Anda di halaman 1dari 15

STUDY CASE

INTERNAL AUDIT
Kasus Audit Fraud PT Waskitha Karya (Persero) Tbk

Disusun oleh:

Kelompok 4 - Kelas P

Nicholas Soesilo (143221039)

Sharla Davyna (143221042)

Firman Rizki Setiawan (143221051)

Shabrina Ahista Marchlyta Anjani (143221034)

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2024
PROFIL PERUSAHAAN
PT Waskita Karya merupakan perusahaan milik negara Indonesia yang fokus pada
sektor konstruksi. Perusahaan ini didirikan dengan menasionalisasi perusahaan Belanda
bernama Volker Aannemings Maatschappij N.V. Didirikan pada tahun 1961 dan berubah
menjadi perseroan terbatas pada tahun 1973. Mayoritas saham PT Waskita Karya (Persero)
Tbk dimiliki oleh Negara Republik Indonesia dengan porsi 66,04%.
Sesuai anggaran dasar perusahaan, PT Waskita Karya mempunyai bidang kegiatan
yang antara lain meliputi bidang konstruksi, manufaktur, persewaan, keagenan, penanaman
modal, agrobisnis, perdagangan, menunjang kebijakan dan program pemerintah di bidang
perekonomian wilayah dan nasional sektor pembangunan untuk peningkatan dalam sektor
jasa, konstruksi, teknologi informasi, pariwisata, pengembangan kapasitas. Saat ini, perseroan
fokus menggalakkan proyek konstruksi dan EPC (Engineering, Pengadaan, dan Konstruksi)
yang terintegrasi.

LATAR BELAKANG KASUS

Sejak pertengahan Agustus 2009, PT Waskita Karya terlibat manipulasi laporan


keuangan. Aktivitas penipuan ini ditandai dengan adanya fraud dalam pembuatan laporan
keuangan, overstated, dan kelebihan pencatatan laba. Hal ini menyebabkan tiga direktur PT
Waskita Karya dan dua Kantor Akuntan Publik (KAP) terlibatan dalam kasus ini.
Kementerian Negara BUMN langsung menindaki dengan memberhentikan dua direktur PT
Waskita Karya terkait dengan kasus overstated pada laporan keuangan dari 2004 sampai
2008. Terlebih lagi, pada tahun 2008, perusahaan hendak melakukan penawaran umum
perdana (IPO).
Peralihan jajaran direksi PT Waskita Karya Persero mengungkap kasus pemalsuan
aset. Direktur Utama yang baru diangkat menolak begitu saja laporan keuangan manajemen
sebelumnya dan meminta pihak ketiga melakukan audit komprehensif terhadap akun-akun
tertentu. Pada laporan keuangan tahun 2008, terungkap bahwasanya terjadi kekeliruan atau
penggelembungan aset pada tahun 2005 sejumlah 5 miliar rupiah. Jumlah tersebut
didapatkan oleh dua proyek yang sedang berlangsung yaitu:
1. Proyek renovasi Kantor Gubernur Riau, yang memiliki nilai kontrak 13,8 miliar
rupiah dan memiliki pekerjaan tambahan sejumlah 3 milliar rupiah pada akhir tahun
2005. Saldo tersebut masih tercatat di neraca perusahaan hingga akhir tahun 2008.
2. Pembangunan Gelanggang Olah Raga Bulian Jambi, dengan nilai kontrak kurang
lebuh 33 milliar rupiah. PT Waskita Karya Persero mencatat pendapatan kontrak
sejumlah 2 miliar rupiah dari proyek ini, yang masih belum terselesaikan hingga
akhir tahun 2008 karena kontrak diputus Pemda Batang Hari.

