Dari Slogan
Menjadi Program
Naskah Akademik
Reformulasi
Kebijakan
Perhutanan Sosial
0
Perhutanan Sosial: Dari Slogan Menjadi Program
Tim Penulis:
R. Yando Zakaria (Koordinator)
Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator)
Asep Yunan Firdaus (Anggota)
Didik Suharjito (Anggota)
Muayat Ali Muhsi (Anggota)
Suwito (Anggota)
Roy Salam (Anggota)
Tri Candra Aprianto (Anggota)
Luluk Uliyah (Anggota)
i
Kata Pengantar
ii
Perhutanan Sosial ini. Padahal publik boleh jadi ingan tahu apa artinya secara ekonomi
dan ekologi jika lahan Perhutanan Sosial yang discadangkan seluas 12,7 ha itu benar-
benar ‘jadi’ Apa pengaruhnya terhadap masalah struktur agraria yang timpang? Karena
50% juga harus berisi kayu, apa dampak program ini pada masalah lingkungan cq.
deforestasi?
Lebih dari itu, sebagai suatu program yang utuh, Perhutanan Sosial ini boleh jadi
mengandung 3 (tiga) sampai 4 (empat) tahap pernyelengaraan. Laiknya sebagai suatu
program penataan ulang sistem penguasaan dan pengusahaan sumber-sumber agraria,
tentu saja program perhutanan sosial tidak saja menyangkut urusan redistribusi akses
dan penguasaan lahan, melainkan juga meliputi tahap penataan usaha perekonomian
rakyat serta implementasi dan pengembangan usaha. Setiap tahapan tentunya
membutuhkan sejumlah persyaratan dan serangkian kegiatan, dan karenanya
membutuhkan waktu pelembagaan yang boleh jadi membutuhkan waktu sekitar 10
hingga 15 tahun.
Bahasan tentang siklus program perhutanan sosial yang lebih utuh ini juga
absen dalam hiruk-pikuk wacana Perhutan Sosial dalam tiga tahun terkahir ini.
Padahal, pada masing-masing tahap itu punya aspek technicalities dan tantangan yang
berbeda-beda yang perlu mendapatkan perhatian pula. Ulasan yang lebih lengkap itu
diperlukan agar khalayak tidak mengalami misleading, yang ditandai oleh hadirnya
anggapan bahwa program Perhutanan Sosial ini akan ‘jadi’ cukup dalam waktu 5 tahun
saja! Padahal, boleh jadi masing-masing tahap itu butuh waktu 5 tahun, karena
sebagaimana yang telah kita alami dalam tahap percepatan pemberian izin ini, dalam
aspek kebijakan saja ada begitu banyak kebijakan yang perlu dibenahi. Permen LHK 83
Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, yang menjadi payung hukum penyelenggaraan
program Perhutan Sosial saat ini saja baru muncul pada tahun ketiga setelah program
dicanangkan. Padahal, untuk penyelenggaraan Tahap Penataan Produksi misalnya,
kebijakan- kebiajakan menyangkut permodalan, baik dari sisi Badan Layanan Umum di
bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun perbankan jauh dari
kondusif.
Dengan catatan di atas, akan sangat baik bila ada pihak lain yang mau mengelola
inisitif untuk mengembangkan dokumen ini menjadi dokumen yang lebih utuh.
Dokumen yang lebih utuh itu, katakanlah semacam Buku Putih Perhutanan Sosial, bisa
menjadi benchmark yang dapat diwariskan kepada rezem siapapun di masa-masa yang
akan datang.
Semoga.***
Koordinator Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR II
DAFTAR ISI IV
DAFTAR TABEL VI
BAB 1. PENDAHULUAN 1
1.1. LATAR BELAKANG 1
1.2. ARAH KEBIJAKAN KE DEPAN 5
1.3. OPTIMALISASI PERAN PEMERINTAH DAERAH, KPH DAN DESA 6
1.4. ISI DOKUMEN 10
i
4.4.7. KOORDINASI DENGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI DAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA
RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL 52
4.4.8. MENSIASATI KEBIJAKAN YANG ADA 54
4.5. KESIMPULAN UMUM DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 55
v
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
v
BAB 1. PENDAHULUAN
1 Joko Widodo dan Jusuf Kalla, 2014. Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan
Berkepribadian. Visi-Misi dan Program Aksi.
2 Sebagaimana termuat dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2015-2019.
1
reforma agrarian menjadi salah satu prioritas nasional yang dijalankan pemerintah
pusat hingga daerah. Selasa 14/03/17 Presiden dan Wakil Presiden melakukan
rapat kordinasi teknis terbatas dengan dengan pimpinan lembaga tinggi negara.
Pada kesempatan itu kembali Presiden dan Wakil Presiden menegaskan target
program reforma agraria itu.
Masalahnya, meski masa pemerintahan Jokowi-JK telah melampaui tahun
ketiga, dengan menggunakan skenario pelaksanaan yang ada saat ini, capaian target
pelaksanaan program Perhutanan Sosial saja masih di bawah angka 10% dari target.
Itupun sudah memasukan capaian program sebelum Jokowi – JK memerintah.
Tabel 1.1. Capaian Perhutanan Sosial (sampai November 2017)3
No Skema Pra Kabinet Kabinet Kerja Total (Ha)
Kerja 2007 - 2015 2016 2017
2014
1 HD 78.072,00 63.587.00 81.129,83 446.730,38 669.519,21
2 HKm 153.725,15 20.945,06 2.465,46 109.343,31 286.478,98
3 HTR 198.594,87 2.815,42 14.131,00 23.426,61 238.967,90
4 Kemitraan 18.712,22 16.300,99 24.468,89 30.158,81 89.640,91
5 Hutan Adat - - 13.121,99 3.341,25 16.463,24
Jumlah 449.104,23 103.648,47 122.195,18 613.000,361 1.301.070,24
Realisasi program yang rendah itu telah diprediksi Wiratno (2016), Direktur
Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan
Kelola Lingkugan (PSKL).4 Menurut Wiratno, kemampuan Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan sebagaimana yang ada saat ini, merujuk data 2010-2014 dan
pada 2015 - Juli 2016, nyatanya Pemerintah hanya mampu menyerahkan hak kelola
dan/atau izin seluas 200.000-300.000 hektar/tahun. Artinya, target rata-rata 2,5
juta hektar/ tahun pada periode 2015-2019 sudah pasti tidak akan tercapai.5
Masalah lain yang juga dirujuk sebagai kendala utama, yang sering
dikemukakan oleh Pemerintah sendiri, adalah adanya hambatan pendanaan
program yang relatif terbatas. Namun, menurut Dr. Mubariq Ahmad, seorang
ekonom senior cum praktisi PS, sebenarnya pemerintah punya banyak sekali dana
untuk kegiatan dengan tema PS ini. Sayangnya dana itu dikelola dalam kapling-
kapling kecil dan
2
dikuasai ‘raja-raja kecil’ yang hasilnya kecil juga. Menurutnya, perlu dilakukan
konsolidasi program dan dananya disatukan dalam satu sistem pengendalian.6
Kendala lain dari rendahnya realisasi program PS adalah panjangnya rantai
perizinan, dari tingkat kelompok tani hutan hingga menteri. Walaupun ada
pengecualian pada pada provinsi yang telah memasukkan PS dalam rencana
pembangunan jangka menengah daerah atau mempunyai peraturan gubernur
tentang PS dan memiliki anggaran dalam dalam APBD.
Padahal, kawasan hutan yang telah dialokasikan Pemerintah untuk program
Perhutanan Sosial ini lebih dari 10% dari seluruh luas kawasan hutan keseluruhan.
Dengan kata lain, jika target yang telah dicanangkan Permerintah tersebut dapat
direalisasikan secara optimal, maka rencana pemerintah untuk melakukan
pemerataan pembangunan, pengurangan kemiskinan, dan penyediaan lapangan
kerja melalui perbaikan tata guna lahan dan pembentukan kekuatan ekonomi rakyat
diharapan dapat tercapai.
Selain beberapa kendala yang sudah disebutkan, rendahnya realisasi
pelaksanaan program reforma agraria itu juga disebabkan oleh (a) data tentang
potensi tanah obyek RA masih belum terkonsolidasi dengan baik, dan (b) juga belum
seluruhnya clear and clean; (c) peran Pemerintah daerah dan desa yang belum
terlalu jelas dalam pelaksanaan program reforma agraria; dan (d) kapasitas
masyarakat untuk mengajukan usulan yang relatif rendah.7
Sementara itu, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di
perdesaan juga masih memiliki sejumlah kendala lain yang membuat
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di perdesaan tidak optimal.
Faktanya, kurang dari 5% dari jumlah yang telah memiliki tata batas desa defenitif
(BIG, 2017); hampir 50% dari jumlah desa yang ada memiliki konflik tata batas
dengan kawasan hutan (Renstra Kemenhut 2009); Skema Pembagian dan
Penggunaan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) belum optimal (Monef
KSP (2017), dll.); dan banyak BUMDesa belum menemukan ranah kegiatan yang
6Komunikasi Yando Zakaria dengan Mubariq Ahmad, suatu hari di awal tahun 2017.
7Beberapa kajian yang dilakukan baru-baru ini, sebagaimana yang dilakukan oleh Surrya Affif,
2017. ”...............”; “Land and Forest Governance )ndex/LFG). Mengukur Kinerja Pemerintah Propinsi
dalam Pengelolaan Hutan dan Lahan di 8 (Delapan) Propinsi di Indonesia (ICEL, The Asia
Foundation, and UKA)D); Usman, 2017. “Percepatan Perhutanan Sosial: Memperkuat Tata Kelola
(Forum Transparansi Anggran/FITRA Riau); serta Heriyanto, et.al., , 2017. “)novative Finacing for
Social Forestry Development (Kerjasama IPB dan UNDP Indonesia), mengkonformasi beberapa
persoalan yang telah menghambat pencapaian target program ini. Masalah-masalah ini pun sudah
mengemuka pada masa sebelumnya, sebagaimana yang disampaikan para-pihak dalam lokakarya
“Strategi Penguatan Perhutanan Sosial dan Peran CSO, Bogor, 22 – 23 Oktober 2015”, sebagaimana
yang dilaporkan Purwanto, ed., 2017. Sebagaimana akan dibahas dalam bagian lain, masing-masing
kajian ini juga telah disertai dengan sejumlah usulan untuk mengatasi masalah yang ada, yang perlu
dipertimbangkan untuk dijadikan kebijakan alternatif di masa mendatang.
3
menguntungkan, sebagaimana yang banyak dilaporkan dalam media massa akhir-
akhir ini.
Sejumlah kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pemerintahan dan
pembangunan di perdesaan ini harus pula segera diatasi. Salah satu strategi yang
dapat diupayakan adalah menjadi pelaksanaan program reforma agraria sebagai
pintu masuk untuk penyelesaian permasalahan pemerintahan dan pembangunan
desa dimaksud.
Berbagai permasalahan berikut solusi yang perlu diambil telah disuarakan
berbagai pihak, sebagaimana yang mengemuka pada Pesona 2017 yang
diselenggarakan 6-8 September 2017 dan Pertemuan Nasional Kelompok Kerja
Perhutanan Sosial yang diselenggarakan 20 Oktober 2017.
Misalnya, soal rantai perizinan yang panjang (yang harus diterbitkan oleh
Menteri). Jika dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.83 / MENLHK / SETJEN / KUM.1 / 10/2016 tentang Perhutanan Sosial, perizinan
dapat didelegasikan kepada Gubernur, terutama untuk provinsi-provinsi yang
memiliki program perhutanan sosial di dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah baru bersifat pengecuali, ke depan penyerahan kewenangan kepada
daerah ini perlu menjadi kebijaka regular, dengan penguatan kapasitas aparat di
tingkat daerah itu tentunya. Alternatif ini sejalan dengan pembagian wewenang
antara tingkat Pusat dan Daerah sebagaimana disahkan dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam praktiknya, proses
penerbitan hak pengelolaan dan / atau lisensi dapat didelegasikan ke Dinas
Kehutanan, misalnya. Sehingga peran Pemerintah Pusat c.q. Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan berfungsi pada tingkat pembuatan kebijakan dan
pengendalian di lapangan.
Disisi lain, dalam dekade terakhir, untuk mengoptimalkan pengelolaan hutan,
semua kawasan hutan di Indonesia telah didistribusikan habis ke dalam sejumlah
Unit Pengelolaan Hutan (KPH) (Kementerian Kehutanan, 2011). Oleh karena itu,
untuk mempercepat proses perizinan, tidak mungkin mendapat persetujuan atas
usulan hak dan perizinan pengelolaan PS yang diterbitkan oleh kepala KPH.
Mengetahui fakta bahwa KPH tidak memiliki kapasitas dan terlibat dalam beberapa
masalah, itu adalah masalah lain. Kondisi ini merupakan hasil kebijakan KPH selama
ini. Artinya bila KPH akan menerima wewenang delegasi tentang persetujuan hak
dan / atau perizinan PS, ada beberapa amandemen kebijakan tentang keberadaan
KPH. Ini termasuk pengembangan kapasitas untuk menerapkan otoritas baru.
Pilihan ini masuk akal karena sejak awal KPH diasumsikan mampu menentukan
rencana
4
pengelolaan tata ruang dan untuk memahami karakteristik masyarakat lokal dan /
atau masyarakat adat sebagai kandidat potensial pengelola PS.
Beberapa solusi untuk mengatasi masalah keuangan pun telah disuarakan.
Oleh sebab itu, catatan yang dikemukakan Wiratno tentang perlunya struktur
kelembagaan, regulasi, dana, dan kekuatan jaringan kerja multipihak untuk ditinjau
ulang harus mendapat perhatian yang serius.
5
pembangunan jangka menengah daerah atau yang belum mempunyai
peraturan gubernur tentang PS dan yang belum memiliki anggaran dalam
dalam APBD. Hal ini sebenarnya sesuai dengan pembagian kewenangan
antara Pusat dan Daerah sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
6. Terkait dengan upaya redistribusi dan legislasi tanah, kekurangan juru ukur
yang saat ini menjadi salah satu hambatan pelaksanaan program, dapat
diatasi dengan kesepakatan bersama antara Menteri ATR, Menteri LHK, dan
Menteri Desa PDTT untuk menjadikan juru ukur LHK dan para pendamping
desa sebagai juru ukur dalam rangka identifikasi data TORA.
Agar keenam kebijakan pokok untuk mempercepat pencapaian target
program reforma itu tercapai maka diperlukan pula tiga langkah hukum utama.
Masing-masing adalah sebagai berikut:
1. Diberlakukannya Instruksi Presiden tentang Percepatan Pencapaian Target
Program Reforma Agraria sebagai dasar hukum langkah-langkah
percepatan pencapaian target program reforma agraria ini;
2. Meninjau-ulang peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
penyelenggaraan program reforma agraria yang terindentifikasi dapat
menghalangi pencapaian target reforma agraria; dan
3. Diaktifkannya tim pelaksana yang yang terwujud dalam Pokja dan tim
pengendali yang bekerja untuk pencapaian target pelaksanaan reforma
agraria.
6
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016
tentang Perhutanan Sosial menyatakan bahwa “Pemerintah dan pemerintah daerh
memfasilitasi Pemegang HPHD, IUPHKm, IUPHHK-HTR, Kemitraan Kehutanan dan
Pemangku Kehutanan (Pasal 61 ayat 1)”. “Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1) meliputi fasilitasi pada tahap usulan permohonan, penguatan kelembagaan,
peningkatan kapasitas termasuk manajemen usaha, pembentukan koperasi, tata
batas areal kerja, penyusunan rencana pengelolaan hutan desa, rencana kerja usaha,
dan rencana kerja tahunan, bentuk-bentuk kegiatan kemitraan kehutanan,
pembiayaan, pasca panen, pengembangan usaha dan akses pasar” (Pasal 61 ayat 2).
Amanat tersebut tentu sejalan dengan peran Pemerintah Kabupaten
sebagaimana diatur dalam Dalam Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Antara lain dinyatakan bahwa, dalam bidang pemberdayaan
masyarakat dan Desa, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berwenang untuk
menyelenggarakan Penataan Desa; Fasilitasi kerjasama antar Desa dalam satu
Kabupaten; Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan administrasi
pemerintahan Desa.
Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, jajaran pemerintah di atas
Pemerintah Desa berkewajiban membina dan mengawasi (ps. 112 UU Desa). Secara
spesifik Pasal 115 UU Desa menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota
berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
Pemerintahan Desa. Salah satu wujudnya adalah melakukan fasilitasi
penyelenggaraan pemerintahan desa; melakukan pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan desa; melakukan upaya percepatan pembangunan
perdesaan; dan melakukan upaya percepatan pembangunan desa melalui bantuan
keuangan, bantuan pendampingan, dan bantuan teknis.
Program perhutanan sosial dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan
desa jelas merupakan bagian dari pembangunan desa yang bertujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan
kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan
prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber
daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan (UU Desa, Pasal 78 ayat 1).
Dengan argumentasi hukum tersebut di atas, maka Kepala Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota tidak perlu ragu untuk turut mendukung lancarnya
program perhutanan sosial yang menjadi prioritas Presiden Jokowi ini. Dukungan
itu dapat berupa kebijakan yang mengarahkan penggunaan sumberdaya pemerintah
kabupaten, termasuk pengerahan birokrasi (satuan kerja pemerintah daerah/SKPD)
7
dan keuangan daerah. Termasuk himbauan pada pemerintah desa untuk secara
sungguh-sungguh memanfaatkan perluang yang terbuka ini.
Oleh sebab itu, alih-alih sekedar sebagai pengecualian, pendelegasian
kewenangan kepada provinsi cq. gubernur ini justru dapat diperkuat posisinya
sebagai pilihan utama untuk menggantikan posisi Pusat cq. Menteri LHK. Dalam
praktiknya, proses penerbitan hak pengelolaan dan/atau izin itu bisa didelegasikan
kepada Dinas Kehutanan, misalnya. Dengan demikian peran Pusat cq. Menteri LHK
betul-betul berfungsi pada tingkat penyusunan kebijakan dan pengendalian kegiatan
di tingkat lapangan. Antara lain, kebijakan tentang kawasan hutan yang dapat
dialokasikan.
Demikian pula, dalam satu dasa warsa terakhir, untuk mengoptimalkan
pengelolaan hutan, keseluruhan kawasan hutan di Indonesia telah terbagi habis ke
dalam sejumlah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) (Kementerian Kehutanan,
2011).8 Maka, dalam rangka mempercepat proses perizinan, bukan tidak mungkin
persetujuan atas permohonan hak dan izin pengusahaan PS dikeluarkan oleh
pimpinan KPH.9
Bahwa saat ini KPH masih belum memiliki kapasitas dan masih dililit oleh
sejumlah permasalahan, itu soal yang lain lagi. Kondisi itu tidak lain akibat dari
kebijakan tentang KPH selama ini. Artinya, jika memang KPH yang akan menerima
pendelegasian kewenangan persetujuan hak dan/atau izin PS itu, tentu ada sejumlah
perubahan kebijakan tentang keberadaan KPH yang harus dilakukan. Termasuk
pengembangan kapasitas untuk menjalankan kewenangan yang baru ini.
Pilihan ini menjadi masuk akal karena toh KPH memang sejak dari awal
diasumsikan sudah dapat menentukan ruang kelola dan mampu memahami
karekater masyarakat lokal dan/atau masyarakat adat calon pengelola PS.
Ingin dikatakan di sini, sebagaimana dikemukakan Prof. Hariadi
Kartodihardjo, Guru Besar Institute Pertanian Bogor, 10 sejatinya di mana
kewenangan pemberian hak dan/atau izin itu akan diletakkan bukanlah soal
substantif dalam menuju pengelolaan hutan yang legal dan legitimate. Melainkan
merupakan ekspresi dari perebutan kesempatan untuk menjadikan proses
persetujuan PS sebagai ajang transaksional ekonomi rente. Peluang ini harus
diminimalisir dengan mengedepankan masalah pengelolaan kawasan hutan yang
8
lebih rasional sebagai interest utama yang harus dikedepankan di dalam proses
perumusan kebijakan.
Untuk mengatasi masalah keterbatasan dana, pada tingkat tapak, ada tiga
strategi yang dapat dijalankan untuk memperkuat inisiatif perhutanan sosial di
tingkat lapangan. Pertama, mengintegrasikan pengelolaan hutan desa dan hutan
adat ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). Kedua,
mengoptimalkan pengolahan potensi yang ada menjadi produk yang memiliki nilai
jual (seperti kasus buah kepayang (pangium edule), kopi, dan jahe misalnya). Ketiga,
melakukan restorasi lahan.
Ketiga strategi tersebut pada muaranya adalah menjadikan pemerintah desa
dan masyarakat desa sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan. Termasuk
upaya untuk penyelamatan lingkungan. Dengan begitu, pengembangan Perhutanan
Sosial di Kabupaten Merangin merupakan bagian dari kategori pemberdayaan
masyarakat desa.
Dalam konteks penggunaan anggaran desa maka penyelenggaraan
perhutanan sosial juga dapat dimasukkan dalam prioritas pembangunan dan masuk
ke dalam berbagai dokumen perencanaan dan penganggaran di tingkat desa
(RPJMDes, RKPDes, dan APBDes).
Stretegi kerja yang demikian itu sesuai pula dengan Peraturan Menteri Desa
Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 1 tahun 2015 pasal 9
tentang Bidang Pembangunan Desa, yang antara lain disebutkan dalam
pengembangan ekonomi lokal desa dan pemanfaatan sumber daya alam dan
lingkungan desa. Dalam pasal 14, disebutkan pula bahwa pembangunan Desa juga
meliputi fasilitasi pembentukan kelompok tani.
Bahkan, saat ini, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Desa dan
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2017 tentang
Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2018 yang baru saja
ditandatangani tanggal 22 September 2017 lalu, sebagaimana tercantum dalam
Lampiran 1, khususnya pada butir 3 tentang Kegiatan Prioritas Bidang
Pemberdayaan Masyarakat Desa, huruf c. angka 1), salah dua kegiatan yang menjadi
prioritas adalah kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan hutan desa dan hutan
sosial. Demikian pula, sebagaimana diatur pada angka 5), salah dua bidang usaha
yang dapat dikembangkan oleh Badan Usaha Milik Desa adalah kegiatan yang
berkaitan dengan pengelolaan hutan desa dan hutan sosial.
Artinya, Desa sangat berpeluang untuk mengambil posisi sebagai garda
terdepan dalam pemberdayaan masyarakat dan pemanfaatan sumberdaya hutan
secara berkelanjutan melalui program yang disebut perhutanan sosial itu.
