Anda di halaman 1dari 53

LAPORAN OBSERVASI SDN 071 SUKAGALIH

MAKALAH KELOMPOK
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan
Inklusi (IP303) yang diampu oleh Rina Maryanti, S.Pd., M.Pd.

Disusun Oleh:
Darin Kamiliya Febianti 2204410
Dwi Erinda 2204504
Gusty Bella Raskita 2306625
Rizal Ibrahim 2205077
Sabila Rahmatika Siregar 2306625

PROGRAM STUDI SARJANA


PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat
pembuatan makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Inklusi,
yaitu “Laporan Observasi Penyelenggaraan Sekolah Inklusi di Sekolah Dasar
071 Sukagalih” dengan lancar dan tepat waktu.
Secara garis besar makalah ini terdiri atas empat bab, yaitu: Bab I
pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan, manfaat dan sistematika
penulisan. Bab II tinjauan pustaka, Bab III pembahasan atau analisis antara
teori dengan keadaan sebenarnya, dan Bab IV penutup yang memuat
kesimpulan dan saran.
Penulis juga berterima kasih kepada Ibu Rina Maryanti, S.Pd.,
M.Pd. sebagai pengampu mata kuliah Pendidikan Inklusi. Kami juga
berterima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat serta mendukung
pembuatan makalah ini, khususnya pihak Sekolah Dasar 071 Sukagalih yang
sudah bersedia untuk memberikan izin observasi.
Demikianlah makalah ini penulis buat. Akan tetapi, penulis juga
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala kesalahan
yang terdapat dalam makalah ini, serta penulis juga mengharapkan kritik dan
saran dari para pembaca agar kedepannya makalah yang dibuat dapat
menjadi lebih baik lagi
Bandung, 19 Desember 2023

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i


DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I .............................................................................................................1
PENDAHULUAN ........................................................................................1
A. Latar Belakang ..................................................................................1
B. Rumusan Masalah ............................................................................3
C. Tujuan Penelitian ..............................................................................3
D. Manfaat Penelitian ............................................................................3
E. Sistematika Penulisan .......................................................................3
BAB II ...........................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................5
A. Hakikat Pendidikan Inklusif............................................................5
1. Pengertian Pendidikan Inklusif ..................................................... 5
2. Urgensi Pendidikan Inklusif .......................................................... 6
3. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif ............................ 7
4. Karakteristik Pendidikan Inklusif ................................................. 9
5. Prinsip Pendidikan Inklusif ......................................................... 11
6. Ruang Lingkup Pendidikan Inklusif ............................................ 13
B. Hakikat Anak Berkebutuhan Khusus ...........................................16
1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus ...................................... 16
2. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus ...................................... 16
3. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus .................................. 18
4. Strategi Pembelajaran Bagi Anak Berkebutuhan Khusus ............. 25
BAB III........................................................................................................28

ii
PEMBAHASAN .........................................................................................28
A. Manajemen Sekolah........................................................................28
B. SDM..................................................................................................33
C. Aksesibilitas Sekolah. .....................................................................34
D. Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif ..........................................36
E. Kurikulum Sekolah.........................................................................38
F. Layanan Pendidikan .......................................................................39
G. Layanan Pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus .............40
H. Layanan Assesment ........................................................................41
I. Layanan Pembelajaran Individual................................................42
BAB IV ........................................................................................................44
PENUTUP ...................................................................................................44
A. Kesimpulan ......................................................................................44
B. Rekomendasi ...................................................................................44
LAMPIRAN................................................................................................45
Dokumentasi Observasi .........................................................................45
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................47

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam beberapa tahun terakhir, pendekatan inklusi telah
menjadi fokus utama dalam sistem pendidikan, yang menekankan
pentingnya memberikan kesempatan belajar yang setara bagi semua
siswa, tanpa memandang keberagaman kemampuan atau kebutuhan
khusus. Dalam konteks SD, kehadiran ABK menuntut perhatian
khusus terhadap berbagai spektrum kebutuhan, mulai dari gangguan
perkembangan hingga kesulitan belajar. Observasi menjadi alat
utama untuk menggali pemahaman mendalam tentang karakteristik
individu ABK, baik dalam aspek akademik maupun sosial-
emosional. Melalui observasi, diharapkan dapat diidentifikasi pola
belajar, preferensi, dan tingkat keterlibatan siswa ABK dalam
kegiatan pembelajaran sehari-hari. Selain itu, latar belakang
ekonomi, budaya, dan lingkungan keluarga juga dapat menjadi faktor
yang mempengaruhi perkembangan anak. Pemahaman yang lebih
baik terhadap kebutuhan ini akan memberikan landasan untuk
menyusun strategi pembelajaran yang lebih efektif dan inklusif.
Keberhasilan inklusi di SD juga sangat terkait dengan
keterlibatan orang tua dan komunitas sekolah secara keseluruhan.
Observasi terhadap interaksi antara ABK, guru, dan teman sekelas
dapat membantu membangun pemahaman kolektif dan kemitraan
yang kuat dalam mendukung perkembangan anak. Dengan latar
belakang ini, laporan observasi diharapkan dapat memberikan
kontribusi nyata dalam pengembangan strategi pendidikan yang lebih
responsif, inklusif, dan menyeluruh untuk meningkatkan kualitas
pendidikan bagi semua siswa di SD.
Latar belakang observasi terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) di Sekolah Dasar (SD) sangat kompleks dan
memerlukan pemahaman mendalam terhadap konteks pendidikan
inklusif. Pertama, pergeseran paradigma dalam dunia pendidikan
yang semakin mengedepankan inklusi memberikan dasar bagi
perhatian lebih terhadap keberagaman anak dalam lingkungan
pendidikan reguler. Inklusi bertujuan memberikan hak setara kepada
1
ABK untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan potensi
mereka. Oleh karena itu, observasi di SD menjadi penting untuk
memahami sejauh mana kebijakan inklusi ini dapat
diimplementasikan dan memenuhi kebutuhan sebenarnya dari setiap
siswa ABK.
Kedua, peran observasi dalam mengidentifikasi berbagai jenis
kebutuhan yang dimiliki oleh ABK di SD menjadi kunci untuk
merancang pendekatan pembelajaran yang efektif. Beberapa ABK
mungkin menghadapi kesulitan dalam membaca, menulis, atau
berhitung, sementara yang lain mungkin memiliki tantangan dalam
hal interaksi sosial. Observasi memberikan gambaran langsung
tentang kebutuhan individu ini, yang mana informasi tersebut
kemudian dapat membentuk dasar perencanaan pembelajaran yang
responsif dan terkustomisasi. Ketiga, pentingnya observasi terletak
pada kemampuannya untuk mengatasi tantangan spesifik yang
mungkin dihadapi oleh guru dan staf sekolah dalam menyediakan
pendidikan inklusif. Melalui observasi, dapat diidentifikasi strategi
pengajaran yang efektif, penyediaan bahan ajar yang sesuai, serta
dukungan individual atau kelompok yang dibutuhkan oleh ABK. Ini
membantu menciptakan lingkungan belajar yang ramah dan
mendukung bagi setiap siswa.
Keempat, observasi juga memainkan peran dalam
meningkatkan interaksi sosial antara ABK dan siswa lainnya. Dengan
pemahaman yang lebih baik tentang dinamika sosial di kelas, guru
dapat memfasilitasi kegiatan yang mendukung integrasi sosial anak-
anak dengan kebutuhan khusus. Ini menciptakan lingkungan di mana
toleransi, pengertian, dan persahabatan dapat berkembang,
memberikan manfaat positif tidak hanya bagi ABK tetapi juga bagi
seluruh kelompok siswa. Kelima, melibatkan orang tua dalam proses
observasi juga merupakan aspek penting dari pemahaman latar
belakang ini. Orang tua memiliki wawasan yang berharga tentang
kebutuhan dan kemampuan anak mereka di luar konteks sekolah.
Kolaborasi antara guru, staf sekolah, dan orang tua melalui observasi
dapat membentuk tim dukungan yang kokoh untuk meningkatkan
pengalaman belajar anak.

2
Secara keseluruhan, latar belakang observasi ABK di SD
tidak hanya berkaitan dengan pemahaman kebutuhan individu, tetapi
juga dengan pengembangan pendidikan inklusif yang holistik.
Observasi menjadi landasan untuk perbaikan dan peningkatan
berkelanjutan dalam memberikan pendidikan yang bermakna bagi
semua siswa, tanpa memandang kemampuan atau kebutuhan khusus.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari penelitian ini meliputi :
1. Bagaimana manajemen sekolah, SDM, dan juga aksesibilitas
dari sekolah tersebut?
2. Bagaimana penyelenggaraan pendidikan inklusif dan
kurikulum dalam sekolah tersebut?
3. Bagaimana layanan pendidikan bagi anak reguler maupun
ABK, layanan assesment, serta layanan pembelajaran
individual pada sekolah tersebut?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Manajemen sekolah, SDM, dan juga aksesibilitas sekolah
2. Penyelenggaraan pendidikan inklusif dan kurikulum sekolah
3. Layanan pendidikan bagi anak reguler, layanan pendidikan
bagi ABK, layanan assesment, dan juga layanan pembelajaran
individual

D. Manfaat Penelitian
Penelitian atau observasi mengenai pendidikan inklusif di sekolah
dasar memberikan manfaat signifikan yaitu:
1. Memungkinkan identifikasi praktik terbaik dalam pengajaran
siswa dengan kebutuhan khusus
2. Dapat menggambarkan tantangan nyata yang di hadapi oleh
siswa dan guru, serta kepala sekolah dan yayasan.

E. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah melihat dan mengetahui pembahasan
yang ada pada skripsi ini secara menyeluruh, maka perlu

3
dikemukakan sistematika yang merupakan kerangka dan pedoman
penulisan skripsi. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai
berikut :
Penyajian laporan skripsi ini menggunakan sistematika penulisan
sebagai berikut :
1. Bagian Awal Makalah Observasi
Bagian awal memuat halaman sampul depan, yang berisikan
judul makalah, mata kuliah, dosen pengampu dan nama
penulis. Kemudian halaman awal juga berisi kata pengantar
dan daftar isi.
2. Bagian Utama Makalah Observasi
Bagian Utama terbagi atas bab dan sub bab yaitu sebagai
berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, batasan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
sistematika penulisan skripsi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab tinjauan pustaka ini meliputi :
a. Pada bagian ini berisi kajian teori tentang pendidikan
inklusi
b. Pada bagian ini berisi kajian teori tentang anak
berkebutuhan khusus
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini terdiri dari deskripsi hasil penelitian
3. Bagian Akhir Makalah Observasi
Bagian akhir dari makalah observasi ini berisi tentang daftar
pustaka dan daftar lampiran.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Hakikat Pendidikan Inklusif


1. Pengertian Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif adalah bentuk penyelenggaraan
pendidikan yang menyatukan anak - anak berkebutuhan khusus
dengan anak - anak normal pada umumnya untuk belajar. Menurut
Jauhari pendidikan inklusif merupakan suatu pendekatan pendidikan
yang inovatif dan strategis untuk memperluas akses pendidikan
bagi semua anak berkebutuhan khusus termasuk anak penyandang
disabilitas. pengertian pendidikan inklusi menurut Staub dan
Peckadalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan,
sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan
bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi
anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun
gradasinya (Tarmansyah, 2007: 82).
Pendidikan inklusif sangatlah penting untuk diterapkan,
dengan adanya pendidikan inklusif dapat memberi peluang dan
membuka kesempatan untuk anak berkebutuhan khusus (ABK)
memperoleh pendidikan tanpa adanya perlakuan diskriminatif.
Pendidikan inklusif merupakan sarana belajar yang paling cocok
untuk semua anak, hal ini membuat pendidikan inklusif menjadi hal
yang menarik karena selain membantu anak yang berkebutuhan
khusus juga bisa melatih anak regular yang berada dalam kelas yang

5
sama dalam hal adaptasi dan sosialisasi sehingga dapat menjadikan
wadah yang wajib antar anak untuk bersosialisasi dengan
keanekaragaman yang ada selain itu juga dapat memberikan
pemahaman kepada anak yang tidak berkebutuhan khusus agar dapat
menerima, mengerti, dan memahami antara perbedaan satu dengan
yang lainnya dengan kata lain anak didik tersebut diajarkan
bagaimana cara bersikap toleransi dan menerima (Sahrudin, dkk
2023:164). Pendidikan inklusif adalah kebersamaan untuk
memperoleh pelayanan pendidikan dalam satu kelompok secara
utuh bagi seluruh anak berkebutuhan khusus usia sekolah, mulai
dari jenjang TK, SD, SLTP sampai dengan jenjang SMU
(Yulianto 2018:195).
Dari beberapa pendapat diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa
pendidikan inklusif merujuk pada pendekatan pendidikan yang
mengintegrasikan siswa dengan kebutuhan khusus ke dalam
lingkungan pendidikan reguler atau mainstream. Tujuan utama dari
pendidikan inklusif adalah menciptakan lingkungan belajar yang
mendukung keberagaman, di mana semua siswa, termasuk mereka
yang memiliki kebutuhan khusus, dapat belajar bersama dan
mendapatkan pengalaman pendidikan yang positif.
Pendidikan inklusif menekankan pada penerimaan,
partisipasi, dan perkembangan setiap siswa, tanpa memandang
perbedaan kemampuan, latar belakang, atau kebutuhan khusus.
Dalam pendekatan ini, upaya dilakukan untuk memastikan bahwa
setiap siswa memiliki akses terhadap kurikulum yang sesuai,
dukungan yang dibutuhkan, dan kesempatan untuk berkembang
secara sosial dan akademis.

