Anda di halaman 1dari 7

Aila, Mama, dan Bunga Matahari

Gadis remaja berlari kecil memasuki rumahnya. Matanya memancarkan kebahagiaan tak
terkira.

“Mama! Mama!” panggil gadis itu.

Mendengar suara putrinya, seorang wanita paruh baya menghampiri ruang tamu. Ia
menggeleng gelengkan kepalanya melihat putrinya melompat lompat senang.

“Ada apa, Aila? Kok kayaknya seneng banget.” Tanya Gita, Mama Aila.

Remaja yang bernama Aila itu mengeluarkan piala dari kantong yang tadi dibawanya.

“Tada! Aila menang lomba matematika di sekolah. Aila pinter kan, Ma?”

Gita menatap bangga putrinya. Ia memeluk singkat Aila dan memberi kecupan singkat di
kening Aila.

“Putri Mama memang yang terbaik. Bentar, Mama mau kasih kamu hadiah dulu.” Gita
melenggang pergi setelah berucap.

Beberapa saat kemudian, Gita muncul dengan kedua tangan yang disembunyikan di balik
tubuhnya. Hal itu membuat Aila kepo.

“Itu apa, Ma?” tanya Aila.

Dengan perlahan, Gita menunjukkan sesuatu dari balik punggungnya.

“Tada! Bunga matahari untuk putri Mama yang pintar ini.” seru Gita sambil memamerkan pot
bunga matahari.

Mata Aila berbinar. “Wah, makasih, Mama. Aila sayang Mama.” Aila memeluk
Mamanya erat.

“Mama juga sayang Aila.”

Diam diam, Gita tersenyum miris. “Semoga saja Mama masih bisa melihat kesuksesanmu
di hari nanti, Nak.” Batin Gita
Gita sedang sibuk berhadapan dengan layar laptopnya. Oh ya, Gita berprofesi sebagai
seorang penulis yang karyanya banyak diminati orang. Tidak hanya itu, dia juga menjadi guru di
SMP swasta.

Tes…Konsentrasi Gita buyar begitu merasa ada yang menetes dari hidungnya. Darah.
Lagi lagi penyakitnya kumat.Gita menarik beberapa lembar tisu dan berusaha menghentikan
darahnya. Cukup banyak darah yang keluar. Gita menyandarkan kepalanya di kursi. Tangannya
memijit keningnya yang terasa pusing. Gita bersyukur. Setidaknya, ia masih diberi waktu untuk
melihat putrinya. Harapannya, ia diberi lebih banyak waktu untuk bersama Aila. Minimal,
sampai Aila lulus SMA.

Aila mengambil sapu di halaman rumahnya. Ia sendirian di rumah. Mamanya masih


mengajar.Selesai menyapu ruang tamu dan ruang tengah, mata Aila bertemu dengan kamar sang
Mama. Ia tersadar, sudah cukup lama ia tak memasuki kamar itu. Mamanya melarang Aila
membersihkan kamar beliau. Katanya, “Biar Mama saja yang membersihkan. Ini kan tanggung
jawab Mama. Tugas kamu cuma belajar.”

Tak dapat dipungkiri, akhir akhir ini Aila heran dengan kondisi Mamanya. Tak jarang ia
memergoki Mamanya memijit kening. Mamanya juga terlihat sangat lemas. Tapi sang Mama
menolak di bawa ke dokter. Akhirnya, Aila memutuskan untuk membersihkan kamar Mamanya.
Tidak ada yang aneh. Begitulah yang Aila rasa saat masuk ke kamar bercat putih itu.

Netra Aila terarah ke meja kerja Mamanya. Penasaran, ia menghampiri meja itu. Tak ada
yang aneh dengan berkas berkas di atas meja. Tangan Aila menarik sebuah laci. Keningnya
mengerut begitu netranya melihat amplop putih bertuliskan nama rumah sakit yang letaknya jauh
dari rumah. Tangan Aila terulur mengambil amplop itu, lalu membukanya perlahan.

Deg…..Jantung Aila seperti berhenti berdetak begitu membaca isi surat di amplop.
Leukimia stadium 2. Penyakit yang saat ini diderita sang Mama.

“A-Aila? Ka-kamu kok disini?”

“Mama.”

“Ya?” Gita berjalan pelan menghampiri sang putri. Matanya menangkap surat yang dipegang
Aila. Astaga, mati lah dia!
“Mau sampai kapan Mama sembunyiin penyakit Mama? Sampai kapan?”

“Aila. Mama-”

“Kalau Aila gak penasaran dan nemuin surat ini, mungkin selamanya Aila gak akan tahu.
Kenapa Mama sembinyiin? Kenapa?”

“Maaf, Aila.”

“Mama tau kan ini penyakit berbahaya. Penyakit yang bisa merenggut nyawa penderitanya.
Nggak. Aila gak mau kehilangan Mama. Aila cuma punya Mama.” Aila menangis.

