Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH FILSAFAT

KONG HU CU

Oleh

Kelompok 10

Armita Syarifah Hanum Sucipto 2015730016


Dysha Hasya Muthi 2015730033
Gama Hermawan 2015730049
Hanifa Fajrin 2015730053
Khaerunnisa Gusti Auliana 2015730070
Nadia Indah Alvita 2015730096
Raden Luthfi Nur Fajri 2015730106
Rif’ah Naaimah 2015730111
Syifa Rahmawati 2015730
Utami Khairunnisa 2015730130
Tutor : Prof. Dr. dr. Syafri Bachri, M.Sc

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2015-2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan kesehatan, karunia,
rahmat, dan hidayah-Nya kepada kita semua. Hanya kepada-Nya kembali segala
sanjungan dan kepada-Nya kami memohon pertolongan dan ampunan, serta atas ridho-
Nya, penulis mampu menyusun makalah ini dengan baik, yang merupakan tugas kuliah.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari tidak dapat bekerja seorang
diri melainkan bekerja sama dengan berbagai pihak. Maka atas terselesaikannya makalah
ini, penulis meyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. dr. Syafri Bachri, M.Sc yang telah berkenan memberikan tugas ini.
2. Keluarga para penulis yang tidak lelah dan bosan memberi motivasi dan dukungan, baik
dukungan material maupun dukungan spiritual.
3. Semua pihak yang telah mendukung dan membantu sehingga penulis mampu
menyelesaikan tugas ini.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan tugas ini serta
tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
proses penulisan tugas ini. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca, Penulis juga berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan, khususnya dalam bidang
ilmu filsafat.

Cirendeu, 10 Juni 2016

Penulis

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................1
1.2 Tujuan..........................................................................................................................................1
1.2.1 Mengetahui bagaimana filsafat China berkembang.............................................................1
1.3 Rumusan Masalah........................................................................................................................1
1.2.2 Bagaimana perkembangan awal filsafat Cina?.....................................................................1
1.2.3 Bagaimana CIri filsafat Cina?..............................................................................................1
1.2.4 Siapa saja tokoh-tokoh yang berperan dalam filsafat Cina?.................................................1
1.2.5 Bagaimana periodesa atau perkembangan filsafat Cina?......................................................1
1.2.6 Bagaimana pemikir-pemikir aksial dan formasi sekolah-sekolah filsafat?...........................1
BAB 2 PEMBAHASAN.............................................................................................................2
2.1 Perkembangan Awal Filsafat Cina...............................................................................................2
2.2 Ciri-Ciri Filsafat Cina..................................................................................................................5
2.3 Tokoh-tokoh Filsafat Cina...........................................................................................................6
2.4 Periodisasi Filsafat Cina............................................................................................................11
2.5 Pemikir-Pemikir Aksial dan Formasi Sekolah-Sekolah Filsafat................................................20
BAB 3 PENUTUP...................................................................................................................23
3.1 Kesimpulan................................................................................................................................23
3.2 Saran..........................................................................................................................................23
Daftar Pustaka.........................................................................................................................24

iv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Filsafat Cina merupakan salah satu filasafat tertua di dunia, selain filsafat India
dan filsafat Barat, dan dipercaya menjadi salah satu filsafat dasar yang mempengaruhi
sejarah perkembangan filsafat dunia. Filsafat Cina sebagaimana filsafat lainnya
dipengaruhi oleh kebudayaan yang berkembang dari masa ke masa.

Ada tiga tema pokok sepanjang sejarah filsafat cina, yakni harmoni, toleransi dan
perikemanusiaan. Harmoni antara manusia dan sesama, manusia dengan alam, manusia
dengan surga. Selalu dicari keseimbangan antara keduanya. Toleransi terlihat dalam
keterbukaan terhadap pendapat-pendapat pribadi, suatu sikap perdamaian yang
memungkinkan suatu pluriformitas yang luar biasa, juga dalam bidang agama.
Perikemanusiaan, karena selalu manusia-lah yang merupakan pusat filsafat Cina, manusia
yang pada hakikatnya baik dan yang harus mencari kebahagiaannya di dunia ini dengan
memperkembangkan dirinya sendiri dalam interaksi dengan alam dan sesama manusia.

Selalu dicarikan keseimbangan, harmoni, suatu jalan tengah antara dua ekstrem:
antara manusia dan sesama, antara manusia dan alam, antara manusia dan surga.
Toleransi kelihatan dalam keterbukaan untuk pendapat-pendapat yang sama sekali
berbeda dari pendapat-pendapat pribadi, suatu sikap perdamaian yang memungkinkan
pluralitas yang luar biasa, juga dalam bidang agama. Kemudian, perikemanusiaan.
Pemikiran Cina lebih antroposentris daripada filsafat India dan filsafat Barat. Manusialah
yang selalu merupakan pusat filsafat Cina.

1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui bagaimana filsafat China berkembang.

1.3 Rumusan Masalah


1.2.2 Bagaimana perkembangan awal filsafat Cina?

1.2.3 Bagaimana CIri filsafat Cina?

1.2.4 Siapa saja tokoh-tokoh yang berperan dalam filsafat Cina?

1.2.5 Bagaimana periodesa atau perkembangan filsafat Cina?

1.2.6 Bagaimana pemikir-pemikir aksial dan formasi sekolah-sekolah filsafat?

1
BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Awal Filsafat Cina


Dalam memahami asal mula Filsafat Cina, ada 3 hal yang perlu diketahui.
Pertama, filsafat adalah sebuah usaha sadar untuk memformulasikan pandangan-
pandangan dan nilai-nilai sebagai ekspresi dari keyakinan fundamental sekelompok
orang. Karenanya filsafat tidak dapat dilepaskan dari latar belakang budaya dan tradisi
kelompok tersebut. Dalam hal ini adalah bahasa, seni, literatur, dan agama. Yang kedua,
filsafat sebagai sebuah aktivitas yang berkelanjutan haruslah dipandang sebagai sesuatu
yang muncul dari aktivitas praktis kehidupan yang berfokus pada pemecahan masalah
tentang pengetahuan yang benar, pemahaman asli, dan penghargaan yang wajar atas
berbagai masalah kehidupan, entah secara individu ataupun sosial. Yang ketiga adalah
lebih berupa konstruksi-konstruksi teoretis sebagai hasil pemikiran filosofis ataupun
kegiatan kultural dari suatu kelompok orang / masyarakat.
Pengertian “asal mula’ ini haruslah dilihat dalam konteks pandangan yang multi
dimensi dan plural. Karenanya untuk memahami asal mula filsafat cinapun, orang perlu
mengacu pada permasalahan tatanan yang dimunculkan, yakni historisitas, praktis, dan
teoretis. Ketiga hal ini harus dilihat dalam satu kesatuan. Selain itu perlu dipahami pula
bahwa pengalaman historis dan kultural ini memberi konteks bagi munculnya metodologi
dan kosmologi, yang kemudian dapat menerangkan pula tentang lahirnya bahasa dan
konstruksi filsafat. Pada akhirnya, filsafat itu kemudian memberi dampak bagi
perkembangan sosial dan kultural masyarakat. Dengan demikian, filsafat menjadi sebuah
sebuah self-refining, self-criticizing, dan juga sebagai proses pemenuhan diri atas tradisi
kultural.
Berdasarkan penemuan arkeologis, Cina Kuno itu sudah ada sebelum periode
Neolitik (5000 SM) baik di sebelah timur laut dan barat laut. Pada periode tersebut,
kehidupan komunitas suku berpusat pada penyembahan dewa-dewa leluhur dan dewa-
dewa alam. Yang dikenal pada periode ini adalah budaya Yangshao, Dawenko, Liangche,
Hungsan, benda-benda yang dikeramatkan dan tempat penyembahan.

Pada masa budaya Lungshan (2600 SM-2100 SM), yakni pada saat Raja Yao dan
Shun memerintah, kebudayaan Cina yang berpusat pada pengorbanan yang ditujukan
bagi roh-roh alam dan nenek moyang tersebar ke daerah Henan, Shandong dan Hubei.
Mereka terintegrasi dalam sebuah keadaan politis yang tersatukan, Xia. Ada juga tentang
praktek li (ritual) dalam bentuk penghormatan kepada nenek moyang sejak awal
sebagaimana diterangkan dalam Period of Jade.

Tradisi pemikiran filsafat di Cina bermula sekitar abad ke-6 SM pada masa
pemerintahan Dinasti Chou di Utara. Kon Fu Tze, Lao Tze, Meng Tze dan Chuang Tze

2
dianggap sebagai peletak dasar dan pengasas filsafat Cina. Pemikiran mereka sangat
berpengaruh dan membentuk ciri-ciri khusus yang membedakannya dari filsafat India dan
Yunani. Pada masa hidup mereka, negeri Cina dilanda kekacauan yang nyaris tidak
pernah berhenti. Pemerintahan Dinasti Chou mengalami perpecahan dan perang
berkecamuk di antara raja-raja kecil yang menguasai wilayah yang berbeda-beda.
Sebagai akibatnya rakyat sengsara, dihantui kelaparan dan ratusan ribu meninggal dunia
disebabkan peperangan dan pemberontakan yang bertubi-tubi melanda negeri. Tiadanya
pemerintahan pusat yang kuat dan degradasi moral di kalangan pejabat pemerintahan
mendorong sejumlah kaum terpelajar bangkit dan mulai memikirkan bagaimana
mendorong masyarakat berusaha menata kembali kehidupan sosial dan moral mereka
dengan baik.

