Anda di halaman 1dari 32

Prinsip Dasar Pengukuran Radiasi

Latar Belakang
Radiasi nuklir tidak dapat dirasakan oleh panca indera manusia oleh karena itu alat ukur radiasi mutlak
diperlukan untuk mendeteksi dan mengukur radiasi nuklir. Materi ini akan membahas prinsip dasar
pengukuran radiasi mulai dari mekanisme deteksi, jenis detektor, dan penggunaannya.

Tujuan Instruksional
Setelah mengikuti modul ini pembaca diharapkan mampu menguraikan prinsip kerja dan kegunaan sistem
pengukur radiasi. Secara lebih rinci, pembaca akan mampu untuk:
menguraikan fungsi detektor dan peralatan penunjang dalam sistem pengukur radiasi;
menguraikan dua mekanisme pendeteksian radiasi yang sering digunakan;
menguraikan prinsip kerja detektor isian gas, sintilasi dan semikonduktor;
membedakan fungsi alat ukur radiasi;
menyebutkan contoh alat ukur radiasi yang digunakan di bidang proteksi radiasi;
menyebutkan contoh aplikasi sistem pencacah dan spektroskopi.

Besaran yang Diukur


Radiasi merupakan suatu cara perambatan energi dari sumber energi ke lingkungannya tanpa
membutuhkan medium atau bahan penghantar tertentu. Radiasi nuklir memiliki dua sifat yang khas:
tidak dapat dirasakan secara langsung dan
dapat menembus berbagai jenis bahan.
oleh karena itu untuk menentukan ada atau tidak adanya radiasi nuklir diperlukan suatu alat, yaitu
pengukur radiasi, yang digunakan utuk mengukur kuantitas, energi, atau dosis radiasi.
Kuantitas radiasi
adalah jumlah radiasi per satuan waktu per satuan luas, pada suatu titik pengukuran. Kuantitas radiasi ini
berbanding lurus dengan aktivitas sumber dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak (r) antara sumber
dan sistem pengukur.

Gambar di atas menunjukkan bahwa jumlah radiasi yang mencapai titik pengukuran (kuantitas radiasi)
merupakan hanya sebagian saja dari semua radiasi yang dipancarkan oleh sumber.
Energi radiasi (E)
merupakan kekuatan dari setiap radiasi yang dipancarkan oleh sumber radiasi. Bila sumber radiasi
berupa radionuklida maka tingkat energi yang dipancarkan tergantung pada jenis radionuklidanya. Kalau
sumber radiasinya berupa pesawat sinar-X, maka energi radiasinya bergantung pada tegangan anoda (kV).
Tabel berikut menunjukkan contoh energi radiasi dari beberapa radionuklida.

Jenis radionuklida Energi Probabilitas


Cd-109
Cs-137
Co-60 88 keV
662keV
1173 keV dan 1332 keV 3,70%
85%
99% dan 100%

Dosis radiasi
Dosis radiasi sering diartikan sebagai jumlah energi radiasi yang diserap atau diterima oleh materi
termasuk tubuh manusia. Nilai dosis sangat ditentukan oleh kuantitas radiasi, jenis dan energi radiasi serta
jenis materi yang dikenainya.
Dalam bidang proteksi radiasi nilai ini sangat penting karena berkaitan langsung dengan efek yang
ditimbulkan radiasi pada tubuh manusia. Terdapat batasan nilai akumulasi dosis tahunan (NBD) yang
diizinkan serta turunannya per jam yaitu:
50 mSv. per tahun atau
25 Sv. per jam

Mekanisme Pendeteksian Radiasi


Detektor radiasi bekerja dengan cara mengukur perubahan yang disebabkan oleh penyerapan energi
radiasi oleh medium penyerap. Sebenarnya terdapat banyak mekanisme yang terjadi di dalam detektor
tetapi yang sering digunakan adalah proses ionisasi dan proses sintilasi.
Proses Ionisasi
Ionisasi adalah peristiwa lepasnya elektron dari ikatannya karena menyerap energi eksternal. Peristiwa ini
dapat terjadi secara langsung oleh radiasi alpha atau beta dan secara tidak langsung oleh radiasi sinar-X,
gamma dan neutron.

Jumlah elektron lepas ( N ) sebanding dengan jumlah energi yang terserap E dibagi dengan daya ionisasi
materi penyerap ( w ).
Dalam proses ionisasi, energi radiasi diubah menjadi pelepasan sejumlah elektron (energi listrik). Bila
terdapat medan listrik maka elektron akan bergerak menuju ke kutub positif sehingga dapat
menginduksikan arus atau tegangan listrik. Semakin besar energi radiasinya maka arus atau tegangan
listrik yang dihasilkannya juga semakin besar pula.

Proses Sintilasi
Proses sintilasi adalah terpancarnya percikan cahaya ketika terjadi transisi elektron dari tingkat energi
yang lebih tinggi ke tingkat energi yang lebih rendah di dalam detektor, bila terdapat kekosongan elektron
pada orbit yang lebih dalam. Kekosongan tersebut dapat disebabkan oleh lepasnya elektron (proses
ionisasi) atau loncatnya elektron ke lintasan yang lebih tinggi ketika dikenai radiasi (proses eksitasi).

Dalam proses sintilasi ini, energi radiasi diubah menjadi pancaran cahaya tampak. Semakin besar energi
radiasi yang diserap maka semakin banyak percikan cahayanya.

Cara Pengukuran Radiasi


Terdapat dua cara pengukuran radiasi yaitu cara pulsa (pulse mode) dan cara arus (current mode). Sistem
pengukur yang digunakan dalam kegiatan proteksi radiasi, seperti survaimeter dan monitor radiasi
biasanya menerapkan cara arus (current mode) sedangkan dalam kegiatan aplikasi dan penelitian
menerapkan cara pulsa (pulse mode).
Cara pulsa
Setiap radiasi yang mengenai alat ukur akan dikonversikan menjadi sebuah pulsa listrik, baik dengan
mekanisme ionisasi maupun sintilasi. Bila kuantitas radiasinya semakin tinggi maka jumlah pulsa listrik
yang dihasilkannya semakin banyak. Sedangkan semakin besar energinya semakin tinggi pulsanya.
Informasi yang dihasilkan dengan cara pulsa adalah
jumlah pulsa (cacahan)
tinggi pulsa listrik.
Untuk meng "konversi" kan sebuah radiasi menjadi sebuah pulsa listrik dibutuhkan waktu tertentu, yang
sangat dipengaruhi oleh jenis detektornya. Bila terdapat dua buah radiasi yang datang secara berurutan
dengan selang waktu lebih cepat daripada waktu konversi detektor, maka radiasi yang terakhir tidak akan
tercacah.
Tampilan sistem pengukur dengan cara pulsa biasanya berupa angka seperti gambar berikut.
Cara Arus
Pada cara arus, radiasi yang memasuki detektor tidak dikonversikan menjadi pulsa listrik secara satu per
satu, melainkan rata-rata dari akumulasinya dalam konstanta waktu tertentu dan dipresentasikan sebagai
arus listrik. Semakin banyak kuantitas atau energi radiasi per satuan waktu yang memasuki detektor, akan
semakin besar arusnya.
Karena proses konversi pada cara arus ini tidak dilakukan secara individual maka cara ini tidak dapat
memberi informasi jumlah pulsa (cacahan) maupun tinggi setiap pulsa. Informasi yang dihasilkan cara
pulsa ini adalah intensitas radiasi yang sebanding dengan perkalian jumlah pulsa dan tingginya.
Tampilan sistem pengukur dengan cara arus biasanya berupa jarum penunjuk seperti gambar berikut.

Jenis Detektor Radiasi


Detektor merupakan suatu bahan yang peka terhadap radiasi, yang bila dikenai radiasi akan menghasilkan
tanggapan mengikuti mekanisme yang telah dibahas sebelumnya. Perlu diperhatikan bahwa suatu bahan
yang sensitif terhadap suatu jenis radiasi belum tentu sensitif terhadap jenis radiasi yang lain. Sebagai
contoh, detektor radiasi gamma belum tentu dapat mendeteksi radiasi neutron.
Sebenarnya terdapat banyak jenis detektor, tetapi di sini hanya akan dibahas tiga jenis detektor yaitu,
detektor isian gas, detektor sintilasi, dan detektor semikonduktor.

Detektor Isian Gas


Detektor isian gas merupakan detektor yang paling sering digunakan untuk mengukur radiasi. Detektor
ini terdiri dari dua elektroda, positif dan negatif, serta berisi gas di antara kedua elektrodanya. Elektroda
positif disebut sebagai anoda, yang dihubungkan ke kutub listrik positif, sedangkan elektroda negatif
disebut sebagai katoda, yang dihubungkan ke kutub negatif. Kebanyakan detektor ini berbentuk silinder
dengan sumbu yang berfungsi sebagai anoda dan dinding silindernya sebagai katoda sebagaimana berikut.

Radiasi yang memasuki detektor akan mengionisasi gas dan menghasilkan ion-ion positif dan ion-ion
negatif (elektron). Jumlah ion yang akan dihasilkan tersebut sebanding dengan energi radiasi dan
berbanding terbalik dengan daya ionisasi gas. Daya ionisasi gas berkisar dari 25 eV s.d. 40 eV. Ion-ion
yang dihasilkan di dalam detektor tersebut akan memberikan kontribusi terbentuknya pulsa listrik ataupun
arus listrik.

Ion-ion primer yang dihasilkan oleh radiasi akan bergerak menuju elektroda yang sesuai. Pergerakan ion-
ion tersebut akan menimbulkan pulsa atau arus listrik. Pergerakan ion tersebut di atas dapat berlangsung
bila di antara dua elektroda terdapat cukup medan listrik. Bila medan listriknya semakin tinggi maka
energi kinetik ion-ion tersebut akan semakin besar sehingga mampu untuk mengadakan ionisasi lain.

Ion-ion yang dihasilkan oleh ion primer disebut sebagai ion sekunder. Bila medan listrik di antara dua
elektroda semakin tinggi maka jumlah ion yang dihasilkan oleh sebuah radiasi akan sangat banyak dan
disebut proses avalanche.
Terdapat tiga jenis detektor isian gas yang bekerja pada daerah yang berbeda yaitu detektor kamar
ionisasi, detektor proporsional, dan detektor Geiger Mueller (GM).