9
1.4. Isi Dokumen
Dokumen ini pada dasarnya dimaksudkan sebagai pendukung yang berisikan
argementasi-argumentasi akademik atas beberapa solusi yang ditawarkan dalam
mempercepat pencapaian target program Perhutan Sosial ke depan, sebagaimana
secara ringkas telah diuraikan dalam bagian-bagian terdahulu. Oleh sebab itu,
dokumen ini akan berisikan hal-hal berikut ini:
• Bab 1. Pendahuluan
• Bab 2. Perhutanan Sosial Sebagai Jawaban Sejarah Kelam Pengelolaan Hutan
• Bab 3. Dinamika Kebijakan dan Implementasi Program Perhutanan Sosial
• Bab 4. Percepatan Penetapan Hutan Adat
• Bab 5. Peran KPH dalam Perhutanan Sosial
• Bab 6. Revitalisasi Kebijakan Anggaran Untuk Percepatan Realisasi
Perhutanan Sosial
• Bab 7. Optimalisasi Dana Desa Untuk Perhutanan Sosial
• Bab 8. Kerangka Kebijakan dan Kewenangan Pemerintah Dalam Percepatan
Pemenuhan Target Perhutanan Sosial
1
BAB 2. PERHUTANAN SOSIAL SEBAGAI JAWABAN SEJARAH
KELAM PENGUSAHAAN HUTAN
1
Intervensi pemerintah dan pengusaha swasta dalam pemanfaatan
sumberdaya alam hutan seperti di Pilipina, Malaysia, Indonesia, Brazil, India,
Thailand, Cameron dan lain-lain telah menyebabkan terdesaknya ruang hidup
masyarakat untuk memperoleh manfaat dari hutan. Antiklimak dari proses ini
adalah hilangnya ruang hidup masyarakat (Lebensraum) karena masuknya industri
kehutanan modern yang ekspansif dan ekstensif sifatnya. Pada kasus di Indonesia,
masyarakat yang hidup di sekitar hutan dan kehidupannya sangat bergantung pada
sumberdaya alam hutan dihadapkan pada keadaan sangat sulit ketika harus
berhadapan dengan kebijakan pemerintah yang menyerahkan seluruh hutan
negaranya untuk dimanfaatkan oleh perusahaan swasta dan perusahaan negara.
Orientasi keuntungan bagi perusahaan lebih dikedepankan dibandingkan dengan
memberi peluang hidup dan dipertahankannya nilai-nilai budaya masyarakat
terhadap hutan. Antiklimaks lainnya dari praktik pemanfaatan sumber daya hutan
dengan menggunakan model-model kehutanan modern dan industrial adalah laju
kerusakan hutan (deforestasi) yang tinggi. (Awang, 2005)
Mengacu pada Awang 2005, atau beberapa referensi lain, model penguasaan
negara atas sumberdaya hutan dan memandang hutan sebagai sumber ekonomi,
sebenarnya sudah berlangsung sejak jaman kolonial Belanda, Jepang, yang berlanjut
hingga Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi. Bahkan setelah masa reformasi di
awal tahun 2000-an, komoditas kayu masih menjadi andalan sebagai sumber devisa
negara.
Pada zaman kolonial Belanda, sumberdaya hutan (SDH) di Jawa sudah
memasuki masa eksploitasi tahap kedua, karena eksploitasi tahap pertama
sesungguhnya sudah dimulai pada zaman raja-raja. Pada zaman kolonial pelaku
eksploitasi SDH adalah VOC dan pengusaha etnik Cina. Penebangan hutan pada masa
itu diutamakan untuk memenuhi kebutuhan kayu jati guna pembuatan kapal-kapal
kayu yang industri perkapalannya berada di pantai utara Jawa dan industri
perkapalan yang ada di Rotterdam dan Amsterdam (Peluso, 1992; Simon, 1999;
Awang 2005). Pembuatan kapal-kapal kayu yang dipergunakan untuk kepentingan
perdagangan hasil-hasil bumi dari Indonesia ke Luar Negari.
Sedang di luar jawa, Kegiatan eksploitasi kayu terjadi sebelum tahun 1967
dimulai dengan cara-cara sporadis yang dilakukan oleh masyarakat melalui sistem
“banjir kap” yaitu hutan ditebang pada musim kemarau kemudian kayu-kayunya
diletakkan dekat sungai, dan pada musim hujan kayu-kayu tersebut dapat diangkut
ke sungai untuk dipasarkan. Di Kalimantan Timur sebelum tahun 1967 sebagian
hutan alam diusahakan oleh Perhutani dan dicatat sebagai hal yang tidak berhasil
dalam pengelolaannya. Deforestasi di Kalimantan Timur dan di tempat-tempat lain
di Indonesia disebabkan oleh pembukaan wilayah untuk kegiatan pemukiman
1
penduduk (transmigrasi), migrasi penduduk secara spontan, kegiatan penebangan
kayu dan pembukaan wilayah hutan untuk eksploitasi hutan (Potter 1991; Awang
2005).
Pasca Kemerdekaan, terutama pada masa Pemerintahan Orde Baru,
sumberdaya hutan menjadi andalan pertumbuhan ekonomi Indonesia setelah
minyak dan gas bumi. Kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap pemanfaatan SDH
adalah memanfaatkan semaksimal mungkin hutan alam primer sehingga kegiatan
tersebut mampu membuka isolasi wilayah-wilayah di luar Jawa, dan sekaligus
mendatangkan devisa yang besar bagi kepentingan pembangunan nasional. Dalam
Hidayat (2008) menyebutkan bahwa Pemerintahan Soeharto memperoleh devisa
asing yang besar industry kehutanan, keseluruhannya mencapai 3 miliar US dolar
tahun 1990-an, dan ini merupakan pendapatan nasional terbesar kedua setelah
sektor minyak bumi.
Pada era orde baru, hutan-hutan alam dieksploitasi melalui pemberian
konsesi-konsesi pengusahaan berupa HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dengan
menebang kayu gelondongan (log) dan mengekspornya. Sumatera dan Kalimantan
adalah sasaran pertama eksploitasi hutan karena mempunyai stok kayu komersil
terbesar, dan paling dekat dengan pusat pasar asia, seperti Singapura, Hongkong,
Taiwan, Korea Selata, dan Jepang. Dalam hubungan ini, perusahaan swasta, baik
dalam negeri dan transnasional diizinkan untuk mengoperasionalkan kegiatan
usahanya di sector kehutanan di Indonesia, yaitu dengan mendaftarkan perizinan
usahanya di Departemen Kehakiman. Banyak perusahaan transnasional telah
membentuk joint operation dengan perusahaan swasta dalam negeri untuk
mengoperasikan konsesi HPH. (Hidayat, 2008).
Menurut Awang (2005), kebijakan pemerintah Orde Baru memberikan izin
pengusahaan kepada pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menandai babak
baru sistem eksploitasi hutan alam tropika di luar Jawa yang dimulai secara
menyeluruh pada tahun 1968. Sampai tahun 2000 jumlah HPH di Indonesia
mencapai sekitar 600 unit HPH dengan total hutan produksi seluas 64 juta ha. Dari
kegiatan eksploitasi oleh HPH tersebut pada tahun 1985 terjadi laju kerusakan
hutan (deforestasi) sebesar antara 600.000 ha – 1.2 juta ha per tahun (World bank,
1988a, 1988b; Scott, 1989). Selanjutnya Holmes menyebutkan bahwa pada periode
1985- 1997 tingkat deforestasi di Indonesia mencapai 1,7 juta ha per tahun. Dengan
kondisi seperti ini maka diramalkan bahwa pada tahun 2005 hutan dataran rendah
non rawa akan hilang di Sumatera, dan di kalimantan akan hilang pada tahun 2010
(FWI, 2001:9). Deforestasi pada sistem pemerintahan Orde Baru dinilai banyak
pihak paling besar dan paling serius.
1
Dan sebaliknya, Hidayat (2008) menyebutkan bahwa keadaan ekonomi
masyarakat sebagai penggunal lebih awal atas sumber daya hutan dan produksi
kayu menjadi lebih buruk, setelah beroperasinya konsesi HPH di berbagai daerah
oleh pengusaha transnasional dan dalam negeri, sebagaimana temuan lapangan oleh
penelitian. Meskipun, pemerintah masih mengakui hak-hak hutan adat masyarakat
lokal, masyarakat lokal hanya diperbolehkan untuk mengumpulkan produksi
sumber daya hutan-non hutan. Dengan demikian, konflik lahan antara masyarakat
lokal dan pemilik konsesi HPH telah dilaporkan terjadi luar di berbagai daerah.
1
karena eksploitasi hutan oleh mereka telah menyebabkan deforestasi yang meluas.
Sayangnya pencabutan izin ini tidak diikuti dengan percepatan penetapan siapa
pengelola berikutnya di areal eks HPH tersebut sehingga menjadi areal open acces
yang dibuka dan diduduki oleh masyarakat untuk kegiatan perladangan dan
pembangunan kebun-kebun rakyat. Kegiatan pembalakan liar (illegal logging) di
Jawa dan Luar Jawa menjadi sangat mengkhawatirkan yang menyebabkan tingkat
deforestasi sangat tinggi. Pada tahun 1980 laju deforestasi di Indonesia rata-rata
sebesar 1 juta ha, kemudian meningkat menjadi 1,7 juta ha pada tahun 1990-an, dan
sejak tahun 1996 deforestasi mencapai 2 juta ha per tahunnya (FWI/GFW, 2001,
dalam Awang 2005).
Dalam Sese Tolo (2013) menegaskan bahwa melihat sejarah tata kelola
kehutanan Indonesia maka dapat ditarik inferensinya bahwa kerusakan hutan
disebabkan oleh kebijakan tata kelola kehutanan yang dipengaruhi oleh kekuatan
ekonomi global. Hal ini nampak dalam dua hal yakni: pertama, kebijakan ekonomi
politik yang pro terhadap investasi, baik asing maupun domestik, dalam sektor
kehutanan, pertanian, dan pertambangan, yang bertujuan untuk meningkatkan
pembangunan ekonomi, telah berkontribusi terhadap kerusakan hutan di Indonesia.
Kebijakan ekonomi politik pro investasi ini sangat nampak dalam pemerintahan
kolonial, Orde Baru dan pasca Orde Baru.
Kedua, kegagalan untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan
disebabkan oleh kegagalan untuk menentukan penyebab utama deforestasi (the
failure to address the fundanmental driver) dan tendensi untuk melihat sektor
kehutanan sebagai entitas yang terpisah dari sektor lain (the tendency to view the
forest sector in isolation from other sectors)”. Tendensi seperti ini menimbulkan
kontradiksi kebijakan antar-departemen. Regulasi yang dibuat oleh departemen
dalam kabinet pemerintahan cenderung tumpang-tindih. Singkatnya, deforestasi di
negara berkembang, termasuk di Indonesia, terjadi karena kemiskinan, rendahnya
kapasitas manajemen, dan buruknya kebijakan ekonomi politik (Ricketts 2010,
Dalam Sese Tolo, 2013).
Pendekatan pengelolaan hutan yang eksploitatif, selain telah melahirkan
tingkat kerusakan yang tinggi, juga telah menyebabkan terpinggirkannya
masyarakat sekitar hutan. Sese Tolo, 2013 menjelaskan bahwa laju kerusakan hutan
yang terjadi initidak diimbangi dengan pemasukan yang diterima pemerintah.
Menurut laporan Bank Dunia (2006), dalam 10 tahun terakhir, sektor kehutanan
hanya berkontribusi terhadap 3-4 persen GDP. Oleh karena itu, sumber daya hutan
di Indonesia tidak berkontribusi terhadap penurunan kemiskinan, pembangunan
sosial dan ekonomi, serta sustainabilitas lingkungan hidup (Scheyvens dan Setyarso
2010, Brockhaus et.al 2012). Hal ini diperburuk oleh korupsi dalam manajemen
hasil
1
hutan oleh elit pemerintahan. (Dalam Sese Tolo, 2013). Konsep trickle down effect
atau pertumbuhan dalam pendekatan state based untuk pemerataan ternyata tidak
serta-merta mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Akibatnya, timbul
ketidakadilan ekonomi yang berdampak pada kesenjangan kesejahteraan antar
masyarakat, khususnya antara masyarakat yang memiliki akses terhadap manfaat
hutan (pengusaha hutan, dan elit lokal) dan masyarakat kebanyakan yang memiliki
keterbatasan akses terhadap manfaat hutan. Rendahnya kapasitas sumberdaya
manusia (pendidikan, sosial ekonomi, dan informasi) mengakibatkan semakin
terbatasnya akses masyarakat di dalam dan di sekitar hutan terhadap manfaat
ekonomi hutan. Oleh karena itu, kapasitas masyarakat harus ditingkatkan agar akses
terhadap sumberdaya hutan meningkat.
Kondisi ini menjadikan sebuah pemikiran untuk menciptkan pendekatan
pengelolaan hutan yang lebih memberikan keseimbangan pada aspek sosial,
kelestarian hutan, dan juga ekonomi. Pendekatan pengelolaan hutan yang lebih
mengedapankan pemberdayaan masyarakat dan prosperity approach (pendekatan
kemakmuran), lalu ke Community Based Forest Management/CBFM yang pada
perkembangannya, saat ini dikemudian dikenal dengan Social Forestry/Perhutanan
Sosial. Program social forestry dapat mengambil peran ke depan untuk
mengakomodir keinginan, hasrat dan harapan masyarakat dalam pengelolaan hutan.
Pengembangan social forestry dalam pengelolaan hutan harus dapat membalikkan
paradigma dari pendekatan yang bersifat top down menjadi bottom up atau
pendekatan partisipatif dan mengutamakan partisipasi masyarakat setempat.
Strategi optimum pengembangan social forestry untuk masyarakat adalah
pemberian kesempatan pengelolaan hutan kepada masyarakat dengan ketentuan-
ketentuan yang memberi insentif pada efesiensi dan keberlanjutan usaha dan
kelestarian hutannya, tanpa harus membagi-bagi dan menyerahkan kepemilikan
areal hutan pada masyarakat pelaku ekonomi.
Gerakan-gerakan kehutanan masyarakat di Indonesia muncul sejak tahun 70-
an, bersamaan dengan munculnya gagasan kehutanan masyarakat di tingkat
internasional. Hal ini ditandai dengan lahirnya berbagai kongres kehutanan
internasional sejak 70-an hingga 80-an berturut-turut mengangkat tema sosial:
Forest for Socio Economic Development (Buenos Aires, 1972); Forest for People
(Jakarta, 1978), dan Forest Resources in The Integral Development of Society
(Mexico city, 1985). Pergeseran Pengelolaan hutan oleh negara (State Based) ke
community based forest management (CBFM) tak lepas dari berkembangnya
pemikiran baru yang lebih memberikan perhatian pada permasalahan kemiskinan
dan pembangunan masyarakat perdesaan.
1
Secara nasional, kebijakan CBFM (Community Based Forest Management –
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) baru dimulai pada era Kabinet
Pembangunan VI. Menteri Kehutanan Djamaluddin Suryohadikusumo menerbitkan
dua program sekaligus—yakni Hutan Kemasyarakatan (1995) dan PMDH –
Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (1997). Kedua program tersebut terus berlanjut
dalam tiga kabinet berikutnya—meliputi Kabinet Pembangunan VII, Kabinet
Reformasi Pembangunan, dan Kabinet Persatuan Nasional. M Prakosa—Menteri
Kehutanan Kabinet Gotong-Royong—mencabut Program PMDH pada tahun 2004
dan meluncurkan Program Social Forestry di tahun yang sama. Perubahan signifikan
dalam perkembangan kehutanan masyarakat terjadi dalam era kepemimpinan MS
Kaban. MS Kaban memperbaharui Program Hutan Kemasyarakatan dengan adanya
pemberian ijin pengelolaan kepada masyarakat. Di samping itu, dikeluarkan juga
kebijakan Hutan Desa (HD) yang memungkinkan lembaga Desa mendapatkan hak
pengelolaan hutan. (Santoso, 2015).
Program kehutanan masyarakat mengalami kemajuan yang significan dengan
masuknya istilah “Perhutanan Sosial” ke dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) periode 2010-2014, yang sudah menyatakan target
seluas 1 juta hektar. Hal ini lebih diperkuat lagi pada era Presiden Joko Widodo, yang
menetapkan RPJMN 2015-2019, ditargetkan alokasi lahan hutan untuk Perhutanan
Sosial seluas 12,7 juta hektar, dalam skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan,
Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan dan Hutan Hak, termasuk Hutan Adat.
Momen ini bersamaan dengan lahirnya Eselon I yang secara khusus mendapat
tanggungjawab untuk melaksanakan Perhutanan Sosial, yaitu Direktur Jenderal
Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan hingga sekarang.
1
ekonomi semesta dan nasional Indonesia yang mengarah pada kemandirian
ekonomi negara. Secara ideologi dan metodologi, Nawacita dijadikan rujukan
pembuatan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun
2015-2019 dan diturunkan menjadi program yang dijalankan oleh kementerian dan
lembaga pemerintah pusat melalui Rencana Kerja Pemerintah (RKP).
Secara esensial, Nawacita memuat agenda reforma agraria dan strategi
membangun Indonesia dari pinggiran dimulai dari daerah dan desa. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-1019 memuat pula komponen-
komponen program Reforma Agraria secara terpisah-pisah.
Program reforma agraria muncul sebagai bentuk keprihatinan terhadap
pemasalahan yang paling mendasar dihadapi oleh Bangsa Indonesia saat ini,
yang dapat dikelompokkan dalam lima hal yaitu kemiskinan pengangguran,
ketimpangan sosial, tanah-tanah terlantar, dan sengketa serta konflik pertanahan.
Data kependudukan, jumlah orang miskin mencapai 11,22% dari total populasi
Indonesia, berada di Pedesaan dan pada umumnya adalah petani dan ternyata
sekitar 90% adalah pekerja. Kemiskinan terjadi akibat tidak adanya akses mereka
kepada faktor-faktor Produksi, termasuk tanah. Berdasarakaan data terakhir
diperoleh informasi bahwa jumlah Petani Gurem (menguasai tanah kurang dari 0,5
Hektar) rnencapai 56% dari total jumlah petani. Disamping ketersediaan tanah
yang dimiliki sangat terbatas, kondisi tanah yang berada dalam
sengketa/konflik/perkara semakin menutup kesempatan bagi rakyat untuk
memanfaatkan tanah secara optimal. Hal ini juga terjadi pada pada kawasan hutan
yang menyimpan potensi tetapi tidak termanfaatkan. Berdasarkan data luas areal
Hutan Produksi yang dapat di konversi mencapai 13,8 juta ha. Hal ini menunjukkan
bahwa bahwa potensi sumber daya tanah yang dapat dimanfaatkan guna
meningkatkan kesejahteraan rakyat cukup tersedia dan patut dikelola secara
professional.
Persoalan lain yang dihadapi bangsa yaitu pengangguran. Jumlah
pengangguran di Indonesia pada Agustus 2015 sebanyak 7,56 juta orang, bertambah
320 ribu orang dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu 7,24 juta jiwa
yang setengahnya berada di pedesaan. Kedua hal tersebut diatas mengakibatkan
terjadinya ketimpangan sosial.
Kemiskinan dan pengangguran merupakan permasalahan yang paling
mendesak karena dampak yang ditimbulkan tidak hanya berpengaruh kepada aspek
ekonomi semata, namun juga aspek-aspek lainnya termasuk sosial
kemanusiaan, rasa keadilan, keamanan dan lainnya. Kedua masalah mendesak
tersebut berada pada tataran mikro, sehingga langkah kebijakannya haruslah
1
langsung menyentuh rakyat yang mengalami kemiskinan dan pengangguran atau
fokus pada tataran mikro. Kebijakan yang efektif dan fundamental dapat
menurunkan kemiskinan dan pengangguran, yang pada tataran makro sekaligus
dapat memperkuat stabilitas perekonomian. Kebijakan yang dipandang mampu
mewujudkan semua itu adalah kebijakan Reforma Agraria yang sejalan dengan
Nawacita Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria atau yang dikenal sebagai UU Pokok Agraria (UUPA) merupakan rujukan
pokok bagi kebijakan dan pelaksanaan reforma agraria. Pengaturan penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang digariskan UUPA dimaksudkan
untuk memastikan tanah tidak dimonopoli oleh segelintir penguasa tanah, dengan
mengorbankan golongan ekonomi lemah yang hidupnya tergantung pada tanah,
terutama para petani produsen makanan.
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
memberi landasan sektoral bagi pengaturan jurisdiksi baru bagi keberadaan
kawasan hutan dan pengelolaan sumber daya hutan. Pengakuan hak-hak tenurial
masyarakat memperoleh momentum dengan Putusan MK 45/ PUU-IX/2011 dan
Putusan MK 35/PUU-X/2012. Selanjutnya, momentum itu berada pada babak yang
sama ketika komitmen “hutan untuk rakyat” (forest for people) di Kementerian
Kehutanan hingga 2014, dan di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (LHK) semakin menguat dengan mengakselerasi pemberian izin
perhutanan sosial untuk kelompok masyarakat dan desa
Reforma Agraria adalah proses alokasi dan konsolidasi kepemilikan,
penguasaan/akses, dan penggunaan lahan. Reforma agraria dilakukan melalui 2
program utama, yaitu alokasi kepemilikan lahan TORA (Tanah Objek Reforma
Agraria) dan pemberian legalitas akses Perhutanan Sosial kepada masyarakat
bawah. Kedua program ini sebagai bentuk reformas agrarian telah menjadi target
nasional yang tertuang dalam RPJMN 2015-2019.
Dalam RPJMN 2015-2019 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No 2
Tahun 2015, disebutkan target yang harus dicapai dalam program TORA dan
Perhutanan Sosial. Target yang ditetapkan untuk program TORA adalah sedikitnya 9
juta ha, yang terdiri dari legalisasi asset 4,5 juta ha dan redistribusi lahan seluas 4,5
juta ha, dimana berasal dari kawasan hutan (hutan negara) yang akan dilepaskan
sedikitnya 4,1 juta ha (sisanya dari HGU dan tanah terlantar seluas 0,4 juta ha).
Sedangkan untuk Perhutanan Sosial, dalam RPJMN 2015-2019 disebutkan bahwa
target perhutanan sosial sampai 2019 adalah 12,7 juta ha dalam bentuk HTR (Hutan
1
Tanaman Rakyat), HKm (Hutan Kemasyarakatan), HD (Hutan Desa), Hutan Adat, dan
Hutan Rakyat.
Akan tetapi berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan
Kemitraan Lingkungan (DG PSKL, 2017), pencapaian ijin perhutanan pasca
ditetapkannya P.83/2016 tentang Perhutanan Sosial hanya mencapai 370.128 ha.
