Anda di halaman 1dari 50

BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

BAB III
PEMETAAN GEOLOGI
3.1 Tujuan Umum
Pemetaan Geologi adalah serangkaian pekerjaan lapangan yang bertujuan unutk
menyusun Peta Geologi. Peta Geologi sendiri merupakan peta yang menunjukkan gambaran
dua dimensional, yang merupakan proyeksi vertical, dari pelaparan kelompok-kelompok
(satuan) bataun yang ada di permukaan bumi di suatu daerah,termasuk juga juga konfigurasi
struktur yang ada di dtempat itu.semua unsur geologi yang ada dilapangan digambarkan pada
Peta Geologi dalam bentuk tanda,symbol atau warna.Sesuai dengan defenisinya, maka pada
peta geologi akan terdapat penyebaran satuan batuan dan struktur yang ada. Untuk
mempermudah pemahaman struktur serta untuk mengetahui hubungan antar kelompok
batuan, pada peta geologi biasanya disertakan pula penampang (profil).Sedangkan untuk
mengetahuihubungan vertical antar satuan serta memberi penjelasan tentang arti dari semua
tanda dan warna yang ada/ digunakan pada peta geologi tersebut.
Peta geologi dapat dibedakan atas dasar tingkat ketelitian maupun tujuanya.Berdasar
atas tingkat ketelitiannya, petageologi terbagi menjadi 3 jenis, masing-masing:
a. Peta geologi pendahuluan (reconnaissance geologic map). Peta ini biasanya bersakala
kecil(1:100.000 untuk P, jawa dan 1:250.000 untuk daerah luar jawa), meliputi daerah
yang agak luas
b. Peta geologi semi detail: disusun pada skala lebih besar dari 1:50.000 atau maksimal
dengan skala 1:250.000
c. Peta geologi detail: disusun pada skala 1:25.000 atau lebih besar(1:12.500)
Sedangkan berdasarkan atas tujuannya (peta geologi tematik) dikenal:
a. Peta geologi umum atau keilmuan, tanpa suatu tujuan khusus selain menunjukkan
keadaan geologi daerah itu secara menyeluruh.
b. Peta geologi ekonomi: ini merupakan peta geologi yang sudah diarahkan pada tujuan
khusus geologi ekonomi, misalnya peta cadangan bahan galian, peta mineralisasi, peta
laterasi, peta metamorfosisme dsb.
c. Peta geologi tekik: ini merupakan peta geologi yang sudah diarahkan pada tujuan
khusus geologi Teknik, misalnya: peta gerakan tanah, peta daaya dukung, peta material
quarry dsb.

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 35


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

d. Peta geologi tematik lainnya


Setiap peta geologi tematik tersebut mengandung penekanan hal-hal tertentu, sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai.

Latihan yang diselanggarakan dalam rangka pemetaan Geologi TG 2017 bertujuan untuk
menghasilkan peta geologi detail. Pemetaan diselanggarakan di daerah Karangsambung,
dengan pelaksanaan beregu. Skala peta dan luasan peta yang digunakan pada Pemetaan
Geologi di daerah Karangsambung, menggunakan peta skala detail yaitu 1:12.500 dengan
luas 3x3 km2,sehingga akan menghasilkan peta geologi dengan skala yang detail.

3.1.1 Hakekat Pemetaan Geologi


Pemetaan geologi dimaksudkan sebagai segala usaha untuk mengetahui data geologi
yang ada di suatu daerah,yang dituangkan dalam bentuk peta geologi dengan tujuan agar
keadaan geologi daerah tersebut dapat diketahui dan dievaluasi.Hal ini tertuang dalam tujuan
pokok pemetaan geologi yaitu :
a. Megetahui gejala dan proses geologi apa saja yang ada dan terjadi di daerah pemetaan
pada saat pemetaan berlangsung. Ini merupakan fase pengamatan (fase observasional)
dari pemetaan geologi ,dimana semua data yang ada dikumpulkan dan ditabulasi dalam
bentuk peta geologi.
b. Mengetahui gejala dan proses geologi yang pernah ada di daerah pemetaan sepanjang
waktu geologi, terhitung sejak terbentuknya batuan yang tertua di tempat itu hingga
masa kini ,saat pemetaan dilakukan. Fase ini disebut fase penafsiran (fase
inferensial/rekontruksional),dimana semua data yang diperoleh di lapangan
ditabulasi,dianalisis dan disintesakan kembali,antara lain dalam bentuk
profil,kolom,hasil analisis petrografi,paleontologi,sedimentologi dsb. Yang kemudian
dipakai sebagai bahan rekontruksi apa saja (morfologi,litologi,tektonik) yang pernah
terjadi di tempat ini yang berkitan dengan geologi.Secara populer inidisebut
rekontruksi sejarah geologi.
c. Mengetahui potensi geologi daerah tersebut, baik potensi positif (sumber daya geologi)
maupun potensi negatif (potensi bencana). Fase ini disebut Fase evaluasi ,yan hasilnya
akan menjadi pertimbangan dalam mengembangkan daerah tersebut di kemudia hari.

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 36


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

Tiga tujuan pokok tersebut diatas merupakan hakekat dari pekerjaan pemetaan
geologi. Dengan demikian maka di dalam semua tahap pemetaan ,si pemeta harus selalu
ingat dan mengkaitkan seluruh apa yang dikerjakannya ke arah pencapaian tiga tujuan pokok
tersebut. Tanpa mengigat tujuan pokok tersebut aka pekerjaan pemetaan geologi pada sesutu
saat akan merupakan pekerjaan parsial, terisolir, tidak komprehensif dan lebih parah lagi
akan membuat pemeta kehilangan arah, tidak tahu apa yang harus dikerjakan dan kenapa
harus dikerjakannya!

3.1.2 Tahapan Pekerjaan Pemetaan


Suatu pekerjaan yang baik selalu memerlukaan persiapan yang baik. Demikian pula
halnya dengan pemetaan geologi. Sebelum dilakukan kerja lapangan harus dilakuan
persiapan , yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya pula.

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 37


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

Tahap perencanaan pra lapangan


Tahap ini mutlak perlu dilakukan oleh pemeta dan harus dilakukan di studio, kampus
atau Stasiun Lapangan maupun Pangkalan Kerja di daerah yang dipetakan. Pekerjaan yang
harus dilakukan adalah :
a. Mencari dan menyelesaikan perijinan kerja di daerah pemetaan dengan instansi
terkait.
b. Menyiapkan peta dasar kerja, kalau bisa dalam beberapa macam skala, termasuk
juga penyiapan DEM atau Citra yang lebih detail (IFSAR, Landsat, dsb). Apabila
sudah diperoleh, peta yang akan dipakai sebagai dasar kerja (base map) perlu
digandakan (dicopy) sehingga pemeta mempunyai persediaan sekurang-
kurangnya 7 lembar peta dasar kerja. Setelah peta diperoleh, maka segera harus
dilakukan analisa interpretasi geomorfologi dan geologi dari peta maupun potret
udara yang ada. Analisis/Interpretasi ini terutama akan menghasilkan Peta
Geomorfologi prakiraan, selanjutnya disbeut sebagai peta kerja pertama.
Mengumpulkan semua data sekunder yang berkaitan dengan keadaan geologi,
ilmu lain yang bersangkutan serta informasi lain dari daerah yang dipetakkan.
Data sekunder ini bisa berupa peta topografi, peta geologi, folder, laporan, buku
teks, artikel di majalah, proceedings, laporan proyek arsip Dinas atau Jawatan
Pemerintah (P3G, LIPI, PU, Kehutanan, Bappeda, Bakonsurtanal) dan
sebagainya. Survei data sekunder ini harus menyeluruh , sehingga pemeta
sebelum berangkat ke lapangan sudah mengetahui latar belakang keadaan geologi
daerahnya, serta melakukan antisipasi penyiapan terhadap kemungkinan persoalan
yang bakal timbul. Data sekuner yang berupa informasi tertulis supaya dibuatkan
copy-nya, disusun dalam bentuk Buku Pintar Geologi Lapangan dan nantinya
harus dibawa ke lapangan. Selanjutnya kalau dari kumpulan data sekunder tadi
bisa diekonstruksi peta geologi daerah pemetaan, peta ini disebut sebagai peta
geologi prakiraan/tentatif (Peta Kerja Kedua) dimana di dalamnya dilakukan
prakiraan-prakiraan dimana memungkinkan dijumpai gejala geologi yang bersifat
kritis, misalnya sesar, lipatan, batas litologi, dsb. Peta geologi prakiraan ini
berfungsi sebagai hipotesis tentang daerah yang akan dipetakan, yang harus

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 38


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

dibawa ke lapangan dan di test kebenarannya dengan melakukan cross-check


dengan data lapangan yang nantinya akan diperoleh.
c. Berdasarkan hasil analisis/interpretasi peta, potret udara dan data sekunder
tersebut maka perlu dibuat rencana jalur lintasan pengamatan/pemetaan. Peta jalur
lintasan ini sebaiknya dibuat jangan langsung di peta topografi, tetapi dibuat pada
kertas kalkir atau plastik transparasi dengan menggunakan pensil (untuk kalkir)
atau marker tipis (F) yang non waterproof. Jalur ini supaya dibuat dengan
mempertimbangkan :
 Adanya jalur jalan, alur sungai, kondisi topgrafi setempat, kemampuan kerja
sehari dan sebagainya sedemikian rupa sehingga jalur yang direncanakan
dapat dipertanggung jawabkan keamannya, efektifitasnya serta kemungkinan
untuk bisa dilaksanakannya.
 Bahwa jalur yang dibuat tersebut akan menghubungkan titik-titik yang layak
untuk diberdirikan sebagai Stasiun Pengamatan (STA).
 Bahwa seluruh lintasan yang direncanakan mempunyai cakupan daerah
pengamatan (areal coverage) yang merata dan berimbang untuk seluruh
daerah pemetaan, serta diperkirakan dapat diselesaikan secara wajar pada
kurun waktu yang ditentukan.
d. Berdasarkan perencanaan di atas, selanjutnya dapat direncanakan :
 Metoda dan teknik kerja geologi yang tepat untuk menghadapi daerah yang
akan dipetakan.
 Pengadaan peralatan pokok dan peralatan tambahan yang mungkin
diperlukan di lapangan.
 Pangkalan kerja utama maupun tambahan.
 Tabel waktu kerja (working time schedule), yang di dalamnya terdapat kapan
dilakukan kegiatan; berangkat ke lapangan, reconnaissance bersama Dosen,
pemetaan mandiri, hari istirahat/kerja di pangkalan kerja, pengecekan oleh
Dosen, penambahan data atas dasar hasil pengecekan, pulang ke Yogyakarta.
 Perhitungan dan pengadaan biaya kerja yang diperlukan.

