Oleh:
Ananda Bela Yustisia
(I2A023012)
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu program BKKBN sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup
masyarakat yaitu program Kependudukan Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK).
Ketercapaian program ini dapat dinilai dari beberapa aspek yaitu aspek pengendalian jumlah penduduk
dan aspek peningkatan kualitas penduduk yang diukur dengan peningkatan ketahanan dan kesejahteraan
keluarga. Kedua aspek ini dapat dilihat dari beberapa indikator yaitu peningkatan jumlah peserta KB,
peningkatan jumlah ibu hamil dan menyusui yang mendapat pelayanan kesehatan, serta peningkatan
ketahanan dan kesejahteraan keluarga melalui kelompok kegiatan Bina Keluarga Balita (BKB), Bina
Keluarga Remaja (BKR), Bina Keluarga Lansia (BKL), Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan
Reproduksi Remaja (PIK R), dan Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS).
Dalam melaksanakan program KKBPK, selain dilaksanakan oleh para penyuluh Keluarga
Berencana (PKB), juga terdapat peran penting dari seluruh komponen masyarakat. Salah satunya yaitu
peran dari kader Institusi Masyarakat Pedesaan/Perkotaan (IMP).
Salah satu kecamatan di Kabupaten Banyumas yang ikut turut serta dalam pelaksanaan program
KKPBK adalah Kecamatan Sokaraja. Kecamatan Sokaraja memiliki 18 desa dan merupakan kecamatan
dengan jumlah desa terbanyak ke-3 setelah Kecamatan Cilongok dan Sumbang. Menurut data di
aplikasi SIGA tahun 2024, Sokaraja memiliki 578 kader IMP, yang terdiri dari kader PPKBD, sub
PPKBD, dan kelompok KB RT. Kader IMP memiliki peran penting dan tugas khusus sebagai
membantu para PKB dalam meningkatkan keikutsertaan program KB di tingkat yang lebih kecil, yaitu
tingkat desa oleh kader PPKBD, tingkat RW oleh sub PPKBD, dan tingkat RT oleh kader kelompok
KB.
Termasuk dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh para kader IMP, yaitu kegiatan POKTAN atau
kelompok kegiatan yang terdiri dari kelompok kegiatan Bina Keluarga balita (BKB), Bina Keluarga
Remaja (BKR), Bina Keluarga lansia (BKL), PIK R, dan UPPKA. Selain kader IMP dan poktan,
terdapat pula kader Tim Pendamping keluarga (TPK) yang memiliki tugas dalam mendampingi calon
pengantin, ibu hamil, ibu nifas, baduta, dan balita untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang
maksimal.
Gambar 2. Hasil survey jabatan lain yang dirangkap oleh kader IMP di Kecamatan
Sokaraja
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa kader IMP juga ikut merangkap menjadi kader lain
seperti menjadi kader posyandu (65,9%), kader PKK (62,3%), kader TPK (26,8%), kader KWT (21,8%)
dan kader lain yang masih masuk dalam rumpun kesehatan.
Institusi masyarakat Perdesaan/Perkotaan (IMP) memiliki 6 peran bakti yang harus
dilaksanakan oleh para kadernya untuk mewujudkan hasil yang diharapkan. 6 peran bakti tersebut
adalah pengorganisasian, pertemuan, kie dan konseling, pelayanan, pencatatan dan pelaporan, dan
kemandirian.
Gambar 3. Hasil survey mengenai pemahaman kader IMP tentang 6 Peran Bakti IMP di
Kecamatan Sokaraja
Namun dari survey yang dilakukan kepada 220 kader IMP, termasuk kader poktan dan TPK pada
bulan Januari 2024 menunjukkan hasil bahwa sebanyak 46,8% kader IMP kurang paham akan 6 peran
bakti IMP, 46,8% paham, dan 6,4%% tidak paham. Jumlah kader yang kurang paham terhadap 6 peran
bakti IMP menyebabkan pekerjaan yang dilakukan oleh para kader belum terarah, belum memiliki goals
yang jelas, dan hasil yang belum memenuhi harapan. Hal ini mungkin terjadi karena perekrutan kader
bersifat penunjukan dan sukarela sehingga kader yang terpilih tidak memiliki pengetahuan yang cukup
mengenai pekerjaan yang akan dilakukan, dalam hal ini pengetahuan seputar program KB. Selain
kurang dalam penguasaan materi, juga terdapat kader yang kurang dalam kecakapan berkomunikasi dan
memberikan KIE & konseling. Pemilihan kader yang bersifat penunjukan dan sukarela ini juga
disebabkan karena sulitnya menemukan orang yang bersedia menjadi kader karena antusiasme yang
kurang dari masyarakat untuk menjadi kader.
