Anda di halaman 1dari 8

Hijrah ke Habasyah yang Pertama

– Nurul Yaqin
NŪR-UL-YAQĪN

Judul Asli:
Nūr-ul-Yaqīn fī Sīrati Sayyid-il-Mursalīn
Penulis: Muhammad al-Khudhari Bek

Alih Bahasa: Muhammad Faisal Fadhil


Penerbit: UMMUL QURA

(Diketik oleh: Zulfa)

Rangkaian Pos: Hijrah-hijrah - Nurul Yaqin

PASAL 4

HIJRAH-HIJRAH

Hijrah ke Ḥabasyah yang Pertama

Pada saat itu, kaum Muslimīn mulai mempersiapkan diri untuk keluar dari negeri
mereka dan meninggalkan harta benda milik mereka untuk menyelamatkan agama
mereka seperti yang telah ditunjukkan oleh Rasūlullāh s.a.w. Inilah hijrah pertama
dari Makkah. Jumlah mereka dalam hijrah ini adalah sepuluh orang laki-laki dan lima
orang perempuan. Mereka adalah ‘Utsmān bin ‘Affān beserta istrinya Ruqayyah
binti Rasūlillāh s.a.w., Abū Salamah dan istrinya, Ummu Salamah serta saudara
seibunya yang bernama Abū Sabrah bin Abī Raḥm dan istrinya Ummu Kultsūm,
‘Āmir bin Rabī‘ah dan istrinya Lailā, Abū Ḥudzaifah bin ‘Utbah bin Rabī‘ah beserta
istrinya Sahlah binti Suhail, ‘Abd-ur-Raḥmān bin ‘Auf, ‘Utsmān bin Mazh‘ūn,
Mush‘ab bin ‘Umair, Sahl bin al-Baidhā’ dan az-Zubair bin al-‘Awwām. Mereka
semua dari Quraisy. Sementara yang menjadi pemimpin perjalanan menurut riwayat
yang dikemukakan Ibnu Hisyām adalah ‘Utsmān bin Mazh‘ūn. Mereka berjalan
menuju Ḥabasyah di bawah naungan keberkahan Allah s.w.t.

Ketika sampai di tepi pantai, mereka menyewa perahu untuk mengantarkan mereka
ke tujuan. Mereka tiba di Ḥabasyah dengan selamat, dan tinggal di negeri tersebut
dalam keadaan aman dan tenteram, bebas dari gangguan kaum musyirikīn, tapi
kaum Muslimīn yang tinggal bersama Nabi s.a.w. hanya sedikit. (391)

‘Umar Masuk Islam

Pada saat kaum Muslimīn hijrah pertama itu, masuk Islāmlah orang yang terkenal
kuat lagi perkasa, yaitu ‘Umar bin al-Khaththāb al-‘Adawī al-Qurasyī. Sebelumnya,
ia sangat benci terhadap kaum Muslimīn, dan sangat keras dalam menyakiti
mereka.

Lailā, salah seorang yang turut hijrah ke Ḥabasyah bersama suaminya


menceritakan: “Dahulu ‘Umar bin Khaththāb adalah orang yang paling keras kepada
kami karena keislaman kami. Ketika aku menaiki kendaraanku hendak berangkat ke
Ḥabasyah tiba-tiba aku bertemu ‘Umar.

Ia bertanya: “Hendak ke manakah engkau, wahai Ummu ‘Abdillāh?”

Aku jawab, ‘Kalian telah menyakiti kami karena agama kami maka kami akan pergi
ke bumi Allah tempat di mana kami tidak disakiti’.

‘Umar berkata: “Semoga Allah menyertai kalian.”

Ketika suamiku, ‘Āmir datang, aku ceritakan kepadanya tentang kelemah-lembutan


sikap ‘Umar itu.

Maka suamiku bertanya: “Apakah engkau mengharapkan ia masuk Islām? Demi


Allah, ia tidak akan masuk Islām sebelum keledai milik al-Khaththāb masuk Islām –
‘Āmir mengatakan demikian berdasarkan pengetahuannya tentang sikap ‘Umar
yang begitu kejam terhadap kaum Muslimīn!”

