Anda di halaman 1dari 2

Oleh: Aqna Mumtaz Ilmi Ahbati

Ramadhan adalah bulan harap. Ya, semua Umat Islam berharap banyak pada bulan ini.
Berharap menjadi lebih taat, berharap diterima semua ibadah, berharap diampuni segala
salah, dan berharap bisa bertemu Ramadhan kembali dengan penuh resah.

Kita isi bulan ini dengan berbagai macam kebaikan. Mulai dari sahur kita bangun qiyamul
lail, makan bersama, sholat subuh berjama’ah, tadarus membaca Al-Qur’an, mendengarkan
kuliah dhuha, sedekah berbagi takjil, tarawih, hingga silaturahim dengan berbagai agenda
buka bersama. Itu semua kita lakukan semata-mata mengharap ridho Allah Swt. Berharap
menjadi sebaik-baiknya manusia. Berharap bersih kembali.

Begitu istimewanya Ramadhan. Segala gegap gempita islam begitu terasa di bulan ini. Semua
orang berlomba-lomba dalam kebaikan. Mereka kerahkan semua usaha dan do’a cuma-cuma
penuh tulus ikhlas. Lalu, Allah membalasnya tidak terbilang. Penuh ganda.

Oleh karena itu, dengan segala keistimewaan yang telah Allah berikan pada kita dalam bulan
Ramadhan, Nabi Muhammad Saw sampai bersabda,

‫َلْو َتْع َلُم ُاَّمِتْي َم ا في َر َم َض ا َن َلَتَم َّنْت ُأَّمِتي َاْن َتُك ْو َن الَّسَنةُ ُك ُّلَها َر َم َض اَن‬

“Seandainya umatku mengetahui keutamaan di bulan Ramadhan, maka sungguh mereka akan
berharap setahun penuh Ramadhan.” (HR Ibnu Khuzaimah).

Tapi, kenyataannya, Ramadhan hanya berkesempatan sekali dalam setahun. Dalam 12 bulan.
Ramadhan adalah momentum kesempatan bagi setiap umat islam untuk meraih segala amal
kebaikan yang diridhoi Allah Swt. Dan karena halnya, sekalinya Ramadhan dalam setahun,
kita harus gunakan dengan sebaik-baiknya. Ramadhan adalah tamu keberkahan. Tamu yang
ditunggu-tunggu atas segala kebaikan di dalamnya.

Sudah seharusnya kita bersedih atas kepergian tamu yang penuh keberkahan dan
kemanfaatan itu. Tentu kita tidak ingin berpisah dengannya. Ingin berlama-lama dalam
rahmat, nikmat, dan kasih sayang Allah Swt pada hambanya. Dan sekarang, tamu itu sudah di
depan pintu rumah kita, bersiap beranjak. Ramadhan akan usai dan kita tidak pernah tau
apakah bisa berjumpa kembali atau ini yang terakhir kali. Ya Salam!

Namun tidak semua orang dapat mengecap manisnya Ramadhan. Malah Sebagian dari kita
tidak merasa apapun akan perginya Ramadhan. Tidak sedih, tidak pedih. Tidak susah, tidak
resah. Kemana perasaan penghambaan itu?

Sudah dari jauh hari, malah masih dipertengahan Ramadhan, kita sudah sibuk untuk bayang-
bayang lebaran. Kita sudah sibuk untuk pakai baju apa dan jalan-jalan kemana! Padahal
lembar mushaf itu belum juga berjalan. Tidak terkebet. Bagai pepatah, ‘semut di seberang
lautan terlihat, tapi gajah di pelupuk mata tak terlihat.’ Kita terlalu fokus pada sesuatu yang
jauh, tapi bodo amat pada yang sedang terjadi.
Janganlah dulu berpikir untuk lebaran. Bukan tidak boleh, tapi maksudnya ada yang lebih
harus kita pikirkan. Kita prioritaskan. Totalitaslah dulu pada Ramadhan! Ibadah kita, puasa,
sholat, tadarus, hablu minallah dan hablu minannas-nya. Baru lebarannya.

“Ah, saya udah totalitas, kok!”

Bukankah puncak harapan kita adalah lailatul qadar? Apakah sudah kita dapat? Seberapa
sering? Semoga Allah meridhoi kita dan memberi kesempatan untuk curah ngemis kita akan
lailatul qadar. Amiiin.

Di penghujung Ramadhan ini, marilah kita tingkatkan ibadah kita. Lebih totalitas dalam
penghambaan sujud dan syukur kita. Apakah yakin semua ibadah yang kita banggakan itu
diterima Allah? Yang ibadah saja belum tentu, apalagi yang tidak ibadah sama sekali. Tapi,
ada yang perlu kita ketahui; Allah Maha Penyayang!

Mari kita tiru Nabi dan para Ulama dalam mengisi dan menangisi Ramadhan. Saat 10 hari
terakhir, Nabi yang ditiru para Saalaffunasholih makin meningkatkan kualitas ibadahnya.
Mereka ber’itikaf di Masjid. Dalam sebuah hadis diumpamakan mengencangkan sarung
dengan maksud semakin meningkatkan ibadah. Lalu, sebut saja di Tarim, para masyarakatnya
begitu gempita dalam Ramadhan, bahkan di penghujungnya. Mereka serempak saling
mengundang akan berbuka puasa, membacakan berbagai maulid dan qasidah-qasidah, seperti
Qasidah Fazzaziyah, Witriyah, dan Qawafi. Mereka juga saling menyalakan bukhur dan
berbagi halawah atau manisan. Lalu, mereka berbondong-bondong ziarah Makam Zambal
dan melantunkan do’a-do’a di masjid, seperti di Masjid Awwabin milik Imam Haddad,
Masjid Umar Muhdhor, dan lainnya. Mereka mendengarkan berbagai khutbah dengan
cucuran air mata akan Ramadhan dan kata penghujung. Harap-harap ahli ibadah itu akan
bertemu kembali dengan Ramadhan.

Dengan itu, para Ulama sering membacakan berbagai do’a di akhir Ramadhan ini. Salah
satunya seperti,

‫ َفِإْن َجَع ْلَتُه َفاْج َع ْلِنْي َم ْر ُحْو ًم ا َو َال َتْج َع ْلِنْي َم ْح ُرْو ًم ا‬،‫َألَّلُهَّم َال َتْج َع ْلُه آِخ َر اْلَع ْهِد ِم ْن ِص َياِم َنا ِإَّياُه‬

“Ya Allah, janganlah Kau jadikan bulan Ramadhan ini sebagai bulan Ramadhan
terakhir dalam hidupku. Jika Engkau menjadikannya sebagai Ramadhan
terakhirku, maka jadikanlah aku sebagai orang yang Engkau sayangi.”

Hei, mari menangis, Ramadhan hampir habis!

***

Anda mungkin juga menyukai