Anda di halaman 1dari 10

METODE EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT OLEH KADER IMP

PADA PROGRAM KB DI KECAMATAN SOKARAJA KABUPATEN BANYUMAS

Oleh:
Ananda Bela Yustisia
(I2A023012)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2024
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Salah satu program BKKBN sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup
masyarakat yaitu program Kependudukan Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK).
Ketercapaian program ini dapat dinilai dari beberapa aspek yaitu aspek pengendalian jumlah penduduk
dan aspek peningkatan kualitas penduduk yang diukur dengan peningkatan ketahanan dan kesejahteraan
keluarga. Kedua aspek ini dapat dilihat dari beberapa indikator yaitu peningkatan jumlah peserta KB,
peningkatan jumlah ibu hamil dan menyusui yang mendapat pelayanan kesehatan, serta peningkatan
ketahanan dan kesejahteraan keluarga melalui kelompok kegiatan Bina Keluarga Balita (BKB), Bina
Keluarga Remaja (BKR), Bina Keluarga Lansia (BKL), Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan
Reproduksi Remaja (PIK R), dan Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS).
Dalam melaksanakan program KKBPK, selain dilaksanakan oleh para penyuluh Keluarga
Berencana (PKB), juga terdapat peran penting dari seluruh komponen masyarakat. Salah satunya yaitu
peran dari kader Institusi Masyarakat Pedesaan/Perkotaan (IMP).

Gambar 1. Peta lokasi Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas

Salah satu kecamatan di Kabupaten Banyumas yang ikut turut serta dalam pelaksanaan program
KKPBK adalah Kecamatan Sokaraja. Kecamatan Sokaraja memiliki 18 desa dan merupakan kecamatan
dengan jumlah desa terbanyak ke-3 setelah Kecamatan Cilongok dan Sumbang. Menurut data di
aplikasi SIGA tahun 2024, Sokaraja memiliki 578 kader IMP, yang terdiri dari kader PPKBD, sub
PPKBD, dan kelompok KB RT. Kader IMP memiliki peran penting dan tugas khusus sebagai
membantu para PKB dalam meningkatkan keikutsertaan program KB di tingkat yang lebih kecil, yaitu
tingkat desa oleh kader PPKBD, tingkat RW oleh sub PPKBD, dan tingkat RT oleh kader kelompok
KB.
Termasuk dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh para kader IMP, yaitu kegiatan POKTAN atau
kelompok kegiatan yang terdiri dari kelompok kegiatan Bina Keluarga balita (BKB), Bina Keluarga
Remaja (BKR), Bina Keluarga lansia (BKL), PIK R, dan UPPKA. Selain kader IMP dan poktan,
terdapat pula kader Tim Pendamping keluarga (TPK) yang memiliki tugas dalam mendampingi calon
pengantin, ibu hamil, ibu nifas, baduta, dan balita untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang
maksimal.

Gambar 2. Hasil survey jabatan lain yang dirangkap oleh kader IMP di Kecamatan
Sokaraja

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa kader IMP juga ikut merangkap menjadi kader lain
seperti menjadi kader posyandu (65,9%), kader PKK (62,3%), kader TPK (26,8%), kader KWT (21,8%)
dan kader lain yang masih masuk dalam rumpun kesehatan.
Institusi masyarakat Perdesaan/Perkotaan (IMP) memiliki 6 peran bakti yang harus
dilaksanakan oleh para kadernya untuk mewujudkan hasil yang diharapkan. 6 peran bakti tersebut
adalah pengorganisasian, pertemuan, kie dan konseling, pelayanan, pencatatan dan pelaporan, dan
kemandirian.
Gambar 3. Hasil survey mengenai pemahaman kader IMP tentang 6 Peran Bakti IMP di
Kecamatan Sokaraja

Namun dari survey yang dilakukan kepada 220 kader IMP, termasuk kader poktan dan TPK pada
bulan Januari 2024 menunjukkan hasil bahwa sebanyak 46,8% kader IMP kurang paham akan 6 peran
bakti IMP, 46,8% paham, dan 6,4%% tidak paham. Jumlah kader yang kurang paham terhadap 6 peran
bakti IMP menyebabkan pekerjaan yang dilakukan oleh para kader belum terarah, belum memiliki goals
yang jelas, dan hasil yang belum memenuhi harapan. Hal ini mungkin terjadi karena perekrutan kader
bersifat penunjukan dan sukarela sehingga kader yang terpilih tidak memiliki pengetahuan yang cukup
mengenai pekerjaan yang akan dilakukan, dalam hal ini pengetahuan seputar program KB. Selain
kurang dalam penguasaan materi, juga terdapat kader yang kurang dalam kecakapan berkomunikasi dan
memberikan KIE & konseling. Pemilihan kader yang bersifat penunjukan dan sukarela ini juga
disebabkan karena sulitnya menemukan orang yang bersedia menjadi kader karena antusiasme yang
kurang dari masyarakat untuk menjadi kader.

