Anda di halaman 1dari 35

TUGAS MERESUME

TIGA MATERI SURVEI TANAH DAN EVALUASI LAHAN

Dibuat Oleh :
RONALD GEPIN
D1D122021

JURUSAN/PROGRAM STUDI ILMU TANAH

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2024
Latar belakang dan tujuan

Survei dan pemetaan tanah (Soil survey and mapping) adalah suatu kegiatan penelitian
di lapangan untuk melakukan identifikasi, karakterisasi dan evaluasi sumberdaya tanah/lahan
(termasuk keadaan terrain dan iklim) di suatu wilayah, yang didukung oleh data hasil analisis
laboratorium. Produk utama survei dan pemetaan tanah adalah peta tanah (soil map) yang
menyajikan informasi geospasial sifat-sifat tanah dan penyebarannya pada landscape di suatu
wilayah. Peta tanah dilengkapi dengan keterangan legenda peta, narasi, dan lampiran data
lapangan dan analisis laboratorium

Survei dan pemetaan tanah tingkat semi detail bertujuan untuk menghimpun data
sifatsifat tanah dan sebarannya secara spasial termasuk keadaan fisik lingkungannya untuk
seluruh wilayah kabupaten di Indonesia, yang berfungsi sebagai informasi/data dasar
perencanaan pertanian pada tingkat kabupaten.

Persiapan

Persiapan survei bertujuan untuk: (a) Mendapatkan gambaran tentang daerah survei
secara menyeluruh melalui pengumpulan informasi dari data dan peta-peta yang
tersedia/relevan, sehingga dapat membantu analisis landform dan kelancaran pelaksanaan
survei di lapangan, dan (b) Interpretasi landform/satuan lahan dari data DEM, citra
penginderaan jauh dan peta geologi.

Adapun dalam kegiatan survey ini perlu di persiapkan hal-hal berikut:

1. Peta rupa bumi Indonesia (RBI)


Peta Rupa Bumi Indonesia tercetak skala 1:50.000 juga dapat diperoleh dari
Badan Informasi Geospasial. Peta ini digunakan untuk membantu kegiatan operasional
lapangan, karena mengandung informasi jaringan jalan, nama tempat, elevasi, liputan
lahan (land cover), pemukiman, dan lain-lain. Pada peta RBI juga terdapat batas-batas
wilayah administrasi, namun tergantung pada edisi peta. Pada edisi peta RBI yang lama
(1990-an) batas administrasi mungkin sudah banyak berubah, karena sudah banyak
pemekaran atau perubahan batas wilayah administrasi, sehingga perlu disesuaikan
dengan data yang terbaru.
2. DEM dan Citra Penginderaan jauh
Data DEM yang diturunkan dari SRTM resolusi 30 m atau dari peta kontur
digital dapat digunakan untuk analisis dan delineasi satuan lahan. Untuk membantu
analisis tersebut dapat digunakan data digital citra penginderaan jauh, seperti Citra
Landsat, ALOS, ASTER, dll, yang dapat diperoleh dari berbagai sumber, antara lain
LAPAN atau download dari internet. Data digital citra landsat dan citra radar/SRTM
sudah tersedia untuk seluruh wilayah Indonesia. Data DEM dapat digunakan untuk
analisis relief/kelas lereng, elevasi, facet lahan (posisi lereng), kelembaban (moistness)
atau kebasahan (wetness), pola drainase, dan lain-lain, secara otomatis antara lain
dengan menggunakan software ArcGIS atau SAGA-GIS.
Masing-masing data citra tersebut memiliki keunggulan dan kekurangan,
sehingga informasinya bisa saling melengkapi. Citra landsat diperlukan untuk
membantu dalam analisis landform/satuan lahan pada wilayah datar, seperti dataran
aluvial dan marin, yang sulit dibatasi dari data DEM. Selain itu, citra landsat digunakan
untuk analisis penggunaan lahan eksisting, terutama delineasi daerah-daerah yang
sudah terbangun, seperti perkebunan, sawah, tegalan, pertambangan, dan lain
sebagainya.
3. Peta Geologi
Informasi geologi diperlukan untuk mengetahui formasi batuan dan menduga
jenis batuan induk (litologi) yang mungkin dijumpai di lapangan, karena litologi
sebagai salah satu komponen dalam menganalisis satuan lahan dan faktor pembentuk
tanah. Oleh sebab itu, peta geologi dengan skala yang lebih besar lebih diinginkan,
karena informasinya bisa lebih detail. Apabila peta geologi digital belum tersedia, maka
peta geologi tercetak dapat di scan dan dibuat file JPG untuk selanjutnya di-overlay-
kan dengan data layer lainnya untuk analisis litologi.
4. Data dan peta tanah warisan (legacy data)
Data dan peta tanah hasil-hasil survei dan pemetaan tanah terdahulu, yang ada
di daerah yang akan disurvei dan sekitarnya perlu dikumpulkan, dipelajari dan diseleksi
untuk kemudian dijadikan sebagai referensi dan data tambahan pengamatan lapang.
Data yang diperlukan dari peta tanah warisan adalah informasi tanah dan legenda peta,
titik pengamatan tanah, uraian sifat-sifat morfologi tanah di lapang dan data analisis
sifat fisika, kimia, dan mineral. Peta tanah warisan yang sudah tersedia adalah peta
tanah tingkat tinjau skala 1:250.000 seluruh Indonesia.
5. Data Iklim
Data dukung iklim yang diperlukan terutama curah hujan, suhu udara,
kelembaban udara, dan evapotranspirasi rata-rata bulanan selama 5-10 tahun terakhir.
Data tersebut dikumpulkan dari beberapa stasiun pengamat iklim/ pencatat curah hujan
yang ada di dalam wilayah kabupaten yang akan dipetakan atau yang terdekat. Instansi
pencatat data iklim adalah BMKG atau instansi lain yang berkepentingan terhadap data
tersebut, antara lain PU dan Dinas Pertanian. Nama dan posisi stasiun pencatat data
dapat dicantumkan pada peta dasar rupabumi skala 1:50.000. Data curah hujan rata-rata
bulanan diklasifikasikan menurut zone Agroklimat Oldeman et al. (1975; 1977; 1978;
1980), tipe hujan menurut Schmidt dan Ferguson (1951), dan pewilayahan curah hujan
menurut Balitklimat (2003). Data iklim tersebut juga digunakan untuk menghitung
neraca air (water balance) untuk menduga rejim kelembaban tanah.
6. Peta penggunaan lahan
Data dukung lain yang relevan dengan tujuan survei dan pemetaan tanah adalah
peta penggunaan lahan dan vegetasi yang dapat diperoleh dari Badan Pertanahan
Nasional (BPN) atau peta liputan lahan (land cover) dari Kementerian Kehutanan.
Apabila tidak tersedia, dapat dilakukan analisis penggunaan lahan dari data citra satelit
(landsat) terbaru. Peta land use berguna untuk menduga ketersediaan lahan potensial.
Selain itu, data dukung penduduk dan keragaan produksi pertanian perlu dikumpulkan.
Data produksi pertanian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan mengenai faktor
pembatas pertumbuhan dan tanaman serta teknologi untuk mengatasi pembatas
tersebut. Sumber datanya dapat diperoleh dari BPS, seperti tercantum dalam buku
Kabupaten Dalam Angka.