Namun, ‘Umar beruntung mendapatkan berkah dari doa Rasūlullāh s.a.w. Beliau
pernah berdoa menjelang ia masuk Islām: “Ya Allah, perkuatlah Islām dengan
‘Umar.” (402)

‘Umar masuk Islām di rumah al-Arqam bin Abī-l-Arqam, tempat kaum Muslimīn
berkumpul. Dengan masuk Islāmnya ‘Umar, Allah s.w.t. telah mewujudkan harapan
Nabi s.a.w. ‘Abdullāh bin Mas‘ūd r.a. pernah berkata dari riwayat al-Bukhārī: “Kami
tetap dalam keadaan kuat sejak ‘Umar masuk Islām.” ‘Umar pernah meminta
kepada Rasūlullāh s.a.w. supaya menampakkan shalatnya di masjid, kemudian
Rasūlullāh s.a.w. mengabulkan permintaannya itu.

Orang-orang Quraisy pun sangat bersedih ketika melihat ‘Umar masuk Islām.
Kemudian mereka hendak membunuhnya sampai berkumpullah sekelompok orang
di sekitar rumah ‘Umar untuk menunggu ia keluar. Lalu datanglah al-‘Āsh bin Wā’il
as-Sahmī dari kalangan Bani Sahm, sekutu Bani ‘Addī kaumnya ‘Umar. Ia memakai
pakaian katun dan gamis sutra, lalu bertanya kepada ‘Umar: “Apakah gerangan
yang terjadi pada dirimu?”

‘Umar menjawab: “Kaummu hendak membunuhku jika aku masuk Islām.”

Al-‘Āsh berkata: “Mereka tidak akan menyakitimu karena aku melindungimu.”

Kemudian al-‘Āsh keluar rumah dan melihat banyak orang telah memenuhi lembah.
Lalu ia bertanya: “Hendak ke mana kalian?”

Mereka menjawab: “Kami mau menangkap orang ini – Ibnu-l-Khaththāb – yang


telah memeluk agama baru.”

Al-‘Āsh berkata: “Kalian tidak kuperkenankan menyentuhnya.” Akhirnya, mereka


bubar dan kembali ke rumah masing-masing.

Kembalinya Muhājirīn dari Ḥabasyah

Selang tiga bulan sejak kaum Muslimīn hijrah ke Ḥabasyah, mereka kembali ke
Makkah karena tidak mudah bagi mereka untuk tinggal di Ḥabasyah. Sebab, jumlah
mereka sedikit. Selain itu, mereka adalah orang-orang terpandang dari kabilah
Quraisy dan mereka juga mengajak istri-istri mereka. Mereka tidak kerasan tinggal
di negeri asing dalam keadaan demikian.

Sebagian ahli sejarah suka meriwayatkan satu kisah yang mereka anggap sebagai
penyebab kembalinya para Muhājirīn dari Ḥabasyah. Yaitu, mereka mendengar
kabar bahwa kaumnya telah masuk Islām ketika Rasūlullāh s.a.w. membacakan
Sūrat-un-Najm kepada mereka dan menyampaikan hal-hal yang baik tentang
tuhan-tuhan (berhala) mereka, serta berkata setelah membaca ayat:

ِ‫ و ﻣﻨﺎ َة اﻟﺜﱠﺎﻟ‬.‫اﻟﻼت و اﻟْﻌﱠﺰى‬


‫ُﺧَﺮى‬
ْ ‫اﻷ‬
ْ ‫ﺔ‬
َ ‫ﺜ‬
َ َ َ َ ُ َ َ ‫أَﻓَـَﺮأَﻳْـﺘُ ُﻢ ﱠ‬
“Maka apakah patut kalian (hai-hai orang musyrik) menganggap Lāta dan
‘Uzzā dan Manāt, yang ketiga, yang paling kemudian (sebagai anak
perempuan Allah).” (an-Najm [53]: 19-20)

“itulah Gharānīq (413) yang mulia, dan syafaat mereka sangat diharapkan.” Lalu,
kaum tersebut bersujud sebagai bentuk takzim dan kegembiraan.

