BAB III
PEMETAAN GEOLOGI
3.1 Tujuan Umum
Pemetaan Geologi adalah serangkaian pekerjaan lapangan yang bertujuan unutk
menyusun Peta Geologi. Peta Geologi sendiri merupakan peta yang menunjukkan gambaran
dua dimensional, yang merupakan proyeksi vertical, dari pelaparan kelompok-kelompok
(satuan) bataun yang ada di permukaan bumi di suatu daerah,termasuk juga juga konfigurasi
struktur yang ada di dtempat itu.semua unsur geologi yang ada dilapangan digambarkan pada
Peta Geologi dalam bentuk tanda,symbol atau warna.Sesuai dengan defenisinya, maka pada
peta geologi akan terdapat penyebaran satuan batuan dan struktur yang ada. Untuk
mempermudah pemahaman struktur serta untuk mengetahui hubungan antar kelompok
batuan, pada peta geologi biasanya disertakan pula penampang (profil).Sedangkan untuk
mengetahuihubungan vertical antar satuan serta memberi penjelasan tentang arti dari semua
tanda dan warna yang ada/ digunakan pada peta geologi tersebut.
Peta geologi dapat dibedakan atas dasar tingkat ketelitian maupun tujuanya.Berdasar
atas tingkat ketelitiannya, petageologi terbagi menjadi 3 jenis, masing-masing:
a. Peta geologi pendahuluan (reconnaissance geologic map). Peta ini biasanya bersakala
kecil(1:100.000 untuk P, jawa dan 1:250.000 untuk daerah luar jawa), meliputi daerah
yang agak luas
b. Peta geologi semi detail: disusun pada skala lebih besar dari 1:50.000 atau maksimal
dengan skala 1:250.000
c. Peta geologi detail: disusun pada skala 1:25.000 atau lebih besar(1:12.500)
Sedangkan berdasarkan atas tujuannya (peta geologi tematik) dikenal:
a. Peta geologi umum atau keilmuan, tanpa suatu tujuan khusus selain menunjukkan
keadaan geologi daerah itu secara menyeluruh.
b. Peta geologi ekonomi: ini merupakan peta geologi yang sudah diarahkan pada tujuan
khusus geologi ekonomi, misalnya peta cadangan bahan galian, peta mineralisasi, peta
laterasi, peta metamorfosisme dsb.
c. Peta geologi tekik: ini merupakan peta geologi yang sudah diarahkan pada tujuan
khusus geologi Teknik, misalnya: peta gerakan tanah, peta daaya dukung, peta material
quarry dsb.
Latihan yang diselanggarakan dalam rangka pemetaan Geologi TG 2017 bertujuan untuk
menghasilkan peta geologi detail. Pemetaan diselanggarakan di daerah Karangsambung,
dengan pelaksanaan beregu. Skala peta dan luasan peta yang digunakan pada Pemetaan
Geologi di daerah Karangsambung, menggunakan peta skala detail yaitu 1:12.500 dengan
luas 3x3 km2,sehingga akan menghasilkan peta geologi dengan skala yang detail.
Tiga tujuan pokok tersebut diatas merupakan hakekat dari pekerjaan pemetaan
geologi. Dengan demikian maka di dalam semua tahap pemetaan ,si pemeta harus selalu
ingat dan mengkaitkan seluruh apa yang dikerjakannya ke arah pencapaian tiga tujuan pokok
tersebut. Tanpa mengigat tujuan pokok tersebut aka pekerjaan pemetaan geologi pada sesutu
saat akan merupakan pekerjaan parsial, terisolir, tidak komprehensif dan lebih parah lagi
akan membuat pemeta kehilangan arah, tidak tahu apa yang harus dikerjakan dan kenapa
harus dikerjakannya!
Untuk pelaksanaan Kuliah Kerja Lapangan tahap perencanaan pra lapangan ini harus
dilakukan untuk daerah Bayat (pemetaan beregu) maupun daerah luar Bayat (Pemetaan
mandiri).
Pemetaan Detail
berlangsung sampai daerah pemetaan tercover oleh lintasan yang cukup rapat dan
seimbang.
Pekerjaan di lapangan ini harus bersifat kontinyu, untuk lintasan-lintasan tertentu jauh
dari tempat pemukiman, pada medan yang sulit. Agar pekerjaan dapat berjalan dengan baik,
efektif dan aman maka dianjurkan agar pemeta:
Sedangkan pekerjaan di Pangkalan Kerja terdiri dari: Kerja rutin (tiap malam) dan
kerja diwaktu libur (tidak ke lapangan). Kerja rutin setiap sore/malam berupa:
Pengecekan ketepatan hasil pengeplotan data di lapangan, yaitu peta kerja ketiga,
dengan catatan di notes lapangan sehingga keduanya bersifat sinkron dan saling
mendukung.
Pemindahan peta lintasan dari peta lapangan (Peta Kerja Ketiga) ke peta arsip
(office map atau station map), yaitu Peta Kerja Keempat, dalam bentuk yang jelas
dan rapih. Peta ini selalu harus disimpan di Pangkalan Kerja sebagai arsip, dan dibuat
agar kalau Peta Kerja Ketiga rusak atau hilang, tidak perlu dilakukan kerja lapangan
ulang di tempat yang sudah pernah didatangi.
Berdasarkan hasil lintasan hari ini, perlu dievaluasi apakah rencana lintasan untuk
besok pagi bisa dilaksanakan sesuai rencana semula (seperti yang telah direncanakan
dan digambarkan di kertas kalkir atau ditransparasi) atau perlu dilakukan perubahan.
Melakukan percobaan menyusun Peta Geologi Lapangan (Peta Kerja Kelima) serta
merevisi Peta Geomorfologi Prakiraan (Peta Kerja Pertama) berdasarkan data yang
sudah terkumpul sampai hari itu.
Kerja di Pangkalan Kerja juga dilakukan pada waktu hari istirahat (setelah
berekreasivsekedarnya) atau pada saat cuaca tidak memungkinkan untuk kerja lapangan
misalnya hujan keras sepanjang hari. Hari istirahat lapangan sebaiknya diambil setelah 5 hari
kerja lapangan (terutama untuk pemetaan di luar Bayat) agar tidak mengalami kejenuhan dan
menambah kebingungan. Jangan memaksa diri untuk selalu bekerja di lapangan mulai datang
sampai saat pulang ke Yogya. Kerja di Pangkalan Kerja ini berupa:
Maupun secara vertikal (stratigrafis). Jangan sampai terjadi satu horison stratigrafi
diambil contoh sangat banyak sedang pada horison lain tidak ada atau sangat sedikit.