Gita berusaha menahan tangisannya juga. Terkuak sudah rahasianya. Aila sendiri masih
tak percaya dengan kenyataan yang baru diketahuinya. Ia juga kecewa pada dirinya sendiri,
karena tidak peka dengan kondisi kesehatan Mamanya sendiri. Aila berlari ke kamar tidurnya. Ia
mengabaikan sang Mama yang terus menggumamkan kata maaf.

Brak!

Aila menutup kasar pintu kamarnya. Ia melompat ke kasur lalu menyembunyikan


wajahnya dengan bantal. Tangisan mulai terdengar di kamar itu. Tak jarang Aila menendang
nendang sprei dan selimutnya. Membuat kasur Aila berantakan. Gita yang mendengar suara
pintu Kamar Aila ditutup kasar, hanya terdiam di tempatnya. Perlahan, ia jatuh terduduk di
lantai. Lalu menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Menangis.

Dengan berbekal nasi goreng, cake pisang dan coklat panas, Gita menghampiri kamar
Aila. Gita terdiam sejenak menatap pintu kamar putrinya. Perlahan Gita menarik gagang pintu ke
bawah lalu mendorongnya. Terkunci. Gita mendesah pelan. Bagaimana cara dia masuk? Tidak
mungkin juga Aila mau membukakan pintu. Ah, dia coba dulu deh.

Tok tok tok

“Aila?”

Tak ada jawaban.

“Aila? Mama boleh masuk?” Gita kembali bertanya, namun lagi lagi tak ada jawaban.
“Aila, maafin Mama. Mama cuma gak mau penyakit Mama bikin kamu gak fokus belajar. Kamu
bilang mau kuliah di UGM, artinya nilai kamu harus bagus.”

Aila yang mendengar dari dalam kamar hanya mendesah kecewa. Kenapa sang Mama lebih
memprioritaskan nilai Aila dibanding kondisi kesehatannya sendiri?

“Kalau kamu gak mau bukain pintu gak apa apa. Mama taruh makan malam kamu disini, ya.
Dimakan. Jangan sampai maagmu kambuh.”

Aila mengangguk meski sang Mama tak bisa melihat anggukannya. Ia tak berani melihat
Mamanya. Bukan karena rasa kecewanya. Melainkan, Aila takut menangis jika melihat kondisi
sang Mama. Memprihatinkan. Gita berbalik. Ia pergi ke kebunnya. Lalu kembali dengan bunga
Matahari yang di potnya terdapat gulungan kertas.

Sepuluh menit kemudian, Aila yang tak tahan dengan rasa lapar yang merajalela,
membuka pintu kamarnya. Bisa ia lihat sepiring nasi goreng, cake pisang, coklat panas, dan
bunga matahari. Aila membawa semuanya ke dalam kamar. Lalu kembali mengunci pintu.
Netranya teralihkan oleh gulungan kertas di pot bunga matahari. Diambilnya dan dibukanya
gulungan itu. Tertampil lah deretan kalimat yang ditulis oleh sang Mama

To Aila, kesayangan Mama.

Aila, Mama minta maaf ya, sayang. Mama tau Mama salah udah menyembunyikan
penyakit Mama. Kamu mau maafin Mama, kan? Mama kasih kamu bunga matahari lagi. Semoga
itu bisa bikin kamu terhibur, ya. Aila, Mama sayang banget sama kamu. Waktu tau Mama
menderita leukimia, Mama berpikir, bagaimana dengan masa depan kamu? Bagaimana kalau
Mama tak bisa lihat putri Mama lulus SMA? Dapat gelar sarjana? Serta Menikah? Pertanyaan itu
selalu berputar di kepala Mama. Tapi, Mama bersyukur. Hari ini bisa melihat kamu saja Mama
bersyukur. Kalau nanti Mama pergi selama lamanya, kamu jangan nangis, ya. Mama akan tenang
di alam kubur. Tolong, wujudkan saja mimpi mimpi kamu. Jangan tangisi Mama. Mama baik
baik saja.

With love,

Mama Gita
Aila menangis sesunggukan saat membaca surat itu. Ia langsung berlari ke kamar
Mamanya. Tak peduli dengan sang Mama yang mungkin sudah berniat tidur, Aila membuka
kasar pintu kamar sang Mama. Diterjangnya sang Mama dengan pelukan erat. Gita yang masih
meredakan rasa terkejutnya, tetap membalas pelukan dari putrinya. Dielusnya lembut punggung
Aila. Tak dapat dipungkiri, Gita senang putrinya mau memaafkannya.

