Anda di halaman 1dari 22

Kesantunan Berbahasa Perspektif Islam: Tinjauan Teoritis

Abstrak: Masih terdapat kritik atas ragam prinsip kesantunan berbahasa yang dikaji
oleh ilmuwan Barat sehingga ilmuwan Islam mencoba menawarkan alternatif baru
prinsip kesantunan berdasarkan Al-Qur'an. Namun ternyata kajian itu masih bersifat
uraian saja, belum terdapat kejelasan hubungan-kedudukan antarprinsip kesantunan
yang diproposisikan. Juga paradigma yang mendasari prinsip-prinsip itu masih belum
terjelaskan. Sehingga standar santun/tidaknya suatu bahasa masih sulit didefinisikan
dan diterapkan dalam dakwah atau komunikasi sehari-hari. Penelitian ini bertujuan
menjelaskan paradigma yang mendasari teori kesantunan berbahasa perspektif Islam
serta menjelaskan kedudukan dan hubungan antarprinsip kesantunan itu agar tidak
tumpang tindih. Metode integrative literature review digunakan untuk mengkaji teori-
teori kesantunan berbahasa yang telah terpublikasi dan diuji transferabilitas
berdasarkan kasus berbeda. Kajian ini menyimpulkan qawlan sadīdā sebagai prinsip
kesantunan utama yang berkedudukan sebagai “substansi” isi pesan. Hal ini
menunjukkan bahwa teori kesantunan perspektif islam menggunakan paradigma
theological, berbeda dengan perspektif Barat yang menekankan paradigma
social/conversational. Sedangkan prinsip lain seperti qawlan ma’rūfā, layyinā,
maysūrā, karīmā, dan balīghā; merupakan prinsip kesantunan penunjang yang
bersifat opsional karena berkedudukan sebagai "kemasan" pesan. Derajat kesantunan
dalam prinsip penunjang dapat disesuaikan dengan paradigma yang telah
berkembang, sehingga kelebihan pada kesantunan perspektif Barat dapat digunakan
pada prinsip yang bersifat kemasan sejauh disesuaikan dengan kondisi
pragmatik/sosiolinguistik.
Kata kunci: Linguistik, Kesantunan, Bahasa, Islam, Kajian Teoretis

Abstract: There is still criticism of the various politeness principles studied by western
scientists so that Islamic scientists try to offer new alternatives to politeness principles
based on the Qur'an. However, it turns out that the study is still only descriptive in
nature, there is no clarity about the relationship between the proposed politeness
principles. Also the paradigm underlying the principles is still not explained. So that the
standard of politeness or not in a language is still difficult to define and apply in da'wah
or daily communication. This study aims to explain the paradigm that underlies the
theory of politeness in an Islamic perspective and explain the position and relationship
between the politeness principles so that they do not overlap. The integrative literature
review method is used to examine theories of language politeness that have been
published and tested for transferability based on different cases. This study concludes
that qawlan sadīdā is the main principle of politeness which has a position as the
"substance" of the message content. This shows that the Islamic perspective of
politeness theory uses a theological paradigm, in contrast to the western perspective

Volume 1 No.01 2023 | 1


Muhammad Hildan Azizi

which emphasizes the social/conversational paradigm. While other principles such as


qawlan ma'rufā, layyinā, maysūrā, karīmā, and balighā; is a supporting politeness
principle that is optional because it is positioned as a "packaging" of messages. The
degree of politeness in supporting principles can be adapted to the paradigm that has
developed, so that the advantages of politeness from a western perspective can be used
in packaging principles as long as they are adapted to pragmatic/sociolinguistic
conditions.
Keywords: Linguistics, Politeness, Language, Islam, Theoretical Review

Pendahuluan berkembang luas di Amerika maupun


Dakwah adalah kegiatan menyeru kepada Eropa. Perkembangan awal teori
jalan Allah berdasarkan Al-Qur’an dan kesantunan banyak berfokus pada
hadis. Dakwah harus dilakukan dengan investigasi norma kesantunan pada
santun melalui hikmah pengajaran yang budaya yang berbeda sebagai dasar dalam
baik atau jika dalam bentuk debat maka mendefinisikan kesantunan.4 Paradigma
berbantah yang baik pula.1 Lebih-lebih the social norm view menjadi dasar
Islam merupakan agama yang rahmatan lil teoritisasi prinsip kesantunan berbahasa.
alamin, yakni suatu ajaran yang Suatu paradigma yang mengasumsikan
seharusnya bisa memberi berkah bagi bahwa setiap masyarakat akan memiliki
seluruh umat manusia, tak seperangkat norma sosial yang
mengkhususkan pada umat Islam saja.2 menentukan derajat kesantunan perilaku
Bahkan secara umum, komunikasi juga atau cara berpikir tertentu dalam suatu
harus dilakukan dengan santun agar dapat konteks. Sehingga derajat kesantunan
berjalan efektif. Sebab kesantunan akan sangat variatif bergantung konteks
merupakan salah satu faktor yang masyarakat masing-masing.5
memengaruhi efektivitas komunikasi
dalam bentuk dan konteks apapun.3 Paradigma norma sosial itu mendapat
Sebagai suatu adjektiva, indikator kritik karena membatasi standar
kesantunan masih sangat mungkin untuk kesantunan berdasarkan norma dalam
dikaji dan diperdebatkan. suatu masyarakat yang menjadikan
definisi santun semakin relatif.
Dalam kajian ilmu linguistik, teoretisasi Perkembangan lanjut mengenai kajian
tentang kesantunan berbahasa telah teori kesantunan mulai mencoba

1
Indrawati Indrawati, “Santun Berbahasa Dalam 7, 2018): 1–14, https://jurnal.univpgri-
Dakwah,” Jurnal Dakwah Dan Kemasyarakatan 14, no. palembang.ac.id/index.php/prosiding/article/view/15
1 (2015): 45–51, 71; Yuliana Febri Yornai Yonsa, “Menjalin Hubungan
https://doi.org/10.19109/wardah.v14i1.246. Sosial Melalui Kesantunan Berbahasa,” Sarasvati:
2
Hendra Bagus Yulianto, “Nalar Kemanusiaan Dalam Bahasa, Sastra Dan Pengajarannya 2, no. 1 (June 26,
Da’wah Multikultural: Upaya Memformulasikan Pesan 2020): 72, https://doi.org/10.30742/sv.v2i1.862.
Dakwah Humanis,” Jurnal Darussalam: Jurnal 4
Richard J. Watts, “Linguistic Politeness Research: Quo
Pendidikan, Komunikasi Dan Pemikiran Hukum Islam XII, Vadis?,” in Politeness in Language, ed. Richard J. Watts,
no. 1 (September 22, 2020): 72–92, Sachiko Ide, and Konrad Ehlich, 2nd ed. (Berlin: Walter
https://doi.org/10.30739/DARUSSALAM.V12I1.1183. de Gruyter GmbH & Co, 2005), xi–xlvii.
3
Achmad Wahidy, “Cerdas Dan Cermat Berbahasa 5
Bruce Fraser, “Perspectives on Politeness,” Journal of
Cermin Pribadi Bangsa Bermartabat: Perilaku Santun Pragmatics 14, no. 2 (April 1990): 219–36,
Berbahasa,” Jurnal Dosen Universitas PGRI … 17 (April https://doi.org/10.1016/0378-2166(90)90081-N.

2 | Bil Hikmah: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam


Kesantunan Berbahasa Perspektif Islam: Tinjauan Teoritis

mengklaim validitas universal dari seluruh Hingga para peneliti timur, khususnya
ragam budaya untuk menjadi satu standar ilmuwan muslim menawarkan alternatif
kesantunan yang baku. 6
baru atas prinsip kesantunan berbahasa
berdasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis.
Teori klasik kesantunan itu mulai
berkembang ke dalam berbagai bentuk Prinsip kesantunan berbahasa
dasar paradigma. Misalnya seperti berdasarkan tinjauan Al-Qur’an yang
paradigma the conversational maxim view diproposisikan di antaranya: a) qawlan
yang melandasi Grice dalam menyusun sadīdā, perkataan yang benar; b) qawlan
Cooperative Principle (CP), yang oleh Lakoff ma’rūfā, perkataan yang baik; c) qawlan
konstruksi ulang menjadi Rule of Politeness, layyinā, perkataan yang lemah-lembut; d)
hingga Leech perbaharui struktur qawlan karīmā, perkataan yang mulia; e)
taksonominya menjadi Politeness Principle qawlan balīghā, perkataan yang
(PP). Juga terdapat paradigma the membekas; f) qawlan maysūrā, perkataan
conversational-contract view yang yang pantas, g) qawlan tsaqīlā, perkataan
merupakan tawaran alternatif atas yang berat.9 Prinsip kesantunan itu
kekurangan paradigma norma sosial diharapkan bisa menjadi standar
dengan menawarkan standar kesantunan kesantunan baku yang harusnya
berdasarkan kesepakatan antarpelaku diterapkan dalam setiap bentuk
komunikasi. Hingga paradigma yang cukup komunikasi.
dikenal adalah Face Saving Act (FSA) yang
disusun oleh Brown and Levinson dengan Namun prinsip-prinsip itu hanya
mengasumsikan bahwa kesantunan dipaparkan secara deskriptif berdasarkan
adalah upaya menjaga marwah pengirim pada teks sebagaimana tertulis dalam Al-
dan penerima pesan. 7
Qur’an. Padahal di balik teks-teks itu
Namun sayangnya, tidak ada konsistensi terdapat latar belakang pragmatik
atas definisi kesantunan antarpeneliti. Juga maupun sosiolinguistik yang
adapula kasus di mana peneliti gagal melingkupinya. Sehingga transferabilitas
mendefinisikan tentang kesantunan masing-masing prinsip kesantunan yang
secara eksplisit, sehingga semakin diajukan masih dapat dipertanyakan
membuat rancu akan definisi kesantunan penerapan penggunaan bahasanya dalam
itu sendiri. Paradigma-paradigma baru dakwah maupun kehidupan sehari-hari
atas standar kesantunan dalam teori klasik secara universal.
Barat itu masih belum juga dapat
mendefinisikan kesantunan secara tegas.8