2. Urgensi Pendidikan Inklusif


Pendidikan inklusif memiliki urgensi yang mendalam dalam
mewujudkan masyarakat yang adil, berkeadilan, dan penuh dengan
penghargaan terhadap keberagaman. Melalui pendekatan ini, setiap
individu, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus,
diberikan kesempatan untuk belajar, tumbuh, dan berkembang secara
optimal. Menurut Jauhari (2017:33) semua anak berhak mendapatkan
pembelajaran yang sama tanpa adanya pembeda antara anak

6
berkebutuhan khusus dengan anak normal, tidak diberi label secara
khusus tetapi bisa dipandang bahwa mereka memiliki kesulitan
belajar, peserta didik memiliki kesamaan dalam memilih apa yang
mereka harapkan, peserta didik dapat menunjukkan hasil akademik
dan sosial dengan baik apabila berada di satu settingan sama, akan
lebih efektif karena peserta didik berkebutuhan khusus dengan yang
normal sama-sama saling berinteraksi, semua peserta didik
membutuhkan pendidikan yang sama untuk mengembangkan dan
mempersiapkan hidup bermasyarakat, dan pendidikan inklusi dapat
menghiangkan rasa takut pada peserta didik untuk bersosialisasi
dengan lingkungannya.
Pendidikan inklusif memberikan harapan baru untuk anak
berkebutuhan khusus, memungkinkan mereka untuk mendapatkan
pendidikan formal di sekolah umum tanpa perlu khawatir terisolasi
dari masyarakat. Dalam pendidikan inklusi, anak berkebutuhan
khusus dan anak normal yang menggunakan layanan inklusi
ditempatkan pada satuan yang sama, sehingga anak berkebutuhan
khusus tidak ditempatkan, dan dianggap berbeda dengan siswa
normal lainnya (Trimurtini et al., 2020). Ada beberapa yang
beranggapan bahwa Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) berbeda
dengan anak normal lainnya yang mengakibatkan ABK menjadi tidak
berdaya sehingga masyarakat sering merasa kasihan dan cenderung
memberi bantuan kepada anak tersebut. Anggapan ini tidak
sepenuhnya benar. Setiap anak pasti mempunyai kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Oleh sebab itu, kita dapat
memandang potensi anak berkebutuhan khusus kemudian
mengembangkan potensi sehingga dapat berkembang secara
maksimal (Marchetti, 2019). Dengan memperhatikan alasan
pentingnya pendidikan inklusi di terapkan, dapat di ambil pengertian
bahwa pendidikan inklusi dapat memenuhi kebutuhan peserta didik
sesuai dengan kemampuannya.

3. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif


a. Landasan Filosofis
Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat
dijelaskan sebagai berikut:

7
1) Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan
lambang negara Burung Garuda yang berarti Bhinneka
Tunggal Ika. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat,
keyakinan, tradisi dan budaya merupakan kekayaan
bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan dan
kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
2) Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain
ditegaskan bahwa: (a) manusia diciptakan berbeda-beda
untuk saling silaturahmi (inklusif) dan bahwa kemuliaan
manusia di sisi Allah adalah ketaqwaannya. Hal tersebut
dinyatakan dalam Al Qur’an sebagai berikut:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengena”.(Q.S. Al-
Hujurat: 13).
3) Pandangan universal hak asasi manusia menyatakan
bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak,
hak pendidikan, hak kesehatan, dan hak pekerjaan.
b. Landasan Yuridis
Secara yuridis, pendidikan inklusif dilaksanakan berdasarkan
atas:
1) UUD 1945.
2) UU Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat.
3) UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
4) UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
5) UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
6) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang
Standar Nasional Pendidikan.
7) Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003
Tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif:

8
Menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap
Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah
yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK.
8) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 70 tahun 2009 Tentang Pendidikan
Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan
Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
Akan tetapi ada yang berbeda yaitu khusus untuk DKI
Jakarta, landasan yuridis yang berlaku yaitu: Peraturan
Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif.
c. Landasan Empiris
Landasan empiris yang dipakai dalam pelaksanaan pendidikan
inklusif yaitu:
1) Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948 (Declaration of
Human Rights).
2) Konvensi Hak Anak 1989 (Convention of The Rights of
Children).
3) Konferensi Dunia Tentang Pendidikan untuk Semua 1990
(World Conference on Education for All).
4) Resolusi PBB nomor 48/96 Tahun 1993 Tentang
Persamaan Kesempatan Bagi Orang Berkelainan (the
standard rules on the equalization of opportunitites for
person with disabilities).
5) Pernyataan Salamanca Tentang Pendidikan Inklusi 1994
(Salamanca Statement on Inclusive Education).
6) Komitmen Dakar mengenai Pendidikan Untuk Semua
2000 (The Dakar Commitment on Education for All).
7) Deklarasi Bandung 2004 dengan komitmen “Indonesia
Menuju Pendidikan Inklusif”.
8) Rekomendasi Bukittinggi 2005 mengenai pendidikan
yang inklusif dan ramah.

4. Karakteristik Pendidikan Inklusif

9
Menurut Takdir dalam Jauhari (2017) ada beberapa
karakteristik pendidikan inklusi yang dapat dijadikan dasar layanan
pendidikan bagi anak luar biasa. Karakteristik tersebut antara lain:
1) Kurikulum yang Fleksibel
Penyesuaian kurikulum dalam penerapan pendidikan inklusi
tidak harus terlebih dahulu menekankan pada materi
pembelajaran, tetapi yang paling penting adalah bagaimana
memberikan perhatian penuh pada kebutuhan anak didik. Jika
ingin memberikan materi pelajaran kepada anak
berkebutuhan khusus, harus memperhatikan kurikulum apa
yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Kurikulum
yang fleksibel harus menjadi prioritas utama dalam
memberikan kemudahan kepada mereka yang belum
mendapatkan layanan pendidikan terbaik demi menunjang
karir dan masa depan. Berikan pula materi yang sesuai dengan
kebutuhan mereka, terutama berkaitan dengan masalah
keterampilan dan potensi pribadi mereka yang belum
berkembang.
2) Pendekatan Pembelajaran yang Fleksibel
Dalam aktivitas belajar mengajar, sistem pendidikan inklusi
harus memberikan pendekatan yang tidak menyulitkan
mereka untuk memahami materi pelajaran sesuai dengan
tingkat kemampuan.
3) Sistem Evaluasi yang Fleksibel
Dalam melakukan penilaian harus memperhatikan
keseimbangan antara kebutuhan anak berkebutuhan khusus
dengan anak normal pada umumnya, karena anak
berkebutuhan khusus memiliki tingkat kemampuan yang
lebih rendah dibandingkan dengan anak normal pada
umumnya sehingga memerlukan keseriusan dari seorang guru
dalam melakukan penilaian.
4) Pembelajaran yang Ramah
Proses pembelajaran dalam konsep pendidikan inklusi harus
mencerminkan pembelajaran yang ramah. Pembelajaran yang
ramah bisa membuat anak termotivasi dan terdorong untuk

10
terus mengembangkan potensi dan skill mereka sesuai dengan
tingkat kemampuan yang dimiliki.

5. Prinsip Pendidikan Inklusif


Mendidik anak yang berkelainan fisik, mental, maupun
karakteristik perilaku sosialnya, tidak sama seperti mendidik anak
normal, sebab selain memerlukan suatu pendekatan yang khusus juga
memerlukan strategi yang khusus. Hal ini semata-mata karena
bersandar pada kondisi yang dialami anak berkelainan.
Pengembangan prinsip-prinsip pendekatan secara khusus, yang dapat
dijadikan dasar dalam upaya mendidik anak berkelainan, antara lain
sebagai berikut:
a. Prinsip kasih sayang. Prinsip kasih sayang pada dasarnya
adalah menerima mereka sebagaimana adanya, upaya yang
perlu dilakukan untuk mereka: (a) tidak bersikap
memanjakan, (b) tidak bersikap acuh tak acuh terhadap
kebutuhannya, dan (c) memberikan tugas yang sesuai dengan
kemampuan anak.
b. Prinsip layanan individual. Pelayanan individual dalam
rangka mendidik anak berkelainan perlu mendapatkan porsi
yang lebih besar, oleh karena itu, upaya yang perlu dilakukan
untuk mereka selama pendidikannya : (a) jumlah siswa yang
dilayani guru tidak lebih dari 4-6 orang dalam setia kelasnya,
(b) pengaturan kurikulum dan jadwal pelajaran dapat bersifat
fleksibel, (c) penataan kelas harus dirancang dengan
sedemikian rupa sehingga guru dapat menjangkau semua
siswanya dengan mudah, dan (d) modifikasi alat Bantu
pengajaran.
c. Prinsip kesiapan. Untuk menerima suatu pelajaran tertentu
diperlukan kesiapan. Khususnya kesiapan anak untuk
mendapatkan pelajaran yang akan diajarkan, terutama
pengetahuan prasyarat, baik prasyarat pengetahuan, mental
dan fisik yang diperlukan untuk menunjang pelajaran
berikutnya.
d. Prinsip keperagaan. Alat peraga yang digunakan untuk media
sebaiknya diupayakan menggunakan benda atau situasi

11
aslinya, namun apabila hal itu sulit dilakukan, dapat
menggunakan benda tiruan atau minimal gambarnya.
e. Prinsip motivasi. Prinsip motivasi ini lebih menitikberatkan
pada cara mengajar dan pemberian evaluasi yang disesuaikan
dengan kondisi anak berkelainan. Contoh, bagi anak
tunanetra, mempelajari orientasi dan mobilitas yang
ditekankan pada pengenalan suara binatang akan lebih
menarik dan mengesankan jika mereka diajak ke kebun
binatang.
f. Prinsip belajar dan bekerja kelompok. Arah penekanan
prinsip belajar dan bekerja kelompok sebagai anggota
masyarakat dapat bergaul dengan masyarakat lingkungannya,
tanpa harus merasa rendah diri atau minder dengan orang
normal. Oleh karena itu, sifat seperti egosentris atau egoistis
pada anak tunarungu karena tidak menghayati perasaan,
agresif, dan destruktif pada anak tunalaras perlu
diminimalkan atau dihilangkan melalui belajar dan bekerja
kelompok. Melalui kegiatan tersebut diharapkan mereka
dapat memahami bagaimana cara bergaul dengan orang lain
secara baik dan wajar.
g. Prinsip keterampilan. Pendidikan keterampilan yang
diberikan kepada anak berkelainan, selain berfungsi selektif,
edukatif, rekreatif dan terapi, juga dapat dijadikan sebagai
bekal dalam kehidupannya kelak.
h. Prinsip penanaman dan penyempurnaan sikap. Secara fisik
dan psikis sikap anak berkelainan memang kurang baik
sehingga perlu diupayakan agar mereka mempunyai sikap
yang baik serta tidak selalu menjadi perhatian orang lain.
Menurut Kemendikbud terdapat beberapa prinsip yang
menjadi dasar pelaksanaan pendidikan inklusi sebagai berikut:
a. Prinsip kebersamaan, maksudnya adalah setiap individu
memiliki perbedaan dalam kemampuan, potensi, bakat, minat
dan kebutuhan mereka. Oleh karena itu, pendidikan
seharusnya selalu berusaha untuk menyesuaikan dengan
kebutuhan dan karakteristik beragam yang dimiliki siswa.

