Anda di halaman 1dari 11

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manajemen agroindustri terdri dari dua kata yaitu manajemen dan
agroindustri. Manajemen adalah tindakan untuk mencapai suatu tujuan dengan
cara mengkoordinasikan kegiatan orang lain. Fungsi-fungsi atau kegiatan
manajemen melipiti perencanaan, organisasi, staffing, koordinasi, pengarahan dan
pengawasan. Sedangkan agroindustri berasal dari dua kata yaitu agricultural dan
industry yang berarti suatu industri yang menggunakan hasil pertanian sebagai
bahan baku utamanya atau suatu industri yang menghasilkan suatu produk yang
digunakan sebagai sarana atau input dalam usaha pertanian. Menurut Austin
(1981), agroindustri adalah perusahaan yang memproses bahan baku pertanian,
termasuk hasil nabati atau hewani. Proses yang diterapkan mencakup pengubahan
dan pengawetan melalui perlakuan fisik dan kimiawi, penyimpanan, pengemasan
dan distribusi. Produk agroindustri dapat merupakan produk akhir yang siap
dikonsumsi atau digunakan oleh manusia atau sebagai produk bahan baku industri
lain. Dengan demikian, manajemen agroindustri dapat diartikan sebagai
pengelolaan suatu industri yang berbahan baku utama hasil pertanian. Dengan
adanya manajemen dalam agroindustri, diharapkan sumber daya yang dimiliki
oleh perusahaan dapat dimanfaatkan secara optimal dengan tetap
mempertimbangkan keberlanjutannya. Kegiatan agroindustri merupakan
bagian integral dari sektor pertanian yang mempunyai kontribusi penting dalam
proses industrialisasi terutama di wilayah pedesaan. Efek agroindustri tidak hanya
mentransformasikan produk primer ke produk olahan tetapi juga budaya kerja dari
agraris tradisional yang menciptakan nilai tambah rendah menjadi budaya kerja
industrial modern yang menciptakan nilai tambah tinggi.

1.2 Rumusan Masalah


• Menjelaskan perkembangan agroindustri di era globalisasi
• Menjelaskan kendala yang dihadapi dalam perkembangan agroindustri di era
global
• Menjelaskan komoditi yang menjadi faktor pendukung dalam kemajuan
agroindustry

1.3 Tujuan
• Untuk mengetahui kendala apa saja yang dihadapi dalam perkembangan
agroindustri di era globalisasi
• Untuk mengetahui komoditi apa saja yang menjadi pendukung dalam
kemajuan agroindustri
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Agroindustri Di Era Globalisasi


Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang strategis dalam
pelaksanaan pembangunan nasional, karena didukung oleh ketersediaan potensi
sumberdaya alam yang sangat baik dan beragam. Namun demikian, ketersediaan
berbagai sumber-daya hayati yang banyak tidak menjamin kondisi ekonomi
masyarakat akan lebih baik, kecuali bilamana keunggulan tersebut dapat dikelola
secara profesional, berkelanjutan dan amanah, sehingga keunggulan komparatif
(comparative advantage) akan dapat diubah menjadi keunggulan kompetitif
(competitive adventage) yang menghasilkan nilai tambah (value added) yang lebih
besar. Sektor agroindustri adalah sektor yang mampu memberi nilai tambah bagi
produk hasil pertanian. Hal ini dikarenakan agroindustri memiliki keterkaitan
langsung dengan pertanian primer, di mana industri inilah yang mengolah produk
primer pertanian menjadi barang setengah jadi (intermediate goods) maupun
barang konsumsi (final goods). Karena sektor pertanian primer sangat dipengaruhi
oleh industri, sistem perdagangan dan distribusi input produksi, maka kinerja
pertanian dan industri ini akan sangat mempengaruhi pola pengembangan
agroindustri selanjutnya. Kegiatan agroindustri juga juga dipengaruhi oleh
lembaga dan infrastruktur pendukung, baik lembaga perbankan, penyuluhan,
penelitian dan pengembangan, lingkungan bisnis, dana kebijakan pemerintah.
Oleh karenanya, untuk menggerakkan dan mengembangkan agroindustri, harus
mengacu pada keseluruhan sistem yang ada. Era globalisasi yang melanda dunia
secara nyata menyebabkan bermunculan berbagai norma dan aturan baru yang
satu sama lain saling tergantung dan kadangkadang tidak terpisahkan. Saling
ketergantungan antar negara dicirikan dengan semakin terbukanya pasar dalam
negeri terhadap produk-produk negara lain. Perubahan kondisi perdagangan dunia
menyebabkan semakin ketatnya persaingan antar unit-unit bisnis di masing-
masing negara untuk merebut pangsa pasar global yang semakin
terbuka.Konsekuensi dari perubahan-perubahan kondisi perdagangan tersebut
menuntut dunia agroindustri Indonesia untuk tidak hanya memiliki keunggulan
komparatif, melainkan juga keunggulan kompetitif yang tinggi, yang tercermin
dengan mutu produk yang tinggi dan harga yang dapat bersaing, walaupun mutu
produk tinggi tidak harus disertai dengan teknologi yang canggih, melainkan
dengan disiplin sumberdaya manusia industrial yang tinggi. Elemen mutu dan
harga merupakan dua hal yang saling berkaitan. Mutu produk yang tinggi akan
mengakibatkan harga produk menjadi tinggi dan lebih mampu bersaing di pasar
global. Pengembangan Agroidustri di Indonesia terbukti mampu membentuk
pertumbuhan ekonomi nasional. Di tengah krisis ekonomi yang melanda
Indonesia pada tahun 1997-1998, agroindustri ternyata menjadi sebuah aktivitas
ekonomi yang mampu berkontribusi secara positif terhadap pertumbuhan ekonomi
nasional. Selama masa krisis, walaupun sektor lain mengalami kemunduran atau
pertumbuhan negatif, agroindustri mampu bertahan dalam jumlah unit usaha yang
beroperasi. Kelompok agroindustri yang tetap mengalami pertumbuhan antara lain
yang berbasis kelapa sawit, pengolahan ubi kayu dan industri pengolahan ikan.
Kelompok agroindustri ini dapat berkembang dalam keadaan krisis karena tidak
bergantung pada bahan baku dan bahan tambahan impor serta peluang pasar
ekspor yang besar. Sementara kelompok agroindustri yang tetap dapat bertahan
pada masa krisis adalah industri mie, pengolahan susu dan industri tembakau yang
disebabkan oleh peningkatan permintaan di dalam negeri dan sifat industri yang
padat karya. Kelompok agroindustri yang mengalami penurunan adalah industri
pakan ternak dan minuman ringan. Penurunan industri pakan ternak disebabkan
ketergantungan impor bahan baku (bungkil kedelai, tepung ikan dan obat-obatan).
Sementara penurunan pada industri makanan ringan lebih disebabkan oleh
penurunan daya beli masyarakat sebagai akibat krisis ekonomi. Berdasarkan data
perkembangan ekspor tiga tahun setelah krisis moneter 1998-2000, terdapat
beberapa kecenderungan komoditas mengalami pertumbuhan yang positif antara
lain, minyak sawit dan turunannya, karet alam, hasil laut, bahan penyegar seperti
kakao, kopi dan teh, hortikultuta serta makanan ringan/kering. Berdasarkan
potensi yang dimiliki, beberapa komoditas dan produk agroindustri yang dapat
dikembangkan pada masa mendatang antara lain, produk berbasis pati, hasil hutan
non kayu, kelapa dan turunannya, minyak atsiri dan flavor alami, bahan polimer
non karet serta hasil laut non ikan. Dengan demikian, agroindustri merupakan
langkah strategis untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian melalui
pemanfaatan dan penerapan teknologi, memperluas lapangan pekerjaan serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