6
Mohsen Shahrokhi and Farinaz Shirani Bidabadi, “An Bahasa UMS 2013, 2013, 325–53; St Mislikhah,
Overview of Politeness Theories: Current Status, “Kesantunan Berbahasa,” Ar-Raniry, International
Future Orientations,” American Journal of Linguistics 2, Journal of Islamic Studies 01, no. 02 (2014): 285–96,
no. 2 (2013): 17–27, https://doi.org/10.20859/jar.v1i2.18; Rusdi Room,
https://doi.org/10.5923/j.linguistics.20130202.02. “Konsep Kesantunan Berbahasa Dalam Islam,” Jurnal
7
Watts, “Linguistic Politeness Research: Quo Vadis?” Adabiyah 13, no. 02 (2013): 223–34, http://journal.uin-
8
Shahrokhi and Bidabadi, “An Overview of Politeness alauddin.ac.id/index.php/adabiyah/article/view/384/
Theories: Current Status, Future Orientations.” pdf_29.
9
Nafron Hasjim, “Kesantunan Berbahasa Dalam
Islam,” Prosiding Seminar Nasional Magister Pengkajian

Volume 1 No.01 2023 | 3


Muhammad Hildan Azizi

Selain itu belum ada penjelasan eksplisit pengetahuan dan penerapan atas hasil
mengenai hubungan antarprinsip studi yang signifikan.10 Literatur-literatur
kesantunan yang diajukan. Apakah semua ilmiah terpublikasi mengenai teori
prinsip itu harus diterapkan dalam setiap kesantunan baik perspektif Barat maupun
komunikasi? Sehingga tidak digunakannya Islam menjadi sumber data, mulai dari
satu prinsip saja, maka dapat tulisan peneliti langsung sebagai data
memengaruhi derajat kesantunan bahasa primer, maupun peneliti lain yang
yang digunakan? Atau ada fungsi dan mengkaji teori-teori utama kesantunan
kedudukan tertentu antarprinsipnya bahasa sebagai data sekunder. Analisis
dalam memengaruhi derajat kesantunan dilakukan dalam dua tahap; pertama,
suatu bahasa? Hal ini sebaiknya dapat critical analysis of the studies, dengan
dikaji lebih lanjut agar teori kesantunan merekonstruksi ulang kondisi pragmatik
bahasa itu bisa lebih dapat diterapkan dan sosiolinguistik di balik teks-teks Al-
dalam dakwah maupun kehidupan sehari- Qur’an yang menjadi dasar munculnya
hari. prinsip-prinsip kesantunan bahasa
perspektif Islam; kedua, discussion of
Oleh karena itu, kajian ini coba menjawab results and presentation of the integrative
pertanyaan-pertanyaan yang masih belum review, dengan mengkaji hubungan
dapat terjelaskan dalam prinsip antarprinsip kesantunan berbahasa itu
kesantunan berbahasa berdasarkan berdasarkan pada analisis kasus negatif
perspektif Islam. Tujuan kajian ini adalah yang relevan serta transferabilitas kasus
mengkaji ulang mengenai paradigma yang yang berbeda.11 Laporan disusun
digunakan dalam teori kesantunan berdasarkan kaidah integrative review.12
berbahasa perspektif Islam serta
mendudukkan hubungan antarprinsip
kesantunan itu agar tidak tumpang tindih Kesantunan Berbahasa
dalam penerapannya. Selain itu juga Kesantunan berasal dari kata santun yang
diharapkan dapat mendudukkan secara etimologi berarti halus dan baik
paradigma yang digunakan dalam teori (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar
kesantunan perspektif Islam dengan dan tenang; sopan; penuh rasa belas
perspektif Barat agar jelas historisitas kasihan; suka menolong.13 Kesantunan
perkembangan teorinya. tidak bisa muncul di dalam ruang hampa.
Kesantunan merupakan nilai budaya yang
Integrative review menjadi metode berkembang di tengah masyarakat.
penelitian dalam kajian ini. Suatu Kesantunan merupakan hasil proses sosial
metodologi yang menyediakan sintesis

10
Marcela Tavares de Souza, Michelly Dias da Silva, 12
Richard J. Torraco, “Writing Integrative Literature
and Rachel de Carvalho, “Integrative Review: What Is Reviews,”
It? How to Do It?,” Einstein (São Paulo) 8, no. 1 (March Http://Dx.Doi.Org/10.1177/1534484316671606 15, no. 4
2010): 102–6, https://doi.org/10.1590/S1679- (October 25, 2016): 404–28,
45082010RW1134. https://doi.org/10.1177/1534484316671606.
11
Matthew A. Cronin and Elizabeth George, “The Why 13
“Arti Kata - Santun,” Badan Pengembangan dan
and How of the Integrative Review,” Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan,
Https://Doi.Org/10.1177/1094428120935507, July 6, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia,
2020, https://doi.org/10.1177/1094428120935507. 2016, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/santun.

4 | Bil Hikmah: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam


Kesantunan Berbahasa Perspektif Islam: Tinjauan Teoritis

dan pembinaan sosial budaya dan sejarah kesantunan perilaku atau cara berpikir
suatu bangsa. 14
tertentu dalam suatu konteks. Sehingga
derajat kesantunan akan sangat variatif
Bahasa merupakan alat komunikasi untuk bergantung konteks masyarakat masing-
menyampaikan maksud penutur kepada masing, tidak bisa ditetapkan suatu
audiensnya. Sebagai sebuah alat, bahasa rumusan baku atas nilai kesantunan
bisa digunakan secara tepat, namun juga berbahasa.17
bisa tidak sesuai penggunaannya.
Penggunaan bahasa yang tepat Kedua, paradigma the conversational maxim
menjadikan komunikasi efektif/berhasil, view mengasumsikan bahwa derajat
sedangkan kekeliruan penggunaan bahasa kesantunan berada dalam percakapan itu
menjadikan komunikasi tidak sendiri. Ada beberapa teori yang masyhur
efektif/gagal. 15
dalam pandangan ini. Grice's Cooperative
Principle (CP) yang mengkonseptualisasi
Kesantunan dapat menjadi salah satu prinsip kesantunan didasarkan pada:
faktor yang menyebabkan penggunaan kuantitas, say as much and no more than
bahasa menjadi kurang tepat guna necessary; kualitas, say what is true;
sehingga menghasilkan kegagalan relevansi, say what is relevant; tata krama,
komunikasi. Pilihan kata, susunan frasa say in a non-confusing way. Lakoff's Rule of
dan kalimat; memungkinkan bertentangan Politeness yang mengkonseptualisasi
dengan nilai-nilai kesantunan. Bahasa prinsip kesantunan didasarkan pada: be
yang tak santun pada akhirnya dapat clear (serupa dengan Grice CP); be polite,
menimbulkan kesalahpahaman, don't impose, give options, dan make a feel
penolakan, bahkan memungkinkan hingga good/be friendly. Leech's Politeness Principle
sampai konflik dan konfrontasi. 16
(PP) yang mengasumsikan bahwa setiap
Para ahli linguistik Barat telah tindak tutur memiliki derajat kesantunan
mengembangkan prinsip-prinsip intrinsik, sehingga yang perlu diukur bukan
kesantunan berbahasa yang diharapkan dari bentuk tindak tuturnya melainkan
dapat menjadi acuan dalam unsur ekstrinsik atas tindak tuturnya
berkomunikasi. Setidaknya terdapat dengan mempertimbangkan skala
empat paradigma yang cukup masyhur opsionalitas, indirectness, otoritas, dan
dalam kajian kesantunan di kalangan ahli social distance. Sehingga Leech
Barat. mengkonseptualisasikan prinsip
kesantunan berdasarkan enam maksim, di
Pertama, paradigma the social norm view antaranya (1) tact maxim, minimize
yang mengasumsikan bahwa setiap cost/maximize cost to other; (2) generosity
masyarakat akan memiliki seperangkat maxim, mininmize benefit/maximize cost to
norma sosial yang menentukan derajat self; (3) approbation maxim, minimize

14
Sri Minda Murni, Kesantunan Linguistik, 1st ed. Journal 1, no. 1 (January 30, 2022): 1–10,
(Medan: Unimed Press, 2013), https://doi.org/10.35335/kampret.v1i1.8.
http://digilib.unimed.ac.id/id/eprint/1610. 16
Rusdi Room, “Konsep Kesantunan Berbahasa
15
Okarisma Mailani et al., “Bahasa Sebagai Alat Dalam Islam.”
Komunikasi Dalam Kehidupan Manusia,” Kampret 17
Fraser, “Perspectives on Politeness.”