Kaum bangsawan terpelajar ini telah tersingkir dari kehidupan politik dan
pemerintahan, karena pada saat negeri dilanda kekacauan dan perang yang diperlukan
ialah para jenderal dan pengambil kebijakan politik. Dinasti Chou sendiri telah lebih satu
abad memerintah negeri Cina. Pemerintahan mereka semula berjalan baik, tindakan
hukum berjalan sebagaimana diharapkan dan ketertiban telah terbangun dengan baik.
Dinasti Chou berhasil membangun tradisi pemikiran Cina yang selama berabad-abad
mempengaruhi pemikiran orang Cina. Misalnya kebiasaan menghormati leluhur dengan
melaksanakan berbagai upacara keagamaan dan kegemaran akan sejarah masa lalu.

Dalam upaya untuk mendapat legitimasi atas kekuasaannya Dinasti Chou


menafsirkan kembali sejarah Cina. Misalnya saja penaklukan yang dilakukannya atas
dinasti sebelumnya, Shang, dikatakan sebagai amanat dari dewa-dewa yang bersemayam
di Kayangan. Penguasa dinasti Shang dikatakan telah banyak melakukan kejahatan di
bumi sehingga tidak direstui oleh leluhur mereka, dan dewa-dewa di Kayangan
membencinya serta memberikan mandat kepada penguasa Dinasti Chou untuk
menggantikannya sebagai pemegang tampuk pemerintahan.

Dalam perkembangan selanjutnya ternyata penyelenggaraan upacara-upacara


menghormati leluhur itu lebih merupakan pemborosan. Sering sebuah upacara dilakukan
secara berlebihan untuk memamerkan kekayaan dari keluarga yang
menyelenggarakannya. Pemerintah pusat dan penguasa wilayah berlomba-lomba
memungut pajak yang tinggi, memeras rakyat dan menggiring mereka melakukan kerja
paksa. Para bangsawan, jenderal dan pejabat berlomba-lomba melakukan korupsi dan
penyelewengan, menimbun harta dan kekuasaan. Mereka saling menghasut sehingga
perpecahan tidak bisa dihindari lagi dan peperangan silih berganti muncul antara
penguasa wilayah yang satu dengan penguasa yang lain.

Dilatarbelakangi keadaan seperti itu filsafat Cina lebih banyak memusatkan


perhatian pada persoalan politik, kenegaraan dan etika. Kecenderungan inilah yang
membuat filsafat Cina memiliki ciri yang berbeda dari filsafat India, Yunani dan Islam.

3
Berbeda dengan filsafat Yunani, filsafat Cina Kuno memandang soal perubahan dan
transformasi sebagai sebuah sifat dunia yang tidak bisa direduksikan lagi, termasuk di
dalamnya benda-benda dan manusia itu sendiri. Ada perbedaan yang mencolok antara
Filsafat Cina dengan filsafat Barat. Filsafat Cina menekankan pada perubahan waktu dan
temporalitas, dan tidak hanya membedakan metafisika Cina tentang realitas dan alam dari
trend utama tradisi filsafat Barat tetapi juga dari orientasi filsafat India.
Bagi para filsuf Cina, pengalaman akan perubahan dalam dunia justru membuat mereka
masuk dalam alam dunia yang sejati dan dalam diri manusia sendiri. Di dalamnya, ada
kemungkinan bagi terjadinya perkembangan, transformasi, interaksi dan integrasi.
Dalam tradisi Zhou Yi, pengalaman akan perubahan dalam alam pada masa Cina Kuno
menjadi terorganisasi dan terartikulasi ke dalam sebuah sistem pemikiran dan penjelasan
tentang realitas. Pengorgansiasian dan pengartikulasian inipun tidak hanya memberikan
sebuah pandangan kosmologis mengenai dunia dimana manusia dapat menemukan
tempatnya yang layak dan peran yang layak, tetapi juga mengembangkan sebuah cara
pemikiran menuju dunia yang berintegrasi dan the self, dan perluasan makna fakta-fakta
dan penentuan nilai pemahaman. Karenanya, Zhou Yi sebagai sebuah pemikiran filsafat
Cina, memberikan sebuah cara pencapaian keseimbangan, sentralitas, harmoni dan
komprehensi seperti halnya dalam sebuah perkembangan transformatif, usaha kembali ke
sumber akhir mereka.

1. Berikut ini adalah beberapa aspek penting dari Zhou Yi sebagai sebuah cara
pemikiran dan juga tentang dampaknya terhadap filsafat Cina:
Zhou Yi berfokus pada totalitas dari realitas dan hal-hal yang mengembangkan
sebuah sistem realitas yang lengkap/komplit. Kelengkapan (complitness) ini
dimulai dari observasi dasar terhadap oposisi komplementer ataupun terhadap
polaritas sebagai penentu keseluruhan.
2. Zhou Yi berfokus pada harmoni sebagai suatu keadaan inseptif atas kreativitas
(sheng) dan pada harmonisasi sebagai the natural end state dari realitas dalam
sebuah proses perubahan dan transformasi.
3. Sudut pandang kosmologis ini juga memampukan kita untuk melihat dunia
sebagai ceaseless activity terhadap realisasi harmoni dan pada saat yang sama
sebagai suatu harmoni dalam beberapa tingkatan yang disiapkan bagi
perkembangan kreativitas selanjutnya.
Zhou Yi ini dapat menjadi hal praktis dalam menuntun keputusan dan
tindakan manusia. Salah satu tugas terpenting dari keputusan manusia dan
tindakannya adalah untuk mengetahui dan menguasai masa depan. Namun yang
jadi permasalahannya adalah bahwa karena masa depan itu belum terbentuk, lalu
bagimana kita dapat berharap untuk bisa mengetahuinya? Zhao Yi mengatakan
bahwa kita boleh menggambarkan masa depan dalam pengertian model onto-
cosmological dari pemahaman yang berdasarkan pada totalitas yin-yang dan
kecenderungan kreatifnya ke arah harmonisasi dan harmoni.

4
2.2 Ciri-Ciri Filsafat Cina

Pertama-tama karena masalah politik dan pemerintahan merupakan masalah


sehari-hari yang tidak dapat dihindarkan, maka filsafat Cina berkecendrungan
mengutamakan pemikiran praktis berkenaan masalah dan kehidupan sehari-hari.
Dengan perkataan lain ia cenderung mengarahkan dirinya pada persoalan-persoalan
dunia. Para ahli sejarah, mengemukakan beberapa ciri yang muncul akibat
kecenderungan tersebut, adalah:

1. Dalam pemikiran kebanyakan orang Cina antara teori dan pelaksanaannya tidak dapat
dipisahkan. Dengan demikian pemikiran spekulatif kurang mendapat tempat dalam
tradisi filsafat Cina, sebab filsafat justru lahir karena adanya berbagai persoalan yang
muncul dari kehidupan yang aktual.

2. Secara umum filsafat Cina bertolak dari semacam ‘humanisme’. Tekanannya pada
persoalannya kemanusiaan melebihi filsafat Yunani dan India. Manusia dan
perilakunya dalam masyarakat dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan menjadi
perhatian utama sebagian besar filosof Cina.

3. Dalam pemikiran filosof Cina etika dan spiritualitas (masalah keruhanian) menyatu
secara padu. Etika dianggap sebagai intipati kehidupan manusia dan sekaligus tujuan
hidupnya. Di lain hal konsep keruhanian diungkapkan melalui perkembangan jiwa
seseorang yang menjunjung tinggi etika. Artinya spiritualitas seseorang dinilai
melalui moral dan etikanya dalam kehidupan sosial, kenegaraan dan politik.
Sedangkan inti etika dan kehidupan sosial ialah kesalehan dan kearifan.

4. Meskipun menekankan pada persoalan manusia sebagai makhluk sosial, persoalan


yang bersangkut paut dengan pribadi atau individualitas tidak dikesampingkan.
Namun demikian secara umum filsafat Cina dapat diartikan sebagaoi ‘Seni hidup
bermasyarakat secara bijak dan cerdas’. Kesetaraan, persamaan dan kesederajatan
manusia mendapat perhatian besar. Menurut para filosof Cina keselerasan dalam
kehidupan sosial hanya bisa dicapai dengan menjunjung tinggi persamaan, kesetaraan
dan kesederajatan itu.

5. Filsafat Cina secara umum mengajarkan sikap optimistis dan demokratis. Filosof
Cina pada umumnya yakin bahwa manusia dapat mengatasi persoalan-persoalan
hidupnya dengan menata dirinya melalui berbagai kebijakan praktis serta menghargai
kemanusiaan. Sikap demokratis membuat bangsa Cina toleran terhadap pemikiran
yang anekaragam dan tidak cenderung memandang sesuatu secara hitam putih.

5
6. Agama dipandang tidak terlalu penting dibanding kebijakan berfilsafat. Mereka
menganjurkan masyarakat mengurangi pemborosan dalam penyelenggaraan upacara
keagamaan atau penghormatan pada leluhur.

7. Penghormatan terhadap kemanusiaan dan individu tampak dalam filsafat hukum dan
politik. Pribadi dianggap lebih tinggi nilainya dibanding aturan-aturan formal yang
abstrak dari hukum, undang-undang dan etika. Dalam memandang sesuatu tidak
berdasarkan mutlak benar dan mutlak salah, jadi berpedoman pada relativisme nilai-
nilai.