2.2 Kendala Yang Di Hadapi Dalam Perkembangan Agroindustri Di Era


Globalisasi
Secara garis besar, pengembangan agroindustri atau industri pertanian di
Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan, baik yang berkaitan dengan
susbsistem agribisnis hulu maupun dalam hal sistem perdagangan bebas produk
pertanian olahan. Tantangan di bidang agribisnis hulu meliputi belum terjaminnya
kesinambungan pasokan bahan baku berskala industri, rendahnya kualitas pasokan
bahan baku, dan belum baiknya zonasi pengembangan wilayah produk primer
dengan agroindustri. Sedang tantangan perokonomian global, agroindustri
dihadapkan pada perubahan lingkungan strategis nasional dan internasional.
Perubahan lingkungan strategis internasional ditunjukkan oleh adanya penurunan
dan bahkan penghapusan subsidi dan proteksi usaha pertanian, perubahan pola
permintaan produk pertanian, globalisasi dan liberalisasi perdagangan serta
investasi, kompetisi pasar yang semakin ketat, dan adanya krisis ekonomi global.
Sedangkan perubahan pada lingkungan strategis domestik ditandai oleh adanya
dinamika struktur demografi, perubahan kondisi dan kebijakan makroekonomi,
serta adanya dinamika ekspor non migas. Untuk tantangan yang bersifat internal,
masih didominasi oleh fakta bahwa usaha pertanian masih diusahakan dalam skala
kecil, ekstensif, terpencar-pencar, dan berorientasi subsistem. Hal ini tentu saja
sangat berpengaruh terhadap upaya penggerakan dan pengembangan agroindustri.

Berintegrasi dengan pasar global Kondisi tersebut tentu sangat berpengaruh pada
upaya peningkatan permintaan produk pertanian, baik kuantitas, kualitas maupun
keragamannya. Kata kuncinya adalah efisiensi dan daya saing. Oleh karena itu,
perencanaan pengembangan agroindustri didasarkan pada keunggulan komparasi
wilayah, sehingga tercermin adanya pengembangan industri pertanian wilayah,
bahkan pedesaan yang berbasis pada komoditas unggulan. Hal ini dapat dilihat
dari upaya pengembangan konsep ’one village one comodity.’ Itulah sebabnya,
dalam perencanaan pengembangan agroindustri, harus berbasis pada keterpaduan
komoditi, keterpaduan usaha tani, dan keterpaduan wilayah yang dijalankan, yang
diaplikasikan dengan berorientasi pada efisiensi ekonomi dan pemanfaatan pasar
ekspor. Sebagai sektor yang mempunyai kekuatan untuk menjadi penggerak
ekonomi nasional, agroindustri telah memperlihatkan peran yang sangat besar.
Salah satu kendala dalam pengembangan agroindustri di Indonesia adalah
kemampuan mengolah produk yang masih rendah. Hal ini ditunjukkan dengan
sebagian besar komoditas pertanian yang diekspor merupakan bahan mentah
dengan indeks retensi pengolahan sebesar 71-75%. Angka tersebut menunjukkan
bahwa hanya 25-29% produk pertanian Indonesia yang diekspor dalam bentuk
olahan. Kondisi ini tentu saja memperkecil nilai tambah yang yang diperoleh dari
ekspor produk pertanian, sehingga pengolahan lebih lanjut menjadi tuntutan bagi
perkembangan agroindustri di era global ini. Adapun kendala yang dihadapi
antara lain :a. Belum terfokusnya arah dan orientasi perkembangan agroindustri
sehingga sulit untuk menetapkan skala prioritasnya. b. Belum efektifnya peran
lembaga yang berperan dalam pengadaan stok produk agroindustri melemahkan
sistem cadangan produk pertanian yang secara tradisional telah dikembangkan
masyarakat selama ini. c. Sentra-sentra produksi belum dapat diandalkan untuk
bekerja secara efektif dan efisien sehingga mampu menyediakan bahan baku dan
menghasilkan produk secara berkesinambungan dalam jumlah dan kualitas yang
memadahi d. Penguasaan, pemilikan dan akses terhadap sarana teknologi dan
alatalat pengolahan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas barang masih
kurang. Faktor inilah yang menyebabkan mutu produk olahan belum dapat
memenuhi standar kualitas yang diharapkan lebih-lebih penyesuaian dengan
standarisasi produk yang diperlukan untuk mengisi pasar internasional. e.
Pemasaran dan distribusi belum berkembang terutama karena keterbatasan
infrastruktur berupa sarana transportasi, komunikasi dan informasi. f.
Sumberdaya manusia yang memilki ketrampilan, pengetahuan dan sikap yang
profesional masih terbatas baik dalam jumlah, kualifikasi, maupun sebarannya.
Belum adanya kebijakan yang mengontrol dan mengendalikan ekspor bahan
mentah untuk melindungi dan merangsang berkembangnya agroindustri di dalam
negeri.

