Anda di halaman 1dari 25

TRABEKULEKTOMI PADA GLAUKOMA KONGENITAL

Dr. dr. Masitha Dewi Sari, M.Ked(Oph), Sp.M(K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
ABSTRAK

TUJUAN
Melaporkan suatu tindakan trabekulektomi yang dilakukan pada pasien glaukoma
kongenital.

METODE
Seorang anak lelaki 10 bulan datang dengan orang tuanya ke Rumah Sakit dengan
keluhan kedua mata berair sejak berusia 3 minggu dan sudah diberikan obat-obat
antiglaukoma. Pasien sudah pernah dianjurkan untuk dilakukan tindakan operasi,
namun terkendala karena pasien harus melakukan kateterisasi jantung dikarenakan
PDA closure. Saat usia anak 14 bulan direncanakan kembali untuk dilakukan
tindakan operasi. Tajam penglihatan mata kanan dan mata kiri menghindari cahaya.
Pada pemeriksaan segmen anterior kedua mata tampak buftalmos (+), kornea keruh
(+), haab striae (+) dengan diameter 12 mm, kamera okuli anterior dalam.
Pengukuran tekanan intra okuli menggunakan TonoPen Elamed® didapati pada
mata kanan 32 mmHg, dan mata kiri 37 mmHg.

HASIL
Setelah tindakan Trabekulektomi pada mata kanan, tekanan intra okuli mata kanan
turun menjadi 15 mmHg dan mata kiri 17 mmHg disertai epifora menurun setelah
2 bulan pascaoperasi.

KESIMPULAN
Trabekulektomi adalah terapi aman dan efektif untuk dikerjakan pada pasien
glaukoma kongenital.

KATA KUNCI
Trabekulektomi, Glaukoma Kongenital, Tekanan Intra Okuli

1
GLAUKOMA KONGENITAL

Glaukoma pada masa anak-anak atau remaja (yang disebut sebagai


glaukoma pediatrik) merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai
dengan peningkatan tekanan intraokular (TIO) dan kerusakan saraf optik.
Glaukoma kongenital terjadi akibat penutupan bawaan dari sudut iridokorneal oleh
suatu membran yang dapat menghambat aliran akuos humor sehingga dapat
meningkatkan tekanan intraokular.1 Istilah lain telah digunakan sebelumnya,
termasuk trabeculodysgenesis, goniodysgenesis dan glaukoma infantil primer,
namun istilah primary congenital glaucoma menggantikan ini dalam International
Classification of Childhood Glaucoma.2
Primary congenital glaucoma dibagi berdasarkan onset usia, sebagai
berikut:1,2
1) onset bayi baru lahir (0-1 bulan)
2) onset infantil (>1-24 bulan)
3) onset lambat (>24 bulan)
Primary Congenital Glaucoma umumnya muncul antara usia 3-9 bulan,
tetapi yang paling berat adalah onset bayi baru lahir. Peningkatan TIO dikaitkan
dengan "triad" gejala klasik (fotofobia, epifora, dan blefarospasme), selain itu
tampak buphthalmos (bahasa Yunani= "mata sapi"), pembesaran kornea, kerusakan
horizontal atau miring pada membran Descemet (Haab striae) dan edema serta
kekeruhan kornea.2
Prognosis untuk anak-anak dengan Primary Congenital Glaucoma cukup
bervariasi, dengan beberapa mencapai penglihatan yang baik, sementara yang lain
menjadi buta sekitar 5% di seluruh dunia.3 Hilangnya penglihatan adalah sekunder
akibat sikatrik kornea atau kerusakan saraf optik, dan seringkali menyebabkan
ambliopia pada kasus asimetris atau unilateral. Tindakan pembedahan adalah
modalitas pengobatan utama. Jika TIO dapat dikendalikan, penglihatan di mata
yang lebih baik pada akhirnya dapat mencapai 20/50 atau lebih baik.4

2
A. Definisi
Glaukoma kongenital primer terjadi sejak lahir atau pada tahun pertama
setelah lahir. Kelainan ini terjadi karena berhentinya pertumbuhan struktur sudut
iridokorneal sejak kandungan kira-kira saat janin berumur 7 bulan.5 International
Classification of Childhood Glaucoma mendefinisikan glaukoma kongenital
sebagai kerusakan permanen saraf optik seperti glaukoma yang didefinisikan untuk
orang dewasa.2
Tabel 1. Klasifikasi pada Glaukoma Anak Primer1

3
B. Demografi
Insidensi glaukoma kongenital primer bervariasi tergantung pada populasi,
dimana rata-rata dari 1 pada 1.250 kelahiran hidup sampai 1 pada 68.000.
Kelompok etnis dengan tingkat kekerabatan yang lebih tinggi cenderung memiliki
insiden yang lebih tinggi.1,2 Angka kejadian bilateral pada 70% kasus. Rasio pria
adalah sekitar 65% dibandingkan wanita.1 Di Jepang, sebuah penelitian
membandingkan pasien glaukoma kongenital dengan dan tanpa mutasi CYP1B1
dan menemukan rasio kejadian pria dan wanita 6:5 pada pasien dengan mutasi
CYP1B1, dan 19:2 pada pasien tanpa mutasi CYP1B1.6