12
b. Prinsip pemerataan dan peningkatan mutu yang dimaksud
adalah pendidikan inklusi menjadi salah satu cara atau usaha
yang bertujuan untuk menghasilkan kesempatan yang sama
dalam penerimaan layanan pendidikan dan juga untuk
meningkatkan kualitas pendidikan. Melalui pendekatan ini,
semua siswa memiliki akses yang sama dan keberagaman
yang dihargai.
c. Prinsip dalam keberlanjutan, keberlanjutan yang dimaksud
adalah untuk memastikan bahwa pendidikan inklusi
diimplementasikan di semua jalur, jenis juga jenjang
pendidikan.
d. Prinsip dalam kebermaknaan adalah pendidikan inklusi harus
mampu menciptakan lingkungan kelas yang ramah,
bersahabat, serta mempertahankannya dalam proses
pembelajaran berlangsung. Hal ini bertujuan agar kelas
tersebut menjadi tempat yang bermakna bagi perkembangan
7 kemandirian siswa, di sisi lain, juga mengedepankan
penerimaan dan penghargaan terhadap segala perbedaan dan
keberagaman.
e. Prinsip dalam keterlibatan adalah seluruh komponen yang
terkait dalam pendidikan harus terlibat dalam pelaksanaan
pendidikan inklusi.

6. Ruang Lingkup Pendidikan Inklusif


1) Komponen kesiswaan
Manajemen kesiswaan merupakan salah satu komponen
pendidikan inklusif yang perlu mendapat perhatian dan
pengelolaan lebih. Hal ini dikarenakan kondisi peserta didik
pada pendidikan inklusif yang lebih majemuk daripada kondisi
peserta didik pada pendidikan reguler. Tujuan dari manajemen
kesiswaan ini tidak lain agar kegiatan belajar mengajar di sekolah
dapat berjalan lancar, tertib, dan teratur, serta mencapai tujuan
yang diinginkan.
2) Komponen kurikulum
Pemerintah menyatakan bahwa kurikulum yang dipakai satuan
pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif adalah

13
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang
mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta didik
sesuai dengan bakat, minat dan potensinya. Model kurikulum
pendidikan inklusif terdiri dari:
a. Model kurikulum reguler
Model kurikulum reguler, yaitu kurikulum yang
mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus
untuk mengikuti kurikulum reguler sama seperti kawan-
kawan lainnya di dalam kelas yang sama.
b. Model kurikulum reguler dengan modifikasi
Model kurikulum reguler dengan modifikasi, yaitu
kurikulum yang dimodifikasi oleh guru pada strategi
pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program
tambahan lainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan
peserta didik berkebutuhan khusus. Di dalam model ini
bisa terdapat siswa berkebutuhan khusus yang memiliki
PPI.
c. Model kurikulum Program Pembelajaran Individual (PPI)
Model kurikulum PPI yaitu kurikulum yang
dipersiapkan guru program PPI yang dikembangkan
bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas,
guru pendidikan khusus, kepala sekolah, orang tua, dan
tenaga ahli lain yang terkait. Kurikulum PPI atau dalam
bahasa Inggris Individualized Education Program (IEP)
merupakan karakteristik paling kentara dari pendidikan
inklusif. Konsep pendidikan inklusif yang berprinsip
adanya persamaan mensyaratkan adanya penyesuaian
model pembelajaran yang tanggap terhadap perbedaan
individu. Maka PPI atau IEP menjadi hal yang perlu
mendapat penekanan lebih.
3) Komponen pendidik dan tenaga kependidikan
Tenaga kependidikan dalam pendidikan inklusif mendapat porsi
tanggung jawab yang jelas berbeda dengan tenaga kependidikan
pada pendidikan noninklusif. Perbedaan yang terdapat pada
individu meniscayakan adanya kompetensi yang berbeda dari
tenaga kependidikan lainnya. Tenaga kependidikan secara

14
umum memiliki tugas seperti menyelenggarakan kegiatan
mengajar, melatih, meneliti,mengembangkan, mengelola,
dan/atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang
pendidikan. Manajemen tenaga kependidikan antara lain
meliputi:
a. Inventarisasi pegawai
b. Pengusulan formasi pegawai
c. Pengusulan pengangkatan
d. kenaikan tingkat, kenaikan berkala, dan mutasi
e. Mengatur usaha kesejahteraan
f. Mengatur pembagian tugas.
4) Komponen sarana dan prasarana
Manajemen sarana prasarana sekolah bertugas merencanakan,
mengorganisasikan, mengarahkan, mengkoordinasikan,
mengawasi, dan mengevaluasi kebutuhan dan penggunaan sarana
prasarana agar dapat memberikan sumbangan secara optimal
pada kegiatan belajar mengajar.
5) Komponen keuangan/dana
Pendanaan pendidikan inklusif memerlukan manajemen
keuangan atau pendanaan yang baik. Walaupun
penyelenggaraan pendidikan inklusif dilaksanakan pada sekolah
reguler dengan penyesuaian-penyesuaian, namun tidak serta
merta pendanaan penyelenggaraannya dapat diikutkan begitu
saja dengan pendanaan sekolah reguler. Maka diperlukan
manajemen keuangan atau pendanaan yang mampu memenuhi
berbagai kebutuhan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif
dan mengatasi berbagai permasalahan terkait dengan
pendanaan.Dalam rangka penyelenggaraan pendidikan inklusif,
perlu dialokasikan dana khusus, yang antara lain untuk
keperluan:
a. Kegiatan identifikasi input siswa
b. Modifikasi kurikulum
c. Insentif bagi tenaga kependidikan yang terlibat
d. Pengadaan sarana-prasarana
e. Pemberdayaan peran serta masyarakat

15
f. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar.

B. Hakikat Anak Berkebutuhan Khusus


1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan
penanganan khusus karena adanya gangguan perkembangan dan
kelainan yang dialami anak. Berkaitan dengan istilah disability, maka
anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki keterbatasan
di salah satu atau beberapa kemampuan baik itu bersifat fisik seperti
tunanetra dan tunarungu, maupun bersifat psikologis seperti autisme
dan ADHD. Pengertian lainnya bersinggungan dengan istilah
tumbuhkembang normal dan abnormal, pada anak berkebutuhan
khusus bersifat abnormal, yaitu terdapat penundaan tumbuh kembang
yang biasanya tampak di usia balita seperti baru bisa berjalan di usia
3 tahun (Rezieka dkk, 2022:41). Anak berkebutuhan khusus adalah
anak yang dalam proses pertumbuhan maupun perkembangannya
mengalami kelainan atau penyimpangan fisik, mental intelektual,
sosial dan emosi dibandingkan dengan anak - anak lain seusianya
sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus (Departemen
Pendidikan Nasional, 2009).
Menurut Cruickshank dan Johnson (dalam David, 2019) anak
berkelainan adalah anak yang mengalami penyimpangan intelektual,
fisik, sosial, atau emosi secara menyolok dari apa yang dianggap
sebagai pertumbuhan dan perkembangan normal. Tentu saja, anak
berkelainan tidak bisa menerima manfaat maksimal dari program
sekolah umum dan memerlukan kelas khusus atau tambahan
pengajaran serta berbagai layanan.

2. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus


Dalam dunia pendidikan saat ini, anak berkebutuhan khusus
diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok sesuai jenis kelain- an
dan jenis layanan yang diberikan. Menurut Delphie (2006), terdapat
sembilan layanan yang bisa diberikan kepada anak berkebutuhan
khusus di Indonesia sesuai dengan hendaya (impairment), antara lain:
1) Anak dengan hendaya penglihatan (tunanetra) khususnya
anak buta (totally blind) yang tidak dapat menggunakan indra

16
penglihatannya untuk mengikuti kegiatan belajar maupun
kehidupan sehari-hari.
2) Anak dengan hendaya pendengaran dan bicara (tunarungu
wicara), yang secara umum mempunyai hambatan
pendengaran dan kesulitan melakukan komunikasi secara
lisan dengan orang lain.
3) Anak dengan hendaya perkembangan kemampuan
(tunagrahita), yang memiliki masalah belajar disebabkan
karena hambatan perkembangan intelegensia, mental, emosi,
sosial, dan fisik.
4) Anak dengan hendaya kondisi fisik atau motorik (tunadaksa),
yang mempunyai kelainan pada tulang, persendian, dan saraf
penggerak otot tubuh.
5) Anak dengan hendaya perilaku sulit menyesuaikan diri
(tunalaras), yang sering membuat keonaran secara berlebihan
dan bertendensi ke arah perilaku kriminal.
6) Anak dengan hendaya autisme (autism children), yang
memiliki kelainan dalam berbicara, kelainan fungsi saraf dan
intelektual, dan perilaku ganjil disebabkan karena cedera
intelektual, dan perilaku ganjil disebabkan karena cedera pada
otak.
7) Anak dengan hendaya hiperaktif (attention deficit disorder
with hyperactive) atau tunagrahita disebabkan karena
kerusakan otak, kelainan emosi dan kurang dengar.
8) Anak dengan hendaya belajar (learning disability), yang
memiliki prestasi rendah dalam bidang akademik tertentu
disebabkan karena hambatan persepsi, luka pada otak,
sebagian fungsi otak tidak berfungsi, disleksia, dan afasia
perkembangan.
9) Anak dengan hendaya kelainan perkembangan ganda (multi
handicapped and developmentally disabled children) atau
tunaganda, yang mempunyai kelainan perkembangan
mencakup hambatan perkembangan neurologis.

17
3. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus
Tunanetra (Partially seing and legally blind)
Secara umum istilah anak tunanetra dapat diartikan sebagai
anak-anak yang mengalami gangguan penglihatan. Menurut Djaja
Raharja dan Sujarwanto (2010) serta Gargiulo (2006) (dalam Nisa K,
dkk. 2018 hlm 34) mendefinisikan ketunanetraan menjadi 3 kategori
buta, buta fungsional, serta buta low vision. Pada pengertian ini,
seorang anak di tes dengan menggunakan snellen chart (kartu snellen)
dimana anak harus dapat mengidentifikasi huruf pada jarak 20 kaki
atau 6 meter. Dengan pengertian lain anak-anak dikatakan buta secara
legal jika mengalami permasalahan pada sudut pandang penglihatan,
yaitu kemampuan menggerakkan mata agar dapat melihat ke sisi
samping kiri dan kanan.
Tunarungu Wicara (Communication disorder and deafness)
Secara umum tunarungu bisa diartikan sebagai gangguan
pendengaran, dimana individu memiliki permasalahan dengan
berkurangnya kemampuan pendengaran. Gangguan pendengaran
dapat diklasifikasikan sesuai frekuensi dan intensitasnya Menurut
Nurwidyayanti (2022, hlm 665) tunarungu adalah individu yang
memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak
permanen. Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat gangguan
pendengaran adalah:
1. Gangguan pendengaran sangat ringan (27-40dB)
2. Gangguan pendengaran ringan (41-55dB)
3. Gangguan pendengaran sedang (56-70dB)
4. Gangguan pendengaran berat (71-90dB)
5. Gangguan pendengaran ekstrim/tuli (diatas 91dB)
Kesulitan pendengaran akan semakin bertambah sejalan
dengan kesulitan berbicara, namun anak dengan kehilangan
pendengaran atau tunarungu memiliki kemampuan intelektual yang
normal, namun memiliki karakteristik sebagai berikut:
1) Keterlambatan dalam perkembangan bahasa karena
kurangnya exposure (paparan) terhadap bahasa lisan,
khususnya apabila gangguan dialami saat lahir atau terjadi
pada awal kehidupan.

