Anda di halaman 1dari 32

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Munculnya era demokrasi menuntut adanya keterbukaan informasi

publik bagi warga negara. Salah satu elemen penting dalam penyelenggaraan

negara yang terbuka adalah hak publik untuk memperoleh informasi sesuai

peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan

Republik Indonesia 1945 Pasal 28 F, menyebutkan :

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi


untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia.”

Harapan masyarakat untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi

akhirnya mendapatkan landasan yang sangat kokoh dengan diberikannya

jaminan hak atas informasi bagi warga negara. Kemunculan pasal tersebut

sangat diperlukan, mengingat hak untuk memperoleh informasi merupakan

hak asasi manusia sebagai salah satu wujud dari kehidupan berbangsa dan

bernegara yang demokratis.

Setelah mempunyai landasan konstitusional melalui Pasal 28F

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

mengalami proses yang panjang pada masa Presiden Soesilo Bambang

Yudoyono, tepatnya tanggal 30 April 2008 terbentuklah Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik dan mulai

berlaku pada 1 mei 2010, kehadiran undang-undang ini semakin memperkuat


2

jaminan konstitusi atas pemenuhan hak-hak kebebasan informasi. Sebelumya

pemerintah sebenarnya sudah menerapkan sistem akuntabilitas dan

transparansi serta dilaksanakan secara efektif pada tahun 1999, yaitu dengan

dikeluarkannya Intruksi Presiden RI Nomor 7 Tahun 1999 tentang Sistem

Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Dengan demikian secara formal

semua instansi pemerintah dalam pelaksanaan fungsi dan tugasnya

diharuskan transparan dan akuntabel.1

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan

Informasi Publik ini, pemerintah diminta untuk membuka akses informasi

kepada publik. Untuk mewujudkan permintaan tersebut, lembaga

pemerintahan maupun organisasi publik tidak terlepas dari prinsip-prinsip

good governance yang kemudian menjadi tujuan dari undang-undang ini.

Menurut Robert Charlick dalam bukunya Pandji Santosa good governance

diartikan sebagai pengelolaan segala macam urusan publik secara efektif

melalui pembuatan peraturan dan/atau kebijakan yang absah demi untuk

mempromosikan nilai-nilai kemasyarakatan”.2

Dalam keterbukaan informasi publik terdapat beberapa prinsip yang

dapat mewujudkan good governance yaitu prinsip partisipasi, Prinsip

transparansi, dan prinsip akuntabilitas. Kemudian jika dilihat secara nilai

prinsip atau asasnya, maka dari tujuh butir tujuan keterbukaan informasi

dalam undang-undang ini bisa dikelompokkan sebagai berikut :3


1
Ismail Muhammad, Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik, dalam Jurnal
Dialog Keterbukaan Informasi Publik, Edisi 3 September 20011, hlm IX
2
Pandji Santosa, Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good Governance, Refika
Aditama, Bandung, 2008, hlm. 133.
3
Abdulhamid Dipopramono, Keterbukaan dan Sengketa Informasi Publik (Panduan
Lengkap Memahami Open Government dan Keterbukaan Informasi Publik, serta Praktik Sengketa
3

a. Partisipasi : Mendorong partisipasi masyarakat dalam proses


pengangambilan kebijakan publik, dan meningkatkan peran aktif
masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan
Badan Publik yang baik.
b. Transparansi: Menjamin hak warga Negara untuk mengetahui
rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik,
dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan
pengambilan suatu keputusan. Mewujudkan penyelenggaraan
negara yang baik, yaitu transparan. Mengetahui alasan kebijakan
publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi dilingkungan
Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang
berkualitas.
c. Akuntabilitas: Mewujudkan pemerintahan yang baik yaitu efektif
dan efisien, akuntabel, serta dapat dipertanggungjawabkan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan
bangsa.

Pada perkembangan selanjutnya pemerintah sebagai badan publik

dituntut untuk berperan aktif dalam hal pelayanan pemerintah kepada

masyarakat, seperti hal-hal yang berkaitan dengan pengumpulan, pengolahan,

dan penyediaan berbagai data, informasi, pengetahuan, maupun kebijakan

beserta penyebarannya ke seluruh anggota masyarakat yang membutuhkan.

Melihat bentuk pelayanan tersebut, pada era globalisasi ini diperlukan peran

teknologi dalam memberikan kualitas yang baik berupa website resmi

pemerintah, seperti yang termaktub dalam Peraturan Komisi Informasi

Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Layanan Informasi Publik pada Pasal

4 Butir e, Badan Publik wajib :

“menyediakan sarana dan prasarana layanan Informasi Publik,


termasuk papan pengumuman dan meja informasi di setiap kantor
Badan Publik, serta situs resmi bagi Badan Publik Negara”

Informasi Publik), Renebook, Jakarta, 2017, hlm.13


4

Berdasarkan aturan tersebut sudah jelas bahwa lembaga pemerintahan

maupun organisasi publik lainnya sudah diwajibkan untuk memiliki website

resmi sebagai bentuk penyelenggara negara membuka diri kepada

masyarakat. Website tersebut digunakan oleh penyelenggara pemerintah

mengemukakan fakta dan kejadian sebenarnya terkait dengan keterbukaan

informasi di masyarakat. Penyelenggara pemerintah pun dalam membuat

kebijakan harus melibatkan partisipasi publik.