Volume 1 No.01 2023 | 5


Muhammad Hildan Azizi

dispraise/maximize praise of other; (4) adalah bahasa yang mampu memelihara


modesty maxim, minimize praise/maximize marwah positif penutur maupun mitra
dispraise to self; (5) agreement maxim, tuturnya. Beberapa strategi berbahasa
minimize disagremeent/maximize agreement santun menurut paradigma ini di
between self and other; (6) sympathy maxim, antaranya, (1) bald on-record,
minimize antipathy/maximize sympathy menyampaikan sesuatu apa adanya yang
between self and other. 18
biasanya digunakan karena kebutuhan
efisiensi; (2) off record, tidak menggunakan
Ketiga, paradigma the conversational- kata-kata secara langsung tapi hanya
contract view yang memiliki kemiripan memberi petunjuk-petunjuk tak langsung;
dengan the social norm view, namun (3) on-record positive politeness dengan
terdapat perbedaan pada konteksnya. membuat mitra tutur nyaman menjadi
Bahwa Conversational-Contract (CC) dirinya, sesuai dengan minatnya, dsb; (4)
mengasumsikan antarpartisipan on-record negative politeness dengan
komunikasi telah memiliki ekspektasi atas menghindari upaya-upaya pemaksaan
proses dan hasil dari suatu komunikasi, yang berisiko marwah mitra tutur menjadi
sehingga masing-masingnya memiliki terancam.20
kesempatan untuk negosiasi ulang atas
kedudukan hak dan kewajiban masing- Kebiasan konsep kesantunan berbahasa
masing pihak dalam proses komunikasi. seperti yang dikonstruksi oleh paradigma
Sehingga derajat kesantunan bahasa norma sosial dan kontrak percakapan, juga
sangat bergantung pada hasil dari kepragmatisan kesantunan sebagaimana
negosiasi antarpihak yang terlibat dalam dalam paradigma maksim percakapan,
komunikasi, sejauh tidak melanggar hasil atau kesantunan yang terlalu individualis
negosiasi antarpihak maka masih sebagaimana paradigma penyelamatan
dianggap santun. 19
marwah;21 maka ahli dari Islam mencoba
menawarkan alternatif baru mengenai
Keempat, paradigma Brown and Levinson’s konsep kesantunan yang terkandung
face-saving view yang memiliki anggapan dalam Al-Qur’an. 22
Mengasumsikan bahwa
bahwa setiap pelaku komunikasi, baik firman Allah yang terkandung dalam Al-
penutur maupun mitra tutur, memiliki Qur’an merupakan suatu kebenaran yang
marwah positif yang harus dijaga dalam harus diikuti oleh umat manusia agar bisa
komunikasi atau tidak ingin citranya menjadi rahmat bagi semesta alam.23
menjadi negatif. Sehingga paradigma ini Sehingga ketika terdapat prinsip-prinsip
beranggapan bahwa bahasa yang sopan kesantunan berbahasa yang diajarkan di

18
Fraser. “Konseptualisasi Amalan Kesantunan Berbahasa
19
Fraser. Menurut Al-Qur’an,” Jurnal Masyarakat Islam Dan
20
Fraser. Kontemporari 20, no. 1 (2019): 65–81,
21
Shahrokhi and Bidabadi, “An Overview of Politeness https://journal.unisza.edu.my/jimk/index.php/jimk/a
Theories: Current Status, Future Orientations.” rticle/view/315.
22
Mahmoud A. Al-Khatib, “Politeness in the Holy 23
Sri Aliyah, “Bukti Kebenaran Al-Quran,” Jurnal Ilmu
Quran: A Sociolinguistic and Pragmatic Perspective,” Agama : Mengkaji Doktrin, Pemikiran, Dan Fenomena
Intercultural Pragmatics 9, no. 4 (January 27, 2012): Agama 16, no. 02 (2016): 103–17,
479–509, https://doi.org/10.1515/ip-2012-0027; Ku http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/JIA/article/vi
Zaimah Che Ali and Mardzelah Makhsin, ew/511.

6 | Bil Hikmah: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam


Kesantunan Berbahasa Perspektif Islam: Tinjauan Teoritis

dalamnya, maka komunikasi akan dapat


berlangsung efektif. 1. Prinsip Qawlan Sadīdā sebagai
Indikator Bahasa Santun
Berdasarkan pada penelusuran atas kata Beberapa kajian linguistik mendasarkan
“qawlan” atau “perkataan” yang prinsip itu pada dua ayat dalam Al-Qur’an,
terkandung dalam Al-Qur’an, terdapat yakni Q.S. [4]:9 dan Q.S. [33]:70 di mana
beberapa prinsip kesantunan berbahasa teks qawlan sadīdā berada pada akhir
yang banyak dikemukakan para ilmuwan masing-masing ayat. Berdasarkan hal itu,
islam, di antaranya adalah qawlan sadīdā, disimpulkan bahwa perkataan yang
qawlan ma’rūfā, qawlan layyinā, qawlan santun adalah perkataan yang benar25,
maysūrā, qawlan karīmā, qawlan balīghā, atau ada yang mengartikannya sebagai
dan qawlan tsaqīlā. Sedangkan di sisi lain, menggunakan kata yang benar.26 Kedua
terdapat tiga prinsip ketidaksantunan definisi itu memiliki perbedaan makna
berbahasa yang dikemukakan para yang signifikan. Jika definisi pertama
ilmuwan Islam, di antaranya adalah qawlan menekankan pada kebenaran isi
aẓīmā, qawlan az-zūrr, dan qawlan informasi, sedangkan definisi kedua
munkar. 24
menekankan pada ketepatan pilihan kata
terlepas kebenaran informasi.

Prinsip Kesantunan Berbahasa Kajian mengenai pragmatik dan


sosiolinguistik di balik makna “perkataan
Perspektif Islam
yang benar” dapat mengulik definisi
Berikut ini adalah perspektif baru
sebenarnya atas prinsip ini. Pertama,
mengenai prinsip-prinsip itu yang tidak
dalam Q.S. [4]:9, merujuk pada ayat
hanya berdasarkan definisi tekstual saja,
sebelum dan setelahnya yakni ayat ke-5
melainkan pula kondisi pragmatik dan
hingga ke-10, ayat ke-9 ini berkaitan erat
sosiolinguistik di balik teks-teks tersebut.
dengan situasi di mana terdapat seorang
Sehingga bisa ditemukan hubungan antar
wali yang memegang harta warisan milik
prinsip dan penerapannya dalam berbagai
anak-anak yatim. Wali ini memiliki hak
macam komunikasi, serta bisa ditemukan
untuk mengelola harta anak yatim itu
kedudukan antara prinsip kesantunan
sampai si anak yatim menikah atau
berbahasa perspektif Islam dengan
mampu mengelola hartanya sendiri.
paradigma ahli Barat yang telah
Dengan harapan, harta warisan milik anak
berkembang sejauh ini.

24
Hasjim, “Kesantunan Berbahasa Dalam Islam”; 25
Hasjim, “Kesantunan Berbahasa Dalam Islam”;
Nurul Ashiqin Jaafar and Fariza Md Sham, “Language Rusdi Room, “Konsep Kesantunan Berbahasa Dalam
Politeness and Etiquette on Social Media From the Islam.”
Islamic Perspective : An Observation” 27, no. 02 26
W. A. Wan Ahmad and M. Z. A. Ahmad Fazullah,
(2022): 108–15, http://al- “Conceptual Model of Communication Politeness
qanatir.com/aq/article/view/527; Rusdi Room, Based on Quranic Rhetoric and Pshycology,” in
“Konsep Kesantunan Berbahasa Dalam Islam”; Wan Proceedings of the 7th International Conference on
Azura Wan Ahmad and Ahmad Fazullah M.Z.A, Quran as Foundation of Civilization (SWAT 2021)
“Conceptual Model Of Communication Politeness (Universiti Sains Islam Malaysia, 2021), 102–14,
Based On Quranic Rhetoric And Pshycology,” https://oarep.usim.edu.my/jspui/handle/123456789/
accessed February 2, 2023, 14273.
http://localhost:8080/jspui/handle/123456789/14273
.

Volume 1 No.01 2023 | 7


Muhammad Hildan Azizi

yatim itu tetap dapat digunakan untuk 70 memerintah bagi orang yang beriman
memenuhi kebutuhan si anak yatim untuk mengatakan hal-hal yang benar.
sampai kelak siap mengelola hartanya
sendiri. Namun ketika anak yatim itu Berdasarkan paparan itu, maka ‘perkataan
dianggap telah siap mengelola hartanya yang benar’ juga dapat dipahami sebagai
sendiri, maka wali yang memegang harta menyampaikan sesuatu apa adanya sesuai
warisnya berkewajiban berkata benar, dengan fakta, tidak dilebih-lebihkan dan
mana harta yang menjadi hak milik anak tidak dikurangkan sesuatu apapun. Orang-
yatim. orang kafir justru hendak menyalahkan
para pemimpin yang sebenarnya telah
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat memberi petunjuk yang benar, namun
dipahami pengertian perkataan yang karena mereka ingkar sehingga laknat
benar di antaranya adalah mengatakan menimpa mereka sendiri.
sesuatu sesuai kedudukan hak dan
kewajiban masing-masing orang, Sehingga jika qawlan sadīdā dijadikan salah
khususnya bagi pihak-pihak yang terkait satu prinsip kesantunan berbahasa, maka
langsung dengan interaksi yang terjadi. prinsip berkata yang benar bisa berbentuk
Wali yang memegang harta anak yatim mengatakan sesuatu sesuai dengan fakta
hanya memiliki hak untuk menyimpan dan atau sesuai dengan kedudukan hak dan
mengelola harta waris milik anak yatim. kewajiban. Begitu juga sebaliknya, jika
Jika anak yatim itu telah siap mandiri, maka berkata yang tidak benar, baik
wali berkewajiban mengatakan yang benar menyampaikan kebohongan atau tidak
tentang bagian hak milik anak yatim itu. sesuai dengan kedudukan hak-kewajiban,
Wali tidak boleh berbohong untuk maka termasuk bahasa yang tak santun.
merebut hak yang seharusnya milik anak
yatim. 2. Prinsip Qawlan Ma’rūfā sebagai
Indikator Bahasa Santun
Kedua, dalam Q.S. [33]:70, berdasarkan Beberapa kajian linguistik mendasarkan
pada runutan ayat-ayat sebelumnya, dapat prinsip itu pada empat ayat dalam Al-
dipahami bahwa terdapat orang-orang Qur’an, yakni Q.S. [2]:235-236, Q.S. [4]:5
kafir yang mempertanyakan hari kiamat dan Q.S. [4]:8, serta Q.S. [33]:32 di mana
kepada Nabi lalu digambarkan orang- teks qawlan ma’rūfā selalu disebutkan
orang kafir itu mendapatkan siksa yang pada masing-masing ayat.27 Setiap ayat
pedih di Neraka. Di dalam Neraka, memiliki kondisi pragmatik dan
terdapat ungkapan penyesalan, namun sosiolinguistik yang berbeda.
juga terdapat upaya mengkambinghitamkan
pemimpin-pemimpin yang seolah-olah telah Pertama, perkataan yang baik dalam Q.S.
menyesatkan mereka. Dari situlah, ayat ke- [2]:235-236 merujuk pada laki-laki yang
hendak meminang wanita yang ditinggal

