Anda di halaman 1dari 116

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/371303553

PENANGANAN HEWAN COBA

Book · January 2020

CITATIONS READS
0 1,751

2 authors:

Kasiyati Kasiyati Silvana Tana


Universitas Diponegoro Universitas Diponegoro
32 PUBLICATIONS 68 CITATIONS 1 PUBLICATION 0 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Kasiyati Kasiyati on 05 June 2023.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PENANGANAN
HEWAN COBA

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG
2020
PENANGANAN HEWAN COBA

PENULIS
KASIYATI
SILVANA TANA

EDITOR
INDRA GUNAWAN

Penerbit
Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Matematika Universitas
Diponegoro
Jl. Prof Soedharto, SH, Tembalang Semarang
2020

2
PENANGANAN HEWAN COBA

Oleh
Kasiyati
Silvana Tana

Editor : Indra Gunawan


Desain Sampul : Sugiyatno
Tata Letak : Andriana Hesti Kusuma

© 2020, Hak Cipta dilindungi undang-undang


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian maupun seluruh isi
buku ini dalam bentuk dan dengan cara apapun, tanpa izin tertulis dari
penerbit

Penerbit
Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro
Jl. Prof Soedharto, SH, Tembalang Semarang
2020

3
KATA PENGANTAR

Buku Penanganan Hewan Coba disusun untuk mahasiswa, dosen, dan


peneliti yang menggunakan hewan sebagai uji hayati ataupun model yang
diberikan perlakuan sehingga mampu memberikan respons dari kondisi
eksperimen dan pada gilirannya hasil penelitian menjadi lebih akurat. Pokok
bahasan dalam buku ini terutama menyangkut etika penggunaan hewan coba,
pemanfaatan hewan coba, syarat yang harus dipenuhi sebagai hewan coba,
teknik handling dan restraint hewan coba, nutrisi dan kesehatan hewan coba,
serta penanganan sampel. Di dalam buku ini juga disampaikan karakter biologis
hewan coba dan cara atau teknik yang harus dihindari ketika menangani hewan
supaya hewan penelitian tidak mengalami cekaman.
Penyajian buku ini dibuat praktis sehingga dapat dijadikan panduan
bagi mahasiswa maupun peneliti dibidang biologi, peternakan, biomedis,
farmakologi, maupun mahasiswa pendidikan tinggi lain yang terkait. Besar
harapan kami buku ini bermanfaat bagi para pembacanya, pengguna, bahkan
dapat memotivasi para peneliti untuk lebih akrab dengan hewan coba atau
hewan model yang dipergunakan dalam eksperiman.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua
pihak yang telah membantu serta memberi dukungan dalam menyusun buku
ini, terutama para kolega yang selalu mendorong agar buku ini dapat
diterbitkan. Secara khusus, penulis juga menyampaikan terima kasih yang tulus
kepada Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Matematika Universitas
Diponegoro yang telah memfasilitasi penerbitan buku ini.
Materi yang disajikan dalam buku panduan ini masih memiliki
kekurangan sehingga penulis masih menerima kritik dan saran yang
membangun dari pembaca supaya buku ini menjadi lebih sempurna. Semoga
buku panduan ini bermanfaat.

Semarang, Februari 2020


Penulis

4
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................4


DAFTAR ISI ...........................................................................................................5
I. PENDAHULUAN ................................................................................................7
Ringkasan ..............................................................................................15
Latihan Soal ...........................................................................................16

II. ETIKA PENGGUNAAN HEWAN COBA ............................................................10


Ringkasan ..............................................................................................22
Latihan Soal ...........................................................................................23

III. KARAKTER BIOLOGIS HEWAN COBA ............................................................24


A. Ikan ...................................................................................................25
B. Unggas ..............................................................................................26
C. Rodensia ...........................................................................................30
D. Ruminansia .......................................................................................36
E. Primata nonhuman ...........................................................................39
Ringkasan ..............................................................................................40
Latihan Soal ...........................................................................................40

IV. METODE PENANGANAN HEWAN COBA ......................................................42


A. Prinsip Dasar Handling dan Restraint ............................................... 42
B. Pengekangan Berbagai Jenis Hewan Coba ....................................... 44
Ringkasan ..............................................................................................52
Latihan Soal ...........................................................................................52

V. PEMELIHARAAN HEWAN COBA ....................................................................53


A. Perkandangan ...................................................................................53
B. Pakan Hewan Coba ...........................................................................55
C. Pemeriksaan Kesehatan ....................................................................63
Ringkasan ..............................................................................................67
Latihan Soal ...........................................................................................68

VI. APLIKASI PERLAKUAN HEWAN COBA ..........................................................69


A. Teknik Aplikasi Perlakuan Hewan Coba ............................................71
B. Jalur Pemberian Bahan Uji ................................................................76
Ringkasan ..............................................................................................80
Latihan Soal ...........................................................................................80

5
VII. ANALGESI, ANESTESI, DAN EUTHANASIA UNTUK HEWAN PERCOBAAN .. 81
Ringkasan ..............................................................................................88
Latihan Soal ...........................................................................................88

VIII. PENANGANAN SAMPEL ............................................................................ 90


A. Preparasi Sampel ..............................................................................90
B. Penanganan Limbah ..........................................................................95
Rangkuman .........................................................................................105
Latihan Soal .........................................................................................106

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 107


GLOSARIUM .....................................................................................................109
INDEKS .............................................................................................................112
BIODATA PENULIS ...........................................................................................113

6
I. PENDAHULUAN

Penggunaan hewan coba dalam bidang penelitian telah


berlangsung sejak berabad-abad lalu seiring dengan perkembangan
pengetahuan manusia dalam berbagai bidang ilmu, antara lain biologi,
endokrinologi, fisiologi, biokimia, toksikologi, farmasi, biomedik, dan
kedokteran. Hewan coba sering dikenal dengan istilah hewan
laboratorium dan didefinisikan sebagai hewan-hewan yang sengaja
dipelihara, serta diternakan untuk dipergunakan sebagai salah satu
sarana dalam mempelajari dan mengembangkan berbagai bidang ilmu
dalam skala pengamatan penelitian atau pengamatan laboratorik. Batasan
hewan coba untuk semua bidang ilmu, yaitu mampu memberikan nilai
ulang respons yang ditimbulkan sebagai gejala yang esensial untuk
tercapainya kondisi eskperimen yang harus distandarisasi secara teliti dan
akurat. Hewan coba dapat berupa hewan-hewan kecil, seperti tikus,
hamster, gerbil, mencit, kelinci, unggas, dll, hewan coba juga bisa berupa
hewan besar (ternak), seperti sapi, domba, kambing, dan babi.
Selain hewan coba, dikenal juga istilah hewan model (animal
model), merupakan objek hewan sebagai imitasi (tiruan) manusia atau
spesies lain yang digunakan dalam penelitian fenomena biologis atau
patobiologis, maupun biomedik. Hewan model laboratorium dapat
menggambarkan kesamaan fenomena biologis dengan spesies target.
Hewan model juga dikategorikan sebagai organisme hidup dengan
perilaku atau sesuai norma biologi yang dapat dipelajari secara spontan
atau diinduksi patologis sehingga dapat diteliti. Fenomena fisiologis
hewan model menyerupai manusia atau spesies hewan lain. Hewan
model sering merujuk sebagai “model manusia” daripada spesies hewan
lainnya. Penggunaan hewan model dapat dipilih dari berbagai jenis
hewan pada “kingdom animalia”. Pengetahuan yang baik mengenai
anatomi dan fisiologi komparatif diperlukan untuk mengembangkan
berbagai jenis hewan model.

7
Penelitian menggunakan hewan coba dilakukan jika uji kelayakan
tidak memungkinkan dilakukan pada manusia sehingga peran hewan
sangat dibutuhkan. Hingga saat ini penggunaan hewan coba pada
berbagai jenis penelitian mencapai 70.000.000 hewan per tahun. Percobaan
atau penelitian pada hewan ini sering melibatkan perlakuan pembedahan
hingga mutilasi hewan sehingga banyak mengakibatkan kematian. Dalam
bidang biomedis atau kepentingan peraga pendidikan ilmiah, hewan
sengaja dilukai untuk mengajarkan bagimana memperbaiki luka,
mangatur patah tulang, proses recovery jaringan, dan sebagainya.
Berbagai alasan penting, hewan coba masih diperlukan dalam
penelitian sains, khususnya bidang kesehatan, farmasi, biologi, pangan,
dan gizi, antara lain
1. Keragaman subyek penelitian dapat diminimalisir,
2. Variabel penelitian mudah dikontrol,
3. Daur hidup relatif pendek sehingga dapat dilakukan penelitian
yang bersifat multigenerasi,
4. Pemilihan jenis hewan dapat disesuaikan dengan kepekaan hewan
terhadap materi penelitian yang dilakukan,
5. Biaya relatif murah,
6. Dapat dilakukan pada penelitian yang beresiko tinggi,
7. Mendapat informasi lebih mendalam dari penelitian yang
dilakukan karena dapat membuat sediaan biologis untuk
keperluan penelitian simulasi, dan
8. Dapat digunakan untuk uji keamanan, diagnostik, dan toksisitas.
Berdasarkan konsep penggunaan hewan coba, untuk mencegah
terjadinya penganiayaan terhadap hewan coba dalam penelitian maka
setiap peneliti yang melibatkan hewan coba harus memahami prinsip
dasar penggunaan hewan coba. Berikut adalah beberapa prinsip dasar
penggunaan hewan coba,
1. Untuk kemajuan pengetahuan kesehatan, biomedis, dan biologi
serta pengembangan cara-cara yang lebih baik dalam usaha
melindungi kesehatan dan kesejahteraan manusia, dan
memerlukan percobaan pada spesies hewan utuh.

8
2. Bila memungkinkan digunakan metode simulasi komputer,
matematik, dan in vitro untuk mengurangi jumlah hewan coba.
3. Percobaan hewan hanya dapat dilakukan dengan pertimbangan
seksama, terdapat relevansi kuat terhadap kesehatanmanusia dan
kemajuan pengetahuan biologi.
4. Spesies hewan coba harus tepat dan dari filogeni yang rendah.
5. Peneliti/pelaksana penelitian harus memperlakukan hewan
sebagai mahluk perasa (sentient).
6. Peneliti harus beraggapan bahwa prosedur yang menyebabkan
nyeri pada manusia juga menimbulkan rasa nyeri pada hewan.
7. Prosedur yang menimbulkan rasa nyeri pada hewan harus dengan
pembiusan yang lazim.
8. Pada akhir penelitian hewan yang menderita nyeri hebat atau
kecacatan harus dimatikan tanpa rasa nyeri atau kesakitan.
9. Hewan yang dimanfaatkan untuk penelitian biomedis harus
dijamin dalam kondisi hidup yang paling baik berdasarkan animal
laboratory science.

Klasifikasi Hewan Coba


Hewan coba yang digunakan untuk penelitian maupun
pembelajaran sering digolongkan berdasarkan anatomi, fisiologi, dan
perilaku, seperti rodensia dan kelinci, primata, karnivora, ungulata, dan
unggas. Berdasarkan sistem pemeliharaan (pengelolaan) yang berkaitan
dengan lingkungan dan sifat biologis, hewan coba digolongkan menjadi 4
kelompok, yaitu
1. Hewan liar.
2. Hewan konvensional, merupakan hewan yang dipelihara secara
terbuka, tidak diperlakukan atau dikandangkan secara spesifik.
3. Hewan bebas kuman spesifik patogen, yaitu hewan yang
dipelihara dengan sistem perkandangan barrier (tertutup).
4. Hewan bebas sama sekali dari benih kuman, yaitu hewan yang
dipelihara dengan sistem isolator.

9
Penggunaan hewan coba tersebut disesuikan dengan tujuan penelitian.
Dengan demikian, percobaan yang menggunakan hewan/satwa liar tentu
hasilnya dapat berbeda jika digunakan hewan konvensional atau hewan
bebas kuman spesifik. Tabel 1 memperlihatkan berbagai jenis hewan coba
yang banyak dipergunakan dalam bidang sains.

Tabel 1. Berbagai jenis hewan percobaan


No. Jenis hewan coba Nama spesies

1 Mencit (laboratory mice) Mus musculus

2 Tikus (laboratory rat) Rattus norvegicus

3 Golden (Syrian) Hamster Mescocricetus auratus

4 Chinese Hamster Cricetulus griseus

5 Marmut Cavia cobaya (porcelus)

6 Kelinci Oryctolagus cuniculus

7 Mongolian gerbil Meriones unguiculatus

8 Tikus kapas (cotton rat) Sigmodon hispidus

9 Anjing Canis familiaris

10 Kucing Fellis catus

11 Kera ekor panjang Macaca fascicularis (irus)

12 Lutung (monyet daun) Presbytis ctistata

13 Kera rhesus Macaca mulata

14 Chimpanzee Pan troglodytes

15 Kera sulawesi Macaca nigra

16 Babi Sus scrofa domestica

17 Ayam Gallus domesticus

18 Burung dara Columba livia domestica

19 Katak Rana sp.

20 Domba Ovis aries

21 Unggas dan hewan lain

10
Berdasarkan tingkatan kontaminasi mikroorganisme patogen,
hewan percobaan digolongkan menjadi hewan percobaan
konvensional, specified pathogen free (SPF), dan gnotobiotic. Hewan model
juga dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan penelitian, antara lain,
a. Hewan model exploratory, hewan digunakan untuk memahami
mekanisme biologis secara mendasar atau mekanisme yang
berhubungan dengan fungsi biologis yang abnormal.
b. Hewan model explanatory, tujuan dari penggunaan hewan jenis ini
adalah memahami suatu proses kejadian atau permasalahan
biologi yang kompleks. Biasanya didampingi dengan pendekatan
model matematika atau fisika.
c. Hewan model predictive, bertujuan untuk menentukan dan
mengukur akibat dari adanya perlakuan, apakah sebagai cara
untuk pengobatan penyakit atau untuk memperkirakan tingkat
toksisitas suatu senyawa kimia.

Sejumlah besar hewan model juga telah digunakan dan


dikembangkan untuk mempelajari struktur biologi maupun fungsi/faal
tubuh manusia. Model hewan ini dapat menjelaskan fungsi mekanisme
normal biologis atau mekanisme dasar abnormalitas fungsi-fungsi
biologis. Hewan model juga digunakan dengan tujuan untuk memahami
fenomena-fenomena biologis kompleks. Mayoritas hewan model
laboratorium dikembangkan dan digunakan untuk mempelajari berbagai
fenomena alam maupun gangguan penyakit pada manusia. Hewan model
diklasifikasikan ke dalam lima kelompok, yaitu
1. Hewan model induksi penyakit (eksperimental), sesuai dengan
namanya model induksi merupakan hewan sehat yang
dikondisikan untuk diinduksi secara eksperimental, misalnya
induksi diabetes mellitus (DM) dengan aloksan, induksi DM
dengan virus ensefalomiokarditis, alergi susu sapi melalui
imunisasi dengan dosis protein per menit, atau hepatektomi
parsial untuk mempelajari regenerasi hati. Contoh lain kucing
dapat digunakan sebagai hewan model yang lebih baik untuk

11
infeksi virus AIDS manusia daripada digunakan simian atau
kelompok primata nonhuman. Tikus maupun mencit memiliki
banyak kesamaan karakteristik biologis dengan manusia, namun
kedua hewan tersebut tidak selalu memberikan respons yang baik
dengan model penyakit manusia. Beberapa tikus memiliki
kekebalan yang dapat melawan infeksi secara efektif.
2. Hewan model penyakit spontan (genetik), model penyakit
manusia dengan menggunakan varian genetik alami (muatan).
Berbagai strain hewan mewarisi penyakit dari tetuanya serupa
dengan manusia. Sebagai contoh mencit Dwarf Snell tidak memiliki
hipofisis fungsional, dengan ekor keriting, dan memiliki defek
(kelainan) tabung saraf dapat digunakan untuk mempelajari
penyakit pada manusia dengan latar belakang genetik yang sama.
3. Hewan model penyakit transgenik, hewan model ini muncul
karena adanya perkembangan yang pesat dari rekayasa genetik
dan teknik manipulasi embrio sehingga memunculkan penyakit
transgenik. Sejumlah besar hewan model transgenik terus
dikembangkan untuk tujuan penelitian transgenik. Mencit, tikus,
ikan, dan hewan ternak merupakan hewan model untuk tujuan
transgenik. Perkembangan hewan model transgenik ini dapat
digunakan untuk mempelajari perubahan jalur genetik, interaksi
gen dengan gen, dan gen dengan lingkungan.
4. Hewan model penyakit negatif, merupakan istilah yang
digunakan untuk jenis, strain, atau breed (keturunan) hewan
dengan penyakit tertentu yang tidak dapat berkembang atau
menginfeksi. Model penyakit menular sering dibatasi untuk
membatasi jumlah hewan yang rentan. Spesies yang tidak
responsif dianggap sebagai model hewan negatif, terutama untuk
organisme patogen bagi manusia. Model negatif menunjukkan
kurangnya reaktivitas terhadap stimulasi tertentu.
5. Hewan model penyakit orphan, adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan gangguan fungsional yang secara alami
ditemukan pada spesies nonhuman, belum jelas diskripsi

12
penyebab penyakitnya, tetapi ketika manusia menderita
gangguan yang serupa dengan penyakit tersebut, diagnosa yang
dihasilkan dapat berguna untuk penelitian pada penyakit
manusia. Contoh panyakit Marek, papillomatosis, ensefalopati
spongioform bovine, dan leukimia pada kucing.

Pemanfaatan Hewan Coba


Kemajuan ilmu pengetahuan mendorong manusia untuk
mempelajari hewan secara lebih mendalam dengan berbagai tujuan,
diantaranya:
a. Meningkatkan kesehatan manusia
b. Meningkatkan derajad kesehatan hewan piara
c. Meningkatkan produksi ternak
d. Mempelajari biologi hewan liar dan satwa langka
e. Mempelajari proses-proses biologis dalam tubuh
Sejalan dengan tujuan penggunaan hewan dalam berbagai bidang
penelitian, hewan coba laboratorium memiliki beragam manfaat, yaitu
1. Sebagai hewan coba dalam berbagai penelitian biologi, biomedis,
kedokteran, farmakologi, dsb
2. Pengembangan obat dan vaksin
3. Pengembangan diagnostik baru
4. Penyedia produk biologis
5. Bahan pendidikan bidang ilmu kedokteran, peternakan, biologi
6. Sebagai hewan uji untuk mencoba keamanan, potensi, dan khasiat
obat serta bahan-bahan pangan
Pemanfaatan hewan sebagai hewan model atau hewan coba
haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain
persyaratan genetis/keturunan dan lingkungan yang memadai dalam
pengelolaannya, secara ekonomi mudah diperoleh, serta mampu
memberikan reaksi biologis yang mirip dengan kejadiannya pada
manusia. Hewan memiliki peran penting dalam penelitian karena
manusia dan hewan memiliki berbagai persamaan fisiologis, anatomi,
metabolisme, biokimia, genetika, dan perkembangan. Tanpa

13
menggunakan hewan dalam penelitian mungkin saat ini manusia akan
kekurangan makanan yang aman dikonsumsi, obat-obatan, kosmetika,
serta berbagai pengetahuan medis dan biologi. Beberapa jenis penelitian
yang memerlukan hewan coba bertujuan untuk uji toksisitas atau untuk
menentukan suatu bahan obat. Penggunaan obat baru pada manusia akan
menimbulkan berbagai pengaruh yang diinginkan dan bermanfaat untuk
beberapa kasus. Akan tetapi, penggunaan obat juga bisa menimbulkan
efek yang tidak diinginkan, berbahaya, dan berpengaruh toksik bagi
manusia. Tujuan utama uji toksisitas adalah menentukan derajat dan
macam-macam efek yang merugikan sebelum obat dipakai secara luas
untuk tujuan terapi di masyarakat.
Contoh lain penggunaan hewan dalam keperluan ilmu
kedokteran, terutama untuk penelitian terapeutik, profilaksis, diagnostik,
dan alat baru pada manusia harus aman dari konsekuensi apapun. Syarat
utama secara nasional maupun internasional, zat atau alat baru tidak
boleh digunakan untuk pertama kali pada manusia, kecuali bila
sebelumnya telah diuji pada hewan dan diperoleh hasil yang cukup untuk
keamanannya.
Pabrik farmasi merupakan konsumen hewan coba yang paling
besar. Hewan coba tersebut digunakan untuk uji kaji hayati, penelitian,
serta pengembangan laboratorium. Hewan coba yang digunakan oleh
pabrik farmasi berperan dalam menghasilkan vaksin, hormon, antidota,
dsb. Hewan coba juga digunakan sebagai sarana produksi darah, antigen,
organ transplan (contoh ginjal), dll. Strain hewan yang digunakan oleh
pabrik farmasi sangat jelas asal usulnya dan banyak digunakan pula yang
“pure strain”, khususnya untuk percobaan-percobaan tertentu.

Syarat Hewan sebagai Hewan Coba


Hasil penelitian yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan
tentunya tidak terlepas dari peran hewan coba. Terdapat beberapa syarat
yang harus terpenuhi oleh hewan sebagai hewan coba, antara lain:
a. Sedapat mungkin hewan percobaan yang akan digunakan bebas
dari mikroorganisme patogen, karena adanya mikroorganisme

14
patogen pada tubuh hewan sangat mengganggu jalannya reaksi
pada pemeriksaan penelitian, sehingga dari segi ilmiah hasilnya
kurang dapat dipertanggungjawabkan.
b. Mempunyai kemampuan dalam memberikan reaksi imunitas
yang baik. Hal ini ada hubungannya dengan persyaratan pertama
(butir a).
c. Kepekaan terhadap sesuatu penyakit. Hal ini menunjukkan
tingkat suseptibilitas hewan terhadap penyakit.
d. Performa atau prestasi hewan percobaan yang dikaitkan dengan
sifat genetiknya.

Ringkasan

Hewan coba disebut juga sebagai hewan laboratorium,


didefinisikan sebagai hewan-hewan yang sengaja dipelihara, serta
diternakan untuk dipergunakan sebagai salah satu sarana dalam
mempelajari dan mengembangkan berbagai bidang ilmu dalam skala
pengamatan penelitian atau pengamatan laboratorik. Batasan hewan coba
untuk semua bidang ilmu, yaitu mampu memberikan nilai ulang respons
yang ditimbulkan sebagai gejala yang esensial untuk tercapainya kondisi
eskperimen yang harus distandarisasi secara teliti dan akurat.
Pemanfaatan hewan sebagai hewan coba atau model haruslah
memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain persyaratan
genetis/keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya,
secara ekonomi mudah diperoleh, serta mampu memberikan reaksi
biologis yang mirip dengan kejadiannya pada manusia. Hewan memiliki
peran penting dalam penelitian karena manusia dan hewan memiliki
berbagai persamaan fisiologis, anatomi, metabolisme, biokimia, genetika,
dan perkembangan.

15
Latihan Soal

1. Apa yang anda ketahui mengenai hewan coba. Berikan penjelasan


pada jawaban anda.
2. Tuliskan perbedaan antara hewan coba dengan hewan model.
3. Jelaskan alasan anda mengapa hingga saat ini hewan coba masih
diperlukan untuk penelitian bidang kesehatan dan biologi.
4. Apa yang anda ketahui tentang
a. Hewan model exploratory
b. Hewan model explanatory
c. Hewan model transgenik
d. Hewan model penyakit spontan
5. Sebutkan dan jelaskan manfaat penggunaan hewan coba dalam
penelitian.
6. Syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh hewan atau kelompok
hewan layak dijadikan hewan coba. Jelaskan.
7. Bagaimana peran hewan coba bagi pabrik farmasi, berikan penjelasan
secara singkat.
8. Tuliskan beberapa prinsip yang harus dipatuhi oleh peneliti ketika
menggunakan hewan coba dalam sebuah penelitian ilmiah.

16
II. ETIKA PENGGUNAAN HEWAN COBA

Berbagai bidang penelitian yang menggunakan model hewan


sepakat bahwa hewan coba yang menderita atau mati untuk kepentingan
penelitian manusia harus dijamin kesejahteraannya serta harus
diperlakukan secara manusiawi. Penggunaan hewan sebagai hewan coba
atau hewan model dalam penelitian ilmiah perlu memperhatikan
berbagai aspek mengenai kesejahteraan hewan (animal welfare). Beberapa
pandangan yang mendasari konsep kesejahteraan hewan diantaranya:
a. Eksploitasi hewan (animal exploitation), merupakan tindakan
penganiayaan hewan di beberapa negara merupakan tindakan
melawan hukum, contoh penggunaan hewan aduan.
b. Pemanfaatan hewan (animal use), merupakan penggunaan hewan
untuk tujuan-tujuan legal, misal peternakan, eksperimen ilmiah.
c. Hak asasi hewan (animal rights), merupakan suatu pemahaman
bahwa hewan seharusnya memiliki hak hidup, termasuk hak
hidup tanpa campur tangan manusia (termasuk kematian tanpa
campur tangan manusia).
d. Pembebas hewan (animal liberation), merupakan paham yang
secara fundamental menolak pemanfaatan dan pemilikan hewan
oleh manusia.
e. Kesejahteraan hewan (animal welfare), merupakan upaya untuk
mencegah penderitaan hewan yang tidak perlu akibat tingkah laku
manusia. Paham ini tidak menolak pemanfaatan hewan oleh
manusia, namun mengupayakan agar hewan yang dimanfaatkan
mendapat kualitas hidup yang lebih baik dan cara kematian yang
“humanis”.

