Anda di halaman 1dari 17

RINGKASAN MATERI KULIAH

MATA KULIAH AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK


KELAS A5

Oleh Kelompok 01:

1. I Komang Jinarta (2007531212)


2. Kevin Dylan Halim (2107531001)
3. Ketut Nadia Anjani Putri (2107531002)
4. Ni Putu Suriani (2107531003)

Dosen Pengampu: Dr. Dra. Gayatri., M.Si., Ak., CA., ACPA

PROGRAM STUDI SARJANA AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2022
1. Pengertian Organisasi Sektor Publik

Organisasi sektor publik adalah organisasi yang berhubungan dengan kepentingan umum
dan penyediaan barang atau jasa kepada public atau masyarakat yang dibayar melalui pajak atau
pendapat negara lain yang diatur dengan hukum atau undang-undang yang berlaku.
Penyelenggara pelayanan publik diantaranya: satuan kerja /satuan organisasi , dapartemen,
lembaga pemerintahan non dapartemen, dan Instansi Pemerintahan lainnya. Selain pemerintahan,
berbagai organisasi lain juga dikategorikan sebagai organisasi sektor publik (contohnya: sekolah,
Perguruan Tinggi, Rumah Sakit, BUMN, BUMD, dan lembaga sosial masyarakat). Pelayanan
terhadap masyarakat menjadi fokus utama organisasi sektor publik. Oleh karena itu, akuntabilitas
kinerja menjadi faktor penting dalam mempertahankan/ menjaga kepercayaan masyarakat
terhadap organisasi sektor publik.

2. Karakteristik Organisasi Sektor Publik

Adapun komponen lingkungan yang mempengaruhi organisasi sektor publik yang


menjadikan pembeda dari organisasi sektor swasta antara lain :

• Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi yang mempengaruhi organisasi sektor publik, diantaranya
pertumbuhan ekonomi; tingkat inflasi; pertumbuhan pendapatan per kapita
(GNP/GDP); struktur produksi; tenaga kerja; arus modal dalam negeri; cadangan
devisa; nilai tukar mata uang; utang dan bantuan luar negeri; infrastruktur; teknologi;
kemiskinan dan kesenjangan ekonomi; serta sektor informal.
• Faktor Politik
Faktor politik yang mempengaruhi sektor publik diantaranya, hubungan negara dan
masyarakat; legitimasi pemerintah; tipe rezim yang berkuasa; ideologi negara; elit
politik dan massa; jaringan internasional; serta kelembagaan
• Faktor Kultural
Faktor kultural yang mempengaruhi organisasi sektor publik, diantaranya keragaman
suku, ras, agama, bahasa, dan budaya; sistem nilai di masyarakat; historis; sosiologi
masyarakat; karakteristik masyarakat; serta tingkat pendidikan.
• Faktor Demografi
Faktor demografi yang mempengaruhi organisasi sektor publik diantaranya,
pertumbuhan penduduk; struktur usia penduduk; migr asi; serta tingkat kesehatan.

3. Value for Money

Adanya value for money dikarenakan sektor publik sering dinilai sebagai sarang
inefisiensi, pemborosan, sumber kebocoran dana, dan institusi yang selalu merugi, sehingga
muncul tuntuan agar organisasi sektor publik memperhatikan value for money dalam
menjalankan aktivitasnya. Value for money merupakan konsep pengelolaan organisasi sektor
publik yang mendasarkan pada tiga elemen utama, yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas.

• Ekonomi: Perbandingan input dengan input value yang dinyatakan dalam satuan moneter.
Ekonomi terkait dengan sejauh mana organisasi sektor publik dapat meminimalisir input
resources yang digunakan yaitu dengan menghindari pengeluaran yang boros dan tidak
produktif.
• Efisiensi: Perbandingan output/input yang dikaitkan dengan standar kinerja atau target
yang telah ditetapkan. Selain itu, efisiensi dapat diartikan sebagai pencapaian output yang
maksimum dengan input tertentu atau penggunaan input yang terendah untuk mencapai
output tertentu.
• Efektivitas: Perbandingan antara outcome dengan output. Efektivitas juga dapat diartikan
sebagai tingkat pencapaian hasil program dengan target yang ditetapkan.