27
Anita Ariani, “Standarisasi Dan Dasar Pijakan Etika Jaafar and Md Sham, “Language Politeness and
Komunikasi Dakwah,” Alhadharah: Jurnal Ilmu Dakwah Etiquette on Social Media From the Islamic
14, no. 28 (2015): 1–14, Perspective : An Observation.”
https://doi.org/10.18592/ALHADHARAH.V14I28.1233;

8 | Bil Hikmah: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam


Kesantunan Berbahasa Perspektif Islam: Tinjauan Teoritis

mati oleh suaminya atau tertalak ba’in. Begitu juga dalam ayat ketiga yakni dalam
Pinangan itu bisa berupa sindiran-sindiran Q.S. [4]:8 yang merujuk pada para wali
yang baik atau yang telah dikenal ketika membagikan warisan harta anak
sebelumnya dalam masyarakat sekitar. yatim, meski terdapat kerabat/anak
Namun sindiran itu tetap dalam batas yatim/fakir miskin yang tak memiliki hak
pinangan, bukan janji menikahi atau lebih- atas harta waris itu, namun tetap bisa
lebih menetapkan jadwal nikah sebelum mendapat bagian. Ketika para wali
habis masa iddah wanita itu. membagikan harta waris kepada orang-
orang itu, para wali tetap harus
Sehingga perkataan yang baik dalam ayat menggunakan perkataan yang baik. Bukan
itu dapat dipahami sebagai perkataan lantas karena sebenarnya orang-orang itu
yang telah dikenal baik oleh masyarakat tak memiliki hak atas harta waris, berarti
sekitar, khususnya dalam konteks para wali bisa mengatakan suatu hal
menyindir atas tujuan meminang wanita secara semena-mena. Hal ini semakin
yang ditinggal mati suaminya atau tertalak menguatkan bahwa sekalipun telah
ba’in. Jika pesan-pesan seorang lelaki menyampaikan suatu hal secara benar,
memang benar bermuatan pinangan tetapi juga tetap harus disampaikan
sesuai dengan situasi yang tertera, namun dengan baik pula. Dan ayat keempat
tidak menggunakan bahasa yang ma’rūf, dalam Q.S. [33]:32 merujuk pada istri-istri
maka bisa diidentifikasi sebagai bahasa Nabi yang diminta mengatakan hal baik
yang tak santun. yakni perkataan yang tidak mengundang
nafsu bagi orang-orang yang memiliki
Kedua, perkataan yang baik dalam Q.S. penyakit dalam hatinya. Artinya perkataan
[4]:5 merujuk pada para wali yang istri-istri Nabi hendaknya menggunakan
mengelola harta warisan milik anak yatim bahasa yang lebih dikenal sebagai
hendaknya mengucapkan perkataan yang percakapan sehari-hari bukan dengan
baik dalam memberikan belanja dan merendahkan suara atau berlemah-
pakaian dari harta mereka sendiri sampai lembut yang dibuat-buat. Sehingga jika
cukup umur untuk menikah atau pandai qawlan ma’rūfā dijadikan sebagai salah
mengatur harta. satu prinsip kesantunan berbahasa, maka
prinsip berkata yang baik bisa diartikan
Situasi itu menunjukkan bahwa meski para sebagai perkataan yang sesuai dengan
wali telah memberikan harta anak yatim nilai-nilai kebahasaan yang telah dikenal
sesuai dengan hak mereka, namun sebelumnya dalam masyarakat sekitar.
pemberian harta itu tetap harus Artinya, prinsip ini mensyaratkan adanya
menggunakan perkataan yang baik. Bukan pelibatan sosiolinguistik konteks adat dan
karena para wali memiliki hak untuk budaya sekitar.
mengelola harta itu lantas dapat berkata
secara semena-mena terhadap anak yatim Selain itu dapat dipahami adanya
ketika memberikan harta yang menjadi hubungan kuat antara prinsip qawlan
hak anak yatim. ma’rūfā dengan qawlan sadīdā. Bahwa
meski penutur telah menyampaikan

Volume 1 No.01 2023 | 9


Muhammad Hildan Azizi

perkataan yang baik, namun perkataan pernyataan Fir’aun yang mengaku sebagai
yang baik itu harus dilandaskan pada Tuhan kerap ia gaungkan kepada
perkataan yang benar terlebih dahulu. masyarakatnya, namun Nabi Musa dan
Bukan hanya karena terdapat kedudukan Harun tetap diperintah Allah untuk
yang senjang antara penyampai dan berdakwah dengan lemah lembut. 29

penerima pesan, lantas penutur bisa


berkata semena-mena. Begitu juga bukan Ayat tersebut menunjukkan bahwa
karena isi informasi yang disampaikan sekalipun sasaran dakwah adalah orang-
sudah benar, lantas penutur dapat berkata orang yang telah melampaui batas dalam
buruk kepada orang lain, atau perkataan kedurhakaannya terhadap Allah, tetapi
yang tidak dikenal sebelumnya dalam Allah tetap memerintahkan Nabi Musa dan
sosiolinguistik masyarakat setempat. Harun agar berlemah-lembut dalam
Penutur tetap harus menyampaikan berdakwah agar Fir’aun bisa sadar atau
pesannya dengan bahasa yang baik, yang takut akan azab Allah.
telah dikenal secara positif dalam budaya
masyarakat. Lemah lembut di sini dapat dipahami dari
perdebatan antara Nabi Musa dengan
3. Prinsip Qawlan Layyinā sebagai Fir’aun sebagaimana Allah maktub dalam
Indikator Bahasa Santun ayat-ayat selanjutnya. Tidak pernah
Beberapa kajian linguistik mendasarkan sekalipun Nabi Musa mengutuk atau
prinsip itu pada dua ayat dalam Al-Qur’an, mengancam Fir’aun secara langsung. Alih-
yakni Q.S. [20]:43-44 dan Q.S. [3]:159 di alih mengutuk, Nabi Musa justru
mana teks qawlan layyinā disebutkan menyampaikan kebenaran apa adanya,
secara eksplisit pada ayat pertama, menyampaikan maksudnya hanya
sedangkan implisit pada ayat kedua. 28
berdakwah bukan untuk menjatuhkan
Setiap ayat memiliki situasi pragmatik dan kekuasaan Fir’aun, hingga menunjukkan
sosiolinguistik yang berbeda. mukjizat-mukjizat yang dapat menandingi
penyihir Fir’aun.30
Pertama, perkataan lemah lembut dalam
Q.S. [20]:43-44 merujuk pada kisah Kedua, perkataan lemah lembut dalam Q.S.
dakwah Nabi Musa dan Harun kepada (3):159 merujuk pada kisah ketika Nabi
Fir’aun saat itu. Meski Fir’aun dikenal memaafkan para pelanggar komando
sebagai penguasa yang zalim seperti dalam perang Uhud, yakni ketika para
keputusannya dalam membunuh seluruh pemanah menuruni bukit Uhud sekalipun
bayi laki-laki yang lahir hanya karena telah diperintahkan untuk tetap bertahan
mimpi yang ia alami, belum lagi sampai ada komando berikutnya. Dalam

28
Sulkifli and Muhtar, “Komunikasi Dalam Pandangan Ponorogo, 2017),
Al-Quran,” PAPPASANG 03, no. 01 (June 30, 2021): 66– http://etheses.iainponorogo.ac.id/id/eprint/2302.
81, https://doi.org/10.46870/jiat.v3i1.75; Murni, 30
Muhammad Hildan Azizi, “Kesantunan Berbahasa
Kesantunan Linguistik. Dakwah Struktural Pada Debat Politik Para Nabi
29
Lutvi Trismayanti, “Konsep Qawlan Layyinadalam Dalam Al- Qur’an,” Dakwatuna: Jurnal Dakwah Dan
Surat Taha Ayat 41-44 Menurut Tafsir Ibnu Kasir Dan Komunikasi Islam 09, no. 01 (2023): 41–55,
Tafsir Al-Mishbah Serta Relevansinya Dengan https://doi.org/https://doi.org/10.54471/dakwatuna.v
Komunikasi Dalam Pendidikan Islam,” Institut Agama 9i1.
Islam Negeri Ponorogo (Institut Agama Islam Negeri