8. Dilihat dari sudut pandang intelektual, Para filosof Cina berhasil membangun etos
masyarakat Cina seperti mencintai belajar dan mendorong orang gemar melakukan
penelitian mendalam atas segala sesuatu sebelum memecahkan dan melakukan
sesuatu. Demikianlah pengetahuan dan integritas pribadi merupakan tekanan utama
filsafat Cina. Aliran pemikiran, teori dan metodologi apa saja hanya bisa mencapai
sasaran apabila dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan luas dan
integratitas pribadi yang kokoh.

2.3 Tokoh-tokoh Filsafat Cina


1. Kong Hu Cu

Kong Hu Cu Lahir sekitar tahun 551 SM di kota kecil Lu, kini masuk wilayah propinsi
Shantung di timur laut daratan Cina. Dalam usia muda ditinggal mati ayah, membuatnya
hidup sengsara di samping ibunya. Saat beranjak dewasa ia menjadi pegawai negeri kelas
bawah, enambelas tahun kemdian ia menjadi guru sambil sedikit demi sedikin mencari
pengaruh dan pengikut filosofinya.

Meninjak umur lima puluh tahun , bintang Kong Hu Cu mulai bersinar karena ia mendapat
jabatan tinggi di pemerintahan kota Lu, namun akibat fitnah dari orang yang tidak
menyukainya, ia kemudian di copot jabatannya, diadili dan diusir dari kota.kemudian, ia
berkelana ke berbagai wilayah, menjadi guru dan menyebar ajarannya sampai ia wafat, yakni
tahun 479 SM
Kong Hu Cu hidup pada zaman Dinasti Chou, sebuah era dimana kehidupan intelektual
di China sedang mencapai masa keemasan. Kong Hu Cu merupakan filusuf besar Cina
sekaligus orang pertama yang membangun kepercayaan dan pemikiran bangsa Cina. Kong
Hu Cu merupakan pendiri konfusianisme, konfusianisme adalah suatu semacam pikiran
filsafat bukan agama, namun dalam masyarakan feodal, konfusianisme dijunjung tinggi
sebagai pikiran ortodok dan mempuyai kedudukan terhormat.
Ada dua nilai yang teramat penting, kata Kong Hu-Cu, yaitu “Yen” dan “Li:” “Yen” sering
diterjemahkan dengan kata “Cinta,” tapi sebetulnya lebih kena diartikan “Keramah-tamahan

6
dalam hubungan dengan seseorang.” “Li” dilukiskan sebagai gabungan antara tingkah laku,
ibadah, adat kebiasaan, tatakrama dan sopan santun.
Menurutnya penguasa dan rakyat harus berpegang teguh. Karena iu Kong Hu
Cumengharapkan agar seni memerintah tidak dilakukan dengan main bentak.
Konfisianisme menjadi filsafat resmi di Cina setelah era Dinasti-Han. Dan akhirnya banyak
intelektual Cina yang mendalami serta mempelajari filsafat Kong Hu Cu selain itu
pemerintahan di Cina berpegang pada ajaran Kong Hu Cu pada tahun 100 SM-1900 M.
Konfusianisme yang menekankan rangkaian kewajiban-kewajiban yang ditujukan kepada
pribadi-pribadi ketimbang menonjolkan hak-haknya -rasanya sukar dicerna dan kurang
menarik bagi ukuran dunia Barat. Sebagai filosofi kenegaraan tampak luar biasa efektif.
Diukur dari sudut kemampuan memelihara kerukunan dan kesejahteraan dalam negeri Cina
dalam jangka waktu tak kurang dari dua ribu tahun, jelaslah dapat disejajarkan dengan
bentuk-bentuk pemerintahan terbaik di dunia.

2. Meng Tse (Mencius) ± 371 SM - ± 289 SM

Filosof Cina Meng-Tse (Mencius) adalah pengganti Kong Hu-Cu. Ajaran-ajarannya,


seperti apa yang dibentangkan dalam buku Book of Mencius, sangat dihargai di Tiongkok
selama berabad-abad. Dia sering dijuluki "The Second Sage," manusia bijak kedua, yaitu
kebijakannya jatuh nomor dua sesudah Kong Hu-Cu yang berjangka selisih dengannya
sekitar 2000 tahun.
Meng-Tse dilahirkan sekitar tahun 371 SM di negeri kecil Tsou, yang kini berada di
provinsi Shantung. Masa ia dilahirkan, babak akhir dinasti Chou, disebut oleh orang Cina
dengan julukan "Masa perang antar negeri," berhubung Cina secara politis waktu itu terpecah
belah. Meng-Tse, meskipun dia berada di belakang tradisi Kong Hu-Cu dan senantiasa jadi
pendukung gigih teori-teori dan gagasan Kong Hu-Cu, akhimya dihormati selaku cerdik
pandai dan filosof atas daya kreasi dan karya pikirnya sendiri.
Meng-tse menghabiskan banyak masa dewasanya melakukan perjalanan di seputar dalam
negeri Cina dan menawarkan nasihatnya kepada pelbagai penguasa. Beberapa penguasa
mendengarkan dengan penuh hormat kepadanya, dan untuk beberapa saat dia menjadi pejabat
pemerintah Ch'i; tetapi secara pukul rata dia tidak punya posisi permanen ataupun pembuat
keputusan. Di tahun 312 SM, saat umurnya sekitar lima puluh sembilan tahun, dia kembali ke
kampungnya di negeri Tsou dan tinggal menetap di situ sampai mati. Kapan dia mati tidak
jelas, mungkin sekitar tahun 289 SM.
Meng-tse mengumpulkan pengikut-pengikut selama masa hidupnya, tetapi pengaruhnya
atas Cina sebagian terpokok karena Book of Menciusnya, di mana tertera ajaran-ajarannya.
Meskipun buku itu bisa jadi sudah mengalami pelbagai perbaikan oleh pengikut-pengikutnya,
kecil sekali keraguan bahwa pokok-pokoknya mencerminkan ide-ide Meng-tse sendiri.
Citra Book of Mencius berwarna idealistis dan optimis, memantulkan keyakinan teguh
Meng-tse bahwa sifat manusia itu pada dasarnya baik: dalam banyak hal, ide politiknya
serupa dengan Kong Hu-Cu; khususnya, Meng-tse percaya benar bahwa seorang raja harus
memerintah pertama-tama lewat contoh moral daripada dengan kekuatan. Tetapi, Meng-tse
lebih mendekati "orang milik umum" daripada Kong Hu-Cu. "Langit melihat seperti rakyat

7
melihat, langit mendengar seperti rakyat mendengar," adalah salah satu pernyataannya yang
terbaik.
Meng-tse menekankan bahwa komponen paling penting dari tiap negara adalah rakyat,
dan bukannya penguasa. Adalah kewajiban penguasa memajukan kesejahteraan rakyat;
khususnya dia harus memberikan rakyat itu penuntun moral dan dengan kondisi yang layak
untuk hidupnya. Diantara politik pemerintahan dia menganjurkan: perdagangan bebas; pajak
ringan; pelestarian sumber alam; pemerataan kekayaan yang sama daripada keadaan
sekarang; dan persediaan pemerintah buat kesejahteraan orang-orang tua jompo dan orang
miskin. Meng-tse percaya bahwa kekuasaan seorang Raja berasal dari langit; tetapi seorang
Raja yang mengabaikan kesejahteraan rakyat akan kehilangan "mandat dari langit," dan akan
sepantasnya ditumbangkan. Berhubung bagian terakhir dari kalimat itu mengikis bagian
pertama, Meng-tse pada dasarnya menekankan (jauh sebelum John Locke), bahwa rakyat
punya hak memberontak melawan penguasa yang tidak adil. Ini merupakan ide yang diterima
secara luas di Cina.
Kini bicara secara umum, sepanjang hampir sepanjang sejarah, jenis politik yang
dianjurkan Meng-tse lebih populer di kalangan rakyat ketimbang di kalangan penguasa.
Karena itu janganlah heran bilamana usul Meng-tse tidak diterima oleh penguasa-penguasa
Cina pada masanya. Tetapi dalam perjalanan sang waktu, pandangan-pandangannya menjadi
semakin populer di kalangan sarjana-sarjana Kong Hu-Cu dan di kalangan rakyat Cina.
Reputasi Meng-tse, yang sudah tinggi, bahkan menjadi lebih besar di Cina disertai dengan
bangkitnya neo-Confucianisme di abad ke-11 dan ke-12.
Di Barat, tentu saja, Meng-tse tak punya pengaruh yang berarti. Ini disebabkan sebagian
dari kenyataan bahwa dia menulis dalam bahasa Cina. Tao Te Ching oleh Lao Tze yang
ditulis dalam bahasa Cina yang boleh dibilang bersamaan waktunya dengan Book of
Mencius, telah diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa Eropa berulang kali hanya karena
banyak orang menemukan ide yang dipaparkan di buku itu memancing rasa ingin tahu. Tetapi
relatif sedikit orang Barat telah menemukan Book of Mencius, khusus yang orisinal- atau
yang terpotong.
Mungkin kedengarannya menarik buat pemerintahan melibatkan dirinya dalam hal
kesejahteraan orang-orang jompo dan miskin dan cacad; juga kedengarannya menarik untuk
peroleh keringanan pajak. Tetapi, seorang politikus Amerika yang mengumumkan bahwa dia
mendukung kedua politik itu tanpa penjelasan yang lebih spesifik tampaknya tidak akan
peroleh dukungan kepercayaan baik oleh pihak liberal maupun konservatif. Sama halnya,
Meng-tse menunjukkan di satu pihak dia berpihak pada pemerataan kekayaan dan di lain
pihak menunjukkan persetujuannya terhadap perdagangan bebas dan pajak rendah tanpa
sampai pada pemecahan masalah seberapa jauh kemungkinan berjalannya pertentangan
diantara kedua politik itu. Ini mungkin kedengarannya sedikit tidak jujur bagi Meng-tse yang
bagaimanapun tidak menjadi calon untuk parlemen. Ini boleh dikemukakan oleh seorang
filosof yang menyuguhkan serentetan usul kebajikan (meskipun sebagiannya tidak konsisten)
secara umum, bahkan jika dia tidak secara khusus menunjukkan bagaimana pertentangan
antara kedua prinsip itu dipecahkan. Bagaimanapun, dalam jangka panjang, seorang filosof
seperti Machiavelli, yang mengutarakan pilihan jelas ketimbang Meng-tse punya pengaruh
lebih besar di pikiran manusia.

