana yang dihimpun oleh ACT berasal dari dana-
dana kemanusiaan. Semetara itu, perolehan dari zakat hanya sebesar 0,14%.

Lebih spesifik, 85% dana kemanusiaan yang dihimpun oleh ACT merupakan dana terikat.
Dengan kata lain, penyaluran dana ini sesuai dengan kehendak dari donator. Dana kemanusiaan
terikat ini tumbuh sebesar 120% dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini tentu berkaitan dengan
banyaknya peristiwa bencana di Indonesia khususnya dan konflik berkepanjangan di negara-
negara Timur Tengah dan Muslim minoritas. Sementara itu, persentase dana kemanusiaan tidak
terikat hanya sebesar 2%. Persentase perolehan dari dana hibah non kas juga cukup besar, yaitu
13%. Perolehan dana hibah ini tumbuh sekitar 277% dari tahun 2017. ACT juga melakukan
penggalangan dana yang berasal dari dana-dana Corporate Social Responsibility namun
persentasenya relatif kecil, yaitu hanya 0,14%. Perolehan dana wakaf juga tidak begitu besar, yaitu
hanya 0,06%. Menariknya, perolehan dana wakaf dan zakat di ACT justru mengalami penurunan
yang sangat signifikan. Perolehan dana wakaf pada tahun 2017 mencapai Rp. 4,1 milyar namun
turun menjadi Rp. 293,8 juta di tahun 2018. Demikian halnya dengan perolehan zakat yang
mencapai Rp. 6 milyar, di tahun 2018 hanya memperoleh Rp. 707 juta.

Dalam memobilisasi dana-dana kemanusiaan ACT memiliki dua strategi.333 Pertama ACT
mampu menggambarkan atau menceritakan peristiwa tragedi kemanusiaan dengan baik. Ketika
terjadi sebuah peristiwa, tim ACT akan cepat bergerak dan mempublikasikan kejadian yang sedang
berlangsung. Kedua ACT membuat konten yang kreatif dan menarik sehingga dapat
mempengaruhi opini publik atas sebuah peristiwa. Dua strategi yang dijalankan oleh ACT ini
sangat efektif sehingga dana yang berhasil dihimpun sangat fantastis.

Kerjasama Lembaga: Plat Merah dan Masyarakat Sipil


ACT barangkali menjadi lembaga filantropi yang memiliki jaringan kerjasama yang paling
luas, dibanding dengan empat lembaga filantropi lainnya. Di dalam negeri misalnya, ACT

Rahmadi, Yon Mahmudi, dan Muhammad Syauqillah, “The Humanitarian Assistance Role of Aksi Cepat
333

Tanggap (ACT) Toward Victims of Syrian Conflict in Syria and Turkey from 2012 to 2018”, ICSGS (2018).

273 | L a p o r a n A k h i r
bekerjasama dengan beberapa perusahaan besar, BUMN, Bank Indonesia, bahkan TNI. Beberapa
perusahaan yang bekerjasama dengan ACT di tahun 2020 ini di antaranya Danone, Wardah,
Tempo Scan, CIMB Niaga Syariah, Maybank, beberapa bank daerah, Vivo, Margaria Group,
Atomy, Indosat, Pos Indonesia, PLN, Pertamina, serta Angkasa Pura. Selain itu, ACT juga sering
terlibat kerjasama dengan beberapa lembaga filantropi Internasional seperti Mercy Relief
Singapore, Islamic Relief, Global Giving, IHH, Turkiye Diyanet Vakfi, Haurat Yardim, dan
sebagainya.

Hubungan antara ACT dengan beberapa lembagai filantropi internasional tersebut cukup
kuat. Hal ini terlihat dari model kerjasama antara mereka yang berkesinambungan. Sebagai contoh
akhir Januari yang lalu, merupakan kali ketiganya ACT menyalurkan bantuan dari Mercy Relief
untuk korban banjir Lebak.334 Terbaru, Turkiye Diyanet Vakfi dan Haurat Yardim akan
menyalurkan 2.800 hewan kurban ke Aceh melalui ACT.335 Hubungan ACT dengan beberapa
lembaga filantropi Turki juga cukup istimewa, terlebih dengan IHH. Di tahun 2019, IHH bersama-
sama ACT, Arrahman Quranic Learning Centre (AQL), dan Jurnalis Islam Bersatu (JITU)
menghadirkan Seyit Tumturk (presiden Dewan Nasional Turkestan Timur) dan Gulbakhar Cililova
(seorang Uyghur dari Kazakhstan) ke Indonesia untuk berbicara tentang kondisi Muslim di
Uyghur.336

Selain kerjasama dengan beberapa perusahan dan lembaga besar, ACT juga aktif
melakukan penggalangan menggunakan platform crowdfunding baik di dalam negeri maupun luar
negeri. Di dalam negeri platform yang digunakan di antaranya kitabisa.com dan
indonesiadermawan, sebuah platform yang dikelola oleh ACT. Sebagai perbandingan, total dana
yang berhasil dihimpun melalui platform indonesiadermawan sampai tanggal 27 Juli 2020
mencapai Rp. 68.836.326.310, sementara penggalangan dana yang dilakukan oleh LAZISMU
dilaman website baru mencapai Rp. 5.368.339.208,-. Sementara itu, penggalangan dana melalui
platform crowdfunding internasional dilakukan ACT melalui global giving. Dalam waktu 3 tahun,
penggalangan dana di global giving mencapai $321.536 atau sekitar Rp. 4 milyar lebih. Beberapa

334
“Mercy Relief Singapura Kembali Bantu Penyintas banjir Lebah”, news.act.id,
https://news.act.id/berita/mercy-relief-singapura-kembali-bantu-penyintas-banjir-lebak, diakses 27 Juli 2020.
335
“ACT akan Salurkan 2.800 Ekor Hewan kurban dari Turki ke Seluruh Aceh”, aceh.tribunnews.com,
https://aceh.tribunnews.com/2020/07/23/act-akan-salurkan-2800-ekor-hewan-kurban-dari-turki-ke-seluruh-aceh,
diakses 27 Juli 2020.
336
IPAC, “Explaining Indonesia’s Silence on the Uyghur Issue” IPAC Report No. 57 (2019).

274 | L a p o r a n A k h i r
kampanye di level internasional berkaitan dengan pendidikan, bantuan kemanusiaan (termasuk
untuk pengungsi Rohingya), dan recovery pasca bencana. 337

Pada tahun 2020 ini, beberapa perusahaan yang berkerjasama dengan RZ, di antaranya
Indosat, Telkomsel, Xiaomi, Tempo Scan, Pegadaian, BPJS Ketenagakerjaan, PLN, hingga
Pertamina. Selain itu, Rumah Zakat memiliki tiga platform crowdfunding, yaitu
sharinghappiness.org, infak.id, dan lelangbintang.com. Meski demikian, sebagaimana data di atas,
lebih dari 50% perolehan dana filantropi Rumah Zakat berasal dari penerimaan zakat, dengan 80%
berasal dari zakat profesi. Hal ini memberikan gambaran bahwa aktivitas donasi di Rumah Zakat
mayoritas dilakukan oleh individu, khususnya kalangan profesional, kelas menengah ke atas.

Sementara Inisiatif Zakat Indonesia, pada tahun 2020 ini bekerjasama dengan beberapa
bank besar, seperti BNI Syariah, Bank Mega Syariah, Permata Syariah, BJB Syariah, dan
Maybank. Dua raksasa telekomunikasi yaitu Telkomsel dan Indosat juga cukup intens bekerjasama
dengan IZI. Tidak hanya itu, beberapa perusahaan pemerintah (BUMN) seperti Pegadaian Syariah,
PLN, dan Pertamina juga beberapa kali terlibat dalam program-program yang dijalankan oleh IZI.
Bahkan, MNC, Laznas Chevron, Badan Pusat Statistik, dan Bank Indonesia juga berkontribusi
dalam program IZI.

Meskipun tidak sebesar IZI, bahkan ACT, LAZISMU dan NU Care-LAZISNU juga
bermitra dengan beberapa perusahaan besar. LAZISMU misal, tahun 2020 ini bekerjasama dengan
CIMB Niaga Syariah, Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, BRI, ReINDO Syariah,
Wardah, Alfamart, Alfamidi, dan PT. Bintang Toedjo. Sementara NU Care-LAZISNU bekerja
sama dengan beberapa perusahan besar seperti Bank Mega Syariah, Alfamart, Alamidi, Indomaret,
Bintang Toedjo, Kompas TV, Telkomsel, Indika Foundation, serta Penerbit Erlangga.
Menariknya, LAZISMU dan NU Care-LAZISNU memiliki kedekatan dengan lembaga filantropi
non-Islam, di antaranya Buddha Tzu-Chi. Dalam membantu penanganan Covid-19 ini Buddha
Tzu-Chi dan LAZISMU mengadakan bakti sosial bersama-sama, dengan melibatkan unsur-unsur
masyarakat seperti TNI, Polri dan lembaga pendidikan.338 Pada tahun 2019, Yayasan Buddha Tzu

337
https://www.globalgiving.org/donate/12342/aksi-cepat-tanggap-act-foundation/
338
“Lazismu Sulsel Gelar Baksos bersama Yayasan Buddha Tzu-chi”, suaramuhammadiyah.id,
https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/07/17/lazismu-sulsel-gelar-baksos-bersama-yayasan-buddha-tzu-chi/

275 | L a p o r a n A k h i r
Chi juga beberapa kali terlibat dalam kegiatan bersama NU Care-LAZISNU.339 Pada masa
pandemik ini, Buddha Tzu Chi juga menyalurkan bantuan alat penanganan Covid-19 ke NU.340

ACT, RZ, dan IZI agaknya memiliki jaringan yang lebih kuat ke perusahaan-perusahaan
berplat merah seperti PLN dan Pertamina, dibanding LAZISMU dan NU Care-LAZISNU. Kedua
BUMN tampak lebih aktif dalam menyalurkan dana maupun kolaborasi program dengan ACT,
RZ, dan IZI. Dalam menangani Covid-19 ini misalnya, ACT dan Pertamina berkolaborasi mulai
dari penyemprotan disinfektan, penyediaan wastafel, bantuan APD, hingga distribusi bantuan
pangan.341 PLN dan ACT juga terlibat dalam beberapa kegiatan di berbagai daerah seperti
Tasikmalaya dan Makassar.342 Sementara PLN dan RZ di antaranya bekerjasama dalam program
pendampingan usaha.343

Berbeda dengan ACT, RZ, dan IZI yang lebih banyak mendapatkan dukungan dari
perusahaan BUMN, LAZISMU dan NU Care-LAZISMU justru mendapatkan kepercayaan dari
masyarakat sipil. Lembaga filantropi milik Muhammadiyah dan NU ini menerima donasi dari
konser amal yang diselenggarakan oleh Didi Kempot (almarhum) bersama Kompas Gramedia.344
Selain itu, beberapa perusahaan seperti ritel Alfamart dan Alfamidi serta PT Bintang Toedjoe dan
Bank Mega Syariah merupakan beberapa perusahaan yang konsisten terlibat kerjasama dengam
LAZISMU dan NU Care-LAZISMU.

339
“NU Care dan Buddha Tzu Chi bagikan Paket Cinta Kasih ke Warga Sekitar UNISIA Bogor”,
tribunnews.com, https://www.tribunnews.com/ramadan/2019/05/19/nu-care-dan-buddha-tzu-chi-bagikan-paket-
cinta-kasih-ke-warga-sekitar-unusia-bogor, diakses 30 Juli 2020.
340
“PBNU Terima Bantuan Alat Penanganan Covid-19”, nu.or.id,
https://www.nu.or.id/post/read/118814/pbnu-terima-bantuan-alat-penanganan-covid-19, diakses 30 Juli 2020.
341
Lihat misalnya, https://www.antaranews.com/berita/1374278/pertamina-act-semprot-disinfektan-
sejumlah-spbu-di-yogyakarta, https://www.antaranews.com/berita/1386306/pertamina-act-diy-siapkan-wastafel-
portabel-di-pasar-yogyakarta, https://metrontb.com/32879/ntb/pertamina-dan-act-serahkan-bantuan-apd-untuk-
tenaga-medis-rsud-ntb/ dan https://news.act.id/berita/atasi-dampak-covid-19-pertamina-bersama-act-distribusikan-1-
800-paket-sembako-untuk-lansia
342
Lihat https://news.act.id/berita/pln-ikut-antisipasi-penyebaran-covid-19-di-priangan-timur, dan
https://makassar.antaranews.com/berita/177040/pln-punagaya-gandeng-act-sulsel-salurkan-swab-booth-ke-rsud-
kota-makassar
343
“Usaha Binaan YBM PLN UP3 dan RUmah Zakat Kembali Bergeliat”, republika.co.id,
https://republika.co.id/berita/qcspmy380/usaha-binaan-ybm-pln-up3-dan-rumah-zakat-kembali-bergeliat
344
“bersama Didi Kempot, Kompas TV Salurkaan Donasi Konser Amal kepada 33.850 KK”, kompas.com,
https://www.kompas.com/hype/read/2020/04/23/183543866/bersama-didi-kempot-kompastv-salurkan-donasi-
konser-amal-kepada-33850-kk?page=all

276 | L a p o r a n A k h i r
Ruang Media Sosial dan Narasi
Di era digital ini hampir mustahil mengabaikan peran penting media sosial dalam
penyebaran informasi, tidak terkecuali lembaga filantropi. Bagi lembaga filantropi, sepertinya
media sosial seperti facebook, twitter atau Instagram merupakan media yang efektif untuk
kampanye program, yang pada akhirnya berdampak positif terhadap penggalangan dana.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh NapoleonCat345 per Juni 2020 facebook merupakan media
sosial yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia (163.700.00 pengguna) disusul
instagram (73.760.000 pengguna). Pengguna facebook di Indonesia di dominasi oleh laki-laki
(54,7%) dibanding dengan perempuan (45,3%). Sebaliknya, Instagram lebih banyak digunakan
oleh perempuan (51,5%) dibanding dengan laki-laki (48,5%). Baik facebook maupun Instagram
paling banyak digunakan oleh penduduk yang berusia 18-34 tahun. Meski demikian, pengguna
facebook yang berusia di atas 45 tahun sedikit lebih banyak dibanding dengan Instagram.

2500000

2000000

1500000

1000000

500000

0
RZ IZI ACT NU-Care Lazismu
Facebook 933175 591850 2197246 492865 29542
Twitter 249600 1290 384600 44200 29800
Instagram 280000 19200 872000 71300 28200

Facebook Twitter Instagram

Gambar 3. Pengikut Akun Media Sosial Lembaga Filantropi (per 31 Juli 2020)

Secara umum, followers akun media sosial RZ dan ACT jauh di atas followers NU Care-
LAZISNU dan LAZISMU. ACT merupakan lembaga filantropi yang paling banyak memiliki
followers di akun media sosial, dibanding dengan 4 lembaga lainnya, baik di facebook, twitter
maupun Instagram. Sebaliknya, LAZISMU merupakan lembaga yang paling sedikit memiliki
followers. Lembaga filantropi menggunakan akun media sosial untuk berkomunikasi dengan

345
https://napoleoncat.com/stats/social-media-users-in-indonesia/2020/06

277 | L a p o r a n A k h i r
masyarakat, seperti menyampaikan informasi program, baik yang akan dijalankan maupun yang
sedang atau sudah dijalankan, dan tentu saja media untuk melakukan penggalangan dana. Dalam
hal ini, semakin banyak followers maka akan semakin banyak pula jangkauan informasi yang
dapat disebar. Artinya, semakin banyak orang yang mengetahui informasi program, maka semakin
banyak pula yang akan berdonasi. Oleh karena itu, ruang media sosial juga cukup menentukan
perolehan dana bagi lembaga filantropi.

Model narasi yang digunakan oleh lembaga filantropi khususnya RZ, IZI, LAZISMU, dan
NU Care-LAZISNU memiliki beberapa kemiripan, meskipun terdapat juga perbedaan. Pertama,
menggunakan teks keagamaan, baik itu ayat Al-Qur’an, Hadist, serta ucapan para ulama atau tokoh
sering terlihat digunakan oleh RZ, LAZISMU, dan NU Care-LAZISNU, khususnya dalam
penggalangan dana zakat dan sedekah. IZI tidak terlalu banyak menggunakan teks keagamaan
namun intensitas penggunaannya meningkat ketika mendekati bulan Ramadan. Selain itu IZI juga
lebih sering menampilkan pengingat untuk menunaikan zakat di waktu gajian, mendapatkan
bonus, THR, atau akhir tahun.

Kedua, narasi tentang program, Rumah Zakat lebih menampilkan capaian pelaksaanan
program, serta fakta-fakta tentang permasalahan yang sedang terjadi di Indonesia, misalnya
tingginya angka stunting dan putus sekolah. IZI lebih pada pelaksanaan program, LAZISMU pada
program yang sedang atau akan dijalankan, sedangkan NU Care-LAZISNU lebih sering
menampilkan penerima program. Ketiga, berkaitan dengan kebencanaan, RZ, LAZISMU, dan NU
Care-LAZISNU lebih sering menyampaikan kondisi di lapangan. Selain itu, RZ dan LAZISMU
juga menampilkan kebutuhan mendesak yang perlu segera dipenuhi. Dalam hal ini, Rumah Zakat
tidak jarang pula menampilkan teks-teks keagamaan, khususnya ayat Al-Quran. Sementara IZI
lebih kepada ajakan untuk bergotong royong membantu korban bencana.

278 | L a p o r a n A k h i r
Gambar 4. Narasi Penggalangan Dana Kebencanaan

Keempat, berkaitan dengan program di negara Muslim, seperti Palestina misalnya, Rumah
zakat menyampaikan narasi untuk membangkitkan perasaan simpati bagi sesama umat Muslim,
serta menceritakan penderitaan yang dialami oleh penduduk Palestina.

“Bagi umat Islam Palestina adalah masalah utama karena Palestina merupakan tanah
wakaf umat Islam yang telah diwarisi sejak 6.000 tahun lebih. Hal ini karena Nabi Ibrahim
bukanlah seorang Yahudi dan bukan pula Nasrani, tetapi seorang yang hanif dan Muslim,
dan beliau tidak musyrik kepada Allah, sesuai yang tertuang pada Ali Imran ayat 67. Di
Palestina terdapat Majid Al-Aqsha tempat para nabi dan rasul, tempat isra’ Rasulullah.
Sudah pasti jika tempat tersebut harus dijaga dengan baik.

279 | L a p o r a n A k h i r
Allah memuliakan Palestina dengan Masjidil Aqsha, selain kiblat pertama juga masjid
yang kedua yang dimuliakan Allah SWT. Di masjin ini pula Rasulullah melakukna isra dan
beliau memimpin shalat bagi para nabi dan rasul. Suatu simbol bahwa Rasulullah SAW
adalah pimpinan meraka
Saat ini dan sejak puluhan tahun lalu, Palestina masih diperangi oleh kaum zionis Israel.
Bertahun-tahun rakyat Palestina menderita dan didzalimi, sebagai saudara seiman kita
memiliki kewajiban untuk membantu meraka di hari yang berkah dan utama ini mari
bersedekah di haru yang utama untuk tempat yang utama, Palestina.

Sementara LAZISMU dan NU Care-LAZISNU untuk program di negara Muslim lebih


menampilkan kondisi yang sedang terjadi.

Gambar 5. Narasi Progam Luar Negeri LAZISMU DAN NU Care-LAZISMU

Menariknya, penggalangan dana yang dilakukan oleh IZI untuk kemanusiaan di luar negeri
lebih kepada karena permasalahan sosial (kemiskinan) bukan karena konflik. Penggalangan dana
melalui akun media sosial terkait dengan konflik Timur Tengah terakhir pada pertengahan tahun
2018. Sementara penggalangan dana untuk Muslim minoritas seperti di Uyghur dan Rohingya
terakhir pada 20 Desember 2018. Saat ini, IZI memberikan perhatian lebih pada masalah
kemiskinan yang dialami oleh Muslim di negara lain, selain kemiskinan yang dialami oleh Muslim
di daerah-daerah terpencil Indonesia.

280 | L a p o r a n A k h i r
Gambar 6. Narasi Program Kemiskinan IZI

Sebagai sebuah lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) fokus terhadap dua isu
utama yaitu kebencanaan dan konflik. Meski demikian dalam beberapa kesempatan ACT juga
mengangkat isu nasionalisme, seperti ketika terjadi ketegangan antara Indonesia dan China di
Natuna. Selain itu, ACT juga memberikan perhatian pada pendidikan, pesantren dan peristiwa
yang menimpa individu (mengidap pengakit tertentu misalnya). Narasi yang digunakan oleh ACT,
di antaranya adalah dengan menceritakan peristiwa yang terjadi di lokasi bencana/konflik baik
dengan kata-kata maupun gambar dan terkadang disertai dengan kebutuhan bantuan. Selain itu,
ACT juga tidak jarang menggunakan gambaran kekejaman dan penderitaan yang dialami, baik
dengan tulisan maupun gambar.

281 | L a p o r a n A k h i r
Gambar 7. Narasi Aksi Cepat Tanggap

Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, karakter narasi ACT, pertama, mampu
menggambarkan atau menceritakan peristiwa tragedi kemanusiaan dengan baik. Ketika terjadi
sebuah peristiwa, tim ACT akan cepat bergerak dan mempublikasikan kejadian yang sedang
berlangsung. Kedua, ACT membuat konten yang kreatif dan menarik sehingga dapat
mempengaruhi opini publik atas sebuah peristiwa. Apa yang disampaikan oleh ACT agaknya
mampu membangkitkan perasaaan simpati dan solidaritas bagi sesama Muslim.

Penyaluran Dana dan Fokus Program


Sebagaimana telah diuraikan, RZ merupakan salah satu lembaga filantropi Islam di
Indonesia yang fokus terhadap program pemberdayaan masyarakat dengan empat rumpun utama,
yaitu pendidikan (senyum juara), kesehatan (senyum sehat), ekonomi (senyum mandiri), dan
lingkungan (senyum lestari). Saat ini, Rumah Zakat lebih fokus dalam program pemberdayaan di
perdesaan yang terintegrasi dan disesuaikan dengan potensi desa masing-masing yaitu dalam
bentuk Desa Berdaya. Selain itu, Rumah Zakat juga memiliki program yang berkaitan dengan
bencana dan kemanusiaan.

Program-program dalam rumpun pendidikan yang dijalankan oleh RZ mendapatkan


perhatian lebih dari para donator. Hal ini terlihat dari besaran perolehan infak terikat untuk
pendidikan. Pada tahun 2018, perolehan dana infak terikat untuk pendidikan mencapai Rp.
22.538.508.259,00. Angka tersebut jauh di atas perolehan infak terikat untuk kesehatan, ekonomi,
dan lingkungan, masing-masing kurang dari Rp. 5 milyar. Perolehan infak terikat untuk
pendidikan hanya kalah dari infak terikat insidental. Besarnya perolehan infak terikat insidental in
tentu berkaitan dengan peristiwa bencana alam berskala besar yang terjadi di Indonesia selama
tahun 2018.

Program pendidikan yang dijalankan oleh RZ, yang pertama adalah beasiswa, yaitu
pemberian beasiswa yang disertai dengan pembinaan, dengan sasaran keluarga kurang mampu dan
siswa di sekolah binaan. Kedua, bantuan sekolah, yaitu pemberian sarana pendidikan seperti buku,
alat olah raga, hingga renovasi sekolah di perdesaan. Ketiga, bantuan untuk guru, mulai dari
peningkatan kompetensi, bantuan sarana dan prasarana, hingga bantuan ekonomi kepada guru.
Keempat, pembangunan sekolah gratis untuk keluarga kurang mampu. Kelima, perpustakaan
keliling. Keenam, pemberian makanan sehat untuk siswa sekolah binaan. Selama tahun 2018,

282 | L a p o r a n A k h i r
Rumah Zakat menyalurkan dana infak terikat untuk pendidikan sebesar Rp. 22 milyar, atau lebih
dari 30% dari total penyaluran infak terikat, dan ini merupakan yang terbesar.

Aktivitas penyaluran dana zakat, infak dan sedekah IZI fokus pada lima program, pertama
ekonomi (IZI to success) yaitu program yang ditujukan untuk meningkatkan ekonomi keluarga
melalui pelatihan dan pendampingan usaha. kedua, pendidikan (IZI to smart) yaitu program
peningkatan kualitas pendidikan untuk pelajar, mahasiswa dan penghafal Qur’an. Ketiga
kesehatan (IZI to fit) yaitu program yang ditujukan untuk memberikan layanan dan kualitas
kesehatan, seperti rumah singgah pasien, pembangunan klinik, serta layanan pendampingan untuk
orang sakit. Keempat dakwah (IZI to iman) yaitu program yang ditujukan untuk membantu syiar
Islam di berbagai pelosok negeri, melalui dai penjuru negeri dan kampung bina mualaf. Kelima,
layanan sosial (IZI to help) seperti melalui layanan antar jenazah, peduli bencana, dan layanan
mulia mustahik.

Penyaluran infak terikat untuk ekonomi di IZI tahun 2018 adalah yang terbesar setelah
kemanusiaan dan rehabilitasi, yaitu sebesar Rp. 2,19 milyar. Menariknya, penyaluran untuk
ekonomi ini mengalami peningkatan yang sangat signifikan dibanding tahun 2017 yang hanya Rp.
35,3 juta. Angka tersebut barangkali memberikan gambaran bahwa fokus utama IZI adalah
kemiskinan. Hal ini juga terlihat dari proporsi penerima dana zakat yang terbesar adalah fakir
miskin, dengan persentase 83% dari total alokasi dana zakat. Ini berkorelasi dengan pergeseran
program yang dilakukan oleh IZI, yang pada tahun 2019 juga lebih fokus pada permasalahan
kemiskinan di daerah-daerah terpencil. Selain itu, IZI juga memberikan perhatian lebih pada
kemiskinan yang dialami oleh Muslim di luar negeri, seperti di Timor Leste. Menariknya,
sebagaimana yang telah disinggung di bagian sebelumnya, program di luar negeri lebih diarahkan
pada permasalahan yang timbul karena sosial-ekonomi, bukan konflik. Selain itu, alokasi dana
untuk kesehatan dalam dua tahun terakhir (2017-2018) cenderung konsisten.

Berdasarkan pengamatan di media sosial yang dimiliki oleh NU Care-LAZISNU, lembaga


filantropi Islam ini lebih banyak melakukan program kegiatan yang berkaitan langsung dengan
individu, khususnya program-program yang bersifat santunan (charity) seperti pengobatan
penyakit tertentu, santunan untuk korban kebakaran, santunan untuk anak yatim dan lanjut usia,
bedah rumah, bantuan logistik untuk korban bencana, bantuan air bersih, dsb. Meski demikian,
NU Care-LAZISNU juga melakukan program yang bersifat pemberdayaan (empowerment)

283 | L a p o r a n A k h i r
namun tidak sebanyak program santunan, seperti bantuan modal usaha dan pelatihan
kewirausahaan.

Tabel 3. Implementasi Program NU-Care LAZISNU Tahun 2019


Pilar Program
Bantuan kesehatan untuk pasien, pemeriksaan dan pengobatan
Kesehatan
gratis, pemberian susu UHT (gizi), Khitanan, bantuan air bersih
Beasiswa santri berprestasi, Beasiswa kader, Beasiswa Nu Care
Pendidikan
(mahasiswa), Santri mengabdi goes to Papua
Sembako untuk fakir miskin (dhuafa), Santunan untuk yatim dan
lansia, bedah rumah, bantuan modal usaha untuk individu,
Ekonomi pendampingan dan pemberdayaan komunitas difabel, pelatihan
kewirausahaan anak jalanan, pemberdayaan ekonomi dalam bidang
pertanian (penyediaan lahan, tanaman, dan ternak kambing)
Dapur umum, bantuan pangan, bantuan masker, bantuan air bersih
dan buah-buahan, pelayanan pengobatan, bantuan al Qur'an,
Siaga Bencana
bantuan pembangunan Masjid, bantuan hunian sementara dan
sanitasi,
Program lain Bedah mushola, bantuan untuk sekretariat PCINU Maroko
Sumbangan pembebasan TKI dari hukuman mati, Pembangunan
Program di
Rumah Sakit Indonesia Hebron di Palestina, Peduli kemanusiaan di
Luar Negeri
Yaman (kelaparan dan gizi buruk)
Sumber: Akun Media Sosial NU Care-LAZISNU

Program kerja LAZISMU diselaraskan dengan visi Muhammadiyah 2020, yaitu kehidupan
sosial ekonomi umat yang berkualitas sebagai benteng atas permasalahan kemiskinan,
keterbelakangan, dan kebodohan.346 Karena itu LAZISMU memberikan perhatian pada program-
program yang berkaitan dengan sosial-kemanusiaan dan pendidikan. Beberapa program sosial-
kemanusiaan LAZISMU di antaranya penaggulangan kebencanaan (respon, rehabilitasi, dan
rekontruksi), permasalahan kemanusiaan (bencana, kelaparan, konflik sosial, dan peperangan),
pembangunan sanitasi dan air bersih, serta akses listrik bagi masyarakat miskin. Sementara

346
LAZISMU. Laporan Tahunan 2018.

284 | L a p o r a n A k h i r
beberapa program pendidikan, di antaranya program beasiswa 1.000 sarjana, beasiswa untuk yatim
dan kurang mampu, beasiswa untuk persiapan kuliah di luar negeri, peningkatan kapasitas dan
kesejahteraan guru, hingga melengkapi sarana dan prasarana pendidikan. Selain itu, LAZISMU
juga cukup konsen pada isu-isu kesehatan nasional, seperti permasalahan stunting, gizi balita, dan
TBC.

Sebagai sebuah lembaga kemanusiaan global, ACT fokus terhadap kebencanaan, konflik
dan peperangan, kelaparan dan kekeringan, serta penindasan pada kelompok minoritas. Meskipun
demikian, lembaga ini juga melakukan santunan lainnya yang tidak terkait dengan beberapa
peristiwa di atas, khususnya di Indonesia seperti distribusi beras untuk santri, bantuan biaya
pengobatan untuk penderita penyakit tertentu, distribusi beras gratis, dsb. Dalam level
internasional, berdasarkan publikasi di website ACT, lembaga ini telah menjangkau 76 negara di
dunia.

Tabel 4. Penyaluran dana ACT


Tahun
Penyaluran Dana
2017 2018

Penyaluran Dana Kemanusaan


Bantuan darurat bencana Rp 18,292,394,387.00 Rp 194,927,270,292.00
Pengembangan komunitas Rp 26,483,756,775.00 Rp 44,065,878,933.00
Bantuan kemanusiaan global Rp 104,660,035,772.00 Rp 115,904,478,442.00
Edukasi dan mitigasi bencana di Indonesia Rp 584,051,438.00 Rp 997,138,511.00
Edukasi dan pemberdayaan MRI Rp 2,941,106,422.00 Rp 3,653,754,127.00
Qurban & aqiqah Rp 20,735,557,879.00 Rp 6,324,836,810.00
Wakaf Rp 4,375,578,044.00 Rp 6,502,207,271.00
Beban penyusutan aset Rp 921,844,250.00 Rp 1,431,918,919.00
Bagian dana pengelolaan dana kemanusiaan Rp 65,282,347,540.00 Rp 135,227,719,575.00

Penyaluran Dana Zakat


Fakir Miskin Rp 3,533,530,066.00 Rp 29,410,000.00
Fisabilillah Rp 4,119,436,518.00 Rp 203,910,403.00

Amil Rp 104,150,520.00

Muallaf Rp 2,000,000.00

285 | L a p o r a n A k h i r
Bagian Amil atas dana zakat Rp 582,493,518.00 Rp 480,000.00
Total Rp 252,618,283,129.00 Rp 509,269,003,283.00
Sumber: Laporan Keuangan ACT, 2018.

Pada tahun 2018, lebih dari 50% dana yang disalurkan oleh ACT (untuk program dan di
luar bagian pengelolaan) adalah untuk bantuan darurat kebencanaan (52,3%). Persentase ini naik
sangat signifikan jika dibandingkan dengan tahun 2017 yang hanya 10%. Tentu, ini sangat
berkaitan dengan banyaknya peristiwa bencana dalam skala besar yang terjadi di Indonesia.
Sementara itu, untuk bantuan kemanusiaan ke luar negeri (global), pada tahun 2017 persentasenya
sebesar 31%. Menariknya, persentase ini cenderung menurun dari tahun sebelumnya yang
mencapai 56%. Dengan demikian, terlihat bahwa pada tahun 2017 alokasi program kemanusiaan
global lebih besar dari darurat kebencanaan.

Alokasi untuk pengembangan komunitas adalah yang terbesar kedua dengan persentase
12%, baik pada tahun 2017 maupun 2018. Sementara itu, alokasi untuk qurban & aqiqah serta
wakaf pada tahun 2018 masing-masing sebesar 2%. Alokasi untuk edukasi dan mitigasi bencana
di Indonesia tahun 2018 juga cenderung meningkat seiring dengan peningkatan bantuan darurat
kebencanaan. Sementara itu, untuk alokasi dana zakat tahun 2018 cenderung mengalami
penurunan jika dibandikang dengan tahun 2017. Hal ini sesuai dengan penurunan penerimaan dari
dana zakat. Pada tahun 2018, untuk alokasi dana zakat hanya disalurkan pada fakir miskin dan
fisabilillah dengan persentase pada fisabilillah lebih besar.

ACT konsen dengan permasalahan yang menimpa kelompok Muslim di level


internasional. LAZISMU dan NU Care-LAZISNU dalam konteks tertentu juga cukup intens
memberikan perhatian pada permasalahan yang terjadi di luar negeri. Permasalahan di Rohingya
misalnya, baik ACT, Rumah Zakat, IZI, LAZISMU, maupun NU Care-LAZISNU mengirimkan
bantuan ke lokasi tersebut. Namun, ketika Rumah Zakat, LAZISMU, dan NU Care-LAZISNU
bersama-sama menyalurkan bantuan melalui Aliansi Kemanusiaan Indonesia (Indonesia

286 | L a p o r a n A k h i r
Humanitarian Alliance), ACT lebih memilih bekerja di luar IHA, padahal awalnya ACT juga
merupakan salah satu anggota IHA, namun memilih untuk keluar dari organisasi tersebut.347

Kesimpulan
Tren perkembangan dana filantropi Islam khususnya yang dikumpulkan oleh Lembaga
Amil Zakat dalam tiga tahun terakhir menunjukkan performa yang mengesankan, dengan rata-rata
pertumbuhan sekitar 30,4% pertahun. Jika dilihat berdasarkan kontribusi perolehan dana secara
nasional maka ada empat LAZ terbesar, yaitu Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, NU Care-LAZISNU,
dan LAZISMU. Secara umum penghimpunan dana keempat lembaga amil zakat juga
menunjukkan tren positif. Lebih spesifik, setelah LAZISNU melakukan rebranding menjadi NU
Care-LAZISNU kinerja penghimpunan dananya sangat mengesankan. Meski demikian, jika
dilihat dari nilai perolehan dananya, maka dua lembaga filantropi moderat masih cukup jauh di
bawah ACT.

Data di lapangan menunjukkan bahwa ACT, Rumah Zakat dan IZI lebih mendapatkan
dukungan dari perusahaan-perusahaan milik pemerintah, seperti PLN dan Pertamina. Sedangkan
LAZISMU dan NU Care-LAZISNU lebih mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sipil, seperti
Buddha Tzu Chi dan kegiatan amal yang dilakukan oleh penyanyi Didi Kempot (almarhum) dan
Kompas TV. Selain itu, dalam hal lingkup kerjasama dan kolaborasi ACT adalah yang paling luas
baik skala nasional maupun internasional, dibanding dengan empat lembaga lainnya. Dalam
memobilisasi dana, RZ, NU Care-LAZISNU dan LAZISMU cenderung memiliki kemiripan
narasi, yaitu menggunakan teks-teks keagamaan dan menampilkan program yang sedang atau
sudah dijalankan. Sementara ACT menampilkan peristiwa yang sedang terjadi, dan tidak jarang
menampilkan foto yang menggambarkan penderitaan yang dialami oleh umat Muslim atas
kekejaman yang dilakukan oleh pihak lain.

Jika dilihat berdasarkan alokasi dana infak terikat, RZ memberikan perhatian yang lebih
ke sektor pendidikan sedangkan IZI pada ekonomi dan kesehatan. Sementara NU Care-LAZISNU
lebih pada kegiatan yang bersifat charity sedangkan LAZISMU lebih pada sosial-kemanusiaan
dan pendidikan. Terakhir, ACT fokus dalam penanganan permasalahan kemanusiaan yang terjadi

347
IPAC, “Indonesia and the Rohingya Crisis”, IPAC Report No. 46 (2018).

287 | L a p o r a n A k h i r
dalam negeri, namun perhatian pada dunia Muslim di luar negeri agaknya memiliki proporsi yang
lebih besar.

288 | L a p o r a n A k h i r
Referensi
Bamualim, Chaider S. dan Najib, Tuti A. 2005. Pos Keadlian Peduli Umat (PKPU): Fenomena
Educated Urban Muslim dan Revivalisasi Filantropi, dalam Revitalisasi Filantropi Islam:
Studi Kasus Lembaga Zakat dan Wakaf di Indonesia. ed. Chaider S. Bamualim dan Irfan
Abubakar. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah, 2005.
Fauzia, Amelia. Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia. Leiden: Brill,
2013.
Firdaus, Muhammad, dkk. Economic Estimation and Determinations of Zakat Potential in
Indonesia. IRTI Working Paper Series, WP#1433-07, 2012.
KNKS. “Pemerataan Zakat untuk Kesejahteraan Masyarakat.” Insight: Buletin Ekonomi Syariah,
Agustus 2019.
Latief, Hilman. Melayani Umat: Filantropi Islam dan Ideologi Kesejahteraan Kaum Modernis.
Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2018.
Latief, Hilman, dkk. Perilaku dan Potensi Filantropi Warga Muhamamdiyah (Studi 11 Kota Besar
di Indonesia.
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/2205/Laporan%20Survei%20La
zismu_2015.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Rahmadi., Mahmudi, Yon, dan Syauqillah, Muhammad. 2018. The Humanitarian Assistance Role
of Aksi Cepat Tanggap (ACT) Toward Victims of Syrian Conflict in Syria and Turkey
from 2012 to 2018. ICSGS, DOI:10.4108/eai.24-10-2018.2289675.

Baznas. Statistik Zakat Nasional 2017.


Dompet Dhuafa. Annual Report 2004. https://publikasi.dompetdhuafa.org/download/laporan-
tahunan-dompet-dhuafa-tahun-2004/
IZI. Laporan Keuangan 2017.
LAZISMU. Laporan Tahunan LAZISMU 2018.
NU Care-LAZISNU. Annual Report 2018.
Rumah Zakat. Laporan Tahunan 2018.
Yayasan Aksi Cepat Tanggap. Laporan Keuangan 2018.
IPAC. Indonesia and the Rohingya Crisis. IPAC Report No. 46, 2018.
IPAC. Explaining Indonesia’s Silence on the Uyghur Issue. IPAC Report No. 57, 2019.

289 | L a p o r a n A k h i r
https://pid.baznas.go.id/laz-nasional/
https://pks.id/content/kepengurusan
https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-960404/pks-sanding-abu-syauqi-karena-popularitas-
dan-netralitas-calon
https://www.tribunnews.com/nasional/2018/04/17/presiden-act-krisis-pengungsi-dunia-sudah-
didesain,
http://kabsemarang.pks.id/2014/08/kemunafikan-di-gemuruh-peduli-palestina.html
https://www.radiorodja.com/27724-%E2%81%A0%E2%81%A0%E2%81%A0bantuan-200-ton-
beras-dari-pendengar-dan-pemirsa-rodja-telah-dikirimkan-kepada-pengungsi-rohingya/,
https://kumparan.com/optimizer-act/act-dan-turkiye-diyanet-vakfi-tdv-distribusikan-bantuan-
untuk-warga-terdampak-1sq7MrpwMSg
https://www.gatra.com/detail/news/433025/internasional/act-jamin-donasi-ke-suriah-
sepenuhnya-untuk-kemanusiaan
https://wartakota.tribunnews.com/2017/07/15/tahun-ini-lazismu-himpun-zakat-rp-78-m
https://republika.co.id/berita/dunia-islam/wakaf/18/01/04/p1zwi9423-penghimpunan-zis-
lazismu-meningkat-pesat-di-2017
https://news.act.id/berita/mercy-relief-singapura-kembali-bantu-penyintas-banjir-lebak,
https://aceh.tribunnews.com/2020/07/23/act-akan-salurkan-2800-ekor-hewan-kurban-dari-turki-
ke-seluruh-aceh
https://www.globalgiving.org/donate/12342/aksi-cepat-tanggap-act-foundation/
https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/07/17/lazismu-sulsel-gelar-baksos-bersama-yayasan-
buddha-tzu-chi/
https://www.tribunnews.com/ramadan/2019/05/19/nu-care-dan-buddha-tzu-chi-bagikan-paket-
cinta-kasih-ke-warga-sekitar-unusia-bogor
https://www.nu.or.id/post/read/118814/pbnu-terima-bantuan-alat-penanganan-covid-19
https://www.antaranews.com/berita/1374278/pertamina-act-semprot-disinfektan-sejumlah-spbu-
di-yogyakarta,
https://www.antaranews.com/berita/1386306/pertamina-act-diy-siapkan-wastafel-portabel-di-
pasar-yogyakarta, https://metrontb.com/32879/ntb/pertamina-dan-act-serahkan-bantuan-apd-
untuk-tenaga-medis-rsud-ntb/

290 | L a p o r a n A k h i r
https://news.act.id/berita/atasi-dampak-covid-19-pertamina-bersama-act-distribusikan-1-800-
paket-sembako-untuk-lansia
https://news.act.id/berita/pln-ikut-antisipasi-penyebaran-covid-19-di-priangan-timur, dan
https://makassar.antaranews.com/berita/177040/pln-punagaya-gandeng-act-sulsel-salurkan-
swab-booth-ke-rsud-kota-makassar
https://republika.co.id/berita/qcspmy380/usaha-binaan-ybm-pln-up3-dan-rumah-zakat-kembali-
bergeliat
https://www.kompas.com/hype/read/2020/04/23/183543866/bersama-didi-kempot-kompastv-
salurkan-donasi-konser-amal-kepada-33850-kk?page=all
https://napoleoncat.com/stats/social-media-users-in-indonesia/2020/06

291 | L a p o r a n A k h i r
Filantropi Islam Lokal:
Kontestasi Ruang Kedermawanan
Ahmad Fadli Azami

Pengantar

Trend filantropi di tanah air menarik untuk diteliti. Filantropi di Indonesia memiliki sejarah yang
cukup panjang dalam melayani masyarakat miskin. Filantropi berbasis agama (Islam) telah
mengalami perubahan yang cukup radikal di Indonesia. Fauziah mengatakan bahwa kegiatan
berderma di kalangan umat Islam telah berlangsung lama dan mendapatkan legitimasi kuat dari
sisi teologis hingga hari ini. Jauh sebelum berdirinya republik Indonesia, kegiatan berderma telah
dipraktikkan oleh organisasi masyarakat seperti NU dan Muhammadiyah yang hingga hari ini
masih terus memperkuat diri dengan lembaga formalnya.

Faktanya, kegiatan berderma mendapatkan respon yang baik dari masyarakat. Pada tahun
2018, Charities Aid Foundation (CAF) menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di
dunia (Alif 2020). Dan secara potensi, berdasarkan laporan yang dihimpun dari Badan Amil Zakat
Nasional (BAZNAS), potensi zakat di Indonesia dari 2015-2019 tidak pernah berada di bawah Rp
200 triliun (lihat puskasbaznas.com). Jumlah itu belum termasuk sumber penghimpunan lain
seperti infaq, sedekah dan program filantropi lainnya.

LAZISMU dan NU-CARE LAZISNU bukan lembaga filantropi independen. Dalam arti,
mereka mewakili organisasi masyarakat yang memiliki visi dakwah. Berbeda dengan lembaga
filantropi lain seperti Dompet Dhuafa yang dibentuk menjadi lembaga profesional yang fokus pada
program fundraising. Artinya, meskipun tetap berada di bawah panji ormas, peran LAZISMU dan
NU-CARE LAZISNU dalam filantropi sangat penting. Setidaknya dari sisi massa sangat besar dan
potensial. NU dan Muhammadiyah adalah dua ormas Islam terbesar di Indonesia bahkan dunia.

NU-Care Lazisnu

Menurut Suwardi berdirinya NU tidak lepas dari praktik berderma dari para anggota dan
simpatisan Nahdliyin. Perjalanan filantropi Islam di Nahdlatul Ulama secara konsisten

292 | L a p o r a n A k h i r
didakwahkan dan disosialisasikan dan ini menjadi komitmen semua warga Nahdliyin dalam
memeluk ajaran Islam sampai sekarang. Kebangkitan zakat dan gairah perzakatan di Indonesia
pun tumbuh. Atas dasar Undang-Undang Zakat nomor 38 tahun 1999, lembaga amil zakat, infak
dan sedekah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) dibentuk oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di
Donoyudan Solo tahun 2005. Dari situ perkembangan filantropi Islam di tubuh Nahdlatul Ulama
juga mengalami perkembangan yang menggembirakan. (Suwardi, 2017).

Sejak diresmikan, LazisNU mengalami pertumbuhan dari sisi pengumpulan dana di mana
setiap tahun berhasil memperoleh Rp 800 juta selama rentang tahun 2004-2010. Pada periode
selanjutnya (2010-2015) perolehan semakin signifikan di mana rata-rata pertahun mampu
mendapatkan Rp 6 miliar (Suwardi, 2017). Harian Republika (04/01/2018) mencatat pengimpunan
dana ZIS sepanjang 2016 mencapai sekitar Rp 59 miliar. Pada 2017 ada peningkatan
penghimpunan ZIS yang sekurang-kurangnya Rp 118 miliar sudah pasti tercapai.

LazisNU, yang kemudian mengubah branding dengan NU-CARE LAZISNU, terus


bertransformasi ke arah yang lebih baik. NU-CARE LAZISNU menerapkan Sistem Manajemen
ISO 9001:2015, yang dikeluarkan oleh badan sertifikasi NQA dan UKAS Management System
dengan nomor sertifikat: 49224 yang telah diterbitkan pada tanggal 21 Oktober 2016. Dan dengan
itu, secara administratif, NU-CARE LAZISNU menjadi lebih modern, akuntable, transparan,
amanah, profesional dan memiliki agenda yang jelas (Nucare.id).

Manajemen yang andal sangat diperlukan untuk mengurus agenda-agenda di setiap cabang.
Saat ini NU-CARE LAZISNU memiliki jaringan pelayanan dan pengelolaan ZIS (zakat, infaq dan
sedekah) di 12 negara (seperti Taiwan, Hongkong, Belanda, Korea Selatan, Jepang, Belgia,
Malaysia, Australia, Jerman, Turki dan lain-lain), 34 provinsi, dan 376 kabupaten/kota (Salim,
2019). NU-CARE LAZISNU berposisi sebagai penggalang dana (fundraising) sedangkan
Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) sebagai pelaksana program.
Track record dua lembaga ini telah dikenal luas baik di daerah maupun di level Internasional dalam
penanganan bencana alam atau bencana kemanusiaan.

Geliat filantropi nasional diikuti oleh pengurus di daerah baik di level PWNU, PCNU,
MWC maupun ranting. Daerah seperti Sragen, Bantul, Kulon Progo membuktikan kesuksesan
dalam menjalankan program di tingkat kabupaten/kota. Dengan program utama mereka, Koin NU,

293 | L a p o r a n A k h i r
NU-CARE LAZISNU mampu menggalang dana secara mandiri di masyarakat. Bersamaan dengan
itu terjadi pula reformasi administrasi.

NU-CARE LAZISNU Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarat, pada tahun 2013
melaporkan hasil penerimaan zakat, infaq dan sedekah (ZIS) sebesar Rp 18.000.000. Penataan
manajemen membuat mereka berhasil meningkatkan penerimaan ZIS. Laporan terakhir
menyebutkan penerimaan ZIS pada tahun 2019 sebesar Rp 6.879.378.477. Laporan lain dari
Bantul total omset KOIN NU se Kabupaten Bantul dari Januari sampai November 2018 sebanyak
Rp. 5.031.842.235 yang didapat dari 17 Kecamatan. Pada tahun yang sama masing-masing
Kecamatan telah memiliki unit mobil ambulance untuk program kesehatan masyarakat.

Koin NU berawal dari inisiatif Kiai Ma’ruf Islamuddin untuk mengajak Nahdliyin
berinfaq. Membagikan 600 kotak amal yang disebar ke Nahdliyin, pada tahun 2015, berhasil
terkumpul dana Rp. 7 juta. Antusias yang besar dari warga Nahdliyin di Sragen membuat pengurus
NU terus mematangkan program Koin NU. Diperkirakan perolehan pertahun kurang lebih Rp 5
miliar. Keberhasilan mengelola Koin NU diakui oleh Pengurus Besar Nahlatul Ulama (PBNU)
dan saat ini telah menjadi program nasional NU. Kota-kota lain seperi Bantul, Kulon Progo,
Cirebon turut serta menjalankan program Koin NU.

Muhammadiyah-LAZISMU

Di sisi lain, Muhammadiyah memiliki sejarah gerakan filantropi yang cukup tua.
Berdasarkan catatan Fauziah (2020) Muhammadiyah sudah melakukan aktivisme sosial seperti
memberikan pendidikan dan kesehatan pada masyarakat miskin sejak periode pertama
pendiriannya. Potret ini menjadi modal penting bagi generasi selanjutnya untuk mengembangkan
lembaga filantropi modern. Meskipun, secara resmi lembaga amil zakat Muhammadiyah
(LAZISMU) baru dikukuhkah oleh Kementerian Agama pada 21 November 2002 (Latief 2020).

Pada tahun 2015, potensi zakat yang bisa dikumpulkan oleh Muhammadiyah mencapai Rp
525 miliar (lazismujatim.org). Sedangkan menurut Latief, dengan merujuk temuan PIRAC,
potensi zakat Muhammadiyah bisa saja mencapai Rp 3 triliun dengan asumsi rata-rata zakat kaum
muslim Indonesia dijumlah perkiraan warga Muhammadiyah; Rp 124.000 x 30.000.000 (Latief
2010). Meskipun demikian, faktanya tidak selalu sesuai dengan perkiraan. Dari sisi pencapaian,

294 | L a p o r a n A k h i r
pada tahun 2017 LAZISMU hanya mampu mengumpulkan perolehan ZIS Rp 680 miliar
(Republika 04/01/2018).

Banyak keberhasilan yang telah diraih oleh Muhammadiyah dalam menjalankan misi
kemanusiaannya. Fauziah mencatat, pada tahun 2005, Muhammadiyah memiliki 7.488 lembaga
sosial kemanusiaan (meliputi rumah sakit, universitas, sekolah, lembaga keuangan, panti asuhan,
dan fasilitas panti jompo) di samping aset-aset besar lainnya berupa masjid, wakaf, serta cabang-
cabang organisasi lainnya (dari klub bela diri hingga program-progam syiar keagamaan) yang
tersebar di seluruh Indonesia. Pada tahun 2010, jumlah total lembaga yang dimiliki mencapai
11.666, tidak termasuk 11.959 masjid dan mushola serta ratusan ribu wakaf (Fauziah 2019).
Pencapaian ini adalah komitmen Muhammadiyah dalam membantu negara memajukan ekonomi,
pendidikan dan aspek-aspek lainnya.

Filantropi Muhammadiyah dan NU bersama lembaga lain seperti Rumah Zakat, Lazis
Wahdah, Dompet Dhuafa, PKPU, Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhid tergabung dalam
Indonesian Humanitarian Alliance (IHA) melakukan diplomasi internasional untuk
menanggulangi bencana alam dan kemanusiaan yang terjadi di dunia (Azca dkk 2019).

Dalam Rapat Kerja Nasional di Lombok pada tahun 2019 Ketua Badan Pengurus
LAZISMU Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Hilman Latief, memaparkan keberhasilan yang
diraih LAZISMU. LAZISMU berhasil menyabet penghargaan sebagai badan amil zakat terbaik
nasional, peningkatan penghimpunan terbaik nasional, lembaga amil zakat peduli ekonomi ummat
terbaik nasional, dan beberapa prestasi lainnya (Katada.id 06/12/2019). Pengakuan pemerintah
atas keberhasilan mereka adalah bukti bahwa manajemen LAZISMU cukup mumpuni.

Secara kinerja LAZISMU, Pimpinan Pusat Muhammadiyah hanya mengatur program,


struktur, dan aturan sementara filantropinya dipasrahkan pada pengurus daerah. Artinya ada
kewenangan daerah untuk menentukan cara bagaimana filantropi dijalankan (Wawancara dengan
Chafid Seffriyadi, Ketua LAZISMU Cirebon, 06/01/2020). Karena itu daerah memiliki
kewenangan dalam menentukan agenda pengumpulan ZIS dan pengoptimalisasiannya sesuai
kebutuhan mereka. Pengurus Pusat hanya akan memantau jalannya agenda agar sesuai dengan
aturan.

295 | L a p o r a n A k h i r
Pendapatan setiap pengurus kota/kabupaten berbeda-beda. Tergantung pada kondisi
wilayah dan kulturalnya. Pendapatan pertahun di Cirebon pada tahun 2019 mencapai Rp 600 juta
(Wawancara dengan Wira Adirachmansyah, 21/02/2020), LAZISMU Solo Rp 1,2 miliar
(Wawancara dengan Aini 27 Februari 2020), sedangkan Yogyakarta pada tahun 2019 tidak kurang
dari Rp 10 miliar (https://diy.kemenag.go.id/). Dari tiga kota itu terdapat perbedaan dari sisi
pendapatan. Di Solo dan Yogyakarta di mana amal usaha Muhammadiyah tumbuh pesat dan
dikenal sebagai basis Muhammadiyah mampu mengumpulkan dana di atas 1 miliar. Sedangkan di
Cirebon yang menjadi basis Nahdlatul Ulama (NU) masih terlalu sulit bagi Muhammadiyah untuk
mendapatkan hasil di atas Rp 1 Miliar. Meski begitu, secara umum pendapatan itu cukup baik
karena mampu menciptakan kepercayaan publik Cirebon yang berimbas pada naiknya pendapatan
setiap tahun, di samping mereka mampu berkompetisi dengan lembaga lain.

Secara sosiologis, potensi filantropi Islam yang sangat besar di atas tentu akan memicu
lahirnya kompetisi. Jumlah lembaga amil zakat tahun 2000-2005 ada 187 lembaga, mengalami
lonjakan cukup signifikan pada tahun 2018 dengan 231 lembaga. Sedangkan badan amil zakat
pemerintah pada tahun 2000 kurang dari 10 lembaga. Pada tahun 2015 yang secara resmi
menerima SK Kementerian Agama ada 549 lembaga (Fauziah 2018). Hal ini mempengaruhi
distribusi pengumpulan dana ZIS. Sebagai contoh perolehan zakat secara nasional. Lihat tabel
berikut:

Tabel 1

Jumlah Lembaga Amal Zakat dan Perolehannya

No Nama LAZ Dana terhimpun 2017 Persentase


1. LAZ Dompet Dhuafa Rp 271,117,794,574.00 12.35%
2. LAZ Rumah Zakat Rp 227,144,420,906.00 10.34%
3. Lazisnu Rp 200,311,297,875.00 9.12%
4. Lazismu* Rp 111,270,737,168.14 5.07%
5. LAZ Daarut Tauhid Rp 104,198,503,968.00 4.74%
6. Yayasan Rumah Yatim Ar-Rohman Rp 89,467,706,748.00 4.07%
Indonesia
7. LAZ Yatim Mandiri Surabaya Rp 73,140,228,375.00 3.33%

296 | L a p o r a n A k h i r
8. LAZ Yayasan Daarul Qur'an Nusantara Rp 70,758,112,419.00 3.22%
(PPPA)
9. LAZ Inisiatif Zakat Indonesia Rp 69,046,858,205.00 3.14%
10. LAZ Baitulmaal Muamalat Rp 45,903,711,011.00 2.09%
11. LAZ Pesantren Islam Al-Azhar Rp 43,464,539,003.00 1.98%
12. LAZ Yayasan Kesejahteraan Madani Rp 34,216,677,791.00 1.56%
13. LAZ Yayasan Griya Yatim & Dhuafa Rp 27,515,323,109.00 1.25%
14. LAZ Panti Yatim Indonesia Al Fajr Rp 26,864,604,510.00 1.22%
15. LAZ Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia Rp 23,904,367,025.00 1.09%

Dari tabel di atas dapat dipahami persebaran penyerapan zakat, infaq dan sedekah secara
nasional yang berbeda-beda. Peringkat 1 dan 2 adalah lembaga filantropi independen yang mampu
menyerap zakat di atas 10%. Sedangkan NU dan Muhammadiyah menempati peringkat 3 dan 4.

Pemilihan kota Cirebon dan Solo dalam penelitian ini memberikan alasan tersendiri. Bukan
hanya karena dalam pandangan publik Cirebon menjadi basis NU dan Solo adalah basis
Muhammadiyah yang faktanya tidak demikian. Solo dikenal sebagai basis Muhammadiyah karena
kuatnya lembaga amal seperti universitas, rumah sakit dan sekolah dan bukan basis nyata di akar
rumput (Wawancara dengan Mohammad Isnan, Ketua LAZISMU Solo, 03/02/2020). Faktanya, di
akar rumput secara kultural NU juah lebih kuat karena praktik-praktik keagamaan (Wawancara
dengan Mashuri, Ketua PCNU Solo, 22/01/2020).

Tetapi, NU dan Muhammadiyah memiliki posisi dan tantangan yang sama. Mereka
berusaha memperbaiki manajemen lembaga untuk menaikkan posisi tawar di depan massa mereka.
Di sisi lain, sebagai ormas, lembaga filantropi mereka juga secara tidak langsung mengalami
masalah serius. Sebagai ormas yang memiliki jumlah massa besar di daerah-daerah, faktanya, tidak
selalu mudah untuk mengonversi ke dalam perolehan zakat, infaq dan sedekah. Tabel di atas
membuktikan asumsi bahwa meskipun NU dan Muhammadiyah telah berperan besar dalam
membangun bangsa Indonesia tetapi tidak begitu dominan dalam aktivitas filantropi.

Tantangan NU dan Muhammadiyah melalui lembaga filantropinya -NU-CARE LAZISNU


dan LAZISMU- tidak saja pada kecakapan di tataran teknis-operatif. Tetapi, mengimbangi

297 | L a p o r a n A k h i r
kegiatan fundraising dari berbagai kelompok Islam lainnya yang bermuatan politis. Selain
diarahkan untuk misi kemanusiaan, kegiatan berderma NU dan Muhammadiyah harus terus berada
dan mendukung negara untuk mengedepankan sikap moderat dan toleran. Secara konseptual posisi
ini menyulitkan karena ada tarik menarik antara agama di satu sisi dan negara di sisi lain yang bisa
saja berdampak pada sulitnya membangun psikologi umat Islam untuk berpartisipasi atas nama
kemanusiaan dan bukan saja motif agama.

Potret Filantropi Daerah

Di dalam aktivisme filantropi daerah tingkat kabupaten/kota adalah ujung tombak. Seiring
otonomisasi di Indonesia pasca Orde Baru (Orba) yang semakin gencar kewenangan di tingkat
daerah semakin besar. Awal momentum perkembangan filantropi Islam dimulai tahun 1990an,
hingga saat ini pertumbuhan filantropi Islam (lembaga-lembaga amil zakat, infaq, sedekah dan
wakaf) di Indonesia berkembang dengan sangat pesat (Kholis, 2013).

Dinamika filantropi di Cirebon dan Solo memberikan warna yang jelas akan kerumitan
hubungan antar aktor/pelaku baik individu ataupun kelompok. Dari tinjauan ini filantropi bukan
sekadar kegiatan berderma belaka tetapi sekaligus motif, ideologi, kontestasi yang tersembunyi di
baliknya. Alasan inilah yang dalam hal tertentu membuat perbincangan filantropi menjadi sensitif.

Salah satu faktor kuatnya gerakan Islamisme di Solo dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi
aktor/kelompok. Hasil penelitian Ikhwan dan Azca (2015) menunjukkan bahwa para pelaku
kekerasan dan ekstremisme di Yogyakarta dan Solo dapat menjaga persistensi gerakan karena
mereka memiliki sumber daya ekonomi dan finansial melalui gerakan filantropi dan unit-unit
usaha ekonomi (entreprises) yang mereka kelola bersama dalam komunitas maupun perseorangan.

Studi Kafid (2016) menunjukkan pergeseran orientasi gerakan Islam radikal menuju
penguasaan sumber daya ekonomi. Front Pemuda Islam Solo (FPIS) adalah salah satu kelompok
Islam yang memiliki pengaruh kuat di Solo. Mereka aktif melakukan razia atas berbagai bentuk
perilaku yang dianggap sebagai bentuk kemaksiatan, penerapan syariat Islam, di samping terlibat
dalam pengiriman anggotanya untuk berjihad dalam konflik di Ambon. FPIS berkongsi dengan
"sayap Islam" di pemerintahan dan DPRD untuk berbagai bisnis yang sama. Sebagai bagian dari

298 | L a p o r a n A k h i r
kongsi dan jaringan ekonomi-politik, model-model pendekatan "premanistik", seperti teror dan
kekerasan, menjadi praktik keseharian di wilayah Solo dan sekitarnya (Kafid, 2016).

Naiknya wacana populisme Islam yang berawal dari gerakan ‘212’ juga disambut oleh
kelompok Islam di Solo. Pada skala kecil, kelompok Islam memanfaatkan institusi agama (baca:
mushola) untuk memobilisasi umat melakukan pengumpulan dana dengan berbagai tema.
Meskipun, penggalangan dana yang mereka lakukan tidak berdasarkan pada aturan resmi filantropi
(Wawancara Mohammad Isnan, Ketua LAZISMU Solo, 03/02/2020). Jejaring unit-unit usaha
ekonomi kelompok Islamis juga sudah terbentuk di kota Solo yang berpotensi memperbesar
perputaran arus finansial kelompok mereka (Wawancara Mustamar, Ketua PCNU Solo,
22/02/2020).

Konteks Cirebon

(I) Nahdlatul Ulama

Lembaga-lembaga di dalam Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten


Cirebon relatif tertata. Dalam arti satu lembaga seperti NU-CARE LAZISNU tidak merangkap
kerja di lembaga lain, seperti yang terjadi di PCNU kabupaten lain. PCNU Cirebon sudah membagi
kewenangan tugas berdasarkan lembaganya masing-masing

Penataan struktural ini tidak lepas dari perubahan pengurus. Program pertama pengurus
periode 2017-2020 adalah mereformasi lembaga. Sebelumnya NU-CARE LAZISNU sudah
menjadi badan otonom NU tetapi program dan laporannya tidak ada. Akibatnya untuk mengukur
capaian kerja dan program yang sudah dijalankan tidak bisa dilakukan. Struktur kepengurusan
yang baru membuat sistem organisasi yang baru. Pengurus Cabang Lembaga Amil Zakat, Infak,
dan Shadaqah Nahdlatul Ulama (PC LAZISNU) masa khidmat 2017-2022 disahkan melalui surat
keputusan Nomor 15/A.II.04/09/2017. Tugas utama NU-CARE LAZISNU bertugas menghimpun,
mengelola dan menyalurkan zakat dan shadaqah kepada mustahiqnya.

Dengan kondisi yang serba terbatas karena tidak adanya rujukan pada sistem kepengurusan
sebelumnya, periode baru ini berinisiatif membentuk manajemen yang baru. Setelah Surat
Keputusan turun pada bulan Desember mereka mulai membangun sistem. NU-CARE LAZISNU

299 | L a p o r a n A k h i r
hanya fokus pada apa yang menjadi bidang dan program mereka dan tidak merangkap kerja
lembaga lain. Setelah satu bulan bekerja membuat laporan mereka diundang oleh pengurus pusat
NU-CARE LAZISNU untuk melakukan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Koin NU di
Sragen. Koin NU adalah salah satu program nasional yang relatif baru. Pengurus cabang dari
berbagai kota di Indonesia harus mendapatkan undangan dari NU-CARE LAZISNU pusat lebih
dulu agar bisa mengikuti pelatihan Koin NU. Namun sebelum itu NU-CARE LAZISNU pusat
akan melihat track record manajemen pengurus NU-CARE LAZISNU daerah.

NU-CARE LAZISNU memiliki tugas untuk mengoptimalkan potensi zakat, sedekah dan infak.
Jika mengacu pada gugus tugas maka NU-CARE LAZISNU berupaya menghimpun, mengelola
dan menyalurkan zakat dan shadaqah kepada penerima. Dalam praktiknya program zakat belum
menjadi prioritas.

1. Pencapaian Program

Perolehan Zakat, Infaq dan sedekah pada tahun 2019 terekam di data NU-CARE LAZISNU seperti
pada tabel berikut:

Tabel 2: Laporan Tahunan 2019 NU-CARE LAZISNU KAB. CIREBON

No Program Tahun 2019


1 Zakat Rp 9.550.000
2 Infaq Rp 37.300.000
3 Filantropi (kemanusiaan_ Rp 7.248.400
4 Koin NU Rp 415.877.135
Total Rp 469.975.535

300 | L a p o r a n A k h i r
Laporan Tahunan 2019 NU-CARE LAZISNU
IDR 9,500,000
IDR 37,300,000
IDR 7,248,400

IDR
415,877,135

Zakat Infaq Filantropi (kemanusiaan) Koin NU

Koin NU
90.000.000 84.451.755
79.247.700
80.000.000

70.000.000

60.000.000 53.264.500

50.000.000

40.000.000
31.809.000
29.825.000 27.943.800
27.081.880
30.000.000
21.123.500
18.461.800 17.429.600
20.000.000 14.949.300
10.289.300
10.000.000

Bula n

301 | L a p o r a n A k h i r
a. Zakat

Pada bagian zakat mencakup semua zakat pertahun 2019. Dalam praktiknya program zakat
belum menjadi prioritas. NU memang terlibat bekerja sama dengan BAZNAS untuk program zakat
tetapi posisinya sebagai penyalur saja. Perolehan zakat NU-CARE LAZISNU pada tahun 2019
sebesar Rp 9.550.000. Nominal itu merupakan penggabungan dari zakat yang dipercayakan oleh
kemenag Cirebon sebesar Rp 9.000.000. Sedangkan sisanya dari zakat maal pribadi yang masuk
ke rekening NU-CARE LAZISNU. Artinya, zakat ini bukan hasil dari sebuah program kerja yang
terencana di sebuah lembaga seperti NU-CARE LAZISNU.

b. Sedekah

Sedekah adalah salah satu program yang sudah mulai dikerjakan oleh NU-CARE
LAZISNU periode 2017-2022. NU-CARE LAZISNU memiliki gagasan untuk membagikan kotak
amal ke rumah toko (ruko). Menurut Asep (Wawancara, 07/01/2020) dan Mujahidin (Wawancara,
14/01/2020) pemilihan ruko sebagai partner untuk menggalang dana sangat tepat. Ruko-ruko di
masyarakat adalah pusat kapital di mana penjual dan pembeli bertransaksi. Hasil penghimpunan
dari program ini sebesar Rp. 8.698.000. Kunci dari program ini, menurut Asep, adalah manajemen:
menjaring anggota, sistem kerja yang efektif, dan etos kerja. Hasil dari sedekah ini untuk program-
program sosial seperti ekonomi dan pendidikan.

Meskipun program ini potensial dan terbukti mampu memberikan kontribusi positif bagi
NU-CARE LAZISNU, namun hanya berjalan di awal-awal kepengurusan. Hingga hari ini program
sedekah berhenti di tengah jalan karena anggota yang bertugas menyebar (dropping) dan menarik
(collecting) kotak amal mengundurkan diri. Alasan mereka mengundurkan diri adalah anggapan
bahwa kerja di NU-CARE LAZISNU tidak tetap (Wawancara dengan Mujahidin 19/02/2020).

Pada saat peneliti mewawancarai Asep Saepulah (19/02/2020) ada dua anggota
IPNUN/IPPNU yang sedang berbincang mengenai program sedekah. Menurut Asep Saepulah
program sedekah ingin diaktifkan lagi melalui kerja sama dengan IPNU/IPPNU. Ketika
dikonfirmasi oleh peneliti pada tanggal 29 Mei 2020, Naupal –salah satu calon penggerak program
sedekah- memberi keterangan bahwa program itu belum berjalan (Wawancara melalui Whatsapp
29/05/2020).

c. Infaq

302 | L a p o r a n A k h i r
Program infaq NU-CARE LAZISNU senilah Rp 37.300.000. Nominal ini sebenarnya adalah
penggabungan dari infaq yang berasal dari orang langsung yang dikirim melalui rekening senilah
Rp 300.000 dan dari donasi OPM Ramadhan Rp 37.000.000. Infaq pada tabel di atas tentu tidak
termasuk Koin NU meskipun secara konseptual masih tergolong infaq. Tetapi untuk mengetahui
lebih jelas berapa perolehan program infaq yang dibuka untuk umum, dan bukan program khusus
NU secara nasional.

d. Koin NU

Koin NU adalah program utama NU-CARE LAZISNU. Koin NU telah berjalan dengan
melibatkan 7 kecamatan (Dukupuntang, Karangwareng, Depok, Losari, Gebang, Palimanan, dan
Ciwaringin) dengan perolehan yang tidak sama. Perolehan pertahun 2019 adalah Rp 415.877.135.
Dengan perolehan itu, program Koin NU memberikan pemasukan secara signifikan dan mampu
menyuntik dana relatif lebih cepat. Dan program ini masih terus berjalan.