2.3 Komoditi Penunjang Perkembangan Agroindustri Di Era Globalisasi


Kelapa Sawit Sebagai Komoditas
Strategis Nasional Komoditas kelapa sawit tidak terbantahkan merupakan
primadona perdagangan ekspor Indonesia. Ekspor minyak sawit Indonesia dan
produk turunannya terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2005 jumlah
ekspor minyak sawit Indonesia dan produk turunannya mencapai 10,5 juta ton.
Tahun 2006 jumlah ekspor minyak sawit dan produk turunannya meningkat
menjadi 12.1 juta ton dengan nilai sekitar USD 5,4 miliar (IOPRI, 2007). Kelapa
sawit juga menjadi sumber penerimaan pajak yang besar. Pajak bumi dan
bangunan yang dapat diperoleh adalah sekitar Rp 26.263 miliar dengan asumsi
luas areal perkebunan kelapa sawit sekitar 5.247.171 hektar dan dengan tarif pajak
Rp 5.000 perhektar pertahun (Darmosarkoro, 2006). Sejak bulan Oktober 2007,
Indonesia telah berhasil menjadi produsen CPO terbesar di dunia, bahkan pada
bulan Mei 2009, Indonesia telah mampu memproduksi 19 juta ton CPO dari
luasan areal 7,52 juta ha. Pada tahun 2007, ekspor CPO dan berbagai produk
turunannya mencapai 11,9 juta ton, setara dengan penerimaan USD 7,9 milyar,
dan memberikan pekerjaan kepada lebih dari 3,3 juta pekerja, baik di lahan
maupun di pabrik dan berbagai sektor jasa yang terkait. Bahkan Menteri
Perindustrian Republik Indonesia mengharapkan bahwa Indonesia

akan mampu menghasilkan 50 juta ton CPO pada tahun 2020 (Gumbira-Sa’id,
2009). Perdagangan minyak sawit dunia semakin baik dengan adanya peningkatan
konsumsi minyak sawit dunia. Minyak sawit telah menjadi minyak makan
terbesar yang dikonsumsi dunia mengganti-kan minyak kedelai. Pangsa pasar
dunia minyak sawit adalah 24,4% dan pangsa pasar minyak kedelai adalah 23,9%
dari total konsumsi minyak dan lemak dunia sebanyak 143 juta ton. Peningkatan
permintaan minyak sawit dipicu pula oleh peningkatan kesadaran dan kebutuhan
penggunaan energi alternatif yang terbarukan dan relatif kurang polutif. Misalnya
target negara-negara Eropa (UE) menggunakan biodisel dari minyak kelapa sawit
sebagai pengganti minyak bumi dari 4.873 juta ton pada tahun 2005 menjadi
14.010 juta ton pada tahun 2010 (Samhadi, 2006; Triyanto, 2007). Walaupun
sudah banyak hasil penelitian dan pengembangan kelapa sawit di Indonesia yang
cukup mutakhir (state-of-the art) dan dirujuk dunia, diantaranya penggunaan
bioteknologi pada per-baikan genetika bibit kelapa sawit, perbaikan kultur teknis
dengan irigasi tetes, penggunaan pupuk organik dari limbah kelapa sawit,
pengendalian hama terpadu dan mengutamakan sistem pengendali-an hayati,
perbaikan pasca panen, peningkatan rendemen hasil CPO, investasi pada beberapa
ragam oleokimia dan biodisesel serta surfaktan, namun, kelapa sawit sebagai
komoditas dalam bentuk curah masih termasuk kategori produk kurang
terdiferensiasi. Oleh karena itu, karakteristik pasar produk yang kurang
terdiferensiasi biasanya memiliki pembeli yang sedikit dan terkonsentrasi akan
tetapi penjualnya banyak. Jalur pemasarannya biasanya merupakan kepanjangan
tangan dari spotmarket, sedangkan informasi antar mitra perdagangan dalam
sistem pemasarannya biasanya juga tidak mengalir lancar. Walaupun demikian
terdapat keuntungan dari karakteristik pasar produk yang kurang terdiferen-siasi
yakni pembelian komoditas dapat dilakukan dengan cepat, berbiaya rendah dan
menggunakan rantai perdagangan yang relatif sudah mapan, serta memiliki
standar universal. Pasar komoditas curah tersebut dicirikan dengan instabilitas,
kelebihan pasok, kompetisi global yang tajam, kecenderungan penurunan harga
dan penurunan term of trade negara-negara produsen (Hermawan et al., 2006)