Adapun peralatan survey lapangan yang perlu di persiapkan diantaranya:

 Bor tanah tipe Belgia (ukuran panjang 1,2 m);


 Bor tanah gambut tipe Eijkelkamp (panjang batang 1 m);
 Buku Munsell Soil Color Chart;
 Buku Klasifikasi Tanah Nasional edisi revisi (BBSDLP, 2014) atau yang lebih baru;
Buku Keys to Soil Taxonomy edisi 2014 atau yang lebih baru;
 Alat GPS (geographical positioning system) untuk menentukan posisi koordinat
pengamatan;
 Larutan pH Truog untuk mengukur pH tanah di lapangan;
 Kompas geologi untuk mengetahui arah mata angin;
 Abney level untuk mengukur kemiringan lereng;
 Meteran baja atau meteran band;
 Alat gali profil tanah (cangkul, sekop, linggis, dan lain-lain).
 Komputer laptop untuk entri data dan analisis spasial, yang dilengkapi dengan program
ArcGIS, ArcView, SAGA-GIS, Global Mapper, dan sebagainya.

Analisis satuan lahan

Tujuan analisis satuan lahan adalah untuk menyusun peta analisis satuan lahan sebagai
dasar untuk perencanaan pengamatan lapangan dan penyusunan satuan peta tanah. Sebelum
melakukan analisis satuan lahan, perlu dilakukan cropping atau pemotongan data layer (DEM,
citra inderaja, peta tanah tinjau) sesuai dengan batas administrasi wilayah kabupaten yang akan
dipetakan dan menentukan sistem koordinat (UTM atau geografis). Biasanya untuk keperluan
lapangan menggunakan koordinat UTM

Satuan lahan (land unit) didefinisikan sebagai suatu hamparan lahan yang mempunyai
karakteristik yang seragam atau serupa dalam hal landform, litologi/bahan induk dan
relief/lereng, yang dapat didelineasi dan digambarkan pada peta. Analisis satuan lahan
dilakukan dari data DEM dan citra inderaja

Beberapa analisiis yang dilakukan adalah:

1. Analisis litologi
Informasi dan delineasi jenis litologi atau batuan induk diperoleh dari peta
geologi dengan teknik tumpang tepat (overlay) dengan data DEM dan citra
satelit/landsat serta peta RBI. Setiap jenis litologi/batuan induk diberi simbol huruf
kecil yang mengindikasikan sifat dari bahan induk tersebut
2. Analisis landform
Analisis atau delineasi satuan landform dilakukan dari data DEM yang di-
overlay-kan dengan data citra landsat, kontur, peta geologi, peta rupabumi, dan peta
tanah tingkat tinjau sebagai referensi.
3. Analisis relief/lereng
Analisis relief/kelas lereng dan elevasi secara lebih detail dapat dilakukan dari
data DEM. Proses analisis dapat dilakukan secara otomatis dengan software (ArcGIS,
SAGA GIS) atau secara manual on screen digitizing.
4. Analisis penggunaan lahan eksisting
Analisis penggunaan lahan saat ini (existing landuse) dilakukan dengan meng-
overlaykan hasil interpretasi dari citra landsat dengan peta rupabumi dan peta landuse
yang tersedia dari sumber antara lain: BPN, Kehutanan. Delineasi ditujukan terutama
pada wilayahwilayah sudah terbangun, seperti perkebunan besar, persawahan, tegalan,
pemukiman, dan lain-lain.

Peyusunan legenda analisis satuan lahan

Legenda peta disusun berdasarkan urutan berikut: Nomor urut, simbol satuan lahan,
uraian satuan landform, satuan litologi, satuan relief/kelas lereng, dan luas masing-masing
satuan lahan dalam hektar dan persentasenya (Tabel 1). Legenda peta ini selanjutnya dilengkapi
dengan satuan tanah dari hasil pengamatan lapang dan data analisis laboratorium.

Penyususnan peta rencana pengamatan lapang

Sebelum melakukan survei lapangan, peta rencana pengamatan tanah di lapang harus
dibuat terlebih dahulu dengan memperhatikan keragaman satuan lahan, teknik pengamatan
sistem transek, aksesibilitas (kemudahan dijangkau) dan waktu tersedia. Rencana titik
pengamatan diplotkan pada peta satuan lahan (hasil interpretasi). Peta rencana pengamatan
tersebut dapat membantu efisiensi survei dan pemetaan tanah di lapangan
Pelaksanaan Survei

1. Pra Survei
Prasurvei atau survei pendahuluan dilakukan dengan tujuan untuk konsultasi
dengan Pemerintah Daerah setempat dan melakukan orientasi lapang untuk
memperoleh gambaran umum mengenai kondisi daerah survei, meliputi pengecekan
beberapa satuan lahan terkait sebaran landform, litologi/bahan induk, komposisi dan
karakteristik tanah serta penyiapan basecamp, transportasi lokal dan tenaga kerja
lapang.
2. Pengamatan Lapang
o Pemgamatan satuan lahan, Pengamatan satuan lahan merupakan kegiatan
verifikasi di lapangan terhadap peta analisis satuan lahan. Tujuannya terutama
untuk pengujian batas (delineasi) satuan lahan dan penamaannya.
o Pengamatan satuan tanah, Pengamatan tanah dilakukan melalui pendekatan
transek (topo-litosekuen) pada satuan lahan pewakil yang telah direncanakan
sebelum ke lapangan. Pengamatan tanah dilakukan dengan cara memperhatikan
kenampakan perubahan-perubahan relief-mikro permukaan lahan pada wilayah
datar, sedangkan untuk wilayah berlereng dengan memperhatikan kemiringan,
posisi dan bentuk lereng
o Deskripsi penampang tanah, Pengamatan tanah dilakukan dengan cara: (a)
Pemboran tanah, (b) Penggalian lubang minipit, dan (c) Profil tanah lengkap.
Pemboran tanah dilakukan sedalam 120 cm, sedangkan pembuatan minipit
sedalam 50 cm dengan ukuran panjang dan lebar 50 x 50 cm. Pengamatan tanah
pada minipit dilanjutkan dengan pemboran sedalam 120 cm. Pembuatan profil
tanah lengkap dengan ukuran: panjang x lebar x dalam: 100 x 100 x 150 cm
atau sampai lapisan bahan induk, jika kedalaman tanah kurang dari 150 cm.
Semua data deskripsi hasil pemboran, minipit dan profil tanah di lapangan
dicatat dalam formulir isian basisdata untuk selanjutnya di-entri ke dalam
komputer menggunakan program Site and Horizon.
o Contoh tanah diambil dari setiap horison dari profil pewakil atau minipit atau
pemboran yang mewakili satuan tanah dari setiap satuan lahan, kemudian diberi
kode sesuai dengan kode pengamatan tanah, untuk selanjutnya dianalisis di
laboratorium yang terakreditasi. Jumlah horison bervariasi tergantung pada
kondisi perkembangan tanah, tetapi umumnya antara 4-6 lapisan, kecuali pada
tanah dangkal mungkin hanya 2- 3 lapisan.
o Penetapan klasifikasi tanah, Klasifikasi tanah ditetapkan di lapangan dan
selanjutnya dikoreksi dengan data analisis laboratorium. Klasifikasi tanah
menggunakan sistem Klasifikasi Tanah Nasional (BBSDLP, 2014), dan
diberikan padanannya menurut sistem USDA Soil Taxonomy (Soil Survey
Staff, 2014) atau edisi lebih baru sampai tingkat subgrup.
3. Entri Data Pengamatan Lapang
Data hasil pengamatan lapang yang dicatat lengkap dalam formulir isian
basisdata harus dientri kedalam komputer dengan menggunakan software/ program Site
and Horizon yang tersedia. Data lapangan selanjutnya dikoreksi dengan data analisis
laboratorium. Setelah dilakukan koreksi data (clean data), selanjutnya disimpan dalam
sistem basisdata tanah dan dapat digunakan untuk menyusun peta-peta tematik.
4. Penyusunan Peta Pengamatan dan Peta Tanah Lapang
Peta tanah lapang disusun berdasarkan hasil pengamatan satuan lahan dan
satuan tanah dari hasil pengamatan pemboran, minipit dan profil. Selama pengamatan
di lapangan dilakukan koreksi terhadap satuan lahan, baik terhadap delineasi maupun
penamaan (simbol) satuan lahan sesuai dengan kondisi lapang (ground truth).
5. Pengumpulan Data Dukung
o Data iklim dan hidrologi/sumberdaya air, digunakan untuk menduga neraca air
(periode defisit-surplus), pola tanam, menduga rejim kelembaban tanah dan
rejim suhu tanah serta sebagai data dukung untuk klasifikasi tanah dan evaluasi
lahan.
o Data sosial ekonomi pertanian, Data sosial ekonomi pertanian yang
dikumpulkan antara lain data penduduk, kondisi/fasilitas transportasi, jenis-
jenis komoditas utama yang diusahakan, produksi pertanian dan perkebunan,
serta pola tanam.

