1.+artikel Kesantunan+Berbahasa+Perspektif+Islam+Tinjauan+Teoritis Rev1 Layout+1-22
1.+artikel Kesantunan+Berbahasa+Perspektif+Islam+Tinjauan+Teoritis Rev1 Layout+1-22
Abstrak: Masih terdapat kritik atas ragam prinsip kesantunan berbahasa yang dikaji
oleh ilmuwan Barat sehingga ilmuwan Islam mencoba menawarkan alternatif baru
prinsip kesantunan berdasarkan Al-Qur'an. Namun ternyata kajian itu masih bersifat
uraian saja, belum terdapat kejelasan hubungan-kedudukan antarprinsip kesantunan
yang diproposisikan. Juga paradigma yang mendasari prinsip-prinsip itu masih belum
terjelaskan. Sehingga standar santun/tidaknya suatu bahasa masih sulit didefinisikan
dan diterapkan dalam dakwah atau komunikasi sehari-hari. Penelitian ini bertujuan
menjelaskan paradigma yang mendasari teori kesantunan berbahasa perspektif Islam
serta menjelaskan kedudukan dan hubungan antarprinsip kesantunan itu agar tidak
tumpang tindih. Metode integrative literature review digunakan untuk mengkaji teori-
teori kesantunan berbahasa yang telah terpublikasi dan diuji transferabilitas
berdasarkan kasus berbeda. Kajian ini menyimpulkan qawlan sadīdā sebagai prinsip
kesantunan utama yang berkedudukan sebagai “substansi” isi pesan. Hal ini
menunjukkan bahwa teori kesantunan perspektif islam menggunakan paradigma
theological, berbeda dengan perspektif Barat yang menekankan paradigma
social/conversational. Sedangkan prinsip lain seperti qawlan ma’rūfā, layyinā,
maysūrā, karīmā, dan balīghā; merupakan prinsip kesantunan penunjang yang
bersifat opsional karena berkedudukan sebagai "kemasan" pesan. Derajat kesantunan
dalam prinsip penunjang dapat disesuaikan dengan paradigma yang telah
berkembang, sehingga kelebihan pada kesantunan perspektif Barat dapat digunakan
pada prinsip yang bersifat kemasan sejauh disesuaikan dengan kondisi
pragmatik/sosiolinguistik.
Kata kunci: Linguistik, Kesantunan, Bahasa, Islam, Kajian Teoretis
Abstract: There is still criticism of the various politeness principles studied by western
scientists so that Islamic scientists try to offer new alternatives to politeness principles
based on the Qur'an. However, it turns out that the study is still only descriptive in
nature, there is no clarity about the relationship between the proposed politeness
principles. Also the paradigm underlying the principles is still not explained. So that the
standard of politeness or not in a language is still difficult to define and apply in da'wah
or daily communication. This study aims to explain the paradigm that underlies the
theory of politeness in an Islamic perspective and explain the position and relationship
between the politeness principles so that they do not overlap. The integrative literature
review method is used to examine theories of language politeness that have been
published and tested for transferability based on different cases. This study concludes
that qawlan sadīdā is the main principle of politeness which has a position as the
"substance" of the message content. This shows that the Islamic perspective of
politeness theory uses a theological paradigm, in contrast to the western perspective
1
Indrawati Indrawati, “Santun Berbahasa Dalam 7, 2018): 1–14, https://jurnal.univpgri-
Dakwah,” Jurnal Dakwah Dan Kemasyarakatan 14, no. palembang.ac.id/index.php/prosiding/article/view/15
1 (2015): 45–51, 71; Yuliana Febri Yornai Yonsa, “Menjalin Hubungan
https://doi.org/10.19109/wardah.v14i1.246. Sosial Melalui Kesantunan Berbahasa,” Sarasvati:
2
Hendra Bagus Yulianto, “Nalar Kemanusiaan Dalam Bahasa, Sastra Dan Pengajarannya 2, no. 1 (June 26,
Da’wah Multikultural: Upaya Memformulasikan Pesan 2020): 72, https://doi.org/10.30742/sv.v2i1.862.
Dakwah Humanis,” Jurnal Darussalam: Jurnal 4
Richard J. Watts, “Linguistic Politeness Research: Quo
Pendidikan, Komunikasi Dan Pemikiran Hukum Islam XII, Vadis?,” in Politeness in Language, ed. Richard J. Watts,
no. 1 (September 22, 2020): 72–92, Sachiko Ide, and Konrad Ehlich, 2nd ed. (Berlin: Walter
https://doi.org/10.30739/DARUSSALAM.V12I1.1183. de Gruyter GmbH & Co, 2005), xi–xlvii.
3
Achmad Wahidy, “Cerdas Dan Cermat Berbahasa 5
Bruce Fraser, “Perspectives on Politeness,” Journal of
Cermin Pribadi Bangsa Bermartabat: Perilaku Santun Pragmatics 14, no. 2 (April 1990): 219–36,
Berbahasa,” Jurnal Dosen Universitas PGRI … 17 (April https://doi.org/10.1016/0378-2166(90)90081-N.
mengklaim validitas universal dari seluruh Hingga para peneliti timur, khususnya
ragam budaya untuk menjadi satu standar ilmuwan muslim menawarkan alternatif
kesantunan yang baku. 6
baru atas prinsip kesantunan berbahasa
berdasarkan pada Al-Qur’an dan Hadis.