Apa artinya? Angka ini mengindikasikan bahwa percepatan yang diharapkan dari
proses yang ada di PermenLHK No 83 2016 untuk mencapai angka 12,7 juta ha,
masih jauh dari harapan. Areal alokasi Perhutanan Sosial yang berasal dari PIAPS
(Peta Indikasi Areal Perhutanan Sosial) sebagai lampiran P.83/2016, belum
terdistribusi dengan secara nyata. Bahkan angka 370.128 ha untuk ijin perhutanan
sosial itu pun, berasal dari usulan-usulan pengajuan ijin yang terbengkalai dari
tahun-tahun sebelum 2017. Lambannya capaian Perhutanan Sosial ini disebabkan
masih lemahnya kinerja penyelenggaraan Perhutanan Sosial. Semua proses
pemberian ijin perhutanan sosial masih mengikuti manual prosedur yang memakan
waktu proses waktu lama mulai dari pengusulan, penelaahan dokumen, verifikasi,
bahkan sampai ke pemberian ijinnya. Hal inilah yang menyebabkan calon areal
perhutanan sosial 12,7 dalam PIAPS akan sulit tercapai, sementara tahun kerja
efektif sampai 2019 hanya mempunyai sisa waktu 1 tahun. Berdasarkan fakta inilah
diperlukan reformulasi kebijakan untuk menjamin areal 12,7 juta yang ada dalam
PIAPS bisa terdistribusi secara cepat, akurat, dengan tetapi menjamin kelestarian
hutannya.
2
Gambar 1.1. Pencapaian kumulative ijin Perhutanan Sosial sampai
trimester akhir 2017
Gambar 1.2. Pencapaian ijin Perhutanan Sosial sampai trimester akhir 2017
pasca terbitnya Permen LHK No 83 2016 tentang Perhutanan Sosial
2
2.5. Mempercepat Realisasi Perhutanan Sosial
Satu jalan cepat yang dapat ditempuh adalah peran aktif Kesatuan Pengelolaan
Hutan (KPH) dan pemerintah desa (atau nama lainnya: nagari, negeri) dan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD). Langkah pertama, Menteri LHK bersama-sama
Mendagri, dan Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi mendeklarasikan bahwa
kawasan hutan negara yang berada di dalam wilayah administrasi desa
pengelolaannya didevolusikan kepada desa. Secara teknis operasional, deklarasi ini
ditindaklanjuti oleh Direktur Jenderal, Dinas Kehutanan Provinsi, KPH dan
pemerintah desa. KPH yang sudah aktif baik yang sudah mempunyai dokumen
RPHJP maupun belum, dapat diminta oleh Ditjen PSKL untuk segera mengajukan
usulan areal PS yang berada di dalam kawasan hutan KPHnya. Areal PS yang
diusulkan tersebut sudah merupakan hasil identifikasi luas dan batas kawasan hutan
bersama- sama masyarakat desa yang akan menerimanya. Batas areal hutan yang
diusulkan dapat menggunakan batas administratif desa. Dengan kata lain kawasan
hutan negara yang diusulkan oleh pemerintah desa melalui KPH dan Dinas
Kehutanan Provinsi untuk PS adalah kawasan hutan yang masuk kedalam wilayah
administrasi desa (wilayah pangkuan atau wewengkon atau pertuanan). Kawasan
hutan yang diusulkan tersebut segera disahkan oleh Kementerian LHK.
Gambaran umunya adalah sebagai berikut: Jika kita menggunakan data
PODES BPS yang sudah di-overlay dangan peta BAPLAN 2006 & 2008, luas hutan
negara yang berada di dalam wilayah administrasi desa adalah 22 juta Ha, hampir
dua kali lipat dari luas target PS 12,7 juta Ha. BPS (2015) menyebutkan bahwa pada
tahun 2014 jumlah rumahtangga desa hutan sekitar 8,6 juta. Jumlah desa sekitar
20.000, jadi rata-rata per desa 1000 ha. Areal hutan 1000 ha itu dapat dikelola
semuanya sebagai HD atau semuanya HKm (rata-rata 2 ha per rumahtangga), atau
sebagian HD dan sebagian HKm. Jika dibuat rata-rata per rumahtangga
mendapatkan 1-2 Ha. Apakah pengelolaannya dengan HD, HKm, HTR atau kemitraan
sepenuhnya diputuskan dan disepakati di tingkat masyarakat desa masing-masing
melalui musyawarah dan konsensus pemerintah desa, BPD, dan masyarakat desa.
Dengan langkah ini alokasi areal pencadangan PS segera dapat direalisasikan,
segera dapat dipegang oleh masyarakat desa, sehingga mengurangi peluang okupasi
lahan hutan secara illegal oleh orang-orang di luar masyarakat desa. Dalam banyak
kasus, lahan-lahan hutan yang ditinggalkan oleh perusahaan kehutanan (HPH atau
pemegang IUPHHK), atau perusahaan tidak aktif, segera diokupasi secara illegal.
Meskipun ada kemungkinan areal hutan yang sudah diserahkan kepada masyarakat
tidak segera dikelola, namun setidaknya sudah ada yang memegang hak atas
kawasan hutan tersebut dan mengamankannya dari tindakan okupasi kawasan
hutan secara illegal.
2
Langkah kedua, KPH melakukan pembinaan teknis, kelembagaan dan
manajemen bisnis. Langkah kedua ini butuh waktu, komitmen para pihak dengan
kompetensi dan perannya, dan pendanaan. KPH dapat meminta bantuan kepada
perguruan tinggi/ universitas setempat, LSM, atau pelaku bisnis dalam pembinaan
masyarakat tersebut, termasuk memfasilitasi kerjasama masyarakat dengan pelaku
bisnis. Pembinaan teknis kegiatan ekonomi produktif berbasis sumberdaya hutan
(kayu, bukan kayu, dan jasa lingkungan) dalam kerangka pengelolaan hutan maupun
kegiatan ekonomi produktif di luar kehutanan perlu segera dilakukan untuk
membangkitkan pendapatan masyarakat desa dan KPH. KPH dapat membantu
penguatan kelembagaan masyarakat desa, misalnya BUMDes (Badan Usaha Milik
Desa), peraturan desa atau aturan-aturan adat untuk pengelolaan hutan.
Kelembagaan masyarakat desa diperkuat untuk mewujudkan keadilan distribusi
tanggung jawab dan manfaat atas sumberdaya hutan dan kelestarian hutan. KPH
juga dapat membantu penguatan kapasitas manajemen bisnis masyarakat.
Kapasitas KPH sangat menentukan keberhasilan pengelolaan hutan di tingkat
tapak, termasuk keberhasilan PS. SDM KPH yang selama ini masih sangat terbatas
semestinya sudah mulai membaik sehubungan dengan proses mutasi dan penataan
SDM dari Dinas Kehutanan Kabupaten dan UPT-UPT Pusat. Infrastruktur KPH untuk
mendukung kegiatan pelayanan oleh KPH kepada masyarakat perlu ditingkatkan,
misalnya kendaraan dan perlengkapan kantor.
Dinas-dinas dan badan-badan PEMDA yang terkait (Dinas kehutanan,
pertanian, industri, pariwisata, pekerjaan umum) disinergikan untuk membangun
desa hutan. KPH menjadi penggerak atau yang memobilisir sumberdaya yang
tersedia di daerahnya, bahkan dapat menjalin kerjasama atau membangun jejaring
dengan para pihak yang lebih luas. KPH harus diberi kewenangan yang luas.
Kementerian LHK mendukung peran KPH dalam pembinaan masyarakat, dalam
bentuk dukungan anggaran, kebijakan/regulasi, koordinasi dan sinergi di level
kementerian/lembaga negara, lembaga donor, ilmu pengetahuan, jejaring nasional
dan internasional, monitoring dan evaluasi kenerja. Demikian pula pemerintah
provinsi mendukung anggaran (APBD), pembinaan SDM, regulasi daerah, koordinasi
dan sinergi dinas-dinas dan badan-badan di level provinsi dan kabupaten.
Langkah lebih lanjut adalah pengembangan industri berbasis sumberdaya
hutan: hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta jasa lingkungan (ekowisata, air bersih,
mikro hidro) di pedesaan. Industrialisasi berbasis sumberdaya hutan di pedesaan
akan meningkatkan kesempatan kerja dan berusaha di pedesaan, menahan
urbanisasi, dan meningkatkan kegiatan ekonomi produktif di pedesaan. Industri
yang dikembangkan dapat dimulai dari pengolahan setengah jadi ataupun
pengolahan lebih lanjut sampai barang siap pakai (finished products). Di beberapa
2
pedesaan industri pengolahan hasil hutan sudah berjalan. Secara umum kegiatan
industri lebih produktif dan lebih menguntungkan dibandingkan dengan usaha
produksi primer, sehingga dapat lebih meningkatkan pendapatan rumahtangga dan
masyarakat desa. Oleh karena itu pengembangan PS tidak berhenti hanya pada
pengelolaan hutan di tingkat tapak, tetapi perlu diintegrasikan dengan
pengembangan industri dan jasa kehutanan di pedesaan. Generasi muda pedesaan
diharapkan lebih tertarik dan dapat berkiprah dalam bisnis industri berbasis
sumberdaya hutan (dan pertanian dalam arti luas) di pedesaan. Sudah ada beberapa
contoh sukses dari sarjana-sarjana yang terjun di bisnis agroindustri. Hubungan
saling ketergantungan para warga desa yang menjadi pelaku bisnis kehutanan akan
menjaga kelestarian hutan.
Di atas komitmen Kementerian LHK dan pemerintah provinsi, keberhasilan
PS tetap membutuhkan komitmen politik yang kuat dari presiden untuk
menggerakan anggaran dan program-program pembangunan masyarakat desa,
kehutanan, pertanian, industri, dan lainnya.
2
BAB 3. DINAMIKA KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI
PROGRAM PERHUTANAN SOSIAL
2
13 Siscawati dan Muhshi (2008)
2
van het Boschwezen (Jawatan Kehutanan) serta mengeluarkan Peraturan
Pemangkutan Hutan di Jawa yang selanjutnya dikembangkan menjadi
Baschordonantie voor Java en Madoera 1865 (Undang-Undang Kehutanan untuk
Jawa dan Madura 1865), disusul dengan peraturan Domeinverklaring 1870 yang
mengklaim bahwa tanah hutan (forest land) yang tidak dibebani hak privat menjadi
domain negara.14 Dengan berlandaskan pada rangkaian peraturan tersebut, jawatan
kehutanan kolonial (Boschwezen) membuat batas politik dan administratif terhadap
kawasan hutan dan pertanian, dan mulai membangun hutan jati dengan menerapkan
prinsip-prinsip kehutanan ”modern.”15
Dalam rangka meningkatkan pengamanan hutan dari gangguan ”pencurian”
kayu dan menekan biaya produksi, jawatan kehutanan kolonial mulai melibatkan
masyarakat lokal sebagai buruh, antara lain dalam proses pemanenan kayu. 16 Selain
itu, jawatan kolonial juga memanfaatkan tenaga masyarakat setempat dalam
pembuatan hutan tanaman yang dimulai sejak tahun 1873, melalui aktivitas yang
dikenal sebagai tumpangsari. Salah satu rimbawan kolonial yang mengembangkan
konsep ini adalah Buurman van Vreeden. 17 Metode tumpangsari diadopsi dari
konsep taungya yang dikembangkan jawatan kehutanan kolonial Inggris di
Myanmar/Burma. Konsep dasar taungya sendiri diadopsi dari sistem hutan
kerakyatan masyarakat adat Karen.18
Sementara itu, beberapa ahli kehutanan kolonial mulai mengembangkan
kajian tentang pola-pola pengelolaan kekayaan hutan oleh masyarakat. Salah satu
pemikiran yang berkembang adalah pendapat ilmiah yang mengatakan bahwa
pohon-pohon jati di Jawa ditanam oleh para pendatang yang berasal dari Hindustan,
India.19 Seperti telah disebutkan, pemikiran ini dianggap sebagai cikal bakal kajian
tentang kehutanan masyarakat. Beberapa ahli kehutanan kolonial lainnya mulai
meneliti sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat di beberapa tempat di
kepulauan Nusantara. Salah satu sistem hutan kerakyatan di Kalimantan Barat, yaitu
tembawang, pertama kali dilaporkan oleh ilmuwan Belanda tahun 1848. Sementara,
keberadaan kebun damar di Lampung dan kebun kemenyan di Sumatra Utara, yang
keduanya merupakan kebun campur yang dikelola dengan meniru pola hutan alam,
dilaporkan oleh ilmuwan Belanda sekitar tahun 1850.20
2
Pada tahun 1942-1945 sebelum kemerdekaan kondisi rawan pangan dan
kemiskinan yang parah membuat pemerintah memberikan hak milik kepada
masyarakat yang mengelola hutan untuk tujuan pangan. Mengiringi kelahiran
Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960, pemerintah pada tahun 1960-an
mencanangkan dan memberikan hak kepada masyarakat yang tinggal di dalam
kawasan hutan di beberapa wilayah di Lampung dalam bentuk Hak Garap Keluarga
selama 10 tahun. Masyarakat yang terbukti menggarap dengan baik akan
memperoleh hak milik. Program ini berjalan sampai dengan tahun 1965 dan bukti
kepemilikan tanah dari prose-proses ini sering diabaikan (Sirait 2008, Komunikasi
Personal)21.
Dalam UU nomor 5 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok
kehutanan konsep dan istilah Perhutanan Sosial masih belum muncul. Bahkan
pengurusan Hutan Milik yang dilakukan oleh pemiliknya diatur dengan bimbingan
Menteri dan dapat dituntut apabila bertentangan dengan aturan dan kepentingan
umum. Kemudian dalam UU Pokok Kehutanan No. 41/1999, sebagai kebijakan yang
menggantikan UU Pokok Kehutanan tahun 1967, pengelolaan hutan oleh masyarakat
lokal dimasukkan kedalam keseluruhan kerangka kerja kehutanan yang sah,
walaupun sistem lokal ini masih berada di bawah kehutanan pemerintah.
Penyelenggaraan Kongres Kehutanan Dunia ke 8 pada tahun 1978 di Jakarta
yang mengusung tema Forest for People dianggap sebagai tonggak awal perhutanan
sosial dunia. Ini adalah respons dunia kehutanan terhadap dampak-dampak negara
dari sistem pengelolaan hutan yang dominan ketika itu. Pada tahap ini program
perhutanan sosial diadopsi dan secara bertahap dan dilembagakan ke dalam sistem
pengelolaan hutan oleh negara, meskipun hak kepemilikan dan pemanfaatan oleh
masyarakat tradisional masih dianggap tidak sah.
Istilah Social Forestry sendiri, pertamakali dipublikasikan oleh Jack Westoby
seorang ekonom kehutanan FAO pada tahun 1968. Social Forestry dipandang sebagai
strategi pembangunan kehutanan, yaitu suatu pendekatan pembangunan kehutanan
yang mempunyai tujuan memproduksi manfaat hutan untuk perlindungan dan
rekreasi bagi masyarakat (Tewari 83)22.
Sebenarnya Perhutani telah mulai melakukan pendekatan kesejahteraan
(prosperity approach) pada tahun 1972 yang ditandai dengan program tumpang sari
Ma-Lu (Mantri Lurah) dan Ma-Ma (Magelang Magetan). Selanjutnya Ford Foundation
pada tahun 1980-an mendukung Pehutanan Sosial di Jawa dan pada tahun 1984-
1985 melaksanakan studi di luar Jawa (Kalimantan, Sulawesi, dan Papua). Hasil
studi
2
ini kemudian mendorong lahirnya kebijakan HPH Bina Desa dengan terbitnya SK
Menteri Kehutanan: 691/1991. Selanjutnya HPH Bina Desa dirubah menjadi PMDH
(Pembinaan Masyarakat Desa Hutan) dengan SK Menhut: 69/1995 jo SK
Menhut.523/1997.
Pada masa itu kegiatan tumpang sari Perhutani hanya memberikan
kesempatan kepada masyarakat menanam padi, jagung dan palawija di sela-sela
pohon jati. Sementara program HPH Bina Desa dan PMDH yang dilakukan
pengusaha hutan memisahkan masyarakat dari hutan. Kegiatannya berupa bantuan
sosial, pembangunan jalan, jembatan dan masjid serta mengajari masyarakat
menanam padi secara menetap dan meninggalkan perladangan.
Demikian juga dengan kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang
diperkenalkan pertama kali oleh pemerintah dengan SK Menhut: 622/1995. HKm
generasi awal ini berupa penunjukan masyarakat oleh pemerintah untuk ikut serta
dalam pengelolaan hutan. Jadi perhutanan sosial pada masa-masa awal ini masih
melihat masyarakat sebagai obyek dan bukan sebagai subyek pengelola hutan.
Berangkat dari berbagai hasil penelitian dan investigasi dari peneliti dan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terhadap praktek-praktek pengelolaan hutan
oleh masyarakat di berbagai wilayah nusantara, pada tahun 1993 beberapa LSM
seperti: Walhi, Latin, LLBT di Kalbar, Plasma Kaltim dan lain-lain, memperkenalkan
konsep pengelolaan hutan oleh rakyat sebagai Sistem Hutan Kerakyatan (SHK).
Selanjutnya pada tahun 1997, jaringan LSM pendukung SHK membentuk
Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) untuk tujuan kampanye
dan promosi.
Saat itu Pemerintah dan LSM termasuk perguruan tinggi berada pada posisi
yang saling berseberangan karena belum adanya dialog yang produktif. Kemudian
interaksi melalui kolaborasi untuk membangun saling percaya antara para pihak
mulai berjalan dengan lahirnya Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM)
pada bulan September 1997. Dialog kebijakan mulai sering dilaksanakan dan
perbaikan kebijakan mulai dilakukan dengan mempertimbangkan masukan para
pihak. Kebijakan HKm diperbaiki dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek
pengelola hutan melalui SK Menhut: 677/1998 jo SK Menhut: 865/1999 jo SK
Menhut: 31/2001.
Dengan kebijakan HKm yang baru masyarakat mendapatkan izin kegiatan
HKm berupa izin sementara 3-5 (tiga sampai lima) tahun sebelum mendapatkan izin
definitif selama 25 tahun. Menteri Kehutanan menerbitkan 26 Izin sementara
kegiatan HKm di 8 (delapan) propinsi dengan luas 19.073 hektar.23 Namun sampai
2
habis masa izin sementara tersebut tidak ada izin definitif yang diterbitkan oleh
pemerintah. Bahkan pada tahun 2004 pemerintah menerbitkan Permenhut: 1/2004
tentang Sosial Forestry yang mengaburkan HKm dan tidak memberikan solusi
terhadap izin sementara kegiatan HKm yang tidak berlanjut. Sehingga kegiatan HKm
pada waktu itu berjalan mandeg dan tidak berkembang.
Sesaat sebelum era reformasi bergulir, peristiwa penting yang juga turut
menandai era baru perhutanan sosial adalah keluarnya SK Menteri Kehutanan tahun
1998 yang menetapkan (daerah) Krui sebagai Kawasan dengan Tujuan Istimewa
(KdTI), yang sebenarnya tidak memiliki dasar hukum pada tingkatan yang lebih
tinggi, sehingga dapat dilihat sebagai sebuah terobosan dari Menteri Kehutanan
yang cukup progresif ketika itu.24
Peraturan Pemerintah: 6/2007 jo PP 3/2008 tentang Tata Hutan Penyusunan
Rencana Pengelolalaan dan Pemanfaatan Hutan sebagai revisi terhadap PP 34 tahun
2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan
Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, telah memberikan dasar hukum yag lebih
kuat terhadap perhutanan sosial. Tidak hanya mengatur HKm, peraturan
pemerintah ini juga memperkenalkan Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat
(HTR) dan Kemitraan. Berdasarkan PP 3/2008 kemudian pemerintah menetapkan
peraturan operasional tentang Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan Hutan
Tanaman Rakyat. Peraturan operasional ini beberapa kali dirubah dan terakhir
adalah: Permenhut: P.89/2014 tentang Hutan Desa, Permenhut: P.88/2014 tentang
Hutan Kemasyarakatan dan Permenhut: P31/2013 tentang Hutan Tanaman Rakyat.
Peraturan operasional tentang kemitraan yang paling terakhir ditetapkan dengan
Permenhut: P 39/2013.
PP 3/2008 dengan peraturan operasionalnya merupakan tonggak penting
perkembangan perhutanan sosial di Indonesia, karena untuk pertama kali
masyarakat memperoleh hak/izin mengelola dan memanfaatkan hutan selama 35
tahun. Hal ini ditandai dengan Pencanangan Penetapan Areal Kerja dan Pemberian
Izin Definitif HKm oleh Wakil Presiden Yusuf Kalla pada tanggal 27 Desember 2007
di Gunung Kidul Yogyakarta.
Namun perkembangan perhutanan sosial selanjutnya berjalan sangat lambat.
Kelompok masyarakat yang mengajukan HKm dan Lembaga Desa yang mengajukan
HD bisa menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan SK PAK (Penetapan Areal
Kerja) dari Menteri serta menunggu bertahun-tahun pula untuk mendapatkan HPHD
dari gubernur dan IUPHKm dari Bupati. Selain itu pemberian hak/perizinan sering
kali dikaitkan dengan event-event politik, dan di lapangan masyarakat untuk
2
memperoleh areal kerja sering kali berkompetisi dengan investor. Capain HD, HKm,
maupun HTR sampai tahun 2014 masih sangat rendah. Dari 5 juta ha yang
ditargetkan untuk HD hanya tercapai 67,737 ha HPHD (1%), dari 2 juta ha target
untuk HKm hanya tercapai 94,372 IUPHKm (4,7%), dan dari 5,4 juta ha target HTR
hanya tercapai 146,324 IUPHHK-HTR (2,7%).25
25 Data diolah dari Laporan Satgas IX, KLHK dalam publikasi FKKM & RRI, 2015
3
Tabel 3.1. Kategori Perhutanan Sosial dan Statusnya
Kategori Lokasi Bentuk Pemberi Pemohon Status dan
Perhutanan Hak/Izin Hak/Izin jangka waktu
Sosial
Hutan Adat Wilayah Hutan Hak Menteri LHK Masyakat Adat Hak
Adat, Menguasai/
diluar Hak Milik
Hutan
Negara
Hutan Desa HP & HL HPHD Menteri Koperasi 35 tahun dan
LHK/Gubern Desa/BUMDes dapat
ur diperpanjang
Hutan HP dan HL IUPHKm Menteri Kelompok
Kemasyarakat LHK/Gubern Masyarakat/Kope
an ur rasi
Hutan HP IUPHHK-HTR Menteri Perseorangan/Kel
Tanaman LHK/Gubern ompok/
Rakyat ur Koperasi
Kemitraan HP, HL, HK Kesepakatan - Masyarakat
Kehutanan setempat/Kelomp
ok
3
dan pendampingnya dan masyarakat berada dalam kawasan tersebut sebanyak 322
komunitas dan 73 pendamping.
