Anda di halaman 1dari 9

1.

Pengertian Pendidikan Menurut Istilah dan Bahasa


Istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani “Paedagogie” yang akar katanya “Pais” yang
berarti anak dan “again” yang artinya membimbing. Jadi “paedagogie” berarti bimbingan yang
diberikan kepada anak. Dalam bahasa Inggris, pendidikan diterjemahkan menjadi “education”.
“education” berasal dari bahasa Yunani “educare” yang berarti membawa keluar yang tersimpan
dalam jiwa anak, untuk dituntun agar tumbuh dan berkembang. Syafril dan Zelhendri Zen,
Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Depok: Kencana, 2017), 26.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah proses mengubah sikap
dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan latihan, proses, perbuatan, dan cara mendidik. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI).
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20 Tahun 2003 Bab I Pasal 1
mendefinisikan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, (Jakarta: Balai Pustaka Cipta Karya, 2004).

2. Pengertian Makhluk Monodualis dan Makhluk Monopluralis


A. Makhluk Monodualis
Manusia sebagai makhluk monodualis mengacu pada pandangan filosofis tentang sifat manusia
yang memiliki aspek tunggal dalam keberadaannya. Dalam konteks ini, "mono" berarti satu, dan
"dualis" merujuk pada pandangan bahwa manusia terdiri dari dua aspek yang terpisah: tubuh
fisik dan jiwa/roh yang tidak materi.
Dalam pandangan monodualis, tubuh fisik manusia dianggap sebagai wadah temporal yang
memungkinkan manusia berinteraksi dengan dunia fisik. Sementara itu, jiwa atau roh dianggap
sebagai entitas nonmateri yang memberikan kesadaran, pikiran, dan sifat spiritual pada manusia.
Jiwa atau roh dianggap sebagai aspek manusia yang abadi dan terhubung dengan dimensi yang
lebih tinggi atau kehidupan setelah mati.
Namun, penting untuk dicatat bahwa pandangan tentang manusia sebagai makhluk monodualis
bukanlah konsensus universal di antara semua sistem kepercayaan dan pandangan filosofis. Ada
juga pandangan seperti dualisme substansial, materialisme, dan pandangan non-dualistik yang
berbeda dalam mengartikan hubungan antara tubuh dan pikiran/roh manusia.
Pemahaman tentang sifat manusia sebagai makhluk monodualis sangat dipengaruhi oleh
keyakinan agama, pandangan filosofis, dan interpretasi individu. Ini adalah subjek yang
kompleks dan terus diperdebatkan di dalam masyarakat akademik dan teologis. Uswatun
Khasanah, dkk, Landasan Pendidikan Konsep dan Makna, (Klaten: CV. Tahta Media Grup,
2023), 2.
B. Makhluk Monopluralus
Menurut Notonagoro, manusia adalah makhluk monopluralis, maksudnya makhluk yang
memiliki banyak unsur kodrat (plural), tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh (mono). Jadi,
manusia terdiri dari banyak unsur kodrat yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Tetapi dilihat
dari segi kedudukannya, susunannya, dan sifatnya masing-masing bersifat monodualis.
Rinciannya sebagai berikut dilihat dari kedudukan kodratnya manusia adalah makhluk
monodualis terdiri dari dua unsur (dualis), tetapi merupakan satu kesatuan (mono), yakni sebagai
makhluk pribadi berdiri sendiri sekaligus sebagai makhluk Tuhan Dilihat dari susunan
kodratnya, manusia sebagai makhluk monodualis, maksudnya terdiri dari dua unsur yakni unsur
raga dan unsur jiwa (dualis), tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh (mono). Dilihat dari sifat
kodratnya, manusia juga sebagai makhluk monodualis, yakni terdiri dari unsur individual dan
unsur sosial (dualis), tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh (mono). Secara keseluruhan,
manusia adalah makhluk monopluralis seperti disebutkan di depan. Dwi Siswoyo, dkk, Ilmu
Pendidikan, (Yogyakarta: UNY Press), 46-47.