10 | Bil Hikmah: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam


Kesantunan Berbahasa Perspektif Islam: Tinjauan Teoritis

situasi itu, bisa saja muncul bahasa-bahasa perkataannya pada prinsip


yang bersifat menyalahkan, mengutuk, kelemahlembutan agar mitra tutur dapat
menghardik; namun Nabi memilih menerima dengan baik maksud penutur.
menggunakan bahasa yang lemah lembut
sehingga orang-orang itu tidak menjauhi 4. Prinsip Qawlan Maysūrā sebagai
Nabi. Suatu ukhuwah yang sangat Indikator Bahasa Santun
dibutuhkan ketika Islam sedang terpuruk Beberapa kajian linguistik mendasarkan
akibat kekalahan pada perang Uhud.31 prinsip itu pada satu ayat dalam Al-Qur’an,
yakni Q.S. [17]:28 di mana teks qawlan
Ayat tersebut menunjukkan bahwa maysūrā disebutkan secara eksplisit.32
meskipun dalam keadaan genting, seperti Ayat itu berisikan tentang petunjuk yang
terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang melingkupi suatu konteks latar belakang
dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin tertentu.
dalam Perang Uhud sehingga Perkataan pantas dalam ayat itu merujuk
menyebabkan kaum Muslimin menderita, pada orang-orang yang karena
tetapi Rasulullah tetap bersikap lemah ketidakmampuannya dalam membantu
lembut dan tidak marah terhadap para kerabat dekat, fakir miskin, ibnu sabil;
pelanggar itu, bahkan memaafkannya, dan harap menolak atau menjanjikan dengan
memohonkan ampunan dari Allah untuk bahasa yang pantas. Ketidakmampuan itu
mereka. bukan karena ia enggan membantu tetapi
karena keadaan pada waktu itu tidak
Sehingga jika qawlan layyinā dijadikan memungkinkan memberi bantuan kepada
sebagai salah satu prinsip kesantunan mereka, dalam arti materi atau sebab-
berbahasa, maka prinsip perkataan lemah sebab lainnya.
lembut merupakan perkataan yang
bersifat halus terhadap orang-orang yang Sehingga sekalipun penutur berada pada
telah melakukan kesalahan/pelanggaran. posisi yang benar, yakni bukan karena
Derajat kehalusan bahasa dapat enggan membantu melainkan karena
disesuaikan dengan karakteristik keadaan tak mampu, maka penutur dapat
sosiolingustik masyarakat setempat. menolak dengan bahasa yang pantas atas
permintaan bantuan dari orang-orang
Prinsip ini juga berkaitan erat dengan tersebut. Derajat kepantasan bahasa
prinsip qawlan sadīdā, yakni sekalipun dapat disesuaikan dengan karakteristik
penutur berada pada posisi yang benar, sosiolingustik masyarakat setempat.
sedangkan penerima pesan berada pada
posisi yang keliru, lantas penutur dapat Hal ini semakin menguatkan bahwa prinsip
menggunakan bahasa yang keras atau qawlan sadīdā tidak bisa diterapkan
kasar. Penutur tetap perlu mendasarkan mentah-mentah begitu saja. Dalam

31
Armin Nurhartanto, “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak 32
Wan Ahmad and Ahmad Fazullah, “Conceptual
Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 159-160,” Jurnal Model of Communication Politeness Based on
Studi Islam Profetika 16, no. 02 (December 17, 2015): Quranic Rhetoric and Pshycology”; Rusdi Room,
159–61, “Konsep Kesantunan Berbahasa Dalam Islam.”
https://doi.org/10.23917/PROFETIKA.V16I2.1851.

Volume 1 No.01 2023 | 11


Muhammad Hildan Azizi

konteks yang benar yakni sesuai antara bahkan ketika ayahnya tak lekas menerima
kedudukan hak-kewajiban sekalipun, seruan itu, beliau justru mendoakan
penutur tetap harus menyampaikan keselamatan untuk ayahnya. 34

maksudnya dengan menggunakan bahasa


yang pantas sesuai dengan prinsip qawlan Sehingga jika qawlan karīmā dijadikan
maysūrā. sebagai salah satu prinsip kesantunan
berbahasa, maka prinsip perkataan mulia
5. Prinsip Qawlan Karīmā sebagai spesifik ditujukan kepada kedua orang tua.
Indikator Bahasa Santun Perkataan yang takzim, rendah diri, dan
Beberapa kajian linguistik mendasarkan penuh kasih sayang. Bukan perkataan
prinsip itu pada satu ayat dalam Al-Qur’an, yang menghardik atau membentak.
yakni Q.S. [17]:23 di mana teks qawlan Selain itu, penerapan prinsip qawlan
karīmā disebutkan secara eksplisit. 33
Ayat karīmā tidak bisa lepas dari prinsip qawlan
itu berisikan tentang petunjuk yang sadīdā. Bahwa perkataan yang mulia itu
melingkupi suatu konteks latar belakang tetap disampaikan di atas suatu perkataan
tertentu. yang benar terlebih dahulu. Sulit untuk
diidentifikasi sebagai bahasa yang santun
Perkataan mulia dalam ayat itu merujuk jika suatu perkataan hanya menggunakan
pada setiap anak yang sedang bahasa mulia namun tidak ada kebenaran
berkomunikasi terhadap orang tuanya, di dalamnya.
hendaknya menggunakan bahasa yang
mulia. Suatu bahasa yang berada pada 6. Prinsip Qawlan Balīghā sebagai
posisi rendah diri dan penuh kasih sayang, Indikator Bahasa Santun
bukan bahasa menghardik atau Beberapa kajian linguistik mendasarkan
membentak. Derajat kemuliaan bahasa prinsip itu pada satu ayat dalam Al-Qur’an,
dapat disesuaikan dengan karakteristik yakni Q.S. [4]:63 di mana teks qawlan
sosiolingustik masyarakat setempat. balīghā disebutkan secara eksplisit.35 Ayat
itu berisikan tentang petunjuk yang
Nabi Ibrahim pernah mencontohkan melingkupi konteks latar belakang
bahasa mulia ini ketika beliau berdakwah tertentu.
kepada ayahnya sebagaimana teks dialog
itu termaktub dalam Q.S. [19]:42-48. “Yā Perkataan yang membekas dalam ayat itu
Ābati, Yā Ābati,” Begitulah beliau merujuk pada peristiwa ketika Nabi
memanggil ayahnya. Begitu juga ketika menasehati kaum munafik setelah mereka
beliau menyampaikan pesan dakwah juga tertimpa musibah akibat perbuatannya
banyak menggunakan pertanyaan sendiri lalu mendatangi kembali Nabi
daripada perkataan yang memojokkan, untuk bersumpah bahwa telah
menyampaikan kebenaran apa adanya, menjalankan ajaran Islam. Jika menilik

33
Hasjim, “Kesantunan Berbahasa Dalam Islam”; Abqari: Journal of Islamic Social Sciences and Humanities
Jaafar and Md Sham, “Language Politeness and 16, no. Special Issues (2018): 105–19,
Etiquette on Social Media From the Islamic https://doi.org/https://doi.org/10.33102/abqari.vol16
Perspective : An Observation.” no1.9.
34
Husna Husain, “Pendekatan Dakwah Terhadap Ahli 35
Ariani, “Standarisasi Dan Dasar Pijakan Etika
Keluarga Berdasarkan Kisah Nabi Ibrahim A.S,” Al- Komunikasi Dakwah”; Murni, Kesantunan Linguistik.

12 | Bil Hikmah: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam


Kesantunan Berbahasa Perspektif Islam: Tinjauan Teoritis

ayat-ayat sebelumnya, maka ajaran Islam yang dimaksud dalam ayat itu adalah
yang dimaksud dapat spesifik pada nasihat yang benar yakni nasihat untuk
menaati Allah, Rasul dan ulil amri di antara taat kepada Allah, Rasul dan ulil amri.
mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Semembekas apapun perkataan namun
sasaran perkataan yang membekas adalah jika disampaikan di atas suatu perkataan
sasaran yang spesifik, yakni kepada orang- bohong atau keliru maka justru akan
orang yang hanya mengaku secara lisan menjadi bahasa yang tak santun. Sehingga
saja bahwa telah menjalankan ajaran Islam perkataan membekas bisa diterapkan jika
namun nyatanya tidak secara praktiknya. substansi pesan merupakan suatu
Sehingga dari perkataan yang membekas perkataan yang benar.
itu harapannya tidak hanya sekedar
diketahui oleh penerima pesan, melainkan 7. Prinsip Qawlan Tsaqīlā sebagai
juga hingga ‘mengetuk’ hati penerima Indikator Bahasa Santun
pesan untuk tergerak bertobat memohon Beberapa kajian linguistik mendasarkan
ampunan kepada Allah. 36
prinsip itu pada satu ayat dalam Al-Qur’an,
yakni Q.S. [73]:5 di mana teks qawlan
Sehingga jika qawlan balīghā dijadikan tsaqīlā disebutkan secara eksplisit.37 Ahli
sebagai salah satu prinsip kesantunan linguistik mengartikan perkataan yang
berbahasa, maka prinsip perkataan yang berat dalam ayat tersebut sebagai firman
membekas itu spesifik ditujukan kepada Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an.38
orang-orang yang sebenarnya telah Jika dijadikan sebagai salah satu prinsip
mengetahui dan mengakui kebenaran kesantunan bahasa, maka menyampaikan
namun masih menyangkal dan tidak firman Allah sebagai suatu perkataan
menjalankannya. Perkataan yang merupakan penerapan kesantunan. Di
membekas dalam perspektif psikologi dalam firman Allah sendiri berisi tentang
berarti perkataan yang dapat menyentuh informasi-informasi dan perintah/larangan
afeksi penerima pesan agar dapat tertentu yang kesemuanya diyakini
‘terketuk’ atau ‘tergerak’ hatinya dan kebenaran dan kemaslahatannya.
bertransformasi dalam bentuk perilaku Sehingga, prinsip qawlan tsaqīlā ini juga
nyata menjalankan ajaran-ajaran Islam, beririsan dengan prinsip qawlan sadīdā
khususnya dalam hal ketaatan terhadap yang merupakan perkataan benar.
Allah, Rasul dan ulil amri (pemegang Implementasi menyampaikan firman Allah
kekuasaan) di antara mereka. ini kemudian pada tataran teknis
komunikasinya dapat disampaikan secara
Juga implementasi prinsip qawlan balīghā eksplisit atau implisit bergantung pada
sebenarnya juga berkelindan dengan kondisi sosiolinguistik yang melingkupi,
prinsip qawlan sadīdā. Sebab nasihat Nabi

36
Yeti Dwi Herti, “Nilai-Nilai Pendidikan Humanis 38
Fahriansyah Fahriansyah, “Filosofis Komunikasi
Dalam Surat An-Nisa Ayat 63,” Jurnal Kependidikan 07, Qaulan Syakila,” Alhadharah: Jurnal Ilmu Dakwah 17,
no. 02 (2019): 157–65, no. 34 (2019): 16,
https://doi.org/10.24090/jk.v7i2.3020. https://doi.org/10.18592/alhadharah.v17i34.2378.
37
Hasjim, “Kesantunan Berbahasa Dalam Islam”;
Sulkifli and Muhtar, “Komunikasi Dalam Pandangan
Al-Quran.”