Detektor Kamar Ionisasi (ionization chamber)


Sebagaimana terlihat pada kurva karakteristik gas di atas, jumlah ion yang dihasilkan di daerah ini relatif
sedikit sehingga tinggi pulsanya, bila menerapkan pengukuran model pulsa, sangat rendah. Oleh karena
itu, biasanya, pengukuran yang menggunakan detektor ionisasi menerapkan cara arus. Bila akan
menggunakan detektor ini dengan cara pulsa maka dibutuhkan penguat pulsa yang sangat baik.
Keuntungan detektor ini adalah dapat membedakan energi yang memasukinya dan tegangan kerja yang
dibutuhkan tidak terlalu tinggi.
Detektor Proporsional
Dibandingkan dengan daerah ionisasi di atas, jumlah ion yang dihasilkan di daerah proporsional ini lebih
banyak sehingga tinggi pulsanya akan lebih tinggi. Detektor ini lebih sering digunakan untuk pengukuran
dengan cara pulsa.
Terlihat pada kurva karakteristik di atas bahwa jumlah ion yang dihasilkan sebanding dengan energi
radiasi, sehingga detektor ini dapat membedakan energi radiasi. Akan tetapi, yang merupakan suatu
kerugian, jumlah ion atau tinggi pulsa yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh tegangan kerja dan daya
tegangan untuk detektor ini harus sangat stabil.
Detektor Geiger Mueller (GM)
Jumlah ion yang dihasilkan di daerah ini sangat banyak, mencapai nilai saturasinya, sehingga pulsanya
relatif tinggi dan tidak memerlukan penguat pulsa lagi. Kerugian utama dari detektor ini ialah tidak dapat
membedakan energi radiasi yang memasukinya, karena berapapun energinya jumlah ion yang
dihasilkannya sama dengan nilai saturasinya. Detektor ini merupakan detektor yang paling sering
digunakan, karena dari segi elektonik sangat sederhana, tidak perlu menggunakan rangkaian penguat.
Sebagian besar peralatan ukur proteksi radiasi, yang harus bersifat portabel, terbuat dari detektor Geiger
Mueller.
Detektor Sintilasi
Detektor sintilasi selalu terdiri dari dua bagian yaitu bahan sintilator dan photomultiplier. Bahan sintilator
merupakan suatu bahan padat, cair maupun gas, yang akan menghasilkan percikan cahaya bila dikenai
radiasi pengion. Photomultiplier digunakan untuk mengubah percikan cahaya yang dihasilkan bahan
sintilator menjadi pulsa listrik. Mekanisme pendeteksian radiasi pada detektor sintilasi dapat dibagi
menjadi dua tahap yaitu :
proses pengubahan radiasi yang mengenai detektor menjadi percikan cahaya di dalam bahan sintilator dan
proses pengubahan percikan cahaya menjadi pulsa listrik di dalam tabung photomultiplier
Bahan Sintilator
Proses sintilasi pada bahan ini dapat dijelaskan dengan Gambar 4. Di dalam kristal bahan sintilator
terdapat pita-pita atau daerah yang dinamakan sebagai pita valensi dan pita konduksi yang dipisahkan
dengan tingkat energi tertentu. Pada keadaan dasar, ground state, seluruh elektron berada di pita valensi
sedangkan di pita konduksi kosong. Ketika terdapat radiasi yang memasuki kristal, terdapat kemungkinan
bahwa energinya akan terserap oleh beberapa elektron di pita valensi, sehingga dapat meloncat ke pita
konduksi. Beberapa saat kemudian elektron-elektron tersebut akan kembali ke pita valensi melalui pita
energi bahan aktivator sambil memancarkan percikan cahaya.

Jumlah percikan cahaya sebanding dengan energi radiasi diserap dan dipengaruhi oleh jenis bahan
sintilatornya. Semakin besar energinya semakin banyak percikan cahayanya. Percikan-percikan cahaya ini
kemudian ditangkap oleh photomultiplier.
Berikut ini adalah beberapa contoh bahan sintilator yang sering digunakan sebagai detektor radiasi.
Kristal NaI(Tl)
Kristal ZnS(Ag)
Kristal LiI(Eu)
Sintilator Organik
Sintilator Cair (Liquid Scintillation)
Detektor ini sangat spesial dibandingkan dengan jenis detektor yang lain karena berwujud cair. Sampel
radioaktif yang akan diukur dilarutkan dahulu ke dalam sintilator cair ini sehingga sampel dan detektor
menjadi satu kesatuan larutan yang homogen. Secara geometri pengukuran ini dapat mencapai efisiensi
100 % karena semua radiasi yang dipancarkan sumber akan ditangkap oleh detektor. Metode ini sangat
diperlukan untuk mengukur sampel yang memancarkan radiasi b berenergi rendah seperti tritium dan
C14.
Masalah yang harus diperhatikan pada metode ini adalah quenching yaitu berkurangnya sifat transparan
dari larutan (sintilator cair) karena mendapat campuran sampel. Semakin pekat konsentrasi sampel maka
akan semakin buruk tingkat transparansinya sehingga percikan cahaya yang dihasilkan tidak dapat
mencapai photomultiplier.
Tabung Photomultiplier
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, setiap detektor sintilasi terdiri atas dua bagian yaitu bahan
sintilator dan tabung photomultiplier. Bila bahan sintilator berfungsi untuk mengubah energi radiasi
menjadi percikan cahaya maka tabung photomultiplier ini berfungsi untuk mengubah percikan cahaya
tersebut menjadi berkas elektron, sehingga dapat diolah lebih lanjut sebagai pulsa / arus listrik.
Tabung photomultiplier terbuat dari tabung hampa yang kedap cahaya dengan photokatoda yang
berfungsi sebagai masukan pada salah satu ujungnya dan terdapat beberapa dinode untuk menggandakan
elektron seperti terdapat pada gambar 5. Photokatoda yang ditempelkan pada bahan sintilator, akan
memancarkan elektron bila dikenai cahaya dengan panjang gelombang yang sesuai. Elektron yang
dihasilkannya akan diarahkan, dengan perbedaan potensial, menuju dinode pertama. Dinode tersebut akan
memancarkan beberapa elektron sekunder bila dikenai oleh elektron.

Elektron-elektron sekunder yang dihasilkan dinode pertama akan menuju dinode kedua dan
dilipatgandakan kemudian ke dinode ketiga dan seterusnya sehingga elektron yang terkumpul pada
dinode terakhir berjumlah sangat banyak. Dengan sebuah kapasitor kumpulan elektron tersebut akan
diubah menjadi pulsa listrik.

Detektor Semikonduktor
Bahan semikonduktor, yang diketemukan relatif lebih baru daripada dua jenis detektor di atas, terbuat dari
unsur golongan IV pada tabel periodik yaitu silikon atau germanium. Detektor ini mempunyai beberapa
keunggulan yaitu lebih effisien dibandingkan dengan detektor isian gas, karena terbuat dari zat padat,
serta mempunyai resolusi yang lebih baik daripada detektor sintilasi.

Pada dasarnya, bahan isolator dan bahan semikonduktor tidak dapat meneruskan arus listrik. Hal ini
disebabkan semua elektronnya berada di pita valensi sedangkan di pita konduksi kosong. Perbedaan
tingkat energi antara pita valensi dan pita konduksi di bahan isolator sangat besar sehingga tidak
memungkinkan elektron untuk berpindah ke pita konduksi ( > 5 eV ) seperti terlihat di atas. Sebaliknya,
perbedaan tersebut relatif kecil pada bahan semikonduktor ( < 3 eV ) sehingga memungkinkan elektron
untuk meloncat ke pita konduksi bila mendapat tambahan energi.
Energi radiasi yang memasuki bahan semikonduktor akan diserap oleh bahan sehingga beberapa
elektronnya dapat berpindah dari pita valensi ke pita konduksi. Bila di antara kedua ujung bahan
semikonduktor tersebut terdapat beda potensial maka akan terjadi aliran arus listrik. Jadi pada detektor
ini, energi radiasi diubah menjadi energi listrik.

Sambungan semikonduktor dibuat dengan menyambungkan semikonduktor tipe N dengan tipe P (PN
junction). Kutub positif dari tegangan listrik eksternal dihubungkan ke tipe N sedangkan kutub negatifnya
ke tipe P seperti terlihat pada Gambar 7. Hal ini menyebabkan pembawa muatan positif akan tertarik ke
atas (kutub negatif) sedangkan pembawa muatan negatif akan tertarik ke bawah (kutub positif), sehingga
terbentuk (depletion layer) lapisan kosong muatan pada sambungan PN. Dengan adanya lapisan kosong
muatan ini maka tidak akan terjadi arus listrik. Bila ada radiasi pengion yang memasuki lapisan kosong
muatan ini maka akan terbentuk ion-ion baru, elektron dan hole, yang akan bergerak ke kutub-kutub
positif dan negatif. Tambahan elektron dan hole inilah yang akan menyebabkan terbentuknya pulsa atau
arus listrik.
Oleh karena daya atau energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan ion-ion ini lebih rendah dibandingkan
dengan proses ionisasi di gas, maka jumlah ion yang dihasilkan oleh energi yang sama akan lebih banyak.
Hal inilah yang menyebabkan detektor semikonduktor sangat teliti dalam membedakan energi radiasi
yang mengenainya atau disebut mempunyai resolusi tinggi. Sebagai gambaran, detektor sintilasi untuk
radiasi gamma biasanya mempunyai resolusi sebesar 50 keV, artinya, detektor ini dapat membedakan
energi dari dua buah radiasi yang memasukinya bila kedua radiasi tersebut mempunyai perbedaan energi
lebih besar daripada 50 keV. Sedang detektor semikonduktor untuk radiasi gamma biasanya mempunyai
resolusi 2 keV. Jadi terlihat bahwa detektor semikonduktor jauh lebih teliti untuk membedakan energi
radiasi.
Sebenarnya, kemampuan untuk membedakan energi tidak terlalu diperlukan dalam pemakaian di
lapangan, misalnya untuk melakukan survai radiasi. Akan tetapi untuk keperluan lain, misalnya untuk
menentukan jenis radionuklida atau untuk menentukan jenis dan kadar bahan, kemampuan ini mutlak
diperlukan.
Kelemahan dari detektor semikonduktor adalah harganya lebih mahal, pemakaiannya harus sangat hati-
hati karena mudah rusak dan beberapa jenis detektor semikonduktor harus didinginkan pada temperatur
Nitrogen cair sehingga memerlukan dewar yang berukuran cukup besar.
Keunggulan - Kelemahan Detektor
Dari pembahasan di atas terlihat bahwa setiap radiasi akan diubah menjadi sebuah pulsa listrik dengan
ketinggian yang sebanding dengan energi radiasinya. Hal tersebut merupakan fenomena yang sangat ideal
karena pada kenyataannya tidaklah demikian. Terdapat beberapa karakteristik detektor yang membedakan
satu jenis detektor dengan lainnya yaitu efisiensi, kecepatan dan resolusi.
Efisiensi detektor adalah suatu nilai yang menunjukkan perbandingan antara jumlah pulsa listrik yang
dihasilkan detektor terhadap jumlah radiasi yang diterimanya. Nilai efisiensi detektor sangat ditentukan
oleh bentuk geometri dan densitas bahan detektor. Bentuk geometri sangat menentukan jumlah radiasi
yang dapat 'ditangkap' sehingga semakin luas permukaan detektor, efisiensinya semakin tinggi.
Sedangkan densitas bahan detektor mempengaruhi jumlah radiasi yang dapat berinteraksi sehingga
menghasilkan sinyal listrik. Bahan detektor yang mempunyai densitas lebih rapat akan mempunyai
efisiensi yang lebih tinggi karena semakin banyak radiasi yang berinteraksi dengan bahan.
Kecepatan detektor menunjukkan selang waktu antara datangnya radiasi dan terbentuknya pulsa listrik.
Kecepatan detektor berinteraksi dengan radiasi juga sangat mempengaruhi pengukuran karena bila respon
detektor tidak cukup cepat sedangkan intensitas radiasinya sangat tinggi maka akan banyak radiasi yang
tidak terukur meskipun sudah mengenai detektor.
Resolusi detektor adalah kemampuan detektor untuk membedakan energi radiasi yang berdekatan. Suatu
detektor diharapkan mempunyai resolusi yang sangat kecil (high resolution) sehingga dapat membedakan
energi radiasi secara teliti. Resolusi detektor disebabkan oleh peristiwa statistik yang terjadi dalam proses
pengubahan energi radiasi, noise dari rangkaian elektronik, serta ketidak-stabilan kondisi pengukuran.
Aspek lain yang juga menjadi pertimbangan adalah konstruksi detektor karena semakin rumit konstruksi
atau desainnya maka detektor tersebut akan semakin mudah rusak dan biasanya juga semakin mahal.
Tabel berikut menunjukkan karakteristik beberapa jenis detektor secara umum berdasarkan beberapa
pertimbangan di atas.