18
2) Mahir dalam bahasa sandi, seperti bahasa isyarat atau
pengejaan dengan jari Gangguan Fisik dan Ganda 89
3) Memiliki kemampuan untuk membaca gerak bibir
4) Bahasa lisan tidak berkembang dengan baik; kualitas bicara
agak monoton atau kaku
5) Pengetahuan terbatas karena kurangnya exposure terhadap
bahasa lisan
6) Mengalami isolasi sosial, keterampilan sosial yang terbatas,
dan kurangnya kemampuan mempertimbangkan perspektif
orang lain karena kemampuan komunikasi terbatas.
Tunadaksa (Physical disability)
Tunadaksa adalah anak yang mempunyai kelainan ortopedik
atau salah satu bentuk berupa gangguan dari fungsi normal pada
tulang, otot, dan persendian yang bisa karena bawaan sejak lahir,
penyakit atau kecelakaan, sehingga apabila mau bergerak atau
berjalan memerlukan alat bantu. Istilah tunadaksa sering digunakan
pada individu yang memiliki keterbatasan fisik yang signifikan,
seperti kehilangan satu atau lebih anggota tubuh, kelumpuhan, atau
masalah fisik serius lainnya yang mempengaruhi kemampuan mereka
untuk bergerak dan menjalani aktivitas sehari-hari dengan mandiri.
Berikut identifikasi anak yang mengalami gangguan pendengaran:
1. Anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh
2. Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak
terkendali)
3. Terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak
sempurna/lebih kecil dari biasa
4. Terdapat cacat pada alat gerak
5. Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam
6. Kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukkan
sikap tubuh tidak normal
7. Hiperaktif/tidak dapat tenang.
Tunalaras (Emotional or behavioral disorder)
Tunalaras yaitu anak yang mengalami kesulitan dalam
penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-
norma yang berlaku. Istilah tunalaras mengacu pada individu yang
mengalami gangguan mental yang menghambat kemampuan mereka

19
untuk berfungsi secara sosial atau perilaku, batasan dari pengertian
anak tunalaras adalah anak yang mengalami gangguan perilaku dan
memberikan respon-respon kronis yang jelas tidak dapat diterima
secara sosial oleh lingkungan dan atau perilaku yang secara personal
kurang memuaskan, tetapi masih dapat dididik sehingga dapat
berperilaku yang dapat diterima oleh kelompok sosial dan bertingkah
laku yang dapat memuaskan dirinya sendiri. Menurut Eli M. Bower
(dalam Nurwidyanti 2022, hlm 664) anak dengan hambatan
emosional atau kelainan perilaku, apabila menunjukkan adanya satu
atau lebih dari lima komponen berikut:
1. Tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan
teman-teman dan guru-guru
2. Tidak mampu belajar bukan disebabkan faktor intelektual,
sensori atau Kesehatan
3. Bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya
4. Bertendensi kearah symptoms fisik: merasa sakit atau
ketakutan berkaitan dengan orang atau permasalahan di
sekolah.
5. Secara umum mereka selalu dalam keadaan pervasive dan
tidak menggembirakan atau depresi.
Secara umum karakteristik sosial dan emosional anak dengan
gangguan emosional dan tingkah laku, adalah:
1. Tingkah laku yang tidak terarah (tidak patuh, perkelahian,
perusakan, pengucapan kata-kata kotor dan tidak senonoh,
senang memerintah, berperilaku kurang ajar)
2. Gangguan kepribadian (merasa rendah diri, cemas, pemalas,
depresi, kesedihan yang mendalam, menarik diri dari
pergaulan)
3. Tidak matang / tidak dewasa dalam sikap (pasif, kaku dalam
bergaul, cepat bingung, perhatian terbatas, senang melamun,
berkhayal)
4. Pelanggaran sosial (terlibat dalam aktivitas geng, mencuri,
membolos) Tunalaras juga seringkali disebut emotionally
handicapped, atau behavioral disorder.

20
Bower (dalam Desiningrum 2016) mengungkapkan bahwa
terdapat lima komponen anak dengan hambatan emosional atau
kelainan perilaku, antara lain:
1. Tidak mampu belajar bukan disebabkan karena faktor
intelektual, sensory atau kesehatan
2. Tidak mampu untuk melakukan hubungan dengan baik
dengan teman dan guru
3. Bertingkah laku atau memiliki perasaan yang tidak sesuai. 60
Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus
4. Secara umum, mereka selalu dalam keadaan ervasive dan
tidak menggembirakan atau depresi
5. Bertendensi ke arah simptom fisik, seperti merasa sakit, atau
ketakutan berkaitan dengan orang lain, atau dengan
permasalahan di sekolah.
Tunagrahita
Tunagrahita merupakan istilah yang digunakan untuk
menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah
rata-rata. Secara umum pengertian tunagrahita ialah anak
berkebutuhan khusus yang memiliki keterbelakangan dalam
intelegensi, fisik, emosional dan sosial yang membutuhkan perlakuan
khusus supaya dapat berkembang pada kemampuan yang maksimal.
Karakteristik anak tunagrahita secara umum menurut james D. page
(1995) dicirikan dalam hal:
1. Intelektual. Tingkat kecerdasan tunagrahita selalu dibawah
rata-rata anak yang berusia sama, perkembangan
kecerdasannya juga sangat terbatas. Mereka hanya mampu
mencapai tingkat usia mental setingkat anak SD kelas IV, atau
kelas II, bahkan ada yang hanya mampu mencapai tingkat usia
mental anak pra sekolah.
2. Segi Sosial. Kemampuan bidang sosial anak tunagrahita
mengalami kelambatan. Hal ini ditunjukkan dengan
kemampuan anak tunagrahita yang rendah dalam hal
mengurus, memelihara, dan memimpin diri, sehingga tidak
mampu bersosialisasi.
3. Ciri pada Fungsi Mental Lainnya. Anak tunagrahita
mengalami kesukaran dalam memusatkan perhatian,

21
jangkauan perhatiannya sangat sempit dan cepat beralih
sehingga kurang mampu menghadapi tugas.
4. Ciri Dorongan dan Emosi. Perkembangan dorongan emosi
anak tunagrahita berbeda-beda sesuai dengan
ketunagrahitaannya masing-masing. Anak yang berat dan
sangat berat ketunagrahitaannya hampir tidak
memperlihatkan dorongan untuk mempertahankan diri, dalam
keadaan haus dan lapar tidak menunjukkan tanda-tandanya,
ketika mendapat stimulus yang menyakitkan tidak mampu
menjauhkan diri dari stimulus tersebut. Kehidupan emosinya
lemah, dorongan biologisnya dapat berkembang tetapi
penghayatannya terbatas pada perasaan senang, takut, marah,
dan benci.
5. Ciri Kemampuan dalam Bahasa. Kemampuan bahasa anak
tunagrahita sangat terbatas terutama pada perbendaharaan
kata abstrak. Pada anak yang ketunagrahitaannya semakin
berat banyak yang mengalami gangguan bicara disebabkan
cacat artikulasi dan masalah dalam pembentukan bunyi di pita
suara dan rongga mulut.
6. Ciri Kemampuan dalam Bidang Akademis. Anak tunagrahita
sulit mencapai bidang akademis membaca dan kemampuan
menghitung yang problematis, tetapi dapat dilatih dalam
kemampuan dasar menghitung umum.
7. Ciri Kepribadian dan Kemampuan Organisasi. Dari berbagai
penelitian oleh Leahy, Balla, dan Zigler (Hallahan &
Kauffman, 1988) disebutkan bahwa terkait kepribadian anak
tunagrahita umumnya tidak memiliki kepercayaan diri, tidak
mampu mengontrol dan mengarahkan dirinya sehingga lebih
banyak bergantung pada pihak luar (external locus of control).
Anak tunagrahita menurut Nisa K, dkk. (2022, hlm
37) dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat intelegensi
dengan dasar intelegensi normal manusia dengan Skala Binet
berkisar antara 90-110. Adapun klasifikasi berdasarkan
tingkat adalah ringan (IQ 65-80), sedang (IQ 50-65), berat (IQ
35-50), sangat berat yang memiliki karakteristik lebih khusus

22
dimana mereka akan kesulitan untuk menjalani aktivotas
sosial sehari-hari.
Anak Berbakat
Anak berbakat istimewa cerdas istimewa akan mengarah pada
anak yang memiliki kecakapan intelektual superior, yang secara
potensial dan fungsional mampu mencapai keunggulan akademik di
dalam kelompok populasinya. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) kata cerdas memiliki arti sempurna perkembangan
akal budinya (untuk berpikir, mengerti atau memahami sesuatu).
Anak berbakat memiliki pertumbuhan dengan kecerdasan dan bakat
istimewa yang sama dengan anak normal, namun lebih ditekankan
pada perkembangan pada aspek tertentu dimana mereka mengalami
perkembangan lebih cepat dibanding anak-anak seusianya.
Anak berbakat cenderung memiliki kelebihan menonjol
dalam kosakata dan menggunakannya secara luwes, memiliki
informasi yang kaya, cepat dalam menguasai bahan pelajaran,
kemampuan analisis yang tajam, gemar membaca, peka terhadap
situasi yang terjadi di sekelilingnya, kritis dan memiliki rasa ingin
tahu yang sangat besar. Berikut adalah jenis-jenis anak berbakat:
1. Genius (IQ <180), anak dalam kelompok ini memiliki
kecerdasan yang sangat luar biasa. Bakat dan
keistimewaannya telah tampak sejak kecil, misalnya sejak
umur dua tahun sudah dapat membaca dan umur empat tahun
bisa berbahasa asing
2. Gifted (IQ 140-179), anak dalam kelompok ini bakatnya juga
sudah tampak sejak kecil dan prestasi yang dimiliki biasanya
melebihi teman sebayanya.
3. Sangat superior (IQ 130-139), anak sangat superior berada
pada tingkat tertinggi dalam kelompok superior. Umumnya
tidak ada perbedaan mencolok dengan kelompok superior
4. Superior (IQ 120-129) anak dalam kelompok ini memiliki
prestasi belajar yang cukup tinggi. Secara umum anak dalam
kelompok ini juga memiliki kemampuan yang tinggi jika
dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya.
Kesulitan Belajar Spesifik

23
Anak dengan kesulitan belajar adalah individu yang memiliki
gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang
mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara dan
menulis yang dapat mempengaruhi kemampuan berpikir, membaca,
berhitung, berbicara yang disebabkan karena gangguan persepsi,
brain injury, disfungsi minimal otak, dislexia, dan afasia
perkembangan. Penyimpangan tersebut bersifat intrinsik pada setiap
individu, diyakini disebabkan oleh terganggunya fungsi sistem saraf
pusat, dan dapat terjadi sepanjang hidup. Masalah perilaku
pengaturan diri, kognisi sosial, dan interaksi sosial mungkin muncul
dalam kesulitan belajar, namun sebenarnya kesulitan belajar bukan
sumber utama kesulitan belajar spesifik. Karakteristik anak yang
mengalami kesulitan belajar dalam membaca, menulis, dan berhitung
(Nurwidyanti, 2022):
1. Anak yang mengalami kesulitan membaca (disleksia)
1) Perkembangan kemampuan membaca terlambat
2) Kemampuan memahami isi bacaan rendah
3) Kalau membaca sering banyak kesalahan
2. Anak yang mengalami kesulitan menulis (disgrafia)
1) Kalau menyalin tulisan sering terlambat selesai
2) Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v
dengan u, 2 dengan 5, 6 dengan 9, dan sebagainya
3) Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca
4) Tulisannya banyak salah/terbalik/huruf hilang
5) Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris.
6) Anak yang mengalami kesulitan berhitung
(diskalkula)
3. Anak yang mengalami kesulitan berhitung (diskalkula)
1) Sulit membedakan tanda-tanda: +, -, x, :, >, <, =
2) Sulit mengoperasikan hitungan/bilangan
3) Sering salah membilang dengan urut
4) Sering salah membedakan angka 9 dengan 6; 17
dengan 71, 2 dengan 5, 3 dengan 8, dan sebagainya, e)
Sulit membedakan bangun-bangun geometri.
Dampak terhadap proses pembelajaran secara umum anak
berkebutuhan khusus memerlukan pendekatan pembelajaran yang

24
lebih khusus sesuai dengan kebutuhan mereka, kebanyakan anak
berkebutuhan khusus memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi
yang dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk berpartisipasi
dalam pembelajaran ataupun interaksi sosial, adanya penekanan pada
kemajuan individual maka dari itu guru harus memahami dan
menghargai pencapaian individu anak-anak ini, perlu adanya
peningkatan kesadaran dan empati untuk menciptakan lingkungan
yang lebih inklusif dan ramah bagi semua, penting untuk guru
mengidentifikasi dan mengembangkan potensi unik ataupun bakat di
bidang tertentu pada anak berkebutuhan khusus. Menurut Nisa K, dkk
(2018, 38-39) setiap anak berkebutuhan khusus memiliki
karakteristik yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain.
Layanan yang diberikan sesuai dengan karakteristik kebutuhan dan
kemampuan mereka.