Gambar 4. Hasil survey mengenai peran IMP yang sudah dikerjakan oleh Kader IMP di
Kecamatan Sokaraja
Pemahaman yang kurang pada kader IMP mengenai 6 peran bakti yang harus mereka lakukan
juga mungkin secara tidak langsung mempengaruhi jenis kegiatan yang mereka lakukan dalam
melakukan tugasnya di desa. Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa kegiatan yang paling banyak
dilakukan oleh kader IMP justru adalah mengikuti pertemuan rapat koordinasi kesehatan di tingkat desa
(60,5%), diikuti dengan mengerjakan laporan perkembangan PUS (R1 PUS) tingkat RT/RW/desa
(48,6%), melasanakan pendataan keluarga (48,2%), melakukan KIE/konseling di kelompok (poktan,
dawis, pengajian, arisan, dsb) (40%), dan mengikuti pertemuan rutin IMP tingkat desa (34,1%).
Kegiatan KIE dan konseling mengenai program KB dan kesehatan keluarga terkait lainnya yang
seharusnya lebih banyak dilakukan oleh para kader sebagai perpanjangan tangan PKB di desa justru
bukan menjadi kegiatan yang paling banyak dilakukan oleh para kader. Kegiatan KIE dan konseling
seharusnya menjadi kegiatan utama kader IMP dalam menyebarluaskan program KB dan kesehatan
keluarga karena dengan melakukan pertemuan tatap muka, maka materi yang dijelaskan dapat lebih
mudah diterima oleh masyarakat. Kegiatan KIE dan konseling yang kurang, baik secara pertemuan
kelompok maupun kunjungan rumah mungkin disebabkan karena kurangnya penguasaan materi oleh
kader.
Kendala lain yang kerap ditemui oleh para kader yaitu kurangnya kepercayaan dan penerimaan
masyarakat atas KIE dan konseling yang dilakukan oleh para kader IMP karena masyarakat
beranggapan bahwa kader IMP tidak lain hanyalah sesama masyarakat biasa tanpa latar belakang yang
cukup untuk menunjang kegiatannya. Masyarakat cenderung lebih mendengar saran atau masukan dari
para PKB, nakes, bidan, dokter, maupun perangkat daerah karena mereka memiliki latar belakang
pekerjaan yang prestige sehingga lebih dipercaya dan diterima oleh masyarakat. Padahal adanya kader
di tiap desa hingga ke level RT merupakan perpanjangan tangan dari para PKB dan nakes yang terbatas
jumlahnya dan kurang dapat menjangkau hingga ke lapisan masyarakat terbawah.

Gambar 5. Hasil survey pelatihan yang pernah diikuti oleh kader IMP di Kecamatan
Sokaraja
Kurangnya penguasaan materi dan penerimaan oleh masyarakat juga disebabkan karena
kurangnya pelatihan yang diberikan atau diikuti oleh para kader. Dari 220 kader, baru sebanyak 47,7%
yang pernah memperoleh pelatihan KIE, pelatihan pencatatan dan pelaporan (36,4%), pelatihan
penggerakan peserta KB (32,7%), pelatihan KIE (17,3%), dan pelatihan pengelolaan kampung KB
(16,8%).

Gambar 6. Hasil survey mengenai adanya dukungan keuangan dari desa kepada kader
IMP di Kecamatan Sokaraja