Persaingan yang utama pada perdagangan internasional kelapa sawit terjadi antara
Indonesia dan Malaysia, dengan posisi unggul masih berada di pihak Malaysia.
Keunggulan Malaysia di atas Indonesia terjadi karena didorong oleh faktor
koordinasi dan konsolidasi kebijakan pemerintah yang lebih baik, penguasaan
teknologi dan pengetahuan yang lebih maju, investasi swasta yang lebih besar
serta kekuatan pemasaran yang lebih baik. Selain itu keunggulan Malaysia di atas
Indonesia dalam hal perolehan devisa juga terjadi karena Malaysia telah sanggup
mengembangkan industri hilir produk kelapa sawit yang memiliki daya saing
internasional yang tinggi (Gumbira-Sa’id, 2006). Indonesia masih menghadapi
berbagai kendala dalam agribisnis kelapa sawit seperti didaftar di bawah ini. 1.
Konflik sosial seperti ketidakharmonisan hubungan antara pekebun, masyarakat
sekitar, dan instasi terkait. Masalah-masalah sosial tersebut dapat berlanjut
menjadi masalah lainnya seperti okupasi lahan, masalah ketersediaan lahan dan
perizinan, dan tindakan kriminal seperti penjarahan produk. 2. Lemahnya strategi
pengembangan industri dan kemampuan membangun industri hilir yang masih
rendah. Regulasi pemerintah, komitmen lembaga pembiayaan, pelaku bisnis dan
sinkronisasi pengembangan industri hulu dan hilir belum berjalan dengan baik. 3.
Isu-isu lingkungan. Perambahan hutan konservasi untuk dijadikan lahan
perkebunan kelapa sawit telah banyak terjadi. Salah satu kasusnya adalah
pembukaan lahan pada hutan konservasi seluas 49.948 Ha di Sumatera Selatan.
Pengembangan lahan tersebut mengakibatkan kerusakan hutan, erosi, dan
rusaknya biodiversity (Khoiri, 2006). Tekanan LSM, lembaga konsumen dan
lembaga pencinta lingkungan internasional yang gencar menyuara-kan
pembangunan perkebunan kelapa sawit lestari mempengaruhi perbankan dan
lembaga keuangan multilateral untuk membatasi atau menghentikan sama sekali
investasi dan pem-biayaan di sektor sawit Indonesia karena argumen lingkungan
dan sosial. Oleh karena itu kewajiban perusahaan kelapa sawit untuk
melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR) semakin penting bagi
keberlanjutan bisnis.
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Dalam sistem perekonomian yang makin mengglobal seperti


yang terjadi saat ini, pasar komoditas pertanian menjadi terintegrasi dengan pasar
dunia, yang diiringi dengan terjadinya perubahan mendasar pada preferensi
konsumen terhadap produk-produk hasil pertanian. Preferensi konsumen berubah
dari yang sebelumnya hanya sekadar membeli ’komoditi’ ke arah membeli
’produk’. Dengan demikian, di pasar domestik, persaingan produk primer semakin
tak terhindarkan, karena biaya transportasi antar negara menjadi semakin murah,
serta terbukanya investasi asing. 3.2 Saran Dalam perumusan program
pembangunan industri pertanian di Indonesia, tentu tidak semata-mata
mengandalkan logika dan teori semata, namun harus pula melihat fakta di
lapangan, dan juga berpijak pada pengalaman di masa lalu. Hal ini perlu
diperhatikan karena dalam penerapan berbagai teori yang telah diterapkan di masa
lalu, ternyata kini menemui jalan buntu. Misalnya strategi meraih swasembada
pangan dengan mengerahkan seluruh sumber daya yang ada, ternyata dalam
jangka panjang justru menimbulkan ketegantungan yang tinggi pada komoditi
beras, dan menghambat diversifikasi pangan.
11

Daftar Pustaka T. Hani Handoko, Dasar-Dasar Manajemen Produksi Dan Operasi,


BFE Yogyakata, 1984. Jay Heyzer dan Barry Render, Manajemen Operasi,
Salemba Empat, Jakarta, 2005 Assauri, Sofjan, “Manajemen Produksi dan
Operasi Edisi Revisi 2004”, Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta, 2004

Anda mungkin juga menyukai