4. Strategi Pembelajaran Bagi Anak Berkebutuhan Khusus


Pembelajaran bagi ABK haruslah yang akomodatif, sehingga
dapat memfasilitasi perbedaan antara anak ABK dengan siswa regular.
Materi pembelajaran dirancang sefleksibel mungkin agar dapat dengan
mudah tersampaikan kepada siswa ABK. Materi pembelajaran bagi siswa
berkebutuhan khusus juga bukan hanya pada bidang akademik saja, akan
tetapi guru juga perlu memberikan pengetahuan yang fungsional dalam
kehidupannya. Metode pembelajaran yang dilaksanakan di kelas
hendaknya juga bervariatif, agar siswa tidak bosan. Media pembelajaran
yang dapat digunakan bagi siswa adalah media yang sesuai dengan
karakteristiknya, yakni media yang konkret dan mudah digunakan.
Setiap sekolah baik sekolah reguler (inklusi) maupun sekolah luar
biasa (SLB) memiliki model pembelajaran, inovasi dan kreativitas yang
berbeda-beda dalam menerapkan pembelajaran kepada siswanya. Model
pembelajaran memiliki pengaruh besar bagi kesuksesan belajar
pembelajaran, karena jika kerangka konseptual pembelajaran matang
dibentuk dan dilaksanakan, maka akan menciptakan pembelajaran yang
efektif di sekolah. model pembelajaran yang baik dan sesuai dengan
kondisi siswa, akan memberikan kenyamanan baik bagi pendidik, siswa
dan lingkungan pembelajaran.
1. Pembelajaran bagi anak tunanetra

25
Strategi pembelajaran pada dasarnya adalah pendayagunaan
secara tepat dan optimal dari semua komponen yang terlibat dalam
proses pembelajaran yang meliputi tujuan, materi pelajaran, media,
metode, siswa, guru, lingkungan belajar dan evaluasi sehingga proses
pembelajaran berjalan dengan efektif dan efesien. Beberapa hal yang
dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan
strategi pembelajaran, antara lain: Berdasarkan pengolahan pesan
terdapat dua strategi yaitu strategi pembelajaran deduktif dan induktf.
1) Berdasarkan pihak pengolah pesan yaitu strategi
pembelajaran ekspositorik dan heuristic.
2) Berdasarkan pengaturan guru yaitu strategi pembelajaran
dengan seorang guru dan beregu.
3) Berdasarkan jumlah siswa yaitu strategi klasikal, kelompok
kecil dan individual.
4) Beradasarkan interaksi guru dan siswa yaitu strategi tatap
muka, dan melalui media.
Selain strategi yang telah disebutkan di atas, ada strategi lain yang
dapat diterapkan yaitu strategi individualisasi, kooperatif dan modifikasi
perilaku.
2. Pembelajaran bagi anak berbakat
Strategi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak
berbakat akan mendorong anak tersebut untuk berprestasi. Hal-hal
yang harus diperhatikan dalam menentukan strategi pembelajaran
adalah :
1) Pembelajaran harus diwarnai dengan kecepatan dan tingkat
kompleksitas.
2) Tidak hanya mengembangkan kecerdasan intelektual semata
tetapi juga mengembangkan kecerdasan emosional.
3) Berorientasi pada modifikasi proses, content dan produk.
Model-model layanan yang bisa diberikan pada anak berbakat
yaitu model layanan perkembangan kognitif afektif, nilai,
moral, kreativitas dan bidang khusus.
3. Pembelajaran bagi anak tunagrahita
Strategi pembelajaran anak tunagrahita ringan yang belajar di
sekolah umum akan berbeda dengan strategi anak tunagrahita yang

26
belajar di sekolah luar biasa. Strategi yang dapat digunakan dalam
mengajar anak tunagrahita antara lain;
1) Strategi pembelajaran yang diindividualisasikan
2) Strategi kooperatif
3) Strategi modifikasi tingkah laku
4. Pembelajaran bagi anak tunadaksa
Strategi yang biasa diterapkan bagi anak tunadaksa yaitu
melalui pengorganisasian tempat pendidikan, sebagai berikut:
1) Pendidikan integrasi (terpadu)
2) Pendidikan segresi (terpisah)
3) Penataan lingkungan belajar
5. Pembelajaran bagi anak tunalaras
Untuk memberikan layanan kepada anak tunalaras, Kauffman
mengemukakan model-model pendekatan sebagai berikut;
1) Model biogenetic
2) Model behavioral/tingkah laku
3) Model psikodinamika
4) Model ekologis
6. Pembelajaran bagi anak dengan kesulitan belajar
1) Anak berkesulitan belajar membaca yaitu melalui program
delivery dan remedial teaching
2) Anak berkesulitan belajar menulis yaitu melalui remedial sesuai
dengan tingkat kesalahan.
3) Anak berkesulitan belajar berhitung yaitu melalui program remidi
yang sistematis sesuai dengan urutan dari tingkat konkret, semi
konkret dan tingkat abstrak.
7. Pembelajaran bagi anak tunarungu
Strategi yang biasa digunakan untuk anak tunarungu antara
lain: strategi deduktif, induktif, heuristic, ekspositorik, klasikal,
kelompok, individual, kooperatif dan modifikasi perilaku.

27
BAB III
PEMBAHASAN

A. Manajemen Sekolah
Manajemen pendidikan inklusi diartikan sebagai upaya untuk
mengelola sumber daya pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran yang kondusif agar peserta didik dapat
menunjukkan potensinya secara optimal melalui proses perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan dalam penyelenggaraan pada sekolah inklusi
(Mudjito, 2014:35). Keberadaan manajeman sekolah inklusi di SD
Negeri sangat penting kehadirannya sebagai pendukung tercapainya
sekolah inklusi yang optimal guna mengurangi kesenjangan pendidikan
siswa inklusi dengan siswa pada umumnya.
Berikut adalah berdasarkan hasil observasi kami di SD Negeri 071 terkait
manajemen sekolah:
1. Manajemen Kesiswaan
Manajemen peserta didik menurut Nasihin dan Sururi dalam
Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI (2009: 205) adalah
sebagai usaha pengaturan terhadap peserta didik mulai dari peserta
didik terebut masuk sekolah sampai dengan mereka lulus. Adanya
manajemen peserta didik merupakan upaya untuk memberikan
layanan yang sebaik mungkin kepada peserta didik semenjak dari
proses penerimaan sampai pada saat peserta didik lulus dari
lembaga pendidikan (sekolah) tersebut dan bertujuan untuk
mengatur berbagai kegiatan peserta didik agar kegiatan belajar-
mengajar di sekolah dapat berjalan lencar, tertib, dan teratur, serta
mencapai tujuan yang diinginkan. Penerimaan siswa baru pada
sekolah inklusi hendaknya memberi kesempatan dan peluang
kepada anak luar biasa untuk dapat diterima dan mengikuti
pendidikan di sekolah inklusi terdekat. Manajemen Kesiswaan
meliputi antara lain:
1) Penerimaan siswa baru.
2) Program bimbingan dan penyuluhan.
3) Pengelompokan belajar siswa.

28
4) Bimbingan siswa.
5) Penilaian siswa.
Pada SD Negeri 071 Sukagalih,Untuk penerimaan siswa
disabilitas sebenarnya pihak sekolah tidak tahu jika ketika siswa
yang terdaftar tersebut adalah siswa disabilitas, karena mereka
daftar melalui jalur reguler/zonasi sehingga pihak sekolah tau akan
siswa tersebut disabilitas ketika kbm berlangsung. Namun SDN
071 Sukagalih dapat menghandle dengan baik karena sudah sering
mendapat siswa disabilitas. Menurut kelompok kami,ini
sebenarnya kurang lengap karena manajemen kesiswaan
seharusnya meliputi yang sudah dijelaskan di atas namun
berdasarkan data yang kami dapatkan hanya mengenai penerimaan
siswa baru yang sebenarnya tidak pada ketentuannya karna
ketentuan seharusnya adalah dengan membuat tes diawal untuk
mengetahui anak tersebut ABK atau tidak.
2. Manajemen kurikulum untuk siswa inklusi
Manajemen kurikulum masih menurut Rusman (2009:3)
sebagai suatu sistem pengelolaan kurikulum yang kooperatif,
komprehensif, sistemik, dan sistematik dalam rangka mewujudkan
ketercapaian tujuan kurikulum.Kurikulum untuk peserta didik
berkebutuhan khusus di sekolah inklusi dapat mengalami
modifikasi sesuai dengan karakteristik masing-masing peserta
didik,setiap peserta didik memiliki karakteristik tertentu yang
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, perbedaan
karakteristik tersebut juga menggambarkan adanya perbedaan
kebutuhan layanan pendidikan bagi setiap peserta didik.
Manajemen Kurikulum (program pengajaran) Sekolah Inklusi
meliputi modifikasi kurikulum nasional sesuai dengan kemampuan
awal dan karakteristik siswa (anak luar biasa), menjabarkan
kalender pendidikan, menyusun jadwal pelajaran dan pembagian
tugas mengajar; mengatur pelaksanaan penyusunan program
pengajaran persemester dan persiapan pelajaran, mengatur
pelaksanaan penyusunan program kurikuler dan ekstrakurikuler,
mengatur pelaksanaan penilaian, mengatur pelaksanaan kenaikan
kelas, membuat laporan kemajuan belajar siswa, mengatur usaha
perbaikan dan pengayaan pengajaran. Kurikulum didasarkan pada

29
model yang mengatur kurikulum agar sesuai dengan apa yang telah
drencanakan. Adapun model kurikulum pendidikan inklusi terdiri
dari 3 komponen model yang akan dijelaskan seperti berikut, yaitu:
1) Model kurikulum reguler, yaitu kurikulum yang
mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk
mengikuti kurikulum reguler sama seperti kawan-kawan
lainnya di dalam kelas yang sama.
2) Model kurikulum reguler dengan modifikasi, yaitu
kurikulum yang dimodifikasi oleh guru pada strategi
pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program
tambahan lainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan
peserta didik berkebutuhan khusus. Di 22 dalam model ini
bisa terdapat siswa berkebutuhan khusus yang memiliki
PPI.
3) Model kurikulum Program Pembelajaran Individual (PPI),
yaitu kurikulum yang dipersiapkan guru program PPI yang
dikembangkan bersama tim pengembang yang melibatkan
guru kelas, guru pendidikan khusus, kepala sekolah, orang
tua, dan tenaga ahli lain yang terkait.
Namun SD Negeri 071 Sukagalih belum cukup karena
kurikulum yang disabilitas dengan reguler itu sama. Menurut
kelompok kami,kami tidak setuju jika kurikulum yang digunakn itu
sama.Seharusnya guru dapat membedakan kurikulum yang
digunakan karena jika kurikulumnya sama,Siswa tanpa kebutuhan
khusus mungkin merasa kurang mendapatkan perhatian individu
dari guru karena fokus terbagi di antara siswa dengan berbagai
kebutuhan.Siswa tanpa kebutuhan khusus mungkin mengalami
pertumbuhan akademik yang berbeda akibat penyesuaian
kurikulum. Beberapa siswa mungkin merasa terlalu tertantang,
sementara yang lain mungkin merasa kurang ditantang.
3. Manajemen ketenaga pendidikan
Tenaga kependidikan bertugas menyelenggarakan kegiatan
mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan/atau
memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan. Tenaga
kependidikan di sekolah meliputi Tenaga Pendidik (Guru),
Pengelola Satuan Pendidikan, Pustakawan, Laboran, dan Teknisi