Pemilihan detektor harus mempertimbangkan spesifikasi keunggulan dan kelemahan sebagaimana tabel
di atas. Sebagai contoh, detektor yang digunakan pada alat ukur portabel (mudah dibawa) sebaiknya
adalah detektor isian gas, detektor yang digunakan pada alat ukur untuk radiasi alam (intensitas sangat
rendah) sebaiknya adalah detektor sintilasi, sedangkan detektor pada sistem spektroskopi untuk
menganalisis bahan sebaiknya detektor semikonduktor.
Penggunaan Alat Ukur Radiasi
Berdasarkan kegunaannya, alat ukur radiasi dapat dibedakan menjadi
alat ukur proteksi radiasi
sistem pencacah dan spektroskopi
Alat ukur proteksi radiasi digunakan untuk kegiatan keselamatan kerja dengan radiasi, nilai yang
ditampilkan dalam satuan dosis radiasi seperti Rontgent, rem, atau Sievert. Sedangkan sistem pencacah
dan spektroskopi digunakan untuk melakukan pengukuran intensitas radiasi dan energi radiasi secara
akurat. Sistem pencacah lebih banyak digunakan di fasilitas laboratorium.
Alat Ukur Proteksi Radiasi
Sebagai suatu ketentuan yang diatur dalam undang-undang bahwa setiap pengguna zat radioaktif atau
sumber radiasi pengion lainnya harus memiliki alat ukur proteksi radiasi. Alat ukur proteksi radiasi
dibedakan menjadi tiga
dosimeter perorangan
surveimeter
monitor kontaminasi.
Dosimeter perorangan digunakan untuk mencatat dosis radiasi yang telah mengenainya secara
akumulasi dalam selang waktu tertentu, misalnya selama satu bulan. Contoh dosimeter perorangan adalah
film badge, TLD dan dosimeter saku. Setiap pekerja radiasi diwajibkan menggunakan dosimeter
perorangan.
Surveimeter digunakan untuk mengukur laju dosis (intensitas) radiasi secara langsung. Surveimeter
mutlak diperlukan dalam setiap pekerjaan yang menggunakan zat radioaktif atau sumber radiasi pengion
lainnya agar setiap pekerja mengetahui atau dapat memperkirakan dosis radiasi yang akan diterimanya
setelah melaksanakan kegiatan tersebut. Surveimeter harus bersifat portabel, mudah dibawa dalam
kegiatan survei radiasi di segala medan.

Monitor kontaminasi digunakan untuk mengukur tingkat kontaminasi zat radioaktif, baik di udara, di
tempat kerja, maupun yang melekat di tangan, kaki atau badan pekerja. Peralatan ini mutlak diperlukan
bagi fasilitas yang menggunakan zat radioaktif terbuka, misalnya untuk keperluan teknik perunut
menggunakan zat radioaktif.
Sistem Pencacah dan Spektroskopi
Sistem pencacah dan spektroskopi digunakan untuk aplikasi yang memanfaatkan zat radioaktif atau
sumber radiasi pengion lainnya. Sebagai contoh aplikasi thickness gauging untuk mengukur tebal lapisan,
level gauging untuk menentukan batas permukaan fluida, XRF untuk menentukan jenis dan kadar
material, dan sebagainya.
Sistem pencacah digunakan untuk mengukur kuantitas (jumlah) radiasi yang mengenai detektor. Salah
satu contoh penggunaan sistem pencacah adalah pada aplikasi pengukuran tebal kertas, sebagaimana
gambar berikut.
Metode di atas dapat digunakan untuk pengukuran lapisan bahan yang lain, misalnya plastik atau bahkan
lapisan logam. Tentu saja untuk setiap jenis bahan diperlukan pengaturan jenis sumber radiasi dan
detektor yang berbeda.
Sistem spektroskopi mempunyai prinsip yang sangat berbeda dengan pencacah karena alat ini mengukur
energi dari setiap radiasi yang mengenai detektor. Hasil pengukuran alat ini berupa spektrum distribusi
energi radiasi sebagaimana contoh pada gambar berikut.

Terlihat dari contoh spektrum di atas bahwa terdapat beberapa tingkat energi yang menghasilkan cacahan
relatif lebih tinggi dari pada daerah lain. Posisi atau tingkat energu tersebut disebut sebagai puncak energi
(energy peak).
Spektrum energi radiasi yang ditandai oleh puncak-puncak energinya merupakan karakteristik dari setiap
unsur atau zat radioaktif. Sehingga jenis unsur atau isotop yang terkandung di dalam suatu bahan dapat
ditentukan bila spektrum energinya dapat diukur.
Salah satu contoh aplikasi yang harus menggunakan sistem spektroskopi adalah penentuan jenis dan
kadar unsur yang menerapkan metode XRF (X ray fluresence) dan metode NAA (neutron activation
analysis).
Alat Ukur Proteksi Radiasi
Latar Belakang
Radiasi nuklir tidak dapat dirasakan oleh manusia secara langsung, seberapapun besarnya. Agar pekerja
radiasi tidak mendapat paparan radiasi yang melebihi batas yang diizinkan maka diperlukan alat pengukur
yang dapat menunjukkan tingkat paparan radiasi ditempat kerja dan alat yang dapat mencatat dosis radiasi
yang telah diterima oleh pekerja radiasi dalam kurun waktu tertentu. Materi ini akan membahas prinsip
kerja alat ukur radiasi baik sebagai surveimeter, dosimeter personal, dan monitor kontaminasi.

Tujuan Instruksional
Setelah mengikuti modul ini pembaca diharapkan mampu menguraikan fungsi dan prinsip kerja alat ukur
radiasi baik sebagai surveimeter, dosiemeter personal maupun monitor kontaminasi. Secara lebih rinci,
pembaca akan mampu untuk:
menjelaskan klasifikasi alat ukur radiasi;
menguraikan fungsi dan prinsip kerja surveimeter;
menguraikan fungsi dan prinsip kerja dua jenis dosimeter personal;
menguraikan fungsi dan prinsip kerja monitor kontaminasi.
menjelaskan ketentuan dan cara kalibrasi alat ukur proteksi radiasi.
Klasifikasi Alat Ukur Proteksi Radiasi
Alat ukur proteksi radiasi merupakan suatu sistem yang terdiri dari detektor dan peralatan penunjang,
seperti sistem pengukur radiasi lainnya. Alat ukur ini dapat memberikan informasi dosis radiasi seperti
paparan dalam roentgen, dosis serap dalam rad atau gray, dan dosis ekivalen dalam rem atau sievert.
Alat proteksi radiasi ini dibedakan menjadi tiga yaitu
dosimeter personal
surveimeter
monitor kontaminasi
Dosimeter personal berfungsi untuk mencatat dosis radiasi yang telah mengenai seorang pekerja radiasi
secara akumulasi. Oleh karena itu, setiap orang yang bekerja di suatu daerah radiasi harus selalu
mengenakan dosimeter personal. Surveimeter digunakan untuk melakukan pengukuran tingkat radiasi di
suatu lokasi secara langsung sedang monitor kontaminasi digunakan untuk mengukur tingkat kontaminasi
pada pekerja, alat maupun lingkungan.
Surveimeter
Surveimeter harus dapat memberikan informasi laju dosis radiasi pada suatu area secara langsung. Jadi,
seorang pekerja radiasi dapat memperkirakan jumlah radiasi yang akan diterimanya bila akan bekerja di
suatu lokasi selama waktu tertentu. Dengan informasi yang ditunjukkan surveimeter ini, setiap pekerja
dapat menjaga diri agar tidak terkena paparan radiasi yang melebihi batas ambang yang diizinkan.
Sebagaimana fungsinya, suatu survaimeter harus bersifat portable meskipun tidak perlu sekecil sebuah
dosimeter personal. Konstruksi survaimeter terdiri atas detektor dan peralatan penunjang seperti terlihat
gambar berikut. Cara pengukuran yang diterapkan adalah cara arus (current mode) sehingga nilai yang
ditampilkan merupakan nilai intensitas radiasi. Secara elektronik, nilai intensitas tersebut dikonversikan
menjadi skala dosis, misalnya dengan satuan roentgent/jam.

