Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH RADIOLOGI

DETEKTOR ISIAN GAS

DISUSUN OLEH:
MOHAMMAD CHAFID WIRDANI
P32208p
KELAS C

PROGRAM STUDI D-3 ELEKTROMEDIS


POLITEKNIK MUHAMMADIYAH MAKASSAR
TAHUN AJARAN 2024/2025

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Radiasi adalah suatu berkas zarah atau foton yang dipancarkan dari suatu sumber
yang mengalami proses perubahan inti atom dari keadaan tidak stabil menjadi
stabil. Hal yang paling mendasar untuk mengendalikan bahaya radiasi adalah
mengetahui besarnya radiasi yang dipancarkan oleh suatu sumber radiasi baik
melalui pengukuran maupun perhitungan. Besarnya radiasi dapat diukur dengan
menggunakan alat ukur radiasi berupa detektor. Detektor nuklir mempunyai jenis
serta bentuk yang cukup banyak. Seiring dengan perkembangan zaman, berbagai
penemuan dan pengembangan telah dilakukan terhadap sistem pencacah radiasi
untuk meningkatkan aplikasi dan kemudahan penggunaannya. Terdapat beberapa
jenis detektor sebagai alat ukur radiasi, yaitu detektor isian gas, detektor sintilasi
dan detektor semikonduktor. Oleh karena itu, untuk memahami jenis dan
kegunaan detektor tersebut, pemakalah akan membahasanya dalam makalah yang
berjudul “Detektor Radiasi”.

B. Tujuan
Makalah yang berjudul “Siapa yang Menangkap Radiasi?” bertujuan untuk:
1. Mengetahui jenis-jenis detektor radiasi.
2. Mengetahui mekanisme kerja detektor radiasi.

BAB II
PEMBAHASAN

Partikel alfa, beta, gamma, neutron atau proton yang dilepas dari bahan radioaktif
ataupun radiasi oleh alam, dapat diukur nilai parameter fisisnya hanya bila
terdapat instrumen yang dapat mendeteksi atau mengukur parameter radiasi itu.
Instrumen itu disebut detektor radiasi. Bentuk, bahan dan kepekaan dari setiap
detektor disesuaikan dengan kebutuhan pengguna. Telah dikenal beberapa jenis
detektor, yaitu detektor isian gas, detektor sintilasi, dan detektor semikonduktor.

2
A. Detektor Isian Gas

Detektor isian gas adalah detektor yang paling banyak digunakan untuk mengukur
radiasi (Safitri, dkk, 2011). Detektor isian gas merupakan tabung tertutup yang
berisi gas dan terdiri dari 2 buah elektrode. Dinding tabung sebagai elektrode
negatif (katode) dan kawat yang terbentang di dalam tabung pada poros sebagai
elektrode positif (anode). Skema detektor isian gas disajikan pada gambar berikut.

Gambar 1. Detektor isian gas

Radiasi yang memasuki detektor akan mengionisasi gas dan menghasilkan ion-ion
positif dan ion-ion negatif (elektron). Jumlah ion yang akan dihasilkan tersebut
sebanding dengan energi radiasi dan berbanding terbalik dengan daya ionisasi
gas. Daya ionisasi gas berkisar dari 25 eV s.d. 40 eV. Ion-ion yang dihasilkan di
dalam detektor tersebut akan memberikan kontribusi terbentuknya pulsa listrik
ataupun arus listrik. Adapun skema dari proses ionisasi disajikan pada gambar
berikut.

Gambar 2. Proses ionisasi

1
Ion-ion primer yang dihasilkan oleh radiasi akan bergerak menuju elektroda yang
sesuai. Pergerakan ion-ion tersebut akan menimbulkan pulsa atau arus listrik.
Pergerakan ion tersebut di atas dapat berlangsung bila di antara dua elektroda
terdapat cukup medan listrik. Bila medan listriknya semakin tinggi maka energi
kinetik ion-ion tersebut akan semakin besar sehingga mampu untuk mengadakan
ionisasi lain. Ion-ion yang dihasilkan oleh ion primer disebut sebagai ion
sekunder. Bila medan listrik di antara dua elektroda semakin tinggi maka jumlah
ion yang dihasilkan oleh sebuah radiasi akan sangat banyak dan disebut proses
avalanche.