17
Kesejahteraan hewan juga harus memenuhi lima prinsip dasar
kebebasan (five freedom), yaitu
1. Bebas dari rasa haus dan lapar (freedom from hunger and thirst),
menyediakan akses air minum dan pakan, serta memelihara
kondisi kesehatan tubuh.
2. Bebas dari rasa ketidaknyamanan (freedom from discomfort),
menyediakan lingkungan tempat tinggal yang nyaman termasuk
tempat bernaung dan beristirahat yang layak.
3. Bebas dari sakit dan kesakitan (freedom from paint, injury, and
disease), melakukan tindakan pencegahan penyakit, diagnosa, dan
pengobatan hewan sakit dengan segara.
4. Bebas rasa takut dan tertekan (freedom from fear and distress),
memastikan bahwa kondisi lingkungan dan perlakuan yang
diberikan dapat mencegah terjadinya penderitaan mental.
5. Bebas untuk mengeksploitasi perilaku alamiah (freedom to express
normal behaviour), menyediakan tempat tinggal dengan luas yang
cukup dan fasilitas yang layak, serta memberikan teman hewan
lain yang sejenis.
Implementasi prinsip kesejahteraan hewan dalam penelitian yang
menggunakan hewan coba ataupun hewan model harus menerapkan
prinsip 3R dalam protokol penelitian, yaitu 1) replecement; 2) reduction, dan
3) refinement.
 Replacement merupakan pertimbangan pemanfaatan hewan
coba/model dari pengalaman sebelumnya maupun literatur dalam
upaya untuk majawab pertanyaan penelitian yang tidak dapat
digantikan oleh mahluk hidup lain, seperti sel atau biakan
jaringan. Jadi, hewan coba seyogyanya tidak digunakan apabila
tujuan dari penelitian, pendidikan, dan pengujian dapat dicapai
tanpa harus meggunakan hewan. Hewan coba yang dimaksud
adalah hewan tingkat tinggi yang dapat merasakan penderitaan
atau merasakan kesakitan. Replacement bersifat relatif, artinya
dengan mamanfaatkan hewan sebagai donor organ, jaringan atau

18
sel, sedangkan replacement absolut adalah memanfaatkan hewan
sebagai galur/cell line.
 Reduction merupakan upaya pemanfaatan hewan sesedikit
mungkin dalam penelitian, tetapi tetap memberikan hasil yang
optimal. Hal ini dapat mencegah penggunaan hewan coba dalam
jumlah berlebihan. Di sisi lain juga dihindarkan penggunaan
hewan coba yang terlalu sedikit sehingga tidak memungkinkan
untuk dapat menginterpretasikan hasil percobaan dengan baik.
Belum ada jumlah yang tetap untuk dijadikan standar jumlah
minimum hewan coba, semua bergantung pada tujuan dan
karakter penelitian.
 Refinement adalah perlakuan secara manusiawi terhadap hewan
percobaan, memelihara, tidak menyakiti, dan meminimalkan
perlakuan yang menyakitkan pada hewan hingga akhir penelitian.
Berbagai upaya dilakukan untuk memperingan rasa sakit,
menderita atau gangguan lain yang ditimbulkan akibat perlakuan
penelitian ilmiah.

Etika Penggunaan Hewan Coba


Penggunaan hewan coba pada berbagai penelitian, terutama
sebagai hewan model bagi manusia telah memberikan kontribusi besar
terhadap pemahaman tentang berbagai proses fisiologis dan patologis
yang mempengaruhi manusia, namun dalam penggunaan hewan
penelitian harus didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah, etika, dan
hukum. Keberhasilan penelitian dengan mengorbankan hewan-hewan
coba harus diimbangi dengan kewajiban moral para ilmuwan dalam
menjaga agar hewan yang digunakan dalam penelitian, pendidikan, dan
uji coba sesedikit mungkin mengalami penderitaan dan atau kesakitan
selama digunakan.
Penelitian yang menggunakan hewan coba harus mengacu pada
etika. Dengan memperhatikan etika penggunaan hewan coba maka
membawa perkembangan ilmu pengetahuan untuk menciptakan suatu
peradaban yang baik bukan menciptakan kehancuran sehingga hasil

19
penelitian yang diharapkan sejalan dengan manajemen pemeliharaan
hewan dan perlakuan terhadap hewan coba. Etika penggunaan hewan
yang buruk akan menghasilkan ilmu pengatahuan yang buruk pula (bad
ethic, bad science). Kesejahteraan hewan menjadi salah satu hal yang
penting, terutama dalam publikasi ilmiah karena banyak jurnal
internasional yang mensyaratkan ethic clearance pada penelitian. Prinsip
dasar etik pelaksanaan penelitian yang menggunakan hewan coba adalah:
1. Tiga pilar prinsip etik penelitian,
2. Prinsip etik penggunaan hewan percobaan: 3R,
3. Prinsip etik pemeliharaan/perlakukan terhadap hewan percobaan:
5F.

Tiga pilar prinsip etik penelitian, yaitu


a. Respect for animal. Setiap peneliti yang menggunakan hewan
coba harus menghormati hewan percobaan tersebut.
b. Beneficence. Hewan coba yang dipergunakan bermanfaat baik bagi
manusia ataupun mahluk lain.
c. Justice. Bersikap adil dalam memanfaatkan hewan percobaan.
Beberapa contoh yang bertentangan dengan prinsip keadilan
antara lain hewan dibedah berulangkali untuk menghemat jumlah
hewan percobaan, penggunaan euthanasia yang menimbulkan
rasa nyeri karena harganya lebih murah.

Penderitaan yang dialami oleh hewan coba adalah


ketidaknyamanan (inconvenience), ketidaksenangan (discomfort),
kesusahan (distress), rasa nyeri (pain), dan akhirnya kematian (death),
sehingga dalam penelitian yang melibatkan hewan coba harus dipenuhi
syarat penggunaan hewan coba. Syarat penelitian bidang kesehatan dan
berbagai bidang ilmu yang menggunakan hewan coba secara etis dapat
dipertanggungjawabkan jika:
1. Tujuan penelitian dinilai bermanfaat,
2. Desain penelitian dapat menjamin bahwa penelitian dapat
mencapai tujuannya,

20
3. Tujuan penelitian tidak dapat dicapai dengan menggunakan
subyek atau prosedur alternatif, dan
4. Manfaat yang diperoleh jauh lebih berarti dibandingkan dengan
penderitaan yang dialami oleh hewan percobaan.
Selain mengacu pada prinsip dasar etik penelitian menggunakan
hewan, setiap penelitian yang menggunakan hewan coba juga harus
mengacu pada perundang-undangan nasional dan internasional, Komisi
Etik Penelitian Kesehatan (KEPK), Komisi Pemanfaatan dan Pemeliharaan
Hewan (KPPH), serta Prinsip Etik untuk Penelitian Kesehatan yang
Melibatkan Subyek Manusia melalui Deklarasi Helsinki yang direvisi di
Tokyo, tahun 2014, butir 11 dan 12 yang berbunyi,
 Butir 11: penelitian kesehatan yang mengikutsertakan manusia
sebagai subyek penelitian harus memenuhi prinsip ilmiah
berdasarkan kepustakaan ilmiah, percobaan di laboratorium, dan
dilakukan percobaan pada hewan (bila diperlukan).
 Butir 12: Keberhati-hatian (caution) yang wajar diterapkan pada
penelitian yang dapat mempengaruhi lingkungan maupun
kesejahteraan hewan yang digunakan dalam penelitian harus
dihormati (respect).

Pengunaan hewan coba dalam penelitian secara etis juga harus


memperhatikan keselamatan baik dari sisi hewan coba maupun manusia.
Beberapa syarat keselamatan penggunaan hewan coba adalah:
 Hewan yang dipilih untuk penelitian harus sesuai spesies dan
mutunya, serta jumlahnya sekecil mungkin, namun memberikan
hasil penelitian yang sahih ecara ilmiah.
 Peneliti dan tenaga kerja (teknisi) lainnya harus memperlakukan
hewan percobaan sebagai mahluk perasa, memperhatikan
pemeliharaan dan pemanfaatannya serta memahami cara
mengurangi penderitaannya.
 Pada akhir penelitian bahkan pada waktu dilakukan percobaan,
hewan yang cacat yang tidak dapat dihilangkan harus dimatikan
tanpa rasa nyeri.

21
 Hewan yang akan dimanfaatkan untuk penelitian hendaknya
dipelihara dengan baik termasuk kandang, makanan, air minum,
transportasi, dan cara menanganinya sesuai tingkah laku dan
kebutuhan biologis tiap spesies.
 Pimpinan lembaga yang memanfaatkan hewan percobaan
bertangung jawab penuh atas segala hal yang yang tidak
mengikuti pemanfaatan hewan percobaan di lembaganya.

Ringkasan

Penggunaan hewan sebagai hewan coba atau hewan model dalam


penelitian ilmiah perlu memperhatikan berbagai aspek mengenai
kesejahteraan hewan. Keberhasilan penelitian dengan mengorbankan
hewan-hewan coba harus diimbangi dengan kewajiban moral para
ilmuwan dalam menjaga agar hewan yang digunakan dalam penelitian,
pendidikan, dan uji coba sesedikit mungkin mengalami penderitaan dan
atau kesakitan selama digunakan.
Prinsip dasar etik pelaksanaan penelitian yang menggunakan
hewan coba adalah tiga pilar prinsip etik penelitian, prinsip etik
penggunaan hewan percobaan (3R), dan prinsip etik pemeliharaan atau
perlakukan terhadap hewan percobaan (5F). Etika penggunaan hewan
yang buruk akan menghasilkan ilmu pengatahuan yang buruk pula.
Umumnya, hewan coba yang digunakan dalam penelitian dapat
mengalami penderitaan berupa ketidaknyamanan (inconvenience),
ketidaksenangan (discomfort), kesusahan (distress), rasa nyeri (pain), dan
akhirnya kematian (death), sehingga dalam penelitian yang melibatkan
hewan coba harus dipenuhi syarat penggunaan hewan coba.

22
Latihan Soal

1. Ceritakan bagaimana konsep kesejahteraan hewan berkembang


sehingga hewan coba tidak banyak mengalami penderitaan.
2. Apa yang anda ketahui tentang 5 prinsip dasar kebebasan bagi hewan
(5F).
3. Implementasi kesejahteraan hewan dalam penelitian harus
menerapkan prinsip 3R. Apa yang dimaksud dengan prinsip 3R,
jelaskan.
4. Apa yang anda ketahui mengenai
a. Bad ethic, bad science
b. Deklarasi Helsinki
c. Animal right
d. Animal exploitation
5. Sebutkan ketidaknyamanan yang sering dialami oleh hewan coba
laboratorium.
6. Tulsikan prinsip dasar etik pelaksanaan penelitian yang melibatkan
hewan coba.

23
III. KARAKTER BIOLOGIS HEWAN COBA

Penelitian menggunaan hewan coba terutama bidang biologi,


biomedis, farmasi, dan bidang ilmu yang serumpun sudah sejak lama
(tahun 1600) menggunakan tikus, mencit, atau hewan pengerat lain yang
sejenis. Saat ini penggunaan hewan coba tidak terbatas pada kelompok
rodensia. Berbagai negara, perkembangan metode ilmiah, dan penelitian
yang semakin berkembang menuntut penggunaan hewan coba yang
dapat mencerminkan dan berkontribusi secara langsung pada kasus-
kasus yang sedang diteliti atau dikembangkan. Berdasarkan kenyataan,
penggunaan hewan coba yang tepat dari berbagai bidang ilmu
pengetahuan dapat mencerminkan kasus-kasus yang telah berhasil
diobeservasi, seperti berikut:
- Tercapainya atau meningkatnya diagnosis pada penyakit
infeksius, seperti rabies, demam kuning (yellow fever), dll
- Pengetahuan mengenai kerentanan dan resistensi agen mikrobia
sehingga memacu ditemukannya antimikrobia
- Pemahaman mengenai sistem imun dan defisiensinya
(histokompatibilitas, imunodefisiensi)
- Perkembangan vaksin (polio, hepatitis, cacar, campak, dll)
- Perkembangan teknologi pada pembedahan jantung dan
kardiovaskuler lainnya atau yang terkait dengan penelitian stroke
- Pengetahuan mengenai perlakuan kanker
- Identifikasi disfungsi metabolik
- Karakter cacat neurologis
- Tercapainya berbagai metode pengobatan
Tanpa penggunaan hewan coba, sebagian besar penelitian mengenai
virus, antimikrobia, metode pembedahan, dan berbagai bidang untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup manusia mungkin tidak berkembang.
Penting sekali memahami sifat-sifat biologis setiap hewan coba yang akan
digunakan dalam penelitian.

24
A. Ikan
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, ikan
dapat digunakan sebagai hewan coba penelitian. Latar belakang yang
mendasari ikan dapat dimanfaatkan sebagai hewan coba adalah
1. Hewan coba yang telah direkomendasikan oleh Environmental
Protection Agency (EPA)
2. Persebaran cukup luas
3. Memiliki nilai ekonomi yang relatif tinggi
4. Mudah diperoleh dan dipelihara di laboratorium
5. Responsif pada berbagai jenis pakan
Beberapa jenis ikan yang umum dijadikan sebagai hewan coba adalah
ikan nila, mas, lele, patin, mujaer, kerapu, dan beberapa jenis ikan hias.
Salah satu contoh karakter biologis ikan yang sering dipakai dalam
penelitian dipaparkan dalam buku ini, yaitu ikan nila. Ikan nila yang
umum digunakan dalam penelitian adalah jenis nila larasati (nila merah
strain Janti), nila merah (dari Thailand), nila hitam, dan nila srikandi
(persilangan nila hitam betina dan nila biru jantan).
Nila tergolong sebagai pemakan campuran (omnivora), memakan
fitoplankton, perifiton, tanaman air, vertebrata kecil, fauna bentik,
detritus, dan bakteri yang berasosiasi dengan detritus. Sementara, ikan
nila yang dibudidayakan, pakan yang diberikan adalah pelet dan ampas
tahu yang diberikan sebayak 3% dari totol berat tubuhnya, pakan
diberikan saat pagi dan sore hari. Bobot ikan jantan yang telah dewasa
kelamin adalah 300-350 g baik jantan maupun betina, dan betina yang
dikembangkan sebagai induk memiliki bobot lebih dari 500 g.
Ikan nila merupakan salah satu jenis ikan air tawar, namun dapat
juga ditemukan di perairan payau. Dewasa kelamin ikan nilai pada umur
4-5 bulan, dengan umur kawin 4-11 bulan (pemijahan). Suhu rektal
mengikuti suhu lingkungan (habitatnya), sekitar 24-30C, nila dapat
bertahan hidup pada 14-38C. pH yang baik bagi ikan nilai adalah 5-9 dan
optimum pada pH 7-8. Kandungan oksigen yag baik bagi ikan nila
minimal 4 mg/L dengan karbon dioksida 5 mg/L. Warna kulit ikan nilai

25
dapat berubah-ubah sesuai
habitatnya. Ikan nila
bersifat fototaxis positif
(mendekati cahaya).
Ikan nila jantan akan
cenderung membuat
sarang berbentuk lubang di
dasar perairan yang lunak sebelum Gambar 1. Ikan nila
bergabung dengan nila betina untuk
memijah. Juvenil ikan nila dapat masuk ke dalam mulut induk betina
ketika terancam bahaya, dan diasuh selama 2 minggu.

B. Unggas
Unggas (poultry) merupakan jenis ternak bersayap dari kelas aves
yang telah didomestikasi dan cara hidupnya diatur oleh manusia dengan
tujuan untuk memberikan nilai ekonomi (telur dan daging) serta jasa
(pendapatan). Berbagai jenis unggas banyak dimanfaatkan sebagai hewan
coba, baik unggas terestrial maupun unggas air. Yang termasuk ke dalam
kelompok unggas adalah ayam, ititk, puyuh, kalkun, merpati, burung
mutiara, kasuari, dan burung unta. Berdasarkan pemanfaatannya unggas
yang sering digunakan dalam penelitian adalah unggas pedaging dan
petelur. Bahkan saat ini bidang peternakan dan serumpun
mengembangkan unggas-unggas lokal untuk melindungi plasma nutfah
Indonesia.
Tingkah laku alami unggas, terutama ayam adalah mematuk
pakan, mematuk litter atau lantai kandang, minum, berjalan, berlari,
bertengger, berdiri, duduk, tidur, meminyaki bulu (preening),
meregangkan sayap, terbang, mandi pasir. Tingkah laku ayam
dipengaruhi faktor lingkungan antara lain suhu, kelembaban, sistem
lantai kandang, manajemen pakan dan pencahayaan. Salah satu aspek
yang menyebabkan tercekamnya unggas selama pemeliharaan adalah
program pencahayaan. Penggunaan jenis, sumber, warna, lama dan
intensitas cahaya yang kurang sesuai akan meningkatkan cekaman dan

26
menurunkan kenyamanan unggas yang dipelihara. Beberapa jenis unggas
yang akan dibahas dalam buku ini adalah broiler, puyuh, dan itik.
Sejalan dengan berkembangnya ilmu perunggasan, berbagai
penelitian dibidang ternak unggas terus dieksplorasi karena memiliki
beragam manfaat, antara lain
1. Pabrik vaksin menggunakan telur fertil sebagai bahan dasar
2. Pabrik farmasi dan kosmetik memanfaatkan putih dan kuning
telur sebagai bahan utama
3. Pabrik pakan ternak (feedmill) sebagai penunjang utama pakan
unggas
4. Pabrik obat-obatan ternak
5. Home industry yang memanfaatkan bulu untuk shuttle cock,
suvenir, kulit burung unta untuk jaket, dll
6. Industri pascapanen, misalnya ayam goreng, tepung telur, telur
asin, sosis ayam, dll
7. Pertanian secara terpadu dengan peternakan karena
memanfaatkan kotoran serta kompos sebagai pupuk kandang
Hasil pokok dari pemeliharaan unggas adalah telur dan daging,
sementara hasil samping berupa bulu, kotoran, tulang, serta kesenangan
(ornamental) dikategorikan sebagai hassil khusus. Demikian
kompleksnya peran unggas bagi kehidupan masyarakat sehingga unggas
dapat dijadikan sebagai hewan coba untuk saat ini. Beberapa jenis unggas
yang banyak digunakan dalam penelitian antara lain broiler, ayam
petelur, itik, ayam/itik lokal, dan puyuh.
Ayam yang dipelihara saat ini berasal dari empat spesies ayam
liar, yaitu
1. Gallus gallus (Gallus bankiva, Gallus ferugenus atau The Red Junggle
Fowl) yang tersebar di India Timur, Birma, Thailand, Laos,
Vietnam, Semenanjung Malaka, dan Sumatra.
2. Gallus lafayettei (The Ceylon Junggle Fowl) terdapat di Ceylon.
3. Gallus sonneratii (The Gray Junggle Fowl) terdapat di India bagian
selatan.

27
4. Gallus varius (The Java Jungle Fowl) terdapat di Jawa, Bali, Lombok,
Sumbawa, dan Sulawesi Selatan.
Beberapa persilangan bangsa ayam di dunia dikembanglan menjadi
beberapa jenis (tipe) ayam komersial, antara lain
- Tipe petelur (layer type), yaitu ayam yang dipelihara untuk
diambil telurnya.
- Tipe pedaging (broiler type), yaitu ayam yang dipelihara untuk
diambil dagingnya.
- Tipe dwiguna (dual purpose), yaitu ayam yang dipelihara untuk
diambil daging dan telurnya.
Ayam broiler merupakan ayam
ras pedaging atau jenis ras
unggulan hasil persilangan
bangsa-bangsa ayam yang
memiliki daya produktivitas
tinggi, terutama dalam
memproduksi daging ayam. Jenis
strain ayam broiler yang banyak
beredar di Indonesia antara lain
Gambar 2. Broiler
Super 77, Tegel 70, ISA, Kim Cross,
Lohman 202, Hylin, Vdett, Missouri, Hubbard, Shaver Starbro, Pilch,
Yabro, Goto, Arbor Arcress, Tatum Indian River, Hybro, Cornish, Brahma,
Langshans, CP 707, COBBHypeco-broiler, dan Sussex. Broiler memiliki
pertumbuhan yang sangat cepat, yaitu dimulai umur 1-5 minggu. Pada
umur 3 minggu tubuh ayam broiler sudah padat dan umur 6 minggu
memiliki ukuran tubuh sama besar dengan ayam kampung dewasa,
bahkan bila dipelihara berumur 8 bulan, bobotnya bisa mencapai 2 kg.
Broiler strain Cobb memiliki keunggulan daya hidup mencapai 98%,
bobot badan hingga 1,7 kg dalam waktu 35 hari dan konversi pakan 1,8
dan kualitas daging baik.

28
Terdapat beberapa jenis (tipe) ayam ras petelur, namun yang perlu
diperhatikan sifat/karakter yang dikembangkan pada setiap jenis ayam
petelur, yaitu
1. Mencapai dewasa kelamin pada 18-20 minggu
2. Ukuran telur normal 60-65 g
3. Produksi telur per tahun 250-300 butir
4. Bebas dari sifat mengeram
5. Daya hidup tinggi (90%) dengan tingkat kematian rendah
6. Bebas dari sifat kanibalisme
7. Mudah beradaptasi dengan lingkungan
8. Bobot apkir ayam tinggi (2,3-2,5 kg)
9. Konversi pakan rendah
10.Pertumbuhan anak ayam relatif cepat
Tipe (jenis) ayam petelur yang umum dijumpai di Indonesia adalah
1) Tipe ayam petelur ringan dan 2) Tipe petelur medium. Tipe petelur
ringan menghasilkan telur yang berwarna putih dengan ukuran kecil.
Karakter ayam jenis ini memiliki badan ramping, bulu berwarna putih
bersih, berjengger merah, dan sensitif terhadap cuaca panas. Ayam jenis
ini berasal dari galur murni white leghorn. Tipe petelur medium
menghasilkan telur dengan warna kerabang cokelat sehingga jenis ini
sering disebut sebagai ayam petelur cokelat. Bobot badan berada pada
kisaran ayam petelur ringan dengan ayam broiler.
Itik petelur di Indonesia terdiri atas dua jenis, yaitu itik hasil
persilangan itik lokal. Itik hasil persilangan diantaranya itik Khaki
Campbell dan itik CV 2000. Sementara, itik lokal Indonesia antara lain
itik tegal, itik magelang, itik pengging, itik alabio, itik bali, itik mojosari,
itik medan, itik damiaking, itik turi, dll.
Puyuh yang dibudidayakan di Indonesia memiliki daya adaptasi
tinggi terhadap lingkungan, dan lebih tahan terhadap penyakit. Produksi
telur puyuh 200-300 butir/tahun dengan bobot rata-rata 10 g/butir. Puyuh
termasuk dalam unggas dwiguna, diambil telur dan dagingnya.
Pemilihan bibit puyuh dapat memperhatikan karakteristik seperti bentuk
tubuh kecil, gemuk, dan bulat. Kaki pendek, tubuh dipenuhi bulu

29
berwarna cokelat dengan bercak putih atau hitam. Bobot tubuh dewasa
sekitar 140 g. Puyuh dapat berlari dengan kecepatan tinggi namun tidak
dapat terbang. Jenis puyuh yang biasa diternakan adalah Coturnix
coturnix japonica, Coturnix chinensis, Arborophila javanica, dan Rollulus roul
roul.