Dalam rangka percepatan pencapaian target perhutanan sosial telah dibentuk
Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja PPS) melalui
SK.33/PSKL/SET/PSL.0/5/2016 tentang Pembentukan Pokja PPS. Saat ini telah
dibentuk 21 Pokja PPS di Provinsi melalui SK Gubernur , diantaranya Sumut,
Sumbar, Sumsel, Kalbar, Kalsel, Jambi, Lampung, Kaltara, Kalteng, Kaltim, Gorontalo,
Sulbar, Sulsel, Sulteng, Sultra, Sulut, Maluku, NTT, Papua Barat, dan Bengkulu.
Namun demikian keberadaan Pokja PPS juga tidak terlepas dari berbagai kendala
permasalahan diantaranya kurangnya ketersediaan dana serta dukungan yang
cukup dari beberapa Pemerintah Daerah sehingga menyebabkan banyak Pokja yang
tidak berfungsi dan tidak berjalan efektif. Kemudian beberapa Anggota POKJA masih
dirasa tidak/kurang memiliki kapasitas untuk melakukan pendampingan dan
kemampuan GIS.
Capaian perhutanan sosial sampai saat ini masih jauh dari target 12,7 juta
pada tahun 2019. Hingga bulan November 2017 capain perhutanan sosial baru
mencapai 1.301.070,24 ha, yang merupakan capain komulatif sejak tahun 2007.
Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (Ditjen PSKL)
diantaranya menyampaikan bahwa masih menumpuknya usulan yang belum dapat
ditindak-lanjuti karena dokumen permohonan usulan banyak yang belum memenuhi
persyaratan; kemudian terkait dengan keterbatasan SDM, baik di Ditjen PSKL, Pokja
PPS, Pendamping dan penyuluh serta kurangnya tenaga pendamping di tiap lokasi
perhutanan sosial. Selain itu tata laksana pengajuan izin perhutanan sosial juga
masih dirasa kurang disosialisasikan.
Informasi tentang perhutanan sosial dan prosedur pengusulannya tidak
sampai kepada masyarakat pada tingkat akar rumput di desa maupun kepada
pemerintah kabupaten/kota. Meskipun demikian usulan perhutanan sosial banyak
yang menumpuk menunggu untuk ditindaklanjuti di Direktorat Jenderal PSKL.
Usulan yang banyak ini pada umumnya berasal dari daerah dimana Lembaga Donor
dan LSM banyak melaksanakan program seperti Sumatera, Kalimantan dan
Sulawesi. Titik kritis dalam proses pengajuan dan penerbitan hak/izin perhutanan
sosial adalah pada: proses penyusunan dokumen dan pengajuaan usulan; proses
verifikasi teknis lapangan, dan proses drafting Surat Keputusan Hak/Izin
Perhutanan Sosial.
3
Tabel 3. 2. Capaian Perhutanan Sosial (sampai November 2017)26
3
Gambar 3. 1. Birokrasi Perizinan PS28
3
Gambar 3. 2 Diagram Alur Percepatan Pencapaian Program Perhutan Sosial
1. PKPS
2. Sekretaria
t RAPS
3. Para Pihak
1. PSKL
2. Kemende
s & PDTT
3. Pemda
1. Bagian
4. Para
Hukum PSKL
pihak
2. Sekretaria
t RAPS
Balai PSKL
Dishut Prov & Dishut Kab/Kota
Pokja
Sosialisasi PS dan Assesmen PPS desa hutan serta pilihan skema PS
potensi
3
4. Kegiatan drafting SK perhutanan sosial dilaksanakan oleh Bagian Hukum
PSKL bekerjasama dengan Sekretariat RAPS ( Sekretariat RAPS perlu
membentuk Tim Legal Drafting).
5. Kegiatan pembuatan peta sebagai lampiran SK dilaksanakan oleh Direktorat
PKPS berkerjasama dengan dengan Sekretariat RAPS ( Sekretariat RAPS perlu
membentuk Tim GIS).
6. Perlu dilakukan pertemuan secara ruguler antara Direktorat PKPS dengan
Sekretariat RAPS untuk memantau perkembangan proses legalitas
perhutanan sosial dan mendiskusikan kerjasama dan dukungan yang
diperlukan untuk percepatan.
7. Penguatan dan pendampingan KPH dan Pokja PPS dalam rangka fasilitasi
perhutanan sosial paska legalitas.
3
BAB 4. PERCEPATAN PENETAPAN HUTAN ADAT
4.1. Pengantar
Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui hak-hak masyarakat (hukum) adat.
Hal itu tercantum pada (Penjelasan) Pasal 18 (sebelum amandemen) dan makin
dipertegas dalam Pasal 18B ayat 2 (setelah amandemen pada tahun 2000). Meski
begitu, kecuali yang tercantum pada UU Pokok Agraria 1960, yang terjadi pada masa
berikutnya adalah justru pengingkaran dan/atau pelanggaran terhadapnya. Semakin
masif pada masa Orde Baru. Bahkan sebuah Peraturan Pemerintah pernah
membatalkan pengakuan hak masyarakat adat itu! (Zakaria, 2000).29
Angin reformasi yang berhembus sejak pertengahan tahun 1998 lalu
membuka peluang baru. Setidaknya ada 5 Putusan Mahkamah Konstitusi yang
menegaskan pengakuan Negara atas hak masyarakat hukum adat. Termasuk atas
tanah adat/tanah ulayat. Hal penting dari putusan-putusan MK ini adalah bahwa
Mahkamah Konstitusi itu telah merumuskan kriteria dan kondisionalitas serta
proses pengakuan yang lebih pasti dari masa sebelumnya, yang selama ini menjadi
debat kusir yang bermuara pada pengingkaran hak masyarakat hukum adat
(Zakaria, 2015).30
Sebagai lanjutannya, saat ini setidaknya tersedia lima perangkat peraturan
perundang-undangan yang lebih operasional yang dapat digunakan untuk
memperoleh pengakuan hak-hak masyarakat (hukum) adat secara hukum. Masing-
masing adalah, diurut berdasarkan tahun pemberlakuannya, (1) Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52
Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum
Adat; (3) Perturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 10 tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas
Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan
Tertentu; (4) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun
2015 tentang Hutan Hak; dan (5) Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang
Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan.
Pada intinya kelima kebijakan ini menjabarkan lebih jauh Putusan-putusan
Mahkamah Konstitusi itu, khususnya Putusan MK 35/2012. Sebagaimana diketahui
29 R. Yando Zakaria, 2000. Abih Tandeh. Masyarakat Desa di BAwah Rezim Orde Baru. Jakarta:
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).
30 R. Yando Zakaria, 2015. “Too Much Law Will Kill You! Dinamika Pembaruan (ukum Pengakuan
3
Putusan MK itu telah menetapkan bahwa tanah adat bukan tanah negara; hutan adat
cq. tanah adat berada di wilayah adat/ulayat masyarakat hukum adat; dan hak
masyarakat hukum adat diakui atas hutan adat cq. tanah adat itu jika keberadaan
masyarakat hukum adat yang bersangkutan telah ditetapkan dalam peraturan
daerah.
Meski begitu, sejak diumumkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No.
35/PUU-X/2012 pada tanggal 16 Mei 2013, hingga memasuki penguhujung tahun
2017 ini penetapan hutan adat dalam kawasan hutan baru mencapai 8.746 hektar.
Capaian ini sungguh jauh lebih kecil dibandingkan dengan capaian luasan pemberian
Hak Kelola untuk Hutan Desa (490.831 ha), Ijin Hutan Kemasyarakatan/IUPHKm
(243.780 ha) dan Ijin Hutan Tanaman Rakyat/IUPHK-HTR (233.385 ha).
Sekedar perbandingan, menurut kalkulasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN), apa yang mereka sebut sebagai hutan adat itu diperkirakan mencapai
angka 40 Juta ha, atau hampir sekitar 25% dari total kawasan hutan di Indonesia.31
Lalu apa yang keliru hingga capaian itu demikian rendahnya?
Mengapa hal itu bisa terjadi? Sebagaimana akan dijelaskan lebih jauh dalam
bagian-bagian berikut ada beberapa kendala yang dihadapi. Kendala-kendala ini
tentu saja harus diatasi mengingat, selain terkait dengan optimalisasi Putusan MK
35/2012 itu, momentum lain yang juga perlu diperhatikan adalah adanya dukungan
pengakuan hutan adat sebagaimana tercakup dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Rencana ini menargetkan 12,7 juta hektar
kawasan hutan untuk masyarakat, termasuk masyaralat adat. Selain itu, keberadaan
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) juga dianggap dapat memberikan
peluang untuk pengakuan terhadap hutan adat. Di sisi lain, UU Pemerintahan Daerah
No. 23 Tahun 2014 menguatkan peran pemerintah provinsi dan kabupaten untuk
melaksanakan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat (MHA) dan desa adat,
tanah ulayat dan kearifan lokal.
Untuk merealisasikan itu semua Kementerian LHK telah memprioritaskan
penetapan hutan adat bagi daerah yang telah memiliki Peraturan Daerah tentang
Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan Keputusan Kepala Daerah
mengenai hutan adat. Bersama pemerintah daerah, Kementerian LHK membantu
mempersiapkan peta wilayah adat.
31Pernyataan Sekretaris Jenderal AMAN pada suatu seminar dalam rangka menyambut Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 (dilihat
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Putusan&id=1&kat=1 ) di
pertengahan tahun 2013 lalu.
3
Dalam bagian ini akan ditawarkan beberapa jalan keluar untuk mempercepat
pengakuan hutan adat. Antara lain perlu dikembangkan interpretasi hukum yang
tepat terhadap norma peraturan perundang-undangan yang ada. Selain itu, pada sisi
tertentu perlu dilakukan diskresi. Tanpa keinginan melakukan diskresi maka sulit
bagi Pemerintah untuk dapat segera menetapkan hutan adat.
32Yance Arzona, 2015. “Trend Produk (ukum Daerah Mengenai Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Adat”. Bahan presentasi yang disampaikan pada
“Sarasehan dalam rangka Rapatkerja Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN), Sorong, Papua Barat, 16 Maret 2015.
33Myrna A. Safitri, Hasbi Berliani, dan Suwito, 2015. Penetapan Hutan Adat. Interpretasi Hukum dan
Diskresi. Partnership Policy Paper, No. 7/2015. Jakarta: Kemitraan.
3
bersifat ekstensif, historikal dan teleologikal/sosiologikal. Atas dasar itu maka
kewenangan penetapan hutan adat yang ada pada Kementerian LHK seyogianya
menjadi arena diskresi yang efektif.34
Dalam pada itu Zakaria (2016)35 berpandangan bahwa lemahnya daya
ungkit yang dapat digerakkan oleh kebijakan-kebijakan yang terkait dengan
pengakuan hak masyarakat hukum adat itu terjadi tidak bisa dilepaskan dari karena
logika hukum yang keliru yang terkandung dalam berbagai kebijakan sebagaimana
telah dijelaskan di atas.36 Di samping tidak cocok dengan relitas politik
sebagaimana yang dijelaskan Arizona (2015) dan Safitri, Berliani, dan Suwito (2015)
terdahulu, logika hukum yang digunakan dan dikukuhkan oleh Putusan MK 35
Tahun 2012 itu sama sekali tidak cocok dengan realitas sosio-antropologis di tingkat
lapangan. Selain itu, para pelaksana maupun pengguna kebijakan itu juga masih
gagal melepaskan diri dari gejala generikisasi, sebagaimana dengan mudah dapat
dilihat dalam konteks kebijakan turunan di tingkat daerah.37
Perdefenisi masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang secara
turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Indonesia karena
adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah,
sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di
wilayah adatnya, yang keberadaanya ditetapkan melalui ketentuan peraturan
perundang-undangan. Sementara itu, wilayah adat dan/atau tanah ulayat
didefinisikan sebagai suatu wilayah tertentu yang penguasaannya diatur oleh suatu
hak persekutuan yang dipunyai oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu yang
menjadikan wilayah adat dan/atau tanah adanya itu sebagai lingkungan hidup
warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.38
Pertanahan. Setidaknya ada … peraturan perundang-undangan yang telah mengatur pengakuan hak
masyarakat adat ini. Masing-masing adalah Masing-masing adalah (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia; (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan; (3) UU No. 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi; (4) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
(5) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; (6) UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas
Bumi; (7) UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; (8) UU No. 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan; (9) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; (10) UU No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang; (11) UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
4
Pertanyaannya kemudian adalah, dalam konteks masyarakat (adat) Batak
Toba dan atau Minangkabau misalnya, susunan masayarakat seperti saja yang dapat
disebut sebagai suatu susunan dan/atau kesatuan masyarakat hukum adat itu? Dan
bentang alam yang mana pula yang dapat disebut sebagai wilayah adat dan/atau
tanah adat itu?
Di Ranah Minang susunan masyarakat hukum adat sangatlah beragam. Ada
yang disebut kaum/buah gadang (keluarga luas berdasarkan nenek/perempuan
tertentu); suku (keluarga luas berdasarkan garis keturanan nenek moyang tertentu),
dan juga nagari (suatu kesatuan pemukiman/desa teritorial sekaligus bersifat
genealogis, yang terdiri dari beberapa kaum yang berasal dari 4 suku yang ada
(urang ampek jinih). Masing-masing susunan itu memiliki tanah ulayat yang disebut
sako/pusako tersediri. Tanah-tanah ulayat itu diurus panghulu andiko yang berbeda
pula satu sama lainnya. Masing-masing susunan itu memiliki kewenangan yang
penuh atas sako/pusako, dan tidak dapat mencampuri urusan kaum, suku, atau
nagari yang lain Franz von Benda-Beckmann, 1979; 39 dan Keebet von Benda-
Beckmann, 2000; 40 Franz and Keebet von Benda-Beckman, 2012; 41 Warman,
2010).42
Sementara itu, hasil kajian etnografi yang dilakukan oleh Sjahrir-Pandjaitan
dan Zakaria (2017)43 menemukan bahwa entitas sosial di dalam masyarakat Batak
Toba yang dapat disebut kesatuan masyarakat hukum adat adalah bius, partolian,
golat, dan huta atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini. Marga
raja
Kecil; (12) UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan; (13)UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; (14)UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan; (15) UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; 16) UU No. 6 Tahun 2014
tentang Desa. Di samping itu pengaturan keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat juga
terdapat di dalam beberapa undang-undang otonomi khusus sebagai berikut: (1) UU No. 21 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua; (2) UU No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh; dan (3) UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewah
Yogyakarta. Dikutip dari Kurnia Warman, tt. “Peta Perundang-undangan tentang Pengakuan Hak
Masyarakat (ukum Adat”.
39 Benda-Beckmann, Franz. 1979. Property in social continuity: Continuity and change in the
maintenance of property relationships through time in Minangkabau, West Sumatra. The Hague:
Martinus Nijhoff.
40 Benda-Beckmann, Keebet von. 1984. The Broken Stairways to Consensus: Village Justice and State
Indonesia Polity. The Nagari, from Colonisation to Decentralisation. Cambridge: Cambridge University
Press.
42 Kurnia Warman, (2010). Hukum Agraria dalam Masyarakat Majemuk. Dinamika Interaksi Hukum
Adat dan Hukum Negara di Sumatera barat. Jakarta: HuMa, Van Vollenhoven Institute, KITLV –
Jakarta.
43 Kartni Sjahrir – Pandjaitan dan R. Yando Zakaria. Etnografi Tanah Adat di Kabupaten Humbang
Hasundutan. Laporan Penelitian. Jakarta: Yayasan Sjarir dan Pusat Kajian Etnografi Hak-hak
Komunitas Adat (PUSAKA), tidak diterbitkan.
4
dan marga boru (atau penyebutan lain yang setara dengan sebutan ini) yang
merupakan bagian tak terpisahkan dari keberadaan marga raja itu sendiri adalah
pemangku hak utamanya. Dengan demikian, kesatuan wilayah di mana bius,
partolian, golat, dan huta itu berada dapat pula disebut sebagai wilayah adat
dan/atau (tanah) ulayat dari masing-masing satuan entitas sosial itu. Adapun obyek
hak dari masing-masing hak-hak pertuanan/ulayat dari masing-masing subyek hak
itu (baca: bius, partolian, golat, dan huta, baik dalam arti berkelompok ataupun
perorangan di dalam kelompok-kelompok marga raja dan/atau marga boru
dimaksud) dapat berupa (1) kawasan hutan: hutan tua disebut tano rimba dan
harangan; hutan muda disebut tombak atau rabi. Jika tanah yang belum pernah
dibersihkan itu disebut tano na jadi hea niula atau tano tarulang. Jika sebidang tanah
pernah dibersihkan dan sekarang ditinggalkan, itu disebut gasgas atau tano na
niulang, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini; (2) Area
perumahan: Areal perumahan atau parhutaan terletak pada sebidang tanah
berbatasan dengan dua dinding, parik bulu suraton dan parik bulu dun. Keempat
sudutnya ditandai dengan pagopago berupa biasanya batu besar atau pohon besar,
atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini; (3) Areal pertanian:
Sawah disebut saoa atau hauma. Ladang untuk menanam padi disebut hauma tur.
Sebidang tanah yang telah ditinggalkan bera untuk waktu singkat, misalnya dua
tahun, yang ditujukan untuk rotasi tanaman, disebut tano dipaombal. Jika tanah
untuk tujuan yang sama dibiarkan bera untuk waktu yang lebih lama, maka itu
disebut talun. Porlak adalah ladang untuk menanam tumbuhan selain padi, atau
penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini; (4) Area penggembalaan:
Jalangan adalah padang rumput untuk merumput ternak tanpa pengawasan,
sementara jampalan, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini,
adalah untuk penggembalaan sapi, kambing, atau kuda yang ditambatkan; (5) Area
pencadangan: Area pencadangan disebut berdasarkan tujuan yang berbeda-beda.
Hauma harajaon, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini, adalah
area cadangan untuk mendirikan sawah hasil panen yang digunakan untuk
menutupi biaya upacara penawaran di tingkat bius atau bona. Hutan yang
dicadangkan untuk kayu bakar disebut tombak riperipe. Tanah yang layak untuk
penggembalaan disebut jalangan. Saluran tanah yang diperuntukkan bagi perluasan
huta disebut pangeahan atau tambatamba ni huta. Jika dicadangkan untuk
pendatang baru atau yang baru menikah itu disebut punsu tali. Cadangan air disebut
mata mual; dan (6) Daerah suci: Saluran ini diyakini berada di sekitar roh dan jiwa
nenek moyang yang mati yang disebut parsombaonan, solobean, parbeguan dan
saba parhombanan, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan ini.
Kuburan disebut partangisan, parbanadi, atau udean, atau penyebutan lain yang
disetarakan dengan sebutan ini. Jika kuburan itu dimiliki oleh orang biasa maka
disebut partangisan hatopan,
4
sedangkan kuburan individu disebut partangisan pangumpolan, atau penyebutan
lain yang disetarakan dengan sebutan ini. Saluran tanah tempat orang melakukan
sholat khusus untuk menyembuhkan orang sakit dengan meditasi disebut tano
langlang atau parlanglanga, atau penyebutan lain yang disetarakan dengan sebutan
ini.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah dibutuhkan satu Peraturan Daerah
untuk setiap kaum/buah gadang, suku, atau pun nagari, atau pun bius, partolian,
golat, huta, marga raja dan marga boru perlu ditetapka dulu dengan peraturan
daerah agar agar masing-masing pusako (baca: harta kekayaan bersama yang
berupa tanah ulayat) di Ranah Minang ataupun yang disebut tano rimba dan
harangan; parhutaan; saoa atau hauma dan lain penggunaan secara tradisional
dikenal dalam masyarakat Batak Toba itu, dapat diakui oleh negara sebagaimana
dimaksudkan oleh Putusan MK 35/2012 itu? Jika jawabannya ‘ya’, maka bisa
dibayangkan betapa sibuknya masyarakat hukum adat dan Pemerintah di negeri ini
untuk memenuhi amanat konstitusi!44
Oleh sebab itu, tanpa mengurangi nilai-nilai positifnya, implementasi Putusan
35/2012, Zakaria (2016) 45 menyarankan pelaksanaan kebijakan ini perlu
dilengkapi dan/atau didekati dengan perspektif sosio-antropologis. Hal ini
diperlukan agar jangan sampai putusan dimaksud justru menjadi sumber
malapetaka yang baru bagi perjuangan pengakuan hak-hak masyarakat adat di
negeri ini. Terlebih lagi, pada dasarnya, pada saat yang bersamaan Putusan MK
35/2012 itu sebenarnya juga mengukuhkan keberadaan Pasal 67 UU 41/1999
tentang Kehutanan yang telah memberatkan masyarakat adat.
4.3.1. Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Pengelolaan Hutan dan Kawasan
Hutan
Setelah beberapa pengujian melalui Putusan Mahkamah Konstitusi46 pengakuan UU
41 terhadap MHA dan hutan adat dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Hutan adat adalah bagian dari hutan hak, bukan hutan negara
44 Sebagai gambaran, saat ini terdapat sekitar 700 nagari di Sumatera Barat. Secara teoritik terdapat
pula sekitar 3200 suku, karena suatu nagari baru bisa dibentuk jika sudah ada apa yang disebut
sebagai urang apek jinih (orang-orang dari empat suku yang berebeda). Dengan asumsi terdapat
sekurang-kurangnya 10 kaum dalam setiap suku agar dapat diperhitungkan sebagai suku pembentuk
suatu nagari, maka saat ini terdapat sekitar 32.000 kaum. Perhitungan matematis yang tidak jauh
berbeda juga berlaku dalam kasus masyarakat Batak Toba.
45 Zakaria, 2016, op.cit.
46Putusan MK No. 45/PUU-XI/2011, Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 dan Putusan MK No. 35/PUU-
X/2012.
4
b. Masyarakat hukum adat dikukuhkan melalui Peraturan Daerah
c. Masyarakat hukum adat dapat mengelola kawasan hutan dengan tujuan
khusus
d. Pemanfaatan hutan oleh masyarakat hukum adat harus sesuai dengan
fungsinya.
e. Pemanfaatan hutan adat dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi
dan hutan konservasi sepanjang tidak mengganggu fungsinya.
Hal yang acap mengganjal dari UU 41 ini adalah ketentuan Pasal 5 ayat (3)
dan Pasal 67 ayat (2) yang menyatakan bahwa pengakuan hutan adat hanya dapat
dilakukan jika MHA masih hidup dan diakui. Pengakuan MHA dikukuhkan melalui
Peraturan Daerah.
Logika yang ada dalam kedua pasal ini terkait dengan rumusan Pasal 1 angka
6 dan Pasal 5 ayat (2) UU 41 sebelum Putusan MK 35. Kedua pasal tersebut
memandang bahwa hutan adat adalah bagian dari hutan negara. Atas dasar itulah
maka jika negara ingin ‘memberikan’ hutan kepada M(A maka masyarakat itu harus
membuktikan keabsahan dirinya sebagai subjek hukum yang layak memangku hutan
adat.