Pelayanan publik melalui website resmi ini, memberi kemudahan bagi

penyelenggara negara untuk menjangkau kepentingan publik, sehingga tidak

terlepas dari prinsip good governance. Munculnya website resmi juga

membuat masyarakat dapat memperoleh informasi dengan cepat dan tepat

waktu, berbiaya ringan dan dengan cara sederhana serta masyarakat dapat

menyampaikan keluhan, saran atau kritik secara langsung tentang

penyelenggara negara yang terlihat tidak sesuai dengan peraturan maupun

undang-undang yang berlaku. Sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 2

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi

Publik, yang berbunyi :

“Setiap informasi bersifat terbuka dan dapat diakses oleh pengguna


Informasi Publik. Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap
Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan
dan cara sederhana.”
Pada tingkat daerah keterbukaan informasi publik pun terjadi, baik

tingkat provinsi, kota, maupun kabupaten. Keterbukaan informasi publik di

tingkat daerah sebenarnya serupa dengan di tingkat pusat. Prinsip-prinsip

good governance masih digunakan untuk melibatkan masyarakat dalam


5

proses pembuatan kebijakan, perencanaan pembangunan, penganggaran,

pengelolaan sumber daya serta aset daerah dan pelayanan prima pada publik.

Setiap daerah memiliki pemerintahan. Pemerintah Daerah itu sendiri

dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan

Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah

Daerah yang menyatakan sebagai berikut:4

“Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan


oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.”

Desa merupakan unsur pemerintahan yang paling bawah. Desa juga

memiliki pemerintahan sendiri seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa :5

“Pemerintah Desa adalah Penyelenggaraaan urusan pemerintahan dan


kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia”

Berdasarkan uraian diatas dan hasil observasi singkat yang telah

dilakukan, penulis mendapatkan beberapa permasalahan yang terjadi di

Kecamatan Sakra Barat terkait penyelenggaraan Pemerintahan Desa, sebagai

berikut:

1. Mengenai pemberian akses informasi yang kurang memadai dan

akurat terhadap masyarakat.

4
Indonesia, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, LN. No. 58 Tahun 2015
TLN. No. 5679, Pasal 1 Angka 2
5
Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, LN. No. 7 Tahun 2014
TLN. No. 5495, Pasal 1 Angka 2
6

2. Masyarakat mengeluhkan tata kelola pemerintahan desa yang

dirasa masih tertutup.

3. Penentuan usulan proyek atau kegiatan cenderung didominasi oleh

pemerintah desa sedangkan masyarakat tidak dapat memberikan

masukan mengenai kegiatan tersebut (Partisipasi masyarakat desa).

4. Pengembangan prinsip transparansi didesa masih terbilang rendah

dikarenakan kurangnya sosialisasi kebijakaan.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penyusun ingin

mengetahui tingkat keterbukaan informasi publik dalam penyelenggaraan

pemerintahan desa di Kecamatan Sakra Barat, Kabupaten Lombok Timur.

Dengan demikian maka penyusun tertarik untuk melakukan penelitian

yang berjudul “INFORMASI PUBLIK DALAM

PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA

BERDASARKAN PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1

TAHUN 2018 DI 18 DESA KECAMATAN SAKRA BARAT.”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Strategi Peningkatan Keterbukaan Informasi Publik dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Kecamatan Sakra Barat ?

2. Bagaimana Kemampuan Pemerintah Desa Terhadap Pelayanan

Keterbukaan Informasi Publik Desa di Kecamatan Sakra Barat ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian
7

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka

tujuan yang ingin dicapai dengan diadakannya penelitian ini adalah:

a. Untuk mengukur tingkat kepatuhan Pemerintah Desa di Kecamatan

Sakra Barat dalam pelaksanaan keterbukaan Informasi Publik.

b. Untuk menganalisis Strategi Peningkatan Keterbukaan Informasi

Publik dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Kecamatan

Sakra Barat.

c. Untuk menganalisis kemampuan Pemerintah Desa terhadap Pelayanan

Keterbukaan Informasi Publik Desa di Kecamatan Sakra Barat.

2. Manfaat Penelitian

Adapun beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini

adalah sebagai berikut :

a. Manfaat Teoritik

Hasil penelitian ini diharapkan agar dapat berguna bagi pengembangan

teori dan kepentingan penelitian dimasa yang akan datang serta

bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, khusunya dalam kajian

Administrasi Program Studi Administrasi Publik.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi aparatur dan

Pemerintah dalam rangka untuk meningkatkan kinerja dan memberikan

pelayanan publik kepeda masyarakat serta dapat bermanfaat bagi


8

penelitian di masa yang akan datang mengenai keterbukaan informasi

publik desa.

D. Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian ini ruang lingkup yang dikaji dibatasi pada peraturan

perundang-undangan tentang keterbukaan informasi publik dan bentuk

informasi yang diberikan oleh Pemerintah Desa dalam memberikan informasi

kepada masyarakat.
9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Desentralisasi

Rondinelli dan Cheema (1983:13), misalnya, berpendapat bahwa

sebab utama dari strategi perencanaan yang memusat (sentralistik) di masa

lalu adalah karena strategi demikian sangat rumit. Selain itu, di dalam

strategi demikian juga sering terumuskan kebijakankebijakan pembangunan

yang tunggal. Konsekuensinya, strategi demikian tidak mampu mendorong

kebijakan pembangunan yang menguntungkan semua pihak, termasuk untuk

yang berpenghasilan rendah (Kacung, 2010:143).

Olowo (1989:202) mendukung pendapat Rondinelli dan Cheema itu

dengan mengatakan bahwa keuntungan-keuntungan dari upaya sentralisasi

pembangunan di negara-negara afrika bukan untuk kaum miskin di

pedesaan yang merupakan mayoritas pendukungnya. Desentralisasi sebagai

alternatif sering dianggap sebagai kekuatan yang mampu membawa

kebijakan pembangunan lebih dekat dengan masyarakat, selain itu

mendorong pertumbuhan ekonomi. Melalui transfer urusan-urusan

pemerintahan ke daerah dan desa, berbagai prosedur yang menghadapi

interaksi antara pemerintah dengan masyarakat, termasuk pasar, dapat

diminimalisasi. Karena itulah Rondinelli dan Cheema (1983:14-16) sampai

pada kesimpulan bahwa melalui desentralisasi, pemerintah daerah akan


10

dapat bekerja lebih efektif dan efesien, termasuk dalam penyediaan barang-

barang dan layanan publik (Kacung Marijan, 2010:144).

Argumen lain datang dari para sarjana yang mendasarkan

argumentasinya pada teori pilihan publik (theory of public choice) yang

mengatakan bahwa desentralisasi merupakan instrumen penting untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Landasan teori pilihan publik ini

dikembangkan oleh Tieobout (1956), Oates (1972), dan Smith (1985).

Argumen dasar dari teori pilihan publik dipakai untuk menjelaskan bahwa

pemerintahan yang terdesentralisasi mampu menyediakan barang-barang

dan pelayanan publik yang lebih baik daripada pemerintahan yang

tersentralisasi. Penjelasan ini diletakan dalam konteks persaingan antar

pemerintah daerah dan agen-agen pelayanan di dalam pemerintahan daerah

(Kacung Marijan, 2010:144).

Berdasarkan penjelasan di atas, desentralisasi adalah sistem

tatakelola pemerintahan yang mengedepankan share kekuasaan dan

kewenangan antara lembaga-lembaga pemerintahan guna mewujudkan

penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, efesien, partisipatif, dan

berkeadilan. Sistem tatakelola pemerintahan tersebut membutuhkan

komitmen politik (goodwill) elit politik, sumber daya manusia yang

mumpuni, dan lembaga birokrasi yang mendukung penyelenggaraan

pemerintahan sesuai asas desentralisasi.


11

Penelitian ini menggunakan teori desentralisasi di atas untuk

menjelaskan kemampuan pemerintah desa dalam menyelenggarakan fungsi

pemerintahan desa sesuai asas otonomi (desentralisasi) desa sebagaimana

yang diatur dalam UU Desa. Melalui UU Desa, pemerintah desa memiliki

hak dan kewenangan otonom untuk mengatur dan mengelola pemerintahan

desa masing-masing.

Sesuai dengan penjelasan Marijan (2010) tentang sebab-sebab

kegagalan implementasi desentralisasi di atas, pertanyaan-pertanyaan

penting yang didiskuikan lebih jauh dalam konteks otonomi desa adalah

apakah pemerintah daerah memiliki komitmen yang cukup, apakah

pemerintah desa memiliki sumber daya manusia yang mendukung, dan

apakah lembaga birokrasi desa mendukung terselenggarannya hak dan

kewenangan otonom desa secara baik dan benar.

B. Informasi

1. Pengertian Informasi

Secara harfiah mernurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, informasi

mengandung pengertian penerangan atau pemberitahuan/kabar atau berita

tentang sesuatu istilah.6

Menerut Davis, informasi adalah data yang telah diolah menjadi

sebuah bentuk yang berarti bagi penerimanya dan manfaat dalam

mengambil keputusan saat atau mendatang.7


6
Indonesia, KBBI
7
Fatri Badillah, Implementasi Keterbukaan Informasi Publik (Studi di Pemberdayaan dan
Bantuan Sosial pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Banggal Kepulauan, hlm.
2.
12

Pengertian informasi disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-

Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yaitu8:

“Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-


tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta
maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca
yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara
elektronik ataupun nonelektronik”.

2. Pengertian Informasi Publik

Informasi publik merupakan sesuatu yang wajib disediakan oleh

Penyelenggara Negara, badan hukum publik, maupun badan-badan lain

yang sebagian atau seluruh anggarannya bersumber dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD), baik secara berkala maupun informasi lain

yang wajib disediakan agar masyarakat dapat mengaksesnya. Untuk

melindungi hak masyarakat dalam memperoleh informasi, maka

pemerintah wajib memberikan perlindungan hukum baik secara substantif

maupun secara struktural dalam rangka menciptakan kondusifitas dan

harmonisasi antara pemohon informasi dan pejabat pengelola informasi.

Dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang

Keterbukaan Informasi Publik, bahwa yang dimaksudkan dengan

informasi publik yaitu:

“Informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan,


dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang
berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan Negara
dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik lainnya
yang berkaitan dengan kepentingan publik.”
8
Indonesia,Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik, LN Nomor 61 Tahun 2008, TLN Nomor 4846, Pasal. 1.angka 1.
13

Dengan kata lain, informasi publik merupakan informasi

merupakan informasi yang dikelola oleh badan publik yang menerima

informasi dari berbagai sumber dan dikelola oleh badan publik untuk

kepentingan masyarakat yang menginginkan segala informasi yang

dibutuhkan untuk pengembangan dan kepentingan masyarakat.

3. Badan Publik

Aktor utama dalam keterbukaan informasi publik adalah Badan

Publik. Oleh karenaya, penyebutan istilah Badan publik ini sangat

dominan dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik maupun

peraturan turunannya. Yang disebut Badan Publik adalah lembaga

eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang berfungsi dan tugas

pokoknya berkaitan dengan penyelengaraan negara, yang sebagian atau

seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi non

pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sumbangan masyarakat, dan/atau

luar negeri. Lembaga eksekuti, legislatif, dan yudikatif yang dimaksudkan

adalah pada semua tingkatan; baik pusat/nasional, provinsi, kabupaten,

kecamatan, dan desa. Pada saat ini desa semakin nyata sebagai Badan

Publik setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tntang

Desa. Dalam undang-undang tersebut juga diatur bahwa desa juga


14

mendapatkan anggaran langsung dari APBN, selain enam sumber

anggaran lainnya.9

Berdasarkan uraian diatas Badan Publik bukanlah hanya

pemerintah (eksekutif, legislatif, yudikatif dan lembaga lainnya)

melainkan juga lembaga nonpemerintah, secara sederhana Badan Publik

bisa dibagi menjadi sebagai berikut :

1. Seluruh lembaga eksekutif

2. Seluruh lembaga legislatif

3. Seluruh yudikatif

4. Badan lain yang berfungsi dan tugass pokoknya berkaitan

dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh

dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja

negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

5. Organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh

dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja

negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah,

sumbangan masyarakat dan/atau luar negeri. Misalya Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM), Koperasi, Organisasi Masyarakat

(ormas) dan sebagainya.

6. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) / Badan Usaha Milik

Daerah (BUMD). Dalam hal tertentu keduanya diperlukan

sebagai entitas bisnis, yang diatur dalam pasal khusus, yakni

Pasal 14 UU KIP.
9
Dipopramono, Op.cit., hlm. 45.
15

7. Partai politik yang diatur secara khusus pada Pasal 15 di

Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik.

4. Petugas Informasi

Badan Publik yang termasuk dalam Undang-undang Keterbukan

Informasi Publik perlu memenuhi tanggungjawab mereka dalam

menangani dan mengungkap informasi. Satu langkah awal adalah dengan

mengangkat Pejabat Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi (PPID),

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 13 Ayat (1) huruf (a) “Menunnjuk

Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi” Posisi ini harus diisi oleh

seseorang yang telah dilatih dengan benar mengenai pengelolaan

informasi, dan yang memahami kewajiban keterbukaan yang tertulis

dalam Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik. Mereka juga harus

memiliki pemahaman mengenai hak untuk mendapat informasi sebagai

hak asasi, sehingga mereka mampu untuk menginterpretasikan mandat

yang diberikan dengan benar. Guna memenuhi peran mereka dengan baik,

Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi juga harus memiliki izin

keamanan supaya mereka dapat mengakses semua informasi dalam

departemen mereka, sehingga mereka mampu menilai apakah informasi

yang dimiliki layak untuk diungkapkan secara proaktif, atau harus

diungkap berdasarkan permintaan, atau informasi tersebut tidak dapat

diberikan. Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi juga harus

memiliki dana, pengetahuan, dan upah yang layak, guna menjamin posisi

tersebut diisi oleh pelamar yang berbakat dan memunuhi kualifikasi.


16

Individu yang ditunjuk untuk mengisi posisi ini harus memiliki

pengalaman cukup senior untuk bisa membuat keputusan yang efektif.