Semua jenis detektor yang dapat memberikan hasil secara langsung, seperti detektor isian gas, sintilasi
dan semikonduktor, dapat digunakan. Dari segi praktis dan ekonomis, detektor isian gas Geiger Muller
yang paling banyak digunakan. Detektor sintilasi juga banyak digunakan, khususnya NaI(Tl) untuk
radiasi gamma, karena mempunyai efisiensi yang tinggi.
Jenis Surveimeter
Terdapat beberapa jenis survaimeter yang digunakan untuk jenis radiasi yang sesuai sebagai berikut.
Survaimeter Gamma
Survaimeter Beta dan Gamma
Survaimeter Alpha
Survaimeter neutron
Survaimeter Multi-Guna
Survaimeter gamma merupakan survaimeter yang sering digunakan dan pada prinsipnya dapat digunakan
untuk mengukur radiasi sinar X. Detektor yang sering digunakan adalah detektor isian gas proporsional,
GM atau detektor sintilasi NaI(Tl).
Berbeda dengan survaimeter gamma biasa, survaimeter beta dan gamma mempunyai detektor yang
terletak di luar badan survaimeter dan mempunyai jendela yang dapat dibuka atau ditutup. Bila
digunakan untuk mengukur radiasi beta, maka jendelanya harus dibuka. Sebaliknya untuk radiasi gamma,
jendelanya ditutup.Detektor yang sering digunakan adalah detektor isian gas proporsional atau GM.
Survaimeter alpha mempunyai detektor yang terletak di luar badan survaimeter dan terdapat satu
permukaan detektor yang terbuat dari lapisan film yang sangat tipis, biasanya terbuat dari berrilium,
sehingga mudah sobek bila tersentuh atau tergores benda tajam. Detektor yang digunakan adalah detektor
isian gas proporsional atau detektor sintilasi ZnS(Ag).
Survaimeter neutron biasanya menggunakan detektor proporsional yang diisi dengan gas BF3 atau gas
Helium. Karena yang dapat berinteraksi dengan unsur Boron atau Helium adalah neutron termal saja,
maka survaimeter neutron biasanya dilengkapi dengan moderator yang terbuat dari parafin atau polietilen
yang berfungsi untuk menurunkan energi neutron cepat menjadi neutron termal. Moderator ini hanya
digunakan bila radiasi neutron yang akan diukur adalah neutron cepat.
Pada saat ini sudah mulai dipasarkan jenis survaimeter yang serbaguna (multipurpose) karena selain dapat
mengukur intensitas radiasi secara langsung, sebagaimana survaimeter biasa, juga dapat mengukur
intensitas radiasi selama selang waktu tertentu, dapat diatur, seperti sistem pencacah dan bahkan bisa
menghasilkan spektrum distribusi energi radiasi seperti sistem spektroskopi.

Prosedur Pemakaian Surveimeter


Tiga langkah penting yang perlu diperhatikan sebelum menggunakan survaimeteradalah:
memeriksa batere
memeriksa sertifikat kalibrasi
mempelajari pengoperasian dan pembacaan
Periksa batere: Hal ini dilakukan untuk menguji kondisi catu daya tegangan tinggi detektor. Bila tegangan
tinggi detektor tidak sesuai dengan yang dibutuhkan, maka detektor tidak peka atau tidak sensitif terhadap
radiasi yang mengenainya, akibatnya survaimeter akan menunjukkan nilai yang salah.
Periksa sertifikat kalibrasi: Pemeriksaan sertifikat kalibrasi harus memperhatikan faktor kalibrasi alat dan
memeriksa tanggal validasi sertifikat. Faktor kalibrasi merupakan suatu parameter yang membandingkan
nilai yang ditunjukkan oleh alat ukur dan nilai dosis sebenarnya.
Dsebenarnya = Dterukur x Faktor Kalibrasi
Bila sertifikat kalibrasinya sudah melewati batas waktunya, maka survaimeter tersebut harus dikalibrasi
ulang sebelum dapat digunakan lagi.
Pelajari pengoperasian dan pembacaan: Langkah ini perlu dilakukan, khususnya bila akan menggunakan
survaimeter baru. Setiap survaimeter mempunyai tombol-tombol dan saklar-saklar yang berbeda-beda,
biasanya terdapat beberapa faktor pengalian misalnya x1; x10; x100 dan sebagainya. Sedang display-nya
juga berbeda-beda, ada yang berskala rontgent / jam ; rad / jam ; Sievert /jam atau mSievert / jam atau
bahkan masih dalam cpm (counts per minutes).

Dosimeter Personal
Alat ini digunakan untuk mengukur dosis radiasi secara akumulasi. Jadi, dosis radiasi yang mengenai
dosimeter personal akan dijumlahkan dengan dosis yang telah mengenai sebelumnya. Dosimeter personal
ini harus ringan dan berukuran kecil karena alat ini harus selalu dikenakan oleh setiap pekerja radiasi
yang sedang bekerja di medan radiasi.
Terdapat tiga macam dosimeter personal yang banyak digunakan saat ini yaitu:
dosimeter saku (pen / pocket dosemeter)
film badge
Thermoluminisence Dosemeter (TLD).

Dosimeter Saku
Dosimeter ini sebenarnya merupakan detektor kamar ionisasi sehingga prinsip kerjanya sama dengan
detektor isian gas akan tetapi tidak menghasilkan tanggapan secara langsung karena muatan yang
terkumpul pada proses ionisasi akan disimpan seperti halnya suatu kapasitor.

Konstruksi dosimeter saku berupa tabung silinder berisi gas sebagaimana pada Gambar di atas. Dinding
silinder akan berfungsi sebagai katoda, bermuatan negatif, sedangkan sumbu logam dengan jarum 'quartz'
di bagian bawahnya bermuatan positif. Mula-mula, sebelum digunakan, dosimeter ini diberi muatan
menggunakan charger yaitu suatu catu daya dengan tegangan tertentu. Jarum quartz pada sumbu detektor
akan menyimpang karena perbedaan potensial. Dengan mengatur nilai tegangan pada waktu melakukan
'charging' maka penyimpangan jarum tersebut dapat diatur agar menunjukkan angka nol. Dalam
pemakaian di tempat kerja, bila ada radiasi yang memasuki detektor maka radiasi tersebut akan
mengionisasi gas, sehingga akan terbentuk ion-ion positif dan negatif. Ion-ion ini akan bergerak menuju
anoda atau katoda sehingga mengurangi perbedaan potensial antara jarum dan dinding detektor.
Perubahan perbedaan potensial ini menyebabkan penyimpangan jarum berkurang.
Jumlah ion-ion yang dihasilkan di dalam detektor sebanding dengan intensitas radiasi yang memasukinya,
sehingga penyimpangan jarum juga sebanding dengan intensitas radiasi yang telah memasuki detektor.
Skala dari penyimpangan jarum tersebut kemudian dikonversikan menjadi nilai dosis.
Keuntungan dosimeter saku ini adalah dapat dibaca secara langsung dan tidak membutuhkan peralatan
tambahan untuk pembacaannya. Kelemahannya, dosimeter ini tidak dapat menyimpan informasi dosis
yang telah mengenainya dalam waktu yang lama (sifat akumulasi kurang baik).
Pada saat ini, sudah dibuat dan dipasarkan dosimeter saku yang diintegrasikan dengan komponen
elektronika maju (advanced components) sehingga skala pembacaannya tidak lagi dengan melihat
pergeseran jarum (secara mekanik) melainkan dengan melihat display digital yang dapat langsung
menampilkan angka hasil pengukurannya.

Film Badge
Film badge terdiri atas dua bagian yaitu detektor film dan holder. Detektor film dapat menyimpan dosis
radiasi yang telah mengenainya secara akumulasi selama film belum diproses. Semakin banyak dosis
radiasi yang telah mengenainya atau telah mengenai orang yang memakainya maka tingkat kehitaman
film setelah diproses akan semakin pekat.
Holder film selain berfungsi sebagai tempat film ketika digunakan juga berfungsi sebagai penyaring
(filter) energi radiasi. Dengan adanya beberapa jenis filter pada holder, maka dosimeter film badge ini
dapat membedakan jenis dan energi radiasi yang telah mengenainya.
Di pasar terdapat beberapa merk film maupun holder, tetapi BATAN selalu menggunakan film dengan
merk Kodak buatan USA dan holder merk Chiyoda buatan Jepang seperti pada Gambar IV.3. Hal ini
dilakukan agar mempunyai standar atau kalibrasi pembacaan yang tetap.

Dosimeter film badge ini mempunyai sifat akumulasi yang lebih baik daripada dosimeter saku.
Keuntungan lainnya film badge dapat membedakan jenis radiasi yang mengenainya dan mempunyai
rentang pengukuran energi yang lebih besar daripada dosimeter saku. Kelemahannya, untuk mengetahui
dosis yang telah mengenainya harus diproses secara khusus dan membutuhkan peralatan tambahan untuk
membaca tingkat kehitaman film, yaitu densitometer.

Dosimeter Termoluminisensi (TLD)


Dosimeter ini sangat menyerupai dosimeter film badge, hanya detektor yang digunakan ini adalah kristal
anorganik thermoluminisensi, misalnya bahan LiF. Proses yang terjadi pada bahan ini bila dikenai radiasi
adalah proses termoluminisensi. Senyawa lain yang sering digunakan untuk TLD adalah CaSO4.
Dosimeter ini digunakan selama jangka waktu tertentu, misalnya satu bulan, baru kemudian diproses
untuk mengetahui jumlah dosis radiasi yang telah diterimanya. Pemrosesan dilakukan dengan
memanaskan kristal TLD sampai temperatur tertentu, kemudian mendeteksi percikan-percikan cahaya
yang dipancarkannya. Alat yang digunakan untuk memproses dosimeter ini adalah TLD reader.
Keunggulan TLD dibandingkan dengan film badge adalah terletak pada ketelitiannya. Selain itu, ukuran
kristal TLD relatif lebih kecil dan setelah diproses kristal TLD tersebut dapat digunakan lagi.

Monitor Kontaminasi
Kontaminasi merupakan suatu masalah yang sangat berbahaya, apalagi kalau sampai terjadi di dalam
tubuh. Kontaminasi sangat mudah terjadi kalau bekerja dengan sumber radiasi terbuka, misalnya
berbentuk cair, serbuk, atau gas. Adapun yang terkontaminasi biasanya adalah peralatan, meja kerja,
lantai, tangan, sepatu.
Jika intensitas radiasi yang dipancarkan oleh sesuatu yang telah terkontaminasi sangat rendah, maka alat
ukur ini harus mempunyai efisiensi pencacahan yang sangat tinggi. Detektor yang digunakan untuk
monitor kontaminasi ini harus mempunyai jendela (window) yang luas, karena kontaminasi tidak selalu
terjadi pada satu daerah tertentu, melainkan tersebar pada permukaan yang luas. Tampilan dari monitor
kontaminasi ini biasanya menunjukkan kuantitas radiasi (laju cacah) seperti cacah per menit atau cacah
per detik (cpd). Nilai ini harus dikonversikan menjadi satuan aktivitas radiasi, Currie atau Becquerel,
dengan hubungan sebagai berikut.