Teori klasik kesantunan itu mulai
berkembang ke dalam berbagai bentuk Prinsip kesantunan berbahasa
dasar paradigma. Misalnya seperti berdasarkan tinjauan Al-Qur’an yang
paradigma the conversational maxim view diproposisikan di antaranya: a) qawlan
yang melandasi Grice dalam menyusun sadīdā, perkataan yang benar; b) qawlan
Cooperative Principle (CP), yang oleh Lakoff ma’rūfā, perkataan yang baik; c) qawlan
konstruksi ulang menjadi Rule of Politeness, layyinā, perkataan yang lemah-lembut; d)
hingga Leech perbaharui struktur qawlan karīmā, perkataan yang mulia; e)
taksonominya menjadi Politeness Principle qawlan balīghā, perkataan yang
(PP). Juga terdapat paradigma the membekas; f) qawlan maysūrā, perkataan
conversational-contract view yang yang pantas, g) qawlan tsaqīlā, perkataan
merupakan tawaran alternatif atas yang berat.9 Prinsip kesantunan itu
kekurangan paradigma norma sosial diharapkan bisa menjadi standar
dengan menawarkan standar kesantunan kesantunan baku yang harusnya
berdasarkan kesepakatan antarpelaku diterapkan dalam setiap bentuk
komunikasi. Hingga paradigma yang cukup komunikasi.
dikenal adalah Face Saving Act (FSA) yang
disusun oleh Brown and Levinson dengan Namun prinsip-prinsip itu hanya
mengasumsikan bahwa kesantunan dipaparkan secara deskriptif berdasarkan
adalah upaya menjaga marwah pengirim pada teks sebagaimana tertulis dalam Al-
dan penerima pesan. 7
Qur’an. Padahal di balik teks-teks itu
Namun sayangnya, tidak ada konsistensi terdapat latar belakang pragmatik
atas definisi kesantunan antarpeneliti. Juga maupun sosiolinguistik yang
adapula kasus di mana peneliti gagal melingkupinya. Sehingga transferabilitas
mendefinisikan tentang kesantunan masing-masing prinsip kesantunan yang
secara eksplisit, sehingga semakin diajukan masih dapat dipertanyakan
membuat rancu akan definisi kesantunan penerapan penggunaan bahasanya dalam
itu sendiri. Paradigma-paradigma baru dakwah maupun kehidupan sehari-hari
atas standar kesantunan dalam teori klasik secara universal.
Barat itu masih belum juga dapat
mendefinisikan kesantunan secara tegas.8
6
Mohsen Shahrokhi and Farinaz Shirani Bidabadi, “An Bahasa UMS 2013, 2013, 325–53; St Mislikhah,
Overview of Politeness Theories: Current Status, “Kesantunan Berbahasa,” Ar-Raniry, International
Future Orientations,” American Journal of Linguistics 2, Journal of Islamic Studies 01, no. 02 (2014): 285–96,
no. 2 (2013): 17–27, https://doi.org/10.20859/jar.v1i2.18; Rusdi Room,
https://doi.org/10.5923/j.linguistics.20130202.02. “Konsep Kesantunan Berbahasa Dalam Islam,” Jurnal
7
Watts, “Linguistic Politeness Research: Quo Vadis?” Adabiyah 13, no. 02 (2013): 223–34, http://journal.uin-
8
Shahrokhi and Bidabadi, “An Overview of Politeness alauddin.ac.id/index.php/adabiyah/article/view/384/
Theories: Current Status, Future Orientations.” pdf_29.
9
Nafron Hasjim, “Kesantunan Berbahasa Dalam
Islam,” Prosiding Seminar Nasional Magister Pengkajian
Selain itu belum ada penjelasan eksplisit pengetahuan dan penerapan atas hasil
mengenai hubungan antarprinsip studi yang signifikan.10 Literatur-literatur
kesantunan yang diajukan. Apakah semua ilmiah terpublikasi mengenai teori
prinsip itu harus diterapkan dalam setiap kesantunan baik perspektif Barat maupun
komunikasi? Sehingga tidak digunakannya Islam menjadi sumber data, mulai dari
satu prinsip saja, maka dapat tulisan peneliti langsung sebagai data
memengaruhi derajat kesantunan bahasa primer, maupun peneliti lain yang
yang digunakan? Atau ada fungsi dan mengkaji teori-teori utama kesantunan
kedudukan tertentu antarprinsipnya bahasa sebagai data sekunder. Analisis
dalam memengaruhi derajat kesantunan dilakukan dalam dua tahap; pertama,
suatu bahasa? Hal ini sebaiknya dapat critical analysis of the studies, dengan
dikaji lebih lanjut agar teori kesantunan merekonstruksi ulang kondisi pragmatik
bahasa itu bisa lebih dapat diterapkan dan sosiolinguistik di balik teks-teks Al-
dalam dakwah maupun kehidupan sehari- Qur’an yang menjadi dasar munculnya
hari. prinsip-prinsip kesantunan bahasa
perspektif Islam; kedua, discussion of
Oleh karena itu, kajian ini coba menjawab results and presentation of the integrative
pertanyaan-pertanyaan yang masih belum review, dengan mengkaji hubungan
dapat terjelaskan dalam prinsip antarprinsip kesantunan berbahasa itu
kesantunan berbahasa berdasarkan berdasarkan pada analisis kasus negatif
perspektif Islam. Tujuan kajian ini adalah yang relevan serta transferabilitas kasus
mengkaji ulang mengenai paradigma yang yang berbeda.11 Laporan disusun
digunakan dalam teori kesantunan berdasarkan kaidah integrative review.12
berbahasa perspektif Islam serta
mendudukkan hubungan antarprinsip
kesantunan itu agar tidak tumpang tindih Kesantunan Berbahasa
dalam penerapannya. Selain itu juga Kesantunan berasal dari kata santun yang
diharapkan dapat mendudukkan secara etimologi berarti halus dan baik
paradigma yang digunakan dalam teori (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar
kesantunan perspektif Islam dengan dan tenang; sopan; penuh rasa belas
perspektif Barat agar jelas historisitas kasihan; suka menolong.13 Kesantunan
perkembangan teorinya. tidak bisa muncul di dalam ruang hampa.