3. Penyebutan Manusia dalam Al-Qur’an


Manusia perlu memahami hakikat dirinya untuk mewujudkan eksistensinya. Dengan demikian
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk yang mampu berpikir sehingga
melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Melalui kemampuan berpikir yang dimiliki,
manusia bisa mencari makna hidup dan membangun kehidupan, dan melalui proses ini lahirlah
peradaban manusia. Syamsuddin, Manusia dalam Pandangan K.H. Ahmad Azhar Basyir, MA,
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), 75-76.
Penyebutan manusia dalam Al-Qur’an menggunakan beberapa terminologi antara lain bashar,
ins, insan, nas, dan bani adam. Di mana masing-masing memiliki arti sendiri yang berbeda
antara satu dengan yang lainnya, namun demikian perbedaan arti tersebut tidak berpengaruh
pada objek yang dimaksud yakni semua terminologi tersebut diarahkan pada penyebutan
manusia.
1. Bashar, kata ini disebutkan Al-Qur’an kurang lebih dalam 23 surat, yang berkaitan tentang
penciptaan manusia, kemanusiaan para Nabi, serta ketidak mungkinan basyar dalam
berkomunikasi dengan Allah secara langsung. Khoirun Nadiyyin, Stuktur Semantik Konsep
Manusia dalam Al-Qur’an, (Fakultas Adab: UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta), 4.
Kata ini memiliki arti penampakan sesuatu dengan baik dan indah, dari akar kata yang sama,
lahir kata basharah yang berarti kulit. Dari sini menunjukkan bahwa kata ini digunakan untuk
merujuk pada aspek lahir atau fisik manusia. Kementerian Agama RI, Tafsir Al-Qur'an Tematik,
(Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal Bimas
Islam Kementerian Agama RI, 2012), 16-17.
Kata bashar juga diartikan mula samah (persentuhan kulit antara perempuan dan laki-laki).
Abdul Hadi, "Dimensi Pendidikan Islam (Analisa Terhadap Konsep Al- Nas, Al-Basyar dan Al-
Insan dalam Al-Qur'an", Sintesa, 1, (2014), 5-6. secara etimologis dapat disimpulkan bahwa
manusia adalah makhluk yang memiliki sifat bologis juga keterbatasan, seperti minum, makan,
seks, keamanan dan lain sebagainya. Kata ini ditunjukkan untuk semua manusia tanpa terkecuali
baik itu nabi ataupun bukan.
2. Ins, kata ini disebut dalam Al-Qur'an bersamaan dengan kata jinn atau jann kurang lebih
dalam 17 surat. Kata ini juga serupa dengan insiyy yang memiliki bentuk jamak "anasiya".
Dilihat dari penyebutannya yang bersamaan dengan kata jinn, ins mengarah pada makna jinak
yaitu dapat ditangkap dan dilihat karena memang diperlihatkan, kebalikan dari jinn yang dalam
bahasa berarti samar, tidak dapat ditangkap dan tertutup. Dimana tentunya pengertian ini
dipahami dari sudut pandang dunia manusia:
‫َو َم ا َخ َلْقُت اْلِج َّن َو ا ِاْل ْنَس ِااَّل ِلَيْعُبُد ْو ِن‬
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku."
(QS. Az-Zariyat 51: Ayat 56)
Dan di antara keduanya memiliki kesamaan yang juga dijelaskan dalam Al-Qur'an, yaitu sama-
sama menjadi makhluk ciptaan Allah yang diperintah untuk menyembah Nya (QS. Al-Dzariyat:
56), sama-sama dikirimkan utusan kepada mereka dari kalangan masing-masing (QS. Al-An'am:
13), sama-sama diberi potensi kemampuan untuk bisa melampaui batas dari dunia masing-
masing ke dunia yang lain (QS. Al-Rahman: 39), sama-sama mungkin menjadi musuh nabi SAW
(QS. Al- An'am: 112), sama-sama mendapat tantangan untuk membuat perumpamaan terhadap
al-Qur'an (Q.S. Al-Isra': 88). Disebutkannya dua jenis makhluk tersebut mengindikasikan adanya
hubungan antara keduanya yakni hubungan saling memengaruhi, yang lebih sering ditekankan
bahwa jin sering memengaruhi manusia dan sebaliknya manusia menjadikan jin sebagai tempat
perlindungan atau tempat minta pertolongan (QS. Al-Jinn: 6; QS. Al-A'raf: 38, dan QS. Al-
An'am: 112).
3. Al-Insan dari kata al-ins disebut kurang lebih sebanyak 73 kali, yang secara etimologi bisa