A adalah aktivitas radiasi, R adalah laju cacah dan h adalah efisiensi alat pengukur. Monitor kontaminasi
dapat dibedakan menjadi tiga yaitu monitor kontaminasi permukaan, monitor kontaminasi perorangan dan
monitor kontaminasi udara (airborne). Monitor kontaminasi permukaan (surface monitor) digunakan
untuk mengukur tingkat kontaminasi segala permukaan, misalnya meja kerja, lantai, alat ukur ataupun
baju kerja.
Monitor kontaminasi perorangan digunakan untuk mengukur tingkat kontaminasi pada bagian-bagian
tubuh dari pekerja radiasi. Bagian tubuh yang paling sering terkontaminasi adalah tangan dan kaki,
sehingga terdapat monitor kontaminasi khusus untuk tangan dan kaki yaitu hand and foot contamination
monitor. Suatu instalasi yang modern biasanya dilengkapi dengan monitor kontaminasi seluruh tubuh
(whole body monitor). Setiap pekerja yang akan meninggalkan tempat kerja harus diperiksa terlebih
dahulu dengan monitor kontaminasi.
Monitor kontaminasi udara digunakan untuk mengukur tingkat radioaktivitas udara di sekeliling instalasi
nuklir yang mempunyai potensi untuk melepaskan zat radioaktif ke udara.
Sebagaimana survaimeter, detektor yang digunakan di sini dapat berupa detektor isian gas, sintilasi
ataupun semikonduktor. Detektor yang paling banyak digunakan adalah detektor isian gas proporsional
untuk mendeteksi kontaminasi pemancar alpha atau beta dan detektor sintilasi NaI(Tl) untuk kontaminasi
pemancar gamma. Khusus untuk monitor kontaminasi udara biasanya dilengkapi dengan suatu penyaring
(filter) dan pompa penghisap udara untuk menangkap partikulat zat radioaktif yang bercampur dengan
molekul-molekul udara.
Kalibrasi Alat Ukur
Sudah merupakan suatu ketentuan bahwa setiap alat ukur proteksi radiasi harus di kalibrasi secara
periodik oleh instansi yang berwenang. Hal ini dilakukan untuk menguji ketepatan nilai yang ditampilkan
alat terhadap nilai sebenarnya. Perbedaan nilai antara yang ditampilkan dan yang sebenarnya harus
dikoreksi dengan suatu parameter yang disebut sebagai faktor kalibrasi ( Fk ). Dalam melakukan
pengukuran, nilai yang ditampilkan alat harus dikalikan dengan faktor kalibrasinya. Secara ideal, faktor
kalibrasi ini bernilai satu, akan tetapi pada kenyataannya tidak banyak alat ukur yang mempunyai faktor
kalibrasi sama dengan satu. Nilai yang masih dapat 'diterima' berkisar antara 0,8 sampai dengan 1,2.
Faktor Kalibrasi dapat dihitung dengan persamaan berikut.

Dimana Ds adalah nilai dosis sebenarnya, sedangkan Du adalah nilai yang ditampilkan alat ukur. Terdapat
dua metode untuk melakukan kalibrasi yaitu:
menggunakan sumber radiasi standar
menggunakan alat ukur standar
Cara pertama, alat ukur diletakkan pada jarak tertentu, misalnya 1 m, dari sumber standar yang telah
diketahui jenis nuklida maupun aktivitasnya. Dosis paparan yang mengenai survaimeter (Ds) ditentukan
berdasarkan perhitungan. Cara kedua, alat ukur yang akan dikalibrasi dan alat ukur standar diletakkan
pada jarak yang sama dari suatu sumber, sehingga dosis radiasi yang mengenai dua alat ukur tersebut
sama. Nilai dosis radiasi yang ditampilkan oleh alat ukur standar dianggap sebagai dosis sebenarnya
( Ds ).

Tanggapan atau respon suatu alat ukur terhadap dosis radiasi ternyata berbeda untuk energi radiasi yang
berbeda. Setiap alat ukur seharusnya dikalibrasi dengan sumber yang mempunyai tingkat energi yang
'sama' dengan tingkat energi radiasi yang digunakan di lapangan. Perbedaan respon tersebut sangat
significant pada rentang energi di bawah 200 keV seperti terlihat pada Gambar IV.5 berikut. Pada
rentang energi di atas 500 keV, perbedaan responnya sudah tidak terlalu besar.
Sistem Pencacah dan Spektroskopi
Latar Belakang
Sebagian besar aplikasi teknik nuklir sangat bergantung pada hasil pengukuran radiasi, khususnya
pengukuran intensitas ataupun energi radiasi. Alat pengukur yang digunakan untuk keperluan ini adalah
sistem pencacah dan sistem spektroskopi. Materi ini akan membahas fungsi, prinsip kerja, dan contoh
aplikasi sistem pencacah dan sistem spektrokopi
Tujuan Instruksional
Setelah mengikuti modul ini pembaca diharapkan mampu untuk menguraikan fungsi dan prinsip kerja alat
ukur radiasi khususnya sistem pencacah integral, diferensial dan sistem spektroskopi. Secara lebih rinci,
pembaca akan mampu untuk:
menjelaskan fungsi detektor dan peralatan penunjang dalam sistem pencacah dan spektroskopi;
menguraikan fungsi, prinsip kerja dan contoh aplikasi sistem pencacah integral;
menguraikan fungsi, prinsip kerja dan contoh aplikasi sistem pencacah diferensial;
menguraikan fungsi, prinsip kerja dan contoh aplikasi sistem spektroskopi;m
menguraikan empat aspek pengukuran radiasi.

Komponen Sistem Pengukur Radiasi


Dalam pengukuran suatu besaran fisis selalu diperlukan beberapa komponen peralatan yang membentuk
suatu sistem, demikian pula untuk melakukan pengukuran radiasi nuklir. Sistem pencacah radiasi yang
akan dibahas disini merupakan susunan peralatan yang digunakan untuk mengukur radiasi nuklir, yang
terdiri atas:
detektor
peralatan penunjang
Detektor berfungsi untuk mengubah energi nuklir menjadi energi lain yang lebih mudah untuk diolah,
seperti energi listrik, sedangkan peralatan penunjang berfungsi untuk mengolah sinyal listrik yang
dihasilkan oleh detektor menjadi suatu informasi yang mempunyai arti bagi pekerja.

Detektor
Detektor merupakan bagian yang sangat penting dari suatu sistem pencacah radiasi karena dialah yang
berfungsi untuk menangkap radiasi dan mengubahnya menjadi, biasanya, sinyal atau pulsa listrik.
Terdapat dua besaran yang biasa diukur dari suatu paparan radiasi nuklir yaitu jumlah radiasi dan energi
radiasi. Jumlah radiasi diperlukan untuk mengetahui aktivitas sumber radiasi sedang energi radiasi
digunakan untuk menentukan jenis sumber radiasi.
Secara ideal, setiap radiasi yang mengenai detektor akan diubah menjadi sebuah sinyal (pulsa) listrik
sehingga jumlah radiasi dapat ditentukan dengan mengukur jumlah pulsa listrik yang dihasilkan detektor.
Tinggi sinyal (pulsa) listrik yang dihasilkan detektor menunjukkan energi radiasi yang mengenai detektor
sehingga energi radiasi dapat ditentukan dengan mengukur tinggi pulsa listrik yang dihasilkan detektor.

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa terdapat tujuh buah radiasi yang mengenai detektor, empat radiasi
mempunyai energi rendah, dua radiasi mempunyai energi sedang dan sebuah radiasi yang mempunyai
energi tinggi.

Peralatan Penunjang (Instrumentasi Nuklir)


Sinyal listrik yang dihasilkan oleh detektor perlu diproses lebih lanjut agar dapat diamati oleh manusia,
misalnya ditampilkan melalui peraga, suara atau bahkan fasilitas pengolah sinyal yang lebih canggih.
Peralatan yang diperlukan untuk melengkapi detektor guna membentuk suatu sistem pencacah disebut
sebagai peralatan penunjang (instrumentasi nuklir).
Peralatan penunjang harus bersifat linier, artinya setiap informasi yang dihasilkan oleh peralatan
penunjang, baik jumlah pulsa maupun tinggi pulsa harus sebanding dengan informasi yang diterimanya
dari detektor. Linieritas merupakan parameter yang sangat mempengaruhi unjuk kerja dari suatu sistem
pencacah.
Berdasarkan peralatan penunjangnya, suatu sistem pencacah radiasi dapat dibedakan menjadi tiga yaitu
sistem pencacah integral
sistem pencacah diferensial
sistem spektroskopi
Sistem pencacah integral dan sistem pencacah diferensial mempunyai fungsi yang hampir sama yaitu
mengukur jumlah (kuantitas) radiasi yang mengenainya. Perbedaannya, sistem pencacah integral tidak
memperdulikan energi radiasi yang datang sedang sistem pencacah diferensial hanya mengukur radiasi
yang mempunyai energi tertentu saja. Sistem spektroskopi mempunyai fungsi yang berbeda yaitu
mengukur energi radiasi, atau lebih tepatnya mengukur distribusi energi dari radiasi yang mengenai
detektor.
Sebenarnya sistem pencacah diferensial juga dapat berfungsi sebagai sistem spektroskopi tetapi dengan
resolusi yang sangat rendah. Sebaliknya sistem spektroskopi juga dapat berfungsi sebagai sistem
pencacah tetapi dengan kecepatan yang lebih rendah.

Sistem Pencacah Integral


Pencacahan secara integral merupakan suatu cara untuk mengukur jumlah (kuantitas) radiasi yang
memasuki detektor tanpa memperhatikan tingkat energi radiasinya (gross activity). Sistem pencacah akan
menampilkan suatu nilai yang sebanding dengan kuantitas radiasi yang memasuki detektor.
Pada sistem pencacah integral biasanya digunakan detektor GM dengan konfigurasi sebagaimana gambar
berikut.

Detektor berfungsi untuk mengubah radiasi yang mengenainya menjadi pulsa listrik. Detektor yang sering
digunakan disini adalah detektor GM karena detektor ini mempunyai karakteristik tidak dapat
membedakan energi radiasi (sesuai dengan keperluan sistem pencacah integral) tetapi detektor GM dapat
menghasilkan pulsa listrik yang relatif sangat besar dibandingkan dengan jenis detektor yang lain
sehingga peralatan penunjangnya sangat sederhana.
HV adalah sumber tegangan tinggi yang dibutuhkan oleh semua jenis detektor termasuk detektor GM.
Penentuan tegangan kerja detektor GM adalah dengan cara mencari daerah tegangan plateaunya
sebagaimana gambar berikut.