Koin NU memang menjadi program pilar pada periode kali ini. Selain kontribusi yang
besar juga menjadi program yang menjembatani pengurus ranting, MWC dan PCNU. Secara
nominal terjadi pemnbagian hasil yang telah disepakati bersama-sama (40% ranging, 30% MWC,
30% PCNU). Di sisi lain Koin NU menemukan momentumnya yang tepat sebagai program NU
secara nasional yang langsung dikenal oleh massa Nahdliyin di manapun, termasuk di Cirebon.

Pada pembukaan Koin NU di Kecamatan Astanajapura (23/02/2020) KH. Wawan Arwani


Amin, Rois Syuriah PCNU Kab. Cirebon, mengatakan bahwa Koin NU di Jawa Barat fokus pada
pembangunan rumah sakit. Dana yang terkumpul dari ranting akan dikelola untuk kebutuhan di
masing-masing tingkat dan sisanya akan digunakan untuk pembangunan rumah sakit (Observasi
23/02/2020). Sedangkan di tingka kabupaten prioritas Koin NU adalah untuk membeli unit mobil
ambulance (Wawancara dengan Mujahidin 19/02/2020)

2. Program Penyaluran

Progam penyaluran NU-CARE LAZISNU Kab. Cirebon lebih terpola. Dari sisi Koin NU,
misalnya, karena ada pembagian hasil dengan pengurus di tingkat MWC dan ranting untuk
mengelola kebutuhan mereka masing-masing maka penyaluran tidak mengandalkan struktur NU-
CARE LAZISNU Kab. Cirebon. MWC dan ranting memiliki program sendiri seperti santunan
anak yatim, santunan orang meninggal dunia, maupun bantuan bencana alam. Sementara NU-

303 | L a p o r a n A k h i r
CARE LAZISNU Kab. Cirebon lebih fokus pada penguatan lembaga: (1) santunan anak yatim dan
fakir miskin, (2) pembangunan kantor sekretariat MWC di Dukupuntang, Palimanan dan
Ciwaringin, (3) Pengadaan armada siaga, (4) Pengadaan armada siaga (Ambulance).

NU-CARE LAZISNU Kab. Cirebon juga terlibat aktif membantu kebencanaan dengan
menyumbang hasil donasi. Seperti gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat, NU-CARE
LAZISNU Kab. Cirebon memberikan bantuan sebesar Rp 144.826.000 untuk pembangunan
masjid. Di masa pandemi Covid-19 merebak NU-CARE LAZISNU juga mempunyai program
khusus sesuai dengan arahan PBNU, yaitu memberikan bantuan sembako kepada guru ngaji yang
terdampak pandemi. Guru mengaji dinilai sebagai kelompok rentan karena banyak yang
kehilangan sumber ekonomi.

Di sisi ekonomi ada program Kredit Usaha Wirausaha Binaan Nahdlatul Ulama
(WIRABINA NU). Suatu program yang fokus pada pemberdayaan ekonomi masyarakat. Pada
tahun 2018 NU-CARE LAZISNU bekerja sama dengan Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama
(LPNU) tercatat memberikan bantuan modal kepada pedagang sebenar Rp 500.000 dengan skema
bagi hasil. Dari program ini ada belasan pedagang yang mendapatkan manfaat dari program ini
(nucirebon.or.id 13/03.2020).

Program kebencanaan juga memiliki program hampir setiap tahun. Kebanjiran di beberapa
desa di Kabupaten Cirebon yang terjadi setiap tahun menjadi perhatian NU-CARE LAZISNU dan
lembaga terkait untuk memberikan bantuan baik tenaga atau logistik. Bencana kekeringan di
Cirebon juga merupakan fenomena umum ketika musim kemarau tiba. NU-CARE LAZISNU
bersama Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) PCNU Kabupaten
Cirebon dengan mendistribusikan air bersih untuk warga yang terdampak kekeringan.

3. Tantangan

a. Internal NU

Salah satu kendala optimalisasi perolehan ZIS adalah masih banyaknya pesantren yang terafiiasi
ke NU yang tidak mendukung program-program struktural. Mereka bahkan membuat program ZIS
sendiri dengan membuat yayasan. Salah satu pesantren yang terafiliasi ke NU adalah al-Bahjah.
Pesantren ini diasuh oleh da’i terkenal Yahya Zainul Ma'arif atau biasa disapa Buya Yahya.
Pesantren yang dibangun sejak tahun 2008 itu bisa dikatakan maju jika dilihat dari aset

304 | L a p o r a n A k h i r
kepemilikan. Pesantren al-Bahjah memiliki sekolah dengan berbagai jenjang (PAUD, SD, SMP,
SMA), multimedia (Chanel Radioqu, al-Bahjah TV), Ekonomi (BMT, ABStore, ABMart,
ABChicken, ABWater) dengan ratusan produk yang tersebar di kota/kabupaten Cirebon dan kota-
kota sekitarnya. Selain itu, secara sosial pengaruh buya Yahya cukup kuat di Cirebon dan tak
jarang berseberangan dengan NU struktural. Modal sosial itulah yang membuat mobilisasi gerakan
agama dan sosial-ekonomi dapat berjalan. Kiprah dalam dakwah agama berjalan bersamaan
dengan kuatnya lini ekonomi mereka.

Alasan dibalik ketidakmampuan al-Bahjah dan NU untuk membangun misi bersama dalam
mengelola ZIS secara bersama-sama adalah karena posisi ideologis, di samping kemapanan
keduanya sebagai sebuah lembaga. Sering kali buya Yahya berseberangan dengan Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU). Secara terus terang buya Yahya, ustad Idrus Romli dan Kiai Luthfi
Basori mendirikan NU Garis Lurus (NUGL) sebagai tanda ketidakpuasan Said Aqil Siraj menjadi
ketua PBNU.

Di tingkat bawah para kiai NU dan sekolah-sekolah juga melakukan penggalangan ZIS secara
otonom. NU-CARE LAZISNU sebenarnya berharap bisa bekerja sama dengan kiai-kiai di
kampung untuk menyerahkan hasil zakat fitrah ke NU-CARE LAZISNU. Tetapi sampai saat ini
belum bisa terealisasi.

Penggalangan zakat belum dilakukan NU-CARE LAZISNU karena kesulitan pada


elite NU sendiri. Warga Nahdliyin di Kabupaten Cirebon secara kultural sudah
membiasakan diri membayar zakat pada kiai-kiai kampung di mana mereka tinggal.
Kesulitan NU-CARE LAZISNU untuk mengumpulkan zakat dari warga Nahdliyin
mengalami kendala karena banyak kiai tidak koordinatif kepada mereka dengan
menyerahkan zakat kepada badan ZIS yang resmi (NU-CARE LAZISNU). Para kiai
menganggap zakat yang diserahkan pada pribadi mereka itu adalah hak individu.
Sedangkan NU-CARE LAZISNU menilai bahwa pengorganisasian zakat dari
masyarakat melalui kiai itu harus dikelola dengan baik agar bisa diarahkan untuk
program yang lebih besar. Hanya saja ada yang memberikan zakat profesi kepada
NU-CARE LAZISNU tetapi sifatnya personal. Artinya berdasarkan kesadaran
individu. Alasan lainnya adalah karena minimnya sumber daya sementara potensi
zakat sangat besar. NU-CARE LAZISNU sudah melakukan open rekrutmen kepada
siapapun yang ingin secara profesional bekerja. Tetapi belum optimal (Wawancara
dengan Asep Saepulah, 07/01/2020, dan Mujahidin, 14/01/2020).
b. Manajemen

305 | L a p o r a n A k h i r
Suatu kasus kontroversial terjadi di Majelis Wakil Cabang NU Losari. Menurut Maman
Sulaeman –sekretaris MWC Losari- PCNU telah membagikan masing-masing desa di losari
dengan 500 kaleng yang siap diedarkan ke masyarakat. Namun NU ranting Desa Kalisari memiliki
inisiatif dengan menambah jumlah 400 kaleng untuk mereka sendiri. Hal ini akan berdampak pada
uang setoran ke MWC dan PCNU yang hanya dibagi berdasarkan 500 kaleng tersebut. Sedangkan
400 kaleng tambahannya mutlak menjadi pengelolaan ranting NU Desa Kalisari. Pengurus ranting
NU Desa Kalisari menilai kebijakan itu sah sepanjang tidak menyalahi aturan dasar koin NU dan
di sisi lain kebutuhan yang besar untuk membiayai program-program masyarakat desa. Salah satu
program yang sudah dijalankan ranting adalah santunan bagi orang yang meninggal dunia dan
orang sakit. Akan tetapi, kebijakan ini menimbulkan polemik di antara pengurus ranting lain
karena menurut mereka hal tersebut tidak diatur dalam program kerja MWC dan PCNU Cirebon.
Agenda ranting akan terfokus pada perolehan bagian mereka sendiri dan mengabaikan agenda
utama koin NU secara kelembagaan (Wawancara dengan Maman Sulaeman, 11/01/2020). Ketika
peneliti mengonfirmasi ke pengurus LAZISNU PCNU Kabupaten Cirebon mereka tidak
mengetahui hal tersebut dan hanya memberikan jawaban bahwa jika penambahan kaleng itu
mengatasnamakan Koin NU maka yang dilakukan mereka adalah salah tetapi jika kaleng tersebut
tidak mengatasnamakan Koin NU maka hukumnya boleh. Di sini tampak ada kelonggaran aturan
yang tidak melihat secara mendalam bagaimana filantropi dikelola.

Di balik pencapaian Koin NU yang luar biasa ada persoalan manajemen. Sebagai contoh,
Koin NU secara nasional mengandalkan fatayat untuk menyebar kaleng dari rumah ke rumah.
Tetapi penggerak program Koin NU di MWC Losari adalah IPNU. Alasannya IPNU/IPPNU,
organ dan pengurus ranting yang lain bisa menggerakkan Koin NU. Selain itu masih banyak MWC
yang menyetorkan hasil perolehan Koin NU tidak melalui Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sesuai
prosedur sehingga menyulitkan petugas NU-CARE LAZISNU.

c. NU dan Baznas

Asep Saepulah menceritakan bahwa program zakat di NU-CARE LAZISNU belum berjalan. Baru
ada kerja sama dengan BAZNAS untuk penyaluran. NU-CARE LAZISNU menerima dana kurang
lebih 150 juta dari BAZNAS untuk mendirikan NU-Mart. Pengurus NU-CARE LAZISNU diminta
untuk mencari pesantren yang potensial bagi berdirinya NU-Mart. NU-CARE LAZISNU
dilibatkan sebagai lembaga yang menerima penyaluran dana karena telah diresmikan sebagai

306 | L a p o r a n A k h i r
lembaga ZIS. Tetapi dalam praktiknya laporan keuangan dan perkembangan program tidak
melibatkan NU-CARE LAZISNU lagi. Pihak pesantren mengirim laporan langsung ke BAZNAS
tanpa melalui NU-CARE LAZISNU yang notabene sebagai pihak yang bekerja sama langsung
dengan BAZNAS. (Wawancara dengan Asep Saepulah, 21/02/2020).

Asep menganggap program bantuan BAZNAS kepada NU-CARE LAZISNU setengah


hati. Latar belakang mengapa lahir program ini adalah karena kekhawatiran BAZNAS terhadap
kerja sama Departemen Agama (Depag) Kabupaten Cirebon. Depag adalah sumber donatur tetap
bagi BAZNAS yang setiap bulan mengirimkan hasil pemotongan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS)
sebagai zakat. Dana yang terkumpul angkanya tetap sepanjang jumlah PNS yang ada di Depag
sama. Muncul kekecewaan Depag pada BAZNAS karena selama ini keinginannya untuk
mendorong program pendidikan di Kabupaten Cirebon tidak direalisasikan. Alih-alih
mendengarkan aspirasi donatur BAZNAS malah memiliki agenda sendiri yaitu untuk dakwah.
Sementara Depag ingin mengalihkan donasi mereka ke NU-CARE LAZISNU yang mau
berkomitmen menjalankan program-program pendidikan sesuai keinginan Depag. Pada saat itu
NU-CARE LAZISNU tidak memiliki hubungan baik dengan BAZNAS seperti lembaga lain.
Namun rencana ini didengar oleh ketua BAZNAS yang kemudian melaporkan ke Bupati Cirebon.
Bupati Cirebon yang merupakan warga Nahdliyin dan diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) justru memutuskan agar donasi Depag tetap mengalir ke BAZNAS. Untuk mengantisipasi
kerja sama antara Depag dan NU-CARE LAZISNU di kemudian hari BAZNAS memberikan
program ekonomi berupa pendirian NU-Mart (Wawancara dengan Asep Saepulah, 21/02/2020).

d. Institusi Pendidikan

Pola pengelolaan zakat di level sekolah menjadi catatan sendiri. Lembaga-lembaga sekolah seperti
Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) yang berada di
bawah Kementerian Agama (Kemenag) menyerahkan hasil pengelolaan zakat kepada kemenag.
Di satu sisi kebijakan ini sesuai dengan aturan yang sudah dibuat. Tetapi di sisi lain, dari sudut
pandang organisasi masyarakat kebijakan ini menyulitkan NU untuk mengoptimalisasi zakat.
Skema ini tidak memungkinkan NU struktural untuk menyerap zakat dari bawah.

e. Publikasi

307 | L a p o r a n A k h i r
NU-CARE LAZISNU Kab. Cirebon memiliki 4 anggota yang bertugas mempublikasi program
penyaluran atau penggalangan dana. Menurut Asep divisi ini masih belum bekerja secara
maksimal. Hal ini akan berdampak pada kepercayaan publik atas kinerja NU-CARE LAZISNU
Kab. Cirebon. NU-CARE LAZISNU Kab. Cirebon berharap bisa membenahi publikasi
secepatnya. Publikasi sangat penting karena akan meningkatkan kepercayaan publik (Wawancara
Asep Saepulah 26/07/2020)

(II) MUHAMMADIYAH

1. Pencapaian program

LAZISMU Kab. Cirebon memiliki target tahunan. Wira menuturkan bahwa target LAZISMU
tahun 2019 di atas Rp. 700.000.000. Namun yang berhasil dikumpulkan adalah 600 juta. Dari
laporan tahunan perolehan program zakat dan infaq relatif berjalan. Meskipun fokus pada program
zakat tetapi perolehan yang paling besar tetap program infaq.

Tabel 3: Penerimaan ZISKA Tahun 2019

No ZISKA 2019
1 Hibah Rp 2.560.000
2 Infaq Rp 446.052.587
3 Zakat Fitrah Rp 41.959.000
4 Zakat Maal Rp 142.480.175
5 Kemanusiaan Rp 37.894.400
Total Rp 670.946.162
Sumber: Laporan Tahunan 2019 LAZISMU Kab. Cirebon

Penerimaan ZISKA dalam Grafik

308 | L a p o r a n A k h i r
Sirkulasi Keuangan
500.000.000

Infaq, 446.052.587
450.000.000

400.000.000

350.000.000

300.000.000
Jumlah

250.000.000

200.000.000
Zakat maal,
150.000.000
142.480.175

100.000.000
Zakat fitrah, Kemanusiaan,
50.000.000 41.959.000 37.894.400

Hibah, 2.560.000
0
Zakat fitrah Zakat maal Infaq Kemanusiaan Hibah
Uraian

Sumber: Diolah dari Laporan Tahunan 2019 Lazismu Kab. Cirebon

Tabel 4: Zakat Tahun 2016-2019

Tahun Zakat Fitrah Zakat Maal Total


2016 Rp 40.002.000 Rp 12.291.000 Rp
52.293.000
2017 Rp 28.032.000 Rp 19.339.225 Rp
47.371.225
2018 Rp 49.617.000 Rp 34.113.675 Rp
83.730.675
2019 Rp 41.959.000 Rp 142.480.175 Rp
184.439.175
TOTAL Rp 159.610.000 Rp 208.224.075 Rp
367.834.075
Sumber: Laporan Tahunan 2019 LAZISMU Cirebon

309 | L a p o r a n A k h i r
Zakat dalam Grafik

Zakat LAZISMU Tahun 2016-2019


IDR 160,000,000 IDR 142,480,175
IDR 140,000,000
IDR 120,000,000
IDR 100,000,000
IDR 80,000,000
IDR 60,000,000 IDR 46,617,000 IDR 41,959,000
IDR 40,002,000 IDR 34,113,675
IDR 40,000,000 IDR 28,032,000
IDR 19,339,225
IDR 20,000,000 IDR 12,291,000

IDR 0
2016 2017 2018 2019

Zakat Fitrah Zakat Maal

Sumber: Diolah dari Zakat tahun 2016-2019 Lazismu Kab. Cirebon

Tabel 5: Infaq Tahun 2016-2019

Tahun 2016 2017 2018 2019 Total


Infaq Rp Rp Rp Rp 446.052.587 Rp 710.892.564
27.493.000 66.108.449 171.237.928
Total Rp Rp Rp Rp 446.052.587 Rp 710.892.564
27.493.000 66.108.449 171.237.928
Sumber: Laporan Tahunan 2019 LAZISMU Cirebon

Infaq dalam Grafik

310 | L a p o r a n A k h i r
Infaq 2016-2019
500000000

450000000
446.056.587
400000000

350000000

300000000
Jumlah

250000000

200000000

150000000 171.237.928

100000000

50000000 66.108.449

2016 27.493.600 2017 2018 2019


0
1 2 3 4
Tahun

Sumber: Infaq tahun 2016-2019 Lazismu Kab. Cirebon

Tabel 6: Hibah dan Kemanusiaan Tahun 2018-2019

Tahun Hibah Kemanusiaan Total


2018 Rp 16.144.000 Rp 140.559.700 Rp 156.703.700
2019 Rp 2.560.000 Rp 37.894.400 Rp 40.454.400
Total Rp 18.704.000 Rp 178.454.100 Rp 197.158.100
Sumber: Laporan Tahunan 2019 LAZISMU Cirebon

Hibah dan Kemanusiaan dalam Grafik

Hibah dan Kemanusiaan


180.000.000

160.000.000
156.703.700
140.000.000

120.000.000
Jumlah

100.000.000

80.000.000

60.000.000

40.000.000
40.454.400
20.000.000
16.144.000 2.560.000
0
Tahun

Sumber: Diolah dari Hibah dan Kemanusiaan Lazismu Kab. Cirebon

311 | L a p o r a n A k h i r
Pendapatan terbesar LAZISMU dari amal usaha. Untuk infak di internal mereka ada Uang
Infak Guru (IUG) dan Uang Infak Karyawan (UIK). Keduanya dipotong sebesar 1% dari gaji guru
dan karyawan yang bekerja di amal usaha mereka. Sedangkan untuk program anak-anak ada
filantropis cilik. Program yang nenargetkan anak-anak ini cukup potensial. Kelompok anak-anak
sangat tepat dari sisi edukasi di mana harapan besar dari program ini adalah menumbuhkan
kesadaran akan berderma. Filantropi cilik itu menyasar TK hingga SMK/SMA. Meskipun
sebenarnya untuk sekolah menengah ada program sendiri yakni filantropi dewasa tetapi karena
kebutuhan teknis kencleng agar dicetak sekalian, maka untuk sekolah menengah tetap memakai
kencleng filantropis cilik. Target LAZISMU sebenarnya menyasar semua jenjang sekolah TK, SD,
SMP, SMA. Tetapi karena SD baru memiliki 1 sekolah jadi belum diberlakukan. Yang paling
potensial adalah TK, SMP, dan SMA. Untuk pembagian hasil program ini adalah 80% diserahkan
ke pihak sekolah itu sendiri dan 20% masuk ke kas LAZISMU. Untuk penyerahan kepada pihak
sekolah itu tidak dalam bentuk uang melainkan program seperti program beasiswa Sang Surya.
Saat ini di Kabupaten Cirebon, Muhammadiyah memiliki 1 Sekolah Dasar, 13 Sekolah Menengah
Pertama, 14 Sekolah Menengah Atas dan 3 Perguruan Tinggi Muhammadiyah (Wawancara
dengan Wira Adirachmansyah, 21/02/2020).

Sedangkan dari luar amal usaha mereka ada 60 donatur yang sudah tetap mengirim zakat
mal dan infak ke LAZISMU. Dari 60 donatur yang aktif setiap bulan mengirim ada 30 orang.
Alasan orang luar memberikan infak dan zakat mal ke LAZISMU adalah karena mereka percaya
dengan LAZISMU. LAZISMU memberikan penjelasan kepada donatur tentang jenis program,
pelaporan keuangan, dan apa saja yang sudah dilakukan. LAZISMU yakin bahwa donatur ingin
mengetahui apa saja yang dilakukan oleh lembaga dengan uang yang sudah dihimpun.
(Wawancara dengan Wira Adirachmansyah, 21/02/2020).

2. Program Penyaluran

Lazismu memiliki agenda penyaluran. Program tersebut antara lain terdiri dari bidang Pendidikan,
Sosial Dakwah, Pemberdayaan Ekonomi dan Kemanusiaan, dan Kesehatan. Pendidikan dan
Kesehatan masih menjadi prioritas LazisMU dan menjadi program yang berlaku secara nasional.

312 | L a p o r a n A k h i r
Pilar Pendidikan
= Beasiswa
Mentari,
Beasiswa Sang
Surya, Peduli
Guru
Pilar Tahunan =
Qurbanmu untuk
Pilar Ekonomi =
Kemanusiaan,
Pemberdayaan
Rendangmu,
UMKM
Bingkisan
Ramadhan
Pilar
LazisMU
Kabupoaten
Cirebon
Pilar Sosial dan
Pilar Kesehatan = Kemanusiaan =
Indonesia Pemberdayaan
Mobile Clinic Difabel,
Indonesia Siaga
Pilar Dakwah =
Pengemban
Amanah, Jumat
Berkah, Beberes
Tajug (Mushola)

a. Pilar Pendidikan = Beasiswa Mentari, Beasiswa Sang Surya, Peduli Guru

Beasiswa mentari memberikan bantuan bagi siswa dari keluarga miskin/dhuafa. Bentuk
bantuannya berupa biaya pendidikan siswa, uang transportasi, uang buku, living cost dll.

Beasiswa Sang Surya adalah program beasiswa yang diberikan bagi seseorang yang sedang
menempuh pendidikan di perguruan tinggi dari berbagai strata. Beasiswa diberikan selama satu
tahun penuh. Cakupan: biaya kuliah, biaya hidup selama menjalani perkuliahan

Peduli guru merupakan apresiasi kepada guru atas pengabdiannya. Sasaran program ini adalah
guru honorer, guru ngaji dan guru sukarelawan

b. Pilar Ekonomi = Pemberdayaan UMKM

Pemberdayaan UMKM adalan program pemberdayaan ekonomi melalui pemberian modal usaha
dan penguatan usaha dengan skema kemitraan kepada individu atau kelompok usaha

c. Pilar Sosial dan Kemanusiaan = Pemberdayaan Difabel, Indonesia Siaga

Pemberdayaan difabel ini adalah program ekonomisasi bagi kelompok penyandang disabilitas.
Sedangkan Indonesia Siaga, bekerja sama dengan Muhammadiyah Disaster Management Center
(MDMC) untuk merespons bencana baik skala lokal maupun internasional. Program ini
memberikan bantuan seperti pada bencana di kecamatan Losari dan Ciledug.
313 | L a p o r a n A k h i r
d. Pilar Dakwah = Pengemban Amanah, Jumat Berkah, Beberes Tajug (Mushola)

Pengemban amanah adalah program khusus Lazisnu Kab. Cirebon khusus untuk warga
Muhammadiyah lanjut usia. Sedangkan jumat berkah adalah program mingguan untuk
membagikan bingkisan makanan pada masyarakat miskin, pengamen, tukang becak.

e. Pilar Kesehatan = Indonesia Mobile Clinic

Indonesia mobile clilic (IMC) merupakan program layanan kesehatan bagi masyarakat dengan
menggunakan fasilitas mobil kesehatan yang multifungsi. IMC merupakan program terobosan
Lazismu Kabupaten Cirebon yang bertujuan membantu masyarakat miskin. Dengan keberadaan
IMC masyarakat bisa mengakses kesehatan secara murah. Menurut penuturan Cahyo Adi Wibowo
mobil ini memang terbuka untuk masyarakat. Seperti ketika sepasang orang tua hendak berjualan
di pasar mengalami kecelakaan. IMC memberikan bantuan agar mereka bisa berobat jalan dengan
menggunakan unit mobil dan memberikan bantuan lain untuk mendukung ekonominya
(Wawancara Cahyo Adi Wibowo ……)

f. Pilar Tahunan = Qurbanmu untuk Kemanusiaan, Rendangmu, Bingkisan Ramadhan

Qurbanmu untuk Kemanusiaan adalah program Lazismu untuk menyatukan potensi umat Islam
Indonesia dalam berkurban. Program ini sebenarnya tidak terpisah dari program lain seperti
Rendangmu yang bertujuan memberikan bantuan daging pada masyarakat miskin.

Bingkisan Ramadhan Lazismu Kab. Cirebon memberikan bingkisan ramadhan berupa paket
sembako untuk hari raya yang diberikan kepada seluruh mustahik rutinan lazismu Kab. Cirebon,
anak yatim piatu, warga fakir miskin.

3. Tantangan

a. Manajemen

LAZISMU memiliki masalah pada Sumber Daya Manusia (SDM). Program-program filantropi
mereka cukup banyak sedangkan ketersediaan SDM yang menggerakkannya sedikit. Apalagi
anggota LAZISMU yang bisa menetap dan mengelola sistem terbilang sedikit. LAZISMU ingin
agar semua dikelola oleh kader Muhammadiyah. Di sisi lain, di Cirebon Muhammadiyah tidak
begitu mendominasi. Kesulitan mencari kader Muhamamdiyah untuk bekerja mengelola filantropi
menjadi kendala besar. Orientasi LAZISMU sesuai dengan garis besar Muhammadiyah yaitu

314 | L a p o r a n A k h i r
dakwah dan tidak menempatkan diri sebagai lembaga filantropi profesional. Karena itu mereka
tidak ingin merekrut tenaga ahli dari luar Muhammadiyah. Tetapi hal ini memiliki resiko yaitu
mereka kesulitan memperbaiki sistem secara cepat. Mereka harus menunggu kader-kader mereka
untuk siap bekerja di LAZISMU (Wawancara dengan Chafid Seffriyadi, 06/01/2020). Kelangkaan
itu bisa dirasakan oleh bagian fundraising seperti Wira. Ia bekerja sendiri untuk mendatangi
donatur dan muzaki dari rumah ke rumah (Wawancara dengan Wira Adirachmansyah, 21/02/2020
& 09/03/2020).

b. Minoritas

LAZISMU memiliki kendala dalam mengumpulkan dana di masyarakat. Yang paling terlihat
adalah ketika melakukan program penghimpunan dana. Masyarakat masih membedakan antara
NU dan Muhammadiyah. Cahyo menambahkan bahwa LAZISMU harus berhati-hati ketika
melakukan fund raising atau terjun langsung ke masyarakat. Cahyo menambahkan bahwa masih
ada sebagian masyarakat yang menganggap Muhammadiyah itu sesat. Namun, LAZISMU secara
khusus dan Muhammadiyah secara umum tetap fokus pada upaya memberi yang terbaik bagi
masyarakat tanpa membedakan latar belakangnya. Hal itu ditunjukkan dengan penerimaan
lembaga amal baik rumah sakit maupun sekolah yang menampung masyarakat dari luar
Muhammadiyah. (Wawancara dengan Cahyo Adi Wibowo, 15/01/2020).

Tema utama yang banyak menarik perhatian masyarakat adalah bencana alam dan bencana
kemanusiaan. Tahun 2018 LAZISMU Kab. Cirebon memperoleh dana dari open donasi sebesar
Rp. 140.559.700. Tetapi pada tahun 2019 mengalami penurunan sangat signifikan dengan hanya
mengumpulkan Rp. 37.894.400. Bantuan kemanusiaan ini sifatnya mengikat dalam arti seluruh
hasil penghimpunan dana hanya diserahkan khusus kepada korban bencana tertentu. Misalnya
penghimpunan dana untuk korban banjir DKI Jakarta hasilnya hanya diberikan untuk masyarakat
yang terdampak banjir. Sementara untuk korban kemanusiaan seperti Rohingya, Uighur, Suriah
memang sangat potensial tetapi harus menunggu perintah dari LAZISMU pusat. Jika pusat tidak
mengizinkan untuk open donasi maka daerah seperti Cirebon tidak akan melakukan. Bencana
kemanusiaan memang harus memperhatikan kebijakan pemerintah. Jangan sampai pemerintah
mengatakan bahwa bencana kemanusiaan adalah berita hoax tetapi LAZISMU justeru open
donasi. Itu akan menjadi blunder bagi lembaga filantropi seperti Muhammadiyah (Wawancara
dengan Chafid Seffriyadi, 06/01/2020). Menurut Cahyo ini adalah karakter filantropi yang

315 | L a p o r a n A k h i r
dijalankan oleh ormas seperti Muhammadiyah yang tidak boleh sembarangan dalam membuka
donasi. Sebagai perbandingan, menurut Cahyo, Aksi Cepat Tanggap (ACT) membuka donasi
seperti turun ke jalan dengan membentangkan spanduk di jalan. Mereka melakukan itu di depan
kantor LAZISMU Muhammadiyah. Di sisi lain LAZISMU justeru harus menunggu perintah dari
pusat (Wawancara dengan Cahyo Adi Wibowo, 15/01/2020).

Konteks Solo

(I) Nahdlatul Ulama Solo

1. Perolehan

NU-CARE LAZISNU Solo mengalami pergantian pengurus pada tahun 2019. Periode sebelumnya
NU-CARE LAZISNU Solo belum mampu menunjukkan capaian dan program yang jelas.
Sehingga, pada periode ini tuntutan untuk memperkuat birokrasi menjadi hal utama. Belum banyak
program yang berhasil diinisiasi oleh NU-CARE LAZISNU.

Sejauh ini baru ada satu MWC yang menjadi pilot project pelaksanaan filantropi yang
dimiliki oleh NU yakni MWC Pasar Kliwon. Sampai saat ini, MWC Pasar Kliwon berhasil
menghimpun dana sebesar 40 juta. Jumlah tersebut merupakan angka yang cukup besar untuk
satuan MWC tetapi kecil untuk setingkat PCNU. Koin NU yang telah dijalankan NU-CARE
LAZISNU menjadi program lain masih memberi masukan bagi kas.

Tabel 7: Jumlah Perolehan Koin NU

No ZIS 2019
1 Zakat Rp 40.000.000
2 Infaq Rp 10.000.000
Total Rp 50.000.000

Melihat perolehan di atas bisa dikatakan kecil mengingat banyak kantong-kantong nahdliyin
seperti pesantren, sekolah dan basis massa yang ada di pedesaan. Melihat beberapa contoh gerakan
donasi yang terjadi di Solo menjadi jelas potensi yang ada sebenarnya sangat besar. Gerakan
donasi ini juga pernah dilakukan oleh NU.
316 | L a p o r a n A k h i r
Penggalangan dana (donasi) NU pernah dilakukan pada saat Apel Akbar Santri Nasional
di Benteng Vastenburg Kota Solo, Jawa Tengah yang diikuti 50 ribu santri Se-Jateng DIY. Donasi
untuk korban bencana alam di Sulawesi Tenggara itu mampu mengumpulkan Rp 110 juta. Tetapi
donasi itu tidak terencana, spontanitas (nu.or.id 21/10/2019). Hal ini membuktikan bahwa program
donasi sebenarnya sangat potensial dilakukan pada acara-acara tertentu. Termasuk acara besar
yang terafiliasi ke NU seperti Haul Habib Ali Al-Habsyi yang mencapai tidak kurang dari Rp 200
miliar (semarang.bisnis.com 09/01/2018).

Ketidakmampuan dalam mengoptimalisasi potensi ZIS berdampak pada program


penyaluran. Sampai saat ini, kegiatan filantropi yang dijalankan hanya berupa pemberian makanan
atau santunan selama bulan Ramadhan dan bersih-bersih masjid. LAZISNU memiliki 1 unit
ambulance untuk membantu masyarakat yang sakit di Solo. Tetapi aset ini adalah hibah dari salah
satu perusahaan di Solo.

2. Tantangan

Keberadaan struktur kepengurusan menjadi vital bagi sebuah organisasi. Ketika peneliti
melakukan observasi di kantor PCNU Solo datang seorang bapak dengan dua anaknya. Mereka
mengaku datang dari Sidoarjo dan ingin pulang ke Cirebon. Karena kehabisan ongkos dan
perbekalan mereka memilih mampir ke kantor LAZISNU dan berharap bisa mendapat bantuan.
Beliau mengaku sebagai Nahdliyin dan seyogyanya mencari bantuan kepada ormas NU. Para
pengurus PCNU meminta mereka untuk menunggu karena ketua LAZISNU sedang di luar kantor.
Beberapa jam kemudian mereka menjelaskan bahwa pengurus LAZIS tidak bisa ke kantor dan
anggota PCNU memberikan bantuan secara perseorangan, bukan lembaga LAZIS. Beberapa hari
kemudian ketika peneliti kembali ke kantor PCNU untuk wawancara baru menyadari bahwa
pengurus LAZISNU belum terbentuk dan masih mencari anggota untuk mengisi posisi-posisi yang
ada.

(II) MUHAMMADIYAH

1. Capaian

LAZISMU merupakan lembaga zakat tingkat nasional yang memiliki fokus pada pemberdayaan
masyarakat melalui pendayagunaan secara produktif dana zakat, infak, wakaf, dan dana
kedermawanan lainnya baik dari perseorangan, lembaga, perusahaan, dan instansi lainnya.

317 | L a p o r a n A k h i r
LAZISMU didirikan oleh PP Muhammadiyah pada tahun 2002 dan dikukuhkan oleh Menteri
Agama Republik Indonesia sebagai Lembaga Amil Zakat Nasional melalui SK No. 457/21
November 2002. Melalui Undang-undang Zakat Nomor 23 tahun 2011, Peraturan Pemerintah
Nomor 14 tahun 2014, dan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 333 tahun 2015,
LAZISMU kembali dikukuhkan sebagai lembaga amil zakat nasional melalui SK Menteri Agama
Republik Indonesia Nomor 730 tahun 2016.

Berdirinya LAZISMU tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor utama seperti fakta
sosial bahwa Indonesia masih diselimuti oleh kemiskinan yang meluas, kebodohan dan indeks
pembangunan manusia yang sangat rendah. Hal tersebut merupakan akibat dan sekaligus sebab
dari lemahnya tatanan keadilan sosial yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian, LAZISMU
diharapkan akan mampu menjadi institusi pengelola zakat yang memiliki manajemen modern yang
dapat menghantarkan zakat menjadi bagian dari penyelesaian masalah (problem solving). Berbekal
budaya kerja amanah, profesional, dan transparan, LAZISMU berusaha mengembangkan diri
menjadi lembaga zakat terpercaya.

Seiring berjalannya waktu, kepercayaan publik pada LAZISMU semakin menguat. Hal ini
tidak terlepas dari upaya LAZISMU yang senantiasa menciptakan program-program
pemberdayaan yang mampu menjawab tantangan perubahan dan persoalan sosial yang ada. Saat
ini, LAZISMU telah tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini memungkinkan
program-program pendayagunaan mampu menjangkau seluruh wilayah secara cepat, fokus dan
tepat sasaran. Struktur kelembagaan LAZISMU terdiri atas Dewan Syariah, Badan Pengawas,
Badan Pengurus, dan Badan Eksekutif.

Metode penggalangan dana yang dijalankan LAZISMU menggunakan 2 cara yakni online
and offline donation. Online donation dilakukan dengan menyebarkan poster dan mengandalkan
kekuatan media untuk menjaring massa dan donasi. Selanjutnya, para donator dapat menyalurkan
donasinya melalui rekening yang sudah disediakan. Sedangkan offline donation dilakukan dengan
menggunakan metode konvensional seperti menggunakan kotak amal yang ditempatkan di lokasi-
lokasi yang strategis, seperti toko dan masjid. Namun demikian, kotak amal juga dapat
ditempatkan di rumah warga. Donasi jenis ini biasanya dilakukan dengan menggunakan kencleng
yang disetorkan setiap bulannya ke lembaga amal zakat terpilih.

318 | L a p o r a n A k h i r
Selain menggunakan kotak amal, lembaga amal zakat juga menggunakan cara door to door
ke rumah warga. Bahkan lembaga amal zakat seperti LAZISMU juga menyediakan fasilitas jemput
donasi. Tujuannya untuk memberikan kemudahan bagi calon pemberi donasi dalam menyalurkan
donasinya. Tidak hanya melalui tiga cara yang sudah dijelaskan sebelumnya, muzaki juga bisa
datang langsung ke kantor lembaga amal zakat. Terakhir, metode pembayaran dapat dilakukan
dengan menggunakan Payment Getaway. Metode ini memberikan kemudahan bagi muzaki dalam
menunaikan zakat dan infak secara online. Hal ini dikarenakan muzaki memiliki beberapa pilihan
metode pembayaran. Jemput donasi dan Payment Getaway baru dijalankan oleh LAZISMU.

Untuk konteks Solo, LAZISMU telah memberikan capaian terbaiknya. Seperti dikutip dari
Republika (2020), LAZISMU menyebut jika filantropi menjadi tulang punggung gerakan Islam
modernis Muhammadiyah khususnya sejak didirikan pada tahun 1912. Salah satu capaian terbaik
yang ditorehkan tercermin dalam perolehan pendapatan yang dimiliki oleh LAZISMU. Tercatat,
pada tahun 2018, LAZISMU memiliki perolehan pendapatan sebesar 1.839.753.620,22. Dana
tersebut terdiri atas dana zakat sebesar 537.775.789,97 dan dana infak sebesar 1.302.977.830,25.
Perolehan pendapatan tersebut mengalami peningkatan dibandingkan tahun lalu. Peningkatan
pendapatan tahun 2018 sebesar 26 persen dari total perolehan pendapatan tahun 2017. Menurut
data yang dimuat di laman editorial Matahati, perolehan pendapatan tahun 2017 sebesar
1.354.454.876,66. Capaian baik tersebut memberikan bukti bahwa LAZISMU memiliki peran
yang cukup signifikan dalam menciptakan kesejahteraan umat. Selanjutnya, dana yang terkumpul
ditasharufkan dalam bentuk program-program yang fokus pada beberapa bidang. Penjelasan untuk
program-program yang dikembangkan akan diuraikan dalam temuan selanjutnya.

Penggalangan dana atau donasi biasanya dilakukan dengan mengusung dua tema utama
yakni kemanusiaan dan bencana alam. Dua tema tersebut menjadi isu utama yang menjadi
perhatian PP Muhammadiyah. Namun pada tahun 2018, LAZISMU mengambil dua isu yang
berbeda yakni pendidikan dan kesehatan. Dua isu tersebut menjadi trademark Persyarikatan
Muhamamdiyah. LAZISMU meyakini jika pendidikan mampu menjadi pemutus mata rantai
kemiskinan. Oleh karena itu, LAZISMU memberikan porsi yang cukup besar untuk segmen
pendidikan. Implementasi cita-cita tersebut diwujudkan dalam pemberian beasiswa untuk siswa
dan mahasiswa.

319 | L a p o r a n A k h i r
Sebagai lembaga amal zakat, LAZISMU membedakan infak yang didapat menjadi dua
jenis yakni infak terikat dan tidak terikat. Pertama, infak terikat. Infak jenis ini biasanya
diperuntukkan bagi saudara kita yang mengalami bencana. Infak terikat juga memungkinkan pihak
amil untuk memotong dana atau infak yang diperoleh sebesar 12,5% dari total donasi yang
diperoleh. Pemotongan donasi tersebut ditujukan untuk membiayai kegiatan operasional
LAZISMU. Selain itu, ada pula distribusi ke wilayah sebesar 5%. Distribusi ini juga ditujukan
untuk membantu menopang kinerja ranting di daerah. Sedangkan infak tidak terikat merupakan
hasil yang didapat dari pemotongan gaji sebesar 20% setiap bulan. Selain dari pemotongan gaji,
infak tidak terikat juga berasal dari sedekah umum.

Penggalangan dana yang ditujukan untuk membantu korban bencana dijalankan dengan
menggunakan sistem infak terikat. Infak terikat memungkinkan amil memotong dana atau infak
yang diperoleh 12,5% untuk pembiayaan kegiatan operasional LAZISMU. Selain itu, ada pula
distribusi ke wilayah sebesar 5%. Sedangkan infak tidak terikat merupakan hasil yang didapat dari
pemotongan gaji sebesar 20% setiap bulan. Sumber pendanaan infak tidak terikat juga berasal dari
sedekah umum. Isu kemanusiaan memang tidak luput dari perhatian LAZISMU. Melalui gerakan
One Muhammadiyah One Response, LAZISMU bersama MDMC dan MPKU berjalan beriringan
mengusung misi kemanusiaan di daerah yang terkena bencana alam sebagai basis penggalangan
dana. Ada beberapa contoh yang dapat diberikan. Pertama, bencana yang menimpa saudara kita di
Rohingnya penghujung tahun 2017 lalu. Pada saat itu, LAZISMU bekerja sama dengan MDMC
dan MPKU bahu membahu secara konsisten mengirimkan tenaga kesehatan terlatih yang setia
mendampingi para pengungsi. Di samping bekerja untuk bencana alam di Rohingnya, LAZISMU
juga bekerja untuk bencana Lombok dan Palu. LAZISMU dan MDMC dan MPKU tetap konsisten
dalam memberikan pelayanan bagi para penyintas. Selain itu, LAZISMU dan MDMC dan MPKU
juga menyebarkan semangat positif untuk mengembalikan semangat masyarakat yang terdampak
bencana.

Hal yang selanjutnya dilakukan dalam pentasharufan ialah implementasi program. Pada
tahun 2019, LAZISMU berupaya untuk meningkatkan porsi pemberdayaan ekonomi melalui
pendayagunaan zakat produktif. Hal ini agaknya cukup berbeda dengan apa yang dilakukan oleh
LAZISMU beberapa tahun yang lalu. Sebelumnya, kegiatan tasharuf lebih difokuskan pada
kegiatan di sektor konsumtif. Hal ini akan sedikit berbeda karena sektor konsumtif akan bergeser

320 | L a p o r a n A k h i r
menjadi sektor produktif. Pergeseran sektor didorong untuk meningkatkan jumlah muzaki.
Pendayagunaan zakat diharapkan kan mampu melahirkan generasi baru yang gemilang. Hal ini
berarti zakat mampu menjadi instrumen pengurai kemiskinan yang efektif untuk dijalankan.

2. Program Penyaluran

Dana yang terkumpul tersebut selanjutnya diwujudkan dalam beberapa program yang terbagi ke
dalam bidang Pendidikan, Sosial Dakwah, Pemberdayaan Ekonomi dan Kemanusiaan, dan
Kesehatan. Program-program ini mengacu pada 13 Rekomendasi Muktamar Muhammadiyah ke-
47 dan isu global yang termaktub dalam 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDG’s.
Sebagai gambaran, perhatikan infografis di bawah ini:

Qurban-Mu =>
Qurban-Mu dan
Tabungan Qurban

Pendidikan dan
Kemanusiaan => Kesehatan =>
Indonesia Siaga Beasiswa Mentari,
dan Beasiwa Sang
Muhammadiyah Surya, dan Layanan
Aid Kesehatan dan
Pilar pengobatan Gratis
Lazismu
Solo

Sosial Dakwah =>


Pemberdayaan
Beasiswa Tahfidz,
Ekonomi => BU
Bedah Rumah, dan
EKA dan Peternak
Mobil Layanan
Binaan
Umat

Pada tahun 2018, Lazismu menjadika isu Pendidikan dan Kesehatan sebagai trademark
Muhammadiyah. Upaya ini dirasa efektif untuk mengurai mata rantai masalah yang menjerat umat.
Oleh karena itu, Lazismu memberikan porsi yang besar dalam hal segmentasi pendidikan. Upaya
tersebut diwujudkan dengan menggulirkan program Beasiswa Mentari bagi pelajar SD-SMA dan
Beasiswa Sang Surya untuk tingkat mahasiswa. Tercatat sudah ada 65 siswa yang mendapatkan
manfaat dari Beasiswa Mentari dan 6 mahasiswa yang mendapatkan beasiswa Sang Surya.

Di bidang kesehatan, Lazismu menggulirkan program Surakarta Mobile Clinic. Program ini
merupakan program pemberian pengobatan gratis bagi masyarakat yang belum mendapatkan akses

321 | L a p o r a n A k h i r
kesehatan dari pemerintah. Kegiatan ini dilakukan secara rutin setiap sebulan sekali bekerja sama
dengan Pimpinan Cabng Muhammadiyah dan Aisyiyah, paramedis dari RS PKU Muhammadiyah
Delanggu dan tentunya relawan Muhammadiyah Surakarta serta beberapa aktivis kemanusiaan
Muhammadiyah dari berbagai perguruan tinggi yang ada di Solo.

Di samping itu, Lazismu juga fokus pada isu kemanusiaan. Melalui Gerakan One
Muhamamdiyah One Response, Lazismu bersama MDMC dan MPKU berjalan beriringan terlibat
dalam kerja-kerja kemanusiaan di daerah-daerah yang terkena bencana alam dan kemanusiaan.
Hal ini seperti yang dilakukan untuk saudara kita di Rohingya di penghujung tahun 2017. Lazismu
bersama MDMC dan MPKU secara konsisten mengirimkan tenaga medis ke lokasi bencana.
Selain itu, Lazismu juga melayani para penyintas bencana alam di Lombok dan Palu.

Selain dua pilar di atas, alokasi dana juga ditujukan untuk meningkatkan pemberdayaan
ekonomi melalui pendayagunaan zakat produktif. Hal ini sedikit berbeda dengan kegiatan tasharuf
pada tahun-tahun sebelumnya. Jika selama ini Lazismu banyak berkutat pada sektor konsumtif,
maka mulai tahun 2019 dan seterusnya Lazismu akan fokus pada sektor produktf. Pendayagunaan
zakat produktif juga diharapkan akan mampu mengurangi jumlah kemiskinan. Di samping itu,
Lazismu juga akan menghidupkan kembali Warung-Mu (Warung Murah) yang sempat terhenti.
Selanjutnya, Warung-Mu akan hadir dengan konsep yang sedikit berbeda yakni menggunakan
konsep Food Truck Humanitarian (FTH). FTH akan berpindah dari satu tempat ke tempat yang
lain.

3. Tantangan

Meskipun menjadi salah satu lembaga amal zakat yang sudah memiliki kredibilitas dan kemapanan
sistem, LAZISMU tetap dihadapkan pada banyak persoalan. Setidaknya, ada dua tantangan besar
yang dihadapi oleh LAZISMU yakni tantangan internal dan eksternal. Tantangan internal meliputi
terbatasnya sumber daya LAZISMU, belum adanya SOP lembaga yang mengatur tentang kriteria
penggajian, dan masih rendahnya pemahaman masyarakat tentang LAZISMU.

Sedangkan tantangan eksternal mewujud dalam persaingan yang semakin kompetitif antara
satu lembaga amal zakat dengan yang lain. Hingga saat ini, ada banyak lembaga amal zakat selain
LAZISMU. Tentunya, hal ini berdampak pada kerja LAZISMU yang harus profesional dan
inovatif. Selain itu sinergi dengan lembaga eksternal masih menjadi kendala. Wawancara yang

322 | L a p o r a n A k h i r
dilakukan menemukan bahwa kebanyakan lembaga amal zakat tidak memiliki sinergi yang cukup
baik dengan BAZNAS. Hal ini tercermin dari belum adanya kesadaran lembaga amal zakat untuk
melaporkan keuangan dan kegiatannya pada BAZNAS. Hal ini tentunya amat disayangkan
mengingat sinergi dan kerja sama menjadi elemen penting dalam mengembangkan lembaga.

LAZISMU dihadapkan dengan masalah serius di internal lembaga mereka. Meskipun dari
luar tampak sebagai lembaga kredibel dan kuat tetapi pengelolaan manajemen mereka tidak lepas
dari persoalan. Tidak sedikit pengurus Muhammadiyah Solo yang bukan dari hasil kaderisasi
Muhammadiyah. Kebijakan mereka juga kadang menghambat kerja LAZISMU. Sebagai contoh,
Mohammad Isnan menceritakan adanya desakan agar program penyaluran fokus membenai
internal Muhammadiyah. Tetapi, menurut Mohammad Isnan, filantropi seharusnya diarahkan
untuk program-program kemanusiaan yang bersifat umum dan tidak hanya untuk Muhammadiyah
(Wawancara dengan Mohammad Isnan, 11/02/2020).

4. Analisis Solo

Peneliti berusaha melihat dinamika penghimpunan di Solo dari berbagai lembaga/badan ZIS.
Melihat hasil penghimpunan dari NU-CARE LAZISNU dan LAZISMU di Solo dengan
lembaga/badan ZIS lain paling tidak membantu persebaran penghimpunan ZIS.

Tabel 8: Jumlah Penghimpunan Dana Lembaga Amal Zakat terpilih

Zakat, Infaq atau Sedekah


No Lembaga Total
2018 2019 2020
1 LAZISNU 50,000,000 50,000,000
2 LAZISMU 1,839,753,619 1,839,753,619
LAZ
3 SOLOPEDULI 12,000,000,000 12,000,000,000
4 BAZNAS 1,600,310,256 1,600,310,256
5 LAZIS UNS 415,880,498 415,880,498
Total 3,855,944,373 50,000,000 12,000,000,000 15,905,944,373
Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Tabel di atas menunjukkan variasi penghimpunan di tahun 2018, 2019 dan 2020 dari 5
lembaga/badan pengelola zakat, infaq dan sedekah. Angka di atas tidak merata pertahun karena
323 | L a p o r a n A k h i r
minimnya data yang tersedia untuk membandingkan dengan lembaga/badan zakat, infaq dan
sedekah setiap tahunnya. Bisa dikatakan bahwa LAZ Pedulisolo mendapatkan penghimpunan dana
paling tinggi dengan mengandalkan program zakat saja. Sedangkan NU-CARE LAZISNU dengan
semua program zakat, infaq dan sedekah memperoleh penghimpunan paling rendah. Sedangkan
Lazismu dan BAZNAS menghimpun ZIS yang relatif setara.

Kesimpulan

Satu pertanyaan penting dalam penelitian ini adalah dari mana asal perolehan zakat, infaq dan
sedekah NU/Muhammadiyah? Muhammadiyah memiliki aset penting seperti rumah sakit,
sekolah, universitas maupun lembaga ekonomi sebagai sumber pendanaan. Hal ini membuat
Muhammadiyah memiliki perkiraan lebih presisif perolehan ZIS. Di sisi lain, mereka tetap
mencari donatur dan muzakki dari luar. Sedangkan NU belum memiliki pola yang berbeda.
Mereka sejauh ini mengandalkan basis massa untuk menggerakkan ZIS seperti yang terlihat pada
program Koin NU. Dari analisis ini kita bisa melihat kendala apa saja yang dihadapi oleh kedua
lembaga ini.

Sebagai organisasi masyarakat NU dan Muhammadiyah memiliki massa yang besar.


Tetapi basis massa itu tidak bisa dikonversi menjadi perolehan baik dalam bentuk program zakat,
infaq atau sedekah. Mereka masih terkendala bagaimana mengoptimalisasi potensi di basis massa.
Penghimpunan ZIS secara nasional memperlihatkan dominasi lembaga filantropi yang tidak
terafiliasi pada NU atau Muhammadiyah. Sedangkan di tingkat daerah NU dan Muhammadiyah
terganjal banyak persoalan yang sampai saat ini belum bisa diselesaikan seperti manajemen, model
penggalangan donasi, soliditas internal, transparansi, SDM.

324 | L a p o r a n A k h i r
Referensi

Adam, T. (2004). Experiences from Germany, Great Britain, and North America. Indiana: Indiana
University Press.
Bryman, Alan, and Bob Burgess (1994) Analyzing Qualitative Data. Routledge.

Burr, J Millard and Collins, Robert O (2006), Alms for Jihad: Charity and Terrorism in the Islamic
World, Cambridge: Cambridge University Press.

Clark, Janine A (2004), Islam, Charity, and Activism: Middle Class Networks and Social Welfare
in Egypt, Jordan, and Yemen, Bloomington: Indiana University Press.
Cornelio, K. E.-P. (2015). Introduction: Religious Philanthropy in Asia. Brill, 349-355.

Creswell, J. W. (2009). Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed Method Approaches
(3rd Ed.). Los Angeles: SAGE Publications.

Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (2005). Introduction: The Discipline and Practice of Qualitative
Research. In N. K. Denzin & Y. S. Lincoln (Eds.). The SAGE Handbook of Qualitative
Research (3rd Ed.), pp. 1–32. Thousand Oaks, CA: SAGE.

Fauzia, Amelia. 2013. Filantropi Islam: Sejarah dan Kontestasi Masyarakat Sipil dan Negara di
Indonesia. Yogyakarta: Gading Publishing

Friedman, Lawrence J. dan Mark D. MacGarvie. Charity, Philantrophy, and Civility in AMrican
History. Cambridge University Press, 2003.

Ikhwan, Hakimul dan Azca, M. Najib (2015), Laporan Penelitioan tentang Radikalisme dan
Intoleransi di Yogyakarta dan Solo, didanai oleh Kemenristekdikti, 2015 (unpublished yet).

Isbah, M. Falikul (2013), ‘Islamic Boarding Schools (Pesantren) and Community Development in
Indonesia: Continuities and Changes’, Paper presented at 6th International Indonesia Forum
Conference ‘Transformation towards the Future: Continuity versus Changes in Indonesia’,
Yogyakarta, 21-22 August 2013.

Kafid, N. (2016). Dari Islamisme ke "Premanisme": Pergeseran Orientasi Gerakan Kelompok


Islam Radikal di Era Desentralisasi Demokrasi. Masyarakat: Jurnal Sosiologi, 57-79.

Kailani, Najib (2015), Aspiring to Prosperity: the Economic Theology of Urban Muslim in
Contemporary Indonesia, Unpublished PhD thesis, University of New South Wales.

Kuran, Timur (2004), Islam and Mammon: the Economic Predicament of Islamism, Princeton and
Oxford: Princeton University Press.
Latief, Hilman. 2012. "Islamic Charities and Social Activism: Welfare, Dakwah and Politics in
Indonesia." Ph.D Thesis, Utrecht University.

325 | L a p o r a n A k h i r
Latief, H. (2010). Melayani Umat: Filantropi Islam dan Ideologi Kesejahteraan Kaum Modernis.
Jakarta: Gramedia.

McCartthy, Kathleen D. American Creed: Philantrophy and the Rise of Civil Society 1700-1865.
Chicago: The University of Chicago Press, 2003.

Rahman, Taufikur. AKUNTANSI ZAKAT, INFAK DAN SEDEKAH (PSAK 109): Upaya
Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas Organisasi Pengelola Zakat (OPZ). Salatiga:
Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

Tim Penulis. 2018. Filantropi’s Cilik: Paradigma Baru Praktik ZIS bagi Generasi Milenial. Solo:
Matahati
Tim Penulis. 2019. Ta’awun untuk Negeri: Bakti untuk Relawan Muhammadiyah. Solo: Matahati
Zahid Parvez dan Pervaiz Ahmed. 2006. Toward building an Integrated Perspective on
Democracy. Journal of Information, Communication, and Society Vol 9, 2006: University of
Wolverhampton

Media:

https://albahjah.or.id/
https://alif.id/
https://diy.kemenag.go.id/
https://jateng.kemenag.go.id/
https://katadata.id/
https://lazismujatim.org/
https://nucare.id/
https://nucirebon.or.id/
https://nu.or.id/
https://puskasbaznas.com/
https://radarsolo.jawapos.com/
https://republika.com/
https://semarang.bisnis.com/

326 | L a p o r a n A k h i r
Respons Muhammadiyah dan NU terhadap Kampanye
Kelompok Konservatif/Radikal Mengenai Isu Keluarga dan
Perempuan

Mustaghfiroh Rahayu
Saeroni
Rika Iffati Farihah

Pengantar
Keterlibatan perempuan dan keluarga dalam gerakan radikalisme telah banyak diungkapkan. Bila
sebelumnya radikalisme cenderung berwajah maskulin dan menjadikan laki-laki sebagai sentral
gerakannya, belakangan radikalisme justru banyak memanfaatkan perempuan sebagai pelaku dan
berwajah feminin (Mulia, 2019). Perempuan dapat terlibat dalam terorisme dan radikalisme di
antaranya karena keberadaan ikatan sosial perkawinan, pertemanan dan persaudaraan, melalui
suami, teman atau hubungan keluarga dan kekerabatan dengan kelompok konservatif/radikal
(Ipac, 2017; Sumbulah, 2019).

Berkembangnya kelompok konservatif/radikal dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari


makin berkembangnya pemahaman keagamaan yang cenderung tekstualis. Islam dipandang
sebagai seperangkat norma yang telah lengkap mengatur segala aspek kehidupan, termasuk dalam
kehidupan sosial dan keluarga.

Narasi semacam ini dalam isu keluarga dan perempuan cukup gencar disebarkan oleh
kelompok konservatif/radikal. Narasi ini dikampanyekan melalui pengajian-pengajian, broadcast
pendek yang disebar melalui media sosial, poster-poster online, hingga nasihat dari mulut ke
mulut. Kampanye ini banyak diminati kalangan muslim karena dikemas dengan cara yang menarik
dan aktual. Para pembicara yang dihadirkan dalam pengajian memiliki kemampuan komunikasi
publik mumpuni. Media yang digunakan juga cukup canggih dan menarik hingga mampu
menyedot perhatian muslim Indonesia dari berbagai lapisan; tua muda, kaya miskin, laki-laki dan
perempuan.

327 | L a p o r a n A k h i r
Kampanye narasi mengenai keluarga ala kelompok konservatif ini menuai respon dari
kalangan moderat. Penelitian Wahid Institute di 5 wilayah menunjukkan bahwa kelompok toleran
yang resah terhadap berkembangnya intoleransi dan radikalisme di kalangan perempuan adalah
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, melalui organisasi sayap perempuannya, seperti
Fatayat NU atau Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiah Muhammadiyah (Dja’far, 2017).

Kedua organisasi Islam ini memang sudah lama gencar melakukan promosi relasi yang
setara di dalam keluarga dalam kerangka keadilan gender. Sejak wacana dan analisis gender
dikenalkan di Indonesia sekitar tahun 1980-an, para aktivis NU adalah kelompok pertama yang
mengakui dan menyebarkannya kepada seluruh masyarakat Indonesia (Rinaldo, 2012; van Doorn-
Harder, 2006). Mereka melakukan training-training mengenai gender, kontekstualisasi wacana
gender dalam tradisi Islam, menafsirkan ulang teks-teks bias gender di dalam Al Qur’an, hingga
melakukan pembacaan ulang atas kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren dengan perspektif
gender. Sebut saja P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), YKF (Yayasan
Kesejahteraan Fatayat) dan FK3 (Forum Kajian Kitab Kuning). Ini adalah sederet organisasi yang
gencar melakukan pelatihan dan reinterpretasi teks-teks keagamaan di lingkungan NU (Afifah,
2017).

Namun demikian, bagaimana gagasan, narasi, dan strategi yang dikembangkan kelompok
moderat terkait perkembangan baru ini serta bagaimana pengaruhnya terhadap radikalisme, apakah
mempersempit atau memperluas ruang gerak, belum banyak diungkap dalam penelitian.

Oleh karena itu, penelitian ini secara khusus akan memberikan perhatian terhadap; 1)
bagaimana pandangan dan respons kelompok Islam moderat, terutama NU dan Muhammadiyah
atas kampanye kelompok konservatif/radikal dalam isu keluarga dan perempuan; 2) bagaimana
upaya kelompok Islam moderat dalam mencegah intoleransi dan radikalisme dalam isu perempuan
dan keluarga: apa narasi yang mereka gunakan untuk merespon, logistik yang dimiliki, dan
jaringan yang dikembangkan.; dan 3) bagaimana respon kelompok Islam moderat tersebut
mempengaruhi ruang gerak radikalisme dalam isu perempuan dan keluarga.

Ruang Lingkup: Muhammadiyah dan NU


Kelompok Islam moderat yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah Muhammadiyah
dan NU di dua wilayah, DI. Yogyakarta dan Solo Raya. Penelitian ini bersifat kualitatif, dengan

328 | L a p o r a n A k h i r
menggali data dan informasi yang diperlukan melalui metode review literatur dan wawancara
mendalam.

Secara umum berbagai literatur mengenai Islam di Indonesia mendaulat kedua organisasi ini
sebagai kelompok moderat (Azra 2013; Hefner 2000; Menchik 2016), kebijakan-kebijakan
organisasi mereka juga terlihat berbeda dengan kelompok konservatif/radikal. Perbedaan itu
misalnya bisa dilihat pada muktamar Muhammadiyah dan NU pada tahun 2015.

NU menggelar perhelatan akbarnya yang ke-33 di Jombang pada tanggal 1-5 Agustus
2015, sementara Muhammadiyah menggelar Muktamar ke-47 di Makassar pada tanggal 3-7
Agustus 2015. Tema yang diusung hampir sama, yakni NU “Meneguhkan Islam Nusantara untuk
Peradaban Indonesia dan Dunia”, dan Muhammadiyah “Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia
Berkemajuan”. Tema ini meneguhkan posisi keduanya sebagai organisasi Islam moderat di
Indonesia yang setia pada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Upaya
peneguhan Pancasila sebagai ideologi bangsa ini penting dilakukan di tengah derasnya arus
konservatisme/radikalisme di kalangan Islam.

Islam berkemajuan dan Islam Nusantara menjadi lokomotif pengangkut gerbong umat
Islam yang mulai tercerai berai karena hadirnya berbagai paham keagamaan yang intoleran.
Mereka secara bersama-sama mengkampanyekan Islam Indonesia yang moderat di tengah
kepungan konservatisme yang terus menguat di internal umat Islam di Indonesia.

Organisasi-organisasi perempuan yang menginduk pada kedua ormas tersebut, seperti


Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah di Muhammadiyah, Muslimat dan Fatayat di NU, juga menjadi
lokomotif gerakan perempuan muslim moderat di Indonesia. Tanwir Aisyiyah-Muhammadiyah
dalam Muktamar 2015 membuat keputusan penting tentang komitmennya untuk meneguhkan
posisi dan peran ‘Aisyiyah sebagai gerakan perempuan muslim yang progresif dengan berpijak
pada paham keagamaan Muhammadiyah, yakni pandangan Islam Berkemajuan. Aisyiyah juga
memberikan perhatian secara khusus pada isu-isu spesifik, seperti penguatan institusi keluarga,
pencegahan dan penanganan perkawinan anak, pemberdayaan ekonomi perempuan, dan
keterlibatan perempuan dalam proses pembangunan (Aisyiyah.or.id, 2018). Sementara gerakan
perempuan di NU, seperti Muslimat dan Fatayat sudah lama diidentifikasi memiliki keberpihakan
terhadap isu gender dan termasuk organisasi Perempuan Muslim progresif di Indonesia (Afifah
2027). Muktamar ke-33 di Jombang tahun 2015 memberikan perhatian khusus mengenai
329 | L a p o r a n A k h i r
penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan penguatan institusi keluarga (Alawi 2014).
Fatayat-NU pada Konferensi Besar tahun 2018 juga memberikan perhatian terhadap partisipasi
politik perempuan, pemberdayaan ekonomi perempuan, kesehatan reproduksi dan kekerasan
terhadap perempuan, serta perkawinan usia anak (Setiawan 2018).

Yogyakarta dan Solo Raya


Riset ini dilakukan di Yogyakarta dan Solo Raya. Kota Solo dipilih karena banyak riset
mengungkapkan bahwa Solo adalah hotspot area untuk isu konservatisme dan radikalisme
(Bruinessen 2013). Beberapa insiden intoleransi dan kekerasan di Solo dimotori oleh kelompok
konservatif/radikal Islam. Beberapa institusi yang mendukung dan menjadi agen penyebaran
narasi konservatif/radikal juga berlokasi di Solo (Bruinessen, Ibid). Selain itu, Solo juga mewakili
suara Muhammadiyah dan NU tingkat daerah.

Sementara Yogyakarta, telah mendaulat diri sebagai the City of Tolerance, namun Laporan
The Wahid Institute tahun 2014 menyatakan bahwa Yogyakarta menempati posisi kedua sebagai
kota intoleran di Indonesia setelah Jawa Barat. Pada tahun berikutnya peringkatnya menurun
menjadi no 4. Laporan ini menunjukkan bahwa di balik adem ayem dan guyub rukun yang menjadi
ciri khasnya, kota ini juga menyimpan potensi menjadi kota intoleran dengan aksi-aksi intimidasi
serta kekerasan terhadap kelompok yang berbeda.

Selain potensi berkembangnya paham konservatif/radikal yang mengarah pada kekerasan,


Yogyakarta adalah “pusat” bagi dua organisasi Islam moderat. Kantor pusat Muhammadiyah
memang berlokasi di Yogyakarta. Sementara, bagi NU, pusat ini dimaknai bahwa ide dan
praktiknya sejalan dengan pusat. Kapasitas intelektual maupun organisatoris aktivis NU di
Yogyakarta setara dengan pusat, sehingga dalam berbagai kebijakan tidak berbeda jauh dengan
kebijakan pusat.

Isu Perempuan dan Keluarga


Riset ini mengkaji respons kelompok moderat atas narasi isu keluarga dan perempuan yang
dibangun kelompok konservatif/radikal dalam tiga tema besar, yakni; relasi suami istri dalam
rumah tangga, kesehatan reproduksi, dan poligami.

Dalam isu keluarga, narasi yang cukup gencar dari kelompok konservatif/radikal adalah
bahwa perempuan merupakan pihak yang harus patuh pada lelaki entah ayah atau suami. Ruang

330 | L a p o r a n A k h i r
aktivitasnya pun hanya di wilayah domestik dan bisa dipoligami.348 Pembagian peran laki-laki dan
perempuan dalam konteks rumah tangga dianggap sebagai sesuatu yang fixed dan baku:
perempuan bertanggung jawab mengurus tugas-tugas domestik dan pengasuhan, sementara laki-
laki memiliki kewajiban nafkah dan peran di ruang-ruang publik.349 Narasi ini juga menerima
poligami sebagai hak laki-laki dan perkawinan usia muda sebagai jalan keluar yang lebih baik
daripada zina. Isu kesehatan reproduksi dalam perkawinan anak sama sekali tidak menjadi
kepedulian.

Menurut Nelly van Dorn-Harder (2006), Muhammadiyah dan NU adalah dua organisasi
Islam besar yang menyambut wacana gender secara terbuka. Sayap perempuan kedua organisasi
ini mengkajinya dengan merujuk kepada sumber-sumber ajaran Islam yang utama dan
menyebarkannya kepada komunitas masing-masing. Inilah yang bagi Prof. Nelly membedakan
dengan pergerakan wacana ini di negara-negara mayoritas muslim yang lain. Di Indonesia, para
perempuan ini memiliki kemampuan untuk mendialogkan wacana gender dengan tafsir al Qur’an
dan hadits. Hal ini bisa dilakukan karena banyak perempuan yang tergabung dalam sayap
perempuan organisasi ini, Fatayat NU, Muslimat NU, Aisyiah dan Nasyiatul Aisyiah, terdidik
dengan baik di lingkungan pesantren dan juga pendidikan formal. Gerakan yang dilakukan oleh
Perempuan NU dan Muhammadiyah bersama dengan aktivis perempuan yang lain, sudah
membuahkan hasil dengan diubahnya nomenklatur kementrian urusan peranan wanita, menjadi
Kementerian Pemberdayaan Perempuan pada masa pemerintahan Gus Dur dan memunculkan
“pengarusutamaan gender” di semua level pemerintahan di masa Megawati Soekarnoputri.