C. Etiologi

Sebagian besar kasus glaukoma kongenital bersifat sporadis (tanpa riwayat


keluarga), namun sekitar 10-40% bersifat familial, dengan pola pewarisan resesif
autosom dan penetrasi yang bervariasi dari 40-100%.2 Warisan dominan autosomal
juga telah dilaporkan.7 Lima lokus telah diidentifikasi dengan analisis pertalian:
GLC3A (terletak di kromosom 2p22-p21), GLC3B (1p36.2-p36.1), GLC3C
(14q24.3), GLC3D (14q24.2-q24.3, tidak tumpang tindih dengan GLC3C), dan
GLC3E (9p21).1,8
Sejauh ini gen yang terkait dengan PCG telah diidentifikasi adalah lokus
GLC3A mengandung gen sitokrom P4501B1 (CYP1B1), yang merupakan gen
penyebab PCG pertama yang dilaporkan. Ini kode untuk enzim yang
memetabolisme senyawa penting untuk perkembangan mata, dan diekspresikan
dalam neuroepithelium janin dan dewasa. Sementara mekanisme pasti mutasi
CYP1B1 yang menyebabkan glaukoma kongenital tidak diketahui, mutasi CYP1B1
terkait dengan 15-20% kasus PCG di Jepang dan Amerika Serikat, dan semua kasus
di Slovakia Roma.9
Lokus GLC3C mengandung faktor pertumbuhan laten pengikat beta protein
2 (LTBP2) yang laten. LTBP2 diekspresikan dalam proses trabecular meshwork
dan siliaris namun perannya dalam mata tidak diketahui.10

4
D. Patofisiologi
Pada glaukoma kongenital primer, iris mengalami hipoplasia dan berinsersi
ke permukaan trabekula di depan taji sklera yang kurang berkembang, sehingga
jalinan trabekula terhalang dan timbul gambaran suatu membran (Barkan
Membrane) yang menutupi sudut. Banyaknya cairan akuos yang terus menerus
diproduksi tetapi tidak bisa didrainase karena tidak berfungsinya saluran drainase
secara tepat. Oleh karena itu, jumlah cairan di dalam mata meningkat dan
meningkatkan tekanan intraokular. Serat optik mata dapat rusak akibat tekanan
intraokular yang terlalu tinggi.11,12

E. Gejala Klinis

Gejala klinis utama glaukoma kongenital termasuk peningkatan TIO >21


mmHg, Pasien dengan glaukoma kongenital primer mengalami satu atau lebih dari
trias gejala klasik yaitu epifora, fotofobia, dan blefarospasme. Tiga serangkai gejala
ini secara klasik dikaitkan dengan glaukoma kongenital primer karena edema
kornea yang dihasilkan dari peningkatan TIO, dan menyebabkan iritasi.
Berkurangnya penglihatan juga dapat terjadi karena edema/kekeruhan kornea atau
miopia progresif dan/atau astigmatisme. Ambliopia selanjutnya dapat
memperburuk penglihatan.1,2
Dengan TIO pada 30-40-an mmHg, kornea menjadi keruh karena difusi
dan/atau edema fokal. Seperti pada mata orang dewasa, lapisan sel endotel tidak
dapat memompa cairan keluar dari kornea pada mata dengan peningkatan TIO. Ada
hal yang dapat terjadi pada kornea akibat dari TIO tinggi selain pembesaran kornea,
yaitu robeknya membran Descemet, yang mengarah ke "striae," yang merupakan
area stroma yang dibatasi oleh dua sisi terpisah dari membran Descemet karena
pengendapan hialin. Ini disebut Haab striae dan berhubungan dengan edema kornea
fokal akut di atasnya ketika TIO tinggi. Mereka muncul pada sekitar 25% mata
glaukoma kongenital primer yang muncul saat lahir, dan lebih dari 60% mata
glaukoma kongenital primer diidentifikasi pada usia 6 bulan. Setelah normalisasi
TIO, edema kornea dapat hilang, namun Haab striae tetap dan mungkin
berhubungan dengan sikatrikal kornea. Kasus glaukoma kongenital primer yang

5
tidak terkontrol dapat berakhir dengan kekeruhan stroma yang padat bahkan setelah
TIO dikontrol.1,3,5

Gambar 1. Gejala klinis glaukoma kongenital4


Kornea bayi baru lahir biasanya berdiameter 9,5-10,5 mm dan meningkat
menjadi 10,0-11,5 mm pada usia 1 tahun.5 Setiap diameter di atas 12,0 mm sebelum
usia 1 tahun menunjukkan adanya suatu kelainan, terutama jika ada asimetri di
antara kedua mata. Jika diameter lebih besar dari 13 mm pada usia berapa pun
meningkatkan kecurigaan terhadap terjadinya glaukoma. Seiring dengan
peregangan kornea dalam pengaturan peningkatan TIO, ada peregangan dinding
sklera dan semua jaringan di dalam mata yang mengarah ke buftalmos. Pembesaran
kornea berhenti sekitar usia 3 tahun, sedangkan sklera dapat terus meregang hingga
usia 10 tahun.13

F. Diagnosis Klinis

Diagnosis glaukoma kongenital sering dapat dibuat secara klinis, bahkan


tanpa pengukuran TIO yang akurat. Ciri khas dari penyakit ini adalah peningkatan
TIO dan peregangan okuler dengan tidak adanya kondisi okular dan sistemik
lainnya yang dapat menyebabkan glaukoma, seperti sindrom Axenfeld-Reiger,
aniridia, atau operasi pengangkatan katarak pada masa bayi (yaitu glaukoma setelah
operasi katarak).1,2

6
Gambar 2. Algoritma klasifikasi Glaukoma Anak6
Tes diagnostik utama untuk PCG adalah pengukuran TIO. Pada bayi
kooperatif atau anak kecil, pengukuran dapat diperoleh dengan tonometer applanasi
Perkins, Tono-pen (tonometer tipe portabel Mackay-Marg) dan/atau tonometer
rebound Icare. Pada pasien yang lebih tua, tonometer applanasi standar Goldmann
dapat dilakukan. Pneumotonometer mungkin berguna untuk mengkonfirmasi TIO
selama pemeriksaan di bawah anestesi dan mungkin kurang dipengaruhi oleh
kelainan kornea. Tonometer Schiötz tidak direkomendasikan pada pasien ini karena
underestimation atau TIO yang terlalu rendah pada glaukoma anak. Untuk pasien
yang tidak kooperatif, pemeriksaan dengan anestesi harus dilakukan.14
TIO normal lebih rendah pada bayi dan anak-anak daripada orang dewasa.
Bayi baru lahir memiliki TIO rata-rata 10-12 mmHg, meningkat menjadi 14 mmHg