Inverter digunakan untuk mendistribusikan tegangan tinggi ke detektor dan menerima pulsa listrik dari
detektor untuk diteruskan ke rangkaian selanjutnya. Pulsa listrik yang dihasilkan inverter sudah dalam
orde Volt sehingga dapat langsung diproses oleh rangkaian counter.
Counter adalah peralatan yang digunakan untuk mencacah (menghitung jumlah) pulsa listrik yang
memasukinya. Selang waktu pencacahan dapat dilakukan secara manual (start/stop) atau secara otomatis
menggunakan timer, yaitu alat yang dapat memberikan sinyal ke counter agar memulai atau
menghentikan pencacahan dengan selang waktu tertentu yang dapat diatur sebelumnya.
Sistem pencacah integral banyak digunakan dalam pengukuran radiasi beta karena sumber beta
memancarkan radiasi dengan energi yang bersifat kontinyu, mulai dari nol hingga nilai energi
maksimumnya.

Sistem Pencacah Diferensial


Pencacah diferensial digunakan untuk mengukur jumlah radiasi dalam selang energi tertentu. Sebagai
contoh, dua jenis zat radioaktif yang berbeda akan memancarkan radiasi dengan tingkat energi yang
berbeda sehingga bila ingin mengukur aktivitas salah satu zat radioaktif tersebut maka diperlukan suatu
sistem pencacah diferensial.
Konfigurasi sistem pencacah diferensial adalah sebagai berikut.
Detektor yang digunakan disini tidak boleh detektor GM karena tidak dapat membedakan energi radiasi
yang mengenainya. Detektor yang sering digunakan adalah detektor NaI(Tl) digunakan untuk pengukuran
radiasi gamma dan detektor surface barrier digunakan untuk pengukuran radiasi alpha.
Sebagaimana detektor yang lain, detektor sintilasi juga membutuhkan sumber tegangan tinggi (HV).
Penentuan tegangan kerja detektor sintilasi adalah dengan cara mencari perbandingan cacahan sumber
terhadap cacahan latar belakang yang terbaik.

k adalah faktor pembanding, Rs adalah laju cacahan yang berasal sumber radiasi (laju cacah total
dikurangi dengan laju cacah latar belakang) sedang Rb adalah laju cacahan yang berasal dari latar
belakang (tanpa sumber).
Berbeda dengan detektor GM, detektor sintilasi menghasilkan pulsa listrik yang relatif sangat kecil, dalam
orde mVolt. Oleh karena itu diperlukan peralatan untuk membentuk dan memperkuat pulsa tersebut yaitu
penguat (amplifier).
Pulsa listrik yang dihasilkan oleh detektor biasanya berbentuk pulsa eksponensial yang sangat cepat rise-
time nya dan sangat lambat fall-time nya. Sangatlah sukar untuk mendeteksi atau mengukur tinggi pulsa
yang berbentuk eksponensial ini. Amplifier mempunyai fungsi utama untuk mengubah pulsa eksponensial
menjadi pulsa Gaussian dan memperkuatnya, bila diperlukan, agar mempunyai tinggi dengan orde Volt.

Gambar 7: Bentuk pulsa eksponensial dan Gaussian


Peralatan selanjutnya adalah diskriminator yang merupakan ciri dari sebuah pencacah diferensial karena
alat ini yang berfungsi untuk menyaring apakah suatu pulsa listrik keluaran amplifier diteruskan ke
counter atau tidak. Diskriminator mempunyai fasilitas batas atas dan batas bawah. Pulsa-pulsa yang lebih
tinggi dari batas bawah tetapi lebih rendah dari batas atas saja yang akan diteruskan ke counter untuk
dicacah.

Dua rangkaian terakhir dalam sistem pencacah diferensial adalah counter dan timer yang berfungsi
sebagaimana dalam sistem pencacah integral.
Sistem Spektroskopi
Sistem spektroskopi sebenarnya juga melakukan pencacahan sebagaimana sistem pencacah diferensial
akan tetapi dengan selang energi yang sangat sempit sehingga dapat dikatakan melakukan pencacahan
(jumlah radiasi) pada setiap tingkat energi. Hasil pencacahan tersebut ditampilkan sebagai suatu grafik
antara jumlah radiasi (sumbu Y) terhadap energi radiasi (sumbu X) yang sering disebut sebagai spektrum
radiasi, seperti contoh pada gambar 3 sebelum ini.
Memang suatu spektrum radiasi dapat saja diperoleh menggunakan suatu sistem pencacah diferensial
dengan mode SCA (single channel analyzer), sebagaimana dilakukan pada era sebelum tahun 70 an. Saat
ini, atau setelah ditemukannya teknologi ADC (analog to digital converter), sistem spektroskopi sudah
tidak lagi memakai mode SCA melainkan menggunakan peralatan yang disebut sebagai MCA (multi
channel analyzer).

Seperti halnya pada sistem pencacah diferensial, detektor yang digunakan disini tidak boleh detektor GM.
Detektor yang terbaik untuk keperluan ini adalah detektor semikonduktor karena mempunyai noise yang
lebih kecil (low noise) dibandingkan detektor yang lain, sehingga lebih teliti dalam membedakan energi
radiasi. Sebagai contoh detektor yang digunakan untuk radiasi gamma adalah detektor HPGe sedangkan
untuk radiasi sinar-X adalah detektor SiLi atau LEGe.
Sebagaimana detektor yang lain, detektor yang digunakan disini juga membutuhkan sumber tegangan
tinggi (HV). Penentuan tegangan kerja detektor untuk sistem spektroskopi adalah dengan cara mencari
tegangan kerja yang dapat menghasilkan nilai resolusi terbaik.
Pre amplifier mutlak dibutuhkan dalam sistem spektroskopi karena pulsa yang dihasilkan detektor sangat
lemah. Sedang amplifier yang digunakan pada sistem spektroskopi mempunyai beberapa fasilitas
tambahan dibandingkan dengan spektroskopi yang digunakan pada sistem pencacah diferensial,
diantaranya shaping time, base line restorer dan pile up rejection.
MCA merupakan alat yang menerapkan teknologi relatif baru. Bagian utama dari suatu MCA adalah ADC
(analog to digital conerter) yang berfungsi untuk menentukan tinggi pulsa dari setiap pulsa listrik (sinyal
analog) yang memasukinya dan mengubahnya menjadi bilangan biner (sinyal digital). Bilangan biner
tersebut akan diteruskan ke bagian memory yang akan menyimpan jumlah dari masing-masing bilangan
biner yang dihasilkan ADC. Isi dari memory akan ditampilkan pada layar berupa spektrum radiasi.
Sistem spektroskopi digunakan untuk pengukuran yang bersifat analisis baik kualitatif maupun
kuantitatif, karena untuk keperluan ini harus berdasarkan spektrum radiasi yang dipancarkan oleh sampel
yang dianalisis. Salah satu aplikasi yang paling banyak adalah untuk menganalisis jenis dan kadar unsur
yang terkandung di dalam suatu bahan.

Aspek Pengukuran
Sebenarnya terdapat banyak sekali aspek pengukuran yang harus diperhatikan agar dapat memperoleh
hasil pengukuran yang akurat akan tetapi dalam materi ini hanya akan dibahas beberapa aspek yang
penting saja.
Waktu Mati (Dead Time)
Proses pengubahan sebuah radiasi menjadi pulsa listrik dan akhirnya tercatat sebagai sebuah cacahan
memerlukan selang waktu tertentu yang sangat dipengaruhi oleh kecepatan detektor dan peralatan
penunjangnya. Selang waktu tersebut dinamakan sebagai waktu mati (dead time) dari sistem pencacah
karena selama selang waktu tersebut sistem pencacah tidak dapat mendeteksi radiasi yang datang. Dengan
kata lain, radiasi yang datang berurutan dengan selang waktu yang lebih singkat daripada waktu matinya
tidak dapat dicacah atau tidak terhitung oleh sistem pencacah.
Karena intensitas radiasi yang dipancarkan oleh suatu sumber bersifat acak (random) maka terdapat
kemungkinan bahwa beberapa radiasi yang mengenai detektor tidak tercatat, semakin tinggi intensitasnya
(laju cacahnya) semakin banyak radiasi yang tidak tercatat sehingga hasil pengukuran sistem pencacah
lebih sedikit dari seharusnya.
Salah satu metode yang sering digunakan untuk mengeliminasi masalah waktu mati ini adalah
menggunakan persamaan berikut.

Rk adalah laju cacah setelah dikoreksi, Ru adalah laju cacah yang dihasilkan sistem pencacah dan t adalah
waktu mati sistem pencacah. Waktu mati sistem pencacah ( t ) dapat ditentukan dengan cara pengukuran
dua sumber yang identik.