Pengolahan data

1. Analisis Contoh Tanah


Contoh tanah sekitar 0,5-1,0 kg diambil dari setiap horison dari pemboran
(tanah basah), minipit dan profil tanah pewakil untuk dianalisis di laboratorium yang
sudah mendapatkan akreditasi. Jenis analisis contoh tanah terdiri atas analisis kimia
standar dan khusus/tambahan, dan analisis mineral (fraksi pasir dan atau fraksi liat),
yang disesuaikan dengan kebutuhan.
2. Perbaikan Peta Tanah
Peta tanah dan legenda peta yang sudah disusun berdasarkan hasil pengamatan
lapangan perlu diperbaiki dan disempurnakan, yang berkaitan dengan penetapan
klasifikasi tanah berdasarkan hasil analisis laboratorium, perbaikan atau penghalusan
delineasi satuan peta tanah dan penamaan landform. Peta hasil perbaikan tersebut
menjadi Peta Tanah final.
3. Penyusunan Basisdata
Data hasil pengamatan tanah di lapangan berupa site (titik pengamatan) dan data
morfologi tanah disimpan dan diolah dalam site and horizon description dengan sistem
pengkodean telah dirancang simbol dan formatnya. Entri data hasil pengamatan tanah
yang telah dilakukan pada saat survei lapangan akan memudahkan proses editing data.
4. Evaluasi dan Korelasi Tanah
Pengendalian mutu dilakukan untuk menjaga agar kualitas hasil survei dan
pemetaan tanah terjaga dan sesuai dengan standar yang telah ditentukan, antara lain
kriteria dan definisi diterapkan dengan konsisten, isi dan format peta dan laporan sudah
seragam, penetapan klasifikasi dan delineasi satuan peta tanah di lapang dilakukan
dengan konsisten.
5. Reliabilitas
Rehabilitas atau kehandalan (tingkat kepercayaan) peta tanah dapat bervariasi
karena perbedaan tingkat informasi/data yang diperoleh selama proses kegiatan survei
(Buurman dan Soekardi, 1990). Reliabilitas secara kualitatif dapat dibedakan menjadi
3 tingkat, yaitu:
• Tinggi, apabila pada setiap satuan peta terdapat data observasi lapang dan data
analisis contoh tanah atau ada data hasil survei sebelumnya,
• Sedang, apabila pada setiap satuan peta terdapat data observasi lapang, tetapi
tanpa/sedikit data analisis tanah, termasuk data hasil survei sebelumnya; dan
• Rendah, apabila tidak ada data observasi lapang dan analisis tanah.
Indikasi reliabilitas peta perlu ditampilkan pada Peta Tanah berupa Peta Situasi
wilayah kabupaten yang disurvei dan dibedakan dengan arsir/warna.
6. Pencetakan Peta
Disain layout dan format peta yang akan dicetak perlu dilengkapi dengan judul,
legenda peta, peta indeks lokasi bersangkutan, koordinat peta, institusi pelaksana dan
institusi penerbit peta, dan kelengkapan kartografis lainnya.
7. Pelaporan
Laporan hasil pemetaan tanah disajikan dalam bentuk naskah dan lampiran
peta-peta. Naskah laporan hasil pemetaan tanah dibuat seringkas mungkin, tetapi padat
dan informatif. Laporan terdiri atas: (a) Naskah/narasi, (b) Lampiran uraian morfologi
dan data analisis contoh tanah, (c) Lampiran peta-peta, dan (d) Backup file dalam CD.

Kualifikasi Tenaga

Untuk melaksanakan survei dan pemetaan tanah dengan baik diperlukan tiga kelompok
tenaga yang saling membantu, yaitu:
1. Tenaga Surveyor, Tenaga surveyor (ketua tim, ketua regu dan anggota tim) bertanggung
jawab melaksanakan seluruh rangkaian kegiatan survei dan pemetaan tanah, mulai dari
tingkat persiapan, pelaksanaan survei, pengolahan data, penyusunan peta-peta dan
laporan. Tenaga surveyor yang profesional menguasai berbagai bidang ilmu, terutama
ilmu tanah dan pemetaan, geomorfologi, geologi, penginderaan jauh (remote sensing),
dan SIG (Sistem Informasi Geografi).
2. Tenaga Peneliti Pendukung, Tenaga peneliti pendukung diperlukan untuk bidang-
bidang yang relevan/terkait, yaitu kimia dan kesuburan tanah, fisika dan konservasi
tanah, agronomi, agroklimat dan hidrologi, serta sosial ekonomi pertanian.
3. Tenaga Korelator/Evaluator, Tenaga korelator/evaluator adalah tenaga senior yang
mempunyai pengalaman dalam teori dan praktek survei dan pemetaan tanah. Tenaga
korelator ikut mengawal kualitas pemetaan (quality control) terhadap pelaksanaan
metode survei dan pemetaan tanah serta kualitas peta yang dihasilkan.
PETUNJUK TEKNIS EVALUASI LAHAN UNTUK KOMODITAS PERTANIAN