Semestinya, Putusan MK 35 memberikan koreksi terhadap makna Pasal 5 ayat
(3) dan Pasal 67 ayat (2) ini. Putusan MK 35 dengan tegas mengatakan bahwa hutan
adat adalah salah satu bentuk hutan hak. Ia bukan lagi hutan negara. Konsisten
dengan UU 41, hutan hak diartikan sebagai hutan yang terdapat di atas tanah yang
dibebani dengan hak atas tanah. Dengan demikian, yang menjadi syarat utama
penentuan hutan hak adalah bukti penguasaan objek tanah, bukan terhadap subjek
haknya. Namun, kenyataannya tidak demikian. MK lebih menyoroti keberadaan
ketentuan pengukuhan MHA melalui Peraturan Daerah itu sebagai upaya mengatasi
kekosongan hukum karena belum adanya Undang-undang mengenai MHA. Putusan
MK 35 sama sekali tidak membahas bagaimana konsekuensi penetapan hutan adat
sebagai hutan hak terhadap keberadaan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (2) UU 41.
Keterbatasan dalam Putusan MK 35 ini menuntut kita mengembangkan
interpretasi hukum yang tepat dalam memaknai Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 67 ayat
(2) UU 41. Penetapan terhadap hutan adat dapat dilakukan atas dasar keabsahan
subjek hukum, dalam hal ini adalah pengakuan terhadap keberadaan MHA, dan
keabsahan penguasaan atas objek hutan adat. Khusus mengenai keabsahan subjek
hukum MHA, UU 41 dalam Pasal 67 ayat (2) menyatakan harus berbentuk Peraturan
Daerah. Namun, untuk keabsahan penguasan atas objek hutan hak, UU 41 tidak
4
mengatur dengan rinci dan menyerahkannya kepada pengaturan dalam bidang
hukum pertanahan.
4
pada hutan milik desa? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak mendapat jawaban yang
memuaskan dari UU Desa.
4
Negeri meminta para kepala daerah untuk memetakan keberadaan MHA di
wilayahnya serta permasalahan sosial yang mereka hadapi.
4.4.1 Pengantar
Setelah melihat persoalan-persoalan yang terdapat pada hukum nasional (bab 2),
kemudian dilanjutkan dengan penjelasan mengenai dinamika kebijakan di daerah
(bab 3), maka pada bab ini kita sampai pada pertanyaan: Apa yang semestinya
dilakukan Pemerintah untuk mempercepat penetapan hutan adat? Perangkat hukum
4
untuk penetapan hutan adat sejatinya telah tersedia. Di sana-sini ada kelemahan-
kelemahan. Namun, hal tersebut sebaiknya tidak menjadi alasan untuk menunda
penetapan hutan adat. Bagaimana membangun interpretasi hukum yang tepat
terhadap peraturan perundang-undangan yang ada adalah tantangan yang harus
dijawab oleh Pemerintah. Selain itu, dalam situasi ketidakjelasan peraturan,
termasuk ketidaksinkronan yang menyebabkan hambatan dalam penetapan hutan
adat, diskresi menjadi pilihan yang penting dipertimbangkan. Pembahasan pada bab
ini difokuskan pada berbagai bentuk interpretasi hukum dan dasar-dasar melakukan
diskresi untuk penetapan hutan adat.
4
4.4.3 Menetapkan Hutan Adat yang telah diakui Pemerintah Daerah
Langkah pertama yang dapat dilakukan Pemerintah, dalam hal ini KLHK, adalah
mengakui Keputusan-keputusan Kepala Daerah mengenai hutan adat yang telah ada,
untuk menjadi dasar penetapan hutan adat. Dasar hukum untuk ini adalah ketentuan
Pasal 15 Permen LHK No. P. 32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak. Pasal
tersebut menyatakan bahwa hutan adat yang sudah ditetapkan dengan Peraturan
Daerah dan Keputusan Kepala Daerah dinyatakan tetap berlaku dan ditetapkan
sebagai hutan hak sesuai dengan Peraturan Menteri No. P. 32/Menlhk-Setjen/2015.
Apakah penetapan hutan adat dengan dasar Keputusan Kepala Daerah itu tidak
bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (2) UU 41? Pasal
5 ayat (3) menyebutkan bahwa hutan adat diakui sepanjang MHA masih ada dan
diakui keberadaannya. Sementara itu, Pasal 67 ayat (2) menyatakan bahwa
pengukuhan keberadaan dan hapusnya MHA ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Kami mempunyai dua pilihan argumentasi hukum mengenai hal ini. Pertama,
sesuai dengan Pasal 1 angka 5 UU 41, hutan hak adalah hutan yang terdapat di atas
tanah yang dibebani hak atas tanah. Oleh karena itu maka pembuktian yang utama
adalah terkait dengan penguasaan atas objek hak. Sementara itu, Pasal 5 ayat (3) dan
Pasal 67 ayat (2) lebih menekankan pembuktian subjek hak. Alih-alih menyatakan
Pasal 1 angka 5 bertentangan dengan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (2), kami
berpendapat lebih baik kita menyimpulkan bahwa dengan Putusan MK 35 terbuka
dua jalur penetapan hutan adat. Yang pertama adalah sejalan dengan Pasal 5 (3) dan
Pasal 67 (2) yaitu penetapan berbasis pengakuan pada subjek MHA. Yang kedua,
adalah penetapan berbasis pada pengakuan atas objek hutan adat.
Keputusan-keputusan kepala daerah terkait dengan hutan adat adalah
pengakuan berbasis objek. Karena UU 41 tidak menyebutkan bahwa pengakuan
berbasis objek ini harus berdasarkan Peraturan Daerah, maka kita dapat
menyimpulkan bahwa pengakuan objek hutan adat dengan Keputusan Kepala
Daerah dapat diterima.
Argumentasi kedua terkait dengan keberadaan Pasal 15 Permen Hutan Hak.
Pasal ini diletakkan pada bagian ketentuan peralihan. Mengapa demikian? Untuk
menjawabnya kita perlu mengetahui fungsi ketentuan peralihan dalam peraturan
perundang-undangan.
Lampiran I UU No. 12 Tahun 201151 menyebutkan bahwa “Ketentuan Peralihan
memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang
4
sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap
Peraturan Perundang-undangan yang baru”. Tujuannya adalah untuk: (i)
menghindari terjadinya kekosongan hukum; (ii) menjamin kepastian hukum; (iii)
memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan (iv) mengatur hal-hal yang bersifat
transisional atau bersifat sementara.”
Dengan mengakui Keputusan Kepala Daerah mengenai pengakuan hutan adat
maka Permen Hutan Hak sedang menjalankan upaya menjamin kepastian hukum
dan memberikan perlindungan hukum pada masyarakat yang hutan adatnya telah
mendapat pengakuan dari Kepala Daerah.
Penetapan hutan adat berbasis pada pengakuan yang telah dilakukan oleh
Kepala Daerah juga merupakan kebijakan transisional. Oleh sebab itu maka
pengakuan dengan model ini hanya dapat diberikan sekali untuk semua Keputusan
Kepala Daerah yang menetapkan hutan adat sebelum adanya Peraturan Menteri LHK
No. P. 32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Hak. Untuk selanjutnya, penetapan
hutan adat dilakukan sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Peraturan
Menteri ini.
KLHK dapat memilih diantara dua argumentasi ini. Keduanya telah
memberikan alasan hukum yang kuat untuk mengakui Keputusan Kepala Daerah
mengenai hutan adat sebagai dasar penetapan hutan adat oleh Menteri.
5
Bagaimana halnya dengan penetapan MHA berdasarkan Keputusan Kepala
Daerah? Penyelesaian terhadap hal ini harus dibedakan antara Keputusan Kepala
Daerah yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala
Daerah yang tidak berdasarkan Peraturan Daerah. Keputusan Kepala Daerah yang
dibuat berdasarkan Peraturan Daerah mempunyai kekuatan hukum yang lebih
daripada Keputusan Kepala Daerah yang tidak berdasarkan Peraturan Daerah.
Dengan pendapat di atas maka untuk Kabupaten Jayapura dimana terdapat
Keputusan Bupati baik untuk mengakui wilayah MHA (Keputusan No. 319 Tahun
2014) atau Keputusan yang mengakui kampung adat (Keputusan No. 320 Tahun
2014), dapat dijadikan dasar untuk penetapan hutan adat.
Keputusan No. 319 Tahun 2014 didasarkan atas Peraturan Daerah Khusus
Provinsi Papua tentang Pengakuan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak
Perorangan Masyarakat Hukum Adat 52 . Selain itu juga dirujuk Peraturan Daerah
Khusus Papua tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan. 53 Adapun Keputusan
Bupati No. 320 Tahun 2014 tentang Kampung Adat didasarkan pada Peraturan
Daerah Kabupaten Jayapura No. 8 Tahun 2014 tentang Kampung.
Persoalan yang masih tersisa adalah ketiadaan peta wilayah adat/kampung
adat yang disahkan oleh Bupati. Untuk menjawab masalah ini maka Bupati dapat
segera menetapkan Keputusan untuk mengesahkan peta-peta tersebut. Setelah itu
Menteri dapat menetapkan hutan adat setelah proses validasi dan verifikasi. Dalam
kaitan ini, Peraturan Menteri LHK No. P. 32/Menlhk-Setjen/2015 menyebutkan
bahwa Menteri dan pemerintah daerah dapat memfasilitasi MHA untuk memetakan
wilayah adatnya, sekiranya produk hukum daerah yang ada belum dilampiri dengan
peta.54
Sementara itu bagi daerah dimana Keputusan Bupati yang menetapkan MHA
belum didasarkan pada Peraturan Daerah (lihat contohnya Kabupaten Lebak untuk
MHA Kasepuhan dan Kabupaten Halmahera Utara untuk MHA Hibualomo), KLHK
perlu mendorong Pemerintah Daerah segera menerbitkan Peraturan Daerah sebagai
payung hukum bagi Keputusan-keputusan Bupati itu.
5
segera menerbitkan keputusan untuk menetapkan MHA tertentu dan wilayah
adatnya. Penetapan ini disertai dengan peta wilayah adat sebagai lampiran.
Keberadaan Keputusan Kepala Daerah ini merupakan pelaksanaan dari
Peraturan Daerah yang ada. Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan untuk
menetapkan tanah ulayat. Dengan bahasa yang lain maka Bupati/Walikota
berwenang menetapkan subjek MHA maupun objek wilayah adatnya. Peraturan
Daerah dan UU No. 23 Tahun 2014 adalah dasar hukum bagi penerbitan Keputusan
tersebut.
Dengan pertimbangan di atas maka di daerah-daerah dimana Peraturan
Daerah telah tersedia, seperti halnya di Kabupaten Malinau atau di Kabupaten Sigi,
Bupati dapat menerbitkan keputusan penetapan MHA dan wilayah adat. Keputusan
ini bersama dengan Peraturan Daerah-nya menjadi dasar permohonan penetapan
hutan adat.
5
Bentuk produk hukum daerah yang dapat digunakan sebagai dasar
penetapan hutan adat, dalam hal ini dapat dipertimbangkan pilihan-pilihan
berikut:
Keputusan Kepala Daerah dapat diterima sepanjang telah ada
Peraturan Daerah;
Keputusan Kepala Daerah dapat diterima jika Peraturan Daerah
sedang diproses; dan/atau
Keputusan Kepala Daerah dapat dijadikan dasar untuk
pencadangan hutan adat, sementara penetapan definitif
menunggu disahkannya Peraturan Daerah
Setelah ada revisi PP No. 24 Tahun 2007, ketentuan Pasal 11 ayat (1) PP
No. 11 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang menyatakan bahwa
55 Sesuai
dengan Keputusan Presiden No. 9 Tahun 2015 tentang Program Penyusunan Peraturan
Pemerintah Tahun 2015, PP 24 Tahun 2007 adalah salah satu peraturan yang akan diubah.
5
pemberian hak atas tanah dikecualikan untuk kawasan hutan, harus
diubah dengan makna baru bahwa pengecualian pemberian hak atas tanah
hanya berlaku pada kawasan hutan negara saja, bukan pada kawasan
hutan hak.
5
56 Soeprapto,M.F.I., 1998. Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan pembentukannya. Jakarta:
Kanisius, hlm.19.
5
terakhir adalah melakukan koordinasi antar kementerian untuk menyelesaikan
ketidaksinkronan kebijakan. Dengan upaya-upaya ini maka penetapan hutan adat
akan semakin mudah dilakukan.
56
Bersama Kementerian Dalam Negeri memfasilitasi proses pembentukan
Peraturan Daerah
57
Dewan Perwakilan Rakyat R.I. untuk:
57 Lebih lanjut lihat HASIL & REKOMENDASI Konferensi Tenurial 2017, "Mewujudkan Hak-hak Rakyat:
Reformasi Penguasaan Tanah & Pengelolaan Hutan di Indonesia", Jakarta, 25-27 Oktober 2017.
58 Rikardo Simarmata dan Bernadinus Steni, 2017. Masyarakat Hukum Adat Sebagai Subjek Hukum:
Kecakapan Hukum Masyarakat Hukum Adat dalam Lapangan Hukum Privat dan Publik. Jakarta:
Samdhana Institute & Pustaka Sempu.
58
BAB 5. PERAN KPH DALAM PERHUTANAN SOSIAL
59
pada KPHL KPHP, dan P.42 Tahun 2011 tentang standar kompetensi bidang teknis
kehutanan pada KPHL dan KPHP.
Kebijakan pembangunan KPH sebagai organisasi pengelola hutan di tingkat
tapak sudah mulai diimplementasikan, dan sebagian KPH sudah operasional. KPH
yang wilayahnya berada di dalam satu wilayah administratif kabupaten berada di
bawah dinas bidang kehutanan pemda kabupaten, sedangkan KPH yang wilayahnya
berada di lebih dari satu wilayah administratif kabupaten berada di bawah dinas
bidang kehutanan pemda provinsi. Sebagian KPH sudah menyusun RPHJP dan sudah
disahkan oleh kementerian, sebagian lain belum.
Struktur organisasi KPH mengacu pada Permendagri No. 61 Tahun 2010
tentang pedoman organisasi dan tata kerja KPHL dan KPHP di daerah. Sebagian KPH
berbentuk UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah), sebagian lain berbentuk SKPD.
Struktur tata kelola pemerintahan di bidang kehutanan selama tiga tahun
terakhir sedang dalam proses perubahan untuk menyesuaikan kepada amanat UU
No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dinas yang mengurusi bidang
kehutanan (selain urusan TAHURA) di pemda kabupaten dihapus dan dialihkan
kepada dinas bidang kehutanan di pemda provinsi. Kedudukan KPH pun pindah dari
di bawah dinas bidang kehutanan di pemda kabupaten menjadi di bawah dinas
bidang kehutanan di pemda provinsi.
Permendagri No. 12 Tahun 2017 tentang pedoman pembentukan dan
klasifikasi Cabang Dinas (CD) dan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) sebagai
operasionalisasi Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2016 memberikan
batasan bahwa Cabang Dinas adalah bagian dari Perangkat Daerah penyelenggara
urusan pemerintahan, salah satunya bidang kehutanan yang dibentuk sebagai unit
kerja dinas dengan wilayah kerja tertentu. Klasifikasi cabang dinas yang
melaksanakan urusan pemerintahan bidang kehutanan di luar kawasan hutan
ditentukan salah satunya berdasarkan kriteria jumlah desa sekitar hutan, yaitu
Cabang Dinas kelas A apabila jumlah desa sekitar hutan lebih dari 60 (enam puluh);
dan Cabang Dinas kelas B apabila jumlah desa sekitar hutan kurang dari atau sama
dengan 60 (enam puluh) desa.
UPTD adalah organisasi yang melaksanakan kegiatan teknis operasional
dan/atau kegiatan teknis penunjang tertentu pada Dinas atau Badan Daerah. Tugas
UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah melaksanakan kegiatan
operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang Dinas di bidang pengelolaan hutan
dalam wilayah kerja KPH yang telah ditetapkan. Fugsi KPH, antara lain pelaksanaan
kegiatan pengelolaan hutan mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan
dan pengawasan serta pengendalian di wilayah KPH; pengembangan investasi, kerja
60
sama, dan kemitraan dalam pengelolaan hutan; pelaksanaan penyuluhan dan
pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan. KPH di beberapa provinsi sudah
ditetapkan (atau sedang diusulkan) sebagai UPTD, misalnya di Provinsi Nusa
Tenggara Barat, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Papua Barat.
Gambar 5.1. Struktur Organisasi KPH
KELAS
A KELAS
B
61
urusan pemerintahan bidang kehutanan pada unit kerja/dinas yang melaksanakan
urusan kehutanan, KPH, atau badan yang menyelenggarakan urusan penyuluhan
kehutanan.
62
HD, HKm, HTR atau kemitraan sepenuhnya diputuskan dan disepakati di tingkat
masyarakat desa masing-masing melalui musyawarah dan konsensus pemerintah
desa, BPD, dan masyarakat desa.
Dengan langkah ini alokasi areal pencadangan PS segera dapat direalisasikan,
segera dapat dipegang oleh masyarakat desa, sehingga mengurangi peluang okupasi
lahan hutan secara illegal oleh orang-orang di luar masyarakat desa. Dalam banyak
kasus, lahan-lahan hutan yang ditinggalkan oleh perusahaan kehutanan (HPH atau
pemegang IUPHHK), atau perusahaan tidak aktif, segera diokupasi secara illegal.
Meskipun ada kemungkinan areal hutan yang sudah diserahkan kepada masyarakat
tidak segera dikelola, namun setidaknya sudah ada yang memegang hak atas
kawasan hutan tersebut dan mengamankannya dari tindakan okupasi kawasan
hutan secara illegal.
KPH melakukan pembinaan teknis, kelembagaan dan manajemen bisnis.
Pendampingan masyarakat membutuhkan waktu, komitmen para pihak dengan
kompetensi dan perannya, dan pendanaan. KPH dapat meminta bantuan kepada
perguruan tinggi/ universitas setempat, LSM, atau pelaku bisnis dalam pembinaan
masyarakat tersebut, termasuk memfasilitasi kerjasama masyarakat dengan pelaku
bisnis. Pembinaan teknis kegiatan ekonomi produktif berbasis sumberdaya hutan
(kayu, bukan kayu, dan jasa lingkungan) dalam kerangka pengelolaan hutan maupun
kegiatan ekonomi produktif di luar kehutanan perlu segera dilakukan untuk
membangkitkan pendapatan masyarakat desa dan KPH. KPH dapat membantu
penguatan kelembagaan masyarakat desa, misalnya BUMDes (Badan Usaha Milik
Desa), peraturan desa atau aturan-aturan adat untuk pengelolaan hutan.
Kelembagaan masyarakat desa diperkuat untuk mewujudkan keadilan distribusi
tanggung jawab dan manfaat atas sumberdaya hutan dan kelestarian hutan. KPH
juga dapat membantu penguatan kapasitas manajemen bisnis masyarakat.
Selain melakukan pendampingan terhadap para pelaku PS yang telah definitif
izinnya, KPH juga dapat membangun kemitraan bersama masyarakat atau PS skema
kemitraan pada kawasan hutan yang belum diberikan izin pemanfaatannya kepada
pihak lain, sebagaimana dijelaskan dalam Permen LHK No. 49 Tahun 2017. Permen
tersebut diharmonisasikan dengan Permen LHK No. 83 Tahun 2016.
Peran KPH dalam kerangka kerja PS adalah memastikan partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan hutan lestari melalui pelayanan yang sebaik mungkin
di tingkat tapak oleh KPH dengan prinsip inklusif dan kepastian hak, menjaga KPH
tetap berorientasi pada kesejahteraan masyarakat; dan tetap menyinergikan dengan
UPT pusat dan para pihak. Kesejahteraan masyarakat dicapai melalui pengelolaan
hutan lestari, dan sebaliknya pengelolaan hutan lestari melalui partisipasi
63
masyarakat. Pemerintah pusat (KLHK) memantau, mengendalikan dan mengevaluasi
program PS dengan berpegang pada RPHJP, karena program PS menjadi bagian dari
keseluruhan program KPH yang diintegrasikan dalam RPHJP.
Gambar 5.2 Interaksi hutan lestari dan masyarakat sejahtera
64
rumahtangga yang menggunakan kawasan hutan secara tidak legal. Selain membuka
akses masyarakat terhadap kawasan hutan, program PS perlu dibarengi dengan
peningkatan pengetahuan masyarakat tentang batas-batas kawasan hutan. BPS
(2015) melaporkan bahwa 35,2 % rumahtangga desa hutan belum mengetahui
keberadaan kawasan hutan. Diantara mereka yang mengetahui keberadaan kawasan
hutan hanya 75 % yang mengetahui ada tanda batas kawasan hutan.
Berbagai persoalan atau tantangan dalam penyelenggaraan PS membutuhkan
komitmen dan kompetensi pelayan masyarakat. KPH perlu membangun jejaring
dengan unit-unit kerja lain di pemerintahan maupun dengan LSM, akademisi dan
lembaga bisnis (BUMN/BUMS). Di tingkat desa, KPH perlu membangun kerjasama
dengan pemerintah desa (atau nama lainnya: nagari, negeri) dan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD). KPH dapat menjadi motor penggerak sinergitas
dinas-dinas dan badan-badan PEMDA yang terkait (Dinas kehutanan, pertanian,
industri, pariwisata, pekerjaan umum) untuk membangun desa hutan. KPH menjadi
penggerak atau yang memobilisir sumberdaya yang tersedia di daerahnya, bahkan
dapat menjalin kerjasama atau membangun jejaring dengan para pihak yang lebih
luas. Kementerian LHK mendukung peran KPH dalam pembinaan masyarakat, dalam
bentuk dukungan anggaran, kebijakan/regulasi, koordinasi dan sinergi di level
kementerian/lembaga negara, lembaga donor, ilmu pengetahuan, jejaring nasional
dan internasional, monitoring dan evaluasi kenerja. Demikian pula pemerintah
provinsi mendukung anggaran (APBD), pembinaan SDM, regulasi daerah, koordinasi
dan sinergi dinas-dinas dan badan-badan di level provinsi dan kabupaten.