Kesantunan merupakan nilai budaya yang
Integrative review menjadi metode berkembang di tengah masyarakat.
penelitian dalam kajian ini. Suatu Kesantunan merupakan hasil proses sosial
metodologi yang menyediakan sintesis
10
Marcela Tavares de Souza, Michelly Dias da Silva, 12
Richard J. Torraco, “Writing Integrative Literature
and Rachel de Carvalho, “Integrative Review: What Is Reviews,”
It? How to Do It?,” Einstein (São Paulo) 8, no. 1 (March Http://Dx.Doi.Org/10.1177/1534484316671606 15, no. 4
2010): 102–6, https://doi.org/10.1590/S1679- (October 25, 2016): 404–28,
45082010RW1134. https://doi.org/10.1177/1534484316671606.
11
Matthew A. Cronin and Elizabeth George, “The Why 13
“Arti Kata - Santun,” Badan Pengembangan dan
and How of the Integrative Review,” Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan,
Https://Doi.Org/10.1177/1094428120935507, July 6, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia,
2020, https://doi.org/10.1177/1094428120935507. 2016, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/santun.
dan pembinaan sosial budaya dan sejarah kesantunan perilaku atau cara berpikir
suatu bangsa. 14
tertentu dalam suatu konteks. Sehingga
derajat kesantunan akan sangat variatif
Bahasa merupakan alat komunikasi untuk bergantung konteks masyarakat masing-
menyampaikan maksud penutur kepada masing, tidak bisa ditetapkan suatu
audiensnya. Sebagai sebuah alat, bahasa rumusan baku atas nilai kesantunan
bisa digunakan secara tepat, namun juga berbahasa.17
bisa tidak sesuai penggunaannya.
Penggunaan bahasa yang tepat Kedua, paradigma the conversational maxim
menjadikan komunikasi efektif/berhasil, view mengasumsikan bahwa derajat
sedangkan kekeliruan penggunaan bahasa kesantunan berada dalam percakapan itu
menjadikan komunikasi tidak sendiri. Ada beberapa teori yang masyhur
efektif/gagal. 15
dalam pandangan ini. Grice's Cooperative
Principle (CP) yang mengkonseptualisasi
Kesantunan dapat menjadi salah satu prinsip kesantunan didasarkan pada:
faktor yang menyebabkan penggunaan kuantitas, say as much and no more than
bahasa menjadi kurang tepat guna necessary; kualitas, say what is true;
sehingga menghasilkan kegagalan relevansi, say what is relevant; tata krama,
komunikasi. Pilihan kata, susunan frasa say in a non-confusing way. Lakoff's Rule of
dan kalimat; memungkinkan bertentangan Politeness yang mengkonseptualisasi
dengan nilai-nilai kesantunan. Bahasa prinsip kesantunan didasarkan pada: be
yang tak santun pada akhirnya dapat clear (serupa dengan Grice CP); be polite,
menimbulkan kesalahpahaman, don't impose, give options, dan make a feel
penolakan, bahkan memungkinkan hingga good/be friendly. Leech's Politeness Principle
sampai konflik dan konfrontasi. 16
(PP) yang mengasumsikan bahwa setiap
Para ahli linguistik Barat telah tindak tutur memiliki derajat kesantunan
mengembangkan prinsip-prinsip intrinsik, sehingga yang perlu diukur bukan
kesantunan berbahasa yang diharapkan dari bentuk tindak tuturnya melainkan
dapat menjadi acuan dalam unsur ekstrinsik atas tindak tuturnya
berkomunikasi. Setidaknya terdapat dengan mempertimbangkan skala
empat paradigma yang cukup masyhur opsionalitas, indirectness, otoritas, dan
dalam kajian kesantunan di kalangan ahli social distance. Sehingga Leech
Barat. mengkonseptualisasikan prinsip
kesantunan berdasarkan enam maksim, di
Pertama, paradigma the social norm view antaranya (1) tact maxim, minimize
yang mengasumsikan bahwa setiap cost/maximize cost to other; (2) generosity
masyarakat akan memiliki seperangkat maxim, mininmize benefit/maximize cost to
norma sosial yang menentukan derajat self; (3) approbation maxim, minimize
14
Sri Minda Murni, Kesantunan Linguistik, 1st ed. Journal 1, no. 1 (January 30, 2022): 1–10,
(Medan: Unimed Press, 2013), https://doi.org/10.35335/kampret.v1i1.8.
http://digilib.unimed.ac.id/id/eprint/1610. 16
Rusdi Room, “Konsep Kesantunan Berbahasa
15
Okarisma Mailani et al., “Bahasa Sebagai Alat Dalam Islam.”
Komunikasi Dalam Kehidupan Manusia,” Kampret 17
Fraser, “Perspectives on Politeness.”
18
Fraser. “Konseptualisasi Amalan Kesantunan Berbahasa
19
Fraser. Menurut Al-Qur’an,” Jurnal Masyarakat Islam Dan
20
Fraser. Kontemporari 20, no. 1 (2019): 65–81,
21
Shahrokhi and Bidabadi, “An Overview of Politeness https://journal.unisza.edu.my/jimk/index.php/jimk/a
Theories: Current Status, Future Orientations.” rticle/view/315.
