Anda di halaman 1dari 7

KASUS TERKAIT ISU REMAJA DAN PROBLEMATIKANYA

DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI REALITAS SOSIAL

(Essai Diajukan Untuk Memenuhi Nilai Ujian Tengah Semester Ganjil Sosiologi)

Disusun Oleh :
Putri Nabila (2210321028)
Program Studi Psikologi
Fakultas Kedokteran

Dosen Pengampu :
Drs. Yulkardi, M.Si.

UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2022
KAJIAN FENOMENA PERKELAHIAN ANTAR REMAJA
DIPENGARUHI OLEH KONDISI PSIKOSOSIAL REMAJA

Pendahuluan
Remaja merupakan masa peralihan individu dari masa anak-anak ke masa
dewasa, yang telah meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan
memasuki masa dewasa. Perubahan perkembangan tersebut meliputi aspek fisik,
psikis dan psikososial individu.
Berbicara tentang remaja yang baru beralih dari masa anak-anak dan masih
bersifat labil serta masih memiliki banyak kebingungan dalam banyak hal terlebih
di lingkungan sosial atau masyarakat. Oleh karena itu, tanpa adanya keikutsertaan
orang tua dan orang dewasa lainnya dalam memberikan petunjuk untuk
keberlangsungan hidup mereka, remaja dapat terperangkap dalam tindakan
kejahatan oleh mereka sendiri atau terbawa oleh orang lain. Pada sebagian besar
remaja, adanya gangguan dalam kehidupan mereka akan sangat mengganggu
kesehatan fisik dan emosi mereka, hal itu dapat menghancurkan motivasi dan
kemampuan mereka untuk sukses di sekolah, sukses dalam pergaulan, serta dapat
merusak hubungan pribadi mereka. Tidak sedikit dari para remaja yang mencapai
masa dewasa dengan menyimpan penderitaan yang pedih, tetapi mereka tetap
diminta untuk berpartisipasi secara baik dan dapat bertanggung jawab di dalam
masyarakat.
Masalah yang banyak dialami remaja pada saat ini merupakan manifestasi dari
tekanan yang dialaminya dari keinginan orang dewasa sekitarnya dan juga stress,
diantaranya depresi, kecemasan, pola makan tidak teratur, penyalahgunaan obat
sampai penyakit yang berhubungan dengan fisik seperti pusing serta ngilu pada
sendi. Remaja dapat mereaksikan stress yang dialaminya tergantung suasana dan
kondisi kehidupan yang tengah mereka alami (“Mengenal,” 2002).
Sarwono (1998) mengatakan bahwa keluarga merupakan lingkungan primer
pada setiap individu. Sebelum seorang anak mengenal lingkungan yang luas ia
terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarganya, karena itu sebelum seorang
anak mengenal norma-norma dan nilai-nilai dari masyarakat, pertama kali anak
akan menyerap norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam keluarganya
untuk dijadikan bagian dari kepribadiannya.
Berarti dapat diartikan bahwa, bagaimana cara remaja berperilaku dalam
kelompok sosial atau masyarakat dan bagaimana keadaan psikososial para remaja,
hal itu pertama kali bergantung pada apa yang diajarkan dan bagaimana cara
keluarga atau orang tua mereka memberikan mereka ajaran atau asupan, baik
asupan makanan, pendidikan norma-norma atau nilai-nilai dalam masyarakat, adat
istiadat, dsb, dimulai dari individu baru dilahirkan lalu ke masa anak-anak dan ke
masa remaja sehingga dia bisa bersosialisasi di lingkungan luar atau
masyarakatnya dengan baik.
Psikososial adalah setiap perubahan dalam kehidupan individu, baik yang
bersifat psikologik maupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik,
sebagai akibat terjadinya perubahan sosial dan atau gejolak sosial dalam
masyarakat yang dapat menimbulkan gangguan kejiwaan. Berarti juga,
psikososial merupakan hubungan antara bagaimana perilaku individu terhadap
kegiatan atau tuntutan masyarakat (sosial).
Oleh karena itu, penting bagi remaja untuk mengetahui bahwa kondisi
psikososial mereka dapat mempengaruhi kondisi pergaulan mereka, apakah
nantinya mereka bisa membentuk pergaulan yang sehat atau karena kondisi
psikososial mereka dapat membuat kondisi pergaulannya menjadi negatif dan
menyebabkan masalah.