5.4. Rekomendasi
Efektivitas dan percepatan implementasi PS membutuhkan dukungan
organisasi pemerintah di tingkat daerah dan tapak. Menggantungkan implementasi
PS kepada jumlah UPT bidang PS yang terbatas akan mengalami hambatan. Peran
pemerintah daerah sangat penting. Kemauan politik dan dukungan finansial dari
pemda, kapasitas SDM bidang teknis dan sosial ekonomi, maupun infrastruktur
dibawah kewenangan dan kekuasaan pemda harus diperkuat. Dinas-dinas di
lingkungan PEMDA harus melakukan sinkronisasi program pembangunan
masyarakat pedesaan di mana program PS dapat menjadi sentralnya. KPH sebagai
organisasi pemerintah di tingkat tapak memegang peran yang strategis untuk
implementasi program PS lebih efektif dan cepat. Oleh karena itu, KPH harus diberi
peran lebih besar, bahkan kewenangan KPH perlu lebih diperbesar hingga seluruh
proses pemberian izin PS selesai di KPH, dan pendampingan masyarakat lanjutan
untuk pengelolaan PS dan pengembangan bisnisnya yang berbasis hasil hutan (kayu,
bukan kayu, jasa lingkungan) dijalankan oleh KPH. Penguatan kelembagaan KPH
65
seharusnya dilakukan bersama oleh pemerintah daerah dengan dukung kuat oleh
KLHK.
PS harus tepat sasaran dan sesuai dengan tujuan kebijakan yaitu
mewujudkan pengelolaan hutan lestari, meningkatkan keadilan manfaat atas
sumberdaya hutan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, masyarakat
desa hutan. Program PS harus dapat menjadi pintu masuk penataan distribusi
manfaat atas hutan. Okupasi masyarakat atas lahan hutan negara yang selama ini
terjadi harus dapat ditata sehingga tidak terjadi ketimpangan penguasaan lahan
hutan negara. Proses penataan distribusi penguasaan lahan hutan membutuhkan
keterampilan resolusi konflik.
Komitmen Kementerian LHK untuk percepatan PS telah ditunjukkan dengan
kebijakan menteri dan dirjen, kerjasama-kerjasama yang dibangun baik dengan
kementerian lain maupun para pihak non-pemerintah, dan alokasi anggaran.
Dukungan dari kementerian terkait, antara lain Kementerian Desa, PDT dan
Transmigrasi; Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Peridustrian. Bahkan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian telah mengeluarkan Surat Keputusan
No. 73 Tahun 2017 tentang Tim Reforma Agraria pada tanggal 4 Mei 2017.
Kebijakan tersebut dapat memberikan arahan koordinasi dan sinergitas antar
kementerian khususnya dalam menangani PS dan reformasi agraria. Gerakan
setingkat Menteri Koordinator mungkin belum cukup kuat untuk mempercepat
implementasi program PS mencapai target 12,7 juta hektar pada tahun 2019. Oleh
karena itu perlu dorongan lebih kuat, yaitu instruksi presiden dengan menggerakan
organisasi non- kementerian setingkat kementerian, semacam Badan Koordinasi
yang dapat menggerakan kementerian-kementerian sekaligus menggerakan pemda.
Pembangunan masyarakat pedesaaan tidak cukup hanya melalui distribusi
lahan hutan dan usaha produksi hutan, melainkan harus juga diintegrasikan dengan
usaha pengolahan hasil hutan atau industri kehutanan skala kecil, skala
rumahtangga, yang beroperasi di pedesaan.
Langkah lebih lanjut adalah pengembangan industri berbasis sumberdaya
hutan: hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta jasa lingkungan (ekowisata, air bersih,
mikro hidro) di pedesaan. Industrialisasi berbasis sumberdaya hutan di pedesaan
akan meningkatkan kesempatan kerja dan berusaha di pedesaan, menahan
urbanisasi, dan meningkatkan kegiatan ekonomi produktif di pedesaan. Industri
yang dikembangkan dapat dimulai dari pengolahan setengah jadi ataupun
pengolahan lebih lanjut sampai barang siap pakai (finished products). Di beberapa
pedesaan industri pengolahan hasil hutan sudah berjalan. Secara umum kegiatan
industri lebih produktif dan lebih menguntungkan dibandingkan dengan usaha
produksi primer, sehingga dapat lebih meningkatkan pendapatan rumahtangga dan
66
masyarakat desa. Oleh karena itu pengembangan PS tidak berhenti hanya pada
pengelolaan hutan di tingkat tapak, tetapi perlu diintegrasikan dengan
pengembangan industri dan jasa kehutanan di pedesaan. Generasi muda pedesaan
diharapkan lebih tertarik dan dapat berkiprah dalam bisnis industri berbasis
sumberdaya hutan (dan pertanian dalam arti luas) di pedesaan. Sudah ada beberapa
contoh sukses dari sarjana-sarjana yang terjun di bisnis agroindustri. Hubungan
saling ketergantungan para warga desa yang menjadi pelaku bisnis kehutanan akan
menjaga kelestarian hutan.
67
BAB 6. REVITALISASI KEBIJAKAN ANGGARAN UNTUK
PERCEPATAN REALISASI PERHUTANAN SOSIAl
6.1. Pengantar
Perhutanan sosial memiliki arti penting dalam mencegah degradasi hutan dari
berbagai konflik kehutanan, meningkatkan taraf hidup masyarakat dan menopang
perekonomian negara. Perhutanan sosial telah sejak lama di kenal dan diadopsi
dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Indonesia. Beberapa praktik baik
(best practice) kegiatan perhutanan sosial telah mampu menggerakan usaha
perekonomian dan meningkatkan pendapatan masyarakat serta menjaga hutan
tetap lestari.
Sejak tahun 2007 pemerintah telah memasukan perhutanan sosial sebagai
salah satu program kerja. Tetapi baru mendapatkan momentumnya kembali di era
Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Momentum tersebut ditandai oleh 4 hal:
Pertama, adanya kebijakan penambahan luas hutan social yang diberikan hak
kelola/izin kepada masyarakat miskin baik berlahan sempit maupun tidak berlahan
seluas 12,7 juta hektar di akhir tahun 2019 (RPJMN 2015-2019). Kedua, perhutanan
sosial hadir sebagai agenda kerja Presiden dalam Nawacita. Ketiga, adanya re-
organisasi kelembagaan ditubuh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) yang khusus menangani perhutanan sosial setingkat Direktorat Jenderal
(sebelumnya hanya setingkat Direktorat). Dan keempat, terbitnya Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial
yang di ikuti dengan surat keputusan penetapan Peta Indikatif dan Areal Perhutanan
Sosial (PIAPS), di pandang sebagai sebuah terobosan untuk mengakselerasi
percepatan realisasi perhutanan social sehingga tidak mengulangi kemandekan
realisasi perhutanan sosial pada era Presiden sebelumnya.
Meskipun target yang ditetapkan belum ideal dari potensinya, namun
berbagai pihak menyambut positif gebrakan pemerintahan saat ini dalam
mewujudkan pembangunan kehutanan melalui pendekatan pemberdayaan
masyarakat. Target seluas 12,7 juta hektar kawasan hutan akan didistribusikan hak
kelolanya kepada masyarakat melalui skema Hutan Desa (HD), Hutan
Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Kemitraan Kehutanan (KK)
dan Hutan Adat (HA).
Untuk merealisasikan seluruh target kinerja perhutanan sosial selama 5
tahun, tugas pemerintahan Jokowi tidaklah mudah, karena pemerintah harus
mampu memfasilitasi penyelesaian pemberian ijin seluas rata-rata 2,53 juta hektar
atau setara dengan 1.392 hektar per/hari dan 58 hektar per/jam. Tanpa disertai
dengan
68
dukungan kebijakan, kelembagaan dan politik anggaran yang kuat, maka target
tersebut mustahil dapat diwujudkan dalam waktu 5 tahun mengingat waktu kerja
efektif jabatan Presiden rata-rata hanya 3,5 – 4 tahun dalam satu periode
kepemimpinan.
Sejauh ini, dukungan politik anggaran belum terlihat signifikan dan
menjadikan program perhutanan sosial sebagai program prioritas nasional sehingga
belanja APBN terbilang kurang dari kebutuhan. Selain itu, perhutanan sosial masih
dipandang sebagai urusan pemerintah pusat. Belum banyak daerah yang
menjadikan perhutanan sosial sebagai prioritas daerah sehingga belanja APBD tidak
memberikan porsi yang cukup untuk mendukung kegiatan perhutanan sosial. Lalu
bagaimana mengatasi masalah kekurangan anggaran tersebut?
Paper ini bertujuan mengukur komitmen politik anggaran pemerintah
terhadap realisasi program perhutanan sosial, menghitung satuan biaya (unit cost)
yang dibutuhkan per/hektar, serta menawarkan sumber pendanaan alternatif untuk
mengatasi kurangnya anggaran setiap tahun.
Gambar 6.1. Rata-rata Jumlah Anggaran Perhutanan Sosial Secara Nasional Th. 201
APBN,
240,971,401,667
APBD, 5,593,101,808
69
Di sisi lain rasio belanja urusan kehutanan di 12 Provinsi pada tahun 2015
dan 2016 masing-masing hanya sebesar 0,59% dan 0,68% terhadap total belanja
daerah. Sedangkan rerata rasio anggaran yang diorentasikan secara khusus untuk
percepatan perhutanan sosial di tingkat pusat dalam tiga tahun hanya mencapai 0,01
persen dari total belanja negara.
Hal itu dapat dilihat dari besaran alokasi anggaran yang dikelola oleh Ditjen
PSKL – Kementerian LHK dari tahun ke-tahun yaitu sebesar Rp283 miliar (2015),
Rp242 miliar (2016), dan Rp194 miliar (2017). Tidak memadainya anggaran yang
dialokasikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah tersebut merupakan
faktor penyebab utama atas lambatnya pencapaian target perhutanan sosial selama
tiga tahun terakhir yang telah ditetapkan mencapai 7,62 juta hektar.
Tren pertumbuhan anggaran yang dialokasikan untuk membiayai kegiatan
perhutanan sosial mengalami penurunan signifikan setiap tahun. Diukur dari
rasionya, jumlah anggaran program perhutanan sosial di APBN selalu menurun
dibandingkan anggaran tahun sebelumnya. Penurunan cukup tajam tersebut
berkisar pada angka 14 persen – 32 persen setiap tahun. Menurunnya ratio
anggaran perhutanan sosial berpengaruh siginifikan terhadap capaian kinerja
program secara keseluruhan. Terlebih lagi, pengurangan jumlah anggaran tidak
sertai pengurangan angka target areal kelola hutan yang ditetapkan. Fakta tersebut
membutktikan bahwa pemerintah secara umum masih kurang fokus untuk
mengurus perhutanan sosial sebagaimana tercermin pada inkonsistensi
perencanaan dan penganggaran dengan arah kebijakan RPJMN, bahkan kerap
berubah-ubah di tengah perjalanan.
Gambar 6.2. Ratio Pertumbuhan Anggaran Program Perhutanan Sosial dan Kemitra
- 2015-2017
300 - (10.00)
(14) (20.00)
Miliar Rupiah
Persen (%)
200 (30.00)
(32) (40.00)
100 165.17
283.26 242.27
-
201520162017
AnggaranRatio Pertumbuhan
Sumber: Data Perpres Rincian APBN dan LKj Ditjen PSKL 2015-2016
70
Distribusi anggaran program perhutanan sosial lebih banyak digunakan
untuk mendukung kegiatan manajemen kelembagaan. Dari lima kegiatan yang
dikelola Ditjen PSKL setiap tahun, rata-rata alokasi anggaran paling besar adalah
untuk mendanai kegiatan dukungan manajemen mencapai 39,8 persen per tahun.
Kemudian disusul untuk kegiatan bina usaha perhutanan sosial dan hutan adat
sebesar 32,4 persen, kegiatan penyiapan areal perhutanan sosial sebesar 17,9
persen, kegiatan penanganan konflik tenurial dan hutan adat sebesar 5,3 persen, dan
kegiatan kemitraan lingkungan dan peran serta masyarakat sebesar 4,7 persen.
r 6.3. Tren Proporsi Anggaran Program Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Yang Di Distribusikan per Kegiatan T
Sumber: Data Perpres Rincian APBN dan LKj Ditjen PSKL 2015-2016
71
Gambar 6.4. Pagu dan Realisasi Anggaran Ditjen PSKL Tahun 2015-2016
300283.26243.71
Miliar (Rp)
200 242.27
169.88
100
-
Pagu Anggaran Realisasi
2015 2016
Sumber: Data Perpres Rincian APBN dan LKj Ditjen PSKL 2015-2016, diolah
72
Sebesar 63 persen anggaran PKPS dikelola oleh Satker Balai/UPT Perhutanan
Sosial dan 37 persen lainnya diatur penggunaannya oleh Direktorat PKPS. Pada
tahun 2015 distribusi anggaran ke UPT masih menggunakan balai pengelola daerah
aliran sungai (BP DAS), karena balai perhutanan sosial sendiri baru terbentuk tahun
2016 dan mulai aktif dilakukan penyesuaian dipertengahan tahun yang sama.
Gambar 6.5. Pertumbuhan Anggaran Kegiatan Penyiapan Areal Perhutanan Sosial Di APBN
45 41.49 42.24 40
Miliar (Rp)
40 30
35 32.56 30 20
30 10
Persen (%)
25 - (10)
20 (20)
15 (30)
10
5
-
(22)
201520162017
Anggaran Penyiapan Areal Perhutanan SosialRatio Pertumbuhan
Sumber: Data Perpres Rincian APBN dan LKj Ditjen PSKL 2015-2016, diolah
73
untuk mencapai tiga output tersebut dan juga untuk memenuhi kebutuhan rutin
operasional perkantoran.
Seluruh anggaran proses bisnis penyiapan areal perhutanan sosial pada
Direktorat PKPS dan Balai PSKL, 42% dibelanjakan untuk kegiatan sosialisasi,
koordinasi pelaksanaan dan updating PIAPS. Sedangkan kegiatan fasilitasi usulan
HD, HKm, HTR dan Kemitraan dialokasikan 22%, kegiatan verifikasi dan legalisasi
usulan sebesar 19% dan kegiatan monitoring dan evaluasi sebesar 5% serta
kegiatan pelaksanaan ketatausahaan dan umum administrasi sebesar 9%.
Ketimpangan satuan biaya untuk merealisasikan perhutanan sosial
disebabkan oleh tidak adanya ketegasan untuk menetapkan benchmark secara
nasional. Selain terbatasnya dukungan APBN setiap tahun, masalah lain yang
penting menjadi perhatian pemerintah adalah masih timpangnya antara jumlah
anggaran yang dialokasikan dengan target kinerja yang dibebankan kepada
Direktorat PKPS dan Balai PSKL di lima wilayah untuk menghasilkan ijin kelola HD,
HKm, HTR dan Kemitraan Kehutanan setiap tahun. Gambaran ketimpangan
anggaran setiap tahun terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel 6.1. Rata-rata Anggaran per Hektar Untuk Menghasilkan Luas Hutan
yang Dikelola Masyaralat Pada Direktorat PKPS dan Balai PSKL Tahun 2015-2017.
74
yang dbebankan setiap tahunnya tidak berimbang dengan ketersediaan anggaran. Di
samping itu, pemerintah juga belum memiliki standar biaya untuk menghasilkan ijin
areal kerja perhutanan sosial (berdasarkan hitungan per/hektar) berdasarkan
baseline tahun-tahun sebelumnya, sehingga anggaran ditetapkan tidak mampu
menopang capaian target kinerja setiap tahun.
Apabila menggunakan baseline realisasi belanja dan hasil kinerja ditahun
2015 sebesar Rp217 ribu/ha, maka seharusnya jumlah anggaran yang realistis
untuk tahun 2016 adalah sebesar Rp542,5 miliar dan jumlah anggaran untuk tahun
2017 adalah sebesar Rp. 71,60 miliar. Meskipun nilai dari keseluruhan anggaran ini
cukup signifikan, tetapi belum dianggap proporsional sebab belum didukung alokasi
untuk biaya pendampingan masyarakat.
Pendampingan masyarakat melalui kelembagaan Pokja Percepatan
Perhutanan Sosial belum mendapatkan dukungan anggaran secara memadai
dari pemerintah. Pendampingan merupakan salahsatu kunci keberhasilan
perhutanan sosial. Kegiatan pendampingan diperlukan untuk melakukan sosialisasi,
fasilitasi dan verifikasi permohonan ijin dan bimbingan teknis pasca ijin perhutanan
sosial. Sejak Mei 2016 Ditjen PSKL mulai menginisiasi kegiatan pendampingan
melalui pembentukan Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial atau yang
disingkat sebagai Pokja PPS melalui Keputusan Ditjen PSKL No:
SK.33/PSKL/SET/PSL.0/5/2016, dan telah diubah terakhir kali dengan Keputusan
Ditjen PSKL No. SK.7/PSKL/SET/PSL.0/4/2017.
Administrasi Umum
9%Monitoring dan
Evaluasi 5%
Verifikasi dan Legalisasi HD, HKm, HTR dan Kemitraan
19%
Sumber: Data Rincian Kertas Kerja Dit. PKPS dan Balai PSK Tahun 2017, diolah.
75
Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa anggaran yang disediakan
oleh pemerintah untuk menunjang kinerja Pokja PPS dalam menyelenggarakan
pendampingan masih sangat kecil yaitu hanya sebesar 3 persen dari total belanja
penyiapan areal perhutanan sosial. Di sisi lain Pokja PPS tingkat daerah yang
terbentuk melalui keputusan Gubernur baru berjumlah 13 yang tersebar di provinsi
Sumut, Lampung, Jambi, Bengkulu, Kalsel, Kaltim, Kalteng, Kalbar, Kaltara, Sulteng,
Sulsel, Sultra, Sulbar. Pokja PPS provinsi tersebut sebagian besar juga belum
mendapatkan alokasi anggaran secara memadai oleh pemerintah daerah.
Minimnya anggaran dari pemerintah memicu inisatif pendampingan
masyarakat kebanyakan dilakukan oleh LSM yang didukung oleh lembaga donor.
Biaya pendampingan yang dilakukan LSM jumlahnya bervariasi di setiap wilayah
kerja dampingan umumnya dipengaruhi oleh faktor keterjangkauan wilayah dan
kondisi tumpang tindih lahan/hutan yang akan diusulkan. Berdasarkan praktik
pendampingan pengusulan areal kerja/ijin HD, HKm dan Kemitraan oleh Karsa
Sulteng dan KBCF Kaltim, serta pengusulan areal kerja/ijin HKm oleh LSM KpSHK,
rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pendampingan sekitar Rp110
ribu/ha.
Biaya tersebut digunakan untuk biaya tenaga pendamping lokal dan tenaga
pendamping terlatih serta biaya tahapan fasilitasi pengusulan ijin HD, HKm, HTR
dan Kemitraan kepada menteri, meliputi tahap: (1) sosialisasi; (2) pembentukan
kelompok dan kelembagaan; (3) survey dan pemetaan; (4) penyusunan draft usulan;
(5) pendampingan proses verifikasi; dan (6) pengawalan untuk penerbitan
keputusan ijin oleh Menteri.
Tabel 6.2. Estimasi Biaya Pendampingan Masyarakat Dalam Mengusulkan
Ijin Perhutanan Sosial Oleh LSM.
76
LSM KpSHK di Provinsi Pendampingan pengusulan ijin HKm Rp.140.000,-
NTB dan Sultra (tidak termasuk inventory hutan dan
tataguna hutan/lahan)
77
jika tidak ingin program ini gagal dicapai hingga berakhirnya masa jabatan kabinet
kerja.
78
bidang kehutanan sebesar Rp. 721,85 miliar/tahun. Tahun 2015-2016, DAK
sub bidang kehutanan lebih diarahkan untuk mendanai kegiatan rehabilitasi
hutan dan lahan, penyediaan sarana dan prasarana KPH serta penataan areal
kerja KPHP/ KPHL, penyediaan sarana prasarana pengendalian karhutla dan
pengamanan hutan serta penyuluhan kehutanan. Untuk mengoptimalkan
peran KPH dalam percepatan perluasan akses HPHD, IUPHKm dan IUPHHK-
HTR di wilayah kerja KPH, sebagai anggota tim verifikasi, dan melakukan
monitoring terhadap kegiatan HPHD, IUPHKm, IUPHHK-HTR, Kemitraan
Kehutanan dan Hutan Adat sesuai ketentuan P.83/2016. Kedepannya
diperlukan pengaturan arah kebijakan penggunaan DAK sub bidang kehutanan
juga diarahkan untuk meningkatkan percepatan penyiapan dan pengembangan
perhutanan sosial melalui penugasan KPH dengan disertai target kinerja
terukur.
(4) Mensinergikan program dan kegiatan pemerintahan desa yang di danai melalui
Dana Desa (DD) untuk kebutuhan memfasilitasi penyiapan areal dan
pengembangan hutan desa. Mengingat realisasi hutan desa berdasarkan data
Direktorat PKPS s.d juni 2017, baru mencakup 9% dari potensi hutan desa
sekitar 5,07 juta ha yang dicadangkan dalam peta PIAPS. HPHD yang
direalisasikan baru seluas 469.069 ha di 228 desa. Belanja APBN berupa
transfer dana desa jumlahnya terus meningkat setiap tahun. Dalam 2 tahun
(2015-2016), secara kumulatif jumlah dana desa yang direalisakan sebesar Rp.
67,45 triliun dengan rata-rata alokasi per desa sebesar Rp. 454 juta/tahun.
Penggunaan dana desa lebih banyak diprioritaskan untuk bidang
pembangunan infrastruktur desa. Bidang pemberdayaan desa porsinya sangat
kecil. Menurut data kementerian desa, belanja dana desa tahun 2016 yang
digunakan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat sekitar 7% (Rp. 2,58
triliun) dan kegiatan pengembangan potensi ekonomi lokal desa hanya sekitar
1,7% atau sebesar 0,61 triliun rupiah.
(5) Anggaran dana desa tahun 2017 bertambah menjadi sebesar Rp. 800 juta/desa
dan mulai tahun ini, Kementerian Desa telah mengarahkan prioritas
penggunaan dana desa sub bidang pemberdayaan masyarakat desa untuk
mendukung pengelolaan HD dan HKm serta peningkatan kapasitas kelompok
masyarakat. Hanya saja perlu ada kejelasan berapa minimal alokasinya.
Berangkat dari inisiatif awal ini, maka kebijakan dana desa ditahun 2018 perlu
dibuat pengaturan yang lebih menjamin ketersediaan dana desa minimal 10%
untuk memfasilitasi percepatan penyiapan dan pengembangan usaha hutan
desa sehingga potensi hutan desa yang dapat segera memiliki legalitas dan
dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat desa.