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 39


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

Untuk pelaksanaan Kuliah Kerja Lapangan tahap perencanaan pra lapangan ini harus
dilakukan untuk daerah Bayat (pemetaan beregu) maupun daerah luar Bayat (Pemetaan
mandiri).

Tahap pekerjaan lapangan


Setelah ijin diperoleh serta tahap persiapan sudah diselesaikan, maka pemeta harus
segera pergi ke lapangan. Pada waktu berada di lapangan, ada tiga hal yang perlu dilakuka.
Yakni orientasi (reconnaissance), pemetaan detail dan pengecakan hasil kerja oleh pemeta
sendiri dan atau dengan Dosen Pembimbing.
a. Orientasi (Reconnaissance): Tahap ini dilakukan pada hari pertama pemetaan
beregu di Bayat serta 2 hingga 3 hari pertama di pemetaan mandiri di luar Bayat
(bersama Dosen Pebimbing). Pekerjaan rekonas ini dimaksudkan untuk
menjelajah seluruh daerah pemetaan, dengan membawa serta Peta Kerja
Pertama dan Peta Kerja Kedua. Dari penjelajahan ini secara sekilas ingin
diketahui :
 Bagaimana kondisi geografi, sosiologi, serta kondisi lain dari daerah
pemetaan yang nantinya mungkin diperlukan selama proses pemetaan,
misalnya : bagaiman kondisi jalan dan jenis transportasi, dimana ada
warung/toko pasar untuk menambah pembekalan, PUSKESMAS, Kantor
Pos, Wartel, warnet, bengkel motor, salon kecantikan, dsb.
 Apakh kondisi geologi dan aspek-aspek umumnya (geoformologi umum,
sesar yang besar, lipatan-lipatan) yang dihasilkan pada tahap persiapan (yang
tertuang pada Peta Kerja Pertama dan Peta Kerja Kedua) memang ada di
lapangan di tempat yang diperkirakan, atau ada hal-hal lain yang belum
diperkirakan.
 Apakah metoda, teknik, dan peralatan kerja yang direncanakan masih
relevan dengan kondisi umum daerah atau perlu diubah.
 Apakah rencana lintasan dan Pangkalan Kerja sudah tepat atau perlu diubah.
 Apakah perencanaan waktu kerja sudah tepat atau belum.
Setelah reconnaissance, selesai dan perubahan-perubahan sudah dilakukan, pemeta
sudah siap melakukan pemetaan detail.

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 40


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

Pemetaan Detail

Pada tahapan pemetaan detail, pemeta harus benar-benar memusatkan perhatiannya


untuk bekerja mendapatkan data yang cukup dari daerah yang dipetakan pada kurunwaktu
yang ditetapkan. Selama pemetaan detail, kerja yang dilakukan adalah: kerja di lapangan dan
kerja di pangkalan kerja. Kerja di lapangan dilaksanakan dalam bentuk:

 Penjelajahan daerah sedapat mungkin mengikuti jalur lintasan yang sudah


direncanakan dan direvisi sewaktu reconnaissance, dengan selalu membawa Peta
Kerja Pertama dan Peta Kerja Kedua untuk dibuktikan benar atau salahnya. Jalur
lintasan yang diikuti bisa terbuka maupun tertutup. Sepanjang lintasan tersebut dibuat
titik-titik pengamatan (STA) yang lokasinya ditetapkan mengikuti ketentuan tentang
kelayakan pendirian suatu STA. Setiap STA supaya diberi nomor yang berurutan dan
nomor tersebut harus segera diplot secraa tepat di peta lokasi lintasan (Peta Kerja
Ketiga) dan dilakukan pemerian yang lengkap dan tepat di notes lapangan. Apabila
pada lintasan tersebut dijumpai STA yang penting, misalnya batas satuan, perlu
dibuat lintasan cabang atau lintasan samping (side traverse), yang sifatnya bisa
terbuka maupun tertutup, dan ditujukan untuk mengejar larinya batas tersebut ke arah
samping dari jalur lintasan. Pada setiap STA dilakukan pengamatan, pengukuran,
perekaman, pencatatan, pemotretan dan /atau pengambilan contoh, sesuai dengan
kondisi obyektif yang ada pada STA tersebut. Pada tempat-tempat yang penting dan
memenuhi syarat, perlu dilakukan penerapan teknik lapangan khusus misalnya:
pemetaan kompas langkah, analisis struktur, analisa morfologi, MS dan sebagainya
agar data geologi detail dari daerah tersebut dapat diperoleh sebanyak-banyaknya dan
selengkap-lengkapnya.
 Penyusunan peta lintasan: dari data yang diperoleh pada setiap STA, maka pada STA
tersebut dapat diberi notasi dengan warna tertentu sesuai dengan litologi yang ada di
tempat itu. Pewarnaan ini diteruskan sampai STA berikutnya selama tidak ada
perubahan litologi di antara dua STA tersebut. Dengan demikian setiap hari akan
dihasilkan lintasan yang terdiridari beberapa STA dan jalur lintasan sudah diberi
warna yang sesuai dengan batuan yang ada pada lintasan tersebut. Proses ini

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 41


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

berlangsung sampai daerah pemetaan tercover oleh lintasan yang cukup rapat dan
seimbang.

Pekerjaan di lapangan ini harus bersifat kontinyu, untuk lintasan-lintasan tertentu jauh
dari tempat pemukiman, pada medan yang sulit. Agar pekerjaan dapat berjalan dengan baik,
efektif dan aman maka dianjurkan agar pemeta:

 Membiasakan diri berangkat sepagi mungkin (selambat=lambatnya jam 7.30) dan


harus tiba kembali di Pangkalan Kerja tidak lebih dari 17.30.
 Harus self-supported dalam hal: perlengkapan lapangan, alat tulis, bekal makanan dan
minuman serta perlengkapan untuk menangkal kerusakan peta akibat hujan. Hal ini
disebabkan karena semua pekerjaan harus dilakukan sendiri. Jangan bergantung
dalam hal apapun kepada orang lain.
 Harus selalu ingat semua peralatan lapangan dalam keadaan utuh, bekerja baik dan
aman. Dalam keadaan seperti sekarang ini, satu set alat lapangan bernilai jutaan
rupiah. Kerusakan apalagi kehilangan salah satu peralatan tersebut berarti bencana
bagi pemeta, baik ditinjau dari sudut kelancaran kerjanya maupun tanggung jawab
finansialnya. Selalu menjaga keamanan dirinya degan tidak melakukan kerja
berlebihan, melakukan tindakan yang bebrbahaya, baik untuk dirinya maupun untuk
orang lain, misalnya berniat memanjat tebing bukit yang sangat curam sekedar untuk
mengetahui apa yang ada di puncak bukit yang runcing. Ingat dalam pekerjaan
pemetaan geologi tidak mungkin semua titik bisa dan perlu didatangi. Pergunakan
pendekatan inter maupun ekstrapolatif dalam menentukan kondisi geologi tempat-
tempat yang sukar atau terlalu berbahaya untuk dicapai. Jangan memaksa diri sekedar
untuk kelihatan heroik!
 Apabila bekerja di tempat yang jauh dari Pangkalan Kerja di tempat yang sulit tetapi
masih bisa dicapai, pengumpulan data harus lebih cermat, karena kemungkinan untuk
dapat datang ke tempat itu sekali lagi amat sulit. Oleh karena itu di tempat seperti ini
justru pencatatan harus selalu teliti, lengkap dan tepat. Perekaman dalam bentuk
sketsa, gambar, blok diagram, foto dan pengambilan contoh harus lebih saksama.

Sedangkan pekerjaan di Pangkalan Kerja terdiri dari: Kerja rutin (tiap malam) dan
kerja diwaktu libur (tidak ke lapangan). Kerja rutin setiap sore/malam berupa:

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 42


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

 Pengecekan ketepatan hasil pengeplotan data di lapangan, yaitu peta kerja ketiga,
dengan catatan di notes lapangan sehingga keduanya bersifat sinkron dan saling
mendukung.
 Pemindahan peta lintasan dari peta lapangan (Peta Kerja Ketiga) ke peta arsip
(office map atau station map), yaitu Peta Kerja Keempat, dalam bentuk yang jelas
dan rapih. Peta ini selalu harus disimpan di Pangkalan Kerja sebagai arsip, dan dibuat
agar kalau Peta Kerja Ketiga rusak atau hilang, tidak perlu dilakukan kerja lapangan
ulang di tempat yang sudah pernah didatangi.
 Berdasarkan hasil lintasan hari ini, perlu dievaluasi apakah rencana lintasan untuk
besok pagi bisa dilaksanakan sesuai rencana semula (seperti yang telah direncanakan
dan digambarkan di kertas kalkir atau ditransparasi) atau perlu dilakukan perubahan.
 Melakukan percobaan menyusun Peta Geologi Lapangan (Peta Kerja Kelima) serta
merevisi Peta Geomorfologi Prakiraan (Peta Kerja Pertama) berdasarkan data yang
sudah terkumpul sampai hari itu.