Pembahasan
Secara etimologis, kenakalan remaja berasal dari bahasa latin yaitu kata
juvenile delinquency, dimana Juvenile berarti anak atau remaja, sedangkan
delinquency berarti kejahatan atau kenakalan. Dengan demikian pengertian
juvenile delinquency adalah kenakalan yang dilakukan remaja. Kenakalan
remaja adalah perilaku jahat remaja, yang merupakan gejala sakit (patologis)
secara sosial pada remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial,
sehingga mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang.
Jadi dapat diperhatikan bahwa pengabaian sosial kepada remaja tersebut dapat
memberikan efek negatif kepada kondisi psikososial remaja, karena itulah dapat
mendorong remaja berbuat kenakalan. Ada beberapa faktor yang memperburuk
kondisi psikososial pada remaja yang dapat menyebabkan kenakalan remaja
tersebut, yaitu :
Pertama; Keluarga yang tidak sehat. Keluarga merupakan tempat pertama kali
anak mendapatkan kasih sayang dan pendidikan. Oleh karena itu, anak-anak yang
dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis atau broken home membuat anak
tidak mendapatkan kepuasan psikis yang cukup sehingga membuatnya sulit
mengembangkan keterampilan sosialnya dan sulit bereaksi terhadap lingkungan
sekitarnya.
Kedua; Lingkungan yang sempit. Dimana anak-anak yang tidak dikenalkan
pada lingkungan sekitar rumah, lingkungan keluarga besar, serta lingkungan
sekolahnya, akan membuat anak tidak mengetahui bahwa lingkungannya luas. Dia
akan berpikir bahwa lingkungannya hanya terdiri dari ayah, ibu, dan adek
kakaknya saja, serta anak mungkin akan berpikir bahwa di dunia ini hanya
lingkungannya saja yang paling dipandang, biasanya bagi remaja dengan
kehidupan hedonisme Hal itu juga dapat menyebabkan remaja tidak dapat
bersosialiasi dengan lingkungan luas nantinya.
Dan terakhir; Kepribadian remaja. Umumnya penampilan sering diidentikkan
dengan manifestasi dari kepribadian seseorang, namun sebenarnya itu salah.
Dalam hal ini, banyak remaja yang menilai kepribadian teman sebayanya melalui
penampilannya saja, dan membuat remaja dengan penampilan tidak menarik
merasa dikucilkan. Hal itulah yang membuat remaja dapat merasa terasingkan dari
sosial dan dapat merusak kondisi psikososial remaja.
Kemudian, kita akan mengkaji hubungan kondisi psikososial remaja yang
terganggu dengan terjadinya perkelahian antar remaja. Dikarenakan beberapa
faktor di atas, kondisi psikososial remaja yang terganggu dapat menyebabkan
pertikaian antar remaja, yaitu karena tidak pandainya remaja bersosialisasi dengan
baik dan membuat teman sebayanya sering tersinggung dengan sikapnya dan
menyebabkan perkelahian, lalu karena remaja yang berpikir di dunia ini hanya ada
lingkungan keluarganya saja maka kerap kali remaja seperti itu tidak menghargai
adanya manusia lain dan menyebabkan temannya merasa dihina dan terjadi
pertikaian, kemudian karena sifat remaja yang mudah terprovokasi yang
menyebabkan saling menindas satu sama lain, dan terakhir emosi remaja yang
masih labil yang membuat sering terjadinya salah paham dan pertikaian antar
remaja.
Setelah tahu penyebab perkelahian antar remaja tersebut salah satunya karena
kondisi psikososial remaja yang terganggu. Kita akan lanjut mengkaji sebab
terjadi perkelahian antar remaja melalui tiga dimensi perspektif sosiologi.
Pertama, melalui dimensi institusional yang mencakup institusi sosial berupa
lembaga yang mendasari terjadi atau tidaknya perkelahian antar remaja tersebut.
Menurut Pasal 28 G ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 “Setiap orang berhak
atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda
yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan
darn ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Di