Ekonomi, efisiensi, dan efektivitas merupakan elemen pokok value for money, namun terdapat
beberapa pihak yang berpendapat bahwa ketiga elemen tersebut belum cukup dan perlu ditambah
dengan dua elemen lain, yaitu:

• Keadilan (equity): Keadilan mengacu pada adanya kesempatan sosial (social opportunity)
yang sama untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas dan kesejahteraan
ekonomi.
• Kesetaraan (equality): Selain keadilan, perlu adanya distribusi secara merata (equality)
yang artinya penggunaan uang publik hendaknya tidak hanya terkonsentrasi pada
kelompok tertetnu, melainkan dilakukan secara merata.

Secara skematis, value for money dapat digambarkan sebagai berikut:


Adapun penjelasannya yaitu:

1. Input: Sumber daya yng digunakan untuk pelaksanaan suatu kebijakan, program, dan
aktivitas. Input dapat pula dinyatakan dalam nilai uang. Contoh input adalah dokter di
rumah sakit, guru di sekolah, biaya dokter, gaji guru, harga tanah, dan sebagainya.
2. Output: Hasil yang dicapai dalam suatu program dan kebijakan. Ukuran output ini
menunjukan hasil implementasi dari program atau aktivitas, contohnya yang dihasilkan
polisi adalah tegaknya hukum dan rasa aman masyarakat yang outputnya dapat
diperkirakan dengan turunnya angka kriminalitas.
3. Outcome: Dampak yang ditimbulkan dari suatu aktivitas tertentu. Seringkali dikaitkan
dengan tujuan atau target yang diinginkan, contohnya dari dinas kebersihan dimana
terciptanya lingkungan kota yang aman bersih dan sehat.

Menurut Mardiasmo (2002), setelah tingkat input, output, dan outcome ditentukan, selanjutnya
adalah menghitung nilai ekonomi, efisien, dan efektivitas.

• Pengukuran Ekonomis
Pengukuran ekonomis hanya mempertimbangkan masukan yang dipergunakan
Rumus pengukuran ekonomis adalah:

Input: Realisasi Anggaran Input Value: Anggaran


Menurut Mahsun (2006), kriteria ekonomi adalah sebagai berikut:
➢ Jika diperoleh nilai perbandingan kurang dari 100%, maka dikatakan ekonomis
➢ Jika diperoleh nilai perbandingan sama dengan 100%, maka dikatakan ekonomis
berimbang
➢ Jika diperoleh nilai perbandingan lebih dari 100%, maka dikatakan tidak
ekonomis
• Pengukan Efisiensi
Pengukuran efisiensi dilakukan dengan menggunakan perbandingan antara output yang
dihasilkan terhadap input yang digunakan (cost of output). Dalam pengukuran kinerja
value of money, efisiensi dibagi menjadi dua, yaitu:
➢ Efisiensi alokasi: Terkait dengan kemampuan untuk mendayagunakan sumber
daya input pada tingkat kapasitas optimal.
➢ Efisiensi teknis atau manajerial: Terkait dengan kemampuan mendayagunakan
sumber daya input pada tingkat output tertentu.

Rumus pengukuran efisiensi adalah:

Output: Hasil yang dicapai oleh kebijakan program dan aktivitas

Input: Realisasi Anggaran

Menurut Mahsun (2006), kriteria efisiensi adalah sebagai berikut:

➢ Jika diperoleh nilai perbandingan kurang dari 100%, maka dikatakan tidak efisien.
➢ Jika diperoleh nilai perbandingan sama dengan 100%, maka dikatakan efisien
berimbang.
➢ Jika diperoleh nilai perbandingan lebih dari 100%, maka dikatakan efisien.
• Pengukuran Efektivitas
Pengukuran efektivitas hanya memperhatikan keluaran yang didapat. Efektivitas hanya
melihat apakah suatu program atau kegiatan telah mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Rumus pengukuran efektivitas adalah:
Outcome: Dampak yang ditimbulkan dari suatu program
Output: Hasil yang dicapai oleh kebijakan program
Menurut Mahsun (2006), kriteria efektivitas adalah:
➢ Jika diperoleh nilai perbandingan kurang dari 100%, maka dikatakn tidak efektif.
➢ Jika diperoleh nilai perbandingan sama dengan 100%, maka dikatakan efektivitas
berimbang.
➢ Jika diperoleh nilai perbandingan lebih dari 100%, maka dikatakan efektif.