Bagi yang terlalu banyak supaya dilakukan pengurangan, sedang bagi yang terlalu
sedikit supaya ditambah dengan jalan merencanakan lokasi dari tambahan contoh
tersebut, untuk diambil pada kesempatan ke lapangan esok harinya atau pada hari-hari
berikutnya.
Membaca Buku Pintar Geologi Lapangan-nya sebanyak mungkin dan sesering
mungkin, terutama pada bagian-bagian yang berkaitan dengan materi dan persoalan
kerja yang sedang dihadapi sehingga kesulitan di lapangan dapat diantisipasi dan
cepat terpecahkan.
Setelah istirahat selesai dan kerja di Pangkalan Kerja sudah dilakukan, maka esok
harinya kembali dilakukan kerja lapangan yang sudah lebih terarah, yaitu mengisi
kekurangan dan hal-hal yang terlewat dari kerja lapangan sebelumnya. Apabila ini dilakukan
dengan baik, maka pada saat akhir kerja lapangan ditangan pemeta sudah akan tersedia:
Apabila semua hal tersebut di atas sudah terkumpul, pekerjaan pemetaan siap dicek,
baik oleh pemeta sendiri maupun oleh Dosen Pembimbing
Pengecekan
Pekerjaan pengercekan ini dilakukan oleh pemeta disertai oleh Dosen Pembimbing
dengan tujuan agar dapat diketahui benar salahnya pekerjaan yang sudah dilakukan, adanya
kekurangan data yang harus diambil serta dapat diketahui apakah coverage pemetaan
(lintasan) sudah secara memadai meliputi seluruh daerah, setelah dilakukan pengecekan,
pemeta harus mengevaluasi secara kritis dan serius, apakah ia masih harus tinggal beberapa
hari lagi di lapangan untuk melakukan pembetulan kesalahan dan mencari data yang kurang,
atau sudah siap untuk kembali ke Kampus di Yogyakarta.
Tahap pasca lapangan diisi dengan pekerjaan yang berakhir dengan tersusunnya
Laporan Pemetaan yang berupa Poster. Ada sedikit perbedaan antara Poster yang tersusun di
Bayat dan di luar Bayat. Untuk hasil kerja pemetaan di Bayat Laporsan Berbentuk Poster saja
dan terdiri atas hal-hal wajib sebagai berikut:
Poster harus disusun dengan alur penalaran yang logis, penggambaran, penggunaan
huruf dan layout yang rapi dan menunjukkan kesungguhan kerja para penyusunnya secara
optimal. Ukuran dan hal-hal lain yang menyangkut poster akan ditentukan oleh Panitia
Pelaksanaan Kerja Lapangan.
Untuk hasil kerja pemetaan di luar Bayat, sebelum laporan disusun, semua data harus
diproses, ditabulasikan dan di tafsirkan. Perkerjaan laboratorium perlu dilakukan, minimal
berupa perkerjaan dan daerah pemetaan. Hasil analisis laboratorium tersebut dinyatakan
dalam bentuk lampiran gambar, tabel, diagram, lembar hasil determinasi, fotomikrograp yang
bersama sama dengan copy sketsa dan hasil pemotretan lapangan disatukan dalam bentuk
Buku Data Pendukung Pemetaan. Apabila dikehendaki, dalam buku tersebut dapat diberikan
uraian geologi singkat
(tidak wajib) dari daerah pemetaan berdasar semua data yang dikumpulkan dan dianalisis.
Sedangkan Laporan Utamanya tetap berbentuk Poster, dan terdiri atas hal-hal Wajib sebagai
berikut :
Poster harus disusun dengan alur penalaran yang logis, penggambaran, penggunaan
huruf yang jelas dan layout yang rapi serta menunjukkan kesungguhan kerja penyusunnya
secara optimal. Ukuran dan hal-hal yang bersifat redaksional lain yang menyangkut Poster
akan ditentukan oleh Panitia Pelaksanaan Kerja Lapangan
Setelah Poster Siap dan ditandatangani oleh Dosen pembimbing,maka pada hari yang
ditentukan Poster tersebut harus digelar dan dipertontonkan kepada umum ditempat yang
akan ditentukan oleh Panitia Kerja Lapangan. Selama pergelaran, penyusun harus menunggui
Posternya agar kalau ada pertanyaan dan kritik dari penonton serta Dosen
Pembimbing atau dosen lainnya yang berminat, bisa ditanggapi dan dijawab dengan
baik. Selanjutnya pada hari yang ditentukan, laporan tersebut harus dipresentasikan dengan
moderator Dosen Pembimbing yang bersangkutan, dihadiri oleh peserta lain. Jadwal
Presentasi akan ditetapkan oleh Panitia Pelaksana Kerja Lapangan.
a. Poster lengkap yang dilipat menurut ketentuan dan ukuran yang semestinya.
b. Buku Data, yang berisi hasil pengukuran, hasil tabulasi, hasil determinasi, table
penentuan umur, deskripsi petrologi, kumpulan foto dengan keterangannya secara
lengkap dan lampiran lain yang terkait, dilengkapi kantong untuk menyimpan lipatan
Poster.
c. Album preparat petrologi, paleontologi dan lainnya yang berkaitan, lengkap dengan
nomer contohnya serta pada satuan apa contoh tersebut diambil.
3.2.1 Maksud
Acara ini dimaksud mencari dan mengumpulkan data geomorfologi dari suatu daerah
penyelidikan melalui observasi lapangan serta data citra berupa DEM. Observasi ini
dilakukan dengan cara penjelajahan medan menuju ke tempat atau lokasi yang agak tinggi
dibanding dengan daerah sekitarnya, sehingga dapet diperoleh suatu pandangan burung
(bird’s eye view) dari daerah yang diteliti. Untuk memperoleh data geomorfologi dapat juga
dilakukan dengan menggunakan foto udara stereoskopik maupun peta topografi kontur.
Selain itu dapat dilakukan juga observasi terhadap data citra (DEM) dilakukan dengan
bantuan software Global Mapper \, sehingga dapat diamati kenampakan morfologinya
meliputi kelurusan, rona, dan tekstur permukaan yang dapat diinterpretasi menghasilkan Pete
– Peta Tentatif.