dalam pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dimaksudkan agar setiap
perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tawuran atau perkelahian antar remaja
merupakan perbuatan yang melanggar hak asasi seseorang untuk mendapatkan
rasa aman. Selain orang tua dan sekolah, dalam hal ini polisi mempunyai peranan
penting dalam menindak para pelaku tawuran atau perkelahian antar remaja.
Polisi merupakan suatu lembaga aparat penegak hukum dan penjaga
keamanan serta ketertiban yang setiap saat harus berhubungan dengan masyarakat
luas. Dapat dikatakan bahwa kesadaran hukum dan sikap tertib masyarakat
sebagian besar tergantung oleh sejauh mana kewibawaan dan kenyataan kerja
kepolisian. Semakin nyata kewibawaan itu semakin kuat kesadaran hukum dan
tertib masyarakat. Semakin kabur kewibawaan kepolisan akan semakin lemah
kesadaran hukum dan sikap tertib masyarakat. Oleh karena itu, dimensi institusi
yang disini berupa lembaga kepolisian, yang jika kepolisian tidak tegas dan tidak
melaksanakan kewenangannya dengan nyata maka hal itu yang membuat remaja
merasa aman-aman saja saat berkelahi satu sama lain. Misalnya saja, saat ada
beberapa remaja yang memulai perkelahian dengan kumpulan remaja lain, tetapi
karena mungkin ada orang tua dari pihak yang memulai perkelahian tersebut yang
merupakan orang berjabatan dan dipandang serta ber-uang pastinya, maka karena
itu anaknya bisa saja diloloskan tanpa diberi sanksi atau ganjaran agar dia belajar
bahwa hal yang dia lakukan merupakan kesalahan. Dan itulah yang menyebabkan
si remaja merasa bahwa perkelahian tersebut merupakan hal yang biasa dan tidak
akan merugikan dirinya dan orang terdekatnya, dan terus dilanjutkan sampai
banyak korban yang berjatuhan. Atau bahkan ada polisi yang menyembunyikan
penindasan yang dilakukan salah satu remaja ke remaja lain karena jabatan orang
tua si pelaku serta adanya kesepakatan orang tua dan polisi melalui uang mungkin,
hal itulah yang bisa menjadi benih awal si pelaku bisa menjadi pelaku
pembunuhan kedepannya nanti. Oleh karena itulah, penting bagi lembaga
kepolisian untuk melaksanakan kewenangannya secara nyata dan terbuka,
melaksanakan tanggung jawabnya secara adil dan merata untuk semua manusia
sesuai hukum yang berlaku di Indonesia, serta bertindak tegas untuk semua
pelanggaran yang dilakukan remaja. Tentunya sanksi yang diberikan kepada
pelanggar juga harus sesuai dengan kondisinya, jika pelaku merupakan seorang
remaja dan kejahatan yang dilakukannya masih bisa ditoleransi atau ada alasan
nyata mengap dia melakukan kejahatan tersebut, maka sebaiknya dia diberi sanksi
dalam konteks 'kejahatan remaja", dimana mereka harus dibimbing juga dan jika
ada yang gejala psikis atau mental atau dalam konteks psikososial nya terganggu
maka bisa meminta bantuan psikolog untuk mengobati psikis mereka.
Kedua, melalui dimensi struktural yang mencakup struktur sosial berupa
aturan-aturan pada kelembagaan sosial dimana aturannya tersebut bertujuan untuk
menertibkan masyarakat (sosial). Berarti dalam konteks perkelahian antar remaja
ini, lembaga kepolisian memiliki aturan-aturan atau tata tertib tertentu untuk dapat
menertibkan pelaku agar meminimalisir dan mencegah kedepannya terjadi lagi
perkelahian antar remaja. Dalam kasus tawuran ataupun perkelahian antar remaja
yang terkadang berakhir dengan jatuhnya korban luka maupun korban jiwa
traumatik, maka kepolisian harus mempunyai cara penanganan hal tersebut
dengan aturan-aturan nya juga, yaitu ketika polisi melakukan tindakan-tindakan
represif seperti penangkapan pelaku perkelahian, kecenderungan petugas polisi
hanya akan memberikan peringatan yang disertai pembinaan tanpa adanya sanksi
tegas dalam tanda kutip “apabila” dampak dari tawuran atau perkelahian tersebut