Value for money dapat tercapai apabila organisasi telah menggunakan biaya input paling
kecil untuk mencapai output yang optimum dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
Implementasi konsep value for money diyakini dapat memperbaiki akuntabilitas sektor publik
dan memperbaiki kinerja sektor publik. Menurut Mardiasmo (2002), manfaat penerapan value
for money bagi sektor publik dan masyarakat adalah:

➢ Meningkatkan efektivitas pelayanan publik, dalam arti pelayanan yang diberikan tepat
sasaran.
➢ Meningkatkan mutu pelayanan publik.
➢ Menurunkan biaya pelayanan publik karena hilangnya inefisiensi dan terjadinya
penghematan dalam penggunaan input.
➢ Alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan publik.
➢ Meningkatkan kesadaran akan uang publik (public costs awareness) sebagai akar
pelaksanaan akuntabilitas publik.

4. Perbedaan dan Persamaan Organisasi Sektor Publik dan Sektor Privat

Perbedaan antara organiasai sektor publik dengan organisasi sektor privat dapat dilihat
dengan membandingkan beberapa hal, yaitu:

• Tujuan Organisasi
➢ Pada sektor publik, tujuan utama organisasi bukan untuk memaksimalkan laba
tetapi pemberian pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan masyarakat,
keamanan, penegakan hukum, transportasi publik, dan penyediaan barang
kebutuhan publik. Namun, organisasi sektor publik juga memiliki tujuan finansial,
contohnya usaha pemerintah meningkatkan penerimaan negara dan peningkatan
laba pada perusahaan milik negara atau milik daerah (BUMN/BUMD). Tujuan
finansial ini diorientasikan untuk memaksimalkan pelayanan publik, karena untuk
memebrikan pelayanan publik diperlukan dana.
➢ Pada sektor privat, tujuan utama organisasi yaitu memaksimumkan laba (profit
motive). Tujuan finansial diorientasikan pada memaksimalkan laba untuk
memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham.
• Sumber Pembiayaan
➢ Pada sektor publik, sumber pendanaan berasal dari perpajakan dan retribusi,
charging for services, laba perusahaan milik negara, pinjaman pemerintah berupa
utang luar negeri dan obligasi pemerintah, dan lain-lain pendapatan yang sah yang
tidak bertentangan dengan peraturan perundnag-undangan yang telah ditetapkan.
➢ Pada sektor privat, sumber pembiayaan dipisahkan menjadi sumber pembiayaan
internal dan eksternal. Sumber pembiayaan internal terdiri dari bagian laba yang
diinvestasikan kembali ke perusahaan dan modal pemilik. Sedangkan sumber
pembiayaan eksternal, misalkan utang bank, penerbitan obligasi, dan penerbitan
saham baru untuk mendapatkan dana dari publik.
• Pola Pertanggungjawaban
➢ Pada sektor publik, manajemen bertanggung jawab kepada masyarakat karena
sumber dana yang digunakan organisasi sektor publik dalam rangka pemebrian
pelayanan publik berasal dari masyarakat (public money). Pertanggungjawaban
pada sektor ini bersifat horizontal dan vertikal. Pertanggungjawaban vertikal
adalah pertanggungjawaban atas pengoelolaan dana kepada otoritas yang lebih
tinggi, misalnya pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada permerintah
daerah di atasnya atau kepada pemerinta pusat. Pertanggungjawaban horizontal
adalah pertanggungjawaban kepada masyarakat luas.
➢ Pada sektor privat, manajemen bertanggungjawab kepada pemilik perusahaan
(pemegang saham) dan kreditur atas dana yang diberikan.

