Anda di halaman 1dari 20

Keterkaitan Antara Hukum Dan Moralitas Pada Tindak Pidana

Kejahatan Pembunuhan
(Tugas Mata Kuliah Hukum dan Moral)

Dosen Pengampu
Prof. Dr. Suteki, S.H, M.Hum.

DISUSUN OLEH:
Durrotu millatina (0221058701)
Nabilla oktaviani ( 0221058031)
Toti ibra perdana ( 0221058112 )
Attoillah shokhibul hikam ( 0221056581 )
Dinda amalia ( 0221058481 )
Nathanael hari K ( 0221057711 )

PROGRAM STUDI HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PEKALONGAN
2023
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Perumusan Pembahasan 3
1.3. Tujuan Pembahasan 3

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PEMBAHASAN 4


2.1. Tinjauan Konsep Dasar Moral dan Hukum 4
2.1.1. Pengetahuan Moral (Moral knowing) 5
2.1.2. Konsep Hukum tentang Pembunuhan 6
2.1.3. Tindak Pidana Pembunuhan Berencana 8
2.2. Hubungan Hukum dan Moral dalam Kasus-Kasus Hukum Di 11
indonesia
2.3. Pandangan Moral dan Hukum pada Kasus Pembunuhan Di 14
Semarang

BAB III PENUTUP 17


3.1. Simpulan 17
3.2. Saran 17

DAFTAR PUSTAKA 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Hukum sebagai sesuatu yang berkenaan dengan manusia, maka hubungan
manusia dengan sesama manusia lainnya ada dalam suatu pergaulan hidup. Sebab
tanpa pergaulan hidup tidak akan ada hukum (ibi societas, zoon politikon). Hukum
berfungsi untuk mengatur hubungan antara manusia. Tetapi tidak semua perbuatan
manusia itu memperoleh pengaturannya. Hanya perbuatan atau tingkah laku yang
diklasifikasikan sebagai perbuatan hukum saja yang menjadi perhatian (Rasiji,
1993:8). Moral merupakan pengetahuan yang menyangkut budi pekerti manusia
yang beradab. Moral juga berarti ajaran yang baik dan buruk perbuatan dan
kelakuan. Moralisasi, berarti uraian tentang perbuatan dan kelakuan yang baik. Jadi,
moral adalah aturan kesusilaan, yang meliputi semua norma kelakuan, perbuatan
tingkah laku yang baik. Moralitas dapat disamakan dengan ketertiban dan memiliki
tujuan tertentu. Dalam genus yang tertinggi terkandung sebuah ide dari nilai (baik atau
buruk) yang mana intinya dari setiap sistem moral dalam urutan konsep praktis. Nilai
sesuatu terutama terletak pada kesempurnaannya dan dalam tindakannya, yaitu, dalam
perkembangan penuh dari sifatnya yang khas.
Hukum dan moral adalah bagian terpenting dalam kehidupan. Keduanya
tidak bisa terpisahkan karena keduanya punya hubungan yang erat, saling
mempengaruhi dan selalu sejalan-searah satu sama lainnya serta satu dalam
tujuannya yakni untuk menciptakan kehidupan manusia yang teratur, terarah, baik,
aman, damai, adil, dan sejahtera (Taufik, 2020:87). Masyarakat memerlukan hukum
agar terciptanya ketertiban dan keamanan. Jika masyarakat mengikuti hukum yang ada,
hukum itu ditegakkan. Menurut Van Apeldorn Hukum tidak cukup dianggap mengikat
masyarakat, tetapi unsur-unsur keadilan dan prinsip-prinsip lain harus berguna untuk
perlindungan dan keselamatan yang layak bagi masyarakat. kepastian hukum bagi
setiap warga negara, tanpa terkecuali (Shalihah & Adhayanto, 2017).
Menjabarkan hubungan hukum dan moralitas, dalam filsafat hukum ada dua
aliran, yakni aliran filsafat hukum positivisme dan aliran hukum alam. Natural law
school of jurisprudence focuses ons divide principles in determining what is law.
Morality is central to this approach to the law. The law is based ons what is ‘correct’.

1
Aliran filsafat hukum ini secara eksplisit mengatakan bahwa manusia atau masyarakat
dapat menciptakan hukum, karena karakter universalistic dari hukum hanya mungkin
bersumber dari eksternal masyarakat tersebut divine-law.
Dengan demikian, para filsuf hukum seyogyanya mendasarkan pada prinsip-
prinsip keberlakuan universal hukum tersebut melalui reason and logic-universal
moral concepts. Pembangunan Hukum dapat berarti dalam arti luas tanpa dibatasi oleh
batasan tertentu (bangsa dan negara), namun dapat pula terbatas artinya pembangunan
hukum dalam satu lingkungan tertentu adalah Iingkungan bangsa dan negara Indonesia.
paradigma norma-norma dan tujuan moral, standar moral, dan sistem moral pasti
dimiliki oleh setiap bangsa dan kelompok masyarakat. Pandangan moral dan ajaran
moral yang dianut dalam hukum, juga sangat mempengaruhi bidang dan lapangan
hukum yang ada dan perlu di bangun (Ichtijanto, 1986).
Masalah-masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia berkaitan dengan
nilai, moral, dan hukum antara lain mengenai kejujuran, keadilan, suap, dan perbuatan
negatif lainnya, sehingga perlu dikedepankan pendidikan agama dan moral yang tidak
hanya terbatas pada lingkungan akademis, tetapi dapat dilakukan oleh siapa saja dan di
mana saja. Secara umum ada 3 lingkungan yang sangat kondusif untuk melaksanakan
pendidikan agama dan moral, yaitu, lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, dan
lingkungan masyarakat. Akhir-akhir ini marak kasus pembunuhan di Indonesia,
dengan berbagai unsur seperti balas dendam, kesal, hutang, atau merasa
disepelekan. Kasus tersebut telah marak terjadi di berbagai daerah di seluruh
Indonesia. Kasus pembunuhan memang sedang ramai terjaadi dan selalu
diperbincangkan dalam sebuah topik hangat. Pembunuhan biasa terjadi karena
kurangnya pemantapan diri dengan lingkungan atau bentrok antar hati nurani.
Makalah ini akan membahas mengenai dimensi moralitas hukum berkaitan
dengan tindak kejahatan pembunuhan karena masih sedikit yang terkait hal ini. Kedua
sisi moralitas dan hukum ini diharapkan dapat memberi warna kepada masyarakat
memandang suatu hukum.