Lebih dari itu, bekerja sebagai Pejabat Pengelola Informasi dan

Dokumentasi atau bekerja dalam departemen tersebut, harus

memperlakukan posisi itu sebagai kesempatan untuk mengembangkan

organisasi secara keselurahan, dan bukan sebagai posisi buntu. Semua ini

diperlukan bagi badan publik untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan

Pasal 13 Ayat (1) huruf (b) untuk mengembangkan “sistem pelayanan

informasi yang cepat, tidak rumit dan adil”.10

C. Desa

1. Pengertian Desa

Adapun yang dinamakan desa ialah suatu kesatuan hukum, dimana

bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan

pemerintahan sendiri. Desa terjadi dari hanya satu tempat kediaman

masyarakat saja, ataupun terjadi dari satu induk desa dan beberapa tempat

kediaman sebagian dari masyarakat hukum yang terpisah yang merupakan

kesatuan-kesatuan tempat tinggal sendiri, kesatuan-kesatuan mana

dinamakan pedukuhan, ampenan, kampong, cantilan, beserta tanah

pertanian, tanah perikanan darat (empang, tambak dan sebagainya), tanah

hutan dan tanah belukar.11

10
Kristian Erdianto, et. al., Implementasi Hak Atas Informasi Publik: Sebuah Kajian Dari
Tig Badan Publik Indonesia, Centre for Law and Democracy Yayasan Dua Puluh Delapan,
Pejaten, 2012, hlm. 22-23.
11
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Desa Dalam Konstitusi Indonesia Sejak
Kemerdekaan Hingga Era Reformasi, Setara Press, Malang :2015, Hlm. 35.
17

Perkataan “desa”, ”dusun”, ”desi” (ingatlah perkataan swa desi),

seperti halnya juga perkataan “negara”, ”negeri” ”negari”, ”nagari”,

”negory” (dari perkataan nagarom), asalnya dari perkataan Sankskrit, yang

artinya tanah air, tanah asal, tanah kelahiran.12 Di Indonesia istilah Desa itu

sendiri berbeda beda diberbagai wilayah. Sebagian besar istilah tersebut

umumnya sesuai dengan bahasa daerah yang digunakan oleh penduduk

setempat. Pada masyarakat Sunda, istilah Desa diidentikkan dengan

gabungan beberapa kampung atau dusun. Dalam bahasa Padang atau

masyarakat Minangkabau (Sumatera Barat) dikenal istilah nagari,

sedangkan masyarakat Aceh menyebutnya dengan kata Gampong. Di

Provinsi Sumatera Utara masyarakat Batak menyebut desa dengan istilah

Uta atau Huta. Adapun dikawasan Sukawesi seperti di Minahasa

masyarakat menyebutnya dengan istilah wanus atau wanua. Pengertian

Desa dalam sudut pandang geografi dikemukakan oleh R. Bintarto sebagai

berikut:13

“Desa adalah hasil dari suatu perpaduan antara kegiatan


sekelompok manusia di lingkungannya. Hasil perpaduan tersebut
merupakan hasil perwujudan atau ketampakan geografis yang
ditimbulkan oleh faktor faktor alamiah maupun sosial, seperti
fisiografis, sosial, ekonomi, politik dan budaya yang saling
berinteraksi antar unsur tersebut dan juga dalam hubungannya
dengan daerah daerah yang lain”

12
Soetardjo Kartohadikoesoemo, Desa, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, Hlm.15
13
Josep Kaho Riwu, Prospek Otonomi Derah di Negara Republik Indonesia, Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2010. Hlm 5
18

Apabila membicarakan Desa di Indonesia, maka sekurang-

kurangnya akan menimbulkan tiga macam penafsiran atau pengertian,

yaitu:14

Pertama, pengertian secara sosiologis, yang menggambarkan suatu


bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang tinggal
dan menetap dalam suatu lingkungan, dimana diantara mereka
saling mengenal dengan baik dan corak kehidupan mereka relatif
homogen, serta banyak bergantung kepada kebaikan-kebaikan
alam. Dalam pengertian sosiologis tersebut, desa diasosiasikan
dengan suatu masyarakat yang hidup secara sederhana, pada
umumnya hidup dari sektor pertanian, memiliki ikatan social dan
adat atau tradisi yang masih kuat, sifatnya jujur dan bersahaja,
pendidikannya relatif rendah dan lain sebagainya.

Kedua, pengertian secara ekonomi, desa sebagai suatu lingkungan


masyarakat yang berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-
hari dari apa yang disediakan alam disekitarnya. Dalam pengertian
yang kedua ini, desa merupakan suatu lingkungan ekonomi,
dimana penduduknya beusaha untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.

Ketiga, pengertian secara politik, dimana desa sebagai suatu


organisasi pemerintahan atau organisasi kekuasaan yang secara
politik mempunyai wewenang tertentu karena merupakan bagian
dari pemerintahan negara. Dalam pengertian yang ketiga ini, desa
sering dirumuskan sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang
berkuasa menyelenggarakan pemerintahan sendiri.

Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,

pengertian Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas

wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa

masuarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan

dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.
14
Mashuri Mashab, Politik Pemerintahan Desa Di Indonesia, Cetakan I, PolGov, Fisipol
UGM, Yogyakarta, 2013, Hlm. 1-2.
19

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, yang

dimaksud sebagai Desa adalah :

“Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas


wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat setempat, hak asal usul dan/atau hak
tradisional yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014,

Kewenangan Desa meliputi:

1. Kewenangan berdasarkan hak asal usul


2. Kewenangan local berskala Desa
3. Kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah
Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan
4. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2. Desa Sebagai Badan Publik

Pada perkembangan selanjutnya diketahui bahwa tingkat terbawah

dari Badan publik setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun

2014 tentang Desa, adalah desa. Desa termasuk Badan Publik antara lain

disebabkan mereka mendapatkan anggaran langsung dari APBN. Tetapi

sebenarnya, tanpa mendapatkan APBN seperti diatur dalam UU Desa pun

desa juga merupakan Badan Publik. Karena selama ini desa sudah

mendapatkan anggaran dari APBN dan APBD kabupaten/kota meskipun

tidak secara langsung sebagaimana pascakelua rnya UU Desa, dan juga

sumber dana lainnya yang berasal dari pemerintah maupun masyarakat.