Untuk memberikan gambaran tentang besarnya kasus dugaan overstated aset di


tahun 2005, nilai aset PT Waskita Karya pada tahun tersebut sejumlah 1,6 triliun rupiah,
sedangkan jumlah yang diduga dinaikkan oleh manajemen sebesar 5 miliar rupiah, atau
sekitar 0,3% dari aset tersebut.
Meskipun di laporan keuangan PT Waskita Karya tercatat laba sebesar Rp 163,4
miliar di tahun 2008 dan Rp 307,1 miliar di tahun 2009, angka tersebut masih dianggap
relatif kecil bila dibanding perusahaan sejenis. Oleh karena itu, PT Waskita Karya harus
terus melaksanakan perbaikan manajemen untuk meningkatkan kinerja perusahaan, salah
satunya melalui restrukturisasi. Dengan melakukan pembenahan ini, perusahaan memiliki
prospek yang baik kedepannya dan dapat mengoptimalkan sumber daya yang dimilikinya.
Pihak yang terlibat dalam kasus ini diantaranya 3 Orang Direksi PT Waskita Karya,
yakni Umar T.A, Bambang Marsono, dan Kiming Marsono, sedangkan untuk Kantor
Akuntan Publik (KAP) adalah Kantor Akuntan Helianto (2003 – 2005) dan Kantor
Akuntan Ishak, Saleh, Soewondo dan rekan (2006 dan 2007).
Pada laporan keuangan tahun 2008, PT Waskita Karya mengalami defisit ekuitas
dan menghadapi resiko bangkrut. Untuk mengantisipasi hal ini, Menteri BUMN menunjuk
seorang direksi baru pada Juni 2008. Manajemen yang baru berikutnya
mengimplementasikan berbagai perubahan untuk memperbaiki kinerja perusahaan. Mereka
menekankan pentingnya sikap transparansi, keterbukaan, dan tanggung jawab sebagai
prioritas awal, agar masalah serupa tidak terulang.
Pada tahun 2010, PT Waskita Karya diakuisisi oleh PT Perusahaan Pengelola Aset
(PPA) karena kondisi keuangan yang buruk akibat manajemen sebelumnya. PPA kemudian
menginvestasikan dana sekitar Rp 475 miliar untuk melakukan restrukturisasi modal
perusahaan.
Upaya manajemen membuahkan hasil, terlihat dari peningkatan kinerja perusahaan
sejak 2011. PT Waskita Karya berhasil menjadi salah satu perusahaan konstruksi dengan
pendapatan terbesar pada 2011 yaitu sekitar 7 trilliun rupiah. Pada tahun 2012, PT Waskita
Karya kembali menjadi perusahaan BUMN setelah keluar dari kepemilikan PPA. Pada
Desember 2012, PT Waskita Karya menjalankan penawaran umum perdana (go public)
serta terdaftar di BEI.

Dengan adanya manajemen baru, kinerja PT Waskita Karya terus meningkat. Hingga
tahun 2016, perusahaan terus mencatatkan peningkatan laba sebesar gambar dibawah ini:

Data yang disajikan menunjukkan peningkatan laba yang signifikan oleh PT


Waskita Karya dari tahun 2009 hingga 2016, mencapai lebih dari 3000%. Hal ini
menegaskan bahwa manajemen baru PT Waskita Karya telah melakukan perubahan yang
sangat berarti. Meskipun menghadapi tantangan berat yang hampir membuat perusahaan
bangkrut dan diambil alih oleh PPA, manajemen baru berhasil menghidupkan kembali PT
Waskita Karya, membuatnya menjadi perusahaan BUMN yang berhasil meningkatkan laba
secara konsisten dari tahun ke tahun.
Keberhasilan ini dipengaruhi oleh kinerja yang terus ditingkatkan oleh manajemen,
yang terus berusaha memberikan yang terbaik bagi perusahaan. Berikutnya, PT Waskita
Karya melaksanakan berbagai perubahan terutama di bidang SDM, serta memperluas
bisnis dengan mengakuisisi beberapa perusahaan dan merambah ke sektor jalan tol, pabrik
precast, properti, dan energi.
Penerapan Good Corporate Governance (GCG) menjadi fokus utama manajemen
untuk mencegah terulangnya kasus sebelumnya. Pada tahun 2016, PT Waskita Karya
meraih skor assessment GCG sejumlah 86,64 dengan predikat “Sangat Baik”.