Namun demikian, keberhasilan ini mendapatkan tantangan dari internal muslim, bersamaan
dengan menguatnya gerakan Islamisme di Indonesia. Ada arus balik konservatisme sebagaimana
ditengarai oleh Martin van Bruinessen yang secara terang-terangan menolak ide kesetaraan gender
(Bruinessen 2013). Kelompok ini bahkan mengatakan “feminisme tidak untuk Indonesia”350
karena nilai-nilai yang dikampanyekan, seperti paham mengenai kebebasan tubuh, dianggap

Salah satu contoh narasi semacam itu bisa dilihat di laman berikut, Muslima.or.id, “Poligami Keserasian dalam
348

Keanekaragaman”,https://muslimah.or.id/9173-poligami-keserasian-dalam-keanekaragaman.html
349
Lihat misal, Rumayso, “Kriteria Wanita Idaman”, https://rumaysho.com/816-kriteria-wanita-idaman.html
350
Lihat misal, The Jakarta Post, “Feminism is not for Indonesian Conservative Muslim Recipe for Women
Empowerment”, https://www.thejakartapost.com/news/2020/03/08/feminism-is-not-for-indonesia-conservative-
muslims-recipe-for-womens-empowerment.html

331 | L a p o r a n A k h i r
bertentangan dengan nilai-nilai agama yang dianut teguh masyarakat Indonesia. Bagi kelompok
konservatif, tubuh tidak otonom, ia adalah milik Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan.
Menariknya, kelompok konservatif ini tidak hanya terdapat di luar kelompok moderat, tetapi
sebarannya juga ada di dalam internal NU dan Muhammadiyah.

Respon NU dan Muhammadiyah: Mempersempit Ruang Gerak


Riset ini dimulai dengan argumen bahwa dua organisasi Islam, NU dan Muhammadiyah,
yang mewakili kelompok moderat merasa gerah dengan gerakan radikal dan merespon dengan
counter wacana. Penelitian kami lebih jauh menunjukkan bahwa counter wacana yang dilakukan
oleh NU dan Muhammadiyah ini bisa mempersempit ruang gerak kampanye kelompok
konservatif/radikal terkait isu perempuan dan keluarga. Pembahasan mengenai temuan ini akan
kami mulai dengan penjelasan mengenai bentuk-bentuk respons NU dan Muhammadiyah,
kemudian dilanjutkan dengan implikasi dari respons tersebut.

Modifikasi dakwah/kampanye

Gencarnya kampanye kelompok konservatif/radikal Islam terkait isu keluarga dan


perempuan dalam berbagai pengajian dan di dunia maya memicu kekhawatiran para penggerak
NU dan Muhammadiyah. Khotimatul Husna, Ketua Pengurus Wilayah (PW) Fatayat NU Daerah
Istimewa Yogyakarta, mengatakan paling tidak ada 3 isu kampanye kelompok konservatif/radikal
yang harus diwaspadai. Pertama soal domestifikasi perempuan. Perempuan salihah didefinisikan
sebagai perempuan yang tinggal di rumah, menangani pekerjaan domestik, dan patuh kepada
suami. Kedua, soal pengasuhan anak. Kelompok konservatif/radikal berusaha mengembalikan
pengasuhan anak hanya menjadi tanggung jawab ibu. Bapak bisa berlepas tangan. Ketiga, terkait
soal pendidikan anak usia dini. Pendidikan anak usia dini hendak dikembalikan kepada ajaran yang
tekstualis sehingga tercerabut dari konteks lingkungan dan kebutuhan masyarakatnya. 351 Hadirnya
para penceramah agama berjenis kelamin perempuan dan berperspektif perempuan adalah sebuah
keharusan. Namun selama ini tidak banyak perempuan yang bersedia menjadi penceramah agama
(muballighah) karena berbagai alasan; seperti tidak percaya diri, terbelenggu dengan tugas-tugas
domestik, tidak ada waktu, dll. Karena itulah PW Fatayat NU DIY membuat program menyiapkan
para perempuan untuk menjadi muballighah dengan perspektif perempuan dan aswaja (Islam

351
Wawancara dengan Khotimatul Husna, Ketua PWFNU DI Yogyakarta, tanggal 5 Februari 2020

332 | L a p o r a n A k h i r
moderat) yang kuat. Para muballighat ini diberi kursus mengenai strategi dakwah aswaja, hingga
pemahaman mengenai peta gerakan Islam.

“Salah satunya agama itu kan disuarakan oleh mubalighoh, oleh da’iyah oleh
guru agama. Sehingga kita memberikan perspektif pada mereka. Salah satunya
dengan itu tadi. Kita pernah mengadakan workshop strategi dakwah aswaja.
Kemudian yang kemarin bekerja sama dengan mbak Rubi, AMAN, workshop “anti
radikalisme”. Kemudian juga, karena teman-teman Garfa itu bagian dari Garda
terdepannya Fatayat yang nanti akan terjun di isu-isu sosial dan kemanusiaan,
maka teman-teman Garfa kita (berikan) capacity building dengan isu ini juga.
Bagaimana teman-teman tahu peta gerakan Islam itu seperti apa.” (Khotimatul
Husna, 5 Februari 2020)

Mengisi pasar penceramah pada bulan Ramadan 2020 ini, PW Fatayat NU DIY bekerjasama
dengan panitia Ramadan Di Kampus (RDK) Masjid Kampus UGM menyelenggarakan Muslimah
Inspiring Talk yang menghadirkan para pembicara dari kader Fatayat. Bagi Fatayat NU DIY,
kerjasama ini penting untuk menyebarkan Islam yang ramah perempuan kepada khalayak, juga
mewarnai diskursus perempuan yang berkembang di Masjid Kampus.

Kerjasama yang dibangun Fatayat dengan Masjid Kampus UGM tidak hanya berfungsi
untuk mendakwahkan perspektif Fatayat NU terkait isu perempuan dalam Islam, akan tetapi juga
membangun ruang diskusi di kalangan peserta kelas.

Gambar 1 Poster Ramadhan di Kampus UGM oleh PW Fatayat NU DI. Yogyakarta

333 | L a p o r a n A k h i r
Di Aisyiah ada komunitas muballighat yang dibekali dengan paham Islam wasathiyah
(Islam moderat) hasil perumusan Majelis tarjih Muhammadiyah. Mereka ini nantinya yang akan
menyebarkan dakwah Islam moderat sebagai penyeimbang pandangan-pandangan Islam yang
tidak toleran. Proses pengkaderan para muballighat ini dilakukan melalui pelatihan di Baitul
Arqam.352 Baitul Arqam ini juga menjadi program yang wajib diikuti oleh guru, kepala sekolah,
dan seluruh pengurus Aisyiah sebagai upaya untuk meneguhkan ideologi Muhammadiyah yang
wasathiyyah.

Di luar proses pengkaderan muballighat resmi yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
penceramah di internal Muhammadiyah, banyak kader Muhammadiyah yang melakukan dakwah
mengenai Islam dan perempuan melalui media sosial. Ninin Karlina misalnya, kerap mengunggah
ceramah-ceramah pendek mengenai isu perempuan di channel youtube yang dia miliki. Salah satu
tema yang pernah ia angkat adalah mengenai laki-laki yang bisa menjadi sumber fitnah. Pandangan
ini berbeda dengan persepsi umum yang hanya menyasar perempuan sebagai sumber fitnah.

Modifikasi bentuk dakwah pun dilakukan. PW Fatayat DIY misalnya sengaja merancang
acara peringatan hari ulang tahun organisasinya yang ke-68 dengan kemasan yang lebih populer.

352
Wawancara dengan Latifah, Pengurus PP Aisyiah, 12 Februari 2020.

334 | L a p o r a n A k h i r
Tema yang diusung sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tema-tema khas Fatayat sejak dulu,
yakni perempuan sebagai agen perdamaian. Namun kemasannya menjadi jauh berbeda. Bukan lagi
sekadar pengajian yang diselingi hiburan tradisional khas NU seperti hadroh atau salawatan,
puncak Harlah juga menampilkan pertunjukan teater dan stand-up comedy, media seni yang
selama ini bisa dibilang jarang disentuh oleh warga Nahdliyyin. Tujuannya memang untuk
merengkuh massa lebih luas yang selama ini merupakan sasaran empuk narasi kelompok
konservatif/radikal.

“Malam budaya di Jogja juga untuk itu. Menyikapi isu-isu intoleran, mempertemukan
banyak komunitas dalam satu event”. (Khotimatul Husna, 5 Februari 2020)

Upaya merengkuh kalangan yang lebih luas juga menjadi alasan Yusnita Ike, salah seorang
pengurus PW Fatayat DIY untuk membuat pengajian “gaul.” Berbeda dengan pengajian NU pada
umumnya yang diisi dengan tahlilan atau yasinan, Ike membuat format yang sedikit berbeda.
Pengajian gaya baru ini menyasar audiens yang lebih muda dan membahas hal-hal yang lebih
kekinian.

“nah sebenarnya ide untuk membuka pengajian seperti ini itu tidak ada hubungannya
dengan Fatayat… kita juga melihat ibu-ibu muda ternyata ikut pengajian yang .. kita
identifikasi kelompok fundamental konservatif dan sedikit radikal…. Terus kita melihat
fenomena-fenomena pengajian yang diadakan Muslimat itu banyak ibu-ibu tua, kalau
ibu-ibu muda sedikit karena pengajiannya monoton itu-itu aja, gak ada sesuatu yang
baru. Kalau tahlilan, yasinan masih biasa aja. Tapi yang isi kajiannya itu muter-muter
itu aja; kon sabar, kon bersikap baik.

Akhirnya kita sasar aja yang muda-muda. Pengajian itu kita bikin kurikulumnya, dan kita
pengennya visi misi kita adalah bikin pengajian yang kekinian, yang moderat, yang
ngepop, dengan dimasuki ideologi Islam moderat. Kurikulumnya dikelompokan, misal;
kelompok kajian khusus muslimah preneurship jadi ngomongnya satu seri tentang
entrepreneur”. (Yusnita Ike Christanty, 10 Februari 2020)

Pengembangan Nalar Kritis


Dalam konteks isu perempuan, prinsip keadilan gender dan mubaadalah (kesalingan –
reciprocity) menjadi prinsip dalam dakwah terkait isu perempuan di Fatayat NU. Penafsiran terkait
ayat iddah misalnya, memungkinkan mereka untuk membaca bahwa ayat itu juga bisa berlaku
buat suami. Demikian juga pemahaman mengenai “penyakit” bagi orang yang menstruasi.

335 | L a p o r a n A k h i r
“… Iddah itu tidak hanya untuk perempuan tapi juga untuk laki-laki yang ditinggal
istrinya. Jadi perspektif dakwah akhirnya berpihak pada perempuan, karena
perspektifnya memang perempuan dan anak. Kemudian juga pemaknaan soal al-adza:
qul huwa adza. Soal mens, kalau dakwah tanpa perspektif perempuan dan anak itu
hanya dimaknai sebagai penyakit. Kalau punya perspektif perempuan kan bahwa itu
sesuatu yang menimbulkan sakit. Karena menimbulkan sakit maka perlakuan pada
yang sakit itu seperti apa sih? Ya dilindungi, diberi ruang kebebasan untuk istirahat,
untuk cuti”. (Khotimatul Husna, Ketua PWFNU DIY, 5 Februari 2020)

Dalam isu poligami, upaya untuk mengembangkan nalar kritis gencar disuarakan oleh dua
organisasi moderat ini. Poligami adalah isu abadi dalam permasalahan keluarga dan perempuan. Ia
sudah menjadi isu pada masa Kartini (akhir abad ke-19), saat Kongres Perempuan pertama tahun
1928, hingga dalam perdebatan mengenai amandemen UU Perkawinan 1974 dan setelah
Reformasi. Bagi Aisyiah, pemikiran tentang poligami sudah dirumuskan dalam Keputusan
Musyawarah Nasional tarjih ke XXVIII di Palembang tahun 2014 tentang “Tuntunan Menuju
Keluarga Sakinah”. Penjelasan tuntunan tersebut menyebutkan salah satu dari enam prinsip
perkawinan adalah monogami (Aisyah 2019). Lebih tegas lagi, Muhammadiyah melarang seluruh
pengurus di struktur Muhammadiyah melakukan poligami. Jika itu terjadi, mereka harus dicopot
dari kepengurusan Muhammadiyah (Yulianti 2019).

Meskipun tidak setegas Muhammadiyah yang melakukan pelarangan poligami melalui


struktur, NU melalui lembaga-lembaga dan banom yang memiliki perspektif kesetaraan gender
melakukan banyak counter wacana poligami, seperti yang dilakukan Fatayat dan Muslimat NU
(Rinaldo 2014).

Persoalan utama dari poligami saat ini adalah adanya upaya yang masif untuk menjadikan
poligami sebagai praktik yang normal (normalisasi poligami). Kursus-kursus persiapan poligami
banyak diiklankan oleh kelompok konservatif/radikal, diikuti dengan penyediaan daftar perempuan
yang siap dipoligami.

336 | L a p o r a n A k h i r
Gambar 2: Poster Kursus Poligami

Poster dan broadcast ajakan untuk poligami seperti di atas, banyak beredar di media sosial di
Indonesia. Munculnya broadcast dan poster-poster ini menunjukkan adanya upaya-upaya dari
kelompok konservatif/radikal untuk menjadikan praktik pernikahan poligami sebagai sesuatu yang
normal dan patut dikampanyekan.

“Perbedaan kelompok ekstrim dan bukan dalam konteks poligami, sekalipun sama-
sama membolehkan poligami, kalau di kelompok moderat itu tidak ada upaya untuk
menormalisasi, tidak sampai dibangun adanya gerakan untuk poligami.” (Nur
Hasyim, 2 Februari 2020)
Isu lain terkait dengan narasi tentang jilbab. Ketika ada perdebatan mengenai kewajiban
berjilbab yang dipicu pernyataan Nyai Sinta Nuriyah,353 Alimatul Qibtiyah, Ketua PP LPPA,
berusaha menjelaskan ke orang-orang terdekatnya, misalnya ibu mertua dan anaknya beserta
teman-temannya jamaah pengajian tentang bagaimana perdebatan itu muncul dan bagaimana harus
menyikapinya sebagai orang yang berilmu.

“Karena dia juga kader Aisyiah di Pemalang, maka dia juga harus bisa bersikap
“bagaimana cara menyikapi ketika melihat video tersebut”, paling tidak ya tidak ikut
mengecam. Tapi dia punya perspektif yang lain.” (Alimatul Qibtiyah, 26 Januari 2020)

Pernyataan lengkap Sinta Nuriyah bisa dicek di Tempo.co, “Sinta Nuriyah: Jilbab Tak Wajib bagi
353

PerempuanMuslim”,https://today.line.me/id/article/Sinta+Nuriyah+Jilbab+Tak+Wajib+Bagi+Perempuan+Musli
m-8W33aM

337 | L a p o r a n A k h i r
Upaya memberikan perspektif lain dilakukan Alimatul Qibtiyah kepada jamaah pengajian
anaknya. Suatu hari pengajian rutin remaja di kampung tempat tinggalnya berlangsung di
rumahnya. Ustadz yang diundang membahas mengenai Masuk Surga Bersama. Kebetulan contoh
yang diangkat adalah tentang jilbab. Ustadz itu menceritakan memberi jilbab syar’i untuk ibunya.
Awalnya sang ibu tidak bersedia memakai, tapi kemudian bersedia. Menurut ustadz tesebut,
kesediaan ibu untuk memakai jilbab syar’i (jilbab yang berukuran sangat lebar) adalah indikator
bahwa beliau bisa diajak masuk surga bersama. Dalam kesempatan itu sang ustadz juga
menyampaikan bahwa pemakaian cadar itu tidak wajib, akan tetapi dianjurkan.

Mendengar ceramah ustadz ini, Alimatul Qibtiyah mengajukan pertanyaan: bagaimana jika
ada orang yang paham ayat dan hadits mengenai jilbab, namun mencoba melihat asbabun nuzul
dan wurud-nya sehingga berkeKesimpulan tidak wajib? Pertanyaan ini akhirnya membuka ruang
diskusi.

“Aku bayangin kalau anakku ikut kayak gini terus tanpa ada critical thinking bisa jadi
eksklusif nantinya. Ya walaupun jawabanya (ustadz) sudah lumayan “lana a’maluna
walakum a’malukum” (bagi kami amal kami, bagimu amalmu). Tapi kalau
pengarahan gak ada yang nanya, audiens kan jadi terhipnotis, akhirnya suatu saat
pakai cadar semua. Coba kalau itu gak ada yang nanya terus, gak ada yang critical
thinking” (Alimatul Qibtiyah, 26 Januari 2020)

Keluarga Sakinah dan Maslahah


Dua organisasi Islam moderat di Indonesia ini memiliki narasi keluarga yang khas.
Muhammadiyah mengembangkan konsep keluarga sakinah dan NU mengembangkan konsep
keluarga maslahat.

Keluarga Sakinah merupakan salah satu program unggulan Aisyiah sejak 1985 yang
merupakan salah satu keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Solo. Yang dimaksud
keluarga sakinah adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan tercatat di
kantor urusan agama, dilandasi rasa saling menyayangi dan menghargai dengan sepenuh tanggung
jawab dalam menghadirkan suasana kedamaian, ketentraman, dan kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat, yang diridai Allah SWT.354 Membangun keluarga sakinah didasari asas kemuliaan dan

354
Suara Muhammadiyah, 2 December 2019

338 | L a p o r a n A k h i r
kedudukan utama sebagai manusia, asas pola hubungan kesetaraan, asas keadilan, asas mawaddah
wa rahmah, serta atas pemenuhan kebutuhan hidup sejahtera dunia akhirat.

Sebagai konsep yang lebih awal muncul, konsep keluarga sakinah diadopsi oleh banyak
lembaga ketika berbicara mengenai keluarga ideal. Di lingkungan Kantor Urusan Agama (KUA)
konsep ini pula yang dielaborasi. Salah satu terjemahan membentuk keluarga sakinah di KUA
adalah dengan memberikan nasehat perkawinan kepada calon mempelai.

Konsep keluarga sakinah yang berfokus pada suami-istri ini dicoba untuk diperluas oleh NU
dengan konsep keluarga maslahah. Konsep keluarga maslahah yang dikembangkan Lembaga
Kemaslahatan Keluarga NU (LKK-NU) berdasar pada tauhid sebagai basis atau pijakan dalam
berkeluarga. Konsep tauhid mengandaikan bahwa laki-laki dan perempuan itu hanya menghamba
pada Sang Pencipta, bukan menghamba pada selain-Nya. Kewajiban manusia adalah beribadah.355
Konsep ini berusaha berbicara mengenai jati diri manusia sebagai khalifah fil ard dan bagaimana
menerjemahkannya dalam konteks perkawinan. Harapannya, perkawinan ini tidak hanya
bermanfaat bagi suami-istri saja, tetapi juga memberi manfaat kepada masyarakat sekitar.356

“Dalam konteks keluarga, suami istri harus memberi maslahah kepada pribadi
masing-masing, kepada pasangan, kepada keluarga, diri, masyarakat, Negara, dan
bangsa, dan lebih umum. Sehingga tujuan perkawainan tidak eksklusif. “(Nur Rofiah, 1
Februari 2020)
Muhammadiyah dan NU menyadari bahwa institusi keluarga adalah benteng terdepan
berhadapan dengan konservatisme/radikalisme. Karena itu keduanya merasa perlu ada program-
program penguatan keluarga. Di lingkungan Muhammadiyah, kegiatan penguatan keluarga
dilakukan dalam Madrasah Perempuan Berkemajuan (MPB) yang dikoordinir oleh Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Aisyiah (LPPA). Secara khusus, Muktamar Muhammadiyah ke-47
di Makassar memberi mandat kepada LPPA untuk membuat program peningkatan kajian isu-isu
aktual dan masalah-masalah keagamaan, sosial, ekonomi, budaya, politik, hukum dan isu
kemanusiaan yang berkaitan dengna perempuan dan anak berbasis paham agama dalam
Muhammadiyah. Implementasi dari mandat ini adalah program unggulan Madrasah Perempuan

355
Wawancara dengan Nur Hasyim, Pengurus PP LKKNU, 2 Februari 2020
356
Wawancara dengan Nur Rofiah, pengurus PP LKKNU, 1 Februari 2020

339 | L a p o r a n A k h i r
Berkemajuan. Tujuan utama dari MPB adalah menjelaskan mengenai manhaj Muhammadiyah dan
karakter perempuan berkemajuan (Qibtiyah 2017).

Sebagian besar materi madrasah ini adalah peneguhan doktrin-doktrin Muhammadiyah


(Manhaj Muhammadiyah) yang diyakini sebagai basis penangkal radikalisme. Asumsinya jika
para perempuan Aisyiah memahami manhaj muhammadiyah dengan baik mereka tidak akan
tertarik dengan ideologi radikal, bahkan bisa menjadi penyebar nilai-nilai Islam moderat untuk
rahmat seluruh alam. Metode ini yang menurut Alimatul Qibtiyah, Ketua PP LPPA, disebut
metode “brokoli dalam pasta”, maksud yang dituju dibungkus dalam kegiatan yang diminati
masyarakat.

Pada tahun 2017, LPPA PP Aisyiah mengkaji apa saja yang menjadi karakteristik
perempuan Islam berkemajuan. Yang menarik, salah satu karakteristik di masing-masing level—
personal, profesional dan sosial—menyebutkan keluarga sebagai pusat gerakan. Pada level
personal implementasi dari karakteristik ini adalah “menikah bagian dari sunnah. Mengajak
anggota keluarga sebagai kader, mencari jodoh yang sekufu, mendedikasikan/komitmen dalam
mendidik anak/tidak hanya pasrah pendidikan anak pada yang bukan ahlinya”. Pada level
profesional “tetap memprioritaskan keluarga dengan tetap menjalankan amanah profesi”,
sementara pada level sosial “membantu perjodohan, keluarga sama pentingnya dengan pekerjaan”
(Ibid hal 107 – 110).

Program Madrasah Perempuan Berkemajuan merupakan ladang persemaian kader-kader


moderat dan progresif di lingkungan Muhammadiyah. Menjadikan program ini massif di seluruh
Indonesia adalah sebuah pertaruhan karena muktamar tahun ini diharapkan menghasilkan
pemimpin yang memiliki agenda politik progresif.

“Karena agak riskan ya, Aisyiah dan Muhammadiyah sejak pemilu lalu polarisasinya
lumayan. Kalau tidak segera ditarik lagi, dikembalikan lagi ke tengah, taruhannya
adalah muktamar kali ini” (Alimatul Qibtiyah, 26 Januari 2020)

Mempersempit Ruang Gerak


Riset kami menunjukkan bahwa respons yang dilakukan Muhammadiyah dan NU ini bisa
mempersempit ruang gerak kelompok konservatif/radikal. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya
orang yang terlibat dalam berbagai program tersebut.

340 | L a p o r a n A k h i r
Program keluarga maslahat yang dilakukan oleh LKKNU mengalami scaling-up dengan
menggandeng KUA di seluruh Indonesia. Kampanye keluarga maslahah bekerjasama dengan
Bimbingan Perkawinan (BinWin) KUA memungkinkan para calon pengantin mengetahui
perspektif kesetaraan dalam perkawinan yang bisa digunakan sebagai wacana tandingan jika ada
kampanye tentang domestifikasi perempuan dan pengukuhan lembaga keluarga yang patriarkhis.

Konsep keluarga maslahah LKK-NU ini juga menjadi rujukan mengenai keluarga ideal
bagi seluruh kader NU, tidak terkecuali banom-banomnya. PW Fatayat NU DIY selalu merujuk
narasi yang dikembangkan oleh LKKNU ketika berbicara mengenai keluarga.

“Misalnya soal konsep keluarga perspektif fatayat itu kita bikin pendidikan
keluarga maslahah yang menghadirkan bapak-ibu/ pasangan muda, sama LKK.
Itu bagian dari mengcounter yang berkembang di luar sana. termasuk pola
pengasuhan yang positive parenting. Bahwa pengasuhan tidak hanya ibu tapi juga
ayah ibu.” (Khotimatul Husna, 5 Februari 2020)

Demikian juga dengan Madrasah Perempuan Berkemajuan. Bagi Aisyiah madrasah ini
tidak hanya ruang untuk menjelaskan tentang manhaj Muhammadiyah dan karakter keluarga
Muhammadiyah, tetapi juga berfungsi sebagai tempat persemaian kader-kader perempuan
progresif di kalangan Muhammadiyah. Ketika upaya ini dilakukan secara masif di semua wilayah,
maka akan muncul perempuan-perempuan yang berani memberi wacana tanding atas
konservatisme yang menggerogoti tubuh Muhammadiyah.

Di tingkat individu, inisiatif-inisiatif pribadi seperti yang dilakukan oleh Alimatul Qibtiyah
membuktikan adanya upaya mempersempit ruang gerak kelompok konservatif/radikal. Hal senada
juga ada di NU. Nur Rofiah sudah setahun ini menyelenggarakan kursus gratis mengenai Keadilan
Gender dalam Islam (KGI) di berbagai tempat yang disinggahi. Doktor di bidang tafsir ini berusaha
mendekatkan wacana dan perspektif gender ke khalayak umum. Baginya, perspektif ini hendaknya
bisa diakses oleh semua kalangan, tidak hanya orang-orang yang mendapat undangan workshop,
seminar, atau belajar dengan dosen di perguruan tinggi. Implikasi dari inisiatif semacam ini tentu
saja tidak bisa diukur segera. Namun melihat antusiasme publik atas kursus yang difasilitasi Nur
Rofiah, upaya memberi wacana tandingan dalam isu keluarga dan perempuan tampaknya mulai
membuahkan hasil.

341 | L a p o r a n A k h i r
Kesenjangan Persepsi dan Perspektif
Selain keberhasilan kelompok moderat dalam mempersempit ruang gerak kelompok
konservatif/radikal, riset ini menemukan adanya kesenjangan persepsi mengenai ancaman
radikalisme dan perspektif mengenai isu perempuan dan keluarga di internal kelompok moderat
itu sendiri.

Hasil wawancara memperlihatkan bahwa dalam organisasi perempuan kelompok Islam


moderat, fokus dan perhatian terhadap isu perempuan sudah sejak lama ada. Dunia ini menurut
pandangan mereka memang pada dasarnya patriarkal dan perlu ada upaya khusus untuk
mengubahnya. Perjuangan untuk membangun narasi keadilan gender dalam Islam pada awalnya
tidak ditujukan khusus untuk membendung narasi-narasi yang dikeluarkan oleh kelompok
moderat.

“Kita tidak ingin ikut gendang orang. Kita punya konsep yang ternyata juga relevan
dengan gerakan radikalisme.” (Nur Rofiah, 1 Februari 2020)

Hal ini sesuai dengan rekam jejak organisasi perempuan kelompok moderat seperti Fatayat
dan Aisyiah. Program-program yang dijalankan selama ini memang berfokus pada kepentingan
perempuan dan peran perempuan di ranah yang tak melulu domestik. Sasaran programnya pun
cukup komprehensif, dari masalah kesehatan reproduksi, kesejahteraan anak, hingga masalah
kesejahteraan ekonomi perempuan.

Namun demikian, fakta di lapangan tidak seideal yang diharapkan. Meski secara resmi
kebijakan dan pandangan resmi organisasi perempuan di NU dan Muhammadiyah sudah sangat
progresif dalam isu perempuan dan keluarga, para anggotanya tidak selalu satu suara. Ada
kesenjangan persepsi dan perspektif dalam isu perempuan dan keluarga, di dalam NU dan
Muhammadiyah itu sendiri, bahkan di dalam sayap organisasi perempuannya. Dalam tubuh
Fatayat atau Aisyiyah sendiri, ada pihak-pihak yang memiliki persepsi dan perspektif yang
berbeda.

Kesenjangan Persepsi
Meski berbagai elemen NU dan Muhammadiyah terlihat aktif merespons narasi kelompok
konservatif/radikal, tidak semua yang tergabung dalam kelompok moderat memiliki persepsi yang
sama mengenai ancaman ini dalam isu keluarga dan perempuan. Ada pihak-pihak yang

342 | L a p o r a n A k h i r
menganggap ancaman itu tidak ada atau tidak dirasakan minimal secara langsung oleh jamaah
mereka.

Ada pula yang merasakan ancaman besar dan sangat khawatir mengenai narasi kelompok
konservatif/radikal di isu ini. PW Fatayat DIY termasuk kategori yang ini. Namun bahkan sang
ketua mengakui bahwa persepsi ini tidak dirasakan oleh semua anggota. Fatayat di wilayah lain
pun dinilainya tidak bergerak sesigap DIY. Pernyataan ini dikuatkan oleh pengakuan narasumber
lain yang aktif di muslimat dan fatayat NU di Surakarta. Menurut mereka, tak banyak anggota
yang punya kesadaran mengenai narasi kelompok konservatif/radikal di isu perempuan dan
keluarga. Isu seperti poligami dan hijrah syar’i tidak banyak menjadi perbincangan di kalangan
internal NU. Program-program yang mereka jalankan juga tidak dirancang untuk mengatasi
masalah itu.

“Tidak ada (keresahan/ancaman). Resahnya, mau tahlilan dibilang bid'ah. Kalau di


Muslimat sendiri sebenarnya tidak ada (keresahan). Ibu-ibu itu resahnya, kalau mau
tahlilan dibilang bid’ah. Tapi kalau isu Hijrah, poligami itu tidak menjadi perbincangan
atau masalah.” (Hafidhah, 4 Februari 2020)
Ketua PCNU Surakarta juga salah satu yang punya persepsi kuat mengenai ancaman
radikalisme. Hanya saja, persepsi itu tidak spesifik di isu perempuan. Respons yang dia lakukan
seperti pendataan masjid NU dan penguatan dai lebih bersifat penguatan identitas kelompok.
Mereka berusaha mengkader dai-dai muda agar bisa berdakwah secara lebih kekinian dan menarik
bagi “swing voter” atau orang-orang yang ingin belajar Islam tapi belum punya afiliasi organisasi
tertentu. Ini sedikit berbeda dengan penguatan daiyah yang dilakukan PW Fatayat DIY yang selain
memikirkan kemasan, juga memberi penekanan pada pentingnya perspektif ramah perempuan.

Beberapa narasumber Aisyiyah dan NA di surakarta juga menyatakan hal yang serupa:
mereka tidak merasa tidak ada ancaman radikalisme.

“Saya juga ikut program deradikalisasi, diundang oleh kelompok Aman/ NU/ yang lainnya
tapi saya juga gak pernah ketemu yang seperti itu. Saya mengikuti karena saya ingin tahu
‘mereka membicarakan apa’, katanya kok seperti ini, tapi kok di tempatku gak ada. Bom
panci, bom bunuh diri, menyembunyikan jilbabnya karena apa.., di tempat saya tidak ada
yang seperti itu, dan belum pernah ketemu atau menemuinya.” (Woro, 4 Februari 2020)
Kesenjangan Perspektif
Selain perbedaan persepsi mengenai ada tidaknya narasi yang menggkhawatirkan di isu
perempuan dari kelompok konservatif/radikal, terdapat pula kesenjangan perspektif mengenai isu

343 | L a p o r a n A k h i r
perempuan di internal kelompok moderat. Meskipun semua kelompok moderat mengakui ada
perbedaan antara kelompok mereka dengan kelompok konservatif/radikal terkait isu perempuan,
sebagian masih memandang perbedaan itu terletak di level superfisial, pada simbol-simbol yang
kasat mata. Soal cadar dan jilbab berukuran besar misalnya, menjadi pusat perhatian semua elemen
kelompok moderat, entah itu organisasi induk maupun organisasi perempuannya. Di
Muhammdiyah ada aturan resmi bahwa mereka yang aktif secara struktural di badan amal
usahanya tidak boleh mengenakan cadar.357 Pakaian memang merupakan simbol identitas
kelompok yang mudah dikenali. Karena itu, ancaman menjadi lebih mudah dipersepsi dan
ditindaklanjuti. Namun perspektif yang dipakai pada akhirnya bukan soal keadilan gender,
melainkan lebih pada identitas kelompok.

Situasi yang berbeda terasakan pada isu lain yang tidak secara langsung berhubungan
dengan identitas kelompok, seperti isu kekerasan terhadap perempuan atau isu pembagian tugas
kepengasuhan anak. Di isu-isu semacam ini, organisasi induk yang didominasi oleh kaum lelaki
tidak menunjukkan kepedulian yang sama besar dengan organisasi perempuan.

Sebagai contoh, PWNU DIY dengan cepat dan tegas merespons laporan PW Fatayat
mengenai terpilihnya seorang kader yang bercadar sebagai ketua PAC. Mereka langsung
menginstruksikan pemilihan ulang. Di lain pihak, laporan dari PW Fatayat mengenai kasus
kekerasan seksual perlu waktu dan perjuangan yang lama untuk mendapat tanggapan yang
memuaskan baik dari organisasi induk maupun dari Pengurus Pusat Fatayat.

Di kalangan internal organisasi perempuan kelompok moderat sendiri, juga terdapat


kesenjangan perspektif. Semua organisasi perempuan kelompok moderat mengaku
memperjuangkan isu perempuan, tetapi kadar perspektif gender mereka berbeda. Secara resmi,
baik NU maupun Muhammadiyah sebenarnya menganut perspektif yang sangat progresif dalam
isu perempuan. Fatwa-fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah misalnya sudah banyak menggunakan
perspektif keadilan gender, seperti dalam isu poligami. LKK-NU juga sudah membuat modul
pelatihan keluarga dengan perspektif keadilan gender yang kuat. Sayangnya, tak semua
anggotanya mampu merengkuh perspektif ini dalam praktik keseharian. Baru sebagian kecil
orang—yang biasanya menduduki posisi cukup tinggi dalam hierarki organisasi—yang berhasil

357
wawancara dengan narasumber. Mengenai cadar, keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah bisa dibaca
di https://tarjih.or.id/hukum-tentang-jenggot-dan-cadar/

344 | L a p o r a n A k h i r
menginternalisasi perspektif keadilan gender ini. Dalam berbagai isu, para elite ini sudah mampu
menggunakan perspektif yang memang secara resmi dianut oleh organisasi perempuan mereka
sebagaimana termaktub dalam teks-teks resmi atau malah kadang melampauinya. Misalnya isu
pembagian peran dalam keluarga dan isu poligami

“Prinsip Islam dalam perkawinan itu monogami dan itu menjadi tuntunan keluarga
sakinah. Poligami itu kan pintu darurat.” (Latifah Iskandar, 2020)
“Suami berkewajiban mencari nafkah dan mendorong istri berkontribusi terhadap nafkah
keluarga. Laki-laki juga terlibat dalam tugas reproduksi. Karena bentuk keluarga itu
beragam, adakalanya; 1) Suami mencari nafkah – istri di rumah, 2) Suami mencari nafkah
– istri mencari nafkah, 3) Suami di rumah – istri mencari nafkah, 4) Dua-duanya tidak
mencari nafkah; dan 5) single parent.” (Alimatul Qibtiyah, 26 Januari 2020)
“Padahal kalau upaya kita kan bagaimana perempuan itu diakui sebagai manusia yang
utuh. Boleh bekerja, boleh beraktivitas. Yang itu tidak dibatasi. Tidak ada yang
membedakan laki-laki dan perempuan.” (Khotimatul Husna, 5 Februari 2020)

Untuk melihat ketidakmerataan perspektif di internal organisasi perempuan moderat, kita


bisa melihat pernyataan salah seorang aktivis organisasi perempuan moderat yang juga
diwawancara:

“Sekarang ini kan banyak perempuan yang bekerja di luar. Diseimbangkan. Konsepnya,
kita harus tau kodratnya kita sebagai perempuan itu gimana
Keluarga yang ideal ya yang bisa…ya kayak kita ini. Membimbing dan membina. Kalau
laki-laki kan membimbing istri dan anak-anaknya. kalau kita yang bisa membimbing dan
membina anak-anak dengan baik “(Laily, 4 Februari 2020)
Jelas bahwa yang bersangkutan masih menganut pembagian tugas tradisional dalam hal
pengasuhan anak. Ini berbeda dengan pandangan progresif sebagaimana dianut oleh para elite dan
dikampanyekan oleh lembaga-lembaga resmi seperti LKK-NU. Padahal yang bersangkutan adalah
ketua PC Fatayat, bukan sekadar anggota biasa.

Para elite ini pun mengakui bahwa perspektif keadilan gender seperti ini belum sepenuhnya
direngkuh oleh anggota mereka. Mereka masih terus berjuang untuk menanamkan perspektif
semacam ini pada banyak orang.

Ketika di daerah kok gak nyambung ya sosialisasi saja. Jadi sebenarnya konsep tingkat elit
sudah selesai, tapi sosialisasi massif yang belum. Karena kadang itu hanya surat edaran
saja, kalau gak face to face kayak gini kan gak nyampe (Alimatul Qibtiyah, 26 Januari
2020)
345 | L a p o r a n A k h i r
Faktor-Faktor Penyebab Kesenjangan
Ada banyak faktor yang dapat berpengaruh dan menyebabkan timbulnya kondisi kesenjangan
ini. Dari hasil wawancara, terlihat setidaknya ada dua faktor kunci yang berperan, yakni faktor isu
perempuan yang memang lebih sensitif dan faktor perbedaan jejaring serta logistik para aktivis
organisasi perempuan.

1. Isu Lebih Sensitif

Dibandingkan isu-isu lain yang menjadi “medan pertempuran” kelompok moderat dengan
kelompok konservatif/radikal, isu perempuan dan keluarga bisa dibilang memiliki keunikan. Isu
ini lebih mendapat resistensi di kalangan internal kelompok moderat sendiri ketimbang isu-isu
keagamaan yang lain.358 Isu gender secara umum memang mendapat resistensi dari banyak orang,
baik laki-laki maupun perempuan. Resistensi dari kaum lelaki biasanya lebih banyak karena
mereka yang paling diuntungkan dengan perspektif patriarki.

Patriarki sudah sedemikian berakar dalam masyarakat kita, sehingga kadang sulit untuk melihat
bias-bias yang ditumbulkannya, terutama dalam menafsir teks-teks keagamaan. Nur Rofiah, salah
satu sosok kunci yang mengegolkan modul bimbingan perkawinan LKK-NU dan hingga sekarang
aktif melancarkan diseminasi perspektif gender dalam memahami teks-teks keagamaan dengan
Ngaji KGI (Kajian Gender Islam), menyampaikan hal ini:

“Kita ini anak kandung sistem patriarki yang sudah berabad-abad lamanya. Sejak kecil
kita diinternalisir dengan nilai-nilai patriarki. Oleh karena itu, orang tidak bisa sadar
keadilan gender kecuali ada upaya tertentu, untuk menyadarkan diri. Bahkan orang baik
pun bisa bias gender. Jangankan yang tidak belajar isu gender. Kita yang belajar aja masih
sering kepleset kok.”
“Sebenarnya gender itu dari dulu sudah (jadi isu) sensi. Kita ngomong gender atau tafsir
alternatif aja banyak yang nolak.” (Nur Rofiah, 1 Februari 2020)

Karena keunikan ini, dalam isu perempuan terdapat irisan lebih besar antara kelompok
konservatif/radikal dengan kelompok moderat. Ini disebabkan karena dalam kelompok moderat,

358
Wawancara dengan Nur Rofiah, 1 Februari 2020

346 | L a p o r a n A k h i r
memang masih banyak yang menganut pandangan konservatif tradisional mengenai isu
perempuan dan keluarga.

“Di isu selain gender banyak yang moderat. Di isu gender ada kecenderungan, apapun
varian kelompoknya (kelompok konservatif/radikal atau moderat) semua sama
(konservatif).” (Nur Rofiah, 1 Februari 2020)
Begitu sensitifnya isu gender ini hingga Nur Rofiah melarang orang merekam acara Ngaji
KGI-nya. Dia khawatir bila orang hanya menangkap sepotong-sepotong, akan timbul
kesalahpahaman yang malah kontraproduktif dengan tujuannya mengadakan Ngaji KGI. Dia juga
khawatir pernyataannya bisa dipelintir sembarang orang sehingga malah merugikan
perjuangannya untuk menyebarluaskan perspektif gender.

Sensitifnya isu gender ini diakui hampir semua narasumber. Apalagi, pandangan progresif
di berbagai isu keagamaan memang cenderung membuat orang mudah menyematkan label-label
yang derogatif seperti “liberal”.

“Pengurus Wilayah Aisyiah Surabaya, hingga saat ini belum melaksanakan MPB dengan
alasan karena masih ada penolakan, karena pemikirannya dianggap terlalu liberal. Ada
kekhawatiran ketika bicara imam salat perempuan untuk laki-laki dewasa, tidak bisa
menjawab bila ditanya”. (Alimatul Qibtiyah, 26 Januari 2020)
“Agak terkejut, ketika mendengar Fatayat PWNU Jawa Tengah mengadakan (acara
dengan) Rofi'ah, mendapat teguran dari PWNU Jawa Tengah ….karena mungkin mbak
Nur Rofiah dianggap memiliki pandangan yang lebih liberal. " (Nur Hasyim, 2 Februari
2020)
Organisasi perempuan baik di NU maupun Muhammadiyah menghadapi situasi yang semakin
sulit. Perspektif perempuan belum sepenuhnya diterima oleh semua bagian dalam kelompok
mereka, sudah datang ancaman baru lagi dari luar. Narasi patriarkal dari kelompok
konservatif/radikal yang ingin mengembalikan perempuan ke posisi tradisional dikhawatirkan
mementahkan perjuangan organisasi perempuan kelompok moderat selama ini.

2. Perbedaan Jejaring dan Logistik

Faktor lain yang menimbulkan kesenjangan persepsi dan perspektif ini adalah soal jejaring
dan logistik. Hampir semua narasumber yang memiliki perspektif kesetaraan gender atau memiliki
persepsi adanya ancaman narasi kelompok konservatif/radikal dalam isu perempuan dan keluarga
pernah mendengar nama Nur Rofiah. Nama Ruby Kholifah, Faqih Abdul Kodir, Badriyah Fayumi
juga disebut oleh beberapa sumber yang berbeda. Rahima, Fahmina, KUPI, LKK, dan AMAN
347 | L a p o r a n A k h i r
(Asian Muslim Action Network) adalah nama-nama lembaga yang kerap muncul dalam
perbincangan. Semakin kuat jejaring seseorang dengan tokoh-tokoh atau lembaga-lembaga ini,
biasanya semakin kuat pula perspektif keadilan gender yang mereka miliki.

Hal ini tidak mengejutkan, karena bisa dibilang tokoh-tokoh dan lembaga-lembaga yang
disebut tadi memang merupakan pionir atau setidaknya sudah lama bergerak di dalam isu
perempuan dan keluarga. Orang-orang ini sudah konsisten memperjuangkan isu perempuan dan
keluarga selama bertahun-tahun. Mereka dan lembaga-lembaga yang disebut tadi memang
akhirnya menjadi rujukan bagi banyak orang yang ingin belajar lebih jauh mengenai perspektif
gender dalam Islam.

Berkat konsistensi mereka menyuarakan perspektif keadilan gender dalam Islam, muncullah
tokoh-tokoh baru yang turut membantu diseminasi gagasan keadilan gender dalam Islam. Dalam
taraf paling minimal, upaya diseminasi narasi keadilan gender dalam Islam yang disuarakan
mereka ini telah berhasil membuka wawasan soal ancaman narasi kelompok konservatif/radikal
dan memperkuat perspektif keadilan gender pada tokoh-tokoh penting dalam organisasi
perempuan NU dan Muhammadiyah.

Barangkali memang tidak mungkin memahami ada perang narasi atau ada perspektif yang
berbeda mengenai isu perempuan dan keluarga bila orang hanya berkutat di lingkungan
tradisionalnya saja sebagaimana yang disampaikan seorang narasumber.

Kalau di Muslimat sendiri tidak ada keresahan ... Isu poligami tidak menjadi isu
perbincangan di ibu-ibu Muslimat. Saya sendiri baru kerasa setelah keluar dari muslimat.
Saya di MUI kan campuran, ada Aisyiah, dll. Ada yang baru kenal Islam. (Hafidhah, 4
Februari 2020)
Subjek yang sama juga pernah mengikuti acara Rahima dengan Nur Rofiah sebagai narasumber.
Dia juga beberapa kali berkontak dengan Ruby Kholifah dan diundang untuk mengikuti acara
AMAN.

Semakin dekat dan kerap persinggungan seseorang dengan tokoh atau lembaga ini, tampak
semakin kuat pula perspektif keadilan gender yang mereka miliki. Khotimatul Husna misalnya
adalah anggota KUPI (Konggres Ulama Perempuan Indonesia) yang juga sering bertemu Nur
Rofiah dalam berbagai acara. Di sisi lain, narasumber dengan perspektif dan persepsi paling lemah
soal isu perempuan tidak sekali pun menyebut nama tokoh atau lembaga yang disebut di atas.

348 | L a p o r a n A k h i r
Mempengaruhi Negara dan Pemerintah
NU maupun Muhammadiyah memiliki tokoh-tokoh yang punya kepedulian pada isu
perempuan dan keluarga dan aktif mempengaruhi kebijakan pemerintah dan negara. NU dan
Muhammadiyah berhasil mendorong disahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Namun gambaran yang berbeda bisa dilihat pada kasus lain yakni dalam polemik
Rancangan Undang-undang Ketahanan Keluarga (RUU Ketahanan Keluarga) dan Rancangan
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). RUU Ketahanan Keluarga yang
ditolak oleh kelompok moderat justru masuk dalam program legislasi nasional tahun 2020,
sementara RUU PKS yang didukung kelompok moderat tidak berhasil masuk dalam program
legislasi nasional tahun 2020. Padahal kampanye dukungan gerakan perempuan dari kelompok
Islam moderat cukup gencar untuk mendukung disahkannya RUU PKS. Kampanye organisasi
perempuan dalam kasus ini tidak cukup mendapatkan dukungan politik di parlemen, bahkan dari
kelompok-kelompok yang dianggap moderat. Hal ini makin menegaskan soal kesenjangan
perspektif di dalam kelompok moderat sendiri. Pada isu perempuan dan keluarga, posisi kelompok
Islam moderat, tidak selalu bisa ditarik garis pembeda dengan kelompok Islamis atau konservatif.

Hal berbeda terjadi dalam konteks kebijakan yang sifatnya lebih operasional atau turunan
dari undang-undang seperti kebijakan pemerintah dalam program Bimbingan Calon Pengantin
(Binwin) dan program moderasi beragama dalam keluarga di Kementerian Agama. Kelompok
moderat justru lebih bisa masuk dan diterima gagasannya dalam merancang pendidikan calon
pengantin yang lebih mencerminkan nilai-nilai Islam yang moderat, lebih adil gender, dan
berpihak pada perempuan dan penguatan keluarga. Keberhasilan mempengaruhi kebijakan
pemerintah tersebut, paling tidak bisa mengatasi keterbatasan internal kedua organisasi tersebut
dalam melakukan diseminasi narasi yang dikembangkannya karena keterbatasan sumberdaya.
Sekalipun proses diseminasi narasi yang dilakukan melalui negara dan pemerintah tidak selalu
berjalan mulus, namun setidaknya mampu menjadi narasi dominan dalam kebijakan dan
memperluas jangkauan diseminasi narasi melalui pemanfaatan sumberdaya pemerintah.

349 | L a p o r a n A k h i r
A. Mempengaruhi Kebijakan Negara

NU dan Muhammadiyah memiliki kontribusi dalam mendorong disahkannya Undang-


Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Bersama aktivis dan gerakan perempuan dan anak, mereka mendorong upaya
pendewasaan usia perkawinan melalui revisi batas minimal usia perkawinan. Akhirnya diputuskan
dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 bahwa batas minimal usia perkawinan menjadi 19 tahun.

Isu ini penting diperhatikan karena berseberangan dengan gerakan kelompok-kelompok


Islamis dan pejuang hijrah yang justru mengkampanyekan gerakan perkawinan muda atas nama
agama.359. Gerakan tersebut memang tidak bisa dianggap berpengaruh langsung pada
meningkatnya jumlah perkawinan usia anak, karena perkawinan anak sudah banyak terjadi
sebelum gerakan tersebut muncul, namun gerakan-gerakan tersebut mampu menarik perhatian
anak-anak muda, terutama di perkotaan. Narasi gerakan tersebut juga seringkali tumbuh subur di
lingkungan pendukung radikalisme dan eksklusivisme Islam. Mendorong pendewasaan batas usia
perkawinan berarti membatasi ruang gerak dan narasi kelompok-kelompok Islamis dan hijrah yang
mengkampanyekan perkawinan muda. Secara tidak langsung juga akan mempersempit ruang
gerak dan transmisi nilai, kultur dan pandangan keagamaan yang konservatif dan radikal.

359
Sebagai contoh adalah kampanye yang dilakukan oleh Gerakan Nikah Muda di akun Instagram
@gerakannikahmuda, @indonesiatanpapacaranid, @hijrahdaripacaran, @beraninikahtakutpacaran dan masih
banyak lagi yang lain.

350 | L a p o r a n A k h i r
Gambar 3: Poster Instagram #Gerakannikahmuda

Perkawinan usia anak menjadi perhatian karena menjadi salah satu target SDGs
(Sustainable Development Goals), untuk mencapai tujuan 5 -target 5.3, yaitu menghapus semua
praktik berbahaya, termasuk perkawinan anak pada tahun 2030. Perkawinan anak memiliki
dampak yang luas terhadap masalah kesehatan, kemiskinan, pendidikan dan kekerasan dalam
rumah tangga, utamanya bagi perempuan (BPS et.el, 2020; Hakiki 2020). Data menunjukkan
bahwa prevalensi perkawinan anak memang terus berkurang, namun angkanya masih tergolong
tinggi. Pada tahun 2018 prevalensi perkawinan usia anak mencapai 11,21% pada usia di bawah 18
tahun dan 0,56% pada usia dibawah 15 tahun. Sementara pada tahun 2008 prevalensi perkawinan
anak mencapai 14,67% pada usia dibawah 18 tahun dan 1,60% pada usia di bawah 15 tahun. Pada
wilayah perdesaan angka tersebut turun sekitar 5,76% dan di wilayah perkotaan justru hanya turun
sekitar 1%. Mayoritas perkawinan usia anak melibatkan anak perempuan dengan perkiraan pada
tahun 2018 terdapat 1.220.900 anak perempuan atau sekitar 1 dari 9 perempuan menikah sebelum
usia 18 tahun, berbanding 1 dari 100 laki-laki menikah sebelum usia 18 tahun (Hakiki 2020).

351 | L a p o r a n A k h i r
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinilai memberi peluang terjadinya perkawinan
usia anak. Pasal 6 ayat (2) mengatur bahwa syarat perkawinan sebelum usia 21 tahun harus
mendapatkan izin kedua orang tua, namun pasal 7 ayat (1) justru membuka peluang diperbolehkan
bila laki-laki telah berusia 19 tahun dan perempuan 16 tahun. NU dan Muhammadiyah pada
awalnya, saat terjadi perdebatan mengenai judicial review UU Perkawinan di Mahkamah
Konstitusi tahun 2014, mempertahankan batas usia perkawinan sebagaimana diatur dalam UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yaitu 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Sebab,
rumusan batas usia perkawinan tersebut telah dianggap sebagai kesepakatan ulama dan disetujui
pembuat undang-undang. Ahmad Ishomudin, salah seorang Rois Syuriah PBNU dalam hal ini
menyampaikan bahwa;

“Penetapan batas usia itu diambil dari pandangan Imam Syafi’i karena mazhab beliau
sangat terkenal di Asia Tenggara. Wajar kalau para ulama menetapkan 16 tahun.”360
Sementara Ibnu Sina Chandranegara, Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah
menyampaikan;

“Imam Abu Hanifah menetapkan kedewasaan bagi laki-laki ketika sudah mencapai 18
tahun dan usia 17 tahun bagi perempuan. Sedangkan Imam Maliki, Syafi’i, dan Hambali
menentukan batas usia baligh bagi laki-laki dan perempuan 15 tahun.”361
Belakangan, ketika terdapat peluang untuk melakukan revisi batas usia perkawinan pada
tahun 2019, NU dan Muhammadiyah mendukung pendewasaan batas usia perkawinan. Ketua
Umum Pimpinan Pusat (PP) Fatayat NU, Anggia Ermarini, menyampaikan bahwa idealnya batas
minimal usia perkawinan itu 20 tahun, karena menyangkut kematangan biologis, psikologis dan
sosial. Namun ketika pemerintah mengusulkan batas usia perkawinan baik laki-laki maupun
perempuan menjadi 19 tahun, Fatayat NU memberikan pernyataan mendukung kebijakan tersebut
agar batas usia perkawinan perempuan ditingkatkan menjadi sama dengan laki-laki (Zuhratul
Oktaviani 2019).

360
Hukumonline.com (2014). NU-Muhammadiyah Minta Batas Usia Nikah Dipertahankan -
hukumonline.com. Hukum Online, “NU-Muhammadiyah Minta Batas Usia Nikah Dipertahankan”,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt547d83707f8a9/nu-muhammadiyah-minta-batas-usia-nikah-
dipertahankan/
361
Ibid

352 | L a p o r a n A k h i r
Aisyiah-Muhammadiyah juga mengaku turut mempengaruhi dan mengadvokasi upaya
pendewasaan batas usia perkawinan tersebut. Alimatul Qibtiyah, Ketua Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Pimpinan Pusat Aisyiah, menyampaikan;

“Saat menentukan batas usia perkawinan, Aisyiah mengirimkan Fiqh Perlindungan Anak
ke DPR, di mana usia pernikahan idealnya 21 tahun dan tidak dianjurkan di bawah 18
tahun. Akhirnya kemarin dapat 19 tahun pas diputuskan.” (Wawancara Alimatul Qibtiyah,
26 Januari 2019)
Selain revisi UU Perkawinan, sejak akhir tahun 2019 hingga 2020 terdapat dua Rancangan
Undang-Undang terkait dengan isu keluarga dan perempuan yang santer dibicarakan, yaitu
Rancangan Undang-undang Ketahanan Keluarga (RUU Ketahanan Keluarga) dan Rancangan
Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

RUU Ketahanan Keluarga menjadi polemik lantaran mengandung pasal-pasal yang


dianggap cenderung mendomestikasi perempuan, terlalu masuk ranah privat dan mengatur hal-hal
yang kontroversial,362 sebagaimana dalam infografis yang dibuat oleh liputan6.com.363 RUU
Ketahanan Keluarga tersebut masuk program legislasi nasional di DPR RI atas inisiatif anggota
dewan yang berasal dari PAN, Golkar, PKS dan Gerindra.364 RUU Ketahanan keluarga ini lahir
dari keprihatinan atas masalah-masalah keluarga, di antaranya tingginya angka perceraian,
tingginya angka kehamilan usia anak, kekerasan seksual anak, paparan pornografi pada anak, dan
banyaknya keluarga yang terpisah dan tidak tinggal dalam satu rumah (Floranti 2020; Tim
Penyusun RUU Ketahanan Keluarga DPR 2020).

362
Tirto.id, “Pengusul RUU Ketahanan Keluarga Tugas Istri Lebih Banyak Urus Anak”
https://tirto.id/pengusul-ruu-ketahanan-keluarga-tugas-istri-lebih-banyak-urus-anak-eAcS; Nasional Kompas,
“RUU Ketahanan Keluarga Dinilai Tak Boleh Urusi Persoalan Ruamah Tangga’,
“https://nasional.kompas.com/read/2020/02/20/21191811/ruu-ketahanan-keluarga-dinilai-tak-boleh-urusi-
persoalan-rumah-tangga
363
Liputan6, “Inofgrafis Pasal-Pasal Kontroversial Draft RUU Ketahanan Keluarga”,
https://www.liputan6.com/news/read/4183909/infografis-pasal-pasal-kontroversial-draf-ruu-ketahanan-keluarga
364
Tirto.id. “Pengusul RUU Ketahanan Keluarga Tugas istri Lebaih Banyak Urus Anak”,
https://tirto.id/pengusul-ruu-ketahanan-keluarga-tugas-istri-lebih-banyak-urus-anak-eAcS

353 | L a p o r a n A k h i r
Gambar 4: Infografis Pasal-pasal Kontroversial Draft RUU Ketahan Keluarga

Sementara itu RUU PKS menjadi kontroversi karena masih ada hal-hal seperti batasan
definisi kekerasan seksual yang dinilai mengandung makna ganda, serta beberapa pasal yang
dianggap berpotensi melegalkan praktik seks bebas dan perilaku seks kaum LGBT. 365 RUU PKS
diajukan oleh DPD dan DPR melalui Fraksi PDIP, PKB dan PAN,. Kemudian PAN menarik diri,

365
Lihat, misalnya respon Partai Keadilan Sejahtera “Sederet Alasan F-PKS Tolak RUU Penghapusan
Kekerasan Sesksual”, di https://news.detik.com/berita/d-4417286/ini-sederet-alasan-f-pks-tolak-ruu-
penghapusan-kekerasan-seksual; dan respon MUI di Katadata, “Gagal Paham RUU PKS Dianggap Pro LGBT
dan Melenceng dari Agama”, di https://katadata.co.id/sortatobing/berita/5e9a4e6c2b1cc/gagal-paham-ruu-pks-
dianggap-pro-lgbt-dan-melenceng-dari-agama; Naskah Akademik RUU PKS
http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/RJ1-20170307-091105-5895.pdf

354 | L a p o r a n A k h i r
namun ada partai Gerindra yang kemudian juga mendukung RUU tersebut.366 Menariknya RUU
PKS ini justru mendapatkan penolakan dari masyarakat pendukung RUU Ketahanan Keluarga.
Aliansi Cerahkan Negeri (ACN) dan KAMMI dalam diskusi terbuka dengan tema "Nanti Kita
Cerita Tentang Ketahanan Keluarga" pada 23 Februari 2020 di Jakarta menganggap bahwa RUU
PKS menghambat Ketahanan Keluarga. Sementara FPI (Front Pembela Islam) menolak RUU PKS
karena dianggap berbahaya, mengandung paham feminisme dan berpotensi melegalkan LGBT.367
Argumen penolakan serupa juga dilakukan oleh AILA (Aliansi Indonesia Cinta Keluarga), salah
satu eksponen yang getol mendukung RUU Ketahanan Keluarga.368 Dukungan Terhadap RUU
Ketahanan Keluarga dan penolakan terhadap RUU PKS juga dilakukan oleh Kongres Umat Islam
Indonesia (KUII) pada bulan tanggal 25-28 Februari 2020 di Kota Pangkal Pinang.369

Mengenai RUU Ketahanan Keluarga, NU berpandangan bahwa RUU tersebut cenderung


mendomestikasi perempuan, terlalu mengatur hal-hal privat, dan tumpang tindih dengan
perundang-undangan lain.370 Alissa Wahid, Sekjen Lembaga Kemaslahatan Keluarga Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (LKK PBNU) menyatakan bahwa RUU tersebut aneh dan bermasalah,
setidaknya dalam dua hal; pertama negara terlalu masuk urusan privat, hingga mengatur soal
tempat tidur; dan kedua, ada kekeliruan cara pandang mengenai relasi suami istri, terlalu
mendomestikasi perempuan, tidak ada semangat keadilan dan keseimbangan dalam keluarga.371
Siti Musdah Mulia, menyebut RUU ini jahiliah. Tanggungjawab istri adalah mengurus rumah

366
Detik.com, “Gerindra Dorong RUU Kekerasan Seksual Segera Disahkan”,
https://news.detik.com/berita/d-4129739/gerindra-dorong-ruu-kekerasan-seksual-segera-disahkan
367
Detik.com, “FPI Tolak RUU PKS Berbahaya Berpotensi Melegalkan LGBT”, di
https://news.detik.com/berita/d-4679068/fpi-tolak-ruu-pks-berbahaya-berpotensi-melegalkan-lgbt
368
Jurnal Islam.com, “Indonesia Dukung Penyusunan RUU Ketahanan Keluarga”,
https://jurnalislam.com/aila-indonesia-dukung-penyusunan-ruu-ketahanan-keluarga/; Hidayatullah, “Inilah 7 Poin
Penting RUU Ketahanan Keluarga yang Tak Diketahui Banyak Orang”, di
https://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2020/03/05/179362/aila-inilah-7-poin-penting-ruu-ketahanan-
keluarga-yang-tak-diketahui-banyak-orang.html
369
Kumparan, “Kongres Umat Islam Ubah Rekomendasi Dukung RUU Ketahanan Keluarga Hingga
RKUHP” di https://kumparan.com/kumparannews/kongres-umat-islam-ubah-rekomendasi-dukung-ruu-
ketahanan-keluarga-hingga-rkuhp-1sw1mY33jFf/full
370
Republika, “Fatayat NU RUU Ketahanan Kelaurga Perlu Kajian Komprehensif”
https://republika.co.id/berita/q61ric327/fatayat-nu-ruu-ketahanan-keluarga-perlu-kajian-komprehensif
371
Sebagaimana dikutip dalam NU Online, “LKK PBNU Sebut Aneh Draft RUU Ketahanan Keluarga”,
dihttps://www.nu.or.id/post/read/116912/lkk-pbnu-sebut-aneh-draf-ruu-ketahanan-
keluarga?utm_source=dlvr.it&utm_medium=twitter

355 | L a p o r a n A k h i r
tangga sebaik-baiknya dan suami bertanggungjawab pada keutuhan dan kesejahteraan keluarga,
padahal seharusnya tanggungjawab mengurus rumah tangga itu menjadi kewajiban bersama suami
dan istri.372

Tidak ada sikap resmi Muhammadiyah terhadap RUU Ketahanan Keluarga. Namun
demikian, beberapa tokoh Aisyiah menunjukkan kritik dan penolakan terhadap substansi RUU ini.
Siti Syamsiyatun, salah seorang pimpinan di LPPA Aisyiah menyatakan bahwa ekosistem
keluarga yang Qur’ani, yaitu yang bercirikan mu’asyarah bil ma’ruf, sakinah, mawaddah dan
rahmah diwujudkan dalam karakter, etika dan pengalaman kebajikan relasi antar anggota keluarga,
kesepakatan-kesepakatan peran, bukan dalam perwujudan satu model pembagian peran saja. Lebih
lanjut ia mengatakan, “Negara tidak perlu ikut menentukan model pembagian peran keluarga
dalam mewujudkan ekosistem Qur’ani tersebut” (Syamsiyatun 2020).

Sementara Nasyiatul Aisyiah yang sempat mengadakan diskusi mengenai RUU tersebut
dengan menghadirkan pihak pro dan kontra menyebutkan dalam salah satu publikasi bahwa,
“Tujuan dari RUU Ketahanan Keluarga adalah untuk kekuatan perlingungan, termasuk akses bagi
setiap keluarga sebagai institusi terkecil dalam masyarakat agar dapat mengembangkan potensinya
menjadi keluarga yang berkualitas.”373 Namun Nasyiatul Aisyiyah tidak membicarakan bagaimana
sikap mereka terhadap pasal-pasal kontroversial.

372
Medcom.ID, “RUU Ketahanan Keluarga Jahiliah”, https://www.medcom.id/nasional/politik/wkBY0Z0b-ruu-
ketahanan-keluarga-jahiliah
373
https://twitter.com/muhammadiyah/status/1233626261148188672

356 | L a p o r a n A k h i r
Gambar 5: Status Twitter Muhammadiyah Tentang

Penolakan terhadap RUU Ketahanan Keluarga tidak datang hanya dari NU maupun Muhammadiyah.
Organisasi masyarakat Katolik yang terdiri dari Pemuda Katolika, Wanita Katolik Republik Indonesia, serta
Seknas Forum Masyrakat Katolik Indonesia (Seknas FMKI) juga menolak RUU Ketahanan Keluarga
karena dianggap terlalu mengatur ranah privat.374 Komnas Perempuan, Komnas HAM, FORMAPI (Forum

Indonews.id, “Atur Hal Pribadi Keluarga, Ormas Katolik Tolak RUU Ketahanan Keluarga”, (Jakarta, indones.id,
374

2020), https://indonews.id/artikel/27636/Atur-Hal-Pribadi-Keluarga-Ormas-Katolik-Tolak-RUU-Ketahanan-
Keluarga/

357 | L a p o r a n A k h i r
Masyarakat Peduli Parlemen) dll juga menolak RUU tersebut375. Namun demikian, RUU Ketahanan
Keluarga pada akhirnya tetap masuk dalam Program Legislasi Nasional tahun 2020376.

Sementara terkait dengan RUU PKS, sikap NU dan Muhammadiyah yang direpresentasikan oleh
organisasi perempuan mereka sangat jelas mendorong disahkannya RUU tersebut. Aisyiyah secara khusus
mengirimkan surat nomor 195/PPA/A/IX/2019 tertanggal 25/9/2019 yang ditujukan pada pimpinan DPR
RI agar RUU PKS menjadi agenda prioritas 2019-2024 (Muthmainnah 2020).

Tri Hastuti, sekretaris PP Aisyiyah, sebagaimana dikutip republika.co.id menyampaikan


pentingnya RUU PKS tersebut."377 Sementara Fatayat NU melalui Ketua Umumnya Anggia Ermarini
menyampaikan bahwa tidak ada alasan lagi untuk menunda-nunda pembahasan dan pengesahan RUU
PKS.378

RUU PKS dianggap penting untuk segera disahkan karena banyaknya kasus kekerasan seksual
yang terjadi di Indonesia. Data Komnas Perempuan sejak tahun 1998 hingga 2003 menunjukkan adanya
93.960 kasus kekerasan seksual atau hampir seperempat dari jumlah kasus yang dilaporkan (400.939), yang
berarti rata-rata setiap hari terdapat 35 orang menjadi korban kekerasan seksual.379 Survei yang dilakukan
Rifka Annisa di 3 kota di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 19,5% hingga 48,6% laki-laki mengaku
pernah melakukan kekerasan seksual terhadap pasangan maupun non pasangan, sementara sekitar 5,8%
hingga 23,4% mengaku pernah melakukan perkosaan terhadap non-pasangan (Hayati 2015). Sedangkan
survei nasional pengalaman hidup perempuan (SPHPN) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun
2017 menunjukkan bahwa sekitar 15,8% perempuan yang pernah menikah pernah mengalami kekerasan

375
Liputan 6, “Belum Disahkan, Ini Deretan Penolakan untuk RUU Ketahanan Keluarga”,
https://www.liputan6.com/news/read/4184824/belum-disahkan-ini-deretan-penolakan-untuk-ruu-ketahanan-
keluarga; Medcom.id, “RUU Ketahanan Keluarga Panen Penolakan,“ di
https://www.medcom.id/nasional/politik/8koBa83b-ruu-ketahanan-keluarga-panen-penolakan; Kompas, “Ramai-
Ramai Menolak RUU Ketahanan Keluarga”, di https://nasional.kompas.com/read/2020/02/21/14595191/ramai-
ramai-menolak-ruu-ketahanan-keluarga?page=all
376
DRP RI, “RUU tentang Ketahanan Keluarga”, http://www.dpr.go.id/uu/detail/id/413
377
Neni Ridarineni, Agus Raharjo, and Satria Kartika Yudha, "Aisyiyah Dan Fatayat Dorong RUU PKS
Disahkan," Republika.co.id, “Aisyiyah dan Fatayat Dorong RUU PKS Disahkan”,
https://republika.co.id/berita/koran/halaman-1/16/05/09/o6wbcc2-aisyiyah-dan-fatayat-dorong-ruu-pks-disahkan.
378
ibid.
379
DPR-RI, “Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual”,
(Jakarta, DPR-RI, 2020), hlm. 22; http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/RJ1-20170307-091105-5895.pdf

358 | L a p o r a n A k h i r
seksual dari selain pasangan mereka, dan perempuan yang belum pernah menikah 33,4% mengaku
mengalami kekerasan seksual dari selain pasangan mereka.380

Diskusi-diskusi untuk membahas dan mendorong pentingnya RUU PKS disahkan menjadi
Undang-Undang banyak dilakukan oleh organisasi dan gerakan perempuan di NU maupun
Muhammadiyah. Bahkan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah pada tanggal 10 Maret 2019 di
Yogyakarta secara khusus menggelar focus group discussion membahas RUU PKS tersebut. Majelis Tarjih
dan Tajdid Muhammadiyah dalam hal ini menyatakan tidak sepenuhnya mendukung dan tidak sepenuhnya
menolak. Secara umum semangat perlindungannya terhadap korban diterima dengan sangat baik, namun
terdapat beberapa kritik, saran dan masukan. Definisi kekerasan seksual dipandang menegasikan aspek
moral, norma masyarakat dan agama, padahal harusnya norma masyarakat dan agama menjadi asas. Majelis
Tarjih juga mengusulkan adanya rumusan pasal mengenai penyelesaian kekerasan seksual dengan
pendekatan non pidana, karena seharusnya pidana menjadi solusi terakhir untuk pelanggaran yang terjadi.381
Sementara Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU pada tanggal 27 Februari - 1 Maret
2019 di Banjar, Jawa Barat, mendukung disahkannya RUU PKS dengan catatan, di antaranya mengenai
bentuk-bentuk kekerasan seksual agar menggali dari khazanah fikih, dan mengusulkan perubahan nama
RUU tersebut menjadi RUU Pencegahan Kekerasan Seksual agar aspek pencegahan menjadi lebih
diprioritaskan.382 Pada akhirnya sekalipun kampanye dukungan terhadap RUU PKS ini banyak disuarakan,
namun dalam Rapat Paripurna DPR RI bulan Juli 2020, RUU PKS diputuskan tidak masuk dalam program
legislasi nasional tahun 2020.383

B. Mempengaruhi Kebijakan Pemerintah

NU maupun Muhammadiyah juga mampu mempengaruhi narasi keluarga di pemerintah.