Pengertian Dasar

1. Lahan
Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian
lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, hidrologi, dan bahkan keadaan vegetasi
alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap
penggunaan lahan (FAO, 1976). Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk yang telah
dipengaruhi oleh berbagai aktivitas flora, fauna dan manusia baik di masa lalu maupun saat
sekarang, seperti lahan rawa dan pasang surut yang telah direklamasi atau tindakan konservasi
tanah pada suatu lahan
2. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan untuk pertanian secara umum dapat dibedakan atas: penggunaan
lahan semusim, tahunan, dan permanen. Penggunaan lahan tanaman semusim diutamakan
untuk tanaman musiman yang dalam polanya dapat dengan rotasi atau tumpang sari dan panen
dilakukan setiap musim dengan periode biasanya kurang dari setahun. Penggunaan lahan
tanaman tahunan merupakan penggunaan tanaman jangka panjang yang pergilirannya
dilakukan setelah hasil tanaman tersebut secara ekonomi tidak produktif lagi, seperti pada
tanaman perkebunan. Penggunaan lahan permanen diarahkan pada lahan yang tidak diusahakan
untuk pertanian, seperti hutan, daerah konservasi, perkotaan, desa dan sarananya, lapangan
terbang, dan pelabuhan.
3. Karakteristik lahan
Karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi. Karakteristik
lahan yang digunakan pada Juknis ini adalah:
- temperatur udara : merupakan temperatur udara tahunan dan dinyatakan dalam °C
- curah hujan : merupakan curah hujan rerata tahunan dan dinyatakan dalam mm
- lamanya masa kering : merupakan jumlah bulan kering berturut-turut dalam setahun dengan
jumlah curah hujan kurang dari 60 mm
- kelembaban udara : merupakan kelembaban udara rerata tahunan dan dinyatakan dalam % -
drainase : merupakan pengaruh laju perkolasi air ke dalam tanah terhadap aerasi udara dalam
tanah
- tekstur : menyatakan istilah dalam distribusi partikel tanah halus dengan ukuran 2 mm -
kedalaman tanah : menyatakan dalamnya lapisan tanah dalam cm yang dapat dipakai untuk
perkembangan perakaran dari tanaman yang dievaluasi
- ketebalan gambut : digunakan pada tanah gambut dan menyatakan tebalnya lapisan gambut
dalam cm dari permukaan
- kematangan gambut : digunakan pada tanah gambut dan menyatakan tingkat kandungan
seratnya dalam bahan saprik, hemik atau fibrik, makin banyak seratnya menunjukkan belum
matang/mentah (fibrik)
- KTK liat : menyatakan kapasitas tukar kation dari fraksi liat
- kejenuhan basa : jumlah basa-basa (NH4OAc) yang ada dalam 100 g contoh tanah
- reaksi tanah (pH) : nilai pH tanah di lapangan. Pada lahan kering dinyatakan dengan data
laboratorium atau pengukuran lapangan, sedang pada tanah basah diukur di lapangan.
- C-organik : kandungan karbon organik tanah.
- salinitas : kandungan garam terlarut pada tanah yang dicerminkan oleh daya hantar listrik.
- alkalinitas : kandungan natrium dapat ditukar
- kedalaman bahan sulfidik : dalamnya bahan sulfidik diukur dari permukaan tanah sampai
batas atas lapisan sulfidic
- lereng : menyatakan kemiringan lahan diukur dalam %
- bahaya erosi : bahaya erosi diprediksi dengan memperhatikan adanya erosi lembar permukaan
(sheet erosion), erosi alur (reel erosion), dan erosi parit (gully erosion), atau dengan
memperhatikan permukaan tanah yang hilang (rata-rata) per tahun
- genangan : jumlah lamanya genangan dalam bulan selama satu tahun
- batuan di permukaan : volume batuan (dalam %) yang ada di permukaan tanah/lapisan olah -
singkapan batuan : volume batuan (dalam %) yang ada dalam solum tanah
- sumber air tawar : tersedianya air tawar untuk keperluan tambak guna mempertahankan pH
dan salinitas air tertentu
- amplitudo pasang-surut : perbedaan permukaan air pada waktu pasang dan surut (dalam
meter)
- oksigen : ketersediaan oksigen dalam tanah untuk keperluan pertumbuhan tanaman/ikan
4. kualitas lahan
Kualitas lahan adalah sifat-sifat pengenal atau attribute yang bersifat kompleks dari
sebidang lahan. Setiap kualitas lahan mempunyai keragaan (performance) yang berpengaruh
terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu dan biasanya terdiri atas satu atau lebih
karakteristik lahan (land characteristics). Kualitas lahan yang menentukan dan berpengaruh
terhadap manajemen dan masukan yang diperlukan adalah:
- Terrain berpengaruh terhadap mekanisasi dan/atau pengelolaan lahan secara praktis (teras,
tanaman sela/alley cropping, dan sebagainya), konstruksi dan pemeliharaan jalan penghubung.
- Ukuran dari unit potensial manajemen atau blok area/lahan pertanian.
- Lokasi dalam hubungannya untuk penyediaan sarana produksi (input), dan pemasaran hasil
(aspek ekonomi)
Dalam Juknis ini kualitas lahan yang dipilih sebagai berikut:
- temperatur : ditentukan oleh keadaan temperatur rerata
- ketersediaan air : ditentukan oleh keadaan curah hujan, kelembaban, lama masa kering,
sumber air tawar, atau amplitudo pasang surut, tergantung jenis komoditasnya
- ketersediaan oksigen : ditentukan oleh keadaan drainase atau oksigen tergantung jenis
komoditasnya
- media perakaran : ditentukan oleh keadaan tekstur, bahan kasar dan kedalaman tanah
- gambut : ditentukan oleh kedalaman dan kematangan gambut
- retensi hara : ditentukan oleh KTK-liat, kejenuhan basa, pH-H20, dan C-organik
- bahaya keracunan : ditentukan oleh salinitas, alkalinitas, dan kedalaman sulfidik atau pirit
(FeS2)
- bahaya erosi : ditentukan oleh lereng dan bahaya erosi
- bahaya banjir : ditentukan oleh genangan
- penyiapan lahan : ditentukan oleh batuan di permukaan dan singkapan batuan

5. Persyaratan penggunaan lahan


Persyaratan tumbuh atau persyaratan penggunaan lahan yang diperlukan oleh masing-
masing komoditas mempunyai batas kisaran minimum, optimum, dan maksimum untuk
masing-masing karakteristik lahan. Kisaran tersebut untuk masing-masing komoditas pertanian
dapat dilihat pada Lampiran 1 - 6

Klasifikasi Kesesuaian Lahan

1. Umum
Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan
tertentu. Sebagai contoh lahan sangat sesuai untuk irigasi, lahan cukup sesuai untuk pertanian
tanaman tahunan atau pertanian tanaman semusim. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai
untuk kondisi saat ini (present) atau setelah diadakan perbaikan (improvement). Lebih spesifik
lagi kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya, yang terdiri atas
iklim, tanah, topografi, hidrologi dan/atau drainase sesuai untuk suatu usaha tani atau
komoditas tertentu yang produktif.
2. Struktur klasifikasi kesesuaian lahan
Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan
menurut tingkatannya sebagai berikut:
Ordo : Keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan
antara lahan yang tergolong sesuai (S) dan lahan yang tergolong tidak sesuai (N).
Kelas : Keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo. Pada tingkat kelas, lahan yang
tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu: lahan sangat sesuai (S1), cukup
sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N)
tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas.
Subkelas: Keadaan tingkatan dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan dibedakan
menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan yang menjadi faktor pembatas
terberat. Faktor pembatas ini sebaiknya dibatasi jumlahnya, maksimum dua pembatas.
Tergantung peranan faktor pembatas pada masing-masing subkelas, kemungkinan kelas
kesesuaian lahan yang dihasilkan ini bisa diperbaiki dan ditingkatkan kelasnya sesuai dengan
masukan yang diperlukan.
Unit : Keadaan tingkatan dalam subkelas kesesuaian lahan, yang didasarkan pada sifat
tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaannya. Semua unit yang berada dalam satu
subkelas mempunyai tingkatan yang sama dalam kelas dan mempunyai jenis pembatas yang
sama pada tingkatan subkelas. Unit yang satu berbeda dari unit yang lainnya dalam sifat-sifat
atau aspek tambahan dari pengelolaan yang diperlukan dan sering merupakan pembedaan detil
dari faktor pembatasnya. Dengan diketahuinya pembatas tingkat unit tersebut memudahkan
penafsiran secara detil dalam perencanaan usaha tani. Contoh Kelas S3rc1 dan S3rc2, keduanya
mempunyai kelas dan subkelas yang sama dengan faktor penghambat sama yaitu kedalaman
efektif, yang dibedakan ke dalam unit 1 dan unit 2. Unit 1 kedalaman efektif sedang (50-75
cm), dan Unit 2 kedalaman efektif dangkal (
3. Macam kesesuaian lahan
Kesesuaian lahan kualitatif adalah kesesuaian lahan yang hanya dinyatakan dalam
istilah kualitatif, tanpa perhitungan yang tepat baik biaya atau modal maupun keuntungan.
Klasifikasi ini didasarkan hanya pada potensi fisik lahan. Kesesuaian lahan kuantitatif adalah
kesesuaian lahan yang didasarkan tidak hanya pada fisik lahan, tetapi juga mempertimbangkan
aspek ekonomi, seperti input-output atau cost-benefit. Dalam perencanaan operasional proyek
biasanya membutuhkan evaluasi lahan secara kuantitatif. Kesesuaian lahan aktual adalah
kesesuaian lahan yang dilakukan pada kondisi penggunaan lahan sekarang (present land use),
tanpa masukan perbaikan. Kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan yang dilakukan
pada kondisi setelah diberikan masukan perbaikan, seperti penambahan pupuk, pengairan atau
terasering tergantung dari jenis faktor pembatasnya