Terdapat tiga jenis detektor isian gas yang bekerja pada daerah yang berbeda yaitu
detektor kamar ionisasi, detektor proporsional, dan detektor Geiger Mueller (GM).

1. Detektor Kamar Ionisasi

Detektor kamar ionisasi beroperasi pada tegangan paling rendah. Jumlah elektron
yang terkumpul di anoda sama dengan jumlah yang dihasilkan oleh ionisasi
primer. Dalam kamar ionisasi ini tidak terjadi pelipat-gandaan (multiplikasi)
jumlah ion oleh ionisasi sekunder. Dalam daerah ini dimungkinkan untuk
membedakan antara radiasi yang berbeda ionisasi spesifikasinya, misalnya antara
partikel alfa, beta dan gamma. Namun, arus yang timbul sangat kecil, kira-kira 10-
12 A sehingga memerlukan penguat arus sangat besar dan sensitivitas alat baca
yang tinggi.

2. Detektor Proporsional

Salah satu kelemahan dalam mengoperasikan detektor pada daerah kamar ionisasi
adalah out put yang dihasilkan sangat lemah sehingga memerlukan penguat arus
sangat besar dan sensitivitas alat baca yang tinggi. Untuk mengatasi kelemahan
tersebut, tetapi masih tetap dapat memanfaatkan kemampuan detektor dalam
membedakan berbagai jenis radiasi, maka detektor dapat dioperasikan pada
daerah proporsional.

2
Alat pantau proporsional beroperasi pada tegangan yang lebih tinggi daripada
kamar ionisasi. Daerah ini ditandai dengan mulai terjadinya multiplikasi gas yang
besarnya bergantung pada jumlah elektron mula-mula dan tegangan yang
digunakan. Karena terjadi multiplikasi maka ukuran pulsa yang dihasilkan sangat
besar.

Multiplikasi terjadi karena elektron-elektron yang dihasilkan oleh ionisasi primer


dipercepat oleh tegangan yang digunakan sehingga elektron tersebut memiliki
energi yang cukup untuk melakukan ionisasi berikutnya (ionisasi sekunder).
Meskipun terjadi multiplikasi, namun jumlah elektron yang dihasilkan tetap
sebanding (proporsional) dengan ionisasi mula-mula. Karena itu dinamakan alat
pantau proporsional.

Keuntungan dari alat pantau proporsional adalah bahwa alat ini mampu
mendeteksi radiasi dengan intensitas cukup rendah. Namun, memerlukan sumber
tegangan yang super stabil, karena pengaruh tegangan pada daerah ini sangat
besar terhadap tingkat multiplikasi gas dan juga terhadap tinggi pulsa out put.

3. Detektor Geiger Mueller

Sejak ditemukan detektor radiasi pengion oleh Hans Geiger pada tahun 1908,
kemudian tahun 1928 disempurnakan oleh Walther Mueller menjadi tabung
detektor Geiger-Mueller yang konstruksinya sederhana dibandingkan dengan jenis
detektor yang lain. Detektor Geiger-Mueller terdiri dari suatu tabung logam atau
gelas dilapisi logam yang biasanya diisi gas seperti argon, neon, helium atau
lainnya (gas mulia dan gas poliatomik) dengan perbandingan tertentu (Safitri, dkk,
2011).

Detektor Geiger (Geiger Counter) merupakan alat ukur cacah radiasi yang
berdasarkan pada prinsip ionisasi atom-atom gas. Detektor ini berisi gas pada
tekanan rendah, kawat halus yang berfungsi sebagai anode, dan selubung silinder
sebagai katode. Jika terdapat partikel dari radiasi bahan radioaktif yang masuk
melalui jendela (window) detektor, maka partikel itu dipercepat oleh anode,
sehingga dapat mengionisasi gas disekitar anode, dan akibatnya diperoleh pulsa

3
listrik. Cacah pulsa listrik itu sebanding dengan jumlah partikel dari bahan
radioaktif yang masuk detektor.