Pertanggungjawaban manajemen merupakan bagian terpenting untuk menciptakan


kredibilitas manajemen baik di sektor publik maupun privat. Tidak dipenuhinya
prinsip pertanggungjawaban dapat menimbulkan implikasi yang luas, misalkan
kreditur dapat mempailitkan perusahaan jika perusahaan tidak dapat mengembalikan
utang-utangnya tepat waktu, atau jika masyarakat menilai pemerintah tidak akuntabel,
masyarakat dapat menuntut pergantian pemerintah, reshuffle cabinet, penggantian
pejabat, dan sebagainya.

• Struktur Organisasi
➢ Pada sektor publik, struktur organisasi bersifat birokratis, kaku, dan hierarkis.
➢ Pada sektor privat, struktur organisasi lebih fleksibel. Struktur organisasi pada
sektor privat dapat berbentuk datar, pyramid, lintas fungsional, dan lainnya sesuai
dengan pilihan organisasi.

Salah satu faktor utama yang membedakan sektor publik dengan sektor privat adalah
adanya pengaruh politik yang sangat tinggi pada organisasi sektor publik. Tipologi
pemimpin, termasuk pilihan dan orientasi kebijakan politik akan sangat berpengaruh
terhadap pilihan struktur birokrasi pada sektor publik. Sebagai contoh, pemerintah
memiliki fungsi yang lebih beragam dibandingkan fungsi sektor privat. Fungsi sektor
privat adalah penyediaan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan dan permintaan
konsumen. Sedangkan pemerintah memiliki fungsi yang lebih luas meliputi
pertahanan dan keamanan, perlindungan sumber daya alam dan sosial, penegakan
hukum dan perlindungan hak asasi manusia, hubungan luar negeri, dan sebagainya.

• Karakteristik Anggaran dan Stakeholder


➢ Pada sektor publik, rencana anggaran dipublikasikan kepada masyarakat secara
terbuka untuk dikritisi dan didiskusikan. Anggaran bukan sebagai rahasia negara.
➢ Pada sektor privat, anggaran bersifat tertutup bagi publik karena anggaran
merupakan rahasia perusahaan.

Untuk stakeholder sektor publik maupun sektor privat terbagi menjadi 2, yaitu
stakeholder eksternal dan stakeholder internal:

Stakeholder Sektor Publik Stakeholder Sektor Privat


Stakeholder Eksternal
✓ Masyarakat pengguna jasa publik ✓ Bank sebagai kreditur
✓ Masyarakat pembayar pajak ✓ Serikat buruh
✓ Perusahaan dan organisasi sosial ✓ Pemerintah
ekonomi yang menggunakan ✓ Pemasok
pelayanan publik sebagai input ✓ Distributor
atas aktivitas organisasi ✓ Pelanggan
✓ Bank sebagai kreditur pemerintah ✓ Masyarakat
✓ Badan-badan internasional, seperti ✓ Serikat dagang
Bank Dunia, IMF, dan sebagainya ✓ Pasar modal
✓ Investor asing dan Country
Analyst
✓ Generasi yang akan datang
Stakeholder Internal
✓ Lembaga negara (Kabinet, MPR, ✓ Manajemen
DPR, dan sebagainya) ✓ Karyawan
✓ Kelompok politik (partai politik) ✓ Pemegang saham
✓ Manajer publik (gubernur, bupati,
direktur BUMN/BUMD)
✓ Pegawai pemerintah

• Sistem Akuntansi yang Digunakan


➢ Pada sektor publik, masih menggunakan berbagai basis akuntansi, yaitu basis
kas (cash basis), kas menuju akrual (cash toward accrual/cash transitioning to
accrual) dan akrual penuh (accrual basis).
➢ Pada sektor privat, sistem akuntansi yang digunakan adalah akuntansi berbasis
akrual (accrual basis).

