Anda di halaman 1dari 4

‫رمضانيات‬

Kalibrasi Rasa

Kita mulai dari kalimat Abdullah bin Umar radhiallahu anhu. Yang menggambarkan keadaan
masyarakat Nabi di waktu Maghrib malam 30 Sya’ban:

‫تراءى الناس اهلالل‬


“Semua orang bersama-sama melihat hilal.” (HR. Abu Dawud)

Jika Ramadhan masuk, Nabi bersabda di hadapan para shahabatnya:

ُ‫ َوتُغَلُّ فِ ِيه َم َرَدة‬،‫اب ا ْْلَ ِحي ِم‬ ِِ ِ ِِ ِ


ُ ‫ َوتُغْلَ ُق فيه أَبْ َو‬،‫اب ال هس َماء‬ ُ ‫ تُ ْفتَ ُح فيه أَبْ َو‬،ُ‫اَّللُ َع هز َو َجله َعلَْي ُك ْم صيَ َامه‬
‫ض ه‬ َ ‫ فَ َر‬،‫ضا ُن َش ْهٌر ُمبَ َارٌك‬
َ ‫أَ ََت ُك ْم َرَم‬
‫ْف َش ْه ٍر َم ْن ُح ِرَم َخ ْ َْيَها فَ َق ْد ُح ِرَم‬ِ ‫ني ِهَّللِ فِ ِيه لَْي لَةٌ َخ ْْي ِمن أَل‬ ِ ‫الشهي‬
ِ ‫اط‬
ْ ٌ َ
“Telah datang Ramadhan bulan yang diberkahi, Allah azza wajalla mewajibkan pada kalian puasa,
dibukanya pintu-pintu langit, ditutup padanya pintu-pintu Jahim dan diikatnya syetan pembangkang,
di dalamnya ada malam yang lebih baik dari seribu bulan, siapa yang tidak mendapatkan kebaikannya
maka sungguh ia telah kehilangan kebaikan.” (HR. Ahmad dan Nasai)

Para ulama kemudian mengomentari hadits ini dengan: Nabi memberikan kabar gembira akan
datangnya Bulan Ramadhan...

Setelah membaca paragraf di atas, apa yang anda dapat dan apa yang anda rasakan. Saya belum
bertanya: apa yang akan anda lakukan.

Dua riwayat di atas juga diterima dan dipahami oleh muslimin di sepanjang masa peradaban Islam.

Kini, mari kita bandingkan antara rasa dan aksi kita setelah mengetahui dua riwayat tersebut, dengan
rasa dan aksi muslimin di masa kebesarannya.

Dalam buku: Mu’jam Ramadhan karya Fuad Mursi kisah ini dicantumkan,

Di masa kesultanan Mamalik Mesir, di masa Sultan Azh Zhahir Beibers. Qodhi Qudhoh/hakimnya para
hakim, berikut 4 hakim dan para saksi. Mereka membawa lilin dan lampu. Muhtasib Kairo (yang
mengurusi urusan pasar, memeriksa timbangan, takaran dan harga, mengumpulkan pajak), ia tak
sendiri tapi bersama para pedagang, para ketua kelompok, industri dan profesional. Mereka
menyaksikan hilal dari menara Madrasah Al Manshur Qalawun di Nahhasin. Jika hilal terlihat, cahaya-
cahaya dinyalakan di tempat-tempat tinggi, menara-menara adzan dan masjid-masjid pun dilampui.
Kemudian Qadhi Qudhah dengan rombongan dikelilingi sekumpulan warga yang membawa lampu-
lampu, lilin dan berbagai bentuk penerangan berjalan bersama hingga sang Qadhi Qudhah sampai di
rumahnya, barulah kemudian mereka kembali ke daerah masing-masing mengumumkan ke
masyarakatnya tentang permulaan Ramadhan.
Menurut Ibnu Batutah yang menuturkan saat berkunjung ke Mesir tahun 725 H zaman Sultan
Muhammad bin Qalawun, bertempatan dengan malam ru’yah hilal di Kota Abyar (hari ini: Kafar Zayat):