Bersama dengan sang Mama, Aila mendatangi toko berbagai tanaman. Untuk apa?
Mamanya ingin membeli bibit bunga matahari. Mama Gita memang sangat suka menanam
bunga matahari. Katanya, karena warnanya cerah, bikin hati bahagia terus. Ah, cukup aneh
memang. Gita berjalan ke kasir. Selesai membayar, ia menarik tangan anaknya keluar dari toko.

“Mau jalan jalan kemana lagi, nih?”

“Ke taman situ deh, Ma. Aila kepingin makan cilok yang dijual di situ.”

“Oke. Let’s Go!” Gita mulai mengendarai motor matic nya.

“Aila.” Panggil Gita, di tengah perjalanan ibu dan anak itu menuju taman.

“Iya, Ma?”

“Menurut kamu, umur Mama masih panjang kah?”

Aila terhenyak. Alisnya mengerut tak suka.

“Mama kenapa tanya gitu?”

“Ya, gak apa apa. Mau tanya aja.”

“Aila gak mau jawab. Aila gak suka sama pertanyaan Mama.”

“Iya, maaf deh.”

Perjalanan kembali diisi hanya dengan suara kendaraan berlalu lalang. Hingga Gita
kembali membuka suaranya.

“Ai, kalo Mama pergi, kamu ikhlaskan, ya! Mama bakalan istirahat dengan tenang di alam
kubur.”

“Ma. Aila bilang, Aila gak suka Mama bilang begitu. Cukup, Ma.” Suara Aila sedikit meninggi.
Gita hanya diam tak menanggapi.

Ramai. Itulah kondisi taman yang dikunjungi Gita dan putrinya. Begitu motor telah
terparkir rapi, Aila dan Mamanya turun dari motor, lalu melepas helm. Setelah membenarkan
pakaian yang sedikit berantakan karena angin, mereka berdua memasuki taman.

“Kamu beli cilok dimana?”

“Di depan situ, Ma.”

“Oohh, oke. Mama tunggu di dekat orang jual siomay yang di dekatnya ayunan itu, ya.”

“Iya.”

Aila berjalan menuju gerobak cilok. Karena orang tersebut berjualan di seberang jalan
raya, Aila harus menyebrang terlebih dahulu. Begitu memastikan jalan raya sudah aman
diseberangi, Aila kembali melangkah. Namun siapa sangka, truk dengan kecepatan diatas rata
rata melaju dari kanan Aila. Aila yang saat itu sedang tidak fokus akibat penyakit Mamanya,
tidak sadar kalau ada truk yang melaju. Hingga..

“AILA! CEPAT LARI! ADA TRUK!”

Aila langsung menoleh. Matanya terbelalak.

Ciit!

Braakk!

“Selesai.” Ujar seorang perempuan yang pakaiannya sedikit lusuh karena menanam tanaman di
kebun kecilnya.

Matanya menatap sendu bunga matahari dengan jumlah cukup banyak di kebunnya.
Handphone perempuan itu berdering. Alarm pengingat. Matanya terbelalak.

“Ah. Gak kerasa udah jam segini.”

Setelah mencuci tangan, perempuan itu mengambil blazer hitam yang tersampir di kursi.
Tangannya meraih tas dan kunci motor. Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, motor
matic berwarna biru yang dikendarai perempuan itu berhenti di depan makam. Baru menapak
tanah disana saja air mata si perempuan sudah lolos keluar. Dan begitu sampai di depan sebuah
makam, isakan tak tertahankan keluar dari mulut perempuan itu.

Anggita Nismara

binti

Gio Rahardja

Itulah yang tertulis di nisan makam itu. Dengan tubuh bergetar, Aila mengelus lembut
nisan bertuliskan nama sang Mama. Ya. Perempuan itu adalah Aila, dan makam yang ia
kunjungi adalah makam sang Mama. Lima tahun lalu, Mama Aila menyelamatkan Aila dari
tabrakan. Beliau mendorong tubuh Aila dan membiarkan dirinya sendiri tertabrak truk yang
melaju dengan kencang.

“Mama. Aila datang lagi.” Aila berusaha menghentikan tangisannya.

“Selamat ulang tahun, Ma. Semoga di alam kubur, Mama istirahat dengan tenang, ya.”

“Ma, Aila kangen banget sama Mama. Dahulu, setiap pagi pasti ada yang marahin Aila karena
bangun gak displin. Ada yang nyiapin sarapan buat Aila. Ada yang marahin Aila kalau Aila
begadang.” Aila berhenti sejenak.

“Sekarang, mau Aila bangun telat, makan telat, malas malasan, sampai begadang pun gak ada
orang yang marahin Aila.”

“Dulu, Aila selalu berpikir. Kenapa Mama harus menyelamatkan Aila? Kenapa harus Mama
yang meninggal? Kenapa bukan Aila saja yang meninggal?”

“Jadi, Mama istirahat yang tenang, ya. Aila disini akan selalu doa in Mama. Aila sayang Mama.”

Anda mungkin juga menyukai