Prosedur Evaluasi lahan

1. Pendekatan, Dalam evaluasi lahan ada 2 macam pendekatan yang dapat ditempuh yaitu
a. Pendekatan dua tahapan, Pendekatan dua tahap terdiri atas tahap pertama adalah evaluasi
lahan secara fisik, dan tahap kedua evaluasi lahan secara ekonomi
b. Pendekatan parallel, Dalam pendekatan paralel kegiatan evaluasi lahan secara fisik dan
ekonomi dilakukan bersamaan (paralel), atau dengan kata lain analisis ekonomi dan sosial
dari jenis penggunaan lahan dilakukan secara serempak bersamaan dengan pengujian
faktor-faktor fisik.
2. Penyiapan Data, Untuk melakukan evaluasi lahan baik dengan menggunakan pendekatan dua
tahapan maupun pendekatan paralel perlu didahului dengan konsultasi awal. Konsultasi awal
ini untuk menentukan tujuan dari evaluasi yang akan dilakukan, data apa yang diperlukan dan
asumsi-asumsinya yang akan dipergunakan sebagai dasar dalam penilaian. Evaluasi lahan yang
akan dilakukan tergantung dari tujuannya yang harus didukung oleh ketersediaan data dan
informasi sumber daya lahan

3. Asumsi-asumsi dalam Evaluasi Lahan


Asumsi dapat dibedakan terutama atas dua hal: (1) yang menyangkut areal proyek; dan
(2) yang menyangkut pelaksanaan evaluasi/interpretasi serta waktu berlakunya dari hasil
evaluasi lahan. Beberapa contoh asumsi yang ditetapkan untuk evaluasi lahan secara kuantitatif
fisik adalah sebagai berikut:
- Data tanah yang digunakan hanya terbatas pada informasi atau data dari satuan lahan atau
satuan peta tanah.
- Reliabilitas data yang tersedia: rendah, sedang, tinggi
- Lokasi penelitian atau daerah survei - Kependudukan tidak dipertimbangkan dalam evaluasi
- Infrastruktur dan aksesibilitas serta fasilitas pemerintah tidak dipertimbangkan dalam
evaluasi.
- Tingkat pengelolaan atau manajemen dibedakan atas 3 tingkatan yaitu rendah, sedang, dan
tinggi.
- Pemilikan tanah tidak dipertimbangkan dalam evaluasi.
- Pemasaran hasil produksi serta harga jual tidak dipertimbangkan dalam evaluasi.
- Evaluasi lahan dilaksanakan secara kualitatif, kuantitatif fisik atau kuantitatif ekonomi.
- Usaha perbaikan lahan untuk mendapatkan kondisi potensial dipertimbangkan dan
disesuaikan dengan tingkat pengelolaannya.
- Aspek ekonomi hanya dipertimbangkan secara garis besar.

Informasi Parameter Untuk evaluasi Lahan

1. Estimasi temperatur berdasarkan ketinggian tempat (elevasi)


Di tempat-tempat yang tidak tersedia data temperatur (stasiun iklim terbatas), maka
temperatur udara dapat diduga berdasarkan ketinggian tempat (elevasi) dari atas permukaan
laut. Pendugaan tersebut dengan menggunakan pendekatan rumus dari Braak (1928) dalam
Mohr et al. (1972). Berdasarkan hasil penelitiannya di Indonesia temperatur di dataran rendah
(pantai) berkisar antara 25-27ºC, dan rumus yang dapat digunakan (rumus Braak) adalah
sebagai berikut:
26,3°C - (0,01 x elevasi dalam meter x
2. Drainase Tanah
Kelas drainase tanah dibedakan dalam 7 kelas sebagai berikut:
0. Sangat terhambat (very poorly drained), tanah dengan konduktivitas hidrolik sangat
rendah dan daya menahan air sangat rendah, tanah basah secara permanen dan
tergenang untuk waktu yang cukup lama sampai ke permukaan. Tanah demikian cocok
untuk padi sawah dan sebagian kecil tanaman lainnya. Ciri yang dapat diketahui di
lapangan, yaitu tanah mempunyai warna gley (reduksi) permanen sampai pada lapisan
permukaan.
1. Terhambat (poorly drained), tanah mempunyai konduktivitas hidrolik rendah dan
daya menahan air rendah sampai sangat rendah, tanah basah untuk waktu yang cukup
lama sampai ke permukaan. Tanah demikian cocok untuk padi sawah dan sebagian
kecil tanaman lainnya. Ciri yang dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah mempunyai
warna gley (reduksi) dan bercak atau karatan besi dan/atau mangan sedikit pada lapisan
sampai permukaan.
2. Agak terhambat (somewhat poorly drained), tanah mempunyai konduktivitas
hidrolik agak rendah dan daya menahan air rendah sampai sangat rendah, tanah basah
sampai ke permukaan. Tanah demikian cocok untuk padi sawah dan sebagian kecil
tanaman lainnya. Ciri yang dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah berwarna homogen
tanpa bercak atau karatan besi dan/atau mangan serta warna gley (reduksi) pada lapisan
sampai ≥25 cm.
3. Agak baik (moderately well drained), tanah mempunyai konduktivitas hidrolik
sedang sampai agak rendah dan daya menahan air rendah, tanah basah dekat ke
permukaan. Tanah demikian cocok untuk berbagai tanaman. Ciri yang dapat diketahui
di lapangan, yaitu tanah berwarna homogen tanpa bercak atau karatan besi dan/atau
mangan serta warna gley (reduksi) pada lapisan sampai ≥ 50 cm.
4. Baik (well drained), tanah mempunyai konduktivitas hidrolik sedang dan daya
menahan air sedang, lembab, tapi tidak cukup basah dekat permukaan. Tanah demikian
cocok untuk berbagai tanaman. Ciri yang dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah
berwarna homogen tanpa bercak atau karatan besi dan/atau mangan serta warna gley
(reduksi) pada lapisan sampai ≥ 100 cm.
5. Agak cepat (somewhat excessively drained), tanah mempunyai konduktivitas
hidrolik tinggi dan daya menahan air rendah. Tanah demikian hanya cocok untuk
sebagian tanaman kalau tanpa irigasi. Ciri yang dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah
berwarna homogen tanpa bercak atau karatan besi dan aluminium serta warna gley
(reduksi).
6. Cepat (excessively drained), tanah mempunyai konduktivitas hidrolik tinggi sampai
sangat tinggi dan daya menahan air rendah. Tanah demikian tidak cocok untuk tanaman
tanpa irigasi. Ciri yang dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah berwarna homogen
tanpa bercak atau karatan besi dan aluminium serta warna gley (reduksi).

