Anda di halaman 1dari 2

Percayai Aku, Bunda . . . .

Oleh: Aat Danamihardja

"Hampir sampai, nih!" Jingga menepuk bahu Galih yang dari tadi bengong.

Galih menoleh sambil tersenyum, berusaha menyembunyikan kekagetannya.

Tapi…

" Astaga!" Galih menepuk dahinya.

"Kenapa, Lih?" Jingga heran.

"Aku lupa minta ongkos pada Bunda, "Galih kebingungan.

"Ya sudah, pakai uangku saja," Jingga memutuskan.

Begini jadinya kalau terlambat bangun, batin Galih. Pergi terburu-buru, tanpa sarapan, dan yang paling
parah, ya itu, lupa minta uang pada Bunda. Bunda juga lupa sepertinya. Padahal pergi dan pulang
sekolah Galih harus naik bis kota. Belum lagi kalau lapar, harus jajan. Tadi malam Galih memang susah
tidur. Dia terus memikirkan sikap bundanya yang tidak percaya padanya. Bunda menganggap Galih
pemboros, tak pandai mengatur uang, suka belanja, dan banyak lagi julukan lain yang Bunda berikan
pada Galih. Yang membuat Galih paling kesal, Bunda memperlakukannya seperti anak kelas tiga SD.
Uang saku diberikan setiap mau berangkat sekolah. Sebel banget! Batin Galih.

"Bunda payah, Ga! Tidak mau memberiku uang saku bulanan. Padahalkan, repot, kalau kejadian seperti
ini terjadi. Untung ada kamu. Kalau tidak, aku tidak tahu harus berbuat apa, "Galih melontarkan
kekesalannya saat mereka turun dari bis kota. Jingga tersenyum.

"Masih untung kamu dapat uang saku harian. Coba kalau tidak dapat sama sekali, kan lebih parah," goda
Jingga. "Eh, Lih! Mungkin bundamu punya pertimbangan lain," sambung Jingga.

"Pertimbangan apa? Pertimbangan pelit?"

"Ya… siapa tahu kamu pernah melakukan kesalahan. Sehingga bundamu menganggap kamu pemboros.
Coba ingat-ingat."

"Mmm, aku memang dulu pernah melakukan kesalahan. Dulu Bunda selalu memberiku uang saku untuk
seminggu. Tapi baru hari keempat uang itu selalu sudah habis. Sejak itu Bunda memberiku uang saku
harian."

"Nah, itu kamu tahu penyebabnya. Jadi memang ada alasannya, kan, bundamu tidak memberi uang
bulanan."
"Ya… tapi itu kan dulu, Ga! Masa' sekarang Bunda masih belum bisa mempercayai aku."

Jingga tersenyum. "Galih, kamu harus berusaha mengembalikan kepercayaan Bunda dengan melakukan
sesuatu."

Galih mengernyit, "Melakukan apa?"

"Coba kamu sisihkan sebagian uang sakumu setiap hari. Tunjukkan pada Bunda bahwa kamu bisa
mengatur uang saku. Mudah-mudahan bundamu akan berubah pikiran tentang kamu."

"Kamu yakin itu akan berhasil?" Galih ragu.

"Coba dulu, baru kasih komentar!"

Ya, memang tak ada salahnya mengikuti saran Jingga, pikir Galih. Lagipula saran Jingga cukup masuk
akal. Mencoba mendapat kepercayaan Bunda dengan melakukan sesuatu. Bukan dengan janji-janji.
Galih pun mulai menyisihkan uang sakunya. Ia juga mulai belajar mencatat pengeluaran dan pemasukan
uangnya sekecil apapun.Tanpa terasa dua minggu pun berlalu.

Ah…” Galih menarik napas lega memandangi lembaran ribuan di kotak bekas coklat di atas meja
belajarnya.

“Coba dari dulu aku menabung, “Galih bergumam lirih.


“Tak perlu menyesal. Tak ada kata terlambat untuk melakukan kebaikan, sayang…” Suara merdu berbisik
di telinga Galih. Galih menoleh.
“Bunda…”.

Bunda tersenyum sambil mengusap rambut Galih. “Bunda tahu kamu sedang berusaha berubah. Diam-
diam Bunda selalu mengikuti apa yang kamu lakukan.”

“Terima kasih Bunda. Cuma…”Galih menggaruk-garuk kepalanya.


“Cuma apa!” Bunda mengerutkan dahinya.
“Bunda jangan bikin aku harus berhutang pada kondektur bis, dong! Gara-gara Bunda lupa memberiku
ongkos.”

“Ha ha ha, itu tak akan terjadi lagi, sayang. Mulai besok kamu akan mendapat uang bulanan. Jadi, kalau
kamu lupa bawa ongkos, bukan tanggung jawab Bunda lagi!” Bunda menjentik hidung Galih.

Galih memeluk bundanya erat-erat. Galih sangat bahagia. Bukan cuma karena ia mendapat uang
bulanan, tapi kepercayaan Bunda pada dirinya. Galih ingin hari segera pagi. Ia sudah tak sabar ingin
mengabarkan semuanya pada Jingga.

Anda mungkin juga menyukai