Gambar 3. Puyuh (Coturnix coturnix japonica)

C. Rodensia
Mencit
Strain mencit yang banyak
dikembangkan dan digunakan
dalam penelitian adalah dari galur
Mus musculus domesticus, M.m.
musculus dan M.m. molossius, serta
turunan dari masing-masing
substrains tersebut. Mencit
biasanya tidak agresif sehingga Gambar 4. Mencit (Mus musculus)
mudah ditangani, namun dapat
juga menggigit jika menagalami ketakutan. Beberapa strain mencit ada
yang agresif dan dapat menimbulkan gigitan menyakitkan.
Mencit memiliki pendengaran dan penciuman yang sangat
berkembang. Secara visual, sensitivitas mencit terhadap spektrum warna
merah sangat kurang namun dapat membedakan warna pada kedua

30
ujung spektrum. Mata mencit sangat besar untuk ukuran tubuh mencit
yang kecil, dan karena pola aktivitas nocturnal serta memiliki banyak
batang retina sehingga penglihatan pada malam hari lebih baik. Mencit
memiliki penglihatan dwiwarna, mirip dengan buta warna merah-hijau
pada manusia dan memiliki mekanisme retina yang sangat sensitif
terhadap cahaya ultraviolet. Mencit menunjukkan reaksi terkejut jika
secara tiba-tiba ditempatkan sesuatu secara tiba-tiba di depannya. Mencit
juga mampu melihat benda-benda yang berada diatasnya karena
kemampuan tersebut sangat penting bagi spesies pemangsa seperti
mencit. Mencit bernapas dengan hidung dengan frekuensi lebih cepat
dibandingkan dengan mamalia lainnya karena memiliki pernapasan
dengan tingkat metabolik yang tinggi. Berikut disajikan data biologi
mencit (Tabel 2).
Perilaku biologi mencit. Mencit merupakan hewan yang hidup
berkelompok, hewan jantan sangat dominan. Semua mencit sangat
teritorial, dan pejantan serta betinanya menunjukkan perilaku agonistik,
seperti mengejar, menggigit, dan menjepit ketika diperkenalkan dengan
mencit dewasa baru yang belum dikenalnya. Untuk menurunkan
dominasi mencit jantan maka dapat dilakukan kastrasi. Kaki mencit
berfungsi untuk bergerak, berjalan, melompat, dan memanjat. Mencit
yang merasa aman di lingkungannya, berjalan dengan ekor dijulurkan ke
belakang, sedangkan jika tertekan atau takut maka mencit menekankan
diri ke lantai kandang dan menyeret ekornya.
Induk mencit yang sedang bunting akan membangun sarang
untuk persiapan kelahiran. Sarang merupakan komponen yang sangat
penting untuk perawatan anak mencit baru lahir yang belum mampu
bergerak sendiri (altricial) dan dengan suhu tubuh internal yang bervariasi
(poikilotherm) sehingga harus dilindungi dari suhu ekstrem. Mencit mudah
menampilkan berbagai perilaku abnormal pada lingkungan suboptimal,
termasuk mengunyah rambut (barbering), stereotype seperti berputar-putar
berulang-ulang atau jungkir balik dan jika melihat hewan lainnya perilaku
agonistik dan menggigit akan meningkat. Mencit juga dapat melukai diri
sendiri (autotony) jika mempunyai luka terbuka atau mengalami nyeri

31
neuropatik kronis, mencit juga kanibal di antara sisa mencit yang hidup
jika ada hewan yang mati dalam kandang.

Tabel 2. Data biologis mencit

Konsumsi makan/hari 5 g (umur 8 minggu)


Konsumsi air minum 6-7 mL (umur 8 minggu)
Diet protein 20-25%
Ekskresi urin/hari 0,5-1 mL
Lama hidup 1,5 tahun
Bobot badan dewasa
Betina 20-40 g
Jantan 25-40 g
Bobot lahir 1-1,5 g
Dewasa kelamin (jantan & betina) 28-49 hari
Siklus estrus 4-5 hari
Umur sapih 21 hari
Rasio kawin 1 jantan : 3 betina
Jumlah kromosom 40
Suhu rektal 37,5C
Laju respirasi 163 kali/menit
Denyut jantung 310-840 kali/menit
Pengambilan darah maksimum 7,7 mL/kg
Jumlah sel darah merah 8,7-10,5 x 106/L
Kadar hemoglobin 13,4 g/dL
Jumlah leukosit 8,4x103/L

Tikus
Tikus sebagai hewan coba di laboratorium yang paling umum
digunakan adalah jenis tikus Norwegia yang telah berevolusi menjadi
Rattus norvegicus yang hidup terutama dalam liang tanah. Berdasarkan
perilaku alami, semua spesies rodensia termasuk tikus adalah species
sosial dan harus rutin ditempatkan berpasangan atau kelompok, dengan
beberapa pengecualian. Semua spesies tikus perlu ditempatkan dalam
kandang dengan populasi tidak terlalu padat perlu dipertimbangkan
pada saat di buat kelompok atau konfigurasi kandang yang dapat

32
menghambat visualisasi antara hewan sehingga meminimalkan interaksi
agonistik.
Tikus memiliki mata samping yang kecil dan relatif kurang bagus
visinya dengan bidang teropong yang lebih kecil daripada mata manusia
sehingga menghasilkan persepsi kedalaman yang rendah. Tikus
kemungkinan memiliki beberapa penglihatan warna, khususnya dalam
spektrum warna biru-hijau. Tikus albino sensitif terhadap lampu, karena
memiliki retina amelanotic, dan mungkin menderita kerusakan permanen
jika terkena cahaya dengan intensitas di atas 150 lux untuk waktu yang
lama. Tikus memiliki tingkat pernapasan dan metabolisme yang cepat
tetapi cenderung kurang peka terhadap alergen di lingkungannya karena
tingkat histamin paru yang dilepaskan dan inervasi adrenergik dari
bronkiolus rendah, dibandingkan dengan spesies lain seperti marmot.
Tikus bernapas melalui hidung dan tingkat respirasi meningkat bila
terjadi peningkatan suhu. Proses pendinginan suhu tubuh dapat terjadi
melalui pembuluh darah telinga dan ekor tikus. Ketika suhu lingkungan
rendah, hewan akan meringkuk dan menunjukkan piloereksi dan ekor
disembunyikan, ini merupakan perilaku untuk meminimalkan
kehilangan panas.
Perilaku biologis tikus. Tikus adalah hewan yang sangat social, di
alam liar tikus berada pada koloni besar yang terdiri atas 100 ekor atau
lebih. Kelompok-kelompok kecil hingga delapan betina dapat berbagi
liang dengan ruang sarang yang terpisah. Struktur koloni sosial
didasarkan pada hierarki yang didominasi oleh pejantan, dengan ukuran
tubuh yang besar. Dalam populasi dengan kepadatan rendah, baik
pejantan dan betina adalah territorial, tetapi dalam lingkungan dengan
kepadatan tinggi jantan mungkin menjadi despotik (penguasa). Tikus
mempunyai penciuman yang sangat tajam dan organ vomeronasal besar
untuk mendeteksi feromon yang terlibat dalam seksualitas dan perilaku
seksual lainnya. Beberapa jenis komunikasi ultrasonik juga digunakan
antara kelompok hewan untuk menunjukkan rasa takut, rasa sakit, dan
interaksi agonistik (20 kHz), mendeteksi adanya makanan (40-50 kHz),

33
dan suara umum yang dipancarkan selama eksplorasi lingkungan. Tabel
3 menampilkan data biologis tikus.

Tabel 3. Data biologis tikus

Konsumsi makan/hari 5 g / 100 g BB


Konsumsi air minum 8-10 mL/100 g BB
Diet protein 12%
Ekskresi urin/hari 5,5 mL/100 g BB
Lama hidup 2,5-3 tahun
Bobot badan dewasa
Betina 250-300 g
Jantan 300-400 g
Bobot lahir 5-6 g
Dewasa kelamin (jantan & betina) 50±10 hari
Siklus estrus 5 hari
Umur sapih 21 hari
Rasio kawin 1 jantan : 3 betina
Jumlah kromosom 42
Suhu rektal 37,5C
Laju respirasi 85 kali/menit
Denyut jantung 300-500 kali/menit
Pengambilan darah maksimum 5,5 mL/kg
Jumlah sel darah merah 7,2-9,6 x 106/L
Kadar hemoglobin 15,6 g/dL
Jumlah leukosit 14x103/L

Kelinci
Kelinci sebagai hewan coba mempunyai banyak kelebihan
diantaranya adalah sangat jinak dan nonagresif sehingga mudah untuk
menangani dan mengamati, mudah dikembangbiakan dan sangat
ekonomis dibandingkan dengan memakai hewan yang lebih besar,
memiliki siklus vital pendek (bunting, menyusui, dan pubertas) dan
termasuk kategori hewan rendah sehingga mudah untuk disetujui komite
etika dibandingkan menggunakan hewan katagori tinggi. Strain kelinci
yang banyak dipakai dalam penelitian adalah strain kelinci putih New

34
Zealand (NZ), karena strain ini kurang agresif dan memiliki masalah
kesehatan lebih sedikit dibandingkan dengan jenis lainnya.
Eksistensi dasar kelinci adalah nokturnal sehingga sangat sensitif
terhadap cahaya. Secara natural kelinci hidup di dalam liang tanah dalam
komunitas besar dan merupakan hewan pemalu serta sensitif, istirahat
siang hari dalam kegelapan bawah tanah dan mencari makan pada malam
hari. Oleh karena itu pencahayaan dalam ruang kandang harus diatur
dengan siklus waktu 12 jam terang dan 12 jam gelap. Kelinci sangat
toleran terhadap temperatur rendah. Temperatur ruangan di atas 30C
dengan kelembaban relatif yang tinggi, dapat menyebabkan stres pada
kelinci yang dapat berakibat infertilitas dan kematian. Data biologis
kelinci disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Data biologis kelinci

Konsumsi makan/hari 100-200 g


Konsumsi air minum 200-500 mL
Diet protein 14%
Ekskresi urin/hari 35 mL
Lama hidup 5-7 tahun
Bobot badan dewasa
Betina 4,5-6,5 kg
Jantan 4,5-5 g
Bobot lahir 30-100 g
Dewasa kelamin (jantan & betina) Jantan:5-6 bulan; betina: 6-7
bulan
Siklus estrus Poliestrus (diinduksi)
Waktu kawin 35-42 hari
Umur sapih 16-18 hari
Rasio kawin 1 jantan : 6-10 betina
Jumlah kromosom 44
Suhu rektal 39,5C
Laju respirasi 51 kali/menit
Denyut jantung 200-300 kali/menit
Pengambilan darah maksimum 7,7 mL/kg
Jumlah sel darah merah 4-7 x 106/L
Kadar hemoglobin 10-15 g/dL
Jumlah leukosit 5-12x103/L

35
Marmut
Marmut banyak digunakan dalam penelitian medis karena
marmut juga memiliki banyak kesamaan biologis dengan manusia dan
telah digunakan sebagai hewan percobaan selama berabad-abad untuk
subyek percobaan manusia. Sebanyak 13.000 eksperimen ilmiah di Inggris
telah menggunakan marmot pada tahun 2012, mewakili kurang dari 1%
dari total penelitian pemakaian hewan. Sebagai hewan coba, marmut
memainkan peranan penting dalam berbagai penelitian toksikologi, studi
penyakit alergi, penyakit paru non-infeksi, gangguan reproduksi,
osteoarthritis dan aterosklerosis. Marmut juga digunakan secara rutin
untuk mempelajari berbagai infeksi yang disebabkan bakteri, virus, dan
jamur. Strain marmut yang paling umum digunakan dalam penelitian
saat ini adalah the Hartley albino.
Marmut adalah hewan sosial dan lebih memilih untuk hidup
dalam kelompok 5-10 hewan sehingga untuk perawatan dalam kandang
marmut harus ditempatkan dalam kelompok yang kompatibel atau
berpasangan. Marmut betina matang secara seksual pada umur 4 minggu.
Lama kebuntingan adalah berkisar 59-73 hari dengan ukuran litter rata-
rata 1-4 tetapi dapat pula 7 atau lebih. Marmut merupakan hewan pemalu
dan mahluk sosial tetapi sangat lambat untuk beradaptasi dengan
perubahan lingkungan serta tidak memiliki kemampuan untuk melompat
atau memanjat.

D. Ruminansia
Ternak ruminansia termasuk jenis hewan coba yang memiliki
kontribusi besar dalam mengkaji bahkan menginduksi berbagai
pengembangan ilmu terutama untuk ilmu-ilmu hewan.
Domba (Ruminansia kecil)
Sering didiskripsikan sebagai hewan dengan fisik yang kuat, tahan
terhadap cuaca ekstrim. Adanya rumen sangat membantu untuk bertahan
hidup dalam jangka waktu lama tanpa adanya pakan dan minum. Domba
(Ovis aries) merupakan ungulata (mamalia berkuku) yang terdistribusi

36
luas di seluruh permukaan bumi, dengan tingkat keberhasilan
domestikasi sangat tinggi. Wilayah sebaran domba mulai dari Eropa,
Siberia, Asia, Alaska, hingga Amerika Selatan. Habitat domba mulai dari
daerah pegunungan, bukit, padang gurun hingga kepulauan, bahkan
dapat hidup pada lingkungan ekstrem, suhu antara musim panas dengan
musim dingin mencapai 40C. Di wilayah Asia dan Eropa keberadaan
domba berkompetisi dengan kambing.
Domba merupakan hewan yang hidup dalam koloni besar.
Perilaku agonistik agresi ditunjukan untuk menjaga dinamika sosial
domba. Ukuran tanduk menjadi penentu status sosial domba dalam
hierarki koloni. Domba dapat kehilangan status sosialnya dalam hierarki
jika terjadi konflik karena perebutan makanan dan betina. Domestikasi
domba dalam kelompok dapat dilakukan secara spesifik pada kelompok
umur yang sama atau seks yang sama untuk mengurangi konflik.
Visualisasi domba sangat dominan dengan jangkauan bidang
pandang 270-280 sehingga memungkinan domba mengenali hewan yang
ada di depan atau belakangnya. Sinyal suara (vokal) pada domba sangat
terbatas pada interaksi antara induk dengan anak. Vokalisasi bernada
rendah dibuat oleh induk dengan anaknya yang baru lahir, atau antara
domba betina yang didekati oleh domba jantan. Olfaktori (penciuman)
pada domba sangat berperan dalam identifikasi individual induk pada
anak-anaknya. Domba juga dapat membedakan bau dari kawanan
sejenisnya. Kondisi seksual domba betina juga dapat dikenali oleh domba
jantan. Domba dipelihara untuk tujuan multifungsi, yaitu dimanfaatkan
wool, kulit, daging, dan susu.

Sapi (Ruminansia besar)


Ternak sapi (Bos indicus atau Bos taurus) merupakan hasil
domestikasi ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Tetua sapi saat ini
adalah sapi liar (Bos primigenius). Analisis genetik menujukkan sifat-sifat
hasil domestikasi sapi berbeda dengan jenis sapi liar. Sapi hidup dalam
kelompok sosial yang terdiri atas 10 individu, namun dari penelitian
ditemukan juga kawanan sapi yang hidup dalam kelompok besar 13-32

37
individu. Sapi betina yang baru lahir tetap berada dalam kelompoknya 1-
3 minggu. Anak-anak sapi yang baru lahir dapat mengisap induknya
untuk mendapatkan susu 38 menit per hari.
Anak sapi betina akan disapih oleh induknya pada saat berumur
7-9 bulan, sedangkan anak sapi jantan disapih pada umur 9-14 bulan.
Anak-anak sapi yang telah disapih akan merumput bersama dengan
kawanannya dan membentuk interaksi sosial dengan anak-anak sapi
yang lebih tua umurnya. Kelompok sosial ini akan bertahan hingga sapi
dewasa.
Sapi memerlukan waktu merumput 10-11 jam/hari. Penelitian
terkini melaporkan waktu merumput membentuk ritme sirkadian.
Puncak merumput pada pagi hari (fajar) dan sore hari (senja), meskipun
ada sapi yang merumput sepanjang hari. Selain merumput, aktivitas
harian sapi adalah berbaring sekitar 7-8 jam, ruminasi 5 jam (75% dari
waktu berbaring), 40 menit tidur, 70 menit berprilaku sosial, dan 30 menit
berjalan. Pada pengembalaan tradisional, sapi Meksiko dapat berjalan
hingga 20 km per hari.
Ternak sapi modern memiliki sistem pemeliharaan anak sapi
dipisah dari induknya. Secara alamiah anak-anak sapi akan memperoleh
susu dengan menghisap puting induknya, namun pada pemeliharaan
modern pakan anak sapi disediakan dalam wadah pakan (ember) dan di
dalam kandangnya dilengkapi dengan dot karet. Anak sapi akan
menerima susu dari dot dan akan menghisapnya dengan keras, setelah
sebelumnya dirangsang dengan memasukan susu ke dalam mulut anak
sapi. Susu yang diberikan merupakan susu pengganti dengan kadar
laktosa yang lebih tinggi, jumlah kasein dan lemak dua kali lebih banyak
dari susu induknya.

38
E. Primata nonhuman
Primata nonhuman digunakan sebagai hewan coba dan hewan
model dalam berbagai penelitian kesehatan, farmasi, biomedis, biologi,
dan toksikologi. Primata nonhuman yang sering digunakan dalam
penelitian adalah primata dunia baru (new world monkeys) dan primata
dunia lama (old world monkeys). Genus primata dunia lama yang sering
dipakai dalam penelitian adalah macaca, terutama rhesus macaca (Macaca
mulatta), monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis), monyet ekor pendek (Macaca
arctoides). Monyet dunia baru yang banyak
digunakan dalam penelitian adalah marmoset
(Callithrix jacchus), dalam jumlah yang lebih
sedikit adalah monyet tamarin (Saguinus spp)
dan monyet tupai (Soimiri spp).
Macaca (Gambar 5) adalah
Gambar 5. Monyet (Macaca)
kelompok monyet dunia lama yang
banyak digunakan dalam penelitian berasal dari Asia. Bobot badan
dewasa bervariasi mulai dari 2,5-10 kg, dapat hidup lebih dari 20 tahun di
penangkaran. Di alam liar, macaca hidup berkoloni antara 10-100 individu
dengan hubungan kekerabatan yang kuat. Macaca jantan sering
membentuk koalisi (kelompok) dalam koloni. Macaca bersifat diurnal dan
hampir semuanya arboreal. Macaca betina melahirkan setiap 1-2 tahun,
dan kerabat yang lain akan membantu merawat bayi yang baru
dilahirkan. Visualisasi sangat baik, dengan posisi mata menghadap ke
depan dan sering memperlihatkan ketangkasan
manual.
Marmoset (Gambar 6) adalah monyet
dunia baru yang berasal dari Amerika Tengah
dan Selatan. Secara genetik, marmoset memiliki
kekerabatan yang jauh dari manusi daripada
macaca. Marmoset memiliki ukuran tubuh kecil
(berat badan 250-600 g), sangat arboreal dan Gambar 6. Monyet
diurnal. Di alam liar, marmoset hidup (Marmoset)

39
berkoloni beranggotakan 5-10 individu. Marmoset adalah hewan
frugivora (pemakan buah), tetapi juga memakan serangga dan spesialisasi
mengkonsumsi gum (getah pohon). Umur hidup mencapai 10-15 tahun.
Pada kondisi alamiah melahirkan kembar pada periode kebuntingan 4-5
bulan. Visualisasi dan organ olfaktori (penciuman) berkembang sangat
baik.

Ringkasan

Saat ini penggunaan hewan coba tidak terbatas pada kelompok


rodensia. Berbagai negara, perkembangan metode ilmiah, dan penelitian
yang semakin berkembang menuntut penggunaan hewan coba yang
dapat mencerminkan dan berkontribusi secara langsung pada kasus-
kasus yang sedang diteliti atau dikembangkan.
Tanpa penggunaan hewan coba, sebagian besar penelitian
mengenai virus, antimikrobia, metode pembedahan, dan berbagai bidang
untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia mungkin tidak
berkembang. Penting sekali memahami sifat-sifat biologis setiap hewan
coba yang akan digunakan dalam penelitian.

Latihan Soal

1. Dari manakah asal usul ayam yang didomestikasi, jelaskan.


2. Tuliskan karakteristik mencit (Mus musculus) sebagai hewan coba.
3. Apa yang dimaksud dengan perilaku agonistik hewan. Jelaskan
jawaban anda.
4. Kelinci banyak digunakan sebagai hewan coba. Apa yang harus
dipertimbangkan ketika menggunakan kelinci sebagai hewan coba.

40
5. Dalam penelitian medis sering kali digunakan primata nonhuman.
Tuliskan alasan penggunaan primata nonhuman dalam penelitian-
penelitian medis.
6. Sebutkan kelompok primata nonhuman yang dapat digunakan
sebagai hewan coba atau hewan model peneltian.
7. Saat ini penelitian juga menggunakan ruminasia sebagai hewan coba.
Tuliskan karakteristik ruminansia kecil sebagai hewan coba.
8. Perilaku apa yang harus diperhatikan jika dalam penelitian
digunakan anak-anak sapi yang disapih.

41
IV. METODE PENANGANAN HEWAN COBA
A. Prinsip Dasar Handling dan Restraint
Ketrampilan menguasai hewan coba bukan kemampuan yang
diperoleh dalam waktu singkat. Diperlukan waktu yang cukup lama (jam,
hari, minggu, bulan) untuk dapat menguasai satu jenis hewan saja.
Beberapa cara yang dapat dipergunakan untuk menguasai ketrampilan
hewan coba, antara lain
1. Memperoleh informasi dari buku, diktat, modul, hasil penelitian,
atau sumber lain (internet, wawancara langsung, dll) yang
mengulas berbagai cara menangani hewan coba.
2. Memperhatikan orang yang ahli dalam melakukan handling dan
restraint hewan coba. Pelajari bagimana melakukannya dan
membuat catatan mengenai kesalahan-kesalahan yang pernah
dilakukan.
3. Mencoba mengatasi rasa takut (anxiety) karena tidak mungkin
bekerja dengan hewan dengan rasa takut. Bila diri kita merasa
rileks maka hewan coba juga akan merasakan hal yang sama.
4. Handling yang tidak tepat atau keliru bahkan sampai
menimbulkan stress pada hewan coba akan mengakibatkan tidak
berguna lagi dalam penelitian.
5. Hindari atau jangan pergunakan hewan dalam sebuah percobaan
(penelitian) sampai hewan terebut benar-benar bisa ditenangkan
dan dalam kondisi terkekang.
Prinsip penanganan hewan coba meliputi dua hal, yaitu 1) handling,
merupakan upaya memegang atau tindakan-tindakan lain untuk
menguasai hewan coba, dan 2) restraint, merupakan tindakan
mengekang hewan coba dengan membatasi gerak hewan agar hewan
dapat diberikan tindakan-tindakan tertentu yang dikehendaki.
Handling dapat dilakukan dengan memegang hewan sedemikian
rupa sehingga tidak mencederai atau membuat hewan stress dan handler
(pawang) dapat melakukan tindakan yang diperlukan, serta tidak

42
membahayakan bagi kesehatan hewan coba tersebut. Terdapat beberapa
prinsip dasar dalam menguasai hewan coba, yaitu
a. Hewan sebaiknya didekati dengan percaya diri dan dengan cara
yang rileks.
b. Hewan ditangani dengan teratur untuk mengurangi stress
sehingga hewan merasa tenang pada saat prosedur pengekangan
(restraint) diberikan.
c. Sebagian besar hewan memiliki cakar yang tajam sehingga lebih
baik jika tidak ditempatkan pada permukaan yang licin. Jika
memungkinkan digunakan sangkar (untuk rodensia) yang
dilengkapi dengan penutup.
d. Memperbanyak latihan menguasai hewan coba sehingga sebagian
besar hewan coba akan lebih mudah untuk ditangani dan
dikekang.
e. Tidak ada satu pun metode handling atau restraint hewan yang
paling benar. Pada prinsipnya baik handling dan restraint tidak
menimbulkan rasa sakit atau ketidaknyamanan pada hewan
tersebut.
f. Handler (pawang) harus merasa nyaman, terutama pada saat
memberikan suntikan/injeksi atau memindahkan tempat sehingga
handler dapat berkonsentrasi sesuai prosedur yang berlaku.
g. Metode-metode handling dan restraint untuk berbagai hewan
eksotik sangat direkomendasikan, meskipun beberapa orang
mungkin lebih nyaman menggunakan cara yang berbeda untuk
mengekang hewan dan cara-cara tersebut dapat diterima.
Sebagai contoh, pengambilan darah pada hewan yang berukuran besar,
pengambilan darah pada sapi melalui vena jugularis dapat dilakukan
pada saat hewan berdiri. Penusukan jarum tidak terlalu menganggu sapi
tersebut. Namun, pada hewan coba dengan ukuran tubuh relatif kecil
seperti tikus, mencit, dan hamster diperlukan pengekangan agar
pengambilan darah dapat dilakukan dengan mudah.