22
Mahmoud A. Al-Khatib, “Politeness in the Holy 23
Sri Aliyah, “Bukti Kebenaran Al-Quran,” Jurnal Ilmu
Quran: A Sociolinguistic and Pragmatic Perspective,” Agama : Mengkaji Doktrin, Pemikiran, Dan Fenomena
Intercultural Pragmatics 9, no. 4 (January 27, 2012): Agama 16, no. 02 (2016): 103–17,
479–509, https://doi.org/10.1515/ip-2012-0027; Ku http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/JIA/article/vi
Zaimah Che Ali and Mardzelah Makhsin, ew/511.
24
Hasjim, “Kesantunan Berbahasa Dalam Islam”; 25
Hasjim, “Kesantunan Berbahasa Dalam Islam”;
Nurul Ashiqin Jaafar and Fariza Md Sham, “Language Rusdi Room, “Konsep Kesantunan Berbahasa Dalam
Politeness and Etiquette on Social Media From the Islam.”
Islamic Perspective : An Observation” 27, no. 02 26
W. A. Wan Ahmad and M. Z. A. Ahmad Fazullah,
(2022): 108–15, http://al- “Conceptual Model of Communication Politeness
qanatir.com/aq/article/view/527; Rusdi Room, Based on Quranic Rhetoric and Pshycology,” in
“Konsep Kesantunan Berbahasa Dalam Islam”; Wan Proceedings of the 7th International Conference on
Azura Wan Ahmad and Ahmad Fazullah M.Z.A, Quran as Foundation of Civilization (SWAT 2021)
“Conceptual Model Of Communication Politeness (Universiti Sains Islam Malaysia, 2021), 102–14,
Based On Quranic Rhetoric And Pshycology,” https://oarep.usim.edu.my/jspui/handle/123456789/
accessed February 2, 2023, 14273.
http://localhost:8080/jspui/handle/123456789/14273
.
yatim itu tetap dapat digunakan untuk 70 memerintah bagi orang yang beriman
memenuhi kebutuhan si anak yatim untuk mengatakan hal-hal yang benar.
sampai kelak siap mengelola hartanya
sendiri. Namun ketika anak yatim itu Berdasarkan paparan itu, maka ‘perkataan
dianggap telah siap mengelola hartanya yang benar’ juga dapat dipahami sebagai
sendiri, maka wali yang memegang harta menyampaikan sesuatu apa adanya sesuai
warisnya berkewajiban berkata benar, dengan fakta, tidak dilebih-lebihkan dan
mana harta yang menjadi hak milik anak tidak dikurangkan sesuatu apapun. Orang-
yatim. orang kafir justru hendak menyalahkan
para pemimpin yang sebenarnya telah
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat memberi petunjuk yang benar, namun
dipahami pengertian perkataan yang karena mereka ingkar sehingga laknat
benar di antaranya adalah mengatakan menimpa mereka sendiri.
sesuatu sesuai kedudukan hak dan
kewajiban masing-masing orang, Sehingga jika qawlan sadīdā dijadikan salah
khususnya bagi pihak-pihak yang terkait satu prinsip kesantunan berbahasa, maka
langsung dengan interaksi yang terjadi. prinsip berkata yang benar bisa berbentuk
Wali yang memegang harta anak yatim mengatakan sesuatu sesuai dengan fakta
hanya memiliki hak untuk menyimpan dan atau sesuai dengan kedudukan hak dan
mengelola harta waris milik anak yatim. kewajiban. Begitu juga sebaliknya, jika
Jika anak yatim itu telah siap mandiri, maka berkata yang tidak benar, baik
wali berkewajiban mengatakan yang benar menyampaikan kebohongan atau tidak
tentang bagian hak milik anak yatim itu. sesuai dengan kedudukan hak-kewajiban,
Wali tidak boleh berbohong untuk maka termasuk bahasa yang tak santun.
merebut hak yang seharusnya milik anak
yatim. 2. Prinsip Qawlan Ma’rūfā sebagai
Indikator Bahasa Santun
Kedua, dalam Q.S. [33]:70, berdasarkan Beberapa kajian linguistik mendasarkan
pada runutan ayat-ayat sebelumnya, dapat prinsip itu pada empat ayat dalam Al-
dipahami bahwa terdapat orang-orang Qur’an, yakni Q.S. [2]:235-236, Q.S. [4]:5
kafir yang mempertanyakan hari kiamat dan Q.S. [4]:8, serta Q.S. [33]:32 di mana
kepada Nabi lalu digambarkan orang- teks qawlan ma’rūfā selalu disebutkan
orang kafir itu mendapatkan siksa yang pada masing-masing ayat.27 Setiap ayat
pedih di Neraka. Di dalam Neraka, memiliki kondisi pragmatik dan
terdapat ungkapan penyesalan, namun sosiolinguistik yang berbeda.
juga terdapat upaya mengkambinghitamkan
pemimpin-pemimpin yang seolah-olah telah Pertama, perkataan yang baik dalam Q.S.
menyesatkan mereka. Dari situlah, ayat ke- [2]:235-236 merujuk pada laki-laki yang
hendak meminang wanita yang ditinggal
27
Anita Ariani, “Standarisasi Dan Dasar Pijakan Etika Jaafar and Md Sham, “Language Politeness and
Komunikasi Dakwah,” Alhadharah: Jurnal Ilmu Dakwah Etiquette on Social Media From the Islamic
14, no. 28 (2015): 1–14, Perspective : An Observation.”