2
1.2. Perumusan Pembahasan
Dari pemaparan latar belakang masalah, yang menjadi pokok pembahasan
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana keterkaitan antara hukum dan moralitas pada tindak pidana kejahatan
pembunuhan?
2. Bagaimana keterkaitan eksistensi nilai moral dalam hukum pada tindak pidana
kejahatan pembunuhan?

1.3. Tujuan Pembahasan


Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:
1. Mengidentifikasi kaitan moralitas dan hukum di tengah masyarakat berkaitan
dengan tindak pidana kejahatan pembunuhan
2. Menganalisis secara rinci mengenai eksistensi nilai moral dalam hukum yang
berkembang di tengah masyarakat terkait dengan tindak pidana kejahatan
pembunuhan

3
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PEMBAHASAN

2.1. Tinjaauan Konsep Dasar Moral dan Hukum


2.1.1. Pengetahuan Moral (Moral Knowing)
Ada beragam pengetahuan moral yang dapat kita manfaatkan ketika
kitaberhadapan dengan tantangan-tantangan moral dalam hidup. Enam
pengetahuan moral berikut diharapkan dapat menjadi tujuan pembinaan karakter.
a. Kesadaran Moral (Moral Awareness)
Kegagalan moral yang sering terjadi pada diri manusia dalam semua
tingkatan usia adalah kebutaan moral; kondisi di mana orang tak mampu melihat
bahwa situasi yang sedang ia hadapi melibatkan masalah moral dan
membutuhkan pertimbangan lebih jauh. Seseorang sangat rentan terhadap
kegagalan seperti ini bertindak tanpa mempertanyakan "apakah ini benar?".
Bahkan seandainya pertanyaan seperti "mana yang benar?" terlintas dalam benak
seseorang, ia masih tetap bisa gagal melihat masalah moral spesifik dalam
sebuah situasi moral. Seseorang harus mengetahui bahwa tanggung jawab moral
pertama mereka adalah menggunakan akal mereka untuk melihat kapan sebuah
situasi membutuhkan penilaian moralk emudian memikirkan dengan cermat
pertimbangan apakah yang benar untuk tindakan tersebut.
Aspek kedua dari kesadaran moral adalah kendala-untuk bisa
mendapatkan informasi. Dalam membuat penilaian moral, sering kali kita tidak
bisa memutuskan mana yang benar sampai kita mengetahui keadaan yang
sesungguhnya. Jika pengetahuan kita tentang apa yang terjadi di dunia
internasional tidak kabur, kita pasti bisa membuat penilaian moral yang tentang
kebijakan luar negeri negara Idta. Jika kita tidak sadar bahwa ada kemiskinan di
tengah-tengah kita atau penganiayaan di banyak negara atau kelaparan di
sebagian besar wilayahdunia, kita tidak akan bisa mendukung kebijakan-
kebijakan atau kelompok-kelompok sosial yang berusaha membantu
mengentaskan persoalan seperti ini.
Untuk membentuk warga negara yang bertanggung jawab harus ada
upaya membuat mereka terinformasi. Pendidikan nilai dapat melakukan tugas