B. Detektor Sintilasi

Detektor jenis ini merupakan alat ukur cacah radiasi oleh bahan radioaktif,
atau radiasi oleh alam pada berbagai nilai tenaga dari partikel atau foton
yang dideteksi. Jika sinar jatuh pada kristal scintilator (NaI) maka kristal
berpendar. Hal ini disebabkan oleh elektron atau atom dari kristal yang
tereksitasi, dan kemudian kembali ke arah bawah dengan mengemisi
foton. Radiasi foton itu mengenai katode, dan selanjutnya katode melepas
elektron yang disebut radiasi fotokatode. Selanjutnya, kelajuan elektron
diperbesar dengan melewatkannya pada beda potensial bertingkat sehingga
potensialnya naik secara bertahap, serta diperkuat oleh tabung
fotomultiplier. Detektor ini juga mampu memberi informasi tenaga dari
partikel atau foton yang ditangkap oleh detektor itu (Jati dan Priyambodo,
2010: 308).
Detektor sintilasi terdiri dari dua bagian, yaitu bahan sintilator dan
photomultiplier. Bahan sintilator merupakan suatu bahan padat, cair
maupun gas, yang akan menghasilkan percikan cahaya bila dikenai radiasi
pengion. Photomultiplier digunakan untuk mengubah percikan cahaya
yang dihasilkan bahan sintilator menjadi pulsa listrik.
1. Sintilator Cair (Liquid Scintillation)
Detektor ini sangat spesial dibandingkan dengan jenis detektor yang lain
karena berwujud cair. Sampel radioaktif yang akan diukur dilarutkan
dahulu ke dalam sintilator cair ini sehingga sampel dan detektor menjadi
satu kesatuan larutan yang homogen. Secara geometri pengukuran ini
dapat mencapai efisiensi 100 % karena semua radiasi yang dipancarkan
sumber akan “ditangkap” oleh detektor. Metode ini sangat diperlukan

4
untuk mengukur sampel yang memancarkan radiasi b berenergi rendah
seperti tritium dan C14.

Gambar 3. Sintilator Cair


Masalah yang harus diperhatikan pada metode ini adalah quenching yaitu
berkurangnya sifat transparan dari larutan (sintilator cair) karena mendapat
campuran sampel. Semakin pekat konsentrasi sampel maka akan semakin
buruk tingkat transparansinya sehingga percikan cahaya yang dihasilkan
tidak dapat mencapai photomultiplier.
Proses sintilasi pada bahan ini dapat dijelaskan dengan gambar di bawah.
Di dalam kristal bahan sintilator terdapat pita-pita atau daerah yang
dinamakan sebagai pita valensi dan pita konduksi yang dipisahkan dengan
tingkat energi tertentu. Pada keadaan dasar, ground state, seluruh elektron
berada di pita valensi sedangkan di pita konduksi kosong. Ketika terdapat
radiasi yang memasuki kristal, terdapat kemungkinan bahwa energinya
akan terserap oleh beberapa elektron di pita valensi, sehingga dapat
meloncat ke pita konduksi. Beberapa saat kemudian elektron-elektron
tersebut akan kembali ke pita valensi melalui pita energi bahan aktivator
sambil memancarkan percikan cahaya.

Gambar 4. Proses Sintilasi


Jumlah percikan cahaya sebanding dengan energi radiasi diserap dan
dipengaruhi oleh jenis bahan sintilatornya. Semakin besar energinya
semakin banyak percikan cahayanya. Percikan-percikan cahaya ini
kemudian ‘ditangkap’ oleh photomultiplier.

5
Berikut ini adalah beberapa contoh bahan sintilator yang sering digunakan
sebagai detektor radiasi.
1) Kristal NaI(Tl)

2) Kristal ZnS(Ag)
3) Kristal LiI(Eu)
4) Sintilator Organik

2. Tabung Photomultiplier

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, setiap detektor sintilasi terdiri atas dua
bagian yaitu bahan sintilator dan tabung photomultiplier. Bila bahan sintilator
berfungsi untuk mengubah energi radiasi menjadi percikan cahaya maka tabung
photomultiplier ini berfungsi untuk mengubah percikan cahaya tersebut menjadi
berkas elektron, sehingga dapat diolah lebih lanjut sebagai pulsa / arus listrik.