79
6.6. Kesimpulan dan Rekomendasi
Faktor keterbatasan anggaran menjadi pemicu utama rendahnya pencapaian target
perhutanan sosial, karena penyiapan pendampingan, verifikasi lapangan dan
penunjang kebutuhan operasional Pokja PPS sangat membutuhkan dukungan
anggaran yang memadai setiap tahun. Hasil analisis Indonesia Budget Center (IBC)
menunjukkan bahwa rata-rata rasio anggaran sektor kehutanan yang dialokasikan
oleh 12 pemerintah daerah provinsi hanya sebesar 0,59 persen pada tahun 2015 dan
sebesar 0,68 persen pada tahun 2016. Di tingkat nasional anggaran yang
diperuntukkan secara khusus dalam upaya mendukung percepatan perhutanan
sosial juga hanya setara dengan 0,01 persen dari total belanja negara yaitu sebesar
Rp283 miliar (2015), Rp242 miliar (2016), dan Rp194 miliar (2017).
Ketidaktepatan pilihan atas pendekatan money follows function yang telah
dikritik oleh Presiden, dan dorongan untuk segera melakukan perubahan
pendekatan menjadi money follows program dalam penyusunan APBN seharusnya
menjadi jembatan untuk menambah alokasi anggaran percepatan perhutanan social,
sehingga masyarakat dapat merasakan langusng manfaatnya setiap tahun.
Untuk itu IBC bermaksud menyampaikan beberapa alternatif pilihan
kebijakan yang dapat ditempuh pemerintah dalam rangka memastikan ketersediaan
dukungan anggaran yang memadai untuk mempercepat realisasi perhutanan sosial
hingga tahun 2019, yaitu sebagai berikut:
Pertama, reposisi kegiatan-kegiatan perhutanan sosial dari level proyek
kementerian/lembaga menjadi kegiatan atau proyek prioritas nasional sehingga
menjadi urusan bersama lintas kementerian/lembaga serta pemerintah daerah,
secara kolektif dan terintegrasi.
Kedua, menggunakan standar biaya minimal sebesar Rp327 ribu/ha yang
mencakup kebutuhan untuk pendampingan, fasilitasi dan verifikasi usulan sebagai
basis pemerintah dalam menghitung dan menetapan jumlah alokasi anggaran
perhutanan sosial dalam APBN dan APBD. Ketiga, pemerintah memanfaatkan
peluang untuk menggunakan Dana Reboisasi baik yang berada di tingkat pusat,
provinsi dan kabupaten/kota sebagai sumber anggaran pengembangan perhutanan
sosial dengan cara memperluas cakupan penggunaannya, khususnya untuk
mendukung pendanaan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat di lokasi
PIAPS.
Keempat, memperluas cakupan penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) sub
bidang kehutanan untuk mendukung pendanaan fasilitasi kegiatan pendampingan
penyiapan areal dan pengembangan perhutanan sosial minimal 10% dari total
alokasi DAK sub bidang kehutanan setiap tahun.
80
Kelima, mendorong pengaturan penggunaan dana desa minimal 10% untuk
mendukung pendanaan bagi percepatan penyiapan dan pengembangan usaha hutan
desa sehingga potensi hutan desa yang dapat segera memiliki legalitas dan
dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat desa.
Keenam, mendorong payung hukum yang lebih tinggi berupa Perpres/Inpres
sebagai landasan penugasan pemerintah provinsi untuk menyusun program dan
pendanaan perhutanan sosial di APBD. Strategi lain yang dapat ditempuh adalah
mendorong Kemendagri untuk merevisi ketentuan Permendagri No. 13 tahun 2006
yang terakhir kali di ubah menjadi Permendagri No. 21 tahun 2011 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah dengan mencantumkan program perhutanan sosial
ke dalam format RKA-SKPD.
Pilihan rekomendasi diatas diharapkan menjadi rujukan bagi pemerintah
pusat, DPR dan pemerintahan daerah dalam merumuskan kebijakan anggaran yang
responsif terhadap upaya percepatan realisasi perhutanan sosial di dalam RAPBN
dan RAPBD tahun 2018 dan tahun-tahun berikutnya. Adapun penggunaan anggaran
perhutanan sosial yang berpotensi meningkat setiap tahun tersebut harus tetap
memperhatikan prinsip efektifitas dan efisiensi.
81
BAB 7. OPTIMALISASI DANA DESA UNTUK PERHUTANAN
SOSIAL
7.1. Pengantar
Penataan ulang atas keberadaan sumber-sumber agraria di Indonesia sudah
merupakan keharusan. Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla telah membuat
satu kebijakan untuk melakukan penataan tersebut. Ada dua skema yang sedang
dijalankan untuk penataan ulang tersebut. Skema pertama adalah legalisasi dan
redistribusi asset (tanah-tanah yang tidak digarap dengan baik) dalam bentuk
pemberian Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) kepada rakyat miskin seluas 9 juta
hektar. Sedangkan skema kedua adalah penglolaan akses hutan oleh masyarakat
miskin di sekitarnya, berupa pemberian izin-izin Perhutanan Sosial (PS) seluas 12,7
juta hektar.
Alasan untuk dilaksanakan program ini adalah: (i) ketimpangan kepemilikan
tanah; (ii) ketidakpastian asset dan akses oleh masyarakat miskin; (iii)
ketidakpastian usaha dalam penataan dan pengelolaan asset dan akses oleh
masyarakat miskin; (iv) konflik agraria yang terus berkelanjutan.
Selama setahun terakhir skema pengelolaan akses atas hutan oleh
masyarakat paling menonjol dibicarakan pelaksanaannya dalam bentuk perhutanan
sosial. Sementara itu, untuk skema distribusi dalam bentuk distribusi Tanah Objek
Reforma Agraria (TORA) belum terlihat menonjol gerakannya.
Melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah
mengeluarkan Peta Indikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS). Menurut dokumen
peta indikatif tersebut terdapat 11,2 juta hektar untuk skema perhutanan sosial, 6,5
juta hektar untuk skema Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Keberadaan tanah
tersebut di seluruh Indonesia dan mencakup 17.448 Desa.
Untuk mempercepat pelaksanaan kedua skema tersebut setidaknya selama
ini ada dua langkah utama yang telah diambil. Untuk skema yang pertama, melalui
Kantor Staf Presiden (KSP) mendorong hadirnya tim percepatan Reforma Agraria
dan Perhutanan Sosial yang dibentuk melalui SK Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian Nomor 73 Tahun 2017, salah satunya adalah Kementerian Desa
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT).
Kemendesa PDTT ini merupakan pokja III yang bertugas untuk pelaksanaan
pemberdayaan ekonomi masyarakat pasca redistribusi (pokja I, yakni KLHK), dan
mendapat legalitas dari pokja II, yakni Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Adapun tugas dari Kemenko Perekonomian adalah
untuk mengoordinasi, mensinkronisasi dan mengendalikan pelaksanaan secara
82
terpusat di K/L pemerintah pusat, dan mengatur secara serentak pemerintah
propinsi dan pemerintah kabupaten berperan aktif dan efektif memastikan
penetapan areal PS dan lokasi TORA di desa-desa melalui pengecekan dan
penyesuaiannya dengan keadaan lapangan.
Sementara itu untuk skema kedua adalah menjadikan desa sebagai subyek
hukum penerima TORA dan sebagai pemegang perizinan untuk perhutanan sosial.
Ini merupakan strategi baru dengan jalan menurunkan informasi pembangunan
langsung pada desa. Pemerintah pusat tidak boleh lagi pasif menunggu kehadiran
pemerintah daerah untuk aktif meneliti pembangunan daerahnya oleh pusat.
Pemerintah pusat aktif mendorong pemerintah daerah dengan cara memberikan
informasi pembangunan seluas-luasnya, khususnya pemanfaat TORA dan PS.
Pertanyaannya adalah “mengapa desa menjadi subyek hukum dari penerima
TORA dan pemegang perizinan PS? Selanjutnya, bagaimana implementasi dari desa
menjadi subyek hukum? Terakhir apa yang harus dilakukan oleh desa?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu kiranya dijelaskan terlebih
dahulu mengapa hutan perlu membuka akses untuk masyarakat miskin baik yang
berlahan sempit/tidak berlahan di desa di pinggir/dalam hutan. Pada dasarnya
ruang pengelolaan hutan oleh masyarakat sebagai pelaku utamanya sudah lama
berlaku, terlebih lagi untuk masyarakat adat. Semua bentuk perlindungan hutan
sebagai penyangga kehidupan oleh masyarakat setempat.
Selama ini skema yang dikembangkan oleh pemerintah tidak mengakomodasi
inisiatif dari bawah tersebut. Skema yang mengemuka selama ini adalah pemberian
izin hak atas penguasaan hutan pada modal swasta. Model skema tersebut
menyebabkan degradasi fungsi hutan dan memperbanyak kemiskinan masyarakat di
sekitar hutan. Dengan demikian perlulah adanya skema perizinan kepada
masyarakat dalam bentuk Perhutanan Sosial baik melalui skema Hutan
Kemasyarakatan (IUPHK), Hutan Tanaman Rakyat (IUPKKH-HTR), Kemitraan
Kehutanan (Kulin KK, IPHPS), Hutan Adat (Kulin HA) dan Hutan Desa (HPHD). Basis
dari skema perizinan perhutanan sosial ini dalam rangka mewujudkan kemandirian
ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik (salah
satu nawacita).
Hutan Desa suatu sistem pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan
Desa dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi sehingga
kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber
daya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional.
Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani adalah sistem
pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara yang
83
dikelola oleh Perum Perhutani yang dilaksanakan oleh masyarakat sebagai pelaku
utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan
dinamika sosial budaya dalam bentuk izin pemanfaatan hutan.
Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan,
memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu
serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk
kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.
Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial yang selanjutnya disebut IPHPS
adalah usaha dalam bentuk pemanfaatan kawasan, pemanfaatan hasil hutan kayu
dalam hutan tanaman, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman,
pemanfaatan air, pemanfaatan energi air, pemanfaatan jasa wisata alam,
pemanfaatan sarana wisata alam, pemanfaatan penyerapan karbon di hutan
produksi dan hutan lindung dan pemanfaatan penyimpanan karbon di hutan lindung
dan hutan produksi Merujuk pada P.39/2017.
84
penduduk miskin tinggal di desa. Sementara kondisi di desa sudah semakin
berkurang ketersediaan lapangan pekerjaan, karena sektor pertanian sudah dinilai
tidak lagi memberikan harapan bagi penduduknya. Akibatnya, pada satu sisi
semakin menurunnya sumbangan sektor pertanian pedesaan terhadap pendapatan
nasional. Sementara, pada sisi yang lain masyarakat desa lebih tersedot energi
kerjanya ke luar desa, baik itu yang secara sementara maupun permanen.
Ditambah lagi dalam peta besar penguasaan sumber-sumber agraria di
Indonesia, potret pedesaan di Indonesia berada pada situasi krisis agraria dan krisis
pedesaan itu sendiri. Pertama, berlangsung ketimpangan struktur agraria baik itu
kepemilikan, penguasaan, distribusi dan pemanfaatannya, serta minimnya akses atas
sumber-sumber agraria. Kedua, konflik agraria struktural akibat perebutan klaim
atas satu wilayah penguasaan sumber agraria. Selama ini negara lebih memberikan
izin dan konsesi pada pemilik modal dalam rangka ekstraksi, eksploitasi dan
industrialisasi sumber dalam agraria. Ketiga, kerusakan ekologis akibat dari perilaku
ekstraksi tanah oleh kapital besar.
Penjelasan sekilas di atas inilah yang menjadi alasan utama desa sebagai
subyek hukum pengelola sumber-sumber agraria di wilayahnya. UU Desa adalah
sarana mengembalikan keseluruhan otoritas, fungsi dan peran kelembagaan, serta
pengelolaan wilayahnya. Lebih dari itu desa di Indonesia memiliki warna kembali
karena keragaman sejarahnya, kekhasan karakter budayanya, spesifikasi tipologi
ekolologis, serta lokal wisdom yang menyertainya merupakan kekayaan yang hilang.
Setidaknya secara jumlah saja, menurut data BPS Indonesia memiliki 72 ribu desa,
yang akan bertambah pada tahun-tahun berikutnya akibat pemekaran desa.
Penjelasan lain yang memperkuat posisi desa sebagai sebagai subyek hukum
atas pengelolaan sumber-sumber agraria adalah adanya 25.863 desa di dalam dan
sekitar kawasan hutan (Ratas Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial 21September
2016). Angka tersebut menunjukkan peningkatan, mengingat sebelumnya menurut
data potensi desa dari tahun 2011 ke tahun 2014 terdapat peningkatan jumlah desa
hutan di Indonesia, dari 9.937 desa menjadi 21.284 desa. Setidaknya terdapat
peningkatan jumlah desa berkisar angka 11.347 desa hanya dalam durasi tiga tahun.
Selain itu masih menurut hasil Ratas Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial
(21September 2016) terdapat angka 71.06% masyarakat desa menggantungkan
hidupnya dari sumberdaya hutan. Ada 48 juta jiwa penduduk tinggal di
pinggir/dalam kawasan hutan. Ada 10,2 juta orang miskin di dalam kawasan hutan
dan tidak memiliki kepastian dan perlindungan hukum terhadap milik dan aksesnya
pada sumberdaya hutan. Sampai dengan tahun 2014, (hanya) terdapat 1 juta jiwa
yang sudah masuk dalam program Perhutanan Sosial. Selain itu selama tahun 2015-
85
2019 terdapat sebanyak 9.800 desa masuk PIAPS, yang tersebar mulai dari
ekosistem pegunungan tinggi, dataran rendah, rawa gambut dan bakau. Sehingga
nantinya dibutuhkan proses identifikasi tipologi Perhutanan Sosial.
Kendati telah mendapatkan argumentasi yang layak, akan tetapi tetap perlu
diperiksa terlebih dahulu pemaknaan desa sebagai subyek hukum dalam proses
pembangunan pedesaan, khususnya dalam konteks penguasaan sumber-sumber
agraria. Mengingat dalam perjalanan politik UU Desa dibarengi dengan adanya
perdebatan pemikiran antara membangun desa dan desa membangun. Secara aspek
struktural membangun desa dalam praktek kewenangan pembangunannya
diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota, meskipun dalam
prakteknya masih harus melibatkan partisipasi masyarakat desa. Sementara itu
untuk desa membangun, berdasar pada asas rekognisi dan subsidiaritas telah
meletakan masyarakat desa sebagai subyek utama dalam partisipasi pembangunan.
Pengaturan lebih lanjut tentang keterlibatan kelompok-kelompok masyarakat di
dalam desa-desa yang bersangkutan, termasuk kelompok-kelompok perempuan,
masyarakat miskin, dibahas melalui mekanisme musyawarah desa, atau
musyawarah antar desa, sebagaimana yang telah diatur oleh UU nomor 6 tahun
2014 tentang Desa.
Akan tetapi dalam konteks pengelolaan akses terhadap program perhutanan
sosial keberadaan pemangku hutan tidak bisa ditinggalkan. Desa merupakan subyek
hukumnya, namun keberadaan Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) sebagai pemangku
hutan merupakan wakil dari negara untuk tetap memastikan keberlangsungan
konservasi hutan. Keberadaan KPH hanya memastikan keberlangsungan konservasi
ekosistem hutan, bukan kepemilikan tanah seperti selama ini terjadi.
Hal lain yang sangat penting diperhatikan dalam pengelolaan hutan adalah
keberadaan Masyarakat Desa Hutan (MDH) yang selama ini telah mengakses hutan.
Setidaknya terdapat peningkatan jumlah MDH dari tahun ke tahun berdasar
kenaikan jumlah desa hutan yang telah disebutkkkan di atas. Peningkatan tersebut
tidak hanya sebagai penanda bagi keberadaan desa hutan di Indonesia, akan tetapi
juga pesatnya perkembangan masyarakat di lingkungan hutan. Dengan demikian
keberadaan MDH perlu mendapat porsi tersendiri dalam skema pengelolaan
Perhutanan sosial ke depan. MDH adalah subyek pelaksana atas pengelolaan akses
sumber-sumber agraria.
Praktek yang berlangsung selama ini MDH berjalan sendiri dengan pihak
kehutanan tanpa bersinggungan dengan desa. Dengan adanya UU No 6 tahun 2014
tentang desa memberi peluang MDH menjadi salah institusi resmi di desa dengan
menjadi Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD). LKD adalah satu organ resmi yang
86
bisa melibatkan diri dalam proses Musyawarah Desa yang merupakan amanat UU
Desa dalam proses perencanaan pembangunan. Sehingga masyarakat yang selama
ini mengakses hutan bisa terlibat dalam musyawarah desa. MDH bisa terlibat dalam
proses perencanaan dan penentuan arah pembangunan desa berbasis Perhutanan
Sosial dalam musyawarah desa. Pengaturan lebih lanjut tentang keterlibatan
kelompok-kelompok masyarakat di dalam desa-desa yang bersangkutan, termasuk
kelompok-kelompok perempuan, masyarakat miskin, dibahas melalui mekanisme
musyawarah desa, atau musyawarah antar desa, sebagaimana yang telah diatur oleh
UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa.
Dengan demikian berdasar alur penjelasan di atas, perlunya proses kerja
sama diantara ketiga kelompok dalam pengelolaan perhutanan sosial sangat
dibutuhkan: (i) pemerintah desa; (ii) masyarakat desa hutan; dan (iii) pemangku
hutan. Ketiga kelompok ini merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam
proses pengelolan perhutanan sosial. Setidaknya gambar di bawah ini menunjukkan
saling keterkaitan satu sama lain dalam pengelolaan perhutanan sosial.
Gambar 7.1. Skema Pengelolaan Perhutanan Sosial
Pemerintah Desa
87
kerangka metodologi yang jelas. Di sinilah kerja-kerja praktek menemukan
relevansinya. Hadirnya dokumen perencanaan, pun regulasi-regulasi di atasnya
harusnya berbasis pada kerangka penelitian yang jelas. Sehingga keberadaan
dokumen dan kebijakan yang dihasilkan mampu menjawab persoalan dengan tepat.
Semua pemangku kepentingan duduk bersama merumuskan tentang perencanaan
dan kebijakan yang akan dilahirkan. Sehingga dapat dipastikan hadir satu rumusan
baru dan cara baru dalam mengelolaan sumber-sumber agraria di masa mendatang.
Hadirnya satu metodologi riset bersama itu sekaligus merupakan satu sarana
untuk melakukan verifikasi berbagai pemikiran yang berkembang tentang
pengelolaan ekonomi desa. Basis dari argumentasinya adalah mempertimbangkan
upaya untuk meminimalisasi permasalahan ketimpangan ekonomi di desa. Program
reforma agraria dan perhutanan sosial secara teori salah satunya adalah menjawab
permasalahan ketimpangan sosial dan ekonomi di desa. Dengan demikian
metodologi riset lapangannya juga pada level tertentu harus mampu menjadi sarana
verifikasi tentang debat untuk mewujudkan pengelolaan atas sumber-sumber
agraria pasca redistribusi (peningkatan usaha tani) semata-mata diletakkan pada
industri pertanian atau industri pedesaan.
Pentingnya verifikasi ini untuk melihat dimana kewenangan peningkatan
usaha tani diletakkan. Konsepsi industri pertanian mengarah pada kebutuan industri
untuk mendukung peningkatan usaha tani di wilayah desa hutan oleh pihak swasta.
Dukungan akan peralatan, pembibitan serta dukungan pupuk dan pestisida menjadi
basis konsepsi industri pertanian ini. Sementara industri pedesaan menyerahkan
kewenangan pengelolaan kepada masyarakat desa untuk pengelolaan dan
penataannya. Sehingga partisipasi masyarakat dalam pengembangan
perekonomiannya berlangsung proses transformasi sosial, tanpa menafikan
berkembangan industri.
Dengan demikian dalam membicarakan tema Reforma Agraria dan
Perhutanan Sosial jika diletakkan di desa sebagai subyek hukumnya tidak bisa hanya
berhenti pada proses redistribusi asset dan aksesnya, serta legalisasi asset dan
aksesnya dengan subyek penerimanya. Lebih jauh dari itu, pembicaraannya sudah
harus menyertakan konsepsi proses produksi, distribusi dan konsumsi.
Artinya harus hadir pula dalam bentuk struktur administrasi pemerintahan,
yaitu harus diikuti dengan program-program lanjutan untuk memperkuat
kemampuan warga di sekitar kawasan hutan, mulai dari penyiapan sarana dan
prasarana produksi, pelatihan dan penyuluhan, akses pada informasi pasar,
teknologi, akses pembiayaan dan penyiapan pasca panen. Hingga akhirnya terdapat
pengembangan aspek bisnis perhutanan sosial yang tidak hanya agro-forestry, tapi
88
juga bisa dikembangkan ke bisnis eko wisata, bisnis agro silvo-pasture, bisnis bio
energi, bisnis hasil hutan bukan kayu, serta bisnis industri kayu.
Gambar 7.2. Skema Skenario pengembangan komoditi Perhutanan Sosial
Non Kayu
Jasa
Kayu
Lin gkungan
Pada level yang lain metodologi riset bersama tersebut juga sekaligus dapat
menjadi sarana verifikasi atas pentingnya lembaga ekonomi bersama sebagai
perantara dari produsen ke konsumen. Kelembagaan ekonomi ini dalam rangka
memangkas mata rantai ekonomi yang dianggap memperkecil keuntungan
masyarakat desa sebagai produsen. Sehingga dibutuhkan satu proses menuju
penguatan ekonomi lokal yang bermuara pada kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat desa. Konsepsi tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), koperasi
atau usaha bersama lainnya harus diarahkan pada penguatan ekonomi lokal dan
transformasi sosial di pedesaan.
Setidaknya prinsip dari BUMDes adalah badan usaha yang seluruh atau
sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung
yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa
pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat
Desa. Hal ini merujuk pada Peraturan Menteri Desa PDTT No. 4 tahun 2015. Dalam
peraturan tersebut mengatur kehadiran kelembagaan Bumdes melalui mekanisme
musyawarah desa, sekaligus penentuan jenis usaha dan langkah-langkahnya.
Berdasar Peraturan Menteri Desa PDTT No. 19 tahun 2017, pengembangan usaha
BUM Desa dan/atau BUM Desa Bersama yang difokuskan kepada pembentukan dan
pengembangan produk unggulan desa dan/atau produk unggulan kawasan
perdesaan, antara lain: untuk huruf (a) pengelolaan hutan Desa, huruf (b)
pengelolaan hutan Adat. Bahkan juga difokuskan kepada pembentukan dan
pengembangan produk unggulan desa dan/atau produk unggulan kawasan
perdesaan, antara lain: huruf (a) hutan kemasyarakatan, (b) hutan tanaman rakyat,
sementara untuk huruf (c) kemitraan kehutanan. Artinya keberadaan kelembagaan
ekonomi perantara ini juga sudah diarahkan pada pemanfaat hasil-hasil kehutanan
pasca redistribusi kepada masyarakat. Artinya berdasar atas peraturan tersebut
bahwa hutan desa dan hutan kemasyarakatan termasuk kegiatan yang prioritas
89
untuk dibiayai oleh dana desa sepanjang masuk dalam dokumen RPJMDes.