Kerja di Pangkalan Kerja juga dilakukan pada waktu hari istirahat (setelah
berekreasivsekedarnya) atau pada saat cuaca tidak memungkinkan untuk kerja lapangan
misalnya hujan keras sepanjang hari. Hari istirahat lapangan sebaiknya diambil setelah 5 hari
kerja lapangan (terutama untuk pemetaan di luar Bayat) agar tidak mengalami kejenuhan dan
menambah kebingungan. Jangan memaksa diri untuk selalu bekerja di lapangan mulai datang
sampai saat pulang ke Yogya. Kerja di Pangkalan Kerja ini berupa:

 Menuntaskan percobaan penyusunan Peta Geomorfologi dan Peta Geologi berdasar


peta lintasan.
 Mencoba menyusun beberapa Profil Geomorfologi dan beberapa Profil Geologi.
 Dari Peta Geologi dan profil Geologi yang sudah ada, dicoba untuk menyusun Kolom
Stratigrafi. Bandingkan hasilnya dengan hasil-hasil MS dari beberapa jalur yang
sudah dibuat.
 Menyusun Daftar Contoh Batuan yang sudah diambil, sambil diplot lokasi
pengambilan contoh tersebut di peta kerja ketiga. Supaya dilalakukan pengecekan
apakah jumlah contoh batuan tersebut sudah memadai baik secara areal (lateral)

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 43


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

 Maupun secara vertikal (stratigrafis). Jangan sampai terjadi satu horison stratigrafi
diambil contoh sangat banyak sedang pada horison lain tidak ada atau sangat sedikit.
Bagi yang terlalu banyak supaya dilakukan pengurangan, sedang bagi yang terlalu
sedikit supaya ditambah dengan jalan merencanakan lokasi dari tambahan contoh
tersebut, untuk diambil pada kesempatan ke lapangan esok harinya atau pada hari-hari
berikutnya.
 Membaca Buku Pintar Geologi Lapangan-nya sebanyak mungkin dan sesering
mungkin, terutama pada bagian-bagian yang berkaitan dengan materi dan persoalan
kerja yang sedang dihadapi sehingga kesulitan di lapangan dapat diantisipasi dan
cepat terpecahkan.

Setelah istirahat selesai dan kerja di Pangkalan Kerja sudah dilakukan, maka esok
harinya kembali dilakukan kerja lapangan yang sudah lebih terarah, yaitu mengisi
kekurangan dan hal-hal yang terlewat dari kerja lapangan sebelumnya. Apabila ini dilakukan
dengan baik, maka pada saat akhir kerja lapangan ditangan pemeta sudah akan tersedia:

 Peta Lintasan Lengkap (Peta Kerja Ketiga)


 Salinan Peta Lintasan (Peta Kerja Keempat)
 Peta Geologi Lapangan (Penyempurnaan Peta Kerja Kelima )
 Peta Geomorfologi ( Penyempurnaan Peta Kerja Pertama )
 Profil Geologi beberapa buah
 Profil morfologi beberapa buah
 Kolom stratigrafi sementara: yang mencantumkan pula posisi stratigrafi contoh yang
sudah dikumpulkan
 Kumpulan Catatan Lapangan di Notes
 Kumpulan contoh batuan
 Klise foto yang siap dicetak

Apabila semua hal tersebut di atas sudah terkumpul, pekerjaan pemetaan siap dicek,
baik oleh pemeta sendiri maupun oleh Dosen Pembimbing

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 44


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

Pengecekan

Pekerjaan pengercekan ini dilakukan oleh pemeta disertai oleh Dosen Pembimbing
dengan tujuan agar dapat diketahui benar salahnya pekerjaan yang sudah dilakukan, adanya
kekurangan data yang harus diambil serta dapat diketahui apakah coverage pemetaan
(lintasan) sudah secara memadai meliputi seluruh daerah, setelah dilakukan pengecekan,
pemeta harus mengevaluasi secara kritis dan serius, apakah ia masih harus tinggal beberapa
hari lagi di lapangan untuk melakukan pembetulan kesalahan dan mencari data yang kurang,
atau sudah siap untuk kembali ke Kampus di Yogyakarta.

Tahap pasca lapangan.

Tahap pasca lapangan diisi dengan pekerjaan yang berakhir dengan tersusunnya
Laporan Pemetaan yang berupa Poster. Ada sedikit perbedaan antara Poster yang tersusun di
Bayat dan di luar Bayat. Untuk hasil kerja pemetaan di Bayat Laporsan Berbentuk Poster saja
dan terdiri atas hal-hal wajib sebagai berikut:

a. Jalur Poster: GEOLOGI DAERAH.....................................


b. Penyusun, yang terdiri dari nama-nama peserta yang tergabung dalam Regu
bersangkutan.
c. Peta lintasan/ lokasi Stasiun Pengamatan
d. Peta Geologi lengkap dengan profil dan legenda
e. Peta Geomorfologi lengkap dengan profil dan keterangan berbentuk matriks
f. Kolom stratigrafi yang berbentuk baku lengkap dengan keterangannya
g. Lampiran( Sketsa, diagram dsb.) yang terkait yang bersifat fakultatif/opsional

Poster harus disusun dengan alur penalaran yang logis, penggambaran, penggunaan
huruf dan layout yang rapi dan menunjukkan kesungguhan kerja para penyusunnya secara
optimal. Ukuran dan hal-hal lain yang menyangkut poster akan ditentukan oleh Panitia
Pelaksanaan Kerja Lapangan.

Untuk hasil kerja pemetaan di luar Bayat, sebelum laporan disusun, semua data harus
diproses, ditabulasikan dan di tafsirkan. Perkerjaan laboratorium perlu dilakukan, minimal
berupa perkerjaan dan daerah pemetaan. Hasil analisis laboratorium tersebut dinyatakan
dalam bentuk lampiran gambar, tabel, diagram, lembar hasil determinasi, fotomikrograp yang

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 45


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

bersama sama dengan copy sketsa dan hasil pemotretan lapangan disatukan dalam bentuk
Buku Data Pendukung Pemetaan. Apabila dikehendaki, dalam buku tersebut dapat diberikan
uraian geologi singkat
(tidak wajib) dari daerah pemetaan berdasar semua data yang dikumpulkan dan dianalisis.
Sedangkan Laporan Utamanya tetap berbentuk Poster, dan terdiri atas hal-hal Wajib sebagai
berikut :

a. Jalur Poster: GEOLOGI DAERAH.....................................


b. Penyusun, yang terdiri dari nama peserta lengkap dengan identitas kemahasiswaannya
c. Peta lintasan/ lokasi Stasiun Pengamatan
d. Peta Geologi lengkap dengan profil dan legenda
e. Peta Geomorfologi lengkap dengan profil dan keterangan berbentuk matriks
f. Kolom stratigrafi yang berbentuk baku lengkap dengan keterangannya
g. Sejarah geologi yang disusun sinkron dengan Stratigrafi dan Struktur daerah tersebut
h. Beberapa Foto dan atau diagram yang kritis dan sangat perlu ditonjolkan sebagai
bagian terpadu (bukan sekedar hiasan ) dari laporan / poster tersebut
i. Daftar Pustaka yang digunakan dalam menyiapkan Laporan/ Poster tersebut
j. Kolom pengesahan dari Dosen Pembimbing
k. Lampiran lain (peta, sketsa, diagram dsb) yang terkait bersifat fakultatif/opsional,
misalnya Peta Geologi Tata Lingkungan, Peta Sebaran Bahan Galian dan sebagainya.

Poster harus disusun dengan alur penalaran yang logis, penggambaran, penggunaan
huruf yang jelas dan layout yang rapi serta menunjukkan kesungguhan kerja penyusunnya
secara optimal. Ukuran dan hal-hal yang bersifat redaksional lain yang menyangkut Poster
akan ditentukan oleh Panitia Pelaksanaan Kerja Lapangan

Setelah Poster Siap dan ditandatangani oleh Dosen pembimbing,maka pada hari yang
ditentukan Poster tersebut harus digelar dan dipertontonkan kepada umum ditempat yang
akan ditentukan oleh Panitia Kerja Lapangan. Selama pergelaran, penyusun harus menunggui
Posternya agar kalau ada pertanyaan dan kritik dari penonton serta Dosen

Pembimbing atau dosen lainnya yang berminat, bisa ditanggapi dan dijawab dengan
baik. Selanjutnya pada hari yang ditentukan, laporan tersebut harus dipresentasikan dengan

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 46


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

moderator Dosen Pembimbing yang bersangkutan, dihadiri oleh peserta lain. Jadwal
Presentasi akan ditetapkan oleh Panitia Pelaksana Kerja Lapangan.

Setelah Presentasi Dosen Pembimbing akan melakukan penilaian yang menyeluruh.


Peserta harus segera memperbaiki dan menyerahkan ke Panitia bentuk Laporan yang final,
yang terdiri atas:

a. Poster lengkap yang dilipat menurut ketentuan dan ukuran yang semestinya.
b. Buku Data, yang berisi hasil pengukuran, hasil tabulasi, hasil determinasi, table
penentuan umur, deskripsi petrologi, kumpulan foto dengan keterangannya secara
lengkap dan lampiran lain yang terkait, dilengkapi kantong untuk menyimpan lipatan
Poster.
c. Album preparat petrologi, paleontologi dan lainnya yang berkaitan, lengkap dengan
nomer contohnya serta pada satuan apa contoh tersebut diambil.

3.2 Pengamatan Geomorfologi

3.2.1 Maksud

Acara ini dimaksud mencari dan mengumpulkan data geomorfologi dari suatu daerah
penyelidikan melalui observasi lapangan serta data citra berupa DEM. Observasi ini
dilakukan dengan cara penjelajahan medan menuju ke tempat atau lokasi yang agak tinggi
dibanding dengan daerah sekitarnya, sehingga dapet diperoleh suatu pandangan burung
(bird’s eye view) dari daerah yang diteliti. Untuk memperoleh data geomorfologi dapat juga
dilakukan dengan menggunakan foto udara stereoskopik maupun peta topografi kontur.
Selain itu dapat dilakukan juga observasi terhadap data citra (DEM) dilakukan dengan
bantuan software Global Mapper \, sehingga dapat diamati kenampakan morfologinya
meliputi kelurusan, rona, dan tekstur permukaan yang dapat diinterpretasi menghasilkan Pete
– Peta Tentatif.

3.2.2 Tujuan

Pengamatan geomorfologi suatu daerah ditujukan untuk mengungkapkan keadaan


goemorfologi dari daerah yang bersangkutan. Keadaan geomorfologi yang dimaksud tersebut
akan meliputi antara lain:

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 47


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

a. Identifikasi faktor – faktor yang dominan yang membentuk bentang alam daerah yang
bersangkutan
b. Pengelompokan daerah yang bersangkutan menjadi satuan – satuan bentang alam
tertentu berdasarkan genesisnya
c. Evaluasi perkembangan daerah yang bersangkutan secara geomorfologis
d. Evaluasi proses-proses eksogenik yang bekerja

Evaluasi tersebut di atas dapat dilakukan secara kualitatif, kualitatif maupun secara
gabungan dari keduanya.

