Anda di halaman 1dari 6

Pembahasan

Berita ini menggambarkan kejadian kejahatan jalanan atau klithih yang melibatkan tiga
pelaku di bawah umur di Sleman. Kasus ini melibatkan dua lokasi kejadian yang terkait, yaitu di
Kapanewon Gamping dan Kapanewon Seyegan. Dalam kasus pertama di Gamping, pelaku AR
dan FA melakukan pembacokan terhadap korban yang mereka anggap sebagai kelompok lawan.
Motifnya didasari oleh perselisihan yang terjadi di kampung sekitar tempat tinggal pelaku.
Mereka menguntit korban hingga akhirnya melakukan serangan dengan menggunakan golok,
mengakibatkan korban mengalami luka bacok di punggung. Lebih lanjut, kasus serupa terjadi di
Seyegan, di mana pelaku AR dan GAF melibatkan diri dalam serangan acak menggunakan
golok. Dalam kedua kejadian ini, pelaku mengakui mengonsumsi pil dan minuman keras
sebelum melakukan tindakan kejahatan tersebut.
Pihak kepolisian Sleman berhasil mengidentifikasi pelaku-pelaku ini dan juga
menangkap pemasok pil terlarang yang mereka gunakan. Seorang pengedar pil, berinisial WP,
ditangkap dalam pengembangan kasus. Dalam penggerebekan ini, polisi menyita puluhan pil
obat terlarang, sejumlah uang, golok, pakaian, dan kendaraan yang digunakan oleh para pelaku.
Berdasarkan hukum, polisi menjerat pelaku AR, FA, dan GAF dengan Pasal 170 ayat (2) KUHP
yang memiliki ancaman hukuman penjara selama 7 tahun atau Pasal 351 ayat (2) KUHP jo Pasal
55 KUHP dengan ancaman hukuman penjara selama 5 tahun. Sementara itu, tersangka WP dan
AR dijerat Pasal 196 UU Kesehatan dengan ancaman hukuman penjara selama 10 tahun.
Kasus ini menunjukkan kompleksitas masalah kriminalitas di kalangan remaja dan
perlunya tindakan preventif serta pendekatan rehabilitasi agar remaja yang terlibat dalam
kejahatan dapat kembali ke jalur yang benar. Selain itu, kasus ini juga menyoroti pentingnya
pengawasan terhadap peredaran obat terlarang di masyarakat untuk mengurangi dampak
negatifnya terhadap generasi muda. Berita ini dapat dianalisis menggunakan teori perilaku,
psikologi, dan komunikasi untuk memahami faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi perilaku
para pelaku. Berdasarkan teori perilaku, tindakan kriminal pelaku bisa dipahami melalui
sejumlah faktor yang memengaruhi perilaku manusia, termasuk pengaruh lingkungan dan
kondisi mental mereka. Dalam kasus ini, teori perilaku dapat menjelaskan bahwa perilaku
kejahatan pelaku mungkin dipicu oleh pengaruh lingkungan sekitar mereka. Perselisihan awal di
kampung mereka menciptakan konflik, yang kemudian memicu tindakan kekerasan. Pengaruh
negatif teman sebaya dan penggunaan miras serta obat-obatan terlarang dapat memperburuk
keadaan, mengubah persepsi dan penilaian mereka, dan mendorong mereka untuk melakukan
tindakan kriminal tersebut.
Dari segi psikologi, faktor-faktor seperti kurangnya pengendalian diri dan ketidakstabilan
emosional dapat memainkan peran dalam perilaku kekerasan. Kurangnya kemampuan untuk
mengelola emosi dan impuls mungkin menyebabkan ledakan emosi yang mengakibatkan klitih
tersebut. Selain itu, penggunaan pil dan minuman keras dapat memengaruhi kognisi dan
penilaian pelaku, membuat mereka lebih rentan terhadap perilaku agresif dan impulsif. Dalam
konteks komunikasi, penting untuk memperhatikan bagaimana komunikasi yang buruk atau
kurangnya keterampilan komunikasi interpersonal dapat memperburuk konflik. Persepsi
terhadap ancaman dan penafsiran situasi oleh pelaku mungkin juga memainkan peran dalam
tindakan mereka. Komunikasi yang buruk di antara kelompok pelaku mungkin telah
memperburuk perselisihan awal menjadi konflik fisik. Dari segi penegakan hukum, polisi
menggunakan hukum dan sistem peradilan pidana untuk menghadapi pelaku. Dengan menjerat
mereka dengan Pasal 170 ayat (2) KUHP dan Pasal 351 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 KUHP, serta
Pasal 196 UU Kesehatan, pemerintah mencoba untuk menciptakan efek jera dan memastikan
bahwa pelaku dihukum sesuai dengan kejahatan yang mereka lakukan (Suciati,2015).
Keseluruhan, pemahaman tindakan kejahatan ini memerlukan pendekatan interdisipliner yang
menggabungkan elemen-elemen dari teori perilaku, psikologi, dan komunikasi untuk
mendapatkan gambaran komprehensif tentang faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi
perilaku para pelaku dan menyebabkan terjadinya klitih.(S., 2011).