R1 adalah laju cacah sumber 1, R2 adalah laju cacah sumber 2, R12 adalah laju cacah sumber 1 dan
sumber 2 bersama-sama, sedang Rb adalah laju cacah latar belakang.
Waktu mati sistem pencacah yang menggunakan detekor GM adalah sekitar ratusan detik sedangkan
detektor NaI(Tl) di bawah 10 detik. Jadi sumber yang akan digunakan (R1 dan R2) untuk melakukan
penentuan waktu mati sistem pencacah harus disesuaikan. Aktivitas masing-masing sumber (R1 atau R2)
dipilih yang masih belum terlalu dipengaruhi waktu mati tetapi bila dicacah bersama-sama harus telah
dipengaruhi oleh waktu mati.
Bila aktivitas sumber terlalu kecil sehingga keduanya belum dipengaruhi oleh waktu mati maka nilai
waktu mati yang diperoleh tidak benar, bahkan sering bernilai negatif, karena pembilang persamaan di
atas bernilai negatif. Sebaliknya bila aktivitasnya terlalu besar maka detektor akan mengalami saturasi
sehingga nilai waktu matinya juga salah, bisa bernilai negatif karena penyebutnya yang bernilai negatif.
Efisiensi
Efisiensi adalah suatu parameter yang sangat penting dalam pencacahan karena nilai inilah yang
menunjukkan perbandingan antara jumlah pulsa listrik yang dihasilkan sistem pencacah (cacahan)
terhadap radiasi yang diterima detektor. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa secara ideal,
setiap radiasi yang mengenai detektor akan diubah menjadi sebuah pulsa listrik dan akan dicatat sebagai
sebuah cacahan. Bila hal itu terjadi maka sistem pencacah mempunyai efisiensi 100%.
Efisiensi sistem pencacah sangat ditentukan oleh efisiensi detektor yang mempunyai nilai sangat berbeda-
beda antara satu jenis detektor dengan jenis lainnya. Sebagai contoh detektor sintilasi dapat mempunyai
efisiensi 50% untuk radiasi gamma sedang detektor isian gas hanya 5%.
Selain jenis detektornya, efisiensi sistem pencacah juga dipengaruhi oleh setting atau pengaturan selama
melakukan pencacahan, misalnya jarak antara sumber dan detektor, tegangan kerja, faktor amplifikasi
pada amplifier, batas atas dan bawah pada diskriminator dan sebagainya. Oleh karena itu nilai efisiensi
sistem pencacah harus ditentukan secara berkala atau bila terdapat perubahan setting pada sistem
pencacah.
Hal lain yang mempengaruhi efisiensi sistem pencacah adalah jenis radiasi, energi radiasi, dan intensitas
radiasi. Sangatlah jelas bahwa jensi radiasi yang berbeda akan mempunyai efisiensi yang berbeda karena
proses interaksi radiasi terhadap materi berbeda-beda, bahkan mungkin suatu detektor hanya dapat
mengukur satu jenis radiasi saja. Sebagai contoh detektor sintilasi NaI(Tl) hanya digunakan untuk
mengukur radiasi gamma. Yang menjadi persoalan, ternyata efisiensi dipengaruhi, meskipun sedikit, oleh
energi dan intensitas radiasi yang datang.
Resolusi Energi
Resolusi energi adalah suatu parameter yang menunjukkan kemampuan sistem spektroskopi
untuk membedakan dua tingkat energi yang berdekatan. Nilai ini direpresentasikan sebagai nilai FWHM
(full width at half maximum), yaitu lebar peak energi pada setengah tinggi puncaknya.
Sistem spektroskopi yang mempunyai nilai FWHM sangat kecil disebut sebagai sistem
spektroskopi resolusi tinggi sedangkan sebaliknya adalah sistem resolusi rendah. Sebagai gambaran
sistem spektroskopi gamma resolusi tinggi mempunyai FWHM sekitar 1,8 keV.
Kalibrasi Energi
Dalam sistem spektroskopi terdapat beberapa langkah konversi pada pengolahan setiap radiasi menjadi
pulsa listrik dan akhirnya menjadi suatu spektrum distribusi energi radiasi yaitu sebagai berikut:
Energi radiasi dikonversikan menjadi tinggi pulsa listrik oleh detektor dan amplifier.
Tinggi pulsa listrik dikonversikan menjadi posisi channel dalam spektrum radiasi oleh ADC dan MCA.
Jadi sebenarnya, sumbu X pada spektrum energi radiasi adalah skala posisi channel atau skala tinggi
pulsa. Agar sumbu X tersebut dapat diubah menjadi skala energi maka perlu dilakukan kalibrasi energi,
yaitu dengan melakukan pengukuran sumber radiasi standar yang memancarkan beberapa tingkat energi
sehingga kemudian dapat menentukan persamaan korelasi antara energi dan posisi channel.

Pada sistem MCA yang berbasis komputer, perhitungan kalibrasi energi tersebut di atas dilakukan secara
otomatis menggunakan program aplikasi spektrometer.
Statistik Pencacahan Radiasi
Latar Belakang
Radiasi dipancarkan secara acak (random) sehingga pengukuran radiasi berulang meskipun dilakukan
dengan kondisi yang sama akan memperoleh hasil pengukuran yang berfluktuasi (berbeda-beda). Materi
ini akan membahas sifat acak pancaran radiasi tersebut yang mengikuti distribusi Gauss, cara untuk
menghitung ketidak-pastian pengukuran serta cara menyajikan nilai hasil pengukuran, pengujian data
distribusi Gauss (chi square test), dan cara membuang data yang tidak menyimpang.
Tujuan Instruksional
Setelah mengikuti modul ini pembaca diharapkan mampu untuk menerapkan metode statistik dalam
pengukuran intensitas radiasi . Secara lebih rinci, pembaca akan mampu untuk:
menguraikan sifat acak (random) dari besaran fisis;
menguraikan distribusi Gauss pada intensitas (aktivitas) radiasi;
menghitung penyimpangan pengukuran pada distribusi Gauss dengan mempertimbangkan faktor
propagasi eror (error propagation);
menentukan ketidak-pastian pengukuran pada tingkat kepercayaan (level of confidence) tertentu;
menjelaskan limit deteksi dan limit kuantisasi;
menerapkan chi square test pada sekumpulan data pengukuran radiasi;
menerapkan uji Chauvenet pada sekumpulan data pengukuran radiasi.

Distribusi Gauss (Normal)


Sifat Acak (random)
Proses pengukuran, misalnya pengukuran temperatur, panjang atau berat, biasanya dilakukan secara
berulang. Perhatikan tabel berikut ini yang menampilkan hasil tiga jenis pengukuran (A, B, dan C) yang
diulang 10 kali.

Hasil pengukuran manakah yang terbaik ? Jangan terlalu cepat menyimpulkan bahwa pengukuran A yang
terbaik. Bila yang diukur adalah panjang sebuah meja maka akan diperoleh hasil pengukuran A. Tetapi
bila mengukur kecepatan angin di atas sebuah gedung maka mungkin akan dihasilkan data pengukuran C.
Terdapat jenis pengukuran tertentu yang akan menghasilkan data pengukuran B, yaitu pengukuran
terhadap suatu besaran yang mengikuti kecenderungan atau distribusi tertentu. Sebagai contoh, bila
seseorang mempunyai 200 keping uang logam yang sama dan kemudian dilemparkannya semua ke lantai.
Berapa keping uang logamkah yang menunjukkan gambar ? Bila kegiatan tersebut diulang 10 kali maka
akan diperoleh data pengukuran B, bukan pengukuran A apalagi pengukuran C. Eksperimen di atas juga
dapat dilakukan dengan menggunakan 600 butir dadu.
Data pengukuran B memang berfluktuasi tetapi mempunyai kecenderungan pada nilai 100. Nilai ini dapat
ditentukan secara perhitungan yaitu

Dengan X adalah nilai hasil pengukuran, p adalah probabilitas (pada uang logam dan pada dadu 1/6),
sedangkan N adalah jumlah benda yang terlibat untuk menghasilkan nilai pengukuran tersebut. Fenomena
pengukuran ini bersifat acak (random), yang bila dilakukan secara berulang dengan jumlah ulangan
sangat banyak (tak berhingga) akan menghasilkan nilai rata-rata 100.
Ingat rumusan aktivitas radioaktif !

A adalah aktivitas zat radioaktif, adalah konstanta peluruhan, sedangkan N adalah jumlah inti yang tidak
stabil. Konstanta peluruhan ( ) merupakan probabilitas salah satu inti atom tersebut meluruh atau tidak.
Dengan meng-analogikan dua rumusan tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas
radioaktif bersifat acak (random). Jadi, bila suatu zat radioaktif mempunyai aktivitas sebesar 100 Bq
maka tidak berarti bahwa zat radioaktif tersebut selalu memancarkan 100 radiasi per detik, melainkan
berbeda-beda tetapi mempunyai kecenderungan di sekitar nilai 100 sebagaimana data pengukuran B.
Distribusi Gauss (Normal)
Sifat acak suatu pengukuran selalu mengikuti suatu distribusi tertentu, sebagai contoh eksperimen uang
logam dan dadu di atas mengikuti distribusi binomial. Bila distribusi binomial tersebut mempunyai
probabilitas sangat kecil maka akan berubah menjadi distribusi Poisson, sedangkan bila distribusi Poisson
tersebut menghasilkan nilai ukur yang besar (beberapa literatur menuliskan > 40) maka berubah menjadi
distribusi Gauss (Normal). Tiga jenis distribusi tersebut memang tidak dibahas pada tulisan ini, bagi yang
berminat untuk mempelajari lebih lanjut silahkan membaca literatur statistik.
Zat radioaktif mempunyai konstanta peluruhan ( ) yang sangat kecil, misalnya U-238 adalah 4.88 10-18
dan aktivitas sumber biasanya bernilai sangat besar dalam orde Bq (peluruhan per detik), misalnya
aktivitas 1 Ci setara dengan 3.7 104 peluruhan per detik. Oleh karena itu pancaran radiasi mengikuti
distribusi Gauss (Normal).

Gambar di atas menunjukkan probabilitas nilai ukur yang mungkin dihasilkan oleh pengukuran berulang
terhadap suatu besaran yang mengikuti distribusi Gauss. Terlihat bahwa nilai ukur yang dihasilkannya
dapat bermacam-macam, dengan probabilitas terbesar adalah terletak pada nilai rata-ratanya.

Oleh karena aktivitas zat radioaktif bersifat acak mengikuti distribusi Gauss (Normal) maka intensitas
radiasi yang terukurpun akan bersifat acak sehingga data hasil pengukurannya juga akan mengikuti
distribusi Gauss. Pengukuran intensitas radiasi yang dilakukan secara berulang pasti akan memperoleh
hasil pengukuran yang berbeda-beda. Yang menjadi pertanyaan adalah berapakah nilai ukur yang
sebenarnya.
Dengan fenomena tersebut di atas maka pengukuran intensitas radiasi harus dilakukan secara berulang,
baik beberapa kali atau dalam selang waktu cukup panjang, yang berarti akumulasi nilai dari pengulangan
waktu beberapa detik. Nilai ukur sebenarnya diduga berada di dalam rentang nilai rata-rata nilai
simpangannya.
Sebagaimana perhitungan matematika biasa, nilai rata-rata dapat dihitung dengan persamaan berikut

Sedangkan nilai simpangan ( ) dari pengukuran tunggal suatu besaran yang mengikuti distribusi Gauss
adalah akar dari nilai ukurnya.
Propagasi Eror (Error Propagation)
Propagasi eror adalah metode untuk menghitung simpangan suatu nilai yang berasal dari beberapa faktor,
misalnya beberapa hasil pengukuran dan data pendukung lainnya. Rumusan dasar propagasi eror untuk
suatu nilai F yang merupakan fungsi dari faktor X, Y dan Z adalah sebagai berikut.

sf adalah simpangan nilai F yang merupakan kalkulasi dari faktor nilai X, Y, dan Z. sx, sy, dan sz adalah
masing-masing simpangan nilai X, Y, dan Z.

Laju Cacah
Laju cacah atau cacahan per detik adalah suatu nilai yang sebanding dengan aktivitas atau intensitas
radiasi.

Karena simpangan waktu ( st ) dapat diasumsikan tidak ada maka simpangan laju cacah ( sr ) hanya
dihitung dari satu faktor saja yaitu nilai cacahan ( C ) dengan simpangan cacahan ( sc ) adalah sebesar

Sehingga simpangan laju cacah ( sr ) dapat dihitung sebagaimana persamaan berikut. maka

Cacahan Rata-rata
Cacahan rata-rata ( ) merupakan nilai rata-rata dari beberapa kali pengukuran, misalnya N kali.