3.2.2 Tujuan
a. Identifikasi faktor – faktor yang dominan yang membentuk bentang alam daerah yang
bersangkutan
b. Pengelompokan daerah yang bersangkutan menjadi satuan – satuan bentang alam
tertentu berdasarkan genesisnya
c. Evaluasi perkembangan daerah yang bersangkutan secara geomorfologis
d. Evaluasi proses-proses eksogenik yang bekerja
Evaluasi tersebut di atas dapat dilakukan secara kualitatif, kualitatif maupun secara
gabungan dari keduanya.
Bentang alam (landform) secara umum dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian besar
yaitu relief dan drainage, dan hasil-hasil budaya manusia yang merupakan satu bagian yang
lebih minor dibanding kedua hal yang di depan. Perkembangan baik relief maupun drainage
tersebut sangat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya differential erosion, yaitu perbedaan-
perbedaan kemudahan (susceptibility) batuan terhadap erosi yang ternyata bervariasi. Bahkan
relief hanya dapat terjadi kalau ada differential erosion ini. Tanpa itu tidak akan terjadi reliief
di permukaan bumi.
Oleh karena adanya differential erosion ini maka relief dan drainage kemudian akan
berkembang. Perkembanagn ini dapat secara terpola maupun tidak terpolakan, sangat
tergantung dari keadaan struktur geologi setempat. Kalau kontrol struktur geologi ini
dominan, maka bentang alam tersebut, baik relief maupun drainage akan berkembang secara
terpola.
Meskipun demikian dalam suatu litologi sering dijumpai sifat0sifat khusus tertentu
yang menghasilkan differential erosion sehingga relief dapat berkembang secara terpola
meskipun kontrol struktur tidak dominan, misal ada batuan sekis dan batu gamping. Pada
sekis karena sifat schistosis-nya dan pada batu gamping kareana sifat yang mudah larut dan
retak-retak. Karena schistosity pada batuan sekis ini, maka erosi akan menghasilkan relief
yang berupa bukit-bukit kerucut yang terpisah-pisah, sehingga dikenal sebagai topografi
berbutir-butir (grain topoghraphy), karena topografinya memberikan kenampakan berbutir-
butir (grain topography)
Selain itu oleh karena struktur geologi dan litologi pembentuknya, perkembangan
relief dan drainag yang terpolakan dapat juga disebabkan oleh jenis proses-proses eksogenik
yang menjadikannya, misalnya apakah proses itu proses fluvial, glasial, eolian, ataupun
marine. Dengan demikian maka untuk mengevaluasi keadaan geomorfologi suatu daerah
harus dilakukan evaluasi dari relief, drainage dan proses-proses eksogenik yang bekerja dapat
dilakukan dengan pemanfaatan data citra (DEM). Pada dasarnya bentang alam adalah
merupakan zone of conflicting dari beberapa faktor dan pada saat seseorang datang kesana
sudah beberapa jauh conflicting factors tersebut berbenturan. Ini akan memberikan apa yang
disebut tingkat perkembangan daerah (intial-early young-young-late young-early nature-
nature-post nature-old age) atau mungkin ada peremajaan (rejuvanasi) dan sebagainya.
Faktor-faktor yang dimaksud adalah:
a. Faktor-faktor eksogenik yang berupa pelapukan (fisik & kimia), erosi dan gerakan
tanah. Semuanya tersebut akan bertujuan membuat perataan atau gradasi. Kalau
perataan turun disebut degradasi dan kalau perataan itu naik disebut agradasi.
Degradasi adalah produk erosi sedangkan agradasi adalah produk deposisi.
b. Faktorfaktor kondisi batuan batuan seperti misalnya kekompakan, komposisi, struktur
sekunder dan sebagainya.
c. Faktor-faktor teknonik, seperti kecepatan uplift, rejuvanasi, keberadaan struktur
geologi dan sebagainya. Semua proses erosi akan selalu terjadi diatas base lave; of
erosion. Intensitas erosi naik kembali kalua permukaan bumi diangkat menjauh lagi
dari base lavel ini. Hal ini dikenal sebagai proses rejavinasi dengan ciri-ciri relief
berpa teras, entrenched meander dan sebagainya.
Faktor-faktor tersebut dapat dianalisa lebih lanjut dengan bantuan Citra Satelit, DEM,
Peta topografi, serta Peta geologi Regional untuk mendapatkan :
Dalam evaluasi bentang alam suatu daerah, peneliti akhirnya harus mampu
memilahkan mana diantara faktor-faktor yang telah disebutkan di atas tersebut yang
merupakan faktor dominan dan mana yang baik. Ini sendiri akhirnya akan menuju kepada
pembagian satuan bentang alam dan morfogenesis yang akhirnya akan menghasilkan peta
geomorfologi daerah penyelidikan.
3.2.4 Pelaksanaan
a. Amati dengan baik apakah daerah yang diteliti terdiri dari satu bentukan bentang
alam (homogen) atau lebih dari satu (heterogen). Misalnya saja, apakah daerah yang
diteliti tersebut hanya terdiri dari dataran saja, perbukitan saja, atau sebagian
merupakan dataran dan sebagian merupakan perbukitan. Apabila perbukitan, apakah
seluruh perbukitan tersebut mempunyai relief yang sama atau ada perbedaan. Dari
langkah pertama ini akan diketahui homogenitas/heterogenitas dari daerah tersebut
sehingga dapat diketahui ada berapa calon satuan geomorfologi yang mungkin ada di
daerah tersebut.
b. Untuk setiap calon satuan geomorfologi yang mungkin ada, amati dan ukur elevasi
rata-rata dari puncak-puncaknya, besarnya sudut lereng rata-rata,
keruncingan/kepapakan puncak-puncaknya, serta tingkat keterbikuan masing-masing.