4
ini dengan mengajarkan siswa cara memastikan fakta terlebih dahulu sebelum
membuat sebuah timbangan moral.
b. Mengetahui Nilai-Nilai Moral (Moral Values)
Nilai moral seperti menghormati kehidupan dan kemerdekaan,
bertanggung jawab terhadap orang Iain, kejujuran, keadilan, toleransi, sopan
santun, disiplin diri, integritas, belas kasih, kedermawanan, dan keberanian
adalah faktor penentu dalam membentuk pribadi yang baik. Jika disatukan,
seluruh faktor ini akan menjadi warisan moral yang diturunkan dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Melek etis menuntut adanya pengetahuan terhadap
semua nilai ini. Mengetahui sebuah nilai moral berarti memahami bagaimana
menerapkannya dalam berbagai situasi. Apa artinya "tanggung jawab" ketika
Anda melihat seseorang melakukan pelanggaran hukum.
c. Pengambilan Perspektif (Perspektive Taking)
Pengambilan perspektif adalah kemampuan untuk mengambil sudut
pandang orang lain, melihat situasi dari sudut pandang orang lain,
membayangkan bagaimana mereka akan berpikir, bereaksi, dan merasa. Ini
adalah prasyarat bagi pertimbangan moral: Kita tidak dapat menghormati orang
dengan baik dan bertindak dengan adil terhadap mereka jika kita tidak
memahami mereka mendasar dari pendidikan moral seharusnya adalah
membantu siswa untuk merasakan dunia dari sudut pandang orang lain,
khususnya mereka yang berbeda dengan dirinya.
d. Penalaran Moral (Moral Reasoning)
Penalaran moral adalah memaharni makna sebagai orang yang bermoral
dan mengapakita harus bermoral. Mengapa memenuhi janji adalah hal penting?
Mengapa kita harus berusaha sebaik mungkin? Mengapa kita harus berbagi
dengan orang lain? Pada tingkatan tertinggi, penalaran moral juga melibatkan
pemahaman terhadap beberapa prinsip moral klasik, seperti: “Hormatilah
martabat setiap individu”; “Perbanyaklah berbuat baik”; dan “Bersikaplah
sebagaimana engkau mengharapkan orang lain bersikap padamu”. Prinsip-
prinsip semacam ini menuntun perbuatan moral dalam berbagai macam situasi.
Seiring dengan perkembangan penalaran moral seseorang, dan riset
menunjukkan pada kita bahwa perkembangan terjadi secara bertahap, seseorang

5
akan mempelajari mana yang termasuk sebagai nalar moral dan mana yang tidak
ketika mereka akan melakukan sesuatu. pada tingkatan tertinggi, penalaran
moral juga melibatkan pemahaman terhadap beberapa prinsip moral klasik,
seperti; “hormatilah setiap martabat setiap individu”, “perbanyaklah berbuat
baik”, dan “bersikaplah sebagaimana engkau mengharapkan orang lain bersikap
padamu”. (Hudi, 2017).
e. Membuat Keputusan (Decision Making)
Mampu memikirkan langkah yang mungkin akan diambil sescorang yang
sedang menghadapi persoalan moral disebut sebagai kcterampilan pengambilan
keputusan reflektif. Pendekatan pengambilan keputusan dengan cara
mengajukan pertanyaan "apa saja pilihanku", "apa saja konsekuensinya" telah
diajarkan bahkan sejak usia dini.
f. Memahami Diri Sendiri (Self Knowledge)
Memahami diri sendiri merupakan pengetahuan moral yang paling sulit
untuk dikuasai, tetapi penting bagi pengembangan karakter. Untuk menjadi
orang yang bermoral diperlukan kemampuan mengulas perilaku diri sendiri dan
mengevaluasinya secara kritis. Membangun pemahaman diri berarti sadar
terhadap kekuatan dan kelemahan karakter kita dan mengetahui cara untuk
memperbaiki kelemahan tersebut. Di antara sejumlah kelemahan yang lazim
dimiliki manusia adalah kecenderungan untuk melakukan apa yang diinginkan
lalu mencari pembenaran berdasarkan fakta-fakta yang ada.
Perilaku moral adalah produk dari dua bagian karakter lainnya. Jika orang
memiliki kualitas moral intelektual dan emosional seperti yang baik, mereka
memiliki kemungkinan melakukan tindakan yang menurut pengetahuan dan
perasaan mereka adalah tindakan yang benar. Namun, terkadang orang bisa berada
dalam keadaan di mana mereka mengetahui apa yang harus dilakukan, merasa harus
melakukannya, tetapi masih belum bisa menerjemahkan perasaan dan pikiran
tersebut dalam tindakan.
2.1.2. Konsep Hukum tentang Pembunuhan
Austin mendefinisikan hukum sebagai “Perintah dari orang seorang raja atau
orang yang berdaulat, yang secara politik superiror” (Austin, 1954). Perbuatan
pembunuhan merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja menghilangkan

6
nyawa orang lain. Pasal dasar pembunuhan adalah Pasal 338 KUHP yang kemudian
ditambah unsur direncanakan terlebih dahulu dalam pasal 340 KUHPidana.
Pembunuhan adalah merupakan istilah yang umum digunakan dalam hukum pidana
untuk mendeskripsikan tindak pidana kejahatan dimana tersangka/terdakwa
menyebabkan kematian pada orang lain (Hafid, 2015:86).
Besarnya dampak negative pembunuhan, maka tidak mengherankan bila tindak
pembunuhan tersebut secara tegas dilarang oleh hukum posity yang sangat berat.
Bahkan terhadap pembunuhan berencana oleh ketentuan Pasal 340 KUHPidana, pelaku
diancam dengan hukuman mati. Salah satu dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan
pembunuhan adalah hilangnya nyawa si korban padahal nyawa adalah sesuatu milik
yang paling berharga bagi setiap orang. Karenanya adalah wajar bila masyarakat
melalui norma hukum positifnya melindungi nyawa setiap warganya dari segala upaya
pelanggaran oleh orang lain dengan memberi ancaman hukuman yang sangat berat
kepada pelaku pembunuhan.
Menurut pandangan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana pengertian “korban
kejahatan” adalah terminologi Ilmu Kriminologi dan Victimologi (berarti korban)
dan kemudian dikembangkan dalam hukum pidana dan/atau sistem peradilan
pidana. Konsekuensi logisnya perlindungan korban dalam Kongres PBB VII/1985
di Milan (tentang “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders”)
dikemukakan, bahwa hak-hak korban seyogianya terlihat sebagai bagian integral
dari keseluruhan sistem peradilan pidana (“victims rights should be perceived as
an integral aspect of the total criminal justice system”). Kemudian pengertian
“korban” berdasarkan ketentuan angka 1 “Declaration of basic principles of
justice for victims of crime and abuse of power” pada tanggal 6 September 1985
dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Deklarasi Nomor A/Res/40/34 Tahun 1985
ditegaskan, bahwa:
“Victims” means persons who, individually or collectively, have suffered harm,
including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or
substantial impairment of their fundamental right, through acts or omissions that
are in violation of criminal laws operative within member states, including those
laws proscribing criminal abuse power”.
Kemudian, lebih jauh pengertian korban ini oleh Arif Gosita diartikan
sebagai, “mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan

7
orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita” (Gosita, 2014:97).
2.1.3. Tindak Pidana Pembunuhan Berencana
Salah satu dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana pembunuhan
adalah hilangnya nyawa si korban. Padahal, nyawa adalah sesuatu milik yang paling
berharga bagi setiap orang. Karenanya adalah wajar bila masyarakat melalui norma
hukum postifnya melindungi nyawa setiap warganya dari segala upaya pelanggaran
oleh orang lain dengan memberi ancaman hukuman yang sangat berat kepada si
pelaku pembunuhan. Dampak lainnya adalah hilangnya sumber penghasilan
keluarga korban. Hal ini bila korban adalah tulang punggung utama ekonomi
keluarganya. Maka kematian korban jelas sangat besar dampaknya secara ekonomis
bagi keluarga yang ditinggalkannya. Apalagi dalam kondisi krisis ekonomi dan
moneter seperti saat ini. Dalam kondisi seperti ini, tidak tertutup kemungkinan
bahwa anak-anak korban terpaksa harus putus sekolah dan kerja seadanya guna
membantu meringankan beban ekonomi orang tuanya (Hafid, 2015).
Dampak psikologis yang traumatispun kemungkinan besar akan dialami
oleh anak-anak korban terlebih bila peristiwa pembunuhan tersebut terjadi di antara
kedua orang tua mereka. Karena mereka akan kehilangan kasih sayang kedua orang
tuanya sekaligus secara tiba-tiba dan untuk kurun waktu yang paling lama. Sebab
mereka ditinggal mati resiko korban untuk selamanya dan pada saat yang
bersamaan merekapun akan ditinggalkan oleh si pelaku guna menjalani hukuman
penjara selama beberapa tahun.
a. Unsur Tindak Pidana Pembunuhan Berencana dalam Pasal 340 KUHP
Pada pasal Pasal 340 KUHP menyebutkan: "Barang siapa dengan sengaja
dan dengan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain
dihukum karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau
penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamayan dua puluh tahun.
Unsur Pasal 340 KUHPidana adalah: Barang siapa, Dengan Sengaja,
Direncanakan terlebih dahulu, menghilangkan jiwa orang lain.
1) Barang Siapa
Mengulas tentang barang siapa dalam rumusan delik berarti adalah
pembahasan tentang subjek hukum yang dapat dianggap sebagai subjek

8
dalam adalah manusia artinya "Naturelijke personel" sedang hewan dan
badanbadanya (msetpersonen) tidak dapat dianggap sebagai subjek
(Kertanegara, 95). Bahwa yang dapat dianggap sebagai subjek strafbaarfeit
itu hanya naturelijke personel (manusia hidup) dapat disimpulkan dari "Cara
merumuskan strafbarfeit, yaitu dengan awalan kata: barang siapa (Hij die).
Dari perumusan ini dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksudkan
dengan barang siapa (Hij die) adalah hanya manusia.
2) Hukuman yang dijatuhkan cq diancam terhadap suatu kegiatan
a) Hukum Pokok, yaitu berupa: hukuman mati, hukuman penjara, hukuman
kurungan, dan hukuman denda yang dapat diganti dengan hukuman
kurungan, ataupun hukuman tambahan.
b) Hukuman Tambahan dapat berupa: Mencabut beberapa hak, penyitaan
terhadap benda-benda tertentu, dan diumumkannya keputusan
pengadilan.
3) Hukum pidana
Hukum pidana diadukan untuk melindungi kepentingan hukum agar
dihormati di taati oleh setiap orang. Kepentingan hukum yang meliputi
kepentingan perseorangan, kepentingan masyarakat dan kepentingan
Negara. Pelanggaran terhadap kepentingan hukum atau perbuatan-
perbuatan yang mencocoki rumusan hukum, pidana adalah apa yang
dimaksud dengan tindak pidana atau delik (Wiyanto, 2012)
b. Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana dalam Pasal 340
KUHP.
Bukan hanya karena kepentingan umum dari umat manusia bahwa
kejahatan tidak boleh dilakukan tapi bahwa kejahatan jenis apapun harus
berkurang sebanding dengan keburukan yang dihasilkan untuk masyarakat. Oleh
karena itu perangkat yang dipergunakan oleh badan pembuat Undang-Undang
untuk mencegah kejahatan bersifatmerusak keamanan dan kebahagiaan publik
dan karena godaan itu sekarang (Beccaria, 2011). Pembunuhan berencana dan
pidana mati alam syarat hukum pidana merupakan dua komponen permasalahan
yang erat berkaitan.Hal ini tampak dalam berbagai kitab Undang-Undang hukum
pidana di berbagai Negara yang merupakan pembunuhan berencana dengan