7
pada usia 7 atau 8 tahun. Pengukuran asimetris atau peningkatan TIO di hadapan
tanda-tanda klinis lainnya membantu membuat diagnosis glaukoma.15
Pengukuran diameter kornea adalah prosedur diagnostik utama lainnya
untuk PCG. Beberapa penyedia memeriksa diameter horizontal saja, sementara
beberapa memeriksa diameter horizontal dan vertikal. Jika ada pannus atau jaringan
parut yang menutupi limbus, pengukurannya mungkin tidak akurat.16
Pemeriksaan untuk Haab striae dilakukan dengan oblique slit beam dengan
portable slit lamp jika pasien lebih muda atau di bawah anestesi, atau pada slit lamp
biasa di klinik jika pasien lebih tua. Retroillumination juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi Haab striae.14,15
Gonioskopi dalam kasus-kasus ini membantu perencanaan bedah dalam
kasus PCG, dan mungkin juga mengidentifikasi kelainan sudut lain yang mungkin
mengidentifikasi jenis glaukoma sekunder lainnya, misalnya anomali Axenfeld-
Rieger (banyak ikatan iridokornea dengan garis Schwalbe yang ditempatkan di
anterior).15

Gambar 3. Pemeriksaan gonioskopi4


Panjang aksial diukur dengan ultrasonografi A-scan di bawah anestesi.
Paling baik dilakukan di bawah anestesi, selama pemeriksaan awal untuk
menentukan apakah panjang aksial lebih besar dari normal untuk usia pasien, dan
diulang kira-kira setiap 3-4 bulan untuk menilai apakah tingkat pertumbuhan lebih
besar dari rata-rata. 2,15
Fotografi Fundus juga direkomendasikan untuk perbandingan antara uji
serial. Ultrasonografi B-scan direkomendasikan jika kornea tidak memungkinkan
pemeriksaan fundus untuk menyingkirkan penyakit posterior.2,15

8
Pachymetry digunakan untuk mengukur ketebalan kornea sentral. Kornea
sentral mungkin lebih tebal karena edema kornea, dan juga terbukti lebih tipis pada
pasien PCG tanpa edema kornea, kemungkinan karena peregangan jaringan
kornea.13,16

G. Diagnosis Banding

Untuk epifora, diagnosis banding meliputi obstruksi duktus nasolakrimalis,


konjungtivitis, abrasi kornea, keratitis, dan uveitis. Fotofobia dan blepharospasme
tidak mungkin terjadi dengan obstruksi duktus nasolakrimal dan konjungtivitis,
namun, dapat dilihat dengan abrasi/cedera kornea, keratitis, atau uveitis.1,2
Untuk kekeruhan atau kekeruhan kornea, diagnosis banding meliputi
trauma kelahiran yang umumnya melibatkan forsep yang menyebabkan robekan
Descemet yang vertikal atau miring (tidak seperti Haab striae yang biasanya lebih
horizontal atau lengkung), distrofi kornea (seperti distrofi endotel herediter bawaan
bawaan atau distrofi polimorfik posterior), kelainan bawaan atau perkembangan
(seperti sclerocornea, Peters anomaly), keratitis (dari infeksi atau peradangan
intrauterin seperti infeksi herpes, sifilis kongenital, dan rubella maternal, dan
sindrom Riley-Day), penyakit metabolisme (seperti mucopolysaccharidoses,
mucolipidoses, cystinosis dan oculocerebrorenal (Lowe syndrome), dan
choristoma.1,2,5
Untuk pembesaran kornea, diagnosis banding meliputi miopia aksial tinggi
dan megalocornea. Megalocornea adalah kelainan bawaan di mana bayi memiliki
kornea jernih dengan diameter >14 mm, ruang anterior yang dalam, dan
iridodonesis. Ada laporan dalam satu keluarga megalocornea yang hidup
berdampingan dengan glaukoma kongenital.17,18
Untuk pembesaran diskus optik, diagnosis banding meliputi physiologic
cupping, coloboma saraf optik, atrofi saraf optik, hipoplasia saraf optik, dan
malformasi saraf optik.1,2

H. Penatalaksanaan

9
Penatalaksanaan PCG diarahkan untuk menurunkan dan mengendalikan
TIO dan mengobati komplikasi sekunder seperti perubahan refraksi dan ambliopia
yang berkembang selama perjalanan penyakit.1

1. Medikamentosa
Pemberian medikamentosa untuk PCG biasanya digunakan sebagai
tambahan sebelum dan sesudah operasi.

- Β-Adrenergic antagonists

Beta-blocker topikal memainkan peran besar dalam pengobatan PCG dan


termasuk timolol dan betaxolol. Mengingat kadar plasma obat yang berpotensi
tinggi dari penggunaan topikal pada pupil kecil, konsentrasi terendah yang tersedia
harus dimulai terlebih dahulu. Beta-blocker biasanya mengurangi TIO sebesar 20-
30%. Efek samping terutama sistemik dan termasuk gangguan pernapasan, yang
disebabkan oleh apnea, bronkospasme, dan bradikardia. Beta-blocker harus
dihindari pada pasien dengan bradikardia, blok atrioventrikular derajat kedua atau
ketiga, dan asma aktif atau "saluran udara reaktif." Betaxolol mungkin lebih kecil
untuk menyebabkan tekanan paru-paru (misalnya serangan asma) dan efek samping
jantung.1,2,19