Tabung photomultiplier terbuat dari tabung hampa yang kedap cahaya dengan
photokatoda yang berfungsi sebagai masukan pada salah satu ujungnya dan
terdapat beberapa dinode untuk menggandakan elektron seperti terdapat pada
gambar 4. Photokatoda yang ditempelkan pada bahan sintilator, akan
memancarkan elektron bila dikenai cahaya dengan panjang gelombang yang
sesuai. Elektron yang dihasilkannya akan diarahkan, dengan perbedaan potensial,
menuju dinode pertama. Dinode tersebut akan memancarkan beberapa elektron
sekunder bila dikenai oleh elektron.

Gambar 5. Tabung Photomultiplier

6
Elektron-elektron sekunder yang dihasilkan dinode pertama akan menuju dinode
kedua dan dilipatgandakan kemudian ke dinode ketiga dan seterusnya sehingga
elektron yang terkumpul pada dinode terakhir berjumlah sangat banyak. Dengan
sebuah kapasitor kumpulan elektron tersebut akan diubah menjadi pulsa listrik.

C. Detektor Semikonduktor

Detektor ini menggunakan bahan utama semikonduktor yang merupakan


gandengan positif (P) dan negatif (N). Jika detektor tidak teradiasi, maka tidak
mengalirkan arus listrik, sedangkan apabila ada radiasi dapat memberikan lubang
(hole) pada bahan gabungan, sehingga muncul arus listrik. Alat ini cukup
sederhana, hanya saja volume aktif bahan yang dimiliki sangat kecil (Jati dan
Priyambodo, 2010: 309).

Bahan semikonduktor, yang diketemukan relatif lebih baru daripada dua jenis
detektor di atas, terbuat dari unsur golongan IV pada tabel periodik yaitu silikon
atau germanium. Detektor ini mempunyai beberapa keunggulan yaitu lebih
effisien dibandingkan dengan detektor isian gas, karena terbuat dari zat padat,
serta mempunyai resolusi yang lebih baik daripada detektor sintilasi.

Pada dasarnya, bahan isolator dan bahan semikonduktor tidak dapat meneruskan
arus listrik. Hal ini disebabkan semua elektronnya berada di pita valensi
sedangkan di pita konduksi kosong. Perbedaan tingkat energi antara pita valensi
dan pita konduksi di bahan isolator sangat besar sehingga tidak memungkinkan
elektron untuk berpindah ke pita konduksi ( > 5 eV ) seperti terlihat di atas.
Sebaliknya, perbedaan tersebut relatif kecil pada bahan semikonduktor ( < 3 eV )
sehingga memungkinkan elektron untuk meloncat ke pita konduksi bila mendapat
tambahan energi.

Energi radiasi yang memasuki bahan semikonduktor akan diserap oleh bahan
sehingga beberapa elektronnya dapat berpindah dari pita valensi ke pita konduksi.
Bila di antara kedua ujung bahan semikonduktor tersebut terdapat beda potensial
maka akan terjadi aliran arus listrik. Jadi pada detektor ini, energi radiasi diubah
menjadi energi listrik.

7
Gambar 7. Proses perubahan energi

radiasi menjadi energi listrik

Sambungan semikonduktor dibuat dengan menyambungkan semikonduktor tipe N


dengan tipe P (PN junction). Kutub positif dari tegangan listrik eksternal
dihubungkan ke tipe N sedangkan kutub negatifnya ke tipe P seperti terlihat pada
Gambar 7. Hal ini menyebabkan pembawa muatan positif akan tertarik ke atas
(kutub negatif) sedangkan pembawa muatan negatif akan tertarik ke bawah (kutub
positif), sehingga terbentuk (depletion layer) lapisan kosong muatan pada
sambungan PN. Dengan adanya lapisan kosong muatan ini maka tidak akan
terjadi arus listrik. Bila ada radiasi pengion yang memasuki lapisan kosong
muatan ini maka akan terbentuk ion-ion baru, elektron dan hole, yang akan
bergerak ke kutub-kutub positif dan negatif. Tambahan elektron dan hole inilah
yang akan menyebabkan terbentuknya pulsa atau arus listrik.