3. Tekstur
Pengelompokan kelas tekstur yang digunakan pada Juknis ini adalah:
Halus (h) : Liat berpasir, liat, liat berdebu
Agak halus (ah) : Lempung berliat, lempung liat berpasir, lempung liat berdebu
Sedang (s) : Lempung berpasir sangat halus, lempung, lempung berdebu, debu
Agak kasar (ak) : Lempung berpasir
Kasar (k) : Pasir, pasir berlempung
Sangat halus (sh): Liat (tipe mineral liat
Bahan kasar
Bahan kasar adalah merupakan modifier tekstur yang ditentukan oleh jumlah persentasi kerikil,
kerakal, atau batuan pada setiap lapisan tanah, dibedakan menjadi: sedikit : < 15% sedang : 15
- 35% banyak : 35 - 60%% sangat banyak : > 60% Kedalaman tanah
Kedalaman tanah, dibedakan menjadi: sangat dangkal : < 20 cm dangkal : 20 - 50 cm sedang :
50 – 75 cm dalam : > 75 cm Ketebalan gambut
Ketebalan gambut, dibedakan menjadi: tipis : < 60 cm sedang : 60 - 100 cm agak tebal : 100 -
200 cm tebal : 200 - 400 cm sangat tebal : > 400 cm Saprik + , hemik + , fibrik + = saprik/
hemik/ fibrik dengan sisisipan/ pengkayaan bahan mineral.
Alkalinitas Menggunakan nilai exchangeable sodium percentage atau ESP (%) yaitu dengan
perhitungan
ESP = Na dapat tukar x 100
KTK tanah
Bahan kasar

Bahan kasar adalah merupakan modifier tekstur yang ditentukan oleh jumlah persentasi
kerikil, kerakal, atau batuan pada setiap lapisan tanah, dibedakan menjadi: sedikit : < 15%
sedang : 15 - 35% banyak : 35 - 60%% sangat banyak : 60%

Kedalaman tanah

Kedalaman tanah, dibedakan menjadi: sangat dangkal : < 20 cm dangkal : 20 - 50 cm


sedang : 50 – 75 cm dalam : 75 cm

Ketebalan gambut

Ketebalan gambut, dibedakan menjadi: tipis : < 60 cm sedang : 60 - 100 cm agak tebal
: 100 - 200 cm tebal : 200 - 400 cm sangat tebal : 400 cm Saprik + , hemik + , fibrik + = saprik/
hemik/ fibrik dengan sisisipan/ pengkayaan bahan

Alkalinitas

Menggunakan nilai exchangeable sodium percentage atau ESP (%) yaitu dengan
perhitungan

Nilai ESP 15% adalah sebanding dengan nilai sodium adsorption ratio atau

Bahaya erosi

Tingkat bahaya erosi dapat diperkirakan dengan mengamati jenis erosi yang terjadi,
seperti erosi lembar, alur, dan parit. Cara yang lebih sederhana adalah dengan membandingkan
jumlah tanah yang hilang setiap tahun dengan kondisi tanah yang tidak tererosi, yang masih
memiliki horizon A. Horizon A ini kaya akan bahan organik dan biasanya berwarna lebih gelap
Bahaya Banjir

Banjir ditetapkan sebagai kombinasi pengaruh dari: kedalaman banjir (X) dan lamanya
banjir (Y). Kedua data tersebut dapat diperoleh melalui wawancara dengan penduduk setempat
di lapangan.!
KLASIFIKASI KEMAMPUAN LAHAN

Klasifikasi kemampuan lahan merupakan metode yang mengurutkan lahan berdasarkan tingkat
hambatan atau pembatasan yang dimilikinya, dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Sistem
ini, yang populer di Indonesia, membagi lahan ke dalam kelas, subkelas, dan satuan kemampuan
berdasarkan intensitas faktor penghambatnya. Tujuannya adalah untuk menilai seberapa baik lahan
tersebut dapat digunakan untuk pertanian, dengan mempertimbangkan berbagai pembatas yang ada.

1. Kelas Kemampuan Lahan Kelas Kemampuan I

Tanah kelas I hingga IV cocok untuk pertanian, peternakan, dan kehutanan dengan manajemen yang
tepat. Kelas V hingga VII ideal untuk padang rumput dan perkebunan, dan dengan konservasi yang
baik, dapat menghasilkan tanaman khusus seperti buah dan bunga. Kelas VIII sebaiknya dipertahankan
alami tanpa intervensi.

Lahan kelas kemampuan I, yang ideal untuk berbagai kegiatan pertanian termasuk tanaman semusim,
hutan produksi, dan cagar alam, memiliki karakteristik yang mendukung pertanian berkelanjutan. Tanah
ini terletak di area datar dengan kemiringan kurang dari 3%, memiliki risiko erosi yang sangat rendah,
kedalaman tanah yang cukup, drainase yang baik, mudah diolah, kapasitas menahan air yang optimal,
kesuburan tinggi, dan tidak rawan banjir, sembari berada di bawah iklim yang mendukung pertumbuhan
tanaman secara umum. Kualitas-kualitas ini menjadikan lahan kelas I sangat sesuai untuk penggunaan
pertanian yang luas.

2. Kelas Kemampuan II

Lahan kelas kemampuan II memerlukan manajemen dan konservasi yang cermat karena memiliki
hambatan yang dapat membatasi penggunaannya atau meningkatkan risiko kerusakan. Hambatan ini
termasuk lereng yang landai, erosi sedang, kedalaman tanah efektif yang sedang, struktur tanah yang
kurang ideal, salinitas dan garam Natrium, risiko banjir, kelebihan air yang memerlukan drainase, dan
kondisi iklim yang kurang mendukung. Meskipun hambatannya tergolong sedang dan dapat dikelola,
lahan ini cocok untuk pertanian tanaman semusim, padang rumput, penggembalaan, hutan produksi,
dan cagar alam, dengan tindakan konservasi yang tepat untuk menjaga keseimbangan air dan udara serta
mencegah kerusakan lebih lanjut.

Kelas Kemampuan III

Lahan kelas kemampuan III memiliki hambatan signifikan yang membatasi penggunaannya dan
memerlukan konservasi intensif. Dengan lereng 8-15%, sensitivitas erosi yang tinggi, risiko banjir
tahunan, dan lapisan tanah yang membatasi perakaran, lahan ini menuntut pengelolaan cermat. Meski
cocok untuk tanaman semusim, padang rumput, dan hutan lindung, lahan ini membutuhkan tindakan
konservasi yang kompleks dan pemeliharaan yang berkelanjutan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
dan memaksimalkan potensi penggunaannya.

Kelas Kemampuan IV

Lahan kelas IV memiliki hambatan dan ancaman kerusakan yang lebih signifikan dibandingkan dengan
lahan kelas III, membatasi pilihan tanaman dan memerlukan pengelolaan serta konservasi tanah yang
lebih intensif. Faktor-faktor yang menyebabkan hambatan ini termasuk lereng yang curam, erosi tinggi,
bekas erosi yang berat, tanah yang dangkal, kapasitas menahan air rendah, banjir berkepanjangan,
drainase buruk, banyaknya kerikil atau batuan di permukaan, salinitas atau kandungan Natrium yang
tinggi, dan kondisi iklim yang kurang mendukung. Oleh karena itu, lahan ini memerlukan tindakan
konservasi seperti teras bangku dan saluran bervegetasi untuk mendukung penggunaan tanaman
semusim, tanaman pertanian, padang penggembalaan, hutan produksi, hutan lindung, dan cagar alam.