3.2.3 Hakekat Bentang Alam

Bentang alam (landform) secara umum dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian besar
yaitu relief dan drainage, dan hasil-hasil budaya manusia yang merupakan satu bagian yang
lebih minor dibanding kedua hal yang di depan. Perkembangan baik relief maupun drainage
tersebut sangat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya differential erosion, yaitu perbedaan-
perbedaan kemudahan (susceptibility) batuan terhadap erosi yang ternyata bervariasi. Bahkan
relief hanya dapat terjadi kalau ada differential erosion ini. Tanpa itu tidak akan terjadi reliief
di permukaan bumi.

Oleh karena adanya differential erosion ini maka relief dan drainage kemudian akan
berkembang. Perkembanagn ini dapat secara terpola maupun tidak terpolakan, sangat
tergantung dari keadaan struktur geologi setempat. Kalau kontrol struktur geologi ini
dominan, maka bentang alam tersebut, baik relief maupun drainage akan berkembang secara
terpola.

Meskipun demikian dalam suatu litologi sering dijumpai sifat0sifat khusus tertentu
yang menghasilkan differential erosion sehingga relief dapat berkembang secara terpola
meskipun kontrol struktur tidak dominan, misal ada batuan sekis dan batu gamping. Pada
sekis karena sifat schistosis-nya dan pada batu gamping kareana sifat yang mudah larut dan
retak-retak. Karena schistosity pada batuan sekis ini, maka erosi akan menghasilkan relief
yang berupa bukit-bukit kerucut yang terpisah-pisah, sehingga dikenal sebagai topografi
berbutir-butir (grain topoghraphy), karena topografinya memberikan kenampakan berbutir-
butir (grain topography)

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 48


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

Selain itu oleh karena struktur geologi dan litologi pembentuknya, perkembangan
relief dan drainag yang terpolakan dapat juga disebabkan oleh jenis proses-proses eksogenik
yang menjadikannya, misalnya apakah proses itu proses fluvial, glasial, eolian, ataupun
marine. Dengan demikian maka untuk mengevaluasi keadaan geomorfologi suatu daerah
harus dilakukan evaluasi dari relief, drainage dan proses-proses eksogenik yang bekerja dapat
dilakukan dengan pemanfaatan data citra (DEM). Pada dasarnya bentang alam adalah
merupakan zone of conflicting dari beberapa faktor dan pada saat seseorang datang kesana
sudah beberapa jauh conflicting factors tersebut berbenturan. Ini akan memberikan apa yang
disebut tingkat perkembangan daerah (intial-early young-young-late young-early nature-
nature-post nature-old age) atau mungkin ada peremajaan (rejuvanasi) dan sebagainya.
Faktor-faktor yang dimaksud adalah:

a. Faktor-faktor eksogenik yang berupa pelapukan (fisik & kimia), erosi dan gerakan
tanah. Semuanya tersebut akan bertujuan membuat perataan atau gradasi. Kalau
perataan turun disebut degradasi dan kalau perataan itu naik disebut agradasi.
Degradasi adalah produk erosi sedangkan agradasi adalah produk deposisi.
b. Faktorfaktor kondisi batuan batuan seperti misalnya kekompakan, komposisi, struktur
sekunder dan sebagainya.
c. Faktor-faktor teknonik, seperti kecepatan uplift, rejuvanasi, keberadaan struktur
geologi dan sebagainya. Semua proses erosi akan selalu terjadi diatas base lave; of
erosion. Intensitas erosi naik kembali kalua permukaan bumi diangkat menjauh lagi
dari base lavel ini. Hal ini dikenal sebagai proses rejavinasi dengan ciri-ciri relief
berpa teras, entrenched meander dan sebagainya.

Faktor-faktor tersebut dapat dianalisa lebih lanjut dengan bantuan Citra Satelit, DEM,
Peta topografi, serta Peta geologi Regional untuk mendapatkan :

a. Kemungkinan data Stratigrafi dan Geomorfologi


b. Pola penyaluran yang berkembang
c. Pola Kelurusan untuk menentukan struktur geologi yang mungkin dapat terjadi
d. Perlapisan batuan/litologi yang berkembang dengan melihat pola-pola citra dan
kenampakan peta topografi
e. Deformasi batuan yang mungkin terjadi.

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 49


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

Dalam evaluasi bentang alam suatu daerah, peneliti akhirnya harus mampu
memilahkan mana diantara faktor-faktor yang telah disebutkan di atas tersebut yang
merupakan faktor dominan dan mana yang baik. Ini sendiri akhirnya akan menuju kepada
pembagian satuan bentang alam dan morfogenesis yang akhirnya akan menghasilkan peta
geomorfologi daerah penyelidikan.

Dalam peta geomorfologi akan dapat dilihat :

a. Beberapa bentukan bentang alam karena proses-proses eksogenik tertentu seperti


kipas aluvium, dataran banjir, daerah longsoran dan sebagainya.
b. Bentuk relief-relief yang terpola seperti perbukitan yang zig-zag, memanjang,
melingkar dan sebagainya daripadanya dapat disimpulkan (ditarik) struktur-struktur
geologinya.
c. Drainage yang terpola seperti dedritik, annular, trellis dan sebagainya.
d. Satuan-satuan bentang alam yang dikelompokkan secara genesis.

3.2.4 Pelaksanaan

Latihan pengamatan geomorfologi ini dilaksanakan dengan cara penjelajahan


lapangan dengan lintasan ke arah beberapa puncak bukit dengan melakukan pengamatan-
pengamatan (observasi) pada stasiun-stasiun tertentu untuk melihat relief, proses-proses
eksogenik, drainage dan sebagainya. Ini dimungkinkan kalau lintasan bergerak ke arah yang
makin lama makin tinggi.

Beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam pengamatan geomorfologi adalah :

a. Amati dengan baik apakah daerah yang diteliti terdiri dari satu bentukan bentang
alam (homogen) atau lebih dari satu (heterogen). Misalnya saja, apakah daerah yang
diteliti tersebut hanya terdiri dari dataran saja, perbukitan saja, atau sebagian
merupakan dataran dan sebagian merupakan perbukitan. Apabila perbukitan, apakah
seluruh perbukitan tersebut mempunyai relief yang sama atau ada perbedaan. Dari
langkah pertama ini akan diketahui homogenitas/heterogenitas dari daerah tersebut
sehingga dapat diketahui ada berapa calon satuan geomorfologi yang mungkin ada di
daerah tersebut.

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 50


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

b. Untuk setiap calon satuan geomorfologi yang mungkin ada, amati dan ukur elevasi
rata-rata dari puncak-puncaknya, besarnya sudut lereng rata-rata,
keruncingan/kepapakan puncak-puncaknya, serta tingkat keterbikuan masing-masing.
Langkah kedua ini merupakan manifestasi dari morfometri. Lakukan perbandingan
dari harga-harga yang diperoleh. Kalau dari dua calon satuan geomorfologi ternyata
mempunyai harga unsur-unsur geomorfik yang hampir sama, satukan saja kedua
satuan tersebut. Untuk mendirikan dua satuan yanng berbeda, perbedaan hasil
pengukuran unsur morfologi di kedua calon satuan tersebut harus nampak jelas, kalau
perlu dapat dibuktikan dengan melakukan pengetesan secara statistis.
c. Setelah langkah penyatuan tersebut dilakukan, amati dengan baik apakah ada tatanan
atau pola dari relief yang ada, baik secara keseluruhan meupun di dalam setiap satuan
itu sendiri. Langkah ketiga ini merupakan usaha untuk melihat apakah ada suatu
morphoarrangement tertentu di daerah tersebut. Kalau pola itu ada, bagaimana
bentuk pola itu, linier, linier melengkung, kumpulan acak, perjenjangan dan
sebagainya.
d. Amati penyaluran di daerah tersebut sejauh tampak dari tempat pengamatan.
Perhatikan apakah aspek-aspek dari penyaluran yaitu pola, kerapatan dan stadianya
berkembang merata di seluruh daerah atau hanya di bagian tertentu. Seandainya
perkembangannya tidak merata, apakah perbedaan perkembangan tersebut terjadi
sesuai dengan satuan morfologi yang dilalui oleh penyaluran tersebut.

3.2.5 Latihan Pengamatan Geomorfologi

Maksud

a. Mengumpulkan data geomorfologi


b. Memberikan keterangan dan mempraktekkan tentang cara :
 Melakukan pengamatan morfologi tak langsung dengan cara membaca peta
topografi.
 Membandingkan gambaran dalam peta dengan keadaan geomorfologi yang
sesungguhnya
 Mengajarkan cara pengamatan geomorfologi dengan menggunakan cara
pandangan burung.

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 51


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

c. Memberikan kemampuan untuk mecatat gejala geomorfologi, membuat sketsa yang


diperlukan dan membuat sinopsis laporan geomorfologi suatu daerah.

Tujuan

Selesai mengikuti acara ini peserta dapat :

a. Mengidentifikasi faktor yang dominan dalam pembentukan bentang alam


b. Mengelompokkan daerah pengamatan menjadi beberapa satuan geomorfologi atas
dasar genesisnya
c. Mengevaluasi perkembangan geomorfologis daerah yang diteliti
d. Mengevaluasi proses eksogenik yang bekerja di daerah tersebut
e. Mengevaluasi morfogenesis daerah tersebut berdasarkan proses yang bekerja,
morphoarrangement dan morfometrinya.

3.3 Pengukuran Stratigrafi

3.3.1 Penampang Stratigrafi

Pengertian dasar

Penampang stratigrafi terukur (measured stratigraphic section) adalah suatu


penampang atau kolom yang menggambarkan kondisi stratigrafi suatu jalur, yang secara
sengaja telah dipilih dan telah diukur untuk mewakili daerah tempat dilakukannya
pengukuran tersebut. Jalur yang diukur tersebut dapat meliputi satu formasi batuan atau
lebih.

Sebaliknya pengukuran dapat pula dilakukan hanya pada sebagian dari suatu formasi,
sehingga hanya meliputi atau lebih satuan lithostratigrafi yang lebih kecil dari formasi,
misalnya anggota atau bahkan hanya beberapa saja.

Pengukuran jalur yang dilakukan dimaksudkan untuk memperoleh informasi yang jelas
tentang:

1. Keterangan litologi terperinci yang menyangkut tentang jenis, macam, komponen


penyusun, tekstur, kemas, kandungan fosil, struktur sedimen dan lain-lain sifat
geologis dari setiap satuan yang terdapat pada jalur tersebut.