Meskipun sektor publik memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda dengan sektor
privat, akan tetapi dalam beberapa hal terdapat persamaan, yaitu:

1. Kedua sektor, baik sektor publik maupun sektor privat merupakan bagian integral dari
sistem ekonomi di suatu negara dan keduanya menggunakan sumber daya yang sama
untuk mencapai tujuan organisasi.
2. Keduanya menghadapi masalah yang sama, yaitu masalah kelangkaan sumber daya
(scarcity of resources), sehingga baik sektor publik maupun sektor privat dituntut untuk
menggunakan sumber daya organisasi secara ekonomis, efisien, dan efektif.
3. Proses pengendalian manajemen, termasuk manajemen keuangan, pada dasarnya sama
dikedua sektor. Kedua sektor sama-sama membutuhkan informasi yang andal dan relevan
untuk melaksanakan fungsi manajemen, yaitu: perencanaan, pengorganisasian, dan
pengendalian.
4. Pada beberapa hal, kedua sektor menghasilkan produk yang sama, misalnya baik
pemerintah maupun swasta sama-sama bergerak dibidang transportasi massal,
pendidikan, kesehatan, penyediaan energi, dan sebagainya,
5. Kedua sektor terikat pada peraturan perundangan dan ketentuan hukum lain yang
disyaratkan.

5. Tujuan Akuntansi Sektor Publik

American Accounting Association (1970) dalam Glynn (1933) menyatakan bahwa tujuan
akuntansi pada organisasi sektor publik adalah untuk:

a. Untuk mengelola secara tepat, efisien dan ekonomis diberikan informasi dengan tujuan
yang berkaitan pengendalian manajemen (Management control).
b. Untuk melaporkan tanggung jawab mengelola yang telah dilaksanakan dengan teapat dan
efektif dengan tujuan yang berakitan akuntabilitas (accountability).

Ada 3 hal pokok yang berkaitan dengan akuntansi sektor publik diantaranya penyediaan
informasi, pengendalian manajemen dan akuntabilitas. Sebagai alat informasi yang baik bagi
pemerintah sebagai manajemen dan juga alat informasi publik. Informasi akuntansi bagi
pemerintah digunakan sebagai pengendali manajemen diawali dari perencanaan, pembuatan
program, penganggaran, evaluasi kinerja dan yang terakhir pelaporan kinerja.

6. Perkembangan Akuntansi Sektor Publik

Istilah "sektor publik" mulai dipakai pertama kali pada tahun 1952. Pada waktu itu, sektor
publik sering dikaitkan sebagai bagian dari manajemen ekonomi makro terkait dengan
pembangunan dan lembaga pelaksana pembangunan. Pada tahun 1970-an, adanya kritikan dan
serangan yang mempertanyakan kembali peran sektor publik dalam pembangunan. Benarkah
sektor publik dapat menggerakkan dan mempertahankan pembangunan?

Berbagai kritik muncul terhadap sektor publik yang keberadaannya dianggap tidak efisien
dan jauh tertinggal dengan kemajuan dan perkembangan yang terjadi di sektor swasta. Sektor
publik dianggap lebih rendah kedudukannya dibandingkan dengan sektor swasta. Kedudukan
sektor publik bertambah lemah karena orientasi pembangunan lebih diarahkan pada
pembangunan sektor swasta dan cenderung mengabaikan pembangunan sektor publik. Baru pada
tahun 1980-an reformasi sektor publik dilakukan di negara-negara industri maju sebagai jawaban
atas berbagai kritikan yang ada.

Berbagai perubahan dilakukan untuk memperbaiki kinerja sektor publik, perlu diadopsi
beberapa praktik dan teknik manajemen yang diterapkan di sektor swasta ke dalam sektor publik,
seperti pengadopsian mekanisme pasar. Dengan adanya perubahan pada sektor publik tersebut,
terjadi pula perubahan pada akuntansi sektor publik. Akuntansi sektor publik kemudian
mengikuti dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Sebagai contoh
adalah terjadinya perubahan sistem akuntansi dari akuntansi berbasis kas menjadi akuntansi
berbasis akrual. Perubahan akuntansi dari basis kas menjadi akuntansi berbasis akrual sudah
diterapkan di beberapa negara-negara seperti Anglo-Saxon, Jepang, Italia, dan negara-negara
Eropa lainnya, meskipun di Italia sistem tersebut kurang efektif dan kurang sukses. Tujuan
memperkenalkan sistem akuntansi akrual adalah untuk membantu meningkatkan transparansi
dan memperbaiki efisiensi dan efektivitas sektor publik.