9
pidana mati. Dalam pada itu teori-teori pidana nio klasik juga
menghubunghubungkan pembunuhan berencana dengan pidana mati dalam
berbagai ulasan (Sahetapy, 1982:279).
Hukuman mati memberikan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi
untuk dipertahankan jenis hukuman ini. Adapun syarat-syarat adalah:1)
Hukuman mati harus merupakan ancaman yang merupakan sebagai suatu
alternative Dario jenis hukuman lainnya dan sama sekali tidak diperolehkan
sebagai hal yang semata-mata; 2) Hukuman mati hanya boleh dijatuhkan apabila
kesalahan sitertuduh dapat dibuktikan dengan selengkaplengkapnya. Jika
hukuman mati itu dibandingkan dengan hukuman penjara, maka: 1) Apabila
terdapat kehilafan dari hakim dari hakim maka kesalahan itu dapat diperbaiki
bila itu adalah hukuman penjara; 2) Hukuman mati diadakan bertentangan
dengan perikemanusiaan atau tidak berdasarkan asas humaniter; dan 3)
Hukuman itu bertentangan dengan kesusilaan; 4) Hukuman dijatuhkan hukuman
mati itu, hak /usaha untuk memperbaiki si penjahat/terhukum adalah tidak
dimungkinkan; 5) Selanjutnya bila hukuman itu dipandang dari sudut tujuan
hukuman yaitu untuk menakut-nakuti tujuan demikian tidak apat dilaksanakan.
Timbul pertannyaan, apakah sebabnya bahwa hukuman mati itu mempunyai
tujuan untuk menakut-nakuti tidak mencapai tujuannya? Seperti diketahui,
hukuman mati itu tidak dilaksanakan di depan umum akan tetapi dilakukan
disuatu tempat atau di dalam penjara dan hanya disaksikan oleh orang-orang
tertentu saja, 6) Hukuman mati itu justru menimbulkan belas kasihan oleh
masyarakat terhadap si terhukum; dan 7) Di dalam keyataannya ternyata bahwa
apabila hakim menjatuhkan hukuman mati itu oleh kepala Negara sering dirobah
menjadi hukuman seumur hidup atau hukuman penjara sementara (ibid).
Dengan demikian pada mulanya hukuman mati itu memang diakui terlalu
berat. Tetapi menurut asas konkordansi KUHP yang berlaku di Indonesia
sedapat mungkin harus disesuaikan dengan KUHP Nederland. Walaupun
hukuman mati itu sejak tahun 1879 telah dihapuskan dari KUHP Nederland akan
tetapi jenis hukuman ini hingga saat ini masih dipertahankan oleh Undang-
Undang Indonesia.

10
Kasus pembunuhan lainya adalah kasus pembunuhan dengan modus
operandi dimana timbul korban di potong-potong menjadi beberapa bagian yang
juga merupakan contoh kasus pembunuhan yang sempat menimbulkan
kengerian yang mendalam dikalangan warga masyarakat seperti kasus yang
baru-baru ini terjadi di Semarang. Pada Kamis, 4 Mei 2023 Husein (HM)
melakukan eksekusi terhadap bosnya dengan tragis yaitu memutilasi korban dan
mengecornya dengan semen untuk menghilangkan jejak. HM mengaku
menghabisi nyawa Irwan Hutagalung (Bos) karena alasan sakit hati. Irwan
merupakan pemilik usaha isi ulang air minum tempat Husen bekerja. Jasad Irwan
ditemukan telah dimutilasi bagian tangan dan kepalanya serta ditimbun cor.

2.2. Hubungan Hukum dan Moral dalam Kasus-Kasus Hukum Di Indonesia


Hukum tidak ada artinya jika tidak dibarengi dengan etika, sehingga kualitas
hukum sangat ditentukan oleh kualitas moral. Di sisi lain, moralitas juga
membutuhkan hukum karena moralitas akan berada di awang-awang jika tidak
diungkapkan secara jelas dalam masyarakat dalam bentuk hukum. Jadi hukum
dapat meningkatkan dampak moralitas. Misalnya, menghormati orang lain adalah
prinsip etika penting, tapi tidak semua etika perlu diterjemahkan ke dalam bentuk
hukum karena hukum juga harus dibatasi untuk mengatur hubungan manusia yang
relevan. Bahkan, moralitas dan hukum tidak selalu berkaitan karena ada hukum
yang berlaku (hukum positif) yang bertentangan dengan etika dan karenanya harus
ditolak (Utami, 2022:196).
Meninggalkan moral dalam berhukum sama saja dengan hukum yang
kehilangan ruhnya. Moral secara umum diartikan sebagai:
a. Kaidah-kaidah umum kesopanan dan adat istiadat yang berlaku bagi kelompok
tertentu.
b. Ajaran kesusilaaan atau kesantunan, yaitu ajaran tentang asas-asas dan kaidah-
kaidah kesantunan yang dipelajari secara sistematis dalam sebuah nilai yang
disebut etika. Disebut dengan “ethos” (Bahasa Yunani) yang berarti norma-
norma, aturan-aturan mengenai hal-hal yang baik dan yang buruk dalam
kaitannya dengan perbuatan manusia, unsur-unsur kemanusiaan, cara, motif, niat
dan sifat manusia. maka “moralitas” berarti kesusilaan mencerminkan