30
sumber belajar. Guru yang terlibat di sekolah inklusi yaitu Guru
Kelas, Guru Mata Pelajaran (Pendidikan Agama serta Pendidikan
Jasmani dan Kesehatan), dan Guru Pembimbing Khusus
SD Negeri 071 Sukagalih belum memiliki helper atau guru
pendamping sama sekali, sehingga ketika anak tantrum atau ada
anak yang memang harus memiliki keperhatian lebih, Guru
tersebut yang langsung menanganinya masing masing.Begitu juga
dengan wali kelas yang di bekali melalui ilmu seperti workshop
atau pelatihan sehingga ketika ada murid baru namun sekolah tidak
tahu bahwa siswa ada yang disabilitas, gurupun sanggup untuk
melanjutkan pembelajaran.Namun tetap saja pihak sekolah
sebenarnya sangat membutuhkan helper atau guru pendamping
tetapi pemerintah kota dan disidik belum memberikan respon
apapun.
4. Manajemen sarana dan prasarana
Menurut Sutikno (2012: 86) manajemen sarana prasarana
dapat diartikan kegiatan menata, mulai dari merencanakan
kebutuhan, pengadaan, penyimpanan dan penyaluran,
pendayagunaan, pemeliharaan, penginventarisan dan penghapusan
serta penataan lahan, bangunan, perlengkapan, dan perabot sekolah
secara tepat guna dan tepat sasaran. Di samping menggunakan
sarana-prasarana seperti halnya anak normal, anak luar biasa perlu
pula menggunakan saranaprasarana khusus sesuai dengan jenis
kelainan dan kebutuhan anak. Manajemen sarana-prasarana
sekolah bertugas merencanakan, mengorganisasikan,
mengarahkan, mengkoordinasikan, mengawasi, dan mengevaluasi
kebutuhan dan penggunaan saranaprasarana agar dapat
memberikan sumbangan secara optimal pada kegiatan belajar-
mengajar. Komponen sarana dan prasarana dalam sistem
pendidikan inklusi, menjadi salah satu komponen yang termasuk
penting. Melihat karakteristik anak berkebutuhan khusus, maka
sarana dan prasarana pendidikan yang dibutuhkan tentunya
menyesuaikan dengan kebutuhan anak. Selain komponen sekolah
seperti tanah, gedung, kantor, gedung sekolah, laboratorium,
monumen, tempat tinggal dan sebagainya, diperlukan pula alat-alat
spesifik seperti ruang khusus bagi anak low vision, ruang kedap

31
suara bagi anak tunarungu, berbagai macam alat peraga bagi anak
autis, serta alatalat bantu pembelajaran yang kesemuanya
diharapkan dapat menunjang untuk anak dapat belajar secara
efektif dan maksimal.
Namun sekolah yang kami observasi belum memiliki sarana
dan prasarana yang memenuhi kebutuhan siswa disabilitas
sehingga masih kurangnya manajemen sarana dan prasarana ini.
Menurut kami,sangatlah oenting untuk melengkapi saran dan
prasarana untuk mendukung pendidikan inklusi karena melalui
sarana dan prasarana yang memadai menciptakan dasar yang kuat
untuk pengalaman belajar inklusif, memastikan bahwa sekolah
adalah tempat yang dapat diakses dan mendukung bagi semua
siswa, sehingga setiap individu dapat tumbuh dan berkembang
sesuai dengan potensinya.
5. Manajemen sosial
Manajemen sosial dalam konteks pendidikan inklusif
mencakup upaya untuk menciptakan dan memelihara lingkungan
sosial yang mendukung keberagaman, penerimaan, dan
partisipasi semua siswa, termasuk mereka yang memiliki
kebutuhan khusus. Manajemen sosial dalam konteks pendidikan
inklusif sangat penting karena melibatkan pengelolaan interaksi
sosial di antara semua siswa, termasuk mereka yang memiliki
kebutuhan khusus.Dengan adanya manajemen sosial yang baik,
pendidikan inklusif dapat menjadi lebih efektif dan mendukung
perkembangan positif semua siswa, tanpa memandang perbedaan
mereka.
SD Negeri 071 Sukagalih setiap kelasnya dan setiap
angkatannya ada yang disabilitas, sehingga anak-anak yang
bukan disabilitas sudah terbiasa untuk berbaur,begitu juga dengan
anak disabilitas tersebut bahkan turut bermain dengan anak anak
lainnya.Ini dikarenakan faktor terbiasa dari guru yang ketika awal
sudah memberi banyak edukasi kepada anak lainnya sehingga
bisa tercipta lingkungan sosial yang aman dan nyaman.
lingkungan belajar yang mendukung keberagaman dan kebutuhan
semua siswa, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus.
Namun di SD Negeri 071 Sukagalih tidak tersedia helper ataupun

32
guru spesialis inklusi. Menurut kelompok kami,secara
manajemen sosail di sekolah ini sudah baik karena sudah
membiasakan siswanya dengan memberikan edukasi terkait
perbedaan mereka.Melalui edukasi yang telah diberikan dapat
menciptakan suasana kelas yang positif .Manajemen sosial
sekolah ini dapat dikatakan sudah membentuk lingkungan yang
mendukung, mendorong penerimaan, dan menghargai
keberagaman.Melalui manajemen sosial yang baik, sekolah dapat
menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung,
mengurangi risiko intimidasi dan diskriminasi terhadap siswa
dengan kebutuhan khusus.

B. SDM
Sumber daya manusia yang baik untuk sekolah inklusi melibatkan
individu yang memiliki pemahaman, kompetensi, dan komitmen
terhadap prinsip-prinsip inklusi. Dengan melibatkan berbagai sumber
daya manusia ini, sekolah inklusi dapat menciptakan lingkungan
pembelajaran yang mendukung keberhasilan semua siswa, tanpa
memandang perbedaan.Sumber Daya Manusia (SDM) yang baik sangat
penting untuk sekolah inklusi karena mereka memiliki peran kunci dalam
merancang, melaksanakan, dan mempertahankan lingkungan
pembelajaran yang inklusif.Dengan SDM yang baik, sekolah inklusi
dapat memberikan pengalaman pembelajaran yang inklusif, mendukung
perkembangan semua siswa, dan mendorong penerimaan serta partisipasi
aktif dalam komunitas pendidikan.
Sumber Daya Manusia (SDM) dalam konteks pendidikan inklusi
mencakup para profesional, guru, staf sekolah, dan tenaga pendidik
lainnya yang bekerja untuk menciptakan lingkungan belajar yang
mendukung keberagaman dan kebutuhan semua siswa, termasuk mereka
yang memiliki kebutuhan khusus.
Berdasarkan data yang kami peroleh,di SD Negeri 071 Sukagalih
tidak tersedia SDM yaitu helper ataupun guru spesialis inklusi yang
seharusnya sudah disediakan.Menurut kelompok kami dari segi SDM
sekolah ini sangat tidak memadai dan cenderung tidak mendukung
pendidikan inklusi yang seharusnya ada penyediaan helper atau guru
spesialis karena pentingnya kolaborasi antar SDM, seperti guru, spesialis,

33
dan staf dukungan, sangat penting. Kemampuan untuk bekerja sama
secara efektif meningkatkan pengalaman belajar siswa dengan kebutuhan
khusus.SDM, termasuk guru dan staf dukungan, harus memiliki
pemahaman mendalam tentang berbagai kebutuhan khusus siswa. Hal ini
memungkinkan mereka merancang dan memberikan dukungan yang
sesuai.namun di sekolah tersebut tidak ada.

C. Aksesibilitas Sekolah.
Hal yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah aksesibilitas
bagi para penyandang disabilitas. Setidaknya ada dua hal yang harus
dipenuhi, yakni aksesibilitas fisik dan non fisik. Aksesibilitas fisik adalah
suatu kemudahan yang diberikan untuk dapat masuk,menggunakan serta
keluar dalam suatu bangunan yang bisa berupa bangunan, jalan umum,
angkutan, dan berbagai fasilitas umum lainnya. Sedangkan aksesibiltas
non fisik adalah suatu kemudahan yang diberikan bagi semua orang
untuk dapat masuk,menggunakan serta keluar dalam suatu sistem yang
berupa pelayanan umum dan informasi
Di sekolah dengan model inklusi, ABK harus mendapatkan haknya
untuk dapat mengikuti pembelajaran secara nyaman. Salah satunya
adalah dengan menyediakan fasilitas penunjang belajar. Sebagai contoh,
sekolah dapat menyediakan ramp yang bisa diakses menggunakan kursi
roda, guiding block untuk disabilitas netra, dan masih banyak lagi.
Hasil analisis data tentang aksesibiltas bagi anak berkebutuhan
khusus di sekolah inklusi di SD Negeri 071 yaitu:
a. Komponen Aksesibilitas
Didalam komponen aksesibilitas ini dapat mengukur sejauh
mana upaya sekolah dalam menyediakan kemudahan-kemudahan
dalam penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
dari masalah bangunan dan tata ruang sekolah yang disesuaikan
dengan anak berkebutuhan khusus.Dengan memastikan aksesibilitas,
sekolah inklusi dapat menciptakan lingkungan yang mendukung dan
memungkinkan semua siswa untuk belajar, berpartisipasi, dan berkembang
secara maksimal tanpa hambatan fisik.Aksebilitas yang baik juga
berhubungan dengan fasilitasyang diakses dengan mudah, seperti toilet
yang dapat diakses oleh kursi roda atau peralatan khusus untuk
belajar, mendukung siswa dengan kebutuhan khusus agar dapat
mengikuti pelajaran dan berpartisipasi dalam kegiatan

34
sekolah.Aksesibilitas menciptakan kesetaraan peluang bagi semua
siswa. Siswa dengan kebutuhan khusus harus dapat mengakses ruang
kelas, fasilitas olahraga, dan area lainnya untuk mengoptimalkan
pembelajaran dan pengalaman sekolah mereka.
Berdasarkan data yang kami peroleh, SD negeri 071 dapat
dikatakan masih kurang untuk aksesibilitas fisiknya karena
sekolahnya menggunakan tangga dan tidak tersedia guiding block
sehingga untuk yang tuna daksa dan tuna netra akan susah untuk
mengakses jalan.Begitu juga dengan ketersediaan ruangan,sekolah
ini tidak memiliki ruangan khusus untuk siswa disabilitas untuk
situasi dan kondisi ketika siswa tersebut tantrum dan tidak bisa
mengikuti pembelajaran pada jam tersebut.Menurut kelompok
kami,kalau suatu sekolah sudah ada penyandang disabilitasnya
sebaiknya sekolah segera memenuhi aksebilitas yang mendukung
pendidikan inklusi karena Setiap siswa berhak mendapatkan
pendidikan yang setara dan mendukung. Aksesibilitas adalah cara
untuk memenuhi hak-hak ini dan mendorong keadilan
pendidikan.Dengan menciptakan fasilitas yang ramah inklusi,
aksesibilitas membantu mengurangi stigma dan memberikan pesan
positif tentang keberagaman.Aksesibilitas membantu menciptakan
lingkungan di mana siswa dapat berkembang secara mandiri dan
merasa termotivasi untuk belajar tanpa hambatan yang tidak perlu.
b. Komponen sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana yang baik bagi sekolah inklusi
melibatkan beberapa komponen penting untuk mendukung
keberhasilan pembelajaran semua siswa, termasuk mereka dengan
kebutuhan khusus.Dengan memastikan adanya sarana dan prasarana,
sekolah inklusi dapat menciptakan lingkungan yang mendukung
pertumbuhan dan perkembangan semua siswa, menciptakan
pengalaman pembelajaran yang inklusif dan merangsang.
Di dalam komponen ini terdapat data yang menyangkut
sejauh mana fasilitas yang tersedia di SD Negeri 071 Sukagalih yaitu
belum lengkapnya sarana dan prasarana yang mendukung
pembelajaran inklusi karena sekolah tersebut tidak menyediakan
ruang kelas dukungan,belum memiliki helper atau guru pendamping
dan fasilitas lainnya seperti guiding block.Menurut kelompok