“Di Abyar, saya menemui Qadhinya yaitu Izzuddin Al Maliji Asy Syafii pada hari yang mereka namai
(‫ يوم ارتقاب‬/ Hari penantian) hilal Ramadhan. Kebiasan mereka adalah: dimulai dengan berkumpulnya
para ahli fikih di kota itu dan para tokohnya, setelah Asar tanggal 29 Sya’ban di rumahnya Qadhi. Di
depan pintu berdiri seorang penjaga dengan penampilan yang rapi untuk menyambut kedatangan
para ahli ilmu dan tokoh. Jika seorang di antara mereka datang, disambut oleh penjaga tersebut dia
berjalan di depan tokoh tersebut sambil berkata: (Bismillah, tuan fulan). Qadhi dan orang-orang yang
sudah hadir semua berdiri untuk menyambutnya dan yang baru datang dipersilakan duduk di tempat
yang layak. Jika sudah lengkap, mereka dengan kendaraan keluar bersama-sama dengan diikuti oleh
kaum laki-laki, para wanita dan anak-anak. Hingga sampai di sebuah tempat yang tinggi di luar kota,
tempat untuk melihat hilal. Tempat tersebut sudah di digelari alas untuk duduk. Mereka semua duduk
di sana dan menanti hilal. Jika hilal berhasil dilihat, mereka kembali ke kota setelah Shalat Maghrib
dengan membawa lampu-lampu, lilin dan berbagai penerangan, kemudian diikuti oleh para pemilik
toko yang ikut menerangi toko-toko mereka. Rombongan bergerak mengantar Qadhi sampai
rumahnya kemudian mereka pun bubar. Begitulah setiap tahunnya diadakan.”

Mas’ud Syuman dalam tulisannya (‫ دورة حياة تبدأ بطفولة القمر وتنتهي برحيله الموجع‬..‫ )رمضان‬menambahkan
kisah:

Malam itu juga orang-orang kaya membagi-bagikan hadiah, shadaqah dan membuat pesta-pesta kecil
untuk fakir miskin.

Masih dalam Mu’jam Ramadhan, Fuad Mursi selanjutnya mengisahkan malam ru’yah hilal Ramadhan
di Kairo masa Turki Utsmani, berikut ringkasannya,

Suasana perayaan sudah dirasakan bahkan seminggu sebelum hari ru’yah hilal. Di mana mereka saling
kunjung keluarga dan kerabat menjelang Ramadhan.

Malam ru’yah hilal, Kairo menyala terang sepanjang malam. Para ulama, tokoh, pemimpin, masyarakat
baik laki, perempuan, anak-anak semua keluar untuk bersenang menyambut Bulan Ramadhan. Mereka
keluar dengan pakaian-pakaian bagus, pelana-pelana kuda mereka pun dihias indah. Suara Allahu
Akbar menggema di mana-mana.

Masyarakat berombongan dari berbagai kalangan; petani, pedagang, tukang bangunan, tukang masak,
para penjual di pasar, berbagai kalangan profesi penjahit, ahli parfum, tukang cukur, pengrajin sepatu
dan semua lapisan masyarakat keluar malam itu melakukan perjalanan bersama-sama menuju rumah
Qadhi. Qadhi menyambut mereka semua dan menjamu mereka dengan kopi, wewangian bukhur.
Kemudian Qadhi menghadirkan ulama 4 madzhab untuk menyampaikan apakah esok sudah masuk
Ramadhan atau belum.

Jika esok Ramadhan, maka malam itu juga berita gembira tersebut dikirimkan kepada Pasya, pemimpin
tertinggi kota itu. Masjid-masjid dan seluruh penjuru kota diterangi. Kemudian terdengar 40 sampai
50 tembakan meriam yang menggema dan menggetarkan kota menandakan esok Ramadhan. Saat itu
masyarakat saling bertemu dan saling mengucapkan selamat. Beberapa ahli ibadah keliling kampung-
kampung sambil meneriakkan kalimat; jika esok Ramadhan mereka berteriak sambil keliling: (Wahai
umatnya manusia terbaik...shiyam...shiyam...) atau kalau esok belum Ramadhan maka mereka
berteriak: (Esok penyempurna Bulan Sya’ban...buka...buka...)

Semua perayaan itu selesai di tengah malam di mana masyarakat beramai-ramai mendatangi masjid
untuk shalat tarawih dan berniat puasa esok harinya.

Ini hanya sedikit kisah dari begitu menyalanya perayaan penyambutan Ramadhan di sepanjang
kebesaran Islam di berbagai penjuru kota Islam.

Sekarang, kita urai dulu beberapa kata dari kisah di atas. Karena bisa jadi tanpa uraian kata, sering kali
hanya rasa hambar yang ada.

Tergambar jelas gebyar perayaan dan kesenangan masyarakat muslim di sebuah kota saat malam
ru’yah hilal Ramadhan. Ada simpul-simpul penting dalam kisah perayaan tersebut. Di antaranya adalah
Qadhi Qudhah atau Qadhi, ia adalah orang tertinggi di bidang agama yang memiliki kuasa untuk
pengadilan dan sekaligus fatwa di kota itu. Sejak masa Azh Zhair Beibers, Dinasti Mamalik tidak hanya
punya satu Qadhi tapi punya 4 Qadhi sekaligus di satu kota. Mengapa? Karena setiap Qadhi mewakili
satu madzhab fikih. Karena Mamalik bermadzhab Syafii, maka Qadhi tertinggi dari madzhab Syafii.
Mereka bisa berkumpul dalam satu kepemimpinan ilmu dan mengeluarkan satu pendapat yang tidak
membingungkan masyarakat dengan debat kitab-kitab yang tidak ada gunanya di mata masyarakat.
Karena masyarakat hanya perlu tahu esok sudah Ramadhan atau belum.