43
B. Pengekangan Berbagai Jenis Hewan Coba
1. Tikus
Tikus sebagai hewan laboratorium pada prinsipnya mudah
ditangani, terutama tikus-tikus yang sudah sering berhubungan dengan
manusia. Tikus laboratorium memiliki temperamen yang tenang dan
dapat ditenangkan dalam waktu singkat. Tikus dapat ditangani dengan
sedikit mungkin tenaga. Hewan yang ditempatkan dalam kandang gelap
akan menyendiri, malu-malu, dan mudah ketakutan. Seseorang yang
menangani tikus, jika tidak dapat memperkirakan posisi hewan
disarankan untuk menggunakan sarung tangan untuk mencegah gigitan
tikus. Rasa sakit (tidak nyaman) tikus diutarakan dengan mengindari
kontak dengan manusia, yaitu rasa marah ditunjukan dengan gerakan
melecut ekor. Tikus yang merasa puas akan memperlihatkan gerakan
mengeratkan gigi-giginya.
Cara Memegang (Handling) dan Mengekang (Restraint) Tikus
Tikus dewasa sebaiknya jangan diangkat dengan memegang
ekornya, kondisi ini dapat menyebabkan stress, dan jika tikus berputar
kulit ekor dapat terkelupas. Metode yang lebih baik dalam memegang
tikus adalah dengan scruffing, yaitu dengan memegang atau
menggenggam bagian kulit yang agak kendur dibagian bahu dengan
menggunakan ibu jari dan jari telunjuk, dan jari-jari lainnya dapat
memutar di sekeliling perut. Selanjutnya, Tikus dapat dibalikan hingga
terlentang dan ibu jari handler dapat ditempatkan di bawah dagu. Pada
posisi tersebut tikus merasa nyaman. Jika ukuran tikus besar (> 250 g)
dapat digunakan tangan yang lain untuk memegang bagian rump. Tingkat
kesuksesan memegang dengan metode ini bergantung pada besar
penekanan yang dilakukan pada saat mencengkram tikus pada awalnya.
Bila terlalu kuat dapat menganggu respirasi. Sebaliknya, bila terlalu
lemah, tikus dapat meronta dan mencakar handler.
Restraint dilakukan pada saat sebelum penyuntikan obat,
pemberian obat per oral, ataupun pemberian nomor telinga. Pada kondisi-
kondisi tersebut, tikus biasanya akan menggigit atau mencakar sehingga
diperlukan pengekangan. Pencakaran sering dilakukan oleh tikus

44
terhadap orang yang tidak biasa menangani tikus. Apabila digigit tikus
sebaikya tidak segera menarik jari tergigit karena dapat memperlebar luka
gigitan taring tikus. Metode restraint yang terbaik adalah scruffing, tangan
yang dipergunakan untuk scruffing sebaiknya tangan sebelah kiri
sehingga tangan kanan dapat bebas melakukan tindakan (Gambar 7).
Untuk pengambilan sampel darah dapat digunakan kotak kayu
berbentuk persegi dengan salah satu ujung kotak berfungsi sebagai pintu
luncur. Kotak dilengkapi dengan celah pada permukaan atas dan tutup
kotak untuk mengontrol tikus dengan memegang ekornya.

A B

Gambar 7. Restraint pada tikus, A) memegang tikus dengan satu tangan, B)


restraint tikus dengan scraffing

2. Mencit
Handling mencit dapat dilakukan dengan mengangkat bagian
ekor, kira-kira setengah bagian dari pangkal ekor (bukan bagian ujung
ekor). Cara ini aman baik bagi hewan ataupun yang menangkapnya.
Seekor mencit yang tidak mau menurut dapat ditundukan dengan cara
mengekangnya, yaitu meletakan mencit pada permukaan yang tidak licin
sehingga hewan cenderung mencengkramkan kakinya pada alas.

45
Kemudian, mencit diangkat dengan memegang lipatan kulit tengkuk
dengan ibu jari dan jari telunjuk. Di waktu yang sama, ekor dipegang
dengan jari kelingking pada tangan yang sama (Gambar 8). Ekor harus
diamankan untuk mencegah supaya hewan tidak bergerak dan
melonggarkan cengkraman, akan lebih baik jika ekor menempel pada
telapak tangan.

A B

C D

Gambar 8. Metode handling dan straint mencit. A) memegang kulit tengkuk;


B) handling dengan mengangkat ekor dilanjutkan dengan gambar C; C)
mengendalikan ekor dengan menahannya menggunakan jari kelingking; D)
metode scraffing pada mencit

46
Hewan dapat dikuasai dengan satu tangan, sementara tangan
yang lain dapat bebas melakukan tindakan yang diperlukan. Tutup
kandang berupa kawat ram atau besi barjari sangat sesuai untuk
keperluan ini. Sarung tangan platik dari bahan PPE sangat diperlukan
untuk handling dan restraint atau bergantung pada fasilitas hewan yang
tersedia. Untuk keperluan pengambilan sampel darah sering dilakukan
restraint menggunakan papan yang terbuat kayu, dilengkapi dengan
galur logam serta sandaran kepala dari gabus. Bebat karet dipasang pada
kait untuk menahan mencit.

3. Kelinci
Secara umum, kelinci tidak dapat mencederai orang yang
menanganinya (handler), tetapi kelinci dapat melawan sehingga
mencederai diri sendiri. Adanya perlawanan ini dapat menyebabkan
salah satu tulang punggung atau kaki belakang patah, atau mencederai
otot dan saraf. Tujuan pengekangan kelinci adalah mencegah hewan
tersebut mencederai diri sendiri dan penanganan ataupun pengobatan
dapat dilakukan dengan mudah dan menyenangkan. Telinga kelinci
relatif besar sehingga harus dicegah mengangkat kelinci pada bagian
telinga. Telinga sangat peka dan jika ditarik kelinci akan melawan atau
dapat mencederai dirinya sendiri. Seekor kelinci yang masih muda dapat
dibawa secara menyenangkan dengan memegang langsung pada bagian
pinggangnya erat-erat. Sebaliknya, pada kelinci dewasa dapat dibawa
dengan cara memegang kulit bagian tengkuk (kuduk) erat-erat
menggunakan tangan kanan dan pada saat yang sama tangan kiri
dipergunakan untuk menyangga badan hewan tersebut. Kaki kelinci
diposisikan menjauhi badan orang yang memegang, tujuannya untuk
mencegah kelinci mencakar dengan kaki belakang. Kelinci memiliki
kuku-kuku yang tajam pada kakinya.

47
Handling dan restraint kelinci berdasarkan berat badan. Beberapa ras
kelinci lokal memiliki ukuran tubuh lebih kecil sehingga dapat langsung diangkat
dengan memegang kedua daun telinga atau dapat dilakukan scruffing (Gambar
9c-d). Namun cara ini tidak berlaku untuk ras kelinci berbobot tubuh besar,
serperti New Zeland karena berat tubuhnya relatif besar, cara tersebut dapat
melukai kelinci. Sebaiknya, untuk kelinci ras yang memiliki ukuran tubuh besar
diangkat dengan menopang bagian bawah tubuhnya. Tangan kanan pembawa
(handler) memegang kulit bagian bahu, kepala kelinci diletakkan di bawah
lengan kiri dan tubuh kelinci dijepit diantara lengan dan tubuh pembawa. Bobot
tubuh hewan ditopang oleh pinggul dan tangan kiri pembawa yang
diletakkan di bawah badan kelinci (Gambar 9).

A B

C D

Gambar 9. Handling dan restraint kelinci, A) membawa kelinci yang


berukuran tubuh ringan, dan B-C) membawa kelinci berukuran tubuh lebih
besar: C-D) scraffing kelinci

48
4. Marmut
Marmut sangat mudah ditangani karena memiliki gerak yang
lebih sedikit, lebih jinak, jarang menggigit, dan tidak menimbulkan luka
pada handler saat marmut menendang atau mencakar. Namun, jika
marmut diangkat secara mendadak akan berteriak atau mengeluarkan
suara jeritan dan berakibat stres bagi hewan tersebut. Jika marmut merasa
kesakitan hewan ini akan mencakar dan menggigit. Memegang marmut
dapat dilakukan dengan mendukung tubuh marmut dengan cara
menempatkannya di atas meja, satu tangan dipakai untuk menahan
bagian kepala dan tangan lainnya untuk memegang bagian pinggang
(Gambar 10). Restraint marmut dapat dilakukan dengan tekanan tegas
dan lembut di sekitar thorax, kaki depan ditempatkan antara ibu jari dan
jari telunjuk sebagai dukungan tambahan.

Gambar 10. Cara handling marmot

49
Cara lain yang sering dipakai untuk memegang marmut adalah
dengan menempatkan tangan kanan di atas pundak marmot dengan ibu
jari dan jari-jari melingkari leher. Satu kaki depan masuk dalam
genggaman ini. Kaki belakang dapat ditekan ke bawah oleh jari-jari lain.
Untuk pemeriksaan genetalia (seksing), marmut dapat dihandling dengan
tekanan lembut di bagian atas organ genetalia. Jika pejantan, penis akan
terlihat menonjol.

5. Domba dan Kambing


Domba merupakan hewan “pemalu” dan mudah ketakutan.
Domba berbeda dari sebagian besar hewan peliharaan karena hewan ini
hanya mempunyai sedikit sarana untuk mempertahankan diri selain
menanduk, menghempaskan kaki depan atau melarikan diri dari
musuhnya. Dalam setiap aktivitas yang melibatkan domba harus
dihindari kegaduhan. Domba dapat ditangani sebagai suatu kelompok ,
tidak seperti kuda, anjing, atau sapi yang dapat ditangani secara
individual. Rasa percaya diri, tenang, dan ramah sangat dibutuhkan
untuk menangani domba.
Pengekangan domba untuk pemotongan wool dan kuku. Supaya
wool yang dipotong tetap bersih, domba ditempatkan di atas panggung
papan. Hewan yang menunggu giliran dipotong woolnya ditempatkan
dalam kandang bersih sehingga hewan tidak membawa kotoran ke
tempat pemotongan wool. Cara mengekang domba dengan aman,
handler (tukang potong bulu) jika tidak kidal, berdiri di sisi kiri hewan,
tangan kiri merangkul leher dan mengulurkan tangan kanan di bawah
tubuh untuk memegang kaki belakang kanan. Hewan diangkat dan
didudukan dengan punggung menghadap hadler. Tubuh hewan
dimiringkan dengan sudut mengarah ke kaki pemotong sehingga hewan
kehilangan kesimbangan dan tidak berdaya. Dengan demikian tangan
kanan handler bebas, dengan mudah dapat memotong bulu. Cara
mengekang demikian juga dapat digunakan untuk memotong kuku
ataupun memberikan vaksin. Kambing merupakan hewan kuat,

50
pengekangan yang diterapkan pada domba dapat juga diterapkan pada
kambing.

6. Unggas
Berbagai jenis unggas membutuhkan penanganan yang spesifik.
Jika penelitian menggunakan ayam maka untuk menangkap ayam dari
kelompoknya dapat digunakan jala atau kait. Penggunaan jala dapat
meminimalkan kemungkinan hewan cedera. Penggunaan kait sering
dijumpai pada ayam atau kalkun. Kait biasanya dapat dilingkarkan pada
bagian paha ayam atau kalkun supaya lebih mudah ditangkap, tetapi
penggunaan kait pada angsa sangat dihindarkan karena angsa memiliki
kaki mudah patah.
Cara memegang
ayam dengan aman. Ayam
sebagai hewan penelitian
dapat dipegang dengan
aman menggunakan satu
tangan. Jari telunjuk ada di
antara kedua kaki dan ibu
jari serta jari manis
melingkarinya (Gambar 11).
Jari lain agak dibuka untuk
menangkap sayap apabila
hewan tersebut dibalikan.
Gambar 11. Cara memegang ayam
Untuk keperluan pengambilan dengan aman
sampel darah, ayam dapat
ditempatkan di atas meja sehingga diperoleh posisi yang mantap. Asisten
peneliti (handler) memegang kedua kaki dengan satu tangan dan
membalikkan sayap dengan tangan lain. Cara lain untuk menahan seekor
ayam supaya diam beberapa saat adalah dengan menyilangkan sayapnya.
Cara ini hanya berlaku dalam waktu singkat.

51
Ringkasan

Prinsip penanganan hewan coba meliputi dua hal, yaitu handling


dan restraint. Handling merupakan upaya memegang atau tindakan-
tindakan lain untuk menguasai hewan coba, dan restraint merupakan
tindakan mengekang hewan coba dengan membatasi gerak hewan agar
hewan dapat diberikan tindakan-tindakan tertentu yang dikehendaki.
Handling dapat dilakukan dengan memegang hewan sedemikian rupa
sehingga tidak mencederai atau membuat hewan stress dan handler
(pawang) dapat melakukan tindakan yang diperlukan, serta tidak
membahayakan bagi kesehatan hewan coba tersebut.
Pengekangan hewan coba dapat berhasil dengan baik jika peneliti,
handler atau teknisi banyak berinteraksi dengan hewan coba;
memperkaya pengetahuan mengenai handling dari buku, diktat, modul,
hasil penelitian, atau sumber lain (internet, wawancara langsung, dll)
yang mengulas berbagai cara menangani hewan coba; memperhatikan
orang yang ahli dalam melakukan handling dan restraint hewan coba;
serta mencoba mengatasi rasa takut (anxiety) karena tidak mungkin
bekerja dengan hewan dengan rasa takut.

Latihan Soal

1. Apa saja yang harus dilakukan oleh seorang peneliti supaya dapat
memiliki ketrampilan menguasai hewan coba.
2. Ceritakan apa yang dimaksud dengan handling dan restarint.
3. Bagaimana prinsip handling untuk menguasai hewan coba.
4. Tuliskan prosedur secara singkat teknik handling untuk tikus.
5. Bagaimana prosedur handling dan restaint pada beberapa hewan
berikut mencit, kelinci, unggas, dan domba.

52
V. PEMELIHARAAN HEWAN COBA

Hewan coba yang digunakan dalam penelitian sebaiknya dalam


kondisi “nyaman” sehingga hasil penelitian yang diharapkan dapat
tercapai. Hewan coba dalam kondisi stress, kelaparan, dan tidak sehat
memberikan pengaruh pada validitas data penelitian yang dihasilkan.
Pemeliharaan hewan coba meliputi sistem perkandangan, kebersihan
kandang, pemberian pakan yang bernutrisi, dan pemeriksaan kesehatan.

A. Perkandangan
Kandang merupakan tempat berlindung hewan coba dari hujan,
terik matahari, pengamanan dari binatang buas, pencuri, dan sarana
untuk menjaga kesehatan. Keberadaan kandang tidak memungkinkan
hewan coba untuk berkeliaran/mencari makan sendiri. Peran penting
kandang hewan coba adalah,
a. Kandang sebagai pengurung (containment) sekaligus untuk
melindungi (protection)
b. Adanya kandang, memungkinkan untuk mengelompokkan
hewan sesuai desain penelitian yang dilaksanakan
c. Kandang hewan coba kecil, dapat didesain baterai (unit-unit kecil)
yang tersusun dalam rak-rak
Kandang hewan coba yang layak dan sesuai dengan standar
pemeliharaan selama penelitian wajib dipenuhi oleh peneliti. Untuk
memudahkan dalam pemeliharaan maka perkandangan hewan coba
harus memenuhi persyaratan, yaitu
1. Luasan memadai untuk kebebasan bergerak kecuali kandang
khusus, misalnya yang dipakai untuk restraint (kandang jepit)
2. Harus mudah dibersihkan dan disterilkan
3. Terbuat dari bahan yang kuat, tahan gigitan hewan dan tidak
beracun terhadap hewan yang dikandangkan
4. Suhu dan kelembaban pada tingkat yang menyenangkan bagi
hewan

53
5. Ventilasi dan sirkulasi udara yang baik
6. Dilengkapi tempat pakan dan minum yang sesuai
7. Bila kandang dalam ruang tertutup, pencahayaan harus
disediakan sesuai kebutuhan penelitian
Bangunan untuk kandang harus direncanakan dengan baik sehingga
memberikan kenyamanan hidup bagi hewan, hal yang harus diperhatikan
adalah sebagai berikut:
1. Kandang harus cocok untuk masing-masing spesies hewan
2. Tidak mempunyai permukaan yang tajam dan kasar sehingga tidak
melukai hewan
3. Mudah dibersihkan
4. Mudah diperbaiki
5. Tidak mudah rusak oleh hewan yang dikandangkan atau hewan
pemangsa dari luar
6. Cukup luas agar hewan dapat bergerak leluasa untuk mencari
makanan dan berbiak
7. Bangunan kandang harus cukup terang
8. Mendapat air bersih
9. Mudah dibersihkan
10. Kering
11. Dilengkapi dengan sistem pembuangan air limbah dan cukup
Ventilasi
12.Kayu yang tidak dicat serta bahan-bahan lain yang bersifat
mengisap air tidak boleh dipakai untuk bangunan kandang
13.Hewan dalam kandang akan merasa nyaman bila kandangnya
kering, bersih, tidak ribut
14.Suhu antara 18–29C (rata-rata 20–22C)
15.Kelembaban relatif antara 30–70%
16.Sinar antara 800–1300 lumen/m2
17. Pertukaran udara minimum 10 kali/jam
18. Alas kandang harus diganti 1–3 kali dalam seminggu untuk
menjamin kandang selalu kering dan bebas dari gas amoniak yang

54
merangsang selaput lendir sehingga hewan tidak mudah terserang
penyakit saluran pernapasan
19. Peningkatan kadar amoniak dalam kandang dapat dicegah
dengan ventilasi yang baik, selalu bersih, dan menghindari
penimbunan feses serta urin dalam kandang.
20. Hewan yang berbeda spesies ditempatkan dalam kandang yang
berbeda.
21. Hewan yang sakit harus segera dipisahkan dalam kandang
karantina untuk mencegah penularan atau perluasan penyakit
tersebut pada hewan yang sehat.

B. Pakan Hewan Coba


Pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan dan dapat
dicerna sebagian atau seluruhnya tanpa menganggu kesehatan ternak.
Bahan pakan dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu konsentrat dan
bahan berserat. Konsentrat (biji-bijian) dan bahan berserat (jerami,
rumput, sayur-sayuran) merupakan komponen atau penyusun ransum.
Bahan yang umum digunakan adalah konsentrat atau bahan pakan
penguat adalah pakan berkonsetrasi tinggi yang mengandung protein
kasar dan energi yang cukup dengan kadar serat kasar yang relatif rendah
dan mudah dicerna. Bahan pakan penguat meliputi bahan pakan yang
berasal dari biji-bijian seperti jagung giling, menir, hasil ikutan pertanian
atau pabrik seperti dedak, bakatul, bungkil kelapa sawit, tetes, dan
berbagai umbi-umbian. Fungsi konsentrat adalah meningkatkan dan
memperkaya nilai gizi pada bahan pakan lain yang nilai gizinya rendah.
Pakan dalam pemeliharaan hewan coba merupakan kebutuhan
pokok yang harus selalu tersedia sehingga perlu dipahami beberapa hal
terkait dengan pakan hewan coba antara lain,
1. Hewan percobaan membutuhkan makanan yang bergizi dalam
jumlah yang cukup, segar, dan bersih.
2. Minuman harus selalu bersih dan disediakan dalam jumlah yang
tidak terbatas.

55
3. Makanan harus disimpan dalam tempat yang bersih dan kering
untuk mencegah pencemaran oleh cendawan dan kutu-kutu
makanan.
4. Pemberian makanan yang bermutu merupakan bagian terpenting
dalam usaha menghasilkan hewan percobaan yang sehat.

Faktor makanan penting terutama pada penelitian yang


menggunakan hewan percobaan dalam jangka waktu panjang karena
defisiensi beberapa zat dalam makanan akan mempengaruhi hasil
percobaan. Oleh karena itu, hewan laboratorium yang tidak digunakan
dalam penelitian tentang makanan harus diberi makanan berkualitas baik
untuk menjamin tingkat pertumbuhan dan perkembangbiakan yang
normal. Ketidakseimbangan gizi dalam makanan dapat menimbulkan
berbagai macam gangguan, misalnya pertumbuhan lambat, peka
terhadap penyakit, bulu atau rambut rontok, kematian anak prenatal,
berkurangnya produksi air susu, infertil, anemia, kelainan bentuk tulang,
kelainan jaringan saraf, kesulitan bergerak, dan lain-lain. Pakan yang baik
adalah pakan yang memenuhi kebutuhan energi bagi hewan untuk
metabolisme, pertumbuhan, reproduksi dan produksinya. Kualitas pakan
tergantung pada komposisi nutrisi (jumlah dan komposisi tergantung
desain penelitian), disamping itu air minum yang bersih harus tersedia
dimana jumlahnya sesuai kebutuhan atau ad libitum.
Kebutuhan pakan bagi hewan coba setiap harinya kurang lebih
sebanyak 10% dari bobot tubuhnya jika pakan tersebut berupa pakan
kering dan dapat ditingkatkan sampai 15% dari bobot tubuhnya jika
pakan yang dikonsumsi berupa pakan basah. Bila pada kondisi dimana
pakan diberikan dalam jumlah yang sangat terbatas maka hewan coba
dapat mengurangi konsumsi energinya, tetapi jika nafsu makan berlebih,
maka akan dapat meningkatkan penggantian energi. Adapun kriteria
yang umum digunakan dalam memperkirakan kecukupan nutrisi
makanan antara lain pertumbuhan, reproduksi, pola tingkah laku,
kesediaan nutrisi, aktivitas enzim, histologi jaringan dan kandungan asam
amino serta protein dalam jaringan

56
Salah satu faktor penentu didalam keberhasilan pemeliharaan
ternak adalah ketersediaan pakan yang berkualitas tidak terkecuali pada
hewan coba. Kebutuhan pakan ternak berdasarkan kebutuhan untuk
hidup pokok, untuk produksi dan reproduksi. Untuk membuat ransum
yang baik diperlukan beberapa pengetahuan seperti,
a. Bahan pakan (kandungan gizi, adanya faktor pembatas atau anti
nutrisi, faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas bahan, dan lain
lain),
b. Kebutuhan gizi ternak sesuai dengan umur fisiologis atau tingkat
produksi,
c. Teknik menghitung (dan komputasi), serta
d. Teknik yang berhubungan dengan pencampuran dan
pembentukan pakan.
Tingkat konsumsi (voluntary feed intake) adalah jumlah pakan yang
dikonsumsi apabila bahan pakan tersebut diberikan ad libitum,
dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut bobot badan individu,
individu hewan, tipe dan tingkat produksi, jenis pakan dan faktor
lingkungan. Faktor lainnya yang tidak dapat diabaikan, yaitu palatabilitas
pakan, cita rasa, tekstur, ukuran, dan konsistensi pakan.
Pakan yang diberikan pada tikus (adalah hewan coba yang umum
digunakan) umumnya tersusun dari komposisi alami dan mudah
diperoleh dari sumber daya komersial. Namun demikian, pakan yang
diberikan pada tikus sebaiknya mengandung nutrien dalam komposisi
yang tepat. Pakan ideal untuk tikus yang sedang tumbuh harus
memenuhi kebutuhan zat makanan antara lain protein 12%, lemak 5%,
dan serat kasar kira-kira 5%, harus cukup mengandung vitamin A,
vitamin D, asam linoleat, tiamin, riboflavin, pantotenat, vitamin B12,
biotin, piridoksin dan kolin serta mineral-mineral tertentu.

Diet Hewan Model


Hewan coba, hewan model, atau hewan laboratorium adalah
hewan yang diperlakukan dan atau dibuat dengan tujuan agar
menyerupai atau mirip dengan objek pengamatan sesungguhnya sesuai

57
yang dikehendaki. Hewan yang dipelihara dengan tujuan untuk dijadikan
model percobaan dan mendapat:
- Perlakuan tertentu (uji diet, obat, atau bedah) untuk keperluan
penelitian yang akan diaplikasikan pada manusia
- Salah satu cara untuk membuat hewan model adalah melalui induksi
pakan
Diet adalah susunan bahan makanan yang dibuat untuk diberikan
dengan tujuan tertentu yang positif, seperti untuk menjadikan langsing,
bulu halus, sisik berwarna mengkilat, suara yang indah atau untuk hewan
model tertentu seperti obesitas, hiperkolesterol, dan defisiensi mineral.
Diet hewan model dibuat dan diberikan agar hewan model yang diamati
sesuai dengan apa yang diinginkan peneliti dan selanjutnya dapat
dievaluasi gangguan dan kelainan serta tingkah laku secara biologis,
proses fisiologis dan gangguan pathologis.
Beberapa hewan yang sering digunakan sebagai model antara lain
monyet, tikus, mencit, kelinci, anjing, babi, domba dan kambing. Banyak
bahan baku lokal yang dapat digunakan sebagai materi diet khusus,
seperti tanaman herbal untuk pelangsing, protein hewani asal arthropoda,
lemak nabati dan hewani, dan telur sebagai bahan yang kaya nutrien.

Diet Aterogenik
Diet aterogenik adalah formula makanan yang mengandung
lemak jenuh tinggi (total lemak lebih dari 10%) dan kandungan kolesterol
sebesar 0,28 mg/kalori energi yang diberikan selama 30 hari. Hewan yang
diberi diet aterogenik akan mengalami gangguan yang disebut
aterosklerosis. Diet aterogenik dapat dibuat dari bahan baku lokal dengan
sumber kolesterol berupa kuning telur ayam ras, minyak kelapa yang
mengandung asam lemak jenuh yang tinggi (86%) dan lemak sapi (beef
tallow). Tabel 5 menampilkan formula diet aterogenik terhadap Macaca
fascicularis.