Kisah seperti ini termasuk yang tidak diriwayatkan kecuali oleh orang yang sedikit
pengetahuannya, yang menukilkan setiap riwayat yang ia dapatkan tanpa
membuktikan ke-shaḥīḥ-annya. Di sini kami akan menyebutkan dalil-dalil naqlī
(nash) dan ‘aqlī (akal) atas kebatilan kisah yang telah disebutkan di atas. Secara
singkat, sanad dan matan kisah tersebut kacau dan lemah. Al-Qādhū al-‘Iyādh
mengatakan dalam asy-Syifā’, “(Sanadnya) tidak dikeluarkan oleh seorang pun dari
perawi (hadits) shaḥīḥ, dan tidak pernah diriwayatkan oleh seorang perawi yang
tsiqah (terpercaya) dengan sanad yang benar.”

Adapun matan-nya, para shahabat Rasūlullāh s.a.w. dan orang-orang musyrik itu
bukanlah orang-orang yang tidak punya akal, sehingga mereka mau mendengar
pujian di tengah celaan dan membolehkannya untuk mereka. Sebab, setelah
menyebutkan (nama-nama) berhala, Allah s.w.t. berfirman: “Itu tidak lain hanyalah
nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian itu mengada-adakannya;
Allah tidak menurunkan sesuatu keterangan pun untuk (menyembah)-nya.”
(an-Najm [53]: 23).

Jadi, perkataan tersebut (ya‘ni kisah di atas) kacau. Andai benar demikian, maka
orang-orang kafir akan menjadikannya sebagai ḥujjah untuk berargumentasi ketika
mereka berdebat dengan kaum Muslimīn. Sementara kaum musyrikīn itu kita kenal
sebagai orang-orang yang keras kepala dalam persoalan yang tidak ada dalilnya
sedikit pun, lantas bagaimana dengan hal ini? Perkataan ini tidak lebih ringan
daripada persoalan pergantian arah qiblat (dari Bait-ul-Maqdis) ke Ka‘bah. Dalam
persoalan (pergantian arah qiblat) ini mereka telah mengatakan apa yang telah
mereka katakan hingga Allah menyebut mereka dengan sufahā’ (orang-orang yang
kurang akalnya), dan Allah menurunkan ayat berkenaan dengan perbuatan mereka
itu dalam surah al-Baqarah:

‫ﱠﺎس َﻣﺎ َوﱠﻻ ُﻫ ْﻢ َﻋ ْﻦ ﻗِْﺒـﻠَﺘِ ِﻬ ُﻢ اﻟﱠِ ْﱵ َﻛﺎﻧـُ ْﻮا َﻋﻠَْﻴـ َﻬﺎ‬


ِ ‫َﺳﻴَـ ُﻘ ْﻮ ُل اﻟ ﱡﺴ َﻔ َﻬﺎءُ ِﻣ َﻦ اﻟﻨ‬
“Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata: ‘Apakah
yang memalingkan mereka (umat Islām) dari qiblatnya (Bait-ul-Maqdis) yang
dahulu mereka telah berqiblat kepadanya’.” (al-Baqarah [2]: 142)

Namun, tidak terdengar dari salah seorang di antara para tokoh mereka yang keras
kepala mengatakan kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Mengapa engkau mencaci tuhan-
tuhan kami sesudah engkau memujinya?” Padahal persoalan ini lebih layak (sebagai
alasan) bagi mereka untuk menghunuskan pedang dan mengorbankan banyak
nyawa mereka.