- Carbonic anhydrase inhibitor

Inhibitor karbonat anhidrase oral meliputi acetazolamide (Diamox, dosis


10-20 mg/kg/hari dibagi menjadi 3 atau 4 dosis) dan metazolamide (Neptazane,
dosis <2 mg/kg/hari, dibagi menjadi 2 dosis). Ini mengurangi TIO sekitar 20-35%.
Efek samping terjadi pada >40% pasien dan termasuk kelesuan, penurunan nafsu
makan, penurunan berat badan, ketidaknyamanan pencernaan, diare dan asidosis
metabolik. Inhibitor karbonat anhidrase topikal termasuk dorzolamide 2%
(Trusopt) dan brinzolamide 1% (Azopt).20 Obat-obatan ini mungkin menghasilkan
pengurangan TIO yang lebih sedikit (sekitar 25%) dibandingkan inhibitor karbonat
anhidrase oral, tetapi juga tampaknya memiliki lebih sedikit efek samping sistemik.
Jarang, efek samping dapat terjadi, terutama pada bayi prematur, seperti asidosis
metabolik. Inhibitor karbonat anhidrase topikal idealnya harus dihindari atau

10
digunakan sebagai opsi selanjutnya dalam pengaturan kornea yang terganggu,
terutama transplantasi kornea.2,20

- Kombinasi beta-blocker / carbonic anhydrase inhibitor

Timolol 0,5% - dorzolamide 2% (Cosopt) telah terbukti efektif dalam


mengurangi TIO pada anak-anak yang membutuhkan lebih dari satu obat topikal.
Tetapi penggunaan yang hati-hati pada anak-anak muda diperlukan karena
konsentrasi timolol yang lebih tinggi.2,20

- α-Adrenergic Agonists

Hindari atau gunakan dengan hati-hati pada anak yang lebih muda dari usia
6 tahun atau berat kurang dari 20 kg, Apraclonidine 0,5% dan brimonidine adalah
alpha-2 agonis selektif. Efektivitasnya belum dipelajari secara khusus untuk PCG.
Karena sangat lipofilik, brimonidin melewati sawar darah-otak yang berpotensi
menyebabkan kantuk parah, depresi pernapasan, apnea, dan koma, terutama pada
neonatus dan bayi, sehingga sangat kontraindikasi pada pasien berusia 2 tahun atau
lebih muda. Ini juga dapat menyebabkan bradikardia, hipotensi, hipotonia, dan
hipotermia. Apraclonidine lebih bersifat hidrofilik yang mengurangi penetrasi
sawar darah-otak dan karenanya memiliki efek samping sistem saraf pusat yang
lebih sedikit daripada brimonidine. Itu masih harus digunakan dengan hati-hati dan
paling baik digunakan untuk menurunkan TIO jangka pendek atau menengah.
Takifilaksis dan alergi mata membatasi efektivitasnya untuk jangka panjang.19

- Kombinasi agonis beta-blocker / alpha-2 adrenergik

Timolol 0,5% - brimonidine 0,2% (Combigan) tidak boleh diresepkan untuk


anak-anak jika ada kontraindikasi untuk masing-masing komponen.1,2,19

- Analog Prostaglandin

11
Latanoprost 0,005%, travoprost 0,004%, bimatoprost 0,01%, dan tafluprost
diberikan setiap malam. Latanoprost mengurangi TIO di PCG 15-20%. Meskipun
FDA belum menyetujui analog prostaglandin pada anak-anak, Eropa telah
menyetujui latanoprost untuk anak-anak. Efek samping terutama meliputi
pertumbuhan bulu mata, injeksi konjungtiva, dan perubahan pigmentasi iris yang
lebih jarang, alergi, uveitis, dan hiperpigmentasi periokular. Efek samping tampak
lebih menonjol dengan penggunaan travoprost dan bimatoprost dan lebih sedikit
dengan latanoprost. Efek samping jangka panjang masih belum diketahui pada
anak-anak. Periorbitopathy terkait prostaglandin telah dideskripsikan pada anak-
anak.21,22

2. Pembedahan
Angle surgery adalah prosedur pertama pilihan untuk menginsisi/membuka
trabecular meshwork dengan harapan memungkinkan aliran dari ruang anterior
langsung ke kanal Schlemm. Secara umum disepakati bahwa angle surgery paling
berhasil pada PCG onset infantil, dan kurang begitu pada PCG yang baru lahir atau
yang terlambat diketahui.

Goniotomi

Goniotomi lebih disukai oleh beberapa ahli bedah ketika kornea cukup jelas
untuk memungkinkan visualisasi struktur segmen anterior. Tidak ada data untuk
menyarankan teknik yang dimodifikasi ini melakukan lebih baik daripada
goniotomi atau trabekulotomi. Komplikasi meliputi hyphema, anterior chamber
dangkal, synechiae anterior perifer, dan jarang, iridodialisis, cyclodialysis, katarak,
perforasi sklera, ingrowth epitel, dan ablasi retina.2,23

Trabekulotomi

Ketika kornea tidak cukup jelas untuk memungkinkan visualisasi sudut,


pilihan yang dapat dilakukan adalah trabekulotomi. Akses ke kanal Schlemm
diperoleh secara eksternal melalui flap skleral parsial untuk memungkinkan

12
kanulasi kanal Schlemm. Komplikasi meliputi hyphema, siklodialisis, iridodialisis,
cedera lensa, dan infeksi.1,23

Goniotomi dan trabekulotomi (insisi 2 kuadran) memiliki tingkat


keberhasilan berkisar antara goniotomi 30-65% dan untuk trabekulotomi 40-80%,
dengan keberhasilan dilaporkan 10% hingga 94%.1,2,24