Anggapan bahwa lembaga sektor publik telah mengalami kebangkrutan di banyak negara
terutama negara - negara berkembang, tidak sepenuhnya benar. Karena di beberapa negara
berkembang yang dianggap mengalami kegagalan dalam lembaga sektor publiknya justru
memiliki pelayanan publik dan perusahaan-perusahaan publik yang baik kinerjanya yang dapat
memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan nasional dan stabilitas politik. Dari
peristiwa tersebut mulai berkembanglah konsep Sektor Publik yang lebih baik. Melalui
peristiwa-peristiwa tersebut akuntansi sektor publik, mengalami perkembangan-perkembangan
dan mulai menunjukkan titik terang serta memberikan pedoman bagaimana sistem dan prosedur
Akuntansi dan Keuangan Pemerintahan bisa dibuat.
7. Akuntabilitas Publik

Mengacu pada teori agensi (agency theory), akuntabilitas publik dapat diartikan dengan
adanya kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban,
menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi
tanggungjawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan
kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Akuntabilitas merupakan konsep
yang lebih luas dan stewardship. Stewardship mengacu pada pengelolaan atas suatu aktivitas
secara ekonomis dan efisien tanpa dibebani kewajiban untuk melaporkan, sedangkan
accountability mengacu pada pertanggungjawaban oleh seorang steward kepada pemberi
tanggung jawab.

Akuntabilitas publik terdiri atas dua macam, yaitu:

1. Akuntabilitas vertikal (vertical accountability)


Akuntabilitas vertikal merupakan pertanggungjawaban atas pengelolaan dana kepada
otoritas yang lebih tinggi, misalnya pertanggungjawaban unit-unit kerja (dinas) kepada
pemerintah daerah, pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, dan
pemerintah pusat kepada MPR.
2. Akuntabilitas horisontal (horizontal accountability)
Akuntabilitas horisontal merupakan pertanggungjawaban kepada masyarakat luas.

Akuntabilitas publik yang harus dilakukan oleh organisasi sektor publik terdiri atas beberapa
dimensi. Ada 4 (empat) dimensi akuntabilitas yang harus dipenuhi oleh organisasi sektor publik,
yaitu:
1. Akuntabilitas kejujuran dan akuntabilitas hukum (accountability for probity and legality);
Akuntabilitas kejujuran terkait dengan penghindaran penyalahgunaan jabatan (abuse of
power), sedangkan akuntabilitas hukum terkait dengan jaminan adanya kepatuhan terhadap
hukum dan peraturan lain yang disyaratkan dalam penggunaan sumber dana publik.
2. Akuntabilitas proses (process accountability);
Akuntabilitas proses terkait dengan apakah prosedur yang digunakan dalam melaksanakan
tugas sudah cukup baik dalam hal kecukupan sistem informasi akuntansi, sistem informasi
manajemen, dan prosedur administrasi. Pengawasan dan pemeriksaan terhadap pelaksanaan
akuntabilitas proses dapat dilakukan, misalnya dengan memeriksa ada tidaknya mark up dan
pungutan-pungutan lain di luar yang ditetapkan, serta sumber-sumber inefisiensi dan
pemborosan yang menyebabkan mahalnya biaya pelayanan publik dan kelambanan dalam
pelayanan.
3. Akuntabilitas program (program accountability);
Akuntabilitas program terkait dengan pertimbangan apakah tujuan yang ditetapkan dapat
dicapai atau tidak, dan apakah telah mempertimbangkan alternatif program yang
memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang minimal.
4. Akuntabilitas kebijakan (policy accountability);
Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban pemerintah, baik pusat maupun
daerah, atas kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah terhadap DPR/DPRD dan
masyarakat luas. Akuntansi sektor publik dituntut dapat menjadi alat perencanaan dan
pengendalian organisasi sektor publik secara efektif dan efisien, serta memfasilitasi
terciptanya akuntabilitas publik.