https://doi.org/10.18592/ALHADHARAH.V14I28.1233;
mati oleh suaminya atau tertalak ba’in. Begitu juga dalam ayat ketiga yakni dalam
Pinangan itu bisa berupa sindiran-sindiran Q.S. [4]:8 yang merujuk pada para wali
yang baik atau yang telah dikenal ketika membagikan warisan harta anak
sebelumnya dalam masyarakat sekitar. yatim, meski terdapat kerabat/anak
Namun sindiran itu tetap dalam batas yatim/fakir miskin yang tak memiliki hak
pinangan, bukan janji menikahi atau lebih- atas harta waris itu, namun tetap bisa
lebih menetapkan jadwal nikah sebelum mendapat bagian. Ketika para wali
habis masa iddah wanita itu. membagikan harta waris kepada orang-
orang itu, para wali tetap harus
Sehingga perkataan yang baik dalam ayat menggunakan perkataan yang baik. Bukan
itu dapat dipahami sebagai perkataan lantas karena sebenarnya orang-orang itu
yang telah dikenal baik oleh masyarakat tak memiliki hak atas harta waris, berarti
sekitar, khususnya dalam konteks para wali bisa mengatakan suatu hal
menyindir atas tujuan meminang wanita secara semena-mena. Hal ini semakin
yang ditinggal mati suaminya atau tertalak menguatkan bahwa sekalipun telah
ba’in. Jika pesan-pesan seorang lelaki menyampaikan suatu hal secara benar,
memang benar bermuatan pinangan tetapi juga tetap harus disampaikan
sesuai dengan situasi yang tertera, namun dengan baik pula. Dan ayat keempat
tidak menggunakan bahasa yang ma’rūf, dalam Q.S. [33]:32 merujuk pada istri-istri
maka bisa diidentifikasi sebagai bahasa Nabi yang diminta mengatakan hal baik
yang tak santun. yakni perkataan yang tidak mengundang
nafsu bagi orang-orang yang memiliki
Kedua, perkataan yang baik dalam Q.S. penyakit dalam hatinya. Artinya perkataan
[4]:5 merujuk pada para wali yang istri-istri Nabi hendaknya menggunakan
mengelola harta warisan milik anak yatim bahasa yang lebih dikenal sebagai
hendaknya mengucapkan perkataan yang percakapan sehari-hari bukan dengan
baik dalam memberikan belanja dan merendahkan suara atau berlemah-
pakaian dari harta mereka sendiri sampai lembut yang dibuat-buat. Sehingga jika
cukup umur untuk menikah atau pandai qawlan ma’rūfā dijadikan sebagai salah
mengatur harta. satu prinsip kesantunan berbahasa, maka
prinsip berkata yang baik bisa diartikan
Situasi itu menunjukkan bahwa meski para sebagai perkataan yang sesuai dengan
wali telah memberikan harta anak yatim nilai-nilai kebahasaan yang telah dikenal
sesuai dengan hak mereka, namun sebelumnya dalam masyarakat sekitar.
pemberian harta itu tetap harus Artinya, prinsip ini mensyaratkan adanya
menggunakan perkataan yang baik. Bukan pelibatan sosiolinguistik konteks adat dan
karena para wali memiliki hak untuk budaya sekitar.
mengelola harta itu lantas dapat berkata
secara semena-mena terhadap anak yatim Selain itu dapat dipahami adanya
ketika memberikan harta yang menjadi hubungan kuat antara prinsip qawlan
hak anak yatim. ma’rūfā dengan qawlan sadīdā. Bahwa
meski penutur telah menyampaikan
perkataan yang baik, namun perkataan pernyataan Fir’aun yang mengaku sebagai
yang baik itu harus dilandaskan pada Tuhan kerap ia gaungkan kepada
perkataan yang benar terlebih dahulu. masyarakatnya, namun Nabi Musa dan
Bukan hanya karena terdapat kedudukan Harun tetap diperintah Allah untuk
yang senjang antara penyampai dan berdakwah dengan lemah lembut. 29
28
Sulkifli and Muhtar, “Komunikasi Dalam Pandangan Ponorogo, 2017),
Al-Quran,” PAPPASANG 03, no. 01 (June 30, 2021): 66– http://etheses.iainponorogo.ac.id/id/eprint/2302.
81, https://doi.org/10.46870/jiat.v3i1.75; Murni, 30
Muhammad Hildan Azizi, “Kesantunan Berbahasa
Kesantunan Linguistik. Dakwah Struktural Pada Debat Politik Para Nabi
29
Lutvi Trismayanti, “Konsep Qawlan Layyinadalam Dalam Al- Qur’an,” Dakwatuna: Jurnal Dakwah Dan
Surat Taha Ayat 41-44 Menurut Tafsir Ibnu Kasir Dan Komunikasi Islam 09, no. 01 (2023): 41–55,
Tafsir Al-Mishbah Serta Relevansinya Dengan https://doi.org/https://doi.org/10.54471/dakwatuna.v
Komunikasi Dalam Pendidikan Islam,” Institut Agama 9i1.
Islam Negeri Ponorogo (Institut Agama Islam Negeri
31
Armin Nurhartanto, “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak 32
Wan Ahmad and Ahmad Fazullah, “Conceptual
Dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 159-160,” Jurnal Model of Communication Politeness Based on
Studi Islam Profetika 16, no. 02 (December 17, 2015): Quranic Rhetoric and Pshycology”; Rusdi Room,
159–61, “Konsep Kesantunan Berbahasa Dalam Islam.”
https://doi.org/10.23917/PROFETIKA.V16I2.1851.
konteks yang benar yakni sesuai antara bahkan ketika ayahnya tak lekas menerima
kedudukan hak-kewajiban sekalipun, seruan itu, beliau justru mendoakan
penutur tetap harus menyampaikan keselamatan untuk ayahnya. 34
33
Hasjim, “Kesantunan Berbahasa Dalam Islam”; Abqari: Journal of Islamic Social Sciences and Humanities
Jaafar and Md Sham, “Language Politeness and 16, no. Special Issues (2018): 105–19,
Etiquette on Social Media From the Islamic https://doi.org/https://doi.org/10.33102/abqari.vol16
Perspective : An Observation.” no1.9.