tidak ditemukan tindak pidana seperti adanya korban luka ataupun adanya pihak
yang melaporkan kerugian secara materiil ataupun immateriil. Hal ini searah
seperti yang diungkapkan Kasubnit V Aiptu Hasmawati, beliau mengatakan
“Yang bisa ditindak jika pelaku tindak pidana, misalnya ada yang berakibat
korban luka atau tewas. Tidak ada tindak pidana, tidak bisa dipidanakan,
makanya cuma dilakukan peringatan”. Tindakan yang dilakukan oleh petugas
kepolisian seperti yang disebutkan di atas dikenal sebagai tindakan diskresi, yang
merupakan kewenangan suatu badan atau lembaga Negara termasuk kepolisian
untuk bertindak ataupun tidak bertindak atas penilaiannya sendiri. Diskresi
Kepolisian di Indonesia sendiri secara yuridis diatur pada Pasal 18 UU No.2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia yaitu: “Untuk kepentingan
umum, pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas
dan wewenannya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”. Hal tersebut
meski tidak secara langsung mengandung kata diskresi tapi mengarah ke tindakan
diskresi itu sendiri yang memiliki maksud bahwa seorang anggota Polri yang
melaksanakan tugasnya di tengah-tengah masyarakat seorang diri, harus mampu
mengambil keputusan berdasarkan penilaiannya sendiri tetapi harus menggunakan
penilaian yang objektif apabila terjadi gangguan terhadap ketertiban dan kemanan
umum atau bila timbul bahaya bagi ketertiban dan keamanan umum.
Polisi sendiri dalam penanganan perkara-perkara kenakalan remaja sebagian
besar (90%) dengan diskresi dan hanya menyangkut anak-anak yang bermasalah
serius seperti pembunuhan, pemerkosaan, dll sajalah yang ditangani secara hukum
biasanya termasuk penahanan. Tindakan kepolisian yang tidak menahan pelaku
kenakalan remaja berupa perkelahian antar remaja ini dianggap sebagai diskresi
dalam bentuk preventif untuk mencegah anak tersangkut kasus hukum lebih jauh
(asas restorative justice). Dapat dilihat bahwa dari hal-hal tersebut pengguna
diskresi dalam konteks mengatasi kenakalan remaja khususnya dalam perbuatan
perkelahian antar remaja memiliki masalah yang cukup rumit, mengingat di dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana tak mengenal pertanggungjawaban pidana
secara kolektif sehingga penerapan sanksi lebih ditujukan kepada individu.
Apalagi jika pelaku memang sebenarnya mengalami gangguan kondisi psikososial
nya, maka tidak lazim jika dia langsung diberi hukuman berupa tahanan kalau
seandainya perkelahian yang disebabkannya tidak menimbulkan korban luka
parah atau bahkan meninggal.
Dan terakhir, melalui dimensi proses sosial atau gejala sosial yang
mencakup perilaku dan karakter kepribadian orang lain serta adanya interaksi si
pelaku sosial dengan lingkungan sekitar yang menyebabkan suatu peristiwa atau
isu sosial dari pelaku peristiwa tersebut. Dimana dalam konteks isu kenalan
remaja berupa perkelahian antar remaja ini, gejala sosialnya berarti apa yang
menyebabkan atau proses yang memancing si pelaku perkelahian memulai
perkelahian tersebut. Dimana proses sosialnya dimulai dari perilaku dan karakter
orang lain yang tidak akan selalu bisa diterima dalam maksud yang baik, apalagi
bagi pelaku yang memiliki gangguan kondisi pada psikososialnya, maka dia akan
lebih mudah tersinggung dengan bagaimana sikap, perkataan, bahkan tatapan
orang lain kepadanya, hal itulah yang memicu atau gejala itulah yang memicu si
pelaku perkelahian dapat dengan mudah memulai perkelahian.
Kemudian, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa sempitnya
lingkungan yang dikenalkan kepada anak akan membuat dia susah berinteraksi
dengan banyak orang dan bahkan mungkin seiring berjalannya waktu, dia akan