Misalnya dalam konsep keluarga Sakinah Aisyiyah-Muhammadiyah dan Keluarga Maslahah
LKKNU (Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama). Keduanya cukup mewarnai

380
BPS, "Berita Resmi Statistik: Hasil Pendataan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2016,"
(Jakarta: Badan Pusat Statitik, 2016).
381
Ibid
382
NU Online, “Munas Konbes NU Setuju RUU PKS dengan Catatan”,
https://www.nu.or.id/post/read/103183/munas-konbes-nu-setuju-ruu-pks-dengan-catatan; RRI, “Munas Konbes
NU Setuju RUU PKS dengan Catatan”, https://rri.co.id/nasional/642819/munas-konbes-nu-setuju-ruu-pks-
dengan-catatan
383
CNN Indonesia, “DPR Putuskan RUU PKS Masuk Prolegnas Prioritas 2021”,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200716165210-32-525544/dpr-putuskan-ruu-pks-masuk-prolegnas-
prioritas-2021;

359 | L a p o r a n A k h i r
pengembangan konsep dan program pembangunan keluarga yang dilakukan oleh pemerintah,
melalui bimbingan calon pengantin (Binwin) dan program moderasi beragama melalui pendekatan
keluarga. Upaya mewarnai konsep keluarga di pemerintahan tersebut penting, karena menurut
Ahmad Ghozi, Sekretaris LKK PWNU DI Yogyakarta, negara atau pemerintah saat ini menjadi
tempat pertarungan kepentingan antar narasi keluarga yang mendemokratisasi keluarga melalui
konsep-konsep keluarga sakinah di kementerian agama, namun juga ada narasi keluarga yang
mendomestikasi perempuan, seperti Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga.384 RUU
Ketahanan Keluarga sempat santer dibicarakan di awal tahun 2020 dan masuk pembahasan Badan
Legislatif DPR RI. Alissa Qotrunnada, sekretaris LKK PBNU memberikan pandangan yang
mengkritik Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga tersebut, yang menurutnya terlalu
masuk pada urusan privat, dan memiliki cara pandang relasi suami-istri yang subordinatif, tidak
adil gender dan mendomestikasi peran perempuan. 385

Upaya mempengaruhi pemerintah tersebut dapat terlihat dari keterlibatan tokoh-tokoh NU


di LKKNU maupun dari Aisyiah yang terlibat dalam mendorong dan merumuskan kebijakan
Bimbingan Calon Pengantin di Kementerian Agama dan program moderasi beragama melalui
pendekatan keluarga. Mereka terlibat pula dalam merumuskan materi dan modul Bimbingan
Perkawinan untuk Calon Pengantin yang digunakan untuk melakukan Bimbingan Calon Pengantin
di KUA (Kantor Urusan Agama). Tokoh-tokoh seperti Alissa Qatrunada, Faqihuddin Abdul Qadir
dan Nur Rofiah adalah orang-orang terlibat aktif dalam perumusan konsep keluarga maslahah di
lingkungan LKKNU, yang kemudian juga terlibat dalam perumusan konsep Bimbingan Calon
Pengantin di KUA. Nur Rofi’ah dalam hal ini mengemukakan pengalamannya tergabung dalam
Tim Bimbingan Calon Pengantin di KUA, sebagai beriktu;

“Kalau prosesnya masing-masing awalnya berjalan sendiri. Binwin dulu menggunakan


istilah keluarga sakinah. Aku dengan perspektif keadilan hakiki bagi perempuan, Faqih
dengan (konsep penafsiran) ‘mubadalah’, LKK punya konsep keluarga maslahah. Tapi
kemudian kayak dipertemukan. Aku kenal mbak Alissa di Kementrian Agama. Pak Adib
menggandeng mbak Alissa. Mbak Alissa memang dipesen Pak Menteri.” (wawancara Nur
Rofiah, 1 Februari 2020)

384
Wawancara dengan Ahmad Ghozi, 24 Januari 2020
385
Husni Sahal, & Kendi Setiawan. (2020, February 20). LKK PBNU Sebut Aneh Draf RUU Ketahanan
Keluarga. Nu.or.Id. https://www.nu.or.id/post/read/116912/lkk-pbnu-sebut-aneh-draf-ruu-ketahanan-keluarga

360 | L a p o r a n A k h i r
Sementara di Aisyiah-Muhammadiyah, terdapat nama Alimatul Qibtiyah, ketua Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Aisyiah. Sosok ini merumuskan buku “Tuntunan
Menuju Keluarga Sakinah“ di Muhammadiyah dan banyak terlibat dalam pelatihan-pelatihan
fasilitator nasional Bimbingan Calon Pengantin di KUA. Dengan demikian, dia “secara tidak
langsung ikut mewarnai perspektif dalam Bimbingan Calon Pengantin yang dilaksanakan
pemerintah,” 386

Konsep-konsep keluarga Maslahah yang dibangun di LKKNU nampak sangat


mendominasi materi-materi dalam Keluarga Sakinah di Kementerian Agama. Banyak konsep
dalam Keluarga Maslahah seperti konsep tauhid dan keadilan hakiki, konsep relasi kesalingan
(mubadalah), dan pendekatan psikologi, juga ditemukan dalam materi Bimbingan Calon Pengantin
(Qatrunnada dkk, 2016). Ahmad Ghozi mengatakan bahwa konsep “Keluarga Maslahah
mewarnai program pemerintah di KUA dengan sampul Keluarga Sakinah.”387 Sementara Nur
Hasyim menyampaikan bahwa;

“konsep yang dikembangkan LKKNU telah mempengaruhi konsep yang dibawa oleh
pemerintah dan diadaptasi menjadi materi keluarga sakinah yang ditularkan melalui
institusi KUA di Kementerian Agama.” (Wawancara Nur Hasyim, 2 Februari 2020).
Sebelumnya, pembekalan calon pengantin di KUA dinamai Kursus Calon Pengantin
(Suscatin), berdasarkan Peraturan Dirjen Bimas Islam Nomor: DJ. II/491/Tahun 2009 dan
kemudian berubah menjadi Kursus Pra Nikah berdasarkan Peraturan Dirjen Bimas Islam Nomor:
DJ.II/542 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah. Meskipun dalam
dalam aturannya jam minimal pelaksanaan Kursus Calon Pengantin adalah 16 jam pelajaran,
namun dalam prakteknya sangat beragam, baik materi, waktu maupun metode pelaksanaanya
(Gunawan 2019). Setelah adanya revitalisasi kursus calon pengantin dengan nama Bimbingan
Calon Pengantin (Binwin), materi, waktu dan metode terstandar, bahkan fasilitatornya juga harus
memenuhi standar sertifikasi pernah mengikuti pelatihan fasilitator yang diselenggarakan
Kemenerian Agama. Calom pengantin dilaksanakan dengan waktu minimal 16 jam pelajaran
dengan metode interaktif yang berorientasi memampukan calon pengantin untuk mempersiapkan
rumah tangganya.

386
Wawancara dengan Alimatul Qibtiyah, 26 Januari 2020
387
Wawancara pada tanggal 24 Januari 2020

361 | L a p o r a n A k h i r
Pelaksanaan Binwin di KUA tersebut masih bersifat piloting di beberapa provinsi di
Indonesia. Pada level nasional terdapat instruktur yang melakukan pelatihan bagi fasilitator-
fasilitator di tingkat propinsi. Fasilitator-fasilitator provinsi inilah yang kemudian melakukan
fasilitasi Bimbingan Calon Pengantin di KUA tingkat kecamatan. Problemnya adalah bagaimana
memastikan bahwa proses diseminasi tersebut memiliki derajat yang sama di setiap level. Namun
dengan melibatkan banyak pihak tersebut, setidaknya persebarannya bisa lebih massif dan akan
lebih banyak orang yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan paparan konsep keluarga yang
lebih moderat. Laporan Kementerian Agama dalam Rapat Kerja Nasional pada 29 Januari 2020
menyampaikan bahwa Bimas Islam telah berhasil menyelenggarakan bimbingan bagi 405.776
calon pengantin di seluruh Indonesia (Bimas Islam, 2020). Melalui KUA, persebaran narasi
keluarga kelompok Islam moderat akan lebih massif disampaikan, sehingga dapat mempersempit
ruang gerak radikalisme. Nur Hasyim menyampaikan;

Digunakannya perangkat KUA dengan jangkauan yang begitu luas hingga tingkat
kecamatan dan penyelenggaraan Binwin di setiap pasangan yang menikah, maka akan
bisa melokalisir narasi keluarga kelompok radikal. Apalagi itu didukung oleh perangkat
negara, hal yang tidak bisa dilakukan jika hanya menggunakan sumberdaya LKK NU
semata yang menggunakan struktur NU. (wawancara Nur Hasyim, 2 Februari 2020)

Keterlibatan tokoh-tokoh NU maupun Muhammadiyah dalam program pembinaan


keluarga juga terjadi di tingkat daerah. Namun demikian kebanyakan keterlibatan mereka sebatas
akses program atau kerjasama implementasi program. Misalnya Nasyiatul Aisyiyah di Solo
melakukan Kerjasama dengan BKKBN untuk pencegahan pernikahan muda di sekolah-sekolah
Muhammadiyah. Muslimat Solo sering terlibat dalam kegiatan penyuluhan KB, kesejahteraan
anak dan keluarga yang diselenggarakan oleh Dinas. Aisyiyah Solo, bekerjasama dengan KUA
menyelenggarakan kuliah pra nikah. Kontribusi dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah di
tingkat lokal masih kurang terlihat.

Kesimpulan
Jelas terlihat adanya pergeseran dalam aktivisme kalangan kelompok moderat belakangan
ini. Seiring menguatnya narasi kelompok konservatif/radikal dalam isu keluarga dan perempuan,
meningkat pula militansi dan kreativitas kelompok moderat dalam menyuarakan narasi Islam yang
berkeadilan gender.

362 | L a p o r a n A k h i r
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan terkait pergeseran tersebut adalah sebagai
berikut:

1. Maraknya narasi kelompok konservatif/radikal akhir-akhir ini yang mendomestikasi


perempuan, menjadikan perempuan kembali menjadi makhluk kelas dua telah memotivasi
organisasi perempuan di tubuh NU dan Muhammadiyah untuk menggandakan upaya
diseminasi wacana Islam yang berkeadilan gender yang selama ini sudah dilakukan. Entah
itu dengan lebih serius mempersiapkan mubalighah dengan perspektif adil gender, mulai
menggunakan sosial media dan media non-konvensional semacam teater, hingga mencoba
menggaet pangsa pasar yang berbeda dengan mengadakan pengajian di kampus umum
serta di kalangan luar organisasi. Semua ini dilakukan sembari terus membangun nalar
kritis mengenai wacana Islam yang merendahkan perempuan dengan menggencarkan
kajian-kajian yang melakukan penafsiran kembali terhadap ayat-ayat problematik.
2. Persepsi mengenai ancaman narasi kelompok konservatif/radikal dalam isu perempuan dan
keluarga serta perspektif Islam berkeadilan gender sebagaimana tercermin dalam kebijakan
resmi organisasi perempuan kelompok moderat belum sepenuhnya dimiliki oleh semua
anggota organisasi atau elemen lain dalam kelompok moderat. Ada kesenjangan internal
yang masih perlu diatasi.
3. Upaya kelompok moderat dalam mempengaruhi kebijakan negara dalam bentuk undang-
undang di isu perempuan dan keluarga tidak selalu berhasil. Ini menunjukkan bahwa dalam
isu perempuan dan keluarga, tidak selalu bisa ditarik garis pembeda secara jelas antara
kekuatan politik Islam moderat dengan kelompok Islam konservatif/radikal. Namun
promosi Islam moderat dalam isu keluarga dan perempuan cukup berhasil di level lain
kebijakan pemerintah, seperti dalam program Bimbingan Calon Pengantin di Kementerian
Agama.
Bahkan dengan segala catatan di atas, geliat aktivisme organisasi perempuan kelompok
moderat terlihat meningkat pesat dan menjangkau masyarakat yang lebih luas. Pada akhirnya,
wacana tandingan yang digencarkan kelompok moderat di isu perempuan dan keluarga ini boleh
dibilang telah mempersempit ruang gerak kelompok konservatif/radikal dalam isu perempuan dan
keluarga.

363 | L a p o r a n A k h i r
Referensi

Afifah, Neng Dara, “Potret Perempuan Muslim Progresif Indonesia”, Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia, 2017.
Aisyah, Siti, 2019, “Tanwir ‘Aisyiah Tidak Membahas Poligami” https://ibtimes.id/tanwir-
aisyiyah-tidak-membahas-poligami/
Alawi, Abdullah, “4 Usulan Komisi Rekomendasi Muslimat NU”,
https://www.nu.or.id/post/read/52393/4-usulan-komisi-rekomendasi-muslimat-nu
Arifianto, Alexander Raymond, “Rising Islamism and the Struggle for Islamic Authority in
Indonesia” dalam TRaNS: Trans-Regional and National Studies of Southeast Asia, 2019
Azra, Azyumardi, “Distinguishing Indonesian Islam: Some Lessons to Learn” dalam Jajat
Burhanuddin dan Kees van Dijk, Islam in Indonesia: Contrasting Images and
Interpretations, Amsterdam University Press, 2013
Basri, Muhammad Ridha, Keluarga Sakinah, https://www.suaramuhammadiyah.id/2019/ 12/02/
keluarga-sakinah-2/
Bimas Islam. (2020, January 30). Rakernas Kemenag, Dirjen Bimas Islam Paparkan Capaian
Kinerja 2015-2019 - Website Bimas Islam (Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam Kementerian Agama). Bimasislam.Kemenag.Go.Id.
https://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/rakernas-kemenag-dirjen-bimas-islam-
paparkan-capaian-kinerja-2015-2019
Boy ZTF, Pradana, “Muhammadiyah dan Salafisme: Sebuah Survei Singkat Tentang Titik Temu
dan Titik Seteru”, Ma’arif,Vol. 14, No. 2 – Desember 2019
BPS, BAPPENAS, PUSKAPA, & UNICEF. (2020). Perkawinan Anak di Indonesia.
Bruinessen, Martin van, ed. 2013. Contemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining
the “Conservative Turn.” Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Burhani, Ahmad Najib, Between Social Services and Tolerance: Explaining Religious Dynamics
in Muhammadiyah, Trens in Southeast Asia, 2019, no. 11, 2019 ISEAS – Yusof Ishak
Institute, Singapore.
Dja'far, Alamsyah M., Taqwa Libasut, and Kholisoh Siti. "Intoleransi Dan Radikalisme Di
Kalangan Perempuan." Jakarta, 2017.
Floranti, Diantika Rindam, "Policy Brief: Polemik Rancangan Undang-Undang Ketahanan
Keluarga," (Yogyakarta: Research Center For Law, Gender and Society, Faculty of Law
UGM, 2020).; Tim Penyusun RUU Ketahanan Keluarga DPR, Naskah Akademik:
Rancangan Undang-Undang Tentang Ketahanan Keluarga (Jakarta: DPR-RI, 2020) hlm 1-
12.
Forum Kajian Kita Kuning, “Kembang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab Uqud Al
Lujain”, Jakarta, FK3, 2005.

364 | L a p o r a n A k h i r
Hakiki, G., Ulfah, A., Khoer, M. I., Supriyanto, S., Basorudin, M., Larasati, W., Prastiwi, D.,
Kostaman, T. K., Irdiana, N., Amanda, P. K., & Kusumaningrum, S. (2020). Pencegahan
Perkawinan Anak Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda.
Hefner, Robert W, Civil Islam: Musliam and Democratization in Indonesia, Princetown and
Oxford: Princeton University Press, 2000
Hukumonline.com. (2014). NU-Muhammadiyah Minta Batas Usia Nikah Dipertahankan -
hukumonline.com. Hukumonline.Com.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt547d83707f8a9/nu-muhammadiyah-minta-
batas-usia-nikah-dipertahankan/
Husni Sahal, & Ibnu Nawawi. (2019, October 14). Ini Sikap Fatayat NU tentang Batas Usia
Perkawinan. Nu.or.Id. https://www.nu.or.id/post/read/110939/ini-sikap-fatayat-nu-tentang-
batas-usia-perkawinan
Husni Sahal, & Kendi Setiawan. (2020, February 20). LKK PBNU Sebut Aneh Draf RUU
Ketahanan Keluarga. Nu.or.Id. https://www.nu.or.id/post/read/116912/lkk-pbnu-sebut-aneh-
draf-ruu-ketahanan-keluarga
Indra Gunawan. (2019). Efektivitas Kursus Calon Pengantin(SUSCATIN) di KUA Kecamatan
Ketahun dalam Membentuk Keluarga Sakinah Mawaddah Weahmah. Qiyas Jurnal Hukum
Islam, 4(2). https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/QIYAS/article/view/2530/2057
Ipac. "Mothers to Bombers: The Evolution of Indonesian Women Extremists." 2017.
Mas’udi, Masdar Farid, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, Jakarta, Mizan, 1997.
Menchik, Jeremy, Islam and Democracy in Indonesia, Tolerance without Liberalism, New York:
Cambridge University Press, 2016
Mulia, Musdah. "Perempuan Dalam Gerakan Terorisme Di Indonesia." AL-WARDAH 12, no. 1
(2019): 80-95.
Muthmainnah, Yulianti, “Aisyiah dan Ijtihad Berkemajuan Hak-hak Perempuan”, Ma’arif, Vo.
14, no.2 – Desember 2019
Nurish, Amanah, “Muhammadiyah dan Arus Radikalisme”, Ma’arif, Vol. 34, No. 2 - Desember
2019
van Doorn-Harder, Pieternella, Women Shaping Islam: Indonesian Women Reading The Qur’an,
Urbana and Chicago: University of Illinois Press, 2006
Qibtiyah, Alimatul, “Madrasah Perempuan Berkemajuan (MPB): Upaya Menyebarkan Agama
Damai”, Ma’arif, Vol. 12, No 1 - Desember 2017
Qodir, Zuly, “Muhammadiyah Memperkuat Moderasi Islam Memutus Radikalisme” Ma’arif,
Vol. 14, No 2 – Desember 2019.
Qotrunnada, A., Rafiah, N., Kodir, F. A., & Muzayyanah, I. (2016). Modul Bimbingan
Perkawinan untuk Calon Pengantin (Nur Rofiah (ed.); Cetakan 1). Kementerian Agama RI.

365 | L a p o r a n A k h i r
Rais, Ahmad Imam Mujadid, “Tafsir Kontemporer: Negara Pancasila sebagai Dar al-’Ahdi Wa
Al - Syahadah (Suatu Pengantar), Ma’arif, Vol. 11, No. 1 - Juni 2016
Rinaldo, Rachel, “Muslim Women Activist and the Question of Agency”, Gender and Socety,
Vol. 28. No 6 (December 2014)
Setiawan, Kendi, “Ini Rekomendasi Konbes Fatayat NU,”
https://www.nu.or.id/post/read/89675/ini-rekomendasi-konbes-fatayat-nu-
Siti Syamsiyatun, “Model Keluarga Ideal Bukan Milik Negara”, (Yogyakarta, ibtimes.id, 2020),
https://ibtimes.id/model-keluarga-ideal-bukan-milik-negara/
Sumbulah, Umi. "Perempuan Dan Keluarga: Radikalisasi Dan Kontra Radikalisme Di
Indonesia." Malang, 2019
Zahrotul Oktaviani, & Nashih Nashrullah. (2019, October 16). Catatan Fatayat NU Soal Revisi
Batas Minimal Nikah 19 Tahun | Republika Online. Republika.Co.Id.
https://khazanah.republika.co.id/berita/pxwh97320/catatan-fatayat-nu-soal-revisi-batas-
minimal-nikah-19-tahun
Zuhri, Saefudin, “Muhammadiyah dan Deradikalisasi Terorisme di Indonesia: Moderasi sebagai
upaya jalan Tengah, Ma’arif, Vol. 12.no 2. (2017)

366 | L a p o r a n A k h i r
Kampanye Toleransi di Media Sosial
Kalis Mardiasih dan Khalimatu Nisa

Pengantar

Narasi toleransi dan moderatisme beragama kini semakin giat dikampanyekan oleh
sejumlah aktor di internet. Upaya ini dilakukan sebagai kontra narasi radikalisme yang
mendominasi ruang maya selama belasan tahun. Sejumlah studi menunjukkan, sejak era
keterbukaan informasi pasca jatuhnya Orde Baru, kelompok Islamis telah lebih dulu menggunakan
internet sebagai media propaganda dan alat amplifikasi gagasan supremasi Islam. Sebut saja
www.laskarjihad.or.id situs pionir yang lahir pada awal dekade 2000 untuk mengampanyekan
perang jihad di Maluku. Situs tersebut memuat fatwa-fatwa demi menjustifikasi klaim jihad di
Maluku untuk melawan umat Kristen yang menyerang dan merebut wilayah Muslim. (Brauchler,
2004; Lim, 2005) Dalam perkembangannya, era reformasi yang juga menandai berkurangnya
represi negara terhadap kelompok Islam membuat situs-situs radikal tumbuh subur.

Hingga akhir 2016, hasil rilis NU online dan PPM ASWAJA menunjukkan situs-situs
radikal masih mendominasi di level nasional. Sepuluh situs dengan ranking tertinggi menurut situs
pemeringkat alexa.com berdasarkan kata kunci radikalisme dan ekstremisme dalam konten berita
dan opini yang termuat dalam situs-situs tersebut, adalah Arrahmah.com, Voa-islam.com,
Hidayatullah.com, Eramuslim.com, nahimunkar.com, Dakwatuna.com, Portalpiyungan.com,
nugarislurus.com, salam-online.com, panjimas.com.

Dalam perkembangannya, ketika penelitian ini ditulis, perkembangan kompetisi antara


media Islam radikal dengan media Islam moderat terus berubah. Medan kompetisi tidak hanya di
situs web, akan tetapi juga di platform lain, seperti Twitter, Instagram dan Youtube. Mau tak mau,
media Islam moderat juga terus merespons perkembangan ekosistem digital ini.

Penggunaan media sosial oleh kelompok-kelompok Islamis memperoleh momentum


seiring dengan menguatnya politik identitas sejak pemilihan Presiden 2014 yang memuncak pada
Pemilukada DKI Jakarta 2017 dan Pemilu 2019. Menurut hasil pemetaan media sosial yang
dilakukan oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Jaringan

367 | L a p o r a n A k h i r
Gusdurian pada tahun 2016, ada tiga narasi besar ekstremisme di media sosial. Pertama, memberi
perhatian besar pada nasib umat Islam di negara-negara lain dengan menunjukkan penindasan dan
kekejaman terhadap mereka. Kedua, mendorong solidaritas sesama muslim dengan menanamkan
semangat membela agama Islam (simbol maupun sesama muslim) baik di dalam negeri maupun
di luar negeri. Ketiga, memberi penekanan pada perasaan tersingkirkan, tertindas, dengan
menyajikan kecurigaan pada adanya musuh dari luar yang hendak menghancurkan Islam. Musuh
eksternal ini bisa dalam bentuk agama lain (kafir, Kristen, Yahudi, Barat), paham (liberalisme,
LGBT), atau ajaran sesat yang merusak (Syiah).

Sejak 2015, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi mulai melakukan
pemblokiran situs-situs yang ditengarai radikal. Aktivisme kelompok moderat juga perlahan
menunjukkan signifikansinya. Pada 2018 situs-situs Islam moderat mulai berhasil menggeser
ranking situs-situs Islamis, di antaranya nu.or.id, islami.co, dan bincangsyariah.com. Di sisi lain,
masyarakat sipil maupun lembaga yang membela nilai-nilai keragaman aktif di media sosial.
Aktor-aktor toleransi ini bergerak secara sadar lewat platform pribadi maupun lembaga, sekadar
untuk mengungkapkan keresahan terhadap radikalisme di media sosial, ataupun terlibat dalam
kampanye-kampanye toleransi.

Sepanjang 2018-2019, Jaringan Gusdurian mengorganisasi kampanye online


#IndonesiaRumahBersama lewat konten tulisan, konten grafis maupun konten video. Alissa
Wahid, secara mandiri mengawali gerakan #BukanAtasNamaSaya untuk melawan narasi
radikalisme yang mengatasnamakan umat Islam Indonesia. Muncul pula Husen Ja’far Al Hadar,
pendakwah Youtube yang konsisten memproduksi video bertema Islam cinta. Secara organik, juga
muncul akun-akun anonim seperti NU Garis Lucu dan Muhammadiyin Garis Lucu yang berupaya
mewarnai linimasa media sosial dengan konten humor. Sama seperti persebaran pesan
radikalisme, para aktor toleransi juga memerlukan ketersediaan konteks, sumber daya ekonomi
politik dan ruang-ruang sosial yang memungkinkan pergerakan dan kemahiran membangun frame.

Laporan ini mencoba memotret perkembangan ruang-ruang pendukung untuk transmisi


pesan toleransi yang terus berkembang dengan segala tantangan dan dinamikanya. Berangkat dari
konteks tersebut, pertanyaan penelitian ini meliputi 1) bagaimana motivasi dan peta aktor kontra
narasi radikalisme di internet; 2) apa saja narasi dan strategi yang dipakai dalam promosi toleransi

368 | L a p o r a n A k h i r
atau pluralisme; dan 3) sejauh mana respon-respon tersebut mampu mempertahankan/merebut
ruang mobilisasi.

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan beberapa metode penggalian data yaitu observasi,
wawancara, dan kajian literatur. Riset ini melakukan observasi dan wawancara terhadap sejumlah
akun media sosial dan situsweb yang beragam berdasarkan kriteria platform, pengaruh, dan basis
sosial.

Platform

Penelitian ini berfokus pada empat platform yaitu Instagram, Twitter, Youtube serta situs
web. Keempat platform ini dipilih karena menjadi opsi para aktor moderat untuk mewacanakan
kontra narasi radikalisme. Facebook kurang diminati karena sistem algoritmanya dianggap terlalu
kompleks untuk membangun sebuah wacana.
Pemilihan platform ini sangat erat kaitannya dengan pilihan strategi masing-masing akun.
Instagram dipilih untuk menyampaikan narasi dalam bentuk visual yang padat seperti gambar,
infografis, dan video pendek. Strategi kampanye toleransi melalui video panjang ditampilkan di
Youtube, sedangkan strategi yang menonjolkan kekuatan narasi dan membuka ruang dialog dua
arah disuguhkan melalui Twitter. Sementara itu, situsweb berfungsi menghadirkan wacana
moderat secara lebih komprehensif melalui artikel-artikelnya. Rata-rata para aktor tidak hanya
menggunakan satu platform tapi mengombinasikan beberapa sekaligus.

Pengaruh

Secara umum studi ini berfokus pada aktor-aktor yang memiliki pengaruh kuat di internet
dilihat dari jumlah followers, subscribers, maupun viewers mereka. Rerata narasumber dalam
penelitian ini memiliki puluhan hingga ratusan ribu followers dan subscribers. Sementara untuk
situsweb dipilih menurut peringkat tertinggi berdasarkan situs pemeringkat web alexa.com.

Basis Sosial: Relijius dan Non Relijius

Dilihat dari basis sosial, riset ini merangkum aktor-aktor dari kelompok relijius dan non
relijius. Kelompok relijius diwakili oleh kelompok Islam moderat yaitu kalangan NU dan
Muhammadiyah. Sementara kelompok non-relijius direpresentasikan oleh akun-akun anak muda

369 | L a p o r a n A k h i r
perkotaan yang mewacanakan toleransi dan pluralisme tanpa mewakili pandangan agama
manapun.

Berikut daftar narasumber berikut platform yang dikelola sebagai objek dalam penelitian ini:

a. Habib Husein Ja’far Al Hadar, dai, influencer Twitter @Husen_Jafar, creator Youtube
Jeda Nulis
b. Cania Citta Irlanie, host Youtube Geolive milik Geotimes, influencer Twitter di
@CittaIrlanie
b. Kreator Youtube Cameo Project
c. Sarjoko dan Heru Prasetya, penggerak Jaringan Gusdurian dan pengelola akun resmi
lembaga @Gusdurians
d. Nasywa Shihab pendiri akun Instagram cariustadz.id
e. M. Khoirul Huda, pendiri akun Instagram @harakahid
f. Muhammad Abdul Muhaemin As’ad, admin akun-akun official GP Ansor
g. Anonim, admin Twitter @NUGarisLucu
h. Madi, admin Twitter @MuhammadiyinGarisLucu
i. Savic Ali, pendiri situsweb islami.co
j. Alissa Qatrunnada Munawwaroh (Alissa Wahid), koordinator Jaringan Gusdurian yang
berakun Twitter di @AlissaWahid

Motivasi dan Pola Gerakan Aktor

Di internet, kemunculan aktor-aktor moderat bisa dikatakan lebih terlambat dibanding aktivisme
kelompok Islamis. Jaringan Gusdurian yang dikoordinatori oleh Alissa Wahid merupakan pionir
gerakan sipil yang memanfaatkan internet untuk mengampanyekan toleransi. Akun Twitter
@Alissa_Wahid hadir di Twitter pada 2010, bersamaan dengan akun resmi @GUSDURians.
Sedangkan, aktor-aktor lain baru ramai-ramai menunjukkan eksistensinya sepanjang 2015-2019.
Kanal Youtube Cameo Project misalnya, aktif menyuarakan isu-isu keindonesiaan sejak 2015. Di
tahun yang sama, akun @NUGarisLucu juga hadir di Twitter menyuguhkan wacana toleransi
dalam balutan humor. Gerakan Pemuda Ansor (GP_Ansor) meski secara kelembagaan telah
memiliki misi gerakan digital pada 2015, namun, akun @official_ansor baru lahir pada 2016.

370 | L a p o r a n A k h i r
Di tahun 2017, kanal Geolive muncul dengan mengunggah video pertamanya tentang
persidangan Ahok yang dianggap tidak transparan. Bersamaan dengan itu, di jagad Instagram
Harakah Islamiyah (kini berganti nama Harakah ID) hadir membawa konsep pembelajaran Islam
moderat melalui sumber-sumber keilmuan kredibel yang dikemas dengan gaya anak muda.
Sementara itu situsweb islami.co yang sudah dibuat sejak 2013 juga baru digarap dengan serius
pada 2017.

Pada 2018 Husen Ja’far meluncurkan kanal Youtube Jeda Nulis yang memuat kajian
Islam tasawuf meskipun ia sendiri telah aktif menyampaikan pandangan moderatnya melalui
Twitter sejak 2012. @MuhammadiyinGarisLucu yang diprakarsai sejumlah pemuda
Muhammadiyah juga muncul di Twitter pada 2018 mengikuti akun garis lucu pionir
@NUGarisLucu. Paling mutakhir, platform cariustadz.id dirilis pada 2019 di Instagram, Twitter,
serta situsweb untuk menyajikan referensi dai-dai wasathiyyah (moderat).

Kemunculan aktor-aktor moderat secara masif sejak 2015 bukan tanpa alasan. Selain
perkembangan teknologi dan kemudahan akses, pada tahun-tahun tersebut ekstremisme menguat
melalui berbagai momentum poltik. Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 antara Joko Widodo dan
Prabowo Subianto meninggalkan jejak politik identitas yang tak beradab. Merujuk Amy Gutmann
(2003), politik identitas dianggap tak beradab dan berbahaya (ugly) ketika mempromosikan nilai
yang mengutamakan supremasi kelompok sendiri, mengampanyekan diskriminasi, dan
menekankan cara pandang antagonistis terhadap kelompok identitas lain, hingga melegitimasi
kekerasan.

Pada Pilpres 2014 benih-benih sentimen agama Islam vs non-Islam dan sentimen
kesukuan pribumi vs asing mulai ditabur. Penggunaan fatwa ulama sebagai legitimasi dukungan
pada kandidat juga mulai muncul. Karakter permainan politik identitas tersebut terus
dilanggengkan hingga Pemilukada DKI Jakarta 2017 dan Pemilu 2019 yang mengantarkan
gerakan Islamisme ke puncaknya lewat rentetan aksi bela Islam. Di tataran masyarakat, polarisasi
sektarian dan intoleransi meningkat melalui beberapa ronde kontestasi elektoral tersebut.

Jika dirinci, ada beberapa keresahan yang menjadi motivasi kampanye toleransi dan anti
radikalisme di internet. Pertama, keresahan terhadap aksi intoleransi. Kasus intoleransi masih
menjadi masalah yang terus berulang di Indonesia. Pada 2010 intimidasi dan kekerasan menimpa
jemaat HKBP Ciketing Bekasi yang berawal dari konflik pendirian rumah ibadah. Mendapat
371 | L a p o r a n A k h i r
laporan dari penyintas, Alissa Wahid menyuarakan kejadian tersebut melalui cuitan di akunnya
@Alissa_Wahid. Meskipun respons saat itu belum semasif hari ini, namun cuitan tersebut berhasil
membangun percakapan tentang kebebasan umat beragama untuk beribadah. Sejak saat itu, Alissa
menyadari bahwa Twitter dapat menjadi platform yang efektif untuk menyuarakan keadilan. Kala
itu, Facebook belum memiliki fitur share sehingga Twitter memiliki keunggulan memviralkan
sebuah pesan.

Intoleransi juga menjadi keresahan Husen Jafar yang awalnya merupakan dai dan penulis
aktif di media cetak. Sejak kasus penyerangan berdarah terhadap Ahmadiyah dan Syiah, Husen
Jafar menganggap isu toleransi semakin darurat. Tulisan-tulisannya yang bertema dakwah pun
lebih difokuskan kepada isu toleransi terhadap kelompok minoritas. Selain media cetak,
pemikiran-pemikirannya disebarkan di akun Twitter @Husen_Jafar sejak 2012.

Kedua, keresahan terhadap menguatnya wacana khilafah. Wacana khilafah menguat


sejalan dengan misi supremasi Islam yang digaungkan kelompok Islamisme. Keinginan untuk
mengganti sistem negara yang seringkali disuarakan lewat tagar khilafah hingga menduduki posisi
trending topic di Twitter menjadi kegelisahan warga NU yang sedari awal telah menerima
Pancasila sebagai dasar negara. Hal ini memancing respon sekelompok pemuda NU penggagas
@NUGarisLucu yang mencoba mendelegitimasi wacana khilafah melalui sarkasme. Pada Oktober
2019 misalnya, mereka mencuit, “Indonesia tanpa khilafah bisa melahirkan ulama sekelas Hasyim
Asy’ari. Jika kami menerima tawaran khilafahmu, apa kau bisa menjamin itu?”

Sementara itu, GP Ansor, badan otonom pada tubuh struktural NU, membangun jaringan
media sosial untuk menegaskan sikap kontra khilafah. Pernyataan sikap ini kerap dilontarkan
melalui kutipan bernada tegas dari Ketua Umum Yaqut Kholil Qoumas seperti, “Segala upaya
yang MERONGRONG PANCASILA dan NKRI harus DILAWAN secara HUKUM oleh
NEGARA ataupun secara SOSIAL oleh MASYARAKAT”. Pasca insiden pembakaran bendera
hitam bertuliskan kalimat tahlil di momen Hari Santri 2019, GP Ansor menggunakan kekuatan
digitalnya untuk membangun narasi pembakaran bendera HTI sebagai Ormas terlarang alih-alih
bendera tauhid.

Ketiga, keresahan terhadap menguatnya Islam politik. Pada Pilpres 2019 kubu
Prabowo melontarkan narasi umat Islam ditindas, ditembaki, dan dicurangi serta memviralkan
tagar #RakyatTolakHasilPilpres serta #KedaulatanRakyat. Alissa Wahid memulai tagar
372 | L a p o r a n A k h i r
#TidakAtasNamaSaya yang terinspirasi tagar #NotInMyName untuk menolak representasi oleh
kelompok yang menyatakan mewakili umat Islam. Dua cuitan yang ia buat berhasil teramplifikasi
dengan sangat besar dan berkembang menjadi ribuan cuitan netizen yang menuliskan sikap politik
pribadi mereka.

Di sisi lain, lahirnya Muhammadiyin Garis Lucu di media sosial ditujukan untuk menolak
dan mencoba mengkritisi pihak-pihak yang mengidentikkan Muhammadiyah sama dengan
kelompok Islam Salafi atau Wahabi. Akun ini juga beraspirasi untuk meluruskan asumsi-asumsi
masyarakat bahwa Muhammadiyah identik dengan radikalisme. Asumsi itu mengental karena
pada kontestasi Pilpres 2019, masyarakat mengasosiasikan dukungan politik Muhammadiyah
lebih condong ke kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang ketika itu didukung kubu Islam pro
Aksi Bela Islam “212”. Kepentingan gerakan ini adalah untuk menghadirkan keberagaman wajah
warga persyarikatan Muhammadiyah.

Keempat, keresahan terhadap sentimen anti-pluralisme yang membatasi kebebasan


berekspresi. Sentimen rasial dan primordial dipakai sebagai alat kampanye sejak Pilpres 2014.
Hal ini melandasi sejumlah kreator untuk menggaungkan isu pluralisme. Berawal di tahun 2015
Cameo Project yang dimotori oleh sekelompok laki-laki beragama Kristen dan beretnis Tionghoa
menginisiasi proyek-proyek video yang meluruskan stereotipe antar suku dan agama. Kanal
Youtube islamidotco juga mengkritik sentimen ini lewat video bertajuk, “Karena KTP Beda
Agama, Perempuan ini ditolak Bapak Kos.”

Sejak Pemilukada DKI 2017 isu penistaan agama Islam melonjak. Banyak warga sipil
dilaporkan dan dipersekusi oleh oknum maupun organisasi masyarakat (Ormas) atas perilaku yang
dianggap menistakan Islam. Di antaranya dua komedian Coki Pardede dan Tretan Muslim yang
dilaporkan atas video humor mereka mengenai “masak babi pakai sari kurma”. Atas nama
kebebasan berekspresi sejumlah kreator berkolaborasi dengan keduanya untuk membuat konten
seperti pada kanal Jeda Nulis dan Geolive.

Kelima, keresahan terhadap kurangnya sumber-sumber ilmu keislaman yang


kredibel dan otoritatif di internet sebagai rujukan masyarakat perkotaan. “Indonesian
Moslem Report 2019: The Challenge of Indonesia Moderate Moslems” yang dirilis Alvara
Research Center menunjukkan tingginya semangat keagamaan di kalangan muslim dewasa dan
muslim muda. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa generasi Z, younger millennial, dan
373 | L a p o r a n A k h i r
older millennial lebih banyak merujuk ke Youtube, situs web, dan Facebook untuk mencari
referensi keagamaan dibanding generasi sebelumnya. Fakta ini menjadi motivasi untuk
menghadirkan ulama yang kompeten dan berpandangan moderat serta rujukan keislaman yang
kredibel di internet.

Situsweb islami.co berusaha memenangi pertarungan Google index untuk menghadirkan


wacana keislaman yang moderat untuk istilah seperti “jihad”, “kafir”, dan “khilafah”. Artikel
seputar isu-isu yang banyak dicari oleh kelompok muslim kota seperti doa-doa dan tuntunan sholat
juga diperbanyak. Di sisi lain, Harakah ID yang bermula dari akun Instagram menampilkan
kekayaan khazanah keislaman yang tidak bisa diakses oleh orang yang tidak pernah belajar kitab
kuning dalam bentuk infografis untuk menarik anak muda. Sementara itu, platform cariustaz.id
menampilkan profil dai-dai moderat dan kredibel sebagai rujukan pencarian masyarakat muslim
kota.

Dari paparan di atas tampak bahwa aktor-aktor yang mengampanyekan toleransi dan anti-
radikalisme memiliki karakteristik dan concern masing-masing. Bagian selanjutnya akan
memamparkan secara ringkas pola gerakan media dan akun-akun sosial media yang menjadi objek
dalam penelitian ini.

a. Akun @Husen_Jafar dan kanal Youtube Jeda Nulis


Husen Ja’far Al Hadar adalah sosok anak muda dari komunitas Habib yang secara
sadar memilih menjadi pendakwah. Husen Ja’far menolak disebut sebagai sebatas influencer,
sebab aktivitas dakwahnya memang tak hanya di media sosial, melainkan juga menerima
undangan ke perumahan di perkotaan, perkampungan, hingga komunitas artis dan seniman
Jakarta.
Kanal Jeda Nulis di Youtube muncul dari kesadaran Husen Ja’far bahwa ada
kekosongan dakwah digital Islam di Indonesia dalam konteks keragaman tema. Husen Ja’far
yang sejak kecil belajar agama dari perspektif filsafat dan mendapat perubahan cara pandang
dalam melihat agama lewat filsafat merasa bahwa tema-tema agama yang dibawakan oleh para
penceramah Youtube masih sangat homogen.
Husen Jafar menawarkan sudut pandang baru yaitu belajar Islam dengan pendekatan
tasawuf yang bicara bagaimana agama seharusnya memperbaki hati dan memperbaiki akhlak.
Selain berdakwah melalui akun Twitter pribadinya @Husen_Jafar yang diikuti 157 ribu orang,

374 | L a p o r a n A k h i r
pada 2018 ia menginisiasi kanal Jeda Nulis yang pada Juli 2020 telah memiliki 205 ribu
subscriber.
b. Kanal Youtube Geolive
Geolive dibangun oleh perusahaan media Geotimes. Kanal ini sangat lekat dengan
figur Cania Citta Irlanie sebagai head of content. Cania yang berakun Twitter di @CittaIrlanie
semula adalah penulis kolom di media digital. Nama Cania mencuri perhatian publik setelah
hadir sebagai salah satu narasumber dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC TV One) yang
membahas peraturan Mahkamah Konsititusi tentang zina dan LGBT.
Dalam forum itu ia berbicara bahwa negara campur tangan terlalu jauh jika sampai
mengurusi dengan siapa seseorang harus berhubungan seks. Ia memberikan penekanan bahwa
free sex berbeda dengan safe sex, dalam konteks bahwa penyakit menular seksual terjadi karena
masyarakat tidak paham safe sex, bukan akibat free sex. Setelah penampilan tersebut, Cania
mengalami berbagai kekerasan online, mulai dari peretasan, doxxing dan berbagai pemberitaan
negatif. Dalam situs media Islam radikal, Cania disebut sebagai “cicit dajjal”.
Kanal Geolive yang dikelola Cania sejak 2017 mengidentifikasi diri sebagai media
edukasi politik berbasis sains dan nalar, dengan kerangka moral yang pro kebebasan dan
keberagaman. Setelah tiga tahun berdiri, hingga Juli 2020 Geolive telah meraup 209 ribu
subscriber.
c. Kanal Youtube Cameo Project
Awalnya, Cameo Project adalah sebuah rumah produksi video. Video parodi lagu
“What Makes You Beautiful” dari boyband One Direction buatan Cameo Project dalam rangka
kampanye Jokowi dan Ahok di Pemilukada DKI Jakarta 2012 mendapat sambutan positif.
Video itu telah ditonton lebih dari empat juta kali dan mengawali tren kampanye kreatif, bahwa
ternyata politik bisa disajikan untuk publik dengan cara yang lucu dan menyenangkan.
Sejak 2015 Cameo Project memilih keluar dari jalur politik dan berfokus pada isu
kebangsaan. Cameo Project terus menggunakan YouTube sebagai platform untuk
meningkatkan kesadaran generasi muda terhadap isu-isu sosial dan sensitif seperti SARA dan
perundungan dengan menggunakan humor. Konsep ini sesuai dengan jargon mereka “We Make
Videos. We Make Music. We Laugh. We Love.”
Konten video dan konten musik Cameo Project dibuat oleh enam orang Youtuber yang
memiliki keahliannya masing-masing, mulai dari penulisan naskah film, menyanyi, komedi,

375 | L a p o r a n A k h i r
dan berakting. Para Youtuber ini adalah Martin Anugrah, Andry Ganda, Bobby Tarigan, Reza
Nangin, Steve Pattinama, dan Yosi Mokalu. Pada Juli 2020 Cameo Project telah
mengumpulkan sebanyak satu juta subscriber.
d. Akun Twitter @GUSDURians
Sejak awal berdirinya circa 2010, Jaringan Gusdurian sebagai sebuah komunitas
epistemik telah secara sadar menggunakan internet sebagai alat pendukung gerakan. Berawal
dari situs gusdurian.net, komunitas yang dibangun berlandaskan nilai-nilai warisan KH.
Abdurrahman Wahid ini mulai merambah media sosial.
Melalui akun Twitter @GUSDURians yang dibantu oleh akun putri sulung Gus Dur
@AlissaWahid, Jaringan Gusdurian memperluas jangkauan sosialnya terutama di kalangan
generasi muda. Pada pertengahan Maret 2013 penyebarluasan gagasan Gus Dur secara digital
mulai dilakukan dengan penerbitan e-newsletter “Selasar” yang bisa diunduh gratis melalui
situsweb. Akun @GUSDURians telah memiliki 202 ribu pengikut per Juli 2020. Lewat akun
ini sejumlah tagar dipopulerkan seperti #IslamRamah, #IndonesiaRumahBersama, dan
#SalingJaga.
e. Platform digital cariustaz.id
Berbeda dengan media atau akun-akun media sosial lainnya, cariustaz.id terbilang
baru. Di Instagram, akun ini baru memiliki tujuh ribuan pengikut per Juli 2020. Namun
cariustaz.id menarik untuk dibahas atas inisiatifnya yang berbeda yaitu menyediakan informasi
ustaz moderat dalam bentuk aplikasi.
Aplikasi cariustaz.id didirikan oleh Nasywa Shihab dan dikelola oleh Pusat Studi Al
Quran (PSQ) Jakarta. Pada 10 Mei 2019, aplikasi ini diluncurkan di Masjid Meutia Jakarta dan
hingga Maret 2020, ia tercatat telah diunduh lebih dari 1000 user via Playstore. Platform ini
dibangun berdasarkan sebuah kesadaran meningkatnya minat belajar agama masyarakat
perkotaan yang dibarengi dengan kebutuhan yang tinggi akan ustaz atau penceramah agama,
akan tetapi masyarakat tidak mengetahui cara untuk mendapatkan sosok ustaz yang kompeten
dan moderat.
f. Akun Instagram Harakah.ID
Kehadiran Harakah.ID di Instagram diawali keresahan atas penggunaan narasi
keagamaan yang menggoyahkan kohesi internal umat Islam pasca Pemilukada DKI Jakarta
2017. Dua pemuda alumni pesantren Lirboyo, Khoirul Huda dan Abdur Rouf membuat akun

376 | L a p o r a n A k h i r
Instagram Harakah Islamiyah (lalu berubah menjadi Harakah ID) pada bulan Oktober tahun
2017. Khoirul Huda berlatar belakang aktivis NGO yang aktif dalam program-program
rehabilitasi teroris. Sedangkan Abdur Rouf merupakan pengurus LAZISNU dan pendiri El-
Bukhori Institute, lembaga non-profit yang bergerak di bidang pengkajian hadis, penelitian dan
pelatihan ilmu hadis.
Misi akun ini –yang belakangan berkembang ke dalam bentuk kanal YouTube dan
situsweb, adalah menyajikan referensi keislaman yang kredibel bagi kaum milenial urban
yang tidak bisa mengakses sumber-sumber primer karena keterbatasan ilmu bahasa Arab.
Dengan menggunakan kata “harakah” yang cenderung berkonotasi pada kelompok Islam
radikal, akun ini berupaya menjadi inklusif tanpa menunjukkan identitasnya yang lekat
dengan tradisi NU. Pada Juli 2020 akun ini telah memiliki 83 ribu pengikut.
g. Akun Twitter @Official_Ansor
Akun @Official_Ansor adalah akun resmi Pimpinan Pusat GP Ansor yang dikelola
oleh divisi sosial media GP Ansor Nahdlatul Ulama. Akun ini tercatat dibuat pada bulan Maret
2016. Kesadaran untuk menggarap dunia digital datang pasca video pria bernama Abu Jandal
pada 2014 viral. Anggota ISIS asal Pasuruhan itu menantang Panglima TNI Jenderal
Moeldoko, berikut TNI, Polri, dan Banser untuk berduel. Pria yang konon bernama asli Salim
Mubarok At-Tamimi alias Salim Penceng itu menyebut mereka sebagai pasukan iblis
sementara kelompok ISIS sebagai pasukan Allah. Di bawah kepemimpinan Yaqut Cholil
Qoumas, GP Ansor menjadi organisasi kepemudaan Islam paling aktif di media sosial
dibandingkan dengan yang lain seperti pemuda Muhammadiyah atau FPI.
Sisi menarik dari aktivisme GP Ansor adalah pembentukan cyber Ansor melalui
jaringan di berbagai daerah yang terdiri dari divisi media sosial, media informasi, serta
hacking. Cyber Ansor menjadi kekuatan GP Ansor, atau NU secara lebih luas untuk
melakukan kontra narasi radikalisme di internet. Di Twitter @official_Ansor diikuti oleh 74,5
ribu orang, sementara akun GP Ansor di Instagram memiliki 169 ribu pengikut per Juli 2020.
h. Akun Twitter @NUGarisLucu dan Instagram NU Garis Lucu

Bicara akun keagamaan paling populer, jawabannya adalah @NUGarisLucu. Tim


@NUGarisLucu adalah sekumpulan laki-laki muda yang tidak mau disebut identitasnya dari
ekosistem pesantren dan mengaku sebagai pembaca artikel-artikel Gus Dur. Akun NU garis
lucu dibuat pada bulan Maret 2015 dilandasi keresahan atas dinamika internal NU.

377 | L a p o r a n A k h i r
Menjelang Muktamar NU 2015, Fanpage NU Garis Lurus muncul di Facebook. Laman
tersebut masif mengunggah berita yang mendiskreditkan organisasi NU secara kelembagaan
dan menyerang tokoh-tokoh NU. Keributan tersebut otomatis memicu reaksi dari jamaah NU,
sebab salah satu serangan kepada organisasi Nahdlatul Ulama di media sosial adalah fitnah-
fitnah kepada Kiai. Kehadiran @NUGarisLucu mulanya diihtiarkan sebagai kontra wacana NU
Garis Lucu namun dalam perkembangannya meluas menjadi akun pengkampanye keberagaman
dengan inspirasi humor ala Gus Dur. Pada Juli 2020 akun ini telah mengumpulkan lebih dari
600ribu pengikut.

i. Akun Twitter @MuhammadiyinGL

Kelahiran akun @MuhammadiyinGarisLucu adalah side effect dari kepopuleran


@NUGarisLucu. Pada tanggal 27 Februari 2017, situs populer Mojok.co menerbitkan sebuah
artikel dari Iqbal Aji Daryono yang berjudul, “Muhammadiyah Garis Lucu, Mungkinkah?”
Sembari memberikan contoh kasus bagaimana sulit dirinya mengobrol secara santai dengan
warga Muhammadiyah, dalam artikel tersebut, Iqbal bertanya secara blak-blakan, “Kenapa
anak-anak muda Muhammadiyah zaman ini jarang ada yang lucu?”

Pertanyaan menggelitik Iqbal ternyata mendapat respons secara khusus dari generasi
muda Muhammadiyah. Satu minggu setelah artikel Iqbal menjadi polemik di dunia maya,
fanpage Muhammadiyah Garis Lucu muncul di Facebook lalu berganti nama menjadi
Muhammadiyin Garis Lucu. Pada bulan Mei 2018, Muhammadiyah Garis Lucu mulai
menjajaki Twitter dengan username @MuhammadiyahGL, yang belakangan juga mengganti
nama menjadi @MuhammadiyinGL Pada bulan Maret 2020, akun ini memiliki 76 ribu
pengikut. Belakangan, aktivitas di twitter justru lebih aktif dibandingkan aktivitas laman
Facebook.

Akun ini menjadi satu dari sedikit geliat anak muda Muhammadiyah di dunia digital.
Selain untuk menunjukkan karakter Muhammadiyah yang tidak monolitik, kehadiran akun ini
juga untuk meng-counter anggapan Muhammadiyah sama dengan gerakan Wahabi dan Salafi
karena secara doktrinal dirasa mirip.

j. Situsweb islami.co

378 | L a p o r a n A k h i r
Website islami.co didirikan oleh Savic Ali, mantan Pemimpin Redaksi NU Online.
Islamidotco menyebut diri sebagai “Media Islam Ramah Mencerahkan.” Islamidotco telah ada
sejak tahun 2013 dengan pengelolaan yang tidak profesional dan justru kasus Ahok lah yang
menjadi momentum Islami.co semakin dikenal pembaca. Pada saat itu islami.co paling banyak
memproduksi konten tulisan dengan perspektif toleransi dan perdamaian.
Website ini didirikan berangkat keinginan untuk menyediakan bacaan bagi kalangan
muslim urban agar kelompok muslim perkotaan dapat belajar dan mengenali islam yang
wasathiyah. Selain itu ada kesadaran bahwa sifat kelompok muslim lebih individual sehingga
lebih rentan menjadi sasaran kelompok Islam puritan, ultra konservatif bahkan ekstrem.
Besarnya pengaruh politik identitas di kota besar juga rentan membuat agama menjadi alat
kampanye kebencian dan tujuan politik.
Pada Juli 2020, akun twitter @islamidotco memiliki 64 ribu pengikut. Kanal Youtube
Islamidotco telah mengunggah seratusan video dan memiliki lima ribu subscriber. Sedangkan
Instagram @islamidotco memiliki 25 ribu pengikut.

379 | L a p o r a n A k h i r
Tabel Followers/Subscribers Akun-akun Moderat di Media Sosial
1200000

1000000

800000

600000

400000

200000

Twitter Youtube Instagram

Tabel 1. Follower/Subscriber akun-akun moderat per Juli 2020

Narasi

Tidak ada definisi yang tunggal mengenai narasi. Pada banyak kasus, orang sering
menyamakan narasi (narrative) dan cerita (story). Di ranah politik, konsep narasi menemukan
relevansinya. George Dimitriu, sebagaimana dikutip oleh Schmid (2014), menjelaskan, “Narasi
adalah sumber daya bagi aktor-aktor politik membangun konsepsi yang disepakati bersama untuk

380 | L a p o r a n A k h i r
membentuk persepsi, kepercayaan, dan tingkah laku masyarakat.” Dengan kata lain, narasi adalah
sumber daya yang sangat kuat untuk mempengaruhi target audience-nya. Narasi menawarkan
rasionalitas untuk menafsirkan dan membingkai peristiwa hingga mendorong jenis tindakan
tertentu.

Secara umum, penelitian ini menemukan bahwa ada empat jenis narasi yang digunakan
oleh akor-aktor moderat di internet. Pertama, memahami Islam dengan pendekatan tasawuf:
bagaimana agama seharusnya memperbaiki hati dan akhlak. Narasi ini disampaikan oleh
Husen Ja’far yang dilandasi oleh keresahan bahwa dakwah di YouTube, sebagian besar berbasis
hukum fikih yang ketat. Hal ini membuat umat tidak biasa melihat perbedaan dan memperbesar
sentimen antar kelompok. Habib-habib muda yang berasal dari komunitas Habib yang sama
dengannya misalnya, biasanya mengambil tema ibadah, seperti tata cara sholat jumat.

Dakwah Husen Ja’far konsisten pada konten Islam dengan pendekatan tasawuf yang bicara
bagaimana agama seharusnya memperbaki hati dan memperbaiki akhlak. Habib Husen, begitu ia
dipanggil, yakin jika dasar-dasar orang memahami agama sudah benar, yakni bahwa Islam itu
cinta, maka orang tersebut tidak akan menjadi radikal.

Kedua, Islam wasathiyah (moderat). Islam wasathiyyah didefinisikan sebagai Islam


yang moderat, mengambil sikap di tengah-tengah atau tidak berada di ekstrem kanan maupun kiri.
Islam wasathiyyah bukan berarti tidak memiliki prinsip melainkan menekankan pada sikap adil
dengan tetap mengakui sisi kemanusiaan. Di internet, platform cariustaz.id, Harakah ID, islami.co
dan Jaringan Gusdurian menyampaikan pandangan Islam wasathiyyah melalui caranya masing-
masing.
Mencari ulama dengan pandangan wasathiyyah menjadi tantangan bagi masyarakat
perkotaan. Di perkotaan, terdapat kecenderungan masyarakat memilih ustaz yang populer,
biasanya ustaz yang pernah tampil di televisi atau memiliki banyak pengikut di media sosial.
Preferensi masyarakat terhadap seorang ustaz bermodal testimoni di media sosial atau melihat
video-video tokoh tersebut. Padahal, belum tentu sang tokoh memiliki nilai moderasi beragama.
Keresahan ini mengantarkan Caca (nama panggilan Nasywa Shihab) dan Pusat Studi al-
Quran (PSQ) untuk mengedukasi masyarakat muslim perkotaan bahwa memilih ustaz itu layaknya
memilih seorang dokter. Seperti dokter spesialis yang mengobati penyakit tertentu, seorang ustaz
juga memiliki pengetahuan yang terbatas untuk bicara bidang pengkajian tertentu, sehingga tidak

381 | L a p o r a n A k h i r
bisa diminta untuk bicara segala persoalan. Misi Caca adalah mendorong masyarakat untuk
melihat latar belakang pendidikan sang ustaz sebelum mengundang untuk mengisi pengajian.

PSQ yang telah berdiri sejak tahun 2004 berfokus pada pendidikan dan pelatihan kader
mufassir. Melihat situasi masyarakat dengan permintaan tinggi terhadap ustaz, PSQ mencoba
mempertemukan para kader ustaz ini dengan masyarakat lewat aplikasi cariustaz.id. PSQ sadar
bahwa stok ustaz yang bagus bukannya tidak ada, hanya saja tidak dikenali. Aplikasi cariustaz.id
bertugas untuk meningkatkan personal branding para ustaz ini agar lebih dikenali dan agar user
aplikasi dapat mengontaknya.

Kriteria ustaz ala cariustaz.id adalah kompeten dan keren, dengan prinsip Islam
wasathiyah. Kompeten, artinya menguasai bidang ilmu kajiannya dan memiliki latar belakang
pendidikan agama yang jelas. Keren, artinya bisa tampil menyampaikan materi secara menarik.
Sedangkan, prinsip Islam wasathiyah, lebih dijelaskan dalam koridor critical thinking. Para ustaz
yang bergabung dalam jejaring cariustaz.id boleh menyampaikan pandangan pribadinya, akan
tetapi wajib memberikan pandangan ulama-ulama lain, sehingga jamaah pengajian diajak berpikir
bahwa keragaman pendapat dalam agama itu biasa. Para ustaz juga dilarang menjelek-jelekkan
pandangan keagamaan orang lain, apalagi dengan bahasa yang emosional.

Di sisi lain, pengarusutamaan narasi moderat juga dianggap penting untuk mengimbangi
persebaran konten digital bertema jihad di media sosial yang semakin ekstrem dengan
memanfaatkan situasi politik yang brutal. Merespon hal ini, Harakah ID dan situs web islami.co
mengunggah materi-materi keislaman dari sudut pandang yang berbeda dari paradigma ekstremis
dengan dilandasi oleh literatur yang kuat.

Harakah ID ingin menampilkan agama sebagai transformasi sosial untuk menjadi


masyarakat yang lebih terbuka terhadap keragaman, khususnya di internal umat Islam. Pada
praktiknya, Harakah ID berusaha membuat narasi yang mengimbangi narasi-narasi ekstremis
untuk menunjukkan ragam pendapat dalam keilmuan Islam. Misalnya dalam isu pembakaran
“bendera tauhid” yang dikecam oleh kelompok Islamis karena dianggap sebagai bentuk penistaan,
melalui kajian literatur, Harakah ID menampilkan sisi lain dalam ajaran islam yang menyatakan
sudut pandang berbeda. Konten-konten lainnya antara lain mengangkat tema-tema yang selalu
menjadi sumber keributan pada waktu-waktu tertentu, misalnya debat isu natal pada bulan

382 | L a p o r a n A k h i r
Desember, debat haram-halal merayakan Maulid pada momen Maulid Nabi, debat ketentuan sholat
malam pada bulan Rajab dan lain.

Islami.co juga melakukan hal serupa dengan menayangkan artikel-artikel yang bersifat
aktual atau mengikuti momentum dan pembahasan yang tengah populer di masyarakat dengan
sudut pandang moderat. Misalnya, ketika masyarakat sedang berpolemik tentang hukum jilbab
karena pernyataan Ibu Sinta Nuriyah Wahid, maka redaksi harus mempromosikan ulang atau
memproduksi konten baru seputar jilbab dan keragaman pandangan terkait jilbab.

Selain itu untuk memenangi pencarian kata kunci di Google, islami.co juga menggunakan
pendekatan ensiklopedik. Pendekatan ensiklopedik artinya islami.co memastikan memiliki
sebanyak mungkin tabungan konten terkait semua istilah keislaman. Prinsip kerja ini dilakukan
oleh Wikipedia yang tidak mengejar aktualitas tetapi memiliki entry istilah-istilah penting dalam
pengetahuan umum. Seperti tema-tema jihad, khilafah, kafir, dan jilbab, agar pengertiannya tidak
dihegemoni oleh kelompok ekstremis.

Di ranah Twitter, untuk mengampanyekan Islam wasathiyyah mulai bulan Juli 2012
Gusdurian meluncurkan tagar #IslamRamah di Twitter. Tagar ini bertujuan mempromosikan cara
berdakwah yang santun dan menggembirakan alih alih dengan paksaan atau kekerasan.

Ketiga, mengampanyekan keberagaman. Narasi keberagaman menjadi konsen tidak


saja kelompok relijius tapi juga non-relijius seperti Cameo Project dan Geolive. Masing-masing
anggota Cameo Project memiliki pengalaman buruk sebagai kelompok minoritas ras dan minoritas
agama yang hidup di Indonesia. Mereka sadar jika persatuan Indonesia terganggu, bahkan
sekalipun perpecahan itu ada dalam umat Islam, tetap saja kaum minoritas yang terdampak paling
besar. Oleh karena itu, Cameo Project secara sadar memproduksi konten-konten untuk
menumbuhkan kesadaran akan keberagaman Indonesia.

Kata kunci “Cina”+ “Cameo Project” dalam mesin pencari Youtube akan memperlihatkan
karya-karya penuh sarkasme Cameo yang berjudul “Cina banget!”, “Cara Merusak Perdamaian”,
“Memangnya Ada Cina Muslim di Jakarta?”, “Cina Adalah Pribumi?”, dan lain-lain. Cameo
Project juga membuat video bertema sarkasme terhadap stigma kesukuan, dalam seri Indonesia
Banget, seperti Batak Banget, Ambon Banget dan Sunda Banget. Dalam seri ini, stigma negatif

383 | L a p o r a n A k h i r
yang sering dialamatkan kepada suku tertentu tidak dinegasikan, melainkan dibahas dengan cara
yang lucu.

Narasi keberagaman juga menjadi konsen GP Ansor dalam aktivitas digitalnya Selain
digunakan untuk menegaskan sikap kontra terhadap pihak-pihak yang dianggap berseberangan,
media sosial juga difungsikan untuk mengampanyekan isu humanitarian Islam dan kebhinekaan.
Spirit toleransi dikampanyekan misalnya melalui unggahan-unggahan yang menunjukkan
keterlibatan GP-Ansor dalam mengamankan sejumlah gereja pada hari-hari besar umat Kristiani.

Kampanye moderasi ini diperkuat oleh divisi Media Informasi Cyber Ansor yang
membangun situs kitainisama.com. Platform yang diinisiasi oleh berbagai kelompok gabungan
dari berbagai agama dan kepercayaan ini dirintis untuk mengampanyekan kebhinekaan.

Isu keberagaman dengan nada humor pun banyak ditemui pada cuitan @NUGarisLucu
seperti:

“Kita semua ini sangat berpeluang untuk bermusuhan. Beda agama, beda aliran
beda ormas, beda pilihan politik, beda status sosial, dan segala beda yang potensial
jadi titik tengkar. Jika tidak ada yang menariknya dalam satu garis lucu, yang
terjadi adalah sama-sama mecucu.”(unggahan akun Instagram @NUGarisLucu
pada 12 Januari 2020)
“Beragamalah seperti perokok aktif. Meski beda merek tak pernah saling hina. Sambil
bercengkrama mereka menikmati rokok sesuai selera.” (unggahan akun Instagram
@NUGarisLucu pada 1 Agustus 2018)
Di sisi lain, akun @MuhammadiyinGL mencoba menepis anggapan bahwa organisasinya
anti terhadap keberagaman. Misalnya dengan menampilkan jamaah Muhammadiyah struktural
maupun warga kultural yang sedang mengunjungi makam KH Ahmad Dahlan untuk menunjukkan
bahwa Muhammadiyah tidak anti dengan kegiatan tahlil dan anti ziarah kubur.
@MuhammadiyinGL juga kerap mengunggah foto menarik kaitannya dengan relasi harmonis NU-
Muhammadiyah yang selama ini masih kerap dianggap berhadap-hadapan. Seperti santri yang
berpeci NU tapi memegang bendera Muhammadiyah, santri NU hingga siswa nonmuslim dari
Papua yang sekolah di lembaga pendidikan milik Muhammadiyah, dan laki-laki dewasa berpeci
NU yang antri berobat di PKU Muhammadiyah.

Keempat, mengobarkan semangat nasionalisme. Dari sejumlah aktor, isu nasionalisme


getol digaungkan oleh GP Ansor dan @NUGarisLucu. Narasi nasionalisme yang diusung kedua

384 | L a p o r a n A k h i r
akun ini umumnya menjadi antitesis pendukung khilafah terutama saat wacana pembubaran HTI
menguat. GP Ansor kerap menampilkan narasi berupa jargon-jargon NKRI sebagai harga mati
sebagai berikut,
“Banser adalah anak bangsa yang menjaga keutuhan NKRI
#BanserPenjagaNKRI” (unggahan akun Instagram @gp_Ansor 17 November
2017)
“Bagi Ansor mereka yang sudah menolak NKRI kemudian bergabung dengan
ISIS TIDAK PERLU diterima kembali di NKRI” (unggahan akun Instagram
@gp_Ansor 19 Juli 2017)
“Pancasila sebagai dasar NKRI sudah tidak bisa ditawar lagi!” (unggahan akun
Instagram @gp_Ansor 1 Juni 2017)
“Buat yang ingin ubah NKRI dan selingkuh dengan paham radikal? ANSOR
musuhmu!” (unggahan akun Instagram @gp_Ansor 8 April 2017)
Sementara itu @NUGarisLucu mengunggah konten dengan nada menyindir seperti,

“Palestina sedang mati-matian mempertahankan negaranya, sementara fans


khilafah berkampanye nasionalisme tak ada dalil. Lucu ora?” (unggahan pada
akun Instagram @NUGarisLucu pada 13 Desember 2017)
Berbeda dengan dua akun yang berafiliasi dengan NU di atas, Cameo Project mewacanakan
nasionalisme tidak untuk secara spesifik mendeklarasikan anti khilafah melainkan untuk
memantik semangat kebangsaan. Video-video yang mereka produksi dalam tema ini antara lain
berjudul, “Jokowi Prabowo Sama-sama…”, “Mimpi Untuk Indonesia”, “Indonesia
Bertoleransi”, “Dari Ambon untuk Indonesia”, “Dari Youtubers untuk Indonesia”, dan “Proud
to Be Indonesian”.

Strategi

Setelah memaparkan mengenai motivasi, pola gerakan, serta tipe narasi, bagian ini akan
mengelaborasi strategi tiap-tiap aktor dalam mendiseminasi narasi dan menghidupi medianya. Ada
lima strategi yang dipetakan dalam temuan ini yaitu: strategi penyampaian pesan, strategi
pembuatan konten, manajemen jaringan, branding, dan pendanaan.
Strategi Penyampaian Pesan
Tiap-tiap aktor moderat memiliki cara masing-masing dalam mengartikulasikan narasinya.
Penelitian ini menemukan empat tipe penyampaian pesan yaitu melalui humor, kerangka berpikir
kritis, respon non-reaktif, dan sikap konfrontatif.
A. Humor

385 | L a p o r a n A k h i r
Akun @NUGarisLucu yang lahir karena dinamika Muktamar NU 2015 melihat pola
serangan kepada Kiai oleh kelompok NU Garis Lurus yang dibalas jamaah NU dengan ujaran
kebencian dan kemarahan tidak efektif dalam meredakan situasi. Mereka memilih cara humor
dengan mempelajari pola pernyataan Gus Dur dalam menghadapi konflik. Melalui humor mereka
menghindari cara konfrontatif. Misal, kepada pengguna media sosial pendukung khilafah,
@NUGarisLucu tidak langsung berhadap-hadapan dengan cuitan kelompok ini, melainkan
mengajak mereka terlibat dalam sebuah percakapan yang penuh humor. @NUGarisLucu juga
biasa terlibat obrolan dengan akun-akun yang berseberangan secara ideologi politik, seperti akun
PKS Piyungan dan akun FPI. Menurut mereka, ada perbedaan yang nyata antara kontra-narasi
yang sekadar melawan dengan kontra-narasi yang berprinsip kepada toleransi, sebab prinsip
toleransi adalah merangkul semua orang, termasuk yang berbeda pandangan.