Volume 1 No.01 2023 | 13


Muhammad Hildan Azizi

sehingga dapat pula dikombinasikan kebenaran yang semestinya mereka


dengan prinsip kesantunan lainnya. junjung tinggi.

8. Prinsip Qawlan Aẓīmā sebagai Sehingga jika qawlan aẓīmā dijadikan


Indikator Bahasa Tak Santun sebagai salah satu prinsip
Terdapat kajian linguistik yang ketidaksantunan berbahasa, maka prinsip
menyimpulkan adanya prinsip kesantunan perkataan yang besar dosanya adalah
bahasa demikian karena didasarkan pada perkataan menentang/memutarbalikkan
satu ayat dalam Al-Qur’an, yakni Q.S. fakta yang menyia-nyiakan akal manusia.
[17]:40 di mana teks qawlan aẓīmā Prinsip qawlan aẓīmā ini merupakan
disebutkan secara eksplisit. 39
kebalikan dari prinsip qawlan sadīdā,
Ayat itu turun berdasarkan konteks sehingga dapat dipahami bahwa keduanya
tertentu. Konteks yang melatarbelakangi merupakan prinsip dengan tipologi yang
ayat itu berkaitan erat dengan anggapan sama yakni sama-sama melandaskan pada
kaum musyrikin Makkah yang menyatakan kebenaran universal. Jika qawlan aẓīmā
bahwa malaikat adalah anak perempuan diterapkan dalam praktik berbahasa, maka
Allah. Lalu kedudukan ayat itu merupakan akan menghasilkan kegagalan komunikasi
bantahan Allah terhadap perkataan karena telah melanggar nilai kesantunan.
musyrikin yang bermuatan dosa besar.40
Bantahan Allah, dalam ayat ini, dengan 9. Prinsip Qawlan Az-zūr sebagai
cara menunjukkan kesalahan jalan pikiran Indikator Bahasa Tak Santun
mereka, bertujuan agar mereka dapat Terdapat kajian linguistik yang
memahami kesalahannya. Bagaimana menyimpulkan adanya prinsip kesantunan
mungkin Allah swt yang menciptakan bahasa demikian karena didasarkan pada
langit dan bumi serta benda-benda yang satu ayat dalam Al-Qur’an, yakni Q.S.
berada di antara keduanya dikatakan [22]:30 di mana teks qawlan az-zūr
mempunyai anak-anak perempuan yang disebutkan secara eksplisit. 41
Ayat itu
berupa malaikat, sedangkan mereka berisikan tentang petunjuk yang
sendiri lebih suka mempunyai anak-anak melingkupi suatu konteks latar belakang
laki-laki dan membenci anak perempuan. tertentu.
Mereka bahkan menguburkan anak
perempuan itu hidup-hidup. Dalam hal ini, Perkataan dusta yang dirujuk pada ayat
mereka memberi suatu sifat kepada Allah tersebut berkaitan dengan ibadah haji,
yang mereka sendiri tidak menyukainya. namun bisa juga merujuk pada kedustaan
Jalan pikiran mereka benar-benar kacau. secara umum. Bahwa Allah
Mereka menyifati Zat Yang Maha Esa dan memerintahkan kepada kaum muslim
Mulia dengan sifat yang rendah menurut untuk menjauhi perkataan dusta, suatu
pandangan mereka sendiri. Mereka telah perkataan bohong atau berlawanan
menyia-nyiakan akal pikiran mereka dengan kebenaran. 42

sendiri, karena memutarbalikkan

39
Sulkifli and Muhtar, “Komunikasi Dalam Pandangan 41
Sulkifli and Muhtar.
Al-Quran.” 42
Sulkifli and Muhtar.
40
Sulkifli and Muhtar.

14 | Bil Hikmah: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam


Kesantunan Berbahasa Perspektif Islam: Tinjauan Teoritis

Prinsip qawlan az-zūr semakin menguatkan membuat kondisi istri menjadi terkatung-
prinsip qawlan aẓīmā yang sama-sama katung hidupnya dan menderita. Jika
bertentangan dengan prinsip qawlan seorang suami telah menẓihar istrinya,
sadīdā. Jika seseorang berkata tidak berarti telah terjadi perceraian
dusta/bohong/tidak benar, maka antara kedua suami-istri itu. Tetapi
perkataannya melanggar prinsip-prinsip keduanya juga tidak boleh berkhalwat atau
kesantunan. berhubungan suami-istri. Kondisi ini tentu
melanggar fitrah manusia itu sendiri. Oleh
10. Prinsip Qawlan Munkar sebagai karenanya, perkataan itu merupakan
Indikator Bahasa Tak Santun perkataan yang buruk. Sehingga nilai
Terdapat kajian linguistik yang ketidaksantunan dalam prinsip qawlan
menyimpulkan adanya prinsip kesantunan munkar terletak pada muatan kedustaan
bahasa demikian karena didasarkan pada serta dampak buruk yang dapat muncul
satu ayat dalam Al-Qur’an, yakni Q.S. [58]:2 dari perkataan itu. Prinsip ini merupakan
di mana teks qawlan munkar disebutkan antitesis atas prinsip qawlan ma’rūfā dan
secara eksplisit. 43
Ayat itu berisikan qawlan sadīdā.
tentang petunjuk yang melingkupi suatu
konteks latar belakang tertentu.
Hubungan dan Kedudukan
Perkataan buruk yang dimaksud dalam
Antarprinsip Kesantunan Berbahasa
ayat tersebut merujuk pada peristiwa
Uraian prinsip-prinsip kesantunan
suami yang menẓihar istrinya yaitu
perspektif Islam di atas sedikit-banyak
menyamakan status hukum istrinya
telah dapat mengungkap hubungan
dengan ibunya atau memandang
antarprinsipnya. Namun untuk
keduanya sama-sama haram digauli
memperjelas kembali kedudukan
karena tidak lagi menyukainya. Keburukan
antarprinsip tersebut, maka perlu diurai
perkataan itu dapat diidentifikasi dari dua
kembali secara komprehensif serta dapat
hal, pertama muatan kedustaan di
dibandingkan dengan prinsip kesantunan
dalamnya, kedua dampak negatif yang
berbahasa perspektif Barat.
muncul akibat perkataan itu.44

Prinsip kesantunan berbahasa yang paling


Ayat itu telah menjelaskan bahwa istri
utama harus diterapkan dalam setiap
adalah teman hidup yang dihubungkan
komunikasi merupakan prinsip yang lahir
oleh akad nikah, sedang ibu adalah orang
dari paradigma theological view. Paradigma
yang melahirkannya sehingga ada
ini menghasilkan prinsip kesantunan
hubungan darah. Sehingga suatu
qawlan sadīdā dan qawlan tsaqīlā,
perkataan yang menyamakan keduanya,
perkataan yang benar dan yang tepat;
bukanlah suatu perkataan yang benar.
serta prinsip ketidaksantunan qawlan az-
Selain itu, perkataan ẓihar dapat
zūrr dan qawlan aẓīmā, perkataan dusta
memunculkan dampak negatif sebab

43
Sulkifli and Muhtar. MISHBAH,” TAFSE: Journal of Qur’anic Studies 2, no. 1
44
Arif Munandar and Muslim Djuned, “ZIHAR DALAM (June 30, 2018): 17,
TAFSIR FI ZHILAL AL-QUR’AN DAN TAFSIR AL- https://doi.org/10.22373/tafse.v2i1.8072.