diartikan lemah lembut, harmonis, tampak dan pelupa. Kata ini digunakaan dalam Al-Qur'an
mengarah pada totalitas manusia sebagai makhluk dari segi jasmani dan rohaninya, harmonisasi
dari dua segi tersebut yang membuat manusia menjadi makhluk yang istimewa dibanding
makhluk lainnya. Abdul Muis Thabrani, Pengantar dan Dimensi-Dimensi Pendidikan, (Jember:
STAIN Jember Press, 2013), 7.
Semua konteks kata al-insan mengarah pada sifat-sifat spiritual dan psikologis, dan dapat
dikelompokan menjadi 3 keterkaitan. Pertama, terkait keistimewaannya sebagai khalifah dan
amanah yang dipikul, dimana wujud manusia yang berbeda dengan hewan, dan merupakan
makhluk yang diberi ilmu (QS. Al-'Alaq: 4-5) kemudian mengembangkan pengetahuan dan daya
nalarya. Amanah yang dimaksud adalah perjuangan menciptakan tatanan sosial yang bermoral di
dunia ini, karena manusia diberi kebebasan berkehendak dalam semua tindakannya, namun tetap
mendapat konsekuesi dari semua perbuatannya sebagai bentuk tanggung jawab.
Kedua, terkait predisposisi negatif dalam diri manusia, dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa
manusia cenderung pada beberapa sifat negatif seperti bodoh (QS. Al-Ahzab: 72), bakhil (QS.
Al-Isra': 100), dzalim dan kufur (QS. Ibrahim: 34, Al-Hajj: 26, Al-Zukhruf: 15), resah, gelisah,
dan segan membantu (QS. Al-Ma'arij: 19), tergesa-gesa (QS. Al-Isra': 11; QS. Al-Anbiya': 37),
berbuat dosa (QS. Al-Alaq: 6 dan Al-Qiyamah: 5), banyak mendebat dan membantah (QS.
Yasin: 77, Al-Kahfi: 54), meragukan hari kiamat (QS. Maryam: 66), dan tidak berterima kasih
(QS. Al-Adiyat6).
Ketiga, terkait penciptaan manusia yaitu asal usul manusia dinisbatkan pada konsep bashar dan
insan sekaligus. Manusia sebagai insan maupun bashar diciptakan dari tanah liat, menurut
Qardhawi, manusia merupakan gabungan antara tanah dan ruh ilahi, yang pertama unsur material
(bashar) dan kedua unsur rohani (insan). Keduanya harus bergabung dan seimbang. Dan Abbas
Mahmud al-Aqqad berpendapat bahwa seorang mukmin dilarang mengurangi hak-hak tubuh
untuk memenuhi hak roh dan sebaliknya juga dilarang mengurangi hak-hak roh untuk memenuhi
hak tubuh.
4. Nas, kata ini merupakan yang paling sering digunakan dalam Al-Qur' an yaitu sekitar 40 kali,
berbeda dengan 3 kata sebelumnya yang lebih menjelaskan konsep tentang manusia kata nas
lebih mengarah pada realisasi aktual manusia dari konsep tersebut. Manusia berada dalam ruang
dan waktu yang aktual, dan secara faktual kepada nas ini titah-titah dari Allah diarahkan seperti
menyembah (QS. Al-Baqarah: 21), bertakwa (QS. Al-Nisa': 1), memakan yang halal dan tayib
(QS. Al-Baqarah: 168) dan lain sebagainya. Banyak kata nas mengarah pada arti sebagai
makhluk sosial, hal tersebut bisa dilihat dari ayat-ayat yang menunjukan pada kelompok sosial
beserta karakteristinya seperti sebagian besar manusia memiliki kualitas rendah dalam segi ilmu
(QS. Al-A'raf: 187, Al-Qhasas: 68, Yusuf: 21, Ar-Ruum: 6,30, Saba': 28,36, Al-Jaatsiyah: 26,
Al-Mu'min:77) dan masih banyak lagi." Zaprulkhan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 117-120.
5. Bani Adam, berarti anak-cucu Adam atau keturunan Nabi Adam AS, dan dalam bahasa Adam
mempunyai arti permukaan bagian dalam dari kulit dan yang menjadikan sesuatu bisa dikenali.
Adam adalah wujud bashar yang sudah menjadi insan, Adam dan pasangannya dimunculkan
dalam kehidupan dunia, dan kata bani Adam ditujukan pada manusia keturunan nabi Adam
hingga hari kiamat.
Di dalam Al-Qur'an bani Adam disebut sekitar tujuh kali, istilah ini digunakan untuk
mengingatkan asal-usulnya yang terkait dengan cerita Nabi Adam yan pernah dijerumuskan
setan dalam melanggar larangan Allah (QS. Al-A'raf: 27), peringatan untuk memegang nikmat
yang telah dianugerahkan (QS. Al-Isra': 70), janji primodial bahwa tidak akan menyembah setan
(QS. Yaasilin: 60, Al-A'raf: 172).