8
Tetapi, tulisan-tulisan Meng-tse telah betul-betul mempengaruhi orang Cina. Meskipun
arti pentingnya terhadap Confucianisme tidaklah mendekati kebesaran seperti St. Paul
terhadap Kekristenan (dalam satu hal Meng-tse kekurangan kesanggupan membujuk yang
sungguh luar biasa yang ada pada St. Paul untuk menarik orang menganut pahamnya), dia tak
diragukan lagi seorang penulis yang punya pengaruh mendalam. Selama kasarnya dua puluh
dua abad, ide-idenya dipelajari di seluruh daerah yang berpenduduk lebih dari 20% jumlah
penduduk dunia. Hanya sedikit filosof di mana pun punya pengaruh yang begitu besamya.

3. Lao Tse ± Abad Ke-4 SM

Dari beribu-ribu judul buku yang pernah ditulis di Cina, mungkin yang paling banyak
diterjemahkan dan dibaca di luar negeri itu adalah sebuah buku ditulis lebih dari 2000 tahun
yang lalu, terkenal dengan nama Lao Tse atau Tao Te Ching. Buku Tao Te Ching ini atau
"Cara lama dan Kekuatannya" adalah naskah utama di mana filosofi Taoisme diperinci.
Buku ini buku ruwet, ditulis dalam gaya khas yang luar biasa dan mampu menyuguhkan
pelbagai rupa penafsiran. Ide sentralnya berkaitan dengan masalah Tao yang lazim
diterjemahkan dengan "Jalan" atau "Jalur." Tetapi, konsepnya agak kabur, karena buku Tao
Te Ching sendiri dimulai dengan kalimat: "Tao yang akan dijelaskan bukanlah Tao yang
abadi; nama yang disebut di sini bukanlah nama yang abadi." Tetapi, dapatlah kita katakan
bahwa Tao berarti secara kasarnya "Alam" atau "Hukum Alam."
Taoisme beranggapan bahwa individu jangan bergulat melawan Tao melainkan harus
tunduk menghambakan diri dan bekerja bersamanya. (Seorang Taoist dapat menunjuk contoh
air yang lembutnya tak terbatas, yang mengalir tanpa protes menuju daratan rendah dan yang
tak melawan kekuatan selemah apa pun, tak terhancurkan, tetapi karang yang sekokoh apa
pun bisa luluh pada akhirnya).
Untuk seorang pribadi manusia, kesederhanaan dan kewajaran merupakan hal jadi
anjuran. Kekerasan harus dijauhi, seperti juga halnya bergulat untuk uang dan prestise. Orang
tidak boleh bernafsu mengubah, dunia, melainkan harus menghormatinya. Bagi
pemerintahan, langkah yang dianggap bijak adalah berbuat tidak begitu aktif, banyak
mengatur ini melarang itu. Apalagi, aturan dan batasan sudah kelewat banyak. Karena itu
menambah lagi undang-undang, atau memperkeras ketentuan-ketentuan lama yang sudah ada,
hanya mengakibatkan keadaan tambah buruk. Pajak yang tinggi, rencana-rencana pemerintah
yang terlalu ambisius, menggalakkan perang, kesemuanya ini berlawanan dengan filosofi
Taoisme.
Menurut tradisi Cina, penulis Tao Te Ching adalah seorang bernama Lao Tse yang
katanya sejaman tetapi lebih tua dari Kong Hu-Cu. Tetapi, Kong Hu-Cu hidup di abad ke-6
SM. Dan keduanya --baik dari sudut gaya maupun isi tulisan-- hanya sedikit ilmuwan masa
kini percaya bahwa Tao Te Ching ditulis pada masa begitu dini. Ada beda pendapat tentang
waktu yang sesungguhnya penyusunan buku itu. (Tao Te Ching sendiri tak pernah menyebut
nama orang tertentu, tidak juga tempat, tanggal, atau kejadian-kejadian historis). Tetapi,
tahun 320 SM merupakan perkiraan yang pantas-sebetulnya dalam waktu delapan puluh
tahun dari waktu yang sesungguhnya, dan mungkin lebih dekat lagi. Keluarga penganut
faham Taoisme memberi persembahan kepada bulan purnama menjelang musim gugur.

9
Masalah ini membuat suatu sengketa pendapat tajam mengenai waktu bahkan
menyangkut adanya Lao Tse sendiri. Sementara pihak yang berwenang percaya tradisi bahwa
Lao Tse hidup di abad ke-6 SM, karenanya berkesimpulan dia tidaklah menulis Tao Te
Ching. Sarjana-sarjana lain menganggap orang itu tak lebih dari tokoh dongeng belaka.
Pendapat saya sendiri, yang hanya disepakati oleh sebagian kecil sarjana, adalah sebagai
berikut:
(1) Lao Tse itu memang betul-betul ada orangnya dan memang penulis Tao Te Ching;
(2) dia hidup di abad ke-4 SM ;
(3) Cerita bahwa Lao Tse sejaman tetapi lebih tua dari Kong Hu-Cu adalah keterangan yang
dibikin-bikin, yang fiktif dan dikarang oleh filosof Taoist yang datang belakangan
sekedar untuk tujuan menambah prestise terhadap orangnya dan bukunya.
Baik dicatat, dari para penulis-penulis Cina terdahulu baik Kong Hu-Cu (551-479 SM),
atau Mo Ti (abad 5 SM), atau Meng-tse (371-289 SM) tak satu pun menyebut baik Lao Tse
maupun Tao Te Ching. Tetapi, Chuang Tse, seorang filosof Taoist kenamaan --yang muncul
sekitar tahun 300 SM menyebut nama Lao Tse berulang kali.
Karena soal ada atau tidaknya di dunia ini manusia yang namanya Lao Tse itu masih jadi
pertanyaan, selayaknya kita pun meragukan detail-detail biografinya. Tetapi, ada sumber
yang patut dihargai dalam bentuk pernyataan sebagai berikut: Lao Tse dilahirkan dan hidup
di Cina bagian utara. Sebagian dari masa hidupnya dia menjadi ahli sejarah atau seorang
pembimbing bagian arsip pemerintahan, besar kemungkinan di kota Loyang, ibukota kerajaan
dinasti Chou. Lao Tse bukanlah namanya yang sesungguhnya, melainkan sekedar panggilan
kehormatan yang secara kasarnya berarti "sesepuh." Dia beristri dan punya putera bernama
Tsung. Si Tsung ini kemudian jadi jendral di negeri Wei.
Meskipun Taoisme bermula dari falsafah sekuler, tetapi semacam gerakan keagamaan
berkembang dari sana. Tetapi, karena Taoisme sebagai sebuah filosofi melanjut atas dasar
khususnya gagasan yang tertuang dalam buku Tao Te Ching, "Agama Taoist" ini segera
diliputi dengan kepercayaan dan cara ibadah yang penuh takhyul yang sedikit sekali
kaitannya dengan ajaran Taoisme.
Berpegang pada dugaan bahwa Lao Tse adalah penulis sesungguhnya buku Tao Te
Ching, pengaruhnya betul-betul luas. Buku itu amat ringkas (isinya kurang dari 6000 huruf
Cina, karena itu masih kurang banyak untuk dimuat dalam selembar koran!), tetapi dia berisi
banyak buah pikiran yang mendalam. Seluruh barisan filosof Taoisme berpegang pada buku
ini selaku pangkal tolak dari ide-idenya sendiri.
Di Barat, Tao Te Ching jauh lebih populer ketimbang tulisan-tulisan Kong Hu-Cu atau
filosof Kong Hu-Cu yang mana pun. Nyatanya, sedikitnya ada empat puluh macam
terjemahan bahasa Inggris diterbitkan dari buku itu, lebih banyak dari terjemahan buku apa
pun, kecuali Injil.
Sedangkan di Cina, faham Kong Hu-Cu umumnya merupakan falsafah anutan yang
dominan, dan jelas ada pertentangan antara buah pikiran Lao Tse dengan Kong Hu-Cu.
Kebanyakan orang Cina menganut faham yang disebut belakangan itu. Tetapi Lao Tse secara
pukul rata dihargai tinggi oleh para penganut Kong Hu-Cu. Dan lebih dari itu, dalam banyak
hal, ide-ide Taoisme dibaur begitu saja dengan ide-ide Kong Hu-Cu, karena itu berpengaruh
terhadap berjuta-juta orang walau tidak menamakan dirinya Taoist. Begitu pula, Taoisme
punya pengaruh yang jelas terhadap perkembangan filosofi Buddha di Cina, khususnya

10
terhadap Buddha Zen. Kendati sedikit orang sekarang menyebut dirinya Taoist, tak ada
seorang filosof Cina kecuali Kong Hu-Cu yang punya pengaruh begitu luas dan begitu
mantap jalan pikiran manusia seperti halnya Lao Tse.