Kendati keberadaan BUMDes sudah menjadi program prioritas Kementerian
Desa PDTT, namun perjalanan sejarah studi tentang desa telah mencatat keberadan
kelembagaan ekonomi perantara ini. Pada tahun 1971 pemerintah telah melahirkan
lembaga ekonomi perantara dalam bentuk Badan Usaha Unit Desa (BUUD) dan
Koperasi Unit Desa (KUD). Mengingat strategi pembangunan pedesaan pemerintah
adalah peningkatan produksi tanaman pangan, khususnya padi, dianggap tidak
memerlukan perubahan yang bermakna dalam struktur sosial dan sistem
kepemilikan tanah (land tenure system). Persepsi pemerintahan di masa lalu (Orde
Baru) bahwa kemiskinan masyarakat desa disebabkan karena kelangkaan
penguasaan teknologi sehingga produktifitas menurun, di samping karena adalnya
kebodohan masyarakat desa (Winarno, 2003:12). Sehingga untuk mendukung
kegiatan program pedesaan lebih terkoordinasi alam penyediaan input-input
pertanian belaka (Mohoney, 1981: 191-2).
Akibatnya meskipun terjadi peningkatan produksi tanaman pangan,
khususnya padi, program tersebut malah mendongkrak jumlah masyarakat miskin
dan memperbanyak petani guram dan tidak bertanah (landless). Adanya kerangka
metodologi yang memverifikasi setiap kehadiran konsepsi dan kebijakan di desa
sehingga semua yang berlangsung di desa dapat diukur perkembangan dan arahnya.
90
mudah mendapatkan akses kredit. Sementara masyarakat petani gurem dan tuna
kisma mengalami kesulitan untuk mengakses kelembagaan permodalan tersebut.
Lemahnya hasil feasibility studi dan persyaratan agunan tidak mampu disediakan
oleh masyarakat petani gurem dan tidak bertanah. Hingga saat ini belum ada
kelembagaan permodalan yang bekerja memberi keringanan pada masyarakat
petani gurem dan tidak bertanah.
Ketiga, permasalahan saprodi (sarana usaha produksi) pertanian selalu
“menghantui” petani gurem dan petani tidak bertanah. Biaya produksi tidak sesuai
dengan nilai hasil panenan. Hal ini merupakan ketidakpastian bagi proses produksi
petani (off farm). Setidaknya ada tiga permasalahan dalam saprodi ini: (i) pupuk
yang harganya sering tidak terjangkau oleh masyarakat petani di pedesaan; (ii)
benih selalu bermasalah pada produktifitas yang rendah dan tidak tahan terhadap
hama penyakit dan iklim. Selain itu juga ketersediaan bibit tidak merata mulai dari
pabrik, kemudian pada pedagang sementas, hingga perantara. Hal itu akibat adanya
monopoli pihak tertentu. Begitu juga dengan obat-obatan mengalami hal yang sema.
(iii) harga pestisidah selalu melonjak sehingga menyebabkan petani mengalami
kesulitan untuk proses produksinya.
Keempat, aspek terhadap IPTEK selama ini tidak terjangkau dan sangat
terbatas. Sehingga petani penggarap memiliki ketidakmampuan untuk menjangkah.
Seringkali hasil panen masyakarat masih sering untuk membimbing petani tak
bertanah dan gurem.
Kelima, mental petani yang selama ini kuat untuk proses produksi petani
untuk pemenuhan kebutuhan subsistensi sehari-hari. Tidak berani mengambil usaha
tani secara komersial untuk peningkatan ekonomi masyarakat desa. Dengan
demikian peningkatan mental petani sendiri membutuhkan dukungan dari luar
dirinya. Dengan mental usaha bertani yang baik akan mempermudah pemasukan.
Keenam, memperpedek pemasaran dan distribusi, seligus mata rantai selama
ini. Salah satu caya untuk memperpendak pemasaran dan distribusi yang
menyabkan kerugian pada setiap sektornya.
Ketujuh, mitra usaha. Proses kemitraan usaha selama ini lebih
menguntungkan pada pengusaha besar, ketimbang petani tidak bertanah. Sementara
usaha petani guram dan tidak bertanah sangat sulit untuk mendapatkan dukungan
dari mitra usaha.
91
sumber-sumber agraria secara lebih adil. Tidak saja mementingkan satu pendekatan,
namun membutuhkan multidimensional approach dalam proses dan prakteknya.
Setidaknya terdapat dua pendekatan klasik yang saling bertentangan antara
pendekatan kesejahteraan dari atas dan partisipasi dari bawah. Pendekatan
pertama, dahulu sangat kental dijalankan oleh rezim politik orde baru bahwa
masyarakat desa dianggap tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan
organisasi yang berguna untuk memperbaiki kehidupan sosial dan ekonomi rakyat
dan desa. Sehingga corak yang negara dahulu terhadap desa adalah dominan,
menguasai dan memaksa. Pembangunan desa harus mendapat sponsor dan
digerakkan oleh negara pusat. Pola pembangunan dari energi negara pusat sebagai
suatu strategi yang tepat untuk peningkatan kesejahteraan rakyat dan desa.
Sementara pendekatan yang kedua adalah partisipasi menyatakan bahwa
masyarakat desa pada dasarnya mampu untuk terlibat dalam proses perubahan,
tidak pasif. Masyarakat desa bisa memperbaiki diri tanpa adanya intervensi dari
negara pusat.
Model yang berhadap-hadapan itu sekarang sudah tidak menemukan jalan
lagi untuk dilanjutkan. Menemukan jalan buntunya. Model yang sekarang bermuka
dua (hybrid model) sekilas seperti campuran dari model yang berhadap-hadapan
tersebut. Pada satu sisi masyarakat desa berpemerinatahan (self government
community) dan pada sisi lain pemerintahan lokal (local self government) (lihat pada
Zamroni, 2017). Model hibrida ini mepersilahkan desa untuk mengatur dan
mengurus lokalitasnya sendiri, namun tetap berada dalam konsepsi Negara Republik
Indonesia. Model ini dianggap memberi ruang bagi terbukanya struktur dan aktor
desa untuk mengembangkan diri.
Dalam konteks pelaksanaan percepatan program Reforma Agraria dan
Perhutanan Sosial di Indonesia memungkinkan semua pendekatan digunakan.
Pertama-tama perlunya pendekatan grass roots participation melalui berbagai
organisasi masyarakat desa sebagai penunjang utama dari pelaksanaan program
tersebut. Anggapan bahwa masyarakat desalah yang paling mengetahui kondisi-
kondisi hidup mereka, jika birokrasi dan politik tidak melakukan intervensi.
Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar, setidaknya membutuhkan
pendekatan kedua yang bersifat mempercayakan pada bureaucracy reliant strategy.
Pendekatan ini dibutuhkan untuk praktek pengurusan administrasi pemerintahan
desa dan interaksi antar struktur pemerintahan lainnya. Birokrasi tetap memiliki
peran besar dalam pelaksanaan program pembangunan masyarakat dan desa.
Setidaknya birokrasi merupakan salran formal dan berfungsi sebagai kelanjutan
instrument dari negara pusat dalam urusan daerah dan lokal (Hansen, 1979: 22).
Sedangkan pendekatan ketiga adalah strategi memusatkan pada tujuan
92
mencapai stabilitas dalam pelaksanaan program (Winarno, 2003: 28-9). Pendekatan
terakhir ini memberi peluang bagi negara pusat sebagai supradesa bertanggung
jawab secara otoritatif untuk menjaga stabilitas hubungan dan keseimbangan antara
institusi desa (Zamroni, 2017) dan struktur administrasi pemerintahan yang lain.
Dengan demikian peranan pemerintah negara pusat tidak bisa netral sebagaimana
diasumsikan oleh pendukung ekonomi neoliberal. Sehingga mau tidak mau ketiga
pendekatan harus berkelindan satu sama lain untuk terwujudnya pembangunan
desa.
Dalam rangka memperbesar peluang berusaha di wilayah pedesaan, dan
program reforma agraria dan perhutanan sosial adalah pilihannya. Pemerintah
negara pusat justru perlu mendorong hadirnya cara baru satu kelembagaan dalam
usaha tani pedesaan yang diarahkan tidak saja sekedar guna peningkatan produksi
pertanian, lebih jauh dari itu berupa peningkatan skala usaha tani itu sendiri.
Program reforma agraria dan perhutanan sosial menemukan jalannya di desa.
Dengan demikian pemerintah bisa mendorong terjadinya transformasi agraria di
desa. Pada akhirnya dapat menghantarkan satu proses evolusi usaha tani keluarga
desa ke usaha tani badan usaha bersama desa yang memenuhi skala ekonomi yang
lebih luas dan manajerial yang lebih baik. Tentu saja aktifitas ini haruslah ditujukan
pada kelompok masyarakat desa yang berapa dalam lapisan paling tidak
diuntungkan oleh sistem dan struktur sosial (Luthfi dan Shohibuddin, 2012: 361-2).
Dengan demikian dukungan pelaksanaan reforma agraria dan perhutanan
sosial diletakkan di desa merupakan keniscayaan. Penggunaan dana desa untuk
percepatan pelaksanaan, proses pelaksanaan dan perencanaan daya dukungnya
tidak saja berhenti pada proses redistribusi dan legalisasi saja. Hal ini jika masih
membutuhkan keberlanjutan antara peningkatan produktifitas, daya dukung
lingkungan serta jaminan kesejahteraan rakyat dan desa, maka dana desa bisa
berperan lebih jauh dan diletakkan hingga diujung program.
93
BAB 8. KERANGKA KEBIJAKAN DAN KEWENANGAN
PEMERINTAH DALAM PERCEPATAN PEMENUHAN
TARGET PERHUTANAN SOSIAL
94
tersebut; 4) Peraturan kebijakan dibuat berdasarkan freies ermessen dan
ketiadaan wewenang administrasi bersangkutan membuat peraturan
perundang-undangan; 5) Pengujian terhadap peraturan kebijakan lebih
diserahkan kepada doelmatigheid dan karena itu batu ujinya adalah asas-asas
umum pemerintahan yang baik/layak; 6) Dalam praktek diberi format dalam
berbagai bentuk dan jenis aturan, yakni keputusan, instruksi, surat edaran,
pengumuman dan lain-lain, bahkan dapat dijumpai dalam bentuk peraturan
(Bagir Manan, 1987).
3. Keputusan (Tata Usaha Negara-TUN) adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Pasal 1 angka 9 UU
51 Tahun 2009).
Pengertian ketiga istilah hukum diatas perlu disajikan mengingat tema
bahasan paper ini adalah kerangka kebijakan. Kebijakan yang dimaksud barangkali
bersifat umum yang menyangkut baik peraturan perundang-undangan, peraturan
kebijakan maupun keputusan (TUN). Oleh karena itu, dalam pembahasan dan
diskusi atas paper ini tidak terjadi percampuran pengertian. Dalam hal ini, saya akan
menggunakan istilah kerangka hukum dibandingkan kerangka kebijakan, agar
rujukannya utamanya jelas kepada peraturan perundang-undangan, peraturan
kebijakan ataupun keputusan. Selanjutnya, dalam kajian ini, nanti akan
direkomendasikan bentuk hukum yang mana yang perlu perbaikan.
95
PP No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan, Perencanaan
dan Pemanfaatan Hutan
96
Perdirjen PSKL Nomor 8 Tahun
2016 Tentang Standar Pengukuran Indikator Kinerja
Kegiatan (IKK) dan Indikator Kinerja Program (IKP)
Dtrjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan
97
Perdirjen PSKL Nomor 22 Tahun 2016 Tentang
Pembentukan Kanal Komunikasi Perhutanan Sosial
dan Kemitraan Lingkungan
98
99
Wujud politik resentralisasi terlihat pada beberapa kewenangan pemda
kabupaten yang ditarik ke pusat/provinsi khususnya terkait urusan dibidang
kehutanan. Lihat gambar dibawah ini:
10
10
Untuk urusan pemerintahan terkait masyarakat hukum adat yang ada kaitan
erat dengan hutan adat, kita perlu melihat urusan pemerintahan pada bidang
lingkungan hidup dan bidang pemberdayaan masyarakat dan desa.
10
Pembagian urusan pemerintahan berdasarkan UU Pemerintahan Daerah
No.23 Tahun 2014 diatas harus menjadi rujukan, termasuk bagaimana
mengharmonikan UU sektoral seperti UU Kehutanan dan UU PPLH terhadap UU
Pemerintahan Daerah. Prinsipnya, pembagian urusan pemerintahan harus merujuk
kepada UU Pemerintahan Daerah. Pelaksanaan kewenangan dilakukan dengan 3
cara yaitu Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Ada dua hal kunci yang umumnya menjadi faktor efektifnya pelaksanaan
kewenangan dan tugas dari pemerintahan, yaitu adanya dasar kewenangan dan
dukungan anggaran. Asas desentralisasi didasari oleh sejumlah kewenangan yang
telah ditetapkan di dalam UU 23/2014 khsusunya bersumber dari pembagian
urusan bersifat konkuren. Kewenangan berdasar asas desentralisasi didanai oleh
APBD masing-masing daerah. Kewenangan berdasar asas dekonsentrasi didasarkan
pada pelimpahan sebagian kewenangan (kepada Gubernur atau Instansi Vertikal)
dan diberikan anggaran dari yang melimpahkan. Sementara tugas pembantuan
dijalankan secara bertingkat dari Pusat kepada Gubernur/Bupati/Walikota, dari
Gubernur kepada Kabupaten/Kota/Desa dan dari Bupati kepada Desa.
Dalam rangka percepatan PS, dengan komposisi kewenangan dan peluang
pelimpahan/ pendelegasian kewenangan berdasar asas desentralisasi, dekonsetrasi
dan tugas pembantuan tersebut, peluangnya dapat dilakukan dengan
memaksimalkan peran UPT (BPSKL), KPH sebagai UPTD Provinsi, Bupati dan Desa.
Tabel 8.1. Perbedaan asas pembagian kewenangan
Unit Asas Pembagian Kewenangan Keterangan
Pemerintahan Desentraslisasi Dekonsentrasi Tugas
Pembantuan
UPT Sudah Dari sisi anggaran perlu
dijalankan dinaikkan
melalui
pembentukan
10
BPSKL di 5
wilayah
UPTD (cq. KPH atau CDK KPH dan CDK yang berada di
KPH) atau bawah Gubernur, dapat
CDK) diberikan kewenangan oleh
Gubernur melalui Peraturan
Gubernur. Gubernur berhak
menetapkan kebijakan terkait
pelimpahan kewenangan, yang
disesuaikan per-uu-an. Oleh krn
itu, pada kebijakan tingkat
pusat, perlu ada perubahan
mengenai kewenangan KPH
yang mana memungkinkan KPH
memiliki kewenangan untuk
pemberian Izin PS. Misal revisi
PP.6/2007 dan peraturan
pelaksanaanya misal
PermenLHK mengenai KPH.
BUPATI / Bupati/wali Bupati / Dalam urusan Pengakuan MHA
WALIKOTA kota walikota sudah jelas kewenangan Pemda
Kabupaten untuk pengesahan
legalnya. Hal ini untuk
mendukung percepatan Hutan
Adat.
Untuk Percepatan skema PS
lainnya, bisa digunakan
penugasan oleh Gubernur
kepada Bupati untuk percepatan
skema PS dengan penerbitan
Pergub. Penugasan ini harus
diikuti oleh pemberian anggaran
dari APBD provinsi kepada
pemda Kabupaten/kota. Dalam
menjalankan tugasnya, Bupati
dalam menugaskan OPD nya
misalnya Dinas LH atau Dinas
Pertanian atau Dinas PMD. Atau
jika mau dibentuk khusus, maka
dapat membentuk tim
Percepatan PS di tingkat
kabupaten yang di SK kan oleh
Bupati.
DESA desa Gubernur dan Bupati dapat
menugasi Desa dalam rangka
pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan. Penugasan ini
diberikan dengan penerbitan
pergub atau perbup. Anggaran
dibebankan kepada APBD
provinsi atau kabupaten/kota
10
terlaksananya pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) yaitu melalui Peraturan
Presiden No.97 Tahun 2014. Pelaksanaan Perpres 97/2014 tersebut ditindaklanjuti
oleh kementerian/Lembaga dengan menerbitkan peraturan Menteri yang
mendelegasikan kewenangan kepada BKPM-PTSP. Misalnya Kementerian LHK telah
menerbitkan PermenLHK No.P.97/2014 sebagaimana telah diubah dengan
PermenLHK No.P.1/2015 tentang Pendelegasian wewenang pemberian perizinan
dan non perizinan dibidang lingkungan hidup dan kehutanan dalam rangka
pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kepada kepala BKPM. Pelaksanaan
pendelegasian wewenang perizinan dan non perizinan juga dilakukan pada tingkat
provinsi dan kebupaten/kota. Gubernur dan Bupati/Walikota mendelegasikan
wewenang kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(DPM-PTSP) melalui Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota.
Bisa jadi, penentuan batas waktu tersebut sudah tidak relevan lagi jika
dibandingkan dengan pengalaman prakteknya. Oleh karena itu batas waktu tersebut
perlu diperiksa lagi sesuai dengan kemampuan organisasi LHK yang menangani
permohonan PS. Jika pengalaman saat ini, waktu yang dibutuhkan untuk sampai
pada penerbitan izin PS misalnya 3-6 bulan, maka pengaturan batas waktu yang ada
di PermenLHK 83/2016 perlu disesuaikan, dengan diberikan sanksi. Sanksi yang
dimaksud dapat menggunakan analogi hukum administrative yaitu, jika dalam
waktu
10
90 hari tidak ada kejelasan proses penerbitan izin yang dimohonkan maka
permohonan tersebut dianggap telah diterima.
Tabel 8.2. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses penerbitan skema PS.
Status Peran
Pihak Kewenangan / Tugas Utama Pendukung
Menteri Menerbitkan Izin PS Utama
Gubernur Menerbitkan Izin PS setelah Utama
mendapat pendelegasian
Bupati Dalam skema PS (selain Hutan Pendukung
Adat), hanya mendapat
tembusan.
DPRD Prov / Mengesahkan Perda (dalam Utama
Kab / Kota skema Hutan Adat)
Kepala Dinas Menjalankan verifikasi dan Pendukung
Prov penyiapan konsep izin
UPTD Prov Menjalankan verifikasi Pendukung
KPH Mendapat tembusan Pendukung
Pokja PPS Membantu pemohon dalam pendukung
menyiapan syarat-syarat
permohonan
Perubahan status peran dari dari pendukung menjadi peran utama, dapat
dilakukan jika ada pelimpahan kewenangan baik berdasar asas desentralisasi,
dekonsentrasi maupun tugas pembantuan. Misalnya KPH menjadi memiliki peran
utama, Pokja PPS dibentuk di Kabupaten sebagai tim percepatan PS melalui SK
Bupati.
10
Daftar Pustaka
Awang, Sanafri, 2005. Negara, Masyarakat Dan Deforestasi (Konstruksi Sosial Atas
Pengetahuan Dan Perlawanan Petani Terhadap Kebijakan Pemerintah).
Disertasi. Gadjah Mada University. Yogyakarta.
Djadjapertjunda, Sadikin. 2002. Hutan and Kehutanan Indonesia dari Masa ke Masa.
Bogor: IPB Press.
Do A.T., Nguyen B.N., Vo D.T. and Le T.A. 2011. Enabling Diverse Governance
Structures for Community Forest Management.
Hadjon, P.M., 1994. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Hidayat, Herman. 2008. Politik Lingkungan: Pengelolaan Hutan pada masa Orde
Baru dan Reformasi. Yayasan Obor. Jakarta
10
Hakim, Ismatul dkk, 2010. Social Forestry, Menuju Restorasi Pembangunan
Kehutanan Berkelanjutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan
Iklim dan Kebijakan, Kementerian Kehutanan. Bogor
Holleman, J.F. (ed.), 1981. Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law. Selections from Het
Adatrecht van Nederlandsch-Indië Vol. I and Vol. 2. The Hague: Martinus Nijhoff.
Malik, Arizona, Y., dan Muhajir, M., 2015. “Analisis Trend Produk (ukum Daerah
mengenai Masyarakat Adat”. Policy Brief Epistema Institute Vol. 1.
Nguyen T.Q. and Sikor T. 2011. Forest Land Allocation: An Overview of Policy
Framework and Outcomes. In Sikor T. and Nguyen T.Q. Realizing Forest Rights
in Vietnam: Addressing Issues in Community Forest Management. RECOFTC –
The Center for People and Forests, Bangkok, Thailand.
Peluso, Nancy Lee. 1992. Rich Forests, Poor People: Resource Control and Resistance
in Java. Berkeley: University of California Press.
Pulhin J.M., Inoue M., and Enters Th. 2007. Three decades of community-based forest
management in the Philippines: Emerging lessons for sustainable and
equitable forest management. International Forestry Review 9(4): 865–883.
Pulhin J.M. and Inoue M. 2008. Dynamics of Devolution Process in the Management of
the Philippine Forests. International Journal of Social Forestry 1(1): 1–26.
Safitri, M.A. dan Uliyah, L. 2014. Adat di Tangan Pemerintah Daerah: Panduan
Penyusunan Produk Hukum Daerah untuk Pengakuan dan Perlindungan Hak
Masyarakat Hukum Adat. Jakarta: Epistema Institute.
10
Simon, Hasanu. 2001. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest
Manageemnt): Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. Yogyakarta: Bigraf
Publishing.
Siscawati, Mia dan Muayat Ali Muhshi. 2008. Perjalanan Konsep, Kebijakan dan
Praktek Kehutanan Masyarakat di Indonesia. FKKM. Tidak dipublikasikan.
Soepardi, R. 1974. Hutan dan Kehutanan Dalam Tiga Jaman Vols 1-3. Jakarta: Perum
Perhutani.
Suh J. 2012. The Past and Future of Community-Based Forest Management in the
Philippines. Philippine Studies: Historical and Ethnographic Viewpoints 60 (4):
489–511.
Tolo, Emilianus Yakob Sese, 2013. Sejarah Ekonomi Politik Tata Kelola Hutan di
Indonesia. https://indoprogress.com/2013/12/sejarah-ekonomi-politik-
tata-kelola-hutan-di-indonesia/
Wiratno, 2017. Perebutan Ruang Kelola: Refleksi Perjuangan dan Masa Depan
Perhutanan Sosial di Indonesia. Pidato Dies Natalis Fakultas Kehutanan UGM
ke 54. Yogyakarta.
Wibowo, A. dkk., 2015. Kertas Kebijakan Perkumpulan HuMa. “Penetapan (utan Adat
menuju Pengakuan (ak Masyarakat Adat”. Jakarta: (uMa.
10