Langkah kedua ini merupakan manifestasi dari morfometri. Lakukan perbandingan
dari harga-harga yang diperoleh. Kalau dari dua calon satuan geomorfologi ternyata
mempunyai harga unsur-unsur geomorfik yang hampir sama, satukan saja kedua
satuan tersebut. Untuk mendirikan dua satuan yanng berbeda, perbedaan hasil
pengukuran unsur morfologi di kedua calon satuan tersebut harus nampak jelas, kalau
perlu dapat dibuktikan dengan melakukan pengetesan secara statistis.
c. Setelah langkah penyatuan tersebut dilakukan, amati dengan baik apakah ada tatanan
atau pola dari relief yang ada, baik secara keseluruhan meupun di dalam setiap satuan
itu sendiri. Langkah ketiga ini merupakan usaha untuk melihat apakah ada suatu
morphoarrangement tertentu di daerah tersebut. Kalau pola itu ada, bagaimana
bentuk pola itu, linier, linier melengkung, kumpulan acak, perjenjangan dan
sebagainya.
d. Amati penyaluran di daerah tersebut sejauh tampak dari tempat pengamatan.
Perhatikan apakah aspek-aspek dari penyaluran yaitu pola, kerapatan dan stadianya
berkembang merata di seluruh daerah atau hanya di bagian tertentu. Seandainya
perkembangannya tidak merata, apakah perbedaan perkembangan tersebut terjadi
sesuai dengan satuan morfologi yang dilalui oleh penyaluran tersebut.
Maksud
Tujuan
Pengertian dasar
Sebaliknya pengukuran dapat pula dilakukan hanya pada sebagian dari suatu formasi,
sehingga hanya meliputi atau lebih satuan lithostratigrafi yang lebih kecil dari formasi,
misalnya anggota atau bahkan hanya beberapa saja.
Pengukuran jalur yang dilakukan dimaksudkan untuk memperoleh informasi yang jelas
tentang:
Semua informasi yang diperoleh dari pengukuran tersebut dilaporkan dalam bentuk
kolom. Pada kolom tersebut ditunjukkan gambaran utuh dari kondisi stratigrafi yang terdapat
sepanjang jalur yang diukur, sesuai dengan apa yang ditemukan di lapangan. Sedangkan
penggambaran kolom menggunakan skala tertentu. Dengan sendirinya tingkat ketelitian
aspek yang tergambarkan akan sangat tergantung pada skala yang dipakai serta apa tujuan
dari pembuatan jalur terukur tersebut. makin besar skala yang digunakan, semakin tinggi
ketelitiannya.
Tujuan
Dengan dasar pembagian tersebut, maka kolom stratigrafi yang diperolah dari jalur yang
diukur tadi siap dijadikan dasar untuk :
1. Penentuan batas secara tepat dari satuan-satuan stratigrafi formal maupun informal,
yang dalam peta dasar yang dipakai terpetakan atau tidak, sehingga akan
meningkatkan ketepatan dari pemetaan geologi yang dilakukan di tempat dimana
dilakukan pengukuran tadi.
2. Penafsiran lingkungan pengendapan satuan-satuan yang ada di kolom tersebut serta
sejarah geologi sepanjang waktu pembentukan kolom tersebut.
3. Sarana korelasi dengan kolom-kolom yang diukur di jalur yang lain.
4. Pembuatan penampang atau profil stratigrafi (stratigraphic section) untuk wilayah
tersebut.
5. Evaluasi lateral (spatial = ruang) dan vertical (temporal = waktu) dari seluruh satuan
yang ada ataupun sebagian dari satuan yang terpilih, misalnya saja :
a. Lapisan batu pasir yang potensial sebagai reservoir.
b. Lapisan batubara.
c. Lapisan yang kaya akan fosil tertentu.
d. Lapisan bentonit dan lain-lain.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan pengukuran jalur adalah :
1. Pada jalur yang direncanakan tersebut harus dijumpai singkapan yang cukup banyak,
sedapat mungkin menerus.
2. Jalur tersebut tidak terganggu oleh struktur, terutama struktur sesar. Seandainya
struktur sesar tidak bias dihindari maka lapisan yang terpotong oleh sesar harus
dengan mudah dilakukan pengamatan dan pengukuran.
3. Singkapan-singkapan yang terukur hendaknya dijumpai di tempat yang mudah
didatangi dan mudah dilakukan pengamatan dan pengukuran.
4. Jurus dan kemiringan sepanjang lintasan yang akan diukur hendaknya diperiksa dan
diketahui betul. Pengamatan dan pengukuran hanya akan memberikan hasil yang
baik kalau jalur tersebut diukur pada arah kurang lebih tegak lurus pada jurus dari
batuan yang ada di lintasan jalur terrsebut.
5. Perlu diteliti apakah pada rencana jalur dapat dijumpai lapisan kunci (key bed atau
marker) seperti misalnya : lapisan bentonit, lapisan lignit/ batubara, lapisan yang tipis
tapi kaya akan fosil tertenut misalnya moluskan dan sebagainya. Adanya lapisan
kunci ini nantinya akan sangat mempermudah dilakukannya korelasi antara jalur yang
diukur tersebut dengan jalur-jalur yang dibuat di tempat lain. Segingga dapat
dibangun suatu profil stratigrafi yang teliti dan baik.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka tempat yang ideal untuk melakukan
pengukuran jalur adalah :
1. Tebing bukit yang tak terlalu curam dan mengalami erosi sehingga perlapisan
batuannya tersingkap dengan baik.
2. Sepanjang tebing sungai, terutama sungai yang konsekuen dan obsekuen, dimana
aliran sungai tersebut memotong jurus dari perlapisan batuan.
Dalam kenyataan, sering pada kedua tempat tersebut di atas belum dapat dijumpai
urutan batuan yang utuh . untuk itu kekurangan data tersebut harus dapat ditemukan di
tempat lain, antara lain di tepian jalan, pada tempat penggalian (quarries), tebing galian
pekarangan rumah di lereng bukit dan lain sebagainya. Pengukuran yang dilakukan di luar
jalur utama ini kemudian diintegrasikan ke dalam hasil pengukuran di jalur utama.
Pengukuran dengan menggunakan jalur tambahan ini akan menghasilkan suatu jalur yang
disebut sebagai jalur majemuk (composite section). Hal ini dapat dilakukan dengan catatan
bahwa antara jalur utama dengan jalur tambahan tadi memiliki suatu lapisan batuan tertentu
yang sepadan dan menjadi penghubung dari kedua jalur tersebut.