Perlu diketahui bahwa ahli sejarah yang menukilkan ungkapan-ungkapan kisah


tersebut dan menganggapnya sebagai penyebab kaum Muslimīn yang hijrah ke
Ḥabasyah kembali (ke Makkkah), mereka mengatakan di sela pembicaraan mereka:
“Sesungguhnya hijrah ke Ḥabasyah itu mereka lakukan pada bulan Rajab, kemudian
mereka kembali (ke Makkah) pada bulan Syawwal, sedangkan Sūrat-un-Najm
diturunkan pada bulan Ramadhān. Jadi, jangka waktu antara turunnya ayat dan
kembalinya kaum Muhājirīn adalah satu bulan.”

Bagi orang yang mau sedikit saja memperhatikan perkataan mereka itu, niscaya
dapat menyimpulkan bahwa jangka waktu satu bulan tidak cukup untuk melakukan
perjalanan pulang-pergi dari Makkah ke Ḥabasyah. Sebab pada masa itu belum ada
kapal bermesin yang dapat membawa seseorang melakukan perjalanan di laut
dengan cepat. Dan belum ada juga telegram yang dapat dengan cepat
menyampaikan berita tentang masuk Islāmnya orang-orang Quraisy kepada kaum
Muslimīn yang berada di Ḥabasyah. Tidak aneh bilamana kita katakan, kisah itu
hanyalah merupakan isapan jempol dan hanya karangan orang-orang yang ingin
menghancurkan Islām. Alḥamdulillāh, Allah telah memberikan kepada kita anugerah
berupa al-Qur’ān-ul-Karīm, yang memutuskan perkara di antara kita. Di dalam
surah yang sama, Allah s.w.t .berfirman:

‫َو َﻣﺎ ﻳَـْﻨ ِﻄ ُﻖ َﻋ ِﻦ ا ْﳍََﻮى‬


“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’ān) menurut hawa nafsunya.”
(an-Najm [53]: 3).

Apa yang disampaikan syaithān merupakan riwayat yang terburuk. Lantas


bagaimana mungkin beliau saw mengucapkan atau menyampaikan hal-hal yang
menunjukkan keluhan pada waḥyu? Sebuah persoalan yang diinginkan oleh orang-
orang yang kurang akalnya, tetapi Allah s.w.t. mengembalikan tipu daya mereka itu
kepada diri mereka sendiri.

Adapun hadits yang termaktub di dalam ash-Shaḥīḥ (424) berkaitan dengan


masalah sujudnya (kaum) tersebut adalah seperti yang diriwayatkan oleh ‘Abdullāh
bin Mas‘ūd r.a.: “Nabi saw membaca Sūrat-un-Najm, lalu beliau bersujud, dan
bersujud pula orang-orang yang bersamanya kecuali satu orang laki-laki. Ia
mengambil segenggam batu kerikil lalu meletakkannya pada jidatnya seraya
mengatakan: ‘Ini sudah cukup bagiku.’ Kemudian aku (‘Abdullāh bin Mas‘ūd)
melihatnya terbunuh dalam keadaan kafir (murtad).”

Pada hadits ini tidak ada ma‘na paling rendah sekalipun yang menunjukkan bahwa
orang-orang yang bersujud bersama Nabi s.a.w. adalah orang-orang musyrik.
Bahkan, kesimpulan dari perkataan ‘Abdullāh bin Mas‘ūd, “Maka kemudian aku
melihatnya terbunuh dalam keadaan kafir,” adalah bahwa lelaki tersebut dahulunya
Muslim, kemudian aku melihatnya murtad. Memang demikianlah yang terjadi pada
sebagian orang yang hatinya lemah. Mereka tidak tahan menanggung siksaan,
hingga akhirnya mereka kembali menjadi kafir. Di antara mereka yang berbuat
demikian adalah ‘Alī bin Umayyah bin Khalaf.