58
Tabel 5. Formula Diet Aterogenik terhadap Macaca fascicularis

Bahan baku (%) Bahan Lemak Energi Kolesterol


Kering (kal/100g) (mg)
Tepung gandum 42 1,26 132,86 0
Gula pasir 9 0 36 0
Kuning telur 10 3,2 36 105,80
Lemak sapi 5 5,90 47,64 9,60
Minyak kelapa 8 6,64 70,40 -
Minyak jagung 2 2 16 -
Tepung maizena 8 0,28 28,95 0
Dedak halus 3 0,02 8,94 0
Tepung kedele 4 0,14 13,30 0
Tepung ikan 5 0,40 15,95 0
Mineral 1 0 0 0
Vitamin 1 0 0 0
Agar 1 0 0 0
Total 100 19,85 406 115,40

Alternatif hewan coba lainnya untuk aterosklerosis yang mudah


didapat dan mudah penanganannya, yaitu tikus putih (Rattus novergicus
strain Wistar). Komposisi diet aterogenik adalah penambahan kolesterol,
asam kolat, dan minyak babi. Diet aterogenik (berbeda dengan dengan
Tabel 6) tersebut diberikan selama 8 minggu pada pakannya selanjutnya
akan menginduksi kondisi hiperkolesterolemia dan terbentuknya sel busa
sebagai proses awal terjadinya aterosklerosis. Komposisi pakan dapat
dilihat pada Tabel 7.
Alternatif lain pembuatan pakan aterogenik, yaitu
mencampurkan 100 g lemak kambing (10%) dan 50 g kuning telur (5%)
dalam 1000 g pakan standar. Sebelum dicampur dengan pakan standar,
lemak kambing dipanaskan dahulu hingga mencair, dan kuning telur
diambil dari telur yang telah direbus.

59
Tabel 6. Komposisi pakan diet aterogenik untuk tikus putih (Rattus
novergicus strain Wistar) untuk induksi aterosklerosis

Bahan Pakan Pakan


Normal IV
Confeed PAR-S 225 g 200 g
Terigu 100 g 100 g
Kolesterol - 8g
Asam kolat - 0,8 g
Minyak babi - 40 mL
Air 100 mL 51,2 mL

Tabel 7. Komposisi pakan diet aterogenik untuk tikus putih (Rattus


novergicus strain Wistar)

Nutrien (g) Hidup pokok Tumbuh Reproduksi


Lemak 50 50 50
Asam Linoleat (n-6) - 6 3
Protein 40 150 150
Arginin - 4,3 4,3
Histidin 0,8 2,8 2,8
Isoleusin 3,1 6,2 6,2
Leusin 1,8 10,7 10,7
Lisin 1,1 9,2 9,2
Methionin+sistin 2,3 9,8 9,8
Threonin 1,8 6,2 6,2
Triptophan 0,5 2 2
Kalsium - 5 6,3
Chlor - 0,5 0,5
Magnesium - 0,5 0,6
Potassium - 3,6 3,6
Sodium - 0,5 0,5

Diet Diabetes mellitus


Tikus putih adalah hewan model yang dibuat diabet dengan
memberikan zat kimia yang dapat merusak pankreas yaitu
Streptozotocyn (STZ). Tikus dipuasakan overnight sebelum diinduksi,
namun tetap diberikan minuman. Setelah dipuasakan tikus diperiksa

60
kadar glukosa darahnya dan diberikan injeksi Nicotinamide/NA(70
mg/KgBB terlarut dalam NaCl fisiologis) 15 menit sebelum injeksi
Streptozotocyn dengan dosis 120mg/KgBB terlarut dalam buffer citrate
0,1M pH 4,5 mengakibatkan kadar glukosa meningkat menjadi 263.22
mg/dl. Hiperglikemia mengindikasikan nutrisi sel tidak cukup. Ketika
nutrisi sel tidak cukup maka akan terjadi stress pada sel. Nutrisi sel yang
tidak cukup berdampak pada penurunan berat badan. Kekentalan darah
menyebabkan perfusi jaringan ke berbagai organ vital tidak mencukupi.
Hiperglikemia juga menyebabkan fungsi endotel pembuluh darah
meningkat, sehingga menyebabkan vasodilatasi akut pada pembuluh
darah.
Contoh diet diabet lainnya menggunakan 2-Methoxyethanol (2-ME)
merupakan salah satu hasil metabolit dari dimethoxy ethilphatalate (DMEP).
Dimethoxy ethilphatalate ini merupakan salah satu kelompok dari phthalic
acid ester (PAEs) yang banyak digunakan sebagai plasticizer dalam
pembuatan plastik. 2-Methoxyethanol merupakan suatu senyawa
kelompok glycol ether yang memiliki ikatan organic volatile (VOC).
Senyawa 2-ME bersifat sangat mudah terbakar, tidak berwarna, mudah
menguap dan memiliki sifat kelarutan yang sangat baik. Penggunaan 2-
ME ini juga dapat dijumpai pada perusahaan yang memproduksi
semikonduktor, tekstil, leather finishing dan plastik kotak makanan,
banyak digunakan sebagai pelarut, biasanya digunakan pada cat, tinta,
tiner, smear, pelapis permukaan, percetakan sablon, photo lithographic
processes dan foto. Senyawa plasticizer mampu menyebabkan obesitas,
diabetes dan menyebabkan gangguan sistem hormonal, seperti
menyebabkan resistansi insulin. Sehingga diduga menyebabkan
pemunculan diabetes, melalui resistansi insulin. Banyaknya penggunaan
bahan plastik untuk keperluan rumah tangga yang terkait dengan tempat
atau pembungkus makanan, dapat menjelaskan kemungkinan adanya
peningkatan epidemik dari penyakit diabetes dan obesitas yang banyak
terjadi pada negara negara industri. Dampak dari penggunaan alat
tersebut di atas menunjukkan adanya peningkatan penyakit diabetes,
insiden obesity, atherosclerosis, penyakit jantung koroner, penyakit infeksi

61
dan penyakit ginjal. Penggunaan peralatan rumah tangga dari bahan
plastik mampu melepaskan Bisphenol-A (BPA), selain itu juga BPA
diproduksi untuk campuran plasticizer agar plastik bisa lebih keras.
Dugaan adanya keterkaitan antara plasticizer dengan sejumlah masalah
kesehatan, termasuk meningkatnya resiko penyimpangan kelainan sistem
reproduksi, obesitas, asthma, atherosclerosis, dan alergi. Suatu penelitian
menggunakan 2-ME dengan dosis minimal 200 mmol/kg BB, setiap satu
kali sehari selama sepuluh hari berturut-turut. Perlakuan tersebut
diberikan setiap hari selama sepuluh hari berturut-turut secara intra-
peritonial. Hasil akhir menujukkan hewan coba mengidap penyakit
diabetes mellitus.
Secara umum, pengujian bioassay digunakan tikus Wistar jantan
berumur ± 3 bulan dengan berat 100–200 g. Tikus yang akan digunakan
diadaptasikan selama 1 minggu, selanjutnya dilakukan penimbangan
berat badan, analisis gula darah dan gula urine. Tikus selanjutnya
dipuasakan semalam dan dibagi menjadi 2 kelompok. Tikus kelompok I
digunakan sebagai kontrol, sedangkan tikus kelompok II dinjeksi dengan
alloxan 100 mg/kg bb. Masing masing kelompok diberikan jenis pakan
yang berbeda. Pengujian dilakukan selama 30 hari. Pengamatan konsumsi
pakan dilaksanakan setiap hari. Penimbangan berat badan, pengamatan
gula darah dan gula urine dilakukan 1 hari setelah injeksi alloxan dan
pada akhir perlakuan. Selama pengujian, kandang tikus dibersihkan
setiap hari, pakan dan minumnya diganti. Penggunaan alloxan dapat
menimbulkan kerusakan pada organ selain pancreas, sehingga resiko
kematian lebih besar.

Diet obesitas
Akumulasi lemak tubuh berlebih berkaitan dengan beberapa
penyakit dengan morbiditas kronik seperti diabetes mellitus tipe II,
penyakit jantung koroner, hipertensi, kanker, dan dislipidemi.
Menggunakan hewan coba tikus putih. Pakan tikus dalam bentuk pelet
dengan dua komposisi, yaitu (1) normal fat diet (NFD) dengan 64,2%
karbohidrat, 30,7% protein, dan 5,1% lemak; (2) high fat diet (HFD)

62
dengan 17,4% karbohidrat, 42,9% protein, dan 39,7% lemak . Bahan pakan
1 diberikan selama aklimatisasi dan bahan pakan 2 sebagai pakan induksi
obesitas Induksi dilakukan setelah aklimatisasi. Induksi obesitas
dilakukan dengan memberikan asupan HFD selama 7 hari ad libitum.
Pemberian makanan dalam bentuk pelet. Setelah 7 hari, tikus ditimbang.
Induksi dianggap berhasil apabila berat badan tikus yang diinduksi
memiliki berat badan lebih tinggi minimal 20 gram dibandingkan
kelompok yang tidak diinduksi.

Diet hiperurisemia
Hiperurisemia adalah salah satu faktor yang menyebabkan angka
kejadian inflamasi pada Gout arthritis akut. Gout menjadi salah satu
prevalensi dari penyakit yang berhubungan dengan lifestyle. Selain
mengakibatkan gout arhtritis belakangan ini hiperurisemia di hubungkan
dengan penyakit kardiovaskular. Hiperurisemia dapat didefinisikan
sebagai meningkatnya kadar serum urat dalam darah pada tingkat
>7mg/dL. Menggunakan tikus putih jantan sebagai hewan coba, yang
sebelumnya diaklimasi selama 7 hari. Pada hari ke-8 sampai dengan hari
ke-15 diberikan diet tinggi purin berupa jus otak kambing 20 mg/ekor.

C. Pemeriksaan Kesehatan Hewan Coba


Kesehatan hewan coba harus selalu dijaga untuk mendapatkan
kesahihan data antara lain,
a. Dokter hewan (supervisi) selalu memastikan dalam kondisi yang
disyaratkan oleh badan yang berwenang
b. Pemberian vaksin
c. Penyakit yang muncul disebabkan oleh karena nutrisi yang
kurang sesuai, stress, overcrowding, sanitasi buruk.
Hewan yang digunakan untuk percobaan adalah hewan yang sehat,
karena hanya dari hewan yang sehat dapat diharapkan produksi yang
optimal dan layak digunakan sebagai hewan percobaan. Pemeliharaan

63
kesehatan hewan percobaan merupakan kombinasi antara usaha
pencegahan penyakit dan pengobatan hewan yang sakit.
Pemeliharaan hewan uji merupakan suatu tahapan yang penting
dalam uji in vivo agar hewan uji yang digunakan dapat hidup dengan
layak dan dapat menggambarkan kondisi yang sebenarnya pada manusia.
Selain itu sanitasi kandang hewan uji juga penting agar hewan uji yang
digunakan tetap berada dalam keadaan sehat, sehingga pengaruh
penyakit lain pada hewan uji tidak mengganggu pengamatan efek
senyawa yang diujikan pada hewan uji tersebut. Botol minum dicuci dan
diganti setiap dua hari. Ruangan kandang harus disanitasi setelah
perlakuan. Selain itu, pemberian pakan harus diatur agar pakan tidak
mengotori kandang.
Sejumlah faktor organik dan lingkungan dapat meningkatkan
resiko kontak dengan agen penyakit dan menurunkan daya tahan tubuh
hewan percobaan. Faktor-faktor tersebut perlu diperhitungkan dalam
usaha pencegahan penyakit. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepekaan
hewan percobaan terhadap penyakit antara lain faktor lingkungan, faktor
genetik, faktor metabolisme, faktor perlakuan, dan faktor makanan.
Faktor lingkungan antara lain:
- iklim yang ekstrim
- perubahan iklim
- kurang ventilasi
- kadar amoniak tinggi
- terlalu kering atau terlalu lembab
- pergantian personil
- terlalu sesak dalam kandang
- alas kandang kurang baik (kasar, kotor, basah)
- hirarki sosial dalam kelompok hewan
- intensitas cahaya
- penimbunan kotoran di dalam dan di sekitar kandang
- gangguan dari hewan pemangsa

64
Faktor genetik antara lain:
- perbedaan jenis kelamin
- kelemahan yang diturunkan dari induk
- perbedaan galur
- kelainan bawaan
- imunodefisiensi

Faktor metabolisme antara lain:


- umur
- kegemukan
- kurang gizi
- kurang gerak
- laktasi
- kebuntingan
- stress

Faktor perlakuan antara lain:


- hewan terikat/terkurung
- operasi
- pengaruh obat-obatan
- induksi tumor
- akibat radiasi
- inokulasi agen penyakit
- pengambilan darah

Faktor makanan antara lain:


- kurang makanan dan air
- makanan busuk
- makanan terkontaminasi jamur, bakteri, toksin
- kualitas makanan rendah, kurang nutrisi

65
D. Sanitasi Lingkungan dan Desinfeksi
Sanitasi merupakan kunci keberhasilan dalam pemeliharaan
hewan percobaan. Kandang bersih terutama penting selama hewan
bunting, sedang menyusui, dan sebelum memasukkan hewan baru.
Kandang bekas ditempati hewan sakit harus disterilkan sebelum
digunakan untuk hewan sehat. Pembersihan kandang sebaiknya dimulai
dengan menggunakan air bersih dan sikat untuk menghilangkan sisa-sisa
alas kandang, sisa makanan, feses, urin dan lain-lain. Langkah ini penting
karena sisa-sisa bahan organik akan menjadi media yang baik untuk
perkembangbiakan mikroorganisme. Selain itu bahan organik dapat
menghambat daya kerja desinfektan. Selanjutnya dilakukan pencucian
dengan air panas bersuhu 80–90C selama 3 menit atau larutan
desinfektan, seperti senyawa fenol atau amonium kuartener. Sisa sabun
atau desinfektan dibersihkan untuk mencegah keracunan pada hewan.
Beberapa desinfektan harus dihindari penggunaannya pada bahan
plastik karena dapat menyebabkan kekaburan pada plastik yang
transparan. Perlu diketahui bahwa tidak semua mikroorganisme peka
terhadap desinfektan, misalnya spora bakteri. Virus dan jamur juga
mempelihatkan kepekaan yang berbeda-beda terhadap desinfektan.
Desinfektan yang mengandung halogen seperti hipoklorit dan iodofor
terutama efektif dalam larutan asam, tetapi dapat merusak pakaian dan
aktivitasnya berkurang dalam larutan yang mengandung bahan organik
sabun atau sisa-sisa deterjen. Desinfektan yang baik, praktis dan aman
untuk kandang hewan misalnya campuran 30 mL Natrium hipoklorit 5%
dalam satu liter air. Campuran ini harus dibuat segera sebelum
digunakan. Derivat fenol paling sedikit dipengaruhi oleh bahan
anorganik dan dapat membunuh bentuk vegetatif gram positif maupun
gram negatif (kecuali Pseudomonas yang membutuhkan kontak lebih
lama dengan konsentrasi yang lebih tinggi). Emulsi senyawa fenol 1–5%
dalam air yang sedikit asam dan bersabun memiliki kemampuan
membunuh jamur, spora bakteri, dan virus. Karena residu bau dan racun,
maka derivat fenol tidak digunakan untuk desinfeksi tempat makanan
dan minuman hewan.

66
Senyawa amonium kuartener efektif terhadap kuman gram
negatif tetapi kurang efektif bila terdapat bahan organik, sabun, dan pada
pH asam. Senyawa ini digunakan untuk desinfeksi secara umum dan
terutama untuk tempat makanan dan minuman. Namun residunya pada
kandang dapat menyebabkan kematian pada kelinci yang sedang
menyusu. Bahan desinfektan lainnya yang dapat digunakan serta telah
terbukti memberikan hasil yang baik antara lain NaOH 2%, formalin, gas
etilen dioksida dan larutan amoniak 10%.
Urine kelinci, marmut, dan hamster bersifat basa dan
mengandung kristal-kristal fosfat dan karbonat. Bila kristal tersebut
mengendap pada kandang maka akan terbentuk kerak yang sulit
dibersihkan. Untuk membersihkan kandang dari bulu-bulu dan kotoran
lain dapat dilakukan pembakaran yang pada umumnya lebih murah.
Fumigasi menggunakan gas formaldehid, bila didahului dengan
pembersihan secara mekanis, merupakan cara yang efektif untuk
membasmi parasit dan bakteri bentuk vegetatif. Sebelum fumigasi
dilakukan, ruangan kandang harus dikosongkan dari hewan lalu ditutup
kedap udara, suhu dibuat di atas 21C dan dibasahi agar kelembaban
relatif mencapai 80% atau lebih. Gas formaldehid dapat diperoleh dengan
cara memanaskan kristal p-formaldehid.

Ringkasan

Hewan coba dalam kondisi stress, kelaparan, dan tidak sehat


memberikan pengaruh pada validitas data penelitian yang dihasilkan.
Pemeliharaan hewan coba meliputi sistem perkandangan, kebersihan
kandang, pemberian pakan yang bernutrisi, dan pemeriksaan kesehatan.
Pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan dan dapat dicerna
sebagian atau seluruhnya tanpa menganggu kesehatan ternak. Diet
hewan model dibuat dan diberikan agar hewan model yang diamati

67
sesuai dengan apa yang diinginkan peneliti dan selanjutnya dapat
dievaluasi gangguan dan kelainan serta tingkah laku secara biologis,
proses fisiologis dan gangguan pathologis.
Pemeliharaan hewan uji merupakan suatu tahapan yang penting
dalam uji in vivo agar hewan uji yang digunakan dapat hidup dengan
layak dan dapat menggambarkan kondisi yang sebenarnya pada manusia.
Selain itu sanitasi kandang hewan uji juga penting agar hewan uji yang
digunakan tetap berada dalam keadaan sehat, sehingga pengaruh
penyakit lain pada hewan uji tidak mengganggu pengamatan efek
senyawa yang kita ujikan pada hewan uji tesebut.

Latihan Soal

1. Sebutkan persyaratan perkandangan yang baik.


2. Bangunan untuk kandang harus direncanakan dengan baik sehingga
memberikan kenyamanan hidup bagi hewan, jelaskan hal-hal apa yang
harus diperhatikan.
3. Mengapa komposisi pakan harus diperhatikan dalam memelihara
hewan coba, jelaskan.
4. Untuk menjaga kesahihan suatu data maka hal-hal apa yang harus
dijaga agar hewan tetap sehat, jelaskan.
5. Desinfektan dan fumigasi perlu dilakukan sebelum memulai
pemeliharaan hewan uji, jelaskan.

68
VI. APLIKASI PERLAKUAN HEWAN COBA

Penggunaan hewan coba dalam penelitian selalu membutuhkan


penguasaan hewan sehingga dapat diperoleh data yang sahih. Berbagai
perlakuan diberikan pada hewan coba terkait dengan tujuan penelitian.
Secara umum, terdapat beberapa aspek prosedur yang umum diterapkan
dalam kaitannya dengan perlakuan hewan coba, yaitu
a. Perlakuan (intervensi) fisik, merupakan perlakuan yang melibatkan
penggunaan peralatan termasuk obat-obatan untuk menangani atau
mengekang hewan secara fisik ataupun pengekangan terhadap
akses pakan dan minum, tujuan dari intervensi fisik ini adalah
membatasi gerak normal hewan sehingga proses pemeriksaan,
pengambilan sampel biologis, ataupun terapi dapat tercapai.
Sebagai contoh, penggunaan plastik pengekangan (plastic restrainer),
handuk, tas hewan, penjepit, ataupun kait, peralatan fisik tersebut
dapat dipergunakan ketika hewan akan diberikan sediaan bahan
penelitian (obat), pengambilan sampel, atau pemindahan kandang.
Sangat disarankan untuk menahan hewan dalam waktu singkat dan
prosedur yang dipakai tidak menyebabkan luka atau mengurangi
kenyamanan hewan. Sementara pembatasan terhadap akses pakan
dan minum juga sering diperlukan untuk memenuhi tujuan
percobaan. Pengurangan pakan ataupun minum sebaiknya tidak
mempengaruhi pertumbuhan normal dan kesehatan hewan dalam
jangka panjang.
b. Perlakuan (intervensi) perilaku, hewan percobaan harus
diperlakukan sesuai dengan spesies dan lingkungan biologisnya.
Hewan yang biasa hidup dalam lingkungan sosial kumonal
mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi dan bersosial dengan
sesama sepesiesnya sehingga diperlukan struktur kandang yang
harus memungkinkan hewan memiliki kontak visual, auditori, dan
olfaktori dengan sesama jenisnya. Sebaliknya, untuk hewan yang

69
bersifat teritorial atau soliter (individual), kehadiran hewan lain di
“wilayahnya” dapat menyebabkan stres. Adanya dua atau lebih
hewan dari jenis hewan yang berbeda dalam satu kandang juga
sering menimbulkan stres.
c. Prosedur eksperimental, semua prosedur penelitian pada hewan
harus dilakukan oleh orang yang berpengalaman. Jika diperlukan
pengamatan intensif pada komplikasi atau efek samping yang
berhubungan dengan prosedur eksperimen invasif harus dilakukan
oleh dokter hewan.
d. Rasa sakit, semua prosedur yang menyebabkan sakit pada manusia
harus diasumsikan mampu memberikan pengaruh yang sama pada
hewan coba. Semua percobaan yang melibatkan hewan dan
diketahui menderita atau sakit yang tidak dapat dikurangi dengan
obat-obatan atau tindakan lainnya, hewan dapat ditarik dari
percobaan tersebut atau diakhiri oleh dokter hewan yang
profesional dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan peneliti.
Semua prosedur eksperimental yang menimbulkan rasa sakit sesaat
harus didahului dengan pemberian obat bius atau analgesik, kecuali
dapat dibuktikan secara ilmiah bahwa agen analgesik
mempengaruhi hasil percobaan. Pemilihan obat bius atau analgesik
harus dikonsultasikan dengan dokter hewan. Semua prosedur yang
menyakitkan pada hewan tidak boleh diobati dengan obat
penenang, ansiolitiks atau agen yang menghalangi neuromuskular
sendiri tanpa anestesi.
e. Prosedur pembedahan, pembedahan dapat dilakukan dengan
tujuan tetap mempertahankan hewan tetap hidup (pembedahan
survival) dan pembedahan yang dimaksudkan untuk terminasi
hewan coba (pembedahan terminal). Pembedahan survival harus
dilakukan sesuai dengan prosedur pembedahan yang berlaku.
Bedah survival meliputi bedah mayor (bedah dengan membuka
rongga tubuh) dan bedah minor. Bedah mayor hanya dapat
dilakukan dengan teknik aseptik, melibatkan dokter hewan (kecuali
rodensia), dan dilakukan tindakan sebelum bedah, meliputi

70
pemeriksaan fisik dan tanda vital, puasa hewan, dan pemberian
sedatif (obat penenang). Pemberian agen sedatif dan neuromuskular
bloking harus disertai dengan pemberian anestetik atau analgesik.
Bedah minor merupakan tindakan yang tidak membuka rongga
tubuh, juga diperlukan teknik aseptik. Pascabedah survival
diharapkan hewan akan pulih dari pembiusan. Pembedahan
terminal juga membutuhkan prosedur yang telah disepakati untuk
pengakhiran hewan, hewan akan diterminasi (dimatikan) sebelum
pulih kembali dari pembiusan. Tindakan terminasi hewan coba
harus dilakukan dengan cepat, tidak menimbulkan kesakitan, dan
dilakukan pada tempat terpisah. Teknik aseptik merupakan salah
satu cara untuk memperoleh kondisi bebas mikroorganisme, tujuan
dari teknik aseptik pembedahan adalah menghindarkan pasien dari
infeksi pascabedah dan mencegah penyebaran agen patogen.
f. Perlakuan hewan terancam punah harus disertai dengan ijin
instansi yang berwenang, misalnya Departemen Kehutanan RI,
BKSDA, dll.
g. Pengiriman hewan coba dari dan ke luar negeri, dilakukan dengan
mamatuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam
negeri, melibatkan bebagai departemen, misalnya Departemen
Pertanian, Departemen Kehutanan, dan Badan Internasional
Penerbangan (IATA: International Air Transport Association).

A. Teknik Aplikasi Perlakuan Hewan Coba

Pelaksanaan kegiatan penelitian maupun praktikum yang


menggunakan berbagai jenis hewan percobaan sangat membutuhkan
penguasaan berbagai teknik dasar dalam pelaksanaan metode percobaan.
Teknik-teknik dasar tersebut meliputi,
1. Teknik pembiusan pada berbagai hewan percobaan
2. Teknik aplikasi perlakuan pada hewan coba, yaitu
a. Teknik pencekokan
b. Teknik penyuntikan

71
3. Teknik pengambilan sampel biologis pada berbagai hewan
coba
a. Teknik pengambilan sampel darah
b. Teknik pengambilan sampel urin
c. Teknik pengambilan sampel feses
Pada bab ini akan diulas mengenai teknik pembiusan dan teknik aplikasi
perlakuan pada hewan coba, sementara teknik pengambilan sampel akan
dibahas sebagai materi tersendiri.
Penguasaan ketrampilan terhadap pelaksanaan teknik-teknik
pada hewan coba berdampak secara langsung pada kesejahteraan hewan
coba (animal welfare). Penggunaan hewan coba tetap harus
mempertimbangkan kesejahteraan hewan, segala tindakan pada hewan
percobaan harus selalu meminimalkan resiko kesakitan saat
menanganinya.
Penandaan hewan coba untuk keperluan identifikasi dapat
dilakukan untuk mengetahui dan membedakan kelompok hewan lain.
Penandaan dapat dilakukan secara permanen, terutama untuk penelitian
jangka panjang (kronis) sehingga tanda tersebut tidak mudah hilang.
Penandaan dapat dilakukan dengan ear tag (anting bernomor), tatoo ekor,
melubangi daun telinga, atau menggunakan elektronik transponder.