Untuk daerah yang mempunyai vegetasi lebat, yaitu daerah yang masih berhutan
alami dan belum banyak didatangi orang, misalkannya saja seperti di irian jaya atau di
pedalaman kalimantan, maka pengamattan di aliran sungai merupakan satu-satunya cara
untuk memperoleh data geologi bagi keperluan jalur terukur. Sedangkan untuk daerah hutan
produksi (misalnya saja hutan jati di jawa) atau daerah perkebunan, maka disamping sungai ,
jalan setapak merupakan tempat untuk memperoleh data litologi/ stratigrafi. Hal ini
disebabkan karena jalan-jalan setapak tersebut secara periodik diperbaharui dengan
melakukan penggalian/ pembersihan dari semak. Dengan demikian dimungkinkan batuan
yang relatif segar akan tersingkap di sepanjang jalan setapak tersebut.
Ada dua metode yang biasa dilakukan dalam usaha pengukuran jalur stratigrafi, Metode
tersebut adalah :
Metode rentang tali atau yang dikenal juga sebagai metode Brunton and tape
(Compton, 1985; Fritz & Moore, 1988) dilakukan dengan dasar perentangan tali atau meteran
Panjang. Semua jarak dan ketebalan diperoleh berdasar rentangan terbut. Pengukuran dengan
metode ini akan langsung menghasilkan ketebalan sesungguhnya hanya apabila dipenuhi
syarat sebagai berikut:
Namun, karena rentangan tali cukup Panjang (30 - 50 m) dan kondisi topografi daerah
pengukuran sering tidak memungkinkan arah rentangan dapat diletakkan pada-arah tegak
lurus jurus perlapisan, maka ketebalan yang dihasilkan biasanya bukanlah ketebalan yang
sebenarnya. Demikian pula di antara kedua ujung tali tersebut kemungkinan sudah terjadi
perbedaan jurus/kemiringan. Keadaan ini juga berakibat bahwa ketebalan terukur bukanlah
ketebalan sesungguhnya. Oleh karena itu, hasil penggambaran kolom yang ada di dalam
formulir pengukuran lapangan masih berupa ketebalan semu. Ketebalan yang terukur
tersebut masih harus dikoreksi atas dasar perbedaan : arah rentangan terhadap jurus, posisi
lereng terhadap kemiringan serta kemungkinan terjadinya perubahan jurus/kemiringan
diantara kedua ujung rentangan tali. Karena harus dilakukannya koreksi-koreksi tersebut,
maka untuk memperoleh gambaran kolom dengan ketebalan yang sesungguhnya secara teliti
(dengan skala tertentu), diperlukan waktu kerja yang cukup lama. Metode rentang tali ini
harus dikerjakan oleh sekurang-kurangnya 2 orang dan cocok untuk medan yang tidak terlalu
bergelombang (tidak terlalu sering terjadi perubahan lereng pada jarak yang dekat) serta
daerah yang tidak terganggu oleh struktur.
1. Sebelum pengukuran jalur dimulai, supaya dilakukan orientasi dari jalur yang akan
diukur (dengan dasar peta topografi yang tersedia), sehingga diperoleh lintasan yang
paling layak untuk dilakukan pengukuran. Lintasan yang layak adalah lintasan yang
memenuhi persyaratan :
a. Mudah dikenal lokasinya pada peta dasar.
b. Memiliki urutan litologi yang cukup lengkap, mewakili wilayah tempat dilakukan
pengukuran, singkapannya cukup segar sehingga dapat dilakukan pengamatan
dengan baik.
c. Tebing-tebing yang dilewati jalur pengukuran tidak terlalu curam dan masih cukup
layak untuk dapat dikerjakan secara normal dan aman.
d. Struktur geologinya sederhana sehingga sebagian besar pekerjaannya dapat
dilakukan pada lintasan yang tegak lurus jurus perlapisan.
2. Selesai melakukan orientasi, tentukan titik awal dan titik akhir dari suatu jalur sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai. Setelah jalur diperoleh, kedua ujung dari jalur
tersebut supaya ditandai dengan patok sehingga jelas titik awal dan titik akhirnya.
Kedua titik tersebut supaya diplot secara tepat di peta dasar. Pemerian lokasi dari titik
awal dan titik akhir perlu dilakukan secara lengkap dan cermat agar kalau dikemudian
hari ada peneliti lain yang ingin melihat sendiri situasi sebenarnya dari kolom
stratigrafi yang dihasilkan, jalur yang diukur tersebut dapat dengan mudah ditemukan
kembali. Apabila mungkin, kedua ujung titik ini supaya dihitung koordinatnya.
3. Pengamatan, pengukuran dan pencatatan dapat dimulai dari bagian atas atau bagian
bawah dari jalur, tergantung mana yang lebih praktis dan efisien. Untuk titik awal
pengukuran, sebut titik itu sebagai titik 1, sedangkan ujung tali yang lain sebagai titik
2. Setelah selesai mengukur dan mencatat antara titik 1 dan 2, tali digeser. Ujung
yang semula berada di titik 1 sekarang di titik 2, sedang ujung yang semula di titik 2
sekarang bergeser ke titik baru, yaitu titik 3. Demikian seterusnya.
Apabila kondisi lereng tidak telalu bergelombang pada jarak yang dekat, litologinya
relatif homogen dengan jurus dan kemiringan yang relatif tetap serta tidak dijumpai
adanya struktur sesar atau lipatan, maka rentangan pita ukur/tali Panjang secara
maksimum. Sebelum melakukan pencatatan, periksalah apakah diantara kedua ujung
rentangan tersebut dijumpai sisipan-sisipan yang penting, misalnya adanya lapisan
bentonite, batubara, tekstur atau struktur sedimen yang khas dan lain sebagainya.
Kalau sisipan-sisipan itu ada, maka posisinya supaya ditentukan secara tepat dalam
rentang pengukuran, sehingga nantinya posisi dari sisipan-sisipan tersebut dapat
digambarkan secara tepat pula di penampang atau kolom yang akan dihasilkan.
5. Kalau dalam jalur yang diukur ditemukan perubahan litologi dengan kontak yang
tajam (misalnya kontak antarabatu lempung dengan breksi), suatu sesar atau suatu
bidang ketidakselarasan, maka jadikan batas tersebut sebagai ujung rentangan dan
pada titik tersebut beri nomor baru. Rentangan yang berikutnya dimulai dari batas
tersebut. Khusus untuk batas yang berupa sesar, awa dari rentangan yang berikutnya
harus terletak pada perlapisan yang merupakan kelanjutan dari perlapisan yang tepat
berada di sesar tersebut.