4. Definisi dari beberapa berikut ini:


A. Asas Pendidikan Seumur Hidup
Asas pendidikan seumur hidup itu sendiri terus berlanjut dan berlangsung seumur hidup,
sehingga peranan manusia untuk mendidik dan mengembangkan diri sendiri secara wajar
merupakan kewajiban kodrati manusia. Pendidikan tidak hanya pada bangku sekolah saja,
namun berlanjut hingga akhir hayat. Proses pendidikan itu sendiri dimulai dari keluarga, sekolah
dan masyarakat. Media dalam belajar pun tidak hanya duduk dan mendengarkan penjelasan dari
guru/pengajar, namun saat ini banyak media untuk belajar. Teknologi pada zaman sekarang
sudah semakin maju dan berkembang sangat cepat, sehingga konsep pendidikan seumur hidup
sangat cocok diterapkan pada manusia di era sekarang ini yang memerlukan penyesuaian
sehingga tidak dianggap tertinggal.
Dalam konsep pendidikan seumur hidup, pendidikan merupakan proses yang berlangsung terus
menerus sejak manusia lahir sampai meniggal dunia. Konsep ini mengharapkan agar manusia
selain berkembang seumur hidupnya, di sisi lain juga mengharapkan agar masyarakat dan
pemerintah dapat menciptakan situasi yang merangsang aktivitas belajar. Atas dasar ini maka
sekolah bukanlah satu-satunya masa untuk belajar melainkan sebagian kecil dari proses belajar
yang akan berlangsung sepanjang hayat. Meskipun demikian pendidikan juga merupakan segi
peningkatan terus menerus yang bertujuan, dipertimbangkan secara masak serta diperlengkapi
secara baik. Peningkatan itu merupakan hukum bagi semua umat. Nur Ani Azis, Pendidikan
Seumur Hidup, Jurnal Pilar, Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2013, 102-103.
B. Ing Ngarsa Sung Tuladha
Ing Ngarsa Sung Tuladha adalah salah satu konsep dalam semboyan pendidikan yang dijelaskan
oleh Ki Hadjar Dewantara. Jadi ing ngarsa sung tuladha mengandung makna, sebagai pamong
(pendidik) adalah orang yang lebih berpengalaman dan berpengetahuan hendaknya mampu
menjadi contoh yang baik atau dapat dijadikan sebagai "central figure" bagi peserta didik.
Pendidikan budi pekerti tidak dapat terinternalisasi dalam diri peserta didik dengan sendirinya,
oleh karena itu dalam falsafah ini menuntut pentingnya keteladanan yang baik dari pendidik
terhadap peserta didik. Stanley R. Rambitan, Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mbangun
Karsa, Tut Wuri Handayani: Methods of Javanese Local Wisdom Used in Christian Religious
Education, Advances in Social Science, Education and Humanities Research, Vol. 560, 2020, 46.
C. Ing Madya Mangun Karsa
Merupakan salah satu konsep dalam semboyan pendidikan yang dijelaskan oleh Ki Hadjar
Dewantara. Konsep ini menekankan peran pendidik sebagai mitra belajar yang peka, aktif,
dinamis, dan responsif terhadap segala perubahan yang terjadi dalam proses pembelajaran,
terutama yang terkait dengan situasi dan kebutuhan peserta didik. Dalam konteks ini, pendidik
diharapkan untuk berperan sebagai fasilitator dan mitra belajar bagi siswa, bukan hanya sebagai
sumber utama informasi dalam proses pembelajaran. Ing Madya Mangun Karsa menekankan
bahwa pendidik harus berperan sebagai penggerak ide dan gagasan, serta mampu merangsang
terciptanya ide dan gagasan di tengah-tengah peserta didik. Dengan demikian, konsep ini
menekankan pentingnya peran pendidik dalam membantu peserta didik untuk mengembangkan
ide, gagasan, dan kreativitas mereka sendiri. Buruj Ruth, dkk, Perspektif Semboyan Pendidikan
Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani Dalam Kurikulum
Merdeka, Jurnal Review Pendidikan dan Pengajaran, Vol, 6, No. 4, 2023, 3676.
D. Tut Wuri Handayani
Tut Wuri Handayani adalah slogan utama dalam pendidikan di Indonesia dan merupakan filosofi
pendidikan yang diketuskan oleh Ki Hajar Dewantara. Slogan ini berarti "di belakang harus
mendukung" dan menekankan peran guru sebagai motivator dan pendukung bagi mereka. Tut