Teknik Pembiusan Hewan Percobaan


Tindakan pembiusan dilakukan untuk tujuan pembedahan.
Pembiusan hendaknya dilakukan oleh dokter hewan mengingat
pembiusan mengndung resiko yang sangat fatal bila kurang tepat dalam
perhitungan dosis obat maupun pananganannya. Pembiusan pada
prinsipnya adalah menghilangkan rasa sakit pada hewan coba pada saat
diperlukan untuk tujuan penelitian. Terdapat dua jenis pembiusan pada
hewan, yaitu metode pembiusan lokal dan pembiusan umum. Pembiusan
lokal tidak sering dikerjakan karena masih mengandung resiko eksitasi
dan menggigit. Saat pembiusan sering digunakan obat yang sifatnya
mengurangi rasa sakit (analgesik) dan penenang (transquilizer),
kombinasi keduanya sering dipakai untuk tujuan kliis datau diagnostik

72
tetapi untuk penelitian jarang sekali dipakai karena obat-obat tersbut
masih mengandung resiko eksitasi dan gigitan. Kombinasi obat-obatan
dan penenang yang masih sering digunakan sebgai obat bius pada
pembiusan umum (general anesthesia) atau digunakan sebagai pre-
anesthesia.
1. Rodensia kecil (mencit), pembiusan dapat dilakukan dengan
prosedur sebagai berikut:
a. Mencit ditimbang terlebih dulu, kemudian masukan hewan
ke dalam stoples.
b. Disiapkan kapas yang dibasahi dengan ether secukupnya,
kemudian kapas dimasukan ke dalam stopels dan segera
menutup rapat stoples tersebut.
c. Dilakukan pengamatan mencit dalam stoples untuk
mengetahui waktu induksi (waktu pada saat mulai
diberikannya obat bius sampai hewan tidak sadarkan diri).
d. Bila mencit sudah nampak memasuki waktu induksi,
dengan segera membuka tutup toples dan hewan
dikeluarkan dari toples.
e. Pengamatan terhadap waktu bius (dari mulai tak sadarkan
diri sampai ada tanda-tanda sadar kembali), dan waktu
pemulihan (dari mulai sadar hingga hewan bangun kembali)
dilakukan dengan bantuan stop wacth atau jam.
2. Ruminansia (domba dan kambing), pembiusan dapat dilakukan
dengan prosedur sebagai berikut,
a. Menimbang domba, domba dapat ditempatkan di lantai atau
di meja dengan posisi berdiri.
b. Pada bagian leher bawah dilakukan pembendungan vena
jugularis untuk mendapatkan orientasi lokasi vena, dan
dilanjutkan denagan pengerokan bulu.
c. Lokasi vena yang sudah bersih diolesi dengan alkohol 70%.
d. Pada lokasi vena tersebut dilakukan penyuntikan obat bius
(kombinasi kethamine 11 mg/kg BB dengan xylazine 0,1

73
mg/kg BB), prosedur ini dilakukan menggunakan syringe 2,5
mL.
e. Penyuntikan dilakukan dengan kecepatan tetap, dilanjutkan
dengan pengamatan terhadap waktu induksi.
f. Pengamatan terhadap waktu terbius dan waktu pemulihan
digunakan stop watch atau jam tangan.
3. Unggas
a. Secara umum, unggas (ayam) jarang dibius, untuk
pengambilan sampel darah ayam akan dikekang dengan
memegang pangkap sayap.
b. Kemudian bulu ketiak dicabut sesuai yang diperlukan
sampai terlihat vena brachialis (vena sayap).
c. Bagian vena yang telah terlihat diolesi dengan alkohol 70%
sebagai tempat untuk menusukan syringe.
Aplikasi perlakuan bahan uji pada hewan percobaan sangat bergantung
pada metodologi penelitian. Aplikasi dapat dilakukan secara oral atau
suntikan semunya memerlukan ketrampilan, ketepatan, dan ketelitian
dalam menentukan alat suntik, volume bahan uji, dan sisi/tempat/lokasi
penyuntikan. Bila volume bahan uji bersifat iritan sangat disarankan
untuk meminimalkan volume bahan uji tersebut.

1. Teknik Pencekokan (Oral)


Aplikasi bahan uji oral pada hewan coba bergantung pada tingkat
palatabilitas dari bahan uji tersbut. Bila bahan uji sangat palatabel maka
aplikasi oral dapat dilakukan dengan mencampurkan dalam bentuk
makanan atau minuman, namun jika bahan uji tidak palatabel maka harus
diaplikasikan dalam bentuk cekokan. Pencekokan pada hewan coba
(mencit, tikus, hamster, marmut, atau kelinci) pada prinsipinya sama,
yaitu dengan memasukan bahan uji cair ke dalam lambung melalui
esofagus. Untuk pencekokan ini diperlukan alat dalam bentuk logam
(canula, sonde) dengan ukuran jarum 15-16 gauge atau dalam bentuk pipa
karet (polietilen kateter). Beberapa aspek yang perl u diperhatikan saat
pemberian bahan uji melalui jalur oral adalah hewan dalam kondisi

74
tenang, panjang jarum sebaiknya sama dengan jarak mulut ke bagian
rusuk terakhir, posisi hewan dalam kondisi sesuai ketika jarum
dimasukan ke dalam lambung, dihindari memasukan jarum ke trakhea
(saluran nafas).
Pencekokan Rodensia (Tikus)
a. Tikus dipegang pada bagian tengkuk belakang dengan posisi
menghadap (menengadah) ke atas.
b. Sonde lambung yang terbuat dari logam (Syringe tumpul atau
jarum gavage), dimasukan pelan-palan ke dalam rongga
mulut.
c. Cairan di dalam syringe dimasukan melalui sonde tersebut.
d. Selalu diperhatikan kemungkinan adanya refleks batuk, bila
tikus batuk maka sonde tersebut masuk ke dalam trachea dan
sonde ditarik sedikit, kemudia dimasukan lagi ke bagian
esofagus. Jika tidak ada refleks batuk maka sonde berada pada
esofagus dan pemberian sediaan penelitian dapat didorong
masuk ke dalam lambung.
e. Setelah selasai pencekokan, sonde ditarik keluar.

Pencekokan Kelinci
a. Kelinci dimasukan ke dalam kandang fiksasi dengan posisi
kepala di bagian luar karena adanya jepitan leher.
b. Batang kayu yang berlubang di bagian tengahnya digigitkan
ke kelinci sehingga lubang tersebut berada dirongga mulut.
c. Melalui lubang tersebut kateter karet dimasukan pelan-pelan.
Bila buncul refleks batuk maka kateter ditarik sedikit dan
masukan lagi pada lubang lain, yaitu esofagus. Bila tidak
terdapat refleks batuk dorongan terus dilanjutkan hingga
masuk lambung.
d. Cairan dalam syringe dimasukan melalui sonde tersebut.
Setelah selesai pencekokan, maka kateter karet ditarik keluar.

75
Pencekokan Ruminansia
Pencekokan ruminasia dapat dengan mudah dilakukan, bahan uji bisa
langsung dimasukan ke dalam rongga mulut dengan menggunakan
syringe.

2. Teknik Penyuntikan
Teknik penyuntikan pada berbagai hewan coba, seperti mencit, tikus,
hamster, marmut, kelinci, anjing, domba, dan ayam dapat dilakukan
dengan metode antara lain,
 Intradermal (ID), yaitu penyuntikan bahan uji masuk ke dalam
kulit
 Subcutaneus (SC), merupakan penyuntikan bahan uji masuk ke
dalam ruang bawah kulit
 Intraperitonial (IP), merupakan penyuntikan bahan uji masuk ke
dalam rongga perut
 Intracardial (IC), yaitu penyuntikan bahan uji masuk menembus
otot dan ruang jantung
 Intramuskuler (IM), merupakan penyuntikan bahan uji masuk ke
dalam otot
 Intravenous (IV), merupakan penyuntikan bahan uji masuk ke
dalam pembuluh darah vena

B. Jalur Pemberian Bahan Uji

Seperti yang telah dibahas pada subbab sebelumya, pemberian


bahan uji pada hewan coba secara umum dapat dilakukan melalui oral
atau dengan suntikan. Tata cara pemberian bahan uji dipengaruhi oleh
jenis bahan uji, cara pemberian (route of administartion), tempat pemberian
(site), dan volume bahan uji.
a. Jalur pemberian bahan uji secara oral, dilakukan untuk bahan uji
berbentuk cairan. Sediaan atau bahan uji dapat secara langsung

76
dimasukan ke rongga mulut atau lambung hewan coba. Yang perlu
diperhatikan jika bahan uji berupa cairan adalah volume cairan, jika
volume cairan (mL/kg) terlalu besar dapat membebani kapasitas
perut. Volume cairan yang lebih besar juga dapat mengalami refluks
(aliran balik) ke esofagus. Apabila bahan uji berbentuk tablet atau
kapsul akan lebih mudah disembunyikan, disisipkan, atau
dicampurkan dalam pakan hewan coba. Bahan uji yangberbentuk cair
dapat dimasukan langsung dengan teknik oral gavage. Oral gavage
merupakan teknik memasukan bahan uji menggunakan jarum yang
ditumpulkan atau bagian ujung jarum dibuat berbentuk bola dari
timah dan dipasang pada syringe (jarum suntik). Memasukan bahan
uji dengan metode ini lebih menguntungkan karena bahan langsung
masuk ke dalam lambung sehingga dapat mencegah trauma pada
mulut dan esofagus. Bahan uji yang dimasukan melalui per oral
mudah diserap melalui membran mukosa lambung dan usus
sehingga memberi efek sistemik. Pada Tabel 8 disajikan dosis
maksium per oral yang disesuaikan dengan volume lambung.

Tabel 8. Dosis maksimum per oral sesuai volume gastrik


Jenis Hewan Berat Badan Volume maksimum
(g) (mL)
Mencit 20-30 1
Tikus 150 2
Hamster 50 2,5
Marmut 250 10
Kelinci 2.500 20
Kucing 3.000 50
Anjing 5.000 100

b. Jalur pemberian bahan uji secara suntikan (parenteral), secara


umum akan memberikan efek sistemik. 1) Bahan uji yang diberikan
secara subkutan (SC) disuntikan ke dalam tubuh melalui bagian yang

77
sedikit lemaknya dan masuk ke dalam jaringan bawah kulit. Larutan
bahan uji sebaiknya isotonis dan isohidris. Larutan yang tidak
isotonis dapat menimbulkan rasa nyeri atau nekrosis dan absorpsi zat
aktif menjadi tidak optimal. 2) Bahan uji yang disuntikan secara
intramuskular (IM), umumnya disuntikan disela-sela otot paha atau
lapisan otot di bagian lain. Untuk pemberian dosis yang harus
diberikan berkali-kali pilih daerah yang tepat supaya tidak
menimbulkan kesakitan. Syarat yang harus dipenuhi oleh bahan uji
tersebut adalah sediaan dalam bentuk larutan sehingga mudah
diabsorpsi daripada suspensi pembawa minyak atau air. Larutan juga
sebaiknya isotonis. 3) Pemberian bahan uji secara intravena (IV)
sebaiknya harus dalam volume kecil, bahan bersifat isotonis dan
isohidris, sedangkan jika diperlukan dalam volume besar dapat
berupa infuse, tetap isotonis dan isohidris. Tidak ada vase absorpsi
sehingga obat/bahan uji langsung masuk ke dalam vena. Bahan uji
bekerja lebih efisien dan bioavibiltas bahan uji 100%. Bahan uji harus
memenuhi syarat larut air, bila bahan uji berupa emulsi lemak atau
partikel minyak tidak boleh lebih besar dari ukuran partikel eritrosit.
Larutan yang sifatnya hipertonis disuntikan secara lambat sehingga
sel-sel darah tidak akan terpengaruh. 4) Injeksi sediaan bahan uji
secara intreperitoneal (IP) tidak sering digunakan untuk multidosis
karena memungkinkan komplikasi. Injeksi pada saluran usus dapat
menyebabkan peritonitis. Penyerapan bahan dari rongga peritoneum
bergantung pada sifat partikel bahan uji. Umumnya bahan uji dapat
diserap ke dalam sirkulasi sistemik dan portal. Dalam volume besar
relatif aman jika disuntikan oleh handler yang berpengalaman. 5)
Injeksi intradermal (ID) biasanya dipakai untuk uji tanggap
kekebalan, inflamasi atau sensitisasi bahan. Beberapa hewan yang
tidak toleran terhadap jalur/rute ID merasa kesakitan, khusunya area
kulit sekitar mata. Tabel 9 menampilkan jalur bahan uji yang meliputi
lokasi injeksi, volume sediaan, dan ukuran jarum untuk beberapa
hewan coba.

78
Tabel 9. Lokasi untuk injeksi, volume bahan uji, dan ukuran jarum

Jenis Jalur yang ditempuh bahan uji


hewan IV IP IM SC Oral (Os)
Mencit Lokasi Lateral ekor Tidak Belakang
direkomen leher
dasikan
Volume 0,2 mL 2,3 mL 2-3 mL 5-10 (L/kg
Ukuran < 25 gauge < 21 gauge < 20 gauge Jarum gavage
jarum 22-24
Tikus Lokasi Lateral ekor Otot Belakang
& vena quadriseps leher
saphena , bagian
belakang
paha
Volume 0,5 mL 5-10 mL 0,1 mL 5-10 mL 5-10 mL/kg
Ukuran < 25 gauge < 21 gauge < 21 gauge < 20 gauge Jarum tumpul
jarum 18-20 gauge
Kelinci Lokasi Vena Otot Belakang
marginalis quadriseps leher
telinga , bagian
belakang
paha, otot
lumbal
Volume 1-5 mL 50-100 mL 0,5-1 mL 50-100 mL 10-15 mL/kg
Ukuran < 21 gauge < 21 gauge < 20 gauge < 20 gauge Jarum tumpul
jarum 18-20 gauge
Kucing Lokasi Vena Otot Belakang
chepalica quadriseps leher
(tengkuk)
Volume 5-10 mL 10 mL 0,5-1 mL 5-10 mL
Ukuran < 20 gauge < 20 gauge < 20 gauge < 20 gauge
jarum
Primata Lokasi Vena Otot Belakang
cephalica; quadriseps leher
vena (tengkuk)
recurret;
vena
jugularis
Volume 20 mL 10-15 mL 3 mL 3-5 mL
Ukuran < 20 gauge < 20 gauge < 20 gauge < 20 gauge
jarum

79
Ringkasan

Berbagai perlakuan diberikan pada hewan coba terkait dengan tujuan


penelitian. Teknik-teknik dasar dalam perlakuan pada hewan coba
meliputi teknik pembiusan, teknik aplikasi perlakuan, teknik
pengambilan sampel biologis pada berbagai hewan coba. Selain teknik
aplikasi pada hewan coba yang harus dikuasai selama pemberian
perlakuan, tata cara pemberian bahan uji juga harus dipahami. Beberapa
aspek yang perlu diperhatikan terkait dengan pemberian bahan uji adalah
jenis bahan uji, cara pemberian (route of administartion), tempat pemberian
(site), dan volume bahan uji.

Latihan Soal

1. Tuliskan prosedur pembiusan yang dilakukan untuk hewan coba.


2. Sebutkan teknik aplikasi perlakuan pada hewan coba dan berikan
keterangan singkat pada jawaban anda.
3. Apa tujuan penandaan bagi hewan coba dan bagaimana prosedur
penandaan hewan coba, jelaskan.
4. Tuliskan tata kerja pencekokan pada tikus.
5. Bagaimana cara yang mudah untuk mencekok ruminasia sebagai
hewan coba.
6. Terdapat beberapa metode penyuntikan yang diperkenankan untuk
hewan coba. Sebutkan dan jelaskan masing-masing metode
penyuntikan untuk hewan coba.
7. Faktor apa saja yang berpengaruh pada pemberian bahan uji bagi
hewan coba. Jelaskan jawaban anda.
8. Bagaimana syarat bahan uji yang diberikan secara intravena,
intramuskular, dan subkutaneus, berikan penjelasan secara singkat.

80
VII. ANALGESI, ANESTESI, DAN
EUTHANASIA UNTUK HEWAN
PERCOBAAN

Analgesi adalah obat yang selektif menghambat rasa sakit/nyeri


sehingga tidak merasakan kesakitan setelah penggunaan obat tersebut.
Dalam penelitian yang melibatkan hewan coba rasa sakit mungkin
dirasakan oleh hewan akibat perlakuan yang diberikan. Untuk
meminimalkan rasa sakit analgesi sering kali diberikan untuk tindakan
sebelum pembedahan atau pengakhiran hewan coba. Analgesi yang biasa
digunakan untuk mengontrol rasa sakit pada hewan ada dua jenis, yaitu
a. Nonsteroidal Antiinflamatory Drug (NSAID), merupakan jenis
analgesi untuk mengurangi nyeri menengah hingga kronis yang
berhubungan dengan sistem muskuloskeletal. Pengaruh
analgesik NSAID pada jaringan perifer adalah menghambat
produksi prostaglandin. Prostaglandin secara normal dihasilkan
oleh jaringan yang mengalami kerusakan atau inflamasi.
Inflamasi jaringan memdisi serangkain produksi vasoaktif amin
(histamin, serotonin), leukosit (limfokin, interleukin, radikal
oksigen), asam arakhidonat (prostaglandin, leukotrien). NSAID
mengontrol sakit/nyeri melalui penghambatan siklooksigenase,
yaitu enzim utama pada jalur arakhidonat untuk produksi
prostaglandin. Terdapat beberapa golongan NSAID antara lain
asam propionat (carprofen, naproxen, ibuprofen, ketoprofen),
asam fenamat (asam meklofenamik), oxcian (meloxicam), dan
pyrazolone (phenilbutazone).
b. Opioid (narkotik), merupakan analgesi yang umum digunakan
pascaoperasi/pascabedah. Pengaruh analgesi narkotik
disebabkan oleh interaksi opoid dengan respetor spesifik opioid
pada CNS dan bagian tubuh lainnya. Reseptor opioid terdapat di
dalam otak, sumsum tulang belakang, jaringan perifer, paru-
paru, dan permukaan sel-sel imun. Narkotik sebagai agen

81
analgesik memberikan pengaruh sedasi dan halusinasi
(dysphoria). Secara umum, efek dari narkotik adalah salivasi
(produksi air liur berlebih), nausea (mual), vomitus (muntah),
dan nonpropulsive intestinal (ketidakmampuan intestinum
berkontraksi). Jenis opiod yang sering dipergunakan untuk
hewan adalah agonis murni dan antagonis. Agonis murni
merupakan jenis opioid yang hanya menmenstimulasi reseptor,
contohnya morfin. Opioid antagonis merupakan obat analgesi
yang berikatan dengan reseptor tetapi menggagalkan atau
memblokir munculnya respons. Antagonis akan berkompetisi
dengan opioid agonis untuk mendapatkan reseptor opioid,
contohnya narcotic reversal agent dan naloxone.
Pemberian anestesi pada hewan coba membuat hewan tidak peka
terhadap rasa sakit baik disertai atau tanpa hilangnya kesadaran. Anestesi
berasal dari kata “an”, artinya tidak dan “aesthesis”, artinya tidak ada rasa
atau hilangnya rasa. Jadi, anestesi diartikan sebagai hilangnya rasa
terhadap rangsang. Anestesi diberikan dengan dosis yang cukup. Secara
umum, anestesi digunakan pada hewan coba dengan tujuan mengurangi
atau menghilangkan rasa sakit/nyeri dengan meminimalkan kerusakan
organ tubuh dan membuat hewan tidak banyak bergerak. Tujuan khusus
anestesi antara lain
a. menginduksi relaksasi otot, sering digunakan untuk diagnosis
atau proses pembedahan yang aman;
b. melakukan pengendalian hewan (restraint);
c. keperluan biomedis;
d. pemindahan atau transportasi hewan liar;
e. pengakhiran hewan secara humanis; dan
f. digunakan untuk ruda paksa (euthanasia).

Berdasarkan rute atau jalur penggunaannya anestesi dapat


diklasifikasikan menjadi,
1. Topikal, anestesi yang dilakukan melalui kutaneus atau membran
mukosa.

82
2. Injeksi, dilakukan melalui intravena, subkutan, intramuskular,
dan intraperitoneal.
3. Gastrointestinal, anestesi yang dilakukan secara oral atau rektal.
4. Respirasi/inhalasi, anestesi melalui saluran nafas.

Sementara berdasarkan daerah atau luasan pada tubuh yang dipengaruhi


oleh anestesi, dapat dibedakan menjadi:
1. Anestesi lokal, terbatas pada penggunaan secara topikal, dapat
dilakukan dengan salep, tetes, dan spray. Obat yang digunakan
dapat menghambat konduksi saraf perifer tanpa menimbulkan
kerusakan permanen pada saraf tersebut. Prinsip penggunaan
anestesi jenis ini adalah terjadinya hambatan saluran ion Na
sehingga membran akson tidak dapat bereaksi dengan asetilkolin
dan membran tetap dalam keadaan semipermeabel sehingga
aliran impuls yang melewati saraf terhenti. Sifat anestetikum lokal
ini poten (efektif dalam dosis rendah), penetrasi baik, kerja cepat,
tidak mengiritasi jaringan, reversibel, dan mudah diekskresikan
tubuh. Beberapa jenis obat yang sering dipergunakan untuk
anestetikum lokal adalah procaine HCL 2-4%, lidocaine 0,5-2%,
bupivacaine 0,25-0,5%, tetracaine secukupya, dibucaine, lindonest,
dan chlor butanol.
2. Anestesi regional, berpengaruh pada daerah tertentu, pemberian
anestesi dapat dilakukan secara perineural, epidural (injeksi
antara durameter dan periosteum dari canalis spinalis atau antara
lumbar terakhir dengan tulang sakral), intertekal, atau
subaraknoid. Prinsip anestetikum regional adalah menghilangkan
rasa denagn cara menyuntikan anestetikum pada lokasi saraf yang
menginervasi regio tertentu sehingga terjadi hambatan konduksi
impuls yang reversibel tanpa disertai hilangnya kesadaran.
Beberapa jenis anestetikum regional antara lain lidocaine 2%,
bupivicaine 0,5%, ropivacaine 0,75%, dan mepivacaine 2%.
3. Anestesi umum, berpengaruh pada semua sistem tubuh,
pemberian anestesi secara injeksi, inhalasi atau gabungan (balanced

83
anesthesia). Prinsip penggunaan anestetikum umum adalah
kehilangan rasa di seluruh tubuh dan hilangnya kesadaran yang
bersifat sementara, hal ini dapat terjadi karena pengaruh
penekanan sistem saraf pusat dengan adanya induksi farmaologi
atau penekanan sensori pada saraf. Penggunaan anestetikum
umum injeksi atau inhalasi dapat menghilangkan respons nyeri
(analgesik), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya refleks atau
gerak spontan (immobility), dan hilangnya kesadaran
(unconsciusness). Beberapa jenis anestetikum umum inhlasi yang
sering dipakai pada hewan coba adalah halotan, isofluran,
sevoflurna, desfluran, dietil eter, nitrogen oksida, dan xenon.
Penggunaan secara inhalasi membutuhkan alat vaporizer
(Gambar 12). Jenis anestetikum umum yang digunakan secara
injeksi antara lain barbiturat (tiopental, metoheksital,
pentoberbital), sikloheksamin (ketamine), propofol, dan etomidat.

A B

Gambar 12. Anestesi inhalasi, A) ruang inhalasi, B) inhalasi teknik open drop
dengan isoflurane

84
Sebelum tindakan anestesi umum sering dilakukan preanestesi
dengan tujuan menenangkan hewan sehingga dihasilkan induksi anestesi
yang halus. Tujuan dilakukan preanestesi, yaitu dapat mengurangi dosis
anestesi, mengurangi atau menghilangkan efek samping ansetetikum,
serta mengurangi nyeri selama pembedahan ataupun pascapembedahan.
Preanestesi umum yang sering digunakan pada hewan coba adalah a)
golongan antikolinergik (atropin), b) pelemas otot (otot paralyzer)
misalnya xylazine dan diazepam, c) agen disosiatif (ketamin), d) narkotik/
opioid (morfin), dan e) transquilizer (diazepam, promazin, acepromazin,
midazolam).
Tindakan anestesi harus selalu disertai dengan monitoring
anestesi. Monitoring anestesi meliputi monitoring kardiovaskuler,
pulmonari, dan sistem saraf pusat. Monitoring kardiovaskuler dapat
dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, ritme jantung, serta
denyut jantung. Untuk keperluan ini dapat digunakan ECG. Monitoring
respirasi dilakukan dengan menghitung rata-rata respirasi, jumlah
hemoglobin, kadar oksigen, tekanan arteri, dan karbon dioksida yang
dikeluarkan. Monitoring sistem saraf pusat meliputi pemeriksaan posisi
mata dan refleks mata. Untuk mempercepat pemulihan anestesi dapat
dilakukan anestesi inhalasi dengan pemberian oksigen 100%.