Manajemen PT Waskita Karya sangat memperhatikan pengembangan sumber daya


manusia karena keyakinan bahwa SDM merupakan salah satu aset kunci perusahaan. Oleh
karena itu, mereka melakukan perubahan dalam pengelolaan SDM dengan menyusun
program peningkatan baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
TEORI PENDUKUNG

Sebelum masuk kedalam detail teori dan langkah-langkah untuk membuktikkan


contoh kasus, kami ingin membahas lebih dalam mengenai fraud itu sendiri. Jadi, fraud
berdasar pada Tuanakotta yaitu setiap tindakan ilegal yang ditandai dengan penipuan,
penyembunyian, atau ancaman kepercayaan. Definisi fraud menurut Arens adalah salah saji
dalam laporan keuangan yang disengaja. Oleh karena itu disimpulkan bahwasanya, fraud
merupakan salah satu tindakan yang disengaja baik individu maupun kelompok untuk
kepentingannya terhadap laporan keuangan. Fraud sendiri tidak tergantung pada penerapan
ancaman kekerasan dan fisik.
Lebih lanjut, istilah “fraud” juga dapat dibaca sebagai “kecurangan”. Watak
ketidakjujuran, ketidakadilan, melakukan kegiatan curang, mengakali, atau mengelabui
diartikan sebagai “fraud” atau “curang” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Selain itu, tuntutan gaya hidup, kesulitan ekonomi, keinginan untuk memuaskan keinginan
sendiri, dan faktor-faktor lain dapat berkontribusi terhadap fraud dalam suatu perusahaan.
Fraud di seluruh perusahaan yang dilakukan melalui pembuatan skema penipuan dalam
transaksi keuangannya agar sulit dideteksi dapat menjadi bencana besar bagi perusahaan
dan mengakibatkan hilangnya seluruh pendapatan.
Setelah mengetahui secara mendalam apa arti dari fraud, kami akan menjelaskan
mengenai penyebab atau faktor yang membuat seseorang melakukan fraud. Terdapat 3
penyebab umum kecurangan yang kita kenal dengan fraud triangle atau segitiga
kecurangan:

1. Insentif (Tekanan) – Insentif yang sering dikutip oleh perusahaan karena terlibat
dalam manipulasi laporan keuangan adalah memburuknya prospek keuangan mereka.
Arens mendefinisikan tekanan sebagai suatu keadaan di mana karyawan atau
manajemen diberi insentif atau dipaksa untuk melakukan penipuan (fraud). Sebagai
contoh, ketika ada penurunan laba dalam suatu perusahaan, maka dapat mengancam
kebutuhan perusahaan akan biaya. Tentu sebagai perusahaan kita pastinya akan
melakukan segala cara agar perusahaan tersebut menjadi untung. Hal ini tidak
menutup kemungkinan cara yang digunakan itu bisa legal atau illegal. Jika illegal,
dapat disimpulkan perusahaan tersebut melakukan fraud dengan meningkatkan sales
ataupun menurunkan beban
2. Peluang (Opportunity) – Peluang atau kesempatan ini senantiasa dimanfaatkan
untuk membenarkan aktivitas penipuan. Tuanakotta (2012) mendefinisikan peluang
sebagai keadaan dan kondisi yang memungkinkan individu untuk terlibat dalam
kegiatan kecurangan. Faktor ini melibatkan kurangnya pengawasan, kontrol internal
yang lemah, atau celah dalam sistem keamanan suatu organisasi. Adanya peluang
yang memungkinkan seseorang melakukan kecurangan tanpa mudah terlihat dapat
memicu keinginan untuk mengeksploitasi situasi tersebut. Sebagai contoh, bagi
perusahaan dagang, salah satu akun yang paling besar dalam risiko salah saji adalah
persediaan. Risiko ini akan naik bila persediaan tersebut rusak. Oleh karena itu,
sebagai akuntan harus berhati-hati dalam mencatat persediaan dalam suatu perusahaan
3. Rasionalisasi (Rationalization) – Rasionalisasi menjadi elemen kunci dalam kasus
kecurangan karena pelaku mencari pembenaran atau alasan moral untuk tindakan
curang yang mereka lakukan. I Gusti, dkk (2018) menyatakan bahwa pembenaran ini
bisa terjadi saat pelaku merasa berhak mendapatkan sesuatu yang lebih seperti posisi,
gaji dan promosi atau pelaku mengambil sebagian keuntungan dari perusahaan.
Rasionalisasi ini membantu pelaku mengatasi rasa bersalah atau konflik moral yang
mungkin muncul. Sebagai contoh, rasionalisasi bahwa saya telah memberikan
kontribusi besar pada perusahaan, jadi ini adalah cara untuk mendapatkan kompensasi
yang seharusnya saya dapatkan.