Teori perilaku psikologi komunikasi adalah kerangka kerja yang menggabungkan aspek
perilaku, psikologi, dan komunikasi untuk memahami perilaku manusia dalam konteks interaksi
sosial. Remaja yang terlibat dalam perilaku konflik seperti klitih dapat dipahami melalui
beberapa faktor yang dipengaruhi oleh teori ini. Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi
remaja 16 tahun sebagai pelaku klitih menurut teori perilaku psikologi komunikasi:
1. Komunikasi interpersonal:
Komunikasi interpersonal adalah proses pertukaran informasi, ide, perasaan, dan pikiran antara
dua atau lebih orang. Dalam konteks ini, gangguan komunikasi merujuk pada masalah atau
hambatan dalam mengkomunikasikan pesan dengan efektif, yang dapat menyebabkan konflik
dan ketidakpahaman antarindividu. Pada remaja, kurangnya keterampilan komunikasi
interpersonal yang efektif dapat menciptakan berbagai masalah. Salah satu masalah umum yang
muncul adalah kesulitan dalam menyampaikan perasaan dan kebutuhan dengan jelas dan sehat.
Selain itu, remaja yang kurang memiliki keterampilan komunikasi yang baik mungkin cenderung
menggunakan metode komunikasi yang tidak sehat, seperti agresi verbal, penarikan diri, atau
manipulasi, sebagai respons terhadap konflik atau ketidaknyamanan. Kurangnya keterampilan
komunikasi juga dapat menyebabkan kesalahpahaman, di mana pesan yang dimaksudkan tidak
disampaikan dengan jelas atau dimengerti dengan benar oleh pihak lain. Untuk mengatasi
gangguan komunikasi interpersonal, penting bagi remaja untuk mengembangkan keterampilan
komunikasi yang efektif, termasuk keterampilan mendengarkan, empati, dan mengartikulasikan
pikiran dan perasaan dengan jelas. Konseling, pelatihan keterampilan sosial, atau dukungan dari
orang dewasa yang dapat diandalkan dapat membantu remaja mengatasi hambatan komunikasi
mereka dan membangun hubungan interpersonal yang sehat dan memuaskan (Djamarah, 2011).
2. Pemahaman Psikologis:
Pemahaman psikologis merupakan faktor penting dalam mengidentifikasi penyebab klitih pada
remaja. Pertama, ketidakmampuan mengelola emosi dapat menyebabkan ledakan emosi yang
melibatkan tindakan agresif. Remaja yang tidak mampu mengenali dan mengelola emosi dengan
baik cenderung sulit mengatasi konflik secara sehat, yang kemudian dapat berkembang menjadi
perilaku klitih. Selain itu, gangguan psikologis seperti depresi, kecemasan, atau gangguan
perilaku juga dapat menjadi pemicu perilaku agresif. Individu dengan masalah psikologis
seringkali sulit mengontrol emosi mereka, sehingga mungkin merespons konflik dengan
kekerasan sebagai bentuk pelampiasan atau cara untuk mengatasi tekanan yang mereka rasakan
(Suciati, 2015).
3. Pengaruh Lingkungan Sosial:
Kemudian, dalam hal pengaruh lingkungan sosial, pengaruh teman sebaya dapat memainkan
peran kunci. Grup teman yang mendukung konflik atau perilaku agresif dapat memperburuk
situasi. Lingkungan yang merangsang atau membenarkan perilaku agresif sering kali
memperkuat perilaku tersebut dan membuatnya sulit diubah.
Pengaruh keluarga juga memiliki dampak signifikan. Pola komunikasi yang tidak sehat dalam
keluarga, seperti kekerasan atau kurangnya dukungan emosional, dapat menciptakan lingkungan
di mana kekerasan dianggap sebagai tanggapan yang dapat diterima dalam mengatasi konflik.
Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh konflik dan kekerasan
cenderung menunjukkan perilaku serupa dalam interaksi sosial mereka.
4. Motivasi dan Tujuan:
Selanjutnya, motivasi dan tujuan juga merupakan faktor penting dalam analisis perilaku klitih.
Keinginan untuk mendapatkan pengakuan atau merasa kuat di antara teman-temannya dapat
mendorong remaja untuk terlibat dalam klitih. Selain itu, klitih juga dapat menjadi cara untuk
mengekspresikan rasa frustrasi atau ketidakpuasan terhadap situasi hidup atau keadaan tertentu.
5. Belajar melalui Pengalaman:
Belajar melalui Pengalaman adalah konsep psikologis yang menyoroti cara individu, termasuk
remaja, memperoleh pengetahuan dan keterampilan melalui interaksi dengan lingkungan mereka.
Dalam konteks klitih dan perilaku agresif remaja, belajar melalui pengalaman memiliki dua
aspek penting yang dapat dijabarkan lebih mendalam. Pertama, Pengalaman Sebelumnya
memainkan peran kunci dalam membentuk perilaku remaja. Jika remaja memiliki pengalaman
konflik sebelumnya yang dipecahkan dengan kekerasan, mereka cenderung menggunakan