Euthanasia bagi Hewan Percobaan


Sampel organ internal seringkali harus diambil pada periode
penelitian. Untuk keperluan tersebut sering dengan terpaksa harus
menghilangkan nyawa hewan percobaan. Terminasi atau mengakhiri
masa hidup hewan coba harus dilakukan dengan cara-cara yang sesedikit
mungkin menimbulkan penderitaan bagi hewan, proses ini dikenal
sebagai euthanasia. Prinsip euthanasia adalah menghilangkan nyawa
atau terminasi hewan dengan cara yang layak (manusiawi) sehingga
hewan mati dengan mudah, tenang, tanpa sakit, dan tidak gelisah. Dari
segi etika penggunaan hewan coba dan penelitian ditekankan bahwa
euthanasia hanya boleh dilakukan apabila tidak ada teknik lain untuk

85
memperoleh data yang berupa pengambilan organ tersebut. Pada
prinsipnya teknik euthanasia tidak menimbulkan kesakitan atau jika ada
rasa sakit harus sesedikit mungkin sehingga dalam pelaksanaannya
euthanasia akan diawali dengan pemingsanan terlebih dahulu
menggunakan anestesi atau sedasi, lalu diikuti dengan tindakan terminasi
atau mengakhiri kehidupan hewan.
Obat-obat yang dipergunakan sebagai anestesi pada euthanasia
harus di bawah pengawasan dokter hewan. Peneliti juga harus menguasai
dan terampil dengan teknik euthanasia ini untuk mencegah penderitaan
yang berkepanjangan. Euthanasia hewan coba yang hasil akhirnya daging
untuk dikonsumsi dapat dilakukan dengan penyembelihan. Teknik
penyembelihan harus menggunakan alat yang tepat, misalnya pisau yang
sangat tajam. Euthansia kadang dilakukan terhadap hewan-hewan coba
yang mengalami penderitaan/kesakitan akibat perlakuan dari penelitian.
Berbagai aspek yang harus diperhatikan ketika akan melakukan
euthanasia adalah
a. euthanasia yang dilakukan sebanding dengan tujuan penelitian,
b. sedikit pengaruhnya terhadap emosi yang melakukan (peneliti
atau teknisi),
c. lokasi untuk euthanasi harus terpisah dari kandang hewan hidup,
d. pada beberapa hewan besar, seperti monyet, anjing, kucing
diperlukan tranquilizer (obat penenang) terlebih dulu.

Pemilihan cara euthanasia juga harus mempertimbangkan beberapa hal,


antara lain
 Hewan mati tanpa kepanikan, kesakitan, dan kesukaran
 Kesadaran hewan hilang dalam waktu singkat
 Prosedur euthanasi yang dipakai dapat diulang kembali
 Aman untuk orang yang mengerjakan
 Sesuai dengan tujuan penelitian
 Euthanasia yang dilakukan memberikan pengaruh sedikit mungkin
untuk peneliti dan operator (pelaksana euthanasia)

86
 Euthanasia dapat dilakukan denagn mudah, berbiaya murah, dan
bebas dari pelatan mekanik
 Lokasi untuk euthanasia cukup jauh dan terpisah dari ruang
pemeliharaan hewan

Terdapat beberapa metode (cara) untuk euthanasia, yaitu


1. Secara fisik, dilakukan dengan stunning, dislokasi servical,
dekapitasi (memenggal leher), dekompresi.
2. Penggunaan zat farmakologik noninhalan, bahan diberikan secara
intravena atau intraperitoneal, berbagai zat noninhalan adalah
sodium pentobarbital, ketamin, dan derivat berbiturat.
3. Zat anestetik inhalasi, berbentuk uap untuk dihirup, zat tersebut
antara lain ether, kloroform, halithane, nitrogen oksida, dan
metoksifluran.
4. Gas nonanestetik, sering digunakan karbon monoksida dan
karbon dioksida.
5. Transquilizer, khusus digunakan untuk anjing, kucing, dan
kelinci.
6. Zat kurare, strikinin, dan nikotin sulfat, zat-zat tersebut sangat
tidak dianjurkan karena menimbulkan penderitaan pada hewan.
Euthanasia mencit dilakukan dengan CO2, injeksi barbiturat over dosis
(200 mg/kg) IP, atau dapat dilakukan dengan dislokasi (dekapitasi).
Dislokasi maupun dekapitasi perlu keahlian khusus bergantung pada
tujuan euthanasia. Seperti halnya mencit, euthanasia tikus dapat
dilakukan dengan CO2, injeksi pentobarbital over dosis (40-60 mg/kg) IP,
atau ketamin/medetomidin 60-75 mg/kg IP, dapat juga digunakan obat
anestetika yang lain.

87
Ringkasan

Penelitian yang melibatkan hewan coba, rasa sakit mungkin


dirasakan oleh hewan akibat perlakuan yang diberikan. Untuk
meminimalkan rasa sakit, analgesi sering kali diberikan untuk tindakan
sebelum pembedahan atau pengakhiran hewan coba. Selain analgesi,
anestesi digunakan pada hewan coba dengan tujuan mengurangi atau
menghilangkan rasa sakit/nyeri dengan meminimalkan kerusakan organ
tubuh dan membuat hewan tidak banyak bergerak.
Selain anestesi dan analgesi, untuk mengambil sampel organ atau
mengakhiri hidup hewan coba seringkali menimbulkan rasa sakit yang
berlebih sehingga hewan harus diakhiri hidupnya (terminasi) tanpa
menimbulkan penderitaan yang berkepanjangan. Terminasi atau
mengakhiri masa hidup hewan coba harus dilakukan dengan cara-cara
yang sesedikit mungkin menimbulkan penderitaan bagi hewan, proses ini
dikenal sebagai euthanasia. Prinsip euthanasia adalah menghilangkan
nyawa hewan dengan cara yang layak (manusiawi) sehingga hewan mati
dengan mudah, tenang, tanpa sakit, dan tidak gelisah

Latihan Soal

1. Mengapa analgesik kadang diperlukan oleh hewan coba pada


kondisi-kondisi tertentu. Jelaskan jawaban anda.
2. Tuliskan klasifikasi analgesik yang sering dipakai untuk hewan coba.
3. Mengapa opioid dapat juga dimanfaatkan sebagai agen analgesik
pada hewan coba. Berikan alasan anda.
4. Apa arti penting anestesi bagi hewan coba dan peneliti. Jelaskan
jawaban anda.
5. Bagaimana prinsip dasar yang harus dipenuhi oleh agen anestesi
sehingga tidak merugikan hewan coba.
6. Tuliskan perbedaan mendasar antara anestesi lokal dan regional.

88
7. Apa yang anda ketahui tentang
a. Preanestesi
b. Anestesi umum
c. Anestesi topikal
d. Transquilizer
8. Alasan apa yang dapat anda berikan seorang peneliti memiliki kuasa
untuk terminasi (euthanasia) terhadap hewan coba yang digunakan
dalam penelitiannya.
9. Jelaskan metode-metode yang dapat digunakan untuk euthanasia
secara humanis.

89
VIII. PENANGANAN SAMPEL

Preparasi sampel adalah bagian dari proses analisis yang sangat penting.
Teknik preparasi merupakan proses yang harus dilakukan untuk
menyiapkan sampel sehingga siap untuk dianalisis menggunakan
instrumentasi yang sesuai/yang diinginkan. Meskipun perkembangan
analisis instrumen dengan efisiensi tinggi untuk menentukan analit di
dalam sampel biologis dan sediaan jadi telah berkembang pesat,
namun pre-treatment atau preparasi sampel seperti dalam mengisolasi,
mengekstrak, dan mengkonsentratkan komponen interest dalam matriks
sampel tetap sangat diperlukan, sebab instrumen secanggih apapun tidak
bisa menangani matriks secara langsung. Penyiapan sampel dapat
berbeda untuk bahan yang satu dengan bahan yang lain dalam keadaan
yang lain serta untuk metode yang satu dengan metode yang lain.

A. Preparasi Sampel
Beberapa perlakuan umum dalam penyiapan dan preparasi
sampel adalah isolasi organ, ekstraksi, filtrasi, homogenisasi, sentrifugasi,
lisis, dialisis, inaktivasi enzim, dan modifikasi kimiawi.
a. Isolasi organ, dilakukan sesaat setelah pembedahan
b. Ekstraksi, perlakuan ini dapat dikerjakan dengan berbagai cara,
baik secara fisik (pengepresan /pengempaan, penggilingan,
pengendapan fisik/kristalisasi, pengendapan kimiawi
/penggumpalan, destilasi) dan secara kimiawi dilakukan dengan
cara melarutkan dengan pelarut
c. Fraksinasi, perlakuan ini untuk mendapatkan spermatozoa
(cacahan testis; spermatozoa)
d. Filtrasi, cara untuk memisahkan dua komponen yang berbeda
sifatnya atau ukurannya melalui sebuah membran permiabel yang
poreus (teknik penyaringan)

90
e. Homogenisasi, untuk menyesuaikan ukuran atau kondisi sampel
sehingga memudahkan terjadinya proses kimiawi (misalnya
reaksi, interaksi, dll.), proses fisikawi (misalnya difusi panas, dll).
f. Sentrifugasi, memisahkan partikel-partikel padatan dari cairan
yang bercampur menjadi terpisah satu dengan yang lainnya
didasarkan pada perbedaan berat jenis partikel.
g. Lisis, untuk merusak atau memecah dinding sel tanaman, hewan,
atau mikrobia (secara fisik misalnya dengan penggilingan,
penggerusan, secara cara kimiawi, misalnya dengan
menggunakan asam pekat seperti asam sulfat, asam klorida, asam
asetat
h. Dialisis, teknik pemisahan dengan menggunakan membran
semipermiabel (secara osmosis)
i. Inaktifasi enzim, Terdapatnya enzim sering kali dapat
mengganggu hasil oleh karena enzim yang masih aktif dapat
mengadakan perubahan-perubahan kimiawi dg cara pemanasan,
atau secara kimiawi: denaturan (misalnya urea, guanidin
hidrokiorida, merkaptoetanol, sodium dodesil sulfat, asam
trikioro asetat, dlsb), mengubah kondisi pH lingkungannya,
menambahkan garam (NaC1), dsb.
j. Modifikasi kimiawi dan enzimatik, untuk mengubah struktur
kimiawi sampel untuk suatu tujuan tertentu yang memudahkan
analisis (dematurasi)

Peralatan yang dipergunakan untuk menampung darah berupa tabung


sampel darah. Beberapa jenis tabung sampel darah yang digunakan
dalam praktek laboratorium klinik adalah sebagai berikut,
a. Tabung tutup merah; Tabung ini tanpa penambahan zat aditif,
darah akan menjadi beku dan serum dipisahkan dengan
pemusingan. Umumnya digunakan untuk pemeriksaan kimia
darah, imunologi, serologi dan bank darah (crossmatching test).
b. Tabung tutup kuning; Tabung ini berisi gel separator (serum
separator tube/SST) yang fungsinya memisahkan serum dan sel
91
darah. Setelah pemusingan, serum akan berada di bagian atas gel
dan sel darah berada di bawah gel. Umumnya, digunakan untuk
pemeriksaan kimia darah, imunologi dan serologi.
c. Tabung tutup hijau terang; Tabung ini berisi gel separator (plasma
separator tube/PST) dengan antikoagulan lithium heparin.
Setelah pemusingan, plasma akan berada di bagian atas gel dan
sel darah berada di bawah gel. Umumnya digunakan untuk
pemeriksaan kimia darah.
d. Tabung tutup ungu atau lavender; Tabung ini berisi EDTA.
Umumnya digunakan untuk pemeriksaan darah lengkap dan
bank darah (crossmatch).
e. Tabung tutup biru; Tabung ini berisi natrium sitrat. Umumnya
digunakan untuk pemeriksaan koagulasi (misalnya PPT, APTT).
f. Tabung tutup hijau; Tabung ini berisi natrium atau lithium
heparin, umumnya digunakan untuk pemeriksaan fragilitas
osmotik eritrosit, kimia darah.
g. Tabung tutup biru gelap; Tabung ini berisi EDTA yang bebas
logam, umumnya digunakan untuk pemeriksaan trace element
(zink, copper, mercury) dan toksikologi.
h. Tabung tutup abu-abu terang; Tabung ini berisi natrium fluoride
dan kalium oksalat, digunakan untuk pemeriksaan glukosa.
i. Tabung tutup hitam; berisi bufer sodium sitrat, digunakan untuk
pemeriksaan LED (ESR).
j. Tabung tutup pink; berisi potassium EDTA, digunakan untuk
pemeriksaan imunohematologi.
k. Tabung tutup putih; potassium EDTA, digunakan untuk
pemeriksaan molekuler/PCR dan bDNA.
l. Tabung tutup kuning dengan warna hitam di bagian atas; berisi media
biakan, digunakan untuk pemeriksaan mikrobiologi aerob,
anaerob dan jamur.

92
Sampel yang sudah diperoleh dan disiapkan untuk analisis lanjut
sebaiknya disimpan atau diawetkan dengan memperhatikan hal-hal sebai
berikut,
a. Sampel disimpan dalam wadah (botol) yang tertutup rapat, dilack
(sealed) untuk mencegah tumpah/bocornya sampel, tersusun rapi
serta dibungkus dengan baik dan berlak segel.
b. Label sampel harus dipasang di wadah bukan ditutup wadah
sampel. Ini akan mencegah perubahan/penukaran label secara
sengaja atau tidak.
c. Disimpan dalam wadah yang terpisah
d. Setiap wadah harus dilengkapi dengan identitas yang jelas
e. Secara umum sampel biologi harus disimpan pada suhu 4 oC
sebelum diserahkan ke laboratorium; kecuali padatan yang tidak
mudah rusak, seperti rambut, kuku.

Penanganan Sampel Darah dan Urin


Jangka waktu setelah pengambilan sampel darah/urin sampai dengan
diterima di laboratorium haruslah tidak melebihi 24 jam, selama
pengiriman sampel disimpan dalam suhu dingin atau 0C atau dalam
termos dingin yang diberi ice pack.
Penanganan Sampel Darah
 Simpan darah di bawah suhu -10C (- 4C untuk jangka pendek), pada
kondisi ini biasanya analit dan materi biologi berada dalam keadaan
stabil, sampai penetapan kadar sampel.
 Pengambilan sampel darah paling sedikit 10 mL atau serum 5 mL
untuk setiap jenis pemeriksaan.
 Pengambilan darah sebaiknya minta bantuan tenaga medis/dokter
atau para medis/mantri kesehatan atau yg berpengalaman.
 Sampel darah dalam tube diberi antikoagulan/Na sitrat/EDTA.
 Jika darah tetap dibiarkan selama 15 menit pada suhu kamar dalam
suatu tabung tanpa koagulan maka serum dan komponen darah
lainnya akan memisah atau sentrifugasi 3000 rpm selama 10 menit.

93
Penanganan Sampel Urin
 Pengambilan urin minimal 50 mL dalam 1 botol dan langsung
disimpan dalam kulkas (4oC).
 Urin ditampung dalam pot urin disposible dari bahan yang tidak mudah
pecah dan tidak bereaksi dengan sampel urine / inert, hindari wadah
plastik dan tutup karet karena senyawa nonpolar mudah diabsorpsi
oleh bahan tersebut.
 Wadah tempat spesimen harus tertutup baik, tersegel dan pastikan
tidak bocor. Beri label yang harus menempel pada wadah urine, tidak
pada tutupnya serta pastikan integritas sampel.
 Sampel urin untuk kepentingan uji analisis biasanya dikumpulkan
pada pagi hari, malam hari ataupun dapat dilakukan kapan saja
sepanjang hari.
 Sangat penting untuk dilakukan pencatatan terhadap waktu
pengambilan urin karena dapat digunakan dalam penentuan laju
produksi urin.
 Sampel urin acak biasanya ditambahkan pengawet seperti asam
hidroklorik 2 M.
 Urin segar berwarna kuning atau kuning-hijau, namun pada
penyimpanan sebagai larutan yang bersifat asam warna urin akan
berubah menjadi kuning-coklat akibat terjadinya oksidasi dari
urobilinogen menjadi urobilin.
 Sampel urin tahan selama beberapa minggu jika disimpan pada suhu
2-8oC. Namun jika dibekukan (-20oC), sampel urin yang diasamkan
akan tahan sampai jangka waktu yang panjang, tapi sebelumnya
dilakukan sentrifugasi terlebih dahulu
 Urin sangat berguna dalam skrining racun karena obat, racun dan
metabolit terdapat dengan konsentrasi yang lebih besar pada urin
dibandingkan dalam darah.

94
Penanganan sampel organ:
Sampel organ setelah diisolasi untuk pengamatan histologis, difiksasi
dalam larutan Bouin (24 jam) atau larutan BNF 10%, sebelum dibuat
preparat. Apabila sampel kotor, terlebih dahulu dicuci menggunakan
larutan garam fisiologis (9 g garam dapur + 1 lt air hangat)

B. Penanganan Limbah
Limbah adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan
tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungannya karena tidak
mempunyai nilai ekonomi. Limbah mengandung bahan pencemar yang
bersifat racun dan bahaya. Limbah ini dikenal dengan limbah B3 (bahan
beracun dan berbahaya). Limbah laboratorium juga merupakan buangan
yang berasal dari laboratorium. Dalam hal ini khususnya adalah
laboratorium kimia. Limbah ini dapat berasal dari bahan kimia, peralatan
untuk pekerjaan laboratorium dan lain-lain. Limbah laboratorium ini
mempunyai resiko berbahaya bagi lingkungan dan mahluk hidup.
Sebagai limbah, kehadirannya cukup mengkhawatirkan terutama yang
bersumber dari laboratorium kimia. Bahan beracun dan berbahaya
banyak digunakan di laboratorium kimia. Beracun dan berbahaya dari
limbah ditunjukkan oleh sifat fisik dan kimia bahan itu sendiri, baik dari
jumlah maupun kualitasnya. Beberapa kriteria berbahaya dan beracun
telah ditetapkan antara lain mudah terbakar, mudah meledak, korosif,
oksidator dan reduktor, iritasi bukan radioaktif, mutagenik, patogenik,
mudah membusuk dan lain-lain. Dalam jumlah tertentu dengan kadar
tertentu, kehadirannya dapat merusak kesehatan bahkan mematikan
manusia atau kehidupan lainnya sehingga perlu ditetapkan batas-batas
yang diperkenankan dalam lingkungan pada waktu tertentu.
Limbah laboratorium dapat mencemari lingkungan penduduk di
sekitar dan dapat menimbulkan masalah kesehatan. Hal ini dikarenakan
dalam limbah laboratorium dapat mengandung berbagai jasad renik
penyebab penyakit pada manusia termasuk demam typoid, kholera,
disentri dan hepatitis sehingga limbah harus diolah sebelum dibuang ke

95
lingkungan. Sampah dan limbah laboratorium adalah semua sampah dan
limbah yang dihasilkan oleh kegiatan laboratorium dan kegiatan
penunjang lainnya. Secara umum sampah dan limbah laboratorium
dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu sampah atau limbah klinis dan
non klinis baik padat maupun cair.
Semua jenis limbah di laboratorium harus dinyatakan sebagai
bahan yang infeksius, oleh karena itu penanganan dan pembuangan
limbah harus ditangani secara benar agar tidak menimbulkan dampak
negatif sebagai akibat dari kegiatan operasional laboratorium yang jika
tidak dikelola dengan baik dapat mencemari lingkungan.Llimbah yang
berasal dari kegiatan laboratorium dapat berasal dari
a. Bahan baku yang telah kadaluarsa
b. Bahan habis pakai (misal medium biakan/perbenihan yang tidak
terpakai)
c. Produk proses di laboratorium (misal sisa spesimen)
d. Produk upaya penanganan limbah (misal jarum suntik sekali
pakai)

Macam-Macam Limbah Laboratorium


Berdasarkan jenisnya, limbah laboratorium dapat diklasifikaskan

pada berbagai kelas limbah (Tabel 10). Sementara, berdasarkan sifatnya,

limbah dibedakan menjadi,

1. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)

Suatu limbah digolongkan sebagai limbah B3 bila mengandung bahan

berbahaya atau beracun yang sifat dan konsentrasinya, baik langsung

maupun tidak langsung, dapat merusak atau mencemarkan lingkungan

hidup atau membahayakan kesehatan manusia. Limbah berbahaya dan

beracun terdiri dari limbah mudah meledak, limbah mudah terbakar,

limbah reaktif, limbah beracun, limbah yang menyebabkan infeksi, limbah

yang bersifat korosif.

96
Tabel 10. Klasifikasi Limbah Laboratorium

Kelas Jenis
A Pelarut organik bebas halogen dan senyawa organik dalam
larutan
B Pelarut organik mengandung halogen dan senyawa organik
dalam larutan
C Residu padatan bahan kimia laboratorium organik
D Garam dalam larutan: lakukan penyesuaian kandungan
kemasan pada pH 6-8
E Residu bahan anorganik beracun dan garam logam berat dan
larutannya
F Senyawa beracun mudah terbakar
G Residu air raksa dan garam anorganik raksa
H Residu garam logam; tiap logam harus dikumpulkan secara
terpisah
I Padatan anorganik
J Kumpulan terpisah limbah kaca, logam dan plastik

2. Limbah infeksius
Limbah infeksius meliputi limbah yang berkaitan dengan pasien yang
memerlukan isolasi penyakit menular serta limbah laboratorium yang
berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi dari poliklinik, ruang
perawatan dan ruang isolasi penyakit menular.

3. Limbah radioaktif
Limbah radioaktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop
yang berasal dari penggunaan medis atau riset radionukleida.

4. Limbah umum

97
Berdasarkan bentuk limbah yang dihasilkan, dibedakan menjadi
1. Limbah padat, di laboratorium relatif kecil, biasanya berupa endapan
atau kertas saring terpakai, sehingga masih dapat diatasi. Limbah padat
dibedakan menjadi limbah padat infeksius dan limbah padat non
infeksius
2. Limbah gas, berupa gas. Umumnya dalam jumlah kecil, sehingga relatif
masih aman untuk dibuang langsung di udara, contohnya limbah yang
dihasilkan dari penggunaan generator, sterilisasi dengan etilen oksida
atau dari thermometer yang pecah (uap air raksa).
3. Limbah cair adalah sisa dari suatu hasil usaha atau kegiatan yang
berwujud cair. Umumnya, laboratorium berlokasi di sekitar kawasan
hunian, sehingga akumulasi limbah cair yang meresap ke dalam air tanah
dapat membahayakan lingkungan sekitar. Limbah cair terbagi atas,
 Limbah cair infeksius
 Limbah cair domestik
 Limbah cair kimia

Berdasarkan atas dasar asalnya, limbah dikelompokkan menjadi 2, yaitu


1. Limbah organik; Limbah ini terdiri atas bahan-bahan yang besifat
organik seperti dari kegiatan rumah tangga, kegiatan industri. Limbah ini
juga bisa dengan mudah diuraikan melalui proses yang alami.
2. Limbah anorganik; Limbah anorganik berasal dari sumber daya alam
yang tidak dapat di uraikan dan tidak dapat diperbaharui.

Cara Pengelolaan Limbah Laboratorium


Pengelolaan limbah laboratorium merupakan kegiatan bagaimana
buangan yang berasal dari laboratorium dapat dikelola supaya tidak
mencemari lingkungan dan menimbulkan berbagai penyakit. Dalam
jumlah tertentu dengan kadar tertentu, kehadirannya dapat merusak
kesehatan bahkan mematikan manusia atau kehidupan lainnya sehingga
perlu ditetapkan batas-batas yang diperkenankan dalam lingkungan pada
waktu tertentu.

98
Tujuan penanganan limbah adalah untuk mengurangi resiko
pemaparan limbah terhadap kuman yang menimbulkan penyakit
(patogen) yang mungkin berada dalam limbah tersebut. Penanganan
limbah antara lain ditentukan oleh sifat limbah, yaitu

1. Sampah/ limbah Kimia


Limbah kimia adalah limbah yang dihasilkan oleh laboratorium
kimia adalah limbah kimia dan limbah yang berasal dari bahan sisa
analisa. Limbah kimia biasanya berbentuk cairan yang berasal dari sisa
hasil analisa kimia missal analisa kadar protein, analisa kadar lemak,
penentuan kadar sulfat, dan lain-lain. Sedangkan limbah sisa analisa
biasanya berbentuk serbuk berasal dari produk jadi maupun bahan baku
yang sudah tidak digunakan lagi untuk analisa. Limbah kimia yang
dihasilkan dapat digolongkan sebagai limbah B3 (Bahan Berbahaya dan
Beracun). Limbah B3 merupakan semua bahan/senyawa baik padat, cair,
ataupun gas yang mempunyai potensi merusak terhadap kesehatan
manusia serta lingkungan akibat sifat-sifat yang dimiliki senyawa
tersebut.
Berdasarkan jenis bahayanya, limbah bahan kimia dibagi menjadi
a. Limbah mudah meledak adalah limbah yang melalui reaksi kimia
dapat menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang
dengan cepat dapat merusak lingkungan.
b. Limbah mudah terbakar adalah limbah yang bila berdekatan
dengan api, percikan api, gesekan atau sumber nyala lain akan
mudah menyala atau terbakar dan bila telah menyala akan terus
terbakar hebat dalam waktu lama.
c. Limbah reaktif adalah limbah yang menyebabkan kebakaran karena
melepaskan atau menerima oksigen atau limbah organik peroksida
yang tidak stabil dalam suhu tinggi.
d. Limbah beracun adalah limbah yang mengandung racun yang
berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Limbah B3 dapat
menimbulkan kematian atau sakit bila masuk ke dalam tubuh
melalui pernapasan, kulit atau mulut.