Ketika kaum Muhājirīn Ḥabasyah kembali ke Makkah, ternyata mereka tidak mampu
memasukinya kembali kecuali orang-orang yang mempunyai pelindung. Abū
Salamah berlindung kepada pamannya dari pihak ibu, yaitu Abū Thālib, sedangkan
‘Utsmān bin Maz‘ūn berlindung kepada al-Walīd bin Mughīrah yang kini siap
melindunginya kembali. Pada mulanya al-Walīd telah mencabut perlindungannya
dari ‘Utsmān. Ketika ia melihat kaum musyrikīn menyakiti kaum Muslimīn, ia
memberikan jaminannya. Ia tidak bisa hidup nyaman sementara saudara-
saudaranya disiksa.

Penulisan Shaḥīfah

Setelah orang-orang Quraisy kehabisan akal membuat tipu muslihat, mereka


menawarkan diyat berlipat ganda kepada Bani ‘Abdi Manāf – yang di antara
anggota kabilah adalah Rasūlullāh s.a.w. – agar mereka bersedia menyerahkan
Rasūlullāh s.a.w. kepada mereka. Namun, Bani ‘Abdi Manāf menolak tawaran
tersebut. Lalu mereka menawarkan kepada Abū Thālib seorang pemuda yang
terhormat dari kalangan mereka untuk dijadikan anak angkatnya, dengan syarat ia
mau menyerahkan Rasūlullāh s.a.w. kepada mereka. Abū Thālib pun menjawab:
“Aneh kalian ini! Kalian memberikan anak kalian supaya kuberi makan, sedangkan
aku harus menyerahkan anakku untuk kalian bunuh.”

Ketika menemui jalan buntu, mereka sepakat untuk mengucilkan Bani Hāsyim dan
Bani Muththalib, yang keduanya merupakan anak cucu ‘Abdu Manāf. Kemudian
mereka mengusir Bani Hāsyim dan Bani Muththalib dari Makkah dan memutuskan
hubungan ekonomi dengan mereka. Mereka tidak mengadakan hubungan jual beli
dengan kedua kabilah tersebut kecuali jika mereka mau menyerahkan Muḥammad
s.a.w. untuk dibunuh. Tindakan mereka tidak sampai disitu saja, bahkan mereka
menuliskan hal itu pada shaḥīfah (lembaran kertas) dan meletakkannya di dalam
Ka‘bah.

Oleh sebab itu, Bani Hāsyim bergabung dengan kelompok Abū Thālib, dan turut
bergabung pula Bani al-Muththalib, baik yang mu’min maupun yang kafir kecuali
Abū Lahab, karena ia berpihak kepada orang-orang kafir Quraisy. Mereka (Bani
Hāsyim dan kubu Abū Thālib) ditinggalkan tanpa pertolongan dari dua saudara
mereka, ya‘ni Bani ‘Abd-usy-Syams dan Naufal dari Bani ‘Abdi Manāf sehingga
mereka mengalami kesulitan hidup dan terpaksa harus memakan dedaunan.
Sementara musuh-musuh mereka melarang para pedagang berjual-beli dengan
mereka. Orang terdepan yang melarang hal ini adalah Abū Lahab. (435)

Catatan:

01. 39). As-Sīrat-un-Nabawiyyah, Ibnu Hisyām (1/413) dan Tārīkh-ul-Umami wal-Mulūk, ath-
Thabarī (2/328).
02. 40). HR. at-Tirmidzī (7681), Di-shaḥīḥ-kan oleh al-Albānī dalam al-Misykāt (6036).
03. 41). Bentuk jama‘ dari ghurnūq, yaitu burung-burung, dan yang dimaksud adalah
Malaikat.
04. 42). HR. al-Bukhārī (1067, 1070, 3853, 4863), Muslim (575).
05. 43). Al-Baihaqī, Dalā’il-un-Nubuwwah (2/80-85), as-Sīrat-un-Nabawiyyah, Ibnu Hisyām
(2/43-72), Zād-ul-Ma‘ād (2/46), al-Kāmilu fit-Tārīkh (2/78), as-Siyaru wal-Maghāzī, Ibnu
Isḥāq (156-162).

Halaman:

01 02 03 04 05 06 07 08 09

Anda mungkin juga menyukai