Berdasarkan buku Auditing and Jasa Assurance oleh Arens, terdapat dua kategori
utama terkait dengan fraud:

1. Pelaporan Keuangan yang Curang – Pelaporan keuangan yang curang adalah salah
saji atau pengabaian jumlah atau pengungkapan yang disengaja dengan maksud
menipu para pemakai laporan keuangan itu. Sebagian besar kasus melibatkan salah
saji jumlah yang disengaja, bukan mengungkapkan. Biasanya jenis fraud ini dilakukan
oleh manajemen tingkat atas atau top management. Contohnya adalah perusahaan
Garuda yang mengakui pendapatan yang diterima di muka sebagai pendapat biasa
padahal belum melakukan jasa tersebut. Hal ini dilakukan karena adanya tekanan
karena rugi yang besar dihasilkan oleh penerbangan Garuda. Dampaknya dari
pengakuan tersebut adalah yang semulanya rugi langsung menjadi laba Oleh sebab
itu, dapat disimpulkan Garuda melakukan fraud tapi dalam hal pelaporan keuangan
yang curang. Dalam kasus lain, beberapa perusahaan menurunkan laba untuk
menekan pajak penghasilan. Perusahaan mungkin disengaja menurunkan laba ketika
laba itu tinggi untuk membentuk cadangan laba yang digunakan pada periode
mendatang. Praktik ini disebut income smoothing dan earnings management. Hal ini
juga termasuk salah satu pelaporan keuangan yang curang.
2. Penyalahgunaan aset – Penyalahgunaan adalah kecurangan yang melibatkan
pencurian aset kas dan/atau non-kas dalam suatu entitas untuk kepentingan pribadi.
Pencurian aset ini sering kali mengkhawatirkan manajemen karena pencurian yang
dilakukan bersifat kecil dan akhirnya akan semakin banyak seiring berjalannya waktu.
Jenis fraud ini biasanya dilakukan oleh employee atau manajemen tingkat bawah.
Menurut perkiraan Association of Certified Fraud Examiners, perusahaan rata-rata
kehilangan enam persen pendapatannya akibat fraud ini. Namun, penyalahgunaan aset
ini dapat dilakukan oleh manajemen puncak. Sebagai contoh, CEO yang melakukan
korupsi pada salah satu perusahaan dengan mencuri aset senilai lebih dari beberapa
ratus juta

PEMBAHASAN
Pelanggaran Yang Dilakukan
1. Overstated
Overstated adalah penipuan yang terjadi ketika perusahaan melaporkan pada
tingkat yang lebih tinggi dari yang sebenarnya. Secara umum, jika akun pengeluaran
dilebih-lebihkan, maka akan menyebabkan laba bersih diremehkan, dan sebaliknya,
jika akun pengeluaran dilebih-lebihkan, maka akan menyebabkan pendapatan lebih
tinggi.
Pengeluaran yang lebih kompleks sering kali berupa beban atau beban.
Mengumpulkan biaya-biaya padahal tidak diperlukan akan menyebabkan rendahnya
laporan pendapatan. Misalnya, jika akuntan mengakumulasikan beban bunga pada
akhir tahun dan ternyata beban bunga tersebut tidak seharusnya dibayar, maka hasil
bersihnya disajikan terlalu rendah. Demikian pula, biaya akuntansi yang tidak perlu
menyebabkan laba bersih dilebih-lebihkan..
Akrual terjadi ketika perusahaan menerima uang untuk produk atau jasa yang
belum dibuat atau diserahkan. Jika akuntan menunda pendapatan yang tidak perlu,
laba bersih pasti akan diremehkan. Laba ditahan berarti perusahaan telah mencatat
pendapatan, namun uangnya belum diterima. Jika tuntutan tidak perlu diajukan, laba
bersihnya terlalu tinggi.
Kesalahan saldo persediaan mempengaruhi akun harga pokok penjualan
(COGS) dan laba bersih. Akuntan menghitung COGS dengan menambahkan
pembelian inventaris ke saldo awal dan mengurangkan saldo akhir dari saldo akhir.
Jika nilai persediaan akhir dilebih-lebihkan (terlalu tinggi), berarti COGS diremehkan
dan laba bersih dilebih-lebihkan. Dampak sebaliknya adalah persediaan yang terlalu
banyak menyebabkan kesalahan pada saldo awal, yang berarti COGS dilebih-lebihkan
dan laba bersih diremehkan. dari.
Kesalahan dalam laporan laba rugi mungkin tidak mempengaruhi aset dan
liabilitas, tetapi ekuitas. Pada akhir periode pelaporan, akuntan melaporkan laba
bersih dalam laba ditahan. Laba ditahan merupakan keuntungan perusahaan dan
akumulasi ekuitas. Apabila laba bersih dilebih-lebihkan pada suatu periode tertentu,
maka saldo laba ditahan juga dijamin dilebih-lebihkan dan sebaliknya.
2. Peningkatan Dana (Mark-Up)
Dalam bisnis, peningkatan dana mengacu pada peningkatan nilai atau harga
suatu proyek, atau anggaran yang berlebihan untuk memperoleh lebih dari yang
diperlukan dari pinjaman bank. Selisih antara harga yang tertera pada invoice, invoice
atau nota dikurangi dengan nilai atau harga yang seharusnya dibayarkan merupakan
keuntungan yang dapat diambil oleh Kantor A. Proses ini disebut penandaan. dari.