Laju Cacah Rata-rata

Laju Cacah Sumber


Hasil pengukuran intensitas radiasi suatu sumber selalu merupakan gabungan antara radiasi yang berasal
dari sumber tersebut dan radiasi yang berasal dari lingkungan sekitarnya, atau disebut sebagai radiasi latar
belakang. Laju cacah radiasi yang hanya berasal dari sumber saja ( Rs ) dapat dihitung dengan cara
mengurangi laju cacah keseluruhan (Rt ) dengan laju cacah latar belakang ( Rb ).

Simpangan laju cacah sumber adalah

Tentu saja nilai simpangan laju cacah keseluruhan ( sRt ) dan simpangan laju cacah latar belakang ( sRb )
harus dihitung dahulu menggunakan persamaan sebelumnya.

Efisiensi Pengukuran
Perhitungan propagasi eror, khususnya untuk yang mempunyai relasi matematik lebih rumit dapat
menggunakan persamaan berikut.

Berikut ini sebuah contoh untuk menentukan simpangan dari efisiensi pengukuran ( ? ) yaitu suatu nilai
yang membandingkan antara laju cacah dan aktivitas sumber standar.

Nilai simpangan dari aktivitas sumber dapat dihitung dari toleransi sumber standar, misalnya toleransi 1%
berarti nilai simpangan adalah sebesar 1% dari nilai aktivitasnya.
sA = 0.01 x A

Ketidak-pastian Pengukuran (Measurements Uncertainty)


Ketidak-pastian sebenarnya tidak hanya berasal dari pengukuran saja melainkan berasal dari semua
langkah analisis mulai dari preparasi sampel, faktor kesalahan alat, kesalahan personil, kesalahan metode,
dan pengukurannya sendiri. Akan tetapi dalam pembahasan ini hanya akan dipelajari ketidak-pastian yang
berasal dari proses pengukuran dan faktor yang berkaitan langsung dengan pengukuran.
Setiap pengukuran selalu mempunyai kesalahan (eror) oleh karena itu hasil pengukuran atau kalkulasi
yang berdasarkan hasil pengukuran harus ditampilkan dalam bentuk suatu rentang nilai (bukan nilai
tunggal). Rentang nilai tersebut adalah ketidak-pastian suatu pengukuran. Nilai ukur sebenarnya diduga
berada di dalam rentang nilai tersebut. Pertanyaannya adalah seberapa yakinkah nilai ukur sebenarnya
berada di dalam rentang nilai tersebut. Sebagai contoh, pengukuran aktivitas suatu sumber radiasi yang
dilakukan 10 kali dengan kondisi yang sama, ternyata diperoleh hasil sebagai berikut.
125; 116; 103; 138; 121; 144; 119; 127; 112; dan 134.
Berapakah nilai aktivitas sumber tersebut sebenarnya? Tidak ada yang tahu ! Kemungkinan nilai aktivitas
sebenarnya berada di dalam suatu rentang nilai di sekitar nilai rata-ratanya. Sekali lagi hanya dugaan saja.
Hasil pengukuran disajikan dengan format seperti berikut ini.

? adalah suatu faktor yang menunjukkan tingkat kepercayaan (level of confidence) dengan nilai
sebagaimana tabel berikut.

Memang dengan memilih tingkat kepercayaan yang semakin besar, misalnya 3 sigma, akan memperoleh
kemungkinan nilai ukur sebenarnya berada di dalam "rentang dugaan" semakin besar, tetapi nilai
rentangnya juga semakin lebar. Oleh karena itu, nilai simpangan ( s ) harus diusahakan sekecil mungkin,
yaitu dengan cara mengulang pengukuran semakin sering atau memperpanjang waktu pengukuran.

Limit Deteksi dan Limit Kuantisasi


Setiap pengukuran radiasi akan menghasilkan kesalahan atau ketidak-pastian, termasuk pengukuran
radiasi latar belakang (background). Yang menjadi permasalahan sekarang adalah bila intensitas radiasi
yang dipancarkan oleh sumber tidak terlalu besar dibandingkan dengan intensitas radiasi latar belakang.
Sebagai contoh, hasil pengukuran intensitas suatu sampel (yang berarti pengukuran radasi yang berasal
dari sumbernya dan ditambah dengan radiasi latar belakang) adalah 120 sedangkan pengukuran tanpa
sampel (yang berarti hanya pengukuran radiasi letar belakang) adalah 100. Secara perhitungan dengan
mudah dapat ditentukan bahwa radiasi latar belakang adalah 100 sehingga radiasi sumbernya saja adalah
20.
Hal di atas tidak dapat dibenarkan karena nilai intensitas radiasi latar belakang juga berfluktuasi sehingga
nilai 120 tersebut mungkin saja hanya fluktuasi nilai intensitas radiasi latar belakang, jadi sampel tersebut
sebenarnya tidak mengandung zat radioaktif sama sekali.
Limit deteksi adalah suatu batas nilai yang digunakan untuk menentukan apakah zat radioaktif
terdeteksi ada di dalam sampel yang diukur atau memang tidak terdeteksi. Nilai limit deteksi ditentukan
sebesar simpangan pengukuran latar belakang dengan tingkat kepercayaan 3 sigma.

Nilai hasil pengukuran radiasi sumber pada contoh di atas ( = 20 ) masih kurang dari limit deteksinya ( =
30 ) sehingga pada contoh di atas tidak terdeteksi ada zat radioaktif di dalam sampel.
Contoh lain, hasil pengukuran intensitas suatu sampel adalah 150 sedangkan pengukuran latar belakang
adalah 100. Secara perhitungan dengan mudah dapat ditentukan bahwa radiasi latar belakang adalah 100
sehingga radiasi sumbernya saja adalah 50.
Berdasarkan pembahasan limit deteksi, sampel pada contoh tersebut di atas dapat dinyatakan
mengandung zat radioaktif karena hasil pengukuran sumber ( = 50 ) sudah lebih besar daripada limit
deteksi pengukurannya. Tetapi nilai hasil pengukuran ( = 50 ) belum dapat dinyatakan sebagai kuantitas
(atau dalam contoh ini adalah aktivitas) sumber. Limit kuantisasi adalah suatu batas nilai yang digunakan
untuk menentukan apakah nilai hasil pengukuran dapat dinyatakan secara kuantitatif atau tidak. Nilai
limit kuantisasi harus ditetapkan secara konvensi, dari satu negara atau laboratorium ke negara atau
laboratorium lain mempunyai nilai yang berbeda. Nilai limit kuantisasi yang banyak digunakan adalah
sebesar simpangan pengukuran latar belakang dengan tingkat kepercayaan 7 sigma.

Jadi pada contoh pengukuran di atas hanya dapat dinyatakan secara kualitatif saja bahwa di dalam sampel
terdeteksi adanya zat radioaktif tetapi kuantitas atau aktivitas sumber tidak layak untuk dinyatakan karena
masih kurang dari limit kuantisasinya ( = 70 ).
Chi Square Test
Pengukuran berulang terhadap besaran fisis yang bersifat acak selalu menghasilkan nilai yang berubah-
ubah, sebagai contoh 10 kali pengukuran intensitas radiasi akan menghasilkan 10 nilai yang berbeda-
beda. Hal ini menimbulkan kesulitan untuk mengetahui bahwa fluktuasi nilai tersebut disebabkan oleh
sifat acak dari sumber yang diukur, bukan karena anomali alat ukurnya.
Chi square test adalah sebuah metode yang banyak digunakan untuk menguji apakah sekumpulan data
mengikuti distribusi Gauss atau tidak. Terdapat kemungkinan bahwa fluktuasi nilai terlalu kecil atau
fluktuasi terlalu besar. Nilai Chi Square ditentukan dengan persamaan berikut.

Dengan Xi adalah nilai setiap pengukuran. Nilai chi square ( 2 ) dari perhitungan di atas kemudian
dicocokkan ke tabel chi square.
Sebagian tabel chi square

Cara pembacaan tabel chi square di atas: n adalah derajat kebebasan pengukuran yaitu jumlah
pengulangan dikurangi 1 (N 1). Nilai-nilai pada kolom 2 0,50 adalah nilai ideal bila semua nilai hasil
pengukuran tepat sesuai dengan distribusi Gauss, tentu saja hal ini sangat sulit dicapai dalam pengukuran
sebenarnya. Seberapa besar toleransi tidak ideal harus ditentukan oleh masing-masing keperluan atau
laboratoriumnya, tetapi walaupun begitu, nilai yang banyak digunakan adalah nilai di dalam rentang 2
0,90 dan 2 0,10.
Data hasil 10 kali pengukuran layak diterima sebagai distribusi Gauss bila nilai 2 nya berada di dalam
rentang 4,17 ~ 14,7, sedangkan data 15 kali pengukuran harus berada di dalam rentang 7,79 ~ 21,1.
Apabila data hasil pengukuran intensitas radiasi tidak memenuhi kriteria di atas maka kumpulan data
tersebut tidak mengikuti distribusi Gauss, atau dengan kata lain terdapat kesalahan, mungkin di alat
ukurnya atau di sumbernya sendiri.

Kriteria Chauvenet
Memang dalam teori distribusi Gauss, hasil pengukuran dapat bernilai berapapun bahkan sangat jauh
berbeda dengan nilai rata-ratanya akan tetapi dalam kenyataannya kemungkinan tersebut sangat kecil
sehingga hasil pengukuran yang menyimpang terlalu jauh dari nilai rata-ratanya dapat saja dibuang agar
tidak merusak nilai rata-rata pengukuran, karena penyimpangan tersebut mungkin disebabkan oleh
gangguan dari luar sehingga mempengaruhi kondisi yang seharusnya dijaga selalu sama, sebagai contoh
yang paling sering terjadi adalah gangguan listrik.
Kriteria Chauvenet adalah suatu satu metode yang dapat digunakan untuk membuang salah satu atau
beberapa nilai hasil pengukuran yang menyimpang terlalu jauh dari nilai rata-ratanya, atau disebut
outlayer.

Nilai Chauvenet dari setiap data pengukuran yang dihitung menggunakan persamaan di atas harus lebih
kecil daripada tabel berikut ini.
Nilai batas kriteria Chauvenet

Sebagai contoh dalam eksperimen 10 kali pengukuran berulang, setiap data pengukuran harus mempunyai
nilai t yang lebih kecil daripada 1,96. Bila salah satu hasil pengukuran mempunyai nilai t yang lebih besar
daripada 1,96 maka data pengukuran tersebut dapat dibuang. Bila jumlah pengulangan tidak terdapat
dalam tabel tersebut maka dapat digunakan cara interpolasi linier.

Anda mungkin juga menyukai