Wuri Handayani mencerminkan pendekatan pendidikan yang berfokus pada peserta didik dan
mampu mereka mencapai potensi penuh mereka. Agus Hermawan, Emily B. Tan, Philosophy
education: “tut wuri handayani" as the spirit of process governance in Indonesia educational
organization, Jurnal Educatio (Jurnal Pendidikan Indonesia), Vol. 7, No. 2, 2021, 100-104.
Dari ketiga semboyan di atas, terdapat makna konseptual yang terbentuk oleh kemauan, tekad,
dan ide Ki Hajar Dewantara tentang dunia pendidikan. Metode Ngemong, Momong, Among, dan
semboyan Ing Ngarsa Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani bukan
berasal dari sebuah pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang terpisah. Konsep ini merupakan bagian
integral dari filosofi pendidikan yang diusung oleh Ki Hadjar Dewantara, yang menekankan
peran guru sebagai teladan, mitra belajar, dan pendukung bagi peserta didik dalam proses
pendidikan. Pendidikan bukan hanya masalah bagaimana membangun isi (kognisi) namun juga
pekerti (afeksi) anak-anak Indonesia, yang tentunnya diharapkan "meng-Indonesia" agar mereka
kelak mampu menjadi pemimpin-pemimpin bangsa yang “meng-Indonesia" (memiliki kekhasan
Indonesia).
Agus Hermawan, Representasi Semboyan Edukasi Ki Hajar Dewantoro dalam Kajian Semantik
(Pendekatan Behavioral), JPE: Jurnal Pendidikan Edutama, Vol. 5, No. 2, 2018, 49-54.
E. Asas Kemandirian
Kemandirian dalam belajar diartikan sebagai aktifitas belajar yang berlangsung lebih didorong
oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri, dan tanggung jawab sendiri dari pembelajaran. Pengertian
tantang belajar mandiri sampai saat ini belum ada kesepakatan dari para ahli. Ada beberapa
pandangan tentang belajar mandiri yang diutarakan oleh para ahli seperti dipaparkan sebagai
berikut:
a. Belajar Mandiri memandang siswa sebagai para manajer dan pemilik tanggung jawab dari
proses pelajaran mereka sendiri. Belajar Mandiri mengintegrasikan self-management
(manajemen konteks, menentukan setting, sumber daya, dan tindakan) dengan self-
monitoring (siswa memonitor, mengevaluasi dan mengatur strategi belajarnya).
b. Peran kemauan dan motivasi dalam Belajar Mandiri sangat penting di dalam memulai dan
memelihara usaha siswa.
c. Di dalam belajar mandiri, kendali secara berangsur-angsur bergeser dari para guru ke siswa.
Siswa mempunyai banyak kebebasan untuk memutuskan pelajaran apa dan tujuan apa yang
hendak dicapai dan bermanfaat baginya.
Haris Mujiman mencoba memberikan pengertian belajar mandiri dengan lebih lengkap.
Menurutnya belajar mandiri adalah kegiatan belajar aktif, yang didorong oleh niat atau motif
untuk menguasai suatu kompetensi guna mengatasi suatu masalah. Di sini belajar mandiri lebih
dimaknai sebagai usaha siswa untuk melakukan kegiatan belajar yang didasari oleh niatnya
untuk menguasai suatu kompetensi tertentu. Belajar mandiri dapat diartikan sebagai usaha
individu untuk melakukan kegiatan belajar secara sendirian maupun dengan bantuan orang lain
berdasarkan motivasinya sendiri untuk menguasai suatu materi pembelajaran. Perwujudan asas
kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru dalam peran utama sebagai fasilitator dan
motifator. Joni Raka, Cara Belajar Siswa Aktif, Wawasan Kependidikan dan pembaruan
Pendidikan Guru, (Malang; IKIP Malang, 1983), 58.

5. Pemahaman Pribadi
Sejauh ini, saya telah memahami bahwa dasar-dasar pendidikan meliputi konsep-konsep seperti
filosofi pendidikan, tujuan pendidikan, teori pembelajaran, kurikulum, evaluasi, dan manajemen
pendidikan. Namun, masih ada beberapa aspek yang belum sepenuhnya saya pahami, seperti
implementasi praktis dari konsep-konsep tersebut dalam konteks pendidikan nyata dan dinamika
interaksi antara siswa, guru, dan lingkungan belajar.

Anda mungkin juga menyukai