Kombinasi Trabekulotomi dan Trabekulektomi

Kombinasi trabekulotomi dan trabekulektomi dapat dilakukan jika kanal


Schlemm tidak dapat dikanulasi atau trabekulotomi sebelumnya gagal, di mana
trabekulektomi ditambahkan ke trabekulotomi dengan memindahkan satu blok
jaringan pada flap bed scleral diikuti dengan iridectomy seperti yang dilakukan
pada trabekulektomi. Mitomycin C (MMC) dapat digunakan dengan hati-hati. CTT
dapat menjadi prosedur bedah awal, terutama pada pasien India dan Timur
Tengah.25,26

Filtration surgery

Filtration surgery dipertimbangkan ketika satu atau lebih angle surgery


gagal dan termasuk trabekulektomi dengan atau tanpa MMC, dan implantasi
drainase. Trabekulektomi mungkin paling baik dilakukan termasuk flap
konjungtiva berbasis forniks, potongan radial kecil, MMC di bawah flap sclera dan
jaringan subconjunctival dengan penyebaran yang lebih luas untuk meningkatkan
aliran air posterior dan mengurangi komplikasi yang berhubungan dengan bleb. 27,28

Tingkat keberhasilan yang dilaporkan untuk trabekulektomi dilakukan


untuk rentang PCG antara 50-87%.2 Risiko kegagalan adalah 5,6 kali lebih tinggi
pada pasien usia 1 tahun atau kurang.29,30 Risiko kegagalan yang lebih tinggi pada
pasien muda PCG lanjut adalah karena buftalmos, kurangnya kekakuan skleral, dan
penyembuhan dan jaringan parut yang sangat aktif.30
Ketika trabekulektomi gagal atau bukan pilihan yang diinginkan, maka opsi
penyaringan lainnya dengan operasi glaucoma drainage device (GDD) atau
prosedur cyclodestructive adalah pilihan bedah berikutnya. Katup Ahmed juga bisa
gagal karena masuknya fibrovaskular ke dalam ruang katup.31

13
Prosedur siklodestruktif adalah alat yang berguna dalam mengelola PCG
setelah semua opsi dilakukan untuk mengurangi akuos humor. Hasil tidak dapat
diprediksi dan komplikasi ada. Laser cyclophotocoagulation (CPC) telah banyak
menggantikan cyclocryotherapy, dan laser diode lebih disukai daripada laser Nd:
YAG karena penurunan efek samping seperti ophthalmia simpatik. Aplikasi laser
transscleral dan endoskopik juga dapat dilakukan. Komplikasi termasuk hipotonik,
ablasi retina, kehilangan penglihatan, dan ptisis.32

3. Surgical follow up

Dalam jangka pendek, pasien membutuhkan follow up yang sering untuk


mengikuti respon terhadap pengobatan dan memonitor hipotonik, infeksi, dan
peradangan yang berlebihan. Untuk pasien lebih muda, atau pasien dengan kontrol
TIO kurang dari 2 tahun, follow up dianjurkan setidaknya setiap 3-4 bulan.
Diperlukan follow up seumur hidup secara teratur (setidaknya setiap 6 bulan) karena
walaupun kontrol TIO jangka panjang, kekambuhan asimptomatik dapat terjadi
kapan saja dan perlu dikelola dengan obat-obatan atau operasi lebih lanjut, GDD
dapat dinilai dengan B-scan ultrasonograf.33

I. Penilaian Bleb
Deskripsi morfologi bleb menggunakan dua system penilaian yang
diketahui saat ini yaitu Indiana Bleb Appearance Grading Scale (IBAGS) dan
Moorfields Bleb Grading System (MBGS).4
1. Indiana Bleb Appearance Grading Scale (IBAGS) dapat digunakan
untuk mengevaluasi penampilan bleb glaucoma filtering. Ini dapat
digunakan untuk memantau penampilan dari waktu ke waktu. Parameter
yang dinilai adalah ketinggian bleb, luas, vaskularisasi, dan seidel test.
Pada ketinggian bleb dapat diberi nilai 0-4 dengan 0 sebagai nilai datar
dan nilai 4 ditanyakan tinggi. Pada parameter luas diberi nilai 0-3,
vaskularisasi dengan nilai 0 sampai 4 dimana nilai 0 menunjukkan
avascular. Untuk seidel test dapat diberi nilai 0,1 dan 2. Nilai 0 bila tidak

14
ada kebocoran, nilai 1 jika ditemukan kebocoran kecil, dan nilai 2 jika
kebocoran luas.

Gambar 4. Indiana Bleb Grading System (IBGS)4

2. Moorfields Bleb Grading System (MBGS) yang memilii tiga aspek


utama yang harus dipertimbangkan, yaitu: area, ketinggian, dan
vaskularisasi. Area (Lokasi) terdiri dari area sentral dan area maksimal,
dimana batas bleb dibandungkan dengan total luas konjungtiva.
Ketinggian bleb yang diberi nilai antara 1-4. Vaskularisasi sentral,
perifer, dan non bleb yang diberi nilai 1-5.