Masalahnya adalah bahwa desa tidak pernah diatur dalam ketentuan-

ketentuan yang ada di dalam UU KIP maupun peraturan-peraturan


20

turunannya. Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo, mulai 20

Oktober 2014, mulai dibentuk Kementrian yang khusus menangani desa

yakni Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan

Transmigrasi (PDTT). Oleh karenanya maka dengan mulai diterapkannya

UU Desa, desa mendapat perhatian jauh lebih besar, anggaran yang

dikelola pemerintah desa pun menjadi lebih besar dari sebelumnya, karena

selain memiliki sumber dana dari APBN juga memiliki sumber keuangan

lainnya, termasuk diantaranya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) 15.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 72 UU Desa, yaitu :

“Pendapatan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2)


bersumber dari:
a) Pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset,
swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain
pendapatan asli Desa.
b) Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
c) Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah
Kabupaten/Kota.
d) Alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana
perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota.
e) Bantuan bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
f) Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga;
dan
g) Lain-lain pendapatan Desa yang sah”.

15
Dipopramono, Op.cit., hlm. 49-50
21

BAB III
METODE PENELITIAN

Untuk memperoleh kemudahan dalam mengumpulkan serta menganalisa

setiap data maupun informasi atau keterangan-keterangan yang bersifat ilmiah

tentunya dibutuhkan suatu metode dengan tujuan penelitian yang mempuyai

susunan yang sistematis, terarah dan konsisten. Berkaitan hal tersebut maka perlu

dilakukan kegiatan-kegiatan dengan menggunakan metode sebagai berikut:

Desain penelitian yang digunakan adalah memadukan pendekatan

kualitatif dan kuantitatif. Desain kombinasi kualitatif-kuantitatif merupakan

pendekatan yang penggunaannya saling mengisi, pendekatan yang satu

dilanjutkan oleh pendekatan yang lain, demikian terus menerus, sehingga

obyektivitas penelitian mengalami pembenaran.16

a. Metode Pendekatan

Metode penelitian ini menggunakan 3 macam metode pendekatan, antara

lain sebagai berikut :

a) Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)

Pendekatan perundang-undangan yaitu pendekatan dengan

menggunakan legislasi.17 Pendekatan yang memperhatikan dan mengkaji

berbagai Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan isu hukum

yang dibahas. Seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi


16
Harbani Pasolong, Metode Penelitian Administrasi Publik, Bandung, Alfabeta, 2012,
hlm. 248.
17
Peter Mahmud Marjuki, Penelitian Hukum, Kencana Prada Media Group, Jakarta,
2009, hlm. 97.
22

Manusia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan

peraturan lainya yang berkaitan dengan penelitian, Peraturan Pemerintah

Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang 14 Tahun

2008 tentang Keterbukan Informasi Publik, Peraturan Komisi Informasi

Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Standar Layanan Informasi Publik Desa.

b) Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan konseptual yaitu suatu pendekatan yang bersumber dari

para ahli, pendapat para sarjana, serta pandangan-pandangan dan doktrin-

doktrin yang berkembang.

c) Pendekatan Sosiologis (Sociological approach)

Pendekatan sosiologis yaitu pendekatan yang dikonsepkan sebagai

suatu pranata-pranata sosial yang secara rill dikaitkan dengan variabel-

variabel sosial yang lain untuk mengetahui bagaimana hukum itu dapat

dilaksanakan dan mengungkapkan segala permasalahan-permasalahan yang

ada dibalik pelaksanaan suatu kebijakan.

b. Populasi dan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara pemetaan badan publik

yaitu Pemerintah Desa yang ada di Kecamatan Sakra Barat. Diketahui jumlah

populasi badan publik di Kecamata Sakra Barat adalah delapan belas

Pemerintah Desa. Maka penelitian ini jumlah total populasi yang diambil

adalah berjumlah delapan belas Pemerintah Desa. Jadi jumlah sampel

penelitian yang akan diambil peneliti dari populasi Pemerintah Desa yang ada
23

di Kecamatan Sakra Barat yaitu delapan belas Desa. Setelah penetapan jumlah

badan publik peneliti akan mendatangi dan berkoordinasi dengan seluruh

badan publik dan akan dilakukan penentuan informan dengan pihak yang

masih terlibat dalam kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Desa di

Kecamatan Sakra Barat. Seperti Kepala Desa atau Perangkat Desa, serta

dengan orang-orang atau pihak lain yang berdasarkan pengetahuan dan

pengalamannya, yang dipilih secara acak dan melakukan interaksi secara

langsung dengan pihak yang bersangkutan, mengenai pokok permasalahan

yang dijadikan sampel dari jumlah populasi yang ada di Kecamatan Sakra

Barat.