Kelas Kemampuan V

Lahan kelas V memiliki hambatan yang signifikan dan tidak praktis untuk dihilangkan, sehingga hanya
cocok untuk tanaman rumput, padang penggembalaan, hutan produksi, atau cagar alam. Tanah ini sering
tergenang atau terlanda banjir, memiliki lebih dari 90% permukaan yang berbatu atau kerikil, atau
berada di bawah iklim yang tidak mendukung pertanian tanaman semusim. Meskipun tidak cocok untuk
pengolahan tanaman semusim, lahan ini masih dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan rumput atau
pohon-pohonan.

Kelas Kemampuan VI

Lahan kelas VI, yang tidak cocok untuk pertanian konvensional, terbatas pada penggunaan seperti
padang penggembalaan atau hutan lindung. Tanah ini memiliki lereng curam (30% - 45%), erosi berat,
kedalaman tanah yang sangat dangkal, dan kandungan garam atau Natrium yang tinggi. Meskipun
beberapa area dengan perakaran dalam dapat digunakan untuk tanaman semusim dengan konservasi
intensif seperti teras bangku, secara umum, lahan ini memerlukan manajemen yang hati-hati untuk
menghindari kerusakan lebih lanjut dan memanfaatkan potensi terbatasnya.

Kelas Kemampuan VII

Lahan kelas VII, yang tidak cocok untuk pertanian karena hambatan seperti lereng curam dan erosi parit
yang berat, dapat dimanfaatkan untuk padang rumput atau hutan produksi dengan penerapan metode
pencegahan erosi intensif. Penggunaan lahan ini untuk pertanian memerlukan pembuatan teras bangku
yang didukung oleh teknik vegetatif untuk konservasi tanah dan menghindari pemupukan yang
berlebihan.

Kelas Kemampuan VIII

Lahan kelas VIII, yang tidak cocok untuk pertanian, idealnya dibiarkan dalam kondisi alami dan
berguna sebagai hutan lindung, area rekreasi, atau cagar alam. Lahan ini sering kali memiliki batasan
seperti lereng yang sangat curam (65%), komposisi batu atau kerikil yang tinggi (90% volume), dan
kapasitas menahan air yang rendah, membuatnya tidak layak untuk pertanian tetapi penting untuk
konservasi. Contohnya termasuk puncak gunung, tanah mati, batuan terungkap, dan pantai pasir.

KLASIFIKASI KEMAMPUAN DAN KESESUAIAN LAHAN

Pendahuluan

Klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan melalui pendayagunaan Sistem Informasi Geografis
(SIG) melibatkan dua kegiatan utama: Inventarisasi Sumber Daya Lahan (ISDL) untuk pengumpulan
data, dan analisis SIG untuk klasifikasi lahan. ISDL fokus pada survei lahan dan interpretasi citra,
sementara analisis SIG memerlukan keahlian komputer dan sistem. Proses ini terbagi menjadi tiga
tahap: persiapan, survei lapangan dengan pengumpulan data, dan analisis klasifikasi, dengan setiap
tahap membutuhkan keterampilan khusus dan pemilihan personil yang tepat.
Inventaristasi Sumber Daya Lahan (ISDL)

Inventarisasi sumber daya lahan (ISDL) adalah proses pengumpulan informasi fisik yang esensial untuk
pengelolaan dan konservasi lahan yang berkelanjutan. Faktorfaktor yang perlu dikumpulkan terbagi
menjadi dua kategori: faktor permanen seperti bentuk lahan dan jenis tanah, serta faktor dinamis seperti
kondisi vegetasi dan erosi. Informasi ini dapat diperoleh dari peta, penelitian sebelumnya, dan survei
lapangan yang didukung oleh foto udara dan citra satelit.

Meskipun ISDL bukan konsep baru, seringkali data yang dikumpulkan tidak terintegrasi atau dianalisis
lebih lanjut, sehingga potensinya tidak dimanfaatkan sepenuhnya. Dalam pengelolaan hutan, data dari
survei lapangan sering hanya memberikan gambaran umum lokasi. Namun, data ini, terutama yang
berkaitan dengan karakteristik tanah dan lahan permanen, masih dapat dimanfaatkan untuk ISDL yang
lebih mendalam dan terintegrasi.

Bahan dan Alat yang Dibutuhkan

Bahan dan alat yang dibutuhkan untuk kegiatan inventarisasi sumber daya lahan terdiri dari peta

dan foto udara, perangkat penafsiran foto udara dan perangkat pengelola data. Bahan:

Peta topografi atau rupa bumi 1 : 50 000 sebagai peta dasar

Foto udara skala 1 : 50 000 atau lebih besar Peralatan:


Peralatan tulis dan untuk penafsiran foto Peralatan lapangan
untuk survei tanah.
Peralatan penafsiran foto udara: stereoskop cermin dan saku, zoom transferscope

Perangkat pengelola data: terdiri dari perangkat keras (komputer, digitizer, printer dan plotter) dan
perangkat lunak (program SIG dan program pengelolaan data dasar).

Pembatasan Unit Lahan

Pembatasan unit lahan dalam inventarisasi sumber daya lahan dilakukan dengan penafsiran citra dari
foto udara atau citra satelit untuk mengidentifikasi satuan lahan dengan karakteristik fisik yang serupa.
Hasil penafsiran ini, yang berupa data grafis, diintegrasikan ke dalam Sistem Informasi Geografis (SIG)
dan digunakan sebagai referensi untuk menentukan batas petak. Pendekatan ini memastikan bahwa
setiap petak memiliki karakteristik fisik yang konsisten dan disarankan untuk menggunakan batas alam
sebagai pembatas petak..

Penafsiran Parameter

Parameter fisik yang dikumpulkan dalam inventarisasi sumber daya lahan terdiri dari:

1. Aspek Lahan: – Bentuk lahan – Kemiringan dan arah lereng – Kondisi drainase – Kondisi
permukaan
2. Aspek Tanah – Jenis tanah – Tipe batuan dan kedalaman regolit – Kedalaman tanah – Sifat fisik
tanah – Keasaman tanah (pH tanah)
3. Kondisi Erosi – Jenis dan tingkat erosi – Prosentase lahan tererosi dalam satu satuan lahan.
4. Aspek Tanaman
5. Aspek Iklim – Rata-rata hujan setahun (dari rekaman data 10 tahun terakhir) – Jumlah bulan basah
dalam setahun – Jumlah bulan kering dalam setahun

Berikut adalah uraian tentang identifikasi masing-masing parameter di lapangan yang akan digunakan
pada klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan:

Bentuk Lahan

Bentuk lahan dapat ditetapkan melalui penafsiran foto udara sehingga pada saat kegiatan survei

lapangan perlu dicek kebenarannya. Seperti diuraikan pada bab sebelumnya, klasifikasi bentuk

lahan dapat menggunakan Katalog Bentuk Lahan (Desaunettes, 1977) dan Kucera (1988) seperti
Kemiringan dan Arah Lereng

Identifikasi kemiringan dan arah lereng juga dapat dilakukan dengan menggunakan penafsiran foto
udara. Kemiringan lereng yang dilaksanakan dapat menggunakan klasifikasi menurut Dit. Jen RRL
Dept. Kehutanan. Pengukuran kelerengan tetap dilaksanakan pada survei lapangan yang selanjutnya
juga dapat digunakan untuk kunci klasifikasi.
Kondisi Drainase

Kondisi Permukaan Lahan


Jenis Tanah

Tipe batuan dan Kedalaman Regolit

Kedalaman Tanah
Sifat Fisik Tanah

Sifat Kimia Tanah


Kondisi Erosi

Iklim

Pertumbuhan tanaman secara alami dipengaruhi oleh kondisi tanah, lahan, dan iklim. Dalam kegiatan
Inventarisasi Sumber Daya Lahan (ISDL), informasi iklim sangat penting dan meliputi data sekunder
yang dikumpulkan dalam jangka waktu panjang. Parameter iklim kunci untuk klasifikasi lahan adalah
suhu, temperatur, dan curah hujan. Meskipun data suhu dan temperatur mungkin sulit ditemukan, data
curah hujan seringkali tersedia dan mencakup total curah hujan tahunan serta jumlah bulan basah dan
kering.