8. Desentralisasi/Otonomi Daerah

Tujuan pemberian otonomi luas kepada daerah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
adalah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui
otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan
prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan
keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah
diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi
urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan
membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Grand Strategy Pelaksanaan Otonomi Daerah


Untuk mengoptimalkan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah sebagai instrumen
demokratisasi dan peningkatan kesejahteraan di tingkat lokal, maka perlu ada suatu Strategi
Besar (grand strategy) dalam pelaksanaan otonomi daerah dengan tujuan menjadi pedoman bagi
pemerintahan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah secara efektif, efisien, ekonomis dan
akuntabel. Grand Strategy pelaksanaan otonomi daerah ini terdiri atas 7 (tujuh) elemen dasar
pemerintahan daerah mencakup: (1) urusan pemerintahan, (2) kelembagaan, (3) personil, (4)
perwakilan, (5) keuangan daerah, (6) pelayanan publik, dan (7) pengawasan.

1. Penataan Urusan Pemerintah


Pemerintahan lebih melekat pada pengertian fungsi publik. Penataan urusan pemerintahan
bertujuan untuk memperjelas dan menentukan pembagian kewenangan masing-masing
tingkatan pemerintahan secara proporsional sehingga nantinya prinsip “money follows
functions” dan “structures follows functions” dapat direalisasikan.
2. Penataan Kelembagaan Pemerintah Daerah
Untuk menciptakan kelembagaan yang berorientasi pada pelayanan publik, masing-masing
daerah dalam menyusun kelembagaan pemerintahan daerah perlu memperhatikan: dimensi
right sizing, jumlah penduduk dan sumber daya aparatur pemerintah daerah, potensi dan
kemampuan keuangan daerah, dan kemampuan untuk menggerakkan investasi melalui
kerjasama kemitraan antara pemerintah-masyarakat-swasta.
3. Penataan Kepegawaian Daerah
Dengan penataan urusan pemerintahan secara benar, pembentukan kelembagaan secara
tepat, dan personil yang memiliki kapasitas dan profesionalisme memadai, penyelenggaraan
otonomi daerah diharapkan akan semakin membaik dan mampu meningkatkan pelayanan
dan kesejahteraan rakyat.
4. Revitalisasi Peran Lembaga Perwakilan Daerah
Dengan terbitnya berbagai peraturan perundang-undangan mengenai lembaga perwakilan di
daerah, masing-masing lembaga diharapkan dapat menjalankan tugas dan fungsi secara
optimal sekaligus mempertegas hubungan kemitraan antara Pemerintah Daerah dan DPRD.
5. Penataan Pengelolaan Keuangan Daerah
Melalui desentralisasi fiskal, Pemerintah Daerah dituntut untuk mengelola keuangan daerah
secara akuntabel dan transparan. Dengan kebijakan normatif yang ada, pemerintah daerah
diberi kesempatan untuk melakukan perubahan kebijakan dan sistem pengelolaan keuangan
daerah. Dasar-dasar yang melatarbelakangi perubahan adalah : pertama, perubahan
paradigma penyelenggaraan pemerintahan seiring otonomi daerah dan desentralisasi, kedua,
semangat reinventing governance dan good governance, dan ketiga, realitas regulasi dan
instrumen pengelolaan keuangan daerah dalam bentuk peraturan pelaksanaan yang baru dan
mendorong terciptanya iklim investasi yang baik.
6. Peningkatan Pelayanan Publik
Penyelenggaraan kebijakan desentralisasi merupakan upaya nyata dari Pemerintah untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pemberian pelayanan umum yang lebih optimal.
Sebagai acuan penyediaan pelayanan masyarakat, pemerintah daerah harus berpedoman
kepada PP Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar
Pelayanan Minimal (SPM) yang akan dijabarkan dalam bentuk peraturan menteri yang
bersangkutan. Untuk itu setiap pemerintah daerah diwajibkan menyusun rencana pencapaian
SPM yang memuat target tahunan pencapaian SPM dengan mengacu pada batas waktu
pencapaian SPM.
7. Pembinaan dan Pengawasan
Pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan atau
Gubernur selaku Wakil Pemerintah di Daerah. Pengawasan atas penyelenggaraan
pemerintahan daerah adalah kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintahan
daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