Masalah lain yang dialami oleh kader dalam melaksanakan tugasnya dalam mensukseskan
program Keluarga Berencana adalah kurangnya sokongan dana, baik dari desa atau dari BKKBN
sendiri. Sebanyak 54,5% responden belum memperoleh dukungan keuangan dari desa. Walaupun
menjadi kader bersifat sukarela, namun para kader berharap bahwa kegiatan yang mereka lakukan
setidaknya didukung oleh pemerintah desa, baik dari segi ekonomi maupun hanya berupa “pengakuan”
dengan pembuatan SK. Dari 578 kader yang ada, hanya sekitar 18,5% yang sudah memiliki SK dari
pemerintah desa. Dengan kepemilikan SK yang dibuat oleh pemerintah desa, maka setidaknya para
kader sudah “diakui” oleh pemerintah desa, dan lebih lanjut mungkin bisa dilaksanakan pengukuhan
anggota, pelatihan kompetensi, hingga memperoleh honor/uang transport untuk menjalankan tugasnya.
Dapat disimpulkan bahwa usaha pemberdayaan masyarakat dalam program KB dan kesehatan
keluarga di Kecamatan Sokaraja memiliki beberapa kendala dalam pelaksanaannya. Inisiasi
pemberdayaan masyarakat pada program KB dan kesehatan keluarga di Kecamatan Sokaraja sudah
terbentuk di tingkat desa dengan kerjasama antara PKB, petugas kesehatan baik dari puskesmas, RS,
atau faskes lainnya, pemerintah desa, serta oleh kader IMP yang sudah terbentuk. Namun kendala yang
terjadi adalah kurangnya penguasaan materi para kader yang menyebabkan kegiatan kie dan konseling
belum bisa berjalan maksimal dan memberikan hasil yang sesuai harapan. Dukungan dari pemerintah
desa juga belum seluruhnya kader di desa mendapatkannya, yaitu dalam bentuk pembuatan SK,
pelatihan kader untuk meningkatkan kompetensi dan kecakapan, maupun dukungan ekonomi berupa
honor atau uang transport. Hal ini menyebabkan program pemberdayaan masyarakat di Kecamatan
Sokaraja dalam program KB belum bisa memberikan hasil sesuai target BKKBN.
Dari kendala-kendala di atas menyebabkan pemberdayaan masyarakat dalam program KB dan
kesehatan keluarga oleh kader IMP di Kecamatan Sokaraja belum ‘kuat’ dalam arti masyarakat belum
secara mandiri melakukan inisiatif dan mengembangkan potensi yang dimiliki untuk mencapai tujuan
yang diinginkan. Baik kader, pemerintah desa, maupun masyarakatnya belum menggali secara dalam
masalah apa dan kebutuhan apa yang perlu dirumuskan untuk desanya dalam bidang KB dan kesehatan
keluarga. Hal ini selain karena kurangnya antusiasme masyarakat untuk menjadi kader, penguasaan
materi yang kurang oleh kader, kurangnya koordinasi dengan pemerintah desa, juga dikarenakan
mereka masih merasa bahwa program KB dan pembentukan IMP ini merupakan program dari BKKBN,
sehingga mereka masih kurang insiatif dan hanya mengikuti arahan dari PKB maupun BKKBN.

B. TUJUAN
Mengetahui metode evaluasi program pemberdayaan masyarakat dalam bidang KB di
Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat dalam Peningkatan Program KB di