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 52


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

2. Kedudukan dan ketebalan dari setiap litologi yang dijumpai.


3. Urutan dari semua litologi yang ada serta jenis hubungan dari dua litologo yang
berdampingan, apakah selaras, tidak selaras, menyisip, selang seling, bergradasi
normal atau terbalik dan lain sebagainya.

Semua informasi yang diperoleh dari pengukuran tersebut dilaporkan dalam bentuk
kolom. Pada kolom tersebut ditunjukkan gambaran utuh dari kondisi stratigrafi yang terdapat
sepanjang jalur yang diukur, sesuai dengan apa yang ditemukan di lapangan. Sedangkan
penggambaran kolom menggunakan skala tertentu. Dengan sendirinya tingkat ketelitian
aspek yang tergambarkan akan sangat tergantung pada skala yang dipakai serta apa tujuan
dari pembuatan jalur terukur tersebut. makin besar skala yang digunakan, semakin tinggi
ketelitiannya.

Tujuan

Pada kolom stratigrafi yang dihasilkan dari pengukuran jalur di lapangan,


dimungkinkan untuk dilakukan pembagian dari apa yang ada di kolom tersebut menjadi
bagian-bagian atau satuan yang lebih kecil. Misalnya saja dalam kolom tersebut terdapat
beberapa satuan batuan, beberapa formasi, beberapa zona biostratigrafi, atau beberapa satuan
stratigrafi yang lain misalnya magnetostratigrafi, event stratigrafi, sekuen stratigrafi dan lain
sebagainya.

Dengan dasar pembagian tersebut, maka kolom stratigrafi yang diperolah dari jalur yang
diukur tadi siap dijadikan dasar untuk :

1. Penentuan batas secara tepat dari satuan-satuan stratigrafi formal maupun informal,
yang dalam peta dasar yang dipakai terpetakan atau tidak, sehingga akan
meningkatkan ketepatan dari pemetaan geologi yang dilakukan di tempat dimana
dilakukan pengukuran tadi.
2. Penafsiran lingkungan pengendapan satuan-satuan yang ada di kolom tersebut serta
sejarah geologi sepanjang waktu pembentukan kolom tersebut.
3. Sarana korelasi dengan kolom-kolom yang diukur di jalur yang lain.
4. Pembuatan penampang atau profil stratigrafi (stratigraphic section) untuk wilayah
tersebut.

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 53


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

5. Evaluasi lateral (spatial = ruang) dan vertical (temporal = waktu) dari seluruh satuan
yang ada ataupun sebagian dari satuan yang terpilih, misalnya saja :
a. Lapisan batu pasir yang potensial sebagai reservoir.
b. Lapisan batubara.
c. Lapisan yang kaya akan fosil tertentu.
d. Lapisan bentonit dan lain-lain.

3.3.2 Prosedur persiapan pembuatan jalur terukur

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan pengukuran jalur adalah :

1. Pada jalur yang direncanakan tersebut harus dijumpai singkapan yang cukup banyak,
sedapat mungkin menerus.
2. Jalur tersebut tidak terganggu oleh struktur, terutama struktur sesar. Seandainya
struktur sesar tidak bias dihindari maka lapisan yang terpotong oleh sesar harus
dengan mudah dilakukan pengamatan dan pengukuran.
3. Singkapan-singkapan yang terukur hendaknya dijumpai di tempat yang mudah
didatangi dan mudah dilakukan pengamatan dan pengukuran.
4. Jurus dan kemiringan sepanjang lintasan yang akan diukur hendaknya diperiksa dan
diketahui betul. Pengamatan dan pengukuran hanya akan memberikan hasil yang
baik kalau jalur tersebut diukur pada arah kurang lebih tegak lurus pada jurus dari
batuan yang ada di lintasan jalur terrsebut.
5. Perlu diteliti apakah pada rencana jalur dapat dijumpai lapisan kunci (key bed atau
marker) seperti misalnya : lapisan bentonit, lapisan lignit/ batubara, lapisan yang tipis
tapi kaya akan fosil tertenut misalnya moluskan dan sebagainya. Adanya lapisan
kunci ini nantinya akan sangat mempermudah dilakukannya korelasi antara jalur yang
diukur tersebut dengan jalur-jalur yang dibuat di tempat lain. Segingga dapat
dibangun suatu profil stratigrafi yang teliti dan baik.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka tempat yang ideal untuk melakukan
pengukuran jalur adalah :

1. Tebing bukit yang tak terlalu curam dan mengalami erosi sehingga perlapisan
batuannya tersingkap dengan baik.

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 54


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

2. Sepanjang tebing sungai, terutama sungai yang konsekuen dan obsekuen, dimana
aliran sungai tersebut memotong jurus dari perlapisan batuan.

Dalam kenyataan, sering pada kedua tempat tersebut di atas belum dapat dijumpai
urutan batuan yang utuh . untuk itu kekurangan data tersebut harus dapat ditemukan di
tempat lain, antara lain di tepian jalan, pada tempat penggalian (quarries), tebing galian
pekarangan rumah di lereng bukit dan lain sebagainya. Pengukuran yang dilakukan di luar
jalur utama ini kemudian diintegrasikan ke dalam hasil pengukuran di jalur utama.
Pengukuran dengan menggunakan jalur tambahan ini akan menghasilkan suatu jalur yang
disebut sebagai jalur majemuk (composite section). Hal ini dapat dilakukan dengan catatan
bahwa antara jalur utama dengan jalur tambahan tadi memiliki suatu lapisan batuan tertentu
yang sepadan dan menjadi penghubung dari kedua jalur tersebut.

Untuk daerah yang mempunyai vegetasi lebat, yaitu daerah yang masih berhutan
alami dan belum banyak didatangi orang, misalkannya saja seperti di irian jaya atau di
pedalaman kalimantan, maka pengamattan di aliran sungai merupakan satu-satunya cara
untuk memperoleh data geologi bagi keperluan jalur terukur. Sedangkan untuk daerah hutan
produksi (misalnya saja hutan jati di jawa) atau daerah perkebunan, maka disamping sungai ,
jalan setapak merupakan tempat untuk memperoleh data litologi/ stratigrafi. Hal ini
disebabkan karena jalan-jalan setapak tersebut secara periodik diperbaharui dengan
melakukan penggalian/ pembersihan dari semak. Dengan demikian dimungkinkan batuan
yang relatif segar akan tersingkap di sepanjang jalan setapak tersebut.

3.3.3 Metode Kerja

Ada dua metode yang biasa dilakukan dalam usaha pengukuran jalur stratigrafi, Metode
tersebut adalah :

1. Metode rentang tali.


2. Metode tongkat Jacob (Jacob’s straff method)

3.3.3.1 Metode Rentang Tali

Metode rentang tali atau yang dikenal juga sebagai metode Brunton and tape
(Compton, 1985; Fritz & Moore, 1988) dilakukan dengan dasar perentangan tali atau meteran

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 55


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

Panjang. Semua jarak dan ketebalan diperoleh berdasar rentangan terbut. Pengukuran dengan
metode ini akan langsung menghasilkan ketebalan sesungguhnya hanya apabila dipenuhi
syarat sebagai berikut:

1. Arah rentangan tali tegak lurus pada jalur perlapisan.


2. Arah kelerengan dari tebing atau rentangan tali tegak lurus pada arah kemiringan.
3. Diantara 2 ujung rentangan tali tidak ada perubahan jurus maupun kemiringan.

Namun, karena rentangan tali cukup Panjang (30 - 50 m) dan kondisi topografi daerah
pengukuran sering tidak memungkinkan arah rentangan dapat diletakkan pada-arah tegak
lurus jurus perlapisan, maka ketebalan yang dihasilkan biasanya bukanlah ketebalan yang
sebenarnya. Demikian pula di antara kedua ujung tali tersebut kemungkinan sudah terjadi
perbedaan jurus/kemiringan. Keadaan ini juga berakibat bahwa ketebalan terukur bukanlah
ketebalan sesungguhnya. Oleh karena itu, hasil penggambaran kolom yang ada di dalam
formulir pengukuran lapangan masih berupa ketebalan semu. Ketebalan yang terukur
tersebut masih harus dikoreksi atas dasar perbedaan : arah rentangan terhadap jurus, posisi
lereng terhadap kemiringan serta kemungkinan terjadinya perubahan jurus/kemiringan
diantara kedua ujung rentangan tali. Karena harus dilakukannya koreksi-koreksi tersebut,
maka untuk memperoleh gambaran kolom dengan ketebalan yang sesungguhnya secara teliti
(dengan skala tertentu), diperlukan waktu kerja yang cukup lama. Metode rentang tali ini
harus dikerjakan oleh sekurang-kurangnya 2 orang dan cocok untuk medan yang tidak terlalu
bergelombang (tidak terlalu sering terjadi perubahan lereng pada jarak yang dekat) serta
daerah yang tidak terganggu oleh struktur.

Perlengkapan yang digunakan untuk melakukan pengukuran jalur stratigrafi sangat


tergantung dari tujuan apa yang diinginkan dan pengukuran tersebut serta metode apa yang
dipakai. Untuk metode rentang tali, berikut ini disebutkan beberapa alat baku dan alat
tambahan yang diperlukan. Alat-alat tersebut adalah:

1. Alat lapangan baku, terdiri dari


a. Kompas geologi
b. Palu geologi
c. Loupe

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 56


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

d. HCl untuk pengetesan karbonat


e. Buku/notes catatan lapangan
2. Pita ukur, terdiri dari:
a. Pita ukur panjang atau tali sepanjang 30-50 m
b. Pita ukur pendek sepanjang 2 m
3. Peta topografi dan atau foto udara dari daerah dimana dilakukan pengukuran.
4. Fomulir pengukuran jalur stratigrafi metode rentang tali
5. Kalkulator yang dilengkapi fungsi goniometris
6. Clipboard untuk landasan penggambaran/pencatatan

Adapun prosedur pengukuran metode rentang tali adalah sebagai berikut:

1. Sebelum pengukuran jalur dimulai, supaya dilakukan orientasi dari jalur yang akan
diukur (dengan dasar peta topografi yang tersedia), sehingga diperoleh lintasan yang
paling layak untuk dilakukan pengukuran. Lintasan yang layak adalah lintasan yang
memenuhi persyaratan :
a. Mudah dikenal lokasinya pada peta dasar.
b. Memiliki urutan litologi yang cukup lengkap, mewakili wilayah tempat dilakukan
pengukuran, singkapannya cukup segar sehingga dapat dilakukan pengamatan
dengan baik.
c. Tebing-tebing yang dilewati jalur pengukuran tidak terlalu curam dan masih cukup
layak untuk dapat dikerjakan secara normal dan aman.
d. Struktur geologinya sederhana sehingga sebagian besar pekerjaannya dapat
dilakukan pada lintasan yang tegak lurus jurus perlapisan.