Kehadiran Muhammadiyin Garis Lucu yang diawali oleh rasa gerah dengan citra
Muhammadiyah yang dianggap terlalu serius membuat akun ini ingin memperlihatkan sisi
humorisnya. Anak-anak muda ini berhipotesa, seharusnya Muhammadiyah Garis Lucu itu
mungkin, bahkan keniscayaan, sebab dalam keseharian, orang Muhammadiyah adalah manusia
biasa yang juga menyukai humor dan canda. Akun ini pun mencoba menampilkan tokoh
Muhammadiyah ini tidak terlalu serius namun juga dapat diterima semua kalangan
Muhammadiyah seperti Bapak AR Fachruddin, mantan ketua umum Muhammadiyah periode
1968-1990 sebagai representasi sosok Muhammadiyah yang santai, apa adanya, spontan dan
sederhana.
B. Kerangka Berpikir Kritis
Melawan narasi secara kritis dilakukan oleh kanal Geolive dengan mengedepankan
kerangka critical thinking dalam membahas isu yang sedang hangat diperbincangkan. Belajar dari
pengalaman, Cania Citta sebagai head of content merasa tidak akan efektif untuk meng-counter
argumen dalam kerangka argumen agama, selain karena ia beragama Katolik sehingga otomatis
tertolak dalam pasar muslim, argumen keagamaan menurutnya tidak bisa dipakai untuk critical
thinking. Di awal kemunculannya, Cania membahas semua tema, seperti menanggapi pernyataan
Fahira Idris, Rizieq Shihab, homoseksualitas, dan UU Pornografi. Video tersebut diserang oleh
jamaah muslim berdasarkan argumen agama dan sentimen ketokohan. Cania menggeser strategi,
apa pun wacana yang diajukan, lebih penting untuk mengecek metode berpikir yang melandasi
argumen tersebut.

386 | L a p o r a n A k h i r
Selain itu Cania juga menghindari penggunaan kata-kata yang terlalu keras untuk melabeli
seseorang, misalnya melabeli seseorang goblok atau sesat pikir, karena hal tersebut hanya akan
memicu reaksi para pengikut tokoh. Cania memilih mengajak viewers untuk berpikir dari dasar.
Misalnya, ketika ada seorang tokoh menyampaikan argumen tertentu, Cania lalu berperan sebagai
fact checker yang akan mengecek data yang disampaikan sang tokoh dan membahas bagaimana
seharusnya cara membaca data tersebut.
C. Respon Non-reaktif
Strategi non-reaktif dilakukan oleh mayoritas akun. Mereka cenderung tidak reaktif
terhadap isu terkait radikalisme yang sedang panas diperbincangkan. Misalnya, Husen Ja’far
memilih konsisten untuk membahas Islam tidak dari perspektif hukum fikih, melainkan sisi sosial,
budaya dan filsafat. Strategi juga dilakukan dengan berusaha menahan diri untuk tidak membahas
isu secara langsung ketika sedang ramai. Tapi, mengambil jeda beberapa hari hingga isu mereda.
Strategi komedi seperti yang dilakukan oleh @NUGarisLucu dan MuhammadiyinGL juga masuk
ke dalam pola damai ini yang bertujuan untuk mengurangi tensi segregasi di kalangan netizen.

Jaringan Gusdurian juga tidak ingin terjebak pada narasi yang diciptakan oleh kelompok
Islamis. Para murid Gus Dur ini tidak bertujuan untuk melakukan kontra-narasi yang bersifat
reaksioner melainkan menciptakan narasi alternatif. Untuk mengurangi percakapan atau sentimen
masyarakat terhadap isu-isu radikalisme, khilafah misalnya, Jaringan Gusdurian memilih tidak
membincangkan hal tersebut meskipun dengan tendensi negatif. Hal ini senada dengan analogi,
“Don’t think of the elephant,” jika seseorang berkata “Jangan memikirkan gajah,” maka yang
terpikir tetaplah gajah.

Demi menghindari sikap reaksioner, Jaringan Gusdurian mencoba mencari sintesis dari
perkembangan peristiwa atau kampanye kelompok radikal. Analisis dilakukan terhadap pola dari
peristiwa-peristiwa tersebut dan struktur yang mendasarinya untuk kemudian direspon. Misalnya
dari berbagai kasus tuduhan penistaan terhadap agama Islam ditemukan pola bahwa orang Islam
semakin takut dengan perbedaan yang didasari oleh pemahaman sempit terhadap teks.
Menanggapi situasi tersebut, strategi social engineering Jaringan Gusdurian adalah dengan
membangun pola dan struktur baru yang akan sendirinya memunculkan peristiwa-peristiwa yang
diharapkan.

D. Sikap Konfrontatif

387 | L a p o r a n A k h i r
Strategi konfrontatif dilakukan oleh GP Ansor yang secara terang-terangan mengambil
posisi berhadapan dengan kelompok Islam radikal. Pada awal kemunculannya di Instagram pada
2017, GP-Ansor sudah dengan tegas menggaungkan narasi tolak radikalisme. Mereka pun tidak
segan mengancam atau menekan pihak-pihak yang mengganggu keutuhan NKRI, misalnya
dengan mengunggah kalimat, “Dipukul sekali, kita akan balas sepuluh kali.”

GP-Ansor menjalankan strategi ofensif-defensif dengan menggunakan pasukan cyber yang


mereka sebut sebagai white troop dan black troop. Fungsi keduanya mirip buzzer untuk
mendorong narasi yang ingin dimunculkan. White troop difungsikan untuk menaikkan kampanye-
kampanye positif sementara black troop berfungsi untuk mendorong narasi melawan kelompok
Islam radikal. Kedua jenis pasukan cyber ini digunakan GP-Ansor di berbagai platform baik
Instagram, Twitter, Facebook, maupun YouTube.

Strategi Pembuatan Konten


Dalam membuat konten, para aktor-aktor moderat ada yang melalui perencanaan ada pula yang
bersifat spontanitas.
A. Terencana
Jaringan Gusdurian adalah aktor yang mengonsep kampanye digitalnya secara terstruktur.
Secara kontinyu, Jaringan Gusdurian melakukan perumusan yang matang untuk menyusun isu
strategis apa yang ingin disampaikan (what to say) dan bagaimana menyampaikannya (how to
say). Misalnya pada 2018, melalui sejumlah expert meeting, disepakati tema kampaye keislaman
bertajuk “Bangga Menjadi Islam Indonesia”. Lewat narasi ini ingin digali bahwa di dalam karakter
Islam Indonesia terdapat nilai-nilai Pancasila, kebudayaan nusantara, keadilan, kesetaraan,
humanisme, ekonomi demokrasi, gotong royong, pluralisme, dan toleransi. Sehingga dalam
membicarakan nilai-nilai tersebut, toleransi misalnya, para Gusdurian ini tidak ingin melihatnya
seolah-olah sebagai barang yang asing melainkan sebuah kearifan yang sebenarnya telah dimiliki.

Untuk menerjemahkan gagasan besar ke dalam konten, Jaringan Gusdurian


mengorganisasi tim teknis yang terdiri dari tim database, tim konten, dan orkestrator. Tim
database mengumpulkan berbagai peristiwa dari media dan media sosial untuk dikaji sebagai basis
penentuan produksi konten. Tim konten kemudian mengeksekusinya ke dalam naskah dan
produksi konten baik berupa gambar, video, maupun infografis. Orkestrator bertugas

388 | L a p o r a n A k h i r
memanajemen penyebaran informasi mulai dari penjadwalan hingga pelibatan sejumlah tokoh atau
influencer untuk menggaungkan pesan.

B. Tidak Terencana

Pembuatan konten akun @NUGarisLucu dan @MuhammadiyinGarisLucu berjalan santai


saja tanpa penjadwalan khusus. Keduanya kerap saling berbalas cuitan, untuk membangun
kesadaran bahwa organisasi keislaman di Indonesia seharusnya menjalin silaturahmi, bukan saling
bermusuhan.

Manajemen Jaringan
Fungsi jaringan sangat penting dalam mengamplifikasi suatu pesan. Untuk menggaungkan
kampanye toleransi Jaringan Gusdurian melibatkan banyak selebtwit atau selebgram, tanpa
kerjasama komersial. Antara lain tokoh-tokoh populer seperti Ernest Prakasa, Arie Kriting, Glenn
Fredly, Mahfud MD, Lukman Hakim Saifuddin, dan Nadirsyah Hosen untuk me-retweet atau
mengunggah ulang konten-konten mereka. Tokoh-tokoh tersebut bersedia terlibat dalam gerakan
karena merasa memiliki tanggung jawab sebagai warga negara untuk melawan ujaran kebencian
dan pesan ekstremisme di media sosial. Di sisi lain, Sekretariat Nasional (Seknas) juga mendorong
jaringan komunitas-komunitas di daerah untuk memproduksi sendiri kontennya. Seknas pun
melakukan pelatihan konten kreator bagi komunitas-komunitas ini.

Pada akun @MuhammadiyinGL peran influencer juga terbukti menaikkan popularitas


mereka. Di awal kemunculannya, @MuhammadiyinGL belum mendapat banyak perhatian netizen
sampai akun @Amal_alghozali yang diikuti oleh puluhan ribu pengikut mempromosikan akun
tersebut hingga kemudian mendapat respons dari @NUGarisLucu dan banyak selebtwit lain.
Candaan klasik perihal perbedaan NU dan Muhammadiyah ternyata laku keras. Arus percakapan
hari itu membuat jumlah pengikut akun Twitter @MuhammadiyinGL meningkat belasan ribu
dalam satu minggu.

Jaringan dan komunikasi yang solid juga dibangun GP-Ansor mulai tingkat kabupaten
hingga kecamatan. Dengan mengonsolidasikan akun-akun media sosial dari pusat hingga daerah,
penyebaran informasi maupun pembentukan narasi bisa lebih efektif dilakukan. Selain dapat
menyebarluaskan info serta berbagai kegiatan internal, jaringan media sosial GP-Ansor berguna
untuk menyerang atau bertahan dari serangan kelompok Islam kanan.
389 | L a p o r a n A k h i r
Fungsi lain jejaring adalah untuk menaikkan popularitas suatu media. Sejumlah akun-akun
YouTube melakukan kolaborasi dengan figur-figur yang dianggap memiliki kesamaan visi dan
misi. Di kanal Jeda Nulis misalnya, Husen Ja’far aktif melibatkan narasumber tamu, seperti Prof
Nadirsyah Hosen, Dr. Nur Rofiah dan Sakdiyah Ma’ruf.

Kanal Jeda Nulis juga berkolaborasi dengan Tretan Muslim dan Coki Pardede setelah dua
komika tersebut dipersekusi oleh sejumlah ormas Islam karena konten dark comedy-nya. Peristiwa
tersebut ramai memunculkan diskursus perihal mencari batas antara lelucon dan penistaan agama.
Kolaborasi tersebut berhasil dan disukai. Citra Coki dan Muslim dalam konten digital kembali
positif, sedangkan viewers dan subscribers Jeda Nulis melonjak puluhan ribu dalam satu hari.
Kanal YouTube Geolive pun acapkali berkolaborasi dengan narasumber tamu, misalnya
melibatkan Prof. Nadirsyah Hosen dan Husen Ja’far dalam membahas isu keislaman.

Dalam misi mempromosikan Islam wasathiyyah, platform cariustaz.id dan islami.co juga
mengandalkan kekuatan jaringan. Platform cariustaz.id mendaftar ustaz-ustaz berhaluan
wasathiyah sesuai kriteria mereka ke dalam sebuah database untuk disajikan kepada publik
sebagai referensi. Untuk membuat jejaring ustaz moderat ini, bukan saja dari pengelola cariustaz.id
yang aktif mencari atau menggunakan jaringan PSQ, akan tetapi mereka juga membuka
pendaftaran yang diikuti dengan seleksi.

Situs web islami.co yang meskipun secara struktur redaksi sangat kurus tetap bisa berjalan
dengan memanfaatkan jejaring. Mereka bergerak bersama jaringan kontributor, yakni ratusan
penulis yang secara rutin mengirim tulisan keislaman mereka sesuai bidang keahlian masing-
masing.

Strategi Branding
Secara sadar maupun tidak sadar, aktor-aktor moderat di internet membentuk citra dirinya
di dunia maya. Beberapa aktor sengaja melakukan branding agar dapat diterima dengan kelompok
sasarannya. Sebut saja Husen Jafar, Harakah ID, islami.co, Geolive, dan Cameo Project.

Husen Jafar tidak menolak dipanggil Habib, sebab ia justru ingin merebut tafsir perwajahan
Habib yang akhir-akhir ini justru dikenal radikal dan ekstrem. Menurut Husen, nature Habib yang
asli pasti moderat. Oleh karena itu, penampilan Husen juga sangat santai dengan kaos atau kemeja

390 | L a p o r a n A k h i r
dan celana jins. Sesekali, jika audiensnya lumayan formal, ia tampil dengan atasan koko warna
putih dan tetap memakai jins.

Kehadiran islami.co mencoba menjawab keterbatasan nu.or.id yang dengan label NU-nya
tidak akan bisa menjangkau semua kelompok. Sebab bagaimanapun, identitas NU dikenal tidak
hanya sebagai organisasi sosial kemasyarakatan, namun juga lembaga dengan kepentingan politik.
Islami.co melepaskan diri dari citra yang ekslusif “NU” saja, untuk dapat memiliki pengaruh yang
lebih luas.

Selain itu, islami.co menyadari bahwa hal paling utama yang diperlukan agar masyarakat
percaya kepada konten keislaman di media digital adalah legitimasi. Dalam hal ini, legitimasi
berasal dari tercantumnya ayat Al Qur’an dan teks hadist dalam setiap konten yang disajikan.
Meskipun para kontributor, yang kebanyakan berasal dari kalangan pesantren, tetap merujuk
kepada kitab klasik ketika membahas sebuah hukum atau kejadian, penulis tetap didorong untuk
tetap mencantumkan rujukan ayat Al Quran atau teks hadistnya.

Karakter dakwah kelompok Islam puritan cenderung disenangi masyarakat perkotaan


sebab tiap paparannya langsung merujuk kepada ayat Al Qur’an atau teks hadist. Muslim urban
yang tidak menjalani pengalaman belajar agama di sekolah-sekolah keagamaan sangat awam
dengan rujukan kitab klasik, dan seringkali tak peduli.

Senada dengan islami.co, Harakah ID meski didirikan oleh individu-individu yang


berafiliasi dengan NU, berusaha menyamarkan identitasnya dan tampil lebih inklusif. Itulah
mengapa nama “Harakah Islamiyah” mulanya dipilih karena merupakan nomenklatur yang banyak
digunakan oleh kelompok salafi, ikhwani, maupun jihadi. Dengan slogan “Ngaji Islam Jaman
Now” konten-konten Harakah ID menyasar muslim milenial perkotaan yang mempraktikkan ritual
Islam tradisionalis, namun mengaku tidak berafiliasi dengan NU. Hal ini didasarkan pada survey
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) di mana dari 80 juta milenial pengguna
internet, hanya 36% yang mengaku NU dan sedangkan 50% lebih anak muda tidak merasa terikat
dengan organisasi manapun.

Awal tahun 2019, host kanal Geolive, Cania, melakukan rebranding atas citra dirinya demi
penerimaan publik. Ia mengubah secara total gaya berpakaian, cara duduk hingga artikulasi cara
bicara. Hal itu berasal dari kesadaran bahwa publik lebih menyukai penampilan yang cenderung

391 | L a p o r a n A k h i r
sopan dan elegan. Seseorang dengan argumen tepat dan logis akan gagal didengar ketika
menyampaikan dengan gaya meledak-ledak.

Di sisi lain, cariustaz.id menyadari bahwa para ustaz dari kalangan pesantren maupun
kalangan akademisi terkadang tidak cukup percaya diri untuk tampil di depan audiens, apalagi di
depan kamera. Secara berkala, cariustaz.id mengumpulkan para ustaz dalam database untuk
berkumpul dalam semacam pelatihan public speaking. Para ustaz juga didorong untuk aktif
membuat konten digital meskipun platform cariustaz.id telah memfasilitasi mereka dengan cara
memprofilkan di Instagram dan media massa.

Pendanaan
Untuk menghidupi media maupun sosial medianya, aktor-aktor moderat berpegang pada
beberapa model pendanaan sebagai berikut.
Tanpa Pendanaan
Akun @NUGarisLucu dan @MuhammadiyinGL adalah bentuk gerakan yang muncul
sebagai inisiatif komunitas yang bersifat organik. Admin akun-akun ini bermain sosial media
secara sukarela dan tanpa bayaran. Meskipun memiliki puluhan hingga ratusan tibu pengikut,
kedua akun ini tidak menerima iklan secara komersial dan tidak terlibat dalam gerakan politik
manapun. Admin bekerja di waktu luang secara bergantian, tanpa jadwal dan tanpa perencanaan
konten.

Nilai yang menggerakkan kedua akun ini adalah nilai dari dua organisasi Muslim terbesar
di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Meskipun begitu, NU Garis Lucu dan
Muhammadiyah Garis Lucu sengaja tidak menerima pendanaan dari organisasi untuk
mempertahankan misi yang sejak awal mereka bangun, yakni membangun kultur alternatif dalam
membicarakan agama di media sosial melalui tawa. Akun-akun ini tidak terlibat dalam
perencanaan kampanye toleransi di media sosial, akan tetapi berkomitmen untuk mendukung
kerja-kerja jejaring NU dan Muhammadiyah dalam menyampaikan pesan-pesan toleransi.

Inisiatif Masyarakat Sipil/Donasi


Masyarakat sipil yang resah dengan masifnya ujaran kebencian di media sosial, terlibat
dalam pendanaan aktor toleransi. Husen Jafar, misalnya, mendapat bantuan fasilitas syuting dari
seorang dermawan yang bekerja di sebuah stasiun swasta. Ia mendapat kesempatan untuk produksi
konten video secara mandiri dengan hasil yang profesional tanpa terikat kewajiban apapun.
392 | L a p o r a n A k h i r
Donatur juga didapatkan Harakah ID untuk menutup biaya operasionalnya. Sementara itu
islami.co membuka skema donasi dari masyarakat untuk mendukung kerja-kerja mereka.

Kerjasama Program
Selain donasi, untuk membiayai aktivitasnya, islami.co bekerjasama dengan beberapa
lembaga, antara lain: Wahid Institute dan Maarif Institute dengan program penyediaan konten
tulisan bertema perdamaian, khususnya yang menyasar anak muda dan anak sekolah; Search For
Common Ground dengan program untuk konten infografis bertema perdamaian yang menyasar
anak muda; serta Lakpesdam NU dengan program konten video bertema perdamaian.

Unit Bisnis/Klien Komersial


Islami.co juga menerima pekerjaan dari klien komersial dalam penyediaan konten digital.
Beberapa yang mereka kerjakan antara lain kerjasama konten animasi dan E-learning untuk
Rhenald Kasali dan ICW. Sementara itu Cameo Project sebagai “proyek idealis” menyandarkan
pendanaan pada production house untuk pembuatan video beberapa perusahaan. Harakah ID juga
menginisiasi lini bisnis dengan menjual buku-buku keislaman dan masih akan terus
dikembangkan.

Perusahaan Media
Geolive adalah perusahaan media komersial yang menggaji Cania Citta irlanie secara
profesional sebagai pimpinan produksi. Pemilik Geolive, Jeffrey Geovani mendukung nilai-nilai
kebebasan berpendapat yang menjadi prinsip Cania dalam tiap konten videonya.

Organisasi Massa
Dalam melakukan aktivitas di dunia digital ini GP-Ansor didukung oleh pembiayaan dan
fasilitas dari organisasi, Ketua Umum, dan sejumlah mitra. Namun, bagi para pengurusnya
aktivisme ini lebih dimaknai sebagai khidmah atau pengabdian dibanding kerja profesional.

Pengaruh dan Tantangan

Pengaruh

Untuk mengukur pengaruh, penelitian ini melihat perluasan dan dampak yang ditimbulkan
oleh tiap-tiap media atau akun sosial media. Islami.co menjadi situs moderat yang popularitasnya

393 | L a p o r a n A k h i r
menanjak secara signifikan. Data peringkat 10 besar web Islam menurut alexa.com pada bulan
Maret 2015, meliputi: 1) republika.co.id; 2. Islamtoleran.com; 3) pkspiyungan.org; 4)
islampos.com; 5) eramuslim.com; 6) fimadani.com; 7) suaranews.com; 8) arrahmah.com; 9)
dakwatuna.com; 10) nu.or.id.

Peringkat Situs Keislaman 2015


35

135

235

335

435

535

635

735

835

Islamis Moderat

Dari daftar di atas, hanya nu.or.id dan islamtoleran.com yang tergolong situs islam
moderat. Daftar situs lain tergolong mempromosikan ideologi islam politik bahkan ekstrem, yang
kemudian dapat digolongkan lagi menjadi tiga jenis. Pertama, media islam politik ideologis,
seperti pkspiyungan.org dan arrahmah.com. Kedua, media islam berbasis produk hukum fikih,
seperti fimadani.com dan dakwatuna.com. Ketiga, media islam berbasis berita dan artikel populer,
seperti republika.co.id, islampos.com, dan eramuslim.com.

394 | L a p o r a n A k h i r
Pada 2018, nu.or.id mengokohkan diri di posisi pertama. Di sisi lain, pasca digarap serius
sejak 2017, islami.co menempati urutan ke-18 situs web keislaman paling popular di Indonesia.
Pada akhir 2019 islami.com meroket di posisi kedua setelah nu.or.id.

395 | L a p o r a n A k h i r
Pada bulan Juli 2020, tiga besar peringkat website keislaman diduduki oleh nu.or.id,
bincangsyariah.com dan islami.co. Kemudian disusul oleh muslim.or.id, rumaysho.com, alif.id,
portal-islam.id, islampos.com, dalamislam.com dan almanhaj.or.id.

Peringkat Situs Keislaman 2020


150

350

550

750

950

1150

1350

Islamis Moderat

Geliat media-media Islam moderat yang terus menanjak sejak tahun 2018, 2019 dan 2020
nampak dikawal oleh beberapa media yang dikelola dan dikurasi oleh anak-anak muda beridentitas
Nahdlatul Ulama. Mereka secara sadar juga membagi fokus konten ke tiga jenis golongan.
Pertama, media islam moderat dengan ideologi kebangsaan, seperti nu.or.id. Kedua, media islam
moderat dengan bahasan fikih berkemajuan seperti bincangsyariah.com. Ketiga, media islam
berbasis berita dan artikel popular seperti islami.co dan alif.id.

Secara modal sosial, kontributor media islam moderat ini adalah anak-anak muda berlatar
belakang pendidikan pesantren salafiyyah tradisional yang melanjutkan pendidikan ke universitas
di Jakarta dan Yogyakarta. Anak-anak muda ini mampu menggabungkan wacana keislaman klasik
ala pesantren dengan wacana sosial sekuler di universitas. Media islam moderat ini

396 | L a p o r a n A k h i r
mempromosikan ulama-ulama moderat Indonesia terdahulu, seperti Gus Dur, KH Sahal Mahfudh,
KH Hasyim Muzadi, Prof. Quraish Shihab, dan Gus Mus.

Di sisi lain, pada bulan September 2016, Cameo Project menjadi salah satu duta Creators
for Change dari platform YouTube. Creators For Change adalah sebuah inisiatif global yang
bertujuan meningkatkan jumlah YouTuber yang memanfaatkan kanal mereka untuk mengunggah
video yang berpengaruh kepada perubahan sosial dan menggunakan suara mereka untuk
menyebarkan pesan-pesan tentang toleransi. Pencapaian ini menunjukkan kampanye toleransi
Cameo Project dianggap efektif dan perlu direplikasi.

Sementara itu kehadiran @NUGarisLucu menjadi trigger bagi kelahiran akun-akun Garis
Lucu lainnya dari berbagai kelompok agama. Selain @MuhammadiyinGL terdapat Katolik Garis
Lucu @KatolikG, Hindu Garis Lucu @HInduGL, Konghucu Garis Lucu @KonghucuGL, dan
HKBP Garis Lucu @HKBP_GL. Akun-akun yang hadir secara organik ini membuat isu agama
yang dianggap sensitif bisa diperbincangkan dengan santai bahkan humoris. Interaksi antar
kelompok agama melalui akun-akun ini juga menjadi potret toleransi yang nyata di media sosial.

Tantangan

Dalam menjalankan aktivismenya, aktor-aktor moderat mendapatkan sejumlah tantangan


baik dari eksternal maupun internal. Bicara soal tantangan eksternal, pertengahan tahun 2019,
seorang kontributor islami.co pernah dipersekusi sekelompok laki-laki dewasa yang
memperkenalkan diri sebagai Laskar Masjid Jogokariyan. Seminggu sebelum peristiwa persekusi
tersebut, sang kontributor menulis artikel bertendensi kritik kepada ornamen grafis di seputar
dinding Masjid Jogokariyan. Atas insiden persekusi itu, redaktur islami.co berkomitmen untuk
bertanggung jawab kepada rasa aman penulis dengan menawarkan opsi untuk memberitakan
peristiwa tersebut dan siap menanggung segala risiko serta menempuh jalur hukum.

Akan tetapi, sang kontributor memiliki alasan pribadi agar persekusi yang menimpa dirinya
tidak dibesar-besarkan. Ia juga meminta redaksi untuk take down artikel, sesuai permintaan Laskar.
Alasan pribadi ini wajib dihormati oleh redaksi dan pada akhirnya dimaklumi sebab setiap orang
memiliki situasi yang berbeda dan pertimbangannya masing-masing.

397 | L a p o r a n A k h i r
Tantangan eksternal juga dialami oleh Geolive. Konten-konten di kanal Geolive terkait isu-
isu keislaman, seperti komentar terhadap Zakir Naik, dipenuhi komentar ujaran kebencian. Secara
traffic, situasi ini membuat Geolive makin dikenal, akan tetapi lewat sentimen negatif.

Mengenai tantangan internal, peralihan nama dari Muhammadiyah Garis Lucu menjadi
Muhammadiyin Garis Lucu berasal protes jamaah Muhammadiyah yang tidak merasa terwakili
oleh “dakwah” ala mereka. Beredar pula prasangka jangan-jangan akun tersebut bukan dibuat oleh
warga Muhammadiyah asli, melainkan berasal dari organisasi keislaman lain yang justru berniat
menjelekkan Muhammadiyah. Lama-lama, suara protes ini makin kencang, hingga para admin
pada akhirnya mengalah kepada tekanan sosial dan merasa perlu mendinginkan suasana dengan
mengganti username akun.

Kesimpulan

Dalam ekosistem digital, aktor moderat telah digerakkan oleh jejaring NU dan
Muhammadiyah, selain itu juga kelompok-kelompok non agama yang percaya kepada nilai-nilai
demokrasi. Munculnya kelompok moderat didorong oleh beberapa faktor yaitu: keresahan
terhadap aksi intoleransi, keresahan terhadap menguatnya wacana khilafah, keresahan terhadap
menguatnya Islam politik, keresahan terhadap sentimen anti-pluralisme yang membatasi
kebebasan berekspresi, serta keresahan terhadap kurangnya sumber-sumber ilmu keislaman yang
kredibel dan otoritatif di internet sebagai rujukan masyarakat perkotaan.

Secara modal sosial, kelompok moderat ini mampu memperoleh ceruk pengikut yang besar
karena digerakkan oleh anak muda perkotaan juga tokoh-tokoh yang membangun komunitas sipil
seperti Jaringan Gusdurian. Pada akhirnya, munculnya narasi konservatisme, radikalisme dan
ekstremisme di media sosial selalu diimbangi dengan counter narasi keberagaman. Penelitian ini
menemukan narasi yang diususng oleh aktor-aktor moderat berpusat pada: pemahaman Islam
dengan pendekatan tasawuf; bagaimana agama seharusnya memperbaiki hati dan akhlak, Islam
wasathiyah (moderat), mengampanyekan keberagaman, dan mengobarkan semangat
nasionalisme.

398 | L a p o r a n A k h i r
Referensi

Ali Hasanuddin dan Lilik Purwandi. 2019. Indonesian Moslem Report 2019: The
Challenge of Indonesia Moderate Moslems. Jakarta: Alvara Research Center.

Brauchler, Birgit. 2004. Islamic Radicalism Online: The Moluccan Mission of The Laskar Jihad
in Cyberspace. The Australian Journal of Anthropology Vol. 3 pp 267-285.

Gutmann, Amy. 2003. Identity and Democracy. New Jersey: Princenton University Press

Lim, Merlyna. 2005. Islamic Radicalism and Anti-Americanism in Indonesia: The Role of The
Internet. Washington: East-West Center.

Schmid, P. Alex. 2014. Al Qaeda’s “Single Narrative” and Attempts to Develop Counter-
Narratives: The State of Knowledge. ICCT Research Paper

399 | L a p o r a n A k h i r
Kebangkitan Konservatisme dan Radikalisme Islam dan
Respon Kelompok Tionghoa di Surabaya dan Semarang

Evi Lina Sutrisno, Ph.D.

Pengantar

Pada dekade kedua era Reformasi, kebangkitan gerakan kelompok Islam “radikal” telah
menimbulkan perasaan waspada dan kekhawatiran yang luar biasa di kalangan Tionghoa
Indonesia. Meningkatnya angka intoleransi di Indonesia, seperti dilansir oleh Setara Institute dan
Wahid Foundation telah membuat beberapa individu maupun kelompok Tionghoa menjadi
korban. Pada tahun 2016, terjadi kasus pembakaran lima vihara dan tiga kelenteng di Tanjung
Balai, Sumatera Utara, setelah terjadi pelintiran kebencian (hate spin) dari ucapan Meiliana,
seorang perempuan Tionghoa Buddha yang mengeluhkan kerasnya volume suara azan di sebuah
masjid di dekat rumahnya. Kasus ini berakhir dengan diadilinya Meiliana sebagai penista agama
yang dijatuhi hukuman 1,5 tahun penjara.388 Di kota yang sama, patung Buddha di sebuah vihara
diturunkan atas desakan ormas Islam lokal, yang didukung oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI),
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Pemerintah Kota Tanjung Balai karena sebagian
masyarakat merasa ibadah salat mereka terganggu karena arah kiblat terhalang patung itu.389
Hanya dalam hitungan bulan setelahnya, bangsa Indonesia menyaksikan demo massal berjilid-jilid
yang diorganisir oleh Habib Rizieq Shihab untuk menuntut Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok,
gubernur DKI Jakarta yang juga seorang Tionghoa Kriten, sebagai penista agama. Ahok akhirnya
mendapatkan hukuman 2 tahun penjara.390 Kasus intoleransi berlanjut dengan tuntutan untuk
merobohkan patung Dewa Perang, Kwan Kong atau Guan Yu, setinggi 32 meter di sebuah

388
BBCNews Indonesia, 30 Juli 2016. “Amuk Massa di Tanjung Balai, Vihara dan Kelenteng Dibakar.”.
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/07/160730_indonesia_rusuh_tanjung_balai; Tempo, 21
Agustus 2018. Tempo. Aug 21, 2018. “Terdakwa Penistaan Agama di Tanjung Balai Divonis 1.5 Tahun Penjara.”
https://www.tempo.co/abc/2324/terdakwa-penistaan-agama-di-tanjung-balai-divonis-15-tahun-penjara
389
BBCNews Indonesia, 31 Oktober 2016. “Penurunan Patung Buddha di Tanjung Balai Dianggap
Mengancam Keberagaman.” https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-37814837
390
DetikNews, 9 Mei 2017. “Ahok Divonis 2 Tahun Penjara.” https://news.detik.com/berita/d-3496185/ahok-
divonis-2-tahun-penjara

400 | L a p o r a n A k h i r
kelenteng di Tuban, Jawa Timur, oleh koalisi ormas Islam dan kelompok nasionalis dari
Surabaya.391

Di tengah rasa ketidakamanan dan ketidakberdayaan sebagai kaum minoritas, penelitian


ini berusaha mengkaji ragam respons kelompok Tionghoa terhadap kebangkitan Islam radikal,
berikut alasan dan konteks di balik respons mereka. Bagaimana persepsi Tionghoa terhadap
pergeseran pola beragama dari kelompok Islam radikal dan/atau konservatif? Hal-hal apa saja yang
dikhawatirkan oleh golongan Tionghoa dan tindakan apa saja yang mereka ambil atau lakukan
untuk merespon atau mengatasi radikalisme di Indonesia? Bagaimana pola kerjasama antara
sesama kelompok Tionghoa maupun non-Tionghoa untuk menghadapi radikalisme dan
intoleransi? Penelitian ini dilakukan di dua kota, yaitu Surabaya dan Semarang. Data terkumpul
dari wawancara dengan 10 aktivis Tionghoa dan observasi partisipatif yang dilakukan sejak awal
Desember 2019 hingga akhir Februari 2020. Di era wabah Covid-19, pengambilan data berlanjut
melalui partisipasi dalam beberapa diskusi daring, percakapan lewat beberapa platform sosial
media, seperti Messenger dan What’sApp. Sumber media dan dokumentasi sejarah juga turut
berperan untuk melengkapi data lapangan.

Tulisan ini diawali dengan dua bagian untuk membahas konteks sejarah hubungan
Tionghoa dan Islam yang bernuansakan keharmonisan sebelum zaman penjajahan Belanda, namun
berkembang pahit dan saling mencurigai di masa kemerdekaan dan era reformasi. Bagian ketiga
mendiskusikan latar belakang dan ragam respon kalangan Tionghoa di kedua kota. Paparan ini
diikuti dengan kajian tentang pola kolaborasi kaum Tionghoa dan non-Tionghoa, kelebihan
maupun keterbatasan dan tantangan tiap strategi.

Tionghoa dan Islam dari Zaman ke Zaman

Jauh sebelum bangsa Eropa menjelajah di kawasan Asia, orang Tionghoa telah tiba dan
menetap di Asia Tenggara, termasuk di kepulauan yang kelak bernama Indonesia. Berdasar catatan
perjalanan dari Ma Huan, seorang Tionghoa Muslim yang turut serta dalam ekspedisi pelayaran
ke-empat di bawah pimpinan Laksamana Cheng Ho (Zheng He atau Sam Po, 1371-1433) ke Asia
Tenggara pada tahun 1413-1415, terdapat banyak komunitas Tionghoa Muslim di pantai Jawa
Timur. Beberapa orang Tionghoa Muslim ditunjuk oleh para pemimpin lokal untuk menduduki

391
Tempo, 7 Agustus 2017. “Pembongkaran Patung Kelenteng di Tuban Didemo Ormas Jatim.”
https://nasional.tempo.co/read/897807/pembongkaran-patung-di-kelenteng-tuban-didemo-ormas-jawa-timur

401 | L a p o r a n A k h i r
posisi penting, seperti wedana, bupati atau syahbandar, bahkan beberapa mendapatkan gelar
sebagai kiai.392 Pigeaud dan De Graaf berargumen bahwa beberapa Wali Songo adalah orang
Tionghoa, seperti Sunan Ampel dan Sunan Bonang.393 Mereka memiliki peran utama dalam
penyebaran Islam di Jawa pada abad ke-15. Perkawinan antara orang Tionghoa dengan orang
lokal, baik dengan rakyat biasa maupun keluarga pemimpin, membuat mereka berbaur lebih erat.
Istilah Tionghoa Peranakan awalnya dilekatkan kepada para Tionghoa Muslim.394 Namun situasi
penuh harmoni ini berubah drastis pada saat Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC –
Asosiasi Perusahaan Dagang Hindia Belanda) datang dan memulai kekuasaannya di Nusantara.

Saat VOC mulai membangun dan menduduki Batavia pada tahun 1619, politik pemisahan
ras dan status sosial-ekonomi mulai dilakukan. Berbeda dengan para raja lokal yang merangkul
dan menerima pendatang dari Tiongkok sebagai penduduk yang berkedudukan setara dengan
penduduk asli dalam wilayah mereka, VOC memberlakukan pembatasan dan pemisahan di mana
bangsa kulit putih dan pedagang Tionghoa mendapatkan tempat tinggal di dalam benteng kota
Batavia, sedangkan kelompok pribumi dan Tionghoa golongan menengah ke bawah yang
berprofesi petani dan buruh harus tinggal di luar benteng, yang disebut Ommelanden.395 Walaupun
mendapatkan hak istimewa untuk tinggal di dalam kota benteng dengan fasilitas jalan, rumah sakit,
panti jompo dan panti asuhan, tujuan utama VOC sebenarnya adalah memaksimalkan pengawasan
terhadap kegiatan bisnis kaum Tionghoa dan menjadikan mereka pembayar pajak utama.396

Pola pemisahan berbasis ras dan status sosial-ekonomi berjalan hingga seabad lebih hingga
terjadi krisis ekonomi pada tahun 1740, saat harga gula di pasaran dunia hancur. Gula adalah salah
satu komoditas utama VOC pada masa itu. Produksi tebu melimpah, namun tak tergarap karena
pabrik pengolahan gula tidak lagi berproduksi. Selain itu, VOC masih menarik pajak yang
memberatkan rakyat. Jumlah pengangguran dan kriminalitas meningkat sehingga VOC berencana

392
Denys Lombard dan Claudine Salmon. 1993. “Islam and Chineseness.” Indonesia (Ithaca) 57, no. 57:
115-118
393
Theodore G. Th. Pigeaud, & H. J. De Graaf. 1976. Islamic States in Java 1500-1700 (Verhandelingen
van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol.. 70. Brill, 7
394
Didi Kwartanada. 2018. “Apa/Siapa itu Peranakan?” [video]. Jakartanicus.
https://www.youtube.com/watch?v=iWhN-JYNg4w

Leonard Blussé. 1988. Strange Company: Chinese settlers, mestizo women and the Dutch in VOC Batavia.
395

Dordrecht-Holland: Foris Publications. 3


396
Leonard Blussé. 1981. “Batavia, 1619–1740: The Rise and Fall of a Chinese Colonial Town.” Journal of
Southeast Asian Studies, 12(1), 168.

402 | L a p o r a n A k h i r
memulangkan buruh Tionghoa ke Tiongkok atau mengalihkan mereka secara paksa ke Ceylon.
Situasi ini memicu gerakan perlawanan terhadap VOC di mana buruh Tionghoa bersekutu dengan
penduduk lokal menyerang kota benteng Batavia. VOC membalas serangan kolaborasi ini dengan
pembunuhan massal terhadap 10,000 orang Tionghoa – baik yang tinggal di Batavia maupun di
Ommelanden.397

Belajar dari pengalaman pahit kerjasama antara kelompok Tionghoa dan penduduk lokal
yang berakhir dengan pemberontakan pada tahun 1740, pemerintah kolonial Belanda yang
mengambil alih kepemimpinan VOC di Hindia Belanda pada tahun 1799, menerapkan politik
pemisahan ras yang lebih ketat. Sejak tahun 1814, pemisahan kelompok masyarakat diterapkan
dengan membuat strata kelas berdasar ras, di mana kelas pertama datang dari orang Kulit Putih,
kelas kedua terdiri dari bangsa Timur Asing (Vreemde Oosterlingen), yaitu Tionghoa, Arab dan
India, dan kelas ketiga adalah kaum Pribumi. Peraturan ini memisahkan kelompok masyarakat
secara pilah walaupun pada kenyataannya banyak terjadi perkawinan campuran. Orang yang lahir
dari perkawinan Tionghoa dan Pribumi digolongkan sebagai Tionghoa Peranakan.

Politik pemisahan kelas diikuti dengan penataan daerah pemukiman berbasis ras dan etnis
tertentu (wijkenstelsel), sehingga hingga saat ini di berbagai kota masih ditemukan jejak, misalnya
Pecinan, Kampung Arab, Kampung Keling, Kampung Melayu, dan Kampung Bugis. Di bawah
kebijakan wijkenstelsel, setiap penduduk wajib tinggal di kampung yang sesuai dengan etnis atau
rasnya. Untuk berkunjung dan melintasi kampung yang berbeda, para penduduk harus memiliki
izin khusus (passenstelsel). Walaupun peraturan passenstelsel dihapus untuk golongan Pribumi
pada tahun 1863, orang Tionghoa tetap diawasi ketat dan diwajibkan memiliki izin memasuki
kampung lain hingga tahun 1911.398 Akibat buruk dari kebijakan pemisahan ras adalah
menguatnya identitas etnis atau ras (ethnocentrism), sentimen negatif dan prasangka kepada
kelompok etnis lain. Dalam kehidupan beragama, relasi harmonis antara Islam dan Tionghoa mulai
memudar seiring dengan pola pikir baru bahwa Islam identik dengan Pribumi. Bahkan Lombard
dan Salmon mencatat rasa saling curiga dan merendahkan terjadi antara kaum Tionghoa dan
Pribumi. Seorang Tionghoa yang masuk Islam dianggap “telah toekar laen bangsa.”399

397
Ibid., 168-177
398
Evi Sutrisno. 2018. “Negotiating the Confucian religion in Indonesia: Invention, resilience and revival
(1900-2010).” Dissertation. Seattle: University of Washington, 50-51
399
Lombard dan Salmon. 1993. “Islam and Chineseness,” 126-129.

403 | L a p o r a n A k h i r
Walaupun relasi Islam dan Tionghoa memburuk, pada tahun 1930-an, terdapat beberapa
Tionghoa yang memilih Islam sebagai agama mereka. Jumlah mereka tidak banyak, namun
mereka terus melakukan dakwah kepada sesama Tionghoa maupun non-Tionghoa. Terdapat
beberapa masjid Tionghoa Muslim, seperti Masjid Pecinan di Banten, Masjid Jami Angke di
Jakarta dan Masjid Japura di Ambon yang memadukan arsitektur Cina, Belanda dan budaya Hindu
ataupun nuansa lokal.400 Pada tahun 1934, berdiri Partai Tionghoa Islam Indonesia (PTII) dengan
sekretaris Tjia Goan Liem.401 PTII menerbitkan majalah Wasilah. Di Makassar berdiri partai
dengan nama yang sama, di bawah pimpinan Liem Kie Chie. Di Medan, Haji Yap A Siong atau
Haji Abdussomad (meninggal 1984), seorang Tionghoa kelahiran Canton, mendirikan Persatuan
Islam Tionghoa pada tahun 1936 dan memiliki anggota sebanyak 4800 orang di Palembang dan
9500 orang di Jakarta.402 Fakta sejarah ini menunjukkan bahwa walaupun pemerintah kolonial
Belanda berhasil mengubah pola interaksi antara Tionghoa dan Islam menjadi tersekat dan saling
mencurigai, ada kelompok Tionghoa yang resisten terhadap kebijakan Belanda. Mereka
berdakwah untuk mempromosikan Islam, walaupun usaha mereka kurang mendapatkan tanggapan
positif dari kaum Tionghoa.

Pada masa kemerdekaan Indonesia, perdebatan antara konsep integrasi versus asimilasi
bagi kalangan Tionghoa menjadi marak. Konsep integrasi mendorong kaum Tionghoa untuk
menjadi sepenuhnya warga Indonesia tanpa menanggalkan identitas ke-Tionghoa-an mereka. Di
sisi lain, konsep asimilasi menekankan peleburan identitas secara total di mana etnis Tionghoa
diharuskan menghapus seluruh identitas ke-Tionghoa-an mereka untuk menjadi warga Indonesia.
Salah satu cara asimilasi adalah dengan memeluk agama Islam. Tokoh yang mendorong konsep
integrasi adalah Siauw Giok Tjhan (1914-1981), pendiri Badan Permusjawaratan
Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) di tahun 1954. Walaupun di masa Soekarno (1901-1971),
pendekatan integrasi diterima dengan baik, terdapat tokoh Tionghoa yang memperjuangkan
asimilasi. Salah satunya adalah Oey Tjeng Hien atau dikenal Abdul Karim Oey (1905-1988) yang
menjadi penasehat Muhammadiyah dan pemimpin Partai Masyumi di Bengkulu pada masa Orde

400
Muhamad Ali. 2007. “Chinese Muslims in Colonial and Postcolonial Indonesia.” Exploration: A Graduate
Student Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 7 (2) (Special Edition: Islam in Southeast Asia), 4;
Salmon & Lombard. 1993. Islam and Chineseness, 122.
401
Ibid. 130
402
Ali, 2007. Chinese Muslims in Colonial and Postcolonial Indonesia, 3-4

404 | L a p o r a n A k h i r
Soekarno. Ketika Soekarno membubarkan Masyumi, pada tahun 1961 Oey mendirikan Persatuan
Islam Tionghoa Indonesia (PITI).

Pada saat Orde Baru, Suharto (1921-2008) menekankan konsep asimilasi melalui Inpres
14/1967. Kebijakan Suharto berusaha meleburkan identitas ke-Tionghoa-an dengan melarang
sekolah, pers, bahasa dan tradisi/agama Tionghoa tampil di ranah publik. Beberapa figur Tionghoa
mendukung kebijakan Suharto, seperti Abdul Karim Oey dan Junus Jahja (Lauw Chuan Tho, 1927-
2011). Junus Jahja berpindah agama dari Kristen menjadi Islam pada tahun 1979 dan mendirikan
Yayasan Ukhuwah Islamiyah. Jahja menjadi anggota MUI pada tahun 1980-1990.403 Cara Junus
Jahja sangat dipuji oleh Soeharto.404 Demikian pula dengan Abdul Karim Oey yang terus
mempromosikan Islam di kalangan Tionghoa. Pada tahun 1971, PITI mengklaim jumlah
anggotanya mencapai 100,000 Muslim Tionghoa, terutama berasal dari Medan dan Pontianak.
Pada tahun 1972, PITI mengubah nama organisasi menjadi Pembina Iman Tauhid Islam untuk
melepas pandangan eksklusif Tionghoa Islam dan sebagai upaya melebur lebih jauh dengan para
Muslim terlepas latar belakang etnis mereka. Organisasi ini masih berkiprah hingga sekarang dan
memperluas keanggotaannya kepada Muslim non-Tionghoa. Namun, terlepas dari upaya PITI
untuk menjadi inklusif, warna ke-Tionghoa-an masih kental dalam organisasi ini, seperti
mendirikan masjid Lautze, pernah memiliki Lampion, yaitu grup nasyid (vocal group) pemuda
Muslim Tionghoa dan menggunakan kembali nama pertama – Persatuan Islam Tionghoa Indonesia
– bersamaan dengan nama kedua – Pembina Iman Tauhid Islam.405

Bagi umumnya kelompok Tionghoa, pendekatan asimilasi dirasakan sebagai cara represif
dan diskriminatif Orde Baru yang menggerus dan menghilangkan identitas ke-Tionghoa-an. Pada
era Suharto inilah agama Khonghucu diturunkan derajatnya menjadi ‘aliran kepercayaan.’
Tekanan ini membuat sebagian besar kaum Tionghoa beralih dari agama Khonghucu dan
agama/tradisi rakyat Tionghoa ke agama Kristen, Katolik dan Buddha, sedangkan jumlah kaum
Tionghoa yang beralih memeluk Islam tetaplah sedikit. Kenyataan ini menunjukkan bahwa relasi

403
Leo Suryadinata. 2015. Prominent Indonesian Chinese: Biographical sketches (4th ed.). Singapore:
ISEAS Publishing,
404
Charles Coppel. 1983. Indonesian Chinese in Crisis. Kuala Lumpur ; New York: Oxford University Press,
165.
405
PITI 2008. Persatuan Islam Tionghoa Indonesia/Pembina Iman Tauhid Indonesia [website].
https://piti.or.id/

405 | L a p o r a n A k h i r
harmonis antara Islam dan Tionghoa tidak pernah kembali seperti sebelum kedatangan penjajah
Belanda, termasuk di zaman represif Orde Baru yang mewajibkan asimilasi.

Tionghoa dan Islam di Era Reformasi

Pada awal era Reformasi, kelompok Tionghoa menikmati pengakuan negara setelah 32
tahun hak-hak dan ekspresi kebudayaan maupun keagamaan mereka diberangus oleh Soeharto
melalui Inpres 14/1967. Pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid atau dikenal luas sebagai
Gus Dur (1940-2009) mencabut Inpres tersebut dan mengakui agama Konghucu sebagai agama
resmi keenam di Indonesia. Presiden Megawati Soekarnoputri (lahir 1947) menjadikan Imlek
sebagai hari libur nasional pada tahun 2002. Melalui Keppres 12/2014, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (lahir 1949) meneguhkan pengakuan terhadap Tionghoa melalui perubahan panggilan
“Cina” yang memiliki makna diskriminatif dan merendahkan menjadi “Tionghoa” dan
“Tiongkok” untuk menyebut Republik Rakyat Cina.

Etnis Tionghoa menyambut beberapa kebijakan ini dengan merayakan tradisi dan ritual
keagamaan mereka di ruang publik. Selama lebih dari satu dekade, hari raya etnis Tionghoa,
seperti Imlek dan Cap Go Meh menjadi ruang perjumpaan lintas etnis dan agama. Lampion,
barongsay dan cheongsam dengan warna dominan merah menjadi ikon yang menampilkan nuansa
ke-Tionghoa-an. Di bidang sosial, berdiri beberapa organisasi Tionghoa, seperti Perhimpunan
Indonesia Tionghoa (INTI), Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), dan Persatuan
Islam Tionghoa Indonesia (PITI), yang memiliki cabang di berbagai provinsi dan kota di seluruh
Indonesia. Partisipasi etnis Tionghoa di ranah politik juga meningkat. Beberapa tokoh politik etnis
Tionghoa terpilih menjadi kepala daerah, anggota DPR, DPRD maupun pejabat negara, misalnya
Kwee Kian Gie (lahir 1935) sebagai Menteri Koordinator Ekonomi dan Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional (1999-2004), Sofjan Tan (lahir 1959) sebagai Walikota Medan periode
2010-2015, Tjhai Chui Mie (lahir 1972) sebagai Walikota Singkawang periode 2017-2022 dan
Hardiyanto Kenneth (lahir 1981) sebagai anggota DPRD DKI Jakarta dari PDIP periode 2019-
2024.

Penerimaan terhadap etnis Tionghoa sebagai bagian dari bangsa Indonesia mulai
mendapatkan tantangan balik pada saat kampanye presiden 2014. Beredar berita palsu mengenai
ayah calon presiden Joko Widodo adalah seorang Tionghoa bernama Oey Hong Liong. Di balik
406 | L a p o r a n A k h i r
keriuhan mengenai asal-usul keluarga Presiden Jokowi, hal ini menunjukkan pesan bahwa ke-
Tionghoa-an adalah identitas yang tidak diinginkan, terutama bagi pemimpin bangsa Indonesia.
Puncak krisis politik identitas ke-Tionghoa-an muncul pada saat kontroversi penodaan agama oleh
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok ((lahir 1966) yang beridentitas Tionghoa Kristen. Pada kasus
Ahok, beberapa kelompok Islam garis keras, seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis Intelektual
dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), berkolaborasi dan berdemonstrasi massal berjilid-jilid,
yang memuncak pada Aksi 212. Gerakan ini tidak hanya berdampak pada tekanan secara
individual terhadap Ahok yang berakhir dengan penghukumannya sebagai penista agama. Aksi ini
juga mempengaruhi relasi orang Tionghoa dan kelompok Islam maupun “Pribumi” secara lebih
luas. Penelitian berbasis data survey terhadap 1620 responden menunjukkan menguatnya sentimen
dan penilaian negatif dari perspektif kaum “Pribumi” terhadap orang Tionghoa sebagai kelas
menengah atas, eksklusif, dan rasa nasionalisme Indonesia yang rendah.406 Walaupun Kuntjara
dan Hoon menemukan bahwa tidak semua generasi muda non-Tionghoa yang berpendidikan tinggi
dan tinggal di perkotaan terjebak dalam prasangka negatif terhadap Tionghoa, jumlah mereka
masih sangat terbatas.407

Secara umum, tidak banyak masyarakat Indonesia yang mengingat relasi harmonis antara
Islam dan ke-Tionghoa-an di masa sebelumnya. Terlebih gerakan Islam radikal akhir-akhir ini
lebih menekankan upaya pemurnian dengan mengutamakan interpretasi Wahabisme dari Saudi
Arabia dan menguatkan budaya Timur Tengah. Kelompok ini menolak penyerapan budaya lokal
Indonesia sebagai ekspresi ke-Islam-an sehingga menimbulkan perpecahan dengan kelompok
Islam moderat yang mengadopsi budaya Nusantara. Pengutamaan aliran Wahabisme membuat
posisi Tionghoa Muslim juga menjadi sulit karena ada beberapa unsur budaya ke-Tionghoa-an
yang dianggap kontradiktif dengan nilai-nilai ke-Islam-an, misalnya perdebatan apakah perayaan
Imlek di kalangan Tionghoa Muslim halal atau haram.408 Di mata kelompok Islam garis keras,
identitas keagamaan lebih utama di atas identitas lainnya. Menguatnya wacana ini membuat suara
Tionghoa Muslim terbelah. Di satu sisi, ada Tionghoa Muslim yang lebih mengedepankan
identitas keagamaan daripada identitas etnis, seperti Hj. Iriana Handojo (lahir 1954), seorang

406
Charlotte Setijadi. 2017. “Chinese Indonesians in the Eyes of Pribumi Public.” Perspective 73, 1-12
407
Esther Kuntjara & Chang-Yau Hoon. 2020. “Reassessing Chinese Indonesian stereotypes: Two decades
after Reformasi.” South East Asia Research, 28(2).
408
Hew Wai Weng. 2017. Chinese Ways of Being Muslim: Negotiating Ethnicity and Religiosity in Indonesia.
Copenhagen: NIAS, 211-217.

407 | L a p o r a n A k h i r
Tionghoa Muslim dan mantan biarawati Katolik, dan Felix Siauw (lahir 1984), seorang ustadz
Tionghoa Muslim. Keduanya merasa Ahok melecehkan agama mereka. Hj. Iriana menjadi saksi
memberatkan dalam sidang penistaan agama Ahok,409 sedangkan Felix Siauw memposting kritik
kerasnya kepada Ahok di sosial media.410 Di sisi lain, Anton Medan (lahir 1957), seorang
Tionghoa Muslim, ketua umum PITI periode 2012-2022 dan mantan preman, lebih mengutamakan
persatuan bangsa daripada identitas ke-Islam-annya. Menghadapi rencana demo melawan Ahok,
ia berharap kelompok Islam tidak mengeksploitasi agama.411

Di luar kelompok Tionghoa Muslim, kaum Tionghoa pada umumnya mengamati dengan
resah bangkitnya kelompok Islam garis keras. Namun, sejauh amatan peneliti, PSMTI dan INTI
sebagai dua organisasi Tionghoa di level nasional tidak membuat pernyataan maupun kegiatan
yang menunjukkan sikap mereka terhadap kebangkitan radikalisme dan intoleransi di Indonesia.
Beberapa upaya yang dilakukan oleh kelompok Tionghoa berasal dari inisiatif para aktivis lokal,
di mana studi ini menawarkan Surabaya dan Semarang sebagai dua daerah kajian untuk melihat
ragam respon kelompok Tionghoa. Kedua kota ini dipilih karena memiliki komunitas Tionghoa
yang cukup banyak dan vokal, namun di era reformasi mereka menjalani dinamika yang berbeda,
demikian pula dengan strategi mereka dalam menghadapi intoleransi dan radikalisme.

1. Islam dan Tionghoa di Surabaya dan Semarang


Sebagai dua kota pelabuhan besar di Jawa, Surabaya dan Semarang memiliki catatan
sejarah panjang tentang keberadaan komunitas Tionghoa yang pernah dikelompokkan untuk
tinggal di area Pecinan melalui kebijakan wijkenstelsel pada masa penjajahan Belanda. Hingga
sekarang Pecinan masih menjadi pusat perdagangan, budaya dan keagamaan Tionghoa. Pecinan
di kedua kota memiliki beberapa ciri khas, di antaranya adalah keberadaan beberapa kelenteng di
daerah itu. Di Pecinan Surabaya terdapat 4 kelenteng dan beberapa rumah abu, sedangkan di
Semarang ada 9 kelenteng besar dan kecil dan sebuah rumah perkumpulan Tionghoa tertua, yaitu
Boen Hian Tong atau Rasa Dharma, yang berdiri sejak 1876.

409
Bisnis. 10 Januari 2017. 5 Saksi Ini Memberatkan Ahok.
https://jakarta.bisnis.com/read/20170110/77/618083/5-saksi-ini-memberatkan-ahok
410
Republika. 10 Oktober 2016. 32 Cuitan Felix Siauw Soal Ahok dan Al Maidah 51.
https://republika.co.id/berita/oesln0361/32-cuitan-felix-siauw-soal-ahok-dan-almaidah-51-part1
411
Merdeka. 1 November 2016. https://www.merdeka.com/peristiwa/anton-medan-tak-tinggal-diam-jika-
demo-ahok-berujung-rusuh.html

408 | L a p o r a n A k h i r
Pada masa Orde Baru, kegiatan keagamaan dan budaya Tionghoa diberangus sehingga
komunitas kelenteng tidak dapat merayakan berbagai hari raya dan ritual Tionghoa di ruang
publik. Untuk menekan identitas ke-Tionghoa-an lebih jauh, rezim Orde Baru mengeluarkan
Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 455.2-360/1988, yang membawa beberapa konsekuensi: (1)
perubahan nama Cina di sebuah kelenteng menjadi nama Indonesia atau Sanskerta, (2) penguatan
Tridharma (tiga ajaran) – Khonghucu, Buddha dan Dao – di mana agama Buddha diharapkan
menjadi payung identitas keagamaan kelompok Tionghoa Indonesia, dan (3) membangun afiliasi
di bawah pimpinan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi). Komunitas Tionghoa
Khonghucu di kota Surabaya, khususnya jemaat Lithang (rumah ibadah Khonghucu) Boen Bio,
menolak instruksi tersebut. Bahkan, komunitas Khonghucu Boen Bio pernah menjadi simbol
perlawanan terhadap tekanan Soeharto yang tidak mengakui Khonghucu sebagai agama resmi di
Indonesia. Tahun 1996, pasangan Budi Wijaya dan Lany Guito menggugat Kepala Catatan Sipil
Kota Surabaya yang menolak mencatatkan perkawinan mereka karena pernikahan secara agama
Khonghucu tidak diakui oleh negara. Tokoh-tokoh pluralisme seperti Gus Dur (1940-2009),
Nurcholis Madjid (1939-2005), Djohan Effendy (1939-2017) dan Th. Sumartana (1944-2003)
mendampingi pasangan ini dan mendukung MATAKIN di level nasional. Saat awal masa
reformasi barulah umat Khonghucu mendapatkan kembali hak administrasi sipil mereka. Berbeda
dengan perlawanan komunitas Khonghucu di bawah MATAKIN, komunitas Tionghoa Semarang
memilih untuk “melawan secara diam” (resilience). Mereka mengubah kelenteng menjadi Tempat
Ibadah Tri Dharma (TITD), namun terus melanjutkan kegiatan keagamaan dan budaya secara
internal.
Pada awal tahun 2000-an, kelompok Tionghoa Indonesia menyambut pemulihan hak-hak
mereka. Kelompok Tionghoa Surabaya menghidupkan kembali kawasan Pecinan melalui wisata
kuliner Kya-Kya, di mana Jl. Kembang Jepun menjadi pusat kegiatan untuk menjajakan berbagai
makanan di malam hari. Sayangnya, Wisata Kya-Kya hanya berlangsung sekitar 5 tahun (2003 –
2008) dan setelahnya perayaan budaya Tionghoa lebih banyak dilakukan di mal-mal. Freddy
Istanto, dosen Teknik Arsitektur Universitas Petra, Surabaya, mengamati bahwa beberapa tahun
terakhir warga Surabaya tidak lagi merayakan Imlek di Kawasan Pecinan, yang sebelumnya
menjadi ikon dari identitas ke-Tionghoa-an di Surabaya. “Kemeriahan (Imlek) itu ada di pusat-
pusat perbelanjaan, di restoran-restoran, di rumah-rumah keluarga yang tersebar di mana-mana.

409 | L a p o r a n A k h i r
Pecinan Surabaya sudah ambyaaaaar.”412 Istanto menyarankan pemerintah untuk merevitalisasi
kawasan Pecinan dengan meningkatkan sarana dan prasarana yang kontekstual dan komunitas-
komunitas berbasis budaya semestinya dapat bekerjasama untuk menggunakan kawasan itu
sebagai kegiatan budaya, di mana kaum muda dapat menarik pengunjung melalui industri kreatif.
Selain itu, terjadi segregasi wilayah berbasis agama di Surabaya, di mana kurang dari 1 km dari
kawasan Pecinan terdapat Masjid dan Makam Sunan Ampel yang dipercaya sebagai salah satu dari
Wali Songo yang memiliki darah Champa (Vietnam Selatan) dari ibunya.413 Berdasar amatan
penulis, kedua kawasan yang berdampingan ini tidak mengembangkan persinggungan budaya
(hybridity) antara ke-Islam-an dan ke-Tionghoa-an.
Strategi serupa dilakukan juga oleh kelompok Tionghoa Semarang yang menghidupkan
kembali kawasan Pecinan melalui Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi
Semawis). Kopi Semawis mengorganisir pasar kuliner setiap akhir pekan (Jumat hingga Minggu)
pada sore hingga malam hari di sebuah jalan di daerah Pecinan. Berbeda dengan wisata kuliner
Kya-Kya yang telah tutup, Pasar Kuliner Semawis berlangsung hingga sekarang dengan dukungan
dari Pemerintah Kota Semarang. Walaupun Pecinan Semarang memiliki unsur budaya Tionghoa
yang kuat, menurut Tedi Kholiludin, penulis buku Pècinan di Pecinan: Santri, Tionghoa dan Tuan
Rumah Kebudayaan Bersama di Semarang (2019) yang menghabiskan masa kecilnya di daerah
belakang Pecinan, wilayah itu menjadi ruang perjumpaan antara budaya Peranakan Tionghoa,
Islam, dan Jawa, tanpa salah satu pihak mengklaim sebagai tuan rumah kebudayaan. Kholiludin
merujuk kepada pengalaman pribadinya sebagai seorang santri berpèci, namun sepenuhnya merasa
nyaman dan diterima bergaul dengan kalangan Tionghoa di Pecinan. Hal ini menunjukkan kaum
Santri dan Tionghoa sebagai dua komunitas terbesar bersama-sama membentuk budaya Semarang
walaupun interaksi antara kedua komunitas ini masih berada dalam konteks “negative peace” alias
tidak terlalu intens dalam berdialog, tetapi juga tidak saling menegasikan sehingga tidak terjadi
“claims of culture.”414 Situasi ini membuat Semarang menjadi kota yang “egaliter” – bahkan dapat
terlepas dari kerusuhan Mei 1998 – dan di era reformasi mampu menolak kehadiran kelompok-

412
Freddy H. Istanto, 20 Februari 2020. “Merevitalisasi Pecinan Surabaya yang Ambyar.” Jawa Pos.
Surabaya
413
Pigeaud & de Graaf. 1976. Islamic States in Java, 5.
414
Tedi Kholiludin, 2019. Pecinan di Pecinan: Santri, Tionghoa dan Tuan Rumah Kebudayaan Bersama di
Kota Semarang. Semarang: eLSA Press, h. viii & 13

410 | L a p o r a n A k h i r
kelompok agama radikal. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa Semarang juga mengalami kasus-
kasus intoleransi.415
Selain itu, di kedua kota bermunculan organisasi ke-Tionghoa-an, seperti INTI Jatim dan
Jateng, PSMTI, dan PITI. Berbagai organisasi Tionghoa ini bertujuan untuk mengenalkan kembali
identitas ke-Tionghoa-an kepada generasi muda Tionghoa-Indonesia, sekaligus mempererat
kerjasama di bidang sosial, budaya dan pendidikan dengan Tiongkok maupun dengan kelompok
non-Tionghoa di Indonesia.416 Ketiga organisasi ini berusaha merombak pandangan umum bahwa
Tionghoa bersifat eksklusif, namun usaha ini masih mendapatkan tantangan dalam diskursus
nasionalisme bangsa Indonesia yang menganggap Tionghoa sebagai “liyan” (outsider).417 Selain
ketiga organisasi tersebut, di Surabaya berdiri Gerakan Masyarakat Indonesia yang awalnya
digagas oleh Liza Kusuma dan tiga aktivis perempuan, sedangkan di Semarang terdapat Boen Hian
Tong (Rasa Dharma), perkumpulan Tionghoa tertua di Semarang yang telah berdiri 144 tahun dan
pada masa pasca-reformasi kembali aktif di bawah pimpinan Harjanto Halim. Dalam wawancara,
Liza Kusuma dan Harjanto Halim menegaskan keinginan perkumpulan Gema Indonesia maupun
Rasa Dharma untuk mengedukasi komunitas Tionghoa dan non-Tionghoa untuk menghapus
prasangka dan stereotipe dari kedua belah pihak dan menjalin kerjasama.
Dalam 10 tahun terakhir pasca reformasi, Surabaya dan Semarang menghadapi
kebangkitan kaum Islam konservatif dan radikal. Data kasus intoleransi di Surabaya dari Setara
Institute maupun Wahid Foundation menunjukkan peningkatan kasus-kasus pelanggaran
kebebasan beragama/berkeyakinan, yang menempatkan Jawa Timur sebagai peringkat ketiga
daerah intoleran pada tahun 2018. Namun, tidak satu pun dari tindakan intoleran ini menyasar
secara spesifik kepada etnis Tionghoa, layaknya kerusuhan Mei 1998. Walaupun demikian, ada
dua kasus yang membuat masyarakat Tionghoa di Surabaya merasa terancam, yaitu kasus Ahok
pada tahun 2016 dan pengeboman tiga gereja pada bulan Mei 2018. Dalam catatan Setara Institute,
angka intoleransi di Semarang tidak setinggi kota-kota lain di Jawa. Namun, Lembaga Studi Sosial

415
Tribun Jateng, 19 Februari 2017. “Direktur eLSA Nilai Semarang Mulai Krisis Toleransi.
https://jateng.tribunnews.com/2017/02/19/direktur-elsa-nilai-semarang-mulai-krisis-toleransi; Kompas, 9 Januari
2018. ”Penelitian: Kasus Intoleransi Masih Sering Terjadi di Jateng Selama 2017.”
https://regional.kompas.com/read/2018/01/09/13593181/penelitian-kasus-intoleransi-masih-sering-terjadi-di-jateng-
selama-2017; Kompas, 31 Januari 2019. “LSM eLSA: Tahun 2018. Praktik Intoleransi Meningkat di Jawa Tengah.”
https://surabaya.kompas.com/read/2019/01/31/12585281/lsm-elsa-tahun-2018-praktik-intoleransi-meningkat-di-
jawa-tengah?page=all).
416
Setijadi. 2017. “Chinese Indonesians in the Eyes of Pribumi Public.” 4
417
Susan Giblin. 2003. “Overcoming Stereotypes? Chinese Indonesian Civil Society Groups in Post-Suharto
Indonesia.” Asian Ethnicity, Vol. 4, No. 3, 358.

411 | L a p o r a n A k h i r
dan Agama (eLSA) yang dipimpin Tedi Kholiludin mencatat kenaikan kasus intoleransi yang
cukup mengkhawatirkan. Beberapa secara khusus menyasar kepada kelompok Tionghoa, seperti
penolakan perayaan Cap Go Meh di Masjid Agung dan tuntutan pembubaran Pork Festival oleh
beberapa ormas Islam, seperti yang akan dibahas di bawah ini.

Walaupun komunitas Tionghoa di kedua kota sama-sama menghadapi tantangan


intoleransi dan radikalisme, pembahasan di bawah ini akan mencoba melihat ragam reaksi di tiap
kota untuk dapat lebih teliti dan spesifik menampilkan dinamika dan pola lokal di kedua kota.