35
kami,dari segi sarana dan prasarana sekolah ini sangatlah kurang
sehungga belum efektif untuk menciptakan pembelajaran inklusif
yang seharusnya.
c. Komponen Model Pembelajaran
Model pembelajaran pada sekolah inklusi seharusnya
mencerminkan pendekatan yang responsif terhadap kebutuhan
beragam siswa. Guru harus mampu membuata pembelajaran
diferensiasi dengan menyusun pengajaran yang membedakan,
mempertimbangkan gaya belajar, tingkat kemampuan, dan
kebutuhan khusus siswa dalam kelas yang beragam dan Merancang
dan mengimplementasikan RPI untuk siswa dengan kebutuhan
khusus, memastikan bahwa ada strategi khusus untuk memenuhi
kebutuhan mereka.Model pembelajaran inklusif harus menjadi
refleksi dari nilai-nilai inklusi, dengan memberikan perhatian khusus
pada keberagaman dan memastikan bahwa setiap siswa merasa
didukung dalam perjalanan mereka menuju kesuksesan
pembelajaran.
Berdasarkan data yang kami peroleh.dalam komponen model
pembelajaran mencakup tentang kurikulum yang digunakan dalam
mengajar siswa ABK,yaitu menggunakan kurikulum yang digunakan
tetap sama, sesuai dengan sekolah umum.Namun untuk assesmen di
sesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan siswa tersebut.Menurut
kelompok kami.untuk model pembelajaran yang sudah digunakan
sudah baik karena menerapkan pembelajaran yang
berdiferensiasi.Guru di sekolah tersebut sudah memahami setiap
siswa memiliki gaya belajar, tingkat kemampuan, dan kebutuhan
yang berbeda. Diferensiasi memungkinkan guru untuk menghormati
keberagaman ini dengan menyusun pengajaran yang sesuai dengan
kebutuhan individu.

D. Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif


Penyelenggaraan pendidikan inklusif melibatkan serangkaian
langkah dan kebijakan yang dirancang untuk menciptakan lingkungan
belajar yang mendukung keberagaman dan kebutuhan semua siswa,
termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Pendidikan inklusi
melibatkan pengintegrasian siswa dengan kebutuhan khusus ke dalam

36
lingkungan pendidikan reguler. Penyelenggaraannya melibatkan
penyediaan dukungan, modifikasi kurikulum, dan pelibatan guru
spesialis untuk membantu siswa dengan kebutuhan khusus agar dapat
belajar bersama teman sebaya mereka. Fasilitas fisik yang ramah inklusi
dan pelatihan guru tentang berbagai kebutuhan khusus juga merupakan
bagian penting dari penyelenggaraan pendidikan
inklusi.Penyelenggaraan pendidikan inklusi yang baik melibatkan
beberapa prinsip dan praktik esensial:
1. Pelibatan semua siswa dengan memastikan bahwa semua siswa,
termasuk mereka dengan kebutuhan khusus, memiliki akses
ke lingkungan pembelajaran yang sama dan mendukung.
2. Penyesuaian kurikulum dengan memodifikasi kurikulum untuk
memenuhi kebutuhan individu siswa. Ini dapat melibatkan
penyesuaian materi, metode pengajaran, atau penilaian.
3. Dukungan individual pada siswa dengan kebutuhan khusus
mungkin memerlukan dukungan tambahan. Pastikan ada rencana
pendukung individu (misalnya, Rencana Pendidikan
Individu/RPI) dan fasilitas yang sesuai.
4. Pelatihan guru yang perlu mendapatkan pelatihan yang memadai
dalam metode pengajaran inklusif dan bagaimana mengelola
kebutuhan beragam siswa.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, penyelenggaraan pendidikan
inklusi dapat menjadi lebih efektif dan mendukung perkembangan semua
siswa secara holistik. Berdasarkan data yang kami peroleh,beberapa
prinsip dan langkah yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusif di Sekolah ini tidak memenuhi karena sekolah ini sebenarnya
tidak bisa dikatakan sepenuhnya sekolah inklusi walaupun beberapa
siswanya ada penyandang disabilitas. Menurut kelompok kami,sekolah
ini memang tidak dapat dikatakan sebagai sekolah inklusi karna banyak
prinsip dan langkah yang belum memenuhi mulai dari penyediaan
dukungan yang minim,tidak adanya guru khusus dan fasilitas fisik yang
belum ramah inklusi.Seharusnya ketika di suatu sekolah sudah ada
penyandang disabilitas,sudah sebaiknya beberapa hal pendukung inklusi
untuk dipenuhi segera agar dapat memberhasilkan kegiatan belajar
mengajar inklusi.

37
E. Kurikulum Sekolah
Menurut Saylor, Alexander, dan Lewis, kurikulum merupakan
semua upaya yang diadakan dan dilakukan oleh pihak sekolah untuk
menstimulus peserta didik belajar, baik belajar di dalam kelas, di halaman
sekolah, maupun ketika berada di luar sekolah.
Sementara itu, dalam UU tentang Sistem Pendidikan Nasional No
20 tahun 2003 pasal 1 butir 19 disebutkan, kurikulum merupakan
seperangkat pengaturan dan rencana mengenai tujuan, isi, dan materi
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman kegiatan
pembelajaran guna mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum menjadi
sangat penting untuk dimiliki setiap sekolah sebagai pedoman bagi para
guru. Terutama bagi sekolah-sekolah formal, di mana kurikulum akan
menjadi pedoman dan memberikan arah dalam mengajar. Sesuai dengan
pengertian kurikulum, yaitu sesuatu yang terencana, maka dalam dunia
pendidikan segala kegiatan siswa dapat diatur dengan sedemikian rupa.
Sehingga tujuan adanya pendidikan dapat tercapai. Bahkan, bisa
dikatakan jika tidak ada kurikulum, maka pembelajaran di sekolah tidak
bisa berjalan dengan baik. Sebab segala sesuatu telah tertuang dalam
sebuah kurikulum. Tentunya dengan berbagai variasi dan adaptasi. Maka
tak heran pula jika seorang pakar bernama Beauchamp (1998)
menyatakan bahwa kurikulum merupakan jantung dari pendidikan.
Kurikulum Pendidikan Inklusi di Sekolah Dasar (SD) dirancang
untuk mendukung keberagaman dan memastikan bahwa setiap siswa,
termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki
kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk
mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan
secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya, mendapatkan
pendidikan yang setara dan bermakna. Inklusi dalam konteks pendidikan
berarti memasukkan semua siswa, termasuk mereka yang memiliki
kebutuhan pendidikan khusus, ke dalam kelas reguler bersama dengan
siswa lainnya.
Untuk kurikulum yang digunakan oleh sekolah yang kami
observasi adalah kurikulum yang digunakan tetap sama, sesuai dengan
sekolah umum. Tetapi kalau anak tersebut tidak bisa mengikuti, akan
dialihkan dengan kemauan anak tetapi akan tetap diarahkan juga dan

38
lebih rendah tingkat materinya. Jika terjadi keterlambatan pada ABK,
akan tetap di naikkan kelas, tetapi nanti akan mendapatkan ijazah khusus,
yaitu ijazah khusus anak inklusif. Ini didapatkan dari dinas provinsi. jadi,
ketercapaiannya tetap sama, tetapi ijazahnya bukan ijazah umum.
Sehingga, ketika anak tersebut melanjutkan pendidikan ke jenjang
selanjutnya, sekolah yang dituju akan mengetahui bahwa anak tersebut
merupakan anak berkebutuhan khusus. Nilainya tetap sama besar, tetapi
kemampuannya tergantung dari semampunya anak tersebut.
Menurut kelompok kami,kurikulum yang ditetapkan oleh SD
tersebut sudah menyesuaikan dengan kebutuhan siswa-siswanya karena
seperti ketentuan kurikulum inklusi.kurikulum hendaknya disesuaikan
dengan kebutuhan anak, yang selama ini anak dipaksakan mengikuti
kurikulum dan SD ini sudah memberikan kesempatan untuk
menyesuaikan kurikulum dengan anak.

F. Layanan Pendidikan
Untuk beberapa jenis anak berkebutuhan khusus sebagian besar
dapat mengikuti layanan pendidikan sebagaimana anak-anak normal
pada umumnya. Namun, tentu ada anak-anak berkebutuhan khusus yang
memang memerlukan layanan individual, karena kondisi dan keadaannya
yang tidak memungkinkan untuk mengikuti layanan sebagaimana anak-
anak normal. Bentuk-bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus dapat dikelompokkan menjadi bentuk layanan pendidikan
segregrasi, merupakan sistem pendidikan yang terpisah dari sistem
pendidikan anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan khusus melalui
sistem segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan yang
dilaksanakan secara khusus, dan terpisah dari penyelenggaraan
pendidikan untuk anak normal. Selanjutnya, yaitu bentuk layanan
pendidikan terpadu/integrasi, merupakan sistem pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar
bersama-sama dengan anak biasa (normal) di sekolah umum. Dengan
demikian, melalui sistem integrasi anak berkebutuhan khusus bersama-
sama dengan anak normal belajar dalam satu atap. Sistem pendidikan
integrasi disebut juga sistem pendidikan terpadu, yaitu sistem pendidikan
yang membawa anak berkebutuhan khusus kepada suasana keterpaduan
dengan anak normal.

39
Berdasarkan hasil observasi kelompok kami di SD Negeri 071
Sukagalih, untuk layanan pendidikan menerapkan bentuk layanan
pendidikan terpadu, dimana penyelenggaraan pendidikannya
memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar
bersama-sama dengan anak biasa (normal) di sekolah umum. Akan
tetapi, di sekolah ini layanan pendidikannya belum sepenuhnya
menyediakan segala sesuatunya seperti sekola inklusi yang seharusnya,
karena dari segi fasilitas pun sebenarnya belum memadai tetapi sekolah
ini tetap menerima siswa berkebutuhan khusus. Menurut kelompok kami,
layanan Pendidikan di SD Negeri 071 Sukagalih secara umum sudah
menuju penyelenggaraan sekolah inklusi, dimana sekolah ini menerima
siswa berkebutuhan khusus, namun dalam pemenuhan fasilitas yang
menunjang penyelenggaraan pendidikan inklusi belum sepenuhnya
melayani siswa berkebutuhan khusus. Penerimaan siswa berkebutuhan
khusus ini hanya didasarkan pada peraturan pemerintah yang
mengharuskan setiap sekolah agar dapat menerima anak berkebutuhan
khusus.

G. Layanan Pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus


Salah satu bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi
anak berkebutuhan khusus menurut Depdiknas (1986) adalah bentuk
kelas biasa. Dalam bentuk keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus
belajar di kelas biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum
biasa. Oleh karena itu sangat diharapkan adanya pelayanan dan bantuan
guru kelas atau guru bidang studi semaksimal mungkin dengan
memperhatikan petunjuk-petunjuk khusus dalam melaksanakan kegiatan
belajar-mengajar di kelas biasa. Bentuk keterpaduan ini sering juga
disebut keterpaduan penuh. Dalam keterpaduan ini guru pembimbing
khusus hanya berfungsi sebagai konsultan bagi kepala sekolah, guru
kelas/guru bidang studi, atau orangtua anak berkebutuhan khusus.
Sebagai konsultan, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai
penasehat mengenai kurikulum, maupun permasalahan dalam mengajar
anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu disediakan ruang
konsultasi untuk guru pembimbing khusus. Pendekatan, metode, cara
penilaian yang digunakan pada kelas biasa ini tidak berbeda dengan yang

40
digunakan pada sekolah umum. Tetapi untuk beberapa mata pelajaran
yang disesuaikan dengan ketunaan anak.
Akan tetapi, untuk layanan pendidikan bagi siswa berkebutuhan
khusus di SD Negeri 071 Sukagalih, hanya terdapat layanan pendidikan
bentuk kelas biasa serta belum terdapat guru pembimbing khusus.
Sehingga, layanan pendidikan dari guru kelas lebih difokuskan kepada
perlakukan serta perhatian khusus bagi siswa tersebut. Menurut
kelompok kami, dalam hal layanan Pendidikan bagi siswa berkebutuhan
khusus sangat kurang memenuhi layanan sekolah inklusi yang
seharusnya, karena berdasarkan informasi yang kami peroleh, sekolah ini
belum menyediakan guru pendamping khusus, dimana pelayanan bagi
siswa berkebutuhan khusus hanya dilakukan oleh guru kelas yang
tentunya terbatas, karena di dalam satu kelas terdapat berbagai macam
karakteristik siswa yang berbeda-beda, sehingga jika hanya
mengandalkan satu orang guru kelas untuk menangani baik itu siswa
normal pada umumnya dan juga siswa berkebutuhan khusus. Perhatian
guru di dalam kelas tentu akan terbagi, sedangkan siswa berkebutuhan
khusus memerlukan perhatian yang lebih banyak.