6. Lakukan pencatatan dari apa-apa yang dilakukan dengan prosedur yang baik. Semua
pecatatan supaya langsung dilakukan di lapangan pada formulir yang disediakan.
Pemerian dan pencatatan data litologi supaya dilakukan dengan cermat, menyeluruh
dan meliputi segala aspek stratigrafis yang terdapat pada bagian yang sedang diukur
dan menggunakan tanda/simbol yang dibakukan (Gambar 3.1).
a. Nama batuan penyusun suatu singkapan atau suatu satuan, fraagmen utama,
pencampur, matriks, dan semennya serta kemungkinan ada batuan lain yang
menyisip.
b. Warna utama baik dalam keadaan segar maupun dalam keadaan lapuk.
Gambar 3.1 Simbo ukuran butir, litologi, struktur sedimen dan jenis batas bawah litologi
yang digunakan dalam penggambaran kolom dengan menggunakan metode
graphiclog dari Selley (1985).
9. Perhitungan ketebalan sedapat mungkin harus dlakukan pada arah yang memotong
tegak lurus jurus perlapisan. Apabila jara terukur sudah merupakan jarak yang tegak
lurus terhadap arah jurus (jalur 1’-2’, gambar 3.2), maka ketebalan t langsung
diperoleh dengan menggunakan perhitungan :
Apabila jarak terukur tidak tegaklurus jurus, perhitungan jarak dan ketebalan (jalur 1’-2’)
diperoleh dengan menggunakan rumus :
t = d’ cos θ sin α
Gambar 3.2 Pengukuran ketebalan perlapisan miring pada daerah datar (Compton,
1985)
adalah penyiku sudut antara jurus dan arah penampang. Pengukuran ketebalan pada
daerah yang berlereng perlu mempertimbangkan posisi/arah kemiringan perlapisan
Gambar 3.4 Busur Tangier Smith untuk koreksi kemiringan (Compton, 1985)
Gambar 3.6 Pengukuran ketebalan perlapisan batuan yang kemiringannya lebih kecil
dari kemiringan lereng.(Compton, 1985)
Gambar 3.8 Pengukuran ketebalan perlapisan batuan yang membentuk sudut lancip
Dengan lereng . ( Compton, 1985 )
Gamabr 3.9 Pengukuran ketebalan pada lapisan batuan yang membuat sudut tumpul dengan
lereng (Compton, 1985).
Gambar 3.10 Pengukuran ketebalan untuk perlapisan dengan posisi mendatar t = d sin (90-
slope) (Compton, 1985).
11. Selama pengukuran supaya dilakukan penggambaran kolom litologi sesuai dengan
yang ada di lapangan dengan ketebalan yang sesuai dengan pengukuran.
12. Apabila ada pengukuran diketahui ada litologi yang meragukan atau ada
kenampakan-kenampakan yang khas yang memerlukan penelaahan lebih lanjut, maka
perlu dilakukan pengambilan contoh dari hal hal yang khusus tadi. Posisi, dan lokasi
pengambilan contoh tadi perlu diberi nomer dengan urutan sistematis.
13. Apabila titik terakhir telah tercapai, maka harus sudah dapat dipastikan bahwa
a. Formulir pengukuran sudah terisi seluruh data pengukuran.
b. Sketsa kolom litologi sudah diselesaikan pada kolom yang disediakan
c. Semua contoh sudah diberi nomer dan lokasi/posisi pengambilannya, sudah di plot
paa kolom litologi di formulir pengukuran.
14. Sebelum meninggalkan tempat pengukuran dianjurkan agar rombongan pengukur
melakukan pengecekan sekali lagi dengan cara kembali ke titik awal. Pengecekan ini
perlu dilakukan untuk :
a. Mengecek apakah semua pencatatan baik di formulir maupun notes lapangan
sudah lengkap.
b. Mengecek apakah sketsa litologi sudah mngikuti keadaan sebenarnya.
Metoda yang kedua yaitu metoda Jacob pada hakekatnya adalah metoda yang
mengkompromikan ketepatan pengukuran (efektifitas) serta kecepatan waktu (efisiensi)
(Fritz & Moore, 1988). Metoda ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan tongkat Jacob
yang panjangnya 1,5m. Semua ketebalan diukur dengan dasar tongkat tersebut. Oleh karena
tongkat pendek ini, maka ketebalan singkapan sesungguhnya dapat diukur secara langsung
tanpa harus melakukan koreksi terhadap perubahan kelerengan. Demikian pula karena pada
tongkat ini dilengkapi dengan klinometer, maka koreksi terhadap kemiringan dapat dilakukan
langsung di lapangan, sehingga kolom yang dihasilkan pada catatan/formulir lapangan adalah
kolom dengan tebal sebenarnya (dengan skala tertentu). Kelebihan dari metoda Jacob ini
adalah metoda ini cocok untuk semua kondisi medan dan dapat dilakukan satu orang saja.
1. Pita ukur panjang atau tali panjang diganti dengan tongkat Jacob (gambar 3.12).
2. Formulir pengukuran menggunakan formulir pengukuran khusus metoda tongkat
Jacob.
Gambar 3.12 Tongkat Jacob (Jacob’s staff) untuk pengukuran jalus stratigrafi (Compton,
1985)
2. Untuk penkuran yang dilakukan mulai dari bagian bawah suatu jalur suatu jalur, pada
awal pengukuran letakkan ujung bawah tongkat Jacob di titik terbawah jalur.
Sebutitik ini sebagai titik 0.
3. Dengan menggunakan clinometer yang ada pada ujung tongkat,letakkn tongkat pada
posisi tegak lurus kemirigan. Setelah itu lakukan pembidikan lewat ujung atas
tongkat. Tandai perpotongan garis pembidikan tersebut dengan permkanaan sinkapan
batuan dan sebut titik tersebut sebagai titik 1. Lebar singkapan antara titik 0 dan 1
mempunyai ketebalan sama dengan tongkat Jacob yaitu 1,5 meter (lihat gambar 3.13).
4. Titik yang terletak pada 1,5 ketebalan sesungguhnya dari 0 disebut titik1. Selanjutnya
titik yang terletak 1,5 meter di atas titik 1 disebut 2 demikian seterusnya .