34
Husna Husain, “Pendekatan Dakwah Terhadap Ahli 35
Ariani, “Standarisasi Dan Dasar Pijakan Etika
Keluarga Berdasarkan Kisah Nabi Ibrahim A.S,” Al- Komunikasi Dakwah”; Murni, Kesantunan Linguistik.
ayat-ayat sebelumnya, maka ajaran Islam yang dimaksud dalam ayat itu adalah
yang dimaksud dapat spesifik pada nasihat yang benar yakni nasihat untuk
menaati Allah, Rasul dan ulil amri di antara taat kepada Allah, Rasul dan ulil amri.
mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Semembekas apapun perkataan namun
sasaran perkataan yang membekas adalah jika disampaikan di atas suatu perkataan
sasaran yang spesifik, yakni kepada orang- bohong atau keliru maka justru akan
orang yang hanya mengaku secara lisan menjadi bahasa yang tak santun. Sehingga
saja bahwa telah menjalankan ajaran Islam perkataan membekas bisa diterapkan jika
namun nyatanya tidak secara praktiknya. substansi pesan merupakan suatu
Sehingga dari perkataan yang membekas perkataan yang benar.
itu harapannya tidak hanya sekedar
diketahui oleh penerima pesan, melainkan 7. Prinsip Qawlan Tsaqīlā sebagai
juga hingga ‘mengetuk’ hati penerima Indikator Bahasa Santun
pesan untuk tergerak bertobat memohon Beberapa kajian linguistik mendasarkan
ampunan kepada Allah. 36
prinsip itu pada satu ayat dalam Al-Qur’an,
yakni Q.S. [73]:5 di mana teks qawlan
Sehingga jika qawlan balīghā dijadikan tsaqīlā disebutkan secara eksplisit.37 Ahli
sebagai salah satu prinsip kesantunan linguistik mengartikan perkataan yang
berbahasa, maka prinsip perkataan yang berat dalam ayat tersebut sebagai firman
membekas itu spesifik ditujukan kepada Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an.38
orang-orang yang sebenarnya telah Jika dijadikan sebagai salah satu prinsip
mengetahui dan mengakui kebenaran kesantunan bahasa, maka menyampaikan
namun masih menyangkal dan tidak firman Allah sebagai suatu perkataan
menjalankannya. Perkataan yang merupakan penerapan kesantunan. Di
membekas dalam perspektif psikologi dalam firman Allah sendiri berisi tentang
berarti perkataan yang dapat menyentuh informasi-informasi dan perintah/larangan
afeksi penerima pesan agar dapat tertentu yang kesemuanya diyakini
‘terketuk’ atau ‘tergerak’ hatinya dan kebenaran dan kemaslahatannya.
bertransformasi dalam bentuk perilaku Sehingga, prinsip qawlan tsaqīlā ini juga
nyata menjalankan ajaran-ajaran Islam, beririsan dengan prinsip qawlan sadīdā
khususnya dalam hal ketaatan terhadap yang merupakan perkataan benar.
Allah, Rasul dan ulil amri (pemegang Implementasi menyampaikan firman Allah
kekuasaan) di antara mereka. ini kemudian pada tataran teknis
komunikasinya dapat disampaikan secara
Juga implementasi prinsip qawlan balīghā eksplisit atau implisit bergantung pada
sebenarnya juga berkelindan dengan kondisi sosiolinguistik yang melingkupi,
prinsip qawlan sadīdā. Sebab nasihat Nabi
36
Yeti Dwi Herti, “Nilai-Nilai Pendidikan Humanis 38
Fahriansyah Fahriansyah, “Filosofis Komunikasi
Dalam Surat An-Nisa Ayat 63,” Jurnal Kependidikan 07, Qaulan Syakila,” Alhadharah: Jurnal Ilmu Dakwah 17,
no. 02 (2019): 157–65, no. 34 (2019): 16,
https://doi.org/10.24090/jk.v7i2.3020. https://doi.org/10.18592/alhadharah.v17i34.2378.
37
Hasjim, “Kesantunan Berbahasa Dalam Islam”;
Sulkifli and Muhtar, “Komunikasi Dalam Pandangan
Al-Quran.”
39
Sulkifli and Muhtar, “Komunikasi Dalam Pandangan 41
Sulkifli and Muhtar.
Al-Quran.” 42
Sulkifli and Muhtar.
40
Sulkifli and Muhtar.
Prinsip qawlan az-zūr semakin menguatkan membuat kondisi istri menjadi terkatung-
prinsip qawlan aẓīmā yang sama-sama katung hidupnya dan menderita. Jika
bertentangan dengan prinsip qawlan seorang suami telah menẓihar istrinya,
sadīdā. Jika seseorang berkata tidak berarti telah terjadi perceraian
dusta/bohong/tidak benar, maka antara kedua suami-istri itu. Tetapi
perkataannya melanggar prinsip-prinsip keduanya juga tidak boleh berkhalwat atau
kesantunan. berhubungan suami-istri. Kondisi ini tentu
melanggar fitrah manusia itu sendiri. Oleh
10. Prinsip Qawlan Munkar sebagai karenanya, perkataan itu merupakan
Indikator Bahasa Tak Santun perkataan yang buruk. Sehingga nilai
Terdapat kajian linguistik yang ketidaksantunan dalam prinsip qawlan
menyimpulkan adanya prinsip kesantunan munkar terletak pada muatan kedustaan
bahasa demikian karena didasarkan pada serta dampak buruk yang dapat muncul
satu ayat dalam Al-Qur’an, yakni Q.S. [58]:2 dari perkataan itu. Prinsip ini merupakan
di mana teks qawlan munkar disebutkan antitesis atas prinsip qawlan ma’rūfā dan
secara eksplisit. 43
Ayat itu berisikan qawlan sadīdā.
tentang petunjuk yang melingkupi suatu
konteks latar belakang tertentu.