metode yang sama di masa depan. Ini terjadi karena pengalaman sebelumnya menciptakan jejak
perilaku dalam pikiran remaja. Jika mereka merasa bahwa menggunakan kekerasan membantu
mereka mengatasi konflik atau mendapatkan hasil yang diinginkan dalam situasi sebelumnya,
mereka mungkin memilih menggunakan taktik yang sama dalam situasi konflik berikutnya.
Pengalaman konflik sebelumnya juga dapat menciptakan pola perilaku yang sulit diubah,
terutama jika respons kekerasan sebelumnya terbukti berhasil dalam melindungi diri atau
mencapai tujuan tertentu. Kedua, Penghargaan Positif merupakan faktor motivasi yang
mempengaruhi kecenderungan remaja untuk mengulangi perilaku agresif. Jika perilaku agresif
mereka menghasilkan hasil yang diinginkan, seperti memperoleh rasa hormat, mendominasi
situasi, atau memperoleh keuntungan dalam hubungan sosial, remaja cenderung mengulanginya.
Dalam hal ini, perilaku agresif menjadi bentuk perilaku yang diperkuat positif. Penghargaan
positif ini dapat berupa perasaan kepuasan, pengakuan dari teman sebaya, atau bahkan kekuatan
fisik yang dirasakan. Jika remaja merasakan keuntungan atau kepuasan setelah menggunakan
kekerasan, mereka mungkin merasa terdorong untuk mengulangi tindakan tersebut di masa
depan, bahkan dalam situasi konflik yang berbeda. Dalam kedua aspek ini, pembentukan
perilaku remaja tidak hanya dipengaruhi oleh pengalaman langsung mereka dengan kekerasan
atau konflik sebelumnya, tetapi juga oleh cara mereka menilai hasil dari perilaku agresif tersebut
(M., 2011). Jika hasilnya dianggap positif atau memuaskan, remaja cenderung mempertahankan
dan mengulangi perilaku tersebut. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana
pengalaman masa lalu dan konsekuensi dari perilaku agresif dapat membentuk pola perilaku
remaja, dan bagaimana pendekatan intervensi yang positif dan pembinaan keterampilan sosial
dapat membantu mereka mengatasi pola tersebut.
6. Persepsi dan Penafsiran:
Persepsi Terhadap Ancaman: Remaja mungkin merasa terancam dan merespon dengan agresi
ketika mereka merasa diserang atau merasa terancam secara fisik atau emosional.
Penafsiran terhadap Situasi: Cara remaja menafsirkan situasi dan tanggapan orang lain terhadap
perilaku mereka dapat memengaruhi apakah mereka melanjutkan perilaku klitih atau tidak.
7. Penguasaan Kontrol Diri:
Penguasaan Kontrol Diri adalah kemampuan individu untuk mengendalikan impuls, emosi, dan
tindakan mereka dalam situasi-situasi yang menantang. Dalam konteks remaja, yang sering
menghadapi konflik interpersonal dan tekanan emosional, penguasaan kontrol diri memiliki
dampak yang signifikan terhadap cara mereka merespons situasi dan mengelola konflik.
Kurangnya Pengendalian Diri adalah ketidakmampuan mengontrol impuls dan emosi dengan
efektif. Kesulitan dalam mengendalikan reaksi emosional dapat mengakibatkan reaksi agresif
yang tidak dipertimbangkan konsekuensinya. Remaja yang menghadapi kesulitan ini mungkin
merasa sulit untuk menahan amarah, frustrasi, atau kekecewaan mereka. Ketika konflik muncul,
kurangnya pengendalian diri dapat menyebabkan mereka merespons secara impulsif tanpa
memikirkan dampak dari tindakan mereka. Reaksi agresif tanpa pertimbangan konsekuensinya
dapat menciptakan situasi yang lebih buruk, memperburuk konflik, dan merugikan hubungan
sosial mereka.
8. Model Perilaku:
Model Peran: Jika remaja memiliki figur dalam hidup mereka yang menggunakan kekerasan
sebagai cara untuk menyelesaikan masalah, mereka mungkin meniru perilaku tersebut.
Dalam konteks teori perilaku psikologi komunikasi, penting untuk mencatat bahwa interaksi
sosial, komunikasi, persepsi, dan belajar adalah elemen-elemen kunci yang mempengaruhi
perilaku remaja. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah klitih, penting untuk memahami dan
mengatasi faktor-faktor ini melalui pendekatan pendidikan, dukungan sosial, dan intervensi
psikologis yang sesuai (Djamarah, 2011).
Daftar Pustaka

Djamarah, S. B. (2011). Psikologi Belajar Edisi II. Jakarta: Rineka Cipta.


M., W. A. dan D. (2011). Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia.
Yogyakarta: Nuha Medika.
S., A. (2011). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Edisi ke 2. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Suciati (2015). Psikologi Komunikasi Sebuah Tinjauan Teoritis dan Perspektif Islam.
Yogyakarta: Buku Litera

Anda mungkin juga menyukai