c. Variabel Penelitian

Untuk mengetahui sejauh mana badan publik menjalankan Peraturan

Komisi Informasi (PerKI) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Standar Layanan

Informasi Publik Desa. Pemerintah Desa dalam penyelenggaraan pemerintahan

Desa diwajibkan menyediakan dan memberikan informasi publik berdasarkan

Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2018 Pasal 7 huruf f menyatakan

bahwa Pemerintah Desa wajib menyediakan dan memberikan informasi publik

Desa berdasarkan Peraturan Komisi ini. Huruf b menyatakan bahwa

Pemerintah Desa wajib mengikuti alur pelayanan publik Desa yang merupakan

bagian tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

d. Sumber dan Jenis Data

a) Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
24

1. Data Kepustakaan

Data kepustakaan dikumpulkan dengan teknik studi dokumen

yaitu membaca dan menelaah peraturan perundang-undangan

keterbukaan informasi publik maupun buku-buku yang berkaitan dengan

keterbukaan informasi publik. Kemudian mengambil data yang

berhubungan dengan penelitian ini untuk dianalisis lebih lanjut.

2. Data Lapangan

Data lapangan yaitu sumber data yang diperoleh langsung dalam

penelitian lapangan dan keterangan yang berkaitan langsung dengan

obyek penelitian. Dalam hal ini, data yang diperoleh dari informan atau

pihak yang berkaitan langsung dengan penelitian yang diteliti dan

responden yang merupakan pihak yang memberikan respon terhadap

pertanyaan yang diajukan oleh peneliti.

b) Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Data Primer

Sumber dan jenis data yang didapatkan dilapangan seperti

observasi, wawancara dan dokumentasi dalam data yang dibutuhkan

yang berhubungan dengan objek penelitian.

2. Data Sekunder

Data yang memberikan penjelasan mengenai data primer seperti

daftar kepustakaan, surat kabar, majalah, dokumen-dokumen, dan

literatur-literatur lainnya yang relevan dengan pelaksanaan keterbukaan


25

informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa di Kecamatan

Sakra Barat. Jenis bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

bahan primer, bahan sekunder dan bahan tersier :

1. Bahan Data Primer

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan

Informasi Publik

c. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

d. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua

atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah

Daerah

e. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang 14 Tahun 2008 tentang Keterbukan Informasi

Publik

f. Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar

Layanan Informasi Publik

g. Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Standar

Layanan Informasi Desa

2. Bahan Data Sekunder

Bahan yang meberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer

meliputi buku-buku literatur berupa karya ilmiah para pakar/ahli,

doktrin atau pendapat para sarjana dan penjelasan mengenai bahan

hukum primer yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.


26

3. Bahan Data Tersier

Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, yang dapat

membantu untuk mengetahui dan memahami maksud dari kata

ataupun istilah yang belum, atau kurang dipahami dan dimengerti.

e. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang konkrit dilokasi penelitian di Kecamatan

Sakra Barat terdiri dari 18 Desa. Peneliti menggunakan teknik pengumpulan

data sebagai berikut :

a. Observasi, yaitu pengamatan dan pencatatan dengan sistematik atas

fenomena-fenomena yang diselidiki agar memperoleh data-data yang

obyektif dan valid.

b. Wawancara, yaitu proses pengumpulan data melalui tanya jawab langsung

antara peneliti dengan informan atau responden. Informan yang dimaksud

ialah pihak yang masih berkecimpung atau terlibat dalam kegiatan

penyelenggaraan Pemerintahan Desa seperti Kepala Desa atau Perangkat

Desa. Sedangkan responden dalam hal ini merupakan orang-orang atau

pihak lain yang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya, yang dipilih

secara acak serta melakukan interaksi secara langsung dengan pihak yang

bersangkutan mengenai pokok permasalahan di beberapa desa yang

dijadikan sample di Kecamatan Sakra Barat Kabupaten Lombok Timur.


27

c. Kuesioner

Teknik pengumpulan data dengan menggunakan daftar pertanyaan yang

diajukan secara tertulis kepada responden untuk mendapatkan jawaban atau

tanggapan berupa data atau informasi.

f. Uji Validitas

Secara teknis penelitian akan dilakukan 3 tahapan yakni tahap pemetaan

Badan Publik, kedua tahap verifikasi dan ketiga tahap kunjungan lapangan.

Tahap pemetaan Badan Publik mengamati seluruh website Badan Publik yang

menjadi obyek penilaian. Berikutnya verifikasi pengiriman dokumen

kuesioner, pengisian dan pengembalian dokumen kuesioner. Selanjutnya

melakukan kunjungan lapangan terkait dengan sarana prasarana, kualitas

informasi, jenis informasi, komitmen organisasi, inovasi, strategi, dan

digitalisasi serta dilakukan secara pengamatan langsung.

g. Analisis Data

Data yang berhasil dikumpulkan diteliti secara sistemtis dan yuridis,

kemudian dianalisis dengan membandingkan teori yang digunakan terkait

dengan data yang berupa pernyataan-pernyataan dari responden atau informan.