Dari kalangan pemimpin tertinggi kota itu, diwakili oleh muhtasib yang akan segera mengabarkan
berita keputusan para ahli ilmu malam itu.

Kisah yang memadukan antara kewibawaan para ahli ilmu yang berkumpul dengan semangat
membimbing masyarakat dan pemimpin tertinggi kota itu. Dengan pemerintah yang bersiap menerima
dan menjadi pendukung utama keputusan para ulamanya. Juga masyarakat yang bersenang, berpesta
dengan menerangi seluruh jalan kota dan berbagi kepada sesama shadaqah dan berbagai hadiah.
Kemudian saling mengucapkan selamat atas sampainya semua di bulan mulia Ramadhan. Tentu peluk
sapa berpadu dengan senyum sungging yang indah. Dan jangan lupa, saking bahagianya tarawih di
tengah malam adalah rangkaian kebahagiaan yang bukan merupakan beban.

Ada penamaan yang berbeda untuk malam yang sama di antara dua masa dinasti di atas. Di masa
Dinasti Mamalik, malam ru’yah hilal dinamai dengan (‫ يوم االرتقاب‬/ malam penantian).

Mas’ud Syuman memberikan rasa dari penamaan tersebut:

Penamaan (‫)يوم االرتقاب‬: karena mengandung makna kerinduan untuk berjumpa setelah panjangnya
penantian.

Ah...ternyata ini ungkapan tentang sebuah kerinduan untuk sebuah penantian panjang...

Adapun di masa Turki Utsmani ada beberapa penamaan. Di antaranya dinamai dengan (‫ ليلة الجمال‬/
malam keindahan). Di antara nama lain yang juga unik adalah: ( ‫ عيد النسوان‬/ hari raya wanita), untuk
menunjukkan betapa malam itu rasa bahagia khususnya kaum wanita tak terhingga. Sampai-sampai
ada hal yang lebih unik, ketika para wanita wanita menikah di zaman itu, dalam akad nikahnya mereka
memberikan syarat kepada para suami agar diizinkan untuk keluar bersenang bersama masyarakat di
malam ru’yah hilal tersebut. Terbayangkan betapa malam itu sangat dinanti oleh para wanita.
Bagaimana dengan kita...???????!

Ah menyedihkan cara kita menangkap kalimat Rasulullah. Entah mengapa beragama kita menjadi
kering tanpa rasa keindahan. Sebagian kita tahu kalau kalimat Nabi di atas adalah kabar gembira. Tapi
kemana kita, mengapa tidak menyambut dengan sambutan bahagia. Yang ada hanya ketegangan dan
ketegangan. Para ahli ilmu yang selalu mengirimkan ketegangan di umat tentang perpecahan masalah
ru’yah hilal dengan tema yang sama dari tahun ke tahun. Para pemimpin yang acuh atau blunder dalam
sekali bicara. Dan masyarakat yang memaknai esok hari sudah tidak bebas lagi.

Rendah...

Sudah tahukah kita kini bahwa distorsi dan penyimpangan rasa kita sudah terlalu jauh.

Kita bahkan tidak tahu caranya bersenang dan berbahagia. Lebih buruk lagi, kita tidak tahu kapan harus
bersenang dan berbahagia.

Pantas untuk kapan bersenang saja harus diajari langsung oleh Al Quran,

‫ك فَلْيَ ْفَر ُحوا ُه َو َخ ْْيٌ ِِمها ََْي َم ُعو َن‬


َ ِ‫ض ِل هللاِ َوبَِر ْْحَتِ ِه فَبِ َذل‬
ْ ‫قُ ْل بَِف‬
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu, hendaklah mereka
bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (Qs. Yunus: 58)

Sangat mendasar kesalahan zaman ini. Mereka gagal sejak definisi. Hingga kacau di aplikasi.

Sekarang kita tahu,

Pantas muslimin dulu mengatur dan memakmurkan siapa saja, dan kini kita bukan siapa-siapa...

Karenanya rasa ini perlu dikalibrasi ulang. Agar ia ada di koordinat yang tepat.

Saya cuma ingin katakan pada zaman ini:

Jangan ajari saya rasa. Ke sini saya tunjukkan kalian bahagia!

Situdaun, 6 Ramadhan 1445 H

Yang mencintai karena DIA

Anda mungkin juga menyukai