15
Gambar 5. Moorfields Bleb Grading System (MBGS)4

J. Komplikasi

TIO yang tidak diobati atau pengobatan yang tertunda pada mata bayi dapat
menyebabkan komplikasi berat dan gangguan penglihatan yang signifikan selain
kerusakan saraf optik permanen dan defek lapang pandangan. TIO tinggi
menyebabkan edema kornea dan peregangan kornea dengan perkembangan Haab
striae. Dengan edema kornea yang berkepanjangan, baik difus dan fokal di atasnya
Haab striae, kornea dapat menjadi kekeruhan secara permanen. Buphthalmos
dengan pemanjangan aksial, dan Haab striae menyebabkan kesalahan refraksi
tinggi yang abnormal termasuk miopia dan astigmatisme, yang dapat merusak
penglihatan baik dengan penglihatan kabur dan menyebabkan ambliopia refraksi,
yang dapat diperburuk oleh anisometropia. Pada buphthalmos yang berat, dengan
peregangan terus-menerus, lensa dapat mengalami dislokasi, dan risiko komplikasi
retina meningkat (ablasio retina). Transplantasi kornea untuk kekeruhan kornea
dihindari jika mungkin karena risiko kegagalan yang tinggi dan komplikasi pada
anak kecil.1,5,19

16
K. Prognosis
Prognosis untuk glaukoma kongenital yang tidak diberikan pengobatan
hampir selalu buphthalmos dan kebutaan. Ketika glaukoma kongenital diberikan
pengobatan yang tepat, prognosis tergantung pada onset usia dan keparahan
anomali sudut.1,2 Prognosis visual tergantung pada derajat corneal scarring,
anisometropia, ambliopia deprivasi, dan kerusakan saraf optik.1,4,5 Perhatian khusus
untuk memaksimalkan kontrol TIO, koreksi kesalahan refraksi dan pengobatan
ambliopia sangat penting.33

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : Azril Rahandika
Umur : 10 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
No. RM : 03.74.02
Alamat : Jalan Selaras Nomor 57 Tanjung Balai

Anamnesis (Alloanamnesis)
Keluhan Utama :
Kedua mata berair terus menerus
Telaah :
Seorang anak laki-laki berusia 10 bulan datang bersama kedua orang tua ke Poli
Mata RSU Universitas Sumatera Utara pada tanggal 14 November 2018 dengan
keluhan kedua mata berair terus menerus. Hal ini dialami pasien sejak usia 3
minggu. Pasien lahir dengan ukuran mata yang besar dan pasien sering terlihat
berkedip kuat serta kerap memicingkan kedua mata. Riwayat mata merah dan
mengeluarkan kotoran pada kedua mata disangkal. Orang tua pasien mengatakan
bahwa pasien belum dapat menangkap benda yang diberikan, pasien juga sering
menabrak-nabrak benda ketika sedang merangkak. Kedua orang tua pasien

17
sebelumnya tidak pernah memeriksakan pasien ke Dokter Spesialis Anak maupun
Dokter Spesialis Mata.
Riwayat kelahiran :
Pasien merupakan anak pertama dengan lahir secara spontan dibantu oleh bidan di
klinik, berat badan lahir 3000 gram, panjang badan 48cm, dan menangis spontan.
Riwayat imunisasi :
BCG (+), Hep. B (+) 3x, DPT (+) 3x, Polio (+) 4x, Campak (-)
Riwayat alergi : (-)
Riwayat keluarga :
Riwayat penyakit glaukoma disangkal
Riwayat ibu mengalami infeksi saat kehamilan disangkal
Riwayat memelihara binatang disangkal
Status Generalisata
Keadaan umum : compos mentis
Tekanan darah : tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : 120x/menit
RR : 24x/menit
Temperatur : 36,7ºC
VAS : sulit dinilai
Status Oftalmikus (14 November 2018)
VOD : menghindari cahaya (+)
VOS : menghindari cahaya (+)
TIOD : 32 mmHg
TIOS : 37 mmHg
Segmen Anterior OD OS
Palpebra Sup/Inf Blefarospasme (+) Blefarospasme (+)
Konjungtiva Tarsal Dalam batas normal Dalam batas normal
Sup/ Inf
Konjungtiva Bulbi Dalam batas normal Dalam batas normal
Kornea Keruh (+), makula (+), Keruh (+), makula (+),
Haab Striae (+) Ø 12 mm Haab Striae (+) Ø12 mm

18
Kamera Okuli Sulit dinilai Dalam
Anterior
Iris Sulit dinilai Cokelat
Pupil Sulit dinilai Sulit dinilai
Lensa Sulit dinilai Sulit dinilai
Funduskopi Sulit dinilai Sulit dinilai
Diagnosa Banding Glaukoma Kongenital ODS
Katarak Kongenital ODS
Obstruksi Duktus Nasolakrimalis ODS
Diagnosa Kerja Glaukoma Kongenital ODS
Terapi - Timolol 0,25 % 2 x gtt 2 ODS
- Artificial tears 4 x gtt 1 ODS
Rencana : pasien dikonsulkan ke poli Anak
Pasien direncanakan untuk dilakukan tindakan operasi trabekulektomi OD dengan
anestesi umum.
Pada tanggal 15 November 2018, kedua orang tua pasien datang dengan keterangan
dari Dokter Spesialis Anak bahwa pasien di diagnosa PDA dan harus dilakukan
kateterisasi jantung terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan operasi pada
bagian mata.
Pasien dimasukkan ke ruang rawat inap pada tanggal 19 Maret 2019, dilakukan
pemeriksaan dan persiapan operasi untuk tindakan Trabekulektomi dengan General
Anestesi.
Setelah dilakukan pemeriksaan lengkap, pada pasien terjadi peningkatan D-Dimer
dan faktor pembekuan darah sehingga pasien dirawat oleh bagian anak.
Selanjutnya pasien direncanakan kembali untuk tindakan Trabekulektomi dengan
general anestesi pada tanggal 26 Maret 2019
TIOD : 25 mmHg dan TIOS : 28 mmHg
Tindakan Trabekulektomi OD dengan General Anestesi