Gambar 4. Hasil survey mengenai peran IMP yang sudah dikerjakan oleh Kader IMP di
Kecamatan Sokaraja
Pemahaman yang kurang pada kader IMP mengenai 6 peran bakti yang harus mereka lakukan
juga mungkin secara tidak langsung mempengaruhi jenis kegiatan yang mereka lakukan dalam
melakukan tugasnya di desa. Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa kegiatan yang paling banyak
dilakukan oleh kader IMP justru adalah mengikuti pertemuan rapat koordinasi kesehatan di tingkat desa
(60,5%), diikuti dengan mengerjakan laporan perkembangan PUS (R1 PUS) tingkat RT/RW/desa
(48,6%), melasanakan pendataan keluarga (48,2%), melakukan KIE/konseling di kelompok (poktan,
dawis, pengajian, arisan, dsb) (40%), dan mengikuti pertemuan rutin IMP tingkat desa (34,1%).
Kegiatan KIE dan konseling mengenai program KB dan kesehatan keluarga terkait lainnya yang
seharusnya lebih banyak dilakukan oleh para kader sebagai perpanjangan tangan PKB di desa justru
bukan menjadi kegiatan yang paling banyak dilakukan oleh para kader. Kegiatan KIE dan konseling
seharusnya menjadi kegiatan utama kader IMP dalam menyebarluaskan program KB dan kesehatan
keluarga karena dengan melakukan pertemuan tatap muka, maka materi yang dijelaskan dapat lebih
mudah diterima oleh masyarakat. Kegiatan KIE dan konseling yang kurang, baik secara pertemuan
kelompok maupun kunjungan rumah mungkin disebabkan karena kurangnya penguasaan materi oleh
kader.
Kendala lain yang kerap ditemui oleh para kader yaitu kurangnya kepercayaan dan penerimaan
masyarakat atas KIE dan konseling yang dilakukan oleh para kader IMP karena masyarakat
beranggapan bahwa kader IMP tidak lain hanyalah sesama masyarakat biasa tanpa latar belakang yang
cukup untuk menunjang kegiatannya. Masyarakat cenderung lebih mendengar saran atau masukan dari
para PKB, nakes, bidan, dokter, maupun perangkat daerah karena mereka memiliki latar belakang
pekerjaan yang prestige sehingga lebih dipercaya dan diterima oleh masyarakat. Padahal adanya kader
di tiap desa hingga ke level RT merupakan perpanjangan tangan dari para PKB dan nakes yang terbatas
jumlahnya dan kurang dapat menjangkau hingga ke lapisan masyarakat terbawah.
Gambar 5. Hasil survey pelatihan yang pernah diikuti oleh kader IMP di Kecamatan
Sokaraja
Kurangnya penguasaan materi dan penerimaan oleh masyarakat juga disebabkan karena
kurangnya pelatihan yang diberikan atau diikuti oleh para kader. Dari 220 kader, baru sebanyak 47,7%
yang pernah memperoleh pelatihan KIE, pelatihan pencatatan dan pelaporan (36,4%), pelatihan
penggerakan peserta KB (32,7%), pelatihan KIE (17,3%), dan pelatihan pengelolaan kampung KB
(16,8%).