Volume 1 No.01 2023 | 15


Muhammad Hildan Azizi

dan besar dosa, sebagai antitesis atas dua penutur berkehendak untuk menghasut
prinsip kesantunan sebelumnya. orang lain, maka menurut pandangan
Brown and Levinson, salah satu strategi
Dikatakan yang paling utama karena kesantunan yang diterapkan adalah
prinsip ini sebenarnya selalu ada dalam sampaikan apa adanya. Padahal jika
penerapan prinsip kesantunan lainnya. ditinjau secara teologis, hasutan itu bisa
Dalam realitasnya, sebaik-baiknya saja bernilai suatu
perkataan atau sepantas-pantasnya suatu kedustaan/kebohongan. Sehingga prinsip
bahasa, jika tidak dibarengi dengan kesantunan be bald on record ini masih
perkataan yang benar, maka dapat belum dapat menjawab permasalahan
menyebabkan kesalahpahaman, yang muncul akibat suatu kebohongan
penolakan, konflik bahkan konfrontasi. atau kedustaan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa prinsip
ini merupakan bagian dari substansi isi Selain itu terdapat prinsip kesantunan
pesan. perspektif Barat lain yang dekat dengan
prinsip qawlan sadīdā ini, yakni
Paradigma theological view ini merupakan sebagaimana Grice proposisikan dalam
alternatif baru yang hendak ditawarkan CP-nya dengan prinsip kualitasnya: say
dan belum pernah digunakan para ahli what is true. Dalam tataran tekstual, sadīdā
linguistik Barat yang cenderung dan true memiliki arti yang sama, yakni
menekankan pada paradigma social atau benar. Hanya saja, lebih lanjut Grice
conversational. Prinsip kesantunan yang menjelaskan dalam teorinya bahwa yang
paling dekat dengan qawlan sadīdā ini dimaksud dengan kebenaran adalah do
sebagaimana Brown and Levinson not say what you believe is false or lack
proposisikan, yakni prinsip bald on-record, adequate evidence.46 Sehingga tetap saja
say thing as it is. Hanya saja, sudut pandang point of view yang digunakan adalah
yang digunakan adalah maksud atau subjektivitas penuturnya. Sejauh penutur
kepentingan dari penutur. 45
Misalnya jika menganggap itu benar dan dapat

Tabel 1 - Hubungan Antarprinsip Kesantunan Berbahasa Perspektif Islam


Prinsip Bahasa Prinsip Bahasa
Paradigma Kedudukan
Santun Tak Santun
Theological view. Substansi isi ▪ Qawlan sadīdā (benar). ▪ Qawlan aẓīmā
pesan. ▪ Qawlan tsaqīlā (berat). (besar dosa).
▪ Qawlan az-zūrr
(dusta).
▪ Social norm view. Kemasan ▪ Qawlan ma’rūfā (baik). ▪ Qawlan munkar
▪ Conversational- pesan. ▪ Qawlan layyinā (lembut). (buruk).
maxim view. ▪ Qawlan maysūrā (pantas).
▪ Conversational- ▪ Qawlan karīmā (mulia).
contract view. ▪ Qawlan balīghā (membekas).
▪ Face-saving view.
45
Penelope Brown and Steven C. Levinson, Politeness: Linguistics and Phonetics 8 (2000): 1–26,
Some Universals in Language Use, 1st ed. (Cambridge: https://www.latl.leeds.ac.uk/wp-
Cambridge University Press, 1987). content/uploads/sites/49/2019/05/Davies_2000.pdf.
46
Bethan Davies, “Grice’s Cooperative Principle:
Getting the Meaning Across,” Leeds Working Papers in

16 | Bil Hikmah: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam


Kesantunan Berbahasa Perspektif Islam: Tinjauan Teoritis

menghadirkan bukti kuat, maka hal itu sejalan dengan orientasi yang terkandung
merupakan suatu kebenaran. Sedangkan dalam Q.S. [14]:4 yaitu diutusnya rasul
prinsip qawlan sadīdā yang coba diajukan sesuai dengan bahasa kaumnya agar
menekankan kebenaran pada fakta mudah dipahami.
universal yang sesuai dengan sunatullah
dan tak dapat ditolak dengan akal Misalnya seperti prinsip kuantitas dan
manusia. Pandangan ini merupakan suatu kualitas dalma Grice’s CP yang
konsekuensi atas pengakuan bahwa mengajarkan untuk berbicara secukupnya
kebenaran bersifat tunggal. dan tidak menimbulkan ambiguitas.47 Jika
coba dikontekstualisasikan dengan prinsip
Sedangkan prinsip kesantunan lain seperti qawlan ma’rūfā, maka gambaran
qawlan ma’rūfā (baik), qawlan layyinā komunikasi yang terjadi sebagaimana istri-
(lembut), qawlan maysūrā (pantas), qawlan istri Nabi yang berkomunikasi sepantasnya
karīmā (mulia), qawlan balīghā agar tidak timbul hawa nafsu bagi orang-
(membekas); ialah prinsip ‘penunjang’ orang ynag berpenyakit hatinya.
yang dapat memengaruhi derajat Penerapan prinsip kesantunan semacam
kesantunan. Semakin banyak prinsip- ini sangat terikat dengan kedudukan
prinsip itu yang diterapkan, maka semakin antara penutur dan mitra tuturnya. Dalam
santun bahasa yang digunakan. Namun kasus itu, hubungan antara istri-istri Nabi
jika tidak ada prinsip itu yang diterapkan dengan yang bukan mahramnya.
sama sekali, maka akan menjadi tidak
santun bahasa yang digunakan. Sehingga Atau juga seperti prinsip be polite dalam
sebenar-benarnya suatu perkataan, tetap Lakoff’s Rule of Politeness yang
harus dikemas dengan bahasa yang mengajarkan agar tidak memaksa, lebih
santun mempertimbangkan salah satu banyak memberi alternatif pilihan dan
atau lebih prinsip kesantunan di atas. Oleh bersahabat ketika sedang berkomunikasi.48 Jika
karenanya prinsip-prinsip itu coba dikontekstualisasi dengan prinsip qawlan
dikategorisasikan sebagai ‘kemasan’ yang layyinā, maka gambaran komunikasi yang
membungkus substansi isi pesan. terjadi sebagaimana ketika Nabi
memaafkan pelanggar komando dalam
Prinsip-prinsip kesantunan itu memiliki perang Uhud. Sekali lagi hal ini
kedudukan yang serupa dengan prinsip menunjukkan bahwa terdapat kondisi
kesantunan berbahasa perspektif ahli sosiolinguistik yang spesifik dalam
Barat yang menekankan pada pandangan penerapan prinsip itu, yakni berlemah
sosial atau percakapan secara pragmatik. lembut terhadap orang yang jelas-jelas
Perkataan yang baik/telah dikenal, lembut, melakukan kesalahan, bukan karena
pantas, mulia dan membekas; sangat memang ingin mengkhianati Nabi namun
terikat dengan kondisi mitra tutur dan karena kelalaiannya ketika tergiur dengan
konteks sosial-budaya setempat. Hal ini harta duniawi. Sekaligus hal itu

47
Davies. Presuppositions and Implicatures, 1977, 79–105,
48
Robin Lakoff, “What You Can Do with Words: https://files.eric.ed.gov/fulltext/ED140617.pdf#page=
Politeness, Pragmatics, and Performatives,” 94.
Proceedings of the Texas Conference on Performatives,

Volume 1 No.01 2023 | 17


Muhammad Hildan Azizi

mengisyaratkan bahwa penerapan prinsip Kesimpulan


kesantunan be polite atau qawlan layyinā Hasil kajian menunjukkan bahwa qawlan
tidak bisa serta merta diterapkan dalam sadīdā merupakan prinsip kesantunan
segala situasi. Perlu ada analisis kondisi utama yang harus ada dalam setiap
sosiolingustik terlebih dahulu untuk komunikasi, sebab berkedudukan sebagai
menerapkannya. “substansi” isi pesan. Jika penutur
menyampaikan suatu
Termasuk prinsip menjaga marwah positif kekeliruan/kedustaan, justru hal itu
mitra tutur yang diproposisikan dalam merupakan wujud ketidaksantunan.
paradigma face-saving view Brown and Temuan ini menunjukkan teori
Levinson’s.49 Jika dihubungkan dengan kesantunan perspektif islam
prinsip kesantunan perspektif Islam, maka menggunakan paradigma yang berbeda
penerapannya akan mengikuti kondisi dengan perspektif Barat karena lebih
sosiolinguistik yang menjadi dasar relasi menekankan pada paradigma theological
antara penutur dan mitra tutur. Seperti daripada sekadar paradigma social atau
prinsip qawlan ma’rūfā dalam peristiwa conversational.
para wali yang harus menjaga marwah
anak yatim dengan berbahasa secara baik Sedangkan prinsip lainnya seperti qawlan
ketika memberikan belanja dan pakaian ma’rūfā (baik), qawlan layyinā (lembut),
dari harta anak yatim itu sendiri. Atau qawlan maysūrā (pantas), qawlan karīmā
prinsip qawlan layyinā dalam peristiwa (mulia), qawlan balīghā (membekas);
Nabi Musa yang menjaga marwah mitra merupakan pilihan pelengkap fakultatif
tutur dengan berlemah lembut sekalipun yang dapat memengaruhi derajat
berdakwah kepada Fir’aun. Juga prinsip kesantunan, sebab prinsip-prinsip itu
qawlan maysūrā dalam menjaga marwah berkedudukan sebagai "kemasan" pesan.
orang yang membutuhkan ketika penutur Prinsip-prinsip kesantunan berkategori
menolak memberikan bantuan. Serta “kemasan” itu dapat diterapkan sesuai
prinsip qawlan karīmā dengan menjaga dengan paradigma teori kesantunan yang
marwah orang tua dengan menggunakan telah berkembang, seperti the social norm
bahasa yang mulia. view, conversational-maxim view,
conversational-contract view, atau face-
Kesemua kesamaan prinsip kesantunan saving view, serta theological view; sehingga
yang bersifat ‘kemasan’ antara perspektif beberapa kelebihan pada teori
Barat dan Islam itu menunjukkan bahwa kesantunan perspektif Barat tetap dapat
aspek sosiolingustik juga sangat digunakan secara kontekstual sesuai
dipertimbangkan sebagai tolok ukur kondisi sosiolingustik budaya masyarakat
derajat kesantunan berbahasa. setempat.