2. Selesai melakukan orientasi, tentukan titik awal dan titik akhir dari suatu jalur sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai. Setelah jalur diperoleh, kedua ujung dari jalur
tersebut supaya ditandai dengan patok sehingga jelas titik awal dan titik akhirnya.
Kedua titik tersebut supaya diplot secara tepat di peta dasar. Pemerian lokasi dari titik
awal dan titik akhir perlu dilakukan secara lengkap dan cermat agar kalau dikemudian
hari ada peneliti lain yang ingin melihat sendiri situasi sebenarnya dari kolom

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 57


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

stratigrafi yang dihasilkan, jalur yang diukur tersebut dapat dengan mudah ditemukan
kembali. Apabila mungkin, kedua ujung titik ini supaya dihitung koordinatnya.

3. Pengamatan, pengukuran dan pencatatan dapat dimulai dari bagian atas atau bagian
bawah dari jalur, tergantung mana yang lebih praktis dan efisien. Untuk titik awal
pengukuran, sebut titik itu sebagai titik 1, sedangkan ujung tali yang lain sebagai titik
2. Setelah selesai mengukur dan mencatat antara titik 1 dan 2, tali digeser. Ujung
yang semula berada di titik 1 sekarang di titik 2, sedang ujung yang semula di titik 2
sekarang bergeser ke titik baru, yaitu titik 3. Demikian seterusnya.

4. Pengukuran antara dua titik pada jalur:


a. Untuk jarak yang relatif jauh menggunakan pita ukur atau tali yang panjang.
b. Untuk jarak yang pendek menggunakan pita ukur yang pendek

Apabila kondisi lereng tidak telalu bergelombang pada jarak yang dekat, litologinya
relatif homogen dengan jurus dan kemiringan yang relatif tetap serta tidak dijumpai
adanya struktur sesar atau lipatan, maka rentangan pita ukur/tali Panjang secara
maksimum. Sebelum melakukan pencatatan, periksalah apakah diantara kedua ujung
rentangan tersebut dijumpai sisipan-sisipan yang penting, misalnya adanya lapisan
bentonite, batubara, tekstur atau struktur sedimen yang khas dan lain sebagainya.
Kalau sisipan-sisipan itu ada, maka posisinya supaya ditentukan secara tepat dalam
rentang pengukuran, sehingga nantinya posisi dari sisipan-sisipan tersebut dapat
digambarkan secara tepat pula di penampang atau kolom yang akan dihasilkan.

5. Kalau dalam jalur yang diukur ditemukan perubahan litologi dengan kontak yang
tajam (misalnya kontak antarabatu lempung dengan breksi), suatu sesar atau suatu
bidang ketidakselarasan, maka jadikan batas tersebut sebagai ujung rentangan dan
pada titik tersebut beri nomor baru. Rentangan yang berikutnya dimulai dari batas
tersebut. Khusus untuk batas yang berupa sesar, awa dari rentangan yang berikutnya
harus terletak pada perlapisan yang merupakan kelanjutan dari perlapisan yang tepat
berada di sesar tersebut.

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 58


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

6. Lakukan pencatatan dari apa-apa yang dilakukan dengan prosedur yang baik. Semua
pecatatan supaya langsung dilakukan di lapangan pada formulir yang disediakan.
Pemerian dan pencatatan data litologi supaya dilakukan dengan cermat, menyeluruh
dan meliputi segala aspek stratigrafis yang terdapat pada bagian yang sedang diukur
dan menggunakan tanda/simbol yang dibakukan (Gambar 3.1).

7. Dianjurkan agar dalam pemerian tersebut diikuti urutan/sistematika sebagai berikut:

a. Nama batuan penyusun suatu singkapan atau suatu satuan, fraagmen utama,
pencampur, matriks, dan semennya serta kemungkinan ada batuan lain yang
menyisip.

b. Warna utama baik dalam keadaan segar maupun dalam keadaan lapuk.

c. Kedudukan (jurus dan kemiringan) dari litologi tersebut.

d. Pemerian litologi meliputi: kisaran ukuran butir masing-masing komponen,


kemas, komposisi mineral utama, kandungan fosil baik yang body fosil ataupun
trace fosil.

e. Struktur sedimen yang khas.

f. Hal-hal lain yang secara geologis/stratigrafis perlu dicatat.

g. Macam dan bentuk kontak dengan litologi/satuan di atas/di bawah.

8. Pengukuran ketebalannya supaya dilakukan secara cermat. Apabila pengukuran


dilakukan sepanjang sungai dan oleh karena pelapukan atau genangan air sebagian
dari batuan tidak tersingkap , maka usahakan mencari singkapan di tebing. Sedapat
mungkin ketebalan juga harus diperoleh dari singkapan yang ada di tebing tadi.

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 59


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

Gambar 3.1 Simbo ukuran butir, litologi, struktur sedimen dan jenis batas bawah litologi
yang digunakan dalam penggambaran kolom dengan menggunakan metode
graphiclog dari Selley (1985).

9. Perhitungan ketebalan sedapat mungkin harus dlakukan pada arah yang memotong
tegak lurus jurus perlapisan. Apabila jara terukur sudah merupakan jarak yang tegak
lurus terhadap arah jurus (jalur 1’-2’, gambar 3.2), maka ketebalan t langsung
diperoleh dengan menggunakan perhitungan :

t = d sin 𝛼 𝛼 = kemiringan perlapisan

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 60


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

Apabila jarak terukur tidak tegaklurus jurus, perhitungan jarak dan ketebalan (jalur 1’-2’)
diperoleh dengan menggunakan rumus :

t = d’ cos θ sin α

dimana α : Kemiringan Lapisan

θ : Sudut penyimpangan dari arah tegak lurus jurus

Pada Jalur 1 – 2 t = d sinα

Pada Jalur 1’ – 2’ t = d’ cosθ sinα

Gambar 3.2 Pengukuran ketebalan perlapisan miring pada daerah datar (Compton,
1985)

10. Perhitungan ketebalan juga harus mempertimbangkan besarnya kemiringan lereng.


Kemiringan lereng yang seharusnya adalah kemiringan lereng yang terukur tegak
lurus jurus. Untuk itu, jika penyimpangan dari arah yang tegak lurus pada jurus cukup
besar (Gambar 3.3), perlu koreksi untuk mengembalikan besaran sudut kemiringan
lereng pada arah yang tegak lurus jurus pada jurus perlapisan batuan. Koreksi dapat
dilakukan dengan menggunakan tabel untuk mengkoreksi dip, misalnya dengan
menggunakan busur Tangier Smith (Gambar 3.4). Untuk itu, besarnya sudut lereng
terukur (yang tidak tegak lurus) dapat disamakan dengan “apparent dip”yang dimana

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 61


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

adalah penyiku sudut antara jurus dan arah penampang. Pengukuran ketebalan pada
daerah yang berlereng perlu mempertimbangkan posisi/arah kemiringan perlapisan

Gambar 3.3 Pengukuran ketebalan perlapisan piring pada daerah yang


mempunyai kelerengan. (Compton, 1985)

Gambar 3.4 Busur Tangier Smith untuk koreksi kemiringan (Compton, 1985)

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 62


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

a. Kemiringan lapisan searah lereng


Bila kemiringan lapisan lebih besar dari pada sudut lereng ( gambar 3.5 ) maka
perhitungan ketebalan adalah :
t = d sin ( dip – slope )
Bila kemiringan lapisan lebih kecil dari sudut lereng ( gambar 3.6 ) maka perhitungan
:
t = d sin ( slope – dip )
d = d’ cos ϴ
d = jarak tegak lurus jurus lapisan
d’ = jarak terukur sesuai dengan arah pengukuran
ϴ = sudut antara arah pengukuran dan arah tegak lurus jurus lapisan

Gambar 3.5 Pengukuran ketebalan perlapisan batuan yang kemiringannyalebih besar


dari kemiringan lereng.(Compton, 1985)

Gambar 3.6 Pengukuran ketebalan perlapisan batuan yang kemiringannya lebih kecil
dari kemiringan lereng.(Compton, 1985)

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 63


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

b. Kemiringan lapisan berlawanan arah dengan lereng


Apabila jumlah besaran lereng dan kemiringan adalah 900 atau lapisan terpotong
tegak lurus oleh lereng ( gambar 3.7) , maka perhitungan ketebalan adalah t = d. Bila
kemiringan lapisan membentuk sudut lancip terhadap lereng ( gambar 3.8), maka
perhitungan ketebalannya menjadi :
t = d sin( 90o – dip –slope )
Bila kemiringan lapisan membentuk sudut tumpul , terhadap lereng ( gambar 3.9)
Maka ketebalannya adalah :
t = d sin (dip+lereng)
c. Kemiringan lapisan mendatar atau tegak
Pada lapisan yang mendatar, ketebalan didapatkan langsung dari perbedaan tinggi
antara batas lapisan ( gambar 3.10), sedangkan pada lapisan tegak ketebalan (
gambar 3.11), merupakan jarak datar antara batas lapisan .
t = d sin slope

Gambar 3.7 Pengukuran ketebalan perlapisan batuan yang arah perlapisannya


Terpotong tegak lurus oleh lereng. ( Compton, 1985)

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 64


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

Gambar 3.8 Pengukuran ketebalan perlapisan batuan yang membentuk sudut lancip
Dengan lereng . ( Compton, 1985 )

Gamabr 3.9 Pengukuran ketebalan pada lapisan batuan yang membuat sudut tumpul dengan
lereng (Compton, 1985).

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 65


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

Gambar 3.10 Pengukuran ketebalan untuk perlapisan dengan posisi mendatar t = d sin (90-
slope) (Compton, 1985).

Gambar 3.11 Pengukuran ketebalan untuk perlapisan dengan posisi mendatar.