Gambar 6. Hasil survey mengenai adanya dukungan keuangan dari desa kepada kader
IMP di Kecamatan Sokaraja
Masalah lain yang dialami oleh kader dalam melaksanakan tugasnya dalam mensukseskan
program Keluarga Berencana adalah kurangnya sokongan dana, baik dari desa atau dari BKKBN
sendiri. Sebanyak 54,5% responden belum memperoleh dukungan keuangan dari desa. Walaupun
menjadi kader bersifat sukarela, namun para kader berharap bahwa kegiatan yang mereka lakukan
setidaknya didukung oleh pemerintah desa, baik dari segi ekonomi maupun hanya berupa “pengakuan”
dengan pembuatan SK. Dari 578 kader yang ada, hanya sekitar 18,5% yang sudah memiliki SK dari
pemerintah desa. Dengan kepemilikan SK yang dibuat oleh pemerintah desa, maka setidaknya para
kader sudah “diakui” oleh pemerintah desa, dan lebih lanjut mungkin bisa dilaksanakan pengukuhan
anggota, pelatihan kompetensi, hingga memperoleh honor/uang transport untuk menjalankan tugasnya.
Dapat disimpulkan bahwa usaha pemberdayaan masyarakat dalam program KB dan kesehatan
keluarga di Kecamatan Sokaraja memiliki beberapa kendala dalam pelaksanaannya. Inisiasi
pemberdayaan masyarakat pada program KB dan kesehatan keluarga di Kecamatan Sokaraja sudah
terbentuk di tingkat desa dengan kerjasama antara PKB, petugas kesehatan baik dari puskesmas, RS,
atau faskes lainnya, pemerintah desa, serta oleh kader IMP yang sudah terbentuk. Namun kendala yang
terjadi adalah kurangnya penguasaan materi para kader yang menyebabkan kegiatan kie dan konseling
belum bisa berjalan maksimal dan memberikan hasil yang sesuai harapan. Dukungan dari pemerintah
desa juga belum seluruhnya kader di desa mendapatkannya, yaitu dalam bentuk pembuatan SK,
pelatihan kader untuk meningkatkan kompetensi dan kecakapan, maupun dukungan ekonomi berupa
honor atau uang transport. Hal ini menyebabkan program pemberdayaan masyarakat di Kecamatan
Sokaraja dalam program KB belum bisa memberikan hasil sesuai target BKKBN.
Dari kendala-kendala di atas menyebabkan pemberdayaan masyarakat dalam program KB dan
kesehatan keluarga oleh kader IMP di Kecamatan Sokaraja belum ‘kuat’ dalam arti masyarakat belum
secara mandiri melakukan inisiatif dan mengembangkan potensi yang dimiliki untuk mencapai tujuan
yang diinginkan. Baik kader, pemerintah desa, maupun masyarakatnya belum menggali secara dalam
masalah apa dan kebutuhan apa yang perlu dirumuskan untuk desanya dalam bidang KB dan kesehatan
keluarga. Hal ini selain karena kurangnya antusiasme masyarakat untuk menjadi kader, penguasaan
materi yang kurang oleh kader, kurangnya koordinasi dengan pemerintah desa, juga dikarenakan
mereka masih merasa bahwa program KB dan pembentukan IMP ini merupakan program dari BKKBN,
sehingga mereka masih kurang insiatif dan hanya mengikuti arahan dari PKB maupun BKKBN.
B. TUJUAN
Mengetahui metode evaluasi program pemberdayaan masyarakat dalam bidang KB di
Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas.
BAB II
PEMBAHASAN
Dari kendala-kendala yang terdapat pada pelaksanaan program KB oleh kader IMP di Kecamatan
Sokaraja, maka dapat disimpulkan bahwa metode evaluasi program pemberdayaan masyarakat pada
program KB di Kecamatan Sokaraja antara lain:
1. Meningkatkan dukungan pemerintah desa dengan membuat SK kepada kader sebagai pemberian
wewenang secara resmi.
2. Memberikan pelatihan kepada kader untuk meningkatkan kompetensi melakukan sosialisasi dan
penyuluhan program KB.
3. Desa memberikan dukungan dalam bentuk anggaran dana untuk kegiatan operasional program dan
insentif/uang transport kader.
4. Melakukan koordinasi antara PKB, pemerintah desa, kader, serta masyarakat sehingga terjadi
musyawarah untuk menentukan permasalahan, kebutuhan, dan potensi di masyarakat dan desa untuk
ikut diangkat ke dalam program yang akan dilaksanakan. Sehingga programnya tidak hanya formal
secara top to bottom dari BKKBN kepada masyarakat, namun juga dengan melihat kekhasan dari
masing-masing desa.