5. Pengukuran seperti tersebut pada anka 3 dan 4 diteruskan sampai dijumpai batas tegas
karena adanya perubahan litologi yan jelas, sesar atau ketidakselarasan batas –batas
itu supaya menjadi akhir dari suatu pengukuran dan sekaligus menjadi awal dari
prngukuranbrikutnya
Gambar 3.13 Pengukuran ketebalan dengan menggunakan tongkat Jacob (Compton, 1985)
6. Kolom litologi yang digambar dan diperi formulir pencatatn lapangan sudah
merupakan kolom dengan ketabalan sesunggunhnya dengan skala 1 :100
7. Dalam pengukura, posisi dari hal-hal yang penting misalnya adanya sisipan
tipis,horison fosol, lapisan bentonit, lapisan batuba, struktur sedimen yang khas, dan
sehinga nantinya posisi dari hal-hal tersebut dapat pula digambarkan secara tepat di
dalam penampang atau kolom.
8. Pemerian dan pencatatan data litologi supaya diakukan dengan cermat, meneluruh
dan meliputih segala aspek strtigrafi yang ada pada bagian yang sedang diukur dan
mengunakan tanda/simbol yang dibabukan. Dianjurkan agar dalam pemerian tersebut
diikuti urutan/sisteematik sebagai berikut:
a. Nama batuan pensumn suatu sinkapan atau suatu, fragmen utama, pencampur,
matruiks dan semennya serta kemungkinan ada batuan lain yang menyisip.
b. Warna utama baik dalam keadaan segar maupun dalam keadan lapuk.
c. Kedududukan (jurus dan kemiringan ) dari litologi tersebut.
d. Pemerian litologi meliputi: kisaran ukuran butir masing-masing komponene,
kemas, komposisi mineral utama kandungan fosil baik yang body fosil ataupun
trace fosil.
e. Struktur sedimen yang khas
f. Hal-hal lain yang secara geologis/stratigrafis perlu dicatat.
g. Macam dan bentuk kontak dengan litologi/satuan di atas/di bawahnya.
9. Apabila pada pengukuran ada litologi yang membingunkan atau ada kenampakan-
kenampakan yang khas yang memerlukan penelaahan lebih lanjut, maka perlu
dilakukan pembagian contoh dari hal-hal yang khusus tadi. Lokasi pengambilan
contoh tadi perlu ditentukan dengan tepat pada kolom yang akan dibuat. Contoh
tersebut perlu diberi nomer dengan urutan yang sistematis.
10. Apabila titik terakhir telah tercapai, maka harus sudah dapat dipastikan bahwa:
c. Semua contoh sudah diberi nomer dan lokasi/posisi pengambilannya sudah diplot
pada kolom litologi di formulir pengukuran.
a. Mengecek apakah semua pencatatan baik di formulir maupun notes lapangan sudah
lengkap.
Kolom litologi yang dihasilkan sangat tergantung pada tujuan dari pekerjaan
pengukuran jalur itu sendiri. Apabila jalur tersebut diukur sebagai kelengkapan dalam
pekerjaangeologi, maka biasanya diperlukan kolom yang mempunyai skala vertikal 1 : 100
sampai 1 : 500. Sedang untuk beberapa keperluan lain, bisa dibuat pada skala yang lebih
besar atau lebih kecil, tergantung pada kebutuhan.
Cara penggambaran kolom yang terbentuk juga sangat tergantung pada untuk apa
kolom tersebut. Kolom yang ditujukan untuk analisa perkembangan sedimentasi tentunya
sangat memerlukan ditonjolkannya unsur tekstur, ukuran butir, hubungan vertikal, kemas dan
macam serta komposisi litologi. Untuk ini cara penggambaran dengan menggunakan metoda
graphic log seperti yang dikemukakan oleh Bouma (1962) atau Selley (1985) sangat
menguntungkan, (lihat gambar 3.1 dan 3.14). Sedangkan untuk pembuatan kolom yang tidak
terlalu tebal tapi memerlukan kecermatan pengutaraan tekstur dan kemasnya misalnya dalam
kerangka analisa event stratigraphy ataupun pengutaraan stratigrafi detil dari galian
arkeologis/paleoantropologis, cara penggambaran seperti yang dilakukan oleh Frazier &
Taylor (1980, gambar 3.15) dapat diikuti. Selanjutnya apabila analisa tekstur dan kemas
bukan merupakan tujuan dari pengukuran jalur, tetapi misalnya saja jalur diukur untuk
analisa biostratigrafi, maka cara penggambaran kolom seperti yang dilakukan di daerah Niten
oleh Kadar (1981, gambar 3.16) dapat diikuti.
Gambar 3.14 Penampang stratigrafi dari seri Yoredale dengan menggunakan metoda
graphic log (Selley,1985)
Gambar 3.15 .Kolom litologi yang menekankan kepada unsur tekstur dan kemas
(Frazier & Taylor, 1980).
Gambar 3.16 Kolom litologi yang dibuat untuk suatu keperluan yang tidak terlalu
menekankan pada unsur tekstur, kemas maupun struktur sedimen (Kadar,1981)
Hasil pembuatan / pekerjaan profil lintasan dari setiap lintasan yang sudah
menggambarkan jumlah satuan batuan dan hubungan stratigrafi setiap satuan batuan dicoba
untuk melakukan korelasi antar profil lintasan sehingga dapat diketahui penyebaran vertikal
dan lateralnya. Hasil korelasi stratigrafi antar lintasan akan menghasilkan kolom stratigrafi
daerah. Hal tersebut dapat dilakukan dengan kondisi singkapan yang baik antar lintasan dan
dapat dilakukan pengukuran stratigrafi.
Apabila kondisi lintasan tidak terlalu lengkap (baik) dapat menggunakan kombinasi
antara stasiun dan pengamatan dan stratigrafi terukur tiap lintasan sehingga merupakan
penggabungan data stratigrafi dari bawah (tua) hingga ke atas (lebih muda) dari seluruh
stratigrafi daerah pemetaan.
Penggabungan data stratigrafi daerah dapat berasal dari penggabungan antar kolom
stratigrafi stasiun pengamatan (SP) atau yang sering disebut lintasan gabungan (composite
section).
Setelah didapatkan kolom stratigrafi stasiun pengamatan, maka data tersebut dapat
digunakan untuk membuat sejarah pengendapannya.