Kecamatan Sokaraja
Institusi masyarakat Pedesaan (IMP) pada hakikatnya adalah wadah pengelolaan dan
pelaksanaan dari program KB nasional di lapisan terbawah yaitu di tingkat desa, RW, dan RT sehingga
perannya dalam pelaksanaan program KB nasional sangatlah penting. Kader merupakan perpanjangan
tangan dari pemerintah, BKKBN, PKB, tenaga kesehatan dan menjembatani program KB kepada
masyarakat di desa. Namun dalam pelaksanaannya di Kecamatan Sokaraja, program KB oleh kader
IMP belum berjalan optimal. Hal ini dikarenakan para kader belum menunjukkan keaktifan dalam
memberikan sosialisasi, motivasi, dan memfasilitasi masyarakat dan lingkungannya. Selain itu,
pemerintah desa juga belum memberikan perhatian besar kepada pelaksanaan program KB di desa
beserta para kader yang bekerja sehingga tidak ada pengembangan potensi desa berdasarkan kebutuhan
yang dimiliki. Desa juga kurang menunjukkan perhatian kepada program KB dan kader IMP di desa
dalam bentuk pelatihan dan bantuan ekonomi.
Untuk meningkatkan pelaksanaan program KB oleh kader IMP, perlu adanya program
“Penguatan IMP” dengan koordinasi antara PKB, pemerintah desa, dan kader untuk bersama-sama
melakukan evaluasi dan perbaikan dari pelaksanaan program KB di Kecamatan Sokaraja yang sudah
berjalan. Penguatan IMP dapat diawali dengan meningkatkan koordinasi antara PKB, kader, dan
pemerintah desa. Pemerintah desa dapat membuat SK untuk semua kader IMP, poktan, dan TPK
sehingga organisasi dan kadernya dapat ditetapkan secara resmi statusnya. Dengan begitu, pemerintah
desa dapat mengawasi serta ikut berperan dalam program dan kegiatan yang dilaksanakan. Desa juga
dapat melakukan pengukuhan kader sehigga para kader dapat merasa memiliki tanggung jawab dan
kesadaran pada tugas yang akan dilaksanakan.
Melalui SK yang sudah dibuat, diharapkan juga desa dapat lebih bisa memberikan dukungan
kepada pelaksanaan program dan kader yang bekerja. Desa dapat memberikan dukungan dalam bentuk
pemberian pelatihan untuk kader sehingga para kader dapat memiliki kompetensi yang baik untuk
melaksanakan tugasnya. Pelatihan ini dapat bekerja sama dengan para PKB sehingga para kader juga
menguasai materi tentang program KB yang nantinya akan disosialisasikannya kepada masyarakat.
Dengan begitu, para kader nantinya dapat lebih diterima dan dipercaya oleh masyarakat karena kader
yang memberikan sosialisasi dan penyuluhan tersebut sudah memiliki sertifikasi menjadi kader.
Dukungan dalam bentuk lain yaitu dengan dukungan ekonomi. Desa diharapkan dapat ikut
memberikan dukungan dana kepada kegiatan yang dilaksanakan di desa dalam rangka program KB dan
kesehatan keluarga. Dukungan dana juga diharapkan pada operasional organisasi seperti pertemuan
rutin. Selain itu, para kader yang bertugas juga diharapkan memperoleh uang insentif atau uang
transport sehingga kader dapat memperoleh ‘upah’ dari kerja kerasnya di lapangan. Bantuan dana ini
kembali kepada kemamapuan ekonomi dari pemerintahan desa, yang apabila mengalami kesulitan
mungkin bisa dengan pemberian insentif dalam bentuk lain seperti pendaftaran BPJS untuk para kader.
Dengan pembentukan SK kader, hubungan antara kader dengan pemerintahan desa akan lebih
dekat, dan desa juga secara tidak langsung akan diuntungkan. Dengan SK yang telah dibuat, para kader
akan memiliki tanggung jawab untuk mengirimkan laporan kegiatannya ke pemerintahan desa,
sehingga kader dalam menjalankan kegiatan KIE dan konselingpun secara tidak langsung akan lebih
rutin dan kontinyu di masyarakat. Dengan data yang dikumpulkan oleh para kader, maka desa dapat
mengetahui keadaan warganya seperti jumlah pasangan usia subur, jumlah dan kondisi calon pengantin,
jumlah dan kondisi ibu hamil, jumlah anak baduta dan balita, sehingga dari data tersebut dapat
digunakan untuk melakukan intervensi yang cepat dan tepat apabila terdapat masalah kesehatan di
kemudian hari.
Peningkatan koordinasi juga perlu dibangun antara PKB, kader, pemerintahan desa, serta
masyarakat itu sendiri. Dengan koordinasi antara komponen-komponen tersebut, maka dapat dilakukan
diskusi secara mendalam untuk mengetahui permasalahan dan kebutuhan apa yang ditemukan di desa
dan perlu ditindaklanjuti. Sehingga program KB dan kesehatan keluarga yang akan dilaksanaan tidak
bersifat top to bottom yang artinya hanya sekedar ‘perintah’ dari BKKBN, namun diharapkan juga
terjadi proses penggalian potensi, permasalahan, dan kebutuhan yang ada di desa untuk
diimplementasikan dalam program.
Melalui koordinasi ini pula, pelaksanaan program KB menjadi tidak hanya dilaksanakan oleh
para PKB dan kader saja, namun tokoh masyarakat seperti tokoh agama, generasi muda, dan lembaga
kemasyarakatan juga ikutserta dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi program
KB. Hubungan antara PKB, pemerintah desa, kader dengan masyarakat juga menjadi lebih dekat dan
kekeluargaan, tidak bersifat formal saja sebatas menjalankan tugas. Sehingga nanti selain akan
memberikan hasil sesuai dengan target dari program BKKBN, maka desa juga mendapat solusi yang
tepat sasaran karena program yang dijalankan berdasarkan kebutuhan dan permasalahan yang ada di
desa tersebut.
BAB III
KESIMPULAN

Dari kendala-kendala yang terdapat pada pelaksanaan program KB oleh kader IMP di Kecamatan
Sokaraja, maka dapat disimpulkan bahwa metode evaluasi program pemberdayaan masyarakat pada
program KB di Kecamatan Sokaraja antara lain:
1. Meningkatkan dukungan pemerintah desa dengan membuat SK kepada kader sebagai pemberian
wewenang secara resmi.
2. Memberikan pelatihan kepada kader untuk meningkatkan kompetensi melakukan sosialisasi dan
penyuluhan program KB.
3. Desa memberikan dukungan dalam bentuk anggaran dana untuk kegiatan operasional program dan
insentif/uang transport kader.
4. Melakukan koordinasi antara PKB, pemerintah desa, kader, serta masyarakat sehingga terjadi
musyawarah untuk menentukan permasalahan, kebutuhan, dan potensi di masyarakat dan desa untuk
ikut diangkat ke dalam program yang akan dilaksanakan. Sehingga programnya tidak hanya formal
secara top to bottom dari BKKBN kepada masyarakat, namun juga dengan melihat kekhasan dari
masing-masing desa.

Anda mungkin juga menyukai