Khusus tentang penakar hujan, biasanya terdapat beberapa penakar hujan pada suatu wilayah yang
disurvei. Untuk menentukan areal yang diwakili oleh masing-masing penakar hujan, maka dapat
digunakan metode poligon Thiessen seperti gambar diatas. Pengelolaan Data Inventarisasi Sumber
Daya Lahan

Data dari survei lapangan ISDL memerlukan pengelolaan lebih lanjut untuk menjadi berguna dalam
perencanaan dan pengelolaan hutan. Proses ini melibatkan dua tahap: manipulasi data, yang menyajikan
data dalam format yang mudah dipahami dan dikomunikasikan, seringkali melalui penggunaan kode;
dan tabulasi data, yang mengatur data survei dalam tabel. Tujuan akhir dari pengelolaan data ini adalah
untuk mengklasifikasikan kemampuan dan kesesuaian lahan, yang kemudian diintegrasikan ke dalam
Sistem Informasi Geografis (SIG).

Dalam pembuatan kode untuk parameter survei sumber daya lahan, yang telah dijelaskan sebelumnya
dan dicatat pada kartu lapangan, penting untuk merancang tabulasi data sebelum eksekusi agar
memastikan kelengkapannya. Prinsip utama tabulasi adalah memasukkan setiap data ke dalam kolom
yang terpisah tanpa menggabungkan dua data dalam satu kolom dan menggunakan kode numerik
daripada karakter untuk memudahkan proses.

Keterangan: LU = land unit LF = Landform SL = Slope = kemiringan lereng DR = Drainase PrBT = Prosentase Batuan PrSg
= Prosentase singkapan Tbt = Tipe batuan Teks = Tekstur tanah Struk = Struktur tanah pH = Keasaman tanah KdT = Kedalaman
tanah

KLASIFIKASI KEMAMPUAN DAN KESESUAIAN LAHAN

Klasifikasi Kemampuan Lahan

Kemampuan penggunaan lahan mengacu pada sistematisasi penggunaan beragam lahan berdasarkan
karakteristik yang menentukan potensi produksi berkelanjutan. Lahan diklasifikasikan berdasarkan
hambatan fisik dan faktor penghambat lainnya yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Klasifikasi
ini, yang diadaptasi dari metode USDA oleh Proyek Pemetaan Sumber Daya Lahan Indonesia (1988-
1990), membagi lahan menjadi tiga kategori: Klas, Sub Klas, dan Unit, berdasarkan intensitas dan jenis
faktor penghambat, serta respon lahan terhadap pengelolaan, yang berguna untuk menentukan
penggunaan lahan umum dan alokasi areal dalam sistem tumpangsari di HTI.

Sistem klasifikasi lahan menggunakan delapan Klas berdasarkan faktor penghambat yang menentukan
penggunaan lahan. Klas I hingga IV cocok untuk sawah, tegalan, atau tumpangsari; Klas V memerlukan
konservasi tanah untuk tegalan atau tumpangsari; Klas VI dan VII untuk hutan produksi dengan batasan
tertentu; dan Klas VIII untuk hutan lindung. Faktor penghambat meliputi erosi (e), drainase (w), tanah
(s), iklim (c), dan kelerengan (g), dengan prioritas penanganan dari yang paling mudah hingga yang
paling sulit adalah e, w, s, c, g. Sehingga, jika lahan memiliki beberapa penghambat, akan diprioritaskan
penghambat dengan tingkat kesulitan penanganan tertinggi.
Deskripsi setiap Klas, Sub Klas, dan Unit dalam KPL mengikuti standar yang telah ditetapkan dan
diwujudkan dalam tabel kriteria untuk sortasi data karakteristik lahan. Misalnya, Klas I ditandai dengan
teknik konservasi tanah yang baik, tidak ada erosi, kedalaman tanah lebih dari 90 cm, lereng antara 0 –
8%, dan tanpa batuan singkapan di permukaan tanah.

Berdasarkan prinsip klasifikasi, maka lokasi yang mempunyai karakteristik lahan tersebut termasuk
Kelas VIg (termasuk kelas VI karena hambatan kemiringan lereng). Penentuan Unit didasarkan pada
tipe batuan yang ada. Bila tipe batuannya sama, maka penentuan unit didasarkan pada bentuk lahannya.
Operasi klasifikasi tersebut dilakukan pada setiap unit lahan

Klasifikasi Kesesuaian Lahan

Klasifikasi ‘Kesesuaian Lahan’ berfokus pada kesesuaian lahan untuk jenis tanaman tertentu, berbeda
dengan ‘Kemampuan Lahan’ yang umum. Metode klasifikasi seperti FAO, Plantgro, dan Webb
memiliki kriteria berbeda, dengan FAO lebih pada tanaman semusim dan yang lainnya pada tanaman
keras. Klasifikasi ini, juga dikenal sebagai species matching, menilai lahan dalam empat tingkat
kesesuaian: sangat sesuai (S1), sesuai (S2), sesuai marjinal (S3), dan tidak sesuai (N), dengan sub klas
yang mencerminkan jenis penghambat seperti erosi, drainase, tanah, keasaman, kelerengan, kedalaman
tanah, dan iklim. Tidak ada prioritas penghambat, sehingga klasifikasi didasarkan pada klas terburuk
dengan semua hambatan yang ada.

Prinsip klasifikasi kesesuaian lahan mirip dengan kemampuan lahan, di mana kategori Kelas ditentukan
oleh kesesuaian terendah dan semua sub Kelas yang ada harus disebutkan tanpa prioritas. Untuk menilai
kesesuaian lahan untuk tanaman tertentu, seperti jati, diperlukan inventarisasi kondisi iklim, tanah, dan
lahan yang kemudian dicocokkan dengan kriteria pertumbuhan tanaman yang relevan, yang dapat
ditemukan dalam berbagai sumber seperti FAO, Webb, dan Plantgro.

Klasifikasi Kemampuan dan Kesesuaian Lahan dengan Pendayagunaan SIG

Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah alat analisis data spasial yang menggabungkan data grafis dan
atribut untuk mendukung pengambilan keputusan dalam pengelolaan. Analisis SIG, seperti tumpang
susun peta dan analisis tabel, yang dulunya manual, kini dilakukan secara elektronik dengan bantuan
komputerisasi dan kartografi, mempercepat proses dan meningkatkan akurasi. Data yang disimpan
dalam sistem SIG dapat diakses kembali, diubah, dan dianalisis dengan mudah melalui DBMS,
memungkinkan adaptasi cepat terhadap perubahan kondisi dan memfasilitasi penelaahan fenomena
geografis.

Analisis tumpang susun peta adalah teknik umum dalam SIG, memungkinkan integrasi berbagai peta
untuk analisis yang lebih mendalam. Sortasi data dalam DBMS berdasarkan kriteria tertentu juga
memperkaya analisis. Kemampuan analisis SIG ini sangat berguna dalam klasifikasi Kemampuan
Penggunaan Lahan (KPL) dan kesesuaian lahan, memungkinkan evaluasi yang lebih akurat dan
mendetail terhadap potensi dan penggunaan lahan.

Anda mungkin juga menyukai