Tionghoa Surabaya Menghadapi Kebangkitan Islam Radikal


Aksi Seribu Lilin Peduli NKRI

Sebagai respon terhadap Gerakan 212, pada tanggal 12 Mei 2017, sekitar 25.000 warga
Surabaya418 bergerak menuju Tugu Pahlawan di Surabaya dengan membawa lilin, menyanyikan
lagu-lagu kebangsaan dan meneriakkan yel-yel, “Bebaskan Ahok sekarang juga!”419 Gerakan ini
digagas oleh empat orang aktivis perempuan, di mana salah satunya adalah Liza Kusuma, seorang
perempuan Tionghoa. Gerakan ini dipersiapkan hanya dalam satu malam dan pengorganisasiannya
menggunakan media sosial, terutama melalui berbagai WhatsApp Group. Menurut Liza, animo
yang luar biasa muncul bukan sebagai dukungan untuk Ahok secara individual. Kasus Ahok adalah
manifestasi dari solidaritas untuk kalangan Tionghoa maupun kaum minoritas di Indonesia.
Hal yang menarik di balik Aksi Seribu Lilin Peduli NKRI adalah bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak, misalnya Jaringan Gusdurian Jawa Timur dan GP Ansor, yang melihat kasus
Ahok sebagai ancaman terhadap situasi pluralisme di Indonesia, selain memberikan dukungan
terhadap kelompok Tionghoa sebagai kaum minoritas di Indonesia. Bentuk bantuan adalah
bernegosiasi izin dengan pihak Kepolisian, pengamanan Banser selama acara berlangsung dan
menerjunkan relawan Gusdurian sebanyak mungkin dalam aksi tersebut. Selain itu, partisipasi juga
datang dari masyarakat non-Tionghoa dan Muslim yang menunjukkan bahwa mereka menolak
terjebak dalam narasi dan prasangka negatif terhadap Tionghoa, namun secara rasional melihat

418
Jumlah massa yang turun diambil dari perkiraan Liza Kusuma yang disampaikan dalam tulisan “Berbagi
Pengalaman: Inspirasi dari Idola” dalam buku Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia. Cetakan kedua (2018),
123.
419
DetikNews. 12 Mei 2017. “Begini Penampakan Seribu Lilin untuk Ahok di Surabaya.”
https://news.detik.com/berita/d-3499690/begini-penampakan-aksi-1000-lilin-untuk-ahok-di-surabaya

412 | L a p o r a n A k h i r
prestasi dan dedikasi yang diberikan oleh seorang Ahok terlepas dari latar belakang etnis dan
agamanya. Walaupun tidak diketahui jumlah persisnya etnis non-Tionghoa yang mendukung nilai-
nilai kebangsaan di atas sentimen negatif terhadap etnis dan agama lain, Kuntjara dan Hoon
menganggapnya sebagai secercah harapan bagi bangsa Indonesia untuk mengembangkan relasi
antar-etnis yang lebih erat dan baik dibandingkan pada zaman Suharto.420
Sayangnya, animo luar biasa masyarakat dalam Aksi Seribu Lilin Peduli NKRI tidak
berlanjut pada gerakan selanjutnya. Ada beberapa alasan yang menjelaskan hal ini. Pertama,
gerakan ini masih bersifat reaktif atas perasaan “terzolimi”, solidaritas etnis, namun belum
berbasis pada prinsip pluralisme dan belum memiliki visi-misi untuk mengorganisir diri secara
lebih terstruktur. Kedua, banyak kaum Tionghoa yang memiliki trauma di masa lalu sehingga
membatasi diri untuk berpartisipasi di ranah politik. Dua informan mengkonfirmasi sikap apatis
dari kalangan Tionghoa. Nindy Sandjaja421, seorang perempuan Tionghoa yang berpartisipasi
dalam Aksi Seribu Lilin Peduli NKRI, menyampaikan bahwa sebenarnya suaminya tidak
mendukung partisipasinya, bahkan berusaha membatalkan, karena khawatir keamanan istrinya
selama aksi. Namun, Nindy tetap datang bersama beberapa kawannya. Surja Giamsjah, seorang
responden Tionghoa dan pendeta Gereja Kristen Indonesia di Semarang, menambahkan hasil
amatannya bahwa secara umum sikap pragmatis dan apatis di kalangan Tionghoa beririsan kuat
dengan tekanan Orde Baru terhadap organisasi-organisasi Tionghoa pasca-1965. Trauma sejarah
menimbulkan pengekangan diri (self-censorship) dan minat yang rendah terhadap aktivitas politik.
Kasus Ahok mengkonfirmasi pandangan bahwasanya posisi Tionghoa yang aktif di bidang politik
sangatlah rentan.

Bedah Buku Virtual


Kasus pengeboman tiga gereja di Surabaya pada tahun 2018 dan kebangkitan Islam radikal di Syria
juga menimbulkan keresahan di kalangan Tionghoa. Liza Kusuma menggagas Gerakan
Masyarakat Indonesia (GeMa Indonesia) – sebuah aliansi dari sekitar 20 perkumpulan – untuk
bersama-sama melawan radikalisme dan terorisme.422 Kelompok ini menjalin kerjasama dengan

420
Kuntjara & Hoon. 2020. “Reassessing Chinese Indonesian Stereotypes, 16.
421
Nama samaran atas permintaan informan.
422
Duta. 7 Juni 2018. “Dari Surabaya Gema Indonesia Bertekad Menjaga NKRI.” https://duta.co/dari-
surabaya-gema-indonesia-bertekad-menjaga-nkri

413 | L a p o r a n A k h i r
kelompok Islam moderat, seperti NU. Mereka melakukan kegiatan bedah buku dan menggagas
nonton bareng film bertemakan kebangsaan dan menangkal terorisme untuk anak-anak SMP dan
SMA di dua sekolah di Surabaya. Walaupun awalnya banyak Tionghoa yang ragu-ragu untuk
menjalin hubungan dengan Banser NU, Liza menceritakan ada perubahan pandangan beberapa
activist Tionghoa setelah memiliki kedekatan dan perjumpaan dengan kelompok Islam moderat.
Mereka menjadi lebih terbuka dan siap bekerjasama.
Belajar dari kenyataan bahwa pelaku pemboman Surabaya adalah simpatisan ISIS, anggota
GeMa Indonesia berusaha memperingatkan kaitan antara terorisme di Suriah dan di Indonesia.
Mereka menggagas acara bedah buku Salju di Aleppo (2017) yang ditulis oleh Dina Y. Sulaeman,
Direktur Indonesia Center for Middle East Studies (ICMES). Buku ini membahas peran media
dalam menyebarkan berita yang bias dan selektif tentang situasi di Suriah, serta peran media sosial
yang menyebarkan berita palsu (hoax) dan pelintiran kebencian berkenaan gerakan bersenjata ISIS
di Suriah. Buku ini berargumen bahwa penggambaran situasi Suriah tidak akurat dan dipengaruhi
oleh kepentingan politik internasional dan situasi politik Indonesia. Media Barat menekankan
buruk dan kejamnya ISIS, sedangkan kampanye di media sosial maupun politisi pendukung ISIS
di Indonesia kerap memutarbalikkan fakta dan menyebarkan hoax, seperti kaum Syiah membunuhi
pendukung Sunni di Suriah demi menarik simpati untuk ISIS dan mendukung kepentingan politik
kaum radikal.423 Acara bedah buku ini terdengar oleh FPI dan tepat sebelum acara dimulai, forum
ini digerudug dan dibubarkan paksa oleh FPI.
Pada saat wabah Covid-19 merebak, GeMa Indonesia justru berkesempatan
menyelenggarakan acara bedah buku Salju di Aleppo secara daring pada bulan Juni 2020. Diikuti
oleh 83 peserta, pembicara utama, Dina Y. Sulaeman, membahas situasi Suriah sebelum dan
selama masa berkuasanya ISIS. Ia menekankan adanya hubungan yang kuat antara Suriah dan
Indonesia, di mana politisi Islam garis keras di Indonesia memainkan rasa solidaritas untuk
merekrut lebih banyak relawan teroris melalui berita-berita yang tak teruji kebenarannya. Di masa
wabah ini, Sulaeman menunjukkan terbelahnya perhatian aparat keamanan untuk mengatasi wabah
sehingga jumlah serangan dan pengeboman di Suriah dan Afganistan meningkat.

423
M. Andre Siregar. S. 2018. “Book Review: Salju di Aleppo.” Mukadimah: Jurnal Pendidikan, Sejarah
dan Ilmu-ilmu Sosial, Vol. 2 (1), 84-86

414 | L a p o r a n A k h i r
Pembicara kedua, M. Najih Arromadloni adalah Sekjen Alumni Suriah asal Indonesia
(Alsyami) dan penulis buku Daulah Islamiyah dalam Al Qur’an dan Sunnah (2019), yang
menjabarkan bahwa konsep khilafah di zaman Rasullulah justru jauh dari konsep kekerasan,
intoleransi maupun terorisme seperti yang sekarang digembar-gemborkan oleh kelompok Islam
radikal. Senada dengan peringatan pembicara pertama, Gus Najih mengajak masyarakat di
Indonesia waspada bahwa kelompok radikal justru menggunakan situasi wabah Covi-19 untuk
merekrut relawan terroris dan meningkatkan aksi mereka, di mana sejak Desember 2019 hingga
Juni 2020, aparat keamanan telah menggagalkan 142 aksi terrorisme yang tidak pernah diberitakan
di media massa. Ia menjabarkan radikalisasi terjadi secara online maupun offline. Pemerintah
dapat mengatasi terorisme, namun belum tentu dapat mencegah sikap maupun cara pandang
intoleran. Pesan kedua narasumber ini berlanjut dengan acara tanya jawab dengan para peserta
yang mengklarifikasi banyak hal, misalnya bagaimana cara waspada terhadap radikalisme dan
terorisme tanpa menjadi fobia terhadap Islam dan apakah kebijakan pemerintah dalam mengatasi
radikalisme telah tepat sasaran.
Pada acara bedah buku kedua, Juli 2020, GeMa Indonesia mengundang Aan Anshori,
pemimpin Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) dan beberapa penulis dalam buku Ada Aku di

Antara Tionghoa dan Indonesia (2017).


Buku ini merupakan kumpulan refleksi dari 73 penulis dari berbagai latar belakang etnis, agama
dan profesi. Mereka membahas makna ke-Tionghoa-an dan pengalaman menjadi Tionghoa atau
berjumpa dengan orang Tionghoa. Sebagai aktivis JIAD dan anggota Gusdurian, Aan Anshori
selalu berusaha merangkul dan memasukkan ke-Tionghoa-an dalam narasi persaudaraan dan

415 | L a p o r a n A k h i r
kebangsaan Indonesia. Ia membongkar persepsi negatif dari kedua sisi untuk dapat menjalin relasi
yang lebih harmonis.

What’sApp Group GeMa Indonesia


Melihat animo yang relatif kecil di kalangan kelompok Tionghoa untuk beraktivitas
langsung di ruang publik, salah satu strategi yang diterapkan Liza Kusuma adalah membuat
Whats’s App Group (WAG) Gerakan Masyarakat Indonesia (GeMa Indonesia) yang melibatkan
lebih dari 205 aktivis dan individu dari lintas etnis dan agama. Liza menjelaskan WAG GeMa
Indonesia bertujuan mengajak kaum Tionghoa peduli dan tanggap terhadap situasi sosial-politik
dan sarana berdiskusi dan berinteraksi. Beberapa anggota WAG sangat peduli terhadap
kebangkitan radikalisme dan terorisme di tengah wabah Covid-19. Mereka membagikan secara
teratur berita, tautan maupun cuitan yang terkait dengan peringatan radikalisme. Namun, respon
atau diskusi atas radikalisme jarang ditemui. Aktivitas paling sering dalam WAG adalah
memposting berita terbaru (85%), saling memberi komentar singkat (10%), sedangkan diskusi
mendalam sangat jarang terjadi (5%).424
Walaupun WAG GeMa Indonesia sangat aktif, kelompok ini bersifat terbatas, di mana
diskusi mereka tidak terbuka seperti halnya blog, Twitter atau Instagram dan misi pendidikan
publik, seperti halnya bedah buku, belum terjadi. Saat wabah Covid-19 merebak, kesiapan
menggunakan sosial media dan dukungan teknologi, serta jaringan internet yang memadai telah
membuat para anggota WAG GeMa Indonesia terhubung secara teratur. Percakapan dalam WAG
Gema Sukma menekankan pentingnya kesadaran masyarakat, berbagai upaya untuk mengatasi
wabah ini dan berdonasi alat pelindung diri untuk tenaga medis.

Aksi Solidaritas
Selebihnya, GeMa Indonesia juga memberi perhatian kepada solidaritas dan penggalangan
dana untuk anak-anak penderita kanker. Bekerjasama dengan Yayasan Kasih Anak Kanker
Indonesia (YKAKI), mereka menggagas Hope for Love, di mana dilakukan gundul bersama

424
Kesimpulan atas data ini berasal dari partisipasi peneliti di WAG GeMa Indonesia (Gerakan Masyarakat
Indonesia) yang digagas Liza Kusuma pada tanggal 17-06-2017 selama satu bulan (20-02-2020 hingga 21-03-2020).
Jumlah peserta adalah 205 orang dengan rata-rata jumlah posting dan komentar per hari sekitar 300 – 500.

416 | L a p o r a n A k h i r
sebagai solidaritas untuk anak-anak penderita kanker.425 Di tengah wabah Covid-19, Gema
Indonesia melakukan berbagai upaya yang menekankan pentingnya mematuhi protokol kesehatan.
Acara bedah buku virtual seperti diulas di atas juga menjadi ajang penggalangan dana, yang
hasilnya digunakan untuk menyediakan alat perlindungan diri bagi para tenaga medis. Walaupun
tidak menampilkan identitas ke-Tionghoa-an dan bersifat terbatas, gerakan ini dapat dilihat
sebagai usaha untuk menggalang solidaritas dan partisipasi sosial di kalangan Tionghoa, mengikis
stereotype dan prasangka bahwa Tionghoa tidak peduli, dan acara solidaritas di mall maupun
bedah buku virtual ini menjadi ruang perjumpaan antara Tionghoa dan non-Tionghoa.

Partisipasi dalam Gerakan Lintas Iman


Selain kelompok GeMa Indonesia, kelompok Khonghucu juga menyadari peningkatan
radikalisme Islam. Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) Boen Bio selalu mengirim
wakil untuk menghadiri berbagai forum lintas agama, baik yang difasilitasi oleh pemerintah seperti
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Forum Pembauran Kebangsaan Provinsi Jawa
Timur (FPK Jatim), maupun yang digagas oleh masyarakat sipil, seperti Forum Beda Tapi Mesra
(BTM), dan Roemah Bhinneka. Berbagai forum ini bertujuan menguatkan toleransi dan menerima
keberagaman dalam kehidupan berbangsa. Acara-acara ini dilaksanakan lebih sering setelah
peristiwa pengeboman tiga gereja di tahun 2018, sekaligus sebagai antisipasi dari perpecahan dan
peningkatan ketegangan saat masa kampanye pemilihan presiden 2019. Bentuk dari acara-acara
ini umumnya adalah pidato dari pihak pemerintah dan pemimpin agama, diikuti dengan tanya
jawab dan diskusi. Dalam saat-saat tertentu, ada pula pagelaran kesenian dari berbagai kelompok
agama. Peserta dalam acara-acara ini berkisar 20 hingga 200 orang.
Hanya setahun sekali acara besar dengan undangan 200 orang dan 90 peserta pengisi acara
dilaksanakan, seperti pada Dialog Budaya Lintas Agama.426 Selain itu, berbagai dialog lintas iman
kerap dikuasai oleh pandangan pemerintah dan pemuka agama. Narasi toleransi yang digaungkan
masih terbatas di antara enam agama yang diakui oleh pemerintah dan belum merangkul kelompok

425
Times Indonesia. 22 Februari 2020. “Hope for Love YKAK #Berani Gundul Bangkitkan Semangat
Penderita Kanker.” https://www.timesindonesia.co.id/read/news/252450/hope-for-love-ykaki-berani-gundul-
bangkitkan-semangat-penderita-kanker
426
Media Indonesia Jaya, 25 November 2019. “Bakesbangpol dan Linmas Kota Surabaya Bersama FKUB
Kota Surabaya gelar “Dialog Budaya Lintas Agama.” https://mediaindonesiajaya.com/2019/11/25/bakesbangpol-dan-
linmas-kota-surabaya-bersama-fkub-kota-surabaya-gelar-dialog-budaya-lintas-
agama/?fbclid=IwAR1X2zzgXl4so0H4V9N3uiTt7ULCrNllbwQ8EEyVUMIMKADW7O-EKv8MrZk

417 | L a p o r a n A k h i r
agama yang belum mendapatkan pengakuan resmi pemerintah, seperti Baha’i, Ahmadiyah dan
agama/kepercayaan leluhur. Selain itu, belum ada usaha untuk berdialog dengan kaum minoritas
dan korban kekerasan, seperti kelompok Syiah dan Ahmadiyah, maupun kelompok yang
diklasifikasikan sebagai konservatif dan radikal oleh pemerintah, seperti FPI dan HTI.
Dalam beberapa pertemuan lintas agama dan etnis, Liem Tiong Yang, wakil umat
Khonghucu menguraikan bahwa acara-acara yang disponsori pemerintah dan kelompok sipil
umumnya diikuti oleh peserta yang terbatas, yaitu para tokoh agama dan aktivis lintas iman. Di
kalangan umat Khonghucu, terdapat kendala tambahan, yaitu mayoritas umat berusia lanjut
sehingga sulit untuk beraktivitas. Generasi muda Khonghucu belum banyak terlibat dan tertarik
kelompok diskusi, namun mereka lebih eksis dalam aktivitas budaya dan keagamaan, seperti grup
barongsay.
Berbagai usaha untuk merespon dan menghambat radikalisme yang digagas oleh kelompok
Tionghoa di Surabaya perlu mendapatkan apresiasi. Namun, terdapat tantangan yang cukup serius
untuk membawa berbagai kelompok Tionghoa berada pada aktivitas perjuangan bersama karena
adanya perpecahan di beberapa kelompok Tionghoa Surabaya. Kesulitan mengorganisir kelompok
Tionghoa datang dari konflik internal di organisasi-organisasi ke-Tionghoa-an. Gatot Santoso,
pemimpin INTI Jatim, menceritakan kesulitan melakukan sinkronisasi dan koordinasi karena
berbagai hal, misalnya terdapat perbedaan visi dan misi, kurangnya skill berorganisasi dan
mengelola perbedaan, kelangkaan figur pemimpin yang kharismatik dan mampu menyatukan.
Selain itu, terhadap kritik dari Freddy Istanto tentang Pecinan yang “ambyaaaar”,427
beberapa aktivis Tionghoa mengungkapkan kesulitan untuk mengkoordinir acara di kawasan
Pecinan atau tempat terbuka lainnya. Selain membutuhkan pengawalan keamanan dan alat
perlengkapan, kaum Tionghoa – dan kaum muda pada umumnya – kurang tertarik beraktivitas di
ruang terbuka. Dalam berbagai acara yang berpotensi menyedot banyak peserta, pihak managemen
mall memberikan fasilitas dan sarana, bahkan menggratiskan uang sewa dan memberi donasi,
sehingga lebih mudah bagi para penyelenggara untuk melaksanakan kegiatan mereka di mall atau
restoran. Namun, kekurangan acara yang diselenggarakan di mall maupun restoran adalah
menyasar pada kalangan menengah-atas dan kurang melibatkan warga akar rumput. Hal ini dapat
menguatkan pandangan bahwa kaum Tionghoa eksklusif dan datang dari kalangan menengah ke-
atas.

427
Istanto, 2020. “Merevitalisasi Pecinan Surabaya yang Ambyar.”

418 | L a p o r a n A k h i r
Tionghoa Semarang Menghadapi Kebangkitan Islam Radikal
Untuk menghadapi intoleransi maupun radikalisme dan menjaga keharmonisan hubungan
antar-etnis di Semarang, bedah buku dan festival adalah dua jenis kegiatan yang rutin dilaksanakan
oleh kelompok Kopi Semawis maupun kelompok lainnya.
Bedah Buku dan Diskusi Tatap Muka
Sebelum wabah Covid-19 merebak, terdapat tiga acara bedah buku dan diskusi dalam
kurun waktu tiga bulan. Buku pertama adalah Ada Aku di Antara Tionghoa dan Indonesia (2017)
ditulis oleh Aan Anshori bersama 72 penulis lainnya, sedangkan buku kedua Pècinan di Pecinan:
Santri, Tionghoa dan Tuan Rumah Kebudayaan Bersama di Semarang (2019) ditulis oleh Tedi
Kholiludin, yang menggambarkan relasi Tionghoa dan Jawa Muslim dalam membentuk eksistensi
bersama tanpa salah satu mengklaim menjadi tuan rumah kebudayaan di Semarang. Buku ketiga,
sebuah novel berjudul Membongkar yang Terkubur (2020) ditulis oleh Dewi Anggraeni, seorang
perempuan Tionghoa mantan jurnalis Tempo. Novel ini menceritakan konstruksi politik ras oleh
penjajah Belanda yang menjadi “hantu” dalam relasi berbangsa di masa kini. Melalui kehidupan
seorang perempuan Tionghoa muda yang mencoba mencari tahu sejarah keluarganya, penulis
membongkar berbagai pembantaian dan kerusuhan, kebencian dan sentimen rasial, yang
termanifestasi dalam kehidupan keluarga, seperti kekerasan domestik, poligami terselubung dan
penyakit turunan.

Dari ketiga acara bedah buku di Semarang dapat ditarik beberapa pelajaran. Pertama, bedah
buku memfasilitasi perjumpaan antara kelompok Tionghoa dan non-Tionghoa karena ketiganya
dilaksanakan di tempat umum sederhana yang terbuka bagi semua kalangan, yaitu sebuah restoran
yang merangkap sebagai rumah budaya di Salatiga, ruang pertemuan Rasa Dharma di Pecinan,
dan aula Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro. Ketiga acara dihadiri antara 70
hingga 200 peserta, di mana peserta berbaur, menjalin percakapan kecil sambil menikmati cemilan
sederhana. Selain itu, kegiatan ini diinisiasi sepenuhnya oleh kelompok sipil dan tidak terpusat
pada pendapat pemimpin agama, kaum elite maupun pemerintah. Diskusi mengalir tanpa ada
agenda maupun program-program yang telah ditetapkan oleh pemerintah maupun pemimpin
agama.
Bedah buku memberi ruang bagi pertanyaan dan diskusi yang sulit diungkapkan dalam
percakapan sehari-hari, termasuk rasa skeptis dan keraguan. Misalkan, saat bedah buku Ada Aku

419 | L a p o r a n A k h i r
di antara Tionghoa dan Indonesia, dua peserta yang membuka identitas diri sebagai Jawa dan
Muslim meragukan apakah kaum Tionghoa bersedia membuka diri. Mereka bertanya bagaimana
caranya menggalang relasi yang akrab dan hangat dengan kaum Tionghoa. Saat bedah buku,
Pècinan di Pecinan, seorang peserta Muslim menyampaikan harapan agar relasi kelompok
Tionghoa dan non-Tionghoa diperdalam dengan saling belajar dan menemukan persamaan nilai-
nilai, tidak sekedar mengambil bentuk perayaan atau festival kultural. Ia mencontohkan
persaudaraan, li (saling menghargai) dan zhong yong (mengambil jalan tengah atau menjadi
moderat) adalah nilai-nilai ke-Tionghoa-an yang dapat dibagikan kepada kalangan non-Tionghoa.
Hal ini ia sampaikan sebagai respons dan peringatan bahwa “negative peace” tidaklah cukup untuk
menjamin keharmonisan dan relasi kedua kelompok harus terus dipererat. Pada saat bedah novel
Membongkar yang Terkubur, dua peserta muda mempertanyakan apakah narasi yang diangkat
dalam novel, termasuk kekerasan terhadap kelompok Tionghoa adalah fakta sejarah ataukah fiksi
semata. Tiga pembahas buku memberi pencerahan tentang kaitan karya sastra dan fakta sejarah
yang terlupakan.
Dalam ketiga acara diskusi dan bedah buku secara tatap muka, tanggapan dari para
narasumber dan peserta lainnya membuka pintu untuk dialog. Walaupun tidak ada jaminan
pandangan dari peserta yang skeptis dapat berubah, diskusi ini telah menjadi pemantik dan
menawarkan sudut pandang yang berbeda bagi peserta lainnya.

Festival
Selain bertujuan untuk menggalakkan pariwisata, festival adalah medium untuk berbagi
budaya dan memperkenalkan eksistensi suatu kelompok di sebuah daerah. Pemerintah Kota
Semarang mendukung keberadaan beberapa festival Tionghoa dan menjadikannya sebagai ikon
kota ini, di mana strategi ini bertujuan mempromosikan multikulturalisme dan moderasi
keagamaan di Semarang.
Berbeda dengan kelompok Tionghoa di Surabaya yang mengerucutkan kegiatan mereka di
mall-mall, organisasi Tionghoa dan non-Tionghoa di Semarang banyak menggunakan ruang
publik Pecinan sebagai area kegiatan mereka. Salah satu festival rutin tahunan adalah Pasar Imlek
Semawis yang digelar seminggu menjelang perayaan Imlek semenjak tahun 2004. Pasar terbuka
ini menampilkan kebudayaan Tionghoa, semisal barongsay, panggung karaoke dengan lagu-lagu
berbahasa Mandarin, pembagian angpao, dan kehadiran beberapa koko-cici dengan pakaian

420 | L a p o r a n A k h i r
cheongsam. Selain itu warna merah – lambang kegembiraan dalam tradisi Tionghoa – menjadi
nuansa yang dominan. Perayaan ini dibuka beberapa hari sebelumnya dengan tradisi Tionghoa
Peranakan, “ketok pintu”, yaitu memohon izin dari berbagai dewa yang ada di sembilan kelenteng
di daerah Pecinan dan diikuti oleh syukuran ala Jawa di mana para ulama setempat diundang untuk
tumpengan dengan menu nasi gudangan. Pada pelaksanannya, ada ratusan pedagang Tionghoa dan
non-Tionghoa yang membuka lapak dengan berbagai barang dagangan dan ribuan pengunjung
yang menghadiri pasar yang diselenggarakan selama satu minggu, mulai dari sore hari hingga
tengah malam. Kolaborasi Tionghoa dan non-Tionghoa tampak jelas di festival ini di mana
berbagai lapak makanan halal dan non-halal saling berdampingan.
Ketika pasar Imlek Semawis mendapatkan animo yang luar biasa, muncul inisiatif untuk
mengadakan pasar kuliner di daerah Pecinan dalam skala yang lebih kecil namun lebih regular.
Ide ini mendapatkan dukungan dari pemerintah kota Semarang dan diadakanlah pasar kuliner tiap
akhir minggu (Jumat hingga Minggu) pada sore hingga malam hari di sebuah jalan di kawasan
Pecinan. Ada sekitar 300 pedagang makanan yang berpartisipasi dengan berbagai ragam masakan
daerah. Kuliner Tionghoa sendiri tidak terlalu menonjol dan hanya ada beberapa, seperti yamie,
kwetiauw, bakso dan babi kecap. Namun, lebih mudah menemukan masakan tradisional, seperti
nasi bakar, sate, soto, nasi goreng, masakan Menado, maupun masakan kekinian, seperti cilok, dan
kuliner internasional, seperti takoyaki, kebab, dan berbagai jajanan Korea. Setelah berjalan
beberapa tahun, Pasar Kuliner Semawis tetap digemari. Setiap akhir minggu, ada ribuan
pengunjung dari berbagai latar belakang etnis, kelas dan agama memadati daerah Pecinan dan
beberapa jalan harus ditutup sebagai area parkir.
Festival ketiga adalah Pork Festival yang sempat menuai kontroversi dan penolakan dari
beberapa kelompok Islam garis keras. Berbeda dengan Pasar Imlek dan Pasar Kuliner Semawis,
Pork Festival digagas oleh seorang pengusaha kuliner Muslim, Firdaus Adinegoro, yang juga ketua
Asosiasi Brotherfood – sebuah organisasi pengusaha kuliner di Semarang. Festival ini diluncurkan
pertama kali menjelang Imlek 2016 sebagai antitesis terhadap Pasar Imlek Semawis di mana
Firdaus menengarai adanya kemungkinan penggunaan daging dan lemak babi pada makanan yang
dijual, namun pengunjung dan pembeli tidak mendapatkan informasi yang memadai. Gagasan
awal Pork Festival adalah untuk merayakan multikulturalisme, sembari mengedukasi dan
memberikan ruang kepada para pedagang makanan olahan daging babi agar mereka dapat terbuka
kepada pengunjung yang berhak mendapatkan informasi memadai tentang makanan yang dibeli

421 | L a p o r a n A k h i r
atau dikonsumsinya. Dengan informasi dan segmentasi pasar yang jelas, diharapkan mereka yang
tidak mengkonsumsi daging babi tidak usah datang. Skala Pork Festival jauh lebih kecil bila
dibandingkan dengan Pasar Imlek Semawis, di mana ada sekitar 48 hingga 60 stand makanan
olahan babi dengan jumlah pengunjung sekitar 2000 orang per hari.
Sejak berdirinya, festival ini menjadi kontroversi karena protes keras dari ormas Islam,
seperti Muhammadiyah pada tahun 2016. Pada tahun 2017, Forum Umat Islam Semarang (FUIS)
yang didukung oleh Pemuda Muhammadiyah, FPI dan sejumlah ormas Islam lainnya melakukan
aksi penolakan.428 Dari perspektif kelompok Islam yang menolak, menyelenggarakan dan
menampilkan Pork Festival secara terbuka dianggap sebagai kegiatan munkar dan melecehkan
mayoritas Muslim di Semarang. Firdaus terpaksa menandatangani pernyataan untuk mengubah
nama “Pork Festival” menjadi “Festival Kuliner Imlek.” Pada tahun 2018 dan 2019, panitia
berinisiatif untuk menyediakan kuliner Imlek halal dan non-halal, serta memisahkan lokasinya di
dua tempat yang berbeda, yaitu di dalam mall Sri Ratu bagi makanan non-halal dan di lapangan
parkir untuk makanan halal. Pada tahun 2020, festival ini tidak diselenggarakan lagi karena
pemerintah kota Semarang menginisiasi sebuah festival kuliner tahunan dan berjanji akan
menggabungkan Festival Kuliner Imlek di dalamnya.
Selain “Pork Festival” yang menuai kontroversi, Perayaan Semarak Cap Go Meh di Masjid
Agung Jawa Tengah juga menimbulkan pertentangan. Gagasan untuk lebih jauh mempertemukan
budaya Tionghoa dan Islam ini dimotori oleh PSMTI Jawa Tengah dengan rencana pemecahan
rekor makan lontong cap go meh terbanyak pada 19 Februari 2017. Namun, rencana ini harus
dibatalkan setelah pengurus Masjid Agung menerima penolakan dari Forum Umat Islam Semarang
(FUIS) yang menganggap acara ini dapat melukai akidah Islam bila diselenggarakan di lapangan
parkir Masjid Agung. Penolakan ini menimbulkan kritik dari kaum Islam Moderat yang melihat
tujuan kebhinekaan, keragaman dan potensi menggalang kerukunan di balik acara ini, terlebih
selain aktivitas meriah direncanakan ada Dialog Budaya yang dipandu oleh 4 pemimpin agama –
Islam, Buddha, Katolik dan Kristen. Untuk menghindari konflik, walikota Semarang memfasilitasi

428
JPNN, 03 Februari 2016. “Ormas islam Kecam Festival Daging Babi di Semarang.”
https://www.jpnn.com/news/ormas-islam-kecam-festival-daging-babi-di-semarang; Rappler, 20 Januari 2017.
Rappler. 20 Januari 2017. Forum Umat Islam Semarang Ancam Gagalkan Festival Makan Babi.
https://www.rappler.com/indonesia/berita/158994-forum-islam-semarang-ancam-festival-makan-babi; Tempo, 22
January 2017. “Diprotes Ormas, ‘Pork Festival’ Diubah Jadi ‘Festival Imlek’.”
https://nasional.tempo.co/read/838632/diprotes-ormas-pork-festival-diubah-jadi-festival-imlek

422 | L a p o r a n A k h i r
acara tersebut di Balai Kota Semarang.429 Setelah penolakan, acara serupa tidak pernah lagi
digagas.
Dari keempat festival ini ada beberapa point yang dapat dipelajari dalam memahami upaya
memperjuangkan keberagaman dan toleransi di Semarang, berikut tantangannya. Harjanto Halim
yang juga merangkap sebagai ketua Kopi Semawis dan organisator Festival Imlek Semawis dan
Pasar Kuliner Semawis menyatakan bahwa point pembelajaran penting dari sebuah festival adalah
terciptanya ruang perjumpaan antara kaum Tionghoa dan non-Tionghoa. “Semua orang datang
dengan riang gembira, tanpa beban. Suk-sukan alias dempet-dempetan, kulit dan kulit nempel.
Kringet tuker kringet.”430 Festival menjadi ajang belajar tentang budaya berbeda dan fasilitas
multikulturalisme, terutama ketika ulama dan pedagang lokal menjadi aktor yang terlibat aktif
dalam festival. Dua minggu setelah Imlek, para ulama, pedagang dan ketua RT/RW setempat
diundang untuk syukuran dalam acara makan lontong Cap Go Meh bersama di rumah perkumpulan
Rasa Dharma, di mana pengurus Festival Imlek Semawis mengucapkan terima kasih atas
dukungan mereka dan mengundang masukan dan kritik untuk perbaikan festival tahun depan. Hal
ini selaras dengan yang dinyatakan oleh gagasan Scott Appleby bahwa aksi kemanusiaan dan
pembangunan ekonomi dapat menjadi sarana bina damai apabila organisator mempraktikan
strategi yang mengundang partisipasi inklusif, di mana orang lokal terlibat dalam perencanaan dan
pelaksanaan program dan adanya ruang untuk mengatasi konflik dan pandangan yang berbeda. 431
Perbedaan mendasar antara festival di Semarang dan acara publik di mall-mall di Surabaya
adalah daya jangkau dan segmen masyarakat yang dirangkul. Kasus Semarang menawarkan
keterbukaan dan membongkar pandangan tentang kaum Tionghoa yang elitis dan sulit membaur.
Selain itu, perpaduan pendekatan antara festival, diskusi, dan dialog juga dapat dilihat sebagai
usaha memadukan ritual kegembiraan dengan “active peace” di mana kedekatan fisik akibat
berdesak-desakan, serapan pengetahuan akan budaya berbeda dapat diupayakan menuju tahap
lebih lanjut, yaitu perubahan stereotype dan prasangka negatif.

429
CNNIndonesia. 19 Februari 2017. Pengelola Masjid Agung Jateng “Usir” Acara Cap Go Meh.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170219035842-20-194475/pengelola-masjid-agung-jateng-usir-acara-
cap-go-meh
430
DetikNews. 26 Januari 2020. “Pasar Imlek Semawis dan Minoritas Terbuka.”
https://news.detik.com/kolom/d-4873641/pasar-imlek-semawis-dan-minoritas-terbuka?tag_from=wpm_nhl_1
431
Appleby, Scott. 2015. The new name for peace? Religion and development as partners in strategic
peacebuilding. In: Omer, Atalia, Appleby, Scott and Little, David (eds). The Oxford handbook of religion, conflict
and peacebuilding. Oxford, NY: Oxford University Press, h. 185.

423 | L a p o r a n A k h i r
Tantangan terbesar yang dihadapi oleh kaum Tionghoa Semarang adalah menegosiasikan
batas-batas ko-existensi.432 Protest terhadap Pork Festival dan penolakan atas acara Cap Go Meh
di Masjid Agung Jawa Tengah menunjukkan bahwa ada kelompok yang berusaha menarik jarak
tegas dan menganggap pertemuan dua budaya atau tradisi keagamaan berbahaya bagi eksistensi
dan kemurnian jati diri mereka. Walaupun Tedi Kholiludin dan umumnya warga menganggap
Semarang adalah kota yang egaliter, tanpa tuan rumah kebudayaan yang dominan, anggapan
budaya Tionghoa adalah “liyan” dan “munkar” yang harus dikotakkan di tempat tertentu masih
berlaku bagi FUIS yang didukung juga oleh Pemuda Muhammadiyah dan beberapa ormas Islam
lainnya. Dalam situasi konflik, pemerintah kota Semarang berusaha untuk meredakannya dengan
mengikuti keinginan kelompok Islam “radikal.”

Kerjasama Kaum Tionghoa dan Kelompok Muslim Moderat


Dalam menjalankan upaya untuk menghadapi radikalisme dan intoleransi, pemimpin dan
kelompok Tionghoa menggalang kerjasama kalangan Muslim moderat. Wawancara dengan tiga
pegiat pluralisme dan toleransi dari kelompok Muslim, yaitu Yuska Harimurti Pribadi, Tedi
Kholiludin dan Aan Anshori, menunjukkan dukungan dan simpati mereka terhadap keberadaan
kaum Tionghoa sebagai kelompok minoritas yang kerap dijadikan target diskriminasi saat
pemerintah Orde Baru maupun kelompok Islam radikal akhir-akhir ini.
Dalam membantu usaha Liza Kusuma untuk mengorganisir Aksi Seribu Lilin Peduli
NKRI, Jaringan Gusdurian Jawa Timur, yang dikoordinatori oleh Yuska Harimurti Pribadi, hadir
demi mendorong tampilnya suara kaum Tionghoa yang selama ini pasif dan sulit bergerak. Yuska
menyayangkan bahwa setelah Aksi Seribu Lilin Peduli NKRI, kelompok Tionghoa Surabaya
kembali menjadi pasif. Ia menilai bahwa gerakan itu masih bersifat reaktif atas perasaan
terdzolimi, solidaritas etnis, namun belum berbasis pada prinsip pluralisme. Yuska berharap
kalangan Tionghoa dapat berkoordinasi untuk menemukan kesamaan visi-misi secara lebih
terstruktur karena sebenarnya mereka memiliki para aktivis yang berpotensi besar untuk
menggerakkan dan memimpin massa. Aan Anshori mengungkapkan dukungan dan harapan

432
Pola yang sama terjadi di Solo dimana organisator Grebeg Sudiro – sebuah festival yang memadukan
budaya Tionghoa dan Jawa – seminggu sebelum Imlek menghadapi protes dari Laskar Umat Islam Solo (LUIS) selama
tiga tahun terakhir. LUIS berkeberatan karena setiap tahun ada kenaikan jumlah dan perluasan wilayah pemasangan
lampion di pusat kota Solo dan berbagai tempat lainnya.

424 | L a p o r a n A k h i r
serupa, yaitu suatu ketika kalangan Tionghoa mampu dan berani menyuarakan aspirasi mereka,
dengan atau tanpa dukungan dari kelompok Muslim moderat, seperti NU atau Jaringan Gusdurian.
Di luar peran sebagai pemberi dukungan atau, pada titik tertentu, sebagai pelindung dalam
sebuah gerakan, kaum Tionghoa membutuhkan ketiga figur Muslim ini sebagai teladan bagi umat
Muslim pada umumnya. Ketiganya memiliki perspektif yang moderat dan mampu menerima
perbedaan dalam kehidupan beragama. Kerjasama antara perkumpulan Rasa Dharma dengan Tedi
Kholiludin terjadi karena sosok Tedi Kholiludin dapat menjadi model ber-Islam yang moderat dan
menghargai keragaman melalui latar belakangnya sebagai santri NU yang menempuh studi S1 di
IAIN Walisongo, Semarang, meneruskan studi S2 dan S3-nya di Universitas Kristen Satya
Wacana (UKSW), Salatiga, dan melanjutkan kariernya sebagai direktur eLSA, sebuah lembaga
yang melakukan kajian dan advokasi keberagaman sebagai bangsa Indonesia. Buku P cinan di
Pecinan menjadi pemantik dan refleksi bagaimana seorang Muslim hidup berdampingan dengan
kelompok Tionghoa yang berbeda agama dan tradisi tanpa merasa terancam atau menempatkan
diri sebagai superior.
Bedah buku Ada Aku di Antara Tionghoa dan Indonesia diharapkan dapat menjadi ajang
diskusi pembongkaran perspektif negatif terhadap kelompok etnis dan agama yang berbeda. Dari
perspektif kelompok Muslim, sosok Aan Anshori dan beberapa penulis Muslim lainnya
memberikan inspirasi tentang peralihan sikap dari mereka yang pernah terprovokasi untuk
membenci kaum Tionghoa menjadi para pejuang anti-diskriminasi. Dari perspektif kelompok
Tionghoa, beberapa penulis berbagi cara mengikis rasa ketakutan, kemarahan, kepedihan sebagai
korban diskriminasi dan cara mereka menjalin persahabatan dengan kelompok Muslim.
Hal yang menarik adalah, sepanjang amatan peneliti, absennya peran para pegiat PITI yang
sesungguhnya dapat mengambil peran pemersatu dalam isu ketegangan antara Tionghoa dan
Muslim. Namun, seperti telah disinggung di atas, wajah Tionghoa Muslim justru memunculkan
figur-figur yang memiliki interpretasi keras dan kaku tentang Islam dan membela perspektif
kelompok Islam konservatif maupun radikal, seperti Hj. Iriana Handojo dan Ustadz Felix Siauw.

Kesimpulan

Kelompok Tionghoa di Surabaya dan Semarang menunjukkan respon dan dinamika yang
berbeda atas kebangkitan Islam radikal. Walaupun memiliki potensi penggalangan massa yang
luar biasa, pasca Aksi Seribu Lilin Peduli NKRI, respon dan strategi kelompok Tionghoa Surabaya

425 | L a p o r a n A k h i r
lebih banyak menggunakan ruang yang terbatas, seperti perayaan maupun penggalangan dana di
beberapa mal ataupun menggunakan media sosial, semisal WAG, dengan anggota yang terbatas.
Selain itu, diskusi lintas iman di kalangan aktivis Surabaya masih mengerucut pada pemimpin
agama/tokoh masyarakat. Kelompok Tionghoa Semarang, di lain pihak, berupaya merangkul dan
mengedukasi publik secara berkala dan jangka panjang melalui pertemuan diskusi tatap muka dan
festival di ruang publik, yang mengutamakan pengalaman belajar dan kontak langsung dari para
pengunjung sebagai strategi potensial untuk mengenali dan mendalami budaya Tionghoa, serta
membongkar prasangka negatif.

Perbedaan ini terjadi karena kaum Tionghoa Surabaya sedang menghadapi krisis
kepemimpinan yang dapat menyatukan berbagai kelompok yang berpandangan berbeda. Friksi
dan konflik internal membuat sinergi dan kerjasama menurun. Sedangkan di Semarang, kaum
Tionghoa berhasil menyatukan kerjasama di bawah organisasi Kopi Semawis yang didukung
penuh oleh Pemerintah Kota Semarang.

Dalam menggagas upaya kultural, kelompok Tionghoa di Surabaya dan Semarang


melibatkan kelompok Islam moderat. Dukungan Jaringan Gusdurian, Banser NU, dan eLSA
sangat membantu upaya pembauran yang digagas kaum Tionghoa. Namun, kelompok Muslim
garis keras juga terus merespon dengan berbagai usaha membatasi kegiatan-kegiatan pembauran
yang dianggap mengancam akidah Islamiyah, seperti Pork Festival dan perayaan Cap Go Meh di
Masjid Agung Jawa Tengah. Dalam hal ini, pola pemerintah daerah memitigasi konflik adalah
dengan mendengarkan tuntutan kelompok Islam garis keras dan meminta kaum Tionghoa dan
Islam moderat untuk mengalah atau memodifikasi kegiatan mereka. Di kedua kota belum
ditemukan upaya yang memfasilitasi diskusi dan dialog antara kelompok Islam radikal dengan
kelompok Tionghoa dan Islam moderat.
Ketika wabah Covid-19 merebak, perlu penyesuaian strategi yang cukup drastis. Sejauh
amatan penulis, komunitas GeMa Indonesia memiliki kesiapan untuk memanfaatkan media sosial
untuk melakukan koordinasi melalui WAG, di mana pesan dan kewaspadaan tentang bahaya
radikalisme dan terorisme cukup sering dibagikan. Selain itu, webinar telah memfasilitasi mereka
untuk melakukan bedah buku virtual, yang justru gagal dilakukan secara tatap muka karena
ancaman kelompok Islam garis keras. Koordinasi maupun ragam kegiatan secara daring di
Semarang belum terlalu banyak. Pada 20 Juni 2020, beberapa aktivis lintas iman di Semarang yang

426 | L a p o r a n A k h i r
juga menjadi informan dalam penelitian ini membuat acara peringatan hari jadi kelima dari
Persatuan Lintas Iman (Pelita) dengan peserta yang terbatas sekitar 27 orang, di mana mereka
melakukan nostalgia awal berdiri dan refleksi atas kiprah Pelita selama ini dan tantangan ke depan.
Apabila berkepanjangan, wabah Covid-19 ini menjadi tantangan serius bagi strategi kelompok
Tionghoa di Semarang yang selama ini mengutamakan pengalaman langsung dan tatap muka
sebagai pembelajaran dan pengikisan prasangka negatif atas etnis Tionghoa. Walaupun pertemuan
daring memiliki kelebihan dalam menjangkau individu dari berbagai daerah untuk berpartisipasi
bersama dalam satu forum, teknologi ini belum dapat menggantikan nuansa kebersamaan dalam
suasana “suk-suk-an” dan saling bertukar keringat yang dinikmati oleh semua kelas, termasuk
komunitas akar rumput, dalam berbagai festival. Selain itu, akses teknologi dan jaringan internet
masih membatasi partisipasi pada kalangan menengah-atas sehingga perlu penelitian lebih lanjut
untuk mengkaji sejauh mana efektivitas media daring dapat menangkal interpretasi agama yang
radikal dan kaku, memfasilitasi belajar kebudayaan Tionghoa, membongkar prasangka negatif,
sekaligus menciptakan kolaborasi antara kelompok Tionghoa dan non-Tionghoa secara lebih
inklusif.

427 | L a p o r a n A k h i r
Referensi

Ali, Muhamad. 2007. “Chinese Muslims in Colonial and Postcolonial Indonesia.” Exploration: A
Graduate Student Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 7 (2) (Special Edition: Islam in
Southeast Asia), h. 1-22

Anggraeni, Dewi. 2020. Membongkar yang Terkubur. Yogyakarta: Ombak

Anshori, Aan et al. 2017. Ada Aku di Antara Tionghoa dan Indonesia: Kumpulan Narasi dan
Memori. Yogyakarta: Pustaka Ananda Srva.

Appleby, Scott. 2015. The new name for peace? Religion and development as partners in strategic
peacebuilding. In: Omer, Atalia, Appleby, Scott and Little, David (eds). The Oxford
handbook of religion, conflict and peacebuilding. Oxford, NY: Oxford University Press.

Arromadloni, M. Najih. 2019. Daulah Islamiyah dalam Al Qur’an dan Sunnah. Jakarta:
Harakatuna

BBC News Indonesia. 30 Juli 2016. “Amuk Massa di Tanjung Balai, Vihara dan Kelenteng
Dibakar.”.
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/07/160730_indonesia_rusuh_tanju
ng_balai (accessed on Aug 12, 2017)

BBC News Indonesia. 31 Oktober 2016. “Penurunan Patung Buddha di Tanjung Balai Dianggap
Mengancam Keberagaman.” https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-37814837

Bisnis. 10 Januari 2017. 5 Saksi Ini Memberatkan Ahok.


https://jakarta.bisnis.com/read/20170110/77/618083/5-saksi-ini-memberatkan-ahok

Blussé, Leonard. 1981. “Batavia, 1619–1740: The Rise and Fall of a Chinese Colonial Town.”
Journal of Southeast Asian Studies, 12(1), h. 159-178.

Blussé, Leonard. 1988. Strange Company: Chinese settlers, mestizo women and the Dutch in VOC
Batavia. Dordrecht-Holland: Foris Publications.

CNNIndonesia. 19 Februari 2017. Pengelola Masjid Agung Jateng “Usir” Acara Cap Go Meh.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170219035842-20-194475/pengelola-masjid-
agung-jateng-usir-acara-cap-go-meh

Coppel, Charles. 1983. Indonesian Chinese in Crisis. Kuala Lumpur; New York: Oxford
University Press.

DetikNews. 9 Mei 2017. “Ahok Divonis 2 Tahun Penjara.” https://news.detik.com/berita/d-


3496185/ahok-divonis-2-tahun-penjara

428 | L a p o r a n A k h i r
DetikNews. 12 Mei 2017. “Begini Penampakan Seribu Lilin untuk Ahok di Surabaya.”
https://news.detik.com/berita/d-3499690/begini-penampakan-aksi-1000-lilin-untuk-ahok-
di-surabaya

DetikNews. 26 Januari 2020. “Pasar Imlek Semawis dan Minoritas Terbuka.”


https://news.detik.com/kolom/d-4873641/pasar-imlek-semawis-dan-minoritas-
terbuka?tag_from=wpm_nhl_1

Duta. 7 Juni 2018. “Dari Surabaya Gema Indonesia Bertekad Menjaga NKRI.”
https://duta.co/dari-surabaya-gema-indonesia-bertekad-menjaga-nkri
Giblin, Susan. 2003. “Overcoming Stereotypes? Chinese Indonesian Civil Society Groups in Post-
Suharto Indonesia.” Asian Ethnicity, Vol. 4, No. 3, pp. 353-368.
Hew, Wai Weng. 2017. Chinese Ways of Being Muslim: Negotiating Ethnicity and Religiosity in
Indonesia. Copenhagen: NIAS.

Istanto, Freddy H. 20 Februari 2020. “Merevitalisasi Pecinan Surabaya yang Ambyar.” Jawa Pos.
Surabaya

JPNN. 03 Februari 2016. “Ormas islam Kecam Festival Daging Babi di Semarang.”
https://www.jpnn.com/news/ormas-islam-kecam-festival-daging-babi-di-semarang

Kholiludin, Tedi. 2019. Pecinan di Pecinan: Santri, Tionghoa dan Tuan Rumah Kebudayaan
Bersama di Kota Semarang. Semarang: eLSA Press.

Kompas, 9 Januari 2018. ”Penelitian: Kasus Intoleransi Masih Sering Terjadi di Jateng Selama
2017.”
https://regional.kompas.com/read/2018/01/09/13593181/penelitian-kasus-intoleransi-
masih-sering-terjadi-di-jateng-selama-2017

Kompas, 31 Januari 2019. “LSM eLSA: Tahun 2018. Praktik Intoleransi Meningkat di Jawa
Tengah.” https://surabaya.kompas.com/read/2019/01/31/12585281/lsm-elsa-tahun-2018-
praktik-intoleransi-meningkat-di-jawa-tengah?page=all
Kuntjara, Esther, & Hoon, Chang-Yau. 2020. “Reassessing Chinese Indonesian Stereotypes: Two
Decades after Reformasi.” South East Asia Research, 28(2), h. 199-216.
Kwartanada, Didi. 2018. “Apa/Siapa itu Peranakan?” [video]. Jakartanicus.
https://www.youtube.com/watch?v=iWhN-JYNg4w
Lombard, Denys and Claudine Salmon. 1993. "Islam and Chineseness." Indonesia, no. 57, h. 115-
31.
Media Indonesia Jaya, 25 November 2019. “Bakesbangpol dan Linmas Kota Surabaya Bersama
FKUB Kota Surabaya gelar “Dialog Budaya Lintas Agama.”
https://mediaindonesiajaya.com/2019/11/25/bakesbangpol-dan-linmas-kota-surabaya-
bersama-fkub-kota-surabaya-gelar-dialog-budaya-lintas-

429 | L a p o r a n A k h i r
agama/?fbclid=IwAR1X2zzgXl4so0H4V9N3uiTt7ULCrNllbwQ8EEyVUMIMKADW7
O-EKv8MrZk
Merdeka. 1 November 2016. “Anton Medan Tak Tinggal Diam Jika Demo Ahok Berujung
Rusuh.” https://www.merdeka.com/peristiwa/anton-medan-tak-tinggal-diam-jika-demo-
ahok-berujung-rusuh.html
PITI 2008. Persatuan Islam Tionghoa Indonesia/Pembina Iman Tauhid Indonesia [website].
https://piti.or.id/

Pigeaud, Theodore G. Th., and Hermanus J. De Graaf. 1976.“Islamic States in Java 1500-1700: A
Summary, Bibliography and Index.” Verhandelingen van het Koninklijk Instituut Voor
Taal-, Land- En Volkenkunde 70. The Hague: Springer Science Business Media,
Rappler. 20 Januari 2017. Forum Umat Islam Semarang Ancam Gagalkan Festival Makan Babi.
https://www.rappler.com/indonesia/berita/158994-forum-islam-semarang-ancam-festival-
makan-babi
Republika. 10 Oktober 2016. 32 Cuitan Felix Siauw Soal Ahok dan Al Maidah 51.
https://republika.co.id/berita/oesln0361/32-cuitan-felix-siauw-soal-ahok-dan-almaidah-
51-part1
Setara Institute. Laporan Tengah Tahun Kondisi Kebebasa Beragama/Berkeyakinan dan Minoritas
Keagamaan di Indonesia tahun 2018: Ringkasan Eksekutif, Jakarta, 20 Agustus 2018.
https://setara-institute.org/laporan-tengah-tahun-kondisi-kebebasan-
beragamaberkeyakinan-dan-minoritas-keagamaan-di-indonesia-2018/

Setijadi, Charlotte. 2017. “Chinese Indonesians in the Eyes of Pribumi Public.” Perspective 73, h.
1-12

Siregar, M. Andre. S. 2018. Book Review: Salju di Aleppo. Mukadimah: Jurnal Pendidikan,
Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial, Vol. 2 (1), h. 84-87

Sulaeman, Dina. Y. 2017. Salju di Aleppo. Jakarta: PT. Mitra Media Mustika & ICMES Publisher

Suryadinata, Leo. 2015. Prominent Indonesian Chinese: Biographical sketches (4th ed.).
Singapore: ISEAS Publishing.

Sutrisno, Evi. 2018. “Negotiating the Confucian religion in Indonesia: Invention, resilience and
revival (1900-2010).” Dissertation. Seattle: University of Washington.

Tempo. 22 Januari 2017. “Diprotes Ormas, ‘Pork Festival’ Diubah Jadi ‘Festival Imlek’.”
https://nasional.tempo.co/read/838632/diprotes-ormas-pork-festival-diubah-jadi-festival-
imlek

Tempo. 7 Agustus, 2017. “Pembongkaran Patung Kelenteng di Tuban Didemo Ormas Jatim.”
https://nasional.tempo.co/read/897807/pembongkaran-patung-di-kelenteng-tuban-
didemo-ormas-jawa-timur

430 | L a p o r a n A k h i r
Tempo. 21 Agustus 2018. “Terdakwa Penistaan Agama di Tanjung Balai Divonis 1.5 Tahun
Penjara.” https://www.tempo.co/abc/2324/terdakwa-penistaan-agama-di-tanjung-balai-
divonis-15-tahun-penjara (accessed on Aug 24, 2018)
Times Indonesia. 22 Februari 2020. “Hope for Love YKAK #Berani Gundul Bangkitkan Semangat
Penderita Kanker.” https://www.timesindonesia.co.id/read/news/252450/hope-for-love-
ykaki-berani-gundul-bangkitkan-semangat-penderita-kanker
Tribun Jateng, 19 Februari 2017. “Direktur eLSA Nilai Semarang Mulai Krisis Toleransi.”
https://jateng.tribunnews.com/2017/02/19/direktur-elsa-nilai-semarang-mulai-krisis-
toleransi

431 | L a p o r a n A k h i r
Respon Komunitas Kristen terhadap Radikalisme dan
Intoleransi
Marthen Tahun

Pengantar
Penelitian ini merupakan bagian dari riset CRCS (Center for Religious and Cross-cultural
Studies) untuk memotret Pergeseran Ruang-Ruang Pendukung bagi Transmisi Radikalisme dan
Toleransi di Indonesia, secara khusus pada periode 2017-2019. Pada periode itu ada dua hajatan
politik — Pilkada Provinsi DKI Jakarta dan Pilpres mendapat perhatian cukup besar baik dari
dari dalam maupun luar negeri. Selain arti pentingnya bagi arah perpolitikan nasional, dua
peristiwa politik yang sempat menjadi panggung bagi kelompok-kelompok radikal keagaam itu
juga menjadi ajang eksploitasi politik SARA. Puncaknya adalah aksi 212 yang merupakan
pertemuan berbagai kepentingan konsolidasi politik kelompok-kelompok Islamis dan
kelompok-kelompok intoleran radikal, dalam kampanye penolakan terhadap Ahok atas tuduhan
penistaan agama. Ahok yang kalah dalam pilgub DKI Jakarta tersebut dan mendekam di penjara
selama dua tahun. Peristiwa penolakan yang bernuansa SARA itu menimbulkan kewaspadaan
di wilayah-wilayah mayoritas Kristen perihal kemunkinan timbulnya aksi balas dendam.

Selain di Jakarta, kontestasi kelompok-kelompok intoleran radikal terjadi juga di kota-kota


lain di pulau Jawa, antara lain di Yogyakarta yang pernah dikenal sebagai “City of Toleran”
mengalami apa yang disebut sebagai “Krisis Keistimewaan”.433 Krisis tersebut ditandai oleh
pengerasan identitas keagamaan dan intoleransi terhadap kelompok-kelompok minoritas —
pengrusakan salib penanda kuburan warga Kristen, penutupan gereja yang tidak mengantongi
IMB, tuntutan untuk menurunkan baliho dengan penanda identitas Islam di kampus Kristen,
penghentian diskusi Transgender, tuntutan penutupan Pesantren Waria, dan maraknya hunian
maupun perumahan) khusus buat warga Muslim, atau penolakan bernuansa sentimen etnis atau
agama bagi mahasiswa asal Indonesia Timur ketika mereka mencari tempat hunian. Berbagai
gejala tersebut menunjukan terjadinya kontestasi kelompok radikal intoleran dan penguatan

433
Iqbal Ahnaf, Hairus Salim. Krisis Keistimewaan: Kekerasan terhadap Minoritas di Yogyakarta.
(Yogyakarta: CRCS, 2017); Lihat Hairus Salim, Sigit Budhi Setiawan, Subhansyah. “Toleransi dan Radikalisme di
Yogyakarta, Penelusuran Tiga Kasus” dalam Teams (eds.), Studi tentang Toleransi dan Radikalisme di Indonesia.
(Jakarta: Infid, 2016), 31-96

432 | L a p o r a n A k h i r
praktik- praktik intoleransi. Walaupun demikian, peristiwa-peristiwa tersebut tidak cukup
menjelaskan sudah tertutup atau semakin menyempitnya ruang-ruang bagi moderasi agama,
toleransi dan penghargaan terhadap keberagaman.
Beberapa riset yang berlangsung secara paralel di wilayah mayoritas Muslim memotret
peta respon kontestasi internal kelompok Muslim terhadap menguatnya radikalisme dan praktik-
praktik intoleransi di Indonesia akhir-akhir ini. Sedangkan riset ini riset dilakukan di wilayah
mayoritas Kristen untuk mengungkap beragam perspektif dari sudut pandang berbeda yang tidak
dapat diperoleh jika penelitian serupa hanya dilakukan pada konteks wilayah minoritas Kristen
atau mayoritas Muslim. Pemilihan lokasi penelitian di Kota Kupang sebagai wilayah mayoritas
Kristen didasarkan pada beberapa pertimbangan ― Provinsi NTT merupakan wilayah dengan
konsentrasi penganut Kristiani (Protestan dan Katolik) tertinggi di Indonesia (88,88% menurut
Data Sensus Penduduk 2010), riset ini menjadi kelanjutan dari riset-riset terdahulu mengenai
kondisi toleransi (dan intoleransi) di Kupang434, dan pada tahun 2016 Kota Kupang menerima
penghargaan Toleransi Award dari Komisi Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM).435

Tabel 1: Demografi Agama Prov. NTT dan Kota Kupang

Agama
Islam Kristen Katolik Hindu Budha Khong Hu Chu Lainnya Jumlah

Kota Kupang 47,062 212,791 72,695 1,816 101 7 37 336,239

% 14.00% 63.29% 21.62% 0.54% 0.03% 0.00% 0.01%

Prov. NTT 423,925 1,627,157 2,535,937 5,210 318 91 81,129 4,683,827

% 9.05% 34.74% 54.14% 0.11% 0.01% 0.00% 1.73%

Sumber: Data Sensus Penduduk 2010 - Badan Pusat Statistik Republik Indonesia

434
Riset-riset sebelumnya yang berkaitan dengan isu toleransi (dan intoleransi) di Kota Kupang: Ly, Petrus.
2014. Negara, Kerusuhan SARA dan Rekonsiliasi : Studi Kasus Kerusuhan Kupang 1998, Tesis tidak terbit,
Universitas Gadjah Mada; dan Mohammad Iqbal Ahnaf. “Toleransi dan Intoleransi di Indonesia: Kajian atas Kultur
Toleransi di tengah arus Perubahan sosial di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur” dalam Team (eds.), Studi tentang
Toleransi dan Radikalisme di Indonesia. (Jakarta: Infid, 2016), 159-194.
435
“Walikota Kupang dipuja jamin hak beragama di Kota Kupang” Sumber:
https://www.expontt.com/3326-2/ (diakses pada 20 Januari 2020)

433 | L a p o r a n A k h i r
Berkaitan dengan pertimbangan kondisi demografi Kota Kupang sebagai wilayah
mayoritas Kristen, penelitian ini juga bermaksud menggali lebih dalam untuk memahami peran
gereja lokal dan relasinya dengan lembaga-lembaga gereja di tingkat nasional dalam
menanggapi radikalisme dan praktik intoleransi.

Beberapa pertanyaan utama yang nantinya akan dijawab dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana kalangan Kristen merespon munculnya intoleransi agama di ruang-ruang publik lokal
dan nasional ? Upaya apa saja yang dilakukan di kalangan internal Kristen dan lintas iman dalam
rangka mempromosikan toleransi?; dan Sejauh mana inisiatif-inisiatif tersebut berkontribusi
dalam menguatkan toleransi dalam kehidupan masyarakat yang plural?

Pengumpulan data dalam riset ini dimulai dari pertengahan bulan Desember 2019 – akhir
Januari 2020, kemudian dilanjutkan dengan pendalaman wawancara tematik pada bulan Februari
2020 terhadap beberapa tokoh, sedangkan permintaan dokumen-dokumen dari beberapa lembaga
agama baru dipenuhi pada bulan Maret 2020. Data primer dalam riset ini berupa hasil wawancara
narasumber, sedangkan data sekunder berasal dari dokumen-dokumen, publikasi dan informasi
pelengkap dari media arus utama maupun media sosial. Wawancara terhadap narasumber di
Kupang dilakukan oleh Merlin Tiran, seorang asisten peneliti lapangan, dengan mengacu pada
rancangan penelitian, daftar pertanyaan dan kategori narasumber yang disusun peneliti. Data hasil
wawancara berupa file audio dan ringkasan wawancara dari setiap narasumber.

Jejak sejarah agama Kristen Protestan dan Katolik di wilayah Nusa Tenggara Timur dapat
ditelusuri dari sejak kehadiran kolonial Portugis dan Belanda di wilayah tersebut. Misionaris
ordo Dominikan yang tiba di Solor pada pertengahan abad ke-16 mengawali hadirnya misi
Katolik secara berkelanjutan sampai sekarang, dimulai dari Solor, kemudian ke Adonara, bagian
timur Flores, Timor dan p.Rote serta pulau-pulau lainnya di kawasan tersebut.436 Di Solor, pihak
portugis membangun benteng pertahanan untuk melindungi armadanya dan para misionaris.
Persaingan antara pihak Portugis, yang telah lebih lama menancapkan kekuasaannya di kawasan
tersebut, dengan Belanda (bersama ajaran Protetan) yang datang belakangan, tidak hanya terjadi
pada bidang perdagangan tetapi juga dalam dominasi pengaruh di kawasan tersebut. Pada awal
abad ke-17 armada Belanda meruntuhkan benteng Portugis di Solor. Peristiwa itu menandai

436
Karel Steenbrink, and Jan S. Aritonang. A History of Christianity in Indonesia. (Leiden, Boston:BRILL,
2008), 73- 97

434 | L a p o r a n A k h i r
berawalnya dominasi Belanda Timor, yang secara berangsur menggeser Portugis ke wilayah
Timur. Walaupun demikian, perkembangan misi Protestan di kawasan Timor berlangsung sangat
lambat. Pada awal abad ke-17 pendeta pertama Belanda tiba di Timor, tetapi tidak berlanjut
dengan penyebaran misi Kristen. Lalu pada paruh pertama abad ke-18 terjadi penambahan warga
baptis dalam jumlah besar,437 namun tidak berlanjut dengan aktifitas misi Gereja Protestan
sampai dengan hadirnya Dutch Missionary Society di Timor pada awal abad ke-19. Warga
Kristen Protestan yang ada di Kupang sebagian berasal dari warga suku Atoni (di p. Timor), dan
dari pulau-pulau sekitar: Sabu, Rote, Sumba, Alor. Sedangkan sebagian besar warga Katolik
berasal dari suku Atoni dan Tetun di pulau Timor, Flores, Sumba, Lembata dan Adonara. Di
Kota Kupang, yang merupakan wilayah mayoritas Kristen Protestan, prosentase populasi umat
Katolik berbanding terbalik dengan prosentase pada tingkat provinsi. Data Sensus Penduduk
2010 menunjukkan bahwa, secara bersama, populasi warga Kristen Protestan dan Katolik
menyumbang 84,91% dari total penduduk Kota Kupang (lihat Tabel 1).

Ajaran Islam masuk ke kawasan NTT antara lain melalui para pedagang dari Ternate pada
abad ke- 16438, pengaruh dari Kerajaan Tallo (Makasar) pada awal abad ke-17 dan pengaruh
Kerajaan Bima pada akhir abad ke-17439. Pada pertengahan abad ke-19 pemerintah Hindia
Belanda membuka akses luas bagi pedagang-pedagang Arab untuk beroperasi di Sumba dan
440
Timor. Beberapa pedagang Arab yang menetap di Timor kemudian menjadi pesaing utama
bagi pedagang China dan orang lokal pada awal abad ke-20. Warga Muslim yang ada di Kupang,
selain berasal dari pulau Timor, juga datang dari Lembata, Alor dan Flores, dan beberapa daerah
di luar NTT terutama dari Bima, Jawa dan Makasar, Minangkabau dan Ternate. Populai umat
Muslim di Kota Kupang (14%, lihat Tabel 1) menyebar ke 6 kecamatan, dengan konsentrasi
terbesar terdapat di Kecamatan Alak dan Kecamatan Oebobo.

Perjumpaan antar-etnis maupun antar-agama yang telah berlangsung lama di kawasan


NTT antara lain terjadi melalui kolaborasi sosial budaya maupun perkawinan. Dengan demikian
di NTT jamak dijumpai keluarga dengan anggota dari latar belakang agama yang berbeda-

437
Steenbrink, A History of Christianity, 121-2
438
Susanne Rodemeier. 'ISLAM IN THE PROTESTANT ENVIRONMENT OF THE ALOR AND PANTAR
ISLANDS', Indonesia and the Malay World, 38 (2010): 110, 27 — 42
439
440
Hans Hägerdal, Lords of the Land, Lords of the Sea; Conflict and Adaptation in Early Colonial Timor,
1600-1800. (Leiden: KITLV Press, 2012), 84-85, 177-178

435 | L a p o r a n A k h i r
berbeda maupun etnis campur.

Argumen umum
Radikalisme dan intoleransi agama yang terjadi melalui berbagai peristiwa di politik pada
beberapa tahun terakhir tidak dengan sendirinya menyempitkan ruang-ruang praktik toleransi.
Penelitian ini menjelaskan bahwa di luar Jawa, di wilayah mayoritas Kristiani, ada ruang-ruang
yang terbuka untuk menolak hadirnya radikalisme agama dan intoleransi. Riset ini menunjukkan
beberapa bentuk respon terhadap munculnya radikalisme dan intoleransi serta bagaimana bentuk
kolaborasi yang dibangun oleh kelompok-kelompok moderat di Kota Kupang untuk membuka
ruang-ruang toleransi.

Dalam riset ini ada temuan penting mengenai prinsip-prinsip dasar yang memberikan
gambaran mengenai respon komunitas Kristen terhadap persoalan intoleransi dan radikalisme
di berbagai tempat dan di kota Kupang, yaitu spiritualitas teologi inklusif gereja, nasionalisme
dan tradisi masyarakat. Prinsip-prinsip utama itu yang kemudian dijabarkan dalam berbagai
bentuk kolaborasi dan jejaring bersama komunitas sivik lainnya dalam upaya merawat toleransi
dan kerukunan.

Untuk mengeloborasi temuan tersebut secara mendalam, bagian berikut ini menjabarkan
bagaimana peran gereja dan lembaga-lembaga sivik dalam upaya mencegah penyebaran
radikalisme dan praktik-praktik intoleransi di Kota Kupang.

Gereja dalam Koordinasi Lintas Komunitas


Politik identitas agama yang dipertontonkan para elit politik menjelang Pilkada DKI
Jakarta dan Pilpres memang menimbulkan keresahan di Kupang, apalagi ketika terjadi friksi di
tingkat lokal dalam menanggapi peristiwa-peritiwa politik tersebut. Walaupun demikian,
kejadian di Jakarta tidak menjadi penentu utama dalam pilihan kebijakan yang berkaitan dengan
pengelolaan keragaman di tingkat lokal. Apa yang terjadi di Kupang menunjukkan bahwa
kelompok-kelompok sivik di Kupang ― selain mengikuti perkembangan isu-isu di tingkat
nasional ― secara kritis membuka diri untuk belajar dari pengalaman sejarahnya, terhadap
memberi perhatian pada potensi sosial budaya sendiri, dalam menjaga dan merawat kondisi

436 | L a p o r a n A k h i r
keberagaman (living in co-existance)441. yang telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari
masyarakatnya. Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) yang memiliki basis pelayanan di Provinsi
Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB), merupakan salah satu lembaga
sivik di tingkat lokal yang berperan aktif dalam melakukan konsolidasi, baik secara internal
maupun dalam berkoordinasi dengan komunitas sivik lainnya dan pemerintah lokal, untuk
menjaga dan merawat Kota Kupang sebagai rumah yang aman dan bersahabat bagi semua
penghuninya. Imbas eksploitasi isu SARA dalam peristiwa politik memang tidak bisa dianggap
remeh, apalagi dengan sarana teknologi informasi dan komunikasi hari ini, isu-isu tersebut dapat
dengan mudah menyebar dan menjadi konsumsi masyarakat tanpa melewati sensor ketat.
Sebagai contoh dalam kasus Pilkada DKI Jakarta, lepas dari skenario apa yang dimainkan para
aktor politik, pesan yang sampai ke masyarakat bersifat segregatif dan destruktif ― posisi politik
orang Kristen digambarkan seolah-olah di pihak Ahok, dan pada pilpres, Jokowi dianggap
seolah-olah mewakili orang Kristen, sementara Prabowo tampil untuk memperjuangkan
kepentingan orang Islam.