11
bagaimana sebenarnya perilaku dalam masyarakat, apa yang baik dan apa yang
buruk (Noor, 1985).
c. Secara etimologis moral berasal dari Bahasa Belanda yakni “moural”, yang
berarti kesusilaan, budi pekerti. Sedangkan menurut W.J.S. Poerwadarminta
moral berarti ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan.
Di bawah ini akan ditunjukkan beberapa poin penting perihal perbedaan
antara moral dan hukum:
a. Hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dituliskan dan secara
lebih sistematis disusun dalam peraturan perUndang-Undang
b. Hukum membatasi diri pada tingkah laku secara lahiriah, sedangkan moral
menyangkut sikap batin seseorang subjek hukum
c. Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat (peoples will) dan akhirnya atas
kehendak negara (the will of state) dan moralitas didasarkan pada norma-norma
moral yang melampaui para individu dan masyarakat
d. Sanksi atau hukuman yang berkaitan dengan hukum sangat berbeda jika melihat
sanksi atau hukuman yang berkaitan dengan moralitas
Dari sudut pandang sejarah (history), dapat disimpulkan bahwa hukum dan
moralitas secara inheren bukan 2 (dua) hal yang terpisah, tetapi merupakan 2 (dua)
aspek yang disatukan dalam hukum Tuhan Yang Maha Kuasa. Terlihat contohnya
dari dalam konsep hukum Islam, hukum Yahudi dan hukum dari kepercayaan
Kanonik. Menurut Selznick bahwa hukum itu berkaitan dengan usaha-usaha untuk
mewujudkan nilai-nilai tertentu yang hidup pada atau didalam masyarakat
(Samsudin, 2012).
Ada 4 macam pola hubungan hukum dan moral itu sendiri:
a. Bahwa hukum adalah sebuah bagian (part) dari satu sistem ajaran yang ada pada
moral, bahwa hukum adalah bagian dari moral manusia yang di integrasikan ke
dalam aturan yang diambil dengan konsesus yang ada dan hidup masyarakat.
b. Bahwa hukum ini diturunkan dari prinsip-prinsip atau aturan-aturan moral
umum. Dengan kata lain, hukum adalah evolusi dari prinsip-prinsip moral umum
yang berlaku di mana-mana dan melampaui batas-batas budaya yang berbeda.

12
c. Bahwa ada pertalian diantara norma hukum dan norma moral. Ini berarti bahwa
ada bagian dari tingkah laku manusia yang sama-sama diatur oleh kedua norma
tersebut
d. Tidak ada hubungan antara hukum dan moralitas. Karena dua alam ini bukan
hanya dua hal yang berbeda, mereka adalah dua aspek yang berbeda. Perbedaan
atau pemisahan hukum dan moralitas dapat digambarkan dengan diagram dua
lingkaran tanpa titik kontak. Satu lingkaran adalah moral dan yang lainnya
adalah hukum.
Hukum di semua negara modern memanifestasikan dirinya dengan cara
yang berbeda memiliki hubungan (pengaruh) dengan etika yang diterima secara
sosial dan cita-cita moral yang lebih luas. Pengaruh yang berbeda ini memasuki
hukum dalam satu cara dengan cepat dan resmi meloloskan Undang-Undang, atau
diam-diam dan selangkah demi selangkah tahapan proses peradilan. Dalam beberapa
sistem, seperti Amerika Serikat, kriteria akhir (final) keabsahan hukum mencakup
dengan jelas prinsip-prinsipnya keadilan atau nilai moral yang substantif; dalam sistem
lain, seperti di Inggris, di di mana tidak ada batasan formal untuk otoritas legislatif
tertinggi, hukum tidak kalah ketatnya dengan penegakan hukum atau moralitas
(Luthan, 2012)
Adapun keterkaitan hukum dan moral Menurut K. Bertens, di dalam jurnal
“Moralitas Hukum Dalam Hukum Praksis Sebagai Suatu Keutamaan”:
“Sebagaimana adanya keterkaitan yang sangat dekat antara moral dan hukum. Dimulai
dengan melihat keterkaitannya dari perspektif hukum: Hukum memerlukan moral.
Karena itu ada beberapa alasan. Pertama, dalam kekaisaran Roma ada ungkapan yang
berbunyi “Quid leges sine moribus” yang artinya undang-undang, kalau tidak disertai
moralitas? Hukum tidak berarti banyak, kalau tidak dijiwai oleh moralitas. Tanpa
adanya moralitas hukum akan kosong. Keutamaan hukum sebagian besar ditentukan
oleh kualitas moralnya. Karena itu moral harus menjadi bahan penilaian terhadap
hukum. Undang-Undang yang tidak bermoral seharusnya diganti, apabila dalam suatu
masyarakat kesadaran moral sudah mencapai tahap yang cukup matang” (Subiharta,
2015).
Pada kenyataanya hukum selalu tertinggal dengan perkembangan masyarakat
sesuai dengan adagium hukum yang berbunyi Het recht hink anter de feiten an yang
memiliki makna peristiwa hukum selalu meninggalkan hal-hal yang mengaturnya