Acara pengukuran struktur geologi diselenggarakan dengan maksud dan tujuan agar
kepada peserta dapat:
a. Memperoleh bekal kemampuan untuk mengenal, dan membedakan struktur yang ada
dilapangan.
b. Mengukur dan menyajikan data struktur dalam bentuk daftar, diagram dan lain
sebgainya.
c. Menganalisis data struktur untuk menjelaskan bagaimana pembentukannya.
d. Mencari kemungkinan adanya hubungan pembentukan masing-masing struktur yang
ada
Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 75
BAB III – PEMETAAN GEOLOGI
e. Menafsirkan gaya tektonik yang bekerja di suatu daerah dimana struktur tersebut
ditemukan di lapangan.
Dalam melaksanakan latihan ini para peserta akan dibawa oleh pembimbing ke
beberapa singkapan batuan yang strukturnya dapat diamati dan diukur dengan mudah.
Pembimbing akan memberikan penjelasan seperlunya tentang struktur yang ada dan hal-hal
lain yang harus dikerjakan oleh peserta di lapangan maupun di Stasiun Lapangan. Pekerjaan
lapangan dilakukan satu hari untuk mencari data. Malam harinya dari satu hari berikutnya
para peserta melakukan pemrosesan data, dianalisis dan dibuat laporannya.
Untuk pelaksanaan acara latihan Analisis Struktur Geologi ini diperlukan peralatan:
Analisis data struktur geologi secara dekriptif geometri dilakukan dengan cara
mengubah bentuk yang sesungguhnya ke dalam bentuk dua dimensi dengan proyeksi.
Berdasarkan metodanya, proyeksi dibedakan menjadi:
1. Proyeksi ortogonal yaitu penggambaran obyek dengan garis proyeksi dibuat saling
sejajar dan tegak lurus terhadap bidang proyeksi.
2. Proyeksi stereografis yaitu penggambaran berdasarkan kepada perpotongan garis atau
bidang dengan permukaan bola.
3. Proyeksi perspektif yaitu proyeksi suatu obyek terhadap satu titik, misalnya proyeksi
kutub.
Proyeksi stereografis dan proyeksi kutub merupakan suatu cara yang fundamental
dalam menganalisa dan memecahkan masalah yang meliputi hubungan garis dengan bidang
dalam ruang tiga dimensi. Beberapa stereonet yang mungkin digunakan adalah Wulf net
(equal angle net) dan Schmidt net (equal area net), Polar Equal Area Net dan Kalsbeek net.
Wulf net (gambar 3.17) yang digunakan untuk memecahkan masalah-masalah geometri
dimana konstruksi geometris dibuat pada jaring (net). Equal Area net (gambar 3.18) adalah
proyeksi titik-titik pada permukaan bola pada bidang proyeksi sedemikian sehingga titik-titik
pada permukaan bola yang berjarak sama akan digambarkan pada bidang proyeksi dengan
jarak yang sebanding dan sama. Jadi jarak lingkaran besar sepanjang lingkaran kecil akan
konstan dari pusat ke tepi. Proyeksi equal area ini lebih umum digunakan untuk
memecahkan masalah-masalah geometri dan untuk evaluasi orientasi dat asecara statistik
karena kerpatan hasil plotting menunjukkan keadaan yang sebenarnya. Bila data struktur
yang terkumpul cukup banyak (secara statistik 50 data) lebih tepat evaluasi statistiknya
dengan menggunakan jaring penghitung Kalsbeek net (gambar 3.19).
Proyeksi Stereografis
Busur lingkaran ini disebut sebagai lingkaran besar (great circe). Selain itu ada juga
lingkaran kecil yang merupakan perpotongan antara bidang proyeksi dengan bidang yang
tidak melalui pusat bola. Perpotongan lingkaran-lingkaran kecil degan lingkaran primitif
merupakan tempat untuk memplot jurus suatu bidang atau bearing suatu garis, menentukan
pitch/rake suatu struktur garis pada bidang tertentu dan sebagai jejak-jejak perputaran suatu
bidang/garis.
Gambar 3.20 Gambaran tiga dimensi hubungan proyeksi permukaan bola, pembuatan
lingkaran besar dan lingkaran kecil (Compton, 1985).
Pada proyeksi stereografis struktur garis diplot sebagai titik sedangkan struktur
bidang diplot sebagai busur lingkaran besar tapi mungkin juga dapat ditunjukkan oleh kutub-
kutub pada bidang yang diplot sebagai titik (gambar 3.22)
Proyeksi Kutub
Proyeksi kutub yaitu proyeksi suatu obyek terhadap suatu titik. Obyek yang
dioperasikan tersebut dapat berupa garis atau bidang (Gambar 3.23). Pada proyeksi ini sudut
0° dimulai dari pusat lingkaran dan sudut 90° pada lingkaran primitif.
A. Penggambaran Garis
Contoh : Gambarkan garis 30°, S42°E
Gambar 3.21 Proyeksi stereografis dari bidang dan hemisper bawah kutub pada bidang
(Compton, 1985)
Gambar 3.22 Proyeksi kutub (a). Proyeksi kutub sebuah garis (b). Proyeksi kutub sebuah
bidang (Compton, 1985).
Proyeksi kutub sebuah garis adalah titik tembus garis tersebut dengan bidang
pemukaan bola imajiner. Dengan Schmidt net, Wulf net atau polar net proyeksi garis berupa
titik. Trend dihitung pada lingkaran primitif, plunge dihitung dari luar ke pusat.
B. Penggambaran Bidang
1. Letakkan kertas kalkir diatas streonet. Buat lingkaran primitive dan tandai titik utara,
selatan,timur, dan barat.
2. Tentukan titik yang mewakili jurus dengan menghitung 30⁰ dari N searah jarum jam.
3. Putar kalkir berlawanjarum jam hingga titik tersebut tepat berada di N, yang berarti
memutar sebesar 30⁰ berlawanan arah jarum jam dari posisi semula.
4. Untuk menentukan lingkaran besar yang mewakili bidang yang dimaksud, hitung 40⁰ dari
pinggir kea rah pusat net sepanjang diameter E – W. telusuri dan buat garis.
Kembalikan kalkir keposisi semula. Titik tersebut adalah proyeksi kutub dari dari bidang N
30 ⁰E/40⁰E
Dengan polar net, jurus N 0⁰ E diplot pada sisi W (bukan N). Dip dihitung dari pusat ke tepi.
Sedangkan N 90⁰ E diplot pada N, dan seterusnya.