Dalam wawancara kami, semua narasumber sepakat bahwa imbas dari penggunaan politik
identitas agama dalam Pilgub DKI Jakarta dan Pilpres terhadap kondisi sosial politik di Kupang
terasa, tetapi dalam skala kecil, sporadis, dan lebih bersifat simpatik ketimbang kekerasan.
Menurut Rm.Gerardus Duka,442 Vikaris Jendral Keuskupan Kupang, hal ini bisa dimengerti
karena bagi masyarakat NTT, agama tidak saja sebagai wadah bagi orang untuk beribadah, tetapi
merupakan suatu kultur yang menyatu dengan orang NTT. “...di NTT, agama itu bukan sekadar
suatu komunitas eksklusif, tetapi suatu komunitas inklusif...dimana (sebagai sebuah kultur)
mereka saling membantu, saling berbagi, saling menolong, saling mendoakan…”, lanjut Rm.
Gerardus Duka Sedangkan Pdt. Merry Kolimon443, Ketua Sinode GMIT, menambahkan bahwa

441
William Clarence-Smith. 'Horse trading: the economic role of Arabs in the Lesser Sunda Islands, c.1800
to c.1940.' dalam de Jonge, Huub and Kaptein, Nico, (eds.), Transcending borders; Arabs, politics, trade and Islam
in Southeast Asia. (Leiden: KITLV Press, 2002), 143-162
442
Konsep ‘living in co-existence’ yang umum dipakai dalam pengelolaan keragaman berkaitan dengan
bagaimana elemen-elemen yang berbeda di dalam suatu masyarkat berupaya untuk hidup bersama, berbagi ruang dan
sumber daya yang terbatas tanpa menggunakan cara kekerasan, dengan menerima dan menghargai perbedaan masing-
masing. Konsep living in co-existance sejalan dengan hidup dalam damai, saling peduli dan berbagi, menghargai
kepercayaan dan keyakinan orang lain, dialog, toleran terhadap satu sama lainnya, mengakomodir perbedaan satu
sama lainnya dan lain berikutnya. Lebih jauh mengenai elaborasi konsep ‘living in co-existence’dalam pengelolaan
keragaman, perhatikan: Zainal Abidin Bagir, AA GN Ari Dwipayana, Mustaqhfiroh Rahayu, Trisno Sutanto, Farid
Wajidi. Pluralisme Kewargaan – Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia. Yogyakarta: Mizan dan CRCS, 2011
443
Wawancara dengan Rm. Gerardus Duka, Vikaris Jendral Keuskupan Kupang (8 Januari 2020)

437 | L a p o r a n A k h i r
politik identitas memang dipakai juga dalam berbagai perhelatan politik di Kupang tetapi
karakteristiknya berbeda dari apa yang dipertontonkan dalam pilkada DKI Jakarta atau Piplres.
“... mengenai politik identitas, kalau saya lihat, memang tidak seintens yang terjadi di Jawa. Di
NTT... dinamikanya bukan antara Muslim dan Kristen, tetapi terkait primordialisme Katolik (vs)
Protestan, dan juga primordialisme etnis, Flores, Timor, Sumba dan lain-lain... ”, lanjut Pdt.
Merry Kolimon. Terlepas dari narasi besar yang digaungkan dalam Pilkada DKI Jakarta, menurut
Pdt Merry Kolimon, di NTT, kombinasi politik primordial kesukuan dan politik uang jauh lebih
menentukan dibanding politik identitas keagamaan. Dengan demikian, reaksi lokal terhadap
adanya ekploitasi politik identitas agama dalam pilkada DKI lebih banyak ditentukan oleh
kondisi lokal masyarkat. Walaupun demikian, belajar dari kasus-kasus yang terjadi di Ambon,
Poso, maupun pengalaman Kota Kupang sendiri dalam kasus bernuansa SARA pada tahun 1998,
kelompok-kelompok masyarakat sipil di Kupang tetap waspada dalam merespon kondisi sosial
berupa radikalisme dan intolerasi yang tercipta akibat ekploitasi politik identitas di pulau Jawa.
Ketika terjadi aksi 212 di Jakarta, ada berita selebaran bahwa di Kupang akan diadakan aksi 212
yang sama. Kabar tersebut menaikan ketegangan di kalangan pemuda-pemuda Kristen di
Kupang. Uraian berikut menunjukkan berbagai bentuk tanggapan komunitas Kristen di tingkat
lokal, di Kota Kupang, terhadap kondisi intoleransi dan radikalisme di berbagai tempat di
Indonesia.

Langkah-langkah yang ditempuh Gereja


Di tingkat nasional Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) sebagai lembaga payung
bagi lebih dari 80-an lembaga gereja Kristen Protestan secara jelas menolak segala bentuk
praktik intoleran dan radikalisme dan terrorisme yang dalam banyak hal mengandung nuansa
atau ikut menyeret isu-isu agama. PGI sendiri secara serius dan kritis melakukan melakukan
kajian yang melibatkan sinode-sinode anggota PGI dan berbagai mitranya guna menyikapi
inisiatif Kementrian Agama mengenai Rencana Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama
(RUU PUB). Dari hasil percakapan-percakapan tersebut lahirlah sebuah dokumen “percakapan
oikumenis”444 yang antara lain memuat beberapa butir rekomendasi strategis, terutama bagi
gereja-gereja dalam persekutuan PGI maupun badan-badan oikoumenis lainnya, serta semua
pihak yang berkehendak baik.

444
Wawancara dengan Pdt. Merry Kolimon, Ketua Sinode GMIT (26 Januari 2020).

438 | L a p o r a n A k h i r
Berkaitan dengan pengelolaan kehidupan beragama dan berkeyakinan di Indonesia,
Gereja-gereja anggota PGI meyakini bahwa: “Kemajemukan agama dan keyakinan hendaknya
menumbuhkan dan menyediakan jalan bagi para penganut agama dan kepercayaan untuk
menemukan kembali panggilan dasarnya: memperjuangkan damai sejahtera (shalom) Allah
Kehidupan agar bumi ini menjadi ‘rumah’ (oikos), yakni tempat yang layak untuk hidup bersama
di dalamnya” (Pokok- pokok Tugas Panggilan Bersama / PTPB PGI 2014 – 2019 #59).
Berangkat dari keyakinan teologis ini, dokumen “percakapan oikumenis” memuat salah satu
rekomendasinya yang berisi seruan bagi semua gereja yang bernaung di PGI untuk membangun
dialog, toleransi dan kerjasama dengan mereka yang beragama/berkeyakinan berbeda yang
dilandasi oleh rasa saling-memahami dan saling-menghormati yang tulus, demi membangun
masa depan Indonesia yang lebih baik.

Sejalan dengan upaya tersebut, ada tiga prinsip dasar yang dipakai gereja dalam
mengembangkan dialog dan hidup bersama dalam keragaman yaitu pengembangan teologi
inklusif, nasionalisme dan adat (budaya dan tradisi masyarakat).445 Dari sana berkembang
berbagai macam inisiatif dan kerjasama untuk menjaga dan merawat keragaman di Kupang.
Sebagai tindak-lanjut, dalam melakukan advokasi terhadap isu-isu Kebebasan Beragama /
Berkeyakinan maupun advokasi terhadap praktik-praktik intoleransi, PGI berkoordinasi dengan
lembaga-lembaga keagamaan di tingkat nasional untuk mengutamakan dialog. Ketika suhu
politik dalam Pilkada DKI Jakarta semakin meninggi dan mengakibatkan friksi politik sampai
ke akar rumput, pimpinan PGI bersama pimpinan lembaga-lembaga keagamaan lainnya seperti
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Parisadha
Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia (NSI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI),
Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) dan Lembaga Persahabatan Ormas
Islam (LPOI), secara bersama memberikan Seruan Moral Organisasi-organisasi Keagamaan agar
masyarakat ikut menjaga keamanan dan kedamaian demi keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Gerakan untuk melawan intoleransi tidak hanya dilakukan pada level jejaring
lembaga-lembaga keagamaan di tingkat nasional, tetapi juga menjadi perhatian organisasi-
organisasi kepemudaan lintas agama seperti GP Ansor, Pemuda Muhammadiyah, Pemuda
Katolik, Peradah, Gemabudhi, Gema Mathla’ul Anwar, Gemaku, IPTI, Gemapakti, Pemuda

445
Tim Perumus. KEBEBASAN BERAGAMA/BERKEYAKINAN - Tugas dan Panggilan Gereja-gereja di
Indonesia Sebuah Dokumen Percakapan Oikoumenis (Jakarta: PGI, 2015)

439 | L a p o r a n A k h i r
Nahdlatul Wathan dan GAMKI, yang antara lain mengeluarkan pernyataan sikap bersama terkait
persoalan-persoalan intoleransi maupun politisasi agama. Upaya untuk melawan intoleransi juga
mendapat perhatian serius dari forum dialog dan kerjasama lintas iman 446. Pada tingkat lokal,
berbagai langkah telah ditempuh pihak gereja, dalam hal ini GMIT (Gereja Masehi Injili di
Timor) ― sebagai anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan denominasi gereja
Protestan terbesar di wilayah NTT ― dalam rangka merespon maraknya kejadian intoleransi
beragama di berbagai tempat di Indonesia. Ada dua pendekatan utama yaitu melakukan
pembenahan ke dalam sistem gereja, dan bekerjasama dalam wujud koordinasi dengan berbagai
pihak yang memiliki kepedulian yang sama. Secara internal GMIT sedang mengembangkan
Teologia dan Spiritualitas Inklusif, yaitu satu dari panca pelayanan GMIT dalam bidang koinonia
(persekutuan) yang mendapat prioritas dalam Rancangan Induk Pengembangan (RIP) jangka
panjang 20an tahun GMIT 2011-2030. Berkaitan dengan itu, di dalam dokumen Pokok-pokok
eklesiologi, GMIT berbicara tentang lingkup-lingkup oikumene yang tidak hanya mengatur
relasi di komunitas Kristiani antar-sinode dan antar-denominasi, tapi oikumene dipandang secara
luas yaitu menyangkut relasi GMIT dan agama-agama lain bahkan dengan alam semesta. Hal
tersebut, menurut Pdt. Merry Kolimon, menjadi pijakan bagi gereja dalam rangka membangun
suatu “rumah bersama” yang layak untuk didiami bagi semua “segenap manusia dan segenap
ciptaan”. 447

Salah satu bentuk penterjemahan dari pandangan oikumene gereja dalam relasi antar-

446
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) melalui dokumen Pokok-Pokok Tugas Panggilan Bersama/
PTPB PGI 2014 – 2019, memberikan landasan teologis dan misiologis yang memberi arah bagi gereja-gereja
anggotanya, secara bersama-sama atau sendiri-sendiri dalam mewujudkan keesaan gereja. Hal-hal yang diatur di
sana antara lain, PTPB PGI 2014 – 2019# 59 memberikan arah mengenai relasi dialog antar-agama. Dokumen ini
juga memberikan arahan tentang Pancasila sebagai “rumah bersama” (bandingkan #57) dan “perjanjian luhur”
(bandingkan #72). Dengan demikian, Pancasila harus tetap dipertahankan sebagai dasar, ideologi dan rumah bersama
bagi semua warga negara (bandingkan #77). Pada tingkat lokal, gereja-gereja anggota menterjemahkan arahan
tersebut sesuai konteksnya masing-masing. sebagaimana yang dilakukan oleh GMIT melalui Pokok-pokok
Eklesiologi GMIT untuk membangun teologia dan spiritualitas inklusif.
447
Institut DIAN/Interfidei menginisiasi forum “Dialog dan Kerjasama Lintas Iman untuk Indonesia yang
Lebih Baik, Damai, dan Toleran secara Kritis-Konstruktif”, yang berlangsung di Yogyakarta pada 19-20 November
2019, dihadiri oleh lebih dari 75 tokoh agama dan aktivis lintas iman dari Papua hingga Aceh. Forum dialog dan
kerjasama lintas iman ini dilatarbelakangi antara lain atas keprihatinan terjadinya pelbagai kasus intoleransi,
kecenderungan meningkatnya konservatisme dalam beragama yang dipahami dan dipraktikkan secara keliru.
Keluaran dari forum tersebut adalah sejumlah rekomendasi yang ditujukan kepada pemerintah, masyarakat sipil dan
media. Lihat: Tim Perumus. Laporan Forum “Dialog dan Kerjasama Lintas Iman untuk Indonesia yang Lebih Baik,
Damai, dan Toleran secara Kritis-Konstruktif”. (Yogyakarta: DIAN/Interfidei, 2019).

440 | L a p o r a n A k h i r
agama adalah dengan menciptakan ruang-ruang perjumpaan dalam berbagai ranah dengan
agama-agama lain, mulai dari membangun dan menjaga relasi persahabatan antar-individu
sebaga basis untuk membangun saling percaya. Di samping itu dengan menjaga solidaritas
bersama yang merupakan warisan luluhur masyarakat-masyarakat adat, tanpa membeda-
bedakan agama.448 Hal ini berkaitan dengan salah satu karakteristik yang melekat pada
masyarakat di NTT, yaitu dalam persekutuan masing-masing keluarga terdapat anggota-anggota
dari beragam agama dan mereka saling mendukung satu-sama lainnya sebagai keluarga. Di
pihak lain ada kesadaran bahwa hidup dalam konteks masyarakat nasional dan global rentan
terhadap eksploitasi isu primordialisme agama.
Oleh karena itu perlu secara cerdas dan terus-menerus mencari dan mengupayakan
bentuk-bentuk kerjasama antar-komunitas untuk mengikis kecurigaan dan membagun rasa
percaya timbal-balik. Langkah-langkah strategis yang ditempuh Majelis Sinode GMIT dalam
membangun relasi dan koordinasi dengan komunitas-komunitas lain adalah sebagai berikut:
 Majelis Sinode GMIT melalui unit Kemitraan melakukan seminar mengenai agama-
agama membangun NTT jadi agama-agama di NTT menanggapi radikalisme dan
terorisme.
 Selain itu GMIT juga secara mandiri mempunyai kegiatan yang menginisiasi
perjumpaan antara pemimpin dan umat lintas agama. Pertemuan-pertemuan tersebut
menjadi ajang saling belajar dan bertukar pandangan. Salah satu kegiatan yang pernah
dilakukan di kantor Sinode GMIT pada saat bulan puasa adalah seminar mengenai
agama-agama menghadapi ancaman radikalisme dan terorisme, dilanjutkan dengan
acara buka puasa bersama. Hal ini menjadi pengalaman pertama dan ajang belajar
bagi Sinode GMIT ketika mereka menyediakan tempat wuduh dan shalat di kantor
Sinode bagi warga Muslim yang berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Inisiatif yang

448
(Pokok-Pokok Tugas Panggilan Bersama/ PTPB PGI 2014 - 2019 # 59). “...Adalah tugas bersama semua
umat beragama dan mereka yang berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk memahami bahkan
menghayati kemajemukan di antara anak-bangsa. Secara konkret pemahaman dan penghayatan itu ditindaklanjuti
dengan perjumpaan dan dialog-dialog aktif di antara mereka yang berbeda keyakinan, dengan mengedepankan
nilai-nilai persamaan, kesediaan membangun komunikasi, dan bekerjasama di dalam menangani masalah-masalah
bersama. Kemajemukan agama dan keyakinan hendaknya menumbuhkan dan menyediakan jalan bagi para
penganut agama dan kepercayaan untuk menemukan kembali panggilan dasarnya: memperjuangkan damai
sejahtera (shalom) Allah kehidupan agar bumi ini menjadi ‘rumah’ (oikos) yakni ‘tempat yang layak untuk hidup
bersama di dalamnya’”.

441 | L a p o r a n A k h i r
tampak sederhana ini berkontribusi dalam upaya membangun rasa saling percaya. Di
NTT, perayaan hari raya keagamaan juga menjadi model dalam menjaga kerukunan,
antara lain dengan cara melibatkan komunitas lintas iman, atau silaturahmi. Pada saat
Idul Fitri semua tokoh agama bersilaturahmi ke pimpinan umat Muslim. Praktik ini
memiliki akar dalam tradisi dan kultur masyarakat NTT.
 GMIT juga berpartisipasi dengan forum FKUB, forum kementrian agama maupun
pemerintah propinsi. Selain itu penterjemahan relasi individu antar-pemimpin agama
diwujudkan antara lain melalui agenda pertemuan rutin setiap dua bulan yang dihadiri
oleh para pemimpin agama (Ketua Sinode GMIT, Uskup Agung Kupang, Ketua MUI)
dan Kesbangpol NTT, secara bergilir di masing-masing tempat para pemimpin agama.
Pertemuan dalam suasana persahabatan yang diselingi santap makan bersama tersebut
menjadi ajang untuk berbicara saling terbuka dalam menanggapi berbagai
perkembangan situasi di NTT. Contoh konkret dari kontribusi kerjasama para
pemimpin agama ini ialah ketika menanggapi rencana pelaksanaan tabliq akbar 212
di Kupang. Rencana itu membuat pemuda-pemuda GMIT “panas” dan menolak
adanya upaya menggiring peristiwa di Jakarta ke Kupang. Menanggapi
perkembangan tersebut, Ketua Sinode GMIT berkoordinasi dengan Ketua MUI dan
secara bersama mereka menolak upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak
tertentu untuk menggiring masalah di Jakarta ke NTT. “Kami di sini tidak ada masalah
antar-agama. Kalau di Jakarta ada masalah, urus saja di Jakarta, jangan di bawa- bawa
ke NTT”. Tanggapan Ketua MUI tersebut yang diteruskan kepada para pemuda GMIT
dapat meredakan suasana. Model inisiatif ini terbangun dari relasi dan sikap saling
percaya antar-pemimpin agama di NTT yang telah berlangsung lama.
Kondisi demografi agama yang hampir berimbang antara umat Kristen Protestan dan Katolik
di NTT serta sentimen primordial antar-suku yang sering muncul pada peristiwa-peristwa politik
seperti pemilihan gubernur kerap kali menimbulkan ketegangan-ketegangan dalam relasi antara
kedua komunitas agama tersebut. Walaupun demikian pada level akar rumput masih terdapat
praktik-praktik yang memberikan optimisme bagi toleransi dan kerjasama baik antara umat
Katolik dan umat Kristen Protestan, maupun antara umat Kristiani dan umat Muslim. Dalam
penthabisan gereja GMIT di Adonara, Flores, suatu wilayah yang mayoritas penduduknya adalah
umat Katolik, umat Kristen Protestan dan umat Katolik bahu-membahu mempersiapkan acara

442 | L a p o r a n A k h i r
tersebut. Sementara itu di beberapa tempat di pulau Alor, wilayah mayoritas Kristen Protestan,
pada perayaan 100 tahun masuknya injil di Alor, warga Muslim dari kampung-kampung tersebut
terlibat aktif sebagai anggota panitia yang mendukung secara penuh kelangsungan acara tersebut.
Praktik-praktik ini mengkonfirmasi bahwa walaupun ada narasi besar yang dimainkan pada level
nasional maupun global untuk membenturkan komunitas berbeda agama, pada level akar rumput
masyarakat menemukan cara-caranya sendiri antara lain dengan mempraktikan tradisi turun-
temurun dalam sejarahnya untuk merawat keberlangsungan dan keseimbangan relasi sebagai
saudara di antara mereka.
Selain Sinode GMIT, di Gereja Katolik secara hirarkis memiliki komisi hubungan agama
dan kepercayaan yang mempunyai program sosialisasi tentang hidup yang damai kepada
masyarakat. Sosialisasi ini melalui katekasasi, suara gembala dan juga kunjungan pastoral yang
membahas tentang puralisme itu sebuah kekakayaan dan harus dihargai. Salah satu bentuk
praktik menjaga relasi hidup beragama di Kesuskupan Agung Kupang adalah dengan melakukan
silaturahmi dengan umat Muslim pada saat Idul Fitri.

Jejaring Kelompok Sivik Pengawal Toleransi


Jejaring Kelompok sivik di Kupang merupakan salah satu modal utama dalam upaya untuk
bersama mempromosikan toleransi di Kupang. Salah satu komunitas yang berperan penting
dalam jejaring lembaga-lembaga sivik di tataran lokal dan nasional adalah Kompak (Komunitas
Peace Maker Kupang) dengan isu utamanya ‘bina damai dan pengelolaan keragaman’. Bina
damai merupakan penterjemahan dari karakteristik nir-kekerasan yang menjiwai dan mewarnai
seluruh pendekatan dan penyampaian aspirasi Kompak, baik secara sendiri maupun berjejaring,
dalam merespon berbagai isu intoleran dan radikalisme di tempat lain maupun di Kupang449. Isu
SARA dan diskriminasi agama yang muncul menjelang pilkada DKI Jakarta sempat
menimbulkan kekwatiran terjadinya aksi pembalasan atau solidaritas buta warga Kristen
terhadap sesama warga Muslim di Kupang. Sebagai wujud implementasi dari nilai bina damai

449
Pengertian Ekumene dalam dokumen Pokok-pokok Eklesiologi GMIT memiliki cakupan yang lebih luas,
sebagaimana dielaborasi oleh Pdt. Mery Kolimon,“... oikumene dipandang secara luas yaitu menyangkut relasi GMIT
dan agama-agama lain bahkan dengan alam semesta. Kepentingannya untuk menciptakan rumah yang layak untuk
didiami bagi semua ‘segenap manusia dan segenap ciptaan’. Ini memberi mandat yang kuat bagi sinode GMIT
terutama dalam dua periode terakhir (2015-2019, 2020-2023) bahwa ada tugas besar untuk membangun teologi dan
spiritual inklusif.” Wawancara dengan Pdt. Mery Kolimon (26 Januari 2020

443 | L a p o r a n A k h i r
tersebut, Kompak segera mengambil inisiatif dialog dengan melibatkan pemuda dan tokoh-tokoh
agama. Dari dialog tersebut mereka sepakat untuk menolak penggunaan politik SARA dalam
pilkada dan menghimbau seluruh elemen masyarakat untuk tidak terpancing oleh peristiwa
politik yang sedang berlangsung di Jakarta. Peran tokoh agama dan pemuda cukup penting dalam
meneruskan informasi yang tepat kepada anggota komunitasnya masing-masing. Sebagai tindak
lanjut, Kompak juga mengirimkan rekomendasi kepada pemerintah yang antara lain berisi
seruan bagi pemerintah untuk melaksanakan tanggungjawabnya dalam penyelesaian persoalan-
persoalan intoleransi.

Salah satu kegiatan dari jejaring Kompak adalah penyelenggaraan Sekolah Keragaman
yang dimulai sejak tahun 2013 bersama dengan beberapa lembaga sivik untuk memberikan
pelatihan tentang toleransi dan pengelolaan keragaman kepada kaum muda dari berbagai latar
belakang agama. Kompak yang juga peduli pada isu toleransi dan pengelolaan keragaman
memberikan rekomendasi kepada Walikota Kupang agar ijin pendirian rumah ibadah tidak
perlu mengacu pada PBN yang mensyaratkan 90 jiwa. Dengan demikian sebagaimana orang
Kristen dengan mudah dapat mendirikan bangunan gereja di Kupang, kelompok minoritas pun
memiliki kesempatan yang sama untuk mendirikan tempat ibadahnya tanpa dihalang-halangi
oleh kelompok yang merasa diri sebagai mayoritas. Bentuk lain dari proses merawat keragaman
adalah dengan memberikan pembelajaran politik kepada masyarakat untuk melihat seorang
pemimpin tidak dari agamanya tetapi dari kwalitas kepemimpinan yang ditunjukkannya.
Praktik-praktik seperti ini mulai diterapkan, misalnya, di beberapa tempat warga Kristen di Kota
Kupang dapat menerima Lurah terpilih dari latar belakang beda agama. Sadar akan perlunya
upaya bersama dalam memperjuangkan dan mengkampanyekan toleransi, Kompak tetap
menjaga hubungan baik dengan komunitas-komunitas sivik antara lain Komunitas Bela
Indonesia, HMI, PMKRI, GMKI, GP ANSOR, MUI, Sinode GMIT, Maga Budi, dan PHDI.

MUI dalam Upaya Merawat Keragaman

Pada menjelang Pilkada DKI Jakarta, penyebaran berita dengan framing isu agama cukup
meresahkan. Merespon apa yang terjadi di Jakarta, GP Ansor Kupang sebagai salah satu simpul
dalam jejaring Kompak, bersama beberapa organisasi kemahasiswaan kelompok Cipayung ―
HMI, GKMI, PKRI ― maupun Pemuda GMIT, Persatuan Pemuda Hindu (Prada), Pemuda
Katolik, dan Organisasi Mahasiwa Katolik saling berkonsolidasi untuk menemukan langkah-

444 | L a p o r a n A k h i r
langkah strategis untuk meredam penyebaran framing isu agama di Kupang. Bertepatan dengan
perayaan Natal, GP Ansor menempuh langkah strategis melalui partisipasinya dalam ikut
menertibkan dan mengamankan jalan raya di sekitar gereja pada saat perayaan Natal. Inisiatif GP
Ansor ini sejalan dengan himbauan MUI NTT bagi umat Muslim di Kupang untuk menjaga
ketertiban dan keamanan pada saat perayaan Natal. Sebaliknya pada saat pelaksanaan Sholad Ied,
Kompak, Brigader Meo melakukan hal yang sama agar umat Muslim dapat menunaikan ibadahnya
secara khusuk. Tindakan resiprokal yang memiliki sumbangsih dan arti penting dalam menjaga
kerukunan hidup beragama di Kupang tersebut, sekaligus bersifat konfirmatif, berisi pesan kepada
semua pihak bahwa umat beragama di Kupang saling mendukung untuk menjaga kondisi aman
dan rukun Dalam bincang-bincang bersama Haji Abdul Kadir Makarim, Ketua MUI NTT, beliau
menegaskan bahwa hubungan umat Kristen dan Muslim di Kupang tidak ditentukan oleh peritiwa
yang ada di luar sana. “...dari dulu orang-orang tua kita sudah saling hidup rukun. Karena itu, kita
tidak mau menodai hidup rukun itu dengan hal-hal...apalagi hal-hal yang dari luar seperti persoalan
agama…”, lanjut Haji Abdul Kadir Makarim. Pandangan tersebut secara implisit menegaskan
bahwa kerukunan yang terjadi di NTT, termasuk dalam hidup beragama, memiliki akar budaya
yang kuat dalam masyarakat, dan sudah menjadi tanggung jawab semua elemen masyarakat untuk
menjaga dan merawatnya.

Lepas dari hal tersebut, ada kesadaran bahwa makin ke sini tantangan terhadap kerukunan
hidup beragama semakin kompleks. Oleh karena itu, diperlukan inisiatif-inisiatif baru yang
secara simbolik terus mengingatkan orang pada arti-pentingnya toleransi dan kerukunan hidup
beragama. Upaya para pemuda untuk menjaga ketertiban di jalan raya pada perayaan hari raya,
konsolidasi lembaga-lembaga sivik dalam menangkal intoleransi maupun persahabatan antar-
pemimpin agama dan inisiatif untuk saling berkunjung merupakan beberapa contoh langkah
strategis tersebut.

Menjelang perayaan Natal 2019, isu boleh-tidaknya umat Muslim untuk mengucapkan
selamat Natal bagi umat Kristen kembali menjadi polemik di banyak tempat. Ada ulama yang
membolehkan, ada juga yang melarang. Polemik tersebut juga mendapat tanggapan Wakil
Presiden Ma'ruf Amin. Mantan pimpinan MUI Pusat tersebut menjelaskan bahwa sejauh ini
tidak ada fatwa MUI Pusat yang melarang umat Islam mengucapkan 'Selamat Natal' kepada

445 | L a p o r a n A k h i r
umat kristiani.450 Merespon polemik tersebut, Haji Abdul Kadir Makarim, pimpinan MUI
Provinsi juga menegaskan bahwa tidak ada masalah bagi umat Muslim untuk mengucapkan
selamat natal kepada umat Kristen. “...tidak ada yang larang umat Muslim mengucapkan selamat
natal kepada orang Kristen…”, ujar Abdul Kadir Makarin. Lebih lanjut MUI NTT justru
menganjurkan umat Muslim untuk menjaga silaturahmi dengan umat Kristen; yang tidak
dianjurkan MUI adalah mengikuti ibadah Natal, untuk mencegah terjadinya kekeliruan-
kekeliruan yang tidak perlu. Pendekatan moderat yang dipilih MUI NTT tidak saja muncul
dalam kata-kata tetapi juga dipraktikkan dalam berbagai bentuk partisipasi pimpinan MUI
bersama tokoh-tokoh agama lainnya. Pada perayaan Natal, Haji Abdul Kadir Makarim
melakukan kunjungan ke rumah Ketua Sinode dan kediaman Uskup Agung Kupang untuk
mengucapkan selamat natal dan bersilaturahmi. Hal sebaliknya dilakukan oleh Ketua Sinode
GMIT dan Uskup Agung Kupang pada perayaan Idul Fitri. Praktik saling bersilatularahmi pada
perayaan hari raya keagamaan juga ditemui di masyarakat. Apa yang dicontohkan oleh Haji
Abdul Kadir Makarin ini menjadi panutan bagi warga Muslim NTT dalam upaya menjaga tradisi
hidup rukun antar-umat beragama di NTT. Praktik itu menjadi model relasi antar-agama yang
juga diserap oleh para pendatang.

Selain membangun relasi positif dengan tokoh-tokoh agama, MUI NTT juga mengambil
langkah inisiatif untuk menangkal merambatnya radikalisme di kalangan Muslim. Salah satu
pendekatan yang dilakukan adalah dengan memantau para dai yang bermaksud melakukan
daqwah di NTT. Langkah strategis MUI NTT adalah menyiapkan rambu-rambu dalam
berdaqwah ― menjaga keamanan, ketertiban, tidak menyinggung agama orang lain dalam
dakwah, tidak menyalahkan agama orang lain ― yang harus dipatuhi oleh dai-dai, baik secara
individu maupun kelompok yang datang ke Kupang untuk berdakwah.451 Biasanya, para
pendakwah yang datang ke Kupang berasal dari latar belakang HTI, DDI, Lembaga Dakwah,
dan perorangan misalnya dari Jamaah Tabliq.
Pertimbangan untuk menjaga kerukukan didasarkan pada pemahaman bahwa agama
diturunkan dari Tuhan, maka tidak ada agama yang tidak baik; semua agama baik. Berangkat
dari pertimbangan itu, MUI memberikan himbauan kepada dai-dai baru untuk berdakwah dengan

450
Wawancara dengan Zarniel Woleka, Pendiri Komunitas Peace Maker Kupang (7 Januari 2020)
451
"Hukum Mengucapkan Selamat Hari Natal Menurut MUI dan Maruf Amin”. Sumber:
https://tirto.id/hukum- mengucapkan-selamat-hari-natal-menurut-mui-dan-maruf-amin-eoHM. (diakses pada 20
Januari 2020

446 | L a p o r a n A k h i r
baik, sebagaimana ada prinsip dalam Islam bahwa bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Lebih
jauh pihak MUI membagikan himbauan-himbauan tersebut untuk dibacakan di masjid-masjid,
dan terus memantau aktifitas dai-dai yang datang ke Kupang. Jika dijumpai dai yang
menyimpang dari anjuran-anjuran tersebut, MUI tidak segan menegur dan, jika perlu,
memulangkan mereka ke daerah asalnya.

Organisasi Adat Melawan Radikalisme Brigader Meo dan Laskar Timor Indonesia
Munculnya kelompok-kelompok radikal dan praktik intoleransi di berbagai tempat di
Indonesia mendapat respon di Kupang tidak saja dengan penguatan aktifitas dan koordinasi di
antara lembaga- lembaga sivik, tetapi juga dengan tampilnya ormas (organisasi massa) adat
keagamaan di Kupang. Lepas dari debat mengenai pendekatan berbeda yang sering dipakai kedua
ormas ini ― Brigader Meo dan Laskar Timor Indonesia (LTI) ― kehadirannya dapat dipahami
sebagai suatu bentuk reaksi dari sebagian masyarakat Kupang terhadap menguatnya gerakan-
gerakan radikalisme agama di tempat lain, dan merupakan suatu langkah antisipatif untuk
mencegah terjadinya hal serupa di wilayah mereka.452

Keberadaan Brigader Meo di Kupang mendapat perhatian dalam riset sebelumnya, sebagai
salah satu bentuk upaya mempertahankan kultur toleran, dengan cara mencegah unsur-unsur yang
berpotensi merusak kultur toleran tersebuterjadinya hal serupa di wilayah mereka.453 Makna
literer meo dalam bahasa Dawan (Atoni) berarti kucing. Suku Atoni atau yang sering disebut
suku Dawan merupakan kelompok mayoritas yang mendiami sebagian besar wilayah di pulau
Timor bagian Barat. Selain suku Atoni, ada suku Tetun yang menempati area yang berbatasan
dengan wilayah Timor Leste. Meo juga memiliki makna kiasan yaitu pejuang atau pemimpin
perang. Di masa lampau, istilah meo disematkan kepada para pejuang di garis depan pertempuran,

452
Wawancara dengan Haji Abdul Kadir Makarim, pimpinan MUI NTT (6 Januari 2020)
453
Brigader Meo dan Laskar Timor Indonesia (LTI), dua kelompok masyarakat berbasis adat di Kuoang
menilai, dalam kasus Ahok terdapat beberapa kelompok radikal, seperti HTI dan FPI yang menunjukan jadi diri dan
aspirasinya secara terang-terangan di ruang publik melalui Gerakan 212. “Di Kupang sendiri, kita melihat gerakan
kelompok radikal sudah terang-terangan. Ini menunjukan bahwa kekuatan mereka juga sudah besar. Kelompok-
kelompok yang tadinya masih bergerak di bawah tanah, sekarang sudah eksis, karena mereka tahu jumlah mereka
sudah banyak”, ujar Pdt. Ady W.F Ndiy, pendiri Brigader Meo dan Ketua Umum Laskar Timor Indonesia. Tidak
berhenti di kasus Ahok, kelompok-kelompok radikal tersebut juga berupaya untuk menyebarkan pengaruh dan
ideologinya ke seluruh daerah, lanjut Pdt. Ady. (Wawancara tanggal 18 Desember 2019) Pada tahun 2017, setelah
sukses di Jakarta, mereka berencana melakukan safari Tabliq Akbar 212 ke berbagai tempat termasuk ke Kupang,
tetapi ditolak. Lihat https://www.floresa.co/2017/01/04/mui-ntt-batalkan-kegiatan-gnpf-di-kupang/ Walaupun
demikian, penetrasi kelompok-kelompok radikal sudah sampai ke Kupang.

447 | L a p o r a n A k h i r
antara lain dalam melawan pasukan kolonial Belanda di daratan pulau Timor.454 Dalam penuturan
Orang Atoni, istilah meo juga disematkan pada marga- marga tertentu di kalangan orang Atoni,
dalam kaitan dengan peran mereka dalam pertempuran- pertempuran di masa lampau. Di suku
Atoni sendiri ada raja-raja yang memiliki pasukan perangnya masing-masing. Pemimpin pasukan
perang itu sering di sebut meo. Dengan demikian Brigader Meo dapat diartikan sebagai pasukan
yang terdiri dari kelompok orang-orang yang merasa memiliki tanggungjawab untuk melawan
hal-hal yang dianggap mengancam nasib masyarakat yang diwakilinya.

Brigader Meo, ormas keagamaan yang berdiri pada tahun 2013 ini didirikan oleh beberapa
orang pendeta Karismatik dan mengklaim anggotanya berasal dari berbagai latar belakang warga
Kristen Protestan di Kupang, baik dari GMIT maupun dari gereja-gereja beraliran pentakostal.
Tujuan utama dari Brigader Meo ialah melawan radikalisme yang mengancam Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pada tanggal 1 Juni 2019, beberapa pendiri Brigader Meo memisahkan diri
dan membentuk ormas lain yang bernama Laskar Timor Indonesia (LTI). Pemilihan hari lahir
LTI yang sama dengan peringatan hari lahir Pancasila tampaknya disengaja untuk memberikan
justifikasi bahwa LTI memang lahir sebagai sebuah ormas untuk menentang berbagai gerakan
radikalisme yang mengancam Pancasila dan NKRI. Pdt. Ady W.F Ndiy mengungkapkan bahwa
kalau ada lebih banyak lembaga yang bergerak di isu anti radikalisme, hasilnya akan lebih baik.
Adanya LTI dianggap perlu agar semakin banyak kelompok bisa berjuang bersama dalam
menentang radikalisme di NTT.

Dua ormas ini memiliki pengikut yang berbeda tetapi mengusung agenda utama yang sama
yaitu melawan masuknya radikalisme di NTT. Radikalisme yang dimaksud adalah gerakan-
gerakan yang dianggap membahayakan empat pilar kebangsaan (Pancasila, NKRI, Bhineka
Tunggal Ika dan UUD 1945) dan mengancam tradisi persaudaraan dan gotong royong
masyarakat Timor mengklaim diri sebagai ormas keagamaan yang demokratis, mendukung
Pancasila dan NKRI, Brigader Meo maupun LTI biasanya berkoordinasi terlebih dahulu dengan
pihak kepolisian setempat sebelum memulai aksinya. Hal ini dilakukan untuk membantah
tuduhan bahwa mereka selalu main hakim sendiri. Dengan memanfaatkan media sosial dan
publikasi online, dua organisasi ini mengenalkan aktifitas mereka untuk menarik simpati kaum
muda, mendeklarasikan diri dan membuka ruang diskusi mengenai berbagai kasus-kasus

454
Ahnaf, Toleransi dan Intoleransi di Indonesia, 159-194

448 | L a p o r a n A k h i r
intoleransi yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia.

Beberapa ormas yang diidentifikasi oleh Brigader Meo maupun LTI sebagai gerakan
radikal yang sedang melakukan aksi bawah tanah di NTT adalah FPI (Front Pembela Islam),
Mujahidin Indonesia dan HTI (Hisbut Tahrir Indonesia). Dalam pantauan Brigader Meo dan
LTI, HTI mulai muncul dalam berbagai aktifitas di Kupang. Pada tahun 2013 dan 2015 Brigader
Meo melakukan penolakan dengan membubarkan pertemuan yang diadakan HTI Kupang.
Penolakan tersebut berangkat dari alasan bahwa HTI mengusung ideologi khilafah yang
bertentangan dengan Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Status hukum HTI
dianggap sudah tidak sah ketika Kementrian Hukum dan HAM RI telah mencabut SK Badan
Hukum HTI pada tahun 2017. Itu berarti secara resmi HTI telah dibubarkan oleh pemerintah,
tetapi mereka masih beraktifitas di Kupang dengan membawa nama HTI. Pada tahun 2019
Laskar Timor Indonesia kembali membubarkan suatu kegiatan yang diadakan oleh mantan
anggota HTI di Kupang.455 Merespon pembubaran tersebut, beberapa organisasi sivik lain di
Kupang beranggapan bahwa tindakan tersebut tidak tepat, walaupun mereka sendiri tidak
menghendaki hadir dan berkembangnya radikalisme di Kupang.

Selain HTI, Brigader Meo juga membubarkan kegiatan ibadah Saksi Yehovah dengan
alasan Saksi Jehovah menolak memberi penghormatan kepada bendera Merah Putih. Pada tahun
2013 Brigader Meo mendesak pemulangan delapan anggota Jamaah Tabliq yang berdaqwah di
pulau Rote karena menganggap mereka datang dengan membawa dokumen palsu. Penolakan
yang terhadap anggota Jamaah Tabliq untuk alasan yang sama juga dilakukan oleh Brigader Meo
pada tahun 2014 dan 2015. Selain itu, pada tahun 2018 Brigader Meo melakukan aksi penolakan
terhahap rencana kunjungan Fahri Hamzah, wakil ketua DPR RI asal PKS, ke Kupang dalam
rangka menghadiri orasi kebangsaan dan deklarasi Berakan arah baru Indonesia (Garbi).
Penolakan terhadap Fahri Hamzah berdasar pada anggapan bahwa ia sering mengumbar
pernyatan yang memicu tindakan intoleransi dan berpotensi memecah belah bangsa. Brigader
Meo juga melakukan protes terhadap rencana penyelenggaraan tabliq akbar 212 di Kupang. 456

Selain aksi-aksinya yang oleh sebagian kalangan dianggap keras dan temperamental,

455
Hans Hägerdal, Lords of the Land, Lords of the Sea, 107
456
Laskar Timor Indonesia Bubarkan Ceramah Eks HTI di Kupang.
https://mediaindonesia.com/read/detail/267772-laskar-timor-indonesia-bubarkan-ceramah-eks-hti-di-kupang. Diakses
pada 20 Februari 2020

449 | L a p o r a n A k h i r
Brigader Meo dan LTI juga giat melakukan pelayanan sosial bagi gereja-gereja di pedalaman
pulau Timor.
Mengklaim diri sebagai ormas yang demokratis dan pejuang bangsa, BM dan LTI secara
rutin melaksanakan peringatan hari lahir Pancasila, Sumpah Pemuda dan acara-acara kebangsaan
lainnya.

Tantangan Brigader Meo dan Laskar Timor Indonesia


Aktifitas Brigader Meo dan LTI juga menuai protes baik dari kalangan internal Kristen
maupun dari komunitas agama lainnya. Salah satu bentuk protes yang dilontarkan dari kalangan
Kristen adalah penggunaan simbol salib pada logo Brigader Meo yang dianggap seolah-olah
mengatasnamakan agama Kristen. Pihak Brigader Meo menanggapi tuduhan tersebut dengan
mengklarifikasi bahwa kehadiran mereka tidak mewakili semua orang Kristen.457 Sebaliknya Pdt.
Adi Ndiy menuturkan bahwa BM adalah sekelompok orang Kristen yang terpanggil untuk
berjuang bagi bangsa Indonesia dengan cara mereka. Penggunaan logo salib pada simbol Brigader
Meo dan Laskar Timor Indonesia mengandung pesan ke kalangan internal dan ekternal Kristen.
Secara internal lambang salib dipakai untuk menegaskan solidaritas kelompok bahwa orang
Kristen memiliki tanggungjawab untuk berjuang bagi negara, karena negara ini adalah hasil
perjuangan semua elemen anak bangsa, termasuk orang Kristen. Sedangkan secara eksternal
lambang salib dipakai untuk mengirimkan pesan yang tegas sebagai bantahan terhadap
pernyataan-pernyataan miring, termasuk yang disampaikan oleh pimpinan FPI bahwa
kemerdekaan ini adalah hadiah dari umat Islam buat Indonesia. Upaya melawan radikalisme saat
ini, bagi Brigader Meo dan LTI, merupakan suatu tindakan deklaratif sebagai upaya untuk

457
Tablig Akbar Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) di Kupang yang rencananya diadakan pada
awal Januari 2017 dengan tajuk “Subuh Berjamaah & Tabligh Akbar” batal karena tidak mendapat persetujuan
dari MUI NTT. https://www.floresa.co/2017/01/04/mui-ntt-batalkan-kegiatan-gnpf-di-kupang/ (Diakses pada
tanggal 20 Februari 2020). Rencana penyelenggaraan tablig akbar itu luput dari perhatian media nasional, tetapi
menjadi isu penting bagi kelompok-kelompok masyarakat sipil dan tokoh-tokoh agama di Kupang, termasuk
pimpinan Sinode GMIT, Pimpinan MUI, Pemuda GMIT, Kompak dan Brigader Meo. Mendengar rencana tabliq
akbar di Kupang, Pendeta Mery Kolimon, Ketua Sinode GMIT yang pada saat itu sedang berada di Jakarta segera
menghubungi Haji Abdul Kadir Makarim, pimpinan MUI NTT, dan mengambil langkah-langkah antisipatif karena
reaksi dari kelompok- kelompok pemuda gereja sudah memanas. “Kami di sini tidak ada masalah antar-agama
kalau di Jakarta ada urusan urus di Jakarta jangan bawa itu ke NTT”,ujar Pendeta Mery Kolimon (wawancara 26
Januari 2020). Hal senada juga disampaikan oleh tokoh-tokoh agama lainnya.

450 | L a p o r a n A k h i r
menjaga dan mempertahankan Pancasila dan keutuhan NKRI. Pendekatan yang mereka pakai
mengingatkan orang pada aksi sweeping yang dilakukan FPI di banyak tempat. Tetapi pihak
Brigader Meo dan LTI menolak membantah kalau mereka harus disamakan dengan FPI.

Kritikan lain yang dilontarkan organisasi-organisasi sivik lain kepada Brigader Meo dan
LTI adalah penggunaan pendekatan sweeping dalam aksi-aksi mereka.458 Akibat dari
pendekatan itu, Brigader Meo dan LTI ditinggalkan oleh beberapa komunitas yang awalnya
saling berkoordinasi. Salah satunya adalah GP Ansor Kupang yang tidak sepakat dengan cara
sweeping yang dipakai oleh BM dan LTI. Dengan tetap melakukan sweeping, stigma bahwa
Brigader Meo dan LTI adalah model “FPI” orang Kristen akan semakin melekat pada mereka.
Oleh karena itu ada anjuran agar mereka juga memperhatikan cara yang dipakai sepatutnya
sejalan dengan idealismenya, sebagaimana nilai- nilai yang melekat pada simbol salib yang
mereka pakai. Selain itu, ada anggapan bahwa apa yang dilakukan oleh Brigader Meo dan LTI
sebetulnya sudah menjadi bagian dari kewenangan pihak kepolisian atau tentara, jika itu
dianggap mengancam NKRI.

Pdt. Merry Kolimon, yang menolak ketika diminta untuk menjadi penasehat Brigader Meo
dan LTI, menganggap pendekatan yang dipakai Brigader Meo dan LTI kontra-produktif dengan
apa yang mereka perjuangkan. Sebaliknya, upaya memperjuangkan toleransi mesti
menggunakan cara-cara yang toleran bukan intoleran. Hal tersebut berkaitan dengan
pembubaran ibadah Saksi Yehovah di Kupang oleh Brigader Meo dan LTI pada tahun 2018,
2019. Tindakan ini ditentang oleh pihak GMIT. Berbeda dengan pendekatan Brigader Meo dan
LTI, sebagai tanggapan pada kasus yang sama, pihak Sinode GMIT mengeluarkan Suara
Gembala, berupa surat edaran kepada gereja-gereja anggotanya di seluruh wilayah pelayanan
GMIT. Suara Gembala terkait persoalan Saksi Yehovah tersebut berisi arahan dan edukasi
kepada warga jemaat untuk dibacakan pada ibadah minggu.459

Keberadaan Saksi Yehovah di Indonesia tertuang dalam Keputusan Dirjen Bimas Kristen
Depag RI No: F/Kep/ HK.00.5/22/1103/2002 dan surat tanda lapor Kanwil Kemenag NTT
bernomor KW.20.2/5/BA.00/7390/2015, yang menunjukkan bahwa pemerintah telah mengakui

458
Wawancara dengan Pdt. Ady W.F Ndiy, Pendiri Brigader Meo dan Ketua Umum LTI (18 Desember 2019)
459
Pandangan senada yang menolak pendekatan “pembubaran” yang digunakan oleh Brigader Meo dan LTI
muncul dari hampir semua informan yang kami temui. Walaupun tindakan Brigader Meo dan LTI dianggap melampaui
wewenang yang mereka miliki, tidak ada kesepakatan di antara kelompok-kelompok sivik di Kupang bahwa atas
alasan yang sama keberatan tersebut Brigader Meo dan LTI perlu dikucilkan

451 | L a p o r a n A k h i r
Saksi Yehova sebagai lembaga keagamaan (denominasi) Kristen. Walaupun demikian
keberadaan Saksi Yehoval tidak diterima oleh pihak Kristen sebagai bagian dari gereja karena
Saksi Yehovah menyangkal Yesus sebagai Tuhan dan tidak mengakui paham Trinitas. Dengan
demikian pihak Sinode GMIT memberikan edukasi kepada jemaatnya agar tidak menggunakan
cara-cara kekerasan dalam melakukan penolakan, dan kepada pihak Saksi Yehovah pihak Sinode
GMIT menyarankan agar mereka tidak menggunakan cara-cara yang agresif dalam menyebarkan
agama mereka karena dapat menimbulkan antipati dan penolakan.

Kesimpulan
Menguatnya praktik-praktik intoleransi dan radikalisme di berbagai tempat di Indonesia
tidak dengan sendirinya menutup ruang atau menyempitkan ruang toleransi dan penghargaan
terhadap keragaman. Jika di beberapa kota besar di pulau Jawa ada kecenderungan muncul dan
menguatnya radikalisme agama dan praktik intoleransi, hasil pengamatan terhadap kondisi
sosial di Kupang menunjukkan bahwa pada saat yang sama munculnya arus balik yang cukup
kuat untuk menentang praktik-prakti intoleransi dan radikalisme. Reaksi komunitas Kristen di
wilayah mayoritas Kristen menunjukkan bahwa alih-alih menggunakan kekuatan mayoritasnya
untuk mendiskreditkan kelompok-kelompok minoritas, mereka justru menunjukkan suatu
solidaritas berjejaring dengan komunitas-komunitas sivik lainnya termasuk dari kelompok
agama yang berbeda-beda untuk memperjuangkan dan merawat toleransi dan kerukunan.

Tiga prinsip dasar yang mendasari langkah gereja dalam upaya-upaya dialog untuk
mengelola keragaman adalah Spiritualitas Teologia Inklusif, Nasionalisme dan Tradisi atau
Budaya. Praktik toleransi maupun kerukunan yang ditunjukkan oleh gereja, dalam hal ini Gereja
Masehi Injili di Timor (GMIT) merupakan bagian dari perterjemahan panggilan gereja untuk
merumuskan suatu Teologia dan Spiritualitas Inklusif, yang dilandasi oleh pemahaman
ekumene yang lebih terbuka, tidak hanya terhadap lingkungan di internal Kristiani saja tetapi
juga mencakup agama-agama lain dan semua alam semesta. Panggilan dan pandangan gereja
terkait teologia dan spiritualitas inklusif itu adalah mengadakan dan merawat suatu “rumah
bersama” bagi “segenap manusia dan segenap ciptaan”.

Sikap gereja dalam merespon praktik-praktik radikalisme dan intoleransi secara tegas
ditunjukkan baik pada level nasional PGI yang berjejaring dengan lembaga keagamaan untuk
menciptakan moderasi beragama di Indonesia, maupun konsistensi dalam sinergi kebijakan

452 | L a p o r a n A k h i r
pada level lokal di tingkat sinodal gereja-gereja yang menjadi anggota PGI untuk merawat
sikap toleransi dan kerukunan hidup dalam kepelbagaian.

GMIT sebagai gereja tidak berdiri sendiri sebagai lembaga lokal, melainkan merupakan
bagian dari PGI, suatu lembaga gereja ditingkat nasional. Hal ini juga berarti bahwa perjuangan
gereja untuk menjaga toleransi, sebagaimana yang ditunjukan oleh GMIT di tingkat lokal,
merupakan bagian dari upaya bersama di tingkat nasional ― atau sebaliknya apa yang
ditampilkan secara nasional merupakan cerminan dari kehadiran gereja di tingkat lokal ― baik
di dalam internal gereja, maupun dalam jejaring bersama kelompok agama lain untuk
menghadirkan Indonesia sebagai ‘rumah bersama’ bagi semua warganya. Upaya gereja dan
lembaga keagamaan lain di tingkat lokal untuk menyemai iklim benih-benih toleransi maupun
dalam merawat kerukunan tidak lepas dari kesadaran untuk belajar dari tradisi dan budaya
setempat. Pemahaman masyarakat bahwa kerukunan adalah warisan budaya dan keputusan untuk
ikut merawat kerukunan antar-agama adalah suatu tanggungjawab moral, selaras dengan tugas
panggilan gereja untuk menyapa semua pihak, termasuk budaya masyarakat dalam rangka
memujudkan ‘rumah bersama’ yang layak untuk didiami bagi semua ‘segenap manusia dan
segenap ciptaan’.

Sejalan dengan sikap gereja, Muslim di Kota Kupang memiliki pandangan yang sama
tentang pentingnya mempraktikan toleransi dan merawat keragaman. Sikap ini tidak saja lahir
dari cara pandang moderat yang bersumber dari dalam tradisi Islam sendiri tetapi juga merujuk
pada sumber nilai-nilai kultural masyarakat setempat bahwa kerukunan dan persaudaraan
merupakan warisan para leluhur yang harus dirawat.

Upaya merawat kerukunan dan toleransi di tingkat lokal dilakukan secara


berkesinambungan, baik dengan memanfaatkan kekuatan tradisi setempat yang menerima dan
menghargai perbedaan agama dalam masyarakatnya, maupun dengan mempertahankan tradisi
saling berkunjung dalam perayaan hari-hari besar keagamaan. Tradisi saling berkunjung yang
dipraktikan para pemimpin agama di Kupang (Ketua MUI, Ketua Sinode GMIT dan Uskup
Agung Kupang) menjadi panutan bagi warga dalam upaya bersama merawat kerukunan antar-
agama.

Selain itu, praktik intoleransi dan radikalisme yang ditunjukkan di tempat lain direspon
secara radikal melalui adanya organisasi massa keagamaan Brigader Meo dan Laskar Timor

453 | L a p o r a n A k h i r
Indonesia. Kehadirannya dapat dipahami sebagai suatu bentuk reaksi dari sebagian masyarakat
Kupang terhadap menguatnya gerakan-gerakan radikalisme agama di tempat lain, dan
merupakan suatu langkah antisipatif untuk mencegah terjadinya hal serupa di wilayah mereka.
Berbeda dengan lembaga-lembaga sivik lain yang mengedepankan dialog, kedua ormas ini
biasanya berkoordinasi dengan pihak kepolisian dan tidak segan-segan menggunakan cara
pembubaran secara paksa terhadap kelompok atau aktifitas yang dipandang mengancam
Pancasila, NKRI, dan merusak nilai- nilai tradisi setempat. Walaupun sering dianggap
temparamental, Brigader Meo dan Laskar Timor Indonesia memandang dirinya sebagai suatu
ormas keagamaan yang dengan caranya sendiri, ikut memperjuangkan keberlangsungan
Pancasila dan NKRI.

454 | L a p o r a n A k h i r
Referensi

Ahnaf, Iqbal, Hairus Salim. Krisis Keistimewaan: Kekerasan terhadap Minoritas di Yogyakarta.
Yogyakarta: CRCS, 2017.

Ahnaf, Mohammad Iqbal Ahnaf. “Toleransi dan Intoleransi di Indonesia: Kajian atas Kultur
Toleransi di tengah arus Perubahan sosial di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.”
dalam Team (eds.), Studi tentang Toleransi dan Radikalisme di Indonesia, 159-194.
Jakarta: Infid, 2016.

Bagir, Zainal Abidin, AA GN Ari Dwipayana, Mustaqhfiroh Rahayu, Trisno Sutanto, Farid
Wajidi. Pluralisme Kewargaan – Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia.
Yogyakarta: Mizan dan CRCS, 2011.
Clarence-Smith, William (2002) 'Horse trading: the economic role of Arabs in the Lesser Sunda
Islands, c.1800 to c.1940.' dalam de Jonge, Huub and Kaptein, Nico, (eds.), Transcending
borders; Arabs, politics, trade and Islam in Southeast Asia, 143-162. Leiden: KITLV
Press, 2002.

Hägerdal, Hans. Lords of the Land, Lords of the Sea; Conflict and Adaptation in Early Colonial
Timor, 1600-1800. Leiden: KITLV Press, 2012.

Ly, Petrus. Negara, Kerusuhan SARA dan Rekonsiliasi : Studi Kasus Kerusuhan Kupang 1998.
Tesis tidak terbit, Universitas Gadjah Mada, 2014.

odemeier, Susanne. 'ISLAM IN THE PROTESTANT ENVIRONMENT OF THE ALOR


AND
PANTAR ISLANDS', Indonesia and the Malay World, 38 (2010): 110, 27 — 42.
Salim, Hairus, Sigit Budhi Setiawan, Subhansyah. “Toleransi dan Radikalisme di
Yogyakarta, Penelusuran Tiga Kasus” dalam Teams (eds.), Studi tentang Toleransi
dan Radikalisme di Indonesia, 31-96. Jakarta: Infid, 2016.

Steenbrink, Karel, and Jan S. Aritonang. A History of Christianity in Indonesia. Leiden, Boston:
BRILL, 2008.

Tim Perumus. KEBEBASAN BERAGAMA/BERKEYAKINAN - Tugas dan Panggilan Gereja-


gereja di Indonesia Sebuah Dokumen Percakapan Oikoumenis. Jakarta: PGI, 2015.

Tim Perumus. Laporan Forum “Dialog dan Kerjasama Lintas Iman untuk Indonesia yang
Lebih Baik, Damai, dan Toleran secara Kritis-Konstruktif”. Yogyakarta:
DIAN/Interfidei, 2019.

455 | L a p o r a n A k h i r
Respon Masyarakat Adat dan Non-Relijius terhadap Islamis
Jekonia Tarigan

Linda Sari Zuarnum

Pengantar

Perjuangan melawan masifnya pergerakan kelompok radikal di indonesia seringkali lebih banyak
dilihat sebagai perjuangan kelompok besar yang berdiri di bawah payung agama yang biasa disebut
kelompok moderat, sehingga studi terkait perjuangan melawan radikalisme juga lebih banyak
berfokus pada kelompok ini. Pertanyaanya, benarkah perlawanan dan pukulan balik terhadap
radikalisme agama hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok moderat itu? Penelitian ini tidak
mengaminkan hal tersebut, sebab kami percaya bahwa pukulan balik terhadap pergerakan
kelompok radikal di Indonesia sesungguhnya juga dilakukan oleh kelompok masyarakat yang lain
seperti masyarakat adat dan kelompok non religius (dalam hal ini kelompok seni). Barangkali
narasi dan gerakan yang dilakukan kelompok adat dan kelompok non religius/seni tersebut tidak
bersifat konfrontatif, namun dibungkus dalam semangat mempromosikan penghargaan terhadap
nilai-nilai kemanusiaan lewat tradisi dan seni yang justru dapat menjadi alat perlawanan yang sama
kuatnya dengan gerakan kelompok agama besar tersebut.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini fokus kami adalah kelompok moderat yang memiliki
misi yang sama namun tidak membungkus diri mereka dalam identitas agama. Penelitian ini akan
menjawab pertanyaan besar tentang bagaimana kelompok adat dan non-relijius merespon gerakan
Islamis radikal. Penelitian ini akan dilakukan di dua tempat yaitu Yogyakarta dengan subjek
penelitian: Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi; Grup Musik Dendang Kampungan;
Komunitas musik Serat Djiwa; dan Galeri Lorong. Kemudian, di Lombok akan dilakukan
penelitian terhadap kelompok adat di pulau Lombok yang mempertahankan nilai-nilai kultural
mereka dan keyakinan agamanya seraya menggaungkan pentingnya nilai toleransi. Peneliti akan
mengumpulkan data secara kualitatif melalui wawancara mendalam, observasi dan studi literatur.

Untuk melihat respon balik kelompok adat dan non-relijius terhadap pergeseran ruang
toleransi dan radikalisme di Indonesia, penelitian dilakukan di dua tempat yaitu di Lombok dan

456 | L a p o r a n A k h i r
Yogyakarta. Di Lombok, peneliti fokus mengambil data tentang respon kelompok Adat yang
termasuk di dalamnya seniman wayang kulit Sasak. Pengambilan data di lakukan di tiga tempat
yaitu kelompiok adat Bale Beleq di desa Jerowaru Lombok Timur, kelompok adat Bale
Panjenengan desa Sukarara, Lombok Timur dan Sekolah Pedalangan Wayang Sasak, Ampenan,
Lombok Barat. Penelitian di Yogyakarta fokus pada kelompok seniman baik dari seni musik
maupun seni rupa. Adapun kelompok seni yang menjadi subjek penelitian adalah Lembaga Budaya
Kerakyatan (LBK) Taring Padi , Grup Musik Dendang Kampungan, Kelompok Musik Serat Djiwa
dan Galeri Lorong. Pengumpulan data sebagaian besar dilakukan dengan wawancara mendalam,
observasi dengan mengunjungi galeri-galeri seni dan kelompok adat di tempatnya, menonton
pertunjukan seni yang dilakukan oleh kelompok seniman yang disebutkan di atas melalui media
online dan studi literature.

Argumen Utama

Perlawanan terhadap radikalisme agama dari negara dan kelompok agama moderat yang
mainstream selama ini telah banyak dilakukan dan dikaji. Namun gerakan alternatif yang tak
berafiliasi keagamaan belum banyak diperhatikan, karena barangkali tidak secara langsung atau
bersifat konfrontatif terhadap persoalan radikalisme agama, tetapi lebih mempromosikan nilai-
nilai kemanusiaan yang universal, penghargaan terhadap keberagaman agama dan budaya, dll.
Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan dua hal: pertama, beberapa contoh kelompok yang
melakukan gerakan alternatif itu, misalnya kelompok-kelompok adat non-religious dan kelompok
seni; kedua, meski ruang dan gerakan mereka terbilang tidak terlalu besar, namun kelompok adat
non-religius dan seni secara konsisten menyuarakan respon dan pukulan balik terhadap
radikalisme agama.

Temuan-temuan

Temuan 1

Tidak terlihat dinamisasi yang signifikan terkait dengan perebutan ruang-ruang toleransi
dan radikalisme di kawasan Lombok yang masih memiliki kelompok adat di dalamnya. Dalam
kurun waktu tiga tahun terakhir pergeseran ruang-ruang pendukung bagi transmisi toleransi dalam
kawasan yang ditempati oleh kelompok adat di Lombok bisa dikatakan mengalami perluasan dan
cenderung stabil. Pukulan balik kelompok adat terhadap upaya radikalisasi kelompok-kelompok

457 | L a p o r a n A k h i r
Islamis diwujudkan dengan penolakan terhadap masuknya kelompok ke desa dan menggelar
ceramah di masjid mereka. Seperti penolakan secara halus yang dilakukan oleh kelompok adat di
desa Sukarara, Sakra Barat Lombok Timur pada tahun 2012. Ketika kelompok Islamis ‘jamaah
kompor” sempat masuk menempati masjid di desa, masyarakat menolak untuk menghadiri
kegiatan ceramah sehingga kelompok Islamis memilih pergi karena tidak mendapatkan pengikut.
Hasil penelitian menemukan meluas atau menyempitnya ruang-ruang toleransi dan radikalisme
dalam suatu daerah atau tempat ditentukan oleh penerimaan masyarakat terhadap ajaran tersebut
dan masih kuat tidaknya adat yang dipegang oleh masyarakat.

Temuan 2

Desa dengan kelompok adat yang masih menjalankan tradisi cenderung toleran. Tumbuh
besar dalam keseimbangan praktek keagamaan dan tradisi membuat masyarakat adat di Lombok
yang berpenduduk mayoritas pemeluk agama Islam menjadi santai dan tidak terpaku pada ajaran
Islam yang kaku. Kewajiban memeluk salah satu dari agama resmi di Indonesia, membuat
kelompok adat pada akhirnya memeluk agama Islam. Namun alih-alih meninggalkan ajaran nenek
moyang, kelompok adat justru memilih menyerap ke dua ajaran tersebut dalam praktek
spiritualitas mereka. Di desa Sukarara, Sakra Barat, Lombok Timur terdapat dua kelompok
masyarakat yaitu kelompok adat Wetu Telu (mereka yang menganut Islam tapi masih menjalankan
ritual adat secara aktif) dan kelompok Islam Wetu lima “Muslim pada umumnya”. Sampai
sekarang praktek keagamaan dua kelompok ini masih berbeda, salah satunya perayaan hari raya
yang hampir tiap tahun dirayangan diwaktu yang berbeda. Namun masyarakat desa tidak pernah
mempermasalahkan itu, justru mereka sering saling mengunjungi ketika perayaan hari besar atau
pun ritual. Masyarakat juga cenderung saling melindungi dan menjadi tertutup terhadap pengaruh
luar. Mereka menolak masuknya kelompok garis keras ke desa karena mereka sadar pesan yang
disampaikan kelompok ini akan memecah belah warga desa. Salah satu tokoh adat Bale Beleq di
desa Jerwowaru juga mengatakan bahwa kelompok adat adalah kelompok jalur tengah yang sangat
toleran dengan perbedaan. Hal ini menunjukan bahwa ditengah kuatnya penetrasi ajaran-ajaran
Islam garis keras di pulau Lombok, pergeseran ruang toleransi di desa-desa dengan kelompok adat
di dalamnya justru meluas sehingga kelompok radikal tidak mendapatkan ruang.

Temuan 3

458 | L a p o r a n A k h i r
Peran tokoh juga mempengaruhi meluas atau menyempitnya ruang toleransi dan
radikalisme di kelompok adat. Kehidupan di kelompok adat lebih bersifat kolektif, sehingga reaksi
yang terjadi di tengah masyarakat biasanya ditentukan oleh keputusan tokoh penting yang
dituakan. Kelompok Adat Bale Beleq di desa Jerowaru, Lombok Timur memilik tokoh panutan
yang sampai sekarang pengaruhnya sangat kuat di desa. Almarhum Tuan Guru Haji Muhammad
Muttawalli Yahya Al Kalimi yang meninggal pada tahun 1984 menjadi tokoh panutan kelompok
adat Bale Beleq di desa Jerowaru. Kelompok adat Bale beleq hidup dalam praktek keislaman yang
tidak terpisah dari ritual adat karena Tuan Guru Muttawalli tidak pernah melarang masyarakat desa
untuk menjalankan ritual adat. Berbeda dengan Tuan Guru Muhammad Zainuddin Abdul Madjid,
pendiri Nahdlatul Wathan, organisasi Islam terbesar di Lombok, Tuan Guru Muttawalli
menyampaikan ajaran Islam melalui pendekatan tradisi kepada kelompok adat di desa Jerowaru.
Tidak heran kelompok adat di desa Jerowaru tidak berafiliasi dengan organisasi Islam NW yang
dalam ajarannya memisahkan tradisi dengan agama sekalipun dalam menyampakikan dakwah
tidak melalui paksaan. Kuatnya pengaruh Tuan guru Mutawalli juga membuat kelompok adat Bale
Beleq dengan percaya diri menolak masuknya kelompok Islamis “jamaah kompor” di desa mereka.
Berdasarkan penuturan salah satu tokoh agama di desa Jerowaru, Hj. Zulkarnaen, penolakan besar
terhadap kedatangan jamaah kompor pernah terjadi tahun 2011. Mereka dengan yakin bahwa Islam
yang mereka anut adalah Islam yang sudah sesuai dengan tuntunan, tidak ada yang perlu diubah.
Mereka juga percaya bahwa banyak perbedaan pendapat dalam Islam dan tidak ada yang bisa
disalahkan selama ajarannya baik.

Temuan 4

Dari sisi kelompok non religius atau kelompok seni, menarik untuk memperhatikan bahwa
seni punya cara pergerakan sendiri yang cenderung luwes, sehingga dapat bergerak dalam berbagai
ruang dan waktu dengan elegan, sebab bekerja lewat estetika yang disenangi oleh manusia. Hal ini
memungkinkan ruang pergerakan mereka untuk melakukan pukulan balik terhadap persoalan-
persoalan radikalisme agama dan keberagaman itu tetap ada bahkan cenderung mengalami
perluasan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa gerakan-gerakan alternatif ini muncul dari orang-orang yang
‘telah mendapat pencerahan’ terkait dengan isu-isu keberagaman, sosial-politik, kebudayaan dan
lingkungan. Jelas bahwa para anggota LBK Taring Padi dan grup musik Dendang Kampungan

459 | L a p o r a n A k h i r
lahir dari konteks tertentu dengan keprihatinannya akan kehidupan masyarakat dan situasi sosial
politik di era reformasi. Mereka adalah kalangan terdidik dalam dunia seni dan konteksnya
membuatnya terpanggil untuk melakukan gerakan dan kerja sosial lewat kerja-kerja seni. Sama
halnya juga dengan kelompok musik Serat Djiwa yang didirikan oleh Dian Adi Maryanto. Sejak
semula, Dian memang mempunyai keprihatinan terkait isu-isu keberagaman dan lingkungan.
Namun ia juga mengakui bahwa pendidikannya di Program Studi Agama Lintas Budaya (CRCS),
Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada telah menajamkan keprihatinan tersebut, dan
semakin menguatkannya di jalan seni untuk bersuara lebih kencang terhadap isu-isu keberagaman
dan lingkungan lewat karya seni musik instrumentalnya. Ia kemudian juga mengajak lima orang
temannya yang lain yang memiliki keprihatinan yang sama untuk berkarya dalam kelompok musik
tersebut. Kemudian, pilihan Galeri Lorong untuk menampilkan lukisan-lukisan bernuansa
keagamaan dengan motivasi untuk ikut berkontribusi mempromosikan penghargaan terhadap
keberagaman agama lewat seni juga tidak lepas dari peran kuratornya,. Namun beliau juga
mengakui bahwa keputusan untuk memamerkan lukisan-lukisan bernuansa keagamaan tersebut
karena keprihatinan terhadap persoalan kehidupan antar umat beragama di Indonesia, yang
semakin dalam dirasakannya setelah menempuh studi di Program Studi Interreligious Studies
(ICRS) di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.