13
(hukum) Oleh sebab itu, ini menjadi tantangan tersendiri bagi penegak hukum terutama
lawyer karena memang sudah mendapat didikan secara khusus supaya ahli dalam
melaksanakan fungsinya sebagai penegak hukum yang berkualitas, bermoral dan
mengikuti perkembangan zaman.
Hubungan antara hukum dan moral pada hakikatnya sangat berdekatan. Hukum
berisi dan merupakan sarana nilai-nilai moral yang ingin ditegakkan. Nilai-nilai banyak
memberikan inspirasi pada norma-norma hukum suatu masyarakat. Lebih lanjut,
Kedudukan moral dalam ilmu hukum dengan kajian filsafat hukum ibarat dua sisi mata
yang tidak dapat dipisahkan. Pembentukan undang-undang memiliki kelemahan seperti
multiple interpretasi. Kelemahan yang terkadang tidak ditanggapi dengan hati nurani
oleh hakim yang memeriksa kasus tersebut. Penggunaan nilai-nilai moral sebagai batu
uji utama untuk menyelesaikan kasus. Sebuah aturan yang hanya mengandung
kepastian hukum tanpa keadilan, maka digunakan nilai-nilai moral (Faturachman, R.
dkk. 2022).
Daya tarik moral bagi hati nurani, menandai kemampuan untuk memutuskan
antara yang benar dan yang salah. Moralitas memandu prinsip-prinsip perilaku ideal
yang selaras dengan apa yang benar dan baik. Pada hakekatnya moralitas adalah suatu
kekuatan integral dan menarik hati nurani manusia tetapi sanksinya bersifat internal.
Ukuran moralitas objektif yang berdasarkan kepada norma-norma meliputi
norma agama, ideologi, kebiasaan atau tradisi, dan hukum. Agama mengajarkan
kepada manusia mana perbuatan baik yang harus dilakukan, dan mana perbuatan buruk
yang harus ditinggalkan. Penentuan baik buruknya perbuatan dalam agama merupakan
otoritas Tuhan. Suatu perbuatan dikualifikasikan baik karena Tuhan menetapkannya
demikian, begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain, penentuan baik buruk dalam
perspektif agama berdasarkan kepada doktrin agama yang merupakan firman Tuhan.

2.3. Pandangan Moral dan Hukum pada Kasus Pembunuhan di Semarang


Kasus pembunuhan yang sempat menimbulkan kengerian dan duka yang
mendalam dikalangan warga masyarakat seperti kasus yang baru-baru ini terjadi di
Semarang. Pada Kamis, 4 Mei 2023 Husein (HM) melakukan eksekusi terhadap
bosnya dengan tragis yaitu memutilasi korban dan mengecornya dengan semen
untuk menghilangkan jejak.

14
Adanya dendam dibalik kasus ini, dendam termasuk etika moral yang tidak baik
yang tidak sepantasnya di rasakan oleh manusia, terutama manusia yang memili hati
nurani. Karena pelaku tidak mendasari hati nuraninya karena telah terselimuti dengan
rasa dendam yang begitu tinggi yang membuat pelaku melakukan kegiatan
pembunuhan tersebut. Karena sesatnya hati nurani pelaku membutakan segalanya tidak
bisa memikirkan bagaimana Nasib keluarganya jika pelaku melakukan hal keji
tersebut. Tindakan kejam itu ia lakukan karena merasa kesal dan dendam terhadap
korban karena sering diejek dan dimarahi pada saat bekerja. Membunuh bukanlah
kegiatan yang dapat menjadikan alasan seseorang untuk melakukan balas dendam.
Keterkaitannya antara kasus pembunuhan HM terhadap Bos dengan hati nurani
sesat ini adalah tidak adanya rasa kasian, penyesalan, yang terdapat pada sang pelaku.
Karena semua tindakan yang dilakukan disertai rasa dendam membuat pelaku
melakukan tindakan tersebut yang membuatnya harus menikam dibalik jeruji besi.
Perilaku pelaku adalah sikap yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Pelaku
mungkin saja mengalami gangguan kesehatan atas tindakannya tersebut.
Tindakan pelaku dapat dipersalahkan kan dan dimintai tanggung jawab atas
perbuatan buruknyaa pada si korban. Pelaku perlu lebih mengenali apa yang harus
dilakukan dan mempertimbangkan baik buruknya tindakan tersebut. Pelaku
mengetahui bahwa tindakan yang dia lakukan adalah salah namun pelaku tidak mau
menauhi tentang hal tersebut jadi pelaku memang jelas bersalah.dan harus
mempertanggung jaawabkan semua tindakannya tersebut. Pelaku pantas mendapatkan
hukuman yang setimpal atas perbuatannya dan mendapatkatkan sebuah kecaman
mental pada kehidupan lingkungannya.
Kesesatan dalam kasus ini memungkinkan bahwa hati nurani pelaku telah
tertutupi rasa dendam yang memiliki aura sangat gelap sehingga dapat membuat
seseorang menjadi buta akan hal nurani, manusia dengan aura seperti ini akan selalu
cenderung menggunakan emosi tanpa memikirkan perasaan orang lain yang akan
mungkin tersakiti perasaanya. Manusia yang sering mendahulukan emosi tanpa
mencari tau titik kebenarannya akan cenderung melakukan hal yang salah dan
merugikan orang lain bahkan dirinya sendiri.
Adanya istilah yang berisi mulutmu adalah harimaumu, yang dapat
disimpulkan dari kasus tersebut janganlah suka mengatai seseorang dengan sebutan
yang dapat mengecewakan perasaan orang lain sebaiknnya sebelum berucap perlu
melakukan sebuah pertimbangan agar seseorang atau lawan kita berucap akan