19
Laporan Operasi Trabekulektomi

1. Pasien dibaringkan di meja operasi dengan General Anestesi


2. Desinfeksi lapangan operasi dengan povidone iodine 5%
3. Pasang eye drap, gunting plastik eye drap, pasang eye speculum
4. Dilakukan periotomi dari arah jam 10-1
5. Buat jendela I berbentuk rectangular sepanjang 3-4 mm dengan insisi
ketebalan 2/3 sklera
6. Tembus COA pada jam 11  tampak akuos humor keluar
7. Dilakukan keratektomi sebesar 2x2 mm, terlihat trabekulum (+), lalu
dipotong iris prolaps, dilakukan iridektomi
8. Jahit tutup jendela I sebanyak 4 jahitan menggunakan nylon 10.0
9. Lakukan Seidel Test -> Seidel Test (+)
10. Lakukan Conjunctival flap
11. Beri injeksi Dexa : Genta 1:1
12. Beri Povidone iodine 5%, lepaskan eye speculum
13. Beri salep Chloramphenicol 1%, lepaskan eye drap
14. Beri verband dan plaster
15. Operasi selesai

Terapi :
- Amoxicillin Syr 3 x 6,6 cc
- Paracetamol Syr 3 x 2,6 cc
- Tobramycin 3.0mg + dexamethasone 1.0mg ED 3 x gtt 1 OD
- Timolol 0,5 % ED 2 x gtt 1 OS

DISKUSI

Glaukoma kongenital primer (PCG) terjadi sejak lahir atau pada tahun
pertama setelah lahir, yang terjadi karena terhentinya pertumbuhan struktur sudut
iridokorneal sejak dalam kandungan kira-kira saat janin berumur 7 bulan. Hal ini

20
sesuai dengan keadaan pasien yang disadari oleh orang tua pasien yaitu sejak 3
minggu setelah lahir dan diperiksakan ke dokter pada usia 10 bulan.
Angka kejadian glaukoma kongenital sekitar 1 dari 1.250 sampai 1 dari
68.000 kelahiran, dimana angka kejadian bilateral pada 70% kasus. Rasio pria
adalah sekitar 65% dibandingkan wanita. Hal ini sesuai dengan pasien yang
merupakan seorang anak laki-laki dan mengalami kejadian bilateral glaukoma
kongenital.
Glaukoma kongenital primer ditandai dengan peningkatan tekanan
intraokular (TIO), pembesaran bola mata (buftalmos), edema dan kekeruhan kornea
dengan pecahnya membran Descemet (Haab striae), penipisan sklera anterior dan
atrofi iris, kamera okuli anterior dalam, dan secara struktural segmen posterior
normal kecuali untuk atrofi optik glaukoma progresif. Gejala termasuk fotofobia,
blefarospasme, dan air mata yang berlebihan.
Hal ini sesuai dengan tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada pasien
yaitu terdapatnya pembesaran bola mata, edema dan kekeruhan kornea, terdapatnya
Haab striae, kamera okuli anterior dalam, fotofobia, blefarospasme, epifora. Pada
pemeriksaan segmen posterior pasien sulit dinilai karena kornea keruh.
Penatalaksanaan utama pada glaukoma kongenital adalah dengan
pembedahan, terutama dilakukan pada usia kurang dari 3 tahun. Sebelum dilakukan
operasi, obat-obatan digunakan untuk menurunkan tekanan intraokular pada saat
akan dilakukan goniotomi sehingga didapatkan kornea yang jernih. Obat-obatan
antiglaukoma merupakan indikasi pada kasus sulit yang mengancam jiwa jika
dilakukan operasi dan prognosis tekanan intraokular tidak dapat terkontrol dengan
operasi.
Teknik pembedahan yang dapat dilakukan diantaranya adalah goniotomi,
trabekulotomi, trabekulektomi, implan glaukoma, dan siklodestruksi. Hal ini sesuai
dengan terapi yang telah diberikan pada pasien, terapi awal berupa medikamentosa
yang adekuat kemudian pasien disarankan untuk dilakukan tindakan operasi namun
pasien mengalami kelainan jantung dan menunda sampai operasi PDA closure.
Setelah diberikan obat-obatan untuk menurunkan TIO selama beberapa
bulan dan TIO tidak menunjukkan penurunan yang signifikan, selanjutnya pasien

21
direncanakan untuk dilakukan tindakan trabekulektomi, karena pada kasus
glaukoma kongenital trabekulektomi menunjukkan hasil yang efektif untuk terapi
jangka panjang. Tindakan ini dinilai berhasil dan efektif dilakukan karena mampu
menurunkan TIO walaupun masih didampingi dengan terapi medikamentosa.
Keberhasilan tindakan ini akan sangat membantu pasien selain untuk
mempertahankan TIO secara konstan juga untuk mencegah kerusakan fungsi
penglihatan lebih lanjut dan mempertahankan kualitas hidup pasien.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology, 2019-2020, Section 10, Chapter 6,