11. Selama pengukuran supaya dilakukan penggambaran kolom litologi sesuai dengan
yang ada di lapangan dengan ketebalan yang sesuai dengan pengukuran.
12. Apabila ada pengukuran diketahui ada litologi yang meragukan atau ada
kenampakan-kenampakan yang khas yang memerlukan penelaahan lebih lanjut, maka
perlu dilakukan pengambilan contoh dari hal hal yang khusus tadi. Posisi, dan lokasi
pengambilan contoh tadi perlu diberi nomer dengan urutan sistematis.

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 66


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

13. Apabila titik terakhir telah tercapai, maka harus sudah dapat dipastikan bahwa
a. Formulir pengukuran sudah terisi seluruh data pengukuran.
b. Sketsa kolom litologi sudah diselesaikan pada kolom yang disediakan
c. Semua contoh sudah diberi nomer dan lokasi/posisi pengambilannya, sudah di plot
paa kolom litologi di formulir pengukuran.
14. Sebelum meninggalkan tempat pengukuran dianjurkan agar rombongan pengukur
melakukan pengecekan sekali lagi dengan cara kembali ke titik awal. Pengecekan ini
perlu dilakukan untuk :
a. Mengecek apakah semua pencatatan baik di formulir maupun notes lapangan
sudah lengkap.
b. Mengecek apakah sketsa litologi sudah mngikuti keadaan sebenarnya.

3.3.3.2 Metoda tongkat Jacob (Jacob’s staff method)

Metoda yang kedua yaitu metoda Jacob pada hakekatnya adalah metoda yang
mengkompromikan ketepatan pengukuran (efektifitas) serta kecepatan waktu (efisiensi)
(Fritz & Moore, 1988). Metoda ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan tongkat Jacob
yang panjangnya 1,5m. Semua ketebalan diukur dengan dasar tongkat tersebut. Oleh karena
tongkat pendek ini, maka ketebalan singkapan sesungguhnya dapat diukur secara langsung
tanpa harus melakukan koreksi terhadap perubahan kelerengan. Demikian pula karena pada
tongkat ini dilengkapi dengan klinometer, maka koreksi terhadap kemiringan dapat dilakukan
langsung di lapangan, sehingga kolom yang dihasilkan pada catatan/formulir lapangan adalah
kolom dengan tebal sebenarnya (dengan skala tertentu). Kelebihan dari metoda Jacob ini
adalah metoda ini cocok untuk semua kondisi medan dan dapat dilakukan satu orang saja.

Perlengkapan yang digunakan untuk melakukan pengukuran jalur statigrafi sangat


tergantung dari tujuan apa yang diinginkan dari pengukuran tersebut serta metoda apa yang
dipakai. Untuk metoda tongkat Jacob, berikut ini disebutkan beberapa alat baku dan alat
tambahan yang diperlukan. Alat-alat tersebut adalah :

1. Pita ukur panjang atau tali panjang diganti dengan tongkat Jacob (gambar 3.12).
2. Formulir pengukuran menggunakan formulir pengukuran khusus metoda tongkat
Jacob.

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 67


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

Gambar 3.12 Tongkat Jacob (Jacob’s staff) untuk pengukuran jalus stratigrafi (Compton,
1985)

Adapun prosedur metoda tongkat jaacob adalah sebagai berikut :0j

1. Ikuti prosedur no 1- 3;5-7; 10 -13 dari metoda rentangan tali

2. Untuk penkuran yang dilakukan mulai dari bagian bawah suatu jalur suatu jalur, pada
awal pengukuran letakkan ujung bawah tongkat Jacob di titik terbawah jalur.
Sebutitik ini sebagai titik 0.

3. Dengan menggunakan clinometer yang ada pada ujung tongkat,letakkn tongkat pada
posisi tegak lurus kemirigan. Setelah itu lakukan pembidikan lewat ujung atas
tongkat. Tandai perpotongan garis pembidikan tersebut dengan permkanaan sinkapan
batuan dan sebut titik tersebut sebagai titik 1. Lebar singkapan antara titik 0 dan 1
mempunyai ketebalan sama dengan tongkat Jacob yaitu 1,5 meter (lihat gambar 3.13).

4. Titik yang terletak pada 1,5 ketebalan sesungguhnya dari 0 disebut titik1. Selanjutnya
titik yang terletak 1,5 meter di atas titik 1 disebut 2 demikian seterusnya .

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 68


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

5. Pengukuran seperti tersebut pada anka 3 dan 4 diteruskan sampai dijumpai batas tegas
karena adanya perubahan litologi yan jelas, sesar atau ketidakselarasan batas –batas
itu supaya menjadi akhir dari suatu pengukuran dan sekaligus menjadi awal dari
prngukuranbrikutnya

Gambar 3.13 Pengukuran ketebalan dengan menggunakan tongkat Jacob (Compton, 1985)

6. Kolom litologi yang digambar dan diperi formulir pencatatn lapangan sudah
merupakan kolom dengan ketabalan sesunggunhnya dengan skala 1 :100

7. Dalam pengukura, posisi dari hal-hal yang penting misalnya adanya sisipan
tipis,horison fosol, lapisan bentonit, lapisan batuba, struktur sedimen yang khas, dan
sehinga nantinya posisi dari hal-hal tersebut dapat pula digambarkan secara tepat di
dalam penampang atau kolom.

8. Pemerian dan pencatatan data litologi supaya diakukan dengan cermat, meneluruh
dan meliputih segala aspek strtigrafi yang ada pada bagian yang sedang diukur dan
mengunakan tanda/simbol yang dibabukan. Dianjurkan agar dalam pemerian tersebut
diikuti urutan/sisteematik sebagai berikut:
a. Nama batuan pensumn suatu sinkapan atau suatu, fragmen utama, pencampur,
matruiks dan semennya serta kemungkinan ada batuan lain yang menyisip.

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 69


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

b. Warna utama baik dalam keadaan segar maupun dalam keadan lapuk.
c. Kedududukan (jurus dan kemiringan ) dari litologi tersebut.
d. Pemerian litologi meliputi: kisaran ukuran butir masing-masing komponene,
kemas, komposisi mineral utama kandungan fosil baik yang body fosil ataupun
trace fosil.
e. Struktur sedimen yang khas
f. Hal-hal lain yang secara geologis/stratigrafis perlu dicatat.
g. Macam dan bentuk kontak dengan litologi/satuan di atas/di bawahnya.

9. Apabila pada pengukuran ada litologi yang membingunkan atau ada kenampakan-
kenampakan yang khas yang memerlukan penelaahan lebih lanjut, maka perlu
dilakukan pembagian contoh dari hal-hal yang khusus tadi. Lokasi pengambilan
contoh tadi perlu ditentukan dengan tepat pada kolom yang akan dibuat. Contoh
tersebut perlu diberi nomer dengan urutan yang sistematis.

10. Apabila titik terakhir telah tercapai, maka harus sudah dapat dipastikan bahwa:

a. Formulir pengukuran sudah terisi seluruh data pengukuran.

b. Sketsa kolom litologi sudah diselesaikan pada kolom yang disediakan.

c. Semua contoh sudah diberi nomer dan lokasi/posisi pengambilannya sudah diplot
pada kolom litologi di formulir pengukuran.

11. Sebelum meninggalkan tempat pengukuran dianjurkan agar rombongan pengukur


melakukan pengecekan sekali lagi dengan cara kembali ke titik awal. Pengecekan ini
perlu dilakukan untuk :

a. Mengecek apakah semua pencatatan baik di formulir maupun notes lapangan sudah
lengkap.

b. Mengecek apakah sketsa kolom litologi sudah mengikuti keadaan sebenarnya.

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 70


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

3.3.4 Penggambaran Kolom Litologi

Kolom litologi yang dihasilkan sangat tergantung pada tujuan dari pekerjaan
pengukuran jalur itu sendiri. Apabila jalur tersebut diukur sebagai kelengkapan dalam
pekerjaangeologi, maka biasanya diperlukan kolom yang mempunyai skala vertikal 1 : 100
sampai 1 : 500. Sedang untuk beberapa keperluan lain, bisa dibuat pada skala yang lebih
besar atau lebih kecil, tergantung pada kebutuhan.

Cara penggambaran kolom yang terbentuk juga sangat tergantung pada untuk apa
kolom tersebut. Kolom yang ditujukan untuk analisa perkembangan sedimentasi tentunya
sangat memerlukan ditonjolkannya unsur tekstur, ukuran butir, hubungan vertikal, kemas dan
macam serta komposisi litologi. Untuk ini cara penggambaran dengan menggunakan metoda
graphic log seperti yang dikemukakan oleh Bouma (1962) atau Selley (1985) sangat
menguntungkan, (lihat gambar 3.1 dan 3.14). Sedangkan untuk pembuatan kolom yang tidak
terlalu tebal tapi memerlukan kecermatan pengutaraan tekstur dan kemasnya misalnya dalam
kerangka analisa event stratigraphy ataupun pengutaraan stratigrafi detil dari galian
arkeologis/paleoantropologis, cara penggambaran seperti yang dilakukan oleh Frazier &
Taylor (1980, gambar 3.15) dapat diikuti. Selanjutnya apabila analisa tekstur dan kemas
bukan merupakan tujuan dari pengukuran jalur, tetapi misalnya saja jalur diukur untuk
analisa biostratigrafi, maka cara penggambaran kolom seperti yang dilakukan di daerah Niten
oleh Kadar (1981, gambar 3.16) dapat diikuti.

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 71


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

Gambar 3.14 Penampang stratigrafi dari seri Yoredale dengan menggunakan metoda
graphic log (Selley,1985)

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 72


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

Gambar 3.15 .Kolom litologi yang menekankan kepada unsur tekstur dan kemas
(Frazier & Taylor, 1980).

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 73


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

Gambar 3.16 Kolom litologi yang dibuat untuk suatu keperluan yang tidak terlalu
menekankan pada unsur tekstur, kemas maupun struktur sedimen (Kadar,1981)

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 74


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

3.3.5 Kolom Stratigrafi Daerah

Hasil pembuatan / pekerjaan profil lintasan dari setiap lintasan yang sudah
menggambarkan jumlah satuan batuan dan hubungan stratigrafi setiap satuan batuan dicoba
untuk melakukan korelasi antar profil lintasan sehingga dapat diketahui penyebaran vertikal
dan lateralnya. Hasil korelasi stratigrafi antar lintasan akan menghasilkan kolom stratigrafi
daerah. Hal tersebut dapat dilakukan dengan kondisi singkapan yang baik antar lintasan dan
dapat dilakukan pengukuran stratigrafi.