Selanjutnya menarik juga untuk memperhatikan bahwa di Institute Seni Indonesia (ISI)
Yogyakarta, semangat untuk melawan radikalisme agama memang cukup kuat. Pada Juni 2017
misalnya, segenap mahasiswa dan pimpinan ISI Yogyakarta menyatakan penolakan terhadap
keberadaan staf pengajar dan mahasiswa yang terkait dengan Hizbut Tahrir Indonesia baik sebagai
simpatisan maupun anggota organisasi tersebut di kampus ISI.460 Hal ini menunjukkan kegerahan
segenap civitas akademika kampus ISI Yogyakarta terhadap radikalisme agama di Indonesia.

Lembaga Budaya Kerakyatan ‘Taring Padi’

Tirto,”ISI Yogyakarta Cegah Pengaruh HTI ke Mahasiswa”, https://tirto.id/isi-yogyakarta-cegah-


460

pengaruh-hti-ke-mahasiswa-cs9g; https://www.voaindonesia.com/a/penolakan-atas-kiprah-hti-di-kampus-
/3380446.html diakses pada tanggal 29 Juli 2020 pukul 20.42

460 | L a p o r a n A k h i r
Lembaga Budaya Kerakyatan ‘Taring Padi’461 selanjutnya disingkat (LBK Taring Padi)
adalah sebuah kelompok seni yang lahir sekitar 22 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 21
Desember 1998.462 Dari tanggal kelahirannya tersebut, amat jelas bahwa LBK Taring Padi lahir
dalam semangat reformasi. Kelompok seni ini didirikan atas inisiatif beberapa orang mahasiswa
Institut Seni Indonesia Yogyakarta (ISI), yang pada masa itu ikut aktif dalam gerakan reformasi. I
Gede Arya Sucitra dalam buku peringatan 20 tahun LBK Taring Padi berjudul ‘Taring Padi: Bara
Lapar Jadikan Palu’ menyebutkan bahwa LBK Taring Padi merupakan sebuah organisasi budaya
progresif. LBK Taring Padi menetapkan bahwa tugas mereka adalah membangun kembali
“Budaya Kerakyatan”, serta mendorong perubahan dan demokratisasi di Indonesia. Dalam buku
tersebut dituliskan pula bahwa visi isi LBK Taring Padi adalah sebagai berikut:

Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi berusaha membangun tatanan masyarakat yang
adil, makmur, ekologis, demokratis, tanpa penindasan dan diskriminasi (kelas, gender, agama, ras,
etnis, seks) dengan memperjuangkan kebudayaan rakyat yang anti-militeristik, anti-feodalistik,
anti-kapitalistik dan anti-imperialistik.463

Dengan latar belakang dan visi yang demikian, hingga kini LBK Taring Padi terus secara
aktif dan konsisten terlibat dalam berbagai kerja seni dan kerja sosial yang sarat dengan nuansa
perjuangan bagi kehidupan sosial politik yang lebih baik. Dalam wawancara pada tanggal 27
Januari 2020 dengan Muhammad Yusuf atau Cak Ucup, salah satu anggota dari LBK Taring Padi
dan menjadi narasumber dalam penelitian ini didapatkan informasi bahwa nama ‘Taring Padi’
memang terinspirasi dari tanaman padi. Cak Ucup menerangkan bahwa, jika diperhatikan di ujung
setiap bulirnya, padi memiliki sebuah duri kecil yang dapat terbang ketika padi itu dipanen, duri
kecil itulah yang disebut sebagai taring padi. Saat duri kecil atau taring padi tersebut terlepas dari
kulit padi dan terbang mengenai kulit manusia, maka orang yang dikenai oleh taring padi tersebut
akan merasakan gatal dan tidak nyaman. Dari gambaran tersebut, dapat ditarik filosofi sederhana,
bahwa LBK Taring Padi ingin kehadiran mereka dapat memberi efek taring padi yang kecil namun

461
Ardi Yunanto, Zen Hae, Lisabona Rahman (ed). 2011. Taring Padi: Seni Membongkar Tirani.
Yogyakarta: Lumbung Press. p. 5
462
I Gede Arya Sucitra & Nadiyah Tunnikmah (ed). 2018. Taring Padi: Bara Lapar Jadikan Palu.
Yogyakarta: Galeri R.J. Katamsi ISI Yogyakarta. 15
463
I Gede Arya Sucitra & Nadiyah Tunnikmah (ed). 2018. Taring Padi: Bara Lapar Jadikan Palu.
Yogyakarta: Galeri R.J. Katamsi ISI Yogyakarta. 14

461 | L a p o r a n A k h i r
mengganggu dan membuat orang yang bersentuhan dengannya merasa gatal, sebab LBK Taring
Padi selalu mengkritisi dan membawa perspektif baru yang bersifat membebaskan atas kehidupan
sosial, politik dan budaya yang bersifat hegemonic, feudal, kapitalistik, imperialistik dan
menindas. Namun justru hal itu penting untuk membuat semua pihak berpikir dan menstimulus
tumbuhnya semangat gerakan perubahan di masyarakat.

Selanjutnya, Cak Ucup menuturkan bahwa LBK Taring Padi sendiri sejak awal
pendiriannya juga sudah memberikan perhatian terhadap isu-isu toleransi terkait persoalan SARA
dengan memberikan inspirasi bagi masyarakat untuk lebih menghargai keberagaman agama yang
ada di Indonesia, sebab ini adalah persoalan yang nyata berkambang dan dihadapi masyarakat di
era pasca reformasi di Indonesia. Namun perlu diingat bahwa LBK Taring Padi memang tidak
hanya berfokus pada satu isu misalnya radikalisme agama dan melakukan upaya perlawanan yang
konfrontatif untuk menangkal gerakan radikalisme agama tersebut. Contohnya ketika dalam
peringatan ulang tahun ke 20 LBK Taring Padi tahun 2018 yang lalu dilaksanakan sebuah
sarasehan dan diskusi tentang LBK Taring Padi dan peringatan 20 tahun reformasi. Tahun 1998
merupakan tahun pertama LBK Taring Padi mengeluarkan poster yang salah satu isinya menolak
isu-isu SARA yang banyak menimbulkan persoalan bahkan kerusuhan di beberapa wilayah di
Indonesia. Dalam sarasehan tersebut, muncul sebuah testimoni menarik dari salah seorang hadirin
yang ketika gerakan reformasi terjadi dan muncul kerusuhan di Ambon sekitar tahun 1999, di
mana pada waktu itu hadirin tersebut yang pada masih duduk di bangku SMA. Situasi kala itu
masih amat mencekam di seputaran kepulauan Maluku, semua pihak saling mencurigai. Namun
suatu ketika, orang ini menemukan poster LBK Taring Padi yang di dalamnya ada kata-kata
“Berikan Cinta Pada Sesama” yang dilengkapi dengan gambar simbol berbagai agama. Poster
tersebut menginspirasi si hadirin itu, dan dengan mengumpulkan beberapa teman, mereka
kemudian memperbanyak poster tersebut dengan cara difoto-copy lalu disebarkan ke masyarakat.
Memang perubahan tidak terjadi secara spontan, namun poster tersebut telah memberikan inspirasi
dan harapan bagi banyak orang di masa itu.

Berikut ini visualisasi dari poster yang disebutkan sebelumnya (Gambar 1)

462 | L a p o r a n A k h i r
Dari testimony dan pengalaman tersebut, Cak Ucup meyakini bahwa sungguh itulah peran seni
yang hakiki, sebab kontribusi seni tidak dapat diukur efektivitasnya secara kuantitas dan mungkin
perubahan yang diinginkan juga tidak terjadi secara spontan karena karya-karya seni itu. Namun,
jika lewat karya seni, masyarakat terinspirasi, tergerak untuk berpikir dan melakukan sesuatu bagi
kebaikan bersama, itulah tanda bahwa seni itu berfungsi dan memiliki kekuatan sosial. Cak Ucup
sendiri, meyakini bahwa peran seni dalam kerja sosial terus diperlukan, sebab seni punya
keluwesan tersendiri untuk menyuarakan keprihatinan terkait kondisi kehidupan sosial politik,
kebudayaan, masyarakat bahkan ekologi dengan cara yang elegan dan indah sehingga justru lebih
powerful untuk memotori gerakan perubahan. Terkait dengan isu ekologi, dalam wawancara
lanjutan dengan anggota LBK Taring Padi yang lain (Fitri), didapatkan informasi bahwa karya
terbaru yang tengah dikerjakan oleh LBK Taring Padi yakni sebuah poster/lukisan yang dengan
ukuran yang cukup besar, yang bertemakan Papua. Isu yang disoroti dalam poster tersebut terkait
dengan berbagai persoalan di papua, seperti persoalan sosial, ekonomi, politik, keamanan, gender,
dan eksploitasi sumber daya alam (ekologi). Poster ini rencanyanya akan dibawa untuk
dipamerkan dalam sebuah acara di salah satu kampus ternama di Pennsylvania di Amerika pada
tahun 2020 ini.

Grup Musik Dendang Kampungan

463 | L a p o r a n A k h i r
Grup musik Dendang Kampungan dapat disebut sebagai anak dari LBK Taring Padi, sebab
grup musik ini juga lahir dari semangat yang sama dengan LBK Taring Padi dan didirikan oleh
orang-orang yang aktif juga di LBK Taring Padi. Mereka berpandangan bahwa selain seni rupa,
seni musik juga dapat menjadi satu media yang baik untuk menyuarakan keprihatinan mereka
terhadap situasi sosial politik, budaya bahkan kerusakan alam. Maka dari itu tidaklah
mengherankan bahwa pada awal lahirnya Dendang Kampungan, lagu-lagu yang diciptakan oleh
grup band ini amat bernuansa heroik sesuai dengan semangat reformasi. Lewat lirik lagu yang
sederhana Dendang Kampungan ingin menginspirasi dan memberi semangat serta perspektif baru
bagi pendengarnya untuk ikut dalam perjuangan memperbaiki kondisi sosial politik dan
kemasyarakatan, serta membantu mencegah kerusakan-kerusakan alam.

Agustinus Setiadji alias Patub yang adalah anggota Dendang Kampungan dan menjadi
informan untuk penelitian ini dalam wawancara tanggal 14 Maret 2020 mengatakan bahwa genre
musik dari Dendang Kampungan, adalah punkustik atau punk dan akustik (tidak menggunakan
drum, tapi kazon) yakni aliran musik yang diciptakan sendiri beat punk yang konsep dasarnya Do
It Yourself. Personil grup musik Dendang Kampungan ini awalnya terdiri dari beberapa orang,
yakni Ucup, Hestu, Dodik, Manyuk, Patub, dll.. Sampai saat ini grup musik Dendang Kampungan
telah berhasil menciptakan puluhan lagu yang dikemas dalam kurang lebih 3 album. Beberapa lagu
Dendang Kampungan yang diciptakan di masa-masa awal kelahirannya tersebut antara lain:
Kambing Hitam; Alam Merdeka; Anak Merdeka; Tiga Serangkai; Untuk Indonesia; Rebut
Demokrasi Sejati; Pembebasan; Darah Rakyat. Untuk isu-isu lingkungan dan agraria Dendang
Kampungan juga menciptakan beberapa lagu, seperti: Hijau; Bayam Merah; Rebut Tanah Kita;
Tolak Tambang Jaga Rembang. Terkait isu keberagaman satu lagu yang cukup menarik berjudul
“Mentari” yang mana sepenggal liriknya berbunyi ‘perbedaan bukan alasan untuk saling
menghantam’.

Berikut ini lirik lengkap dari lagu Mentari (Gambar 2)

464 | L a p o r a n A k h i r
Selanjutnya terkait dengan perhatian kelompok musik Dendang Kampungan terhadap isu
ekologi atau kerusakan alam Patub, mengambil contoh lagu yang diciptakan oleh Fitri anggota
LBK Taring Padi yang juga terlibat di Dendang Kampungan, yang berjudul ‘Tolak Tambang Jaga
Rembang’. Lagu ini tercipta dari keprihatinan Dendang Kampungan terhadap rencana eksploitasi
tambang gunung batu kapur di Rembang untuk keperluan bahan baku semen. Lewat riset dan live
in beberapa waktu di Rembang, Dendang Kampungan meyakini bahwa jika penambangan batu
kapur tersebut sungguh terjadi, maka warga disekitar gunung batu kapur tersebut pasti akan
kehilangan sumber air, yang berakibat juga pada hilangnya sumber mata pencaharian mereka yakni
bertani, khususnya pertanian padi. Oleh karena itu, dalam lagu tersebut, secara khusus bagian
refrainnya secara tegas lagu tersebut menyuarakan ‘Tolak tambang, jaga Rembang, agar tanah tak
hilang; Tolak tambang jaga Rembang agar gunung tak tumbang; Tolak tambang, jaga Rembang
agar air tak kering!’. Lagu tersebut diharapkan bisa menginspirasi masyarakat agar bersatu dan
sepakat menolak pembangunan pabrik semen dan eksploitasi batu kapur di daerah tersebut.

Namun begitu, diakui oleh Agus Setiadji alias Patub, bahwa perjuangan mereka bersama
Dendang Kampungan bahkan juga LBK Taring Padi bukanlah perjuangan yang mudah, secara
dana mereka lebih banyak mengandalkan swadaya dari para anggota dan mengandalkan hasil
penjualan karya-karya mereka. Kemudian, tantangan yang cukup berat juga mereka hadapi di
tahun 2000 ketika mengadakan pertunjukan di salah satu tempat di Yogyakarta, baik anggota
Dendang Kampungan maupun LBK Taring Padi diserang secara mendadak oleh kelompok

465 | L a p o r a n A k h i r
organisasi kemasyarakatan yang mengatasnamakan agama tertentu, sehingga pada saat itu salah
satu anggota mereka bernama Sigit mengalami luka yang cukup parah bahkan harus dioprasi akibat
kerusakan organ limpanya. Tantangan lain yang dihadapi Dendang Kampungan kini adalah soal
regenerasi, Agus setiadji alias Patub menerangkan bahwa tidak mudah untuk menemukan
seniman-seniman muda yang memiliki semangat dan visi yang sama dengan Dendang
Kampungan. Meskipun banyak tantangan yang dihadapi, namun Dendang Kampungan tetap teguh
pada sikapnya, bahwa kerja seni harus tetap dipadukan dengan kerja sosial. Seni harus bergerak
seluwes dan sekreatif mungkin dalam menghadapi berbagai persoalan sosial, politik,
kemasyarakatan, kebudayaan bahkan lingkungan. Agus Setiadji alias Patub, sebagai anggota
Dendang Kampungan meyakini bahwa peran kelompok seni akan terus relevan jika memberi
perhatian kepada berbagai persoalan kehidupan manusia.

Serat Djiwa

Serat Djiwa merupakan sebuah grup musik instrumental yang pendiriannya diinisiasi oleh
Dian Adi Mr pada tahun 2015. Nama Serat Djiwa dapat dimaknai sebagai kumpulan ajaran hidup
yang diharapkan menuntun jiwa menuju apa yang “sejati”. Sejalan denan nama tersebut, secara
umum karya Serat Djiwa menggambarkan perjalanan kehidupan, perdamaian dan isu-isu
lingkungan yang dikemas dalam karya musik instrumental untuk mencapai kedalaman rasa
kemanusiaan yang universal. Serat Djiwa dalam menghasilkan karya musik instrumentalnya
memakai beragam alat musik baik dari “barat” maupun “timur” sebagai symbol kedalaman rasa
universal dan persatuan antara suku, bangsa dan negara.

Berangkat dari pemahaman tersebut, karya musik instrumental Serat Djiwa diharapkan
dapat berperan sebagai tuntunan kehidupan agar selalu sadar diri dan bersikap bijaksana, serta
mampu membimbing masing-masing jiwa para pemusiknya khususnya, dan juga para
pendengarnya pada umumnya untuk menuju kedamaian, kearifan dan kesejatian.Grup musik
instrumental Serat Djiwa ini beranggotakan tujuh orang: Dian (biola), Fathur (tiup), Refli (gitar),
Hitmen (Akoreon/Piano), Eki (drum), Candra (bass), dengan produser merangkap manajer adalah
Rifki. Dalam aktivitas keseniannya, Serat Djiwa tidak hanya secara ekslusif menampilkan
karyanya lewat konser sendiri atau kolaborasi dengan grup musik lain, namun penampilan-
penampilan Serat Djiwa sarat dengan upaya-upaya penggalangan kepedulian terhadap isu-isu
kemanusiaan, seperti bencana alam.

466 | L a p o r a n A k h i r
Lebih lanjut, pada tanggal 16 February 2020, dalam sebuah kesempatan menyaksikan
penampilan dan bertemu dengan personel lengkap kelompok musik Serat Djiwa di dalam sebuah
pertunjukan kolaboratif dengan beberapa kelompok seni lain di Rumah Belajar Sungai Siluk,
Bantul, Yogyakarta, peneliti berhasil mendapatkan informasi lebih mendalam mengenai karya-
karya kelompok musik Serat Djiwa ini.

Dalam kesempatan tersebut Serat Djiwa membawakan 5 repertoir karya-karya mereka

1. Jalan Sunyi

Lagu ini berkisah tentang perenungan akan jalan-jalan kehidupan. Ada kesadaran bahwa
untuk mencapai damai dan pencerahan dalam hidup, setiap manusia harus mengambil jalan sunyi
yang bernuansa spiritual, di mana seorang manusia bisa merenungkan siapakah dirinya, mengapa
dia ada di sini, saat ini? Pertanyaan-pertanyaan reflektif seperti ini dirasa sangat berguna dalam
membuat manusia sadar akan keberadaan dirinya dan perannya untuk membawa kebaikan bagi
sesama manusia dan alam sebab hidup bukan pada hakikatnya bukan soal kompetisi, bukan soal
mengalahkan yang lain, namun lebih pada soal mengalahkan diri dan menghadirkan kebaikan.
Jalan kehidupan dalam perenungan dan kesadaran seperti ini adalah jalan yang sunyi, yang tak
banyak dipilih orang di tengah dinamika dunia yang serba sibuk, dan menuntut semuanya serba
cepat, bahkan kesuksesan seseorang diukur dari prestasi dan seberapa banyak uang yang mereka
dapat hasilkan.

2. Nama-nama (Indigenous)

Lagu ini terinspirasi dari kenyataan keragaman agama dan kepercayaan di Indonesia.
Lewat lagu ini Serat Djiwa ingin menyampaikan pesan dan mengingatkan para pendengarnya
bahwa dalam kehidupan masyarakat Indonesia, ada banyak nama-nama yang disematkan oleh
manusia terhadap Tuhan atau Sang Pencipta, sebagaimana yang berakar dan tumbuh dalam adat
dan kebudayaan serta kepercayaan masing-masing kelompok masyarakat. Semua nama-nama itu
merupakan bentuk penghormatan terhadap Sang Pencipta, dan banyak diantaranya juga amat lekat
dengan kecintaan terhadap alam sebagai dasar dari beragam kepercayaan itu. Dengan kesadaran
akan keberagaman agama dan kepercayaan di Indonesia, maka para pendengar lagu nama-nama
ini diajak untuk semagkin menghargai keberagaman itu sehingga kehidupan bersama menjadi
lebih baik dan harmonis.

467 | L a p o r a n A k h i r
3. Sanctuary

Lagu ini terinspirasi dari bayangan tentang rumah ibadah sebagai sanctuary atau tempat
suci yang penuh dengan kedamaian dan menjadikan orang-orang yang datang untuk beribadah ke
dalamnya menjadi pribadi-pribadi yang juga mampu membawa damai. Sanctuary itu tidak hanya
dibayangkan sebagai rumah ibadah dalam wujud gedung yang megah, namun juga hati yang suci
dan penuh kedamaian. Lagu ini tercipta dari kenyataan sebaliknya, bahwa dalam kehidupan
manusia saat ini rumah ibadah sebagai sanctuary telah kehilangan makna dan jati dirinya, sehingga
justru acap kali dari rumah ibadah atau tempat suci muncul narasi-narasi kebencian, narasi-narasi
radikalisme yang amat berbahaya bagi kehidupan bersama di tengah konteks keberagaman
sebagaimana yang ada di bumi Nusantara, Indonesia ini.

4. Renjana

Renjana dapat diartikan sebagai hasrat, atau kerinduan. Serat Djiwa melihat manusia dalam
kehidupannya digerakkan oleh hasrat atau gairah kehidupan. Namun, hasrat atau gairah kehidupan
ini tentu perlu dikendalikan dan diarahkan ke arah yang positif, sehingga tindak tanduk yang
menjadi output dari hasrat tersebut dapat membawa kebaikan bagi individu tersebut, maupun
orang-orang dan alam di sekitarnya. Berbagai kerusakan dalam kehidupan di muka bumi saat ini
tentu amat erat kaitannya dengan hasrat manusia yang tak terkendali dan lekat dengan keserakahan
yang tak pernah dapat dipuaskan, sehingga alam menjadi korbannya. Padahal, keserakahan itu
justru menjadi penanda keringnya jiwa manusia itu.

5. Rumah Bersama

Lagu ini setidaknya sarat akan dua makna, pertama terkait keIndonesiaan, bahwa Indonesia
merupakan rumah bersama bagi berbagai macam keberagaman, bahasa, budaya, kepercayaan dan
agama. Kedua, alam ini, merupakan rumah bersama bagi semua mahkluk, bukan hanya manusia.
Lagu ini menghimbau pendengarnya untuk menyadari kehadiran yang lain, dalam kehidupan
bersama semua perlu saling menyayangi dan menghargai, agar kehidupan bersama yang damai
dan harmonis dapat diwujudkan.

Galeri Lorong

468 | L a p o r a n A k h i r
Contoh gerakan pukulan balik terhadap radikalisme agama yang ke empat ini, datang dari
Galeri Lorong yang beralamat di, RT 01 Dusun Jeblok, Dukuh, 3, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul
Regency, Special Region of Yogyakarta 55181. Galeri ini berdiri pada tahun 2015 Menarik bahwa
pada tanggal 18 Oktober 2020 sampai akhir Januari 2020 yang lalu, galeri ini membuat sebuah
pameran lukisan dengan tema “In What We Believe” yang di prakarsai oleh Octalyna Puspa
Wardany sebagai kurator. Dalam pameran lukisan dengan tema “In What We Believe” ini
dipamerkan 11 lukisan dengan berbagai tema yang lekat dengan nuansa keagamaan.

- Satu lukisan ‘Aku Berdosa Aku Berdusta’ karya Arwin Hidayat

- 4 lukisan karya Made Ngakan Ardhana dengan judul yang sama ‘Don’t Forget to Pray
Before Eating’

- 6 lukisan karya Langsur, dengan tema: Pray; Bunda Maria; Hawa Nafsu; Last Supper;
Ragda; dan Sarasvati.

Pameran lukisan dengan tema ‘In What We Believe’ menjadi menarik sebab langkah
mengambil tema ini bukan hanya karena ketersediaan lukisan dengan tema-tema sarat nuansa
keagamaan saja di stockroom Galeri Lorong. Namun menurut keterangan dari sang kurator dalam
wawancara pada bulan Februari 2020, pengambilan tema ini bermula dari keprihatiannya atas
berbagai persoalan relasi antar-umat beragama di Indonesia. Ia meyakini bahwa masyarakat
Indonesia perlu diedukasi untuk melihat persoalan keagamaan sebagai urusan pribadi, tetapi nilai
kemanusiaan dengan semua nilai-nilai universalnya seperti kasih dan persaudaraan perlu
ditumbuhkan sebagai perekat yang kuat dalam relasi antar umat beragama. Dalam melakukan
upaya mengedukasi masyarakat tersebut, sebagai kurator Octalyna kemudian memanfaatkan
sumber daya yang ada di Galeri Lorong, yakni lukisan-lukisan yang sarat dengan tema keagamaan
untuk menunjukkan kepada pengunjung betapa keberagaman adalah keindahan yang perlu
dihargai. Menurutnya, seni merupakan media yang baik untuk memberikan pencerahan dan
inspirasi kepada masyarakat untuk lebih saling menghargai satu sama lain. Seni merupakan area,
dimana setiap orang bebas dan merdeka untuk mengekspresikan rasa, pengalaman dan suaranya.
Lukisan karya Langsur dengan judul ‘Bunda Maria’ misalnya, menangkap keindahan dalam sosok
ikon dan symbol agama Kristen, meski Langsur sendiri berasal dari Bali dan bukan merupakan
penganut agama Kristen Kemudian, agama juga mempunyai pesan-pesan sederhana namun

469 | L a p o r a n A k h i r
universal dan dapat diekspresikan lewat keindahan karya seni, sebagaimana yang dilakukan oleh
Made Ngakan Ardhana, lewat lukisannya dengan judul ‘Don’t Forget to Pray Before Eating’.

Octalyna lebih jauh memaparkan bahwa usaha yang dilakukannya ini memang hanya
bagian kecil dari sebuah tugas besar setiap elemen masyarakat dalam rangka meningkatkan
kesadaran akan pentingnya toleransi dan penghargaan terhadap keberagaman di Indonesia, secara
khusus keberagaman agama. Terkait upaya menangkal radikalisme, Octalyna berpendapat bahwa
Indonesia membutuhkan cara-cara yang lebih variatif dan elegan, dan tidak selalu bersifat
konfrontatif terhadap kelompok-kelompok radikal tersebut. Jika setiap orang diberikan alternatif
pandangan, dan diperkenalkan dengan keberagaman lewat cara yang menarik, variatif dan indah
(salah satunya lewat seni rupa), maka horizon pemikiran orang tersebut akan mulai semakin
berkembang. Octalyna juga mengutarakan pengalamannya bahwa ada beberapa pengunjung yang
meskipun hanya sepintas lalu, bertanya tentang lukisan-lukisan yang dipamerkan dalam tema “In
What We Believe” tersebut, misalnya saja terkait dengan siapa pelukis dari lukisan-lukisan dengan
nuansa keagamaan tersebut. Kemudian, ketika mereka mendapat informasi dari Octalyna sebagai
kurator, bahwa lukisan-lukisan tentang kisah atau tokoh dalam agama Kristen dilukis oleh seorang
pelukis beragama Hindu dari Bali, pengunjung tersebut kemudian menyatakan kekagumannya atas
kebesaran hati dan kemampuan pelukis tersebut melihat keindahan dari agama lain dan
menuangkannya dengan indah pula dalam sebuah karya seni rupa/lukisan yang dapat dinikmati
banyak orang.

Berikut ini beberapa lukisan yang dipamerkan di Galeri Lorong terkait tema “In What We
Believe” yang menampilkan lukisan-lukisan yang sarat dengan nuansa agama.

470 | L a p o r a n A k h i r
471 | L a p o r a n A k h i r
(Gambar 3)

472 | L a p o r a n A k h i r
Gambar4)

473 | L a p o r a n A k h i r
(Gambar 6)

Komunitas Seni Wayang Sasak

Pembahasan tentang Wayang Sasak di Kabupaten Lombok Barat ini berkaitan dengan
fokus penelitian tentang respon balik kelompok non-relijius terhadap pergerakan toleransi dan
radikalisme di Indonesia. Meskipun dalam narasi mereka tidak dengan tegas mengatakan bahwa
mereka melawan radikalisme namun gerakan mereka dalam menyampaikan pesan damai dan
toleransi menunjukan hal itu. Kelompok kesenian wayang Sasak juga termasuk komunitas yang
fokus menyampaikan pesan damai. Wayang Sasak juga sering dijadikan media untuk
menyampaikan pesan damai dan nilai-nilai pancasila di pulau Lombok. Beberapa tahun terakhir
ini pentas wayang sering ditayangkan di stasiun telivisi lokal yaitu Lombok TV. Pentas wayang
sasak juga biasa dinikmati oleh masyarakat secara online melalui Youtube.

Seorang dalang yang paling terkenal di Lombok, Lalu Nasib dalam sebuah liputan yang
ditayangkan oleh Inside Lombok melalui akun Youtebe464 nya menjelaskan bahwa sebelumnya
Wayang Sasak hanya dikenal sebagai hiburan orang tua karena penyampaiannya menggunakan
bahasa Kawi yang berasal dari Jawa. Banyak anak muda yang tidak memahami bahasa Kawi,
sehingga pentas wayang Sasak dulu tidak untuk semua kalangan. Baru pada tahun 1969, Lalu
Nasib mulai mementaskan Wayang Sasak menggunakan bahasa Sasak berbagai dialog. Lalu
Nasib masih menggunakan bahasa Kawi pada babak tertentu terutama bagian kisah para raja, dan
bahasa Indonesia juga digunakan dalam pentas wayang yang dibawakannya. Jadi perubahan
bahasa yang digunakan dalam pentas wayang Sasak, membuat masyarakat setempat semakin
menggemari pertunjukan wayang.

Sekalipun masih sangat diminati oleh masyarakat Sasak, bukan berarti keberadaan
Komunitas Wayang Sasak di Lombok tidak lepas dari kontestasi. Pulau Lombok dihuni oleh
sebagian besar suku Sasak dengan mayoritas pemeluk agama Islam. Berdasarkan data BPS
Provinsi NTB, pada tahun 2016 Kabupaten Lombok Barat dihuni oleh 94,33% Muslim (Website
BPS NTB, 2016). Ada tokoh agama yang menganggap kesenian wayang Sasak tidak sesuai dengan
ajaran Islam. Hal ini diperparah oleh masuknya kelompok Salafi ke Kabupaten Lombok Barat

464
http://youtu.be/7E72ODMde9Q Liputan akun Inside Lombok yang berjudul, Wayang Lalu Nasib, Ikon
Hiburan Rakyat Sasak. Diunggah pada tanggal 2 Desember 2019.

474 | L a p o r a n A k h i r
yang menegaskan kepada masyarakat bahwa Kesenian Wayang adalah bidah. Situasi ini
menimbulkan kebingungan dalam masyarakat dan mengancam eksistensi wayang Sasak. Sebagai
Muslim yang taat mereka tentu saja tidak mau melanggar ajaran agama, namun di sisi lain Wayang
Sasak adalah hiburan yang menarik karena syarat makna dan dekat dengan masyarakat Sasak.

Setelah reformasi 1998, perkembangan Salafi di Lombok memang mulai meningkat.


Kedatangan mereka yang membawa ajaran Islam yang lebih ekslusif dan tidak ramah pada tradisi
keislaman masyarakat Sasak pada akhirnya menimbulkan konflik. Pada tahun 2006 warga
menyerang pondok pesantren Ihya Al Sunnah di desa Sekotong, Lombok Barat (Saparudin dan
Emawati: 2018). Pada saat itu jumlah kelompok Salafi di Lombok bisa dikatan masih kecil dan
tidak cukup berpengaruh. Namun sekarang, kelompok Islamis sudah sangat pintar melakukan
pendekatan pada masyarakat melalui berbagai media sosial. Kelompok Islamis yang berkembang
di Lombok tidak hanya kelompok Salafi tapi juga kelompok garis keras lain seperti HTI yang
mulai bergerak melalui kegiatan-kegiatan kajian di berbagai masjid di Lombok melalui Muslim
United. Pada bulan Maret 2020 ini akan dilakukan kegiatan Road to Muslim United ke 3 di
Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Komunitas Wayang Sasak di Lombok Barat sendiri juga sudah banyak dimasuki kelompok
Salafi dan berdasarkan keterangan narasumber terdapat segregasi antara kelompok Salafi dan
kelompok Islam Sasak moderat (mayoritas NW dan NU) yang terlihat sangat jelas, terutama dalam
kepemilikan dan kepengurusan masjid. Karena keberadaan kelompok Salafi yang menentang
tradisi lokal masyarakat Sasak mulai berpengaruh dan pendukungnya juga mempengaruhi
keberadaan Komunitas Kesenian Wayang Sasak. Terkait dengan ini, penulis akan membahas
tentang bagaimana respon kelompok kesenian Wayang Sasak yang berada di antara dinamisasi
dua kelompok Islam moderat dan radikal terhadap pergesearna nilai-nilai toleransi dan radikalisme
di Indonesia, dan bagaimana mereka bertahan agar tidak diharamkan di tengah gerakan Islamis
yang datang nilai Islam puritan dan tidak ramah terhadap keberadaan mereka.

Sekolah Pedalangan Wayang Sasak

Sekolah Pedalangan Wayang Sasak (SPWS) didirikan pada tahun 2015 oleh pasangan
jurnalis independen, Abdul Latif Apriaman (Kake Latif) dan Fitri Rachmawati (Kake Pikong).

475 | L a p o r a n A k h i r
Sekolah ini dibangun sebagai rumah untuk memperkenalkan warisan budaya Sasak dan
meningkatkan minat anak muda Sasak agar mau mengenal dan mencintai kesenian wayang Sasak.
SPWS sekarang berada dibawah naungan Yayasan Pedalangan Wayang Sasak. Berlokasi di kota
Ampenan, Lombok Barat , sampai saat ini ada sekitar 30 siswa yang sedang mendalami ilmu
pedalangan di SPWS. Dalam kelas SPWS siswa diajarkan tentang sejarah wayang kulit Sasak, seni
pementasan wayang dan seni membuat wayang. SPWS sampai sekarang aktif melakukan kegiatan
pementasan kesenian wayang kulit Sasak di berbagai daerah di pulau Lombok bahkan sampai ke
luar pulau. Siswa juga diajarkan untuk kreatif dalam membuat miniatur karakter wayang untuk
dijual ke wisatawan dan pecinta wayang. SPWS tidak hanya menyediakan kelas pedalangan,
namun ada juga kelas lain seperti musik pengiring wayang dan seni membuat wayang. Selain
sebagai tempat melestarikan budaya, SPWS juga tempat yang menyenangkan bagi anak muda
Sasak untuk belajar dan berkreatifitas.

Saat ini Sekolah Pedalangan Wayang Sasak juga mulai giat mengkampanyekan kepedulian
terhadap lingkungan. Isu lingkungan menjadi perhatian utama komunitas SPWS, melalu seni
mereka menyampaikan pesan pentingnya menjaga lingkungan untuk kehidupan yang lebih baik
bagi generasi muda di masa depan. Untuk meningkatkan kesadaran anak muda akan pentingnya
menjaga lingkungan dari dampak sampah plastik yang mulai munggunung, SPWS membuat
program WATOL (Wayang Botol). Program ini berupa kegiatan memanfaatkan sampah plastik
untuk dibuat menjadi wayang. Pertunjukan wayang botol juga dipentaskan oleh siswa SPWS
sebagai jalan media untuk menyampaikan pesan tentang lingkungan pada generasi muda. Mereka
juga pernah diundang ke Jakarta dalam acara Pekan Kebudayaan nasional tahun 2019 untuk
mementaskan teater wayang botol dengan tema “Penyelamatan Pohon Terakhir di Bumi”

Tidak hanya fokus pada isu lingkungan, Sekolah Pedalangan Wayang Sasak juga dalam
pentasnya aktif dalam persuasi pesan perdamaian dan toleransi. Tidak jarang Siswa SPSW
diundang untuk pentas dengan membawa tema perdamaian di daerah yang pernah mengalami
konflik internal di Lombok Barat. Perintis SPWS sangat menyadari bahwa wayang sasak tidak
hanya sebuah pagelaran seni yang berfungsi untuk menghibur masyarakat, tapi juga media untuk
pemersatu bangsa yang digunakan sebagai penyampai pesan kebaikan dalam mengajak
masyarakat untuk mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan yang yang adil, toleran dan
peduli lingkungan.

476 | L a p o r a n A k h i r
Bertahan untuk Adat dan Tradisi, Wayang Sasak Melawan Stigma

“Agar tak hilang jejak” adalah slogan yang digunakan komunitas Sekolah Pedalangan
Wayang Sasak dalam gerakannya. Meskipun peminat wayang sasak di Lombok masih ada,
terutama di wilayah Lombok Barat dan Lombok Tengah namun keberadaan komunitas wayang
sasak cenderung berkurang. Hal ini diakibatkan oleh beberapa faktor: pertama, kurangnya minat
generasi muda untuk melestarikan budaya, minimnya dukungan dari pemerintah setempat
komunitas seni yang membuka sanggar-sanggar kesenian terutama wayang sasak di Lombok dan
gambaran yang melekat padat kesenian wayang yang menurut beberapa tokoh agama di Lombok
dianggap tidak sesuai dengan agama Islam, karena kesenian wayang sasak yang dianggap
melenceng dari ajaran Islam. Padahal dalam sejarahnya dikenal sebagai media penyebaran Islam
di Lombok karena lakon dalam wayang Sasak berasal dari Serat Menak yang berisi tentang ajaran
Islam yang berdasarkan beberapa penuturan orang tua dibawa oleh sunan Prapen namun seiring
dengan berjalannya waktu penerimaan Muslim Sasak pada keseninan wayang tidak sepenuhnya
terbuka. Berdasarkan penuturan pendiri Sekolah Pedalangan Wayang Sasak, Abdul Latief
Apriaman, sebagian masyarakat Sasak memilik pandangan bahwa kegiatan wayang dinilai bid’ah
(Tempo.Co: 2019). Pandangan seperti ini mulai sangat gencar setalah kelompok Salafiah mulai
masuk di Lombok.

Kake Kholis, seorang komposer musik di Sekolah Pedalangan Wayang Kulit Sasak
menuturkan bahwa pembangunan SPWS ini termasuk perjuangan yang berat. Hal ini dikarenakan
minat masyarakat terutama anak muda terhadap kesenina di daerah sedikit. Tidak hanya itu, faktor
agama juga mempersulit. Itu yang membuat narasumber dan komunitas seni lainnya giat
memperkenalkan kesenian Sasak kepada tokoh agama termasuk kelompok Salafiah yang
mengharankan musik. Di tahun 2019 narasumber dan komunitas kesenian musik Sasak pernah
mengadakan sosialisasi musik yang menyasar kelompok agama dengan tema Ngaji Estetika:
Seniturrahmi supaya Kesenian Musik Sasak tidak diharamkan.

Kake Kholis juga menjelaskan bahwa narasi pengharaman terhadap aktifitas wayang kulit
sasak mulai terasa saat pilpres 2014. Dan semakin keras dengungnya di masa pilpres 2019.

477 | L a p o r a n A k h i r
“ Dulu saat masa-masa pemilihan presiden Jokowi yang pertama kakek saya sering ikut
pengajian, entah dia ngaji di mana, tiba-tiba dia bilang ke saya kenapa kamu ikut yang gitu-
gitu (aktifitas kesenian Sasak), haram” (Kake Kholis)
Peristiwa haram mengharamkan ini musiman, menurut narasumber. Terutama saat
pemilihan presiden terakhir ini narasi-narasi tentang pengharaman wayang kulit Sasak sangat
gencar, hal ini diakibatkan karena politik identitas agama. Politik identitas di Indonesia memang
semakin meningkat dimulai pada masa pemilihan presiden 2014 dan meningkat drastis pada saat
pemilihan gubernur Jakarta di tahun 2017 dan pemilihan presiden di tahun 2019. Elit politik dalam
upaya memperoleh suara, menggunakan agama sebagai media kampanye. Sejak saat itu polarisasi
dalam masyarakat membawa mereka ke dua kubu yang berbeda terutama dalam internal komunitas
Muslim. Pada saat itu juga kelompok Islam garis keras mendapatkan panggungnya, pengaruh
mereka cukup kuat dibantu dengan media sosial mereka mampu mendapatkan pengikut lintas
generasi. Pengaruh politik di pulau Jawa ini juga berpengaruh pada daerah-daerah lain di
Indonesia, termasuk di Pulau Lombok. Masyarakat Muslim Lombok yang sebelumnya didomonasi
oleh Muslim Sasak, mereka yang lebih toleran menerima tradisi dalam beragama mulai
mendapatkan pengaruh dari kelompok Islam konservatif. Tidak heran di beberapa tempat di pulau
Lombok kegiatan wayang Sasak tidak diterima sama sekali oleh masyarakat.

Abdul Latief Apriaman, pendiri SPWS menjeaskan bahwa salah satu dalang aktif yang
berasal dari Lombok Timur bercerita tenatang pertunjukan Wayang Sasak yang tidak pernah di
pentaskan di desa Pancor, Lombok Timur karena merupakan basis Nahdlatul Watan, organisasi
Islam terbesar di NTB. Tokoh agama sangat berpengaruh bagi aktifitas warga Sasak, tidak
dipentaskannya wayang Sasak di Pancor bisa jadi karena Tuan Guru Muhammad Abdul Madjid
yang merupakan pendiri NW tidak pernah memperkenalkan wayang sebagai media dakwahnya di
masa lalu pada masyarakat pancor. Menyadari pentingnya pendekatan pada tokoh agama membuat
kelompok keseninan wayang sering mengadakan pentas di berbagai pondok pesantren untuk
menghilangkan stigma bidah pada mereka.

Respon Komunitas Wayang Terhadap Radikalisme dan Toleransi

Di desa tempat SPWS ini dibangun di Lombok Barat, segregasi antara kelompok Salafi
dengan masyarakat Muslim pada umumnya sangat terlihat nyata. Kelompok Salafi cenderung
menutup diri dan membentuk kelompok mereka sendiri. Mereka sangat ekslusif dengan
membangun masjid sendiri yang hanya hanya dikhususkan untuk kelompok mereka. Karena
478 | L a p o r a n A k h i r
mereka sangat tertutup dan cenderung sering menyalahkan praktik keagamaan Muslim Sasak, pada
akhirnya masyarakat juga tidak menolak untuk bergabung dengan mereka. Dikotomoi dua
kelompok muslim ini mengakibtakan adanya segregasi:

“ Ketika ada warga Salafi yang meninggal masyarakat tidak membolehkan mereka di
solatkan di masjid umum, begitu juga sebaliknya, meskipun mereka tetangga dekat jika
ada warga meninggal pengikut ajaran Salafi tidak akan datang ikut yasinan”. (Kake
Kholis)
Lombok Barat Adalah kabupaten yang paling beragam di pulau Lombok, jika Lombok
Tengah dan Lombok timur masyarakatnya cenderung homogen dengan Muslim sebagai mayoritas.
Kabupaten Lombok Barat ditempati oleh penduduk yang beragam Islam, Hindu, dan Kristiani
dengan persentasi sebagai berikut Muslim 94%, Hindu 5,4 % dengan Kristen dan Katolik di bawah
1% pada tahun 2016 (BKN Lombok Barat: 2017). Konflik antar bisa dikatakan sering terjadi di
Lombok Barat, tidak hanya antara kelompok Islam Salafi dan kelompok Islam moderat, tapi juga
antar kelompok Hindu dan Islam. Salah satu konflik antara kelompok Hindu dan Islam pernah
terjadi padah tahun 1996 di Cakranegara, konflik ini melibatkan dua kampung yaitu kampung
Muslim Taliwang dan kampung Hindu Tohpati, (Saloom: 2009, 31).

Menghadapi masyarakat yang mudah tersulut konflik membuat para tokoh mengundang
pentas wayang sebagai media pemersatu bagi masyarakat. Ditengah perjuangan komunitas
wayang untuk tetap eksis dalam mempertahankan komunitasnya dan kesenian Sasak, minat
masyarakat terhadap pertunjukan ini juga bisa menjadi pereda ketegangan antar masyarakat yang
berkonflik. Abdul Latief Apriaman (Kake Latif) membagikan tulisannya kepada penulis tentang
peran Wayang Sasak sebegai juru damai perselisihan warga di media online Tempo pada tahun
2019. Kake Latif, menenrangkan bahwa pada masu lalu wayang juga selalu digunakan sebagai
media untuk meredam api konflik di masyarakat Lombok. Sering sekali para dalang diudang untuk
pentas di di daerah yang sedang mengalamin konflik. Salah satunya adalah pertunjukan wayang
di desa Petemon cakra Negara Lombok barat pada tahun 2019 lalu. (Tempo.Co). Komunitas
Wayang Sasak juga terdiri dari anggota yang beragam, walapun kebanyakan pesan yang
disampaikan ketika pentas adalah pesan-pesan keislaman tidak sedikit dalang di wayang Sasak
juga beragama Hindu. Mereka tetap menyampaikan wayang dengan lakon dari serat menak dan
tetap diterima oleh masyarakat.

479 | L a p o r a n A k h i r
Wayang juga mulai digunakan oleh pemerintah daerah NTB untuk menyampaikan
pentingnya nilai-nilai pancasila. Pertunjukan wayang Sasak juga ditayangkan di stasiun TV lokal
yang dibawakan oleh Lalu Nasib, dalang ternama di Lombok. Pertunjukan wayang Lalu Nasib
juga bisa ditonton melalui Youtbe. Dalam salah satu pentasnya, Lalu Nasib pernah mendalang
dengan menyampaikan sindirian yang dimpaikan dengan lawakan kepada kelompok Islam garis
keras tentang banyaknya tradisi masyarakat Sasak yang mereka anggap bid’ah. Lalu Nasib
menyampaikan pesan bahwa saling menyalahkan dalam praktek keagamaan itu melanggar nilai-
nilai Pancasila. Masyarakat beragama harus lebih toleran dan menerima perbedaan.

Saat ditanya soal apakah SPWS juga aktif bergerak dalam melawan radikalisme, narasumber juga
menjawab iya.

“ Kami melawan radikalisme berbagai bentuk, tidak hanya dalam hal agama tapi juga
lingkungan. SPWS juga bergerak untuk menkampanyekan kepedulian terhadap
lingkungan. Gerakan dini dilakukan dengan pemanfaatan sampah plastik untuk didaur
ulang menjadi wayang. Mereka juga pernah pentas dengan tema-tema lingkungan
termasuk diakhir tahun 2019 mereka menampilkan pentas teater wayang botol dengan tema
Penyelamatan Pohon Terakhir” (Kake Kholis).
Kegiatan para penggerak seni dalam menyampaikan pesan damai dan toleransi adalah
bentuk respon balik yang mereka berikan pada gerakan-gerakan transmisi radikalisme di
Indonesia. Mereka juga berperan dalam perebutan ruang toleransi dan pendekatan mereka pada
warga dan generasi muda juga lebih bisa diterima. Terutama bagi kelompok yang sudah mulai
lelah dengan narasi keagamaan yang mendominasi di media sosial. Kelompok ini lebih memilih
menyampaikan pesan damai melalu jalur yang netral, mereka sering menolak identifikasi atas
nama agama karena komunitas mereka terbuka untuk siapa saja tidak peduli dengan latar belakang
mereka apa. Musik dan karya seni adalah bahasa damai yang paling menenangkan dan menghibur,
tanpa ada janji-janji surga, tanpa ada ancaman neraka. Termasuk pertunjukan Wayang Sasak,
cerita yang disampaikan dalam wayang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat kecil di pulau
Lombok. Masyarakat berbondong-bondong menonton pertunjukan wayang sebenarnya untuk
hiburan karena cerita yang disampaikan banyak mengandung hal-hal yang jenaka. Tertawa
bersama melalui seni terkadang lebih mempersatukan dibandingkan kuliah serius para tokoh
agama yang mengajak damai dengan ceramah yang membosankan. Jelaslah bahwa ruang-ruang
yang dimiliki oleh kelompok seni justru jauh lebih terbuka terhadap toleransi.

480 | L a p o r a n A k h i r
Kelompok Adat di Lombok

1. Kelompok Adat Bale Beleq, Desa Jerowaru, Lombok Timur.

Kelompok adat Bale Beleq adalah bagian dari suku sasak pesisir yang berada di daerah
selatan pulau Lombok, tepatnya di desa Jerowaru, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Bale
Beleq adalah rumah adat peninggalan leluhur yang masih difungsikan sebagai tempat ritual bagi
masyarakat di desa Jerowaru. Tidak diketahui kapan persisnya Bale Beleq dibangun, dan tidak ada
catatan sejarah tentang rumah Adat Bale Beleq Jerowaru ini. Informasi tentang rumah adat ini
diketahui oleh tokoh adat dan masyarakat hanya melalui warisan cerita lisan. Bale Beleq adalah
kata dalam bahasa Sasak yang berarti rumah ‘bale’ besar ‘beleq’ yang dulu dijadikan tempat
pertemuan para kepala adat. Saat ini Bale Beleq tetap dijaga kelestariannya oleh masyarakat Sasak
di desa Jerowaru sebagai simbol bahwa tradisi dan kepercayaan lama masih dijunjung tinggi di
desa Jerowaru. Sekalipun semua anggota kelompok Adat Bale Beleq mengaku Muslim, namun
mereka masih memegang teguh tradisi mereka. Ritual-ritual adat seperti pembacaan takepan,
membersihkan alat-alat pusaka, berobat di bale beleq, masih dijalankan. “Rumah adat Bale Beleq
ini adalah tempat ibadah ke dua bagi masyarakat Jerowaru” (Hasan Gawuk). Masyarakat masih
sangat mempercayai pantang, bahwa segala sesuatu harus dimintakan izin terlebih dahulu,
biasanya warga akan ke bale adat dan meminta selametan di Bale Beleq.

Masyarakat di desa Jerowaru sendiri, tidak memisahkan praktek agama Islam yang mereka
anut dengan tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang kepada mereka. ‘Tidak ada jarak antara
tradisi dengan agama” (Mertejati:2020). Masyarakat Sasak mulai mengenal Islam pada abad ke 16
yang pada waktu itu dibawa oleh Sunan Prapen. Sejak kedatangan Islam ke Lombok, corak
keislaman di pulau ini memang sinkretis dan dikenal sebagai Islam Sasak. Meskipun pada akhirnya
perkembangan dakwah meningkat, tokoh agama “tuan guru” datang dengan kuat mendakwahkan
Islam yang lurus tidak sepenuhnya mampu mengubah keyakinan masyarakat Sasak terhadap
kekuatan leluhur mereka.

Kuatnya peran tokoh adat dan agama dalam mempertahankan tradisi di desa Jerowaru
membuat masyarakat sulit dipengaruhi ajaran dari luar. Keyakinan kelompok adat Bale Beleq yang
percaya bahwa tidak ada jarak antara tradisi dan agama merupakan hasil dari pengaruh Tuan Guru
Haji Muttawalli Al Kalimi, seorang tokoh agama yang mendakwahkan Islam dengan pendekatan
kultural. (Aziz:2009, p. 246). Dialah tokoh yang mengumpulkan rakyat untuk tetap datang ke Bale
481 | L a p o r a n A k h i r
Beleq untuk mengadakan ritual dan juga ngaji lontar. Kelompok Adat Bale Beleq di desa Jerowaru
adalah satu-satunya kelompok yang tidak berhasil terkena pengaruh organisasi Islam, bahkan
Nahdatul Watan yang merupakan organisasi paling berpengaruh di Lombok tidak diikuti oleh
masyarakat.

Bagaimana kelompok adat Bale Beleq menilai diri mereka dan mempertahankan
kepercayaan leluhur mereka adalah jawaban dari pertanyaan tentang respon balik dari kelompok
adat terhadap kuatnya gerakan radikalisme di Indonesia. Sekitar tahun 2000 kelompok salafi yang
dikenal dengan jamaah kompor pernah masuk ke desa Jerowaru, mereka menempati masjid yang
ada di desa untuk menyampaikan pesan dakwah mereka. Namun keberadaan mereka tidak
bertahan lama, karena bertentangan dengan kepercayaan yang dialami oleh warga. Salah satu
narasumber bercerita sekitar tahun 2012 pernah terjadi konflik antar warga dengan jammah
kompor yang berahir pada pengusiran warga terhadap keberadaan kelompok tersebut. Sejak
kejadian itu sampai sekarang tidak ada lagi aliran-aliran Islamis yang masuk ke desa Jerowaru.

Menanggapi persoalan radikalisme di Indonesia salah satu tokoh agama di desa Jerowa
berkata “Kelompok adat adalah kelompok yang berada di jalur tengah. Memegang nilai toleransi,
itu kenapa tradisi nenek moyang dan agama tidak terpisahkan” (H. Zulkarnain). Menjadi toleran
artinya mau menerima perbedaan pendapat dalam menjalankan ajaran Islam, kelompok Salafi
tidak bisa diterima karena mereka tidak mau menerima perbedaan pendapat dan justru
menyalahkan praktik kepercayaan tradisional. Padahal masyarakat di desa Jerowaru sangat
toleran, mereka tidak pernah melarang jamaah kompor untuk datang dan melakukan ibadah di
masjid mereka. Yang membuat konflik terjadi adalah ketika mereka mulai melarang aktifitas ritual
di Bale Beleq.

Di tengah wacana mengembalikan Islam dalam kultur nusantara mulai digaungkan di


Indonesia dengan tujuan untuk meredam pengaruh radikalisme dalam masyarakat, gerakan
kelompok adat dalam menjalankan prinsip hidup mereka yaitu mempertahankan tradisi dan
memilih tertutup pada gerakan Islamis membuat pergeseran ruang radikalisme di daerah mereka
menyempit. Peran tokoh agama dan adat juga memberikan kontribusi dalam menjaga ruang
toleransi ditengah kelompok adat yang bersifat kolektif dalam konteks ini mereka masih mengikuti
prinsip ajaran yang diberikan oleh pemimpin mereka.

482 | L a p o r a n A k h i r
2. Kelompok Adat Bale Panjenengan, Desa Sukarara, Lombok Timur.

Kelompok adat Panjenengan hidup di desa Sukarara kecamatan Sakra Barat, Lombok
Timur NTB. Kelompok ini masih satu aliran dengan kelompok Wetu Telu di desa Bayan Lombok
Utara. Seperti kelompok adat Bale Beleq di desa Jerowaru, kelompok adat di desa panjenengan
juga memiliki rumah adat sebagai tempat melaksanakan ritual kepercayaan yang sekarang dikenal
dengan Bale Panjenengan. Menurut keterangan narasumber, Bale Adat Panjenengan sebelumnya
adalah masjid kelompok Wetu Telu. Pada masa pemerintahan Orde Baru masjid tersebut dirusak
dan warga wetu telu dipaksa untuk menganut ajaran Islam Waktu lima. Selama masa pemerintahan
Orde Baru, tentara selalu mengawasi kelompok adat ini sehingga mereka terpaksa mengikuti
ibadah di masjid. Namun kelompok adat kembali ke ajaran Wetu Telu setelah pemerintah orde
baru turun. Bale adat kembali dibangun pada tahun 2017, yand diinisiasi kepala desa yang juga
penganut Wetu Telu yang menjabat saat itu, sebelumnya mereka melakukan ritual di rumah Kiai
Wetu Telu.

Di desa Sukarara kelompok masyarakat terbagi menjadi dua yaitu kelompok Islam Waktu
Lima dan kelompok adat Wetu Telu. Keduanya merupakan penganut agama Islam, namun praktek
keagamaan mereka sangat berbeda. Hal ini terlihat dari perayaan hari raya seperti Idul Fitri dan
Idul Adha yang selalu dilaksanakan diwaktu yang berbeda. Dua kelompok masyarakat sudah hidup
berdampingan sejak lama tanpa konflik. Penelitian yang dilakukan pada kelompok adat
Panjenengan bertujuan untuk melihat dinamisasi di dalam kelompok adat serta bagaimana
response mereka terhadap paham radikalisme.

Wetu Telu dan Waktu Lima

Warna Islam di pulau Lombok sejak dulu dibagi oleh para ahli ke dalam dua spectrum
yaitu Islam Sunni (ortodox) yang mereka sebut sebagai Islam Waktu Lima dan Islam Sasak yang
disebut Wetu Telu. Hal ini tampaknya terinspirasi dari cara pandang Geertz yang membedakan
kelompok Santri dan Abangan di pulau Jawa (Geertz: 1998). Tentu saja pembagian istilah Wetu
Telu dan Islam Wetu lima pada Muslim Sasak ini masih dalam perdebatan baik dikalangan
akademisi atau pun Muslim Sasak sendiri karena kecenderungan menempatkan kelompok Wetu
Telu sebagai penganut Islam yang tidak sempurna. Bahkan pandangan kelompok Wetu Telu
terhadap dirinya sendiri pun berbeda satu sama lain. Beberapa penganut Wetu Telu di Bayan
Lombok Utara mengaku bahwa tidak ada perbedaan Wetu Telu dengan Islam karena mereka
483 | L a p o r a n A k h i r
sebagai Wetu Telu juga melaksanakan syariat Islam seperti solat lima waktu, puasa penuh di bulan
ramdan, membayar zakat dan berbagai praktek agama Islam lainnya. Meskipun bersama dengan
parktek syariat itu mereka juga masih percaya pada kekuatan roh sebagai mediator mereka ketika
berdoa kepada Tuhan (Aziz: 2009).

Namun kelompok Wetu Telu yang berada di desa Sukarara Lombok Timur menyadari
perbedaan praktek Wetu Telu dengan Islam Waktu Lima Berbeda. Di desa Sukarara masyarakat
terdapat kelompok wetu Telu dan Islam waktu lima yang banyak berafiliasi pada Nahdatul Watan,
mereka hidup berdampingan dengan damai sejak dulu dan menyaksikan perbedaan praktek
keagaamaan dari dua kelompok itu sendiri. Amaq Umang, salah seorang penganut wetu Telu
menjelaskan “Tidak ada perbedaan prinsip ajaran Wetu Telu dan Islam Waktu Lima, bedanya
hanya tidak solat, tapi kami tetap Sembahyang, mengingat Tuhan dalam segala aktifitas” (Amaq
Umang: 2020). Dalam realitasnya, praktek relijiusitas yang terjadi pada masyarakat Sasak, Tuhan
dipandang sebagai pendamping dari berbagai macam kekuatan supranatural yang merupakan
mediator antara Tuhan dengan makhluknya, dan bagi masyarakat Sasak kekuatan supranatural
tersebut juga tunduk kepada Tuhan. (Erni Budiwanti, 2000: 139-140). Robert W. Hefner juga
menyebut mereka sebagai kelompok Islam non-standar, Wetu Telu dengan percaya diri
menegaskan perbedaan mereka dengan kelompok Islam Sunni pada umumnya. (Picard and
Madinier, 2011: 71).

Penulis menemukan bahwa kelompok Wetu Telu menarasikan diri mereka sebagai bagian
dari Islam sepenuhnya diakibatkan karena tekanan yang selama ini mereka dapatkan baik oleh
negara dan tokoh agama Islam yang tidak mau menerima keberadaan mereka. Tekananan ini
dimulai sejak meletusnya isu G30/SPKI pada masa pemerintahan Orde baru yang memakasa
kelompok penghayat kepercayaan untuk memeluk salah satu agama resmi di Indonesia. Terlebih
lagi sekarang dengan menguatnya gerakan Islamis yang radikal di Indonesia, keberadaan
kelompok Adat yang masih menganut kepercayaan lokal tentu saja terancam. Di desa Sukarara
kelompok Adat dulu juga pernah mengalami tekanan dari pemerintah. Mereka dipaksa untuk
berbondong-bondong solat ke masjid umum. Masjid mereka yang sekarang menjadi rumah adat
Panjenengan dibakar dan aktifitas mereka diawasi oleh militer pada saat itu.

Bersama Dalam Perbedaan

484 | L a p o r a n A k h i r
Hingar bingar pertarungan politik di pulau Jawa yang menggunakan politik identitas agama
akhir-akhir ini cukup berpengaruh bagi cara pandang masyarakat terhadap kehidupan beragama di
Indonesia. Namun hal ini tidak mengganggu masyarakat Sasak di desa Sukarara, Lombok Timur.
Karakteristik masyarakat di sini terbilang tenang. Kelompok masyarakat yang masih memegang
tradisi kepercayaan Sasak hidup berdampingan dengan kelompok yang sudah tidak lagi
menjalankan tradisi, sehingga mereka terbiasa terbuka dengan perbedaan.

Saat melakukan kunjungan kedua di Bale Adat Panjenengan di desa Sukarara, Sakra Barat,
Lombok Timur ada peristiwa yang sangat menarik, saat itu kebetulan sedang ada ada acara sunatan
yang menghadirkan kesenian Praja Ponggok, yang diiringi oleh musik Gendang Beleq. Pengantin
sunat diarak diatas peraja ponggok sambil diiringi kelompok musik Gendang Beleq. Proses arak-
arakan tersebut dilaksanakan kebetulan bertepatan dengan waktu zuhur dan berangkat dari depan
masjid umum desa Sukarara, untuk menuju Bale Adat Panjenengan. Menariknya iring-iringan
Praja Ponggok tetap lewat diikuti barisan pemusik Gendang Beleq yang tetap memainkan
musiknya dengan keras tanpa diprotes warga. Padahal biasanya di Lombok musik Gendang Beleq
tidak boleh dimainkan ketika waktu solat tiba. Namun saat itu masyarakat terlihat sangat santai
dan tidak mempermaslahakan kejadian itu.

Praktik toleransi yang dijalankan oleh masyarakat di desa Sukarara, Skara Barat, Lombok
timur ini mencerminkan apa yang dijelaskan oleh Paul Knitter sebagai bentuk acceptance model,
yaitu penerimaan terhadap nilai-nilai perbedaan dalam beragama. Prinsip Knitter pada model
penerimaan ini dideskripsikan dalam pandangan bahwa tradisi agama di dunia ini sangat beragam
dan kita harus menerima perbedaan itu. (Knitter: 2002, p. 219). Prinsip yang sama juga dijalankan
oleh kelompok wetu telu dan Islam Waktu lima ini membuat mereka justru saling menjaga dari
pengaruh luar terutama Islamis. “Doa beda tidak apa-apa toh juga doanya sama-sama meminta
kesejahteraan” (Ustad Muttaqim, 2020).

Kelompok Salafi yang pernah datang ke desa Sukarara tidak mampu mempengaruhi
masyarakat. Sekitar tahun 2012 kelompok Salafi pernah mengadakan pengajian di masjid umum
desa Sukarara, masyarakat awalnya datang mengikuti pengajian, namun selanjutnya tidak datang
lagi karena ajaran yang disampaikan melawan tradisi mereka. Kelompok Adat di desa Sukarara,
sebenarnya selalu terbuka dengan para Kiai yang datang mengadakan pengajian jika dakwah yang
disampaikan tentang kebaikan. Tetapi jika pendakwah yang datang membawa pesan perpecahan

485 | L a p o r a n A k h i r
maka masyarakat akan menolak untuk mendengar ajaran mereka. “Prinsip ajaran Wetu Telu
sendiri sangat sederhana, yakni patuh (akur), jujur, dan baik. Jika sudah menjalankan yang tiga itu
orang baru bisa dianggap beragama” (Amaq Umang).

Oleh karena itu masyarakat di desa Sukarara sangat selektif dalam mengikuti kegiatan
pengajian, ustad yang menyampaikan ajaran kebencian tidak akan diundang lagi. Ustad Mustaqim
dari kelompok Islam Waktu Lima menjelaskan bahwa kelompok Salafi tidak diterima masuk oleh
masyarakat yang masih sangat menjunjung tinggi nilai adatnya. Selanjutnya Baiq Supiati, salah
satu narasumber dari kelompok Wetu Telu yang juga merupakan penjaga rumah adat, dan
dipercaya untuk menyiapkan ritual adat di Bale Panjenengan mengaku bahwa selama ini tidak ada
kelompok Islamis yang pernah datang ke desa dan menyalahkan kepercayaan Wetu Telu. Terkait
dengan potensi kehadiran kelompok Islamis yang bisa saja mengancam tradisi kepercayaannya
Baiq Supiati mengatakan, “Saya akan lawan bahkan jika saya harus berlari telanjang, karena ini
kepercayaan kami, kami tidak berani tidak melaksanakannya” (Baiq Supiati:2020). Ungkapan ini
adalah sebuah refleksi tertanamnya keyakinan kuat yang dipegang oleh kelompok Wetu Telu
dalam mempertahankan adat dan kepercayaanya sebagai bentuk pukulan balik kelompok adat
terhadap keberadaan kelompok Islam garis keras yang datang pada komunitas mereka.

486 | L a p o r a n A k h i r
Referensi

Picard, M., & Madinier, R. (Eds.). (2011). The politics of Religion in Indonesia: Syncretism,
orthodoxy, and religious contention in Java and Bali (Vol. 33). Routledge.
Budiwanti, Erni, Islam Sasak Wetu Telu Versus Waktu Lima (Yogyakarta: LKiS,), 2000.
Saparudin, Saparudin, and Emawati Emawati. "Masjid dan Fragmentasi sosial: pencarian
eksistensi Salafi di Tengah Mainstrem Islam di Lombok." (2018).
Knitter, Paul F. "Theologies of religions." Introducing Series, Maryknoll: Orbis (2002).
Aziz, Ahmad Amir. "Islam Sasak: Pola Keberagamaan Komunitas Islam Lokal di
Lombok." Millah: Jurnal Studi Agama 8.2 (2009): 241-253.
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, alih bahasa Aswab Mahasin,
Cet. 3, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989).
Yunanto, Ardi. Et al. (ed). 2011. Taring Padi: Seni Membongkar Tirani. Yogyakarta: Lumbung
Press.
Sucitra, I Gede Arya & Nadiyah Tunnikmah (ed). 2018. Taring Padi: Bara Lapar Jadikan Palu.
Yogyakarta: Galeri R.J. Katamsi ISI Yogyakarta.
Saloom, Gazi. "Dinamika Hubungan Kaum Muslim dan Umat Hindu di Pulau Lombok." (2009).
Persentase Penduduk Menurut Kabupaten/Kota dan Agama yang Dianut di Provinsi Nusa
Tenggara Barat 2016
(https://ntb.bps.go.id/statictable/2017/11/15/189/persentase-penduduk-menurut-kabupaten-kota-
dan-agama-yang-dianut-di-provinsi-nusa-tenggara-barat-2016.html)
Apriaman, Abdul Latief. “ Wayang Sasak Tumbuh di Bawah Bayang Kecurigaan.” Tempo.co:
2019. Acessed: 27 Februari 2020.
(https://travel.tempo.co/read/1227468/wayang-sasak-tumbuh-di-bawah-bayang-kecurigaan).
Apriaman, Abdul Latief. “ Wayang Sasak Juru Damai Perselisihan Warga.” Tempo.Co: 2019.
Acessed: 26 Februari 2020.
(https://travel.tempo.co/read/1227478/wayang-sasak-juru-damai-perselisihan-warga)
ISI Yogyakarta Cegah Pengaruh HTI ke Mahasiswa, diakses tanggal 29 Juli 2020 pukul 20.39
WIB
https://tirto.id/isi-yogyakarta-cegah-pengaruh-hti-ke-mahasiswa-cs9g
Penolakan Atas Kiprah HTI di Kampus ISI Yogyakarta, diakses tanggal 29 Juli 2020 pukul 20.39
WIB
https://www.voaindonesia.com/a/penolakan-atas-kiprah-hti-di-kampus-/3380446.html

487 | L a p o r a n A k h i r
Daftar Responden dalam Wawancara Penelitian
1. Muhammad Yusuf atau Cak Ucup (LBK Taring Padi)
2. Fitri (LBK Taring Padi)
3. Agus Setiadji (Kelompok Musik Dendang Kampungan)
4. Dian Adi MR (Kelompok Musik Serat Djiwa)
5. Fathur (Kelompok Musik Serat Djiwa)
6. Refli (Kelompok Musik Serat Djiwa)
7. Hitmen (Kelompok Musik Serat Djiwa)
8. Eki (Kelompok Musik Serat Djiwa)
9. Candra (Kelompok Musik Serat Djiwa)
10. Octalyna Puspa Whardani (Galeri Lorong)
11. Hasan Gawuk ( Kelompok Adat Bale Beleq Jerowaru)
12. Merte Jati ( Tokoh Adat Bale Beleq Jerowaru)
13. H. Zulkarnaen ( Bale Beleq Jerowaru)
14. Baiq Supiati ( Kelompok Adat Bale Beleq Panjenengan)
15. Mustaqim ( Bale Beleq Panjenengan)
16. Nuruddun ( Bale Beleq Jerowaru)
17. Kake Kholis ( Sekolah Pedalangan Wayang Sasak)
18. Kake Latif ( Sekolah Pedalangan Wayang Sasak)

488 | L a p o r a n A k h i r
489 | L a p o r a n A k h i r

Anda mungkin juga menyukai