Hubungan dan Kedudukan
Perkataan buruk yang dimaksud dalam
Antarprinsip Kesantunan Berbahasa
ayat tersebut merujuk pada peristiwa
Uraian prinsip-prinsip kesantunan
suami yang menẓihar istrinya yaitu
perspektif Islam di atas sedikit-banyak
menyamakan status hukum istrinya
telah dapat mengungkap hubungan
dengan ibunya atau memandang
antarprinsipnya. Namun untuk
keduanya sama-sama haram digauli
memperjelas kembali kedudukan
karena tidak lagi menyukainya. Keburukan
antarprinsip tersebut, maka perlu diurai
perkataan itu dapat diidentifikasi dari dua
kembali secara komprehensif serta dapat
hal, pertama muatan kedustaan di
dibandingkan dengan prinsip kesantunan
dalamnya, kedua dampak negatif yang
berbahasa perspektif Barat.
muncul akibat perkataan itu.44
43
Sulkifli and Muhtar. MISHBAH,” TAFSE: Journal of Qur’anic Studies 2, no. 1
44
Arif Munandar and Muslim Djuned, “ZIHAR DALAM (June 30, 2018): 17,
TAFSIR FI ZHILAL AL-QUR’AN DAN TAFSIR AL- https://doi.org/10.22373/tafse.v2i1.8072.
dan besar dosa, sebagai antitesis atas dua penutur berkehendak untuk menghasut
prinsip kesantunan sebelumnya. orang lain, maka menurut pandangan
Brown and Levinson, salah satu strategi
Dikatakan yang paling utama karena kesantunan yang diterapkan adalah
prinsip ini sebenarnya selalu ada dalam sampaikan apa adanya. Padahal jika
penerapan prinsip kesantunan lainnya. ditinjau secara teologis, hasutan itu bisa
Dalam realitasnya, sebaik-baiknya saja bernilai suatu
perkataan atau sepantas-pantasnya suatu kedustaan/kebohongan. Sehingga prinsip
bahasa, jika tidak dibarengi dengan kesantunan be bald on record ini masih
perkataan yang benar, maka dapat belum dapat menjawab permasalahan
menyebabkan kesalahpahaman, yang muncul akibat suatu kebohongan
penolakan, konflik bahkan konfrontasi. atau kedustaan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa prinsip
ini merupakan bagian dari substansi isi Selain itu terdapat prinsip kesantunan
pesan. perspektif Barat lain yang dekat dengan
prinsip qawlan sadīdā ini, yakni
Paradigma theological view ini merupakan sebagaimana Grice proposisikan dalam
alternatif baru yang hendak ditawarkan CP-nya dengan prinsip kualitasnya: say
dan belum pernah digunakan para ahli what is true. Dalam tataran tekstual, sadīdā
linguistik Barat yang cenderung dan true memiliki arti yang sama, yakni
menekankan pada paradigma social atau benar. Hanya saja, lebih lanjut Grice
conversational. Prinsip kesantunan yang menjelaskan dalam teorinya bahwa yang
paling dekat dengan qawlan sadīdā ini dimaksud dengan kebenaran adalah do
sebagaimana Brown and Levinson not say what you believe is false or lack
proposisikan, yakni prinsip bald on-record, adequate evidence.46 Sehingga tetap saja
say thing as it is. Hanya saja, sudut pandang point of view yang digunakan adalah
yang digunakan adalah maksud atau subjektivitas penuturnya. Sejauh penutur
kepentingan dari penutur. 45
Misalnya jika menganggap itu benar dan dapat
menghadirkan bukti kuat, maka hal itu sejalan dengan orientasi yang terkandung
merupakan suatu kebenaran. Sedangkan dalam Q.S. [14]:4 yaitu diutusnya rasul
prinsip qawlan sadīdā yang coba diajukan sesuai dengan bahasa kaumnya agar
menekankan kebenaran pada fakta mudah dipahami.
universal yang sesuai dengan sunatullah
dan tak dapat ditolak dengan akal Misalnya seperti prinsip kuantitas dan
manusia. Pandangan ini merupakan suatu kualitas dalma Grice’s CP yang
konsekuensi atas pengakuan bahwa mengajarkan untuk berbicara secukupnya
kebenaran bersifat tunggal. dan tidak menimbulkan ambiguitas.47 Jika
coba dikontekstualisasikan dengan prinsip
Sedangkan prinsip kesantunan lain seperti qawlan ma’rūfā, maka gambaran
qawlan ma’rūfā (baik), qawlan layyinā komunikasi yang terjadi sebagaimana istri-
(lembut), qawlan maysūrā (pantas), qawlan istri Nabi yang berkomunikasi sepantasnya
karīmā (mulia), qawlan balīghā agar tidak timbul hawa nafsu bagi orang-
(membekas); ialah prinsip ‘penunjang’ orang ynag berpenyakit hatinya.
yang dapat memengaruhi derajat Penerapan prinsip kesantunan semacam
kesantunan. Semakin banyak prinsip- ini sangat terikat dengan kedudukan
prinsip itu yang diterapkan, maka semakin antara penutur dan mitra tuturnya. Dalam
santun bahasa yang digunakan. Namun kasus itu, hubungan antara istri-istri Nabi
jika tidak ada prinsip itu yang diterapkan dengan yang bukan mahramnya.