Apabila kondisi lintasan tidak terlalu lengkap (baik) dapat menggunakan kombinasi
antara stasiun dan pengamatan dan stratigrafi terukur tiap lintasan sehingga merupakan
penggabungan data stratigrafi dari bawah (tua) hingga ke atas (lebih muda) dari seluruh
stratigrafi daerah pemetaan.

Penggabungan data stratigrafi daerah dapat berasal dari penggabungan antar kolom
stratigrafi stasiun pengamatan (SP) atau yang sering disebut lintasan gabungan (composite
section).

Setelah didapatkan kolom stratigrafi stasiun pengamatan, maka data tersebut dapat
digunakan untuk membuat sejarah pengendapannya.

3.4 Pengukuran Struktur Geologi

3.4.1 Maksud dan Tujuan

Acara pengukuran struktur geologi diselenggarakan dengan maksud dan tujuan agar
kepada peserta dapat:

a. Memperoleh bekal kemampuan untuk mengenal, dan membedakan struktur yang ada
dilapangan.
b. Mengukur dan menyajikan data struktur dalam bentuk daftar, diagram dan lain
sebgainya.
c. Menganalisis data struktur untuk menjelaskan bagaimana pembentukannya.
d. Mencari kemungkinan adanya hubungan pembentukan masing-masing struktur yang
ada
Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 75
BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

e. Menafsirkan gaya tektonik yang bekerja di suatu daerah dimana struktur tersebut
ditemukan di lapangan.

Dalam melaksanakan latihan ini para peserta akan dibawa oleh pembimbing ke
beberapa singkapan batuan yang strukturnya dapat diamati dan diukur dengan mudah.
Pembimbing akan memberikan penjelasan seperlunya tentang struktur yang ada dan hal-hal
lain yang harus dikerjakan oleh peserta di lapangan maupun di Stasiun Lapangan. Pekerjaan
lapangan dilakukan satu hari untuk mencari data. Malam harinya dari satu hari berikutnya
para peserta melakukan pemrosesan data, dianalisis dan dibuat laporannya.

3.4.2 Alat yang Digunakan

Untuk pelaksanaan acara latihan Analisis Struktur Geologi ini diperlukan peralatan:

a. Kompas, palu, dan peralatan lapangan lainnya.


b. Notes lapangan denga alat tulis yang diperlukan
c. Jaringan yang terdiri dari:
o Jaringan Schmidt
o Jaringan Polar
o Jaringan Kalsbeek
d. Kertas laporan, terdiri dari:
o Kertas kalkir
o Kertas milimeter
o Kertas HVS

3.4.3 Metode Proyeksi

Berdasarkan pengertian geometri, struktur geologi membedakan struktur garis dan


struktur bidang. Termasuk kedalam struktur garis antara lain lineasi, gores garis, hinge line,
dan lain-lain. Sedangkan struktur bidang contohnya urat (vein), kekar, sesar, lipatan,
ketidakselarasan, dan lain-lain.

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 76


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

Analisis data struktur geologi secara dekriptif geometri dilakukan dengan cara
mengubah bentuk yang sesungguhnya ke dalam bentuk dua dimensi dengan proyeksi.
Berdasarkan metodanya, proyeksi dibedakan menjadi:

1. Proyeksi ortogonal yaitu penggambaran obyek dengan garis proyeksi dibuat saling
sejajar dan tegak lurus terhadap bidang proyeksi.
2. Proyeksi stereografis yaitu penggambaran berdasarkan kepada perpotongan garis atau
bidang dengan permukaan bola.
3. Proyeksi perspektif yaitu proyeksi suatu obyek terhadap satu titik, misalnya proyeksi
kutub.

Proyeksi stereografis dan proyeksi kutub merupakan suatu cara yang fundamental
dalam menganalisa dan memecahkan masalah yang meliputi hubungan garis dengan bidang
dalam ruang tiga dimensi. Beberapa stereonet yang mungkin digunakan adalah Wulf net
(equal angle net) dan Schmidt net (equal area net), Polar Equal Area Net dan Kalsbeek net.
Wulf net (gambar 3.17) yang digunakan untuk memecahkan masalah-masalah geometri
dimana konstruksi geometris dibuat pada jaring (net). Equal Area net (gambar 3.18) adalah
proyeksi titik-titik pada permukaan bola pada bidang proyeksi sedemikian sehingga titik-titik
pada permukaan bola yang berjarak sama akan digambarkan pada bidang proyeksi dengan
jarak yang sebanding dan sama. Jadi jarak lingkaran besar sepanjang lingkaran kecil akan
konstan dari pusat ke tepi. Proyeksi equal area ini lebih umum digunakan untuk
memecahkan masalah-masalah geometri dan untuk evaluasi orientasi dat asecara statistik
karena kerpatan hasil plotting menunjukkan keadaan yang sebenarnya. Bila data struktur
yang terkumpul cukup banyak (secara statistik 50 data) lebih tepat evaluasi statistiknya
dengan menggunakan jaring penghitung Kalsbeek net (gambar 3.19).

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 77


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

Gambar 3.17 Schmidt net (Compton, 1985).

Gambar 3.18 Kalsbeek net (Compton, 1985).

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 78


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

Proyeksi Stereografis

Proyeksi stereografis adalah penggambaran berdasarkan kepada perpotongan garis


atau bidang denngan permukaan bola. Bidang proyeksi yang dibentuk oleh proyeksi
stereografis berupa suatu lingkaran primitif (primitive circle). Pengeplotan data pada Wulf net
dan schmidt net dimulai dengan 00 berada pada lingkaran primitifdan menuju pusat lingkaran
menjadi 900. Untuk bidang-bidang yang mempunyai kedudukan miring (00-900), proyeksinya
akan menghasilkan busur dari suatu lingkaran dengan jari-jari lebih besar dari jari-jari
lingkaran primitif (gambar 3.21).

Busur lingkaran ini disebut sebagai lingkaran besar (great circe). Selain itu ada juga
lingkaran kecil yang merupakan perpotongan antara bidang proyeksi dengan bidang yang
tidak melalui pusat bola. Perpotongan lingkaran-lingkaran kecil degan lingkaran primitif
merupakan tempat untuk memplot jurus suatu bidang atau bearing suatu garis, menentukan
pitch/rake suatu struktur garis pada bidang tertentu dan sebagai jejak-jejak perputaran suatu
bidang/garis.

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 79


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

Gambar 3.19 Polar Equal Area net (Compton, 1985).

Gambar 3.20 Gambaran tiga dimensi hubungan proyeksi permukaan bola, pembuatan
lingkaran besar dan lingkaran kecil (Compton, 1985).

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 80


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

Pada proyeksi stereografis struktur garis diplot sebagai titik sedangkan struktur
bidang diplot sebagai busur lingkaran besar tapi mungkin juga dapat ditunjukkan oleh kutub-
kutub pada bidang yang diplot sebagai titik (gambar 3.22)

Proyeksi Kutub

Proyeksi kutub yaitu proyeksi suatu obyek terhadap suatu titik. Obyek yang
dioperasikan tersebut dapat berupa garis atau bidang (Gambar 3.23). Pada proyeksi ini sudut
0° dimulai dari pusat lingkaran dan sudut 90° pada lingkaran primitif.

Penggambaran Unsur Struktur

A. Penggambaran Garis
Contoh : Gambarkan garis 30°, S42°E

A.1 Proyeksi Stereografis


1. Letakkan kertas kalkir di atas stereonet. Buat lingkaran primitif dan tandai titik utara,
selatan, timur dan barat. Tentukan titik yang mewakili trend dengan menghitung 42°
dari S berlawanan arah jarum jam (ke arah E).
2. Putar kalkir searah jarum jam hingga titik tersebut tepat berada di S.
3. Hitung 30° dari pinggir ke pusat sepanjang diameter N-S. Plot titik tersebut.
4. Kembalikan kalkir pada posisi semula (Gambar 3.24).

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 81


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

Gambar 3.21 Proyeksi stereografis dari bidang dan hemisper bawah kutub pada bidang
(Compton, 1985)

Gambar 3.22 Proyeksi kutub (a). Proyeksi kutub sebuah garis (b). Proyeksi kutub sebuah
bidang (Compton, 1985).

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 82


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

A.2 Proyeksi Kutub

Proyeksi kutub sebuah garis adalah titik tembus garis tersebut dengan bidang
pemukaan bola imajiner. Dengan Schmidt net, Wulf net atau polar net proyeksi garis berupa
titik. Trend dihitung pada lingkaran primitif, plunge dihitung dari luar ke pusat.

B. Penggambaran Bidang

Contoh : Gambarakan bidang N 30⁰ E/40⁰E

B.1 Proyeksi Streografis (Gambar 3.25)

1. Letakkan kertas kalkir diatas streonet. Buat lingkaran primitive dan tandai titik utara,
selatan,timur, dan barat.

2. Tentukan titik yang mewakili jurus dengan menghitung 30⁰ dari N searah jarum jam.

3. Putar kalkir berlawanjarum jam hingga titik tersebut tepat berada di N, yang berarti
memutar sebesar 30⁰ berlawanan arah jarum jam dari posisi semula.

4. Untuk menentukan lingkaran besar yang mewakili bidang yang dimaksud, hitung 40⁰ dari
pinggir kea rah pusat net sepanjang diameter E – W. telusuri dan buat garis.

5. Kembalikan keposisi semula.

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 83


BAB III – PEMETAAN GEOLOGI

B.2 Proyeksi Kutub

a. Dengan wulf net atau Schmidt net

Bila lingkaran besar telah dilukis, tambahkan 90⁰ sepanjang sumbu E – W.

Kembalikan kalkir keposisi semula. Titik tersebut adalah proyeksi kutub dari dari bidang N
30 ⁰E/40⁰E

b. Dengan Polar net

Dengan polar net, jurus N 0⁰ E diplot pada sisi W (bukan N). Dip dihitung dari pusat ke tepi.
Sedangkan N 90⁰ E diplot pada N, dan seterusnya.

Buku Panduan Pemetaan Geologi Teknik Geofisika ITS 2019 Page 84

Anda mungkin juga menyukai