2.4 Periodisasi Filsafat Cina


Pokok pemikiran dari filsafat dan kebudayaan Cina adalah perikemanusiaan.
Filsafat Cina lebih pragmatis dengan mengajarkan bagaimana harus bertindak supaya
keseimbangan antara dunia dan surga tercapai. Ketika kebudayaan Yunani masih
berpendapat bahwa semua makhluk dikuasai oleh suatu nasib buta (Moira), dan ketika
kebudayaan India masih mengajarkan bahwa kita di dunia ini tertahan dalam roda
reinkarnasi yang terus-menerus, maka di Cina sudah diajarkan bahwa manusia sendiri
dapat menentukan nasib dan tujuannya.

Pada perkembangan melewati rentan waktu panjang yang dilalui Filsafat di Cina,
disini Filsafat Cina dapat dikategorikan ke dalam empat periode besar, yaitu: Zaman
Klasik (600 – 200 SM), zaman Neo-taoisme dan Buddhisme (200 SM – 1000 M), zaman
Neo-konfusianisme (1000 – 1900 M) dan zaman Modern (setelah 1900).

I. Zaman Klasik (600 – 200 SM)


Menurut tradisi, periode ini ditandai oleh seratus sekolah filsafat, seratus aliran
yang semuanya mempunyai ajaran yang berbeda. Namun, kelihatan juga sejumlah
konsep yang dipentingkan secara umum, misalnya “tao” (jalan), “te” (keutamaan atau
seni hidup), “yen” (perikemanusiaan), “i” (keadilan), “t’ien” (surga) dan “yin-yang”
(harmoni kedua prinsip induk, prinsip aktif-laki-laki dan prinsip pasif-perempuan).
Sekolah-sekolah terpenting dalam jaman klasik adalah: Konfusianisme

a. Konfusianisme
Kong Hu Cu merupakan seorang filosof besar Cina. Dialah orang pertama
pengembang sistem yang memadukan alam fikiran dan kepercayaan orang Cina
yang paling besar filosofinya menyangkut moralitas orang perorang dan konsepsi
suatu pemerintahan tentang cara-cara melayani rakyat dan memerintahnya lewat
tingkah laku teladan yang sekarang telah menyerap dalam kehidupan dan
kebudayaan orang Cina selama lebih dari dua ribu tahun. Dari pengaruh
pemikiran inilah Confusianisme banyak menghasilkan para intelektual di Cina,
dan pengaruh intelektualnya ini berpengaruh terhadap sebagian penduduk di
dunia.
Konfusius (bentuk Latin dari nama Kong-Fu-Tse, “guru dari suku Kung”)
hidup antara 551 dan 497 SM di daerah Lu,di Shantung. Ia mengajarkan bahwa
Tao (“jalan” sebagai prinsip utama dari kenyataan) adalah “jalan manusia”.
Artinya: manusia sendirilah yang dapat menjadikan Tao luhur dan mulia, kalau ia
hidup dengan baik. Keutamaan merupakan jalan yang dibutuhkan. Kebaikan

11
hidup dapat dicapai melalui perikemanusiaan (“yen”), yang merupakan model
untuk semua orang. Secara hakiki semua orang sama walaupun tindakan mereka
berbeda.. Dalam bahasa Mandarin aliran ini disebut 儒家 Rujia. Rujia memang
sering diartikan sebagai filsafat Khonghucu. Sebenarnya Rujia berarti filsafat
cendikiawan, Ru sendiri berarti cendikiawan atau sarjana.
Pada usia muda, yakni 17 tahun, Konfusius diangkat menjadi pengawas kerajaan,
sebagai pemilik ladang gandum umum dan lumbung pangeran, kemudian menjadi
Kepala Peternakan. Ia seorang yang suka belajar. Pada usia 22 tahun ia mulai
mengajar. Setahun kemudian ia ditinggalkan ibunya. Menurut adat, ia harus
mengundurkan diri dari keramaian untuk berduka cita selama tiga tahun. Keadaan
kacau pada masa itu menyebabkan ia tidak taat pada adat. Sikap Konfusius sangat
dihormati, terutama oleh murid-muridnya yang setia. Selama berduka cita, yaitu
selama tiga tahun itulah ia mendalami kesusastraan, sejarah, dan adat istiadat dari
zaman Wen sampai Mu yang tersimpan dalam perpustakaan kerajaan.
Konfusius yakin bahwa untuk mengamankan keadaan, maka harus kembali pada
jalan yang telah ditempuh oleh yao dan Shun,yaitu dengan jalan berbakti dan setia. Ia
belajar lagi dari semua buku-buku yang ada tentang agama, adat, sastra, sejarah, musik,
dan lain-lain. Kemudian semuanya itu digubah dan disadur sehingga berbentuk pedoman
hidup bangsa Cina. Setelah habis masa duka citanya ia mengunjungi loyang yang
dibangun oleh Pangeran Chou. Ia mulai lagi mengajarkan pada murid-muridnya tentang
sejarah, kesusastraan, perihal upacara, musik syair, dan terus mencatat segala hal yang
berarti dan diketahuinya dalam tulisan yang berjudul “The Books of History (Shang Shu),
The pring and Autum Annals, The Books of Rites, dan The Book of Song.

Filsafat Confusianisme dan Pengaruhnya


Pemikiran Confusianisme yang didasarkan atas prinsip keseimbangan yin dan
yang. Prinsip keseimbangan menjadi hal utama yang dibahas sehingga keseimbangan
yang mengatur hidup kita juga seimbang. Dengan aturan keseimbangan ini memberikan
dampak yang begitu besar khususnya bagi masyarakat Cina.

Konfusius menganjurkan agar orang belajar dan mempraktekan apa yang


dipelajari sehingga menjadi seorang intelektual yang lengkap, orang seperti ini beliau
sebut sebagai Qun Zi atau seorang intelektual-bijaksana,selain itu dia harus tatap tenag
dalam segala situasi agar dapat menyelesaikan persoalan-persoalan penghidupan dengan
rasional. Ajaran Confusianisme mengajarkan bahwa kita harus bisa mengatur harta yang
baik terutama pendidikan anak-anak. Unsur pendidikan ini dalam Confusianisme karena
para cendikiawan dihormati jauh lebih tinggi dibandingkan kekayaan.

Itulah sebabnya di Amerika saat ini kebanyakan mahasiswa peringkat atas


diduduki oleh orang-orang dari Hong Kong, Cina, Taiwan, Singapore, Korea, dan Jepang
yang ternyata negara-negara tersebut dipengaruhi ajaran Confusianisme.

12
Kemudian ajaran Confusianisme berdampak pula pada ekonomi Cina itu sendiri.
Dengan adanya konsep kerja keras dan kekerabatan yanmg dijunjung tinggi, merupakan
jaminan link keberhasilan ekonomi masyarakat Cina secara keseluruhan. Selain itu faktor
kecintaan terhadap negara induk (RRC), menjadi sebuah motivasi besar bagi mereka,
untuk berusaha seoptimal mungkin agar mampu memberikan kontribusi bagi negaranya
tersebut, sekalipun mereka hidup di negara orang lain.

Secara ekonomi Cina memang mempunyai kompeten yang besar, bahkan


Amerika sekalipun segai sebuah negara super power merasa riskan dengan keberadaan
Cina tersebut. Selain faktor kerja keras, kekerabatan, faktor jumlah penduduk yang besar
dan tersebar dimana-mana mempunya andil besar dalam roda perekonomian Cina.
Kemudian daripada itu, tradisi kultural yang lekat dengan kehidupan orang Cina,
merupakan faktor penetralisir, serta pendorong upaya pencerahan bagi kehidupan yang
jauh lebih baik.

Bagi orang Cina sendiri keberadaan faktor ekonomi secara otomatis merupakan
faktor pendukung majunya pendidikan (kemajuan intelektual). Filsafat Timur dianggap
lebih magis dan bersifat irasional. Namun, ajaran Confusianisme yang termasuk filsafat
Cina ini yang sebenarnya bukan aliran agama, tetapi aliran falsafah hidup yang tidak
mengesampingkan dasar-dasar kepercayaan lama, sehingga mampu memelihara
kerukunan dan kesejahteraan dalam negeri Cina dalam waktu tak kurang dari dua ribu
tahun.
Orang Barat mengangap filsafat pemikiran Timur terutama Cina tidak selalu
bersifat rasio (irasional), namun dari uraian pengaruh confusianisme di atas terlihat jelas
bahwa pemikiran confusianisme ini bersifat nalar rasional karena pemikiran ini sesuai
dengan kehidupan sehari-hari orang Cina.