sama sekali, maka akan menjadi tidak
santun bahasa yang digunakan. Sehingga Atau juga seperti prinsip be polite dalam
sebenar-benarnya suatu perkataan, tetap Lakoff’s Rule of Politeness yang
harus dikemas dengan bahasa yang mengajarkan agar tidak memaksa, lebih
santun mempertimbangkan salah satu banyak memberi alternatif pilihan dan
atau lebih prinsip kesantunan di atas. Oleh bersahabat ketika sedang berkomunikasi.48 Jika
karenanya prinsip-prinsip itu coba dikontekstualisasi dengan prinsip qawlan
dikategorisasikan sebagai ‘kemasan’ yang layyinā, maka gambaran komunikasi yang
membungkus substansi isi pesan. terjadi sebagaimana ketika Nabi
memaafkan pelanggar komando dalam
Prinsip-prinsip kesantunan itu memiliki perang Uhud. Sekali lagi hal ini
kedudukan yang serupa dengan prinsip menunjukkan bahwa terdapat kondisi
kesantunan berbahasa perspektif ahli sosiolinguistik yang spesifik dalam
Barat yang menekankan pada pandangan penerapan prinsip itu, yakni berlemah
sosial atau percakapan secara pragmatik. lembut terhadap orang yang jelas-jelas
Perkataan yang baik/telah dikenal, lembut, melakukan kesalahan, bukan karena
pantas, mulia dan membekas; sangat memang ingin mengkhianati Nabi namun
terikat dengan kondisi mitra tutur dan karena kelalaiannya ketika tergiur dengan
konteks sosial-budaya setempat. Hal ini harta duniawi. Sekaligus hal itu
47
Davies. Presuppositions and Implicatures, 1977, 79–105,
48
Robin Lakoff, “What You Can Do with Words: https://files.eric.ed.gov/fulltext/ED140617.pdf#page=
Politeness, Pragmatics, and Performatives,” 94.
Proceedings of the Texas Conference on Performatives,
49
Brown and Levinson, Politeness: Some Universals in
Language Use.
Bibliografi
Ahmad, Wan Azura Wan, and Ahmad Fazullah M.Z.A. “Conceptual Model Of Communication
Politeness Based On Quranic Rhetoric And Pshycology.” Accessed February 2, 2023.
http://localhost:8080/jspui/handle/123456789/14273.
Al-Khatib, Mahmoud A. “Politeness in the Holy Quran: A Sociolinguistic and Pragmatic
Perspective.” Intercultural Pragmatics 9, no. 4 (January 27, 2012): 479–509.
https://doi.org/10.1515/ip-2012-0027.
Ali, Ku Zaimah Che, and Mardzelah Makhsin. “Konseptualisasi Amalan Kesantunan
Berbahasa Menurut Al-Qur’an.” Jurnal Masyarakat Islam Dan Kontemporari 20, no. 1
(2019): 65–81. https://journal.unisza.edu.my/jimk/index.php/jimk/article/view/315.
Aliyah, Sri. “Bukti Kebenaran Al-Quran.” Jurnal Ilmu Agama : Mengkaji Doktrin, Pemikiran, Dan
Fenomena Agama 16, no. 02 (2016): 103–17.
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/JIA/article/view/511.
Ariani, Anita. “Standarisasi Dan Dasar Pijakan Etika Komunikasi Dakwah.” Alhadharah: Jurnal
Ilmu Dakwah 14, no. 28 (2015): 1–14.
https://doi.org/10.18592/ALHADHARAH.V14I28.1233.
“Arti Kata - Santun.” Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, 2016.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/santun.
Azizi, Muhammad Hildan. “Kesantunan Berbahasa Dakwah Struktural Pada Debat Politik
Para Nabi Dalam Al- Qur’an.” Dakwatuna: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi Islam 09, no.
01 (2023): 41–55. https://doi.org/https://doi.org/10.54471/dakwatuna.v9i1.
Brown, Penelope, and Steven C. Levinson. Politeness: Some Universals in Language Use. 1st ed.
Cambridge: Cambridge University Press, 1987.
Cronin, Matthew A., and Elizabeth George. “The Why and How of the Integrative Review.”
Https://Doi.Org/10.1177/1094428120935507, July 6, 2020.
https://doi.org/10.1177/1094428120935507.
Davies, Bethan. “Grice’s Cooperative Principle: Getting the Meaning Across.” Leeds Working
Papers in Linguistics and Phonetics 8 (2000): 1–26. https://www.latl.leeds.ac.uk/wp-
content/uploads/sites/49/2019/05/Davies_2000.pdf.
Fahriansyah, Fahriansyah. “Filosofis Komunikasi Qaulan Syakila.” Alhadharah: Jurnal Ilmu
Dakwah 17, no. 34 (2019): 16. https://doi.org/10.18592/alhadharah.v17i34.2378.
Fraser, Bruce. “Perspectives on Politeness.” Journal of Pragmatics 14, no. 2 (April 1990): 219–
36. https://doi.org/10.1016/0378-2166(90)90081-N.
Hasjim, Nafron. “Kesantunan Berbahasa Dalam Islam.” Prosiding Seminar Nasional Magister
Pengkajian Bahasa UMS 2013, 2013, 325–53.
Herti, Yeti Dwi. “Nilai-Nilai Pendidikan Humanis Dalam Surat An-Nisa Ayat 63.” Jurnal
Kependidikan 07, no. 02 (2019): 157–65. https://doi.org/10.24090/jk.v7i2.3020.
Husna Husain. “Pendekatan Dakwah Terhadap Ahli Keluarga Berdasarkan Kisah Nabi
Ibrahim A.S.” Al-Abqari: Journal of Islamic Social Sciences and Humanities 16, no. Special
Issues (2018): 105–19. https://doi.org/https://doi.org/10.33102/abqari.vol16no1.9.
Indrawati, Indrawati. “Santun Berbahasa Dalam Dakwah.” Jurnal Dakwah Dan