Penyelesaian Kasus
Manipulasi laporan keuangan merupakan suatu tindakan kriminal yang dapat
merugikan banyak orang dan juga merugikan nama baik perusahaan. Pengolahan laporan
keuangan pastinya membutuhkan seorang akuntan. Audit yang dilakukan auditor diharapkan
dapat memperkuat keandalan laporan keuangan perusahaan dibandingkan membantu
perusahaan melakukan kecurangan atau menyembunyikan kecurangan internal. Kasus itu
juga melibatkan auditor internal dan eksternal PT Waskita Karya.
Kementerian BUMN memberhentikan dua direktur dan satu mantan direktur PT
Waskita Karya karena pembukuan berlebihan antara tahun 2004 dan 2007. Dua pimpinan PT
Waskita Karya yang ditangkap adalah Bambang Marsono dan Triatman. Sementara salah satu
mantan pengelola PT Waskita Karya yang dinonaktifkan adalah Kiming Marsono yang kini
menjabat CEO PT Nindya Karya. Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil juga mengirimkan
surat kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terkait sanksi terhadap auditor yang
diduga terlibat dalam evaluasi laporan keuangan PT Waskita Karya. Berdasarkan surat yang
dikirimkan Menteri BUMN, Menteri Keuangan akhirnya memutuskan untuk membekukan
beberapa KAP terkait penipuan PT Waskita Karya.

Dampak Dari Kasus Fraud


1. Menurunkan branding BUMN yang selama ini dianggap mampu menerapkan
manajemen yang baik dalam pengendaliannya.
2. Mengurangi kepercayaan investor untuk membeli saham PT Waskita Karya dan
membuat investor mempertimbangkan kembali untuk memiliki saham di PT Waskita
Karya.
3. Menambahkan perusahaan penipuan di Indonesia yang semakin banyak dan
memperburuk branding tata kelola perusahaan Indonesia.
4. Pendapat negatif masyarakat tentang kerjasama antara auditor dan perusahaan yang
diaudit. Namun, tidak semua auditor melakukan hal ini, dan banyak auditor yang
mengikuti kebijakan integritas dan lainnya.

Dampak Sosial dan Ekonomi Lebih Lanjut


1. Kehilangan Kepercayaan Publik
Kasus penipuan keuangan dapat merusak kepercayaan publik terhadap perusahaan
dan sektor BUMN secara keseluruhan. Hal Ini dapat mengganggu stabilitas pasar dan
mengurangi investasi dalam sektor tersebut, serta merusak citra Indonesia sebagai
tujuan investasi yang menarik.
2. Dampak Terhadap Pekerja dan Karyawan
Kasus penipuan keuangan dapat memiliki dampak negatif pada pekerja dan karyawan
perusahaan, termasuk potensi penurunan moral, ketidakpastian pekerjaan, dan bahkan
pemotongan staf sebagai bagian dari upaya perbaikan keuangan perusahaan. Dampak
ini dapat meningkatkan tingkat stres dan kecemasan di tempat kerja, serta dapat
mempengaruhi kesejahteraan ekonomi individu dan keluarga.
3. Kehilangan Nilai Saham dan Kerugian Finansial
Investor yang telah membeli saham PT Waskita Karya mungkin mengalami kerugian
finansial akibat penurunan nilai saham setelah kasus penipuan keuangan terungkap.
Hal ini juga dapat menciptakan ketidakpastian pasar dan mengganggu pertumbuhan
ekonomi secara keseluruhan. Kehilangan nilai saham juga dapat berdampak pada
portofolio investasi individu dan institusional, serta mempengaruhi keputusan
investasi masa depan.
4. Dampak terhadap Industri dan Ekosistem Bisnis
Kasus penipuan keuangan dalam sebuah perusahaan dapat memiliki dampak negatif
yang luas pada industri terkait dan ekosistem bisnis di sekitarnya. Hal Ini termasuk
potensi kehilangan kontrak, kemitraan bisnis yang rusak, dan ketidakstabilan ekonomi
lokal di daerah-daerah yang terpengaruh. Dampak ini dapat dirasakan oleh seluruh
rantai pasokan dan jaringan bisnis terkait, serta berpotensi menurunkan daya saing
industri secara keseluruhan.

Rekomendasi Agar Kasus Serupa Tidak Terulang


1. Membangun budaya perusahaan yang baik dengan mengedepankan kejujuran, etika
profesi dan kepatuhan terhadap seluruh peraturan internal dan eksternal, terutama
mengenai perizinan.
2. Utamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.
3. Dalam merekrut karyawan hendaknya memilih kejujuran dan akhlak yang baik serta
pentingnya kejujuran yang baik dalam kaitannya dengan kelangsungan usaha
perusahaan.
4. Melakukan audit atau penilaian terhadap sistem pengendalian internal perusahaan.
5. Pengelolaan perusahaan dilakukan oleh pengurus yang tujuannya untuk
mengecualikan atau setidak-tidaknya mencegah kemungkinan terjadinya kecurangan.
Tata kelola perusahaan mencakup budaya perusahaan, kebijakan dan pendelegasian
wewenang.
6. Proses pengendalian tingkat transaksi yang dilakukan oleh auditor internal bersifat
preventif dan pengendalian, yang tujuannya adalah untuk memastikan bahwa hanya
transaksi yang sah dan sah yang dicatat dan untuk melindungi perusahaan dari
kerugian.
7. Investigasi oleh pakar hukum. Dalam perannya, auditor forensik menentukan tindakan
yang akan diambil mengenai tingkat dan mortalitas penipuan, apakah penipuan
tersebut merupakan pelanggaran kecil terhadap kebijakan perusahaan atau
pelanggaran besar dalam bentuk penipuan atau penyalahgunaan laporan keuangan.
8. Menetapkan standar yang jelas tentang siapa yang cocok untuk apa, baik untuk peran
fungsional dan struktural, serta untuk peran strategis dan kritis tertentu. Hal ini harus
dibarengi dengan sosialisasi dan kepatuhan (monitoring) tanpa pengecualian yang
tidak dapat dibenarkan.
9. Menguji keterampilan dan kemampuan untuk mencapai suatu jabatan tertentu
dilakukan secara adil dan transparan. Siapapun yang memenuhi persyaratan memiliki
kesempatan yang sama dan adil untuk dipilih.
10. Mempunyai akuntabilitas dan transparansi dari proses bisnis untuk setiap organisasi
yang memungkinkan setiap pihak untuk dikendalikan sehingga kesalahan individu
yang tidak bermoral dapat diidentifikasi dan dihukum tanpa kompromi.

Pelajaran Yang Dapat Dipetik


Kasus ini memberikan beberapa pelajaran berharga.
1. Pertama, implementasi GCG di Indonesia ternyata masih sekedar formalitas
belaka.
Fakta tersebut terungkap dari keengganan para pengelola PT Waskita Karya
untuk menerapkan GCG di PT Waskita Karya, meskipun telah dilakukan beberapa
kali evaluasi (survei) terhadap penerapan GCG di PT Waskita Karya, namun kasus
tersebut belum ditemukan. Ini menunjukkan betapa rumit dan tepat jejak peristiwa ini.
Besar kemungkinan hasil asesmen GCG yang dilakukan oleh konsultan hanya akan
menjadi hiasan di lemari para manajer dan dijadikan alasan tanggung jawab
penerapan GCG. dari.

2. Kedua, terlihat bahwa terjadi kerjasama sistemik melakukan rekayasa


keuangan yang dilakukan karena lemahnya fungsi internal control.
Hal ini menunjukkan bahwa badan-badan yang melakukan pengendalian
internal, mulai dari Dewan hingga audit internal, tidak menjalankan tugasnya dengan
benar. Hal ini sangat disayangkan mengingat GCG merupakan alat pengendalian yang
diciptakan oleh Checks and Balances yang digunakan untuk memantau tata kelola
perusahaan. Kementerian BUMN sebagai pemegang saham tidak dapat disalahkan
dalam kasus ini, karena sebagai pemegang saham, Kementerian BUMN menunjuk
wakilnya untuk melakukan pengawasan terhadap Dewan Komisaris. Selain itu,
peluang kerjasama dengan audit eksternal semakin besar, salah satunya Enron di
Indonesia. dari.

3. Ketiga, GCG di BUMN berubah menjadi Corporate Culture, Implementasi


GCG pada hakikatnya adalah menjadi Corporate Culture.
Lemahnya penerapan GCG menunjukkan bahwa GCG baru mencapai taraf
observasional dan belum menjadi budaya. Kurangnya budaya pada dasarnya
membuka peluang terjadinya penipuan. Penipuan dapat dengan mudah terjadi apabila
karyawan perusahaan mengabaikan pelanggaran begitu saja.
Jika manajemennya berubah, kemungkinan kejadian serupa akan terulang
kembali di kemudian hari. Auditor eksternal yang membantu pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab di PT Waskita Karya dalam pengaturan keuangan, pihak-pihak
yang terlibat dalam kasus ini, serta perusahaan dan individu, harus dihukum.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus menyadari bahwa penguatan
penerapan Good Corporate Governance (GCG) perlu dilakukan agar kejadian serupa
tidak terulang kembali. Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak
cukup menciptakan infrastruktur dan soft struktur BUMN yang komprehensif, harus
menekankan tatanan pelaksanaannya. dari.

Selain itu, dengan memperkuat penerapan tata kelola perusahaan yang baik (GCG),
maka penerapan tata kelola perusahaan yang baik (GCG) memegang peranan yang sangat
penting dalam penerapan etika bisnis. Pada hakikatnya etika bisnis bukan lagi menjadi
kewajiban para pebisnis, melainkan sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi. Oleh karena itu,
dapat diasumsikan bahwa prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG) telah
dilanggar dalam kasus ini:
1. Transparency – Secara sederhana dapat diartikan sebagai kebutuhan akan informasi.
Dalam menerapkan prinsip ini, perusahaan harus memberikan informasi yang cukup,
akurat dan tepat waktu kepada seluruh pemangku kepentingannya. Informasi yang
diberikan meliputi keadaan keuangan perusahaan, kinerja keuangan, pemilik dan
manajemen. Namun dalam teknis laporan keuangan yang dibuat oleh direksi
sebelumnya, mereka lupa akan tugasnya (tidak bertanggung jawab) sebagai sebuah
profesi. Jika transparansi ini diterapkan agar pemegang saham dan orang lain
mengetahui status perusahaan, maka nilai pemegang saham dapat meningkat..
2. Accountability (akuntabilitas) – Akuntabilitas berarti kejelasan tanggung jawab atas
operasi, struktur, sistem dan elemen perusahaan. Dalam hal ini, direksi sebelumnya
bertindak sedemikian rupa sehingga tidak bertanggung jawab kepada perseroan dan
direktur tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
3. Responsibility (pertanggungjawaban) – Salah satu pertanggungjawaban perusahaan
yaitu kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku dalam perusahaan, diantaranya:
a. Masalah berkaitan pajak
b. Suatu hubungan industrial, kesehatan, dan keselamatan kerja
c. Perlindungan terhadap lingkungan hidup
d. Memelihara lingkungan bisnis yang baik dan tertib
Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab pada PT Waskita Karya
diharapkan perusahaan memahami bahwa perusahaan juga mempunyai tanggung
jawab terhadap pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya dalam kegiatan
operasionalnya.
4. Independency (kemandirian) – Prinsip ini mewajibkan agar setiap perusahaan yang
dikelola secara profesional tidak saling berbenturan kepentingan dan tanpa tekanan
maupun campur tangan dari pihak manapun. Dalam hal ini pihak manajer dan audit
eksternal bersama-sama melanggar peraturan yang berlaku di perusahaan. Oleh sebab
itu, direksi dan audit internal harus bertanggung jawab atas pekerjaan yang
dilakukannya untuk menjaga kepercayaan terhadap perusahaan.
5. Fairness (kesetaraan dan kewajaran) – Prinsip ini mewajibkan untuk memberlakukan
secara adil seluruh pelaksanaan hak subjek data berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Penerapan prinsip ini di akan melarang praktik
internal memalukan dan merugikan pihak lain.

Dalam hal ini, manajer dan auditor eksternal melanggar peraturan perusahaan yang
berlaku dan harus dihukum sesuai hukum yang berlaku. Misalnya, prinsip tata kelola
perusahaan yang baik (GCG) mencerminkan etika bisnis yang dapat memenuhi keinginan
seluruh pemangku kepentingan. Etika bisnis yang baik dan sehat adalah kunci bagi
perusahaan untuk bertahan dalam segala ketidakstabilan keuangan.
Sistem pengendalian internal yang dimiliki BUMN masih lemah dan upaya yang
dilakukan belum sampai pada tahap preventif. Pendekatan GCG yang berorientasi pada
kepatuhan harus ditinggalkan dan digantikan dengan penerapan GCG sebagai budaya
perusahaan. GCG harus menjadi suatu sistem, struktur dan budaya yang tidak terpisah satu
sama lain. Langkah selanjutnya adalah menerapkan dan memperkuat sistem pengendalian
internal serta kebijakan whistleblowing dan implementasinya. Kebijakan pelapor ini sangat
membantu dalam mendeteksi penipuan.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa skandal pemalsuan laporan keuangan
PT Waskita Karya mempunyai dampak yang sangat serius tidak hanya bagi perusahaan
tetapi bagi seluruh industri, bahkan bagi masyarakat dan perekonomian secara keseluruhan.
Kasus ini menyoroti pentingnya penerapan tata kelola perusahaan yang baik (GCG) dan
pentingnya transparansi, akuntabilitas dan keadilan dalam tata kelola perusahaan.

Membangun budaya perusahaan yang baik berdasarkan integritas, etika, dan


kepatuhan adalah hal yang penting. Selain itu, sistem pengendalian internal perusahaan perlu
ditingkatkan, serta peran auditor internal dan eksternal yang lebih aktif dalam mendeteksi
dan mencegah kecurangan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Tuanakotta, T. M. (2012). Forensic Accounting. Salemba Empat.
2. Arens, A. A., Elder, R. J., Beasley, M. S., & Hardanto, Y. (2020). Auditing and
Assurance Services: An Integrated Approach (17th ed.). Pearson.
3. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (n.d.). fraud.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/fraud.
4. I Gusti, I. K., Rama, R., & Wiyasa, P. D. (2018). Deteksi Fraud dengan Fraud
Triangle, Kode Etik, dan Model Kecerdasan Buatan. E-Jurnal Akuntansi Universitas
Udayana, 24(1), 151-172.
5. Association of Certified Fraud Examiners. (n.d.). ACFE Report to the Nations.
6. Liputan6. (2022, 25 Februari). BPKP Selesaikan Audit, Waskita Karya Terbukti
Manipulasi Laporan Keuangan. Diakses tanggal 29 Maret 2024.
https://www.liputan6.com/amp/5496177/bpkp-selesaikan-audit-waskita-karya-terbukti
-manipulasi-laporan-keuangan
7. Tempo. (2013, 20 Mei). Profil Waskita Karya: Sejarah dan Proyek Infrastrukturnya.
Diakses tanggal 29 Maret 2024, dari
https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/482656/profil-waskita-karya-sejarah-
dan-proyek-infrastrukturnya
8. Claessens, M., Djankov, S., & Lang, L. H. P. (2000). The separation of ownership and
control in East Asian corporations. Journal of Financial Economics, 58(1-2), 81-112.
9. Hillman, A. L., Zardkoohi, S., & Bierman, G. (1990). Corporate political strategies
and firm performance: Indications of firm-specific benefits from personal service in
the U.S. government. Strategic Management Journal, 11(6), 379-396
10. Knack, S., & Keefer, P. (1995). Institutions and economic performance: Cross-country
tests using alternative institutional measures. Economics & Politics, 7(3), 207-227.
11. Shleifer, A., & Vishny, R. W. (1997). A survey of corporate governance. The Journal
of Finance, 52(2), 737-783.

Anda mungkin juga menyukai