H. Layanan Assesment
Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan proses
pengumpulan informasi berdasarkan data yang dikumpulkan secara
sistematis mengenai karakteristik, kemampuan dan kesulitan individu
sebagai dasar pertimbangan dalam penyusunan program maupun
pemberian layanan. Dalam asesmen ABK terdapat tujuan yang akan
dicapai yakni mengetahui potensi dan kelemahan individu sehingga dapat
diidentifikasi kebutuhan dari hal yang dikuasai dan yang belum dikuasai
baik dalam aspek pembelajaran atau aspek perkembangan. Selanjutnya,
asesmen bertujuan untuk memberikan rekomendasi yang dapat orang tua
lakukan demi pencapaian perkembangan anak. Selain itu, tujuan asesmen
adalah sebagai penentuan layanan oleh konselor dan rencana yang dapat
dicapai oleh masing-masing individu sehingga nantinya dapat dijadikan
evaluasi. Sebelum melakukan asesmen, guru pembimbing perlu
mengetahui jenis asesmen ABK agar dapat dijadikan pedoman dalam
pelaksanaan dan hasil. Asesmen terbagi dalam 3 jenis yaitu (1) asesmen
akademik; (2) asesmen sensori dan motorik; (3) asesmen psikoemososial.

41
Asesmen Akademik merupakan upaya untuk mengetahui kemampuan
individu sehingga mudah dalam pembuatan kurikulum dan penempatan
kelas. Asesmen akademik terdiri dari membaca, menulis, dan berhitung.
Kemudian, asesmen sensorik dan motorik terdiri dari pendengaran,
penglihatan, motorik kasar & halus, keseimbangan, dan lokomotor.
Asesmen sensorik dan motorik ini merupakan proses dalam
mengidentifikasi kemampuan individu berdasarkan pergerakan tubuh
atau panca indera melalui aktivitas yang diberikan. Selanjutnya. asesmen
Psikoemososial yang terdiri dari kognitif, perilaku, afek, komunikasi &
interaksi sosial. Asesmen psikoemososial ini merupakan upaya untuk
mengetahui kondisi psikis, emosi dan sosial berdasarkan pengalaman
yang diterima individu semasa hidupnya.
Berdasarkan hasil observasi di SD Negeri 071 Sukagalih,
asesmen yang digunakan lebih berfokus pada asesmen akademik, yaitu
tergantung pada jenis disabilitas nya apa, serta kemampuan dan
kebutuhannya seperti apa. Jika anak tersebut sering mengalami tantrum
atau tidak bisa mengikuti pembelajaran seperti biasa, maka guru akan
menurunkan bobot soal dalam asesmen siswa tersebut. Untuk ijazah yang
akan diterima, sudah disediakan ijazah khusus. Menurut kelompok kami,
layanan asesmen di SD Negeri 071 Sukagalih hanya memfokuskan pada
bagian asesmen akademik saja dan kurang memperhatikan asesmen dari
segi sesnsorik dan psikoemososial. Layanan asesmen yang
diselenggarakan lebih tertuju pada penilaian bersifat konten materi dan
sejauh mana pengetahuan siswa berkebutuhan khusus terhadap apa yang
sudah dipelajari di kelas. Sedangkan seharusnya, sekolah inklusi juga
perlu menyediakan dan memperhatikan layanan asesmen dalam hal
perkembangan sensorik dan psikoemososial siswa berkebutuhan khusus,
karena asesmen sensorik dan psikoemososial ini juga akan menjadi bahan
yang membantu peningkatan evaluasi bagaimana untuk meningkatkan
cara belajar siswa berkebutuhan khusus sehingga asesmen akedemik juga
dapat tercapai dengan baik.

I. Layanan Pembelajaran Individual


Program Pembelajaran Individual merupakan salah satu bentuk
layanan pendidikan bagi ABK. Pembelajaran ini berupa satu rancangan
pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus agar mereka mendapatkan

42
pelayanan sesuai kebutuhannya dengan lebih memfokuskan pada
kemampuan dan kelemahan kompetensi peserta didik. Hal ini disebabkan
karena perbedaan antara individu pada ABK sangat beragam, sehingga
layanan pendidikannya lebih diarahkan pada layanan yang bersifat
individual. Program Pembelajaran Individual harus merupakan program
yang dinamis, artinya sensitif terhadap berbagai perubahan dan kemajuan
peserta didik, yang diarahkan pada hasil akhir yaitu kemandirian yang
sangat berguna bagi kehidupannya, mampu berperilaku sesuai dengan
lingkungannya atau berperilaku adaptif.
Namun, di SD Negeri 071 Sukagalih tidak terdapat layanan
pembelajaran individual, tetapi siswa berkebutuhan khusus rata-rata
diarahkan oleh gurunya untuk duduk dekat dengan guru atau pada meja
di baris pertama yang berhadapan langsung dengan guru, agar guru
tersebut bisa memberi perhatian khusus pada siswa tersebut dengan
mudah. Meskipun pembelajaran individual tidak tersedia, tetapi terdapat
permainan yang dapat digunakan ketika siswa tersebut tantrum, maka
guru hanya mengajak dia bermain apa yang dia sukai. Menurut kelompok
kami, dengan tidak tersedianya layanan pembelajaran individual bagi
siswa berkebutuhan khusus ini akan berpengaruh pada kemajuan
perkembangan siswa, karena dengan adanya layanan pembelajaran
individual akan memungkinkan siswa berkebutuhan khusus dapat
menemukan serta mengembangkan kemampuan yang dimilikinya.
Program pembelajaran individual penting untuk diadakan, sebab siswa
berkebutuhan khusus perlu mendapatkan pelayanan pembelajaran yang
sesuai dengan kebutuhan serta kemampuannya agar terfasilitasi dengan
baik oleh sekolah. Seperti yang kita ketahui bahwa setiap siswa
mempunyai karakteristik yang berbeda, sehingga masing-masing siswa
tersebut memerlukan penanganan yang berbeda pula.

43
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pentingnya pendidikan inklusif di sekolah dasar, dengan fokus pada
manajemen sekolah, penyelenggaraan pendidikan inklusif, layanan
pendidikan bagi anak reguler dan ABK, serta hakikat pendidikan
inklusif. Dari hasil observasi, terlihat bahwa masih terdapat tantangan
dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, terutama dalam hal
manajemen sekolah, kurikulum, ketenaga pendidikan, sarana dan
prasarana, serta aksesibilitas. Layanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus juga belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan
mereka, dengan kurangnya layanan pembelajaran individual. Oleh
karena itu, perlu adanya peningkatan dalam manajemen sekolah inklusi,
penyelenggaraan pendidikan inklusif, serta layanan pendidikan bagi
anak berkebutuhan khusus agar pendidikan inklusif dapat benar- benar
terwujud.

B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan, terdapat beberapa
rekomendasi yang dapat diusulkan untuk meningkatkan pendidikan
inklusif di sekolah dasar:
1. Perlu adanya peningkatan dalam manajemen sekolah inklusi,
termasuk peningkatan sumber daya manusia, sarana dan
prasarana, serta aksesibilitas sekolah .
2. Di perlukan penyusunan kurikulum yang responsif terhadap
kebutuhan anak berkebutuhan khusus, dengan memperhatikan
keberagaman kebutuhan individu.
3. Guru dan staf sekolah perlu dilatih untuk mengidentifikasi dan
merancang pendekatan pembelajaran yang efektif sesuai dengan
kebutuhan individu anak berkebutuhan khusus .
44
4. Pentingnya melibatkan orang tua dalam proses observasi dan
pendidikan inklusif, sehingga kolaborasi antara guru, staf
sekolah, dan orang tua dapat membentuk tim dukungan yang
kokoh untuk meningkatkan pengalaman belajar anak .
5. Perlu adanya peningkatan layanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus, termasuk layanan pembelajaran
individual yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Dengan implementasi rekomendasi-rekomendasi di atas, diharapkan
pendidikan inklusif di sekolah dasar dapat terus meningkat dan
memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi semua siswa,
tanpa memandang kemampuan atau kebutuhan khusus.

LAMPIRAN

Dokumentasi Observasi

45
46
DAFTAR PUSTAKA

Angga Saputra. (2016). Kebijakan Pemerintah Terhadap Pendidikan


Inklusif. Jurnal Ilmiah Tumbuh Kembang Anak Usia Dini, Vol 1, no.
3, 9-11.
Ardiansyah,(2020).Inklusi sebagai Pemberian Perhatian
Khusus.Banjarmasin:Universitas
Lambung Mangkurat.
Atmodiwiro, Soebagio.2000.Manajemen Pendidikan
Indonesia.Jakarta:Ardadizya Jaya.
Auhad Jauhari. (2017) “Pendidikan Inklusi Sebagai Alternatif Solusi
Mengatasi Permasalahan Sosial Anak Penyandang Disabilitas”.
Journal of Social Science Teaching, Vol 1, no. 1, 29-33.
Dara Gebrina Rezieka, Khamim Zarkasih Putro, dan Mardi Fitri. (2021)
“Faktor Penyebab Anak Berkebutuhan Khusus Dan Klasifikasi ABK”.
Jurnal pendidikan anak Bunayya, Vol 7, no. 2, 41-50.
David Wijaya. (2018). Manajemen Pendidikan Inklusif Sekolah Dasar.
Jakarta: Prenadamedia Group.
Delphie, Bandi. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam
Setting Pendidikan Inklusi. Bandung: PT. Refika Aditama.
Kauffman dan Hallahan. (2005). Hand Book of Special Education, New
York: Routledge.
Khairun Nisa, Sambira Mambela, dan Luthfi Isni Badiah. (2018).
“Karakteristik Dan Kebutuhan Anak Berkebutuhan Khusus,” Jurnal
Abadimas Adi Buana, Vol 2, no. 1, 33–40.
Marchetti, A. (2019). “Konsep Sistem Layanan Penyelenggaraan
Pendidikan Melalui Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan
Khusus”. Jurnal Ilmiah Pendidikan Citra Bakti, Vol 6, 186–195.
Permendiknas No. 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi Bagi
Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Potensi Kecerdasan
Dan/Atau Bakat Istimewa dalam kelembagaan.ristekdikti.go.id di
akses pada 4 Desember 2023.
Taufik, M., & Tadzkiroh, U. (2021). “Urgensi Pendidikan Inklusif dalam
Membangun Efikasi Diri Guru Sekolah Dasar”. Jurnal Ilmiah
Pendidikan Citra Bakti, Vol 8, no. 2, 191-204.

47
Totok Yulianto. (2018). “Pendidikan Inklusif: Konsep Dasar, Ruang
Lingkup, dan Pembelajaran”. Jurnal Kependidikan, Vol 6, no. 2, 196-
203.
Trimurtini, Muslikah, Bektiningsih, K., Widihastrini, F., & Susilaningsih,
S. (2020). “Optimalisasi Pelayanan Pembelajaran Bagi Anak Slow
Learner dan Pencegahan Perundungan di Sekolah Inklusi”. Jurnal
Pengabdian Masyarakat, Vol 3, no. 2, 12–20.
Widyorini, E., Harjanta, G., Roswita, M. Y., Sumijati, S., dkk (2014).
Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Semarang:Universitas Katolik
Soegijapranata.

48

Anda mungkin juga menyukai