Oleh karena daya atau energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan ion-ion ini
lebih rendah dibandingkan dengan proses ionisasi di gas, maka jumlah ion yang
dihasilkan oleh energi yang sama akan lebih banyak. Hal inilah yang
menyebabkan detektor semikonduktor sangat teliti dalam membedakan energi
radiasi yang mengenainya atau disebut mempunyai resolusi tinggi. Sebagai
gambaran, detektor sintilasi untuk radiasi gamma biasanya mempunyai resolusi
sebesar 50 keV, artinya, detektor ini dapat membedakan energi dari dua buah
radiasi yang memasukinya bila kedua radiasi tersebut mempunyai perbedaan

8
energi lebih besar daripada 50 keV. Sedang detektor semikonduktor untuk radiasi
gamma biasanya mempunyai resolusi 2 keV. Jadi terlihat bahwa detektor
semikonduktor jauh lebih teliti untuk membedakan energi radiasi.

Sebenarnya, kemampuan untuk membedakan energi tidak terlalu diperlukan


dalam pemakaian di lapangan, misalnya untuk melakukan survai radiasi. Akan
tetapi untuk keperluan lain, misalnya untuk menentukan jenis radionuklida atau
untuk menentukan jenis dan kadar bahan, kemampuan ini mutlak diperlukan.

Kelemahan dari detektor semikonduktor adalah harganya lebih mahal,


pemakaiannya harus sangat hati-hati karena mudah rusak dan beberapa jenis
detektor semikonduktor harus didinginkan pada temperatur Nitrogen cair sehingga
memerlukan dewar yang berukuran cukup besar.

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan makalah yang berjudul “Detektor Radiasi”, dapat disimpulkan:

1. Terdapat tiga jenis detektor radiasi, yaitu detektor isian gas, detektor
sintilasi, dan detektor semikonduktor.

2. Setiap detektor radiasi memiliki mekanisme kerja yang berbeda-beda,


seperti:

a. Detektor isian gas, yaitu dengan cara mengionisasi gas sehingga dihasilkan
ion-ion positif dan ion-ion negatif (elektron). Ion-ion primer yang dihasilkan oleh
radiasi akan bergerak menuju elektroda yang sesuai. Pergerakan ion-ion tersebut
akan menimbulkan pulsa atau arus listrik.

9
b. Detektor sintilasi, yaitu dengan cara memendarkan sinar yang jatuh pada
kristal scintilator (NaI) yang disebabkan oleh elektron atau atom dari kristal yang
tereksitasi, dan kemudian kembali ke arah bawah dengan mengemisi foton.
Radiasi foton tersebut mengenai katode, sehingga katode melepaskan elektron.

c. Detektor semikonduktor, yaitu dengan cara menyerap radiasi yang


memasuki bahan semikonduktor oleh bahan semikonduktor, sehingga beberapa
elektronnya dapat berpindah dari pita valensi ke pita konduksi. Apabila diantara
kedua ujung bahan semikonduktor tersebut terdapat beda potensial, maka akan
terjadi aliran arus listrik.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayanto, Eko. 2009. Detektor Radiasi. Diakses pada tanggal 16 Maret 2014
pukul 16.15 wib.

Http://www.batan.go.id/pusdiklat/elearning/Pengukuran_Radiasi/
Dasar_04.htm.Diakses pada tanggal 16 Maret 2014 pukul 17.00 wib.

Jati B. Murdaka Eka dan Priyambodo T. Kuntoro. 2010. Fisika Dasar untuk
Mahasiswa Ilmu-ilmu Eksakta dan Teknik. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.

Safitri Irma, dkk. 2011. Jurnal Perbandingan Karakteristik Detektor Geiger-


Mueller Self Quenching dengan External Quenching. Diakses pada tanggal 16
Maret 2014 pukul 16.00 wib.

Surakhman dan Sayono. 2009. Jurnal Pembuatan Detektor Geiger-Mueller Tipe


Jendela Samping dengan Gas Isian Argon –Etanol. Diakses pada tanggal 16 Maret
2014 pukul 16.30 wib.

10
11

Anda mungkin juga menyukai