Sehingga penelitian yang dilakukan mencapai atau mendapatkan sebuah

kesimpulan.
28

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku, Makalah, dan Artikel

Asmara, Galang, 2006, Ombudsman dan Good Governance, UIR PRESS,


Pekan Baru

Dipopramono, Abdulhamid, 2017, Keterbukaan dan Sengketa Informasi Publik


(Panduan Lengkap Memahami Open Government dan Keterbukaan
Informasi Publik, serta Praktik Sengketa Informasi Publik), Renebook,
Jakarta.

Erdianto, Kristian, Dyah Aryani, Michael Karanicolas, 2012, Implementasi


Hak Atas Informasi Publik: Sebuah Kajian Dari Tiga Badan Publik
Indonesia, Centre for Law and Democracy Yayasan Dua Puluh Delapan,
Pejaten.

Fajat Mukti dan Yulianto Achmad, 2013, Dualisme Penelitian Hukum


Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Jakarta.

Hadjon, Philipus, 2008, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah


Mada University Press, Yogyakarta.

Huda, Ni’matul, 2015, Hukum Pemerintahan Desa Dalam Konstitusi Indonesia


Sejak Kemerdekaan Hingga Era Reformasi, Setara Press, Malang

Inu Kencana, Tanjung, Djamaludin Tanjung dan Supardang Modeong, 1999,


Ilmu Administrasi Pulik, PT. Raka Cipta, Jakarta

Kaharudin, 2013, Perluasan Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha


Negara, CV. Arti Bumi Intara, Yogyakarta

Kaho Riwu, Josep, 2010, Prospek Otonomi Derah di Negara Republik


Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada

Kartohadikoesoemo, Soetardjo, 1984, Desa, Balai Pustaka, Jakarta

Koalisi Untuk Kebebasan Informasi, 2003, Melawan Ketertutupan Informasi


Menuju Pemerintahan Terbuka, Cetakan II, USAID, Jakarta

Lubis, Todung Mulya, 1996, In serach of Human Right, Legal and Political
Dilemas ofIndonisia’s New Order, Gramedia, Jakarta.

Marjuki, Peter Mahmud, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prada Media


Group, Jakarta.
29

Mashab, Mashuri, 2013, Politik Pemerintahan Desa Di Indonesia, Cetakan I,


PolGov, Fisipol UGM, Yogyakarta

Marijan, Kacung, 2012. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi


Pasca Orde Baru. Jakarat: Kencana Prenada Media Group

Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet-1, PT Citra


Aditya Bakti, Bandung

Rasyid, Ryaas, 2009, Desentralisasi Dalam Pembangunan Daerah dalam


pembangunan Administrasi Di Indonesia, LP3ES, Jakarta

Wasistiono Tiono, Sadu, 2006, Prospek Pembangunan Desa, Focus Media,


Bandung

Santosa, Pandji, 2008, Administrasi Publik:Teori dan Aplikasi Good


Governance, Refika Aditama, Bandung.

B. Skripsi, Jurnal

Ismail Muhammad, Birokrasi dalam Era Keterbukaan Informasi Publik, dalam


Jurnal Dialog Keterbukaan Informasi Publik, Edisi 3 September 2011

Fatri Badaliah, Implementasi Keterbukaan Informasi Publik (Studi di


Pemberdayaan dan Bantuan Sosial pada Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Banggal Kepulauan, Jurnal

Epin Sepudin, Keterbukaan Informasi Publik sebagai wujud good governance


(Kajian Tentang Implementasi UU KIP dalam meningkatkan pertisipasi
Masyarakat), makalah

Suhendar Ade, bentuk keseriusan Pemerintah menuju Good Governance


(Implementasi UU NO.14 Tahun 2008), dalam jurnal Keterbukan
Informasi Publik

Sulismadi. “Model Penguatan Kapasitas Pemerintah Desa.” Jurnal Sosial


Politik dan Humaniora 05, No. 2 (2017): 10

A. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik,LN Nomor 61 Tahun 2008 TLN Nomor 4846.
30

Indonesia, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua


atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah
Daerah, LN. No. 58 Tahun 2015 TLN. No. 5679
Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, LN Nomor 7
Tahun 2014, TLN Nomor 5495.
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 14
Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, PP No. 61 Tahun 2010

Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan


Informasi Publik, Berita Negara Nomor 272 Tahun 2010
Peraturan Komisi Informasi, Peraturan Komisi Informasi tentang Standar Layanan
Informasi Publik Desa, Perki No. 1 Tahun 2018, BN Nomor 1899

B. Sumber-sumber lain

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/8967/MEDIASI-DAN-ATAU -
AJUDIKASI-NON-LITIGASI-PADA-KOMISI-INFORMASI.html, 13
Desember 2020, pukul 23:21

Http://Lomboktimurkab.bps.go.id/view/id. diakses pada 07-22-20 pukul


02:08 PM

http://ejounal.unsurat, J. Mandey, Implementasi Keterbukaan Informasi


Publik (Studi Pemberdayaan dan Bantuan Sosial pada Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Banggai Kepulauan, di Download
15 Agustus 2020
31
32

Anda mungkin juga menyukai