Namun, pendapat tersebut bisa dibantah ternyata pada masa kejayaan Eropa 300
tahun yang lalu, banyak sarjana dan kaum intelektual terinspirasi oleh ajaran Khonghucu.
salah satu diantara mereka adalah Gottfried Wilhelm Von Leibniz, bahkan mengusulkan
pada tahun1689 suatu program pertukaran budaya Timur-Barat, mungkin usul pertukaran
budaya ini merupakan pertukaran pertama internasional. dari pertukaran budaya diatas
terlihat bahwa sekarang ini filsafat cina tidak lagi magis dan Irrasional, malahan filsafat
Confusianisme ini bisa mempengaruhi perkembangan pemikiran di dunia.

b. Taoisme
Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (“guru tua”) yang hidup sekitar 550 S.M. Lao
Tse melawan Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan “jalan manusia” melainkan “jalan
alam”lah yang merupakan Tao. Tao menurut Lao Tse adalah prinsip kenyataan objektif,
substansi abadi yang bersifat tunggal, mutlak dan tak ternamai. Ajaran Lao Tse lebih-
lebih metafisika, sedangkan ajaran Konfusius lebih-lebih etika. Puncak metafisika
Taoisme adalah kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao. Kesadaran ini juga

13
dipentingkan di India (ajaran “neti”, “na-itu”: “tidak begitu”) dan dalam filsafat Barat (di
mana kesadaran ini disebut “docta ignorantia”, “ketidaktahuan yang berilmu”).
Taoisme di sini adalah Daojia (=filsafat Jalan/Tao). Mula-mula oleh Sima Tan
aliran ini disebut Daodejia (filsafat jalan dan kebajikan), belakangan disebut Daojia.
Harap dibedakan pengertiannya dengan Daojiao (agama Tao). Umumnya keduanya
sama2 ditulis dalam bahasa Inggris sebagai Taoism. Daojia juga harus dibedakan dengan
Daoxue, yang merupakan aliran kebangkitan Rujia baru yang muncul ketika Dinasti
Song. Sebagai suatu ajaran filosofis, Taoisme terus berkembang sampai abad kedua
sebelum Masehi. Filsafat Taoisme juga terdiri dari aliran Chuang Tzu dan Huang Lao. Di
dalam ajaran-ajaran awal tentang Taoisme ini, Tao dipandang sebagai “sumber yang unik
dari alam semesta dan menentukan semua hal; bahwa semua hal di dunia terdiri dari
bagian yang positif dan bagian yang negatif; dan bahwa semua yang berlawanan selalu
mengubah satu sama lain; dan bahwa orang tidak boleh melakukan tindakan yang tidak
alami tetapi mengikuti hukum kodratnya.” Sikap pasrah terhadap hukum kodrat dan
hukum alam ini disebut juga sebagai wu-wei.
Di dalam masyarakat Cina kuno, filsafat dan agama belumlah dibedakan secara
tegas. Sejak Taoisme mulai dikenal di dalam dunia berbahasa Inggris, pembedaan antara
Taoisme sebagai filsafat dan Taoisme sebagai agama belumlah ada. Pada pertengahan
1950, para ahli sejarah dan Filsafat Cina berpendapat bahwa ada perbedaan tegas di
antara keduanya, walaupun memang keduanya berdiri di atas tradisi yang sama. Marcel
dan Granet dan Henri Maspero adalah orang-orang yang melakukan penelitian mendalam
di bidang ini.
Memang, ada keterkaitan erat antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme. Para
filsuf Tao sendiri dianggap sebagai pendiri Taoisme, baik sebagai filsafat maupun sebagai
agama. Buku paling awal yang memuat ajaran Tao ini berjudul Classic of Great Peace
(T’ai-p’ing Ching) yang dianggap merupakan tulisan tangan langsung dari Lao Tzu.
Dalam arti tertentu, Lao Tzu sendiri seringkali dianggap sebagai „dewa“. Ia punya
beberapa julukan, seperti „Saint Ancestor Great Tao Mysterious Primary Emperor“, dan
yang memiliki status sebagai Dewa“ (The Divine) itu sendiri.
Perbedaan dasar antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga terletak
pemahaman tentang tujuan dari keberadaan manusia itu sendiri. Para filsuf Taois
berpendapat bahwa tujuan setiap orang adalah mencapai transendensi spiritual. Oleh
sebab itu, mereka perlu menekuni ajaran Tao secara konsisten. Sementara, para pemuka
agama Taoisme berpendapat bahwa tujuan setiap manusia adalah untuk mencapai
keabadian, terutama keabadian tubuh fisik (physical immortality) yang dapat dicapai
dengan hidup sehat, sehingga bisa berusia panjang. Pada titik ini, kedua ajaran Taoisme
ini berbeda secara tajam. Para filsuf Taoisme berpendapat bahwa usia panjang itu
tidaklah penting. “Hanya orang-orang yang tidak mencari kehidupan setelah mati”,
demikian tulis Lao Tzu di dalam Tao Te Ching pada bagian ke-13, “yang lebih bijaksana
di dalam memaknai hidup.” Di dalam beberapa tulisannya, Chuang Tzu menyatakan,

14
“Orang-orang Benar pada masa kuno tidak mengetahui apapun tentang mencintai
kehidupan, dan mereka juga tidak mengetahui apapun tentang membenci kematian.” Lao
Tzu juga menambahkan, “Hidup dan mati sudah ditakdirkan – sama konstannya dengan
terjadinya malam dan subuh… manusia tidak dapat berbuat apapun tentangnya.”
Jelaslah bahwa para filsuf besar Taoisme menyatakan bahwa orang tidaklah perlu untuk
memilih antara kehidupan atau kematian. Alih-alih hidup di dalam keresahan di antara
keduanya, orang harus melampaui perbedaan di antara keduanya. “Sikap transenden dari
filsafat Taoisme terhadap hidup dan kematian”, demikian tulis Xiaogan, “…..adalah
mengikuti alam dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak alamiah”. Sikap
mengikuti alam disebut juga sebagai tzu-jan, dan sikap pasif dengan tidak melakukan
tindakan-tindakan yang tidak alami disebut juga sebagai wu-wei. Kontras dengan itu,
Taoisme sebagai agama justru menekankan pentingnya keabadian jiwa sebagai prinsip
utama.
Filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga berbeda pendapat tentang bagaimana
seharusnya orang bersikap di hadapan penguasa politik. Filsafat Taoisme menolak tradisi
(antitraditional) dan berupaya melampaui nilai-nilai yang diakui bersama. Lao Tzu dan
Chuang Tzu bersikap kritis terhadap penguasa pada jamannya, dan juga terhadap nilai-
nilai Konfusianisme tradisional. Mereka berdua berpendapat bahwa masyarakat akan jauh
lebih baik, jika semua bentuk aturan, moralitas, hukum, dan penguasa dihapuskan. Di sisi
lain, para pemuka agama Taoisme sangat menghormati penguasa dan aturan-aturan
Konfusianisme. “Orang-orang yang hendak memiliki keabadian”, demikian tulis Ko
Hung (284-343), seorang pemuka agama Taoisme, “haruslah menempatkan kesetiaan
kepada penguasa dan kesalehan yang tulus kepada orang tua mereka… sebagai prinsip
dasar.” K’ou Ch’ien Chih, seorang pemuka agama Toaisme lainnya, juga berpendapat
bahwa setiap orang haruslah mempelajari Konfusianisme, serta secara aktif membantu
kaisar di dalam mengatur dunia.
Agama Taoisme memang memberikan perhatian besar pada kepentingan-kepentingan
praktis yang bersifat temporal. Jika filsafat Taoisme lebih bersifat individualistik dan
kritis, maka agama Taoisme dapat dipandang sebagai ajaran yang lebih bersifat sosial dan
praktis. Dalam arti ini, para filsuf Taoisme memiliki pengertian-pengertian yang agak
berbeda tentang konsep-konsep dasar Taoisme, seperti wu-wei, Tao, dan te, jika
dibandingkan dengan pengertian para pemuka agama Taoisme.

c. Yin-Yang
“Yin” dan “Yang” adalah dua prinsip induk dari seluruh kenyataan. “Yin” itu
bersifat pasif, prinsip ketenangan, surga, bulan, air dan perempuan, simbol untuk
kematian dan untuk yang dingin. “Yang” itu prinsip aktif, prinsip gerak, bumi, matahari,
api, dan laki-laki, simbol untuk hidup dan untuk yang panas. Segala sesuatu dalam
kenyataan kita merupakan sintesis harmonis dari derajat Yin tertentu dan derajat Yang
tertentu.