49
Brown and Levinson, Politeness: Some Universals in
Language Use.

18 | Bil Hikmah: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam


Kesantunan Berbahasa Perspektif Islam: Tinjauan Teoritis

Bibliografi
Ahmad, Wan Azura Wan, and Ahmad Fazullah M.Z.A. “Conceptual Model Of Communication
Politeness Based On Quranic Rhetoric And Pshycology.” Accessed February 2, 2023.
http://localhost:8080/jspui/handle/123456789/14273.
Al-Khatib, Mahmoud A. “Politeness in the Holy Quran: A Sociolinguistic and Pragmatic
Perspective.” Intercultural Pragmatics 9, no. 4 (January 27, 2012): 479–509.
https://doi.org/10.1515/ip-2012-0027.
Ali, Ku Zaimah Che, and Mardzelah Makhsin. “Konseptualisasi Amalan Kesantunan
Berbahasa Menurut Al-Qur’an.” Jurnal Masyarakat Islam Dan Kontemporari 20, no. 1
(2019): 65–81. https://journal.unisza.edu.my/jimk/index.php/jimk/article/view/315.
Aliyah, Sri. “Bukti Kebenaran Al-Quran.” Jurnal Ilmu Agama : Mengkaji Doktrin, Pemikiran, Dan
Fenomena Agama 16, no. 02 (2016): 103–17.
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/JIA/article/view/511.
Ariani, Anita. “Standarisasi Dan Dasar Pijakan Etika Komunikasi Dakwah.” Alhadharah: Jurnal
Ilmu Dakwah 14, no. 28 (2015): 1–14.
https://doi.org/10.18592/ALHADHARAH.V14I28.1233.
“Arti Kata - Santun.” Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, 2016.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/santun.
Azizi, Muhammad Hildan. “Kesantunan Berbahasa Dakwah Struktural Pada Debat Politik
Para Nabi Dalam Al- Qur’an.” Dakwatuna: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi Islam 09, no.
01 (2023): 41–55. https://doi.org/https://doi.org/10.54471/dakwatuna.v9i1.
Brown, Penelope, and Steven C. Levinson. Politeness: Some Universals in Language Use. 1st ed.
Cambridge: Cambridge University Press, 1987.
Cronin, Matthew A., and Elizabeth George. “The Why and How of the Integrative Review.”
Https://Doi.Org/10.1177/1094428120935507, July 6, 2020.
https://doi.org/10.1177/1094428120935507.
Davies, Bethan. “Grice’s Cooperative Principle: Getting the Meaning Across.” Leeds Working
Papers in Linguistics and Phonetics 8 (2000): 1–26. https://www.latl.leeds.ac.uk/wp-
content/uploads/sites/49/2019/05/Davies_2000.pdf.
Fahriansyah, Fahriansyah. “Filosofis Komunikasi Qaulan Syakila.” Alhadharah: Jurnal Ilmu
Dakwah 17, no. 34 (2019): 16. https://doi.org/10.18592/alhadharah.v17i34.2378.
Fraser, Bruce. “Perspectives on Politeness.” Journal of Pragmatics 14, no. 2 (April 1990): 219–
36. https://doi.org/10.1016/0378-2166(90)90081-N.
Hasjim, Nafron. “Kesantunan Berbahasa Dalam Islam.” Prosiding Seminar Nasional Magister
Pengkajian Bahasa UMS 2013, 2013, 325–53.
Herti, Yeti Dwi. “Nilai-Nilai Pendidikan Humanis Dalam Surat An-Nisa Ayat 63.” Jurnal
Kependidikan 07, no. 02 (2019): 157–65. https://doi.org/10.24090/jk.v7i2.3020.
Husna Husain. “Pendekatan Dakwah Terhadap Ahli Keluarga Berdasarkan Kisah Nabi
Ibrahim A.S.” Al-Abqari: Journal of Islamic Social Sciences and Humanities 16, no. Special
Issues (2018): 105–19. https://doi.org/https://doi.org/10.33102/abqari.vol16no1.9.
Indrawati, Indrawati. “Santun Berbahasa Dalam Dakwah.” Jurnal Dakwah Dan

Volume 1 No.01 2023 | 19


Muhammad Hildan Azizi

Kemasyarakatan 14, no. 1 (2015): 45–51. https://doi.org/10.19109/wardah.v14i1.246.


Jaafar, Nurul Ashiqin, and Fariza Md Sham. “Language Politeness and Etiquette on Social
Media From the Islamic Perspective : An Observation” 27, no. 02 (2022): 108–15.
http://al-qanatir.com/aq/article/view/527.
Lakoff, Robin. “What You Can Do with Words: Politeness, Pragmatics, and Performatives.”
Proceedings of the Texas Conference on Performatives, Presuppositions and Implicatures,
1977, 79–105. https://files.eric.ed.gov/fulltext/ED140617.pdf#page=94.
Mailani, Okarisma, Irna Nuraeni, Sarah Agnia Syakila, and Jundi Lazuardi. “Bahasa Sebagai
Alat Komunikasi Dalam Kehidupan Manusia.” Kampret Journal 1, no. 1 (January 30,
2022): 1–10. https://doi.org/10.35335/kampret.v1i1.8.
Mislikhah, St. “Kesantunan Berbahasa.” Ar-Raniry, International Journal of Islamic Studies 01,
no. 02 (2014): 285–96. https://doi.org/10.20859/jar.v1i2.18.
Munandar, Arif, and Muslim Djuned. “ZIHAR DALAM TAFSIR FI ZHILAL AL-QUR’AN DAN
TAFSIR AL-MISHBAH.” TAFSE: Journal of Qur’anic Studies 2, no. 1 (June 30, 2018): 17.
https://doi.org/10.22373/tafse.v2i1.8072.
Murni, Sri Minda. Kesantunan Linguistik. 1st ed. Medan: Unimed Press, 2013.
http://digilib.unimed.ac.id/id/eprint/1610.
Nurhartanto, Armin. “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 159-
160.” Jurnal Studi Islam Profetika 16, no. 02 (December 17, 2015): 159–61.
https://doi.org/10.23917/PROFETIKA.V16I2.1851.
Rusdi Room. “Konsep Kesantunan Berbahasa Dalam Islam.” Jurnal Adabiyah 13, no. 02 (2013):
223–34. http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/adabiyah/article/view/384/pdf_29.
Shahrokhi, Mohsen, and Farinaz Shirani Bidabadi. “An Overview of Politeness Theories:
Current Status, Future Orientations.” American Journal of Linguistics 2, no. 2 (2013): 17–
27. https://doi.org/10.5923/j.linguistics.20130202.02.
Souza, Marcela Tavares de, Michelly Dias da Silva, and Rachel de Carvalho. “Integrative
Review: What Is It? How to Do It?” Einstein (São Paulo) 8, no. 1 (March 2010): 102–6.
https://doi.org/10.1590/S1679-45082010RW1134.
Sulkifli, and Muhtar. “Komunikasi Dalam Pandangan Al-Quran.” PAPPASANG 03, no. 01 (June
30, 2021): 66–81. https://doi.org/10.46870/jiat.v3i1.75.
Torraco, Richard J. “Writing Integrative Literature Reviews.”
Http://Dx.Doi.Org/10.1177/1534484316671606 15, no. 4 (October 25, 2016): 404–28.
https://doi.org/10.1177/1534484316671606.
Trismayanti, Lutvi. “Konsep Qawlan Layyinadalam Surat Taha Ayat 41-44 Menurut Tafsir Ibnu
Kasir Dan Tafsir Al-Mishbah Serta Relevansinya Dengan Komunikasi Dalam Pendidikan
Islam.” Institut Agama Islam Negeri Ponorogo. Institut Agama Islam Negeri Ponorogo,
2017. http://etheses.iainponorogo.ac.id/id/eprint/2302.
Wahidy, Achmad. “Cerdas Dan Cermat Berbahasa Cermin Pribadi Bangsa Bermartabat:
Perilaku Santun Berbahasa.” Jurnal Dosen Universitas PGRI … 17 (April 7, 2018): 1–14.
https://jurnal.univpgri-palembang.ac.id/index.php/prosiding/article/view/1571.
Wan Ahmad, W. A., and M. Z. A. Ahmad Fazullah. “Conceptual Model of Communication
Politeness Based on Quranic Rhetoric and Pshycology.” In Proceedings of the 7th

20 | Bil Hikmah: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam


Kesantunan Berbahasa Perspektif Islam: Tinjauan Teoritis

International Conference on Quran as Foundation of Civilization (SWAT 2021), 102–14.


Universiti Sains Islam Malaysia, 2021.
https://oarep.usim.edu.my/jspui/handle/123456789/14273.
Watts, Richard J. “Linguistic Politeness Research: Quo Vadis?” In Politeness in Language, edited
by Richard J. Watts, Sachiko Ide, and Konrad Ehlich, 2nd ed., xi–xlvii. Berlin: Walter de
Gruyter GmbH & Co, 2005.
Yonsa, Yuliana Febri Yornai. “MENJALIN HUBUNGAN SOSIAL MELALUI KESANTUNAN
BERBAHASA.” Sarasvati: Bahasa, Sastra Dan Pengajarannya 2, no. 1 (June 26, 2020): 72.
https://doi.org/10.30742/sv.v2i1.862.
Yulianto, Hendra Bagus. “Nalar Kemanusiaan Dalam Da’wah Multikultural: Upaya
Memformulasikan Pesan Dakwah Humanis.” Jurnal Darussalam: Jurnal Pendidikan,
Komunikasi Dan Pemikiran Hukum Islam XII, no. 1 (September 22, 2020): 72–92.
https://doi.org/10.30739/DARUSSALAM.V12I1.1183.

Volume 1 No.01 2023 | 21


Muhammad Hildan Azizi

22 | Bil Hikmah: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam

Anda mungkin juga menyukai