Isu-Isu Strategis Otonomi Daerah

Ada beberapa isu strategis dalam pelaksanaan otonomi di Indonesia, yaitu: tata kepemerintahan
yang baik (good governace), Standar Pelayanan Minimal (SPM), Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Pembangunan, Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, dan
Pengembangan Kapasitas (capacity buiding).

1. Tata Kepemerintahan yang Baik (Good Governance)


Tata kepemerintahan yang baik merupakan suatu konsepsi tentang penyelenggaraan
pemerintahan yang bersih, demokratis dan efektif, serta di dalamnya mengatur pola
hubungan yang sinergis dan konstruktif antara pemerintah, dunia usaha swasta dan
masyarakat.
2. Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Standar Pelayanan Minimal yang biasanya disingkat SPM merupakan tolok ukur kinerja
daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat. SPM
merupakan tolok ukur pencapaian sasaran yang telah ditetapkan pemerintah. Pelaksanaan
SPM diarahkan dalam upaya meningkatkan penggunaan indeks pembangunan manusia
sebagai indikator kemajuan pembangunan di suatu daerah, dengan cara menyusun indikator
SPM sejalan dengan Millenium Development Goals (MDGs).
3. Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan, merupakan upaya Pemerintah dalam meningkatkan
proses penilaian efektivitas rencana pembangunan di pusat dan daerah. PP Nomor 39 Tahun
2006 tersebut merupakan komitmen Pemerintah untuk terus berupaya mengevaluasi proses
pelaksanaan pembangunan, baik dalam proses realisasi anggaran pembangunan (APBN dan
APBD), kemajuan fisik dan distribusi pelaksanaan pembangunan di daerah, sampai pada
evaluasi dampak dan hasil pembangunan bagi kondisi sosial dan ekonomi di daerah.
4. Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EPPD) adalah proses pengumpulan data,
analisis data, dan penyajian informasi secara sistematis yang meliputi pengukuran kinerja,
analisis sistem, penilaian kebijakan atas program dan kegiatan; dan sekaligus penetapan
tingkat perkembangan dari waktu ke waktu atas penyelenggaraan urusan pemerintahan
daerah disertai dengan penjelasan faktor kesuksesan dan hambatan dalam rangka perbaikan
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih efisien dan lebih efektif untuk mencapai
tujuan otonomi daerah.
5. Pengembangan Kapasitas
Pengembangan kapasitas dilakukan dengan berbagai masukan dari berbagai pihak terkait
melalui Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EPPD). Hasil evaluasi tersebut
merupakan salah satu indikator bagi pengembangan kapasitas dalam rangka memberikan
pelayanan yang terbaik dari pemerintah kepada masyarakat. Dalam pelaksanaannya,
pengembangan kapasitas mencakup ruang lingkup yang terdiri dari tiga tingkatan: (1)
sistem, (2) kelembagaan, dan (3) individu.
DAFTAR PUSTAKA

Haryanto dkk. 2007. Akuntansi Sektor Publik Edisi Pertama. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.

Mardiasmo. 2018. Akuntansi Sektor Publik – Edisi Terbaru. Yogyakarta: Penerbit ANDI.

Riadi, Muchlisin. (2020). Value for Money (Pengertian, Manfaat, Indikator dan Pengukuran).
Diakses pada 9/9/2022, dari https://www.kajianpustaka.com/2020/05/value-for-money.html

Anda mungkin juga menyukai