99
e. Limbah penyebab infeksi adalah limbah laboratorium yang
terinfeksi penyakit atau limbah yang mengandung kuman penyakit,
seperti bagian tubuh manusia yang diamputasi dan cairan tubuh
manusia yang terkena infeksi.
f. Limbah yang bersifat korosif adalah limbah yang menyebabkan
iritasi pada kulit atau mengkorosikan baja, yaitu memiliki pH sama
atau kurang dari 2,0 untuk limbah yang bersifat asam.

Terdapat aturan dalam pembuangan/penanganan sampah/limbah kimia:


1. Tidak boleh dibuang di saluran pembuangan air adalah pelarut-
pelarut organik, logam berat, sianida, sulfida, bahan-bahan padat.
Alkali kuat harus dinetralisir sebelum dibuang, sedangkan asam
kuat harus dinetralkan dengan sodium bikarbonat sebelum
dibuang.
2. Sampah–sampah kimia yang berbahaya harus ditempatkan pada
wadah yang diberi label. Sampah-sampah yang sangat berbahaya
biasanya diubah (dioksidasi, direduksi, dinetralisasi, dll) menjadi
bahan yang kurang berbahaya sebelum ditempatkan dalam wadah-
wadah pembuangan.
3. Sampah radioaktif harus mendapat penanganan khusus, demikian
juga bahan bersifat karsinogenik.

Bahan Karsinogenik :
a. Bahaya, beresiko tumor dan kanker pada seseorang
b. Penyimpanan :
 bahan tersebut dipesan sebanyak yang diperlukan saja
 wadah penyimpan harus aman betul
 semua wadah harus berlabel jelas dan disimpan dalam almari
yang aman berventilasi
c. Penanganan, bagian tubuh yang terkena dengan zat tersebut harus
segera dicuci dengan air dingin selama + 5 menit
d. Pembuangan, limbah karsinogenik dibuang dalam wadah berlabel
dan tertutup serta terpisah dari bahan kimia lainnya dibuang secara

100
bertahap, jangan menunggu hingga jumlahnya banyak. Bahan
karsinogenik cair ditempatkan maksimal separuh dari kapasisas
volume tempat pembuangan.

Penanganan limbah berbahaya dan beracun, dengan cara :


1) Netralisasi; Limbah yang bersifat asam dinetralkan dengan basa
seperti kapur tohor, CaO atau Ca(OH)2. Sebaliknya, limbah yang
bersifat basa dinetralkan dengan asam seperti H2SO4 atau HCI.
2) Pengendapan/sedimentasi, koagulasi dan flokulasi; Kontaminan
logam berat dalam ciaran diendapkan dengan tawas/FeC1 3,
Ca(OH)2/CaO karena dapat mengikat As, Zn, Ni, Mn, dan Hg.
3) Reduksi-Oksidasi; terhadap zat organik toksik dalam limbah dapat
dilakukan reaksi reduksi oksidasi (redoks) sehingga terbentuk zat
yang kurang/tidak toksik.
4) Penukaran ion; Ion logam berat nikel, Ni dapat diserap oleh kation,
sedangkan anion beracun dapat diserap oleh resin anion.

2. Limbah infeksius, ada beberapa metode penanganan limbah


cair/padat yang bersifat infeksius, yaitu
a. Metode Desinfeksi adalah penanganan limbah (terutama cair) dengan
cara penambahan bahan-bahan kimia yang dapat mematikan atau
membuat kuman-kuman penyakit menjadi tidak aktif.
b. Metode Pengenceran (Dilution) dengan cara mengencerkan air limbah
sampai mencapai konsentrasi yang cukup rendah, kemudian baru
dibuang ke badan-badan air. Kerugiannya ialah bahan kontaminasi
terhadap badan-badan air masih tetap ada, pengendapan yang terjadi
dapat menimbulkan pendangkalan terhadap badan-badan air seperti
selokan, sungai dan sebagainya sehingga dapat menimbulkan banjir.
c. Metode Proses Biologis dengan menggunakan bakteri-bakteri
pengurai. Bakteri-bakteri tersebut akan menimbulkan dekomposisi
zat-zat organik yang terdapat dalam limbah.
d. Metode Ditanam (Landfill), yaitu penanganan limbah dengan
menimbunnya dalam tanah.

101
e. Metode Insinerasi (Pembakaran) merupakan pemusnah limbah
dengan cara memasukkan ke dalam insinerator, dalam insinerator
senyawa kimia karbon yang ada dibebaskan ke atmosfir sebagai
CO2 dan H2O. Bahan-bahan seperti mineral, logam dan bahan organik
lainnya (kuman penyakit, jaringan tubuh, hewan, darah, bahan kimia,
kertas, plastik) yang tidak terbakar tersisa dalam bentuk abu yang
beratnya 10-30% dari berat aslinya (tergantung dari jenis limbah).

3. Limbah/sampah Biologi
Limbah/ sampah biologi adalah limbah/ sampah yang terdiri dari
sampah organik; yaitu adalah sampah yang dihasilkan dari bahan-bahan
hayati yang dapat didegradasi oleh mikroba atau bersifat biodegradable.
Sampah ini dengan mudah dapat diuraikan melalui proses alami. Sampah
rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik. Termasuk
sampah organik, misalnya sampah dari dapur, sisa-sisa makanan,
pembungkus (selain kertas, karet dan plastik), tepung, sayuran, kulit
buah, daun dan ranting. Selain itu, pasar tradisional juga banyak
menyumbangkan sampah organik seperti sampah sayuran, buah-buahan
dan lain-lain.
Berikut cara menangani/ mengelola sampah Organik
a. Membakar sampah botani dan zoologi merupakan jalan terbaik
untuk meyakinkan bahwa bahan-bahan busuk tersebut tidak
beresiko membahayakan kesehatan.
b. Preparat biologi, stains, fixative dan clearing agents kemungkinan
besar toksik sehingga tidak boleh dibuang ke sistem drainase
umum.
c. Sampah harus ditempatkan pada wadah tertutup dan diberi label.
d. Sampah yang mengandung mikroorganisme harus di autoklave
terlebih dahulu.
e. Sampah biologi dan mikrobiologi dalam jumlah besar sebaiknya
dimusnahkan dalam insinerator.

102
4. Limbah umum
Limbah umum noninfeksius setelah dikumpulkan dalam wadah kantong
plastik diikat kuat dan dibakar di insinerator.

Limbah limbah lain


a. Sampah kertas dibuang dalam wadah khusus untuk kertas dan
sebaiknya dibakar dalam satu tempat pembakaran
b. Limbah benda tajam adalah objek atau alat yang memiliki sudut tajam,
sisi, ujung atau bagian menonjol yang dapat memotong atau menusuk
kulit seperti jarum hipodermik, perlengkapan intravena, pipet pasteur,
pecahan gelas, pisau bedah. Semua benda tajam ini memiliki potensi
bahaya dan dapat menyebabkan cedera melalui sobekan atau tusukan.
Benda-benda tajam yang terbuang mungkin terkontaminasi oleh
darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi, bahan beracun atau radio
aktif. Sampah-sampah yang tajam harus ditempatkan dalam kotak
khusus dan tidak boleh dicampur dengan sampah lainnya.
c. Limbah/ sampah plastik, cara untuk menangani limbah plastik, yaitu
diantaranya
1) Melakukan daur ulang sampah plastik dengan cara memisahkan
partikel-partikel plastik hingga terciptanya produk baru. Plastik
daur ulang biasanya akan dirubah bentuk menjadi biji plastik,
botol minuman, dan produk baru dengan bentuk baru yang
lainnya. Hampir disetiap negara selalu berupaya melakukan
proyek besar dalam melakukan daur ulang sampah plastik.
2) Menggunakan mesin incinerator untuk mendaur ulang limbah
plastik. Sebagian negara menggunakan mesin ini untuk mengolah
sampah plastik yang tidak terurai. Semua limbah plastik dibakar
menggunakan insinerator. Namun ada dampak buruk jika
menggunakan metode ini adalah timbulnya pencemaran atau
polusi udara. Untuk mengurangi dampak dari limbah plastik,
sebagian besar negara di dunia telah melarang penggunaan
produk plastik tertentu dan menggantikannya dengan produk
yang lebih ramah lingkungan.

103
3) Menggunakan tas dari bahan kertas atau dari bahan lainnya untuk
berbelanja.
4) Pemerintah harus membuat tempat sampah di setiap sisi kota.
5) Meningkatkan kegiatan seminar atau pertemuan yang membahas
tentang daur ulang sampah plastik.
6) Jangan dibakar, kecuali dalam alat pembakar khusus.
7) Sampah plastik jangan dikubur, sebaiknya dibuang pada wadah
khusus pembuangan plastik .

Langkah Nyata yang dapat Dilakukan untuk Mengurangi Limbah


Laboratorium

1. Penggunaan kembali limbah laboratorium berupa bahan kimia


yang telah digunakan, setelah melalui prosedur daur ulang yang
sesuai. Sebagai contoh: pelarut organik seperti etanol, aseton,
kloroform, dan dietil eter dikumpulkan di dalam laboratorium
secara terpisah dan dilakukan destilasi.
2. Setiap melakukan reaksi kimia, sebelumnya dilakukan
perhitungan mol reaktan-reaktan yang bereaksi secara tepat
sehingga tidak menimbulkan residu berupa sisa bahan kimia.
Selain menghemat bahan yang ada, hal ini juga akan mengurangi
limbah yang dihasilkan.
3. Pembuangan langsung dari laboratorium. Metoda pembuangan
langsung ini dapat diterapkan untuk bahan-bahan kimia yang
dapat larut dalam air. Bahan-bahan kimia yang dapat larut dalam
air dibuang langsung melalui bak pembuangan limbah
laboratorium. Untuk bahan kimia sisa yang mengandung asam
atau basa harus dilakukan penetralan, selanjutnya baru bisa
dibuang. Bahan kimia sisa yang mengandung logam-logam berat
dan beracun seperti Pb, Hg, Cd, dan sebagainya, endapannya
harus dipisahkan terlebih dahulu. Kemudian cairannya
dinetralkan dan dibuang.

104
4. Pembakaran secara terbuka. Metoda pembakaran terbuka dapat
diterapkan untuk bahan-bahan organik yang kadar racunnya
rendah dan tidak terlalu berbahaya. Bahan-bahan organik tersebut
dibakar ditempat yang aman dan jauh dari pemukiman
penduduk.
5. Pembakaran dalam insenerator. Metoda pembakaran dalam
insenerator dapat diterapkan untuk bahan-bahan toksik yang jika
dibakar ditempat terbuka akan menghasilkan senyawa-senyawa
yang bersifat toksik.
6. Dikubur di dalam tanah dengan perlindungan tertentu agar tidak
merembes ke badan air. Metoda ini dapat diterapkan untuk zat-
zat padat yang reaktif dan beracun.

Ringkasan

Teknik preparasi merupakan proses yang harus dilakukan untuk


menyiapkan sampel sehingga siap untuk dianalisis menggunakan
instrumentasi yang sesuai/yang diinginkan. perlakuan umum dalam
penyiapan dan preparasi sampel adalah isolasi organ, ekstraksi, filtrasi,
homogenisasi, sentrifugasi, lisis, dialisis, inaktivasi enzim, dan modifikasi
kimiawi.
Limbah laboratorium juga merupakan buangan yang berasal dari
laboratorium. Dalam hal ini khususnya adalah laboratorium kimia.
Limbah ini dapat berasal dari bahan kimia, peralatan untuk pekerjaan
laboratorium dan lain-lain. Limbah laboratorium ini mempunyai resiko
berbahaya bagi lingkungan dan mahluk hidup. Beberapa kriteria limbah
berbahaya dan beracun telah ditetapkan antara lain mudah terbakar,
mudah meledak, korosif, oksidator dan reduktor, iritasi bukan radioaktif,
mutagenik, patogenik, mudah membusuk dan lain-lain. Dalam jumlah
tertentu dengan kadar tertentu, kehadirannya dapat merusak kesehatan
bahkan mematikan manusia atau kehidupan lainnya.

105
Latihan Soal

1. Sebutkan beberapa perlakuan umum dalam penyiapan dan preparasi


sampel. Jelaskan.
2. Jelaskan hal-hal yang perlu diperhatikan pada penyimpanan dan
pengawetan sampel.
3. Jelaskan tata cara penanganan sampel darah.
4. Jelaskan tata cara penanganan sampel urin.
5. Bagaimana cara menangani limbah kimiawi yang bersifat
karsinogenik. Jelaskan.
6. Bagaimana cara menangani limbah infeksius baik dalam bentuk cair
maupun padat.
7. Bagaimana cara menangani limbah biologi. Jelaskan.
8. Jelaskan langkah-langkah apa yang dapat dilakukan untuk
mengurangi limbah di laboratorium.

106
DAFTAR PUSTAKA

AHWLA (Assessing the Health and Welfare of Laboratory Animals). 2016.


Tutorial Animal Handling- Small mammals. Newcastle University.

Agromedia, Astuti DA. 2010. Petunjuk Praktis Beternak Ayam Ras, Petelur,
Itik, dan Puyuh. Jakarta: Agromodia Pustaka.

Astuti DA. 2015. Diet untuk Hewan Model. Bogor: IPB Press.

Grimm KA, Lamont LA, Tranquilli WJ, Greene SA, Robertson SA. 2015.
Veterniary Anesthesia and Analgesia. 5th Edition. UK: Wiley Blackwell.

Hau J, Hoosier GLV. 2003. Handbook of Laboratory Science. Vol 1. 2nd


Edition. USA: CRC Press.

Hau J, Hoosier GLV. 2003. Handbook of Laboratory Science. Vol 2. 2nd


Edition. USA: CRC Press.

Hau J, Hoosier GLV. 2005. Handbook of Laboratory Science. Vol 3. 2th


Edition. USA: CRC Press.

Kasiyati, Sumiati, Ekastuti DR, Manalu W. 2018. Impact of curcumin


supplementation in monochromatic light on lipid serum profile of
sexully mature female Magelang ducks. J Indonesian Tropic Anim
Agric, 43 (1): 66-75.

Kasiyati, Sumiati, Ekastuti DR, Manalu W. 2016. Effect of


Supplementation of Moringa oleifera leaf powder on reproductive
performance and ovarian Morphometry of Pengging Ducks. J Poult
Sci, 18: 340-348.

Leahy JR, Barrow P. 2007. Cara-Cara Mengekang Hewan. Bogor: IPB Press.

Lesson S, Summers JD. 2005. Commercial Poultry Nutrition. 3rd Edition.


England: Nottingham University Press.

107
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. 2016. Penggunaan dan
Penanganan Hewan Coba Rodensia dalam Penelitian sesuai dengan
Kesejahteraan Hewan. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. 2016. Penggunaan dan


Penanganan Hewan Coba Unggas dalam Penelitian sesuai dengan
Kesejahteraan Hewan. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.

Raimon. 2011. Pengolahan air limbah laboratorium terpadu dengan sistem


kontinyu. Jurnal Dinamika Penelitian Industri, 22 (2):18-27.

Safety and Risk Management. 2019. Laboratory Waste Management Plant.


Western Carolina University.

Weatheall D. 2006. The Use of Non-Human Primates in Research. London:


Medical Research Council.

Yuwanta T. 2004. Dasar Ternak Unggas. Yogyakarta: Kanisius.

108
GLOSARIUM

ad libitum : Pemberian pakan atau air minum yang bersih,


harus tersedia dan jumlahnya sesuai kebutuhan
hewan

Analgesi : Obat yang selektif menghambat rasa sakit/nyeri


sehingga tidak merasakan kesakitan setelah
penggunaan obat tersebut

Anestesi : Hilangnya rasa terhadap rangsang

Anestesi topikal : Anestesi yang dilakukan melalui kutaneus atau


membran mukosa

Bedah survival : Pembedahan yang dilakukan dengan tujuan


mempertahankan hewan tetap hidup

Bedah terminal : Pembedahan yang dimaksudkan untuk terminasi


hewan coba

Diet aterogenik : Formula pakan yang mengandung lemak jenuh


tinggi (total lemak lebih dari 10%) dan kandungan
kolesterol sebesar 0,28 mg/kalori energi yang
diberikan selama 30 hari

Eksploitasi hewan : Tindakan penganiayaan hewan di beberapa


negara merupakan tindakan melawan hukum,
contoh penggunaan hewan aduan

Euthanasia : Terminasi atau mengakhiri masa hidup hewan


coba yang dilakukan dengan cara-cara sesedikit
mungkin menimbulkan penderitaan bagi hewan

Handling : Upaya memegang atau tindakan-tindakan lain


untuk menguasai hewan coba

109
Hewan coba : Hewan-hewan yang sengaja dipelihara, serta
diternakan untuk dipergunakan sebagai salah satu
sarana dalam mempelajari dan mengembangkan
berbagai bidang ilmu dalam skala pengamatan
penelitian atau pengamatan laboratorik

Kandang : Tempat berlindung hewan coba dari hujan, terik


matahari, pengamanan dari binatang buas,
pencuri, dan sarana untuk menjaga kesehatan

Kesejahteraan hewan : Upaya untuk mencegah penderitaan hewan yang


tidak perlu akibat tingkah laku manusia

Limbah : Buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan


tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungannya
karena tidak mempunyai nilai ekonomi

Limbah B3 : Limbah yang mengandung bahan berbahaya atau


beracun yang sifat dan konsentrasinya baik
langsung maupun tidak langsung dapat merusak
atau mencemarkan lingkungan hidup atau
membahayakan kesehatan manusia

Limbah benda tajam : Objek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi,
ujung atau bagian menonjol yang dapat
memotong atau menusuk kulit seperti jarum
hipodermik, perlengkapan intravena, pipet
pasteur, pecahan gelas, pisau bedah

Oral gavage : Teknik memasukan bahan uji menggunakan jarum


yang ditumpulkan atau bagian ujung jarum dibuat
berbentuk bola dari timah dan dipasang pada
syringe (jarum suntik)

Pakan : Segala sesuatu yang dapat dimakan dan dapat


dicerna sebagian atau seluruhnya tanpa
menganggu kesehatan ternak

110
Primata nonhuman : Jenis primata yang dipergunakan sebagai hewan
coba atau hewan model dalam berbagai penelitian
kesehatan, farmasi, biomedis, biologi, dan
toksikologi

Restraint : Tindakan mengekang hewan coba dengan


membatasi gerak hewan agar hewan dapat
diberikan tindakan-tindakan tertentu yang
dikehendaki.

Scruffing : Teknik memegang atau menggenggam bagian


kulit yang agak kendur dibagian bahu dengan
menggunakan ibu jari dan jari telunjuk, dan jari-
jari lainnya dapat memutar di sekeliling perut.

Seksing : Pemeriksaan genetalia untuk membedakan seks


jantan dengan seks betina

Tabung EDTA : Tabung berisi EDTA yang digunakan untuk


pemeriksaan darah lengkap dan bank darah
(crossmatch)

Unggas (poultry) : Jenis ternak bersayap dari kelas aves yang telah
didomestikasi dan cara hidupnya diatur oleh
manusia dengan tujuan untuk memberikan nilai
ekonomi (telur dan daging) serta jasa

111
INDEKS

ad libitum 56, 57,63 monyet dunia lama 39


agen disosiatif 85 morfin 82, 86
albino 33, 36 narkotik 81, 82, 85
altricial 31 obat penenang 70, 71, 86
amnesia 84 overcrowding 63
analgesik 70, 71, 72, 81, 82, 84, 88 plastic restrainer 69
anestetik inhalasi 87 scruffing 44, 45, 48, 111
animal right 17, 23 transquilizer 72, 85, 87, 89
anxiety 42, 52 yellow fever 24
aterosklerosis 36, 58, 59, 60 zat kurare 87
bedah mayor 70
bedah minor 70, 71
bahan karsinogenik 100, 101
bos indicus 37
coturnix 30
deklarasi helsinki 21, 23
diabetes mellitus 11, 60, 62
dialisis 90, 91, 105
diet obesitas 62
discomfort 18, 20, 22
distress 18, 20, 22
elektronik transponder 72
filtrasi 90, 105
fraksinasi 90
gallus gallus 27
homogenisasi 90, 91, 105
induksi tumor 65
insinerator 102, 103
isolasi organ 90, 105
justice 20
limbah organik 98, 99
monyet dunia baru 39

112
BIODATA PENULIS

Dr. Kasiyati, S. Si, M.Si, lahir di Semarang, 26


Mei 1977, dari pasangan Bapak Trimo (Alm)
dan Ibu Ngatipah. Penulis merupakan anak
bungsu dari enam bersaudara. Penulis
mengawali pendidikan formal pada tahun 1983
di SD N Susukan 01 Ungaran, kemudian
pendidikan SMP ditempuh pada tahun 1989 di
SMP N 1 Ungaran, dan pendidikan SMA
dilanjutkan di SMA Sedes Sapientiae Semarang,
tahun 1992-1995. Pada tahun 1995, melalui jalur
UMPTN penulis melanjutkan pendidikan
tinggi di Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Diponegoro Semarang.
Pendidikan magister ditempuh selama dua tahun, dari 2007-2009 di
Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan Mayor Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat
Obat, pada tahun 2013 hingga 2017 penulis berkesempatan meneruskan
program doktoral pada program studi yang sama di IPB. Biaya untuk
menyelesaikan studi program magister dan doktoral, masing-masing
berasal dari beasiswa BPPS dan BPP-DN Dirjen DIKTI Kementerian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Sejak tahun 2005 hingga saat ini,
penulis mengabdi sebagai staf pengajar pada Departemen Biologi
Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro Semarang.
Hingga saat ini aktif menulis artikel dalam jurnal nasional maupun
internasional, serta aktif mengikuti seminar yang terkait dengan sains.
Buku penanganan hewan coba ini merupakan buku kedua yang telah
disusun oleh penulis.

113
Dra. Silvana Tana, M.Si., lahir di Rantepao
(Tana Toraja Sulawesi Selatan), 23 April 1961,
dari pasangan Bapak Anton La’ka’ Tana dan
Ibu Cantia Pasa’ Duapadang (Almh),
merupakan anak pertama dari enam
bersaudara. Penulis mengawali pendidikan
formal pada tahun 1966 di SD Katolik Paku
Makale, lanjut ke SMP Katolik Makale dari
tahun 1972–1974 dan kemudian ke SMA
Katolik Makale tamat pada tahun 1979. Pada
pertengahan tahun 1979 penulis diterima di
Fakultas Sains dan Teknologi (sekarang Fakultas MIPA) Universitas
Hasanuddin Makassar melalui Seleksi Ujian Masuk Proyek Perintis III.
Pendidikan Magister ditempuh dari tahun 1997–2000 dengan beasiswa
dari BPPS di Universitas Hasanuddin Makassar pada Program Studi
Pengelolaan Lingkungan hidup kekhususan Pengelolaan Laut Dangkal
dan Pantai. Penulis diangkat sebagai staf pengajar di Jurusan Biologi
FMIPA Universitas Hasanuddin Makassar sejak Maret 1987 kemudian
tahun 2005 bergabung dengan staf pengajar di Jurusan Biologi FMIPA
Universitas Diponegoro Semarang (status Dosen Titip) dan pada Januari
2011 sampai sekarang sepenuhnya mengabdi di Departemen Biologi
Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro Semarang.

114
Buku ini menyajikan tentang informasi yang berkaitan dengan
penanganan hewan coba. Hewan coba banyak dipergunakan dalam
berbagai penelitian bidang sains. Kualitas penelitian yag
menggunkaan bahan hayati dapat menjadi lebih baik jika digunakan
hewan coba atau hewan model yang tepat dan disertai dengan
penanganan hewan yang optimal.

Informasi mengenai etika penggunaan hewan coba, karakteristik


hewan coba, aplikasi perlakuan hewan coba, analgesik, anestesia, serta
euthanasia bagi hewan coba, dan pengambilan sampel hewan coba
disajikan secara ringkas di dalam buku ini. Bagi mahasiswa atau
peneliti yang akan atau sedang melakukan penelitian menggunakan
hewan, buku ini sangat membantu untuk meningkatkan pemahaman
mengenai hewan coba sehingga hasil penelitian sesuai dengan harapan

Penerbit Departemen Biologi,


Fakultas Sains dan Matematika
Universitas Diponegoro
Jl. Prof Soedharto, SH, Tembalang Semarang

115

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai