INTERNAL AUDIT
Kasus Audit Fraud PT Waskitha Karya (Persero) Tbk
Disusun oleh:
Kelompok 4 - Kelas P
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2024
PROFIL PERUSAHAAN
PT Waskita Karya merupakan perusahaan milik negara Indonesia yang fokus pada
sektor konstruksi. Perusahaan ini didirikan dengan menasionalisasi perusahaan Belanda
bernama Volker Aannemings Maatschappij N.V. Didirikan pada tahun 1961 dan berubah
menjadi perseroan terbatas pada tahun 1973. Mayoritas saham PT Waskita Karya (Persero)
Tbk dimiliki oleh Negara Republik Indonesia dengan porsi 66,04%.
Sesuai anggaran dasar perusahaan, PT Waskita Karya mempunyai bidang kegiatan
yang antara lain meliputi bidang konstruksi, manufaktur, persewaan, keagenan, penanaman
modal, agrobisnis, perdagangan, menunjang kebijakan dan program pemerintah di bidang
perekonomian wilayah dan nasional sektor pembangunan untuk peningkatan dalam sektor
jasa, konstruksi, teknologi informasi, pariwisata, pengembangan kapasitas. Saat ini, perseroan
fokus menggalakkan proyek konstruksi dan EPC (Engineering, Pengadaan, dan Konstruksi)
yang terintegrasi.
Dengan adanya manajemen baru, kinerja PT Waskita Karya terus meningkat. Hingga
tahun 2016, perusahaan terus mencatatkan peningkatan laba sebesar gambar dibawah ini:
1. Insentif (Tekanan) – Insentif yang sering dikutip oleh perusahaan karena terlibat
dalam manipulasi laporan keuangan adalah memburuknya prospek keuangan mereka.
Arens mendefinisikan tekanan sebagai suatu keadaan di mana karyawan atau
manajemen diberi insentif atau dipaksa untuk melakukan penipuan (fraud). Sebagai
contoh, ketika ada penurunan laba dalam suatu perusahaan, maka dapat mengancam
kebutuhan perusahaan akan biaya. Tentu sebagai perusahaan kita pastinya akan
melakukan segala cara agar perusahaan tersebut menjadi untung. Hal ini tidak
menutup kemungkinan cara yang digunakan itu bisa legal atau illegal. Jika illegal,
dapat disimpulkan perusahaan tersebut melakukan fraud dengan meningkatkan sales
ataupun menurunkan beban
2. Peluang (Opportunity) – Peluang atau kesempatan ini senantiasa dimanfaatkan
untuk membenarkan aktivitas penipuan. Tuanakotta (2012) mendefinisikan peluang
sebagai keadaan dan kondisi yang memungkinkan individu untuk terlibat dalam
kegiatan kecurangan. Faktor ini melibatkan kurangnya pengawasan, kontrol internal
yang lemah, atau celah dalam sistem keamanan suatu organisasi. Adanya peluang
yang memungkinkan seseorang melakukan kecurangan tanpa mudah terlihat dapat
memicu keinginan untuk mengeksploitasi situasi tersebut. Sebagai contoh, bagi
perusahaan dagang, salah satu akun yang paling besar dalam risiko salah saji adalah
persediaan. Risiko ini akan naik bila persediaan tersebut rusak. Oleh karena itu,
sebagai akuntan harus berhati-hati dalam mencatat persediaan dalam suatu perusahaan
3. Rasionalisasi (Rationalization) – Rasionalisasi menjadi elemen kunci dalam kasus
kecurangan karena pelaku mencari pembenaran atau alasan moral untuk tindakan
curang yang mereka lakukan. I Gusti, dkk (2018) menyatakan bahwa pembenaran ini
bisa terjadi saat pelaku merasa berhak mendapatkan sesuatu yang lebih seperti posisi,
gaji dan promosi atau pelaku mengambil sebagian keuntungan dari perusahaan.
Rasionalisasi ini membantu pelaku mengatasi rasa bersalah atau konflik moral yang
mungkin muncul. Sebagai contoh, rasionalisasi bahwa saya telah memberikan
kontribusi besar pada perusahaan, jadi ini adalah cara untuk mendapatkan kompensasi
yang seharusnya saya dapatkan.
Berdasarkan buku Auditing and Jasa Assurance oleh Arens, terdapat dua kategori
utama terkait dengan fraud:
1. Pelaporan Keuangan yang Curang – Pelaporan keuangan yang curang adalah salah
saji atau pengabaian jumlah atau pengungkapan yang disengaja dengan maksud
menipu para pemakai laporan keuangan itu. Sebagian besar kasus melibatkan salah
saji jumlah yang disengaja, bukan mengungkapkan. Biasanya jenis fraud ini dilakukan
oleh manajemen tingkat atas atau top management. Contohnya adalah perusahaan
Garuda yang mengakui pendapatan yang diterima di muka sebagai pendapat biasa
padahal belum melakukan jasa tersebut. Hal ini dilakukan karena adanya tekanan
karena rugi yang besar dihasilkan oleh penerbangan Garuda. Dampaknya dari
pengakuan tersebut adalah yang semulanya rugi langsung menjadi laba Oleh sebab
itu, dapat disimpulkan Garuda melakukan fraud tapi dalam hal pelaporan keuangan
yang curang. Dalam kasus lain, beberapa perusahaan menurunkan laba untuk
menekan pajak penghasilan. Perusahaan mungkin disengaja menurunkan laba ketika
laba itu tinggi untuk membentuk cadangan laba yang digunakan pada periode
mendatang. Praktik ini disebut income smoothing dan earnings management. Hal ini
juga termasuk salah satu pelaporan keuangan yang curang.
2. Penyalahgunaan aset – Penyalahgunaan adalah kecurangan yang melibatkan
pencurian aset kas dan/atau non-kas dalam suatu entitas untuk kepentingan pribadi.
Pencurian aset ini sering kali mengkhawatirkan manajemen karena pencurian yang
dilakukan bersifat kecil dan akhirnya akan semakin banyak seiring berjalannya waktu.
Jenis fraud ini biasanya dilakukan oleh employee atau manajemen tingkat bawah.
Menurut perkiraan Association of Certified Fraud Examiners, perusahaan rata-rata
kehilangan enam persen pendapatannya akibat fraud ini. Namun, penyalahgunaan aset
ini dapat dilakukan oleh manajemen puncak. Sebagai contoh, CEO yang melakukan
korupsi pada salah satu perusahaan dengan mencuri aset senilai lebih dari beberapa
ratus juta
PEMBAHASAN
Pelanggaran Yang Dilakukan
1. Overstated
Overstated adalah penipuan yang terjadi ketika perusahaan melaporkan pada
tingkat yang lebih tinggi dari yang sebenarnya. Secara umum, jika akun pengeluaran
dilebih-lebihkan, maka akan menyebabkan laba bersih diremehkan, dan sebaliknya,
jika akun pengeluaran dilebih-lebihkan, maka akan menyebabkan pendapatan lebih
tinggi.
Pengeluaran yang lebih kompleks sering kali berupa beban atau beban.
Mengumpulkan biaya-biaya padahal tidak diperlukan akan menyebabkan rendahnya
laporan pendapatan. Misalnya, jika akuntan mengakumulasikan beban bunga pada
akhir tahun dan ternyata beban bunga tersebut tidak seharusnya dibayar, maka hasil
bersihnya disajikan terlalu rendah. Demikian pula, biaya akuntansi yang tidak perlu
menyebabkan laba bersih dilebih-lebihkan..
Akrual terjadi ketika perusahaan menerima uang untuk produk atau jasa yang
belum dibuat atau diserahkan. Jika akuntan menunda pendapatan yang tidak perlu,
laba bersih pasti akan diremehkan. Laba ditahan berarti perusahaan telah mencatat
pendapatan, namun uangnya belum diterima. Jika tuntutan tidak perlu diajukan, laba
bersihnya terlalu tinggi.
Kesalahan saldo persediaan mempengaruhi akun harga pokok penjualan
(COGS) dan laba bersih. Akuntan menghitung COGS dengan menambahkan
pembelian inventaris ke saldo awal dan mengurangkan saldo akhir dari saldo akhir.
Jika nilai persediaan akhir dilebih-lebihkan (terlalu tinggi), berarti COGS diremehkan
dan laba bersih dilebih-lebihkan. Dampak sebaliknya adalah persediaan yang terlalu
banyak menyebabkan kesalahan pada saldo awal, yang berarti COGS dilebih-lebihkan
dan laba bersih diremehkan. dari.
Kesalahan dalam laporan laba rugi mungkin tidak mempengaruhi aset dan
liabilitas, tetapi ekuitas. Pada akhir periode pelaporan, akuntan melaporkan laba
bersih dalam laba ditahan. Laba ditahan merupakan keuntungan perusahaan dan
akumulasi ekuitas. Apabila laba bersih dilebih-lebihkan pada suatu periode tertentu,
maka saldo laba ditahan juga dijamin dilebih-lebihkan dan sebaliknya.
2. Peningkatan Dana (Mark-Up)
Dalam bisnis, peningkatan dana mengacu pada peningkatan nilai atau harga
suatu proyek, atau anggaran yang berlebihan untuk memperoleh lebih dari yang
diperlukan dari pinjaman bank. Selisih antara harga yang tertera pada invoice, invoice
atau nota dikurangi dengan nilai atau harga yang seharusnya dibayarkan merupakan
keuntungan yang dapat diambil oleh Kantor A. Proses ini disebut penandaan. dari.
Penyelesaian Kasus
Manipulasi laporan keuangan merupakan suatu tindakan kriminal yang dapat
merugikan banyak orang dan juga merugikan nama baik perusahaan. Pengolahan laporan
keuangan pastinya membutuhkan seorang akuntan. Audit yang dilakukan auditor diharapkan
dapat memperkuat keandalan laporan keuangan perusahaan dibandingkan membantu
perusahaan melakukan kecurangan atau menyembunyikan kecurangan internal. Kasus itu
juga melibatkan auditor internal dan eksternal PT Waskita Karya.
Kementerian BUMN memberhentikan dua direktur dan satu mantan direktur PT
Waskita Karya karena pembukuan berlebihan antara tahun 2004 dan 2007. Dua pimpinan PT
Waskita Karya yang ditangkap adalah Bambang Marsono dan Triatman. Sementara salah satu
mantan pengelola PT Waskita Karya yang dinonaktifkan adalah Kiming Marsono yang kini
menjabat CEO PT Nindya Karya. Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil juga mengirimkan
surat kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terkait sanksi terhadap auditor yang
diduga terlibat dalam evaluasi laporan keuangan PT Waskita Karya. Berdasarkan surat yang
dikirimkan Menteri BUMN, Menteri Keuangan akhirnya memutuskan untuk membekukan
beberapa KAP terkait penipuan PT Waskita Karya.
Selain itu, dengan memperkuat penerapan tata kelola perusahaan yang baik (GCG),
maka penerapan tata kelola perusahaan yang baik (GCG) memegang peranan yang sangat
penting dalam penerapan etika bisnis. Pada hakikatnya etika bisnis bukan lagi menjadi
kewajiban para pebisnis, melainkan sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi. Oleh karena itu,
dapat diasumsikan bahwa prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG) telah
dilanggar dalam kasus ini:
1. Transparency – Secara sederhana dapat diartikan sebagai kebutuhan akan informasi.
Dalam menerapkan prinsip ini, perusahaan harus memberikan informasi yang cukup,
akurat dan tepat waktu kepada seluruh pemangku kepentingannya. Informasi yang
diberikan meliputi keadaan keuangan perusahaan, kinerja keuangan, pemilik dan
manajemen. Namun dalam teknis laporan keuangan yang dibuat oleh direksi
sebelumnya, mereka lupa akan tugasnya (tidak bertanggung jawab) sebagai sebuah
profesi. Jika transparansi ini diterapkan agar pemegang saham dan orang lain
mengetahui status perusahaan, maka nilai pemegang saham dapat meningkat..
2. Accountability (akuntabilitas) – Akuntabilitas berarti kejelasan tanggung jawab atas
operasi, struktur, sistem dan elemen perusahaan. Dalam hal ini, direksi sebelumnya
bertindak sedemikian rupa sehingga tidak bertanggung jawab kepada perseroan dan
direktur tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
3. Responsibility (pertanggungjawaban) – Salah satu pertanggungjawaban perusahaan
yaitu kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku dalam perusahaan, diantaranya:
a. Masalah berkaitan pajak
b. Suatu hubungan industrial, kesehatan, dan keselamatan kerja
c. Perlindungan terhadap lingkungan hidup
d. Memelihara lingkungan bisnis yang baik dan tertib
Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab pada PT Waskita Karya
diharapkan perusahaan memahami bahwa perusahaan juga mempunyai tanggung
jawab terhadap pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya dalam kegiatan
operasionalnya.
4. Independency (kemandirian) – Prinsip ini mewajibkan agar setiap perusahaan yang
dikelola secara profesional tidak saling berbenturan kepentingan dan tanpa tekanan
maupun campur tangan dari pihak manapun. Dalam hal ini pihak manajer dan audit
eksternal bersama-sama melanggar peraturan yang berlaku di perusahaan. Oleh sebab
itu, direksi dan audit internal harus bertanggung jawab atas pekerjaan yang
dilakukannya untuk menjaga kepercayaan terhadap perusahaan.
5. Fairness (kesetaraan dan kewajaran) – Prinsip ini mewajibkan untuk memberlakukan
secara adil seluruh pelaksanaan hak subjek data berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Penerapan prinsip ini di akan melarang praktik
internal memalukan dan merugikan pihak lain.
Dalam hal ini, manajer dan auditor eksternal melanggar peraturan perusahaan yang
berlaku dan harus dihukum sesuai hukum yang berlaku. Misalnya, prinsip tata kelola
perusahaan yang baik (GCG) mencerminkan etika bisnis yang dapat memenuhi keinginan
seluruh pemangku kepentingan. Etika bisnis yang baik dan sehat adalah kunci bagi
perusahaan untuk bertahan dalam segala ketidakstabilan keuangan.
Sistem pengendalian internal yang dimiliki BUMN masih lemah dan upaya yang
dilakukan belum sampai pada tahap preventif. Pendekatan GCG yang berorientasi pada
kepatuhan harus ditinggalkan dan digantikan dengan penerapan GCG sebagai budaya
perusahaan. GCG harus menjadi suatu sistem, struktur dan budaya yang tidak terpisah satu
sama lain. Langkah selanjutnya adalah menerapkan dan memperkuat sistem pengendalian
internal serta kebijakan whistleblowing dan implementasinya. Kebijakan pelapor ini sangat
membantu dalam mendeteksi penipuan.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa skandal pemalsuan laporan keuangan
PT Waskita Karya mempunyai dampak yang sangat serius tidak hanya bagi perusahaan
tetapi bagi seluruh industri, bahkan bagi masyarakat dan perekonomian secara keseluruhan.
Kasus ini menyoroti pentingnya penerapan tata kelola perusahaan yang baik (GCG) dan
pentingnya transparansi, akuntabilitas dan keadilan dalam tata kelola perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tuanakotta, T. M. (2012). Forensic Accounting. Salemba Empat.
2. Arens, A. A., Elder, R. J., Beasley, M. S., & Hardanto, Y. (2020). Auditing and
Assurance Services: An Integrated Approach (17th ed.). Pearson.
3. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (n.d.). fraud.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/fraud.
4. I Gusti, I. K., Rama, R., & Wiyasa, P. D. (2018). Deteksi Fraud dengan Fraud
Triangle, Kode Etik, dan Model Kecerdasan Buatan. E-Jurnal Akuntansi Universitas
Udayana, 24(1), 151-172.
5. Association of Certified Fraud Examiners. (n.d.). ACFE Report to the Nations.
6. Liputan6. (2022, 25 Februari). BPKP Selesaikan Audit, Waskita Karya Terbukti
Manipulasi Laporan Keuangan. Diakses tanggal 29 Maret 2024.
https://www.liputan6.com/amp/5496177/bpkp-selesaikan-audit-waskita-karya-terbukti
-manipulasi-laporan-keuangan
7. Tempo. (2013, 20 Mei). Profil Waskita Karya: Sejarah dan Proyek Infrastrukturnya.
Diakses tanggal 29 Maret 2024, dari
https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/482656/profil-waskita-karya-sejarah-
dan-proyek-infrastrukturnya
8. Claessens, M., Djankov, S., & Lang, L. H. P. (2000). The separation of ownership and
control in East Asian corporations. Journal of Financial Economics, 58(1-2), 81-112.
9. Hillman, A. L., Zardkoohi, S., & Bierman, G. (1990). Corporate political strategies
and firm performance: Indications of firm-specific benefits from personal service in
the U.S. government. Strategic Management Journal, 11(6), 379-396
10. Knack, S., & Keefer, P. (1995). Institutions and economic performance: Cross-country
tests using alternative institutional measures. Economics & Politics, 7(3), 207-227.
11. Shleifer, A., & Vishny, R. W. (1997). A survey of corporate governance. The Journal
of Finance, 52(2), 737-783.