15
d. Moisme
Aliran Moisme didirikan oleh Mo Tse, antara 500-400 S.M. Mo Tse mengajarkan
bahwa yang terpenting adalah “cinta universal”, kemakmuran untuk semua orang, dan
perjuangan bersama-sama untuk memusnahkan kejahatan. Filsafat Moisme sangat
pragmatis, langsung terarah kepada yang berguna. Segala sesuatu yang tidak berguna
dianggap jahat. Bahwa perang itu jahat serta menghambat kemakmuran umum tidak
sukar untuk dimengerti. Tetapi Mo Tse juga melawan musik sebagai sesuatu yang tidak
berguna, dan oleh karenanya dianggap jelek. Etika Mo Tse mengenal prinsip yang antara
lain dalam agama kristen disebut kaidah emas: setiap orang harus memperlakukan
negara-negara asing seperti tanah air sendiri, keluaga lain seperti keluarga sendiri, orang
lain seperti dirinya sendiri. Perintah ini cukup untuk mencapai kebahagiaan dan
kemakmuran umum.
Sekolah Mo berakar dari para pendekar yang kehilangan posisi/jabatannya di
kerajaan dan kemudian menjadi pengembara (游侠/ yóuxiá). Adapun perbedaan pendapat
anatara konfusianis dan mohis adalah sebagai berikut: Para Konfusianis mementingkan
relasi yang tepat (Lǐ, tanpa memikirkan keberuntungan. Dari segi moral atau pendirian,
para Konfusianis mengutamakan kebenaran dan kemurnian, tanpa menghitung
keberhasilannya. Penganut Mo Tzŭ lebih pragmatis. Mereka mengutamakan secara
khusus keberuntungan (Lì) dan pencapaian (Kung). Dari bab ke-35 Mo Tzŭ mengatakan:
“penilaian standar harus dilakukan… Tanpa standar ini, pembedaan antara betul salah,
keberuntungan (li) dan keburukan, tidak bisa dilakukan. Maka setiap penilaian harus
diverifikasi… tentang dasarnya (adakah ia berdasarkan pola tindakan raja-raja kuno yang
bijaksana), pembuktiannya (adakah ia terbukti penting lewat keberuntungan bagi rakyat
jelata), dan aplikasinya (apakah memberi keberuntungan pada negara dan rakyat…”
Dengan demikian, tolok ukur kebenaran sebuah prinsip menurut Mo Tzŭ adalah
seberapa besar keberuntungan yang diberikan kepada negara dan rakyat jelata. Segala
sesuatu harus berguna, dan semua prinsip harus bisa diaplikasikan supaya menyumbang
sesuatu nilai secara mandiri. Maka sesuatu prinsip yang tidak bisa diejawantahkan
nilainya, ataupun tidak bisa diajarkan secara efektif kepada manusia lain untuk
mengejawantahkan nilainya, hanya rasio belaka. Tetapi pendirian Mo Tzŭ ini bertabrakan
dengan idealisme Konfusianis, yang mengutamakan pembentukan moralitas yang
mendukung tindakan seseorang, supaya bertindak mengikut apa yang benar, dan bukan
mengikut apa yang lebih bermanfaat.

d. Ming-Chia
Ming Chia atau “sekolah nama-nama”, menyibukkan diri dengan analisis istilah-
istilah dan perkataan-perkataan. Ming Chia, yang juga disebut “sekolah dialektik”, dapat
dibandingkan dengan aliran sofisme dalam filsafat Yunani. Ajaran mereka penting
sebagai analisis dan kritik yang mempertajam perhatian untuk pemakaian bahasa yang
tepat, dan yang memperkembangkan logika dan tatabahasa. Selain itu dalam Ming Chia
juga terdapat khayalan tentang hal-hal seperti “eksistensi”, “relativitas”, “kausalitas”,
“ruang” dan “waktu”.

16
e. Fa-Chia
Fa Chia atau “sekolah hukum”, cukup berbeda dari semua aliran klasik lain.
Sekolah hukum tidak berpikir tentang manusia, surga atau dunia, melainkan tentang soal-
soal praktis dan politik. Fa Chia mengajarkan bahwa kekuasaan politik tidak harus mulai
dari contoh baik yang diberikan oleh kaisar atau pembesar-pembesar lain, melainkan dari
suatu sistem undang-undang yang keras sekali.

f. Mencius dan Xunzi


Konfusianisme bermula dari ajaran Konfusius, tetapi kemudian dibangun dan
dikembangkan oleh Mencius dan Xunzi. Seperti Konfusius, Mencius mendasarkan
ajarannya pada Ren, tapi ia menyatakan bahwa untuk membina Ren harus dikembangkan
yi atau kebaikan. “Yang disimpan dalam hati adalah ren, yang dipakai dalam tindakan
adalah yi.” Jadi, ren adalah prinsip tepat untuk mengawasi gerak internal, sedangkan yi
adalah cara tepat untuk membimbing tindak eksternal.
Mencius mengritik Mohisme mengenai tata hubungan relasi. Mo Tzu
mengabaikan hierarki ini dengan menekankan kesamaan kedudukan dalam relasi. Yang
Tzu lebih menekankan diri sendiri. Ia menunjukkan bahwa karna tidak adanya hierarki ini
dan menekankan diri sendiri, Yang Tzu telah menentang rasa kemanusiaan dan keadilan
yang arah nyatanya peduli pada orang lain. Pada Mo Tzu tidak ada gradasi cinta (no
gradations of greater or lesser love). Lebih lanjut lagi, Ia menekankan Sistem Keluarga
yang diungkap Konfusius; yaitu sistim masyarakat Tionghoa, ada 5 jenis hubungan yaitu
Raja-Menteri, Ayah-Anak, Suami-Istri, Kakak-Adik, teman-teman.
Penggalang Konfusianis lainnya adalah Xunzi. Dia adalah eksponen prinsip
prinsip Konfusius, tapi pengkritik Mencius. Bila Mencius dapat dikatakan sebagai wakil
dari sayap idealistic, maka Xunzi merupakan wakil dari sayap realistic, karena ia
menekankan control social dan kodrat manusia itu buruk.

g. Daoisme
Lao Zi dan pengikutnya menduga bahwa ada yang salah dalam hakekat
masyarakat dan peradabannya. Mereka menganjurkan rakyat Cina untuk membuang
semua pranata dan konvensi yang ada. Mereka percaya bahwa manusia yang dulu
mempunyai suatu sorga kemudian hilang karena kekeliruannya sendiri, yaitu karna ia
mengembangkan peradaban. Menurut Lao Zi dan pengikut pengikutnya, cara terbaik
untuk hidup adalah menarik diri dari peradaban dan kembali kepada alam, dari keadaan
beradab ke keadaan alami. Inilah jalur pemikiran naturalistic yang dikenal sebagai
Daoisme yang menjunjung tinggi Dao dan alam.
Para penganut Daois memandang alam sebagai tempat mereka menarik diri,
mencita citakan hidup sederhana, dengan wu wei sebagai inti ajaran mereka. Tetapi
karena diantara mereka ada perbedaan dalam hal menafsirkan konsep Dao, muncullah
dua anak aliran. Yang satu dipelopori oleh Zhuang Zi, yang lainnya dipelopori oleh Yang
Zhu.

17
Sementara itu, Chuang Tzu memandang Dao sebagai totalitas dari spontanitas
segala sesuatu di alam semesta ini. Semua hal harus dibiarkan berkembang sendiri, secara
alami dan spontan, Akan tetapi Yang Tzu berpendapat bahwa Dao adalah suatu kekuatan
fisis yang buta. Dao menghasilkan dunia tidak atas dasar perencanaan atau kehendak,
tetapi atas dasar keniscayaan atau kebetulan. Pendapat ini merupakan pendapat yang
mewakili kaum materialistic Daoisme. Apapun perbedaannya, ajaran ajaran mereka
menekankan bahwa manusia harus cocok dan serasi dengan kodratnya dan puas dengan
apa adanya.

h. Han Fei Zi
Dalam Kitab han Fei Zi kita temukan suatu sintesa bulat dari gagasan kaum
Legalis berasal dari ajaran shi menurut Shen Dao, ajaran shu menurut Shen Buhai, dan fa
menurut Shang Yang. Han Fei memakai teori Xunzi tentang kodrat manusia dalam
upayanya mempertahankan bahwa hukum dan peraturan itu esensial dalam menjaga
tatanan social dan perdamaian .Han Fei juga memakai doktrin wu wei dari Laozi bagi
prinsip politiknya bahwa roda pemerintahan yang memakai hukum yang terperinci harus
berfungsi sendiri, tidak perlu ada campur tangan penguasa. Dengan demikian
menandakan bahwa mereka bertentangan langsung dengan kaum konfusianis, yang
menekankan nilai nilai etis dan pengaruh manusia.
Menurut Sima Tan (meninggal tahun 110 SM), keenam sekolah klasik tersebut
kadang dikatakan mereka berasal dari keenam golongan dalam masyarakat Cina,
yang terdiri dari:
a. Rujia: kaum ilmuwan
b. Daojia: kaum pertapa
c. Yinyangjia: para ahli ilmu gaib
d. Mojia: kaum ksatria
e. Mingjia: para pendebat
f. Fajia: ahli-ahli politik

II. Zaman Neo-Taoisme dan Buddhisme (200 SM-1000 M)


Bersama dengan perkembangan Buddhisme di Cina, konsep Tao mendapat arti
baru. Tao sekarang dibandingkan dengan “Nirwana” dari ajaran Buddha, yaitu
“transendensi di seberang segala nama dan konsep”, “di seberang adanya”. Transendensi
merupakan dasar dari dua unsurnya yang lain. Transendensi hendak menjadikan nilai-
nilai transendental (keimanan) sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban.
Transendensi menempatkan agama pada kedudukan yang sangat sentral.