15
tersinggung atau tidak dengan ucapan yang kita ucapkan. Dan seharusnya kita dapat
melihat sikap lawan bicara kita dapat diajak bercanda atau tidak, karena terkadang
setiap orang memiliki karakter dan sifat yang berbeda-beda.
Sebagai manusia yang berbudi luhur dan berakal tidak sepantasnya manusia
melakukan hal tersebut. Tidak akan bedanya manusia dengan binatang jika kita tega
melakukan hal sekejam itu terhadap seama manusia. Seharusnya sesama manusia kita
harus saling menjaga dan menyayangi satu sama lainn dengan hidup yang damai akan
dapat menciptakan perlakuan yang positif pula.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
a. Pada dasarnya Keterkaitan hubungan hukum dan moral sangat dekat. Nilai-
nilai moral yang dijunjung difasilitasi oleh hukum. Norma-norma hukum yang
ada di masyarakat sudah mendapatkan banyak ilham dari nilai-nilai. Hukum
lebih dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dituliskan dan secara lebih
sistematis disusun dalam peraturan perUndang-Undang, hukum membatasi diri
pada tingkah laku secara lahiriah, sedangkan moral menyangkut sikap batin
seseorang subjek hukum. Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat
(peoples will) dan akhirnya atas kehendak negara (the will of state) dan
moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melampaui para individu
dan masyarakat.
b. Tampak jelas bahwasanya eksistensi moral dan hukum tidak dapat menerima
adanya tindak pembunuhan. Karena besarnya dampak negative pembunuhan,
maka tidak mengherankan bila tindak pembunuhan tersebut secara tegas
dilarang oleh hukum positif yang sangat berat. Bahkan terhadap pembunuhan
berencana oleh ketentuan Pasal 340 KUHPidana, pelaku diancam dengan
hukuman mati. Salah satu dampak yang ditimbulkan oleh kejahatan
pembunuhan adalah hilangnya nyawa si korban padahal nyawa adalah sesuatu
milik yang paling berharga bagi setiap orang. Karenanya adalah wajar bila
masyarakat melalui norma hukum positof dan nilai moral melindungi nyawa
setiap warganya dari segala upaya pelanggaran oleh orang lain dengan memberi
ancaman hukuman yang sangat berat kepada pelaku pembunuhan, baik secara
tindak pidana ataupun sangsi sosial.

3.2 Saran
a. Problema atau masalah yang paling mendasar dalam penegakan hukum (law
enforcement) di Indonesia adalah seringnya terjadi manipulasi atas fungsi
hukum oleh pemegang kekuasaan.
b. Kita tetap bisa mengkritik hukum meskipun kita mengklaim bahwa hukum dan
moralitas itu berkaitan erat.

17
DAFTAR PUSTAKA

Beccaria, C. 2011. Perihal Kejahatan dan Hukuman. Grnta Publishing Yogyakarta.


Faturachman, R., dkk. 2022. Dimensi Moralitas Terhadap Hukum. IBLAM Law
Review, Volume 02, Nomor 03, Halaman 1-11.
Gosita, A. 2004. Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan), PT. Bhuana
Ilmu Populer, Jakarta.
Hafid, A. 2015. Kajian Hukum Tentang Pembunuhan Berencana Menurut Pasal 340
KUHP. Jurnal Lex Crime, Volume IV, Nomor 4, Halaman 86-91.
Ichtijanto, S.A. 1986. Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum
Nasional. Huk dan Pembang 244 pada 160.
Luthan, S. 2014. Dialektika Hukum dan Moral dalam Perspektif Filsafat Hukum. Jurnal
Hukum Ius Quia Iustum, Volume 19, Nomor 4, Edisi Oktober, Halaman 511-
513.
Noor, A.M. 1985, Peranan Moral dalam Membina Kesadaran Hukum. Jakarta:
Departemen Agama Republik Indonesia.
Rasjidi, L. 1993. Dasar-dasar Filsafat Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sahetapy, J.E. 1982. Suatu studi khusus Mengenai ancaman pidana mati terhadap
pembunuhan berencana, CV. Rajawali Jakarta.
Shalihah, F. & Adhayanto, O. 2017. Hukum, Moral, dan Kekuasaan dalam Telaah
(Hukum adalah Alat Teknis Sosial). Jurnal Ilmu Hukum: Fiat Justicia,
Volume 10 Nomor 4.
Subiharta. 2015. Moralitas Hukum Dalam Hukum Praksis Sebagai Suatu Keutamaan.
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4 Nomor 3, Halaman 385-391.
Tuafik, N. 2020. Syari’ah: Antara Hukum dan Moral. Jurrnal Ar-Risalah, Edisi Mei,
Volume 20 Nomor 1, Hal. 87-97.
Utami, R.A, dkk. 2022. Hukum dan Moral dalam Kasus-kasus Hukum di Indonesia.
Jurnal Pemerintah dan Politik Islam: Al-Imarah, Volume 7 Nomor 2,
Hal.195-208.
Wiyanto, R. 2012. Asas-asas hukum pidana Indonesia, Co. Mandar Bandung.

18

Anda mungkin juga menyukai