menganggap bahwa dia lah yang harus diutamakan di atas kepentingan orang lain.
Hal itu bisa menjadi pemicu gejala perkelahian antar remaja, misalnya si pelaku
yang terbiasa hidup di lingkungannya saja, apalagi lingkungan yang hedon
kemudian tiba-tiba karena satu dan lain hal disatukan dengan remaja lain yang
hidupnya biasa-biasa saja, mungkin saat itu dia menjadikan remaja lain yang
seharusnya menjadi temannya tetapi malah dijadikan suruhan oleh si pelaku,
mungkin awalnya korban belum menyadari dan masih mengikuti saja apa
keinginan pelaku tetapi seiring berjalannya waktu saat korban sadar dan mulai
paham bahwa dia tidak dianggap teman tetapi malah dihina, disanalah korban
mulai membantah dan membela dirinya, pastinya si pelaku tidak terima karena
sikapnya yang begitu, oleh karena itu bisa terjadi perkelahian antar mereka.
Begitupun sebaliknya, jika korban yang tidak pandai berinteraksi dengan baik
dengan orang lain, maka mungkin perkataan atau perbuatannya sempat
menyinggung temannnya. Oleh karena itu, si teman ini marah dan memulai
perkelahian antar mereka. Jadi disimpulkan bahwa kondisi psikososial remaja
yang terganggu dapat menjadi pengaruh gejala sosial terhadap terjadinya
perkelahian antar remaja.
Oleh karena itu, untuk meminimalisir terjadinya perkelahian antar remaja
tersebut perlu dilakukan beberapa hal yaitu seperti ciptakanlah lingkungan
keluarga yang religious agar keluarga bisa selalu harmonis, tanamkanlah sejak
dini norma-norma yang baik pada anak dan berikan kasih sayang secukupnya
kepada anak, selalu awasi anak dalam pergaulannya, perkenalkan anak kepada
lingkungan luar pastinya dengan menjamin lingkungan tersebut memberikan efek
positif pada si anak, berikan anak pendidikan yang baik untuk fisik dan juga
mentalnya, dan didiklah anak agar memiliki pola pikir yang bisa menghargai satu
sama lain dan tidak menanggap remeh orang lain, serta jangan terlalu manjakan
anak dengan sifat hedonisme walaupun terkadang itu diperlukan tetapi juga harus
sesuai kapasitasnya, dan terakhir seringlah ajak anak untuk bercerita dan terimalah
dengan baik apapun keluh kesah anak karena seringnya remaja tidak meminta
untuk diberi saran akan masalah yang mereka ceritakan atau keluhan mereka
tetapi mereka perlu didengar agar tidak ada yang dipendam serta mental atau
psikis mereka juga sehat.
Penutup
Kenakalan seperti perkelahian antar remaja yang disebabkan karena
gangguan psikososial pada diri remaja seharusnya menjadi perhatian serius dari
orang tua, pendidik, stake holder, praktisi psikologi, praktisi hukum dan
pemerintah serta peran masyarakat dalam lingkungan mereka. Ada beberapa
faktor yang menyebabkan remaja memiliki gangguan psikososial sehingga
kedepannya dia dapat menyebabkan perkelahian dengan temannya, seperti dari
tekanan kondisi keluarga, lingkungan yang terlalu sempit yang dikenal remaja
sehingga tidak tahu cara berinteraksi dengan dunia luar, serta kepribadian yang
dimiliki remaja dalam memandang orang lain. Kemudian, peristiwa perkelahian
antar remaja ini dapat dideskripsikan dari perspektif sosiologi, sehingga akan
mendapatkan solusi-solusi yang bisa meminimalisir terjadinya gangguan
psikososial pada remaja yang menyebabkan perkelahian antar remaja.

Daftar Pustaka
Arizal, Yudha. 2013. Kajian Psikososial Terhadap Fenomena Perkelahian Antar
Siswa. Makalah. Surabaya : Universita Negeri Surabaya.
Mappiare. 1987. Psikologi Remaja. Surabaya : Usaha Nasional.
Nasution, Indri Kemala. 2007. Stress Pada Remaja. Makalah. Medan : Universitas
Sumatera Utara.
Nurfadillah. 2017. Upaya Kepolisisan Dalam Penanganan Tindak Pidana
Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Pelajar Secara Berkelompok. Makalah.
Makassar : UIN Alauddin Makassar.

Anda mungkin juga menyukai