18
III. Zaman Neo-Konfusianisme (1000-1900)

Dari tahun 1000 M. Konfusianisme klasik kembali menjadi ajaran filsafat


terpenting. Buddhisme ternyata memuat unsur-unsur yang bertentangan dengan corak
berpikir Cina. Kepentingan dunia ini, kepentingan hidup berkeluarga dan kemakmuran
material, yang merupakan nilai-nilai tradisional di Cina, sema sekali dilalaikan, bahkan
disangkal dalam Buddhisme, sehingga ajaran ini oleh orang dianggap sebagai sesuatu
yang sama sekali asing.
Neo-Konfusianisme adalah bentuk Konfusianisme yang terutama dikembangkan
selama Dinasti Song, tetapi aliran ini mulai nampak ke permukaan sudah sejak zaman
dinasti Tang lewat Han Yu dan Li ao. Mereka membuka cakrawala baru Neo-
Konfusianisme, yaitu dimensi kosmologis dalam refleksi mereka. Zhou Dunyi
merupakan tokoh yang tak boleh dilupakan. Kosmologi Zhou Dunyi merupakan
pengembangan butir-butir ajaran Apendiks dari Kitab Yi Jing dan dia memakai diagram
daois untuk ilustrasi dan membentuk ‘Tai Ji Tu dan Tai JI Shuo-nya. Selain Zhou Dunyi
masih ada Shao Yong (kosmologis lain yang mengembangkan ajarannya berdasar juga
Apendiks dari Kitab Yi Jing. Bedanya dengan Zhuo dia memakai 64 hexagram Yi Jing).
Sementara Zhang Zhai (kosmologis lain yang juga mengembangkan ajarannya berdasar
juga Apendiks dari Kitab Yi Jing. Namun dia menekankankan dan mengolah lebih jaug
gagasan Qi). Mewarisi ‘ke-satu-an’ dari segala dari Zhang Cai, itu yang dikembangkan
Cheng Hao menjadi filsafatnya. Ren = rangkuman dari: Yi, Li, Zhi dan Xin, pahami itu
dan tempa-tumbuhkan dengan ketulusan dan kecermatan, itulah segalanya. Secara
metafisis ada kesatuan antara semua yang ada. Gagasan tersebut kemudian
dikembangkan lebih lanjut oleh Lu Jiuyuan dan Wang Yangming yang pada akhirnya
membentuk sekolah Lu wang.

IV. Zaman Modern (setelah 1900)

Sejarah modern mulai di Cina sekitar tahun 1900. Pada permulaaan abad kedua
puluh pengaruh filsafat Barat cukup besar. Banyak tulisan pemikir-pemikir Barat
diterjemahkan ke dalam bahasa Cina. Aliran filsafat yang terpopuler adalah
pragmatisme, jenis filsafat yang lahir di Amerika Serikat. Setelah pengaruh Barat ini
mulailah suatu reaksi, kecenderungan kembali ke tradisi pribumi. Terutama sejak
1950, filsafat Cina dikuasai pemikiran Marx, Lenin dan Mao Tse Tung.
Inilah sejarah perkembangan filsafat China, yang merupakan filsafat Timur. Yang
termasuk kepada filsafat Barat misalnya filsafat Yunani, filsafat Helenisme, “filsafat
Kristiani”, filsafat Islam, filsafat jaman renaissance, jaman modern dan masa kini.

19
2.5 Pemikir-Pemikir Aksial dan Formasi Sekolah-Sekolah Filsafat
Perkembangan filsafat Cina pada periode dari tahun 475-221 SM merupakan
sebuah proses kreatif dimana dua tradisi kebudayaan muncul sebagai respons atas
perubahan sosial dan politik saat itu. Humanisme politis dan naturalisme organik adalah
dua posisi tipikal sebagaimana lebih lanjut dikembangkan dalam konfusianisme dan
Daoisme.

Mencius mengindentifikasikan persoalan sentral waktu sebagai stabilitas politis


dan sosial (ding). Persepsinya dan wawasannya dalam persoalan ini adalah bahwa dunia
ini akan “distabilisasikan oleh being unified” (ding-yu-yi). Persoalannya adalah
bagaimana dunia ini disatukan dan ditata menurut sebuah sistem prinsip-prinsip,
contohnya: tatanan Zhou atau Li.

Selain itu, dikatakan pula bahwa legalisme berkembang dari penyatuan dan
perbandingan berbagai sekolah filsafat pada awal-awalnya, seperti konfusianisme,
Mohisme, Daoisme. Dari konfusianisme berupa pengontrolan massa dengan otoritas dan
doktrin tentang alam jahat manusia (Hsun Tzu), dari Mohisme berupa prinsip kesamaan
dan utilirianisme, dari Daoisme berupa prinsip-prinsip non-aksi (wu-mei). Faktor
terpenting dari pemikiran legalis adalah pertimbangan dari kebutuhan mendesak untuk
pemerintahan yang tersentralisasi dan tersatukan. Selain empat sekolah tersebut, dalam
periode Cina klasik juga muncul nama-nama sekolah, seperti sekolah Yin-Yang Wu-
Xing, sekolah strategi Militer (Bing Jia), sekolah agronomi (Nung Jia) dan sekolah
Diplomatik (Zong Heng Jia).

Sekolah-sekolah filsafat ini mengetengahkan sebuah transformasi nilai-nilai dan


sebuah rekonstruksi tradisional, penciptaan standard baru ataupun paradigma baru. Karl
Jaspers menyebutnya sebagai abad aksial. Para filsuf yang dikenal berpengaruh pada
periode klasik sejarah cina ini adalah para pemikir aksial. Mereka menanggapi secara
kritis abad mereka dan terhadap dunia waktu mereka, dan yang mengembangkan arah-
arah dan visi-visi pada sebuah transformasi nilai untuk seluruh kemanusiaan. Ini adalah
sebuah integrasi kreatif dari li dan tradisi zhi. Apa yang disebut kreatif dalam wawasan
mereka itu ditarik dari keterlibatan eksistensial mereka dalam dunia dan kemnausiaan.

Beberapa ciri dari “pemikir aksial”:

a) Mereka disebut pemikir aksial apabila mereka memikirkan bagi dunia, sebuah
keseluruhan masyarakat, kelas sosial, sebuah lokalitas khusus dan dirinya.
b) Mereka mampu untuk menancapkan pengaruhnya pada generasinya dan generasi
sesudahnya dalam sebuah cara yang alami dan spontan. Tidak ada manuver
politik dalam mempengaruhi masyarakat. Pengaruh tersebut muncul melalui jalur
sosial dan kultural seperti: mengajar, lecturing dan percakapan atau dialog dalam
sebuah lingkungan intelektual ataupun yang berbasiskan akademis.

20
Ada beberapa macam tanggapan kritis di antara para filosof, yang mana masing-
masing mempresentasikan sebuah tindakan kritik dan evaluasi atas realitas sosial dan
politik.

 Tipe pertama tanggapan kritis adalah melepaskan realitas sosial dan politik dan dalam
pengertian untuk mengatasi realitas sosial politik untuk sesuatu yang sungguh
memang bersifat utopia 
 Tipe kedua adalah tanggapan konfusian atas rekonstruksi. Dalam basis pengalaman
kulturalnya dan refleksi historisnya, konfusius melihat adanya nilai yang menekankan
kembali tradisi li. Konfusius juga menekankan soal eksistensi dan kekuatan ren,
kekuatan dari transformasi moral atas individu manusia dalam relasinya dan transaksi
dengan yang lainnya. Ren dalam filsafat konfusius berarti kualitas yang menegaskan
kemanusiaan yang mempunyai kekuatan untuk mengembangkan kemanusiaan dari
pusat seorang individu ke sebuah komunitas melalui hubungan manusia yang tertata
dengan baik dan atas pertemanan yang harmonis.
Konfusius mengubah political ren ke dalam suatu moral and human ren. Ada 3
point yang ditunjukkan. Yang pertama, belas kasih dan kebajikan terhadap orang-orang
secara umum diperluas dengan melibatkan unsur perasaan dan tindakan pribadi individu
dalam masyarakat. Yang kedua, bukanlah penguasa itu sendiri yang mampu untuk
mempraktekan ren atau yang harus mempraktikannya. Semua manusia mampu
mempraktekkannya dan harus mempraktekannya supaya lebih manusiawi dan
dimanusiakan. Yang ketiga, ren harus dipandang sebagai kekuatan batin dari seorang
pribadi manusia, yang dapat dilatihkan dan yang membutuhkan adanya perhatian yang
konstan supaya dapat tumbuh ke dalam sebuah kesempurnaan.

Terkait dengan li (praktek), yi adalah esensi dari tindakan li. Dalam relasinya
dengan yi, li adalah realisasi dari pemikiran akan yi. Dalam relasinya dengan ren, yi
adalah objektivikasi dari ren. Dalam relasinya dengan yi, ren adalah kekuatan yi yang
memotivasi. Dengan demikian, ren adalah bentuk yang paling konkret dan sempurna dari
semua nilai keutamaan dan merupakan integrasi dari semua keutamaan

21
22
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Demikianlah perjalanan sejarah Filsafat Cina yang coba dirunut. Begitu banyak
kelemahan serta (mungkin) kesalahpahaman dalam memahami sejarah filsafat ini yang
memang tidak mudah apalagi begitu banyak istilah asing yang digunakan. Namun penulis
mencoba semaksimal mungkin untuk menguraikan dengan baik bagaimana perjalanan ini
mulai dari abstraksi dinasti Zhou hingga Neo konfusianisme. Pengaruh ajaran mereka
memainkan peranan penting sepanjang sejarah Cina bahkan hingga sekarang. Meski
terdapat sikap saling kritik antara filsuf satu dengan lainnya hal tersebut nyatanya telah
membentuk suatu atmosfer pemikiran Cina secara keseluruhan.

3.2 Saran
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu
penulis mengharap saran untuk dapat menjadi bahan masukan yang bermanfaat bagi
pihak-pihak terkait. Penulis juga berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
kepada pembaca, khususnya dalam ilmu filsafat. Penulis mengharapkan pembaca dapat
mengambil nilai-nilai positif dan dapat menjadi dasar untuk menerapkan dalam kehidupan
sehari-hari.

23
Daftar Pustaka
https://elqorni.wordpress.com/2014/05/29/filsafat-cina-the-origins-of-chinese-philosophy-by-
chung-ying-cheng/. Jumat, pukul 10.57 WIB.

24

Anda mungkin juga menyukai