Glaucoma in Children and Adolescents.
2. Weinreb R.N., Grajewski A.L., Papadopoulos M., Grigg J.,Freedman
S.F. Childhood glaucoma: the 9th consensus report of the World Glaucoma
Association. Netherlands: Kugler Publications, 2013.
3. Yu-Wai-Man C, Arno G, Brookes J, Garcia-Feijoo J, Khaw PT, Moosajee M.
Primary congenital glaucoma including next-generation sequencing-based
approaches: clinical utility gene card. Eur J Hum Genet. 2018;26(11):1713-8.
4. Kansky JJ. Glaucoma. Primary Congenital Glaucoma. In: Clinical
Ophthalmology. A systemic Approach ninth edition. Philadelphia: Butterworth
Heinemann Elsevier, 2016.
5. Becker Shaffer, Diagnosis and Therapy of the Glaucomas 8th Ed, Part 8,
Chapter 34. Trabeculectomy: Glaucoma outflow procedures, p. 470-479.
6. American Academy of Ophthalmology, 2019-2020, Section 6, Chapter 22,
Pediatric Glaucomas.
7. Lewis CJ, Hedberg-Buenz A, DeLuca AP, Stone EM, Alward WLM, Fingert
JH. Primary congenital and developmental glaucomas. Hum Mol Genet.
2017;26(R1):R28-R36.
8. Teixeira LB, Zhao Y, Dubielzig RR, Sorenson CM, Sheibani N. Ultrastructural
abnormalities of the trabecular meshwork extracellular matrix in Cyp1b1-
deficient mice. Vet Pathol. 2015;52(2):397-403.
9. Chouiter L, Nadifi S. Analysis of CYP1B1 Gene Mutations in Patients with
Primary Congenital Glaucoma. J Pediatr Genet. 2017;6(4):205-14.
10. Sitorus, Rita. Sitompul, Ratna. Buku Ajar Oftalmologi. 2017. Jakarta: badan
Penerbit FK UI. Hal. 373-375.
11. Lawrence SD, mandal AK, netland PA. Pediatric Glaucoma. In: Wright KW,
Strube YNJ. Pediatric Ophthalmology and Strabismus. 3d. 2012. P:801-806.
12. Garcia-Anton MT, Salazar JJ, de Hoz R, Rojas B, Ramirez AI, Trivino A, et
al. Goniodysgenesis variability and activity of CYP1B1 genotypes in primary
congenital glaucoma. PLoS One. 2017;12(4):e0176386.
13. Suhardjo, Angela N. 2017. Buku Ilmu Kesehatan Mata Edisi ke-3. Yogyakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK UGM. Hal. 212-219.
14. Fayed MA, Chen TC. Pediatric intraocular pressure measurements:
Tonometers, central corneal thickness, and anesthesia. Surv Ophthalmol. 2019.
15. McKee EC, Ely AL, Duncan JE, Dosunmu EO, Freedman SF. A comparison
of Icare PRO and Tono-Pen XL tonometers in anesthetized children. J aapos.
2015;19(4):332-7.
16. Zareei A, Razeghinejad MR, Salouti R. Corneal Biomechanical Properties and
Thickness in Primary Congenital Glaucoma and Normal Eyes: A Comparative
Study. Med Hypothesis Discov Innov Ophthalmol. 2018;7(2):68-72.
17. Nischal KK. Corneal abnormalities. In: Wright KE, Strube YNJ. Pediatric
Ophthalmology and Strabismus. 3ed. 2012. P: 701.
18. Eva, Paul R., Witcher, John P. 2016. Vaughan and Asbury. Oftalmologi
Umum. Edisi 17. Jakarta: Penerbit buku EGC. Hal.224-226.

23
19. Ahmed A., Adi M., Badawi, H. Primary Congenital Glaucoma : An updated
review. Saudi Journal of Ophthalmology. 2019; 33: 382-388.
20. Capino AC, Dannaway DC, Miller JL. Metabolic Acidosis with Ophthalmic
Dorzolamide in a Neonate. J Pediatr Pharmacol Ther. 2016;21(3):256-9.
21. Maeda-Chubachi T, Chi-Burris K, Simons BD, Freedman SF, Khaw PT,
Wirostko B, et al. Comparison of latanoprost and timolol in pediatric
glaucoma: a phase 3, 12-week, randomized, double-masked multicenter study.
Ophthalmology. 2011;118(10):2014-21.
22. Kim JS, Blizzard S, Woodward JA, Leyngold IM, Liss J, Freedman SF.
Prostaglandin-Associated Periorbitopathy in Children and Young Adults with
Glaucoma. Ophthalmol Glaucoma. In Press. 2020.
23. El Sayed Y, Esmael A, Mettias N, El Sanabary Z, Gawdat G. Factors
influencing the outcome of goniotomy and trabeculotomy in primary
congenital glaucoma. Br J Ophthalmol. 2019.
24. Huang H, Bao WJ, Yamamoto T, Kawase K, Sawada A. Postoperative
outcome of three different procedures for childhood glaucoma. Clin
Ophthalmol. 2019;13:1-7.
25. Mandal AK, Gothwal VK, Nutheti R. Surgical outcome of primary
developmental glaucoma: a single surgeon's long-term experience from a
tertiary eye care centre in India. Eye. 2007;21(6):764-74.
26. Khalil DH, Abdelhakim MA. Primary trabeculotomy compared to combined
trabeculectomy-trabeculotomy in congenital glaucoma: 3-year study. Acta
Ophthalmol. 2016;94(7):e550-e4.
27. Jayaram H, Scawn R, Pooley F, Chiang M, Bunce C, Strouthidis NG, et al.
Long-Term Outcomes of Trabeculectomy Augmented with Mitomycin C
Undertaken within the First 2 Years of Life. Ophthalmology.
2015;122(11):2216-22.
28. Khaw PT, Chiang M, Shah P, Sii F, Lockwood A, Khalili A. Enhanced
trabeculectomy: the Moorfields Safer Surgery System. Dev Ophthalmol.
2012;50:1-28.
29. Low S, Hamada S, Nischal KK. Antimetabolite and releasable suture
augmented filtration surgery in refractory pediatric glaucomas. J Aapos.
2008;12(2):166-72
30. Margeta MA, Kuo AN, Proia AD, Freedman SF. Staying away from the optic
nerve: a formula for modifying glaucoma drainage device surgery in pediatric
and other small eyes. J aapos. 2017;21(1):39-43.e1.
31. Abdelrahman AM, El Sayed YM. Micropulse Versus Continuous Wave
Transscleral Cyclophotocoagulation in Refractory Pediatric Glaucoma. J
Glaucoma. 2018;27(10):900-5.
32. Baig NB, Lin AA, Freedman SF. Ultrasound evaluation of glaucoma drainage
devices in children. J AAPOS. 2015;19(3):281-4.
33. Kantipuly A, Pillai MR, Shroff S, Khatiwala R, Raman GV, Krishnadas SR, et
al. Caregiver Burden in Primary Congenital Glaucoma. Am J Ophthalmol.
2019.

24

Anda mungkin juga menyukai